JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE Review

“Life isn’t hard, Megaman is.”

 

 

Dalam video game kita akan dikejar-kejar zombie kelaparan. Ditembaki robot-robot kalap. Melompat dari satu jurang ke jurang lain. Kalo gagal, kita mati, sure di jaman now ada save point,  tetapi dulu kita harus mengulang kembali dari awal setiap kali game over. Beberapa game bisa menjadi begitu bikin stress sampe joystick pada rusak. Nintendoku dulu kabel stiknya nyaris putus karena kugigit-gigit ngamuk mati melulu main Circus Charlie di level tali ayunan itu. Namun betapapun susahnya, kita tetap suka melarikan diri ke dalam dunia video game kalo lagi mentok di kehidupan nyata. Anehnya kita bisa refreshing setelah mati berulang kali di dalam video game.

Kayak Spencer dan teman-temannya. Mereka didetensi harus bersihin gudang sekolah bareng-bareng. Kata gurunya sih supaya mereka tahu siapa diri mereka. Di sela-sela kerjaan gak asyik itu, Spencer menemukan mesin video game jadul dengan kaset cartridge bertuliskan Jumanji. Spencer yang jago main video game seumur-umur belum pernah mendengar nama itu, ataupun belum pernah melihat konsol yang begitu antik. Jadi, dia dan Fridge dan Bethany dan Martha mencoba permainan tersebut. Dan seperti salah satu episode film Boboho jaman dulu, mereka berempat tersedot ke dalam layar. Spencer yang kini berwujud The Rock, dan teman-temannya yang juga berubah tampang menjadi karakter game yang sudah mereka pilih, harus bertualang menembus hutan. Mencari dan mengembalikan permata Jaguar yang hilang supaya bisa pulang. Masing-masing mereka cuma punya tiga nyawa, tiga kali kesempatan untuk gagal, sebuah angka yang minim sekali mengingat hutan arena bermain mereka dihuni oleh berbagai binatang buas, serta satu geng bandit yang pemimpinnya bisa mengendalikan hewan-hewan tersebut.

Video game terlihat gampang karena kita sudah tahu apa tujuan kita bermain. Mengalahkan monster. Mencari harta karun. Menyelamatkan putri raja. Kita jadi tertantang buat menyelesaikannya. Ketika tivi dimatikan, tombol power konsol ditekan dan lampunya mati, kita balik ke kehidupan nyata di mana kita tidak mengerti ngapain sih kita di dunia ini. Apa misi yang diberikan kepada kita di sini Hidup sangat kompleks, kita harus memahami diri sendiri, menciptakan sendiri tujuan hidup kita. Itulah kenapa kita menganggap hidup lebih susah. Tujuan itu sama sekali tidak terlay out seperti pada video game. Tapi begitu kita tahu siapa kita, mau jadi apa kita, hidup tidak lebih susah daripada menjatuhkan raja Koopa ke dalam lava. Hidup adalah rimba yang sebenarnya, hanya jika kita tersesat.

Breakfast Club, now in a fully rendered-8 bit

 

Tadinya kupikir film ini adalah remake dari Jumanji 1995 yang ada Robin Williamsnya. Ternyata enggak, ini lebih sebagai sebuah sekuel, dan sort of a reboot. Papan permainan Jumanji yang dimainkan oleh Kirstern Dunst ditampilkan kembali di film ini. Kita lihat gimana si papan merasa ketinggalan jaman dan mengubah diri menjadi kaset dan konsol video game. Dan dari sinilah film mengeksplorasi banyak hal-hal keren yang menyenangkan yang timbul dari gimana manusia masuk ke dalam video game. Oke aku nerd, bahkan sampe sekarang aku habisin waktu luang dengan main video game, jadi mungkin kalian menyangka aku bisa sedikit bias menilai film yang udah nyaris kayak adaptasi video game ini. Tapi enggak sebias itu juga sih, film ini memang TONTONAN MENGASYIKKAN DALAM KONTEKS VIDEO GAMENYA.

Para tokoh di sini dibuat bisa melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, persis kayak status di video game, dan mereka bekerja sama dengan memanfaatkan aspek ini. Interaksi mereka dengan tokoh tiang garam juga kocak banget. Eh pada tahu ‘Tokoh Tiang Garam’ gak sih? itu loh, di game-game petualangan kan selalu ada tokoh-tokoh yang gak bisa kita mainin, dan diprogram untuk ada di game buat memberikan informasi. Di luar dialog-dialog yang sudah diprogramkan, mereka enggak bisa ngomong hal lain lagi. Jadi kalo kita ajak ngomong terus, ya ucapannya itu-itu melulu. Nah, dalam film, elemen ini jadi salah satu pemancing ketawa yang dibuat dengan sangat menyenangkan. Namun dari konteks-konteks video game yang seru tersebut juga muncul berbagai plothole pada universe yang menjadi kelemahan film.

Salah satu aspek paling seru dari Jumanji: Welcome to the Jungle adalah karakternya.  Jadi kan remaja-remaja itu tersedot ke dalam dunia game, dan mereka sekarang berwujud seperti avatar yang mereka pilih. Dan pada beberapa, tubu mereka sangat bentrok ama sifat asli. Dwayne Johnson hanya kekar di luar. Di dalam otot-ototnya, The Rock adalah Spencer – si kutu buku bertubuh kecil yang sangat penakut, bahkan tupai aja bisa bikin dia jejeritan histeris. Jack Black sangat kocak di film ini; dia adalah cewek paling populer di sekolah, yang kerjaannya main hape melulu, dan dia terperangkap di dalam tubuh tambun pembaca peta. Jadi bisa dibayangkan betapa ngakaknya melihat penampilan akting Jack Black di film ini. Tokoh yang diperankan Karen Gillan punya arc yang menarik; di dunia nyata ia adalah cewek yang benci olahraga, namun di game dia seorang petarung, jadi dia dibuat tertarik untuk menggerakkan tubuhnya dalam cara-cara yang bikin berkeringat.

Sebagian besar pemeran dalam film ini diberikan kesempatan untuk bermain-main dengan peran yang sangat unik, kecuali Kevin Hart. Komedian ini sendirinya kocak banget, kita bisa betah duduk berjam-jam nonton dia menghina dirinya sendiri, dan itulah salah satu kekuatan utama pesona kocaknya. Di film ini, Kevin Hart kembali memancing jokes dari sana, dan buatku malah jadinya biasa aja, dia tidak melakukan sesuatu yang baru di sini. Dia sama The Rock banteringnya persis kayak di Central Intelligence (2016), Hart mengejek tinggi badannya sendiri yang kalah jauh ama The Rock. Kevin Hart kocak namun dia pretty much bermain sebagai dirinya sendiri, dan ini kalah menarik dibandingkan aktor-aktor lain yang benar-benar membanting image mereka memainkan karakter yang di luar kebiasaan.

Keberanian enggak ada hubungannya ama ukuran tubuh

 

Kalo di Jumanji dulu kita ternganga ngeliat badak berlarian dari rumah ke jalanan, sekarang kita akan melihat berbagai sekuens aksi yang mengalir lancar berkat keunggulan teknologi. Orang-orang bertebangan ke sana kemari. Stun work di sini amat impresif, meskipun pada beberapa sekuens, film lebh mengutamakan efek CGI. Akan ada banyak adegan yang menampilkan efek yang obvious, yang menurutku adalah disengaja sebagai cara film untuk terlihat sebagai dunia video game. Aku sedikit menyayangkan film ini melewatkan kesempatan untuk tampil kayak di salah satu episode Rick and Morty di mana Rick terjebak dalam dunia simulator. Di serial kartun itu kita melihat Rick berjalan di dunia yang hanya sekitarnya saja yang terender kumplit, begitu dia melihat ke ujung jalan dia hanya melihat polygon, pemandangan sekitar Rick terender seiring dia berjalan karena begitulah lingkungan dalam simulator atau dunia game berjalan. Menurutku, jika perihal render dunia diimplementasikan ke dalam Jumanji ini, tentulah akan semakin banyak hal keren dan kekocakan yang bisa digali.

Bermain-main dengan struktur video game, seperti yang aku singgung di atas, film ini mengambil beberapa pilihan aneh yang bukan saja menjadikan ceritanya tampak tak-lagi seperti video game, melainkan juga jadi membuat ceritanya punya plothole. It’s cool ketika film ini menggunakan flashback dan mengatakannya sebagai adegan cutscene pada video game. Tokoh utama kita juga melihat cutscene ini. Namun, terdapat juga beberapa adegan cutscene yang memperlihatkan tokoh penjahat sedang mempersiapkan pasukan, dan tokoh utama kita sama sekali enggak tahu tentangnya. Ini bertentangan dengan konsep video game karena mestinya tidak ada pengembangan dunia lain di luar pengetahuan tokoh utama. Ini sebenarnya soal perspektif, kita seharusnya melihat hal dari sudut pandang Spencer yang jadi tokoh video game, bukannya sebagai pemain. Tapi film tidak pernah menjelaskan kenapa ada cutscene yang tidak diketahui oleh Spencer. Pun juga tidak menerangkan seperti apa persisnya dunia buatan Jumanji. Karena kalo dipikir-pikir, video game yang mereka mainkan mengembangkan programnya sendiri, game ini berevolusi sesuai dengan keadaan pemain yang termasuk ke dalamnya. Karena semua kejadian yang mereka alami seperti sudah diatur, mereka ketemu Missing Piece, mereka bisa menyelesaikan satu stage karena stage tersebut terlihat diprogram untuk diselesaikan empat orang. Bagaimana kalo ternyata ada, katakanlah dua orang, yang memainkan game sebelum mereka. Apakah hal akan berbeda buat Missing Piece? Apakah settingan skill mereka juga berganti. Mestinya film bisa melandaskan aturan mainnya dengan lebih kuat.

Soal arc cerita sebenarnya aku juga bingung, apa yang ingin dicapai oleh film ini. Karena jika menurutku poros utama film ini bicara tentang gimana anak-anak itu belajar memberanikan diri berjuang di dunia nyata, maka semestinya film membuat mereka tidak lagi menggunakan nama avatar saat film mencapai akhir. Seharusnya mereka dibuat berhasil atas nama diri mereka sendiri.

 

 

Film ini seperti video game, kita akan bersenang-senang dengannya. Perfectly enjoyable dengan penampilan peran yang sebagian besar unik. Aku sendiri cukup capek terbahak-bahak sepanjang durasi. Bagaimanapun juga, ketika dipikirkan baik-baik, ada beberapa hal yang mengganjal. Semua yang kelemahan yang kutulis di sini , in fact, baru kepikiran ketika aku mulai menulis. Kita bisa menutup kekurangan ini dengan memberikan alasan sendiri, tentunya, karena semuanya bisa terjadi di dunia video game. It’s just kupikir film bisa menggali dan melandaskan dunia ceritanya dengan lebih baik lagi. Siapa sih yang enggak mau lebih baik, ya gak?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JUMANJI: WELCOME TO THE JUNGLE

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

STAR WARS: THE LAST JEDI Review

“The opposite of Love is not Hate, but Indifference”

 

 

Luke adalah Yoda. Dan Kylo Ren adalah Bezita. Itu teori yang kupatenkan setelah aku selesai nonton The Force Awakens tahun 2015 yang lalu. Yup, aku memang termasuk salah satu penonton yang suka berspekulasi dan nebak-nebak dan bikin kajian lengkap sendiri terhadap sebuah film. Jika kalian juga begitu, maka kita bisa jadi teman baik ngobrol berjam-jam membahas film. Aku tahu bukan aku sendiri yang punya penyakit begini. Di internet banyak kita jumpai artikel-artikel semacam “Fakta Mengejutkan Seputar Star Wars” yang membahas berbagai kemungkinan seperti Rey itu anak Luke, atau Rey itu saudara kembar Ren, atau yang paling gampang; bahwa Rey adalah Jedi Terakhir. Tidak satupun prediksi dan teori tersebut terbukti benar. Star Wars: The Last Jedi, di tangan sutradara Rian Johnson yang biasanya membuat film-film ngeart, MENGENYAHKAN SEMUA EKSPEKTASI DAN BERCERITA DENGAN SUARA KHASNYA SENDIRI.

Itulah yang membuat pengalaman nonton film ini terasa begitu menyenangkan. Ada begitu banyak kejutan yang diberikan. Seni dalam film ini adalah bagaimana mereka memainkan konflik moral, membuat kita terombang-ambing di dalam dilema para karakternya. Dalam lapisan terluar, The Last Jedi sukses menjelma menjadi film dalam franchise Star Wars yang punya sekuens aksi yang paling menarik dan sangat menghibur sejauh ini. Ada aksi tembak-tembakan Millenium Falcon yang sangat keren; visual efeknya makjaaaanggg! Tarung lightsabernya adalah yang terbaik dari pernah kulihat dari seri Star Wars. Dengan wide shot nampilin para tokoh dari kepala ampe ujung kaki, mereka pasang stance masing-masing, kemudian “zing..zingg…zinggg”, mereka udah kayak ngayunin samurai dengan koreografi dan pengaplikasian lightsaber yang begitu awesome

Plus para Porg itu imut bangeettt. Dan perlu dicatet mereka enggak annoying

 

The Force Awakens literally berakhir dengan cliffhanger, cerita dibiarkan ‘menggantung di tebing’. The Last Jedi melanjutkan ceritanya tepat di kejadian itu, dan itu sama sekali di luar apa yang kita kira. Contoh simpelnya adalah Luke Skywalker yang tampak begitu cool sampe jadi intimidating saat didekati oleh Rey yang mengulurkan lightsaber, ternyata malah membuang senjata paling keren sealam semesta tersebut dalam fesyen yang mengundang kikik penonton. The Last Jedi memang mengeset ulang franchise Star Wars hampir seperti gimana Thor: Ragnarok (2017) merevitalisasi karakter dan persona Thor.  Jadi, Rey harus berusaha minta diajarin menggunakan The Force kepada Luke yang memilih mengasingkan diri. Sementara Poe, Finn, dan pasukan Resistance yang lain di bawah pimpinan Leia (serius, agak tercekat haru nih ngeliat Carrie Fisher, ihiks) berjuang sebisa mungkin untuk bertahan, sukur-sukur bisa melakukan serangan balasan, dari serangan First Order yang semakin nafsu memburu mereka. Yang paralel dari perjalanan para tokoh adalah gimana mereka sama-sama membutuhkan ‘spark’ untuk membalikkan keadaan; sebuah percikan yang bisa membuat mereka di atas angin dan semakin kuat. Namun, percikan apa sih yang dimaksud? Itulah yang harus mereka cari tahu.

Hakikat dari berjuang dan menang sebenarnya bukanlah ‘berhasil mengalahkan yang kita benci’. Melainkan adalah melindungi orang-orang yang kita sayangi. Cinta dan benci memang adalah perasaan yang intens yang kita rasakan terhadap sesuatu hal, terhadap orang lain, jadi in a way, cinta dan benci adalah perasaan yang sama, yang diekspresikan berbeda. Ini yang tercermin dari Kylo Ren dan Rey. Mereka basically adalah pribadi yang sama; mereka punya kekuatan yang sama, tapi mereka tidak bisa ‘melukai’ satu sama lain. Setidaknya belum, karena sesungguhnya lawan dari cinta bukanlah kebencian. Melainkan ketidakpedulian, sesuatu yang hampir saja dilambangkan oleh Luke dalam cerita epik kebingungan moral ini.

 

“Pada dasarnya, aku sama sekali enggak setuju sama setiap pilihan yang kau tulis buat tokoh Luke”, begitu pengakuan Mark Hamill ketika dia pertama kali disodorin skrip film ini oleh si sutradara. Luke Sykwalker memang benar-benar dibuat ‘tak disangka-disangka’. The Last Jedi adalah film yang lucu. Banyak lelucon kocak di sana-sini. Namun hebatnya, lucu-lucuan tersebut tidak pernah digunakan dengan mengorbankan karakter ataupun cerita ataupun pakem mitologi yang sudah ada. Semuanya bekerja dalam konteks. Buktinya, Luke Skywalker tidak jatoh konyol. Malahan, dia adalah salah satu karakter paling keren dalam film ini. Salut itu pantas juga kita berikan buat Mark Hamill yang jelas bekerja profesional. Semua arahan yang diberi kepadanya berhasil dia eksekusi dengan meyakinkan. Ada eksplorasi mengapa karakter ini mengasingkan diri, Luke bergulat dengan sebuah tragedi masa lalu, semua itu ditampilkan dalam visi yang sangat sangat berbeda. Aku gak pernah tahu aku ingin melihat Luke yang seperti ini, dan hasilnya memang sangat keren.

Sebagai seri kedelapan dari seri film populer, akan sangat sia-sia jika mereka enggak bermain-main dengan referensi dari film-film sebelumnya. Justru adalah hal yang wajar jika mereka melanjutkan sistem yang sudah ditetapkan, merecognize aspek-aspek dunia dalam cerita mereka. The Last Jedi toh memang memasukkan adegan referensi, akan tetapi tidak semata sebagai penghibur buat penggemar Star Wars. Enggak terasa seperti mereka memasukkan hal begitu saja supaya kita bisa “hey lihat itu si anu”, kayak di Rogue One (2016) di mana kehadiran C-3PO tampak sekedar dimasukin aja. Alih-alih demikian, yang dilakukan oleh film ini adalah memasukkan hal-hal yang sudah terestablish, merecognize pakem dan kelemahannya, dan eventually mempertanyakan hal tersebut lewat karakter baru, yang masuk akal dong kalo si karakter ini enggak punya pengetahuan tentang itu. Misalnnya ketika film ini mengeksplorasi gimana Jedi yang udah seperti semacam aliran kepercayaan, dipertanyakan aturan-aturannya oleh Rey, dan sebagai jawabannya, film actually melandaskan pakem baru yang sangat mengejutkan.

Tokoh di film ini udah kayak Big Show, sering ‘turn’ antara baik dan jahat

 

Penampilan Daisy Ridley seolah berkata “Lihat gue, gak nyesel kan lo udah milih gue sebagai Rey!” Cewek ini dahsyat banget kalo udah urusan adegan-adegan dramatis dan bagian-bagian berantem. Tokoh Rey dibentuk dengan sangat baik sebagai protagonis utama, dia kuat, dia mau belajar, dan dri berbagai pilihan yang dia ambil jelas tokoh ini bergerak dalam moral kompasnya sendiri. Menurutku, secara karakterisasi, si Rey inilah yang paling dekat dengan Anakin. Kupikir film berikutnya akan mengeskplorasi gimana Rey adalah apa yang terjadi kepada Anakin jika dia tidak menyeberang ke Dark Side.

Tokoh favoritku di film ini, bagaimanapun juga, adalah Kylo Ren. Penampilan emosional yang sangat luar biasa dari Adam Driver. Kita sudah dapat melihat sedari Episode VII bahwa Ben Solo adalah karakter yang sangat conflicted. Dia bukan antagonis biasa, dia lebih dalem daripada itu. Dia adalah petarung yang belum matang, dia diliputi kemarahan, dia belum siap, dan di Episode VIII ini kita akan lebih mengerti kenapa. Kita jadi dapat melihat alasan dia begitu mengidolakan Darth Vader, meskipun aspek ini diberitahukan impisit oleh narasi. Kylo diberikan kesempatan untuk bersinar di sini. Aku suka koneksi yang tercipta antara Ren dengan Rey. Aku sungkan untuk ngebahas lebih banyak soal ini, karena menurutku ini adalah aspek terpenting cerita yang harus kalian alami sendiri.

Semua tokoh diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan. Bahkan Chewie dan BB-8 dikasih momen tersendiri. Arc si Poe juga cukup menarik. Aku suka gimana tadinya dia melanggar perintah Leia, dan kemudian di babak akhir, dia berada di posisi pemberi perintah dan guess what; dia mendapati perintahnya dilanggar. Masalahku hanya ada pada ceritanya si Finn. Secara berkala, narasi akan membuat kita mengikuti petualangan Finn bersama tokoh cewek baru, Rose. Mereka punya misi mencari seorang pemecah kode, jadi dua orang ini pergi ke sebuah planet. Aku enggak bisa menikmati bagian ini, karena setiap kali kita balik ke mereka, cerita menjadi melambat. Malahan, hampir terasa seperti menjadi sebuah cerita lain, sebuah film pendek petualangan ke planet yang bahkan gak terasa seperti planet dari galaksi far far away. Setting lokasi yang Finn dan Rose datangi adalah setting yang gak aneh bagi kita penduduk Bumi. Dan yang  mereka lakukan juga gak benar-benar menarik. Terasa seperti detour yang gak diperlukan. Tentu, apa yang mereka kerjakan tersebut memiliki dampak di akhir cerita, semuanya ada koneksi, hanya saja mestinya ada cara yang lebih baik dalam menceritakan ini.

 

 

Yang perlu aku tekankan adalah film ini membuatku terhibur, amat malah. Maksudku, Luke malah jadi kayak Goku di sini hahaha. Dan setelah nonton dua kali, teoriku soal ‘Luka Adalah Yoda’ masih belum tertutup gagal seratus persen, asal jangan diartikan secara harafiah tentunya; Anak kecil yang nonton juga pasti tahu Luke dan Yoda adalah dua makhluk yang berbeda. Namun, kesamaan arc mereka sangat mencengangkan, penggemar sejati pasti ngerti deh apa yang kumaksud. Secara struktur, however, ini adalah film yang bisa berdiri sendiri. Sebuah cerita pertengahan dari sebuah trilogy yang tidak terasa seperti bagian dari rangkaian produk. Film yang memiliki awal-tengah-akhir dari sudut karakter-karakter yang mampu membuat kita peduli. Pencapaian teknisnya juga luar biasa, sekuens aksi dengan wide shot tercantik yang bisa kita harapkan dari film fantasi seperti ini. Ada sekuens yang belum pernah kita saksikan dalam franchise Star Wars. Mitologi Jedi pun mendapat penggalian yang lebih dalam, ada pengetahuan baru yang bisa kita dapat mengenainya. Dan setelah menonton film ini, kita akan memohon semoga semua petualangan awesome itu tidak pernah berakhir.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STAR WARS: THE LAST JEDI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kami mau ngucapin terima kasih buat kamu-kamu yang udah sudi mampir baca dan bahas film di sini sehingga My Dirt Sheet jadi kepilih sebagai nominasi Blog Terpilih Piala Maya 6.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

JUSTICE LEAGUE Review

“One Nation, Under Fear”

 

 

Superman is Dead.

Bukan, itu maksudnya bukan mau nyebut nama grup band. Superman sudah mati adalah apa yang ingin dieksplorasi oleh sutradara Zack Snyder dalam kisah superhero gabungan dari dunia DC Comics ini. Superman sudah laksana harapan bagi semua orang, dan ketika dia tiada apakah itu otomatis berarti tidak ada harapan lagi?  Lantas, apa yang mesti kita lakukan sekarang, hidup tanpa harapan? Dalam beberapa adegan pertama kita melihat dampaknya; dunia sendu, kriminal naik. Ketakutan actually merundung kota sampai-sampai pasukan monster yang memakan rasa takut datang bertamu tanpa malu-malu. Untungnya, Batman masih ada di sana. Wonder Woman juga. Para pahlawan itu masih ada, namun bahkan mereka butuh harapan. Batman eventually harus mengumpulkan manusia-manusia super sebanyak yang dia bisa cari, demi mengalahkan kekuatan jahat yang lebih besar datang bersama monster-monster pelahap rasa takut itu.

asal Gal Gadot yang ngajak, aku sih selalu iyes

 

Dunia tanpa Superman adalah tempat yang menyeramkan. Ketakutan merajalela, dan orang-orang dikontrol olehnya. Pihak-pihak tinggi besar, seperti Steppenwolf, akan memanfaatkan keadaan, menggunakan ketakutan masyarakat sebagai alat untuk mewujudkan keinginan pribadinya yang serakah. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita masih bisa mengenali pahlawan kita. Siapa yang bakal menjadi Superman buat kita?

 

Film Justice League akhirnya menegakkan perdamaian di antara dua kalangan fans superhero. I mean, tau dong kalo selama ini baik fans Marvel ataupun fans DC selalu ngotot-ngototan mengenai film mana yang terbaik. DC terkenal dengan film yang kelam, sedangkan Marvel punya tone cerita yang lebih ringan, dan Justice League kali ini berusaha berada di dalam irisan dua zona itu.  Film ini SURPRISINGLY LIGHT-HEARTED. Ada banyak humor yang tercipta dari interaksi para manusia-manusia super itu, dan mendengar mereka bicara dan bertingkah seperti demikian sungguh sebuah pemandangan yang keren. Antara tone yang kocak dengan elemen yang lebih serius film ini memang tidak bersatu dengan mulus, tetapi mereka tetap bekerja dengan menyenangkan.  Hal ini tercapai karena Justice League bisa dibilang adalah plethora dari ngumpulin ‘superhero’. Zack Snyder sempat mundur dari produksi karena tragedi keluarga dan Joss Whedon – yang menulis dua film The Avengers – mengambil alih dan melakukan banyak reshots. Justice League mengalami kesulitan produksi dan tetap saja produk akhirnya berdiri gagah sebagai tayangan pahlawan super yang ringan, asyik untuk ditonton, yang berhasil bikin kedua kubu fans menyadari bahwa mereka ada di sini karena hal yang mutual; sama-sama suka aksi superhero.

Salah satu yang patut kita syukuri adalah DCEU bermurah hati memberi kita Wonder Woman dua kali di tahun ini. Gal Gadot sekali lagi memainkan perannya dengan sangat menawan, selalu memukau melihat Wonder Woman beraksi. Dia salah satu bagian terbaik yang dipunya oleh film ini. Batmannya Ben Affleck kuat di karakter, namun aku merasa sedikit kasihan sama Batman dalam hal kekuatan. Sama seperti ketika melihat Piccolo di saga terakhir Dragon Ball, Batman seperti teroverpower. Ada dialog dengan Alfred ketika mereka mengenang betapa mudahnya dulu ketika masalah yang mereka hadapi hanyalah bom pinguin. Bruce Wayne adalah yang paling merasa ketakutan, tapi dia tidak menunjukkannya, dan itulah sebabnya kenapa Batman adalah pemimpin yang hebat buat grup ini.

bertarung antara hidup dan mati, dan yang kita komenin adalah keteknya yang enggak lecet

 

Kita akhirnya dikasih liat seperti apa kemampuan The Flash, Aquaman, dan Cyborg. Ketiga orang ini keren banget. Aku definitely akan menonton Aquaman, Jason Momoa memainkan tokoh ini kayak sosok paman yang cool banget, dan menurutku kita hanya dikasih liat separuh dari kekuatan aslinya. Ezra Miller sebagai The Flash, dan tokoh ini kocak banget. Too bad kita enggak melihat backstorynya lebih banyak karena aku punya satu pertanyaan yang ingin aku konfirmasi; The Flash suka nonton Rick and Morty juga? Hihi… Cerita latar karakter yang diperankan Ray Fisher, si Cyborg, sebenarnya adalah yang paling menarik, yang paling paralel dengan tema ketakutan yang dijadikan inti film. Cyborg ‘dibuat’ oleh ayahnya sendiri lantaran si ayah enggak mau kehilangan anaknya yang terkena ledakan. Tapi Cyborg justru takut, dia enggak bisa mengendalikan, kerobotannya akan menimbulkan masalah.

Dua jam yang diberikan Warner Bros buat film ini nyata-nyata enggak cukup. Ada banyak tokoh yang harus dikenalin, yang harus diestablish. Film ini berusaha memanfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan referensi-referensi, tapi tetap saja masih terasa buru-buru. Film ini memang mengandalkan pengetahuan penonton terhadap latar para tokoh, dan ini dapat menjadi masalah buat penonton yang gak baca komik, karena akan ada banyak hal yang tak mereka mengerti. Also, keenam superhero kita  kurang terasa sebagai satu unit. Kita perlu melihat mereka berusaha mengesampingkan tujuan personal supaya kerja sama mereka ada bobotnya. Film tidak memberikan kita hal ini.

Taklukan ketakutan sendiri demi membebaskan diri dari batasan personal. Lakukan ini dan kita semua akan siap untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

 

Adegan-adegan aksinya sangat seru. Kita melihat setiap superstar dapat ‘tugas’ masing-masing. Film ini ngeset up Justice League untuk menghidupkan kembali Superman. And once they do, kita mendapat adegan yang paling aku suka seantero film. Malahan, Superman jadi tokoh yang keren banget di sini. Kalian harus lihat sendiri apa yang dilakukan oleh film terhadap Clark Kent sebagai superhero yang hidup lagi. My issue buat film ini adalah stake yang dihadirkan nyaris tidak terasa sama sekali. Kita tidak merasa dunia benar-benar berada dalam bahaya. Contohnya saja pas di pertempuran terakhir. Film memberi tahu ada lumayan banyak penduduk di sekitar tempat mereka bertempur. Akan tetapi, kita hanya dikasih liat keadaan satu keluarga saja. Sense of danger itu dengan cepat terminimalisir, lantaran tak terbuild up dengan sebagaimana mestinya.

Dengan tone yang sangat ringan saja, tema tentang ketakutan udah tergeser banget menjadi latar belakang. Ditambah lagi, musuh yang mereka hadapi tidak pernah benar-benar tampak menakutkan. Steppenwolf adalah monster yang kuat, film juga mengambil sedikit waktu untuk memperlihatkan backstorynya. Adegan pertempurannya dengan suku Amazon di pulau asal Wonder Woman merupakan salah satu aksi paling exciting yang dipunya film. Namun sebagai karakter, Steppenwolf sangat lemah. Dia tidak lebih dari monster CGI yang ingin menguasai dunia. Presencenya enggak kerasa. Kita enggak ngerasain urgen ataupun bahaya yang mengancam tim superhero. Mereka tidak pernah tampak benar-benar di ujung tanduk, bahkan sebelum Superman datang.

 

 

 

Film ini terasa less-Snyder, dan lebih ringan dari yang kita kira. Keren dan seru dan mengasyikkan melihat para superhero saling berinteraksi dengan komedi, enggak terkungkung bersikap serius. Film ini mudah untuk dinikmati. Tapi sometimes, menjadi terasa terlalu jinak. Kita tidak merasakan ketakutan, tidak ada sense of danger yang serius terasa. Dua jam memang tidak cukup untuk mengembangkan ceria dengan tokoh sebanyak ini. Pengembangannya terburu-buru, The Flash malah bergabung gitu aja karena dia gak punya teman. Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for JUSTICE LEAGUE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

THOR: RAGNAROK Review

“We would have all been the same anywhere else”

 

 

Apa sih sebenarnya pekerjaan dewa-dewa? Maksudku, apa tepatnya yang mereka lakukan di atas sana, tugasnya ngapain aja; masa iya sepanjang waktu mereka cuma duduk di singgasana mengawasi rakyat sambil makan anggur.  Dalam dunia film, sutradara bisa dikatakan sebagai dewa, sutradaralah yang mengontrol semua – memastikan setiap elemen film bekerja membentuk kesatuan sesuai dengan visi yang ia inginkan. Dan tugas sebenarnya seorang sutradara ialah menciptakan tubuh naratif tersendiri dan menampilkan dengan keaslian. Taika Waititi dapat melihat bahwasanya cara terbaik menginterpretasi tokoh Thor adalah memandangnya sebagai tokoh komedi aksi. Sedari film-film awalnya, juga ketika muncul di Avengers, ada sense of humor yang terkandung di dalam tokoh dewa dari dunia lain ini. Ada dinamika menarik antara sikap hot-head dan jiwa pembela kebenarannya. Jadi, Waititi menggunakan keahlian terbaiknya ketika ditunjuk sebagai sutradara. Apa yang tepatnya ia lakukan? Basically, Waititi menghancurkan aspek serius dari dua film Thor sebelumnya, menyuntikkan berdosis-dosis komedi, sehingga baik dalam konteks cerita maupun penokohan, tokoh (sekaligus film) Thor benar-benar harus memulai dari awal.

Thor: Ragnarok adalah film superhero paling lucu yang pernah dikeluarkan oleh Marvel Studio. Definitely yang terbaik dari seri film solo Thor. Narasinya banyak bermain-main dengan gimmick dewa-dewi Asgard, bersenang-senang dengan trope karakter-karakter superhero Marvel. Yang perlu diingat adalah bermain-main bukan berarti enggak serius. Bersenang-senang bukan berarti melupakan nilai seni. PADA FILM INI SENI ADALAH KOMEDI, pada bagaimana dia bermain-main.

Komedi yang quirky menjadi pesona utama yang membuat film ini berdiri paling tinggi, bahkan di antara film-film superhero komik yang lain. Tidak hanya membuat tokoh dengan kekuataan super itu membumi layaknya manusia seperti kita-kita, yang mana begitulah formula superhero yang baik; setiap tokoh pahlawan harus bisa kita lihat sebagai orang biasa. Dalam film ini para tokoh dibikin ‘enggak keren’. Mereka begitu off-beat. Thor adalah seorang yang konyol, yang sering gak nangkep suatu poin, sekaligus sosok yang kharismatik dan tangguh. Loki, menyamar menjadi Odin, menciptakan teater sandiwara yang bercerita tentang epos kepahlawanan dirinya, hanya supaya rakyat lebih ngeworship dirinya yang dipercaya publik sudah meninggal.

Gestur-gestur kecil buah dari reaksi emosional manusiawi membuat film ini menyenangkan. Gini, jika kalian pernah membayangkan gimana kalo kita menjadi dewa atau punya kekuatan, maka dalam bayangan tersebut sosok kita pasti bakal keren banget. Sok cool gitu. Namun tidak seperti itu di dalam kenyataan, kecanggungan kita enggak hilang hanya karena kita seorang dewa. Memegang pedang keren bukan berarti kita otomatis berhenti nyengir di depan kamera. Tampil gagah dan tampak keren bukanlah job desk seorang pahlawan atau dalam film ini, dewa. Thor: Ragnarok enggak berpaling dari reaksi-reaksi manusiawi, ia malah mengambil sisi humor darinya. Kita akan melihat Hulk mengumpat kesal, Dewi Kematian ngibasin rambut panjangnya sebelum berantem, dan tak jarang seorang karakter meralat kata-kata bijak yang sedetik lalu ia ucapkan, karena keadaan berubah natural dengan cepat dan udah gak sesuai lagi ama konteks yang ia sampaikan.

Bisa-bisanya Kat Dennings malah absen saat film ini jadi komedi

 

Arahan Waititi berhasil mengeluarkan yang terbaik dari para aktor. Tidak banyak dari kita yang melihat potensi komedik dari Chris Hemsworth, dan di film ini kita akan dibuat sangat melek. Kerja komedi Hemsworth sangat marvelous, delivery – timing – ekspresi, renyah semua berhasil bikin ngakak. Pada adegan Thor hendak dicukur, aku benar-benar meledak ngakak, it really hits home for me. Seperti pada dua film komedi terakhirnya, What We Do in the Shadows (2015) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), Waititi mengandalkan kepada hubungan antar karakter untuk menghantarkan kita melewati plot poin satu ke poin yang lain. Aku belum pernah melihat interaksi antara dua superhero paling fresh dan semenyenangkan antara Thor dengan Hulk di film ini. Aku gak mau beberin banyak soal Hulk, jadi, ya secara garis besar peran Mark Ruffalo ini terdevelop dengan cukup banyak, personalitynya nambah, dan aku pikir elemen-elemen baru dari Hulk akan memancing reaksi berbeda dari penonton. It’s kinda love it or hate it. Buatku pribadi, aku suka. Tokoh Hulk ini memang rada tricky untuk dikembangkan, dan selama ini ia hanya jadi powerhouse sebagai ekualiser kekuatan musuh. Dalam Ragnarok, dia ada kepentingan lebih dari  sekadar “friend from work” untuk berada di sana, meski dia sendiri enggak sadar. Thor menyebut kelompok kecil mereka sebagai Revengers – kumpulan orang-orang yang punya dendam kepada Hela, dan cuma Hulk yang bengong karena enggak merasa ada dendam apa-apa. Peran Hulk di sini adalah sebagai cermin buat Thor, karena jauh di dalam, kedua orang ini adalah pribadi yang punya banyak kesamaan.

Ramalan Ragnarok sudah hampir terwujud. Bayangkan ramalan suku maya 2012, hanya saja ramalan ini adalah kenyataan buat Thor. Demi mencegah itu terjadi, Thor langsung bertindak  Dia enggak mau Asgard hancur.  Mimpi buruk semakin nyata ketika Odin meninggal, dan kekuatan yang selama ini disegel oleh Bapak Thor itu terlepas. Thor dan Loki akhirnya berkenalan dengan kakak sulung mereka, Hela di Dewi Kematian. Namun tentu saja itu bukan jenis perkenalan yang mesra dan penuh peluk rindu. Ini adalah perkenalan yang literally menghancurkan Mjolnir, palu andalan Thor. Drama keluarga dewa tersebut beralaskan darah dan air mata. Hela menuntut tahta, dia menginginkan Asgard kembali seperti zaman kekuasaan ia dan Odin dahulu. Segera saja, Thor menemukan dirinya kehilangan semua. Kehilangan ayah, kehilangan saudara, kehilangan senjata, kehilangan tanah air. Thor sempat terdampar di planet berisi orang-orang terbuang, di sana dia dijadikan gladiator, dan di situlah dia bertemu kembali dengan Loki, Hulk, dan banyak teman baru. Jadi sekarang, setelah kekuatan dan pasukan terhimpun, Thor harus bergegas mencari jalan untuk kembali ke Asgard, untuk mengalahkan Hela demi mencegah Ragnarok terwujud.

Nasionalisme tak pernah adalah soal tempat. Selama ini kita terkotak-kotak oleh batas negara, oleh batas wilayah, sehingga tercipta ilusi persatuan terbentuk atas kesamaan tempat, kesamaan asal usul, kesamaan kampung halaman, that we have to protect the place. Tapi enggak, persatuan adalah soal rakyat. Tidak peduli di mana kita, tidak peduli pribumi atau nonpribumi, ketika kita hidup berkelompok – kita sejatinya menumbuhkan perasaan menyatu atas apa yang kita hadapi bersama. Dan ketika orang berperang atas nama nasionalisme, bukan tempatlah yang dipertahankan. Melainkan persatuan.

 

Selalu menarik melihat penjahat yang punya motivasi dan kebenaran pribadi, dan ia memegang teguh sudut pandangnya itu dengan intensitas yang tinggi. Cate Blanchett memerankan salah satu penjahat yang paling kuat dalam dunia superhero Marvel, Hela tampak berbahaya, dia actually mampu membunuh banyak prajurit. Penampilan akting Blanchett yang meyakinkan hanya membantu tokoh itu stand out lebih jauh lagi. Jika dibandingkan dengan Hela, tokoh Loki dalam film ini akan terlihat sangat lemah. Namun bukan berarti God of Mischief ini terkesampingkan. Tom Hiddleston justru tampil lebih mendua di sini, ekspresinya poker face banget, kita enggak tahu pasti kapan Loki beneran ikhlas membantu, kapan dia memainkan muslihat untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ada paralel yang menarik antara ketiga anak Odin ini. Thor, Loki, dan bahkan Hela sebenarnya sama-sama pengen menyelamatkan Asgard, untuk kepentingan yang berbeda. Khusus untuk Hela, ini menjadi semacam history melawan herstory. You know, jika kalian kalah, nama kalian akan keluar dari sejarah. Akan tetapi, baik si kalah maupun si menang punya catatan sejarah sendiri. Loki, di awal film, jelas-jelas ingin membangun sejarahnya sendiri dengan theater sandiwara itu. Dalam film ini ada satu tokoh baru, pejuang cewek yang merupakan mantan Valkyrie – semacam militer Asgard, pasukan khusus cewek.  Dia adalah satu-satunya Valkyrie yang tersisa dan ia menyimpan tragedi  Valkyrie itu rapat-rapat, sebab pihak yang kalah tidak punya kendali atas sejarah.

 

Penceritaan Thor: Ragnarok tidak dibuat dengan terlalu rumit. Set up dan penyelesaiannya dirangkai sederhana, adegan pembuka film  masih nyambung dengan ending. Beberapa penonton mungkin bermasalah dengan tone ceritanya, narasi seperti terbagi menjadi dua; komedi dan eksposisi. Kita akan sering bolak-balik antara kedua bagian ini, dan sesekali menemukan aksi seru di antaranya. Sebagaimana layaknya komedi  ada punchline di setiap akhir poin cerita. Secara visual pun, film ini bermain-main. Banyak penggunaan angle yang tak-biasa dalam menangkap adegan. Efeknya bagus tapi itu sudah kita semua harapkan. Sekuens aksinya, however, terekam dengan sangat fun. Pacenya cepet dengan begitu banyak yang mata kita bisa nikmati per bingkainya. Lagu Immigrant Song tepat sekali menjadi musik tema, dan film ini tahu persis kapan dan di mana harus menggunakannya. Semua penilaian tersebut, semua aspek komedi sampai ke bagian terkecil bekerja dengan sangat baik, tentu saja mengacu kepada penyuntingan yang benar-benar jawara.

Yaaahh yoyo saktinya hancur

 

Salah satu yang sering menjadi hambatan buat film-film Marvel adalah kepentingan untuk merangkai dengan judul lain, bahwa terkadang film bisa menjadi seperti setup gede untuk film lain. Kita akan melihat banyak cameo yang enggak ada hubungannya ama cerita. Pada Thor: Ragnarok juga dijumpai aspek ini. Thor sempat berurusan dengan Doctor Strange, yang sebenarnya bisa dihilangkan atau diberikan peran yang lebih besar lagi. Narasi memainkan cameo sebagai bahan komedi, sehingga membuat kita bisa memaafkan bagian cerita yang kurang signifikan ini.

 

 

Superhero Marvel sedari awal memang diceritakan dengan light-hearted, dan Waititi enggak malu-malu untuk mengubah film ini menjadi komedi yang tentu saja ringan. Namun bukan berarti tidak serius. Para aktor kelihatan sangat menikmati permainan peran mereka, bahkan Waititi sendiri turut nampil sebagai Korg si alien batu yang memperkuat departemen komedi. Di sini para karakter dibuat self-aware, dibuat gak keren-keren amat, dan itu hanya akan membuat mereka menjadi lebih populer dan dekat kepada penonton. Kita mungkin bisa enggak peduli sama mekanisme dan mitologi Asgard yang jauh banget dari Bumi, akan tetapi apa yang mereka lakukan – apa yang mereka hadapi terasa dekat. Ini adalah sajian superhero paling lucu yang bahkan enggak perlu menjadi kasar untuk bisa mencapai kelucuan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for THOR: RAGNAROK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE DARK TOWER Review

“Mind over matter”

 

 

Jake Chambers punya mimpi. Mimpi buruk sekali. Ada menara hitam menjulang tinggi, seolah menopang seluruh semesta. Anak-anak diculik oleh sekelompok orang yang kulit wajahnya bisa melorot. Lalu ‘pikiran’ anak-anak itu diperas untuk meruntuhkan menara tersebut. Dan Jake melihat Pria berpakaian hitam berlari di gurun, diikuti oleh seorang Gunslinger. Perang sedang berlangsung di suatu tempat. Sesuatu yang buruk sedang terjadi terhadap dunia, Jake sadar mimpinya berhubungan erat dengan gempa yang semakin sering terjadi di kota tempat dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Tapi tentu saja enggak ada yang percaya. Malahan, alih-alih senang anak punya imajinasi yang hebat, demi melihat sketsa-sketsa yang digambar Jake untuk menjelaskan mimpinya, Ibu Jake yang cakep itu malah hendak mengirim Jake ke rumah sakit jiwa. Jake kabur, dia lantas menemukan sebuah portal yang membawanya ke dunia yang ia lihat lewat mimpi. Tak lama bagi Jake untuk bertemu dengan Gunslinger, mereka bertualang bersama. Untuk menyelamatkan dunia. Serta membalaskan dendam personal si Gunslinger kepada si Penyihir berbaju hitam.

Kecuali kalian punya pistol, percaya sajalah pada mimpimu.

 

Setiap kali kita hendak mengadaptasi entah itu novel, anime, serial tv, atau bahkan film dari negara lain, menjadi sebuah film, kita akan selalu menemukan masalah. Ekspektasi dari fans akan senantiasa tinggi, mereka akan minta film yang semirip mungkin ama source materialnya, dan itu bisa jadi penghalang kreativitas yang dimiliki oleh pembuat film. Jika ada yang aku setujui dari pola pikir Vince McMahon dalam menyuguhkan konten acara gulat WWE, maka itu adalah bahwa fans enggak tahu apa yang mereka mau. The Dark Tower benar-benar menerangkan DEFINISI ‘ADAPTASI’ kepada fansnya. Cerita The Dark Tower diangkat dari seri terkenal dari salah satu author horor favoritku, Stephen King, dan aslinya cerita ini ada delapan buku. Ketika jadi film, tim penulis skenario tidak mengambil satu buku dan meringkasnya. Film ini mengambil resiko; mereka ngemash up kejadian kedelapan buku sekaligus! Aku belum ngatamin membaca semua seri The Dark Tower, maka buatku film ini adalah sebuah petualangan aksi supernatural yang oke-oke saja. Suka amat enggak, sepele juga enggak. Ada fun juga deh ngikutin petualangan yang satu ini. Tapi meski begitu, aku bisa menebak para fans dari serial ini akan kecele berat, karena film jelas akan sangat berbeda dengan apa yang sudah mereka nanti-nantikan.

Ketiga tokoh sentral The Dark Tower  berkembang lewat kemampuan mereka menggunakan mental yang kuat, lebih daripada kemampuan fisik. Jake punya bakat psikis yang luar biasa. Penjahat utama film ini adalah seorang penyihir yang mampu memerintahkan orang lain melakukan apa yang ia sampaikan kepada mereka. Dalam salah satu jampi-jampinya, si Gunslinger bilang bahwa ia membunuh bukan dengan pistol, melainkan dengan hati. Kedisiplinan pikiran sejatinya bisa mengalahkan kekuatan otot. Latihlah kekuatan otak, imajinasi, dan keyakinan hati sebelum belajar untuk menggunakan fisik sebagai solusi.

 

Langsung keliatan beda adalah tokoh utamanya. Bukan lagi kepada Gunslinger, film menempatkan kita ngikutin Jake Chambers. Alasan yang terpikirkan olehku adalah karena cerita tentang remaja bermasalah dianggap mewakili lebih banyak kalangan penonton; untuk alasan yang sama juga kenapa kita mendapat adaptasi Stephen King yang berating PG-13, padahal King punya nama bukan sebagai pengarang novel young adult. Apart from that, aktor muda Tom Taylor memerankan Jake dengan mumpuni. Dia dapet range karakter yang lumayan luas, dari yang tadinya pendiam menjadi pemarah, dia melalui banyak perasaan emosional. Stephen King adalah master dari cerita balas dendam, tokoh Roland si Gunslinger meski agak kedorong ke belakang, namun kita masih bisa ngerasain elemen personal yang menghantui dirinya. Mata Idris Elba menyimpan banyak emosi. Jake dan Roland selain punya hubungan yang menyentuh hati juga diberikan momen-momen humor yang terdeliver bagus. Seperti pada Wonder Woman (2017), ada aspek fish-out-of-water yang menghibur saat Jake belajar tentang dunia Roland, dan begitu juga sebaliknya saat Roland dilarang ngeluarin – bahkan bicara tentang – pistol di Bumi kita.

Tokoh antagonisnya lah yang sedikit membuat aku khawatir. Menjelang The Dark Tower rilis, aku ngadain pemutaran spesial film-film adaptasi Stephen King setiap malam di kafe eskrimku (boleh kaka cek insta kita di @warungdaruratbdg ~~), filmnya enggak semua bagus, dan tokoh jahat cerita-cerita itu kerap menjadi terlalu over the top. Matthew McConaughey is kinda perfect mainin Man in Black yang licik kayak ular. Gaya bicaranya worked really well. Dia tampak menikmati perannya. Masalah datang dari si tokoh sendiri; he’s just an evil powerful sorcerer. Kita enggak diberikan pengetahuan soal kenapa dia ingin menghancurkan menara dan memanggil monster-monster itu. Darimana dia bisa ngumpulin organisasi Wajah M’lorot, apa motivasi terdalamnnya. Kita enggak mendapatkan semua itu. Kita hanya mendapat apa yang kita lihat di permukaan, dan menurutku ini sangat mengecewakan.

Secara lengkapnya, ‘mantra’ yang dikumandangkan Roland sebelum beraksi berbunyi “I do not kill with my gun; he who kills with his gun has forgotten the face of his father. I kill with my heart.” Dengan penekanan kepada ‘(who) has forgotten the face of his father.’ Ada tema tentang ayah yang juga diparalelkan dengan kehidupan Jake. Orang yang melupakan wajah ayahnya, dalam artian tidak lagi orang tersebut ingat latar belakang dirinya sendiri, adalah orang yang tidak pantas untuk memegang senjata; dalam hal ini bisa diartikan sebagai enggak pantas untuk memegang power. Sebab dia tidak lagi ingat apa yang mendasari motivasinya, dia tidak lagi punya kekuatan hati.

 

some of us will not forgot the face of Jake’s mother soon

 

 

 

Sayangnya, resiko yang berani diambil oleh The Dark Tower hanyalah sebatas ngerangkum keseluruhan buku dan ngurangin durasi. Masih ada hiburan serta pelajaran yang bisa kita ambil dari nonton ini.  Sekuen aksinya pretty good, banyak stunt dan spesial efek yang menarik. Hanya saja semuanya terasa terlalu konvensional. Tidak ada adegan ataupun momen yang benar-benar mindblowing. Lupakan juga aspek horor. Film ini jatohnya seperti film-film petualangan biasa sebab kita tidak pernah benar-benar merasakan pembangunan semesta cerita. Padahal sebagian besar dialog film ini wujudnya berupa eksposisi. Jake, dalam perspektif penceritaan, tak lebih dari sekadar device gampang untuk menghadirkan penjelasan universe. Dan tetap saja di akhir cerita kita sadar kita enggak belajar banyak mengenai dunia fiksi ini. The way they present certain things seolah semua penonton sudah punya pengetahuan dasar tentang serial bukunya.

Ngebangun cerita sudah semestinya jadi tujuan filmmaker demi membuat film yang bagus. Namun, seperti banyak film modern yang lain, film ini juga cenderung lebih fokus dalam membangun franchise instead. Ada banyak referensi terhadap karya Stephen King lain yang bisa kita temukan seakan-akan mereka ingin membuat Universe Stephen King. Kekuatan psikis yang dimiliki oleh Jake disebut “Shine” as in The Shining. Sebenarnya cukup annoying, tapi oleh karena aku lumayan bosen sama narasi film yang basic banget, aku toh jadi menikmati juga ketika melihat angka 1408, reruntuhan sirkus bertulisan Pennywise lengkap dengan balonnya, poster Rita Hayworth, mobil Christine, dan banyak lagi.

 

 

 

Enggak begitu buruk. Buat aku yang enggak nuntasin semua seri bukunya, film ini adalah tontonan yang bisa dijadikan hiburan, jika benar-benar enggak ada pilihan lain. Tapi buat fans berat, film ini bakal sama rasa mengecewakannya dengan diphpin ama cewek. Dengan source material sekompleks ini, film mestinya bisa menjadi lebih jauh lagi. Nyatanya dia tampil datar dan sangat konvensional. Mitologinya menarik, dengan background karakter yang mendalam. Namun film hanya membahas di permukaan. Tidak ada yang benar-benar berbeda yang bisa kita jadikan pengingat yang ikonik. Penampilan aktornya bagus; Elba dan MacConaughey is so great sehingga kita ingin meraih ke layar, mengangkat mereka, untuk dipindahkan ke film yang lain. Ibarat kata, film ini lupa membangun menara cerita terlebih dahulu untuk menopang semesta yang sekaligus berusaha mereka ciptakan.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE DARK TOWER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS Review

“History is written by the victors.”

 

 

Apalah artinya sejarah, cuma dongeng yang disepakati bersama. Dulu banget Napoleon pernah berkata begitu. Kalimat yang enak banget buat diperdebatkan, namun berdering benar dalam film science fiction terbaru garapan Luc Besson yang diadaptasi dari komik asal Perancis.

 

Satu ras alien nyaris punah lantaran planet hunian mereka meledak, sebagai korban dari peperangan antargalaksi. Bayangkan Batman berantem dengan Superman di tengah kota. Gedung yang hancur, nah seperti itulah nasib planet cantik yang kita lihat di adegan pembuka film ini. Catatan tentang peristiwa naas tersebut dihapus oleh sekelompok orang jahat yang enggak ingin ‘prestasi’nya diketahui umum karena bakal berpengaruh terhadap apa yang sudah mereka usahakan selama ini. Mayor Valerian mendapat premonition tentang peristiwa itu. Bersama partner in crimenya, Sersan Laureline yang kece, Valerian mencoba memecahkan apa yang terjadi sekaligus berusaha untuk membantu segelintir penyintas ras tersebut mengembalikan peradaban, menyelematkan mereka dari kemusnahan.

Valerian and the City of a Thousand Planets seharusnya dijuduli Valerian and the City of a THOUSAND AWWWWWW. Visual film ini benar-benar spektakuler. Kita bisa dengan gampang nulis artikel internet semacam “Seribu Hal yang Menakjubkan di Valerian” karena memang ada sangat banyak penampakan yang bikin kita takjub. Efek CGInya terender mulus banget. Film ini dengan sukses menghidupkan fantasi penggemar science fiction di seluruh dunia; ada banyak jenis alien yang muncul dan desain mereka semua amat kreatif. Yang membuat rasa tertarikku semakin terpancing adalah sense optimis yang terkandung di dalam ceritanya. Universe dalam film ini berpusat di sebuah stasiun luar angkasa luar biasa besar. Ribuan alien dan manusia tinggal harmonis di sana. Montase di awal membuat kita mengerti gimana perdamaian semesta itu  bisa tercapai. It’s weird, but it’s okay to dream, kan ya. I mean, toh membuatnya menjadi relevan dengan kondisi dunia. Di mana kita mengharapkan hal yang sama bisa terjadi di dunia. Film ini pun berhasil meletakkan kita ke dalam perspektif baru; sudut pandang survivor yang sebenarnya enggak ada kaitan langsung dengan perang.

Gajah sama gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.

 

Ini adalah petualangan luar angkasa yang seperti gabungan Avatar, The Matrix, dan yes, Star Wars. Meskipun begitu, film ini masih terasa orisinil. I have to say beberapa sekuens aksi film ini bakal bikin kita menahan napas. Valerian memanfaatkan konsepnya dengan baik, kita dapat menikmati contohnya di adegan kejar-kejaran antardimensi di Pasar. Di bagian tengah juga ada sekuen yang amazingly stunning di mana Valerian dengan suit pelindungnya berlari gitu aja, ‘menembus’ dinding-dinding, dan kita ngikutin dia melewati beragam environment dengan cepat. Permainan CGI yang luar biasa. Memang sih, beberapa  terasa seperti gabungan beberapa hal yang sudah pernah kita lihat, tetapi tetap teramat menarik karena dipersembahkan dengan lumayan unik. Adegan yang menyenangkan, nonetheless. Film ini punya banyak aspek untuk kita sukai.

Dalam kartun Dragon Ball kita belajar kalo sebuah planet intinya udah hancur, maka tidak butuh waktu lama buat keseluruhan planet tersebut runtuh dan menjadi debu di tata surya. Ini jualah yang menjadi masalah pada film Valerian; Inti narasi film ini tidak pernah benar-benar kuat. Jika kita liat dari dasar storytellingnya banget, maka kita akan menemukan kekecewaan. Narasi mengalami banyak pergantian tone, dan lebih sering ketimbang enggak, ceritanya highly uneven. Ada satu poin dalam narasi ketika kita mendadak diperkenalkan kepada tokoh yang diperankan oleh Rihanna. Kita ngeliat kebolehannya dia menari sembari instantly ganti kostum (udah kayak musik video), yang kemudian membawa kita ke adegan penyusupan yang kocak dan inovatif, untuk kemudian berakhir dramatis. Tonenya berganti dengan cepat, dan clashnya kentara sekali.

Valerian terutama bercerita dengan mengandalkan humor, dan untuk sebagian besar waktu enggak ada penonton yang tertawa. Ketika Valerian dan Laureline berinteraksi – Valerian menggoda, dan Laureline menepis dengan mau mau tapi dingin – humornya enggak nyampe. Datar. It just doesn’t work. And a lot of that datang dari ketiadaan chemistry di antara dua tokoh lead kita. Bantering keduanya kayak enggak punya jiwa. Kalaulah boleh diadu, permainan akting Cara Delevingne lebih meyakinkan daripada Dan DeHaan. Tokohnya pun memang lebih menarik Laureline sih. Bisalah disejajarin ama hero-hero wanita yang lagi hits sekarang. Cara memainkan tokohnya dengan level fierce yang pas, sehingga para penonton yang cowok pun bakal ikut penasaran ‘ngedapetin’ hatinya. Sebaliknya, Valerian malah terlihat seperti anak remaja yang pengen banget menjadi keren seperti Han Solo. Tokoh utama kita ini mestinya adalah seorang yang cocky, semau gue, lady-killer, dan ketika dibutuhkan; dia cakap beraksi. Tapi tidak sedetikpun dari dua jam lebih film ini aku percaya dan yakin kalo tokoh ini adalah space adventurer paling keren sealam semesta. Dan DeHaan adalah aktor yang cakap, tapi di film ini dia sangat enggak pas dengan peran yang ia dapatkan.

“ella ella eh eh”

 

Pretty much seluruh momen film ini disyut di hadapan green screen. CGI efeknya menawan. Gambarnya halus. Downsidenya memang adalah aktor-aktor yang terlibat bakal kesusahan untuk stay in character. Dan DeHaan serta Cara Delevingne cakep banget di kamera, beautiful people yang kamera udah jinak deh sama mereka. Namun berinteraksi dengan  practically nothing bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan. Kedua aktor kadang terlihat off, maka terang saja kita enggak begitu tersedot kepada petualangan mereka. Relationship mereka kayak dipaksakan, dialog yang mengisi ‘pacaran’ mereka berdua antara humor gak-kena dengan kalimat puitis seputar tumbuhnya rasa cinta yang bikin kita meringis geli.

 

Ketika dua kubu atau lebih beradu, pemenang dari benturan tersebut akan mengukuhkan diri. Dibuatlah catatan kemenangan gimana heroiknya peristiwa yang mereka alami. Sementara yang kalah, akan menjadi catatan kaki. Mereka ada dalam belas kasihan pihak yang, katakanlah, hidup untuk menceritakan kisahnya. Terlebih buat pihak yang jadi colaterral damage, yang sengaja dikorbankan. Mereka enggak akan disebut sampai ada celah bagi pemenang untuk memanfaatkan mereka demi keuntungan sendiri.   

 

 

Masih ada banyak kesenangan yang bisa didapat dari menonton film ini. Punya tampilan yang cantik, semarak oleh warna dan efek yang mulus. Mampu membangun universe yang spektakular dan benar-benar hidup. Film ini akan menumbuhkan banyak pengikut yang setia dan sangat passionate, yang masih akan membicarakan film ini bahkan setelah bertahun-tahun. Para penggemar yang masih akan cinta dan enggak akan peduli bahwasanya penceritaan film ini sangat uneven. Banyak pergantian tone, menghantarkan kepada humor yang enggak bekerja dari tokoh lead yang hampir punya sedikit sekali chemistry.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE MUMMY Review

“The hardest thing in the world is to accept that something is wrong with you, face the uphill road to recovery ahead, and realize that none of it makes you less than human”

 

 

Dalam The Mummy, kita akan diingatkan bahwa masa lalu enggak bisa dikubur selamanya. Yes, selamat deh buat yang berusaha move on, hidup pasukan “Always” Snape. Past will always find a way to bite us in the butt, dalam film ini masa lalu, ya, harafiah datang dalam sesosok mayat (or not, jeng jeng!!) kuno yang terkubur di dalam bumi, berbalut perban, dan beretina dua, per bola mata.

I love The Mummy (1999) with Brendan Fraser. Walaupun saat menontonnya aku belum tau mana film yang bagus, mana film yang jelek, namun paling enggak film itu menghibur. Ia seru, lucu, dan ketika beranjak ke elemen seram, whenever Imhotep berteriak menggelegar, aku sukses ngumpet di belakang sofa. Karena lagi puasa, aku gak boleh su’udzon bahwa franchise ini direboot demi lembaran tunai belaka. Faktanya, memang, The Mummy adalah bagian dari Dark Universe, dunia cinematic penuh oleh Gods and Monsters yang lagi digiatkan oleh Universal. Kalian tahu monster-monster klasik kayak Frankenstein atau Drakula? Nah, mereka semua dibuat ulang untuk kita pelototin sama-sama di bioskop.

Kali ini, tokoh utama kita adalah sejenis tentara yang suka ‘mengutil’ emas dan benda-benda berharga yang bisa ia temukan (dan cari) di medan perang, yang diperankan oleh Tom Cruise. Karena perangainya itu, Tom Cruise dan temennya yang berpangkat Kopral dikejar-kejar oleh pemberontak Irak, hingga mereka memanggil bantuan udara. Namun bukan hanya tentara ISIS saja yang kocar-kacir ditembak oleh helikopter, sejumlah besar massa tanah kota tempat mereka berada pun turut sirna. Menampakkan makam rahasia di baliknya. Seperti pada film pertama, mereka membuka makam tersebut, sehingga terlepaslah raga busuk jahat yang bersemayam di dalamnya. Tom Cruise dan teman-temannya, including cewek arkeolog yang kerjaannya diselametin melulu, musti berburu relik kuno. Sembari diuber-uber oleh badai pasir berwajah si mumi cewek.

“gue cium, kering lo!”

 

Meski memang ini bukan kali pertama ada mumi cewek, still Ahmanet sebagai main villain adalah sebuah tiupan angin segar. Sofia Boutella ngejual peran ini dengan amat baik. Dia adalah salah satu spot cerah dalam film ini. Dia nyeremin, dia sadis, pada satu titik dia berusaha terlihat baik menipu daya dalam menjustifikasi aksinya – tapi tetep aja I was like, “go away spider-mummy-woman!!”, dan dia kadang mirip Jupe. Film ini memainkan sudut baru dalam hubungan antara protagonis dengan antagonisnya, di mana ‘Sang Terpilih’ dalam cerita ini justru adalah cowok yang diuber untuk dikorbankan oleh wanita.

Film baru ini punya banyak sekuen aksi yang exciting dan menawarkan hal-hal fun. Desain produksinya juga kelas atas, filmnya terlihat keren. Spesial efek sekuen-sekuen tersebut are so good. Menurutku akan ada banyak penonton yang terhibur oleh aksi-aksi seru yang melibatkan tokoh-tokoh horor. Adegan pesawat jatuh adalah highlight terkeren sepanjang presentasi dan Tom Cruise sekali lagi membuat rekan-rekannya menderita lantaran dia enggak tanggung-tanggung dalam menjalankan adegan, terutama bagian action. Tom Cruise sekali lagi menunjukkan dedikasinya. Dia melakukan berbagai adegan dengan maksimal like no one else. Di sini, dia bukan hanya karismatis, tapi juga kocak. Tokohnya diberikan banyak dialog lucu, yang sebagian besar bergantung kepada waktu penyampaiannya. Dan his comedic timing is actually really excellent. Nick ia perankan sehingga menjadi gampang untuk disukai sebab tokoh ini juga bukan seperti peran-peran hero yang Tom Cruise biasa mainkan. Nick is a kind of dick. Dia lebih seperti penjarah daripada tentara yang mengayomi, serius deh, pada dasarnya dia bukan hero. Dia lebih kayak terjebak situasi, dia ada di sana, jadi sekarang dia harus deal with it. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku ngakak ngeliat Nick kabur gitu aja naik mobil, ninggalin ceweknya di tengah hutan, dia benar-benar gak berhenti, si cewek yang musti ngejar. Dan ketika dia bilang “kupikir parasutnya ada dua..” kita tahu itu jujur dari hatinya – ngorbanin diri enggak terlintas dalam pikirannya saat itu.

Kejahatan diibaratkan sebagai penyakit yang diam-diam bersarang di dalam diri manusia. Makanya, kejahatan juga bisa disembuhkan. Hal paling sukar di dunia adalah mengakui ada yang salah pada diri kita. Dan tentu saja, dibutuhkan keberanian yang luar biasa gede untuk mencari pertolongan saat kita menyadari kita punya ‘penyakit’ di dalam diri. Dan menerima kenyataan akan dua hal tersebut tidak mengurangi nilai kita sebagai manusia.

 

 

“Kita harus segera keluar dari sini, Nick!”
“Nick, gue digigit laba-laba!”
“Nick, let’s go, Nick!”
“Niii~~~iiickkk!!”

Sebagai sidekick, ada Jake Johnson. Di sini perannya sebagai sobat yang terus ngikutin ke mana tokoh utama kita pergi dengan komentar-komentar komikal. Pada awalnya, aku juga terbahak. You know, aku ngikutin serial New Girl, dan di sana Jake berperan sebagai tokoh yang bernama Nick. So begitu di film ini, dia kayak sengaja nyebut nama tokoh Tom Cruise setiap kali merengek, and it’s really funny hearing how he says it. Tapi tentu saja, karakter sidekick yang terlalu komikal seperti ini dengan cepat menjadi annoying. Kemunculan si Chris Vial actually dikurangi setelah babak satu, dan tetap saja setiap kali kesempatan langka di mana ia menampakkan diri, adegan dan komedinya enggak benar-benar bekerja dengan baik.

Ada dinamika yang dimainkan terkait dua tokoh wanita satu-satunya dalam film ini. Si mumi digambarkan sangat ‘aktif’, dia langsung mengincar cowok-cowok di titik terlemah kodrat mereka, sedangkan Jenny, si cewek arkeolog yang diperankan oleh Annabelle Wallis, diportray sebagai cewek baik-baik yang lebih kalem, yang jadi love interest tokoh utama. Ketika aku nulis tokoh ini ‘kalem’, ketahuilah itu sebenarnya aku berusaha ngebaik-baikin, karena tokoh Jenny ini, faktanya, adalah salah satu tokoh paling annoying dan paling enggak berguna dalam sejarah perfilman dalam kurun waktu dekat ini. Beneran, setelah kita melihat Wonder Woman (2017) yang tentang cewek luar biasa mandiri dan kuat yang diarahkan oleh sutradara yang juga cewek, The Mummy punya nyali untuk membawa kita mundur ke jaman jahiliyah di mana tokoh cewek yang dimilikinya completely totally useless. Jenny enggak nambah banyak buat cerita. Dia butuh untuk diselamatkan pada setiap kesempatan. Dia jarang sekali ngelakuin sesuatu yang berguna, dia enggak mecahin teka-teki, dia cuma ‘pesawat-sederhana’ yang membantu tokoh utama bepergian ke tempat yang dibutuhkan, dan kalo lagi enggak pingsan, kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya eksposisi belaka. JENNY ADALAH CONTON MODEREN DAMSEL IN DISTRESS PALING PAYAH.

“dunia belum berakhir, bila kau mumikan aku”

 

 

Secara garis beras, eh sori efek puasa hemm,… secara garis besar, narasi film ini tersusun oleh formula EKSPOSISI, AKSI, EKSPOSISI, AKSI, SETUP FOR DARK UNIVERSE, AKSI, EKSPOSISI, SETUP, DAN GITU SETERUSNYA. Sepuluh menit pertama actually adalah menit-menit panjang paparan melelahkan yang diceritakan langsung kepada kita oleh tokoh yang bukan tokoh utama. It just doesn’t make sense dalam hal gimana storytelling yang baik dan benar. Film ini memang terlihat sebagai usaha untuk memperkenalkan Universe yang sedang dibangun oleh Universal, sehingga mereka lupa untuk bercerita dengan asyik, seperti layaknya film yang berdiri sendiri. Tokoh di awal film, akan muncul lagi di pertengahan, dan meski sebenarnya aku gak ada masalah sama Russel Crowe – he’s really good seperti biasa dan tokoh yang ia perankan benar-benar menarik – namun tetap saja kehadirannya menambah sesak suasana. Malahan, melihat Russle Crowe dan Tom Cruise ngobrol berdua di film ini, rasanya amazing banget, kayak ngeliat dua main eventer WWE just kill it on the mic.

The Mummy tidak punya arahan emosional yang lurus. NARASINYA SUMPEK. Fokusnya pada set up untuk film berikutnya, juga tentu saja ada homage untuk seri terdahulu. Adegan-adegan aksi yang exciting diselingi oleh eksposisi yang memberatkan – mereka bahkan ngerasa perlu untuk benar-benar mengungkapkan seberapa jauh jarak dari Mesir ke Persia. Dan semua itu adalah karena film ini ditulis dengan keroyokan. Cek deh ke imdb, writernya ada enam kepala. Ceritanya dikembangkan oleh banyak pendapat dan memang kelihatan; jadi gak heran kenapa screenplay film ini jadi terasa tidak teroganisir dengan baik. Film ini lebih ke action, despite naturally punya elemen horor, dan malah resort ke jumpscare-jumpscare.

Kalo ada yang bisa dipelajari oleh orang Mesir, maka itu adalah gimana mereka memperlakukan si Jahat dengan respek. Mereka membuatkan makam yang indah dengan arsitektur yang sangat cermat. Walaupun segala sistem dari makam tersebut ditujukan supaya yang di dalam enggak keluar lagi, tapi itu menunjukkan bahwa yang terburuk dari kita pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

 

 

 

Dimulai dengan cukup enggak-enak, dan berakhir dengan bikin hati makin masygul. I mean, kalo mau ditutup dengan ‘iklan buat the next installment’ seperti itu, at least lakukan setelah closing credit bergulir. Film ini hanya berupa paparan-aksi-setup. Namun, desain produksinya membuat kita enggak bisa semena-mena mengutuk film ini jelek. Beberapa adegan aksinya genuinely menarik dan seru. Penampilan Tom Cruise berada di atas yang lain, di mana jadinya kita enggak mendapatkan chemistry yang asik dari hubungan para karakter. Film ini padat tanpa ada arahan emosi yang jelas. It’s loud, berantakan, sampe-sampe saat menonton kita akan kepikiran “kayaknya mejamin mata enak, nih!” Tapi film ini masih bisa ditonton dengan ‘okelah’ kok, terutama kalo kalian sebodo amat sama storytelling, lagi gak punya tontonan lain, atau lagi nyari kesibukan dalam rangka nungguin bedug maghrib.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for THE MUMMY.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE Review

“Accusations are useless.”

 

 

Apakah membuat franchise film berdasarkan sebuah wahana taman hiburan adalah langkah berani yang paling aneh ataukah cuma usaha nekat untung-untungan demi yang namanya duit? Well, jika sihir bisa dianggap sebagai sains yang belum kita mengerti, maka Pirates of the Caribbean bisa jadi adalah magic yang bikin sebagian kita garuk-garuk kepala. Film pertamanya sangat exciting. Setelah itu, semua judul dari franchise ini secara konstan kualitasnya terus menurun. They were bad movies. Di lain pihak, franchise ini toh laku keras, for it is action di tengah laut, yang memadukan bajak laut, kekonyolan, dan hal-hal fantastis.

Film kelima ini actually rilis dengan dua judul yang berbeda. Yang tayang di Amerika sono judulnya Dead Men Tell No Tales. Sedangkan di bioskop sini – aku tadi sempat kelimpungan takut salah nonton – dikasih judul Salazar’s Revenge. Aku gak tau alasan kenapa dirilis dengan judul berbeda seperti demikian; mungkin karena judul aslinya kepanjangan atau mungkin Dead Men dirasa terlalu seram. Hal kecil sih, walupun begitu, sebenarnya aku lebih suka sama judul versi Amerika. Salazar’s Revenge kedengarannya terlalu generik. Lagipula, kalimat “Dead Men Tell No Tales” beneran disebutin di dalam film, terincorporate really well ke dalam cerita, karena tokoh penjahat di film ini suka menenggelamkan kapal dan dia akan sengaja menyisakan satu korban masih hidup untuk menceritakan aksinya kepada orang lain di daratan, sebab ya, orang mati kan enggak akan bisa bercerita.

Orang mati juga gak bisa ke daratan, so yea…

 

Aku berharap film ini jadi film terakhir aja sebab, sukur, film ini LEBIH BAIK KETIMBANG FILM PIRATES SEBELUMNYA. Ceritanya considerably lebih menarik. Jack Sparrow terlibat dalam pencarian Trisula Poseidon yang bisa menghapus semua kutukan di lautan. Bajak laut mabok kita butuh benda ajaib tersebut lantaran dirinya sedang diburu oleh sepasukan hantu anti-bajak laut (lengkap dengan hantu hiu dan kapal hantu yang bisa berubah menjadi mulut yang menelan kapal di depannya) yang dendam kesumat kepadanya. Hantu Kapiten Salazar, at some point, bahkan bekerja sama dengan musuh lama, Kapten Barbossa yang kini jadi bajak laut paling sukses seantero Laut Karibia. However, bersama Kapten Jack, kali ini ada pelaut muda bernama Henry yang juga mencari kekuatan Trisula untuk ‘menyembuhkan’ ayahnya, dan sesosok gadis manis nan pinter yang jadi penunjuk jalan lantaran cuma dia satu-satunya yang bisa membaca peta.

Pintar di antara yang bego, maka kita akan dianggap aneh. Film ini membahas masalah posisi wanita yang di kala itu masih dianggap inferior; cewek cannot be smart unless they are witches. Ini bisa ditelusuri sebagai masalah prasangka. Zaman dulu, bidan-bidan wanita dianggap berbahaya sebab mereka ngurusin perkara hidup mati sebagaimana peran dokter-dokter pria. As gender dijadikan tolak ukur wewenang; orang-orang lebih mudah percaya kepada laki-laki yang tegas dibanding kepada wanita yang lemah lembut. This element is also played really well dengan karakter Jack Sparrow yang ditinggalkan oleh kru, you know, because he’s drunken and weird dan kerap bawa sial. Kontras dengan Salazar yang punya pengikut setia hidup-mati, atau malah dengan Barbossa. Padahal mereka sama kompetennya.

 

Tentu saja banyak kejar-kejaran, tembak-tembakan kapal, dan duel pedang yang terjadi. Ini adalah film yang terlihat sangat menarik. Penggunaan efeknya keren. Javier Bardem cool banget sebagai Salazar, aku suka penampakannya, aku suka gimana dia memainkan perannya. Hantu maniak ini adalah penjahat film favoritku sejauh pertengahan tahun ini. Film ini punya banyak stok candaan dan lelucon yang bagus. Juga berusaha untuk punya sisi emosional. Namun dengan tema besar mencari diri sendiri, film ini relatif berjalan lurus sebagai film petualangan yang melibatkan banyak pihak. Semua orang tersebut numplek di atas kapal yang sama, literally and figuratively. Dan kita bisa melihat masing-masing mereka punya alasan untuk berada di sana. Tokoh Henry yang diperankan oleh Brendon Thwaites ditulis punya kaitan sejarah dengan franchise ini, motivasi dirinya lah yang bikin narasi film ini berjalan. Ada percikan manis yang terjalin antara dirinya dengan tokoh Carina (Kaya Scodelario berhasil untuk tidak terjebak memainkan karakternya jadi semacam tokoh daur-ulang). Di duapuluh menit terakhir, barulah film benar-benar finally just pick up. I loved the ending. Dan meski efek di bagian ‘final race’ ini sedikit lebih rough-around-the-edges, aku suka, malahan bukan itu yang menggangguku.

What really bothers me about this film adalah walaupun tokoh-tokoh tersebut punya motif dan alasan untuk ikut bertualang, urgensinya tidak pernah benar-benar terasa. Stake, alias konsekuensi, yang dihadapi para tokoh enggak terang benar. Rintangannya pun sebenarnya cukup gampang untuk dihindari. Kita bisa merasakan ada sesuatu tujuan, ada sesuatu yang harus mereka selesaikan, tetapi rasanya tidak ada tuntutan untuk segera dibereskan. Para hantu hanya bisa ngejar di laut, Jack Sparrow enggak benar-benar dalam bahaya. Kalo Henry gagal menghapus kutukan ayahnya, hal buruk apa yang terjadi? Dia masih bisa hidup dan pacaran dan punya anak kok. Carina diberikan alasan untuk tidak bisa pulang, dia sekarang diburu mati-matian oleh negara lantaran disangka penyihir, namun masalah itupun beres seketika. Di film ini ada penyihir beneran, and that’s it, kita enggak melihatnya lagi di akhir.

Dan jokes tentang “Neng, pinter banget, kamu pasti penyihir. ENYAH KAU!” terus saja diulang-ulang sehingga jadi annoying. Awalnya sih lucu, tapi lama-lama jadi kentara banget. Masak setiap tokoh cowok guyonannnya begitu ke Carina.

Cara terbaik untuk menggambarkan film ini adalah membandingkannya dengan wahana di taman hiburan Disney. And it is precisely just like that; Seru yang melibatkan banyak hal dan membutuhkan biaya besar, tapi nyatanya adalah rangkaian adegan yang pointless.

 

Pada film pertama, karakter Jack Sparrow adalah tokoh yang sangat mengejutkan. Kita enggak tau apa yang ada dipikirannya, cara dia untuk membuat everything work out. Sparrow adalah peran yang berhasil dibangkitkan secara fenomenal oleh Johnny Depp. It is his signature role. Dia lucu, gampang banget disukai. Penampilannya liar dan really unhinged, bagusnya di awal-awal adalah keintensan karakter tersebut terkontrol dengan baik. Dalam film ini, Depp seperti diberikan kebebasan seratus persen, hanya saja jatohnya dia seperti memainkan karikatur dari karakternya yang dulu. Cuma sebatas lelucon setiap kali dia nampil dalam adegan, Sparrow tidak lagi punya real-character. Ini membuatku kecewa karena buat tokoh ini kita udah tau harus mengharapkan apa, namun tokohnya kehilangan sense of humanity seperti yang nampak pada film-film awal. Aku lebih tertarik ketika cerita membawa kita flashback ke Sparrow yang masih muda; karakternya terlihat lebih grounded di bagian itu.

Studio Disney lagi suka main FaceApp yaa hhihi

 

Meski ini adalah film dengan durasi paling pendek dalam franchise ini, dirinya tidak terasa bergerak secepat itu. Tetap aja filmnya kayak panjang banget. Sekuen-sekuen aksinya pada seru dan refreshing hanya saja mereka dimainkan lebih sebagai humor alih-alih untuk excitement. Pacing film kerap terasa ngedrag karena ada banyak adegan-adegan panjang yang kepentingannya gajelas. Kayak Sparrow ketemu pamannya di sel, atau malah adegan rampok bank itu. Sepertinya adegan-adegan tersebut memang dimasukkan cuma untuk bumbu humor semata. Tidak ada yang menarik dari arahannya. Film ini terasa kayak film-film action adventure yang biasa. Coba deh bandingin ama trilogy Pirates yang digarap oleh Gore Verbinski. Meski memang yang pertama doang yang bagus, namun Verbinski meletakkan ciri khasnya dalam film-film tersebut. Pirates seri kelima ini datar aja, enggak punya keunikan apapun.

 

 
Akan ada banyak hal yang bisa dinikmati jika kalian penggemar franchise ini. After all, kita udah ngeliat sekuelnya yang jauh lebih buruk. Film ini enggak jelek-jelek amat, meski juga enggak brilian dan unik. Efeknya keren, dan aksinya seru. There are some good jokes. Ceritanya juga sedikit lebih menarik. Penampilan Salazar is the one to watch for. Yang bikin kecewa adalah enggak banyak sense of urgency dari karakter-karakternya. Film ini live it up deh dengan wahananya, asik tapi rather pointless. Tapinya lagi, purposenya akan benar-benar terasa mantep jika film ini adalah film terakhir. It was better than the previous ones.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR’S REVENGE

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

SATRIA HEROES: REVENGE OF DARKNESS Review

“If you hate a person, you hate something in him that is part of yourself.”

 

 

Sungguh patut disukuri akhirnya sinema Indonesia punya figur superhero modern sendiri, dalam film yang dibuat dengan kompeten, yang stylenya kayak produk Jepang, tepatnya Tokusatsu -,-

All sarcasms aside, Satria Heroes yang beranjak dari serial televisi ini adalah film action superhero yang cocok banget buat ditonton anak-anak. Ceritanya ringan, actionnya super seru, dengan efek-efek yang imajinatif. Sehabis nonton ini, aku merasa kembali menjadi anak kecil, kayak kembali ke jaman aku menonton Kamen Rider RX untuk pertama kalinya. It was an OVER-THE-TOP EXPERIENCE, TAPI SANGAT MENYENANGKAN. Film ini adalah apa yang kuharapkan saat hendak menonton Power Rangers (2017) beberapa bulan yang lalu. Sebuah cerita superhero yang tahu persis dirinya dibuat untuk siapa, yang enggak malu untuk tampil norak dan cheesy, dan yang just take explosions dan adegan pertarungan melawan monster yang menyenangkan alih-alih terlalu menegangkan.

Adegan tarung di pembukanya saja sudah menyuguhkan action laga yang lebih baik dibandingkan dengan film-film action standar Indonesia. Koreografinya intens dan direkam dengan baik oleh kamera. Setiap gerakan tokohnya keciri. Pose-pose keren yang khas kita temukan dalam serial-serial superhero bertopeng berhasil ditangkap oleh kerja kamera, ngeblen cukup mulus dengan efek dan menterengnya kostum. Film ini punya production design yang benar-benar terlihat profesional dalam bidangnya. Aku yang enggak ngikutin serialnya di televisi, tentu saja terbengong-bengong takjub melihat adegan pembuka film ini; takjub demi ngeliat adegan pertarungan yang terasa megah, kayak lagi nonton Tokusatsu, dan bengong karena aku gak tahu Satria Bima dan Satria satunya yang kayak harimau itu siapa. Apa mereka musuhan atau temenan. Kenapa mereka berantem di depan Gunung Fuji. Kenapa aku nekat nonton film yang jelas-jelas dibuat untuk nyenengin fans setia serialnya?

Tapi tentu saja, sebuah film tidak akan menjalankan tugasnya dengan baik jika punya pemikiran “ya kalo mau ngerti, tonton aja serial/film pertama/baca saja bukunya”. Film yang baik mesti bisa berdiri sendiri; dalam artian paling enggak dia punya cara untuk menjelaskan sehingga penonton dapat mengerti tubuh dasar karakter dan narasinya. Film Satria Heroes memilih untuk menggunakan adegan seorang tokoh bercerita kepada anak-anak sebagai sarana eksposisi. Dari adegan yang udah kayak rangkuman serialnya tersebut aku jadi tahu kalo dua orang yang bertarung di awal tadi sebenarnya adalah temen. Satria Garuda Bima-X, yang nama manusianya adalah Ray, telah melewatkan banyak pertempuran menumpas kejahatan bersama Satria Harimau Torga, yang nama manusianya Dimas. Ada satu Satria lagi; adik Ray yang kinda menghilang entah ke mana. Dan film ini melanjutkan kisah mereka di mana Ray sekarang berada di dunia parallel, sementara Dimas lagi kunjungan bisnis ke Jepang. Bahaya muncul dari musuh yang punya dua hal; dendam kesumat dan semacam device yang bisa menghipnotis orang. Jadi, musuh ini menggunakan berbagai cara untuk mengalahkan Bima dan Torga – sukursukur bisa sekali lempar batu, dua burung kena – dan ultimately, dia membangkitkan seorang musuh lama dengan kekuatan yang baru. Musuh yang lantas go overboard dengan memporakporandakan seluruh dunia.

“Tidak mungkin!” (mengangguk sambil mengepalkan tinju) / “Kamu tidak apa-apa?!” (mengangguk dengan khawatir) / “Ya, aku mengerti sekarang!” (mengangguk dengan mantep)

 

 

Semua aspek yang bisa kita apresiasi dari genre tokusatsu Jepang bisa juga kita temukan di sini. Akting dan gestur yang over-the-top, gimana cara mereka mengambil gambar, gimana cara mereka bercerita lewat adegan pertempuran – jurus-jurusnya, animasi ledakan dan sebagainya, bahkan dialog dan leluconnya menjadikan film ini kayak buatan Jepang dengan budget yang sedikit lebih kecil. Memang seperti yang ditunjukkan oleh film inilah formula tokusatsu, dan Satria Heroes menanganinya dengan fantastis. Aku enggak ngikutin tokusatsu, jadi mungkin aku yang kuno, tapi aku sangat menggelinjang melihat film ini memainkan adegan berubah dalam cara yang baru aku lihat. Biasanya kan, tinggal bilang berubah dan wujud protagonis kita langsung dibungkus armor. Di film ini, Ray berubah secara parsial. Dia masih bertarung sebagai manusia, dan Bletak! Dia meninju musuh – here comes tinjunya berubah. Dia nendang – serta merta kakinya menjadi mengenakan metal. It was new and so refreshing.

Film ini juga lumayan memperhatikan detil. Ketika berantem, detil-detil seperti gravitasi, logika fisika, dan semacamnya mendapat perhatian. Batu-batu properti yang berjatuhan memang terlihat seolah punya bobot saat mendarat, misalnya. Ketika Dimas ketemu klien di Jepang, kita diperkenalkan sama translator yang secara instan ngeterjemahin bahasa yang diucapkan. Dan film ini play that technology nicely dengan membuat suara translatornya terdengar datar, tanpa emosi, kayak suara google translate. Beberapa adegan terkait alat tersebut jadi lumayan lucu, dan bahkan juga escalate menjadi creepy.

 

Narasi dalam Satria Heroes dibagi menjadi tiga bagian gede. Film literally memisahkan bagian-bagian tersebut dengan judul tersendiri, dan sebagai transisi di antaranya kita akan diperlihatkan animasi buku/komik yang terbuka sendiri di somekind of old library (?). Dan buatku, film ini barulah benar-benar terasa sebagai sebuah film ketika kita sampai di narasi bagian kedua. Sampai ke titik ini, jalannya alur film memang rada aneh, kayak ikutan melompat-lompat seiring aksi, ada flashback, cut, trus present, trus cut lagi ada eksposisi, ke masa kini lagi, trus ke flashback lagi.. Kita malah enggak tahu apa motivasi yang melapisi tindakan tokoh utama. Karakter Ray seperti apa, tidak pernah diperlihatkan. Dia baik, itu aja. Dia enggak melakukan pilihan; hanya sekedar ada yang butuh pertolongan, dan yeah heroes gotta save people just in time. Narasi kedua yang dikasih judul ‘Arsya’ membawa kita ke titik nol. Tonenya sama sekali berbeda dengan bagian pertama. Kita ngeliat tokoh yang berbeda, dan cerita di sini actually lebih dramatis dan lebih grounded. Cerita asal muasal gitu deh, ketika antagonis menceritakan kisahnya sewaktu kecil, dan ini bikin kita paham dan terinvest secara emosional kepada tokoh ini, lebih daripada kepada tokoh utama.

Kalian mungkin membenci diri sendiri karena ngerasa enggak pinter, atau enggak cakep, atau enggak cukup spesial. Alasan Wira adalah karena kesalahan yang ia buat. Ini adalah konflik yang berlangsung internal. Dan ketika ia melihat para Satria, dirinya melihat bagian dari dirinya yang ia benci, dan tentu saja lebih mudah menyalahkan orang lain ketimbang menghunus telunjuk kepada diri sendiri. Manusia memang munafik seperti demikian, liat saja ibu yang memukul anaknya sebagai ganjaran buat anaknya yang berantem. Tapi semestinya sifat benci tersebut dapat diarahkan sebagai cara untuk memahami diri sendiri. Wira tidak mesti memburu para Satria, kekuatannya bisa datang dari self-improvement.

 

Ini menciptakan benturan tone yang serius. Dan lebih jauh lagi, membuat kita mempertanyakan ini film sebenarnya mau nyeritain tentang apa sih. It worked best as an origin story dari tokoh jahat. Kualitas penampilan akting pun jauh lebih baik di narasi kedua ini. Pemeran Wira, aktor cilik Faris Fadjar Munggaran, berhasil menyampaikan emosi genuine yang sangat dibutuhkan oleh film ini. I mean, setelah satu jam kita melihat orang dewasa bertingkah terlalu baik, enggak ada cela, bahkan cenderung polos sehingga terasa kayak anak kecil dalam tubuh anak gede; maka di cerita kedua ini kita akan melihat percikan api dari karakter Wira. Kita bisa merasakan amarahnya, kita mengerti dari mana itu berasal. Motivasi itu adanya malah di sini. Dan buat film anak-anak, kejadian di sini tergolong tragis. But then again, clashing tone – di awal sangat cheesy dan cenderung kocak – hanya membuat bagian ini lebih menjemukan daripada seharusnya. To make thing worst, entah kenapa di bagian drama ini film memutuskan untuk lebih banyak memakai efek komputer. Hujan dan percikan air saja mesti pake komputer loh, bayangkan! Keliatan banget pula. Episode yang mestinya paling manusiawi dari film ini malah jadi downgrade dengan adegan yang ditangani dengan artifisial seperti itu.

susah buatku mempertahankan wajah datar nonton narasi kedua

 

Tiga puluh menit terakhir bertindak efektif sebagai persembahan buat fans. Cerita mendadak jadi punya stake yang berskala sangat besar. Semua jagoan kita mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan penjahat utama. Aksinya keren. Namun teknik eye tracingnya terlihat sedikit off, kamera kerap menyorot terlalu dekat, tapi kita masih bisa mengikuti apa yang terjadi, meskipun memang membutuhkan sedikit usaha ekstra. Efek saat berantemnya cukup mulus, membanting efek kehancuran kota habis-habisan. Baru di menjelang akhirlah film memasukkan motivasi yang diniatkan supaya kita bisa mendukung para protagonis. Mungkin formula tokusatsu memang seperti ini, you know, pahlawan yang nyaris kalah kudu berkontemplasi dulu mengingat kenapa dia melakukan ini sejak awal, dan kemudian dia barulah dia berhasil membangkitkan kekuatan baru yang lebih kuat. Namun begitu, aku percaya film ini bisa menjadi lebih baik lagi jika urutan ceritanya dibenahi. Jika rentetan narasinya dirapikan, dibuat plot yang lebih jelas, sehingga karakter-karakternya lebih mudah untuk didukung.

 

 

 

Bukan mau bilang dirinya berusaha nyaingin Pulp Fiction (1994) dengan segmen ceritanya yang sengaja ditabur acak, tapi toh kelihatan film ini mencoba untuk bersenang-senang. Ia tahu persis mau jadi seperti apa. Universe-dalam filmnya terbangun dengan baik. Mencoba memadukan tarung Indonesia ke dalam dunia ala tokusatsu Jepang. Over-the-top tapi itu sudah diharapkan. Sukses menggapai nilai hiburan yang niscaya membuat setiap anak kecil yang menontonnya jejingkrakan senang. Desain produksi yang keren, koreografi aksi yang intens, efek yang mendukung porsi laga tapi tentunya bisa lebih baik lagi digunakan sebagai latar. Jangan melulu bergantung kepada CGI, tho. Dengan semua aspek cerita yang sudah terestablish semenjak serial tvnya, film ini toh kurang berhasil untuk berdiri sendiri. Narasi mestinya bisa disusun lebih rapi dan efektif lagi sehingga yang nonton akan enak ngikutin jalan cerita, karakter pun jadi dapat terfleshout dengan compelling. Petarungan terbesar yang dimiliki film ini bukan Satria lawan monster, melainkan justru pertarungan antar tone cerita.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SATRIA HEROES: REVENGE OF DARKNESS

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.