POHON TERKENAL Review

“..It is emphatically no sacrifice, say rather it is a privilege.”

 

 

 

Kalo ada yang bilang kebahagiaan orangtua itu bukan tanggung jawab anak; bahwa berkorban demi kebahagiaan orang lain itu bukanlah kewajiban kita, maka aku akan seratus persen setuju. Film tentang kehidupan anak remaja di akademi polisi garapan Monty Tiwa dan Annisa Meutia juga setuju dengan pernyataan demikian. Malahan, drama yang merupakan produksi dari Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia punya gagasan – sudut pandang – lain yang melengkapi pernyataan tersebut.

Mengorbankan diri supaya orang lain bahagia bukanlah bentuk dari kewajiban yang harus kita lakukan, melainkan adalah sebuah hak; sebuah kesempatan yang tidak bisa didapat oleh semua orang.

 

Tengok Bara, tokoh utama dalam cerita kita. Diperankan oleh Umay Shahab yang dengan sukses menangkap tengil karakternya, Bara kelewat bernazar untuk masuk Akpol jika ibunya sembuh – yang oleh film dimainkan sebagai komedi saat ibunya langsung sembuh setelah Bara bernazar. Bara tidak mau berada di sana, siapa sudi guling-guling ampe badan kotor, push-up ampe idung keringetan, diospek oleh senior-senior galak yang malah harus dia anggap sebagai kakak asuh. Tapi dia harus, karena ya dia udah terlanjur bilang mau, mesti hatinya gak mau. Karena setengah hati begitulah, maka Bara jadi sering kena hukum. Tokoh ini udah kayak si ‘Gomer Pyle’ Leonard di film Kubrick yang berjudul Full Metal Jacket (1987). Sampai akhirnya Bara kenal ama Ayu (terjawab sudah kenapa Laura Theux rela berbondol ria), seorang taruni anak jenderal yang semangat banget untuk mengisi hari-hari akademinya dan jadi lulusan terbaik mendapat penghargaan Adhi Makayasa. Shahab secara perawakan memang mirip si Gomer Pyle, tapi meskipun sama males dan ‘lemah’nya, tokoh Bara di film ini enggak setwisted itu. Malahan saat dia bicara setelah bertemu Ayu yang cantik, Bara jadi lebih mirip seperti Dilan. Hubungan dengan Ayu membuka mata Bara dalam melihat keadaan hidupnya.

Bara juga jago ‘nembak’.

 

Keparalelan plot dua tokoh ini menjadi sentral cerita. Dan kita musti menjangkau cukup panjang untuk dapat menangkap pesan di balik drama, komedi, juga kepentingan citra polisi yang tergabung dengan mulus. Di satu sisi kita punya Bara yang enggak mengerti kenapa dia harus ada di sana, selain karena nazar. Film bahkan membuat zero stake buat Bara; masuk Akpol gratis sehingga Bara sebenarnya bisa kabur keluar begitu dia punya kesempatan, dan tidak rugi apa-apa. Malahan hampir seperti dia sengaja berbuat ulah dan kesalahan, supaya dikeluarkan. Di sisi lain, Ayu punya konflik personal sebagai anak Jenderal. Orang-orang mengira dia gak bisa apa-apa dan hanya ada di sana karena bokapnya. Ibu Ayu sudah meninggal saat melahirkan dirinya. Jadi, Ayu begitu bedeterminasi untuk mengisi hidup yang sudah diberikan kepadanya oleh sang ibu, mengisi kesempatan yang diberikan padanya oleh sang ayah, untuk menjadi manusia yang berguna. Bagi Ayu, just being there – baik itu di Akpol dan di dunia – adalah hak yang tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Adegan debat bahasa Inggris yang mempersoalkan aborsi bayi menjadi begitu personal buat Ayu, makanya dia mendadak jadi intens dan emosional. Ayu merasa bersalah karena ibunya meninggal lantaran memilih untuk melahirkan dirinya. Ini berseberangan sekali dengan Bara yang justru merasa disusahkan gara-gara ibunya.

Kedua tokoh ini sama-sama tidak mau berada di tempat mereka berada sekarang, literally dan figuratively, dan cerita menuntun mereka untuk menyadari bahwa mereka berhak berada di sana. Ayu menyadari ini lebih cepat. Seperti ibu yang dia anggap pahlawan, betapa bangga sesungguhnya jadi manusia yang berkesempatan untuk berkorban sehingga berguna bagi orang lain. Makanya Ayu jadi orang yang paling menentang Bara melakukan desersi. Dia ingin Bara melihat kesempatan yang sudah diberikan kepadanya, karena masuk Akpol juga gak sembarang orang yang bisa. Bagi Ayu, Bara justru menyia-nyiakan kesempatan untuk berkorban dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan di sinilah kenapa Bara menjadi seorang tokoh utama yang begitu annoying. Cowok ini gak mau belajar. Naskah mengambil resiko yang sangat besar saat membuat tokoh utamanya gak punya motivasi. Tentu, lucu melihat dia cari-cari alesan untuk enggak ikutan latihan. Tapi sebagian besar waktu, Bara enggak ngapa-ngapain. Perjalanan tokohnya kalah menarik ama Ayu yang punya backstory yang detil, punya sesuatu yang ingin diraih, punya stake berupa nama baik Ayah dan pembuktian bagi dirinya sendiri. Bahkan tokoh Yohanes yang diperankan oleh komika Raim Laode yang nyata-nyata hanya sebagai pemantik komedi utama, terasa lebih menarik dan hidup, dan punya motivasi (pengen gabung band dong si Glenn Fredly haha!) ketimbang Bara. Pilihan arahan cerita pun sebenarnya juga aneh. Midpoint cerita ini, you know, point of no return bagi Bara adalah ketika dia jatuh cinta; itu pun karena dicium duluan oleh Ayu. Bara knowingly memakan umpan ‘cinta’ dari Ayu. tidak pernah untuk menjadi lulusan yang polisi yang baik, buat Bara. Cerita berubah jadi drama cinta remaja sejak titik ini untuk membangun gimana pada akhirnya Bara melihat pengorbanan diri sebagai suatu pilihan, alih-alih keharusan. Film ini bisa terjun sangat jauh, karena sudut pandang cerita ini nyaris berganti dari Bara ke plot Ayu yang lebih menarik dan dominan. Namun film menyelamatkan diri dengan memperlihatkan bahwa Bara adalah yang paling drastis berubah karena dukungan dan pengaruh orang-orang di sekitarnya.

ceritanya hampir jadi ftv remaja berjudul Hatiku Ditangkap Taruni Cantik

 

Film benar-benar ngepush diri untuk bisa dengan gampang disukai dan diterima oleh banyak penonton. Kadang romantisasi itu dilempar begitu saja ke muka kita, kayak pas adegan dihukum sit-up seharian, kemudian hujan turun dan Bara menemukan Ayu ikutan sit-up di dekatnya. Dan kemudian mereka bangun, Ayu pergi, dan Bara gak lanjutin hukumannya karena dia memang gak pernah peduli sama semua itu. Elemen komedi film ini datang dari dialog yang seringkali fresh sebab berada di panggung yang jarang kita lihat. Akademi polisi, kita lihat proses latihan yang keras dan upacara-upacara yang khas. Tradisi dan batasan yang tak boleh mereka langgar, juga jadi informasi yang menyenangkan untuk kita terima. Mungkin bagi penonton cukup terlihat aneh gimana Bara yang salah tapi temannya yang turun push-up. Tapi actually, hal tersebut juga paralel terhadap pesan yang ingin film ini lontarkan.

Aku dulu kuliah di Fakultas Teknik Geologi, dan kami mendapat ospek yang kami menyebutnya  dengan istilah ‘mabim – masa bimbingan’ selama enam bulan. Yang dipleset lanjut oleh anak-anak sebagai ‘masa bimbingan kayak gitu’. Ospek kami mungkin gak sekeras latihan Akpol beneran, namun banyak miripnya dengan yang kita lihat di film ini. Dibentak-bentak, disuruh lari, dihukum ketika ada teman yang melakukan kesalahan. Aku masih ingat dulu temanku pernah ada yang ketawa saat senior lagi bentak-bentak drama, maka kami dipush-up beberapa seri (satu seri sama dengan sepuluh kali) sementara mereka yang tertawa tadi disuruh berdiri ngiterin pohon, disuruh ngetawain tuh pohon sekeras-kerasnya barulah kami boleh berhenti push-up. Pohon Terkenal adalah istilah bagi taruna yang sering ‘nyusahin’ teman-temannya, atau dalam istilah yang kukenal adalah Penjahat Angkatan. Aku sendiri dulu termasuk Penjahat Angkatan di masa kuliah, karena aku sering ngeles bolos ospek kayak si Bara. Back to the point, tradisi seperti itu memang tak berguna, tapi buat yang pernah ikutan ospek atau semacamnya – jadi peserta dan pada akhirnya gantian jadi senior – pasti akan bilang ospek ada gunanya. Dan memang, semua aktivitas itu ada filosofinya. Atau paling tidak, di film ini ada. Menghukum teman-teman Bara adalah untuk menumbuhkan mental tidak egois. Karena apapun yang kita lakukan akan terefleksi kepada keluarga, teman-teman, atau satu angkatan. Hidup saling berkegantungan, film ingin menjadikan ini sebagai pokok penyadaran, serta sebagai pembanding hak dan kewajiban itu sendiri.

 

 

Film ini punya gagasan, punya mindset yang menjawab apa yang disebut dengan ‘paradoks pengorbanan’. Ketika kita selama ini bertanya kenapa pada mau masuk polisi padahal lingkungannya keras, kenapa mau diospek padahal kegiatannya gak jelas dan merendahkan. Tokoh film ini mengorbankan masa muda mereka, dan kita diberikan pemahaman kenapa mereka mau melakukannya. Mungkin ada yang menyebutnya propaganda, silahkan saja. Film ini toh berusaha menceritakan semua itu lewat hubungan tokoh yang lumayan menyatu dengan elemen komedi yang mampu menghibur banyak lapisan penonton, sehingga rasanya ringan dan enggak terlalu pencitraan. Film ini juga mengambil resiko dengan membuat tokoh utamanya annoying, dan buatku ini jadi titik lemah ceritanya; tokoh utamanya jadi kalah dominan – hampir seperti Ayu lah yang bisa jadi tokoh utama yang lebih menarik. Karena tokoh-tokohnya udah sering dilatih, mental film ini pun pastilah sudah sangat kuat, jadi aku enggak akan menarik pukulan dari penilaian.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for POHON TERKENAL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju dengan ospek? Bagaimana pandangan kalian tentang tradisi seperti demikian? Apakah menurut kalian pengorbanan itu adalah privilege atau justru pengorbanan berarti menggugurkan privilege?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

US Review

“Know your enemy”

 

 

 

Horor terbaru garapan komedian pemenang Oscar Jordan Peele bertindak hebat sebagai cermin buat melihat refleksi mengerikan kehidupan sosial supaya kita dapat melihat dengan jelas bahwa musuh sesungguhnya bukanlah ‘mereka’. Melainkan ‘kita’. Kita yang membuat tembok pemisah itu ada. Ralat; kita yang jadi tembok pemisah di antara kita sendiri. Jika Yowis Ben 2 (2019) bisa membuat kata ‘gandeng’ sebagai komedi yang efektif; maka film Us ini membuat bergandengan tangan yang tadinya simbol pemersatu berubah menjadi simbol yang membatasi. Dan secara kontekstual keadaan negara asal film ini sendiri, Us merupakan komentar yang kuat terhadap negara U.S. (hey bahkan judul filmnya kayak ngarah ke nama negara mereka kan) dengan bagaimana teror dalam film ini berjati diri sebagai ‘orang Amerika’ dan tokoh utamanya menjadikan Meksiko sebagai tempat tujuan keselamatan.

Mengerikan bagaimana film ini rilis berdekatan dengan kejadian seorang teroris yang menembaki jemaat Jumatan di Selandia Baru, di mana berbagai media ‘kulit putih’ memberitakannya dengan malu-malu, seolah mereka tidak mau mengakui teroris bisa datang dari golongannya. This is exactly what this Us movie is about. Lebih gampang untuk menuding mereka terbelakang, budaya yang mendukung kekerasan, yang penuh kebencian. Lihatlah betapa lincahnya media-media itu mengelak dari mengatakan pelakunya adalah “teroris dari golongan kita” – karena itu berarti seperti mengakui seluruh putih juga sama kasarnya. Atau seperti mengakui dirinya sudah salah selama ini?

Film Us mendorong kita, dari golongan apapun, untuk berhenti memberikan privilige – menyudahi dobel standar – dan menerima bahwa kekurangan itu bisa datang dari dalam diri sendiri yang telah salah melihat perbedaan sebagai pemisah

 

Menjadi komedian yang hebat sudah barang tentu dapat mengasah ketajaman seseorang dalam melontarkan kritikan dengan subtil; menangkap esensi yang ingin dibicarakan, mengamplify hal tersebut berkali lipat sehingga kita horor mendengarnya, dan kemudian mewarnainya dengan cerdas dalam warna-warni komedi. Jordan Peele ini adalah contoh nyata seorang komedian dan sekarang sutradara horot yang hebat. Dalam Get Out (2017) kita diperlihatkan pandangan yang kuat sekali tentang ketakutan terhadap ras. However, dalam film Us kali ini, Peele lebih banyak bermain-main dalam genre horor itu sendiri. Us tampil sebagai pure horor yang menyenangkan, yang memuaskan penggemar horor sepertiku yang udah jarang banget dapat horor yang berisi. Us bercerita tentang satu keluarga yang sedang berlibur, dan liburan mereka berubah menjadi petaka saat rumah mereka disatroni oleh keluarga misterius berpakaian merah, membawa gunting, dan ini nih paling horornya; berwajah mirip banget sama mereka! Jadi, Us ini balutan ceritanya berupa thriller home invasion, akan ada orang mengendap-ngendap membawa perkakas apapun yang bisa mereka temukan untuk membela diri, akan banyak tusukan di sana-sini, darah bermuncratan, visual dan musik yang eery banget (lucunya ada satu musik film ini yang ngingetin aku sama musik game South Park: The Stick of Truth).

salah satu hak istimewa yang mereka miliki adalah gak takut hitam main panas-panas

 

Perhatikan cara film menghujamkan kengerian tentang kembaran dan duality kepada kita semua di babak pertama. Kaca yang bukan kaca, frisbee yang dengan tepat menutup pola alas duduk di pantai, kemunculan terus menerus angka 11:11 sebagai sebuah simetri mengerikan – mengenai makna horor dari 11:11 secara general sudah pernah aku tuliskan di review 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) – dan bagaimana film mengaitkan angka tersebut dengan ayat kitab yang bersuara sebagai peringatan untuk hal mengerikan yang akan datang. Suspens dan ketakutan kita sudah ikut terbendung bersamaan dengan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Adelaide. Seorang wanita yang punya trauma bertemu dengan ‘gadis cermin’ saat ia tersesat di wahana taman hiburan semasa kecilnya.

Adelaide diperankan oleh Lupita Nyong’o, aktris ini akan membuat kita melongo menyaksikan kebrilianan aktingnya. Aku sendiri berharap penampilan Nyong’o di film ini akan berhasil mematahkan ‘kutukan’ Oscar terhadap genre horor. Dalam Us, tantangan bagi Nyong’O adalah memainkan dua orang yang serupa tapi tak sama. Adelaide, dan Red kembarannya. Yang satu melotot cemas, yang satu lagi melotot bikin kita pengen pipis di celana. Duality antara dua perannya ini berhasil tersampaikan dengan luar biasa. Malahan, bukan hanya Nyong’O saja. Cast lain juga bermain dengan rentak yang benar-benar mentok. Mereka harus memainkan dua versi yang berbeda dari tokoh yang sama. Adelaide punya suami dan dua anak, dan pada satu poin cerita keempat orang ini masing-masing harus berhadapan dengan kembarannya. Peran mereka menuntut banyak, dramatis dan creepy, sekaligus juga komedi. Ini actually jadi salah satu kehebatan dari arahan dan penceritaan film Us. Bahkan komedinya saja bisa begitu menyatu dengan horor. Tidak terasa terpisah, tidak ada satu karakter yang dipaksakan nyeletuk konyol untuk komedi – membuat tokohnya terkotak di sana. Komedi pada Us berjalan sama naturalnya dengan drama dan teror yang disajikan.

Yang membuat film ini berbeda dari kebanyakan horor adalah kita yang menonton merasa bahwa ceritanya yang mengusung fenomena aneh tersebut punya interpretasi yang beragam sehingga kita tertarik untuk pengen menonton lagi. Dan tentu saja, jika kita nonton ulang kita akan bisa melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menangkap maksud-maksud yang mungkin terlewat. Heck, kita akan dibuat pengen nonton lagi karena ini adalah horor yang benar-benar menyenangkan, yang dibuat dengan penuh passion. Film ini justru bertambah urgen saat kita sudah pernah menontonnya, padahal ceritanya sendiri sengaja dibuat obvious oleh Peele. I do think film ini bisa lebih baik jika dibuat lebih ambigu. Misalnya seperti Annihilation (2018) yang ditutup dengan enggak jelas apakah yang di akhir cerita itu tokoh utama yang asli atau android kloningannya. Yang akan membuat endingnya terus dibicarakan. Us dihadirkan dengan sebaran metafora, namun pada akhirnya semua kejadian itu terangkum dengan jelas apa dan kenapanya. Dan mungkin saja itu bukan pilihan yang membuat film terasa maksimal. Namun aku mengerti kenapa Peele membuat film ini punya kesimpulan yang terang. Sebab dia ingin kita semua mengerti apa yang ia sampaikan. Karena dia ingin menekankan poin-poin yang mendukung komentar dan kritiknya tentang siapa musuh kita sebenarnya. Dia ingin membuat kita membicarakan ini bertahun-tahun kemudian, alih-alih membicarakan siapa yang asli mana yang palsu.

Karena inilah poin film yang utama: semua orang sama, tidak ada asli-palsu. Tidak ada us or them.

 

 

Dan sampailah kita ke ranah spoiler. Inilah alasan kenapa aku sengaja telat mempublish review Us, karena yang udah sering mampir ke blog ini pasti tahu aku gak akan segan-segan menuliskan isi mendetail film. Jadi aku sengaja ngasih tenggat waktu sedikit supaya pada menonton dulu sebelum baca review ini. Tapi aku gak bisa menahan diri selama itu hehehe… so here it goes:

Lewat Us, Peele ingin menunjukkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakannya adalah privilege. Menurutku inilah kata kunci utama yang menjadi tema besar film horor ini. Privilege – hak istimewa. Dan bagaimana kitalah yang salah karena privilege itu yang bikin ya kita sendiri. Kita yang mengistimewakan suatu golongan di atas golongan yang lain.

 

Makanya para kembaran yang hidup di gorong-gorong bawah tanah itu disebut sebagai the Tethered – Yang Tertambat. Yang Terikat. Mereka tak punya privileged untuk bergerak. Mereka harus ngikutin kembaran asli mereka. Film memperlihatkan kembaran suami dan anak Adelaide yang paling kecil mati karena mereka harus menirukan gerakan suami dan anak Adelaide yang asli. Padahal orang-orang bawah ini, tak kalah cakap. Bahkan film menunjukkan para kembar jahat ini lebih jago lari, lebih kuat dari yang asli. Ada momen menyentuh ketika kita menyadari bahwa si anak tiruan mengalami luka bakar hanya karena api di tangannya menyala sedangkan api di tangan yang asli tidak karena yang asli kalah kompeten. Inilah kenapa film memutuskan untuk memberi tahu kita Adelaide itu sebenarnya bukan yang asli – bahwa dia dan kembarannya bertukar tempat. Karena film ingin menunjukkan bahwa tak ada perbedaan yang mendasar. Si tiruan bisa punya anak, bisa jatuh cinta, bisa punya perasaan. Mereka bisa bicara layaknya orang normal jika dilatih, sama persis ama manusia. Hanya tempat dan privilege saja yang mereka tak punya. Mereka tak bisa memilih jodoh di bawah sana karena harus menuruti versi yang tinggal di atas. Tempat juga jadi faktor yang menarik. Adelaide asli tidak kunjung normal kemampuan bicaranya semenjak lehernya dicekek waktu kecil karena tidak ada yang mengajaknya bicara di bawah sana. Keturunan Adele yang asli tak bisa berkembang normal di bawah sana. Adelaide yang asli malah merasa dirinyalah yang tiruan; karena ia tinggal di tempat yang tak mengakui siapa dirinya – the human within. Hanya ketika dia bisa menarilah, orang-orang bawah mulai mendengarnya, dan inilah yang menyebabkan Adelaide asli mulai memikirkan gerakan invasi.

Pada akhirnya, keputusan film untuk membeberkan jawaban alih-alih tetap ambigu adalah untuk mempertegas bahwa yang enggak istimewa pun bisa menjadi istimewa jika diberikan kesempatan yang sama. Pertanyaannya adalah maukah kita memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang. Semua hal. Film bioskop, misalnya, sebuah film boleh saja dapat privilege diberikan jumlah layar yang banyak sehingga mereka mendapat kemungkinan perolehan jumlah penonton yang lebih banyak dan kita berargumen filmnya pantas mendapat keistimewaan. Dan kita berargumen gak semua film bisa sesukses dia jika diberi kesempatan yang sama. Tapi dari mana kesimpulan ini sesungguhnya? Padahal yang lebih penting adalah, mau tidak memberikan film lain perlakuan jumlah layar yang sama. Beranikah mencoba memberi kesempatan yang sama untuk dia membuktikan diri? Nah ‘Kenapa’ tersebutlah yang jadi pokok persoalan film Us. Kenapa kita membeda-bedakan, kemudian merasa terancam ketika ada yang berusaha mendapatkan privilege. Kenapa kita menciptakan sesuatu untuk dikejar dan terusik ketika ada yang beneran mengejar. Perkara ini adalah tokoh kulit hitam memperkuat tema privilege dan kita semua sama tersebut sebab di luar sana perbedaan perlakuan itu masih terjadi.

 

 

Jika dibandingkan, film ini terasa lebih pure horor ketimbang Get Out yang lebih tematis. Namun pada film ini, Jordan Peele menunjukkan kedewasaan dalam bercerita. Dia tidak lantas menjadi pretentious dalam film keduanya ini. Film ini dapat dinikmati, bahkan bikin kita pengen nonton lagi secepatnya. Kita bisa menerima penjelasan cerita bahwa kelinci itu ada untuk makanan para Tethered, namun kita tetap pengen nonton lagi karena kelinci itu kita pikir bakal punya arti lebih dalam. Film mendorong kita untuk mempertanyakan dan mencari jawaban, meski mereka sudah meletakkan jawabannya. Bobot komentar sosial yang disisipkan pada akhirnya membentuk seperti apa akhirnya film ini, and it’s a really interesting shape.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for US.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian punya teori sendiri tentang film ini? Kenapa menurut kalian senjata penjahat film ini adalah gunting terkait dengan elemen kembar yang ia usung? Setujukah kalian semua orang di dunia berhak atas kesempatan yang sama?

 

Buat yang suka cerita tentang ‘kembaran’ dan ‘cermin’, silakan disimak film pendekku yang berjudul Gelap Jelita: https://www.vidio.com/watch/1597796-isff2019-gelap-jelita-full-movie-bandung

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

[Readers’ NeatPick] – MEMORIES OF MURDER (2003) Review

“Tidak hanya membahas tentang kasus pembunuhan saja, melainkan menyindir – dengan komedi – cara kerja polisi-polisi Korea waktu itu dan juga menggambarkan dengan jelas betapa primitifnya pikiran orang-orang Korea waktu itu, bahkan sekelas polisi sekalipun” Andy Kurniawan, karyawan dengan akun instagram @andykur21

 

 

 


Sutradara: Joon-ho Bong
Penulis Naskah: Joon-ho Bong, Kwang-rim Kim, Sung-bo Shim
Durasi: 2jam 12 menit

 

Sepanjang September 1986 hingga April 1991, sepuluh orang wanita di Hwaseong, Korea Selatan ditemukan meninggal dalam keadaan terikat oleh pakaian mereka sendiri. Dengan rentang usia yang begitu random, tidak banyak kesamaan yang bisa ditarik di antara mereka selain dugaan mereka ‘dikerjai’ oleh satu orang yang sama. Seorang pembunuh psikopat berdarah dingin. Dengan hanya sedikit sekali bukti dan petunjuk, polisi seperti mencari satu jarum di antara, literally, 21.280 orang yang dicurigai menjadi tersangka. Kasus ini sampai sekarang belum terpecahkan. Film Memories of Murder terinspirasi dari kasus serial-killer pertama dalam sejarah Korea Selatan tersebut. Kita akan ngikutin Park Doo-man, detektif ‘ngasal’ yang berusaha menangkap si pembunuh dengan segala sense of justice yang dia punya. Dan ini bukan sekadar soal misteri ‘whodunit’, karena seperti halnya kasus di dunia nyata yang sampe sekarang belum terjawab, film ini menggunakan itu sebagai alat untuk menceritakan lapisan yang lebih manusiawi soal Park Doo-man – dan juga detektif dan polisi lainnya – menyadari bahwa petanyaan sebenarnya bukan ‘siapa’, melainkan ‘bagaimana’.

“Suka banget film ini. Ngeselin, tentu Detektif Park. Banyak banget hal penting yang kelewat begitu saja karena kebegoannya.”

“Hahaha iya sih di awal-awal memang pengen nonjok dia banget. Super gak-kompeten. Masa investigasi tersangka modal tatapan mata doang. Paling ngakak pas dia mukulin detektif yang baru dateng dari Seoul cuma karena menurutnya gerak-gerik si detektif mencurigakan. Tendangan terbaaanggg~~ XD”

“Yang paling cool memang si Detektif Seo Tae-yoon. Dia melakukan kerja yang lebih baik”

“Sentral cerita film ini terletak pada dua tokoh detektif yang amat bertolak-belakang tersebut. Satunya makan mulu, bergerak berdasarkan prasangka, maksain bukti malah dia gak ragu untuk ciptain bukti sendiri supaya teorinya benar dan kasus cepat selesai. Kocaknya lagi, si Park ini justru ngerasa dirinya detektif yang baik. Perhatiin enggak, metode interogasi Park ama temennya di kepolisian? Di situ Park berperan sebagai ‘good cop’, sedangkan temannya jadi ‘bad cop’ yang kerjaannya mukulin tersangka. Padahal Park dan temennya itu sama-sama bego. Satunya lagi ada detektif yang lebih metodikal, gak males mikir, rasional, bergerak berdasarkan bukti dan dokumentasi. Park dan Seo malah terlihat saling benci kan, Park pastilah menganggap kedatangan Seo yang beneran cakap dan baik itu sebagai ancaman buat posisinya sebagai ‘good cop’ di kantor mereka.

“Soal polisi atau aparat yang mengandalkan kekerasan terhadap tersangka atau pelaku kriminal ini sebenarnya agak dilema buat gue. Kadang memang ada beberapa orang yang harus dikerasi dulu baru dia ngaku. Boleh-boleh aja sih kalau memang perlu, asal jangan sampai keterlaluan dan jangan sampai orang yang diinterogasi ini dipaksa untuk jadi pelakunya”

Kerennya film ini, ntar semakin ke akhir kedua detektif ini mendapat ‘goncangan’ – masing-masing mereka dibuat jadi meragukan kepercayaan mereka sendiri oleh kasus pembunuhan berantai itu. Aku suka banget gimana menjelang akhir mereka jadi kayak bertukar posisi, si Park yang belajar mengakui kinerjanya buruk terlihat jadi seperti beneran ‘good cop’ ketimbang Seo yang semakin ‘kasar’ kelakuannya lantaran frustasi bukti-bukti yang ia dapatkan selalu terbukti patah. Pada akhirnya kita justru melihat perbedaan sikap dua orang ini saat mereka dihadapkan pada kesalahan dan kegagalan. Park, meskipun masih mengandalkan “tatapan gue bisa melihat kebohongan orang” -walaupun masih belum tahu siapa pelakunya setelah sekian lama, tapi di akhir cerita dia menjadi pria yang lebih baik dari semua tokoh di film ini.”

“Hahaha iya makanya gue memilih film ini untuk dibahas. Karena menurut gue film ini salah satu masterpiece perfilman Korea dan banyak orang yang gak tau tentang film ini. Tapi selain Park dan Seo, menurut gue karakter lain biasa aja sih”

“Padahal karakternya banyak ya. Polisi, tersangka, saksi, para ekstra. Saking banyaknya, sering banget film ini masukin semuanya sekaligus ke dalam satu shot”

“Tapi fokus gue gak pernah teralihkan sama penggunaan kamera yang menangkap banyak orang dan aksi sekaligus yang dilakukan oleh film ini.”

“Kita masih tetap mengerti ceritanya kan ya. Inilah kehebatan sang sutradara Joon-ho Bong, bukan hanya bloking posisi tokoh, dia juga mainin fokus kamera. Bukan cuma para tokoh yang ia arahkan, melainkan juga fokus kita para penonton. Tokoh-tokoh yang belum penting dia tarok di sudut di luar fokus, dan setiap ada pergantian fokus atau dia ingin memindahkan perhatian kita ke tokoh lain maka Joon-ho akan membuat entah itu tokohnya yang bergerak atau kameranya yang berayun. Treatment kamera dan konteks cerita klop banget, ini soal tatapan mata.”

“Gue paling ingat dan paling sedih itu adegan waktu detektif Park melihat ke arah penonton, mencari pelakunya di antara kita. Goosebump banget. Kendati gue sebel banget sama detektif Park, gue tetep bisa melihat bahwa dia sendiri sangat bedeterminasi tinggi buat nangkep pelakunya. Gue paham betul amarah dan keputus asaanya saat melihat ke arah kamera, lebih tepatnya ke arah pelaku pembunuhan yang menonton film ini”

“Aku bisa bilang shot terakhir itu merupakan salah satu momen terkuat yang pernah aku saksikan dalam sejarah hidupku menonton film. Adegan tersebut diniatkan untuk terbuka-bagi-interpretasi, meaning beda orang akan beda cara melihatnya. Namun aku yakin kita semua bisa kompak dalam merasakan itu momen yang sangat mengena. Entah itu apakah ada penonton yang mengira Park memandang tajam ke arah dirinya langsung, atau melihatnya sebagai Park mengenang kasus tersebut dalam penekanan bahwa dia memandang salah dirinya sendiri karena tak melihat kemungkinan yang disebutkan si anak kecil sedari awal – bahwa Park mengaplikasikan ‘mata kebenarannya’ kepada dirinya sendiri. Karena ada satu pesan yang jelas; bahwa pelakunya adalah orang yang seperti orang kebanyakan. Pembunuh tidak dicirikan sebagai orang yang terbelakang mental, yang aneh, yang berbeda dari kebanyakan. Ingat gak ketika Park sempat mencurigai pelakunya adalah biksu hanya karena polisi tidak pernah menemukan jejak rambut di korban sehingga ia menyimpulkan pembunuhnya orang botak? Mata adalah jendela jiwa, namun selama ini Park menyadari dia mengamati hal yang salah.”

“Kalau menurut gue psikopat kadang gak kelihatan. Mereka pinter akting, persis seperti anak kecil di film ini yang ngomong kalau muka pelakunya itu biasa aja, kayak orang normal.”

“Exactly. Maka menurutku jawabannya yang paling penting harus dicari oleh polisi dan kita, manusia penonton filmnya, adalah kenapa kita gagal menangkap pelaku. Film ini memperlihatkan bahwa salah satu rintangan para detektif itu mengungkap kasus adalah kurang memadainya teknologi. Untuk tes DNA saja mereka harus membawa dulu sampel ke Amerika. Teknologi mungkin memang berperan, tapi tetap kunci utamanya adalah pada manusia. Kengasalan para polisi adalah faktor yang sama berperannya. Aku geram sebenarnya melihat mereka menjadikan timing pemutaran satu lagu di radio sebagai petunjuk. Memang teori mereka menarik, dan kebetulan cocok, tapi logikanya maksa banget; gimana si pelaku bisa beneran nemu cewek yang lagi jalan sendirian hujan-hujan malam-malam saat lagu radio itu diputar? kan ‘petunjuk’ yang begitu itu terlalu kondisional. Kadang kita keburu excited melihat hal-hal yang tampak ‘wah'”

“Kita dikenalkan dengan detektif Seo yang sifat dan kepandaiannya kebalikan dari detektif Park, tapi toh dia juga tidak mampu mengungkap pelakunya karena teknologi yang terbatas waktu itu. Di satu sisi menurut gue juga percuma kalau teknologi canggih tapi manusianya yang gak bisa menggunakan, tetep aja gak ketangkep pelakunya. Karena manusia tanpa teknologi juga gak bisa maju, sebaliknya teknologi sendiri tidak serta merta membuat manusia cerdas. Buktinya di masa sekarang banyak orang-orang beli hape canggih tapi tidak bisa memanfaatkannya dengan betul.”

“Pada sebagian besar waktu kita akan tertawa melihat para tokoh film ini, tapi yang kita tertawakan itu adalah hal kelam yang sampe sekarang juga masih terjadi sadar atau enggak. Gimana kita prasangka duluan sama orang lain, gimana kita bertindak asal jadi, asal benci. Malah mungkin semakin menjadi-jadi. I mean, mungkin itu sebabnya kenapa sekarang kita jarang mendengar ada pembunuh berantai. Serial-killer dan misteri pembunuhan tak terpecahkan itu hanya ‘rame’ di jaman dahulu. Bukan semata karena teknologi sekarang udah maju sehingga mereka bisa lebih cepat ditangkep, tapi mungkin juga karena saking tingginya level kebobrokan sehingga orang merasa gak perlu sembunyi-sembunyi lagi, justru bangga sebagai psikopat. Sekarang lebih ‘ngetren’ teroris kan. yang di Selandia Baru itu, penembakan terang-terangan pake di-livestream segala. Seharusnya dengan teknologi maju, pembunuhan bisa cepat diungkap, namun karena manusia malah semakin bobrok, kejahatan pun ikutan berevolusi, malah jadi skala besar dengan lebih cepat.”

“Banyak faktor soal jaman dulu banyak pembunuh psikopat sedangkan sekarang enggak; seperti teknologi, kemampuan polisinya yang belum mumpuni, konspirasi dengan petinggi negara dan sebagainya. Terus mengenai teroris, gue rasa karena aksi mereka lebih terbuka, lebih brutal dan sori to say, melibatkan suatu agama tertentu. Sedangkan serial killer lebih membutuhkan banyak waktu, korban dan misteri agar terkenal.”

“Komentar sosial yang mengena banget ke seluruh dunia. Pembunuh berantai itu bisa siapa saja. Teroris itu bisa siapa saja. Tidak terkait golongan, ras, atau apapun. Tapi film yang bernada komedi ini toh tetap mengajak kita untuk ‘bermain-main’, mengajak kita untuk ikutan menebak-nebak siapa pelaku. Di satu poin dalam cerita, kita malah diperlihatkan wajah blur pelaku. Jadi, mungkin sebenarnya film ini punya pelaku versi cerita mereka sendiri. Kalo mau main detektif-detektifan, aku sih paling curiga sama tukang reparasi yang keluar-masuk ruang interogasi kepolisian itu. Kamera gak pernah lihatin wajahnya, tapi yaah mengingat semua yang terekam oleh film ini punya kepentingan berkat arahan dan staging yang detail seperti yang kita bahas di atas, menurutku rasanya aneh aja ada tokoh tukang reparasi yang hanya ada di sana tanpa dimaksudkan sebagai apa-apa.”

“Kalau menurut gue pasti salah satu penduduk daerah situ. Petunjuknya adalah karena dia kelihatannya gak sembarangan pilih korban dan juga tahu betul lokasi yang ideal untuk melakukan aksinya. Cuma warga desa situ yang menurut gue bisa melakukannya.”

“Dipikir-pikir lagi, dari gimana hebatnya film membangun dunia ceritanya – semua di desa itu terlihat seperti beneran sesuatu yang bisa kita temukan di desa nyata…”

“Kesan tempatnya mirip kampung-kampung di Indonesia wkwkwk. Justru itu gue juga heran kenapa pembunuhnya malah gak ketangkep-tangkep, padahal orang-orang di kampung situ harusnya akrab-akrab”

“Nah itu, kampung mereka tampak tertutup dan gak akrab, meski penghuninya akrab-akrab kayak anak sekolahan, atau juga kondisi di warung. Secara kontekstual, film ini berlangsung di jaman kericuhan Korea Selatan dan Utara, kan. Kita melihat beberapa kali desa itu kena jam malam, dan ada simulasi-simulasi keamanan yang sedang berlangsung sebagai latar cerita. Dan menurutku, film ini juga ingin mengkritik itu. Bahwa itu semua mungkin bisa dijadikan petunjuk bahwa menurut film ini pelaku sebenarnya – ‘pelaku’ yang menyebabkan di zaman dulu Korea Selatan bisa kebablasan ada serial-killer yang bukan hanya gak tertangkap basah, melainkan juga seperti mengejek polisi dengan aksi-aksinya – adalah sistem negara itu sendiri. Jika mereka tidak dalam darurat perang, jika tidak ada simulasi-simulasi itu, pintu dan jendela rumah-rumah mungkin tidak akan tertutup oleh ketakutan sehingga tidak ada kesempatan untuk si pembunuh melancarkan aksinya.”

“Masterpiece! Dari skala 1-10, gue  ngasih 9 deh, minusnya film ini cuma kemampuan mata Park kurang dijelasin dan timeline korban-korban pembunuhan juga kurang dijelasin lagi. Tapi karena Bang Arya cerewet pasti film ini dikasih skor mentok di tujuh setengah wkwkwkwk”

“Wahahahaha film ini dalem banget. Misterinya engaging. Tokoh-tokohnya menarik. Teknisnya juga luar biasa. Untuk film ini, aku tak menemukan cela yang merusak. Semuanya bekerja efektif mengisi konteks. Soal ‘mata kebenaran’ Park itu buatku juga jenius banget. Kali ini aku pikir aku setuju, aku juga ngasih 9 dari 10 buat Memories of Murder. Jarang-jarang ya!”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Andy Kurniawan udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, ke mana aja aku baru tau ada film keren ini ya haha.

Apakah kalian punya teori sendiri siapa pembunuh dalam film ini? Apa yang kalian rasakan saat ditatap oleh Park di momen final film ini?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

YOWIS BEN 2 Review

“Work hard and follow your dreams, but never forget where you came from”

 

 

Band yang di film pertamanya udah sukses populer seantero Malang itu kini personelnya sudah pada lulus SMA. Mereka udah pada gede-gede. Kudu nentuin jalan hidup sendiri, karena kalimat “welcome to the jungle!” toh memang benar adanya. Hidup anak-anak muda tersebut baru saja dimulai. Malahan, ada salah satu dari mereka yang langsung menikah jadi dia punya tanggungjawab kepala keluarga sekarang. Bagi Bayu pun begitu; tak mungkin dia terus bergantung pada pecel ibu dan gig-gig band konyol yang dicarikan oleh pamannya, si Cak Jon, sebagai monecot, eh salah.. manajer band! Tidak jika Bayu enggak mau mereka sekeluarga diusir dari rumah kontrakan. Maka Bayu mutusin untuk enggak lanjut kuliah, dia berniat serius berkarir bersama teman-teman Yowis Ben. Meskipun jika untuk melebarkan sayap demi rezeki itu dia terpaksa harus mencari manajer baru menggantikan pamannya. Ataupun harus rela meninggalkan kota Malang tempat band mereka literally dibesarkan.

Yowis Ben 2 menawarkan cerita yang lebih dewasa dibandingkan film pertamanya, dengan tetap berpegang kuat pada sudut pandang si anak muda. Kita bakal tetap berpusat pada masalah-masalah percintaan, ataupun lika-liku anak band yang berusaha untuk bermain bagus dan masuk tivi, tapi motivasi di balik semua permasalahan dibuat menjadi lebih ‘serius’. Stake yang mengancam di sini adalah urusan yang benar-benar ‘hidup atau mati’ karena menyangkut tanggung jawab terhadap keluarga. Dan bagaimana menjadi bagian dari band membuat kita menjadi semacam satu ‘keluarga’ lagi, di mana kita gak bisa egois hanya memikirkan keluarga-beneran kita sendiri. Yowis Ben 2 mengajak penonton yang udah tergelak-gelak mengikuti film pertamanya untuk tumbuh bersama tokoh-tokohnya. Dan memang ngikutin dua film ini sudah seperti kita ngikutin perjalanan bintang musik yang kita senengi, segitu berhasilnya film ini mengekspansi semesta cerita yang ia miliki.

ada yang ngitungin berapa kali kata ‘jancuk’ disebut dalam film ini?

 

Tadinya memang seperti sebuah pilihan aneh yang dilakukan oleh sutradara Fajar Nugros; buat apa memindahkan lokasi ke Bandung dengan resiko membagi dua penonton alih-alih merangkul lebih banyak jika filmnya malah jatoh setengah-setengah. Ternyata Yowis Ben 2 bukan saja berhasil meluaskan dunia, melainkan juga sukses memadupadankan dua budaya. Banyaknya tokoh baru dibarengi oleh semakin kayanya materi yang bisa dimanfaatkan oleh film ini, baik untuk komedi maupun untuk melandaskan pesan yang dibawa oleh cerita. Kepindahan ke Bandung menimbulkan tantangan baru bagi para tokoh; mereka kini berada dalam situasi fish-out-of-water, ada banyak yang harus mereka pelajari. Dan kepindahan tersebut juga paralel dengan harapan mereka untuk berangkat dari band sekolahan ke band nasional. Kultural shock tentu saja dimainkan jadi alat komedi paling utama. Kali ini penonton akan terbahak-bahak melihat gimana cerdasnya naskah menabrakan bahasa dan kebiasaan arek malang dengan urang sunda. Kosa kata yang sama namun berbeda yang dimiliki oleh kedua daerah akan mewarnai canda-canda dialog. Subtitle memastikan penonton di luar dua daerah tersebut tidak ketinggalan apapun dan dapat tertawa bersama. Bahasa boleh berbeda, tapi anekdot dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh tokoh filmnya ini kurang-lebih sama dan dapat dengan gampang berelasi dengan para penonton.

Kepindahan ke Bandung diperlukan demi menguatkan pesan bahwa terkadang kita harus melakukan perjalanan, keluar dari comfort zone, untuk bisa berkembang menjadi lebih baik. Namun itu bukan berarti kita tidak boleh balik lagi. Bukan kepindahannya, melainkan proses saat kita berpindah itu yang nyatakan akan menjadi pembelajaran. Nyali Yowis Ben 2 bukan hanya berhenti di memindahkan tokohnya. Film ini juga berani untuk menunjukkan cerita kekalahan. Sebab terkadang masih ada hal yang lebih penting ketimbang kepopuleran. Masih banyak jalan yang bisa dilewati untuk menjemput rejeki. Dari cerita ini kita juga terdorong untuk jadi lebih mencintai orang-orang terdekat sebagai keluarga kedua, untuk belajar menerima meskipun mungkin banyak kekurangannya. Karena mungkin kita tidak tahu apa yang sudah mereka lakukan demi kita.

Sah-sah saja, tidak perlu malu untuk gagal jika keberhasilan yang ada di ujung satunya berarti kita harus melupakan siapa diri kita, mengabaikan keluarga yang sudah membesarkan. Karena penting untuk senantiasa memegang teguh akar diri, mengingat darimana kita berasal

 

Pesan-pesan demikian tersaji frontal di dalam cerita, menyembul di sela-sela komedi yang bekerja efektif. Fajar Nugros kentara sekali punya selera humor yang benar-benar merakyat, dan arahannya berhasil meng-encourage para pemain untuk tampil gak jaim dan benar-benar lepas – membuat karakter mereka menjadi hidup bersama dunianya. Formasi Bayu Skak – Joshua Suherman – Brandon Salim – Tutus Thomson terasa cukup solid, mereka bisa saling bercanda, bahkan ‘berantem’ dengan sama meyakinkannya. Tentu saja menambah banyak bahwa mereka actually bisa main band beneran. Jika film terus lanjut mem-push mereka, bukan tidak mungkin kwartet ini bisa tumbuh berkembang menjadi semacam ekuivalen Warkop buat generasi kekinian, ditambah dengan kepopuleran mereka sebagai bahan pertimbangan. Pemain-pemain lain juga diberikan kesempatan untuk menunjukkan sisi komedi dari mereka. Anggika Bolsterli mungkin adalah yang paling mencuri perhatian, dan jelas tokohnya adalah yang dapat sambutan paling hangat ditambahkan masuk ke dalam dunia Yowis Ben. Film ini berani menyerahkan tugas komedi itu kepada aktor-aktor yang tak sering dijumpai berbanyol dan ‘berjelek’ ria. Dan kupikir keberanian tersebut hadir diback-up oleh kemampuan meracik lelucon – sehingga yang ‘kodian’ tetep terasa seger – dan penguasaan timing yang handal.

dan mataku pun lamur menyangka ada cameo BCL di sana

 

Dan kemudian film tetap memunculkan komedi demi komedi, dan kemudian tiba-tiba ada yang nangis. Kemudian komedi lagi. Film seperti ogah berhenti jika adegannya tidak berujung membuat penonton ketawa ataupun menangis. Atau malah keduanya berbarengan. There’s really no middle-ground here. Buatku inilah yang menjadi permasalahan buat film Yowis Ben 2. Tone ceritanya tidak bercampur dengan baik karena tidak benar-benar ada momen yang menjembatani antara komedi dengan drama. Karena film tidak berhenti untuk membangun momen-momen dramatis. Hanya disampaikan dengan komedi, musik, lalu drama, dan berulang lagi. Jadinya banyak drama yang kerasa ujug-ujug. Satu ketika Bayu memutuskan pergi ke Bandung, adegan berikutnya dia teringat Susan. Di satu poin mereka lucu-lucuan, di momen berikutnya mereka marahan. Dia ketemu cewek, dan adegan berikutnya mereka udah akrab. It just ‘snap’, ‘snap’, like that. Dengan pesan-pesan cerita di-shoehorn masuk begitu saja hanya karena sudah sampai waktunya sekuens tersebut di naskah. Ada satu adegan ‘pidato’ di babak ketiga film yang gamblang banget, yang dilogiskan oleh film dengan segampang bilang “bandung ini punya saya”. Perlu diingat ada banyak sekali adegan-adegan yang dimasukkan untuk kepentingan komedi semata, seperti adegan Doni menunggu di angkot. Padahal jika menit-menitnya digunakan untuk, katakanlah mendevelop interaksi Doni dengan si Bondol, atau ke keadaan dua teman mereka tinggal – mungkin perlihatkan mereka mempertimbangkan kembali keputusan angkatkaki dari band, atau malah memperlihatkan ‘drama’ Cak Jon lebih banyak, tentu perjalanan cerita menjadi semakin enak.

Ada satu adegan saat mereka disuruh rekaman dengan duo-rapper, lagu mereka dirap-in dengan lirik yang hanya tiga kata diulang-ulang dengan alasan ‘logis’  bahwa semakin sederhana maka penonton akan semakin cepet hapal. Sebenarnya inilah yang dilakukan oleh film terhadap cerita yang mereka punya. They keep it simple, mungkin biar jadi enggak terlalu berat bagi penonton. Apa mungkin ini jeritan terselubung dari sang sutradara mengingat film memang sering throwing shade ke hal-hal di luar fourth wall. Karena aku bisa melihat ada versi yang lebih teatrikal dari film ini, ada versi yang bisa lebih enak berceritanya. Rangkaian yang lebih clear daripada muter-muter kayak istri yang ditinggal, ternyata ngikut juga. Menjelang akhir film juga kerasa draggy, jalan keluar pun terkesan lumayan gampang, meski aku suka gimana film memberikan kesempatan kepada Bayu untuk membuat pilihan.

Mungkin, karena film pertamanya punya cara bercerita yang unik – dimulai dari Bayu ama tukang becak, di mana kejadian film merupakan Bayu menceritakan pengalamannya kepada si tukang becak – maka film keduanya ini juga berusaha untuk melakukan sesuatu yang seperti demikian. But they are not really doing it, yang ada malah kita mendapat adegan flashback yang enggak perlu. Misalnya ketika Bayu minta antar angkot buru-buru, dan kita melihat Bayu sampai di tempat. Dan beberapa adegan kemudian dia dikonfrontasi sama si supir angkot karena cring.. cring.. flashback ke apa yang dilakukan Bayu di angkot saat pergi tadi. I mean, kenapa tidak linear saja adegan tersebut ditampilkan?

 

 

 

Aku pengen melihat lebih banyak interaksi personal antara keempat tokoh yang sudah semakin dewasa. Atau diperlihatkan bagaimana keadaan berpengaruh terhadap proses kreatif, bukan langsung ada lagu jadi. Bukan adegan yang seperti skip-skip dari komedi ke haru. Film ini punya potensi untuk jadi cerita remaja yang benar-benar matang dengan pesan yang kuat. Dengan pemberdayaan dua buaya lokal yang berhasil padu padan, aku tak lagi melihatnya mirip Scott Pilgrim vs The World. Bahkan, punya materi yang lebih solid dari film pertamanya, yang aku sukai. Namun film ini memilih untuk keep it simple, melempar pesan ke muka kita dan menutupinya dengan punchline komedi.
The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for YOWIS BEN 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang anak rantau; pernahkah kalian merasa malu pulang ke rumah lantaran ngerasa belum sukses?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

[Readers’ NeatPick] – THE GREEN MILE (1999) Review

“Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk ke dalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter….”Mochamad Ridwan Alamsyah, pemilik akun instagram @m.ridwanalamsyah

 


Sutradara: Frank Darabont
Penulis Naskah: Frank Darabont, Stephen King (penulis novel aslinya)
Durasi: 3 jam 9 menit

 

 

The Green Mile, satu lagi cerita berlatar penjara adaptasi novel Stephen King yang disutradarai oleh Frank Darabont. Tapi tidak seperti The Shawshank Redemption (1994), Green Mile punya elemen supernatural dalam ceritanya. Ini adalah cerita tentang Paul Edgecomb, seorang sipir penjara di blok khusus terpidana mati, yang menyaksikan dan mengalami sendiri, literally, keajaiban di dalam sel yang ia jaga. Keajaiban berupa sesosok raksasa kulit hitam tinggi besar – yang pandangan mencela akan cepat memandangnya sebagai seorang dengan cacat mental – yang ditahan di sana karena tuduhan sudah membunuh dua gadis cilik. Dalam hari-hari menjelang eksekusi matinya, John Coffey ternyata tidak seseram pandangan mata. Bagi Paul tentu saja jadi beban apakah Coffey benar-benar membunuh atau bukan, sementara dalam hati dia sudah yakin jawabnya. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan diri demi menghidupkan kembali tikus yang sudah mati, yang menyembuhkan penyakit kelamin Paul – dan keharmonisan keluarganya – adalah seorang pembunuh. Bagi Paul, seperti yang selalu ia lakukan terhadap tahanan di sana, adalah bagaimana memperlakukan mereka tetap sebagai manusia yang punya martabat, dan konflik yang ia rasakan setiap kali dirinya menggiring mereka melewati lantai hijau – mil terakhir di hidup para terpidana, menuju kursi listrik yang mengakhiri nyawa mereka.

“Film ini menyuguhkan drama yang rapi. Dialog-dialog yang berwarna. Kadang serius dan penuh isi, kadang satir dan lucu.”

“Durasinya termasuk panjang banget, udah jarang kita temuin film Hollywood dengan durasi melewati tiga-jam. Kalo film ini dibuat di masa-masa sekarang, aku gak yakin mereka bakal berani membuatnya sepanjang ini. Remake It (2017) saja kan, adaptasi Stephen King juga, difilmkan jadi dua film. Studio gak ada yang berani lagi bikin film sepanjang ini. Dan hebatnya, tiga jam film ini buatku terasa sekejap.”

“180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Saya sangat menyukai sekali film yang mempunyai cerita yang menarik, fresh, berbobot, dan mempunyai gaya tersendiri dalam menyampaikan cerita tersebut kepada penonton tidak peduli film itu panjang atau pendek. Bagiku film ini mempunyai plot yang sangat baik sekali dan ceritanya juga tidak klise, dari awal film sampai akhir kita akan menemukan beberapa plot twist yang cukup mengejutkan.” 

“Efektif sekali memang film mengisi durasinya. Kita merasakan waktu berjalan di balik sel-sel penjara tersebut dengan kuat. Perubahan karakternya, baik dari para penjaga maupun para tahanan. Dan Coffey sebagai pusat perubahan itu memang terasa hidup sekali”

“John Coffey juga Paul Edgecomb adalah tokoh yang berkesan buat saya. Peran mereka berdua di film ini paling dominan tetapi peran pendamping lainnya juga tidak kalah penting. Banyak adegan-adegan memorable, salah satu adegan yang paling emosional tentu saja ada pada bagian menjelang akhir cerita dari film ini di mana John Coffey akan dieksekusi mati”

“Ya benar, ada banyak sekuens adegan yang benar-benar powerful. Menurutku ini satu lagi pembeda waktu buat film ini; sekali lagi, kalo The Green Mile dibuat di tahun 2019 aku gak yakin mereka benar-benar akan memperlihatkan eksekusi di kursi listrik, ataupun adegan Mr. Jingles yang diinjak, dengan benar-benar gamblang seperti yang ditampilkan oleh film ini. The Green Mile sangat intense, suspensnya begitu menguar dan terbuild up dengan rapi karena film memanfaatkan waktu untuk kita mengenal setiap karakternya. Si Coffey ini memang dibangun untuk pancingan emosional kita, dan di akhir itu .. maaan… aku nonton ini pertama kali sekitaran 2014 yang lalu, disaranin ama seorang teman, katanya “this will broke your heart”, dan setelah nonton itu aku… aku masih memunguti pecahan hatiku saat temanku nongol dan bilang “I told you so, Kak””

“The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya. Menurut saya sangatlah tidak adil bila John Coffey harus dieksekusi mati atas perbuatannya karena ia tidak bersalah atas segala tuduhan pembunuhan terhadap dirinya dia hanya ‘A right man in the wrong place and situation’. Namun, ada satu pertanyaan dasar yang tidak saya dapatkan disini. Yaitu tentang asal kekuatan magis yang dimiliki Coffey. Melalui dialog, film ini hanya mampu menjelaskan jika kekuatan magis yang dimiliki Coffey semata-mata mukjizat dari Tuhan. Saya berasumsi jika hal ini sengaja dilakukan oleh penulis supaya penonton dapat memutuskan secara bebas menggunakan imajinasi mereka.” 

“Mungkin memang bukan tanpa alasan kenapa tokoh yang dimainkan penuh penghayatan oleh si Michael Clark Duncan itu diberi nama John Coffey. Yang jelas bukan karena mirip ama kopi, seperti yang disebut oleh si tokoh sendiri haha.. Banyak teori yang menyandingkan inisial Coffey; J.C. dengan Jesus Christ. Apa yang dilakukan Coffey dengan mukjizat-mukjizat itu juga sama. Dia menyembuhkan orang lain dengan menelan ‘penyakit’ itu, membuat dirinya sendiri sakit. Dan dia melakukannya dengan tulus.”

“Mungkin karena unsur supranaturalnya yang spiritual seperti demikian itu film berlatar penjara ini bisa disebut sebagai film religi, ya”

“Mungkin juga. Tapi toh ada juga kan adegan di mana Coffey ‘menghukum’ tokohnya si Sam Rockwell – dan film ini membiarkan kita memutuskan apakah yang dilakukan Coffey kepadanya itu sebuah tindak ‘main hakim’ sendiri atau memang sebuah ‘balasan dari Tuhan’. Tapi mungkin memang di situlah letak kekuatan film ini. Dia menggambarkan perjuangan yang besar antara melakukan perbuatan baik dengan melakukan perbuatan yang  buruk. Serta ganjaran yang kita terima terhadap perbuatan kita kadang tidak seadil yang kita harapkan. Film ini juga bicara tentang prasangka, makanya secara fisik Coffey digambarkan ‘kontroversial’ menurut standar tokoh-tokoh yang lain.”

“Dengan prasangka tersebut, bisa jadi film ini cukup kontroversi bila dibuat tahun 2019, tetapi mengingat banyaknya film yang mengangkat tema isu rasisme terhadap orang kulit hitam seperti BlackKklansman (2018) mungkin kontroversi tersebut tidak akan terlalu diperbincangkan.”

“Tokoh Coffey ini sebenarnya masuk ke dalam trope ‘Magical Negro’; sebutan yang dicetuskan oleh Spike Lee untuk tokoh-tokoh kulit hitam dalam film yang tidak diberikan bangunan cerita yang kuat, selain mereka punya kekuatan khusus dan berfungsi untuk membantu tokoh utama kulit-putih menjadi pribadi yang lebih baik. I do think tokoh Coffey ini mestinya bisa dikembangkan dengan lebih baik lagi, mungkin kita bisa dikasih tahu siapa dirinya sebelum semua itu terjadi, apa yang dia inginkan dalam hidup, mungkin dia dibuat sedikit mengadakan perlawanan terhadap hukum mati yang ia terima. But then again, jika memang tokoh ini diniatkan sebagai simbol yang mewakili Yesus, masuk akal juga kenapa kita tidak diberikan lebih banyak soal backstory dirinya. Dia di sana untuk membuat Paul dan semua tokoh lain melihat dan berprasangka lebih baik lagi. Mungkin hukuman mati justru adalah jalan pembebasan yang selama ini ia cari.”

“Hukuman mati, dalam dunia nyata, memang sangat diperlukan tetapi saya juga terkadang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati karena saya ingin mereka memetik pelajaran juga mengambil hikmah serta menyadari atas apa yang mereka perbuat agar mereka dapat menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Di sisi lain kita juga harus mendukung adanya pemberlakuan hukuman mati di dunia ini agar orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti menghilangkan nyawa orang lain harus dibayar sesuai dengan mereka perbuat atau istilah lainnya yaitu ‘nyawa dibayar nyawa’, tapi tentu saja harus dilakukan dalam cara yang manusiawi yaitu dengan cara hukuman suntik mati atau Lethal Injection, dilakukan melalui tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan untuk anasthesi (pembiusan). Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung. Tanpa Anastesi, terhukum akan mengalami asphisiasi, sensasi terbakar pada seluruh tubuh, nyeri pada seluruh otot, dan akhirnya berhentinya detak jantung. Oleh karena itu, anastesi yang memadai diperlukan untuk meminimalisir penderitaan dari terhukum dan untuk memperkuat opini publik bahwa hukuman suntik mati itu relatif bebas rasa sakit.”

“Dalam film ini juga benar-benar ditunjukkan prosedur hukuman mati dengan kursi listrik yang dilakukan dengan memastikan si terpidana bisa langsung isdet tanpa berlama-lama menanggung sakit. Tapi di film ini mereka membuat hukuman mati sebagai tontonan. Buatku hal tersebut kurang manusiawi. Juga, menurutku, sebaiknya terpidana mati langsung dieksekusi saja, jangan lagi menunggu hari-hari mereka dipanggil. The Green Mile menekankan cerita pada soal ‘hari-hari menunggu’ ini. Istilahnya sendiri kan merujuk pada jarak. Buatku gak adil aja seseorang yang sudah berbuat salah dan dijatuhi hukuman, diberikan ruang untuk introspeksi – antara hari-hari itu mereka bisa saja insaf dan berperilaku laksana malaikat – hanya untuk dimatikan tanpa bisa mengurangi hukuman. Bukankah mengetahui batas akhir umur kita itu sesungguhnya adalah suatu keuntungan?”

“Mengetahui batas akhir dari umur kita menurut saya memang bisa jadi menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi kita karena hal tersebut membuat kita menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari dan dapat membuat kita meningkatkan keimanan kita kepada tuhan kita sebelum kematian itu tiba saatnya, jadi kita senantiasa mempersiapkan diri untuk berbuat kebaikan. Tapi itu juga tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi tentang kematian itu sendiri. “

“It was unfortunate apa yang terjadi pada Coffey, tapi di sisi lain mungkin dia bebas dan justru Paul-lah yang menderita setelah mendapat anugerah dari dirinya. Aku bayangin konflik banget buat Paul ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang diperoleh oleh kriminal-kriminal yang ia eksekusi, dan mungkin Coffey bukanlah yang terakhir yang duduk di kursi listrik itu dalam keadaan tidak bersalah. Umur panjang memang sering dikaitkan sebagai musibah dalam film-film, tak terkecuali di sini”

“Bagi saya itu adalah sebuah anugerah yang tuhan berikan melalui perantara si John Coffey kepada Paul agar ia dapat menikmati hidupnya dengan penuh harapan, cinta, dan kedamaian seperti Coffey yang selalu membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mungkin Coffey memberikan umur panjang kepada Paul agar paul dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang.”

“Coffey tentu tidak meniatkannya sebagai kutukan. Paul adalah penjaga paling baik dan hormat kepada para tahanan. Tentu, tokoh yang diperankan Tom Hanks ini awalnya tidak percaya keajaiban, tapi dia tahu hidup sangat berharga. Coffey yang respek sama tokoh ini hanya ingin memberikan waktu yang panjang kepada Paul supaya Paul bisa memanfaatkan umur-umur orang yang dieksekusi sebagai penebusan. Tapi bagi Paul jelas ini jadi beban. Karena dengan umur panjang, tidak seperti para tahanan yang harus meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi, justru Paul harus ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi. Justru ia yang merasakan Green Mile yang paling panjang. Mungkin dia baru bisa menemukan kedamaian entah berapa tahun lagi haha. Ada loh fans yang niat menghitung berapa tahun lagi Paul bakal meninggal..”

“Haha kira-kira 125 tahun lagi kali yah”

“Mungkin malah jutaan, mengingat banyaknya yang sudah ia eksekusi. Ngomong-ngomong soal eksekusi, it’s scoring time! The Green Mile adalah salah satu film favoritku sepanjang masa, ini adalah film yang mungkin tak-akan berani dibuat lagi, begitu intensnya mengobrak-abrik perasaan, aktingnya flawless, tapi memang pengkarakteran seharusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Aku putuskan untuk memberinya 7.5 bintang emas dari 10.”

“I give this movie 8.5/10 stars. Film paling emosional yang pernah saya saksikan.” 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Mochamad Ridwan Alamsyah udah berpartisipasi dan ngusulin film ini, sudah lama aku ingin membahas film-film kayak The Green Mile.

Apakah menurut kalian ini adalah film religi? Apakah umur panjang adalah suatu anugerah? Atau apakah lebih mending kita tahu batas umur kita, walaupun pendek?

 

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE FAVOURITE Review

“Without honesty, love is unhappy”

 

 

Dalam The Favourite kita akan melihat Emma Stone dan Rachel Weisz memperebutkan hati Olivia Colman. Siapa di antara Lady Sarah dan rakyat jelata Abigail yang akhirnya menjadi orang kepercayaan, dan kekasih-rahasia sang Ratu Inggris. Kita bisa bilang ini kisah cinta-segitiga yang benar-benar ganjil. Agaknya, lewat komedi dengan sudut pandang unik, pemandangan sejarah – sebuah period piece – yang bahkan gak benar-benar peduli sama keakuratan, dan dengan cueknya menggeser posisi laki-laki menjadi sebatas hiasan ruangan dengan wig dan dandanan heboh, sutradara Yorgos Lanthimos berusaha menyentil dinamika dunia politik kontemporer di sekitar kita, hingga ke lapisan yang paling kecil. I mean, betapa sering kita nemuin kasus – atau bahkan mungkin mengalami sendiri – seorang yang posisinya terancam oleh kedatangan seorang baru yang lebih charming dan pintar menarik hati? Berapa sering kita terlena antara dusta dan cinta?

Permulaan film ini seolah mengeset cerita biasa tentang keberhasilan orang-susye memanjat tangga sosial dan menuai hasil keringat, darah, dan air matanya. Abigail yang diperankan Emma Stone memang dengan gampang sekali menarik simpati kita. Dia orang yang baik hati, yang bersedia kerja apa saja. Abigail sudah cukup makan garam perihal perlakuan dunia terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, walaupun dirinya masih ada hubungan keluarga dengan tokohnya Rachel Weisz, Lady Sarah yang gede di lingkungan istana. The Favourite benar-benar menunjukkan beda kelas sosial tersebut dengan ekstrim – tetap, dalam undertone yang kocak. Selama ini kita mungkin hanya menerka apa sih yang dikerjakan orang-orang kaya di jaman dahulu. Setelah nonton film ini, imajinasi kita terhadap mereka akan semakin liar. Balapan bebek alih-alih kerja rodi di dapur?

well, tentu saja Abigail lebih memilih berjuang untuk mengukuhkan posisi ketimbang menjadi sasaran berikutnya dari lemparan jeruk.

 

 

Kerja menakjubkan film ini adalah gimana backstory dan motivasi setiap tokoh berhasil tersampaikan kepada kita, secara tersurat maupun tersurat. Kita hampir mengasihani Abigail lantaran dia diberikan masa lalu traumatis, namun itu semua ‘hanya’ alasan supaya kita paham roda gigi macam apa yang bergerak di dalam kepalanya. Kita jadi mengerti tidak ada yang lebih diinginkan Abigail selain kenyamanan istana, tidak lagi berada di kelas bawah. Dan semakin kamera membawa kita mendekatinya, ini bukanlah cerita keberhasilan. Inilah yang aku suka dari The Favourite, ceritanya berani menunjukkan kegagalan. Boleh saja begitu dia pertama kali menginjakkan kaki ke istana, masuk ke lingkungan Ratu Anne, Abigail memang wanita baik-baik, akan tetapi lambat laun bahkan dirinya sendiri seperti enggak percaya pada hal-hal yang ia lakukan demi mengukuhkan diri di atas sana. Abigail seperti meyakinkan dirinya sendiri ketika berulang kali dia menyebut dirinya punya hati yang baik. Di balik dinding istana, betapapun dekat jarak yang ia ciptakan antara sang Ratu dengan dirinya, Abigail tidak pernah merasa secure. Tokoh Abigail adalah peringatan kepada kita semua bahwa dalam lingkup sosial yang tidak seimbang antara kaya dan miskin menciptakan kompetisi yang bar-bar. Miskin gak mau semakin miskin, dan yang kaya tentu saja tidak mau jatuh miskin.

Dan tidaklah gampang untuk keluar dari lingkungan sosial seperti demikian. Film menggambarkan kekangan yang dirasakan oleh kaum aristokrat itu lewat wide shot yang dapat kita temukan di sepanjang durasi. Menggunakan lensa fish-eye, film menyuguhkan  jangkauan luar biasa lebar. Kita akan melihat tokoh-tokohnya sendirian di ruangan yang besar, persis kayak lukisan-lukisan jaman dulu, dan sekaligus kita merasakan kesendirian – bahkan ketika mereka berada di court room dengan banyak orang, dan kungkungan yang menyangkut dalam perasaan mereka. Sekalipun mereka berjalan, wide shot tersebut beralih fungsi untuk menunjukkan jauhnya perjalanan yang mereka lakukan untuk sampai di sana. Sekali lagi, sama seperti Abigail, film mengeset pemahaman kita bahwa semua orang di dalam sana tidak mau kembali ke muasal mereka di jalanan. Berbeda dengan wide-shot yang dilakukan oleh Roma (2018), saingan film ini di Oscar, kamera The Favourite enggak ragu untuk bergerak aktif. Kita bakal sering dibawa berayun oleh kamera, yang kemudian melesak maju bersama karakter, untuk menimbulkan kesan para tokoh ini berjuang keras bergerak di dalam sana. Film juga memilih untuk menggunakan cahaya-cahaya yang natural. Yang terbukti efektif sekali saat shot di malam hari, sebab cahaya lilin itu benar-benar menangkap kecemasan Abigail yang tak tenang seberapapun tinggi statusnya, dia masih khawatir akan ‘ketahuan’ sebagai orang yang seharusnya tidak berada di sana.

Apa yang tadinya dimulai dari cerita underdog yang sederhana – I mean, siapasih yang enggak bakal terpikat sama Abigail yang feminim dan sopan dibandingkan Lady Sarah yang tegas dan kaku – berubah menjadi sesuatu yang lebih dalem lagi. Film dengan berani menunjukkan perubahan Abigail, dia semakin nekat melakukan berbagai cara. Sensasi nonton yang luar biasa saat kita menyadari bahwa Abigail yang hanya memikirkan diri sendiri tidak lebih baik dari orang yang berusaha keras untuk ia gantikan. Lady Sarah yang melarang ratu makan coklat, yang meledek dandanan sang ratu kayak luak, yang ogah membelai kelinci-kelinci peliharaan Ratu, yang terang-terangan mengaku cintanya pada ratu ada batasnya namun tidak demikian buat negara, adalah orang yang lebih baik karena dirinya berada di sana bukan untuk kepentingan pribadi. Sarah punya tujuan yang jauh lebih mulia daripada memuaskan kenyamanan dirinya sendiri. Tidak seperti Abigail, Sarah tidak sekalipun menganggap Ratu Anne sebagai hadiah yang harus dimenangkan. Adegan Abigail menari bersama Ratu, at one point kita mendengar suara letupan senjata, dan Ratu terjatuh – sambil tertawa – melambangkan siapa sebenarnya yang ‘pembunuh’ alias oportunis. Dan tentu saja bukan tidak ada maksudnya ketika film memperlihatkan Abigail lebih ahli menembak ketimbang Sarah. Sarah tidak pernah berpura-pura, dia mempersembahkan dirinya apa adanya. Dia tidak peduli orang menganggapnya kejam dan berhati dingin. Malahan faktanya, dibanding Abigail yang sepanjang waktu membuat ‘rencana’ dan bergerak sembunyi-sembunyi, hanya satu kali diperlihatkan Sarah berusaha bikin surat buat ngeblackmail Ratu, namun pada adegan berikutnya kita melihat surat tersebut dia bakar. Karena seperti yang diperjelas oleh dialog Sarah dengan Abigail; dia tidak memainkan permainan yang sama dengan Abigail.

Dan Sarah-lah yang mengungkapkan kalimat terpenting yang menjadi pesan dalam film ini. Bahwa kejujuran adalah cinta. Mencintai dan tetap bersikap jujur ternyata adalah hal yang luar biasa sukar dibandingkan berbohong demi menyenangkan orang.

 

Tentu saja sikap Sarah tersebut dipandang sebagai ketidaksetiaan oleh Ratu. Yang membawa kita ke tokoh terakhir dalam cerita segitiga ini. Olivia Colman dinobatkan sebagai pemenang Aktris Terbaik dalam Peran Utama Oscar 2019, mungkin membuat kita bertanya-tanya kenapa tokoh yang diperebutkan ini yang disebut sebagai peran utama. Buatku, tokoh utama cerita ini memang Abigail. Namun aku mengerti kenapa Anne juga bisa dipandang sebagai tokoh utama. Walaupun tokohnya annoying dan konyol sebagai penguasa (mengingatkanku pada persona Vickie Guerrero di WWE), keputusan Ratu Anne-lah yang menjadi penentu cerita. Dan jika kita tilik karakternya, dialah yang paling manusiawi di antara semua. Anne yang paling menderita. Dia bahkan enggak tahan mendengar musik karena membuka luka emosional yang selama ini menderanya. Ratu kita ini telah kehilangan tujuh-belas anaknya. Implikasinya adalah dia tidak bisa punya anak. Film dengan hebat menetapkan bahwa sosok ini sangat mendamba cinta, dia ingin ada yang menunjukkan cinta kepadanya. Kelinci-kelinci yang ia pelihara; merupakan wujud pengganti anak baginya. Menjadi ratu, penguasa, adalah siksaan ekstra bagi pribadi semacam ini karena dia tidak pernah tahu pasti siapa yang tulus mencintai dirinya dan siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Lebih mudah baginya untuk mempercayai dan menerima Abigail yang terus memuja-muja dirinya – menjilat kalo boleh dibilang – ketimbang Sarah yang menyuruh-nyuruh dirinya.

Sang Ratu ultimately dihadapkan pada pilihan antara orang yang bersikap manis dengannya dan orang yang ketus. Abigail memanfaatkan kelemahan Anne, sedangkan Sarah berusaha mengeluarkan Anne dari kelemahan tersebut. Dan pada akhirnya memang Abigail yang menang. Namun film menembak kita dengan pertanyaan, apa yang ia menangkan? Apa yang ia dapatkan sebagai anak emas si Ratu kalo kenyataannya hati Abigail semakin tidak tenang. Abigail malahan hanya jadi sasaran kegelisahan sang ratu yang dibuat oleh film ini menyadari bahwa dirinya baru saja mencampakkan satu-satunya orang yang beneran peduli kepada dirinya, yang menganggap dirinya manusia alih-alih tukang ngasih makan.

apa bedanya Abigail sama kelinci-kelinci itu?

 

Menjadi yang teratas tidak serta merta membuat kita bahagia. Malahan ratu dalam cerita ini justru adalah yang paling nelangsa di antara semua. Di balik nada komedi yang membuat kita tertarik mengikuti ceritanya, film ini menunjukkan bahayanya dinamika kuasa yang bisa terjadi antara si kaya/si kuat dengan si miskin/si lemah dalam sistem kekuasaan tertutup seperti begini. Sebab yang atas akan melampiaskan ke yang bawah, dan begitu seterusnya melingkupi semua lapisan.

 

 

Berusaha menyentil masalah kontemporer lewat gambaran sejarah yang dengan nekatnya melanggar banyak aturan sebuah film period piece. Film ini menilik dinamika antara kelas, cinta, dan politik – membalutnya dalam busana komedi, sehingga menjadi tontonan yang enggak malu-maluin dan enggak malu menunjukkan apa yang bisa terjadi – dan mungkin sedang terjadi di sekitar kita. Semua penampilan di sini luar biasa, kita sudah melihat pencapaian film ini pada musim award yang lalu. Film ini memberanikan kita untuk mempertimbangkan pilihan, untuk tidak memilih yang termudah, dan mengingatkan kadang memang selalu ada udang di balik batu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold star for THE FAVOURITE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian menjadi raja/ratu itu asik? Apakah cinta itu ada batasnya? Pernahkah kalian merasa lebih aman dan sejahtera bagi diri kalian untuk berbohong ketimbang mengatakan yang sebenarnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

[Readers’ NeatPick] – HIJAB (2015) Review

“Jenaka tanpa perlu menggurui. Hijab adalah bukti film mampu melucu tanpa harus menghadirkan sketsa ala komika yang belakangan ini sering menghiasi film komedi Indonesia saat ini.”Raja Lubis, Komandan Komunitas Forum Film Bandung – Pengamat Film, FTV dan Serial Televisi Indonesia.

 

 

Setiap orang tentu punya film favorit sendiri, film yang ketika ditonton pengen disebarin ke orang lain. Namun, favorit enggak mesti karena filmnya bagus loh, bisa jadi kita suka karena filmnya lucu, atau mungkin geli. Yang jelas, selama bikin blog ini aku sering dapet rekues review; mulai dari yang nyaranin film yang bagus, yang pusing, hingga yang konyol. Dan percayalah, biasanya aku langsung nyari dan nontonin film yang direkues, cuma ya memang tak sempat kutuliskan reviewnya. Kalo ada waktu ketemu temen-temen sih enak, kami bisa langsung obrolin bareng film yang ia rekues. Kalo sama temen-temen di dunia maya, gimana? Maka lantas aku kepikiran untuk bikin segmen khusus review bareng. Dinamakan [Readers’ NeatPick] karena segmen ini terbuka untuk setiap pembaca My Dirt Sheet mengajukan usulan film, dan akan kuhubungi langsung untuk mereview film tersebut bersama-sama.

Di edisi perdana ini, aku menerima usulan Raja Lubis untuk menonton film Hijab, komedi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang dibuat dengan gaya unik, ala-ala dokumenter, yang menilik kisah sukses empat cewek mendirikan bisnis hijab. Kita akan mendengar cerita persahabatan mereka, gimana mereka memulai bisnis lantaran pengen punya ‘sesuatu’ di luar nafkah dari pasangan masing-masing, dan eventually apa yang membuat mereka mengenakan hijab.

“Film Hijab penting karena bisa dijadikan pembelajaran dari banyak aspek.”

“Jadi komedi bisa, jadi religi bisa juga ya, Mas.”

“Justru Hijab ini bisa dikatakan salah satu standar film religi yang dituturkan jenaka. Dan saya memang selalu suka pada film komedi yang punya daya untuk melakukan kritik atas isu sosial budaya yang terjadi di lingkungan sekitar. Hijab melakukannya dengan sangat baik.”

“Dan sepertinya ini memang ranahnya Hanung, kan. Dia selalu bisa menemukan cara untuk menyelipkan komentar-komentar di balik hal dan fenomena hits (saat itu).”

“Hahaha kontroversi gitu ya maksudnya? Kontroversi itu datangnya bukan dari filmnya melainkan dari sudut pandang orang yang menilainya. Terlepas dari itu, sebagai sebuah karya saya kira Hijab hanya memotret, mengkritisi fenomena sekitar dengan gayanya sendiri. Namun jika ada yang mempermasalahkan film ini dengan sudut pandangnya juga, itu pun hak mereka.”

“Gaya ala dokumenter – yang bukan dari tokoh real – ini menurutku tepat digunakan oleh Hanung, karena dia ingin memperlihatkan banyak sudut tentang hijab. Meskipun tema yang berulang di sini jelas adalah favoritnya Hanung; isu kesetaraan. Selalu soal kesetaraan. Dia, seperti yang mas bilang, memotret sehingga filmnya terasa relevan.”

“Hijab memotret dan menunjukkan tentang peran suami-istri yang berbeda-beda. Apa yang ditunjukkan oleh Hijab bukan hanya masalah relevan atau tidak relevan dengan masa kini. Tapi lebih ke menunjukkan bagaimana suami istri bekerja sama dalam berumah tangga. Dan prinsip itu akan terus berjalan sampai dunia ini berhenti berputar”

“Dinamika suami-istri di film ini mulai bergeser ketika istri merasa bosan gak ngapa-ngapain. Mereka pengen berkarya sendiri. Dan akhirnya malah jadi lebih sukses daripada suami. Film ingin membuka mata kita melihat apa sih masalah yang bisa timbul dari istri yang bekerja. Buatku film ini cukup materialistis, sih. Uang di cerita ini berperan penting; ia yang memulai dan jadi middle-ground. Suami-suami di film ini enggan ngasih izin para istri bekerja lantaran mereka punya ego. Intensitas cerita naik saat para istri ketahuan bekerja, namun jadi adem lagi begitu usaha mereka itu sukses. Aku pengen melihat apa yang terjadi kalo usaha hijab itu gagal, menurutku pembelajarannya bisa lebih besar lagi jika uang dikeluarkan dari ekuasi – seperti apa dinamikanya nanti.”

“Uang memang penting banget! Nggak ada uang hidup bakal nggak jalan. Film ini nyata seperti demikian. Makanya para istri berbisnis hijab agar bisa leluasa menggunakan uang untuk keperluan pribadinya. Dibawa ke saya sendiri; Saya mempersilakan istri bekerja selama tidak mengganggu dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di zaman sekarang ini banyak profesi yang bisa dilakukan seorang istri tanpa harus keluar rumah. Tapi intinya saya memberikan kebebasan kepada istri untuk berekspresi, tentu dengan izin suaminya.”

“Hmm.. ya.. ya, aku juga kalo udah nikah kayaknya bakal bolehin istri kerja tetapi tidak saat anak masih kecil banget, aku gak bisa soalnya ngurus anak ahahaha.. Film ini juga seperti menunjukkan izin suami masih berperan besar ya. Menurutku menarik gimana dengan segala pesan kesetaraan itu, poster film malah menampilkan keempat tokoh kita sebagai boneka marionet yang dikendalikan tangan. Buatku ini low-key ngasih liat bahwa masih ada yang mengatur mereka – entah itu aturan; suami atau agama atau sosial, atau malah duit itu sendiri”

“Saya hanya melihat poster itu sebagai bentuk karikatural yang menandakan bahwa Hijab adalah film komedi. Lebih lanjutnya saya enggan berkomentar.”

“Memang sih, yang aku gak nyangka adalah betapa ringannya ternyata Hanung mengemas. Enggak sampai ke level receh, film ini punya nyali dan tidak meninggalkan rasa hormat sama sekali terhadap yang ia bicarakan, tapi memang film Hijab ini terasa beda dengan film-film Hanung lain yang lebih ‘serius’.”

“Adegan yang paling bikin ngakak banyak sih ya, secara delapan aktor utamanya bermain bagus semua. Tapi kalau yang paling saya ingat sih adegan Dijah Yellow, meski sedikit perannya tapi memorable. Kalo dari tokoh utama, saya suka sama karakter Anin (Natasha Rizky), karena dia adalah karakter yang paling banyak mengalami perubahan sekaligus juga bisa dikatakan menjadi inti cerita filmnya.”

“Anin udah kayak tokoh penentu di film ini. Aku suka gimana Anin dibuat kontras di film ini; dia satu-satunya yang gak berhijab, dia satu-satunya yang belum menikah. Dan dia belajar dari keadaan di sekelilingnya, dia menemukan sesuatu, seperti wakil dari penonton untuk menangkap apa yang sedang diceritakan. Anin mengalami transformasi. Benar-benar berbeda dari tiga tokoh lainnya, kita diperlihatkan proses dirinya mengenal hijab – baginya bukan sebagai pelarian, atau keharusan, tapi sebagai pilihan. Dan di sinilah istimewanya film, dia memberikan ruang bagi hijab untuk dilihat dari banyak segi. Bukan sebatas busana muslimah.”

“Menurut saya Hanung juga memotret Hijab dari sisi budaya. Kan memang sekarang Hijab itu seperti sudah menjadi tren di kalangan wanita Indonesia. Bahkan ada satu dialog juga yang memperkuat fenomena ini. Yakni dialog yang bilang bahwa Hijab menggantikan konde yang biasa dipakai di zaman order baru.”

“Jadi tidak semata hijab adalah simbol kungkungan atau peraturan kan ya. Karena perkembangan dunia, sudut pandang kita pun juga mesti berkembang.”

“Benar. Sejauh yang saya tahu dan saya imani, hijab adalah kewajiban bagi setiap wanita muslim yang ketentuannya sudah diatur dalam Islam. Adapun ketika Hijab menjadi fashion, itu sebuah pergeseran budaya. Namun dengan berubahnya hijab menjadi tren hijab ini jadinya banyak hijab yang diproduksi kurang memperhatikan ketentuan yang sudah mengaturnya.”

“Benar, dari film ini kita juga bisa lihat ada garis pembeda antara hijab sebagai fashion dan sebagai budaya. Adalah pilihan nurani masing-masing, mau memparalelkannya atau tidak. Meski kalo aku sih, aku gayakin juga kalo misalnya aku ini cewek aku bakal makai hijab dari dulu atau enggak hahaha.. mungkin aku kayak Anin atau malah kayak Tata hhihi”

“Waaah itu andai-andai yang sulit dibayangkan karena nggak akan pernah terjadi, kecuali atas izin Allah.”

“Hahaha benar juga. Jadi kalo mau diangkain, dari skala satu sampai sepuluh, Mas Raja ngasih skor berapa nih buat Hijab?”

“Saya berikan 8.5/10. Hijab digunakan judul dan inti utama film ini sebagai bisnis, sekaligus menyindir banyak hal lain. Sebagai jalan bagaimana Hanung melalukan kritik pada aspek kehidupan sosial budaya yang nggak semata-mata soal Hijab. Misal soal karir dan pekerjaan dan peran suami istri dalam rumah tangga.”

“Dalem dan menggelitik ya. Kalo aku ngasih 7/10 karena buatku memang filmnya terasa sedikit ‘main aman’, gaya bercerita yang dipilih bikin berbeda, kreatif, tapi jadi sedikit ‘menyimpan’ tokoh utama atau tokoh sebenarnya yang jadi poin vokal cerita.”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Raja Lubis untuk edisi perdana segmen ini. 

Bagaimana menurut kalian tentang film Hijab? Apa kalian setuju dengan yang disampaikan oleh film ini?

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

INSTANT FAMILY Review

“There’s nothing temporary about the love or the lesson.”

 

 

Gampang untuk tidak menyakiti orang lain, atau merasa kasihan melihat kondisi orang lain, karena kita membayangkan jika itu terjadi kepada anggota keluarga sendiri. Kita cukup dengan menjauhkan diri dari masalah orang, enggak ikut campur, hanya membantu jika diminta. Dibutuhkan usaha yang lebih keras, lebih susah, untuk secara nyata menyayangi dan peduli sama orang lain. Menganggap mereka seperti anak sendiri. Tidak sembarang yang bisa, yang rela, mengurus anak orang. Tahukah kalian penelitian menyebutkan seorang ibu akan menganggap pup anak kandungnya enggak sebau dan semenjijikkan pup anak orang lain. Bayangkan ada seorang ibu yang punya cinta begitu besar sehingga mau mengurusi pup yang bukan dari pantat anaknya.

Adopsi jelas bukan perkara sepele. Lewat Instant Family, sutradara Sean Anders membagi cerita dan pengalaman suka-duka yang ia alami ketika dirinya memutuskan mengadopsi anak. Dan Anders cukup bijak untuk mengajak kita tertawa bersamanya karena film ini diceritakan dengan begitu ringan dan lucu. Kita akan melihat langkah-langkah yang harus dilalui oleh pasangan yang berniat menjadi orangtua asuh, dimulai dari konseling, masa percobaan, bagaimana mereka memilih anak (film bilang “udah kayak belanja!”), fakta bahwa tidak banyak yang mau memilih anak remaja karena kita bisa bayangkan lebih merepotkan karena mereka sudah mulai memasuki usia ‘membandel’, dan tentu saja drama yang muncul ketika orangtua asuh sudah bertemu dan membawa anak asuhnya ke rumah. Anders, tak pelak, mengerti semua hal tersebut dan ia paham di mana harus menggali kelucuan. Meskipun lucu, bukan berarti film harus kehilangan hati.

berlawanan dengan judul; sebenarnya tak ada yang instan dalam membangun keluarga

 

Mark Wahlberg dan Rose Bryne memerankan sepasang suami istri yang memutuskan untuk mencoba membesarkan anak, tapi Mark menolak punya anak sendiri lantaran tokohnya, Pete, sudah berumur dan dia enggak mau dia udah tua banget saat anaknya remaja. Jadi dengan berkelakar dia semacam bilang kita curi start saja, adopsi anak yang sudah sekolah. Di balik kekonyolan, naskah berhasil membuat kedua tokoh ini – Pete dan istrinya Ellie – sebagai tokoh yang manusiawi; terkadang kita dapat melihat mereka pada awalnya tidak benar-benar serius pengen punya anak – mereka mengadopsi hanya untuk membuat diri mereka merasa lebih baik di mata sanak dan kerabat. Seperti ketika mereka tadinya cukup kaget tatkala mengetahui Lizzie, remaja hispanic yang menurut mereka ‘cocok’ ternyata punya dua adik dan itu berarti mereka harus menanggung tiga anak. Namun kita tidak pernah kehilangan simpati kepada mereka. Kita mengerti ketika mereka melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati anak asuhnya, mereka benar-benar pengen membuat anak-anak tersebut senang. Bahwa mereka berusaha menjadi orangtua yang baik. Wahlberg dan Bryne benar-benar tampak meyakinkan; ketika mereka ragu kita juga ikut ragu, ketika mereka marah kita tahu mereka melakukannya sebagai pilihan yang menurut mereka terbaik.

Aku suka naskah memparalelkan ini dengan pekerjaan profesional yang mereka geluti. Pete dan Ellie mencari nafkah sebagai fixer upper; mereka membeli rumah yang sudah bobrok, memperbaikinya, untuk dijual kembali dengan keuntungan yang besar. Ini pada ujungnya memberikan konflik karena mereka terbiasa ‘membangun’ rumah, mempercantik untuk dihuni oleh orang lain. Betapa mengejutkan bagi mereka ketika menyadari bahwa dalam adopsi anak, tidak sama seperti yang mereka lakukan pada rumah. Karena anak berarti menyangkut ‘rumah tangga’. Ada perasaan yang terlibatkan. Plot pasangan tokoh utama kita ini adalah tentang mereka menyadari betapa desperate-nya mereka sebenarnya untuk jadi ayah dan ibu. Lihat betapa takjub dan nagihnya Pete dan Ellie ketika salah satu anak asuh tersebut memanggil mereka dengan “daddy” dan “mommy”. Film tidak mempermudah keadaan dengan membuat ketiga anak yang mereka asuh masih memiliki ibu kandung. Pertanyaan yang menggantung di plot poin kedua nyatanya berhasil membawa cerita ke dalam warna emosional; Apakah Pete dan Ellie bisa merelakan anak yang sudah mereka urus pulang kembali ke ibu kandung yang sudah keluar dari penjara. Apakah itu adil bagi mereka yang sudah meluangkan banyak. Tentu saja itu juga tergantung pada pilihan ketiga anak, namun jika mereka memilih Pete dan Ellie, apakah itu tidak sama saja dengan Pete dan Ellie merampas mereka dari ibu sah yang tentunya juga berjuang untuk anak-anak tersebut. Moral dilema dan drama yang bikin hati anget ini tak sekalipun terselip keluar dari cerita. It’s still there all along, terbungkus dengan rapi oleh pita-pita komedi. Sehingga film akan membuat kita tertawa dan menyeka mata sekaligus.

Jangan pernah meremehkan seberapa besar kau bisa mencintai seseorang dan bagaimana cinta tersebut mampu mengubah mereka. Kita mungkin hanya sementara di dalam hidup mereka. Mereka mungkin tak seberapa lama di hidup kita. Tapi tidak ada yang namanya numpang lewat dalam urusan cinta. Pun pelajaran dan waktu yang kita luangkan bersamanya akan terus terpatri selamanya.

 

Aku suka gimana film ini tidak menggali hubungan Pete dan Ellie dengan anak-anak asuhnya seperti cerita ‘strangers yang menjadi teman’ kebanyakan. Cerita tidak exactly dimulai dengan benci berubah menjadi cinta. Ketiga anak asuh tersebut enggak langsung melawan, enggak seketika distant dan gak respek. Kita melihat kedua belah pihak sama-sama seperti ‘mengetes air’ di awal-awal mereka satu rumah. Film mengambil waktu untuk mengembangkan reaksi mereka. Pete dan Ellie yang merasa bisa dengan gampang ‘memperbaiki’ anak-anak ini, dan the kids, aku suka film tidak membuat mereka menyusahkan bagi Pete dan Ellie. Film tetap membuat ini sebagai tugas Pete dan Ellie; bahwa mereka perlu memahami bagaimana cara yang tepat menunjukkan cinta kepada anak-anak, seperti keluarga normal.

Tokoh anak-anak juga tak kalah meyakinkannya. Isabela Moner menyuguhkan penampilan yang benar-benar kerasa sebagai Lizzie, tertua dari tiga bersaudara. Film memberikan kesempatan baginya untuk menjangkau banyak rentang emosi, dan Moner mengeksekusinya dengan baik. Remaja yang bermasalah, namun Lizzie tidak jatoh annoying dengan akting yang berlebihan. Tokoh ini bisa kita tarik perbandingan dengan Euis di Keluarga Cemara (2019), karena sama-sama paling dekat sebagai sosok antagonis bagi tokoh utama; Lizzie tampak lebih luwes karena rangenya lebih luas, sedangkan Euis sedikit tertahan. Yang lebih bandel sebenarnya Lizzie namun Euis tampak lebih ‘hard to deal with’, menurutku ini disebabkan oleh perbedaan eksplorasi karakter yang bisa jadi berhubungan dengan kemampuan akting pemainnya. Moner begitu natural, sehingga aku jadi penasaran pengen melihat seperti apa dia memainkan Dora later this year. Lain Lizzie, lain pula dengan dua adiknya; Juan dan Lita. Dua tokoh ini kocak banget sebagai karakter komedi. Yang satu tukang merengek, yang satu bego namun super-sensitif. Film membuat kita tertawa oleh tingkah mereka, meskipun aku kadang merasa jahat juga sih terbahak melihat Juan kesakitan karena ulahnya sendiri.

Boleh gak adopsi Moner jadi adek?

 

Dengan tone komedi dan drama yang ngeblend, kadang bikin kita ‘bingung’ juga seperti yang kita rasakan pada tokoh Juan. Is it okay to laugh at children getting hit? Apa sopan mentertawakan seorang wanita yang belum berhasil menemukan anak asuh? Atau menuduh sepasang suami istri yang wajahnya amat mirip sebagai saudara kandung? Film yang tak malu-malu menyinggung berbagai persoalan ini bergerak dengan cepat sehingga kita tertawa dan baru berpikir kemudian. Menakjubkan gimana satu montase bisa hadir dalam berbagai feeling seperti yang dilakukan oleh film ini. Dan betapa randomnya kemunculan cameo Joan Cusack di menjelang akhir itu seolah duo Octavia Spencer dan Tig Notaro belum cukup untuk menggelitik kita semua. Tapi menurutku memang itu semua bergantung kepada selera humor masing-masing penonton. I could laugh at some of it. Dan nyengir buat sebagian kecil yang lain.

Yang benar-benar kepikiran buatku adalah pilihan resolusinya. Di bagian-bagian awal Pete sempat meracau soal white-savior, gimana yang mereka lakukan bukanlah sekedar pencitraan orang kulit putih yang mau menyelamatkan anak-anak. Buatku penyelesaian film ini justru menguatkan aspek white-savior yang berusaha dihindari oleh Pete tersebut. Alih-alih memperlihatkan interaksi untuk mencapai kesepakatan bersama, kita mendapati jalan keluar yang berasal dari keadaan luar; dari seorang ibu yang masih belum keluar dari jerat narkotika. Film berusaha mengalihkan kita dari ras si ibu dengan membuat ada satu tokoh amerika yang juga terikat masalah yang sama; bahwa narkoba bukan stereotipe ras. Tapi tetap saja aspek ini membuat Pete dan Ellie menjadi tampak keluarga paling ‘sempurna’ di antara keluarga lain yang ditampilkan oleh film. Menurutku cerita seharusnya menggali ‘cacat’ dari dalam dengan lebih dalam lagi dari sekadar masalah pencitraan.

 

 

 

Prestasi terbaik yang dicapai oleh film ini adalah membuat kita sadar bahwa wajar saja jika semua keluarga itu ‘gila’. Justru semakin ‘gia’ maka semakin besar pula cinta di dalamnya. Dan yang namanya cinta tak melulu datang dari rantai DNA. Film ini membawa sudut pandang yang unik, dan mencoba untuk menceritakan sesuatu yang mengharukan dengan tawa. Sukses luar biasa. Makanya walaupun adopsi-adopsian enggak terlalu ngetren di sini, film ini tetap terasa relatable dan mampu menyentuh kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold star for INSTANT FAMILY

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa orang yang mengangkat anak asuh sering dikatakan sebagai pahlawan? Apakah makna orangtua bagi kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.