A WHISKER AWAY Review

“But you are always perfectly lovable”
 

 
 
Jadi kucing sepertinya menyenangkan. Bisa bermalas-malasan sepanjang hari, tanpa ada yang nyindir. Bangun-bangun langsung dikasi makan. Dielus-elus. Bisa bermain dengan apapun, like, kardus aja bisa jadi arena panjat-panjatan yang super menyenangkan. Kalo jatuh, bisa mendarat mulus dengan dengan keempat kaki. Lelah main, tinggal tidur lagi. Not a single worry given. Kucing punya sembilan nyawa, jadi tak perlu takut pada apapun. Tapi benarkah kita rela menggantikan kehidupan manusia dengan kehidupan kucing?
Miyo beruntung mendapat kesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi berkumis, punya empat kaki, bermata biru, berbulu putih, dan bertampang imut. Dia bertemu dengan kucing raksasa yang memperkenalkan diri sebagai ‘Penjual Topeng’, yang memberikannya topeng kucing ajaib. Dengan topeng tersebut, setiap kali Miyo yang di luar tampak superceria ini merasa sedih dan kesepian dan bermasalah di rumah, ia bisa kabur sejenak dari dirinya sendiri. Ia menjadi kucing yang disayang banyak orang. Terutama oleh Hinode. Cowok keren teman sekelasnya yang cuek abis itu ternyata sayang banget ama kucing. Makanya Miyo jadi betah setiap hari melipir ke rumah Hinode, sebagai kucing tentunya. Merasa hidupnya bakal jauh lebih baik saat menjadi kucing – Hinode memanggilnya Taro, sedangkan di sekolah Hinode gak pernah sudi nyapa Miyo duluan – Miyo setuju untuk memberikan wajah manusianya kepada si Penjual Topeng. Yang artinya dia bakal jadi kucing selamanya. Namun begitu seekor kucing menggantikan posisi Miyo sebagai manusia, Miyo menyadari bahwa cinta itu masih ada. Sehingga Miyo harus buru-buru mencari Penjual Topeng yang culas hingga ke dunia gaib khusus kucing, sebelum semuanya terlambat.

Bukan cinta monyet tapi cinta kucing

 
 
Gak perlu jadi pecinta kucing untuk dapat menikmati anime terbaru di Netflix ini. Serius. A Whisker Away memuat banyak emosi, tokoh-tokohnya akan mudah untuk direlasikan kepada kita. Terutama bagi anak-anak atau remaja karena deep inside film ini membahas masalah di kehidupan rumah dan sekolah. Dengan warna-warni anime dan fantasi yang tinggi, film yang sarat akan pelajaran berharga ini jadi menyenangkan untuk ditonton. Pada menit-menit awal film terasa seperti ambigu karena mengaburkan fantasi dan realita, tapi dengan segera keraguan kita terjawab. Miyo beneran jadi kucing, dan fantasi di sini adalah realita. Keajaiban flm ini bahkan semakin menguat lagi pada saat kita masuk babak ketiga, saat lokasi cerita berpindah ke dunia kucing di atas awan. Kita belum bisa menyebutnya surga karena masih ada depresi menggantung di sana, but it was magical, berisi karakter-karakter ajaib yang membantu Miyo dan cerita mencapai keseruan sebagai klimaks. Dan ketika semua selesai, kita sudah benar-benar siap untuk tangisan bahagia. Karena arahan Jun’ichi Satô dan Tomotaka Shibayama ini memang dramatis seperti demikian.
Jika kita lepas cerita film ini dari elemen kucing yang jadi identitas utamanya, maka kita akan mendapati cerita yang persis sama dengan Mariposa (2020) jika film tersebut turut dicopot dari elemen olimpiade dan dibuat dengan lebih banyak hati. Cerita A Whisker Away juga tentang cewek yang ngejar-ngejar cowok dingin yang gak suka padanya. Hanya saja kartun Jepang ini terasa jauh lebih manusiawi karena benar-benar memanusiakan dan menghormati para tokohnya. Miyo sama kayak Acha; pecicilan, rusuh, can’t take a hint, nyaring. Annoying. I mean, Miyo dijuluki Muge oleh teman-temannya di sekolah, yang merupakan kepanjangan dari Miss Ultra Gaga and Enicmatic; yang sangat mencerminkan betapa hebohnya Miyo di mata mereka. Namun tokoh ini diberikan layer. Dia diberikan alasan untuk jatuh cinta sama Hinode. Dia diberikan motivasi yang lebih dari sekadar pingin punya pacar. Dan ini jadi pembeda yang signifikan. Kita jadi peduli dan bersimpati kepada Miyo – sesuatu yang tidak mampu kita lakukan terhadap Acha di Mariposa yang tidak punya masalah apa-apa di dalam hidupnya selain kebelet penasaran sama Iqbal.
Cinta Miyo kepada Hinode muncul saat Hinode menunjukkan perhatian kepada dirinya yang sedang dalam wujud kucing. Keduanya sharing a beautiful dan personal momen bersama di bawah cahaya kembang api festival. Cowok penyayang hewan itu memberikannya kasih sayang tatkala Miyo lagi menyendiri dalam pelariannya karena capek menjadi manusia. Jadi wajar, at that exact moment, Miyo langsung cinta mati meskipun ia tahu yang disayangi Hinode adalah kucing. Wajar Miyo ketagihan merasakan cinta karena selama ini ia percaya tidak ada yang mencintai dirinya, not even her own mother. Begini, sikap ceria dan semangat-berlebihan yang Miyo tunjukkan kepada sekitarnya bukan tanpa alasan. Melainkan karena dia terluka di dalam. A Whisker Away juga mengeksplorasi soal parenting – sebagaimana yang juga di-claim oleh Mariposa – dan melakukan ini dengan lebih dalam daripada hanya memperlihatkan orangtua yang satu dimensi. Miyo dibesarkan bukan dalam keluarga sempurna. Justru kebalikannya. Ibu kandung Miyo meninggalkannya waktu masih kecil, sehingga sekarang Miyo tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Ini menyakitkan buat Miyo; bukan karena ia punya ibu tiri, tetapi karena kenyataan bahwa ia merasa ibu aslinya tak sayang padanya.
Perasaan seperti ini tentu saja devastating bagi siapapun. Jika ibu sendiri tak sayang, maka gimana kita mau percaya ada orang lain yang sama kita. Miyo jadi tries so hard untuk dicintai. Dia mengubur deritanya dalam-dalam dan mencoba menjadi ceria sehingga ia disukai orang serta tidak membuat orang di sekitarnya bersedih. Namun jelas itu cara yang salah. Film ini berani mempertontonkan sikap Miyo sebagai hal yang ganjil dan aneh dan gak-cute. Bahwa kita tidak diniatkan untuk mendukungnya mengejar Hinode yang gak tertarik. Adegan penolakan pada film ini terasa beneran membekas dan jadi titik balik bagi Miyo. Ini mengubah Miyo, karena sekarang dia percaya beneran gak ada yang suka sama dia. Makanya Miyo mau ditawari menjadi kucing. Bayangkan untuk mau menukar hidup jadi kucing, pastilah hidupmu sebagai manusia amat sangat menderita.

Miyo adalah karakter yang sangat sengsara. Bisa dibilang ‘jadi kucing’ itu adalah metafora halus untuk ‘mau bunuh diri’. Inilah mengapa anime ini penting untuk ditonton oleh keluarga. Karena sekarang kita hidup di jaman di mana bunuh diri telah terdramatisasi. Orang sekarang membiarkan diri mereka tenggelam dalam depresi dan lebih memilih untuk mengakhiri hidup karena merasa atensi itu didapat dari sana. Padahal bukan. Film ini menunjukkan kita hal yang sebenarnya. Yang Miyo butuhkan adalah untuk dicintai oleh orang – satu orang saja, sehingga dia bisa menyadari bahwa hidupnya bermakna. Oh boy, bahwasanya itu hal yang tak perlu ia atau siapapun minta. Semua orang pasti dicintai, asalkan menjadi diri mereka sendiri.

 
Hinode exactly adalah Iqbal, karakternya punya arc yang sama persis hingga ke resolusi yang dilalui. Bedanya adalah tokoh ini ditulis dengan sangat hormat. Tak pernah sekalipun dia dimanipulasi oleh orang-orang sekitar untuk menyukai Miyo sehingga berpikir jangan-jangan ia suka Miyo. Hinode dibiarkan berkembang sendiri. Mengatasi masalah keluarganya dengan pembelajaran sendiri. Keluarganya juga gak ditulis satu-dimensi. In fact, tidak ada tokoh ayah atau ibu yang mutlak otoriter dan maksain kehendak di film ini. Selalu ada situasi yang menimbulkan pilihan, dan kondisi alami yang mendorong karakter memilih putusan atas pilihan tersebut. Bahkan tokoh ‘penjahat’ – si Penjual Topeng itu pun tidak dibuat total licik dan serakah. Sebagai pedagang, dia bahkan termasuk pedagang yang jujur.

Kalah deh pokoknya penjual-penjual penimbun masker.

 
 
Kendati punya cerita yang lebih berlapis dan penceritaan yang lebih menarik, still, problem film ini juga masih sama ama problem Mariposa. Anak-anak dan remaja nonton film ini sebaiknya ditemani oleh orang yang lebih dewasa. Gambaran cewek ngejar cowok, meski memang di sini diperlihatkan gila dan gak sehat, tetap harus ditekankan bahwa hanya akan benar jadi romantis kalo si cowok memang kebetulan punya masalah dalam mengungkapkan diri. Lain kata, dalam kondisi yang sangat ideal-lah romansa ini bisa terjadi. Menjadikan mereka pasangan sebagai bentuk dari reward tetaplah merupakan sesuatu yang dilebihkan, karena reward berupa perasaan dicintai gak mesti ditunjukkan dengan jadian dan membuat tokoh utama selama ini benar atas feelingnya terhadap Hinode sehingga tidak perlu mengucapkan maaf atas tindakannya. Poinku adalah cerita seperti ini bakal tetap bekerja jika pada akhirnya kedua tokoh tidak menjadi pasangan. Mereka bisa jadi teman akrab, romance masih bisa dipantik dari ‘tempat’ lain tho, dan pesan cerita masih akan sama dan sama suksesnya tersampaikan.
Hubungan yang paling menyentuh, bagi pecinta kucing, besar kemungkinan adalah bukan antara Miyo dengan Hinedo. Film ini juga membahas hubungan antara kucing peliharaan dengan majikan yang menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Eh, salah. Yang menganggap kucing peliharaan lebih dari anak sendiri. Film ini menunjukkan betapa hubungan majikan-peliharaan ini dapat mencapai level emosional yang sangat mendalam karena memang kucing ataupun peliharaan sejatinya bukan sekadar mainan. Apa yang tadinya ‘hanya’ berupa emotional companion, bisa jadi lebih attach daripada itu. Di film ini ada tokoh yang lebih suka kucing peliharaanya kembali daripada si kucing itu berubah menjadi manusia dan menjadi anaknya diam-diam. It is such a beautiful relationship; film ini berhasil menggambarkannya dengan sama indahnya.
 

Dan karena itu maka review ini aku dedikasikan untuk Max, kucing oren yang sudah kupelihara sejak bayi dua tahun yang lalu, yang currently menghilang – Max yang sedang masa kawin gak pulang ke rumah. Aku gak tau apa dia tersesat atau udah berubah pakai topeng wajah manusia.

 
 
 
Beginilah cara yang benar dalam menyajikan cerita komikal, atau bahkan fantastical tentang yang mengejar cinta seorang cowok. Dengan memberinya karakter yang manusiawi, konflik yang personal, dunia yang menarik. Singkat kata; memberikannya hati. Anime ini penting ditonton karena membahas isu soal depresi terkait dengan menjadi diri sendiri – problematika yang senantia menghantui pikiran setiap remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. Do I matter? Apakah aku pantas mendapat cinta. Film ini menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Membawa kita melihat dari sudut pandang luar untuk menemukan jawaban itu. Jadi ya, buat yang merasa depresi dan tidak-dicintai, cobalah tonton film ini. Buat yang suka kucing apalagi. Ada sih, satu-dua hal yang jangan lantas ditelan mentah-mentah – yang jangan dijadikan panutan (jangan lompat dari atas atap sekolah demi membela yayangmu, for instance), but still ini adalah film kucing yang sweet dan emosional dan amat manusiawi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A WHISKER AWAY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya hewan peliharaan kesayangan? Menurutmu kenapa beberapa dari kita butuh hewan peliharaan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE KING OF STATEN ISLAND Review

“It’s never too late to be who you might have been”
 

 
 
Ada stereotipe yang erat melekat kepada penduduk Staten Island, kota kecil di pulau selatan bagian dari New York, yang sebagian besar memang membuat mereka dapat citra yang kurang membanggakan. Akibat gambaran serial tivi seperti Jersey Shore, remaja-remaja di Staten Island kini dikenal sebagai makhluk yang ignorant, sukanya party, ‘makek’, keras kepala, dan cewek-ceweknya hobi banget tanning ampe kulit jadi berwarna orange. Gaya bicara hingga kosa kata khas mereka pun sering diperolok. Dan walaupun stereotipe itu cuma karakterisasi dan gak semuanya benar, tidak semua remaja di sana beneran seperti demikian, Scott Carlin, menghidupi ‘traits’ tersebut hampir seratus persen, yang lantas membuatnya pantas untuk menyandang gelar Raja di Staten Island.
Cobalah berdialog sama Scott. Maka dipastikan dia akan ngelindur, hampir seperti bercanda tapi dia serius. Ajak dia ngobrol soal kehidupan; dia akan nyerocosin pandangan kekanakannya yang menyebalkan. Ajak dia berbincang soal pekerjaan, well, semoga beruntung menjawab jawaban yang positif darinya. Scott ingin jadi tattoo artist, tapi gambar karyanya hanya sedikit lebih baik dari corat-coret anak SD. Scott punya angan untuk membuka restoran tato, orang datang untuk makan sekaligus ngantri ditato. Mimpinya itu benar-benar merangkum kepribadian Scott. Dia punya passion, tapi terlalu nyeleneh. Dia mau berusaha, tapi terlalu lambat. “I am still figuring things out”, katanya, membuat sebal ibu serta adik perempuannya yang baru saja masuk kuliah. Bahkan pacarnya sendiri, cewek Staten Island tulen yang mau membuat ‘Staten Island great again!’, muak dengan Scott yang seperti mengulur-ulur hubungan mereka.
Sebagian besar film The King of Staten Island ini akan terasa seperti sajian slice of life. Tontonan kehidupan yang seperti tanpa tujuan, melainkan hanya memperlihatkan keseharian Scott, young-adult pengangguran umur 24 tahun yang masih tinggal serumah dengan ibunya yang sudah belasan tahun menjanda. Ketika sang ibu mulai berhubungan ke arah yang serius dengan seorang pria pemadam kebakaran, barulah film ini kelihatan tujuannya sebagai drama. Karena Scott gak suka pria tersebut. Untuk alasan yang personal. Dia membenci pemadam kebakaran karena pekerjaan itulah yang merenggut ayah kandung dari dirinya. Ayah yang meninggalkannya dengan segudang prestasi dan pencapaian dan kisah-kisah kepahlawanan yang eventually menjadi beban bagi kehidupan Scott sebagai orang dewasa.

Kalo King ini ketemu Princess of Staten Island, it would be F-A-B-U-L-O-U-S-S

 
Melihat Scott melewati hari demi hari dengan practically gak melakukan apa-apa yang penting, secara mengejutkan sangat menyenangkan. Bahkan debat kusirnya dengan teman segeng, dengan pacar, dengan adik, begitu amusing. Kita bisa menangkap secercah poin ‘kebenaran’, atau mengerti alasan Scott, dan kita dapat melihat tokoh ini bukanlah seorang bad-boy. Suatu waktu dia menolak ikut gengnya merampok toko obat, menunjukkan Scott tahu mana baik mana yang buruk. Namun dia seringkali jadi kayak asshole dan bikin sekelilingnya kesel karena gak kunjung berubah. Itu semua hanya karena dia punya self esteem yang kelewat rendah. Dan inilah sebenarnya purpose dari cerita. Mengawal Scott mengenali masalah dalam dirinya, mencari penyebab kenapa standarnya begitu di bawah, dan dia seperti nyari alesan untuk menjadi lebih baik, dan berkonfrontasi dengan itu.
Semua itu karena Scott dibesarkan dengan cerita kepahlawanan sang ayah. Pemberani, baik hati, bertanggung jawab, selfless. Legenda di komunitas pemadam kebakaran. Ibunya menceritakan kehebatan ayah kepada Scott, malah membuatnya merasa itu adalah garis yang terlalu tinggi untuk dilewati. Apapun yang terjadi ia tidak akan bisa menjadi sehebat ayahnya. Sehingga selain menjadi gak suka ama kerjaan pemadam kebakaran, Scott juga jadi males berusaha tinggi-tinggi. Daging cerita ini terletak pada momen ketika Scott mulai – walaupun terpaksa – masuk ke dunia pekerjaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Melihat seperti apa hidup sebagai pemadam kebakaran, mengetahui resiko-resikonya, dan ultimately mendengar langsung seperti apa sebenarnya sang ayah di luar kerjaan dan prestasi-prestasi tersebut. Scott enggak sadar inilah yang ia butuhkan. Untuk mengenal ayahnya, sebenar-benar kenal. Luar-dalam. Baik-buruk. Film lain akan memperlihatkan tokoh seperti Scott ini akhirnya menjadi pemadam kebakaran handal juga sebagai bentuk transformasi dan penyadaran diri. Namun The King of Staten Island tahu persisnya penyadaran itu seperti apa dan sekaligus mengerti bahwa perubahan itu butuh proses. Film bercerita dengan sangat bijak, dan bekerja segrounded-grounded-nya sehingga kita terus merasakan sesuatu yang real hingga ceritanya usai.

Tidak ada kata terlambat dalam menyadari siapa dirimu sebenarnya. Scott; dia bukan sebatas stereotipe remaja di suatu kota, dia bukan seniman tato yang gagal, atau bahkan – dia bukan anak pahlawan. Melainkan, yang harus disadari olehnya sendiri bahwa, dia adalah anak ayahnya. Just that. Sehingga dia bisa mengerti bahwa hidupnya adalah sepenuhnya keputusan sendiri, tidak berdasar atas standar yang ditetapkan oleh orang lain.

 
Yang membuat film ini unik adalah bahwa sebenarnya cerita ini bertindak sebagai semi-autobiografi. Sutradara Jude Apatow menulis naskah film ini bersama pemeran Scott, komedian Pete Davidson, yang di real life adalah anak seorang pemadam kebakaran yang juga jadi pahlawan dalam bertugas. Tepatnya, Ayah Pete gugur saat menyelamatkan orang-orang pada tragedi 9/11. Momen pada ending film ini dijadikan tribute untuk kejadian tersebut. Aku gak bakal bilang konteks atau kejadian tepatnya ending film ini seperti apa. But momen terakhir film ini adalah Scott sedang di Manhattan dan dia melihat ke arah Menara Kembar seharusnya berada. Yeah, saat mengetahui informasi ini semuanya juga jadi klik buatku. Aku sampai “wow, makanya” berkali-kali.
Wow, makanya Scott di film ini begitu natural. Davidson memainkan tokohnya dengan sangat personal. Memerankan karakter yang mirip dengan diri sendiri jelas bukan perkara gampang. Apalagi dengan tone komedi di balik drama yang harus dikenai. Salah-salah karakter tersebut hanya akan jadi seperti parodi yang sama sekali enggak manusiawi. Davidson berhasil keluar dari jebakan karikatur tersebut. Dia mengeksplorasi grief terhadap kematian ayahnya, perjuangan dalam hidup menjadi dewasa, relasi dengan keluarga; dia menarik semua itu dari dalam hatinya dengan tidak pernah berlebih. Just enough untuk membuat tokohnya menjadi sedemikian nyata. Film ini punya pesona sehingga kita tetap peduli pada Scott. Meskipun bagi tokoh lain, dia menyebalkan. Komedi yang hadir dari dialog dan interaksi tokoh ini tidak sekalipun terasa dipaksakan. Para tokoh pendukung, dan juga remaja-remaja Staten Island yang lain tidak serta merta annoying karena kita dapat melihat menembus stereotipe yang udah terbentuk.

Mungkin kalo kita minta ditato dengan gambar wajahnya, Scott baru sudi berusaha lebih keras.

 
 
Normalnya, film kayak gini akan langsung mulai dari titik terendah tokoh, lalu babak satu berakhir dengan dia keluar dari zona itu, yang berarti Scott mulai tercemplung ke dunia ayahnya. Cerita biasanya akan berakhir dengan Scott menjadi semacam pahlawan. Tapi arahan Apatow sama sekali berbeda. Dia menarik jauh ke belakang. Kita baru melihat Scott berada di pemadam kebakaran setelah midpoint. Dan film seperti berakhir prematur, sebelum Scott benar-benar punya pencapaian. Ini, dan fakta bahwa durasi cerita mencapai dua jam lebih, sekiranya berpotensi membuat penonton gak-sabar dan menyerah pada kejengkelan. It really takes a while untuk film ini berjalan sesuai tujuannya. Paruh pertama – yang bagian ‘slice of life – berjalan seperti ngalor ngidul. Banyak juga tokoh yang ilang-timbul begitu saja, persis kayak di real life; orang-orang akan keluar masuk hidupmu tapi kita juga move on dan terus berjalan. Hanya saja memang dapat dimengerti kalo mungkin ada sebagian dari kita yang geram ingin meringkas ceritanya menjadi bagian-bagian penting saja yang ditampilkan.
Aku pun sempat berpikir demikian. Namun jika memang cerita ini dipersingkat, enggak perlu se-elaborate itu melihat kegiatan Scott dan kawan-kawan, menurutku film akan kehilangan pesonanya. Aku meragukan hasilnya akan menjadi lebih menarik, atau bahkan lebih baik. Karena tujuan film membuat paruh awal yang berkepanjangan dan ke mana-mana itu adalah untuk menghidupkan Staten Island itu sendiri sebagai sebuah karakter. Dari bagaimana penduduknya, seperti apa rupanya, semua dijadikan sebagai penciri karakter. Jadi selain untuk meng-emphasize persoalan ‘figuring things out’ supaya kita makin relate, di separuh awal film juga ingin membangun tempat itu bersama dengan tokoh utamanya. Sehingga Staten Island juga mendapat lapisan di balik stereotipe yang menimpanya.
 
 
 
Sajian komedi yang penuh pesona. Baik itu dari karakter maupun dari kota yang menjadi tempat para karakter itu hidup. Kuat oleh sense of realism karena berhasil mengakomodasikan statusnya sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi. Tentu saja semua ini tercapai berkat arahan dan permainan akting yang luar biasa. Ceritanya memang tergolong panjang dan seperti terbagi menjadi dua bagian. Namun kita tidak akan bosan ataupun merasa jengkel kepada tokohnya. Melainkan akan merasa hangat oleh momen-momen ajaib-tapi-genuine di dalamnya. Dan Scott dalam film ini bisa jadi inspirasi bagi orang-orang yang juga lagi terlunta-lunta dalam hidup, membantu kita untuk “trying to figure this shit out”.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE KING OF STATEN ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Bagaimana dengan daerah/kota kelahiranmu? Apakah kalian punya koneksi dengannya? Sebesar apa peran kota terhadap pendewasaanmu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DA 5 BLOODS Review

“And the whole thing is that you’re treated like a step-child”
 

 
 
Spike Lee memang sangat vokal menyuarakan kesetaraan sosial kulit hilam. Dari Malcolm X (1992) hingga BlacKkKlansman (2018), dia terus membangun cerita berdasarkan soal pandangan politik dan kritikannya terhadap isu-isu tersebut. Maka tidak ada waktu yang lebih tepat lagi daripada sekarang ini – ketika #BlackLivesMatter kembali digemakan karena pelanggaran oleh seorang polisi kulit putih di Amerika – untuk film terbaru Spike Lee tayang. Da 5 Bloods, drama yang turns out to be a genre action-adventure tentang para veteran perang Vietnam, dibuat oleh Spike Lee untuk membahas nasib tentara kulit hitam selepas perang. Bahwa mereka tidak mendapat apa-apa selain trauma. Bahkan tidak pula terima-kasih. Apalagi sebuah kata maaf.
Begini gambaran besar kondisi mereka yang pada poin tertentu diutarakan lewat karakter fiktif dalam film ini: Kulit hitam adalah minoritas di Amerika, tapi di medan perang – di Vietnam sana – kulit hitam mendominasi. Kebanyakan mereka dikirim memperjuangkan kebebasan bangsa asing, padahal di negara sendiri mereka sama terkekangnya. Atas bahaya perang, kekerasan yang terpaksa dilakukan – karena dalam perang, setiap perbuatan adalah mengerikan, para tentara ini menanggung semua trauma sementara kebebasan bagi mereka tak kunjung datang. Perang bagi mereka sendiri tak-pernah berakhir.
Empat dari mereka itu adalah Paul, Otis, Melvin, dan Eddie. Empat tentara yang sudah menjadi seperti saudara karena semua yang telah mereka lalui di belantara Vietnam sana. Da 5 Bloods adalah cerita tentang keempat orang ini, yang tadinya berlima. Satu ‘blood’ lagi, teman, sahabat, sekaligus junjungan mereka semua, Norman, gugur di medan perang. Untuk dialah geng Bloods yang kini udah gaek itu berkumpul kembali di kota Ho Chi Minh. Mereka akan menyusur hutan, menjemput jasad Norman, sekaligus mengambil harta karun, like, literally emas batangan, yang tertimbun di tempat terakhir mereka berperang. Namun tentu saja perjalanan itu tidak bakal sedamai yang mereka duga. Sebab pencarian harta karun ini membuat mereka menapaki kembali tragedi dan kecamuk personal di masa lalu. Sekali lagi mereka harus berperang. Orang bilang emas mampu mengubah manusia menjadi yang terburuk. tapi itu bukan satu-satunya ‘musuh’ yang harus mereka kalahkan. For each of them punya kepentingan personal; kebutuhan yang harus disegerakan dalam usaha berdamai dengan masa lalu. Particularly menarik adalah dua orang tokoh; Otis yang served as protagonis sekaligus hero, dan Paul sebagai tokoh utama. Dan masalah kedua orang ini berkaitan dengan anak, yang bisa kita tarik garis keparalelan dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh film dalam isu penduduk kulit hitam yang selama ini diperlakukan seperti anak tiri oleh negara.

‘Emas hitam’ itu adalah darah persahabatan

 
Meskipun dimulai dengan berondongan montase video Muhammad Ali yang menolak enlist jadi soldier dan cuplikan-cuplikan foto sejarah perang Vietnam lengkap sama nama dan tanggal-tanggal penting (cuplikan ini bisa bikin tidak nyaman karena nampilkan mayat korban dan eksekusi real), dan aksi-aksi protes terhadapnya, Da 5 Bloods yang sarat akan komentar politik ini tidak terasa berat untuk dinikmati. Lee sukses mengaduk ketegangan isu ras, emosi, kemarahan di dalamnya, dengan momen-momen menyentuh dan komedi yang akrab, dan lalu menutupnya dengan aksi brutal ala film laga. Tidak akan susah bagi kita untuk mengikuti drama yang melatarbelakangi cerita film ini. Simpati itu juga tidak diminta kepada kita, film tidak mengemis belas kasihan kita kepada para tokoh kulit hitam dan ketidakadilan yang mereka terima. Instead, yang kita lihat di sini adalah karakter-karakter yang bercela karena dampak perang. Kadang kita takut kepada mereka. Kadang kita ingin mereka mendapat keadilan. But mainly, kita semua akan merasakan deep connection, apalagi ketika film mulai membahas hubungan karakter dengan anaknya.
Lewat tokoh Otis yang diperankan oleh Clarke Peters, film mengangkat topik anak yang berasal dari hubungan tentara dengan penduduk lokal selama perang. Sebelum berangkat ke hutan, Otis mengunjungi perempuan Vietnam yang dulu pernah berhubungan dengannya. Di rumah perempuan itu, unexpectedly Otis bertemu dengan anak gadis yang tidak-lain-tidak-bukan adalah buah hubungannya dengan si perempuan. Namun tidak satupun dari mereka yang berani menyebutkan hal tersebut kepada si anak. Bohong diciptakan untuk menutupi hal tersebut, dan Otis hanya bisa diam. Dia ingin ‘menyapa’ anak kandungnya ini so bad,  kita jadi peduli kepadanya, kita ingin mereka benar-benar ‘bertemu’. Dan ini dikontraskan sekali dengan hubungan antara Paul dengan anaknya, David, yang diam-diam menyusul ke Vietnam dan ikut serta dalam perjalanan mereka. David gak pernah diaku anak oleh Paul, sepanjang dua jam lebih film ini kita akan melihat perlakuan Paul kepada David – sekali waktu dia cemas ketika David nginjek ranjau, dan kali lainnya dia tidak lagi menganggap David anaknya hanya karena David menolak untuk ikut meninggalkan kelompok. Tapi film membiarkan kita tetap lekat kepada Paul supaya kita bisa mengerti akar dari permasalahannya dengan David.
Dan oh boy, betapa Paul adalah tokoh yang kompleks, dan dimainkan dengan luar biasa oleh Delroy Lindo!

 
 
This is my favorite acting performance so far this year. Lindo berhasil memaksimalkan intensitas dari karakter Paul yang benar-benar… haunting. Paul adalah yang paling terpengaruh oleh kematian Norman dibanding tiga rekannya yang lain. Dia yang paling terpukul oleh dampak perang. Bayangkan amarah, takut, sakit, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu hidup. Itulah Paul. Paul ini kayak ngeliat Big Show di WWE, kadang dia baik, kadang jahat banget. Kadang kita mencemaskan dirinya saat PTSD-nya kumat. Kadang kita bisa merasakan kebencian tulen menguar dari dirinya. Untuk membuatnya lebih ruwet lagi, Lee menuliskan Paul sebagai seorang supporter Trump. Menunjukkan rasa patriotnya yang tinggi, yang kontan menjadi tambahan konflik buatnya once he realized itu tidak membuat hidup menjadi lebih mudah baginya. Malahan makin susah, bukan hanya baginya tapi juga bagi keluarga – bagi anaknya. Transformasi karakter ini diperlakukan dengan sangat unik. Lindo akan banyak melakukan monolog, dan pada beberapa monolog Lee membuat Lindo secara close up bicara langsung kepada kamera. Sehingga efek yang dihasilkan menjadi luar biasa. Yang membuat monolog itu unik adalah yang ditampilkan bukanlah tokoh yang perlahan menjadi gila karena perbuatannya. Melainkan tokoh yang mengalami sebuah penyadaran dahsyat. Paul menjadi a better man, sekaligus dia sadar seberapa banyak dosa-dosanya.

Paul adalah ayah, yang harusnya mengayomi anak seperti negara mengayomi warganya. Tapi Paul membunuh ‘orang’nya sendiri. Seperti negara yang kerap membunuhi warganya sendiri, for no reason. Arc Paul beres begitu dia meminta maaf, yang membuatku berpikir jangan-jangan inilah seruan Lee kepada negaranya. Bahwa yang dibutuhkan adalah meminta maaf. Kemudian mengakui warga selayaknya anak, tanpa pandang bulu, tanpa pandang warna.

 
 
Menyadari betapa pentingnya bagi kita para penonton untuk tetap berpegang kepada para tokoh, untuk melihat mereka sebenar-benarnya diri mereka, Spike Lee enggak repot-repot mencari dua pemain untuk memerankan dua versi karakter. Dia juga tidak menggunakan efek untuk memudakan, yang beresiko membuat tokohnya tidak tampak alami dan melepaskan kita dari mereka. Da 5 Bloods dari waktu ke waktu akan membawa kita ke masa lalu, masa perang saat Paul, Otis, dan teman-teman sebagai tentara muda, dan dia menampilkan mereka benar-benar seperti mereka tidak pernah berubah lagi setelah perang mengubah mereka terlebih dahulu. Kontras karakter versi muda dan tua ini cuma di kekuatan fisik – in modern day kita melihat Otis harus berjalan dengan bantuan tongkat karena pinggangnya udah gak kuat, sedangkan di masa lalu ia kuat berlarian. Lee menghandle dua masa itu dengan sangat mulus. Dia juga menggunakan perbedaan ratio pada layar. Adegan perang di masa lalu punya ratio yang lebih kecil sehingga menimbulkan kesan seperti melihat rekaman masa lalu.
Perpindahan masa ini tidak pernah terasa mengganjal karena Lee tidak melakukannya dengan berlebihan. Melainkan dia melakukannya dengan timing yang precise, dia tahu kapan untuk ngeflashback sehingga terasa impactful. Ada satu flashback yang terus diulur, adegan sebenarnya antara Paul dan Norman di medan perang, kita punya dugaan tentang adegan ini, kita ingin konfirmasi, tapi film tidak melakukannya sehingga kita terus terbuild up, dan dying for the flashback. Aku biasanya gak demen sama flashback, tapi di film ini aku jadi merasa butuh. Dan BAMM! ketika beneran tiba, efek adegannya menjadi berkali lipat. Buatku ini adalah cara yang pintar dalam menggunakan flashback; tidak berlebihan melainkan yakinkan dulu penonton sudah terinvest dan buat mereka merasa butuh untuk melihat flashback.
Sisipan dalam film ini bukan hanya flashback, melainkan juga footage-footage adegan nyata, yang seperti sudah kusinggung di atas; dapat menjadi disturbing untuk kita lihat. Korban-korban perang, mayat wanita, balita… Ini ditampilkan oleh film bukan untuk ajang biar edgy atau menarik penonton haus darah. Ini harus ada sebagai penekanan atas narasi yang dibentuk oleh film. Mayat-mayat itulah yang dipikirkan para tentara, itulah oleh-oleh yang dibawa pulang kalo kita berperang. Film menekankan bahwa mereka melakukan itu semua untuk apa. Secara konsep juga film menunjukkan mereka tidak segan-segan untuk menampilkan aksi kekerasan. Ada banyak adegan tembak-tembakan disebar – penggemar film perang akan enjoy main tebak-tebakan reference saat nonton ini – dan di babak akhir ada konfrontasi gede sebagai final-fight yang buatku sedikit terlalu ngegenre, tapi diperlukan oleh salah satu karakter sebagai full-circle arcnya.
 
 
 
 
Dalam durasi dua setengah jam, Spike Lee membawa kita mengarungi perjalanan emosi. Membuat kita berpikir tentang keadilan dalam sudut yang baru. Mengenai makna sebenarnya dari sebuah patriotisme. Ada banyak yang bisa kita pikirkan dari karakter-karakter di sini. Yang membuat ini menjadi tontonan bergizi yang mengasyikkan adalah ia tidak berhenti hanya sebagai komentar soal politik. Film ini menyentuh dunia nyata keras-keras, menjitaknya kalo boleh dibilang, tapi tidak lupa untuk menjadi menghibur. Tanpa mengurangi bobot pesannya. Ini kemampuan yang gak semua sutradara mampu, dan kupikir dunia sangat berterima kasih atas kehadiran film ini.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for DA 5 BLOODS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Para tentara itu bertanya kepada diri mereka sendiri kenapa mereka mau berperang untuk negara yang tetap saja memperlakukan mereka seperti warga kelas-dua saat kembali nanti. Bagaimana menurut kalian, apakah itu adalah bentuk pengabdian kepada negara?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Backlash 2020 Review


 
 
Nama adalah doa. Bukan sekadar merek penanda, melainkan ada hembusan harapan – ada ekspektasi – yang tersematkan ketika seseorang memberikan nama kepada sesuatu. Makanya agama melarang kita memberikan nama-nama atau julukan yang bermakna buruk. Dumbledore aja tau pentingnya sebuah nama, ia menegaskan kepada setiap orang untuk memanggil Voldemort dengan nama yang benar karena julukan hanya akan memperbesar ketakutan. Sebegitu besar pengaruh nama, ia dapat mempengaruhi kepribadian ataupun cara kita memandang sesuatu. Orang-orang dulu percaya nama bahkan bisa mempengaruhi kesehatan; ada banyak cerita tentang anak sakit-sakitan karena ‘enggak cocok nama’ dan lantas beneran sembuh begitu namanya diganti secara resmi oleh orangtuanya. Dan aku tau ini adalah paragraf yang aneh untuk memulai sebuah ulasan acara gulat, maka aku pastikan bahwa kalian enggak salah baca artikel, atau aku enggak keliru ngepos artikel, karena semua ini berhubungan dengan WWE yang memberikan nama “The Greatest Wrestling Match Ever” kepada pertandingan Edge melawan Randy Orton yang jadi main event di Backlash 2020.
See, nama dapat menjadi beban. Kita meletakkan begitu besar tekanan dengan menyebut, atau bahkan menjanjikan sesuatu sebagai ‘sesuatu-yang-terhebat’. I mean, misalnya aku gak akan mempromosikan blog ini sebagai ‘The Greatest Review Blog Ever’ meskipun boleh jadi itu memang strategi pemasaran yang ampuh. Tentu aku berharap blog ini suatu hari bakal jadi yang terbaik, tapi memasang itu sebagai plang identitas hanya akan membawa beban, karena aku bakal terus kepikiran bagaimana jika ‘janji nama’ tersebut tidak terpenuhi. Ini akan membuat menulis jadi less-mengasyikkan dan more-of-a-work. Persis itulah yang terjadi kepada match Edge dan Randy Orton, hanya beberapa saat saja setelah partai tersebut diumumkan secara resmi.
Orang-orang mulai mempertanyakan langkah seperti apa yang bakal dilakukan WWE. Sebagian besar curiga nama itu hanya gimmick untuk mendongkrak rating di tengah terpuruknya performa acara ini semenjak format ‘new-normal’ akibat pandemi. Awas aja kalo jadi sok-sok cinematik lagi begitu komentar salah satu temanku terhadap match ini. Low key; ekspektasi terhadap WWE untuk menghasilkan pertandingan sesuai janji semakin gede. Dan begitu menonton match ini, jelas WWE beneran terberatkan oleh ekspektasi ini. Sebelum mulai, komentator mengumumkan partai utama ini akan di-enhance oleh audio sorakan penonton (ngasih ambience ekstra di belakang teriakan-teriakan awkward pegulat development yang disuruh jadi penonton suruhan), direkam duluan dan enggak live seperti match-match lain pada acara ini, dan menggunakan sudut kamera unik (which means, cut-cut impossible yang dimasukkan untuk menambah dramatisnya pertandingan, seperti shot momen wajah Edge sesaat sebelum dibanting di bawah pitingan yang jelas gak bakal bisa direkam kalo match-nya live dan tanpa cut). Dua dari tiga hal tersebut nyatanya tidak diperlukan sama sekali, karena hanya membuat match ini menjadi tontonan yang semakin awkward. Juga berlawanan dengan pengertian ‘match terbaik’ sebab gulat sejatinya adalah live performance, jadi terbaik dalam konteks ini adalah hal yang berlangsung on-the-go, bukan yang sengaja di-recreate.
Dua hal tersebut juga tidak diperlukan karena Edge dan Orton, toh, benar-benar sanggup menyuguhkan pertandingan gulat tradisional yang kuat secara in-ring psikologi dan menyampaikan cerita dengan efektif. Dua superstar ini tidak membutuhkan perlakuan spesial untuk dapat memberikan kepada kita pertandingan yang katanya terbaik sepanjang masa.

bukan Edge lawan Orton kalo gak ngereference-in Chris Benoit

 
Tentu, match itu jelas bukan terbaik sepanjang masa, tapi ini adalah yang terbaik yang bisa kita dapatkan sejauh era pandemi ini. This is way better than those cinematic matches. Orton dan Edge mengambil moniker nama itu, bukan sebagai beban, melainkan sebagai tantangan yang mereka inkorporasikan menjadi konteks pertandingan. Match yang durasi tiga-puluh-menitan ini diarahkan untuk memuat berbagai reference atau throwback dari pertandingan-pertandingan klasik yang tak pelak merupakan kandidat kalo kita nyebut pertandingan terbaik sepanjang masa di WWE. Edge dan Orton akan ‘menirukan’ laga Savage lawan Steamboat dari Wrestlemania 3, menggunakan jurus-jurus dari legenda semacam Ric Flair, Kurt Angle, Bret Hart, The Rock. It was really fun; fun dalam artian fun positif konteks gulat tentunya. Mereka at some points juga memakai jurus dari superstar yang berpengaruh dalam karir mereka, seperti Orton menggunakan Pedigree milik Triple H yang dulu jadi mentornya di stable Evolution, dan Edge yang menggunakan The Unprettier milik rekan tag team dan sahabat sejatinya di real life, Christian. Alur pertandingan ini sungguh seru karena kedua superstar bertarung dengan mati-matian. Edge kick out dari sejumlah RKO, begitupun Orton masih idup walau udah terkena Spear dan Edgecution berkali-kali.
WWE benar-benar berusaha keras bukan saja ‘membantu’ match ini jadi lebih seru, melainkan juga karena mereka ingin untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada match Edge melawan Orton di WrestleMania bulan April lalu. Elemen enhance-audio memang cukup membantu meramaikan suasana, apalagi sekarang komentatornya benar-benar aktif dan semangat mengomentari. Dan memang begitulah seharusnya. Karena bagaimana pun juga ini adalah pertandingan gulat, bukan sebuah kejadian kriminal or something. Komentator gak perlu sok-sok hening dramatis dan ekstra berpura-pura match yang mereka komentari adalah hal mengerikan. Buatlah penonton terus excited dan berikan reaksi dan insight-insight supaya match semakin seru dan kita percaya dengan keseruan tersebut.

Setiap orang, sadar atau tidak – langsung atau tak langsung, akan terdorong untuk bersikap sesuai nama yang ia berikan atau yang diberikan kepadanya. Kita akan berusaha keras memenuhi citra yang diciptakan duluan alih-alih berkembang membentuk citra yang natural. Pemberian nama dapat menghasilkan backlash yang merugikan ketika kita tidak mampu memenuhi hal tersebut. Acara WWE Backlash 2020 menghadapi masalah demikian. Namun ini adalah wrestling show, ia tahu cara ‘bergulat’ dan yang kita dapatkan adalah one-hell-of-a-fun ride!

 
Pertandingan-pertandingan lain yang kita dapatkan di Backlash kali ini juga seru-seru. Aku bahkan oke sama Jeff Hardy melawan Sheamus, walaupun punchline feud mereka terbilang konyol. Nyiramin pipis itu tipikal Vince McMahon banget; komedi yang cuma dia sendiri yang menganggapnya lucu. Untungnya match mereka yang lambat masih punya beberapa momen yang bikin melek, mainly karena Jeff Hardy yang jago nge-bump. Satu lagi filler yang enggak-jelek adalah handicap untuk Universal Championship. Ada penambahan stipulasi yang berfungsi sebagai stake. Aksi dari Miz dan Morrison tampak bervariasi dan sangat balance dengan gaya-tarung Strowman yang powerhouse. Match ini berhasil membuat ketiga superstar yang terlibat tak tampak konyol, dan Twist kecil di akhir membuat pertandingan ini jadi sedikit lebih berarti. Memberi match ini secercah story dan menunjukkan kepada kita Morrison dan Miz kalah bukan exactly karena Strowman, melainkan karena Miz yang naluri egoisnya muncul. Ini bisa jadi permulaan story baru untuk team Dirt Sheet.

Lagu itu mestinya jadi entrance mereka aja untuk memaksimalkan waktu tho

 
 
It would be cool kalo Morrison jadi juara, tapi kita tentunya tak mau ada situasi yang sama persis ama story Bayley dan Sasha, yang btw sudah berlangsung lama banget. Kita dari tahun lalu udah gregetan pengen liat dua sahabat ini pecah dan berantem, WWE dengan cerdas mengulur-ngulur. Dan mereka mulai growing on me, honestly. Story relasi mereka ini bekerja jauh lebih baik sekarang karena mereka berdua adalah heel, alih-alih babyface kayak tahun lalu. Karena kedua superstar cewek ini so good sebagai heel jadi kita menebak bagaimana cerita perpecahan bakal ditangani oleh WWE. Yang berkhianat adalah yang menjadi face, ini kejadian yang lebih langka dibanding yang berkhianat berubah menjadi jahat yang sudah kita lihat berkali-kali.
Kejuaraan Tag Team Cewek itu comes full circle karena melibatkan tim-tim yang punya peran terhadap eksistensi sabuk tersebut, seperti yang dijelaskan panjang lebar oleh komentator. Thus make this match interesting. Mereka juga menyuguhkan aksi yang segar, karena kali ini WWE menggunakan rule triple threat yang ketiga perwakilan tim aktif di ring di saat yang bersamaan, instead of two. Peyton Royce paling menonjol di sini. Kedua adalah Alexa Bliss yang di sini terlihat lebih agresif daripada biasanya. Ini bisa jadi karena pengaruh bullying yang baru-baru ini ia terima dari seorang podcaster yang mengkritik performanya dalam bergulat. Alexa tampak benar-benar ingin membuktikan dia adalah The Goddess, sesuai namanya, dan aku senang melihatnya. Sahabat Alexa Bliss, Nia Jax, juga mengalami masalah yang sama. Dalam matchnya melawan Asuka di sini, Nia tampak bermain berbeda dari yang biasanya, dan kemungkinan besar itu karena belakangan ia santer dihujat karena bermain dengan terlampau ugal-ugalan. Nia Jax dengan sukses membuat WWE melarang jurus Buckle Bomb saat ia mencederai Kairi Sane dengan menggunakan jurus tersebut. However, match dia melawan Asuka terasa standar dan cukup boring. Meskipun Asuka berkali-kali melancarkan stiff kick, tapi match ini powerless, apalagi karena endingnya yang basically memperpanjang feud mereka.
Satu lagi yang suffer from bad ending adalah match perebutan sabuk WWE antara Drew McIntyre melawan Bobby Lashley. Padahal partai ini dimulai dengan intriguing. Semua yang terlibat, termasuk MVP yang jadi manager Lashley, punya peran yang membuat match ini sangat berimbang antara aksi dengan story. Lashley dan Drew punya potensi gede, mereka tampak mampu menghasilkan match powerhouse yang seru. Namun keinginan kita tersebut tidak terwujud di sini. Karena, you guessed it, Lana muncul and ruined everything.
Menurutku WWE masih harus terus menilik ulang prioritas mereka. I know, dalam sebuah show, enggak bisa untuk terus memberikan match bagus dan penting, card harus diimbangi dengan match filler, match komedi, main event, promo, dan sebagainya. Hanya saja harusnya posisi filler atau komedi sebaiknya tidak diberikan pada match championship. Perpanjangan feud bisa dilakukan tanpa menjadi mengecewakan. Pada Backlash ini, sebagai bathroom break/pengurang tensi/apalah namanya, WWE menggunakan kejuaraan tag team dalam environment match ‘sinematik’. Dan ini konyol sekali. Street Profits dan Viking Raiders bukannya bergulat, mereka malah kayak main power ranger-power rangeran. Battle komedi yang melibatkan ninja anak motor dan flashback sequece ke lomba-lomba konyol yang jadi feud mereka setiap minggu di Raw sebelum acara ini. Yea, ini fun, ini bekerja memenuhi fungsinya pada struktur acara, but it also is a giant waste of time. Aku bisa ngebayangin Jim Cornett ngumpat-ngumpat ‘pertandingan ini.
 
 
 
Tapi honestly, aku senang WWE tidak lagi menganggap serius ‘cinematic match’ mengingat posisinya sebagai bridge alias bathroom break di acara ini. WWE kembali mementingkan gulat dalam artian yang lebih tradisional. Match Edge melawan Randy Orton, meskipun masih jauh dari Greatest Match Ever, tapi easily adalah MATCH OF THE NIGHT, karena benar-benar menawarkan aksi seru, psikologi yang tepat, dan cerita yang padu. Match-match lainnya, meskipun beberapa punya ending yang males (dan malesin), juga dibangun dengan actual wrestling yang seru. WWE harus menyadari bahwa mereka mampu menghadirkan sesuatu yang spesial, aku percaya mereka masih bisa, dan mengurangi bergantung pada hal muluk dan penggunaan nama-nama yang berlebihan seperti ‘greates ever’ atau ‘first time ever’ yang jatohnya malah jadi annoying duluan.
 
 
 
 
Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Sasha Banks dan Bayley tetap juara ngalahin Alexa Bliss dan Nikki Cross, dan The IIconics 
2. SINGLE Sheamus mengalahkan Jeff Hardy
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka menang ring-out atas Nia Jax
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HANDICAP Braun Strowman retains over John Morrison and The Miz
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Bobby Lashley
6. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Street Profits dan The Viking Raiders malah ngelawak
7. THE GREATEST WRESTLING MATCH EVER Randy Orton unggul dari Edge  
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ARTEMIS FOWL Review

“Trust is that rare and priceless treasure…”
 

 
 
Menyebut cerita fantasimu seperti gabungan Harry Potter dengan Spy Kids seharusnya merupakan pujian. I mean, otomatis kita akan berasumsi itu adalah pujian karena bayangkan saja sebuah dunia dongeng hunian makhluk-makhluk sihir yang mentereng oleh teknologi-teknologi canggih! Tapi entah bagaimana, sutradara Kenneth Branagh mengacaukan imajinasi tersebut. Film Artemis Fowl yang ia adaptasi dari salah satu novel fantasi populer ini seperti penggabungan yang terburuk, karena arahannya justru membuat dunia khayal tersebut jadi tak-berbobot, tak-berhati, dan tak-berjiwa.
Ceritanya malah begitu amburadul, sehingga menuliskannya ke dalam sinopsis akan membuat paragraf ini seperti racauan gelandangan bermulut bau alkohol murahan yang sering kita temukan nongkrong di sudut kota. Tersebutlah Artemis Fowl, anak dua-belas tahun putra seorang jutawan barang antik. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan dari ayahnya yang hobi nyeritain dongeng. Suatu hari ayah Fowl diculik dari ‘perjalanan dinas’ dan disekap oleh seorang misterius yang meminta tebusan berupa Aculos. Artifak berkekuatan super milik bangsa peri. Yea, ternyata di bawah tanah, merahasiakan diri dari manusia hiduplah bangsa peri, kurcaci, troll, dan-kawan-kawan, dengan teknologi yang jauh lebih maju daripada manusia. Artemis Fowl harus memaksa dirinya mempercayai dongeng yang ia dengar sejak kecil, dan berusaha menangkap satu peri, supaya dia bisa mendapatkan Aculos untuk nego membebaskan ayahnya dari penculik misterius. Masalahnya adalah, bahkan bangsa peri sendiri tidak tahu di mana Aculos yang sudah lama hilang dari dunia mereka, dibawa ke dunia manusia. Jadi keseluruhan film pertama dari apa yang diniatkan sebagai seri film Artemis Fowl ini akan membahas perebutan ‘The Lost Aculos’ di atas fungsinya sebagai origin atau perkenalan sebuah dunia magis yang baru.

Dan ‘aku-lost’ oleh hiruk pikuk cerita film ini

 
 
Film ini udah sekitar dua-puluh tahunan mengembara di dapur produksi. Begitu novelnya rampung, sudah banyak yang ngebet pengen memfilmkan ini sebelum dibeli oleh Disney. Gak tau deh berapa banyak draft untuk film ini sejak saat itu. Namun yang jelas, poster ‘coming soon’nya mulai mejeng dari tahun lalu di bioskop. Dan akhirnya Disney merilis ini di tengah pandemi. Di saat film-film unggulan Disney yang lain ditunda hingga bioskop buka, Artemis Fowl muncul begitu saja di layanan streaming official Disney+, sehingga lantas saja menimbulkan pertanyaan kenapa sekarang menjadi waktu yang tepat? Mereka udah nunggu bertahun-tahun, apalah arti menunggu sedikit lagi supaya tayang di bioskop? Melihat keseluruhan film ini, kita boleh lancang menjawab karena Disney sendiri tau hasilnya jelek, sehingga menunggu lebih lama akan makin memperbesar ekspektasi orang-orang, maka to lessen the inevitable damage dirilislah sekarang. Akan tetapi, kalo boleh bersikap positif sedikit, mungkin film ini ditayangkan hari-hari ini karena ceritanya mengandung sedikit pesan yang relevan dengan keadaan.

Bangsa peri dan manusia terpisah karena masing-masing takut dengan yang lain. Ada rasa tidak percaya yang tumbuh. Aculos yang berakhir menjadi pemersatu dua bangsa ini adalah simbol dari trust. Ia adalah harta tak-ternilai, yang punya kekuatan super, yang berhasil menyelamatkan semua berkat dua makhluk; manusia dan peri, yang sepakat untuk saling percaya menjaga dan menyimpannya jauh dari tangan-tangan jahat.

 
Dalam ngereview film, biasanya aku selalu menggunakan formula ‘utarakan nilai plus filmnya dulu, ceritakan yang baik-baik di atas, lalu kemudian ditutup dengan kekurangan dan nilai minus film’. Namun untuk Artemis Fowl ini aku benar-benar kesusahan mencari nilai positif untuk disampaikan kepada pembaca. Karena sama seperti suasana wow dan magis, pencapaian bagus film ini juga sama sekali gak ada. Pesan yang kutulis di atas tadi besar kemungkinan adalah long-reach, yang justru terasa karena menontonnya di tengah masa-masa berita #BlackLivesMatter santer alih-alih karena filmnya memang menyematkan pesan untuk keadaan itu. Karena faktanya, film ini tidak pernah melakukan banyak hal terhadap tokoh-tokohnya yang beragam rupa tersebut.
Aku ingin bisa bilang bahwa petualangan dan pencarian Aculosnya seru, mengasyikkan, ataupun menegangkan, tapi gak bisa. Sebab film ini tidak punya adegan petualangan itu sendiri. Lucu gak sih. Ini benar-benar cocok sebagai film yang ditayangkan di masa pandemi karena Artemis Fowl ini adalah FILM PETUALANGAN YANG TOKOH UTAMANYA DI RUMAH AJA! Artemis gak ke mana-mana. Dunia peri bawah tanah itu, dia tidak ke sana. Tidak ada momen dia tercengang oleh dunia atau makhluk-makhluk yang sama sekali belum pernah ia lihat, not to mention mereka adalah eksistensi yang selama ini tidak ia percayai ada di muka bumi. Kita, penonton doang, yang tau-tau dipindah dari rumah gede Artemis ke bawah tanah melihat bangsa peri. Kita melihat teknologi mereka, di bawa masuk ke antara barisan pasukan peri yang bersenjata unik. Namun kita tidak diberikan waktu untuk meresapi semua itu. Hal-hal berlalu begitu cepat, lenyap dalam lontaran-lontaran eksposisi. Lupakan soal eksplorasi, kita bahkan enggak pernah benar-benar diperkenalkan kepada tokoh-tokoh yang muncul satu persatu. Film cuma menampakkan mereka di layar, sementara informasi tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, semuanya disebutkan. Kita enggak belajar apapun. Fantasi dan wonder itu sama sekali enggak nyangkut, sehingga film ini tumpul secara emosional.
Padahal setidaknya ada beberapa karakter yang menarik. Komandan peri yang udah beratus tahun membenci manusia kemudian menyadari hal penting. Dwarf yang gak diterima oleh bangsanya sendiri karena punya fisik yang berbeda. Pejuang peri yang diremehkan karena ayahnya melakukan sesuatu di masa lalu sehingga dicap pengkhianat. Film tidak pernah sepenuhnya stop untuk mereka. For the sake of Artemis yang benar-benar membosankan. Tokoh utama kita ini enggak punya sesuatu yang spesial. Sikapnya standar anak orang kaya yang bisa jadi annoying atau sedikit brengsek kepada orang lain. Dia diperlihatkan suka surfing, tapi apa hubungannya itu dengan ini semua. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai ‘criminal-mastermind’, tapi sama seperti banyak hal pada film, semua itu hanya diucapkan tanpa pernah diperlihatkan buktinya. Visual storytelling film ini sungguh gak-jalan. Sutradara sendiri sepertinya bingung untuk menggali karakter ini, bagaimana membuat sebuah anak-kriminal sebagai tokoh film anak-anak, jadi dia memberikan petunjuk kepada Ferdia Shaw – aktor cilik yang memerankan Artemis – untuk diam berekspresi kaku saja setiap kali berbicara. Aku berharap dia terus-terusan memakai kacamata hitam, soalnya paling tidak matanya tak lagi terlihat mengawang menghapal dan nunggu dialog berikutnya.
Untuk sebuah dunia fantasi yang supposedly luas, film memaksa kita untuk mendengarkan saja narasi. Menonton ini seperti terikat kepada paparan yang dicuapkan oleh seorang karakter – dan ini adalah konsep yang benar-benar aneh untuk bercerita tentang sebuah petualangan fantasi. Begini, cerita yang kita ikuti di sini basically adalah flashback yang dikisahkan oleh seorang dwarf raksasa (bayangkan Hagrid, tapi less-simpatik). Di raksasa sedang diinterogasi karena punya hubungan dengan keluarga Fowl dan dia disuruh menjelaskan semua kejadian. Yang ia ceritakan itulah yang kita tonton, dengan konteks yang meragukan karena di menjelang akhir ia menjelaskan bahwa penangkapan dirinya sudah direncanakan, dan dia memang diberikan tugas untuk membeberkan informasi sehingga kita gak bisa yakin semua yang kita tonton beneran terjadi atau cuma karangan berbumbu dari si dwarf. Mungkin inilah pembelaan film; penceritaan mereka begitu simpang siur, kita tidak pernah benar-benar kenal dengan si Artemis yang jadi tokoh utama, kita malah melihat lebih banyak dan lebih tertarik sama bangsa peri, karena si dwarf-lah yang mendongeng dan ia adalah pendongeng yang buruk.

More like, ‘Artemis Foul’

 
 
Dari situ aja, film ini udah sedikit cacat pada logika. Salah satu alasan bangsa peri mencari Aculos adalah supaya rahasia keberadaan mereka tidak terbongkar. Tapi kemudian, setelah Aculos berhasil terselamatkan dan Artemis dan bangsa peri menjadi ally, si dwarf tadi disuruh untuk membeberkan cerita pertempuran mereka kepada manusia? Membuka rahasia bangsa peri dan kemudian pergi dari sana dengan cara yang tidak bersahabat? Aku tidak mengerti endgame si bocah kriminal itu sama sekali. Dan bicara soal aksi, mau bilang porsi action film ini keren, aku juga gak bisa, karena adegan pertempuran gede-gedean di rumah Fowl itu sungguh sukar untuk diikuti dengan mata telanjang kita yang gak dibekali teknologi peri. Semua hanya berlangsung se’duar-duar’nya pembuat film aja, segimana yang kira-kira bikin penonton bengong dan berhenti sejenak mengumpat film ini. Begitu banyak yang beterbangan ditangkap oleh kamera, mulai dari tokoh-tokoh yang tidak kita pedulikan hingga hal-hal kecil yang tidak terjelaskan. Misalnya, kenapa Artemis dan pengawalnya tidak terpengaruh time freeeze, ataupun kenapa kemudian time freeze itu mendadak rusak, dan udah tau rusak mereka semua masih diem di sana aja. Dan ketika ada satu tokoh yang terluka, dan mau-tak-mau kita mulai peduli padanya, film membantah itu semua dengan elemen penyelamat; bangsa peri bisa menyembuhkan segalanya. Dan hey, kalopun ada apa-apa, Aculos bisa memperbaiki apapun karena sangat kuat!
 
 
 
 
Hal paling parah dari film ini adalah dia tidak tau mau menjadi apa. Katanya ini adalah film pertama yang seharusnya membahas origin, tapi banyak hal esensial yang terskip dan hanya disebutkan oleh eskposisi, dan film langsung merapel ke konflik pada buku berikutnya. Katanya ini adalah film petualangan, tapi tokoh utamanya sama sekali tidak ke mana-mana untuk mencari benda yang harus dicari. Dan ultimately, film ingin kita menyukai tokoh utama – mereka mengubah cukup drastis karakter tokoh ini dibandingkan dengan novel – tapi si tokoh sama sekali tidak menarik dan gak ngapa-ngapain, kita juga lebih banyak mengikuti tokoh yang lain. Ini bahkan tidak terlihat seperti film dengan narasi dan karakter-karakter yang hidup, melainkan hanyalah rangkaian adegan-adegan gak spesial. My final words, ini adalah kekacauan storytelling yang mentereng.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for ARTEMIS FOWL.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kenapa sekarang kebanyakan justru polisi atau yang bersenjata semakin tidak percaya dan semakin takut kepada orang biasa?
Who can we trust now?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BECKY Review

“Anger is one letter short of danger”
 

 
Menjadi remaja berarti menjadi marah. Nyaris sepanjang waktu. Dalam menit-menit awal action-horror Becky, duo sutradara Jonathan Millot dan Cary Murnion, memparalelkan dunia remaja di sekolah dengan dunia penjara lewat cut-cut adegan yang saling bertubrukan. Memperlihatkan kepada kita bahwa penghuni kedua dunia tersebut kurang lebih sama. Mereka merasa terkekang. Mereka ingin memberontak. And as luck have it, beberapa napi toh memang berhasil kabur, atas nama persaudaraan – kekeluargaan. Di sinilah kontras dihadirkan, sebab kita kemudian berkenalan dengan tokoh utama cerita; cewek 13 tahun yang marah justru karena merasa keluarganya berantakan.
Becky nama remaja tersebut. Sasaran amarah Becky tentu saja adalah ayahnya, yang menjemputnya ke sekolah hanya untuk pergi liburan ke vila mereka – bersama calon ibu baru alias pacar sang ayah! Urgh!! Padahal Becky masih kangen sama ibu yang meninggal karena kanker beberapa waktu yang lalu. Jadi setibanya di villa, Becky memisahkan diri. Bersama anjing kesayangannya, Becky mengasingkan diri ke ‘benteng’ rumah kayu di tengah hutan. Sementara itu, ayah dan calon ibu tiri Becky kedatangan tamu. Dominick bersama anak-anak buahnya. Mereka kabur dari penjara karena mencari sesuatu yang disimpan di ruang bawah tanah villa milik ayah Becky. Dan ketika mereka tidak menemukan yang dicari, things get ugly. Film Becky adalah Home Alone (1990), kalo film tersebut beratus kali lebih sadis dan berdarah. Anak-anak, anjing, orangtua; tidak ada yang luput, semua jadi korban. Bagaimana dengan Becky? Well, bisa dibilang Becky bukan saja menemukan sasaran marah yang baru, dia juga membangkitkan rage yang belum pernah ia sadar ada di dalam dirinya.

kalo anjing Becky bernama Diego dan Dora, maka bisa jadi kita adalah Boots-nya

 
 
Ini bukan pertama kalinya Millot dan Murnion menjungkirbalikkan trope pada genre horor/thriller. Tengok saja salah satu karya mereka sebelumnya, Cooties (2014) – sayangnya aku dulu ngereview ini Path jadi gak ada jejaknya di blog – yang membahas tentang zombie outbreak di sekolahan; dengan anak-anak sebagai zombienya! Millot dan Murnion gak ragu untuk memperlakukan anak-anak dengan kejam di sana, karena mereka sudah jadi monster dan kita takut kepada mereka. Ya, ‘takut kepada anak-anak’ sudah menjadi topik yang menarik sejak cult-classic Village of the Damned (1995) dengan tepat menyimbolkan bahwa anak-anak merupakan cerminan dari kegagalan/mimpi-mimpi broken/kepolosan yang hilang dari orang dewasa. Dalam film Becky ini, Millot dan Murnion nge-subvert dua hal sekaligus; menjadikan anak yang menakutkan itu sebagai protagonis, dalam sebuah revenge-story yang biasanya bertokohkan wanita dewasa.
As far as the violence goes, film ini hadir menghibur. Suguhan yang diberikan kepada kita adalah adegan berdarah-darah. Paling seru yang berhubungan dengan bola mata. Yum! Melihat Becky mengamuk, berayun turun dengan semacam flying fox untuk menusuk salah seorang penjahat dengan pensil warna dan garisan kayu, memberikan sensasi kelegaan tersendiri kepada kita. Bukan hanya karena violence semacam ini masih teritung fresh (kapan lagi lihat anak-anak jadi jagoan Mortal Kombat, walaupun itu dalam ‘dunia’ mereka sendiri), melainkan juga karena biasanya anak-anak dalam film seringkali berstatus sebagai korban. Adegan tersebut berada pada titik balik si Becky, selama ini dia disuruh untuk menahan amarahnya. Kita melihat dia tidak punya outlet yang sehat dalam menyalurkan emosi dan griefnya – certainly semarah-marahnya seorang anak toh ia tidak bisa memukul bapaknya sendiri. Namun sekarang, geng Dominick yang jahat memberikannya alasan untuk meluapkan kemarahan. Film ini juga cukup detail dalam memplot langkah Becky berikutnya. Anak ini tidak lantas jadi jago, aksi-aksi dia berikutnya diperlihatkan sebagai sesuatu yang spontan. Ada bagian ketika rencana/jebakan yang diset oleh Becky gak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga dia harus menyusun rencana dadakan – bergulat dengan rasa marah, ketakutan, dan sakit, lalu menyerang dengan sesuatu yang sangat liar. Kekerasan dalam film ini menghibur dalam level aksi yang bakal hadir tidak terprediksi.

Marah itu amat sangat dekat dengan bahaya. Menyimpannya enggak sehat buat kita. Melampiaskannya? Kita harus berhati-hati karena ada cara yang sehat dan ada yang tidak untuk menyalurkan amarah. Namun tentu saja sehat itu dapat menjadi subjektif. Normalnya, melampiaskan dengan cara yang sehat akan berarti menyalurkan ke dalam bidang seni. Tapi pada Becky, melampiaskan dengan brutal adalah hal yang menyehatkan untuk hubungannya dengan keluarga.

 
Memainkan tokoh seperti Becky ini bukan masalah bagi Lulu Wilson yang sedari usia muda susah mentackle peran-peran dalam genre horor. Aku suka aktingnya dalam Annabelle: Creation (2017) dan dia even better di Ouija: Origin of Evil (2016), Wilson mampu menguarkan aura creepy tanpa kehilangan hook untuk simpati. Aktingnya di Becky ini hampir-hampir overkill, dia terus mengenai note yang sama berulang-ulang. Sayangnya film kurang peka. Becky tidak diberikan kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Revenge-story seperti film ini keberhasilannya bertumpu pada transformasi tokoh utama. Tokoh yang biasanya lembut, jadi garang. Tokoh yang biasanya sabar dan pemaaf, jadi tanpa belas asih. First-kill mereka selalu jadi poin yang penting, titik saat kita merasakan perubahan itu mulai mencuat. Lulu Wilson enggak diberikan kesempatan ini. Becky pretty much the same, ‘insane’ person. Sedari awal dia sudah begitu marah. Kita sudah dapat sense dia adalah bom waktu yang siap meledak. I mean, film bahkan udah menyamakan keadaan dia dengan keadaan napi di penjara, ingat? Sebagai alat untuk memperlihatkan Becky dalam keadaan manis, film menggunakan flashback ke masa-masa ia di rumah sakit bersama ibu. Hanya saja adegan tersebut lebih terasa seperti tempelan karena hanya disebar random tanpa benar-benar ada flow dalam journey karakter si Becky.

Penulisan film ini terlalu dangkal sehingga Jeff di sini bisa aja sama ama Jeff di serial Community

 
 
Padahal bisa saja Becky dikasih kesempatan untuk belajar soal lebih menghargai orangtua, khususnya, serta bagaimana membentuk dan dealing with ‘keluarga tiri’ so to speak dari anak buah Dominick yang bernama Apex (penggemar gulat akan mengenalinya sebagai Kurrgan dari stable The Oddities di awal-awal Attitude Era). Dari segi karakterisasi memang Apex yang berbadan kayak raksasa mini ini lebih kompleks dan menarik ketimbang Becky. Dia diangkat anak oleh Dominick, dia bersumpah setia, akan tetapi nurani mulai membebani dirinya – ia tidak tahan lagi menyakiti anak-anak. Ada sesuatu padanya yang bisa dikaitkan menarik dengan Becky. Namun film tidak membiarkan sang protagonis untuk keluar dari kubangan duka kematian ibu. Dari awal hingga akhir Becky hanya menunjukkan lapisan teen angst, entah itu dari ibu atau dari anjingnya. Lucunya, malah ayah Becky yang disuruh belajar satu dua hal dari Dominick mengenai raising a proper family. Pelajaran-hidup yang tidak berguna karena karakter ayah Becky ujung-ujungnya hanya sebagai body count.
Film ini tidak tepat sasaran secara emosional. Jika kita tidak disuruh memahami degradasi Becky melainkan merayakan keberingasannya, film seharusnya bermain di area dark-comedy, seperti Cooties. Dan memang sepertinya lebih cocok begitu, karena sukar bagi kita untuk mempercayai penjahat-penjahat ‘profesional’ bisa kalah sama remaja tiga-belas tahun yang outnumbered dan jelas kalah-pengalaman. Terutama ketika film mengharapkan kita untuk menganggap para penjahat sebagai threat yang berbahaya dan serius. Kevin James memainkan peran Dominick bukan tanpa sebab; dia ingin break out dari zona nyaman sebagai karakter komedi – seperti temannya, Adam Sandler yang dapat kesempatan itu di Uncut Gems (2020) – desain Dominick (nazi white supremacist yang percaya pada brotherhood) jelas bukan komedi melainkan penjahat serius dan dramatis. Mereka ini berbahaya tapi bisa kalah dengan mudah oleh Becky? Film bahkan menunjukkan kekalahan mereka dengan cukup remeh, enggak exactly Becky punya power atas mereka, mereka kalah karena keputusan bego mereka sendiri. Ini membuat film jadi gak make sense dan harusnya justru diberikan tone dark-komedi supaya bekerja.
Kita tidak pernah diberitahu apa sebenarnya motivasi Dominick; benda yang ia cari tidak pernah dijelaskan kegunaannya. Cerita film ini terbangun dengan sama kopongnya dengan arahan dan karakter. Becky seharusnya jadi horor tempat-tertutup yang menegangkan. Namun lokasi tidak pernah seperti jadi penghalang dan menekan tokoh utama. Alih-alih menguatkan kesan mereka terkurung, film justru membuat tempat tersebut seakan luas. Becky bisa beraksi dengan bebas, menghabisi satu penjahat, tanpa perlu takut ketauan penjahat lain, karena dia ada di pinggir danau yang who knows berapa jaraknya dari rumah. Hal ini membuat intensitas film jadi gak kuat. Suspens jadi terangkat karena kita menyaksikan adegan-adegan sebagai bagian yang saling terpisah – oh ini giliran si anu yang dihajar, oh ini giliran si ini. Seharusnya ada pemikiran yang lebih jauh dalam memanfaatkan set villa terpencil tersebut.
 
 
 
Sure, ada hiburan yang datang dari film ini. Blood-squirting, eyeball-popping; jelas ada penggemar film seperti ini. Apalagi tokohnya adalah remaja cewek, yang menghabisi pria dewasa kasar dan superrasis. Hanya saja ini adalah hiburan yang tanpa bobot. Dengan karakter satu-dimensi (remaja yang marah karena ibunya meninggal dan ayahnya mau kawin lagi), dan menjual kesadisan, film ini tak lebih dari sebagai tontonan gimmicky. Ia akan diingat sampai sajian yang serupa hadir, dan itu rentang waktunya gak akan lama. Karena film-film seperti ini toh memang banyak yang suka.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for BECKY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa remaja marah setiap waktu? Bagaimana caramu menghadapi adik atau anak usia remaja yang kerjaannya uring-uringan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SHIRLEY Review

“Art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.” 
 

 
 
Biopik atau film biografi biasanya ‘terkekang’ untuk menjadi sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan. Seperti film dokumenter, film biopik juga dituntut akurat; beda sedikit aja beberapa pihak yang berkaitan dengan sang tokoh bisa-bisa tersinggung. Film memang bukan media pemberitaan/jurnalisme, tapi tetap saja diharapkan untuk menyajikan fakta-fakta. Yang tentu saja semua itu dilakukan sebagai penghormatan untuk tokoh yang sedang diceritakan. Namun bagaimana jika tokoh yang diceritakan begitu unik? Bagaimana jika bentuk penghormatan yang layak terhadapnya adalah merancang kisah hidupnya sesuai dengan cara dan gaya yang kita tahu ia suka? Ya, tokoh seperti Shirley Jackson; pengarang novel misteri yang karyanya sudah banyak diadaptasi jadi film horor (salah satunya adalah The Haunting of Hill House yang recently jadi serial ngehits di Netflix), tentu akan bete kalo kisah hidupnya diceritakan dengan biasa-biasa saja. Makanya sutradara Josephine Decker yang biasa ngegarap film-film ‘eksperimental’ membuat Shirley ini sebagai biopik yang lain daripada yang lain. Bukan saja genrenya menyerempet horor, ceritanya pun dibuat mengaburkan batas antara fakta dan fantasi.
Shirley diangkat dari masa kehidupan sang pengarang saat proses kreatif penulisan novel misteri Hangsaman, sekitar tahun 50an. Publicly known, Jackson mendapat inspirasi dari kasus menghilangnya seorang mahasiswi yang pergi hiking dan tak pernah kembali. Selain itu dan fakta bahwa Jackson tinggal bersama suaminya seorang profesor literasi di kampus, cerita film ini dikembangkan dengan banyak elemen fiksi. Protagonis utamanya justru adalah seorang tokoh fiktif bernama Rose yang pindah ke kota yang sama dengan Jackson, ikut sang suami yang mulai bekerja di kampus sebagai asisten Stanley, suami Jackson. Rose tadinya berniat sekalian kuliah di sana, tetapi Stanley menggunakan karisma dan kata-katanya untuk ‘membujuk’ Rose tinggal di rumah bersama Jackson. Sekadar bantu-bantu selama novel terbaru itu selesai ditulis. Rose dan suami diberikan kamar sendiri, bebas dari biaya sewa. Namun itu berarti Rose harus memasak, bersih-bersih, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah yang lain. Sementara para pria bekerja di kampus, dan Jackson, di kamarnya, mengerjakan tulisan. Rose dan Jackson kemudian tumbuh hubungan yang aneh, as Jackson mulai membayangkan Rose sebagai tokoh utama cerita yang ia tulis.

write me like one of those french girl

 
Kinda like Persona (1966) atau Portrait of a Lady on Fire (2019), heart dari film ini adalah hubungan yang terjalin antara Rose dengan Shirley Jackson. Namun dengan konflik yang lebih kompleks, kalo gak mau dibilang ruwet. Pada Shirley ini kita enggak dengan gampang bisa menyimpulkan relasi yang tumbuh dari mereka; ini bukan soal pekerjaan kayak suster dengan pasien atau pelukis dengan model, jadi apakah ini soal penulis dengan penggemarnya, atau semacam hubungan mentorship, atau malah rasa saling suka, film tidak benar-benar memfokuskan kita kepada satu hal. Karena si Jackson ini sikapnya benar-benar aneh. Look, Jackson memang pribadi yang eksentrik. Pada adegan pesta di rumah saat kita melihat tokoh ini pertama kali, dia sedang mengobrolkan kepada tamu-tamu penggemar novelnya perihal dia gak excited berkenalan dengan suaminya. Jackson adalah seorang yang lebih suka mengurung diri di rumahnya yang tertutupi sulur-sulur tanaman daripada harus ngumpul-ngumpul ke luar. Jackson literally harus ditarik dari kasurnya setiap pagi oleh sang suami. Dia gak gampang akur sama semua orang, dan terhadap Rose sikapnya jauh lebih ‘labil’. Di satu kesempatan dia menjadi teman curhat bagi Rose, dan di kesempatan berikutnya dia membuka rahasia Rose perihal tengah mengandung bayi.
Berbeda dengan kebanyakan biopik yang ‘mengagungkan’ tokoh real yang jadi bintangnya, Shirley justru membuat Shirley Jackson menjadi hampir mustahil untuk disukai. Bukan sekali dua kali, dia membuat protagonis kita meninggalkan meja makan menahan tangis. “Aku penyihir” kata Jackson kepada Rose, dan suatu kali Rose pernah ditipunya; dipaksa makan jamur yang ia sebut beracun. Kita bisa merasakan ada penyiksaan mental di sini. Namun Rose tetap mau deket-deket sama Jackson, karena Jackson membawa pengaruh yang kuat dan somehow positif kepadanya. Berkat Jackson, Rose jadi lebih vokal mengekspresikan diri dan mengutarakan kecurigaan yang muncul di hati. In a way, sikap Jackson membantu Rose dealing with her own domestic problems. Kita juga susah menyimpulkan kenapa Jackson seringkali bersikap ekstra-tidak menyenangkan kepada Rose. Kita lihat dia punya rencana tersendiri dengan Stanley suaminya, tapi tetap tidak jelas apakah dia murni jahat atau dia beneran peduli atau bahwa dia sedang menempa Rose sehingga bersikap sesuai dengan tokoh utama dari novel yang sedang berusaha ia selesaikan.

If anything, lewat tokoh-tokohnya ini film ingin menunjukkan kepada kita kekuatan sebuah seni (dalam hal ini seni tulisan). Seni bisa membebaskan seperti Shirley yang terlepas dari tekanan Stanley begitu Rose hadir menjadi inspirasi baginya. Seni bisa membuka kebenaran seperti Rose yang mulai mengetahui banyak hal-sebenarnya dan berani mengungkapkan diri saat dia terlibat proses mengarang bersama Shirley. Film ini bercerita dengan tidak mengindahkan aturan, karena – sama seperti seni – film ini bermain dengan perasaan, bukan dengan moral.

 
Kekompleksan film ini juga hadir dari banyaknya aspek yang bekerja membangun ceritanya. Dia juga bicara tentang powerplay antara dua pria dan dinamika suami-istri dengan sama banyaknya. Kita bisa menarik isu tentang pemberdayaan perempuan dari cara salah satu tokohnya yang memanipulasi dan berpegang pada pandangan tradisional bahwa cewek harusnya ngurusin rumah tangga aja. There’s also a baby at play, kelahiran-rahasia yang dikontraskan dengan kematian misterius yang menyelimuti daerah tempat tinggal mereka; kasus yang jadi inspirasi Jackson menulis in the first place. Ini semua membuat film terasa berat dan membingungkan. Shirley adalah jenis film yang tidak bisa kita nikmati kalo kita menontonnya dengan niat melepaskan penat.
Tapi bukan berarti film ini tanpa hiburan. Penampilan akting yang luar biasa, misalnya dari Elisabeth Moss jelas jadi salah satu faktor yang membuat kita betah menonton film ini. Begitu unpredictable, begitu raw, begitu kasar kayak kertas amplas, namun tokoh ini sangat mengundang karena kita ingin tahu apa yang sebenarnya bekerja di balik kepalanya tersebut. Tantangan akting dalam film padet dan berani-tampil-unlikeable seperti ini tentu saja sangat berat. Dialog-dialog yang kita temukan persis seperti dialog yang umumnya ada pada novel; tidak konklusif, mengundang pertanyaan, dan memaksa kita untuk menggunakan imajinasi. Namun Moss mampu mendeliver semua itu dengan muatan emosi yang saklek. Kita kira dia sudah jempolan di The Invisible Man (2020)? Well, di film ini Moss membuktikan dia masih punya banyak untuk kita kagumi. Mengimbangi Moss adalah Odessa Young, sebagai Rose yang lebih ‘inosen’, naif, dan lebih gampang menuai simpati. Namun bukan berarti perannya kalah urgen. Rose adalah karakter yang sama kompleksnya, malahan dia punya tugas ekstra mengemban plot yang lebih luas rangenya, dan Young melaksanakan misinya ini dengan sempurna.

Film tentang penulis yang penulisannya mencerminkan penulisnya.

 
Belum lama ini serial animasi Rick and Morty Season 4 mengeluarkan episode ke-enam yang benar-benar mindblowing karena episode yang alurnya membingungkan tersebut practically adalah depiction dari proses-kreatif kreator acara tersebut dalam mencari cerita baru. Kenapa aku membahas soal itu di sini, karena Shirley juga melakukan hal yang sama. Menceritakan proses kreatif seorang penulis kepada kita. Kamera akan bergerak dengan aktif menangkap drama, no… tepatnya, menjadi bagian dari drama mereka. Menempel pada setiap momen dengan intens, bahkan ketika adegan dengan seenaknya mulai melakukan lompatan oleh jump-cut antara momen yang nyata dengan momen yang merupakan imajinasi penulisan Jackson. Membuat garis batas di antara keduanya seolah sirna. Membiarkan kita terpana menebak mana yang mana. Dalam kondisinya yang paling intens, film akan membuat kita bingung membedakan mana yang Rose asli mana yang Paula alias Rose pada novel. Imajinasi itu seperti tanpa batas, hanya disekat oleh interaksi nyelekit dari tokoh-tokohnya.
 
 
 
Seperti si Shirley Jackson, film ini enggak peduli dirinya bisa kita sukai atau tidak. Pilihan ini tentu saja bukan tanpa akibat. Babak ketiga film merupakan bagian yang seharusnya menjadi paling emosional dari keseluruhan. Dan emosi ini besar kemungkinan tidak akan sampai kepada penonton yang sudah memutuskan untuk menyerah kepada Shirley. Ia tidak membuat hal gampang buat kita menyukainya. Desain ceritanya terasa begitu kacau. Antara adegan proses mengarang, interaksi antartokoh sentral, dan tema-tema seperti seni, kreativitas, psikologi orang, dan bahkan soal senioritas, menonton ini sekiranya dapat menjadi seperti chores alih-alih.. tontonan. Aku sendiri mengumpakan film ini seperti puzzle. Yang tersusun atas kepingan yang unik-unik yang jumlahnya banyak banget. Sehingga menyusunnya enggak akan menyenangkan, lebih enak menikmati kepingannya sendiri-sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SHIRLEY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Shirley jelas punya cara unik dalam mencari inspirasi. Bagaimana dengan kalian, how far will you go dalam berproses kreatif? Apakah kalian punya cerita unik seputar mencari ilham?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND Review

“Don’t let the people make you difficult”
 

 
 
Orang yang lembut (hatinya loh ya, bukan wujudnya – emangnya lelembut!) seringkali dimanfaatkan. Tanpa benar-benar diapreasiasi oleh orang lain. Yang ada malah, lama-kelamaan, mereka bakal digencet. Karena mereka ‘gak tega’ melawan. Bahkan cenderung ‘enggak berani’. Sebab opresi seperti begini sebagian besar datang dari pihak-pihak yang serta merta membuat si soft-hearted ini merasa powerless. Misalnya orangtua kepada anak. Atau laki-laki kepada wanita.
Ah, now we’re talking!
Sarah Bolger dalam A Good Woman is Hard To Find berperan sebagai Sarah, ibu dari sepasang anak yang masih kecil-kecil, yang baru saja menjanda lantaran suaminya dibunuh oleh seseorang misterius. Anak sulung Sarah actually menyaksikan pembunuhan tersebut, tapi dia begitu shock hingga kehilangan napsu untuk berbicara. Sarah tentu saja ingin keadilan, dia ingin pelakunya diusut, dia ingin tahu kenapa suaminya dibunuh. Namun polisi hening – malah menyuruhnya untuk mengikhlaskan saja. Ibunya sendiri bodo amat ama masalah Sarah. Beliau masih ngungkit ketidaksetujuannya sama pilihan Sarah. Semua orang menyebut suami Sarah seorang drug dealer.
Berikut adalah perlakuan orang-orang terhadap ibu muda yang berusaha memberi makan dan hidup layak kepada kedua anaknya ini: Sarah dicatcalling, dituduh bekerja sebagai wanita bayaran sama satpam supermarket, dicurigai sebagai wali yang tak layak oleh polisi yang ngejudge dapurnya berantakan, diingatkan oleh ibunya  bahwa ia telah membuang masa depannya sebagai cewek cantik nan pintar dengan menikah sama pria gajelas, dan disuruh sering-sering senyum dan dandan oleh seorang preman jalanan. Si preman jalanan ini, si Tito, eventually jadi bagian penting untuk plot karena ia memaksa untuk bersembunyi dari kejaran mafia narkoba di rumah Sarah. Menyimpan ‘dagangan’ di sana, diberikan akses keluar masuk – practically Tito maksa ngekos harian di sana. Dia memberi Sarah upah dari potongan jualan narkoba asal Sarah membiarkannya bersembunyi di sana sebelum Sarah sempat membuka suara untuk menolak.

atau untuk nego harga, kalo Sarahnya galak

 
 
Film garapan Abner Pastoll ini excellent saat membahas drama seputar konflik kemanusiaan yang melanda Sarah. Yang digali di sini adalah persoalan seorang wanita – seorang ibu – seorang yang terlembut dari semua manusia yang hampir pada setiap kesempatan karakternya ‘dibunuh’ oleh sistem sosial dan kotak-kotak gender. Kita jadi mengerti tekanan yang harus ditahan oleh Sarah, baik fisik maupun mental. Bagaimana dia tidak bisa menolak karena dia mempertimbangkan banyak hal. Like, dia mencemaskan keadaan anak-anaknya, tapi lama-kelamaan dia sadar dia butuh sesuatu untuk mensupport kebutuhan rumah tangga demi anak-anaknya. Film memainkan narasi seolah Sarah yang berusaha berjuang sendiri percaya dia membutuhkan bantuan. Karena selalu ditekan dan dimentahkan fungsi dirinya oleh sekitar.
Ada banyak adegan manusiawi yang menunjukkan betapa sutradara paham akan konflik yang ia angkat. Momen-momen sederhana seperti gak sanggup bayar belanjaan sehingga harus ngurangi satu atau dua item, atau momen yang lebih privat seperti desperate akan baterai di tengah malam, berhasil membuat karakter Sarah begitu grounded. Bolger mengangkat tokohnya ini menjadi berlipat-lipat meyakinkan lewat permainan akting yang benar-benar sukses bikin kita merogoh hati untuk memberikan simpati. Perasaan atau emosinya terpampang jelas lewat sorot mata berkantung dan rambut yang nyaris-disisir tersebut. Cerita mempersiapkan Sarah untuk sebuah transformasi, dan begitu point-of-no-return itu datang kita sudah sedemikian ngototnya untuk melihat Sarah mendapatkan hal yang lebih pantas. Dan inilah yang menurutku merupakan hal paling mengerikan yang dimiliki oleh film ini.

Bukan sekadar cerita revenge atau dendam orang yang tersakiti, film ini nyatalah adalah cerita pembalasan seorang ibu atau wanita yang sekian lama teropresi. Yang membawa kita pada kenyataan bahwa di dunia ini orang-orang begitu kejam kepada orang baik sehingga memaksa mereka untuk beraksi. Sangat disayangkan ketika respek diri sendiri, tidak membiarkan diri susah karena orang lain, dan stand up menunjukkan hati yang berani itu wujudnya ternyata adalah menjadi jagoan-galak, bahkan kalo perlu membunuh seperti Sarah.
Kenapa kita selalu merusak hal-hal indah di muka bumi?

 
Yang dirasakan/dialami oleh tokoh Sarah rada mirip dengan yang terjadi pada tokoh dalam film Swallow (2020). Namun film Swallow bertempat pada dunia yang katakanlah lebih mirip dengan dunia normal kita. Sedangkan A Good Woman is Hard To Find ini bertempat pada dunia yang lebih kelam; yaitu dengan organisasi narkoba menjadi salah satu penggerak ekonominya. Sehingga journey Sarah punya kengerian atau keekstriman dalam level yang berbeda. Paruh akhir film ini berubah arah menjadi lebih ke thriller revenge. Sarah telah ‘mencicipi’ darah pertamanya, dan dia juga telah mengetahui siapa yang membunuh suaminya. Kita memang akan melihat adegan-adegan bloody seperti mutilasi ataupun shoot out. Namun dilakukan tidak dengan fantastis, melainkan tetap lewat kacamata yang grounded. Film memegang prinsip less is more dalam menampilkan itu semua. Ia tidak perlu mempertontonkan semua proses dengan gamblang. I mean, shot dari atas Sarah terduduk di antara kantong-kantong plastik hitam itu sudah lebih dari cukup mewakilkan kengerian dan kecamuk konflik yang dirasakan tokoh.
Karena film ini tidak lupa daratan. Sarah tidak kontan berubah menjadi pembunuh jagoan. Transformasinya soal ini malah lebih ‘parah’ dibandingkan tokoh dalam revenge-action The Rhythm Section (2020). Melihat darah aja Sarah puyeng. Ini membuat kejadian-kejadian yang harus ia lakukan sebagai bentuk penguatan diri itu menjadi semakin emosional. Also, bagi Sarah ini bukan sebatas tindak balas dendam. Jika kita tilik ke belakang, yang mentrigger perubahan Sarah ini adalah ketika dirinya nyaris menjadi korban opresi lelaki dalam bentuk yang tindakan yang paling basic dan tradisional. Ketika privasinya terancam. Jadi, tindakan Sarah adalah wujud dari survival sekaligus mengambil kembali siapa dirinya sebagai manusia. Seorang wanita. Seorang ibu.

kapan lagi melihat grammar nazi dihajar?

 
 
Jadi, mengerikan ketika seorang ibu harus mengangkat senjata untuk dihormati. Mengenaskan ketika seseorang harus membuktikan dia respek dan nyaman kepada dirinya sendiri, baru merasa pe-de, dengan mengenakan riasan saat belanja ke supermarket. Sosial yang kejam yang membuat mereka terpaksa begitu. Aku gak benar-benar setuju sama gagasan film ini, tapi toh film tidak menampilkannya sebagai jawaban eksak. Melainkan hanya gambaran betapa masyarakat kita sudah sebegitu opresifnya sehingga yang terjadi kepada Sarah kini menjadi opsi jalan keluar untuk mendapatkan respek.
Masalah ekonomi Sarah juga tampak beres dengan berubah seperti demikian. Konsekuensi pembunuhan yang ia lakukan, meski membela diri – tapi toh ia menutupi dan melakukan crime lain terhadapnya – tidak didaratkan oleh cerita. Dan ini membuat film menjadi sedikit terlalu ‘fantastis’. Meninggalkan realm drama grounded yang sudah terbangun hingga setidaknya pertengahan cerita. Film seharusnya menyelami soal ‘pemberesan’ sedikit lebih banyak untuk membuat cerita berimbang alih-alih total berganti. Masalah putranya yang menutup diri dan gak bicara juga tidak terasa selesai dengan mantap. Karena relasi Sarah dengan anak-anaknya memang tidak pernah benar-benar dibahas. Hanya sebatas interaksi khusus saat bacain cerita sebelum tidur Mereka hanya ada di sana sebagai stake dan motivasi. Buatku, it’s just psikologi anak yang mendadak bisu ini terlalu gede dan menarik untuk tidak dibahas dan hanya dijadikan sampingan.
 
 
Cerita film ini dibuka dengan adegan Sarah mandi bersimbah darah, tapi darah itu bukan darahnya. Membuat kita berasumsi ini akan jadi film revenge-aksi cewek yang biasa. Asumsi seperti ini akan cepat dipatahkan, karena paruh awal film kuat oleh aspek drama psikologis seorang wanita yang hidup dalam masyarakat yang menggencetnya. Dipikul oleh penampilan akting yang benar-benar meyakinkan, film ini berhasil mencapai tingkatan intensitas emosional yang gak semua teman-teman segenrenya bisa. However, ditonton hingga akhir film ini terasa kembali ke ranah yang sudah lumrah, dan ada beberapa elemen yang menarik untuk digali tetapi they chose not to. But still, film ini punya hal yang aku sukai yakni gambaran yang ia tampilkan mengenai seperti apa dampak sosial bermasyarakat kita terhadap satu hal baik. Kalo kata judul, makanya sekarang nyari cewek baik itu susah. This is why we can’t have nice things.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Benarkah jadi orang baik itu begitu susah dan menjadikan kita terkekang?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE VAST OF NIGHT Review

“Well, the way of paradoxes is the way of truth.”
 

 
 
Kita tau itu alien. Kita langsung bisa menarik kesimpulan jika ada seorang DJ radio dan seorang operator komunikasi menemukan ada ‘noise’ aneh di udara, mendengar statis tak-terjelaskan pada gelombang radio, saat beberapa tempat di kota kecil tempat tinggal mereka malam itu mengalami gangguan listrik lokal, maka itu pastilah ada hubungannya dengan makhluk luar angkasa. Namun selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh, tidak membuat kita lebih pintar daripada mereka. Kita masih merasa merinding oleh misteri. Kita masih bergidik dan mata kita meliar mencari-cari setiap kali langit gelap dipampang oleh layar. Karena memang kekuatan dari The Vast of Night, misteri sains fiksi karya pertama seorang sutradara bernama Andrew Patterson, terletak bukan sebatas pada apa yang terjadi, melainkan juga luas melingkupi bagaimana peristiwa tersebut berdampak pada orang-orang yang mengetahuinya. Kekuatannya terasa benar pada bagaimana cara ia mempersembahkan cerita tentang ‘kota yang disatroni alien’ – premis yang kita semua sudah pernah lihat sebelumnya – dengan nada yang sama sekali baru.

Kita tau alien itu bo’ongan. Tapi kita gak masalah untuk mempercayai alien itu eksis di dunia film. Kita bahkan cenderung memposisikan diri untuk bertentangan dengan tokoh-tokoh di film yang enggak percaya pada keberadaan alien. Kebenaran kita terurai menjadi kebenaran-kebenaran baru, yang tidak sesuai dengan kebenaran pertama tadi, saat kita menyaksikan suatu film. Membentuk sebuah paradoks kebenaran. Peristiwa tatkala garis antara ‘truth’ dan ‘myth’ lebur. Di sinilah letak gagasan The Vast of Night; film ini ingin kita memilih antara truth dan myth. Bermain dengan paradoks kebenaran.

 
Film mengajak kita berpartisipasi, tetapi bukan sebagai ‘bayangan tokoh’. Melainkan sebagai penonton. Kita akan dibawa berada di dunia cerita, mengikuti dengan dekat dua tokoh sentralnya, tapi kita tidak pernah ‘menjadi’ mereka. Jika di cerita ini ada dua entitas; manusia penghuni kota Cayuga dan ‘orang-orang di angkasa’, maka kita adalah entitas ketiga. Penonton yang roaming ‘freely’, kita si segala-tahu. Kecuali satu hal; kebenaran di balik fenomena yang bakal kita saksikan… I know this sound strange, besar kemungkinan kalian membaca ini sambil mengernyitkan dahi dengan beragam argumen kontra terhimpun di dalam kepala. Untuk itu aku hanya akan bilang; tunggu sampai kalian menyaksiksan sendiri cara film mempersembahkan dirinya kepada kita. Dan walaupun sebenarnya aku gak suka memakai  kalimat standar reviewer instagram but I’m gonna use it here anyway; Karena film ini memang seaneh itu

Yang jelas semua ini bukan akibat dari tupai yang menggigiti kabel listrik

 
 
Yang diestablish pertama kali oleh sutradara Patterson – informasi pertama yang kita lihat sebagai pembuka – adalah bahwa keseluruhan cerita The Vast of Night ini terjadi di dalam televisi. Huh?!! Yes, film ini adalah tv show yang kita tonton, di dalam film. The Vast of Night adalah salah satu episode dari serial televisi yang clearly dibuat oleh Patterson sebagai homage kepada serial di dunia nyata The Twilight Zone. Lengkap dengan kalimat narasi yang mirip. Serial kayfabe film ini bertajuk, guess what, “Paradox Theater”. Tekad untuk mengaburkan garis truth dan myth sudah terpampang jelas sedari awal. Film dibuka dengan perlahan ngezoom layar televisi bundar yang sedang nyiarin serial ini, dan sepanjang film kita akan dibawa keluar-masuk layarnya, sekadar untuk mengingatkan kita, like, “hey ingat ya, kalian penonton.. yang kalian tonton itu cerita misteri dari program tv bohongan yang meniru Twilight Zone. And it’s also the movie. Udah bingung belum?”
Kemudian baru kita bertemu dengan salah satu tokoh sentral cerita. Everett, si penyiar radio yang dikenal oleh seluruh penduduk kota. Ini tahun 1950an dan malam itu penduduk di kota berkumpul di aula olahraga karena ada pertandingan basket. Keakraban penduduk diperlihatkan selagi Everett dipanggil ke sana kemari oleh berbagai tokoh yang meminta bantuannya. Hingga akhirnya dia bertemua dengan tokoh sentral kedua, Fay yang meminta tolong untuk diajarkan cara merekam suara dengan recorder sederhana. Babak set-up film ini dapat jadi membingungkan lantaran ini adalah jenis film yang cerewet. Pada adegan perkenalan itu, Everett dan para tokoh akan bicara nonstop. Cepet-cepet. Ditambah dengan kamera yang betah merekam berlama-lama tanpa dipotong, kita bisa dengan cepat tersesat menyimak obrolan yang kita enggak ngerti mereka lagi ngomongin apa. We just follow them around, mendengar apapun yang mereka obrolin. Mereka gak nunggu kita, film enggak mempersilahkan kita untuk bergabung. Melainkan kita yang diminta untuk mengejar, dan berusaha mengenal sendiri. Dan kemudian Everett dan Fay keluar, berjalan menyusur kota ke tempat kerjaan mereka. Kita tetap mengikuti, dari belakang. Kamera memposisikan kita setinggi lutut para tokoh, sambil terus berjalan, menghasilkan kesan creepy yang sangat efektif. Terutama ketika langit dan lampu-lampu yang seolah UFO kecil-kecil itu menghiasi latar.
Nilai tertinggi film ini memang terletak pada kerja kamera dan sinematografinya. Aku paling suka saat setiap kali kamera membawa kita ‘berjalan-jalan’ dengan unbroken shot. Sensasinya seperti melayang rendah, dan kita pun jadi tahu seluk beluk kota ini. Misalnya seperti ketika kita ninggalin Fay di kantor broadcastnya, pergi ke stasiun radio Everett, dan mampir di aula olahraga dalam perjalanan menuju ke sana. Meskipun gak terlampau detil, tapi take panjang ini berhasil menyampaikan lewat visual sense hubungan antartempat di sana. Ini penting karena menunjukkan semua kejadian itu berhubungan, sekaligus juga untuk world-building karena nanti di separuh terakhir Everett dan Fay akan pergi ke segala arah mencari orang yang punya informasi tentang suara aneh yang mereka dengar di radio.
Dan karena ini adalah film yang dialognya gak kalah panjang ama long-takenya, akting tentu turut menjadi hal yang esensial. Para aktor di film ini banyak yang belum terlalu dikenal. Ini baru pertama kali aku melihat Jake Horowitz yang meranin Everett dalam film, sedangkan pemeran si Fay; Sierra McCormik aku pernah lihat sekali di film Ramona and Beezus (2010) waktu dia masih anak-anak. Namun kita gak akan nyadar hal ini saat melihat penampilan akting mereka di The Vast of Night. Keduanya begitu natural. McCormik keren sekali mampu memainkan adegan berkutat dengan panel komunikasi berkutat dengan panggilan masuk dari orang-orang yang menelpon soal suara atau penampakan UFO sepanjang sembilan menit tanpa putus. Sedangkan Horowitz believable banget sebagai seorang kharismatik yang dikenal semua orang dan passionate sama kerjaan sehingga kadang dia terdengar angkuh. Heck, semua tokoh penduduk kota kecil film ini beneran kayak tetanggaan beneran, Everett dan Fay tampak beneran akrab kayak orang yang sudah kenal dari kecil. Begitu kita sudah terbiasa dengan aturan-main penceritaan film, memahami kedua tokoh ini menjadi lancar dan film pun menjadi tak lagi membingungkan.
In fact, awalnya aku mengira dua tokoh ini kakak-adek saking akrabnya

 
 
Aku baru nyadar mereka bukan sodara dan actually sebaya ketika ada kesan flirting di antara mereka. Keduanya memainkan karakter mereka yang saling bertolak belakang dengan pembawaan yang gak dibuat-buat, bahkan ketika menangani elemen romansa mereka meyakinkan sekali sebagai dua orang saling suka tapi gak mau bilang. Kontras antara sikap mereka berdua digunakan oleh film sebagai perwakilan dari jalur truth dan myth yang diminta kepada kita untuk pilih. Fay adalah jalur myth, untuk kita percaya pada cerita orang-orang yang menghubungi mereka bahwa bunyi-bunyi itu adalah alien. Sedangkan Everett adalah truth. Skeptis yang banyak mempertimbangkan logika. Everett yang bekerja sebagai penyiar, yang menjual obrolan tentu paham soal melebih-lebihkan cerita atau mengarang supaya sensasional. Pada babak awal, kita juga melihat Everett gak punya masalah untuk sedikit berbohong ketika mereka berlatih wawancara. Jadi, lumrah baginya untuk tidak lantas mempercayai cerita orang tentang anak kandung yang bicara bahasa alien dan hilang diculik piring terbang.
Konsep film yang bergerak seputar memilih antara truth dan myth membutuhkan film untuk memuat banyak eksposisi. Mendengarkan cerita orang-orang, bersama dua tokohnya. Sekali lagi kerja kamera dan arahan akting menunjukkan keampuhannya. Setiap momen mendengar cerita itu dibuat berbeda satu sama lain. Film menemukan beragam cara untuk membuatnya intens dan tidak membosankan meskipun monolognya bisa sangat panjang. Ada isu rasisme yang sempat disinggung, isu yang lagi hangat di dunia nyata kita sekarang. Berkaitan dengan rasa percaya. Dalam film ini diungkap bahwa cerita sensasional soal bekerja di bunker bawah tanah yang diduga ada hubungannya dengan lab rahasia penelitian extra-terestial ternyata datang dari penelpon berkulit hitam. Ia mengatakan semua pekerja memang sengaja diseleksi berkulit hitam atau ras minoritas lain supaya kalo mereka cerita ke pihak luar, gak ada yang percaya sama omongan mereka. Dan kita melihat, Everett juga sebenarnya jadi gak percaya sama cerita itu setelah mengetahui info tersebut. Ini kembali lagi pada jalur truth dan myth yang dipersembahkan oleh film. Pada akhirnya semua dikembalikan kepada kita, mana yang kita anggap sebagai kebenaran bisa jadi bukan mutlak kebenaran.

Karena meskipun benar itu memang lawannya adalah salah, tetapi suatu kebenaran tidak serta merta menjadikan sesuatu yang lain dari hal itu menjadi bukan kebenaran.

 
 
 
Penggemar misteri dengan action atau disaster flick yang seru atau bahkan cerita yang terstruktur secara tradisional, akan abis sabar sama film yang sebagian besar adegannya adalah orang ngobrol ini. Namun film ini tak-pelak akan menjadi inspirasi buat filmmaker muda karena kepiawaian dan visinya dalam bercerita. Jelas film ini tidak punya budget gila-gilaan, sehingga dia benar-benar bergantung pada kamera dan akting. Banyak menggunakan unbroken shot dengan variasi pengambilan sehingga kita yang disuruh jadi penonton enggak bosan. Dan film ini berhasil terbangun menjadi sesuatu yang tampak berbeda meskipun inti ceritanya sudah sering kita temukan pada film lain. Penggemar horor sci-fi ala Twilight Zone pastinya akan suka sekali dengan film ini. Kalo aku, aku harap lebih banyak pembuat film yang berani bikin berbeda kayak gini. Sedikit yang tidak memuaskan bagiku adalah warna yang terlalu gelap untuk beberapa momen sehingga aku tidak dapat melihat ekspresi para tokoh yang lagi ngobrol, sehingga kadang aku terlepas dari cerita mereka karena udah keburu skeptis duluan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE VAST OF NIGHT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Akhir film ini menyerahkan kepada interpretasi kita terhadap apa yang terjadi pada Everett dan Fay. Apakah mereka simply diculik? Ataukah mereka dibakar seperti pohon-pohon di hutan? Dan oleh siapa, benarkah itu alien atau manusia dari masa depan? So many question, which path do you choose?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1BR Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Masih ingat kicauan seorang perempuan tentang tetangganya yang sempat viral di Twitter beberapa waktu yang lalu? User tersebut mengeluhkan soal tetangganya yang langsung bertamu, mengetuk pintu begitu saja, tanpa membuat perjanjian ingin datang berkunjung terlebih dahulu. Tweet tersebut kontan menuai banyak reaksi; ada yang setuju, dan tak sedikit pula yang menghujatkan pendapat bahwa memang seperti itulah lumrahnya hidup bertetangga. Datang saling menengok tanpa diminta, menunjukkan perhatian, bahkan dulu katanya orang tidak mengunci pintu bagi tetangga masuk ke rumah kapan saja mereka mau. Sutradara sekaligus penulis naskah David Marmor tampaknya punya satu-dua patah kata tentang kehidupan bertetangga. Marmor sepertinya sependapat dengan si empunya tweet tadi, sehingga pada debut film-panjangnya ini dia menghasilkan sebuah drama menegangkan perihal hubungan bertetangga yang erat dan terlampau-bersahabat bisa menjadi begitu horor.

Arahan Marmor membuat cerita memuat begitu banyak. Setiap plot-point seperti mengubah film ini menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Namun sense-of-belonging memastikan perhatian kita untuk terus tersedot. Sedari momen pembuka, aku sudah tertegun oleh perasaan akrab (namun eerie) yang dihadirkan lewat pemandangan yang ditangkap oleh kamera. Lalu bertemu dengan Sarah, wanita muda yang lagi nyari tempat tinggal di Los Angeles, dia mau menapaki hidupnya sendirian di kota yang sejuta mimpi tersebut. This seems like a familiar story tentang seseorang yang berusaha menggapai mimpi yang langsung membuatku ter-flashback ke zaman nyari kosan waktu masuk kuliah dulu, dan kemudian aku teringat ini film horor maka lantas kenanganku pindah ke film Mulholland Drivewell, because it’s LA. Dan tokoh kita adalah tokoh yang sama ‘lugunya’ dengan Diane pada film karya David Lynch tersebut. Aktor Nicole Brydon Bloom memainkan peran sebagai perempuan yang introvert, pemalu, yang pasif, yang lumayan tertutup, tapi punya determinasi kuat untuk mengejar passionnya. Seketika tokoh Sarah ini langsung kontras, langsung ‘konflik’ dengan kota LA itu sendiri. Dan kemudian masuklah ia ke sebuah kompleks apartemen yang sedang melakukan open-room untuk mencari calon penghuni baru.

Sarah keterima menjadi penghuni kamar 210 tersebut. Dia disambut hangat oleh bukan hanya tetangga kanan-kiri kamar, melainkan seluruh penghuni apartemen. Mereka ngadain pesta pada malam Sarah mulai tinggal di sana, dan tentu saja Sarah diundang. Para penghuni apartemen semakin mengingatkanku pada Mulholland Drive dan basically film-film David Lynch, karena mereka semua sama anehnya. Satu kompleks itu bener-bener kompleks oleh karakter. Mulai dari ibu tua yang sweet hingga anak muda yang gagah. Mulai dari Bapak Ketua yang simpatik hingga ke pria creepy berkacamata dengan lensa yang gak kompakan warnanya. Di titik ini, film berubah mengingatkanku kepada Rosemary’s Baby. Karena orang-orang ini begitu ramah kepada Sarah – menyapa setiap ketemu, dan seperti selalu berada di manapun Sarah berada, mengawasinya seolah kamera yang berada di nyaris setiap jengkal langit-langit itu belum cukup – sehingga kita mau-tidak-mau langsung kepincut curiga kepada mereka.

Mestinya pasang pengumuman di depan pintu; boleh bertamu kalo bawa makanan

 

Elemen horor kemudian terestablish begitu malam hari telah tiba. Hidup Sarah yang sendiri, sunyi. Loh kenapa jadi lagu Tantowi Yahya?… well, I mean, Sarah mendengar bunyi-bunyian aneh yang membuat tidurnya gak nyenyak. Ia bahkan mendapati pintu apartemennya terbuka begitu saja. Sampai suatu malam, Sarah menemukan kucing peliharaannya terpanggang di oven. Sarah ditangkap oleh tetangga-tetangga penghuni apartemen. Dia disiksa, disuruh berdiri bungkuk memegang tembok dalam posisi stressing, and things could get much more violent and bloody jika Sarah menolak alias enggak patuh pada perintah yang diberikan oleh Ketua Apartemen (semacam Pak RT gitu deh di sana). Pada titik ini sebenarnya aku sempet mulai males. Film ini jadi kayak mengeksploitasi adegan penyiksaan semata. Namun bear with me, ini cuma sebuah fase sebelum akhirnya – lepas dari midpoint – film mulai menunjukkan taringnya sebagai horor situasi, dan dalam beberapa tingkatan; horor psikologis.

Pada jantungnya, 1BR memeriksa perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam lingkungan yang terdekat yaitu lingkungan bertetangga. Dengan mengontraskan sikap Sarah yang tertutup dengan sistem kompleks apartemen yang saling-terbuka, film menunjukkan dua sisi kebutuhan manusia dalam bersosialiasi. Seperti Sarah, kita perlu mengendalikan hidup kita sendiri, tapi sekaligus kita butuh orang lain – tetangga, teman, keluarga – untuk menjadi support. Film membawa ini ke ranah ekstrim ketika intrusi dari lingkungan sekitar menjadi pengalaman yang bikin gak nyaman, dan menjurus ke menakutkan. Saat komunal di luar sana berpikir bahwa semua orang enggak bisa hidup sendiri, bahwa kebersamaan adalah satu-satunya cara, di situlah keramahtamahan dan kekerabatan berubah menjadi selayaknya sebuah cult. Sebuah sekte. Dan ini bukan tidak mungkin terjadi di dunia. Bahkan mungkin sedang kejadian di sekitar kita. Kehidupan bertetangga yang mengatur hingga sampai ke cara berpakaian, atau yang nyinyir jam kita bepergian. Komunitas-komunitas kecil kerap kebablasan. Alih-alih sebuah keluarga, malah menjadi semacam geng dengan seabreg peraturan atau norma yang harus dipatuhi jika ingin dianggap sebagai anggota.

Film ini menunjukkan communal atau kehidupan sosial bertetangga ataupun komunitas menjadi tidak lagi sehat ketika membuat anggotanya merasa less of a person. Kita semua memang tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun itu tidak berarti kita totally bergantung kepada orang. Kita memang harus senantiasa menghormati tempat kita berpijak, mengikuti aturan dan norma-norma di mana kita berada. Tapi tetap ada keseimbangan yang harus dijaga. Bagaimanapun, setiap orang bertanggung jawab dan berhak atas hidup masing-masing.  

Lucunya, film ini juga mengingatkanku ke jaman ospek/mabim kuliah dahulu. Sarah juga, istilahnya, diplonco dulu sebelum masuk jadi anggota komunitas apartemennya. Memang, Sarah dimasukkan secara paksa. Mindsetnya dibentuk untuk mengenali bahwa dirinya powerless, dan hidup mandiri adalah pilihan yang salah. Film telah menetapkan orang-orang di apartemen itu mempercayai bahwa cara hidup bersosial merekalah yang paling sempurna dan ideal. Empat pondasi bermasyarakat; Selflessness, Openness, Acceptance, and Security, terus diulang dijadikan mantra yang didoktrinkan kepada Sarah. Mengubahnya menjadi seperti mereka. Dan bukankah ospek memang seperti itu? Para mahasiswa baru praktisnya terpaksa ikut dan menjalani semua kegiatan karena dijadikan syarat untuk diterima sebagai anggota himpunan. Himpunan itu sendiri ‘dijual’ kepada maba sebagai safe haven dengan networking ke alumni, angkatan yang saling menjaga, ‘masuk bareng-lulus bareng’. Orang-orang yang sudah ditempa bersama, punya tujuan yang sama, kini hidup sebagai satu unit dengan kuat. Tentu saja, gak semua mahasiswa setuju dengan hal tersebut. Namun begitu sudah menjadi bagian darinya, berpartisipasi dalam rangkaian kegiatannya, ketika sudah tiba waktunya dilantik, toh mahasiswa akan bangga juga. Dan akan bersiap untuk menjadi senior pembimbing tahun depan; mengospek anak-anak baru berikutnya.

Melihat Sarah pada akhirnya jadi sukarela bergabung menjadi anggota, kita tahu masih ada keraguan di benak dan hatinya. Akan tetapi dia sudah tidak punya pilihan lagi, selain mempercayai bahwa komunitas inilah jawaban terbaik. Dan ketika temannya masuk untuk menjadi penghuni berikutnya, kita tahu Sarah mengumpulkan segenap ‘kekuatan’ untuk get on with the program, kita dapat merasakan beratnya perjuangan di dalam diri Sarah yang sebenarnya pengen menyuruh temannya itu lari. This is exactly what I feels waktu ospek. Aku gak setuju, tapi ketika aku yang jadi senior, aku mengusahakan untuk semangat mengospek anak-anak baru. Dam kupikir, yang dilakukan oleh film dengan elemen ini adalah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas atau kelompok atau cult. Kita boleh saja gak setuju, tapi kita sudah dibentuk untuk percaya bahwa mereka adalah kebutuhan. Film memperlihatkan betapa susahnya untuk keluar dari sana. Meskipun yang dibutuhkan sebenarnya ‘hanyalah’ percaya pada kualitas diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita, ya milik kita sendiri.

Bukan herd immunity melainkan collective insanity

 

1BR seperti ingin membongkar pepatah lama “Jika kamu ingin cepat maju, lakukanlah sendiri. Jika kamu ingin jauh maju, lakukanlah bersama-sama”. Ending film ini memberitahu kita sebaliknya; jika Sarah pengen kabur, dia harus kuat dan berlari sendirian. Film ini punya gagasan untuk tidak menjadikan komunitas sebagai zona nyaman. Film ingin kita mempertanyakan kembali apa yang kita mau. Sarah pengen keluarga baru tempat ia bisa mengadu, keluarga yang perhatian padanya. Yang ia dapati di dalam sana ternyata jauh lebih buruk daripada pelanggaran privacy. Sesuatu yang lebih intrusif dan mengekang. Mengambil siapa dirinya sebagai seorang manusia.
Menjelang akhir babak kedua ada adegan paling heartbreaking seantero cerita, yaitu dialog antara Sarah dengan ayah kandung yang ia benci, datang menjemputnya pulang. Ini puncak tertinggi emosi yang dimiliki oleh film. Namun build up menuju ke sini agak kurang konsisten, karena cerita telah melalui berbagai metamorfosis sehingga perubahan-perubahan tersebut mengalihkan kita dari Sarah sebagai karakter. Sarah cenderung membosankan sebagian besar cerita. Dia cuma ada di sana untuk disiksa, pribadinya pun tidak membuat dia menonjolkan aksi dan pilihan. Temannya yang lebih galak dan berani mungkin bakal jadi pilihan yang lebih menarik sebagai tokoh utama dengan penceritaan seperti begini. Sarah hanya punya dua modal sebagai karakter yang menarik; backstory masalah pribadinya dengan sang ayah, dan ia berani berbohong; menyelundupkan kucing ke apartemen yang melarang hewan peliharaan.
Dua hal tersebut kinda lose in the shuffle saat film mengungkap poin-poin cerita. Memfokuskan pada aspek penyiksaan dan sebagainya. Menurutku film, secara emosional, bisa bekerja lebih baik jika mengurangi sedikit volume genrenya dan mengeraskan ke bagian bagaimana Sarah bisa sebegitu pasif, ke bagian dia berinteraksi dengan ayah ataupun dunia luar yang membuat dia retreat cari perlindungan apartemen sedari awal.

 

 

 

Bersama Vivarium (2020), film ini merupakan horor kontemporer yang benar-benar mengusung sudut pandang manusia di kehidupan modern. Mereka membuat hal yang lumrah di era dulu, seperti punya keluarga ataupun hidup bertetangga menjadi menakutkan. Meskipun begitu, toh kita enggak perlu untuk setuju dengan gagasan cerita untuk dapat menikmati suatu film. Dan pada kasus film ini, horor yang tersaji cukup enak untuk disaksikan. Intriguing and thought-provoking enough. Sehingga kita bisa betah bergidik-gidik menyaksikan tokohnya yang kinda boring, dan menjadi berempati kepadanya. Sebagian besar keberhasilan film ini terletak pada arahan berceritanya yang berhasil memuat banyak dalam durasi yang begitu singkat. Persis kayak apartemen kecil mungil, tapi berisi beragam manusia dan segala perbedaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for 1BR

That’s all we have for now.
Mana tempat tinggal yang ideal bagi kalian, di perumahan yang sepi atau di hunian yang lebih tradisional secara hubungan bertetangga? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.