HAPPIEST SEASON Review

“When you wait for the right time, you’ll never know when it’s already too late”
 

 
 
Natal, bagi yang merayakannya, adalah waktu yang membawa kebahagiaan. Bukan semata karena natal punya suasana yang meriah dengan segala hiasan rumah, lengkap oleh hadiah-hadiah. Melainkan lebih karena natal adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul bareng keluarga besar tercinta. Merayakan sesuatu yang diyakini bersama, sehingga perbedaan-perbedaan kecil di antara anggota bisa dilupakan setidaknya untuk beberapa hari.
Abby juga merencanakan natal untuk dijadikan sebagai momen yang istimewa. Dia ingin melamar perempuan bernama Harper yang sejak lama menjadi kekasihnya di hari natal. Karena natal tahun ini, Abby diundang untuk merayakannya bersama keluarga Harper. Namun apa yang bagi Abby tampak seperti waktu yang tepat, ternyata tidak demikian bagi Harper. Yang sama sekali belum buka suara apa-apa terhadap hubungan mereka berdua kepada keluarganya yang lagi sibuk dalam masa-masa kampanye politik. Sehingga Abby malah harus merayakan natal dengan berpura-pura sebagai sahabat Harper. Awalnya memang lucu melihat ayah dan ibu Harper memperlakukan Abby sebagai anak yatim-piatu yang malang, juga melihat Harper dengan saudari-saudarinya semacam saling berkompetisi untuk jadi ‘anak teladan’. Namun kelamaan Abby merasa semakin terkecilkan. Asmara masa lalu Harper pun mencuat ke permukaan, membuat Abby mulai meyakini bahwa ini mungkin adalah saat yang tepat baginya untuk meninggalkan Harper.

Abby harus masuk ke closet sekali lagi

 
Happiest Season boleh jadi tercetak dalam formula rom-com yang udah biasa. Kita dapat dengan jelas arah plotpoin-plotpoinnya. Bukan berarti suatu film yang ngikut formula itu jelek. Karena ini seringkali adalah masalah bagaimana sutradara meniupkan ruh ke dalam formula-formula cerita tersebut. Dan Happiest Season menjadi lebih spesial. Film ini berbeda, bukan hanya karena ini adalah rom-com tentang pasangan lesbian. Melainkan karena film ini adalah kisah cinta pasangan lesbian, sekaligus film natal; dua hal yang membuat eksistensi film ini berjarak buat aku dan sebagian besar penonton, namun tak sekalipun jarak tersebut terasa menjauhkan kita terhadap ceritanya. Jika natal adalah suatu occasion yang mengundang semua orang merasakan keceriaan dan kebahagiaannya, maka sutradara Clea DuVall telah membuat Happiest Season serupa dengan spirit natal tersebut. Karena film ini adalah kisah LGBT yang mengundang semua orang untuk masuk, merasakan kehangatan dan hati yang tersimpan di balik lucu-lucuan.
Cerita tentang karakter LGBT memang selalu didesain untuk memberikan dorongan untuk sebuah equality. Empowering penonton yang relate untuk menjadi berani membuka diri, sementara pihak sekitar untuk menerima mereka tanpa membedakan. Namun seringnya film-film itu jadi malah tampil terlalu depressing. Penggambarannya dibuat terlalu berat, hanya supaya kita bisa lebih respek terhadap perjuangan yang karakternya lalui – untuk diakui, untuk tidak dikerdilkan. Dari yang sudah-sudah, kebanyakan film tentang hal ini memang jadi tampak terlalu sibuk dengan mengibarkan panji-panji agenda mereka, sehingga meskipun kita dapat mengerti bahwa perasaan dan perjuangan mereka itu beneran nyata, karakter-karakternya malah jadi tampak agak minta dikasihani. Bahwa yang mayoritas-lah yang harus mengerti dan ‘baik’ kepada mereka. Untuk come-out, misalnya, biasanya cerita akan menitikberatkan kepada lingkungan-sosial; bahwa yang sering ditilik adalah si protagonis susah untuk come-out karena lingkungan yang tidak mendukung.
Alih-alih memperkuat suasana yang mengukung dan menyibukkan diri membuat hal yang dilalui karakter LGBT sebagai suatu hal depressing yang spesial, DuVall membuat Happiest Season sebagai rom-com normal. Ceritanya ringan seperti sinetron, banyak kejadian lucu ala sinetron. DuVall membuat kisah LGBT ini menyenangkan. Elemen depressing, emosi yang manusiawi, dan pergulatan-diri yang real bukannya tidak hadir di dalam film ini. Mereka ada, sebagai identitas latar dan konflik karakter yang kuat menguar. Hanya saja, penceritaan film tidak menampilkan elemen-elemen itu sebagai ‘agenda’. Dan ini sesungguhnya tidaklah mudah; membuat film yang bermuatan sesuatu yang real dan sangat emosional menjadi tidak berat, malah cenderung menyenangkan, jelas bukanlah suatu desain yang mampu diciptakan oleh semua orang. Di sinilah letak keberhasilan DuVall dalam Happiest Season. Membuat film ini fun, layaknya nonton sinetron, tapi tidak sedikitpun kepentingannya terkurangi. Semua orang, literally semua orang, bisa terangkul menonton film ini dan gak akan merasa sedih saat berakhir, sembari tetap mengantongi pesan yang digaungkan oleh cerita.
Karakter-karakter film ini terasa benar sebagai subjek, tanpa ada perasaan mereka seperti minta dikasihani. Mereka tidak terasa seperti menuding ke luar. Memang, pihak keluarga di film jadi alasan untuk Harper gak berani mengakui dirinya pacaran sama Abby, dan gak tertarik sama cowok mantan pacarnya di SMA. Keluarga Harper ingin membangun citra yang baik, tidak mau menarik perhatian publik ke berbagai hal, mereka ingin terlihat perfect sebagai keluarga. Latar keluarga inilah yang membentuk Harper, dan dua saudarinya. Bagi Abby, however, ini tetap adalah persoalan perlakuan Harper terhadapnya. Konflik emosional itu tetap berpijak pada dua karakter yang saling cinta, tetapi ada satu yang jadi tidak berani menunjukkan hal tersebut. Pelajaran atau gagasan penting cerita tetap dipanggul oleh dua karakter ini; Abby dan Harper. Pelajaran berupa untuk tidak terlalu lama menunggu sementara juga untuk tidak terlalu memaksakan, yang terangkum lewat monolog yang empowering dari tokoh sahabat Abby.

Memaksakan sesuatu bisa bikin runyam, tapi sebaliknya tidak akan ada yang tahu kapan eksaknya ‘waktu yang tepat’. Kita hanya bisa menyadari kita tidak bisa terlalu lama untuk menunggu sesuatu karena di saat bersamaan orang lain juga tidak akan mampu berlama-lama menunggu kita. Inilah yang membuat pilihan itu menjadi susah, dan tindakan kita menjadi begitu berarti. Film Happiest Season memperlihatkan dorongan itu sebenarnya berasal dari dalam. Karena ketakutan kita terhadap sesuatu di luar seharusnya lebih kecil daripada cinta kepada orang-orang yang ada di dalam.

 
Cerita film ini memang tidak akan bekerja tanpa chemistry di antara para karakter. Terutama Abby dan Harper. Kristen Stewart dan Mackenzie Davis punya sekarung pesona dan chemistry sehingga kita sudah dibuat peduli terhadap kebersamaan mereka semenjak keduanya manjat atap rumah orang di awal film. Sehingga ketika mereka harus ‘pisah ranjang’ saat berpura-pura cuma teman, kita bisa merasakan itu sebagai halangan yang berat. Setidaknya bagi Abby. Karena kemudian, Harper yang diperankan Davis akan mulai menapaki karakter yang mendua – kadang dia akan terlihat nyebelin, dan kadang kita berusaha memakluminya. Di sinilah tantangan peran yang harus dilewati – dan terbukti sukses – oleh Davis, dan juga Stewart. Naskah, sayangnya, jadi sedikit goyah saat dinamika itu mulai melaju. Abby yang semakin terlihat unstable karena semakin kesepian – berkat adegan-adegan konyol yang ikut memojokkan dan memperlebar jaraknya dengan Harper, sementara Harper yang semakin sering juga terlihat apatis meskipun kita mengerti konflik dirinya juga emosional; naskah mulai tampak berpindah-pindah sudut pandang. Sehingga seperti ingin mengubah Harper sebagai tokoh utama di pertengahan akhir cerita.

Aku jadi pengen lihat Kristen Stewart dan Aubrey Plaza jadi lead di action-comedy

 
 
Semua permainan peran di sini tampak natural, meskipun karakter-karakternya agak over-the-top. Tokoh sahabat si Abby tadi misalnya, dia cukup bijak, tapi sebagian besar screen timenya digunakan untuk memperlihatkan dia comically gak bisa ngurusin ikan. Ataupun soal dia punya pelacak yang bisa membuatnya tahu seseorang ada di mana – ini jadi device naskah untuk memungkinkan para karakter bisa saling ketemu tanpa memperpanjang waktu. Tadi aku sempat menyinggung film ini mirip sinetron. Dan hal tersebut boleh jadi sekaligus juga sebagai pembawa kejatuhan nilai film ini buat kita. Karena elemen-elemen sinetron dalam narasi memang kerap seperti membuat keseluruhan naskah kayak ada rongga-rongga yang memperlemah fondasinya. Akan ada banyak klise kayak karakter kebetulan bertemu di jalan atau di kafe, ada hal-hal komikal seperti ribut di depan umum. Yang semua itu sebagian besar tampak seperti untuk memudahkan cerita. Hal-hal begini mestinya bisa dikurangi, karena fun dan menghibur itu sudah tercapai lewat karakter-karakter yang menambah banyak kepada warna-warni cerita.
 
 
 
 
 
Meskipun mengangkat topik yang cukup berat dan highly relevan dengan kehidupan sosial sekarang, film ini berani tampil apa adanya. Dia mengutamakan untuk tampil ceria sehingga bisa merangkul banyak orang. Sehingga jadi unik, dalam dua sudut pandang; film LGBT yang fun dan gak depressing, atau film rom-com yang penuh hati dan punya isi yang berbeda. Sehingga kita bisa bersenang-senang menonton sembari bisa tetap aware sama permasalahan yang ada. Dihidupi oleh karakter-karakter menghibur, yang dimainkan oleh jajaran cast yang sangat fleksibel antara mainin komedi dengan drama. Beberapa adegan terlampau receh, dan mestinya bisa lebih baik lagi dituliskan. Menyatukan depressing dengan fun, memang tidak gampang, tapi pencapaian film ini sudah lebih dari lumayan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAPPIEST SEASON.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang keluarga yang menanamkan semangat kompetitif pada anak-anaknya, seperti keluarga Harper? Seperti apa kiranya ‘keluarga yang perfect’ dalam pandangan kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH) Review

“The historical truth is composed of dead silence”
 

 
 
Diam terkadang bukan pertanda kuat, atau tegar. Melainkan, diam sederhananya bisa jadi adalah saat kita sedang ditekan. Dibungkam. Pemuda desa bernama Siman (Gunawan Maryanto totally deserved this year’s Citra) terpaksa harus mengistirahatkan kata-kata untuk selamanya ketika lidahnya dipotong. Siman yang penari itu telah melihat sesuatu yang tak mestinya ia ketahui. Ia menyaksikan kebohongan paling mutakhir dalam sejarah umat manusia. Yang Siman tak-sengaja lihat saat itu adalah syuting pendaratan ke bulan yang dilakukan oleh kru Amerika, di tanah Bantul Yogyakarta. Peristiwa itu mengubah hidup Siman selamanya. Lebih dari trauma, Siman justru tampak seperti bersikeras untuk tetap mengomunikasikan apa yang ia lihat. Sampai bertahun-tahun setelahnya, Siman bergerak lambat seperti astronot berjalan di luar angkasa. Ia juga membangun rumah dan kostum astronot, untuk ditunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya. Yang sayangnya, malah membuat Siman dicap sebagai ‘orang gila’.
Luar biasa memang imajinasi – dan celetukan kreatif – sutradara Yosep Anggi Noen ini. Dia membawa teori konspirasi yang paling santer hiruk-pikuknya di dunia itu ke Indonesia. Tentu saja karena Yosep Anggi Noen sendiri punya sesuatu yang ingin dia bicarakan terkait Indonesia. Tebak apa yang terjadi di negara kita sekitaran tahun pendaratan manusia di bulan? Ya, peristiwa pemberontakan PKI. Yang berekor pembantaian di tahun 1966. Di tahun itulah Siman dalam cerita ini hidup. Dua ‘fictions’ itulah yang diparalelkan oleh Anggi Noen dalam film panjang ketiganya ini. Dua peristiwa sejarah yang masih terus diperbedatkan benar-atau-tidak, nyata-atau-rekayasa. Selain menyaksikan hoax pendaratan bulan, Siman juga berada di tengah-tengah peristiwa penculikan dan pembantaian kerabatnya yang dicurigai simpatisan PKI. Siman dalam kejadian yang merenggut lidahnya itu adalah saksi, juga sekalian sebagai korban. Nah, sekarang coba, siapa pihak yang jadi saksi – sekaligus korban – dalam peristiwa pembantaian tahun 1966 itu?

Kalo Siman bisa ngomong (oh yeah) Sayang mereka tak bisa ngomong

 
 
Begitulah kira-kira Yosep Anggi Noen memposisikan cerita ini. Memahami posisi tersebut penting bagi kita. Supaya kita dapat, setidaknya, mengenali konteks atau gambar besar film. Karena, olala, The Science of Fictions (judul bahasa ibunya adalah Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah) adalah tontonan yang dapat membuat kita bingung, dan susah untuk dicerna. Film-film seperti ini sebenarnya jangan keburu dianggap ‘angker’. Karena seringkali daripada tidak, film-film ini kuat di gagasan. Mereka boleh saja terdengar sunyi dan tak banyak aksi atau kejadian yang ditampilkan. Tapi bukan berarti tak banyak yang sedang berusaha untuk disampaikan. Persis seperti si Siman itu sendiri. Meski tak bersuara, karakter ini sesungguhnya bicara banyak soal gagasan yang dilontarkan oleh pembuatnya kepada kita.
The Science of Fictions sendiri hadir seperti dalam dua bagian. Bagian pertama sekitar tiga puluh menitan cerita, dibingkai dalam rasio sempit dan visual hitam putih. Memperlihatkan sekuen adegan di tahun 1966. Bukan hanya untuk memberikan kesan ‘ini cerita periode lampau’, tapi juga untuk memberikan kesan opresi dan tekanan yang menguar kuat sekali dalam setiap shot. Bagian kedua mengambil waktu di masa sekarang. Siman hidup di dunia yang berwarna, yang memberikannya kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak di luar alih-alih ngumpet stres di dalam kamar. Siman juga banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, yang not exactly baru karena sebagian besar mereka diperankan oleh aktor-aktor yang sama dengan pemeran tokoh-tokoh yang ada pada cerita bagian pertama. Apakah mereka sebenarnya adalah karakter di cerita pertama yang ternyata masih hidup setelah diculik? Ini menarik karena mereka mainin karakter yang berbeda, Siman tidak mengenali mereka. Penculikan dan pembantaian itu – as far as this movie views – benar terjadi. Alasan menggunakan pemeran yang sama untuk beberapa karakter sepertinya adalah untuk menunjukkan kesalingberhubungan.
Siman yang lidahnya dipotong karena peristiwa pendaratan bulan diparalelkan dengan keturunan atau keluarga terduga-PKI, karena berada di posisi yang sama. Sebagai saksi sekaligus sebagai korban. Sebagai pihak yang gak bisa membicarakan masalah yang mereka lihat atau alami. Pihak-pihak yang terbungkam. Film sepertinya ingin menyimbolkan para keturunan ini lewat karakter-karakter di masa kini yang diperankan dengan oleh aktor yang sudah memerankan karakter lain di masa lalu. Film juga menggunakan lalat untuk memperkuat ini. Menjelang akhir film kita melihat beberapa tokoh di-close up, dengan lalat di sekitar mereka. Termasuk juga Siman yang duduk dengan beberapa lalat berputar-putar di atas kepalanya. Lalat itu sepertinya adalah koneksi di antara mereka. Sebuah kesamaan. Yang menegaskan keparalelan yang ditarik oleh film tadi. Lalat itu juga berfungsi sebagai penanda sesuatu yang sudah lama tersimpan, sehingga busuk dan berbau. Dan kita tahu Siman sudah selama itu menyimpan kebenaran, hanya karena dia sudah dalam keadaan gak bisa untuk membeberkannya.
Membuat kita melihat dari sudut pandang Siman, menjadikan ini lebih emosional. Lebih dramatis, karena peristiwa yang menimpa Siman dapat kita tahu dengan pasti kebenarannya. Sehingga ketika kita melihat Siman yang bergerak pelan, mau itu sambil mengangkut barang atau berjalan mengantar map surat, diolok-olok oleh orang-orang di sekitarnya, kita menangkap itu sebagai sebuah komedi yang pahit. Kita bisa merasakan determinasinya. Untuk itu, aku semakin salut dengan Gunawan Maryanto yang memerankan, karena Siman ini sesungguhnya punya tuntutan fisik yang luar biasa. Dia melakukan semua hal; dia akan mengangkat asesoris besi, ataupun memanjat bak mobil, dengan superpelan. Ini nyatanya berat sekali untuk dilakukan. Tapi akting Gunawan tetap konsisten. Sesekali, pada beberapa adegan, kita mungkin akan terkikik juga melihat Siman, tapi tak sekalipun kita terlepas dari karakternya. Kita dengan efektif dibuat sudah terlanjur peduli dengan karakter ini. Ketika dia minum dengan gerakan superlambat saja, kita akan menatapnya. Menunggunya. Karena kita ingin menyelami apa yang ia rasakan.

Sutradara seperti ingin mengajak orang-orang untuk seperti Siman. Untuk bersikap: jika tahu pasti akan suatu kebenaran, you might as well say it. Ya, memang tidak mudah, apalagi jika kita adalah orang kecil. Akan selalu ada pembungkaman. Akan selalu ada fabrikasi cerita oleh orang yang lebih berkuasa. Siman, tanpa lidah, punya cara sendiri untuk bicara. Kita seharusnya juga bisa; lebih baik daripada Siman.

 
 
Tindakan Siman membangun rumah seperti roket dari perkakas mikrowave dan rangka mesin cuci, aksi Siman memesan baju astronot ala kadar, adalah penguat terhadap komunikasi yang berusaha ia lakukan. Aksi-aksi tersebut boleh jadi adalah teriakannya untuk menyadarkan orang-orang bahwa orang semiskin atau ‘sesederhana’ dirinya saja bisa kok untuk bikin sesuatu yang mirip roket. Siman sesekali nunjukin dia sebenarnya bisa bergerak normal, terutama dalam keadaan emosi yang sedang tinggi, entah itu saat marah atau lagi birahi. Yang lebih lanjut menyampaikan kepada kita bahwa sesungguhnya meskipun mulut dibungkam, sebenarnya kita masih bisa bertindak. Masalahnya adalah bagaimana orang-orang akan menangkapnya. Value Siman di mata orang-orang tetaplah hanya sebagai badut penghibur, and it his worst dia adalah seorang maniak. Lewat ini film dengan tepat menggambarkan kondisi bahwa memang tidak semudah itu untuk berkata.

It’s his/their words againts, who?

 
 
Tidak selamanya film ini sepi dialog. Karakter-karakter sekitar Siman akan sering bicara, kadang untuk penyambung lidah sang protagonis, namun sering juga sebagai eksposisi. Untungnya, kata-kata di film ini sama engaging-nya dengan visual yang ditampilkan. Film ini menyusun pengadeganan dengan banyak lapisan kedalaman gambar dalam setiap shot. Bayang-bayang digunakan untuk menciptakan lebih banyak lagi depth pada layar. Sehingga masing-masing frame film ini seperti sebuah jendela yang membingkai begitu dalam. Bahkan ketika film sudah ‘berwarna’ bayang-bayang terus difungsikan untuk menghasilkan depth yang membuat gambar-gambar menjadi semakin hidup, terus aktif. Sementara di background, telingaku yang biasanya gak merhatikan musik, tercuri juga perhatiannya. Oleh penggunaan musik yang kayak campuran musik film-film luar angkasa dengan musik film PKI. Turut membangun nuansa eerie yang spesifik sebagai identitas film yang bermain di realita dan fantasi seperti ini.
Dengan visi yang kuat, film ini sendirinya jadi berada dalam posisi yang cukup lucu. Cerita film ini bekerja dengan landasan berani mengungkap kebenaran, tapi memparalelkan suatu fiksi yang bisa dipastikan sendiri kebenarannya dengan fakta yang masih kabur terlihat agak seperti memaksakan argumen. Alur film ini butuh untuk kita percaya akan kebenaran atas palsunya pendaratan di bulan (ini fakta yang direka oleh cerita). Di lain pihak, untuk topik yang paralel dengan cerita itu, jadinya seperti memaksa untuk setiap penonton percaya pada kebenaran sesuai gagasannya. Film harusnya bisa membuka lebih banyak ruang untuk ini. Bagian tengah menjelang akhir yang agak nge-drag – karena kita mulai kehilangan arah mau dibawa ke mana cerita – mestinya bisa difungsikan untuk sebagai ruang-ruang tersebut. Menjadikan film jadi bahan obrolan yang lebih padet.

Seorang wanita dalam film ini menuduh Siman berpura-pura bisu karena Siman mampu mendengar. Sementara kita tahu Siman memang tidak bisa bicara karena lidahnya dipotong. Tapi bagaimana dengan kita? Kita toh bisa bicara. Kita juga tidak tuli. Kita mendengar hiruk pikuk kisah-kisah itu. Teknologi komunikasi pun sudah semakin maju. Apakah kita akan tetap bungkam terhadapnya?

 
 
 
Hiruk pikuk kebohongan yang tersaji dalam film ini bakal membuat kita berefleksi juga dengan keadaan sekarang. ‘Skenario’ di mana-mana. Lewat visual tight dan pengadeganan yang aneh, film menawarkan gagasan dengan cara yang menarik. Obrolan yang boleh jadi bakal berat, jadi seperti sedikit ringan – tanpa mengurangi intensitasnya – oleh film ini. Jika film Pemberontakan G30S/PKI dulu dikecam sebagai propaganda kebencian/pengantagonisan, maka film ini difungsikan sebagai propaganda untuk mengambil langkah yang heroik, sekuat tenaga, demi kebenaran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE SCIENCE OF FICTIONS (HIRUK-PIKUK SI AL-KISAH)

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini?
Sebagai kontras dari karakter Siman, film ini menyiapkan karakter yang sungguh sureal. Yang seperti berjalan dalam dimensinya sendiri. Karakter seorang jenderal, atau seorang pemimpin, yang sudah ada (dan terus nongol sesekali) sejak syuting pendaratan bulan di awal. Memegang kamera. Seolah seorang sutradara yang menciptakan suatu kenyataan. Ada konflik pada karakter ini, ketika dia menyebut lantang untuk tidak mau berpartisipasi dalam kebohogan besar. Namun setelah-setelahnya, kita kerap melihat dia dengan kamera. Merekam dirinya mengendarai mobil. Merekam dirinya merokok. Tapi tidak ada kamera di mana-mana saat dia menyimpan reel video hasil syuting pendaratan bulan. Tindakan merekam diri itu juga sepertinya dikontraskan lebih lanjut dengan kehadiran karakternya Lukman Sardi (eks-TKI di Jepang) yang ‘kedapatan’ sering merekam sesuatu lewat kamera hapenya. Sampai titik ulasan ini ditulis, aku belum yakin tokoh jenderal/pemimpin besar ini merepresentasikan apa, apakah komentar sutradara terhadap presiden saat itukah?
Apakah menurut kalian film ini lebih pantas untuk menjadi wakil Indonesia ke Oscar tahun depan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BLACK BEAR Review

“Writing is a process where you’re feelings flows as ink being shaped as words”
 

 
 
Bagian paling sulit dalam menulis itu adalah permulaannya. Saat-saat kita menatap kertas kosong. Semakin dipelototin, maka semakin bingunglah kita mau nulis apa. Semua orang yang pernah menulis pasti pernah merasakannya. Itu terjadi sebenarnya bukan karena kita bego atau semata karena lagi gak ada ide. Melainkan bisa jadi karena kita sebagai penulislah yang belum siap secara mental. Karena sesungguhnya menulis itu adalah proses bicara dengan diri sendiri – yang kita lakukan dengan membuka pintu-pintu di dalam diri. Masing-masing kita punya pintu tersendiri yang sulit dibuka. Dan hanya benar-benar akan terbuka jika kita sudah siap untuk meng-embrace apa yang ada di dalam sana. Mungkin sesuatu yang ingin kita lupakan, atau yang ingin kita ubah.
Aku bukannya mau ngajarin nulis. Wong aku nulis aja masih cupu kok. Masih salah-salah. Buktinya aku mana berani kalo disuruh nulis buku untuk pemerintah. Yang aku bicarakan ini tentu saja adalah soal film. Black Bear, karya Lawrence Michael Levine, menawarkan sudut pandang seorang penulis/sutradara yang lagi kena writer’s block. Bengong mau nulis apa. Akhirnya si penulis ini – namanya Allison (peran yang totally owned by Aubrey Plaza) – menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu. Sesuatu yang terbaca sebagai tentang bertemu beruang di jalan. Kita langsung menyelami yang ia tuliskan. Dan itu adalah pengalaman yang membingungkan, sekaligus memilukan. Karena Allison – menguatkan diri sekuat-kuatnya – menulis dari pengalaman paling emosional yang terjadi di kehidupan percintaan dan karirnya.

Masih untung dia gak nulisinnya di kertas buku diari Tom Riddle

 
Ada alasan kenapa aku menceritakan paragraf sinopsis barusan dengan sangat samar. Karena aku ingin ngasih batasan spoiler; batasan untuk mana yang harus kalian ketahui sebelum menonton, dan mana yang untuk sesudah menonton film. Paragraf ini adalah batasan yang dimaksud. Jika kalian belum nonton, bacalah hanya paragraf ini dan dua paragraf di atas saja. Sekadar mengetahui tentang apa sebenarnya film ini. Kita enggak pantas untuk mengetahui dengan lengkap tanpa nonton, karena Black Bear ini adalah jenis film yang ketika kita ingin membicarakannya, itu berarti kita harus membicarakan ‘semuanya’. Ini adalah jenis film yang semua adegannya ada maksud dan tujuan. Dirancang sedemikian rupa sehingga urutan adegan tersebut diceritakan saja, punya makna.
Secara konsep dan bangunan cerita, Black Bear mirip dengan Mulholland Drive (2001), atau kalo mau yang lebih recent, mirip ama film Netflix I’m Thinking of Ending Things (2020). Ceritanya seperti terbagi jadi dua buah kisah. Meskipun pemainnya itu-itu juga, tapi antara cerita di awal dengan di akhir, mereka memainkan tokoh yang berbeda-beda. Cerita bagian pertama Black Bear mengisahkan Allison menyewa kamar di sebuah rumah di tengah hutan. Rumah tersebut milik Gabe dan pacarnya, Blair yang lagi hamil.. Berawal dari basa-basi kenalan, interaksi ketiga karakter ini menjadi intens saat Gabe dan Blair mulai berdebat sampai Allison terbawa-bawa. Cerita ini berakhir dengan peristiwa yang naas. Kemudian, setelah adegan transisi yang sama dengan adegan opening dan adegan penutup (Allison duduk di dermaga kayu, menatap danau dengan tampang sedih), kita berpindah ke cerita kedua. Rumah tengah hutan itu kini berpenghuni lebih banyak orang. Bukan lagi penginapan airbnb, melainkan sebuah tempat syuting. Allison adalah bintang film di sini. Dan syuting film yang ia mainkan nanti cerita mirip sekali sama adegan perdebatan yang kita lihat pada cerita bagian pertama. Hanya rolenya yang berbeda – Allison bertukar posisi dengan Blair, dan Gabe kini jadi sutradara. Cerita kedua ini seperti berakhir dengan emotionally mengenaskan bagi Allison, karena kali ini dia yang diselingkuhin, tapi ada sesuatu yang menguatkannya di sini.
Saat kredit penutup bergulir, giliran kita penonton yang akan bengong. Apa maksudnya itu tadi? Jadi Allison dan Gabe dan Blair itu sebenarnya gimana? Mana yang nyata mana yang tidak? Apa pula maksudnya ada beruang itu? Mencernanya bulat-bulat hanya akan membuat film ini tampak sebagai dua cerita yang berhubungan tapi gak saling nyambung; alias film ini jadi SANGAT MEMBINGUNGKAN. Tapi bingung film ini adalah bingung yang mengasyikkan. Bingung yang aku suka. Karena kita tahu kebingungan yang dihadirkan ini berkenaan dengan sisi personal seorang manusia. Berakar ke karakter. Ke perasaan yang ia pendam. Sesuatu yang bisa kita relasikan, yang bisa kita ‘pegang’. Sehingga kita bisa peduli. Bukan bingung karena aturan-aturan konsep sci-fi atau semacamnya yang gak ada weight apa-apa ke karakter, selain buat nunjukin kalo pembuatnya ‘cerdas’ (yea I’m talking about you, Tenet) Black Bear punya pondasi berupa tokoh utama yang karakternya benar-benar digali. Kita bisa merasakan fokusnya tetap pada apa yang dirasakan oleh Allison. Adalah dunia si cewek ini yang dijadikan keseluruhan film. Jika ini puzzle, maka kepingan yang kita susun itu akan membentuk gambar Allison. Kepingan-kepingan puzzle itu kita dapat dari dialog, dan terutama oleh detil visual yang dihadirkan oleh film.
Jadi Black Bear ini bangunan ceritanya berupa film di dalam film, dan dua lapisan itu dibungkus lagi oleh lapisan Allison yang lagi berjuang dengan proses kreatif menulis yang ia lakukan. Allison menggali ke dalam dirinya dan menjadikan suatu peristiwa dalam hidup sebagai materi untuk ceritanya. Adegan Allison di dermaga yang muncul tiga kali adalah kunci utama; adegan-adegan itu layaknya pinggiran pada puzzle film ini. Yang harus diperhatikan adalah danaunya. Pada opening – dan penutup – danau di adegan ini berkabut banget, tidak dapat terlihat apa yang ada di baliknya. Hal tersebut bisa kita artikan sebagai simbol dari state of mind Allison – dia belum tau pasti mau menulis apa. Dia hanya berusaha mengingat. Detil penentu pada dua adegan itu adalah closeup yang menunjukkan arah pandangan mata Allison. Dia selalu melirik ke kiri dan kiri bawah. Secara teori, gaze yang mengarah ke kiri menandakan seseorang sedang ‘bicara dengan dirinya sendiri’ alias sedang mengingat perasaan yang pernah dialami. Setelah adegan ini, kita melihat Allison duduk menulis dan masuklah kita ke cerita bagian pertama; Allison jadi tamu di penginapan Gabe dan Blair. Jadi bagian ini adalah cerita karangan Allison yang ia adaptasi dari peristiwa emosional tertentu yang masih ia rasakan hingga sekarang. Ketika adegan di dermaga itu muncul lagi pada pertengahan cerita, suasananya jauh berbeda. Danaunya jernih, mata Allison pun menatap ke depan; ke kamera kru yang mengambil gambarnya dari perahu. Ini menandakan bahwa adegan tersebut somewhat asli, alias paling tidak Allison sudah ‘pasti’ bagaimana kejadiannya akan berlangsung. Tapi tetep kita harus ingat bahwa ini adalah sudut pandang Allison, jadi bagian ini meskipun peristiwa kehidupan asli Allison, ini bukan kejadian asli alias bukan adegan flashback – kita tidak mundur ke waktu yang lalu. Melainkan kejadian lampau yang dimainkan ulang di benak Allison. Ingatan yang sudah ia tempa. Seperti ketika Slughorn di Harry Potter memodifikasi ingatan yang ia berikan kepada Potter, mengubahnya supaya tidak kelihatan dia-lah yang ngajarin Horcrux ke Tom Riddle.
Dalam cerita pertama, Allison memanifestasikan dirinya sebagai fun dan cool. Sutradara dan penulis cewek yang mandiri, yang datang untuk mencari ide. Sedangkan dalam cerita kedua, dalam peristiwa asli, Allison sedang stress karena suaminya, si sutradara film yang ia bintangi, lebih ramah kepada aktris muda, alias si Blair. Allison cemburu. Sehingga mempengaruhi penampilan aktingnya. Dia bertengkar dengan suami. Itulah kejadian yang sebenarnya; memori menyedihkan yang disimpan oleh Allison. Ia meninggalkan suami yang selingkuh dan sekarang ia berjuang sebagai sutradara karena gak lagi dipakai sebagai aktor. Nah, peristiwa itu diadaptasi oleh Allison. Dia membalikkan keadaan, dan menjadikan dirinya ‘jagoan’. Pada cerita yang pertama, yang bertengkar adalah Gabe dan Blair over conversations soal feminis. Blair lah yang stress, Blairlah yang diselingkuhi. Beberapa perkataan Allison pada cerita pertama, kita lihat buktinya di cerita kedua. Begitupun dengan hal-hal yang di-alter Allison di cerita pertama, kita lihat kebenarannya di cerita kedua. Seperti tentang Allison yang udah gak jadi artis karena attitudenya menyulitkan kru, dan tentang suami yang sebenarnya ada tapi ia anggap tak ada.
Nah di sinilah makna urutan bercerita itu ambil bagian. Jika film berjalan linear, dimulai dari syuting hingga ke berantem dan kini Allison mengarang cerita baru yang berusaha untuk lebih membahagiakan bagi dirinya maka feeling dan impact peristiwa itu gak akan tersampaikan kuat kepada kita. Untuk cerita seorang penulis yang harus dealing with her past, pergolakan maksimal memang harus dilakukan dengan melihat dulu seperti apa dia memandang masa lalunya itu. Dalam film ini kita melihat meskipun Allison sudah berani membuka pintu itu, berani untuk mengingatnya, tapi dia belum berani untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.
menatap ulasan yang panjang… BEAR WITH IT!!

 
Daaan, masuklah peran si beruang hitam. Hewan beruang dalam literasi melambangkan keberanian. Dalam film ini, beruang itu basically bertujuan sama. Ia sebagai simbol yang menghantarkan kepada keberanian. Beruang di sini tepatnya adalah kenyataan. Dalam cerita pertama, Allison menghindar sampai kecelakaan saat beruang itu muncul di jalan. Effectively menghentikan karangannya – menghentikan denial yang ia lakukan. Beruang di cerita pertama muncul seiring rasa bersalah timbul di karakter Allison yang ia tulis. Kenapa bersalah? Karena yang ia tuliskan adalah Allison menyebabkan Gabe dan Blair bertengkar. Implikasi ceritanya adalah Allison itu sengaja bersikap ‘hard to read’ demi menggali sesuatu yang bisa ia tulis dari hubungan dan toxicnya relasi Blair dan Gabe. Maka si beruang muncul, ngingetin that’s a lie. Bawah sadar Allison lalu terpaksa memainkan ulang peristiwa yang sebenarnya (cerita yang kedua). Tapi nyatanya peristiwa yang kita lihat itu masih difabrikasi oleh Allison. Ingat, konteksnya adalah semua ini sudut pandang Allison, sehingga tidak mungkin kita bisa melihat apa yang tidak Allison lihat langsung. Tidak mungkin Allison bisa tahu bahwa Gabe si sutradara dan Blair pura-pura mesra supaya akting Allison tampak natural. Ini hanya alasan yang Allison tampilkan kepada kita, karena di titik itu dia belum menerima bahwa dia diselingkuhin oleh suaminya. Dia make-believe itu semua; Dia hanya ditipu, maka di cerita ia bikin Allison yang ‘menipu’ – semua orang gak kompeten, maka di cerita ia bikin Allison adalah sutradara dan writer yang berkepribadian cemerlang. Di menjelang akhir, beruang itu lantas muncul lagi, ngingetin that’s a lie dengan hadir barengan suaminya selingkuh. Namun di titik itu, Allison sudah banyak belajar dari masa lalunya tadi. Hingga dia sekarang berani untuk menatap beruang, malah mendekatinya. Dan cerita kedua itu pun berakhir. Ditutup dengan adegan dermaga berkabut, yang langsung disambung Allison menulis dan matanya menatap kita. Menatap ke depan. Menandakan dia sudah siap menuliskan kisah romansa dan karirnya dengan sebenar-benarnya.

Seperti Mulholland Drive dan I’m Thinking of Ending Things, film Black Bear ini juga sesungguhnya adalah tentang orang yang mereka-reka ulang masa buruk dalam hidup mereka. Kedua film itu bisa dibilang berakhir tragis, tapi Black Bear ditutup dengan nada berani dan semangat yang menantang. Karena berbeda dengan tokoh di dua film itu, Allison di sini melakukan sebuah proses healing, yakni menulis. Dia menghadapi masa lalunya head on. Dan dia jadi pribadi yang lebih baik. Menulis, bisa membuat kita jadi manusia yang lebih baik, particularly dengan membuat kita jadi berani memahami diri sendiri.

 
 
 
Semoga panjangnya ulasan ini tidak membuat gentar kalian-kalian yang ngintip ke sini sebelum menonton. Karena memang film ini sungguh sayang untuk dilewatkan. Eksekusinya tidak pernah membosankan berkat permainan akting yang emosional dan sangat manusiawi dari para karakter. Dialog-dialog mereka juga membuka ruang diskusi dan menarik untuk disimak. Sehingga sekalipun kita belum bisa mencerna maksud filmnya, tapi setidaknya kejadian demi kejadian masih bisa diikuti dan bergizi ditonton sebagai drama antar-manusia. Enggak sekalipun film ini terasa cheesy maupun pretentious. Ia juga tidak tertarik untuk mengecoh dengan twist. Cerita bagian dua dapat juga menarik bagi yang pengen tahu proses syuting, karena ngasih kita gambaran tentang bagaimana sebuah adegan disyut, sekaligus kendala-kendala yang mungkin saja terjadi.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACK BEAR.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya interpretasi berbeda terhadap film ini? Atau apakah kalian punya pengalaman healing sendiri berkaitan dengan proses menulis?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FREAKY Review

“It’s what’s inside that counts”
 

 
 
Ada trademark baru yang sepertinya sedang dibangun oleh sutradara Christopher Landon. Yakni membangun narasi horor dari konsep unik pada film-film komedi tahun 80-90an. Landon sudah melakukannya – dengan cukup sukses pula! – pada franchise Happy Death Day yang muncul pertama tahun 2017; di mana ia merombak konsep time-loop pada Groundhog Day (1993) dan menjadikannya slasher komedi whodunit ala Scream. Dan di tahun yang aneh dan mengerikan ini, Landon mencoba kembali menyampaikan perpanjangan surat cintanya terhadap komedi dan horor, dengan membuat Freaky. Film yang ceritanya udah kayak gabungan dari elemen film Friday the 13th dan Freaky Friday (1976). Landon dalam film terbarunya ini membuat cerita bertukar-tubuh yang kocak dengan bumbu slasher. Menghasilkan sebuah tayangan menghibur dan lumayan aktraktif.
Yang bertukar-tubuh dalam cerita ini bukan ibu dan anak. Melainkan seorang cewek remaja bernama Millie (Kathryn Newton mengambil pilihan yang tepat, dengan enggak jadi menolak tawaran main di sini) dengan seorang serial killer yang udah jadi urban legend di kota; The Butcher (sekali ayun, Vince Vaughn dengan sukses menebas peran komedi dan peran brutal). Enggak dijelasin kenapa si Bucther sengaja memilih Millie untuk bertukar tubuh atau semua itu hanya ketidaksengajaan. Namun yang jelas Millie hanya punya waktu dua-puluh-empat jam untuk melacak Butcher yang bergerilya membunuh murid-murid di sekolah, mencuri pisau ajaib yang disita polisi, dan bertukar tubuh kembali sebelum pertukaran mereka menjadi “permanente”

Mungkin karena monster pembunuh setinggi 7 kaki sudah ketinggalan zaman?

 
 
Walaupun basically ini adalah cerita Millie, yang gak populer di sekolah dan dealing with keluarga yang jadi ‘saling pendiem’ sejak kepergian ayah, tapi adalah Vince Vaughn yang menggendong film mencapai tingkat kelucuan yang diharapkan. Aktor berbadan gede ini jadi highlight film ini berkat penampilan dual-aktingnya. Terutama di bagian saat dia harus berperan menjadi Millie yang terperangkap di tubuh lelaki dewasa. Vaughn dalam peran monster pembunuh memang tergolong sudah cukup biasa kita lihat. Di benakku masih membekas jelas akting ganasnya di film bag-big-dhuagg Brawl in the Cell Block 99 (2017). Tapi sebagai gadis remaja, he clearly is on another layer. Vaughn actually memang lebih banyak menghabiskan durasi dengan bermain sebagai Millie di tubuh pembunuh ketimbang sebagai monster pembunuh. Komedi datang dari dia harus memainkan karakter yang berorientasi terhadap tubuh barunya (bayangkan gimana gelinya cewek ketika dia sadar kini harus kencing berdiri) ataupun dari dia bertingkah lembut, tingkah yang nyata kontras sekali dengan tubuhnya. Film ini bijak untuk gak membuat Millie dalam tubuh Butcher otomatis gemulai – menjadikan tokoh ini kayak layaknya ‘banci’. Karena bagaimana pun juga karakter itu memang berbadan dan bertenaga kuat. Ada adegan ketika Millie dalam tubuh gede itu merasa bersalah karena menyakiti teman-temannya dengan tak sengaja. Vaughn-lah pilot dari semua akting tersebut, dan dia nailed it dengan meyakinkan.
Sebaliknya, Kathryn Newton enggak banyak kebagian porsi untuk bermain-main dengan perannya. Bagi Kat, aktingnya sebagai Millie beneran dan sebagai pembunuh berdarah dingin dalam tubuh anak cewek, simpelnya hanya kayak berpindah dari peran yang talkatif ke peran lebih banyak diam sembari nunjukin tampang sinis. Enggak banyak layer di karakter perannya setelah kedua tokoh bertukar tubuh. Porsi aksi dan bunuh-bunuhan memang lebih banyak dilakukan oleh Kat, tapi tentu saja ada banyak ‘bantuan’ teknik kamera dan editing dan stunt. Supaya gak salah paham, aku bukannya memandang gampang peran begini, karena sebenarnya bisa sangat menarik. Seperti karakter detektif Rosa Diaz dalam serial komedi Brooklyn Nine Nine, orangnya garang tapi bisa flip switch jadi cewek manis dalam penyamaran. Kuncinya adalah karakterisasi. Dalam Freaky, Kathryn Newton enggak banyak kebagian ‘main’ terutama karena naskah gak bisa terlalu banyak memberikan karakter untuk Butcher. Dia harus tetap satu-dimensi; jahat, karena cerita akan gagal kalo kita bersimpati kepada tokoh pembunuh. Bisa saja jadi menarik kalo film meneruskan elemen Butcher kini menemukan kesulitan membunuh orang karena kini tubuhnya lemah dan lebih kecil. But that element is quickly forgotten untuk alasan yang sama yakni jangan sampai kita bersimpati kepada tokoh pembunuh tadi.
Reaksi sekitar mereka terhadap pertukaran tubuh ini turut mengundang tawa dan memantik kejadian-kejadian menarik. Namun hal yang paling ‘freaky’ dari pertukaran ini adalah kenapa serial killer punya sense of fashion yang lebih tajam daripada cewek remaja hahaha… Millie tadinya diledekin teman-temannya karena pilihan pakaian yang ia kenakan. Ketika si Butcher yang di dalam tubuhnya, Millie tampil ke sekolah dengan jaket kulit dan rambut diikat ekor-kuda. Dia jadi badass. Yang tadinya ngeledek, kini terkesima. Si Pembunuh itu ternyata lebih jago mengarungi kehidupan remaja daripada si remaja itu sendiri. Sesuai dengan konteks dan gagasan film, itu karena Millie yang sekarang oozing with confidence. Seekor singa tentu tak akan mendengar celetukan para domba. Begitu juga dengan serial killer – seumur-umur pastilah dia tak pernah peduli sama opini orang-orang yang di benaknya mereka semua adalah calon korbannya. Masalah confidence seperti itulah yang jadi topik utama cerita film ini.

Film ingin nunjukin bukan masalah kau kecil atau tinggi-besar, cakep atau mengerikan, pada akhirnya yang tetap beresonansi dengan orang-orang itu adalah sesuatu yang ada di dalam jiwa kita. Semangat kita. Bagaimana karakter kita di dalam. Kita berani sebenarnya bukanlah karena berbadan besar. Atau kita lemah bukan karena badan kita ceking. It was more than that. Dan kepercayaan diri terhadap itulah yang harus dipupuk. 

 
Konteks gagasan tersebut jadi ada alasan buat film ini ngecast cewek secakep Kat sebagai gadis tak-populer. Ini sebenarnya kan trope Hollywood sejak 90an. Karakter yang dibully pasti dibintangi oleh bintang film yang memang udah cakep, lalu filmnya tinggal nge’makeover’ si tokoh. Pasang lipstik, pake baju modis, buka kacamata, ganti model rambut, dan voila! barulah orang-orang lihat dia sebagai cakep. Tadinya Kathryn Newton di sini, ya gitu juga. Aku gak bisa percaya dia diledek jelek dan gak ada yang suka, gak populer di sekolah. Tapi saat menghubungkan itu dengan gagasan film ini, it all adds up membangun sebuah konteks. Ketidakpercayaan diri Millie itulah yang membuat dia tampak lemah dan enak untuk ditindas. Dia hanya punya dua teman; keduanya dari stereotype minor; gay dan berkulit hitam, sehingga asumsinya adalah mereka bertiga adalah bahan bullyan anak-anak di sekolah – makanya mereka jadi bersahabat. Nantinya pengalaman Millie memiliki badan gede saat bertukar tubuh, menjadi dorongan semangat yang ia butuhkan supaya dia bisa belajar jadi lebih konfiden. Kita juga melihat tidak susah-susah amat bagi Millie untuk membuat teman-temannya percaya bahwa dirinya ada dalam tubuh si pembunuh, karena sahabatnya dapat melihat dan mengenali Millie yang sesungguhnya dari dalam. Ini message yang kuat untuk anak-anak seusia tokoh mereka. Dan yang aku senang adalah film enggak lupa untuk mengikat message ini. Millie diberikan kesempatan untuk unjuk mengembangkan diri, dia diberikan waktu untuk membuktikan dia bisa pede dan jadi berani saat dia sudah di tubuhnya sendiri, tanpa bantuan tubuh gede. Ini adalah cara film ngasih tahu bahwa si tokoh sudah belajar, arcnya telah komplit.

Seru ya kalo ada crossover: Freaky Death Day!!

 
 
Selain oleh karakter, film ini meriah oleh tropes dan reference dan parodi. Salah satu adegan pembunuhan yang jadi pembuka mirip banget ama adegan di Scream. Dengan itu saja film ini memang sudah menghibur. Akan lebih baik kalo dibarengi dengan penulisan yang lebih menambah ke dalam cerita. Dalam Freaky kita akan nemuin banyak elemen dan treatment yang ditarok hanya untuk seru-seruan dan gak banyak pemikiran di dalammnya. Kayak tulisan hari dan tanggal yang sempat muncul tiga kali di awal-awal. Dipakai hanya untuk referensi ke Jason, dengan font dan kata-kata yang dibuat serupa ama serial Friday the 13th. Padahal informasi hari Jumat tanggal 13 itu gak ada hubungannya langsung ama cerita. Belati ajaiblah yang bikin Millie dan Butcher bertukar tubuh, bukan hari jumat tanggal 13. Dan bahkan belati itu tidak diungkap jelas cara kerja dan segala macamnya, melainkan hanya difungsikan sebagai pembawa stake waktu dan sebagai latar bahwa ini adalah peristiwa supernatural.
Konflik keluarga Millie juga gak begitu sejalan dengan gagasan utama. Ibunya yang down sejak kematian ayah, Millie juga down, hanya kakaknya yang polisi-lah yang tegar; relasi ini enggak banyak bermain ke dalam cerita selain Millie dan ibunya jadi renggang karena sama-sama gak mau nunjukin perasaan dan duka masing-masing. Drama itu jadinya malah kayak sebuah alasan aja supaya si ibunya bisa make-sense untuk gak ada di waktu-waktu penting, sehingga story tokoh remaja ngejar pembunuh ini bisa berlangsung.
Ada satu lagi aspek yang buatku mengganjal dan menjadi kejatuhan utama nilai film ini. Adegan-adegan pembunuhan didesain gruesomely fun – menguatkan aura tongue and cheek film ini. Tapi aneh aja rasanya pembunuhan-pembunuhan sadis itu terasa berlalu gitu aja. Karena yang dibunuhi itu adalah orang-orang yang jahat ke Millie. Jadi kita gak tahu harus merasa gimana. Bersorak demi Millie, tapi yang beraksi bukan beneran Millie – hanya tubuhnya saja yang Millie. Kita mau kasihan sama korban juga gakbisa, karena mereka tadinya jahat ama Millie. Jadi gimana dong? Enggak banyak emosi di balik cerita saat memperlihatkan ‘Millie’ yang jahat. Cerita baru menarik saat cerita fokus di Millie yang berada dalam tubuh Butcher. Sederhananya; elemen bunuh-bunuhan dalam komedi slasher ini jadi kalah menarik ketimbang konflik – dan bahkan komedi fisik – yang datang dari raksasa yang berjiwa cewek remaja.
 
 
 
Untungnya nuansa thriller bisa tetap berkobar berkat kejar-kejaran antara kedua karakter yang saling bertukar tubuh. Gencetan dari waktu juga turut nambah lapisan ketegangan, menciptakan batas ‘game over’ pada narasi. Cerita yang dimiliki sebenarnya menarik, dan mengandung banyak muatan, sehingga punya potensi jadi thriller komedi yang benar-benar bulk up. Tapi, gencetan yang sebenarnya datang dari status karakternya. Satu karakter humanis, dan satunya lagi karakter ‘monster’ yang bisa dibilang kartunis. Film tidak bisa mengembang menjadi lebih berisi lagi karena dengan karakter begitu, outcome cerita tidak bisa berbalik dashyat. Hanya bisa ada satu perhentian untuk cerita dengan karakter begini. Karena jika dipaksa mau jadi lebih dramatis atau apa, maka pesan dan gagasan akan terkhianati. Maka film ini cukupkan diri hanya sebagai penghibur. Dan capaiannya sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FREAKY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian nasib atau kehidupan kalian akan berbeda, jika kalian punya penampilan fisik yang berbeda dari diri kalian yang sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TENET Review

“The conundrum of free will and destiny has always kept me dangling”
 

 
 
Bayangkan jika Seo-yeon dalam thriller The Call (2020) dapetin cara untuk pergi ke masa lalu, dan berangkat ke sana untuk berantem dengan Young-sook yang udah bikin kacau hidupnya di masa kini. Bayangkan, jika masa depan punya kemampuan untuk menjangkau masa lalu. Karena seperti begitulah konflik dalam action terbaru dari Christopher Nolan ini. Dalam Tenet, pihak dari masa depan berhasil menemukan teknologi inversi waktu sehingga mereka bisa melakukan perjalanan ke masa lalu. Untuk nge-wipe out humanity yang udah bikin masa depan porak poranda. Let that sink in for a lil bit – supaya kita bisa berefleksi. Bakal jadi segitu parahnya kah masa depan karena ulah kita, sampai-sampai mereka dari masa depan segitu marahnya sehingga tak pedulikan resiko paradoks; hancurnya masa lalu berarti masa depan tak pernah ada?
Karena begitu kompleksnya, berusaha merangkum alur cerita dalam film ini akan berarti sama dengan berusaha menulis sebuah cerita pendek. Alur Tenet ini ribet banget, dan tidak bisa disederhanakan dengan rumus ‘karakter + yang ingin sesuatu + tetapi’ karena tokoh utamanya sendiri enggak benar-benar punya keinginan, at least hingga sekitar pertengahan cerita (maafkan kalo di ulasan ini sense timing/waktuku agak ngaco karena efek habis nonton film yang membenturkan timeline ini masih terasa hihihi). Garis besar yang perlu diketahui sebagai bangunan cerita film ini adalah bahwa protagonis kita, John David Washington – kita panggil pake nama aktornya aja karena tokoh ini gak diberikan nama – adalah seorang agent/mata-mata yang handal. Karena aksi dan sikapnya yang selfless, dia terpilih untuk program Tenet. Misi utamanya adalah menghentikan pihak yang disebut akan memulai Perang Dunia Ketiga. Betapa terkejutnya John saat kemudian mengetahui ‘Perang Dunia Ketiga’ itu ternyata berhubungan dengan perang lintas-waktu yang melibatkan peluru-peluru dan mobil yang berjalan terbalik. John melewati misi demi misi, yang membawanya ke sosok yang bakal jadi pemicu kiamatnya dunia.

And while at it, tentu saja seorang tokoh laga juga harus menyelamatkan seorang wanita cantik.

 

Narasi Tenet membenturkan antara kalimat “What’s happened, happened” dengan konsep ‘free will’ yang dimiliki oleh kita, manusia. Namun hanya karena apa yang telah terjadi, terjadi; bukan berarti kita tidak bisa berharap atau mengusahakan menjadi lebih baik. Karena dari masa lalu lah kita belajar. Nolan menantang kita dengan pertanyaan apakah free will itu eksis di dunia yang basically adalah aksi dan reaksi, atau bahkan sesuatu yang sudah didesain alias ditakdirkan. Masa lalu akan selalu jadi pembentuk seperti apa ke depannya. Dan kita harus melakukan sesuatu tersebut sekarang, di masa kita sendiri.

 
Konsep yang filosofis demikian menggugah pikiran, kemudian dibalut oleh aksi laga dengan suntikan elemen yang sudah menjadi ciri khas Nolan; elemen time-bending. Resultnya adalah sebuah spectacle yang seru, lagi membingungkan. Memandangnya seperti itu, maka Tenet memang tampak seperti mahakarya yang menakjubkan. Aspek teknik – didukung budget yang hanya bisa dipercayakan kepada Nolan – film ini luar biasa terdesain dan terencanakan dengan baik mengantarkan kepada capaian luar biasa yang berhasil diraih film ini. Film Tenet, seperti kata ‘Tenet’ itu sendiri benar-benar dirancang sebagai palindrom. Kejadian-kejadian yang dilalui oleh John akan circle-back to him di akhir. Menunjukkan kehidupannya berjalan ‘mundur’ seperti petualangannya, dia gak bisa lepas dari rentetan palindrom tersebut – film dimulai dari misi di Gedung Opera di mana ia diselamatkan oleh seseorang misterius, lalu ke misi di bandara, lalu di jalanan dan kembali lagi begitu dengan urutan yang terbalik – walaupun dia sebenarnya bisa memilih untuk keluar dari sana. Dalam pembalikan waktu yang sepertinya menetapkan jalan kita, ultimately tetap pilihan kitalah yang jadi penentu utama. But again, pilihan kita bukanlah pasti tidak bergantung dari result yang sudah dideterminasikan.
Sama seperti pada sinopsis di atas tadi; tidak ada cara dalam semesta-waktu kita yang bisa menyederhanakan aksi-aksi dan teori inverted time yang menjejali dua-jam lebih durasi film ini. Saking kompleksnya. Yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk mengerti yang kita lihat adalah dengan memahami dulu prinsip dasar konsep time-travel dalam film ini. Konsep yang dipakai sungguh berbeda dengan cara kerja perjalanan waktu yang biasa kita lihat dalam cerita-cerita time-travel. Dalam Tenet ini, seseorang yang mundur ke masa lalu tidak muncul secara instant begitu saja ke waktu yang ia tuju. Melainkan harus benar-benar ‘berjalan’ ke waktu tersebut. Jika John ingin kembali ke hari kemaren, ia harus mundur dulu dari titik-waktu ia sekarang ke titik waktu hari kemaren yang ia tuju. Proses ‘mundur’ itu diwujudkan secara visual, menjadi adegan-adegan unik. Nolan membangun aksi-aksi gede dari adegan-adegan unik alias terbalik tersebut. Dia punya tempo dan irama sendiri dalam memperlihatkannya. Dimulai dari adegan ‘ringan’ berupa peluru yang terbang masuk ke dalam pistol alih-alih terbang termuntahkan oleh pistol, ke adegan John yang bergerak normal berantem dengan seseorang yang bergerak mundur, hingga epik action scene seperti car chase dan perang militer yang melibatkan banyak pihak yang maju dan pihak yang mundur secara bersamaan. Sekilas memang tampak rada goofy juga, tapi adegan-adegan tersebut dilakukan tanpa CGI, murni koreografi dan praktikal efek, sehingga sungguh layak untuk diapresiasi.

Tenet bikin tenot tenot, kemudian teeeeeeetttt :flatline:

 
Sebaliknya, jika kita memandangnya sebagai perjalanan karakter, maka karya Nolan yang satu ini jelas akan bikin kita frustasi. Karena sama sekali tidak ada pengkarakteran yang bisa kita pegang secara emosional di sini. Paling tidak, untuk waktu yang lama. Seiring berjalannya cerita, kita akan menumbuhkan sedikit simpati kepada tokoh Kat (istri dari Sator, si penjahat utama, yang mempertaruhkan keberadaannya buat sang anak) dan tokoh Neil (partner John yang misterius tapi kharismatik, dia seperti tahu lebih banyak dari yang diperlihatkannya). Namun tidak ada emotional attachment yang bisa kita rasakan terhadap tokoh John, Sang Protagonis, itu sendiri. Motivasi karakternya ngawang-ngawang, karakterisasinya pun generik sekali, meskipun Nolan disebut sudah meng-cast tokoh ini dengan mengsubvert standar karakter utama mata-mata yang biasa. Padahal karakter inilah yang kita tonton; aku ngasih The Call tinggi karena fokus ke pengembangan karakter dan tidak beribet-ribet ria dalam aturan-dunianya.
Teorinya adalah Tenet berjalan dengan pace-nya sendiri. Bergerak maju tanpa basa-basi, memperlihatkan karakter si protagonis lewat aksi dan pilihannya ketimbang lewat dialog ataupun adegan yang langsung menyuapi backstory ataupun karakterisasi tokoh ini. Hal ini bisa saja benar, karena memang backstory tidak harus ada ditampilkan – bisa secara subtil – dan film pun tidak mesti bolak-balik ngerem demi menghantarkan dialog ‘basa-basi’ untuk development karakter. Semuanya memang bisa dikerahkan lewat aksi-aksi yang terpapar lewat visual. Akan tetapi, kedekatan emosional itu harus ada, supaya kita bisa lebih peduli secara personal kepada karakter. Sehingga apapun yang ia lalui dapat kita empatikan – kita benar-benar ingin dia sukses. Tak sekalipun aku merasa berada di belakang John dalam Tenet, ingin melihat dia berhasil ataupun merasa ikut ‘sakit’ ketika dia gagal atau salah perhitungan. Dan itu karena film memang sama sekali nihil dalam soal mengembangkan tokoh ini. Dialog-dialog yang ia tampilkan akan sebagian besar berupa eksposisi. John, posisinya sama dengan kita, bingung atas apa yang terjadi – apa yang harus ia lakukan. Maka sebagian besar percakapan akan berisi informasi-informasi mengenai Tenet, Temporal Pincer Movement, Algorithm, dan segala macam istilah sains-film ini. Yang hanya terdengar seperti omongkosong buat kita karena kita tidak diberikan kesempatan untuk melihat apa artinya itu semua bagi pribadi si John. Heck, tokoh ini bahkan tidak punya nama. Dia hanya disebut Protagonist, as to remind us bahwa segala kejadian ada sangkut pautnya dan berada di bawah aksi dan pilihan si tokoh. Persahabatannya dengan Neil juga tidak benar-benar menyentuh – walau sudah diperkuat dengan musik-musik volume maksimal – karena kita melihatnya dari sudut pandang si Protagonis yang datar.
Sekali lagi, Nolan menitikberatkan kepada pengalaman-menonton yang kita rasakan. Epic action scenes! Kita bandingkan saja dengan Dunkirk (2017) , dalam film itu Nolan juga melakukan hal yang sama. Meletakkan kita begitu saja mengikuti karakter yang tidak punya motivasi personal selain mereka gak gugur dalam perang. Dalam Dunkirk, konteks ini berjalan dengan efektif. Karena kita sudah paham bahwa ini cerita di medan perang. Kita tidak perlu tahu siapa musuhnya, siapa patriot-patriot itu, kita bisa bersimpati karena mereka sedang berperang. Mempertaruhkan nyawa. Belum lagi, secara konstan mereka dibom, diberondong peluru. Kita otomatis akan mendukung protagonisnya. Konteks yang serupa diterapkan kembali di Tenet, dan jelas tidak bisa efektif karena film ini punya kebutuhan untuk menjelaskan aturan-dunia. Aturan yang sangat ribet, sehingga kita tersedot ke sana. Saat menonton kita hanya ingin mengerti, tapi Nolan seperti bicara sendiri di sini – sibuk menjelaskan. Kita bosan dan berpaling ke karakter, dan guess what, karakternya tidak terbentuk. We don’t know him. Dan jadilah kita tidak punya pegangan apa-apa saat menonton film ini. Sekalipun kita bertahan, maka itu either karena kita fansnya Nolan, atau memang terpesona sama gimmick time inverted action-nya saja.
 
 
Orang-orang mengamini Nolan sebagai pembuat film bermutu yang setiap filmnya akan membuat kita merasa pintar, karena selalu sukses mengajak kita berpikir. Tapi kali ini, yang terasa adalah kita berusaha keras berpikir di depan seseorang yang begitu ambisius. Ini seperti mendengar racauan teori seseorang yang ingin nunjukin dia pintar, tapi lupa untuk memberikan alasan yang bisa bikin kita peduli sama teorinya. Jika kalian suka lihat spectacle unik, film ini jelas akan wah, pencapaian teknisnya toh tidak bisa dipandang sebelah mata (meski aksi dan ngomong terbalik buatku sudah tidak lagi seunik sewaktu aku melihat adegan Twin Peaksnya David Lynch). Jika kalian lebih menghargai film dari karakter, maka kalian akan menemukan film ini sebagai karya Nolan yang paling hampa. Bingung dan seru, tapi hambar. Tentu, film ini akan jadi lebih mudah dimengerti dan diikuti setelah menonton ulang. Lagi dan lagi. Namun toh, semua film memang begitu. Dalam second viewing, pasti akan ada hal yang lebih kita pahami. Gak harus sengaja beribet-ribet buat ditonton ulang. 12 Angry Men yang isinya orang debat aja ditonton lagi dan lagi akan tetap memberikan pengalaman serupa kita nonton film baru. So yea, buatku film ini tidak sespesial itu. Karakternya generik laga. Hanya gimmicknya saja yang lumayan unik dan ambisius.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TENET.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bahas teori dan kejadian sebenarnya niscaya akan panjang, gak cukup seribuan kata. Jadi, lebih baik kita diskusi di komen saja. Bagaimana menurut kalian, apakah kalian punya teori sendiri tentang Tenet? Apa pendapat kalian tentang teori yang menyatakan Neil secretly adalah anak Kat versi sudah dewasa dan inverted back thru time?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE CALL Review

“The past cannot be changed, it can only be accepted”
 
 

 
 
Pernahkah kalian ngerasa ingin kembali ke masa lalu, untuk mengubah hal kecil yang kalian lakukan dahulu – seperti ngunci pintu sebelum pergi atau ngelarang seorang untuk pergi – supaya kalian bisa memperbaiki masa depan sehingga gak suram-suram amat? Well, jika pernah, maka nonton thriller berjudul The Call dari Korea ini akan bisa memberikan peringatan kepada kalian.

Untuk tidak bermain-main dengan masa lalu. Untuk menerima kehidupan dan bersyukur atas apa yang hidup gariskan kepada kita. Karena masa lalu sejatinya bukan untuk diubah, melainkan untuk diterima, supaya kita bisa belajar kesalahan darinya.

 
The Call adalah dongeng supernatural yang mengisahkan Seo-yeon, seorang wanita muda yang meratapi kehidupannya yang sekarang. Ayahnya meninggal sewaktu ia kecil karena kejadian yang ia yakini sebagai kelalaian dari sang Ibu. Membuat Seo-yeon belum bisa memaafkan Ibunya. Dia sulit menerima kenyataan. Kecuali di satu waktu ketika kenyataan itu menawarkan suatu kesempatan unik kepada dirinya. Pesawat telepon di rumah masa kecil Seo-yeon berdering, gadis bernama Young-sook menelepon dari rumah yang sama – dari tahun 1999! Telepon itu jadi penghubung Seo-yeon dan Young-sook; penghubung masa kini dengan masa lalu. Membuat mereka bisa mengubah keduanya, untuk mereka berdua. Kedua wanita yang sama-sama bakal menghadapi peristiwa mengenaskan itu akhirnya memang jadi berteman. Young-sook membantu menyelamatkan ayah Seo-yeon, sehingga masa depan itu – masa kini Seo-yeon – berubah total. Jadi ceria dan bahagia. Kini giliran Seo-yeon, membantu Young-sook menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ibu si sahabat lintas-waktunya. Masalahnya adalah; Young-sook ternyata tidak se-innocent yang dikira. Dan boleh jadi sudah terlambat bagi Seo-yeon untuk menyadari bahwa masa kininya sekarang sudah berada di bawah kendali Young-sook si pembunuh berantai!

Hallo, the 90’s called, and she wants your reciprocation back!

 
 
Saat kuliah di Teknik Geologi dulu aku belajar prinsip yang berbunyi “The present is the key to the past”, yang bermakna sebuah struktur batuan atau fenomena kenampakan alam yang kita lihat di masa sekarang dapat memberikan informasi seperti apa kejadian alam di masa terdahulu, sehingga struktur dan kenampakan itu bisa terbentuk. Kita bisa belajar banyak tentang masa lalu dengan meneliti ‘result’nya di masa depan. Film The Call garapan Chung-Hyun Lee agaknya membalikkan itu semua, karena dalam thriller bunuh-bunuhan ini masa lalu-lah yang dijadikan kunci. Kengerian dalam cerita ini muncul dari ketidakberdayaan Seo-yeon atas kehidupannya. Memang, ada beberapa adegan di mana dia mempelajari banyak catatan, guna menyimpulkan kejadian di masa lalu dan menggunakan informasi itu untuk membantu Young-sook. Akan tetapi, semua itu di bawah perintah si Young-sook yang kerap mengancamnya. Dalam titik yang paling intens, kita akan menyadari betapa mudahnya bagi Young-sook untuk menghabisi hidup Seo-yeon hingga ke akar-akarnya. Ini adalah pertarungan antara masa depan dengan masa lalu, dan masa lalu itu ditampilkan menang karena masa depan itu naturally adalah hasil dari masa lalu. Film bahkan nampilin adegan Seo-yeon berusaha menjebak Young-sook, tapi gagal. Ketidakberdayaan karena gak punya kendali atas masa lalu itulah yang dijadikan konsep dari bangunan cerita The Call. Menjadi tontonan menarik, saat seorang tokoh berusaha melawan hal yang tidak bisa ia kendalikan.
Bukan kalimat geologi itu saja yang dimainkan oleh film ini. Chung-Hyun Lee juga bermain-main dengan konsep timeline, atau dua periode cerita yang disatukan. Memang bukan hal yang baru, tapi Chung-Hyun Lee berhasil menyuguhkan thriller yang seru dari sana. Dalam anime Your Name (2016) kita juga sudah melihat gimana komunikasi antara dua orang dari zaman berbeda bisa terbentuk dan mengakrabkan, tapi film tersebut berujung romansa sedangkan dalam The Call ini kita melihatnya bukan saja sebagai cerita serial-killer yang unik, melainkan sekaligus sebagai sebuah hubungan aksi-reaksi peristiwa yang berkesan benar-benar mengerikan. Di film ini, alur bolak-balik disulam untuk menghasilkan revealing dan surprise yang membuat suspens dan intensitas cerita semakin naik seiring berjalannya durasi. Editing yang digunakan untuk menguatkan feel cerita juga sangat precise, sehingga setiap kali berpindah periode, emosi ataupun intensitas cerita tidak ada yang ketinggalan. Tidak sekalipun kita merasa terlepas dari film ini berkatnya.
Untuk aturan-dunianya sendiri, film memang tidak mau repot-repot menjelaskan. Dengan membuat karakter ibu Young-sook berprofesi sebagai shaman alias dukun, secara subtil film ini ingin mengarahkan logika kita kepada hal-hal supernatural. Bahwa semua itu dapat saja terjadi karena cerita ini berada dalam dunia di mana shaman, premonisi, ritual, dan hal-hal gaib adalah hal yang ‘nyata’. Sehingga meskipun medianya berupa telepon-tanpa-kabel, logika kita tidak lantas menuntut penjelasan ilmiah ala sci-fi atas peristiwa koneksi yang terjadi antara kedua karakter sentral. Melainkan, ya, ini adalah peristiwa supernatural. Dan kurasa, bagi mindset orang kita – dan orang mereka karena sama-sama Asia – minimnya penjelasan logis soal itu sama sekali bukan dalam artian menggampangkan-cerita, melainkan kita melihatnya sebagai bagian dari latar. Ini juga yang mengakibatkan film ini gak jadi needlessly ribet dengan aturan dan cara kerja dunianya. Membuat kita jadi lebih mudah menyimak apa yang terjadi kepada karakter, baik secara inner maupun outer journey. Dan aku lebih suka mikirin soal karakter manusia itu ketimbang berpusing ria mikirin ‘how pseudo-technology atau science gaib atau time-inverse works’.
Untung kedua tokohnya gak mirip, bisa-bisa ntar ada sutradara yang bikin tulisan panjang lebar soal teori kenapa muka orang Korea sama semua

 
 
Namun, penutup film ini toh memang bikin bingung setengah mati. Aku baca di timeline Twitter, banyak penonton yang ngeluhin soal extra-ending film ini. Banyak juga yang membahas teori-teori kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi. Untuk tidak menge-spoil keasyikan kalian ikut berteori, maka aku hanya akan nulis ngambang aja soal pendapatku terhadap adegan tersebut, dan maknanya. Menurutku adegan ekstra tersebut bisa saja diniatkan untuk membuka peluang sekuel – karena toh interaksi kedua karakter sentral ini menarik dan bikin nagih – tapi honestly, buatku ending di ekstra itu adalah akhiran yang paling pas untuk mengikat arc si Seo-yeon. She totally deserves whatever she got in the end. Karena dia-lah yang duluan ingin mengubah masa lalunya. Dia-lah yang nyalahin ibu dan gak mau menerima kenyataan – yea, kupikir si Young-sook berkata jujur saat mengungkap kejadian sebenarnya di tragedi ayah Seo-yeon. Sedari awal Young-sook yang gila itu enggak pernah memanipulasi Seo-yeon untuk berbuat sesuatu, dia hanya menelepon. Aksi dan pilihan tindakan Seo-yeon lah yang memutarbalikkan semua. Buatku memang film ini sangat powerful jika dipandang sebagai cerita peringatan.

Orang yang berkubang di masa lalu pada akhirnya enggak akan mendapat masa depan, dan itulah yang persisnya terjadi kepada Seo-yeon di ending itu. Sementara orang yang beraksi di masa kininya, akan bisa ‘mengendalikan’ masa depannya sendiri nanti, seperti yang kita lihat terjadi pada Young-sook.

 
Sesuai dengan perkembangan/development karakternya itu, kita akan menemukan bahwa si Seo-yeon makin ke belakang, akan semakin ‘lemah’ posisinya sebagai tokoh utama. Dalam konfrontasi final, misalnya, protagonis ini malah tidak berbuat apa-apa. Tidak ikut beraksi. Cuma duduk di sana menyaksikan dua karakter lain berantem. Secara pengembangan cerita, aku bisa paham. Namun protagonis seharusnya tidak bisa diposisikan seperti itu. Buatku ini jadi nilai minus yang tak bisa dihindari karena gagasan film mengharuskan kejadiannya seperti itu. Mungkin yang bisa film ini perbaiki adalah efek visualnya. Saat masa lalu berubah, masa kini Seo-yeon turut mengalami perubahan drastis. Film memvisualkannya dengan efek yang ‘wah’, seperti mobil yang tiba-tiba menyerpih menghilang, kaca-kacanya pecah, dan segala macam. Efek ini buatku agak sedikit over dan kurang mewakili perasaan karakter. Mestinya efek menghilang itu bisa dibikin lebih kuat lagi ‘merenggut’ karakter yang ada bersamanya.
 
 
 
Cerita yang bolak-balik masa kini dengan masa lalu ternyata bisa diolah menjadi sesuatu yang mengerikan. Memparalelkan dua waktu tersebut ternyata tidak selalu harus dibikin ribet. Film ini berhasil menyajikan thriller yang menegangkan, dengan interaksi yang menarik antara karakter dari dua periode waktu berbeda. Secara teknis, film ini didukung oleh penampilan akting dan editing yang sangat cakap. Membuat arahan film berjalan dengan mulus. It does work really well as a warning story, buat orang-orang yang merasa gak bahagia karena tragedi di masa lalu. Akhir ceritanya memang bisa membingungkan, tapi jika kita berpegang kepada pemahaman terhadap apa yang dipelajari oleh karakter, bagian membingungkan tersebut bisa terjelaskan dengan sendirinya, dan bukanlah jadi masalah besar, at all.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE CALL.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya teori sendiri tentang apa yang terjadi di adegan credit? Bagaimana pendapat kalian tentang Seo-yeon yang harus kehilangan segalanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HILLBILLY ELEGY Review

“My family is my strength and my weakness”
 

 
 
Psst.. pada tau istilah ‘Oscar-bait’ gak? Menjelang akhir tahun kayak sekarang ini tuh, biasanya film-film Oscar bait mulai bermunculan. Sebab Oscar alias Academy Awards, Penghargaan Tertinggi Hollywood, kan biasanya mulai di awal tahun, jadi slot penayangan menjelang akhir musim itu dianggap paling menguntungkan karena filmnya bakal masih ‘segar’ dalam pandangan juri. Maka mulai tuh muncul, film-film sejenis drama, atau biografi, atau sejarah, atau apapunlah kisah dari kisah nyata, yang biasanya juga memuat penokohan yang melibatkan para aktor dari langganan nominasi; dengan peran tipe-tipe karakter disabilitas, atau karakter stereotipe dengan aksen dan bahkan make up yang benar-benar ‘asing’. Film-film Oscar-bait begitu fokus untuk masuk ke Oscar, menguatkan trope-trope tersebut seolah memang cuma itulah yang dicari Oscar. Sehingga tak sedikit dari film-film itu yang ternyata bercerita dengan kurang memuaskan. Parahnya bagi mereka, para kritikus jadi memaki lebih keras daripada seharusnya, karena eksistensi film-film itu so obvious. Dan Hillbilly Elegy garapan sutradara Ron Howard, yang diperankan oleh aktor-aktor langganan nominasi Oscar, adalah contoh yang menarik dari fenomena Oscar-bait ini.
Cerita film ini diangkat dari kisah hidup J.D. Vance dari buku memoir tulisannya. Dan memang ceritanya sebenarnya sangat menginspirasi. Vance adalah seorang penulis dan pengusaha kapitalis sukses yang berangkat dari dinasti keluarga yang termasuk dalam golongan ‘terbelakang’ oleh standar sosial Amerika. Golongan Hillbilly. Kalo di kita mungkin ekivalennya adalah golongan penduduk yang berpandangan sempit, yang hidup beranak pinak di suatu daerah pinggiran (atau pegunungan). Hillbilly juga terkenal galak. Atau bisa dibilang bar-bar, dibandingkan dengan ‘orang kota’.
Film ini menceritakan Vance saat berada dalam posisi paling penting dalam karirnya. Dia yang saat itu masih muda, mahasiswa Yale yang cemerlang, akhirnya dipanggil interview oleh salah satu firma Hukum terkemuka. Namun sehari menjelang interview penting tersebut, teleponnya berdering. Kakaknya mengabari bahwa ibu mereka masuk rumah sakit. Overdosis. Lagi. Vance – dipanggil J.D. di film – mau tak mau harus menempuh sepuluh jam perjalanan, kembali ke kota masa kecilnya, untuk melihat keadaan sang Ibu. Ia sangat sayang kepada ibunya, kepada keluarganya, tapi khususnya si ibu itu bukanlah orang teramah di dunia. Dalam perjalanannya itu, J.D. dari waktu ke waktu flashback ke masa kecil. Ke masa dia hidup bersama ibunya. Masa-masa bertengkar, penuh kekerasan rumah tangga, obat-obatan, dan didikan keras dari nenek (dipanggilnya Mamaw). J.D. sadar, sejauh apapun dia lari, dia tidak bisa lepas dari keluarganya tersebut. Tapi kali ini, hal tersebut bisa jadi bukanlah hal yang buruk seperti yang selama ini dia yakini.

Aduh sialan, si J.D. anak Hillbilly asli!

 
 
Film ini ingin memfokuskan kita kepada lingkungan – keluarga dan sosial – tempat J.D. bertumbuh. Desain dari bangunan ceritanya adalah membuat kita memahami dulu kenapa J.D. ‘kabur’ dari bayang-bayang keluarga, supaya kita bisa melihat pencapaian J.D. dibandingkan keluarganya – bahwa dia bisa jadi orang yang lebih baik – namun di saat yang bersamaan, keluarga tersebut tidak bisa lepas darinya. Ketika film menampilkan lingkungan J.D. yang sekarang – saat ia dewasa, film ingin supaya kita turut merasakan bahwa lingkungan sosial terpelajar yang punya banyak garpu itu sejatinya tidak lantas lebih baik dari lingkungan yang ditinggalkan oleh J.D. Pertanyaan yang ingin digebah oleh film ke dalam benak kita, selama kita mengikuti J.D., adalah bukan semata mentok di apakah J.D. bisa lepas dari keluarga, melainkan juga apakah benar-benar butuh baginya untuk lepas dari keluarga. Ya, keluarganya memang amburadul. Ibunya case on point. Menuruti panggilan menjaga ibu niscaya akan menghambat karirnya, tapi bukankah ia mengejar karir demi mengubah pandangan orang terhadap latar belakangnya. Ikatan keluarga itu digambarkan benar-benar mengikat J.D. Menjadi konflik dalam dirinya. Film ini seharusnya bisa menarik begitu banyak gagasan manusiawi yang dramatis dari penggalian karakter-karakter bermasalah yang saling berketerikatan ini. Namun justru pada bagian penggaliannya itulah film ini malah minim. Sehingga dicecar kanan-kiri oleh kritikus sebagai gambaran yang hanya berupa karikatur. Masih enjoy untuk ditonton, tapi tidak lagi terasa nyata – meskipun memang yang dihadapi oleh J.D. tak pelak adalah kisah yang beneran terjadi pada orang yang benar-benar ada di hidupnya.

Kesuksesan kita akan menjadi bagian dari kesuksesan keluarga. Begitu pun kegagalan. Karena keluarga, bagaimanapun juga adalah kelemahan sekaligus kekuatan yang kita miliki. Keluarga adalah landasan, dan bukan tidak mungkin, alasan utama kita untuk berjuang. Makanya, J.D. tidak bisa lepas dari keluarga. Dia tidak perlu melepaskan diri dari dinasti yang turut membentuk sekaligus yang sedang berusaha untuk ia bentuk ulang.

 
Dalam lapisan yang lebih dalam, film ini tidak berhasil membahas keluarga J.D. yang dibingkai sebagai ‘sumber drama’ bagi si tokoh utama dalam cahaya yang manusiawi. Kita tidak diperlihatkan bagaimana struggle sebenarnya dari sang ibu. Bagaimana Mamaw berjuang dan apa yang melandasinya. Baik Amy Adams (sebagai ibu) dan Glenn Close (sebagai Mamaw — yang pada kredit penutup diperlihatkan ternyata wujudnya jadi mirip banget dengan Mamaw yang asli) menyuguhkan penampilan maksimal mereka. Sayangnya, karakter mereka bergerak di ruang yang sempit. Seluruh komunitas Hillbilly sepertinya dilambangkan oleh mereka berdua, namun kedua karakter tersebut hanya tampil terbatas sebagai flashback dari sudut pandang J.D. Mamaw dan si Ibu hanyalah eksis sebagaimana J.D. mengingat mereka. Dan dalam film ini, J.D. hanya mengingat mereka dalam waktu-waktu yang tergolong sengsara dan nyusahin bagi dirinya. Sehingga gambaran tersebut jatuhnya jadi super-stereotipe dan cenderung mencuat gak-respect terhadap jati diri karakter yang mereka mainkan.
Kita tidak akan pernah mendukung si ibu karena dalam setiap kesempatan tokohnya dihadirkan selalu sebagai si pembuat keputusan yang salah. Dia yang suster malah main sepatu roda di lorong rumah sakit (emangnya Olga Sepatu Roda!). Dia ujug-ujug mukulin anaknya. Bertengkar dengan Mamaw. Ganti-ganti pasangan. Semua tindakannya itu, karena dari sudut pandang J.D., jadi tak terjelaskan. Film seolah menjadikan tokoh ini sebagai poster-girl untuk sikap-sikap buruk manusia – dan karena latar karakternya sebagai hillbilly, film seperti ingin membuat kita merasa bersyukur bahwa kita bukan hillbilly seperti dirinya. Sementara, si Mamaw digambarkan terlalu standar; nenek galak yang sebenarnya baik. Namun bahkan gambaran tersebut tidak benar-benar mewakili karena, sekali lagi, semuanya hanya sudut pandang dari J.D. If anything, karakter yang dituliskan dengan baik justru adalah kakak si J.D. (diperankan oleh Haley Bennett). Karakter Lindsay ini tampil lebih subtil, dia menangani ‘drama’ keluarga dengan caranya sendiri, dalam lingkup kehidupannya sendiri. Basically, tokoh ini sudah jauh lebih dulu menyadari pembelajaran yang dialami J.D. di akhir cerita nanti.

Menyusahkan dan gak mau dibilangin? yup.. that’s our family

 
Memang, struktur bercerita flashback bolak-balik inilah yang menjadi sumber masalah utama bagi Hillbilly Elegy. Aku gak ngerti kenapa bercerita begini udah kayak jadi tren belakangan ini, padahal belum satu pun aku nemu cerita dengan banyak flashback yang berhasil mencuat menjadi benar-benar bagus. Dalam Hillbilly Elegy, flashback-flashback itu tidak diolah dengan maksimal, karena antara kilasan satu dengan yang lain sebenarnya seringkali memiliki muatan emosi dan kejadian yang sama. J.D. konflik dengan ibunya yang mendadak teriak-teriak. Sehingga sebagian besar durasi film terisi dengan repetitif. Film ini padahal punya dua cerita; J.D. dewasa dan J.D. kecil, tapi dengan menyatukan keduanya lewat sulaman flashback setiap kali ada konflik, cerita film ini justru jadi gak maju-maju. Tidak pula menambah apa-apa terhadap pandangan kita terhadap karakternya. Jadi begitu banyak waktu yang terbuang oleh penceritaannya. Waktu yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter dengan natural, menggali setiap konflik personal mereka – lebih jauh dari pencapain J.D. – jika film tidak sibuk bolak-balik dan memilih berjalan dengan linear.
 
 
 
 
Tiga belas nominasi Oscar di antara Amy Adams dan Glenn Close tidak jadi jaminan film yang dibintangi mereka lantas jadi bagus. Walau penampilan akting mereka memang tidak mengecewakan, tapi karakter yang mereka perankan tidak mendapatkan pengembangan. Cerita film ini dibiarkan sempit, terbatas oleh struktur pengisahan bolak-balik, yang menjadikan film ini bermuatan emosi yang bukan hanya repetitif melainkan juga tidak lagi terasa natural. Film ini boleh jadi tetap dapat menghibur karena dimeriahkan oleh konflik demi konflik – kita semua suka melihat keributan, kan – hanya saja semestinya cerita menginspirasi seperti ini haruslah mencapai level yang lebih dalam. Dengan karakter-karakter yang mencuat di atas stereotipe dan karikatur dari manusia-manusia yang mereka lambangkan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HILLBILLY ELEGY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa malu terhadap keluarga sendiri, atau menganggap keluarga besar terkadang norak dan malu-maluin? Pernahkah kalian berada dalam kondisi sosial di mana kalian memilih berbohong mengenai keluarga sendiri?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review

“The secret formula will always be love”
 
 

 
 
Sekitar pertengahan-akhir durasi, film ini menampilkan sekuen adegan yang layaknya seperti courtroom drama. Dalam adegan-adegan tersebut kita melihat Patrick, Sandy, Squidward, dan teman-teman SpongeBob yang lain bergantian memberikan kesaksian kepada Poseidon untuk membela SpongeBob yang jadi tersangka. Mereka menceritakan kisah pengalaman mereka bisa mengenal si Sponge Kuning itu waktu masih kecil. Kita pun dibawa flashback menyaksikan langsung pertemuan-pertemuan itu. Dan itulah satu-satunya bagian menarik yang ada dalam film ketiga SpongeBob, Sponge on the Run ini.
Flashback masa kecil itulah satu-satunya hal original, hal yang fresh, hal yang ingin kita tonton ketika begitu mengetahui bahwa semesta SpongeBob ini bakal dieksplorasi kembali. Kita tentu penasaran dan ingin melihat bagaimana SpongeBob dan Patrick bisa jadi sahabat seperti sekarang ini. Kita tentu ingin melihat cerita SpongeBob bertemu Squidward. Kita ingin tahu bagaimana SpongeBob dan teman-temannya menjadi berteman pada mulanya. Poin dari sekuen adegan tersebut adalah untuk menyimak seperti apa sih para sahabat memaknai si SpongeBob itu sendiri. Untuk menunjukkan arti persahabatan SpongeBob kepada mereka. Tak pelak, memang inilah yang menarik untuk dijadikan cerita film. Seharusnya sutradara Tim Hill mengerahkan semua komandonya untuk menyusun cerita semacam prequel tersebut dengan sebenar-benarnya, jika ia memang mau menghormati legacy kartun anak-anak (dengan selipan humor dewasa) yang fenomenal ini. Alih-alih, kisah-kisah itu hanya diperlihatkan singkat dan seperti dirangkum begitu saja dengan menempatkannya pada bingkai kesaksian pada courtroom drama. Tidak melalui narasi yang benar-benar kohesif.
Sponge on the Run mengikuti rutinitas cerita SpongeBob yang biasa. Menyapa Gary – kucin–eh, siput peliharaannya, pergi kerja ke Krusty Krab, masak Krabby Patty, bikin kesel Squidward, bikin seneng Mr. Krabs, pulang, dan … menemukan Gary kesayangannya hilang! Gary diculik oleh Poseidon sehingga SpongeBob dan Patrick memutuskan untuk hit the road menyelamatkan Gary. Selagi dua sahabat ini terlibat perjalanan absurd, Plankton menyatroni Krusty Krab, bermaksud mencuri resep rahasia. Namun sepeninggal SpongeBob, burger joint itu sepi. Mr. Krabs sedih karena tanpa SpongeBob usahanya gak bisa jalan. Karena sikap dan persahabatan SpongeBob bisa jadi adalah rahasia dalam resep rahasia itu sendiri.

Ohya, ada juga penampakan Keanu Reeves sebagai tumbleweed yang bijaksana

 
 
Memang bukan film SpongeBob namanya jika tidak absurd dan nyeleneh. Kita sudah menyaksikan gimana randomnya karakter-karakter dan kejadian dalam dua film layar lebar SpongeBob sebelumnya. Film ketiganya ini, berusaha mempertahankan cap dagang tersebut. Kita akan melihat begitu lebar range keabsurdan yang muncul, mulai dari robot hingga kemunculan zombie-zombie yang bisa menari. Namun semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak pula menambah banyak ke dalam narasi; ke dalam journey yang dilalui oleh tokoh utama kita. Melainkan hanya seperti random things yang dikumpulkan begitu saja. Berharap supaya jadi lucu dengan mindset semakin random, maka semakin luculah ia. It doesn’t work.
Sekiranya memang ada perbedaan tegas antara random yang lucu dengan random yang cuma males. Petualangan absurd SpongeBob tentulah masih akan menjadi perjalanan yang menarik untuk disimak, dengan syarat hal-hal yang ia temui dalam perjalanan tersebut bakal jadi bangunan untuk sesuatu, entah itu pembelajaran atau hanya sekadar big punchline – jika film diarahkan sepenuhnya untuk komedi receh. Seperti ‘aturan dasar’ film roadtrip-lah. Dalam Sponge on the Run ini, kerandoman itu benar-benar jalan masing-masing. Seperti tidak ada benang merah, seperti film ini hanya ingin mencari alasan untuk memanjangkan durasi. Bagiku, film ini tampak seperti mereka memang ingin menceritakan tentang masa kecil SpongeBob dan awal persahabatan para karakter, tapi sekaligus juga mereka tidak ingin menceritakannya begitu saja. Jadi alih-alih memikirkan cara untuk membangun, katakanlah cerita prekuel itu, film malah memikirkan bagaimana mereka bisa menyelipkan prekuel tersebut tanpa benar-benar menceritakannya. Kedengarannya memang tak masuk akal. Namun persis seperti itulah film ini terasa. Mereka memasukkan banyak hal random sebagai pengantar untuk hal penting yang tak ingin mereka ekspos banyak-banyak. Suudzon mode on: film ini desperate mau jual apapun tentang SpongeBob tapi either pengen instant alias gak mau repot atau mau sok-sok memposisikan film sebagai test-the-water alias ‘nanti kita cerita tentang masa kecil SpongeBob’
However, jika mau berbaik sangka; film ini bisa jadi pengen mengajak kita untuk menghargai keberadaan SpongeBob itu sendiri. Karakter yang rela menempuh perjalanan jauh (dan supposedly sedikit berbahaya) demi hewan peliharaannya, aku akan bohong kalo bilang aku enggak relate dengan itu. I mean, kucingku gak pulang makan siang aja aku langsung nyariin keluar berkeliling kompleks, kok. Meskipun dia aneh dan ngasal dan seringkali bego, tapi SpongeBob dalam cerita ini merupakan sosok yang digambarkan sebagai teladan. Kualitas terbaik dalam diri SpongeBob adalah dia tidak pernah egois. Dia juga sangat menghargai persahabatan. Dia menyayangi peliharaannya sama besar dengan dia menyayangi teman, rekan kerja, bos, hingga saingan. Film ingin menonjolkan hal tersebut. Teman-temannya itulah yang pada cerita ini dibuat untuk menyadari peran kehadiran SpongeBob itu di dalam hidup mereka.

Cinta dan persahabatan SpongeBob terhadap teman-temannya merupakan resep rahasia yang membuat hidup mereka semua menjadi ceria. Bahkan Squidward yang penggerutu pun menyadari hal tersebut. Lebih jauh lagi, karakter SpongeBob yang demikian itulah yang jadi formula kesuksesan cerita kehidupan Bikini Bottom ini setelah sekian lama.

 

Setelah gede, kita semua jadi semakin relate kepada Squidward

 
 
Kerandoman yang disetel hingga maksimal itu bisa jadi dilakukan demi attention-span anak-anak yang konon semakin singkat. Maksudnya, dilakukan biar anak kecil yang nonton enggak cepet bosan. Drawbacknya tentu saja adalah si anak-anak tadi bisa jadi malah bingung dengan ceritanya. Aku sendiri, seumur-umur, belum pernah nemuin cerita SpongeBob yang setak-penting dan sekacau ini. Aku suka dua filmnya yang dulu; yang benar terasa petualangannya. Yang berusaha memasukkan hal segar yang tak bisa mereka lakukan di televisi. Nonton film ketiga ini, aku cuma bengong. Hal baru yang film ini buat cuma visualnya. Berbeda dengan SpongeBob klasik, film ini full animasi 3D. Ada juga beberapa adegan tertentu yang menyatukan dengan pemandangan live-action alias asli. Untuk sekadar menambah visual jadi lebih cantik, film ini berhasil. Namun 3D itu juga tidak menambah banyak untuk cerita. Tidak akan ada bedanya jika film ini tetap menggunakan gaya animasi dua dimensi seperti pada kartun televisinya. Sekali lagi, ini merupakan minimalisasi kreativitas dari pembuat. Karena pada film SpongeBob yang kedua kita sudah melihat visual 3D itu mampu mereka mainkan dengan efektik ke dalam cerita – enggak semata untuk mempercantik. But then again, sepertinya aspek visual ini diniatkan hanya untuk appeal ke anak-anak aja; karena sekarang animasi tiga dimensi memang lebih dinikmati. Sukur-sukur ada orang dewasa yang ‘nyasar’ – menyangka karena gambarnya kayak Pixar, maka kualitas cerita pun sama kayak Pixar.
 
 
 
 
 
Random dan absurd adalah yang membuat SpongeBob, SpongeBob. Namun cerita yang koheren adalah yang membuat film, film bagus. Enggak cukup hanya dengan menjadi SpongeBob saja. Film ini harusnya berbuat lebih banyak terhadap penggarapan ceritanya. Petualangan SpongeBob mencari Gary seharusnya bisa dibuat lebih berarti dan menarik lagi. Jikapun bukan tentang itu, film ini padahal punya hal menarik untuk diangkat yakni masa kecil SpongeBob dan teman-teman. Cerita awal mula mereka bisa bersama-sama hingga dewasa. Anehnya, film seperti belum mau membahas total soal ini. Mereka hanya menampilkannya dengan singkat.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN

 

 
 

 

That’s all we have for now.
SpongeBob sudah ada sejak begitu lama. Humornya selalu segar dan terkenal dengan ciri khas penus selipan jokes dewasa, tapi tetap mampu tampil inosen untuk hiburan anak-anak. Apakah kalian masih suka nonton SpongeBob saat sudah gede? Episode SpongeBob mana yang paling berkesan buat kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Survivor Series 2020 Review


 
 
Yang spesial dari Survivor Series tahun ini adalah bukan saja ini merupakan acara yang semua pertandingannya adalah champion melawan champion – mempertandingkan juara-juara dari brand Raw melawan juara-juara dari Smackdown – melainkan juga acara yang bertepatan dengan tiga puluh tahun karir Undertaker bergulat di WWE. Acara ini adalah perayaan bagi Undertaker yang resmi menutup kiprah legendarisnya.

Undertaker, tak pelak, adalah salah satu karakter dengan karir tersukses seantero dunia gulat hiburan. Bagaimana tidak. Karakter supernatural yang penuh gimmick seperti itu tentu saja susah untuk dipertahankan, apalagi dikembangkan menjadi sesuatu yang dipedulikan banyak orang. Namun Mark Calaway mampu. Dia mendedikasikan diri kepada karakter yang dipercayakan kepadanya, no matter how over the top it might be. Taker mendapatkan respek besar karena kiprahnya menghidupkan karakter yang ‘mustahil’ tersebut. Benar kiranya, Undertaker adalah survivor dalam artian yang sebenarnya. 

 
Sayangnya, acara Survivor Series 2020 ini seperti tidak mampu merangkul dua kekhususan tersebut. Baik itu perayaan tutup-karir Undertaker maupun pertandingan-pertandingan tim dan juara antarbrand, tidak ada yang berhasil diperlihatkan benar-benar spesial, secara maksimal. WWE melakukan banyak pilihan-pilihan yang aneh. Dan juga penulisan atau booking yang, seperti standar acara mingguan mereka yang biasa, terasa seperti digarap mendadak. Acara selebrasi Undertaker itu dilakukan di akhir, setelah semua pertandingan selesai, sehingga terasa terpisah dari acara. Serupa dengan ekstra pada sebuah dvd/bluray film yang baru saja kita tonton. Penyelenggaraannya pun awkward sekali. Beberapa legend yang bersangkut paut dengan Undertaker datang berkumpul ke atas ring, mulai dari The Godfather, Savio Vega, hingga ke Shawn Michaels, Triple H, dan tentu saja Kane. I wonder if they would wanna bring all of the Streak’s victims tho, karena pastilah menarik kalo ada Randy Orton, Brock Lesnar, dan Batista. Dan CM Punk, anyone? lol..
Balik lagi ke acara, para legend yang berkumpul di atas ring itu tau-tau hilang semua setelah pemutaran video; digantikan posisinya oleh Mr. McMahon yang memanggil Undertaker. Taker datang dan ngasih speech, lalu berlutut, berpose untuk terakhir kalinya bareng hologram Paul Bearer. Kemudian acara berakhir, tidak satupun dari para legend tadi kelihatan lagi, tidak ada interaksi mereka dengan Undertaker. Which is weird, dan tampak pointless, buat apa mereka semua muncul kalo begitu. Buatku, tampak seperti ada perubahan rencana/acara yang dilakukan oleh WWE.

Semoga WWE gak lupa mereka pernah menggunakan lagu Katy Perry untuk entrance Undertaker dalam sebuah klip rekap Wrestlemania resmi.

 
 
Daya tarik yang dijual pada event perang-antar-brand seperti Survivor Series kali ini tentu saja adalah ketika juara masing-masing brand diadu. Superstar lain dari brand tersebut membentuk tim, lalu turut bertanding melawan brand saingan. WWE sudah sering melakukan ini. Dan pada setiap kali gimmick acara seperti ini dilakukan, WWE selalu kesusahan untuk membangun sesuatu yang benar-benar spesial. Seperti pada pertandingan-pertandingan kali ini. Yang paling terasa adalah kurangnya stake alias pertaruhan. ‘Best of the Best’ yang jadi tagline itupun hanya seperti ucapan basi. Mereka harusnya menciptakan sesuatu yang kongkrit untuk bisa dimenangkan oleh brand yang berhasil unggul atas brand lain. Brand supremacy sebagai hadiah tertinggi, katanya, tidak lagi menarik karena tahun demi tahun kita melihat kemenangan brand di Survivor Series tidak pernah berarti banyak. WWE harusnya membangun cerita yang lebih bermakna bagi para superstar yang bakal bertanding. Paling tidak bangun alasan kenapa mereka harus mau bekerja sama memenangkan brand mereka, kenapa mereka harus menang bareng, ciptakan kerugian atau kehilangan ketika mereka gagal. Seperti pada cerita film. Harus ada motivasi, harus ada ganjaran kalo gagal mencapai keinginan, harus ada dorongan yang membuat aksi mereka urgen. Semua itu tidak dapat kita temukan pada match-match di sini.
Padahal dengan adanya momen 30 Tahun Karir Undertaker, WWE bisa saja mengaitkan kemenangan brand tersebut. Like, mereka bisa bikin brand yang menang bakal dapat hak untuk mengirim delegasi sebagai ngasih tribute ke Undertaker. Atau sekalian saja, brand yang menang bakal dapat kehormatan mengirimkan salah satu superstarnya untuk melawan Undertaker di pertandingan terakhir sang Legenda. Seharusnya ada banyak hal/stipulasi kreatif yang bisa WWE lakukan untuk membuat pertandingan di Survivor Series punya lapisan, therefore menjadi jauh lebih menarik lagi.
Tapi nyatanya Survivor Series tahun ini justru semakin membosankan. Karena pertandingan antarjawara yang dihadirkan oleh WWE tidak punya dinamika face-v-heel. Baik melawan jahat. WWE seperti lupa bahwa juar-juara pada dua brand yang mereka punya ternyata pula formula yang sama. Juara Tag Team sama-sama face. Juara papan tengah sama-sama antagonis. Juara cewek juga sama-sama tokoh-baik. Tim di Tradisional Tag Teamnya juga gak ada yang bulet karakternya. Para superstar yang bertanding bisa jungkir balik berkali-kali, bisa ngeSuperkick ratusan kali, bisa ditimpuk ke meja ampe patah-patah pun, tapi tanpa dinamika karakter protagonis-antagonis, tanpa ada drama dan psikologi pada alur, semua yang mereka lakukan akan tetap terasa hambar. Karena bagi kita yang nonton, pertandingan mereka jadi bukan soal siapa yang menang dan kalah. Kita tidak bisa peduli kepada hal tersebut. Ketika yang kita tonton hanya aksi demi aksi, maka acara itu akan terasa garing, tidak ada naik turun. Tidak ada hasil dan konsekuensi. Apa bedanya bagi kita kalo yang menang New Day dan bukan Street Profits? Apa ngaruhnya ke greget kita kalo Smackdown berhasil menyusun Raw, kalo nantinya poin itu akan tetap disusun susul menyusul – karena WWE tidak mau ada brandnya yang kelihatan jadi benar-benar lemah; bisa-bisa mereka diprotes sama network penyiar yang namanya udah jadi bagian dari seragam masing-masing brand.
Bukan pekerjaan gampang, memang, menulis cerita pertandingan untuk partai yang sama-sama baik atau yang sama-sama jahat. Masalahnya, WWE di acara ini sama sekali tidak tampak berusaha maksimal. New Day melawan Street Profits, misalnya. Kedua tim sama-sama face. Persona karakter mereka buatku annoying semua, tapi mereka berempat punya in-ring work yang fantastis. Untuk ngasih bumbu pertandingan ini, WWE bisa saja memasukkan Big E ke dalam equation. Bikin Street Profits datang bersama Big E, untuk kemudian bisa dibikin Big E entah itu membantu mereka sebagai sesama Smackdown, atau malah balik membantu New Day; yang merupakan mantan rekan satu tim. Hal seperti demikian tidak akan merusak karakter, melainkan membantu memberikan lapisan kepada match dan kepada karakter superstar itu sendiri. Yang Intercontinental lawan U.S champion, lebih parah lagi. Juara yang satu suka main curang, yang satunya lagi suka main keroyokan. WWE ninggalin kita untuk bengong gak tahu mau jagoin siapa di antara dua karakter heel tersebut.
Mungkin kita harus jagoin ‘si anak bawang’ aja?

 
 
Melihat itu, aku jadi berpikir jangan-jangan WWE memang gak mikirin soal pemasangan juara ini sedari awal. Mereka gak ada rencana, dan hanya tersadar juara mereka ‘sama’ semua saat sudah masuk acara. The only working pair is Sasha Banks dan Asuka, itupun karena Sasha so good mainin karakter abu-abu (antara heel dan face) dan terutama karena Asuka dan Sasha sudah punya ‘sejarah’. Jadi saat menonton mereka, kita seperti melanjutkan babak baru. Pilihan finish yang dilakukan pun menurutku relatif aman, dan bisa jadi memang beginilah seharusnya. Ini satu lagi masalah yang bakal muncul ketika membuat match juara-lawan-juara; Para juara tersebut haruslah ‘dilindungi’. Naturally, semua pemegang sabuk harus di-book supaya terlihat kuat. Karena kalo tidak mereka jadi gak believeable, atau yang parah malah bisa-bisa sabuknya jadi turun prestise. Melindungi itulah yang sulit. Gak semua superstar berada dalam posisi serupa karakter Sami Zayn, yang masih bisa come out okay setelah dibuat terlihat lemah sebagai juara.
Satu lagi yang mestinya diperhatikan oleh WWE jika mereka memang ingin mempertahankan gimmick perang-brand adalah brand itu sendiri; Raw dan Smackdown, haruslah punya ‘karakter’ juga. Coba kita bedakan keadaan sekarang dengan keadaan saat baru-baru ada brand-split sekitar 2002-2003an. Raw dan Smackdown terasa sangat distinctive, udah kayak dua acara yang berbeda jauh. Punya manager yang beda visi, punya set panggung yang berbeda, punya daftar superstar dengan keahlian yang berbeda – Raw more of a hardcore, sedangkan Smackdown lebih ke cruiserweight. Karakterisasi khusus brand tersebut memudahkan kita untuk memilih favorit; kita lebih suka dan peduli sama brand yang mana, dan ketika mereka beradu kita akan mati-matian menjagokan salah satunya. Brand yang sekarang, selain warna dan musik pembuka, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok. Semua sama, dari set hingga ke ‘kelakuan’ superstarnya.
Maka ketika mereka beradu dalam Traditional Tag Team, kita tidak benar-benar melihat mereka sebagai kubu yang berbeda. Partai Traditional Tag Team Cowok adalah match yang paling parah. Kelihatan hanya seperti random superstar yang dikumpulkan. Yang punya cerita cuma Seth Rollins dan Jey Uso. Keduanya berada di Smackdown, tapi kita tetap susah untuk mendukung Smackdown karena karakter mereka berdua berada pada titik yang membingungkan; kita tidak yakin mereka baik atau jahat at that point. Sehingga easily, match yang paling menghibur adalah Traditional Tag Team Cewek. Kedua kubu terasa sangat berbeda, dan mereka punya cerita masing-masing. Ada Bayley yang ngasih karakter ke Smackdown, dan – ya I hate it too – ada Lana untuk tim raw. Tonton dan perhatikan booking membuat Bayley yang heel tersingkir duluan; ini effectively membuat Smackdown tim face di sini, as opposed to Shayna dan Nia Jax, dan Lana. Dan meskipun kita bisa melihat ending yang bau-baunya bakal either menarik atau jengkelin, match ini tetap terasa lebih menarik di antara partai-partai sebelumnya.
“It doesn’t have to be pretty. It just have to be hurt” Exactly

 
 
On the paper, sure it is fun. Acara yang menampilkan adu-brand. Yang terbaik dari masing-masing brand saling berhadapan satu sama lain. Hanya saja pada praktiknya, para superstar just have less things to work with karena WWE enggak menyediakan ruang untuk dinamika karakter pada match-matchnya. Perayaan Undertaker pun seperti terpisah dari acara, padahal mestinya bisa dimasukin dan dijalin mulus ke dalam rangkaian acara. Diberikan weight lebih ke acara.
Bukti mutlak WWE gak punya cerita jangka panjang dan just scrap everything on the go adalah mengganti Orton sebagai juara WWE, dengan Drew McIntyre. WWE sebenarnya tentu paham menulis face-lawan-face atau heel-lawan-heel itu susah dan matchnya bakal ngebosenin, maka khusus untuk main event, mereka terpaksa untuk mengganti pemain. Randy Orton yang heel, meski baru saja jadi juara, tidak akan menarik jika ditandingkan dengan Roman Reigns yang lagi hot-hotnya setelah bertukar peran menjadi antagonis. Mengganti karakter Orton jadi face akan makan lebih banyak waktu. Maka WWE mengembalikan sabuk kepada Drew McIntyre yang sudah jadi salah satu babyface terbesar di Raw. Dengan efektif menunjukkan mereka jadiin Orton juara itu tanpa pemikiran sedari awal, tanpa kesadaran bahwa sebulan setelah itu mereka butuh partai seru juara melawan juara. Dan aku senang WWE comes to their senses pada match ini. Karena McIntyre lawan Reigns – udah kayak battle antara dua kepala suku – easily baik secara teori maupun eksekusi adalah MATCH OF THE NIGHT. Terbaik. Terseru. Endingnya make sense. Semua itu karena ada dinamika, ada drama, psikologi karakter mereka berjalan. Dengan baik pula.
 
 
 
 
Full Results:
1. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw (AJ Styles, Matt Riddle, Braun Strowman, Keith Lee, dan Sheamus) menyapu bersih Tim Smackdown (King Corbin, Jey Uso, Seth Rollins, Otis, dan Kevin Owens)
2. CHAMPIONS VS. CHAMPIONS Street Profits (Smackdown Tag Team Champions) ngalahin New Day (Raw Tag Team Champions)
3. CHAMPION VS. CHAMPION Bobby Lashley (United States Champion) bikin tap out Sami Zayn (Intercontinental Champion)
4. CHAMPION VS. CHAMPION Sasha Banks (Smackdown Women’s Champion) merebut kemenangan dari Asuka (Raw Women’s Champion)
5. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw menang dengan Lana sebagai sole survivor (Shayna Baszler, Nia Jax, Peyton Royce, Lacey Evans) mengalahkan Tim Smackdown (Bianca Belair, Liv Morgan, Ruby Riott, Natalya, Bayley)
6. CHAMPION VS. CHAMPION Roman Reigns (Universal Champion) unggul atas Drew McIntyre (WWE Champion)
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RUN Review

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”
 
 

 
 
Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.
Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 
Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.
Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.
Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 
 
Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.
 
 
 
 
Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA