ALIEN: COVENANT Review

“When you stray from the trail, that’s when you get lost.”

 

 

Susah memang untuk memuaskan banyak orang, toh begitu, Ridley Scott tetap berusaha. Dan buah dari perjuangannya itu dapat kita nikmati dalam wujud sci-fi horor terbarunya yang berjudul Alien: Covenant. Film ini terlihat sangat berjuang untuk berada di tengah, sepertinya sutradara ini mendengarkan keluhan protes penonton as Scott ngimbangin unsur filosofis penciptaan yang ia angkat lebih banyak di Prometheus (2012) dengan nostalgia horor yang sudah mengakar sedari Alien (1979)a very effective sci-fi thriller btw! Jadi, antara sekuel dari Prometheus atau prekuel dari Alien, film kali ini membahas dunianya dengan actually memberikan lebih banyak jawaban sekaligus tetap membuat kita tersedot oleh thrilling action, suspens, dan jalan cerita yang kali ini ditulis dengan sama baik dan rapinya, hanya saja lebih terang dan straightforward. Apakah hasil akhirnya adalah film yang lebih baik?

We be the judge.

Haha bukan mau mengakhiri ulasan ini lebih cepat, actually we have a long way to go. Tapi, of course, kita para penontonlah yang jadi hakim untuk sebuah film.

 

Saat selesai nonton, sejujurnya aku enggak bisa langsung mutusin palu penilaian buat film ini. I got a mixed feeling, ini soal cinta-fans lawan realita lagi, sih. Aku suka banget sama Alien dan Prometehus, serta Aliens (1986), sementara film-filmnya lainnya dari franchise ini; well ya, katakanlah aku gak cukup peduli untuk menonton mereka dua kali. Ridley Scott mengerti bahwa film sci-fi yang bagus adalah yang tidak memberikan semua jawaban dengan gamblang, dan film-film alien garapannya memang meninggalkan banyak bagian-tak-terjawab dan dibiarkan terbuka untuk interpretasi. Dalam Alien, kita tidak pernah dapet penjelasan siapa yang mengirim sinyal ke pesawat Ripley dan kenapanya. Tapi banyak fans (dan – herannya – kritik) yang menganggap apa yang dilakukan Scott terhadap cerita Promotheus terlalu, ah, enggak-fun. Didedikasikan untuk ngejawab beberapa, Alien: Covenant menjelma menjadi horor thriller yang amat SERU DAN MENYENANGKAN UNTUK DIIKUTI, lebih gampang untuk disukai, namun di lain pihak, juga terasa seperti VERSI YANG LEBIH LEMAH DARI GABUNGAN ALIEN DENGAN PROMETHEUS.

Alien: KoEnak

 

Buat yang belum nonton Prometheus (or even have no idea film ini ada hubungannya ama Prometheus), adegan pembuka antara David (Michael Fassbender‘s reprising his Android role dengan meyakinkan) dengan pembuatnya akan terasa sangat thought-provoking. Aku pun suka, jika saja aku bisa overlook bahwa adegan ini sebenarnya lebih kayak versi rangkuman karakter David yang dipersimpel. Dan kemudian kita dibawa terbang ke spaceship Covenant di mana belasan kru manusianya terbangun mendadak dari cryosleep. Kru android yang selalu stand-by, Walter (wow Michael Fassbender mainin dua android ‘kembar’ tapi juga essentially sangat berbeda), enggak perlu repot-repot jelasin sebabnya lantaran pesawat induk tersebut terang-terangan lagi dalam masalah. Peristiwa ‘kiamat kecil’ ini sukses bikin seisi awak trauma, sehingga begitu mereka menangkap sinyal dari sebuah planet yang bisa ditinggali – malahan, menurut data, planet ini bisa saja berpotensi lebih baik dari planet tujuan misi awal mereka, lebih dekat tujuh tahun pula! Kapten langsung memerintahkan Covenant untuk belok arah, menuju planet tersebut.

Alien adalah franchise yang kerap berganti-ganti genre, meski tetap mempertahankan beberapa ‘pakem’ yang sudah menjadi cirri khas. Elemen cerita Alien: Covenant tentang awak pesawat yang memilih untuk berganti jalur di tengah jalan, however, terasa seolah celetukan dari Ridley Scott tentang bagaimana mestinya franchise ini bisa menjadi lebih baik. Ini sama seperti ketika kita mengusahakan sesuatu; semestinya tetap fokus lurus pada tujuan dan tidak stray away, melipir ke mana-mana. Karena film ini memang terasa seperti usaha untuk kembali ke akar semula dari film Alien.

 

Paruh pertama ketika kru menjelajahi planet misterius adalah bagian film yang terasa refreshing. Inilah pertama kalinya (Alien Versus Predator kita anggap angin lalu saja , yaa) kita melihat alien memanfaatkan setting di lingkungan outdoor. Ridley Scott adalah sutradara yang punya mata tajam dalam urusan shot-shot cakep, yang setiap framenya bermakna terhadap narasi, it was actually a pleasant sight ngeliat horor scientific digenerate ke alam terbuka. Lihat saja sekuen ketika kru Covenant diserang Xenomorph baru di ladang yang penuh dengan ilalang dan gandum; adegan yang intensnya bikin kita nyaris berputar-putar ngeri di tempat duduk. Ridley Scott benar-benar cakap dalam mengolah situasi kacau menjadi pemandangan mimpi buruk yang indah.

kemudian coklat menghujani ladang gandum, dan PUFF..jadilah koko krunch!

 

Tampaknya sudah jadi pakem, atau bisa dibilang semacam running-jokes, dalam setiap film franchise Alien bahwa insiden Xenomorph (apapun variannya) menembus tubuh manusia selalu dimulai dari tindakan bego oleh tokoh-tokoh yang mestinya adalah orang-orang cerdas itu. Dalam film ini, cerita memberikan usaha yang efektif dalam menjustifikasi tindakan bloon tersebut. Sehingga kita bisa merasakan beban emosi kepada tokohnya, kita jadi mengerti kenapa mereka harus melakukan whatever it is yang mereka lakukan. Karena misi mereka adalah untuk bikin populasi pertama di planet baru, maka para anggota kru ini adalah orang-orang yang sudah menikah, atau paling enggak punya pasangan. Aspek ini bermain baik menghantarkan emosi dan pembenaran ketika ada satu kru yang tewas dan pasangannya meledak ngelakuin hal yang bertentangan dengan nalar. Benar, mereka semua pada dasarnya adalah umpan hidup, tapi sekali lagi film ini memainkan kekuatan yang dimilik oleh Alien orisinal; kita enggak tahu pasti siapa yang bakal bertahan hidup hingga akhir. Para aktor bermain sangat simpatis dalam menghidupkan tokoh mereka. Dan sekali lagi kita dapet tokoh utama berupa sesosok wanita setrong, yang tadinya aku kira bakal jadi tokoh yang annoying, tapi enggak. Ada sedikit jiwa Ripley dalam tokoh Daniels ini.

Ada satu kalimat dari tokoh Kapten, yang actually membuat karakternya lumayan kuat serta menarik sebab nunjukin gimana dia dealing with krisis kepercayaan – ditambah beberapa keputusan salah yang ia ambil sejak ditunjuk jadi pemimpin kru, dan kalimat ini relevan dengan keadaan negara kita sekarang. Kapten tersebut sedikit galau lantaran tadinya dia cuma Wakil, namun it was revealed dia enggak kepilih2 jadi Kapten; dengan alasan “Orang yang taat beragama tidak akan pernah diberikan kekuasaan, karena kau akan dianggap ekstremis. Dianggap seorang yang gila!” Padahal sebenarnya, taat beragama berarti taat pada satu jalan lurus.

 

Begitu lewat dari mid-point, narasi beranjak ke arah yang sedikit berbeda. Pertemuan David dengan Walter membawa kita ke bagian cerita yang difungsikan sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh film Prometheus. Penampilan Fassbenderlah yang memegang peranan penting di bagian ini, kita melihat dia dengan begitu menariknya memainkan dua tokoh android yang memiliki pandangan yang berbeda. Emosi dan premis pada adegan dengan seruling kayu terasa sangat kuat tersampaikan. Karakter David dengan point of view yang twisted, yang terbosesi dengan prinsip Tuhan dan ciptaanNya terlihat meyakinkan sekaligus creepy in a thought-provoking way. Ketika dia memerankan Walter dengan kapasitas drama lebih utama, pun, Fassbender berhasil mempertahankan sisi compellingnya. Oleh karenanya, meski kita bisa berargumen soal apakah elemen ini justru merampas sisi drama survival karakter-karakter lain yang lebih seru dari kita, bagian akhir dari babak kedua pun masih bisa kita nikmati dari segi penampilan aktingnya.

Bagaimana jika Tuhan menciptakan manusia, hanya karena Dia bisa. Bagaimana jika sifat arogan kita sendiri yang membuat kita merasa begitu penting sehingga menganggap keberadaan kita punya suatu maksud tujuan. Bagaimana jika kita sudah menjadi sok pentingnya sampai-sampai kita akhirnya tiba di tahap bisa menciptakan android karena kita bisa. Dan sama seperti David, bagaimana jika kita sebenarnya terperangkap dalam ilusi menciptakan sesuatu; obsesi terhadap seni, terhada kreasi dan penciptaan. Obsesi menjadi Tuhan.

 

Tidak hingga di babak akhirlah semua nostalgia itu kumplit terasa. Kita akan dibawa kembali ke pesawat yang serta merta menjadi ruang tertutup. Film ini dengan sabar nahan-nahan kemunculan Xenomorph klasik yang sudah ditunggu-tunggu banyak penonton yang udah ngikutin franchise ini dari awal. Tampilannya mantep, Xenomorph adalah salah satu monster dengan desain terkeren dalam sejarah horor. Di sini, efek komputer dan efek praktikal berhasil digunakan bareng dengan sangat mulus untuk menghidupkan Xenomorph. Tapi ada perbedaan mendasar antara alien film ini dengan alien yang muncul di original. Dalam film Aliens jadul, tentu saja teknologi tidak sebaik sekarang; kita tidak melihat Xenomorph secara full, monster ini ditampillan ‘terbatas’, sehingga misteri dan suspen adalah senjata utama supaya bikin kita takut maksimal. And it was done dengan sangat efektif. Dalam film Covenant ini; Xenomorph tampil frontal, ketakutan datang dari cepatnya gerakan dan sergapan makhluk ini, bahkan di sini kita belajar banyak tentang asalmulanya, sehingga tak-pelak misteri seputar Xenomorph terasa sirna. Ditambah dengan elemen David/Walter yang predictable, film ini ditutup dengan note yang lebih rendah dari saat ia dimulai.

 

 
Sama seperti ketika kita membandingkan Ghost in the Shell (2017) dengan versi anime orisinilnya, film ini akan terasa seperti gabungan Alien dan Prometheus dengan level easy. Tidak begitu menantang pikiran karena cerita kali ini lebih straightforward. Film ini berusaha kembali ke akarnya yang berubah sci-fi body horor, dan ia melaksanakan misinya dengan gemilang. Dari jajaran franchise Alien, film ini termasuk yang paling seru. Gampang untuk disukai, film ini berusaha tampil seimbang dan memuaskan banyak orang. Sendirinya adalah film yang stunning. Editingnya precise. Kesannya film gede banget, hey, it’s an Alien movie by Ridley Scott! Masalahnya adalah aku suka Alien dan Prometheus untuk alasan yang dalam film ini dikurangi elemennya. Narasi film ini pun terasa lebih kacau buatku. Dan predictable. So yea.. untuk mempersingkat, kupikir yang gaksuka sama Prometheus bakalan suka banget sama film alien terbaru ini.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ALIEN: COVENANT

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

COLOSSAL Review

“A person who cannot give up anything, can change nothing.”

 

 

Cewek, kalo marah, bisa jadi menyeramkan kayak monster. Tapi masalahnya adalah, Gloria enggak ingat dia marah. Malah, Gloria enggak bisa ingat apa-apa dalam rentang waktu dia mabok. Penyakit kecanduan minum wanita muda ini memang sudah sampai taraf gawat, Gloria kesulitan menahan diri untuk enggak menenggak sebotol bir yang nganggur di depan matanya. Padahal hidupnya sudah nyaris berantakan lantaran kebiasaan jelek tersebut. Pacarnya udah nyerah bilang “I can’t deal with this anymore.” Maka Gloria pun kembali ke kota tempat ia dilahirkan. Ingin berbenah diri, niatnya. Di kota masa kecilnya itu dia ketemu teman lama, yang mengajak Gloria bekerja di bar miliknya untuk sementar. Namun ada waku-waktu ketika Gloria tidak ingat dia ngapain sepulang kerja. Dan kini Gloria mendapati dirinya sedang menonton berita ulangan liputan serangan monster raksasa yang memporakporandakan kota Seoul di Korea Selatan. Yang bikin Gloria heran, dan takut; dia melihat monster tersebut ngelakuin gestur gerakan yang sama dengan yang ia lakukan setiap kali dia bingung. Jadi, Gloria harus mencari tahu apa dia ada hubungannya dengan kemunculan sang monster. Apakah memang dia yang bertanggungjawab atas hilangnya ratusan nyawa korban injakan mau tersebut.

Jika biasanya film-film yang menampilkan monster raksasa penghancur kota adalah cerita tentang manusia melawan alam, di mana metaforanya berskala besar; dan monster-monster tersebut adalah cerminan dari kecemasan global, maka Colossal menghadirkan monster yang sama sekali berbeda. Kaiju gede di sini adalah manifestasi dari ketakutan satu orang; rasa insekur yang menjelma menjadi teramat besar sehingga mampu menghancurkan kehidupan di sekitar orang tersebut.

 

Pernah mandi ujan tapi airnya air sirop? Enggak pernah kan, sama, aku juga belum pernah. Tapi aku yakin rasa menyegarkannya pasti sama dengan perasaan refreshing yang kita alami ketika melihat elemen-elemen cerita film ini perlahan turun. Karena memang film ini benar-benar berbeda dan orisinil punya. I was genuinely surprised by this movie. Baru sekali ini loh ada yang ngebahas aspek monster raksasa dengan perspektif seperti yang dilakukan oleh garapan Nacho Vigalondo ini. Fantasi sci-fi yang actually sangat membumi alias personal. Monster Reptil yang muncul dan bikin panik seisi kota tersebut dijadikan sebagai lapisan terluar. Di balik elemen tersebut, sebenarnya ini adalah tentang struggle seorang wanita yang berusaha mengatasi ketergantungan terhadap alkohol; seorang wanita yang berusaha untuk menata kembali hidupnya yang porak poranda akibat ‘penyakit akut’nya itu.

Ketika kalian was-was ngeliat diri sendiri terlihat jelek pas nampil di tivi

 

Pusat semesta dari cerita ini adalah Gloria dan temen masa kecilnya, Oscar. Sebagian besar waktu akan kita habiskan nongkrong bareng mereka di bar. Kedua aktor yang memerankan mereka, untungnya, mampu mempersembahkan penampilan yang menarik sehingga elemen drama yang juga dipunya oleh film ini dapat bekerja dengan baik. We’ll get into the drama aspect later, but, Anne Hathaway is really good in this movie. Dia berikan nuansa yang berbeda dalam pengekspresian karakter Gloria. Ada banyak emosi subtle yang ia tambahkan, bukan hanya pada unsur komedi, melainkan juga ketika elemen drama datang mengambil alih. She’s damaged, pribadi yang sangat bercela, tapi kita masih merasakan simpati karena kita mengerti usaha yang dilakukan olehnya. Dan tampaknya sedikit sekali aktor yang mampu memainkan Oscar selicin yang dilakukan oleh Jason Sudeikis. Dia adalah teman sepermainan yang sudah lama enggak ketemu ama Gloria, jadi vibe alami yang dikeluarkan tokoh ini adalah sedikit-misterius. Like, gimana bisa setiap kali dia tersenyum, kita bisa menangkap makna-makna yang berbeda. Dinamika hubungan Gloria dan Oscar – dua orang ini mendadak bakal highly at odds with each other – tak pelak akan menjadi begitu penting sehingga mengambil alih fokus.

Dan di situlah ketika film mulai berjuang untuk mempertahankan atensi kita yang masih tertinggal di Korea sana.

Elemen monster dalam film ini luar biasa keren lantaran begitu berbeda. Siapa sih yang enggak demen ngeliat film yang genrenya udah punya pakem kayak film monster ini ternyata dikembangkan dengan arah dan actually punya twist yang belum pernah kita lihat sebelumnya? Kalo kalian tanya aku, aku suka sekali dengan arahan yang diambil film ini dalam ngebahas elemen tersebut. Unik. Khususnya di bagian ending, shot terakhirnya bahkan sangat apik. Namun, ketika film ini membahas elemen drama yang lebih standar, tidak lagi ia terasa sekuat saat membahas elemen fantasi. Sejujurnya, adalah langkah yang sangat berani film ini membenturkan dua tone yang berbeda. Fantasi dan drama. Komedi dan serius. Colossal tampak punya AMBISI YANG KOLOSAL demi ingin ngegabungin itu semua, gimana caranya agar cerita sesimpel cewek yang berusaha membenahi hidup dan come in terms dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, tapi dikonfrontasi oleh masa lalu itu sendiri, bisa menjadi cerita yang sangat penting dan memiliki skala gede.

Tapi benturan dua tone tersebut just don’t match up. Enggak exactly merusak kayak jika Godzilla ketemu King Kong, sih. It’s just transisi antara dua tone itu enggak sepenuhnya mulus; cerita film ini akan beralih dari yang sangat kocak dan ringan ke sangat serius dengan mendadak di mana korban-korban berjatuhan. Problem dunia yang sangat serius, tapi kemudian kita lihat monster itu menari, lalu ada ancaman banyak orang terinjak, dan kemudian blank, it’s just doesn’t match up very well.

just.. drink it in, maaaan!

 

‘MENDADAK’ adalah kata kunci yang dipakai film ini untuk menjembatani tone-tone tersebut. Karakter Oscar adalah contoh berikutnya dari clashed tone yang hasil dari perantaraan si ‘mendadak’ ini. Dalam satu adegan, Oscar terlihat sangat perhatian. Dia baik, dia mengerti, dia peduli sekali. Membuat kita ingin gabung juga ke bar miliknya setiap kali ada masalah. Di hari berikutnya, senyum orang ini seperti punya makna yang lain, dia tampak seperti pembunuh berantai psikopat yang menakutkan dan sangat berbahaya. Kita enggak bisa tahu apa persisnya yang dipikirkan oleh kepala orang ini. Perubahannya begitu tiba-tiba sehingga seolah aku cabut ke kamar kecil di tengah-tengah film. Tapi enggak. Aku enggak melewatkan adegan Oscar membuat pilihan yang mengubah segala hal tentang karakternya. Perubahan tokoh ini memang sangat drastis, dan film ini menjadikan ‘mendadak’nya itu sebagai hal atau simbolisme yang penting di dalam narasi. Did it work tho? Well, obviously, not so much.

Ada satu pasang tone lagi yang buatku terasa enggak klop; Anne Hathaway dengan orang mabok! Hihi, I mean, look at her. Hathaway cantik banget dengan rambut lebat bergelombang dan senyum tigajari, dia tetap cantik seperti itu bahkan ketika dia hangover berat. Susah untuk percaya bahwa Gloria adalah seorang pecandu alkohol. Gloria akan lupa daratan; ia gak ingat waktu, dia alpa dan kesulitan mengingat kejadian ataupun sekedar apa yang dia ucapkan tadi malam, tapi tetep aja cewek ini terlihat menakjubkan. Alih-alih terlihat sebagai pemabok yang kerap terjatuh di lubang yang sama, tokoh ini lebih terlihat kayak cewek kuliahan yang sengaja dijelek-jelekin untuk menghindari masalah hidup.

Monster itu, anehnya, juga adalah simbol dari keberdayaan sebagai seorang manusia. Sebagai monster, Gloria menghancurkan apa saja yang di depannya, tapi tidak sekalipun monster itu menengok ke bawah. Tapi itu sebelum dia menyadari bahwa kekuatan datang bukan dari keinginan besar untuk menghancurkan, melainkan dari keinginan kecil untuk melawan; melawan alkohol, melawan trauma masa lalu. Keinginan kecil untuk meninggalkan kebiasaan, meskipun jika hal tersebut adalah sebagian kecil dari dirinya.

 

 

 

Metafora campur-campur, penceritaan yang kerap bersilih fokus dari satu tone ke tone lain yang really clash out, semua itu pada akhirnya bisa termaafkan lantaran film ini benar-benar orisinil dan sangat berbeda. Elemen fantasi sci-finya sangat menyenangkan. Kocak dan dibarengi dengan drama serius. Ia dihidupkan oleh penampilan yang bagus, meskipun kadang sedikit tidak berimbang antara kebutuhan narasi dengan penyampaian. Tapinya lagi, aku sangat merekomendasikan, tonton film ini duluan jika kalian punya waktu luang, karena film ini juga ngajarin yang kecil-kecil bisa berdampak besar. Apresiasi kecil dari kita bisa membuat film kreatif ini jadi gede, dan siapa tahu, bakal bermunculan cerita-cerita orisinal lain yang berani dan ambisius seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for COLOSSAL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

My Dirt Sheet Top-Eight Favorite Studio Ghibli Movies

 

Oke, ini daftar delapan-besar TERSUSAH YANG PERNAH AKU SUSUN. I mean, gimana milihnya coba kalo semua disuka, like ah aku suka Mononoke, eh tapi Laputa gakalah seru, Kiki juga lucuuu, belum lagi Poppy Hill yang sweet banget, aaaaa please let me just rewatch them all again and again and again. Tadinya aku sudah nyelesaiin draft pertama, dan kemudian aku ingat belum masukin Totoro, jadi aku merombak ulang nulis susunan daftar ini. Pheeewww!

Studio Ghibli, sepanjang waktunya berdiri, konsisten menyuguhkan cerita yang sangat loveable dan grounded, enggak peduli dia sedang berkisah tentang petualangan, fantasi, maupun kehidupan sehari-hari. Buat yang belum familiar dengan Studio Ghibli, gini deh: bayangin film-film dari Pixar, hanya saja mereka kental oleh budaya Jepang, digambar dengan animasi buatan tangan yang sangat jelita dan very fluid, dan senantiasa menjaga idealisme tanpa harus repot-repot mikirin keuntungan komersil. Film-film Ghibli selalu sukses menyedot setiap yang menonton berkat karakter dan kedetilan penceritaan. Kekuatan film ini mampu membuat anak-anak dan orang dewasa terinvest secara emosi, dan semuanya kerasa real. Setiap mudik, aku selalu muterin di rumah dalam rangka meracuni adik-adik dan para sepupu dengan film yang bukan hanya menyenangkan melainkan juga sarat isi dan punya hati. Visi pendirinya, Hayao Miyazaki, bercerita dengan respek terhadap penonton terus dipertahankan hingga kini. Dan sedihnya, Studio Ghibli benar-benar berjuang untuk itu.

Tahun 2015 kemaren adalah perayaan 30 tahun berdirinya Studio Ghibli. Mereka meluncurkan When Marnie was There yang meski masuk daftar favoritku tahun itu, namun pendapatan box officenya kurang memuaskan. Film tersebut dikabarkan sebagai film terakhir dari Ghibli. Pait pait manis gak sih, mereka harus mundur di anniversary hanya karena film yang bagus bukan berarti harus selalu laku. Dan kalo ada yang cerita mengenai sebuah anime yang bagus, tidak akan ada yang menganggapnya serius. Anime statusnya kayak buku komik dan manga, media penceritaan yang paling underrated dan underappreciated.
Tapi kemudian di tengah-akhir 2016 Ghibli kembali dengan The Red Turtle, mereka menemukan ‘jodoh’ bikin film, bekerja sama dengan sineas Belanda. Dongeng magis yang indah sepertinya masih berlanjut. Malahan, di tahun 2017 ini, diawali oleh Spirited Away, kita-kita yang di Indonesia akan dihibur oleh penayangkan film Ghibli di beberapa bioskop. It’s so wonderful that we could experience those fantasies on big screen (finally! Indeed). Aku terutama ingin sekali liat adegan perang Princess Mononoke dan adegan tsunami Ponyo di bioskop. Dan katanya, Agustus nanti, Ghibli akan membuka eksibisi di Jakarta. So yea, see you guys there! 😀

Tadinya aku mau bikin HONORABLE MENTIONS seperti biasa, but I just can’t decide haha.. Jadi ya, langsung saja, inilah Delapan Film Ghibli Favoritku:

 

 

 

8. GRAVE OF THE FIREFLIES (1988)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.5/10
“Why do fireflies have to die so soon?”

Bakal bikin mata sembab kayak habis ngupas bawang. Ini adalah cerita survival yang sederhana tentang dua anak korban perang, yang hidup sebatang kara. Seita dan adiknya yang masih lima tahun, Setsuka, enggak punya rumah. Mereka lalu tinggal dalam sebuah gua di bukit pinggir desa. Seita harus mencari uang untuk makan, sekaligus menenangkan pertanyaan adiknya soal orangtua mereka yang tewas. Film ini adalah cerita perang paling sedih yang pernah aku tonton.
Banyak film animasi yang berani membahas tentang kehilangan, namun Grave of the Fireflies stands out lantaran ia juga membahas tentang penyesalan. Rasa bersalah seorang yang selamat, fakta bahwa mereka justru kalah oleh rasa lapar akan menjadi perasaan sedih yang bakal terus menghantui. Membuat tidak ada lagi keinginan untuk hidup. Kematian memang menyedihkan, tapi tidak ada yang lebih sedih daripada membuang keinginan untuk hidup.
Perjalanan emosi adalah bagian terkuat film ini. Memang sih, rasanya film ini dibuat untuk tujuan dramatis semata – itulah makanya kenapa aku meletakkannya di peringkat kedelapan. Karakternya dibangun untuk membuat kita menitikkan air mata, sehingga kadang pancingan emosinya terasa terlalu diatur. But the way they told it was so beautiful, timing sunyi dieksekusi dengan sangat precise, dan animasinya in some ways, mengerikan karena feeling yang dikeluarkan terlampau kuat.

My Favorite Scene:

Ketika mereka menangkap kunang-kunang dan menggunakannya untuk menerangi gua. Single momen yang simbolis dan sangat cantik.

 

 

 

 

 

7. MY NEIGHBORS THE YAMADAS (1999)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.3/10
“The reason the Yamadas get along fine is because all three adults are nuts. If one of you were normal it would unbalance the rest”

Film pertama Studio Ghibli yang menggunakan animasi komputer seluruhnya ini memang lain daripada yang lain. Gaya animasinya disesuaikan dengan gimmick cerita yang quirky, and kita bisa langsung melihat perubahan style ini actually work in favor of the storytelling. Straightforward dan enggak neko-neko. Ghibli membuat keputusan yang berani dan hasilnya adalah sebuah tontonan unik yang meriah dan mengasyikkan untuk dinikmati. Sekali lagi, Ghibli menekankan bahwa film animasi secara visual enggak selalu harus mirip dengan realita, perasaan yang dideliverlah yang mestinya harus disajikan dengan nyata.
Struktur cerita Yamadas ini pun sesimpel animasinya. Ketimbang cerita panjang, film ini lebih seperti gabungan sketsa komedi yang disusun membentuk satu kesatuan. Enggak ada antagonis, enggak ada big final action sequence. Kita bisa menemukan sesuatu untuk difilmkan di mana saja, bahkan jika materinya lebih dekat maka akan lebih baik. Dari awal sampai habis kita akan melihat kegiatan sehari-hari keluarga Yamada yang katrok. Ada Ayah, Ibu, Nenek, Kakek, Abang, Adik, petualangan mereka adalah petualangan keluarga sehari-hari yang juga bisa terjadi sama keluarga kita. Gimana keluarga tradisional dihadapkan kepada tuntutan dunia modern. Nature ceritanya masih sangat relevan, karena memang selalu itulah masalah yang akan dihadapi oleh sebuah keluarga. Makanya, meskipun drama lucu ini kental oleh budaya Jepang (setiap ‘episode’ diakhir dengan haiku yang kocak), film ini tetap akan terasa sangat relatable dan setiap keluarga akan merasa terwakili olehnya.

My Favorite Scene:

Ketika Ayah dengan nekat (tepatnya dinekat-nekatin) keluar untuk berurusan dengan preman bermotor yang udah ganggu ketentraman kompleks tempat tinggal mereka. Tanggung jawab ayah itu berat dan dia harus berani, namun berani bukan berarti tidak merasa takut!

 

 

 

 

 

6. PONYO (2008)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 7.7/10
“So what’s your Mother like, then? / She’s big and beautiful, but she can be very scary. / Just like my Mom. “

Inilah apa yang terjadi kalo kita memberikan sedikit twist anak-anak kepada cerita Putri Duyung. Instead, Ponyo adalah tentang seekor ikan emas gemesh yang pengen menjadi bocah manusia karena di daratan sana dia berteman dengan Sosuke. Enggak banyak yang dibicarakan oleh film ini di luar persahabatan dan relationship mereka. Dan sedikit concern soal lingkungan hidup, dalam kasus ini perairan, yang by the way adalah salah satu dari kekhasan karya Hayao Miyazaki. But oh wow, kalo ada satu kata yang terlintas begitu orang menyebut film Ponyo, maka kata itu pastilah: AJAIB!
Animasinya kreatif luar biasa. Dunia bawah air, adegan tsunami, makhluk-makhluk laut yang aneh dan lucu-lucu itu, film ini adalah ajang ‘pamer’ buat talenta animator Ghibli. Ponyo adalah film favorit adekku yang saat pertama kali kuputerin, dia masih berumur 5 tahun – sama ama usia tokoh Sosuke dalam film ini. Dan memang sepertinya tokoh tersebut sangat relatable buat penonton usia muda. Petualangan Sosuke dan Ponyo bener-bener cute, it is a lighthearted movie yang juga mengajarkan kemandirian. Tapi terutama film ini mengajarkan kepada anak-anak bahwa mereka juga manusia, you know, mereka punya keinginan, mereka punya pemikiran, dan they should be able buat menyuarakannya. Bahwa mereka juga berhak untuk membuat pilihan. Ponyo mengajarkan itu semua dengan cara yang sangat magical, memukau, dan penuh dengan imajinasi!

My Favorite Scene:

Adegan Ponyo berlari mencari Sosuke bersama ikan-ikan itu adalah adegan yang kami putar-putar terus di rumah hahaha, animasinya keren banget, Ponyonya juga imut

 

 

 

 

 

5. ONLY YESTERDAY (1991)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.7/10
“Rainy days, cloudy days, sunny days… which do you like?”

Wanita 27 tahun memutuskan untuk pergi ke kampung kelahirannya, yang dia inginkan bukan semata suasana pedesaan; dia ingin bekerja di sawah, namun sebenarnya yang ia butuhkan adalah mencari tahu apa yang ia inginkan dari dirinya sendiri. Dia ingin merasa berguna. Dia ingin menambah sesuatu ke dalam hidupnya. Dan sepanjang perjalanannya naik kereta api ke desa, dia teringat tentang kejadian di masa kecil, dia bernostalgia ke saat-saat dia merasakan berbagai pengalaman untuk pertama kalinya.
Salah satu yang paling remarkable dari film ini adalah ke-innocent-annya. Akan ada banyak bagian ketika tokoh utama menelaah kembali saat-saat dia tumbuh dewasa, dan enggak pernah film membuatnya terasa awkward. Menonton film ini justru yang ada adalah perasaan hangat. Arahannya, vibenya, tone, dan animasi, semua terasa sangat pleasant di dada. Ada dua teknik animasi yang digunakan; gambar yang detil dan jelas untuk masa kini, dan grafik dengan frame yang blur dan kurang detil ketika kita melongok ke masa kecil tokoh. Dan ini actually jadi gimmick yang integral banget sebab memang begitulah pikiran kita ketika mengenang kembali masa lalu; kabur dan enggak detil.
Di jaman saat semua film merasa butuh untuk menjadi serius, dark, dan keren, coba deh tonton Only Yesterday. Karena film ini akan membawa kita dalam perjalanan flashback yang, at times memang skalanya terlalu kecil, tapi paling enggak sangat menyenangkan.

My Favorite Scene:

Lucu sekali ngeliat mereka pertama kali makan nenas ahahaha

 

 

 

 

 

4. SPIRITED AWAY (2001)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.6/10
“Once you do something, you never forget. Even if you don’t remember.”

Naah, mungkin kalian pada heran kenapa masterwork, storytelling kelas dewa begini malah aku letakin di posisi ke empat. Well, ya, Spirited Away enggak perlu diperkenalkan lagi. Kerja Hayao Miyazaki dalam membangun dunia fantasi sangat luar biasa. Rumah pemandian beserta penghuninya yang ajaib-ajaib itu sangat vibrant dan well-realized. Konsep dunia baru dan tradisionalnya pun tersampaikan dengan mencengangkan. Hal paling asik dinikmati adalah saat tokoh kita Chihiro – yang di sini adalah cerminan dari remaja Jepang masakini – mesti belajar mengenai etika kerja dan superstition, dan kita turut belajar bersamanya.
Di saat dunia film ini terbangun dengan gempita, aku tidak merasakan ketertarikan yang sama kepada Chihiro. I mean, di antara sekian banyak tokoh cerita dari Ghibli, Chihiro ini yang kurang paling relatable bagiku. Spirited Away adalah film Ghibli yang paling sering aku tonton, karena ia punya banyak detil dan visual simbolism yang niscaya enggak bakal ketangkep semua dalam sekali panteng. Aku enggak bilang bosen, tapi setelah beberapa kali, menonton film ini sampai habis jadi tidak semenyenangkan awalnya. Mungkin karena pacing, setelah Chihiro keluar dari rumah pemandian, cerita agak tersendat sedikit. Dan aku gak pernah bener-bener suka elemen kembarnya.
Tapi tak pelak, ini adalah salah satu film animasi terpenting yang pernah ada. Spirited Away udah sukses menjelma menjadi semacam culture yang bikin nama Ghibli melambung lebih tinggi. Menonton ini di bioskop jadi satu pengalaman yang bikin aku berharap saat itu adalah kali pertama aku menyaksikannya.

My Favorite Scene:

Kita enggak bisa nyeritain Spirited Away tanpa nyebutin soal momen Chihiro mandiin Dewa Sungai

 

 

 

 

 

 

3. MY NEIGHBOR TOTORO (1988)


Director: Hayao Miyazaki
IMDB Ratings: 8.2/10
“Trees and people used to be good friends. I saw that tree and decided to buy the house. Hope Mom likes it too. Okay, let’s pay our respects then get home for lunch.”

To-to-ro, To-to-ro, to-to-ro~!
Film anak-anak mestinya begini nih. Meski ada monster, tapi enggak menyeramkan, enggak ada tokoh jahat dan tokoh baik. Meski sisi dramatis enggak pernah dipancing-pancing, film ini tetap tidak melupakan esensi dari kehidupan. Bahwa selalu ada kemungkinan sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi. Dan Totoro akan ngajarin kita bagaimana menghadapi itu semua.
Totoro mengisahkan problem kehidupan lewat simbolisme dan sangat tersurat. Saat anak-anak menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang di derasnya hujan, sebenarnya itu adalah elemen ‘tragedi’ tapi arahan film ini tidak pernah fokus ke bikin sedih semata, karena yang kita ingat dari adegan tersebut adalah Totoro datang dan mereka basah bersama lantaran Totoro senang kejatuhan tetes air. Enggak salah memang kalo ini jadi film favorit keluarga, karena memang penulisannya tidak pernah memojokkan pihak tertentu. Di sini fantasi dan imajinasi anak-anak dihormati. Tokoh Ayah ditulis sangat dekat dengan anak-anaknya, dan saat dia mendengar cerita anaknya tentang Totoro, orangtua dalam film ini enggak bersikap seperti orang tua dalam cerita Goosebumps; langsung menepis dan enggak percayaan.
Jarang sekali ada film yang berhasil membangun cerita, tidak berdasarkan konflik dan ancaman, melainkan berdasarkan eksplorasi dan kejadian seperti yang dilakukan oleh Totoro. Elemen ibu yang sakit tidak pernah dijadikan sebagai semacam rintangan yang harus diluruskan. Sama seperti yang dikeluarkan oleh animasinya yang lincah, everything about this movie are treated as a fact of life. Itulah sebabnya kenapa film ini akan selalu terasa menyenangkan.

My Favorite Scene:

Sampai sekarangpun aku masih enggak bisa untuk enggak tersenyum melihat adegan Mei dan Saksuki numbuhin pohon ajaib bareng Totoro dan teman-temannya.

 

 

 

 

 

2. THE TALE OF THE PRINCESS KAGUYA (2013)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 8.1/10
“Teach me how to feel. If I hear that you pine for me, I will return to you.”

I love this film. Tampilannya sungguh unik dan orisinil. Artworknya tampak sangat bold dan penuh warna, dan sangat hidup tanpa memakai teknologi komputer sama sekali. Seperti di Only Yesterday, Takahata juga menggunakan visual ini sebagai gimmick yang sangat integral dalam penceritaan. Kita melihat grafik yang semakin detil seiring bertambahnya usia Putri Kaguya.
Ceritanya sendiri diangkat dari kisah rakyat lokal tentang petani yang menemukan seorang bayi mungil di dalam batang bambu. Dia juga menemukan emas bersamanya. Bersama sang istri, bay tersebut mereka rawat. Tentu saja bayi tersebut adalah bayi ajaib, ia tumbuh dengan cepat. Tak perlu waktu lama ia sudah jadi gadis jelita. Kemakmuran si petani juga tumbuh pesat, namun masa lalu Kaguya yang misterius pun kemudian datang menjemputnya.
Film ini punya pandangan yang dewasa terhadap kehidupan. Kita lihat Kaguya senang banget hidup di alam bebas, tetapi ketika dia harus menjadi Puteri dengan segala aturan, dia mulai enggak betah. Dan kita bisa melihat tema film ini adalah tentang cewek yang enggak benar-benar mengerti di mana tempatnya di dunia. Sangat realistis karena memang hidup bisa jadi sangat membingungkan bagi orang dewasa. Penuh oleh emosi, yang tak terasa dibuat-buat, dengan animasi yang sangat cantik. Ini adalah salah satu film terbaik yang dibuat oleh Studio Ghibli.

My Favorite Scene:

Aku benar-benar tercengang melihat Kaguya berlari ke luar rumah dengan penuh amarah dan emosi. Animasinya impresif sekali!!!

 

 

 
Oke, aku punya dua kandidat untuk film Ghibli paling favorit, dua film ini punya tema yang sama; tentang manusia dan alam dan betapa getolnya manusia untuk merusak alam. Tapi keduanya punya arahan dan pendekatan yang berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, they are not perfect movies, Spirited Away is the better one technically speaking. Tapi aku lebih suka ama kedua film ini dibanding yang lain. Jadi makanya aku bikin memutuskan di antara mereka untuk jadi lebih sulit karena yang enggak kepilih enggak akan masuk delapan besar, alih-alih jadi runner up. Dan setelah bersemedi tujuh hari tujuh malam sambil ngemil kembang tujuh rupa yang dipetik di tujuh sumur yang berbeda, aku menetapkan film ini menjadi posisi nomor satu:

1. POM POKO (1994)


Director: Isao Takahata
IMDB Ratings: 7.4/10
“They used their balls as weapons in a brave kamikaze attack.”

Penggalan kutipan dialog di atas mestinya udah bisa ngasih gambaran betapa absurdnya film yang satu ini. And yes, aku memilih film ini over Princess Mononoke (1997), yang mana adalah film fantasi paling epic yang bisa jadi adalah pelopor pemakaian violence dalam dunia film animasi modern. Jadi kenapa aku milih film tentang kelompok anjing-rakun (hewan keramat dalam mitos Jepang) yang berusaha mempelajari kembali seni berubah wujud demi mengusir manusia yang meratakan gunung buat dijadikan kompleks perumahan ini menjadi film Ghibli paling favorit?
Karena dia menelaah masalah konservasi lingkungan dan ekologi melalu pendekatan yang bijak sekaligus penuh humor.
Kita akan melihat dari sudut pandang para anjing-rakun, tapi tidak berarti mereka adalah pihak yang baik dan manusia adalah pihak yang jahat. Film ini dengan penuh kebijakan dan keberanian mengambil satu sisi tanpa sekalipun merasa perlu untuk berpihak. Inilah yang membuat film terasa lebih menarik, meskipun memang secara penceritaan, ia jauh di bawah Princess Mononoke yang secara emosi dan experience lebih kuat. Kelemahan Pom Poko adalah narasinya yang sering menjadi repetitif dan kurang efektif alias terlalu panjang.
Ada sense of tragedy tersamarkan di balik kekonyolan. Film ini bertindak sebagai pengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial namun tidak ada yang lebih kita sukai daripada bertentangan dengan apapun. It’s thought provoking, kita bisa melihat film ini dalam suara filosofis. But yea, kita bisa menontonnya untuk murni hiburan. Dan film ini bekerja dengan sangat baik on both ways.

My Favorite Scene:

Film ini juga ada seremnya, liat deh taktik para anjing-rakun dengan menjadi parade hantu untuk menakuti-nakuti manusia, tapi enggak ada yang takut.. hihihi…

 

 
Jadi sekali lagi, ini bukan daftar dari yang baik ke yang terbaik. Ini adalah pure preference ku aja. Aku akan senang sekali kalo daftarku berbeda dengan daftar kalian, sehingga kita bisa saling diskusi mengenagi kesukaan masing-masing. Oiya, salah satu permasalahan dalam nonton anime Jepang ini adalah: mendingan nonton bahasa Jepang atau yang disulih ke bahasa Inggris sih? Kalo buatku, sama aja sih, bukan masalah yang gede. Toh bagi kita dua-duanya sama-sama bahasa asing. Lagian, film bukan hanya soal audio. Aku sendiri lebih suka nonton yang pake bahasa Inggris karena aku enggak perlu lagi membaca subtitlenya, sehingga bisa fokus ngeliat visual yang kadang bercerita dengan lebih lancar.
Sebagai penutup

Please, Studio Ghibli, keep making movies!

 

 

 
That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

THE BOSS BABY Review

“And your best teams are your friends and your siblings”

 

 

Ada dua tipe anak di dunia. Anak yang pengen banget punya adik. Yang sampe berdoa memohon kepada Tuhan setiap malem. Aku dulu begitu. Aku sampai nyuruh mama keluar ngeliat bulan biar ntar adek yang lahir berupa cewek, tapi namanya tetep harus Nobita sebab nanti bisa punya teman Doraemon. Kalo dipikir-pikir sekarang, niat muliaku mau punya adek sepertinya memang adalah supaya bisa ketemu sama Doraemon dan dapet macem-macem alat ajaib hihihi. Karena actually sangatlah langka ada anak yang kepengen punya adik. Kebanyakan anak-anak akan bersikap seperti Tim jika ditanya “mau punya adik laki-laki atau perempuan?” Aku waktu kecil sendiri juga sebenarnya nyesel pas udah punya adik beneran; mau apa-apa jadi dilarang, enggak boleh berisik kalo lagi main, ada makanan jangan dimakan semua, dan harus ngalah, atau yang paling parah jadi sering disalah-salahin.

Tim sudah bahagia dengan keluarganya. Dia gembira bermain petualangan-petualangan seru bersama ayah dan ibu. Menurut Tim keluarga mereka nggak perlu deh, ditambah oleh kehadiran bayi laki-laki. Namun kemudian sebuah taksi berhenti di depan rumah mereka. Dari dalamnya, turunlah seorang bayi, dengan setelan jas dan koper mini. Seketika ketakutan Tim menjadi nyata, adik barunya sudah datang dan Ayah dan Ibu sepertinya enggak melihat apa yang dilihat oleh Tim! Adik bayi yang di mata Tim enggak ada lucu-lucunya itu membuat ayah dan ibu begitu sibuk sehingga tidak lagi mereka punya waktu untuk bermain dan mendongeng kepada Tim. Dan kemudian Tim mengetahui rahasia si bayi yang bisa bicara kayak orang dewasa. Basically, si bayi yang ‘dibuat’ di semacam pabrik ini bodinya doang yang bocah, mental dan otaknya udah gede. Dia punya misi khusus dan kalo Tim enggak mau kehilangan orangtuanya, Tim harus membantu si bayi dalam menjalankan rencananya menghentikan rencana jahat penggantian bayi-bayi di dunia dengan anak anjing yang superimut.

Di balik lelulon kekanakan, ada pesan positif yang bisa dibawa pulang oleh penonton anak-anak. Animasi komedi petualangan ini mengeksplorasi tentang ketakutan yang dialami oleh setiap anak kecil ketika mereka mengetahui bakal punya adik. Apakah nanti mama papa enggak bakal perhatian lagi. Apakah cina mereka akan pindah ke anak baru yang lebih lucu. Ini adalah perihal yang sangat dekat dan bisa diapresiasi oleh penonton cilik, sebuah pesan positif yang diceritakan dengan ringan yang bakal ngajarin mereka bagaimana menyikapi rasa cemburu terhadap adik.

 

 

Sebagai anak, kita takut posisi kita akan tergantikan. Oleh yang lebih lucu, yang lebih gagaga-gugugu. Film ini menceritakan elemen di mana setiap anak bakal memusuhi saudara yang lebih mudah dari mereka dengan cara yang sangat imajinatif. Menyentuh ketakutan dan kekhawatiran anak-anak soal adik baru, actually adalah aspek dari The Boss Baby yang paling bisa kita acungi jempol. Ceritanya punya lapisan dan perspektif. Menarik melihat gimana film ini menafsirkan, dari sudut pandang anak sulung, bayi seperti bos yang mengatur rumah; segala harus sesuai dengan keinginannya, orangtua harus siaga mengurus bayi setiap saat.  Alec Baldwin menyuarakan si bayi dewasa dengan timing dan intonasi yang sangat kocak. Dia mencuat kuat paling tinggi di antara penampilan yang lain. Aktor yang mengisi suara Tim Kecil pun, Miles Christopher Bakshi, bisa mengimbangi dengan menghidupkan tokoh yang terdengar really grounded. Bagian yang paling kusuka adalah di babak kedua saat Tim dan si Bos Bayi berusaha saling bekerja sama, hubungan mereka – tanpa sadar – mulai terjalin dengan manis. There’s a nice little bond yang terdevelop di antara mereka berdua, sebagai kakak adik, meskipun mereka enggak mau mengakui.

Visual yang jadi medium penceritaan turut digarap dengan sangat baik. Animasinya appealing banget buat anak-anak dan orang dewasa. Penuh warna, kreatif, dan tentu saja imut. Film ini menggunakan DUA GAYA ANIMASI untuk membedakan mana kejadian yang berlangsung di dunia ‘nyata’, dan mana yang merupakan produk dari imajinasi Tim. Dan di sinilah film menjadi sedikit membingungkan buatku.

Tim, Tim, tau gak kalo segitiga itu adalah geometri yang paling menakutkan haha

 

The Boss Baby diceritakan dari sudut pandang Tim. Kita mendengar narasi yang kita asumsikan datang dari Tim yang sudah dewasa menceritakan pengalaman masa kecilnya punya adik kepada seseorang. Kita melihat Tim kecil berusaha membiasakan diri dengan adiknya, kita kerap diajak masuk ke dunia imajinasi. Format animasi akan berubah menjadi lebih komikal ketika kita berada di dalam sekuens fantasi Tim. Dia akan jadi ninja, menyelam ke dalam lautan dalam, bertarung pedang sebagai seorang bajak laut. It’s nice, dan sama seperti Kubo and the Two Strings (2016) elemen ini akan bisa mengajak anak kecil jaman sekarang untuk kembali mengaktifkan kreatifitas imajinasi mereka. Namun semakin cerita berlanjut dan semakin banyak hal-hal ‘ajaib’ nan tak-masuk akal terjadi, garis antara fantasi dan kenyataan semakin mengabur bagi kita, para penonton.

Kita mengerti bahwa imajinasi yang liar tersebut adalah semacam mekanisme pertahanan buat Tim. Dia membayangkan petualangan di kapal bajak laut bukan sebatas untuk bersenang-senang saja, melainkan sebagai cara Tim memancing keberanian di dalam dirinya. Sehingga dia bisa melakukan sesuatu yang tadinya tidak dapat ia lakukan karena takut. Tapi kemudian ada banyak adegan yang jika kita pikirkan tidak masuk akal untuk terjadi. Overlapping antara imajinasi dan hal nyata yang dilakukan oleh Tim terlihat terlalu enggak mungkin. Seperti ketika dia melompati kereta api dengan sepeda, kita melihat Tim membayangkan gundukan pasir sebagai ramp yang tinggi dan dengan menaikinya dia mendapat momentum yang membuatnya terbang hingga ke seberang. Dan ini kita enggak kebayang gimana bisa kejadian di dunia nyata. Tim dan Bayi harusnya udah isdet.

Kita paham mana yang bener, mana yang khayal dari gaya animasinya, namun yang ‘bener’ di dalam film ini juga enggak benar-benar dapat memberikan jawaban yang logis. Misalnya ibu Tim yang hamil, kemudian si Bayi Bos datang naik taksi dan perut ibu udah kempes. Penjelasan yang masuk akal adalah kedatangan si bayi completely karangan Tim, tetapi animasinya yang pake ‘aturan’ dunia nyata mengisyaratkan bahwa bayi datang naik taksi itulah yang kejadian beneran. So honestly I’m confused oleh make-believe dunia film ini. Aneh, apa yang terjadi sebenarnya? Ini film buat anak-anak kan? Aku enggak begitu mengerti apa yang berusaha disampaikan oleh pembuat filmnya sehubungan dengan darimana bayi berasal dan segala macam soal anak anjing ajaib yang bakal diedarkan ke seluruh dunia pake roket. Di akhir film ada revealing yang membuat kita bilang, oh oke jadi begitu, masuk akal kalo semuanya cuma cerita, namun kemudian ada kejadian lain menyusul di penutup banget yang membuat segala hal menjadi kembali gak masuk di akal.

motivasi badguynya actually nyeremin, basically dia ingin tidak ada lagi bayi di dunia, yang berarti kepunahan manusia

 

Tapinya lagi, aku melihat film ini dari perspektif orang dewasa. Babak pertama film terasa menyebalkan oleh kelakuan si Bayi Bos yang rada berlebihan. Apalagi tingkah bayi-bayi lain yang jadi semacam anak buahnya. Humor disetel ke level dumb dalam usaha film ini menghantarkan cerita yang bernature psikologis anak menjadi bertone komedi. Ceritanya, kalo kita pikirkan masak-masak, memang tidak masuk akal. Tahun lalu ada film Storks yang juga menyentuh tema tentang bayi dengan ‘peraturan universe cerita’ yang lebih rapi dan bisa diterima. Sedangkan pada film ini, di the very end ada kejadian yang kinda ruins all of the make-believe. Sesungguhnya film ini enggak parah-parah amat. Dari kacamata anak kecil sih, ini adalah tontonan yang punya pesan bagus, menyenangkan, dan menghibur; Penuh oleh bayi ngegemesin yang melontarkan lelucon-lelucon. Sebagian besar memang lelucon kamar mandi, you know, dengan kentut dan segala macam. Ada beberapa jokes buat orang dewasa juga lantaran film ini berusaha untuk tampil oke bagi semua lapisan umur. Sayangnya, buat kita film cute ini cenderung terlalu silly kayak kenangan masa kecil yang dilebay-lebaykan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE BOSS BABY

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

GHOST IN THE SHELL Review

“Eyes are the window to the soul”

 

 

Film adaptasi dari anime — yang actually saduran dari manga klasik – ini punya beban yang berat bertengger di pundaknya. Elemen filosofis dan pencapaian teknikal membuat versi originalnya yang keluar tahun 1995 dinobatkan sebagai salah satu anime terbaik yang pernah dibuat. Banyak film-film sci-fi yang membahas tentang artificial intelligence dan sebagainya openly admit dipengaruhi oleh elemen dalam cerita Ghost in the Shell. Jadi, garapan Rupert Sanders ini bener-bener has a lot to live up to. Sehingga sampai detik pantatku mendarat mulus di kursi bioskop, aku masih terombang-ambing antara gembira dan ragu-ragu. But mostly aku takut, lantaran aku gak mau Hollywood merusaknya sehingga ini menjadi Dragon Ball kedua. Dan serius, jika kalian mengaku penggemar sinema, hobi nonton film, dan peduli sama film yang bagus, sempatkanlah buat menonton anime Ghost in the Shell; for the film is so influential, aku tersinggung ketika tadi di bioskop ada ignoramus yang nyeletuk “niru Matrix, ya.”

Dunia dalam film ini sudah begitu modern, sampai-sampai teknologi dan manusia sudah nyaris menjadi satu. Tren masyarakatnya adalah masang hologram gede sebagai cara iklan, nyambungin diri ke net yang bahkan lebih canggih dari internet yang kita punya, dan memodifikasi sebagian tubuh – atau malah seluruhnya – dengan bagian robot. Tokoh utama kita, Mira Killian, adalah Mayor di pasukan elit Section 9 yang khusus menangani kasus kriminal, terutama kriminal siber yang sedang berkembang dengan pesat. Diciptakan sebagai ‘weapon’, Mira tidak punya unsur tanah di tubuhnya. Dia diberitahu bahwa dia adalah yang pertama dari progam penginstallan kesadaran manusia yang disebut ghost ke dalam tubuh-tubuh buatan yang istilahnya adalah shell. Namun apakah setiap yang punya ghost diyakini sebagai manusia? Mira mengenali kenangan di dalam dirinya. Dan sembari berusaha menangkap teroris siber berinisial Kuze yang menimbulkan kekacauan dengan ngehack ghost robot dan orang-orang, Mira sets out buat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Ghost in the Shell termasuk jejeran film yang membuat kita mempertanyakan tentang eksistensi, tentang kesadaran,tentang apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Apa yang memisahkan kemanusiaan dengan teknologi? Apa yang terjadi jika keduanya bersatu? Apakah sesuatu yang diciptakan bisa menyebut dirinya sebagai manusia karena dia punya kesadaran? Dan bagaimana dengan kenangan, apakah kemampuan mengingat kenangan adalah bagian dari kesadaran? Well, ada banyak benda-benda yang bisa menyimpan kenangan, dan mereka enggak hidup. Apakah Major Mira Killian termasuk salah satu di antara benda-benda tersebut.

 

 

Sebagai adaptasi live-action, film ini sukses mengemban predikatnya. Dia tetap setia dengan versi orisinil. It has the same formula, dengan beberapa penambahan yang signifikan pada beberapa elemennya. Jadi, yaah, kupikir aku akan berusaha mengulas film ini sebagai sebuah cerita yang berdiri sendiri, aku akan coba untuk enggak nyangkut pautin dengan film buatan Mamoru Oshii.

Peningkatan yang pertama kali langsung bisa kita rasakan adalah pada visualnya. Film ini sangat GLORIOUS OLEH PENAMPAKAN EFEK-EFEK VISUAL. Adegan ‘pembuatan’ shell Major bener-bener indah sekaligus surreal dengan bentrokan warna merah disusul putih. Kota masa depan tempat mereka tinggal terlihat meriah. Desain kotanya yang semarak oleh teknologi mentereng mencerminkan kebutuhan manusia untuk tampil ‘mengkilap’, seperti yang dijadikan tema cerita. Sehingga kita bakal mengharapkan ada sedikit saja jejak kemanusiaan dari penghuninya. Ketika itu beneran kejadian, ketika tokoh setengah robot kita ngelakuin hal sesederhana memberi makan anjing jalanan, ataupun pergi berenang tengah malem, kita bakal ngerasain hentakan euphoria tanda cerita berhasil mengenai saraf berpikir kita.

Scoringnya juga sukses bikin film terasa dark dan bikin uneasy.
Ghost in the Shell menyuguhkan beberapa sekuen aksi tembak-tembakan yang seru. Robot geisha itu creepy banget. Pertempuran melawan robot laba-laba bakal menghujani kita dengan peluru-peluru emosional. Sekuen aksi yang paling captivating adalah ketika Major menyimpan senjata apinya, membuka mantel, mengaktifkan kamuflase optik, dan mulai menghajar orang yang dikendalikan oleh Kuze. Adegan berantem ini difilmkan dengan menarik; lokasinya, koreografinya, kerja kameranya, semuanya terlihat mulus dan engaging. Dengan pace yang cepet, porsi aksi lumayan mendominasi film ini as kita dibawa dari konfrontasi satu dengan konfrontasi lain. Dan di antara aksi-aksi tersebut kita akan dibawa melihat Mira lebih dekat sebagai seorang karakter, kita akan ngikutin inner journeynya, kita akan melihatnya berinteraksi dengan tim serta partnernya, Batou. Kita akan melihatnya membuka misteri di balik Kuze dan belajar apa faedah dia ada di dunia, entah sebagai robot atau manusia.

“doakan saya yaaa”

 

Masalahnya adalah, segala kelebihan yang kutulis di atas (selain robot geisha yang sepertinya bakal hadir di mimpi burukku malam ini) actually berasal dari elemen orisinil yang dimasukkan kembali ke dalam versi live-action ini. Film ini just recreating them all seperti yang dilakukan oleh Beauty and the Beast (2017) terhadap animasi klasiknya. It’s a great job, aku tepuk tangan karena mereka berhasil melakukannya dengan baik. Namun tidak seperti Beauty and the Beast, penambahan elemen yang dilakukan oleh Ghost in the Shell actually terasa ngedeteriorating eksistensi ceritanya secara keseluruhan. Sebagaimana kita sudah setuju untuk menghormati film ini sebagai unit yang berdiri sendiri, I have to point out beberapa poin dan elemen baru di dalamnya yang enggak benar-benar bekerja dengan baik. Dan yea, aku harus melakukan beberapa perbandingan untuk mempertegas poinku.

Enggak semua sekuen aksi benar-benar berbobot. Misalnya pada bagian di klub, kebanyakan memang terasa sebagai filler buat manjang-manjangin waktu. Karena adegan tersebut pun tidak digunakan untuk ngeflesh out karakter-karakter sampingan. Anggota tim Major tidak mendapat sorotan yang berarti. Malahan ada satu tokoh, pada cerita original dibuat ‘penting’ bagi Major karena dia satu-satunya yang masih seratus persen manusia, namun di film ini trait tersebut hanya disebut sepintas sahaja.

Major lah yang mendapat permak backstory yang signifikan. Dia bisa mengingat sedikit hal dari kehidupannya saat masih manusia. Major clearly galau mengenai, bukan identitas, melainkan ‘apa’ dirinya. Tapi penulisan karakternya di sini terlihat cengeng, I mean, dia come off lebih sebagai manusia yang enggak mau dipanggil seorang robot. Dia meminta belas kasihan kita. Scarlett Johansson adalah ‘shell’ yang tepat untuk tokoh ini. Penampakan wujudnya mirip banget sama yang anime. Namun, ‘ghost’ karakternya agak enggak klop. Cara berjalannya enggak pernah tampak natural, kayak dibuat-dibuat, walaupun memang enggak ada masalah dalam adegan aksi. Ketika, katakanlah, momen berkontemplasi, pembawaan Scarlett membuat Major tidak seperti robot dengan perasaan; dia terlihat seperti manusia yang menyembunyikan perasaan. Dalam versi anime, karakter ini diarahkan sehingga kita merasa terdiskonek dengannya; Major malah tidak berkedip, tapi dari gambaran ekspresi dan visual storytelling kita bisa memahami apa yang ia rasakan, kita bisa rasakan betapa intriguednya Major kepada setiap aktivitas manusia. Dalam film ini, tidak ada arahan supaya Scarlett enggak ngedip, perasaan Major terlampiaskan semua lewat kata-kata yang ia lontarkan, tanpa pernah terasa dalem dan filosofis.

Identitas mereferensikan aku, atau saya. Di mana otak mengenalinya sebagai ‘diri’. Tapi apakah sebenarnya aku itu? Apakah personality? Apakah aku adalah perasaan – apakah aku adalah jiwa? Well, orang bilang mata adalah jendela jiwa. Ada alasannya kenapa Major di sini memiliki mata yang hidup, tidak seperti pada versi anime.

 

 

Dosa terbesar yang menyebabkan FILM INI DANGKAL ADALAH KARENA DIA MEMBERIKAN JAWABAN. Baik itu jawaban terhadap apa yang terjadi; bahkan tulisan pembuka di awal memaparkan secara gamblang, tidak seperti opening teks di versi anime yang lebih kiasan. Maupun jawaban terhadap pertanyaan filosofis yang diajukan oleh tema ceritanya. Ini membuat Major menjadi karakter generik, kita bisa melihat ke arah mana arcnya berlabuh. Jadi gampang melihat apa yang terjadi selanjutnya. Setelah Major ketemu Kuze, film menjadi biasa saja dan kehilangan semua hal yang engaging. Ini berubah menjadi ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’. Kuze, meskipun keren, tidak pernah menggugah kita dengan pertanyaan apa yang membuat manusia itu ‘manusia’. Kita sudah sering melihat elemen ‘melawan sang pencipta’ dan ‘menciptakan dunia sendiri’ sebelumnya. Major menjadi seperti Alice di Resident Evil. Padahal jika dibiarkan terbuka tanpa-jawaban, maka tentu cerita akan menjadi lebih menantang, membuat kita merasakan euphoria memikirkan jawaban, seperti yang sudah dibuktikan oleh film orisinilnya.

Apakah robot ada gendernya hanya karena dibuat menyerupai cowok atau cewek?

 

 

They go with a different goal this time, yang mana masih bisa kita apresiasi. Para fans lama pun mestinya bisa dibuat menggelinjang dengan revelation di akhir cerita yang mengambil referensi kepada cerita anime. But I think they should’ve not tampering too much with the formula. Ini adalah film full-action dengan kontemplasi dan nostalgia saling berbagi ruang di antaranya. Bahkan meniliknya sebagai film yang berdiri sendiri pun, penilaianku tetap sama. Sukurnya enggak separah, malahan jauh lebih bagus daripada Dragon Ball Evolution sih. Meski begitu, film harusnya bisa menjadi lebih berbobot lagi. Tidak banyak karakter dengan penampilan yang memorable. Dan lagi, sulit untuk tidak membandingkan karena hal yang bagus dari film ini adalah hal-hal yang sudah pernah kita lihat pada film tahun 1995. Mereka seperti memindahkan ghost cerita ke dalam shell yang lebih mentereng belaka. Dengan banyak hal bagus dan filosofis yang tertinggal saat proses perpindahan tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for GHOST IN THE SHELL.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

POWER RANGERS Review

“Don’t expect to see a change if you don’t make one.”

 

 

Ayayayay, Zordon! Mereka sekali lagi membuat reboot dari acara tv anak-anak jadul dengan nuansa yang cukup kelam dan karena mereka ingin membangun franchise yang baru jadi kita harus duduk dulu mantengin cerita asal muasal sebelum kita dapat bagian aksi penuh nostalgia yang notabene hanya porsi itulah yang mendorong kita buat datang ke bioskop. Jadi, gimana nih Zordon? Kita pasti nonton dong ya?! Yayayaya!!

Buat anak-anak yang gede di tahun 90an, Power Rangers bisa jadi adalah bagian yang tak-terpisahkan dari kenangan masa kecil. I mean, setiap anak cowok pasti pengen jadi kayak Tommy si Ranger Hijau. And their first crush pastilah Kimberly. I know I did haha.. Dulu aku dan temen-temenku setiap sore keluar pake kaos warna-warni dan kami main Power Rangers, berantem-berantem di rumput. Ada juga yang kebagian jadi monster. Ceritanya kami karang bareng, bahkan karena yang main terlalu banyak, kami sampai nyiptain Ranger sendiri, kayak Ranger Orange atau Ungu. Yang cewek-cewek pun akhirnya ikutan main, dan karena kehabisan warna, kami bikin cerita tentang Power Rangers yang ketemu sama geng Sailor Moon.

It was so fun back then, jungkir-jungkir balik, mengangguk-angguk, meng’wush-wush’ setiap pukulan karena memang begitulah film Power Rangers. Over-the-top, seratuspersen hiburan, dan filmnya sendiri benar-benar nikmatin memposisikan diri sebagai personifikasi dua kata tersebut: Fun dan Lebay. Film pertamanya yang keluar tahun 1993 was so bad it’s good. Jadi aku masuk ke bioskop nonton versi reboot ini dengan girang, expecting hal cheesy yang sama, dan turns out aku mendapat lebih. Dan sayangnya aku enggak bisa bener-bener bersuara bulat bilang aku suka sama film ini.

Sincerely yours, The Power Rangers Club

 

Adegan pembuka film ini terlihat menjanjikan. Tim Power Rangers yang dipimpin oleh Ranger Merah Zordon kalah telak. Salah satu teman mereka, Ranger Hijau Rita Repulsa, turn on against them dan pada detik-detik krusial, meteor menghantam medan pertempuran – memisahkan Zordon dan Rita, dan kita dibawa ke masa kini. Mengetahui Rita akan bangkit dan kembali menghancurkan dunia dengan kekuatan emasnya, Zordon berusaha mencari pasukan Power Rangers yang baru. Unfortunately for Zordon, lima orang yang berhasil menemukan koin morphingnya, lima manusia yang pantas menyandang kekuatan sebagai Rangers, ternyata adalah remaja. Masih anak kemaren sore yang labil, dengan segala masalah dunia darah muda mereka. Jadi mereka perlu digembleng terlebih dahulu. Kita akan melihat kelima tokoh kita berusaha untuk saling mengenal dan menumbuhkan rasa persahabatan. Karena bukan saja mereka tidak mengenal satu sama lain, masing-masing mereka actually adalah anak-anak bermasalah dengan mental either pemberontak ataupun terlalu indiviualistis.

Ini seperti film The Breakfast Club (1985) mendapat kekuataan berubah wujud dan menjadi Chronicles (2012), dan kemudian bertarung dengan robot-robot seperti di Pacific Rim (2013).

 

Power Rangers garapan Dean Israelite bukan hanya berjuang pada konsistensi naskah, namun juga kesulitan buat nentuin pijakan ke mana film ini akan dijual. Babak pertama dan kedua Power Rangers terasa LEBIH COCOK BUAT DITONTON OLEH REMAJA yang udah lumayan dewasa, karena there’s no way anak kecil bisa betah dicekokin cerita pengembangan karakter dengan pacing seperti ini. Sedangkan babak terakhir adalah big-action total yang enggak peduli lagi sama kedaleman tokoh dan lain-lain. But actually, dua babak pertama itulah yang jadi bagian favoritku. Iya, film ini niru The Breakfast Club dengan tokoh-tokoh kita kena detensi segala macem, namun selama itu jadi alasan supaya para tokoh ini jadi punya karakter dan backstory, aku toh seneng-seneng aja. Paling enggak, filmnya sendiri jadi jauh lebih berbobot ketimbang Kong Skull Island (2017). Kalo ada orangtua yang ngajak anak-anak kecil nonton film ini, maka mereka pastilah canggung ketika film ngebahas siapa para tokoh. Mereka bukan the perfect hero, mereka remaja bermasalah, like in, masalah yang lebih dewasa. And in the end, orangtua dan anak kecil pada sepakat mereka ingin film ini cepet-cepet beralih ke adegan robot berantem melawan monster.

Jason adalah atlet sekolah yang udah ngecewain ayahnya lantaran ketangkep tangan dalam sebuah tindak prank, dan sekarang kelangsungan prestasinya dipertaruhkan. Kimberly dijauhin oleh temen-temen setelah insiden penyebaran foto tak-senonoh. Zack adalah penyendiri yang salah-dimengerti oleh orang lain, dia actually taking care ibunya yang sedang sakit. Triny adalah anak baru yang rebelling against semua stereotipe, dan film ini berani banget mengangkat Triny sebagai pahlawan anak-anak yang openly admit that she’s gay. Dan sebagai heart of the group, ada Billy; autis, korban bully, kena detensi lantaran kotak makan siangnya meledak. Film benar-benar menyempatkan waktu supaya karakter kelima anak ini terbangun dengan baik, sehingga pada akhirnya kita memang menjadi peduli kepada mereka. Menjadi Ranger enggak sekonyong-konyong bisa berubah dan bertarung, kita akan melihat mereka kesusahan untuk berubah. Mereka gagal bekerja sebagai sebuah tim, di sinilah letak hook cerita; tentang gimana remaja ini berusaha saling mengenal satu sama lain, despite of their angst and their problems. Kita terinvest kepada mereka, momen saat mereka beneran bisa berubah (and that’s not until 90 minute into this movie) terasa sangat menghentak.

Adegan api unggun semestinya adalah salah satu adegan terpenting di film ini, namun sayangnya adegan tersebut tidak terasa lebih dari sekedar tiruan The Breakfast Club. Alasan kenapa dalam Power Rangers development karakter seperti begini tidak maksimal adalah karena ada perbedaan kebutuhan tokoh dari kedua film ini. Pada The Breakfast Club, remaja-remaja tersebut kudu bisa melihat bahwa di balik label mereka adalah pribadi yang sama, so in the end they wear the labels proudly together karena mereka tahu label-label tersebut tidak berarti apa-apa. Pada Power Rangers, label ini coba diaddress but it doesn’t do anything karena pada akhirnya para tokoh menggunakan topeng untuk menutupinya. Mereka berubah, literally, mereka mencari sisi baik dari sifat mereka. Mereka enggak bisa berubah, sebelum mengubah ‘diri’ mereka masing-masing. They hide their labels instead.

 

Sebagaimana terdapat shot-shot yang diambil dengan keren – aku suka kerja kamera yang acapkali bikin kita ngerasa so-in-the-moment – penampilan akting para pemain yang kece pun cukup mumpuni. Enggak ada yang keliatan kayak akting level FTV. Mereka semua capable menyampaikan emosi meskipun memang penulisan ceritanya tidak pernah berhasil menjadi sesuatu yang punya dampak yang kuat. Ada begitu BANYAK PERGANTIAN TONE yang membuat cerita ini menjadi labil; ini mau serius apa gimana sih? Kayak di pembuka tadi, image api ledakan meteor terdissolve menjadi lambang tim sekolah dan menit berikutnya kita dapet adegan konyol soal Jason yang ‘memerah’ sapi jantan. Duh! Atau ketika setelah magnificent momen kita ngeliat Zord dan para Ranger bersiap, kita lantas disuguhi adegan Zack yang diem-diem nyobain zordnya, menghancurkan pegunungan for no reason. Di satu saat kita coba dibuat terenyuh oleh pengakuan dan rasa bersalah Kimberly, dan di saat lainnya kita diliatin Rita Repulsa sedang mengunyah donat. Film ini berpindah dari serius ke sepele tanpa tedeng aling-aling, dan itu bukanlah gimana film yang bagus dibuat.

Bicara soal Rita Repulsa, Elizabeth Banks bermain cukup total sebagai penjahat utama. Penampakannya nyeremin. Tapi ada yang kurang pada tokohnya ini. Dengan pahlawan kita yang enggak lurus-lurus amat, Rita juga enggak terasa terlalu jahat. Motifnya standar, dia enggak benar-benar ngelakuin hal yang membuatnya menjadi sosok penjahat yang berbeda. Sukur waktu Rita kalah dan ditampar ke luar angkasa, film ini enggak ngebikinnya kayak adegan kekalahan Team Rocket di kartun Pokemon hhihi

Goldar “Crush” is about to visit the Suplex City

 

Action yang kita tunggu-tunggu dateng barengan sama perasaan nostalgia. Ada sensasi di hati begitu lagu tema Power Rangers terdengar. Aku ngikik ngeliat mereka berantem sambil nyeletuk-nyeletuk lucu. Aku terlonjak ngeliat ‘the real’ Tommy dan Kimberly muncul sebagai cameo di menjelang akhir. Koreografi berantemnya terlihat menyenangkan dan power ranger banget. Aku pada akhirnya bisa memaklumi perihal penampakan kostum baru mereka yang tampak terlalu ngerobot, karena ternyata film berhasil ngejual aspek kostum ini sebagai sesuatu yang benar-benar dibutuhkan oleh Rangers. Efeknya juga keren. Terlihat berat beneran. Saat mereka lari dari markas ke mulut goa, aku kepikiran kayaknya berat banget memakai kostum tersebut.

Dan memang hanya nostalgialah yang jadi andelan babak ketiga. Segala build up tuntas remeh begitu saja. Adegannya memang seru namun tidak ada apa-apa lagi di sana. Standar huge-explosive-big-fight-scene. Penampakan Zordnya aneh, aku heran kenapa zord Ranger Hitam bukan Mastodon kayak di original. Megazordnya terlihat rapuh dan enggak gagah. Begitu juga dengan Goldar. Karakter-karakternya juga mundur jadi cheesy. Bagian inilah yang paling mudah dinikmati oleh anak kecil, karena yang kayak beginilah the real Power Rangers. But at this point, kita sudah nunggu terlalu lama, capek oleh pergantian warna cerita, sehingga kita enggak bisa lebih peduli.

 

 
Ini adalah action superhero movie yang cukup seru. Berusaha menjadi dewasa, meski tidak menyumbangkan hal yang baru dalam elemen berceritanya. Dari semua remaja berattitude tersebut, Ranger favoritku adalah Triny, si basketcase of the group. CGI bekerja lumayan baik, tampilan Zordon, Alpha, dan kostum Rangernya keren dan terlihat kekinian. Zord, robot, dan monster, sebaliknya, terlihat parah dan generic. Jika saja film ini ‘tahu diri’, jika saja film ini tidak terlalu banyak berganti-ganti tone, jika saja film ini enggak labil dan masukin banyak elemen film lain yang lebih sukses, kita akan bisa lebih mengapresiasinya. But no, jurus Megazord melawan Goldar adalah German Suplex, kayak di film Dangal (2016), aku enggak ngerti kenapa jurusnya mesti itu; tokohnya enggak ada yang pegulat padahal. Film ini kesulitan bahkan untuk mastiin buat siapa dirinya dibuat. Mestinya Jason dan teman-teman belajar berubah dari film ini, karena ada begitu banyak perubahan tone di sepanjang narasi. Alih-alih menjadi fun dan cheesy seperti biasa, film ini berubah menjadi dua hal lagi; aneh dan sedikit tidak-nyaman untuk ditonton.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for POWER RANGERS.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

BEAUTY AND THE BEAST Review

“Sometimes, if you truly love somebody, you have to let them go their own way. And if it’s true love, it will find it’s way back to you.”

 

 

Buatku, menyongsong film Beauty and the Beast ke bioskop ini rasanya seperti menjemput kembali seorang teman lama. Bersama Petualangan Menuju Pusat Bumi karya Jules Verne, cerita bergambar Beauty and the Beast adalah buku cerita pertama yang aku punya. Aku bahkan dapat dua buku itu sebelum aku bisa membaca. Aku masih ingat tampang kesel orangtuaku setiap kali aku minta bacain ulang ceritanya, setiap hari. Jadi terkadang aku cuma melototin gambar-gambarnya. Scene Beast berantem ama serigala, Beast diobatin oleh Belle, Beast kena panah Gaston, cerita dongeng ini strike the little me sebagai pengantar tidur yang magical. Dan setelah bertahun-tahun kemudian, aku duduk, sekali lagi diceritakan – kali ini oleh gambar-gambar manusia yang bergerak — tentang kisah yang sudah familiar, hanya saja sekarang aku sudah bisa ‘membaca sendiri’. Actually, sekarang aku menontonnya sembari mengeksaminasi ceritanya. It’s like being jugemental to an old friend. Dan aku sangat puas, karena teman lamaku ini tidak banyak berubah.

Film ini pretty much MENGIKUTI FORMULA CERITA ORIGINALNYA nyaris pada setiap aspek. Dari adegan ke adegan. Lokasi ceritanya sama, kejadian demi kejadian pun sama. Sebuah istana kerajaan yang dapet hadiah kutukan berkat ulah selfish dan kasar dari si pangeran. Seluruh penghuni istana itu sekarang menjadi benda-benda kayak jam, cangkir teh, lemari, dan candlestick. Kemudian ada si Belle, cewek kutu buku yang harus tinggal di dalam istana tersebut. Belle ‘dikurung’ di sana lantaran para penghuninya ingin Belle bisa jatuh cinta kepada si pangeran yang kini berbulu dan bertanduk dan bertaring. Dengan harapan kutukan terhadap mereka bisa hilang. Hanya ada beberapa adegan baru yang diselipin yang enggak kita temukan pada versi animasi klasiknya. Mereka menambah sedikit elemen baru, mengupdate beberapa sehingga lebih sesuai dengan modern day. Namun secara keseluruhan, ini adalah film yang sama dengan versi animasi tahun 1991, bedanya kali ini diceritakan dalam format live action. Yang mana semuanya terlihat sangat good-looking.

“after all, this is France”

 

Tapinya lagi, keterlalusamaan tersebut bukanlah tergolong cela. Maksudku, kalo enggak ada yang udah rusak, kenapa mesti diperbaiki, ya gak sih. Beauty and the Beast yang sendirinya adalah adaptasi dari kisah rakyat Perancis adalah memang cerita yang udah bagus dan indah. Bukan tanpa ada alasan loh animasi klasik Disney tersebut jadi film animasi pertama yang sukses nembusin diri berkompetisi di nominasi Best Picture Academy Awards. Aku senang (dan honestly, lega) film ini enggak sok-nekat dan mengubah formula gila-gilaan. Beauty and the Beast 2017 adalah FILM JELITA YANG BIKIN BAHAGIA setiap mata yang melihatnya.

Lagu-lagu yang sudah begitu dicintai are still there in the film. Emma Watson dan Dan Stevens, malahan seluruh pemain melakukan kerja yang sangat baik dalam menampilkan musical numbers mereka. Musik film ini begitu asik untuk didendang. Ada beberapa tambahan lagu juga, namun enggak kerasa jomplang dengan lagu klasik, karena film ini actually menghadirkan komposer dari film original untuk nanganin departemen musik dan lagu.

Lagu Evermore yang dinyanyikan oleh Beast dalam film ini bener-bener hits me hard. Tidak lagi aku melihat cerita ini sebagai “kita enggak boleh ngejek orang jelek, nanti kita jadi jelek juga” kayak yang dinasehatin mamaku setiap kali beliau selesai bacain bukunya. Beauty and the Beast juga adalah cerita tentang unrecruited love; tentang berkorban demi sesuatu yang kita cintai. Beast belajar memenjarakan Belle tidak akan menumbuhkan cinta, dia perlu untuk membiarkannya pergi. Karena letting people go so they can be happy adalah salah satu bentuk paling nyata dari cinta sejati.

 

Seluruh pesona magis dari film originalnya berhasil ditangkap dengan sangat permai. Musik, production design, dan penampilan para pemain terasa fantastis. Bill Condon dalam film ini membuktikan bahwa Twilight Breaking Dawn bukanlah salah arahannya hahaha. Di bawah penanganannya, Beauty and the Best tampil dengan kostum cantik dan set yang glamor. Semuanya stunning banget. Tentu saja ada banyak penggunaan CGI dalam film ini, dan dilakukan dengan begitu terinkorporasi ke dalam elemen live-action sehingga semuanya tampak mulus. Tokoh-tokoh benda anthropomorphic digambarkan, tidak dengan imut, tetapi lebih kepada agak-menyeramkan karena film ingin menekankan kepada tema lihat-lebih-jauh-dari-sekedar-tampang-di-luar. Motion capturenya juga bekerja dengan fluid dan sangat baik. Aku suka pembawaan Dan Stevens sebagai Beast. Dia tampak sangat simpatis, namun pada saat yang sama kita enggak benar-benar kasihan padanya hanya karena dia sudah dikutuk.

Tokoh manusia juga terasa sangat hidup. Desa kecil mereka tampak vibrant sekali ketika Belle berkeliling, nyanyi bareng penduduk. Emma Watson sebagai Belle yang mandiri, strong, independen, tapi matanya kelihatan merindukan sesuatu – always long for more terlihat sangat comfort memainkan perannya. Meski begitu, Emma tampak sedikit terlalu pintar buat menyampaikan efek terperangah ketika melihat sesuatu yang ajaib. Cerita sepertinya memang meniatkan buat Belle tampak lebih nyaman berada di istana dibandingkan di kampungnya yang penuh prasangka terhadap persona yang berbeda, but it just sometimes kita ngarepin ada sedikit lebih banyak lagi emosi terkuar dari ekspresi Belle. Salah satu delivery Emma yang aku suka adalah ketika ngeliat tampangnya saat dibawa masuk oleh Beast ke dalam perpustakaan istana. Gaston, however, adalah tokoh yang sangat sempurna dibawakan oleh Luke Evans. Entertaining, deh. Si narsis ini napsu banget ngejar Belle, tapi Belle just want nothing to do with him. Dan dia enggak segan-segan ngebully hanya untuk memperkuat poinnya.

Jika kalian udah pernah nonton atau baca animasinya originalnya (aduh, masa ada yang belum sih?), kalian akan tau ada sedikit dark message dari cerita Beauty and the Beast. Bahwa benih cinta Belle dan Beast tumbuh dari perasaan mutual seseorang yang dikucilkan. Belle dikata-katain karena suka baca buku, ayah Belle dianggap gila karena sedikit eksentrik. Penduduk desa instantly ingin membunuh Beast setelah melihat wujudnya. Lewat Gaston, film ini mendemonstrasikan kecenderungan masyarakat untuk lebih ‘menghargai’ pembully selama mereka punya karakteristik yang sama dengan society.

 

 

Salah satu dari sedikit elemen yang dibengkokkan oleh film ini adalah gimana hubungan Belle dan Beast terbentuk. Dua tokoh sentral ini diberikan backstory yang baru. Kita melihat sejarah keluarga Belle lebih jauh dalam sekuen adegan yang aku sebut dengan sekuen Buku-adalah-Jendela-Dunia. Hahaha, beneran, aku suka gimana film ini RESPEK BANGET SAMA BUKU. Jaman sekarang buku udah mulai ditinggalin, majalah aja banyak yang pindah ke online, aku harap setelah nonton Beauty and the Beast, penonton muda jadi penasaran pengen ngerasain gimana rasanya bertualang bersama buku. Dalam film ini, Beast dikutuk saat dia udah gede dan ketika dia suda menjadi monster, dia masih bersikap sama dengan ketika dirinya masih manusia. Dia cerdas. Dan dia juga suka baca buku. Belle dan Beast berbagi saling kecintaan mereka terhadap buku, saling berbagi pengetahuan, bertukar pikiran, mereka tidak tumbuh jatuh cinta karena Belle kasian dan ngajarin Beast banyak hal kayak di versi 1991. Dalam film ini hubungan mereka terasa lebih mutual dan lebih grounded. Adegan Belle bilang dia suka Shakespeare dan Beast pasang tampang “lu mainstream banget sih, buku lain banyak kali” adalah salah satu adegan termanis buatku.

Begini jualah tampangku ketika pertama kali tahu dan diajak masuk ke toko buku Kinokuniya

 

 

Film ini juga mutusin buat ngetweak certain character. Ada portrayal yang bakal bikin orangtua merasa awkward udah ngebawa anak-anak nonton film ini. Peran tersebut ‘disamarkan’ dengan baik sebagai comic relief, meski saga nya actually berjalan beriring dengan tema unrecruited love yang jadi salah satu bahasan utama film ini. Disney udah ngambil keputusan yang berani buat masukin elemen tertarik-kepada-sesama-jenis ke dalam film buat keluarga. Kita boleh saja bersikap open-minded, namun kita juga gak bisa nyalahin kalo ada yang sampe ngelarang film ini tayang di negara mereka. Ataupun kalo ada orangtua yang enggak suka. Ini adalah masalah yang bisa dimaklumi meski padahal sebenarnya sejak dulu Beauty and the Beast selalu jadi korban becandaan soal bestiality.

 

 

 

Film ini menambah daftar keberhasilan Disney dalam mengadaptasi animasinya ke dalam live action setelah Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), dan Pete’s Dragon (2016). I was very happy with what I got. Jejeran castnya really on-point. Ini adalah film yang cantik, menawan kita kayak Beast menawan Belle, fantasi yang ajaib, cerita cinta yang manis dan mengharukan. Punya inklinasi yang jauh lebih dalem dari sekedar “buruk di luar belum tentu buruk di dalam”. Namun buat yang ngarepin tontonan yang lebih original dan yang benar-benar berbeda dari versi sebelumnya mungkin bakal kecewa karena urgensi magisnya memang jadi berkurang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BEAUTY AND THE BEAST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

KONG: SKULL ISLAND Review

“You have enemies? Good. That means you’ve stood for something, sometime in your life.”

 

 

Bertamu ke rumah orang, kita mestinya sopan. Kita enggak gedor pintu depan rumahnya. Kita enggak nyelonong boy masuk tanpa permisi, apalagi kalo belum kenal. Kita enggak lupa nyiram kamar mandi sekiranya kita numpang ‘ngebom’. Heck, kita should never ngebom beneran rumah orang yang kita datengin. Tapi tim ekspedisi dalam film Kong: Skull Island terbang masuk ke pulau misterius yang baru saja ditemukan lewat citra satelit sembari memborbardir daratan. Tim yang terdiri dari beberapa ilmuwan dan sekelompok tentara itu dikirim dalam  sebuah misi pemetaan. Tentu saja, misi tersebut punya tujuan lain dan dengan segera investigasi mereka berubah menjadi acara penyelamatan diri lantaran pulau tersebut ternyata dihuni oleh monster-monster superbesar. Dan yang paling gede di antara mereka, Kong si primata raksasa, enggak demen daerahnya kemasukan tamu asing yang kasar. Berisik pula!

Beberapa sekuens aksi dan kejar-kejaran yang dihadirkan oleh film ini sangat impresif. Dan menyenangkan juga, bikin kita geregetan sendiri. Selalu menarik melihat makhluk-makhluk gede saling berantem. Actually, reboot film King Kong klasik (1933) ini adalah bagian kedua dari, atau katakanlah, ‘sekuel terpisah’ dari seri monster yang dimulai oleh Godzilla (2014). Sepertinya memang mereka berniat buat bikin cinematic universe ala-ala yang dilakukan oleh Marvel. Film ini bahkan PUNYA ADEGAN EKSTRA SEHABIS KREDIT loh. Dan kalo nantinya dunia cerita ini (mereka menyebutnya MonsterVerse) berujung dengan Kong bertemu Godzilla, well kupikir kita sudah tahu siapa yang akan menang. Kita, para penonton!

Monkey see Marvel, Monkey do Marvel

 

Ngeliat Kong menumbuk monster-monster lain adalah hiburan mutlak. It looks very cool. It’s a gigantic monster versus gigantic monster. Kalo itu enggak menghibur maka aku enggak tahu lagi apa kriteria untuk bisa masuk kotak berjudul menghibur. Adegan PERTARUNGAN TERAKHIR SI KONG ADALAH YANG TERBAIK. Sekuensnya selalu disyut dalam wide shot yang panjang dan benar-benar kerasa epik. Jordan Vogt-Roberts, sutradara film indie keren; The Kings of Summer (2013), kepilih untuk ngegawangi film ini. Kayaknya sekarang memang sudah jadi kebiasaan Hollywood buat ngegaet sutradara muda yang udah sukses nelurin karya independen. Godzilla sebelum ini, disutradari oleh Gareth Edwards yang ngeroket dengan film indienya; Monsters (2010). Film Jurassic World (2015) jugak ditangani oleh sutradara indie. It’s nice Hollywood ngasih kesempatan. Namun berkaca dari hasil akhir proyek-proyek blockbuster yang mereka tangani, aku jadi suudzon kepikiran; jangan-jangan Hollywood iri dan sengaja ngasih skrip seadanya buat sutradara-sutradara ini kerjakan.

Mas Hollywood: “Selamat yaah buat 500 Days of Summers”
Mark Webb: “Makasih, Mas. Ajak-ajak dong kalo ada proyek hehehe”
Mas Hollywood: “Oh boleh. Nih!”
(Ngasih naskah The Amazing Spiderman)
Mas Hollywood: “Coba kita lihat bisa enggak kamu bikin jadi lebih bagus”
Mark Webb: (ragu-ragu abis baca skrip sekilas) “Anu..dicoba ya, Mas…”
Mas Hollywood: “Sanggup ya sanggup, enggak ya enggak. Kamu mau gak?!”
Mark Webb: “….Oke deh…”

 

Aku enggak tahu apakah kejadiannya beneran seperti itu, namun setelah selesai menyaksikan Kong: Skull Island, pikiran negatif memang tak terbendung lagi. I kinda feel bad buat sutradara film ini. You know, seolah sutradara-sutradara indie adalah tamu di scene Hollywood, dan penghuni-penghuninya enggak suka kemudian lantas mengospek dengan memberikan materi yang banyak kurangnya.

Ketika di atas tadi aku nulis soal final battle Kong adalah yang terbaik, sebenarnya yang aku maksudkan adalah literally seperti demikian.  Adegan berantem Kong, terutama yang di akhir itu, bener-bener adalah kerja terbaik yang diberikan oleh film ini dari awal sampai akhir. Arahan film ini nyatanya lumayan jelek. Ketika kamera ngeliatin Kong, ya semuanya keren dan seru dan fun. Tetapi ketika kita nunduk ngeliat para tokoh manusia, maka kita akan ngeliat tubuh-tubuh yang siap jadi karung tinju Kong beserta penghuni pulau lainnya. Tidak ada karakter sama sekali. Film ini sempat nyinggung soal hollow earth, well yea, padahal dirinya sendiri sangat kopong dalam pengkarakteran. Editing filmnya juga terlihat kasar, dengan perpindahan yang agresif secara visual. Sebenarnya aku sedih juga ngerasa annoyed sama cara film ini disambung.

Pada bagian action, film ini banyak makek gaya slow-motion yang membuat kita jadi teringat sama film-film action Michael Bay. Sekuen berantem di bar di babak awal diedit dengan begitu parah sehingga kayak film kelas amatir. Mendengar dari musik pada banyak adegan, film ini pengen mengeluarkan suasana layaknya film perang, hanya saja terdengar enggak klop sama ‘dunia’ yang berusaha dibangun oleh ceritanya. Apocalypse Now dengan Moby Dick enggak bisa nyatu sempurna hanya karena kita muterin lagu CCR sebagai latar. And don’t make me start on the humor. Lelucon-lelucon yang terujar di sepanjang film, nyaris semuanya enggak lucu, garing. Film ini berusaha keras buat jadi lucu, but it just doesn’t work. Karena kita enggak dibuat peduli sama tokoh-tokohnya. Karena film ini tidak berhasil menghasilkan tone yang selaras.

 

Hanya dua karakter yang bisa dibilang menarik di dalam film ini. Tokoh yang diperankan oleh Samuel L. Jackson dan John C. Reilly. Cuma mereka juga yang berhasil bikin kita terkekeh ketawa. Tapi itu pun bukan karena penulisan yang oke, melainkan karena dua aktor ini actually sudah sangat kompeten dan lucu. Kharisma merekalah yang membuat dialog yang mereka ucapkan jadi ngena dan berbobot.

Hank Marlow yang diperankan John C. Reilly punya backstory cukup kompleks sebagai pejuang Perang Dunia Kedua yang terdampar di pulau ini bersama seorang tentara Jepang. Musuh menjadi teman ketika orang ngadepin masalah yang sama. Sejarah tokohnya ini sebenarnya bisa jadi landasan yang compelling sebagai pemantik emosi, namun film memutuskan bahwa Marlow paling suitable jadi karakter eksposisi semata. Marlow yang udah tinggal di pulau sejak Perang tersebut, hanya ditujukan sebagai pemberi info. Dia jadi bintang cuma di adegan eksposisi gede saat dirinya ngajak para tokoh lain ke sebuah ruangan yang banyak gambar-gambar di dinding batu, di sana dia nyeritain sejarah pulau dan peran Kong di pulau tersebut.
Tokoh Samuel L. Jackson, Jenderal Packard, ditulis punya semacam hubungan spesial dengan perang. Dia terlihat bergairah ketika mendapat panggilan tugas ke Pulau, padahal tadinya dia lesu sebab kloternya akan dipulangkan dari medan pertempuran. Penokohannya menarik, ada sesuatu di dalam dirinya, kita bisa rasakan kenapa dia butuh banget berperang. Dia menanamkan rasa dendam hanya supaya dia bisa terus punya misi. Dia ngerasa enggak hidup jika enggak mengangkat senjata, ataupun jika enggak ada perintah.

Apa yang membuat sesuatu kita anggap musuh. “Musuh itu tidak ada, sampai kita mencarinya”, film ini menggelitik kita dengan kalimat tersebut. Pertanyaan yang penting adalah kenapa kita merasa perlu mencari musuh. Dalam film ini, kita melihat Jenderal Packard terus mencari ‘musuh’ karena dia ingin menunjukkan bahwa dia punya prinsip di dalam hidup. Dia punya sesuatu yang ia lindungi, begitu juga dengan Kong. Tapi yang harus disadari adalah kita juga perlu membuka diri karena tidak semua intervensi adalah serangan; bahwa kita bisa unite dalam menghadapi sesuatu yang lebih besar lagi.”

 

Selebihnya, populasi film ini adalah tokoh-tokoh manusia yang kosong. Mereka membosankan. Ada sih yang dibikin punya anak yang menunggu di rumah, tapi kita enggak peduli. Mereka ini adalah tokoh yang diciptakan supaya Kong dan monster-monster lain punya kerjaan. Karakter yang diperankan oleh Tom Hiddleston adalah veteran keren yang jago ngetrack orang dan piawai berantem pake tongkat biliar. That’s it. Dia diajak ke Pulau karena kemampuannya ngelacak. Cuma ada satu adegan di mana dia ngobrol hati-ke-hati mengenai apa yang terjadi di masa lalunya. Tokohnya Brie Larson lebih parah lagi, cewek ini adalah fotografer. Titik, itu karakternya; liat tulang gede, dijepret. Liat suku asli, dijepret. Liat Kong berantem, dijepret. Dia enggak benar-benar ngelakuin apapun, she’s so bland.

syarat casting film ini: cakep, bisa lempar granat, dan bisa lari slow motion.

 

Visualnya juga enggak bagus-bagus amat. Beberapa momen malah terlihat palsu, kelihatan kayak tidak benar-benar ada di sana. Aku mengucek mata ketika melihat satu adegan di babak tiga, di mana Conrad dan Mason berada di antara Kong dengan Packard, karena adegan tersebut kelihatan kayak the worst green screen, kayak yang pernah kita tengok di prekuel Star Wars. Juga ketika Mason mencoba menyentuh Kong, seharusnya adegan ini sangat emosional, tapi jangankan kita, tokoh Masonnya sendiri kelihatan tidak konek dengan adegan tersebut. Jika The Jungle Book (2016) yang disyut di green room dan kelihatan kayak di hutan beneren, maka Kong: Skull Island ini kebalikannya; sebagian besar berlokasi di lapangan betulan, namun malah seluruhnya kayak ditake di dalam studio. Padahal mestinya mereka bisa bermain banyak dengan environment Skull Island yang misterius dan keren.

 

 

 

Usaha yang dilakukan oleh film ini buat nutupin kehampaan karakternya adalah dengan mendedikasikan babak ketiga sepenuhnya sebagai babak aksi dahsyat. Persis kayak yang dilakukan oleh Rogue One (2016). Mereka mengisi film dengan hal-hal yang ngereferensiin sesuatu yang sudah kita kenal sehingga kita excited, dan membawa sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang enggak mateng digarap ke sekuens impresif di babak akhir supaya kita ngerasa “wuihhh!” dan berpikir bahwa ini adalah film yang bagus. Tapi enggak. Ini cuma usaha lain dalam mengulang dan meniru dunia sinematik Marvel demi mendulang uang. Buat yang suka ngeliat Kong berantem lawan monster doang, film ini akan menghibur berat. Namun jika suka liat monster kelahi dan actually peduli sama karakterisasi dan hal lain semacamnya, kalian enggak rugi kok kalo enggak nyempatkan waktu singgah ke hollow world film ini.
The Palace of Wisdom gives 4.5 gold stars out of 10 for KONG: SKULL ISLAND.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.