AVATAR: THE WAY OF WATER Review

 

“Anywhere you go the problems will go with you”

 

 

Karanglah cerita setinggi langit, lalu daratkan ia dengan permasalahan realita. Itu memang bukan peribahasa, melainkan karanganku saja. Kenapa aku tega niru-niruin pepatah? Karena aku masih dalam pengaruh semangat James Cameron yang bikin film luar biasa mentereng dan jauhnya, tapi dengan permasalahan yang merakyat. Yang kita semua bisa mengerti bisa terjadi kepada kita. Semua film memang harusnya begini. Permasalahan yang kita bisa relate, tapi diceritakan dalam panggung yang seliar-liarnya.  Dua film Avatar adalah bukti James Cameron paham soal ini.  Dia telah menciptakan dunia nun jauh di sana, dengan makhluk-makhluk, ekosistem, aturan-aturan, hingga mumbo jumbo fiksi ilmiah dan spiritual lainnya tanpa menjadikan semua itu ribet. Inti ceritanya tetap membumi. Di  sisi lain, ceritanya boleh saja mirip dengan film lain yang kita ingat, namun karena pembangunan dunianya luar biasa, film tersebut lantas jadi beda. Pada Avatar pertama (aku actually nonton untuk pertama kali pada malam sebelum ke bioskop nonton sekuel ini) Cameron bicara urusan sesimpel menjaga hutan di balik perkara penjajahan dan tembak-menembak. Film kedua kali ini, cerita bahkan lebih dekat lagi. Kali ini urusannya adalah urusan keluarga. Bagaimana menjadi orangtua yang baik terhadap anak-anak.

Dulunya manusia, kini Jake Sully sudah tenteram hidup bersama bangsanya baru. Bangsa Na’vi bertubuh biru yang menghuni pedalaman hutan bulan Pandora. Anak Jake ada tiga, plus satu anak angkat, dan satu lagi anak manusia yang selalu bermain bersama. Keluarga yang besar berarti tanggungjawab yang juga besar. Ini membuat Jake jadi kepala keluarga yang sedikit kaku. Ketika Sky People (alias militer dari Bumi) kembali ke Pandora, kali ini dengan tujuan utama membalas dendam kepada dirinya, Setelah reunian berbahaya dengan former enemy, Jake langsung tahu ia tidak bisa membiarkan keluarga tetap dalam bahaya. Tak ingin melukai siapapun, mantan tentara ini memaksa istri dan anak-anaknya untuk pindah. Kabur sebelum Kolonel Quaritch yang dihidupkan kembali dari klone memory – dan kini juga bertubuh Na’vi – menyerang rumah mereka. Jake mengira dengan pindah, berbaur tinggal dengan klan air di Selatan, keluarganya bisa aman. Tapi tentu saja, kepindahan itu tidak mudah bagi anak-anak dan istri Jake. And also, tindakan Jake bisa berarti sama dengan ia menggiring musuh untuk membahayakan Na’vi-Na’vi air dan makhluk sekitarnya yang tak berdosa.

Jagalah laut dan jangan lupa hormat sama makhluk hidup di sekitarnya

 

Durasi yang sampai tiga jam lebih berusaha dimanfaatkan film ini untuk menggali banyak perspektif. Oh man, film ini punya banyak sekali perspektif. Kita gak hanya ngikutin Jake seorang. Kita juga diperlihatkan mulai dari masalah beberapa anak Jake, hingga ke persoalan personal klone kolonel Quaritch dan anaknya. Perspektif-perspektif tentu saja menambah layer dan bikin kita makin termasuk ke dalam dunia cerita. Karena dengan begini, film semakin nunjukin betapa hidupnya dunia mereka. Karakter-karakter di sana beneran punya sesuatu. Tidak sekadar ‘serang dan bertahan’. Dari putra tengah Jake, si Lo’ak kita melihat cerita anak yang berusaha memenuhi ekspektasi ayah untuk menjadi pejuang yang sama dengan abangnya. Cerita si Tengah yang selalu dibandingkan, padahal dia punya kelebihan lain dan so desperate untuk memperlihatkan siapa dirinya itu kepada orangtua. Lo’ak akan sering memisahkan diri, dia nanti akan punya sahabat-hewan tersendiri – yang sama-sama terkucil dari kelompok. Persahabatan Lo’ak dengan hewan kayak paus berbaju zirah itu actually jadi salah satu relasi yang heartwarming yang dipunya oleh film ini. Sehubungan soal misahin diri, kita juga diperlihatkan cerita Kiri, anak angkat keluarga Jake, yang merasa berbeda dari yang lain. Kiri punya origin dan kekuatan yang sama-sama misterius.

Dan satu lagi yang menarik adalah tentang Spider. Bocah manusia di antara keluarga mereka. Yang actually dipanggil monkey boy, karena dia memang kayak tarzan di sana. Spider sebenarnya adalah anak dari Kolonel – antagonis film pertama yang telah tewas, dan di film ini klonenya hidup kembali dan jadi musuh utama juga. Sehingga si Spider sebagian besar waktu akan berada di state yang bimbang dia sebenarnya harus apa, harus ada di pihak siapa. Koneksi antara Spider yang di lubuk hati pengen punya seorang bapak tapi bapaknya dia tahu adalah orang jahat, ketemu dengan si jahat yang punya reputasi to uphold (juga dendam yang harus dibayar tuntas kepada Jake dan keluarga birunya) sementara di lubuk hati dia pengen nunjukin sayang sama anaknya, sesungguhnya betul-betul menarik. Film ini sebetulnya kayak berada di dalam sebuah tambang emas emosional. Mestinya bisa kaya sekali oleh perasaan, Spider dengan ayahnya ini toh juga paralel dengan Jake dengan anak-anaknya. Bagi para orangtua itu, ini adalah soal “melihat” anak mereka. Ini adalah persoalan yang sama dengan yang dibicarakan oleh Pinokio versi Guillermo del Toro (2022), dan lihat gimana film tersebut mencapai ketinggian emosional  dengan benar-benar menggali relasi emosional tersebut. Level ketinggian emosional yang sayangnya tidak bisa dicapai oleh Avatar 2. Karena Cameron hanya membuka perspektif tapi tidak sedemikian dalam membahas masing-masingnya. Avatar 2 tetap dibiarkan simpel, dan sebagian besar hook emosional berusaha dihadirkan lewat cara lain. Yaitu lewat pengalaman visual.

Memang, kalo bicara soal visualnya, Cameron benar-benar menyuguhkan penampakan yang bikin kita berlinang air mata saking bagusnya. Atau kayak temenku, yang katanya matanya berair karena keberatan makek 3D dan kacamata beneran hahaha.. Intinya, semua dikerahkan Cameron supaya visual film ini maksimal. Shot-shot di bawah air semuanya tampak genuine. Cakep banget. Makhluk-makhluk fantastis itu juga kayak beneran hidup. Ini punya kepentingan khusus pada narasi, karena makhluk-makhluk itu diceritakan bakal berkomunikasi dengan karakter kita. Bahwa mereka adalah bagian dari planet dan masalah yang menimpa (thanks for the human) dalam cara yang lebih grande, lebih spiritualis ketimbang gimana kita melestarikan alam di dunia nyata kita. Makanya bagi film ini adegan-adegan seperti Lo’ak berenang bareng Tulkun (udah kayak menari!), Tuk dan Kiri eksplorasi laut, lebih penting untuk difungsikan sebagai penghantar emosi. Film ini lebih jor-joran menggali Tulkun melawan manusia, lebih menggali arc si manusia yang menganggap remeh mereka, ketimbang karakter lain, misalnya Spider yang malah tampak sengaja gak beneran dibahas dulu untuk hook ke film ketiga. Aku ngakak dan ngecheer melihat si paus armor ngadalin si manusia. Aku juga terhanyut sama pemandangan dan pembangunan dunianya. Tapi gimana pun juga, prioritas utama kita nonton kan cerita. Journey karakter. Ketika film berdurasi panjang, bioskop ber-AC dingin, sehingga bikin kebelet dan harus ngatur strategi kapan ke WC, aku tentu saja memilih untuk ‘break’ saat showcase visual ketimbang harus melewatkan adegan-adegan ngobrol. What I’m trying to say is, kemegahan visual enggak akan berarti banyak kalo ujung-ujungnya cuma jadi bathroom break lantaran adegan itunyalah yang terlalu extend dilakukan oleh film. Jadi, ya, menurutku film ini harusnya bisa mengatur waktu lebih erat lagi, karena ada begitu banyak spot indah dibanding adegan yang actually membahas konflik personal karakter. Like, berenang ama Tulkun aja muncul beberapa kali. Mestinya bisa bercerita dengan memanfaatkan waktu dengan lebih efektif lagi.

Pendapatku masih sama dengan pas nonton film pertama; Nih film kalo dijadiin game SNES pasti seru deh!

 

Film yang pertama, dengan bahasan yang lebih sempit, terasa lebih terarah. Pemanfaatan waktunya terasa pas. Babak set upnya saja sudah bikin aku kagum karena betapa efektifnya film tersebut menyampaikan eksposisi dan informasi. Tidak pernah terasa sumpek dan lambat, melainkan dilakukan dengan cepat dan tepat guna. Kita langsung mengerti rules dan konflik karakter dan segala macamnya. Sehingga ketika film itu masuk ke bagian yang total action, emosi itu semuanya tinggal mengalir dari bendungan build up yang telah tersusun rapi. Film kedua ini, tidak terasa begitu. Babak set upnya boring sekali (dan perlu diingat ini film tiga-jam, sehingga set up di sini berarti sekitar satu jam-an). Avatar 2 praktisnya persis dengan yang dikatakan Kolonel saat pep talk; using the same song. Lagu lama, digunakan untuk membangun masalah. Manusia yang datang untuk menjajah. Kolonel yang mau ngasih hukuman ke Jake, si manusia yang membelot ke pribumi. Cuma masalah lama (aku juga gak bilang aku suka sama pengulangan villain, dengan alasan teknologi klon memori blablabla) dengan cara yang sedikit dibedain. Penjelasannya, ditambah dengan pengenalan singkat keluarga Jake, terasa tumpang tindih. Film ini baru benar-benar menarik dan terasa beda saat Jake sudah pindah ke klan atau suku air. Ketika environment jadi baru. I wish film menemukan cara yang lebih baik lagi untuk menceritakan Jake harus pindah dan sebagainya, karena alasan Jake di sini pun sebenarnya sudah ada pada film pertama. Dia nyuruh pindah dan nyelametin diri, tapi istri dan na’vi hutan lain gak ada yang mau. Jadi basically, arc si Jake gak banyak beda ama film pertama.

Enggak ada orang yang jadi damai dengan kabur dari masalah. Tenangnya cuma sebentar, masalah itu pasti akhirnya akan menyusul. Masalah tidak akan hilang sebelum dihadapi, dan justru akan bisa semakin bertambah besar jika diabaikan. Karena problem sesungguhnya berasal juga dari dalam. Jake yang memutuskan membawa keluarganya lari supaya selamat, pada akhirnya membawa masalahnya itu kepada orang lain. Keselamatan keluarga semakin nyata terancam. 

 

Dan kalo dipikir-pikir lagi, bahkan konflik karakter lain tadi juga mirip kayak yang pernah dialami Jake di film pertama. Spider yang seperti berpindah-pindah, kadang dia mihak ke ayahnya, lalu next time dia ikut sepupu-sepupu angkatnya lagi; ini kayak Jake di film pertama berada pada titik dia bimbang mau menyelesaikan misi militer atau berpihak kepada bangsa Na’vi. Lo’ak yang menyendiri sama kayak Jake yang akhirnya jadi tidak diakui oleh dua pihak, dikucilkan oleh manusia dan juga Na’vi yang merasa dikhianati. Memang, sebenarnya film kedua ini punya beat-beat yang sama dengan film pertama. Hanya pelakunya saja yang dibikin beda-beda. Hanya tempat dan lingkungan saja yang bikin terasa fresh. Kali ini di air, dengan makhluk-makhluk air. Anak-anak Jake yang harus belajar berada di lingkungan itu sama saja kayak Jake di film pertama yang belajar bagaimana hidup bersama bangsa Na’vi di hutan. Di antara soal itu, dengan konflik karakter yang tidak dibahas mendalam either karena pengen tetap simpel ataupun karena disimpan untuk sekuel, film ini jadi kurang menggigit. Yang memuaskan di film ini jadinya cuma bagian aksi di akhir, yang sukurnya memang dibuat jor-joran dan epik.

 




Sebagai hiburan tentu saja film kedua ini punya nilai lebih. Dengan banyak karakter dan personality, cerita jadi lebih hidup. Lebih enak juga untuk ditonton bersama seluruh keluarga (meskipun ada beberapa adegan aksi yang terlalu intens untuk anak kecil). Dari segi cerita film ini ringan, dan sedikit terlalu simpel. Sampai ke titik film ini terasa kayak hanya punya visual sebagai senjata utama. Galian konfliknya kurang, padahal ada banyak perspektif. Cerita juga tidak banyak bergerak, sampai saat karakter sudah pindah ke dunia baru. Lalu baru di satu jam terakhir, di porsi aksilah, film jadi benar-benar hiburan untuk ditonton, karena sudah tidak ada lagi waktu untuk mereka berusaha memasukkan narasi-narasi simpel mengisi durasi. Dibandingkan dengan film pertama, menurutku film ini tidak lebih baik. Waktunya tidak termanfaatkan efektif. Bukannya terasa lama, tapi tidak efekti dari segi muatan cerita. Lebih fun, sih iya, tapi fun yang lebih kurang mengalir.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AVATAR: THE WAY OF WATER

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian tiga jam adalah waktu yang lama untuk sebuah film yang sesimpel ini? Atau justru sebaliknya?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



LIKE & SHARE Review

 

“To look beyond your own pain, to see the pain of others.”

 

 

Anak-anak cowok sih, sudah lama punya film ‘kebangsaan’ yang mewakili rasa penasaran ingin eksplorasi tubuh dan gejolak jiwa. Yang mengangkat pertemanan mereka bersama-sama mengarungi masa muda. Judul film ‘kebangsaan’ para anak cowok itu adalah American Pie (1999). Seru, ketawa-ketawa, filmnya komedi banget. It’s all fun and games ketika anak-anak cowok nonton bokep, pengen punya pacar dan bersaing gaet cewek. Film itu bahkan tetap kocak ketika ada yang kepepet pengen mencari penyaluran lewat makanan. Sebagai yang juga ikut keseruan yang ditampilkan film itu, aku selama ini memang tidak kepikiran di luar yang dialami cowok saat puber dan mulai naksir cewek. Sama sekali tidak terpikirkan olehku sebelumnya bahwa cewek-cewek, mau itu modelan cewek biasa kayak si cewek band-geek, atau model beneran, atau bahkan Stifler’s Mom, pasti juga mengalami gejolak eksplorasi yang sama. Saat nonton Like & Share, film panjang ketiga Gina S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis, inilah baru aku melihatnya. Melihat cewek juga ngalamin rasa penasaran yang sama dengan cowok-cowok. Cewek juga nonton bokep. Tapi berkebalikan dengan film-film remaja cowok kayak American Pie, saat nonton Like & Share aku baru sadar, eksplorasi gejolak muda pada anak cewek ternyata bisa sangat disturbing.

“Gue dan Lisa masih eksplorasi, Bang” kata Sarah, sahabat Lisa, ketika ditanya oleh abangnya perihal kegiatan mereka.  Dua sahabat ini memang sering ditanyain keluarga masing-masing. Lisa sendiri, sering ditegur oleh ibunya. Dilarang bikin video ASMR lagi. Disuruh nyari teman yang lebih baik daripada Sarah yang dianggap bawa pengaruh buruk. Lisa kegep nonton video bokep. Tapi itu memang bukan salah siapa-siapa. Namanya juga dalam fase eksplorasi diri. Lisa penasaran. Akhirnya dia jadi kecanduan. Film Like & Share berangkat dari sini. Dari persahabatan dua remaja yang terancam bubar. Film ini juga membuatku teringat sama satu lagi film anak cowok, Superbad (2007), yang juga tentang dua sahabat yang mau menempuh next step di kehidupan sehingga ada potensi mereka bakal berpisah. Bedanya, ya itu, Lisa dan Sarah terancam pisah oleh kejadian yang berat dan tragis. Ketika yang satu harus dealing with problem kecanduan video bokep, yang satu lagi harus berurusan dengan kekerasan seksual. Ketika Lisa belajar bikin ragi roti yang udah kayak makhluk hidup, Sarah dipaksa ngelakuin kegiatan yang bisa membuatnya bikin makhluk hidup beneran.

Penasaran, cewek kalo nonton bokep, yang ditonton apanya sih?

 

Menyaksikan Lisa (terbaik dari Aurora Ribero sejauh ini!) nonton video bokep diam-diam dari balik selimut, memang membuat pertanyaan itu terbesit di pikiranku. Apa yang ditonton oleh cewek kalo lagi nonton bokep, Toh kita kan sama-sama tau yang begituan, baik itu secara industri ataupun yang homemade (istilah jelatanya, video 3gp), dibuat oleh laki-laki. Dengan gaze laki-laki. Video yang ditonton Lisa juga digambarkan film dalam gaze yang sama. Then it strikes me. Yang bikin Lisa kecanduan ternyata bukan sekadar adegan yang ia tonton. Tapi di situ, film ingin memperlihatkan efek dari sudut pandang. Ketika pandangan perempuan Lisa bertemu video untuk kesenangan cowok, Ya, penasaran terhadap seksualitas itu ada (pikiran Lisa kemana-mana melihat mulut ikan di pasar), tapi kita juga bisa melihat bahwa Lisa tidak menonton video seperti kita yang cowok menontonnya. Lisa tidak melihatnya untuk kesenangan ataupun olok-olok, seperti yang dilakukan oleh Sarah. Lisa looks beyond , dan dia menemukan simpati. Lebih dari itu, Lisa merasakan empati kepada perempuan yang ada di dalam video yang ia saksikan diam-diam tersebut. Lisa menjadi ‘tertarik’ dengan orang itu. Lalu apa yang kemudian dilakukan oleh film ini? Mempertemukan Lisa dengan sang ‘bintang’. Fita (Aulia Sarah gak mau kalah ngasih penampilan terbaik), seorang wanita yang kayak kita temui di tempat perbelanjaan sehari-hari. Wanita yang nanti ngajarin Lisa bikin roti. Hubungan yang tercipta antara Lisa dengan Fita, actually jadi elemen terbaik yang dipunya oleh film ini. Apalagi karena Lisa digambarkan tidak akur dengan ibu kandungnya. Jadi hubungan mereka semacam jadi ibu-anak kedua, tempat curhat yang ultimately jadi saling menguatkan keduanya.

Lewat Lisa dan apa yang terjadi kepada Sarah, film mengajak kita untuk menumbuhkan rasa simpati lalu kemudian berempati.  Supaya kita tidak gampang ngejudge. Bukan sekadar kita merasa kasihan sama korban, it is easy to feel sorry lalu gak ngapa-ngapain. Film ingin lebih dari itu, Ingin supaya kita ikut merasakan apa yang dialami oleh korban. Untuk mengerti situasi mereka. Orang yang kecanduan bokep bukan lantas berarti otaknya cabul. Orang yang jadi korban kekerasan seksual jangan buru-buru dikasih nasihat ini itu, yang seolah menyalahkan. At least, film ingin kita yang berada dalam ruang aman menonton atau mendengar berita atau kasus semacam Lisa dan Sarah, untuk bisa mengambil langkah yang tepat dalam mendampingi mereka.

 

Dari situlah aku jadi tau bahwa film ini benar-benar mengembangkan ceritanya lewat desain dan konteks yang detil. Serta juga penuh rasa respek terhadap karakter dan permasalahan mereka. Ceritanya kaya oleh perspektif perempuan, di dunia yang sepertinya gampang menyalahkan perempuan. Sudut pandang yang kemudian diperimbang dengan sudut dari keluarga, dari laki-laki sebagai kepala keluarga, dan juga dari sudut agama.  Like & Share diframe dengan ratio yang lebih sempit ketimbang film-film pop bioskop lainnya. Demi menguatkan kesan remaja perempuan seperti Lisa dan Sarah memang dipepet oleh frame di sana-sini. Di lingkungan sekolah, di rumah, di tempat publik – Lisa diceritakan ikut bantu-bantu kerja di usaha seafood ayah tirinya – mereka ini punya aturan yang harus dijunjung. Punya ekspektasi yang harus dituruti. Film lantas mengontraskan itu dengan visual. Lisa dan Sarah enjoy membuat video ASMR. Mereka mendirect sendiri yang mereka lakukan. Mereka membuat video dengan makanan dan warna-warna cerah, Shot-shot yang indah dan estetik yang banyak dilakukan film ini pada akhirnya memang membuat film jadi lebih kerasa disturbing. Ceritanya gradually gets darker. Pada babak kedua, kita akan berpindah melihat cerita Sarah (penampilan akting Arawinda Kirana buktiin bahwa award yang diterimanya tahun lalu bukanlah beginner’s luck) yang terlibat relationship dengan pemuda yang sepuluh tahun lebih tua. Di sinilah ketika film mulai membahas soal kekerasan seksual, grooming, tipu-daya laki-laki. Film jadi nyelekit banget untuk ditonton. Dua adegan perkosaan yang ditampilkan oleh film ini dengan begitu intens, hanya akan lebih sakit lagi berkat kehadiran dialog antara Lisa dan Sarah, saat Sarah menolak mengakui dirinya diperkosa. Excruciating banget adegannya, apalagi karena direkam dengan long-take. Soal itu, ya film ini banyak memakai long take, yang bukan saja menantang para aktor untuk ngasih penampilan terbaik, tapi juga semuanya efektif menyampaikan emosi.

Saking intensnya, ku jadi canggung pas wawancara karena serasa nanya ke filmmaker di industry porn beneran

 

Terakhir kali film ini mengingatkanku pada sesuatu, yaitu adalah mengingatkan kepada serial 13 Reasons Why (2017) yang nunjukin adegan bunuh diri dan perkosaan yang problematik. Depictions, penggambaran, kekerasan seksual yang dilakukan Like & Share buatku jadi seproblematik serial tersebut karena sebenarnya tidak harus dilakukan dengan seperti itu. Aku ngerti, lewat adegan itu sebenarnya film ingin memperlihatkan gimana cewek udah nolak tetep dipaksa, gimana cewek bisa termanipulasi dalam sebuah hubungan yang dinamika powernya amat tak seimbang (dalam hal ini cowoknya lebih tua dan selalu pakai kata “kamu kayak anak kecil” buat balik-nyalahin). Film memperlihatkan itu supaya kita benar-benar melihat posisi korban. Namun ini membuat film tampak jadi punya cara penceritaan yang lemah. Orang-orang mungkin ada yang menyebutnya terlalu frontal (bukan saja adegan seksual, tapi juga dialog-dialog lainnya). Tidak lagi estetik. Tapi concernku sebenarnya adalah pada soal kita tidak lagi inline dengan karakter utamanya, yaitu si Lisa. Film berpindah antara Lisa ke Sarah membuat jadi tidak ada pembelajaran kepada Lisa, film jadi hanya ngajarin kita saja. Dan ngajarinnya itu ya agak ‘aneh’. Like, apakah kita memang harus melihat dulu supaya bisa simpati dan empati? Padahal di dunia nyata, kita yang membaca berita di zona aman, dari balik layar komputer masing-masing, tidak akan bisa melihat kejadian yang sebenarnya dari suatu kasus kekerasan seksual yang korbannya butuh pendampingan.

Bukankah justru sebaiknya; Yang harusnya film ini perlihatkan adalah gimana caranya kita bisa seperti Lisa. Gimana supaya bisa demikian percaya, peduli dan memihak kepada Sarah, tanpa harus melihat bagaimana kejadian Sarah diperkosa. Seperti ASMR yang mereka bikin, bukankah seharusnya cukup dengan ‘dengar dan rasakan’. Tidak perlu melihat mereka mengunyah mie, relaksasi bukankah datangnya dari mendengar suaranya? Apalagi untuk kasus kekerasan seksual. Kenapa kita harus melihat dulu baru bisa percaya dan peduli dengan korban. Seharusnya kita tetap dibikin stay dengan Lisa dan disejajarkan dengan posisi Lisa yang berusaha mengerti masalah sahabatnya tersebut.

Tapi film ini membagi dua. Yang membuatnya malah seperti permasalahan Lisa dipinggirkan untuk masalah Sarah. Membuat stake Lisa jadi kalah urgen ketimbang Sarah yang actually jadi korban. Di sini aku merasanya film seperti kebingungan menghimpun pokok-pokok konflik yang dimuat oleh naskah, Babak penyelesaian film ini jadinya terasa sangat keteteran, baik itu dalam tempo dan penceritaan. Banyak yang diburu-burukan. Permasalahan keluarga Lisa jadi tidak maksimal, padahal di awal-awal seperti disiratkan keadaan keluarga Lisa – bagaimana dia ditinggal ayah kandungnya yang “bule tapi kere”, gimana keluarganya seperti ‘diselamatkan’ oleh seorang bapak-bapak muslim. Akar dari karakter-karakter ini, yang di awal seperti ditanam untuk jadi penting di akhir jadi hilang tak terbahas karena film malah jadi sibuk mencari keadilan dan penyelesaian yang dramatik. Tidak terasa lagi sebagai story, bagian terakhir itu. Development Lisa pun jadi hambar karena dengan membuat kita tidak lagi inline dengannya (film membuatnya jadi dramatic irony saat kita melihat yang tidak Lisa lihat, tapi dia tetap peduli kepada Sarah tanpa ada kebimbangan), Lisa yang tadinya anak bermasalah kecanduan bokep, yang pengen ngaji tapi enggak bisa, jadi pihak yang paling baik tapi yang paling sedikit menempuh perubahan ataupun paling sedikit dikenai permasalahan. Soal mereka tak-terpisahkan pun juga kurang terasa, Tidak seperti Superbad yang karakternya akhirnya belajar untuk hidup masing-masing tapi tetap sebagai sahabat, film Like & Share yang ingin nunjukin perempuan saling support, ya akhirnya membuat mereka tetap bersama, dan Lisa terus percaya akan itu sepanjang durasi.

 

 




Eksplorasi diri pada remaja perempuan ternyata bisa jadi sedisturbing ini. Berbeda sekali penggambarannya dengan yang selama ini kita lihat dalam film yang dibuat oleh laki-laki, untuk laki-laki. Film ini punya maksud yang sangat mulia di balik cerita dua sahabat perempuan remajanya. Ingin meningkatkan awareness, ingin menumbuhkan rasa peduli kita. Supaya kita mendengar dan memihak korban, first. Hadir dengan sangat terencana dan hormat kepada karakter-karakternya. Dimainkan dengan usaha maksimal ngasih penampilan terbaik. Penggambarannya yang sangat intens, mungkin bakal membuat film ini susah untuk ditonton oleh sebagian orang. Dan menurutku sebenarnya tidak perlu sampai sedemikian intens. Film terlalu fokus ke sini, dan malah tampak agak sedikit keteteran membungkus semua yang diangkat. Film sepenting ini, menurutku, masih bisa dirapikan, dipercantik sedikit lagi, karena bagaimanapun juga yang diangkatnya adalah masalah yang benar-benar harus mendapat perhatian lebih. Apalagi di masa-masa sekarang ini. Semoga film ini tidak malah jadi di-guilt & shame.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LIKE & SHARE

 

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian, kita memang harus melihat dan mendengar dahulu baru bisa merasakan? Kenapa harus?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



THE MENU Review

 

“…the only thing more pretentious than pretentious art is the people who love it”

 

 

Sebagai jemaat warteg, aku ternyata lupa kalo kuliner alias makanan bisa begitu.. fancy. Mewah. Dalam lingkup yang bukan sekadar estetik untuk dipajang di Instagram, melainkan mewah sedari konsep penyajian, pembuatan, dan cara menikmatinya. Kalo diliat-liat, seperti film ya, ada yang artsy-nya. Malahan saat nonton The Menu karya Mark Mylod, aku sempat kepikiran bahwa mestinya seorang sutradara film haruslah seperti si Chef di film ini. Apapun yang mereka sajikan haruslah punya konsep dan makna yang jelas dan terarah. Jika menu-menu masakan bisa dirangkai menjadi satu pesan storytelling, tentunya film juga bisa – dan harus – dibegitukan. Tapi ternyata bukan soal harus fancy begitu saja yang diingetin oleh film The Menu. Film ini mengulik dengan lebih dalam sehingga pada akhirnya memunculkan pertanyaan ultimate: apakah menjaga kemurnian kultur kuliner (dan mungkin, sinema) memang harus lewat seni yang fancy seperti itu? Tidakkah itu membuatnya pretentious? Apakah tidak cukup dengan sekadar menikmatinya saja? Bagaimana dengan kita, apakah kita benar-benar seorang penikmat seni, atau hanya menikmati ide bahwa ia harus mewah dan ide bagaimana kita adalah termasuk dalam kelompok elit yang mengerti kemewahannya?

Makanan dalam medium film sering dijadikan simbol, kadang dikaitkan sebagai imaji seksual, dan sering juga dimunculkan sebagai ungkapan-visual dalam cerita-cerita horor. Sepertinya itu karena makanan memang yang paling dekat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia. Sesuatu yang kita butuhkan untuk survive, sesuatu yang mengingatkan bahwa manusia punya urge. Dalam The Menu yang dikemas dalam horor bernada dark-comedy, makanan yang ditampilkan adalah suatu kemewahan. Karakter-karakternya adalah orang-orang kelas atas yang klaim mengerti dan merasa berhak mendapatkan kemewahan dalam makanan tersebut. Kritikus makanan, seorang foodie, bintang film, karyawan perusahaan besar, konglomerat: duabelas orang diundang untuk jamuan makan malam oleh resto resort Hawthorne di sebuah pulau. Chef Slowik (Ralph Fiennes dapet banget mainin juru masak yang tampak kaku tapi brilian dan benar-benar perhatian terhadap yang ia lakukan) bukan saja telah mempersiapkan berbagai course menu sebagai sajian untuk malam itu, melainkan juga disertai oleh konsep storytelling mengerikan yang terselubung.  Sajian demi sajian sebenarnya didesain untuk ‘menghukum’ para tamu. Namun kesempurnaan rencana yang dimasak olehnya terancam cacat. Karena di sana duduk Margot (Anya Taylor-Joy dengan mata bulat besarnya seolah menantang masakan dan maksud sang Chef), perempuan yang sebenarnya tak masuk ke dalam daftar undangan. Margot hadir karena menggantikan pacar dari teman yang mengajaknya. The show must go on, Margot dituntut harus menentukan sikap dan pilihan, yang tentu saja baginya berarti hidup atau ikut mati.

Enggak lagi-lagi deh nyuruh Voldemort ngurusin konsumsi

 

Horor ruang sempit The Menu bukan datang dari siapa pelaku sebenarnya. Cerita dengan cepat mengestablish ‘penjahatnya’ dari sikap Chef yang udah kayak pemimpin cult itu.  Intensi dan maksud si Chef di balik makanan-makanan dan aksi teatrikal penyajiannyalah yang dijadikan sebagai umpan horor. Kalo course-nya dibahas satu persatu, makanannya apa, maksudnya apa, maknanya apa bagi karakter yang sedang ‘dihukum’ tentulah akan jadi sangat spoiler. I won’t do that karena bakal sama aja dengan membeberkan semua isi filmnya. The Menu memang ‘rapuh’ seperti demikian, namun kerapuhannya itu hanyalah remahan kecil dari kelemahannya sebagai film. Yang mau aku fokuskan di sini adalah, bahwa sebenarnya The Menu memang berpotensi menjadi film yang sendirinya pretentious, dengan naskah yang disokong oleh karakter utama yang lemah, jika diracik oleh tangan-tangan yang salah. Untungnya, sutradara Mark Mylod beserta dua penulis naskah Seth Reiss dan Will Tracy paham pada kelemahan yang cerita mereka punya. Sehingga mereka work around it. Dan kalo ada satu kata yang harus kugunakan untuk mendeskripsikan taste nonton ini, maka kata itu bukan “maknyoss”, tapi “lincah!”

Gimana tidak lincah. Begini, salah satu flaw dari desain cerita The Menu adalah protagonisnya. Si Margot, yang merupakan outsider. Literally orang luar. Dia tidak berkenaan dengan masalah di dalam cerita. Dia bukan penggemar makanan. Dia tidak diundang di sana. Dia tidak ada sangkut pautnya dengan konflik yang dijadikan motivasi oleh Chef Slowik. Gimana coba membuat seorang outsider ini menjadi tokoh utama yang akhirnya jadi penggerak alur cerita? See, di sinilah kecerdikan naskah. Kelincahan The Menu. Penulis yang cuek ama skenario dan cuma mau ngasih kejutan dan melempar pesan-pesan kemanusiaan gak akan peduli dan akan menghasilkan horor yang sama sekali kosong. Sebaliknya, penulis The Menu berjuang untuk mengukuhkan posisi Margot. Memberikannya alasan untuk ada di sana. Kayaknya aku belum pernah menyaksikan yang seperti ini. The way film menemukan cara supaya kejadian di pulau itu jadi personal bagi Margot. Cara film memberikan pilihan yang harus diputuskan oleh Margot, lewat Chef yang langsung ‘menunjuknya’ Misteri satu lagi yang dipunya film adalah siapa sebenarnya Margot, dan revealing yang dilakukan film terhadap karakter utamanya ini bukan membuat kita semakin jauh darinya, melainkan justru semakin dekat. Margot perlahan menjadi semakin grounded dan relatable. Penulisannya ini kalo mau pakek istilah makanan lagi; bener-bener *chef’s kiss!

Gagasan yang diusung cerita pun lantas masuk lewat sini. Lewat persamaan Margot dengan si Chef. Lewat perbedaan Margot dengan karakter-karakter lain, termasuk dengan Tyler – cowok yang actually mengundang dia ke sana in the first place. Untuk gampangnya, kita ibaratkan saja si Margot dan mereka semua sebagai penonton di sebuah pemutaran film. Namun Margot cuma penonton casual. Dia bukan sinefil, bukan kritikus, bukan seniman. Margot gak peduli sama color grading, ratio, sinematografi, bahkan tema filmnya. Sementara yang lain sok ‘mengerti’ film dengan ber-fafifuwasweswos akan segala hal kecuali cerita film itu sendiri, Margot merasa tidak dapat  menikmati film ini. Cuma Margot yang tidak menikmati hidangan yang disuguhkan Chef, karena ibarat kita yang ke bioskop untuk nonton film, Margot ada di sana untuk memenuhi ajakan temennya makan-makan. Sedangkan si Chef, menyuguhkan sesuatu yang lebih kompleks karena tuntutan kelas atas yang ingin menikmati – bukan actual masakannya, tetapi menikmati mereka ada di sana untuk sesuatu yang spesial. Menonton si kritikus makanan yang tampak lebih enjoy mengkritik dan mencari kata-kata untuk menulis ulasan alih-alih makanan itu sendiri, aku merasa tersentil juga. Apakah aku juga telah jadi seperti itu saat menonton film – asik berkutat nyari ide ulasan saja ketimbang menikmati si film di momen itu. Semoga tidak. Menyaksikan para konglomerat dan kelas jet set di film ini lebih peduli sama gambar yang menampilkan kelakukan mereka di atas roti ketimbang menikmati roti itu, membuatku teringat sama pejabat-pejabat di pemutaran atau festival film yang lebih heboh sama citra dan waktu mereka tampil di kata sambutan daripada peduli sama film yang diputar. Yang paling amit-amit ya jangan sampai kita jadi sinefil yang seperti foodie di film ini. Dalam salah satu course disajikan ke hadapan mereka roti, tapi tanpa roti (cuma piring kosong dan toping), dan si foodie dengan soknya mengatakan itu sajian paling lucu dan paling keren. Cuma Margot yang tampak tersinggung disajikan makanan yang gak ada makanannya.

Itulah, jangan sampai kita, atas nama menjaga kemurnian makanan, sinema, atau apapun, menjadi pretentious seperti karakter-karakter di film ini. Yang telah menodai bisnis kuliner dengan kepentingan untuk memuaskan ego, merasa paling elit, merasa paling jago, paling nyeni sehingga saat dikasih makanan padahal gak ada yang mau dimakan pun, kita senang-senang aja. Film ini menunjukkan bahwa seni ternyata bisa menjadi pretentious karena dinikmati oleh orang-orang yang pretentious.

 

Kalo suka bilang ke orang, kalo gak suka bilang ke saya

 

Jadi sebenarnya The Menu adalah cerita tentang Chef yang merasa mulai kehilangan passion. Dia memasak tapi bukan lagi supaya masakannya dinikmati orang, melainkan untuk mengenyangkan ego para elitis yang sebenarnya tidak cinta sama kuliner. Hal tersebut memakannya dari dalam, sehingga ia memilih untuk melakukan horor yang ia lakukan. Makanya juga, interaksi Chef dengan Margot berkembang menjadi dalam tingkatan sentimentil. Cara Margot keluar dari sana buatku sangat menyentuh. Karena ternyata begitu sederhana, simpel, semua orang bisa. Tapi gak semua orang mau melakukannya. Sebagai orang yang pernah bekerja di bidang melayani orang kayak mereka (aku pernah buka kafe dan served customers myself), aku jadi ngepick up sesuatu yang ekstra. Bahwa film juga bicara tentang gimana kita bisa kurang menghargai para pembuat atau penyedia jasa, seperti chef atau koki. Perkara sepele seperti tak ucapkan terima kasih, minta bumbu esktra, atau lupa nama makanan, ternyata dapat begitu menyinggung bagi pembuatnya. Dan di film ini aku juga baru tau kalo mau motoin makanan aja sebenarnya perlu ijin atau concent pembuat juga. Semuanya itu kembali ke soal respek terhadap sesama dan kepedulian atas orang lain di atas diri sendiri.

 




Dengan motivasi penggerak berasal dari ‘penjahat’, dengan kejadian dan karakter yang diset untuk memenuhi suatu gagasan – sehingga dark comedy digunakan untuk menutup tingkah gak make sense dari karakternya, seperti yang kubilang tadi, film ini berangkat dari resep yang kemungkinan gagalnya lebih gede. Tapi sebagaimana hasil dari sebuah resep tergantung dari tangan yang bikin, film ini ternyata jadinya bagus. Fresh dan ngasih sesuatu untuk dipikirkan tanpa ikutan menjadi pretentious.  Sepanjang durasi kita akan dibuat terus penasaran mengikuti apa yang sebenarnya terjadi, mengikuti course demi course yang janggal dari Chef. Permainan akting pemerannya pun pada takaran yang pas, sehingga karakter mereka yang gak relate-relate amat jadi tidak over annoying dan kita masih merasakan simpati meski borok dan angkuhnya mereka tercuat ke permukaan. Film ini memang seperti dibuat untuk dinikmati sambil tertawa-tawa renyah, tanpa mengurangi nilai estetik dan kandungan ‘gizi’ yang dimuat oleh ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE MENU

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian cara yang tepat untuk menikmati film itu seperti apa sih?

Share pendapat kalian di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SRI ASIH Review

 

“The best fighter is never angry”

 

 

Waktu mewawancarai Sri Asih tempo hari (videonya bisa ditonton di sini), aku bertanya kenapa penting bagi film-film jaman sekarang untuk menampilkan karakter perempuan yang badass. Pevita Pearce dan Jefri Nichol kompak menjawab bahwa karena sudah bosan melihat pria-pria terus yang berantem dan jadi jagoan. Aku setuju dengan jawaban mereka. Perempuan bisa kok jadi jagoan. Setelah sekian lama selalu ditampilkan sebagai ‘dayang-dayang’ yang fungsinya untuk diselamatkan oleh pahlawan cowok, sekarang sudah waktunya untuk menampilkan keberdayaan perempuan. Film, khususnya genre superhero, harus aware karena inilah medium yang tepat untuk menyimbolkan hal tersebut. Like, tahun ini saja Marvel sudah membuat terobosan dengan mulai memperkenalkan ‘versi cewek’ dari  masing-masing karakter superhero laki-laki yang mereka punya. Perempuan mampu membela diri, menghajar orang jahat dan menyelamatkan dunia. Ini haruslah diperlihatkan dalam konten yang lebih daripada sekadar memperlihatkan perempuan bisa lebih jago daripada lelaki.

Dalam soal itulah aku agak kurang setuju dengan bagaimana Sri Asih garapan Upi menampilkan dan mengembangkan sosok karakter superhero perempuannya. Where do I start?

Alana punya origin story yang bisa dibilang paling aneh di antara superhero-superhero lain yang aku tahu, lokal maupun mancanegara. Alana tidak ditempa oleh tragedi. Dia seperti dilahirkan dengan kekuatan karena ibunya actually ngidam melihat gunungapi saat mengandung baby Alana. Seperti ada koneksi antara kekuatan api dengan dirinya semenjak masih bayi. Gunung Merapi seperti tahu kehadiran Alana yang keturunan Sri Asih, sehingga memuntahkan asap panas, Kedua orangtua Alana lantas meninggal dunia dalam peristiwa naas setelah mereka kabur dari letusan gunung. Alana jadi dibesarkan di panti asuhan, dan sejak kecil dia mimpi didatangi oleh Dian Sastro.. eh, Dewi Api! Mengenai kekuatannya, kita tidak diperlihatkan gimana Alana bisa mengendalikan atau dia sendiri tahu persisnya gimana. Karena sejak kecil dia sudah cakap berantem. Dia menghajar tukang bully di panti. Alana kecil lantas diadopsi oleh ibu-ibu yang ternyata adalah agen profesional underground fighter. Kali berikutnya kita melihat Alana, dia udah gede dan jadi fighter yang menghajar lawan-lawan cowok. See, jadi Alana ini adalah tipe karakter chosen one, tapi kita tidak pernah diperlihatkan dia belajar atau berjuang untuk menggunakan kekuatannya. Alana ini kayak Mulan yang versi live-action; yang sudah jago. Dan kesamaan itu otomatis jadi red flag.

Padahal Sri Asih mestinya bawa red selendang hihihi

 

Kenapa red flag, karena kalo sudah jago begitu, maka apa dong yang harus dipelajari oleh si protagonis? Journey apa yang harus ditempuh oleh karakter utama sebagai plot yang bisa kita simak. Mulan live-action adalah bukti kegagalan naskah mengeksplorasi cerita keberdayaan perempuan, dengan membuat karakternya sudah hebat dan gak punya pembelajaran. Beda dengan cerita film animasinya. film versi modern itu hanya seperti memperlihatkan si Mulan lebih jago dari siapapun, terutama laki-laki. Sri Asih sebenarnya masih punya ruang untuk menggali, film ini tidak sepenuhnya ngesok membuat Alana jagoan seperti yang dilakukan film Mulan kepada karakter pahlawan legendanya. Film Sri Asih sebenarnya masih membuka ruang untuk pengembangan dengan membuat Alana harus belajar mengendalikan amarahnya. Diceritakan meskipun Alana adalah keturunan Sri Asih, tapi jika dia membiarkan diri terbakar oleh rasa marah, maka kekuatan pengrusak dari Dewi Api – musuh dari Sri Asih – yang akan menguasainya. Jadi Alana, dengan bantuan teman-temannya, berusaha mengendalikan amarah.

Marah memang sebaiknya tidak ditahan-tahan. Marah jika disalurkan dengan baik, maka juga bisa jadi kekuatan – dan justru menyehatkan. Lihat saja Gohan di Dragon Ball. Kuncinya adalah di penyaluran. Alana harusnya membaca bukunya Lao Tzu. Karena founder Taoisme itu mengajarkan seorang pejuang haruslah tidak mempertontonkan amarah. Karena seorang pejuang bisa menang jika berpikir dengan tenang, membuat keputusan dengan melihat semua dengan jelas. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika hati dan kepala tidak sedang terbakar oleh emosi.

 

Naskah harusnya berkutat di sini. Di pergulatan personal Alana dengan dirinya. Dengan amarahnya. Masalah pada naskah Sri Asih adalah it gets too ambitious. Durasi dua jam jika memang fokus kepada karakter Alana, luar – dalam, bukan soal dia mengalahkan lawan dalam caged fight saja, tentulah akan menghasilkan cerita yang lebih grounded. Cerita superhero yang lebih menginspirasi buat penonton, karena bagaimanapun juga manusia menonton film hakikatnya adalah untuk menyimak perjalanan seseorang dalam usaha menjadi orang yang lebih baik. Wonder Woman pertama (2017), misalnya. No wonder film itu jadi salah satu cerita superhero buku-komik terbaik – superhero wanita pula! sebab mengeksplorasi kenaifan Diana Prince yang menganggap manusia itu innocent. Film itu tahu sisi vulnerable Diana, dan sepanjang durasi dimanfaatkan untuk menggali hal tersebut. Diana ditempatkan di zona perang, dan sebagainya. Bagi Alana, sisi vulnerable itu adalah rage. Rasa marah. Formulanya sebenarnya bisa sama dengan Wonder Woman. Namun, naskah ambisius film ini membuat pembahasan soal itu melompat-lompat. Karena ada banyak lagi hal-hal di luar personal Alana yang hendak dibahas.

Kita bahkan gak pernah yakin si Alana ini jadi gampang marah karena apa. Masa iya karena sering mimpi api? Dari sebelumnya dia menang telak di dalam arena, kita lantas melihat Alana tanding gak stabil karena guncangan amarah. Tau-tau dia jadi disebut punya masalah kontrol emosi saja. Pengembangan soal Alana ini jadi semakin terasa choppy karena naskah tampak lebih tertarik nunjukin elemen cerita yang lebih berbau politik dengan segala kekelamannya. Orang kaya yang memandang rendah orang miskin. Polisi yang tidak memihak rakyat. Dan tentu mereka-mereka adalah cowok yang sebagian besar brengsek. Ada lebih banyak durasi yang digunakan untuk dengan gamblang menyebut cowok lawan cewek, ketimbang durasi yang disediakan untuk Alana confront emosinya. Like, kupikir dia bakal susah menjelma sebagai Sri Asih karena begitu banyak amarah. Tapi ternyata persoalan itu selesai dengan gampang. Alana tinggal menari tradisional dalam sebuah ritual untuk menerima/membangkitkan kekuatan Sri Asih. Enggak tau juga kapan dia belajar tariannya. Persoalan kostum juga sama sekelebatnya. Sudah tersediakan!

“Darimana mereka bisa tahu ukuran gue…?!” cue musik DHUAR DHUAR!!!

 

Sama halnya dengan Gundala (2019), film pertama dari Bumi Langit Universe, naskah Sri Asih dengan cepat membesar dari yang tadinya serius dalam ranah personal, menjadi seperti serius tapi semakin mendekati konyol. Serum amoral kini digantikan posisinya oleh tumbal mistis 1000 jiwa, dengan rakyat penghuni rusun miskin jadi calon korbannya. Buatku lucu sekali si tumbal mistis ini begitu spesifik sehingga kentara banget maksanya. Seribu jiwa harus dibunuh bersamaan. Like, emangnya siapa yang ngitung. Kalo kurang atau lebih satu, apakah si penjahat harus ngulang lagi ngumpulin seribu jiwa yang lain. Dan itu keadaannya jelas kurang satu, karena Tangguh – teman dari masa kecil Alana – sebagai salah satu penghuni rusun sudah tidak ikut terjebak karena ada di markas bareng Alana. Motif penjahat serta karakter jahatnya sendiri juga jadi tidak terestablish dengan baik, saking banyaknya yang mau diceritakan. Berpindah dari yang tadinya cowok kaya yang asshole abis ke sosok mistis dari mitologi ke seorang yang diniatkan sebagai revealing yang mengejutkan. Alias twist. Dan twist ini, sodara-sodara, justru bikin satu-satunya perspektif menarik yang digali oleh cerita, jadi kayak terbuang gitu aja. Karena tidak lagi berarti, toh ternyata si karakternya beneran jahat!

So yea, Sri Asih adalah tipikal film yang menganggap dirinya sangat serius sehingga semua dialognya jadi intense. Karakter yang ngucapinnya juga, kayak orang paling misterius dan serius-you-don’t-wanna-mess-with-me semua. Kalo butuh sedikit mencairkan suasana, film akan membuat Alana dan Tangguh ‘berubah’ jadi karakter dengan dialog ala Marvel sebentar. Tapi sebagian besar waktu, film ini punya dialog-dialog superintens, yang bahkan lebih intens daripada sekuen berantem superheronya.  Kalo mau diurutin bagian intensnya, nomor satu adalah dialog-dialog, kedua adalah berantem martial arts di arena fight, dan ketiga berantem superhero. Yang aku suka adalah berantem martial arts ala UFC yang grounded.  Tapi itu juga mungkin karena pengaruh Pevitanya, karena kita tahu dia menjalani ‘transformasi’ untuk peran ini – peran yang bisa dibilang di luar kebiasaannya, jadi kinda like melihat Pevita yang berantem. Kita jadi ada ketegangan ekstra, karena ada sedikit believe ni si Pevita yang jadi Alana bisa kalah. Camera worknya juga dibuat dramatis di adegan berantem yang ini. Beda dengan ketika sudah jadi full superhero. Karena sudah jagoan banget, kita udah ngerasa kayak mustahil Sri Asih kalah melawan gerombolan penjahat cecunguk yang senjatanya cuma pistol. Shot-shotnya pun sudah mulai pakai efek komputer kayak Sri Asih atau musuhnya beterbangan. Kesannya tidak sereal dan grounded lagi. Sehingga ya jadi kurang seru, gak peduli semirip apapun genjreng-genjreng musiknya dengan tema Wonder Woman.

 




Si Sri Asih memang ‘badass’. Aku setuju kita juga gak boleh ketinggalan menampilkan cerita dengan superhero perempuan, yang punya daya, bisa menyelamatkan dunia, dan bisa mengalahkan kelemahannya sendiri. Sosok Alana juga berhasil dihjdupkan dengan cukup ikonik oleh Pevita – yang aku yakin ke depan akan terus dipanggil orang sebagai Sri Asih berkat perannya di sini. Hanya saja, sebagai cerita, film ini sesuatu yang masih berantakan. Alurnya jadi lebih peduli sama hal yang lebih ambisius, alih-alih journey personal karakter perempuannya. Plot si protagonis jadi kayak lompat-lompat perkembangannya. It was just ‘bad’. Karakternya jadi kayak sudah jago aja. Dia kayak benar sedari awal. Makanya filmnya jadi kayak soal cewek bisa lebih jago daripada cowok saja.  Namun sukurnya, film ini masih menyisakan ruang untuk Alana sedikit belajar (meskipun tidak digarap maksimal oleh naskah) sehingga, yah lumayan lah,  tidak sampai segagal Mulan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRI ASIH

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian siapa yang menang duel antara Sri Asih lawan Wonder Woman?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



INANG Review

 

“A lot of times, we are trapped by our own false sense of security.”

 

 

Rilis di tanggal 13, angka dianggap banyak orang sebagai angka sial, Inang sendiri memang bicara seputar mitos malapetaka atau kesialan. Ada sebuah hari yang menurut penanggalan Jawa disebut sebagai Rebo Wekasan. Beberapa orang percaya di hari Rabu terakhir bulan Safar tersebut, diturunkan berbagai bala alias hal-hal negatif. Sampai-sampai, bayi yang terlahir pada hari atau tanggal tersebut harus diruwat, supaya terhindar dari nasib naas. Perihal anak yang lahir Rebo Wekasan tersebut dikemas oleh Fajar Nugros menjadi cerita pengalaman horor seorang perempuan yang hendak melahirkan. Sementara horor itu sendiri, bagaikan anak pertama bagi karir penyutradaraan Fajar Nugros, sehingga kita bisa merasakan sesuatu yang spesial coba untuk disajikan. Karena scare dalam Inang tidak sebatas hantu-hantuan, melainkan scare yang lumayan kaya. Kengerian Inang menguar dari gambar-gambar dan perasaan, yang seringkali mengontraskan antara kenyamanan dengan sesuatu yang lebih mengancam di baliknya.

Inang yang tayang perdana di Bucheon International Fantastic Film Festival, Juli lalu, memang bercerita terbaik saat membahas persoalan Wulan. Sang perempuan yang di ambang melahirkan bayi seorang diri (karena lakiknya ogah tanggungjawab). Masalahnya, Wulan bukan orang dengan ekonomi yang stabil. Dia cuma kasir supermarket. Jadi Wulan benar-benar mencemaskan nasib bayinya. Alih-alih aborsi, sebagai langkah terakhir, Wulan ikut program ibu asuh yang dia temukan di facebook. Di situlah Wulan dipertemukan dengan pasangan suami istri tua yang manis dan perhatian banget, yang bukan saja bersedia mengadopsi bayi tapi juga merawat dan membantu proses Wulan melahirkan di rumah mereka yang sangat berkecukupan. Wulan boleh saja merasa aman (dan sangat nyaman), tapi mendadak dia mulai dihantui mimpi buruk di rumah tersebut. Ada sesuatu yang aneh pada pasangan suami istri itu. Sesuatu di balik ritual-ritual yang harus ia jalani atas saran mereka, membuat Wulan tak lagi merasa bisa mempercayakan keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya kepada mereka.
Si Ladybug Bullet Train lahirnya di Rabu Wekasan juga deh pasti!

 

Meskipun gak spesifik menyebut diri sebagai sutradara komedi, toh Fajar Nugros memang punya kecenderungan mengolah drama berbau komedi. Dari Yowis Ben hingga Srimulat (2022) ia cukup piawai bermain di nada komedi. Dan di film Inang ini kita bisa merasakan insting komedi cukup berhasil juga menghantarkannya mengolah drama horor, hampir seperti keberhasilan horor filmmaker di luar yang berangkat dari komedi. Dalam Inang, Nugros keliatan punya ketajaman komentar sosial serupa yang dilakukan komedian Jordan Peele waktu bikin thriller horor Get Out (2017). Nugros juga mengisi layarnya dengan celetukan, gagasan, pandangan terhadap keadaan sosial. Terutama, soal perempuan kelas pekerja. Gimana perempuan-perempuan seperti Wulan harus melakukan sesuatu yang ‘ekstra’ untuk mencari nafkah. Memang komentar-komentar yang diselipkan tersebut lebih baik tidak banyak dibeberkan, lebih baik dibiarkan untuk penonton menemukan sendiri, tapi jelas, Nugros benar-benar bersenang-senang dengan gambar-gambar dan situasi yang ia masukkan. Image-image dalam film ini kayak punya sesuatu celetuk di baliknya. Cover buku yang menyebut ibu dan negara, misalnya. Atau bahkan ada selipan promo buat projek film Nugros berikutnya. Selain itu tentu saja film ini juga punya gambar-gambar horor, yang juga sama-sama ‘fun’. Nugros juga perlihatkan kedalamannya membuat adegan beratmosfer. Satu kali, dia menyelingi adegan Wulan masuk ke rumah ibu asuh dengan shot seekor tikus masuk ke perangkap. Memberikan kita perasaan tak-nyaman yang sedari awal langsung menghantui bahwa Wulan juga sama seperti si tikus. Sedang masuk dalam perangkap. Bagi film ini enggak masalah kalo kita tahu atau bisa nebak duluan bahwa suami istri itu gak bener, karena perasaan uneasy kita terhadap Wulan-lah yang diniatkan. Sehingga dramatic irony muncul, dan kita jadi semakin peduli kepada apa yang terjadi kepada si tokoh utama.

Perihal casting juga sama funnya. Kita telah melihat gimana Fajar Nugros menyusun personil Srimulat sehingga benar-benar terasa menyerupai ruh aslinya. Dalam Inang ini, well, Nugros tampak mengcast pemain dengan ‘kejutan-kejutan’ yang bermain dengan ekspektasi dan pengetahuan penonton akan si aktor itu sendiri. Naysila Mirdad, yang dikenal penonton sebagai salah satu spesialis pemeran perempuan lembut teraniaya, diberikan tweak pada karakter yang ia perankan di sini. Wulan yang ia perankan juga basically perempuan ‘teraniaya’; kekurangan duit, coba dimanfaatkan oleh lelaki, hingga dijebak ke situasi mengerikan oleh orang yang tampaknya baik. Belum lagi, nyaris seluruh durasi dihabiskannya dengan begitu vulnerable sebagai orang hamil. Tapi Wulan bukan karakter lembut. Foul mouth, malah. Ini, aku bisa lihat, jadi semacam kejutan kecil yang menyenangkan bagi penonton karena diperlihatkan sisi lain dari tipe karakter yang biasa. Naysila sendiri juga tampak have fun bermain sebagai Wulan ini. Dia menjaga aktingnya tetap natural, sehingga walaupun di luar kebiasaan, penonton tidak merasa aneh melihat ‘karakter barunya’. Also, Nugros mengcast ibu asli Naysila, Lidya Kandou sebagai ibu asuh yang tampak baik tapi punya maksud gelap terselubung. Yang juga memberikan lapisan ‘familiar’ tersendiri terhadap kesan kita saat menonton. Nah kesan itu paralel dengan tema di dalam cerita, bahwa film ini – seperti rumah asuh bagi Wulan – menyambut kita hangat. Meninabobokkan kita dalam sense of familiarity, seperti Wulan yang merasa nyaman terlena dalam sesuatu yang menurutnya aman, kemudian baru-lah horor dan kengerian yang perlahan tapi pasti menerjang.

Dunia yang kita hidupi memang keras, makanya gampang bagi kita untuk terjebak sendiri ke dalam rasa aman dan nyaman. Bahkan ritual yang dilakukan itu sendiri juga adalah bentuk dari false security dari orangtua yang takut anaknya ketiban sial. Tapi terutama, film ini kayak ngasih lihat kontras antara rude atau kasarnya lapisan bawah ternyata jauh lebih baik karena setidaknya orang-orang di jalanan, yang vulgar dan tampak barbar, mereka lebih ‘jujur’ Tampil ada adanya. Ketimbang lapisan atas, higher power, yang seperti menawarkan hal yang lebih baik tapi punya maksud yang lebih buruk di balik segala kemanisan tersebut. 

 

Tema narasi tentang perempuan hamil yang berurusan dengan pasangan tua yang tampak terlalu ‘ramah’ ke jabang bayinya memang lantas mengingatkan kita kepada salah satu horor masterpiecenya Roman Polanski, Rosemary’s Baby (1968). Yang sayangnya bagi Inang. standar itu berarti cukup tinggi. Perbandingan dengan Rosemary’s Baby jadi mengungkap banyak kelemahan pada naskah film Inang, yang ditulis oleh Deo Mahameru. Terutama dari segi eksplorasi. Rosemary’s Baby yang tentang perempuan hamil mendapat perlakuan manis dari tetangganya, yang ternyata mengincar bayi dalam kandungan untuk cult pemuja setan, benar-benar menyelam ke dalam psikologis karakter utamanya. Si Rosemary dibikin bingung dan curiga kepada gelagat baik tetangganya, ada peristiwa yang ganjil yang terjadi berhubungan dengan mereka, ada yang aneh di balik sikap mereka, dan konflik digali film tersebut dari kecurigaan Rosemary ditantang oleh orang-orang sekitar yang justru menyalahkan dirinya yang dianggap tak stabil secara mental. Sampai ke titik dia sendiri percaya dia yang senewen. Film Inang, gak punya semua itu. Karena sedari awal, kita sudah dikasih momen dramatis Wulan masuk ke rumah orang jahat, misteri yang ada hanya soal apa yang sebenarnya terjadi. Dan film gak benar-benar melakukan banyak terhadap bagaimana misteri di sana akhirnya terungkap.

Nugrosemary’s Baby

 

Adegan mimpi banyak digunakan untuk memantik suasana horor. Dan kita semua tahu, adegan mimpi dalam horor atau thriller merupakan aspek yang tricky untuk dilakukan. Mimpi jadi bagus saat digunakan untuk menggambarkan psikologis yang mendera karakter. Horornya bisa jadi sangat sureal dan benar-benar disturbing. Film Inang, seperti yang telah kusebut, punya imageries yang kualitas top. Ada makhluk creepy juga yang sempat muncul dalam mimpi Wulan. Selama memang digunakan untuk memvisualkan ketaknyamanan atau kecurigaan Wulan yang kian membesar, adegan mimpi film ini bekerja dengan efektif. Hanya saja, selain itu, film juga membuat adegan mimpi yang memperlihatkan Wulan ketemu sama korban-korban ritual sebelum dirinya. Dan karena ini tidak disebut alasannya kenapa bisa Wulan melihat mereka, atau tidak pernah ditekankan bahwa memang ada hantu yang semacam minta tolong, maka adegan-adegan mimpi yang melibatkan hantu korban itu jadi hanya berupa cara gampang film meletakkan eksposisi saja. Ini tidak lagi jadi menambah buat film, karena malah meminimalkan ‘kerjaan’ Wulan. Dia hanya disuapi info lewat mimpi, dan kemudian lebih lanjut lagi film mengkerdilkan peran perempuan yang set up dan perjuangannya sudah bagus itu menjadi seorang dalam situasi damsel in distress semata.

Selewat paruh pertama, film memperkenalkan karakter anak dari pasangan suami istri asuh tersebut, yang diperankan Dimas Anggara, yang praktisnya menjadi hero dalam cerita.  Si Bergas ini bakal menyelematkan Wulan, cerita juga berubah menjadi tentang dirinya yang berkonfrontasi dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya selama ini, dia juga harus berdamai dengan siapa dirinya. Wulan, dengan segala permasalahan perempuannya, jadi tersingkirkan. Jadi hanya sebagai orang untuk diselamatkan. Dan baru di ending, Wulan dikasih transformasi yang bertujuan untuk mengembalikan kembali posisinya sebagai karakter utama.

Bukannya mau bilang aku bisa bikin cerita yang lebih bagus (because I can’t), dan terutama reviewer gak boleh bandingan satu film dengan cerita yang gak exist. Tapi aku hanya ingin pointed out bahwa yang dipilih oleh film Inang, membuat karakter utamanya kehilangan power. Gak ngapa-ngapain yang membuatnya ‘deserved’ the transformation. Film memilih untuk mereduce karakter utama perempuan menjadi ‘korban yang harus diselamatkan’ oleh karakter lain yang dibuat lebih pantas dan lebih berkonflik langsung dengan ritual dan mitos Rabu Wekasan. Aku hanya ingin menyebut bahwa narasi Inang gak mesti mentok seperti ini. Masih banyak pilihan yang bisa diambil untuk mengembangkan ini, untuk membuat karakter utamanya lebih deserved all that. Misalnya, mungkin dengan membuat bayi yang Wulan lahirkan pas ritual actually bayi terkutuk, like devil-kid. Sehingga di akhir, rumah itu jadi chaos karena malapetaka yang dibawa, Wulan keluar dengan menderita, terluka juga oleh anaknya, dan dari perlawanan dia mempertahankan bayinya dari semua orang di sana. Yang jelas, Wulan membawa si anak yang she comes to love sehingga transformasi di akhir dia menjadi ibu pembunuh demi anaknya, jadi lebih dramatis, dan lebih well-earned. Masih ada cara untuk membuat Wulan gak ketinggalan action, dan tetap kuat sebagai tokoh utama. Plus mimpi-mimpi Wulan jadi ada musababnya dengan jika si anak dibuat ternyata berkekuatan gaib.

 

 




Cerita tentang perempuan yang mengusahakan kelahiran bayinya, di tengah kesulitan duniawi yang menghimpit, sehingga akhirnya terjebak ke dalam bujuk rayu ritual sesat sesungguhnya adalah materi horor thriller yang demikian dramatis. Film ini punya bahan-bahan yang tepat untuk menjadi drama mengerikan yang membuahkan banyak gagasan lewat komentar-komentar sosial. Bagusnya lagi, film ini bijak untuk tidak menjadi wahana rumah hantu, melainkan benar-benar menguatkan di atmosfer dan pada perasaan uneasy dan kelam sebagai faktor ketakutan nomor satu.  Sialnya, cerita ini tidak dibesarkan dengan benar-benar fokus di situ. Film berpindah ke masalah karakter lain, dan actually mengesampingkan permasalahan karakter utama. Hingga ke titik dia tidak benar-benar melakukan apapun, selain diselamatkan. Dan ceritanya dibuat melingkar begitu saja sebagai shock di akhir semata. Itu yang membuatku jadi tidak benar-benar bisa menyukai drama horor ini. Formulanya padahal sudah benar, protagonis yang melewati ketakutan sedemikian parah, babak belur fisik dan mental, sehingga ‘bertransformasi’ oleh horor yang ia lalui. Tapi film ini shift ke karakter lain, dan karakter utamanya skip gitu aja langsung ke ‘transformasi’. Ada denyut yang hilang di nada horor film ini.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INANG

 




That’s all we have for now.

Apakah kalian percaya sama yang namanya hari sial? Bagaimana pandangan kalian soal kesialan itu sendiri?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



JAILANGKUNG: SANDEKALA Review

 

“Family means no one gets left behind”

 

 

Skor sejauh ini untuk franchise Jailangkung modern adalah 0-2. As in, dari dua film pertamanya (Jailangkung tahun 2017 dan Jailangkung 2 tahun 2018) belum ada satupun yang memenuhi standar ‘bagus’. Sekadar menghibur pun tidak. Bukan salah temanya. Tema berkomunikasi dengan arwah (lewat perantara boneka, ataupun medium lain) sesungguhnya memang beresonansi dan punya daya tarik tersendiri bagi kita manusia yang bakal hampir selalu berurusan dengan kehilangan. Sehingga masih banyak sudut untuk digali. Buktinya, di luar juga ada ‘permainan memanggil arwah’ yang seperti jailangkung, dan sering juga dijadikan film.  Franchise Jailangkung ini sendiri toh memang berusaha menggali dengan memasukkan mitos lokal lain sebagai balut dari kisah kehilangan dalam keluarga. Sebelum ini ada Mati Anak, legenda kapal SS Ourang Medan, dan kini mereka mengangkat Sandekala. Pamali anak kecil bermain di kala senja. Dan Kimo Stamboel – yang sebelum ini cukup mengangkat sedikit ‘derajat’ franchise Danur lewat spin off Ivanna – kali ini seperti diemban misi yang sama. Visi dan gayanya diharapkan bisa menyelamatkan franchise horor yang nyaris kandas, tapi belum mau mati ini.

Tantangan is up there bagi Kimo, karena Jailangkung: Sandekala memilih untuk tetap grounded dengan cerita keluarga. If I’m not wrong, film ini adalah kali pertama Kimo bermain horor di lingkup 13+ alih-alih 17+ yang biasa ia garap. So yea,  di film ini Kimo akan  punya lebih sedikit darah dan kebrutalan (meski tidak hilang sama sekali), dan harus lebih fokus mengangkat cerita dan drama dari situasi horor yang merundungi keluarga Sandra sebagai sentral narasi.

Kita bertemu keluarga Sandra saat mereka sedang family trip ke danau. Tapi ini bukan acara jalan-jalan liburan yang happy-happy. Melainkan dalam rangka meluruskan hal-hal kusut dalam keluarga mereka. Dari dialog-dialog, kita mendapat informasi bahwa Sandra yang tengah hamil, lagi ‘dimusuhi’ sama putri sulungnya, Niki. Film actually cukup decent dalam menampilkan potret keluarga ini layaknya keluarga beneran dengan segala masalah-masalah kecilnya, walaupun masih standar trope keluarga dalam film horor. Anak remaja yang mulai renggang dengan orangtua.  Adek yang overly curious sehingga bikin kakaknya lebih jengkel lagi. Ayah yang berusaha jadi penengah. Ibu yang semakin stres karena tidak mengerti tingkah anaknya. Ketakutan Sandra  akan kehilangan anaknya jadi terwujud dalam bentuk yang lebih mengerikan. Si putra bungsu, Kinan, yang mengeksplorasi hutan sekitar danau sore itu tiba-tiba menghilang. Polisi segera diberitahu, pencarian dilakukan tapi nihil. Daerah tersebut memang dikenal dengan kasus anak-hilang sehingga sekarang penyelidikian di luar yang dilakukan pihak berwenang harus dilakukan. Niki dan keluarganya dengan segera tahu mereka bukan berurusan dengan penculik dari kalangan manusia.

So glad mereka menyingkirkan mantra “Datang gendong, pulang bopong” dan kembali ke mantra Jailangkung yang biasa.

 

Detil kecil yang membuatku meluluskan interaksi mereka sebagai masalah keluarga yang felt real adalah Niki menunjukkan rasa marah dengan memanggil ibunya dengan nama. Like, in real life, aku pernah beberapa kali mendengar langsung anak-anak cewek yang sedang marah kepada ibu mereka, mengekspresikan emosi tersebut dengan tidak lagi memanggil ‘ibu’ melainkan langsung nyebut nama. Also, belum banyak film indonesia yang menampilkan ‘pertengkaran’ ibu dan anak lewat cara relate seperti ini. I’m not sure, but it might be the first. Sungguh terasa baru, dan tanpa tahu masalahnya pun kita bisa lantas mengerti ada ketegangan serius antara Niki dan Sandra.  Masalah Kinan, si bungsu, yang hilang diculik hantu di hutan seharusnya benar-benar bisa jadi cara ibu dan anak cewek ini meresolve masalah mereka. Mendekatkan apa yang renggang melalui kesulitan dan kengerian yang dilalui bersama. Tapi sayangnya tidak lanjut mengeksplor soal tersebut. Persoalan memanggil nama saja, misalnya, tidak ada tahapan resolvenya. Setelah sempat saling menyalahkan waktu malam Kinan menghilang, Sandra dan Niki jadi otomatis baikan. Niki sudah memanggil ibu kepada Sandra di hari esoknya. Film yang jeli melihat drama dan konflik karakter, pasti tidak akan segampang itu membuat Niki mau memanggil ibu lagi. Bahkan jika mereka di depan orang asing, dialog Niki akan dibuat tidak akan menyebut ibu dulu. Memanggil Sandra dengan ibu akan dijadikan titik balik penyadaran karakter yang dramatis, yang harusnya disimpan untuk momen akhir, dalam sebuah cerita yang dramatis.  Buatku, film bukan saja melewatkan kesempatan, melainkan benar-benar lupa total ada bahasan yang harus diselesaikan di antara karakter. Bahasan ibu dan anak cewek inilah yang padahal jadi ruh sebenarnya cerita.

Yang namanya orangtua pasti takut kehilangan anaknya, by any means. Film ini sebenarnya cukup kuat menekankan persoalan tersebut, dengan membuat kisah kehilangan menjadi horor, secara paralel dialami baik oleh protagonis maupun antagonisnya. Kontras dimainkan dengan membuat Niki, si anak yang mulai menjauhi keluarganya, lebih pantas menjadi sudut pandang utama. Kehilangan adik, dan resiko kehilangan seluruh keluarga oleh bahaya pada akhirnya jadi pelajaran utama yang tersampaikan kepada penonton. Bahwa apapun yang dirasakan sesaat, gak ada orang yang mau kehilangan keluarganya.

 

Usaha untuk menjadikan ini sebagai cerita yang lebih grounded sebenarnya terasa. Gak jauh-jauh, kita bisa bandingkan racikan horor Kimo di film ini dengan di Ivanna yang tayang berdekatan. Sandekala, meski eksplorasinya masih kurang, tapi fokusnya memang lebih kuat sebagai drama keluarga yang harus berurusan dengan kehilangan anak. Misteri hantunya juga ada,  dengan sekuen-sekuen penyelidikan sederhana dan segala macam, tapi di film ini kita bisa lihat misteri itu dihadirkan bareng untuk memuat mitologi sandekala dan jailangkung, serta untuk mendorong para karakter untuk semakin diteror kehilangan. Bukan hanya misteri yang diungkap lewat eksposisi, yang karakternya gak banyak ngapa-ngapain selain jerit-jeritan. Karakter dalam Jailangkung: Sandekala melewati perjalanan atau range emosi yang lebih kentara. Syifa Hadju sebagai Niki menempuh hal-hal yang memang biasa dialami oleh protagonis dalam horor yang decent. Walaupun skala yang dilakukan masih kecil alias sederhana, tapi tahapan protagonis dan perkembangan karakternya ada.  Sandra yang diperankan Titi Kamal didesain lebih sederhana lagi, tapi at least kevulnerable-an seorang ibu dari karakter ini dipush terus. Yang gak maksimal buatku pada Sandra adalah bahwa karakter ini diberikan ‘handicap’ yaitu dibuat hamil, tidak benar-benar menambah banyak untuk cerita. Hanya untuk membuatnya semakin vulnerable saja. Gak banyak dimainkan ke dalam perkembangan cerita ataupun obstacle horor yang harus ditempuhnya. Mungkin juga itu karena Kimo harus menahan diri di elemen horor. Like, cerita 13+ certainly gak bakal boleh ngasih lihat something gory/gross dengan kehamilan atau semacamnya. But he did ngasih Titi Kamal sekuen yang bikin penonton di sebelahku melonjak-lonjak histeris di kursinya.

Jika biasanya Kimo suka bermain horor di lingkungan tertutup, tapi brutal sebebasnya, maka film ini kayak kebalikannya. Kebrutalan dia batasi tidak terlalu gamblang dan emosional pada adegan mati yang sadis, tapi environment horornya sekarang luas. Satu wilayah; hutan, danau, beserta desanya. Aku suka usaha film menghidupkan lokasi. Bukan lagi menjadikan sebagai lokasi yang membatasi gerak. Tetapi harus hidup dengan pamali sandekala dan kasus-kasus misterius. Bahkan waktu senja juga berusaha dihidupkan. Film actually ngasih grading kuning yang gloom dan serem sebagai penanda ini waktu bagi hantu keluar. Momen-momen awal saat senja kuning di hutan lebat, dan Niki berusaha mengimbangi langkah adiknya yang jalan duluan excited oleh pemandangan, membuatku serasa mengexperience ulang game Fatal Frame 2 yang konteks adegan, lokasi, dan warnanya sama. It’s a compliment karena Fatal Frame 2 adalah salah satu game horor tersukses lewat atmosfer desa misterius dan mitologi adik kembar yang hilang. Yang berarti film ini, setidaknya, buatku menghasilan kesan yang serupa. Yang berarti atmosfer horornya dapet. Film juga ngasih lihat suasana senja di desa, saat anak-anak digiring masuk rumah masing-masing oleh orangtua mereka. Membuat horor dan desa itu sendiri jadi hidup. Semuanya juga melingkar dibuat oleh film. Portal, tempat bermain anak, yang kita lihat di awal, akan jadi sesuatu di akhir. Film juga memasukkan elemen red herring berupa ada karakter yang dituduh jadi pelaku penculikan anak oleh polisi.

Hampir jadi kayak Miracle in Cell No,7 versi horor, dong!

 

Memang, lagi-lagi momok dalam sinema horor Indonesia adalah naskah. Kayak takut gitu bikin naskah yang benar-benar mendalam. Seperti contoh masalah ibu dan anak cewek yang gak lanjut dibahas tadi, film ini naskahnya stop menggali at some point. Majunya narasi jadi mulai sekenanya aja. Sesederhana dialek dan bahasa karakternya pun, film ini gak mau konsisten menggali. Beberapa kali ada karakter yang mestinya desa dan sunda banget, malah jadi terdengar kayak orang kota biasa. Jelas ini membuat karakternya jadi less-believable. Mengembangkan soal Niki, juga begitu. Alih-alih benar-benar menunjukkan sisi Niki udah gak betah dekat ama keluarganya lama-lama dengan lebih natural, film membuat dia jadi kayak punya kebiasaan ‘bego’ ninggalin keluarga. Adiknya ditinggal pipis di pinggir danau. Ibunya ditinggal di rumah orang asing di tengah hutan, dengan alasan aneh dia ikut sama Faisal – ponakan polisi yang membantu mereka – ngambil mobil. Reasoning kenapa dia harus ikut Faisal itulah yang gak dipunya naskah. Jadinya ‘maksa’. Film harusnya benar-benar mematangkan segala tindakan karakter. Bagaimana menempatkan mereka di titik A dan B untuk majunya cerita harusnya bisa dipikirkan dengan lebih baik lagi.

Ngomong-ngomong soal titik-titik cerita, well, cerita anak hilang di hutan memang bukan cerita original. Tapi menurutku film ini sebenarnya punya kisah yang lumayan fresh karena balutan ibu yang bertengkar dengan anak perempuannya, juga mitos jailangkung dimainkan ke dalam mitos sandekala dari Sunda. Sayangnya, seperti naskah yang tidak jadi dikembangkan dengan dalam dan fresh, film ini juga tidak menjadikan adegan-adegannya sebagai kisah yang baru. Okelah soal sensasi mirip Fatal Frame 2, atau ada karakter yang ngingetin sama Miracle in Cell.  Namun untuk horornya juga ternyata film memilih untuk memainkan-ulang adegan-adegan atau poin-poin dari film atau media horor lain yang lebih banyak diketahui orang. Seperti misalnya adegan sesuatu yang menyeramkan menyeret orang dari lubang, dan nanti dia ngintip dari lubang sambil menyeringai. Siapapun yang nonton pasti langsung ngeh itu adegan It saat si badut menarik tangan bocah di opening. Paling blatant meniru adalah bagian ketika Niki masuk ke dunia lain. Dunia yang sebenarnya sama dengan dunia normal, hanya lebih mengerikan. Di situ dia akhirnya menemukan adiknya yang hilang dan  dia mendengar suara-suara ibunya dari dunia normal. Yes, benar, ini replika Upside Down-nya Stranger Things. Film ini niruin konsep serial Netflix populer tersebut hingga ke aturan dan segala macemnya. Bedanya cuma, boneka jailangkung adalah kunci untuk membuka portal masuk ke Upside Down hahaha

 

 




Set up dan ‘panggung’ sebenarnya lebih imersif, tapi ternyata cerita tidak mampu mengimbangi. Akhirnya, ya hanya menjadi horor generik. Padahal film ini punya potensi untuk menjadi drama horor keluarga yang deep dan berbobot. Tapi seolah hampir seperti ada batasan yang harus dipatuhi oleh pembuat film horor, yakni jangan sampai terlalu dalem. Batasan inilah yang mestinya dirubuhkan bareng-bareng. Oleh pembuat dan oleh penonton. Karena kita gak akan pernah dapat horor yang benar-benar bagus, kalo ceritanya sendiri takut menggali perasaan tergelap manusia lebih dalam. Tapi dibilang kecewapun, aku tidak sepenuhnya kecewa sama film ini. Aku lebih suka yang dilakukan Kimo di sini ketimbang di Ivanna. Dia mencoba ngasih kita lihat bahwa dia punya lebih daripada sekadar mati-mati yang sadis. Hell, jelas film ini lebih baik dibandingkan dua Jailangkung modern sebelumnya. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for JAILANGKUNG: SANDEKALA

 

 




That’s all we have for now.

Mitologi lokal apalagi yang pengen kalian lihat dimash up dengan jailangkung untuk ke depannya?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 



WHERE THE CRAWDADS SING Review

 

“Don’t ever mistake my silence for ignorance, my calmness for acceptance, and my kindness for weakness”

 

 

Where the Crawdads Sing ini jadi film kedua yang kutonton dalam seminggu ini yang seputar orang dituduh jadi tersangka kasus pembunuhan, disidang gak adil, mereka sudah dikecam pembunuh bahkan sebelum trial dimulai. Makanya, mau tak mau aku jadi membandingkan Where the Crawdads Sing dengan Miracle in Cell No.7 (2022) Secara bahasan, memang thriller drama garapan Olivia Newman ini fokusnya lebih ke soal abandonment, dinamika power yang lebih gender-related, dengan menonjolkan perihal alam dan lingkungan sebagai simbol. Tapi yah, karena ditontonnya berdekatan, dengan bentukan narasi yang mirip pula, aku merasa arahan film ini kebanting banget. Where the Crawdads Sing terasa flat, dengan drama dan bahkan misteri yang dikandung tak kunjung menjadi intens.

Diangkat dari novel yang cukup populer tahun 2018, Where the Crawdads Sing ini mengisahkan seorang perempuan yang hidup sebatang kara di rawa-rawa. Penduduk setempat menjulukinya Marsh Girl. Ketika pagi itu jasad pemuda yang cukup tersohor di daerah itu ditemukan di pinggiran rawa, si perempuan langsung menduduki peringkat kesatu sebagai tersangka utama. Karena yah, siapa lagi yang cukup aneh dan asing yang bisa dituduh? Jadi, narasi film ini terbingkai dalam adegan persidangan, saat sebagai pembelaan, pengacara mulai menceritakan kisah hidup si perempuan yang bernama Kya Clark. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sama seperti juri pengadilan yang diarahkan untuk mengenal siapa Kya terlebih dahulu supaya bisa menghakimi dengan lebih adil, kita pun lantas menyimak kehidupan protagonis kita itu mulai dari saat dirinya kecil; ditinggal oleh Ibu dan saudara yang lain karena ayah mereka sangat ‘ringan tangan’ hingga ke saat Kya mulai mengenal cinta dan berpacaran salah satunya dengan cowok yang ditemukan terbaring tak bernyawa di rawa-rawa tersebut.

Biar gak boring, aku sempet ngayal ini jadi kisah origin superhero Marsh Girl yang bersenjata buaya-buaya

 

Sebenarnya film ini lumayan segar. Setting di lingkungan rawa yang terbuka jelas gak setiap hari kita dapatin dalam film-film. Apalagi yang bukan horor dan ada makhluk seramnya. Di film ini, rawa dikuatkan sebagai identitas. Bukan hanya identitas karakter utamanya, yang literally dijuluki Gadis Rawa, tapi juga ciri khas yang memuat tema simbolik di dalam cerita. Meskipun memang makna rawa itu sudah disebutkan dengan gamblang sendiri oleh film lewat narasi voice over, tapi keasikan kita menyimak tidak demikian banyak berkurang, karena memang ini adalah sesuatu yang relatively unik. Kedekatan Kya dengan alam langsung jadi poin vokal, yang dikontraskan dengan betapa Kya menjadi sendirian tinggal di sana. Periode masa kecil Kya buatku adalah yang paling menarik. Backstory protagonis kita dilandaskan dengan mantap. Kita jadi mengerti bahwa Kya adalah anak yang dituntut harus mandiri, karena sedari kecil dia sudah dihadapkan pada hidup yang keras. Orangtua yang kasar. Orang tersayang yang memilih untuk pergi meninggalkannya. Jika ini adalah cerita keluarga, kita dengan lantas paham bahwa bagi Kya keluarga dan rumahnya adalah keseluruhan rawa, yang tak akan pernah meninggalkannya.

Arahan tenang dan gak banyak ngapa-ngapain dari Newman jadi advantage ketika dia memperlihatkan suasana dan atmosfer cerita. Momen-momen ketika Kya menyusur sungai dengan perahu, atau ketika dia berjalan di antara pepohonan mengamati dan mencatat yang ia lihat, mengoleksi bulu burung yang ditinggalkan oleh seseorang. Aku lebih suka ketika film gambarin hal-hal tersebut aja. Lebih suka ketika film ngajak kita ngikut kehidupan Kya, di luar masalah misteri dan cinta-cintaannya. Where the Crowdads Sings memang punya penampilan akting yang gak kalah kuat. Daisy Edgar-Jones sebagai Kya dewasa, dan aktor cilik Jojo Regina sebagai Kya kecil memberikan dua sisi penampilan yang benar-benar terasa utuh sebagai growth satu orang karakter yang harus hidup sendiri dan mengalami begitu banyak di balik cita-citanya menulis buku tentang alam. Kalo ini hanya diniatkan sebagai visual dari novel saja, mungkin gak masalah. Namun yang dibikin oleh Newman adalah sebuah film. Journey sinematik yang harus ada up-downs, dan konflik, dan segala macam. Sutradara harusnya melakukan sesuatu usaha ekstra untuk membentuk novel ini menjadi sebuah penceritaan film. Itulah yang kurang dilakukan. Arahan tenang dan gak banyak ngapa-ngapain sayangnya tetap dipertahankan walaupun cerita sudah harus ganti gigi dan tancap gas.

Dua jam lebih durasi film ini bakal kerasa banget. Suasana di ruang sidang saat pengacara dan penuntut mulai angot mempermasalahkan alibi Kya dan segala macamnya, disambut datar oleh film yang tampaknya lebih suka memperlihatkan soal cinta segitiga. Kya awalnya pacaran sama cowok – satu-satunya teman Kya yang mengajari dirinya membaca dan menulis – tapi kemudian cowok itu pergi dan melanggar janjinya untuk kembali, sehingga kini Kya dideketin sama cowok kaya yang sepertinya gak benar-benar menyayangi Kya, at least tidak setulus cinta cowok yang pertama. Setelah mereka dekat, si cowok pertama muncul kembali, dan yah, persoalan hati tersebut jadi complicated. Relasi mereka bertiga ini sebenarnya juga dijadikan bumbu untuk misteri pembunuhan si cowok kedua. Tapi bagian inilah yang paling dragging. It’s just dates after dates after dates. Aku mengerti bahwa film sebenarnya ingin menunjukkan dampak mental dari seseorang yang ditinggal oleh keluarga (by choices, not by death), pengen memperlihatkan sisi vulnerable dari gadis yang harus kuat, belum lagi dia dikucilkan – dialienkan oleh orang, jadi asmara bisa jadi solusi sekaligus ‘perangkap’ yang ia rasa ia butuhkan. Tapi aku tidak merasa film benar-benar menggali psikologis Kya dengan fokus demikian. Persoalan tersebut hanya tampak dibahas film untuk persiapan twist atau pengungkapan tak terduga di akhir. Supaya twist tersebut masuk akal. Because that twist really doesn’t make sense at all. Makanya film memperlakukan twist tersebut sebagai ambigu banget. Tidak menjelaskan plausibility dan segala macem. Malahan, kemungkinan apa yang diungkap oleh twist itu mungkin terjadi sebenarnya sudah ditepis oleh pembelaan yang dilakukan pengacara pas di persidangan. Tapi twist tersebut jadi penting dan harus ada, karena twist itulah yang merangkum gagasan keseluruhan.  See, itulah kenapa kubilang film ini boring dan bagian tengahnya itu dragging karena ceritanya sendiri tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang worthy untuk dibahas mendalam. Hanya ditampilkan untuk mengantarkan kepada twist.

Susah sih untuk menyebutkannya tanpa jadi spoiler berat. Tapi mungkin gambaran besar gagasan film ini cukup mewakili. Jadi film ini sebenarnya pengen bilang bahwa kita mudah dan cepat meng-alienated orang karena mereka berbeda. Seperti orang bisa dengan cepat menuduh Marsh Girl, ataupun Dodo Rozak sebagai pembunuh, karena keberadaan mereka tidak sama dengan normalnya yang lain. Padahal setiap orang harus dikenali terlebih dahulu baru bisa tahu mereka seperti apa. Karena orang yang diam bukan berarti pasrah, orang yang baik bukan berarti lemah, dan sebagainya. Kita harus hidup berdampingan dengan saling menghargai value dan cerita masing-masing. Jadi, film ini memperlihatkan dua tingkatan alienasi yang diberikan penduduk kepada Kya. Pertama diantagoniskan, kedua diremehkan.

Jangankan yang tak kenal, yang kenal dan dekat aja pada cabut ninggalin kok!

 

Film ini cuma peduli sama twist, sehingga bahkan adegan persidangannya pun datar. Sutradara tampak gak mau repot-repot, dan hanya bergerak berdasarkan ‘harus sama ama novel’. Padahal ada satu cara yang bisa diambil supaya adegan persidangan itu lebih berapi. Membuat Kya membela dirinya sendiri. Di adegan sebenarnya sudah ada dituliskan, pengacara meminta Kya untuk angkat bicara, tapi Kya menolak. Ini sebenarnya momen powerful. Alasan Kya menolak juga masuk akal dan menguatkan karakter. Tapi jadi tidak powerful karena tetap saja film memperlihatkan pembelaan Kya, dengan diwakilkan oleh orang lain. Coba kita bandingkan dengan bangunan dramatis di Miracle in Cell No.7. Ada alasannya kenapa Dodo diam saja saat di sidang, dan tidak membela diri (di luar keharusannya mengatakan hal yang di-coerce oleh pengacara). Lalu Dodo dihukum. Lalu in the future, barulah ada orang lain yang membela dirinya. Bangunannya dibuat seperti itu untuk memuat efek dramatis. Ketika kita tonton, jadi intens. Dan orang lain yang membela di kemudian hari itu dibentuk sebagai tokoh utama cerita, dialah yang beraksi. Di film Crowdads yang tadinya adalah novel ini, tidak ada usaha untuk membentuknya menjadi memantik dramatis seperti itu. Kya si tokoh utama tidak pernah bicara untuk dirinya sendiri. Yang beraksi mati-matian adalah karakter lain, tanpa ada moment kita percaya posisi Kya tidak menguntungkan. Stake kalopun dia dijatuhi hukuman juga tidak benar-benar kuat, tidak ada hukuman mati, bahkan tidak pula pembatalan kontrak buku. Dramatis film ini disimpan hanya untuk momen twist saja.




Makanya drama film ini gak jalan. Bentukannya masih kayak novel. Tidak ada arahan yang membuat ceritanya jadi terbentuk jadi narasi untuk sebuah tontonan sinematik. Kalo pun sekarang dia berhasil jadi sebuah film, maka ia adalah film yang hanya peduli pada twist (dan pada cinta-cintaan, karena itulah yang bikin film bisa laku). Karakternya – yang sebenarnya unik – tidak dapat pembahasan yang benar-benar mengulik. Growth nya ada cuma ya, hanya terhampar saja sebagai cerita novel. Misterinya juga tidak pernah berkembang jadi engaging, karena bumbunya ada pada cinta segitiga, yang sama juga; tidak benar-benar dikulik melainkan untuk menghantarkan ke twist. Padahal film ini punya bahasan yang bisa dalem. It just needs a better structure dan arahan yang lebih peka terhadap dramatisnya film seperti apa.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for WHERE THE CROWDADS SING

 

 

 




That’s all we have for now.

Kabarnya setelah novelnya rilis dengan twist tersebut, si pengarang buku jadi tersangka pembunuhan seorang pemburu liar. Kalo mau gosip sedikit, apakah menurut kalian twist soal Kya ternyata benar membunuh dan menyembunyikan clue perbuataannya ke dalam puisi adalah cerminan dari yang dilakukan oleh pengarangnya? Apakah kalian menyukai konklusi film terkait Kya ternyata benar-benar membunuh?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MIRACLE IN CELL NO.7 Review

 

“Poor people lose. Poor people lose all the time”

 

 

Miracle in Cell No.7 dari Korea Selatan sudah diremake setidaknya oleh empat negara lain sebelum Indonesia. Fakta bahwa cerita tentang mentally challenged person yang dipenjara dan dihukum mati atas kriminal yang tidak pernah ia lakukan ini cocok dan bisa sukses tertranslasikan ke dalam sejumlah kultur negara berbeda sesungguhnya bicara banyak soal bahwa hal yang merata dari sebuah keadilan adalah ketimpangannya. Sistem hukum yang lemah, yang tajamnya ke bawah doang, ternyata adalah masalah yang seragam, baik itu di Korea, Turki, India. Dan tentu saja di Indonesia. I’m not a big fan of remakes, yang cuma sekadar mengadegankan-ulang alias cuma meniru versi aslinya, tapi begitu melihat nama yang menggarapnya, aku tahu bisa menaruh sedikit harapan kepada Hanung Baramantyo. Yang aku percaya tidak akan membiarkan cerita ini lewat di depan hidungnya, bergerak di bawah tangannya, tanpa menambahkan perspektif atau statement atau gagasannya sendiri terhadap tema yang dikandung.

Dari segi cerita dan bangunan narasinya, ternyata, tidak banyak yang diubah. Film ini dengan ketat mengikuti versi original yang rilis tahun 2013.  Ceritanya dibingkai ke dalam sebuah persidangan.  Wanita pengacara muda mengajukan tuntutan terhadap kasus dari dua puluh tahun yang lalu. Kesaksiannya terhadap kasus tersebutlah yang actually kita simak sebagai narasi utuh. Tentang Dodo Rozak yang harus terpisah dari putrinya, Kartika, karena Dodo jadi tersangka tunggal kasus pembunuhan seorang anak kecil. Pria dengan keterbelakangan mental ini harus mendekam di penjara. Bayangkan John Coffey di The Green Mile (1999), film dari cerita karangan Stephen King, hanya tanpa badan kekar dan kekuatan ajaib. Itulah Dodo. Dia cuma punya satu keinginan, ketemu lagi sama Kartika. Tapi bukan lantas berarti Dodo tidak membawa mukjizat – atau miracle. Napi-napi yang satu sel dengannya-lah yang duluan merasakan pengaruh positif dari Dodo. Sifat baik hati Dodo menghangatkan selnya. Terlebih ketika para napi membantu untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel penjara. Wuih, langsung semarak! Bukan hanya satu sel, kelamaan Dodo memgubah satu penjara jadi tempat yang lebih hangat. Semua orang di sana kini berusaha membantu Dodo keluar dari penjara, membantu membuktikan Dodo tidak bersalah supaya dia bisa terus bersama Kartika. Halangannya cuma satu. Hukum yang dingin, menekan, dan semena-mena kepada orang kecil seperti Dodo dan Kartika.

Jangan sampai ruang sidang jadi kayak ruang kelas anak TK  juga hihihi

 

Perbedaan yang langsung ter-notice olehku adalah gak ada Sailor Moon. Pada film aslinya, ‘Kartika’ suka banget ama Sailor Moon, dan si karakter kartun Jepang ini actually jadi bagian penting yang membuat ‘Dodo’ sampai dipenjarakan. Kepentingan Sailor Moon tidak sampai di situ, karena film original turut menjadikannya sebagai penunjuk kepolosan si ‘Kartika’. Bahwa anak perempuan cerdas yang mengurus ayahnya tersebut masih punya sisi kanak-kanak. Sehingga menghilangkan motivasi Kartika untuk punya tas sekolah bergambar karakter tersebut, berarti menghilangkan sebagian identitas karakternya. Reaksi pertamaku adalah kasihan. Mungkin film enggak simply mengganti Sailor Moon dengan karakter lain karena susah menemukan simbol kanak-kanak apa yang hits. Itu kan artinya kasihan banget anak-anak Indonesia, gak punya karakter kartun idola. Masa iya harus diganti jadi tas bergambar idol K-pop haha.. Tapi itu take yang gak ngefek ke penilaian film keseluruhan, aku cuma miris aja sama anak-anak jaman sekarang. Untuk menilai film ini sendiri, kita harus melihat apa pengganti yang disiapkan oleh film, oleh Hanung, bagaimana dia membuat karakter Kartika tetap punya ruh sebagai anak yang mandiri, cerdas, namun, well, tetap masih anak-anak.

Keseluruhan konteks inilah yang dialter sedikit oleh Hanung. Kartika dibuat gedean, di film ini Kartika sudah bersekolah SD. Kartika membantu pekerjaan Dodo, yang di film ini dibuat sebagai tukang balon keliling. Balon inilah yang jadi simbol kepolosan Kartika – dan juga ayahnya – alih-alih Sailor Moon. Balon ini juga digunakan Hanung untuk semakin menguatkan hubungan tematik ke ending yang berhubungan dengan balon udara. Konteks simbol yang semakin jelas berhubungan seperti itu dilakukan lebih baik oleh film ini, sebab di film original kepentingan mereka dengan balon udara tidak benar-benar diestablish. Film Hanung ini sudah mengikatnya dengan erat sejak awal. Membuat Kartika slightly older juga memberikan ruang bagi film untuk menaikkan level dramatisasi dan keseriusan pada ceritanya. Film original diwarna dengan cerah, dan dijual lebih sebagai drama komedi. Hanung, sebaliknya, lebih fokus kepada drama. Makanya warnanya jadi kontras, kadang kuning, kadang biru agak gelap. Meskipun sama-sama dipajang sebagai tontonan untuk semua umur, Miracle in Cell versi Indonesia didesain sebagai sebuah drama yang sedikit lebih serius.

Hubungan karakternya lebih digali. Kita sekarang diberikan backstory tentang ibu Kartika. Bagaimana relasi dan pengaruh sosok si Ibu terhadap cara Dodo bersikap kepada sesama, dan membesarkan Kartika. Ini menambah depth bagi karakter sentral kita. Dodo dan Kartika versi ini lebih bisa kita mengerti. Lucunya versi Hanung ini adalah, dia menjadi lebih dramatis justru dengan mengembangkan karakternya keluar dari trope dramatic. Film originalnya bagiku memang masih beroperasi atau masih mengandalkan karakter dari trope dramatic. Like, gak mungkin kita gak bersimpati dan sedih melihat mentally challenged person yang baik hati terpisah dari anak, keluarga, satu-satunya. Tidak banyak growth atau perkembangan yang dialami oleh karakter. Film original itu lebih menyasar kepada kita, mengajak untuk tidak berprasangka dan segala macem. Film versi Hanung memberikan ruang bagi karakter untuk bertumbuh, dan lebih dalam daripada sekadar trope. Perjalanan Kartika menjadi pengacara demi menegakkan keadilan untuk ayahnya menjadi lebih terasa dramatis tatkala kita tahu sebenarnya Kartika diharapkan untuk menjadi dokter. Fokus utama memang tetap pada hubungan (tak terpisahkan!) antara Dodo dan Kartika, tapi film versi ini juga memberikan lebih banyak soal hubungan antara Kartika dengan ayah angkatnya (yakni kepala penjara) yang tersentuh oleh hubungan ayah-anak Dodo dan Kartika. Hubungan yang telah direnggut dari si kepala penjara.

Selain memperlihatkan soal hukum semena-mena sama rakyat kecil tak berdaya, film juga mengangkat soal kehilangan orang yang disayangi. Betapa itu jadi perasaan yang bakal terus menghantui. Gak bakal hilang. Dan adalah tergantung masing-masing untuk bersikap gimana terhadap perasaan tersebut. Kartika menggunakannya untuk mendewasakan diri. Kepala penjara bertekad untuk tidak membiarkan orang lain mengalami perasaan sedih serupa. Sementara antagonis di sini justru menyerah kepada perasaan duka tersebut dan membuat hal jadi semakin buruk dengan ‘menularkannya’ kepada orang lain. Sikap yang gak healing siapa-siapa.

 

Sailor Moon – Moon – Bulan – Moon cake – Kue terang bulan – Martabak!

 

Supaya gak depresi-depresi amat, humor yang jadi nilai jual film aslinya tetap dipertahankan. Di tangan sutradara lain ini bakal jadi tantangan yang berat, karena sekarang film memuat dua tone yang semakin kontras. Tapi Hanung yang memang kuat arahan dramatis dan karakternya, membuat itu tampak mudah. Range yang diperlihatkan film ini luar biasa. Antara bagian sedih (banget), adegan kekerasan polisi yang cukup bikin meringis, ama obrolan berbau komedi, mampu hadir tanpa terasa mentok. Melainkan berimbang dan natural. Contoh gampang untuk melihat ini: lihat saja karakter napi yang diperankan oleh Indro Warkop. Aku gak pernah melihat Indro bermain di luar role komedi receh. Tapi di sini, aku kadang jadi genuinely ngeri melihatnya kayak preman beneran, dan kadang kocak juga. Penampilan akting di film ini semuanya meyakinkan seperti demikian. Vino G. Bastian sebagai Dodo; tak pernah terlihat kayak mengolok-olok. Respek terhadap karakter, timing komedi, serta bobot drama berhasil ia sajikan tanpa over dan tumpang tindih. Yang make or break the movie jelas adalah akting karakter anak kecil. Serius. Bukan hanya di film Indonesia, tapi di film luar juga. Karakter anak kecil akan jadi penentu karena menggarap karakter anak kecil itu tantangan bagi orang dewasa. Jangan sampai anak kecil itu malah kelihatan seperti orang dewasa yang berusaha menjadi anak kecil. You know what I mean. Apalagi konteksnya adalah anak kecil yang mandiri dan cerdas. Untuk itu aku salut sama Graciella Abigail, yang mampu menerjemahkan tantangan peran yang diarahkan Hanung menjadi sebuah penampilan akting yang benar-benar deliver. Gak hanya tampak seperti dia dipakai karena jago nangis, atau karena mirip sama counterpart versi Korea. Inilah satu lagi kekuatan film ini. Di balik keberhasilannya jadi mirip sama versi Korea, film ini juga nawarin sesuatu yang lebih.

Setting Indonesia berhasil dirasukkan ke dalam cerita. Antagonis yang ketua partai politik menambah tajam gagasan soal hukum yang mudah dikendalikan sama yang punya kuasa. Choir yang jadi kasidah, suasana natal yang diubah menjadi menjelang lebaran, membuat film bukan hanya dekat tapi juga berhasil dimasukkan ke dalam bahasan soal pengampunan dan ‘terbang’ dalam muatan yang spiritual. Diversity film tetap terjaga lewat celetukan karakter dan adegan-adegan lain yang benar-benar menghidupkan suasana di penjara. Adegan yang menurutku dilakukan lebih baik oleh film ini dibandingkan dengan film aslinya adalah saat para Napi berusaha merekaulang kejadian kematian yang dituduhkan kepada Dodo. Adegan ini dilakukan di tengah-tengah lorong sel sehingga semua napi, bukan hanya yang satu sel, ikut melihat dan terinvolve ke dalam drama Dodo. Sehingga outcome dari adegan tersebut terasa lebih menggetarkan. Tapi ada juga adegan yang dilakukan film ini kurang kuat dibandingkan film aslinya. Misalnya pada adegan balon udara di menjelang akhir. Aku lebih suka adegan pada film aslinya, karena lebih gelora aja melihat para napi membantu menghalangi para polisi mengejar balon udara. Untuk soal adegan courtroom drama, aku gak sepenuhnya mengerti peradilan di Indonesia bedanya apa dengan di Korea Selatan, tapi buatku sebagai sebuah tontonan drama, adegan-adegan di courtroom tersebut sudah berhasil menjalankan fungsinya.

 




Melihatnya secara cerita memang tidak banyak perbedaan. Bangunan dan narasinya sama. Dialog-dialognya juga mirip dengan versi aslinya. Aku masih ingat karena malam sebelum ke bioskop aku tonton ulang versi Koreanya. Tapi film ini berhasil memasukkan konteks yang sedikit lebih dalam, dengan mengembangkan backstory dan relasi karakter lebih jauh lagi. Yang diincar oleh remake Indonesia ini adalah tontonan yang lebih dramatis. dengan mengusung konteks yang lebih lokal,  tanpa kehilangan ruh aslinya, Dan semua itu berhasil dilakukan. Dengan gemilang dan sungguh emosional.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MIRACLE IN CELL NO.7

 

 




That’s all we have for now.

Apakah memasukkan orangtua ke dalam penjara berarti memisahkan orangtua dari anaknya? Apakah itu hal yang manusiawi, atau hanya jadi manusiawi kalo orangtuanya adalah orang kaya seperti kasus di televisi yang tengah marak?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MUMUN Review

 

“There is only one you. Stop devalue yourself by trying to be a copy of someone else”

 

 

Aku telah hidup cukup lama untuk menyaksikan tontonan masa kecilku, kartun ataupun sinetron, diremake, dimodernkan, dan dijadikan layang-layang. Eh salah, dijadikan film-panjang. Jadi Pocong adalah ‘korban’ berikutnya.  Oleh Rizal Mantovani, sinetron horor komedi ini dikemas ulang jadi tontonan utuh 100  menit. Dijadikan experience layar lebar, dengan tidak menghilangkan ruh sinetronnya. Sehingga bagi pemirsa sepertiku, film Mumun ini bakal jadi tontonan nostalgia. And that is the only power this movie had, selain komedi. Ruh sinetronnya dipegang terlalu kuat sehingga film ini malah kayak jadi rangkuman dari episode sinetron. Layer di balik situasi horornya tidak dikembangkan matang. Seperti Mimin yang disuruh mirip dengan kembarannya, Mumun. Film ini terpuruk karena ingin dibuat amat mirip dengan sinetronnya.

Kenapa terlalu mirip sinetronnya jadi hal yang buruk?

Well ya, film mirip sinetron memang bad, tapi untuk hal ini, adalah karena gimana pun juga mustahil merangkum episode-episode sebanyak itu ke dalam satu film. Cerita film Mumum ini diadaptasi dari season pertama sinetron Jadi Pocong. Mengisahkan Mumun dan sodari kembarnya Mimin, punya sifat yang bertolak belakang. Mumun tipikal anak kesayangan yang sudah sorted out hidupnya. Punya pasangan bernama Juned. Disukai warga. Dan bahkan punya penggemar rahasia, yakni preman di kampung (yang juga adalah debt collector pinjol) bernama Jefri. Sementara Mimin, memilih hidup di kota. Berpura-pura sukses kerja di kantor, hanya supaya ‘gak kalah’ disayang oleh orangtua. Saat Mumun tewas dalam situasi yang disimpulkan warga sebagai tabrak lari, Mimin ditarik pulang. Diharapkan mengisi kekosongan yang ditinggalkan Mumun. That’s the drama part. Bagian horornya adalah, Bang Husein si tukang gali kubur, lupa membuka tali pocong Mumun. Menyebabkan Mumun kembali dalam wujud mengerikan. Menghantui kampung, bukan saja orang-orang yang telah mencelakainya, tapi juga orang-orang yang masih terpukul oleh kepergiannya.

Telentang mikirin sayang amat karakter Kuncung si pocong maling ditiadakan

 

See, dikembangkan originally sebagai cerita serial, materi Mumun ini  sebenarnya punya layer drama persaudaraan, orangtua-anak, dan drama cinta di balik elemen superstition dan teror pocong di kampung yang disuarakan dengan nada komedi betawi. Yang dilakukan dengan berhasil oleh film ini adalah komedi betawi-nya. Interaksi karakter dengan celetukan-celetukan betawi bakal bikin kita ngikik. Reaksi para karakter ketika ketakutan melihat pocong juga sama kocaknya. Reaksi mereka nyaris seperti kartun. Seperti ketika rombongan karakter berlarian masuk ke wc sempit, hanya untuk keluar serabutan lagi karena pocongnya ada di dalem. Beberapa mungkin terasa cringe, karena terlalu on the nose, kayak ada karakter yang sompral gak takut, dan kita bisa menebak si karakter ini pasti akan diganggu pocong dan langsung ketakutan Tapi itu tidak jadi masalah karena film ini berhasil melandaskan di level mana komedi dunianya ini bermain. Urusan komedi dan reaksi kocak ini, Mandra paling bersinar.  He played off other characters dengan sangat baik. Ketika ketakutan, Mandra membuat karakternya, Husein, jadi bereaksi sok imut sebagai defense mechanism, dan ini selalu kocak kalo ada karakter lain yang menimpalinya. Selain karena memang seniman lawak yang udah malang melintang, also helps karena Mumun originally adalah cerita dari Mandra. Antara penampilannya di sinetron Jadi Pocong dua puluh tahun lalu dengan sekarang, he did not miss a beat. Walaupun secara penulisan, karakterisasi di film Mumun ini di bawah kualitas sinetronnya.

Dengan menjadikan plot film ini basically hanya menamatkan plot sinetronnya dengan lebih ringkas, Mumun tidak punya banyak ruang untuk menggali karakter. Yang berarti layer-layer pembangun drama yang kusebut di atas tadi, tidak ada yang berkembang dengan baik. Mereka semua masih ada, tapi terasa muncul dan hilang begitu saja. Hanya seperti poin-poin yang cepat hilang. Film lebih milih menggunakan waktu untuk membangun adegan jumpscare, dibandingkan ketakutan humanis dari dalam karakternya. Contoh simpelnya karakter Husein tadi. Dalam sinetron, kegelisahan dan rasa bersalah Husein begitu nyadar dia mungkin lupa membuka tali pocong Mumun dikembangkan dalam satu episode. Benar-benar diperlihatkan dia curhat dan minta usul kepada karakter lain. Dia cemas, dan malam itu datang untuk minta maaf (dan mungkin mencoba memastikan tali pocong udah lepas atau belum), tapi semua udah terlambat karena pocong Mumun sudah beneran muncul. Kali ini, di film, mood karakter Husein berpindah-pindah. Di satu adegan dia nipu geng Jefri, di adegan berikutnya dia teringat lupa buka tali, dan di adegan berikutnya udah mulai ke sekuen dia mau di-jumpscare Mumun. Perasaannya terhadap lupa dan kepikiran Mumun itu tidak digali. Padahal perasaan itu penting bagi Husein, karena itulah yang membuat dia paralel dengan karakter sentral film ini. Perasaan yang gak bisa lepas dari Mumun itulah yang actually merundung kampung dan membuat mereka diteror oleh pocong Mumun.

Mumun seharusnya menguatkan bagaimana kampung itu kini merasa diteror oleh pocong Mumun. Bagaimana orang-orang yang kenal Mumun terpengaruh oleh kehilangan dan berita dia menjadi pocong. Bagaimana ketika mereka actually hadap-hadapan dengan pocong mumun. Sinetron punya banyak ruang untuk menggali lingkup ini, sementara film yang berdurasi jauh lebih terbatas, tidak bisa. Kita hanya dapat satu adegan ketika warga gosipin pocong Mumun, melihat bagaimana pengaruh berita tersebut, also saat Mumun beneran meneror acara warga. Tapi makna di baliknya tidak benar-benar terasa. Di film hanya terasa seperti Mumun mau balas dendam. Yang membuat cerita ini mengalami pengurangan bobot.

Menontonnya sekarang, aku baru bisa melihat kepentingan membuat Mumun dan Mimin dalam cerita sebagai saudari kembar. Tapi jangan kasih aku kredit terlalu banyak, karena film ini sendiri yang mengejakan maksud/kepentingan kembarnya itu kepada kita. Alih-alih tersirat lewat perasaan karakter seperti pada sinetronnya, di film ini kita hanya tinggal mendengarkan karakter menyebutkannya saja. Mimin dalam dialog yang sangat expository merangkum apa yang sebenarnya terjadi. Mimin juga points out bahwa Juned belum mengikhlaskan Mumun. Jadi setelah capek mengisi waktu dengan adegan-adegan komedi, adegan-adegan horor, dan campuran keduanya, tibalah saatnya bagi film untuk membahas drama, dan film membuat Mimin dan Juned menyebutkannya saja. Kita tidak lihat bagaimana Juned terpuruk dan terus memikirkan Mumun seperti pada sinetron. Kita tidak lihat journey Mimin, bagaimana dia dealing with harus diminta bersikap seperti Mumun dengan detil, kita juga tidak lihat dia mengonfrontasi rasa bersalahnya. Melainkan hanya berupa dialog bahwa di akhir itu dia mulai sadar.

Kalo kita simak mendalam, cerita Mimin – dan Juned, dan bokap Mimin, dan bahkan Jefri, Husein, dan warga lain ini tragis.  Mimin yang mirip Mumun kini benar-benar harus jadi Mumun, saat sodara kembarnya yang secara lingkungan sosial dinilai lebih baik, meninggal dunia. Mengikuti permintaan bokapnya. Mengikuti permintaan Juned. Eksistensi Mimin sebagai dirinya sendiri ilang. Dia yang di awal udah curi jati diri Mumun untuk ngutang, devalue herself even more. Sikap Mimin ini diakibatkan orang sekitarnya masih belum melupakan Mumun. Secara simbolis, inilah sebabnya Mumun menghantui warga. Karena mereka sendiri masih melihat Mumun di dalam Mimin, tragisnya mereka yang menginginkan Mimin seperti Mumun. Maka, Mimin harus come clean dan belajar untuk menjadi dirinya sendiri. Juned dan yang lain, harus belajar untuk melihat Mimin tidak dalam bayang-bayang Mumun. Mengikhlaskan hanya akan ada satu Mumun, dan orangnya itu telah tiada. 

Sementara Jefri, well, sampai ketemu di sekuel!

 

Kalo kita tanya Acha Septriasa, film yang ditayangin pas hari ultahnya ini pastilah sangat fun baginya. Dia memerankan both Mumun dan Mimin yang punya sifat berbeda. Walaupun secara naskah, karakterisasi mereka terbatas – film berusaha mencuatkan perbedaan justru dari fisik kayak gaya berpakaian hingga tahi lalat – kita bisa melihat Acha benar-benar berusaha memberikan ‘napas’ yang berbeda untuk karakter ini, di luar perbedaan fisik tersebut. Sebagai Mumun juga berarti Acha bermain sebagai hantu (mungkin aku salah, tapi sepertinya ini peran hantu pertama baginya). Dan juga sama, meskipun film berusaha strong main fisik alias hantu pocongnya dibuat distinctive genjreng secara fisik – dengan make up dan efek yang lebih dahsyat – namun Acha berusaha tampil seram dan fun lewat dialog ikonik Mumun memanggil-manggil korbannya. “Bang, aye Mumun, Bang”

Soal horor, memang horor film ini tampak randomly jadi all over the place karena mendadak ada gore, pocongnya dibuat beneran menyerang, dan sebagainya tanpa ada landasan ke arah sana. Balas dendam Mumun yang menyerang secara psikologis, mendadak jadi main fisik. Bahkan sampai ada adegan Mumun mencekek Jefri segala. Campuran antara komedi dan horornya juga jadi tampak ngasal karena di awal film kuat nanemin komedi tapi di akhir malah jadi ada sadis-sadisnya. Padahal mestinya film bisa mengambil landasan sadis dari adegan mati Mumun yang memang cukup bikin meringis. Tapi adegan tersebut dimunculkan sebagai poin masuk ke babak dua. Jadi ya, tone film kurang tercampur dengan baik.

 




Di situlah aku merasa pembuat film kali ini tidak benar-benar tahu kekuatan yang dimiliki oleh materinya. Like, punya aktor sekaliber Acha memerankan hantu, tapi yang diandelin tetap jumpscare dan efek. Punya materi cerita hantu yang actually berlapis dan gak sekadar hantu-hantuan, dengan suara komedi yang khas, tapi film tidak mengolah ini dengan matang. Selain jadi komedi betawi yang menghibur, film ini tidak mencapai banyak. Melainkan hanya merangkum sinetron. Pilihan yang salah. Adaptasi atau film based on, toh, tidak harus plek ketiplek sama dengan originalnya. Film ini melewatkan kesempatan mengolah cerita yang bagus menjadi horor merakyat, dengan seperti Mimin, mengdevalue dirinya sendiri karena terlalu ngotot mirip dengan ‘kembarannya’
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for MUMUN.

 

 




That’s all we have for now.

Semua berawal dari Mimin yang ‘kalah’ selalu dibandingkan dengan Mumun. Apakah permasalahan Mumun dan Mimin ini hanya dijumpai di anak kembar saja? Kenapa orangtua bisa sampai lebih favor ke satu anak dibandingkan anaknya yang lain?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



ORPHAN: FIRST KILL Review

 

“A person’s greatest emotional need is to feel appreciated”

 

 

Waktu tidak bisa lebih tepat lagi daripada sekarang, buat yang mau luncurin prekuel dari Orphan; psikologikal horor 2009 yang populer karena udah ngemindblown penonton lewat revealing identitas karakternya yang ikonik. Bahwa Esther si anak yatimpiatu itu sebenarnya bukanlah seorang ‘anak kecil’ melainkan psikopat dewasa yang punya kelainan hormon sehingga tubuhnya tetap seperti anak kecil. Kenapa kubilang sekarang adalah waktu yang tepat untuk bikin prekuelnya? Karena pemeran Esther alias Leena, yaitu si Isabelle Fuhrman, kini sudah mendekati usia karakter yang ia perankan tersebut. Let’s think about that for a moment. Di film original, Isabelle berusia sebelas tahun, dia yang masih kecil berakting jadi wanita dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil, dan saat menit-menit akhir revealing karakter, dia memakai make up supaya tampak dewasa. Nah kini, Isabelle yang sudah dewasa tentunya bisa dengan lebih natural memainkan si Leena – cerita bisa dengan bebas mengeksplorasi origin kenapa Leena bisa jadi psikopat dengan modus operandi nyamar jadi anak-anak. Tanpa harus pake efek riasan (kecuali mungkin efek tinggi badan). Tapi tentu saja origin dengan sesuatu yang completely new seperti itu pertaruhannya tinggi. Sebab yang bikin Orphan ikonik justru gimmick nyamar-jadi-anak-kecil. Produser pasti keberatan kalo gimmick itu dihilangkan. Sehingga jadilah Orphan: First Kill garapan William Brent Bell hadir sebagai prekuel yang mengulang pengalaman yang sudah kita dapatkan pada film originalnya. Tawaran barunya cuma twist bahwa ada yang lebih jahat daripada Leena. Dan dengan menjadi seperti demikian, film ini mengkhianati judulnya sendiri.

Orphan: First Kill actually bukan tentang pembunuhan pertama yang dilakukan Leena. Di cerita kali ini, Leena sudah terestablish sebagai pasien paling berbahaya di mental asylum di Estonia. Di tempat itu, Leena sudah dikenal sebagai pembunuh dengan taktik menyamar atau bersikap sebagai anak-anak. Keahlian taktiknya itu langsung dibuktikan Leena saat suatu malam dia kabur dari asylum. Rencana kabur selanjutnya dari Leena adalah mengubah penampilannya menjadi mirip seperti Esther, anak Amerika yang diberitakan hilang, yang ia lihat di internet. Leena kini sebagai Esther, found her way ke rumah keluarga asli si anak malang. Keluarga yang ternyata punya rahasia kelam tersendiri, sebagai ‘musuh’ yang harus dihadapi oleh Leena.

Bahkan pembunuh psikopat pun tidak bisa memilih keluarga idealnya sendiri

 

While it’s true yang paling diingat orang dari Orphan original adalah soal si Esther yang ternyata adalah orang dewasa bernama Leena,  film tersebut juga didukung oleh naskah yang kuat memuat bahasan ketakutan psikologis seorang ibu akan kehilangan anak, suami – keluarganya. Esther alias Leena di situ ada sebagai antagonis, perwujudan dari momok yang bakal merebut keluarga dari sang ibu. It was a dark, juga terasa personal dan grounded sebagai sebuah cerita. Film keduanya ini, dengan timeline sebelum kejadian pertama, menempatkan kita di perspektif Leena. Yang tentu saja punya potensi tak kalah menarik jika juga dikembangkan sebagai horor psikologis. Karena siapa sih yang gak tertarik menyelami kepala ‘orang gila’, Tapi William ternyata memilih filmnya ini untuk tampil lebih simpel. Dan dia seperti benar-benar menyajikan kembali rangkuman film pertama jadi film yang sekarang. Leena jadi Esther, masuk ke keluarga dengan saudara laki-laki yang gak suka padanya, dan ayah yang menyayanginya (Leena selalu jatuh cinta pada ‘ayah angkatnya’) ‘Lawan’ Leena tetap adalah ibu dari keluarga yang ia masuki. Hanya saja, karena ingin simpel, film tidak memberikan bahasan mendalam dari dua perempuan ini. Maka supaya gak sama-sama banget, film ngasih sesuatu yang cukup mengejutkan. Bikin si ibu ternyata lebih ‘parah’ dibandingkan Leena. Dinamikanya berubah menjadi keduanya adalah orang jahat yang terpaksa harus tampak akur, tapi diam-diam mencoba saling bunuh. Again, dinamika seperti ini bisa jadi menarik, jika memang ada sesuatu gagasan atau bahasan di baliknya. Namun ya itu, film hanya menempatkan sebagai kejutan, yang membedakan film ini dengan originalnya.

Beban menulis karakter jahat sebagai protagonis dalam ceritanya sendiri adalah bagaimana untuk tidak membuat dia malah tampak seperti karakter yang memohon simpati. Status dia sebagai villain harus tetap melekat, jangan sampai dia malah jadi hero dan menganulir semua kesalahannya. Kita cukup dibuat mengerti kenapa dia melakukannya, apa yang mendorong dia memilih untuk jadi jahat, untuk bisa melihat dia sebagai manusia bercela yang memilih ‘dark side’. Dia perlu diperlihatkan sebagai human, tapi jangan sampai membuat dia jadi panutan atau sesuatu yang dielukan. Banyak prekuel origin penjahat yang gagal karena membuat si karakter jadi ‘baik’ gitu aja. Contohnya Don’t Breathe 2 (2021). Yang mengubah si kakek buta pembunuh dan pemerkosa jadi pahlawan. Leena dalam Orphan: First Kill sayangnya jatuh di kesalahan yang nyaris sama.

Dengan menjadikan cerita lebih simpel, gak ada bahasan psikologis ataupun pendalaman perspektif, Leena jadi tampak dipaksa untuk terlihat simpatik. Sisi humanis yang bisa digali dari Leena sebenarnya ada, seperti soal dia pengen merasakan cinta. Tampak dari adegan Leena yang memilih untuk balik dan tetap tinggal di keluarga tersebut, walaupun dia bisa menyelinap keluar dan kabur dengan mudah. Momen-momen manusiawi Leena seharusnya bisa digali dari dia yang merasa disupport oleh ayah angkat, yang sama-sama suka melukis. Karena itu jugalah yang gak ada dibahas di film original yang bukan dari perspektif utama Leena. Persoalan Leena yang jatuh cinta sama suami di keluarga yang ia masuki. Film prekuel ini gagal melihat kebutuhan itu. Film ini masih memainkan itu sebagai rencana jahat Leena, sebagai intrik. Alih-alih genuine membuat kita merasakan sisi manusia dan vulnerable dari Leena (secukupnya untuk membuat dia cocok disebut protagonis dalam ceritanya sendiri), film malah mengoverpush simpati itu kepada karakternya.  Untuk membuat Leena ‘baik’, makanya film membuat kejutan si ibu adalah orang jahat. Membuat keluarga itu punya rahasia yang bisa dibilang sadis dan kelam. Keluarga yang manipulatif. Bahkan Leena di sini diberi teman berupa seekor tikus yang hidup di ventilasi udara di kamarnya.

Emangnya si Leena itu Cinderella yang dijahatin ibu tiri?

 

Jadi ya, buatku film ini terasa konyol. Statusnya sebagai prekuel hanya menjawab bagaimana Leena bisa sampai di Amerika dan  darimana Leena mendapat nama Esther, juga kenapa dia memakai nama itu seterusnya. Tidak benar-benar bicara tentang Leena itu sendiri. Kejadian yang kita simak pun kebanyakan masih pengulangan hal-hal yang sudah kita lihat di film original. To be honest, buatku, persoalan Esther ternyata orang dewasa itu ya sudah beres begitu rahasianya diungkap di babak ketiga film original. Apa lagi yang mau diperlihatkan dari menyamar sebagai anak kecil itu. Film ini hanya menempuh tantangan yang tidak perlu ketika membuat Isabelle Fuhrman harus kembali jadi orang dewasa yang berpura-pura jadi anak kecil. Film ini beruntung,  secara akting, Isabelle masih konsisten. Dia memang sudah paham kegilaan sebagai Leena dan tantangan dan tipuan sebagai Esther. Tantangan itu datang dari fisik. Okelah, soal tinggi badan, bisa diakali dengan stunt double ataupun dengan trik kamera. Di shot dari belakang, sosok Leena/Esther tampak beneran kayak anak kecil. Namun begitu dari depan, man, perawakan dan raut Isabelle sudah susah untuk masuk ke ilusi ini adalah karakternya beberapa tahun sebelum film original. Mau pake make-up ataupun efek de-aging segimana pun, tetap visibly terlihat lebih gede. Lebih tua.

Sedari awal, karakter Leena atau Esther memang dibentuk sebagai seorang yang ingin dapat keluarga yang menerima dirinya. Bahkan Isabelle Fuhrman sempat menyebut dalam sebuah interview, bahwa Esther tidak membuat dirinya takut karena karakter itu punya keinginan yang sama dengan setiap manusia. Ingin dicintai. Ingin diapresiasi. Ingin menemukan keluarga yang bisa menerima dirinya. Ini jugalah alasan kenapa Esther di film kali ini memilih untuk balik lagi dan tetap tinggal di sana. Di balik cinta psikopatnya, dia merasakan penerimaan itu dari ayah yang genuinely merasa dia beneran anaknya yang bisa melukis, dan juga dari ibu walaupun cintanya palsu.

 

Kupikir itu juga sebabnya kenapa film ini membuat cerita yang tidak mengharuskan Leena banyak menyamar sebagai anak kecil. Membuat cerita yang karakter lain tahu si Leena bukan anak kecil beneran. Supaya tuanya yang tampak jelas itu enggak benar-benar mengganggu. Tapi kan ya, berarti gak benar-benar perlu dibuat seperti itu. Gak benar-benar perlu cerita dibuat masih seputar Leena menyamar jadi anak kecil. Dengan itu, maka buatku film ini memang tidak benar-benar punya sesuatu untuk diceritakan. Melainkan cuma mau milking the gimmick. Bukan untuk mengexpand semesta dan karakter dari film Orphan.

 




Menilai film sebagai objek for what it is, not for what it should be, film ini bagiku terasa sebagai pengulangan yang dangkal, hampir seperti rangkuman dari film originalnya. Secara tontonan horor, memang ini bisa berarti hiburan yang lebih seru, karena ringkas – penonton bakal lebih cepat mendapat adegan-adegan berdarah. Gimmick ikoniknya juga masih dipertahankan. Mati-matian, kalo boleh kubilang. Karena secara fisik, sudah semakin susah bagi ilusi tersebut untuk dipertahankan. Dan juga memang tidak perlu dipertahankan, kecuali dari sudut pandang untuk penjualan. Sebagai prekuel, film ini justru tidak terasa benar-benar ngasih banyak soal seperti apa sebelum kejadian originalnya.  Karena pengulangan itu tadi, simpelnya, film ini bahkan tidak tampil sesuai dengan judulnya. Tawaran barunya cuma situasi keluarga, itupun tidak dimainkan sebagai pembahasan yang actually say something, melainkan hanya kejutan belaka. Cerita dengan perspektif utama dari karakter jahat seharusnya  bisa jadi bahan galian yang menarik, tapi film hanya memasang si karakter jadi pengemis simpati.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ORPHAN: FIRST KILL

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian setiap karakter evil perlu untuk dibuatkan cerita prekuel atau originnya? Apa yang kalian harapkan ada dalam cerita-cerita dari sudut pandang karakter jahat seperti ini?

Share pendapat kalian  di comments yaa

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA