MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PENINSULA Review

“A moment of hesitation may cause you a lifetime of regrets.”
 
 

 
 
Cukup satu saja – cukup ada satu orang yang terinfeksi di antara puluhan bahkan ratusan yang sehat – untuk menjangkiti satu kereta, atau satu kapal, atau satu bioskop (bukan mau nakutin loh yaa), bahkan membuat satu negara menjadi republik perserikatan zombie. Memang sebegitu mengerikannyalah kondisi ketika kita memerangi sesuatu yang menular. Dalam dunia Train to Busan (2016), sesuatu itu adalah virus zombie. Menyebar hingga ke film Peninsula ini; yang meskipun bukan sekuel-langsung, tapi merupakan cerita yang bertempat di semesta yang sama. Dalam kurun empat tahun, Korea Selatan sudah completely abandoned, dikarantina oleh dunia, karena gak ada yang mau repot-repot berurusan dengan zombie. Tertular di film ini ya berarti ikutan berubah menjadi zombie. Nasib yang semua orang setujui sebagai lebih buruk dari mati.
Konteks dari film garapan Sang-ho Yeon ini sungguhlah relevan dengan keadaan kita yang sedang mengurung diri sebab wabah Covid-19. Selama enam bulan terakhir kita sudah sukses dibuat was-was. Ada yang bersin di tempat umum, pasti langsung disambut pandangan mendelik. Menjaga jarak sudah jadi keharusan. Jangankan orang lain, idung sendiri tersumbat sedikit aja sudah cukup untuk membuat kita pengen membelah diri, supaya bisa jauh-jauh dari diri sendiri. Apakah ketakutan seperti demikian itu wajar atau hanya karena pengaruh oleh media yang membesar-besarkan; itu lain soal. Yang jelas saking takutnya tertular corona, pemberitaan soal warga yang menolak jenazah pasien dimakamkan di daerahnya marak kita dengar. Bukan hanya pasien, keluarga pasien, bahkan mantan-pasien yang udah mati, dijauhi. Dokter-dokter dan keluarga mereka juga. Jika tidak sedang mengenakan masker atau sekalian pakaian kesehatan resmi, sebagian orang masih memilih untuk menghindari kontak dengan orang lain, meskipun orang lain tersebut membutuhkan pertolongan.
Peninsula agaknya memotret itu ketika memperlihatkan tokoh utama cerita, Kapten Jung Seok, menolak memberhentikan mobil untuk seorang wanita yang meminta tolong. Di awal cerita Peninsula, Jung Seok sedang membawa keluarga adiknya ke kapal yang akan berangkat ke Hong Kong. Meninggalkan negara mereka yang chaos oleh zombie outbreak. Sang wanita ingin Jung Seok membawa serta anak perempuan yang sedang ia gendong. Permohonan wanita tersebut tidak dikabulkan oleh Jung Seok yang ragu untuk menolong. Ragu apakah itu adalah yang benar. Ragu apakah si wanita dan anaknya tidak tertular zombie. Momen awal ini akan menjadi signifikan nantinya di pertengahan film. Keraguan Jung Seok untuk menolong karena khawatir akan keselamatan diri/golongannya sendiri dijadikan cerita sebagai flawed dari karakter, sekaligus jadi tema atau gagasan cerita. Karena bukan sekali ini Jung Seok ragu. Ketika nanti kapal mereka jadi seperti ekivalen kereta pada film pertama, Jung Seok bahkan gagal menyelamatkan adiknya sendiri, karena ia ragu.

Disuruh mengambil pilihan untuk survive dengan cepat seperti pilihan Jung Seok di Peninsula, tak pelak akan membuat kita peningpala.

 
 
‘Flaw’ Jung Seok berubah menjadi ‘wound’ seiring dengan berkembangnya kejadian -dan oh boy, betapa Peninsula dengan cepat menjadi jauh lebih besar dan luas daripada Train to Busan. Arc Jung Seok menarik dan menyentuh hati. Akhir kejadian di kapal – difungsikan tak ubahnya bagai prolog – nyatanya memang sarat akan momen emosional yang berakar dari kemanusiaan. Di situ kita melihat seorang ibu yang rela menemani anaknya yang sedang kesakitan mengalami transformasi menjadi zombie. Jung Seok gagal menyelamatkan nyawa. Hubungannya dengan ipar lantas rusak di sini. Peristiwa ini mengubah Jung Seok. Kali berikutnya kita melihat si kapten, dia menjadi tak lebih dari pria jalanan. Film meloncati periode empat tahun, dan mempersembahkan lingkungan dan tantangan baru buat Jung Seok dan iparnya dan dua lagi penyintas dari Korea. Mereka dibayar untuk kembali ke kota utara Peninsula untuk mencari truk bermuatan uang. I got excited at this point. Kupikir film ini akan jadi mirip dengan salah satu favoritku tahun ini – film Da 5 Bloods yang juga bercerita kurang lebih tentang veteran trauma yang harus kembali ke daerah konflik untuk mencari harta. Hanya saja di Peninsula ini ceritanya berbonus zombie.

Lebih baik menyesal melakukan daripada tidak-melakukan. Karena sedetik saja momen keraguan yang lantas membawa kita ke perasaan bersalah, maka perasaan bersalah itu akan kita rasakan seumur hidup. Film Peninsula bisa kita jadikan pengingat untuk mengenyahkan keraguan yang mungkin hadir saat kita ingin menolong orang. 

 
Aku gak tau apa pembuat film ini ragu seperti Jung Seok atau mereka hanya salah kaprah soal mengekspansi film melebihi film-pertamanya, yang jelas ternyata kemudian cerita berubah kembali dari potensi petualangan survival di ranah yang dikuasai zombie menjadi… drum roll.. kehidupan geng penyintas di dunia post-apocalypse ala Mad Max!
Eits, para penggemar Mad Max jangan senang dulu. Meskipun memang ada sensasi menggelinjang yang terasa di pertengahan film saat kita menyadari kemiripan yang boleh jadi adalah terinspirasi dari Mad Max – khususnya The Road Warrior (1981) dan Beyond Thunderdome (1985)I mean, zombies certainly great addition to the Mad Max story, tapi ketika film ini mencoba untuk meniru aksi kejar-kejaran di jalanan dengan mobil-mobil kustom itu, Peninsula ini tak lebih gede dari satu sekrup di mobil Furiosa di Fury Road (2015). Karena Peninsula begitu bergantung kepada CGI. Aksinya gak pernah terasa menegangkan karena semua hal di sana – apalagi zombie-zombienya – selalu mengingatkan kita bahwa yang kita lihat adalah efek yang tak meyakinkan. Peduli apa kita sama zombie-zombie itu, gimana bisa takut, jika film memposisikan mereka sebagai bagian dari latar belakang yang dari wujudnya saja sudah tidak mencengkeram, karena keliatan banget palsu. Namun begitu, mengatakan film ini memang memusatkan kepada tokoh manusia – dengan kilahan ingin menunjukkan bahwa manusia lebih seram daripada zombie – juga tidak bisa mengangkat film ini. Karena selain tokoh utama, tokoh manusia di film ini juga pengkarakterannya sensasional sekali. Tidak ada kedalaman yang menarik pada tokoh-tokoh pendukung. Babak dua film ini praktisnya habis oleh eksposisi (bagian Jung Seok ketemu keluarga survivor) yang diselingi oleh bagian Thunderdome zombie (sesuatu yang sudah pernah kita lihat, dan dilakukan dengan tak lebih baik daripada itu).

Mungkin sekuel berikutnya bisa bahas romansa zombie berjudul Train to Bucin

 
 
Sutradara Sang-ho Yeon sepertinya salah menafsirkan atau katakanlah, tidak memahami, apa yang membuat Train to Busan begitu populer. It was the depth of that various characters; mulai dari si bapak yang istrinya hamil hingga ke antagonisnya yang ngeselin itu. Dalam Train to Busan semua kematian itu terasa memiliki arti, setiap pengorbanan punya ‘cerita’ dan benar-benar terasa. Belum lagi hubungan ayah dan anak yang menjadi duo protagonis utama. Peninsula punya karakter-karakter yang kita bisa melihat terjalin oleh garis hubungan yang menarik, tapi film lebih fokus kepada aksi dan para zombie. Kita gak mau lebih banyak zombie jika keberadaan mereka tidak benar-benar membawa arti kepada perjuangan tokoh manusia. Kelemahan Train to Busan yang aku lihat adalah bagian aksinya yang sedikit terlalu sering meminta kita untuk nge-suspend our disbelief. Sayangnya, pada film kedua yang berskala lebih gede dan lebih jor-joran aksi, kelemahan tersebut ikut tercuatkan. Kematian dan pengorbanan pada film ini tak berarti apa-apa karena karakternya tak pernah ‘menggigit’ kita dengan dalam.
Pembuatnya seperti menyangka karakter anak-lah yang membuat Train to Busan populer. Sehingga yang kita dapatkan di sini adalah bukan satu, melainkan dua tokoh anak. Yang dua-duanya keren. Jagoan kebut-kebutan mobil. Dan yang satunya lagi jago main mobil remote, dia mendistraksi rombongan zombie yang buta itu dengan mainan remote control berlampu. It would be real cool kalo memang kedua anak itu diposisikan sebagai tokoh utama cerita – mungkin for some reason franchise Busan ini diarahkan ke anak-anak dan zombie – hanya saja di dunia cerita ini kedua anak itu ujung-ujungnya menjadi ‘damsel in distress’. Ini masih dunia dewasa, dan mereka hanyalah device ‘sesuatu-yang-harus-diselamatkan’ oleh tokoh utama. Paling tidak seharusnya interaksi atau hubungan antara Jung Seok dengan anak-anak ini dibuat lebih banyak, akan tetapi dengan pesan atau gagasan yang diniatkan oleh film ini, memang tidak ada tempat untuk elemen tersebut benar-benar berkembang. Cerita pun jadi berkurang keseruannya karena gak bisa mengambil resiko. Sebab film butuh untuk memperlihatkan Jung Seok kini tidak ragu lagi untuk menyelamatkan seseorang yang berada dalam kondisi nyaris-mustahil untuk diselamatkan.
 
 
 
 
It’s now more action than horror, masalah klasik saat sebuah film ingin menjadi lebih besar, lebih luas, dan lebih seru dari film pertamanya, dapat kita lihat dalam film ini. Being bigger enggak lantas membuatnya menjadi better. Menjadi berbeda dan menaikkan ‘taruhan’ di sekuel adalah tantangan yang harus dijawab, namun melakukannya tidak lantas membuat film jadi bagus.  Meskipun masih punya konflik karakter dan masalah kemanusiaan yang emosional, kesalahan terbesar film ini terletak dalam hal menangkap apa yang membuat film pertamanya konek dan diterima oleh banyak penonton. Film ini justru memperbanyak aksi-aksi gak masuk akal, yang dieksekusi lewat efek-efek yang keliatan bo’ongnya pula! Dia tak bisa tampil seunik pendahulunya, karena banyak meniru aspek dari film-film lain. Kalo pengen lanjut sebagai franchise, maka film ini harus bisa segera kembali ke relnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PENINSULA.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Dalam kurun empat tahun saja, Korea Selatan di film ini berubah menjadi seperti dunia post-apocalyptic yang dikendalikan oleh geng jahat. Setelah enam bulan hidup new-normal bersama Corona dan menyaksikan seliweran berita dan keributan sehubungan dengannya, mungkinkah dalam empat tahun kita berubah seperti dunia Peninsula? Menurut kalian seberapa lama waktu yang diperlukan untuk sebuah lingkungan sosial berubah menjadi seperti lingkungan geng seperti Peninsula ataupun Mad Max?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

SummerSlam 2020 Review

 

Apa asiknya ngadain pesta tapi tanpa orang. Maka WWE pun memutar otak mereka, hingga akhirnya menemukan konsep baru yang membuat SummerSlam, si Pesta Terbesar di Musim Panas kali ini bisa tetap meriah oleh penonton yang hanya bisa menyaksikan dari rumah. Pada SummerSlam 2020 kita melihat aplikasi dari konsep yang disebut WWE sebagai ThunderDome.
Tribun penonton di sekeliling ring disulap menjadi barisan LED, yang akan menampilkan wajah ratusan fans yang menonton dari webcam masing-masing. Such a fun concept, kita yang di Indonesia juga bisa mendaftar untuk jadi penonton di sana, dan ternyata memang konsep ini terlihat keren di TV. WWE berhasil menemukan cara untuk membuat wajah-wajah penonton ini mendistraksi kita dari atraksi yang sesungguhnya. Mereka melakukannya demi mendapatkan keriuhan fans yang tepat untuk menghidupkan suasana. Tepuk tangan dan sorakan itu jelas jauh lebih baik daripada yel-yel maksa dari ‘penonton’ di Performance Center, seperti yang selama ini kita dapatkan semenjak pandemi. Menonton SummerSlam kali ini, rasanya nyaris sama seperti menonton acara WWE sebelum Corona. Dan untuk membuat hal lebih greget, WWE yang kayaknya lagi murah rezeki, mengembalikan pyro ke arena! Jadi, ya, pesta kali ini memang beneran rame oleh sorakan, lighting, pyro. Dan cup!

Kalo di Indonesia, mungkin acara ini udah masuk rekor Muri sebagai Pertunjukan TV Live dengan Penonton Virtual Terbanyak

 
 
As exciting as seeing Street Prophet’s entrance, kita-kita penonton gulat ini tentulah akan tetap menomorsatukan aksi di atas ring. SummerSlam 2020 tidak punya pertandingan spesial, dengan momen atau spot yang luar biasa mencengangkan. Walau sekilas itu terdengar seperti sesuatu yang buruk, tapi pada kenyataannya tidak sejelek itu. Karena pada pay-per-view itu semua partai terasa berimbang. Dengan outcome yang terarah, entah itu sesuai dengan gimmick/tema acara ataupun didesain untuk mendeliver cerita. Jadi, meskipun tidak ada satu pertandingan yang mencuat, acara ini sebaliknya juga tidak punya banyak kelemahan. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar terasa kurang memuaskan, kita akan bahas itu di bagian akhir.
Untuk sekarang aku mau bicara soal seorang non-pegulat bikin kejutan di atas ring! Well, sebenarnya dua orang, karena that happened twice dalam dua hari ini! Pertama kita melihat Pat McAfee menyuguhkan pertandingan yang lebih menghibur daripada keseluruhan acara Raw minggu lalu di NXT TakeOver hari Sabtu. Dan kini, di SummerSlam ini kita melihat anak Rey Mysterio, si Dominik, berhasil membuat kita berjingkrak-jingkrak seru saat melihat dia membanting tulang demi ayahnya, berhadapan dengan Seth Rollins. Yea, time flies fast – rasanya baru SummerSlam kemaren kita menonton Rey dan Eddie Guerrero rebutan hak asuk Dominik yang gemetar jadi saksi di pinggir ring, dan sekarang kita melihat Dominik itu terbang dengan jurus-jurus Rey dan Eddie! Jelas bukan hanya waktu yang bisa terbang di sini! Namun sebenarnya, yang membuat partai ini menghibur adalah character-work yang kuat dari kedua kubu. Rollins sedari awal sudah menunjukkan permainan heel yang istimewa dengan muncul mengenakan attire tribute untuk kostum pertandingan legendaris Mysterio di WCW. Bergerak mulai dari sana, Rollins menunjukkan pemahamannya terhadap psikologi yang diniatkan oleh cerita. Karena tidaklah logis jika Dominik bisa mengungguli Rollins yang sudah tinggi jam terbang, maka Rollins ‘memberikan’ Dominik celah untuk mengoutsmart dirinya dengan kerap meledek atau talk trash. Ada satu momen ketika Dominik berhasil menghindar dari Curb Stomp, dan nyaris mencuri pertandingan. And that was really good. Walaupun match ini agak kepanjangan, tapi mereka berhasil mendeliver cerita, dan itulah sebabnya jadi tetap terasa menghibur.
Narasi-narasi drama di WWE belakangan memang lagi keren-kerennya. Salah satu yang paling dipush adalah soal Bayley dan Sasha Banks, dengan perjuangan Asuka sebagai bumbu yang bikin sajian ini semakin pedes. Di sini Asuka bergulat dua kali, melawan Banks dan Bayley, memperebutkan sabuk mereka bergantian. But really, di drama ini Sasha Banks adalah tokoh utamanya. Urutan pertandingan tersebut jadi kunci yang penting, dan SummerSlam melakukannya dengan benar. Pertama Banks dibuat khawatir saat Asuka berhadapan dengan Bayley, karena bukan saja dia mencemaskan sohibnya, Banks juga mencemaskan bakal berhadapan dengan Asuka yang seperti apa nanti. Apalagi komentator juga memberikan subteks bahwa Bayley dan Asuka merupakan yang paling berprestasi dari NXT, keduanya telah mencapai semua. Perbedaan Asuka dan Bayley adalah Bayley belum pernah menang Royal Rumble, dan reigns NXT Bayley diakhiri oleh Asuka sendiri. Ini menciptakan tekanan – yang terdeliver keren lewat ekspresi Banks. Maka Banks aktif membantu Bayley. Dan saat tiba giliran dia melawan Asuka, kita bisa merasakan urgensi darinya.
Setiap kali bertanding, Asuka dan Banks selalu menyuguhkan pertarungan yang keras, dengan banyak gerakan counter yang seperti dilakukan impromtu karena keduanya sama-sama intens. Dalam SummerSlam ini juga seperti demikian. Dan jika ini sebuah film, maka ini adalah cerita tentang kegagalan Sasha Banks. Kejadian akhir pada match Banks dibuat mirip dengan kejadian akhir di match Bayley. Perbedaannya tentu saja terletak pada kali ini siapa yang berada di luar dan seharusnya membantu.
Tampangmu ketika menyadari kau tak pernah menang setiap mempertahankan sabuk di PPV

 
Menakjubkan gimana WWE berhasil menarik-ulur dan menggoda kita dengan storyline Banks-vs-Bayley. Kita sudah dapat kisah ‘persahabatan’ mereka ini dari tahun 2018 loh. Aku gak tau, mungkin WWE bingung mau ngasih posisi face dalam skenario tersebut untuk siapa. Yang jelas, dengan build up dan pengembangan seperti ini, kupikir kita semua bisa berharap untuk pay off yang bener-bener pecah. Karena toh yang sesimpel storyline Mandy Rose dan Sonya DeVille saja bisa worked greatly. Semua orang respek sama Sonya sekarang, aku yakin; setelah promonya yang keren di Smackdown sebelum acara ini. Akan menarik untuk memantau bagaimana WWE mengakali stipulasi ‘loser leaves’ ini, mungkin setelah kasus yang menimpanya di real life Sonya memang butuh rehat sebentar, tapi kita bisa yakin bahwa dia akan comeback one way or another.
Match teraneh di acara ini adalah Kejuaraan WWE antara Drew McIntyre melawan Randy Orton. Aneh dalam artian yang sebagian besar positif. Partai ini, menilik dari storyline dan star power, seharusnya jadi main event. Namun WWE mengincar sesuatu yang benar-benar ‘you’ll never see it coming’ untuk menutup acara. Sehingga partai Kejuaraan WWE ini mendapat arahan yang berbeda, meski sama-sama masih dalam lingkup tajuk ‘you’ll never see it coming’. Dan inilah yang membuatnya jadi aneh-tapi-menarik. Both Orton dan McIntyre sudah sah jadi papan atas, mereka punya semua; kharisma, skill, segala macam. Interestingly, dalam pertandingan ini tidak satupun dari mereka yang berhasil menyarangkan special move masing-masing. Tidak ada RKO. Tidak ada Claymore (so it would be clay-less xD). Pertarungannya seru, kelas partai utama, tapi tidak berlangsung seperti yang kita semua sangka. Malah, seingatku aku belum pernah menyaksikan pertandingan sekaliber ini, dengan superstar top semacam mereka, yang berlangsung tanpa finisher.

Dengan tema You Will Never See It Coming, dalam acara SummerSlam ini WWE ingin membuktikan bahwa mereka masih bisa memberikan kita kejutan.

 
‘It’ dalam ‘You’ll never see it coming’ ternyata merujuk kepada Roman Reigns. Sungguh sebuah kejutan baik yang beneran tidak terduga. Bukan saja menyelamatkan kita dari main event yang uninspiring antara The Fiend melawan Braun Strowman, tapi sepertinya juga penyelamat rating acara WWE untuk ke depannya. Tapinya lagi, ‘It’ di situ ternyata juga merujuk kepada Alexa Bliss. Yang benar-benar tak kelihatan wujudnya. Padahal Bliss jadi faktor penting dalam storyline antara Strowman dengan Bray Wyatt. Aneh jika karakter ini tidak dimunculkan karena jadi tidak ada pay off. Semua orang sudah terinvest ke dalam cerita mereka yang melibatkan Bliss. Membuatnya tidak ada hanya membuat penulisan/bookingan seperti trying too hard untuk menjadi tak-tertebak. It’s also weird saat ada juara dan ada pemenang MITB di satu tempat, tapi saat sang juara tak berkutik, si Mr. MITB tidak datang menggunakan kesempatan.

Padahal aku sekalian pengen lihat gimana kocaknya The Fiend kena Caterpillar

 
 
 
Geng Retribution juga absen di sini. Padahal selama ini mereka selalu datang mengganggu acara WWE. Mereka di sini hanya nongol di video package. Yang menariknya adalah kaos baru si Roman Reigns. Tulisannya ‘Wreck Everyone and Leave’. Apakah menurut kalian Reigns ada sangkut pautnya dengan Retribution? Anyway, SummerSlam 2020 cukup menghibur. Matchnya fairly good, enggak ada yang terlalu unggul, ataupun terlampau jelek. Main event-nya lah yang paling parah, tapi tertebus oleh kejutan yang menyusul. Selebihnya ada yang bagus tapi agak kepanjangan kayak matchnya anak Mysterio, ada yang terlalu ngikut tema kayak Kejuaraan WWE. Milih Match of the Night di sini cukup susah, tapi aku akan membagikannya kepada pertandingan yang punya storyline yang paling matang, dan aksi yang garang. MATCH OF THE NIGHT dijatuhkan kepada Asuka melawan Sasha Banks.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley mempertahankan gelar dari Asuka
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Prophet retains over Andrade and Angel Garza
3. NO DISQUALIFICATION LOSER LEAVES WWE Mandy Rose dikalahkan meja, eh maksudnya, Mandy Rose mengalahkan Sonya Deville
4. STREET FIGHT Seth Rollins menghajar Dominik Mysterio
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka merebut kembali sabuk dari Sasha Banks
6. WWE CHAMPIONSHIP Juara bertahan Drew McIntyre ngalahin Randy Orton
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP The Fiend Bray Wyatt jadi juara baru mengalahkan Braun Strowman 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PROJECT POWER Review

“When your desires are strong enough, you will appear to possess superhuman powers to achieve”
 

 
 
Obat super beredar di jalanan New Orleans. Obat yang jika dikonsumsi akan memberikan kekuatan super kepada pemakainya; selama lima menit, si pemakai akan memiliki berbagai kemampuan seperti hewan, ada yang tahan api, ada yang jadi berkulit anti peluru, ada yang bisa bikin kulit kayak bunglon – hasil itu berbeda pada setiap individu, tergantung karakteristik power bawaan mereka. Malah ada yang tubuhnya meledak begitu saja! Namun kerandoman itu tidak menyetop manusia di dunia Project Power untuk mencoba obat tersebut. Yang menjadikan obat itu jadi rebutan, diperdagangkan, dan coba untuk dikuasai oleh pihak tertentu. Pil yang paling pahit untuk ditelan memang bukan obat fiktif itu, melainkan film ini sendiri. Ide dan konsepnya yang keren – yang mengingatkan kita pada salah satu saga pada season anime superhero My Hero Academia – seperti dimentahkan oleh pemilihan plot yang basi.
Narasi film original Netflix terbaru ini berpijak pada tiga karakter sebagai pondasinya. Sebagai hero, ada Joseph Gordon-Levitt yang memainkan seorang polisi bernama Frank. Dia ditugaskan khusus untuk menyelidiki peredaran obat-obat atau pil power tersebut, dan menariknya Frank diam-diam turut mengonsumsi pil untuk mempermudah dia dalam melaksanakan misi-misi yang berbahaya. Frank mendapat pasokan pil dari dealer remaja bernama Robin. Robin ini – diperankan oleh Dominique Fishback – adalah protagonis kita. Robin punya backstory yang membuatnya relatable dan bisa kita pedulikan; dia anaknya gak pedean walau punya bakat jadi rapper, dan terpaksa menjadi dealer karena struggle dengan masalah keuangan keluarganya. Walau kedua tokoh ini sudah menarik in their own way, film memfokuskan petualangan pada cerita si tokoh utama, Jamie Foxx yang kebagian peran sebagai Art, ex-militer yang buron dan dianggap berbahaya, padahal sebenarnya dia hanya mencari putrinya yang diculik oleh perusahaan pembuat pil yang ingin memanfaatkan quirk, eh power! sang putri untuk pengembangan lebih lanjut. Art, Robin, dan Frank akhirnya bertemu, dan dari yang tadinya bersengketa, mereka jadi tim yang memberantas pengedaran pil.

next episode: trio ini memberantas kalung obat corona

 
Project Power diberkahi oleh tiga penampilan utama yang jelas sekali lebih kuat daripada materi ceritanya. Oleh arahan Henry Joost dan Ariel Schulman yang menghadirkan aksi-aksi cepat dan cukup kreatif. Dan tentu saja oleh budget Netflix yang memungkinkan film ini mejeng dengan tampilan yang meyakinkan. Film ini punya banyak sekuen aksi yang asik berkat variasi superpower yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya. Adegan pengejaran si perampok berkemampuan bunglon di jalanan kota yang ramai merupakan salah satu pencapaian terhebat yang berhasil diraih oleh Project Power. Kebrutalan juga dimainkan dengan berimbang dan diperlakukan dengan stylish, sehingga adegan-adegan yang mestinya sadis tidak terasa disturbing amat, sekaligus tidak mengurangi sensasi kebrutalannya. Seperti misalnya ketika kamera diposisikan untuk merekam perkelahian Art dengan perspektif dari dalam kandang kaca, sementara di dalam kandang itu sendiri ada seorang tokoh yang efek obatnya sudah habis sehingga dia sedang mengalami kepanikan lantaran tubuhnya kini berangsur tidak lagi tahan beku. Jadi ada dua kejadian yang berlangsung, dan kita seperti mengalami keduanya sekaligus, kita merasakan hopelessnya tokoh yang terkurung, imajinasi kita dibimbing untuk ‘melihat’ dia membeku sampai mati, sementara itu juga kita melihat pertempuran tak imbang di luar kandang di mana tokoh utama yang kita pedulikan sedang melawan banyak orang.
Film-film aksi original Netflix sepertinya mengikuti satu tren tertentu. Produksi dan garapan laganya selalu memukau. Namun tidak demikian dengan ceritanya. Project Power juga tersendat masalah yang sama; yakni alur yang tidak segarang konsep film itu sendiri. Kisah pencarian anak yang diculik bukan saja udah pasaran, pada kasus film ini juga menumpulkan dunia film ini sendiri. Membuat antagonisnya generik, membuat pengembangannya enggak terasa baru. Modal untuk jadi dalem dan fresh itu sebenarnya ada di sana. Polisi yang makek obat terlarang? kurang menarik apa coba. Anak-anak jalanan yang jadi addict sama pil, walaupun mengonsumsinya ada efek samping dan lima-menit kekuatan itu apakah tidak cukup atau malah sebuah resiko yang rela diambil; ada gagasan yang menarik di situ.
Dan soal musik rap itu; film menggunakan banyak sisipan lagu-lagu rap, yang difungsikan bukan semata pemanis, melainkan sebagai penguat karakter. Rap adalah ‘power’ dari karakter Robin. Cewek ini enggak butuh untuk makek pil, tapi dia perlu banget untuk berani menunjukkan kemampuan rap yang jadi keunggulan dirinya. Tentu ada pembelajaran untuk penonton muda di sini. Sayangnya karakter Robin dan her entire act kayak jadi sampingan. Nge-rap itu enggak pernah dijadikan sesuatu yang menyelesaikan masalah dalam film ini, kemampuannya tersebut tetap nampak tak berguna. Di pertempuran akhir ada momen ketika Robin harus jadi pengawas di ruang kendali dengan banyak monitor, kupikir keahlian ngerapnya akan digunakan untuk menyelamatkan rekan-rekan atau semacam itu, tapi ternyata tidak.

Pil super dalam film ini diperebutkan karena orang-orang mencari solusi termudah bagi masalah dalam hidup mereka. Padahal kita enggak butuh kekuatan super untuk mencapai tujuan. Justru sebaliknya, kita adalah manusia super jika berhasil berjuang, memberanikan diri, dan rela berkorban untuk menggapai yang kita inginkan.

 

Diputer, digigit, dicelupin ke dalam perut

 
Film tidak pernah menggali keunikan konsep dan latar tokoh-tokohnya dengan mendalam. Hanya menyerempet permukaan sehingga mereka tampil ala kadar. It’s actually susah untuk kita menentukan mana tokoh yang seharusnya bisa dihilangkan saja, saking meratanya kelemahan penulisan mereka. Aku pribadi lebih suka jika ini adalah cerita tentang Frank dan Robin saja, karena hubungan mereka lebih unik. Polisi dan dealer obat terlarang – yang makek di sini adalah si polisi. Atau Frank saja yang dienyahkan sepenuhnya kalo film memang pengen memfokuskan kepada Art mencari anaknya. Dengan begitu kita akan dapati landasan drama yang lebih menyentuh antara Robin yang gak punya ayah dengan Art si buronan yang kehilangan putrinya. Dalam film ini, actually, kadar drama tersebut memang ada dan cukup kuat. Momen-momen hangat dan menyentuh dari film ini bersumber dari interaksi antara Art dengan Robin. Namun cara yang dipilih film untuk membungkus cerita sangat sangat aneh. Hingga ke titik seperti Robin-lah di sini yang paling enggak penting.
Keduanya diset untuk menemukan pengganti dari dalam diri masing-masing. Art melihat putrinya di dalam diri Robin, dan sebaliknya bagi Robin Art adalah ayah yang tak ia punya. Dan film memastikan Robin tak pernah punya sosok ayah yang ia idamkan. Karena di akhir, Art menemukan miliknya yang hilang, dan Robin ditinggal. Kembali ke kehidupannya semula, only richer. Dan karena tokoh utama film ini adalah Art, maka Robin si protagonis hanya terasa seperti placeholder. Kehampaan serupa yang kurasakan saat menonton Pokemon Detective Pikachu (2019) saat tokoh utamanya tetap gak punya pokemon di akhir cerita. Project Power ini bermain terlalu aman. Semua keunikan dan aksi-aksi cepatnya jadi sia-sia karena cerita yang kayak gak niat untuk menjadi lebih kuat.
 
 
 
Kalo ada yang butuh pil super, maka itu bukan para tokoh ataupun kita. Melainkan film ini. Ide dan konsepnya butuh sesuatu untuk meledak menjadi sesuatu yang benar-benar fun, fresh, dan memiliki arti. Dalam keadaannya yang sekarang, film ini tetap seru untuk disaksikan, tapi akan memberikan aftertaste yang hambar, dan kemudian pahit jika kita mengingat potensi yang dikandung oleh konsepnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROJECT POWER.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika dijual, berapa harga yang rela kalian bayarkan untuk mendapatkan pil seperti itu? Jika kalian tidak tertarik, kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

#ALIVE Review

“I’m definitely the lazy one in the family”
 
 

 
 
Kita semua menduga video game membantu kita mempersiapkan diri menghadapi zombie apocalypse. Karena video game secara efektif mengajarkan kita cara survive, berpikir cepat dan tangkas dalam melawan musuh. Well, Oh Joon-woo kini tahu bahwa dugaan tersebut tidak terbukti benar. Seumur-umur yang diketahui Joon-woo adalah bermain video game. Kamarnya disulap jadi studio game online tempat dia ngestream petualangannya menembaki musuh-musuh virtual. Tapi ketika hari itu memaksanya untuk menggunakan skill-skill survive yang ia kira sudah ia kuasai, Joon-woo hanya bisa terdiam. Di luar apartemennya, di dunia nyata, virus zombie melanda kota. Mengubah penduduk menjadi mayat hidup kanibal yang ganas. Joon-woo menyaksikan semua, helpless. Mendadak dia sangat rindu dengan orangtua dan saudara-saudaranya, yang tentu saja sudah pergi ke aktivitas masing-masing pada saat dia masih melanjutkan ngorok. Dan ketika persediaan makanan menipis, air mati, hingga satu-dua kali ada zombie namu ke rumahnya, Joon-woo semakin hopeless.
Harus berdiam, mengisolasi diri, di rumah. Enggak boleh keluar rumah, harus jaga jarak – enggak boleh ketemu sama orang karena virus zombienya menular dengan cepat melalui kontak – meaning: you will get eaten alive and turn into ones. Menonton film ini, well, mungkin kita memang harus menyamakan Covid-19 dengan zombie apocalypse. Karena lihat betapa efektifnya peraturan-peraturan yang ia dengar dari televisi tersebut membuat Joon-woo patuh dan takut kemana-mana. Orang-orang jadi beneran bisa memahami sakitnya keadaan dan rela menempuh hidup yang sulit supaya penyebaran virus tidak menjadi bertambah parah. Konflik menarik yang diperlihatkan oleh film #Alive ini justru datang bukan dari zombie-zombie ganas itu. Melainkan ketika tokoh-tokoh manusianya merenung sendiri di dalam isolasi mereka. Ketika para tokoh mulai menyesali hal-hal yang tidak lagi dapat mereka lakukan setelah outbreak. Sutradara Il Cho seperti ingin memberitahu kepada kita, yang menonton film ini sambil ‘terkurung’ di rumah masing-masing, bahwa kita tidak sendirian. Lewat kisah Joon-woo, ia mengajak kita untuk terus berjuang dan tidak berhenti berharap.

Mungkin kita rindu kepada keluarga di luar sana. Atau bahkan mungkin kita sudah benar-benar dipisahkan dari mereka. Namun yang paling penting adalah kita jangan kehilangan kemanusiaan; karena itulah pembeda antara virus zombie dengan virus yang kita hadapi. Zombie lebih mengerikan karena mengubah manusia menjadi monster yang taunya cuma makan, tak peduli lagi pada orang lain atau apapun. Kita harus memastikan kepada diri sendiri, bahwa Covid-19 tidak mengubah kita menjadi ‘monster’ seperti demikian.

 
Buatku, 35-30 menit pertama film ini bukan hanya menarik, tapi juga benar-benar mengena. Kita bisa merasakan kecamuk personal Joon-woo yang kini harus tinggal sendirian. Mengurusi keperluannya sendiri – sesuatu yang tak pernah ia lakukan karena selama ini ia bersandar cuek kepada keluarganya. Joon-woo dulunya adalah ‘zombie di rumahnya sendiri’. Ketika yang lainnya bekerja, dia taunya cuma tidur, makan, main game. Meskipun tokohnya memang jadi sedikit annoying, tapi tak bisa dipungkiri Joon-woo ada sedikit-banyak kemiripan dengan kita waktu masih muda. Yang membuat dia relatable untuk banyak penonton. Bagaimana kita tidak benar-benar appreciate family dan segala kenyamanan di rumah, dan baru kangen ketika sudah jauh dari mereka. Momen-momen ketika Joon-woo merindukan semua itu, easily adalah momen paling emosional yang dipunya oleh film ini. Khususnya, aku suka dengan adegan saat dia minum ampe mabuk – karena gak ada air, dia terpaksa minum alkohol koleksi bokapnya – dan berhalusinasi yang menggedor pintu adalah keluarganya yang pulang dengan selamat, dan ibu yang memeluknya. Momen itu cukup kuat, dan seharusnya bisa lebih kuat lagi jika film ini benar-benar mengset up hubungan Joon-woo dengan orangtuanya di awal film. Jika kita diperlihatkan bagaimana interaksi rumah tangga mereka. Namun #Alive memilih untuk memulai dari Joon-woo sudah sendirian, sehingga efek kesendirian Joon-woo tidak maksimal terasa.

“Good Bye Papa please pray for me, I was the zombie of the family”

 
 
Padahal film ini lumayan bijak dalam memainkan tempo. Bagian-bagian yang lebih lambat – saat kita closely melihat keadaan mental Joon-woo yang semakin nelangsa – selalu diselingi dengan aksi-aksi pengejaran zombie yang hadir dari kejadian-kejadian yang disaksikan Joon-woo dari balkon rumah susunnya. Zombie di film ini mampu berlari, jadi setiap kejar-kejar tersebut dijamin seru dan menghibur. Tone cerita juga gak pernah terlampau sedih atau depresi. Tingkah dan kesembronoan Joon-woo terkadang mampu memancing kikikan geli penonton. Dari perspektif penulisan, memang cerita seperti #Alive ini agak-agak tricky. Sebab kita harus menaikkan tantangan bagi tokoh – yang bagi Joon-woo itu berarti men-stripnya dari fasilitas dan kemudahan, tapi pada saat bersamaan kita harus menemukan cara untuk terus memberinya sesuatu untuk dilakukan, untuk diperjuangkan. After a while, ‘bermain’ dengan drone akan menjadi membosankan, sehingga film ini butuh untuk memasukkan faktor yang baru dalam cerita.
Maka dihadirkanlah tokoh tetangga di apartemen seberang. Cewek yang sama-sama terjebak di rumah. Yang udah menolong Joon-woo dengan menghentikannya melakukan sesuatu yang bodoh. Kehadiran tokoh Kim Yu-bin membuat kejadian menjadi lebih berkembang; membuat film punya sesuatu yang baru untuk dimainkan. Mulai dari cara Joon-woo dan Yu-bin berkomunikasi, hingga ke cara mereka saling mengirimkan makanan – yang kemudian jadi sarana untuk memunculkan zombie sebagai threat dengan approach yang berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, bagian masuknya Yon-bin dalam cerita ini seperti throw-away saja, tidak benar-benar berhubungan langsung dengan Joon-woo dan keluarga. Melainkan ya cuma seperti film ingin ngasih ‘stage’ baru untuk Joon-woo, supaya penonton enggak bosan dengan masalah/konflik personalnya. Dan yang membuatnya terasa semakin gak penting adalah penokohan Yu-bin yang seadanya. Dia cuma cewek yang lebih mandiri dan tangguh daripada Joon-woo, yang sama-sama terjebak, dan somewhat jadi love interest. She’s kinda a manic pixie trope, karena dia tidak diberikan backstory apa-apa. And she was kinda dumb, meskipun film ingin ‘menjual’ tokoh ini sebagai karakter yang keren.
Setelah menyelamatkan Joon-woo dan ngatain dia bego (bantering yang digolongkan ‘cute’ dalam standar romansa remaja Asia), kita akan melongok ke dalam rumah Yu-bin untuk melihat cara dia survive, yang supposedly beda 180 derajat dengan Joon-woo. Cewek ini lebih siaga, dengan persediaan makanan ataupun barang yang lebih lengkap. Jadi malam hari, cewek ini haus dan dia mau minum tapi airnya tinggal sedikit, dia keingetan tanamannya di pot. Dan dia malah menyiram tanaman itu saja, enggak jadi minum. Yang membuat cara survive dia ini ‘pintar’ adalah karena tanaman yang ia siram itu bukan tanaman hias kayak mawar atau apalah yang butuh air. Melainkan tanaman Lidah Mertua! Kalian tahu, tanaman hijau yang panjang dan keras itu, kayak pedang-pedangan. Tanaman yang bisa menyimpan air sama seperti kaktus, yang enggak masalah hidup di lingkungan lembap atau malah di lingkungan yang kering. In short; tanaman yang gak urgen untuk disiram! Apa dia bermaksud menabung air di tumbuhan tersebut, supaya nanti kalo air habis, dia tinggal minum dari daun tanaman itu? Cara yang praktis dan aneh kalo begitu. Sehingga aku penasaran, jangan-jangan tanaman ini bakal punya peran dalam plot nanti. Beberapa menit google search kemudian, aku jadi tahu tanaman yang bernama latin Sansevieria trifasciata ini berkhasiat menangkal polutan, paling cocok ditempatkan di ruangan yang ‘tidak sehat’, makanya sering dipasang orang di kamar mandi, atau di ruang tunggu publik biar udaran tetap segar. So yea, mungkin di film ini tanaman tersebut bakal jadi kunci. Nyatanya? Nihil. Tanaman tersebut tidak pernah punya peran apa-apa. Yang membuat tindakan nahan haus Yu-bin bukan cuma tindakan bego untuk survive, sekaligus juga membuat gak believable lagi tokoh itu adalah tokoh keren yang mampu bertahan hidup sejauh ini.
Kenapa pula aku ngomongin tanaman di film zombie, emangnya ini Plant vs. Zombie?!

 
 
Alih-alih munculin tokoh baru di tengah, harusnya film ini banyakin saja adegan Joon-woo berusaha survive sendiri. Banyakin dia masuk ke rumah orang-orang demi mencari makanan, dan bikin dia menemukan berbagai hal (alias pelajaran) di setiap ruangan yang ia masuki. He could learn so much about other families, yang menjadi masukan untuk inner journey-nya terhadap hubungan dengan keluarga. Narasi film akan lebih berbobot dan intact dengan begitu. Aku lebih memilih cerita yang repetitif ketimbang cerita yang detour dari topiknya hanya supaya tetap menarik atensi penonton. Keberadaan elemen Yu-bin membuat penonton teralihkan dari ‘keluarga’. Membuat seolah konfrontasi Joon-woo dengan seorang manusia penghuni apartemen lain di babak tiga itu yang kayak tempelan. Padahal konfrontasi final itu circled back dengan kejadian yang dilihat Joon-woo di awal-awal zombie outbreak; yaitu saat dia melihat anak sekolah memeluk ibunya di tengah kekacauan, sebelum akhirnya berubah menjadi zombie. Anak – orangtua – zombie; inilah tiga kata kunci, film harusnya bermain memutari ini saja, enggak perlu ada elemen lain yang ditonjolkan dan merebut perhatian dari sana.
 
 
 
Enggak ada yang spesial, tapi paling tidak film ini baik-baik saja di empat-puluh menitan yang pertama. Menggambarkan perasaan kecilnya terisolasi, terpisah dari keluarga sementara kita berada dalam keadaan yang membutuhkan kita untuk punya support. Namun kemudian film seperti kehabisan bahan, maka ia menambahkan elemen untuk membuat film nge-spark lagi, dan ultimately menjadi ‘meledak’. Sure, aksinya seru, kita masih bisa menikmati meski gak nampak benar-benar plausible. Tapi semua di paruh akhir itu jadi terasa seperti momen throw-away saja; momen tambahan yang enggak mengena. Yang paling lucu adalah; film ini membuat survive berhadapan langsung dengan zombie tampak lebih mudah dan asik daripada berusaha survive dengan berdiam diri di rumah. Uh-oh, semoga bukan sikap ini yang lantas jadi panutan penonton di era pandemi.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for #ALIVE.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa kiatmu survive hari demi hari kala pandemi? Menurut kalian apa yang paling berat dari keadaan pandemi virus seperti sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

The Horror Show at Extreme Rules (Extreme Rules 2020) Review


 
 
Pertama-tama, marilah kita panjatkan apresiasi kepada poster, yang mungkin sebenarnya gambar teaser, tapi tak pelak merupakan salah satu promo terkreatif yang pernah dirilis oleh WWE. Memejeng Sasha Banks berpose seperti Florence Pugh dalam poster film Midsommar (2019) bukan saja ide pinter, melainkan juga berfungsi sebagai penegas bahwa acara ini adalah cara WWE membuat film horor versi mereka sendiri.
Extreme Rules sudah dikenal sebagai acara yang berkonsep ekstrim. Selama ini selalu dijual sebagai ‘malam di mana WWE bermain keras’. Atau dalam penerapannya; malam kala semua pertandingannya punya stipulasi yang tak-biasa. Tahun ini, WWE menghadirkan Extreme Rules dengan penekanan kepada elemen horor yang ditimbulkan dari storyline dan jenis pertandingannya itu sendiri. Ada dua konsep atau stipulasi pertandingan yang jadi ujung tombak acara ini. SWAMP FIGHT dan EYE FOR AN AYE MATCH. Yang belakangan particularly interesting karena WWE menjanjikan akhir pertandingan yang brutal; untuk menang dalam pertandingan ini kau harus mencabut bola mata lawanmu. Ini membawa kita kembali pada permasalahan ‘kegedean nama’ yang membayangi Backlash bulan kemaren yang memejeng The Greatest Match Ever sebagai nilai jual. Sekali lagi kita bertanya; bagaimana WWE akan melakukan itu?. Sekali lagi kita meragukan.

Mungkin Horror di sini merujuk pada keadaan Covid-19 yang semakin parah, ya gak Apollo Crews?

 
Konsep Eye-for-an-Eye, pada kenyataannya, menjelma menjadi pertandingan yang seru. Stipulasi ini membuka berbagai cara baru yang bisa digunakan oleh Seth Rollins dan Rey Mysterio untuk saling menyerang. Mereka menggunakan benda-benda seperti kaki kursi, ujung kendo stick, dan bahkan pulpen sebagai senjata yang langsung menarget mata. It was pretty violent, untuk standar WWE. Secara cerita, ini adalah pertandingan yang sangat personal bagi Rey yang matanya sudah dilukai duluan oleh Rollins. Jadi ini adalah ajang balas dendam bagi superstar bertopeng tersebut. They are not just out to stab opponent’s eye, melainkan ada bobot drama sehingga pertandingan ini jadi lebih intens lagi. Kita masuk ke pertandingan ini dengan pemahaman bahwa ini bakal jadi pertandingan terakhir Rey di WWE, bahwa dia either menyerahkan estafet perjuangan ke anaknya, atau si Dominick itu justru bakal membelot ke geng Greater Good-nya Rollins. Di lain pihak, kita juga penasaran dan mulai membayangkan bakal sekeren apa Rollins dengan penutup mata kayak Nick Fury; karena biasanya dalam pertandingan dengan stake fisik kayak gini (hair vs. hair atau mask vs. mask) tokoh heel yang kalah karena mereka perlu bertransformasi seperti CM Punk yang dibotakin dulu. Jadi pertandingan ini benar-benar membuat kita penasaran karena hasilnya masih belum kebayang; bukan saja seperti apa cara mereka menang, melainkan juga kedua superstar punya kans yang sama – mereka sama-sama punya kepentingan untuk dibuat ‘kalah’.
Dan aku akan oke kalo ini beneran jadi match terakhir Rey jikasaja endingnya tidak dibuat konyol seperti yang kita lihat pada menit ke-tujuhbelas saat bel berbunyi. Kegedean-nama itu benar-benar jadi backlash di sini. Kita sudah terbuild up untuk sesuatu yang sadis – heck, Rollins datang dengan memamerkan semacam tang, for god sake! – Kita sudah percaya WWE pada titik ini sudah mampu mengimplementasikan efek dan teknik editing yang mumpuni untuk sesuatu seperti mencongkel mata. Namun WWE nge-php kita dengan malah mengeksekusi ending match ini dengan konyol. Mata Rey digencet ke steel steps, dan voila, tau-tau bola mata palsu itu muncul, Rollins muntah melihatnya, dan dia dinyatakan menang. Kesannya jadi seperti antiklimaks. Bayangkan kalo nanti match ini ada di video game, dan cara kita memenangkannya adalah dengan memepet lawan ke steel steps dan menekan X, gitu aja.
Swamp Fight antara Braun Strowman dan Bray Wyatt – yang merupakan another take WWE dalam menggarap so-called cinematic match – juga enggak berprestasi lebih baik. Alih-alih mengeksplorasi environment dan hubungan kedua karakter ini lebih jauh, kita malah diberikan ‘kilas balik trippy’ lagi. Match ini adalah soal Bray yang berusaha membujuk Strowman kembali ke ‘rumah’, dalam artian kembali menjadi dirinya yang dulu. Yakni monster tanpa-hati yang diciptakan oleh Bray Wyatt. Yang kita dapatkan di sini adalah aksi gulat yang semakin minim (digantikan oleh pertarungan melawan minion, ala sinetron) dan beberapa adegan yang supposedly mengerikan dan surealis karena enggak make sense untuk terjadi. Salah satunya – dan yang paling menarik buatku – adalah ini:
Mimpiku malam Jumat nanti

 
Sebelum aku heboh sendiri bilang itu adalah biggest cinematic revealed in 2020, aku harus nahan diri karena semua kejadian ini dilandaskan kepada kita terjadi di ‘dunia Wyatt’. Jadi bisa aja semua ini hanya ada di kepala Strowman. WWE menempatkan kejadian di match ini terletak di antara bego-dan-gakmungkin dengan mungkin-dan-makesense. It could be an illusion, karena di awal kita diperlihatkan Strowman ketemu dengan dirinya sendiri. Namun juga masuk akal karena Alexa Bliss punya sejarah ama Braun. Baru pas nonton Smackdown kemaren aku mikir mereka harusnya bawa Bliss ke feud ini biar seru. And while at it, they should bring Nicholas too lol. Yang jelas, Swamp Fight ini berakhir dengan menimbulkan segudang pertanyaan baru. Sehingga jelas ini sebenarnya adalah ‘cutscene’ penambah cerita feud doang.
Main event sesungguhnya acara ini – I’d like to believe – adalah kejuaraan WWE antara Drew McIntyre melawan Dolph Ziggler. Karena Ziggler begitu uninteresting di titik kita sekarang, WWE tampaknya kerja ekstra keras dalam memberikan stipulasi. Berbeda dengan dua stipulasi utama di atas, stipulasi pada pertandingan ini lebih simpel tapi berdampak lebih gede dan bekerja dengan lebih baik – baik dari segi kayfabe alias karakter, maupun dari segi hiburan. Ziggler membeberkan stipulasi pilihannya beberapa menit sebelum match dimulai, and it was: Extreme Rules match yang hanya berlaku untuk dirinya. Sungguh pilihan (alias konsep) yang cerdas. Jadi, Ziggler boleh ngapain aja, boleh menyerang pakai senjata apapun yang ia mau, boleh curang tanpa takut didiskualifikasi. Sementara Drew enggak boleh. Drew akan kehilangan gelarnya kalo melakukan semua itu. Ini menciptakan semacam kevulnerablean bagi Drew – sesuatu yang ia butuhkan karena kita perlu sesuatu untuk percaya dia dalam bahaya sehingga lebih mudah bagi kita untuk mendukung juara bertahan ini untuk menang. Match ini berlangsung singkat, tapi sangat menarik. Karena banyak momen-momen seru saat Drew harus menahan diri, dan di lain waktu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bangkit dan gak count-out. Ending Claymore vs. Superkick itu juga sangat spektakuler. Kalo diberikan lawan yang lebih up-to-date lagi, niscara pertandingan ini bisa berkali lipat lebih seru.

Ziggler menciptakan Drew McIntyre. Bray Wyatt menciptakan Strowman. Kita menciptakan horor kita sendiri. Makanya, harus kita sendirilah yang berjuang balik menghadapinya.

 
 
Satu lagi hal penting untuk dibahas adalah Bayley dan Sasha Banks. Guilty karena mencuri skit “Cringe Hallo” milik The Iiconics, mereka toh memang lagi over-overnya. Dan gimmick heel mereka sebagai role-model dengan dua belt (empat kalo digabung!) semakin memperdalam relationship dan incident yang paling kita tunggu-tunggu; perpecahan keduanya. Perlu kita perhatikan, meskipun kini mereka sedang di-push sebagai top tag-team dari kedua brand, WWE tetap menanamkan benih-benih untuk angle permusuhan dengan memperlihatkan Sasha memilih untuk mengenakan kejuaraan wanita milik Bayley di pinggangnya (sabuk tag team mereka hanya disandang di bahu) saat megangin sabuk-sabuk tersebut di match Bayley melawan Nikki Cross.

‘2 Beltz Banks’? I prefer ‘Dos Intros Boss’

 
Poster itu juga mengungkapkan bahwa Sasha Banks bisa jadi adalah bintang utama di sini. Dan ya, memang Sasha begitu on fire tonight. Matchnya melawan Asuka harusnya jadi Match of the Night di review gulat manapun. Sasha dan Asuka mengisi pertandingan mereka dengan spot-spot unik dan keren. Mereka seringkali bertukar jurus dengan fantastis, misalnya spot German Suplex dari pinggir ring. Sasha memberikan match ini energi dan berhasil membuat Asuka tampak mengerikan, seperti pada jaman mereka di NXT dulu. Sempat ada botch saat dia terjatuh dari posisi hendak melompat menyerang dari turnbuckle, tapi Sasha berhasil menutupinya dengan permainan karakter, yang juga langsung ‘disambut’ dengan baik oleh Asuka. Kedua superstar ini menunjukkan komunikasi dan penguasaan ring yang cerdas. Sayangnya, match ini harus dinodai oleh ending yang enggak jelas. Sehingga batal menjadi Match of the Night. Drama gak-perlu yang menjadi penutup pertandingan ini berfungsi untuk membuat kita semakin benci kepada Bayley, sehingga mungkin jika Bayley dan Sasha beneran berantem, Sasha-lah yang melakoni peran babyface.
 
 
 
Jika aksi yang kalian cari, ada fair amount of really good wrestling dalam acara ini. Jika hal unik yang kalian cari, The Horror Show at Extreme Rules menawarkan banyak momen unik, yang seringkali tidak tergolong menyenangkan untuk diingat. Seperti ending yang lemah dan cinematic match yang ‘serius enggak konyol juga enggak’. I must say; acara ini terbaik saat dia menggunakan stipulasi kreatifnya untuk mendorong inovasi dalam aksi gulat. Seperti yang kita nikmati pada partai yang menjadi pilihanku untuk MATCH OF THE NIGHT, Drew McIntyre melawan Dolph Ziggler.
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP Cesaro dan Shinsuke Nakamura jadi juara baru ngalahin The New Day (Nakamura tiga tahun berturut-turut menang sabuk di Extreme Rules!) 
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Nikki Cross Sheamus mengalahkan Jeff Hardy
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP MVP menang W.O. karena Apollo Crews ‘cedera’
4. EYE FOR AN EYE Seth Rollins pop out mata Rey Mysterio
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Sasha Banks merebut sabuk dari Asuka
6. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre bertahan ngalahin Dolph Ziggler
7. SWAMP FIGHT Bray Wyatt menenggelamkan Braun Strowman 
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE OLD GUARD Review

“The key to immortality is first living a life worth remembering”
 

 
 
Jika ada yang bisa mengalahkan sensasi surprise dikasih tahu oleh raksasa bahwa kita sebenarnya adalah penyihir, maka itu adalah sensasi mengejutkan saat Charlize Theron datang ke hadapan kita dan memberitahu bahwa kita sesungguhnya adalah immortal. Kalian yang tidak bisa membayangkannya, silakan tonton film aksi-fantasi terbaru, The Old Guard di Netflix. Karena peristiwa itulah yang persisnya terjadi kepada tokoh Nile di film tersebut.
Nile adalah tentara wanita yang sedang bertugas menangkap teroris di Afganistan. Dia terluka parah saat menjalankan misi tersebut. Namun ajaib, dia sembuh total. Luka tebas di lehernya hilang. Kini yang membekas pada diri Nile adalah selayang mimpi tentang sekelompok orang. Kelompok yang keesokan hari datang menjemput dirinya. Dipimpin oleh Andy, cewek berambut bondol yang tangguh banget, kelompok yang beranggotakan empat orang itu memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang sukar dipercaya oleh Nile. Mereka semua tidak bisa mati, meski dalam kondisi luka yang paling fatal sekalipun. Dan kini Nile, somehow, menjadi sama seperti mereka. Nile diajak bergabung ke dalam barisan mereka, yang selama beratus-ratus tahun ini mendedikasikan diri untuk memberantas kriminal, secara rahasia. Dan sementara Nile memutuskan untuk menerima ajakan Andy dan kawan-kawan, seorang bos perusahaan farmacy gede di London ternyata telah mengendus keberadaan mereka. Andy dan teman-teman dijebak, mereka hendak ditangkapi untuk dijadikan subjek penelitian. Keabadian mereka akan diteliti, diekstrak kalo bisa, dan tentu saja diuangkan dengan dalih demi kebaikan seluruh umat manusia.

Basically mereka adalah Deadpool, tanpa rasa humor.

 
 
The Old Guard garapan Gina Prince-Bythewood ini ditulis langsung oleh penulis komik/graphic novel yang jadi sumber adaptasinya. Jadi film ini menjanjikan hal yang selalu ditagih oleh fans komik/buku yang diadaptasi ke layar lebar; kesetiaan dengan sumbernya. Aku belum pernah membaca komik The Old Guard, tapi begitu selesai menonton film ini aku bisa menebak cerita ini punya banyak penggemar, dan penggemar tersebut sepertinya bakal puas luar biasa dengan film ini. Karena The Old Guard bukan sekadar tontonan dengan karakter yang menarik dan punya aksi stylish yang berwarna merah oleh darah. Melainkan juga sebuah cerita yang mau meluangkan waktu untuk mengembangkan tokoh-tokoh tersebut, mengeksplorasi drama yang dimiliki oleh karakternya.
Sementara Nile si anak baru yang diperankan dengan matang oleh KiKi Layne bertindak sebagai perpanjangan kita yang awam terhadap dunia cerita, pusat cerita ini ini sebenarnya ada pada Andy. Si tentara immortal paling tua di antara mereka. Wanita ini sudah melewati begitu banyak pertempuran. Begitu banyak kehilangan. Begitu banyak luka. Sehingga konflik dan emosi cerita sebagian besar berasal dari tokoh yang diperankan dengan sangat badass oleh Charlize Theron ini. Kamera akan sigap menangkap momen-momen berharga tersebut. Lingering ke wajah Theron setiap kali tokoh Andy terdiam, entah itu terkenang akan kesedihannya terhadap seorang sahabat jauh di masa lalu, atau berkontemplasi mengingat waktu-waktu yang telah ia lalui dan kebimbangan akan waktu yang akan datang. Dengan muatan drama karakter yang sudah eksis begitu lama, serta dunia yang punya mitologi dan aturan main sendiri, film ini punya banyak paparan yang harus dibeberkan kepada kita. Sutradara Prince-Bythewood menghandle ini dengan cukup bijak. Ia tidak melakukannya dengan terburu-buru. Eksposisi tidak dihadirkan sekaligus. Akan tetapi, dia mengungkap semua dengan perlahan. Menggunakan momen-momen tenang di antara aksi-aksi untuk membuat kita sedikit lebih dekat dengan para tokoh.
Ketika berbicara, film ini memang tidak banyak berbeda dari film-film sebelum ini yang mengusung konsep karakter yang tak-bisa-mati. Permasalahan yang diangkat enggak jauh dari seputar beban moral hidup melampui orang-orang tersayang. Yang dibahas adalah pertanyaan apakah keabadian itu adalah kutukan atau anugrah. Dan jika itu anugrah, apakah tidak lebih baik untuk dibagikan kepada orang lain. Dalam keadaan terbaiknya, film dapat menantang penonton dengan persoalan tersebut. Keadaan terbaik ini tentu saja dapat tercapai dengan menghadirkan antagonis yang berbobot; yang punya lapisan dan tidak berlalu satu dimensi. Sayangnya, The Old Guard belum mampu mencapai keadaan terbaik tersebut. Karena tokoh penjahat utama yang dimiliki oleh cerita actually adalah bagian terburuk dari film ini. Pemimpin Pharmacy yang diperankan oleh Harry Melling (Dudley Dursley!) ditulis terlalu komikal, bahkan untuk villain cerita buku komik seperti ini. Elemen menangkap manusia untuk dijadikan subjek percobaan alias untuk disiksa terasa tidak terlalu klop dengan permasalahan emosional yang ditanamkan kepada tokoh-tokoh protagonis. Membuat film jadi sedikit terlalu klise. Pembicaraan yang cukup baik dilakukan oleh film ini adalah ketika memasukkan bahasan tentang LGBT; yang agendanya tidak terasa annoying melainkan pure diversity karakter.

Lewat Nile yang belajar banyak dari Andy, film membawa obrolan soal pilihan dalam mengisi hidup. Dengan umur sepanjang itu, sepenuhnya keputusan mereka untuk mau ngapain aja. Yang lantas membuat kita berpikir; bahwa sesungguhnya setiap manusia, bahkan kita, bisa menjadi abadi. Persis seperti Andy. Ya, melalui apa yang kita kerjakan. Jika kita hidup dengan berguna bagi banyak orang, jasa kita akan tetap hidup bersama mereka hingga generasi ke depan. 

 
 
Ketika berbicara lewat aksi, film ini menjadi semakin menarik. Pertarungan favoritku adalah pas adegan berantem di dalam pesawat. Di situ Andy bener-bener kelihatan ‘dewa’ banget. Kemampuan berakting action Theron sepertinya memang sudah demikian terasah, dan film mengetahui ini. Menggunakan talenta Theron dengan maksimal. The Old Guard punya desain aksi yang unik untuk keempat tokoh mercenary immortal tersebut. Karena mereka sudah bertempur bersama selama berabad-abad, bukan saja mereka jago pakai senjata apapun, mereka sendiri juga bertindak seperti satu senjata. Koreografi adegan penyerbuan oleh mereka terasa fresh untuk dilihat karena menghadirkan banyak kombo atau kerja sama unik. Serangan grup mereka begitu taktis dan efektif. Namun sayangnya kerja kamera seringkali tidak seefektif itu. Hampir seperti kamera tidak sanggup mengimbangi ataupun memenuhi konsep yang dituju oleh koreo. Karena yang kita lihat adalah seringkali shot yang terlalu goyang dan berjarak terlalu jauh. Sehingga alih-alih kita seperti berada in-the-moment, kita malah terasa seperti mengintip dari kamera bystander yang memfilmkan keributan yang mereka lihat.
Pemilihan musik latar juga tidak membantu untuk menguatkan suasana yang imersif. Bukan karena musiknya jelek. Melainkan karena gak cocok. Film ini menggunakan musik pop elektronik pada adegan-adegan yang intensitasnya krusial. Misalnya, tokoh yang sedang bingung atas apa yang terjadi pada tubuhnya, dia lantas pasang headset dan kita mendengar musik pop itu. Atau ketika tokoh kita bersembunyi siap menyergap rombongan penyusup, lagu pop elektro itu lantas diputar oleh film. Yang membuat kita terlepas dari adegan itu sendiri karena suasananya memang gak cocok.

Pengen immortal membuat kita jadi immoral

 
Tensi dan intensitas cerita turut melonggar ketika kita sudah mengestablish tokoh-tokoh ini enggak bisa mati. Berkali-kali kita melihat mereka tewas mengenaskan, lalu hidup lagi. Tidak ada lagi ancaman bagi mereka. Film menyadari hal ini dan cerita kemudian berbelok dengan menyebut bahwa para immortal itu sesungguhnya bisa mati. Keabadian mereka ada batasan, hanya saja terjadi dengan random. Dan itulah masalahnya; random. Tentu, kini kita jadi lebih greget menonton karena sudah ada yang dikhawatirkan dari mereka. Tapinya juga terasa jadi jalan yang mudah bagi film. Mitologi immortal mereka ini mestinya bisa dieksplorasi lagi. ‘Aturan’nya mestinya bisa diperjelas. Karena mengundang banyak pertanyaan selain kenapa random. Seperti; apa mereka masih bisa hidup kalo dibom dan hancur berkeping-keping, apa mereka bakal jadi membelah diri – dari setiap serpihan muncul sosok baru, atau mereka kayak Buu – serpihannya menggumpal membentuk tubuh mereka kembali. Atau apakah Nile baru sekarang jadi immortal, atau apakah sudah dari dulu dan dia baru tau. Actually, film ini mempertanyakan hal tersebut lewat salah satu tokoh. Namun tidak ada jawaban. Aku yakin mitologi immortal ini, pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan ngambang di film ini, semua ada penjelasannya. Hanya saja karena ini diniatkan sebagai film seri petualangan, alias bakal ada sekuel, maka pembuatnya sengaja gak membahas banyak dan ini membuat film ini jadi kurang tight penceritaannya.
 
 
 
Waktu, berharga karena ada batasnya. Tokoh-tokoh dalam film ini pada akhirnya belajar akan hal tersebut. Sementara film ini sendiri memang berusaha mengisi durasi dua-jam miliknya yang berharga itu dengan semaksimal mungkin. Mereka berhasil membuat ini jadi tidak membosankan. Tidak menjadi berat oleh eksposisi. Namun juga jadi kurang nonjok karena ada beberapa hal yang kurang dieksplorasi. Dengan dugaan sengaja untuk jadi bahasan di film berikutnya. Membuat film menjadi tidak sespesial yang seharusnya ia bisa. Untungnya film ini cukup menyenangkan, karakter-karakternya bisa kita pedulikan, sehingga aku cukup penasaran sama kelanjutan ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE OLD GUARD.

 

 
 
That’s all we have for now.
Jika kita tidak bisa mati, akankah kalian akan berlaku reckless atau malah jadi lebih berhati-hati daripada biasanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

GREYHOUND Review

“If you’re in control, they’re in control”
 
 

 
 
 
Setelah menonton begitu banyak film perang, kita sudah mengestablish bahwa perang itu mengerikan. Karena menelan begitu banyak korban. Dan tentu saja korban-korban itu bukan hanya berjatuhan di garis terdepan. Film Greyhound arahan Aaron Schneider menunjukkan dahsyatnya peperangan di garis belakang. Bahkan, tepatnya, sebelum garis pantai. Alias di samudera. Tempat kapal-kapal logistik peperangan berkonvoi dan dikawal menuju medan tempur.
Tom Hanks kini berperan sebagai Krause, kapten salah satu kapal tempur yang mengawal kapal-kapal yang membawa supply dan tentara tersebut sepanjang Samudra Atlantik. Awalnya perjalanan mereka aman-aman saja. Namun begitu sampai perbatasan Amerika dan Eropa, pesawat yang menjadi mata mereka di udara harus mundur. Keadaan sepenuhnya berada pada pundak Krause, memimpin perjalanan setidaknya sampai pesawat dari Eropa tiba. Inilah momen-momen krusial karena di jendela-waktu sempit tersebut, konvoi kapal mereka bagai sitting duck. Diincar oleh sekelompok kapal selam pemburu milik Nazi Jerman. Musuh mengincar dari bawah laut. Mencoba menenggelamkan kapal-kapal tersebut.  Krause harus melindungi semua kapal, mengupayakan semua taktik yang ia tahu untuk menghadapi sergapan musuh!

“You sunk my battleship!”

 
 
Tadinya aku mengira ini adalah film biografi; film yang menceritakan perjuangan dan kepahlawanan tokoh nyata di medan perang. Tapi ternyata enggak. Film ini adalah adaptasi dari novel The Good Shepherd. Dan alasan aku menyangka ini adalah kisah asli adalah karena film ini mampu membuat kita mengapresiasi perjuangan Krause, membuat kita memikirkan sebegitu berbahayanya perjalanan yang ia tempuh. Sebesar itu resiko yang ia hadapi, sebanyak itu tanggungjawab yang ia emban. Film ini menunjukkan menjadi kapten atau pemimpin itu sulit. Kita enggak menjadi pahlawan hanya dengan selamat dari pertempuran. Hanya dengan memerintah ini itu kepada bawahan. Melainkan di balik setiap keputusan ada beban. Bahwa untuk membuat satu langkah ada yang jadi korban. Dan kapten akan menanggung beban-beban tersebut sepanjang umurnya.
Greyhound kuat dalam penggambaran. Adegan tembak-tembakan kapalnya seru dan menegangkan. Film ini nyaris nonstop aksi. Kapal Krauser secara konstan mendapat ancaman dan serangan. Kita akan mengawasi Krauser mengeker torpedo yang merayap dari balik ombak. Bayangkan film Jaw, hanya saja bukan hiu yang berenang lurus dengan cepat ke arah kita. Setiap kali Krauser memantau keadaan dengan teropong, kita bisa melihat pemandangan CGI kapal-kapal yang bisa meledak terbakar begitu saja. Ya, kadang CGI film ini sangat kentara, tapi untungnya kesan dikepung dan diburu itu masih bisa cukup terasa. Sehingga misi film ini untuk memberi kita pengalaman-langsung bisa dikatakan berhasil.
Menulis sendiri naskah adaptasi ini, Tom Hanks tampak paham luar dalam mengenai karakter yang ia perankan. Dengan kekuatan aktingnya yang telah teruji, Hanks menggambarkan beban tindakan dan pilihan yang dirasakan oleh Krauser dengan tepat mengena. Dia mengerti cerita ini tentang apa. Hanya saja, Hanks seperti lupa bahwa kita yang nonton juga butuh untuk memahami konteks tokohnya. Untuk memahami siapa Krauser sehingga kita bisa peduli. Naskah yang Hanks tulis tidak terstruktur dengan mantap sehingga tidak mampu untuk memuat segala informasi yang bisa berguna bagi kita untuk menjadi tersedot masuk ke dalam cerita. Tentu, kita mengerti ini adalah cerita kapten pahlawan yang berusaha bertanggungjawab atas hidup banyak orang; di kapalnya, di kapal tempur rekan mereka, di kapal-kapal supply yang mereka kawal, dan orang tersayang yang menantinya di rumah. Namun itu tidak membuat tokoh ini unik. Toh semua pahlawan memang begitu. Kasarnya; udah tugas kapten untuk bertindak seperti itu. Film mestinya memuat karakter yang spesial, karena tentu saja tidak semua kisah pahlawan harus difilmkan. Yang spesial-spesila aja. Ini namanya urgensi. Film harus urgen. Selain tantangan lingkungan-perang yang unik, harus ada juga kekhususan pada karakternya sehingga kita tertarik dan peduli dengan yang ditonton. Misalnya, tokoh pahlawan perang tapi gak mau menembakkan senjata seperti pada Hacksaw Ridge (2016). Atau seperti 1917 (2020) yang paket komplit menyediakan tantangan berupa tokoh harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan tekanan waktu, sekaligus memberikan keadaan karakter yang tak-biasa yakni tokohnya adalah orang yang menolak untuk terbuka.
Krause di Greyhound bukannya tidak punya kekhususan itu. Masalahnya adalah film tidak membuka ini dengan segera. Kita baru akan tahu hal yang membuat dirinya berbeda sehingga kisahnya pantas untuk disaksikan saat keadaan sudah aman. Saat film sudah mau habis. Sungguh amat terlambat kita diberitahu bahwa Krauser ternyata adalah kapten yang kurang berpengalaman. Misi pengawalan ini adalah misi pertama baginya. Maaan, bayangkan betapa kuatnya konflik terasa jika kita mengetahui ini sedari awal. Tentulah dramanya bakal jadi lebih impactful. Jadi kupikir kali ini kalian yang belum nonton tapi sudah baca review ini akan berterima kasih udah kena spoiled, karena mengetahui ‘rahasia’ Krause itu eventually akan membuat karakternya menjadi lebih berasa.
You’re welcome.

 

Seperti yang disampaikan oleh judul novelnya, ini adalah tentang menjadi pemimpin yang baik. Seorang kapten atau pemimpin hanya akan terbukti kecakapannya dengan berada di bawah serangan keadaan yang begitu menekan. Reaksi mereka dalam keadaan tersebutlah yang menunjukkan kualitas mereka. Seorang pemimpin harus dapat mengendalikan diri. Tidak menunjukkan keraguan, tidak gentar, meski di dalam hatinya boleh jadi dia yang paling takut di antara semua. Seperti Krause dalam film ini yang menahan sakit di kakinya, yang makan saja ia tahan, karena ia tahu pasukannya sangat membutuhkan panutan dan arahan dalam situasi di mana bersin aja gak boleh.

 
Melihat durasi film ini, sesungguhnya memang memunculkan keraguan. Setidaknya jadi ancang-ancang untuk menurunkan ekspektasi. Karena film perang yang ‘serius’ biasanya jarang yang di bawah dua-jam. Karena bahasan moral, karakter, drama, dan aksi tembak-tembak tentu saja membutuhkan waktu yang enggak sebentar untuk matang. Greyhound ternyata singkat, ya karena memang cuma aksi saja yang film ini punya. Karakter enggak pernah dibahas dengan dalam. Kita gak tahu siapa orang-orang yang ada di sana, mereka hanya pasukan yang karakternya seringkali tak lebih dari sekadar nama. Film toh tetap mencoba menggali drama dari mereka. Usaha minim karakterisasi dalam film ini mencakup koki yang terus memasakkan makanan untuk Krause meski tak dimakan, prajurit muda yang canggung, dan Krause yang menulis tapi pensilnya patah. Film ini butuh lebih banyak drama. Karakter yang lebih kompleks. Mereka bisa bikin ada satu tokoh yang kelihatan seperti mata-mata/pengkhianat atau semacamnya; at least dengan begitu tokoh-tokohnya akan jadi lebih seru.
Dan memandang film ini begitu selesai, aku malah merasa sembilan-puluh-menit itu saja sudah seperti dipanjang-panjangin. Kejadian dalam film ini itu-itu melulu. Kita akan melihat ancaman dan tembak-tembakan yang nyaris sama persis. Dialog dalam film ini juga enggak ngangkat. Tidak banyak (alias sedikit sekali) hal penting yang mereka ucapkan, karena sebagian besar waktu dipakai oleh para tokoh untuk meneriakkan instruksi dan melaporkan status posisi musuh pada radar dalam bahasa militer, yang butuh beberapa waktu bagi kita untuk mengerti apa yang mereka teriakkan.
 
 
Antara tembakan torpedo dan berondongan istilah-istilah navigasi laut, film ini menunjukkan gambaran kelam keadaan perang di laut. Memberikan pengalaman langsung betapa mencekamnya perang itu sendiri. Sebagai kendaraan untuk hal tersebut, film ini memang persis dengan kapal Krause itu sendiri; sea-worthy. Namun sebagai sebuah tontonan, film ini hanya sebatas ‘C-worthy’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GREYHOUND

 

 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apa keputusan paling sulit yang harus dibuat oleh Krause dalam film ini?
Dan bicara tentang kapten dan pemimpin, bagaimana pendapat kalian tentang langkah yang diambil kapten negara kita dalam mengarungi laut pandemi sekarang ini?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

7500 Review

“A quiet mind is able to hear intuition over fear”
 

 
 
Pernah ngebayangin rasanya naik pesawat terus pesawatnya dibajak? Gimana coba perasaan pilotnya kalo mendadak penumpangnya semua dalam bahaya dan nyawa mereka ada di tangan dirinya? Ih, amit-amit! Atau mungkin malah ada yang pernah ngebayangin jadi teroris pembajaknya? Wah, sakit, lu! ckckckck.. Anyway, dengan thriller terbaru karya Patrick Vollrath ini kita gak perlu repot ngebayangin lagi. Karena film 7500 ini menawarkan full-experience peristiwa pembajakan pesawat terbang saat lagi mengudara. Tapi bukan untuk menakut-nakuti supaya males naik pesawat, melainkan niat utamanya adalah untuk mengajak kita melihat ke dalam setiap pihak yang terlibat – untuk melihat bahwa semua manusia masih punya intuisi dan nurasi meski seringkali tertutup oleh rasa takut. Dan ya, semoga bagi yang pernah ngebayangin ngebajak pesawat atau transport publik apapun, bisa insaf setelah nonton film ini.
Setelah montase pembuka berupa rangkaian adegan serupa video dari CCTV beberapa tempat di bandara (sekuen pembuka ini sangat efektif membangun tone menegangkan karena visual grainy yang membuat semua aktivitas terlihat mencurigakan itu dihadirkan komplit dengan suara-suara dengungan mesin dan alat-alat di bandara) kita akan dibawa masuk ke dalam kokpit pesawat komersil Jerman yang hendak lepas landas. Berkenalan dengan Joseph Gordon-Levitt yang jadi co-pilot berkebangsaan Amerika bernama Tobias. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, film memperlihatkan interaksi antara kru-kru pesawat, mengestablish relasi antara Tobias dengan beberapa orang. Termasuk salah satu flight attendance yang ternyata adalah istrinya. Tobias dan istrinya mencoba bersikap profesional. In fact, interaksi para tokoh-tokoh itu memang semuanya terasa seperti kru pesawat beneran; orang-orang profesional yang punya kewajiban menerbangkan pesawat dan mengantarkan penumpang ke tempat tujuan dengan selamat. Namun tentu saja konflik berkata lain. Beberapa dari penumpang adalah teroris yang ingin membajak dan menabrakkan pesawat. Dan ketika pilot terluka parah, dan istrinya disandera bersama puluhan penumpang lain, kendali itu sekarang benar-benar di tangan Tobias. Mengunci diri di kokpit untuk menerbangkan pesawat ke tempat aman atau menuruti keinginan para teroris yang semakin nekat dan berbahaya.

If anything, rasa-rasanya setelah tiga bulan kemaren, kini kita semua rindu bepergian naik pesawat

 
 
Di kokpit itulah seluruh cerita film ini akan berlangsung. 7500 adalah drama thriller ruang-tertutup yang mawas diri sehingga kita akan mendapatkan banyak sekali adegan intens. Kamera akan bermanuver di ruang sempit itu, kadang sedikit terlalu goyang, tapi menjamin kita menangkap semua suspens dan emosi yang disampaikan oleh para aktor. Film paham betul soal surroundings dan merancang adegan-adegan dari sana. Misalnya soal pintu kokpit yang dikunci dan gak bisa dimasuki sembarangan saat pilot sedang bekerja, mengendarai pesawat supaya baik jalannya. Buk gedebak gedebuk suara pintu yang digedor teroris, bukan itu saja yang bikin tegang di film ini. Film menggunakan semua yang ada di sana. Monitor untuk kokpit melihat keadaan kabin di balik pintu. Suara intercom yang bisa dihidup-matikan. Tensi dibangkitkan dari ‘negosiasi’ antara Tobias dengan teroris yang di-escalate dengan mencekat. Salah seorang teroris mengancam untuk menggorong leher seorang penumpang jika pintu tidak segera dibuka. Kamera pun dengan bijak menyorot lalu menghitung timing meng-cut kita dari monitor dengan precise tepat beberapa momen sebelum kejadian buruk itu terjadi. Dan kita dikembalikan melihat Tobias yang broke down secara emosional karena dia baru saja melakukan pilihan terbesar seumur hidupnya. Adegan tersebut bahkan bukan puncak ketegangan, karena beberapa saat kemudian teroris kembali mengancam dengan cara yang sama – kali ini dengan leher istri Tobias yang jadi taruhannya.
Kecamuk perasaan Tobias rasanya tersalurkan semua kepada kita. Tantangan yang harus diatasi oleh cerita ini adalah membuat kita peduli pada Tobias, sekaligus kita menyetujui keputusannya meskipun itu adalah berat dan menyedihkan. Kita akan membatin supaya Tobias tidak membuka pintu, padahal kita tahu di balik pintu itu ada orang yang paling berharga baginya. Dalam kata lain, film ini lantas berhasil membuat kita merasakan penderitaan Tobias. Lewat tokoh ini, cerita menekankan soal betapa mengerikannya ketika mendadak kita berada pada posisi di mana nyawa banyak orang bergantung pada keputusan kita. Gordon-Levitt benar-benar meyakinkan dlaam perannya ini. Kita bisa merasakan tekanan konflik dan kepentingan personal menggencetnya dari berbagai arah. Dia berusaha tetap tenang dan mengikuti protokol. Kita mencemaskannya. Karena kita sadar betapa rumitnya bagaimana cara kita menyelamatkan orang jikalau dalam menyelamatkan itu berarti tetap saja ada korban.
Cerita film ini persis seperti Trolley Problem yang berbagai variasi kasusnya bisa kita temui di bahasan-bahasan psikologi ataupun filosofi. Mungkin kalian pernah juga mendengar. Troli atau kereta berjalan menuju persimpangan rel; pada rel pertama kereta akan menabrak sekelompok anak kecil, dan pada rel kedua kereta akan menabrak seorang pria yang tertidur – kita yang menekan tuas menentukan rel mana yang dilewati oleh kereta; mana yang kita pilih. Persoalan yang dihadapi Tobias juga seperti demikian. Basically intinya adalah memilih satu dari dua skenario yang dua-duanya berujung pada kematian orang tak-bersalah. Apakah dia membiarkan penumpang dibunuh satu persatu, hopefully dia bisa mendaratkan pesawat dengan cepat supaya yang mati gak banyak, atau berusaha mencegah pembunuhan dengan resiko teroris mengambil alih kemudi dan menyebabkan korban seratus persen lebih banyak. Film mengaitkan ini dengan sikap profesional yang harus dijunjung oleh pekerja seperti Tobias. Karena ia ingin mengirimkan gagasan kepada kita soal mengambil keputusan – bertanggung jawab atasnya – dengan tidak berdasarkan kepada perasaan melainkan melainkan dengan tenang memilih yang ‘benar’.

Trolley Problem sebenarnya bukan untuk memilih jawaban yang paling benar dari kedua pilihan. Melainkan sebuah eksperimen yang jawaban setiap orang akan mencerminkan intuisi moral yang dimiliki oleh masing-masing. Intuisi inilah yang paling penting untuk didengar, tapi seringkali tertutupi oleh kecamuk perasaan – yang dalam film ini diwakili terutama oleh rasa takut.

 
Momen antara Tobias dengan salah satu teroris di babak akhir menunjukkan kontras antara dua orang yang sama-sama takut, hanya saja yang satu masih mampu memegang intuisi moralnya. Dalam keadaan yang maksimal, film ini seharusnya mampu membuat kita tak lagi sekadar mengkhawatirkan keselamatan Tobias tapi juga menjadi mengkhawatirkan teroris muda yang jelas memiliki banyak keraguan dan konflik tersendiri di dalam dirinya. Namun film tidak tertarik untuk mengeksplorasi sejauh itu. Naskah mencukupkan dirinya pada muatan-muatan klise dan karakter-karakter stereotipe.

Yang belum nonton pasti bisa nebak ras gerombolan teroris di film ini

 
 
Tidak ada lagi pengembangan karakter sebab menjelang akhir film sudah mengubah haluannya menjadi cerita yang berfokus pada kejadian. Tobias dan karakter-karakter lain menjadi tak lebih dari sekadar troli yang bergerak pada rel masing-masing, mereka tidak jadi terasa manusiawi. Momen-momen manusiawi mereka mengerucut menjadi momen klise yang datang begitu saja saat naskah butuh untuk mengakhiri cerita. Tidak ada kedalaman motivasi pada si teroris yang jatohnya sebagai ‘jahat-tapi-penakut’ alih-alih karakter yang kompleks. Film ini dimulai dengan seolah menyugestikan pelaku kejahatan bisa siapa saja karena semua yang dilihat dari video CCTV tampak mencurigakan – kita tidak bisa menuding begitu saja. Namun di akhir tetap saja semua kembali pada stereotipe. Cerita tidak lagi menjadi menantang-pikiran begitu kita sadar bidak mana tugasnya apa. Menurutku ini adalah kesempatan yang disia-siakan, karena seharusnya ada banyak yang bisa dikomentari oleh film. Momen berdua antara Tobias dengan teroris tidak berbuah apa-apa karena film tidak pernah benar-benar lepas landas mengembangkan mereka.
 
 
 
 
Sebagai thriller ruang-sempit, film ini memang menegangkan. Penuh oleh momen-momen intens yang benar-benar menyorot beratnya keputusan yang harus diambil oleh tokohnya selain ancaman bahaya. Hanya saja pelaku-pelaku cerita ini tidak diberikan lapisan yang mendalam. Mereka hanya stereotipe yang mengandalkan pada pancingan-pancingan klise untuk menarik simpati. Sepertinya karena diniatkan sebagai experience saja, maka film merasa tidak perlu repot-repot membangun karakter dan mengeksplorasi lebih dalam lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for 7500

 

 
 
That’s all we have for now.
Dalam eksperimen Trolley Problem, mana yang kalian pilih? Menyelamatkan anak-anak atau satu orang yang tertidur? Apa pertimbangan kalian memilihnya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Backlash 2020 Review


 
 
Nama adalah doa. Bukan sekadar merek penanda, melainkan ada hembusan harapan – ada ekspektasi – yang tersematkan ketika seseorang memberikan nama kepada sesuatu. Makanya agama melarang kita memberikan nama-nama atau julukan yang bermakna buruk. Dumbledore aja tau pentingnya sebuah nama, ia menegaskan kepada setiap orang untuk memanggil Voldemort dengan nama yang benar karena julukan hanya akan memperbesar ketakutan. Sebegitu besar pengaruh nama, ia dapat mempengaruhi kepribadian ataupun cara kita memandang sesuatu. Orang-orang dulu percaya nama bahkan bisa mempengaruhi kesehatan; ada banyak cerita tentang anak sakit-sakitan karena ‘enggak cocok nama’ dan lantas beneran sembuh begitu namanya diganti secara resmi oleh orangtuanya. Dan aku tau ini adalah paragraf yang aneh untuk memulai sebuah ulasan acara gulat, maka aku pastikan bahwa kalian enggak salah baca artikel, atau aku enggak keliru ngepos artikel, karena semua ini berhubungan dengan WWE yang memberikan nama “The Greatest Wrestling Match Ever” kepada pertandingan Edge melawan Randy Orton yang jadi main event di Backlash 2020.
See, nama dapat menjadi beban. Kita meletakkan begitu besar tekanan dengan menyebut, atau bahkan menjanjikan sesuatu sebagai ‘sesuatu-yang-terhebat’. I mean, misalnya aku gak akan mempromosikan blog ini sebagai ‘The Greatest Review Blog Ever’ meskipun boleh jadi itu memang strategi pemasaran yang ampuh. Tentu aku berharap blog ini suatu hari bakal jadi yang terbaik, tapi memasang itu sebagai plang identitas hanya akan membawa beban, karena aku bakal terus kepikiran bagaimana jika ‘janji nama’ tersebut tidak terpenuhi. Ini akan membuat menulis jadi less-mengasyikkan dan more-of-a-work. Persis itulah yang terjadi kepada match Edge dan Randy Orton, hanya beberapa saat saja setelah partai tersebut diumumkan secara resmi.
Orang-orang mulai mempertanyakan langkah seperti apa yang bakal dilakukan WWE. Sebagian besar curiga nama itu hanya gimmick untuk mendongkrak rating di tengah terpuruknya performa acara ini semenjak format ‘new-normal’ akibat pandemi. Awas aja kalo jadi sok-sok cinematik lagi begitu komentar salah satu temanku terhadap match ini. Low key; ekspektasi terhadap WWE untuk menghasilkan pertandingan sesuai janji semakin gede. Dan begitu menonton match ini, jelas WWE beneran terberatkan oleh ekspektasi ini. Sebelum mulai, komentator mengumumkan partai utama ini akan di-enhance oleh audio sorakan penonton (ngasih ambience ekstra di belakang teriakan-teriakan awkward pegulat development yang disuruh jadi penonton suruhan), direkam duluan dan enggak live seperti match-match lain pada acara ini, dan menggunakan sudut kamera unik (which means, cut-cut impossible yang dimasukkan untuk menambah dramatisnya pertandingan, seperti shot momen wajah Edge sesaat sebelum dibanting di bawah pitingan yang jelas gak bakal bisa direkam kalo match-nya live dan tanpa cut). Dua dari tiga hal tersebut nyatanya tidak diperlukan sama sekali, karena hanya membuat match ini menjadi tontonan yang semakin awkward. Juga berlawanan dengan pengertian ‘match terbaik’ sebab gulat sejatinya adalah live performance, jadi terbaik dalam konteks ini adalah hal yang berlangsung on-the-go, bukan yang sengaja di-recreate.
Dua hal tersebut juga tidak diperlukan karena Edge dan Orton, toh, benar-benar sanggup menyuguhkan pertandingan gulat tradisional yang kuat secara in-ring psikologi dan menyampaikan cerita dengan efektif. Dua superstar ini tidak membutuhkan perlakuan spesial untuk dapat memberikan kepada kita pertandingan yang katanya terbaik sepanjang masa.

bukan Edge lawan Orton kalo gak ngereference-in Chris Benoit

 
Tentu, match itu jelas bukan terbaik sepanjang masa, tapi ini adalah yang terbaik yang bisa kita dapatkan sejauh era pandemi ini. This is way better than those cinematic matches. Orton dan Edge mengambil moniker nama itu, bukan sebagai beban, melainkan sebagai tantangan yang mereka inkorporasikan menjadi konteks pertandingan. Match yang durasi tiga-puluh-menitan ini diarahkan untuk memuat berbagai reference atau throwback dari pertandingan-pertandingan klasik yang tak pelak merupakan kandidat kalo kita nyebut pertandingan terbaik sepanjang masa di WWE. Edge dan Orton akan ‘menirukan’ laga Savage lawan Steamboat dari Wrestlemania 3, menggunakan jurus-jurus dari legenda semacam Ric Flair, Kurt Angle, Bret Hart, The Rock. It was really fun; fun dalam artian fun positif konteks gulat tentunya. Mereka at some points juga memakai jurus dari superstar yang berpengaruh dalam karir mereka, seperti Orton menggunakan Pedigree milik Triple H yang dulu jadi mentornya di stable Evolution, dan Edge yang menggunakan The Unprettier milik rekan tag team dan sahabat sejatinya di real life, Christian. Alur pertandingan ini sungguh seru karena kedua superstar bertarung dengan mati-matian. Edge kick out dari sejumlah RKO, begitupun Orton masih idup walau udah terkena Spear dan Edgecution berkali-kali.
WWE benar-benar berusaha keras bukan saja ‘membantu’ match ini jadi lebih seru, melainkan juga karena mereka ingin untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada match Edge melawan Orton di WrestleMania bulan April lalu. Elemen enhance-audio memang cukup membantu meramaikan suasana, apalagi sekarang komentatornya benar-benar aktif dan semangat mengomentari. Dan memang begitulah seharusnya. Karena bagaimana pun juga ini adalah pertandingan gulat, bukan sebuah kejadian kriminal or something. Komentator gak perlu sok-sok hening dramatis dan ekstra berpura-pura match yang mereka komentari adalah hal mengerikan. Buatlah penonton terus excited dan berikan reaksi dan insight-insight supaya match semakin seru dan kita percaya dengan keseruan tersebut.

Setiap orang, sadar atau tidak – langsung atau tak langsung, akan terdorong untuk bersikap sesuai nama yang ia berikan atau yang diberikan kepadanya. Kita akan berusaha keras memenuhi citra yang diciptakan duluan alih-alih berkembang membentuk citra yang natural. Pemberian nama dapat menghasilkan backlash yang merugikan ketika kita tidak mampu memenuhi hal tersebut. Acara WWE Backlash 2020 menghadapi masalah demikian. Namun ini adalah wrestling show, ia tahu cara ‘bergulat’ dan yang kita dapatkan adalah one-hell-of-a-fun ride!

 
Pertandingan-pertandingan lain yang kita dapatkan di Backlash kali ini juga seru-seru. Aku bahkan oke sama Jeff Hardy melawan Sheamus, walaupun punchline feud mereka terbilang konyol. Nyiramin pipis itu tipikal Vince McMahon banget; komedi yang cuma dia sendiri yang menganggapnya lucu. Untungnya match mereka yang lambat masih punya beberapa momen yang bikin melek, mainly karena Jeff Hardy yang jago nge-bump. Satu lagi filler yang enggak-jelek adalah handicap untuk Universal Championship. Ada penambahan stipulasi yang berfungsi sebagai stake. Aksi dari Miz dan Morrison tampak bervariasi dan sangat balance dengan gaya-tarung Strowman yang powerhouse. Match ini berhasil membuat ketiga superstar yang terlibat tak tampak konyol, dan Twist kecil di akhir membuat pertandingan ini jadi sedikit lebih berarti. Memberi match ini secercah story dan menunjukkan kepada kita Morrison dan Miz kalah bukan exactly karena Strowman, melainkan karena Miz yang naluri egoisnya muncul. Ini bisa jadi permulaan story baru untuk team Dirt Sheet.

Lagu itu mestinya jadi entrance mereka aja untuk memaksimalkan waktu tho

 
 
It would be cool kalo Morrison jadi juara, tapi kita tentunya tak mau ada situasi yang sama persis ama story Bayley dan Sasha, yang btw sudah berlangsung lama banget. Kita dari tahun lalu udah gregetan pengen liat dua sahabat ini pecah dan berantem, WWE dengan cerdas mengulur-ngulur. Dan mereka mulai growing on me, honestly. Story relasi mereka ini bekerja jauh lebih baik sekarang karena mereka berdua adalah heel, alih-alih babyface kayak tahun lalu. Karena kedua superstar cewek ini so good sebagai heel jadi kita menebak bagaimana cerita perpecahan bakal ditangani oleh WWE. Yang berkhianat adalah yang menjadi face, ini kejadian yang lebih langka dibanding yang berkhianat berubah menjadi jahat yang sudah kita lihat berkali-kali.
Kejuaraan Tag Team Cewek itu comes full circle karena melibatkan tim-tim yang punya peran terhadap eksistensi sabuk tersebut, seperti yang dijelaskan panjang lebar oleh komentator. Thus make this match interesting. Mereka juga menyuguhkan aksi yang segar, karena kali ini WWE menggunakan rule triple threat yang ketiga perwakilan tim aktif di ring di saat yang bersamaan, instead of two. Peyton Royce paling menonjol di sini. Kedua adalah Alexa Bliss yang di sini terlihat lebih agresif daripada biasanya. Ini bisa jadi karena pengaruh bullying yang baru-baru ini ia terima dari seorang podcaster yang mengkritik performanya dalam bergulat. Alexa tampak benar-benar ingin membuktikan dia adalah The Goddess, sesuai namanya, dan aku senang melihatnya. Sahabat Alexa Bliss, Nia Jax, juga mengalami masalah yang sama. Dalam matchnya melawan Asuka di sini, Nia tampak bermain berbeda dari yang biasanya, dan kemungkinan besar itu karena belakangan ia santer dihujat karena bermain dengan terlampau ugal-ugalan. Nia Jax dengan sukses membuat WWE melarang jurus Buckle Bomb saat ia mencederai Kairi Sane dengan menggunakan jurus tersebut. However, match dia melawan Asuka terasa standar dan cukup boring. Meskipun Asuka berkali-kali melancarkan stiff kick, tapi match ini powerless, apalagi karena endingnya yang basically memperpanjang feud mereka.
Satu lagi yang suffer from bad ending adalah match perebutan sabuk WWE antara Drew McIntyre melawan Bobby Lashley. Padahal partai ini dimulai dengan intriguing. Semua yang terlibat, termasuk MVP yang jadi manager Lashley, punya peran yang membuat match ini sangat berimbang antara aksi dengan story. Lashley dan Drew punya potensi gede, mereka tampak mampu menghasilkan match powerhouse yang seru. Namun keinginan kita tersebut tidak terwujud di sini. Karena, you guessed it, Lana muncul and ruined everything.
Menurutku WWE masih harus terus menilik ulang prioritas mereka. I know, dalam sebuah show, enggak bisa untuk terus memberikan match bagus dan penting, card harus diimbangi dengan match filler, match komedi, main event, promo, dan sebagainya. Hanya saja harusnya posisi filler atau komedi sebaiknya tidak diberikan pada match championship. Perpanjangan feud bisa dilakukan tanpa menjadi mengecewakan. Pada Backlash ini, sebagai bathroom break/pengurang tensi/apalah namanya, WWE menggunakan kejuaraan tag team dalam environment match ‘sinematik’. Dan ini konyol sekali. Street Profits dan Viking Raiders bukannya bergulat, mereka malah kayak main power ranger-power rangeran. Battle komedi yang melibatkan ninja anak motor dan flashback sequece ke lomba-lomba konyol yang jadi feud mereka setiap minggu di Raw sebelum acara ini. Yea, ini fun, ini bekerja memenuhi fungsinya pada struktur acara, but it also is a giant waste of time. Aku bisa ngebayangin Jim Cornett ngumpat-ngumpat ‘pertandingan ini.
 
 
 
Tapi honestly, aku senang WWE tidak lagi menganggap serius ‘cinematic match’ mengingat posisinya sebagai bridge alias bathroom break di acara ini. WWE kembali mementingkan gulat dalam artian yang lebih tradisional. Match Edge melawan Randy Orton, meskipun masih jauh dari Greatest Match Ever, tapi easily adalah MATCH OF THE NIGHT, karena benar-benar menawarkan aksi seru, psikologi yang tepat, dan cerita yang padu. Match-match lainnya, meskipun beberapa punya ending yang males (dan malesin), juga dibangun dengan actual wrestling yang seru. WWE harus menyadari bahwa mereka mampu menghadirkan sesuatu yang spesial, aku percaya mereka masih bisa, dan mengurangi bergantung pada hal muluk dan penggunaan nama-nama yang berlebihan seperti ‘greates ever’ atau ‘first time ever’ yang jatohnya malah jadi annoying duluan.
 
 
 
 
Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Sasha Banks dan Bayley tetap juara ngalahin Alexa Bliss dan Nikki Cross, dan The IIconics 
2. SINGLE Sheamus mengalahkan Jeff Hardy
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka menang ring-out atas Nia Jax
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP HANDICAP Braun Strowman retains over John Morrison and The Miz
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Bobby Lashley
6. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Street Profits dan The Viking Raiders malah ngelawak
7. THE GREATEST WRESTLING MATCH EVER Randy Orton unggul dari Edge  
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.