47 METERS DOWN Review

“For whatever we lose, it’s always ourselves we find under the sea”

 

 

“Kayak di kebun binatang, cuma bedanya kalian yang dikurung di kandang.”
Kata-kata dari pemandu tersebut sedikit berhasil menetramkan cemas di hati Lisa, memantapkannya untuk masuk ke dalam kandang yang bakal direndem di laut lepas perairan Mexico. Aman, kok. Lisa dan Kate, adiknya, memang lagi liburan. Mereka ingin bersenang-senang, foto-fotoin Hiu Putih dalam habitat aslinya. Pengalaman sekali seumur hidup buat Lisa itu menjelma jadi benar-benar harafiah, sebab derek yang menahan kandang karatan satu-satunya pelindung mereka dari gigi hiu tiba-tiba patah. Mengirim Lisa dan Kate empat-puluh-tujuh meter ke dasar lautan, terjebak di sana. Seolah terpaket rapi di dalam kandang kotak persis hadiah yang menunggu dibuka oleh hiu-hiu yang kelaparan.

“under the sea~ where the sharks singing, waiting your body, under the sea~”

 

Konsep cerita yang keren. Terkurung di bawah laut. Tuntutan oksigen yang membuat keadaan para tokoh jadi punya urgensi yang tinggi. Dan hiu-hiu. Wow. Aku selalu tertarik sama film yang ada hiu-hiunya. Tapi hiu yang di bawah laut loh, ya. Bukan hiu yang menclok di angin tornado ataupun hiu yang terbang di angkasa. Aku terperangah aja ngeliat warna merah pekat dikontrasin sama biru jernih lautan. Film 47 Meters Down juga punya visual yang JERNIH NAN EERIE seperti begitu. Jika tahun lalu kita sudah berenang di perairan dangkal bersama hiu lewat film The Shallows (2016), maka kali ini kita akan menyelami kengerian lebih jauh lagi. Pemandangan dan suasana dasar laut yang mencekam akan jadi suguhan yang film ini harapkan bisa mengisi mimpi buruk kita sehabis menonton. Visually, film ini berhasil mencapai level kengerian itu.

Bawah laut adalah tempat yang membuat manusia paling merasa manusiawi. Kita akan merasa takut, merasa kecil, merasa cemas tak-berdaya oleh kegelapan tak berujung. Dan tentu saja ada harapan, sebagaimana karakter film ini kehilangan sesuatu dan balik menemukan dirinya di dalam sana.

 

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan “Kenapa sih setelah Jaws (1975), kita enggak lagi menemukan film tentang hiu yang benar-benar keren sehingga bisa bikin kita ketagihan dan penasaran dan pengen punya hiu serta sekaligus jadi ngeri berenang di laut?” sebenarnya enggak susah-susah amat. Kita enggak perlu jauh-jauh menyelam ke lantai samudera. Kita cuma perlu menyelami sekian banyak sekuel dan film-film rip off gagal, dan menanyakan kepada diri sendiri; apa yang membuat kita terus bertahan ngikutin cerita meski ketakutan semakin merayap dengan perlahan. Itu semua bukan karena pertengahan terakhir di mana hiu anatagonis Jaws keluar menyerang terang-terangan. Dalam 47 Meters Down, kita melihat Lisa dan Kate kegirangan ketika melihat hiu mendekat datang setelah ember umpan dilempar ke air. Itu adalah mentality orang yang lagi liburan; mereka pengen lihat hiu. Namun saat kita menonton film; mentalitynya adalah kita pengen ngeliat karakter. Kita nonton Jaws bekali-kali, it’s not exactly because we want to see the shark, kita nonton demi melihat karakter manusianya struggle, overcoming their fears, dan mengarungi journey bersama mereka. Mengalahkan musuh yang disimbolkan sebagai hiu.

Sayangnya, sebagian besar dari pembuat film mengenyampingkan faktor karakter. Mereka memperlakukan film hiu layaknya wahana. Kita yang menontonnya udah persis kayak lagi shark diving, nontonin aksi hiu dari balik kandang. Namun lebih parah, lantaran tak jarang, nonton film hiu berarti kita harus ngikutin perjalanan karakter yang ‘bego’, yang annoying, yang mengerikan – dalam makna yang buruk, yang ditulis dengan sangat sederhana. Seperti karakter-karakter yang kita temukan dalam 47 Meters Down. Lupakan tokoh minor/sampingan, mereka cuma ada di sana karena tokoh kita benar-benar butuh orang sebagai pemandu. Tokoh sentral kita, dua kakak beradik Lisa dan Kate, dituliskan punya sifat yang berseberangan. Kate ini anaknya berjiwa petualang banget, dia udah pernah scuba diving dan pergi ke mana-mana sebelumnya. Sebaliknya, Lisa sang kakak, lebih ‘pasif’, dia belum pernah ngelakuin hal-hal ‘fun’ sebelumnya. Sebenarnya formula bikin karakter yang udah benar, hanya saja film ini mengolah mereka dengan cara yang sangat over dan mereka dibikin, yah; ‘bego’

One thing about karakter adalah mereka harus diberikan motivasi yang kuat supaya kita peduli. Saat mereka sudah terjebak di bawah laut, jelas, motivasinya adalah pengen hidup. Yang jadi masalah adalah motivasi kenapa Lisa mau ngelakuin scuba diving bersama hiu pada awalnya. Cewek ini baru aja diputusin ama cowoknya karena Lisa ini terlalu bosenin dalam ngejalanin hubungan. Jadi, Lisa ingin melakukan sesuatu yang exciting, terus difoto buat dikasih liat sama cowoknya, like, “Nih liat, keren kan liburan gue! Jeles kan, lo!? Jeles, kan!!!” Motivasi yang sangat menggerakkan hati sekali, bukan? Bikin kita semua peduli banget kan? Iya, kan!!!

Anyway, ada sih satu momen tokoh yang aku suka. Yakni ketika Kate yang tetap terlihat tenang setelah kandang mereka karam, kemudian barulah dia mengeluh takut saat menghubungi kapal, dan itu dilakukannya saat sudah jauh di luar jangkauan pendengaran transmisi baju selam Lisa. Tokoh Kate yang diperankan hampir fierce oleh Claire Holt memang diniatkan untuk lebih likeable, tapi buatku treatment kecil seperti demikian adalah sentuhan bagus yang sangat dibutuhkan oleh film ini.

Kakaknya boring banget sampesampe aku yakin adeknya sengaja nyabotase kandang biar copot dari kapal

 

 

Kedua tokoh ini punya kebiasaan ngejatuhin benda-benda yang mereka pegang, terutama benda yang penting. Dan itu ngeselin banget. Kualitas penulisan mereka pun klop banget ama penampilan aktingnya; berasa FTV. Eh, ada gak sih di barat sono istilah FTV? Yang jelas, Mandy Moore memainkan Lisa dengan over-the-top sekali. Bahkan, jika kita menonton percakapan kedua kakak-adik di film ini tanpa ngeliat gambar, suaranya doang, maka kita bisa salah menyangka lagi mendengar potongan dialog dari film Barbie.

“Lisaa, aku sudah berhasil menghubungi kapal!”
“Benarkah!? Waaah”
Lokasi adegan: dasar laut gelap dengan keberadaan hiu yang mengancam.

Enggak ada sedikitpun kesubtilan dari bantering mereka. Perasaan thrillernya enggak kebawa di dalam dialog film yang sebagian besar ditulis seperti demikian. Ada satu lagi; setelah adegan Lisa selamat dari kejaran hiu dengan bersembunyi di dalam gua, dan kalimat pertama yang terucap dari mulutnya adalah “The shark almost got me..” Well, I was like, no shit lady! Dan aku bersumpah aku seakan bisa mendengar ekspresi “huhuuu” keluar darinya di akhir kalimat tersebut.

 

Film ini menganggap dirinya lebih seram daripada yang sebenarnya. Padahalnya sebenarnya yang dimaksud horor oleh film ini adalah suara musik yang keras. Hiunya sendiri tampak mengerikan, meyakinkanlah sebagai makhluk hidup. Hanya saja, hiu-hiu tersebut tidak melakukan banyak selain sekali-kali muncul tiba-tiba entah dari mana ngagetin kita semua. Sejujurnya aku malah lebih percaya Lisa dan Kate akan mati kehabisan oksigen ketimbang mati dimakan hiu, sebab hiu dalam film ini were so bad at biting preys. Serangan mereka seringkali luput, dan yang kena pun pada akhirnya enggak berarti apa-apa. Tentu saja, semua itu berkat kehadiran endingnya, yang entah kenapa film ini merasa perlu untuk ngetwist. Sedari awal aku sudah susah peduli sama tokoh utamanya, dan setelah twist ini muncul, aku gak bisa untuk lebih gak peduli lagi.

 

 

 

 

Aaah, that sinking feeling yang kurasakan saat antusias perlahan terus menurun setelah sepuluh-menit pertama set up yang biasa – malahan ala FTV – banget…. Ini adalah jenis film yang punya konsep bagus namun dalam eksekusinya sukar untuk dikembangkan. Tokoh-tokoh film ini enggak bisa punya banyak ‘kegiatan’ setelah mereka karam di bawah laut dan tersebutlah hiu-hiu putih di sana. Narasi butuh banget karakter yang kuat, namun film ini memandang hal tersebut sebelah mata. Dibuatnya penokohan dan dialog yang over-the-top, dengan penampilan akting yang juga gak terlalu bagus dan meyakinkan. Hasilnya adalah film thriller yang tidak mencekam, film horor yang tidak seram, dan film hiu yang tidak punya ‘daging’ di dalamnya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 47 METERS DOWN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ALIEN: COVENANT Review

“When you stray from the trail, that’s when you get lost.”

 

 

Susah memang untuk memuaskan banyak orang, toh begitu, Ridley Scott tetap berusaha. Dan buah dari perjuangannya itu dapat kita nikmati dalam wujud sci-fi horor terbarunya yang berjudul Alien: Covenant. Film ini terlihat sangat berjuang untuk berada di tengah, sepertinya sutradara ini mendengarkan keluhan protes penonton as Scott ngimbangin unsur filosofis penciptaan yang ia angkat lebih banyak di Prometheus (2012) dengan nostalgia horor yang sudah mengakar sedari Alien (1979)a very effective sci-fi thriller btw! Jadi, antara sekuel dari Prometheus atau prekuel dari Alien, film kali ini membahas dunianya dengan actually memberikan lebih banyak jawaban sekaligus tetap membuat kita tersedot oleh thrilling action, suspens, dan jalan cerita yang kali ini ditulis dengan sama baik dan rapinya, hanya saja lebih terang dan straightforward. Apakah hasil akhirnya adalah film yang lebih baik?

We be the judge.

Haha bukan mau mengakhiri ulasan ini lebih cepat, actually we have a long way to go. Tapi, of course, kita para penontonlah yang jadi hakim untuk sebuah film.

 

Saat selesai nonton, sejujurnya aku enggak bisa langsung mutusin palu penilaian buat film ini. I got a mixed feeling, ini soal cinta-fans lawan realita lagi, sih. Aku suka banget sama Alien dan Prometehus, serta Aliens (1986), sementara film-filmnya lainnya dari franchise ini; well ya, katakanlah aku gak cukup peduli untuk menonton mereka dua kali. Ridley Scott mengerti bahwa film sci-fi yang bagus adalah yang tidak memberikan semua jawaban dengan gamblang, dan film-film alien garapannya memang meninggalkan banyak bagian-tak-terjawab dan dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Dalam Alien, kita tidak pernah dapet penjelasan siapa yang mengirim sinyal ke pesawat Ripley dan kenapanya. Tapi banyak fans (dan – herannya – kritik) yang menganggap apa yang dilakukan Scott terhadap cerita Promotheus terlalu, ah, enggak-fun. Didedikasikan untuk ngejawab beberapa, Alien: Covenant menjelma menjadi horor thriller yang amat SERU DAN MENYENANGKAN UNTUK DIIKUTI, lebih gampang untuk disukai, namun di lain pihak, juga terasa seperti VERSI YANG LEBIH LEMAH DARI GABUNGAN ALIEN DENGAN PROMETHEUS.

Alien: KoEnak

 

Buat yang belum nonton Prometheus (or even have no idea film ini ada hubungannya ama Prometheus), adegan pembuka antara David (Michael Fassbender‘s reprising his Android role dengan meyakinkan) dengan pembuatnya akan terasa sangat thought-provoking. Aku pun suka, jika saja aku bisa overlook bahwa adegan ini sebenarnya lebih kayak versi rangkuman karakter David yang dipersimpel. Dan kemudian kita dibawa terbang ke spaceship Covenant di mana belasan kru manusianya terbangun mendadak dari cryosleep. Kru android yang selalu stand-by, Walter (wow Michael Fassbender mainin dua android ‘kembar’ tapi juga essentially sangat berbeda), enggak perlu repot-repot jelasin sebabnya lantaran pesawat induk tersebut terang-terangan lagi dalam masalah. Peristiwa ‘kiamat kecil’ ini sukses bikin seisi awak trauma, sehingga begitu mereka menangkap sinyal dari sebuah planet yang bisa ditinggali – malahan, menurut data, planet ini bisa saja berpotensi lebih baik dari planet tujuan misi awal mereka, lebih dekat tujuh tahun pula! Kapten langsung memerintahkan Covenant untuk belok arah, menuju planet tersebut.

Alien adalah franchise yang kerap berganti-ganti genre, meski tetap mempertahankan beberapa ‘pakem’ yang sudah menjadi cirri khas. Elemen cerita Alien: Covenant tentang awak pesawat yang memilih untuk berganti jalur di tengah jalan, however, terasa seolah celetukan dari Ridley Scott tentang bagaimana mestinya franchise ini bisa menjadi lebih baik. Ini sama seperti ketika kita mengusahakan sesuatu; semestinya tetap fokus lurus pada tujuan dan tidak stray away, melipir ke mana-mana. Karena film ini memang terasa seperti usaha untuk kembali ke akar semula dari film Alien.

 

Paruh pertama ketika kru menjelajahi planet misterius adalah bagian film yang terasa refreshing. Inilah pertama kalinya (Alien Versus Predator kita anggap angin lalu saja , yaa) kita melihat alien memanfaatkan setting di lingkungan outdoor. Ridley Scott adalah sutradara yang punya mata tajam dalam urusan shot-shot cakep, yang setiap framenya bermakna terhadap narasi, it was actually a pleasant sight ngeliat horor scientific digenerate ke alam terbuka. Lihat saja sekuen ketika kru Covenant diserang Xenomorph baru di ladang yang penuh dengan ilalang dan gandum; adegan yang intensnya bikin kita nyaris berputar-putar ngeri di tempat duduk. Ridley Scott benar-benar cakap dalam mengolah situasi kacau menjadi pemandangan mimpi buruk yang indah.

kemudian coklat menghujani ladang gandum, dan PUFF..jadilah koko krunch!

 

Tampaknya sudah jadi pakem, atau bisa dibilang semacam running-jokes, dalam setiap film franchise Alien bahwa insiden Xenomorph (apapun variannya) menembus tubuh manusia selalu dimulai dari tindakan bego oleh tokoh-tokoh yang mestinya adalah orang-orang cerdas itu. Dalam film ini, cerita memberikan usaha yang efektif dalam menjustifikasi tindakan bloon tersebut. Sehingga kita bisa merasakan beban emosi kepada tokohnya, kita jadi mengerti kenapa mereka harus melakukan whatever it is yang mereka lakukan. Karena misi mereka adalah untuk bikin populasi pertama di planet baru, maka para anggota kru ini adalah orang-orang yang sudah menikah, atau paling enggak punya pasangan. Aspek ini bermain baik menghantarkan emosi dan pembenaran ketika ada satu kru yang tewas dan pasangannya meledak ngelakuin hal yang bertentangan dengan nalar. Benar, mereka semua pada dasarnya adalah umpan hidup, tapi sekali lagi film ini memainkan kekuatan yang dimilik oleh Alien orisinal; kita enggak tahu pasti siapa yang bakal bertahan hidup hingga akhir. Para aktor bermain sangat simpatis dalam menghidupkan tokoh mereka. Dan sekali lagi kita dapet tokoh utama berupa sesosok wanita setrong, yang tadinya aku kira bakal jadi tokoh yang annoying, tapi enggak. Ada sedikit jiwa Ripley dalam tokoh Daniels ini.

Ada satu kalimat dari tokoh Kapten, yang actually membuat karakternya lumayan kuat serta menarik sebab nunjukin gimana dia dealing with krisis kepercayaan – ditambah beberapa keputusan salah yang ia ambil sejak ditunjuk jadi pemimpin kru, dan kalimat ini relevan dengan keadaan negara kita sekarang. Kapten tersebut sedikit galau lantaran tadinya dia cuma Wakil, namun it was revealed dia enggak kepilih2 jadi Kapten; dengan alasan “Orang yang taat beragama tidak akan pernah diberikan kekuasaan, karena kau akan dianggap ekstremis. Dianggap seorang yang gila!” Padahal sebenarnya, taat beragama berarti taat pada satu jalan lurus.

 

Begitu lewat dari mid-point, narasi beranjak ke arah yang sedikit berbeda. Pertemuan David dengan Walter membawa kita ke bagian cerita yang difungsikan sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh film Prometheus. Penampilan Fassbenderlah yang memegang peranan penting di bagian ini, kita melihat dia dengan begitu menariknya memainkan dua tokoh android yang memiliki pandangan yang berbeda. Emosi dan premis pada adegan dengan seruling kayu terasa sangat kuat tersampaikan. Karakter David dengan point of view yang twisted, yang terbosesi dengan prinsip Tuhan dan ciptaanNya terlihat meyakinkan sekaligus creepy in a thought-provoking way. Ketika dia memerankan Walter dengan kapasitas drama lebih utama, pun, Fassbender berhasil mempertahankan sisi compellingnya. Oleh karenanya, meski kita bisa berargumen soal apakah elemen ini justru merampas sisi drama survival karakter-karakter lain yang lebih seru dari kita, bagian akhir dari babak kedua pun masih bisa kita nikmati dari segi penampilan aktingnya.

Bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia, hanya karena Dia bisa. Bagaimana jika sifat arogan kita sendiri yang membuat kita merasa begitu penting sehingga menganggap keberadaan kita punya suatu maksud tujuan. Bagaimana jika kita sudah menjadi sok pentingnya sampai-sampai kita akhirnya tiba di tahap bisa menciptakan android karena kita bisa. Dan sama seperti David, bagaimana jika kita sebenarnya terperangkap dalam ilusi menciptakan sesuatu; obsesi terhadap seni, terhada kreasi dan penciptaan. Obsesi menjadi Tuhan.

 

Tidak hingga di babak akhirlah semua nostalgia itu kumplit terasa. Kita akan dibawa kembali ke pesawat yang serta merta menjadi ruang tertutup. Film ini dengan sabar nahan-nahan kemunculan Xenomorph klasik yang sudah ditunggu-tunggu banyak penonton yang udah ngikutin franchise ini dari awal. Tampilannya mantep, Xenomorph adalah salah satu monster dengan desain terkeren dalam sejarah horor. Di sini, efek komputer dan efek praktikal berhasil digunakan bareng dengan sangat mulus untuk menghidupkan Xenomorph. Tapi ada perbedaan mendasar antara alien film ini dengan alien yang muncul di original. Dalam film Aliens jadul, tentu saja teknologi tidak sebaik sekarang; kita tidak melihat Xenomorph secara full, monster ini ditampillan ‘terbatas’, sehingga misteri dan suspen adalah senjata utama supaya bikin kita takut maksimal. And it was done dengan sangat efektif. Dalam film Covenant ini; Xenomorph tampil frontal, ketakutan datang dari cepatnya gerakan dan sergapan makhluk ini, bahkan di sini kita belajar banyak tentang asalmulanya, sehingga tak-pelak misteri seputar Xenomorph terasa sirna. Ditambah dengan elemen David/Walter yang predictable, film ini ditutup dengan note yang lebih rendah dari saat ia dimulai.

 

 
Sama seperti ketika kita membandingkan Ghost in the Shell (2017) dengan versi anime orisinilnya, film ini akan terasa seperti gabungan Alien dan Prometheus dengan level easy. Tidak begitu menantang pikiran karena cerita kali ini lebih straightforward. Film ini berusaha kembali ke akarnya yang berubah sci-fi body horor, dan ia melaksanakan misinya dengan gemilang. Dari jajaran franchise Alien, film ini termasuk yang paling seru. Gampang untuk disukai, film ini berusaha tampil seimbang dan memuaskan banyak orang. Sendirinya adalah film yang stunning. Editingnya precise. Kesannya film gede banget, hey, it’s an Alien movie by Ridley Scott! Masalahnya adalah aku suka Alien dan Prometheus untuk alasan yang dalam film ini dikurangi elemennya. Narasi film ini pun terasa lebih kacau buatku. Dan predictable. So yea.. untuk mempersingkat, kupikir yang gaksuka sama Prometheus bakalan suka banget sama film alien terbaru ini.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALIEN: COVENANT

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

STIP & PENSIL Review

“It’s easy to look sharp when you haven’t done any work.”

 

 

Banyak yang menyerukan hapuskan kesenjangan, namun ketika si kaya melakukan hal yang baik, kita masih menudingnya sebagai pencitraan. Saat kita berbuat salah, kita masih suka membela diri atas nama kemiskinan, seolah dengan menjadi orang susah berarti kita lemah dan punya alasan untuk melakukan ‘pemerasan kecil-kecilan’ kayak yang dilakukan oleh ibu pemilik warung dalam film ini. Orang miskin tidak perlu hal lain karena masalah kita satu-satunya adalah uang. And in turn, ketika kita beneran punya duit rada lebihan dikit aja, kita suka melempar uang gitu aja kepada masalah. It seems like, kita sengaja membuat gap antara miskin dan kaya. Tanpa sadar kita sendiri yang menulis kesenjangan dengan memanfaatkan dinamika unik yang tercipta oleh uang.

Menyinggung masalah sosial paling asik memang lewat nada komedi. Stip & Pensil mengerti ini dan melakukan kerja yang sangat luar biasa dalam mempersembahkan dirinya sebagai parodi. Yea, this film WORKS BEST AS A PARODY. Celetukan lucu terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Tentang dinamika antara si kaya dan si miskin, as kita sebagai penonton ditempatkan di tengah-tengah kelas yang saling kontras ini. Gedung sekolah darurat dan kampung kumuh bisa bekerja sebagai simbol dunia pendidikan yang mulai kotor oleh kepentingan. Tawa yang dihasilkan film adalah tawa yang menyentil kita dengan akrabnya.

Pelaku dalam cerita ini adalah satu geng anak SMA yang dijauhin dan disirikin sama teman-teman yang lain lantaran mereka berasal dari keluarga yang tajir mampus. Toni (Ernest Prakasa nampak paling tua namun naskah mampu berkelit memberikan alasan) dan tiga sohibnya; Bubu yang cakep namun telmi (Tatjana Saphira memainkan perannya dengan gemesin), Saras yang manis namun hobi ngelempar kursi (dari empat, Indah Permatasari yang kualitas aktingnya paling menonjol), dan Aghi yang paling ‘waras’ namun gak banyak berbuat apa-apa (aku bahkan gak yakin tokohnya Ardit Erwandha ini punya karakter), mereka layaknya anak sekolahan mendapat tugas menulis essay sosial. Setelah bertemu dengan, atau lebih tepatnya dikibulin oleh, seorang anak jalanan, mereka kemudian memutuskan untuk mengambil topik pendidikan di daerah pinggiran, tampat anak-anak jalanan tadi tinggal. Pada awalnya, tentu saja remaja kaya ini menyangka semuanya bakal segampang ngibasin duit, tetapi cibiran, tuduhan, dan prasangka dari teman-teman sekelas membuat mereka nekat terjun langsung ke lapangan. Karena terus diprovokasi, Toni malah kepancing emosi buat bikin sekolah darurat di kampung kumuh tersebut! Jadilah mereka sepulang sekolah harus ngajar ke sekolah bikinan sendiri, mereka kudu nanganin warga kampung yang enggak peduli amat sama dunia pendidikan, bahkan mereka wajib membujuk anak-anak jalanan dengan duit sebelum anak-anak itu mau diajari membaca oleh mereka.

they are not strangers if they drove fancy cars.

 

Walaupun dirinya adalah suguhan komedi dengan tone yang ringan, bukan berarti film ini tidak mempunyai urgensi di dalam ceritanya. Stip & Pensil tidak kalah penting dibandingkan A Copy of My Mind (2016). Dialog-dialognya diolah dengan cerdas sehingga bisa memuat tema dan isu-isu yang relevan, dan menyampaikannya dengan lancar. Komedi film ini bahkan lebih efektif dibandingkan Buka’an 8 (2017) yang juga berusaha memuat banyak singgungan terhadap tema sosial. Dengan sukses menggambarkan karakter masyarakat masa kini yang suka berlindung dengan mental kelas bawah meski enggak malu-malu untuk menunjukkan arogansi kelas atas, tanpa terasa terlalu menggurui. Film akan memaparkan kita dengan kenyataan, yang dikemas dengan konyol, dan kita menerimanya sebagai fakta. Sebagai fenomena yang benar-benar terjadi di masyarakat.

Semua orang mau yang gampang. Buat apa kerja, mendingan langsung dikasih duit saja. Tapi di film ini kita melihat anak-anak jalanan yang tak mau belajar tersebut kerepotan mencari jalan saat dikejar petugas lantaran mereka enggak bisa membaca tulisan-tulisan ‘jalan ini ditutup’ di tembok. Di lain pihak, yang punya duit mikirnya, buat apa repot-repot, tinggal bayar semua beres. Antara kerja langsung dengan membayar, bedanya hanya dignity. Ibarat pensil; pensil yang paling panjang dan paling runcing adalah pensil yang tidak melakukan apa-apa. Inilah yang dirasakan Toni cs ketika mereka harus bersusah-susah menjaga dan mengaktifkan sekolah bikinan mereka.

 

 

Cerita seperti ini sebenarnya cukup tricky untuk digarap. Parodi dengan banyak isu, artinya mereka enggak bisa terpaku kepada satu karakter tertentu. Dan lagi, the closest thing we have to protagonists pada film ini adalah kelompok remaja kaya yang menyabotase pagelaran seni sekolah demi mendapat perhatian. It is hard enough buat kita menumbuhkan kepedulian kepada mereka. Apalagi ketika keempat anak SMA ini tidak diberikan penokohan yang benar-benar berarti. Pengembangannya tipis, mereka share the same trait dengan elemen komikal sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Motivasi mereka enggak sepenuhnya terasa jujur, karena pihak ‘antagonis’ film ini toh punya poin yang bagus about them, dan kita bisa melihat praduga mereka benar, so yea, yang berusaha aku bilang adalah kita akan masuk ke dalam narasi tanpa ada hook yang kuat. We just go in sebab segala adegan dan dialog ditangani dengan kocak dan nyata, sehingga kita ingin melihat lebih lanjut. At times, kita malah ingin melihat di luar karakter utama karena tokoh-tokoh penghuni kampung yang dibuat lebih berwarna. Dan film ini memberikan mereka kepada kita; menjelang akhir ada pergantian perspektif di mana kita melihat penghuni kampung bekerja sama menghadapi penggusuran, which is some nice sight to see, akan tetapi membuat kita bertanya; ke mana Toni dan kawan-kawan, kenapa di peristiwa penting begini mereka malah absen?

See? Masalah terbesar yang menahan Stip & Pensil bukan pada penulisan, not necessarily ada pada penokohan, melainkan terletak pada struktur cerita; pada bagaimana film ini menceritakan dirinya. Separuh bagian pertama penuh oleh adegan-adegan lucu yang seputar pendirian sekolah darurat dan tantangan kegiatan belajar mengajar di sana, tetapi ‘the real meat’ datang dengan rada telat. Maksudku, kita ingin melihat remaja-remaja SMA yang kaya tersebut bonding dengan bocah-bocah pengamen, kita ingin melihat gimana mereka work it out dengan neighborhood yang belum pernah mereka tapaki sebelumnya, kita ingin lihat gimana mereka actually mengajar di kelas, dan rasanya akan lama sekali sebelum kita mencapai bagian ini.

Dan begitu elemen tersebut sudah masuk — aku menyangka paruh akhir akan lebih menyenangkan lagi – film malah memberi kita penyelesaian yang terburu-buru. Semuanya terasa rushed dan dipermudah. Mereka mungkin seharusnya tidak membuat kita invest so much kepada Toni dan kawan-kawan, karena toh ada pergantian perspektif, dan Toni enggak benar-benar menyelesaikan apapun. Pun begitu, film malah menambah elemen baru, drama kok-elo-naksir-si-anu-sih-kan-gue-yang-suka itu misalnya, yang pada akhirnya juga diselesaikan dengan abrupt. Aku juga merasakan masalah ‘masuk terlalu lambat, diselesaikan dengan terlalu cepat’ yang sama juga menghantui A Copy of My Mind, namun paling enggak dalam film tersebut tidak ada penambahan elemen mendadak ataupun pergantian sudut pandang.

karena tidak ada persahabatan tanpa fists bump.

 

Setiap dialog mengandung lelucon yang berhasil diintegralkan dengan mulus. Tapi masih ada juga bagian yang serta merta ada buat kepentingan tawa semata. Sama seperti bagian drama cinta remaja yang kusebut di atas, yang eksistensinya cuma buat menarik perhatian penonton. Dan kadang-kadang, antara satu lelucon dengan lelucon lain, terasa enggak make sense – enggak klop logikanya. Misalnya adegan tenda; aku enggak ngerti kenapa mereka yang anak-anak orang kaya cuma bisa nyewa satu tenda, aku enggak ngerti kenapa mereka enggak tidur di dalam sekolah darurat saja alih-alih di pekarangan luarnya, dan aku enggak ngerti kenapa Saras jadi histeris heboh ngeliat tikus padahal bukankah di adegan pembuka kita melihatnya mengancam panitia di belakang panggung sekolah dengan literally mengayun-ayunkan tikus di depan wajahnya.

 

 

 

Komedi yang cerdas dan bekerja dengan highly effective menjadikan film ini tontonan yang tidak hanya menghibur, namun juga sarat isi. Bicara soal bullying, persahabatan, status sosial, prasangka, semua materi dipikirkan dan digodok bersama humor dengan sangat matang. Kuat di bagian ‘apa’, sayangnya film ini runtuh di ‘bagaimana’. Semestinya pensil itu digunakan untuk menulis ulang struktur sehingga bagian penyelesaiannya tidak terburu-buru dan tidak dipermudah. Sebagaimana setip itu mestinya digunakan untuk menghapus elemen-elemen yang dimasukkan just for the audience.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for STIP & PENSIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

NIGHT BUS Review

“An eye for an eye only ends up making the whole world blind.”

 

 

Paman Gober si bebek paling tajir di dunia hobi naik bus karena katanya angkutan umum jauh-dekat ongkosnya sama. Sama-sama murah, maksudnya hihi. Paman Gober enggak tau aja kalo dengan naik bis, kita bakal kaya; oleh pengalaman. Karena di dalam bis yang melaju tersebut kita pasti akan berjejelan dengan penumpang lain. Ada emak-emak rempong, preman-preman bau rokok, bapak-bapak kantoran, dan kalo beruntung kita sesekali bisa ketemu ama makhluk manis dalam bis. Segala macem latar belakang. Rupa-rupa deh warnanya.

Kayak bus Babad yang siap berangkat sehari-semalam ke kota Sampar dalam film Night Bus. Aku sendiri suka naik kendaraan umum lantaran aku memang demen memperhatikan orang-orang. Makanya aku kecewa setelah nonton The Girl on the Train (2016), film tersebut gagal ngedeliver premis tokoh yang suka memperhatikan orang sehingga dia merasa perlu untuk campur tangan terhadap masalah orang yang ia perhatikan di transportasi umum. Film itu malah berkembang menjadi drama dari perspektif satu orang. Night Bus, however, adalah film yang berjubel oleh karakter.

Menonton film ini KITA SEAKAN IKUT MENJADI PENUMPANG BUS BABAD, observing satu persatu orang-orang asing tersebut. Tidak ada tokoh utama di sini, kita tidak tahu motivasi sebagian besar dari mereka apa. Kita cuma tau ada si supir hanya ingin sampai menghantarkan penumpang yang jadi tanggung jawabnya dengan selamat. Ada stokar yang rada tengil namun cukup baik hati membiarkan anak kecil tanpa-tiket duduk di kursi sendiri tanpa perlu dipangku. Ada orang buta yang selalu positif, ada orang kaya, ada pasangan cewek dengan cowoknya yang penakut, ada wartawan, ada cewek manis yang pendiem, sepuluh menit pertama dalam film ini menghantarkan tugas sebagai perkenalan singkat sekaligus mengeset mood. Bahwa instantly kita akan ngerasa khawatir sama mereka semua, karena Sampar tujuan mereka adalah daerah konflik. Dan di menit-menit awal, film did a good job dengan tersirat ngejual daerah tersebut sebagai zona yang berbahaya.

bukannya bau balsem, bus malam yang satu ini akan anyir oleh bau darah

 

 

Perjalanan tragis mereka ditranslasikan kepada kita sebagai dua jam PERJALANAN PENUH CEKAM DAN EMOSI. Tadinya aku kira ini bakal jadi semacam confined-space whodunit thriller, tapi ternyata tebakanku took a wrong turn as film ini menyentuh lebih jauh sisi traumatis manusia. Ini kayak thriller bergaya roadtrip, yang tentu saja ada elemen ruang tertutupnya. Kita akan belajar lebih banyak tentang siapa-siapa saja penumpang bus. Apa kaitan dan pandangan mereka terhadap konflik atau perang antargolongan. Bus Babad membawa orang-orang tak bersalah, mereka bagai pelanduk yang permisi numpang lewat di antara gajah-gajah yang lagi berantem, dan film ini benar-benar menggali gimana dampak pertikaian terhadap orang-orang seperti penumpang bus tersebut.

Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet membakar semua yang berada di tengah-tengahnya. Menarik gimana film ini menawarkan solusi dengan kiasan ‘kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?’ Dampak perang tidak akan hilang. Ada tokoh ibu penjaga warung yang enggak mau berbicara dengan orang karena nanti toh perang akan memakan semuanya. Mungkin saja, apa yang harus kita lakukan adalah dengan tidak memulai gesekan sama sekali.

 

Ada sedikit eksposisi setiap kali cerita butuh untuk menerangkan konflik pertikaian. It could have been handled dalam cara yang lebih compelling. But for the most part, film ini bercerita dengan subtle. Kita belajar karakternya dengan perlahan, kita harus menyimak semua. Kadang petunjuk tentang backstory mereka ada di percakapan yang terjadi menjelang pertangahan. Kita harus memilah semua informasi yang seliweran di antara pemandangan visual kondisi di dalam bus yang terlihat sangat contained ini. Visualnya agak sedikit goyah ketika beberapa green screen dan efek berusaha diintegralkan ke dalam efek-efek praktikal. Kadang film ini terlalu gelap, dan tak-jarang kamera terlalu banyak bergoyang sehingga sekuens aksi menegangkan yang terjadi di layar menjadi sulit untuk kita tangkap. Tingkat violence film ini lumayan tinggi, udah kayak nyaingin film PKI dengan segala dialog “jenderal, jenderal!” dan adegan penyiksaan. Aspek yang paling aku suka dari film ini adalah gimana dirinya hadir dengan sangat grounded. Penampilan akting di sini semuanya meyakinkan. Dialek dan intonasi bahasa melayu deli dan langkat terdengar dengan pas dan enggak dibuat-buat. Aku ngerasa seperti udah mudik mendengar dialog-dialog film ini, karena di kampung halamanku memang pake bahasa longor-longor seperti tokoh-tokohnya.

Di antara semua penampilan yang seragam bagus, Teuku Rifnu Wikana mencuri show dengan tokoh yang paling vokal. Kita melihatnya berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, dan actually relationshipnya dengan supir adalah salah satu emotional core cerita. Para penumpang diberikan moral dan cela sehingga mereka menjadi menarik, kita peduli terhadap kondisi mereka. Kita penasaran pengen tau siapa mereka. Terutama kita terasa terinvolve ke dalam panik dan guncangan yang menimpa mereka semua. Meskipun ada juga sih yang terasa annoying. Kayak si wartawan, dari pertama udah kelihatan he’s a sneaky guy, dan sikap-sikap kebajikan yang kadang ia tampakkan enggak pernah terasa tulus. Hubungan antara kedua anak muda yang ingin ke Sampar cari kerja juga enggak terlalu menarik karena eksekusinya datar gitu aja. Arc favoritku adalah yang dipunya oleh karakternya Hana Prinantina; dia dokter koas – cewek ini bisa menolong korban, dan ultimately skrip memberinya bentrokan saat dia memilih untuk menolong serdadu atau enggak karena suatu peristiwa di masalalunya. It was so heartwrenching, mestinya tokoh ini diberikan lebih banyak pengembangan alih-alih sengaja disimpan, you know, tokohnya Hana enggak banyak diberikan dialog lantaran film ini ingin ‘merahasiakan’ dirinya sebagai emotional twist.

“Eh longor, udah nonton kau ada satu pilem baru judulnya ‘Naik Bus’?”

 

Bagian paling menarik memang adalah ketika momen-momen seperti tokoh Alex Abbad menunjukkan simpati kepada Nenek dan Laila, atau ketika penghujung balas dendam tokoh Hana, atau juga ketika salah satu pasukan separatis meminta untuk ditembak. Momen ketika pelaku perang kejatuhan beban moral, ketika ada dilema yang membayangi mereka. Formula cerita perang yang bagus selalu seperti ini. Menyentuh zona abu-abu kemanusiaan. Akan tetapi, setelah kejadian di babak ketiga, arah jalan film ini sepertinya hanya ke poin dramatis semata. Kelompok pemberontak yang muncul di babak ini benar-benar murni jahat. Dan dilema moral yang semestinya jadi soal, hanya diberikan kepada penumpang bus yang notabene korban perang. Supaya kita kasian sama mereka, supaya kita merasa mereka itu kita, jika kita ada di tengah-tengah medan pertempuran. Seharusnya film ini juga menggali dari sisi Kolonel Sahul, tapi enggak, karena sekali lagi mereka ngerasa perlu untuk masukin elemen twist.

Dalam sense fokus ke elemen menyayat hati ini, Night Bus terasa kayak salah satu animasi klasik dari Studio Ghibli, Grave of the Fireflies (1988). Film anti-perang yang sama-sama dibuat dengan bagus, tapi kepentingannya buat sedih-sedih semata. Semua cerita dibuild buat bikin kita merasa sedih, semuanya ditargetkan kepada kematian orang-orang tak berdosa. Tentu saja, kayak Grave of the Fireflies, tokoh gadis cilik di film Night Bus juga sudah dipatri untuk mati. Adalah hal yang bagus film ini mencoba melakukan sesuatu yang jarang dengan enggak netapin tokoh utama, kita dibuat enggak tahu siapa yang bakal selamat, namun pada akhirnya ini lebih seperti usaha untuk memancing dramatis semaksimal mungkin. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film ini yang terasa otentik. Kematian memang menyedihkan, namun film ini tidak punya hal lebih jauh yang dibicarakan selain jadi korban sia-sia itu adalah sangat heartbreaking. Aku enggak bilang film enggak boleh pengen jadi sedih doang, tapi itu adalah jalan yang mudah, dan I’d like to see movie yang lebih challenging dan film ini sebenarnya bisa menjadi lebih menantang pikiran.

 

 

 

Sangat unik, kehadiran film ini sangat diperlukan mengingat scene perfilman tanah air yang kurang variasi. Punya original look, punya cerita yang grounded dengan tokoh-tokoh yang menarik dan manusiawi. Diperankan dengan sangat meyakinkan. Ini adalah salah satu dari film yang punya nilai lokal yang kuat. Menyentuh lewat ceritanya yang mencekam, hambatan di jalan buat film ini adalah arahannya yang menyasar kepada sisi dramatis yang begitu diextent sehingga terasa manipulatif. Bahkan musiknya kerap terdengar terlalu ‘lantang’. Tidak bicara lebih dari gimana perang tidak punya manfaat melainkan hanya menyebabkan orang-orang sipil menjadi korban. Dengan sengaja memilih penceritaan dari perspektif penumpang bus, moral dan segala kemanusiaan diberikan kepada tokoh-tokoh ‘korban’ just so kepergian mereka terasa menyedihkan. Enggak salah, hanya saja ini adalah cara yang paling gampang, dan cara inilah yang dipilih oleh film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NIGHT BUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We? We be the judge.

Wrestlemania 33 Review

 

Hardy Boyz baliiiiiiiikkkk!

Untuk sekali ini, Wrestlemania bener-bener NGEDELIVER APA YANG TERTULIS PADA TAGLINENYA. Acara ini sukses bikin kita naik-turun dalam sebuah perjalanan panjang. Buatku kemunculan Hardy Boyz menjadi surprise paling “wah!” I didn’t see that coming. Ketika New Day dalam balutan attire ala-ala Final Fantasy (aku ngenalin boneka kayak moogle dan gambar chocobo, tapi enggak yakin game Final Fantasy seri yang mana – mungkin yang baru since they advertising the latest FF 14) ngumumin bakal ada satu tim lagi yang ikutan dalam Ladder Match kejuaraan Tag Team, aku udah siap untuk menghujani TV dengan gumpalan kertas. Namun kemudian musik ngejreng menghentak yang aku dengar sejak hari pertama aku nonton gulat itu terdengar, dan muncullah Matt dan Jeff Hardy, fresh dari kontrak dengan promotor wresling lain; Jeff kelihatan seperti dicomot dari 2009, Matt menggebrak bikin kita makin menggelinjang dengan his Broken mannerism, dan aku literally berdiri di kursi!

Jeff girang banget mau ngeBROKENin tangga

 

Jika sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang orang-orang membicarakan Wrestlemania 33, maka orang-orang tersebut akan membicarakan kembalinya Hardy Boyz, lamaran John Cena, dan momen pensiunnya Undertaker.

 

Ini adalah bisnis di mana jika engkau bertanding dalam apa yang menjadi pertandingan terakhirmu, kau harus kalah. Tidak peduli siapapun dirimu. Ric Flair kalah. Shawn Michaels kalah. Dan Undertaker pun kudu begitu. Istilahnya adalah menyerahkan ‘obor’ kepada superstar lain. Mengistirahatkan legacy. Legenda enggak bakal pernah mati, itu benar. Tapi kita kudu nerima kenyataan bahwa yang terbaik di antara merekapun butuh untuk redup dan beristirahat. Banyak fans yang kesel kenapa Taker harus passing his torch kepada Roman Reigns – yang sudah begitu sering dihujat sehingga kini namanya kerap disalahejakan menjadi Booman Reigns. Aku sendiri juga enggak senang ngeliat Roman gets the upper hand, menghajar tokoh yang sudah menghiburku sejak kecil. Gampang bagi kita semua untuk enggak suka sama Roman, namun jika orang ‘gede’ terbaik di sejarah wrestling saja benar-benar melihat dirinya pantas kalah oleh Roman, maka kita harusnya menghormati keputusan tersebut.

Apalagi dalam pertandingannya ini, Taker terlihat sangat kepayahan. Kondisi dan umurnya enggak lagi sesuai dengan pertandingan keras selama dua-puluh menit. Di pertengahan, tidak lagi kelihatan seperti Taker dikalahkan oleh superstar yang lebih muda, cerita mereka malah lebih ke Undertaker tidak bisa mengalahkan fisiknya sendiri. Kita masih bisa ngerasain semangat gimmick Deadman ada pada dirinya, namun setiap gerakan yang ia eksekusi, terlihat jelas bahwa Taker just can’t handle it anymore.
The last shot of topi, jubah, dan sarung tangan yang ditinggalkan oleh Undertaker di tengah ring adalah pemandangan yang sangat sureal. Wrestlemania 33 DIBUKA DENGAN GEMPITA, DAN DITUTUP DENGAN MURAM DURJA. Simbolisme adegan tersebut sangat kuat. In fact, ada banyak simbol dan metafora visual yang bisa kita temui sepanjang acara ini. The most obvious one sekaligus yang paling kocak adalah di video pembuka di mana mereka nyamain disuplex oleh Brock Lesnar sama kayak experience terjun ketika naik wahana roller coaster.

WWE has really STEP UP THEIR GAME DALAM SEGI DESAIN PRODUKSI. Set acara ini terlihat sangat menakjubkan. Panggungnya megah dan kreatif. Kostum-kostum superstarnya keren parah. Aku suka banget liat kostum Maryse. Banyak spesial entrance yang bikin kita tepuk tangan bersorak riuh rendah. Pencahayaan dan kerja kameranya juga kelas dewa banget. It’s a visual triumph. Kalo ini film, maka nilai sinematografinya pastilah udah tinggi sekali. Dan ngomong-ngomong soal kaitan dengan film, WWE mulai mengintegralkan GAYA SINEMATIK ke dalam presentasi acaranya. Bukan hanya sekedar kembang api yang digunakan dengan timing dan occasion yang lebih kreatif. Kita bisa lihat misalnya dari entrance Seth Rollins; dia membawa obor, mengarahkan apinya ke bawah, dan efek video komputer pada ramp menampilkan api yang menjalar sampai ke ring. Teknik yang sangat membantu ngepush bukan hanya karakter, melainkan juga cerita yang ingin disampaikan.

Jericho selalu punya ide buat masuk jadi nominasi Fashion of the Year

 

In the past, kita udah ngeliat beberapa kali WWE ngelakuin hal teknis kayak sambaran petir untuk showcasing ‘kekuatan’ Kane dan Undertaker. Tapi belum pernah WWE actually memakai hal semacam begitu saat pertandingan berlangsung. Penggunaan efek ini, aku pikir, bisa bekerja dengan baik jika digunakan dengan tepat dan enggak berlebihan. Saat pertandingan Bray Wyatt melawan Randy Orton, kita disuguhkan oleh visual mengerikan pada canvas ring setiap kali Wyatt unggul. Image cacing dan belatung tersebut sukses bikin Orton ngabur ke luar ring. Ini memberikan dampak psikologis yang kuat, terasa seger juga. Namun sayangnya, seperti juga film-film bioskop dengan efek yang terlalu canggih, masalah pasti terletak kepada penulisan. Match-match Wrestlemania kali ini kebanyakan MENDERITA OLEH BOOKING yang sepertinya memang enggak niat untuk bikin match bintang-lima. Kembali ke kasus Wyatt melawan Orton, matchnya sendiri jika kita pisahkan dari efek-efeknya, maka akan menjadi match yang amat standar dengan hasil yang juga standar. Tuker-tukeran finishernya terasa buru-buru. They go back to zero; Orton going nowhere dengan arahan juara sebagai face, dan Wyatt kembali menjadi irrelevant.

Wyatt kalah bahkan setelah dia menunjukkan kekuatan magisnya.

 

Wrestlemania kali ini memanfaatkan cinematic experience yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

 

Tiga dari empat pertandingan awal sebenarnya adalah puncak terbaik yang disuguhkan oleh Wrestlemania. AJ Styles melawan Shane McMahon adalah pilihan tepat untuk membuka acara dikarenakan kedua orang ini sama-sama rela untuk ngelakuin apapun. Penulisan dan psikologi ceritanya pun sangat well-thought. Dimulai dengan Shane harus ngelawan Styles di environment di mana dia enggak bisa ngelakuin hal-hal ekstrim yang jadi andelannya. Styles ngerasa dia bakal unggul, karena dia adalah the best pure wrestler di Smackdown, atau malah di seluruh rooster WWE sekarang ini. Namun Shane dengan mengejutkan mengimbangi Styles, dia kick out dari Styles Clash! Jadi Styles lantas membalas dengan balik coba mengalahkan Shane di dalam permainannya sendiri. Wasit kena tendangan nyasar dan tong sampah ikut andil dalam pertandingan. Lucunya, di sini aku melihat Shane menjadi McMahon yang paling egomaniak, dia kelihatan jago banget di semua bagian. Dia bisa mukul. Dia bisa banting. Dia bisa Shooting Star Press. Sepertinya ini pertama kalinya dalam pertandingan di mana AJ Styles kelihatan yang ‘beraksi’ lebih sedikit ketimbang lawannya. Makanya aku senang Styles yang menang karena sebenarnya dia enggak perlu buktiin apa-apa kepada Shane.

Kevin Owens melawan Chris Jericho juga bagus. Keduanya udah saling kenal gaya masing-masing, dan mereka mau melangkah lebih jauh dalam mengeksplorasi apa yang bisa lakukan terhadap masing-masing. Pop Up Powerbomb yang dicounter dengan Codebreaker itu contohnya. Sweet! Dan Owens actually ngebreak pin count dengan nempelin SATU JARI ke tali ring dalam usahanya mengejek lukisan yang diberikan oleh Chris Jericho kepadanya di Festival Persahabatan tempo hari. Match mereka penuh oleh karakter dan oleh aksi, seperti juga pertandingan tag team yang dimenangkan oleh Hardy Boyz. Those were a very good match. Meski sayangnya Kejuaraan United States kedorong ke bayang-bayang oleh betapa padetnya acara ini dan Pertandingan Tag Team enggak actually make sense dari booking standpoint.

Feud yang udah dibuild up dari kemaren-kemaren semacam ternegasi oleh kemunculan Hardys sebagai peserta dadakan, dan kemenangan mereka hanyalah pure buat ‘Wrestlemania moment’. Satu lagi build-up yang jadi pointless adalah Nia Jax yang entah kenapa malah ditulis tereliminasi duluan dalam pertandingan Fatal 4 Way buat Raw Women’s Championship. Dia jadi terlihat lemah. Status pertandingannya juga jadi pointless, like, kalo gitu kenapa enggak Triple Threat aja? Apa gunanya ngepush orang yang ditambah di last minute only to have her kalah duluan? Dan kemudian Sasha Banks kalah kepentok turnbuckle yang mestinya terekpos tapi karena botch maka pinggir ringnya masih empuk, dan kita enggak pernah dikasih liat Sasha berantem ama Bayley. Angle persahabatan mereka enggak berkembang ke mana-mana, it feels like Sasha juga enggak perlu ada di match ini. Dan personally, aku ngerasa final two Bayley dan Charlotte (anak Ric Flair ini doyan banget eksekusi move dengan sangat anggun!) juga ngebotch; I think it should’ve ended with Super Bayley to Bayley instead of Macho Man’s Elbow Drop.

Nia harusnya masuk final karena she’s not like most girls

 

Bookingan Kejuaraan Wanita Smackdown malah lebih parah lagi. Aku seneng match Alexa Bliss Nyaawww ini naik status dari pre-show ke main card, tapi ternyata kepentingannya malah turun drastis. Keenam cewek tersebut bertarung dalam sebuah pertemuan singkat yang peran utamanya adalah sebagai cooling down moment antara dua pertandingan yang lebih besar. Masing-masing berusaha memanfaatkan waktu dengan maksimal, mereka berbagi spot untuk saling mengembangkan karakter, but it feels so rushed out. Dan aku masih belum bisa melihat Naomi sebagai championship material, skillnya medioker, dan aku kesel kenapa WWE ngebikin Alexa selalu lemah di hadapan Naomi. Tahun lalu match cewek jadi Match of the Night, sekarang sepertinya mereka kembali jadi ‘jeda pariwara’ -__-

Yang paling mengecewakan adalah partai tag team campuran antara John Cena dan Nikki melawan Miz dan Maryse. Aku lumayan kangen liat entrance dan tarungnya Maryse, but she’s not even wrestling here. Miz hebat bertingkah antagonis, dan dia menghabiskan menit-menit di atas ring sebagai seorang brengsek hanya untuk dibalas dengan moves serentak dari Cena dan Nikki. Build up partai ini sangat bagus dan kocak dan seger, mereka harusnya bercerita dengan hebat lewat pertandingan ini. Tapi enggak. Cena enggak perlu susah-susah untuk menang, karena ini hanyalah sebagai ajang pencitraan buat Cena melamar. Everybody saw that coming. Padahal akan lebih bagus kalo Cena dan Nikki berjuang keras sebelum akhirnya menang atas Miz dan Maryse. Dan bagian paling lame dari lamaran ini adalah Cena membuktikan sendiri kebenaran kata-kata Miz soal dia hanya ngelakuin sesuatu yang baik di depan kamera.

 

Lima jam lebih, nyaris tujuh jam jika ditonton bersama kick off shownya, Wrestlemania 33 memang melelahkan. Biar gak capek dan boring, kami yang nonton bareng di Warung Darurat malah sempet ngadain acara niru-niruin superstar dadakan demi ngisi keboringan saat Pitbull ‘konser’. Jika paruh akhir dibook dengan lebih seru, cepet dengan banyak aksi, maka acara ini bukan tak-mungkin jadi salah satu Wrestlemania terasyik. Makanya kita enggak punya masalah ama match Goldberg melawan Lesnar. Match ini punya keunggulan karena berlangsung singkat dan penuh oleh aksi, meski memang bukan pertandingan yang great. Dan makanya lagi, Seth Rollins melawan Triple H yang punya formula sebuah match yang hebat (wounded face mengalahkan heel yang culas) malah terasa menjadi biasa aja. Jadi enggak ada bedanya ama pertandingan Triple H tahun lalu. Memang, booking dan susunan match Wrestlemania kali ini agak aneh. It’s a good show dengan nuansa muram yang bikin kita terus kepikiran perihal momen terakhirnya
The Palace of Wisdom menobatkan AJ Styles melawan Shane McMahon sebagai Match of the Night.

 

 

 

Full Results:
1. SINGLE AJ Styles defeated Shane McMahon.
2. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP Kevin Owens jadi juara baru mengalahkan Chris Jericho.
3. WWE RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY ELIMINATON Bayley retains setelah mengalahkan Charlotte Flair di final-two.
4. WWE RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY LADDER Hardy Boys make a surprising return dan memenangkan sabuk atas Luke Gallows & Karl Anderson, Sheamus & Cesaro, dan Enzo & Big Cass
5. MIXED TAG TEAM John Cena dan Nikki Bella ngalahin The Miz dan Maryse.
6. NON-SANCTIONED Seth Rollins mengalahkan Triple H
7. WWE CHAMPIONSHIP Randy Orton merebut sabuk.
8. WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Brock Lesnar defeated Goldberg.
9. WWE SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP SIX PACK CHALLENGE Naomi jadi juara di kampung halamannya. Full Results:
10. NO HOLDS BARRED Roman Reigns bikin pension The Undertaker.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Thank you, Undertaker!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE EDGE OF SEVENTEEN Review

“The reality is people mess up; don’t let one mistake ruin a beautiful thing.”

 

 

Sekolah itu penjara, dan SMA adalah neraka. Remaja sangat menakutkan. Menjadi remaja adalah salah satu pengalaman tiada tara di dalam hidup. My Chemical Romance menuliskan dalam lagu mereka bahwa remaja tidak peduli pada apapun selama tidak ada yang terluka. Namun sebagai remaja, kita suka nyerempet bahaya. Dan ‘terluka’ yang disebutkan dalam lagu Teenager tersebut, sesungguhnya hanya berlaku dalam batasan fisik.
Gak percaya? Liat saja Nadine.
Setiap hari cewek tujuhbelas tahun ini makan ati mengarungi neraka SMA sembari kudu berhadapan dengan semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Sebagai remaja yang ngalemin tragedi personal semasa kecil, Nadine membenci semua orang, atau bahkan semua apapun yang berada di sekitarnya. Dia susah bergaul dengan teman-teman di sekolah. Sobatnya cuma Krista seorang. Eh tunggu, Nadine punya satu ‘sahabat’ lagi yaitu gurunya; Mr. Bruner, yang mana sering jadi pelampiasan curhat Nadine. Dan dalam kamus Nadine, curhat berarti mencurahkan segala emosi dan kekesalan, yang biasanya ditanggepin tak-kalah sarkasnya oleh sang guru.

 

Mulai dari jaman John Hughes, sudah banyak film-film yang mengangkat tema kecemasan remaja sehingga ‘Angsty-Teen’ bisa dibilang sudah menjelma sebagai genre tersendiri. Meskipun begitu, The Edge of Seventeen berhasil mempersembahkan VISI YANG TERASA SEGAR. Penulisan kejadian dan reaksi tokoh-tokohnya dibuat senyata mungkin. Sehingga setiap kali hidup berbelok semakin parah buat Nadine, kita tidak melihatnya sebagai usaha memancing sisi dramatis semata. BFF Nadine pacaran sama abangnya, yea that suck. Harry Potter aja galau berhari-hari waktu menyadari dia naksir berat sama Ginny, adik Ron. Dan mendapati diri dalam keadaan teman kita pacaran sama anggota keluarga adalah benar-benar hal yang awkward. Namun, hal tersebut dibuat oleh film sebagai salah satu dari sekian banyak ‘pukulan di perut’ yang diterima oleh Nadine.

Apa-apa yang terjadi kepada Nadine di sepanjang film – yang tak jarang adalah buah perbuatannya sendiri – terasa sebagai kejadian yang datang dari kenyataan. Bisa benar-benar terjadi, karena memang di dunia nyata kita sering mendapati keadaan menjadi buruk begitu saja. Situasi dalam hidup tidak selalu mengenakkan, dan film ini akan mengajak kita melihat situasi terrible tersebut lewat mata nanar seorang cewek remaja yang sudah melewati banyak tragedi. Elemen tersebutlah yang membuat film ini menjadi menarik buatku.

People make mistakes, whoever they are. Teman-teman segeng kita bikin salah. Orangtua kita pernah salah. Kakak pernah salah. Adik pernah salah. Aku apalagi. Makanya ada lebaran. I mean, poinku adalah semua orang pasti pernah bikin salah karena terkadang, in life shit just happens. Jangan biarkan satu kesalahan merusak susu sebelanga. Dan orang-orang tidak serta merta pantes dilabelin brengsek hanya karena pernah membuat kesalahan. Film ini actually menelaah hal tersebut dengan sangat baik dan memberikan kedalaman perspektif yang jauh lebih dewasa dibandingkan yang berani dicapai oleh film-film high school kebanyakan.

 

Aku baru melihat penampilan Heilee Steinfeld dalam tiga kesempatan. Aku suka dia di True Grit (2010). Dalam Pitch Perfect 2 (2015), however, dia enggak begitu lucu malah sedikit membosankan, lagu yang dia apal lagu karangannya doang, nyanyinya Flashlight melulu. Sebagai Nadine di The Edge of Seventeen, Heilee Steinfeld mempersembahkan penampilan terbaik yang pernah aku lihat darinya. Karakternya di sini memang semacam drama queen akut. Dia kasar sama keluarga, sama teman, sama guru; semua orang di sekitar Nadine masuk ke dalam daftar kemarahannya. Di akhir film, kita melihat Nadine berubah menjadi lebih baik, tapi pergerakan arc tokoh ini enggak gede-gede amat. Maksudku, film ini membuat kita begitu peduli dengan dramanya yang terasa nyata sehingga kita tahu kita tidak tahu apa yang terjadi kepada tokoh ini setelah kredit bergulir. Nadine adalah karakter anti-hero wanita yang langka, di mana dia sendiri adalah protagonis sekaligus yang paling dekat dengan yang kita sebut antagonis dalam film ini.

How do you like me now?

 

Dalam menjelaskan kenapa Nadine memilih bersikap demikian, film tidak mengambil jalan yang gampang. Tragedi keluarga yang menimpa Nadine waktu ia kecil bukanlah akar dari permasalahan, karena dalam satu adegan flashback kita melihat Nadine sudah susye untuk di’ajak omong baik-baik’ bahkan jauh sebelum kejadian naas itu terjadi. Seolah film ini ingin menepis tuduhan yang mengatakan karakternya ngeangst karena memang genre filmnya begitu. Ada alasan logis di balik setiap sikap dan tindak Nadine.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya, just… wow. Nadine dengan gampangnya meledak marah dan melontarkan serangkaian kalimat paling menyinggung perasaan yang bisa dia pikirkan kepada orang lain. Dan film ini pun tidak menahan-nahan apapun. Dialognya dibuat sungguh menggigit, karena orang-orang yang dibentak oleh Nadine eventually akan membalas dengan mengatakan hal yang sama pedihnya. Malahan, banyak kata-kata dan ungkapan yang digunakan oleh film ini yang bisa bikin Booker T bilang “Oh, tell me she didn’t just say that!”. Tidak sekalipun film ini berusaha untuk menghaluskan bahasa demi terdengar sopan. Sebab memang seperti yang digambarkan oleh film inilah interaksi antar remaja SMA berlangsung. Mereka bicara dengan kasar dan vulgar. Tapi justru disitulah letak keberanian film ini; TAMPIL APA ADANYA MENYUGUHKAN REALITA. Anak SMA bersikap sewajarnya anak SMA bersikap di dunia nyata.

Namun jika kita menonton film ini, sesungguhnya ceritanya akan terasa sangat bijak. Dengan rating Dewasanya, The Edge of Seventeen lebih ditujukan kepada penonton yang sudah pernah mengalamin masa-masa tujuh belas tahun, sehingga mereka bisa menoleh sebentar ke masa-masa ‘sulit’ hidup mereka dan merayakannya.

Mungkin kita hanya belum cukup dewasa buat angka tujuhbelas ketika menginjaknya. Mungkin kita yang terlalu bersemangat menunggu hari ketika kita pikir kita sudah cukup dewasa sehingga kita lupa untuk bersiap ketika things going rough.

 

BRUTAL AND HONEST. Tapi, ada juga sih bagian yang enggak begitu realistis. Kayak tokoh guru Nadine yang diperankan oleh Woody Harrelson. At one time, Nadine bilang bahwa dia mau bunuh diri dan si Pak Guru malah bilang dirinya juga mau bunuh diri dan sedang nulis pesan kematian. Tokoh Mr. Bruner ini mengatakan banyak hal yang tidak semestinya diucapkan oleh seorang pendidik. Like, kalo didenger ama Kepala Sekolah, pastilah dia sudah dipecat di tempat. Namun begitu, hubungan yang tercipta di antara Nadine dengan bapak gurunya ini adalah salah satu elemen terkuat di dalam narasi. It plays as a contrast for Nadine’s need of a father figure. Percakapan mereka sarat oleh humor-humor bagus dan bermakna.

Pak, tahu enggak,…. you’ve just made the list!

 

Alasan terbesar kenapa cowok males dan gak suka nonton drama remaja, apalagi kalo tokoh utamanya cewek, dan digarap oleh cewek pula, adalah karena sudah hampir pasti enggak bakal ada tokoh-tokoh cowok yang manusiawi. Cowok dalam film-film kayak gini biasanya either digambarkan sebagai antagonis, tanpa kedalaman-karakter, yang eksistensinya ditujukan buat ngasih air mata kepada tokoh utama doang. Ataupun digambarkan cupu dan konyol parah. Salah satu poin yang bikin The Edge of Seventeen yang disutradarai-serta-ditulis oleh cewek bernama Kelly Fremon Craig berbeda dan menyenangkan ditonton oleh cowok adalah tokoh-tokoh prianya juga diberikan kedalaman, dikasih background story, sehingga kita para penonton bisa mengerti mereka. Kakak cowok Nadine ada di sana bukan sebagai bagian dari sibling rivalvy dalam mendapatkan perhatian ibu sahaja. Bahkan cowok yang dikirimin ‘surat cinta’ oleh Nadine tidak pernah benar-benar come off as an asshole, sebab kita juga paham mengapa dia melakukan apa yang ia lakukan.

 

Dengan perspektif yang terasa menyegarkan, film ini toh tak bisa lepas dari segala tropes dan klise penceritaan genrenya. Setelah lewat midpoint, kita segera dapat menyimpulkan ke mana arah cerita film ini berlabuh. Kita bisa menunjuk satu tokoh dan dengan tepat menebak dia bakal ngapain di akhir cerita. Kita dengan mudah menerka siapa jadian dengan siapa. Tapinya lagi, kita bisa merasakan bahwa film ini dikerjakan dengan penuh passion. Karakter dan dialognya menguar kuat. Dan bagian terpentingnya adalah film ini mampu membahas situasi yang amat tidak mengenakkan dengan begitu nyata. Nadine bukan semata remaja galau hanya karena itu adalah cara termudah dalam menulis karakter drama, dia galau karena keadaan dan cara dia memandang keadaan tersebut.

Because of how well-written this is, jika dijejerin, film ini layak gaul bareng Heathers (1988) dan geng Mean Girls (2004) di level teratas kategori film remaja. And after all those insults and horrible situations, pada akhirnya, menonton film ini akan membuat kita berharap kita bisa menghentikan waktu di umur tujuh belas.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE EDGE OF SEVENTEEN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We? We be the judge.

RINGS Review

“By renouncing samsara, we embrace our potential for enlightenment.”

 

ringsph7mkx5mkkfeae_1_l

 

Apa persamaan antara bunyi statis televisi yang mirip-mirip bunyi air dengan dering telepon? Well, jika kalian mendengar dua suara tersebut berurutan, maka besar kemungkinan suara berikutnya yang akan kalian dengar adalah suara gadis kecil yang berbisik lantang, “Tujuh hari.” Hii, bayangin gimana tuh bisik-bisik tapi lantang, eh salah, maksudnya: bayangin tuh gimana jika hidup kalian mendadak tinggal seminggu lagi!

Lingkaran mitologi Ring selalu berputar di antara kaset video, televisi, dan telepon. Samara dengan jahatnya memastikan kutukannya terus direcycle oleh manusia, sehingga kepedihan dan deritanya bisa terus menghantui. Tonton videonya, Samara akan nelpon, dan dalam tujuh hari kita bakal isdet. Bila kalian sudah pernah nonton Ring sebelumnya, maka kalian pasti tahu satu-satunya cara terlepas dari kutukan adalah dengan mengcopy video creepy tersebut dan mempertontonkannya kepada orang lain. Namun jika kalian bertanya “pfft, siapa sih yang masih nonton vhs hare gene” maka joke’s on you. Dunia modern tidak jadi halangan bagi si vintage Samara buat go live. She’s coming and she’s gonna get everybody. Karena sekarang ada cara cepat buat memperbanyak kopian video; masukkan ke komputer, copy file quicktimenya, dan voila! kalian bisa share langsung ke internet!

Jadi, yaah, memang terdengar bego sih, tapi cerita kali ini memasuki teritori yang belum pernah digarap pada dua film Ring sebelumnya. Film ini PUNYA ELEMEN FIKSI-ILMIAH. Ada dosen yang berhasil survive dan mengetahui bagaimana cara kerja video Samara. Jadi dia membentuk semacam cult ‘underground’ gitu di kalangan murid-muridnya. Menggunakan metadata video, profesor biologi tersebut ingin bereksperimen dengan jiwa; gimana keabadian, dan segala macam terus berulang di dalam kehidupan. It’s actually lumayan menarik. Sayangnya fokus utama cerita tidak terletak di tangan si dosen. Tokoh utama cerita adalah pacar dari salah satu murid baru si dosen. Julia (Matilda Anna Ingrid Lutz ini mukanya miripmirip persilangan antara Raisa ama Jessica Alba) dateng ke kampus demi mencari cowoknya yang hilang semenjak percakapan skype mereka terputus dengan abrupt. Ternyata, cowoknya adalah anggota cult eksperimen, dan Julia mengorbankan diri menonton video Samara demi nyawa sang pacar. Kemudian film pun kembali mengeksplorasi cerita investigasi, di mana Julia dan cowoknya berusaha memecahkan misteri Samara yang sempet-sempetnya masukin penggalan video artsy-but-creepy yang baru.

"like-in video insta dan snapchatku dong, Kak"
“like-in video insta dan snapchatku dong, Kak”

 

Yang follow twitter ataupun temenan sama aku di Path, tentunya sudah ngeliat (sukursukur sekalian ngebaca) sejak awal bulan Februari ini aku ngereview tiga film Ring terdahulu. Aku memang lumayan excited nungguin film ini. Ring adalah film yang bertanggungjawab membuat aku parno melongok ke dalam sumur. Sadako, dan/atau Samara, adalah sosok yang sukses jadi pioneer hantu-hantu berambut panjang yang jalannya patah-patah dalam film-film horor yang lain. Tayang Rings kerap diundur, tadinya direncanain keluar Oktober tahun lalu – barengan ama Halloween, eh taunya di Indonesia dijadwalkan November. Dan terus diundur sampe akhirnya mentok di bulan ini. Setelah menonton filmnya, aku jadi sedikit kebayang alasan kenapa mereka gak pede nayangin. Tapi sejujurnya, buatku film ini enggak parah-parah amat. Enggak sejelek The Bye-Bye Man (2017), ataupun Incarnate (2016), ataupun The Disappoinments Room (2016) yang buat ngereviewnya aja aku langsung gak napsu. Kalo mau diurutin, berikut klasemen scoreku buat tiga film Ring:

The Ring (2002) 7/10
Ringu (1998) 6.5/10
The Ring Two (2005) 4/10

 

The Ring (2002) adalah salah satu usaha terbaik Amerika dalam ngadaptasi horor ketimuran. Filmnya berhasil ngecapture tone tragedi dan kesedihan yang menguar dari film orisinalnya. Bukan hanya itu, The Ring punya tokoh utama yang lebih setrong dan mandiri dibandingkan Ringu (1998), while also menambahkan sesuatu kepada visual video kutukan sehingga jadi lebih seram. Ring pertama versi Jepang dan versi Amerika sama-sama bercerita dengan sunyi dan sangat subtle. Berbeda sekali dengan The Ring Two yang terasa lebih sebagai horor yang mainstream, dengan cerita yang muddled dan gak fokus, gak serem malah unintentionally funny. Jadi mari cari tau ada di mana posisi Rings dalam klasemenku.

Beneran, aku sendiri lumayan surprise mendapati Rings enggak seburuk yang udah kuharapkan. Ekspektasi buat horor ini memang rendah; director Hideo Nakato yang nanganin dua film Ring tidak lagi terlibat di sini; tidak ada Naomi Watts yang aktingnya udah nyelametin The Ring Two; tidak juga ada visi Gore Verbinski yang udah bikin The Ring jadi punya aura surreal. Aku masuk ke teater dengan gemetar, siap-siap dibombardir oleh kebegoan. Namun ternyata, film ini CUKUP BERKOMPETEN. Diarahkan dengan lumayan mantep. Ada beberapa sekuens yang diceritakan dengan efektif. Ada seremnyalah. Aku suka shot saat Dosen Profesor menatap hujan di luar jendela. Performances dalam film ini, meski sedikit turun naik, tidak terasa nol besar banget. Tidak ada penampilan akting yang membuat kita nyeletuk “pemainnya menang tampang doang!”. Vincent D’Onofrio adalah yang terbaik dalam film ini dari departemen akting. Tokohnya muncul belakangan, dan sendirinya adalah peran pendukung yang really ‘fun’. Sedangkan tokoh utama kita, seperti yang kubilang tadi, lumayan kompeten. Walaupun terkadang dia masih terasa kayak ngomong buat dirinya sendiri, but maybe it’s just the character.

Masalah terberat dalam nanganin cerita Ring selalu adalah bagaimana mengisi babak keduanya. Bagaimana membuat film tetap menjadi seram dengan omen-omen kayak genangan air dan semacamnya, sekaligus tetap engaging dalam jangka waktu sejak tokoh utama menonton video sampai ke maut datang menjemput. Film pertama menarik kita masuk lewat investigasi yang surreal hingga nyaris psikologis. Film kedua kebingungan jadi mereka melempar elemen nonton video begitu saja keluar jendela. Film ketiga, Rings ini, bermaksud meniru kakak tertuanya, hanya saja film ini tidak punya footing yang kuat pada plot linesnya. Dari soal ngopi file buat selamat dari kutukan saja udah konyol banget. Kita tidak bisa mendapat banyak hal dari film ini. Semua trope karakter dan klise yang kita expected bakal ada dalam film horor dipakek. Adegan opening di pesawat actually salah satu yang terparah, untungnya kita enggak perlu repot-repot mengingatnya. Rings kehilangan aura subtle, sense of tragedy, yang menjadikan film pertamanya – baik versi Jepang maupun Amerika – terasa begitu berbeda dan menyeramkan.

Enggak berani ngelakuin sesuatu yang benar-benar berbeda. Film ini justru malah nekat mengubah mitologi yang udah dibangun. Seolah mereka enggak setuju dengan origin Samara dan nekat nambahin ulang (dengan maksa pula!) hal tentangnya. It kind of messes with previous installments. Video baru dalam film ini jauh dari kesan creepy-penuh-makna, visual cluenya enggak asik kayak video yang pertama. Apa yang dilalui Julia dalam memecahkan misteri pada dasarnya sama dengan yang dialami oleh tokoh Naomi Watts di The Ring. Dia juga ketemu bapak yang ternyata jahat. Dia juga merasa kasihan dengan Samara. Actually, cuma di sifat Samara inilah, Rings akur dengan film-film sebelumnya. Samara digambarkan ‘tertarik’ dengan orang yang bersikap baik, dengan pengorbanan. Bukan kebetulan Samara memilih Julia, it was because Julia pasang badan demi menghentikan kutukan pada pacarnya. Kesannya tuh, Rings ini hanyalah sebuah versi jelek dari The Ring. Ending filmnya sebenarnya cukup menarik dan ada nambah dikitlah buat universe ini, cuma aku enggak yakin apakah yang film ini lakukan di adegan terakhir tersebut bener-bener make sense dengan aturan cerita yang sudah dibangun.

Sakit jangan disayang-sayang. Tampaknya inilah yang ingin dibicarakan oleh Rings. Adalah hal yang perfectly fine buat kita membuang derita. Membuang masalah. Nama Samara yang begitu dekat dengan kata Samsara, melambangkan penderitaan yang tak kunjung berakhir karena life dan death terus kontinyu. Samara menganggap belas kasihan dan rasa pengertian sebagai titik lemah dan menjadi jalan dirinya masuk. Perasaan marah, sedih, galau, all those pains, mungkin lebih baik dikubur dalam-dalam. Karena kalo dibebasin, they will keep coming back to haunt you. Samara ingin derita terus tersebar dengan orang-orang terus menontonnya.

 

Sedikit cerita horor nih; Jadi saking excitednya mau nonton film ini aku sampai membawa mainan kuntilanak ikut serta. Trus di bioskop tadi kan, aku mau motion Kana bareng ama poster dek ‘Ara. Lumayan buat dipajang di sini. Eh tau-tau…. Hapeku…. MendadakMATIsendiri!!! Jeng-jeeengggg!!

Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.
Dan sekarang ngeri sendiri dek ‘Ara manjat keluar dari layar laptop.

 




Film yang sekedar ‘okelah’. Dibuat dengan cukup cakap sebenarnya. Sekuens yang lumayan efektif. Plot lines nya bego tapi bukan bego yang inkompeten. Sayangnya film ini tidak punya nyali untuk melakukan sesuatu yang baru kepada mitologi Ring secara keseluruhan. Hanya kayak usaha buruk dalam nulis ulang. Jump scares, klise, dan karakter trope yang biasa ada di film horor kebanyakan, turut kita jumpai di sini. Ketimbang film-film pertamanya yang bernuansa sedih dan bernature cerita cukup primal dan ‘sadis’, film ini mestinya bisa lebih nendang dengan ngusung science-fiction, but nyatanya malah lebih milih untuk menjadi generic. Menjawab pertanyaan soal klasemen di atas, ya paling enggak, film ini sedikit lebih baik daripada The Ring Two. Kalian bisa nonton film ini dan enggak mati tujuh hari kemudian karena nyesel berat udah nonton film jelek.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for RINGS.

 

 

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.


SHUT IN Review

“Mother love is the fuel that enables a normal human being to do the impossible.”

 

shut_in_ver2

 

Bagi seorang ibu cuma sedikit hal di dunia yang horornya melebihi perasaan ketika melihat anak yang ingin di’selamatkan’ malah berakhir celaka. Apalagi jika si ibu tersebut punya profesi sebagai psikologis anak. Rasa bersalahnya dateng barengan ama rasa gagal, tuh. Sesek numpek di dada pasti ada, dan kita bisa melihat itu semua dari gimana Naomi Watts memainkan perannya sebagai Mary Portman dalam film Shut In.

Anak tiri Mary lumpuh setelah ngalamin kecelakaan mobil enam bulan yang lalu; Kejadian tragis yang juga merenggut nyawa suaminya. Mary sekarang ngerawat anak remajanya tersebut. Dia memandikan Stephen, mengurus keperluan sehari-hari, namun kebutuhan Mary sebagai seorang ibu – terlebih ibu yang merasa bersalah – tidak terlampiaskan karena kondisi anaknya tidak memungkinkan buat mereka untuk kembali bisa menjalin hubungan emosional yang aktif. Jadi Mary mencari koneksi ke pasiennya yang kebanyakan memang masih anak-anak. Mary mau bisa nolong semua anak-anak bermasalah itu. Terutama, dia ingin ‘menolong’ Tom (Jacob Tremblay memerankan bocah tunarungu yang suka berkelahi).
Suatu malam, Tom muncul gitu aja di rumah Mary dan Stephen, untuk kemudian ia hilang dengan sama mendadaknya. Di luar badai salju, dan di dalam rumah, pada malam hari, Mary mulai mendengar suara-suara aneh. Dia sort of ngeliat penampakan. Apparently, Mary enggak benar-benar yakin misteri apa yang sedang terjadi kepadanya.

 

Badai salju yang menderu dari luar rumah menjadi elemen yang mengurung karakter dalam film ini. Mereka tidak bisa keluar dari dalam rumah. Secara estetis, kita juga merasakan perasaan klaustrofobiknya. Kita seperti ikutan berada di dalam rumah mereka, untuk kemudian rumah tersebut terasa mengurung kita lewat beberapa momen sound designnya. I love that contained aspect of this movie. Aku lumayan excited waktu mau nonton. Apalagi psikologikal horor ini dimainkan oleh Naomi Watts yang kerap muncul di film-film horor yang lumayan bagus. In fact, Naomi Watts main di film terfavoritku sepanjang-waktu, Mulholland Drive(2001), so yea I naturally drawn in oleh setiap film yang ia perankan. Arahan yang didapatkan oleh film ini cukup lumayan, meski there’s nothing really much to it. Ada shot-shot yang perfectly capture momen yang bikin kita merasa in-the-moment. Satu adegan yang aku suka pengambilan gambarnya, yaitu aerial shot menjelang akhir di adegan yang involving bayangan dan tangga. That’s a great shot.

Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi
Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi

 

Nyawa film terutama terletak pada screenplay. Kelihatan deh pokoknya sebuah film yang punya skenario buruk dan sutradara berusaha keras buat menjadikannya baik, namun tetep enggak bisa, karena apa sih yang bener-bener bisa dilakuin jika naskahnya sedari awal sudah begitu jelek dan keliatan banget ngarang. Kalo Mary bingung ke mana perginya Tom, maka kita sebagai penonton akan terbengong-bengong berkat BETAPA TERRIBLENYA FILM INI DITULIS. Banyak banget ketidakkonsistensian sehingga sebagian besar waktu film ini was just bad. Dua babak pertama dipenuhi oleh adegan-adegan mimpi, diselingi dengan jump-scares yang sok ngecoh. Dengan cepat film ini akan terasa menyebalkan. Dan bicara soal ngecoh, ini adalah jenis film yang bangga banget punya twist. Film yang tujuan utamanya memang ingin terlihat heboh dengan twist, mereka kayaknya nulis dari twistnya duluan kemudian baru ngembangin ceritanya, yang mana semua elemen dipaksa nyambung banget, sehingga twist yang dihasilkan malah jadi bego alih-alih bikin takjub. Semua yang terjadi di dua-puluh-menit terakhir membuat everything else yang sudah terjadi sebelumnya menjadi total gak masuk-akal.

Jika semua klise dan trope film horor bisa bermanifestasi menjadi manusia, mereka tumbuh tangan dan punya jari jemari, kemudian mereka mutusin buat ngetik, maka “voila!” Jadilah skenario film Shut In.

 

Semua taktik scare yang dilakukan oleh film ini adalah TAKTIK FALSE SCARE. Kita ngeliat penampakan, eh taunya Mary lagi mimpi. Kita ngeliat adegan berdarah, eh taunya Mari sedang ngigo. Kita denger suara-suara aneh, eh taunya ada rakun loncat dari balik kayu diiringi suara musik yang lantang yang bikin Mary dan seisi bioskop jantungan. Kita ngecek kegelapan malam, ngikutin Mary nyebrangi halaman bersalju, eh taunya cowok yang tadi pagi naksir ama Mary muncul dari balik pintu sambil menyapa “Hey, ini gue!!”. Keras-keras. Itulah ‘hal-hal mengerikan’ yang bakal kita hadapi dalam film ini. Efektif sekali, bukan? Yeah, efektif buat bikin kita TERTIDUR!!!!

Shut In enggak mau repot-repot bahas soal psikologis, atau perspektif, atau moral, atau apalah. Detil-detil backstory enggak penting bagi film ini. Kita enggak pernah yakin kenapa malam itu si Tom bisa nongol di rumah Mary. Kita enggak pernah dihint soal latar belakang Mary dan keluarganya. Film ini enggak peduli saat kita mengernyit berusah mengira-ngira kenapa Mary sering banget skype-an ama tokoh Dr. Wilson yang diperankan oleh Oliver Platt. Kita enggak sempat kenalan sama beliau, apakah dia temen lama Mary, atau dia psikologis Mary, or heck film ini enggak mau tau perihal gimana Mary terlihat so bad at her job, both as child psychologist and as a mom, dibuat oleh presentasi ceritanya.

Mari ngobrol sebentar soal adegan dengan skype. Biar kelihatan remaja dan relevan, film-film jaman sekarang memang hobi banget masukin adegan para karakter facetime-an via skype. Adegan skype actually bisa saja bekerja dengan baik, kita udah nyaksiin contohnya pada film The Visit (2015). Adegan ngobrol lewat skype bisa bagus jika (dan hanya jika!) obrolannya bagus. Dialoglah yang memegang kunci. Dalam film ini, sayangnya, penulisannya begitu minimalis.

Mary: “Etau enggak, akhir-akhir ini aku susah tidur, nih”
Wilson: “Yaah, kamu masih trauma dan sering baper sih”
Mary: “Eng-GAaaKK! Beneran, ih, kayaknya ada sesuatu yang lain di sini”
Wilson: “What-the-kamsut?”
Mary: “Kayaknya… di rumahku…. ada hantu!”
Wilson: “Masa orang dewasa terpelajar kayak kita percaya hantu sih?”
Mary: “Tapi aku sering denger-denger suara gitu, pernah ngeliat malah”
Wilson: “Gurl! Please. You’re just being silly”
Mary: “CK! Bye. Brb Sibuk.”

Ya kurang lebih begitulah obrolan mereka. Gitu terus lagi dan lagi, adegan percakapan skype mereka muter-muter di situ melulu. Mengerikan!

This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.
This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.

 

Yang terpenting buat film ini adalah gimana memancing rasa kaget kita, alih-alih takut. Fokus utama nya adalah gimana supaya so-called twist mereka enggak ketahuan.

Padahal despite ‘usaha’ mereka, kita sedari pertengahan udah bisa menebak hanya dengan mengacu kepada apa yang disebut kritikus terkenal Roger Ebert sebagai The Law of Economy of Characters. Atau Hukum Ekonomi Karakter; teori tentang kebiasaan film ini menjelaskan bahwa oleh sebab budget, film tidak akan pernah diisi oleh karakter yang tidak berguna, setidakpenting apapun kelihatannya peran mereka. Apalagi kalo diperankan oleh aktor yang cukup punya nama. Karakter-karakter tersebut sudah pasti akan direveal punya peran yang penting. Jadi, yaaa, kalo kita ngeliat cast yang familiar dengan peran yang minimal, maka niscaya mereka adalah twist yang dirahasiain oleh film.

Coba deh, tonton ini dan tebak apa yang sebenarnya. Wait, actually… Jangan tebak. Tepatnya maksudku, jangan bersusah payah luangkan waktu dan uang buat nonton. Aku beberin aja twistnya di sini:

 


Jadiii, anak tiri si Mary yang lumpuh ternyata enggak lumpuh. Stephen selama ini hanya pura-pura lumpuh. That’s the big twist. Film ini ngasih arti baru buat kalimat “Cinta ibu mampu membuat orang normal ngelakuin hal yang enggak masuk akal.” Stephen sangat ingin perhatian dan kasih sayang ibunya, sehingga ketika Tom datang dan perhatian Mary jadi bergeser ke ngurusin bocah malang tersebut, Stephen jadi iri. Dia bangkit dari kursi rodanya, menangkap Tom, dan menyekapnya di suatu tempat di dalam rumah. Suara-suara yang didengar Mary adalah suara Tom yang berusaha keluar. Penampakan, blurry vision, dan mimpi-mimpi yang dialami oleh Mary adalah ulah Stephen yang diem-diem masukin obat ke dalam minuman ibu tirinya tersebut. That’s it. Seriously, twistnya bikin revealing film The Boy (2016) jadi terlihat enggak parah-parah amat.


 

 

 

 

Apa coba persamaan antara Naomi Watts dengan kita-kita yang nonton film ini?
Sama-sama kejebak!
That’s how I felt during this entire film. Penampilan dan arahan yang acceptable tidak akan berarti banyak jika sumber penyakit ada di skenarionya. Tidak ada bagian yang bagus; babak satu dan duanya plainly bad, dan babak ketiganya sukses menghantarkan ini sebagai salah satu dari film horor terburuk yang pernah aku tonton. Atau psikologikal thriller terburuk. Whatever. This movie is horrible, people!
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SHUT IN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.