NAURA DAN GENK JUARA Review

“There are more important things in life than winning or losing.”

 

 

Bikin film anak-anak itu enggak gampang. Terutama, karena orang dewasa pembuat filmnya sudah lupa gimana caranya menjadi anak-anak. Nanti dulu bicara soal karena susah mengatur dan mengarahkan mereka, kita yang udah gede ini udah lumayan susye untuk tidak menyepelekan anak kecil. Kita bersikap terlalu manis kepada mereka, dengan alasan menjaga hati. Kita bicara dengan mengecilkan mereka, we’re sugarcoated everything for them, karena kita menganggap mereka tidak mengerti. Padahal kalo diingat-ingat lagi, sewaktu kecil kita justru paling keki kalo dianggap ‘anak ingusan’ sama orangtua.

Tidak ada penghargaan yang lebih besar buat anak kecil ketika mereka diperlakukan setara dengan orang dewasa, ketika mereka dipercaya untuk bertindak dan menyelesaikan masalah sendiri. Film Naura dan Genk Juara berusaha untuk memahami itu.

Para tokoh cilik film ini diberikan kesempatan untuk ‘menang’ di atas orang dewasa yang meremehkan mereka, bekerja sama memecahkan masalah sebelum orangtua menyadari, dan mereka melakukan semua itu dengan bersenang hati. Mereka nari dan bernyanyi!

 

Film ini ringan dan benar-benar menekankan kepada pentingnya persahabatan. Ceritanya dapat menginspirasi anak-anak. Naura berhasil menjadi ketua rombongan sekolah mereka di acara Kemah Kreatif. Ya, di film ini kita akan melihat anak-anak menggunakan teknologi untuk kegiatan yang kreatif dan positif. Karena pengalaman dan sifat memimpinnya, Naura kepilih walaupun proyek GPS pelacak binatang yang ia rancang masih kalah poin dari drone si Bimo . Peristiwa tersebut sempat menimbulkan tensi di antara mereka, membuat sekolah mereka agak tertinggal dari sekolah lain di perkemahan. Sebuah peristiwa penculikan hewan-hewan di penangkaran perkemahanlah yang membuat Naura dan Bimo dan Kipli dan teman-teman lain  bersatu. Mereka mengusut misteri sindikat penculikan, yang juga menyulik salah satu teman sekelas Naura, dan eventually anak-anak ini harus menggagalkan aksi pencuri sendirian, sebab para ranger pengawas sudah dikecoh oleh para penjahat.

“Jaket? Kaos kaki? Baju? Obat?” well Papa sih gak nanyain celana panjang, ketinggalan deh punya Naura

 

Sedikit lebih berwarna, akan sulit bagi kita untuk tidak membanding-bandingkan film ini dengan Petualangan Sherina yang tayang tahun 2000 waktu aku masih unyu-unyu. Keduanya sama-sama musikal. Keduanya berlokasi di hutan. Keduanya punya tokoh utama anak cewek. Sherina dalam film itu adalah seorang murid baru yang dikerjain oleh anak laki-laki badung, Sherina ini mandiri, kita ngeliat dia sengaja nempelin bandage luka di badannya biar kayak jagoan. Petualangan Sherina arahan Riri Riza terasa meyakinkan dan menarik karena hal-hal kecil seperti itu; Sesuatu yang tidak dimiliki oleh film Naura dan Genk Juara. Naura, sebagai tokoh utama, ditulis sebagai karakter yang…. actually, aku agak bengong kalo ditanya Naura ini anaknya bagaimana. Dia ingin sekolahnya juara. Dia bisa bernyanyi dengan baik, dia bisa ngedance dengan keren. Dia anak baik, and that’s it. Kita tidak tahu apa kebiasaannya, tidak ada yang memberi petunjuk tentang siapa tokoh ini lebih dalem lagi. Dia jarang membuat pilihan, dia tidak diberikan konflik internal. Semua yang ia capai diberikan begitu saja kepadanya. Naura bahkan enggak ‘berjuang’ demi alatnya sendiri, yang berantem membelanya malah temen yang lain. Di babak terakhir pun, Naura tidak secara langsung ikut ‘berperang’ bareng anak-anak yang lain. Plot karakter Bimo justru yang lebih menarik, malah menurutku kita bisa bikin cerita anak yang sedikit lebih kelam jika mengeksplorasi Bimo sebagai tokoh utama.

Petualangan Sherina membuat tokoh Sherina berbeda dari tokoh lain dengan memberinya karakter, hobi, motivasi yang kuat. Sedangkan film Naura dan genk Juara membuat Naura stands out dari anak-anak yang lain dengan memberinya hotpants. Pilihan pakaian tersebut merupakan bukti kelemahan penulisan film ini.

Tidak ada gunanya juara, jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna lantaran kita sibuk memikirkan diri sendiri. Apa gunanya kita menang sendiri, sementara kemenangan tersebut tidak dishare bersama teman-teman. Atau lebih parah, tidak punya teman untuk dishare. Persahabatan adalah piala yang lebih berharga daripada piagam manapun di dunia.

 

Nilai lebih yang diberikan oleh sutradara Eugene Panji pada film ini adalah dia tidak ragu menghadirkan tokoh penjahat yang lebih menacing. Penjahat di sini enggak dibikin bego-bego amat. Mereka masih terlihat sebagai ancaman, dan kita melihat anak-anak itu benar-benar dibentak. Menurutku, ini adalah pilihan yang bagus karena biasanya tokoh penjahat di film anak, sepenuhnya dijadikan bagian komedi, sehingga stake dan bahaya itu enggak benar-benar terasa. Sekali lagi, karena kita biasanya memandang rendah kemampuan anak-anak, dalam hal ini mentalnya. Makanya banyak film anak yang punya masalah di tone cerita. However, film ini dengan elemen penjahat pun, tone-nya tetap berhasil tampil seimbang.

Lirik dan irama lagu-lagu dalam film ini catchy, gampang banget deh buat disukai. Tetapi, beberapa adegan musikal terasa terpisah dari narasi. Ada tokoh yang keluar-dari-karakter ketika bernyanyi. Tidak ada kesinambungan feel antara adegan nyanyi dengan adegan sesudahnya. Malah terkadang mereka bernyanyi gitu aja tanpa ada alasan, karena film enggak mampu merangkai adegan tersebut dengan baik ke dalam cerita. Sampai-sampai kita ngerasa ‘ini si Naura kerjaannya nyanyi doang sementara teman-teman di sekitarnya sibuk ngerakit alat-alat untuk proyek science.’ Kamera jadi tampak kebingungan antara ngesyut adegan anak-anak merakit atau Naura ngedance. Dan jadinya memang terlihat frantic banget. Apalagi di adegan opening di sekolah, editing film cepet banget berpindah dari anak-anak bikin percobaan ke adegan menari. Padahal menurutku, perlu juga dong memperlihatkan proses actual pembuatan percobaan-percobaan itu supaya anak-anak bisa tertarik untuk mencobanya di rumah, jadi bukan hanya nyobain narinya.

Satu lagi yang aku kurang sreg dari musikalnya adalah pemilihan lokasi. Serius deh, mereka syuting di hutan wisata, tapi nyanyi-nyanyi disyut di tempat yang itu –itu melulu. Ini bukan salah di kreativitas sih, menurutku, film hanya ingin tampil efisien – supaya syutingnya gampang or whatever. Yang jelas, film jadi sedikit membosankan.   Dan melihat banyaknya adegan iklan sisipan, sepertinya film ini punya sokongan dana yang enggak sedikit. Adegan pembukanya malah memperkenalkan kita dengan para tokoh lewat animasi tiga-dimensi yang halus. Actually, di menjelang babak ketiga kita bakal ngeliat satu lagi adegan animasi, kali ini kayak kartun klasik Jepang, yang aku gak paham entah apa maksudnya film memasukkan dua animasi dengan style yang berbeda.

ajarin kakak bikin hantu-hantuan dari asap dooongg

 

Aku sebenarnya gak suka membicarakan hal-hal lain di luar film, kayak gosip pemain, kehidupan pribadi si pembuat film, ataupun kontroversi seputar film. Karena ketika ngulas film, mestinya kita membicarakan tentang film itu thok! Apa yang bekerja pada unsur-unsurnya, apa yang tidak, mana yang kusuka, mana yang enggak sreg. Tapi mengenai film Naura ini banyak banget yang menanyakan, kita semua pasti sudah mendengar ada beberapa penonton yang enggak suka dengan penggambaran salah satu tokoh pada film ini, penggambaran yang dianggap melecehkan. Well, aku, bahkan pembuat filmnya pun sebenarnya enggak bisa berbuat apa-apa selain mungkin mereka menjelaskan dan menenangkan yang tersinggung. Ketika membuatnya, adalah langkah yang keren untuk membuat film terasa nyata oleh tokoh-tokohnya, tapi reaksi penonton tidak bisa dikendalikan sebab film adalah pengalaman personal.

Dan secara pribadi, dengan menonton langsung, aku tidak melihat hal-hal yang menyinggung dalam film ini. Malahan, di luar perkiraanku, film ini berhasil ngehindarin berbagai jebakan stereotipe, meski memang karakter-karakter yang ada berdimensi satu, di luar fungsinya sebagai pemantik komedi. Untuk kalimat istighfar dan takbir yang dipermasalahkan, aku menangkapnya bukan sebagai lelucon komentar budaya. Akan tetapi hanya sebatas seperti si tokoh kaget hingga latah, dan dalam latahnya itu ia mengucapkan Astaghfirullah. But still, mestinya kita-kita bisa mengambil tindakan positif. Gak musti langsung melarang orang menonton. Buat yang bikin pun, sepatah kata maaf juga sepertinya cukup untuk menenangkan. Karena seperti yang disampaikan cerita Naura – aku harus keluar dari karakter blog sebentar – tidak ada yang menang atau kalah kan di sini.

 

 

Buat yang susah nyari tontonan yang aman buat anak atau adiknya, film ini sangat bisa jadi pilihan tontonan keluarga. Anak-anak akan suka, sukur-sukur jadi kepancing untuk jadi ilmuwan nyiptain sesuatu yang berguna. Mereka bakal ingin seperti Naura yang jago nyanyi, tapi sebagian besar mungkin akan pengen terkenal seperti tokoh Naura yang diperankan oleh Adyla Rafa Naura Ayu. Karena tokoh film yang mereka ikuti di sini tidak benar-benar memberikan impresi dari sikapnya/ Dari wataknya. Penonton butuh tokoh yang bisa mereka cintai, bukan yang mereka sukai. Cinta itu datang dari tokoh yang terasa dekat, yang bercela seperti mereka. Film hanya tampil standar despite dirinya sangat dibutuhkan dalam scene perfilman tanah air yang kering hiburan untuk anak-anak.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAURA DAN GENK JUARA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EMOJI MOVIE Review

“You’re tryin’ to be cool, you look like a fool to me”

 

 

Komunikasi adalah aspek yang penting buat kita sebagai makhluk sosial. Bisa dibayangin sendiri apa jadinya kalo perkembangan teknologi berkomunikasi tidak pernah terjadi. Tidak ada buku, tidak ada internet, bahkan mungkin tidak akan ada sejarah yang terekam karena menulis pun manusia belum tentu mampu. Ngomong-ngomong apa sih penemuan paling penting dalam sejarah perkembangan komunikasi umat manusia? Telefon? Pffft plis, telefon apa, Alexander Graham Bell cuma nyiptain telegraf pake suara. Hanya suara. Menurut film ini, bentuk komunikasi terpenting yang pernah ditemukan adalah emoji. Karena dengan wajah-wajah kecil dan gambar-gambar imut tersebut, kita bisa mengekspresikan perasaan, sehingga cowok pemalu seperti Alex bisa mengatakan “I’m awkward and not good enough” dengan cara yang keren.

Dasar ‘kids jaman now’

 

Lihat kan, kini kalian tahu baru beberapa menit aku udah males nonton film ini. Mereka ngepush emoji sebagai bentuk komunikasi terpenting, mereka literally bilang begitu lewat narasi yang dibawakan oleh Gene. Gene adalah emoji ‘meh’ yang hidup di dalam smartphone cowok remaja bernama Alex. Dan currently, Alex lagi naksir cewek, teman sekelasnya. Dia pengen nyapa, ngajak kenalan tapi Alex enggak tahu mesti bilang apa. Katakan lewat emoji, kata-kata udah basi. Begitu saran teman Alex. Jadi, Alex pun berpikir keras harus mengirim emoji apa ke Addie yang manis. Di dalam telepon genggamnya, para emoji sudah siap di dalam kubikal masing-masing. Mereka menunggu untuk kepilih dan nampilin ekspresi mereka. Gene adalah anak baru, dia hanya kelewat bersemangat dalam hari pertamanya tersebut. Sehingga ketika kepilih, Gene malah menampilkan berbagai macam ekspresi, kecuali ‘meh’; ekspresi  yang harusnya ia tampilkan karena setiap emoji harusnya hanya menampilkan satu ekspresi tertentu. Ketika kau adalah ‘meh’ seperti ibu dan ayahmu dan Eeeyore di Winnie the Pooh, maka kau dilarang keras sedih, marah, ketawa, apalagi ngecampur aduk ekspresi-ekspresi itu. Gene dianggap sebagai malfungsi oleh pemimpin emoji.

Gene pun telah mengerti. Dihapus dia lari. Dikejar algojo robot, tapi dia enggak ketemu Mbak Yuli. Gene ketemunya sama Hi-5, si emoji tangan yang udah gak populer lagi, dan Jailbreak, emoji yang hobi ngehack. Mereka kabur keluar Textopolis, berusaha mencari Dropbox sehingga mereka bisa berkelana di internet, mencari programmer yang bisa menghapus semua eskpresi dalam diri Gene, supaya dia bisa menjadi ‘meh’ sejati yang membanggakan orangtuanya.

 

Sebenarnya masih ada pesan positif yang bisa dibawa pulang oleh orang dewasa dan anak-anak yang menontonnya. Terutama yang kekinian banget, yang setiap harinya aktif ngechat sebaris-sebaris, kebanyakan dengan emoji. Gene meriah oleh ekspresi, tetapi dia malah dikucilkan oleh sekitar lantaran dia enggak klop sama yang diharapkan oleh masyarakat, dia kompleks dalam majemuk yang lebih suka kesimpelan.Perjalanan Gene untuk mengecilkan dirinya sendri bisa dijadikan teguran. Begitu juga dengan journey Jailbreak, yang ingin melihat dunia di luar yang society perbolehkan.Bahkan Alex punya plot yang cukup penting, as kita sering dicut back ke bagian ceritanya, bahwa Alex dan Gene adalah pribadi yang mirip, dan di akhir cerita mereka sama-sama embracing personality yang mereka punya.

Gunakan teknologi untuk memfasilitasi hubungan di dunia nyata. Komunikasi langsung manusia ke manusia harus tetap dijaga dan utama lantaran emoji tidak bisa menyampaikan ekspresi dengan efektif, betapapun lucunya. Dan ultimately, film ini juga membisiki kita supaya jangan menjadi apa yang diinginkan orang lain.

 

Akan jadi sangat ambisius film ini jikalau dia memang memilih untuk tampil engaging, seperti gabungan dari pembangunan dunia Wreck-It Ralph (2012) dengan karakterisasi Inside Out (2015). Beberapa dari kita mungkin akan memberinya sedikit kesempatan, seperti yang kita berikan kepada The Lego Movie (2014). I know I did. Masalahnya, The Emoji Movie seperti tidak tertarik untuk semua itu. Kesan yang ada adalah film ini hanyalah fasilitas untuk menjual produk. Kalian tahu, like, “Gunakan smartphone setiap hari, karena komunikasi dengan orang itu penting. Kalopun dicuekin, tetaplah gaul dengan berbagai aplikasi yang fun!” Film ini tidak melakukan apa-apa dengan elemen cerita yang dimiliki oleh tokoh seperti Jailbreak. Bahkan ketika mereka mengintegralkan aplikasi gadget dengan narasi, aplikasi tersebut tidak benar-benar dieksplorasi menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Petualangan Gene membawanya mengarungi berbagai aplikasi seperti Facebook, Spotify, Gene dan temang-temannya terjatuh ke dunia Candy Crush dan harus mainin satu level puzzle yang ngehits itu. Mereka juga harus bermain Just Dance untuk menyeberang ke tempat berikutnya. Ada penampakan burung biru logo twitter juga (meski nama twitter sendiri enggak disebut, untuk alasan yang mungkin kita sudah sama-sama tahu kenapa). Semua aplikasi itu punya peran yang penting dalam plot poin, tujuan akhir mereka adalah Dropbox. Aku enggak percaya aku nulis ini dua kali. Bahkan film ini mendedikasikan subplot tentang kedua orangtua Gene yang diambang perpisahan, hanya untuk menampilkan Instagram. Pengalaman menonton film ini tidak bertambah menyenangkan ketika mereka nunjukin dunia Youtube dan kita diperlihatkan satu video yang sempat viral.

Hal terbaik yang dipunya film ini adalah kita dapat Patrick Stewart yang classy bermain sebagai Poop

 

Tak pelak, Sony sudah membuat salah satu film paling tak penting yang bisa kita tonton di bioskop. Menonton ini di bioskop praktisnya sama saja dengan bayar tiket untuk NONTONIN IKLAN PRODUK-PRODUK APLIKASI UNTUK SMARTPHONE. Ceritanya punya potensi tapi tidak mendapat perhatian serius sebagai sebuah film, sehingga terasa kering. Lelucon yang dipunya pun ala kadarnya. Standar humor yang biasa dipakai di film animasi untuk anak-anak seperti ini. Mungkin ada dari kalian yang ketawa, tapi niscaya itu adalah tawa hampa karena memang leluconnya – kebanyakan adalah pun basi – tidak punya weight apa-apa. “You’re so soft, Poop” diharapkan membuat kita tergelak berurai air mata. “What if you get sent out on the phone, and make the wrong face?!” diniatkan supaya kita bisa merasakan stake cerita terbangun. Bagian resolusi cerita, itu loh ketika semua subplot terjalin menjadi satu, gimana film ini berakhir, amat sangat gak make sense. Dan aku yakin kalian sudah bisa menebak apa adegan penutup untuk film yang digarap sejadinya ini. Yup, nari bareng!

 

 

 

That’s what this movie is. Iklan produk. Sejauh mata memandang animasinya yang imut. Tidak alasan lain yang bisa kita temukan untuk keberadaan film ini selain Sony ingin memasarkan aplikasi dan services – Dropbox adalah Hogswart dunia siber soal keamanan data yang disimpan di dalamnya – lewat sebuah film, yang digarap dengan seadanya. Dan itulah yang membuat film ini just plain bad. Katakanlah jika ia mengejar ambisi di luar produk placement, punya perspektif baru dalam narasinya yang benar-benar dieksplorasi dalem, film ini bisa paling tidak menjadi lebih dari sekadar ‘meh’.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for THE EMOJI MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GERBANG NERAKA Review

“You can’t prove God exists and you can’t prove God doesn’t exist.”

 

 

Kita hidup di era informasi di mana sumber berita yang paling tak-terpercaya di dunia adalah media. It’s pretty ironic sebab media gemar ngomporin hoax dan tahayul-tahayul justru karena kita sendiri selalu napsu sama yang namanya misteri yang belum-terselesaikan. Dan dalam pertumbuhan mengecam banyak misteri-misteri tersebut, tak sedikit yang berubah menjadi skeptis. Karena memang lebih mudah tidak mempercayai apapun ketimbang mempercayai hal yang tidak bisa dibuktikan langsung. Manusia adalah makhluk visual, kita percaya dengan melihat. Namun ketika dihadapkan dengan agama, di sinilah permasalahan tersebut menjadi menarik. Keberadaan Tuhan sama tidak bisa dibuktikannya dengan Ketidakberadaan Tuhan. Dan memperdebatkan itu hanya membuktikan keterbatasan indera dan persepsi kita.

Pesan terpenting yang bisa kita petik dari film Gerbang Neraka adalah bahwa kepercayaan, entah mau skeptis ataupun klenik, sesungguhnya adalah pilihan kita dalam menyingkapi pertanyaan-pertanyaan atas misteri yang tak-bisa kita selesaikan, atau dalam kata lain; atas misteri kehidupan.  

 

The important thing is that Badurah believes in himself and so can you.

 

Dibintangi oleh Reza Rahadian, Julie Estelle, dan Dwi Sasono di antara pemain-pemain lain, Gerbang Neraka mencoba untuk berkembang menjadi lebih dari sekedar misteri petualangan horor yang melibatkan setan kuno pencabut nyawa manusia. Ada lapisan dalam cerita. Ada perbincangan soal SKEPTIK MELAWAN KLENIK, juga soal idealisme melawan rasionalisme yang menambah bobot keseluruhan film. Mitologi fiksi terbangun steady di balik kejadian seputar penemuan situs Gunung Padang yang sempat menggoncang scene geologi dan arkeologi dunia beberapa tahun yang lalu. Gerbang Neraka cukup banyak mengeksploitasi fakta terkait Gunung Padang, memberikan penonton pandangan tentang how big of a deal situs tersebut.

Build up dan set up adalah fondasi yang membuat film ini kokoh. Sehingga terbukti ketika semakin mendekati akhir, film semakin tidak meyakinkan, kita masih tetap duduk di sana. Kita berhasil dibuat penasaran pada apa yang ada di dalam piramida terbesar itu. Kita berhasil dibuat peduli pada nasib tokoh-tokoh, atau paling enggak kita ingin melihat mereka isdet dengan cara yang bagaimana. Personally, menjelang ending adalah bagian yang paling malesin buatku, it’s kinda bogged down, tapi aku suka ngeliat adegan Reza Rahadian dan Lukman Sardi ngobrol tentang Tuhan dan setan. Mereka-mereka ini adalah salah dua dari storyteller terbaik yang dimiliki oleh sinema Indonesia hari ini. Sehingga meskipun di paruh kedua film ini agak seret, adegan Reza dan Lukman bisa menjadi pelipur lara yang worthy banget untuk disaksikan.

Penemuan Piramid yang selama ini disangka gunung biasa oleh orang-orang sontak bikin heboh, bukan hanya Indonesia, melainkan juga seluruh dunia. Apa yang ada di dalam sana, siapa yang membuatnya, mengapa dia didirikan di antara lima gunung beneran. Arni Kumalasari (Julie Estelle adalah arkeolog paling bening sedunia) terang saja bangga menjadi bagian dari tim ekskavasi bersama profesor sekampusnya. Melihat potensi berita perpaduan mistis dan sains yang bisa ngasilin duit banyak, wartawan majalah Ghoib Tomo Gunadi (kadang Reza Rahadian akting skeptisnya terlalu kuat sehingga dia malah tampak unmotivated) berangkat ke site untuk ngeliput langsung. Di TKP dia bertemu dengan seorang dukun bintang televisi bernama Guntur Samudra (oke tidak lagi langsung  “Mas Adi!”, buatku Dwi Sasono di sini mirip superstar NXT Andrade Cien Almas). Tadinya, Tomo dan Guntur ditolak lantaran ‘yang gak ilmiah gak boleh masuk’. Tapi kemudian semakin banyak arkeolog yang ditemukan meninggal secara misterius, dengan kondisi yang mengenaskan. Arni, Tomo, dan Guntur akhirnya bergabung, menyatukan kepandaian masing-masing untuk membuka pintu masuk ke dalam piramid, sekaligus mengunci gerbang yang udah melepaskan Badurah dan petaka-petaka mengerikan lainnya ke dunia.

Nama arkeologku di lapangan serem kayak gitu pastilah Ari Kumalalari

 

Semua orang butuh untuk cari makan. Tapi kalo cari makan, ya cari makan, jangan berdalih dan mengatakan terpaksa. Kita tidak punya hak untuk berpura sebagai korban ketika kita sudah melakukan sesuatu, memilih sendiri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan  idealisme sendiri. We can’t have both and be a hero, sebab hidup adalah pilihan.

 

Tomo mengerti akan hal tersebut. Dan itulah yang menyebabkan karakter ini menarik. Tomo adalah wartawan yang sudah membuang idealismenya keluar jendela, demi menyediakan nasi untuk keluarganya. Untuk anaknya. Dia enggak punya masalah untuk nulis tentang hal-hal ganjil yang belum terbukti keabsahannya. Namun kita bisa melihat Tomo masih malu untuk mengakui dia kerja di majalah seperti itu. Masalah idealisme ini masih keliatan bentrok dan menjadi running konflik yang terus dibahas oleh cerita. In a way, Tomo adalah katalis dari Arni yang ‘orang sains’ dengan Guntur yang ambasador dari hal-hal gaib. Hubungan antara Tomo dan Guntur mestinya bisa dibuat lebih baik lagi karena sangat menarik melihat dua pola pikir dan kepercayaan itu dibenturkan.

Film punya rancangan yang kompleks, tapi penulisan mulai menunjukkan titik lemah. Naskah tidak mampu mengconvey semua dengan baik dan rapi. Ada banyak hal yang mestinya bisa diatur dan dibangun dengan lebih baik lagi. Misalnya, Arni yang diceritakan merasa vulnerable menggantikan profesor sebagai pemimpin ekskavasi. Kita tidak melihat rintangan yang ia alami, apa yang membuat dia merasa kurang dari apa yang dikerjakan oleh profesor. Motivasi makhluk jahatnya juga enggak benar-benar terang, memang sih ada kait personalnya dengan tokoh utama kita, si Tomo. Akan tetapi pertanyaan ‘kenapa’ tidak pernah dimunculkan ke permukaan. Kenapa mesti Tomo? Apakah karena dia dipandang lebih lemah lantaran ‘iman’nya somewhere di antara level skeptis Arni dengan level klenik Guntur? Aku juga enggak begitu bisa melihat kenapa Tomo bisa ada di sana, selain karena tuntutan naskah bahwa Tomo adalah salah satu dari ‘triforce’ mitologi Gerbang Neraka.

Maksudku; mereka bertiga bekerja sama. Arni dengan penggalian arkeolognya. Guntur dengan pengetahuan ilmu gaibnya. Tomo dengan….. moto-motoin sekitarnya? Paling enggak mestinya Tomo ikutan ngitemin kuku dengan ngegali atau apa kek. Aku bisa mengerti kenapa Guntur terlibat; karena Arni butuh penjelasan atas misteri kematian teman-temannya, dia butuh seorang yang beneran mengerti kekuatan mistis. Aku enggak melihat alasan kenapa Tomo dilibatkan oleh Arni. Kalo alasannya biar ada liputan, kenapa arkeolog mau liputan ekskavasi mereka ditulis oleh wartawan majalah hoax yang udah ngaku mau duit aja, padahal ada banyak wartawan lain di sana. Penjelasan paling logis yang terpikirkan olehku adalah di samping butuh penjelasan misteri kematian, Arni juga butuh dukungan moral. She wants to still be able to feel better about herself, makanya dia ngajak Tomo yang basically sama-sama skeptis seperti dirinya, namun Tomo sudah membuang idealismenya demi perut. Dengan kehadiran Tomo, Arni bisa merasa dirinya masih lebih baik, walaupun dia pada akhirnya juga minta tolong kepada Guntur yang percaya kepada mistis.

 

Untuk komentar soal efek yang digunakan dalam film; well, dana terbatas, teknologi juga terbatas. Kita paham itu. Akan tetapi, jika kita hanya punya sepuluh menit untuk membuat penonton tertarik, hal logis yang kita lakukan jelas adalah dengan tidak memamerkan keterbatasan yang kita punya.

 

 

Babak set upnya adalah bagian yang terbaik, dan still it could have been better. Aku menemukan keseluruhan film ini tidak konsisten. Penulisan tokoh yang tidak dibarengi oleh keputusan yang masuk akal. Tomo adalah karakter utama yang hebat tapi dia tidak diberikan banyak hal untuk dilakukan, dia tidak benar-benar berguna dalam tim mereka. Build up yang tidak semuanya punya pay off yang memuaskan. Contohnya menit-menit menjelang penampakan Badurah yang dibuat sangat subtil – mereka menggunakan lalat sebagai penanda – hanya untuk dimurahkan dengan jumpscare yang membuat kita terlepas dari intensitas cerita. Eksposisi yang enggak mash up dengan baik sehingga beberapa tone film menjadi awkward, seperti ketika dialog tentang kujang (alat ritual) yang langsung dipotong dengan seseorang yang minta diri pulang. Efek-efek yang enggak semuanya meyakinkan; ketika ada yang mati keren banget, namun porsi aksi terlihat konyol oleh efek yang gak mulus. Ini adalah horor, action, mystery, adventure, yang enggak pernah benar-benar memenuhi tuntunan genrenya; semuanya terasa setengah-setengah. Film ini mengeksploitasi banyak sebagai landasan, akan tetapi proses eksplorasi yang mereka lakukan tidak pernah berbuah menjadi tontonan yang truly menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for GERBANG NERAKA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE DARK TOWER Review

“Mind over matter”

 

 

Jake Chambers punya mimpi. Mimpi buruk sekali. Ada menara hitam menjulang tinggi, seolah menopang seluruh semesta. Anak-anak diculik oleh sekelompok orang yang kulit wajahnya bisa melorot. Lalu ‘pikiran’ anak-anak itu diperas untuk meruntuhkan menara tersebut. Dan Jake melihat Pria berpakaian hitam berlari di gurun, diikuti oleh seorang Gunslinger. Perang sedang berlangsung di suatu tempat. Sesuatu yang buruk sedang terjadi terhadap dunia, Jake sadar mimpinya berhubungan erat dengan gempa yang semakin sering terjadi di kota tempat dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Tapi tentu saja enggak ada yang percaya. Malahan, alih-alih senang anak punya imajinasi yang hebat, demi melihat sketsa-sketsa yang digambar Jake untuk menjelaskan mimpinya, Ibu Jake yang cakep itu malah hendak mengirim Jake ke rumah sakit jiwa. Jake kabur, dia lantas menemukan sebuah portal yang membawanya ke dunia yang ia lihat lewat mimpi. Tak lama bagi Jake untuk bertemu dengan Gunslinger, mereka bertualang bersama. Untuk menyelamatkan dunia. Serta membalaskan dendam personal si Gunslinger kepada si Penyihir berbaju hitam.

Kecuali kalian punya pistol, percaya sajalah pada mimpimu.

 

Setiap kali kita hendak mengadaptasi entah itu novel, anime, serial tv, atau bahkan film dari negara lain, menjadi sebuah film, kita akan selalu menemukan masalah. Ekspektasi dari fans akan senantiasa tinggi, mereka akan minta film yang semirip mungkin ama source materialnya, dan itu bisa jadi penghalang kreativitas yang dimiliki oleh pembuat film. Jika ada yang aku setujui dari pola pikir Vince McMahon dalam menyuguhkan konten acara gulat WWE, maka itu adalah bahwa fans enggak tahu apa yang mereka mau. The Dark Tower benar-benar menerangkan DEFINISI ‘ADAPTASI’ kepada fansnya. Cerita The Dark Tower diangkat dari seri terkenal dari salah satu author horor favoritku, Stephen King, dan aslinya cerita ini ada delapan buku. Ketika jadi film, tim penulis skenario tidak mengambil satu buku dan meringkasnya. Film ini mengambil resiko; mereka ngemash up kejadian kedelapan buku sekaligus! Aku belum ngatamin membaca semua seri The Dark Tower, maka buatku film ini adalah sebuah petualangan aksi supernatural yang oke-oke saja. Suka amat enggak, sepele juga enggak. Ada fun juga deh ngikutin petualangan yang satu ini. Tapi meski begitu, aku bisa menebak para fans dari serial ini akan kecele berat, karena film jelas akan sangat berbeda dengan apa yang sudah mereka nanti-nantikan.

Ketiga tokoh sentral The Dark Tower  berkembang lewat kemampuan mereka menggunakan mental yang kuat, lebih daripada kemampuan fisik. Jake punya bakat psikis yang luar biasa. Penjahat utama film ini adalah seorang penyihir yang mampu memerintahkan orang lain melakukan apa yang ia sampaikan kepada mereka. Dalam salah satu jampi-jampinya, si Gunslinger bilang bahwa ia membunuh bukan dengan pistol, melainkan dengan hati. Kedisiplinan pikiran sejatinya bisa mengalahkan kekuatan otot. Latihlah kekuatan otak, imajinasi, dan keyakinan hati sebelum belajar untuk menggunakan fisik sebagai solusi.

 

Langsung keliatan beda adalah tokoh utamanya. Bukan lagi kepada Gunslinger, film menempatkan kita ngikutin Jake Chambers. Alasan yang terpikirkan olehku adalah karena cerita tentang remaja bermasalah dianggap mewakili lebih banyak kalangan penonton; untuk alasan yang sama juga kenapa kita mendapat adaptasi Stephen King yang berating PG-13, padahal King punya nama bukan sebagai pengarang novel young adult. Apart from that, aktor muda Tom Taylor memerankan Jake dengan mumpuni. Dia dapet range karakter yang lumayan luas, dari yang tadinya pendiam menjadi pemarah, dia melalui banyak perasaan emosional. Stephen King adalah master dari cerita balas dendam, tokoh Roland si Gunslinger meski agak kedorong ke belakang, namun kita masih bisa ngerasain elemen personal yang menghantui dirinya. Mata Idris Elba menyimpan banyak emosi. Jake dan Roland selain punya hubungan yang menyentuh hati juga diberikan momen-momen humor yang terdeliver bagus. Seperti pada Wonder Woman (2017), ada aspek fish-out-of-water yang menghibur saat Jake belajar tentang dunia Roland, dan begitu juga sebaliknya saat Roland dilarang ngeluarin – bahkan bicara tentang – pistol di Bumi kita.

Tokoh antagonisnya lah yang sedikit membuat aku khawatir. Menjelang The Dark Tower rilis, aku ngadain pemutaran spesial film-film adaptasi Stephen King setiap malam di kafe eskrimku (boleh kaka cek insta kita di @warungdaruratbdg ~~), filmnya enggak semua bagus, dan tokoh jahat cerita-cerita itu kerap menjadi terlalu over the top. Matthew McConaughey is kinda perfect mainin Man in Black yang licik kayak ular. Gaya bicaranya worked really well. Dia tampak menikmati perannya. Masalah datang dari si tokoh sendiri; he’s just an evil powerful sorcerer. Kita enggak diberikan pengetahuan soal kenapa dia ingin menghancurkan menara dan memanggil monster-monster itu. Darimana dia bisa ngumpulin organisasi Wajah M’lorot, apa motivasi terdalamnnya. Kita enggak mendapatkan semua itu. Kita hanya mendapat apa yang kita lihat di permukaan, dan menurutku ini sangat mengecewakan.

Secara lengkapnya, ‘mantra’ yang dikumandangkan Roland sebelum beraksi berbunyi “I do not kill with my gun; he who kills with his gun has forgotten the face of his father. I kill with my heart.” Dengan penekanan kepada ‘(who) has forgotten the face of his father.’ Ada tema tentang ayah yang juga diparalelkan dengan kehidupan Jake. Orang yang melupakan wajah ayahnya, dalam artian tidak lagi orang tersebut ingat latar belakang dirinya sendiri, adalah orang yang tidak pantas untuk memegang senjata; dalam hal ini bisa diartikan sebagai enggak pantas untuk memegang power. Sebab dia tidak lagi ingat apa yang mendasari motivasinya, dia tidak lagi punya kekuatan hati.

 

some of us will not forgot the face of Jake’s mother soon

 

 

 

Sayangnya, resiko yang berani diambil oleh The Dark Tower hanyalah sebatas ngerangkum keseluruhan buku dan ngurangin durasi. Masih ada hiburan serta pelajaran yang bisa kita ambil dari nonton ini.  Sekuen aksinya pretty good, banyak stunt dan spesial efek yang menarik. Hanya saja semuanya terasa terlalu konvensional. Tidak ada adegan ataupun momen yang benar-benar mindblowing. Lupakan juga aspek horor. Film ini jatohnya seperti film-film petualangan biasa sebab kita tidak pernah benar-benar merasakan pembangunan semesta cerita. Padahal sebagian besar dialog film ini wujudnya berupa eksposisi. Jake, dalam perspektif penceritaan, tak lebih dari sekadar device gampang untuk menghadirkan penjelasan universe. Dan tetap saja di akhir cerita kita sadar kita enggak belajar banyak mengenai dunia fiksi ini. The way they present certain things seolah semua penonton sudah punya pengetahuan dasar tentang serial bukunya.

Ngebangun cerita sudah semestinya jadi tujuan filmmaker demi membuat film yang bagus. Namun, seperti banyak film modern yang lain, film ini juga cenderung lebih fokus dalam membangun franchise instead. Ada banyak referensi terhadap karya Stephen King lain yang bisa kita temukan seakan-akan mereka ingin membuat Universe Stephen King. Kekuatan psikis yang dimiliki oleh Jake disebut “Shine” as in The Shining. Sebenarnya cukup annoying, tapi oleh karena aku lumayan bosen sama narasi film yang basic banget, aku toh jadi menikmati juga ketika melihat angka 1408, reruntuhan sirkus bertulisan Pennywise lengkap dengan balonnya, poster Rita Hayworth, mobil Christine, dan banyak lagi.

 

 

 

Enggak begitu buruk. Buat aku yang enggak nuntasin semua seri bukunya, film ini adalah tontonan yang bisa dijadikan hiburan, jika benar-benar enggak ada pilihan lain. Tapi buat fans berat, film ini bakal sama rasa mengecewakannya dengan diphpin ama cewek. Dengan source material sekompleks ini, film mestinya bisa menjadi lebih jauh lagi. Nyatanya dia tampil datar dan sangat konvensional. Mitologinya menarik, dengan background karakter yang mendalam. Namun film hanya membahas di permukaan. Tidak ada yang benar-benar berbeda yang bisa kita jadikan pengingat yang ikonik. Penampilan aktornya bagus; Elba dan MacConaughey is so great sehingga kita ingin meraih ke layar, mengangkat mereka, untuk dipindahkan ke film yang lain. Ibarat kata, film ini lupa membangun menara cerita terlebih dahulu untuk menopang semesta yang sekaligus berusaha mereka ciptakan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE DARK TOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE MUMMY Review

“The hardest thing in the world is to accept that something is wrong with you, face the uphill road to recovery ahead, and realize that none of it makes you less than human”

 

 

Dalam The Mummy, kita akan diingatkan bahwa masa lalu enggak bisa dikubur selamanya. Yes, selamat deh buat yang berusaha move on, hidup pasukan “Always” Snape. Past will always find a way to bite us in the butt, dalam film ini masa lalu, ya, harafiah datang dalam sesosok mayat (or not, jeng jeng!!) kuno yang terkubur di dalam bumi, berbalut perban, dan beretina dua, per bola mata.

I love The Mummy (1999) with Brendan Fraser. Walaupun saat menontonnya aku belum tau mana film yang bagus, mana film yang jelek, namun paling enggak film itu menghibur. Ia seru, lucu, dan ketika beranjak ke elemen seram, whenever Imhotep berteriak menggelegar, aku sukses ngumpet di belakang sofa. Karena lagi puasa, aku gak boleh su’udzon bahwa franchise ini direboot demi lembaran tunai belaka. Faktanya, memang, The Mummy adalah bagian dari Dark Universe, dunia cinematic penuh oleh Gods and Monsters yang lagi digiatkan oleh Universal. Kalian tahu monster-monster klasik kayak Frankenstein atau Drakula? Nah, mereka semua dibuat ulang untuk kita pelototin sama-sama di bioskop.

Kali ini, tokoh utama kita adalah sejenis tentara yang suka ‘mengutil’ emas dan benda-benda berharga yang bisa ia temukan (dan cari) di medan perang, yang diperankan oleh Tom Cruise. Karena perangainya itu, Tom Cruise dan temennya yang berpangkat Kopral dikejar-kejar oleh pemberontak Irak, hingga mereka memanggil bantuan udara. Namun bukan hanya tentara ISIS saja yang kocar-kacir ditembak oleh helikopter, sejumlah besar massa tanah kota tempat mereka berada pun turut sirna. Menampakkan makam rahasia di baliknya. Seperti pada film pertama, mereka membuka makam tersebut, sehingga terlepaslah raga busuk jahat yang bersemayam di dalamnya. Tom Cruise dan teman-temannya, including cewek arkeolog yang kerjaannya diselametin melulu, musti berburu relik kuno. Sembari diuber-uber oleh badai pasir berwajah si mumi cewek.

“gue cium, kering lo!”

 

Meski memang ini bukan kali pertama ada mumi cewek, still Ahmanet sebagai main villain adalah sebuah tiupan angin segar. Sofia Boutella ngejual peran ini dengan amat baik. Dia adalah salah satu spot cerah dalam film ini. Dia nyeremin, dia sadis, pada satu titik dia berusaha terlihat baik menipu daya dalam menjustifikasi aksinya – tapi tetep aja I was like, “go away spider-mummy-woman!!”, dan dia kadang mirip Jupe. Film ini memainkan sudut baru dalam hubungan antara protagonis dengan antagonisnya, di mana ‘Sang Terpilih’ dalam cerita ini justru adalah cowok yang diuber untuk dikorbankan oleh wanita.

Film baru ini punya banyak sekuen aksi yang exciting dan menawarkan hal-hal fun. Desain produksinya juga kelas atas, filmnya terlihat keren. Spesial efek sekuen-sekuen tersebut are so good. Menurutku akan ada banyak penonton yang terhibur oleh aksi-aksi seru yang melibatkan tokoh-tokoh horor. Adegan pesawat jatuh adalah highlight terkeren sepanjang presentasi dan Tom Cruise sekali lagi membuat rekan-rekannya menderita lantaran dia enggak tanggung-tanggung dalam menjalankan adegan, terutama bagian action. Tom Cruise sekali lagi menunjukkan dedikasinya. Dia melakukan berbagai adegan dengan maksimal like no one else. Di sini, dia bukan hanya karismatis, tapi juga kocak. Tokohnya diberikan banyak dialog lucu, yang sebagian besar bergantung kepada waktu penyampaiannya. Dan his comedic timing is actually really excellent. Nick ia perankan sehingga menjadi gampang untuk disukai sebab tokoh ini juga bukan seperti peran-peran hero yang Tom Cruise biasa mainkan. Nick is a kind of dick. Dia lebih seperti penjarah daripada tentara yang mengayomi, serius deh, pada dasarnya dia bukan hero. Dia lebih kayak terjebak situasi, dia ada di sana, jadi sekarang dia harus deal with it. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku ngakak ngeliat Nick kabur gitu aja naik mobil, ninggalin ceweknya di tengah hutan, dia benar-benar gak berhenti, si cewek yang musti ngejar. Dan ketika dia bilang “kupikir parasutnya ada dua..” kita tahu itu jujur dari hatinya – ngorbanin diri enggak terlintas dalam pikirannya saat itu.

Kejahatan diibaratkan sebagai penyakit yang diam-diam bersarang di dalam diri manusia. Makanya, kejahatan juga bisa disembuhkan. Hal paling sukar di dunia adalah mengakui ada yang salah pada diri kita. Dan tentu saja, dibutuhkan keberanian yang luar biasa gede untuk mencari pertolongan saat kita menyadari kita punya ‘penyakit’ di dalam diri. Dan menerima kenyataan akan dua hal tersebut tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia.

 

 

“Kita harus segera keluar dari sini, Nick!”
“Nick, gue digigit laba-laba!”
“Nick, let’s go, Nick!”
“Niii~~~iiickkk!!”

Sebagai sidekick, ada Jake Johnson. Di sini perannya sebagai sobat yang terus ngikutin ke mana tokoh utama kita pergi dengan komentar-komentar komikal. Pada awalnya, aku juga terbahak. You know, aku ngikutin serial New Girl, dan di sana Jake berperan sebagai tokoh yang bernama Nick. So begitu di film ini, dia kayak sengaja nyebut nama tokoh Tom Cruise setiap kali merengek, and it’s really funny hearing how he says it. Tapi tentu saja, karakter sidekick yang terlalu komikal seperti ini dengan cepat menjadi annoying. Kemunculan si Chris Vial actually dikurangi setelah babak satu, dan tetap saja setiap kali kesempatan langka di mana ia menampakkan diri, adegan dan komedinya enggak benar-benar bekerja dengan baik.

Ada dinamika yang dimainkan terkait dua tokoh wanita satu-satunya dalam film ini. Si mumi digambarkan sangat ‘aktif’, dia langsung mengincar cowok-cowok di titik terlemah kodrat mereka, sedangkan Jenny, si cewek arkeolog yang diperankan oleh Annabelle Wallis, diportray sebagai cewek baik-baik yang lebih kalem, yang jadi love interest tokoh utama. Ketika aku nulis tokoh ini ‘kalem’, ketahuilah itu sebenarnya aku berusaha ngebaik-baikin, karena tokoh Jenny ini, faktanya, adalah salah satu tokoh paling annoying dan paling enggak berguna dalam sejarah perfilman dalam kurun waktu dekat ini. Beneran, setelah kita melihat Wonder Woman (2017) yang tentang cewek luar biasa mandiri dan kuat yang diarahkan oleh sutradara yang juga cewek, The Mummy punya nyali untuk membawa kita mundur ke jaman jahiliyah di mana tokoh cewek yang dimilikinya completely totally useless. Jenny enggak nambah banyak buat cerita. Dia butuh untuk diselamatkan pada setiap kesempatan. Dia jarang sekali ngelakuin sesuatu yang berguna, dia enggak mecahin teka-teki, dia cuma ‘pesawat-sederhana’ yang membantu tokoh utama bepergian ke tempat yang dibutuhkan, dan kalo lagi enggak pingsan, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya eksposisi belaka. JENNY ADALAH CONTON MODEREN DAMSEL IN DISTRESS PALING PAYAH.

“dunia belum berakhir, bila kau mumikan aku”

 

 

Secara garis beras, eh sori efek puasa hemm,… secara garis besar, narasi film ini tersusun oleh formula EKSPOSISI, AKSI, EKSPOSISI, AKSI, SETUP FOR DARK UNIVERSE, AKSI, EKSPOSISI, SETUP, DAN GITU SETERUSNYA. Sepuluh menit pertama actually adalah menit-menit panjang paparan melelahkan yang diceritakan langsung kepada kita oleh tokoh yang bukan tokoh utama. It just doesn’t make sense dalam hal gimana storytelling yang baik dan benar. Film ini memang terlihat sebagai usaha untuk memperkenalkan Universe yang sedang dibangun oleh Universal, sehingga mereka lupa untuk bercerita dengan asyik, seperti layaknya film yang berdiri sendiri. Tokoh di awal film, akan muncul lagi di pertengahan, dan meski sebenarnya aku gak ada masalah sama Russel Crowe – he’s really good seperti biasa dan tokoh yang ia perankan benar-benar menarik – namun tetap saja kehadirannya menambah sesak suasana. Malahan, melihat Russle Crowe dan Tom Cruise ngobrol berdua di film ini, rasanya amazing banget, kayak ngeliat dua main eventer WWE just kill it on the mic.

The Mummy tidak punya arahan emosional yang lurus. NARASINYA SUMPEK. Fokusnya pada set up untuk film berikutnya, juga tentu saja ada homage untuk seri terdahulu. Adegan-adegan aksi yang exciting diselingi oleh eksposisi yang memberatkan – mereka bahkan ngerasa perlu untuk benar-benar mengungkapkan seberapa jauh jarak dari Mesir ke Persia. Dan semua itu adalah karena film ini ditulis dengan keroyokan. Cek deh ke imdb, writernya ada enam kepala. Ceritanya dikembangkan oleh banyak pendapat dan memang kelihatan; jadi gak heran kenapa screenplay film ini jadi terasa tidak teroganisir dengan baik. Film ini lebih ke action, despite naturally punya elemen horor, dan malah resort ke jumpscare-jumpscare.

Kalo ada yang bisa dipelajari oleh orang Mesir, maka itu adalah gimana mereka memperlakukan si Jahat dengan respek. Mereka membuatkan makam yang indah dengan arsitektur yang sangat cermat. Walaupun segala sistem dari makam tersebut ditujukan supaya yang di dalam enggak keluar lagi, tapi itu menunjukkan bahwa yang terburuk dari kita pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

 

 

Dimulai dengan cukup enggak-enak, dan berakhir dengan bikin hati makin masygul. I mean, kalo mau ditutup dengan ‘iklan buat the next installment’ seperti itu, at least lakukan setelah closing credit bergulir. Film ini hanya berupa paparan-aksi-setup. Namun, desain produksinya membuat kita enggak bisa semena-mena mengutuk film ini jelek. Beberapa adegan aksinya genuinely menarik dan seru. Penampilan Tom Cruise berada di atas yang lain, di mana jadinya kita enggak mendapatkan chemistry yang asik dari hubungan para karakter. Film ini padat tanpa ada arahan emosi yang jelas. It’s loud, berantakan, sampe-sampe saat menonton kita akan kepikiran “kayaknya mejamin mata enak, nih!” Tapi film ini masih bisa ditonton dengan ‘okelah’ kok, terutama kalo kalian sebodo amat sama storytelling, lagi gak punya tontonan lain, atau lagi nyari kesibukan dalam rangka nungguin bedug maghrib.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE MUMMY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE Review

“Accusations are useless.”

 

 

Apakah membuat franchise film berdasarkan sebuah wahana taman hiburan adalah langkah berani yang paling aneh ataukah cuma usaha nekat untung-untungan demi yang namanya duit? Well, jika sihir bisa dianggap sebagai sains yang belum kita mengerti, maka Pirates of the Caribbean bisa jadi adalah magic yang bikin sebagian kita garuk-garuk kepala. Film pertamanya sangat exciting. Setelah itu, semua judul dari franchise ini secara konstan kualitasnya terus menurun. They were bad movies. Di lain pihak, franchise ini toh laku keras, for it is action di tengah laut, yang memadukan bajak laut, kekonyolan, dan hal-hal fantastis.

Film kelima ini actually rilis dengan dua judul yang berbeda. Yang tayang di Amerika sono judulnya Dead Men Tell No Tales. Sedangkan di bioskop sini – aku tadi sempat kelimpungan takut salah nonton – dikasih judul Salazar’s Revenge. Aku gak tau alasan kenapa dirilis dengan judul berbeda seperti demikian; mungkin karena judul aslinya kepanjangan atau mungkin Dead Men dirasa terlalu seram. Hal kecil sih, walupun begitu, sebenarnya aku lebih suka sama judul versi Amerika. Salazar’s Revenge kedengarannya terlalu generik. Lagipula, kalimat “Dead Men Tell No Tales” beneran disebutin di dalam film, terincorporate really well ke dalam cerita, karena tokoh penjahat di film ini suka menenggelamkan kapal dan dia akan sengaja menyisakan satu korban masih hidup untuk menceritakan aksinya kepada orang lain di daratan, sebab ya, orang mati kan enggak akan bisa bercerita.

Orang mati juga gak bisa ke daratan, so yea…

 

Aku berharap film ini jadi film terakhir aja sebab, sukur, film ini LEBIH BAIK KETIMBANG FILM PIRATES SEBELUMNYA. Ceritanya considerably lebih menarik. Jack Sparrow terlibat dalam pencarian Trisula Poseidon yang bisa menghapus semua kutukan di lautan. Bajak laut mabok kita butuh benda ajaib tersebut lantaran dirinya sedang diburu oleh sepasukan hantu anti-bajak laut (lengkap dengan hantu hiu dan kapal hantu yang bisa berubah menjadi mulut yang menelan kapal di depannya) yang dendam kesumat kepadanya. Hantu Kapiten Salazar, at some point, bahkan bekerja sama dengan musuh lama, Kapten Barbossa yang kini jadi bajak laut paling sukses seantero Laut Karibia. However, bersama Kapten Jack, kali ini ada pelaut muda bernama Henry yang juga mencari kekuatan Trisula untuk ‘menyembuhkan’ ayahnya, dan sesosok gadis manis nan pinter yang jadi penunjuk jalan lantaran cuma dia satu-satunya yang bisa membaca peta.

Pintar di antara yang bego, maka kita akan dianggap aneh. Film ini membahas masalah posisi wanita yang di kala itu masih dianggap inferior; cewek cannot be smart unless they are witches. Ini bisa ditelusuri sebagai masalah prasangka. Zaman dulu, bidan-bidan wanita dianggap berbahaya sebab mereka ngurusin perkara hidup mati sebagaimana peran dokter-dokter pria. As gender dijadikan tolak ukur wewenang; orang-orang lebih mudah percaya kepada laki-laki yang tegas dibanding kepada wanita yang lemah lembut. This element is also played really well dengan karakter Jack Sparrow yang ditinggalkan oleh kru, you know, because he’s drunken and weird dan kerap bawa sial. Kontras dengan Salazar yang punya pengikut setia hidup-mati, atau malah dengan Barbossa. Padahal mereka sama kompetennya.

 

Tentu saja banyak kejar-kejaran, tembak-tembakan kapal, dan duel pedang yang terjadi. Ini adalah film yang terlihat sangat menarik. Penggunaan efeknya keren. Javier Bardem cool banget sebagai Salazar, aku suka penampakannya, aku suka gimana dia memainkan perannya. Hantu maniak ini adalah penjahat film favoritku sejauh pertengahan tahun ini. Film ini punya banyak stok candaan dan lelucon yang bagus. Juga berusaha untuk punya sisi emosional. Namun dengan tema besar mencari diri sendiri, film ini relatif berjalan lurus sebagai film petualangan yang melibatkan banyak pihak. Semua orang tersebut numplek di atas kapal yang sama, literally and figuratively. Dan kita bisa melihat masing-masing mereka punya alasan untuk berada di sana. Tokoh Henry yang diperankan oleh Brendon Thwaites ditulis punya kaitan sejarah dengan franchise ini, motivasi dirinya lah yang bikin narasi film ini berjalan. Ada percikan manis yang terjalin antara dirinya dengan tokoh Carina (Kaya Scodelario berhasil untuk tidak terjebak memainkan karakternya jadi semacam tokoh daur-ulang). Di duapuluh menit terakhir, barulah film benar-benar finally just pick up. I loved the ending. Dan meski efek di bagian ‘final race’ ini sedikit lebih rough-around-the-edges, aku suka, malahan bukan itu yang menggangguku.

What really bothers me about this film adalah walaupun tokoh-tokoh tersebut punya motif dan alasan untuk ikut bertualang, urgensinya tidak pernah benar-benar terasa. Stake, alias konsekuensi, yang dihadapi para tokoh enggak terang benar. Rintangannya pun sebenarnya cukup gampang untuk dihindari. Kita bisa merasakan ada sesuatu tujuan, ada sesuatu yang harus mereka selesaikan, tetapi rasanya tidak ada tuntutan untuk segera dibereskan. Para hantu hanya bisa ngejar di laut, Jack Sparrow enggak benar-benar dalam bahaya. Kalo Henry gagal menghapus kutukan ayahnya, hal buruk apa yang terjadi? Dia masih bisa hidup dan pacaran dan punya anak kok. Carina diberikan alasan untuk tidak bisa pulang, dia sekarang diburu mati-matian oleh negara lantaran disangka penyihir, namun masalah itupun beres seketika. Di film ini ada penyihir beneran, and that’s it, kita enggak melihatnya lagi di akhir.

Dan jokes tentang “Neng, pinter banget, kamu pasti penyihir. ENYAH KAU!” terus saja diulang-ulang sehingga jadi annoying. Awalnya sih lucu, tapi lama-lama jadi kentara banget. Masak setiap tokoh cowok guyonannnya begitu ke Carina.

Cara terbaik untuk menggambarkan film ini adalah membandingkannya dengan wahana di taman hiburan Disney. And it is precisely just like that; Seru yang melibatkan banyak hal dan membutuhkan biaya besar, tapi nyatanya adalah rangkaian adegan yang pointless.

 

Pada film pertama, karakter Jack Sparrow adalah tokoh yang sangat mengejutkan. Kita enggak tau apa yang ada dipikirannya, cara dia untuk membuat everything work out. Sparrow adalah peran yang berhasil dibangkitkan secara fenomenal oleh Johnny Depp. It is his signature role. Dia lucu, gampang banget disukai. Penampilannya liar dan really unhinged, bagusnya di awal-awal adalah keintensan karakter tersebut terkontrol dengan baik. Dalam film ini, Depp seperti diberikan kebebasan seratus persen, hanya saja jatohnya dia seperti memainkan karikatur dari karakternya yang dulu. Cuma sebatas lelucon setiap kali dia nampil dalam adegan, Sparrow tidak lagi punya real-character. Ini membuatku kecewa karena buat tokoh ini kita udah tau harus mengharapkan apa, namun tokohnya kehilangan sense of humanity seperti yang nampak pada film-film awal. Aku lebih tertarik ketika cerita membawa kita flashback ke Sparrow yang masih muda; karakternya terlihat lebih grounded di bagian itu.

Studio Disney lagi suka main FaceApp yaa hhihi

 

Meski ini adalah film dengan durasi paling pendek dalam franchise ini, dirinya tidak terasa bergerak secepat itu. Tetap aja filmnya kayak panjang banget. Sekuen-sekuen aksinya pada seru dan refreshing hanya saja mereka dimainkan lebih sebagai humor alih-alih untuk excitement. Pacing film kerap terasa ngedrag karena ada banyak adegan-adegan panjang yang kepentingannya gajelas. Kayak Sparrow ketemu pamannya di sel, atau malah adegan rampok bank itu. Sepertinya adegan-adegan tersebut memang dimasukkan cuma untuk bumbu humor semata. Tidak ada yang menarik dari arahannya. Film ini terasa kayak film-film action adventure yang biasa. Coba deh bandingin ama trilogy Pirates yang digarap oleh Gore Verbinski. Meski memang yang pertama doang yang bagus, namun Verbinski meletakkan ciri khasnya dalam film-film tersebut. Pirates seri kelima ini datar aja, enggak punya keunikan apapun.

 

 
Akan ada banyak hal yang bisa dinikmati jika kalian penggemar franchise ini. After all, kita udah ngeliat sekuelnya yang jauh lebih buruk. Film ini enggak jelek-jelek amat, meski juga enggak brilian dan unik. Efeknya keren, dan aksinya seru. There are some good jokes. Ceritanya juga sedikit lebih menarik. Penampilan Salazar is the one to watch for. Yang bikin kecewa adalah enggak banyak sense of urgency dari karakter-karakternya. Film ini live it up deh dengan wahananya, asik tapi rather pointless. Tapinya lagi, purposenya akan benar-benar terasa mantep jika film ini adalah film terakhir. It was better than the previous ones.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

My Dirt Sheet Top-Eight Favorite Studio Ghibli Movies

 

Oke, ini daftar delapan-besar TERSUSAH YANG PERNAH AKU SUSUN. I mean, gimana milihnya coba kalo semua disuka, like ah aku suka Mononoke, eh tapi Laputa gakalah seru, Kiki juga lucuuu, belum lagi Poppy Hill yang sweet banget, aaaaa please let me just rewatch them all again and again and again. Tadinya aku sudah nyelesaiin draft pertama, dan kemudian aku ingat belum masukin Totoro, jadi aku merombak ulang nulis susunan daftar ini. Pheeewww!

Studio Ghibli, sepanjang waktunya berdiri, konsisten menyuguhkan cerita yang sangat loveable dan grounded, enggak peduli dia sedang berkisah tentang petualangan, fantasi, maupun kehidupan sehari-hari. Buat yang belum familiar dengan Studio Ghibli, gini deh: bayangin film-film dari Pixar, hanya saja mereka kental oleh budaya Jepang, digambar dengan animasi buatan tangan yang sangat jelita dan very fluid, dan senantiasa menjaga idealisme tanpa harus repot-repot mikirin keuntungan komersil. Film-film Ghibli selalu sukses menyedot setiap yang menonton berkat karakter dan kedetilan penceritaan. Kekuatan film ini mampu membuat anak-anak dan orang dewasa terinvest secara emosi, dan semuanya kerasa real. Setiap mudik, aku selalu muterin di rumah dalam rangka meracuni adik-adik dan para sepupu dengan film yang bukan hanya menyenangkan melainkan juga sarat isi dan punya hati. Visi pendirinya, Hayao Miyazaki, bercerita dengan respek terhadap penonton terus dipertahankan hingga kini. Dan sedihnya, Studio Ghibli benar-benar berjuang untuk itu.

Tahun 2015 kemaren adalah perayaan 30 tahun berdirinya Studio Ghibli. Mereka meluncurkan When Marnie was There yang meski masuk daftar favoritku tahun itu, namun pendapatan box officenya kurang memuaskan. Film tersebut dikabarkan sebagai film terakhir dari Ghibli. Pait pait manis gak sih, mereka harus mundur di anniversary hanya karena film yang bagus bukan berarti harus selalu laku. Dan kalo ada yang cerita mengenai sebuah anime yang bagus, tidak akan ada yang menganggapnya serius. Anime statusnya kayak buku komik dan manga, media penceritaan yang paling underrated dan underappreciated.
Tapi kemudian di tengah-akhir 2016 Ghibli kembali dengan The Red Turtle, mereka menemukan ‘jodoh’ bikin film, bekerja sama dengan sineas Belanda. Dongeng magis yang indah sepertinya masih berlanjut. Malahan, di tahun 2017 ini, diawali oleh Spirited Away, kita-kita yang di Indonesia akan dihibur oleh penayangkan film Ghibli di beberapa bioskop. It’s so wonderful that we could experience those fantasies on big screen (finally! Indeed). Aku terutama ingin sekali liat adegan perang Princess Mononoke dan adegan tsunami Ponyo di bioskop. Dan katanya, Agustus nanti, Ghibli akan membuka eksibisi di Jakarta. So yea, see you guys there! 😀

Tadinya aku mau bikin HONORABLE MENTIONS seperti biasa, but I just can’t decide haha.. Jadi ya, langsung saja, inilah Delapan Film Ghibli Favoritku:

 

 

 

8. GRAVE OF THE FIREFLIES (1988)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.5/10
“Why do fireflies have to die so soon?”

Bakal bikin mata sembab kayak habis ngupas bawang. Ini adalah cerita survival yang sederhana tentang dua anak korban perang, yang hidup sebatang kara. Seita dan adiknya yang masih lima tahun, Setsuka, enggak punya rumah. Mereka lalu tinggal dalam sebuah gua di bukit pinggir desa. Seita harus mencari uang untuk makan, sekaligus menenangkan pertanyaan adiknya soal orangtua mereka yang tewas. Film ini adalah cerita perang paling sedih yang pernah aku tonton.
Banyak film animasi yang berani membahas tentang kehilangan, namun Grave of the Fireflies stands out lantaran ia juga membahas tentang penyesalan. Rasa bersalah seorang yang selamat, fakta bahwa mereka justru kalah oleh rasa lapar akan menjadi perasaan sedih yang bakal terus menghantui. Membuat tidak ada lagi keinginan untuk hidup. Kematian memang menyedihkan, tapi tidak ada yang lebih sedih daripada membuang keinginan untuk hidup.
Perjalanan emosi adalah bagian terkuat film ini. Memang sih, rasanya film ini dibuat untuk tujuan dramatis semata – itulah makanya kenapa aku meletakkannya di peringkat kedelapan. Karakternya dibangun untuk membuat kita menitikkan air mata, sehingga kadang pancingan emosinya terasa terlalu diatur. But the way they told it was so beautiful, timing sunyi dieksekusi dengan sangat precise, dan animasinya in some ways, mengerikan karena feeling yang dikeluarkan terlampau kuat.

My Favorite Scene:

Ketika mereka menangkap kunang-kunang dan menggunakannya untuk menerangi gua. Single momen yang simbolis dan sangat cantik.

 

 

 

 

 

7. MY NEIGHBORS THE YAMADAS (1999)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.3/10
“The reason the Yamadas get along fine is because all three adults are nuts. If one of you were normal it would unbalance the rest”

Film pertama Studio Ghibli yang menggunakan animasi komputer seluruhnya ini memang lain daripada yang lain. Gaya animasinya disesuaikan dengan gimmick cerita yang quirky, and kita bisa langsung melihat perubahan style ini actually work in favor of the storytelling. Straightforward dan enggak neko-neko. Ghibli membuat keputusan yang berani dan hasilnya adalah sebuah tontonan unik yang meriah dan mengasyikkan untuk dinikmati. Sekali lagi, Ghibli menekankan bahwa film animasi secara visual enggak selalu harus mirip dengan realita, perasaan yang dideliverlah yang mestinya harus disajikan dengan nyata.
Struktur cerita Yamadas ini pun sesimpel animasinya. Ketimbang cerita panjang, film ini lebih seperti gabungan sketsa komedi yang disusun membentuk satu kesatuan. Enggak ada antagonis, enggak ada big final action sequence. Kita bisa menemukan sesuatu untuk difilmkan di mana saja, bahkan jika materinya lebih dekat maka akan lebih baik. Dari awal sampai habis kita akan melihat kegiatan sehari-hari keluarga Yamada yang katrok. Ada Ayah, Ibu, Nenek, Kakek, Abang, Adik, petualangan mereka adalah petualangan keluarga sehari-hari yang juga bisa terjadi sama keluarga kita. Gimana keluarga tradisional dihadapkan kepada tuntutan dunia modern. Nature ceritanya masih sangat relevan, karena memang selalu itulah masalah yang akan dihadapi oleh sebuah keluarga. Makanya, meskipun drama lucu ini kental oleh budaya Jepang (setiap ‘episode’ diakhir dengan haiku yang kocak), film ini tetap akan terasa sangat relatable dan setiap keluarga akan merasa terwakili olehnya.

My Favorite Scene:

Ketika Ayah dengan nekat (tepatnya dinekat-nekatin) keluar untuk berurusan dengan preman bermotor yang udah ganggu ketentraman kompleks tempat tinggal mereka. Tanggung jawab ayah itu berat dan dia harus berani, namun berani bukan berarti tidak merasa takut!

 

 

 

 

 

6. PONYO (2008)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 7.7/10
“So what’s your Mother like, then? / She’s big and beautiful, but she can be very scary. / Just like my Mom. “

Inilah apa yang terjadi kalo kita memberikan sedikit twist anak-anak kepada cerita Putri Duyung. Instead, Ponyo adalah tentang seekor ikan emas gemesh yang pengen menjadi bocah manusia karena di daratan sana dia berteman dengan Sosuke. Enggak banyak yang dibicarakan oleh film ini di luar persahabatan dan relationship mereka. Dan sedikit concern soal lingkungan hidup, dalam kasus ini perairan, yang by the way adalah salah satu dari kekhasan karya Hayao Miyazaki. But oh wow, kalo ada satu kata yang terlintas begitu orang menyebut film Ponyo, maka kata itu pastilah: AJAIB!
Animasinya kreatif luar biasa. Dunia bawah air, adegan tsunami, makhluk-makhluk laut yang aneh dan lucu-lucu itu, film ini adalah ajang ‘pamer’ buat talenta animator Ghibli. Ponyo adalah film favorit adekku yang saat pertama kali kuputerin, dia masih berumur 5 tahun – sama ama usia tokoh Sosuke dalam film ini. Dan memang sepertinya tokoh tersebut sangat relatable buat penonton usia muda. Petualangan Sosuke dan Ponyo bener-bener cute, it is a lighthearted movie yang juga mengajarkan kemandirian. Tapi terutama film ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka juga manusia, you know, mereka punya keinginan, mereka punya pemikiran, dan they should be able buat menyuarakannya. Bahwa mereka juga berhak untuk membuat pilihan. Ponyo mengajarkan itu semua dengan cara yang sangat magical, memukau, dan penuh dengan imajinasi!

My Favorite Scene:

Adegan Ponyo berlari mencari Sosuke bersama ikan-ikan itu adalah adegan yang kami putar-putar terus di rumah hahaha, animasinya keren banget, Ponyonya juga imut

 

 

 

 

 

5. ONLY YESTERDAY (1991)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.7/10
“Rainy days, cloudy days, sunny days… which do you like?”

Wanita 27 tahun memutuskan untuk pergi ke kampung kelahirannya, yang dia inginkan bukan semata suasana pedesaan; dia ingin bekerja di sawah, namun sebenarnya yang ia butuhkan adalah mencari tahu apa yang ia inginkan dari dirinya sendiri. Dia ingin merasa berguna. Dia ingin menambah sesuatu ke dalam hidupnya. Dan sepanjang perjalanannya naik kereta api ke desa, dia teringat tentang kejadian di masa kecil, dia bernostalgia ke saat-saat dia merasakan berbagai pengalaman untuk pertama kalinya.
Salah satu yang paling remarkable dari film ini adalah ke-innocent-annya. Akan ada banyak bagian ketika tokoh utama menelaah kembali saat-saat dia tumbuh dewasa, dan enggak pernah film membuatnya terasa awkward. Menonton film ini justru yang ada adalah perasaan hangat. Arahannya, vibenya, tone, dan animasi, semua terasa sangat pleasant di dada. Ada dua teknik animasi yang digunakan; gambar yang detil dan jelas untuk masa kini, dan grafik dengan frame yang blur dan kurang detil ketika kita melongok ke masa kecil tokoh. Dan ini actually jadi gimmick yang integral banget sebab memang begitulah pikiran kita ketika mengenang kembali masa lalu; kabur dan enggak detil.
Di jaman saat semua film merasa butuh untuk menjadi serius, dark, dan keren, coba deh tonton Only Yesterday. Karena film ini akan membawa kita dalam perjalanan flashback yang, at times memang skalanya terlalu kecil, tapi paling enggak sangat menyenangkan.

My Favorite Scene:

Lucu sekali ngeliat mereka pertama kali makan nenas ahahaha

 

 

 

 

 

4. SPIRITED AWAY (2001)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.6/10
“Once you do something, you never forget. Even if you don’t remember.”

Naah, mungkin kalian pada heran kenapa masterwork, storytelling kelas dewa begini malah aku letakin di posisi ke empat. Well, ya, Spirited Away enggak perlu diperkenalkan lagi. Kerja Hayao Miyazaki dalam membangun dunia fantasi sangat luar biasa. Rumah pemandian beserta penghuninya yang ajaib-ajaib itu sangat vibrant dan well-realized. Konsep dunia baru dan tradisionalnya pun tersampaikan dengan mencengangkan. Hal paling asik dinikmati adalah saat tokoh kita Chihiro – yang di sini adalah cerminan dari remaja Jepang masakini – mesti belajar mengenai etika kerja dan superstition, dan kita turut belajar bersamanya.
Di saat dunia film ini terbangun dengan gempita, aku tidak merasakan ketertarikan yang sama kepada Chihiro. I mean, di antara sekian banyak tokoh cerita dari Ghibli, Chihiro ini yang kurang paling relatable bagiku. Spirited Away adalah film Ghibli yang paling sering aku tonton, karena ia punya banyak detil dan visual simbolism yang niscaya enggak bakal ketangkep semua dalam sekali panteng. Aku enggak bilang bosen, tapi setelah beberapa kali, menonton film ini sampai habis jadi tidak semenyenangkan awalnya. Mungkin karena pacing, setelah Chihiro keluar dari rumah pemandian, cerita agak tersendat sedikit. Dan aku gak pernah bener-bener suka elemen kembarnya.
Tapi tak pelak, ini adalah salah satu film animasi terpenting yang pernah ada. Spirited Away udah sukses menjelma menjadi semacam culture yang bikin nama Ghibli melambung lebih tinggi. Menonton ini di bioskop jadi satu pengalaman yang bikin aku berharap saat itu adalah kali pertama aku menyaksikannya.

My Favorite Scene:

Kita enggak bisa nyeritain Spirited Away tanpa nyebutin soal momen Chihiro mandiin Dewa Sungai

 

 

 

 

 

 

3. MY NEIGHBOR TOTORO (1988)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.2/10
“Trees and people used to be good friends. I saw that tree and decided to buy the house. Hope Mom likes it too. Okay, let’s pay our respects then get home for lunch.”

To-to-ro, To-to-ro, to-to-ro~!
Film anak-anak mestinya begini nih. Meski ada monster, tapi enggak menyeramkan, enggak ada tokoh jahat dan tokoh baik. Meski sisi dramatis enggak pernah dipancing-pancing, film ini tetap tidak melupakan esensi dari kehidupan. Bahwa selalu ada kemungkinan sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi. Dan Totoro akan ngajarin kita bagaimana menghadapi itu semua.
Totoro mengisahkan problem kehidupan lewat simbolisme dan sangat tersurat. Saat anak-anak menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang di derasnya hujan, sebenarnya itu adalah elemen ‘tragedi’ tapi arahan film ini tidak pernah fokus ke bikin sedih semata, karena yang kita ingat dari adegan tersebut adalah Totoro datang dan mereka basah bersama lantaran Totoro senang kejatuhan tetes air. Enggak salah memang kalo ini jadi film favorit keluarga, karena memang penulisannya tidak pernah memojokkan pihak tertentu. Di sini fantasi dan imajinasi anak-anak dihormati. Tokoh Ayah ditulis sangat dekat dengan anak-anaknya, dan saat dia mendengar cerita anaknya tentang Totoro, orangtua dalam film ini enggak bersikap seperti orang tua dalam cerita Goosebumps; langsung menepis dan enggak percayaan.
Jarang sekali ada film yang berhasil membangun cerita, tidak berdasarkan konflik dan ancaman, melainkan berdasarkan eksplorasi dan kejadian seperti yang dilakukan oleh Totoro. Elemen ibu yang sakit tidak pernah dijadikan sebagai semacam rintangan yang harus diluruskan. Sama seperti yang dikeluarkan oleh animasinya yang lincah, everything about this movie are treated as a fact of life. Itulah sebabnya kenapa film ini akan selalu terasa menyenangkan.

My Favorite Scene:

Sampai sekarangpun aku masih enggak bisa untuk enggak tersenyum melihat adegan Mei dan Saksuki numbuhin pohon ajaib bareng Totoro dan teman-temannya.

 

 

 

 

 

2. THE TALE OF THE PRINCESS KAGUYA (2013)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.1/10
“Teach me how to feel. If I hear that you pine for me, I will return to you.”

I love this film. Tampilannya sungguh unik dan orisinil. Artworknya tampak sangat bold dan penuh warna, dan sangat hidup tanpa memakai teknologi komputer sama sekali. Seperti di Only Yesterday, Takahata juga menggunakan visual ini sebagai gimmick yang sangat integral dalam penceritaan. Kita melihat grafik yang semakin detil seiring bertambahnya usia Putri Kaguya.
Ceritanya sendiri diangkat dari kisah rakyat lokal tentang petani yang menemukan seorang bayi mungil di dalam batang bambu. Dia juga menemukan emas bersamanya. Bersama sang istri, bay tersebut mereka rawat. Tentu saja bayi tersebut adalah bayi ajaib, ia tumbuh dengan cepat. Tak perlu waktu lama ia sudah jadi gadis jelita. Kemakmuran si petani juga tumbuh pesat, namun masa lalu Kaguya yang misterius pun kemudian datang menjemputnya.
Film ini punya pandangan yang dewasa terhadap kehidupan. Kita lihat Kaguya senang banget hidup di alam bebas, tetapi ketika dia harus menjadi Puteri dengan segala aturan, dia mulai enggak betah. Dan kita bisa melihat tema film ini adalah tentang cewek yang enggak benar-benar mengerti di mana tempatnya di dunia. Sangat realistis karena memang hidup bisa jadi sangat membingungkan bagi orang dewasa. Penuh oleh emosi, yang tak terasa dibuat-buat, dengan animasi yang sangat cantik. Ini adalah salah satu film terbaik yang dibuat oleh Studio Ghibli.

My Favorite Scene:

Aku benar-benar tercengang melihat Kaguya berlari ke luar rumah dengan penuh amarah dan emosi. Animasinya impresif sekali!!!

 

 

 
Oke, aku punya dua kandidat untuk film Ghibli paling favorit, dua film ini punya tema yang sama; tentang manusia dan alam dan betapa getolnya manusia untuk merusak alam. Tapi keduanya punya arahan dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, they are not perfect movies, Spirited Away is the better one technically speaking. Tapi aku lebih suka ama kedua film ini dibanding yang lain. Jadi makanya aku bikin memutuskan di antara mereka untuk jadi lebih sulit karena yang enggak kepilih enggak akan masuk delapan besar, alih-alih jadi runner up. Dan setelah bersemedi tujuh hari tujuh malam sambil ngemil kembang tujuh rupa yang dipetik di tujuh sumur yang berbeda, aku menetapkan film ini menjadi posisi nomor satu:

1. POM POKO (1994)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.4/10
“They used their balls as weapons in a brave kamikaze attack.”

Penggalan kutipan dialog di atas mestinya udah bisa ngasih gambaran betapa absurdnya film yang satu ini. And yes, aku memilih film ini over Princess Mononoke (1997), yang mana adalah film fantasi paling epic yang bisa jadi adalah pelopor pemakaian violence dalam dunia film animasi modern. Jadi kenapa aku milih film tentang kelompok anjing-rakun (hewan keramat dalam mitos Jepang) yang berusaha mempelajari kembali seni berubah wujud demi mengusir manusia yang meratakan gunung buat dijadikan kompleks perumahan ini menjadi film Ghibli paling favorit?
Karena dia menelaah masalah konservasi lingkungan dan ekologi melalu pendekatan yang bijak sekaligus penuh humor.
Kita akan melihat dari sudut pandang para anjing-rakun, tapi tidak berarti mereka adalah pihak yang baik dan manusia adalah pihak yang jahat. Film ini dengan penuh kebijakan dan keberanian mengambil satu sisi tanpa sekalipun merasa perlu untuk berpihak. Inilah yang membuat film terasa lebih menarik, meskipun memang secara penceritaan, ia jauh di bawah Princess Mononoke yang secara emosi dan experience lebih kuat. Kelemahan Pom Poko adalah narasinya yang sering menjadi repetitif dan kurang efektif alias terlalu panjang.
Ada sense of tragedy tersamarkan di balik kekonyolan. Film ini bertindak sebagai pengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial namun tidak ada yang lebih kita sukai daripada bertentangan dengan apapun. It’s thought provoking, kita bisa melihat film ini dalam suara filosofis. But yea, kita bisa menontonnya untuk murni hiburan. Dan film ini bekerja dengan sangat baik on both ways.

My Favorite Scene:

Film ini juga ada seremnya, liat deh taktik para anjing-rakun dengan menjadi parade hantu untuk menakuti-nakuti manusia, tapi enggak ada yang takut.. hihihi…

 

 
Jadi sekali lagi, ini bukan daftar dari yang baik ke yang terbaik. Ini adalah pure preference ku aja. Aku akan senang sekali kalo daftarku berbeda dengan daftar kalian, sehingga kita bisa saling diskusi mengenagi kesukaan masing-masing. Oiya, salah satu permasalahan dalam nonton anime Jepang ini adalah: mendingan nonton bahasa Jepang atau yang disulih ke bahasa Inggris sih? Kalo buatku, sama aja sih, bukan masalah yang gede. Toh bagi kita dua-duanya sama-sama bahasa asing. Lagian, film bukan hanya soal audio. Aku sendiri lebih suka nonton yang pake bahasa Inggris karena aku enggak perlu lagi membaca subtitlenya, sehingga bisa fokus ngeliat visual yang kadang bercerita dengan lebih lancar.
Sebagai penutup

Please, Studio Ghibli, keep making movies!

 

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

THE BOSS BABY Review

“And your best teams are your friends and your siblings”

 

 

Ada dua tipe anak di dunia. Anak yang pengen banget punya adik. Yang sampe berdoa memohon kepada Tuhan setiap malem. Aku dulu begitu. Aku sampai nyuruh mama keluar ngeliat bulan biar ntar adek yang lahir berupa cewek, tapi namanya tetep harus Nobita sebab nanti bisa punya teman Doraemon. Kalo dipikir-pikir sekarang, niat muliaku mau punya adek sepertinya memang adalah supaya bisa ketemu sama Doraemon dan dapet macem-macem alat ajaib hihihi. Karena actually sangatlah langka ada anak yang kepengen punya adik. Kebanyakan anak-anak akan bersikap seperti Tim jika ditanya “mau punya adik laki-laki atau perempuan?” Aku waktu kecil sendiri juga sebenarnya nyesel pas udah punya adik beneran; mau apa-apa jadi dilarang, enggak boleh berisik kalo lagi main, ada makanan jangan dimakan semua, dan harus ngalah, atau yang paling parah jadi sering disalah-salahin.

Tim sudah bahagia dengan keluarganya. Dia gembira bermain petualangan-petualangan seru bersama ayah dan ibu. Menurut Tim keluarga mereka nggak perlu deh, ditambah oleh kehadiran bayi laki-laki. Namun kemudian sebuah taksi berhenti di depan rumah mereka. Dari dalamnya, turunlah seorang bayi, dengan setelan jas dan koper mini. Seketika ketakutan Tim menjadi nyata, adik barunya sudah datang dan Ayah dan Ibu sepertinya enggak melihat apa yang dilihat oleh Tim! Adik bayi yang di mata Tim enggak ada lucu-lucunya itu membuat ayah dan ibu begitu sibuk sehingga tidak lagi mereka punya waktu untuk bermain dan mendongeng kepada Tim. Dan kemudian Tim mengetahui rahasia si bayi yang bisa bicara kayak orang dewasa. Basically, si bayi yang ‘dibuat’ di semacam pabrik ini bodinya doang yang bocah, mental dan otaknya udah gede. Dia punya misi khusus dan kalo Tim enggak mau kehilangan orangtuanya, Tim harus membantu si bayi dalam menjalankan rencananya menghentikan rencana jahat penggantian bayi-bayi di dunia dengan anak anjing yang superimut.

Di balik lelulon kekanakan, ada pesan positif yang bisa dibawa pulang oleh penonton anak-anak. Animasi komedi petualangan ini mengeksplorasi tentang ketakutan yang dialami oleh setiap anak kecil ketika mereka mengetahui bakal punya adik. Apakah nanti mama papa enggak bakal perhatian lagi. Apakah cina mereka akan pindah ke anak baru yang lebih lucu. Ini adalah perihal yang sangat dekat dan bisa diapresiasi oleh penonton cilik, sebuah pesan positif yang diceritakan dengan ringan yang bakal ngajarin mereka bagaimana menyikapi rasa cemburu terhadap adik.

 

 

Sebagai anak, kita takut posisi kita akan tergantikan. Oleh yang lebih lucu, yang lebih gagaga-gugugu. Film ini menceritakan elemen di mana setiap anak bakal memusuhi saudara yang lebih mudah dari mereka dengan cara yang sangat imajinatif. Menyentuh ketakutan dan kekhawatiran anak-anak soal adik baru, actually adalah aspek dari The Boss Baby yang paling bisa kita acungi jempol. Ceritanya punya lapisan dan perspektif. Menarik melihat gimana film ini menafsirkan, dari sudut pandang anak sulung, bayi seperti bos yang mengatur rumah; segala harus sesuai dengan keinginannya, orangtua harus siaga mengurus bayi setiap saat.  Alec Baldwin menyuarakan si bayi dewasa dengan timing dan intonasi yang sangat kocak. Dia mencuat kuat paling tinggi di antara penampilan yang lain. Aktor yang mengisi suara Tim Kecil pun, Miles Christopher Bakshi, bisa mengimbangi dengan menghidupkan tokoh yang terdengar really grounded. Bagian yang paling kusuka adalah di babak kedua saat Tim dan si Bos Bayi berusaha saling bekerja sama, hubungan mereka – tanpa sadar – mulai terjalin dengan manis. There’s a nice little bond yang terdevelop di antara mereka berdua, sebagai kakak adik, meskipun mereka enggak mau mengakui.

Visual yang jadi medium penceritaan turut digarap dengan sangat baik. Animasinya appealing banget buat anak-anak dan orang dewasa. Penuh warna, kreatif, dan tentu saja imut. Film ini menggunakan DUA GAYA ANIMASI untuk membedakan mana kejadian yang berlangsung di dunia ‘nyata’, dan mana yang merupakan produk dari imajinasi Tim. Dan di sinilah film menjadi sedikit membingungkan buatku.

Tim, Tim, tau gak kalo segitiga itu adalah geometri yang paling menakutkan haha

 

The Boss Baby diceritakan dari sudut pandang Tim. Kita mendengar narasi yang kita asumsikan datang dari Tim yang sudah dewasa menceritakan pengalaman masa kecilnya punya adik kepada seseorang. Kita melihat Tim kecil berusaha membiasakan diri dengan adiknya, kita kerap diajak masuk ke dunia imajinasi. Format animasi akan berubah menjadi lebih komikal ketika kita berada di dalam sekuens fantasi Tim. Dia akan jadi ninja, menyelam ke dalam lautan dalam, bertarung pedang sebagai seorang bajak laut. It’s nice, dan sama seperti Kubo and the Two Strings (2016) elemen ini akan bisa mengajak anak kecil jaman sekarang untuk kembali mengaktifkan kreatifitas imajinasi mereka. Namun semakin cerita berlanjut dan semakin banyak hal-hal ‘ajaib’ nan tak-masuk akal terjadi, garis antara fantasi dan kenyataan semakin mengabur bagi kita, para penonton.

Kita mengerti bahwa imajinasi yang liar tersebut adalah semacam mekanisme pertahanan buat Tim. Dia membayangkan petualangan di kapal bajak laut bukan sebatas untuk bersenang-senang saja, melainkan sebagai cara Tim memancing keberanian di dalam dirinya. Sehingga dia bisa melakukan sesuatu yang tadinya tidak dapat ia lakukan karena takut. Tapi kemudian ada banyak adegan yang jika kita pikirkan tidak masuk akal untuk terjadi. Overlapping antara imajinasi dan hal nyata yang dilakukan oleh Tim terlihat terlalu enggak mungkin. Seperti ketika dia melompati kereta api dengan sepeda, kita melihat Tim membayangkan gundukan pasir sebagai ramp yang tinggi dan dengan menaikinya dia mendapat momentum yang membuatnya terbang hingga ke seberang. Dan ini kita enggak kebayang gimana bisa kejadian di dunia nyata. Tim dan Bayi harusnya udah isdet.

Kita paham mana yang bener, mana yang khayal dari gaya animasinya, namun yang ‘bener’ di dalam film ini juga enggak benar-benar dapat memberikan jawaban yang logis. Misalnya ibu Tim yang hamil, kemudian si Bayi Bos datang naik taksi dan perut ibu udah kempes. Penjelasan yang masuk akal adalah kedatangan si bayi completely karangan Tim, tetapi animasinya yang pake ‘aturan’ dunia nyata mengisyaratkan bahwa bayi datang naik taksi itulah yang kejadian beneran. So honestly I’m confused oleh make-believe dunia film ini. Aneh, apa yang terjadi sebenarnya? Ini film buat anak-anak kan? Aku enggak begitu mengerti apa yang berusaha disampaikan oleh pembuat filmnya sehubungan dengan darimana bayi berasal dan segala macam soal anak anjing ajaib yang bakal diedarkan ke seluruh dunia pake roket. Di akhir film ada revealing yang membuat kita bilang, oh oke jadi begitu, masuk akal kalo semuanya cuma cerita, namun kemudian ada kejadian lain menyusul di penutup banget yang membuat segala hal menjadi kembali gak masuk di akal.

motivasi badguynya actually nyeremin, basically dia ingin tidak ada lagi bayi di dunia, yang berarti kepunahan manusia

 

Tapinya lagi, aku melihat film ini dari perspektif orang dewasa. Babak pertama film terasa menyebalkan oleh kelakuan si Bayi Bos yang rada berlebihan. Apalagi tingkah bayi-bayi lain yang jadi semacam anak buahnya. Humor disetel ke level dumb dalam usaha film ini menghantarkan cerita yang bernature psikologis anak menjadi bertone komedi. Ceritanya, kalo kita pikirkan masak-masak, memang tidak masuk akal. Tahun lalu ada film Storks yang juga menyentuh tema tentang bayi dengan ‘peraturan universe cerita’ yang lebih rapi dan bisa diterima. Sedangkan pada film ini, di the very end ada kejadian yang kinda ruins all of the make-believe. Sesungguhnya film ini enggak parah-parah amat. Dari kacamata anak kecil sih, ini adalah tontonan yang punya pesan bagus, menyenangkan, dan menghibur; Penuh oleh bayi ngegemesin yang melontarkan lelucon-lelucon. Sebagian besar memang lelucon kamar mandi, you know, dengan kentut dan segala macam. Ada beberapa jokes buat orang dewasa juga lantaran film ini berusaha untuk tampil oke bagi semua lapisan umur. Sayangnya, buat kita film cute ini cenderung terlalu silly kayak kenangan masa kecil yang dilebay-lebaykan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE BOSS BABY

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.