BECKY Review

“Anger is one letter short of danger”
 

 
Menjadi remaja berarti menjadi marah. Nyaris sepanjang waktu. Dalam menit-menit awal action-horror Becky, duo sutradara Jonathan Millot dan Cary Murnion, memparalelkan dunia remaja di sekolah dengan dunia penjara lewat cut-cut adegan yang saling bertubrukan. Memperlihatkan kepada kita bahwa penghuni kedua dunia tersebut kurang lebih sama. Mereka merasa terkekang. Mereka ingin memberontak. And as luck have it, beberapa napi toh memang berhasil kabur, atas nama persaudaraan – kekeluargaan. Di sinilah kontras dihadirkan, sebab kita kemudian berkenalan dengan tokoh utama cerita; cewek 13 tahun yang marah justru karena merasa keluarganya berantakan.
Becky nama remaja tersebut. Sasaran amarah Becky tentu saja adalah ayahnya, yang menjemputnya ke sekolah hanya untuk pergi liburan ke vila mereka – bersama calon ibu baru alias pacar sang ayah! Urgh!! Padahal Becky masih kangen sama ibu yang meninggal karena kanker beberapa waktu yang lalu. Jadi setibanya di villa, Becky memisahkan diri. Bersama anjing kesayangannya, Becky mengasingkan diri ke ‘benteng’ rumah kayu di tengah hutan. Sementara itu, ayah dan calon ibu tiri Becky kedatangan tamu. Dominick bersama anak-anak buahnya. Mereka kabur dari penjara karena mencari sesuatu yang disimpan di ruang bawah tanah villa milik ayah Becky. Dan ketika mereka tidak menemukan yang dicari, things get ugly. Film Becky adalah Home Alone (1990), kalo film tersebut beratus kali lebih sadis dan berdarah. Anak-anak, anjing, orangtua; tidak ada yang luput, semua jadi korban. Bagaimana dengan Becky? Well, bisa dibilang Becky bukan saja menemukan sasaran marah yang baru, dia juga membangkitkan rage yang belum pernah ia sadar ada di dalam dirinya.

kalo anjing Becky bernama Diego dan Dora, maka bisa jadi kita adalah Boots-nya

 
 
Ini bukan pertama kalinya Millot dan Murnion menjungkirbalikkan trope pada genre horor/thriller. Tengok saja salah satu karya mereka sebelumnya, Cooties (2014) – sayangnya aku dulu ngereview ini Path jadi gak ada jejaknya di blog – yang membahas tentang zombie outbreak di sekolahan; dengan anak-anak sebagai zombienya! Millot dan Murnion gak ragu untuk memperlakukan anak-anak dengan kejam di sana, karena mereka sudah jadi monster dan kita takut kepada mereka. Ya, ‘takut kepada anak-anak’ sudah menjadi topik yang menarik sejak cult-classic Village of the Damned (1995) dengan tepat menyimbolkan bahwa anak-anak merupakan cerminan dari kegagalan/mimpi-mimpi broken/kepolosan yang hilang dari orang dewasa. Dalam film Becky ini, Millot dan Murnion nge-subvert dua hal sekaligus; menjadikan anak yang menakutkan itu sebagai protagonis, dalam sebuah revenge-story yang biasanya bertokohkan wanita dewasa.
As far as the violence goes, film ini hadir menghibur. Suguhan yang diberikan kepada kita adalah adegan berdarah-darah. Paling seru yang berhubungan dengan bola mata. Yum! Melihat Becky mengamuk, berayun turun dengan semacam flying fox untuk menusuk salah seorang penjahat dengan pensil warna dan garisan kayu, memberikan sensasi kelegaan tersendiri kepada kita. Bukan hanya karena violence semacam ini masih teritung fresh (kapan lagi lihat anak-anak jadi jagoan Mortal Kombat, walaupun itu dalam ‘dunia’ mereka sendiri), melainkan juga karena biasanya anak-anak dalam film seringkali berstatus sebagai korban. Adegan tersebut berada pada titik balik si Becky, selama ini dia disuruh untuk menahan amarahnya. Kita melihat dia tidak punya outlet yang sehat dalam menyalurkan emosi dan griefnya – certainly semarah-marahnya seorang anak toh ia tidak bisa memukul bapaknya sendiri. Namun sekarang, geng Dominick yang jahat memberikannya alasan untuk meluapkan kemarahan. Film ini juga cukup detail dalam memplot langkah Becky berikutnya. Anak ini tidak lantas jadi jago, aksi-aksi dia berikutnya diperlihatkan sebagai sesuatu yang spontan. Ada bagian ketika rencana/jebakan yang diset oleh Becky gak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga dia harus menyusun rencana dadakan – bergulat dengan rasa marah, ketakutan, dan sakit, lalu menyerang dengan sesuatu yang sangat liar. Kekerasan dalam film ini menghibur dalam level aksi yang bakal hadir tidak terprediksi.

Marah itu amat sangat dekat dengan bahaya. Menyimpannya enggak sehat buat kita. Melampiaskannya? Kita harus berhati-hati karena ada cara yang sehat dan ada yang tidak untuk menyalurkan amarah. Namun tentu saja sehat itu dapat menjadi subjektif. Normalnya, melampiaskan dengan cara yang sehat akan berarti menyalurkan ke dalam bidang seni. Tapi pada Becky, melampiaskan dengan brutal adalah hal yang menyehatkan untuk hubungannya dengan keluarga.

 
Memainkan tokoh seperti Becky ini bukan masalah bagi Lulu Wilson yang sedari usia muda susah mentackle peran-peran dalam genre horor. Aku suka aktingnya dalam Annabelle: Creation (2017) dan dia even better di Ouija: Origin of Evil (2016), Wilson mampu menguarkan aura creepy tanpa kehilangan hook untuk simpati. Aktingnya di Becky ini hampir-hampir overkill, dia terus mengenai note yang sama berulang-ulang. Sayangnya film kurang peka. Becky tidak diberikan kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Revenge-story seperti film ini keberhasilannya bertumpu pada transformasi tokoh utama. Tokoh yang biasanya lembut, jadi garang. Tokoh yang biasanya sabar dan pemaaf, jadi tanpa belas asih. First-kill mereka selalu jadi poin yang penting, titik saat kita merasakan perubahan itu mulai mencuat. Lulu Wilson enggak diberikan kesempatan ini. Becky pretty much the same, ‘insane’ person. Sedari awal dia sudah begitu marah. Kita sudah dapat sense dia adalah bom waktu yang siap meledak. I mean, film bahkan udah menyamakan keadaan dia dengan keadaan napi di penjara, ingat? Sebagai alat untuk memperlihatkan Becky dalam keadaan manis, film menggunakan flashback ke masa-masa ia di rumah sakit bersama ibu. Hanya saja adegan tersebut lebih terasa seperti tempelan karena hanya disebar random tanpa benar-benar ada flow dalam journey karakter si Becky.

Penulisan film ini terlalu dangkal sehingga Jeff di sini bisa aja sama ama Jeff di serial Community

 
 
Padahal bisa saja Becky dikasih kesempatan untuk belajar soal lebih menghargai orangtua, khususnya, serta bagaimana membentuk dan dealing with ‘keluarga tiri’ so to speak dari anak buah Dominick yang bernama Apex (penggemar gulat akan mengenalinya sebagai Kurrgan dari stable The Oddities di awal-awal Attitude Era). Dari segi karakterisasi memang Apex yang berbadan kayak raksasa mini ini lebih kompleks dan menarik ketimbang Becky. Dia diangkat anak oleh Dominick, dia bersumpah setia, akan tetapi nurani mulai membebani dirinya – ia tidak tahan lagi menyakiti anak-anak. Ada sesuatu padanya yang bisa dikaitkan menarik dengan Becky. Namun film tidak membiarkan sang protagonis untuk keluar dari kubangan duka kematian ibu. Dari awal hingga akhir Becky hanya menunjukkan lapisan teen angst, entah itu dari ibu atau dari anjingnya. Lucunya, malah ayah Becky yang disuruh belajar satu dua hal dari Dominick mengenai raising a proper family. Pelajaran-hidup yang tidak berguna karena karakter ayah Becky ujung-ujungnya hanya sebagai body count.
Film ini tidak tepat sasaran secara emosional. Jika kita tidak disuruh memahami degradasi Becky melainkan merayakan keberingasannya, film seharusnya bermain di area dark-comedy, seperti Cooties. Dan memang sepertinya lebih cocok begitu, karena sukar bagi kita untuk mempercayai penjahat-penjahat ‘profesional’ bisa kalah sama remaja tiga-belas tahun yang outnumbered dan jelas kalah-pengalaman. Terutama ketika film mengharapkan kita untuk menganggap para penjahat sebagai threat yang berbahaya dan serius. Kevin James memainkan peran Dominick bukan tanpa sebab; dia ingin break out dari zona nyaman sebagai karakter komedi – seperti temannya, Adam Sandler yang dapat kesempatan itu di Uncut Gems (2020) – desain Dominick (nazi white supremacist yang percaya pada brotherhood) jelas bukan komedi melainkan penjahat serius dan dramatis. Mereka ini berbahaya tapi bisa kalah dengan mudah oleh Becky? Film bahkan menunjukkan kekalahan mereka dengan cukup remeh, enggak exactly Becky punya power atas mereka, mereka kalah karena keputusan bego mereka sendiri. Ini membuat film jadi gak make sense dan harusnya justru diberikan tone dark-komedi supaya bekerja.
Kita tidak pernah diberitahu apa sebenarnya motivasi Dominick; benda yang ia cari tidak pernah dijelaskan kegunaannya. Cerita film ini terbangun dengan sama kopongnya dengan arahan dan karakter. Becky seharusnya jadi horor tempat-tertutup yang menegangkan. Namun lokasi tidak pernah seperti jadi penghalang dan menekan tokoh utama. Alih-alih menguatkan kesan mereka terkurung, film justru membuat tempat tersebut seakan luas. Becky bisa beraksi dengan bebas, menghabisi satu penjahat, tanpa perlu takut ketauan penjahat lain, karena dia ada di pinggir danau yang who knows berapa jaraknya dari rumah. Hal ini membuat intensitas film jadi gak kuat. Suspens jadi terangkat karena kita menyaksikan adegan-adegan sebagai bagian yang saling terpisah – oh ini giliran si anu yang dihajar, oh ini giliran si ini. Seharusnya ada pemikiran yang lebih jauh dalam memanfaatkan set villa terpencil tersebut.
 
 
 
Sure, ada hiburan yang datang dari film ini. Blood-squirting, eyeball-popping; jelas ada penggemar film seperti ini. Apalagi tokohnya adalah remaja cewek, yang menghabisi pria dewasa kasar dan superrasis. Hanya saja ini adalah hiburan yang tanpa bobot. Dengan karakter satu-dimensi (remaja yang marah karena ibunya meninggal dan ayahnya mau kawin lagi), dan menjual kesadisan, film ini tak lebih dari sebagai tontonan gimmicky. Ia akan diingat sampai sajian yang serupa hadir, dan itu rentang waktunya gak akan lama. Karena film-film seperti ini toh memang banyak yang suka.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for BECKY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa remaja marah setiap waktu? Bagaimana caramu menghadapi adik atau anak usia remaja yang kerjaannya uring-uringan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SHIRLEY Review

“Art wasn’t supposed to look nice; it was supposed to make you feel something.” 
 

 
 
Biopik atau film biografi biasanya ‘terkekang’ untuk menjadi sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan. Seperti film dokumenter, film biopik juga dituntut akurat; beda sedikit aja beberapa pihak yang berkaitan dengan sang tokoh bisa-bisa tersinggung. Film memang bukan media pemberitaan/jurnalisme, tapi tetap saja diharapkan untuk menyajikan fakta-fakta. Yang tentu saja semua itu dilakukan sebagai penghormatan untuk tokoh yang sedang diceritakan. Namun bagaimana jika tokoh yang diceritakan begitu unik? Bagaimana jika bentuk penghormatan yang layak terhadapnya adalah merancang kisah hidupnya sesuai dengan cara dan gaya yang kita tahu ia suka? Ya, tokoh seperti Shirley Jackson; pengarang novel misteri yang karyanya sudah banyak diadaptasi jadi film horor (salah satunya adalah The Haunting of Hill House yang recently jadi serial ngehits di Netflix), tentu akan bete kalo kisah hidupnya diceritakan dengan biasa-biasa saja. Makanya sutradara Josephine Decker yang biasa ngegarap film-film ‘eksperimental’ membuat Shirley ini sebagai biopik yang lain daripada yang lain. Bukan saja genrenya menyerempet horor, ceritanya pun dibuat mengaburkan batas antara fakta dan fantasi.
Shirley diangkat dari masa kehidupan sang pengarang saat proses kreatif penulisan novel misteri Hangsaman, sekitar tahun 50an. Publicly known, Jackson mendapat inspirasi dari kasus menghilangnya seorang mahasiswi yang pergi hiking dan tak pernah kembali. Selain itu dan fakta bahwa Jackson tinggal bersama suaminya seorang profesor literasi di kampus, cerita film ini dikembangkan dengan banyak elemen fiksi. Protagonis utamanya justru adalah seorang tokoh fiktif bernama Rose yang pindah ke kota yang sama dengan Jackson, ikut sang suami yang mulai bekerja di kampus sebagai asisten Stanley, suami Jackson. Rose tadinya berniat sekalian kuliah di sana, tetapi Stanley menggunakan karisma dan kata-katanya untuk ‘membujuk’ Rose tinggal di rumah bersama Jackson. Sekadar bantu-bantu selama novel terbaru itu selesai ditulis. Rose dan suami diberikan kamar sendiri, bebas dari biaya sewa. Namun itu berarti Rose harus memasak, bersih-bersih, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah yang lain. Sementara para pria bekerja di kampus, dan Jackson, di kamarnya, mengerjakan tulisan. Rose dan Jackson kemudian tumbuh hubungan yang aneh, as Jackson mulai membayangkan Rose sebagai tokoh utama cerita yang ia tulis.

write me like one of those french girl

 
Kinda like Persona (1966) atau Portrait of a Lady on Fire (2019), heart dari film ini adalah hubungan yang terjalin antara Rose dengan Shirley Jackson. Namun dengan konflik yang lebih kompleks, kalo gak mau dibilang ruwet. Pada Shirley ini kita enggak dengan gampang bisa menyimpulkan relasi yang tumbuh dari mereka; ini bukan soal pekerjaan kayak suster dengan pasien atau pelukis dengan model, jadi apakah ini soal penulis dengan penggemarnya, atau semacam hubungan mentorship, atau malah rasa saling suka, film tidak benar-benar memfokuskan kita kepada satu hal. Karena si Jackson ini sikapnya benar-benar aneh. Look, Jackson memang pribadi yang eksentrik. Pada adegan pesta di rumah saat kita melihat tokoh ini pertama kali, dia sedang mengobrolkan kepada tamu-tamu penggemar novelnya perihal dia gak excited berkenalan dengan suaminya. Jackson adalah seorang yang lebih suka mengurung diri di rumahnya yang tertutupi sulur-sulur tanaman daripada harus ngumpul-ngumpul ke luar. Jackson literally harus ditarik dari kasurnya setiap pagi oleh sang suami. Dia gak gampang akur sama semua orang, dan terhadap Rose sikapnya jauh lebih ‘labil’. Di satu kesempatan dia menjadi teman curhat bagi Rose, dan di kesempatan berikutnya dia membuka rahasia Rose perihal tengah mengandung bayi.
Berbeda dengan kebanyakan biopik yang ‘mengagungkan’ tokoh real yang jadi bintangnya, Shirley justru membuat Shirley Jackson menjadi hampir mustahil untuk disukai. Bukan sekali dua kali, dia membuat protagonis kita meninggalkan meja makan menahan tangis. “Aku penyihir” kata Jackson kepada Rose, dan suatu kali Rose pernah ditipunya; dipaksa makan jamur yang ia sebut beracun. Kita bisa merasakan ada penyiksaan mental di sini. Namun Rose tetap mau deket-deket sama Jackson, karena Jackson membawa pengaruh yang kuat dan somehow positif kepadanya. Berkat Jackson, Rose jadi lebih vokal mengekspresikan diri dan mengutarakan kecurigaan yang muncul di hati. In a way, sikap Jackson membantu Rose dealing with her own domestic problems. Kita juga susah menyimpulkan kenapa Jackson seringkali bersikap ekstra-tidak menyenangkan kepada Rose. Kita lihat dia punya rencana tersendiri dengan Stanley suaminya, tapi tetap tidak jelas apakah dia murni jahat atau dia beneran peduli atau bahwa dia sedang menempa Rose sehingga bersikap sesuai dengan tokoh utama dari novel yang sedang berusaha ia selesaikan.

If anything, lewat tokoh-tokohnya ini film ingin menunjukkan kepada kita kekuatan sebuah seni (dalam hal ini seni tulisan). Seni bisa membebaskan seperti Shirley yang terlepas dari tekanan Stanley begitu Rose hadir menjadi inspirasi baginya. Seni bisa membuka kebenaran seperti Rose yang mulai mengetahui banyak hal-sebenarnya dan berani mengungkapkan diri saat dia terlibat proses mengarang bersama Shirley. Film ini bercerita dengan tidak mengindahkan aturan, karena – sama seperti seni – film ini bermain dengan perasaan, bukan dengan moral.

 
Kekompleksan film ini juga hadir dari banyaknya aspek yang bekerja membangun ceritanya. Dia juga bicara tentang powerplay antara dua pria dan dinamika suami-istri dengan sama banyaknya. Kita bisa menarik isu tentang pemberdayaan perempuan dari cara salah satu tokohnya yang memanipulasi dan berpegang pada pandangan tradisional bahwa cewek harusnya ngurusin rumah tangga aja. There’s also a baby at play, kelahiran-rahasia yang dikontraskan dengan kematian misterius yang menyelimuti daerah tempat tinggal mereka; kasus yang jadi inspirasi Jackson menulis in the first place. Ini semua membuat film terasa berat dan membingungkan. Shirley adalah jenis film yang tidak bisa kita nikmati kalo kita menontonnya dengan niat melepaskan penat.
Tapi bukan berarti film ini tanpa hiburan. Penampilan akting yang luar biasa, misalnya dari Elisabeth Moss jelas jadi salah satu faktor yang membuat kita betah menonton film ini. Begitu unpredictable, begitu raw, begitu kasar kayak kertas amplas, namun tokoh ini sangat mengundang karena kita ingin tahu apa yang sebenarnya bekerja di balik kepalanya tersebut. Tantangan akting dalam film padet dan berani-tampil-unlikeable seperti ini tentu saja sangat berat. Dialog-dialog yang kita temukan persis seperti dialog yang umumnya ada pada novel; tidak konklusif, mengundang pertanyaan, dan memaksa kita untuk menggunakan imajinasi. Namun Moss mampu mendeliver semua itu dengan muatan emosi yang saklek. Kita kira dia sudah jempolan di The Invisible Man (2020)? Well, di film ini Moss membuktikan dia masih punya banyak untuk kita kagumi. Mengimbangi Moss adalah Odessa Young, sebagai Rose yang lebih ‘inosen’, naif, dan lebih gampang menuai simpati. Namun bukan berarti perannya kalah urgen. Rose adalah karakter yang sama kompleksnya, malahan dia punya tugas ekstra mengemban plot yang lebih luas rangenya, dan Young melaksanakan misinya ini dengan sempurna.

Film tentang penulis yang penulisannya mencerminkan penulisnya.

 
Belum lama ini serial animasi Rick and Morty Season 4 mengeluarkan episode ke-enam yang benar-benar mindblowing karena episode yang alurnya membingungkan tersebut practically adalah depiction dari proses-kreatif kreator acara tersebut dalam mencari cerita baru. Kenapa aku membahas soal itu di sini, karena Shirley juga melakukan hal yang sama. Menceritakan proses kreatif seorang penulis kepada kita. Kamera akan bergerak dengan aktif menangkap drama, no… tepatnya, menjadi bagian dari drama mereka. Menempel pada setiap momen dengan intens, bahkan ketika adegan dengan seenaknya mulai melakukan lompatan oleh jump-cut antara momen yang nyata dengan momen yang merupakan imajinasi penulisan Jackson. Membuat garis batas di antara keduanya seolah sirna. Membiarkan kita terpana menebak mana yang mana. Dalam kondisinya yang paling intens, film akan membuat kita bingung membedakan mana yang Rose asli mana yang Paula alias Rose pada novel. Imajinasi itu seperti tanpa batas, hanya disekat oleh interaksi nyelekit dari tokoh-tokohnya.
 
 
 
Seperti si Shirley Jackson, film ini enggak peduli dirinya bisa kita sukai atau tidak. Pilihan ini tentu saja bukan tanpa akibat. Babak ketiga film merupakan bagian yang seharusnya menjadi paling emosional dari keseluruhan. Dan emosi ini besar kemungkinan tidak akan sampai kepada penonton yang sudah memutuskan untuk menyerah kepada Shirley. Ia tidak membuat hal gampang buat kita menyukainya. Desain ceritanya terasa begitu kacau. Antara adegan proses mengarang, interaksi antartokoh sentral, dan tema-tema seperti seni, kreativitas, psikologi orang, dan bahkan soal senioritas, menonton ini sekiranya dapat menjadi seperti chores alih-alih.. tontonan. Aku sendiri mengumpakan film ini seperti puzzle. Yang tersusun atas kepingan yang unik-unik yang jumlahnya banyak banget. Sehingga menyusunnya enggak akan menyenangkan, lebih enak menikmati kepingannya sendiri-sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SHIRLEY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Shirley jelas punya cara unik dalam mencari inspirasi. Bagaimana dengan kalian, how far will you go dalam berproses kreatif? Apakah kalian punya cerita unik seputar mencari ilham?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND Review

“Don’t let the people make you difficult”
 

 
 
Orang yang lembut (hatinya loh ya, bukan wujudnya – emangnya lelembut!) seringkali dimanfaatkan. Tanpa benar-benar diapreasiasi oleh orang lain. Yang ada malah, lama-kelamaan, mereka bakal digencet. Karena mereka ‘gak tega’ melawan. Bahkan cenderung ‘enggak berani’. Sebab opresi seperti begini sebagian besar datang dari pihak-pihak yang serta merta membuat si soft-hearted ini merasa powerless. Misalnya orangtua kepada anak. Atau laki-laki kepada wanita.
Ah, now we’re talking!
Sarah Bolger dalam A Good Woman is Hard To Find berperan sebagai Sarah, ibu dari sepasang anak yang masih kecil-kecil, yang baru saja menjanda lantaran suaminya dibunuh oleh seseorang misterius. Anak sulung Sarah actually menyaksikan pembunuhan tersebut, tapi dia begitu shock hingga kehilangan napsu untuk berbicara. Sarah tentu saja ingin keadilan, dia ingin pelakunya diusut, dia ingin tahu kenapa suaminya dibunuh. Namun polisi hening – malah menyuruhnya untuk mengikhlaskan saja. Ibunya sendiri bodo amat ama masalah Sarah. Beliau masih ngungkit ketidaksetujuannya sama pilihan Sarah. Semua orang menyebut suami Sarah seorang drug dealer.
Berikut adalah perlakuan orang-orang terhadap ibu muda yang berusaha memberi makan dan hidup layak kepada kedua anaknya ini: Sarah dicatcalling, dituduh bekerja sebagai wanita bayaran sama satpam supermarket, dicurigai sebagai wali yang tak layak oleh polisi yang ngejudge dapurnya berantakan, diingatkan oleh ibunya  bahwa ia telah membuang masa depannya sebagai cewek cantik nan pintar dengan menikah sama pria gajelas, dan disuruh sering-sering senyum dan dandan oleh seorang preman jalanan. Si preman jalanan ini, si Tito, eventually jadi bagian penting untuk plot karena ia memaksa untuk bersembunyi dari kejaran mafia narkoba di rumah Sarah. Menyimpan ‘dagangan’ di sana, diberikan akses keluar masuk – practically Tito maksa ngekos harian di sana. Dia memberi Sarah upah dari potongan jualan narkoba asal Sarah membiarkannya bersembunyi di sana sebelum Sarah sempat membuka suara untuk menolak.

atau untuk nego harga, kalo Sarahnya galak

 
 
Film garapan Abner Pastoll ini excellent saat membahas drama seputar konflik kemanusiaan yang melanda Sarah. Yang digali di sini adalah persoalan seorang wanita – seorang ibu – seorang yang terlembut dari semua manusia yang hampir pada setiap kesempatan karakternya ‘dibunuh’ oleh sistem sosial dan kotak-kotak gender. Kita jadi mengerti tekanan yang harus ditahan oleh Sarah, baik fisik maupun mental. Bagaimana dia tidak bisa menolak karena dia mempertimbangkan banyak hal. Like, dia mencemaskan keadaan anak-anaknya, tapi lama-kelamaan dia sadar dia butuh sesuatu untuk mensupport kebutuhan rumah tangga demi anak-anaknya. Film memainkan narasi seolah Sarah yang berusaha berjuang sendiri percaya dia membutuhkan bantuan. Karena selalu ditekan dan dimentahkan fungsi dirinya oleh sekitar.
Ada banyak adegan manusiawi yang menunjukkan betapa sutradara paham akan konflik yang ia angkat. Momen-momen sederhana seperti gak sanggup bayar belanjaan sehingga harus ngurangi satu atau dua item, atau momen yang lebih privat seperti desperate akan baterai di tengah malam, berhasil membuat karakter Sarah begitu grounded. Bolger mengangkat tokohnya ini menjadi berlipat-lipat meyakinkan lewat permainan akting yang benar-benar sukses bikin kita merogoh hati untuk memberikan simpati. Perasaan atau emosinya terpampang jelas lewat sorot mata berkantung dan rambut yang nyaris-disisir tersebut. Cerita mempersiapkan Sarah untuk sebuah transformasi, dan begitu point-of-no-return itu datang kita sudah sedemikian ngototnya untuk melihat Sarah mendapatkan hal yang lebih pantas. Dan inilah yang menurutku merupakan hal paling mengerikan yang dimiliki oleh film ini.

Bukan sekadar cerita revenge atau dendam orang yang tersakiti, film ini nyatalah adalah cerita pembalasan seorang ibu atau wanita yang sekian lama teropresi. Yang membawa kita pada kenyataan bahwa di dunia ini orang-orang begitu kejam kepada orang baik sehingga memaksa mereka untuk beraksi. Sangat disayangkan ketika respek diri sendiri, tidak membiarkan diri susah karena orang lain, dan stand up menunjukkan hati yang berani itu wujudnya ternyata adalah menjadi jagoan-galak, bahkan kalo perlu membunuh seperti Sarah.
Kenapa kita selalu merusak hal-hal indah di muka bumi?

 
Yang dirasakan/dialami oleh tokoh Sarah rada mirip dengan yang terjadi pada tokoh dalam film Swallow (2020). Namun film Swallow bertempat pada dunia yang katakanlah lebih mirip dengan dunia normal kita. Sedangkan A Good Woman is Hard To Find ini bertempat pada dunia yang lebih kelam; yaitu dengan organisasi narkoba menjadi salah satu penggerak ekonominya. Sehingga journey Sarah punya kengerian atau keekstriman dalam level yang berbeda. Paruh akhir film ini berubah arah menjadi lebih ke thriller revenge. Sarah telah ‘mencicipi’ darah pertamanya, dan dia juga telah mengetahui siapa yang membunuh suaminya. Kita memang akan melihat adegan-adegan bloody seperti mutilasi ataupun shoot out. Namun dilakukan tidak dengan fantastis, melainkan tetap lewat kacamata yang grounded. Film memegang prinsip less is more dalam menampilkan itu semua. Ia tidak perlu mempertontonkan semua proses dengan gamblang. I mean, shot dari atas Sarah terduduk di antara kantong-kantong plastik hitam itu sudah lebih dari cukup mewakilkan kengerian dan kecamuk konflik yang dirasakan tokoh.
Karena film ini tidak lupa daratan. Sarah tidak kontan berubah menjadi pembunuh jagoan. Transformasinya soal ini malah lebih ‘parah’ dibandingkan tokoh dalam revenge-action The Rhythm Section (2020). Melihat darah aja Sarah puyeng. Ini membuat kejadian-kejadian yang harus ia lakukan sebagai bentuk penguatan diri itu menjadi semakin emosional. Also, bagi Sarah ini bukan sebatas tindak balas dendam. Jika kita tilik ke belakang, yang mentrigger perubahan Sarah ini adalah ketika dirinya nyaris menjadi korban opresi lelaki dalam bentuk yang tindakan yang paling basic dan tradisional. Ketika privasinya terancam. Jadi, tindakan Sarah adalah wujud dari survival sekaligus mengambil kembali siapa dirinya sebagai manusia. Seorang wanita. Seorang ibu.

kapan lagi melihat grammar nazi dihajar?

 
 
Jadi, mengerikan ketika seorang ibu harus mengangkat senjata untuk dihormati. Mengenaskan ketika seseorang harus membuktikan dia respek dan nyaman kepada dirinya sendiri, baru merasa pe-de, dengan mengenakan riasan saat belanja ke supermarket. Sosial yang kejam yang membuat mereka terpaksa begitu. Aku gak benar-benar setuju sama gagasan film ini, tapi toh film tidak menampilkannya sebagai jawaban eksak. Melainkan hanya gambaran betapa masyarakat kita sudah sebegitu opresifnya sehingga yang terjadi kepada Sarah kini menjadi opsi jalan keluar untuk mendapatkan respek.
Masalah ekonomi Sarah juga tampak beres dengan berubah seperti demikian. Konsekuensi pembunuhan yang ia lakukan, meski membela diri – tapi toh ia menutupi dan melakukan crime lain terhadapnya – tidak didaratkan oleh cerita. Dan ini membuat film menjadi sedikit terlalu ‘fantastis’. Meninggalkan realm drama grounded yang sudah terbangun hingga setidaknya pertengahan cerita. Film seharusnya menyelami soal ‘pemberesan’ sedikit lebih banyak untuk membuat cerita berimbang alih-alih total berganti. Masalah putranya yang menutup diri dan gak bicara juga tidak terasa selesai dengan mantap. Karena relasi Sarah dengan anak-anaknya memang tidak pernah benar-benar dibahas. Hanya sebatas interaksi khusus saat bacain cerita sebelum tidur Mereka hanya ada di sana sebagai stake dan motivasi. Buatku, it’s just psikologi anak yang mendadak bisu ini terlalu gede dan menarik untuk tidak dibahas dan hanya dijadikan sampingan.
 
 
Cerita film ini dibuka dengan adegan Sarah mandi bersimbah darah, tapi darah itu bukan darahnya. Membuat kita berasumsi ini akan jadi film revenge-aksi cewek yang biasa. Asumsi seperti ini akan cepat dipatahkan, karena paruh awal film kuat oleh aspek drama psikologis seorang wanita yang hidup dalam masyarakat yang menggencetnya. Dipikul oleh penampilan akting yang benar-benar meyakinkan, film ini berhasil mencapai tingkatan intensitas emosional yang gak semua teman-teman segenrenya bisa. However, ditonton hingga akhir film ini terasa kembali ke ranah yang sudah lumrah, dan ada beberapa elemen yang menarik untuk digali tetapi they chose not to. But still, film ini punya hal yang aku sukai yakni gambaran yang ia tampilkan mengenai seperti apa dampak sosial bermasyarakat kita terhadap satu hal baik. Kalo kata judul, makanya sekarang nyari cewek baik itu susah. This is why we can’t have nice things.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A GOOD WOMAN IS HARD TO FIND.

 

 
 
That’s all we have for now.
Benarkah jadi orang baik itu begitu susah dan menjadikan kita terkekang?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE VAST OF NIGHT Review

“Well, the way of paradoxes is the way of truth.”
 

 
 
Kita tau itu alien. Kita langsung bisa menarik kesimpulan jika ada seorang DJ radio dan seorang operator komunikasi menemukan ada ‘noise’ aneh di udara, mendengar statis tak-terjelaskan pada gelombang radio, saat beberapa tempat di kota kecil tempat tinggal mereka malam itu mengalami gangguan listrik lokal, maka itu pastilah ada hubungannya dengan makhluk luar angkasa. Namun selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh, tidak membuat kita lebih pintar daripada mereka. Kita masih merasa merinding oleh misteri. Kita masih bergidik dan mata kita meliar mencari-cari setiap kali langit gelap dipampang oleh layar. Karena memang kekuatan dari The Vast of Night, misteri sains fiksi karya pertama seorang sutradara bernama Andrew Patterson, terletak bukan sebatas pada apa yang terjadi, melainkan juga luas melingkupi bagaimana peristiwa tersebut berdampak pada orang-orang yang mengetahuinya. Kekuatannya terasa benar pada bagaimana cara ia mempersembahkan cerita tentang ‘kota yang disatroni alien’ – premis yang kita semua sudah pernah lihat sebelumnya – dengan nada yang sama sekali baru.

Kita tau alien itu bo’ongan. Tapi kita gak masalah untuk mempercayai alien itu eksis di dunia film. Kita bahkan cenderung memposisikan diri untuk bertentangan dengan tokoh-tokoh di film yang enggak percaya pada keberadaan alien. Kebenaran kita terurai menjadi kebenaran-kebenaran baru, yang tidak sesuai dengan kebenaran pertama tadi, saat kita menyaksikan suatu film. Membentuk sebuah paradoks kebenaran. Peristiwa tatkala garis antara ‘truth’ dan ‘myth’ lebur. Di sinilah letak gagasan The Vast of Night; film ini ingin kita memilih antara truth dan myth. Bermain dengan paradoks kebenaran.

 
Film mengajak kita berpartisipasi, tetapi bukan sebagai ‘bayangan tokoh’. Melainkan sebagai penonton. Kita akan dibawa berada di dunia cerita, mengikuti dengan dekat dua tokoh sentralnya, tapi kita tidak pernah ‘menjadi’ mereka. Jika di cerita ini ada dua entitas; manusia penghuni kota Cayuga dan ‘orang-orang di angkasa’, maka kita adalah entitas ketiga. Penonton yang roaming ‘freely’, kita si segala-tahu. Kecuali satu hal; kebenaran di balik fenomena yang bakal kita saksikan… I know this sound strange, besar kemungkinan kalian membaca ini sambil mengernyitkan dahi dengan beragam argumen kontra terhimpun di dalam kepala. Untuk itu aku hanya akan bilang; tunggu sampai kalian menyaksiksan sendiri cara film mempersembahkan dirinya kepada kita. Dan walaupun sebenarnya aku gak suka memakai  kalimat standar reviewer instagram but I’m gonna use it here anyway; Karena film ini memang seaneh itu

Yang jelas semua ini bukan akibat dari tupai yang menggigiti kabel listrik

 
 
Yang diestablish pertama kali oleh sutradara Patterson – informasi pertama yang kita lihat sebagai pembuka – adalah bahwa keseluruhan cerita The Vast of Night ini terjadi di dalam televisi. Huh?!! Yes, film ini adalah tv show yang kita tonton, di dalam film. The Vast of Night adalah salah satu episode dari serial televisi yang clearly dibuat oleh Patterson sebagai homage kepada serial di dunia nyata The Twilight Zone. Lengkap dengan kalimat narasi yang mirip. Serial kayfabe film ini bertajuk, guess what, “Paradox Theater”. Tekad untuk mengaburkan garis truth dan myth sudah terpampang jelas sedari awal. Film dibuka dengan perlahan ngezoom layar televisi bundar yang sedang nyiarin serial ini, dan sepanjang film kita akan dibawa keluar-masuk layarnya, sekadar untuk mengingatkan kita, like, “hey ingat ya, kalian penonton.. yang kalian tonton itu cerita misteri dari program tv bohongan yang meniru Twilight Zone. And it’s also the movie. Udah bingung belum?”
Kemudian baru kita bertemu dengan salah satu tokoh sentral cerita. Everett, si penyiar radio yang dikenal oleh seluruh penduduk kota. Ini tahun 1950an dan malam itu penduduk di kota berkumpul di aula olahraga karena ada pertandingan basket. Keakraban penduduk diperlihatkan selagi Everett dipanggil ke sana kemari oleh berbagai tokoh yang meminta bantuannya. Hingga akhirnya dia bertemua dengan tokoh sentral kedua, Fay yang meminta tolong untuk diajarkan cara merekam suara dengan recorder sederhana. Babak set-up film ini dapat jadi membingungkan lantaran ini adalah jenis film yang cerewet. Pada adegan perkenalan itu, Everett dan para tokoh akan bicara nonstop. Cepet-cepet. Ditambah dengan kamera yang betah merekam berlama-lama tanpa dipotong, kita bisa dengan cepat tersesat menyimak obrolan yang kita enggak ngerti mereka lagi ngomongin apa. We just follow them around, mendengar apapun yang mereka obrolin. Mereka gak nunggu kita, film enggak mempersilahkan kita untuk bergabung. Melainkan kita yang diminta untuk mengejar, dan berusaha mengenal sendiri. Dan kemudian Everett dan Fay keluar, berjalan menyusur kota ke tempat kerjaan mereka. Kita tetap mengikuti, dari belakang. Kamera memposisikan kita setinggi lutut para tokoh, sambil terus berjalan, menghasilkan kesan creepy yang sangat efektif. Terutama ketika langit dan lampu-lampu yang seolah UFO kecil-kecil itu menghiasi latar.
Nilai tertinggi film ini memang terletak pada kerja kamera dan sinematografinya. Aku paling suka saat setiap kali kamera membawa kita ‘berjalan-jalan’ dengan unbroken shot. Sensasinya seperti melayang rendah, dan kita pun jadi tahu seluk beluk kota ini. Misalnya seperti ketika kita ninggalin Fay di kantor broadcastnya, pergi ke stasiun radio Everett, dan mampir di aula olahraga dalam perjalanan menuju ke sana. Meskipun gak terlampau detil, tapi take panjang ini berhasil menyampaikan lewat visual sense hubungan antartempat di sana. Ini penting karena menunjukkan semua kejadian itu berhubungan, sekaligus juga untuk world-building karena nanti di separuh terakhir Everett dan Fay akan pergi ke segala arah mencari orang yang punya informasi tentang suara aneh yang mereka dengar di radio.
Dan karena ini adalah film yang dialognya gak kalah panjang ama long-takenya, akting tentu turut menjadi hal yang esensial. Para aktor di film ini banyak yang belum terlalu dikenal. Ini baru pertama kali aku melihat Jake Horowitz yang meranin Everett dalam film, sedangkan pemeran si Fay; Sierra McCormik aku pernah lihat sekali di film Ramona and Beezus (2010) waktu dia masih anak-anak. Namun kita gak akan nyadar hal ini saat melihat penampilan akting mereka di The Vast of Night. Keduanya begitu natural. McCormik keren sekali mampu memainkan adegan berkutat dengan panel komunikasi berkutat dengan panggilan masuk dari orang-orang yang menelpon soal suara atau penampakan UFO sepanjang sembilan menit tanpa putus. Sedangkan Horowitz believable banget sebagai seorang kharismatik yang dikenal semua orang dan passionate sama kerjaan sehingga kadang dia terdengar angkuh. Heck, semua tokoh penduduk kota kecil film ini beneran kayak tetanggaan beneran, Everett dan Fay tampak beneran akrab kayak orang yang sudah kenal dari kecil. Begitu kita sudah terbiasa dengan aturan-main penceritaan film, memahami kedua tokoh ini menjadi lancar dan film pun menjadi tak lagi membingungkan.
In fact, awalnya aku mengira dua tokoh ini kakak-adek saking akrabnya

 
 
Aku baru nyadar mereka bukan sodara dan actually sebaya ketika ada kesan flirting di antara mereka. Keduanya memainkan karakter mereka yang saling bertolak belakang dengan pembawaan yang gak dibuat-buat, bahkan ketika menangani elemen romansa mereka meyakinkan sekali sebagai dua orang saling suka tapi gak mau bilang. Kontras antara sikap mereka berdua digunakan oleh film sebagai perwakilan dari jalur truth dan myth yang diminta kepada kita untuk pilih. Fay adalah jalur myth, untuk kita percaya pada cerita orang-orang yang menghubungi mereka bahwa bunyi-bunyi itu adalah alien. Sedangkan Everett adalah truth. Skeptis yang banyak mempertimbangkan logika. Everett yang bekerja sebagai penyiar, yang menjual obrolan tentu paham soal melebih-lebihkan cerita atau mengarang supaya sensasional. Pada babak awal, kita juga melihat Everett gak punya masalah untuk sedikit berbohong ketika mereka berlatih wawancara. Jadi, lumrah baginya untuk tidak lantas mempercayai cerita orang tentang anak kandung yang bicara bahasa alien dan hilang diculik piring terbang.
Konsep film yang bergerak seputar memilih antara truth dan myth membutuhkan film untuk memuat banyak eksposisi. Mendengarkan cerita orang-orang, bersama dua tokohnya. Sekali lagi kerja kamera dan arahan akting menunjukkan keampuhannya. Setiap momen mendengar cerita itu dibuat berbeda satu sama lain. Film menemukan beragam cara untuk membuatnya intens dan tidak membosankan meskipun monolognya bisa sangat panjang. Ada isu rasisme yang sempat disinggung, isu yang lagi hangat di dunia nyata kita sekarang. Berkaitan dengan rasa percaya. Dalam film ini diungkap bahwa cerita sensasional soal bekerja di bunker bawah tanah yang diduga ada hubungannya dengan lab rahasia penelitian extra-terestial ternyata datang dari penelpon berkulit hitam. Ia mengatakan semua pekerja memang sengaja diseleksi berkulit hitam atau ras minoritas lain supaya kalo mereka cerita ke pihak luar, gak ada yang percaya sama omongan mereka. Dan kita melihat, Everett juga sebenarnya jadi gak percaya sama cerita itu setelah mengetahui info tersebut. Ini kembali lagi pada jalur truth dan myth yang dipersembahkan oleh film. Pada akhirnya semua dikembalikan kepada kita, mana yang kita anggap sebagai kebenaran bisa jadi bukan mutlak kebenaran.

Karena meskipun benar itu memang lawannya adalah salah, tetapi suatu kebenaran tidak serta merta menjadikan sesuatu yang lain dari hal itu menjadi bukan kebenaran.

 
 
 
Penggemar misteri dengan action atau disaster flick yang seru atau bahkan cerita yang terstruktur secara tradisional, akan abis sabar sama film yang sebagian besar adegannya adalah orang ngobrol ini. Namun film ini tak-pelak akan menjadi inspirasi buat filmmaker muda karena kepiawaian dan visinya dalam bercerita. Jelas film ini tidak punya budget gila-gilaan, sehingga dia benar-benar bergantung pada kamera dan akting. Banyak menggunakan unbroken shot dengan variasi pengambilan sehingga kita yang disuruh jadi penonton enggak bosan. Dan film ini berhasil terbangun menjadi sesuatu yang tampak berbeda meskipun inti ceritanya sudah sering kita temukan pada film lain. Penggemar horor sci-fi ala Twilight Zone pastinya akan suka sekali dengan film ini. Kalo aku, aku harap lebih banyak pembuat film yang berani bikin berbeda kayak gini. Sedikit yang tidak memuaskan bagiku adalah warna yang terlalu gelap untuk beberapa momen sehingga aku tidak dapat melihat ekspresi para tokoh yang lagi ngobrol, sehingga kadang aku terlepas dari cerita mereka karena udah keburu skeptis duluan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE VAST OF NIGHT.

 

 
 
That’s all we have for now.
Akhir film ini menyerahkan kepada interpretasi kita terhadap apa yang terjadi pada Everett dan Fay. Apakah mereka simply diculik? Ataukah mereka dibakar seperti pohon-pohon di hutan? Dan oleh siapa, benarkah itu alien atau manusia dari masa depan? So many question, which path do you choose?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

1BR Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Masih ingat kicauan seorang perempuan tentang tetangganya yang sempat viral di Twitter beberapa waktu yang lalu? User tersebut mengeluhkan soal tetangganya yang langsung bertamu, mengetuk pintu begitu saja, tanpa membuat perjanjian ingin datang berkunjung terlebih dahulu. Tweet tersebut kontan menuai banyak reaksi; ada yang setuju, dan tak sedikit pula yang menghujatkan pendapat bahwa memang seperti itulah lumrahnya hidup bertetangga. Datang saling menengok tanpa diminta, menunjukkan perhatian, bahkan dulu katanya orang tidak mengunci pintu bagi tetangga masuk ke rumah kapan saja mereka mau. Sutradara sekaligus penulis naskah David Marmor tampaknya punya satu-dua patah kata tentang kehidupan bertetangga. Marmor sepertinya sependapat dengan si empunya tweet tadi, sehingga pada debut film-panjangnya ini dia menghasilkan sebuah drama menegangkan perihal hubungan bertetangga yang erat dan terlampau-bersahabat bisa menjadi begitu horor.

Arahan Marmor membuat cerita memuat begitu banyak. Setiap plot-point seperti mengubah film ini menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Namun sense-of-belonging memastikan perhatian kita untuk terus tersedot. Sedari momen pembuka, aku sudah tertegun oleh perasaan akrab (namun eerie) yang dihadirkan lewat pemandangan yang ditangkap oleh kamera. Lalu bertemu dengan Sarah, wanita muda yang lagi nyari tempat tinggal di Los Angeles, dia mau menapaki hidupnya sendirian di kota yang sejuta mimpi tersebut. This seems like a familiar story tentang seseorang yang berusaha menggapai mimpi yang langsung membuatku ter-flashback ke zaman nyari kosan waktu masuk kuliah dulu, dan kemudian aku teringat ini film horor maka lantas kenanganku pindah ke film Mulholland Drivewell, because it’s LA. Dan tokoh kita adalah tokoh yang sama ‘lugunya’ dengan Diane pada film karya David Lynch tersebut. Aktor Nicole Brydon Bloom memainkan peran sebagai perempuan yang introvert, pemalu, yang pasif, yang lumayan tertutup, tapi punya determinasi kuat untuk mengejar passionnya. Seketika tokoh Sarah ini langsung kontras, langsung ‘konflik’ dengan kota LA itu sendiri. Dan kemudian masuklah ia ke sebuah kompleks apartemen yang sedang melakukan open-room untuk mencari calon penghuni baru.

Sarah keterima menjadi penghuni kamar 210 tersebut. Dia disambut hangat oleh bukan hanya tetangga kanan-kiri kamar, melainkan seluruh penghuni apartemen. Mereka ngadain pesta pada malam Sarah mulai tinggal di sana, dan tentu saja Sarah diundang. Para penghuni apartemen semakin mengingatkanku pada Mulholland Drive dan basically film-film David Lynch, karena mereka semua sama anehnya. Satu kompleks itu bener-bener kompleks oleh karakter. Mulai dari ibu tua yang sweet hingga anak muda yang gagah. Mulai dari Bapak Ketua yang simpatik hingga ke pria creepy berkacamata dengan lensa yang gak kompakan warnanya. Di titik ini, film berubah mengingatkanku kepada Rosemary’s Baby. Karena orang-orang ini begitu ramah kepada Sarah – menyapa setiap ketemu, dan seperti selalu berada di manapun Sarah berada, mengawasinya seolah kamera yang berada di nyaris setiap jengkal langit-langit itu belum cukup – sehingga kita mau-tidak-mau langsung kepincut curiga kepada mereka.

Mestinya pasang pengumuman di depan pintu; boleh bertamu kalo bawa makanan

 

Elemen horor kemudian terestablish begitu malam hari telah tiba. Hidup Sarah yang sendiri, sunyi. Loh kenapa jadi lagu Tantowi Yahya?… well, I mean, Sarah mendengar bunyi-bunyian aneh yang membuat tidurnya gak nyenyak. Ia bahkan mendapati pintu apartemennya terbuka begitu saja. Sampai suatu malam, Sarah menemukan kucing peliharaannya terpanggang di oven. Sarah ditangkap oleh tetangga-tetangga penghuni apartemen. Dia disiksa, disuruh berdiri bungkuk memegang tembok dalam posisi stressing, and things could get much more violent and bloody jika Sarah menolak alias enggak patuh pada perintah yang diberikan oleh Ketua Apartemen (semacam Pak RT gitu deh di sana). Pada titik ini sebenarnya aku sempet mulai males. Film ini jadi kayak mengeksploitasi adegan penyiksaan semata. Namun bear with me, ini cuma sebuah fase sebelum akhirnya – lepas dari midpoint – film mulai menunjukkan taringnya sebagai horor situasi, dan dalam beberapa tingkatan; horor psikologis.

Pada jantungnya, 1BR memeriksa perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam lingkungan yang terdekat yaitu lingkungan bertetangga. Dengan mengontraskan sikap Sarah yang tertutup dengan sistem kompleks apartemen yang saling-terbuka, film menunjukkan dua sisi kebutuhan manusia dalam bersosialiasi. Seperti Sarah, kita perlu mengendalikan hidup kita sendiri, tapi sekaligus kita butuh orang lain – tetangga, teman, keluarga – untuk menjadi support. Film membawa ini ke ranah ekstrim ketika intrusi dari lingkungan sekitar menjadi pengalaman yang bikin gak nyaman, dan menjurus ke menakutkan. Saat komunal di luar sana berpikir bahwa semua orang enggak bisa hidup sendiri, bahwa kebersamaan adalah satu-satunya cara, di situlah keramahtamahan dan kekerabatan berubah menjadi selayaknya sebuah cult. Sebuah sekte. Dan ini bukan tidak mungkin terjadi di dunia. Bahkan mungkin sedang kejadian di sekitar kita. Kehidupan bertetangga yang mengatur hingga sampai ke cara berpakaian, atau yang nyinyir jam kita bepergian. Komunitas-komunitas kecil kerap kebablasan. Alih-alih sebuah keluarga, malah menjadi semacam geng dengan seabreg peraturan atau norma yang harus dipatuhi jika ingin dianggap sebagai anggota.

Film ini menunjukkan communal atau kehidupan sosial bertetangga ataupun komunitas menjadi tidak lagi sehat ketika membuat anggotanya merasa less of a person. Kita semua memang tidak mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun itu tidak berarti kita totally bergantung kepada orang. Kita memang harus senantiasa menghormati tempat kita berpijak, mengikuti aturan dan norma-norma di mana kita berada. Tapi tetap ada keseimbangan yang harus dijaga. Bagaimanapun, setiap orang bertanggung jawab dan berhak atas hidup masing-masing.  

Lucunya, film ini juga mengingatkanku ke jaman ospek/mabim kuliah dahulu. Sarah juga, istilahnya, diplonco dulu sebelum masuk jadi anggota komunitas apartemennya. Memang, Sarah dimasukkan secara paksa. Mindsetnya dibentuk untuk mengenali bahwa dirinya powerless, dan hidup mandiri adalah pilihan yang salah. Film telah menetapkan orang-orang di apartemen itu mempercayai bahwa cara hidup bersosial merekalah yang paling sempurna dan ideal. Empat pondasi bermasyarakat; Selflessness, Openness, Acceptance, and Security, terus diulang dijadikan mantra yang didoktrinkan kepada Sarah. Mengubahnya menjadi seperti mereka. Dan bukankah ospek memang seperti itu? Para mahasiswa baru praktisnya terpaksa ikut dan menjalani semua kegiatan karena dijadikan syarat untuk diterima sebagai anggota himpunan. Himpunan itu sendiri ‘dijual’ kepada maba sebagai safe haven dengan networking ke alumni, angkatan yang saling menjaga, ‘masuk bareng-lulus bareng’. Orang-orang yang sudah ditempa bersama, punya tujuan yang sama, kini hidup sebagai satu unit dengan kuat. Tentu saja, gak semua mahasiswa setuju dengan hal tersebut. Namun begitu sudah menjadi bagian darinya, berpartisipasi dalam rangkaian kegiatannya, ketika sudah tiba waktunya dilantik, toh mahasiswa akan bangga juga. Dan akan bersiap untuk menjadi senior pembimbing tahun depan; mengospek anak-anak baru berikutnya.

Melihat Sarah pada akhirnya jadi sukarela bergabung menjadi anggota, kita tahu masih ada keraguan di benak dan hatinya. Akan tetapi dia sudah tidak punya pilihan lagi, selain mempercayai bahwa komunitas inilah jawaban terbaik. Dan ketika temannya masuk untuk menjadi penghuni berikutnya, kita tahu Sarah mengumpulkan segenap ‘kekuatan’ untuk get on with the program, kita dapat merasakan beratnya perjuangan di dalam diri Sarah yang sebenarnya pengen menyuruh temannya itu lari. This is exactly what I feels waktu ospek. Aku gak setuju, tapi ketika aku yang jadi senior, aku mengusahakan untuk semangat mengospek anak-anak baru. Dam kupikir, yang dilakukan oleh film dengan elemen ini adalah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya menjadi bagian dari komunitas atau kelompok atau cult. Kita boleh saja gak setuju, tapi kita sudah dibentuk untuk percaya bahwa mereka adalah kebutuhan. Film memperlihatkan betapa susahnya untuk keluar dari sana. Meskipun yang dibutuhkan sebenarnya ‘hanyalah’ percaya pada kualitas diri sendiri dan menyadari bahwa hidup kita, ya milik kita sendiri.

Bukan herd immunity melainkan collective insanity

 

1BR seperti ingin membongkar pepatah lama “Jika kamu ingin cepat maju, lakukanlah sendiri. Jika kamu ingin jauh maju, lakukanlah bersama-sama”. Ending film ini memberitahu kita sebaliknya; jika Sarah pengen kabur, dia harus kuat dan berlari sendirian. Film ini punya gagasan untuk tidak menjadikan komunitas sebagai zona nyaman. Film ingin kita mempertanyakan kembali apa yang kita mau. Sarah pengen keluarga baru tempat ia bisa mengadu, keluarga yang perhatian padanya. Yang ia dapati di dalam sana ternyata jauh lebih buruk daripada pelanggaran privacy. Sesuatu yang lebih intrusif dan mengekang. Mengambil siapa dirinya sebagai seorang manusia.
Menjelang akhir babak kedua ada adegan paling heartbreaking seantero cerita, yaitu dialog antara Sarah dengan ayah kandung yang ia benci, datang menjemputnya pulang. Ini puncak tertinggi emosi yang dimiliki oleh film. Namun build up menuju ke sini agak kurang konsisten, karena cerita telah melalui berbagai metamorfosis sehingga perubahan-perubahan tersebut mengalihkan kita dari Sarah sebagai karakter. Sarah cenderung membosankan sebagian besar cerita. Dia cuma ada di sana untuk disiksa, pribadinya pun tidak membuat dia menonjolkan aksi dan pilihan. Temannya yang lebih galak dan berani mungkin bakal jadi pilihan yang lebih menarik sebagai tokoh utama dengan penceritaan seperti begini. Sarah hanya punya dua modal sebagai karakter yang menarik; backstory masalah pribadinya dengan sang ayah, dan ia berani berbohong; menyelundupkan kucing ke apartemen yang melarang hewan peliharaan.
Dua hal tersebut kinda lose in the shuffle saat film mengungkap poin-poin cerita. Memfokuskan pada aspek penyiksaan dan sebagainya. Menurutku film, secara emosional, bisa bekerja lebih baik jika mengurangi sedikit volume genrenya dan mengeraskan ke bagian bagaimana Sarah bisa sebegitu pasif, ke bagian dia berinteraksi dengan ayah ataupun dunia luar yang membuat dia retreat cari perlindungan apartemen sedari awal.

 

 

 

Bersama Vivarium (2020), film ini merupakan horor kontemporer yang benar-benar mengusung sudut pandang manusia di kehidupan modern. Mereka membuat hal yang lumrah di era dulu, seperti punya keluarga ataupun hidup bertetangga menjadi menakutkan. Meskipun begitu, toh kita enggak perlu untuk setuju dengan gagasan cerita untuk dapat menikmati suatu film. Dan pada kasus film ini, horor yang tersaji cukup enak untuk disaksikan. Intriguing and thought-provoking enough. Sehingga kita bisa betah bergidik-gidik menyaksikan tokohnya yang kinda boring, dan menjadi berempati kepadanya. Sebagian besar keberhasilan film ini terletak pada arahan berceritanya yang berhasil memuat banyak dalam durasi yang begitu singkat. Persis kayak apartemen kecil mungil, tapi berisi beragam manusia dan segala perbedaannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for 1BR

That’s all we have for now.
Mana tempat tinggal yang ideal bagi kalian, di perumahan yang sepi atau di hunian yang lebih tradisional secara hubungan bertetangga? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CAPONE Review

“… and guilt eats away at your sanity”
 

 
 
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Seberkuasanya -sepowerful apapun – bos mafia, suatu saat ia pasti akan menua dan ringkih dan jadi tak-berdaya jua. Al Capone, salah satu kriminal paling terkenal dalam sejarah, adalah salah satu bukti bahwa manusia tidak bakal ‘kuat’ selamanya. Drama biografi Capone, arahan sutradara Josh Trank, jadi rekaman seperti apa hari-hari terakhir sang kepala gangster selepas keluar dari penjara. Hari-hari terburuk, bahkan dalam seumur hidupnya yang penuh darah dan sengketa. Film ini akan memperlihatkan perjuangan Al Capone melawan dementia; perjuangan yang tak bisa ia menangkan.
Sungguh sebuah konsep yang menarik. Bukan sekadar tentang pensiunan yang berusaha menangkap kembali sisa-sisa glory. Bukan sekadar tentang orang tua yang mencicipi petualangan-muda untuk terakhir kali. Capone menawarkan kolam-baru untuk kita selami. Kita dibawa melihat sosok Al Capone dalam kondisinya yang paling rendah. Tinggal bersama keluarganya di rumah besar di Florida, Capone – yang dipanggil Fonse  – mulai kesusahan untuk mengingat berbagai hal, bahkan orang-orang di sekitarnya. Umur Fonse belum lagi lima-puluh, tapi dampak penyakit neurosyphillis yang bertahun-tahun ia derita membuat orang ini tampak sangat renta. Istrinya aja jadi kelihatan jauh lebih muda. Fonse bergerak tertatih, berbicara kayak zombie lagi menggerutu, dalam berdiam diripun ia menemukan masalah karena tidak lagi bisa mengendalikan pengeluaran; alias dia bisa muntah, ngompol, atau malah ngebom kapan dan di mana saja. Yang paling mengkhawatirkan adalah, Fonse mulai melihat halusinasi. Realita dan kenangannya melebur menjadi satu. Dia mulai melihat yang tidak orang lain lihat, dia mulai percaya pada hal yang nonexistent. Ini membawa bahaya bagi dia dan keluarga sebab Fonse menyebut dia menyimpan uang jutaan dolar di tempat yang tak mampu ia ingat, dan beberapa orang – termasuk polisi yang diam-diam mengawasinya – tidak ingin melewatkan kesempatan jika ternyata omongan Fonse tersebut benar adanya.

Dibacanya bukan “Fon-se'” loh ya

 
Jadi, ya, ini bukan tipikal film mafioso. Capone didesain supaya lebih humanis, maka itu berarti film ini dapat menjadi lebih kelam, depress, dan… menjijikkan. Film ini cukup bernyali, doesn’t want to be easy. Bagi Trank yang udah ‘sukses’ nge-tank Fantastic Four (2015), film ini boleh jadi proyek come-back atau penebusan diri. You know, Capone sejatinya ia jadikan pembuktian ia sedang kembali ke jalan yang benar. Film-film padet seperti ini, however, butuh untuk kuat dalam tiga hal supaya bener-bener jadi tontonan bergizi dan nikmat untuk dicerna. Pertama, segi ceritanya itu sendiri. Kedua, penampilan akting. Dan ketiga, cara penyampaian alias cara bercerita alias storytelling-nya. Tidak satupun dari ketiga aspek itu yang berhasil dimaksimalkan oleh Trank. Sehingga Capone pada akhirnya berakhir menjadi sebuah kekecewaan, karena buatku film ini sudah punya modal gede yakni konsepnya yang menarik.
Membahas ketiga aspek itu satu persatu, aku akan mulai dengan aspek cerita. Actually, di sini pencapaian Capone yang paling lumayan. Film mengestablish setidaknya dua hal penting yang berhubungan langsung dengan apa yang dirasakan oleh Fonse. Soal uang dan keluarga. Plot sampingan soal sekelompok orang yang mengincar uang yang ia simpan dan soal anak yang ia rahasiakan mengikat menjadi satu sebagai motivasi Fonse; ia tidak mau dua-duanya ketahuan karena ia tidak percaya siapapun. Terlebih sekarang, parnonya membesar karena efek dementia. Namun dementia itu bukan pelaku-utama, melainkan hanya berperan sebagai membesarkan. Journey Fonse sepanjang film sebenarnya adalah soal dia mencari akar dari parno alias ketakutannya yang berlebihan. Sebagai penonton, kita akan melihat ke dalam Fonse. Seringkali kita akan ditempatkan sebagai dirinya, ikut mengalami halusinasi dan mimpi-mimpinya.
Dan di dalam situlah kita akan mendapati si guilt ini, si Perasaan Bersalah. Semua halusinasi Fonse penting karena masing-masingnya merupakan episode dari beban seorang manusia yang berprofesi sebagai bos kriminal. Dia harus membunuh sahabat sendiri. Dia harus melakukan berbagai kejahatan. Di menjelang babak ketiga ada sekuen panjang Fonse balik ke masa lalu. Kita memasuki ini bukan sebagai Fonse yang gagah, melainkan sebagai Fonse yang tidak ingat pernah melakukan, sehingga ia melihat perbuatannya dari cahaya yang baru; cahaya yang lebih mudah bagi kita untuk merelasikan diri kepadanya. Kalian yang pernah nonton dokumenter Jagal atau The Act of Killing (2012), kalian akan menemukan kemiripan antara inner-journey Fonse dengan Anwar Congo yang jadi sudut pandang utama dalam dokumenter tersebut. Pembeda yang paling utama di antara keduanya adalah tanda-tanda penyesalan. Yang menjadi penting karena menentukan apakah penonton bakal bersimpati atau tidak kepada si tokoh utama, seberapapun horrible perbuatan mereka terdahulu. Fonse dalam Capone tidak punya luxury untuk merasakan hal tersebut, karena keadaan fisik dan terutama mentalnya yang tidak lagi memungkinkan.

Rasa bersalah mengerus pikiran dan akal sehat sedikit demi sedikit. Ketika melakukan perbuatan mengerikan di masa lalu, seseorang akan terus kepikiran, dan secara tidak sadar mengambil tindakan preventif untuk mencegah kejadian tersebut terulang lagi. Dan proses ‘pencegahan’ ini bergantung kepada pribadi masing-masing. Jika kita seperti Al Capone, yang hidup dari bisnis ilegal, yang dikelilingi sama seringnya oleh keluarga, anak buah, musuh, realita yang kita ciptakan untuk berlindung akan menjadi sama berbahayanya dengan yang mestinya kita cegah. Bahkan lebih.

 
Kita susah merasakan simpati kepada Fonse, meskipun tokoh ini ngompol, stroke, ngisep wortel alih-alih cerutu, ketakutan dan kebingungan sepanjang waktu, karena film membuatnya vulnerable seperti itu hanya karena dia sakit. Kita tidak sekalipun diperlihatkan perasaan genuine menyadari kesalahan. Drama film ini hanya datang dari Fonse yang sakit dan orang-orang tersayang yang setia padanya berusaha dealing with this, sementara Fonse makin curigaan dan liar kepada mereka. Sebuah film memang seharusnya tidak membuat tokohnya memohon untuk simpati kita, tetapi menjadikan si tokoh tersebut tidak pernah tampak sebagai manusia utuh – just this walking disease yang harus kita pedulikan karena banyak orang yang sayang ama dia – malah jadi kayak nyalahin penyakitnya ketimbang kontemplasi. Semua itu menjadi bertentangan dengan gagasan film mengenai kesalahan masalalu terus menghantui, karena karakternya bergerak karena penyakit. Membahas Fonse sekiranya bisa lebih baik jika dialihkan melalui sudut pandang tokoh lain, seperti istrinya yang mendapat porsi yang lumayan gede, tapi film ini pun gagal memberikan tokoh-tokoh seperti sang istri ini plot yang lebih berarti. Storyline mereka diperkenalkan, untuk kemudian diantepin gitu aja.

Hey, what’s up, Doc?

 
Perihal penampilan akting, akan berhubungan erat dengan aspek storytelling. Karena aktinglah subjek vokal yang menyampaikan cerita. Dalam cerita yang dalem membahas kejiwaan manusia, anehnya film di awal-awal memperlihatkan Fonse nyaris seperti parodi. Adegan openingnya malah kayak komedi kakek dan anak yang punya atmosfer kelam. Dan pembawaan Tom Hardy memainkan Fonse sama sekali tidak membantu. He was so over-the-top. Hardy memberikan suara yang komikal kepada Fonse. Jika tidak sedang bengong mengisap cerutu (dengan liur menetes ke dagu!) atau bergumam gak-jelas, Fonse akan ‘menyalak’ dengan suara yang seperti Moe Szyslak sedang audisi menjadi Goblin di bank Harry Potter. Dengan make up ‘penuaan’ yang terlihat kasar dan ‘Scarface’ yang gak-konsisten (make-up Johnny Knoxville jadi kakek-bangsat di Jackass tampak lebih meyakinkan), banyak tindakan yang dilakukan oleh Fonse yang jatohnya konyol alih-alih mengundang cemas dan menarik simpati kita kepadanya. Misalnya seperti ia tiba-tiba mengenakan pakaian wanita saat diam-diam berangkat pergi memancing. Dalam sekuen laga terakhir, Hardy mencoba sebaik yang ia bisa untuk menghasilkan sesuatu yang bukan cengiran dari penampilannya sebagai Fonse yang mengamuk dengan senapan mafia yang terbuat dari emas, menembaki orang sambil mengenakan piyama dan popok.
Hasil yang ditimbulkan selalu jauh dari harapan. Film seperti tidak benar-benar paham bagaimana menghormati penyakit yang mereka angkat. Ketika alur mulai memasuki ranah halusinasi mendominasi Fonse, treatment yang diambil film untuk membuat kita dapat membedakan mana yang nyata mana yang bukan adalah dengan memperlihatkan kekonyolan atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sehingga penyakit itu tidak terasa mencengkeram lagi. Namun tentu saja dementia bukanlah penyakit yang hilarious. Melainkan menakutkan. Memiliki kerabat yang perlahan melupakan kenyataan, melihat atau percaya sesuatu yang mengerikan yang sebenarnya tidak ada, mestinya adalah pengalaman yang disturbing, mencemaskan. Masa-masa sebelum kakek tutup usia, beliau sering nunjuk-nunjuk dan bicara pada sosok tak-terlihat dan memperkenalkannya kepada kami sebagai kerabat yang sudah tiada, buatku adalah masa yang mengerikan, hanya dengan mengingatnya saja. Seorang tua yang halu dan membahayakan orang, dementia dalam film Capone beberapa kali terasa seperti memancing kelucuan, yang mungkin saja tidak disengaja, but it did feel that way – bahwa kadang film kayak lupa penyakit tersebut adalah masalah serius.
Adegan halusinasi dalam film ini memang diniatkan sekontras yang kita lihat. Kadang film terasa kayak dalam dunia yang dibangun David Lynch. Lengkap dengan adegan musikal yang creepy. Tapi kita tahu, Lynch tidak menjahit adegan dengan abrupt. Whereas in Capone, demi menguatkan sensasi linglung dan kebingungan seperti yang dirasakan Fonse, editing yang digunakan dengan sengaja cepat. Konstruksi adegan dengan sengaja dibuat saling tindih, dalam sense waktu. Sehingga perspektif menjadi gak jelas. Akan sering kita temui sekuen yang ternyata cuma ada di kepala Fonse. Namun sekuen tersebut ditampilkan begitu elaborate, dalam artian, kita melihat adegan seorang tokoh di suatu tempat, melakukan hal privet, tanpa ada Fonse di sana. Yang berarti gak masuk-akal adegan tersebut bisa terpikirkan oleh Fonse. Itu bukan kenangannya. Dan aneh sekali kalo dia membayangkan adegan tersebut di dalam kepalanya karena enggak ada sangkut paut langsung dengan dia. Jadi gak-jelas apakah adegan tersebut adalah real ‘kayfabe’ dari runutan cerita yang ditarik ke masa kini, atau cuma imajinasi. Film dapat jadi membingungkan seperti demikian.
 
 
 
Film ini menjadi susah untuk ditonton. Namun bukan karena dia berhasil menggambarkan dementia atapun karena membuat kita peduli terhadap tokoh kriminal sehingga melihatnya dalam cahaya simpati. Film ini sukar karena tidak tepat dalam banyak hal. Penceritaannya sering menyimpang jadi unintentionally hilarious. Tokoh utamanya dibawakan ke arah yang membuatnya nyaris jadi seperti parodi. Alur pun tidak membahas dalam, cenderung melewatkan dan tidak sampai tuntas menggali sudut yang sebenarnya menarik. The whole concept of this movie is intriguing. Jika tayang di bioskop, tentu film ini bakal jadi kandidat kuat masuk daftar kekecewaan terbesarku tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for CAPONE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Masalah ‘harta karun’ Al Capone yang sampai sekarang masih belum ditemukan, apa kalian punya mengenai hal tersebut? Apakah itu hanya legenda? Jika tidak, kenapa kira-kira hingga kini uang berjuta-juta itu belum berhasil ditemukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Money in the Bank 2020 Review


 
 
Tangga Korporat, WWE mengumumkan, adalah yang akan dipanjati oleh para superstar yang berlomba untuk mendapatkan kontrak pertandingan kejuaraan tahun ini, alih-alih ‘tangga-pertandingan’ yang biasa. Sebagai bukti geliatnya konsisten menghadirkan tayangan olahraga hiburan di tengah pandemi, langkah ini jelas menarik. Premis pertandingan Money in the Bank yang berbeda menjanjikan banyak hal-unik karena akan ada begitu banyak kemungkinan yang terjadi. Terlebih, penonton masih ter-wah-kan oleh konsep ala-sinematik yang dihadirkan pada Boneyard Match dan Firefly Funhouse di WrestleMania sebulan sebelumnya. The buzz was loud. The expectation was high. WWE pun dengan cepat menangkis skeptis yang menganggap seunik apapun bakal boring karena ada dua MITB yang disuguhkan, dengan pengumuman lanjutan bahwa MITB cewek dan cowok akan dilangsungkan pada saat bersamaan! Jadi, dengan lebih banyak superstar yang terlibat, seperti apa kiranya MITB diadakan?
Acaranya sendiri masih diadakan di Performance Center. Tanpa penonton live. Hanya pertandingan MITB yang diboyong ke kantor alias markas besar WWE di Stamford. Para superstar yang menjadi peserta match tersebut (enam masing-masing partai men and women) akan memulai ‘memanjat’ dari lantai bawah gedung. Dua koper yang berisi kontrak digantung di atas ring, di atas puncak gedung! So yea, it could be a really massive hunt game. Ada begitu banyak potensi. Perebutan di atap outdoor itu sekiranya bisa menegangkan kayak acara Fear Factor. Sementara, brawl di dalam gedung akan menarik. Dulu WWE sering ngadain match di mana para superstar bertarung sambil ‘jalan-jalan’ ke backstage; ada begitu banyak momen seru dan kocak dari sana. Namun baru kali inilah WWE benar-benar ‘menjual’ latar tempat sebagai obstacle course alias elemen penting pada konsep pertandingannya. Mereka bisa membawa kita ke semacam tur isi kantor WWE. Mau dipersembahkan sebenarnya keadaan kantor, atau mereka bisa menjual tempat itu sebagai a make-believe place, like, mereka bisa mendandani beberapa ruangan, menjadikannya sebagai set-piece yang bakal digunakan secara kreatif. MITB cowok dan cewek yang dilangsungkan bersamaan juga bisa dijadikan sebagai semacam tes intergender match. Ada Asuka, Nia Jax, Shayna Baszler, Dana Brooke yang masuk akal bertanding melawan laki-laki. Bahkan Lacey Evans, si superstar feminis, bakal jadi tontonan menarik diberikan interaksi bersama superstar cowok semacam King Corbin.
And it could be symbolic too. Superstar yang saling berlomba dari lantai paling dasar, menerjang apapun untuk bisa sampai ke atas. Benar-benar merepresentasikan perjuangan karir seseorang yang ingin berhasil di WWE. Kita banyak mendengar soal ‘glass-ceiling’, ‘brass-ring’, ataupun politik-politik di belakang panggung semacam Triple H yang suka nge-bury, John Cena yang menggunakan privilege golden boy untuk mengatur hasil pertandingan, atau locker-room leader yang nunjukin kesenioran. One could hope WWE menempuh jalur meta, dan memasukkan adegan-adegan simbolik dari elemen-elemen itu ke dalam plot atau bookingan pertandingan MITB ini. Yang tentunya bakal tampak pintar dan edgy. Mainly, kebanyakan kita mengharapkan pertandingan sinematik yang mirip film action. Hanya saja, bukan itu semua yang diberikan oleh WWE. MITB kali ini actually lebih over-the-top daripada Boneyard atau Firefly Fun House sekalipun. Arahan yang diambil WWE membuat pertandingan ini tampak konyol, hampir seperti film kartun.

Money in the Bank 2020 gak bisa dibilang jelek-total. Karena toh memang mampu menghibur; tujuan acara ini diadakan untuk menghibur penonton. Tertawa di tengah corona. Tapi tetap bukan tayangan gulat yang bagus. Karena ‘menghibur’nya itu bisa diperdebatkan. Cara terbaik menilai acara ini adalah dengan mengatakannya, simply, sebagai pengingat bahwa WWE sudah mengambil arah yang berbeda dari yang membuat kita jatuh cinta pada awalnya.

 

Sedih juga sih nonton food fight saat siang-siang lagi puasa

 
Aku menyadari hal tersebut sejak nonton film The Main Event (2020), kolaborasi feature pertama antara WWE dengan Netflix. Dari situ terlihat jelas bagaimana WWE bermaksud menjual brand mereka ke luar. Sebagai kartun live-action. Sebagai fantasi. Anak kecil mampu bergulat dengan kekuatan super. Poin yang dibuat film itu, yang merupakan cara WWE memandang mereka sendiri sebagai jualan adalah, di WWE apapun bisa terjadi. Tidak perlu berpijak pada logika. Karena yang terpenting adalah menghibur seluruh lapisan keluarga.
So yea, pada MITB ini tidak akan ada brawl backstage seru, tidak akan ada frantic chase, melainkan hanya skit-skit komedi yang disebar. Pertandingan bahkan mengandung sedikit sekali wrestling. Yang kita dapatkan di sini adalah cameo-cameo seperti Paul Heyman yang mau makan tapi buffetnya dan seantero ruang makan itu dijadikan arena food fight oleh peserta MITB (WWE cukup tega membuat Shayna harus ikutan perang makanan konyol ini). Jangan salah, ini memang menghibur. Aku bahkan tergelak melihat muka John Laurinaitis kena lempar pie. Tapi ini bukan pro-wrestling yang biasa kita santap. Ini bukan aksi-aksi bergizi yang jadi asupan hiburan kita yang biasa. Aksi dalam match ini berupa banyolan. Ada satu adegan para superstar cewek berlari di ruangan yang sedang dipel, kemudian Dana Brooke jatoh kepleset seolah dia bernama Dono. Corbin comically melempar Mysterio dan Black dari pinggir arena ring, like he kill them. Dan pada satu titik, AJ Styles lebih peduli mencari di mana Daniel Bryan ketimbang buru-buru berlari supaya sampai ke atap lebih duluan daripada yang lain. Sedikit sekali memang elemen dalam pertandingan ini yang masuk akal. Sehingga melihat Vince McMahon cuci tangan pake sanitizer aku jadi curiga, jangan-jangan itu bukan sekedar candaan coronoa, melainkan dia sedang menyampaikan pesan “gue kagak ikut campur tangan sama kekonyolan ini”
Outcome dari match itu sesungguhnya menyenangkan. Serta mengejutkan. Menarik sekali Otis menang, aku penasaran mau dibawa ke mana storyline dia dan Mandy berikutnya dengan kemungkinan sabuk di tengah-tengah mereka. Hanya ‘cara bercerita’nya saja yang mestinya bisa dilakukan lebih baik lagi. Masalahku buat ending MITB cowok ini persis seperti masalahku pada kejuaraan tag team Smackdown di WrestleMania 36; they’re trying too hard to be different. Yang MITB cewek masalahnya lain lagi. Setelah berkali-kali bereksperimen dengan teknik edit dan kamera, WWE tidak kunjung membaik. Setelah Asuka mendapatkan kopernya (dalam situasi aneh kenapa dia menghajar Corbin yang mau naik ngambil koper bagiannya), kamera ngecut gitu aja sehingga superstar cewek lain yang masih ada di ring seperti lenyap gitu aja. Jika kalian juga suka nonton film, dan terbiasa mengamati gerak kamera dan cut-demi-cut adegan, aku yakin kalian juga bisa melihat editing yang dilakukan WWE masih ‘kendor’. Setiap sambungan seperti lazily stitched together. Dan bukan hanya pada match MITB, yang membawa kita ke rest of the whole show…
2020 bukan tahunnya Corona, tapi Tahun Otis

 
Match Bray Wyatt melawan Braun Strowman juga memanfaatkan editing untuk menyampaikan cerita. Partai ini sebenarnya adalah yang paling komplit; gulatnya beneran banyak, ‘gimmick’ juga jalan. Alur pertandingan ini lumayan menarik, soal Braun yang berusaha melawan bujukan Wyatt untuk kembali ke sisinya. Namun eksekusinya, seperti skipped a beat. Pertandingan ini berakhir saat Braun yang jatuh ke luar ring, abruptly muncul dengan topeng hitam yang dulu ia kenakan saat masih jadi hamba Bray Wyatt. Seharusnya timing dan cerita matchnya bisa digarap dengan lebih baik lagi, berikan waktu sedikit lebih banyak supaya plot poin pertandingan ini bisa berkembang sempurna.
However, WWE toh memang tampak memberikan perhatian yang lebih untuk event-event dan segmen cerita. Terlebih karena sekarang penonton mereka semuanya menyaksikan dari rumah. Aksi di dalam ring tidak akan maksimal karena gulat sejatinya membutuhkan penonton live. Superstar dilatih untuk perform live, dan mereka bergantung kepada reaksi penonton. Dengan absennya penonton di studio, aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengimprove pertandingan. Mereka gak bisa begitu saja meningkatkan intensitas dengan menyuruh superstar melakukan jurus-jurus berbahaya sepanjang waktu untuk memancing teriakan geunine dari komentator. Jadi mungkin itu sebabnya kenapa WWE tidak terlihat begitu perhatian sama partai-partai yang mengutamakan pada tradisional wrestling.
Semua match di acara ini berlangsung standar. Tag Team fatal 4 way yang jadi opening berjalan dengan tempo cepat, karena mereka berfungsi sebagai pemancing hype. And just that. Matchnya sendiri enggak spesial, hanya para superstar bergantian menyarangkan jurus masing-masing. Bayley melawan Tamina adalah yang paling parah – jika kita menganggap squash match Lashley lawan R-Truth sebagai pengisi durasi aja. Lambaaaat banget, aku gak yakin apakah Tamina ini ogah-ogahan atau memang gerakannya selamban itu. Hanya ada satu pertandingan yang benar-benar aku apresiasi sebagai tontonan gulat, dan itu adalah Seth Rollins melawan Drew McIntyre. Man, kalolah arena penuh penonton, dijamin match mereka ini akan mendapat tepukan “this is awesome!” setiap beberapa menit sekali. Pertandingan ini tidak diberatkan oleh gimmick; it’s just two guys performing the best they can, sambil mengembangkan karakter mereka. Penilaianku buat Drew mainin peran babyface-nya masih belum final, tapi aku bisa melihat Seth Rollins mulai enjoy sebagai Monday Night Messiah. Dia bahkan keliatan seneng dapat musik baru.
 
 
Ketika kita memikirkan wrestling match yang menghibur, Rollins melawan McIntyre adalah yang paling dekat dengan pikiran kita. Namun tampaknya, hiburan gulat seperti demikian – superstar yang keliatan seperti ‘benar-benar’ bertarung, bukannya melakukan sebuah segmen – mulai menjadi langka. Karena keadaan membutuhkan WWE untuk mencari alternatif hiburan lain. Dan arahan yang dipilih WWE; some of you will love it or some will hate it. Aku, personally, lebih suka tradisional seperti Rollins melawan McIntyre. Aku pikir hiburan yang bisa dinikmati anak-anak enggak mesti jadi receh, dan sebaliknya juga, brawl yang lebih serius pun gak mesti harus ekstrim. WWE di MITB ini buatku masih terlihat berada di tengah-tengah anak tangga menyesuaikan diri dan strugglingnya sebagai bisnis di tengah pandemi. The Palace of Wisdom menobatkan Seth Rollins vs. Drew McIntyre sebagai Match of the Night.
 
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The New Day pertahankan gelar dengan berhasil atas Lucha House Party, Miz and Morrison, and Forgotten Sons
2. SINGLE Bobby Lashley squashed R-Truth
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan mengalahkan Tamina
4. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Braun Strowman retains over Bray Wyatt
5. WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre masih juara ngalahin Seth Rollins
6. MONEY IN THE BANK CORPORATE LADDER Asuka menang di partai cewek, dan Otis menang di partai cowok 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE RHYTHM SECTION Review

“When you dance to your own rhythm, life taps it toes to your beat”
 

 
 
Blake Lively yang kutahu adalah makhluk magnificent yang memancarkan aura bidadari yang lembut, bahkan saat ia berdarah-darah berhadapan dengan hiu. Ia adalah tipe yang kau impikan untuk jadi kakak perempuanmu. Namun aku tak mengenali Lively lagi di film The Rhythm Section ini. Ia jadi kumal banget. Begitu broken sehingga aku gak yakin bakal membukakan pintu jika ia datang bertamu. Aku akan memilih untuk bersimpati padanya dari balik tembok, hoping for the best dia kembali ke jalan yang benar. Namun film ini akan memaksa kita untuk berada di balik kepalanya, atau paling tidak di sebelahnya – menggenggam tangannya – melewati segala aksi balas dendam yang ia kira bakal memberinya ketenangan jiwa.
Tahulah kita bahwa Lively di sini bukanlah Lisa sang junkie PSK. Melainkan dia adalah Stephanie Patrick, mahasiswi teladan yang hidupnya menukik tajam setelah seluruh keluarganya – ayah, ibu, kakak, adik – tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat. Steph yang last minute urung ikut naik pesawat technically selamat, tapi dia sebenarnya juga korban. “Kau hanya belum mati saja“, kata reporter yang menemukan Stephanie. Sang reporter sedang menginvestigasi kasus kecelakaan tersebut karena itu ternyata bukan kecelakaan biasa. Melainkan teror bom yang ditutupi. Pembuat bomnya masih bebas berkeliaran. Dalangnya masih di luar sana, bersembunyi di balik nama alias. Mengetahui hal ini, Steph bangkit, memungut dirinya sendiri dari nestapa untuk mencari pelaku. Menorehkan cerita balas dendam sendiri. Bekerja sama dengan sekumpulan orang di pihak si reporter, Steph meminta untuk dilatih menjadi assassin. Namun balas dendam tidak segampang yang dikira, khususnya ketika berhadapan dengan organisasi tersembunyi. Dan ketika dirimu sendiri juga bersembunyi di balik sesuatu yang bukan dirimu.

Jadi assassin wanita yang kuat supaya bisa dikirim misi ke sana kemari oleh pria

 
Paling baik bagi kita untuk tidak mengharapkan film thriller yang penuh laga seru saat menonton film ini. Karena The Rhythm Section diarahkan oleh sutradara perempuan Reed Morano untuk menyanyikan nada yang berbeda. Film ini adalah jeritan hati dari Stephanie, sepanjang waktu kita akan diminta untuk melihat ke dalam Stephanie. Semua adegan laga akan di-examined dari sudut pandang dan perasaannya. Pemberantasan teroris dan politik kriminal di baliknya tidak akan dibahas jika Stephanie tidak meluangkan emosi terhadapnya. Kamera akan strictly melayang di depan wajahnya. Akan ada banyak sekali adegan Stephanie ‘berhenti’, close up ke wajah, dan kita menyelam masuk ke flashback memorinya. Di sinilah peran Blake Lively menjadi sangat penting. She’s the perfect personification untuk tokoh Stephanie yang terlihat ‘keras’ di luar tapi begitu lembek dan rapuh di dalam. Kita akan menemukan simpati menatap lekat-lekat wajah Lively, dan semakin broken tokohnya ini efek yang dihasilkan semakin kuat.
Stephanie pada masa-masa nelangsanya adalah penampilan terbaik dari film ini. Setiap kali dia berada di fase jatuh, gagal, seperti gak punya harapan, dan menyesali kepergian keluarganya, di sinilah film bersinar. Berkat penampilan akting dan struggle genuine yang dikeluarkan. Film paham cara menonjolkan ini semua. Misalnya pada adegan Steph dilatih bertarung satu lawan satu. Morano memerintahkan kameranya untuk merekam aksi dalam single take tanpa-putus, dan mereka membuat adegan ini berlangsung di ruangan sempit. Laga pada adegan ini gak ada flashy-flashy-nya, tapi begitu memukau karena dengan efektif merekam kefrustasian dan usaha Stephanie untuk menjadi jago berkelahi. Ada transformasi karakter yang tampak genuine sepanjang adegan laga yang gak-sempurna ini. Dan adegannya, seperti semua adegan laga dalam film ini deliberately dibuat amatir karena penting bagi kita untuk dapat melihat Stephanie gak mampu untuk menjadi Petra, persona assassin yang harus ia isi.
Setelah semua latihan, dia berenang di danau yang dingin itu, coba tebak apa yang Stephanie lakukan pada misi pertamanya menghabisi orang? Stephanie babak belur dihajar oleh penjahat di kursi roda. Pada bagian-bagian Stephanie jadi penyusup dalam misi membunuh lingkaran tersangka terorislah film berpotensi menjadi sangat membosankan. Dia gak keren kayak John Wick. Dia enggak mematikan kayak Atomic Blonde. She can’t do shit kayak Jackie Chan. Melainkan, misi Stephanie nyaris selalu gagal karena dia terperangkap dalam pikiran dan emosinya sendiri. Rencananya selalu kacau. Film juga membuat on-point soal Stephanie balas dendam karena tindakan teroris membunuh orang tak berdosa, tetapi saat bertindak sebagai assassin, justru Stephanie sendiri yang membuat banyak orang tak berdosa turut menjadi korban. Setiap rencana yang gagal itu membuahkan damage yang berlebihan, yang memberatkan nuraninya sendiri.
Ini sebenarnya merupakan fresh take dalam genre action. Jika kebanyakan seringkali menampilkan tokoh cewek yang membalas dendam dan langsung jago, The Rhythm Section ini berani memperlihatkan ‘kenyataan’, bahwa gak semudah itu menjadi seorang pembunuh. Manusia biasa gak bisa latihan instant untuk menjadi secakap CIA. Terutama, ini cocok dengan gagasan film soal Stephanie yang berusaha mencari comfort dengan kabur dari dirinya. Pertama dia menciptakan Lisa, sebagai alasan untuk mengasihani diri sendiri, berkubang di jalanan. Kemudian dia tertarik untuk menjadi Petra, assassin wanita yang terkenal sangar. Film juga memunculkan tokoh antagonis yang paralel dengan kondisi Stephanie; yang berlindung di balik persona U17, bedanya hanya si antagonis berhasil memanfaatkan identitas tersebut.

Untuk bisa menembak dengan jitu, Steph harus mendengarkan irama jantung dan napasnya. Film bicara soal setiap makhluk punya ritmenya sendiri, dan itulah yang harus didengar oleh masing-masing. Kita harusnya menari dalam irama sendiri, dan ini maksudnya adalah untuk stay true to who you are. Steph gagal sebagai Petra, dia nista menjadi Lisa. Langkahnya baru mulus, dia lebih berjaya saat mengenali dendamnya sebagai Stephanie, putri dari keluarga Patrick yang mengasihani diri dan berani untuk mengubah itu semua.

 

Jantung adalah drum, napas adalah bass… dan mulut adalah riff gitar “tininiw tinininiiiwww”!

 
Film sayangnya tidak cukup bijak untuk mendengarkan gagasannya sendiri. Alih-alih bergerak dalam irama yang menjadi keunikannya, film mengambil banyak keputusan editing dan bercerita yang aneh. Yang bukan-dia-banget. Pemilihan musiknya, for instance, sangat misleading. At heart, ini adalah cerita yang muram. Gagasannya membutuhkan sang tokoh untuk menjadi ‘bego’ dalam setiap misi, entah itu gagal atau ketahuan dan kabur. Supaya ia lantas memikirkan tindakan yang ia lakukan, mempertimbangkan kembali approachnya dalam balas dendam. Namun film malah memperdengarkan kepada kita musik-musik penyemangat, tak ubahnya film laga yang tokohnya keren dan gak-annoying karena sebentar-bentar flashback. Kesalahan besar saat menonton adalah menciptakan ekspektasi lalu hidup dalam ekspektasi tersebut, membuat film terasa jelek karena gak sesuai dengan harapan kita. Dalam kasus film ini, si film sendiri yang mendorong kita untuk berharap sesuatu yang keren. Padahal cerita dan design yang ditetapkan jauh dari semua itu.
Kemudian soal editing gambar dan kamera. The Rhythm Section sebenarnya punya adegan keren, kayak di Extraction (2020), yakni kejar-kejaran mobil yang seolah single take. Bedanya di film ini, kamera menetap di sebelah Steph yang lagi mengemudikan dengan panik, sambil sesekali nge-pan untuk memperlihatkan kerusuhan di belakang, samping, ataupun depan jalanan. Sekuen adegan yang keren, hanya saja terlalu goyang untuk dapat benar-benar dinikmati. In fact, kebanyakan adegan close up dalam film ini terlalu shaky sehingga fungsinya sebagai penghantar kita merasakan langsung emosi tokoh ini jadi buyar. Belum lagi saat dialog, film menggunakan teknik splicing cut ke momen lain – yang merupakan cara film supaya bisa merangkum banyak plot poin dan kejadian karena cerita ini merupakan adaptasi dari novel yang punya lebih banyak ruang untuk bertutur – yang pada akhirnya jadi flat out confusing. Serta merenggut kita dari perasaan ikut terbonding sama para tokoh. Itulah sebabnya kenapa tokoh-tokoh lain tidak terasa nempel dan kita tidak peduli amat dengan mereka. Relasi Stephanie dengan mereka tidak berkembang dengan normal, dan tidak diberikan waktu yang cukup. Film hanya memuat sebanyak mungkin dan mencoba melakukannya dengan bergaya.
 
 
 
Pendekatan film ini terhadap genre thriller laga balas dendam dengan protagonis cewek sebenarnya cukup segar. Tokoh kita berubah dari mengasihani diri sendiri menjadi berani dan mengkonfrontasi masalah langsung sebagai dirinya. No more pretending. Tidak lagi berkubang dalam nestapa. Namun untuk belajar semua itu banyak kegagalan yang harus dilewati. Dan fase kegagalan ini dapat dengan mudah tertranslasi kepada penonton sebagai laga-yang-membosankan, juga annoying karena tokohnya terlihat bego. Film sendirinya seperti ragu terhadap ritmenya, bimbang untuk menjadi muram dan depressing seperti yang dilalui oleh tokohnya, maka memilih beberapa elemen untuk ‘menceriakan suasana’, but it’s not working karena malah membawa penonton semakin jauh ke bagaimana sebenarnya film ini. Buatku, nonton ini seperti mendengarkan cerita teman mengenai seberapa keren dirinya, tapi aku tidak merasakan hal yang sama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RHYTHM SECTION.

 

 
 
That’s all we have for now.
Tidak ada yang mudah jika kita melakukan sesuatu untuk diri kita, tapi melakukannya dengan standar orang lain. Stephanie tidak gagal jadi assassin, dia hanya gagal menjadi Petra.
Apakah kalian setuju bahwa menjadi diri sendiri itu jauh lebih susah dan lebih membutuhkan keberanian daripada menjadi orang lain?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WRETCHED Review

“All children’s greatest fear is the separation of their parents”
 

 
 
Pria dan wanita saling jatuh cinta. Mereka kemudian hidup bersama. Menjadi papa dan mama. Anak mereka akan belajar banyak dari mereka, terutama kasih sayang dan rasa percaya. Namun kemudian pria dan wanita tadi bertemu dengan masalah rumah tangga. Mereka memutuskan untuk berpisah, karena itulah langkah terbaik. Yang harus disadari adalah perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal. Permulaan dari trauma dan masalah bagi anak. Karena sekarang rasa percaya itu terbagi dua. Anak takut disuruh memilih. Anak khawatir mengkhianati kasih sayang utuh tempat ia bertumbuh. Dan kemudian datanglah sang figur pengganti. Sebagai personifikasi dari ketakutan anak dari perceraian orangtua.
The Wretched merangkum hal-hal yang dikhawatirkan oleh anak-anak malang seperti demikian. Yang orangtuanya kini tinggal terpisah. Yang bersiap untuk mendapat papa atau mama yang baru. Kejadian-kejadian tersebut dibentuk ke dalam narasi horor oleh duo sutradara sekaligus penulis naskah Brett Pierce dan Drew T. Pierce, yang kemudian disampaikan kepada kita lewat tone yang ringan seolah ini adalah kisah kehidupan remaja normal. Benturan tone inilah, tema yang kelam-estetik creepy-atmosfer ringan, yang menjadikan The Wretched sebuah pengalaman nonton yang lumayan langka. Yang kita dapat biasanya entah itu film yang terlampau artsy, atau malah film yang bablas receh. Atau yang frontal sadis. The Wretched berada di tengah-tengah itu semua. Violent dan tega terhadap anak kecil, beberapa mengarah ke ‘konten dewasa’, tapi perspektif dan gagasan yang disampaikan adalah milik anak-anak baru gede yang bermuara pada keluarga.
Cerita berpusat pada Ben (John Paul-Howard bermain dengan gips di tangan), cowok remaja yang mendapat giliran di rumah ayahnya, di lingkungan kota dermaga kecil. Di sini Ben berkenalan dengan tetangga baru, teman baru, dan calon ibunya yang baru. Selain kecanggungan sosial dan angst-nya soal kemungkinan ibu baru tersebut, hidup Ben masih tergolong normal. Hingga dia gak sengaja mengintip ada kejanggalan di sebelah rumahnya. Tetangga Ben mendadak lupa bahwa mereka punya dua orang anak. Ben yang tertarik rasa penasaran dan kekhawatiran melakukan investigasi kecil-kecilan. Dia menemukan simbol aneh dan sesuatu yang mencurigakan di basement tetangganya itu. Mungkinkah nyonya rumah tersebut adalah seorang penyihir kuno? Ben harus segera berbuat sesuatu sebab anak-anak lain di kota itu mulai lenyap jejak keberadaannya satu-persatu.

Apakah sosok mirip Arrancar ini technically dibilang Witch karena suka merebut suami orang?

 
Nonton The Wretched rasanya persis kayak baca cerita-cerita di buku Fear Street karangan R.L. Stine. You know, the Goosebumps-Guy. Goosebumps merupakan horor yang ditulis Stine khusus untuk anak-anak; dengan tidak terlalu mengerikan, dalam artian hanya ada literal makhluk mengerikan entah itu zombie, hantu, alien, atau bahkan bully di sekolah tanpa pernah menyentuh isu yang lebih dalam seperti domestic abuse, atau trauma, ataupun ketakutan mental lainnya. Pada Fear Street, Stine mulai memperkenalkan soal isu tersebut dengan sedikit lebih dalam, karena mengincar pembaca yang lebih gede. Nah, The Wretched juga mengandung elemen dan cara bercerita yang mirip dengan horor Fear Street. Remaja yang melakukan hal-hal remaja biasa yang dealing with bersosialisasi di lingkungan baru. Kenalan ama cewek. Sedikit gak akur sama akur sama ayah yang mau nikah lagi. Namun dengan tone horor yang kuat sebagai pembungkus lapisannya.
Horor di sini dapat menjadi sangat mengerikan untuk penonton seusia tokoh utamanya, atau yang lebih muda. Anak yang dimakan. Anak yang diseret secara kasar untuk kemudian dibiarkan sementara nasibnya sesuai imajinasi kita. Practical effect-nya akan membantu kita mengembangkan visual supermengerikan di dalam kepala masing-masing. The Wretched punya departemen art yang asik, untuk ukuran genre horor. Penampakan ‘penyihir’nya sangat meyakinkan seremnya. Adegan dia keluar dari perut rusa niscaya bakal menghantui mimpi anak kecil yang menonton ini, paling enggak untuk seminggu ke depan. Sementara aku, skena mimpi burukku sampai saat ulasan ini diketik masih dibintangi oleh emak-emak berdiri di ujung lorong, bermandikan cahaya, dengan tubuh berpostur meliuk kayak batang pohon. Yea, terima kasih buat adegan anak tetangga Ben melihat ibunya berdiri di luar kamar. Sutradara jelas punya gaya dan visi tersendiri dalam menampilkan keseraman dengan penuh gaya, and it works. Bahkan jumpscare yang kita temukan juga enggak jatoh murahan dan hanya-sekadar-ngagetin. Ada timing, ada build up yang melibatkan bukan saja musik, melainkan juga cahaya, sehingga begitu precise dan tetap menghormati penonton.
Dalam penulisanlah film ini lebih struggling. Seperti yang disebut di atas, fenomena-fenomena horor di film ini sebenarnya merepresentasikan ketakutan anak saat keluarganya berpisah dan bakal membentuk keluarga baru, dengan lingkungan dan orang yang completely baru, sehingga mereka merasa terasing. Film berusaha memasukkan banyak, seperti anak yang keluarganya disihir sehingga melupakan dia exist adalah gambaran anak takut dilupakan, ataupun seperti penyihir yang memakai kulit manusia dan menyamar menjadi ibu – membisiki ayah untuk bersikap aneh – adalah gambaran anak takut dia tidak mengenali orangtua baru atau orangtua aslinya lagi. Semua itu diperlakukan sebagai kekuatan sihir si Penyihir. Namun saking banyaknya, film jadi terlihat menumpukkan saja semuanya ke tokoh Penyihir ini. Film mencoba membangun mitologi si penyihir untuk merangkum dan melogiskan itu semua. Tapi tetap saja, si Penyihir pada akhirnya hanya tampak seperti segala kekuatan jahat yang superpower tanpa benar-benar menjadi sebuah karakter.
Menjadi lebih parah ketika kita meniliknya dari usaha film membeberkan kekuatan, keberadaan, dan mungkin cara mengalahkan Penyihir ini. Film melakukan semua trope horor gampangan, semacam ada simbol sihir di mana-mana, ada internet yang punya informasi detil mengenai makhluk ini. Kemudahan dan kefamiliaran. Membuat film ini generik dalam hal karakterisasi dan pendalaman mitologi. Kekuatan penyihir tidak diberikan batasan atau penjelasan. Kegunaan simbol, kenapa digambar, kenapa makan anak-anak, siapa yang menulis artikel detail di internet, film gak peduli membahas semua itu. Yang penting bagi film adalah aspek-aspek itu ada sebagai alat untuk mendukung gagasan soal ketakutan anak, dan si penyihir ‘hanyalah’ gabungan dari itu.
Penyihirnya suka menggambar

 
Konsistensi struggling penulisan ini juga tercermin jelas dari karakter-karakter manusia. Film bermaksud membuat tempat, kota, yang menjadi latar hidup. Sebagaimana dalam cerita-cerita Stephen King; mau itu kota Derry, Castle Rock, ataupun penjara Shawsank, tempat selalu menjadi karakter ‘tersembunyi’. The Wretched pengen seperti demikian. Kita diperlihatkan si Penyihir sudah ada dari beberapa tahun yang lalu. Bersemayam di hutan. Kita lantas melihat kota kini berpindah pusatnya ke perairan, dan ada arc sendiri bagi Penyihir terkait dengan kota ini yang dibuat melingkar di akhir. Untuk fully menghidupkan kota, film menempatkan berbagai macam penduduk sehingga tokoh-tokoh sentral bisa berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, film ini kembali salah langkah. Seperti halnya Penyihir, kota atau tempat ini juga jadi tumpukan trope saja. Semuanya hanya jadi device saja. Misalnya tokoh bully yang ternyata perannya hanya minor untuk menghalangi Ben ke suatu tempat, sekilas, dan tidak pernah dibahas lagi relasi yang sempat terbangun antara Ben dengan mereka.

Membayangkan orang asing masuk ke keluarga, mendekati salah satu orangtua dan kemudian membayangkan harus menganggap orang itu orangtua baru, jelas bukan pikiran menyenangkan untuk anak dan remaja. Banyak peneliti yang sependapat bahwa anak tumbuh lebih ‘sehat’ di lingkungan yang mencintai meskipun harus mengalami perpisahan dibandingkan tumbuh di lingkungan yang selalu bertengkar. Namun, perpisahan dan masuknya orang baru tetap bukan perkara enteng bagi mental anak. Mereka terutama khawatir akan terlupakan, karena orangtua sudah move on dengan cinta lama. Sekaligus takut melupakan orangtua ketika mereka nyatanya juga harus move on dan memilih.

 
Dan bicara soal Ben, dari eksposisi backstory yang ia ceritakan kepada kita melalui tokoh teman wanitanya, supposedly Ben ini kayak jadi bengal gitu setelah orangtuanya cerai. Tangannya patah karena perbuatan kriminal kecil-kecilan yang ia lakukan. Kita juga melihat di awal perkenalan kita dengannya, Ben mengutil uang. Dari sini kita bisa memahami cerita sebenarnya pengen menyampaikan bahwa Ben yang sekarang sedang ‘dihukum’ dia datang ke tempat ayahnya untuk bekerja dan dipantau berkelakuan baik. Konflik diset lewat Ben harus melanggar aturan karena ia merasa ada sesuatu yang ganjil dan berbahaya di rumah sebelah. Ini mestinya konflik yang cukup menarik. Akan tetapi, Ben yang sebagian besar durasi kita lihat, tidak pernah tampil semenarik itu. Karakternya boring, whiny, dan tidak memancing simpati. Ada seorang cewek yang mendekati dia, mereka jadi sahabat, dan Ben tak pernah tampak tertarik ataupun bereaksi kepadanya seperti manusia beneran. Ben terlalu fokus membawakan plot, tindakannya jadi ngeselin. Film terlalu menyuruhnya untuk mengintip tetangga kayak sedang berada dalam film Rear Window (1954), sehingga lupa ada elemen-elemen lain yang harusnya juga dimainkan.
Film menyimpan twist keren di akhir, hanya saja tidak terasa cukup waktu untuk kita benar-benar merasakan impact dari pengungkapan tersebut. Keberadaannya enggak mengurangi nilai film, tapi aku pikir seharusnya bisa lebih diberi bobot lagi terutama yang berhubungan dengan Ben. Bukan hanya dia ada di sekitar Ben, melainkan mungkin seharusnya bisa dikaitkan langsung dengan emosional Ben, seperti misalnya dia-lah justru yang pertama kali melupakan. Dan ini hubungannya kembali lagi ke karakterisasi; karena Ben dikembangkan tidak semenarik yang seharusnya bisa dicapai jikasaja naskah direworked lebih cermat.
 
 
Untuk menyimpulkan; aku enjoy menonton ini. Ceritanya yang mengangkat horor di balik kehidupan sehari-hari membawa ke masa-masa horor jadi staple dalam hiburan anak muda. Film ini tidak terasa seperti horor dengan tokoh remaja/anak. Melainkan seperti film anak yang horor. Dan ini membuatnya jadi pengalaman nonton yang seru. Juga grounded, karena masalah pada anak dapat dengan mudah terelasi kepada semua orang. Penggemar horor pun aku yakin akan mengapresiasi estetik dan visualnya. Mainstream appeal film ini juga terletak pada twist yang sudah disiapkan. Masalahku sama film ini adalah penulisan yang enggak sebanding dengan arahan. Banyak aspek yang diangkat, yang ternyata cuma jadi trope dan device, alias tidak benar-benar matang dipikirkan kehadirannya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE WRETCHED.

 

 
 
That’s all we have for now.
Sesungguhnya, enggak ada orang yang mau dilupakan, terutama oleh orang-orang yang ia sayangi. Menurut kalian, darimana perasaan takut dilupakan ini berasal? Apakah itu hanya ‘anak’ dari kecemburuan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE LODGE Review

“All the stress and misery of life comes from fear of loss”
 

 
 
Orang bunuh diri gak bisa ke surga! Itulah hal yang paling dikhawatirkan oleh Mia, gadis cilik yang ibunya meninggal akibat menembak kepala sendiri karena ditalak cerai. Tapi enggak ada orang yang paham ama ketakutan Mia tersebut. Tidak ayahnya yang mau menikah dengan wanita muda yang pernah jadi pasien konseling sendiri. Tidak pula abangnya, Aidan, yang marah lantaran ayah mereka karena memilih cewek “psikopat” penyintas dari sekte bunuh diri. Notice ‘bunuh diri’ muncul dua kali? Kejadian menjadi mengerikan ketika dua agen atau pihak-yang-bersinggungan dengan ‘bunuh diri’ ini bertemu. Mia dan Aidan actually diajak oleh ayah mereka untuk berlibur bareng Grace, si calon ibu tiri yang cakep, untuk saling mengakrabkan diri. Namun begitu ayah pergi, meninggalkan mereka bertiga di vila di tengah badai salju menjelang Natal, kejadian tak-terjelaskan mulai terjadi. Pemanas yang mati. Waktu yang seperti tak bergerak hari demi hari. Makanan dan barang-barang lenyap, termasuk boneka Mia yang didandani mirip ibunya, dan obat anti-stress Grace yang masih dealing dengan trauma survivalnya. Apakah ini kegilaan yang menerpa? Atau hantu dari masa lalu? Ataukah dugaan Aidan memang benar; bahwa mereka bertiga sebenarnya sudah meninggal.

Meninggalkan keluarga di tempat terpencil tanpa mobil di tengah salju, sungguh bukan teknik parenting yang jitu

 
 
Film ini mengingatkanku kepada The Turning (2020). Ada banyak kesamaan pada dua film ini, hampir seperti mereka berkompetisi satu sama lain. Basically, kedua film sama-sama mengambil lingkungan tertutup dengan cerita wanita muda mengasuh dua anak. Karakteristik tiga tokoh sentral ini pun mirip. Anak cewek yang menggunakan boneka sebagai emotional crutch. Remaja cowok yang sayang pada keluarga, tapi juga bisa terkesan sedikit bandel. Dan creepy. Pada kedua film terdapat adegan yang melibatkan remaja cowok, wanita muda, dan kamar mandi. Lalu tentu saja ada karakter wanita muda yang diharapkan harus bonding dengan kedua anak, sementara dia sendiri punya trauma pada masa lalu – dia punya ketakutan personal atas sesuatu yang menjadi asal usulnya, dan tokoh ini akan menapaki downward spiral menuju ke kegilaan. Untungnya, meskipun juga banyak mengandalkan adegan mimpi untuk menyampaikan momen-momen horor, The Lodge enggak menipu kita dengan satu sekuens full kejadian-yang-tidak-beneran-terjadi kayak di The Turning. Naskah dan arahan duo sutradara Severin Fiala – Veronika Franz hadir dengan sama-sama artsy namun sedikit lebih baik. Sedikit.
Inceran dari cerita horor ‘terjebak’ ini tentu saja adalah keambiguan. Film ingin menempatkan kita pada perasaan bingung yang sama dengan yang dirasakan oleh tokoh cerita. Misteri dari apa yang sebenarnya terjadi, ditambah dengan sensasi kehilangan kewarasan menjadi goal dari kengerian film ini. Berkaca dari horor-horor klasik, The Lodge paham cara meraih itu semua. Yakni dengan pembangunan atmosfer. Inilah yang dilakukan dengan indah oleh arahan film. Suasana menakutkan, sensasi berada di tengah-tengah keganjilan, dihadirkan dengan begitu ‘bergaya’ oleh kamera. Tone warna juga turut andil menciptakan kesan yang bukan hanya suram, warna-warna dingin itu menimbulkan kesan sebuah dunia kelabu yang kita enggak pasti apakah hanya sebuah fantasi atau kenyataan.
Secara estetik, film ini sepertinya pengen dimirip-miripin ama Hereditary (2018), sebab The Lodge juga menarik perhatian kita terhadap perbandingan perspektif dunia nyata dengan dunia boneka. Adegan pembuka film ini juga memparalelkan rumah boneka dengan rumah nyata, yang eventually akan diperlihatkan bahwa rumah boneka Mia punya interior yang sama dengan interior vila keluarga tempat mereka terjebak nanti. Boneka-boneka di dalam situ berada pada posisi khusus, yang nantinya bakal ‘menjadi kenyataan’ saat para tokoh beneran berada di posisi seperti yang sudah diramalkan. Sedari awal film sudah menjebak kita ke dalam misteri, ke dalam ketidakpastian – sebagai hook agar kita terus terpaku di tempat duduk, bertanya-tanya di dalam hati benarkah ada kekuatan supernatural atau semua itu hanya bukti bahwa ada pihak yang telah merencanakan perbuatan mengerikan di villa nanti. Misterinya ini sangat menarik, sepanjang durasi film akan terus membawa kita kembali ke perbandingan rumah boneka tadi – digunakan sebagai transisi adegan – sebagai petunjuk di tengah-tengah beragam distraksi yang sayangnya lebih mendominasi. Yang kumaksud dengan distraksi di sini adalah elemen horor lainnya, seringkali bagian dari karakter, yang tidak benar-benar membuahkan apa-apa selain bikin kita bingung mencari pegangan pada perspektif utama.
Dalam horor, perspektif adalah hal yang krusial. Kita hanya bisa peduli pada tokoh jika sudut pandang terfokus pada dirinya, sebab horor membahas ketakutan personal. Kita harus mengerti trauma, atau tragedi, atau hal yang menurut si tokoh mengerikan, dan ini bisa dicapai jika kita enggak sering teralihkan oleh horor dari orang lain, kecuali ketakutan mereka menyangkut hal yang sama. The Lodge tidak pernah memutuskan perspektif ini. Hal teraneh yang dimiliki oleh cerita ini bukanlah barang-barang yang hilang mendadak, sekte sesat, ataupun perilaku si ayah yang ngajak liburan kemudian malah pulang buat bekerja. Melainkan, hal teraneh di cerita adalah sudut pandang yang mendadak berubah dari Mia ke Grace.
“Jadi maksudmu kita nonton mereka nonton internet sia-sia belaka?”

 
 
Babak pertama sepertinya sudah menetapkan ini adalah cerita dari sudut Mia, kita melihat keluh kesahnya. Kita mengerti ‘ancaman’ dari sudut pandang Mia adalah Grace; sosok wanita muda yang at the time kita ditanamkan informasi bahwa dia ‘psikopat’, dia somehow bisa survive dari sekte di usia 12 tahun, lantas dia yang masih kecil itu merekam mayat-mayat bunuh diri di sekte. Babak awal ini menempatkan Grace dalam cahaya misterius, film bahkan mengadegankan momen perkenalan Mia dengannya dengan membangun narasi “siapa wanita ini, bisakah ia dipercaya. Film bermain-main dengan rasa penasaran Mia atas wajah si Grace (wajah cakep Riley Keough akan diporsir untuk berbagai emosi dan kegilaan). Untuk kemudian pada babak kedua, kita dijauhkan dari Mia dan sudut pandangnya. Kita direnggut dan kemudian malah ditempatkan di posisi Grace. Dengan cepat, semua perspektif Mia tadi rontok bagi kita karena sekarang kita melihat sudut Grace. Seorang survivor yang masih trauma sama adat-adat agama – ia bergidik saat doa makan malam, ia takut melihat salib dan lukisan Bunda Maria (sepertinya, mungkin aku salah mengenali objek lukisan tersebut). Namun Grace sungguh berusaha untuk hidup normal. Dan tantangan bagi Grace bukan cuma trauma, melainkan juga kenyataan bahwa dua anak ini kehilangan ibu mereka gara-gara dia. Ada rasa bersalah yang menghantui. Serta tentunya berat bagi Grace untuk berusaha membangun hubungan saat seisi rumah mengingatkan penghuninya pada orang yang posisinya sedang berusaha Grace isi.
Teorinya, dua perspektif itu dihadirkan supaya kita bisa mengerti konflik kedua belah pihak. Namun kenyataannya, malah membuat kita memilih harus simpati kepada siapa, dan akan butuh waktu lama untuk kita memutuskan sehingga pada saat itu justru kita terdetach dari mereka semua. Film ini meminta kita untuk mengkhawatirkan keselamatan Mia dan abangnya karena orang asing ini bisa saja berbahaya. Lalu berputar arah, film jadi meminta kita untuk lebih bersimpati kepada si orang asing. Untuk kemudian berputar kembali. Setelah kita mulai mendukung tokoh ini – dan berpikir “tau rasa kalian anak-anak ngeselin!” – film malah mengembalikan kita kembali kepada Mia dan abangnya. Dari sudut mereka, sebagai penutup, kita dikasih peringatan untuk tidak mempermainkan orang yang punya masalah kejiwaan.

Satu-satunya keparalelan yang konsisten pada kedua pihak – anak dan Grace – yang diperlihatkan oleh The Lodge adalah bahwa mereka sama-sama takut akan kehilangan koneksi terhadap hal yang dikasihi. Mia terlalu dekat dengan boneka. Grace butuh obat untuk percaya dia sudah sembuh. Teror sebenarnya datang dari dalam diri masing-masing pihak. Membuat mereka takut dan gak percaya kepada hal di luar. Ketakutan inilah yang menghambat tumbuhnya cinta di antara mereka. Konklusinya memang ironis; semakin kita takut kehilangan, kita justru akan kehilangan lebih banyak hal.

 
Dilihat dari kedua sudut itu, cerita film ini jatohnya insulting. Jika kita percaya ini adalah cerita peringatan untuk anak-anak, film ini gagal karena tidak memberikan kesempatan kepada tokoh anaknya untuk melihat orang dari sisi lain. Babak kedua film ini completely dari sudut Grace, kitalah yang dibuat mengerti, bukan dua anak itu. Mereka tidak belajar. Bagi sudut pandang mereka, mereka hanya menyesal karena Grace jadi ‘ngamuk’ dan ada beberapa kejadian di luar rencana mereka. Jika kita percaya ini adalah cerita psikologis seorang yang mengalami kejadian buruk di masa lalu sehingga mentalnya terganggu, film ini juga gagal karena orang tersebut dibuat kalah dalam berjuang. Yang menyampaikan kepada kita bahwa, ya, orang gangguan mental memang berbahaya, trik anak kecil saja sanggup untuk ‘menghancurkan’ mereka.
 
 
 
Karena itulah, maka film ini buatku terasa sempit, padahal sudut pandangnya lebih dari satu. Elemen horornya jangan ditanya. Ada soal pandangan soal bunuh diri. Ada soal ritual atau praktik agama. Ada soal relasi dengan orangtua. Ada soal keadaan mental juga. Namun film membuat kita frustasi. Semua itu hanya pernak-pernik. Kita mengharapkan banyak dari ambiguitas yang dihadirkan, hanya untuk menemukan jawaban yang sangat simpel dari topik paling simpel yang ada pada film ini. Dan film meminta kita untuk mengoverlook semua hal gak make sense dari perbuatan yang ditampilkan. Sehingga meskipun banyak visual dengan suasana yang bikin ngeri (shot favoritku adalah pas menjelang akhir; Grace duduk dengan spektrum cahaya di belakang kepalanya, sehingga dia kayak juru selamat) hal paling aneh dan bikin bergidik pada film ini justru adalah pilihan yang mereka, seperti mengganti-ganti sudut pandang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE LODGE.

 

 
 
That’s all we have for now.
Kebayang gak sih kalo pas karantina gini, kalian mengalami hal yang sama seperti Grace dan Mia.. hiii… Jadi apakah kalian punya kiat tertentu untuk mengisi waktu bersama adik atau si kecil?
Bagaimana menurut kalian cara terefektif untuk menumbuhkan kepercayaan dari orang jika kita ingin menggantikan posisi orang yang mereka sayangi?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.