AD ASTRA Review

“In space, no one can hear you cry”

 

 

Diartikan “Ke bintang”, Ad Astra pantas kita sebut sebagai film road fantasi yang sangat filosofis. Elemen-elemen road-trip dapat kita jumpai dalam film ini, hanya dengan skala yang sangat besar (skala jutaan tahun cahaya!). Tujuan tokoh film ini bukan sebatas suatu kota atau tempat yang jauh. Melainkan luar angkasa; ke planet terjauh yang sanggup dicapai oleh manusia. Tapi selayaknya cerita-cerita road-trip, ini adalah cerita pencarian melihat ke dalam diri. Semakin jauh kita mencari, akan semakin dalam kita menyelami personal. Karena perjalanan bukan soal tujuan, melainkan tentang proses berjalan itu sendiri.

Yang dicari oleh astronot paling macho dari Amerika bernama Roy ini adalah kebenaran soal ayahnya. Ayah yang telah lebih dulu menjadi astronot terhebat dan sudah lama menghilang dalam salah satu misi mencari keberadaan alien pintar demi kesejahteraan manusia. Bagi Roy, however, si ayah sudah ‘menghilang’ semenjak ia masih kecil; masih bukan apa-apa. Dalam salah satu musibah di perbatasan orbit, Roy mengetahui sang ayah ternyata masih hidup di suatu tempat di planet Neptunus. Dicurigai ayah Roy-lah yang bertanggungjawab atas peristiwa surge medan listrik yang mengacaukan teknologi hingga ke Bumi. Jadi Roy menerima misi ini. Sepertinya hanya Roy yang bisa berkomunikasi dengan ayahnya – dan kita tahu Roy punya banyak pertanyaan personal untuk sang ayah terkait hubungan mereka dan dirinya sendiri.

Kulari ke Kawah Bulan

 

Bukan perkara mudah yang dihadapi oleh sutradara James Gray dalam menangani cerita sci-fi luar angkasa yang epik digabung dengan cerita tokoh yang amat personal semacam ini. But he did it, Ad Astra is a really well-made movie. Visualnya terlihat menakjubkan, seolah kita benar-benar berada di luar angkasa. Menyaksikan bola biru dari atas sana lewat film ini membuatku merasa semakin menyesal dulu enggak mengejar cita-cita jadi astronot. Elemen fantasi dikeluarkan lewat gambaran film ini tentang masa depan manusia. Menyenangkan – dan memberi harapan at some degree – menyaksikan bulan sudah menjadi tempat tujuan wisata umat manusia. Salah satu set piece yang paling seru di film ini adalah keadaan di bulan, lengkap dengan toko-toko sehingga sudah seperti mall. Sementara film juga memberikan informasi bahwa ada tempat di bulan yang tidak bisa dieksplorasi karena kita hanya melihat satu sisi bulan saja pada kenyataannya. Pembangunan seperti ini yang membuat dunia Ad Astra tampak realistis meskipun ceritanya lebih mudah untuk kita percaya sebagai visualisasi isi kepala dan kontemplasi hati tokoh utamanya.

Musik film ini pun terasa begitu menyentuh. Dengungan angkasa, bunyi-bunyi teknologi, menguatkan atmosfer begitu kecil dan sendirinya seorang manusia di alam semesta. Dalam sense ini, aku merasa film ini berhasil membuat diriku membenci – bahkan takut – dengan luar angkasa. Space adalah sesuatu yang selama ini jadi sumber fantasi geek kita, dan Gray membuat planet-planet dan galaksi menjadi tempat yang suram. Karena begitulah yang dirasakan oleh tokoh utama. Dan film dengan suksesnya mengedepankan sudut pandang si Roy ini dengan konstan. Kita hanya melihat yang ia lihat. Kita merasakan apa yang ia rasa. Penampilan Brad Pitt sebagai Roy membungkus semua elemen – visual, penokohan – yang dihadirkan oleh film dan menghidupkannya sehingga kita terus menyaksikan film ini. Sesekali menguap mungkin, karena tempo cerita yang lambat. Namun kita akan susah untuk berpaling karena gaya tarik penampilan Pitt dan indahnya gambar bergerak itu terasa lebih kuat daripada gaya tarik bumi yang menyuruh kepala kita untuk nunduk dan tidur. I don;’t know, Pitt boleh jadi dapat dobel nominasi di Oscar tahun depan untuk perannya di film ini dan di Once Upon a Time… in Hollywood (2019)

Inti cerita ini terletak pada psikologi karakter si Roy. Dia yang seperti menutup diri demi pekerjaannya bertindak sebagai telaah soal maskulinitas yang disampaikan oleh gagasan film. Kita mendengar Roy bergumam bahwa senyum dan tawa hanya sekedar saja sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara. Eh sori, itu lirik lagu Pance kecampur. Tapi memang, kurang lebih sama seperti begitu deh yang diucapkan Roy. Penting bagi Roy untuk menampilkan persona luar yang keren karena dia adalah astronot hebat.’Mitologi’ seorang Roy adalah denyut jantungnya selalu stabil di angka rendah, apapun kondisi yang sedang terjadi padanya. Roy harus hebat karena dia adalah anak bapaknya – yang juga seorang astronot hebat. Roy yang ditinggalkan oleh ayah yang ia idolakan sangat ingin mengejar jejak sang ayah, sehingga secara tak sadar ia telah menjadi ayahnya. Jauh dari setiap orang di Bumi yang cinta kepadanya. Semakin Roy terbang jauh di atas sana, perasaan kesepian Roy ini semakin besar. Kita melihat dia tak pernah sepenuhnya konek dengan orang-orang yang ia temui dalam perjalanan ke Neptunus. Film lokal Pretty Boys (2019) yang tayang di minggu yang sama dengan film ini, juga membahas soal anak laki-laki yang pengen membuktikan sesuatu kepada ayahnya, dan dia tak sadar sudah menjadi seperti ayahnya. Kalian mungkin ingin menonton film tersebut untuk membandingkan pendekatan yang dilakukan oleh kedua film ini terhadap tokoh seperti demikian – terutama karena genre yang berbeda, yang satu diceritakan lebih ke komedi yang ringan, sedangkan film yang ini lebih ‘berat’ dan penuh filosofi.

Manusia membuat kesalahan. Manusia adalah makhluk tak sempurna yang kadang rakus, tamak, ataupun bisa takut. Perjalanan Roy ke planet nun jauh membawanya semakin dekat dengan sang ayah dalam sense Roy haruslah menjadi astronot sempurna untuk bisa sampai ke sana. Tapi di balik itu, dia juga semakin menemukan rasa kemanusiaan yang selama ini jauh darinya. Dan saat dia melimpah oleh semua itu, Roy menyadari dia sendirian. Tidak ada yang mendengar tangisnya, karena dia jauh – di Neptunus dan di hati orang-orang. Itulah yang menjadi momen pembelajaran bagi Roy. Dia tak lagi mencari jalan keluar. Melainkan jalan pulang ke Bumi, kembali kepada orang-orang tak-sempurna yang mencintainya.

 

While pertemuan dengan ayah menjadi puncak pembelajaran buat Roy, yang mengantarkan kita pada momen keren seperti ketika ayahnya meminta supaya Roy melepaskan ‘hook’nya dari dirinya. Namun seperti pada film-film road-trip, tokoh-tokoh lain yang ditemui oleh Roy hanya berfungsi untuk membuka pandangan baru baginya. Untuk membuat Roy melihat lebih jauh ke dalam dirinya. Karena ini adalah cerita yang berpusat pada personal Roy, maka tidak ada tokoh lain yang benar-benar berarti dan memiliki kedalaman. Dialog mereka hanya berupa eksposisi, ataupun seacra gamblang memberikan gambaran yang sesuai dengan pembelajaran berikutnya yang harus disadari oleh Roy.

Kejadian yang dialami Roy dalam perjalanannya terlihat random dan seperti meniru elemen-elemen film lain. Atau mungkin malah sengaja sebagai tribute karena film angkasa luar punya banyak referensi yang populer. Roy terlibat kejar-kejaran mobil ala Mad Max di bulan. Di lain waktu dia berkutat survive dari monyet laboratorium angkasa. Semua hal tersebut tampaknya bisa dijadikan fokus film yang lebih menarik dan mainstream. Tapi Ad Astra tidak tertarik karena ini adalah cerita kontemplasi. Semua kejadian menarik itu kita tinggalkan karena Roy perlu merenung dan bicara dalam hati memproses semua itu, memparalelkannya dengan yang harus ia pelajari

menakjubkan manusia berperang hingga ke luar angkasa

 

Narasi voice-over Roy juga akan sering kita dengar. Menjelaskan beberapa hal. Mengajukan pertanyaan. Menunjukkan apa yang harus kita lihat. Memang seringkali terdengar sebagai eksposisi berlebih, yang terlalu menuntun kita untuk mengetahui apa yang Roy pikirkan padahal adegan sudah memberikan gambaran yang mencukupi bagi kita membuat kesimpulan sendiri. Tapi semua itu bisa dimengerti karena voice-over tersebut adalah bagian dari karakter Roy. Voice-over adalah cara film untuk menunjukkan emosi Roy kepada kita karena tokoh ini menolak untuk menampilkannya pada awal cerita. Semakin menuju akhir, narasi ini frekuensinya akan semakin berkurang dan kita dibiarkan melihat sendiri emosi Roy. Kita diminta untuk bersabar sedikit karena ini adalah resiko kreatif yang dipilih oleh film.

Sama seperti ketika kita diminta untuk menahan ketidakpercayaan kita untuk beberapa kejadian di dalam film. Menurutku, bagian ini yang susah. Tidak semua hal sci-fi dan aturan dunia modern itu yang berhasil digambarkan oleh film. Sehingga ada momen-momen ketika kita mengangkat alis. Buatku, momen di sepuluh menit pertama saat Roy terjatuh dari perbatasan orbit ke tanah, selamat dengan parasut yang sudah bolong – sungguh-sungguh susah untuk dipercaya. Masa iya denyut jantungnya gak pernah naik? Masa ada air mata di tempat yang tak ada gravitasi? Masa dia gak kebakar atmosfer? Momen tersebut secara sempurna mengeset tone dan antisipasi pada apa yang kemungkinan terjadi di sepanjang film. Namun tak pelak, membuat aku susah untuk memastikan apakah semua kejadian nantinya benar-benar terjadi atau hanya visualisasi dari sebuah kontemplasi. Dan perasaan tak pasti yang dihadirkan tersebut cukup ‘mengganggu’ saat aku menyaksikan film yang memang kejadian-kejadian yang dialami Roy didesain sebagai akar dari pemikiran dia nantinya.

Ini membuat filmnya jadi pretentious. Dialog dalam-hati yang play-by-play dengan kejadian yang akan dialami, seperti dipas-paskan. Dan kejadian-kejadian itu pun terasa acak. Progres cerita film ini tidak benar-benar natural. Penceritaan untuk cerita semacam ini mestinya bisa dilakukan dengan lebih berkreasi lagi. Kucumbu Tubuh Indahku (2019) jika tidak dilakukan dengan narasi tokoh langsung ke kamera di setiap awal bagian yang membuatnya terasa episodik, bakal punya runutan penceritaan yang mirip dengan Ad Astra ini. Dan menurutku, langkah ekstra yang dilakukan Kucumbu untuk mempresentasikan ceritanya inilah yang kurang pada Ad Astra. Film ini bercerita dengan lempeng dan tak banyak kreasi dalam menyampaikan sehingga terasa lebih dibuat-buat ketimbang cerita yang alami.

 

 

Kejadian-kejadian yang kontemplatif yang ditemui sepanjang durasi film membuat ini seperti cerita road movie yang sungguh filosofis. Kemegahan luar angkasa tergambarkan dengan sangat baik ke layar lebar. Menonton ini, dan melihat (serta mendengar) Bumi dari angkasa luar, membuatku teringat akan epiknya bioskop dan film sci-fi waktu aku masih kecil dulu. Sense ruang film ini sangat menonjol. Karena kita juga dibawa menyelam ke dalam sisi personal tokoh utamanya. Dan film benar-benar kuat menghadirkan sudut pandang tersebut. Sehingga perasaan sendirian itu, terutama kecilnya diri di luar angkasa, semakin kuat terasa. Film ini membuatku yang tadinya pernah bercita-cita terbang ke bulan, yang selalu excited dengan cerita luar angkasa, menjadi takut – menjadi benci sama luar angkasa tersebut. Karena mengingatkanku pada kesendirian dan kesepian. Hingga aku selesai menulis ulasan ini, aku masih belum yakin apakah perasaan yang timbul tersebut pujian atau kritikan terhadap film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AD ASTRA.

PRETTY BOYS Review

“The real heroes here are the ones that experience movies in reality.”

 

 

Melihat pria berpakaian dengan sangat flamboyan di televisi penonton akan terhibur. Orang akan tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah selebriti yang bergaya lebih lebay daripada wanita tulen. Namun ketika melihat si selebiriti yang sama di belakang panggung, semua itu menjadi tidak lucu lagi. Bagaimana jika dia ‘bencong’ beneran? Dan ketakutan itu akan berkali lipat jika si selebriti adalah orang yang dikenal. Sanak keluarga sendiri, misalnya.

Itulah masalah pada televisi dan bisnis hiburan. Orang-orang yang menontonnya cenderung percaya yang mereka lihat di layar kaca itu adalah kebenaran. Penonton televisi seringkali lupa seleb juga manusia yang sesungguhnya hanya bekerja mencari sesuap nasi. Tak sedikit dari para seleb mengorbankan sesuatu demi pekerjaan yang tampak glamor tersebut. Film Pretty Boys datang dari orang-orang yang peduli dan tampak memahami betul seluk beluk – suka duka pekerjaan penghibur di dunia televisi. Dalam film yang sangat menyenangkan untuk ditonton ini kita akan melihat gambaran belakang panggung sebuah acara talkshow, kondisi mental para pelakunya, serta sejauh apa efek pekerjaan mereka terhadap kehidupan sosial dan pribadi di dunia nyata.

Anugerah dan Rahmat, sobatan sejak masih anak masjid, pergi dari kampung mereka ke Jakarta untuk mengejar mimpi menjadi host acara televisi. Setelah cukup lama bekerja di kafe (masak sambil ngelawak), nyobain kerja serabutan demi tambahan uang makan, kesempatan bagi mereka datang saat menjadi penonton bayaran untuk sebuah acara talkshow hits di televisi. Produser acara tersebut tertarik sama gaya Anugerah dan Rahmat sehingga mereka dikontrak untuk menjadi co-host. Namun acara televisi jaman sekarang beda ama acara jaman dulu. Alih-alih berdandan ‘laki’ seperti Sony Tulung dan Dede Yusuf yang foto acara kuisnya terpajang di dinding kontrakan, Anugerah dan Rahmat harus mengenakan wig dan pakaian wanita. Anugerah sempat ngeri juga. Toh lantaran bakat menghiburnya sudah kuat melekat, Anugerah dan juga Rahmat menyelam sempurna ke dalam persona televisi mereka. Penonton suka sama Nugie dan Matthew; nama panggung masing-masing. Acara Kembang Gula itupun semakin sukses.

Perasaan jumlah rotinya bertambah banyak di setiap shot

 

Seperti yang dilakukan Olivia Wilde – aktor yang banting stir menjadi sutradara – ketika menggarap Booksmart (2019), Tompi yang lebih dulu dikenal sebagai penyanyi juga memberikan sentuhan kenyataan kepada film debut penyutradaraannya ini. Insight yang didapat dari gabungan pandangan pemain dan penulis cerita film (Imam Darto; juga dalam debutnya di penulisan skenario) ia anyam ke dalam bahasa audio visual, lengkap dengan lelucon-lelucon meta (tokoh film akan bercanda soal karir dan kehidupan nyata orang-orang yang terlibat pembuatan film ini), menjadikan film ini sebagai komedi yang efektif. Yang juga bekerja sebagai satir lantaran film menunjukkan betapa ‘bego’nya penonton dan ‘sadis’nya bisnis televisi yang mengutamakan rating view. Ada sesuatu yang sepertinya ingin dikatakan oleh film ketika mereka memperlihatkan perbedaan host jaman dulu dengan host tv jaman sekarang; bahwa Anugerah dan Rahmat musti jadi ‘bencong’ dulu baru bisa terkenal. Menurutku film bisa mencapai lebih dalam jika membahas soal ‘mengapa’, tapi film memutuskan untuk menggambarkan saja.

Chemistry tak-terlawan duo Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta benar-benar dijadikan tumpuan. Tek-tokan dan comedic timing mereka yang sudah amat precise dan mulut mampu membuat adegan-adegan lucu dalam film ini hampir semuanya seperti on-the-go. Mereka, dan juga para pemain lain, tampak natural menampilkan permainan akting. Karena tokoh-tokoh yang mereka mainkan memang merupakan semacam ‘perpanjangan’ dari gimmick televisi/show yang biasa mereka perankan. Guyonan khas Vincent dan Desta – misalnya Desta bertingkah sangat absurd seperti ujug-ujug menyalakan korek ketika berkacamata hitam karena menyangka sedang mati lampu – tidak pernah hadir sebagai lelucon yang maksa hanya untuk memancing tawa. Karena tingkah-tingkah antik seperti itu merupakan bagian dari karakter tokoh mereka yang benar-benar hobi menghibur orang sehingga mereka put on their comedic show dalam setiap waktu. Menjadikan meta seperti demikian memang bisa membuat film salah arah; kita sebagai penonton bisa dengan gampang menyangka ini adalah biografi terselubung Vincent dan Desta. Maka itulah film menggunakan satu momen yang fun untuk membuat kita tetap dalam trek yang benar; yakni ketika ketika Nugie dan Matthew bertemu dengan their real life counterparts. Taktik jitu ini turut membuat dunia cerita Pretty Boys menjadi semakin imersif.

Sebenarnya pada elemen drama-lah Tompi menunjukkan sinarnya sebagai seorang sutradara yang patut dinantikan lagi karya-karya berikutnya. Seperti pada momen Nugie ragu akan keputusannya tampil di acara yang mengharuskannya berlagak seperti wanita. Ataupun pada momen-momen flashback ke masa kecil yang berfungsi lebih jauh dari sekadar ekposisi karena digunakan untuk menghantarkan perasaan emosional dari akar persahabatan kedua tokoh sentral. Pretty Boys memang bukan film yang hanya dibuat untuk terpingkal-pingkal saja. Hati dari film ini sesungguhnya berdetak dengan penuh kemanusiaan. Sebab ia membahas tentang hubungan anak dengan ayahnya, dengan anak dengan sahabatnya, dengan anak manusia dengan pilihan hidupnya. Dengan kesempatan yang harus ia ambil atau ia tinggalkan.

“When a man does a queer thing, or two queer things, there may be a meaning to it”

 

Berita kesuksesan Anugerah sampai ke telinga Bapak di kampung. Mendengar anaknya bersalaman sama presiden, Bapak yang tentara dan berjuang demi negara menghidupkan televisi. Tebak apa yang beliau saksikan di televisi. Putra semata wayangnya, yang dulu kabur dari rumah, yang tak pernah ia setujui pilihan pekerjaannya, tampil melambai seperti putri kecantikan di depan penonton seluruh negeri. Tebak seperti apa reaksi Bapak. Well, aku pastikan tebakan kalian tidak akan mendekati emosinalnya film ini memperlihatkan adegan reaksi tersebut. Vincent diberikan tantangan untuk ‘adu unjuk emosi’ dengan aktor senior Roy Marten. Desta juga mendapat kesempatan untuk meluaskan range – keluar dari zona nyaman – permainan aktingnya. Dan mereka berhasil untuk tidak membuat kita merasa ingin tertawa pada momen-momen yang serius.

Salah satu gagasan menarik yang dilontarkan oleh film adalah soal pekerjaan tentara – pahlawan pembela negara – yang diparalelkan dengan pekerjaan sebagai penghibur yang menampilkan kebohongan untuk masyarakat.  Film menantang kita dengan pertanyaan “pantaskah selebriti dianggap sebagai pahlawan?” Baru-baru Quentin Tarantino juga membahas hal serupa dalam film Once Upon a Time in Hollywood (2019), seorang aktor yang diidolakan – dianggap pahlawan – meskipun dia tidak pernah melakukan apa-apa di dunia nyata. Gagasan Tarantino tersebut seperti didebat oleh Pretty Boys. Percakapan heart wrenching antara Anugerah dengan ayahnya menyebutkan meskipun tampak hina, tapi yang ia lakukan juga adalah pengorbanan. Ada yang dipertaruhkan.

Definisi pahlawan adalah seorang yang mempertaruhkan hidupnya demi negara. Seorang yang membahayakan dirinya sendiri demi keselamatan orang lain. Selebriti – bintang televisi – adalah seorang yang menghibur orang banyak, tidak pernah tugas mereka untuk menjadi panutan. Yang mereka lakukan di televisi, di media, sebagai bagian dari pekerjaan hiburan tidak seharusnya dijadikan suri teladan. Tapi bukan berarti tidak ada manusia di balik persona televisi mereka. Bukan berarti tidak ada perjuangan yang mereka lakukan untuk sampai di titik tersebut. Perjuangan mereka itulah yang bisa diidolakan, yang membuat mereka pantas untuk dijadikan pahlawan.

 

 

Pretty Boys bekerja dengan sempurna ketika membahas seputar Anugerah dengan ayahnya dan Anugerah dengan Rahmat. Karena dua orang inilah yang membentuk seperti apa Anugerah sekarang. Pertengkaran Anugerah dan Rahmat on live TV (yang ngerti naskah; yeah of course friends would fight in movies) adalah adegan terfavoritku di film ini. Naskah yang sudah tight sayangnya menjadi sedikit longgar ketika film memasukkan bagian cinta segitiga yang gak benar-benar menambah banyak untuk gagasan dan daging utama cerita. Tentu, soal cewek itu bisa dengan gampang menjadi katalis ke masalah Anugerah dengan Rahmat. Namun di situlah letak masalahnya. Terlalu gampang. Mereka seharusnya membuat permasalahan yang lebih dalem. Soal romance dibahas oleh film dengan sangat ringan sehingga jikapun tokoh Asti yang jadi love interest enggak ada, gagasan cerita masih bisa tercapai. Tokoh Asti hanya seperti dijejelin masuk untuk membuat riak di persahabatan Anugerah dan Rahmat. Tapi sesungguhnya dua boys ini enggak musti dibantu oleh cewek untuk menyelesaikan masalah mereka. Pak Ustadz dan Tora Sudiro dan Si Bapak sudah cukup memberikan pelajaran.

Dan bukan hanya Asti. Film cenderung mengambil langkah yang paling mudah untuk menyelesaikan masalah. Mereka membuat pihak TV benar-benar seperti pihak yang jahat, sebagai jalan keluar dari masalah Anugerah dan Rahmat. Memang, ini sejalan dengan konteks kedua tokoh hidup di dunia tak-mendukung; mereka hanya punya mereka berdua. Tapi juga berkonflik dengan pesan yang sempat disebutkan soal TV dan media online (youtube) saling mengisi – bahwa TV tidak akan tergantikan. Film seharusnya juga lebih mengeksplorasi soal TV ‘melawan’ Youtube, membuild up ke arah sini, karena – aku pengen membuat satu point jadi ya, WARNING ada SPOILER – di akhir out of nowhere Youtube dijadikan solusi. Buatku film juga memilih ending yang terlalu gampang. I mean, daripada bikin satu adegan doang Bapak nonton Youtube dan semuanya beres dari sana, mendingan gunakan soal keviralan dari yang mereka lakukan, circled back ke awal cerita, buat mereka mendapat pilihan ke TV kembali dan kemudian lebih memilih mandiri dengan Youtube. Resolusi dan ending yang dipilih oleh film simply terasa kurang nendang dan enggak setight bangunan cerita sebelum-sebelumnya.

 

 

 

Tompi berhasil membubuhkan jejak yang berarti dalam debut sutradara film panjangnya ini. Ia menyuguhkan tontonan komedi dan drama yang bekerja dengan sama efektifnya. Departemen akting yang dipunya sangat solid. Materi yang ditulis dengan seksama dan penuh perhatian dimainkan dengan penuh suka cita. Semua yang terlibat tampak sangat menghormati cerita, sekaligus bersenang-senang dengannya. Narasinya bergulir dengan mantap dan berbobot hingga menjelang penghabisan yang terasa lebih renggang sehingga berakhir kurang nendang. But still, ini adalah salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton tahun ini. Kalian yang suka terhadap bisnis hiburan, bakal lebih mengapresiasi film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PRETTY BOYS.

 

 

 

 

 

 

HAUNT Review

Being scared means you’re about to do something really, really brave.

 

 

Menjalin hubungan itu mengerikan. Kalian tau perasaan ketika kita merasa berbuat sesuatu yang bodoh di depan pasangan dan menyangka semua bakal kacau padahal kita mau sesuatu yang spesial dan tak ingin sendirian lagi? Perut seperti berjumpalitan jatuh, atau keringat dingin menerpa? Nah, perasaan seperti itu juga sama dirasakan saat mau masuk ke rumah hantu. Jika relationship normal saja bisa seseram itu, maka bayangkan rasa takut yang menjalar di dalam diri seorang Harper (cuma Katie Stevens yang beruntung dapat tokoh yang paling ‘berdaging’ di film ini). Yang terjebak dalam hubungan bersama pacar yang abusive. Enggak ada yang fun soal abuse. Harper sudah tidak asing dengan melarikan diri dari itu, lantaran si abuse ini memang cenderung mengejar, menghantui korban-korbannya. Malam Halloween sekarang, Harper memutuskan untuk ikut ‘ngacir’ bersama teman-temannya. Mereka mengunjungi sebuah wahana rumah hantu untuk bersenang-senang. Just like in relationship; kalian melangkah masuk ketakutan tapi begitu sudah di dalam, kalian akan bersenang-senang. Sayangnya, rumah hantu yang Harper dan teman-teman masuki persis kayak abusive relationship si Harper. Membuat mereka terjebak. Para kru rumah hantu tersebut menggunakan kekerasan yang teramat nyata.

Haunt yang digarap oleh Scott Beck dan Bryan Woods (baca: penulis A Quiet Place yang tayang tahun 2018) dimulai seperti horor remaja kebanyakan; dengan keputusan buruk yang dibuat oleh anak muda. Tapi cerita film ini punya fondasi yang kuat, yang membuatnya megah dibandingkan film bunuh-bunuhan serupa. Film ini tidak sekadar mengagetkan kita dengan petualangan di rumah hantu. Ada perkembangan tokoh di sini. Ada perjuangan seorang manusia dalam mengatasi ketakutan personalnya. Rumah hantu dijadikan simbol  dari sumber ketakutan yang harus diatasi oleh tokoh utama. Mirip seperti Crawl (2019) yang menjadikan buaya sebagai cambuk motivasi tokohnya. Haunt dan Crawl bisa dibilang adalah contoh horor efektif, yang sederhana, yang simpel dan tak berniat sok pintar dengan segala twist yang gak perlu.

satu-satunya yang ngetwist di sini adalah perut kita

 

Backstory Harper disulam dengan sangat rapih ke dalam petualangan survival di rumah hantu, sehingga tidak sedikitpun pace film ini tersendat. Masalah masalalu sang tokoh utama tidak lantas menjadikan film ini seperti berhenti, ataupun masalah tersebut tidak terasa seperti tambalan semata. Semua yang terjadi pada Harper paralel dengan masalah yang sedang ingin ia hindari. Yang untuk bercerita tentang itu saja, Harper tidak berani. Dengan fondasi backstory yang kuat ini, kita jadi peduli sama Harper. Kita berjinjit mendukungnya untuk bisa keluar hidup-hidup dari rumah hantu sinting tersebut. Film juga punya nyali untuk menuntaskan masalah yang jadi latar belakang Harper. Kita mendapat ending yang memuaskan. Tentu saja tak ketinggalan ‘kalimat pamungkas’ yang diucapkan oleh si tokoh sebagai penghabisan seperti pada horor-horor klasik. Sesuatu yang bisa kita cheer dengan penuh nada kemenangan.

Semua orang punya cerita seram. Karena setiap orang pernah mengalami suatu hal buruk yang ingin diitinggalkan. Tapi trauma akan selalu menemukan cara untuk menakutimu. Kita tidak bisa memakaikan topeng kepada trauma. Kita tidak bisa membuat sesuatu yang menakutkan menjadi menyenangkan, yang menyakitkan menjadi menyejukkan. Dalam Haunt, Harper belajar bahwa takut berarti kesempatan untuk menunjukkan keberanian. Dan memang itulah pelajaran berharga dari rumah hantu; mengajarkan untuk menjadi berani. 

 

Selain Harper, tidak ada lagi tokoh yang ditulis padet dan berisi. Tapi film sangat bijak untuk tidak membuat mereka annoying, ataupun membuat kita pengen mereka cepat-cepat mati. Teman-teman Harper misalnya, memang sih mereka ditulis sebagai trope horor saja – mereka seperti tidak punya motivasi sendiri. Kita tidak benar-benar merasa kasihan jika salah satu dari mereka mati. Jikapun kita ingin ada yang selamat, itu supaya mereka bisa terus membantu Harper. Tapi  mereka tidak bego. Mereka kerap membuat keputusan yang menunjukkan perlawanan terhadap rumah hantu. Mereka berpikir, cukup resourceful. Bahkan di paruh pertama, narasi maju bukan karena Harper seorang, melainkan karena keputusan yang mereka buat bersama. Aku suka cara film mengantarkan kita ke titik no return; yakni dengan memperlihatkan para tokoh beneran pengen balik melewati jalan yang sudah mereka lalui. Efek emosional ketika mengetahui mereka tidak bisa balik lagi benar-benar terasa kuat, intensitas langsung naik, seakan kita ikut berpartisipasi dalam ketakutan mereka. Hanya ada satu masalah yang cukup besar buatku mengenai majunya narasi terkait pilihan tokoh-tokoh ini. Ada satu keputusan bego (banget) yang dibuat oleh tokohnya – aku gak mau spoiler banget tapi ini cluenya: terkait urutan keluar dari lorong kecil. Aneh juga, dengan arahan yang tight seperti begini, masih ada juga adegan yang konyol. Mereka harusnya lebih berhati-hati menulis adegan tersebut.

Hanya satu itu yang menggangguku. Suwer. Selebihnya, film ini terasa sangat menghibur. Tegangnya dapet, karena film sangat cakap menguasi editing dan pemakaian suara. Perasaan terkurung di dalam lorong rumah hantu itu dapat kita rasakan berkat suara-suara yang tidak berlebihan dan timing yang pas. Film tahu kapan harus menggunakan suara latar yang sangat kecil seperti decitan kayu atau desau angin pada terpal dan kapan waktunya digunakan suara yang cukup keras. Kamera pun bijaksana merekam dan menge-cut adegan demi adegan dengan presisi sehingga kita tak pernah ketinggalan sekaligus tak tahu terlalu banyak. Dan ini menambah kesan misterius yang meningkatkan suspens cerita.

Cara yang sama juga film lakukan terhadap para kru rumah hantu. Kita cukup tahu mereka semua orang gila yang haus darah, yang membuat wahana supaya bisa menyiksa anak-anak muda yang hanya pengen merayakan halloween. Kita cukup tahu mereka semua memang lebih baik pakai topeng saja; film tampaknya bermain-main dengan candaan lama “lebih serem aslinya daripada topengnya”. Kita cukup tahu mereka semua semacam kelompok sesat. Dan bijaksananya film adalah kita hanya dicukupkan untuk tahu semua itu saja. Cerita tidak dibuat ribet dengan membahas kenapa lebih lanjut. Karena fokus narasi toh bukan pada mereka-mereka ini. Lagipula mengetahui dari mana mereka dapat duit membangun rumah hantu, misalnya, akan mengurangi kemisteriusan sehingga mungkin kita tak akan menjadi takut lagi kepada mereka.

seolah kita masih butuh diingatkan betapa seramnya seorang badut

 

Rumah hantu adalah wahana favoritku. Ada masa ketika aku rela pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk nyobain rumah hantu. Sekarang sudah jarang, karena mulai tergantikan dengan ‘escape room’ semacam Pandora. Tema rumah hantu dan escape room menarik dan kreatif, hanya saja sering terlalu gelap sehingga membuatnya setnya enggak kelihatan. Nonton Haunt ini aku seakan mendapat moment “I told you so!” lantaran rumah hantu dalam film ini terang benderang. Dan tidak mengurangi keseramannya. Jadi, ya aku mau nyelipin kritik buat wahana rumah hantu dan semacamnya di Indonesia; cobalah sekali-kali jangan terlalu gelap. Tontonlah Haunt. Set film ini begitu menakjubkan, sehingga aku merasa pengen ikut masuk menjelajah rumah hantunya. Jenis-jenis trik yang diperlihatkan sangat beragam. Teka-teki sederhana yang dihadirkan dalam satu ruangan bisa membuat malu seantero film Escape Room yang tayang awal tahun 2019 ini. In fact, semua aspek film Haunt akan membuat malu film Escape Room. Haunt membuat semuanya tampak manusiawi, tampak plausible, tampak beralasan, sementara Escape Room terlihat sok kece dengan tokoh-tokoh standar yang nyebelin. Aku bahkan ilang selera untuk ngereview setelah nonton. Tidak seperti Haunt yang bikin semangat untuk menuliskannya.

 

 

Untuk sebuah horor tentang rumah hantu dengan tokoh-tokoh anak muda, film ini amat sangat menghibur, dengan fondasi cerita yang kuat. Jarang ada pembuat film yang seserius dan seniat ini, yang tidak menganggap remeh target penontonnya. Film ini tidak dibuat receh dan konyol. Melainkan punya isi. Membuatnya semakin bisa dinikmati. Menakutkan, menghibur. Setelah semua darah, kekerasan, senang sekali melihat sesuatu yang masih punya hati.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAUNT.

 

LORONG Review

“Mom knows best”

 

 

Apapun situasinya, kata-kata ibu seringkali benar pada akhirnya. Mungkin karena beliau adalah sata-satunya wanita yang mengenal kita lebih lama daripada siapapun, atau mungkin karena kita hidup sembilan bulan di dalam perutnya, ibu selalu punya cara untuk membuktikan dia benar-benar benar dalam hal melindungi dan mengkhawatirkan kita. Film horor Lorong garapan Hestu Saputra memperlihatkan kepada kita sekuat apa naluri keibuan seorang wanita jika sudah menyangkut keselamatan buah hatinya.

Bukannya bermaksud spoiler loh. Dengan menggunakan pendekatan dramatic irony dalam bercerita, sedari bagian awal film sudah memberitahu kita bahwa firasat Mayang (Prisia Nasution berhasil membuat tokohnya simpatik dan enggak annoying) soal bayinya yang baru lahir bukanlah ‘firasat’ at all. Bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi di rumah sakit tempat ia bersalin. Kita sebagai penonton sudah ditanamkan untuk percaya kepada Mayang alih-alih ke suster-suster rumah sakit. Sehingga di awal-awal – kurang lebih babak satu dan babak dua, aku enjoy menonton ceritanya. Kupikir tidak bakal ada twist “wah ternyata Mayang benar!” karena gak semua cerita horor harus ada twist. I just excited dan cukup terinvest untuk pengen mengetahui ke arah mana cerita ini akan berlabuh. Di titik mana komponen utama; Mayang, seorang pria petugas janitor yang mencuri dari dokter-dokter, dan para staff rumah sakit akhirnya bertemu.

sepertinya semua berakar dari ‘wanita selalu benar’

 

Film ini seperti berganti genre tiga kali. Dalam babak set up, horornya terasa psikologikal. Adegan pembuka saja benar-benar kuat dari sudut pandang Mayang, ibu hamil yang sedang dalam prosesi persalinan. Ketakutan seorang wanita terpancar sekali dari ekspresi Mayang yang sendirinya dalam fase off oleh pengaruh obat bius. Kekhawatiran akan keselamatan bayi. Kengerian berada dalam posisi tak berdaya, sembari melihat sejumlah orang dengan alat-alat bersalin, menengadah menatap lampu yang menyilaukan. Tambahkan konteks; ini adalah hamil pertama Mayang, dan dia sudah berbuat banyak untuk menyambut anak pertamanya. Dalam sebuah flashback, kita diberitahu Mayang sampai mempersiapkan dua dekorasi untuk mengantisipasi bayi yang lahir cowok atau cewek. Motivasi dan ketakutan terbesar Mayang sudah terlandaskan dengan kuat pada sepuluh menit pertama. Bersamaan dengan hilangnya kesadaran Mayang, kita juga di-cut dari adegan persalinan dan bertemu kembali dengan Mayang  di ranjang rumah sakit. Tanpa anak bayi di sisinya. Mayang bersikukuh kepada semua orang; kepada suaminya, kepada para suster, kepada siapa saja bahwa anaknya masih hidup.

Cerita mulai mengingatkan pada Rosemary’s Baby (1968) pada bagian tokoh utamanya mulai yakin ada konspirasi penghuni apartemen terhadap ia dan bayinya. Sama seperti Mayang yang terus menerus menelurusi lorong-lorong rumah sakit mencari bayinya yang disebut sudah meninggal (dikuburkan langsung oleh sang suami). Menyaksikan dan mendengar hal-hal yang mencurigakan. Kita bahkan melihat lebih banyak daripada Mayang. Kadang kita dibawa mengikuti suster atau si janitor. Dan juga ada hantu yang terus mengikuti ke mana Mayang pergi, mencoba memberi tahu sesuatu kepada dirinya. Film seharusnya mengeksplorasi setiap sudut pandang cerita dengan lebih dalam, karena di titik ini ceritanya sudah less-psychological. Film butuh untuk mengembangkan rumah sakit sebagai set yang bernyawa – sebagai dunia yang punya cerita sendiri sebab misteri yang disajikan sudah membesar.

Alih-alih, film malah menyandarkan diri pada kemunculan hantu. Padahal sebenarnya justru si hantu inilah salah satu yang enggak diperlukan. Film bisa bekerja dengan sama baiknya jika hantu tidak ada. Karena horor sebenarnya datang dari ketakutan Mayang akan bayinya. Bukan dari penampakan hantu. Malahan, si hantu justru lebih sering muncul dan terlihat oleh kita, dibandingkan oleh Mayang. Sehingga membuat kita dan Mayang kadang tidak sejalan; Kita takut sama hantu, sedangkan Mayang takut sama nasib bayinya. Inilah masalah pertama yang kurasakan saat menonton Lorong. Masalah yang berbuntut panjang. Mereka seharusnya menyiapkan waktu lebih banyak untuk pembangunan dunia terkait dengan misteri apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang harusnya dikembangkan; si janitor, si suami, rumah sakit, bahkan si Mayang sendiri. Since film memutuskan untuk banyak memakai flashback dan dream sequence (yang terkadang dua ini digabungkan), alangkah lebih baiknya jika momen-momen flashback itu digunakan untuk pengembangkan karakter Mayang pada kehidupan normal. Supaya memperdalam lapisan karakternya. Karena sepanjang film ini kita hanya melihat dia tertatih-tatih kebingungan dan kesakitan di rumah sakit, panik mencari bayinya. Kita tidak pernah melihat dia lebih dalam sebagai seorang wanita. Kenapa dia pengen punya anak, misalnya. Kenapa kita harus percaya dia bakal jadi ibu yang baik, sehingga nalurinya juga bisa dipercaya.

Sepertinya memang tidak ada penjelasan kenapa ibu bisa tahu segala yang terbaik untuk anak. Film memperlihatkan koneksi spontan antara Mayang dengan bayinya; meski dalam keadaan terbius dia tahu bayinya ada di sana. Jika di dunia ini memang ada sihir, maka hubungan ibu dengan anaknya bisa jadi adalah contohnya.

 

Tapi film seperti enggak pede jika tidak ada hantu. Aku bisa membayangkan saat pitch cerita, PH meminta untuk menambahkan hantu lantaran menganggap penonton hanya akan menonton hantu-hantuan belaka. Karena memang si hantu dalam Lorong ini seperti tambalan saja. Tambalan tapi sering. Jadi filmnya kayak kain buntelan gelandangan di kartun-kartun jaman dulu. Film seperti tidak mengerti bahwa horor kejiwaan dan manusiawi itu sebenarnya lebih mengerikan daripada sosok mengerikan dan ritual berdarah. Sehingga film memilih sebuah keputusan yang amat, sangat, murahan dan sesedikit sekali logika untuk mengakhiri cerita. Persis seperti kesalahan yang dilakukan oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018). Semua hal menjadi sangat over-the-top setelah pengungkapan di babak akhir. Ada satu tokoh yang kalem, ternyata jadi menggelinjang sok-gila. Cerita horor psikologis dan thriller konspirasi itu ditarik ke alam baka oleh penjelasan tentang cult yang maksa, hanya untuk mengecoh penonton. Bayangkan Rosemary’s Baby yang berakhir dengan babak ketiga Suspiria (2019). Enggak cocok.

siapkan dirimu untuk siluman harimau random yang bisa terbang menerkam

 

Dan plot Mayang menjadi semakin aneh karena kejutan di babak terakhir film tersebut. Jika memang benar naluri ibu selalu benar, maka kenapa dia masih bisa ditipu oleh orang terdekatnya? Ini literally musuh dalam selimut hahaha.. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh film dengan memasukkan sekte dan ritual yang berlangsung di balik tembok steril rumah sakit? Kenapa ceritanya berubah drastis menjadi manusia yang pengen kesembuhan dan meminta kepada sosok yang salah karena mereka ‘dicuekin’ oleh pengobatan yang sah?

Penanaman yang dilakukan oleh film hanya supaya twist ini enggak mengada-ada. Untuk pemakluman belaka. Seperti misalnya; aku sempat merasa aneh juga rumah sakit yang punya CCTV tapi masih kesulitan mencari Mayang yang jalannya aja belum lurus. Punya CCTV tapi si janitor maling tetap sukses menjalankan aksinya. Ataupun soal suami yang tidak mendampingi istrinya melahirkan. Semua alasan itu dijelaskan di akhir, sehingga seolah twistnya make sense dan dipikirkan dengan matang. Padahal bukan sebatas itu yang kita butuhkan. Kita butuh untuk diyakinkan kenapa pelakunya melakukan hal tersebut. Motivasi mendalam seperti demikian yang tidak pernah ditanamkan. Hubungan sebab akibat dan aturan main ritual. Kenapa musti bayi Mayang, padahal ada banyak bayi di rumah sakit itu. Kondisi seperti apa yang dibutuhkan. Twist di Suspiria bekerja dengan baik karena diperlihatkan aturan kerja si institusi jahat – ada subteks soal matriarki dan kekuasaan yang membayangi, yang jadi konflik buat tokoh utamanya. Ending Rosemary’s Baby terasa begitu kuat lantaran kita mengerti konflik tokoh utama seputar kecenderungannya lebih mementingkan orang lain. Dalam Lorong, twistnya hanya sebatas di kejadian dan endingnya pun tidak mengubah apa-apa terhadap Mayang.

 

 

 

Kebanyakan horor yang benar-benar bagus memang mengangkat psikologi dan kerapuhan seorang manusia terhadap hal yang ia cintai. Horor yang baik sejatinya adalah drama dari hal-hal yang ditakuti manusia. Takut kehilangan anak, misalnya. Film ini punya bahan-bahan yang tertulis dalam resep horor yang bagus. Tokoh utamanya adalah seorang wanita, seorang ibu. In line dengan horor modern seperti Hereditary (2018), The Babadook (2014), Bird Box (2018), The Prodigy (2019), Us (2019). Tetapi film Hestu Saputra ini gagal menjadi sebesar mereka lantaran tidak konsisten dalam menetapkan dirinya. Tidak satupun dari film-film itu yang menggantungkan diri pada twist over-the-top, tidak satupun yang menggunakan hantu hanya untuk mengageti penonton. Sebuah penceritaan butuh konsistensi dan berani untuk mengembangkan drama karakternya. Film ini terlalu takut untuk itu semua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LORONG.

 

 

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

READY OR NOT Review

“Don’t change to fit the fashion, change the fashion to fit you”

 

 

Biar aku beri clue seperti apa film Ready or Not supaya kalian bersiap-siap menghadapi keseruan yang bakal datang: Ceritanya bermula seperti Crazy Rich Asians (2018), namun akan berakhir gila mendekati Get Out (2017)

Orang kaya perangainya suka aneh-aneh. Itu yang dipelajari oleh Grace (Samara Weaving tampak sangat badass dalam balutan gaun pengantin berbalut selempang amunisi) ketika ia menikahi Alex. Putra dari keluarga yang kaya raya di bisnis boardgame dan kartu. Setelah upacara pernikahan di mansion keluarga Alex yang udah nyaingin kastil Hogwarts, lengkap dengan pintu dan lorong-lorong rahasia, Grace dibawa untuk bertemu dengan seluruh keluarga Alex. Grace harus diospek dulu sebelum resmi menjadi bagian dari mereka. Di malam pertamanya, Grace harus mematuhi tradisi keluarga sang suami. Bermain kartu yang kemudian berkembang menjadi permainan petak umpet mematikan. Semalaman itu Grace harus bersembunyi dari penghuni rumah yang ingin membunuhnya.

Malam pertama berdarah, tapi bukan seperti yang kalian pikirkan

 

Perburuan manusia di dalam rumah orang kaya sungguh merupakan konsep yang fun. Film yang digarap Matt Bettinelli-Olpin barengan Tyler Gillett ini jelas pengen menjadi cerita yang satir. Pada latar belakang, film memasang soal orang kaya yang begitu timpang dengan rakyat jelata. Mereka punya kebiasaan dan tradisi yang berbeda. Mereka memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Film menggunakan komedi untuk menyampaikan gagasannya. Bahkan adegan-adegan kekerasan yang sadis itu diberikan nada lucu sehingga memancing kita untuk menertawakan sekelompok orang kaya yang berusaha mempertahankan tradisi dan hidup mereka dengan membunuh orang luar. Anggota keluarga Alex dijadikan seperti over-the-top. Ada yang enggak tahu nama keponakannya sendiri. Ada yang kerjanya mabuk-mabukkan. Alex diceritakan punya masalah dengan tradisi dan kebiasaan keluarganya, dia sudah mulai jauh dari orangtuanya. Bicara soal orangtua, malahan ada bibi Alex yang digambarkan memandang Grace dengan tampang seolah ada kaos kaki basah di hidungnya. Ya, masukkan Grace dan film jadi punya satu layer lagi sebagai subteks dari cerita. Perihal wanita yang masuk ke sistem yang bukan miliknya.

Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Di balik aksi-aksi violent yang seringkali membuat kita meringis dan tertawa bersamaan, film berusaha memusatkan perhatian kita kepada latar belakang, baik itu literally maupun figuratively. Desain produksi film ini begitu menonjol untuk menunjukkan perbedaan mencolok antara orang kaya dengan Grace yang dibesarkan di rumah asuh. Denah rumahnya dibuat besar, kelam, dengan banyak lorong kosong dan ruangan penuh hiasan yang membuat Grace berseru “oh shit”. Sesungguhnya ini adalah cara subtil film menyampaikan kepada kita bahwa Grace sedang berada di dalam sesuatu yang bukan untuk dia. Dia menginginkan keluarga. Tapi dia terkejut oleh semua tradisi yang harus dia jadikan bagian darinya. Keseluruhan film melingkupi Grace yang mencoba melakukan sesuatu terhadap tradisi tersebut. Dia tidak mau menjadi korban, namun dia juga sudah jadi bagian darinya. Maka Grace mengoyak tradisi itu dari dalam, sebagaimana dia merobek gaun pengantinnya.

Actually, gaun pengantin yang dikenakan Grace sudah seperti karakter tersendiri. I’m not joking. Gaun itu adalah karakter favoritku di film ini, setelah Grace. Gaun itu punya arc tersendiri, bukan sekedar pakaian. Dia melambangkan sesuatu yang harus Grace kenakan. Sebagai bukti dari masuknya Grace ke keluarga Alex, ke sistem dan tradisi mereka. Gaun itu sempat menjadi hambatan bagi langkah Grace. Tapi lihat apa yang dilakukan Grace terhadap gaun tersebut kemudian. Gaun dirobek supaya bisa lari lebih cepat. Dijadikan perban untuk membalut luka. Dijadikan bantalan ketika terjun dari lantai atas. Bahkan jadi senjata untuk membunuh salah satu pengejarnya.

Marylin Monroe pernah bilang “Berikan sepatu yang tepat kepada wanita, niscaya dia akan menguasai dunia.” Dalam film ini kita literally melihat Grace mengganti sepatu hak-tingginya dengan kets. Dia juga merobek gaun indah sesuai dengan kebutuhannya. Pakaian dan tradisi itu tak cocok untuknya. Grace harus mengoyak sistem yang memaksa dia berada dalam satu posisi. Karena film ini bicara tentang kebutuhan wanita untuk tidak mengubah diri mengikuti sistem. Melainkan mengubah sistem tersebut. Dan jika tidak bisa, menggeliatlah keluar dari sistemnya, meskipun luka seperti Grace yang mengoyak punggungnya untuk keluar dari jeruji pagar yang teralinya ia patahkan.

 

Tradisi yang digambarkan oleh film ini bukan sebatas pada peraturan fiksi cerita saja. Kita bisa membandingkannya dengan banyak hal. Dengan aturan rumah tangga, misalnya. Istri harus ikut suami. Film juga memberi gagasan bahwa ‘tradisi’ seperti itu juga tidak mesti diikuti. Di satu titik, Grace dihadapkan pada pilihan antara kabur atau balik masuk ke rumah dan menolong suaminya. Grace memilih loncat dan lari ke hutan. Bijaknya, film tidak membuat tradisi sebagai antagonis. Kita tidak bisa mengubah tradisi, karena bisa jadi tradisi itu benar. Arc Alex dan saudaranya, Daniel, membahas seputar bagaimana jika sebuah tradisi yang seperti tidak masuk akal, justru adalah hal yang benar. Bahwa peraturan-peraturan konyol itu bukan omong kosong. Untuk kita yang percaya kepada tradisi atau aturan, atau malah agama, mungkin hanya kematian yang bisa memisahkan kita darinya. Tapi bukan berarti kita bisa mengekang orang lain dengan tradisi kita. Dengan kepercayaan kita.

I draw a trap ca… Wait. This whole marriage is a trap!

 

Sudut pandang film bisa agak membingungkan karena film ingin menunjukkan pandangan terhadap tradisi itu dari berbagai sisi. Babak ketiga film ini buatku sangat lucu. Film menolak untuk berakhir aman. Tidak seperti The Purge yang begitu matahari terbit, semuanya usai dan termaafkan. Film ini menunjukkan kita konsekuensi yang tak-biasa. Cara mereka memperlihatkan kebenaran dari tradisi sungguh unik, dan membuat plot cerita menjadi sedikit aneh. Dan ini bisa menjadi nilai plus, sekaligus menjadi penanda ada kekurangan dalam naskah film ini.

Nilai plusnya tentu saja babak ketiga dan sekuen penutup tersebut benar-benar mengukuhkan film sebagai horor yang menarik. Dia bisa menjadi cult-classic karenanya. But also, kekurangannya adalah tokoh-tokohnya terlihat tidak konsisten. Film ini kebablasan mengembangkan komedi dan aksi berdarah sehingga lupa memberikan perhatian lebih kepada pengembangan karakter. Usaha untuk menunjukkan pertumbuhan yang natural sangat minim karena film memilih untuk terus bergerak. Jadi, evolusi tokoh hanya diperlihatkan lewat satu adegan, atau dibuat sebagai hal misterius yang bakal dijelaskan lewat adegan berikutnya. Susah untuk membuat cerita di ruang tertutup, dengan banyak karakter tanpa menjadikan karakter-karakter tersebut hanya di sana sebagai korban pembunuhan yang berdarah-darah. Film memberikan mereka sudut pandang dan karakterisasi yang cukup untuk membuat masing-masing punya dimensi. Akan tetapi pengembangannya minim dan dijadikan sekilas, biasanya sebagai komedi.

 

 

 

Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Ia juga penting karena menyangkut persoalan posisi wanita dalam aturan dan dunia yang dipimpin oleh pria. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu. Penampilan akting Samara Weaving benar-benar jempolan, dia kuat dalam kevulnerableannya, dan dia juga kocak. Tapi sebagai film yang harusnya punya pengembangan karakter, film ini tergesa-gesa. Ruang dan tempo untuk pengembangan mestinya bisa lebih lega lagi. Karena dengan kecepatan dan konstan komedi dan aksi seperti yang kita saksikan, latar belakang yang diniatkan untuk mencuat tadi tetap tidak benar-benar standout. Film ini bisa-bisa hanya akan dikenang dan dinikmati sebagai sajian horor sadis yang kocak, dengan gagasan penting dan satirnya teroverlook.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY OR NOT

 

47 METERS DOWN: UNCAGED Review

“She can talk underwater with a mouth full of marbles”

 

 

Dalam bahasa Inggris ada ungkapan “can talk under water” yang memiliki arti ‘banyak omong’. Ungkapan yang berasal dari Australia itu  difungsikan untuk menyindir seseorang yang enggak pernah berhenti mengoceh. Menggosip. Membual. Ngomong terus sampe bibirnya item. Setting film 47 Meters Down: Uncaged memang bukan di Australia, melainkan di Mexico. Tapi film horor serangan hewan buas ini benar-benar bernapaskan ungkapan “can talk under water” tersebut.

Tokoh-tokoh dalam 47 Meters Down: Uncaged tidak pernah berhenti membuka mulutnya untuk berbicara, berteriak, apapun. Dan mereka melakukan itu semua selama menyelam di dalam gua bawah air. How is that possible?!

 

47 Meters Down yang pertama (2017) bukanlah film yang bagus. Premisnya memang menarik, dua penyelam yang diserang hiu tatkala sedang berada di dalam kandang. Konsepnya basically sama dengan hampir semua survival-horror di jaman sekarang; menggabungkan kengerian kita terhadap serangan monster (dalam kasus ini: hiu) dengan ketakutan kita untuk berada di tempat yang tertutup. Tapi secara penokohan, dan cerita, film tersebut amat lemah. Tapi persona sang hiu sepertinya cukup ampuh, sehingga film itu laku di pasaran, dan sekarang kita duduk ngobrolin sekuelnya. Digarap oleh sutradara yang sama, Johannes Roberts, 47 Meters Down: Uncaged kini membangun lapangan yang lebih luas untuk konsep horor hiu dan ruang tertutup tadi. Kini alih-alih dua, kita dapat empat cewek remaja yang pergi mengeksplorasi gua bawah laut. Tempat situs peradaban peninggalan suku Maya. Dan hiu-hiu putih yang sudah berevolusi. Para cewek itu terperangkap dan harus segera mencari jalan keluar sebelum menjadi santapan hiu-hiu yang meski buta dan gigitannya meleset melulu tapi bisa muncul dari tempat-tempat tak terduga.

Para tokoh tersebut diberikan secercah plot. Dua poros utamanya adalah dua cewek kakak-beradik saudara tiri yang enggak akur sama sekali. Yang satu pemalu parah sampai selalu di-bully, yang satu lagi cukup populer sehingga enggak merasa perlu membuang waktu nolongin saudarinya. Dua tokoh tersebut punya warna kulit yang berbeda, tapi karena tukang bikin naskahnya matanya juga pada putih semua kayak mata para ikan hiu, maka soal itu tak mereka jadikan subteks. Yang jelas, dua tokoh ini harus jelas punya ayah yang seorang arkeolog bawah laut, sehingga mereka bisa membuat keduanya jadi corong eksposisi dan kemudian dibuat diam-diam masuk ke tempat kerja sang ayah. Hupla, dapatlah kita sembilan-puluh menit cerita menegangkan terperangkap bersama monster.

saking dangkalnya cerita, yang kutulis di paragraf itu udah bisa disebut spoiler berat loh

 

Untuk urusan akting, tidak banyak yang bisa kita dapatkan, karena sebagian besar cerita mereka berenang dengan masker skuba sehingga tak banyak ekspresi yang terlihat. Dan di sinilah film menjadi sangat annoying karena tokoh ceritanya antara ngomong dan teriak-teriak melulu. Tidak ada satu logika pun yang bekerja dalam bangunan cerita 47 Meters Down: Uncaged. Mereka menyelam dengan perlengkapan scuba, dan diberikan alasan bisa berkomunikasi dengan radio, tapi kita dengan jelas tidak melihat alat apapun terpasang di telinga mereka. Tidak ada antena. Tidak ada apapun yang membuat kita percaya mereka sedang memakai teknologi yang memungkinkan mereka bisa ngobrol layaknya berada di daratan. Film terus ngepush kesabaran kita dengan actually memperdengarkan musik bisa diputar oleh radio di dalam air. Gimana bisa??

Tapi itu semua belum apa-apa dibandingkan dengan seekor ikan. Yang bisa menjerit. Menjerit seolah dia tokoh film Nemo atau Home Alone atau apalah. Dari konteks narasi, hewan-hewan di sana sudah berevolusi saking begitu lamanya terperangkap dan tak pernah melihat sinar matahari. But, membuat ikan bisa menjerit membuat tokoh manusia kaget… well, to be honest, I’m shocked. Karena jerit-jerit mengagetkan inilah definisi horor dan menakutkan yang diusung oleh film. Kita akan melihat berbagai macam jumpscare yang di dalam air. Sebenarnya memang menakutkan di dalam air, di mana lingkungannya gelap, ditambah pula mereka berada di reruntuhan suku Maya. Tambahkan stake oksigen bisa habis kapan saja, kondisinya memang menakutkan. Di dalam air, gerakan dan pandangan manusia terbatas. Alamiah jika kita gampang kaget dan merasa ngeri saat menyelam. Hanya saja alih-alih menggambarkan ini semua dengan sebenarnya kengerian bawah laut, film masih menganggap perlu untuk menghadirkan horor lewat suara-suara keras. Sehingga tidak lagi terasa alami, melainkan menyebalkan oleh kehebohan yang palsu.

Sebenarnya oke saja jika sebuah film menceritakan orang menyelam dan mereka bisa berbicara. Asalkan mereka membuat ‘kenyataan-reka’ yang kuat. Dan sesungguhnya semua itu juga bergantung kepada kemampuan si pembuat film. Belum lama ini ada juga film horor lokal yang bertempat di bawah laut, yang para tokohnya menyelam juga – dengan peralatan selam standar – dan berkomunikasi verbal kayak lagi di darat. Dibandingkan dengan Uncaged ini, film 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) itu jadi tampak sedikit lebih ‘terhormat’. Karena kita lihat di film itu para tokohnya masih bermain gestur, maka sepertinya si film terpaksa nambahin dialog karena menyadari adegan di bawah air mereka tidak efektif karena suasana dan properti selam menghalangi ekspresi dan komunikasi pemain kepada penonton. Adegan di dalam airnya juga dibuat sesedikit mungkin. Sedangkan film Uncaged justru berusaha memasuk akalkan para tokohnya bisa berbicara di dalam air. Mereka fully commit cerita berlangsung di dalam air, dan they just go with all the dialogues and screamings. Yang membuat film jadi tampak bego.

Bagaimana tidak. Sudah jelas mengetahui hiunya buta dan tajam indera pendengarannya, tapi para tokoh tetap teriak-teriak memanggil nama temannya. Membuat gaduh yang ganjil. Dan lagi, bukannya hiu itu yang tajam indera pembaunya ya? Bukannya hiu agresif mencium darah di air? Elemen ini justru disimpan film untuk bagian final. Sementara selama dua babak kita dipaksa menelan mentah-mentah logika ngawur filmnya. Balik ke teriak-teriak; dialog dalam film ini benar-benar kosong kayak snack berisi angin. Jadi di dalam air, dengan perlengkapan nyelam, keempat tokoh cewek kita udah tak ketahuan lagi siapa yang mananya. Sementara film memutuskan mereka semua ini perlu untuk berdialog. Tau enggak cara yang dipilih naskah supaya kita bisa mengikuti percakapan mereka? Dengan membuat setiap kalimat ada nama orangnya. Percakapan mereka yang hanya sekadar eksposisi dan teriak itu semakin lucu terdengarnya. They go like, “Kita harus ke sana, Nicole”. “Tidak ada apa-apa, Sasha.” “Ayahmu ada di sana, Mia.” “Hidupkan alarmnya, Alexa” Wait, Nicole, Sasha, Mia, Alexa… ini masih hiu atau udah jadi WWE?

Rope-climbing Death Match

 

Sekuen ‘aksi’ di menjelang ending adalah bagian terbaik dari film ini. Seharusnya mereka sudah komit jadi sekonyol itu sedari awal. Dengan segala slow motion dan aksi-aksi melawan hiu yang over-the-top. Karena film benar-benar gagal untuk menjadi horor terperangkap melawan hewan buas. Enggak ada seram-seramnya. Jikapun terhibur, maka kita terhibur oleh kedunguan-tak-diniatkan yang dihadirkan oleh film. Kematian dalam film ini tak-terasa sama sekali. Karena tokoh-tokohnya tak ada yang punya sesuatu untuk kita pedulikan. Menurutku film ini pengen mirip sama The Descent (2005) yang juga tentang sekelompok wanita bertualang dan terjebak dan diburu sama pemangsa di dalam gua. Sayangnya tak seperti The Descent, Uncaged lupa mengisi cerita dengan logika dan tokoh dengan karakter-karakter yang berbobot.

 

Kalo kamu ingin tertawa melepas stress dan butuh sesuatu untuk mencegah dirimu tenggelam dari merasa paling bodoh sedunia, tontonlah film ini. Karena setelah nonton kamu akan senang sekali mengetahui dirimu enggak sebego horor bawah laut yang baru saja kamu saksikan. Bermain di laut gelap yang seram dan hiu pemangsa, film malah mengandalkan dialog dan suara untuk memancing kekagetan; yang diartikan dan dijual sebagai horor oleh pembuatnya. Yang menjadi penanda tidak kekompetenan, atau kemalasan, pembuatnya. Namun begitu, dialog filmnya hanya terdiri atas eksposisi dan teriakan. Lucunya lagi, dengan demikian sering eksposisi, film juga enggak sempat melandaskan logika-dalam yang mereka pakai. This film just all talks, with no bites.
The Palace of Wisdom gives 1 of 10 gold stars for 47 METERS DOWN: UNCAGED

 

MA Review

“You don’t need everyone to love you, just a few good people”

 

 

Semua akan main film horor pada waktunya. Dan kalo ada aktor yang paling pengen aku lihat bermain segila-gilanya di genre berdarah-darah, maka Octavia Spencer adalah salah satunya. Dan memang di film Ma ini Spencer tampak benar-benar menikmati kesempatan yang ia dapatkan. Bahkan yang bukan penggemar horor, boleh jadi tergoda untuk menyaksikan film yang actually juga proyek horor pertama dari sutradaranya; Tate Taylor. Spencer dan Taylor sebelumnya pernah bekerja bareng dalam The Help (2011), yang aku suka banget, dan sekarang mereka kolab lagi dalam film yang genrenya lebih membebaskan. Sekali-kali bermain dalam horor sepertinya therapeutic buat aktor seperti Spencer yang mulai mendapat peran yang begitu-begitu saja di genre yang lebih serius. Dan horor pun butuh pemain-pemain yang enggak asal-asalan, yang sungguh mengerti mengeksplorasi psikologi sehingga tidak keluar sebagai peran yang over-the-top yang tidak bisa dianggap serius. Spencer dan peran psikopat-horor ngeklik, menjadikan wanita ini bagian terbaik dalam film Ma.

Baru-baru ini kita menyaksikan Widyawati bersahabat dengan anak-anak muda dalam Mahasiswi Baru (2019), peran Spencer dalam Ma juga mengharuskan dia bergaul dengan orang yang berumur jauh berbeda darinya, namun dengan tone cerita yang jauh lebih kelam. Peran Spencer adalah sebagai Sue Ann, wanita kesepian yang tau-tau dimintai tolong oleh sekelompok anak remaja untuk membelikan mereka bir. Sue Ann butuh untuk membantu remaja tersebut seperti Spencer butuh untuk bermain horor; untuk menjadi lebih populer. Kepopuleran dan status dijadikan oleh film sebagai tema berulang yang dieksplorasi lewat cara yang tak biasa. Lama kelamaan Sue Ann yang tampak menikmati statusnya sebagai ‘ibu-ibu keren’ di antara para remaja, mulai mengundang mereka semua untuk berpesta di ruang bawah tanah rumahnya. Minum-minum. Hura-hura. Mabok. Jika kalian sudah merasa cukup risih melihat wanita dewasa menyediakan tempat untuk remaja berugal-ugalan, siap-siap saja untuk menjadi merasa ngeri ketika kilasan masa lalu Sue Ann muncul sebagai peringatan akan hal menakutkan yang bakal menimpa para remaja tersebut.

sejak 2011, kalo dia ngasih pie coklat, tolong jangan dimakan.

 

Filmnya cuma sembilan-puluh menit, tapi coba hitung ada berapa kali Octavia Spencer melakukan perubahan emosi dalam usahanya membuat karakter ini menyenangkan untuk ditonton. Menyenangkan dalam konteks horor loh. Pertama kita dibuat kasihan melihatnya yang seperti desperate banget untuk punya teman. Dia tampak cukup perhatian dan baik hati. Lalu dia berubah jadi tampak seperti orangtua norak yang jika bercanda pasti lawakannya enggak lucu oleh anak-anak muda, malah menyinggung. Lalu kita dibuat merasa kasihan lagi kepadanya, ketika Sue Ann yang kini dipanggil Ma malah seperti dimanfaatkan oleh anak-anak berandal. Lalu dia muncul seperti pacar yang cemburuan saat meneror remaja dengan puluhan pesan. Lalu dia seperti ibu yang overprotektif. Lalu dia jadi penipu yang punya agenda mengerikan, sebelum akhirnya menjadi ‘orang gila’ di babak akhir. Dan seperti layaknya film horor, Spencer juga memberikan one-last-scare kepada psikologi kita , entah harus kasihan atau mensyukuri keputusan terakhirnya. Film bisa menggapai begitu banyak level kengerian dengan permainan akting karakter yang berubah-ubah secara creepy seperti ini. Range-nya luas dan Spencer berhasil mengenai semuanya dengan menakjubkan.

Yang diperlukan oleh film adalah menjaga fokus dan mengeksplorasi Sue Ann lewat satu sudut pandang  sehingga horor dari runtuhnya kemanusiaan itu dapat tersampaikan dengan baik. Hanya saja, film malah membahas dari banyak sudut pandang sehingga narasinya tak pernah fokus sejak awal. Naskah ingin memparalelkan tokoh remaja dengan tokoh Sue Ann, mereka diikat oleh satu benang merah; keinginan untuk disukai dan menjadi bagian dari orang-orang populer. Tokoh utama film ini justru adalah salah satu anak remaja, Maggie (diperankan oleh Diana Silvers atau yang kita kenal sebagai kembaran Raihaanun dalam film Booksmart), yang baru pindah ke kota tempat cerita berlangsung. Maggie adalah anak baek-baek yang memilih bergaul dengan geng hura-hura karena seharian ditinggal kerja oleh ibunya. Film ingin memunculkan dramatic irony dengan menyilang-nyeling sudut pandang antara Maggie yang hubungannya semakin tak baik dengan sang ibu, yang malah semakin akrab dengan Sue Ann, dengan sudut pandang Sue Ann sendiri yang semakin kita lihat kegelapan dan kegilaan motifnya. Tetapi sisi dramatisnya itu justru menjadi kehilangan gigitan karena narasinya kehilangan fokus.

Pesan yang ingin disampaikan menjadi mendua; apakah kita harus mendukung Sue Ann membalaskan dendamnya kepada anak-anak populer yang ngesok – apakah tindakan kriminal yang ia lakukan bisa dijustifikasi. Atau haruskah kita mengkhawatirkan Maggie yang perlahan seperti berubah menjadi anak populer yang ngesok tersebut. Dan bukan hanya mendua, malahan mentiga lantaran actually film juga melihat dari sudut pandang ibu Maggie yang merasa dirinya hina; gagal di perantauan sehingga terpaksa kembali ke kota masa kecilnya.

Orang dewasa pasti pernah terkenang akan kehidupan di masa sekolah mereka. Masa-masa yang kebanyakan orang berharap mereka lebih disukai di antara teman-teman sekolah. Wajar saja berpikir seperti demikian, karena itu akan mendorong seseorang untuk menjadi lebih baik. Tapi disukai tidak sama dengan menjadi populer. Karena orang menginginkan hanya untuk menjadi populer, mereka bisa menjadi manipulatif ketika hanya mementingkan jumlah dan status. Jadilah populer, sembari tidak melupakan diri menjadi baik.

 

Secara garis besar, kita bisa mengerti keparalelan gagasan yang berusaha ditampilkan. Sayangnya pilihan untuk menjuggling sudut pandang ke sana kemari membuat cerita tidak menjadi sekuat yang semestinya bisa dicapai. Film juga punya undertone soal rasis yang dihubungkan ke dalam gagasan. Kita melihat Sue Ann mengecat putih kulit seorang remaja kulit hitam, karena menurutnya cuma boleh satu alpha di dalam grup. Tapi hanya sampai di sana. Film harusnya membahas lebih dalam, menjadi total gila, namun tetap bermain aman. Tingkat kekerasan dalam film ini tidak benar-benar mengerikan, karena sesungguhnya horor terletak di kejiwaan Sue Ann. Yang dikaburkan oleh seringnya cerita berpindah sudut pandang. Akibat paling jeleknya adalah tokoh-tokoh film ini jadi tidak pernah kelihatan seperti karakter. Mereka hanya seperti pion dalam permainan catur yang sudah diatur siapa yang kalah dan siapa yang menang. Mereka tidak hidup di dunia, mereka hanya hidup di naskah.

Sue’ banget emang si Sue Ann

 

Bahkan naskahnya sendiri tidak cukup konsisten untuk memerintah para tokoh. Narasi yang dihadirkan tampak dihadirkan dengan reasoning seadanya. Film membuat remaja-remaja itu suka sama Sue Ann, kemudian takut padanya, kemudian suka lagi, dengan sekenanya. Tidak pernah ada penjabaran yang kuat dan masuk akal. Cerita film ini bisa tuntas dengan lebih cepat jika remaja-remaja tersebut enggak balik-balik lagi ke rumah Sue Ann. Ada banyak momen yang menghadapkan tokoh remaja pada pilihan atau kesempatan untuk melakukan sesuatu yang wajar, you know, meninggalkan Sue Ann. Si Maggie sudah curiga sedari pertengahan. Tapi mereka tetap saja kembali kepadanya. Maggie tetap saja masuk ke ruang bawah tanah  itu. Tanpa ada tekanan dari teman-teman gengnya; di sini cerita mengkhianati gagasannya. Atau malah memparodikan? You be the judge. Apakah para remaja memang sebego itu untuk mau kembali deket-deket sama orang yang jelas-jelas mencurigakan cuma supaya bisa hura-hura.

 

 

 

Fakta bahwa film horor yang dibintangi oleh Octavia Spencer sebagai pembunuh psikopat beneran eksis di dunia sebenarnya sudah cukup menggembirakan. Terlebih karena memang dibeking oleh penampilan akting yang menghibur. Tapi tetap saja jatohnya mengecewakan karena film ini tidak sekalian dibarengi oleh naskah yang kuat. Karena yang kita saksikan lebih seperti usaha untuk menjadi tontonan yang populer ketimbang film yang ingin menceritakan gagasan. Narasinya terlalu sibuk untuk terlihat pintar, asik sendiri menggabung-gabungkan sudut pandang, dan kepingan misteri. Sehingga lupa untuk menjadikan karakter-karakter ini ‘hidup’. Kita hanya melihat mereka berpindah dari berpesta, ke ketakuan, ke curiga seperti diperintah. Tidak mengalir dengan natural.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MA

 

 

 

 

PERBURUAN Review

“He who is prudent and lies in wait for an enemy who is not, will be victorious”

 

 

Perburuan yang ditayangkan serentak bersama Bumi Manusia (2019) oleh Falcon Pictures benar-benar memenuhi fungsinya sebagai alternatif. Keduanya merupakan adaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, sama-sama berlatar zaman penjajahan , sama-sama menggambarkan ketimpangan kelas manusia, tapi cerita bercerita keduanya terletak di dua spektrum yang berbeda. Perburuan diserahkan kepada Richard Oh, yang meraciknya dengan menyuguhkan lebih banyak kreasi sehingga muncul sebagai penyeimbang buat Bumi Manusia yang hadir lebih ngepop. It’s nice, dan langka, menonton film tentang kemerdekaan dari dua penulis sumber yang sama tapi digarap dengan berbeda. Meski menurutku agak ‘jahat’ juga Falcon ‘mengadu’ keduanya. Aku nonton dua film ini secara berturut-turut di hari yang sama (Bumi duluan, baru Perburuan), dan ketika Bumi aku langsung bisa menuliskan ulasannya pada hari itu juga, maka untuk Perburuan aku butuh untuk memikirkannya terlebih dulu. Karena ada banyak kandungan yang tak bisa langsung dijabarkan. Banyak pilihan yang dilakukan oleh film yang sepintas tampak seperti keputusan yang buruk, tapi ada subteks yang membayanginya, yang membuatku tak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Saat ditulis untuk novel, sepertinya memang cerita ini diniatkan sebagai alternatif sejarah. Di buku pelajaran kita tertulis pemberontakan PETA terhadap pasukan Jepang dipimpin oleh Soeprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar, Jawa Timur. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh kejamnya penjajah Jepang terhadap rakyat pribumi. Perbuatan semena-mena bahkan di kalangan tentara dan janji-janji yang tak kunjung ditepati memantik api agresi Soeprijadi. Namun buku sejarah kita tak menulis tentang Hardo. Pribumi asal Blora, Jawa Tengah, yang juga serdadu PETA. Yang masih memegang harap, namun tak bisa lagi menunggu. Maka ia mendukung gerakan Soeprijadi. Malang, ada pemberontak di dalam barisannya sendiri. Pasukan Hardo kocar-kacir ditembaki. Sejak malam itu, Hardo dan orang-orangnya buron. Kali berikutnya kita melihat Hardo, pemuda itu sudah hampir tak dapat dikenali. Ia berjalan di malam hari seperti gelandangan yang hilang kewarasan. Dan selagi Hardo menunggu harapan merdeka itu di dalam gelap, orang-orang yang ia kasihi mulai terancam karena kepala Hardo masih terus dicari oleh Jepang.

Ketika kau tahu Kempetai rindu pada batang lehermu

 

Begitu menjadi film, Perburuan oleh Oh diperkecil skalanya. Kita hanya akan melihat lewat mata nanar Hardo. Sisi buruk penjajahan akan kita lihat lewat Hardo saat dirinya menyusuri padang jagung bergelimang mayat-mayat rakyat. Karena Hardo yang dalam pelarian hanya keluar di waktu malam, jadi semuanya gelap. Suasana dimainkan menjadi rasa yang disampaikan kepada kita. Menonton ini kita akan merasa kelam, bingung, sendirian (karena besar kemungkinan kita beneran sendiri nyaksiin ini di dalam studio bioskop), persis seperti yang dirasakan oleh Hardo. Kita menanti cercahan cahaya. Kita ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti Hardo yang menanti kabar kemerdekaan, karena ia percaya – ia janjikan ini kepada tunangannya – bahwa keadaan akan membaik setelah Indonesia merdeka.

Bagi Hardo tentu saja penantian itu terasa sangat lama. Dia belum tahu Indonesia bakal merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Dia mungkin sudah tidak tahu lagi hari apa saat itu. Untuk menyampaikan perasaan kecamuk demikian, film pun dengan sengaja membuat kita disorientasi terhadap waktu dan tempat. tidak pernah tahu di mana persisnya Hardo, atau ke arah mana dia berjalan. Di bawah jembatan, di ladang jagung, di sungai besar, kita tidak mengerti lokasi dunia Hardo. Yang kita mengerti adalah dia kembali ke Blora. Dia ketemu dengan orang-orang yang mengenalnya, dia reuni dengan rekan pelarian, tapi kita tidak pernah diberikan sense of direction yang benar. Pergerakan kamera akan bolak-balik, seperti adegan maju-mundur yang acap dimasukkan. Flashback adalah cara film mengaburkan dimensi waktu. Kita dipindah begitu saja antara masa lampau ke masa kini. Dengan bahkan petunjuk waktu masa kini tidak dapat dipercaya. Bekas luka yang disebut sebagai penciri Hardo tampak hilang-timbul saat dia sudah brewokan. Kadang ada kayak pas di adegan akhir, kadang tidak ada seperti saat ‘reunian’ di bawah jembatan

Disorientasi berfungsi untuk menambah suspens cerita. Sebagai cara film menyampaikan kepada kita susahnya hidup dalam pelarian, yang menunggu kesempatan untuk keluar dan menampakkan diri. Perburuan menggunakan benturan antara berburu dan menunggu sebagai gagasan utama cerita. Di adegan pembuka kita melihat Hardo berhasil menang kendo atas komandan Jepang karena dia menunggu celah serangan dan balas menyerang dari sana. Lantas kemudian kita melihat dampaknya ketika Hardo terburu napsu marah sehingga malah memimpin pemberontakan alih-alih menunggu badai reda. Hardo mengkhianati kepercayaannya sendiri. Membuatnya berada di titik rendah dalam hidupnya. Secara lowkey, film juga menyinggung soal menunggu ketimbang kesusu dari percakapan Ayushita dengan anak muridnya yang terluka karena berlari takut terlambat ke sekolah. Akibatnya kita melihat adegan kontemplasi dia dengan korek api yang digambarkan film dengan sungguh magis. Api yang hidup mati itu bagai harapan Hardo yang meredup, kemudian menyala kembali, kemudian mati lagi, dan seterusnya. Adipati Dolken diberikan kesempatan untuk bermain ekspresi gila untuk menunjukkan penguasaan range. Ada banyak versi Hardo di film ini, mulai dari Hardo yang optimis penuh harap, Hardo yang nyaris putus asa, Hardo yang menemukan kembali harapan. Dolken mampu menggapai note yang diminta. Tapi kemudian dia tidak diuntungkan ketika harus memakai brewok palsu yang kadang menutupi ekspresinya. Di saat-saat itu aku berharap kamera lebih banyak lagi melakukan close up wajah.

Lamurkah mataku atau did Rizky Mocil just shot two enemies, in the dark?

 

Adegan satu lagi yang niscaya membuat kita menggelinjang jelas adalah adegan Hardo mengobrol dengan his aware-but-not-so-sure father. Lokasi dan suasananya di gubuk tengah ladang jagung yang temaram benar-benar menakjubkan. Bahasa mulut dalam film ini terbagi menjadi tiga macam; monolog puitis, bantering filosofis, dan paparan informasi. Ketiga-tiganya muncul sekaligus dalam adegan tersebut. Resiko dialog-dialog tersebut adalah film praktis akan menjadi berat. Tapi film melakukannya dengan indah, karena paham kuncinya adalah menghadirkan latar yang menawan untuk mengakomodasi kalimatnya.

Gagasan yang diangkat film ini seperti mengacu pada filsuf dan ahli perang dari Cina, Sun Tzu, yang pernah menuliskan dalam buku The Art of War bahwa salah satu kunci kemenangan adalah bersabar dan tidak gegabah. Dengan bijaksana memperhatikan langkah musuh sambil mempersiapkan diri. Siapa yang bergerak sembaranganlah yang akan kalah. Dalam film ini kita melihat wujud dari itu semua. Kemenangan datang kepada Hardo saat dia sendiri muncul di saat yang tepat. Jepang kalah karena mereka terlalu gegabah dan merasa di atas angin

 

Masuk babak tiga, jelas sudah film lebih berfokus kepada psikologi Hardo ketimbang suasana sosial Indonesia secara menyeluruh. Dan di sini jualah film terasa berhenti bekerja. Justru di saat teranglah, film seperti tidak tahu lagi cara menampilkan cerita sesuai fokusnya. Maka film kembali menoleh kepada buku, dia berusaha menjadi lebih ‘gampang’ dari sebelumnya. Mencoba keluar dari Hardo. Lantaran Hardo yang literally dan figuratively menemukan jalan pulang menjadi pasif. Dia tidak melakukan apa-apa untuk menang, karena memang jalan benar baginya adalah dengan menunggu. Ini tentunya tidak menarik untuk akhir film karena film butuh satu cekcok yang besar. Maka sorotan pindah ke temannya yang tadi berkhianat, untuk memberikan dia pembenaran, meskipun di titik itu kita mengerti Hardo tidak lagi menganggap dia salah. Intensitas film ini lenyap terlebih ketika Hardo tiba-tiba sudah tidak dalam bahaya. Aku tidak mau bilang banyak, tapi ini adalah jenis cerita ‘diselamatkan oleh bel’. Untuk memberikan final big moment, film yang sedari awal sudah membuat Jepang kayak penjahat dalam komik yang kejam tanpa nilai baik – dia bahkan tidak mengenal rasa terhormat apalagi harakiri – membuat semuanya sederhana; Hardo benar, Jepang jahat, dan teman-teman Hardo salah.

Mungkin, cara ini masih bisa berhasil memberikan momen final besar yang diincar. Sayangnya, film ini sendiri seperti tidak mendapat perhatian yang cukup dari pihak studio. Pengadeganan bagian terakhir itu mestinya epik karena melibatkan banyak orang banyak, tapi tampak kecil dan awkward. Sepertinya melihat pertunjukan di panggung teater. Suasananya tidak semegah yang film ini pantas dapatkan. Tapinya lagi, ini adalah keputusan film untuk memilih kembali ke jalur yang lebih accessible.

 

 

 

Meski berlatar zaman penjajahan, film ini sebenarnya bekerja dalam skala yang lebih kecil. Skala personal seorang tokoh. Dan kita hanya melihat dari tokoh itu. Film melakukan banyak kreasi saat mengadaptasi untuk kepentingan itu. Sengaja memilih untuk tidak menjadi lebih besar, tidak membahas lebih luas soal sosial yang menjadi kekuatan cerita-cerita Pram. Jadi, film ini adalah alternatif dari cerita yang total ngepop, yang punya pesona sendiri.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for PERBURUAN