“It’s amazing what you can hide by just putting on a smile.”
Senyuman adalah kutukan. Basically, itulah konsep horor yang dibangun oleh Parker Finn sedari film pertama. Tentang ‘hantu’, sosok yang disebut Smile Entity, yang berpindah-pindah merasuk ke orang lewat perantara senyum. Jadi si Entity merasuk ke satu orang, bikin orang itu stress ama kejadian-kejadian menakutkan yang diangkat dari traumanya sendiri, bikin mereka berhalusinasi melihat orang-orang dengan senyuman mengerikan, saat udah ‘bosen’ Entity akan membunuh si orang dan dia akan pindah merasuki orang yang menyaksikan kematian itu. Kedengarannya memang agak campy, aku sendiri juga kurang suka sama film pertamanya. Banyak adegan creepy dari senyum-senyum itu, tapi mostly filmnya asik bermain jumpscare dan tidak benar-benar menyelami horor psikologis yang naturally dimiliki oleh cerita seperti ini. Dalam sekuelnya ini, Parker kini melek dengan hal tersebut. Senyuman adalah kutukan tidak hanya dijadikannya literal sebagai konsep horor, melainkan kini juga adalah pondasi dari psikologis karakternya. Keadaan yang kita bisa relate, karena ya, senyuman memang sering digunakan sebagai topeng dari apa yang sebenarnya kita rasakan.
‘Panggung’ cerita juga lebih menarik. Pokoknya Smile 2 lebih berkarakter dibandingkan film pertamanya. Kita ngikutin seorang bintang pop bernama Skye Riley (Naomi Scott kali ini berhasil bikin aku amat sangat terkesan) yang tengah mempersiapkan comeback-tour, dari hiatus yang disebabkan oleh sebuah kecelakaan tragis. Bukan hanya itu, perlahan nanti cerita akan mengungkap bahwa Skye pernah kecanduan obat terlarang. Masa lalunya memang problematik. Kalo aku jadi Entity, aku pasti udah gak sabaran banget merasuki Skye. Dan memang itulah yang terjadi. Skye kena kutukan senyuman. Sebagian besar film, kita menyelami kekacauan mengerikan yang diakibatkan oleh Entity kepada Skye. Tapi ini juga bukan sekadar dilema antara ‘beneran atau cuma di dalam kepala’. Ini bukan cuma yang dialami Skye versus orang lain gak percaya padanya karena Skye punya riwayat ‘makek’. Karakter Skye beneran dieksplorasi. Konflik personalnya dikuatin sehingga kita peduli. Bahwa Skye sesungguhnya benar-benar ingin berubah jadi lebih baik dari dirinya sebelum kecelakaan. Dia ingin bermetamorfosis, seperti salah satu stage act dia di panggung. Lewat simbolisme, film memperlihatkan tidak mudah bagi Skye untuk melakukan itu. Dan Entity di sini, adalah wujud ekstrim dari konsekuensi yang diterima Skye ketika gagal.
Apa simbolnya? Cermin. Mulai dari adegan bercemin, adegan mecahin cermin, membunuh pakai pecahan cermin, hingga dari shot yang kayak dunia terbalik, dan tentu saja Skye konfrontasi dengan Entity yang mengambil wujud seperti dirinya. Cerminan atau refleksi diri jadi tema kunci pada karakter Skye. Ketika kita pertama kali bertemu dirinya, kita melihat dia sebagai seorang bintang. Tersenyum saat berfoto bersama penggemar. Film dengan cepat mengestablish Skye sebagai seorang bintang tentu saja punya perbedaan dengan Skye sebagai pribadi dirinya yang asli. Nah, perjalanan mengetahui siapa pribadi dirinya yang asli itulah yang jadi journey. Kita akan melihatnya sebagai pengungkapan, sedangkan bagi Skye merupakan journasey personal. Pasalnya, Skye adalah karakter yang menyimpan banyak. Dia punya bekas luka di perut, bekas kecelakaan. Dan Skye gak suka bekas lukanya kelihatan. Skye benci dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu kerap muncul dan mengganggu. Luka di punggungnya bikin Skye gak bisa execute tarian panggungnya properly. Apapun yang dia lakukan sekarang dalam usaha mencoba jadi diri yang lebih baik akan selalu berhadapan dengan apa yang telah dia lakukan dulu. Jadi basically konflik personal/psikologis Skye yang jadi penggerak utama cerita adalah soal mirror image yang dia ciptakan akan terus selalu retak oleh konsekuensi dari her former self.
Dengan senyuman, cermin pun dapat dibohongi. Orang-orang pun begitu, Skye menyangka di atas panggung – di depan kamera, cukup dengan dia tersenyum maka orang akan mengerti dirinya sudah menjadi lebih baik. Tapi sebenarnya tang ditipu itu adalah diri sendiri. Yang percaya semua baik-baik saja, yang percaya segampang itu put all the past behind. Karena bahkan di balik senyum, akan ada luka. Seperti borok yang kelihatan di cermin, trauma akan menorehkan garis yang kuat. Yang tidak bisa dienyahkan begitu saja.
‘Kesalahan’ Skye cuma dia percaya senyum di depan cermin, di atas panggung, akan membuat semua kelihatan baik saja. Percaya bahwa dia yang sekarang bisa mengendalikan hidupnya menjadi lebih baik. Inilah fungsi Entity di dalam cerita. Si Setan Senyum terkutuk itu jadi penantang buat Skye’s false believe. Entity membuat Skye berkonfrontasi dengan kejadian traumatis di masa lalu. Kita seiring pengungkapan itu berjalan akan melihat Skye sebagai karakter yang semakin tragis, bahwasanya make sense buat dia untuk pengen percaya dia benar-benar mau jadi orang baik. Dan akhirnya Entity membuktikan Skye salah. Naskah bijak banget untuk tidak hanya memperlihatkan ‘kegagalan’ Skye, tapi sebelum itu, naskah memberikan kesempatan bagi Skye untuk menyadari bahwa dia salah. Sehingga film ini tidak hanya tontonan ungkapan kejadian. Dan punya bobot dan layer di balik kejadian adalah hal yang bagus untuk film ini, karena kalo kita melihat hanya dari kejadian, film ini akan dengan cepat menjadi sangat membingungkan.
Sama seperti film pertamanya, Smile 2 mengandalkan adegan-adegan jumpscare dan adegan-adegan absurd untuk bikin penonton ikut merasa takut. Punchline-nya ya momen kematian yang memorable. Penggemar horor pasti bakal puas nyaksiin adegan-adegan andalan film ini. Aku sendiri suka banget sama adegan Skye ‘disergap’ oleh sekelompok orang di dalam apartemennya sendiri. Adegannya udah kayak mimpi buruk banget. Adegan opening film ini pun keren. Mengikat kepada akhir film pertama, lalu memutuskannya completely sambil lantas ngasih bola ke film kedua untuk berjalan dengan dunia dan karakternya sendiri. Yang bikin membingungkan, seperti yang aku bilang di tadi, adalah: karena film ini elemen psikologisnya lebih kuat, maka adegan-adegan menyeramkannya itupun semakin blur mana yang nyata, mana yang tidak. Chaos dari kemelut Skye dengan kutukan tertranslasikan di layar sebagai adegan seram yang mungkin tidak benar-benar terjadi. Efek samping yang cukup merugikan film karena hal ini adalah momen-momen Skye dapat kehilangan cengkeramannya. Seperti saat adegan dia membunuh ibunya, yang di akhir diungkap ternyata itu hanya ‘ilusi’ dari Entity. Rasa penyesalan telah membunuh itu adds up ke penyesalan Skye atas sikapnya yang bikin ibunya susah (simbol dari membunuh) tapi saat menonton, kita akan terlepas dulu dari momen emosional tersebut. Singkatnya, momen-momen begitu membuat film sedikit terlalu gimmicky.
Film ini juga punya beberapa elemen cerita yang seperti dibuild up tapi ternyata bukan untuk menjadi penting di dalam kelanjutan cerita melainkan hanya sebagai penanda/simbol tertentu. Misalnya soal muntah yang tertinggal di lokasi kematian. Skye mendapat kutukan karena nyaksiin kematian korban sebelumnya (her ex-drug dealer) di sebuah apartemen. Demi melihat kematian yang barbar itu, Skye muntah, lalu dia kabur. Adegan berikutnya nunjukin Skye browsing internet soal apakah dalam muntah bisa diketahui DNA, karena dia takut polisi tau dia ada di TKP dan menyangka dia pembunuh – apalagi kalo pada nyangka dia kembali beli narkoba, padahal enggak. Ketakutan berurusan sama polisi itu seolah build up penting yang bakal ada ujungnya di kemudian waktu, tapi ternyata kan tidak. Karena cerita mainly berpusat pada psikologis Skye, bukan ke soal dia beneran dicurigai sebagai pembunuh. Soal kebiasaan Skye narik rambut atau minum air putih juga begitu. Adegan-adegan Skye melakukannya di-emphasized, hanya saja ternyata itu cuma salah satu pengabur realita. Karena ada adegan dokter mendiagnosa Skye dehidrasi padahal dia selalu banyak minum. And it was not clear, apakah dokternya not real atau tindakan dia banyak minum itu yang tidak real.
Yang jelas, film ini memang sengaja menjadi sangat chaos demi memvisualkan kekacauan di dalam personal Skye sendiri. Yang diperparah oleh kehadiran Entity, sebagai kutukan/setan yang feed off of trauma dan sisi gelap manusia.
Momen paling insecure seorang pengulas film itu adalah ketika muncul perasaan ulasan kita gak ada yang baca. Sebaliknya, momen paling sumringah waktu kita nulis ulasan film adalah ketika ada sekuel film yang melakukan perbaikan dari film pertamanya, dan kebetulan perbaikannya itu sesuai dengan yang kita ungkapkan di ulasan. Wuih, kesannya seolah tulisan kita dibaca langsung ahahaha.. padahal kan enggak juga xD Momen seperti itu yang kurasakan saat nonton film ini. Kekurangan di film pertamanya – kurang gali bobot psikologis – dibayar tuntas. Kali ini cerita film memuat karakter dan panggung yang begitu personal. Ceritanya memang benar-benar tentang psikis seseorang. Hantunya bukan lagi sekadar kutukan konyol. Film ini berhasil membuat konsep horornya jadi punya layer. Sembari juga mempertahankan elemen mainstream yang bikin sekuel ini bisa exist in the first place. Peningkatannya harusnya masih bisa lebih banyak, tapi untuk sekarang, I smile too nonton Smile 2.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SMILE 2.
That’s all we have for now.
Ending film ngasih kesan seluruh dunia bakal kena kutukan karena banyak banget fans di konser yang nyaksiin Skye tewas. Jika kalian dikasih kesempatan untuk bikin film ketiga, kira-kira gimana kalian ngehandle kelanjutan kutukan tersebut?
Silakan share pendapatnya di komen yaa
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL