Daftar menu perfilman tanah air bertambah lengkap berkat kehadiran Koki-Koki Cilik. I mean, film anak-anak aja jarang kita dapatkan, film tentang masak memasak apalagi. Dan Koki-Koki Cilik ini berani dan kreatif sekali menggabungkan keduanya. Enggak sekadar hadir sebagai alternatif penggembira dalam industri perfilman kita; sendirinya Koki-Koki Cilik adalah sajian film yang lengkap dan bergizi tinggi! (Hmmm.. psst… sekiranya ada produser ataupun filmmaker yang baca ulasan ini, aku punya dua cerita yang belum nemu ‘jodoh’ loh; satu tentang anak-anak, dan satu lagi tentang masakan, bikin juga yuk ahayyy)
Dua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil adalah dianggap ‘bisa’ oleh orang dewasa dan mendapatkan kebebasan untuk bermain menyalurkan hobi mereka. Berdasarkan inilah cerita Koki-Koki Cilik dibangun. Tokoh utamanya, Bima, sudah dikenal sama orang-orang di kampung tempat tinggalnya sebagai anak baik yang suka memasak. Makanya, begitu tabungan Bima dan ibunya ternyata tidak cukup untuk membayar biasa masuk sebuah kemah memasak khusus untuk anak-anak, para tetangga di rumah patungan untuk membantu. Bima senang. Hatinya riang. Di cooking camp yang berlokasi di perbukitan hijau itu, Bima bertemu dengan dua-puluh anak-anak lain yang juga hobi memasak. Mereka bermain bersama, beraktivitas sehubungan dengan memasak bareng-bareng, dan ya berkompetisi. Gol di perkemahan itu adalah memilih juara pertama, yang paling jago masak. Untuk menentukan ini, akan ada babak-babak seleksi segala macem. Buat Bima yang masuk karena murni kecintaannya pada memasak, keadaan di kemah dapat menjadi sangat menekan. Bima tidak bisa membuat menu-menu modern ala masakan hotel, dia belum pernah makan sushi, dan dia diledek dan dimarahi karenanya. Dia hanya tahu masakan yang tertulis dalam buku resep warisan almarhum ayahnya. Stress sempat membuat Bima pengen pulang saja, tapi ia tetap berusaha belajar. Dan demi mentor yang ia kagumi di camp, Bima berjuang untuk menjadi koki jawara.
bentuknya boleh gak cantik, tapi masakan Bima punya kepribadian yang bagus
Since kita bicara tentang anak-anak dan kompetisi, maka aku akan membandingkan film ini dengan satu lagi film anak yang baru saja tayang, dan sudah kureview; Kulari ke Pantai (2018). Kedua film ini sama-sama menyenangkan, sama-sama sarat pelajaran berharga; mereka melaksanakan misinya sebagai tontonan yang bisa dinikmati oleh anak-anak bareng keluarga. Bukan hanya keceriaan dan tawa yang dibawa pulang oleh penonton cilik sehabis keluar dari bioskop. Akan tetapi, penulisan Koki-Koki Cilik jauh lebih baik. Perspektif tokoh utamanya terhampar kuat. Sekuen-sekuen yang tersusun dalam tiga babak film ini mengalir dengan rapi. Tokoh utama pada Kulari ke Pantai tidak benar-benar merasakan rintangan, kita lebih gravitate ke arah karakter yang lain; Happy lebih relatable buat penonton anak-anak kekinian dibandingkan Sam. Sedangkan Bima pada Koki-Koki Cilik, man, anak ini digempur habis-habisan. Untuk alasan entah apa, kepala koki di kemah itu galak kepadanya. Dia dipandang remeh karena masakannya sederhana. Dia juga digalak-galakin sama mentornya, Chef Rama (Morgan Oey tampak sudah terestablish sebagai aktor kawakan di sini).
Kita akan konek instantly kepada Bima. Bukan karena dia anak miskin yang perlu menabung setahun untuk bisa sampai di sana, tapi karena dia adalah underdog yang menempuh banyak halangan bahkan untuk terdaftar sebagai peserta saja.
Film bijaksana sekali dalam membangun tokoh Bima. Kita begitu peduli saat anak ini menangis dan merasa tidak sanggup melanjutkan, dan kita kembali turut ceria melihat teman-teman camp, yang sudah tersentuh oleh pribadi Bima yang elok, berusaha untuk membuat Bima bersenang hati. Diberikan range emosi yang jauh, enggak gampang buat anak cowok berakting nangis dan merasakan banyak hal menyerangnya dari segala arah, Faras Fatik gemilang memainkan tokoh ini. Bima memang dibuat sebagai anak yang menyebalkan dengan kebawelannya, tapi dia tidak pernah terasa annoying buat kita. Dia adalah anak yang mau belajar. Dia bikin catatan sendiri mengenai masakan. Dia mendengarkan apa yang diajarkan. Dia membuat keputusan yang menguarkan kreativitasnya sendiri. Salah satu kait emosi pada film ini adalah hubungan yang terjalin antara Bima dengan Chef Rama, yang awalnya menolak untuk mengajari Bima – pada dasarnya, Rama menolak untuk terlibat, dia merahasiakan kemampuan masaknya kepada semua orang. Kita diperlihatkan backstory antara Bima dengan almarhum ayahnya. Juga backstory tentang siapa Rama sebenarnya. Dan keduanya akan bertemu, menambahkan kedalaman terhadap kedua karakter ini. Aku suka gimana di babak final Bima membuat keputusan yang menunjukkan dia benar-benar bergerak sesuai pilihan hatinya dan it means a lot karena gentian, kini Bima yang ngajarin Rama suatu hal tentang kemenangan di dalam hidup. In the end, Bimalah yang pulang dengan membawa ‘hadiah’.
Jika ini “Kulari ke Pantai”, maka chef-chef di kamp itu akan menyuruh anak-anak untuk memasak masakan tradisional, mengatakan masakan indonesia akan punah jika tak ada yang memasak. Koki-Koki Cilik, sebaliknya, tahu untuk lebih baik tidak melarang anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Film ini paham cara untuk menghargai budaya nasional. Masakan tradisional buatan Bima dinilai paling enak, dan Bima pun tidak segan untuk belajar gimana cara membuat makanan modern. Tidak ada pengguruan secara subtil di dalam film ini. Actually, kita akan menemukan adegan di mana Audrey, juara bertahan yang jadi ‘saingan’ Bima, diminta untuk ngobrol berbahasa Indonesia. Aku juga membahas masalah ini dalam review “Kulari ke Pantai” karena ada adegan yang mirip. Hanya saja, Koki-Koki Cilik memainkan adegan ini dalam konteks yang enggak menggurui. Bimalah yang meminta Audrey untuk tidak berbahasa Inggris, dan itu karena Bima memang tidak bisa bahasa Inggris. Bima bukan bule ataupun anak yang ngerti Inggris. Jadi adegan ini enggak come-off sebagai ngejudge dan menyuruh, melainkan untuk memberi tahu sedikit-banyak tentang toleransi; kepada bukan saja anak kecil, melainkan kepada kita semua. Mengajarkan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.
sebelum dipake pastikan dulu enggak ada kepala emak-emak di dalam rice cookernya ya, Dek
Lebih baik memang untuk membuat hal simpel supaya enggak menyulitkan dan gak bikin bosen anak-anak. Film ini enggak melakukan banyak, namun cukup untuk membuat tokoh-tokoh yang ada pada ceritanya hidup dan sukses menghibur kita. Ada anak yang difungsikan untuk total ngelawak dengan lagaknya yang kecentilan sok kayak orang dewasa. Ada anak yang saat tidur juga masih meluk snack. Yang kocak, ada anak yang mengecek data diri peserta lain di internet, dan di layar kita bisa lihat data yang ditampilkan tidak hanya sebatas nama dan umur, bahkan sampai sifatnya “cool, bully” benar-benar tertulis di sana hahaha… I mean, dari mana yang bikin data tersebut tahu sifat anak itu suka ngebully.
Audrey, si penyendiri, digambarkan membawa headphone ke mana-mana sebagai bagian dari karakternya. Anak-anak ini, bersama Bima, akan melakukan kegiatan polos khas anak-anak, entah itu membebaskan kambing yang mereka curigai bakal dijadikan bahan pelajaran masak selanjutanya ataupun menransfer kegembiraan lewat telapak tangan. Dan hal yang mereka lakukan itu sangat menyenangkan untuk diikuti. Hubungan antara Audrey dengan Bima juga berkembang menjadi persahabatan yang manis. Semua orang tersentuh oleh pribadi Bima, dari situlah kehangatan cerita ini hadir. Film juga mengeksplorasi bagaimana anak-anak ini berinteraksi dengan orang dewasa di sekitar mereka. Sebagian besar memang ditampilkan polos sehingga menjadi lucu. But on a slightly serious note, film juga memperlihatkan gimana BERBEDANYA ANAK-ANAK DAN ORANG DEWASA DALAM MEMANDANG SEBUAH AJANG KOMPETISI. Pun, cerita tidak berpaling dari konsekuensi. Film tidak punya masalah untuk menghukum anak kecil, demi mengajarkan mereka tanggung jawab. Misalnya ketika ada anak yang ketahuan berbohong dan nyaris membuat Bima dikeluarkan dari perkemahan, anak tersebut dihukum dengan dipulangkan ke rumah.
Kita tidak selalu harus menang untuk ‘menang’. Melakukan sesuatu karena hal tersebut adalah pilihan kita, actually akan berdampak sangat berbeda dengan ketika kita melakukan sesuatu karena kita diharuskan untuk melakukannya. Perbedaan di antara keduanya itulah yang membuat Bima menjadi labih ‘jago’ dibandingkan teman-temannya.
Aku enggak merasa pengen makan saat menonton film ini. Aku justru jadi kangen bekerja di dapur kafe dibuat olehnya. You know, bereksperimen membuat menu-menu baru dan berusaha untuk menjualnya ke orang. Karena dalam film ini, kita akan melihat anak-anak tersebut masak dan menyiapkan hidangan-hidangan menggugah selera. Well, sort of. Karena yang kita lihat actually adalah proses penyajian makanan secara close-up. Pernah lihat foto-foto makanan cantik di instagram? kurang lebih kayak begitulah masakan dalam film ini. But we do get to see anak-anak tersebut beraktivitas memetik bahan-bahan makanan, menyirami sayuran, ini seperti metafora bahwa mereka perlu memupuk persahabatan sebelum dapat menikmati indahnya.
Bima harus, dan rela, bekerja lebih keras daripada yang lain. Membuat kita ngecheer perjuangan dia. Persis kayak formula cerita serial anime My Hero Academia. Tokoh utama yang justru gak punya kekuatan superhero, ia dipinjami kekuatan, dan dengan itu ia berusaha keras mengejar ketinggalannya daripada yang lain, demi mencapai keinginannya untuk menjadi superhero terhebat. In turn, teman-teman di akademi terkena bias semangat dan kegigihan hatinya. Bima juga begini. Dia yang paling kurang dalam pengetahuan dan teknik memasak, dia butuh banyak bantuan, namun dia tidak berleha-leha dengan bantuan tersebut. Bima yang baik hati justru yang belajar paling giat, memberikan pengaruh positif kepada orang di sekitarnya. Bahkan, hubungan Bima dengan anak cewek bernama Niki juga sama kayak Deku dan Uraraka di “My Hero Academia”. I’m not saying film ini mengopi, kemungkinannya tipis sekali Ifa Isfansyah dan tim di balik film ini menonton anime tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa film ini berhasil menemukan resep cerita yang sama, karena memang beginilah cerita tentang underdog yang menarik ditulis.
Tapi toh ada juga beberapa elemen cerita yang membuatku teringat sama Harry Potter. Seperti pada saat Lima Besar sebelum penyisihan ke Semifinal, Bima dan peserta lain ditantang untuk membuat sushi. Bima membalik-balik halaman buku resepnya, dan dia come out dengan membuat lemper. Seperti Harry Potter yang disuruh membuat penawar racun, dia mencari-cari di buku ramuan si Half-Blood Prince, only to come out dengan lancang menunjukkan bezoar kepada gurunya. Bagian ini mungkin cukup ‘jauh’ dan kelihatan lebih seperti kebetulan ketimbang disengaja. Namun kemudian di menjelang akhir, kita akan lihat ada anak – si Bully – yang berpura-pura tangannya patah supaya Bima berada dalam masalah. Sama seperti Malfoy membuat cedera tangan berkali lebih parah pada film ketiga Harry Potter. Patah tangan di sini adalah insiden yang bisa diganti, mereka tidak harus melakukan ini. Like, ada banyak cara untuk membuat tokoh ini nyalahin Bima, dan mereka memilih insiden yang pernah terjadi di Harry Potter. Sengaja atau tidak, buatku, sudah strike two.
Kalo ini adalah makanan, maka ini adalah paket komplit dengan minuman sekalian. Lucu, hangat, musiknya catchy, tidak merendahkan anak-anak, seru karena memberikan kepada kita pandangan dari dunia kuliner. It is a very good movie, dengan skenario yang kuat. Lebih baik daripada Kulari ke Pantai. Saat berurusan dengan anak-anak, kita bisa menjadi sedikit lunak. Aku harap aku bisa ‘lunakkan’ aturan penilaian angkaku karena ini film anak anak, but I won’t. Aku tidak ingin membedakan mereka dengan film orang gede. Dengan script sengelingker ini, cukup disayangkan juga kenapa di akhir cerita hanya Bima yang kelihatannya bener-bener berakhir sebagai koki. Judulnya toh jamak, aku pengen melihat teman-teman Bima mendapat arc yang menutup seperti Audrey. Juga ada elemen-elemen yang membuat film ini tak-terasa terlalu orisinil, meski memang dia mengekspan menu perfilman kita dengan sukses. Semoga filmmaker yang lain jadi ngiler dan kepancing untuk bikin lebih banyak film anak-anak yang berani berkompetisi dengan naskah film ini. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KOKI-KOKI CILIK.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Stepping out of your comfort zone is the best way to grow.”
Dunia superhero Marvel menjadi kecil dalam film Ant-man and The Wasp, tentu saja ‘kecil’ di sini bukan dalam artian kerdil karena minim aksi dan kurang kepentingan. Karena film ini meriah dan benar-benar sebuah ledakan menyenangkan. Kocak dengan gaya humor yang dapat kita bedakan di antara yang lain, much like sekuen aksinya yang merupakan gimmick khas yang selalu dinanti. Ceritanya lah yang mengambil ruang lingkup yang lebih kecil. Tidak ada ancaman kehancuran global, tidak ada malapetaka dahsyat dari luar angkasa. Scott Lang adalah contoh langka seorang pahlawan super yang benar-benar mengalami konsekuensi dunia nyata, dia gak punya duit banyak untuk membuat hidupnya lebih mudah, dia tidak benar-benar punya kekuatan super – kostum Ant-Man harus ia kenakan dengan prasyarat.
Dan dalam film ini, Scott Lang terpenjara di rumahnya sendiri.
Hidup Scott Lang sebagai manusia biasa saja sudah cukup susye, apalagi ketika dia harus mengemban tugas sebagai superhero. Nafsunya untuk menjadi pahlawan yang bener, sebagai lawan dari kehidupan kriminalnya – membuat Lang harus berada dalam posisi tahanan rumah selama dua tahun. Cerita film ini dimulai ketika Lang sudah dalam hari-hari terakhir masa tahanannya. Dia sudah enggak sabar menunggu alarm di pergelangan kakinya dilepas sehingga dia bisa pergi keluar rumah dan menjadi ayah yang ia inginkan bagi putri semata wayangnya. In a comical fashion, kita melihat bagaimana hari-hari dihabiskan olehnya; dia membuat lorong sarang semut dari kardus untuk main misi mencuri-mencurian sama anaknya, dia ngerock pake drum set mainan untuk anak kecil, dia dengan khusyuk membaca novel young-adult, dia latihan sulap lewat youtube. Zona nyaman pahlawan super kita diusik oleh Hope dan Hank Pym, mentor yang bikinin kostum superhero buat Lang. Keluarga ini bermaksud mencari ibu mereka yang hilang di dunia kuantum berpuluh tahun yang lalu – sebagai resiko jika mengecilkan tubuh melewati batas. Dan mereka pikir, Scott yang pernah keluar hidup-hidup dari dunia kuantum tersebut dapat membantu mereka.
Avengers: “Scott Lang, main yuuuukk, ada Thanos niiih” / Cassie: “Papa gak boleh keluaarr”
Setelah narasi pembuka yang entah bagaimana mengingatkanku sama porsi awal game God of War, film ini memang tidak pernah berhenti menyuguhkan sesuatu yang membuat kita terhibur. Kita seperti terus diping-pong antara karakter segar, dialog lucu, dan aksi berantem yang koreografinya supercepet dan bermain dengan tokoh-tokoh yang mengecil dan membesar sekejap mata. Film ini juga banyak bersenang-senang dengan adegan yang mengambil komedi pada persepsi kita terhadap ukuran. Adegan akan dimulai dengan tokoh-tokoh lagi ngobrol di mobil, kamera dibuat nyaris close up, untuk kemudian suatu yang enggak semestinya sebesar itu muncul dari belakang, shot di zoom out, dan kita sadar apa yang sebenarnya terjadi regarding dimensi ukuran tokoh-tokoh pada adegan tersebut.
Kita memang sudah semestinya harus bisa melihat gambaran besar dari suatu masalah, supaya kita bisa mengerti dalam mengambil langkah apa yang harus dilakukan. Tapi terkadang, gambaran besar yang harus dapat kita lihat itu, nyatanya, adalah penyederhanaan dari situasi yang menurut kita pelik.
Dibintangi oleh begitu banyak talenta, Ant-Man and the Wasp bergantung kepada keahlian sutradara dalam mengembangkan tokoh-tokoh yang ada. Peyton Reed tampaknya sudah nyaman dengan dunia superhero yang ia tangani sejak ‘episode’ pertamanya. Dia paham betul bahwa Ant-Man akan banyak bicara tentang fiksi ilmiah, jadi ia memainkan itu semua ke dalam komedi. Celetukan Lang bakal membuat kita terbahak mengenai kata ‘kuantum’ di depan setiap; that’s how ribet aspek keilmuan yang dipunya oleh film ini sebenarnya. Komedi tentu saja dilakukan supaya penonton enggak bingung diterpa eksposisi tentang bagaimana peraturan ilmu-ilmu yang dibahas pada cerita. Salah satu contohnya adalah bagaimana, seperti yang juga kita lihat pada film pertama, Michael Pena dengan terrific menceritakan kejadian saat diinterogasi oleh salah satu tokoh penjahat. Dia nyerocos cepat dan layar akan nunjukin gambaran yang sedang ia omongin, di mana para aktor akan ngelyp-sinc setiap dialog yang ia ucapkan. Film ini berhasil membuat eksposisi menjadi hal yang lucu. There’s also adegan ‘serum kejujuran’ yang sukses membuatku ngakak. Hank Pym yang diperankan oleh Michael Douglas juga salah satu favoritku di film ini, karakternya sort of pemarah dan suka ngedumel, tapi itu sebenarnya di dalam hati, dia sosok yang peduli. Pasif-agresif tokoh ini mirip sama tokoh Sam di serial GLOW, sutradara acara gulat khusus cewek yang punya gerutu tersendiri dalam nunjukin kepeduliannya terhadap pemain yang ia tangani, actually aku sedang ngikutin season 2nya – aku rekomendasikan serial ini buat kalian yang tertarik sama struggle pembuat acara tv yang kurang popular, dan drama komedi secara umum.
Balik ke Ant-Man and The Wasp, tho, Scott Lang sendiri enggak berada di kursi kemudi, kalian tahu, karena sebenarnya ini adalah cerita tentang Hope alias The Wasp. Menurutku, film ini punya masalah yang sama dengan Kulari ke Pantai (2018) di mana sebenarnya tokoh utama cerita film ini adalah tokoh lain, tetapi pada Ant-Man ini aku bisa melihat kenapa mereka gak bisa gitu aja mengganti tokoh utamanya menjadi The Wasp. Karena ini adalah universe Ant-Man, Ant-Manlah yang ada berperan di Avengers. Jadi, dia harus tetap menjadi tokoh utama, meskipun dia sebenarnya enggak begitu paralel dengan apa yang ingin dikatakan oleh film, dengan apa yang ingin dicapai oleh tokoh penjahat dan The Wasp. Jika di film pertama, Lang ditunjukkan sebagai mantan kriminal yang pinter, dia bisa bikin alat untuk masuk ke rumah orang, dia jago parkour, dia dengan cepat menguasai aplikasi kostum pengubah ukuran yang dipinjamkan kepadanya. maka di film ini dia hanya ngomentarin hal-hal dengan lucu. Kalo bukan karena pesona Paul Rudd yang bikin tokoh ini jadi begitu likeable, akan susah untuk peduli padanya sebagai tokoh utama. Dia bahkan gak benar-benar niat untuk sneak out dari rumah yang menahannya. Dia pernah mengalahkan Falcon, salah satu Avengers, dan di film ini dia diselamatkan dari tenggelam oleh The Wasp. Dan randomly dia tidak bisa menguasai kostumnya. Kita tidak ngecheer Ant-Man lebih besar dari kita menginginkan The Wasp berhasil reuni dengan ibunya, atau bahkan itupun kita tidak benar-benar mencemaskan keselamatan Pym yang masuk ke dunia kuantum. Film memang seperti kurang greget, tapi tidak bisa dipungkiri cerita dibangun dengan The Wasp sebagai highlightnya.
Jika The Wasp tidak segera meminta bantuan kepada Ant-Man, dia akan kehilangan ibunya. Jika Ghost – tokoh antagonis di sini – tidak mencuri lab dan teknologi dari ayah Wasp, dia akan mati. Dua tokoh ini harus segera keluar dan mengusik zona nyaman yang membawa malapetaka bagi mereka. Ant-Man adalah kontras dari ini, dia tidak perlu melakukan semua itu. Dia bisa duduk baik di rumah dna dia akan menjadi ayah yang baik. Dia diseret ke dalam situasi di mana dia tak punya jalan lain selain mesti berhasil, demi kembali ke zona nyamannya.
Tayang setelah Avengers: Infinity War (2018)yang begitu depressing, film ini mendapat keuntungan hadir sebagai film yang didesain untuk menjadi tontonan yang menyenangkan. Hampir tidak ada unsur suram pada film ini. Sangat ringan dan luar biasa menyenangkan. Makanya, aku pikir kita akan gampang bias dalam menyingkapi film ini. Kita menganggapnya segar, karena kita baru saja dibuat ‘dendam’ sama Thanos. Namun, bayangkan jika kita menonton ini lagi, jauh nanti setelah Infinity War, atau bayangkan ada orang yang belum nonton Infinity War dan dia hendak marathon Ant-Man dan Ant-Man 2.. Tidak ada yang begitu berbeda pada dua film Ant-Man. Sekuelnya ini tidak benar-benar sesuatu yang fresh dibandingkan dengan film pertamanya. Malahan, tokoh utamanya jadi kurang kuat, meskipun keseluruhan film tetap adalah tontonan yang ekstra menyenangkan. I guess film ini benar-benar dipush untuk menjadi menyenangkan, karena ada rencana di dalam dunia sinematik ini. Tapi kita harus melihat film sebagai sesuatu yang berdiri sendiri; film ini mampu, tapi banyak elemen yang sebenarnya tampil lebih lemah. Satu tokoh jahatnya, si Burch, kehadiran tokoh ini memang mengundang tawa di ujung, tapi in a long run karakternya enggak benar-benar penting. Sekiranya dihilangkan, beberapa hal pada film ditulis ulang, cerita mungkin bisa menjadi lebih baik.
berkat film ini kita tahu for a fact bahwa suara semut bukan “oee..oee” seperti yang disebut pada lagu anak-anak
Alih-alih dunia, film ini bicara mengenai menyelamatkan keluarga; yang mana adalah semesta personal bagi setiap individu. Menghibur kita dengan ritme yang cepat, aksi-aksi dnegan efek komputer yang memukau, tokoh-tokoh yang kocak, akan susah sekali untuk terkulai tertidur ketika menonton ini. Bisa dibilang, film ini mengorbankan cerita yang lebih kuat, karakter yang lebih baik, demi tampil lebih ringan bahkan dari film pertamanya. Dia akan menjelaskan hal-hal dengan cara yang lucu, jika tidak bisa, maka film akan meninggalkannya tanpa penjelasan. Film mengharapkan kita, terutama pada babak ketiganya, untuk menerima saja, atau paling enggak sudah membaca komiknya. Big Hero 6 (2014) akan menghasilkan impresi yang lebih membekas untuk tantangan dan tema yang nyaris serupa. Setelah Infinity Wars, gampang untuk dengan cepat bilang film ini fresh, tapi jika dibandingkan dengan film pertamanya, film ini lebih kompleks. Namun kekompleksannya tidak dimainkan dengan benar-benar membuatnya unggul dan berbeda. But hey, it’s a small world, afterall. The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ANT-MAN AND THE WASP.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Terserah kita, sebagai penonton yang terhanyut oleh petualangan luar angkasa ketika menonton Star Wars original, mau milih pengen kuat kayak Luke Skywalker atau mau sekeren Han Solo. Buatku, jawabannya selalu adalah Han Solo. Dia lucu, jago nembak dan nerbangin pesawat, dan dia sombong akan hal tersebut. Sesuatu yang hebat pada tokoh ini adalah gimana dalam skenario cerita fantasi yang larger-than-life itu dia terasa seperti orang biasa yang lagi nongkrong di planet nun jauh di sana. Han bukan pejuang Jedi, dia hanya seorang penyelundup barang. Tapi melihat dari teman gaulnya yang monster berbulu, kita tahu Han Solo sudah melewati banyak petualangan seru; yang membuat tokoh berandal ini lebih menarik ini.
Jadi, tentu saja natural bagi studio yang punya hak nyeritain kisahnya pengen menggali lebih banyak soal petualangan solo dari seorang Han Solo. Dan setelah melalui banyak kemelut produksi, bolak-balik diarahkan banyak orang sebelum akhirnya Ron Howard mendapat kredit final sebagai sutradara, film yang memperlihatkan kepada kita seperti apa Han Solo sewaktu masih muda akhirnya mendarat juga. Sebagai sebuah aksi petualangan, film ini sangat exciting. Akan ada banyak adegan kejar-kejaran dengan kendaraan yang hanya bisa kita bayangkan, entah itu ketika Han melarikan diri atau mau menyelamatkan sesuatu, dengan keseruan yang terbangkit oleh menit-menit terakhir skill kenekatan Han Solo yang beruntung itu menunjukkan tajinya. Adegan di kereta api dan adegan kabur dari monster dengan Millennium Falcon itu sungguh luar biasa menyenangkan. Ya, dengan serunya film ini akan memberikan jawaban seputar kehidupan awal dari Han sebelum adegan pertama di Star Wars episode IV (1977), tentang bagaimana dia bisa berteman dengan Chewbacca, asal usul dirinya bisa berada di balik kursi pilot pesawat angkasa paling ngehits di dunia – Millennium Falcon – yang tentu saja kita juga akan melihat interaksi Han dengan Lando Calrissian. Kita akhirnya akan melihat langsung peristiwa menarik gimana tepatnya Han memenangkan Millennium Falcon dari taruhan dengan Lando. Pretty much apa yang kita suka dari karakter Han Solo, kesombongannya, skillnya, keberuntungannya, akan diangkat dalam film ini.
dan ada droid yang mendambakan kesetaraan hak antara mesin dengan manusia hihihi
Yang sering luput dari pembicaraan rangorang ketika ngegosipin Han Solo adalah mengenai sikapnya yang suka jengkel dengan ketidakkompetenan makhluk di sekitarnya. Selain kocak, jago, tengil, dan segala macam sikapnya yang charming tersebut, Han Solo cukup ‘galak’ ketika ada orang yang tidak melakukan sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Ada banyak kejadian yang menunjukkan trait karakternya ini dalam film-film Star Wars terdahulu, seperti misalnya ketika Han bete ngejelasin cara kerja Force kepada Rey dan Finn di Star Wars The Force Awakens, “That’s not how the Force works!”. Han Solo punya sedikit superiority complex, namun dia susah mengekspresikannya oleh sebab deep inside, dia adalah orang yang lebih memilih untuk rileks dan melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dalam Solo: A Star Wars Story inipun aspek karakter itu nyaris lupa diangkat. Film actually mengerti, mereka mengolah cerita dengan tema kepercayaan terhadap orang lain, yang berusaha mereka sangkutkan dengan sikap grumpy Han terhadap orang sekitar, like, lewat film ini kita akan mengerti kenapa Han Solo lebih suka bertindak sendiri – atau paling enggak kenapa dia hanya percaya berat kepada Chewie. Hanya saja, aspek ini dimainkan oleh film dengan datar, lebih kepada sebagai komedi dan tidak benar-benar membuat aspek ini sebagai kedalaman yang berarti bagi si tokoh sendiri.
Dibesarkan di bawah naungan geng bandit di pipa-pipa bawah tanah menjadikan Han Solo punya insting untuk selalu bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, apa yang ia lakukan lebih sering mengharuskannya untuk mempercayai diri sendiri, berimprovisasi tidak menurut sama perintah. Konflik inilah yang membebani Han Solo pada hari-hari awal petualangannya. Kepercayaan adalah jalan dua-arah. Simpelnya, jika kita tidak percaya kepada orang lain, maka pada gilirannya, mereka pun akan mengalami kesusahan untuk mempercayai kita. Han Solo pada akhirnya membuat perhitungan ini menjadi lebih sederhana lagi; dia memasukkan keberuntungan dalam ekuasi yang harus ia percaya.
Sebenarnya Solo ini dapat menjadi cerita yang menarik, dengan pertimbangan bahwasanya ia adalah cerita yang tidak benar-benar harus terkait langsung dengan trilogi original. Akan tetapi, jika kita menggarap sebuah prekuel dari cerita yang sudah dikenal luas, maka akan selalu ada tuntutan – akan selalu ada beban, lantaran cerita yang sedang kita bikin sudah tertambat oleh cerita yang lain. Mau tak mau kita harus mengembangkan cerita baru ini ke arah yang orang sudah tahu, dan jika ada beda dikit aja, kesinambungan cerita gedenya akan terganggu. Dan kalo sudah begitu, siap-siap menghadapi celotehan protes terutama dari para fans. Yang mau aku bilang adalah, butuh nyali untuk menggarap prekuel. Yang sayangnya, nyali ini tidak aku temukan dalam film Solo.
Jarang sekali film ini membahas dalem tentang Han Solo itu sendiri, meskipun kalo mikir logika ini adalah cerita tentang dirinya. Kita hanya melihat petualangan demi petualangan, tanpa ada bobot karakter di dalamnya. Film ini secara berhati-hati membuat kejadian, sehingga jika kita nonton film ini kemudian dilanjutkan dengan film Star Wars yang pertama, tidak ada cerita ataupun interaksi tokoh yang terasa janggal. Tidak ada kontinuitas yang dicoreng. But at the same time, apa yang film ini accomplished regarding tokoh Han Solo itu sendiri; nol besar. Han Solo tidak diberikan aspek yang baru kita lihat, dengan lain kata; tidak ada development. Mereka hanya mengeksplorasi hal-hal yang ingin kita minta, yang mana membuat film ini terasa seperti fans service semata, tanpa menempuh resiko apa-apa. Seolah mereka sebenarnya tidak punya sesuatu yang ingin diceritakan lagi dari Han Solo sebagai seorang karakter, selain petualangan-petualangan itu.
Salah satu alasan Harrison Ford menginginkan Han Solo meninggal di Return of the Jedi adalah karena dia merasa karakter ini enggak punya banyak kedalaman sehingga dengan membuatnya melakukan pengorbanan, Han Solo bisa mendapat peningkatan karakter. Dan kita melihat keinginan Ford ini dikabulkan pada The Force Awakens, dan kita bisa rasakan sendiri gimana kematian itu menambah banyak bagi Han sebagai seorang karakter. Dia jadi punya sesuatu yang lebih dalam untuk kita rasa. Dalam Solo kali ini, sayangnya, tokoh Han Solo tidak berusaha untuk digali lagi. Plot tokohnya tipis. Tidak banyak ruang gerak yang diberikan kepada Alden Ehrenreich untuk menerbangkan karakter ini. Dia hanya senyum smug, ngedipin sebelah mata, nunjuk-nunjuk, seperti yang dilakukan oleh Han Solo yang kita kenal. Sepatu yang ditinggalkan oleh Harrison Ford buat tokoh ini adalah sepatu yang besar, dan arahan cerita yang tidak berani mendorong batasan ini membuat Han si Alden tampak tak lebih dari seperti parodi dari Han Solo yang asli. Interaksi Han Solo dengan tokoh-tokoh yang lain pun terasa terbatas. Dia punya hubungan romansa dengan cewek dari masa kecilnya yang turns out menjadi salah satu elemen gede dalam cerita (yang tampaknya berlanjut ke sekuel). Han diberikan tokoh mentor yang ngajarinnya soal dunia selundup-selundupan, tapi sama sekali tidak tampak seperti demikian, mereka malah tampak seperti teman satu tim. Dengan Lando dan Chewie-lah, film menemukan titik terang. Donald Glover sebagai Lando adalah pilihan yang tepat, dia tidak tampak bermain menjadi seperti aktor lain yang memainkan tokoh Lando, dia memberikan sentuhan lain buat karakter yang kita kenal ini.
“This is Sabbac, don’t catch you slippin’ now”
Bukan berarti ini adalah film yang jelek. Aku sendiri enggak akan ragu untuk nonton ini dua kali. Adegan-adegan aksi petualangannya seru, film ini tahu cara ngebuild stake sehingga membuat para tokoh utama kelihatan menghadapi sesuatu yang actually bisa gagal. Hanya saja film ini mengecewakan karena tidak berani mengembangkan sesuatu yang baru. Alih-alih punya cerita Han Solo yang ingin digali, membuatnya semaki dalem sebagai sebuah karakter, film lebih memilih untuk sekedar memperlihatkan asal muasal adegan-adegan yang kita tahu. Tanpa menempuh resiko. One way or the other, apa yang mereka lakukan di sini membuat aku percaya kepentingan eksistensi film ini tak lebih dari sekadar karena uang. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SOLO: A STAR WARS STORY.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“A hero is someone who has given his or her life to something bigger than oneself.”
Aku gak akan bohong, aku super excited nungguin film ini keluar. I mean, siapa yang enggak?!! Begitu banyak jagoan buku komik bermash-up seru, team up, lengkap dengan potensi aksi-aksi kekuatan super yang begitu beragam, jelas sisi nerdy kita semua akan menjerit kegirangan. Sekaligus juga, sebagai penonton film, aku mengelinjang demi penasaran gimana mereka menghandle sekian banyak tokoh superhero, gimana cara mereka membagi porsinya, cerita macam apa yang bakal mereka sajikan, siapa yang jadi tokoh utama?
Well, yea, Marvel Studio sendiri dalam rangkaian promo mereka menyebut, dalam film ini akan ada enam-puluh-empat tokoh utama. Yang mana adalah angka yang sangat luar biasa, yang bagi yang ngerti penulisan skenario pastilah lebih mencengangkan lagi karena bagaimana bisa memfokuskan pada segitu banyak sudut pandang, akankah dua setengah jam will do justice kepada semua tokoh. Akan selalu ada satu perspektif yang berdiri lebih tinggi daripada yang lain. Ketika trailer pertama film ini dirilis, para fans dan penggemar film ramai berspekulasi. Kafe eskrimku pun pernah seketika jadi ruang debat seru, para pengunjung terlibat percakapan berlarut mengenai spekulasi mereka tentang apa yang bakal terjadi di film ini. Aku sempat berkelakar bahwa Thanos yang menjadi tokoh utama alih-alih Ironman atau Captain America. Dan setelah menonton ini (setelah semua asap ledakan kefanboyan itu menipis dan sirna), kelakarku berubah menjadi pendapat utuh. Aku pikir Thanos lah – si raksasa ungu yang menghancurkan planet-planet itu – yang menjadi tokoh utama sebenarnya bagian satu dari film final Avengers ini. Dan sekalipun mungkin aku salah, melihat film dari titik pandang Thanos tetap adalah cara paling menarik bagi kita menikmati cerita Infinity War. Thanos punya motivasi, dan film ini adalah tentang para superhero berusaha mencegah motivasi tersebut menjadi kenyataan, dan pertanyaan besar yang menggantung adalah apakah Thanos berhasil meraih apa yang ia inginkan.
enggak, aku enggak akan bikin candaan mainstream seputar Thanos dan batu akik
Thanos sedang dalam pergerakan mengumpulkan enam Batu Keabadian dari seluruh penjuru galaksi. Dia sudah berhasil mendapatkan Power Stone. Adegan pembuka film memperlihatkan detik-detik dia mengambil Space Stone alias Tesseract dari tangan Loki dalam sekuens menyayat hati. Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita akan kehilangan dua tokoh yang masuk kategori ‘favorit’ di kalangan fans, yang tentu saja melandaskan mood sekaligus peringatan; film ini tidak ragu-ragu untuk mencabut entah berapa nyawa favorit lain hingga penghujung ceritanya. Sementara Thanos bisa saja sudah mengetahui kemana harus mencari Soul Stone dan Reality Stone, kita tahu pasti dua Batu terakhir ada di Bumi. Doctor Strange literally memakai Time Stone sebagai kalung demi menjaganya. Dan Mind Stone adalah sumber nyawa dari Vision. Cepat atau lambat Thanos akan berurusan dengan Avengers. Serta dengan Guardians of the Galaxy, mengingat Gamora punya urusan personal sebagai putri angkat Thanos. Para superhero tersebut harus berjuang sekuat tenaga, sebab jika Thanos berhasil mendapat kekuatan maha dahsyat dari mengumpulkan batu-batu tersebut, Thanos akan mampu menghapus setengah eksistensi di alam semesta hanya dengan satu jentikan jari saja.
Sejak nongol di trailer, Thanos langsung hits. Banyak yang berkomentar soal penampilan karakter CGI ini yang dinilai terlalu manusiawi. Aku banyak melihat meme yang menyebut Thanos seperti Stone Cold Steve Austin, Goldberg, atau banyak lagi superstar WWE lain. Well, turns out ternyata Thanos lebih mirip Alexa Bliss ahahaha, penggemar wrestling pasti paham lelucon ini, I mean, lihat aja gerakan Thanos ketika menggunakan kekuatan gauntlet Infinity saktinya; persis kayak gaya Alexa dengan sarung tangannya hihihi… Anyway, perihal wujud Thanos dirancang enggak begitu intimidating jika kita bisa overlook badan raksasanya; itu karena ternyata Thanos memang punya sedikit hati. Kita diniatkan untuk merasakan sedikit simpati kepadanya. Thanos percaya apa yang ia lakukan adalah hal yang benar; bahwa dia juga melakukan tindak yang heroik. Keseimbangan dunia adalah apa yang ingin diwujudkan oleh Thanos. Dia punya moral kompas sendiri. Sering adegan akan membawa kita berkunjung melihat Thanos, mengenali Thanos dalam lapisan yang lebih dalam. Adegan-adegannya dengan Gamora menjadi inti cerita yang mengungkap siapa Thanos. Sirkumtansi memang lebih sedikit terlalu popcorn, terlalu membuatnya seperti penjahat buku komik, tapi Thanos tetap adalah karakter yang menarik dengan moral kompasnya sendiri. Enggak gampang memainkan karakter yang sepenuhnya CGI, namun Josh Brolin berhasil menghidupkan Thanos, memanusiawikannya.
Ini mungkin aku yang kebanyakan nonton My Hero Academia, tapi aku pikir film ini punya ‘suara’ yang sama dengan anime tentang sekolah superhero tersebut. Jika ada yang bisa kita petik dari Thanos di film ini, maka itu adalah Thanos mengajarkan kepada kita perbedaan antara hero dengan villain; pahlawan dengan penjahat. Thanos boleh saja merasa pahlawan di sini, karena ini adalah ceritanya. Namun sejatinya, pahlawan enggak akan pernah mengorbankan sebahagian yang lain. Pahlawan akan mengorbankan dirinya sendiri.
Selain beberapa menit terakhir yang terasa begitu dingin, suram, sekaligus mengundang penasaran (saking penasarannya aku jadi nungguin post-credit, padahal sejak Ironman 1 aku gak pernah peduli sama post-credit scenes), sebagian besar film ini terasa menegangkan dengan sangat menyenangkan. Memuaskan melihat tokoh-tokoh superhero itu bertemu untuk pertama kali. Akan ada banyak interaksi yang kocak, yang datang dari para tokoh yang sengaja dikontraskan. Thor dengan Star-Lord misalnya, film menggali komedi dari Star-Lord yang merasa minder karena kalah macho, jadi dia berusaha untuk tampil ‘sangar’. Infinity War menjadi menarik dan benar-benar kocak ketika komedi-komedi yang dihadirkan diangkat dari sifat dan watak karakter. Dari betapa berbedanya mereka satu sama lain, dan gimana mereka diharuskan untuk bekerja sama. Kita akan melihat grup superhero terbagi menjadi beberapa grup, Thor dengan Rocket dan Groot Remaja (yang begitu angsty kerjaan main mobile legends melulu hihi) berusaha mencari pembuat senjata, Tony Stark dengan Dr. Strange dan Spider-man (how awesome is that!), berusaha menyetop Thanos di kandangnya sendiri, ada juga Scarlet Witch dan Vision yang berusaha mencari jalan keluar menghancurkan Mind Stone tanpa membahayakan nyawa Vision sambil diburu oleh anak buah Thanos. Dan bicara tentang itu, aku suka gimana pasukan alien tersebut justru berhasil dipukul mundur oleh divisi pasukan asli Bumi – Captain America, Black Widow, Falcon. Satu lagi yang menurutku keren adalah Thor lawan Thanos yang menguar referensi mitologi – Thor yang padanan Zeus pada budaya celtic berhadapan dengan Thanos yang namanya dimodifikasi dari Chronos, titan yang dikalahkan Zeus.
adegan endingnya bikin aku pengen ngacungin ibu jari sambil nyeletuk “RCTI okeeee!!”
Sebaliknya, komedi khas Marvel tersebut menjadi cheesy dan membawa kita keluar dari cerita ketika mereka menyisipkan celetukan-celetukan yang enggak ada hubungannya dengan karakter, misalnya ketika Dr. Strange nimpalin “Thanos siapa?” di adegan yang seharusnya enggak perlu diliteralkan seperti demikian, yang enggak ada kepentingan selain mencairkan suasana. Atau ketika Tony Stark membuat some remark musuhnya mirip Squidward di tengah pertempuran. Film ini bicara tentang keseimbangan, tetapi keseimbangan adalah tugas yang susah jika kita punya begitu banyak tokoh untuk ditampilkan. Akibatnya, banyak yang enggak dapat peran yang signifikan. Black Panther aja perannya di sini cuma sebagai komando perang yang bertempat di Wakanda. Hulk, yah, kita cuma melihat monster hijau ini di sekuen pembuka karena Banner diberikan arc apa yang ia lakukan jika Hulk menolak muncul di saat yang dibutuhkan. Bahkan beberapa tokoh harus diwrite off gitu aja.
Infinity War adalah culmination dari banyak penokohan, semua tone karakter yang ditulis dan divisikan oleh beberapa penulis dan sutradara berbeda digodok menjadi satu, sehingga tentu saja akan ada beberapa tokoh yang tampak bertindak di luar karakter mereka. Ini kayak waktu aku ikutan estafet nulis novel; aku harus melanjutkan apa yang ditulis orang lain, tetap berusaha ngikutin karakterisasi yang udah ditetapkan sambil menegmbangkan sesuai visi sendiri, dan setelah itu akan ada penulis lain yang melanjutkan menulis karakter yang aku buat. Jelas akan ada sedikit ketidakkontinuan, dan di film ini kita menjumpai hal tersebut misalnya pada karakter Thor, dia sudah berevolusi di film terakhirnya, untuk kemudian di film ini dia kembali revert back seperti dirinya yang dulu; matanya yang hilang ada lagi, palunya yang hancur dibuat lagi.
Sementara semua jajaran pemain kelas atas itu bersenang-senang dengan karakter mereka seolah film ini adalah sebuah pesta pora di mana undangannya enggak sabar untuk menunjukkan kelebihan masing-masing, sutradara Anthony dan Joe Russo tidak berhasil mencetak sesuatu yang distinctive pada arahan mereka. Setelah Thor: Ragnarok (2017)dan Black Panther (2018), Infinity War tampak seperti kembali ke dasar di mana yang penting adalah superhero dan villain yang berantem dengan dahsyat dan seru.
Enggak gampang menampilkan begitu banyak dalam ruang yang lumayan sempit. Penceritaan film ini pada dasarnya memberikan ruang gerak yang sangat terbatas bagi pengembangan dan kualitas cerita semacamnya, makanya kita dapat begitu banyak adegan ngobrol, entah itu di dalam ruangan, bahkan adegan aksinya pun dilakukan sambil ngobrol. Tapi film berhasil melakukannya, katakanlah dengan subtil – enggak begitu terasa. Ada eksposisi, namun tidak begitu memberatkan. Karena kita sudah excited duluan. Film berhasil bermain-main dengan karakter sebanyak itu, menjelang penghabisan, film berubah menjadi sesuatu yang depressing. Namun tetap berhasil menutup cerita. Jika ada satu kata yang menggambarkan Thanos dan para superhero, maka itu adalah ‘sersan’; serius tapi santai. Eh, tapi itu tiga kata, ding! The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for AVENGERS: INFINITY WAR.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“The best way to gain self-confidence is to do what you’re afraid to do.”
Sebagaimana kita tidak bisa menilai film gitu aja dari trailernya, betapapun kecewanya, aku tidak bisa mengatakan A Wrinkle in Time sebuah film yang buruk semata karena lagu Scar to Your Beautiful nya Alessia Cara yang udah bikin trailer film ini terasa empowering, sama sekali tidak ditemukan di actual filmnya. Akan tetapi, petualangan fantasi anak-anak terbaru dari Disney ini menjelma, dari novel dengan pesan dan pelajaran tentang perbedaan yang kuat menjadi film yang kurang memuaskan untuk alasan yang lain. Dan sebagaimana guru waktu SD dulu suka memuji sebelum menasehati “tulisan tangan kamu bagus ya, tapi…..”aku akan mengulas terlebih dahulu elemen-elemen yang membuat film ini pantas untuk ditonton lantaran ia berbeda dari fantasi kebanyakan (bahkan dari film superhero), supaya A Wrinkle in Time punya kesempatan untuk berjuang.
Beberapa momen di babak awal yang menyangkut keluarga tokoh utama kita, Meg, benar-benar terasa menyentuh. Kehangatan di rumah tangga mereka yang multikultural menguar deras. Kedua orangtua Meg adalah ilmuwan. Meg terutama sangat dekat dengan ayahnya yang berkulit putih. Adegan-adegan emosional nantinya akan banyak melibatkan hubungan ayah dan putrinya ini, dan film melandaskan bibit-bibit tersebut dengan sangat baik. Ayah Meg bereksperimen dengan ide yang menarik seputar bahwa dimensi di alam semesta bisa dilipat umpama kertas sehingga seseorang bisa bertransportasi dari ujung dunia ke ujung satunya lagi, berpindah beribu-ribu tahun cahaya, hanya dalam beberapa detik. Oleh percobaan tersebutlah, ayah Meg menghilang begitu saja. Empat tahun dia tak kembali, padahal namanya bukan Bang Toyib. Peristiwa ini sangat mempengaruhi Meg. Seketika dia menjadi tertutup, kepintarannya tak lagi cemerlang, hubungan sosialnya meredup – ia jadi dibullly teman-teman di sekolah. Semua aspek karakter Meg ini ditangkap dengan otentik oleh cerita, membuat aku merasa kasihan kepadanya. Meg terlibat masalah di sekolah, dia tidak lagi konfiden bergaul karena selalu memikirkan sang ayah. Sampai ketika tiga wanita aneh bertandang ke halaman belakang rumahnya. Mereka mengajak beserta adik dan cowok teman sekelas Meg mengarungi dimensi dunia demi mencari ayah Meg yang kemungkinan besar masih hidup di suatu tempat di pelosok semesta.
Setiap kita pernah takut untuk menjadi diri sendiri. Ragu untuk berdiri demi keyakinan sendiri. Padahal di dunia yang penuh warna-warni, kita paling tidak boleh untuk kehilangan jati diri. Karena jika cantik itu luka, maka sebaliknya kita bisa mengenali kekurangan yang dimiliki dan menjadikannya sebagai kekuatan.
Film bekerja dengan ketulusan dan genuine maksimal pada titik terendah hidup Meg – saat dia harus berurusan dengan kehilangan dan kekecewaan mendalam yang tak ia tunjukkan. Kisah yang berpusat pada anak-anak sembari menekankan kepada kebimbangan perasaan, diwarnai dengan perbedaan kulturasi, mungkin baru sekali ini dibuat segrande ini. Karakter Meg adalah seorang kutubuku, yang justru jarang tampak pintar karena ia menutup semua rapat-rapat. Ke-insecure-annya membuat tokoh ini menjadi efektif sebagai tokoh utama. Meg harus belajar untuk mengenali kekurangan yang ia miliki. Storm Reid yang memerankan Meg lumayan baik memainkan adegan-adegan emosional yang dibebankan kepadanya. Penonton cilik akan gampang terelasi kepada tokoh ini, pun dia membawa pesan yang bagus yang bisa mereka petik dari anak cewek yang enggak pede sama apa yang dianugrahi kepadanya. Aku gak yakin apakah arahan dari sutradara Ava DuVernay mengharuskan Reid senantiasa tampil ‘gak lepas’ atau gimana, karena pada beberapa adegan di mana Meg discover hal-hal menakjubkan (kayak manusia berubah menjadi monster daun selada cantik) di depan mata kepala, anehnya Meg tidak kelihatan surprise-surprise amat.
aku mungkin gelinjang gila-gilaan demi ngelihat Oprah raksasa di halaman rumah
Baru-baru ini, aku membaca berita mengerikan yang dishare temen di twitter; tentang anak empat tahun yang membunuh adik bayinya karena sering dibecandain dengan “ada adek, nanti mama gak sayang lagi ama kamu”. It was such a terrible joke yang bisa dilontarkan orang dewasa kepada anak kecil, sebab kasih sayang antar anggota keluarga semestinya tidak perlu lagi dipertanyakan. Film ini bilang, cinta itu ada meski sering tidak kelihatan. A Wrinkle in Time, dalam kapasitas bijaknya, membuat perubahan dari source material sehubungan dengan Meg dan adiknya. Kita lihat Meg sempet bimbang juga ketika ayahnya berniat mengadopsi bocah bernama Charles Wallace. Dan sesungguhnya elemen adik adopsi ini menambah lapisan relationship Meg dengan keluarga, sekaligus menambah bobot terhadap aspek keluarga multicultural. Utimately, adik adopsi ini berperan penting terhadap tema besar yang diusung oleh film, yaitu kekuatan cinta, sebab antara Meg dan Charles bukan lagi sekedar keharusan karena mereka berhubungan darah, it is actually cinta sejati yang terbentuk di antara dua yang merasa sebagai sebuah keluarga.
Kita harus menerima hal yang tidak bisa kita ubah, dan pada gilirannya kita harus menerima bahwa kita harus melakukan sesuatu perihal hal yang bisa kita ubah. Jangan takut. Kita harus belajar menyinta, sebab kemenangan dengan cinta adalah kemenangan yang sesungguhnya.
Menemukan kembali ayah memang adalah tujuan mereka, namun petualangan antardimensi yang mereka tempuhlah yang menjadi kunci petualangan mereka – yang mana juga adalah faktor yang mestinya paling kita nikmati. Di planet pertama, rombongan Meg singgah di tempat di mana perbukitannya hijau, lautnya berkilau cemerlang, dan bunga-bunganya bisa ngegosip pake bahasa warna. Sekuens yang mengikuti di poin ini benar mengagumkan. Dan, mengesampingkan fakta bahwa film gagal untuk mengeksplorasi bahasa warna dan elemen fantasi lain, sekuens di planet ini adalah pemandangan terbaik yang dipunya oleh film secara keseluruhan. Sayang memang, untuk petualangan yang lain, efek yang digunakan tidak seimpresif yang diniatkan untuk tercapai, apalagi untuk ukuran budget sekantong pundi milik Disney.
Untuk memperparah lagi, film menjadi sangat ketergantungan kepada efek-efek ini, padahal tadinya kita udah dibuat percaya dan menapak kepada hati cerita. Masuk babak kedua, hingga akhir, hanya pertunjukan efek dengan banyak cerita yang disumpelin biar muat seratusan menit. Sentuhan manusiawinya tak lagi terasa kuat. Kita dituntun oleh dialog-dialog eksposisi, dan desain suara serta musik soundtrack yang sangat intrusif. Pada awal penerbitan bukunya di tahun 1962, cerita A Wrinkle in Time sudah dicap sebagai tidak-bisa-diadaptasi. Pada film ini terlihat jelas, terbukti bahwa ketidakbiasaan itu bukan karena teknologi melainkan karena apa yang harus diperlihatkan akan berbenturan dengan pesan cerita mengenai berimajinasi. Kekuatan narasi itu berkurang setingkat. Pun terasa ironis, untuk sebuah cerita yang memerlukan tokohnya untuk tidak mementingkan penampilan, film ini – tidak bisa tidak untuk – terlihat luar biasa berjuang menyuguhkan visual yang cantik. Akibatnya, pesan maupun penyimbolan yang berusaha diintegralkan ke dalam adegan menjadi tidak lagi bertenaga.
“Daaaaamn” Tucker, Amerika
Film ini bicara tentang menjadi satu dengan semesta. Sendirinya, film terlihat berdiri goyah di batu-batu gem di dalam gua planet tempat Zach Galifianakis bersemayam. Berusaha menyeimbangkan visual dengan cerita, tema dengan fantasi. Berhasil? Tidak juga, cerita kewalahan berpindah dari hubungan keluarga, ke berlarian menyelamatkan diri, ke romansa anak remaja, dan kebanyak mode lainnya. Jadinya banyak yang tertinggalkan datar. Ketiga ‘penyihir eksentrik’ itu misalnya, mereka mestinya bisa lebih banyak berperan daripada sekadar pembimbing yang bertutur paparan. Film justru menyandarkan bahunya kepada pemeran anak-anak, yang mana masuk akal karena ini adalah film anak-anak, hanya saja, umm pilihan aktornya mestinya bisa lebih dipikirkan lagi. Peran Charles Wallace tampaknya memang terlalu besar bagi aktor cilik Deric McCabe. Cerita banyak memberikan tugas dan range buat tokoh ini, yang disampaikan oleh McCabe dengan sama sekali tidak meyakinkan. It was very bad. Terutama ketika wajahnya diclose up, pada babak terakhir sering tuh, ekspresinya tampak sangat dibuat-buat.
Yang bikin aku ngakak adalah ketika Meg berteriak gimana dia tidak mau kehilangan adiknya, dia enggak akan biarkan adik terpisah dari dirinya, sementara pada adegan sebelum itu kita sama-sama melihat dia oke-oke saja berlarian dikejar angin gede tanpa kehadiran Charles, dan Meg tidak tampak merisaukan hal ini. Untuk kemudian Charles muncul begitu saja entah darimana. Ketidakkonsistensian kayak gini yang jadi pertanda cerita film sangat njelimet.
Meninggalkan elemen sci-finya, ini adalah cerita yang mengajarkan anak untuk mencapai kepercayaan diri. Tokoh utama film ini dihadapkan pada tantangan berupa kehilangan dan tuntutan sosial, yang mana ada kondisi yang juga tak bisa dihindari di luar sana. Anak kecil bisa saja akan sangat menyukai film yang menjadikan perwakilan mereka sebagai pusat semesta. Hubungan antarkeluarganya pun dibahas dengan hangat. Tapi penceritaannya bisa sangat kontra dengan apa yang mau disampaikan. Terlalu banyak yang dibahas juga, judulnya pun sepertinya lebih tepat kerutan pada tempat, alih-alih waktu, yang kemudian turut menambah kerutan pada kening kita saat menyaksikannya. The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for A WRINKLE IN TIME.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“The worst part of self destruction is that you are fully aware of it but there’s nothing you can do to stop it.“
Dunia yang damai akan selalu mengundang orang-orang bodoh untuk merusaknya. Kata-kata Goku di komik Dragon Ball tersebut masih suka nempel di kepalaku, karena memang ada benarnya. Contoh simpelnya pada diri sendiri, udah bagus sehat-sehat tapi kita cenderung suka makanan yang lezat ketimbang yang bergizi. Kita males olahraga. Garis finish hidup memang pada kematian, namun sepertinya kita diprogram untuk merusakkan diri. Sel tubuh kita diatur untuk bisa menua, dan kebiasaan hidup kita mempercepatnya. Kebanyakan kita masih menganggap bunuh diri adalah perbuatan tercela, namun toh beberapa dari kita masih ngerokok, minum-minum. Orang pacaran akan punya keinginan buat nambah pacar. Pasangan yang sudah bahagia menikah, tetep aja kadang memilih selingkuh, baik dengan manusia lain ataupun dengan pekerjaan. Sampai di kalimat inilah, Lena (Natalie Portman memerankan wanita yang berusaha menumpas kesalahannya dengan sangat baik) terhenyak.
Bukan semata karena ia seorang ahli biologi mantan tentara, maka Lena secara sukarela ikutan ekspedisi rahasia ini – meski memang keahliannya tersebut terbukti sangat dibutuhkan di lapangan. Suami Lena, seorang sersan adalah satu-satunya tentara yang berhasil keluar dari misi satu-tahunnya, itupun dalam keadaan setengah sehat. Jadi Lena memutuskan ia harus mencari tahu apa yang menyebabkan suaminya mengalami pendarahan hebat setelah minum air. Bersama empat cewek ilmuwan lain, Lena masuk ke zona unknown yang dibatasi oleh dinding tembus cahaya yang berpendar warna pelangi – bayangkan gelembung di iklan sabun, kurang lebih begitu hanya lebih besar dan indah – yang mereka sebut “Shimmer”. Zona tersebut semakin hari semakin meluas, menjauh dari pusatnya; sebuah mercusuar di pinggir pantai yang ditabrak meteor. Tim Lena harus menyelediki sampai ke titik itu, guna mencari tahu apa sebenarnya Shimmer ini, apakah tembok alien ini berbahaya bagi lingkungan atau enggak, kenapa setiap pasukan yang dikirim ke sana selalu kayak Bang Toyib kecuali suami Lena yang pulang dalam keadaan parah.
Begitu kelima cewek ini (lima, biar gak disalahsangka ama tim Ghostbuster) menembus Shimmer dan mereka menemukan hal-hal baru di sana, film langsung memenuhi tugasnya sebagai film sci-fi dengan elemen yang menyenangkan. Sense of discovery dan debar survival yang mengakar kuat dari klasik seperti Alien dan The Thingnya John Carpenter akan menyambut kita. Akan tetapi, pada intinya, Annihilation adalah tipikal sci-fi yang lebih dalem. Film ini menggebah kita untuk berpikir dan menyimpulkan sendiri, dia punya ambiguitas pada ceritanya, punya maksud terselubung, ada implikasi dan ide. Di balik spesial efek yang sama luar biasa meyakinkannya dengan penampilan akting para aktor, di luar sinematografi dan pemandangan yang mencengangkan, film ini punya sesuatu yang ingin ia ceritakan, punya gagasan yang ingin disampaikan, jadi bukan sekadar unjuk kebolehan nyeni.
dan juga punya makhluk menyeramkan
Jaman sekarang, kebanyakan film menyangka penonton merasa perlu untuk punya pendapat yang sama tentang apa yang mereka tonton. Kalo tiga dari lima orang bilang filmnya bagus, maka konklusinya film itu beneran bagus. Tapi itu kan, cara yang statistik sekali untuk melihat sebuah film. Padahal film yang baik mestinya adalah film yang mampu mengundang perbincangan, yang memperlakukan penontonnya sebagai manusia yang punya pikiran, yang mendengarkan opini dan gagasan mereka sebagai feedback yang actually matter ketimbang menganggap mereka hanya sebagai angka yang dapat dihitung. Aku suka ketika film berani untuk memancing perbedaan pendapat. Film favoritku sepanjang waktu adalah Mulholland Drive (2001), aku nonton ini pertama kali di tahun 2010, dan sampe sekarang aku belum ketemu teman atau lawan diskusi yang punya pendapat sama denganku soal apa yang sebenarnya terjadi, maksud-maksud di balik film tersebut. Film kayak begini, dan untungnya Annihiliation termasuk di antaranya, akan membuat para nerd berkumpul bareng dan berdiskusi, dan inilah yang menggerakkan roda perfilman terus maju ke arah yang lebih baik. Film yang bagus mengajak penonton berpikir, namun kecenderungan kita untuk merusak hal-hal baik; munculnya penonton yang malas berpikir, turut andil menciptakan film-film sepele yang hanya mengincar jumlah penonton.
Sutradara Alex Garland memang terkenal hobi mengajak penontonnya ke dalam perjalanan pikiran. Pada Annihilation, kita akan dibawa menembus Shimmer ke sebuah alam yang secara metafora adalah cerminan dari sel kanker yang dijadikan tema berulang, yang paralel dengan apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya. Kita bisa bilang zona di dalam Shimmer, yang semakin meluas itu adalah kanker – penyakit yang semakin menjalar. Di dalam sana, makhluk hidup termutasi, sel mereka membelah, menyebabkan mereka berubah. Dari kesimpulan Lena terhadap Shimmer, kita belajar bahwa sel dalam zona Shimmer tidak bersifat menghancurkan, dia hanya mengubah. Perjalanan Lena ke balik tabir Shimmer sejatinya adalah perjalanannya melihat ke perubahan yang sudah terjadi kepada dirinya sebagai manusia, sebagai seorang istri. Dan manusialah yang punya sifat menghancurkan, inilah yang menjadi landasan konflik personal buat Lena. Dia ingin menuju pusat Shimmer, karena dia tahu dia tidak bisa menghentikan perubahan yang sudah ia buat. Maka kita lihat dia akhirnya ‘berantem’ ama duplikat selnya karena, metaphorically, ia ingin menghancurkan dirinya yang sudah berubah sejak pernikahannya mengalami masalah.
Kecenderungan, atau dalam tingkatan yang ekstrim, dorongan manusia untuk meghancurkan apa yang sudah baik menjadi pusat dari semesta cerita Annihilation. Semua tokoh yang masuk Shimmer bersama Lena adalah orang-orang yang diri mereka sudah berubah menjadi lebih buruk. Orang yang punya ‘kanker’ dalam hidupnya. Apa yang terjadi sebenarnya kepada Lena adalah dia merasa bersalah telah secara sadar merusak jalinan pernikahannya, – ini adalah kanker bagi kehidupan Lena – dan dia hanya bisa melihat perubahan yang kanker itu sebabkan. Dalam tingkat ekologi, kita juga hanya bisa melihat dampak dari yang kita lakukan terhadap lingkungan. Dan ini membuat kita sampai pada kesimpulan mengerikan; apakah kita, manusia, adalah kanker bagi alam semesta?
Sehubungan dengan kehidupan Lena, dalam film ini kita akan melihat adegan antara dirinya dengan seorang prosefor dari universitas tempat dirinya mengajar. Ini adalah adegan yang dari segi kebutuhan, aku mengerti kenapa mesti ada. Ini diperlukan untuk menambah lapisan dan konflik buat karakter Lena. Hanya saja, adegan ini tampak tidak benar-benar penting, like, mereka bisa saja memotongnya dan kita tetap mengerti apa yang terjadi, ataupun mestinya bisa digarap dengan lebih integral sehingga film enggak butuh pake flashback terlalu banyak.
Masuk ke Shimmer bisa jadi X-Men gak ya?
Ketika membahas film seperti ini, memang sulit untuk menghindari spoiler, terlebih karena kita ingin melihat pendapat orang mengenai kejelasan pada ending cerita. Aku sendiri melihat ending Annihilation, tidak necessarily sebagai twist apakah Lena yang di luar ini Lena yang asli atau tidak. Yang penting buatku adalah Lena sudah berubah, dia tidak lagi pribadi yang sama dengan saat film dimulai. Perubahan ini ditegaskan oleh kilauan di matanya, yang menunjukkan dia sudah termutasi. It doesn’t matter apakah dia klone, karena toh sudah ditetapkan apa yang diciptakan di dalam Shimmer adalah duplikasi persis, dan tentu saja Shimmer sudah mengcopy apa yang dirasakan oleh Lena. Aspek yang kusuka pada film ini sebenarnya adalah bagaimana mereka membuat Shimmer tampak netral. Monster-monster di dalamnya, mereka berbahaya, namun apakah itu menjadikan mereka jahat? Mereka hewan dan mereka butuh makan, walaupun mereka hewan mutasi. Kalopun Lena yang di luar ini adalah produk Shimmer, itu tidak menjadikan dia versi yang jahat, kan? Annilihation juga mampu membuat kita memikirkan kembali persepsi kita terhadap apa yang kita antagoniskan, membuat status ‘jahat’ itu tidak begitu gampang kita berikan kepada hal yang tampak berbahaya ataupun menakutkan bagi kita.
Pada permukaannya, film ini adalah thriller sci-fi yang menyenangkan, ada tembak-tembakan, ada hewan monster. However, film menggali jauh lebih dalam dari premis seorang istri yang memasuki dinding gelembung maut demi kesembuhan suami. Ceritanya begitu mengundang pemikiran oleh simbol-simbol dan pesan yang ingin pembuatnya sampaikan. It’s a cerebral movie. Sampai-sampai dinobatkan sebagai film yang terlalu pintar sehingga enggak jadi tayang di bioskop. Hihi, alasan yang lucu. The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for ANNIHILATION.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“You need to be independent in order to survive in the world.”
Lara tidak seperti Croft yang lain. Dalam film ini, kalimat tersebut merujuk ke dalam konteks bahwa tokoh utama kita, Lara Croft, berbeda dari ayahnya; seorang bisnisman yang punya perusahaan besar. Yang bagi Lara, ayahnya adalah sosok orang sibuk yang sering bepergian, sehingga meninggalkan Lara seorang diri. Jadi, Lara enggak mau semua itu. Dia tidak tinggal di rumah yang besar. Dia bekerja sebagai kurir makanan bersepeda.
Kalimat ‘Lara tidak seperti Croft yang lain’ tersebut, however, juga bekerja di dalam konteks bahwasanya di dalam versi FILM REBOOT YANG DIADAPTASI DARI REBOOT VIDEO GAME ini, Lara Croft yang kita jumpai tidak sama dengan Lara Croft yang ikonik berbibir tebal seksi, berkepang panjang hingga ke pinggulnya yang sangat ramping, sementara dadanya, well yea, sudah jadi joke umum di kalangan gamer, Lara di PSX punya upper body yang begitu ‘menonjol’ sehingga grafik yang dahulu masih terbatas malah membuatnya tampak seperti segitiga alih-alih membundar. Secara sederhana, kita bisa lihat masalahnya ketika para fans langsung membandingkan antara Angelina Jolie yang berperan di Lara Croft: Tomb Raider (2001) dengan aktris Alicia Vikander di film ini. Selain masalah fisik, Lara kali ini juga punya sepak terjang yang berbeda – perbedaaan gedenya adalah Lara tampak sangat vulnerable. Meski sisi adventurous, kecerdasan, ketertarikannya sama kode dan tempat tersembunyi cewek ini udah kelihatan bahkan dari saat dirinya masih bocah, namun Lara Croft bukanlah jagoan. Setidaknya belum.
Dia pasti jago main Pandora Experience
Cerita petualangan aksi Tomb Raider ini memang bertindak sebagai origin karena pada intinya kita melihat siapa Lara Croft sebelum dia mulai menjelajahi makam dan kuil-kuil kuno penuh jebakan dan tak jarang kutukan mistis untuk mencari benda-benda peninggalan yang berkekuatan misterius. Lara Croft di film ini terlihat sangat vulnerable, dan Alicia Vikander benar-benar hebat memerankan setiap emosi yang harus dia jabanin. Aksennya juga pas, terdengar menguar ketegasan sekaligus sedikit rebellious. Film berhasil menyeimbangkan eksplorasi yang dilakukan oleh Lara, baik itu eksplorasi medan beneran maupun pencarian ke dalam dirinya, dengan aksi-aksi berlari, pengalaman hidup-mati, yang mengdegup jantung. Sense of discovery yang disampaikan terasa lumayan kuat, karena terkadang kita diberikan kesempatan untuk memecahkan teka-teki bareng Lara. Misteri kebudayaan yang melapisi cerita film juga menarik. Kisah Legenda Himiko, yang supposedly adalah antagonis dalam film, dibuat sedikit berbeda dengan versi video game demi melandaskan keparalelan dengan salah satu layer perjalanan Lara Croft.
Saat film dimulai, kita sudah melihat Lara babak belur. Dia kalah saat latih tanding martial arts. Dia gagal dapet duit hadiah di permainan kejar-kejaran bersepeda. Ranselnya bahkan hampir dibawa kabur oleh berandalan. Lara memang sudah sedikit belajar tentang pentingnya mempertahankan diri – dia berusaha untuk hidup mandiri. Tapi cewek ini punya satu masalah yang membayangi setiap geraknya. Hati pada cerita ini adalah pada bagaimana Lara sangat menyintai sang ayah, sosok yang baginya sekaligus sebagai seorang ibu, walaupun ayahnya sering pergi-pergi dan Lara sendiri belum tahu apa yang ‘pekerjaan’ ayah yang sebenarnya. Aku suka gimana film membuat Lara tidak mau menandatangani surat wasiat dari si ayah, sebab kita tahu bahwa alasannya tidak semata karena Lara memilih hidup sederhana. Melainkan karena dengan menandatangani surat itu, Lara berarti sudah mengamini ayahnya yang hilang sudah meninggal.
Dalam penceritaan video game (yea, video game juga punya cerita layaknya tontonan sinematis) ada satu aturan baku standar yang udah jadi semacam pakem yang diikuti oleh banyak cerita, yakni: Jikalau tokoh utama punya sanak yang diceritakan sudah meninggal, tapi kita sebagai tokoh utama enggak pernah melihat mayatnya, maka sanak keluarga tersebut pastilah sebenarnya masih hidup. Dalam film juga sebenarnya elemen cerita begini sering dipakai, namun Tomb Raider menggunakan trope ini bukan tanpa sebab. Inilah yang menjadi motivasi perjalanan Lara – bagaimana apa yang ia inginkan akan berbuah menjadi hal yang tak ia inginkan. Lara butuh untuk melihat ayahnya masih hidup, untuk kemudian direnggut lagi darinya demi menyadari apa yang ia butuhkan; kemandirian sesungguhnya dari seorang penyintas sejati, her true self.
Kemampuan untuk mandiri tidak dimiliki oleh semua orang. Kadang tanpa disadari, kita bergantung terlalu banyak kepada orang lain, lebih dari yang kita perlukan. Di penghujung hari, toh, kita hanya akan punya diri sendiri. Kita perlu untuk mandiri demi bertahan hidup, dalam hal apapun. Adalah sangat penting untuk kita bisa mengambil keputusan, bisa mengambil tindakan, tanpa perlu selalu kompromi dengan orang lain. Betapa sangat berdayanya mengetahui bahwa kita mengendalikan hidup dan pilihan sendiri. Apalagi jika pilihannya adalah sepenting berkorban atau tidak.
Totally jalannya enggak lagi kebentur-bentur dinding kayak di game originalnya
Mengelak dari perangkap cerita origin yang biasanya menghabiskan satu film untuk mengubah karakter menjadi yang kita kenal, Tomb Raider hanya butuh satu jam kurang untuk kita dapat melihat glimpse dari Lara yang sebenarnya. Sangat empowering melihat Lara Croft yang tadinya seperti underdog, yang berani namun senantiasa ragu-ragu di dalam sehingga selalu gagal, menjadi semakin pede ketika dia mendaratkan kakinya di pulau tak berpenghuni itu. Alih-alih rubuh oleh bertubi-tubinya benturan fisik dan mental, Lara menjadi semakin kuat oleh setiap tantangan. Turning point bagi Lara adalah ketika dia harus mengalahkan – dia harus membunuh satu orang – yang mana adalah Lara’s first kill di seri ini, karena di titik itu dia mulai mengerti bahwa dia harus berjuang sekuat itu untuk bertahan hidup. Sendiri. Film menggarap adegan tersebut dengan lumayan menyentuh, mereka mengambil waktu untuk memperlihatkan ekspresi di wajah Lara, yang tentu saja dimainkan sangat meyakinkan oleh Vikander. It was a strong moment. Untuk kemudian diikuti dengan Lara bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang membuat inner-nya semakin berkonflik lagi lantaran dia kembali punya keinginan untuk menjadi putri kecil. Film membuat keputusan bagus untuk menampakkan momen-momen karakter seperti begini, aliran pengembangannya – naik turun karakter – dijaga sehingga menarik. Di bagian pacing-lah film ini sedikit terlalu kedodoran.
Cerita berlalu dengan cepat, antara adegan aksi satu dengan adegan aksi berikutnya, film akan mengerem dengan development karakter dan beberapa dialog eksposisi. Secara kesuluruhan, akibat eskposisi yang melambatkan film nyaris seolah secara mendadak, dengan aksi seru yang direkam dengan kecepatan tinggi, menonton film ini rasanya kayak melihat video ornag berlari yang kadang dislow-motion. Ada aspek-aspek cerita tertentu yang membuat kita “hey, darimana datangnya?”. Beberapa adegan flashback juga turut membebani jalannya cerita dengan perlambatan yang tidak perlu. Kita tidak butuh begitu sering kembali ke masa lalu, yang kadang adegannya itu-itu melulu. Menurutku, yang dibutuhkan film ini untuk mengerem justru adalah momen-momen survival seperti memperlihatkan Lara membunuh hewan untuk makan, seperti pada video game. Tapi film malah melewatkan itu.
Kematian adalah petualangan. Salah satu aspek seru dari video game yang juga disadur oleh film ini adalah momen-momen berbahaya yang siap menerjang Lara. Dalam video game, kita bisa sengaja game over hanya untuk melihat adegan kematian yang kadang over-the-top namun menyenangkan. Film ini juga sama seperti itu, banyak adegan aksi yang bisa dibilang lebay dan agak gak masuk akal; Lara yang lompatannya jauh sekali, Lara menarik pecahan yang menembus perutnya padahal kalo luka tembus sebaiknya jangan dicabut karena pendarahannya akan semakin parah, akan tetapi kita tetap enjoy menontonnya. Adegan-adegan tersebut juga dijaga sehingga tidak mengakibatkan film menjadi konyol, menjadi terlalu Hollywood, menjadi guilty pleasure seperti film Tomb Raider terdahulu. Ada satu sekuen seru banget yang dicomot dari video game, yang bakal bikin penggemar video gamenya girang, yang melibatkan Lara dengan bangkai pesawat, namun basically sekuen ini hanyalah versi lain dari adegan kaca belakang bus di Jurassic Park. So yea, aksi dalam film ini seru dan menyenangkan, hanya saja memang tampak generic, film tidak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru.
Menonton ini seperti memainkan video game yang punya replay value yang tinggi. Kita sudah bermain berkali-kali, kita sudah hapal, namun kita tetap suka. Kita ingin mencari cara lain untuk menamatkannya – karena film ini mampu bekerja dengan efektif, baik sebagai eksplorasi karakter maupun sebagai pure action adventure. Bicara soal mandiri, filmnya sendiri juga cukup mandiri. Di balik usaha film untuk membangun landasan universe, untuk membuat kait ke film berikutnya, film bertindak bijak dengan memastikan kita mendapat cerita yang contained, dengan plot tokoh yang melingkar tertutup. Di samping beberapa aspek penceritaan yang mestinya bisa dibuat lebih tight lagi, flashback dan eksposisi mestinya dapat dikurangi, ini tetap adalah salah satu adaptasi video game terbaik. Karena semua orang dibuat peduli sama tokohnya, kita bisa merasakan tokoh tersebut, kita ingin dia berhasil, walaupun kita enggak pernah memainkan video gamenya sebelum ini. The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TOMB RAIDER.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“Kita tahu hidup penuh dengan misteri ketika kita melihat Nicholas Saputra berubah menjadi burung. Well, yea aku pikir dunia tidak bisa lebih aneh lagi sampai aku melihat senyuman bibir atas Superman. Begitulah hidup, kadang kita enggak mengerti. Hampir sering semua berjalan begitu berlawanan dengan yang kita rencana kita. Dengan yang kita harapkan. Satu tahun lagi, yang tidak akan bisa kita ambil kembali, memang telah berlalu. Akan tetapi, for what it’s worth, kita telah mengisinya dengan sebaik yang kita bisa. Kata film The Shape of Water sih, kita mesti bisa ‘berganti wujud’ sesuai dengan wadah, kayak air. Kalo ditaro di gelas, bentuknya kayak gelas. Kalo ditaro di mangkuk, bentuknya setengah bundar. Asal mangkok dan gelasnya jangan ditarok di tiang listrik. Nanti ditabrak.
Kita kudu fleksibel. Kemampuan yang kita punya, anggaplah sebagai kepingan-kepingan puzzle yang bakal kita gunakan untuk mengisi gambar besar, yang mana adalah kehidupan. Tugas kitalah untuk memasangkan kepingan-kepingan itu, menyusunnya, menjadi bentuk yang kita butuhkan saat sekarang. Dan ketika hidup mengganti pertanyaannya, puzzle tersebut kita rombak dan susun lagi. Ketika tahun berganti, kita bersiap-siap berusaha kembali.”
“My Dirt Sheet pun kembali memberikan penghargaan buat yang udah ter-gerrr sepanjang tahun. I love doing this, dan semoga kamu-kamu gak bosan membaca artikel awards ngasal ini setiap tahun.”
“Maka, sambutlah Rick dan Morty dari serial animasi paling hits se2017, Rick and Morty, untuk membacakan beberapa kategori pertama! Plok..plok..plok…”
<Lingkaran hijau kayak gel terbentuk di panggung>
<Rick dan Morty melangkah keluar dari dalamnya>
Rick: Wubba lubba dub dub, everybody!! Morty: Aw geeez, Rick, aku gak tahu bakal serame ini. A-a-apa rambutku oke? Bajuku? Oh no, aku pakai celana kan ya? Rick: Shut up, Morty. Kau memper..(burp)…malukan, kau mempermalukan dirimu sendiri. Selamat malam, Semuanya. Aku merasa terhormat telah… sial, aku belum terlalu sober untuk melakukan ini (burp!) Anyway, inilah nominasi untuk
TRENDING OF THE YEAR 1. Despacito Morty: Aku tahu ini! Mereka memutarnya di mana-mana, di sekolah, di-di mall Rick: Well, aku gak punya waktu untuk dengerin musik, Morty. Aku bekerja keluar-masuk universe untuk kepentingan yang jauh lebih baik. Morty: A-a-a-ku cuma bilang, Rick Rick: Ya? Jika sekali saja aku mendengar ini diputar di rumah, Morty. Sekali saja… Morty: Geezz…. 2. Fidget Spinner Rick: Anak-anak pada main ini, tapi tahu gak, Morty, aku menciptakan yang seperti ini 10 tahun lalu (burp) dan yang kuciptakan itu bisa berputar sendiri Morty: Tapi, tapi poin mainan ini memang kita putar untuk melepaskan stress, Rick Rick: Orang dewasa punya pelepas stress yang lebih baik, ya kan, guys? Ahahahak 3. ‘Love’ Finger Sign Rick: Kau ngarep bisa foto bareng Jessica dengan berpose kayak gini kan, Morty Morty: Enggak sih, aku gak gitu ngikutin gaya Kore.. Rick: Lanjut nomor 4, 4. Marsha Bengek Rick: Kau tahu nasehat “kau bisa jadi apapun yang kau mau asalkan terus berusaha” kan, Morty? Well, I’ll shoot you dead dan menggantimu dengan Morty yang baru kalo kau mulai ngikutin bikin video kayak gini Morty: ….. Rick: Kau tahu aku masih punya voucher Morty gratis kan, (burp), just – just don’t give me the reason to use it. 5. Salt Bae Morty: Semua orang bisa terkenal dengan hal-hal kecil yang unik Rick: Enggak, kau harus punya skill. Yang mana kau enggak punya, Morty. Tapi jangan khawatir, kakek hebatmu ini akan membantumu 6. Trash Dove Rick: Awas Morty, itu monster ungu dari Planet Teror! Morty: Hahaha, bukan Rick. Ini makhluk annoying dari planet facebook 7. Weird Eyebrows Rick: Awas Morty, itu makhluk Planet Freakazoid!!! Morty: A-a-a-ku pikir bukan, Rick. Makhluk Freakazoid jauh lebih normal dari alis-alis ngetren ini
Rick: Cuma segini? Morty: Yea, Rick. Mereka membuat nominasinya cuma tujuh biar sesuai sama nomer acara ini. Rick: (burp) bulshit, Morty. Mereka melewatkan satu hal yang jadi hits seantero multiverse. Benda itu harusnya menang. Morty: Apa yang kau maksud, Rick? Rick: Szeuchan Sauce, Morty! Sekarang mari kita lihat siapa yang mengalahkan ketenaran saus lezat tersebut <membuka amplop> Rick-Morty: Dan pemenangnya adalah….
Rick: I just don’t get it with this world, Morty. I just can’t. Morty: Mari move on ke kategori berikutnya, Rick.
GAME OF THE YEAR
Morty: Video games are so cool! Rick: Semua keren buatmu, Morty! A..a..aku gak percaya kau masih (burp) menggelinjang aja lihat teknologi terbelakang setelah semua petualangan yang kita lalui, Morty. Morty: A-a-a-aku suka petualangan, Rick. Aku suka sensasi adrenalin dan kejutan-kejutan seru. Denganmu, petualangan kita nyata. Tapi aku tetap lebih suka main video game aja, Rick. Karena kau tahu, di video game, kalo-kalo aku mati, aku masih bisa hidup lagi. Aku mati tidak dalam kesakitan, Rick, itu yang penting. Rick: Kau benar-benar anak ayahmu, Morty 1. Cuphead Morty: Ini udah kayak gabungan Contra dengan kartun Disney klasik jaman Miki Mos but not really. Game ini so hard it’s fun, Rick. Rick: …Kau bicara seperti loading yang kepanjangan, Morty…. 2. Getting Over It with Bennett Foddy Rick: Kelihatannya aneh banget.. Morty: Kalo yang ini game susah yang bikin stress, Rick. Kau certainly gak bakal bisa namatin ini, karena kau orang yang pemarah dan gak sabaran Rick: Kau benar, Morty. Mendengarmu saja aku sudah gak (burp) sabaran 3. Resident Evil 7: Biohazard Rick: Pembuatnya kebanyakan nonton Texas Chainsaw Massacre nih Morty: Tapi ini game horror yang psikologis, serem, dan semua-semuanya terasa sangat real, Rick. A—aku, aku gak berani main ini, pakek Virtual Reality. Salah satu yang terbaik dari seri Residen Evil 4. Sonic Mania Morty: Classic is the best, Rick. Old school is cool!! Rick: Aku ingat ketika namatin game orisinalnya ketika berumur 5 tahun, Morty. Apa yang sudah kau lakukan di umur segitu? Apa yang sudah kau lakukan di umur sekarang? Morty: … 5. Super Mario Odyssey Morty: Favoritku satu lagiiii!!! Konsep baru Mario di konsol terbaru Nintendo melahirkan pengalaman gaming yang super seru Rick: Ah, si tukang ledeng yang suka makan jamur. Partially, I can relate to that. If you know what I mean.. wubba-lubba-dup-dup!!! 6. The Legend of Zelda: Breath of the Wild Rick: Biar kutebak: satu lagi klasik yang digarap dengan penuh kejutan dengan teknologi terbaru yang kalian kira paling canggih, kan Morty: Ini masterpiece, Rick. Masterpiece! 7. Undertale Rick: Setelah semua gambar keren itu, kita balik ke 8-bit?? Morty: Ini salah satu game dengan konsep paling unik, Rick. Punya replay value yang gede karena ada banyak skenario. Kita bisa milih antara membunuh monster atau memaafkan mereka, cinta damai, Rick. Rick: Bukankah membunuh monster satu-satunya alasan kita main video game?
Rick: Kau sadar aku bisa bikin video game yang lebih baik, dengan teknologi yang lebih canggih kan? Morty: Ya. Rick: (burp) Kau sadar, ada video game tentang kita yang enggak masuk nominasi ini kan? Morty: Ya. Tapi aku gak keberatan. Oh aku gak sabar lihat siapa pemenangnya…
Morty: You should try playing this one, Rick. Seriously. Dan mungkin, mungkin, kau akan melihat bahwa kekerasan bukan satu-satunya jal…
<Morty belum selesai ngomong, Rick sudah membuka portal dan menghilang ke dalamnya. Morty lantas menyusul, sambil pasang tampang nyengir-gaenak>
“Untuk mempersembahkan BEST MUSICAL PERFORMANCE, sambutlah…” Elias: Who wants to walk, with Elias!! Elias: ….. Elias: Mohon simpan tepuk tangan kalian, hingga aku selesai bernyanyi
<loud boos>
Aiden English: Hem hem… Tahu kah kamuuuu~ hari apa sekarang, Elias? Elias: Apapun itu, sekarang bukan Rusev Day! Aiden English: You know what? You’re right. Sekarang adalah hari di mana… Penampilan musik terbaik dianugerahi!!
<tepuk tangan penonton>
Elias: Lalu kenapa kita, dua penyanyi dan pegulat hebat, tidak termasuk di dalamnya? Aiden English: Karena oh karena, temanku, orang-orang di sini tidak bisa menghargai talenta!!
<Boo keras lagi>
Aiden English: Lihat saja nominasi-nominasi ini 1. Baby Driver “Was He Slow?”
Elias: elektronik dan mash-up itu sampah dibanding melodi dan riff gitarku Aiden English: exactly! 2. Barden Bellas “Toxic”
Elias: Bagaimana pendapatmu soal grup akapela ini, teman? Aiden English: Payah. Mereka kekurangan sesuatu yang penting; suara bass klasik seorang pria seperti Aiden English!! 3. Ibu “Kelam Malam”
Elias: Oke, yang tadi itu… serem, sumpah. Tapi bisa lebih baik kalo aku yang bawakan. Dan kugubah menjadi lagu country. 4. Kurt Angle “Sexy Kurt”
Aiden English: Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, lihatlah contoh penyanyi dan pegulat yang buruk! 5. Lego Batman “Who’s the (Bat)Man?”
http://www.youtube.com/watch?v=oz-UwNJ2gh0
Aiden English: hahahahahahahha…. Elias: <menyipitkan mata, memandang marah> Aiden English: …ahaha. Eh. Lucu sih, tapi bego. Sangat bego. Rap itu lagu kaum rendahan. 6. Lisa and Homer “Pokemon”
Aiden English: Kau tahu siapa yang bernyanyi lebih baik? Elias: Siapa? Aiden English: Jigglypuff 7. Phillip and Anne “Rewrite the Stars”
http://www.youtube.com/watch?v=90MG479FffU
Aiden: I wish ada Jigglypuff di sini. Elias: Karena suaranya lebih bagus? Aiden: Supaya aku bisa tertidur dan gak dengerin para nominasi ini!
Elias: Setuju. Wait till after you’ve heard pemenangnya.
<merobek amplop>
Elias: Sepertinya lagi musim duet.. Aiden English: Yaa… dan aku masih… well, umm, since Rusev gak bisa nyanyi… jadi.. bisa dibilang, aku masih solo Elias: Kamu mau….. walk with Elias? Aiden English: …. I do.
<tepuk tangan penonton ngecie-ciein, Elias dan English pergi sambil gandengan tangan>
“Membacakan nominasi UNYU OP THE YEAR, inilah…. Poppy!” “Yea, That Poppy!!!”
Poppy: <berdiri diam di podium> Poppy: …… Poppy: …… Poppy: Kecantikan. Poppy: Kecantikan bukanlah segalanya. Poppy: Namun segala hal di dunia adalah cantik. Poppy: Apa kalian cantik? Poppy: Apa ‘kecantikan’ itu artinya ‘terlalu cantik’? 1. Alessia Cara Poppy: Her voice is powerfully beautiful. 2. Alexa Bliss Poppy: Her in-ring persona is fiercely beautiful. 3. Anya Taylor-Joy Poppy: Her acting and her look are equally as unique and beautiful. 4. Elle Fanning Poppy: Her aura is innocently beautiful. 5. Katherine Langford Poppy: Her pain on the Thirteen Reasons Why was so breathtakingly beautiful. 6. Kristen Stewart Poppy: Her expression is hauntingly beautiful. 7. Lily James Poppy: her presence is magically beautiful.
Poppy: Semua cewek cantik dengan cara mereka sendiri Poppy: Tapi kecantikan tidak bisa diukur. Kecuali oleh waktu. Poppy: Kalian semua cantik. Seperti aku. Seperti lampu itu. Seperti amplop ini. Poppy: <melihat amplop pemenang, tanpa membukanya>
Poppy: Find your wild thing, the scar to your beautiful. Poppy: <tersenyum lamaaaaaaa sekali>
DUAR!!!!
<Kilat menyambar, dan turunlah Thor Odinson tepat di sebelah Poppy>
Thor: Hai, aku, ehm, Thor. Kau tahu, Dewa Petir yang perkasa. Aku diutus untuk menemanimu membacakan nominasi COUPLE OF THE YEAR. Bukannya aku berharap kita bisa jadi pasangan juga sih… what? Poppy: Hai, aku Poppy. Thor: Yea, aku sudah dengar. Kau, ehm, kau suka rambut baruku? Poppy: Rambut adalah mahkota yang merupakan perpanjangan dari kecantikan kita. Thor: ….. Kau bercanda? Kok ngomongnya aneh banget sih, dari realm mana dirimu? Apa kau Dewa atau semacamnya? Poppy: Aku dari youtube. Matamu indah, besar kali. Bolong pula. Thor: …..umm, ah yeah, I’m not sure this is working, mari baca saja nominasinya
1. Belle dan The Beast Thor: Dongeng dari Bumi yang indah, aku pernah dibacain ini sama J.. Jane Poppy: Berat nyebut nama mantan 2. Elise dan Amphibian Man Poppy: Indahnya cinta adalah, kita dan pasangan saling memenuhi satu sama lain sebagai makhluk hidup Thor: …aku masih gak mengerti maksudmu apa 3. Jeff dan Erin Baumann Poppy: Stronger Couple. Cinta itu menerima apa adanya. Thor: ….bahkan dengan sebelah mata dan rambut cepak? Poppy: Bahkan dengan sebelah mata dan rambut cepak. 4. John Cena dan Nikki Bella Thor: Nah, ini baru aku mengerti. Pasangan yang sangat kuat. Katanya mereka lamaran di tengah ring, manis sekali. Poppy: Semua hal yang manis adalah hal yang kuat. 5. Kumail dan Emily Thor: Umm…aku jadi penasaran orangtuamu siapa. Aku anak Odin. Poppy: Aku terlahir dengan cinta. Orangtuaku adalah cinta dan kasih. Thor: Oke. Kau aneh. 6. Lala dan Yudhis Thor: Bahkan buat pandanganku, dan aku dari dunia yang lain, hubungan Lala dan Yudhis ini benar-benar gak sehat. Poppy: …. Thor: Kamu gak mau mengomentariku dengan kalimat aneh lagi? 7. Raisa dan Hamish Thor: Aku dengar katanya pasangan ini udah matahin hati banyak penggemar Poppy: Hatinya patah seperti Palumu? Thor: …..
Poppy: Jangan sedih, Thor teman baruku, cinta harus diselebrasi Thor: Kamu benar. Dan pemenangnya adalah
Poppy: The shape of love is beautiful.
Thor: Oke, karena rekanku omongannya aneh tingkat dewa, kita langsung saja bacakan nominasi buat kategori selanjutnya,
THE MOST ANNOYING QUOTE Poppy: Hai, aku Poppy. Thor: Please… Poppy: Hi, I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Hi I’m Poppy. Thor: ….. dan nominasinya ADALAAAAAHHHH
1. “Baby Shark doo doo doo, Baby Shark doo doo doo”- Baby Shark Song Poppy: HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY 2. “Cash me ousside how bow dah”- Cash Me Outside Girl Poppy: Hi I’m poppy. Hi I’M POPPY. HI I’m PoPPy. hi I’m poppy. 3. “Delete! Delete! Delete!”- Woken Matt Hardy Poppy: HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. HI I’M POPPY. 4. “Eta terangkanlah”- lirik lagu Poppy: Hi I’m. Poppy. Hi. I’m Poppy. Hi. I’m. Poppy. 5. “Kids jaman now”- various netizen Poppy: Hi saya Poppy. Hai I’m Poppy. Hi aku Poppy. Hai gue Poppy. Hai ogut Poppy. 6. “Nikahi aku, Fahri”- Keira Ayat-Ayat Cinta 2 Poppy: Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Hi, I’m Poppy. Thor: Bunuhi aku, Poppy 7. “Wubba lubba dub dub!”- Rick Poppy: Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy! Hi, I’m Poppy!!!!!
Thor: Woooaarghhhhh, cukup aku nyerah. Aku gak bisa lanjutin lagi bareng cewek ini Poppy: Hahahahahaha Poppy: Oh Brother, I got you so good. Poppy: Ini aku (menarik lepas sesuatu dari lehernya, ternyata wajah Poppy adalah topeng, dan di balik topeng itu ternyata Poppy adalah….) Thor: LOKI!!!! Loki: ahahahahaha kena, deh Thor: Grrrr, rasakan petirku! Loki: Eh tunggu-tunggu, ini pemenangnya belum diumumiinnnn Thor: Bodo, I’m so mad right now Loki: Oh oke pemirsa, pemenangnya adalah
DUAR!!
(Thor dan Loki menghilang setelah petir besar menyambar panggung)
“Untuk membacakan BEST CHILD CHARACTER, sambutlah bocah-bocah yang gak kalah ajaib ini; Annabelle, Chucky, dan Sabrina!” Annabelle: Ah, lihatlah ada begitu banyak jiwa yang bisa diajak main-main Sabrina: Seandainya kita masih anak-anak beneran yaa hiks Chucky: Eh tunggu, aku bukan anak-anak! Aku perampok yang masuk ke badan boneka. Aku ini jahat. Pembunuh. Orang dewas tulen! Annabelle: sudah-sudah, gak jadi soal toh. Kita cuma jiwa-jiwa sekarang. Chucky: tapi kita bisa bunuh yang baca kan, please Sabrina: nanti ya kak Chucky, kita baca nominasi dulu yaaa, ini tokoh anak-anak yang paling berkesan se2017 1. Auggie – Wonder Chucky: wow dia kayak model live-action dari badanku Annabelle: iya dia live, kamu mati Sabrina: hihihi 2. Baby Groot – Guardians of the Galaxy 2 Sabrina, Annabelle, Chucky: CUTE! 3. Ian – Pengabdi Setan Sabrina: dia salah satu dari kita, guys Chucky: oh yea, apa senjatanya? Upil? 4. Janice – Annabelle: Creation Sabrina: lihat, Bee, itu anak yang kamu rasuki Chucky: yea dan dia hantu yang lebih hebat daripada mu Annabelle: kamu nantang ya? 5. Laura – Logan Chucky: senjatanya kereeeenn, dia boleh jadi anak buahku Annabelle: pisaumu tampak seperti agar-agar dibandingkan kukunya hihihi 6. Mary Adler – Gifted Sabrina: anak idaman orang tua, nih Annabelle: baik, cantik, pinter, dan hidup gak kayak kita 7. Miguel – Coco Chucky: anak ini pergi ke dunia orang mati dan keluar hidup-hidup? Hantu Mexico payah semua!! Sabrina: dia penyanyi yang berbakat sih Annabelle: dia immortal!
Chucky: kita bunuh saja yuk yang menang, pialanya kita ambil Sabrina: setujuuu <ngeluarin gunting taman dan perkakas lain> Annabelle: oke, siap, inilah pemenangnyaa
Sabrina:…. Oh aku gak tega ih Annablle: Auggie udah kayak wakil dari kita, bahwa tidak ada yang cacat – semuanya ajaib Chucky: Well, yea, aku pun gak semangat membunuh anak yang terlalu baik Sabrina: jadi kita nyanyi Cita-Cita aja nih? Annabelle, Chucky: NOOOOO!!!!! <lari ngeloyor ke belakang panggung>
Kai: Kematian adalah hal yang menyedihkan. Untuk setiap jiwa yang gugur, ada paling tidak satu jiwa yang merasa kehilangan. Jupe, Oon Project Pop, Pak Bondan, Eko DJ, Nenek Laila Sari, Dusty Rhodes, Jimmy Snucka, Superman.. kerasanya udah devastating. Itu baru satu orang. Bagaimana dengan korban perang, dengan Bom Manchester di konser Ariana Grande, dengan pengeboman London Bridge, dengan penembakan di Las Vegas. Kematian untuk dikenang. MOMENT OF SILENCE yang kita lakukan perlu, namun jangan sampai kita lupa untuk hidup. Jangan sampai kita takut. Karena, hanya dengan takut, kita lemah. Mengheningkan Cipta, mulai!
“Ladies and Gentlemen, bintang dari American Horror Story: Cult, dialah: Kai Anderson”
Kai: Dunia sudah dikendalikan oleh ketakutan, bahkan sampai hantu pun takut keluar. Babadook malu karena diejek sebagai ikon LGBT. Kita harusnya bebas memakai apa yang kita mau. Tidak perlu takut dilecehkan. Kalian adalah diri kalian berpakaian. Lihat aku, rambut aku biru. Dan aku bersumpah dengan pinky promise aku tidak akan mengubah gayaku berpakaian. Betapa terhormatnya bagiku untuk membacakan FASHION OF THE YEAR, karena fashion itu sama seperti politik; Demokrasi, namun harus ada yang mengarahkan!
1. Gaun Cetar Mimi Peri 2. Kaos nWo Red Wolfpac Kendall Jenner 3. Kumis ala Poirot 4. Male Romper 5. Pennywise Costume 6. Sarung Tangan Alexa Bliss 7. Thrasher Clothes
Kai: Oke aku akan memburu yang tadi cekikikan melihat nominasinya. Kai: Pemenangnya adalah
Kai: Ah, sarung tangan ini pas banget ku pakai bersama topeng di serial ku. Kalian semua, hati-hati pulang ke rumah. Kejahatan lagi meningkat. Pastikan kalian aman terkunci di rumah masing-masing setelah jam sepuluh malam.
Kai: Kategori berikutnya, ah WONDER WOMAN OF THE YEAR, kalo kalian nonton serial American Horror Story tahun 2017, kalian pasti tahu aku kalah sama cewek. Feminisme sudah berada di titik terkuat sekarang. Mereka bukan lagi mau sejajar sama pria, mereka sudah sejajar. Tapi bisakah mereka mengambil alih? Well, tujuh nominasi ini adalah wanita-wanita kuat seperti musuhku. Dan kuakui, I fear them.
1. Billy Jean King Kai: Legenda tenis yang memperjuangkan petenis wanita dapat bayaran yang sama, dan actually mengalahkan petenis pria. 2. Diana Prince Kai: Award ini dijuduli pakai namanya. Pahlawan perang dulu, kini, dan nanti 3. Lorraine Broughton Kai: Ahli menyamar dan martial arts, kau enggak akan mau Atomic Blonde ini jadi lawanmu. 4. Marlina Kai: Berkuda membawa kepala orang yang mencoba memerkosanya. Aku suka cewek ini, dia membawa ketakutan! 5. Mbah Sri Kai: Kau tidak pernah terlalu tua untuk mengejar kebenaran 6. Mildred Kai: Beranilah mempertanyakan sistem. Gunakan media untuk menyibak kebenaran, paksa dengan kebencian, kalo perlu. 7. Mother Kai: Selalu memberi sampai tidak ada lagi yang bisa ia beri. Luar biasa.
Kai: Tujuh wanita yang menakjubkan, bukan. Dan pemenangnya adalah Kai: Aku bersyukur tidak perlu berhadapan dengan orang ini, atau bahkan dengan wanita manapun. I’ll go back to my hole now, dan akan kembali saat kalian tidak mengharapkannya. Selamat malam.
<Penonton pada ragu mau tepuk tangan atau enggak, hening awkward mengiringi kembalinya Kai ke belakang panggung>
“Pemirsa alias Pembaca, sambutlah satu kelompok anak-anak dari tahun 1980an yang akan membacakan nominasi kategori FEUD OF THE YEAR My Dir…. Eh, apaan tuh ribut-ribut?”
<beberapa sosok bersepeda tampak kebut-kebutan menuju panggung>
Genk It: Yes, kami duluan Genk Stranger Things: Heh, siapa sih kalian, yang dipanggil kan kami Genk It: Yeee, itu katanya anak-anak dari tahun 1980, ya kamilah tim anak-anak yang paling legendaris. Kalian cuma peniru Genk Stranger Things: Losers Club diem aja ya di sana, kami Winner Club Genk It: eeeee ngajak berantem, ayo Beverly, ketapel merekaaa Genk Stranger Things: El, toloooongggg!!
1. Billy Jean King vs. Bobby Riggs 2. Bumi Bulat vs. Bumi Datar 3. Dian Sastro vs. Tangan di Bahu 4. Pickle Rick vs. Jaguar 5. Setya Novanto vs. Tiang Listrik 6. Tere Liye vs. Foto Selfie 7. Thor vs. Hulk
<Eleven dan Beverly datang sambil makan wafel pake ketapel> Eleven: udah, udah, ngapain berantem sih? Beverly: tau nih, Pennywise ama Demogorgon aja pada akur kok Eleven: biarin nominasi ini aja yang berantem. Nih kita baca bareng-bareng yaa
<Mereka semua pun ambil ancang-ancang. Namun sebelum sempat bernyanyi, geng anak-anak kecil itu diusir keluar sama satpam>
“Untuk kategori BEGO OF THE YEAR dan BEST MOVIE/SERIAL SCENE, sambutlah superhero yang merupakan simbol dari harapan umat manusia di dunia, ehmm lebih tepatnya, sambutlah bagian dari superhero harapan manusia, dibangkitan oleh kecanggi han teknologi, inilah… Kumis Brewok Superman!”
Supermis: ehem, ehem… oke mungkin aku terlihat memalukan kayak plankton pakai wig, tapi sekarang aku sudah lebih terkenal dari Superman sendiri. Kalian boleh memanggilku Supermis. Super Kumis. Aku pernah dicall buat jadi ambassador Wak Doyok, tapi aku tolak. Baru ini loh kemunculan publik pertamaku, beruntunglah kalian. Supermis: oke ehem.. karena tampang Superman yang bego itulah aku kebagian baca nominasi BEGO OF THE YEAR, dan inilah mereka:
1. Fitsa Hats Supermis: Pintar-pintarlah dalam berbahasa, jangan taunya makan micin doang 2. Ikan (Tong)-kol Supermis: Oke aku berani bertaruh badanku ubanan semua; anak itu sengaja ahahha! 3. Kue khas kota ala selebriti Supermis: Inilah ketika batas antara tradisional dengan kekinian itu udah gak ada lagi hihi 4. Oscar salah ngomong Supermis: Ini juga kayaknya sengaja dah biar jadi bahan omongan xD 5. Patung Harimau Supermis: Ini kayaknya model patungnya si Tigger yang di Winnie the Pooh deh ahahaa 6. Peta Film Ular Tangga Supermis: Pantes aja nyasar, naik gunung kok petanya kayak peta kawinan 7. Skip Challenge Supermis: adek-adek, don’t try this at anywhere
Supermis: dan paling bego di antara semua adalaaaah Supermis: makanya kalo bikin film itu, lakukanlah riset yang bener. Jangan sampai hasilnya jadi malu-maluin. Eh tapi, mereka jadi menang award, berarti gak malu-maluin banget dong ya?
Supermis: Berikut ini nih contoh film-film yang digarap dengan serius, dengan niat. Jadinya mereka punya adegan-adegan yang dahsyat, meyakinkan, seru. Mari kita lihat siapa aja nominasi untuk BEST MOVIE/SERIAL SCENE 1. Baby Driver’s Opening Getaway
Supermis: Ini udah paling keren, kayak beneran bisa dilakukan di jalan raya. Ntar kucobain aahh 2. It’s Pennywise Introduction
Supermis: sampe banyak dijadiin meme nih adegan, serem ! 3. Justice League’s Superman Kicking Ass
Supermis: coba deh nonton ini sambil puasa, dijamin sukses menahan lapar 5. Star Wars: The Last Jedi’s Ren and Kylo Team Up
http://www.youtube.com/watch?v=tzQB8Qfq8Us
Supermis: salah satu battle terkeren di Star Wars nih, ngetease tag team banget 6. Thirteen Reasons Why’s Hannah Baker Suicide
http://www.youtube.com/watch?v=OxBnNOxOKPk
Supermis: adegan paling bikin lemes, gak ada lawan! 7. Wonder Woman’s Amazon Battle
http://www.youtube.com/watch?v=bIfPq3biW_o
Supermis: kamera dan aksinya sama-sama keren!!
Supermis: Gini-gini aku banyak nonton film loh. Paling benci film pembunuhan di kereta api karena ada kumis yang sok keren. Oke, pemenangnya adalah Supermis: beneran deh, tulangku menggigil nonton adegan ini, dan aku bahkan gak punya tulang!
“Hahaha, oke terima kasih buat Supermis dan para pembaca nominasi yang sudah sudi hadir di sini. 2017 kemaren memang keren, quirky but in an awesome way. Aku sendiri gak pernah nyangka aku akan membuka kafe eskrim. Sampai-sampai kadang kalo jalan pulang dari bioskop panas-panas, aku mikir “duh enak makan eskrim nih” dan ternyata baru aku sadar “Hei, I own one!” Hidup kadang impulsive seperti itu. Bukannya enggak ada masalah pas aku mau nyambut kontrak bangunannya dari temenku. Aku literally galau, berminggu-minggu duduk di atap sampai pagi.. Dan lima hari sebelum pindahan ke kafe aku ‘kabur’ ke Solo. Crashing lokasi syuting film mentorku, Mas Ichwan Persada. Untung di sana pada welcome, aku tinggal bareng ngikutin para kru. Aku dibolehin nanya-nanya pembuatan film kayak orang bego. Jadi, selain dapat tempat curhat soal pilihan hidup ekstrim menjadi buka eskrim, aku juga dapat kesempatan belajar, dan teman-teman baru dari kru dan pemain. Dan aku semakin gak nyangka, aku menutup tahun 2017 dengan ngobrol gugup di depan sejumlah insane perfilman tanah air. I guess that was MY MOMENT OF THE YEAR. Blog ini ternyata ada yang baca, dan dinilai worth untuk sebuah piala. Terima kasih, buat kalian yang udah suka mampir dan diskusi film di blog ini, semoga ke depannya bisa lebih baik lagii”
“Untuk penutupan, seperti biasa kita serahkan award final SHOCKER OF THE YEAR, hal-hal yang udah bikin kita surprise, dan sebelum melihat pemenangnya, inilah para runner-ups:” 1. Mickey Mouse Club Returns! 2. Serangan virus Ransomware Wannacry!! 3. Taylor Swift trying to be mean!? 4. Undertaker pensiun!!! 5. Yugioh ganti format!?! 6. Nama depan Schmidt terungkap! 7. Amerika menganggap Yerusalem sebagai ibukota Israel!!! 8. Sasha Banks dan Alexa Bliss mecahin rekor pertandingan gulat wanita pertama di Arab!! 9. Kasus pelecehan di Hollywood terungkap! 10. Chester Linkin Park bunuh diri!!
“Daaaan the most shocking thing adalaaaahh” “Selama ini kupikir cewek loh, well yea, sepertinya memang kita jangan jump into conclusion gitu aja mengenai banyak hal. Pastikan dulu. Cari tahu sendiri.”
“Semoga tahun 2018 menjadi tahun di mana Bumi menjadi tempat hidup yang lebih baik. Atau kalo enggak, semoga mungkin kita sudah bisa pindah ke Mars.”
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are…
Don’t be a Loser
We are the winner of Piala Maya Best Movie Critic of 2017 Be Jealous.
Dalam video game kita akan dikejar-kejar zombie kelaparan. Ditembaki robot-robot kalap. Melompat dari satu jurang ke jurang lain. Kalo gagal, kita mati, sure di jaman now ada save point, tetapi dulu kita harus mengulang kembali dari awal setiap kali game over. Beberapa game bisa menjadi begitu bikin stress sampe joystick pada rusak. Nintendoku dulu kabel stiknya nyaris putus karena kugigit-gigit ngamuk mati melulu main Circus Charlie di level tali ayunan itu. Namun betapapun susahnya, kita tetap suka melarikan diri ke dalam dunia video game kalo lagi mentok di kehidupan nyata. Anehnya kita bisa refreshing setelah mati berulang kali di dalam video game.
Kayak Spencer dan teman-temannya. Mereka didetensi harus bersihin gudang sekolah bareng-bareng. Kata gurunya sih supaya mereka tahu siapa diri mereka. Di sela-sela kerjaan gak asyik itu, Spencer menemukan mesin video game jadul dengan kaset cartridge bertuliskan Jumanji. Spencer yang jago main video game seumur-umur belum pernah mendengar nama itu, ataupun belum pernah melihat konsol yang begitu antik. Jadi, dia dan Fridge dan Bethany dan Martha mencoba permainan tersebut. Dan seperti salah satu episode film Boboho jaman dulu, mereka berempat tersedot ke dalam layar. Spencer yang kini berwujud The Rock, dan teman-temannya yang juga berubah tampang menjadi karakter game yang sudah mereka pilih, harus bertualang menembus hutan. Mencari dan mengembalikan permata Jaguar yang hilang supaya bisa pulang. Masing-masing mereka cuma punya tiga nyawa, tiga kali kesempatan untuk gagal, sebuah angka yang minim sekali mengingat hutan arena bermain mereka dihuni oleh berbagai binatang buas, serta satu geng bandit yang pemimpinnya bisa mengendalikan hewan-hewan tersebut.
Video game terlihat gampang karena kita sudah tahu apa tujuan kita bermain. Mengalahkan monster. Mencari harta karun. Menyelamatkan putri raja. Kita jadi tertantang buat menyelesaikannya. Ketika tivi dimatikan, tombol power konsol ditekan dan lampunya mati, kita balik ke kehidupan nyata di mana kita tidak mengerti ngapain sih kita di dunia ini. Apa misi yang diberikan kepada kita di sini Hidup sangat kompleks, kita harus memahami diri sendiri, menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Itulah kenapa kita menganggap hidup lebih susah. Tujuan itu sama sekali tidak terlay out seperti pada video game. Tapi begitu kita tahu siapa kita, mau jadi apa kita, hidup tidak lebih susah daripada menjatuhkan raja Koopa ke dalam lava. Hidup adalah rimba yang sebenarnya, hanya jika kita tersesat.
Breakfast Club, now in a fully rendered-8 bit
Tadinya kupikir film ini adalah remake dari Jumanji 1995 yang ada Robin Williamsnya. Ternyata enggak, ini lebih sebagai sebuah sekuel, dan sort of a reboot. Papan permainan Jumanji yang dimainkan oleh Kirstern Dunst ditampilkan kembali di film ini. Kita lihat gimana si papan merasa ketinggalan jaman dan mengubah diri menjadi kaset dan konsol video game. Dan dari sinilah film mengeksplorasi banyak hal-hal keren yang menyenangkan yang timbul dari gimana manusia masuk ke dalam video game. Oke aku nerd, bahkan sampe sekarang aku habisin waktu luang dengan main video game, jadi mungkin kalian menyangka aku bisa sedikit bias menilai film yang udah nyaris kayak adaptasi video game ini. Tapi enggak sebias itu juga sih, film ini memang TONTONAN MENGASYIKKAN DALAM KONTEKS VIDEO GAMENYA.
Para tokoh di sini dibuat bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, persis kayak status di video game, dan mereka bekerja sama dengan memanfaatkan aspek ini. Interaksi mereka dengan tokoh tiang garam juga kocak banget. Eh pada tahu ‘Tokoh Tiang Garam’ gak sih? itu loh, di game-game petualangan kan selalu ada tokoh-tokoh yang gak bisa kita mainin, dan diprogram untuk ada di game buat memberikan informasi. Di luar dialog-dialog yang sudah diprogramkan, mereka enggak bisa ngomong hal lain lagi. Jadi kalo kita ajak ngomong terus, ya ucapannya itu-itu melulu. Nah, dalam film, elemen ini jadi salah satu pemancing ketawa yang dibuat dengan sangat menyenangkan. Namun dari konteks-konteks video game yang seru tersebut juga muncul berbagai plothole pada universe yang menjadi kelemahan film.
Salah satu aspek paling seru dari Jumanji: Welcome to the Jungle adalah karakternya. Jadi kan remaja-remaja itu tersedot ke dalam dunia game, dan mereka sekarang berwujud seperti avatar yang mereka pilih. Dan pada beberapa, tubu mereka sangat bentrok ama sifat asli. Dwayne Johnson hanya kekar di luar. Di dalam otot-ototnya, The Rock adalah Spencer – si kutu buku bertubuh kecil yang sangat penakut, bahkan tupai aja bisa bikin dia jejeritan histeris. Jack Black sangat kocak di film ini; dia adalah cewek paling populer di sekolah, yang kerjaannya main hape melulu, dan dia terperangkap di dalam tubuh tambun pembaca peta. Jadi bisa dibayangkan betapa ngakaknya melihat penampilan akting Jack Black di film ini. Tokoh yang diperankan Karen Gillan punya arc yang menarik; di dunia nyata ia adalah cewek yang benci olahraga, namun di game dia seorang petarung, jadi dia dibuat tertarik untuk menggerakkan tubuhnya dalam cara-cara yang bikin berkeringat.
Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart. Komedian ini sendirinya kocak banget, kita bisa betah duduk berjam-jam nonton dia menghina dirinya sendiri, dan itulah salah satu kekuatan utama pesona kocaknya. Di film ini, Kevin Hart kembali memancing jokes dari sana, dan buatku malah jadinya biasa aja, dia tidak melakukan sesuatu yang baru di sini. Dia sama The Rock banteringnya persis kayak di Central Intelligence (2016), Hart mengejek tinggi badannya sendiri yang kalah jauh ama The Rock. Kevin Hart kocak namun dia pretty much bermain sebagai dirinya sendiri, dan ini kalah menarik dibandingkan aktor-aktor lain yang benar-benar membanting image mereka memainkan karakter yang di luar kebiasaan.
Keberanian enggak ada hubungannya ama ukuran tubuh
Kalo di Jumanji dulu kita ternganga ngeliat badak berlarian dari rumah ke jalanan, sekarang kita akan melihat berbagai sekuens aksi yang mengalir lancar berkat keunggulan teknologi. Orang-orang bertebangan ke sana kemari. Stun work di sini amat impresif, meskipun pada beberapa sekuens, film lebh mengutamakan efek CGI. Akan ada banyak adegan yang menampilkan efek yang obvious, yang menurutku adalah disengaja sebagai cara film untuk terlihat sebagai dunia video game. Aku sedikit menyayangkan film ini melewatkan kesempatan untuk tampil kayak di salah satu episode Rick and Morty di mana Rick terjebak dalam dunia simulator. Di serial kartun itu kita melihat Rick berjalan di dunia yang hanya sekitarnya saja yang terender kumplit, begitu dia melihat ke ujung jalan dia hanya melihat polygon, pemandangan sekitar Rick terender seiring dia berjalan karena begitulah lingkungan dalam simulator atau dunia game berjalan. Menurutku, jika perihal render dunia diimplementasikan ke dalam Jumanji ini, tentulah akan semakin banyak hal keren dan kekocakan yang bisa digali.
Bermain-main dengan struktur video game, seperti yang aku singgung di atas, film ini mengambil beberapa pilihan aneh yang bukan saja menjadikan ceritanya tampak tak-lagi seperti video game, melainkan juga jadi membuat ceritanya punya plothole. It’s cool ketika film ini menggunakan flashback dan mengatakannya sebagai adegan cutscene pada video game. Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya. Ini bertentangan dengan konsep video game karena mestinya tidak ada pengembangan dunia lain di luar pengetahuan tokoh utama. Ini sebenarnya soal perspektif, kita seharusnya melihat hal dari sudut pandang Spencer yang jadi tokoh video game, bukannya sebagai pemain. Tapi film tidak pernah menjelaskan kenapa ada cutscene yang tidak diketahui oleh Spencer. Pun juga tidak menerangkan seperti apa persisnya dunia buatan Jumanji. Karena kalo dipikir-pikir, video game yang mereka mainkan mengembangkan programnya sendiri, game ini berevolusi sesuai dengan keadaan pemain yang termasuk ke dalamnya. Karena semua kejadian yang mereka alami seperti sudah diatur, mereka ketemu Missing Piece, mereka bisa menyelesaikan satu stage karena stage tersebut terlihat diprogram untuk diselesaikan empat orang. Bagaimana kalo ternyata ada, katakanlah dua orang, yang memainkan game sebelum mereka. Apakah hal akan berbeda buat Missing Piece? Apakah settingan skill mereka juga berganti. Mestinya film bisa melandaskan aturan mainnya dengan lebih kuat.
Soal arc cerita sebenarnya aku juga bingung, apa yang ingin dicapai oleh film ini. Karena jika menurutku poros utama film ini bicara tentang gimana anak-anak itu belajar memberanikan diri berjuang di dunia nyata, maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.
Film ini seperti video game, kita akan bersenang-senang dengannya. Perfectly enjoyable dengan penampilan peran yang sebagian besar unik. Aku sendiri cukup capek terbahak-bahak sepanjang durasi. Bagaimanapun juga, ketika dipikirkan baik-baik, ada beberapa hal yang mengganjal. Semua yang kelemahan yang kutulis di sini , in fact, baru kepikiran ketika aku mulai menulis. Kita bisa menutup kekurangan ini dengan memberikan alasan sendiri, tentunya, karena semuanya bisa terjadi di dunia video game. It’s just kupikir film bisa menggali dan melandaskan dunia ceritanya dengan lebih baik lagi. Siapa sih yang enggak mau lebih baik, ya gak? The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
“The opposite of Love is not Hate, but Indifference”
Luke adalah Yoda. Dan Kylo Ren adalah Bezita. Itu teori yang kupatenkan setelah aku selesai nonton The Force Awakens tahun 2015 yang lalu. Yup, aku memang termasuk salah satu penonton yang suka berspekulasi dan nebak-nebak dan bikin kajian lengkap sendiri terhadap sebuah film. Jika kalian juga begitu, maka kita bisa jadi teman baik ngobrol berjam-jam membahas film. Aku tahu bukan aku sendiri yang punya penyakit begini. Di internet banyak kita jumpai artikel-artikel semacam “Fakta Mengejutkan Seputar Star Wars” yang membahas berbagai kemungkinan seperti Rey itu anak Luke, atau Rey itu saudara kembar Ren, atau yang paling gampang; bahwa Rey adalah Jedi Terakhir. Tidak satupun prediksi dan teori tersebut terbukti benar. Star Wars: The Last Jedi, di tangan sutradara Rian Johnson yang biasanya membuat film-film ngeart, MENGENYAHKAN SEMUA EKSPEKTASI DAN BERCERITA DENGAN SUARA KHASNYA SENDIRI.
Itulah yang membuat pengalaman nonton film ini terasa begitu menyenangkan. Ada begitu banyak kejutan yang diberikan. Seni dalam film ini adalah bagaimana mereka memainkan konflik moral, membuat kita terombang-ambing di dalam dilema para karakternya. Dalam lapisan terluar, The Last Jedi sukses menjelma menjadi film dalam franchise Star Wars yang punya sekuens aksi yang paling menarik dan sangat menghibur sejauh ini. Ada aksi tembak-tembakan Millenium Falcon yang sangat keren; visual efeknya makjaaaanggg! Tarung lightsabernya adalah yang terbaik dari pernah kulihat dari seri Star Wars. Dengan wide shot nampilin para tokoh dari kepala ampe ujung kaki, mereka pasang stance masing-masing, kemudian “zing..zingg…zinggg”, mereka udah kayak ngayunin samurai dengan koreografi dan pengaplikasian lightsaber yang begitu awesome
Plus para Porg itu imut bangeettt. Dan perlu dicatet mereka enggak annoying
The Force Awakens literally berakhir dengan cliffhanger, cerita dibiarkan ‘menggantung di tebing’. The Last Jedi melanjutkan ceritanya tepat di kejadian itu, dan itu sama sekali di luar apa yang kita kira. Contoh simpelnya adalah Luke Skywalker yang tampak begitu cool sampe jadi intimidating saat didekati oleh Rey yang mengulurkan lightsaber, ternyata malah membuang senjata paling keren sealam semesta tersebut dalam fesyen yang mengundang kikik penonton. The Last Jedi memang mengeset ulang franchise Star Wars hampir seperti gimana Thor: Ragnarok (2017) merevitalisasi karakter dan persona Thor. Jadi, Rey harus berusaha minta diajarin menggunakan The Force kepada Luke yang memilih mengasingkan diri. Sementara Poe, Finn, dan pasukan Resistance yang lain di bawah pimpinan Leia (serius, agak tercekat haru nih ngeliat Carrie Fisher, ihiks) berjuang sebisa mungkin untuk bertahan, sukur-sukur bisa melakukan serangan balasan, dari serangan First Order yang semakin nafsu memburu mereka. Yang paralel dari perjalanan para tokoh adalah gimana mereka sama-sama membutuhkan ‘spark’ untuk membalikkan keadaan; sebuah percikan yang bisa membuat mereka di atas angin dan semakin kuat. Namun, percikan apa sih yang dimaksud? Itulah yang harus mereka cari tahu.
Hakikat dari berjuang dan menang sebenarnya bukanlah ‘berhasil mengalahkan yang kita benci’. Melainkan adalah melindungi orang-orang yang kita sayangi. Cinta dan benci memang adalah perasaan yang intens yang kita rasakan terhadap sesuatu hal, terhadap orang lain, jadi in a way, cinta dan benci adalah perasaan yang sama, yang diekspresikan berbeda. Ini yang tercermin dari Kylo Ren dan Rey. Mereka basically adalah pribadi yang sama; mereka punya kekuatan yang sama, tapi mereka tidak bisa ‘melukai’ satu sama lain. Setidaknya belum, karena sesungguhnya lawan dari cinta bukanlah kebencian. Melainkan ketidakpedulian, sesuatu yang hampir saja dilambangkan oleh Luke dalam cerita epik kebingungan moral ini.
“Pada dasarnya, aku sama sekali enggak setuju sama setiap pilihan yang kau tulis buat tokoh Luke”, begitu pengakuan Mark Hamill ketika dia pertama kali disodorin skrip film ini oleh si sutradara. Luke Sykwalker memang benar-benar dibuat ‘tak disangka-disangka’. The Last Jedi adalah film yang lucu. Banyak lelucon kocak di sana-sini. Namun hebatnya, lucu-lucuan tersebut tidak pernah digunakan dengan mengorbankan karakter ataupun cerita ataupun pakem mitologi yang sudah ada. Semuanya bekerja dalam konteks. Buktinya, Luke Skywalker tidak jatoh konyol. Malahan, dia adalah salah satu karakter paling keren dalam film ini. Salut itu pantas juga kita berikan buat Mark Hamill yang jelas bekerja profesional. Semua arahan yang diberi kepadanya berhasil dia eksekusi dengan meyakinkan. Ada eksplorasi mengapa karakter ini mengasingkan diri, Luke bergulat dengan sebuah tragedi masa lalu, semua itu ditampilkan dalam visi yang sangat sangat berbeda. Aku gak pernah tahu aku ingin melihat Luke yang seperti ini, dan hasilnya memang sangat keren.
Sebagai seri kedelapan dari seri film populer, akan sangat sia-sia jika mereka enggak bermain-main dengan referensi dari film-film sebelumnya. Justru adalah hal yang wajar jika mereka melanjutkan sistem yang sudah ditetapkan, merecognize aspek-aspek dunia dalam cerita mereka. The Last Jedi toh memang memasukkan adegan referensi, akan tetapi tidak semata sebagai penghibur buat penggemar Star Wars. Enggak terasa seperti mereka memasukkan hal begitu saja supaya kita bisa “hey lihat itu si anu”, kayak di Rogue One (2016) di mana kehadiran C-3PO tampak sekedar dimasukin aja. Alih-alih demikian, yang dilakukan oleh film ini adalah memasukkan hal-hal yang sudah terestablish, merecognize pakem dan kelemahannya, dan eventually mempertanyakan hal tersebut lewat karakter baru, yang masuk akal dong kalo si karakter ini enggak punya pengetahuan tentang itu. Misalnnya ketika film ini mengeksplorasi gimana Jedi yang udah seperti semacam aliran kepercayaan, dipertanyakan aturan-aturannya oleh Rey, dan sebagai jawabannya, film actually melandaskan pakem baru yang sangat mengejutkan.
Tokoh di film ini udah kayak Big Show, sering ‘turn’ antara baik dan jahat
Penampilan Daisy Ridley seolah berkata “Lihat gue, gak nyesel kan lo udah milih gue sebagai Rey!” Cewek ini dahsyat banget kalo udah urusan adegan-adegan dramatis dan bagian-bagian berantem. Tokoh Rey dibentuk dengan sangat baik sebagai protagonis utama, dia kuat, dia mau belajar, dan dri berbagai pilihan yang dia ambil jelas tokoh ini bergerak dalam moral kompasnya sendiri. Menurutku, secara karakterisasi, si Rey inilah yang paling dekat dengan Anakin. Kupikir film berikutnya akan mengeskplorasi gimana Rey adalah apa yang terjadi kepada Anakin jika dia tidak menyeberang ke Dark Side.
Tokoh favoritku di film ini, bagaimanapun juga, adalah Kylo Ren. Penampilan emosional yang sangat luar biasa dari Adam Driver. Kita sudah dapat melihat sedari Episode VII bahwa Ben Solo adalah karakter yang sangat conflicted. Dia bukan antagonis biasa, dia lebih dalem daripada itu. Dia adalah petarung yang belum matang, dia diliputi kemarahan, dia belum siap, dan di Episode VIII ini kita akan lebih mengerti kenapa. Kita jadi dapat melihat alasan dia begitu mengidolakan Darth Vader, meskipun aspek ini diberitahukan impisit oleh narasi. Kylo diberikan kesempatan untuk bersinar di sini. Aku suka koneksi yang tercipta antara Ren dengan Rey. Aku sungkan untuk ngebahas lebih banyak soal ini, karena menurutku ini adalah aspek terpenting cerita yang harus kalian alami sendiri.
Semua tokoh diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Bahkan Chewie dan BB-8 dikasih momen tersendiri. Arc si Poe juga cukup menarik. Aku suka gimana tadinya dia melanggar perintah Leia, dan kemudian di babak akhir, dia berada di posisi pemberi perintah dan guess what; dia mendapati perintahnya dilanggar. Masalahku hanya ada pada ceritanya si Finn. Secara berkala, narasi akan membuat kita mengikuti petualangan Finn bersama tokoh cewek baru, Rose. Mereka punya misi mencari seorang pemecah kode, jadi dua orang ini pergi ke sebuah planet. Aku enggak bisa menikmati bagian ini, karena setiap kali kita balik ke mereka, cerita menjadi melambat. Malahan, hampir terasa seperti menjadi sebuah cerita lain, sebuah film pendek petualangan ke planet yang bahkan gak terasa seperti planet dari galaksi far far away. Setting lokasi yang Finn dan Rose datangi adalah setting yang gak aneh bagi kita penduduk Bumi. Dan yang mereka lakukan juga gak benar-benar menarik. Terasa seperti detour yang gak diperlukan. Tentu, apa yang mereka kerjakan tersebut memiliki dampak di akhir cerita, semuanya ada koneksi, hanya saja mestinya ada cara yang lebih baik dalam menceritakan ini.
Yang perlu aku tekankan adalah film ini membuatku terhibur, amat malah. Maksudku, Luke malah jadi kayak Goku di sini hahaha. Dan setelah nonton dua kali, teoriku soal ‘Luka Adalah Yoda’ masih belum tertutup gagal seratus persen, asal jangan diartikan secara harafiah tentunya; Anak kecil yang nonton juga pasti tahu Luke dan Yoda adalah dua makhluk yang berbeda. Namun, kesamaan arc mereka sangat mencengangkan, penggemar sejati pasti ngerti deh apa yang kumaksud. Secara struktur, however, ini adalah film yang bisa berdiri sendiri. Sebuah cerita pertengahan dari sebuah trilogy yang tidak terasa seperti bagian dari rangkaian produk. Film yang memiliki awal-tengah-akhir dari sudut karakter-karakter yang mampu membuat kita peduli. Pencapaian teknisnya juga luar biasa, sekuens aksi dengan wide shot tercantik yang bisa kita harapkan dari film fantasi seperti ini. Ada sekuens yang belum pernah kita saksikan dalam franchise Star Wars. Mitologi Jedi pun mendapat penggalian yang lebih dalam, ada pengetahuan baru yang bisa kita dapat mengenainya. Dan setelah menonton film ini, kita akan memohon semoga semua petualangan awesome itu tidak pernah berakhir. The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: THE LAST JEDI.
That’s all we have for now. Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.
Remember, in life there are winners. And there are losers.