BOOKS OF BLOOD Review

“We wrote our names in blood”
 

 
 
Halloween tanpa antologi horor bagaikan sup tanpa garam, bola mata kodok, dan daging manusia hihihi.. Tiga cerita yang dapat kita baca dalam horor antologi Books of Blood; Tentang remaja perempuan dengan pendengaran super-sensitif yang kabur dari rumah – dikejar oleh perbuatannya di masa lalu, tentang seorang akademisi perempuan yang memperoleh kesuksesan finansial dan romansa setelah bertemu dengan cenayang yang menghubungkan dirinya dengan anaknya yang telah tiada, dan tentang dua orang kriminal yang memburu keberadaan buku paling mengerikan di dunia. Semuanya diikat oleh satu tema yang sama. Mengenai pilihan yang kita pilih seringkali bukanlah yang terbaik untuk kita, sehingga tanpa sadar kita sudah menulis cerita mengerikan. Sebuah horor dalam kehidupan sendiri.
Keberadaan Books of Blood ini sendiri menarik untuk beberapa alasan. Ia merupakan adaptasi dari seri buku horor karangan Clive Barker, salah seorang sosok yang bisa dibilang turut merevolusi genre horor. Di antara horornya yang berkesan adalah buatku – aku baru menontonnya saat halloween tahun lalu – adalah Hellraiser (1987); horor sadomasokis perihal ‘candu’ insan manusia. Film tersebut sangat mengena, menggunakan prostetik dan efek praktikal sehingga tampak ‘menjijikkan’. Kata sifat yang tepat sekali digunakan dalam perlambangan horor jika kita sedang membahas nafsu dan keinginan manusia. Untuk Books of Blood sendiri, sebenarnya materi aslinya berdasarkan pada enam volume buku. Aku belum membaca semua, tapi setidaknya aku sudah tahu apa yang bisa diharapkan. Cerita tentang manusia yang menemui horor saat berjuang mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan begitulah aku; aku melihat ada nama Britt Robertson main di film ini, maka aku bergegas menontonnya. Namun apa yang kusaksikan justru horor mengerikan yang sama sekali enggak ada hubungannya dengan cerita hantu yang seharusnya disajikan oleh film.

Ngeliat posternya, kirain film ini berjudul Face Book

 
When it comes to an anthology movies, maka cerita-ceritanya itu haruslah antara saling berkaitan penuh satu sama lain, atau berbeda-beda dengan satu detil kunci yang mengikat, entah itu seting tempat, tema, atau satu tokoh saja. Hanya supaya film itu tidak berubah menjadi gabungan film pendek saja. ‘Ikatan’nya ini gak harus dipaksakan. Melainkan mengalir. Para tokoh cerita tidak mesti harus bertemu pada satu titik di dalam cerita. Biarkan saja penonton yang menghubungkan cerita demi cerita. Books of Blood yang ditulis dan diarahkan oleh Brannon Braga justru tampak tidak sepenuhnya enjoy dalam bercerita. Film ini seperti terlampau bersusah payah untuk menghubungkan ketiga ceritanya. Braga seperti mengincar untuk membuat kita terkesima melihat gambaran-besar yang utuh setelah tiga kepingan cerita itu disatukan, sehingga ia lupa kepingan-kepingan kecil itu perlu untuk dikembangkan terlebih dahulu.

Kita menulis cerita kita dengan darah. Terdengar ekstrim, namun memang ada benarnya juga. Karena perjuangan hidup selalu tidak gampang. Akan ada yang dipertaruhkan. Akan ada kehilangan. Akan ada penyesalan. Maka dari itu sebabnya kita suka dengan cerita horor, karena nun jauh di dalam sana kita semua tahu bahwa cerita horor adalah cerita kita.

 
Kisah-kisah yang terangkum dalam film ini bukannya buruk. Walaupun dari tiga hanya satu yang benar-benar menyadur dari cerita Clive Barker, tetapi pada masing-masingnya masih dapat ditemui napas tema yang serupa dengan yang diusung oleh pengarang cerita. Horor yang kita temui tetap seputar manusia menempuh jalan mengerikan demi mencari apa yang mereka inginkan. Cerita yang paling Barker adalah cerita tentang wanita akademisi. Bagian cerita yang ini bertindak sebagai origin dari Buku Darah itu sendiri. Pada cerita ini pun elemen-elemen horor dewasa yang jadi ciri khas Barker (setidaknya dari yang kubandingkan dengan Hellraiser) masih tampak kuat. Relasi antarkarakter terbangun dengan paling lumayan. Wanita dan si cenayang yang ia pekerjakan jadi sentral, dan film mengeksplorasi hubungan mereka secukupnya. Yang sedikit mengecewakan dari cerita ini adalah visual hantu-hantunya. Books of Blood menggunakan efek komputer alih-alih praktikal, sehingga hantu-hantu di sini tampil kurang menakutkan. Ini disayangkan karena adegan puncak di cerita ini sebenarnya punya konteks yang sangat mengerikan. Kelahiran Buku Darah tersebut benar-benar akan jadi kejutan bagi yang belum familiar dengan cerita. Dan ini jadi salah satu kelebihan film; mereka berhasil membangun ekspektasi penonton terhadap ‘buku yang seperti apa’, untuk kemudian memberikan revealing yang bisa dibilang out-of-nowhere.
Cerita yang dijadikan tubuh utama oleh film ini, however, adalah cerita tentang tokohnya si Britt Robertson. Dan kubilang, ini boleh jadi keputusan yang tepat. Karena ceritanya yang paling down-to-earth, serta menarik sebab selain visual, cerita ini juga meletakkan horor pada suara. Jenna, nama tokohnya, paling gak tahan dengan suara orang ngunyah, maka kita pun turut diperdengarkan efek-efek suara mulai dari annoying hingga creepy. Di ceritalah aku mulai berpikir bahwa sebaiknya cerita-cerita dalam film ini dipisah aja. Bahwa mungkin mereka lebih baik jika berakhir sebagai film sendiri-sendiri. Cerita Jenna punya banyak hal menarik untuk dieksplorasi – horornya seperti hibrid antara ‘rumah hantu’ dan ‘psikopat gila’ dan ‘thriller psikologis yang hanya ada di kepala protagonis’ – tapi jadi tidak bisa berkembang optimal karena harus berbagi durasi, dan lore dunia, dengan dua cerita lain. Cerita Jenna adalah yang paling sedikit sangkut pautnya dengan Book of Blood, sehingga bikin kita heran, kenapa ada cerita ini di sini. Tidak bisakah pembuatnya memikirkan cerita relatable lain yang lebih dekat dengan Book of Blood itu sendiri. Karena penggaliannya gak bebas, akibatnya cerita ini jadi paling repetitif. Mendapat porsi paling besar namun penggalian horor yang itu-itu melulu. Kondisi Jenna tidak dimainkan banyak sebagai penggerak alur, mentok sebagai karakter trait saja. Hubungan antarkarakternya standar karena cerita bagian ini mementingkan twist. Setidaknya ada dua twist yang dihadirkan pada cerita ini. Tiga, jika dihitung dengan resolusi yang dipilih Jenna di akhir cerita.

Aku setuju suara makan yang ‘copak-copak’ adalah suara paling menjijikkan dunia-akhirat

 
Yang paling lemah adalah cerita tentang dua kriminal. Tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai untuk bisa dikatakan sebuah cerita dalam film. Horornya pun terbilang sangat sederhana. Karakter-karakternya tidak digali, tidak menarik, dan menempatkan posisi cerita ini sebagai pembuka dan sebagai penghantar ke big-reveal jelas mematikan momentum yang dimiliki oleh film. Karena kisahnya membosankan. Kita langsung turn off dan gak peduli lagi. I mean, siapa coba yang penarasan apakah para kriminal yang bunuhin orang itu akan berhasil mendapatkan Buku. Film yang menantang akan membahas sedalam-dalamnya tokoh, dengan misi membuat kita peduli. Tidak ada usaha semacam itu di sini. Padahal aspek yang mau digali itu ada, misalnya salah satu tokoh yang ternyata menghabiskan masa kecilnya tinggal di kota tempat Buku Darah itu ada. Namun kita meninggalkan mereka dan kembali ke ‘petualangan’ mereka gitu aja. Makanya momen ketika si kriminal itu ‘dihipnotis’ oleh hantu ibunya di gereja terasa hampa-hampa aja. Karena backstory yang harusnya membuat dia manusiawi itu hanya sebatas informasi. At that point yang kita lihat hanya seorang penjahat yang lagi diganggu hantu. Kita tidak merasakan apa-apa terhadap mereka.
 
 
 
 
Dan barely merasakan sesuatu terhadap film ini. Sebagai sebuah kisah horor, tiga ceritanya punya sesuatu yang mengerikan. Juga punya selipan gagasan yang seragam. Namun sebagai satu film utuh, film ini gagal bekerja dengan benar. Antologi yang baik semestinya membuat kita merasakan cerita demi cerita. Menghubungkan seting dan faktor luarnya hanya bonus, sebagai tanda konsep atau gimmick yang berhasil. Selebihnya, antologi adalah soal denyut cerita dan kesinambungan tema. Sedangkan pada film ini; ia malah terlihat seperti satu film utuh yang carut marut. Sebagai cerita sendiri-sendiri tidak berhasil karena bangunan yang enggak seimbang. Sebagai satu cerita utuh juga gak nyampe karena terlalu berpindah-pindah, tanpa ada denyut yang asik. Obat nonton ini buatku, ya, Britt Robertson-nya aja. Far better than the whole movie.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BOOKS OF BLOOD.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kalian mengubah pengalaman hidup kalian menjadi sebuah cerita horor?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

12 HOUR SHIFT Review

“Doctors treat illnesses, nurses treat people”
 
 

 
 
Mendengar cerita dari teman-teman yang kuliah di Kedokteran, jaga malam di klinik atau rumah sakit seringkali menjadi pengalaman yang rusuh dan seru. Mulai dari cerita horornya sampai ke cerita kedatangan pasien yang gak abis-abis. Menonton horor komedi 12 Hour Shift seperti benar-benar menghidupi pengalaman tersebut. Cerita yang diset ‘Pada suatu malam di Rumah Sakit di Arkansas 90an’ penuh oleh kejadian-kejadian chaotic seputar aktivitas jaga. Yang oleh sutradara Bea Grant – langganan berperan di film horor membuat Grant jadi punya perspektif dan visi tersendiri untuk genre ini – diperkuat volume kerusuhannya. Karena di sini Grant benar-benar menjungkirbalikkan image rumah sakit dan perawat itu sendiri. Membenturkannya dengan realita kehidupan yang keras untuk seorang wanita yang mengais kehidupan dari lingkungan berlatar malam.
Tokoh utama cerita ini bukan perawat putih baik hati, cakep dengan senyum pepsoden. Mandy (perawakan dan permainan gestur Angela Bettis pas sekali menangkap kehidupan keras yang membesarkan tokohnya) tampak ‘dekil’ dan gak-lebih sehat daripada pasien-pasien yang harus ia jaga. Kita diperkenalkan kepadanya saat tokoh ini sedang merokok. Dan later, dia mencuri pil obat. Lantas menghancurkan dan menghirupnya. Malam itu, Mandy bekerja dobel shift. Jelas dia butuh duit. Dan bahkan dobel shift itu belum cukup baginya. Karena Mandy punya ‘kerjaan’ lain. Sebagai perawat, Mandy memang cukup telaten dan bertanggungjawab terhadap pasien-pasiennya. Namun dia juga gak segan-segan menuangkan pemutih pakaian ke minuman pasien yang penyakitnya sudah parah. Mandy mempertimbangkan ini baik-baik. Ia memilih pasien mana yang akan diambil organnya. Untuk ia jual. Kekacauan itu datang dari sini. Saat sepupu Mandy yang bertugas menjadi kurir – yang mengantarkan ginjal dari Mandy ke underground buyer – malah menghilangkan ginjal tersebut. Dengan ancaman ginjal miliknya sendiri yang bakal jadi pengganti, sepupu Mandy kini menyusup ke rumah sakit sebagai perawat. Mencari ginjal baru, walaupun ginjal itu masih di dalam tubuh pasien yang sehat. Dan Mandy-lah yang kalang kabut berusaha membereskan keadaan sebab semakin lama sepupu semakin menggila sehingga polisi dan mafia underground tersebut mulai langsung terlibat di rumah sakit!

Dan tiba-tiba, Mick Foley! *cue Mankind music*

 
 
Kerusuhan yang terjadi dari perburuan ginjal yang semakin lama semakin terang-terangan itu diceritakan dalam balutan komedi. Film ini akan membuat adegan suster palsu yang ngaku jadi temen gereja seorang pasien dementia sebelum akhirnya mencoba untuk membunuh si pasien sebagai sesuatu yang lucu. 12 Hour Shift bermain di ranah dark-comedy. Tokoh-tokoh protagonisnya melakukan hal-hal semengerikan kerjaan antagonis, jadi film ini juga adalah cerita anti-hero yang sangat twisted. Dugaanku, enggak semua orang dapat dengan mudah mengapresiasi komedi yang dilakukan oleh film ini.
Untuk memastikan penonton peduli sama karakter-karakter protagonis tersebut, film ini cukup bijak untuk tidak menyandarkan pundak seutuhnya kepada komedi. Memang, film ini hidup oleh karakter yang ‘rusuh’ dan berantakan. Nyawa film ini terletak pada kejadian demi kejadian yang terus naik tensinya seiring kegilaan karakter yang semakin nekat. Namun film ini juga tidak melupakan esensi di balik ceritanya.  Ini bukan film yang dibuat sekedar untuk seru-seruan, kejar-kejaran, dan bunuh-bunuhan. Ada sesuatu yang layak untuk diperbincangkan merayap dalam konteks ceritanya itu sendiri. Karena 12 Hour Shift sebenarnya bersuara tentang moralitas dan pekerjaan. Tokoh kita adalah suster atau perawat yang diperlihatkan cukup peduli terhadap pasien, tapi tidak tahu lebih baik dalam urusan ‘merawat’ dirinya sendiri. Sebagai perawat ia juga dihadapkan kepada kewajiban untuk mengobati pasien-pasien yang seperti dirinya pribadi; junkie yang gak peduli sama tubuh, dan di kesempatan lain Mandy juga terlihat seperti ‘membantu’ terminal patient dengan ‘mempercepat’ kematian mereka – entah itu mereka mau atau tida.
Tindakan Mandy di film ini membuat kita mempertanyakan seperti apa tepatnya peran seseorang terhadap kehidupan orang lain. Pantaskah kita membantu orang lain padahal diri kita justru memerlukan bantuan yang lebih urgen. Bagaimana dengan kehendak orang; etiskah tindakan Mandy yang menyelamatkan dirinya sendiri dengan ‘menyelamatkan’ pasien yang udah parah, meskipun si pasien sudah barang tentu keberatan kalo Mandy minta ijin dulu sebelum mengakhiri derita penyakitnya? Dan bagaimana ketika Mandy ingin mengambil ginjal itu dari seorang kriminal? Rekannya mengangkat bahu dan berkata “May be he deserves it”. Rumah sakit dalam 12 Hour Shift bisa jadi dirancang sebagai paralel dari dunia nyata. Tempat orang-orang berusaha membantu orang lain, tapi sistem mengharuskan membantu diri sendiri dahulu, sedangkan sistem itu sendiri tidak begitu jelas perihal moralitasnya. Ending film ini lantas menunjukkan shift panjang itu praktisnya sama saja tidak berakhir. Tidak putus. Hanya sejenak waktu untuk Mandy bernapas lega, sebelum shift berikutnya tiba. Karena begitulah tuntutan hidupnya. Uang yang ia cari tidak pernah cukup, masalah yang datang kepadanya tidak pernah beres selama ia terus bekerja seperti demikian, dan Mandy sadar itulah dunianya.

Perbedaan antara dokter dan suster/perawat sebenarnya jauh lebih esensial daripada sekadar jumlah gaji mereka. Dokter mengobati penyakit. Suster mengobati orang sakit. Pekerjaan Mandy adalah merawat orang-orang tersebut. Namun merawat yang seperti apa? Bahkan para mafia pun menggunakan istilah ‘taking care of someone’ sebagai kode untuk membunuh mereka. Yang dikerjakan Mandy dalam film ini merefleksikan pilihan moral yang mungkin juga dihadapi banyak dari kita. Dihadapi ketika kata ‘membantu’ saja tidak cukup, dan perlu untuk dipertimbangkan segala sebab akibat yang menyertainya.

 

Kalo milih suster ‘edan’, aku masih lebih prefer Ratched sih

 
 
Dari sinopsisnya, kalian mungkin sudah menebak masalah yang hadir pada penceritaan film ini. Mandy di rumah sakit membereskan masalah yang dibawa oleh sepupunya yang menghilangkan ginjal untuk dikirim ke kurir. Semua situasi itu dikenai kepada Mandy. Tokoh utama kita bukan pencetus langsung dari aksi dan masalah yang ada. Melainkan dia hanya jadi ‘pemberes’. Sepupunya lah yang menarik trigger majunya kejadian demi kejadian. Nyawa sepupunya yang pertama kali berada di dalam bahaya, yang dipertaruhkan. Mandy hanya bereaksi terhadap aksi yang digerakkan oleh sang sepupu. Ini berarti Mandy adalah tokoh utama yang pasif. Jadinya kita lebih seru menonton aksi sepupunya ketimbang Mandy. Karena film juga tidak membiarkan momen-momen dramatis seputar masalah moral dan pilihan Mandy muncul lama-lama di layar. Cerita tidak membawa kita menyelami masalah itu. Melainkan tetap berfokus kepada kejadian-kejadian rusuh yang digebah oleh aksi sepuou Mandy.
Interaksi yang melibatkan Mandy seharusnya dibuat lebih engaging lagi. Candaan mestinya bisa ditulis dengan lebih gamblang dan tidak bernuansa inside joke antara Mandy dengan karakter lain di rumah sakit. Terutama, tempatkan Mandy di posisi yang riskan dan cahaya yang lebih tegas lagi, seperti cerita menempatkan sepupunya. Kita tahu sepupu cewek ini edan, bego, dan nekad. Film menggambarkan Mandy dengan sedikit terlalu berhati-hati. Usaha film membuat tokoh ini relate ke penonton justru berbalik membuat posisi tokohnya semakin gak-tegas. Film tetap seperti ragu menunjukkan bahwa Mandy lebih dekat sebagai seorang anti-hero ketimbang everyday-hero itu sendiri
 
 
 
 
Menarik berkat kejadian-kejadian rusuh yang digambarkan semakin menggila. Film ini didesain untuk membuat kita tergelak melihat kekacauan satu malam akibat karakter-karakter bercela. Hakikatnya, ini adalah dark-comedy yang menarik untuk disimak, berkat suara yang digaungkan di balik ceritanya. Namun secara bangunan cerita, film ini butuh banyak perbaikan. Terutama dalam membentuk karakter utamanya yang masih tampil pasif dan dikenai oleh kejadian dari aksi karakter yang lain. Film ini butuh untuk lebih memperdalam eksplorasi tokoh utamanya sebagai penyeimbang dari kejadian sensasional yang tak-pelak menenggelamkan bukan hanya si tokoh utama melainkan gaung gagasan film ini sendiri.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for 12 HOUR SHIFT.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pantaskah kita membantu diri sendiri dengan dalih membantu orang lain? Setujukah kalian dengan pernyataan kita butuh persetujuan orang untuk dibantu sebelum membantu mereka?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HUBIE HALLOWEEN Review

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”
 

 
 
Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.
Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 
 
Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.
Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.
Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 
Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 
 
Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.
 
 
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

VAMPIRES VS. THE BRONX Review

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”
 

 
 
Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 
Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 
 
Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.
Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.
Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.
Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 
 
Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.
Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini
 
 
 
Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ALONE Review

“The coward does not know what it means to be alone…”

 

 

 

Menyendiri kadang memang perlu. Karena sesekali kita memang perlu untuk dapat ruang untuk menenangkan diri. Untuk menghimpun kembali diri kita yang mungkin sudah berkeping-keping didera stress dan masalah. Pun tidaklah egois jika kita merasa butuh untuk menjauh dari kebisingan sosial dan hiruk pikuk drama. Memisahkan diri dari keluarga atau teman-teman sementara. Dan certainly, ‘ngilang’ seperti demikian bukanlah perbuatan pengecut. Kalian yang belum mengerti kenapa, bisa menemukan jawabannya dengan menonton thriller kucing-kucingan karya John Hyams yang berjudul Alone ini.

Dibagi menjadi lima chapter, Alone memperlihatkan perjalanan yang berubah menjadi petaka bagi seorang wanita bernama Jessica. Sepeninggal sang suami, Jessica menemukan hidupnya dalam keadaan yang sulit, sehingga dia bermaksud untuk pindah rumah. Meninggalkan kehidupannya yang lama. Jessica bahkan sengaja tidak memberitahu ibu dan ayahnya di rumah. Dia benar-benar butuh waktu dan tempat untuk sendiri. Jalanan yang panjang dan sepi itu pun kemudian ditempuhnya. ‘Teror’ yang dialami Jessica awalnya cuma telfon dari orangtua yang mencari dirinya. Namun hal berkelok menjadi semakin mengerikan tatkala janda ini dibuntuti oleh pria sok-akrab dengan mobil hitamnya.

Bayangkan Ned Flanders, with more straight-up creep and less  -ookily dookily

 

 

Tiga puluh menit pertama, saat masih di chapter ‘The Road’, cerita seperti sebuah thriller psikologis. Dan itu seru sekali, I really enjoyed it. Alone punya naskah yang sangat bijak untuk tidak membeberkan seluruhnya sejak awal (bahkan hingga film berakhir masih banyak backstory yang dibiarkan terungkap tak lebih banyak daripada seperlunya). Jadi di awal itu ada berbagai lapisan misteri yang terasa oleh penonton. Kita masih figure out apa yang terjadi dan siapa si Jessica. Kita juga harus menelisik benarkah si Pria itu orang jahat dan pertemuan-pertemuan mereka murni kebetulan dan semuanya hanyalah kecurigaan Jessica semata. Tapi makin berlanjut, perihal niat dan kelakukan si Pria semakin obvious, dan di sinilah kepiawaian cerita mulai tampil. Ada build up tensi yang benar-benar terasa. Mengalun merayap di balik cerita sehingga kita seolah berada di kursi depan di sebelah Jessica.

Jessicanya juga ditulis bukan seperti karakter korban pada umumnya. Wanita ini boleh aja terlihat curigaan, tapi dia curiga-dan-pintar. Sikapnya ini berhasil mempengaruhi kita sehingga kita benar-benar peduli. Tensi pada film ini bukan terjadi karena sesimpel karakter cewek yang diburu oleh cowok – mangsa lemah melawan pemburu yang lebih kuat. Film berhasil mengeluarkan diri dari perangkap gender tersebut. Ketika ketegangan cerita seperti distarter ulang saat kita masuk ke chapter berikutnya – Jessica dikurung di ruang bawah tanah kabin di tengah hutan – kupikir cerita berubah dangkal dengan menjelma menjadi semacam horor siksaan yang mengeksploitasi kekerasan ataupun seksualitas. Ternyata tidak. Momen tersebut justru digunakan film untuk memperkenalkan dua karakter ini secara lebih fokus kepada kita, dengan tetap menyimpan beberapa hal. Di sinilah kita mendapat penyadaran bahwa kedua tokoh ini punya kesamaan, sekaligus perbedaan pandang dari kesamaan tersebut. Di sini jualah kita akan mendapat momen paling mengerikan dari si Pria. Momen yang adegannya dirancang sedemikian rupa sehingga seperti gabungan menakutkan dari sebuah eksposisi dan eksplorasi karakter.

Tema berulang yang dapat kita jumpai, entah itu disebutkan lewat ucapan tokoh ataupun tersirat di balik aksi buru-memburu, adalah soal cowardice. Sifat kepengecutan. Setidaknya ada tiga peristiwa yang bisa terlingkup ke dalam konteks ‘pengecut’ yang dapat kita lihat sepanjang film ini. Jessica yang menghindari – tidak mengangkat – telfon ibunya. Pria yang bohong sedang liburan di hotel kepada istri dan anaknya di telefon. Dan suami Jessica yang memilih mati bunuh diri. Tiga tindakan ini dilakukan oleh para tokoh, dan mereka memerlukan kesendirian untuk melakukannya. Tapi kesendirian itu sendiri bukanlah bentuk sebuah kepengecutan. Inilah yang diargumentasikan oleh film lewat para karakter. Pria yang mencerca suami Jessica sebagai seorang pengecut, padahal si Pria itu sendiri memakai kedok dan memilih untuk sendiri supaya bisa melampiaskan perangai dirinya yang asli. Sedangkan Jessica, sebagai tokoh utama, dia berada di antara keduanya. Boleh jadi dia memang menghindar karena takut menghadapi drama dengan orangtuanya, namun pada akhirnya lewat perjuangan berdarah-darah yang dihadapinya sendiri sepanjang cerita ini, kita bisa melihat – dan Jessica herself akhirnya menyadari – bahwa dia adalah seorang yang pemberani. Seorang penyintas.

Memilih untuk menyendiri bukan lantas berarti kita adalah seorang pengecut. Malah sebaliknya. Pengecut justru adalah seseorang yang tidak mengerti makna dari kesendirian. Orang-orang paling berani pasti pernah memilih untuk sendirian, dan mereka menjadi lebih baik setelah pengalaman saat sendiri tersebut.

 

 

Film lantas mulai terasa klise ketika panggung kejar-kejaran bergeser ke hutan. Cerita memasukkan satu karakter lagi untuk menambah dramatis ke trik thriller, tetapi tidak ada yang spesial di sini. Melainkan hanya karakter baik, tipikal, yang ujung-ujungnya kita semua tahu bakal mati. Alone bekerja terbaik saat dua karakter protagonis dan antagonisnya ‘berduel’ sendirian tanpa harus dicampuri oleh karakter lain. Puncak ketegangan tertinggi buatku adalah saat Jessica kabur, dan setelah ketemu tokoh satu lagi ini, film tidak berhasil mencapai ketinggian yang sama lagi bahkan dengan konfrontasi terakhir yang ditarik dari dalam mobil hingga ke lapangan penuh lumpur itu.

Robert menunjukkan bahwa di tangan orang baik, senjata tidaklah berguna

 

 

Yang ada malah seperti film mulai mengincar ke arah yang over-the-top. Demi kepentingan circle-back ke momen awal, film membuat Jessica malah menelpon istri Pria ketimbang menelepon polisi begitu berhasil mendapatkan handphone. Kinda silly kalo dipikir-pikir. Misalnya lagi; dialog Pria kepada hutan, meneriakkan kata-kata provokasi ke Jessica, terdengar tidak demikian mengancam. Padahal penampilan akting di sini sudah cukup meyakinkan. Baik Jules Willcox yang jadi Jessica maupun Marc Menchaca yang jadi si Pria bermain sesuai dengan standar horor dengan genre seperti ini. Range di antara ketakutan, bingung, kesakitan, dan marah – dan kedua aktor ini delivered. Masalahnya terletak di arahan; taktik build up tarik ulur yang konsisten diterapkan tersebut saat mendekati akhir tidak menemukan pijakan yang klop terhadap arah over-the-top. Sehingga film jadi terasa gak lagi nyampe, atau pay-off nya tidak seperti yang diancang-ancangkan. Misalnya di dialog malam tadi, Pria meletakkan senjata ke tanah. Kamera fokus ke mata Jessica yang mengintip dan tampak mengincar senjata. Namun tidak ada kelanjutan terhadap build up tersebut.

Begitupun dengan chapter-chapter yang ada. Pembagian cerita yang muncul setiap kali panggung berpindah (The Road saat di jalanan, The River saat di sungai, dsb) semakin ke ujung semakin terasa kurang signifikan. Melainkan kepentingannya hanya seperti nunjukin nama tempat aja. Film kurang berhasil menghujamkan bobot chapter ke struktur cerita secara keseluruhan. Jika memang ada makna paralel tersembunyi, gaungnya jadi kecil karena fokus yang sudah membesar menjadi over. Buatku pilihan ini aneh aja. It’s either filmnya gak konsisten atau filmnya gak tahu aja cara yang tepat untuk menonjolkan diri. Karena film ini sedari awal tampak seperti sengaja gak menonjol. Judulnya aja udah generik sekali. Kalo kita cek Google, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya sudah ada lima film selain ini yang berjudul Alone. Tahun 2020 ini aja ada dua film Alone. Tapi kemudian isi filmnya sendiri tampak pengen beda dengan struktur chapter, konfrontasi tokoh, dan sebagainya. Hanya saja, gak semuanya yang punya pay off yang gede dan tak terasa over-the-top.

 

 

Aku suka paruh awal film ini. Sensasi ngeri saat sendiri di jalanan itu berhasil banget tersampaikan. Penampilan akting dua tokohnya tidak ternodai oleh karakter yang bego. Aku hanya enggak cocok dengan pilihan-pilihan berikutanya yang dilakukan oleh film. Yang tampak seperti geliat untuk keluar dari sesuatu yang generic tapi tidak berhasil. Over-the-top yang dihasilkan jadi terasa awkward. Film ini masih seru untuk dimasukkan ke daftar tontonan pengisi Halloween nanti. Tapi jika kalian mengincar sesuatu yang lebih unik, maka film ini bakal terasa biasa-biasa aja. Jangan khawatir. Kalian gak sendirian soal itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALONE

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana kalian memaknai kesendirian? Pernahkah kalian menghilang dari semua orang beberapa waktu untuk menenangkan diri atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ENOLA HOLMES Review

It means I’m strong enough to handle things all by myself.”
 

 
 
Enola adalah kebalikan dari ‘Alone’. Remaja cerdas itu tadinya kurang paham kenapa ibu menamainya seperti itu. Karena nama kedua abangnya jelas-jelas tidak bisa dibolak-balik begitu; Mycroft dan Sherlock. Ya, Sherlock yang itu. Yang detektif terkenal itu. Jadi setidaknya misteri pertama dari cerita ini terungkap sudah. Enola adalah adik bungsu dari Sherlock Holmes. Dan dalam film ini kita akan melihat Enola punya kemampuan memecahkan misteri yang gak kalah mengesankan dari abangnya tersebut. Film yang diadaptasi dari novel karangan Nancy Springer – yang clearly sangat menghormati Sir Arthur Conan Doyle sebagai sumber imajinasi dunia Holmes versi dirinya – mengisahkan petualangan Enola yang punya pesona dan warna berbeda dari petualangan Sherlock Holmes. Sutradara Harry Bradbeer mengemasnya sebagai cerita petualangan detektif wanita yang bahkan lebih ceria dari Nancy Drew, dengan mengedepankan isu feminisme untuk membuat ceritanya semakin relevan.
Namanya jadi misteri yang menarik baginya, sehingga si bungsu Holmes ini jadi menggemari cipher alias sandi/teka-teki susunan kata. Ia awalnya tidak mengerti kenapa sang ibu menamainya ‘alone’ padahal mereka selalu bersama. Setelah ayah meninggal dunia dan dua abangnya merantau ke berbagai penjuru Eropa, Enola tinggal berdua dengan ibu. Mereka menghabiskan hari dengan berbagai aktivitas. Ibu ngajarin Enola bermacam-macam. Mulai dari menenun, main tebak kata, bereksperimen kimia, hingga main tenis – di dalam rumah! Saking deketnya mereka, Enola sama sekali gak kebayang dia hidup sendirian. Hingga sang ibu menghilang dari rumah. Misterius sekali. Dua abang Enola pun pulang untuk memecahkan misteri ini. Tapi kedatangan mereka membawa ancaman kungkungan kepada Enola, karena kedua abangnya kurang terkesan dengan hasil didikan ibu terhadap Enola. Mycroft ingin mengirim Enola pergi ke sekolah wanita untuk menjadikan Enola wanita yang ‘seharusnya’. Sebelum itu kejadian, Enola yang berhasil menemukan petunjuk yang ditinggalkan ibu, pergi diam-diam, dengan menyamar sebagai anak cowok. Dalam memulai petualangannya mencari ibu di London, Enola bertemu dengan kasus pertamanya. Kasus yang membuat ia memikirkan ulang makna dari kesendirian dan menjadi wanita yang kuat.

Ajarkan feminisme sejak dini

 
 
Aku gak bohong kalo ada bagian dari film ini yang membuatku jadi teringat sama Mulan (2020). Terutama karena kedua film ini vokal sekali dengan suara pemberdayaan perempuan. Untungnya, Enola Holmes adalah cerita yang jauh lebih menyenangkan untuk diikuti. Film ini punya dunia yang lebih vibrant dan gak takut menampilkan humor. Dengan karakter yang lebih hidup; dan terutama karakter-karakternya lebih relatable. Agenda feminisme dalam film Enola Holmes ini dimasukkan tidak dengan paksa, melainkan dengan tetap memikirkan dampaknya terhadap narasi. Ada satu adegan yang aku suka karena benar menunjukkan konsistensi pada Enola yakni ketika Enola selamat nyawanya karena korset yang ia kenakan; ini konsisten dengan gagasan wanita menjadi dirinya sendiri, Enola selamat dengan menjadi wanita. Tidak seperti pada Mulan yang gak konsisten dengan adegan Mulan harus menjadi wanita tapi malah menunjukkan dirinya justru diselamatkan ketika ia mengenakan armor lelaki. Enola juga tidak pernah tampil sebagai Mary Sue – istilah buat karakter cewek yang dibuat sempurna yang serba-bisa sampai-sampai melemahkan karakter lain hanya untuk membuatnya terlihat semakin ‘kuat’. Dan buatku inilah kelebihan Enola Holmes dibanding film-film feminis kebanyakan. Film ini masih memikirkan bagaimana menuangkan agendanya ke dalam naskah dengan merata sehingga tidak membuat karakternya demikian sempurna.
Karakter Enola ditampilkan sebagai remaja yang vulnerable, dengan banyak hal yang masih harus ia pelajari di dalam petualangannya.  Ketika Enola digambarkan panjang akal, jago berantem, dan sangat mandiri, naskah menyeimbangkan karakter ini dengan menunjukkan bahwa ia sudah mempelajari semua itu sedari kecil. Dan bahkan dengan segala kemampuan itu, Enola masih diperlihatkan kurang pengalaman. Dia tidak serta merta berhasil. Masih ada kegagalan, lalu berpikir ulang. Karakter ini masih perlu belajar banyak. Konflik pada dirinya terutama adalah tentang ibu yang ia yakini tidak akan meninggalkan dirinya. Namun hal tersebut selalu ditentang saat beberapa kali Enola ditampilkan tertohok oleh pertanyaan dari berbagai karakter mengenai kenyataan bahwa sekarang ia tidak tahu di mana ibunya berada.
Di situlah permainan peran dari Millie Bobby Brown (aktor muda temuan, dan kuyakin sekarang kebanggaan, Netflix) mengangkat film ini setinggi-tingginya. Di tangannya, Enola tampil sebagai karakter utama sejati; kita peduli padanya, kita berempati kepada konfliknya. We just love to cheer for her. Millie adalah Enola yang ceria, funny in her own way, sedikit pemberontak tapi tak pernah annoying. Sutradara Bradbeer tidak menyia-nyiakan karisma dan pesona yang dibawa oleh Millie kepada karakternya. Bradbeer sudah mempersiapkan konsep ‘breaking the fourth wall’ sebagai device untuk menghadirkan Enolanya Millie langsung face-to-face kepada kita. Ini membuat semua eksposisi yang dibutuhkan cerita tersampaikan lewat cara yang kita semua gak bisa tolak. Emangnya siapa juga yang gak mau diajak ngobrol sama Enola, kan? Millie begitu mulus berpindah dari ngomong kepada kita dan ngomong ke karakter-karakter di film. Aktor muda berbakat itu hampir membuat kita merasa seperti bagian dari diri si Enola itu sendiri. Kita bukan cuma sebagai penonton, kita turut jadi bagian dari karakterisasinya.
Millie doesn’t even flinched when the script asks her to do some action. Memang, selain berwarna, lucu, dan berbobot agenda, film ini juga punya muatan aksi. Film ini menampilkan beberapa adegan ketika Enola berantem tangan kosong dengan penjahat. Dan adegan-adegan aksi ini punya rentang tone yang cukup drastis. Ada yang penuh ledakan tapi berbau mirip fantasi. Bahkan ada juga yang lumayan violent. Like, real murder attempt kind of violent. Tingkat kekerasannya yang cukup tinggi tersebut membuat tone cerita film ini secara keseluruhan agak sedikit gak seimbang lagi. Cerita ini memang sedari awal dibangun dengan dibayangi oleh subteks kriminal, tapi menurutku resolusi yang berupa berantem beneran tersebut seharusnya lebih dibangun atau setidaknya dunia yang jadi panggung Enola bisa lebih digelapkan sedikit, supaya menyeimbangkan atau memperkecil rentang tone yang ditampilkan di awal dengan di konfrontasi akhir.
“Jangan sampai jurus Demogorgon Killer gue keluar ya!”

 
 
Sebagaimana film-film petualangan adaptasi novel lainnya, Enola Holmes juga dihadapkan pada tantangan memuat-banyak-dalam-durasi-terbatas. Dan boleh jadi, ini adalah perlawanan yang lebih berat ketimbang memperjuangkan gerakan perempuan. Karena meskipun film ini berhasil membuat tokoh perempuan yang benar-benar kuat dan respectable, di sisi lain film ini masih tersandung saat bercerita hal yang kompleks meski diberi durasi yang sudah cukup panjang. Ada banyak karakter pendukung, ada banyak plot sampingan, yang harus disampaikan tetapi film ini tidak benar-benar mulus dalam menyampaikannya.
Soal fokus ceritanya, film ini jadi seperti terbagi dua. Yang diangkat di awal adalah persoalan mencari ibunya. Namun di pertengahan, seiring dengan perkembangan karakter Enola, fokus cerita berpindah ke menolong seorang anak bangsawan yang diburu oleh seseorang. Meskipun memang naskah sekuat tenaga untuk membuat dua ‘main objectives’ ini saling berkaitan, tetapi tetap saja ini memecah motivasi tokoh utama. Sehingga berakibat pada berkurangnya urgensi pada petualangan besar si protagonis ini secara keseluruhan. Tidak ada, katakanlah deadline, yang mengejar atau menjepit Enola untuk menemukan ibunya secepat mungkin. Begitupun dengan kasus perburuan yang ia tangani; tidak ada urgen yang membuat kita ingin Enola berhasil karena kasus tersebut tidak benar-benar berbahaya bagi Enola. Itulah sebabnya kenapa cerita di bagian akhir dibuat jadi sedemikian violent; Supaya Enola bisa benar-benar tampak dalam bahaya. Thus, stake cerita diharapkan jadi naik. Karena sepanjang cerita, stake yang dimiliki Enola cuma dia gak boleh sampai ketahuan oleh dua abangnya. Sekolah khusus wanita yang strict tersebut tidak kuat atau tidak cukup dramatis untuk dijadikan ganjaran. Misteri hilangnya sang ibu pun pada akhirnya tidak diberikan konklusi yang sebanding dengan build upnya.

Being independent dan mempercayai kekuatan sendiri bukan berarti kita harus mengerjakan semuanya sendirian, ataupun hanya demi diri sendiri. Petualangan yang ditempuh oleh Enola mendewasakan dirinya terhadap hal tersebut. There’s no shame jika dalam perjalanan pemberdayaan, kita menemukan cinta dan malah menunjukkan kebutuhan untuk bekerja sama dengan orang. Karena bisa berdiri sendiri bukan berarti kita harus memilih untuk sendiri.

 
Karakter-karakter pendukung yang cukup banyak jumlahnya itupun masih belum dihidupkan secara maksimal. Salah satu yang niscaya jadi pusat banyak perhatian tentunya adalah karakter Sherlock Holmes. Namun tak banyak dilakukan oleh Henry Cavill sebagai tokoh ini. Melawan pakem karakter eksentrik dan cueknya, Sherlock di sini ditempatkan sebagai low-key mendukung Enola. Namun ini justru membuat tokohnya berada ngambang di tengah-tengah. Di antara Enola yang free-spirited dengan abang tertua mereka yang total strict. Dari sini saja mungkin kita sudah bisa melihat bahwa karakter-karakter di cerita ini sebenarnya bisa untuk padetin lagi. Sherlock dan Mycroft bisa saja dirapel menjadi satu karakter yang lebih bakal terasa lebih flesh out. Bikin aja, misalnya, Sherlock yang strict dan jadi antagonis utama buat Enola. Sehingga ia akhirnya akan mengalami perkembangan dan punya lebih punya banyak hal untuk dilakukan. Mestinya sih bisa jadi lebih menarik, I mean, kapan lagi kan kita melihat Sherlock dalam cahaya yang lain.
 
 
 
Perhaps, jebakan terbesar yang berhasil dilompati oleh film ini adalah jebakan untuk tampil seperti fan-fiction dari cerita Sherlock Holmes. Enola dan karakter-karakter lain boleh jadi bukan kanon dalam semesta Sherlock Holmes, tetapi film ini sendiri berhasil membuktikan diri sebagai cerita utuh yang layak dinanti pengembangannya lebih lanjut. Keberadaan film ini layak untuk ditetapkan sebagai semesta alternatif dari tokoh ikonik yang sudah ada. Tokoh utamanya sendiri benar-benar menarik, kuat, dan adorable. Dia adalah heroine (jagoan cewek) yang ideal, baik dalam narasi detektif maupun dalam agenda feminis. Film ini bisa kita lihat sebagai introduksi yang cukup kuat jika memang ceritanya masih akan dibuat terus berlanjut. Dengan beberapa catatan kecil soal problem yang lumrah ditemukan dalam cerita-cerita petualangan adaptasi buku, film ini tetap menghibur berkat penampilan akting dan nuansa fresh yang dibawa.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ENOLA HOLMES

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih ‘merasakan kesendirian’ itu bagi diri kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ANTEBELLUM Review

“The more things change the more they stay the same”
 

 
Sinopsis resminya (bisa dilihat di IMDB) menyebutkan bahwa Antebellum ini adalah cerita tentang “Veronica Henley, seorang penulis ternama, mendapati dirinya terjebak dalam kenyataan mengerikan yang memaksanya untuk menghadapi masa lalu, sekarang, dan masa depan – sebelum semuanya terlambat.” Supaya makin seru, aku mau memperinci sedikit bahwa Veronica si penulis itu sepulang dari kumpul cantik bersama sahabat mendapati dirinya terbangun di sebuah perkebunan, berisi prajurit kulit putih yang membentak-bentak, memanggil dirinya dengan nama Edan dan memaksanya bersama sejumlah ras kulit hitam lain untuk memetik kapas di ladang. Mereka tak segan berbuat kasar dan tak berprikemanusiaan. Veronica ternyata menghidupi kembali hal yang ia pertentangkan di bukunya; yakni perbudakan jaman dahulu. Dan dia harus segera memikirkan cara keluar dari masa lalu mengerikan tersebut dan kembali ke masa modern.
Pertanyaan terbesar yang hadir berkenaan dengan menonton film ini adalah bukan apa yang sebenarnya terjadi kepada Veronica. Melainkan bagaimana bisa film ini segagal itu dalam menjelmakan sinopsis yang sederhana-tapi-menarik itu menjadi satu tubuh cerita yang enak untuk diikuti. Karena Antebellum jelas-jelas bukan cerita sederhana-tapi-menarik. Arahan sutradara Gerard Bush dan Christopher Renz mengincar kepada twist alias kecohan. Membuat cerita ini menjadi ribet dan alih-alih membuat kita terpesona pada kecerdasan pengungkapan, Antebellum ini malah membuat kita mencak-mencak sambil geleng-geleng kepala.

ente udah ngerti bellum?

 
Struktur narasinya diacak sedemikian rupa sehingga, saat menonton ini tuh kita rasanya gatel untuk mengembalikan keping-keping itu ke susunan yang sepatutnya. Antebellum tampak ingin meneladani karya-karya M. Night Shyamalan, atau setidaknya pengen jadi sepinter ‘kakak-kakak’ seprodusernya; Get Out dan Us. Yang memjadikan ‘kejutan besar’ sebagai senjata utama. Hanya saja, film ini lupa untuk dapat membuat kejutan tadi benar-benar berarti. Supaya twist dapat berefek dan membuat penonton terheran-heran kagum, kuncinya bukan pada twist itu sendiri. Melainkan pada cara menghantarkannya. Begini, bayangkan sebuah jalan aspal. Tikungan yang bikin kita surprise adalah tikungan yang muncul ‘tiba-tiba’. Dan ‘tiba-tiba’ itu bukan seberapa ngelingker atau seberapa tajam si tikungan. Melainkan bagaimana kondisi jalan itu sebelum sampai ke tikungan; misalnya jalanan yang panjang dan lurus lalu tiba-tiba ia berkelok. Jalanan yang lurus nan panjang itulah yang ‘menipu’ kita. ‘Jalanan lurus nan panjang’ itulah yang justru tidak dipunya oleh Antebellum.
Karena sedari awal, film ini sudah berkelok. Babak pertama cerita mengambil panggung saat Janelle Monae sudah sebagai Eden. Dalam artian, cerita bermula di perkebunan tempat para white supremacist mengazab manusia yang berkulit berbeda dari mereka. Dengan segala bukti visual yang diperlihatkan, kita yang nonton diarahkan untuk menyangka cerita ini berada di masa lalu. Kekerasan dan kerasisan parah itu membangun kita untuk mulai terinvest sama karakter-karakter seperti Eden, atau ke seorang pria yang pasangannya ditembak di sekuen pembuka, atau ke seorang wanita yang tengah mengandung. Tiga-puluh menit kemudian, ketika kita sudah siap untuk sekuen ‘first try’ alias ketika stake mulai meningkat, kita penasaran langkah apa yang dilakukan Eden untuk bertahan satu hari penyiksaan berikutnya, cerita melompat. Pindah periode ketika Janelle Monae kini dipanggil Veronica – sesuai dengan sinopsis. Kita lalu melihat set up lagi; kali ini set up di kehidupan modern dengan hotel dan handphone dan uber; jauh dari kereta kuda dan kebun terbuka di babak pertama. Jadi film membuat kita seperti merasakan babak pertama dua kali dengan set up seperti begini. Tensi cerita lepas dan tergantikan oleh kebingungan. Cerita seperti meniatkan untuk kita menerka teka-teki apakah Eden mimpi tentang masa depan, atau dia terbangun menjadi seorang yang lain, atau apakah sebaliknya Veronica mimpi mengenai leluhur. Masalahnya adalah tidak satupun dari pilihan jawaban yang terpikirkan pada titik kita menonton saat itu masuk di akal.
Di babak ketiga, cerita membawa kita kembali ke Eden dan baru semua misteri perlahan bisa kita jawab. Namun semua itu sudah terlambat. Setelah kita mengerti, cerita tak pernah terasa ‘wah’ karena kita sudah burned out oleh dua set up. Dan parahnya lagi, setelah mengerti ceritanya, si film ini sendiri terasa biasa aja karena dia memang tidak punya banyak selain kelokan dan misteri susunan cerita tersebut. Sebelum ngomongin soal isu atau gagasan yang diangkat – yang memang relevan, tapi gak terasa menohok karena diceritakan dengan begitu fantastis dan terlalu klise – aku mau nyumbang saran dulu soal struktur narasi Antebellum. Menurutku jika film ini mengabaikan kepentingan ngetwist penonton dan lebih memilih untuk menguatkan drama dan kebingungan karakter, maka memang seharusnya alurnya dibuat linear saja. Mulai dengan Veronica, lalu adegan yang menyebabkan dia black out, dan kemudian barulah dia terbangun seperti pada babak pertama film. Dengan begitu cerita bisa akan berlanjut dengan narasi si Veronica berusaha mencari tahu apa yang terjadi – pertanyaan apakah dia mundur ke masa lalu atau apakah dia mimpi seperti mimpi Alice ke dunia ajaib akan personally melekat ke dia. Menyaksikan Veronica menguak ini tentunya emotionally akan lebih dramatis dan mengundang, ketimbang membuat hanya penonton yang terbingung-bingung. Garis nyata dan fantasi itu bisa semakin blur. Lebih bagus lagi kalo semua teman-teman Veronica juga tampak ada di dunia Eden, sebagai orang lain.
Musiknya ngingetin sama musik kartun X-Men

 
Karena teman-teman Veronica itu adalah bagian dari isu yang digambarkan oleh film ini. Antebellum mengusung pertanyaan seputar perlakuan timpang yang dilakukan orang kepada orang lain yang berbeda dengannya. Perlakuan yang cenderung kasar atau merendahkan. Film ini tampak memparalelkan kejadian pada supposedly dua kurun waktu berbeda. Pada ‘dunia’ Eden, orang kulit putih semena-mena. Dan pada ‘dunia’ Veronica kita lihat orang kulit putih yang jadi kelas pekerja, bahkan dihardik-hardik oleh salah seorang teman Veronica. Film seperti ingin menunjukkan ketika orang sudah mulai banyak aware terhadap rasisme, misalnya, itu bukan berarti praktik-praktiknya hilang menyeluruh. Hal ironi yang dicontohkan oleh film ini adalah soal acara ‘reenactment’. Acara yang digelar untuk memperingati sejarah, dengan langsung bermain peran sesuai dengan zaman yang di-reenact. Dalam film ini, acara seperti itu ditambahkan volume horornya, dibuat sebagai ‘sarana’ bagi white supremacist untuk membunuhi orang-orang kulit hitam. Jadi sebenarnya sekarang pun orang masih mengakui pengotak-kotakan tersebut. Veronica saja menulis buku berjudul ‘Liberation over Assimilation’, seolah ia percaya asimilasi itu cuma kedok.

Meskipun waktu sudah membuat zaman berubah, banyak hal berubah, namun beberapa hal masih tetap sama. Perilaku manusia yang mementingkan kepentingan golongan, itu masih ada. Perilaku diskriminasi, juga masih ada. Hanya bentuk dan intensitasnya saja yang mungkin berbeda.

 
 
Gaya visual yang dipunya oleh film ini tenggelam di balik kekerasan maupun pemberdayaan yang keduanya sama-sama tampak superfisial tersebut. Tracking shot panjang yang dilakukan dengan precise di adegan pembuka itu adalah satu-satunya hal yang keren yang dilakukan oleh film ini buatku. Slow-motion yang dipake sebagai penutup adegan itu juga dilakukan dengan dramatis. Kupikir film ini bakal jadi seepik itu hingga akhir. Ternyata tidak. Dramanya terasa kosong, adegan-adegan berikutnya tampak biasa saja dan hanya fokus ke kekerasan demi kekerasan. Terlebih karena tiga puluh menit berikutnya semua itu seperti sirna. Narasinya yang tak beraturan benar-benar menjatuhkan film ini. Strukturnya hanya digunakan untuk membuat kita bengong, tanpa mampu melekatkan rasa apa-apa
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ANTEBELLUM

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kita benar-benar doomed to repeat history?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE DEVIL ALL THE TIME Review

“I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent”
 

 
 
Salah kaprah dalam beragama membuat kita melihat setan sepanjang waktu. Karena tak ada yang lebih parah daripada menjadi munafik; merasa paling suci di antara yang lain lalu bertindak seenaknya hingga sampai menipu atau merugikan orang dengan dalih agama. Dalam film The Devil All the Time kita melihat jemaat yang membunuh, pengkhotbah yang memperkosa, dan orang-orang yang percaya tindakan keji yang mereka lakukan adalah atas nama kebaikan. Film ini mengerikan, begitu banyak kematian, begitu beragam kejahatan yang mampu dilakukan oleh manusia. Yang ditunjukkan oleh film ini bukan hanya sebatas bagaimana tragedi mempengaruhi keluarga, bahkan lingkungan. Melainkan juga memperlihatkan bagaimana sebuah keyakinan dapat  sebuah keyakinan dan kejahatan dapat saling bersisian.
Kejahatan dan tragedi yang dihasilkannya dalam cerita The Devil All the Time berawal dari seorang serdadu Amerika di Perang Vietnam yang pulang kembali ke kota kecil kelahirannya di Ohio. Membawa beban mental dan trauma atas kejadian yang ia alami di medan perang sebagai oleh-oleh. Kenangan yang tak bisa lepas dari pikirannya. Malahan justru menyebar dan saling mempengaruhi dengan keadaan di sekitar. Serdadu ini, si Willard (Bill Skarsgard memainkannya seperti orang yang kesurupan oleh mimpi buruk), meminta pertolongan Tuhan. Dia membangun altar ibadah sendiri di pepohonan di belakang rumah. Dia ke Gereja dengan rutin bersama istri dan anaknya. Cerita berubah menjadi buruk tatkala ibadah itu tidak lagi menjadi sesuatu yang positif bagi Willard. Berdoa justru membuatnya beralih ke kekerasan. Kekerasan yang ia turunkan kepada putra semata wayangnya, Arvin. Dan dari sini semuanya menyebar. Jalur kekerasan membawa Arvin tumbuh gede, tanpa orangtua. Sampai akhirnya, jalan hidup Arvin (Tom Holland membuktikan aksen dan aksi emosional bukan sandungan baginya) bertemu dengan generasi penuh kekerasan lainnya.

Kau sadar dunia itu sempit ketika polisi yang membantumu menjadi polisi yang memburumu.

 
 
Selain Arvin dengan ayahnya, kita juga akan mengikuti karakter-karakter seperti adik tiri Arvin, ayah si adik tiri, sepasang kekasih yang tampak baik hati tetapi nyatanya adalah pembunuh berantai yang punya modus operandi sinting, dan seorang polisi korup. Diperankan oleh aktor-aktor ternama yang jelas tidak main-main dalam menghidupkan perannya. Film ini tumpah ruah oleh penampilan akting yang memukau dengan merata. Kita gak akan cepat melupakan peran Robert Pattinson, atau Sebastian Stan, atau Riley Keough, bahkan peran kecil Mia Wasikowska pun niscaya akan membekas. Segitu banyaknya karakter dalam film ini. Babak awalnya akan sering membawa kita berpindah-pindah dari satu sudut pandang ke sudut pandang karakter lain. Dari satu periode masa loncat mundur ke periode lain, lalu balik kembali. Menonton film ini seperti sedang membaca novel dan kita membayangkan kejadiannya di kepala. Imajinasi akan kejadian itulah yang kita tonton. Dan ternyata film ini memang diadaptasi dari novel.
Sutradara Antonio Campos mencoba untuk sedapatnya melinearkan alur lewat ritme karakter. Willard dan Arvin dijadikan tubuh utama di sini. Jika pada novel, ceritanya tiap chapter membahas atau memfokuskan pada tokoh yang berbeda-beda, maka dalam film ini perpindahan tokoh tersebut dilakukan dengan langsung, tanpa ada pembatas. Hanya suara narator saja yang menuntut kita melewati ‘halaman per halaman’ cerita. Konsep bercerita ini dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan gagasan cerita bahwa kejahatan atau kekerasan itu berputar pada satu siklus. Melibatkan banyak orang di kota kecil tersebut, yang semuanya terhubung oleh sebab yang sama, dan eventually akan saling bertemu.
Setan dalam judul cerita ini bukan merujuk kepada setan supernatural alias hal-hal mistis. Melainkan sebuah simbol. Perjuangan manusia melawan hal yang ia takuti, melawan ‘setan’ di dalam dirinya sendiri. Willard mukulin orang-orang, membunuh anjing kesayangan anaknya, dan kemudian ditemukan bunuh diri. Tindakannya itu bukan karena dia dipengaruhi hantu dari medan perang. Melainkan karena dia menderita begitu banyak sebagai efek dari perang. Kejadian mengerikan yang harus ia lakukan di sana memberikan tekanan kepadanya yang berusaha untuk menjadi ayah yang baik. Lalu ditambah pula oleh istri yang sakit. Hancur-lah dia. Begitu juga dengan karakter lain. Mereka punya masalalu mengerikan masing-masing, dan mereka berjuang untuk meyakini sesuatu sebagai bentuk penguatan diri supaya bisa terus hidup. Mereka mengira mereka lantas menemukan Tuhan, yang merupakan simbol dari keselamatan. Namun nyatanya mereka hanya menciptakan ‘keselamatan’ yang palsu.
Maka dari itu, meskipun film ini menampilkan orang-orang taat – yang kesehariannya dekat dengan agama dan penegak moral lainnya – yang ternyata adalah pelaku kejahatan, tapi agama atau hukum moral itu sendiri tidak pernah terasa dijadikan antagonis. Fokusnya selalu adalah ke si karakter; kita dibuat melihat masing-masing mereka secara personal. Karakter Arvin ditampilkan untuk menyeimbangkan ini semua. Dia tidak bertindak sebagai penganut agama yang taat ataupun punya moral kompas yang lurus. Instead, dia adalah seorang yang benar-benar telah dikacaukan oleh semua kejahatan dan tragedi yang terjadi kepadanya. Ayahnya mengajarkan bahwa kekerasan adalah tindakan yang harus dilakukan untuk membela diri. Dia punya etika dan moral kompas sendiri, yang merupakan produk dari ajaran dan defense mechanism dirinya. Arvin menjadikan kekerasan sebagai solusi. Dan lewat adegan di konfrontasi final serta adegan di ending, film mengisyaratkan kepada kita bakal jadi seperti apa kiranya Arvin dengan ‘kepercayaan’ yang ia yakini ini.

Dan sepertinya memang bukan cuma pistol yang diwariskan ayah kepada Arvin. Kekerasan adalah solusi menurut setiap karakter di film ini. Karena mereka percaya tindakan mereka itu bertujuan demi sesuatu yang lebih baik. Dengan bijaknya, film ini menunjukkan bahwa mempercayai hal seperti itu adalah sebuah bahaya yang besar. Karena kekerasan akan dengan mudah saling berkait, membentuk sebuah lingkaran setan. Sebuah siklus yang bakal terus berulang. 

 

Ketika kau sadar kau lebih baik sebagai vampir ketimbang sebagai pendeta

 
 
Ada dua hal yang kemungkinan besar menonjol terasa saat kita menonton film ini. Bingung. Lalu kemudian miris karena ikutan depress. Dua kombinasi yang niscaya menguras kita setelah menonton. Bingung, karena di awal-awal narasi film ini yang berpindah-pindah memang terasa membebani. Setiap sudut pandang, setiap kejadian, begitu berbobot oleh muatan gagasan dan detil karakter. Sekaligus juga berjalan cepat, sehingga kita gak yakin ini cerita tentang siapa. Sebenarnya film bisa saja menggunakan chapter atau menggunakan konsep bercerita bolak-balik yang seem random serupa ama Pulp Fiction (1994), sehingga setiap sudut pandang punya ruang untuk terflesh out dan kita juga jadi punya waktu untuk meresapi lalu menyusun kepingannya. Tapi jika dilakukan dengan begitu, siklus atau setiap tokoh saling berkait jadi tidak terlalu mencuat. Sehingga film lebih memilih untuk bercerita seperti yang sudah kita saksikan. Dan durasi dua jam lebih itu memang jadi tidak cukup.
Dengan begitu banyak sudut pandang dan runtutan kejadian, film yang harusnya benar-benar hidup – bahkan latar kotanya – menjadi seperti hanya punya satu nada. Cerita membawa kita menerobos kejadian suram ke kejadian suram. Dari satu kematian ke kematian lain. Sehingga film jadi lebih mirip seperti cerita genre. Just story about how people dead. Padahal gagasan dan makna yang dikandungnya jauh lebih besar daripada itu. Cerita ini butuh lebih banyak ruang untuk menggerakkan kehidupan dunia yang sedang ia ceritakan. Sehingga emosi yang kita rasakan pun akan semakin hidup dan terbangun. Enggak cuma berada pada sisi miris. Untuk mencapai itu, kupikir ya mau gak mau film memang kudu membuat struktur berceritanya menjadi lebih baik lagi untuk mencakup semua yang kurang tersebut.
 
 
 
Cerita yang panjang, penuh oleh penampilan akting luar biasa sebagai pelengkap narasi yang kelam tentang bagaimana kekerasan menjadi bagian dari siklus hidup manusia. In a way, film ini memuaskan karena membawa kita ke banyak sudut pandang dan rangkaian runtutan adegan yang diolah dengan ritme yang membuatnya tak perlu banyak eksposisi. Bagian awal dapat menjadi sedikit membingungkan karena seringnya perpindahan karakter yang dilakukan dengan cepat, tapi ketika periode cerita sudah mulai stabil dan tokoh sentral kedua mulai kelihatan, cerita lebih enak untuk diikuti. Namun juga sekaligus film ini terasa kurang. Karena kita hanya akan merasa kelam/depress/suram saja. Dengan karakter banyak dan rentang waktu yang luas, kita seperti dibuat memohon untuk cerita yang lebih hidup lagi. Semuanya dilakukan dengan baik – aku suka gambar-gambar negatif film yang bikin makin ‘seram’ – hanya saja buatku memang beberapa kali film ini terasa seperti kumpulan adegan-adegan ngeri dari beberapa film crime atau thriller. This is truly one horrifying movie, akan tetapi horrifying-nya itu gak benar-benar feel earned.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE DEVIL ALL THE TIME.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bisakah kita menyetop siklus kekerasan, dengan kekerasan? Bagaimana kalian mengubah situasi lingkaran setan seperti yang dialami oleh Arvin?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

UNPREGNANT Review

“If you want something done, ask a woman”
 

 
 
Dua remaja putri melakukan perjalanan lintas negara-bagian. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Karena salah satu mereka memilih untuk melakukan aborsi. Dalam perjalanan yang mereka tempuh, keduanya mendapat cukup banyak rintangan, yang menyimbolkan betapa sukarnya bagi seorang wanita untuk mendapatkan kembali otonomi dirinya sen… Tunggu. Kenapa rasanya deja vu. Perasaan belum lama ini kita udah pernah deh nyaksiin cerita seperti ini..
Itu karena Unpregnant hasil adaptasi sutradara Rachel Lee Goldenberg dari novel ini memang punya premis yang persis ama film Never Rarely Sometime Always (2020) karya Eliza Hittman. Beda kedua film ini terletak pada arahan dan tone cerita secara keseluruhan. Jika Never Rarely Sometime Always diarahkan untuk bicara lantang dalam kesunyian karakternya mengarungi keadaan yang lebih realistis, maka Unpregnant ini lebih dekat ke kalimat ‘karena because selalu always’, alias bernada komedi. Karakter-karakter dalam Unpregnant ‘membicarakan’ masalah mereka dengan suara keras; film ini diarahkan seperti road trip movie pada umumnya.
Yang diketahui hamil pada cerita ini adalah Veronica. Siswi SMU yang bukan cuma pintar, tapi juga termasuk geng populer di sekolah. Setelah hasil test packnya menunjukkan dua garis biru, Veronica mulai panik. Karena gendong bayi sudah barang tentu bakal mengandaskan kesempatannya untuk kuliah di universitas favorit. Jadi kedua orangtuanya yang penganut taat agama itu tentu tidak boleh sampai tahu. Weekend ini, Veronica nyusun rencana untuk road trip ke kota terdekat yang memperbolehkan aborsi tanpa persetujuan orangtua. Veronica lantas minta dianter sama mantan-sahabat baiknya, Bailey. Keduanya bakal menempuh perjalanan penuh debat konyol dan mereka bertemu dengan banyak orang-orang dengan pandangan yang berwarna-warni, menjadikan weekend itu sebuah petualangan komikal sebelum pagi aborsi.

Cerita aborsi kini lebih ceria dengan lagu Since You Been Gone!

 
Hati dari cerita ini jelas adalah hubungan persahabatan antara Veronica dan Bailey. Bayangkan dinamik antara dua tokoh sentral film Booksmart (2019), Veronica dan Bailey persis seperti demikian, dengan tambahan bumbu mereka berdua kini sudah tak sedekat dulu lagi. Chemistry Haley Lu dan Barbie Ferreira klop banget ngidupin kedua tokoh ini. Veronica-nya Haley digambarkan kontras dengan Bailey-nya Ferreira. Veronica ini kayak tipikal remaja yang sedikit memaksa diri jadi yang terbaik; dia mulai memilih pergaulan seperti dia memilih sekolahnya ke depan, dia clearly careful dan memikirkan masa depan. Sementara Ferreira lebih nyantai dan blak-blakan apa adanya, dia yang gamer itu juga tergolong cupu atau ‘freak’ di mata teman-teman Veronica yang populer. Persahabatan keduanya bakal gampang untuk relate dengan penonton, karena sebagian besar dari kita pasti pernah punya sahabat akrab yang kini hubungan kita dengannya sudah jauh karena perbedaan pandang itu mulai terasa memberikan jarak. Makanya, persoalan Veronica dan Bailey yang kemudian menjadi perlahan akrab kembali – dalam nostalgia masa kecil di perjalanan, mereka seakan sama-sama mengakui saling rindu satu sama lain – akan terasa menyentuh.
Film juga melandaskan bahwa kedua karakter ini punya kesamaan. Jika Veronica punya orangtua konservatif dan merahasiakan ke-geek-an (dan tentu saja kehamilannya), maka Bailey yang dibesarkan oleh single mother juga memendam ‘kejutan’ bahwa dia suka ama cewek. Kedua karakter ini adalah sama-sama wanita muda yang berjuang dalam lingkungan yang masih mengeja mereka harus bertingkah dan bertindak seperti apa. Perjalanan yang mereka lakukan bukan hanya penting karena mendekatkan mereka berdua karena benar-benar memposisikan mereka sehingga kesamaan keduanya mencuat, dan mereka harus worked through that. Menunjukkan support kepada masing-masing, despite their differences.

Itulah yang mendasari gagasan atau tema yang diusung. Bahwa perempuan itu ya sudah seharusnya saling support. Karena merekalah yang biasanya paling gercep merasakan simpati – dan juga karena permasalahan mereka selalu kurang lebih sama. Bailey adalah orang yang paling tepat untuk diminta bantuan oleh Veronica. Bukan semata karena mereka dulunya sobatan. Melainkan lebih karena dua-duanya ternyata berada dalam posisi yang sama. And they surely will get the job done.

 
 
Misadventure mereka menghasilkan banyak cerita yang membuat film ini asik untuk diikuti. Mereka akan bertemu, ditolong, dan disusahkan oleh berbagai karakter dan mereka belajar banyak dari pengalaman tersebut. Terlalu banyak cerita seperti begini kadang membuat kita lupa sesaat bahwa ini adalah perjalanan seorang perempuan muda yang ingin menggugurkan kandungannya. Unpregnant bukan mau menyepelekan soal aborsi. Paling tidak, film ini masih menampilkan prosedur dan syarat-syarat yang beneran berlaku di dunia nyata. Bahwa praktik tersebut memang tidak digampangkan untuk remaja sekolahan seperti Veronica. Cuma memang, sama seperti Never Rarely Sometime Always, Unpregnant pun tidak menjadikan aborsi itu sebagai sebuah keputusan besar yang harus diputuskan oleh Veronica. Dalam film ini, bagi Veronica, jauhnya jarak tempuh dan susahnya untuk ke klinik yang memperbolehkan itu  sudah seperti hukuman. Dan aborsi itu sendiri akan menjadi reward bagi dirinya yang telah belajar banyak dari rintangan alias hukuman-hukuman yang ia tempuh tersebut.

Entah bagaimana ceritanya jadi seolah hamil dan punya anak itu jadi penghalang seorang wanita untuk maju, sehingga setiap wanita berhak untuk aborsi

 
 
Unpregnant menampilan rintangan atau hukuman tersebut dalam wujud yang lucu, yang komikal. Yang unrealistis – kalo boleh dibilang. Misalnya, di satu kota, Veronica dan Bailey menumpang mobil milik pasangan suami istri, yang ternyata mereka adalah golongan pro-life, alias golongan yang tidak setuju dengan praktik aborsi. Oleh film, kejadian dengan pasangan ini dibuat over-the-top. Dibikin seolah mereka adalah pasangan fanatik atau semacam cult freak. Humor yang ditampilkan memang tidak pernah terlalu receh apa gimana, melainkan masih berakar pada emotional feeling yang dirasakan oleh para tokoh. Namun tetap saja, melihatnya sebagai gambar besar, Unpregnant ini tampak seperti petualangan sepihak yang tidak menggali dua sudut pandang terhadap aborsi, melainkan berat ke satu paham dan menjadikan sudut pandang lain sebagai bukan hanya antagonis melainkan juga lucu-lucuan.
Toh ada satu hal menarik yang diangkat oleh Unpregnant, yang menurutku berakhir menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Soal laki-laki yang bertanggungjawab atas kehamilan Veronica. Dalam Never Really Sometime Always, tokoh utamanya diberikan backstory kehamilan yang membuat si tokoh ini mau gak mau harus menggugurkan janin. Karena benar-benar sebagai sesuatu yang tidak diinginkan – ada sedikit hint bahwa janin itu adalah buah dari sebuah paksaan dan relationship yang buruk alias toxic. Dalam Unpregnant ini, cerita kehamilannya tidak seperti itu. Veronica, meskipun gak berganti-ganti pasangan, tapi hubungan yang ia lakukan semuanya atas dasar suka sama suka. Namun dia hamil karena kondomnya bocor, cowoknya tahu dan sengaja gak ngasih tahu karena si cowok bersedia bertanggungjawab. Dengan kata lain, kehadiran si bayi tidak akan menjadi masalah, tetapi Veronica tetap ingin menggugurkan karena pertama; punya anak akan berpengaruh kepada statusnya sebagai pelajar top. Kedua; dia gak berencana untuk hidup mengasuh bayi bersama si cowok – film lantas bertindak semakin jauh dengan membuat si cowok ini rada bloon dan jadi bahan candaan.
Ini membuat tokoh utama kita jadi tampak egois, dan agak munafik. Karena plot utama si Bailey adalah soal dia mengunjungi ayahnya, tapi si ayah mengacuhkan dan gak nganggep. Dan Veronica membela Bailey dan langsung memberi pelajaran pada si ayah. Veronica gak sadar, bahwa dengan menggugurkan dia sebenarnya jadi sama dengan ayah Bailey; hanya mementingkan diri sendiri dan cuek sama nyawa yang harusnya jadi tanggungjawabnya. Mestinya cerita film ini lebih berfokus kepada mencari jalan tengah dari semua persoalan aborsi dan bayi itu.
 
 
 
Sajian yang lebih asik untuk ditonton ternyata tidak lantas menaikkan kualitasnya sebagai sebuah film. Jika aku menyebut Never Rarely Sometime Always mirip iklan layanan masyarakat yang serius untuk mendukung aborsi, maka cerita Veronica ini tuh kusebut udah kayak iklan tentang aborsi, yang lucu. Benar-benar tidak ada argumen, selain menunjukkan yang kontra itu sebagai sebuah candaan. Film ini justru bekerja terbaik saat menampilkan dua orang perempuan yang belajar untuk saling support.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for UNPREGNANT.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Masih adilkah sesuatu kita sebut sebagai otonomi tubuh atau mengambil keputusan atas tubuh sendiri jika itu ternyata berkaitan dengan hidup orang lain?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CUTIES Review

“Just let the kids be kids”
 

 
Seruan untuk meng-cancel Netflix September ini santer terdengar sebagai reaksi dari perilisan film Perancis yang berjudul asli Mignonnes ini. Tahun 2020, tahun yang sendirinya sudah ‘bermasalah’ bagi perfilman – karena pandemi yang memaksa semua film cari alternatif bioskop – nyatanya justru penuh oleh film-film kontroversial. Kita punya The Hunt yang dipermasalahkan karena menyinggung golongan politik di negaranya, ada Red Shoes and the Seven Dwarfs yang disuruh turun karena isu body shaming yang diangkatnya, Jojo Rabbit yang menuai protes berkat penggambaran sosok Hitler serta becandaan seputar Nazi dan Yahudi, dan baru-baru ini giliran Mulan versi live-action dari Disney mendapat teguran keras dari berbagai arah; dicecar sebagai munafik yang gagal merepresentasi Cina dan malah mendukung pemerintah yang ‘salah’. Namun dari semua itu, Mignonnes yang diberi judul Cuties oleh Netflix really takes the cake sebagai film paling kontroversial tahun ini. Film tersebut dikutuk oleh banyak orang; Cuties disebut mengkritik dengan malah turut menjadi sesuatu yang ia kritik tersebut. Cuties yang ingin menyentil tentang dunia modern yang cenderung mengobjektifikasi dan mengseksualisasi anak-anak, justru menampilkan seksualisasi anak-anak tersebut!
Cuties adalah cerita tentang Amy, anak cewek sebelas tahun, dari keluarga muslim Senegal yang pindah tinggal di sebuah apartemen di Prancis. Identitas tersebut penting dan dihadirkan bukan hanya sebagai latar, tapi juga berperan dalam karakterisasi Amy. Hidup di lingkungan yang kuat aturan agama dan tradisi membuat Amy merasa janggal ketika ia berada di luar. Teman-temannya di sekolah tidak ada yang pake kerudung, atau bahkan hoodie yang menutup semua kulit di tubuhnya. Amy pengen sekali berteman dengan satu geng cewek yang jago nari. Mengintip mereka dari jauh dijadikan pelarian oleh Amy; pelarian dari tugas mempersiapkan pesta pernikahan ayahnya dengan istri kedua di rumah. Amy mulai meniru geng cewek tersebut, mengenakan baju-baju minim (Amy actually ‘meminjam’ baju adik cowoknya) dan diam-diam berlatih nari. Dari tontonan musik di internet, Amy belajar tarian ‘dewasa’, dan iniah yang membuka jalannya untuk dapat bergabung dengan geng tersebut.

Kalo di-Indonesia-in, judul film ini simply jadi ‘Cabe’.

 
Melihat dari segi ceritanya aja, aku harus bilang, Cuties ini adalah film yang bagus. Journey Amy yang ingin fit in dan tidak dianggap bocah – dia juga bisa dianggap sedikit memberontak –  diceritakan logis dengan sangat kuat. Ini adalah cerita pendewasaan yang sangat relate buat penonton, karena kita tentu antara pernah mengalami ingin dianggap dewasa atau sedang mengalaminya sekarang. Kritikku buat cerita ini hanya soal penggambaran Islam yang masih sebatas gambaran kontras dalam hidup Amy. Untuk membuat karakter Amy yang ingin bebas, cerita butuh untuk menempatkan Amy di antara dua hal; lingkungan yang bebas dan lingkungan yang mengekang. Identitas keluarga Islam yang dimiliki Amy, oleh film ini hanya difungsikan sebagai wujud dari ‘lingkungan yang mengekang’ itu. Tidak dieksplorasi dimensinya lebih jauh. Begitupun juga dengan keluarganya. Amy dibuat cenderung untuk mengantagoniskan keluarga. But maybe, that is the part of the problem. Bahwa anak sulit untuk membuka diri kepada keluarga, dan lebih suka menjauh, sehingga mereka rentan untuk terjerumus, apalagi karena mereka masih polos belum sepenuhnya bisa menimbang mana yang baik dan yang tidak.
Jika benar demikian, maka film ini menggambarkan dengan tepat sebab-dan-akibat masalah yang menimpa anak-anak, khususnya anak perempuan, di dunia modern. Amy dan geng Cuties, dan banyak anak perempuan, di luar sana yang tumbuh terlalu cepat. Figur orangtua bagi mereka diambil alih oleh media, karena di sanalah mereka bisa bebas mengekspresikan diri. Sosial mengkondisikan anak-anak ini harus mengejar tren, supaya tidak kolot seperti orangtua di rumah. Masalahnya adalah, sosial dan media yang jadi pengasuh mereka itu punya penyakit akut yakni gatal untuk mengobjektifikasi wanita. Amy dan anak-anak perempuan ini jadi kebawa-bawa. Melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang dewasa – sesuatu yang bahkan sebenarnya orang dewasa sendiri tidak pantas melakukan itu di ruang publik – tanpa benar-benar ada pemahaman kecuali ya karena mereka ingin dianggap serius dan bukan bocah aja. Tidak ada yang melindungi anak-anak ini. Dunia justru mengeksploitasi. Orangtua tidak tahu karena hubungan mereka renggang. Yang terjadi pada film ini berdering benar ke kehidupan nyata kita. Anak-anak menirukan tarian K-Pop, bermain TikTok dengan joged orang dewasa, tontonan di televisi yang pilihannya cuma cinta-cintaan atau bully-bullyan.
Film Cuties menyugestikan suatu solusi yang menurutku cukup mengerikan, yakni harus si anak itu sendirilah yang sadar dan mengeluarkan dirinya sendiri dari sana dan kembali kepada keluarga. And it is such an impossible task. Amy adalah karakter kuat yang pantasnya dijadikan teladan, tetapi dia ‘hanyalah’ karakter dalam film yang sudah diberikan situasi dan kondisi yang memungkinkannya untuk berubah. Sepertinya inilah kenapa sutradara Maimouna Doucoure memilih untuk menghadirkan film ini dengan begitu kontroversial. Karena ia menyasar kepada para orangtua dan orang dewasa. Seperti dia mau bilang “Begini loh kondisi anak-anak pre-teen kita, mereka dituntut untuk cepat dewasa, lihat tontonan mereka, lihat apa yang mereka tiru. Di mana kita?” Ibarat jika ada bunga yang salah mekar, maka yang harus dibenahi adalah lingkungan tempatnya tumbuh, bukan si bunga itu sendiri.

Ending film ini mengatakan biarkanlah anak-anak menjadi anak-anak. Kitalah yang membuat mereka tumbuh lebih cepat. Padahal biarkanlah mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Pake baju biasa daripada dipaksa mengenakan tradisi dan adat. Bermain lompat tali alih-alih menari ala girlband atau artis hiphop di televisi. 

 
Pada beberapa momen, Doucoure memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya ia mampu menggarap adegan dengan nada surealis. Ketika adegan ending yang seolah Amy terbang, atau adegan ketika Amy menatap gaun pesta yang harus ia kenakan tergantung di lemari, lalu sesuatu terjadi pada gaun tersebut; paralel dengan yang terjadi pada Amy. Dengan melihat itu, adegan-adegan pada film ini yang menyulut kontroversi – seperti tarian erotis anak-anak dengan ngezoom ke bagian-bagian aurat – tentu saja kita anggap Doucoure mampu untuk menampilkannya secara surealis juga. Bahkan besar kemungkinan tarian yang dibuat lebih surealis akan membuat film jadi lebih elegan. Namun Doucoure tetap menampilkannya dengan banal (kalo gak mau dibilang binal), karena ia ingin menekankan kepada perasaan gak nyaman kita dalam menontonnya. Dia ingin membuat kita merasa ingin menghentikan tayangan, karena gagasannya adalah memang supaya kita-kita ya harus menyetop itu semua di dunia nyata juga. Aku bisa melihat bahwa bagi Doucoure menampilkan lebih less daripada yang ia tampilkan di film ini akan mengurangi intensitas dari poin yang ingin ia sampaikan.

Di usia 11 aku masih nonton film kartun anak-anak, sementara Amy and the genk udah bahas bikin anak

 
 
Tapi juga tentu saja kita semua bisa mengerti kenapa bisa ada yang menyebut film ini ‘tontonan gratis bagi pedophilia’. Ada beberapa adegan yang menurutku juga sebenarnya tidak perlu ada dan bisa dibuang atau setidaknya ditampilkan dengan lebih tersirat atau elegan dengan tanpa mengurangi poin utama yang ingin disampaikan. Adegan seperti tokoh anak cewek yang meniup kondom bekas dan kemudian mereka ramai-ramai menggosok lidah si tokoh supaya bersih misalnya, hanya dimainkan sebagai komedi dan tidak benar-benar berkepentingan karena untuk memperlihatkan geng Cuties itu ‘belajar otodidak’ hal dewasa pun sudah ada adegan yang mewakilkannya. Jadi adegan ini sebenarnya tidak perlu lagi. Adegan mereka menari di tangga juga gak perlu untuk direkam seclose up dan selama itu, karena toh kepentingan adegan tersebut sebenarnya untuk memperlihatkan Amy sudah populer sejak dia bertingkah dewasa bersama geng Cuties. Film bisa saja menyampaikan poin ini hanya dengan menampilkan adegan buka sosmed dan melihat akunnya banyak menuai komen atau likes.
So yea, buatku film ini pantas mendapatkan kontroversi seheboh yang ia terima sekarang ini. Karena dengan beberapa adegan yang ditampilkan dengan arahan untuk berjalan di batasan antara kontroversi dan tidak itu, film ini memang jatohnya ada di ranah film-film disturbing. Melihat anak-anak itu menari, disyut dengan treatment sedemikian rupa menonjolkan seksualitas, sama berat dan mengganggu dan gak nyamannya dengan saat melihat adegan motong kura-kura sungai hidup-hidup dalam film Cannibal Holocaust (1980) Dan bagaimana dengan aktor-aktor cilik itu sendiri, aku gak bisa ngebayangin gimana ngedirect mereka untuk beradegan seperti itu.
 
 
 
Ada berbagai cara untuk menyampaikan komentar atau kritik. Yang paling ampuh biasanya adalah dengan komedi. Kita sudah pernah melihat pesan yang mirip disampaikan dengan aman oleh Bad Grandpa (2013) dan Little Miss Sunshine (2006) ketika menyinggung soal beauty pageant untuk bocah-bocah. Atau, kita juga bisa menyampaikan kritik dengan cara yang lebih elegen, dengan tidak terlalu literal. Film debut sutradara Doucoure yang ia sebut berdasarkan pengalaman dan pengakuan asli banyak anak-anak ini memilih untuk bersuara dengan kontroversi. Efeknya boleh jadi langsung terasa dan tepat sasaran. Like, banyak yang protes berarti misi filmnya tercapai (sebaliknya, jika ada yang merasa biasa aja maka itu berarti si penonton ini antara tidak peka atau tidak mengerti cara nonton yang benar), tapi tentu buatku itu semua kembali ke film itu sendiri. Ada banyak perbaikan yang mestinya bisa dilakukan oleh film dalam menampilkan gagasannya. Mempercayakan kepada kontroversi alih-alih kesadaran penonton yang menjadi terbuka saat menonton film yang benar-benar hormat kepada subjeknya, bagiku ya terlalu sensasional dan bukan about si film itu sendiri. Menunjukkan pembuatnya belum sepenuhnya matang dan belum mengeksplorasi dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CUTIES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini? Apakah menurut kalian tayangan seperti music video atau sinetron atau film yang trendi di masa sekarang aman untuk konsumsi anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA