1BR Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Masih ingat kicauan seorang perempuan tentang tetangganya yang sempat viral di Twitter beberapa waktu yang lalu? User tersebut mengeluhkan soal tetangganya yang langsung bertamu, mengetuk pintu begitu saja, tanpa membuat perjanjian ingin datang berkunjung terlebih dahulu. Tweet tersebut kontan menuai banyak reaksi; ada yang setuju, dan tak sedikit pula yang menghujatkan pendapat bahwa memang seperti itulah lumrahnya hidup bertetangga. Datang saling menengok tanpa diminta, menunjukkan perhatian, bahkan dulu katanya orang tidak mengunci pintu bagi tetangga masuk ke rumah kapan saja mereka mau. Sutradara sekaligus penulis naskah David Marmor tampaknya punya satu-dua patah kata tentang kehidupan bertetangga. Marmor sepertinya sependapat dengan si empunya tweet tadi, sehingga pada debut film-panjangnya ini dia menghasilkan sebuah drama menegangkan perihal hubungan bertetangga yang erat dan terlampau-bersahabat bisa menjadi begitu horor.

Arahan Marmor membuat cerita memuat begitu banyak. Setiap plot-point seperti mengubah film ini menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Namun sense-of-belonging memastikan perhatian kita untuk terus tersedot. Sedari momen pembuka, aku sudah tertegun oleh perasaan akrab (namun eerie) yang dihadirkan lewat pemandangan yang ditangkap oleh kamera. Lalu bertemu dengan Sarah, wanita muda yang lagi nyari tempat tinggal di Los Angeles, dia mau menapaki hidupnya sendirian di kota yang sejuta mimpi tersebut. This seems like a familiar story tentang seseorang yang berusaha menggapai mimpi yang langsung membuatku ter-flashback ke zaman nyari kosan waktu masuk kuliah dulu, dan kemudian aku teringat ini film horor maka lantas kenanganku pindah ke film Mulholland Drivewell, because it’s LA. Dan tokoh kita adalah tokoh yang sama ‘lugunya’ dengan Diane pada film karya David Lynch tersebut. Aktor Nicole Brydon Bloom memainkan peran sebagai perempuan yang introvert, pemalu, yang pasif, yang lumayan tertutup, tapi punya determinasi kuat untuk mengejar passionnya. Seketika tokoh Sarah ini langsung kontras, langsung ‘konflik’ dengan kota LA itu sendiri. Dan kemudian masuklah ia ke sebuah kompleks apartemen yang sedang melakukan open-room untuk mencari calon penghuni baru.

Sarah keterima menjadi penghuni kamar 210 tersebut. Dia disambut hangat oleh bukan hanya tetangga kanan-kiri kamar, melainkan seluruh penghuni apartemen. Mereka ngadain pesta pada malam Sarah mulai tinggal di sana, dan tentu saja Sarah diundang. Para penghuni apartemen semakin mengingatkanku pada Mulholland Drive dan basically film-film David Lynch, karena mereka semua sama anehnya. Satu kompleks itu bener-bener kompleks oleh karakter. Mulai dari ibu tua yang sweet hingga anak muda yang gagah. Mulai dari Bapak Ketua yang simpatik hingga ke pria creepy berkacamata dengan lensa yang gak kompakan warnanya. Di titik ini, film berubah mengingatkanku kepada Rosemary’s Baby. Karena orang-orang ini begitu ramah kepada Sarah – menyapa setiap ketemu, dan seperti selalu berada di manapun Sarah berada, mengawasinya seolah kamera yang berada di nyaris setiap jengkal langit-langit itu belum cukup – sehingga kita mau-tidak-mau langsung kepincut curiga kepada mereka.

Mestinya pasang pengumuman di depan pintu; boleh bertamu kalo bawa makanan

 

Elemen horor kemudian terestablish begitu malam hari telah tiba. Hidup Sarah yang sendiri, sunyi. Loh kenapa jadi lagu Tantowi Yahya?… well, I mean, Sarah mendengar bunyi-bunyian aneh yang membuat tidurnya gak nyenyak. Ia bahkan mendapati pintu apartemennya terbuka begitu saja. Sampai suatu malam, Sarah menemukan kucing peliharaannya terpanggang di oven. Sarah ditangkap oleh tetangga-tetangga penghuni apartemen. Dia disiksa, disuruh berdiri bungkuk memegang tembok dalam posisi stressing, and things could get much more violent and bloody jika Sarah menolak alias enggak patuh pada perintah yang diberikan oleh Ketua Apartemen (semacam Pak RT gitu deh di sana). Pada titik ini sebenarnya aku sempet mulai males. Film ini jadi kayak mengeksploitasi adegan penyiksaan semata. Namun bear with me, ini cuma sebuah fase sebelum akhirnya – lepas dari midpoint – film mulai menunjukkan taringnya sebagai horor situasi, dan dalam beberapa tingkatan; horor psikologis.

Pada jantungnya, 1BR memeriksa perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam lingkungan yang terdekat yaitu lingkungan bertetangga. Dengan mengontraskan sikap Sarah yang tertutup dengan sistem kompleks apartemen yang saling-terbuka, film menunjukkan dua sisi kebutuhan manusia dalam bersosialiasi. Seperti Sarah, kita perlu mengendalikan hidup kita sendiri, tapi sekaligus kita butuh orang lain – tetangga, teman, keluarga – untuk menjadi support. Film membawa ini ke ranah ekstrim ketika intrusi dari lingkungan sekitar menjadi pengalaman yang bikin gak nyaman, dan menjurus ke menakutkan. Saat komunal di luar sana berpikir bahwa semua orang enggak bisa hidup sendiri, bahwa kebersamaan adalah satu-satunya cara, di situlah keramahtamahan dan kekerabatan berubah menjadi selayaknya sebuah cult. Sebuah sekte. Dan ini bukan tidak mungkin terjadi di dunia. Bahkan mungkin sedang kejadian di sekitar kita. Kehidupan bertetangga yang mengatur hingga sampai ke cara berpakaian, atau yang nyinyir jam kita bepergian. Komunitas-komunitas kecil kerap kebablasan. Alih-alih sebuah keluarga, malah menjadi semacam geng dengan seabreg peraturan atau norma yang harus dipatuhi jika ingin dianggap sebagai anggota.

Film ini menunjukkan communal atau kehidupan sosial bertetangga ataupun komunitas menjadi tidak lagi sehat ketika membuat anggotanya merasa less of a person. Kita semua memang tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun itu tidak berarti kita totally bergantung kepada orang. Kita memang harus senantiasa menghormati tempat kita berpijak, mengikuti aturan dan norma-norma di mana kita berada. Tapi tetap ada keseimbangan yang harus dijaga. Bagaimanapun, setiap orang bertanggung jawab dan berhak atas hidup masing-masing.  

Lucunya, film ini juga mengingatkanku ke jaman ospek/mabim kuliah dahulu. Sarah juga, istilahnya, diplonco dulu sebelum masuk jadi anggota komunitas apartemennya. Memang, Sarah dimasukkan secara paksa. Mindsetnya dibentuk untuk mengenali bahwa dirinya powerless, dan hidup mandiri adalah pilihan yang salah. Film telah menetapkan orang-orang di apartemen itu mempercayai bahwa cara hidup bersosial merekalah yang paling sempurna dan ideal. Empat pondasi bermasyarakat; Selflessness, Openness, Acceptance, and Security, terus diulang dijadikan mantra yang didoktrinkan kepada Sarah. Mengubahnya menjadi seperti mereka. Dan bukankah ospek memang seperti itu? Para mahasiswa baru praktisnya terpaksa ikut dan menjalani semua kegiatan karena dijadikan syarat untuk diterima sebagai anggota himpunan. Himpunan itu sendiri ‘dijual’ kepada maba sebagai safe haven dengan networking ke alumni, angkatan yang saling menjaga, ‘masuk bareng-lulus bareng’. Orang-orang yang sudah ditempa bersama, punya tujuan yang sama, kini hidup sebagai satu unit dengan kuat. Tentu saja, gak semua mahasiswa setuju dengan hal tersebut. Namun begitu sudah menjadi bagian darinya, berpartisipasi dalam rangkaian kegiatannya, ketika sudah tiba waktunya dilantik, toh mahasiswa akan bangga juga. Dan akan bersiap untuk menjadi senior pembimbing tahun depan; mengospek anak-anak baru berikutnya.

Melihat Sarah pada akhirnya jadi sukarela bergabung menjadi anggota, kita tahu masih ada keraguan di benak dan hatinya. Akan tetapi dia sudah tidak punya pilihan lagi, selain mempercayai bahwa komunitas inilah jawaban terbaik. Dan ketika temannya masuk untuk menjadi penghuni berikutnya, kita tahu Sarah mengumpulkan segenap ‘kekuatan’ untuk get on with the program, kita dapat merasakan beratnya perjuangan di dalam diri Sarah yang sebenarnya pengen menyuruh temannya itu lari. This is exactly what I feels waktu ospek. Aku gak setuju, tapi ketika aku yang jadi senior, aku mengusahakan untuk semangat mengospek anak-anak baru. Dam kupikir, yang dilakukan oleh film dengan elemen ini adalah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas atau kelompok atau cult. Kita boleh saja gak setuju, tapi kita sudah dibentuk untuk percaya bahwa mereka adalah kebutuhan. Film memperlihatkan betapa susahnya untuk keluar dari sana. Meskipun yang dibutuhkan sebenarnya ‘hanyalah’ percaya pada kualitas diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita, ya milik kita sendiri.

Bukan herd immunity melainkan collective insanity

 

1BR seperti ingin membongkar pepatah lama “Jika kamu ingin cepat maju, lakukanlah sendiri. Jika kamu ingin jauh maju, lakukanlah bersama-sama”. Ending film ini memberitahu kita sebaliknya; jika Sarah pengen kabur, dia harus kuat dan berlari sendirian. Film ini punya gagasan untuk tidak menjadikan komunitas sebagai zona nyaman. Film ingin kita mempertanyakan kembali apa yang kita mau. Sarah pengen keluarga baru tempat ia bisa mengadu, keluarga yang perhatian padanya. Yang ia dapati di dalam sana ternyata jauh lebih buruk daripada pelanggaran privacy. Sesuatu yang lebih intrusif dan mengekang. Mengambil siapa dirinya sebagai seorang manusia.
Menjelang akhir babak kedua ada adegan paling heartbreaking seantero cerita, yaitu dialog antara Sarah dengan ayah kandung yang ia benci, datang menjemputnya pulang. Ini puncak tertinggi emosi yang dimiliki oleh film. Namun build up menuju ke sini agak kurang konsisten, karena cerita telah melalui berbagai metamorfosis sehingga perubahan-perubahan tersebut mengalihkan kita dari Sarah sebagai karakter. Sarah cenderung membosankan sebagian besar cerita. Dia cuma ada di sana untuk disiksa, pribadinya pun tidak membuat dia menonjolkan aksi dan pilihan. Temannya yang lebih galak dan berani mungkin bakal jadi pilihan yang lebih menarik sebagai tokoh utama dengan penceritaan seperti begini. Sarah hanya punya dua modal sebagai karakter yang menarik; backstory masalah pribadinya dengan sang ayah, dan ia berani berbohong; menyelundupkan kucing ke apartemen yang melarang hewan peliharaan.
Dua hal tersebut kinda lose in the shuffle saat film mengungkap poin-poin cerita. Memfokuskan pada aspek penyiksaan dan sebagainya. Menurutku film, secara emosional, bisa bekerja lebih baik jika mengurangi sedikit volume genrenya dan mengeraskan ke bagian bagaimana Sarah bisa sebegitu pasif, ke bagian dia berinteraksi dengan ayah ataupun dunia luar yang membuat dia retreat cari perlindungan apartemen sedari awal.

 

 

 

Bersama Vivarium (2020), film ini merupakan horor kontemporer yang benar-benar mengusung sudut pandang manusia di kehidupan modern. Mereka membuat hal yang lumrah di era dulu, seperti punya keluarga ataupun hidup bertetangga menjadi menakutkan. Meskipun begitu, toh kita enggak perlu untuk setuju dengan gagasan cerita untuk dapat menikmati suatu film. Dan pada kasus film ini, horor yang tersaji cukup enak untuk disaksikan. Intriguing and thought-provoking enough. Sehingga kita bisa betah bergidik-gidik menyaksikan tokohnya yang kinda boring, dan menjadi berempati kepadanya. Sebagian besar keberhasilan film ini terletak pada arahan berceritanya yang berhasil memuat banyak dalam durasi yang begitu singkat. Persis kayak apartemen kecil mungil, tapi berisi beragam manusia dan segala perbedaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for 1BR

That’s all we have for now.
Mana tempat tinggal yang ideal bagi kalian, di perumahan yang sepi atau di hunian yang lebih tradisional secara hubungan bertetangga? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LOVEBIRDS Review

“Trust is more important than love…”
 

 
 
Mungkin tidak ada lagi waktu yang paling buat mengetes rasa percaya ama pasangan selain saat kita harus mecahin kasus pembunuhan bersama-sama di kala lagi ‘cekcok rumah tangga’. You know, ketika kita mau-gak mau harus bekerja sama sebab bukan saja relationship, melainkan nyawa jadi taruhan. Dan jika kita berhasil menangkap penjahat, itu merupakan bukti nyawa kekompakan dan rasa saling percaya sehingga bisa saja cinta kita kepada pasangan pulih kembali. Namun tentu saja keadaan seperti demikian hanya ada di film. Seperti komedi romantis berjudul The Lovebirds yang tayang di Netflix ini.
Empat tahun yang lalu Jibran dan Laelani jadian, dengan peristiwa yang manis sekali. Dan kini, masa-masa ‘bulan madu ‘ itu telah usai. Less-kissing is involved, Jibran dan Laelani malah sering adu mulut . Ngeributin hal apapun mulai dari perdebatan mereka gak bakal menang kalau ikutan The Amazing Race hingga ke soal pekerjaan Jibran. Dalam perjalanan ke undangan makan malam di rumah teman – perjalanan terakhir mereka sebagai pasangan karena setelah ini mereka udah sepakat minta putus – Jibran dan Laelani terlibat suatu peristiwa pembunuhan di jalanan. Status ‘saksi-mata’ mereka dengan cepat berubah menjadi ‘tersangka’. And it could very much be worse. Jibran dan Laelani memilih untuk menangkap sendiri pelaku sebenarnya, running around the city secara diam-diam demi menguak kasus ini, sebelum status mereka beneran terwujud menjadi ‘korban berikutnya’.

Jibran harusnya manggil Dinesh untuk ngehack smartphone korban

 
 
Sejak tahun lalu kita udah banyak nontonin couple berantem, dalam berbagai emosi. Ada yang teriak-teriak, lalu sayang-sayangan. Ada yang teriak-teriak, tapi lantas pisah beneran. Pokoknya selalu ada fase teriak-teriaknya. Nah, The Lovebirds ini ngasih sesuatu yang beda. Jibran dan Laelani teriak-teriak juga, tapi berantem mereka ini naturally kocak. Pesona komedi film ini justru datang dari momen-momen kedua tokoh ini berantem. In fact, semakin ribut tokoh mereka, Kumail Nanjiani dan Issa Rae bakal semakin menghibur untuk disimak. Bantering mereka gak kayak dibuat-buat. Dan ini tambah klop ketika kita menyadari bahwa memang seperti Jibran dan Laelani-lah orang pacaran kalo lagi berantem. Dinamika dua tokoh sentral ini sangat relatable dengan banyak pasangan. Orang yang pacaran pasti pernah terlibat debat unfaedah sama pasangan, seperti masalahin mau makan di mana atau beragumen perihal posting foto ke sosmed. Kumail dan Issa memainkan pasangan yang bertengkar seperti demikian dengan teramat lucu. Kita mendapat full-showcase dari hal tersebut semenjak dari adegan pertama mereka di kamar. Melihat mereka berdua, seperti melihat dua orang yang beneran pacaran udah lama. Kontras dengan menit pembuka saat film menunjukkan mereka bermanis-manis ria menghasilkan efek yang efektif dari lompatan waktu. Kita langsung dapat sense bahwa sekarang mereka sudah mengenal dengan dalam satu sama lain.
Mereka ribut lalu di tengah argumen akur, kemudian ribut lagi menunjukkan memang begitulah dua orang yang sudah lama kenal baik fisikal maupun emosional. Lewat dua tokoh ini, film dengan efektif menunjukkan berbagai tantangan yang sekiranya bakal dihadapi oleh pasangan dalam sebuah hubungan jangka panjang alias longterm relationship. Poin-poin konflik dalam film ini dibangun berdasarkan hal tersebut, yang oleh penulis dikemas sebagai bentuk kasus pembunuhan dan hal-hal yang terlingkup dalam kasus tersebut. Dari semua permasalahan pada longterm relationship tersebut, film memusatkan pada akarnya. Yakni soal kepercayaan. Trust. Inilah yang dijadikan gagasan utama; dari ‘trust’ ini dikembangkanlah cerita, disusun sekuen demi sekuen komedi dan kejadian semacam aksi detektif. And that’s the whole movie.
The Lovebirds digarap oleh orang yang sama di belakang kursi sutradara komedi romantis The Big Sick (2017); yang juga dibintangi oleh Kumail Nanjiani. Aku suka sekali ama film tersebut, karena menggali hal yang begitu fresh dari romance. Relationship dengan orangtua pacar dijadikan sorotan utama di situ. Film itu juga membahas praduga, ada layer agama, karena tokohnya memiliki kepercayaan yang dianggap ‘berbahaya’ oleh camernya. Jadi, sutradara Michael Showalter bukanlah orang baru dalam ihwal film dengan gagasan dalam ceritanya. Kita bisa mengharapkan The Lovebirds ini juga punya lapisan pembahasan. Dan memang begitulah ternyata. Dalam The Lovebirds, Showalter mengulang-ngulang soal trust. Jibran meragukan Laelani mendukung pekerjaannya, bahkan mencurigai pacarnya itu suka ama cowok lain. Laelani sebaliknya, justru percaya ama yang terburuk – dia enggak percaya polisi bakal ‘baik’ ama mereka. You see, ada alasannya kenapa dua tokoh ini digambarkan sebagai orang minor. Sesungguhnya ini adalah cara lain film ngepush soal trust. Jibran dan Laelani terpaksa menyeret diri jauh ke dalam kasus karena mereka gak mau melaporkan pembunuhan itu kepada yang berwajib karena mereka enggak percaya polisi gak bakalan rasis dan langsung menuduh mereka sebagai pelaku. Tokoh cerita kita punya masalah terhadap trust. Masalah yang membuat mereka putus. Dan ultimately merasa diri mereka buron oleh polisi.

Hubungan sejatinya adalah keadaan dua orang yang tidak menyerah mencintai masing-masing. Dan kondisi ‘tidak menyerah’ itu syaratnya adalah saling mempercayai dulu antara satu sama lain. Menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna tak-bercela, rasa percaya ini penting untuk ditumbuhkan karena hanya dari sanalah rasa nyaman itu mekar.

 
Showalter jelas lebih nyaman bermain di ranah rom-com, meskipun begitu dengan berani ia mencoba mengenyam sekuen aksi. Hasilnya memang kelihatan; film ini bekerja lebih baik sebagai drama komedi ketimbang misteri pembunuhan atau kriminal. Untuk itulah, film mengambil keputusan hadir sebagai komedi konyol. Jauh lebih receh ketimbang The Big Sick – film itu berhasil tampil sebagai sajian komedi yang grounded dan terasa real. The Lovebirds punya kejadian-kejadian yang over-the-top. Sebagai pengalihan dari minimnya porsi aksi ataupun pemecahan misteri yang compelling. Misteri di sini, seperti yang sudah kusinggung sedikit di atas, cuma kendaraan untuk mengangkut interaksi dan bantering dan chemistry kocak. Kita tidak pernah peduli sama kasusnya, karena memang film tidak memberikan alasan – atau paling tidak, enggak mengarahkan perhatian kita kepada ‘serius’nya misteri dan stake yang harus ditanggung oleh tokoh utama.
Bayangkannya seperti ini: Nyawa tokoh kita terancam bahaya karena bagi pembunuh sebenarnya mereka adalah saksi mata yang harus dilenyapkan. However, dua tokoh yang harusnya minta perlindungan ini, mereka enggak percaya pada polisi – trust issue yang paralel dengan masalah kenapa mereka putus. Semua itu diceritakan film dengan nada komedi. Bangunan film ini bercacat sehingga efeknya tidak bekerja dengan benar. Kita tidak merasakan kepedulian pada tokoh karena mereka seperti mengambil keputusan yang bego. Daging sebenarnya dari gagasan pilihan mereka itu tidak terasa karena tidak mencuat, kalah oleh vokalnya komedi yang diporsir unbalance dengan elemen lain. Dampaknya juga membuat beberapa komedi justru jadi cringe alih-alih cerdas.

Gak tau deh di mana lucunya interogasi nampar orang berulang-ulang tanpa alasan

 
 
Pada prosesnya, The Lovebirds mengubah semua menjadi komedi. Desain pokok cerita ini adalah membuat Jibran dan Laelani memasuki dunia kriminal bersama-sama, prinsipnya ini, sama seperti ketika pertama kali mereka jatuh cinta; mengarungi dunia baru yang belum mereka kenal bersama-sama. Namun film tidak membangun dunia kriminal itu dengan keberadaan yang berbobot. Melainkan cuma berbagai hal konyol yang paralel dengan kebutuhan tokoh untuk mengenali kembali kenapa mereka jatuh cinta sedari awal. Dunia di luar dua tokoh ini hanyalah dunia kosong, cuma berisi kejadian konyol dan momen penyadaran tokoh di belakangnya. Sebagai contoh, Jibran dan Laelani at some point menyusup ke dalam kelompok rahasia beranggotakan orang-orang kaya yang mengadakan pertemuan.. ehm.. rahasia. Di sana semua orang memakai jas hitam dan topeng burung. Tempat itu supposed to be bad place, yang berkaitan dengan kasus kriminal yang sedang mereka pecahkan. Namun film tidak menjual tempat itu sebagai sesuatu yang katakanlah, ‘mengerikan’. Malahan, yang dilakukan oleh sekte tersebut dijadikan candaan dan jadi hal yang pengen dilakukan oleh tokoh. Hanya jadi skit komedi receh berikutnya, tidak menambah banyak untuk pembangunan kasus.
 
 
Seharusnya ini adalah cerita komedi tentang pasangan yang berada dalam situasi begitu tak-terduga, yang membuat mereka belajar untuk menumbuhkan rasa saling percaya. Tapi pada prosesnya film ini malah jadi lebih kayak parodi tentang misteri pembunuhan. Masih bisa dinikmati, beberapa orang bakal suka karena dinamika relationship tokohnya gampang buat direlate. But it’s unfortunate film ini jatoh ke level receh. Karena mereka punya modal chemistry dan layer cerita dan rekam jejak sutradara menggarap komedi yang lebih menapak ke realita. Aku tidak melihat alasan yang make sense untuk membuat komedi film ini menjadi amat receh selain karena si sutradara enggak pede menangani aspek misteri kriminal dengan sedikit laga. Film ini justru dihambat oleh kerecehan yang tak perlu. I’m not saying being ‘komedi-receh’ is not good, it’s just; this film is not good at being ‘komedi-receh’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LOVEBIRDS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bertengkar itu hal biasa, malah bisa jadi bukti bahwa kita sudah begitu akrab dan nyaman sehingga gak sungkan untuk saling nyela, seperti Jibran dan Laelani ini. Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian lebih nyaman ‘ribut’ atau lebih nyaman saling berdiam?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SCOOB! Review

“If your best friend is not jealous of your other friends, then you have no bestie”
 

 
 
Simon Cowell membuat geng Mystery Inc. terpecah di film animasi terbaru Scoob! Shaggy dan Scooby Doo dianggap sebagai beban yang tidak punya kontribusi apa-apa kepada grup (sementara Fred berfungsi sebagai otot, Velma sebagai otak, dan Daphne sebagai PR). Tapi bagaimana dengan persahabatan mereka – yang ternyata sudah terjalin secak kecil? “Persahabatan tidak akan bisa bertahan karena orang berubah”, begitu kata juri acara nyanyi yang bersedia jadi investor bagi Mystery Inc tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan Shaggy mengajak Scooby cabut. Kemudian terlibat masalah yang membuat Scooby Doo dan rest of the gang berada dalam bahaya.
Keseluruhan film ini adalah tentang menghargai dan memaknai persahabatan dengan cara yang benar. Doesn’t matter entah sahabatmu itu manusia, atau (especially dalam kasus Shaggy) binatang peliharaan, seperti Scooby. Sutradara Tony Cervone memulai cerita pada masa kecil para tokoh. Kita melihat pertemuan yang menghangatkan hati. Shaggy Kecil yang gak punya teman bertemu dengan anjing coklat yang lagi ngumpet diuber polisi karena nyolong makanan. Persahabatan dapat bermula dari hal kecil, seperti saling berbagi makanan, kayak yang terjadi pada Shaggy dan Scooby. Atau dari saling menolong dalam kesusahan, seperti ketika Shaggy dan Scooby dibantu oleh Fred, Velma, Daphne mengambil makanan Shaggy yang dibuang oleh bully ke rumah kosong – yang lantas menjadi tempat pertama geng ini memecahkan kasus supernatural bodong. Shaggy akhirnya mendapat teman; tiga sahabat manusia dan satu sohib berkaki-empat yang sangat ia sayangi. Namun setelah dewasa, mendadak teman-teman Shaggy menjadi lebih penting daripada dirinya. Velma, Fred, dan Daphne lebih berskill. Dan Scooby diincar oleh Dick Dastardly (dari Wacky Races; satu lagi kartun favoritku semasa kecil) karena dianggap sebagai kunci membuka gerbang harta karun Cerberus, serta dijadikan pahlawan super oleh superhero favorit mereka; Blue Falcon (another karakter dari kartun 90an produksi Hanna-Barbera)
Kesetiaan dalam film ini dilambangkan oleh hubungan persahabatan antara anjing dengan manusia. Bukan hanya Shaggy, Blue Falcon dan penjahat Dick Dastardly juga punya anjing yang mereka anggap lebih dari sekadar peliharaan. Melainkan teman bagi mereka. Rekan. Elemen persahabatan manusia dan teman-terbaiknya ini memang gampang untuk menjadi menyentuh. Bahkan si Dastardly aja hampir-hampir jadi bikin kita simpati padanya begitu kita sadar motivasi ia yang sebenarnya di balik pengen harta karun dan mengunleashed hantu Cerberus. Hanya saja, animasi komputer yang mulus ini bertekad kuat untuk menjadi ‘hitam-putih’. Ia tidak ingin menjadi terlalu complicated untuk dicerna anak-anak. Cerita hangat dan menyentuh di awal, di bagian para tokoh masih kecil, dengan cepat tergantikan oleh fast-paced attempt untuk menjadi seperti petualangan superhero. Yang setiap adegannya semakin konyol dan gak make sense. Kita semua tahu Scooby Doo memang berawal dari kartun, dengan adegan lelucon khas kartun, dan film toh berusaha menghadirkan sebanyak mungkin elemen aslinya supaya penonton dewasa bisa bernostalgia, tapi tetap saja film ini melupakan satu hal krusial yang membuat Scoob! itu Scooby Doo.

bersembunyi di balik kedok superhero

 

Mempertahankan sesuatu memang lebih sulit daripada meraih. tak terkecuali dalam hal persahabatan. Seiring kita dewasa, akan ada banyak perubahan yang terjadi bersama sahabat. Perjalanan Shaggy dalam film ini dapat mewakili permasalahan yang paling dekat bagi anak-anak yang menjadi target ceritanya. Bagaimana jika sahabat kita lebih baik daripada kita? Bagaimana jika sahabat kita punya sesuatu yang kita tidak punya? Bagaimana jika sahabat kita punya kenalan baru, punya kegiatan baru yang tidak bisa kita ikuti?
In the end, film ini akan mengajarkan untuk normal untuk merasa jealous sama sahabat sendiri, tapi kita harus ingat untuk tidak merasa rendah diri, dan tidak terjerumus menjadi dengki

 
Selain adegan awal dan beberapa elemen nostalgia (mereka nge-recreate opening kartun 90annya!), buatku film ini jadi terlalu standar. Saking standarnya, kita bisa lupa ini film Scooby Doo. Karena film ini memiliki cerita kartun generik dan terlalu banyak elemen-elemen nostalgia dari kartun Hanna-Barbera lainnya. Menonton adegan pembuka tersebut, aku sudah sempat merasa senang “akhirnya ada film misteri anak-anak lagi”. Mereka masuk rumah hantu, berhadapan dengan ‘hantu’ yang penampakannya seram, menguak misteri di baliknya. Begitulah Scooby Doo tontonan anak-anak generasi 90an dulu. Horor dan misteri jadi staple untuk tontonan dan bacaan anak. Kartun Scooby Doo merupakan salah satu yang berperan membentukku jadi suka cerita horor dan, bahkan, menulis. Waktu SD aku punya buku tulis khusus untuk mengarang cerita horor dengan tokoh-tokoh kartun Scooby Doo, yang judulnya kuambil dari buku-buku Goosebumps. Mengingat itu semua, aku senang gede di tahun segitu, karena aku gak yakin aku bakal tumbuh jadi suka horor dan suka nulis kalo gede di tahun generasi Z seperti sekarang. Tidak ada lagi yang seperti Goosebumps atau Scooby Doo. Sekalinya ada horor yang melibatkan anak, either horornya adalah eksploitasi terhadap tokoh anak – mereka jadi korban, atau horornya less fantasi dan lebih ke teknologi.
Zaman sudah berubah, dan Scooby Doo tempatnya adalah di 90an. Film Scoob! ini membuktikan relic tahun terdahulu itu tidak bisa dipindahkan, diremajakan dengan semudah itu. Mungkin malah lebih baik untuk dibiarkan saja. Scoob! ingin beresonansi dengan anak-anak generasi sekarang. Para tokoh diubah, bukan lagi hippie, melainkan anak kekinian. Mereka gede dengan internet, dan film mencerminkan itu dari dialog mereka yang menyebut sosial media dan pop-culture masa kini. Impresi ini dikuatkan oleh film dengan tidak lagi menggunakan pengisi suara yang lama untuk sebagian besar tokoh-tokohnya. It could be weird for us mendengar suara baru Shaggy yang canggung bilang “Zoink!” atau suara Velma yang kini gak lagi aneh dengan “Jinkies!“nya, tapi itu bukan masalah sebenarnya pada film ini. Napas dari keseluruhan Scooby Doo tersebut juga ikut diubah. Tidak lagi ceritanya membahas misteri ‘siapa-pelaku’, tidak lagi bertempat di tempat-tempat kuno seperti kastil atau museum berhantu. Setting Scoob! terlihat sangat futuristik, karena film kini menjadikan superhero sebagai appeal. Bukan horor, melainkan petualangan pahlawan super, karena superhero-lah yang sedang ngetren di kalangan anak jaman sekarang.
Mystery Inc berhadapan dengan musuh yang jelas. Tidak ada pemecahan misteri. Instead, mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berburu benda. Tempo dan adegan bergerak cepat, plot poin film ini basically aksi satu ke aksi lain, tempat satu ke tempat lain. Mereka berbuat begitu supaya penonton kecil enggak cepat bosan. Film ini percaya anak-anak generasi internet punya attention-span yang pendek, sehingga mereka membuat alur jadi sangat frantic. Dan ada banyak tokoh yang kita jumpai pada film ini. See, film kartun produksi Hanna-Barbera sudah dikenal untuk sering melakukan cross-over. Sebelum ini kita melihat Scooby Doo ketemu Flinstone, Flintson ketemu Jetson, bahkan WWE pernah bikin kartun cross-over bareng Scooby Doo. It’s just, mereka punya begitu banyak seri kartun sehingga cara apa lagi yang paling bagus untuk mempromosikannya sekaligus, kan. Dan sekarang, saat cinematic universe jadi tren berkat jagad superhero, Scoob! pun sepertinya diarahkan untuk menjadi seperti demikian. Sehingga film fokus menampilkan banyak elemen dari kartun-kartun Hanna-Barbera, hampir seperti cerita film ini dibuat around those characters; bagaimana supaya bisa memuat banyak mereka. Kalo ini game, maka ia adalah sebuah party game. Karakter dari berbagai judul ada. Dan saat penonton lama akan menggelinjang nostalgia (dan mungkin bereaksi persis meme Leonardo lagi nunjuk), penonton anak-anak gak akan tahu siapa tokoh-tokoh itu.

aku hanya bersyukur mereka gak masukin si annoying Scrappy di film ini

 
Hal tersebut boleh saja bekerja memenuhi fungsinya sebagai clean-slate. Scoob! besar kemungkinan dijadikan reboot buat franchise dan keseluruhan kartun Hanna-Barbera, yang jika anak-anak penontonnya gak kenal, maka di sinilah mereka pertama kali kenalan ama tokoh-tokoh yang completely diberikan nafas yang berbeda. Namun tetap saja tidak berarti film ini bekerja dengan baik sebagai penceritaan keseluruhan. Tidak diberikan ruang untuk karakter-karakter ini diperkenalkan dengan benar. Mereka muncul, ada di sana, dan kita langsung bertualang. Film ini hanya memberikan sepuluh menit untuk anak kecil mengenal geng Mystery Inc, sebelum akhirnya para tokoh dilepas berlarian dan melucu dan apapun yang mereka lakukan – dan itu tidak termasuk memecahkan misteri selayaknya kartun Scooby Doo yang dulu kita kenal. Sepuluh menit awal itulah pencapaian tertinggi film ini, dengan genuine heart, pengenalan karakter menarik. Film should have just stay that way.
Scooby Doo dalam sejarah keberadaannya di film, bisa dibilang selalu mengalami krisis eksistensi. Ini sesungguhnya lebih cocok untuk abg-abg awal. Film live-action-nya malah terlihat terlalu dewasa daripada yang seharusnya. Dengan begitu banyak ‘belahan’ dan innuendo yang menjurus. Poinku adalah, kalo film ini memang diniatkan untuk anak-anak, sebagai reboot dari semuanya, kenapa tidak menjadikan tokoh-tokohnya masih kecil saja. Kreator bisa membuka banyak kemungkinan eksplorasi baru dengan ini. ‘Petualangan anak-anak yang menjadi detektif kasus hantu’ sekiranya lebih unik dan segar dibandingkan petualangan-superhero-serabutan-dengan-banyak karakter-yang-hanya-dikenal-oleh-orangtuamu
 
 
 
 
Tidak mempertahankan tone yang lebih grounded dan fokus ke geng memecahkan misteri supernatural palsu, dan mengganti arahan. So much sehingga film ini tidak lagi terasa seperti Scooby Doo, melainkan film petualangan dengan tokoh yang ada Scooby Doo-nya. Dalam upaya menghidupkan kembali, membuatnya menjadi menarik untuk tontonan anak masa kini, film ini sayang sekali terdorong keluar dari genre-nya. Sehingga dia tidak terasa genuine lagi. Ini seperti melihat pamanmu yang sudah tua nyebutin dan ngelakuin semua hal-hal kekinian demi berlagak muda.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for SCOOB!

 

 
 
That’s all we have for now.
Kata orang, kalo belum pernah iri sama sahabat sendiri berarti mereka bukan sahabatmu. Benarkah begitu? Apa pengalaman terkocakmu jealous ama sahabat/teman sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CAPONE Review

“… and guilt eats away at your sanity”
 

 
 
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Seberkuasanya -sepowerful apapun – bos mafia, suatu saat ia pasti akan menua dan ringkih dan jadi tak-berdaya jua. Al Capone, salah satu kriminal paling terkenal dalam sejarah, adalah salah satu bukti bahwa manusia tidak bakal ‘kuat’ selamanya. Drama biografi Capone, arahan sutradara Josh Trank, jadi rekaman seperti apa hari-hari terakhir sang kepala gangster selepas keluar dari penjara. Hari-hari terburuk, bahkan dalam seumur hidupnya yang penuh darah dan sengketa. Film ini akan memperlihatkan perjuangan Al Capone melawan dementia; perjuangan yang tak bisa ia menangkan.
Sungguh sebuah konsep yang menarik. Bukan sekadar tentang pensiunan yang berusaha menangkap kembali sisa-sisa glory. Bukan sekadar tentang orang tua yang mencicipi petualangan-muda untuk terakhir kali. Capone menawarkan kolam-baru untuk kita selami. Kita dibawa melihat sosok Al Capone dalam kondisinya yang paling rendah. Tinggal bersama keluarganya di rumah besar di Florida, Capone – yang dipanggil Fonse  – mulai kesusahan untuk mengingat berbagai hal, bahkan orang-orang di sekitarnya. Umur Fonse belum lagi lima-puluh, tapi dampak penyakit neurosyphillis yang bertahun-tahun ia derita membuat orang ini tampak sangat renta. Istrinya aja jadi kelihatan jauh lebih muda. Fonse bergerak tertatih, berbicara kayak zombie lagi menggerutu, dalam berdiam diripun ia menemukan masalah karena tidak lagi bisa mengendalikan pengeluaran; alias dia bisa muntah, ngompol, atau malah ngebom kapan dan di mana saja. Yang paling mengkhawatirkan adalah, Fonse mulai melihat halusinasi. Realita dan kenangannya melebur menjadi satu. Dia mulai melihat yang tidak orang lain lihat, dia mulai percaya pada hal yang nonexistent. Ini membawa bahaya bagi dia dan keluarga sebab Fonse menyebut dia menyimpan uang jutaan dolar di tempat yang tak mampu ia ingat, dan beberapa orang – termasuk polisi yang diam-diam mengawasinya – tidak ingin melewatkan kesempatan jika ternyata omongan Fonse tersebut benar adanya.

Dibacanya bukan “Fon-se'” loh ya

 
Jadi, ya, ini bukan tipikal film mafioso. Capone didesain supaya lebih humanis, maka itu berarti film ini dapat menjadi lebih kelam, depress, dan… menjijikkan. Film ini cukup bernyali, doesn’t want to be easy. Bagi Trank yang udah ‘sukses’ nge-tank Fantastic Four (2015), film ini boleh jadi proyek come-back atau penebusan diri. You know, Capone sejatinya ia jadikan pembuktian ia sedang kembali ke jalan yang benar. Film-film padet seperti ini, however, butuh untuk kuat dalam tiga hal supaya bener-bener jadi tontonan bergizi dan nikmat untuk dicerna. Pertama, segi ceritanya itu sendiri. Kedua, penampilan akting. Dan ketiga, cara penyampaian alias cara bercerita alias storytelling-nya. Tidak satupun dari ketiga aspek itu yang berhasil dimaksimalkan oleh Trank. Sehingga Capone pada akhirnya berakhir menjadi sebuah kekecewaan, karena buatku film ini sudah punya modal gede yakni konsepnya yang menarik.
Membahas ketiga aspek itu satu persatu, aku akan mulai dengan aspek cerita. Actually, di sini pencapaian Capone yang paling lumayan. Film mengestablish setidaknya dua hal penting yang berhubungan langsung dengan apa yang dirasakan oleh Fonse. Soal uang dan keluarga. Plot sampingan soal sekelompok orang yang mengincar uang yang ia simpan dan soal anak yang ia rahasiakan mengikat menjadi satu sebagai motivasi Fonse; ia tidak mau dua-duanya ketahuan karena ia tidak percaya siapapun. Terlebih sekarang, parnonya membesar karena efek dementia. Namun dementia itu bukan pelaku-utama, melainkan hanya berperan sebagai membesarkan. Journey Fonse sepanjang film sebenarnya adalah soal dia mencari akar dari parno alias ketakutannya yang berlebihan. Sebagai penonton, kita akan melihat ke dalam Fonse. Seringkali kita akan ditempatkan sebagai dirinya, ikut mengalami halusinasi dan mimpi-mimpinya.
Dan di dalam situlah kita akan mendapati si guilt ini, si Perasaan Bersalah. Semua halusinasi Fonse penting karena masing-masingnya merupakan episode dari beban seorang manusia yang berprofesi sebagai bos kriminal. Dia harus membunuh sahabat sendiri. Dia harus melakukan berbagai kejahatan. Di menjelang babak ketiga ada sekuen panjang Fonse balik ke masa lalu. Kita memasuki ini bukan sebagai Fonse yang gagah, melainkan sebagai Fonse yang tidak ingat pernah melakukan, sehingga ia melihat perbuatannya dari cahaya yang baru; cahaya yang lebih mudah bagi kita untuk merelasikan diri kepadanya. Kalian yang pernah nonton dokumenter Jagal atau The Act of Killing (2012), kalian akan menemukan kemiripan antara inner-journey Fonse dengan Anwar Congo yang jadi sudut pandang utama dalam dokumenter tersebut. Pembeda yang paling utama di antara keduanya adalah tanda-tanda penyesalan. Yang menjadi penting karena menentukan apakah penonton bakal bersimpati atau tidak kepada si tokoh utama, seberapapun horrible perbuatan mereka terdahulu. Fonse dalam Capone tidak punya luxury untuk merasakan hal tersebut, karena keadaan fisik dan terutama mentalnya yang tidak lagi memungkinkan.

Rasa bersalah mengerus pikiran dan akal sehat sedikit demi sedikit. Ketika melakukan perbuatan mengerikan di masa lalu, seseorang akan terus kepikiran, dan secara tidak sadar mengambil tindakan preventif untuk mencegah kejadian tersebut terulang lagi. Dan proses ‘pencegahan’ ini bergantung kepada pribadi masing-masing. Jika kita seperti Al Capone, yang hidup dari bisnis ilegal, yang dikelilingi sama seringnya oleh keluarga, anak buah, musuh, realita yang kita ciptakan untuk berlindung akan menjadi sama berbahayanya dengan yang mestinya kita cegah. Bahkan lebih.

 
Kita susah merasakan simpati kepada Fonse, meskipun tokoh ini ngompol, stroke, ngisep wortel alih-alih cerutu, ketakutan dan kebingungan sepanjang waktu, karena film membuatnya vulnerable seperti itu hanya karena dia sakit. Kita tidak sekalipun diperlihatkan perasaan genuine menyadari kesalahan. Drama film ini hanya datang dari Fonse yang sakit dan orang-orang tersayang yang setia padanya berusaha dealing with this, sementara Fonse makin curigaan dan liar kepada mereka. Sebuah film memang seharusnya tidak membuat tokohnya memohon untuk simpati kita, tetapi menjadikan si tokoh tersebut tidak pernah tampak sebagai manusia utuh – just this walking disease yang harus kita pedulikan karena banyak orang yang sayang ama dia – malah jadi kayak nyalahin penyakitnya ketimbang kontemplasi. Semua itu menjadi bertentangan dengan gagasan film mengenai kesalahan masalalu terus menghantui, karena karakternya bergerak karena penyakit. Membahas Fonse sekiranya bisa lebih baik jika dialihkan melalui sudut pandang tokoh lain, seperti istrinya yang mendapat porsi yang lumayan gede, tapi film ini pun gagal memberikan tokoh-tokoh seperti sang istri ini plot yang lebih berarti. Storyline mereka diperkenalkan, untuk kemudian diantepin gitu aja.

Hey, what’s up, Doc?

 
Perihal penampilan akting, akan berhubungan erat dengan aspek storytelling. Karena aktinglah subjek vokal yang menyampaikan cerita. Dalam cerita yang dalem membahas kejiwaan manusia, anehnya film di awal-awal memperlihatkan Fonse nyaris seperti parodi. Adegan openingnya malah kayak komedi kakek dan anak yang punya atmosfer kelam. Dan pembawaan Tom Hardy memainkan Fonse sama sekali tidak membantu. He was so over-the-top. Hardy memberikan suara yang komikal kepada Fonse. Jika tidak sedang bengong mengisap cerutu (dengan liur menetes ke dagu!) atau bergumam gak-jelas, Fonse akan ‘menyalak’ dengan suara yang seperti Moe Szyslak sedang audisi menjadi Goblin di bank Harry Potter. Dengan make up ‘penuaan’ yang terlihat kasar dan ‘Scarface’ yang gak-konsisten (make-up Johnny Knoxville jadi kakek-bangsat di Jackass tampak lebih meyakinkan), banyak tindakan yang dilakukan oleh Fonse yang jatohnya konyol alih-alih mengundang cemas dan menarik simpati kita kepadanya. Misalnya seperti ia tiba-tiba mengenakan pakaian wanita saat diam-diam berangkat pergi memancing. Dalam sekuen laga terakhir, Hardy mencoba sebaik yang ia bisa untuk menghasilkan sesuatu yang bukan cengiran dari penampilannya sebagai Fonse yang mengamuk dengan senapan mafia yang terbuat dari emas, menembaki orang sambil mengenakan piyama dan popok.
Hasil yang ditimbulkan selalu jauh dari harapan. Film seperti tidak benar-benar paham bagaimana menghormati penyakit yang mereka angkat. Ketika alur mulai memasuki ranah halusinasi mendominasi Fonse, treatment yang diambil film untuk membuat kita dapat membedakan mana yang nyata mana yang bukan adalah dengan memperlihatkan kekonyolan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sehingga penyakit itu tidak terasa mencengkeram lagi. Namun tentu saja dementia bukanlah penyakit yang hilarious. Melainkan menakutkan. Memiliki kerabat yang perlahan melupakan kenyataan, melihat atau percaya sesuatu yang mengerikan yang sebenarnya tidak ada, mestinya adalah pengalaman yang disturbing, mencemaskan. Masa-masa sebelum kakek tutup usia, beliau sering nunjuk-nunjuk dan bicara pada sosok tak-terlihat dan memperkenalkannya kepada kami sebagai kerabat yang sudah tiada, buatku adalah masa yang mengerikan, hanya dengan mengingatnya saja. Seorang tua yang halu dan membahayakan orang, dementia dalam film Capone beberapa kali terasa seperti memancing kelucuan, yang mungkin saja tidak disengaja, but it did feel that way – bahwa kadang film kayak lupa penyakit tersebut adalah masalah serius.
Adegan halusinasi dalam film ini memang diniatkan sekontras yang kita lihat. Kadang film terasa kayak dalam dunia yang dibangun David Lynch. Lengkap dengan adegan musikal yang creepy. Tapi kita tahu, Lynch tidak menjahit adegan dengan abrupt. Whereas in Capone, demi menguatkan sensasi linglung dan kebingungan seperti yang dirasakan Fonse, editing yang digunakan dengan sengaja cepat. Konstruksi adegan dengan sengaja dibuat saling tindih, dalam sense waktu. Sehingga perspektif menjadi gak jelas. Akan sering kita temui sekuen yang ternyata cuma ada di kepala Fonse. Namun sekuen tersebut ditampilkan begitu elaborate, dalam artian, kita melihat adegan seorang tokoh di suatu tempat, melakukan hal privet, tanpa ada Fonse di sana. Yang berarti gak masuk-akal adegan tersebut bisa terpikirkan oleh Fonse. Itu bukan kenangannya. Dan aneh sekali kalo dia membayangkan adegan tersebut di dalam kepalanya karena enggak ada sangkut paut langsung dengan dia. Jadi gak-jelas apakah adegan tersebut adalah real ‘kayfabe’ dari runutan cerita yang ditarik ke masa kini, atau cuma imajinasi. Film dapat jadi membingungkan seperti demikian.
 
 
 
Film ini menjadi susah untuk ditonton. Namun bukan karena dia berhasil menggambarkan dementia atapun karena membuat kita peduli terhadap tokoh kriminal sehingga melihatnya dalam cahaya simpati. Film ini sukar karena tidak tepat dalam banyak hal. Penceritaannya sering menyimpang jadi unintentionally hilarious. Tokoh utamanya dibawakan ke arah yang membuatnya nyaris jadi seperti parodi. Alur pun tidak membahas dalam, cenderung melewatkan dan tidak sampai tuntas menggali sudut yang sebenarnya menarik. The whole concept of this movie is intriguing. Jika tayang di bioskop, tentu film ini bakal jadi kandidat kuat masuk daftar kekecewaan terbesarku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for CAPONE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Masalah ‘harta karun’ Al Capone yang sampai sekarang masih belum ditemukan, apa kalian punya mengenai hal tersebut? Apakah itu hanya legenda? Jika tidak, kenapa kira-kira hingga kini uang berjuta-juta itu belum berhasil ditemukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Money in the Bank 2020 Review


 
 
Tangga Korporat, WWE mengumumkan, adalah yang akan dipanjati oleh para superstar yang berlomba untuk mendapatkan kontrak pertandingan kejuaraan tahun ini, alih-alih ‘tangga-pertandingan’ yang biasa. Sebagai bukti geliatnya konsisten menghadirkan tayangan olahraga hiburan di tengah pandemi, langkah ini jelas menarik. Premis pertandingan Money in the Bank yang berbeda menjanjikan banyak hal-unik karena akan ada begitu banyak kemungkinan yang terjadi. Terlebih, penonton masih ter-wah-kan oleh konsep ala-sinematik yang dihadirkan pada Boneyard Match dan Firefly Funhouse di WrestleMania sebulan sebelumnya. The buzz was loud. The expectation was high. WWE pun dengan cepat menangkis skeptis yang menganggap seunik apapun bakal boring karena ada dua MITB yang disuguhkan, dengan pengumuman lanjutan bahwa MITB cewek dan cowok akan dilangsungkan pada saat bersamaan! Jadi, dengan lebih banyak superstar yang terlibat, seperti apa kiranya MITB diadakan?
Acaranya sendiri masih diadakan di Performance Center. Tanpa penonton live. Hanya pertandingan MITB yang diboyong ke kantor alias markas besar WWE di Stamford. Para superstar yang menjadi peserta match tersebut (enam masing-masing partai men and women) akan memulai ‘memanjat’ dari lantai bawah gedung. Dua koper yang berisi kontrak digantung di atas ring, di atas puncak gedung! So yea, it could be a really massive hunt game. Ada begitu banyak potensi. Perebutan di atap outdoor itu sekiranya bisa menegangkan kayak acara Fear Factor. Sementara, brawl di dalam gedung akan menarik. Dulu WWE sering ngadain match di mana para superstar bertarung sambil ‘jalan-jalan’ ke backstage; ada begitu banyak momen seru dan kocak dari sana. Namun baru kali inilah WWE benar-benar ‘menjual’ latar tempat sebagai obstacle course alias elemen penting pada konsep pertandingannya. Mereka bisa membawa kita ke semacam tur isi kantor WWE. Mau dipersembahkan sebenarnya keadaan kantor, atau mereka bisa menjual tempat itu sebagai a make-believe place, like, mereka bisa mendandani beberapa ruangan, menjadikannya sebagai set-piece yang bakal digunakan secara kreatif. MITB cowok dan cewek yang dilangsungkan bersamaan juga bisa dijadikan sebagai semacam tes intergender match. Ada Asuka, Nia Jax, Shayna Baszler, Dana Brooke yang masuk akal bertanding melawan laki-laki. Bahkan Lacey Evans, si superstar feminis, bakal jadi tontonan menarik diberikan interaksi bersama superstar cowok semacam King Corbin.
And it could be symbolic too. Superstar yang saling berlomba dari lantai paling dasar, menerjang apapun untuk bisa sampai ke atas. Benar-benar merepresentasikan perjuangan karir seseorang yang ingin berhasil di WWE. Kita banyak mendengar soal ‘glass-ceiling’, ‘brass-ring’, ataupun politik-politik di belakang panggung semacam Triple H yang suka nge-bury, John Cena yang menggunakan privilege golden boy untuk mengatur hasil pertandingan, atau locker-room leader yang nunjukin kesenioran. One could hope WWE menempuh jalur meta, dan memasukkan adegan-adegan simbolik dari elemen-elemen itu ke dalam plot atau bookingan pertandingan MITB ini. Yang tentunya bakal tampak pintar dan edgy. Mainly, kebanyakan kita mengharapkan pertandingan sinematik yang mirip film action. Hanya saja, bukan itu semua yang diberikan oleh WWE. MITB kali ini actually lebih over-the-top daripada Boneyard atau Firefly Fun House sekalipun. Arahan yang diambil WWE membuat pertandingan ini tampak konyol, hampir seperti film kartun.

Money in the Bank 2020 gak bisa dibilang jelek-total. Karena toh memang mampu menghibur; tujuan acara ini diadakan untuk menghibur penonton. Tertawa di tengah corona. Tapi tetap bukan tayangan gulat yang bagus. Karena ‘menghibur’nya itu bisa diperdebatkan. Cara terbaik menilai acara ini adalah dengan mengatakannya, simply, sebagai pengingat bahwa WWE sudah mengambil arah yang berbeda dari yang membuat kita jatuh cinta pada awalnya.

 

Sedih juga sih nonton food fight saat siang-siang lagi puasa

 
Aku menyadari hal tersebut sejak nonton film The Main Event (2020), kolaborasi feature pertama antara WWE dengan Netflix. Dari situ terlihat jelas bagaimana WWE bermaksud menjual brand mereka ke luar. Sebagai kartun live-action. Sebagai fantasi. Anak kecil mampu bergulat dengan kekuatan super. Poin yang dibuat film itu, yang merupakan cara WWE memandang mereka sendiri sebagai jualan adalah, di WWE apapun bisa terjadi. Tidak perlu berpijak pada logika. Karena yang terpenting adalah menghibur seluruh lapisan keluarga.
So yea, pada MITB ini tidak akan ada brawl backstage seru, tidak akan ada frantic chase, melainkan hanya skit-skit komedi yang disebar. Pertandingan bahkan mengandung sedikit sekali wrestling. Yang kita dapatkan di sini adalah cameo-cameo seperti Paul Heyman yang mau makan tapi buffetnya dan seantero ruang makan itu dijadikan arena food fight oleh peserta MITB (WWE cukup tega membuat Shayna harus ikutan perang makanan konyol ini). Jangan salah, ini memang menghibur. Aku bahkan tergelak melihat muka John Laurinaitis kena lempar pie. Tapi ini bukan pro-wrestling yang biasa kita santap. Ini bukan aksi-aksi bergizi yang jadi asupan hiburan kita yang biasa. Aksi dalam match ini berupa banyolan. Ada satu adegan para superstar cewek berlari di ruangan yang sedang dipel, kemudian Dana Brooke jatoh kepleset seolah dia bernama Dono. Corbin comically melempar Mysterio dan Black dari pinggir arena ring, like he kill them. Dan pada satu titik, AJ Styles lebih peduli mencari di mana Daniel Bryan ketimbang buru-buru berlari supaya sampai ke atap lebih duluan daripada yang lain. Sedikit sekali memang elemen dalam pertandingan ini yang masuk akal. Sehingga melihat Vince McMahon cuci tangan pake sanitizer aku jadi curiga, jangan-jangan itu bukan sekedar candaan coronoa, melainkan dia sedang menyampaikan pesan “gue kagak ikut campur tangan sama kekonyolan ini”
Outcome dari match itu sesungguhnya menyenangkan. Serta mengejutkan. Menarik sekali Otis menang, aku penasaran mau dibawa ke mana storyline dia dan Mandy berikutnya dengan kemungkinan sabuk di tengah-tengah mereka. Hanya ‘cara bercerita’nya saja yang mestinya bisa dilakukan lebih baik lagi. Masalahku buat ending MITB cowok ini persis seperti masalahku pada kejuaraan tag team Smackdown di WrestleMania 36; they’re trying too hard to be different. Yang MITB cewek masalahnya lain lagi. Setelah berkali-kali bereksperimen dengan teknik edit dan kamera, WWE tidak kunjung membaik. Setelah Asuka mendapatkan kopernya (dalam situasi aneh kenapa dia menghajar Corbin yang mau naik ngambil koper bagiannya), kamera ngecut gitu aja sehingga superstar cewek lain yang masih ada di ring seperti lenyap gitu aja. Jika kalian juga suka nonton film, dan terbiasa mengamati gerak kamera dan cut-demi-cut adegan, aku yakin kalian juga bisa melihat editing yang dilakukan WWE masih ‘kendor’. Setiap sambungan seperti lazily stitched together. Dan bukan hanya pada match MITB, yang membawa kita ke rest of the whole show…
2020 bukan tahunnya Corona, tapi Tahun Otis

 
Match Bray Wyatt melawan Braun Strowman juga memanfaatkan editing untuk menyampaikan cerita. Partai ini sebenarnya adalah yang paling komplit; gulatnya beneran banyak, ‘gimmick’ juga jalan. Alur pertandingan ini lumayan menarik, soal Braun yang berusaha melawan bujukan Wyatt untuk kembali ke sisinya. Namun eksekusinya, seperti skipped a beat. Pertandingan ini berakhir saat Braun yang jatuh ke luar ring, abruptly muncul dengan topeng hitam yang dulu ia kenakan saat masih jadi hamba Bray Wyatt. Seharusnya timing dan cerita matchnya bisa digarap dengan lebih baik lagi, berikan waktu sedikit lebih banyak supaya plot poin pertandingan ini bisa berkembang sempurna.
However, WWE toh memang tampak memberikan perhatian yang lebih untuk event-event dan segmen cerita. Terlebih karena sekarang penonton mereka semuanya menyaksikan dari rumah. Aksi di dalam ring tidak akan maksimal karena gulat sejatinya membutuhkan penonton live. Superstar dilatih untuk perform live, dan mereka bergantung kepada reaksi penonton. Dengan absennya penonton di studio, aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengimprove pertandingan. Mereka gak bisa begitu saja meningkatkan intensitas dengan menyuruh superstar melakukan jurus-jurus berbahaya sepanjang waktu untuk memancing teriakan geunine dari komentator. Jadi mungkin itu sebabnya kenapa WWE tidak terlihat begitu perhatian sama partai-partai yang mengutamakan pada tradisional wrestling.
Semua match di acara ini berlangsung standar. Tag Team fatal 4 way yang jadi opening berjalan dengan tempo cepat, karena mereka berfungsi sebagai pemancing hype. And just that. Matchnya sendiri enggak spesial, hanya para superstar bergantian menyarangkan jurus masing-masing. Bayley melawan Tamina adalah yang paling parah – jika kita menganggap squash match Lashley lawan R-Truth sebagai pengisi durasi aja. Lambaaaat banget, aku gak yakin apakah Tamina ini ogah-ogahan atau memang gerakannya selamban itu. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar aku apresiasi sebagai tontonan gulat, dan itu adalah Seth Rollins melawan Drew McIntyre. Man, kalolah arena penuh penonton, dijamin match mereka ini akan mendapat tepukan “this is awesome!” setiap beberapa menit sekali. Pertandingan ini tidak diberatkan oleh gimmick; it’s just two guys performing the best they can, sambil mengembangkan karakter mereka. Penilaianku buat Drew mainin peran babyface-nya masih belum final, tapi aku bisa melihat Seth Rollins mulai enjoy sebagai Monday Night Messiah. Dia bahkan keliatan seneng dapat musik baru.
 
 
Ketika kita memikirkan wrestling match yang menghibur, Rollins melawan McIntyre adalah yang paling dekat dengan pikiran kita. Namun tampaknya, hiburan gulat seperti demikian – superstar yang keliatan seperti ‘benar-benar’ bertarung, bukannya melakukan sebuah segmen – mulai menjadi langka. Karena keadaan membutuhkan WWE untuk mencari alternatif hiburan lain. Dan arahan yang dipilih WWE; some of you will love it or some will hate it. Aku, personally, lebih suka tradisional seperti Rollins melawan McIntyre. Aku pikir hiburan yang bisa dinikmati anak-anak enggak mesti jadi receh, dan sebaliknya juga, brawl yang lebih serius pun gak mesti harus ekstrim. WWE di MITB ini buatku masih terlihat berada di tengah-tengah anak tangga menyesuaikan diri dan strugglingnya sebagai bisnis di tengah pandemi. The Palace of Wisdom menobatkan Seth Rollins vs. Drew McIntyre sebagai Match of the Night.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The New Day pertahankan gelar dengan berhasil atas Lucha House Party, Miz and Morrison, and Forgotten Sons
2. SINGLE Bobby Lashley squashed R-Truth
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan mengalahkan Tamina
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Braun Strowman retains over Bray Wyatt
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Seth Rollins
6. MONEY IN THE BANK CORPORATE LADDER Asuka menang di partai cewek, dan Otis menang di partai cowok 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE RHYTHM SECTION Review

“When you dance to your own rhythm, life taps it toes to your beat”
 

 
 
Blake Lively yang kutahu adalah makhluk magnificent yang memancarkan aura bidadari yang lembut, bahkan saat ia berdarah-darah berhadapan dengan hiu. Ia adalah tipe yang kau impikan untuk jadi kakak perempuanmu. Namun aku tak mengenali Lively lagi di film The Rhythm Section ini. Ia jadi kumal banget. Begitu broken sehingga aku gak yakin bakal membukakan pintu jika ia datang bertamu. Aku akan memilih untuk bersimpati padanya dari balik tembok, hoping for the best dia kembali ke jalan yang benar. Namun film ini akan memaksa kita untuk berada di balik kepalanya, atau paling tidak di sebelahnya – menggenggam tangannya – melewati segala aksi balas dendam yang ia kira bakal memberinya ketenangan jiwa.
Tahulah kita bahwa Lively di sini bukanlah Lisa sang junkie PSK. Melainkan dia adalah Stephanie Patrick, mahasiswi teladan yang hidupnya menukik tajam setelah seluruh keluarganya – ayah, ibu, kakak, adik – tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Steph yang last minute urung ikut naik pesawat technically selamat, tapi dia sebenarnya juga korban. “Kau hanya belum mati saja“, kata reporter yang menemukan Stephanie. Sang reporter sedang menginvestigasi kasus kecelakaan tersebut karena itu ternyata bukan kecelakaan biasa. Melainkan teror bom yang ditutupi. Pembuat bomnya masih bebas berkeliaran. Dalangnya masih di luar sana, bersembunyi di balik nama alias. Mengetahui hal ini, Steph bangkit, memungut dirinya sendiri dari nestapa untuk mencari pelaku. Menorehkan cerita balas dendam sendiri. Bekerja sama dengan sekumpulan orang di pihak si reporter, Steph meminta untuk dilatih menjadi assassin. Namun balas dendam tidak segampang yang dikira, khususnya ketika berhadapan dengan organisasi tersembunyi. Dan ketika dirimu sendiri juga bersembunyi di balik sesuatu yang bukan dirimu.

Jadi assassin wanita yang kuat supaya bisa dikirim misi ke sana kemari oleh pria

 
Paling baik bagi kita untuk tidak mengharapkan film thriller yang penuh laga seru saat menonton film ini. Karena The Rhythm Section diarahkan oleh sutradara perempuan Reed Morano untuk menyanyikan nada yang berbeda. Film ini adalah jeritan hati dari Stephanie, sepanjang waktu kita akan diminta untuk melihat ke dalam Stephanie. Semua adegan laga akan di-examined dari sudut pandang dan perasaannya. Pemberantasan teroris dan politik kriminal di baliknya tidak akan dibahas jika Stephanie tidak meluangkan emosi terhadapnya. Kamera akan strictly melayang di depan wajahnya. Akan ada banyak sekali adegan Stephanie ‘berhenti’, close up ke wajah, dan kita menyelam masuk ke flashback memorinya. Di sinilah peran Blake Lively menjadi sangat penting. She’s the perfect personification untuk tokoh Stephanie yang terlihat ‘keras’ di luar tapi begitu lembek dan rapuh di dalam. Kita akan menemukan simpati menatap lekat-lekat wajah Lively, dan semakin broken tokohnya ini efek yang dihasilkan semakin kuat.
Stephanie pada masa-masa nelangsanya adalah penampilan terbaik dari film ini. Setiap kali dia berada di fase jatuh, gagal, seperti gak punya harapan, dan menyesali kepergian keluarganya, di sinilah film bersinar. Berkat penampilan akting dan struggle genuine yang dikeluarkan. Film paham cara menonjolkan ini semua. Misalnya pada adegan Steph dilatih bertarung satu lawan satu. Morano memerintahkan kameranya untuk merekam aksi dalam single take tanpa-putus, dan mereka membuat adegan ini berlangsung di ruangan sempit. Laga pada adegan ini gak ada flashy-flashy-nya, tapi begitu memukau karena dengan efektif merekam kefrustasian dan usaha Stephanie untuk menjadi jago berkelahi. Ada transformasi karakter yang tampak genuine sepanjang adegan laga yang gak-sempurna ini. Dan adegannya, seperti semua adegan laga dalam film ini deliberately dibuat amatir karena penting bagi kita untuk dapat melihat Stephanie gak mampu untuk menjadi Petra, persona assassin yang harus ia isi.
Setelah semua latihan, dia berenang di danau yang dingin itu, coba tebak apa yang Stephanie lakukan pada misi pertamanya menghabisi orang? Stephanie babak belur dihajar oleh penjahat di kursi roda. Pada bagian-bagian Stephanie jadi penyusup dalam misi membunuh lingkaran tersangka terorislah film berpotensi menjadi sangat membosankan. Dia gak keren kayak John Wick. Dia enggak mematikan kayak Atomic Blonde. She can’t do shit kayak Jackie Chan. Melainkan, misi Stephanie nyaris selalu gagal karena dia terperangkap dalam pikiran dan emosinya sendiri. Rencananya selalu kacau. Film juga membuat on-point soal Stephanie balas dendam karena tindakan teroris membunuh orang tak berdosa, tetapi saat bertindak sebagai assassin, justru Stephanie sendiri yang membuat banyak orang tak berdosa turut menjadi korban. Setiap rencana yang gagal itu membuahkan damage yang berlebihan, yang memberatkan nuraninya sendiri.
Ini sebenarnya merupakan fresh take dalam genre action. Jika kebanyakan seringkali menampilkan tokoh cewek yang membalas dendam dan langsung jago, The Rhythm Section ini berani memperlihatkan ‘kenyataan’, bahwa gak semudah itu menjadi seorang pembunuh. Manusia biasa gak bisa latihan instant untuk menjadi secakap CIA. Terutama, ini cocok dengan gagasan film soal Stephanie yang berusaha mencari comfort dengan kabur dari dirinya. Pertama dia menciptakan Lisa, sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri, berkubang di jalanan. Kemudian dia tertarik untuk menjadi Petra, assassin wanita yang terkenal sangar. Film juga memunculkan tokoh antagonis yang paralel dengan kondisi Stephanie; yang berlindung di balik persona U17, bedanya hanya si antagonis berhasil memanfaatkan identitas tersebut.

Untuk bisa menembak dengan jitu, Steph harus mendengarkan irama jantung dan napasnya. Film bicara soal setiap makhluk punya ritmenya sendiri, dan itulah yang harus didengar oleh masing-masing. Kita harusnya menari dalam irama sendiri, dan ini maksudnya adalah untuk stay true to who you are. Steph gagal sebagai Petra, dia nista menjadi Lisa. Langkahnya baru mulus, dia lebih berjaya saat mengenali dendamnya sebagai Stephanie, putri dari keluarga Patrick yang mengasihani diri dan berani untuk mengubah itu semua.

 

Jantung adalah drum, napas adalah bass… dan mulut adalah riff gitar “tininiw tinininiiiwww”!

 
Film sayangnya tidak cukup bijak untuk mendengarkan gagasannya sendiri. Alih-alih bergerak dalam irama yang menjadi keunikannya, film mengambil banyak keputusan editing dan bercerita yang aneh. Yang bukan-dia-banget. Pemilihan musiknya, for instance, sangat misleading. At heart, ini adalah cerita yang muram. Gagasannya membutuhkan sang tokoh untuk menjadi ‘bego’ dalam setiap misi, entah itu gagal atau ketahuan dan kabur. Supaya ia lantas memikirkan tindakan yang ia lakukan, mempertimbangkan kembali approachnya dalam balas dendam. Namun film malah memperdengarkan kepada kita musik-musik penyemangat, tak ubahnya film laga yang tokohnya keren dan gak-annoying karena sebentar-bentar flashback. Kesalahan besar saat menonton adalah menciptakan ekspektasi lalu hidup dalam ekspektasi tersebut, membuat film terasa jelek karena gak sesuai dengan harapan kita. Dalam kasus film ini, si film sendiri yang mendorong kita untuk berharap sesuatu yang keren. Padahal cerita dan design yang ditetapkan jauh dari semua itu.
Kemudian soal editing gambar dan kamera. The Rhythm Section sebenarnya punya adegan keren, kayak di Extraction (2020), yakni kejar-kejaran mobil yang seolah single take. Bedanya di film ini, kamera menetap di sebelah Steph yang lagi mengemudikan dengan panik, sambil sesekali nge-pan untuk memperlihatkan kerusuhan di belakang, samping, ataupun depan jalanan. Sekuen adegan yang keren, hanya saja terlalu goyang untuk dapat benar-benar dinikmati. In fact, kebanyakan adegan close up dalam film ini terlalu shaky sehingga fungsinya sebagai penghantar kita merasakan langsung emosi tokoh ini jadi buyar. Belum lagi saat dialog, film menggunakan teknik splicing cut ke momen lain – yang merupakan cara film supaya bisa merangkum banyak plot poin dan kejadian karena cerita ini merupakan adaptasi dari novel yang punya lebih banyak ruang untuk bertutur – yang pada akhirnya jadi flat out confusing. Serta merenggut kita dari perasaan ikut terbonding sama para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh lain tidak terasa nempel dan kita tidak peduli amat dengan mereka. Relasi Stephanie dengan mereka tidak berkembang dengan normal, dan tidak diberikan waktu yang cukup. Film hanya memuat sebanyak mungkin dan mencoba melakukannya dengan bergaya.
 
 
 
Pendekatan film ini terhadap genre thriller laga balas dendam dengan protagonis cewek sebenarnya cukup segar. Tokoh kita berubah dari mengasihani diri sendiri menjadi berani dan mengkonfrontasi masalah langsung sebagai dirinya. No more pretending. Tidak lagi berkubang dalam nestapa. Namun untuk belajar semua itu banyak kegagalan yang harus dilewati. Dan fase kegagalan ini dapat dengan mudah tertranslasi kepada penonton sebagai laga-yang-membosankan, juga annoying karena tokohnya terlihat bego. Film sendirinya seperti ragu terhadap ritmenya, bimbang untuk menjadi muram dan depressing seperti yang dilalui oleh tokohnya, maka memilih beberapa elemen untuk ‘menceriakan suasana’, but it’s not working karena malah membawa penonton semakin jauh ke bagaimana sebenarnya film ini. Buatku, nonton ini seperti mendengarkan cerita teman mengenai seberapa keren dirinya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RHYTHM SECTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Tidak ada yang mudah jika kita melakukan sesuatu untuk diri kita, tapi melakukannya dengan standar orang lain. Stephanie tidak gagal jadi assassin, dia hanya gagal menjadi Petra.
Apakah kalian setuju bahwa menjadi diri sendiri itu jauh lebih susah dan lebih membutuhkan keberanian daripada menjadi orang lain?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WRETCHED Review

“All children’s greatest fear is the separation of their parents”
 

 
 
Pria dan wanita saling jatuh cinta. Mereka kemudian hidup bersama. Menjadi papa dan mama. Anak mereka akan belajar banyak dari mereka, terutama kasih sayang dan rasa percaya. Namun kemudian pria dan wanita tadi bertemu dengan masalah rumah tangga. Mereka memutuskan untuk berpisah, karena itulah langkah terbaik. Yang harus disadari adalah perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal. Permulaan dari trauma dan masalah bagi anak. Karena sekarang rasa percaya itu terbagi dua. Anak takut disuruh memilih. Anak khawatir mengkhianati kasih sayang utuh tempat ia bertumbuh. Dan kemudian datanglah sang figur pengganti. Sebagai personifikasi dari ketakutan anak dari perceraian orangtua.
The Wretched merangkum hal-hal yang dikhawatirkan oleh anak-anak malang seperti demikian. Yang orangtuanya kini tinggal terpisah. Yang bersiap untuk mendapat papa atau mama yang baru. Kejadian-kejadian tersebut dibentuk ke dalam narasi horor oleh duo sutradara sekaligus penulis naskah Brett Pierce dan Drew T. Pierce, yang kemudian disampaikan kepada kita lewat tone yang ringan seolah ini adalah kisah kehidupan remaja normal. Benturan tone inilah, tema yang kelam-estetik creepy-atmosfer ringan, yang menjadikan The Wretched sebuah pengalaman nonton yang lumayan langka. Yang kita dapat biasanya entah itu film yang terlampau artsy, atau malah film yang bablas receh. Atau yang frontal sadis. The Wretched berada di tengah-tengah itu semua. Violent dan tega terhadap anak kecil, beberapa mengarah ke ‘konten dewasa’, tapi perspektif dan gagasan yang disampaikan adalah milik anak-anak baru gede yang bermuara pada keluarga.
Cerita berpusat pada Ben (John Paul-Howard bermain dengan gips di tangan), cowok remaja yang mendapat giliran di rumah ayahnya, di lingkungan kota dermaga kecil. Di sini Ben berkenalan dengan tetangga baru, teman baru, dan calon ibunya yang baru. Selain kecanggungan sosial dan angst-nya soal kemungkinan ibu baru tersebut, hidup Ben masih tergolong normal. Hingga dia gak sengaja mengintip ada kejanggalan di sebelah rumahnya. Tetangga Ben mendadak lupa bahwa mereka punya dua orang anak. Ben yang tertarik rasa penasaran dan kekhawatiran melakukan investigasi kecil-kecilan. Dia menemukan simbol aneh dan sesuatu yang mencurigakan di basement tetangganya itu. Mungkinkah nyonya rumah tersebut adalah seorang penyihir kuno? Ben harus segera berbuat sesuatu sebab anak-anak lain di kota itu mulai lenyap jejak keberadaannya satu-persatu.

Apakah sosok mirip Arrancar ini technically dibilang Witch karena suka merebut suami orang?

 
Nonton The Wretched rasanya persis kayak baca cerita-cerita di buku Fear Street karangan R.L. Stine. You know, the Goosebumps-Guy. Goosebumps merupakan horor yang ditulis Stine khusus untuk anak-anak; dengan tidak terlalu mengerikan, dalam artian hanya ada literal makhluk mengerikan entah itu zombie, hantu, alien, atau bahkan bully di sekolah tanpa pernah menyentuh isu yang lebih dalam seperti domestic abuse, atau trauma, ataupun ketakutan mental lainnya. Pada Fear Street, Stine mulai memperkenalkan soal isu tersebut dengan sedikit lebih dalam, karena mengincar pembaca yang lebih gede. Nah, The Wretched juga mengandung elemen dan cara bercerita yang mirip dengan horor Fear Street. Remaja yang melakukan hal-hal remaja biasa yang dealing with bersosialisasi di lingkungan baru. Kenalan ama cewek. Sedikit gak akur sama akur sama ayah yang mau nikah lagi. Namun dengan tone horor yang kuat sebagai pembungkus lapisannya.
Horor di sini dapat menjadi sangat mengerikan untuk penonton seusia tokoh utamanya, atau yang lebih muda. Anak yang dimakan. Anak yang diseret secara kasar untuk kemudian dibiarkan sementara nasibnya sesuai imajinasi kita. Practical effect-nya akan membantu kita mengembangkan visual supermengerikan di dalam kepala masing-masing. The Wretched punya departemen art yang asik, untuk ukuran genre horor. Penampakan ‘penyihir’nya sangat meyakinkan seremnya. Adegan dia keluar dari perut rusa niscaya bakal menghantui mimpi anak kecil yang menonton ini, paling enggak untuk seminggu ke depan. Sementara aku, skena mimpi burukku sampai saat ulasan ini diketik masih dibintangi oleh emak-emak berdiri di ujung lorong, bermandikan cahaya, dengan tubuh berpostur meliuk kayak batang pohon. Yea, terima kasih buat adegan anak tetangga Ben melihat ibunya berdiri di luar kamar. Sutradara jelas punya gaya dan visi tersendiri dalam menampilkan keseraman dengan penuh gaya, and it works. Bahkan jumpscare yang kita temukan juga enggak jatoh murahan dan hanya-sekadar-ngagetin. Ada timing, ada build up yang melibatkan bukan saja musik, melainkan juga cahaya, sehingga begitu precise dan tetap menghormati penonton.
Dalam penulisanlah film ini lebih struggling. Seperti yang disebut di atas, fenomena-fenomena horor di film ini sebenarnya merepresentasikan ketakutan anak saat keluarganya berpisah dan bakal membentuk keluarga baru, dengan lingkungan dan orang yang completely baru, sehingga mereka merasa terasing. Film berusaha memasukkan banyak, seperti anak yang keluarganya disihir sehingga melupakan dia exist adalah gambaran anak takut dilupakan, ataupun seperti penyihir yang memakai kulit manusia dan menyamar menjadi ibu – membisiki ayah untuk bersikap aneh – adalah gambaran anak takut dia tidak mengenali orangtua baru atau orangtua aslinya lagi. Semua itu diperlakukan sebagai kekuatan sihir si Penyihir. Namun saking banyaknya, film jadi terlihat menumpukkan saja semuanya ke tokoh Penyihir ini. Film mencoba membangun mitologi si penyihir untuk merangkum dan melogiskan itu semua. Tapi tetap saja, si Penyihir pada akhirnya hanya tampak seperti segala kekuatan jahat yang superpower tanpa benar-benar menjadi sebuah karakter.
Menjadi lebih parah ketika kita meniliknya dari usaha film membeberkan kekuatan, keberadaan, dan mungkin cara mengalahkan Penyihir ini. Film melakukan semua trope horor gampangan, semacam ada simbol sihir di mana-mana, ada internet yang punya informasi detil mengenai makhluk ini. Kemudahan dan kefamiliaran. Membuat film ini generik dalam hal karakterisasi dan pendalaman mitologi. Kekuatan penyihir tidak diberikan batasan atau penjelasan. Kegunaan simbol, kenapa digambar, kenapa makan anak-anak, siapa yang menulis artikel detail di internet, film gak peduli membahas semua itu. Yang penting bagi film adalah aspek-aspek itu ada sebagai alat untuk mendukung gagasan soal ketakutan anak, dan si penyihir ‘hanyalah’ gabungan dari itu.
Penyihirnya suka menggambar

 
Konsistensi struggling penulisan ini juga tercermin jelas dari karakter-karakter manusia. Film bermaksud membuat tempat, kota, yang menjadi latar hidup. Sebagaimana dalam cerita-cerita Stephen King; mau itu kota Derry, Castle Rock, ataupun penjara Shawsank, tempat selalu menjadi karakter ‘tersembunyi’. The Wretched pengen seperti demikian. Kita diperlihatkan si Penyihir sudah ada dari beberapa tahun yang lalu. Bersemayam di hutan. Kita lantas melihat kota kini berpindah pusatnya ke perairan, dan ada arc sendiri bagi Penyihir terkait dengan kota ini yang dibuat melingkar di akhir. Untuk fully menghidupkan kota, film menempatkan berbagai macam penduduk sehingga tokoh-tokoh sentral bisa berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, film ini kembali salah langkah. Seperti halnya Penyihir, kota atau tempat ini juga jadi tumpukan trope saja. Semuanya hanya jadi device saja. Misalnya tokoh bully yang ternyata perannya hanya minor untuk menghalangi Ben ke suatu tempat, sekilas, dan tidak pernah dibahas lagi relasi yang sempat terbangun antara Ben dengan mereka.

Membayangkan orang asing masuk ke keluarga, mendekati salah satu orangtua dan kemudian membayangkan harus menganggap orang itu orangtua baru, jelas bukan pikiran menyenangkan untuk anak dan remaja. Banyak peneliti yang sependapat bahwa anak tumbuh lebih ‘sehat’ di lingkungan yang mencintai meskipun harus mengalami perpisahan dibandingkan tumbuh di lingkungan yang selalu bertengkar. Namun, perpisahan dan masuknya orang baru tetap bukan perkara enteng bagi mental anak. Mereka terutama khawatir akan terlupakan, karena orangtua sudah move on dengan cinta lama. Sekaligus takut melupakan orangtua ketika mereka nyatanya juga harus move on dan memilih.

 
Dan bicara soal Ben, dari eksposisi backstory yang ia ceritakan kepada kita melalui tokoh teman wanitanya, supposedly Ben ini kayak jadi bengal gitu setelah orangtuanya cerai. Tangannya patah karena perbuatan kriminal kecil-kecilan yang ia lakukan. Kita juga melihat di awal perkenalan kita dengannya, Ben mengutil uang. Dari sini kita bisa memahami cerita sebenarnya pengen menyampaikan bahwa Ben yang sekarang sedang ‘dihukum’ dia datang ke tempat ayahnya untuk bekerja dan dipantau berkelakuan baik. Konflik diset lewat Ben harus melanggar aturan karena ia merasa ada sesuatu yang ganjil dan berbahaya di rumah sebelah. Ini mestinya konflik yang cukup menarik. Akan tetapi, Ben yang sebagian besar durasi kita lihat, tidak pernah tampil semenarik itu. Karakternya boring, whiny, dan tidak memancing simpati. Ada seorang cewek yang mendekati dia, mereka jadi sahabat, dan Ben tak pernah tampak tertarik ataupun bereaksi kepadanya seperti manusia beneran. Ben terlalu fokus membawakan plot, tindakannya jadi ngeselin. Film terlalu menyuruhnya untuk mengintip tetangga kayak sedang berada dalam film Rear Window (1954), sehingga lupa ada elemen-elemen lain yang harusnya juga dimainkan.
Film menyimpan twist keren di akhir, hanya saja tidak terasa cukup waktu untuk kita benar-benar merasakan impact dari pengungkapan tersebut. Keberadaannya enggak mengurangi nilai film, tapi aku pikir seharusnya bisa lebih diberi bobot lagi terutama yang berhubungan dengan Ben. Bukan hanya dia ada di sekitar Ben, melainkan mungkin seharusnya bisa dikaitkan langsung dengan emosional Ben, seperti misalnya dia-lah justru yang pertama kali melupakan. Dan ini hubungannya kembali lagi ke karakterisasi; karena Ben dikembangkan tidak semenarik yang seharusnya bisa dicapai jikasaja naskah direworked lebih cermat.
 
 
Untuk menyimpulkan; aku enjoy menonton ini. Ceritanya yang mengangkat horor di balik kehidupan sehari-hari membawa ke masa-masa horor jadi staple dalam hiburan anak muda. Film ini tidak terasa seperti horor dengan tokoh remaja/anak. Melainkan seperti film anak yang horor. Dan ini membuatnya jadi pengalaman nonton yang seru. Juga grounded, karena masalah pada anak dapat dengan mudah terelasi kepada semua orang. Penggemar horor pun aku yakin akan mengapresiasi estetik dan visualnya. Mainstream appeal film ini juga terletak pada twist yang sudah disiapkan. Masalahku sama film ini adalah penulisan yang enggak sebanding dengan arahan. Banyak aspek yang diangkat, yang ternyata cuma jadi trope dan device, alias tidak benar-benar matang dipikirkan kehadirannya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE WRETCHED.

 

 
 
That’s all we have for now.
Sesungguhnya, enggak ada orang yang mau dilupakan, terutama oleh orang-orang yang ia sayangi. Menurut kalian, darimana perasaan takut dilupakan ini berasal? Apakah itu hanya ‘anak’ dari kecemburuan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LODGE Review

“All the stress and misery of life comes from fear of loss”
 

 
 
Orang bunuh diri gak bisa ke surga! Itulah hal yang paling dikhawatirkan oleh Mia, gadis cilik yang ibunya meninggal akibat menembak kepala sendiri karena ditalak cerai. Tapi enggak ada orang yang paham ama ketakutan Mia tersebut. Tidak ayahnya yang mau menikah dengan wanita muda yang pernah jadi pasien konseling sendiri. Tidak pula abangnya, Aidan, yang marah lantaran ayah mereka karena memilih cewek “psikopat” penyintas dari sekte bunuh diri. Notice ‘bunuh diri’ muncul dua kali? Kejadian menjadi mengerikan ketika dua agen atau pihak-yang-bersinggungan dengan ‘bunuh diri’ ini bertemu. Mia dan Aidan actually diajak oleh ayah mereka untuk berlibur bareng Grace, si calon ibu tiri yang cakep, untuk saling mengakrabkan diri. Namun begitu ayah pergi, meninggalkan mereka bertiga di vila di tengah badai salju menjelang Natal, kejadian tak-terjelaskan mulai terjadi. Pemanas yang mati. Waktu yang seperti tak bergerak hari demi hari. Makanan dan barang-barang lenyap, termasuk boneka Mia yang didandani mirip ibunya, dan obat anti-stress Grace yang masih dealing dengan trauma survivalnya. Apakah ini kegilaan yang menerpa? Atau hantu dari masa lalu? Ataukah dugaan Aidan memang benar; bahwa mereka bertiga sebenarnya sudah meninggal.

Meninggalkan keluarga di tempat terpencil tanpa mobil di tengah salju, sungguh bukan teknik parenting yang jitu

 
 
Film ini mengingatkanku kepada The Turning (2020). Ada banyak kesamaan pada dua film ini, hampir seperti mereka berkompetisi satu sama lain. Basically, kedua film sama-sama mengambil lingkungan tertutup dengan cerita wanita muda mengasuh dua anak. Karakteristik tiga tokoh sentral ini pun mirip. Anak cewek yang menggunakan boneka sebagai emotional crutch. Remaja cowok yang sayang pada keluarga, tapi juga bisa terkesan sedikit bandel. Dan creepy. Pada kedua film terdapat adegan yang melibatkan remaja cowok, wanita muda, dan kamar mandi. Lalu tentu saja ada karakter wanita muda yang diharapkan harus bonding dengan kedua anak, sementara dia sendiri punya trauma pada masa lalu – dia punya ketakutan personal atas sesuatu yang menjadi asal usulnya, dan tokoh ini akan menapaki downward spiral menuju ke kegilaan. Untungnya, meskipun juga banyak mengandalkan adegan mimpi untuk menyampaikan momen-momen horor, The Lodge enggak menipu kita dengan satu sekuens full kejadian-yang-tidak-beneran-terjadi kayak di The Turning. Naskah dan arahan duo sutradara Severin Fiala – Veronika Franz hadir dengan sama-sama artsy namun sedikit lebih baik. Sedikit.
Inceran dari cerita horor ‘terjebak’ ini tentu saja adalah keambiguan. Film ingin menempatkan kita pada perasaan bingung yang sama dengan yang dirasakan oleh tokoh cerita. Misteri dari apa yang sebenarnya terjadi, ditambah dengan sensasi kehilangan kewarasan menjadi goal dari kengerian film ini. Berkaca dari horor-horor klasik, The Lodge paham cara meraih itu semua. Yakni dengan pembangunan atmosfer. Inilah yang dilakukan dengan indah oleh arahan film. Suasana menakutkan, sensasi berada di tengah-tengah keganjilan, dihadirkan dengan begitu ‘bergaya’ oleh kamera. Tone warna juga turut andil menciptakan kesan yang bukan hanya suram, warna-warna dingin itu menimbulkan kesan sebuah dunia kelabu yang kita enggak pasti apakah hanya sebuah fantasi atau kenyataan.
Secara estetik, film ini sepertinya pengen dimirip-miripin ama Hereditary (2018), sebab The Lodge juga menarik perhatian kita terhadap perbandingan perspektif dunia nyata dengan dunia boneka. Adegan pembuka film ini juga memparalelkan rumah boneka dengan rumah nyata, yang eventually akan diperlihatkan bahwa rumah boneka Mia punya interior yang sama dengan interior vila keluarga tempat mereka terjebak nanti. Boneka-boneka di dalam situ berada pada posisi khusus, yang nantinya bakal ‘menjadi kenyataan’ saat para tokoh beneran berada di posisi seperti yang sudah diramalkan. Sedari awal film sudah menjebak kita ke dalam misteri, ke dalam ketidakpastian – sebagai hook agar kita terus terpaku di tempat duduk, bertanya-tanya di dalam hati benarkah ada kekuatan supernatural atau semua itu hanya bukti bahwa ada pihak yang telah merencanakan perbuatan mengerikan di villa nanti. Misterinya ini sangat menarik, sepanjang durasi film akan terus membawa kita kembali ke perbandingan rumah boneka tadi – digunakan sebagai transisi adegan – sebagai petunjuk di tengah-tengah beragam distraksi yang sayangnya lebih mendominasi. Yang kumaksud dengan distraksi di sini adalah elemen horor lainnya, seringkali bagian dari karakter, yang tidak benar-benar membuahkan apa-apa selain bikin kita bingung mencari pegangan pada perspektif utama.
Dalam horor, perspektif adalah hal yang krusial. Kita hanya bisa peduli pada tokoh jika sudut pandang terfokus pada dirinya, sebab horor membahas ketakutan personal. Kita harus mengerti trauma, atau tragedi, atau hal yang menurut si tokoh mengerikan, dan ini bisa dicapai jika kita enggak sering teralihkan oleh horor dari orang lain, kecuali ketakutan mereka menyangkut hal yang sama. The Lodge tidak pernah memutuskan perspektif ini. Hal teraneh yang dimiliki oleh cerita ini bukanlah barang-barang yang hilang mendadak, sekte sesat, ataupun perilaku si ayah yang ngajak liburan kemudian malah pulang buat bekerja. Melainkan, hal teraneh di cerita adalah sudut pandang yang mendadak berubah dari Mia ke Grace.
“Jadi maksudmu kita nonton mereka nonton internet sia-sia belaka?”

 
 
Babak pertama sepertinya sudah menetapkan ini adalah cerita dari sudut Mia, kita melihat keluh kesahnya. Kita mengerti ‘ancaman’ dari sudut pandang Mia adalah Grace; sosok wanita muda yang at the time kita ditanamkan informasi bahwa dia ‘psikopat’, dia somehow bisa survive dari sekte di usia 12 tahun, lantas dia yang masih kecil itu merekam mayat-mayat bunuh diri di sekte. Babak awal ini menempatkan Grace dalam cahaya misterius, film bahkan mengadegankan momen perkenalan Mia dengannya dengan membangun narasi “siapa wanita ini, bisakah ia dipercaya. Film bermain-main dengan rasa penasaran Mia atas wajah si Grace (wajah cakep Riley Keough akan diporsir untuk berbagai emosi dan kegilaan). Untuk kemudian pada babak kedua, kita dijauhkan dari Mia dan sudut pandangnya. Kita direnggut dan kemudian malah ditempatkan di posisi Grace. Dengan cepat, semua perspektif Mia tadi rontok bagi kita karena sekarang kita melihat sudut Grace. Seorang survivor yang masih trauma sama adat-adat agama – ia bergidik saat doa makan malam, ia takut melihat salib dan lukisan Bunda Maria (sepertinya, mungkin aku salah mengenali objek lukisan tersebut). Namun Grace sungguh berusaha untuk hidup normal. Dan tantangan bagi Grace bukan cuma trauma, melainkan juga kenyataan bahwa dua anak ini kehilangan ibu mereka gara-gara dia. Ada rasa bersalah yang menghantui. Serta tentunya berat bagi Grace untuk berusaha membangun hubungan saat seisi rumah mengingatkan penghuninya pada orang yang posisinya sedang berusaha Grace isi.
Teorinya, dua perspektif itu dihadirkan supaya kita bisa mengerti konflik kedua belah pihak. Namun kenyataannya, malah membuat kita memilih harus simpati kepada siapa, dan akan butuh waktu lama untuk kita memutuskan sehingga pada saat itu justru kita terdetach dari mereka semua. Film ini meminta kita untuk mengkhawatirkan keselamatan Mia dan abangnya karena orang asing ini bisa saja berbahaya. Lalu berputar arah, film jadi meminta kita untuk lebih bersimpati kepada si orang asing. Untuk kemudian berputar kembali. Setelah kita mulai mendukung tokoh ini – dan berpikir “tau rasa kalian anak-anak ngeselin!” – film malah mengembalikan kita kembali kepada Mia dan abangnya. Dari sudut mereka, sebagai penutup, kita dikasih peringatan untuk tidak mempermainkan orang yang punya masalah kejiwaan.

Satu-satunya keparalelan yang konsisten pada kedua pihak – anak dan Grace – yang diperlihatkan oleh The Lodge adalah bahwa mereka sama-sama takut akan kehilangan koneksi terhadap hal yang dikasihi. Mia terlalu dekat dengan boneka. Grace butuh obat untuk percaya dia sudah sembuh. Teror sebenarnya datang dari dalam diri masing-masing pihak. Membuat mereka takut dan gak percaya kepada hal di luar. Ketakutan inilah yang menghambat tumbuhnya cinta di antara mereka. Konklusinya memang ironis; semakin kita takut kehilangan, kita justru akan kehilangan lebih banyak hal.

 
Dilihat dari kedua sudut itu, cerita film ini jatohnya insulting. Jika kita percaya ini adalah cerita peringatan untuk anak-anak, film ini gagal karena tidak memberikan kesempatan kepada tokoh anaknya untuk melihat orang dari sisi lain. Babak kedua film ini completely dari sudut Grace, kitalah yang dibuat mengerti, bukan dua anak itu. Mereka tidak belajar. Bagi sudut pandang mereka, mereka hanya menyesal karena Grace jadi ‘ngamuk’ dan ada beberapa kejadian di luar rencana mereka. Jika kita percaya ini adalah cerita psikologis seorang yang mengalami kejadian buruk di masa lalu sehingga mentalnya terganggu, film ini juga gagal karena orang tersebut dibuat kalah dalam berjuang. Yang menyampaikan kepada kita bahwa, ya, orang gangguan mental memang berbahaya, trik anak kecil saja sanggup untuk ‘menghancurkan’ mereka.
 
 
 
Karena itulah, maka film ini buatku terasa sempit, padahal sudut pandangnya lebih dari satu. Elemen horornya jangan ditanya. Ada soal pandangan soal bunuh diri. Ada soal ritual atau praktik agama. Ada soal relasi dengan orangtua. Ada soal keadaan mental juga. Namun film membuat kita frustasi. Semua itu hanya pernak-pernik. Kita mengharapkan banyak dari ambiguitas yang dihadirkan, hanya untuk menemukan jawaban yang sangat simpel dari topik paling simpel yang ada pada film ini. Dan film meminta kita untuk mengoverlook semua hal gak make sense dari perbuatan yang ditampilkan. Sehingga meskipun banyak visual dengan suasana yang bikin ngeri (shot favoritku adalah pas menjelang akhir; Grace duduk dengan spektrum cahaya di belakang kepalanya, sehingga dia kayak juru selamat) hal paling aneh dan bikin bergidik pada film ini justru adalah pilihan yang mereka, seperti mengganti-ganti sudut pandang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LODGE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kebayang gak sih kalo pas karantina gini, kalian mengalami hal yang sama seperti Grace dan Mia.. hiii… Jadi apakah kalian punya kiat tertentu untuk mengisi waktu bersama adik atau si kecil?
Bagaimana menurut kalian cara terefektif untuk menumbuhkan kepercayaan dari orang jika kita ingin menggantikan posisi orang yang mereka sayangi?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.