THE GREATEST SHOWMAN Review

“Fake is, like, the worst word you could possibly use to describe anything..”

 

 

Orang bego enggak bisa masuk ke seni pertunjukan. Di lain pihak, kita bisa menjadi orang terjenius di dunia dan tidak mengerti apa maksudnya untuk mempunyai presence di atas panggung. Menjelma menjadi karakter, mengeksekusi pertunjukan secara langsung. Melakukan koneksi dengan penonton. Yang dilakukan oleh mereka sesungguhnya teramatlah kompleks, dan seringkali mereka kurang mendapat apresiasi.

 

Phineas Taylor Barnum paham bagaimana pentingnya untuk menampilkan sebuah show yang bisa menyentuh para penonton. Dia tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dia ‘jual’, dan cara mengemasnya. Film The Greatest Showman adaah film musikal yang mendendangkan tentang perjalanan P.T. Barnum dari anak kecil pengutil roti di pasar sampai menjadi sebagai seorang ringmaster yang pertunjukan sirkusnya selalu dijubeli oleh banyak orang. Untuk memancing ikan paus, kita tidak bisa menggunakan umpan yang biasa. Harus yang spesial. Barnum, seorang suami yang tidak ingin mengecewakan pengorbanan istrinya yang anak orang borju namun memilih hidup susah bareng-bareng. Seorang ayah yang ingin menorehkan senyum di wajah kedua putrinya, jangan sampai mereka dipandang sebelah mata seperti orang-orang biasa memandang dirinya. Dia punya visi. Dia memancing orang-orang dengan keajaiban. Modal usaha Barnum adalah rasa penasaran dan dia membuat hal tersebut menjadi nyata.

Toh, Barnum yang sangat driven pernah tersesat dalam motivasinya. Ketenaran itu sempat membuatnya silau. Narasi banyak meninggalkan aspek-aspek terendah dalam hidup Barnum, apa yang kita dapat di sini adalah konflik yang terselesaikan dengan convenient, sebab film memang diniatkan untuk tampil semenyenangkan mungkin. Seolah sebuah pertunjukan mimpi yang begitu spektakuler.

menarilah sampai keringat merembes ke lantai!

 

Di balik cerita dan lagu-lagu yang menghentak, film ini menyematkan pesan hendaklah agar kita selalu ingat apa yang membuat kita pengen terkenal, alih-alih soal menjadi terkenal itu sendiri. Dan sekuen-sekuen nyanyian di sini tak pelak akan lama membekas karena semuanya dicraft baik sehingga begitu catchyMelihat penampilan Hugh Jackman sebagai Barnum di sini akan membuat kita merelakan dia melepas kuku adamantium untuk bernyanyi saja terus hingga bahagia selamanya. Susah untuk memilih penampilan musikal mana yang paling keren – “This is Me” digadang sudah kekunci bakal menangin Oscar – tapi buatku, Zac Efron dengan Zendaya saling mengikrar cinta bersenandung magis sembari berayun di tali adalah adegan musik yang benar-benar menyentuh. Chemistry mereka kuat sekali. Ini juga adalah salah satu adegan yang diolah dengan menggunakan efek komputer paling sedikit, dan kupikir itulah sebabnya kenapa terasa begitu real.

Actually, mengenai pemilihan lagu-lagu original yang disajikan; dapat menjadi turn off buat sebagian penonton. I mean, dengan setting jadul tahun 80an secara alamiah kita akan mengharapkan lagu-lagu klasik, akan lebih cocok dengan genre tersebut, namun demikian lagu-lagu yang kita dengar dalam film ini adalah lagu pop. Ada yang kedengarannya pake auto-tune juga malah. Ditambah lagi sebagian besar adegan-adegan nyanyinya dimainkan dengan banyak bergantung kepada CGI. Kita lihat hewan-hewan sirkus beraksi bohongan. Barnum suatu ketika naik gajah menjemput istrinya, yang mana menggelikan jika kita bayangkan gimana reaksi seluruh penduduk serta jerih payah Barnum mengendalikan hewan tersebut. Dan aku curiga tinggi manusia kerdil di grup sirkus Barnum juga sedikit dikurangi dengan efek komputer. Semua ini adalah resiko kreatif yang diambil oleh film. Oke, melatih singa melompati lingkaran api di sekeliling Hugh Jackman jelas beresiko, namun kenapa sutradara Michael Gracey memilih cara yang begini enggak klop dengan keseluruhan film patut kita pertanyakan.

Sesungguhnya semua itu ada alasannya.

Aku pikir film ingin menunjukkan bahwa Barnum begitu berbeda. Dia adalah orang yang lebih maju dari zamannya. Di saat masyarakat masih berprasangka terhadap kulit gelap, mengasingkan mereka, Barnum malah merangkul. Di saat masyrakat masih menganggap orang yang punya kelainan fisik sebagai makhluk yang berbahaya, dan mungkin menular, Barnum menjadikan mereka pertunjukan utama. Seleb yang untuk melihatnya, masyarakat yang biasanya memandang jijik, harus membayar uang. Ide Barnum membangun museum yang berisi hal-hal ganjil, mengumpulkan orang-orang freak untuk beratraksi, dianggap gila oleh masyarakat saat itu. Di mata mereka Barnum juga sama freaknya. Gagasan bahwa orang-orang hebat memang tampak gila bagi kenormalan memang belum terpikirkan oleh mereka, namun Barnum sudah bisa melihat ini. Dia adalah orang yang berani bermimpi. Efek-efek yang kita lihat saat adegan nyanyi mungkin hanyalah bagaimana adegan tersebut di mata, di kepala Barnum. Bagaimana hal itu adalah mimpi yang jadi nyata juga baginya. Ini adalah cerita hidup orang nyata yang disuarakan dalam nada fantasi, dan film tampaknya berniat untuk tampil seajaib mungkin.

American Success Story: Freak Show

 

Beberapa tokoh menampilkan adegan nyanyi dengan lip-sync, dan honestly aku gak yakin kenapa ini terjadi. Masa iya sih film demikian malasnya mengasting aktor dengan suara beneran bagus. Sekali lagi, saat memikirkan ini aku menemukan bahwa mungkin film memang sengaja. Mereka ingin membuat poin soal bahwa sekalipun tampak palsu, artifisial, sesungguhnya tidak ada yang ‘palsu’ dalam pertunjukan. Kita melihat Barnum juga adalah orang yang rela melakukan apa saja untuk menjual shownya. Dia memasukkan bantal ke dalam “Manusia Paling Berat” dan menaikkan beratnya dari 500 ke 750 pounds. Dia menjuduli orang tinggi yang dia rekrut sebagai Raksasa Irlandia, meski orang tersebut aslinya berasal dari Rusia. Barnum terang-terangan mengakui dia menjual hal bohongan, sesekali dia ingin mempersembahkan yang  nyata ketika dia kepincut sama talenta penyanyi opera dari Eropa.

Apa itu palsu? Palsu adalah ungkapan terburuk yang bisa kita sematkan kepada dunia pertunjukan. Sirkus, sandiwara, gulat profesional, bahkan film. Semua hal tersebut adalah sama. Ya, mereka punya skrip, mereka dikoreografi, ada trik, namun itu semua bagian dari usaha yang nyata. Senyum kita yang terhanyut menyaksikan pertunjukan mereka adalah senyata yang nyata bisa. As real as kelinci yang ditarik oleh pesulap dari topinya.

 

Setelah semua ‘kehebatan’ Barnum itu pun, The Greatest Showman bukanlah benar-benar pertunjukan paling hebat. Antara lagu ke lagu, narasinya bergerak begitu cepat sehingga kita belum sempat berpegangan kepada karakternya. Seluruh ‘kegampangan’ pada setiap solusi mematikan stake sehingga bikin ceritanya berlalu dengan dangkal. Kita hanya pengen cepat-cepat kembali ke adegan nyanyi. Dan bahkan liriknya yang enak itu tidak tampak ditulis dengan begitu dalem. Banyak yang semestinya digali tapi film menelantarkannya. Hampir seperti film tidak ingin ada yang stress dalam ceritanya. Aku sendiri pengen melihat lebih banyak antara Barnum dengan anggota-anggota sirkus, tapi mereka malah lama terpisahkan lantaran film pengen membangun konflik romansa yang ujungnya juga terasa selesai dengan buru-buru. Sambil lalu, film actually membahas banyak sehingga saat menontonnya aku teringat banyak cerita lain seperti American Horror Story, film Sing (2016), juga sedikit elemen The Shape of Water (2017)

 

 

 

Dengan pertunjukan musik selikeable ini, akan susah untuk kita melihat dengan enggak bias. Selagi aku berusaha mencatat poin-poin kelebihan dan kekurangan sangat menonton ini, aku melihat ada aku di layar. Haha yea film ini juga membahas hubungan Barnum dengan seorang kritikus. Yang mana menjadikanku bertekad untuk enggak mau menjadi ‘kritik palsu’ yang ngaku suka nonton tapi selalu menggerutui tontonannya. Aku mestinya jujur terhadap apa yang aku suka; setiap yang aku suka enggak mesti selalu hal yang bagus. Aku bisa, boleh, saja suka sama sesuatu yang biasa aja. Ataupun sama yang jelek. And so do all of you.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for THE GREATEST SHOWMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

INSIDIOUS: THE LAST KEY Review

“We just have to find the ones that unlock the right doors.”

 

 

Berapa sering kita melihat film horor belakangan ini? Banyak. Terang saja horor akan terus ngehits selama manusia masih suka ditakuti-takuti. Selalu ada alasan untuk nonton film horor.Entah itu sendirian, ataupun mau seru-seruan bareng temen. Maka hantu-hantu itu tak akan pernah ‘mati’, franchise-franchisenya akan senantiasa direborn (lucu gak sih, ‘hantu reborn’ itu berarti kan dia udah gak jadi hantu lagi ya? Hihi) supaya enggak kemakan jaman dan dapat memuaskan penonton kekinian.

Namun, seberapa sering kita melihat film horor, bahkan sebuah franchise horor, yang BERPUSAT PADA TOKOH YANG SUDAH NENEK-NENEK? Belum pernah terjadi kukira. Sekarang sudah 2018, ini sudah film keempatnya, dan Insidious masih tetap kekeuh berpegang kepada akar cerita. Walaupun memang yang nonton kebanyakan adalah kelompok dedek-dedek jaman-now, franchise Insidious enggak necessarily ditujukan buat remaja. Tokoh utamanya selalu adalah orang dewasa, yang punya masalah-masalah dewasa, mereka berurusan dengan hal-hal kelam. Insidious selalu adalah soal trauma keluarga, masa lalu yang penuh kekerasan rumah tangga, dan film keempatnya ini pun melanjutkan tradisi tersebut.

Berdiri di tengah franchise ini adalah Elise, seorang parapsikologis, yang membantu orang-orang yang rumahnya dihuni oleh roh jahat. Insidious: The Last Key actually adalah prekuel dari film yang pertama, (dua episode ini nyaris berjalan beruntun) karena sebagaimana yang kita tahu Elise sendiri sudah jadi hantu di film yang kedua. Jadi, di film ini kita akan melihat kisah origin dari tokoh Elise. Kita akan melihat ia di masa kecilnya. Rumah Elise dulu di dalam kompleks penitentiary di New Mexico. Gimana kemampuannya melihat hal-hal goib menjadi penyebab utama Elise kecil dipukuli oleh bokapnya yang mendapat nafkah dari menghukum kriminal-kriminal. Masa kecil yang enggak bahagia, fisiknya menderita, mentalpun ikut didera oleh banyaknya makhluk halus yang ia lihat. Salah satunya terbebas dari pintu yang dibuka Elise, melepas teror yang berujung kepada Elise remaja kabur dari rumah. Masa lalu mencerminkan hidupmu yang sekarang, tahun 2010 Elise mendapat telepon dari seorang klien. “Alamat Anda di mana?” dan DEG! Permintaan mengusir hantu itu ternyata datang dari rumah masa kanak-kanaknya yang penuh dengan literally hantu-hantu masa lalu!!

“Who you gonna call? Spooky Buster!”

 

Bicara soal franchise horor, sebenarnya kita seperti mengulas tentang perosotan. Kalian tahu, seberapa curam filmnya menurun. Apalagi kalo udah sampe seri keempat; liat aja tuh entry ke empat Paranormal Activity. Atau Saw. Biasanya kualitas tersebut turun antara  karena filmnya  enggak mendapat inovasi apa-apa, ataupun karena sudah berkembang begitu jauh – jadi over-the-top, dari dasarnya. Film ini, untungnya, enggak jadi parah-parah amat. Film yang pertama dan kedua masih paling kuat, namun The Last Key tidak berada jauh di belakang film ketiga. Kekuatan film ini terutama terletak pada performa Lin Shaye yang diberikan kesempatan bersinar sebagai Elise yang akhirnya menjadi fokus utama narasi. Aku suka dengan tokoh ini lantaran dia terlihat begitu vulnerable. Di sini kita mendapat paranormal yang enggak sok-sok misterius. Elise tampak manusiawi, dia punya selera humor, dia punya banyak kelemahan, dan dia begitu self aware dengan kemampuan psikisnya. Membuat tokoh ini tampak keren.

Antara Elise yang kabur dengan ayahnya yang ringan tangan setiap kali Elise ‘mengadu’ ada hantu, sebenarnya mereka berdua memiliki persoalan yang paralel. Realisasi terhadap hal tersebutlah yang menjadi ujung perjalanan Elise sepanjang film. Bahwa dia, sama seperti ayahnya, sederhananya mengambil jalan yang termudah. Kita membenci hal-hal yang tidak kita mengerti. Meninggalkan rumah yang bermasalah, menghukum anak yang punya kemampuan aneh, adalah tindakan yang lebih gampang – yang menurut mereka lebih plausible, ketimbang mencoba untuk memahami masalah itu. Tetapi tentu saja kita tidak bisa benar-benar lari dari masalah, makanya Elise kemudian memutuskan untuk menerima rekues klien mengusir hantu dari rumah masa kecilnya.

                                            

Dari segi horor, film ini juga tergolong kompeten. Memang kita akan banyak terlonjak oleh suara-suara keras, film masih mengandalkan jump scare seperti halnya film-film Insidious sebelum ini. Namun, paling enggak, film ini cukup cerdas untuk memilih kapan harus menggunakan teknik tersebut. Film ini cukup bijak tidak membuat kita terkejut oleh binatang ataupun sapaan teman ataupun hal-hal biasa lain yang mengecoh. Ketika cerita membutuhkan tokohnya untuk melintasi lorong gelap dan melihat bayangan dan menyenternya, hanya untuk tahu bayangan tersebut adalah baju yang digantung, maka adegan tersebut dilakukan tanpa suara. Musik keras dan mengejutkan hanya kita jumpai ketika yang menyebabkannya beneran adalah hantu. Hal yang menyeramkan kerap muncul bikin jantung kita copot, tapi seenggaknya jika kita beneran mati saat itu kita tidak menjadi hantu penasaran lantaran yang membunuh kita beneran kemunculan hantu seram. Ada satu sekuen serem yang aku suka, yakni saat Elise masuk ke dalam pipa dan menemukan banyak koper-koper. Sutradara Adam Robitel cukup mumpuni mengarahkan adegan tersebut sehingga meski kita tahu bakal ada sesuatu yang ngagetin, scare yang terjadi masih mampu untuk bekerja di luar ekspektasi.

Babak pertama film bekerja dengan efektif sekali. Terutama di bagian masa kecil Elise, ini niscaya adalah bagian terkuat seantero film ini. Kita belajar mengenai keluarga Elise, yang tentu saja setiap anggotanya menjadi penting nantinya. Namun, as the story goes, film ini tidak terasa seperti dibangun atas fondasi naskah yang biasa. Menjelang ke transisi babak ketiga, penceritaan film ini menjadi semakin goyah. Ada beberapa aspek di babak ketiga yang enggak klop, karena sebelumnya ada pengenalan karakter baru yang dimaksudkan sebagai pengungkapan besar-besaran, di mana kita diharapkan untuk berpikir “wow aku sama sekali enggak nyangka” akan tetapi jatuhnya malah hampa. Akan ada semacam pergantian peran, juga ada karakter yang berubah dari baik ke jahat, dari jahat ke baik, hanya saja narasi yang menghantarkan ini tidak bekerja dengan benar. Dari sebuah drama berbalut misteri supranatural, cerita menjadi misteri kriminal, dan berakhir menjadi petualangan di dunia gaib, struktur pembabakan cerita tidak berhasil mengemban tugas membungkus ini dengan lancar.

Imogen adalah salah satu nama cewek paling keren yang pernah kudengar

 

Bicara soal revealing, bahkan tokoh hantu utamanya juga tidak tampak lagi begitu spesial. Untuk sekali ini aku tidak merasa penampilan Javier Botet benar-benar mengerikan. Maksudku, jika dibandingkan dengan The Crooked Man, dengan hantu Mama, presence Hantu Kunci di film ini terasa lemah. Letak masalahnya bukan di make up, sosok hantu yang dimainkan Botet pada film ini masih mampu bikin kita kencing di celana, melainkan di apa yang ia lakukan. Si Hantu punya jemari yang berbentuk anak kunci, dia menggunakan di antaranya untuk mengunci dada korban, apa sebenarnya makna dari apa yang ia lakukan? Segala kunci dan pintu-pintu itu semestinya membangun kepada sesuatu perumpamaan, tapi dalam film ini tampak sebagai bahan menakut-nakuti belaka.

The best that I can come up with adalah melihat Elise bergentayangan berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci di tempat gelap itu mengingatkanku ke salah satu pelajaran menulis. Seorang penulis sejatinya kudu mampu membuka pintu-pintu di dalam diri dengan menggunakan kunci-kunci yang tepat. Kunci itu adalah pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri. Proses menulis adalah proses menyelami diri sendiri, mengeksplorasi apa yang kita rasakan, dan ini paralel dengan yang dilakukan Elise di dunia sana; Dia harus membuka pintu-pintu demi ‘mengenali’ dirinya sendiri sebagai cara untuk berkonfrontasi dengan masa lalu yang ia tinggal kabur.

 

Selalu bermasalah di bagian humor, tak terkecuali pada film ini. Elise ditemani oleh dua pria yang membantunya dalam urusan teknologi. Mereka ini semacam Ghostbuster dengan gadget-gadget unik yang kadang gak jelas kegunaannya, dan kedua cowok yang nemenin Elise bertugas mengoperasikan alat-alat tersebut. Itu tugas mereka dalam narasi. Dalam penceritaan, however, dua orang ini punya fungsi sebagai pencetus komedi. Tingkah mereka yang komikal, celetukan mereka yang nerd abis, lebih sering daripada tidak jatohnya awkward alih-alih lucu. Akan ada banyak lelucon yang bikin kita nyengir kuda karena candaannya garing. Eventually mereka berdua terlibat adegan flirt sama cewek, dan adegan-adegan konyol mereka membuatku merasa malu menontonnya.

 

 

 

Buat yang belum pernah menonton film dari franchise Insidious, film ini tidak akan membuat kalian menjadi fans, sebab ceritanya yang memang agak kurang rapi ini tidak benar-benar mengandung sesuatu yang baru. Horornya juga tergolong biasa. Namun, buat penonton yang udah setia ngikutin, film ini tidak tampil mengecewakan, dibuat dengan kompeten, dimainkan dengan meyakinkan, dan tetap memegang teguh akar yang membuat film-film pendahulunya disenangi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for INSIDIOUS: THE LAST KEY

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2017

 

Joko Anwar mengajak para follower twitternya untuk menonton yang film berkualitas saja. Gimana cara tahu kualitasnya tanpa menonton? Yaitu dengan mengambil referensi dari tulisan-tulisan kritikus atau reviewer. Tapi kita bukan robot. Kita bisa berpikir sendiri, kita bisa merasa sendiri. Kata-kata reviewer hendaknya dijadikan acuan sebagai pembanding pendapat pribadi, anggap seperti moderator dalam sebuah forum diskusi. Jangan seketika dijadikan pedoman layaknya walkthrough video game. Lagian, di mana serunya jika setiap orang punya pendapat yang sama. Maka aku bilang, tontonlah film apapun, tetapi jangan matikan pikiran kita saat menyaksikannya. Pertanyakan semua. Berekspektasilah. Jadi pembuat film tandingan.

Lihat betapa indahnya pemandangan dunia sinema di tahun 2017. Begitu banyak film-film yang membagi penontonnya menjadi dua kubu likers dan haters. Ada yang bilang film itu karya masterpiece, sedangkan ada juga yang bilang film yang sama tersebut sebagai sebuah omong kosong, sampah. Dan tentu saja ini menciptakan ruang untuk diskusi yang sehat. Penonton akan memikirkan ulang filmnya. Mereka berpendapat, menyalakan otak, mengeluarkan suara tentang bagaimana film itu seharusnya. Hal seperti inilah yang eventually menggerakkan roda perfilman itu ke depan. Inilah yang membuat sebuah film yang bagus. Dan tahun 2017 dipenuhi oleh film-film hebat yang menggerakkan seperti demikian.

Jadi, jangan heran ketika kalian membaca daftar ini dan menemukan film yang mungkin kalian benci setengah mati nangkring di dalamnya. Sebab itulah poin yang dibentuk oleh 2017; sebuah tahun yang sangat polarizing terhadap film. Jangan pula ditahan-tahan jika kalian punya komentar ataupun ingin sharing film terfavorit kalian, kita punya kolom komen di bawah 😀

 

HONORABLE MENTIONS

  • A Ghost Story (drama sedih yang akan terus menghantui penontonnya)
  • A Silent Voice (anime yang penting untuk ditonton karena kebanyakan kita belum mampu berkomunikasi dengan benar)
  • Brad’s Status (film yang life changer banget, nyadarin kita untuk berhenti ragu-ragu kebanyakan mikirin masalah yang sebenarnya hanya ada di kepala)
  • Call Me by Your Name (perjalanan menemukan sesuatu yang tidak lagi bisa kita abaikan)
  • Dunkirk (terobosan baru Christopher Nolan buat film perang sehingga terasa begitu nyata)
  • Get Out (satir mengenai rasisme dan masalah sosial lain yang dibungkus dalam kemasan horor)
  • Good Time (thriller yang benar-benar lancang yang ngingetin bahwa hidup memang susah, bukan berarti berhenti berusaha)
  • Personal Shopper (bukan horor seperti yang diharapkan, ini adalah film orisinil yang benar-benar seperti lukisan abstrak)
  • Raw (cerita yang shocking dan sangat disturbing tentang manusia yang terlalu lama menahan nafsu)
  • Split (M. Night Shyamalan kembali dengan psikologikal thriller yang percaya kepada penonton dan gelora oleh penampilan-penampilan akting luar biasa)
  • Star Wars: The Last Jedi (mengenyahkan semua prediksi, aku senang sekali kita melihat petualangan dan aspek-aspek yang sama sekali baru di franchise Star Wars)
  • Stronger (film yang sangat inspirasional tentang trauma yang sama sekali enggak inspirasional buat mereka yang mengalaminya. Nah lo?)
  • The Devil’s Candy (layaknya karya seni yang berasal dari neraka personal seorang ayah yang struggling dengan pekerjaannya)
  • The Disaster Artist (dark comedy tentang menggapai mimpi, meskipun ekspektasi seringkali tak sesuai dengan realita. Film ini punya hati paling besar se2017!)
  • Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (penampilan akting yang melegenda, berani membahas isu yang dihindari orang. Salah satu tontonan terbaik, dan paling punya nyali)
  • To the Bone (sangat kuat mengeksplorasi psikologis orang-orang yang punya pandangan menarik tentang kebutuhan makan)
  • War for the Planet of the Apes (cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin, sangat emosional!)
  • Wind River (seberapa cepat dinginnya perlakuan dapat membuat orang melakukan hal-hal yang di bawah derajat moral)
  • Wonder (dapat membuat anak-anak jadi berani untuk mengambil tindakan yang benar dalam pergaulan mereka dengan teman sehari-hari)
  • Wonder Woman (akhirnya ada juga film superhero DC yang benar-benar bisa menendang bokong!)

Tak lupa pula, special shout out aku berikan buat Pengabdi Setan yang ulasan filmnya udah mecahin rekor jumlah view terbanyak di My Dirt Sheet.

 

 

 

8. BABY DRIVER


Director: Edgar Wright
Stars: Ansel Elgort, Lily James, Kevin Spacey, Jamie Foxx
MPAA: R for violence and language
IMDB Ratings: 7.7/10
“‘Retarded’ means slow. Was he slow?”

 

Musik asik yang lantang, mobil keren yang ngebut, itulah film ini. Lantang dan ngebut. Sama dengan superseru. Ini adalah salah satu film dengan pace paling cepat sepanjang tahun. Ciri khas sutradara Edgar Wright kelihatan jelas di sini.

Sekalipun sangat kuat dalam gaya, namun Edgar Wright tidak pernah melupakan substanti pada setiap ceritanya. Penulisan Baby Driver sangatlah on-point. Strukturnya berhasil memberikan banyak kepada Baby meskipun tokoh utama kita ini hanyalah semacam orang suruhan yang tidak mau berada di sana. I mean, Baby kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi – sesuatu yang kebalikan dari rumus tokoh utama – tetapi film masih mampu mengolahnya sehingga senantiasa menarik. Baby adalah tokoh yang punya kebiasaan yang unik, dan akan sangat mengasyikkan melihat perkembangan tokoh ini, apa yang ia lakukan, dan apa yang pada akhirnya harus dia pilih.

Diperkuat oleh pemain dan humor yang kocak, film ini akan jarang sekali mengerem. Dan ketika film memang benar-benar melambat membangun kisah cinta antara Baby dengan Deborah, kita akan masih betah duduk di sana.

My Favorite Scene:

Kurang dahsyat apa lagi coba adegan ngebut-ngebut di opening ini? Hebatnya adegan ini – beserta setiap stun action lain yang ada di Baby Driver – tampak bener-bener bisa dilakukan di dunia nyata.

 

 

 

 

 

7. MOTHER!


Director: Darren Aronofsky
Stars: Jennifer Lawrence, Javier Bardem, Ed Harris, Michelle Pfeiffer
MPAA: R for disturbing violent content, nudity, some sexuality, and language
IMDB Ratings: 6.8/10
“You never loved me. You just loved how much I loved you. I GAVE YOU EVERYTHING. You gave it all away.”

 

Film yang aneh. Menyinggung, dan mengganggu. Ada banyak adegan kekerasan, ataupun adegan yang mengerikan, yang tak terjelaskan. Aku bisa melihat alasan sebagian orang dapat menjadi begitu enggak suka sama film ini. Aku bisa mengerti kalo Indonesia menolak memutar film ini di bioskop. Bahkan, penampilan akting Jennifer Lawrence yang begitu luar biasa memilukan di film ini, besar kemungkinan akan dilewatkan begitu saja oleh penghargaan-penghargaan film. Karena penceritaan film ini amat sangat ganjil.

Namun buat yang mau bertahan menonton, Mother! adalah sebuah film kiasan yang digarap dengan tingkatan dewa. Semua yang terjadi di film ini mempunyai makna, membentuk lapisan cerita yang menantang kita untuk memahami apa maksudnya. Mother! adalah film yang susah untuk dicerna. Aku mencoba untuk menafsirnya dalam ulasan, dan bisa jadi semua yang kutulis salah. Film ini benar-benar bekerja sesuai dengan interpretasi penontonnya masing-masing.

Menurutku, di balik lapisan tentang pasangan suami istri yang rumahnya mendadak disatroni banyak orang, film ini bicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Di mana kita adalah tamu di dalam rumah Tuhan. Dan ini membawa kita ke pemahaman bahwa si Ibu adalah orang yang paling disibukkan kalo ada tamu, dia yang paling ‘dirugikan’, dan orang ini adalah personifikasi dari alam. Bumi. Simbol-simbol gila seputar tentang itu banyak bertebaran di aspek-aspek narasi. Film sinting seperti ini mungkin tidak akan segera bisa kita jumpai lagi.

My Favorite Scene:
Oke, aku gak bisa nemuin video sehingga membuatku ngeri juga masukin foto mengenai adegan yang menurutku merupakan bagian terbaik di film ini. Dan adegan tersebut adalah ketika Mother dihajar hingga babak belur oleh massa. Adegan brutal ini sangat heartbreaking, menontonnya bikin kita sakit juga, suara-suara tulang yang patah ketendang itu benar-benar bikin adegan ini berat untuk ditonton, namun juga begitu penting, karena inilah yang actually sedang kita lakukan terhadap bumi tercinta.

 

 

 

 

 

6. THE SHAPE OF WATER


Director: Guillermo del Toro
Stars: Sally Hawkins, Octavia Spencer, Michael Shannon, Richard Jenkins
MPAA: R for sexual content, nudity, violence, and language
IMDB Ratings: 8.2/10
“Oh God! It’s not even human.” / “If we do nothing, neither are we.”

 

Seorang wanita tuna wicara polos yang jatuh cinta kepada makhluk amfibi mengerikan. Ini adalah kisah cinta tak biasa, yang mungkin bisa disturbing buat beberapa orang, namun bukan itu satu-satunya yang disampaikan oleh Guillermo del Toro, seorang master dalam membuat kisah fantasi kelam yang sangat menyentuh, Film ini adalah dongeng tentang hidup yang belum terpenuhi. Pesan di balik film ini sesungguhnya akan terasa akrab oleh kita yang pernah merasa hidup kita belum sempurna.

Ada sesuatu di balik monster tersebut yang bisa kita relasikan. Ada sesuatu di balik mimpi-mimpi tokohnya yang membuat kita peduli tanpa harus mengasihani mereka. Mengisi hidup adalah perjuangan. Film ini menarik perbandingan bahwa semestinya kita bertindak seperti air demi mengisi kekosongan dalam hidup. Kita harus bisa beradaptasi sesuai dengan environment tempat kita berada.

The Shape of Water diarahkan untuk menjadi pengalaman visual nan personal yang sangat menggugah. Efek-efek praktikal dan sinematografi film ini benar-benar mencuat membentuk adegan-adegan yang begitu kuat. Penceritaan The Shape of Water mengalir dengan menawan. Dia bekerja baik dalam banyak tingkatan. Kita bisa menikmati romansanya, ataupun dibuat tegang oleh suspens dan dunia politik Perang Dingin, ataupun menyimak pesan yang diselipkan di balik setiap simbol dan elemen ajaib yang film ini miliki.

My Favorite Scene:

Di luar apakah adegan ini penting atau kagak, sekuens musikal film ini tampak begitu indah. Aku punya soft side buat adegan musik yang aneh yang diselipin di dalam cerita.

 

 

 

 

 

5. MARLINA SI PEMBUNUH DALAM EMPAT BABAK


Director: Mouly Surya
Stars: Marsha Timothy, Dea Panendra, Yoga Pratama, Egy Fedly,
Certificate: 21+
IMDB Ratings: 7.4/10
“Saya tidak merasa berdosa”

 

Akhirnya, akhirnyaaaa, setelah sudah lima tahun bikin list film terbaik, akhirnya ada film Indonesia yang masuk Delapan Besar. Dan Marlina sangat pantas untuk mendapatkan apresiasi segede ini.

Empat babak cerita ini merangkum kisah Marlina, seorang yang baru saja jadi janda, yang rumahnya disatroni tujuh pria dengan niat gak baik. Marlina membunuh sebagian besar mereka, memenggal kepala pemimpinnya, untuk kemudian pergi menyebrangi padang gersang pulau Sumba menuju kantor polisi.
Film ini bergulir tidak seperti film-film Indonesia lain yang keluar di tahun 2017. Orang luar bahkan menyebut film ini sebagai satay western. Marlina menggunakan musik yang seperti musik country dilebur dengan irama lokal Sumba. Marlina memperlihatkan pemandangan padang berbukit, kita melihat Marlina naik kuda. Betapa uniknya film ini. Dia membahas isu-isu sosial, berkelakar dengan melontar komentar tentang gender. Ceritanya mempertanyakan peran masing-masing gender, untuk kemudian membaliknya begitu saja. Antara wanita dan pria, sesungguhnya tidak ada yang jadi korban. Tidak ada yang total mendominasi di atas yang lain.

Film ini pun sesungguhnya turut bersumbangsih dalam kebangkitan sutradara-sutradara wanita, dengan menampilkan tokoh wanita yang kuat, dalam scene perfilman dunia.

My Favorite Scene:

Marlina dihuni oleh karakter-karakter yang juga unik. Satu adegan yang membuatku ngakak adalah ketika Marlina membajak angkutan umum, sepanjang perjalanan dia menodong si supir dengan parang yang diacungkan beberapa senti dari leher, dan kemudian salah satu penumpang angkutan – yang sudah ibu-ibu – malah nyeletuk dengan santai “Tidak capek tanganmu, Nona?”

 

 

 

 

 

4. GERALD’S GAME


Director: Mike Flanagan
Stars: Carla Gugino, Bruce Greenwood, Chiara Aurelia, Carel Struycken
Certificate: TV-MA
IMDB Ratings: 6.7/10
“Everybody’s got a little corner in there somewhere; a button they won’t admit they want pressed.”

 

Gerald’s Game adalah salah satu film adaptasi Stephen King terbaik dan ini benar-benar mengejutkanku lantaran source materialnya bisa jadi merupakan materi yang paling susah untuk disadur ke bahasa film. Kebanyakan adegan cerita ini adalah tokoh Jess bicara dengan dirinya sendiri. Ini adalah cerita psikologikal thriller tentang seorang wanita yang terborgol di tempat tidur dan dia harus melepaskan diri karena selain anjing kelaparan yang terus saja menyantap mayat suaminya di lantai, tidak ada orang lain yang tahu kondisi Jess karena pasangan suami istri ini memang lagi liburan di vila terpencil.

Kita akan melihat Jess ngobrol dengan dirinya sendiri, ada personifikasi dirinya, suaminya, kita dibawa flashback ke kejadian masa kecil Jess yang membuatnya trauma. Dan pada puncaknya, Jess harus berhadapan dengan Moonlight Man; sosok tinggi besar misterius, bermata merah, yang kerap datang ketika malam tiba.
Ini adalah cerita yang hebat yang penuh dengan metafora dan simbolisme. Perjuangan manusia untuk membebaskan diri dari trauma masa lalu yang membuatnya menjadi pribadi yang sekarang. Seluruh penceritaan film ini akan sangat menantang kita. Ceritanya creepy. Sinematografinya pun membuat merinding. Juga amat disturbing. Ada satu adegan yang bikin ngilu dan bakal membuat kita mengelus-elus pergelangan tangan. Penampilan akting para pemain pun luar biasa, karena mereka memainkan dua versi dari tokoh mereka.

Salah satu horor psikologis terbaik yang pernah aku saksikan.

My Favorite Scene:
https://www.youtube.com/watch?v=nyJT36-t25A
Orang bilang ending adalah bagian terbaik dari sebuah film. Aku tidak bisa menyangkalnya buat film Gerald’s Game. Stephen King adalah master dalam menulis cerita balas dendam. Dan sekuens akhir film ini sungguh-sungguh membuktikan hal tersebut. Amat memuaskan melihat konfrontasi final antara Jess dengan Moonlight Man

 

 

 

 

 

3. BLADE RUNNER 2049


Director: Denis Villenueve
Stars: Ryan Gosling, Harrison Ford, Ana de Armas, Jared Leto
MPAA: R for violence, some sexuality, nudity, and language
IMDB Ratings: 8.3/10
“Dying for the right cause. It’s the most human thing we can do.”

 

Aku bilang film ini adalah masterpiece dalam filmmaking. Temen-temenku yang mendengar rekomendasi ini, pergi ke bioskop untuk menontonnya.

Dan mereka tertidur.

Seriously guys, aku tahu aku nulis film 2017 itu hebat-hebat lantaran bisa membagi pendapat penonton, tapi aku bener-bener garuk kepala ketika ada yang bilang Blade Runner 2049 adalah film yang membosankan. Ya, filmnya memang panjang banget. Tapi ada begitu banyak kemenakjuban yang bisa kita lihat, yang bisa kita nikmati, yang bisa kita serap dari penceritaan ini. Sekali lagi, oke, mungkin ceritanya agak berat. Mekanisme dunia penuh Replicant dan sebagainya; film ini bisa berdiri sendiri karena naskahnya benar tertutup, namun kalo kita sudah nonton film yang pertama, cerita memang jadi sedikit lebih mudah dicerna. Makanya, aku menyarankan kepada yang tertidur karena gak paham ama ceritanya, coba deh nonton dengan suara di-mute. Karena pemandangan visual dan sinematografi dalam film ini, begitu grande sehingga membuat calon filmmaker bakal ciut “bisa gak gue bikin yang lebih bagus?”

Naskah film ini begitu kuat. K, tokohnya si Gosling, punya plot yang paling WTF di tahun 2017. Aku gak bisa membayangkan kalo aku yang bernasib seperti dia. Kalian tahu Tommy Wiseau yang bikin film The Room? Yang kisahnya diceritain dalam The Disaster Artist? Apa yang dialami Wiseau; dia menyangka film buatannya bakal jadi yang terhebat, namun ternyata film itu ngehits karena hal yang memalukan, bukan apa-apa dibandingkan dengan kenyataan yang dihadapi oleh K.

My Favorite Scene:

The face you make when you think you were the chosen one, but you aren’t.

 

 

 

 

 

 

2. LADY BIRD


Director: Greta Gerwig
Stars: Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Lucas Hedges, Timothee Chalamet
MPAA: R for language, sexual content, brief graphic nudity and teen partying
IMDB Ratings: 8.1/10
“People go by the names their parents give them, but they don’t believe in God.”

 

Satu-satunya film yang sukses menangguk score 9 dari My Dirt Sheet di tahun 2017.

Lady Bird yang merupakan debut terbang solo Great Gerwig sebagai sutradara adalah film yang sungguh personal bagi dirinya. Makanya film ini terasa sangat real.

Ini bukan sekadar coming-of-age story di mana tokoh utamanya berhasil keluar dari rutinitas hidup yang mengekang dan mencoba pengalaman dan hal-hal baru. Bukan sekadar tentang tokoh utama yang dapat pacar cowok keren. Lady Bird adalah romansa anak cewek dengan ibunya. Dan ya, kita akan melihat Lady Bird udah gak sabar untuk lulus dari sekolah Katoliknya, namun environment Lady Bird tidak pernah ditampilkan mengekangnya dalam cahaya yang ‘jahat’.

Menonton ini akan terasa seperti kita melihat adegan percakapan sungguhan, karena kita dilempar begitu saja ke tengah-tengahnya. Ini memberikan kesempatan untuk mengobservasi mereka, dan terbukti sangat efektif sebab ada banyak saat ketika aku mendapati diriku ikutan mengobrol dengan mereka. Aku ingin ikut nimbrung, aku jadi begitu peduli sama karakter-karakternya. Saoirse Ronan luar biasa natural memainkan Lady Bird. Rasanya sedikit sedih ketika film berakhir, seperti berpisah dengan orang yang sudah deket. Begitulah bukti betapa menakjubkannya Gerwig menyetir narasi, cara berceritanya benar-benar membawa kita hanyut.

My Favorite Scene:

Paling ngakak melihat Lady Bird ‘diskusi’ milih-milih gaun sama ibunya. Adegan ini menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua dengan sangat efektif.

 

 

 

 

 

Peringkat pertama tahun 2017 My Dirt Sheet ini akan menyimpulkan betapa pentingnya peran sutradara dalam sebuah film. Sutradara yang baik harus bisa meninggalkan jejak, harus berani melakukan perubahan, harus punya visi uniknya sendiri yang membuat film menjadi semakin urgen dan berdiri mencuat di antara yang lainnya. Lihatlah ke belakang, semua yang masuk daftar ini adalah buah tangan dari sutradara yang berani mengambil resiko. Filmnya tidak diniatkan untuk memuaskan semua orang, melainkan hanya sebagai sebuah sajian yang benar-benar mewakili diri mereka.

Dan inilah film peringkat pertama kami:

1. THOR: RAGNAROK


Director: Taika Waititi
Stars: Chris Hemsworth, Tom Hiddleston, Cate Blanchett, Mark Ruffalo
MPAA: PG-13 for intense sequences of sci-fi violence and action, suggestive material
IMDB Ratings: 8.1/10
“What were you the god of, again?”

 

Menurutku bagaimana kita melihat film Thor ketiga ini bergantung kepada bagaimana pandangan kita terhadap superhero.

Jika kita punya mimpi pengen diselamatkan oleh superhero, kita enggak akan suka sama Thor dalam film ini yang diberikan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi lelucon dan kekonyolan.
Jika kita punya mimpi untuk menjadi superhero, kita akan menjerit kesenangan sampai terjatuh dari kursi demi melihat Thor yang dewa dan superhero ternyata quirky dan ‘bego’ seperti kita.

Kalimat Hela kepada Thor “Kau dewa apaan sih?” adalah kunci yang menjelaskan seperti apa Taika Waititi memvisikan Thor.

Apa yang dilakukan oleh Dewa? Apakah kita bisa menjadi Dewa? Thor dalam film ini dijatuhkan menjadi level rakyat biasa supaya kita bisa merelasikan diri kepadanya. Waititi tidak ingin membuat Thor superserius dan menjadi makhluk sempurna. Dia melihat potensi komedi yang ada dari materi Thor sebelumnya, dan embrace it. Thor kehilangan palu, bahkan rambutnya. Adalah sebuah make over total yang dilakukan sang sutradara demi meniupkan hidup baru yang lebih akrab terhadap tokoh superhero yang kita kenal.

Thor: Ragnarok adalah film superhero paling lucu yang pernah dikeluarkan oleh Marvel Studio. Definitely yang terbaik dari seri film solo Thor. Narasinya banyak bermain-main dengan gimmick dewa-dewi Asgard, bersenang-senang dengan trope karakter-karakter superhero Marvel. Yang perlu diingat adalah bermain-main bukan berarti enggak serius. Bersenang-senang bukan berarti melupakan nilai seni. Pada film ini, seni adalah komedi, pada bagaimana dia bermain-main. Sinematografinya keren parah. Adegan aksinya benar-benar dahsyat. Aku bisa nonton film ini berkali-kali dan enggak akan pernah bosan.

My Favorite Scene:
https://www.youtube.com/watch?v=3N0T3pqGrr4

Sebenarnya susye sih memilih satu adegan yang paling favorit. Karena film ini hilarious dan keren parah. Aku suka semua adegan aksinya, apalagi semakin mantep diiringi oleh Immigrant Song yang awesome!!

 

 

 

 

 

Sedikit kekurangan di departemen film animasi, kita tidak banyak menjumpai animasi yang menantang dan benar-benar baru tahun 2017 ini. Ada sih satu yang indah, tapi tidak terasa benar-benar spesial buatku. Tapi secara keseluruhan, 2017 adalah film yang asyik banget buat penggemar film seperti kita-kita. Tahun 80an menyeruak lewat sekuel-sekuel dan homage. Kita dapat banyak film adaptasi Stephen King, yang practically awesome, di Indonesia sendiri film horor lagi naik daun. Aku harap tahun 2018 semakin banyak bermunculan film yang berhasil memancing perbedaan pendapat, semakin banyak penonton yang kritis.
Aku juga ingin menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih sama kamu-kamu yang udah sering bolak-balik ke blog ini. Aku benar-benar gak menyangka My Dirt Sheet bisa memenangkan Piala Maya sebagai Blog Kritik Film Terpilih 2017, dan itu masuk nominasi karena rekomendasi pembaca sekalian. So, thank you so much.

Dan ketahuilah, kami sangat mengharapkan komen dari kalian, baik itu diskusi film, komen pendapat, bahkan mengritik blog ini sekalipun. Jadilah penonton yang jahat, karena penonton yang baik adalah penonton yang tidak berpikir.
Apa film favorit kalian 2017?
Apakah perlu dibuat list film-film paling mengecewakan di tahun 2017?
Beritahu kami di komen.

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are…

THE SHAPE OF WATER Review

“The night allows the stars to shine and we come alive.”

 

 

 

Si Cantik dan Si Buruk Rupa bukan hanya milik Belle dan Beast di tahun 2017, sebab Guillermo del Toro sudah menulis satu lagi dongeng cantik yang mempertemukan manusia dengan makhluk bukan-manusia yang bekerja dengan begitu menakjubkan dalam berbagai tingkatan. The Shape of Water adalah kisah cinta yang sangat dewasa, sebuah fantasi yang demikian erotis sehingga mungkin terlihat menakutkan buat beberapa mata, yang dilatarbelakangi oleh suspens politik Perang Dingin.

Bahkan kalimat tersebut belumlah cukup untuk mendeskripsikan film ini, sebab dia juga adalah tentang kehidupan yang tidak terpenuhi;  tentang perjuangan manusia untuk mengisi kekosongan di hati mereka.

 

Sejauh ini, satu-satunya film yang sukses membuatku menitikkan air mata adalah Pan’s Labyrinth (2006). Aku begitu tergerak oleh penceritaan yang begitu menghanyutkan sehingga terasa benar-benar magis. Del Toro adalah master dalam menceritakan dongeng seperti ini, dia mampu menyatukan berbagai elemen – membuat ceritanya punya lapisan yang mekar membuka dengan cara yang teramat menawan.  Dan aku benar-benar gembira, setelah ngerjain proyek-proyek yang sepertinya adalah pekerjaan pesenan, del Toro kembali ke akarnya tersebut. The Shape of Water terasa bersandingan dengan Pan’s Labyrinth dan The Devil’s Backbone (2001). Tentu saja,  film ini dilengkapi dengan efek visual yang sama ajaibnya. Meletakkan hal-hal di luar normal ke dalam lingkungan yang ordinary adalah keahlian del Toro. Kalo ada istilah pekerja mimpi, maka orang ini pastilah personifikasi yang paling tepat mewakili istilah tersebut. Efek prostetik dan kostum monster amphibi itu membuat si tokoh seolah melompat ke luar layar.

Namun, dari semua aspek-aspek mencuat yang sudah jadi ciri khasnya, The Shape of Water tampil unik dan kuat berkat tema yang ia koarkan. Tema yang sejatinya adalah suara del Toro yang berpesan kepada para pembuat film – kepada setiap orang yang merasa out-of-place, yang merasa apa yang mereka lakukan belum cukup untuk mengisi hidup sesuai dengan keinginannya.

Kita diberitahu oleh narator bahwa tokoh utama kita adalah seorang “Putri tanpa Suara”. Elisa (Sally Hawkins bakal jadi langganan nominasi penghargaan film oleh penampilannya di sini) adalah wanita tuna wicara, tetapi bukan sebatas itu yang membuatnya merasa enggak sempurna. Elisa cukup bahagia dengan rutinitasnya, dia akrab dengan tetangganya yang seniman, dia sohiban dengan rekan kerjanya sesama janitor malam hari di perusahaan rahasia milik pemerintah. Hanya saja ada sesuatu yang tidak cocok dari dirinya – nun jauh di dalam sana Elisa adalah spirit yang ceria. Dia suka nonton film, dia suka menari mengikuti adegan film yang ia tonton, Elisa adalah putri di dunianya sendiri. Sebab di dunia luar, dia bukan siapa-siapa. Orang yang tidak bisa bicara sama terasingnya  dengan kulit hitam ataupun gay, seperti teman-temannya, di tahun 60an tersebut. Malam hari adalah satu-satunya waktu mereka ‘bersinar’ lantaran sudah tidak ada lagi yang melihat.

Putri manis dalam bis

 

Itulah sebabnya kenapa Elisa sangat tertarik dan merasa dekat dengan makhluk amfibi yang disimpan dalam salah satu ruangan perusahaan rahasia tersebut. Menggunakan ‘kebebasan’nya sebagai tukang bersih-bersih, Elisa menyempatkan diri setiap malam masuk ke ruangan demi mengunjungi makhluk yang bagi ilmuwan dan atasannya tergolong berbahaya. Elisa memberinya makan, menghiburnya dengan musik. Monster yang disiksa dan dijadikan bahan eksperimen itu mengisi ruang kosong di dalam diri Elisa. ‘Duyung Cowok’ mana paham kalo Elisa adalah seorang yang cacat; mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Elisa tidak lagi seorang yang punya kekurangan ketika dia bersama dengan Si Makhluk; mereka ekual. Perasaan dibutuhkan, diperlakukan sama, inilah yang ditangkap oleh Elisa sehingga mereka berdua lantas menumbuhkan rasa saling cinta. Namun, seperti setiap kisah cinta yang ada; akan selalu ada rintangan yang mencoba memisahkan mereka berdua.

Begitu banyak tokoh dalam film ini yang merasa ‘kurang’ di dalam hidup mereka. Menyaksikan mereka berusaha mengisi hidup mereka adalah pertunjukan utama cerita. Bahkan tokoh antagonis, Richard yang diperankan heel abis oleh Michael Shannon, seorang petugas pemerintah yang kerjaannya menyiksa si Merman juga diberikan konflik personal. Kita diperlihatkan kehidupan rumah tangganya – termasuk kehidupan intimnya, sebagai kontras dari Elisa. Kita diberikan kesempatan untuk mengerti bahwa Richard juga berjuang, dia merasakan hidupnya masih kurang, tugasnya adalah mempelajari si Merman namun dia belum berhasil mendapat progres yang berarti. Richard belum mencapai kehebatan yang ia dambakan. Dia sendiri juga masih struggling dan menjawab kepada orang yang posisinya lebih tinggi.

Cerita film ini beresonansi dengan kenyataan yang lebih dekat dari yang kita kira. Perlakuan terhadap beberapa minoritas di tahun 60an itu masih bisa kita jumpai di ‘jaman now’. Hebatnya, film tidak pernah meminta kita untuk berbelas kasihan kepada mereka. Karena kita diperlihatkan bahwa sesungguhnya antara para ‘outcast’ dengan para petinggi punya kecacatan yang sama. Dan cacat itu enggak membuat seseorang menjadi monster. Ngomong-ngomong soal monster, ada sesuatu mengenai makhluk amfibi itu yang terasa ‘akrab’. Di sini kita punya makhluk yang ditangkap dan diperlakukan dengan tidak manusiawi, padahal tadinya dia dianggap ‘dewa’ oleh orang-orang di habitat aslinya. Si Makhluk praktisnya tidak dimanfaatkan, tidak dihargai, dengan sebagaimana mestinya. Aku yakin banyak dari kita yang merasa disia-siakan seperti ini dalam dunia pekerjaan, ataupun dalam berkarya.

belum jadi ayam, udah dimamam

 

Para superstar di WWE contohnya, kebanyakan dari mereka dikontrak dari jalur indie karena skill dan teknik mereka berhasi melambungkan namanya. Namun ketika bermain di WWE, skill mereka dibatasi, gerakan-gerakan mereka disesuaikan dengan standar WWE, mereka tidak boleh lagi menggunakan jurus yang jadi andalan mereka lantaran dianggap terlalu membahayakan oleh manajemen WWE. Jadi buat apa mereka dikontrak? Pembuat film juga begitu; sutradara film arthouse diberikan kesempatan oleh studio gede untuk menggarap suatu film, tetapi produk akhirnya enggak boleh terlalu artsy, harus sesuai selera pasar mainstream. Jadi buat apa dikasih kesempatan itu sedari awal? Aku juga pernah ngalamin kayak gini, aku kerjasama ama salah satu youtube channel yang tertarik dengan ulasan filmku, aku diminta nulis naskah untuk video daftar-daftaran kayak 10 Film Action Terseru dan sebagainya. Setelah aku setuju dan mengirimkan tulisan list susunanku, mereka meminta untuk mengganti film-filmnya dengan film dari rujukan mereka. Jadi aku bertanya buat apa memintaku kerja sama kalo ujung-ujungnya makai sudut pandang mereka juga?

Wujud air selalu sesuai dengan media tempat ia tertampung. Film ini menarik perbandingan bahwa semestinya kita bertindak seperti air demi mengisi kekosongan dalam hidup. Kita harus bisa beradaptasi sesuai dengan environment tempat kita berada, bekerja. Masing-masing ada tempatnya, kita yang harus tahu di mana kudu menempatkan diri dengan benar. Idealisme sejatinya tidak akan pernah kering jika kita terus menyuarakannya.

 

 

Dosa kalo sinematografi film ini enggak dapat pengakuan. Guillermo del Toro sekali lagi membuktikan bahwa ia punya taring yang tajam dalam urusan desain produksi dan penceritaan. Hanya menjelang babak ketiga saja film ini sedikit goyah oleh sekuens yang tampak sedikit cheesy. Akhiran cerita film pun gampang untuk kita tebak sehingga mendekati akhir, pacing film sedikit tersendat. Ada kejadian aneh yang terjadi, juga ada beberapa aspek cerita yang enggak begitu integral dengan apa yang berusaha dilakukan oleh film ini. Ada saat ketika aku menyangka film akan berakhir, menurutku ada satu adegan yang bisa jadi sebuah ending yang mantep, namun ternyata cerita terus bergulir. Dan kelanjutan tersebut malah jaidnya terasa seperti terburu-buru.

 

 

Lewat film ini, del Toro menunjukkan kepada kita apa yang dibutuhkan untuk mengisi kekurangan jika kita pernah merasa hidup kita masih unfulfilled – belum perpenuhi sebagaimana yang kita inginkan. Film ini sendiri adalah bentuk dari perjuangan mengisi tuntutan dan kreativitas yang ideal. Semua pemainnya menampilkan permainan peran yang brilian. Efek visual dan produksinya mewujudkan dongeng ini bagai sebuah kisah nyata. Ini adalah film cantik yang personal, dan sesungguhnya bersuara banyak tentang kejadian yang masih terjadi di masa sekarang. Kita perlu menangkap kesempatan dan menunjukkan siapa diri kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SHAPE OF WATER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BRAD’S STATUS Review

“The problem with the world is that the intelligent people are full of doubt, while the stupid people are full of confidence.”

 

 

 

Aku gak yakin mana yang lebih bego antara bandingin kehidupan sendiri dengan orang lain atau nonton Brad’s Status di hari-hari awal tahun baru. Maksudku, kita enggak bakal nambah muda, akan tiba masa di mana kita akan tertegun menyadari umur, dan mulai berprasangka jelek terhadap diri sendiri; apakah kita sudah mengambil jalan yang benar, apa yang sudah kita perbuat, kenapa kita gak kaya-kaya, apakah sebuah langkah yang tepat untuk berhenti kuliah dan mengejar idealisme. Apakah kita seorang yang gagal. Brad’s Status adalah film yang dibuat untuk orang-orang yang mengalami  stress seperti demikian. Ini adalah narasi yang kompleks, yang mempercayakan penonton untuk menyelami pikiran seorang tokoh yang memiliki ketakutan universal. Dan film ini akan bertindak bukan hanya sebatas media kontemplasi, melainkan sebuah sarana bermeditasi – untuk kita-kita nenangin diri, mengingat kembali apa yang membuat kita bahagia di dalam hidup, dan bahwasanya hidup bukanlah sebuah lomba lari.

Jika kita melihat ke atas, tentu kita akan merasa tertinggal. Jadikanlah ini motivasi.

Jika kita melihat ke bawah, kita akan melihat bahwa kita masih ‘beruntung’. Jadikanlah itu sebagai purpose.

Kita ingin di atas, karena kita ingin membantu yang di bawah. Tetapi kita toh sudah di atas, karena akan selalu ada yang di bawah kita. Pernahkah kita melakukan sesuatu murni untuk orang lain? Mungkin kalimat berikut ini terdengar cheesy, tapi itulah yang jadi poin film ini; Kita tidak perlu memiliki dunia untuk bisa mengubahnya, kita bisa mulai melakukan itu dengan cinta.

 

Brad adalah mahasiswa yang idealis, dia ingin berbuat sesuatu untuk dunia. Jadi dia ngikuti kata hatinya dan mengejar karir dengan mendirikan organisasi non-profit yang bergerak di bidang sosial. Brad mencibir teman-teman kampusnya yang bekerja di perusahaan, yang masuk ke politik, yang berkarir di dunia hiburan, yang jadi artis, teman-temannya yang practically menikahi uang. Brad menikah dengan cewek yang juga idealis. Dia dikaruniai putra yang sangat berbakat main musik. Brad hidup bahagia. Tapi itu dulu. Sekarang, dia merasa kalah. Teman-temannya naik pesawat pribadi, dirinya ditolak upgrade tiket ke kelas satu karena bukan anggota platinum. Temannya masuk televisi, dia bahkan gak bisa masuk ke pesta pernikahan teman – karena dia enggak diundang. Dia bahkan enggak tahu ada temannya yang menikah. Sifat dan idealisme istrinya sekarang malah berbalik menyebalkan buat Brad. Tidak ada yang memuaskan lagi bagi Brad, semua hal yang ia temui sepanjang film, selama dia mengantar anaknya melihat-lihat kampus, malah tampak mengecilkan dirinya. Anaknya yang nyaris keterima di Harvard pun membuatnya iri; tak pelak membawanya ke kenangan masa muda. “Cari kerjaan yang duitnya banyak!” begitu yang ingin dia sampaikan kalo dia bertemu dengan dirinya versi seumuran dengan anaknya.

anaknya sopan dan pinter gitu, berarti dia sukses jadi orangtua

 

Brad’s Status sepertinya memang dibuat untuk Ben Stiller. Aktor komedi ini mampu bermain sangat komit jika diberikan peran yang tepat, dan untuk begitu banyak kesempatan, Ben Stiller selalu mencuri perhatian ketika dia bermain sebagai pria yang frustasi, yang sedikit egois, yang gak puas ama dirinya sendiri, yang ngalamin nervous breakdwon. Dan dalam Brad’s Status, Stiller tampaknya memberikan penampilan terbaik.  Dia menyeimbangkan penampilan ketika sedang bernarasi dengan saat kita hanya butuh untuk melihat ekspresinya. Memang, kita sudah pernah melihat cerita yang sama sebelum ini, namun film mengambil pendekatan yang  berbeda dalam bercerita. Penulis sekaligus sutradara Mike White membuat film ini sebagai sebuah pandangan dari dalam seorang tokoh. Ini lebih sebagai karakter studi ketimbang pengalaman sinematik. Kita akan menjumpai banyak dialog-dialog yang tajam, akan ada banyak humor juga yang datang dari momen-momen tak terduga.

White juga cukup subtil dalam bercerita. Aku suka dengan cara film ini menunjukkan hubungan antara Brad dengan Troy, putranya yang ia temani tur keliling kampus ke New England. Akan ada banyak momen awkward yang sebenarnya punya makna. Seperti misalnya adegan pertama mereka berdua adalah ketika Brad masuk ke kamar Troy dan melihat anaknya hanya berbalut handuk. Sekilas memang tampak seperti adegan biasa yang memancing komedia orangtua dan anak, tapi oleh film ini kesadaran Brad melihat anaknya sudah dewasa dibuat sebagai penambah lapisan tokoh Brad – bahwa jauh di dalam, dia  mengenali anaknya sebagai saingan. Kesubtilan ini terus berlanjut dengan Brad yang menyelinap diam-diam ke bar untuk menemui pacar Troy ketika si anak sudah tertidur. Hanya orang ternarsis di dunia yang menyeruak masuk ke lingkungan sosial anaknya, dan itulah poin Brad sebagai tokoh utama yang bercela. Brad adalah orang yang aware mengenai siapa dirinya, namun dia clueless ketika sudah menyangkut pendapat orang lain.

Sekilas memang kedengaran, atau malah tampak seperti film yang terlalu mengagungkan seorang tokoh yang sangat susah untuk disukai. Brad bukan orang miskin. Dia cukup sukses, keluarganya bahagia. Anak dan istrinya cinta sama dia, mereka enggak ‘memberontak’ terhadap dirinya sebagai kepala keluarga. Hanya saja dia tidak melihat semua itu. Film bahkan dengan berani menunjukkan semua itu. Ada karakter yang secara frontal menegur Brad bahwa dia enggak senaas yang ia pikirkan. Brad tampak seperti menyuruh kita untuk mengasihani dirinya, bahwa dia adalah orang yang baik, yang lebih mulia – tapi kenapa orang-orang brengsek kayak teman-temannya yang justru lebih kaya, kenapa mereka yang lebih terkenal daripada dirinya. Kenapa dunia begitu membenci dirinya. Menarik sekali melihat seseorang yang berurusan dengan pikiran buruknya sendiri.

Ciri-ciri orang depresi itu adalah bicara dengan kepalanya sendiri. Film ini mengeksplorasi apa yang sebenarnya terjadi ketika kita bicara sendiri; kita membesar-besarkan masalah, kita terperangkap di dalam pikiran negative. Kita menganalisa semua dengan berlebihan, dan ini enggak sehat. Masalah yang enggak ada, jadi tampak ada karenanya.

“all iz well, all iz well”

 

 

Untuk mencapai efek ‘bicara sendiri’ tersebut, Mike White mengambil langkah yang cukup beresiko dengan menggunakan narator sebagai bagian dari penceritaan. Actually, film ini sangat bergantung kepada narasi yang dibaca oleh Brad. Untuk kebanyakan film, kebanyakan narasi voice over seperti ini bisa sangat mengganggu kenikmatan menonton sebab kita akan dibeberkan apa-apa yang dilakukan maupun dirasakan oleh tokoh. Simpelnya, kita benar-benar dituntun. Untuk film ini, however, buatku narasinya tidak terlalu mengganggu karena kita memang perlu untuk mendapat insight dari apa yang Brad rasakan di dalam pikirannya. Kita perlu melihat gimana kontrasnya apa yang di benak Brad dengan yang sebenarnya terjadi, dan narasi di sini benar-benar berfungsi sebagai garis tegas yang membatasi hal tersebut.

 

Jika ada yang ‘salah’ di film ini, menurutku ‘kesalahan’ itu terletak di beberapa adegan yang digarap terlalu kepanjangan. Misalnya adegan ngobrol di bar yang tampak masih bisa menghasilkan efek yang diinginkan dengan menyingkat adegannya. Tapi untuk sebagian besar adegan, film ini menyuguhkan pemandangan karakter yang akrab yang diletakkan dalam situasi yang juga familiar, dan film memberikan kesempatan kita untuk berkontemplasi dengan memberitahu apa yang karakter-karakter tersebut pikirkan serta rasakan. So I think, film ini enggak punya dosa yang benar-benar gede. Dia hanyalah sebuah tontonan yang berani untuk menjadi enggak disukai lewat tokoh utamanya. Meski ceritanya lumayan ‘terbelakang’ dibandingkan film-film lain, basically kita bisa bilang ini adalah cerita tentang masalah orang kaya, namun film ini bukan tidak mungkin menjadi LIFE CHANGER bagi orang-orang yang dihantui pikiran serupa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BRAD’S STATUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017