THE MAIN EVENT Review

“You never know how strong you are until being strong is the only choice you have.”
 

 
 
The Main Event adalah film pertama kolaborasi Netflix dengan WWE (kedua, jika kita menghitung serial yang dibintangi oleh Big Show – featuring Mark Henry, Rikishi, dan Mick Foley nyanyiin lagu I Want It That Way-nya Backstreet Boys – yang rilis beberapa hari duluan). Film komedi yang ditargetkan sebagai tontonan keluarga sayangnya lebih tertarik untuk menjual brand WWE ketimbang menyampaikan cerita.
Seperti Paige, Leo Thompson juga seorang penggemar berat gulat. Namun tidak seperti Fighting with My Family (2019) – yang merupakan cerita yang grounded dari perjuangan seorang penggemar mengejar mimpi sehingga sukses menjadi superstar – The Main Event diarahkan oleh sutradara Jay Karas seperti kartun di minggu pagi. Leo pengagum Kofi Kingston. Dia ke sekolah pakai kaos Kofi, membahas acara Raw bersama dua teman sekelasnya. He acts, talks, and breaths wrestling, tapi tidak diperlihatkan dia pengen jadi pegulat. Leo menolak ikut kelas gulat, dia lebih suka menggambar, sehingga dia pun dibully. Akar dari semua itu adalah karena Leo punya masalah di rumah. Ibu pergi meninggalkan Leo dan ayahnya, sehingga hubungan kedua orang ini jadi berjarak dan harus dijembatani oleh nenek yang bermimpi jadi influencer. Makanya, Leo tumbuh jadi anak yang gak pedean. Kemudian Leo menemukan sebuah topeng ‘antik’ (alias bau) peninggalan seorang pegulat legendaris. Topeng yang saat ia pakai (karena begitulah reaksi normal seorang fan jika menemukan memorabilia dari sesuatu yang ia sukai) membuat Leo berubah menjadi kuat. Kontan Leo jadi superpede. Dia jadi berani ngobrol sama anak cewek yang ia taksir. Leo juga jadi jumawa ikutan kontes WWE NXT di tivi. Ia menjelma menjadi Kid Chaos dan akan bertarung melawan pegulat-pegulat beneran demi hadiah uang untuk membantu masalah keuangan keluarganya!

Akhirnya kita tahu apa tepatnya yg diteriakkan oleh Sheamus saat entrance-nya. Terima kasih, The Main Event. Sungguh pelajaran yang berharga!

 
Tentu, ada pesan berharga yang bisa dipetik oleh kita dan adek-adek dari cerita film ini. Mengajarkan untuk berani menjadi diri sendiri, untuk percaya kepada kekuatan yang dimiliki. Dan kekuatan tersebut bukan kuat fisik, melainkan kelebihan-kelebihan apapun yang kita punya. Topeng ajaib Leo adalah simbol yang obvious terhadap sesuatu yang kita ‘kenakan’ untuk berlindung dan memanggil rasa percaya diri. Mau itu citra, identitas internet, atau bahkan literally alat tertentu yang dipercaya membuat kita menjadi lebih baik, film ini membukakan mata kita bahwa semua hal tersebut bukanlah exactly yang membuat kita kuat. Seperti Leo, kita harus belajar untuk tidak bergantung kepada semua itu dan jadi diri sendiri.

Kids, untuk bisa jadi pegulat sukses kayak Kofi, John Cena, Roman Reigns, The Rock, Rey Mysterio, kita gak butuh topeng ajaib. Melainkan, yang kita butuhkan adalah proper training. Latihan bertahun-tahun. Para superstar itu, bukan persona atau gimmick mereka yang menjadikan mereka juara. Dalam bisnis gulat, mereka dipercaya untuk menjadi juara karena sikap, kepribadian, dan hati yang kuat – di atas memiliki kekuatan fisik yang oke. Jadilah ‘kuat’ seperti mereka.

 
Naskah film ini, however, terkontaminasi oleh agenda promosi WWE yang ironisnya gagal menangkap esensi bisnis itu sendiri. Pada hatinya, film ingin memperlihatkan bahwa pribadi dengan hati yang kuat adalah kebanggaan tak-ternilai, bahwa itulah kualitas yang harus dimiliki oleh seorang superstar WWE. Kita boleh saja masih anak-anak, tapi dengan ‘kekuatan’ tersebut kalian bisa jadi juara. Produk aktual yang kita tonton, menyimpang dari itu semua. Dengan alasan ‘film untuk anak-anak’, maka ditambahkanlah elemen fantasi ke dalam cerita seputar olahraga-hiburan ini. Sehingga yang sedari awal bukanlah olahraga tulen (WWE sejak lama selalu dipandang sebelah mata karena dicap ‘boongan’) malah tampak semakin palsu, cringe, dan konyol, dan teutama tidak mencerminkan WWE itu sendiri.
Kekonyolan benar-benar ditonjolkan di sini. Saat Leo memakai topeng, saat itu jualah film seperti ikut memakai topeng Spider-Man, Shazam, dan The Mask. Secara bersamaan! Wujud Leo tidak banyak berubah seperti Shazam setelah teriak atau seperti Jim Carrey setelah mengenakan topeng kayu hijau itu. Leo, hanya seperti anak-anak yang pakai topeng. Namun semua orang di gedung NXT itu enggak ada yang curiga dia hanya anak kecil. Leo bisa mendaftar jadi pegulat, tanpa ada cek apapun. Pertama kali mengenakan topeng, Leo persis Peter Parker saat mendapati dirinya punya kekuatan super. Leo bisa menendang pohon sampe rubuh. Di atas ring, dia bisa lompat dari satu turnbuckle ke turnbuckle lain. Dia bisa mengalahkan serangan kentut super (Otis di sini kocak jadi kayak Bakuterian si manusia bau di Dragon Ball). Jika kalian belum pernah nonton gulat profesional, bayangkan saja adegan gulat di menjelang ending The Peanut Butter Falcon (2019). Kemudian lipat gandakan elemen fantastis di adegan tersebut, maka kurang lebih seperti demikianlah gulat digambarkan oleh The Main Event. Sah-sah saja sebuah film tampil konyol dan all-over-the place seperti ini. Asalkan, ada syaratnya loh!- asalkan konteksnya bener.
Perbandingan yang cocok untuk menjelaskan ini adalah The Mask (1994). Mulai dari penampilan akting Jim Carrey hingga ke efek, dan ke aksi penumpasan crime, film itu sekonyol-konyolnya cheesy. Tapi jelas; dasar dunia film itu merupakan cabang dari kartun Looney Tunes. The Mask berasal dari komik. Sepanjang film ditanamkan pemahaman terhadap hal tersebut dengan banyak referensi kartun. Malah ada adegan tokohnya nonton kartun dan kemudian ada adegan si tokoh mempraktekkan yang ia tonton. Itu dihadirkan supaya kita membuat koneksi ke dua logika dunia yang ada – film dan kartun. Sedangkan pada The Main Event ini, jelas, koneksinya adalah WWE. Film ini adalah drama keluarga, tujuan journey tokohnya adalah memperbaiki hubungan dengan ayah dan teman-teman – serta menjadi dirinya sendiri. Semua itu ditempatkan di lingkungan WWE. Tapi kekonyolan yang dihadirkan mengincar ke arah kartun, sehingga gak masuk. Karena WWE bukan kartun Bugs Bunny.
Membingungkan bagaimana film ini memandang WWE; Apakah yang buat sama sekali belum pernah nonton WWE dan menganggapnya kompetisi anak-anak alias kartun? Atau memang WWE yang pengen menampakkan dirinya seperti demikian, sudah dari dulu WWE dikritik semakin melupakan kulitnya demi rating dan mainstream appeal. Pertandingan gulat mestinya scripted, tapi kita tidak pernah melihat mereka ‘gladi resik’, kita tidak melihat booking-membooking. Mereka memastikan curtain ke balik layar WWE tertutup rapat. Instead, kompetisi yang dimasuki Leo ditampilkan seperti pertarungan beneran – dengan kekuatan aneh dan konyol ber-CGI yang dimiliki oleh pesertanya. Leo ini juga bisa nangkap maling di kafe. Dia bener-bener jadi superhero di manapun ia berada. Dan ini konyol. Membiarkan Leo bergulat – tidak satupun dari orang dewasa itu bisa menebak ataupun mengkhawatirkan ada anak kecil di atas ring – seakan menyiratkan sebuah perusahaan yang careless sama employee. Pada pertandingan terakhir diperlihatkan identitas Kid Chaos ketahuan oleh semua orang, dan bukan saja match tetap berlangsung, tapi juga Leo berhasil menang. Ini menyampaikan pesan yang benar-benar mixed tentang WWE dan gulat profesional, dan juga tentang anak kecil bahwa mereka bisa menang kalo nekat.

Terakhir kali ada adegan di-bawah-umur beraksi di atas ring dan bapak si anak panik marah-marah di pinggir ring, dunia gulat mengenalnya dengan Mass Transit Incident. Google it up, dan merindinglah.

 
 
Mendidik tapi dengan takut mengajarkan konsekuensi. Journey Leo di sini menjadi cheesy dan gak otentik karena tidak sekalipun dia dihadapkan dengan konsekuensi nyata. Permasalahan dia dengan temannya selesai begitu saja. Permasalahan dia dengan ayahnya tidak pernah dituntaskan. Secara karakter, Leo yang sudah belajar untuk tidak bergantung kepada topeng ajaib, tidak wajib untuk mendapat reward terlebih jika reward itu berupa kemenangan yang mustahil. Film ini harusnya memperlihatkan lebih banyak soal perjuangan Leo menggunakan gulat untuk mendapatkan kembali teman-temannya, menjalin hubungan kembali dengan ayahnya – inilah reward bagi karakter Leo yang sesungguhnya. Namun dalam film ini, semua itu didapatkan Leo begitu saja karena semuanya mencemaskan dia bertanding melawan orang yang lebih besar. Ya iyalah he insert himself ke kompetisi dewasa!
Cerita untuk anak-anak enggak harus sekonyol seperti ini, apalagi jika ada drama lebih berbobot diletakkan di belakangnya. Tahun kemaren, gulat Jepang mengeluarkan film My Dad is a Heel Wrestler. Film anak-anak tersebut juga ada agenda promosi company gulat (NJPW), tapi berhasil untuk masih bisa respek sama bisnis sekaligus sama anak-anak itu sendiri. Ceritanya tentang anak yang mengetahui antagonis di tayangan gulat yang ia dan teman-teman tonton ternyata adalah ayahnya sendiri. Si anak malu, dan berusaha berdamai dengan hal tersebut. Film itu dengan nada lucu dan manis memperlihatkan sisi dalam bisnis gulat, dan pengaruhnya kepada keluarga, dna hubungan ayah-anak yang terselesaikan dengan memuaskan. Dibandingkan dengan film seperti demikian – the fact bahwa cerita yang kuat dan hormat sama bisnis gulat itu ada dan terbukti lebih bagus – maka film The Main Event ini akan terasa hanya sebagai sebuah promosi yang malas.
Kalo tega nge-nitpick, aku akan bahas soal kalo bertopeng kenapa jagoannya bukan Rey Mysterio; dan jika harus Kofi, kenapa momennya bukan/tidak menyebut Kofi pas jadi juara dunia; bukankah jadi narasi yang besar karena Kofi adalah juara dunia berkulit hitam pertama di era modern WWE. Itu semua buatku hanya memperkuat bukti film ini salah kaprah soal WWE, dan hanya berangkat dari ke-available-an bisnis.
 
 
 
Sebenarnya dari judulnya yang gak kreatif dan sangat generic aja (udah ada beberapa kali term ‘main event’ dijadiin tajuk acara oleh WWE) udah keliatan film ini gak niat. Melainkan cuma ingin menjual ‘pernak-pernik’ saja. Jualan superstar dan kaos sekalian, kalo bisa. Banyak sekali superstar yang muncul dan ikut main dengan peran yang cukup besar. Tapi bahkan aku yang penggemar WWE aja, dalam lima-menit awal sudah geli-geli awkward menonton film ini. Dialognya in-the-face banget nyebut-nyebut WWE terus. Saat Leo pakai topeng, suaranya akan memberat, tapi personality-nya jadi pede dan asik, kemudian yang keluar dari mulutnya adalah kalimat-kalimat alias catchphrase yang sudah hits di kalangan gulat. Tadi aku membuat perbandingan antara film ini dengan The Mask, tapi, please… pretty please with sugar on top, jangan coba membandingkan akting Jim Carrey dengan akting Seth Carr saat memakai topeng. In fact, akting dalam film ini semuanya hanya average at best. Akting tokoh-tokoh ciliknya malah nyerempet annoying. Film ini punya pesan yang cocok buat anak yang bertumbuh. Akan tetapi promosi lebay, elemen cerita dan storytelling yang niru-niru, membanting sisi positifnya keras-keras. Dan tak mampu bangkit lagi. Satu. Dua. Tiga. Ding-ding-ding!
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MAIN EVENT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Salah satu yang gak resolved dalam film ini adalah soal ayah yang belum bisa ngasih tahu Leo soal ibu yang meninggalkan mereka. Menurut kalian bagaimana cara yang paling tepat memberitahukan hal seperti ini kepada anak? Apakah ayahnya harus jadi juara dunia dulu?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WrestleMania 36 Review


 
 
WrestleMania 36 memecahkan buaanyak sekali rekor. WrestleMania pertama yang enggak diadakan live. WrestleMania pertama yang diadakan bukan di stadion gede, melainkan di pusat pelatihan WWE alias Performance Center. WrestleMania pertama yang diadakan pada hari Sabtu. WrestleMania pertama yang diadakan bukan pada hari Minggu — sejak 1986. WrestleMania pertama yang dibagi menjadi dua hari. WrestleMania pertama yang dihost oleh pemain futbal Rob Gronkowski. Tentu saja, WrestleMania ini juga mecahin rekor jumlah penonton di arena, yakni nol orang. Kok bisa?
Well, yea, pastinya kalian sudah tahu kalo dunia kita lagi sakit. Virus Covid-19 alias virus corona mewabah secara global. Pandemi ini mau gak mau membuat banyak bisnis terpaksa tutup. Karena semua orang dihimbau untuk menjaga jarak, menghindar dari berkumpul, demi memutus penyebaran penularan virus yang punya masa inkubasi empat-belas hari tersebut. Jadi semua orang kudu diam di dalam rumah masing-masing, meratapi gak bisa bekerja dan ketakutan setiap hari melihat angka pasien positif terjangkit yang terus bertambah. Di sinilah peran WWE, aku Stephanie McMahon yang membuka WrestleMania 36 dengan speech soal mereka hadir sebagai eskapis – untuk membuat kita lupa terhadap bencana di luar sana. Untuk menghibur semua orang.
WWE adalah bisnis hiburan dengan storyline yang terus bergulir, agenda yang sudah terencana, sehingga mereka tidak bisa begitu saja menambatkan jangkar dan melabuhkan show. Instead, WWE berusaha beradaptasi dengan keadaan. Kreativitas bisnis hiburan seperti WWE memang dituntut untuk bergeliat, mereka harus mencari cara menjual sinetron-aksi live ala teater tetap menarik untuk disaksikan meskipun kini tak ada penonton di studio. Bukan hanya dari segi cerita, melainkan juga mengakali presentasi secara keseluruhan – memanfaatkan keterbatasan resource seperti kru dan superstar yang bisa tampil dengan maksimal. Dalam WrestleMania 36 tampak WWE berhasil crack the code. Ada beberapa match yang arahannya berubah menjadi lebih mirip film kelas B.
Dan the good thing about B-Rated action flicks adalah: they tend to be very, very entertaining.

“Let me in!” kata Corona.. eh salah, maksudnya, kata Bray Wyatt

 
Dua match yang unik, berbeda, dan benar-benar ngepush sisi kreatif WWE adalah Boneyard match antara AJ Styles melawan Undertaker, dan Firefly Funhouse antara John Cena berhadapan dengan The Fiend Bray Wyatt.
Boneyard (istilah yang dipake karena WWE ogak pakai kata graveyard) match adalah brawl yang berlangsung malam hari di areal pekuburan. WWE berhasil mengubah konsep ini menjadi menyenangkan dengan tidak meniatkan menjadi sesuatu yang sok-sok serius. Gimmick-gimmick yang bersangkut paut dengan karakter Undertaker maupun Styles dipakek semua. They just want to have fun with this, and they did. Aksinya sendiri sebenarnya cringe, mirip-mirip berantem di sinetron malah. Namun WWE malah menonjolkannya sehingga malah jatohnya berhasil. Yang kita lihat di sini adalah Undertaker yang jadi American BadAss lagi – dia muncul naik motor dan diiringi musik Metallica. Sementara AJ Styles muncul dibantu, bukan hanya oleh Gallows dan Anderson, melainkan juga oleh beberapa orang berjubah. Taker bakalan berantem dengan orang-orang ini. Semuanya, mulai dari kemunculan, cara ngalahin, ditampilkan dengan smoke & mirrors, alias pake trik. Kamera kerap ngecut, efek-efek cahaya dan musik dipakai proses editing, pengambilan gambar pun ‘sinematik’ kita lupa ini seharusnya adalah pertandingan gulat. Kita bersorak seolah sedang menyaksikan film pendek genre aksi supernatural. At one point, Taker muncul dari belakang Styles seolah berteleportasi, dengan pencahayaan ala film horor. Dialog mereka juga sering terdengar konyol. Namun itu semua memenuhi fungsi yang disebutkan di awal oleh Stephanie; membuat kita terhibur,mengistirahatkan otak kita dari kemumetan keadaan dunia yang lagi sakit.
Jika Boneyard yang menutup malam pertama dengan fenomenal itu mirip seperti film genre, maka Firefly Funhouse di malam kedua adalah aliran arthouse jika pertandingan gulat punya aliran arthouse haha.. Titus O’Neil aja abis nonton langsung bengong. Gue abis nonton apaan barusan. Pertemuan kedua Wyatt dan Cena ini berlangsung berdasarkan sudut pandang Wyatt yang dikalahkan oleh Cena di WrestleMania beberapa tahun yang lalu. Bukan karena Cena lebih unggul, melainkan karena politik. Jadi cerita mereka kali ini adalah Wyatt ingin menyadarkan Cena atas betapa toxicnya pegulat pahlawan anak-anak tersebut. Yang kita dapatkan, yang mereka sebut sebagai ‘pertandingan’ di acara kali ini adalah sebuah perjalanan aneh ke masa lalu. Kita akan melihat Cena kembali ke gimmick-gimmick lamanya, kita akan melihat Wyatt dan Cena nge-renact momen Hulk Hogan hingga ke jaman nWo segala. Cena kebingungan, dia berusaha menyerang Wyatt, tapi Wyatt menghilang dan berubah menjadi boneka babi. Pertandingan ini berakhir dengan kemunculan The Fiend menyerang Cena yang terlalu shock untuk melawan. Ini bahkan lebih menghibur dan aneh dan kreatif daripada Boneyard. Menyaksikannya membuat kita berpikir apa yang sebenarnya terjadi, seolah kita sedang menonton film David Lynch. Meski minim aksi, tapi psikologi dan storytelling partai ini begitu kuat. Menganalogikan Cena dengan Hogan adalah cara yang pintar dan subtil untuk menyinggung masalah ‘anak emas company’ yang selama ini jadi problem bagi superstar babyface.
Kedua match tersebut memang bukan lantas jadi teladan pertandingan gulat yang bagus. At least, not in sense of traditional wrestling. Kalo mau objektif, sure, aku berharap ‘cinematik crap’ seperti begitu cukup sampai di acara ini aja. Karena meskipun prinsipnya mirip sama-sama show bercerita, gulat tetap bukanlah film. Wrestling is supposed to be live action tanpa editing. Tapi aku pikir kita juga harus melihat keadaan. Dan pandemi corona yang belum jelas kapan redanya ini bukan tidak mungkin bakal mengubah arahan produk WWE secara keseluruhan, jika WWE mau terus exist. They could get benefit from it. Misalnya supsertar yang gak harus kerja terlalu capek, like, mereka bisa ngedit dalam spot-spot berbahaya sehingga superstar gak perlu ngambil resiko berlebihan. Seperti saat Uso dijatuhin dari tangga dalam Ladder Match; kamera gak memperlihatkan dia mendarat keras melainkan ngecut dan kemudian baru disambung dengan shot aftermath jatohnya. Elemen surprise juga bisa diperkuat, seperti pada saat match tag team cewek Nikki Cross ngepin Asuka, awalnya di turnbuckle gak ada Kairi Sane, namun WWE sudah merekam adegan yang ada Kairi Sane, dan dua adegan tersebut dijahit bareng sehingga saat ngepin seolah ada Kairi menyelamatkan entah dari mana. WWE juga bisa lebih sering bikin legends balik dan melibatkan mereka dalam aksi kayak Undertaker di Boneyard – bagian sulitnya bisa disyut pake teknik editing – sehingga para legends tampak masih oke bergulat dan tidak terlihat memalukan. I say, jika WWE menolak hiatus dan tetap berlangsung. sepertinya cara paling asik ya menjadikan weekly show ala-ala film alias gak pure wrestling. Mereka bisa develop story dan karakter dengan lebih menarik. Barulah pada saat pay perviewnya diberlangsungkan match.
Tips bertanding aman ala John Morrison: Lipatlah tangga menggunakan kaki

 
Khusus buat match tradisional alias yang berlangsung beneran di ring, dengan absennya penonton di arena tak bisa dipungkiri menonton WrestleMania ini seringkali terasa hambar. Kayak makan sayur gak pake sendok. Reaksi penonton tak pelak adalah bagian dari show. Untuk mengakali ini, mestinya WWE meningkatkan game komentator mereka. Komentator mestinya digebah untuk ngepush match dengan excitement. Kita butuh reaksi natural mereka, sebagai wakil untuk bisa relate. Sayangnya, kebanyakan match di acara ini komentatornya garing semua. Cuma baca skrip dan menyebut hal yang sedang kita lihat. Match Randy Orton melawan Edge harusnya seru sekali karena mereka berkeliling arena. Akan tetapi, justru partai ini yang terasa paling lamban dan gak mengena. Sebab pada saat hajar-hajaran keras pakai alat-alat, komentatornya kebanyakan diem. Paling sesekali berujar “Uuugh” atau “Oh my”. Sekalinya berujar, mereka ngasih tahu “Edge and Orton are on the top of pickup truck” Duh!!! Kita bisa melihat itu. Yang kita perlukan sekarang adalah reaksi atau celetukan atau bahkan celaan kepada superstar terhadap apa yang hendak mereka lakukan. Seperti Jerry Lawler dan Jim Ross di Attitude Era dulu. Kadang dua komentator itu malah sibuk berdebat berdua, membela dua superstar yang berbeda, dan kita terhanyut oleh emosi mereka. Melangsungkan match di arena tanpa penonton, butuh komentator yang komunikatif seperti demikian untuk membantu delivery match, untuk menyambung reaksi yang terputus.

WrestleMania disebut-sebut sebagai show abadi untuk orang-orang imortal. Kehadirannya di tengah-tengah pandemi dan suasana dunia yang lagi muram tak ayal membawa angin penghibur, tapi benarkan dia bisa ada selamanya? Akankah bisnis gulat-hiburan ini bisa outlast pandemi? Dengan keadaan yang mengharuskan dirinya mengubah arahan dan gaya, mampukah WWE memenuhi fungsinya sebagai sebuah penghiburan. Atau akankah acara ini hanya bertindak sebagai dying breath?

 
Dalam lingkup dua malam berturut-turut, WrestleMania 36 punya lebih dari selusin pertandingan. Yang beberapa terasa seperti filler card, entah itu karena mengerucut kepentingannya oleh keadaan atau karena memang terasa kurang penting. Namun ternyata match-match ‘filler’ ini jatohnya lebih seru karena tiga pertandingan kejuaraan utama dihadirkan dengan amat sangat tidak memuaskan. Terlalu cepat dan tidak berhasil mengimbangi hypenya. Tadinya aku pengen bikin review per malam juga, tapi I’d figure review dua berturut-turut bakal monoton dan lebih baik memang melakukan satu review dan membuatnya sebagai perbandingan.
Malam kesatu WrestleMania 36 terasa sangat tak berimbang. Pertandingannya banyak yang berakhir dengan tidak memuaskan. Contoh paling buruk adalah Shayna Baszler melawan Becky Lynch. Dengan build up feud yang hot – WWE ngeoverbook Shayna jadi kayak vampir pemakan darah dan gladiator kandang yang tangguh, dan di sisi satunya ada The Man yang badass, pertandingan mereka terlalu singkat dan berakhir dengan roll up. Enggak cocok konsep dengan eksekusinya. Dua tipe petarung harusnya berakhir dengan sense ‘mengalahkan’, walaupun misalnya feud mereka masih akan berlangsung. Finish dengan roll up hanya bisa berkesan jika matchnya dibuat dalam tone persaingan berat-sebelah, salah satu licik atau salah satu outsmart yang lain. Ini jauh dari elemen perseteruan Baszler dan Lynch. Sehingga match mereka terasa sia-sia. Malam kesatu kebanyakan berakhir antara dengan roll up atau dengan distraksi. Ironisnya di awal acara JBL sempat berkomentar bahwa bertanding di WrestleMania akan membuatmu kekal – well, gimana bisa terlihat kuat, apalagi kekal, jika pertandinganmu selesai dengan kamu sendiri tampak tidak menduganya.
Porsi kedua yang ditayangkan hari Minggu – Senin di kita – adalah presentasi yang overall lebih solid. Match-matchnya lebih berarti, dengan akhiran yang beneran satu superstar mengalahkan lawannya. Yang membuat malam ini sour di mata fans adalah beberapa hasil pertandingan yang nyebelin, kayak kemenangan Charlotte, ataupun Bayley dan Sasha yang belum berbuah apa-apa. Namun bagiku ini bukan masalah besar. Sure I hate Charlotte winning, aku juga gak suka sama komentator yang sepi dan gak niat menghidupkan match, tapi secara storytelling ini lebih padet daripada malam kesatu. Kejuaraan Dunia di kedua malam berlangsung dengan formula yang sama persis, aku gak peduli sama kemenangan Braun (nilai plusnya cuma bukan Goldberg lagi yang juara), tapi aku kasian ama Drew McIntyre yang selebrasi kemenangannya juga hampa sekali. This guy is fulfilling his prophecy, akhirnya jadi juara dunia setelah terlunta-lunta cukup lama, dan momen ia bersinar ditampilkan dengan seadanya. Kenapa mereka gak ngedit ini sehingga jadi lebih meriah?
 
 
Aku gak bisa bilang WrestleMania ini jelek, tapi juga gak bilang ini spesial banget. Hal baik yang bisa kubilang adalah bahwa ini merupakan usaha terbaik yang bisa dilakukan oleh WWE dalam beradaptasi dengan keadaan. Yang paling penting adalah dia berhasil menghibur kita, selama dua hari berturut-turut, saking excitednya aku bahkan enggak tahu sudah diwajibkan pake masker dan bahwa jumlah pasien corona sudah naik jadi dua ribu lebih. But who’s counting, right? Di luar Boneyard dan Firefly Funhouse, in sense of traditional wrestling The Palace of Wisdom menobatkan Seth Rollins vs. Kevin Owens sebagai Match of the First Night and Charlotte vs. Rhea Ripley sebagai Match of the Second Night.
 
Full Results:
FIRST NIGHT
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Alexa Bliss dan Nikki Cross jadi juara baru ngalahin The Kabuki Warriors
2. SINGLE Elias mengalahkan King Baron Corbin
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch retains atas Shayna Baszler
4. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Sami Zayn bertahan dari Daniel Bryan
5. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT LADDER John Morrison jadi juara bertahan ngalahin Jimmy Uso dan Kofi Kingston 
6. SINGLE Kevin Owens menang DQ dari Seth Rollins
7. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Braun Strowman merebut sabuk dari Goldberg

8. BONEYARD The Undertaker mengubur AJ Styles

 
SECOND NIGHT
1. NXT WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte Flair unggul dari juara Rhea Ripley
2. SINGLE Aleister Black ngalahin Bobby Lashley
3. SINGLE Otis mengalahkan Dolph Ziggler Becky Lynch retains atas Shayna Baszler
4. LAST MAN STANDING Edge menghajar Randy Orton
5. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Street Profits bertahan atas Angel Garza dan Austin Theory
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP ELIMINATION Bayley sukses bertahan mengalahkan Lacey Evans, Sasha Banks, Tamina, Naomi
7. FIREFLY FUNHOUSE The Fiend Bray Wyatt bisa dibilang ngalahin mental John Cena

8. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre menuhin takdirnya jadi juara ngalahin Brock Lesnar

 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS Review

 

“Beauty is about being comfortable in your own skin.”

Sekilas Red Shoes and the Seven Dwarfs tampak sebagai parodi harmless dari dongeng Snow White dan Princess-Princess lainnya. Namun jika ditilik dari segi cerita, film ini sebenarnya lebih mirip Beauty and The Beast sebab membahas seputar tokoh yang dihukum menjadi makhluk bertampang ‘mengerikan’ sebagai akibat dari terlalu mementingkan fisik dan sudah judgmental terhadap penampilan-luar orang. Namunnya lagi, begitu kita mengingat bahwa animasi ini dibuat oleh Locus Animation yang merupakan studio asal Korea Selatan, you know, negara yang terkenal dengan ‘budaya’; kita tahu parodi film ini berada dalam tingkatan yang lain.

Tujuh kurcaci yang ada pada film ini bukanlah pekerja tambang bertubuh mungil yang dipanggil berdasarkan emosi yang mereka tampilkan. Di Negeri Dongeng ini mereka bukan emoji berjalan. Melainkan tujuh pangeran yang membasmi kejahatan. Mereka superhero. Pandang mereka tak ubahnya sebagai Boyband K-Pop. Lincah, keren, dan tampan. Mereka juga punya nama grup: Fearless Seven. Dan mereka sangat menyombongkan ke-goodlooking-an mereka, terutama Merlin. Akibat ulah Merlin yang salah serang Putri Peri (“Tampangnya kayak Penyihir!”) mereka semua dikutuk menjadi kurcaci kontet. Penawar kutukan tersebut adalah ciuman dari seorang gadis cantik jelita. Masalahnya adalah; cewek cakep mana yang mau nyium mereka dengan wujud enggak keren seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Merlin yang tampak paling merindukan wujud aslinya.

Mereka lantas bertemu dengan Snow White – jauhkan imajinasimu dari Putri Salju Disney, karena di sini Snow White adalah seorang gadis baik hati berbodi tambun. Cewek ini buron karena mencuri sepatu ajaib milik ibu tirinya yang seorang penyihir jahat. Sepatu itu mengubah penampilan Snow White menjadi kutilang alias kurus – tinggi – langsing. Snow White yang ingin mencari ayahnya memilih untuk tetap menyamar, ia menamai dirinya yang ala model itu Red Shoes, simply karena Merlin dan teman-teman hanya semangat menolong cewek dengan rupa seperti demikian. Jadi mulailah petualangan – penuh sihir dan makhluk fantasi – dua pihak yang sama-sama bukan berada di tubuh asli dengan buah pelajaran ‘inner beauty jauh lebih penting ketimbang penampilan fisik’ yang siap untuk dipetik.

Aku akan membantu apapun yang bersuara seperti suara Chloe Grace Moretz

 

Salah satu film yang berhasil dengan baik dan dengan penuh hormat mengangkat pesan kecantikan-itu-berasal-dari-dalam dan jangan mau takluk oleh standar kecantikan masyarakat adalah Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019). Imperfect sebenarnya berusaha tampil seimbang dengan tokoh kekasih sang tokoh utama, hanya saja tokoh tersebut agak sedikit terlalu ideal. Tetap saja ‘hanya’ berangkat dari sudut pandang cewek dalam permasalahan kecantikan tersebut. Ketika kita berceloteh tentang standar kecantikan, biasanya cewek-lah yang kita bebankan untuk harus menerima dan menghargai diri apa adanya. Cewek jangan diet berlebihan biar kurus, nanti malah sakit. Cewek jangan kebanyakan pake make up, gak baik untuk kulit. Cewek jangan ini, cewek jangan itu. Gak harus begini, gak harus begitu. Kalian cantik apa adanya. Kita jarang sekali mengeksplorasi dari sudut satunya. Bahwa penawaran itu ada karena ada permintaan. The rest of the world toh memang menunjukkan keberpihakan terhadap yang telah disepakati sebagai ‘cantik’. ‘The rest of the world’ ini tentu saja adalah cowok-cowok. Dan merekalah yang dijadikan fokus pada film ini.

Bagaimana dengan usaha cowok yang selalu mendahulukan versi mereka terhadap cantik. Cowoklah yang membuat versi tersebut, meresmikan, dan dijadikan tuntunan. Maka lewat film ini, giliran cowoklah untuk mengenali kecantikan tersebut sebenarnya, apa adanya. Merlin si tokoh utama kita fakboi banget awalnya. Jangankan cewek atau orang lain, dirinya yang sekarang aja ia rendahkan karena berkebalikan total dengan ‘rupa keren’nya yang asli.  Di awal-awal akan ada banyak sekali dialog-dialog merendahkan keluar dari mulut Merlin dan teman-temannya. Mereka menjadikan bodi-shaming sebagai candaan. Ketika bertemu Red Shoes yang meminta pertolongan, para Kurcaci ini mengobjektifikasi cewek itu. Mereka tidak tulus membantunya, tidak tulus menyambutnya. Melainkan mencari-cari kesempatan untuk menarik hati, demi sebuah ciuman yang bakal mengangkat kutukan mereka. Kita melihat Merlin dan teman-temannya semacam berlomba untuk mendapatkan ciuman Red Shoes. Bagi mereka, cewek tersebut bukan teman, melainkan sesuatu untuk dimenangkan, dan alat untuk mendapatkan tubuh mereka yang sempurna.

Makanya film ini banyak mendapatkan backlash saat pertama kali promosi ke publik dan festival tahun 2017 yang lalu. Tokohnya disebut pahlawan tapi mengglorifikasi body-shaming. Padahal cerita menyiapkan pembelajaran bagi tokoh ini di akhir, dan memang begitulah film; sebuah perjalanan seseorang menjadi dirinya yang lebih baik. Dengan konsep tersebut, film ini memenuhi fungsinya. Merlin menyadari kesalahannya dalam memperlakukan setiap makhluk. But still, masalah film ini terletak pada kita susah ngikut di belakang tokoh utama, karena kita tahu lebih baik daripada dia. Sedari awal kita tidak belajar bersamanya, melainkan kita tahu bahwa dia salah. Dan melihat sikapnya memang bisa jadi turn off bagi penonton. Kita tidak dibuat cukup peduli sehingga menginginkan dia untuk menjadi lebih baik. Penyebab kita susah melihat dia sebagai ‘orang malang yang salah sepanjang hidupnya’ adalah Merlin dan teman-temannya kurang penggalian. Kita tidak benar-benar mengenal siapa mereka, apa latar belakang yang melandasi kenapa mereka begitu narsis dan memandang dari fisik semata. Bahkan, meskipun jumlahnya tujuh, tiga di antara mereka punya wujud yang sama persis dan gak distinctive – triplet ini suka mesin, praktisnya tiga tokoh ini sebenarnya satu karakter yang sama; nama mereka aja berupa nama Pinokio dibagi tiga. Kelompok mereka ini hanya kita kenal sebatas pahlawan,yang kebetulan mereka gorgeous semua.
Snow White digambarkan sedikit lebih ‘terhormat’, dia tidak diperlihatkan mengincar untuk jadi cantik. Ketika menyadari dirinya berbeda karena pengaruh sepatu, bagi Snow White, iya itu adalah impian, tetapi ia melihatnya lebih sebagai sebuah kesempatan. Dia sepertinya paham dan lumrah; dia merasa lebih nyaman sebagai Red Shoes karena dia tahu persis cuma itulah cara dia bisa dibantu oleh orang lain. Namun bahkan Snow White pun tidak bisa sepenuhnya kita idolakan sebab walaupun dia yang jadi pemicu pembelajaran Merlin mengenai menilai orang, dia juga sekaligus part of the problem. Begini, sebenarnya bisa aja film membuat dia yang asli datang minta tolong dan Merlin bonding dengan Snow White apa adanya sedari awal – pembelajaran bagi Merlin akan sama saja, tapi film toh membuat cewek ini ‘cantik’ dulu karena persepsi itulah yang dibangun dan dijadikan kerangka gagasan film. Bahwa ‘cantik itu langsing dan semampai – jelek itu gendut dan pendek’ dipilih untuk jadi bingkai dan ditanamkan demi membuat pelajarannya nanti bisa bekerja.

Standar kecantikan itu sebenarnya berasal dari pikiran bahwa ada yang lebih baik dari diri sendiri, sehingga dijadikan tujuan untuk berubah. Orang gendut akan merasa pengen kurus, dan sebaliknya orang kurus pengen badannya berisi sedikit. Kita tidak pernah puas dengan diri sendiri. Inilah sebenarnya gagasan utama film, makanya kedua tokohnya dibuat berurusan dengan wujud sihiran dan wujud asli masing-masing. Karena apapun bentuk kita, warna kulit, dan segala macam, hal yang penting adalah sifat dan sikap kita. Semua orang akan terlihat menarik dari yang ia pancarkan kepada sekitar, tidak peduli apakah fisiknya bercacat atau gimana. Orang cakep pun bisa beneran cakep kalo gak sombong dengan kecakepannya. Ini adalah soal menerima diri sendiri apa adanya.

 

Framework cerita film yang demikian tersebut sangat beresonansi dengan masyarakat Korea Selatan, yang sudah rahasia umum punya kegandrungan terhadap operasi plastik demi penampilan luar. Negara tersebut punya pandangan homogen terhadap mana yang cantik dan mana yang tidak, yang semuanya berakar dari kelas sosial. Putih dinilai cantik karena berkulit gelap diidentikan dengan pekerjaan yang langsung di bawah sinar matahari. Ini senada dalam film, bahwa putri raja dan pangeran berkulit cerah sementara kurcaci dan peri berkulit hijau, atau lebih gelap. Bahkan ada satu dialog Merlin yang menegaskan hijau adalah warna kelas rendah. Jadi, Red Shoes and the Seven Dwarf ini clearly memparodikan masyarakat Korea Selatan itu sendiri; yang selalu ‘bicara’ tentang tren kecantikan yang satu dimensi, berlomba-lomba untuk jadi cantik seperti demikian dengan mengubah diri. Jadi kita bisa memahami pesan film soal penampilan luar itu tidak penting akan terasa kuat sekali bagi penonton dari negara asli filmnya. Makanya juga jadi wajar, jika film ini memang diniatkan oleh sutradaranya sebagai tontonan keluarga. Sebab penanaman cantik/tampan dan tekanan untuk menjadi cantik/tampan itu berawal dari ruang-ruang keluarga mereka.

Film turut bicara soal maskulinitas yang terbantu oleh understanding dan menerima wanita juga bisa lebih-kuat

 

Walaupun memang sebenarnya humor dan fun film ini tidak benar-benar tepat untuk sajian anak-anak. Paling tidak, anak-anak menonton ini harus bersama orangtua yang dapat menjelaskan pandangan sempit tokoh-tokoh cerita dan mencuatkan pembelajaran yang nantinya mereka dapatkan. Itupun kalo orangtua bersiap menghadapi banyak adegan dan dialog yang bisa bikin gak nyaman jika ditonton bersama anak-anak. Kurang lebih samalah kayak lihat adegan-adegan ngerayu cewek di film komedi kayak Dono dan sebagainya. Beberapa parodi ada juga yang cerdas, kayak saat satu tokoh bermain-main dengan menyebutkan sifat Princess-Princess Disney yang ingin ia undang ke pesta ulangtahun. Namun beberapa ada juga yang konyol dan maksa, misalnya kayak pohon ajaib berbuah apel yang kemudian apelnya berubah menjadi sepatu. Sepatu tumbuh di pohon, sedongeng-dongengnya cerita mestinya ada hal yang lebih magical lagi yang bisa dipakai untuk film yang bercerita tentang sepatu ajaib. Dan karena ini adalah film dari negara yang cukup hits lagu-lagu popnya, maka kita akan menemukan beberapa adegan yang menyisipkan lagu-lagu. Hanya saja, sisipan ini kesannya selalu entah-dari-mana; karakter tau-tau bernyanyi sebagai transisi antaradegan. Aku gak tau aslinya gimana, tapi nyanyian di film yang sudah disulih suara bahasa Inggris ini enggak ada yang catchy sama sekali.

Membawa pesan yang menekankan pentingnya kecantikan dari dalam hati, film ini hadir sebagai tantangan terhadap masyarakat yang penuh dengan prasangka sosial yang terkait dengan standar kecantikan fisik. Kali ini cowok dan masyarakatlah yang disuruh untuk berusaha membuka hatinya terhadap mana yang cantik-mana yang tidak. Buat cewek, film ini persis seperti penggalan lagu Alessia Cara, “You don’t have to change a thing, the world could change its heart”. Menuju pembelajaran dan momen penyadaran tokoh utama, cerita film ini sayangnya dapat hadir sangat mengganggu. Tokoh utama yang kurang digali membuat kita susah peduli sehingga menimbulkan kesan film ini sangat merendahkan dan mendukung body-shaming. Aku suka konsepnya, aku mengerti tujuan filmnya, tapi memang penceritaan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik – mungkin dengan lebih subtil sehingga tidak begitu menyinggung dan memberikan ruang bagi penonton untuk masuk dan memahami tokoh utamanya yang bercacat hati itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS.

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang trend operasi plastik di Korea? Apakah menurut kalian K-Pop dan drama-drama Korea bakal mendapat sukses yang sama secara internasional jika tidak ada istilah operasi plastik di sana?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE GENTLEMEN Review

“A good name is better than riches”
 

 
 
Setelah Aladdin (2019) yang tampak begitu mengekang baginya, sutradara Guy Ritchie tampak amat lepas dan bebas ‘menembakkan’ kembali gaya khasnya, bertubi-tubi. Editing cepat, dialog dan humor yang sama bandelnya, plot tentang dunia kriminal yang nyerempet nonsensical. Itu semua layaknya taman bermain bagi Ritchie. Namanya gede berangkat dari genre dan cerita seperti demikian. Di The Gentlemen kali ini, dia kembali menjadi raja. Menapaki yang sudah ia kuasai. Namun bukan tanpa kreasi baru. Karena ia sungguh-sungguh menggunakan kuasa dan kebebasannya untuk bersenang-senang menciptakan film.
Bukan kebetulan juga, film The Gentlemen ini sendiri juga membahas para raja-raja. Raja kriminal jalanan, lebih tepatnya. Penguasa bisnis narkoba, kepala preman, ketua geng, orang-orang semacam itulah yang akan kita temui di film ini. Particularly, yang disorot adalah seorang Amerika yang sukses jadi pedagang ganja ilegal terbesar di London; Mickey Pearson. Dia ingin menjual aset berharganya ini. Tentu saja ia harus selektif karena memang banyak yang mengincar. Ketika salah satu geng berhasil melacak salah satu ‘perkebunan’ rahasia miliknya, tahulan Pearson bahwa ada orang yang mencoba menjatuhkan dirinya. Film memberikan sugesti kepada kita untuk menebak, dengan memperkenalkan beragam possible suspect. Mulai dari Ketua mafia Cina yang masih muda hingga ke mitra bisnisnya. Bahkan bisa jadi anak buah Pearson sendiri yang ingin menghancurkan bisnis dan keluarga Pearson.
Sampai di sini, besar kemungkinan kalian yang belum nonton bertanya-tanya di dalam hati – lah di mana kreasi barunya? Teruntuk kalian yang menanyakan itu aku sarankan untuk tarik napas dulu. Duduk rileks. Nyandar, tuangkan anggur kalo perlu, isep cerutu biar kayak bos gangster juga. Cuci tangan dulu pakai sabun, biar gak kena corona. Mandi sekalian, kalo perlu. Sudah? oke, let me tell you this then; keseluruhan cerita Mickey Pearson tadi diceritakan oleh film lewat tokoh nyeleneh – seseorang bernama Fletcher – yang memotret semua kejadian diam-diam dan dia menggunakan segala informasi yang ia tahu untuk nge-blackmail Ray, orang kepercayaan Pearson, sekaligus berdiskusi karena ia telah menyusun naskah film berdasarkan semua cekcok antargeng tersebut dan ia ingin menjualnya kepada studio untuk lebih banyak cuan.

“aku mempertaruhkan pantatku bikin film ini”

 
 
Berkat hal tersebut, film terasa begitu meta. Secara personal aku suka ama film-film yang memberikan insight ‘membuat film’ seperti begini. Dalam The Gentlemen, dengan nada yang lucu, kita akan melihat Fletcher ngepitch naskahnya ini kepada Ray, meminta pendapat Ray tentang suatu scene karena in real-life Ray mengalami langsung. Kadang naskah Fletcher memberikan informasi berguna kepada Ray yang ingin membantu bosnya mencari siapa tersangka yang mau mencuri bisnis mereka. Diskusi mereka inilah yang jadi tubuh film. Kita melihat adegan berupa penggambaran naskah yang ditulis Fletcher, tapi terkadang adegan itu ‘dilebaykan’ olehnya jadi kita balik lagi dan melihat adegan sebenarnya yang terjadi menurut Ray. Dengan unreliable-narrator begini, menonton The Gentlemen ini malah jadi lebih asik. Film tidak pernah memberi garis tegas mana yang karangan, mana yang ‘asli’. Kita hanya akan mengerti saat cerita dikoreksi oleh tokoh, tapi terkadang ada yang seperti dibiarkan saja karena kita merasa lucu dan berpikir ‘well, gak mungkin itu kejadian’. Humor film memang sebagian besar berpijak dari sini. Kreatif bercerita Ritchie mencuat dari sini. Kadang ia mengubah ratio layar, karena Fletcher membayangkan filmnya nanti punya ratio kayak film klasik, dengan visual yang grainy dan sebagainya. There’s a whole lot of fun yang datang dari konsep bercerita film ini.
Konsep yang juga digunakan untuk memainkan tensi. Film dimulai dengan hook gede yang mengisyaratkan bahwa Pearson tewas terbunuh. Dan kemudian kita dibawa mundur dan melihat satu persatu orang-orang di sekelilingnya – melalui naskah Fletcher – leading up ke peristiwa pada adegan pembuka tadi. Setiap adegan pada film ini jadi terasa sangat menghibur. Karena cerita diceritakan lewat naskah buatan tokoh, maka kadang dialognya pun terdengar ‘dikarang’, alias janggal karena sering berima tidak pada tempatnya. Dalam menampilkan adegan kekerasan, film ini juga bersenda gurau dengan kita. Ia meninggalkan banyak momen untuk imajinasi kita, sementara di layar kita hanya muncratan darah atau hanya disambut oleh mayat di dalam kulkas.
Semua pemain juga tampak bersenang-senang menghidupi peran mereka. Matthew McConaughey juga seperti kembali ke singgasananya, memerankan sosok kharismatik dan disegani kayak Pearson ini udah paling klop buatnya, dan dia benar-benar luar biasa meyakinkan di sini. Namun sesungguhnya ada dua tokoh yang mencuri perhatianku di sini, yakni Colin Farrell yang berperan sebagai Coach. Sebagai tokoh, Coach juga amat menarik. Dia semacam mentor dari geng anak muda di sebuah boxing gym. Jika film ini bercerita tentang raja (kalimat renungan Pearson di awal film adalah koentji), maka Coach ini adalah raja alias ‘pemimpin’ yang paling gentelmen di antara tokoh-tokoh ketua dalam ini. Hubungan Coach dengan anak-anak didiknya begitu menarik sehingga aku pikir mereka pantas mendapatkan satu film khusus. Absolutely aku bakal nonton! Sementara, satu tokoh lagi yang mencuri perhatianku tentu saja adalah Hugh Grant yang incredibly funny sebagai Fletcher. Dia benar-benar melebur ke dalam perannya, nyaris tidak dikenali. Jika Pearson adalah tokoh sentral, maka Fletcher ini bisa dibilang merupakan sudut pandang utama. Dialah yang bercerita, dan dia jualah yang mendapat pembelajaran di akhir cerita.
Fletcher pongah, dia merasa bisa mengatur semua sesuai dengan keinginannya. Dia ingin bikin film, tapi terutama dia ingin memeras. Pengen kaya. Dia ingin mempermainkan bos-bos gangster ini. Namun dia tidak pernah seorang pemimpin. Film memperlihatkan Pearson juga mengancam dan memeras. Bedanya adalah Pearson beneran raja, sedangkan Fletcher bertingkah seolah raja. Pearson punya sesuatu yang tidak dipunya oleh Fletcher. Yaitu nama. Nama-lah, yang membuat Pearson disegani dan berkuasa. Disegani oleh anak buah sekaligus musuhnya Bukan semata kekayaan dan aset. Nama ini didapat dari perjuangan. Dalam film ini kita diperlihatkan penguasa yang ‘baik’ seperti Pearson ataupun Coach, dan orang yang masih bau kencur untuk bisa diberikan kekuasaan seperti Fletcher dan Dry Eye sang bos gangster Cina.

Seorang raja alias penguasa disegani oleh musuh. Dihormati oleh bawahan. Dihargai oleh sesama penguasa. Itu semua bukan semata karena mereka punya uang. Melainkan karena kepercayaan, kesohoran nama sebagai akibat perjuangan dan tempaan. Semua ini lebih dari soal uang. 

 

oh I just can’t wait to be kiiiingg

 
 
Film ini bisa bekerja lebih baik dan solid dengan hanya dari sudut pandang Fletcher, atau dari Pearson. Salah satu dari dua itu. Namun tidak akan menghasilkan sesuatu yang unik. Jadi dimasukkanlah kedua-duanya. Didesain konsep atau format bercerita yang menyatukan keduanya sehingga terasa berbeda. Dan mungkin film memang ingin sedikit mengecoh kita. Membuat seolah ini murni tentang Pearson, tapi ternyata ini tentang orang yang berusaha mengambil keuntungan dengan menjadikan dia sebagai pusat cerita. Memang, film ini bisa jatoh sedikit njelimet. Terutama di paruh pertama, saat penonton belum sepenuhnya mengerti outline cerita. Ditambah pula dengan berjubelnya dialog, dan tokoh yang dihadirkan – semua lewat tempo cepat – sehingga aku bisa mengerti kalo di awal-awal kalian bilang susah untuk menangkap dan peduli sama apa yang diomongin oleh para tokoh. Namun setelah pertengahan, ketika semua sudah diperkenalkan dan kita paham apa yang ingin dicapai oleh film – kemunculan Coach yang tenang dan grounded juga cukup membantu mengademkan cerita – maka The Gentlemen ini akan lebih mudah dinikmati dan film tidak berhenti untuk terus menghibur dan mengejutkan kita.
 
 
 
Lucunya, buatku kayak ginilah mestinya film Dilan dan Milea bercerita. Dua film itu kan juga basically menceritakan satu tokoh lewat tulisan tokoh lain. Alih-alih membuat tokoh nongol di depan komputer dan barely ada penutup soal tersebut, mestinya biar asik ya dibikin kayak yang dilakukan oleh film ini. Bercerita lewat dua tokoh yang mendiskusikan naskah. Bercanda tidak sebatas lewat dialog dan pengadeganan, melainkan juga lewat konsep storytellingnya secara utuh. Prestasi film ini adalah berhasil mencapai level menghibur yang berkesan karena luar biasa unik. Pun dihidupi oleh karakter-karakter menarik, yang diperankan dengan mengagumkan. Hanya saja sedikit kekurangan berupa cerita/percakapan yang sulit untuk diikuti di paruh awal karena penonton masih berusaha memahami konsep itu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE GENTLEMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Film ini cukup banyak dikritik perihal dirinya dianggap gak gentelman karena banyak mengandung kalimat-kalimat ejekan yang berbau rasis.
Menurut kalian apa sih sebenarnya makna dari menjadi seorang gentelman itu sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE HUNT Review

“Assume’ makes an ‘ass’ out of ‘u’ and ‘me’.”

Satir adalah penyampaian bahasa yang ditujukan sebagai sindiran terhadap suatu keadaan atau bahkan seseorang. Satir dikemas sebagai humor (bisa parodi ataupun ironi atau sarkasme) sehingga mampu menarik perhatian masyarakat kepada isu-isu yang terkandung dalam gagasannya. Sebab fungsi utama satir memang adalah sebagai sebuah kritik. Masalahnya; sekarang orang menganggap satir dengan terlalu serius. Di jaman informasi ini kita sudah terbiasa meneropong sesuatu dan memilah mana yang sesuai dengan kita, dan membuang jauh yang tidak. Menjatuhkannya malah. Sedangkan satir, mengundang kita untuk becandain hal yang mungkin justru adalah hal yang kita percaya. Kita menjadi sudah asing dengan melihat ke-dalam dan bersenang-senang dengan sesuatu yang kita percaya. Kita malah melihat satir sebagai serangan. Makanya sekarang candaan di channel youtube aja bisa dianggap seolah statement penting di tv nasional oleh orang.
The Hunt pun begitu. Komedi action-thriller ini langsung dianggap ofensif oleh penonton – bahkan presiden – di negara asalnya, lantaran memuat singgungan terhadap perbedaan ideologi politik. The Hunt sempat ditunda penayangannya, film ini mestinya bisa kita saksikan di bioskop tahun lalu. Namun semua itu nyatanya tidak menyurutkan kekuatan suara film ini. Karena The Hunt ini justru unik. Dia adalah film yang semakin banyak orang yang tersinggung, maka semakin baguslah dia. Karena itu berarti satir dalam film ini benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik pada iklim modern sekarang ini.
Yang bikin film ini kontroversial adalah ceritanya yang seperti mengadu masyarakat liberal yang elit dan konservatif jelata Amerika. Membuat mereka dalam situasi berjuang hidup-mati. Crystal terbangun di sebuah padang rumput, bersama beberapa orang lain, dalam keadaan mulut terbekap alat. Mereka semua tidak saling mengenal, satu-satunya kesamaan adalah mereka ini semuanya ‘sayap-kiri’. Ketika mereka menemukan kotak besar berisi senjata api, tembak-tembakan itu terjadi. Film ini comedically brutal dalam memperlihatkan adegan bunuh-bunuhan. Crystal musti menyelematkan diri, sesekali bekerja sama dengan rekan sesama target buruan, sembari berjuang hingga ke kesimpulan bahwa yang memburu mereka adalah borjuis liberal yang dipercaya suka berburu manusia sebagai rekreasi. Crystal balik memburu mereka hingga ke Manor, tempat sang pemimpin – Athena – menunggu dirinya.

semua kegilaan ini bermula dari chat di grup WA!

Padahal kalo kita tonton dengan seksama, tidak ada tokoh baik-tokoh jahat di sini. Hanya pemburu dan yang diburu. Walaupun pemburu digambarkan sebagai kumpulan orang konglomerat, tapi film ini tidak pernah sesimpel si kaya dan si miskin. Kita tidak lantas mendukung si miskin, alias kelompok yang diburu. Karena film memperlihatkan begitu banyak spektrum. Bakal ada penonton yang enggak kasian sama yang diburu karena berbagai hal. Misalnya mereka punya pandangan politik berbeda. Atau karena persoalan pandangan tentang kepemilikan senjata. Kedua pihak diperlihatkan sama-sama brengsek, sama-sama ignorant. Ketika ada satu yang mati (anunya digranat ataupun terjatuh ke jurang berduri kayak di video game), kita akan miris sesaat kemudian tergelak karena memang digambarkan dengan over. Target yang enggak sebenar clear inilah yang bikin penonton ‘bingung’ – beberapa bakal melihat pahlawan mereka sebagai penjahat, beberapa akan merasa dipaksa mendukung yang gak sepaham – sehingga film ini jadi menimbulkan reaksi beragam.
Untuk dapat mengerti kenapa sutradara Craig Zobel sengaja mengarahkan filmnya menjadi seperti demikian, maka kita perlu memahami referensi yang ia munculkan di dalam cerita. The Hunt berulang kali menyebut soal Animal Farm, novel satir politik yang ditulis oleh George Orwell. Ada banyak penamaan dan istilah yang disebutkan oleh tokoh The Hunt yang mengacu kepada novel ini, misalnya menyebut rumah sebagai Manor seperti nama peternakan dalam Animal Farm. Crystal disebut sebagai Snowball oleh Athena; kedua tokoh ini sama-sama membaca Animal Farm. Bahkan ada babi yang diberi nama Orwell. Novel Animal Farm bercerita tentang binatang ternak yang mau menggulingkan manusia, karena manusia adalah makhluk paling perusak di muka bumi. Binatang-binatang ini dipimpin oleh babi yang menyusun sistem pemerintahan sendiri. Namun, si pemimpin babi ini menjadi takubahnya sebobrok manusia yang mereka lawan sehingga muncul lagi perlawanan untuk menjatuhkannya. “Manusia ke babi, babi ke manusia, benar-benar sukar membedakan yang mana” begitu kira-kira penggalan dialog yang mengandung gagasan utama novelnya. The Hunt juga berangkat dari gagasan yang sama. Bahwa semua manusia, baik Trump voter atau bukan, sesungguhnya sama. Sama dalam hal apa?
Kedua kubu dalam The Hunt punya penyakit sembrono yang sama di hati mereka. Dan mungkin kita semua juga. Kita gampang percaya pada informasi apapun yang mendukung kebutuhan kita sendiri. Di akhir film ini diungkap bahwa para pemburu sesungguhnya adalah orang-orang yang dirugikan oleh teori-teori pihak oposisi. Rumor mereka menghibur diri dengan membunuhi orang-orang layaknya hewan buruan itu tadinya hanya hoax, yang dibesar-besarkan oleh media . Mereka dipecat dari kerjaan, sehingga dendam dan beneran memburu netijen yang mereka percaya ambil bagian dalam penyebaran hoax tersebut. The Hunt, lewat orang-orang ini, memperlihatkan kepada kita bahayanya mempercayai sesuatu, sekadar berasumsi, tanpa membuktikan terlebih dahulu kebenarannya. Twist kecil pada dialog antara Crystal dan Athena di akhir film menguatkan ini; bahwa sekalipun kita merasa benar, kita haruslah tetap melihat dari sudut lain. Because we still could easily been wrong.

Situasi ekstrim yang tergambar pada The Hunt adalah sindiran terhadap percekcokan antardua kubu politik yang terjadi. Yang masing-masing merasa benar, seringkali bukan karena mereka benar, melainkan karena pihak yang satunya dianggap mutlak salah. Kita berasumsi yang tidak-tidak, dan berkat sosial media, segala teori dan perkataan-tak-berdasar bisa menyebar di kelompok masing-masing seolah itulah kebenaran.

Salah satu dialog kunci dalam film ini adalah anekdot ‘kelinci dan kura-kura’ yang diceritakan dengan begitu twisted oleh Crystal. Karena cerita kemenangan kura-kura karena si kelinci sombong kebablasan tidur saat lomba lari itu ada kelanjutannya. Dengan ending yang cukup sadis. Ketika pertama kali dia menceritakannya, kita menangkap secara tersirat Crystal menganggap dirinya kura-kura dalam cerita tersebut. Namun di bagian akhir film, setelah dia (dan kita) belajar bahwa kedua kubu sebenarnya sama, kita dengan jelas diperlihatkan bahwa dia menyadari dirinyalah yang kelinci. Betty Gilpin mendongengkan, dan kemudian menghidupi ending kisah yang tokohnya ceritakan, itu adalah hal terbaik yang aku dengar sepanjang hari aku menonton film ini. Penampilan aktingnya benar-benar mencuatkan tone film secara keseluruhan. Crystal ini kalo gila bisa kayak Harley Quinn di Birds of Prey (2020), dan saat intens, dia bisa kayak Grace di Ready or Not (2019) . Aksi-aksinya semua kocak sekaligus menegangkan, sekuen berantem di akhir melawan Athena itulah puncak terbaiknya. Film dengan bijak membuat pandangan politik tokoh ini ambigu dengan membuat identitasnya – dari sudut pandang Athena – ambigu. Mungkin beberapa orang akan lebih senang menganggap Crystal si penyintas badass ini sebagai apolitical.

in first 20 minutes,  I was in denial ” aku gak mau nonton film yang Emma Roberts-nya mati duluan”

But it takes a while for us to meet and know her. Film ini memilih cara yang unik untuk memulai cerita. Unik, meski bukan pilihan yang ‘benar’. Karena babak pertama film ini sengaja didesain supaya kita bingung siapa yang harus diikuti. Dari orang kaya snob ke bego ke gadis vulnerable yang bikin jatuh hati, cerita berpindah melewati tokoh-tokoh yang tidak ada yang bikin kita simpati. Dan kemudian mereka mulai berjatuhan mati. The Hunt bersenang-senang ngecoh kita, membuat kita berpikir “wah ini nih jagoannya”, eh ternyata mereka tewas. Kamera berpindah membawa kita mengikuti yang lain. Kita baru benar-benar mengikuti Crystal di akhir babak pertama.
Bahkan si Athena bisa saja jadi tokoh utama. Karena dialah yang kita lihat muncul dan dibangun sedari awal. Meski tidak hingga babak akhir kita baru melihat wajahnya (yang ternyata diperankan oleh Hillary Swank). Akan tetapi masuk akal jika film ingin ‘mengacaukan’ kita seperti itu, karena toh aksi Athena yang ‘membalas dendam’lah yang menyeret Crystal pada cerita – terlebih jika memang Athena salah orang seperti yang diungkap oleh Crystal. However, efek cerita dari sudut pandang Athena akan lebih besar dan konsisten jika adegan flashback di awal babak ketiga dimajukan sebagai set up.




Film ini dengan sukses membagi penonton karena ceritanya yang mengadu pandangan politik, namun pada akhirnya memperlihatkan keduanya sama saja. Certainly bukan sesuatu yang ingin didengar oleh kebanyakan orang. Namun sesungguhnya ini adalah tayangan yang luar biasa menghibur. Dialog dan kejadiannya mengundang tawa – jika kita mau melihat ke dalam dan bermain-main dengan situasi. Aksinya sadis dan melibatkan satu pertarungan cewek yang keren. Yang kedua tokohnya tampak dimainkan dengan riang gembira, sekalipun begitu badass. Babak set upnya unik, tetapi bukan pilihan yang baik ataupun pilihan yang harus diambil oleh film ini. Di samping itu semua, ya aku sarankan supaya kita jangan jadi orang yang baper-baper amat supaya bisa menikmati satir-satir membangun seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNT.




That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sekarang orang gampang baper? Apakah satir sudah benar-benar kehilangan tempat di era ‘political correctness’ sekarang ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.



Elimination Chamber 2020 Review


 
Bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day) 2020, enam pegulat wanita berjalan memasuki struktur kerangkeng berterali rantai baja yang dikenal dengan Elimination Chamber. Mereka bertarung memperebutkan hak untuk menantang “The Man” sang Juara Wanita di Wrestlemania. Asuka, Liv Morgan, Natalya, Ruby Riott, Sarah Logan, Shayna Baszler. Mereka sejatinya adalah personifikasi dari karakter wanita masakini. Yang kuat, independen. Berdaya. WWE seharusnya bisa mengapitalisasi ini, lebih dari sekadar membuatnya sebagai partai utama. Namun penulisan alias booking yang dilakukan oleh WWE dalam ngepush superstar wanitanya malah mengurung mereka dalam bayang-bayang perlakuan terhadap superstar pria. Dan kemungkinan terburuknya, WWE malah justru mengubur keenam superstar ini sebagai dampak jangka panjang. 
Masalah utama yang menggerogoti pertandingan ini berasal dari tidak adanya ke-unpredictable-an. Meskipun dengan planting berita Vince McMahon meragukan Shayna, tetapi tetap tidak menyurutkan dengung penggemar yang sudah bersikeras tahu bahwa satu-satunya superstar yang jadi Juara Wanita NXT dua-kali itulah yang bakal menang dan melawan Becky Lynch di bulan April nanti. Jadi, WWE lantas membuat Shayna menjadi begitu powerful dan melibas semua lawannya di pertandingan Elimination Chamber ini – mereka ingin membuatnya sebagai sesuatu yang spesial sehingga sekalipun bagi kita enggak surprise dia yang menang, paling enggak mereka bakal melakukannya dengan sensasi heboh.
I like Shayna Baszler. Aku menikmati masa-masa kejayaannya di NXT. Di sana, dia sudah brutal – Shayna ini memancarkan kesan “well, she could legit broke her opponents if she wanted to” – tapi dia dibuat grounded, as in, dia masih mungkin untuk kalah. Setiap pertandingannya di NXT, kita masih bisa merasakan kemungkinan lawannya bakal mengungguli dia. Sayangnya, kesan itu sirna ketika Shayna muncul di Raw dan mengigit leher Lynch hingga berdarah-darah. WWE demen membuat sensasi besar untuk produk utama mereka. Alih-alih membuat Shayna menang Royal Rumble sehingga bisa diperkenalkan sebagai petarung kuat manusiawi dan kemudian membuild up-nya perlahan sebagai penantang yang legit mengerikan buat Becky Lynch, WWE mengambil jalan yang lebih sensasional dengan membuatnya seperti vampir dan ‘membunuh’ lima superstar-cewek top di Elimination Chamber. Kita semua sudah tahu Shayna bakal lawan Becky tapi WWE tetap mengadakan match Elimination Chamber untuk ‘melantik’nya dengan mengorbankan lima talent lain.
Sehingga yang kita dapatkan adalah pertandingan yang menampilkan Shayna mendapat treatment persis seperti Brock Lesnar di Royal Rumble bulan Januari kemaren – hanya saja sekarang environmentnya adalah kandang – namun lebih membosankan karena jeda antara terbukanya bilik satu peserta dengan bilik berikutnya adalah lima menit sehingga kita akan lebih banyak melihat Shayna bergaya ketimbang actual wrestling. Efek ke depannya bakal lebih parah, karena enggak seperti Royal Rumble, dalam Chamber peserta yang kalah itu adalah yang  bener-bener dihajar sampai out. Kelima lawan Shayna yang malang itu kalah dengan mengenaskan sehingga jika nanti Shayna beneran jadi juara, tidak ada lagi penantang yang dirasa benar-benar kredibel untuk melengserkannya. Because everyone of them has been destroyed easily. Dengan kata lain, WWE sekali lagi mendorong karakter mereka ke sudut mati – membuat mereka bakal susah berkembang – hanya demi sensasi.

Dikarantina, tapi bukan karena corona.

 

Jika ada yang bisa dipetik dari persoalan Shayna Baszler di Elimination Chamber ini, maka itu adalah sensasi jangan terlalu dicari-cari. Seperti misalnya ketika march di IWD2020, kita cukup bawa spanduk bercetuskan opini, menyuarakan pendapat sesuai tempat; enggak perlu ampe buka baju segala kan, yang ada malah mancing ribut ntar. Pesan yang ingin disampaikan WWE jelas dan dapat diterima, hanya saja cara yang mereka pilih dalam menyampaikannya bukanlah cara yang baik dan bisa diterima oleh banyak penonton.

 
Sebagai perhentian terakhir sebelum Wrestlemania, acara ini memang gak bisa berkelit dari posisinya sebagai filler. Setidaknya ada dua kejadian un-unpredictable lagi yang kita saksikan sebelum main-event ‘pembantaian karakter’ tadi terjadi. Kemunculan Undertaker dan kemunculan Kevin Owens. Masing-masing pada match AJ Styles melawan Aleister Black dan match tagteam Seth Rollins dan Murphy melawan Street Profits. Kenapa bisa ketebak? Ya karena sudah sebulan ini mereka nanemin bibit seteru antara Styles dengan Undertaker dan antara Owens dengan Rollins untuk Wrestlemania. Jadi ketika di Chamber ini salah satu dari dua pasangan-feud itu bertarung dengan lawan yang berbeda, maka sudah bisa dipastikan akan ada ‘tamu tak diundang’. Akibatnya tentu saja pada match yang sedang berlangsung itu sendiri. Pada match tagteam tadi misalnya; kemunculan Owens (yang sudah dinanti-nanti) completely mengalihkan fokus dari Street Profits yang menampilkan salah satu aksi pertandingan yang paling menghibur. It was a good match tapi kepentingannya malah jadi seperti membuild up Owens dan Rollins. Begitu juga dengan kasus Black melawan Styles. Aduh, ini mungkin sajian buruk dari kedua superstar hebat itu, karena matchnya sedari awal sudah gak make sense. Pertandingan no-DQ mereka jadi terasa terlampau panjang, karena mereka gak langsung ngegas. Styles ditemani dua rekannya, tapi mereka membantu dengan malu-malu, padahal sah bagi mereka untuk langsung masuk dan menyerang Black sedari bel bunyi.  Dengan begitu, susah untuk kita merasa peduli dan ya kita jadi hanya menanti kemunculan Undertaker saja.

mungkin mereka mengulur waktu dalam rangka nungguin Undertaker jalan menuju ring

 
Literally, hal tak-terduga yang kita dapat di acara ini adalah kemenangan Sami Zayn, dalam pertandingan Handicap 3-lawan-1. Matchnya sendiri sangat gak spesial, bahkan aku cenderung kasian ama Braun Strowman yang keliatan jelas penulis bingung memberikan cerita buat dirinya. Namun setidaknya WWE kali ini menjalankan logika dan enggak membunuh kredibilitas Zayn, Nakamura, dan Cesaro dengan membuat mereka kalah melawan satu orang. Pertandingan Elimination Chamber satu lagi – yang antar 6 tim memperebutkan sabuk Tag Team Smackdown – juga penuh dengan kejutan menyenangkan. Berupa gerakan-gerakan spektakuler dari para superstar dalam menyerang lawan-lawannya. Lince Dorado manjat ampe tengah kandang, dan berayun terjun kayak spiderman kesurupan. Otis berlari menembus pintu kaca anti-peluru. Masing-masing tampak beraksi pada rel karakter mereka, sehingga pertandingan ini jadi terasa enggak sebatas crash-n-burn, melainkan juga beberapa cerita yang numplek jadi satu. Ending pertandingan ini lebih lambat dan kalah menarik dibandingkan porsi tengahnya, tetapi memuat bobot karakterisasi Miz dan Morrison sebagai tim songong yang bertarung dengan otak sebagai pelengkap aksi parkour mereka.
Permulaan acara ini sesungguhnya tidak buruk. WWE memberikan kepada kita variasi gaya gulat, terbaik dari yang mereka punya. Jika kalian suka pure high-flying, maka match Andrade melawan Humberto Carillo sudah barang tentu akan sangat menghibur kalian. Kedua superstar latin ini udah bertemu untuk kesekian kali, hebatnya; belum ada pertandingan mereka yang membosankan. Malahan pertemuan kali ini terasa lebih intens karena ada cerita dendam di antara keduanya. Namun jika kalian prefer ke gulat teknik, dengan banyak submission dan taktis, maka partai pembuka antara Daniel Bryan melawan Drew Gulak bakal jadi kejutan paling menghibu sepanjang acara. Bagaimana tidak. Dua orang yang kayak manusia biasa. Rambut cepak. Celana pendek. So average. Sama sekali gak ada yang sensasional dari mereka. Namun yang mereka suguhkan adalah gulat yang intens baik secara fisik maupun secara psikologi. Cerita seteru mereka cukup unik. Gulak mengkritik Bryan, menyebutkan kelemahan dari gaya gulatnya. Dia bahkan ngajarin beberapa superstar teori untuk mengalahkan Bryan. Bagi Bryan, tentu saja, match ini adalah cara ia memberikan pelajaran kepada Gulak yang banyak bacot. Namun ternyata, sembari match berjalan, kita dapat melihat bahwa Bryan kini berusaha mati-matian untuk membuktikan perkataan Gulak itu tidak benar. Justru ia sendiri yang percaya ia punya kelemahan. Pertandingan mereka sangat bercerita, Gulak menangkis semua serangan Bryan. Emosinya pun dapet karena setiap serangan yang mereka lakukan, kita bisa melihat dampaknya. Bibir robek. Mata memar. Punggung baret. Siku berdarah. Dan German Suplex itu, sungguh luar biasa. Match ini adalah dua-puluh menit tercepat dalam pengalamanku nonton WWE.
 
 
 
Elimination Chamber tak menarik di atas kertas, bukan saja karena matchnya banyak filler, namun juga karena tak ada juara dunia yang muncul dan bertanding. Tapi sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk mengepush superstar-superstar muda. WWE melakukan ini kepada Drew Gulak, Humberto, Lucha House Party, Aleister Black, dan bahkan Shayna Baszler. Sesungguhnya ini adalah hal yang patut kita sukuri. Namun nafsu untuk jadi sensasi, atau mungkin juga rasa insecure ingin viewer yang banyak, membuat WWE mengambil langkah yang enggak bijak. Mereka mengulang ‘tradisi’ mengoverpush satu orang dan merendahkan yang lain.  Sehingga partai-partai utama dalam acara ini jadi terasa tak-penting, pointless, tak lebih dari usaha sensasional dalam menyampaikan sesuatu yang semua orang sudah tahu akan terjadi. Hanya ada satu match yang membuat The Palace of Wisdom terkejut dan terhibur karenanya, sehingga kami nobatkan menjadi Match of the Night, dan match itu adalah Daniel Bryan melawan Drew Gulak. 
 
 
 
 
Full Results:
1. SINGLE Daniel Bryan mengalahkan Drew Gulak.
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Andrade tetap juara ngalahin Humberto Carrillo.
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Miz & Morrison bertahan dari The Usos, New Day, Ziggler & Roode, Heavy Machinery, dan Lucha House Party.
4. NO-DQ Aleister Black menang atas AJ Styles.
5. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Juara bertahan Street Profits mengalahkan Seth Rollins & Murphy.
6. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP 3-ON-1 Sami Zayn, bersama Cesaro dan Shinsuke Nakamura, merebut sabuk dari Braun Strowman.
6. WOMEN’S NO.1 CONTENDER’S ELIMINATION CHAMBER Shana Baszler sapu bersih Sarah Logan, Ruby Riott, Natalya, Liv Morgan, dan Asuka

 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GUNS AKIMBO Review

90% of people will text things that they could never say in person.”
 

 
 
Internet menyediakan kepada kita selimut yang nyaman dalam bersosialiasi. Jika dulu untuk berinteraksi orang harus bertatap muka langsung, melakukan kontak fisik, maka kini orang bisa saling menyapa dengan orang yang berada di belahan bumi yang berbeda dari kursi ataupun dari tempat tidur masing-masing. So yea, selimut yang dimaksud di atas bisa literal, maupun kiasan. Karena dengan jarak tak terbatas, tanpa harus melihat langsung lawan bicara, internet bertindak sebagai tabir dalam komunikasi. Kita bisa berlindung di baliknya, melakukan sesuatu – mengatakan sesuatu tanpa mengkhawatirkan konsekuensi, karena hey, mereka para lawan bicara enggak tahu siapa kita sebenarnya. Gampang merasa tidak ada konsekuensi di internet, ironinya adalah kita merasa bisa lebih ekspresif ketika kita sudah aman bersembunyi.
Makanya di internet kita banyak menemukan orang-orang yang dengan bangga menunjukkan mereka suka keributan. Hal-hal negatif dijadikan konten, baik itu yang nemu langsung di jalan atau share dari media sosial teman, maupun yang sengaja dibuat. Serius deh, jaman sekarang iklan aja mesti bikin kejadian viral orang disuruh pura-pura berantem dulu. Ngetroll di kolom komen jadi hiburan. Berpedas-pedas ngasih komentar dijadikan semacam kompetisi popularitas. Triknya sekarang harus jadi akun shitpost dulu biar banyak follower dan direcognize sama pasar. Orang berpuas jadi sosok kasar, snob, atau yang angkuh di internet. Sengaja ngetik hal-hal yang mancing rusuh dengan berlindung di balik ‘opini’ atau ‘selera’. To make it worse, selalu ada panggung buat troll-troll internet, seperti baru-baru ini twitter ramai oleh akun-akun ‘@txt’ yang memuat kesinisan dari snob-snob yang cari ribut. Tadinya mungkin akun tersebut dibuat untuk menertawakan mereka, akan tetapi dengan meng-share kenegatifan itu, orang-orang jadi melihat mereka sebagai platform buat terkenal, dan justru jadi semakin nafsu mengada-ada tweet yang memancing. Seperti akun-akun itulah, action-comedy garapan Jason Lei Howden ini jatoh pada akhirnya.
Guns Akimbo berpijak pada misi yang mulia. Film ini ingin memperlihatkan kepada kita bahwa internet bukanlah tempat tanpa konsekuensi. Kekerasan yang kau pancing dan keributan yang kau tonton dengan menggelinjang sebagai hasil pancingannya, sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan jika terjadi langsung kepadamu. Tokoh utama film ini adalah Miles, seorang programer game yang menghabiskan harinya berselancar bolak-balik sosial media, menuliskan komen-komen kasar, ngetroll, ngajak ribut orang-orang di internet, acting like hero; putting people in their place. Kemudian suatu kejadian menjadi seperti pelajaran bagi dirinya. Miles sang keyboard warrior, menembakkan kata-kata dari komputernya, kini harus merasakan bagaimana rasanya punya tangan yang bisa menembak peluru beneran yang membunuh lawan bicaranya. Ya, premis film ini sangat unik; seorang pria dengan pistol dipatri ke kedua telapak tangannya.

kencing aja jadi perbuatan berbahaya jika tanganmu adalah pistol.

 
Humor yang timbul dari situasi tersebut cukup fresh, meski memang receh. Miles kesusahan buka pintu. Angkat handphone. Makan. Pakai celana. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Berusaha terlalu keras bisa-bisa pelatuk di tangannya kepencet dan zinnngg, seseorang terluka, atau malah dirinya sendiri nanti yang kena. Semenjak jadi ‘the boy who lived’ Daniel Radcliffe seperti mendedikasikan diriya untuk hidup memerankan berbagai variasi karakter. Dia pernah jadi mayat, jadi iblis bertanduk, dan kini dia harus memerankan seorang cupu yang dipaksa untuk berbuat kekerasan sebagaimana ‘kekerasan’ yang biasa ia lakukan dengan sengaja di internet. Daniel bermain sebagai Miles yang tadinya menghibur diri dengan melihat orang ‘terluka’ berubah menjadi hiburan bagi orang-orang yang menonton dirinya mempertaruhkan nyawa.
Yang membuat tangan Miles menjadi seperti itu adalah produser sebuah underground platform di internet. Mereka bikin show yang disebut Skizm. Basically adalah reality show bunuh-bunuhan, peserta yang kebanyakan adalah kriminal disuruh saling membunuh untuk hadiah tertentu, dan segala kejadiannya disiarkan lewat internet ke seluruh dunia. Komen Miles menyinggung Skizm, sehingga mereka memaksa Miles untuk ikut bermain. Lawan Miles adalah seorang cewek pembunuh nomor satu bernama Nix. Sepanjang film kita akan melihat Miles dikejar-kejar oleh Nix yang bermaksud menuntaskan misi terakhirnya ini demi kebebasan. Keadaan semakin pelik bagi Miles, sebab dalam usaha menggebah Miles untuk balik melawan dan mendatangkan viewers berkali-kali lipat, Skizm menculik mantan pacar Miles dan menjadikannya sebagai ‘pemicu motivasi’

Sebagai manusia yang berbudi pekerti, mestinya kita tidak butuh film ini untuk mengingatkan kita dan berhenti menjadi asshole di internet. Stop gagahan mengumbar kesinisan dan trolling, karena kita sendiri tahu persis kita tidak akan sanggup mengatakan ataupun melakukan perbuatan yang kita tulis di internet. Menembakkan kata-kata di keyboard jauh lebih gampang dibandingkan menarik pelatuk pistol yang tertempel di tangan, karena kita tidak punya selimut perlindungan di dunia nyata. Kita tidak punya ekstra, tidak bisa begitu saja mengharapkan kesempatan kedua. Tidak ada gunanya sok-sok berekspresi jika itu bukan diri kita yang sebenarnya.

 
Ada sesuatu yang gak klik dalam pengembangan premis tadi. Kenapa Miles justru dapat pelajaran dari Skizm yang nyari profit dengan ngebroadcast kekerasan. Kenapa Miles disadarkan dengan disuruh untuk melakukan kekerasan beneran. Benarkah ini ironi yang diincar? Kekerasan yang kita gemari gak fun jika dilakukan langsung. Rambo, kata Miles, bakal jadi orang tuli kalo ia hidup di dunia nyata oleh nyaringnya senjata api yang selalu ia tembakkan. Namun pada akhirnya, toh film ini tetap menjelma – memperlihatkan kekerasan itu dengan menyenangkan. Miles akhirnya bisa melakukan kekerasan beneran, dia malah jadi jagoan dan mendapat pujian internet karenanya. Dengan melatarinya pakai musik-musik asik yang dicover ke genre populer kekinian. Dengan sound ala video game seolah yang kita saksikan, membuat yang dialami oleh Miles adalah permainan. Misalnya pada adegan Miles pakai obat asma atau ketika Nix nge-snort bubuk putih, soundnya kayak musik ‘dapet-nyawa’ pada video game.
Malah, film ini tampak berusaha keras supaya jadi seperti sekocak dan seabsurd Scott Pilgrim vs. The World (2010), hanya saja selera humor yang ditampilkan enggak senada, bahkan menghalangi pesan yang ingin disampaikan. Guns Akimbo adalah sajian bertempo cepat diisi sebagian besar oleh perkelahian, tembak-tembakan, muncratan darah, kejar-kejaran. Ketika kita selesai menonton ini, dan disuruh mendeskripsikan, hal yang kita ingat – hal yang kita pikirkan ketika menyebut nilai plus film ini adalah sajian aksi dan violence-nya yang menghibur. Kekonyolan situasi Harry Potter yang berlarian keliling kota bersepatu kaki beruang dan tanpa celana. Justru inilah ironi yang dihasilkan oleh film ini; di satu titik kita akhirnya menjadi penonton show Skizm yang disindir oleh film ini. Dan si film ini, menjadi worst part of Miles dan Skizm itu sendiri, yang mempertontonkan kekerasan demi menjual sensasi.
Yang paling menghibur buatku di film ini adalah melihat Nix. Kalian-kalian yang pernah membanding-bandingkan Samara Weaving dengan Margot Robbie, atau mungkin pernah penasaran seperti apa kalo Samara Weaving yang kepilih jadi Harley Quinn; well, you’d get the answer. Nix beneran kayak Harley Quinn versi lebih sadis dan less-kekanakan. Dan less-drama juga. Aku yang udah cinta ama Weaving sejak Ready or Not kemaren (makanya dapat Most Amazing Lips alias Unyu op the Year di My Dirt Sheet Awards) gak bisa lebih menggelinjang lagi melihat ke-badass-an Nix. Di sini taringnya di-silverin, sehingga pada beberapa shot dia persis vampir. Dia legit kayak maniak, bahkan ketika Miles kerap meloloskan diri darinya, kita tidak merasa ganjil melihat tokoh yang harusnya paling jago membunuh malah kesusahan berurusan dengan nerd. Kita masih melihatnya sebagai terlalu underestimate. Tokoh ini sempat diberikan momen emosional yang manusiawi, dan Weaving kills it too.

Aduh bibirnyaa… seperti kata-kata youtuber Duel Links favorit semua pemain: “Lethal!!”

 
Relasi Miles dengan tak pelak gampang tertebak, tapi bukan itu masalahnya. Melainkan ada elemen dari interaksi mereka yang dipaksakan alias kecil kemungkinan dapat terjadi dalam dunia cerita. Dan membahas ini akan membawa kita ke semacam plothole. Cerita dengan elemen show yang ditonton pengguna internet di seluruh dunia (misalnya pada film Nerve tahun 2016 lalu) sangat rentan berlubang karena film harus menetapkan setiap kegiatan tokoh terbroadcast ke publik, tanpa ketahuan oleh polisi. Guns Akimbo cukup rapi dalam memberi ‘alasan’ soal kenapa polisi gak bisa menangkap mereka padahal acara Skizm disiarkan pake sejumlah drone. Namun masalah sebenarnya ada pada sejumlah drone itu tadi. Jika Skizm punya banyak drone siaran, dan memfokuskan merekam Miles terus-menerus karena dia yang dikejar Nix adalah atraksi utama, kenapa masih ada waktu-waktu Miles bisa bergerak tanpa ketahuan oleh Skizm. Pembangunan dunia film ini terpaksa harus melemah demi memungkinkan berbagai hal, in favor of tokoh utama. Akibatnya jadi menimbulkan pertanyaan yang jawabannya tidak memuaskan. Perihal Skizm dan dalang alias produsernya juga tidak banyak digali selain karena menurut si tokoh kejahatan/pembunuhan adalah seni.
 
 
 
 
Aku bukannya mau menyebut film ini labil, tapi… gagasan yang ia sampaikan bener-bener campur aduk sehingga yang nonton film ini bakal bingung sendiri (ditambah pula oleh kamera yang hobi berguling). Jika ini adalah cerita peringatan untuk troll internet dan orang-orang yang suka-dan-bangga cari ribut, maka sangatlah aneh filmnya justru membuat orang yang bersikap demikian menjadi pemenang. Film tampaknya memang menyukai kekerasan karena ia mempertontonkannya sebagai sajian utama. Seru, cepat, penuh fantasi. Tentu, hal-hal ini bakal mudah mendapat penggemar. Kita bisa duduk nyantai nikmatin aksi komedinya. Tapi itu hanya akan membuat kita berada di level tokoh di dunianya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNS AKIMBO.

 
 
 
That’s all we have for now.
Orang berantem, si kaya ngebully si miskin, sikap intoleran agama, pejabat yang blunder, kenapa kita suka menyebar/membagi hal-hal seperti itu di internet?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BIRDS OF PREY Review

“Freedom is the emancipation from the arbitrary rule of other men.”
 

 
Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Begitu mungkin – dan memang seriang lagu itulah – kata hati Harley Quinn setelah cintanya bersama Joker kandas. Sama seperti kita semua, supervillain yang super kece dan super gokil; yang membuatnya jadi superkeren ini juga bisa patah hati. Galau. Namun kisah yang ia sebut dalam narasi sebagai emansipasi dari Harley Quinn akan mengingatkan kepada setiap cewek di dunia bahwa cewek sebenarnya jauh lebih hebat lagi ketimbang cowok yang kata pepatah berdiri di depannya.
Birds of Prey sempat dinyinyirin penggemar DC karena harusnya (kalo fans komik udah ngomong “harusnya” itu berarti “yang benernya di komik adalah”) Birds of Prey merupakan nama kelompok superhero cewek. Tapi dalam versi film yang disutradarai oleh Cathy Yan ini (sutradara wanita Asia pertama yang ngegarap film superhero? might wanna check on that...), Harley Quinn yang bandit memasukkan dirinya ke dalam cerita. Sebegitu unik dan gokilnya tokoh ini. Film is actually, totally, about her. Judul aslinya aja “The Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn”. Bercerita tentang Harley yang udah gak lagi di bawah perlindungan Joker sehingga ia diburu oleh penegak hukum dan juga para penjahat-penjahat di sudut-sudut gelap Kota Gotham yang dendam dan geregetan pengen menjitak kepalanya. Salah satunya adalah si Black Mask, hanya saja ketua geng ini pengen menguliti wajah Harley – seperti yang sudah jadi cap-dagang kejahatannya. Harley membuat perjanjian dengan Black Mask; ia akan menemukan berlian inceran Black Mask yang hilang sebagai ganti nyawanya. Perburuan berlian yang ada pada pencopet cilik membawa Harley pada sebuah persahabatan baru. Bukan saja sama si anak kecil, Harley juga bergabung dengan tiga wanita tangguh Gotham. Yang tadinya saling bermusuhan dan punya agenda masing-masing, menjadi satu grup jagoan cewek yang memberantas geng jahat yang didominasi oleh pria.

Harley pasti berani ke kondangan sendirian

 
Agenda feminism jelas merupakan misi utama dari film ini. Sungguh sudut pandang yang jadinya menarik karena Harley Quinn bermula dari seorang penjahat. Jadi film ini awalnya ingin memperlihatkan dunia kejahatan bukan sebatas milik kaum pria. Dalam banyak film modern, narasi feminis seringkali jadi sandungan sebuah penceritaan. Tokoh utama ceweknya akan jatoh sebagai karakter mary-sue alias karakter sempurna yang cakap akan apa saja dan tokoh-tokoh lain – bahkan dunia cerita – mengalah untuk membuatnya terlihat mandiri, kuat, capable. Program cewek harus unggul dari cowok membuat film jadi annoying. Masalah ini tidak berlaku pada Birds of Prey. Harley Quinn enggak seketika menjadi ratu jalanan. Film akan memperlihatkan proses. Zona nyaman Harley adalah berada di balik nama Joker – di awal cerita dia merahasiakan sudah putus dari Joker hanya supaya dia masih bisa menangguk keuntungan dan keselamatan sebagai ‘pacar Joker’. Lalu ketika semua orang sudah tahu, setiap sudut kota menjadi tempat mengancam nyawa bagi Harley. Vulnerability-nya sebagai wanita di tengah sarang penyamun dijadikan stake dan kita peduli padanya karena kita juga mengakui betapa bahaya dunia tersebut bagi wanita, as in, cewek semenarik Harley gak akan survive di sana. Yea, I said it. Margot Robbie sangat memukau sebagai Harley Quinn. Ketawa cekikikan badutnya saja udah bikin terpesona.

Tips setelah putus buat cewek-cewek ala Harley Quinn: Jangan mengurung diri, go out. Ledakkan kenangan akan mantan sampai lenyap. Dan carilah teman; entah itu hewan peliharaaan, ataupun… makanan!

 
Tentu, Harely Quinn bisa macam-macam. Mulai dari berkelahi tangan kosong hingga bertarung dengan senjata, baik itu senjata api maupun tongkat baseball, ataupun berkelahi sambil bersepatu roda. Adegan Harley berantem pake baseball bat terlihat sangat seru dan menyenangkan. Namun bukan karena itu semata dia berhasil selamat dan mengalahkan musuh yang mengejarnya. Film benar-benar mengeksplorasi kekuatan Harely Quinn, juga kelemahan-kelemahannya. Aku suka film ini enggak melupakan basic ilmu yang dipunya oleh Harley. Ia sebenarnya adalah psikiater, dan kemampuan menganalisis orang akan sering kita temui ia gunakan dalam film untuk berbagai keperluan seperti membujuk, negosiasi, atau keluar dari situasi sulit. Keabsurdan Harley Quinn juga tergambar dengan baik; sangat kocak meskipun gak masuk akal. Tokoh ini exactly kayak tokoh kartun yang bisa menarik benda begitu saja. Film merecognize hal ini, seperti ketika ada tokoh yang mempertanyakan Harley Quinn yang tiba-tiba sudah memakai sepatu roda untuk bertarung.

Film ini, lewat pembelajaran yang dilalui oleh Harley Quinn, memperlihatkan kepada kita makna emansipasi dan kemandirian wanita yang enggak dibuat-buat atau dipaksakan. Emansipasi berarti kemandirian dari aturan orang lain yang mengekang. Namun independen bukan berarti harus sendirian. Bukan berarti enggak butuh bantuan. Cewek yang dibantu bukan semata lemah. Bekerja sama adalah jalan keluar bagi Harley dan tokoh-tokoh wanita jagoan dalam film ini. Mereka mengalahkan para geng pria dengan independen menjadi diri mereka sendiri, bersama-sama.

 
Harley Quinn yang dikejar-kejar penjahat satu kota mengingatkan kita pada John Wick. Ia juga punya hewan peliharaan yang jadi semangat juang, tapi bukan anjing melainkan hyena! Adegan berantemnya pun semenyenangkan itu. Dari attitudenya sendiri, film ini mirip dengan Deadpool. Film ini juga ‘cerewet’ oleh narasi yang crude sambil sesekali breaking the fourth wall. Birds of Prey berjalan dengan diceritakan oleh voice-over Harley Quinn. Hal ini dijadikan alasan bagi film untuk tampil sangat unpredictable. Dari sekuen animasi hingga montase backstory, semuanya dikisahkan cepat keluar mulut tokoh utama kita. Tau dong gimana karakter ini kalo ngomong? Ngasal, gokil, dan kadang melompat-lompat bahasannya. Penceritaan seperti begini jadi gimmick yang bagus, meskipun memang menjadikan film jadi berantakan. Ada empat cewek lain yang nantinya jadi pasukan Birds of Prey, plus satu tokoh jahat, dan di babak pertama Harley Quinn akan serabutan menceritakan backstory mereka masing-masing. Akan cukup sering kita dibawa mundur dari alur karena Harley mau menjelaskan satu tokoh saat sedang menceritakan kejadian yang berlangsung. Ini bisa jadi melelahkan, karena cerita utuh jadi seperti terpotong-potong dan disusun acak.

also, there will be a lot of ‘kick to groin’ fighting moves.

 
Dan bahkan semua latar itu belum cukup dijejelkan di babak satu. Film masih punya tanggungan satu tokoh lagi, yang sengaja dibiarkan jadi rahasia hingga setelah pertengahan film. Birds of Prey terasa jadi kayak set up yang berkepanjangan, meskipun secara struktur; film berusaha memakai narasi yang maju-mundur supaya strukturnya bener. Mereka menggunakan cara ini sebagai alternatif penceritaan biasa yang membosankan. Namun sebenarnya akar masalah Birds of Prey ini sama dengan permasalahan film-film superhero DC; terlalu rame oleh karakter. Bahkan untuk film yang seharusnya adalah solo, film ini masih merasa perlu untuk menggabungkannya dengan grup lain. Basically ini adalah dua film yang digabung jadi satu; Harley Quinn dan Birds of Prey, dengan perspektif Harley Quinn dan tema feminis sebagai pengikat. Konsep yang berani, hanya saja pada film ini DC masih dalam tahap mencari cara mengintroduce segitu banyak sekaligus. Birds of Prey lebih solid dan berhasil melandaskan karakter-karakter dibandingkan Suicide Squad atau Justice League, tapi memang masih belum sempurna. Tokoh-tokoh selain Harley masih terasa lebih seperti gimmick ketimbang tokoh franchise. Antagonis di film ini, si Black Mask, juga masih satu-dimensi – karakternya jahat karena dia bos geng yang pengen memonopoli dunia kejahatan dengan uang.
 
 
 
Film ini seperti Harley Quinn itu sendiri. Unik, cerewet, tak tertebak. Gokil. Adegan aksinya juga seru, violencenya menyenangkan. Musik dan set piece di battle akhir itu keren dan asik punya. Darah dan tulang patah bergabung dengan warna-warna ngejreng, ini mungkin sekalian menunjukkan tone cerita film. Dengan berani tidak menampilkan sosok Joker sama sekali, maka film ini benar telah mengemansipasi Harley Quinn yang originally hanya sebagai sidekick/pasangannya. Kini kita bisa menyebut nama Harley Quinn dan hanya membayangkan aksi-aksinya tanpa bayang-bayang sang mantan. Karakter dan tema feminis dalam cerita enggak hadir menyebalkan dan seperti dijejalkan, melainkan berjalan dengan cukup berbobot. Hanya saja film ini punya banyak untuk diestablish. Alih-alih memberi ruang untuk pengembangan, film memilih bercerita cepat dan resiko bolak-balik untuk mengakomodir banyaknya elemen dalam cerita. Kisah emansipasi di dunia jahat ini pack quite a punch, dan kupikir hal terbaik dari film ini bagi cowok-cowok adalah gak bakal terlalu kesusahan lagi ngajak pacar nonton film dari buku komik, bahkan mungkin kalian yang diajak duluan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BIRDS OF PREY: AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pelajaran apa yang kalian ambil dari putusnya Harley Quinn dengan Joker? Apa hal tergokil yang pernah kalian lakukan demi lepas dari bayang-bayang mantan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Royal Rumble 2020 Review


 
On this day, clearly… kalian semua sudah nonton Royal Rumble, atau paling enggak sudah membaca tentang kehebohan paripurna kembalinya salah satu pegulat yang paling gak disangka-sangka untuk kembali. Edge. Sembilan tahun yang lalu, si Rated R Superstar ini mengumumkan dia terpaksa gantung-sepatu lantaran komplikasi cedera leher. Penggemar gulat gak pernah lupa wajahnya saat itu. Dan di Royal Rumble 2020, sebagai peserta urutan ke 21, Edge kita lihat lagi dengan wajah siap tempur. Suasana pecah begitu Edge beraksi. Seantero stadiun baseball yang luas itu terkesima menyaksikan Edge melakukan gerakan-gerakan andalan, seolah dia tidak pernah pergi.

Seperti kita menghitung mundur entrance royal rumble berikutnya, Edge menghitung mundur waktu yang tersisa bagi karirnya. Dan keduanya adalah hitungan yang penuh optimis. Setiap hitungan melambangkan kekhawatiran, pertanyaan, dan harapan. Royal Rumble adalah cerita “bagaimana jika” dan Edge adalah tokoh utama yang pas untuk ini. Karena dia adalah pria yang menyangka dia tidak akan bisa lagi melakukan hal yang ia cintai. Pria yang sudah bekerja keras untuk sampai di atas, untuk kemudian begitu saja disuruh turun tidak boleh naik lagi. Pada akhir countdown tersebut, dia disambut dengan begitu hangat, wajahnya mengingatkan kepada kita bahwa mungkin cuma within sepuluh hitungan orang bisa dipisahkan dari mimpinya.

 

dan gambar inilah yang dianggap lebih penting oleh kamera WWE dibandingkan Spear pertama yang dilakukan Edge dalam pertandingan yang mengisyaratkan reborn karirnya.

 
Selain Edge, ada banyak lagi momen dan cerita keren yang berhasil dihimpun oleh pertandingan Royal Rumble. Makanya acara ini selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar. PPV Royal Rumble adalah show selain Wrestlemania yang hypenya selalu gede. Pengalamanku bikin acara nobar, Royal Rumble malah selalu yang paling ramai peserta nobarnya. Di tahun ini, dua pertandingan Royal Rumble yang kita dapatkan terasa sangat seru, terutama yang pertandingan cowok. Bahkan sebelum perhatian dan haru kita dicuri oleh Edge, Brock Lesnar membuat partai ini teramat menarik. Obviously gak semua kalian akan setuju denganku, karena Lesnar memang kebangetan. Lima belas superstar ia buang begitu saja kali ini; legends, juara, pendatang baru, jobber — semuanya dijadikan jobber oleh Lesnar. Aku gak kebayang gimana tim kreatif ngepitch ide ini ke para superstar “Ayo siapa yang mau jadi tumbal Lesnar, nanti dikasih bonus deh”.. Tapi ini menghasilkan pengalaman seru yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Berkat Lesnar dan kemampuannya; bergulat dan memancing (alias membelah) reaksi dan emosi penonton, match ini jadi berbeda sekali dari yang sudah-sudah. Belum pernah kita melihat satu ornag mendominasi dari awal, bahkan Reigns saat dalam cerita one-versus-all-nya dulu enggak sepecah ini. Meskipun mengerang dan protes melihat favorit-favoritku dikeluarkan olehnya, deep inside aku ingin melihat Lesnar beneran sampai ke akhir Rumble dengan membuang satu persatu yang datang.
Tapi kemudian Lesnar toh dikeluarkan juga, oleh Drew McIntyre – yang bakal memenangkan partai bergengsi ini dan maju ke partai utama di Wrestlemania. WWE told a perfect somekind-of-passing-a-torch story di sini. Rumble seolah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Lesnar mendominasi. Mengalahkan semua ‘hantu-hantu masa lalunya’ alias superstar-superstar yang pernah bertanding melawannya, yakni Rey Mysterio, Kofi Kingston, Braun Strowman, Ricochet, dan bahkan Shinsuke Nakamura. Lesnar begitu hebat membawa cerita di pertengahan pertama. Aku suka gimana Lesnar bereaksi terhadap NXT’s Keith Lee, yang aku yakin di bawah pengarahan Paul Heyman sehingga lawannya ini tampak beneran menggentarkan. Kita di-tease berbagai versi interaksi, berbagai usaha yang gagal, karena Lesnar beneran kuat. Sampai kemudian – mengambil julukannya dulu – the next big thing datang dalam wujud McIntyre. Kekuatan dan strategi sang juara melawan passion dan semangat penantang – ini cerita klasik yang sempurna, yang dieksekusi dengan menakjubkan. Separuh akhir beralih menjadi cerita McIntyre berjuang memenangkan seantero pertandingan, sebab membuang Lesnar belum cukup. Ia harus menang dan mengambil spot untuk benar-benar bisa mengalahkan Lesnar dan memenuhi ‘ramalan’ yang menjadi gimmicknya dulu – bahwa ia, Drew McIntyre, adalah Sang Terpilih.
PPV Royal Rumble selalu susah untuk direview karena hal-hal begini. The Rumble was so hype, udah kayak nonton film antologi, sehingga kita selalu hanya nunggu match rumble-nya saja. Apalagi sejak ada dua match rumble, cewek dan cowok. Padahal dalam PPV selalu ada match lain yang enggak kalah solidnya. Seperti kali ini ada very physical kontes antara Daniel Bryan yang memilih Strap Match untuk mengalahkan lawannya yang sepertinya urat sakitnya udah putus; The Fiend Bray Wyatt. Salah satu peningkatan yang dapat kita rasakan adalah WWE tidak lagi menggunakan lampu temaram untuk match The Fiend. Matchnya sendiri memang cukup brutal. Cambukan sabuk kulit itu berbekas nyata di kulit kedua superstar ini, mereka benar-benar saling menyakiti. Bray Wyatt beruntung ia mengenakan topeng, sebab aku yakin di balik itu ia juga pasti meringis kesakitan meski tokohnya ditulis untuk tidak ngejual damage untuk menghasilkan efek dramatis dan mengerikan. Asuka melawan Becky Lynch juga sebenarnya told a great story. Bukan saja aksinya solid, melainkan juga mengandung bobot yang penting dalam pembangunan salah satu karakter utama Wrestlemania nantinya.  Semua ini adalah soal Lynch yang harus mampu membuktikan dirinya bisa mengalahkan Asuka yang menyimbolkan ‘demon’ yang belum ia taklukkan. The Man lawan Demon, kalo boleh dibilang. Finishing match ini terbendung bagus, juga dari perspektif Asuka yang belakangan seperti jadi bergantung kepada jurus semburan mautnya.
Kedua match tersebut sayangnya kurang mendapat perhatian karena berada di antara dua partai rumble. Penonton masih terengah dari rumble cewek dan menyimpan tenaga untuk rumble cowok. Jika ditempatkan berbeda, niscaya reaksi kita yang nonton akan berbeda. Buktinya adalah match Roman Reigns melawan Baron Corbin yang sudah basi namun karena dijadikan pembuka acara, maka masih ramai oleh reaksi. Penonton cukup terhibur karena, dan padahal mereka basically hanya, berkeliling arena. Match yang beneran jelek adalah Bayley melawan Lacey Evans. Ceritanya cukup berbobot, tapi dimainkan dengan sangat datar. Lacey masih berjuang untuk konek kepada penonton dan memperkuat deliveri ekspresi dan memperketat timing, meskipun dia sudah diberikan patriotisme dan feminisme sebagai modal untuk karakter babyfacenya. Bayley juga masih belum menemukan kekhasan karakter heelnya, sebab tipuan pura-pura cedera yang ia lakukan masih terlihat akting dan gak ada yang percaya itu bukan trik jahatnya. Kedua superstar belum maksimal
Harusnya ada adegan Izzy nyerang anaknya Lacey aja sekalian biar seru

 
Dua match rumble kali ini sebenarnya punya struktur-gede alias formula yang sama. Satu orang dibuild kuat hingga separuh jalan, dan kemudian dioverthrow oleh new challenger. Lesnar diganti oleh Drew. Hanya saja di rumble cewek, formula ini kebalik. Yang gak really new-lah yang justru mengambil alih dari yang superstar yang baru. Dan ini membuat kesal banyak orang, termasuk aku. Kemenangan Charlotte terasa sangat getir bagi penonton. Terutama karena dia membuang begitu saja Bianca Belair yang masuk dari nomor dua, bertahan 33 menit, dan mengeliminasi delapan orang. Rumble cewek yang menarik di paruh awal; ada begitu banyak interaksi superstar seru seperti Mandy Rose diselamatkan oleh Otis dengan jurus kasur empuk, menjadi kering di paruh akhir. Karena setelah mengeliminasi Belair, tidak ada lagi selain Flair yang viable untuk benar-benar memenangkan pertandingan. Ring diisi oleh bintang tamu seperti Beth Phoenix, returning yang gak benar-benar relevan seperti Naomi, dan ya, surprise seperti Santina Marella. Mestinya SJW marah nih ngelihat WWE jadiin karakter cowok yang kecewekan sebagai komedi semata. Yang jelas, logika -gak-jalan itu adalah Naomi yang bertingkah seolah menyebrang dari meja ke dalam ring adalah lompatan yang sulit, padahal dia tinggal melompat-lompat dengan satu kaki saja karena rule eliminasi adalah menyentuh lantai dengan kedua kaki. Satu-satunya penantang yang mungkin menang selain Charlotte adalah Shayna Baszler. Yang juga mengeliminasi delapan lawannya, namun mesti kalah dengan datar oleh Charlotte.
Aku benar-benar gagal paham kenapa WWE terus ngepush Charlotte ke spotlight. Enggak ada yang mau lihat dia menang karena bakal jadi jalan yang boring menuju Wrestlemania. Siapa yang mau dia tantang? Bayley yang lebih membosankan atau Lynch untuk kesekian kalinya? WWE harus menyiapkan cerita atau kejutan yang out of the box untuk ngangkat Charlotte. Atau mending sekalian semua fourhorsewomen itu diadu saja di winner takes all nanti.
ultimate heel adalah ketika kamu tetap dikasih menang saat semua orang males lihat kamu menang

 
 
Sensasi euforia Royal Rumble enggak hanya mempengaruhi penonton. Tapi juga para superstar. Karena banyak sekali botch pada acara ini. Mulai dari yang simpel bergerak terlalu semangat kayak Lesnar yang kesandung tali saat mau ngejar Elias atau Lacey Evans yang nyaris jatuh saat menggunakan jurusnya, dan kemudian detik berikutnya hampir terpeselet saat springboard dari tali ring, ke yang lupa cue gerakan kayak Aleister Black yang harus dipanggil oleh Rollins karena lupa menendang Rollins dari belakang atau Natalya yang kelupaan berdiri di belakang Santina sehingga Santina harus dua kali bergaya di depan Beth Phonenix, hingga ke yang menyebabkan cedera. Beth Phoenix terlalu bersemangat ngejual pukulan sehingga lupa dirinya against pojokan ring. Alhasil belakang kepalanya berdarah dan sepanjang match rambut Phoenix antara kayak habis diombre atau ketumpahan saus spagheti. AJ Styles juga agak terlalu lincah ngesold Spear dari Edge sehingga bahu kirinya terhimpit dan dia harus keluar lebih cepat daripada rencana supaya cederanya tidak semakin parah.
 
 
WWE memulai tahun, seperti biasa, dengan sangat seru. Lesnar yang banyak dipotes sebenarnya bermain dengan keren. Dua match Royal Rumble begitu epik, walaupun yang cewek hasilnya pahit, sehingga match-match yang lain jadi tampak biasa saja. Aku kembali mengadakan nobar setelah vakum nyaris dua tahun, dan nobar kali ini adalah yang paling seru. Apalagi kita menontonnya di dalam bioskop mini. Experience yang cocok sekali lantaran ppv yang satu ini memang menjual spektakel, momen, dan kejutan lebih banyak daripada porsi gulat-benerannya. The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada partai Royal Rumble cowok yang punya cerita keren yang menjadi set up pertemuan gede antara Drew McIntyre dengan Brock Lesnar di Wrestlemania nanti, dan kemunculan Edge sebagai MOMENT OF THE NIGHT
 
 
Full Results:
1. FALLS COUNT ANYWHERE Roman Reigns mengalahkan King Baron Corbin
2. 30-WOMEN’S ROYAL RUMBLE Charlotte Flair menjadi last woman standing
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan atas Lacey Evans
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP STRAP MATCH The Fiend Bray Wyatt tetap juara mengalahkan Daniel Bryan 
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch akhirnya bisa mengungguli Asuka
6. 30-MEN’S ROYAL RUMBLE Drew McIntyre membuang mimpi 29 superstar lain menjadi main event Wrestlemania
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.