HILLBILLY ELEGY Review

“My family is my strength and my weakness”
 

 
 
Psst.. pada tau istilah ‘Oscar-bait’ gak? Menjelang akhir tahun kayak sekarang ini tuh, biasanya film-film Oscar bait mulai bermunculan. Sebab Oscar alias Academy Awards, Penghargaan Tertinggi Hollywood, kan biasanya mulai di awal tahun, jadi slot penayangan menjelang akhir musim itu dianggap paling menguntungkan karena filmnya bakal masih ‘segar’ dalam pandangan juri. Maka mulai tuh muncul, film-film sejenis drama, atau biografi, atau sejarah, atau apapunlah kisah dari kisah nyata, yang biasanya juga memuat penokohan yang melibatkan para aktor dari langganan nominasi; dengan peran tipe-tipe karakter disabilitas, atau karakter stereotipe dengan aksen dan bahkan make up yang benar-benar ‘asing’. Film-film Oscar-bait begitu fokus untuk masuk ke Oscar, menguatkan trope-trope tersebut seolah memang cuma itulah yang dicari Oscar. Sehingga tak sedikit dari film-film itu yang ternyata bercerita dengan kurang memuaskan. Parahnya bagi mereka, para kritikus jadi memaki lebih keras daripada seharusnya, karena eksistensi film-film itu so obvious. Dan Hillbilly Elegy garapan sutradara Ron Howard, yang diperankan oleh aktor-aktor langganan nominasi Oscar, adalah contoh yang menarik dari fenomena Oscar-bait ini.
Cerita film ini diangkat dari kisah hidup J.D. Vance dari buku memoir tulisannya. Dan memang ceritanya sebenarnya sangat menginspirasi. Vance adalah seorang penulis dan pengusaha kapitalis sukses yang berangkat dari dinasti keluarga yang termasuk dalam golongan ‘terbelakang’ oleh standar sosial Amerika. Golongan Hillbilly. Kalo di kita mungkin ekivalennya adalah golongan penduduk yang berpandangan sempit, yang hidup beranak pinak di suatu daerah pinggiran (atau pegunungan). Hillbilly juga terkenal galak. Atau bisa dibilang bar-bar, dibandingkan dengan ‘orang kota’.
Film ini menceritakan Vance saat berada dalam posisi paling penting dalam karirnya. Dia yang saat itu masih muda, mahasiswa Yale yang cemerlang, akhirnya dipanggil interview oleh salah satu firma Hukum terkemuka. Namun sehari menjelang interview penting tersebut, teleponnya berdering. Kakaknya mengabari bahwa ibu mereka masuk rumah sakit. Overdosis. Lagi. Vance – dipanggil J.D. di film – mau tak mau harus menempuh sepuluh jam perjalanan, kembali ke kota masa kecilnya, untuk melihat keadaan sang Ibu. Ia sangat sayang kepada ibunya, kepada keluarganya, tapi khususnya si ibu itu bukanlah orang teramah di dunia. Dalam perjalanannya itu, J.D. dari waktu ke waktu flashback ke masa kecil. Ke masa dia hidup bersama ibunya. Masa-masa bertengkar, penuh kekerasan rumah tangga, obat-obatan, dan didikan keras dari nenek (dipanggilnya Mamaw). J.D. sadar, sejauh apapun dia lari, dia tidak bisa lepas dari keluarganya tersebut. Tapi kali ini, hal tersebut bisa jadi bukanlah hal yang buruk seperti yang selama ini dia yakini.

Aduh sialan, si J.D. anak Hillbilly asli!

 
 
Film ini ingin memfokuskan kita kepada lingkungan – keluarga dan sosial – tempat J.D. bertumbuh. Desain dari bangunan ceritanya adalah membuat kita memahami dulu kenapa J.D. ‘kabur’ dari bayang-bayang keluarga, supaya kita bisa melihat pencapaian J.D. dibandingkan keluarganya – bahwa dia bisa jadi orang yang lebih baik – namun di saat yang bersamaan, keluarga tersebut tidak bisa lepas darinya. Ketika film menampilkan lingkungan J.D. yang sekarang – saat ia dewasa, film ingin supaya kita turut merasakan bahwa lingkungan sosial terpelajar yang punya banyak garpu itu sejatinya tidak lantas lebih baik dari lingkungan yang ditinggalkan oleh J.D. Pertanyaan yang ingin digebah oleh film ke dalam benak kita, selama kita mengikuti J.D., adalah bukan semata mentok di apakah J.D. bisa lepas dari keluarga, melainkan juga apakah benar-benar butuh baginya untuk lepas dari keluarga. Ya, keluarganya memang amburadul. Ibunya case on point. Menuruti panggilan menjaga ibu niscaya akan menghambat karirnya, tapi bukankah ia mengejar karir demi mengubah pandangan orang terhadap latar belakangnya. Ikatan keluarga itu digambarkan benar-benar mengikat J.D. Menjadi konflik dalam dirinya. Film ini seharusnya bisa menarik begitu banyak gagasan manusiawi yang dramatis dari penggalian karakter-karakter bermasalah yang saling berketerikatan ini. Namun justru pada bagian penggaliannya itulah film ini malah minim. Sehingga dicecar kanan-kiri oleh kritikus sebagai gambaran yang hanya berupa karikatur. Masih enjoy untuk ditonton, tapi tidak lagi terasa nyata – meskipun memang yang dihadapi oleh J.D. tak pelak adalah kisah yang beneran terjadi pada orang yang benar-benar ada di hidupnya.

Kesuksesan kita akan menjadi bagian dari kesuksesan keluarga. Begitu pun kegagalan. Karena keluarga, bagaimanapun juga adalah kelemahan sekaligus kekuatan yang kita miliki. Keluarga adalah landasan, dan bukan tidak mungkin, alasan utama kita untuk berjuang. Makanya, J.D. tidak bisa lepas dari keluarga. Dia tidak perlu melepaskan diri dari dinasti yang turut membentuk sekaligus yang sedang berusaha untuk ia bentuk ulang.

 
Dalam lapisan yang lebih dalam, film ini tidak berhasil membahas keluarga J.D. yang dibingkai sebagai ‘sumber drama’ bagi si tokoh utama dalam cahaya yang manusiawi. Kita tidak diperlihatkan bagaimana struggle sebenarnya dari sang ibu. Bagaimana Mamaw berjuang dan apa yang melandasinya. Baik Amy Adams (sebagai ibu) dan Glenn Close (sebagai Mamaw — yang pada kredit penutup diperlihatkan ternyata wujudnya jadi mirip banget dengan Mamaw yang asli) menyuguhkan penampilan maksimal mereka. Sayangnya, karakter mereka bergerak di ruang yang sempit. Seluruh komunitas Hillbilly sepertinya dilambangkan oleh mereka berdua, namun kedua karakter tersebut hanya tampil terbatas sebagai flashback dari sudut pandang J.D. Mamaw dan si Ibu hanyalah eksis sebagaimana J.D. mengingat mereka. Dan dalam film ini, J.D. hanya mengingat mereka dalam waktu-waktu yang tergolong sengsara dan nyusahin bagi dirinya. Sehingga gambaran tersebut jatuhnya jadi super-stereotipe dan cenderung mencuat gak-respect terhadap jati diri karakter yang mereka mainkan.
Kita tidak akan pernah mendukung si ibu karena dalam setiap kesempatan tokohnya dihadirkan selalu sebagai si pembuat keputusan yang salah. Dia yang suster malah main sepatu roda di lorong rumah sakit (emangnya Olga Sepatu Roda!). Dia ujug-ujug mukulin anaknya. Bertengkar dengan Mamaw. Ganti-ganti pasangan. Semua tindakannya itu, karena dari sudut pandang J.D., jadi tak terjelaskan. Film seolah menjadikan tokoh ini sebagai poster-girl untuk sikap-sikap buruk manusia – dan karena latar karakternya sebagai hillbilly, film seperti ingin membuat kita merasa bersyukur bahwa kita bukan hillbilly seperti dirinya. Sementara, si Mamaw digambarkan terlalu standar; nenek galak yang sebenarnya baik. Namun bahkan gambaran tersebut tidak benar-benar mewakili karena, sekali lagi, semuanya hanya sudut pandang dari J.D. If anything, karakter yang dituliskan dengan baik justru adalah kakak si J.D. (diperankan oleh Haley Bennett). Karakter Lindsay ini tampil lebih subtil, dia menangani ‘drama’ keluarga dengan caranya sendiri, dalam lingkup kehidupannya sendiri. Basically, tokoh ini sudah jauh lebih dulu menyadari pembelajaran yang dialami J.D. di akhir cerita nanti.

Menyusahkan dan gak mau dibilangin? yup.. that’s our family

 
Memang, struktur bercerita flashback bolak-balik inilah yang menjadi sumber masalah utama bagi Hillbilly Elegy. Aku gak ngerti kenapa bercerita begini udah kayak jadi tren belakangan ini, padahal belum satu pun aku nemu cerita dengan banyak flashback yang berhasil mencuat menjadi benar-benar bagus. Dalam Hillbilly Elegy, flashback-flashback itu tidak diolah dengan maksimal, karena antara kilasan satu dengan yang lain sebenarnya seringkali memiliki muatan emosi dan kejadian yang sama. J.D. konflik dengan ibunya yang mendadak teriak-teriak. Sehingga sebagian besar durasi film terisi dengan repetitif. Film ini padahal punya dua cerita; J.D. dewasa dan J.D. kecil, tapi dengan menyatukan keduanya lewat sulaman flashback setiap kali ada konflik, cerita film ini justru jadi gak maju-maju. Tidak pula menambah apa-apa terhadap pandangan kita terhadap karakternya. Jadi begitu banyak waktu yang terbuang oleh penceritaannya. Waktu yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter dengan natural, menggali setiap konflik personal mereka – lebih jauh dari pencapain J.D. – jika film tidak sibuk bolak-balik dan memilih berjalan dengan linear.
 
 
 
 
Tiga belas nominasi Oscar di antara Amy Adams dan Glenn Close tidak jadi jaminan film yang dibintangi mereka lantas jadi bagus. Walau penampilan akting mereka memang tidak mengecewakan, tapi karakter yang mereka perankan tidak mendapatkan pengembangan. Cerita film ini dibiarkan sempit, terbatas oleh struktur pengisahan bolak-balik, yang menjadikan film ini bermuatan emosi yang bukan hanya repetitif melainkan juga tidak lagi terasa natural. Film ini boleh jadi tetap dapat menghibur karena dimeriahkan oleh konflik demi konflik – kita semua suka melihat keributan, kan – hanya saja semestinya cerita menginspirasi seperti ini haruslah mencapai level yang lebih dalam. Dengan karakter-karakter yang mencuat di atas stereotipe dan karikatur dari manusia-manusia yang mereka lambangkan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HILLBILLY ELEGY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa malu terhadap keluarga sendiri, atau menganggap keluarga besar terkadang norak dan malu-maluin? Pernahkah kalian berada dalam kondisi sosial di mana kalian memilih berbohong mengenai keluarga sendiri?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN Review

“The secret formula will always be love”
 
 

 
 
Sekitar pertengahan-akhir durasi, film ini menampilkan sekuen adegan yang layaknya seperti courtroom drama. Dalam adegan-adegan tersebut kita melihat Patrick, Sandy, Squidward, dan teman-teman SpongeBob yang lain bergantian memberikan kesaksian kepada Poseidon untuk membela SpongeBob yang jadi tersangka. Mereka menceritakan kisah pengalaman mereka bisa mengenal si Sponge Kuning itu waktu masih kecil. Kita pun dibawa flashback menyaksikan langsung pertemuan-pertemuan itu. Dan itulah satu-satunya bagian menarik yang ada dalam film ketiga SpongeBob, Sponge on the Run ini.
Flashback masa kecil itulah satu-satunya hal original, hal yang fresh, hal yang ingin kita tonton ketika begitu mengetahui bahwa semesta SpongeBob ini bakal dieksplorasi kembali. Kita tentu penasaran dan ingin melihat bagaimana SpongeBob dan Patrick bisa jadi sahabat seperti sekarang ini. Kita tentu ingin melihat cerita SpongeBob bertemu Squidward. Kita ingin tahu bagaimana SpongeBob dan teman-temannya menjadi berteman pada mulanya. Poin dari sekuen adegan tersebut adalah untuk menyimak seperti apa sih para sahabat memaknai si SpongeBob itu sendiri. Untuk menunjukkan arti persahabatan SpongeBob kepada mereka. Tak pelak, memang inilah yang menarik untuk dijadikan cerita film. Seharusnya sutradara Tim Hill mengerahkan semua komandonya untuk menyusun cerita semacam prequel tersebut dengan sebenar-benarnya, jika ia memang mau menghormati legacy kartun anak-anak (dengan selipan humor dewasa) yang fenomenal ini. Alih-alih, kisah-kisah itu hanya diperlihatkan singkat dan seperti dirangkum begitu saja dengan menempatkannya pada bingkai kesaksian pada courtroom drama. Tidak melalui narasi yang benar-benar kohesif.
Sponge on the Run mengikuti rutinitas cerita SpongeBob yang biasa. Menyapa Gary – kucin–eh, siput peliharaannya, pergi kerja ke Krusty Krab, masak Krabby Patty, bikin kesel Squidward, bikin seneng Mr. Krabs, pulang, dan … menemukan Gary kesayangannya hilang! Gary diculik oleh Poseidon sehingga SpongeBob dan Patrick memutuskan untuk hit the road menyelamatkan Gary. Selagi dua sahabat ini terlibat perjalanan absurd, Plankton menyatroni Krusty Krab, bermaksud mencuri resep rahasia. Namun sepeninggal SpongeBob, burger joint itu sepi. Mr. Krabs sedih karena tanpa SpongeBob usahanya gak bisa jalan. Karena sikap dan persahabatan SpongeBob bisa jadi adalah rahasia dalam resep rahasia itu sendiri.

Ohya, ada juga penampakan Keanu Reeves sebagai tumbleweed yang bijaksana

 
 
Memang bukan film SpongeBob namanya jika tidak absurd dan nyeleneh. Kita sudah menyaksikan gimana randomnya karakter-karakter dan kejadian dalam dua film layar lebar SpongeBob sebelumnya. Film ketiganya ini, berusaha mempertahankan cap dagang tersebut. Kita akan melihat begitu lebar range keabsurdan yang muncul, mulai dari robot hingga kemunculan zombie-zombie yang bisa menari. Namun semua itu tidak berarti apa-apa. Tidak pula menambah banyak ke dalam narasi; ke dalam journey yang dilalui oleh tokoh utama kita. Melainkan hanya seperti random things yang dikumpulkan begitu saja. Berharap supaya jadi lucu dengan mindset semakin random, maka semakin luculah ia. It doesn’t work.
Sekiranya memang ada perbedaan tegas antara random yang lucu dengan random yang cuma males. Petualangan absurd SpongeBob tentulah masih akan menjadi perjalanan yang menarik untuk disimak, dengan syarat hal-hal yang ia temui dalam perjalanan tersebut bakal jadi bangunan untuk sesuatu, entah itu pembelajaran atau hanya sekadar big punchline – jika film diarahkan sepenuhnya untuk komedi receh. Seperti ‘aturan dasar’ film roadtrip-lah. Dalam Sponge on the Run ini, kerandoman itu benar-benar jalan masing-masing. Seperti tidak ada benang merah, seperti film ini hanya ingin mencari alasan untuk memanjangkan durasi. Bagiku, film ini tampak seperti mereka memang ingin menceritakan tentang masa kecil SpongeBob dan awal persahabatan para karakter, tapi sekaligus juga mereka tidak ingin menceritakannya begitu saja. Jadi alih-alih memikirkan cara untuk membangun, katakanlah cerita prekuel itu, film malah memikirkan bagaimana mereka bisa menyelipkan prekuel tersebut tanpa benar-benar menceritakannya. Kedengarannya memang tak masuk akal. Namun persis seperti itulah film ini terasa. Mereka memasukkan banyak hal random sebagai pengantar untuk hal penting yang tak ingin mereka ekspos banyak-banyak. Suudzon mode on: film ini desperate mau jual apapun tentang SpongeBob tapi either pengen instant alias gak mau repot atau mau sok-sok memposisikan film sebagai test-the-water alias ‘nanti kita cerita tentang masa kecil SpongeBob’
However, jika mau berbaik sangka; film ini bisa jadi pengen mengajak kita untuk menghargai keberadaan SpongeBob itu sendiri. Karakter yang rela menempuh perjalanan jauh (dan supposedly sedikit berbahaya) demi hewan peliharaannya, aku akan bohong kalo bilang aku enggak relate dengan itu. I mean, kucingku gak pulang makan siang aja aku langsung nyariin keluar berkeliling kompleks, kok. Meskipun dia aneh dan ngasal dan seringkali bego, tapi SpongeBob dalam cerita ini merupakan sosok yang digambarkan sebagai teladan. Kualitas terbaik dalam diri SpongeBob adalah dia tidak pernah egois. Dia juga sangat menghargai persahabatan. Dia menyayangi peliharaannya sama besar dengan dia menyayangi teman, rekan kerja, bos, hingga saingan. Film ingin menonjolkan hal tersebut. Teman-temannya itulah yang pada cerita ini dibuat untuk menyadari peran kehadiran SpongeBob itu di dalam hidup mereka.

Cinta dan persahabatan SpongeBob terhadap teman-temannya merupakan resep rahasia yang membuat hidup mereka semua menjadi ceria. Bahkan Squidward yang penggerutu pun menyadari hal tersebut. Lebih jauh lagi, karakter SpongeBob yang demikian itulah yang jadi formula kesuksesan cerita kehidupan Bikini Bottom ini setelah sekian lama.

 

Setelah gede, kita semua jadi semakin relate kepada Squidward

 
 
Kerandoman yang disetel hingga maksimal itu bisa jadi dilakukan demi attention-span anak-anak yang konon semakin singkat. Maksudnya, dilakukan biar anak kecil yang nonton enggak cepet bosan. Drawbacknya tentu saja adalah si anak-anak tadi bisa jadi malah bingung dengan ceritanya. Aku sendiri, seumur-umur, belum pernah nemuin cerita SpongeBob yang setak-penting dan sekacau ini. Aku suka dua filmnya yang dulu; yang benar terasa petualangannya. Yang berusaha memasukkan hal segar yang tak bisa mereka lakukan di televisi. Nonton film ketiga ini, aku cuma bengong. Hal baru yang film ini buat cuma visualnya. Berbeda dengan SpongeBob klasik, film ini full animasi 3D. Ada juga beberapa adegan tertentu yang menyatukan dengan pemandangan live-action alias asli. Untuk sekadar menambah visual jadi lebih cantik, film ini berhasil. Namun 3D itu juga tidak menambah banyak untuk cerita. Tidak akan ada bedanya jika film ini tetap menggunakan gaya animasi dua dimensi seperti pada kartun televisinya. Sekali lagi, ini merupakan minimalisasi kreativitas dari pembuat. Karena pada film SpongeBob yang kedua kita sudah melihat visual 3D itu mampu mereka mainkan dengan efektik ke dalam cerita – enggak semata untuk mempercantik. But then again, sepertinya aspek visual ini diniatkan hanya untuk appeal ke anak-anak aja; karena sekarang animasi tiga dimensi memang lebih dinikmati. Sukur-sukur ada orang dewasa yang ‘nyasar’ – menyangka karena gambarnya kayak Pixar, maka kualitas cerita pun sama kayak Pixar.
 
 
 
 
 
Random dan absurd adalah yang membuat SpongeBob, SpongeBob. Namun cerita yang koheren adalah yang membuat film, film bagus. Enggak cukup hanya dengan menjadi SpongeBob saja. Film ini harusnya berbuat lebih banyak terhadap penggarapan ceritanya. Petualangan SpongeBob mencari Gary seharusnya bisa dibuat lebih berarti dan menarik lagi. Jikapun bukan tentang itu, film ini padahal punya hal menarik untuk diangkat yakni masa kecil SpongeBob dan teman-teman. Cerita awal mula mereka bisa bersama-sama hingga dewasa. Anehnya, film seperti belum mau membahas total soal ini. Mereka hanya menampilkannya dengan singkat.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE ON THE RUN

 

 
 

 

That’s all we have for now.
SpongeBob sudah ada sejak begitu lama. Humornya selalu segar dan terkenal dengan ciri khas penus selipan jokes dewasa, tapi tetap mampu tampil inosen untuk hiburan anak-anak. Apakah kalian masih suka nonton SpongeBob saat sudah gede? Episode SpongeBob mana yang paling berkesan buat kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Survivor Series 2020 Review


 
 
Yang spesial dari Survivor Series tahun ini adalah bukan saja ini merupakan acara yang semua pertandingannya adalah champion melawan champion – mempertandingkan juara-juara dari brand Raw melawan juara-juara dari Smackdown – melainkan juga acara yang bertepatan dengan tiga puluh tahun karir Undertaker bergulat di WWE. Acara ini adalah perayaan bagi Undertaker yang resmi menutup kiprah legendarisnya.

Undertaker, tak pelak, adalah salah satu karakter dengan karir tersukses seantero dunia gulat hiburan. Bagaimana tidak. Karakter supernatural yang penuh gimmick seperti itu tentu saja susah untuk dipertahankan, apalagi dikembangkan menjadi sesuatu yang dipedulikan banyak orang. Namun Mark Calaway mampu. Dia mendedikasikan diri kepada karakter yang dipercayakan kepadanya, no matter how over the top it might be. Taker mendapatkan respek besar karena kiprahnya menghidupkan karakter yang ‘mustahil’ tersebut. Benar kiranya, Undertaker adalah survivor dalam artian yang sebenarnya. 

 
Sayangnya, acara Survivor Series 2020 ini seperti tidak mampu merangkul dua kekhususan tersebut. Baik itu perayaan tutup-karir Undertaker maupun pertandingan-pertandingan tim dan juara antarbrand, tidak ada yang berhasil diperlihatkan benar-benar spesial, secara maksimal. WWE melakukan banyak pilihan-pilihan yang aneh. Dan juga penulisan atau booking yang, seperti standar acara mingguan mereka yang biasa, terasa seperti digarap mendadak. Acara selebrasi Undertaker itu dilakukan di akhir, setelah semua pertandingan selesai, sehingga terasa terpisah dari acara. Serupa dengan ekstra pada sebuah dvd/bluray film yang baru saja kita tonton. Penyelenggaraannya pun awkward sekali. Beberapa legend yang bersangkut paut dengan Undertaker datang berkumpul ke atas ring, mulai dari The Godfather, Savio Vega, hingga ke Shawn Michaels, Triple H, dan tentu saja Kane. I wonder if they would wanna bring all of the Streak’s victims tho, karena pastilah menarik kalo ada Randy Orton, Brock Lesnar, dan Batista. Dan CM Punk, anyone? lol..
Balik lagi ke acara, para legend yang berkumpul di atas ring itu tau-tau hilang semua setelah pemutaran video; digantikan posisinya oleh Mr. McMahon yang memanggil Undertaker. Taker datang dan ngasih speech, lalu berlutut, berpose untuk terakhir kalinya bareng hologram Paul Bearer. Kemudian acara berakhir, tidak satupun dari para legend tadi kelihatan lagi, tidak ada interaksi mereka dengan Undertaker. Which is weird, dan tampak pointless, buat apa mereka semua muncul kalo begitu. Buatku, tampak seperti ada perubahan rencana/acara yang dilakukan oleh WWE.

Semoga WWE gak lupa mereka pernah menggunakan lagu Katy Perry untuk entrance Undertaker dalam sebuah klip rekap Wrestlemania resmi.

 
 
Daya tarik yang dijual pada event perang-antar-brand seperti Survivor Series kali ini tentu saja adalah ketika juara masing-masing brand diadu. Superstar lain dari brand tersebut membentuk tim, lalu turut bertanding melawan brand saingan. WWE sudah sering melakukan ini. Dan pada setiap kali gimmick acara seperti ini dilakukan, WWE selalu kesusahan untuk membangun sesuatu yang benar-benar spesial. Seperti pada pertandingan-pertandingan kali ini. Yang paling terasa adalah kurangnya stake alias pertaruhan. ‘Best of the Best’ yang jadi tagline itupun hanya seperti ucapan basi. Mereka harusnya menciptakan sesuatu yang kongkrit untuk bisa dimenangkan oleh brand yang berhasil unggul atas brand lain. Brand supremacy sebagai hadiah tertinggi, katanya, tidak lagi menarik karena tahun demi tahun kita melihat kemenangan brand di Survivor Series tidak pernah berarti banyak. WWE harusnya membangun cerita yang lebih bermakna bagi para superstar yang bakal bertanding. Paling tidak bangun alasan kenapa mereka harus mau bekerja sama memenangkan brand mereka, kenapa mereka harus menang bareng, ciptakan kerugian atau kehilangan ketika mereka gagal. Seperti pada cerita film. Harus ada motivasi, harus ada ganjaran kalo gagal mencapai keinginan, harus ada dorongan yang membuat aksi mereka urgen. Semua itu tidak dapat kita temukan pada match-match di sini.
Padahal dengan adanya momen 30 Tahun Karir Undertaker, WWE bisa saja mengaitkan kemenangan brand tersebut. Like, mereka bisa bikin brand yang menang bakal dapat hak untuk mengirim delegasi sebagai ngasih tribute ke Undertaker. Atau sekalian saja, brand yang menang bakal dapat kehormatan mengirimkan salah satu superstarnya untuk melawan Undertaker di pertandingan terakhir sang Legenda. Seharusnya ada banyak hal/stipulasi kreatif yang bisa WWE lakukan untuk membuat pertandingan di Survivor Series punya lapisan, therefore menjadi jauh lebih menarik lagi.
Tapi nyatanya Survivor Series tahun ini justru semakin membosankan. Karena pertandingan antarjawara yang dihadirkan oleh WWE tidak punya dinamika face-v-heel. Baik melawan jahat. WWE seperti lupa bahwa juar-juara pada dua brand yang mereka punya ternyata pula formula yang sama. Juara Tag Team sama-sama face. Juara papan tengah sama-sama antagonis. Juara cewek juga sama-sama tokoh-baik. Tim di Tradisional Tag Teamnya juga gak ada yang bulet karakternya. Para superstar yang bertanding bisa jungkir balik berkali-kali, bisa ngeSuperkick ratusan kali, bisa ditimpuk ke meja ampe patah-patah pun, tapi tanpa dinamika karakter protagonis-antagonis, tanpa ada drama dan psikologi pada alur, semua yang mereka lakukan akan tetap terasa hambar. Karena bagi kita yang nonton, pertandingan mereka jadi bukan soal siapa yang menang dan kalah. Kita tidak bisa peduli kepada hal tersebut. Ketika yang kita tonton hanya aksi demi aksi, maka acara itu akan terasa garing, tidak ada naik turun. Tidak ada hasil dan konsekuensi. Apa bedanya bagi kita kalo yang menang New Day dan bukan Street Profits? Apa ngaruhnya ke greget kita kalo Smackdown berhasil menyusun Raw, kalo nantinya poin itu akan tetap disusun susul menyusul – karena WWE tidak mau ada brandnya yang kelihatan jadi benar-benar lemah; bisa-bisa mereka diprotes sama network penyiar yang namanya udah jadi bagian dari seragam masing-masing brand.
Bukan pekerjaan gampang, memang, menulis cerita pertandingan untuk partai yang sama-sama baik atau yang sama-sama jahat. Masalahnya, WWE di acara ini sama sekali tidak tampak berusaha maksimal. New Day melawan Street Profits, misalnya. Kedua tim sama-sama face. Persona karakter mereka buatku annoying semua, tapi mereka berempat punya in-ring work yang fantastis. Untuk ngasih bumbu pertandingan ini, WWE bisa saja memasukkan Big E ke dalam equation. Bikin Street Profits datang bersama Big E, untuk kemudian bisa dibikin Big E entah itu membantu mereka sebagai sesama Smackdown, atau malah balik membantu New Day; yang merupakan mantan rekan satu tim. Hal seperti demikian tidak akan merusak karakter, melainkan membantu memberikan lapisan kepada match dan kepada karakter superstar itu sendiri. Yang Intercontinental lawan U.S champion, lebih parah lagi. Juara yang satu suka main curang, yang satunya lagi suka main keroyokan. WWE ninggalin kita untuk bengong gak tahu mau jagoin siapa di antara dua karakter heel tersebut.
Mungkin kita harus jagoin ‘si anak bawang’ aja?

 
 
Melihat itu, aku jadi berpikir jangan-jangan WWE memang gak mikirin soal pemasangan juara ini sedari awal. Mereka gak ada rencana, dan hanya tersadar juara mereka ‘sama’ semua saat sudah masuk acara. The only working pair is Sasha Banks dan Asuka, itupun karena Sasha so good mainin karakter abu-abu (antara heel dan face) dan terutama karena Asuka dan Sasha sudah punya ‘sejarah’. Jadi saat menonton mereka, kita seperti melanjutkan babak baru. Pilihan finish yang dilakukan pun menurutku relatif aman, dan bisa jadi memang beginilah seharusnya. Ini satu lagi masalah yang bakal muncul ketika membuat match juara-lawan-juara; Para juara tersebut haruslah ‘dilindungi’. Naturally, semua pemegang sabuk harus di-book supaya terlihat kuat. Karena kalo tidak mereka jadi gak believeable, atau yang parah malah bisa-bisa sabuknya jadi turun prestise. Melindungi itulah yang sulit. Gak semua superstar berada dalam posisi serupa karakter Sami Zayn, yang masih bisa come out okay setelah dibuat terlihat lemah sebagai juara.
Satu lagi yang mestinya diperhatikan oleh WWE jika mereka memang ingin mempertahankan gimmick perang-brand adalah brand itu sendiri; Raw dan Smackdown, haruslah punya ‘karakter’ juga. Coba kita bedakan keadaan sekarang dengan keadaan saat baru-baru ada brand-split sekitar 2002-2003an. Raw dan Smackdown terasa sangat distinctive, udah kayak dua acara yang berbeda jauh. Punya manager yang beda visi, punya set panggung yang berbeda, punya daftar superstar dengan keahlian yang berbeda – Raw more of a hardcore, sedangkan Smackdown lebih ke cruiserweight. Karakterisasi khusus brand tersebut memudahkan kita untuk memilih favorit; kita lebih suka dan peduli sama brand yang mana, dan ketika mereka beradu kita akan mati-matian menjagokan salah satunya. Brand yang sekarang, selain warna dan musik pembuka, tidak ada lagi perbedaan yang mencolok. Semua sama, dari set hingga ke ‘kelakuan’ superstarnya.
Maka ketika mereka beradu dalam Traditional Tag Team, kita tidak benar-benar melihat mereka sebagai kubu yang berbeda. Partai Traditional Tag Team Cowok adalah match yang paling parah. Kelihatan hanya seperti random superstar yang dikumpulkan. Yang punya cerita cuma Seth Rollins dan Jey Uso. Keduanya berada di Smackdown, tapi kita tetap susah untuk mendukung Smackdown karena karakter mereka berdua berada pada titik yang membingungkan; kita tidak yakin mereka baik atau jahat at that point. Sehingga easily, match yang paling menghibur adalah Traditional Tag Team Cewek. Kedua kubu terasa sangat berbeda, dan mereka punya cerita masing-masing. Ada Bayley yang ngasih karakter ke Smackdown, dan – ya I hate it too – ada Lana untuk tim raw. Tonton dan perhatikan booking membuat Bayley yang heel tersingkir duluan; ini effectively membuat Smackdown tim face di sini, as opposed to Shayna dan Nia Jax, dan Lana. Dan meskipun kita bisa melihat ending yang bau-baunya bakal either menarik atau jengkelin, match ini tetap terasa lebih menarik di antara partai-partai sebelumnya.
“It doesn’t have to be pretty. It just have to be hurt” Exactly

 
 
On the paper, sure it is fun. Acara yang menampilkan adu-brand. Yang terbaik dari masing-masing brand saling berhadapan satu sama lain. Hanya saja pada praktiknya, para superstar just have less things to work with karena WWE enggak menyediakan ruang untuk dinamika karakter pada match-matchnya. Perayaan Undertaker pun seperti terpisah dari acara, padahal mestinya bisa dimasukin dan dijalin mulus ke dalam rangkaian acara. Diberikan weight lebih ke acara.
Bukti mutlak WWE gak punya cerita jangka panjang dan just scrap everything on the go adalah mengganti Orton sebagai juara WWE, dengan Drew McIntyre. WWE sebenarnya tentu paham menulis face-lawan-face atau heel-lawan-heel itu susah dan matchnya bakal ngebosenin, maka khusus untuk main event, mereka terpaksa untuk mengganti pemain. Randy Orton yang heel, meski baru saja jadi juara, tidak akan menarik jika ditandingkan dengan Roman Reigns yang lagi hot-hotnya setelah bertukar peran menjadi antagonis. Mengganti karakter Orton jadi face akan makan lebih banyak waktu. Maka WWE mengembalikan sabuk kepada Drew McIntyre yang sudah jadi salah satu babyface terbesar di Raw. Dengan efektif menunjukkan mereka jadiin Orton juara itu tanpa pemikiran sedari awal, tanpa kesadaran bahwa sebulan setelah itu mereka butuh partai seru juara melawan juara. Dan aku senang WWE comes to their senses pada match ini. Karena McIntyre lawan Reigns – udah kayak battle antara dua kepala suku – easily baik secara teori maupun eksekusi adalah MATCH OF THE NIGHT. Terbaik. Terseru. Endingnya make sense. Semua itu karena ada dinamika, ada drama, psikologi karakter mereka berjalan. Dengan baik pula.
 
 
 
 
Full Results:
1. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw (AJ Styles, Matt Riddle, Braun Strowman, Keith Lee, dan Sheamus) menyapu bersih Tim Smackdown (King Corbin, Jey Uso, Seth Rollins, Otis, dan Kevin Owens)
2. CHAMPIONS VS. CHAMPIONS Street Profits (Smackdown Tag Team Champions) ngalahin New Day (Raw Tag Team Champions)
3. CHAMPION VS. CHAMPION Bobby Lashley (United States Champion) bikin tap out Sami Zayn (Intercontinental Champion)
4. CHAMPION VS. CHAMPION Sasha Banks (Smackdown Women’s Champion) merebut kemenangan dari Asuka (Raw Women’s Champion)
5. TRADITIONAL SURVIVOR SERIES TAG TEAM Tim Raw menang dengan Lana sebagai sole survivor (Shayna Baszler, Nia Jax, Peyton Royce, Lacey Evans) mengalahkan Tim Smackdown (Bianca Belair, Liv Morgan, Ruby Riott, Natalya, Bayley)
6. CHAMPION VS. CHAMPION Roman Reigns (Universal Champion) unggul atas Drew McIntyre (WWE Champion)
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RUN Review

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”
 
 

 
 
Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.
Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 
Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.
Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.
Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 
 
Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.
 
 
 
 
Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

DREAMLAND Review

“The problem is to see the reality as it is.”
 

 
 
Kata orang, mimpi tanpa dibarengi usaha hanya akan jadi sekadar angan-angan kosong. Bahwasanya kita diharapakan untuk tidak terbuai oleh mimpi, melainkan kudu terjaga dan segera melanjutkan hidup demi mewujudkan impian tersebut. Namun bagaimana jika tindakan mewujudkan mimpi itu sendiri justru membuat kita abai terhadap realita? Bagaimana jika tanah impian – dreamland – itu sendiri ternyata lebih baik untuk dijadikan angan-angan saja? Seberapa jauh kita mesti bermimpi?
Eugene dalam film Dreamland clearly hidup dalam dunia mimpi. Anak muda ini melihat mimpinya lebih jelas ketimbang dia melihat kenyataan. Eugene hidup di tanah realita yang keras, di Texas tahun 1930-an. Ladang mereka senantiasa diterpa badai angin. Di rumah pun ia kurang bahagia seatap bersama ayah tirinya yang deputy sheriff. Eugene tidak melihat apa yang ia punya, melainkan apa yang ia rasa seharusnya ia dapat. Karena meskipun ayah tirinya yang tegas itu sebenarnya baik, Eugene merindukan ayah kandungnya yang pergi meninggalkan dirinya sejak lama. Ia punya sahabat dan adik yang menyayanginya, tapi Eugene lebih suka tenggelam ke dalam buku-buku cerita detektif. Sampai suatu ketika, hidup Eugene mendadak seseru buku cerita. Seorang buronan perampok bank – wanita cantik bernama Allison – numpang berlindung di gudang jerami keluarga mereka. Eugene tertarik akan cerita si Allison, yang ternyata berbeda dari rumor mengerikan yang ia dengar. Dan yang terpenting adalah Eugene merasa jatuh cinta terhadap wanita supermenarik ini. Jadi Eugene memutuskan untuk membantu Allison, mulai dari merawat luka tembak di kakinya, hingga jika perlu membawanya melarikan diri ke Mexico. Tempat di mana hidup yang lebih baik dipercaya Eugene menunggu dirinya.

Allison ‘membunuh’ ke-innocent-an Eugene di depan mata kita semua

 
 
Perang antara ekspektasi melawan realita memang ditembakkan lagi dalam drama thriller ini. Ceritanya boleh jadi tembak-langsung, dengan elemen-elemen crime yang mengambil referensi dari kisah drama kriminal yang sudah familiar, tapi Dreamland tetap mumpuni sebagai sebuah tontonan. Yang membuat film ini secara khusus lumayan menarik adalah cara sutradara Miles Joris-Peyrafitte membangun karakter utamanya untuk kemudian dikontraskan dengan karakter Allison – bayangkan seperti jelata bertemu makhluk legenda – dan kemudian diparalelkan dengan cara Joris-Peyrafitte mengontraskan antara peristiwa yang nyata dengan kejadian yang merupakan impian kedua karakter tersebut. Penggunaan kontras itu juga berperan; didesain untuk menimbulkan naiknya intensitas. Memberikan sesuatu gejolak emosi kepada kita, di mana kita diniatkan untuk merasa terpecah dua di antara ingin melihat Eugene menjadi dewasa dan sukses dalam pelarian dengan merasa menyayangkan keputusan yang ia buat karena kita tahu lebih baik dari dirinya. Kita diposisikan untuk melihat lebih jelas dari si tokoh utama ini; bahwa sesungguhnya Eugene hanya anak muda yang begitu termakan oleh fantasi hidup-lebih-baik yang tidak realistis baginya.

Gampang bagi kita untuk mengkategorikan mimpi sebagai bentuk harapan atau sebuah perwujudan dari sikap optimis bahwa hal dapat menjadi lebih baik. Namun berpikir dalam terms optimis atau pesimis itu sesungguhnya menyederhanakan realita. Karena masalah yang terpenting adalah bagaimana kita melihat kenyataan itu terlebih dahulu. Kita harus juga menyadari kenyataan apa saja yang kita butuhkan, yang mungkin akan kita korbankan, untuk mewujudkan mimpi tersebut. Akan ironis sekali ketika tindak mewujudkan impian justru membawa kita pada kehidupan yang tidak lebih baik daripada kenyataan sebelumnya.

 
Ketika memperlihatkan realita, film akan membingkai gambar dalam layar yang lebar, to fully immersed us ke dalam periode 30an yang panas dan berdebu. Menekankan kepada kita bahwa itulah present yang harus dihadapi oleh Eugene. Dengan mulus kemudian film memasukkan kilasan sekuen-sekuen di pantai yang diberikan resolusi layar yang lebih kecil, serupa rekaman video. Yang boleh jadi menyimbolkan sebuah masa depan yang tidak bakal kejadian. Atau setidaknya, akan mati sebelum benar-benar terjadi.
Dari segi karakter, yang paling menarik – menonjol di antara semua – jelas adalah Margot Robbie sebagai Allison. Secara fisik memang tidak sukar untuk membuat Margot masuk ke dalam deskripsi sosok yang sudah seperti makhluk mitologi bagi karakter yang terkurung secara mental seperti Eugene. Kita sudah melihat Margot memainkan aktris Sharon Tate, atau sebagai Harley Queen; ini tipe-tipe sosok fantasi banget. Margot Robbie memang pantas memainkan tipikal manic pixie, dan Allison dalam Dreamland nyatanya adalah manic pixie dream girl yang benar-benar dark bagi eksistensi Eugene. Karena bukan hanya menguatkan dan membawa Eugene kepada sisi baik, melainkan juga kepada sisi terburuknya. Sebelum bertemu Allison kita melihat Eugene mencuri bacaan, dan perbuatannya tersebut bukan apa-apa ketika dia telah kenal dan jatuh cinta kepada Allison. Margot excellent dalam perannya ini, dia berhasil membuat flirt tidak tampak seperti flirt. Melainkan sesuatu yang bisa kita ‘dengar’ lebih berbahaya. Pun begitu, film tidak perlu repot-repot untuk menggiring kita ke pertanyaan apakah Allison jujur terhadap ceritanya atau tidak. Semua itu diserahkan kepada perhatian kita kepada karakter utama, si Eugene. Dan di sini kepiawaian Finn Cole menerjemahkan keinginan sutradara mencuat ke permukaan. Ya, Eugene ini kaku. Dan boring, dibandingkan Allison. semua itu supaya kita dapat melihat jelas pengaruh Allison kepada dirinya, dan ultimately memancing dramatis ketika kita lihat Eugene percaya.

Hiruk Pikuk Al-lison

 
Memasuki midpoint, bukan masalah lagi apakah Allison bohong, apakah Allison juga beneran jatuh cinta kepada Eugene, atau kita harus tahu kejadian sebenarnya. Melainkan fokus adalah kepada sikap Eugene terhadap Allison. Makanya pada adegan shower di motel itu, kamera merekam komposisi gambar yang demikian aneh. Kita hanya melihat Eugene, sedangkan Allisonnya kepotong, hanya sebagian kecil tubuhnya yang masuk frame. Pengadegan tersebut menuntut kita untuk memusatkan perhatian kepada Eugene sebab peperangan antara impian dan realita sedang memuncak di dalam tubuh polosnya.
Jika cerita dalam film ini diberikan waktu lebih lama untuk matang, tentulah kisah Eugene sebagai seorang pribadi bisa lebih mencuat lagi. Karena sebenarnya ada banyak lapisan pada tokoh ini yang dihadirkan, yang penting untuk pengembangan karakternya, tapi sendirinya tidak dikembangkan dengan maksimal. Relasi antara Eugene dengan ayah tirinya, misalnya. Paralel si ayah yang diantagoniskan oleh Eugene dengan dunia berdebu yang ingin ia tinggalkan – Eugene memilih pantai sebagai hidup sempurna – mestinya bisa ditonjolkan lagi. Babak kedua film ini terasa berlalu begitu saja karena tidak dapat dihabiskan untuk merajut relasi dan konflik antarkarakter tersebut. Hanya menyoal tindak sembrono Eugene dalam providing security untuk Allison.
Yang mungkin paling minim dikembangkan, padahal penting karena pilihan bercerita yang dilakukan oleh film, tentu saja adalah hubungan antara Eugene dengan adik perempuannya. For some reason, film memilih untuk bercerita lewat narator; yang diungkap sebagai si adik perempuan yang telah dewasa. Akan tetapi, peran tokoh si adik ini dalam cerita aktualnya sama sekali tidak banyak. Dia bahkan tidak ada dalam beberapa adegan. Ini membuat si adik sebagai narator yang tidak bisa dipercaya. Dia bercerita kepada kita soal percakapan yang terjadi antara Eugene dengan Allison, padahal percakapan itu merupakan hal yang tidak mungkin dia ketahui. Mungkin saja keseluruhan cerita ini adalah impian – sebuah eskapis tak-realistis versi dirinya yang merindukan sang abang – tapi film juga tidak menutup cerita dengan mengarahkan ke sana. Tidak ada yang mengisyaratkan apakah keseluruhan film ini beneran terjadi seperti begitu di dalam dunianya, ataupun apa pengaruh jelas cerita tersebut ke si adik sehingga dia sekarang menceritakannya kepada kita. Padahal seharusnya narator pada cerita diungkapkan kepentingannya terhadap cerita itu, misalnya seperti yang kita lihat pada serial drama horor The Haunting of Bly Manor (2020); narator yang menceritakan kisah pada akhirnya diungkap kenapa dia bisa tahu dan apa kepentingan dan makna cerita tersebut terhadap dia sendiri sebagai seorang karakter. Dreamland tidak melakukan semua itu terhadap naratornya.
 
 
 
 
Yang paling kita nikmati dalam drama thriller ini adalah hubungan antarkarakternya yang benar-benar menghidupi perjuangan antara mimpi – harapan – dengan kenyataan. Dengan penampilan akting yang dipimpin oleh Margot Robbie sebagai sosok ‘mitos’, film ini seharusnya memberikan ruang dan waktu lebih banyak untuk karakter-karakter tersebut berkembang. Karena sebenarnya ini tak pernah soal mana yang benar, mana yang bohong. Posisi narator, terutama, harus diperkuat lagi. Karena menjadikannya kisah ini sebagai sebuah pertanyaan membuat film ini tidak dapat benar-benar terasa kuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DREAMLAND.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana kalian memposisikan harapan/impian terhadap kenyataan? Seberapa tinggi mimpi itu sebaiknya jika dibandingkan dengan kenyataan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ROH Review

“The unseen enemy is always the most fearsome”
 

 
 
Hidup Mak di hutan, bersama dua orang anak; Along dan Angah, tak repot memikirkan banyak aturan (apalagi protokol kesehatan!). Hukum ‘rimba’ yang mereka amini cuma satu. Jangan percaya pada apapun yang ada di hutan, khususnya pada hal-hal yang tak bisa mereka lihat dan yang tak dapat mereka pegang. Bahkan ketika tau-tau ada rusa yang kena ke perangkap, Along si putri sulung memilih untuk mengabaikan jerit kesenangan Angah, si putra bungsu, yang mengira mereka dapat makanan untuk seminggu. Alih-alih, Along tetap mengumpulkan arang sesuai perintah Mak. Keluarga yang luar biasa ‘sederhana’ dan ekstra berhati-hati ini tampaknya adalah protagonis dalam Roh, gacoan Malaysia untuk Oscar tahun depan. Konflik bagi mereka datang berwujud seorang anak kecil yang tersesat, yang tau-tau memberi peringatan kepada mereka bahwa nyawa mereka semua akan berakhir pada bulan purnama berikutnya. Si anak misterius kemudian bunuh diri dengan mengiris lehernya sendiri! Tess!!!
Sutradara Emir Ezwan membuat cerita ini sebagai horor yang kuat secara atmosfer dan sarat akan lapisan. Film Roh tidak akan menakuti kita dengan membuat jantung copot. Melainkan Ezwan membuat Roh lebih seram daripada itu. Ia berusaha membuat kita turut merasakan keputusasaan yang dialami oleh Mak dan kedua anaknya. Seiring durasi yang tergolong singkat ini berjalan (hanya satu jam dua-puluh menitan) Ezwan meningkatkan bukan hanya stake, melainkan juga semakin banyaknya pertanyaan yang tak bisa Mak dan anak-anaknya ungkap. Karena Mak dan anak-anaknya berada di posisi bak pelanduk di tengah-tengah ‘gajah’ yang berkelahi. Mak sekeluarga berada di dalam situasi di mana mereka tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Di hutan sana ada seorang pria Pemburu yang berkeliaran. Ada pula seorang dukun perempuan (dipanggil Tok) yang senantiasa muncul memberikan peringatan-peringatan. Siapa mereka? Apa hubungan mereka dengan si anak misterius?

Siapa impostor di hutan ini??

 
Cerita dan penceritaan film Roh berangkat dari pengetahuan Islam bahwa syaiton eksis di dunia dengan tujuan untuk menyesatkan umat manusia. Jadi bukan tanpa alasan kalimat penggalan ayat tentang hal tersebut dipajang sebagai pembukaan. Karena memang itulah fondasi bangunan cerita dan pegangan yang jadi kunci untuk kita semua supaya dapat menikmati filmnya secara utuh. Kita akan benar-benar di tempatkan seolah di dalam sarung si Mak dan si kedua anak. Kita turut buta. Turut menerka-nerka. Ada bahaya apa di balik pepohonan lebat itu. Siapa yang mengintai dan berkata jujur, kita – seperti halnya Mak – tak pernah tahu, hingga sudah terlambat nantinya.
Semua elemen penceritaan dikerahkan oleh sang sutradara untuk menutupi kebenaran itu. Menciptakan sensasi kungkungan, menimbulkan intensitas horor dan rasa bahaya di balik setiap keputusan yang dipilih oleh para karakter. Informasi dan eksposisi dibeberkan dengan sedemikian rupa guna mempengaruhi penilaian kita terhadap tokoh. Editing pun bergerak mengikuti, dalam rangka memperkuat, katakanlah, ilusi yang hadir lewat dialog-dialog. Sehingga ketika kita mendengar dongeng tentang pemburu hantu yang berbahaya, seketika kita curiga kepada si Pria Pemburu yang ditampilkan bersisian dengan dialog dongeng tersebut. Namun bahkan dongeng itu sendiri tidak bisa dijadikan pegangan. Segala peringatan yang kita dengar melalui para karakter, bisa jadi hanya tahayul kosong, dan kebenaran justru pada sisi yang lain. Ditambah pula adegan-adegan sureal yang bisa jadi hanya mimpi atau berada dalam kepala tokoh tertentu. Begitulah sebagian besar durasi film ini terisi. Semuanya penuh deceit. Oleh muslihatFilm ini terasa seperti whodunit, yang esktra creepy karena seluruh tokohnya benar-benar tidak ada yang bisa dipegang. Pada akhirnya, kita justru akan merasa lebih tak-berdaya dan lebih sendirian ketimbang si Mak.
Ezwan tidak membuat cerita ini menjadi lebih mudah untuk dicerna. Tapi tentu, dia ingin kita tetap tinggal. Menyaksikan hingga akhir karena di ujung itulah penjelasan – meski tetap samar – dihadirkan. Usaha Ezwan di sinilah yang perlu kita apresiasi. Ruang gerak itu tidak tak-terbatas bagi Ezwan. Kita dapat melihat film ini tidak memiliki budget yang wah. Namun Ezwan berusaha menjadikan hal itu sebagai nilai positif bagi filmnya. Tidak banyak polesan cahaya diharapkan membuat film ini tampak natural. Artistik yang ala kadar diharapkan membuat kita semakin percaya bahwa protagonis benar-benar terpisah dari dunia luar. Dan bahkan properti-properti yang tampak janggal di hutan itu diharapkan semakin memperkuat kesan semua peristiwa ganjil yang mereka alami adalah ‘kerjaan’ seseorang – sesuatu kekuatan yang kontras dengan kodrat alam. Dua unsur yang ditonjolkan sebagai daya tarik visual adalah tanah dan api. Clearly, Ezwan meniatkan supaya penonton langsung menarik perhatian ke sana, karena sesuai dengan kepercayaan Islam bahwa manusia terbuat dari tanah sedangkan setan diciptakan dari api. Dua makhluk yang jadi sentral cerita. Dua dinamika inilah yang sedang diperlihatkan oleh Ezwan.

Kita sedang dalam peperangan. Melawan musuh yang tidak kelihatan. Kecemburuan. Ketakutan. Prasangka. Hal yang membuat kita terpecah belah, menimbulkan keraguan. Dan dari situlah bisikan-bisikan itu datang. For it is our strongest enemy. Maka kita harus menguatkan iman. Di dalam hati masing-masing kita sebenarnya tahu di dunia yang tak bisa dipercaya, cuma ada satu yang bisa. Roh benar-benar menunjukkan dinamika rimba kehidupan kita. Di tengah kebingungan, kita gampang tersesat oleh bisikan-bisikan.

 

Apa kita harus bertanya kepada Gisel yang bergoy.. eh maksudnya pada rumput yang bergoyang?

 
 
Pun, Roh bukan tontonan yang mudah untuk disaksikan. Untuk beberapa penonton, film ini bisa tergolong sadis. Menampilkan kekerasan yang bersarang pada anak-anak ataupun pada hewan. Memang, kamera selalu mengcut tepat di saat-saat paling sadis, namun tetap adegannya tidak meninggalkan ruang yang banyak untuk gambaran lain dalam kepala penonton. It is still clear dalam benak bahwa ada anak yang digorok dan semacamnya. Melihat tampilan horor berdarahnya ini membuat kita sedikit teringat dengan gaya-gaya horor dari tanah Asia lain seperti Jepang atau Thailand.
Representasi kelokalan memang penting. Terlebih untuk film yang diniatkan ke Oscar, karena memang Oscar sedari awal tahun sudah menyebarkan poin-poin yang mereka cari di dalam suatu film. Ezwan dalam karya debutnya ini sepertinya paham dan melihat hal sebagai gelas yang setengah penuh. Dalam artian dia melihat dengan optimis dan menjadikan poin tersebut sebagai ruang untuk menggeliatkan kreativitas. Film Roh tidak malu untuk menampilkan ajaran agama. Film Roh tidak latah untuk merasa diri progresif jika dirinya meng-subvert sesuatu. Dalam film ini diperlihatkan unsur Islam yang menjadi agama mayoritas di Malaysia, secara subtil film memberitahu bahwa jawaban bagi Mak sebenarnya sudah ada. Yaitu bersujud, meminta kepada-Nya. Namun manusia-manusia itu begitu tersesat sehingga cerita ini berubah menjadi cerita kegagalan. Untuk narasi kekiniannya, Ezwan menyelipkan lapisan narasi tambahan. Ada satu peraturan tak-tertulis lagi di bawah atap rumah Mak. Yakni jangan menyebutkan soal ayah. Mak seperti ke-trigger setiap kali anak-anaknya mempertanyakan soal ayah. Kita bisa menarik pemahaman perihal absennya sosok kepala keluarga di rumah mereka sebagai akar dari karakter Mak. Soal ayah/suami/pria ini lantas dijalin ke dalam konflik utama; ia menjadi ‘minyak’ yang menyebabkan si Mak lebih susah untuk percaya kepada perkataan si Pria Pemburu.
 
 
Malaysia tampaknya memberikan kontender yang cukup kuat di ajang Oscar. Horor filmnya ini tampil tidak ke arah genre-is, melainkan ke arah ‘drama berat’ yang lebih menghujam dan berbobot. Penceritaan yang dipilihnya untuk mengangkut gagasan sebenarnya bukan tanpa cela. Buatku sendiri, sebenarnya cenderung lemah dan masih bisa diperkuat lagi. Yang kerasa jelas tentu saja adalah perspektif atau tokoh utamanya siapa. Film ini tidak pernah benar-benar klir soal itu. Membuat kita bingung dan semakin susah mengikuti cerita. Kebanyakan bakal terjebak dalam tebak-menebak yang tak bakal pernah terpuaskan. Menonton ini dapat jadi melelahkan, dan akhirnya tidak lagi menarik bagi penonton. Tapinya lagi, memang justru hal tersebut yang diincar oleh film ini, yang merupakan sebuah dongeng mengerikan tentang muslihat dan tipu daya yang menyerang manusia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROH.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian merasa film ini punya identitas yang kuat sebagai film dari Malaysia? Apakah kalian menemukan perbedaan representasi antara film ini dengan horor-horor lokal modern selain dari bahasa dan gaya arthousenya? Bagaimana seharusnya supaya film memiliki ruh yang kuat menurut kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE NEW MUTANTS Review

“The difference between a hero and a villain is that they just make different choices.”
 

 
 
Dari The New Mutants kita belajar bahwa sesuatu yang diundur-undur itu mungkin sebaiknya memang tidak usah dikeluarkan, jika tidak dilakukan pembenahan. Karena diundur itu sendiri sejak awalnya adalah tanda kebelumsiapan. Film The New Mutants ini tadinya ingin ditayangkan pada April tahun 2018. Karena ada beberapa reshot yang entah kenapa tidak pernah kejadian, film ini terus mundur. Lima kali, sebelum akhirnya tayang begitu saja di tengah pandemi di tahun 2020 ini. To be honest, film ini bisa mundur lebih lama lagi, suka-suka studionya, and it wouldn’t make any difference jika memang perubahan/perbaikan tersebut tidak dilakukan. Keadaan yang ironisnya sesuai dengan gagasan yang diangkat di balik cerita film ini sendiri.

Yakni cerita soal setiap manusia punya kekuatan dan ketakutan, dan tergantung masing-masing untuk terus meringkuk atau bertindak – dan tindakan yang dipilih tersebut ultimately akan menentukan apakah kita superhero atau villain. Orang baik atau orang jahat.

 
Sutradara Josh Boone menempatkan lima anak muda dalam sebuah fasilitas tertutup sebagai panggung cerita. Tapi tentu saja, lima anak muda itu bukan geng Breakfast Club yang sedang kena detensi sekolah. Melainkan, kelimanya adalah remaja dengan kekuatan super yang dianggap membahayakan, sehingga mereka dikurung di gedung penelitian itu. Dikurung dalam rangka untuk mengenali kekuatan mereka dan mempelajari penggunaannya. Namun bagi mereka itu bukan hal mudah. Karena masing-masing punya trauma di masa lalu. Misalnya tokoh utama cerita ini, Danni Moonstar; gadis keturunan Indian ini dibawa ke facility itu setelah kota tempat tinggalnya hancur oleh ‘badai’ misterius – effectively menewaskan sang ayah. Danni, tidak seperti empat remaja lain, belum mengetahui apa pastinya ke-mutant-annya. Sehingga ekstra susah bagi dirinya untuk escape dari trauma masa lalu, sekaligus untuk ikut teman-temannya escape dari tempat itu. Karena kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi di sana tanpa diketahui penyebabnya.

Among Us versi mutant

 
Yang fresh dari film ini memang genrenya. Boone membuatnya sebagai horor superhero. Mutant-mutant remaja dalam cerita ini akan berhadapan dengan monster-monster mengerikan dari masa lalu mereka. Masa lalu yang enggak jauh-jauh amat, karena mereka masih muda. Masih belum bisa mengendalikan kekuatan mereka; dari situlah mimpi buruk mereka berasal. Ada yang enggak sengaja membakar pacarnya sendiri. Ada yang mengakibatkan kecelakaan sehingga menimbun ayahnya hidup-hidup. Yang paling menarik buatku adalah karakter Illyana alias Magik yang diperankan oleh Anya Taylor-Joy. Cewek rusia ini, bersama boneka naga, sedari belia sudah membunuh 18 orang pria dewasa. Terdengar bad-ass banget, tapi sesungguhnya juga memilukan mengingat yang ia alami saat masih kecil tersebut. Boone memvisualkan trauma-trauma ini ke dalam bentuk-bentuk menyeramkan, seperti hantu dan monster yang bukan saja mengerikan tapi juga bisa benar-benar melukai mereka. Jika elemen ini diekplorasi lebih giat, dengan pengembangkan karakter yang dilakukan maksimal, tentulah film ini bisa benar-benar nendang.
Karena situasi seperti mereka ini jarang kita dapatkan dalam cerita superhero. Sudah terlalu sering cerita superhero membahas belajar menggunakan kekuatan dalam nada yang ringan dan lucu, dan kemudian si superheronya langsung menghadapi ujian berupa menyelamatkan orang tersayang. Dengan pembelajaran mereka disebut pahlawan bukan dari kekuatan supernya. Cerita The New Mutants sebenarnya mengincar jalur yang berbeda. Sebelum menyelamatkan orang-orang, Danni dan teman-temannya diberikan satu film khusus untuk belajar menyelamatkan diri mereka sendiri. Dan actually diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidup mereka, sebagai superhero atau villain. The only other times aku menemukan bahasan seperti ini adalah pada serial anime My Hero Academia dan One Punch Man yang memang membahas lebih dalam filosofi pengkotak-kotakan ‘superhero’ dan ‘villain’. Aku berharap dapat pembahasan lanjutan pada film ini.
Namun film ini malah membuatku frustasi karena mereka bersikap ngawang-ngawang terhadap hal tersebut. Permasalahan mengemban kekuatan di usia remaja dapat membawa banyak derita dan pengalaman mengerikan, dan setiap orang punya dua pilihan berbeda untuk menyingkapinya, hanya dicuatkan di akhir  Jika hal tersebut ditunda untuk menonjolkan hal lain semisal interaksi karakter-karakter yang unik ataupun bagaimana mereka menyelidiki gedung facility itu (aneh sekali hanya ada satu dokter yang menjaga mereka), atau apapun lah untuk memanfaatkan talenta-talenta muda itu secara maksimal, maka kita sejatinya tidak akan menemukan titik jemu saat menonton film ini. Sayangnya, justru hal itu juga tidak mampu dilakukan oleh film. Para mutant remaja tersebut hanya berinteraksi klise yang ala kadarnya; sok tough di depan dokter, lalu sok saling menjahili saat dokter gak ada. Karakter Illyana yang supposedly digambarkan layaknya mean girl bagi Danni, tidak pernah berkembang lebih ‘hidup’ daripada sekadar melontarkan hinaan rasis. Tokoh cowoknya either just want to hook up or playing hero. Semuanya terasa datar dan terasa kurang diperhatikan. Karena memang perhatian nomor satu film ini adalah memasukkan elemen ‘kekinian’ — memperlihatkan hubungan romansa antara Danni dengan mutant cewek bernama Rahne (Maisie Williams meranin karakter paling annoying dalam film ini) 
Nonton mutant-mutant ini bikin kita menguap sampai pipi kesemutan

 
Dahulu sewaktu belajar menulis, aku diberitahu bahwa sebenarnya perkara menulis adalah perkara menanyakan pertanyaan yang tepat. Menilik dari sana, aku pikir sepertinya itulah penyebab kenapa The New Mutants tidak bekerja maksimal memenuhi potensi yang dimiliki oleh ceritanya. Mau berapa lama pun diundur, mau berapa kali retake yang mereka lakukan (kalo jadi dilakukan) sepertinya tidak akan ngaruh banyak. Karena film ini melakukan kesalahan pada hal yang paling fundamental dalam penulisan bangunan ceritanya. Kesalahan itu berupa simply salah mengajukan pertanyaan.
Keseluruhan cerita film ini dibangun dari pertanyaan ‘apakah kekuatan mutant yang dimiliki oleh Danni’. Jawaban dari itu akan diungkap di babak akhir. Menjelma kepada kita sebagai adegan final fight dengan penyelesaian paling receh dalam universe superhero; tokoh utama gak ikut berantem (gak bisa karena praktisnya kekuatan si protagonislah yang jadi musuh) dan kemudian dia bangkit dan semuanya selesai begitu saja. Dan jujur saja, siapa sih dari kita yang saat nonton ini belum bisa mengerti kalo kekuatan Danni itu sebenarnya apa, saat sudah sampai di babak tiga? Aku yakin gak ada. Aku yakin semua itu udah begitu jelas arahnya kemana. ‘Kekuatan macam apa yang dimiliki oleh mutant A’ akan otomatis muncul di kepala kita saat menonton film superhero.  Film tidak perlu menyimpan jawaban pertanyaannya tersebut. Film tidak perlu mengstretchnya sepanjang tiga babak. Pertanyaan itu tidak bisa dijadikan sebagai pertanyaan utama untuk majunya cerita. It just doesn’t work. Pertanyaan yang seharusnya diangkat sebagai cerita oleh film ini adalah soal bagaimana si tokoh remaja ini hidup dengan berurusan dengan kekuatannya tersebut.
Makanya Illyana begitu menarik buat kita. Mencuri perhatian, kita bilang. Itu bukan sekadar karena Illyana literally karakter paling keren, atau karena Anya Taylor-Joy cantiknya memang unik. Kita lebih tertarik dan bersimpati kepadanya karakternya lebih cepat kita mengerti – kita tahu kekuatannya apa, traumanya dari mana, apa luka personalnya. Sehingga pembahasan tentang karakter itu pun lebih kompleks lagi, langsung ke emosional tentang bagaimana dia mengambil sikap dan bergerak seperti di garis batas antara superhero dengan villain. Kita bersamanya saat dia melawan ketakutannya dan ketika dia memilih untuk menjadi superhero. Coba kalo Danni ditulis dan dikembangkan seperti begini. Pertanyaan kekuatan dia tidak dijadikan pamungkas. Melainkan yang diangkat adalah persoalan bagaimana dia menyingkapi kekuatan dengan segala konsekuensinya, path mana yang akan dia pilih. Niscaya film akan jadi lebih menarik. Danni akan belajar mengenai dealing with her power selama dua babak, alih-alih dalam lima belas menit dia tak sadarkan diri saat teman-temannya bersusah payah.
 
 
Dari film ini mestinya film-film Indonesia yang tertunda jadwal tayangnya di bioskop mengambil pelajaran. Bahwa waktu tunda itu bisa dijadikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Film ini sendiri punya begitu banyak waktu, hype dan segala macam terhadapnya sudah terbendung tinggi. Hadir dengan ala kadar seperti begini – cerita horor superhero yang gak jor-joran, elemen remaja yang cuma fokus ke agenda saja, akting yang juga hanya sedikit lebih bagus daripada level televisi (kecuali Anya!), dan writing yang perlu banyak pembenahan – hanya akan membuat filmnya jadi semakin jatuh karena ekspektasi terhadapnya sudah terlampau tinggi. Jika Danni berkata sesungguhnya adalah pilihan kita untuk membesarkan yang mana, maka film ini telah memilih untuk tetap berusaha gede sebagai medioker.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE NEW MUTANTS

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Danni percaya dalam setiap manusia hidup dua ekor beruang, would you like to share kira-kira beruang mana yang paling subur hidup di dalam diri kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HIS HOUSE Review

“Home is not where you are from, it is where you belong”
 
 

 
 
Horor tak biasa itu ternyata datang dari sutradara baru asal Inggris, Remi Weekes. His House garapannya yang tayang di Netflix, jika dibaca sekilas sinopsisnya, akan terdengar seperti teror rumah hantu yang belakangan ini menjamur. Suami-istri pengungsi imigrasi dari Sudan ditempatkan ke sebuah rumah di kawasan kota tak bernama. Mereka harus menetap di rumah tersebut sebagai percobaan dari kebebasan bersyarat yang mereka dapatkan. Syarat yang kayak cukup gampang tapi prakteknya ternyata susah. Sebab pada malam hari, mereka diteror oleh sejumlah hantu-hantu yang muncul dari dalam dinding, dari sudut-sudut gelap di rumah. Hal uniknya adalah; hantu dan mayat-mayat orang tenggelam itu bukan berasal dari rumah baru itu. Melainkan justru berasal dari suami dan istri itu sendiri.
Karena sesungguhnya pusat horor cerita ini ada pada pasangan suami istri tersebut. Bol dan Rial. Kehidupan rumah tangga mereka dihantui oleh trauma atas kejadian yang mereka alami bersama di masa lalu. Penceritaan film didesain supaya kita mengikuti keadaan mereka yang sekarang, supaya kita bisa menumbuhkan empati karena turut merasakan susahnya settle in di tempat dan lingkungan yang baru. Khususnya lingkungan yang jelas-jelas bukan tempat untuk mereka. Cerita perlahan membuka, membawa kita menyelam lebih dalam lagi ke latar Bol dan Rial – menyaksikan trauma tersebut bertransformasi secara berbeda terhadap mereka berdua, sehingga rasa emosional itu semakin menyayat. Menonton His House ini ngerinya seperti kita menemukan ada luka menganga di tubuh kita, dan feelnya seperti ketika kita disuruh untuk mengiris ke dalam luka tersebut. Ini adalah horor yang akan membekas, berkat penulisan karakter yang hidup lewat trauma yang membayangi mereka dan berkat penceritaan yang mempersiapkan kejutan di setiap penghujung babaknya.

Mau pindah ke manapun juga, hantunya bakal ngikut

 
 
Film ini tidak berlama-lama membiarkan kita berada dalam kegelapan. Misteri keberadaan hantu-hantu itu dengan lugas dijawab; mereka bukan sekadar mimpi atau hanya ada di dalam kepala Bol ataupun Rial. Kedua karakter ini diperlihatkan melihat penampakan yang serupa. Hantu-hantu itu nyata, setidaknya bagi mereka. Film justru ingin memusatkan perhatian kita kepada perbedaan interaksi ataupun perbedaan reaksi Bol dan Rial terhadap hantu-hantu tersebut. Karena itulah gagasan yang diusung oleh film; memperlihatkan bagaimana pasangan suami istri yang share a trauma, namun dealing with it dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah gangguan domestik – diperseram karena berwujud hantu-hantu. Sesungguhnya ini adalah cerita soal Bol dan Rial, suami dan istri, harus kompak dan berjalan bersisian menghadapi apapun masalah pernikahan dan rumah tangga.
Bol dan Rial memang begitu terguncang karena peristiwa masa lalu itu. Peristiwa yang merenggut nyawa Nyagak, putri mereka. Kita melihat peristiwa mengenaskan tersebut di opening film, saat Bol memimpikannya. Dan kemudian berbohong ketika ia ditanya oleh Rial tentang mimpinya. Sedari menit awal, film sudah terarah untuk menunjukkan dua hal penting pada dua tokoh sentral ini; mereka kehilangan anak, dan punya cara berbeda menyingkapinya. Inciting incident yakni mereka diberi kesempatan untuk hidup di sebuah rumah, tak pelak menjadi ujian. Bisakah mereka hidup normal meski membawa trauma.
Bagi Bol, ini seperti kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Dia ingin rumah. Dia benar-benar ingin membuat rumah pemberian itu sebagai rumahnya yang tak boleh sampai gagal ia dapatkan, untuk memulai kehidupan yang baru. Sopi Dirisu memainkan tokoh ini dengan gestur optimis yang intens. Dia begitu berdeterminasi untuk menjadikan tempat itu rumah sehingga tidak melihat isu-isu beneran di sekitarnya. Tatkala belanja baju di pertokoan, Bol gak ngeh dirinya diikuti oleh satpam rasis yang curigaan. Dan ketika hantu anaknya, dan hantu-hantu lain itu muncul, ia melawan. Ada aksi ada reaksi, perlawanannya tersebut – keinginan Bol untuk move on dan melupakan anaknya – justru membuat dirinya semakin terganggu oleh trauma. Buktinya hanya dia yang dihantui mimpi-mimpi dan adegan sureal yang membawanya kembali ke laut tempat anaknya tenggelam. Sedangkan Rial seperti tidak mau melupakan trauma tersebut. Nyagak dan hantu-hantu itu hadir kepadanya dalam beragam bentuk komunikasi. Kita gak pernah ngeliat Rial diteror sebagaimana Bol digangguin hantu. Instead, kita melihat horor itu bermanifestasi ke dunia luar bagi Rial. Perjalanan mencari alamat saja sudah demikian sureal baginya. Rial lebih nyaman untuk kembali daripada bertempat tinggal di sana. Konflik dengan trauma tersebut memang lebih kompleks pada diri Rial, dan Wunmi Mosaku memainkannya dengan nyaris tanpa cela. Tidak seperti suaminya, Rial tidak melawan keberadaan hantu, ia justru lebih takut terhadap suaminya karena sang suami memang ingin membawa mereka tinggal di luar dari trauma mereka, so to speak. Rial tidak menolak keberadaan hantu-hantu. Ketika pengawas mereka datang menginspeksi rumah dan menemukan tembok dalam keadaan bolong-bolong dihajar oleh Bol dalam usahanya melawan hantu tadi malam, Rial menceritakan peristiwa dan gangguan hantu-hantu yang mereka alami apa adanya kepada si petugas. Tidak seperti Bol yang berdalih dia mengusir tikus besar yang jadi hama di rumah itu.
Memahami itu semua, maka kita akan dapat melihat bahwa ending film ini sungguh menyatakan sesuatu yang kuat sehubungan dengan pembelajaran yang udah dialami oleh baik Bol maupun Rial. Ending film ini bukan memperlihatkan mereka pasrah tinggal diikuti oleh hantu-hantu karena mereka sadar mereka bersalah. Melainkan memperlihatkan bahwa kini Bol dan Rial sudah satu paham, mereka sudah berpegangan tangan. Mereka sudah menemukan rumah – menemukan tempat mereka. Yakni di tengah-tengah duka dan trauma.

Satu-satunya cara mereka bisa menata hidup baru dengan bahagia adalah bukan dengan melupakan trauma, bukan pula berkabung di dalamnya, melainkan hidup bersama mereka. Bol dan Rail toh punya masing-masing untuk saling menguatkan. Ke mana pun mereka ditempatkan, asal bersama, itulah rumah mereka.

 

Things get real with Rial!

 
 
Cerita film ini sudah demikian powerful dan mudah untuk relate kepada kita; masalah kehilangan anak dan merasa bersalah karena gagal melindungi si anak jelas bukan perkara ‘sedih’ semata. Begitu pun dengan pengalaman susahnya menata hidup di tempat baru. Menemukan ‘rumah’ adalah masalah yang dialami oleh hampir semua orang. Terutama oleh imigran yang harus berjuang dengan apa adanya di tanah perantauan. Maka, at first, aku merasa sebuah pengungkapan yang menjadi twist di babak ketiga cerita ini tuh overkill banget. Aku mempertanyakan apakah perlu untuk membuat kita memandang tokoh cerita ini dalam cahaya yang berbeda dari sebelumnya, setelah semua pembelajaran dan empati yang ia peroleh. Tapi kemudian aku sadar sebenarnya yang diincar film ini bukan twistnya. Cerita perlu untuk membuat kita memandang si karakter seperti begitu karena merupakan bagian penting dari bangunan traumanya. Film sepertinya juga ingin menguatkan ‘konten lokal’. Ada dongeng dari kampung Sudan yang diceritakan oleh Rial mengenai Night Witch; sosok yang menghantui seorang pria yang merampok demi membangun  rumah sendiri. Dongeng tersebut paralel dengan keadaan Bol – dari masa lalu yang kupikir overkill tadi – dan jika dongeng itu memang dongeng-budaya beneran, maka itu hanya akan menambah kekuatan identitas film ini.
Visual horor film ini pun sangat aku apresiasi. Weekes menggunakan imaji-imaji sureal dengan cut mulus yang memindahkan Bol begitu saja dari ruang keluarga yang berantakan ke tengah laut. Penampakan hantu kayak zombie yang muncul saat lampu mati pun serem punya, dan tampak khas. Cuma jumpscare-nya saja yang not so much kuapreasiasi. Walaupun teknik jumpscarenya enggak murahan – enggak sekadar untuk memancing jantung kita copot – dan tidak dijadikan andalan, tapi tetap buatku film ini masih bisa bekerja maksimal tanpa harus ada elemen ngagetin. Seperti twist yang sanggup untuk mereka perhalus keberadaannya sehingga tidak menjadikan film ini mencuat sebagai film ‘oh ternyata’, seharusnya adegan menakuti dengan hantu bisa digarap dengan lebih elegan lagi.
 
 
 
Karakter Bol dalam film ini berulang kali meyakinkan orang – dan dirinya sendiri – bahwa ia dan istrinya bakal sukses hidup di kota itu. Despite sikap rasis lingkungan sosial di sekitarnya, dan gangguan setan di malam hari, Bol yakin mereka akan bertahan, karena – berulang kali ia berkata – bahwa mereka adalah “one of the good ones”. Dan meskipun boleh jadi hingga setelah cerita berakhir, Bol dan Rial masih harus membuktikan kalimat tersebut, film ini sendiri sudah bisa kita pastikan benar sebagai “one of the good ones” dari film-film horor yang muncul di tahun horor ini. Cerita dan karakternya punya layer yang semakin disingkap membuat cerita menjadi semakin membekas. Digarap dengan kompeten dan visi bercerita yang punya kekhasan. Isu yang dibahas sebenarnya akrab, menjadikan house sebuah home; isu yang biasanya ada di drama keluarga diucapkan sebagai suara horor oleh film ini. Menyinggung perihal perlakuan terhadap imigran dengan subtil di balik trauma keluarga. Ia juga mempersembahkan diri sebagai tayangan yang gak berat-berat amat, dengan turut catering to taktik horor mainstream sebagai penyeimbang cerita yang berbobot.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for HIS HOUSE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kalian pelajari dari lingkungan sekitar tempat tinggal Bol dan Rial? Menurut kalian, apa sih makna rumah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE CRAFT: LEGACY Review

“They (women) want power over themselves”
 

 
 
Berhubung masih dalam suasana dongkol abis ngereview Rebecca (2020) ngobrolin seputar remake yang justru jadi lebih jelek dari versi aslinya, ini ada film yang bilangnya merupakan sekuel dari film yang keluar tahun 1996, tapi yang actually mereka bikin ternyata adalah semacam soft remake atau soft reboot menilik arahan film ini yang seperti mengincar ke sekuel berikutnya. The Craft: Legacy karya sutradara – yang sendirinya juga seorang aktor – Zoe Lister-Jones basically menceritakan ulang kisah pada film The Craft (1996), dengan tokoh-tokoh baru, dan tentu saja agenda woke kekinian yang dijejelin begitu saja ke dalam cerita tersebut.
Ada anak baru di kota. Lily namanya. Dia dan ibunya pindah ke sana, untuk tinggal bersama keluarga baru; ayah tiri dan tiga orang saudara laki-laki. Di sekolah, Lily mendapat teman baru berupa tiga orang cewek yang punya kekuatan sihir. Lily diajak gabung karena melengkapi formasi sihir (utara, timur, selatan, barat) sehingga kekuatan mereka semua kini sempurna. Mereka kini bisa banyak hal, termasuk menyihir seorang cowok bully di sekolah. Lily menjadikan si bully itu seorang yang lebih ramah dan gak kasar ke semua orang, terutama kepada dirinya. Di bawah pengaruh si cowok jadi berani untuk jujur kepada mereka berempat, perasaannya ditumpahkan. Rahasia dibeberkan. Namun kemudian si cowok ditemukan tidak bernyawa. Ada seseorang di kota yang gak suka saat cowok menjadi ‘lemah’. Ada seseorang yang memaksakan maskulinitas sebagai sebuah kekuatan untuk memerintah. Lily dan teman-teman superhero, eh maksudnya, teman-teman penyihir dengan kekuatan elemen harus menghentikan orang ini dengan segera.
 

Mereka avatar deng. Avatar pengendali CGI burik

 
Permasalahan tentang toxic masculinity itu sebenarnya enggak jadi masalah. Justru bagus, film ini punya ide tersendiri yang coba disampaikan lewat lingkungan sihir-sihiran yang selama ini dianggap sebagai dunia eskapis bagi wanita. Konon sejak dulu kala, penyihir wanita ditakuti di negara sana. Mereka diasingkan, dipenjara. Dibakar. Cerita penyihir wanita itu sebenarnya adalah simbolik bagi diskriminasinya sikap pria. Wanita gak boleh pinter-pinter, harus nurut, untuk voting aja mereka harus diperjuangkan. Nah, ketika film ini mengusung bentrokan antara dua kubu tersebut – cewek yang beneran penyihir dengan pria yang percaya kekuatan adalah milik mereka, dengan si cowok bully itu jadi berada di tengah-tengah mereka; sebenarnya film ini punya hal menarik untuk dibahas. Namun entah bagaimana – aku merasa jahat kalo menyebut pembuatnya gak capable – film ini menceritakan hal tersebut dengan seadanya. Film memasukkan konflik sekenanya. Sesimpel kayak mereka tinggal nambahin bagian-bagian itu ke dalam cerita film yang lama.
Film ini enggak peduli sama karakter-karakter. Oh, Lily punya tiga saudara tiri yang dibesarkan di lingkungan maskulin? Nope, film tidak pernah membahas mereka sebagai suatu karakter khusus. They are just there. Salah satu aspek yang membuat The Craft original begitu populer sehingga menyandang status cult 90an adalah karena film tersebut menggelora oleh personalitas. Setting dan karakter dan stylenya begitu membekas. Keempat penyihir di film itu semuanya diberikan backstory dan karakter. Ada yang tinggal di rumah yang abusive, ada yang dibully oleh teman yang rasis, ada yang sekujur tubuhnya luka bakar sehingga ia menderita setiap kali pengobatan, tokoh utama cerita itu sendiri harus berjuang mengarungi hidup di tempat baru, dengan dealing with kehilangan ibu dan segala macam. Maka mereka berempat punya alasan untuk beralih atau percaya kepada sihir. Mereka bonding over this, mereka belajar menggunakan kekuatan sihir, ada semacam mentor dan tokoh sihir yang mereka kunjungi, dan nantinya sihir itu akan mempengaruhi pribadi mereka dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada hal tersebut dalam film The Craft: Legacy. Tokoh-tokohnya tidak diberikan cerita latar ataupun kehidupan. Sihir di film ini tidak memiliki bobot apa-apa kepada para karakter. Hanya suatu hal spesial yang mampu mereka lakukan. Dan mereka seketika jago gitu aja, hanya lewat sekali montase. Kita tidak tahu siapa teman-teman baru Lily. Hanya Lily (yang diperankan dengan natural oleh Cailee Spaeny) seorang yang diberikan cukup banyak hal untuk kita pegang. Namun bahkan Lily itu tidak punya sesuatu yang paling penting yang harus dimiliki oleh tokoh utama.
Motivasi.
Untuk dua babak penuh, kita tidak tahu Lily ini maunya apa. Dia hanya bersekolah, unjuk kekuatan sihir dengan teman-teman, dan malam hari di rumah mendengar/mengalami hal-hal ganjil. Film ini sendiri tidak berniat untuk menggagas apa-apa selain pertarungan cewek melawan cowok (karena yang jahat harus cowok) yang ditambahkan begitu saja di babak akhir. Ya, kalo empat sentral aja gak ada development dan karakter, gimana tokoh jahatnya bisa dapat kesempatan untuk ditulis lebih baik. Satu-satunya pertanyaan yang disematkan oleh film – dan tampaknya jadi penggerak cerita karena cuma ini yang jadi bahasan di akhir – adalah soal hubungan Lily dengan tokoh-tokoh di film yang pertama. Keseluruhan film seperti bergerak dengan motivasi untuk memberikan kita jawaban terhadap hal tersebut. Dan meskipun mungkin memang itulah hal yang paling penting dari eksistensi film ini; jawaban yang mereka sediakan juga tidak memuaskan. Tokoh lama yang muncul sebagai koneksi terhadap Lily hanya diperlihatkan beberapa detik, dengan hanya sepenggal dialog. Seakan ingin ngehook kita supaya meminta sekuel. Pede sekali, memang.

Kebanyakan pria menginginkan kekuatan supaya bisa memegang kendali atas hal lain. Power for order, kata tokoh jahat di film ini. Namun wanita-wanita seperti Lily, ingin untuk jadi kuat tapi tidak pernah menginginkan kekuatan tersebut demi berkuasa atas orang lain. Mereka justru ingin kuat supaya bisa memegang kendali atas diri mereka sendiri. Power yang seperti inilah yang memang harus diperjuangkan.

 

CGI di momen revealing begitu jelek, bagusan CGI di film lamanya malah

 
Dengan karakter dull, ditambah efek-efek yang sekelas efek film televisi, film ini jadinya memang boring sekali. Sekali lagi coba kita bandingkan dengan The Craft yang lama. Dunia cerita tersebut menarik dan hidup. Bukan sekolah biasa yang jadi panggung cerita, melainkan sekolah katolik. Ini menciptakan kontras luar biasa menarik untuk digali; karena tokoh utama kita berpraktek sihir di lingkungan keagamaan tersebut. Film pertama kuat oleh penanda zaman, setting katolik dan tema penyihir itu dimanfaatkan untuk menampilkan aksesoris dan fashion-fashion gothic yang membuat gaya film ini 90an banget. Referensi ke tahun itu enggak dijejelin masuk, melainkan natural mendarah daging di cerita. Pada The Craft: Legacy, bahkan visual dan tempatnya juga hampa. Bincang-bincang soal sihir terasa datar karena lingkungannya tak beridentitas. Fashion dan penanda tahun generasi Z mereka tak tampak unik, malah cenderung maksa. Empat penyihir ini udah kayak power rangers, pake pakaian dengan corak warna yang sesuai dengan warna aura mereka. Tidak menarik, warna-warni itu justru hampa dan gak vibrant jika dibandingkan dengan hitam-putih yang dikenakan The Craft yang lama.
The Craft yang pertama juga jatoh saat babak ketiga yang konfliknya seperti hadir terlalu mendadak. Seolah film itu butuh durasi lebih banyak supaya development bisa lebih enak. Namun jatohnya film itu bukan apa-apa dibanding begonya film The Craft: Legacy yang datar ini pada babak ketiga. Terutama menjelang ending; itu penulisannya bukan cuma kurang cakap, tapi juga luar biasa males. Setelah konfrontasi yang melibatkan tokoh dengan peran gede meninggal, adegan berikutnya dibuat begitu normal – dengan para karakter lain ngebecandain keadaan tersebut. Seolah kejadian yang mereka alami sebelumnya bukan apa-apa. Gak ada efek terhadap mereka semua. Tidak ada aftermath, tidak ada apapun, karena film ingin buru-buru menjawab pertanyaan penting mereka; Lily anak siapa??
 
 
 
 
Film ini sukses, dalam membuat sihir menjadi seboring ini. Mereka punya agenda sebagai bumbu untuk cerita lama yang mereka perbarui, tapi tidak punya keahlian dalam crafting agenda tersebut ke dalam cerita yang benar-benar utuh, dan enak untuk diikuti. Kekuatan sihir bagi film ini sama aja kayak kekuatan superhero; orang yang jarinya bisa berapi, orang yang bisa mengendalikan elemen. Horor bagi film ini cuma adegan-adegan mimpi di malam hari, adegan misterius bagi film ini adalah momen-momen yang kelupaan dibahas seperti ketika saudara tiri Lily diceritakan hobi jalan dalam tidur, tanpa dijelaskan kenapa maupun pengaruhnya ke cerita. Karakter bagi film ini, ya, sekadar tokoh-tokoh pengisi dialog aja tanpa ada pengembangan atau penokohan yang membuat mereka manusiawi. Mereka pikir bisa menarik sekuel dari cerita lama seperti menarik kelinci dari topi, but really they should have about how to craft first.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE CRAFT: LEGACY

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Berhubung masih suasana Halloween, apa film tentang penyihir yang paling berkesan bagi kalian – selain Harry Potter loh ya hihi.. Kenapa menurut kalian kita begitu fascinated terhadap sihir?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

REBECCA Review

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”
 

 
 
Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.
Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.
Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 
Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.
Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.
Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 
Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 
 
Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.
Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.
 
 
 
Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA