THE BAD GUYS Review

 

“Gives everyone a chance to show you who they are”

 

 

Bayi terlahir ke dunia dalam keadaan suci. Katanya sih, bagaikan kertas putih yang belum bertuliskan apa-apa. Masih kinclong banget. Namun dalam kurun hidupnya nanti, kertas tersebut akan cepat sekali ternoda. Penuh oleh catatan-catatan jelek yang ditulisnya sendiri. Si bayi gak bakal betah jadi orang suci. Dia akan mudah tergoda ke dark side. Orang jahat lebih keren daripada orang baik. Bandingkan saja karakter jahat di dalam film, yang biasanya lebih kompleks dibandingkan karakter baik yang cenderung annoying. Film yang karakter utamanya benar melulu terasa membosankan. Kita suka karakter yang bercela. Anak-anak cewek juga lebih suka pacaran ama bad boy ketimbang anak yang kalem. Jadi orang jahat dipandang lebih menarik, dan menguntungkan (kalo salah dan lantas viral – tinggal minta maaf!). Jadi mempertahankan ‘kertas’ bawaan lahir tetap putih itu susah, lantaran memang berbuat kebaikan lebih berat dan sulit untuk dilakukan. Kita actually harus belajar untuk menjadi orang yang baik. Kita harus belajar moral, agama, PPKn, Animasi-panjang debut sutradara Pierre Perifel memotret soal tersebut. The Bad Guys mengajak kita  merampok bank bersama hewan-hewan jahat, bertualang seru di dunia animasi sembari memperlihatkan struggle untuk menjadi orang baik itu begitu real.

Sebagai film heist, The Bad Guys actually banyak ‘mencuri’ dari film-film lain. Selain memuat banyak referensi dan trope-trope khas dari genre heist itu sendiri, nonton film ini terutama membuatku keingetan sama Despicable Me (2010) dan Zootopia (2016). Karena bermain di tema yang sama. Yakni tentang prasangka dan soal orang jahat yang harus berbuat baik. Geng Bad Guys terdiri dari Wolf, Snake, Shark, Tarantula, dan Piranha yang sudah bersahabat – merampok bank bersama-sama – sejak lama. Kiprah mereka sudah jadi legenda di kota. Semua orang takut kepada mereka. Untuk aksi puncak mereka, hewan-hewan antropomorfik ini berencana merebut Golden Dolphin, piala emas untuk orang paling dermawan di kota. Dalam aksi mereka, Wolf terpaksa harus menolong seorang ibu tua, membuat dirinya merasakan untuk pertama kalinya dipuji sebagai orang baik. Rencana mereka malam itu memang gagal, tapi Wolf yang tertangkap punya rencana lain. Wolf dan teman-temannya mengaku insaf, dan belajar jadi warga yang baik, padahal mereka masih berniat mencuri piala. Selama periode berpura-pura itulah, Wolf mulai mempertanyakan diri sendiri. Dia orang jahat atau orang baik. See, untungnya, pak sutradara Perifel tetap mengolah elemen-elemen ‘curian’ dari film lain tadi dengan baik. sehingga dia sukses mencuatkannya sebagai warna unik film The Bad Guys tersendiri.

Also, aku ingin mempersembahkan ulasan ini kepada the original Bad Guy, Razor Ramon (Scott Hall) yang telah berpulang beberapa bulan yang lalu

 

 

Punya karakter berupa hewan buas, yang ternyata baik, dan real antagonis yang berupa hewan yang biasanya dimangsa, The Bad Guys memang paling gampang untuk dikatain mirip Zootopia. Kedua film sama-sama membahas wujud fisik seseorang seringkali membuat mereka terlalu cepat di-judge oleh masyarakat. Dalam The Bad Guys, Wolf diceritakan sudah turun temurun dianggap sebagai orang jahat berkat kemunculannya di cerita-cerita klasik seperti pada cerita 3 Babi Kecil ataupun Little Red Riding Hood. Begitu pula dengan teman-temannya yang basically adalah hewan-hewan predator yang menakutkan. Soal prasangka atau prejudice film ini pada perkembangannya, mulai menggali ke tempat yang berbeda dari Zootopia. Para karakter hewan itu, mereka semua diceritakan jadi perampok karena mereka percaya itulah role mereka di masyarakat. Orang-orang enggak pernah ngasih mereka kesempatan jadi yang lain, maka jadi orang-jahat itulah yang mereka lakukan. Perbedaan pengolahan lantas semakin ditunjukkan film ini lewat treatment world-building ceritanya.

Jika dalam dunia Zootopia semua penghuninya adalah hewan yang bertingkah seperti manusia, maka dalam The Bad Guys ini, hanya karakter-karakter sentral yang berspesies hewan-antropomorfik. Mereka hidup bertetangga dengan manusia. Dan bahkan hewan-hewan lain seperti kucing dan guinea pig masih bertingkah seperti binatang kayak di dunia kita. Film tidak memberikan penjelasan terhadap hal tersebut secara blak-blakan.  Awalnya kupikir ini cukup aneh. Kenapa setengah-setengah. Ternyata ini bukanlah kealpaan film dalam menjelaskan. Tidak, dunia cerita ini tidak ada sejarah sci-fi yang menyebabkan sebagian hewan-hewan itu bisa pakai baju dan berbicara. Melainkan penyimbolan yang digunakan film untuk semakin mencuatkan perihal prasangka yang jadi tema cerita.  Karakter sentral perampok yang hewan buas – Wolf yang bicara penuh tipuan, Shark yang ahli nyamar, Piranha dengan aksen dan suka nyari ribut, Snake yang egois, hingga Tarantula yang jago ngehack – mereka semua digambarkan sesuai dengan stereotipe tertentu. Jadi bukan sekadar cocok dengan ‘sikap’ hewannya, melainkan juga mewakili karakter manusia yang sudah jadi stereotipe. Akan lebih aman dan more accessible untuk membuat karakter-karakter seperti demikian sebagai hewan ketimbang membuat mereka jadi manusia. Karena pasti bakal menimbulkan “wah, filmnya rasis nih” Bayangkan kalo Piranha digambarkan sebagai manusia yang berkebangsaan sesuai dengan aksen bicaranya. Dengan menampilkan mereka sebagai karakter hewan di antara manusia, film sebenarnya ingin menunjukkan secara halus kepada kita bahwa seringkali kita juga memandang sesama dengan penuh kecurigaan. Kita melihat fisik (yang biasanya memang dikaitkan dengan ras)

Maka bisa dibilang, Perifel memanfaatkan medium animasi untuk mengkorporasikan visinya menyampaikan tema dengan maksimal. Bukan sekadar lucu-lucuan hewan bisa ngebut-ngebutan dan mencuri. Film ini mengandung layer bahkan sejak karakterisasinya. The Bad Guys toh memang seketika memancing perhatian kita ke animasinya. Karakter-karakter yang disuarakan oleh jejeran bintang top seperti Sam Rockwell, Awkwafina, Craig Robinson, Marc Maron, Anthony Ramos juga tampak hidup dan sangat lincah oleh animasi bergaya ala komik; dengan shade pinggiran yang tebal sehingga literally mencuat. Tampilannya ini jadi sangat fresh, karena berbeda dari animasi tradisional. Hampir seperti campuran supermulus antara animasi 2D dengan 3D. Humor juga ditampilkan lewat visual, sebagai penyeimbang dari dialog-dialog yang konyol. Bagian aksi heist mungkin sedikit repetitif, tapi karena disuguhkan dengan gaya yang berbeda, sama sekali tidak terasa membosankan.

Film ini bahkan tidak butuh lagu Billie Eilish  untuk membuat persembahannya terkesan seru

 

 

Yang paling aku suka dari film ini adalah cara mereka menghandle tema yang kupikir bakal sama persis dengan Despicable Me. Yaitu soal cara ‘mengubah’ karakter protagonis yang perampok ini menjadi hero dalam cerita. Dalam cerita yang ditargetkan untuk penonton muda (khususnya anak-anak) biasanya ya tinggal ngasih karakter penjahat sebagai lawan dari karakter baik. Kalo karakter baiknya orang jahat, ya tinggal kasih karakter yang lebih jahat dan culas dan curang untuk jadi lawannya. Cara seperti ini cenderung untuk melemahkan kompleksitas yang menyusun karakter-karakter. Membuat narasi mereka jadi simpel. Dan memang dalam The Bad Guys ada karakter yang lebih jahat. In fact, ada beberapa pengungkapan yang terbuild up dan jatoh cukup ngetwist perihal karakter mana sebenarnya siapa, mereka baik atau tidak. Tapi naskah enggak melupakan saga atau plot karakter sentralnya. Keberadaan penjahat tidak lantas membuat geng protagonis kita jadi hero, jadi baik. Film ini terus menggali karakter mereka. Film benar-benar membuat mereka merasakan sendiri proses menjadi baik. Film benar-benar memberi ruang bagi karakter-karakter itu untuk memilih mereka mau jadi baik atau jadi jahat. Dengan kata lain, perkembangan karakter itu ada di sini.

Konflik antarmereka; persahabatan mereka yang dijadikan stake, ultimately dimanfaatkan film untuk mengenhance karakterisasi. Memperdalam bahasan di balik kejar-kejaran, rampok-rampokan, dan kekocakan belajar bertingkah baik. Tengok bagaimana film menghandle plot si Snake. Mungkin karakter sobat si Wolf ini yang paling ngena buat kita karena naskah benar-benar membangunnya dengan seksama. Di akhir cerita, Snake jadi baik dan gak egois itu kerasa earned banget karena progresnya itu kita rasakan, terbangun plot poin demi plot poin. Tema ngasih kesempatan kepada orang itupun tercerminkan dengan sempurna bukan hanya kepada Wolf, tapi juga pada banyak karakter lain.

Dulu Bang Napi di televisi bilang kejahatan ada karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah. Film The Bad Guys menunjukkan, ternyata kebaikan juga seperti itu. Tercipta dari kesempatan. Berikan seseorang kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya, dan most of the time, seseorang itu akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Jangan berprasangka dulu. Ya, berbuat baik itu sulit dan butuh kerja ekstra, maka sebaiknya jangan dipersulit lagi dengan menuduh hanya dari fisik atau dari kecurigaan semata.

 

 

Pepatah ‘Don’t judge a book by it’s cover’ sekali lagi terbuktikan oleh film ini. Bukan saja dari ceritanya, tapi juga dari eksistensinya. Pertama kali melihat trailer film ini di bioskop, kupikir bakal kayak animasi hura-hura yang biasa. Kekonyolan aksi perampokan saja. Catering untuk audience dengan berlebay-lebay. Tapi ternyata enggak. Selain satu-dua momen karakternya unnecessarily break the 4th wall, film ini ternyata terdesain sangat sempurna. Baik itu dari penceritaan, maupun tampilan visualnya. Animasinya hidup, sangat berlayer, persis seperti karakterisasi karakter-karakternya. Berlapis. Mereka semua actually punya plot dan perkembangan di balik aksi seru-seruan yang kocak. Sutradara Pierre Perifel tampak benar-benar memanfaatkan medium animasi sebagai media penyampai visinya. Dan dia gak segan-segan ngambil dari elemen film-film lain, untuk kemudian berusaha menggubahnya menjadi warna tersendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BAD GUYS.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya orang-orang bakal melakukan yang terbaik jika diberikan kesempatan? Atau apakah manusia memang sudah hopeless gak bisa diharapkan untuk jadi baik?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

BABY DRIVER Review

“Music plays the melody of our being.”

 

 

Apa soundtrack hidupmu hari ini? Well, yea, oke, kalimat tersebut terdengar cheesy, tapi memang kita sering mendengarkan musik buat mengamplify apa yang sedang kita rasakan. Banyak orang menggunakan musik sebagai cara ‘melarikan diri’ dari kehidupan yang membosankan. Misalnya ketika lagi disuruh nyapu rumah, kita ngerjainnya sambil dengerin musik rock supaya menjadi lebih menarik dan kita bisa ngayal jadi Slash – ngejrengin sapu seolah benda itu adalah gitar. Kita merelasikan emosi terhadap musik, bahkan terkadang kita bertindak sesuai iramanya. Musik entrance pemain WWE yang kita dengar mengiringi kedatangan mereka itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana untuk menguatkan karakter. Maka tak jarang superstar berjalan ke atas ring dengan gerakan yang selaraskan dengan hentakan musik. Satu hal lagi yang sering dilakukan orang kalo lagi punya perasaan yang membuat mereka ingin ‘melarikan diri’ adalah ngebut di jalanan. Jadi, begitulah film Baby Driver menemukan jalannya masuk menjadi sangat dekat dengan kita semua. Melalui musik yang keren dan adegan kebut-kebutan yang seru!

coba deh sesekali ngebut sambil dengerin lagu anak-anak jadul Aku Cinta Rupiah

 

Film terbaru dari salah satu sutradara favoritku ini adalah cerita tentang seorang cowok yang noleh kalo dipanggil Baby. Hobinya cukup aneh. Bukan hanya selalu mendengarkan musik yang ia dengar melalui ipodnya, Baby juga suka merekam percakapan orang-orang dan mengubah potongan-potongan dialog tersebut menjadi semacam mix tape untuk ia dengarkan di kemudian hari. Rekan kerjanya pada heran ngeliat Baby yang jarang bicara dan lebih suka menghentak-hentak asik sendiri dengan earphone senantiasa di telinga. “Is he slow?” tokoh Jamie Foxx meledek seolah Baby mengalami keterbelakangan mental. Namun, jika ada satu yang tidak bisa dilakukan Baby, maka itu adalah pelan-pelan. Gini, Jamie Foxx dan ‘rekan kerja’ Baby sebenarnya adalah perampok elit, Bos mereka adalah Kevin Spacey, dan kerjaan Baby adalah sebagai supir yang menghantarkan para perampok itu pulang ke markas dengan selamat.  Baby kerja begini demi melunasi hutangnya kepada si bos. Hanya tinggal satu perampokan lagi sebelum utang tersebut lunas, akan tetapi berkat kefantastisan kecepatan dan teknik mengemudi Baby yang seng ada lawan, tidak semudah itu bagi dirinya untuk minta berhenti dari pekerjaan.

Baby is the best at what he does. Ngebut sambil mengapresiasi musik dengan caranya sendiri. Dari kekerenan apa yang dilakukan oleh Baby, perlahan akan terungkap bahwa itu adalah caranya mengekspresikan his vulnerability. Musik dan ngebut adalah cara Baby ‘mengalahkan’ trauma masa kecil yang masih terus menghantui. Dua hal tersebut juga jadi jalan buat Baby menenggelamkan rasa bersalah atas pekerjaan yang enggak disetujui oleh hatinya. Baby ingin memberi arti kepada kenyataan yang ia hadapi. Namun, dalam setiap belokan, Baby – dan juga kita – diingatkan bahwa  ada hal yang tak bisa kita lari darinya. Bahwa selalu ada ujung di setiap jalan gak peduli betapa lihainya kita mengemudikan hidup.

 

Edgar Wright, lewat film ini membuktikan, bahwa ia juga adalah the best at what he does. Banyak kritik yang menyebut karya-karya sutradara ini masih terlalu memikirkan gaya. Dan kata-kata tersebut benar. Namun aku enggak setuju untuk menyebutnya sebagai kritik. Karena menurutku, gaya adalah salah satu faktor penting yang harus terus diasah oleh pembuat film supaya film mereka kentara perbedaannya dengan film-film karya orang lain. Bayangkan kalo semua film style berceritanya seragam gitu-gitu mulu, pasti kita yang nonton lama-lama bakal bosen ke bioskop. Setiap karya Edgar Wright selalu insanely kocak serta punya pace yang extremely cepet dengan editing yang sangat precise. Ketika kita nonton Baby Driver, walaupun jika kita belum tahu ini dibuat oleh Wright,  atau bahkan kita hanya nonton sepotong adegan acak, kita akan langsung spontan tahu bahwa aksi kebut-kebutan kriminal ini dibuat olehnya. Sebab arahan Edgar Wright sangat spesial, tidak ada filmmaker lain yang menangani adegan per adegan seperti yang ia lakukan.

Tidak ada pengadeganan yang membosankan. Babak satu film ini – dan ini tidak berlebihan – adalah kesempurnaan dalam filmmaking. Sekuen kejar-kejaran mobilnya adalah yang terbaik yang bisa kita minta ke mbak-mbak penjaga tiket. Hebatnya, semua stunt dahsyat itu tampak benar-benar bisa dilakukan di dunia nyata, meskipun memang ada sebagian kecil yang memanfaatkan teknologi grafik komputer.

Tidak seperti pada Atomic Blonde (2017) yang musiknya malah terdengar menerobos dan enggak benar-benar paralel terhadap film, penggunaan musik dalam Baby Driver teramat sangat integral sama narasi. Musik adalah bagian penting dalam penokohan Baby. In a way, kita bisa bilang bahwa ini adalah film SETENGAH-MUSIKAL sebab gedenya pengaruh elemen musik. Lagu-lagu asik tersebut disulam sempurna, diedit dengan sangat precise sebagai bagian dari adegan. Pada bagian awal film, ada satu adegan panjang yang diambil gak-putus di mana Baby pergi beli kopi dan dia ngelip-sync lagu yang ia dengar sepanjang jalan; adegan yang sangat menyenangkan dan bakal bikin kita melotot lantaran Edgar Wright juga sangat visual dalam bercerita. Perhatiin deh gambar graffiti yang dilewati oleh Baby. Ataupun pada adegan ending, Wright memutuskan untuk mengakhiri cerita dengan nada yang sedikit ambigu, dan clue-clue pada layar dapat membantu kita untuk sampai ada kesimpulan bagaimana menurut kita masing-masing kelanjutan kisah romansa Baby.

Ya, kisah cinta adalah salah satu elemen besar di sini. Setelah babak pertama yang luar biasa exciting, film sempat ngerem dikit demi membangun romance antara Baby dengan waitress kece yang juga demen mendengar musik. Relationship mereka tampak cute banget. Dari hubungan Baby dengan Debora ini bisa aja menimbulkan tren pacaran baru di dunia kita; duduk mesra sambil nyari lagu-lagu yang ada nama pacar masing-masing. Hihihi, so sweet yaa.. Anyway, yang bernama Howuo pasti juara, dan nama Arya menangnya saat absensi kelas doang hhuuff..

 

Debora mirip banget yaa sama Shelly yang di serial Twin Peaks

 

Sekalipun sangat kuat dalam gaya, namun Edgar Wright tidak pernah melupakan substanti pada setiap ceritanya. Penulisan Baby Driver sangatlah on-point. Strukturnya berhasil memberikan banyak kepada Baby meskipun tokoh utama kita ini hanyalah semacam orang suruhan yang tidak mau berada di sana. I mean, Baby kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi – sesuatu yang kebalikan dari rumus tokoh utama –  tetapi film masih mampu mengolahnya sehingga senantiasa menarik. Baby adalah karakter unik yang sangat menarik. Ada adegan menarik ketika tokoh Jamie Foxx kesel atas kurangnya perhatian yang diberikan Baby kepada rencana perampokan mereka. Baby asik dengerin musik. He was like, Boss I don’t trust him, he’s not paying attention. Nanggepin protes ini, Kevin Spacey dengan bangganya menyuruh Baby mengulang rencana tadi, dan Baby dengan lancar banget menjelaskan ulang semuanya. Pada babak ketigalah, karakter Baby mekar sempurna. Dia memilih jalan hidupnya sendiri, dan naskah to some extent terus memberi rintangan. Kita dapat banyak sekali sekuens aksi yang sangat menakjubkan di babak ini sampai-sampai kita melihat Baby harus melakukan pekerjaan terbaiknya, yaitu ngebut, tanpa mobil. Nah lo!

Jamie Foxx yang so sly and badass, Kevin Spacey yang bisa ngomong begitu cepat tanpa meninggalkan satu ekspresi pun di belakang, Jon Hamm yang mampu mengembangkan karakter dari sepenggal dialog backstory, Lily James yang namanya ngeri banget gabungan orangtua Harry Potter, ini adalah jajaran cast tidak bisa membuat film menjadi buruk – malahan menjadi semakin menghibur. Yang membuatku khawatir memang cuma Ansel Elgort seorang. Sebab biasanya dia main di film-film adaptasi novel young adult, dan dia enggak pernah benar-benar stand out. Perannya sebagai Baby adalah peran yang enggak kita sangka bakal ditujukan buat dirinya. Setelah menonton ini, aku membuang kekhawatiranku ke luar jendela. Ansel Elgort bermain sangat baik dalam adegan-adegan aksi, juga di bagian yang lebih intens. Karakternya yang pendiam, dan dalam diamnya terluka secara psikologis dapet banget dimainkan oleh Elgort. Menurutku dia lebih cocok berperan di film-film seperti ini.

Ketika aku nulis babak kedua lebih lambat dibanding babak pertama, maka itu sebagian besar lebih disebabkan oleh bagian romance yang kurang masuk dibandingkan oleh minimnya porsi aksi. Aku enggak mampu terinvest banyak kepada elemen relationship mereka karena I didn’t find development tokoh Debora benar-benar kuat dan esensial. Kenalan dan percakapan mereka manis tapi terasa abrupt. Terasa cepat dan kurang dalem. Dalam makna, sepertinya hidup Baby mudah diarahkan begitu aja oleh keinginan Debora. Cewek ini juga mudah terbawa gitu aja, padahal situasinya mengancam nyawa. Entah ini lantaran karakternya dibuat cinta mati ama Baby atau film memang kepengen ngebuild cinta mereka seolah fantasi sehingga bisa bekerja membangun ending yang ambigu tadi.

 

 

Setengah musikal, setengah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan menakjubkan. Penulisannya sangat on-point. Babak kedua di bagian romance adalah bagian yang paling lemah dalam film ini. Di luar itu, menonton ini adalah perjalanan yang sangat seru. Musik asik yang keras, mobil keren yang ngebut, fast and loud, this movie is a total blast! Edgar Wright directs the shit out of this movie. Kocaknya juga khas banget, bagi yang suka karyanya yang terdahulu, pasti bakal merasa seperti pulang ke rumah. Kita akan merasakan ketertarikan emosional yang kuat sama seperti Baby terattach dan menjadikan lagu-lagu itu sebagai pengisi hidupnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for BABY DRIVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.