WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL Review

“I sing to the night, let me sing to you.”

 

 

 

Untuk dapat ngedeskripsiin gimana rasanya nonton film ini, aku harus nanya dulu ke kalian – karena aku bener-bener gak nemuin kata yang tepat buat ngewakilin perasaan yang kena ke aku. Mungkin beginilah rasanya ‘mabok’ tapi aku gak yakin karena belum pernah mabok. Jadi, ini pertanyaannya: Pernahkah kalian golek-golek sebelum tidur, menyusun ulang apa yang sudah kalian lakukan hari itu – dari mulai bangun pagi, cek hape, masuk ke kamar mandi, balik keluar lagi karena hape ketinggalan di kasur, dan seterusnya, seterusnya sampai kalian lupa ngapain lagi karena satu hari tersebut seolah berlalu begitu saja, seolah yang kalian lakukan di pagi hari itu tidak pernah terjadi? Film ini terasa kayak momen bangun pagi yang berusaha kalian ingat itu. Terasa gak penting padahal kita tahu dan kena pentingnya di mana.

Menonton film ini bagai sedang mimpi di siang bolong. Begitu aneh dan unik perjalanan yang dituturkannya sehingga kita tidak merasa sedang menonton, melainkan lebih sedang bermimpi. Dan begitu filmnya selesai, kita akan ‘terbangun’ dengan merasakan penuh gempita oleh pengalaman yang baru.

 

 

Bahkan untuk ukuran anime sekalipun, film ini masih tergolong super duper abnormal. Animasinya disampaikan dengan gaya yang lain daripada yang lain. Gambar-gambarnya menunjukkan hal-hal yang incorrect dan nyampur gitu aja membuat kita tertawa canggung antara konyol dengan merasa bergidik. SUREALIS DALAM LEVEL YANG BERBEDA. Tokoh-tokohnya melakukan aktivitas yang absurd, kayak jalan merangkak ala kepiting. Komedi yang mewarnai film ini pun sama gilanya. Struktur ceritany, oho jangan ditanya; film ini bercerita dengan sebebas-bebasnya. Kejadian demi kejadian datang gitu aja. Cerita dalam film ini berlangsung dalam rentang waktu satu malam yang dilalui oleh tokohnya, jadi kita akan melihat apa-apa aja yang bakal ia temui. Kita akan lihat mereka berdansa dan benryanyi dalam sebuah sekuen musical yang begitu hilarious. Kali lain, kita akan dibawa masuk melihat isi pikiran salah satu tokoh. Sekilas, kejadian-kejadian tersebut tak tampak korelasinya, namun film punya cara dan suara tersendiri dalam merangkai semua elemennya menjadi satu kisah yang padu. Kita tetap berpegangan erat pada cerita.

latihan otot paha dan perut yang bagus

 

Tokoh utama kita dipanggil Otome. Malam itu dia diundang menghadiri pesta pertunangan kenalannya. Sebagai salah satu yang termuda di sana, Otome merasa senang (serius, cewek ini sepertinya enggak mampu untuk merasakan sedih). Otome melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk experiencing something new. Pesta tersebut tak butuh waktu lama berubah menjadi semacam bar crawl; rombongan akan berpindah ke tempat-tempat minum. Kehidupan dewasa, kehidupan malam hari, Otome dengan suka ria menjalaninya. Dia bertemu dengan banyak orang dan kejadian aneh. Dia minum-minum. She’s so good at it. Kita akan melihat semangat Otome mempengaruhi lingkungan sekitar yang kontras dengannya, dan pada gilirannya akan gentian: Otome akan belajar dari mereka. Particularly, ada satu cowok, yang disapa Senpai. Cowok ini naksir berat ama Otome, tapi dia terlalu pemalu untuk bilang langsung. Jadi dia bikin strategi gimana caranya sepanjang malam itu untuk bisa terus bertemu ‘tanpa sengaja’ sama Otome.

Dari gaya dan penceritaannya sendiri, aku tak heran akan banyak penonton yang garuk-garuk kepala. Tapi kutekankan, film ini enggak bakal bikin pusing. Jika ada satu hal yang susah untuk kita lakukan saat nonton film ini, maka hal tersebut adalah merasakan kebosanan. Karena kita memang diberikan satu storyline, satu pertanyaan utama untuk dinantikan jawabannya; Apakah pada akhirnya Otome memperhatikan Senpai – apakah mereka akhirnya ‘jadian’? Proses kesanalah yang luar biasa menarik. Dua tokoh ini berjalan sepanjang malam itu, berdekatan namun jarang sekali bersinggungan, dan path yang mereka lalui sudah seperti trial; ujian yang menghantarkan masing-masing menuju pemahaman akan hidup. Otome akan ikutan kontes minum alkohol, dia akan pergi ke pasar buku bekas, dia akan bergerilya bersama teater jalanan yang diburu security. Ada begitu banyak yang film ini bicarakan. Kurasa setiap penonton bisa mendapat pesan yang berbeda di setiap perjumpaan. Begitu banyak sudut untuk menginterpretasi cerita, inilah kekuatan dari The Night is Short, Walk on Girl.

Ini adalah tipe film yang begitu filmnya usai akan terasa semakin hebat dan hebat lagi sebagaimana kita merefleksikan kejadiannya terhadap diri sendiri. Apa yang dihamparkan pada film ini begitu luas sehingga akan banyak orang merasa relate dengan kejadian-kejadiannya. Buatku, aku mengakui, aku merasa dekat dengan Senpai. Ngajak jalan cewek, ‘bicara’ sama cewek yang disuka, buatku juga adalah masalah susun strategi. Aku suka menciptakan situasi, berusaha menunggu timing, supaya ngajaknya itu gak terasa awkward, persis kayak si Senpai. Di film ini Senpai berpikir buku masa kecil Otome yang ia temukan bakal menjadi tiketnya untuk mulus jalan sama Otome, but really, film ini menunjukkan kita enggak butuh benda, enggak butuh menciptakan kesempatan. Just put yourself out there, karena hidup inilah kesempatan kita.

Malam itu pendek. Hari itu pendek. Umur kita pendek. Sepanjang apapun waktu yang kita punya, kalo kita tidak segera berjalan, kita tidak segera melakukan apa-apa, semuanya akan lewat begitu saja. Begitulah kontrasnya dunia sekitar dengan Otome. Dengan malam yang hanya beberapa jam itu, Otome melakukan banyak kegiatan, dia mengubah hal, karena dia tahu; saat muda itu, dia punya semua kesempatan yang bisa diinginkan oleh seseorang.

 

 

Elemen cerita yang paling asik adalah gimana jarum jam arloji Otome dibuat bergerak dengan kecepatan yang berbeda dari jarum jam tokoh-tokoh lain. Yang lain jamnya bergerak dengan sangat cepat, orang-orang tua itu sangat kaget demi melihat jam Otome berjalan “lebih lambat daripada siput”. Tokoh-tokoh yang lebih dewasa daripada Otome, mereka digambarkan sangat tertekan oleh hidup, mereka memandnag hidup dengan sangat sinis; sudah waktunya berbuat begini, sudah waktunya kita begitu. Mereka minum untuk mabuk, maka dengan segera menjadi mabuk. Otome, minum untuk menikmatinya. Sebagaimana dia menikmati hidup, cewek muda ini begitu optimis. Dia tahu waktunya masih panjang, atau malah dia tidak memikirkan waktu. Ada perbandingan yang subtil dijelaskan oleh film ini lewat minuman yang dipertandingkan oleh Tomoe dan satu tokoh. Minuman tersebut adalah minuman ‘palsu’ yang dibuat dari meniru resep terkenal. Tokoh-tokoh lain, mereka fokus ke ‘palsu’nya, sedangkan Otome, dia gak peduli, dia gak tahu versi aslinya, buat dia baru ataupun asli – yang jelas itu adalah kesempatan mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya, ya kita lihat, minuman tersebut jadi kupu-kupu kebahagian dalam perut Otome.

semoga itu bukan gejolak asam lambung

 

Seorang manusia sesungguhnya punya peran dalam kehidupan manusia yang lain. Setiap masing-masing dari kita terkoneksi satu sama lain, entah itu oleh tindakan yang pernah kita lakukan, keputusan yang kita ambil. Film ini, dalam kapasitasnya sebagai komedi, menggunakan flu sebagai cara untuk menggambarkan koneksi tersebut. Pria yang merasa paling kesepian di hidupnya actually adalah orang yang menularkan flu kepada seluruh orang di kota pada penghujung malam itu. He matters. Kita berarti terhadap dunia dalam cara yang tak terbayangkan oleh kita. Dalam sekuen ini kita juga melihat Otome mulai menyadari kekurangan yang ia miliki. Bagaimana mungkin, cuma dia yang tak tertular flu? Berarti dia belum terkoneksi, dia belum menjadi bagian dari dunia. Sikap optimis dan keceriaannya berpengaruh terhadap sekitar, practically memohon untuk mempengaruhi orang-orang. Namun Otome belum terbuka terhadap sekitar, dia terlalu sibuk berjalan – doing her things. Ia pun sudah seharusnya untuk membiarkan orang-orang menularkan pengaruh terhadap dirinya.

Karena hidup adalah timbal balik seperti demikian. Bukan sekedar rangkaian dari peristiwa-peristiwa acak yang terjadi secara kebetulan.

 

 

 

 

 

Aku sangat berharap dapat timbal balik juga di sini, aku pengen tahu apa yang kalian pikirkan terhadap cerita film ini, apa yang kalian dapatkan darinya. Karena ada begitu banyak yang dibicarakan oleh garapan Masaaki Yuasa ini dalam lingkupan payung kehidupan yang menjadi konteksnya. Film ini memotret gimana orang-orang memandang hidup, apa yang mereka lakukan dalam mengisi hidupnya. Simbolisme boneka Daruma khas Jepang, juga signifikansi benda-benda yang tampak di latar, selalu ada yang bikin pikiran kita bergerak saat menonton ini. Kejadiannya aneh-aneh seperti kejadian dalam mimpi, namun begitu menyedot sehingga kita tidak bisa berhenti menyaksikannya. Juga sangat lucu, meski terdapat beberapa lelucon yang udah out-of-date seperti objektifikasi dan ngerendahin wanita. Tapinya lagi, itu adalah bagian dari kehidupan malam di Jepang, dan film ini tak berdalih dari hal tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THE NIGHT IS SHORT, WALK ON GIRL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CHRISTOPHER ROBIN Review

I’ll fly before I change

 

 

 

Dasar Silly Old Bear. Begitu biasanya Christopher Robin menutup setiap percakapan dengan menggoda Winnie the Pooh, boneka beruang yang jadi sahabatnya. Pooh yang kerap bicara dengan perutnya sendiri yang selalu lapar. Jika ditanya hari apa yang menjadi hari favoritnya, Pooh akan menjawab “Hari ini.” Memang kebangetan lugunya, makanya jadi lucu.  Tapi lantas, Pooh juga menganggap Christopher yang membawa tas kerjaan ke mana-mana, sedangkan putrinya yang ia bilang paling berharga selalu ia tinggal, bersikap tak kalah lucu. Hmmm, mungkin kata-kata tadi sudah berbalik arah. Mungkin kinilah saatnya giliran Pooh menggoda Christopher dengan “dasar, Silly old Human”

Christopher Robin sudah siap meninggalkan masa kecilnya yang memang sangat menyenangkan, setiap hari dia masuk ke lubang pohon di belakang rumahnya, untukk bermain-main dengan Pooh dan teman-teman boneka hewan yang lain di Hutan Seribu Acre. Film ini dibuka dengan Pooh, Piglet, Eeyore, Tigger, Rabbit, Owl, Kanga, dan Roo mengadakan pesta perpisahan untuk Christopher yang di usianya yang ke Sembilan itu harus masuk Boarding School. Berjanji untuk berteman selamanya, Christopher menutup pintu di depan teman-teman semua. Dan dia gak pernah menoleh balik. Selepas dari ‘Boring School’ (kata Pooh, loh), Christopher menikah, masuk militer, dan bekerja di perusahaan koper. Ia kepala keluarga sekarang, mana ada waktu untuk bermain-main. Dia tahu dia harus serius karena mimpi itu enggak gratis. Saking sibuknya kerja, Christopher enggak ada waktu untuk putrinya; Madeline, yang ia suruh untuk dewasa lebih awal dari dirinya di usia 9 tahun. Apalagi untuk mengunjungi Pooh, faktanya, sudah tiga puluh tahun, Christopher tidak memikirkan teman-teman yang ia tinggalkan di Hutan tersebut. Menyebabkan Pooh merasa kesepian. Beruang itu nekad masuk ke lubang tempat Christopher biasanya muncul, dan sampailah Pooh ke London. Ke  tengah-tengah kehidupan nyata Christopher Robin.

jangan garuk-garuk pantat dong, Pooh, norak tauk!

 

 

Bertumbuh di waktu Winnie the Pooh lagi masih cukup hits, susah bagiku untuk gak ikut-ikutan suka sama beruang ini. Karena memang ceritanya bagus, tokoh-tokohnya lucu. Aku nonton kartunnya di VCD, aku punya majalahnya, punya edisi komik dari film-filmnya, aku bahkan nontonin serial balita My Friends Tigger and Pooh while I’m babysitting my baby brother (ternyata, serial itu tidak dianggap kanon oleh film ini, bayangkan kecewaku hihi). Cerita Winnie the Pooh favoritku adalah cerita Tigger yang mencari keluarganya – dia melatih Roo melompat supaya bisa dijadikan adiknya, dan kemudian Pooh dan teman-teman yang lain berdandan ala Tigger, mereka sampai memasang per di kaki masing-masing bisa bisa melompat kayak Tigger, semua menyamar menjadi keluarganya supaya Tigger senang – cerita Pooh selalu menghangatkan hati seperti demikian. Film Christopher Robin pun tak luput dari akrab dan bikin hati kita berbulu lembut dan hangat seperti demikian. SEMANIS MADU, DEH! Di cerita-cerita yang dulu, Christopher Robin adalah tokoh yang paling jarang dibahas, anak cowok ini biasanya muncul di awal, kemudian di akhir – sebagian besar untuk ‘menyelamatkan’ Pooh dan teman-teman yang begitu polos. Makanya, film live-action ini terasa benar perbedaannya. Kita akan melihat Pooh dan teman-teman dari mata Christopher Robin yang semakin dewasa ke titik di mana dia mengakui dia sudah ‘memecat’ Pooh and the genk sebagai teman. Sense pertumbuhan kuat sekali, cerita tidak berdalih dari majunya waktu; dari konsekuensi kehidupan nyata yang dihadapi oleh orang dewasa.

Tetapi, apa sih ‘Kehidupan Nyata’ itu? Kalo ‘Nyata’ kenapa kita memandangnya dengan tanpa senang hati; kenapa Christopher malah jadi jarang tersenyum? Jangan-jangan kebahagiaan itu memang sesederhana balon merah yang dipegang oleh Pooh

 

 

Hubungan antara Christopher dan Pooh selalu adalah inti hati dari cerita ini, dan dengan pertumbuhan yang dialami oleh sang pemilik, kita merasakan hubungan tersebut turut berubah. Lewat animasi komputer yang menawan (lihat bulu-bul.. ah benang-benang tubuh Pooh begitu detil saat dia berjalan menyisir padang bunga), kita akan melihat perubahan di mana kini Christopherlah yang butuh ‘pertolongan’ Pooh. Satu perfectly throwback scene yang kocak adalah ketika Christopher nyangkut di liang dan Pooh berdiri di sana ngeliatin. Memang sih, cerita tentang orang dewasa yang melupakan masa kecilnya sudah sering kita lihat. Ada sedikit kemiripan elemen dengan Toy Story (1995), bahkan kita bisa bilang film ini banyak miripnya ama Hook (1991) di mana Peter Pan yang sudah manusia normal kembali ke Neverland. Poin ini, tak pelak, mengurangi keistimewaan Christopher Robin. Membuat kita terlalu cepat memutuskan, dan tidak benar-benar melihat kesubtilan pesan yang dimiliki oleh film; yang memberikannya sedikit jarak dengan film-film serupa.

Film ini tidak menyuruh orang dewasa untuk meninggalkan pekerjaannya. Melainkan meminta bapak-bapak, ibu-ibu, siapa yang punya anak, untuk melihat apa yang mereka tinggalkan saat dewasa, untuk mengingat kembali seperti apa mereka saat masih kecil. Christopher Robin tidak dibuat berhenti bekerja dan memilih untuk bersenang-senang sepanjang waktu. Yang kita lihat adalah perjalanan Christopher Robin, seorang yang sudah menjadi begitu tak-menyenangkan akibat tekanan pekerjaan, dalam menyadari bahwa dirinya yang sekarang masih sama dengan dirinya tiga puluh tahun lalu. Tumbuh menjadi dewasa bukan berarti kita berubah menjadi orang lain, meninggalkan diri kita yang sebenarnya. Dan eventually, kita akan melihat gimana Christopher Robin, yang setelah menyadari dia adalah dirinya yang dulu, menjadi lebih baik dalam pekerjaannya – dia jadi punya ide yang cemerlang untuk mengatasi masalah perusahaan.

Film ini dilarang tayang di Cina karena presidennya ngamuk dikatain mirip ama Pooh; sensitif atau kekanakan? You be the judge

 

 

Doing nothing pada film ini enggak semestinya kita artikan literal sebagai solusi berupa  gak usah ngapa-ngapain. Something, dikatakan oleh film ini, berasal dari nothing. Ini merefleksikan gimana segede apapun pekerjaan kita sekarang, kita semua berawal dari seorang anak kecil yang polos. Dan anak kecil polos yang kita berusaha untuk kita lupakan itulah yang membuat kita menjadi seperti sekarang. Kita sewaktu kecil bukannya enggak-berarti apa-apa. Monster yang kita ciptakan sewaktu itu, Heffalump dan Woozle itu bukanlah makhluk fantasi yang akan hilang ketika kita sudah bekerja. Mereka menjadi ‘nyata’, karena benar, life got real. Begitu juga dengan apa yang bikin kita bahagia semasa kecil; masih akan terus bikin kita bahagia hingga uzur nanti. Jadi kenapa mesti malu dengannya? Kenapa Christopher mesti malu dia bisa menggambar dan punya boneka? – hal inilah yang dipelajari oleh dirinya, yang membuatnya sadar dan memandang hidup penuh tanggung jawabnya sekarang sama indahnya dengan masa-masa yang ia habiskan di Hutan Seribu Acre.

Selalu sediakan ruang untuk pengembangan diri, kenali kesalahan dan belajar darinya, terus bertumbuh menjadi manusia yang lebih baik lagi. Akan tetapi, jika untuk menjadi dewasa berarti adalah mengubah diri menjadi orang lain – menjadi sesuatu yang bukan diri sendiri, maka aku menolak untuk menjadi dewasa.

 

 

 

Sama seperti madu yang dimakan oleh Pooh, cerita manis ini bisa dinikmati kapan saja. Kepolosan Pooh akan selalu lucu, bukan hanya slapsticknya, melainkan juga dialog “Doing nothing is impossible. But I do nothing all day.” Gold banget! Dengan animasi yang memenuhi harapan dan fantasi kita, film ini punya semua yang kita harapkan dari cerita Winnie the Pooh; menyenangkan, hangat, lucu, sempurna buat keluarga. Lebih diarahkan buat orang dewasa sih sebenarnya, tapi anak-anak kecil tentunya bakal terhibur juga; Tontonkan mereka ini supaya bisa melihat bahwa orangtua mereka – yang di mata mereka mungkin selalu serius dan galak – nyatanya dulu pernah jadi anak-anak juga, yang bermain, berkhayal, sama seperti mereka. Meski begitu aku juga dapat melihat hal-hal yang jadi turn-off buat beberapa orang, seperti ceritanya yang udah sering, formulaic, dan gak benar-benar menjelaskan Pooh dan teman-temannya itu kalo bukan bagian dari imajinasi, kenapa mereka bisa ada di sana. Tapi buatku, terlalu nge-nitpick melihatnya dengan begitu; Toh film ini bekerja dengan baik dalam konteks dan dengan konsep yang ia miliki tersebut.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CHRISTOPHER ROBIN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MILE 22 Review

“There are no heroes or villains”

 

 

 

Sebagian orang bisa tidur dengan damai di malam hari karena mereka mengetahui ada orang-orang yang siap untuk berbuat kekerasan demi mereka. Begitu kata tokoh yang diperankan dengan sangar oleh Mark Wahlberg di film Mile 22. Enggak jelas juga apakah Si James Silva ini memang penggemar George Orwell, atau dia hanya terlalu obsesif dengan menegakkan kedamaian sehingga bocah jenius yang jadi yatim piatu tersebut jadi ‘setengah-gila’ menyangkut urusan membasmi orang jahat. Kita enggak akan pernah tahu, karena cerita latar tokoh ini hanya disajikan dalam montase klip-klip berita yang muncul di pembuka. Tidak sampai lima menit, kemudian film melaju begitu saja tanpa memberikan kita kesempatan untuk bernapas. Apalagi memikirkan kegilaan filosofis si James ini.

Tapi toh, tokoh James memang menarik. Dia adalah agen rahasia pemerintah yang menyamar sebagai agen CIA. Bayangin tuh! James punya kebiasaan jebretin lengannya pake karet gelang yang selalu ia kenakan di pergelangan tangan. Harus memutuskan antara yang baik dengan yang efisien? Jebret! Menangani siasat yang mesti diputuskan dengan cepat? Jebret! Rasa sakit membantu James untuk fokus.  Dirinya sangat obsesif, dia punya kesadaran tinggi tentang apa yang harus dilakukan – tidak peduli itu salah atau benar. Dia paham kecerdasanya di atas rata-rata jadi dia agak kesel dan tak ragu untuk menjadi begitu intens jika ada bawahannya yang meragukan apa yang ia perintahkan ataupun ketika ada yang bekerja di bawah standar yang ia percaya.

No birthday cake, Rousey!

 

Untuk satu hal, film ini adalah laga konvensional tentang satu kelompok yang berusaha untuk mengantar seseorang ke dalam lingkungan yang aman, di mana untuk mencapai keselamatan tersebut mereka harus menerjang peluru dan berantem numpahin darah. Tim James melakukan operasi rahasia untuk membawa polisi lokal yang menyerahkan diri ke embassy Amerika. Polisi rendahan tersebut, si Iko Uwais bernama Li Noor di sini, mengaku mengetahui sandi untuk menonaktifkan enam bom yang dicari oleh para agen. Jadi ia menukar pengetahuannya tersebut dengan posisi yang aman di Amerika. Syaratnya; Tim James harus memastikan keselamatannya sampai ia tiba di Amerika – karena tampaknya, pihak polisi lokal enggak mau satu polisi yang dianggap berbahaya ini meloloskan diri ke negara lain. Dua-puluh-dua mil actually adalah jarak dari embassy ke bandara yang harus James tempuh dalam misinya ini. Tapi untuk kita para penonton, itu berarti 100 menit yang rasanya begitu lama karena tak sekalipun kita dikasih waktu untuk mikirin para tokohnya.

Seperti yang kubilang tadi, ada hal menarik yang coba diangkat oleh film dari perilaku tokohnya. Li Noor dibuat kontras dengan James. Dia lebih tenang, hobinya meditasi dengan jari-jari sebagai lawan dari James dan jebretan karet gelangnya. Film sebenarnya bisa bekerja dengan lebih baik dari menggali ini saja, dengan pelan-pelan. Tapinya, enggak. Film berusaha untuk menjadi banyak hal. Salah satunya adalah menjadi sok lucu. Ada begitu banyak dialog yang diniatkan pinter dan keren, malah jatohnya konyol. Receh. Kayak momen terakhir antara James dengan Noor. Setelah semua aksi tersebut, kontras antara mereka diperlihatkan, rasanya aneh dan konyol sekali film ini memberikan sentuhan ‘realita’ yang mengacknowledge Wahlberg sebagai seorang selebriti sebagai titik puncak dari tokoh-tokoh ini. Film ini – sama seperti James – menyangka dirinya pintar dengan memasukkan lelucon “Say hi to your ‘mother’ for me” (Wahlberg terkenal dengan jargon dari sketsa Saturday Night Live ini, yang diucapkan untuk meledek dirinya) mentang-mentang konteksnya adalah pimpinan tokoh James menyebut diri sebagai Mother dalam kode operasi rahasia mereka.

Dalam dunia yang kacau, tidak ada pahlawan atau penjahat. Sebab terkadang, kita perlu untuk bertindak layaknya penjahat, untuk menyelamatkan orang. Hal yang benar untuk dilakukan bisa jadi adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. Keberanian untuk menempuh hal sulit itulah yang membuat seseorang pantas dipanggil sebagai pahlawan.

 

 

Hal lain yang dilakukan oleh film ini adalah, berusaha menjadi nendang dan impactful dengan pesan-pesan politiknya. Tapi tidak pernah menyampur dengan baik. Antara maksud dengan apa yang benar-benar film ini lakukan, enggak klop. Karena film ini tidak benar-benar mengembangkan apa-apa selain ledakan dan aksi laga. Film bahkan tidak berani menyebut nama negara yang jadi settingnya. Mereka menampilkan nama Indocarr yang menunjukkan ini negara fiktif, tapi tidak pernah benar-benar menyebutnya. Para tokoh berkelit dari menyebutkan nama. Ketika harus nyebutin, mereka mereferensi tempat ini dengan sebutan “our host country”. Aku gak mengerti kenapa mereka gak langsung bilang Indocarr aja . Atau langsung sebut Indonesia aja, toh kita tahu letaknya di Asia Tenggara, kita mendengar penduduk lokal berbahasa Indonesia. Orang sini akan dapat hiburan tersendiri saat menonton Mile 22 dari bahasa yang terdengar. Tokoh-tokoh yang lain juga sekedar ada di sana. Tokoh pemimpin mereka hanya ada untuk teriak-teriak kepada komputer. Ada tokoh cewek namanya Alice yang diceritakan punya masalah dengan perceraian dan keluarga, tapi tidak mendapat finality yang pantas. Dan Ronda Rousey (our new WWE RAW WOMEN’S CHAMPION!), dang menurutku film ini melewatkan kesempatan gede; mereka punya Iko Uwais dan the baddest woman in the planet, tapi keduanya enggak dibikin berantem. Mubaziiiirrr, I want to see them fight each other!

bahkan saat bicara pun film ini meledak-ledak

 

 

Bagian tengah film ini betul-betul kosong. Kita dapat pembuka yang basically mengeset siapa James, apa yang ia lakukan, siapa yang berasosiasi dengannya. Film juga memberikan penutup apa yang terjadi kepada James, dan semuanya. Namun, bagian tengahnya – dimulai dari kemunculan mendadak Li Noor – hanya terasa seperti sekuen aksi yang begitu panjang tanpa ada esensi di baliknya. Tidak ada pengembangan di sana. Film begitu bedeterminasi untuk membuat pengungkapan di bagian penutup sebagai sebuah ledakan yang wow, jadi kita tidak dapat apa-apa di babak kedua ini selain adegan berantem dan tembak-tembakan. Kita dilempar begitu saja ke dalam sekuens aksi dengan sesedikit mungkin build up sehingga akan susah sekali untuk peduli pada apa yang terjadi.

Sebaiknya jangan nonton film ini saat perut kalian sedang kosong. Serius. Babak kedua yang katanya penuh aksi itu, well, berkat kerja kamera dan editing yang begitu rusuh apa-apa yang di layar akan tampak sangat membingungkan. Kita enggak bisa ngikutin siapa nyerang siapa, apa yang terjadi di layar terjadi begitu cepat. Begitu banyak cut-cut cepat yang membuat mata kita berpindah-pindah tanpa arahan. Aku gak paham kenapa film ini malah menggunakan teknik edit dan kamera yang heboh seperti itu. Ini kubalikkan saran James buat rekannya kepada pergerakan kamera: Stop. 

Film ini perlu memikirkan ulang konsepnya; pengen menangkap suasana rusuh semestinya bisa dilakukan tanpa membuat penonton bingung dan mau muntah. Dan lagi, jika kau punya aktor laga sehebat Iko Uwais, yang juga kau pekerjakan sebagai koreografi laga – yang berarti kau percaya pada kemampuannya – maka dijamin kau akan punya sekuen aksi yang dashyat; Kenapa tak merekamnya dengan wideshot, dengan tenang. Kamera bergoyang dan quick-cut yang hiperaktif digunakan untuk menyamarkan kerja stunt dan aksi yang buruk. Kehadiran Iko menjamin masalah tersebut tidak bakal ada, jadi kenapa teknik demikian – yang sama sekali tidak mengangkat buat gaya Iko –  masih terus digunakan?

 

 

 

 

Sungguh aneh pilihan dan arahan yang dilakukan oleh sutradara Peter Berg. Semuanya sangat cepat, dengan orang-orang yang bersuara lantang. Membuat film ini jadi kayak versi loud dari Sicario (2015). Ceritanya tak lagi menyenangkan, kita tidak bisa untuk peduli pada siapapun. Sangat gak jelas dengan apa sebenarnya yang ingin dicapai oleh film yang menyangka akan terlihat pintar jika menyampaikan semua dengan hiperaktif. Mengecewakan, Peter Berg sejatinya could be so much better. Segala baku hantam, ledakan, dialog, yang ia punya jadi kayak rentetan racauan edan yang membingungkan dan jauh dari menghibur.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for MILE 22.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SummerSlam 2018 Review

 

Sukses adalah ketika kita, dengan kepala terangkat tinggi, menyerukan kepada dunia, “Selamat datang di mimpiku!” SummerSlam 2018 dibuka oleh video opening yang diedit dengan keren, di mana kita ditantang untuk berpikir perihal apa itu sukses. Karena kita semua punya pendapat yang berbeda-beda tentang kesuksesan. Perbedaan tersebut menentukan sikap kita, pilihan dan keputusan kita. Partai-partai dalam SummerSlam tahun ini, dibangun dengan sangat kohesif dengan tema ini. Kita melihat apa jadinya ketika dua orang menganggap sukses itu adalah memenangkan koper berisi kontrak. Kita menyaksikan bentrokan ketika ada yang berpikir sukses itu adalah mempertahankan apa yang dipunya, karena beberapa berkata mempertahankan jauh lebih susah daripada meraih. Kita juga melihat betapa orang bisa menjadi begitu buas ketika bagi mereka sukses itu berarti menangkap kesempatan menjadi yang teratas, lagi dan lagi.

Ini bukan soal menjadi hebat. Ini bukan soal menjadi spesial. Ini adalah soal selalu berusaha untuk memberikan, menjadi, yang terbaik.

 

 

Salah satu bentrok kesuksesan yang berhasil diceritakan dengan sangat baik oleh WWE adalah cerita yang dibintangi oleh The Miz dan Daniel Bryan. Dua orang yang memulai dari garis start yang berbeda, dan apparently mereka juga punya finish yang tak sama. Untungnya buat kita semua, garis finish mereka saling bersilang. Di satu sisi ada Miz, yang gede sebagai bintang reality tv – satu lagi kita punya salah satu pegulat teknikal terbaik dunia. WWE nge-craft cerita mereka dengan sangat telaten, mengapitalisasi setiap situasi, mengubah setiap aspek yang digali sebagai build up, dan akhirnya kita mulai menuai hasilnya. Oh boy, mereka akan panen kesuksesan dari cerita ini. Feud Miz dan Bryan dimulai sejak delapan tahun yang lalu, ketika Daniel Bryan yang kala itu sudah berstatus seorang professional dan punya nama gede di dunia gulat harus menjadi ‘murid’ The Miz yang baru saja memulai mengikat tali sepatu bot gulatnya. Sebab, gedung WWE itu sama kayak pom bensin; Begitu kau masuk, kau harus memulai lagi dari nol. Miz masuk WWE duluan dari Bryan, membuatnya lebih ‘veteran’ di sini. Dan inilah akar tensi mereka yang tak kunjung padam. Perbedaan panjang, dari ‘bagaimana melakukan yang benar hingga melebar menjadi sikut menyikut ’caraku lebih baik darimu’.

Semua hal tersebut diulur dan terus digali oleh WWE lantaran mereka tahu persis bagaimana karakterisasi bekerja. Waktu akan senantiasa bergulir, dan WWE tahu persis bagaimana memanfaatkannya untuk mengembangkan karakter. Simak saja video yang menghighlight perseteruan kedua superstar ini. Yang berubah dari mereka bukan hanya penampilan saat delapan bulan yang lalu, setahun yang lalu. Baik Miz maupun Bryan, karakter mereka berkembang. Miz sekarang sudah berubah menjadi A-List selebriti meski hanya dalam pikirannya. Bryan sempat menjadi general manajer, dia sempat divonis gak bisa gulat lagi, and then he got cleared back into action; WWE menghimpun ini semua ke dalam sebuah gundukan dahsyat storytelling. Dan mereka sama sekali tidak menyalahgunakannya.

Match Bryan dan Miz di SummerSlam ini, meski berakhir dengan Miz curang, benar-benar dieksekusi dengan baik. Enggak ada cara lain untuk menyuguhkannya selain ini. Dari segi cerita, semuanya masuk akal dan menambah banyak untuk karakterisasi. Miz mencuri kemenangan membuktikan pendapat Bryan benar soal dirinya lembek dan butuh bantuan untuk menang. Sebaliknya, juga membuktikan teori Miz bahwa gaya yang dianut Bryan pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Delapan tahun pengembangan tersebut tentunya juga tidak merugikan buat kedua superstar, karena memberikan waktu bagi mereka untuk mengasah kemampuan bergulat masing-masing. Terutama untuk The Miz yang memang di awal karirnya tidak mampu mengimbangi Bryan.  Tapi kini, menyaksikan match ini, aku percaya siapapun bisa menang, dan aku tak sabar untuk menunggu babak baru dari perseteruan mereka.

Reality Check: Ini pertama kalinya SummerSlam bebas dari John Cena sejak 2004

 

Dilema menjadi orang sukses itu jatuh menimpa Juara WWE, AJ Styles. Dalam sebuah match perebutan sabuk yang begitu personal, Samoa Joe – penantangnya – mengungkapkan gimana Styles sudah menelantarkan keluarganya; Sebagai juara, Styles jarang pulang ke rumah lantaran sibuk show ke sana ke mari. Momen di mana Joe bicara kepada istri dan anak Styles yang ada di arena adalah momen yang menurutku paling bikin bulu kuduk merinding, bikin kita ikut geregetan. Basically, Joe menyuruh keluarga Styles untuk tenang-tenang saja sebab ia akan mengirim ayah mereka pulang. Satu-satunya masalahku buat cerita ini adalah pertandingan mereka yang butuh lama sekali untuk mencapai puncak emosi. Styles dan Joe – being as great superstar as they are – terlalu lama menghabiskan waktu dengan ‘pemanasan’. Mereka tukar menukar serangan dengan lamban di awal, yang tentu saja bentrok ama urgensi cerita yang sudah sangat personal. Mestinya langsung digas aja dari awal. Buktinya, begitu Styles menunjukkan kobaran amarah, seketika pertandingan terasa menegangkan. Puncaknya tentu saja ketika Joe mengambil mikrofon dan ngomong sekali lagi kepada istri Styles. Aku gak akan bilang dia ngomong apa, yang jelas kejadian yang menyusul sangat keren. Joe bisa dibilang terlalu sukses dalam mancing emosi Styles.  I don’t mind the finish at all.

Yang jelas-jelas failed di acara ini adalah Kevin Owens, Baron Corbin, dan Alexa Bliss.  Superstar antagonis selevel  Owens dan Corbin agak kurang pantes di’bunuh’ oleh pertandingan squash seperti yang mereka dapatkan dalam macth mereka masing-masing. Paling enggak, mestinya mereka dikasih sedikit perlawanan ataupun kesempatan untuk menunjukkan karakter. Seperti Juara Wanita Raw Alexa Bliss, yang kekalahannya meski malu-maluin tapi tetep masuk di akal. Bliss kalah dengan sukses, dan kita semua sudah mengharapkannya. Pinter, WWE, menggunakan kesempatan ini untuk menaikkan Ronda Rousey selagi hype mantan petarung UFC ini masih gede. Dan Bliss adalah antagonis yang tepat untuk protagonis ‘wanita paling bad-ass di dunia’. Hanya Bliss, yang merupakan heel cewek terbaik dalam artian paling ngeselin, yang bisa dihajar habis-habisan tanpa penonton menaruh belas kasihan kepadanya (well, aku kasihan sih, tapi karena aku suka AleksyaBliss nyawww). And in turn, tak membuat Rousey kehilangan ‘muka’, ia tak jatoh sebagai bully. Pertandingan mereka justru menjadi salah satu partai yang paling menghibur dalam acara ini.

“su..su..su..summerslam, summerslam sadness oh ohhhhh”

 

Dari petarung UFC satu ke petarung UFC lain, WWE sepertinya memang sudah menemukan pengganti untuk Brock Lesnar, sehingga mereka sekarang bisa melepas si Beastie Boy ini dengan tenang. Lesnar kalah melawan Roman (gak picisan) Reigns dalam pertandingan yang singkat dan gak spesial – hanya berupa spamming finisher seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Tapi kali ini WWE membuat keputusan yang tepat dengan memasukkan Braun Strowman sebagai faktor penentu. Kehadiran pemenang Money in the Bank ini dijadikan ‘alasan’ untuk mengikat semua loose end cerita. Lesnar tidak terlihat lemah. Terutama, jika Braun tidak ada di sana – mengancam akan cash-in kontrak kejuaraannya – kemenangan Reigns jelas akan diboo habis-habisan dan penonton akan sibuk mengharapkan kedatangan Strowman, eventually penonton akan menganggap gak masuk akal si monster ini gak turun datang mengambil kesempatan.

Buat posisi Roman Reigns pun – babyface yang dibook terlalu over sehingga bikin benci fans – sepertinya WWE sudah mjenemukan penggantinya. Charlotte Flair adalah manusia yang dibook paling kuat di acara ini. Maksudku, coba sidik pertandingan Kejuaraan Wanita Smackdown tersebut; kita punya Carmella yang semakin hari semakin nunjukin kekuatan permainan karakternya. Aku bahkan melihat tokohnya di sini lebih kuat disbanding Charlotte yang bland. Kita punya Becky Lynch yang mendapat sambutan paling keras dari penonton. Kita bisa saja mendapat pertandingan face terbaik melawan heel terbaik versi Brand Biru, tapi ternyata mereka merasa perlu untuk masukin Charlotte. Dan memenangkannya. Wow. Tentu ada alasannya kan, kenapa saat Lynch ngamuk melempar Charlotte ke meja setelah pertandingan tersebut, penonton malah bersimpati kepada Lynch. Karena Charlotte, seperti yang biasa dilakukan oleh Reigns sebelum ini, sudah seenaknya dikasih spot yang sebenarnya dia enggak perlu ada di sana.

 

Usaha untuk menjadi semakin baik, memang sangat tampak dilakukan oleh WWE. Mereka mulai menggunakan animasi 3D pada entrance beberapa superstar untuk menguatkan karakter mereka sebagai ganti dari penggunaan pyroteknik. Kelihatan bagus sih, penonton di rumah jadi punya eksperiens yang berbeda. Urutan pertandingan kali ini juga semakin diperhatikan, supaya ketertarikan penonton tidak turun. Mereka menyelang-nyelingi antara pertandingan yang berakhir bersih dengan yang berakhir rusuh. Masalahku dari sini hanyalah, kenapa nyaris semua match dari brand Smackdown berakhir. ‘Nyaris semua’ hanya karena Randy Orton gak jadi menyerang Jeff Hardy. Mungkin saat itu, Orton kepikiran “Hmm.. Bryan dicurangi, Bludgeon Brothers ngamuk sampe kena DQ, Styles juga, Lycnh pun ngamuk, tapi gak DQ sih.. Ah males ah, ntar aku disangka niruin ngamuk-ngamuk” sehingga dia urungkan niat jahatnya kepada Hardy.

Ambrose juga di sini enggak rusuh, sepertinya karena dia sudah bukan di Smackdown lagi.

 

 

 

SummerSlam 2018 sukses bikin kita bersorak seru. Punya pertandingan-pertandingan bagus dengan cerita yang dengan luar biasa diintegralkan dengan tema dan dibangun dengan efektif. Walaupun memang masih tergolong hiburan level Vince McMahon dengan banyak segmen yang masih terasa sebagai penghabis waktu – hanya Vince lah yang bisa ngakak guling ngeliat segmen Elias tiba-tiba gitarnya patah – SummerSlam masih deliver sebagai acara yang padu. Bisalah disandingkan dengan Wrestlemania 34, kalo gak mau dibilang lebih baik.
The Palace of Wisdom menobatkan Daniel Bryan vs. The Miz sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Results:
1. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins juara baru mengalahkan Dolph Ziggler
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The New Day menang atas juara bertahan The Bludgeon Brothers…. tapi menang DQ
3. MONEY IN THE BANK CONTRACT ON THE LINE Braun Strowman membunuh Kevin Owens
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSIP TRIPLE THREAT Charlotte Flair merebut sabuk dari Becky Lynch dan Carmella
5. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles kena DQ, sehingga Samoa Joe menang tapi sabuk gak pindah.
6. SINGLE The Miz ngalahin Daniel Bryan
7. SINGLE Demon Finn Balor ngamuk ke Constable Baron Corbin
8. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura bertahan atas Jeff Hardy
9. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Rowdy Ronda Rousey menghajar Alexa Bliss
10. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP akhirnya Roman Reigns mengalahkan Brock Lesnar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

UPGRADE Review

“Computers are useless; they can only give you answers”

 

 

 

Dalam dunia yang penuh hingar bingar, nyaman sekali rasanya bisa menyelam ke dalam kepala sendiri. Ketika kebingungan, atau saat merasa butuh untuk mempertimbangkan sesuatu, kemungkinannya adalah kita merasa perlu untuk bertanya kepada diri sendiri. Bicara kepada suara di dalam kepala itu bukan pertanda kita gila. Malahan akan membuat kita lebih pinter jika kita cukup tenang menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya adalah tindakan menggali kesadaran dan potensi diri. Bahkan, menulis pun sejatinya adalah pekerjaan yang bertanya kepada diri sendiri – kita ngobrol di dalam kepala, kita jelajahi ruang pikir dan pemahaman yang ada di sana.

Masalahnya adalah; bagaimana jika yang ada di dalam kepala itu bukan pikiran kita? Bagaimana cara kita membedakan mana yang suara hati mana yang ‘bisikan setan’? Perlukah kita langsung percaya kepada jawaban yang diberikan oleh suara-suara yang ada dalam kepala kita?

 

Upgrade mungkin memang bukan film yang menonjolkan perjalanan filosofis. Film ini lebih sebagai hiburan tembak-langsung, di mana kita akan melihat aksi berantem penuh kekerasan dan dunia masa depan yang memenuhi dahaga fantasi terhadap kemutakhiran teknologi. Akan tetapi, garapan Leigh Whannell ini memberikan pandangan yang cukup menarik – ia bermain-main dengan konsep seorang manusia yang tidak lagi punya kontrol atas tindakannya sebab sudah menyerahkan semua kendali kepada suara asing di dalam kepalanya.

cue entrance musik Randy Orton

 

 

Cerita tidak akan pernah melebar keluar dari perspektif Grey Trace (Logan Marshall-Green berkesempatan memainkan adegan berantem unik). Pria ini kehilangan istri dan anggota gerak tubuhnya ketika mobil-nyetir-sendiri mereka melaju error dengan tragisnya. Tubuh Grey lumpuh total, kecuali kepalanya. Tatkala ia meratapi nasib, terbaring di tempat tidurnya, seorang ilmuwan komputer memberinya tawaran untuk jadi inang sebuah chip maha-canggih. Dengan chip yang disebut Stem tertanam di lehernya, Grey bisa berjalan dan mengusap air matanya lagi. Tapi kemudian Stem bicara kepada Grey, ia menawarkan bantuan lebih dari apa yang diminta oleh Grey. Stem, dengan izin Grey, bisa mengendalikan tubuh mekanik yang tadinya sirik ama teknologi ini, melakukan pekerjaan yang tak sanggup ia lakukan. Termasuk balas dendam. Mengubah Grey menjadi mesin pembunuh.

Ketika nonton ini, aku ngobrol kepada diriku sendiri. Hey, kita sudah pernah toh melihat cerita seperti begini sebelumnya. Pria biasa yang tiba-tiba jadi perkasa, melakukan aksi tuntut balas. Mesin yang pada akhirnya mengambil alih kemanusiaan. Kepalaku balas bertanya; Tetapi yang ini beda, tuh lihat, adegan berantem pertamanya aja bikin mulutmu otomatis menganga.

Suara di kepalaku benar. Dari adegan Grey yang mendadak jago bertarung – bahkan lebih efisien dari Robert McCall di The Equalizer 2 (2018) kita bisa melihat bahwa film ini diarahkan kepada tone yang berbeda dari cerita balas dendam yang sudah-sudah. Feelnya sangat gelap, ala grindhouse 70an yang dibuat oleh John Carpenter. Sudah jarang sekali kan kita melihat gaya seperti begini hadir di jaman yang mengutamakan kepada budget dan efek yang supercanggih. Film ini berada di titik seimbang antara tragedi dan komedi, sehingga meskipun lingkungannya futuristik, kejadian-kejadiannya brutal, tapi kita masih menemukan pijakan untuk merasakan kenyataan. Berantemnya unik, kocak, dan meyakinkan. Logan Marshall-Green melakukan tugas yang menakjubkan dengan ekspresi wajahnya. Begini, begitu Stem dikasih ijin mengambil alih, Grey hanya bisa melihat dengan matanya saat tangan dan kakinya beraksi menghajar musuh. Dan sebagian besar dari adegan bak-bik-buk itu, Grey tampak takut hingga dia bahkan sampe meminta maaf kepada lawannya. Konsep ini digarap dengan kocak sekali, karena lawannya pun memandang Grey dengan heran, like, man you are crazy what the hell is wrong with you?

“fight your own battle, lazy-ass!”

 

Ada salah satu adegan yang menampilkan Grey berdiri melihat daftar nama tenant sebuah apartemen, dan kita dilihatin dengan jelas nama J. Wan, yang obviously adalah easter egg buat sutradara horor James Wan. Leigh Whannell memang sudah banyak berkolaborasi dengan Wan, karya paling ngehits mereka tidak lain tidak bukan adalah Saw (2004) yang tak pelak menjadi ikonik buat genre horor. Apa yang dilakukan oleh Whannell dan Wan di film tersebut sungguh patut dijadikan suri tauladan buat filmmaker lokal; mereka berkutat dengan budget rendah dan sukses menghasilkan tontonan yang luar biasa meyakinkan, sangat menyenangkan, ngajak berpikir pula, dari dana sesedikit itu. Bikin film gak mesti mahal; kita gak perlu punya yang terbaik karena yang terpenting adalah seberapa besar usaha yang dilakukan supaya menghasilkan yang terbaik. Whannell mengulangi lagi kerja kerasnya pada film Upgrade ini. Dia berhasil ngestrecth konsepnya melewati batas-batas budget. Dan mengingat ini adalah film yang bertempat di masa depan yang sudah canggih, jelas pencapaian Whannell menghidupkan dunianya bukan hal yang bisa diremehkan.

Tak sekalipun semua yang nampang di layar itu terlihat murahan. Lingkungan pada film ini direalisasikan dengan amat baik. Bahkan, dan aku gak melebihkan, dengan budget yang jauh berbeda, film ini bisa kelihatan satu dunia dengan Blade Runner 2049 (2017). Aspek futuristik dan spesial efeknya tidak sekalipun membuat film jadi cheesy. Pun film tidak terlihat sok-sok bergaya ala B-movie, kalian tahu, gerak kameranya enggak pernah terlalu over-the-top. Tidak ada shot-shot ambisius. Justru dieksekusi dengan kreatif sekali. Pergerakan kamera yang sedikit tertahan kepada Grey – memberikan kesan gerak kaku seperti berantem jurus robot yang ia lakukan.

Seperti halnya film enggak lantas menjadi bagus karena punya budget raksasa, kita juga tidak bisa mengupgrade kemanusiaan dengan hanya bergantung kepada kemutakhiran teknologi. Seperti yang disebutkan dalam dialog film ini, mesin yang hanya berisi angka 1 dan 0 tidak akan bisa menanggulangi kekompleksan manusia. Mereka hanya tahu berpikir mencari jawaban yang termudah. Sedangkan manusia, kita dianugrahi rasa yang tak jarang mengoverride pikiran, for better or worse.

 

Ketika aku bilang cerita film ini tak pernah keluar dari frame sudut pandang Grey, kepalaku langsung berontak protes. Hal tersebut mengakibatkan tokoh yang lain gak jadi gak keurus, katanya. Setelah dipikir-pikir, memang ada benarnya juga. Aku terlalu sibuk menggelinjang seru melihat apa yang kutonton sehingga menjadi sedikit bias kepada film ini secara keseluruhan. Untung ada suara di kepala yang mengingatkan. Grey tereksplorasi dengan baik, kita mengerti pandangan orang ini terhadap situasi dunianya, kita melihatnya berkembang dari seorang lumpuh yang berusaha menerima kondisinya lalu dia takut akan apa yang bisa ia lakukan, menjadi seseorang yang embrace it all sebelum akhirnya sadar apa yang sebenarnya ia butuhkan. Kita peduli sekali kepadanya. Namun tidak demikian terhadap tokoh-tokoh yang lain. Polisi wanita yang bertugas menginvestigasi kasus kecelakaannya, ibu yang menemaninya, istrinya yang meski perannya kecil namun sangat integral terhadap karakterisasi Grey, orang yang memberinya Stem, mereka semua begitu satu dimensi. Hacker yang sempat membantu Grey malah ternyata gak penting meski memegang peranan dalam cerita. Bahkan tokoh antagonis tidak banyak diberikan warna, kita membenci mereka karena hal yang mereka lakukan. Kesan kita kepada semua orang di sekitar Grey tidak pernah lebih dari jauh dari apa yang kita lihat. Ini sangat disayangkan, karena dengan konsep yang begitu keren, film justru kesusahan menyeimbangkan antara konsep tersebut dengan para tokohnya.

 

 

 

Kekurangeksploran tokoh lain membuat film dapat menjadi sedikit membosankan tatkala takada kejadian menarik seputar Grey dan Stem yang terjadi, karena memang kita hanya peduli sama tokoh utama seorang. Kita ingin cepat-cepat melihat aksi yang direkam dengan kerja kamera yang kreatif, dengan sinematografi yang unik, dengan konsep yang membuat cerita yang udah sering dilihat ini menjadi terasa menyegarkan. Di luar pencapaian luar biasanya menjadi tontonan yang super fun melewati batasan budgetnya, aku dan suara di dalam kepalaku setuju film ini mestinya bisa diupgrade sedikit lagi sehingga semua elemennya dapat berimbang.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for UPGRADE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SI DOEL THE MOVIE Review

“The things we’re most afraid of are actually the things we want the most”

 

 

 

Katenye,
Film Indonesia ketinggalan jaman.

Katenye,
Film Indonesia gak berbudaye.

Aduh sialan, ni Si Doel anak betawi asli filmnya juga jalan-jalan!

Eits, jangan salah.

Meskipun ceritanya memang tentang si Doel yang pergi ke Amsterdam, namun film ini  really really hits us home hard; tidak akan sekalipun emosi kita terbang ke mana-mana berkat kuatnya eksplorasi karakter yang manusiawi, yang juga menunjukkan budaya dan bagaimana manusia harus menyeleraskan diri dengen perkembangannya. Si Doel adalah drama yang menyenangkan, yang paham seberapa jauh mesti mengambil dramatisasi.

Bicara mengenai kepentingannya untuk eksis, kenapa sih harus banget ada filmnya – kenapa harus sekarang, setelah bertahun-tahun; tentu saja ada kepentingan uang. Namun lebih daripada itu, film Si Doel ini akan sangat penting bagi penggemarnya, karena menawarkan sebuah konklusi yang selama ini dinanti. Sebuah penutup yang juga bisa dijadikan oleh pelajaran buat sebagian besar penonton, lantaran apa yang dialami oleh tokoh-tokohnya sungguh adalah hal yang mendasar, yang bisa direlasikan oleh setiap jiwa yang pernah merasakan beratnya dilema hubungan cinta.

Dunia si Doel sebenarnya sudah dibangun sejak 1970an. Namun bagi yang gede di tahun 90-an, umumnya kita mengenal Doel dari serial televisi. Karakter-karakternya yang sederhana, penuh dengan komentar dan permasalahan yang dekat sehingga terasa luar biasa lucu dan menyenangkan, permainan akting yang gak lebay. Sinetron si Doel kerap diungkit kalo ada yang lagi ngomongin betapa hancurnya acara televisi sekarang ini. Bahkan generasi kekinian yang baru melek, sedikit banyaknya tahu tentang karakter-karakter dalam serial ini melalui video-video meme potongan adegannya di sosial media. Film ini pun merupakan kelanjutan dari episode televisinya. Aku sendiri gak bisa ngomong banyak soal sinetronnya, karena aku gak ngikutin sampe bener-bener episode terakhir. Malahan, jujur, aku gak nonton acara tersebut karena si Doel. Si Tukang Insinyur ini sedikit terlalu kaku. I find Doel dan masalah cintanya dengan Zaenab dan Sarah lumayan boring. Aku malah tertarik ngeliat Mandra, Mas Karyo, Atun, dan karakter-karakter lain.

Does Doel ever have fun?

 

Di film pun seperti demikian. Doel begitu driven, seperti namanya yang berarti tujuan dalam bahasa Belanda. Kerjaannye Sembahyang dan mengaji juga turut ditampakkan dalam cerita. Doel bukan karakter yang sempurna, dia ‘cacat’ karena sudt pandangnya yang ‘primitif’. Bahkan saat nonton film ini pun, aku ngarep Mandra yang jadi tokoh utama. Dia pamit ama Mak Nyak, disuruh supaya jangan malu-maluin si Doel nanti di Amsterdam, I was like, nah itu bisa jadi landasan stake yang bagus; Mandra nanti susah menahan diri di sana, dia juga harus ‘menjaga’ Doel. Karakternya akan mentok ama si Doel yang kaku selama mereka bersenang-senang di Belanda. Aku akan senang sekali menyaksikan komedi fish-out-of water Mandra di Belanda. Tapi tentu saja enggak, karena Si Doel adalah film drama. Ceritanya tetap tentang si Doel, yang kini sudah menikah dengan Zaenab. Doel dipanggil ke Belanda oleh Hans yang katenye mau ngasih kerjaan. Dan berangkatlah Doel bersama Mandra (Atun gak diajak, menjadi hiburan tersendiri buat Mandra hihi), dengan wanti-wanti dari Mak Nyak: Doel gak boleh nyari Sarah. Setengah bagian pertama, film ini akan sok mengenai alas an di balik undangan Hans – kita akan bolak-balik ngeliat Doel yang berusaha santai di Belanda dengan Zaenab yang berusaha biasa aja ditinggal di rumah. Meskipun kita semua tahu pasti, Sarahlah orang di balik pergerakan Doel. Ketika di pertengahan akhir mereka bertemu, barulah konflik cinta yang menarik-narik hati kita itu dimulai.

Aku gak pernah tahu siapa yang akhirnya dipilih oleh si Doel, tapi film ini berhasil menerangkan garis besar apa yang terjadi di luar bingkai cerita ini. Penonton yang belum pernah nonton si Doel sekalipun bisa dibuat mengerti oleh beban yang dialami. Paham sama kondisi Doel-Zaenab-Sarah sebagai triniti drama. Buatku, apa yang mereka alami memang sungguh posisi yang berat. Keputusan yang harus dilakukan oleh Doel dalam situasi ini sungguh berat. Apa yang kudapat dari informasi cerita adalah bahwa Sarah, 14 tahun yang lalu, ninggalin Doel untuk mengetes sang suami. Tetapi Doel tak tahu harus mencari ke mana, jadi dia tinggal, dan menikah dengan Zaenab. Selama bertahun-tahun tersebut, ketiganya hidup dengan alasan karangan di kepala masing-masing; mencari pembenaran atas tindkaan yang mereka lakukan, berharap ketakutan mereka itu semua tidak terwujud. Sungguh menyedihkan, hidup dengan hati yang berat seperti demikian.

Takut adalah perasaan saat kita dapat mengenali apa yang kita inginkan, dan pada gilirannya, mampu mengidentifikasi apa artinya saat kita kehilangan sesuatu tersebut. Jadi kita membangun system pertahanan sendiri. Kita mencoba melindungi diri dengan menjadi pasif terhadapnya. Doel takut bertemu Sarah, karena dia tahu mereka tidak akan bisa bersama lagi – tapi dia mau mereka tetap bersama. Zaenab takut Doel bertemu dengan Sarah, karena dia tahu dia tidak akan bisa menolak Doel yang ternyata bisa saja lebih bahagia bersama Sarah. Hanya Sarah yang berani menantang ketakutannya, Doel dan Zaenab mestinya berterima kasih terhadap Sarah yang udah kayak malaikat pelindung buat mereka.

 

 

Aku juga gak tau bakal ngomong apa kalo ada yang memberi nama anak mereka dengan namaku selain “aku minta maaf”

 

 

Si Doel tahu bagaimana meremajakan ceritanya dengan tetap memberi hormat kepada penonton yang datang untuk bernostalgia. Seger ngelihat Mandra masih punya ‘lawan’, dia kirimkan foto selfie dan jalan-jalan ke Atun lewat hape, sekaligus ngatain Doel yang gak semangat ngapa-ngapain. Interaksi-interaksi kecil kayak Mandra dengan opletnya, Atun dengan anaknya hobi main ke warnet (mirroring dulu si Atun dimarahin karena kebanyakan maen layangan), atau bahkan kedatangan Koh Ahong bertemu Zaenab; aku senang kita dapat momen kayak gini. Adegan Mandra makan, wuiiihh legend banget deh. Aku masih ingat setiap kali adegan Mandra makan di tv, mamaku pasti langsung ngambil nasi dan ikut makan. Dia kebawa laper padahal yang dimakan Mandra tak jarang tempe ama nasi putih doang. Benar-benar mengikat ke cerita yang dulu. Membuat kesan bahwa para tokoh tersebut juga turut hidup sepanjang waktu, mereka tidak diam di tempat. Beberapa adegan mungkin terbatas karena kemampuan pemainnya yang sudah enggak muda lagi (cepat sembuh, Mak Nyak~), tapi adegan-adegannya berhasil menunaikan maksud. Aku pikir aku gak perlu ngomong banyak tentang permainan peran para tokohnya; Rano Karno, Mandra, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Aminah Cendrakasih, Suti Karno, tidak ada yang perlu diragukan lagi; masing-masing mereka merasuk ke dalam peran legendarisnya. Membuatku berharap seandainya semua pemain serialnya masih hidup, dan kita dapat melihat mereka sekali lagi – kali ini di layar lebar.

Setelah waktu berpisah yang begitu panjang, aku heran juga kenapa film ini dibuat begitu pendek. Enggak lebih panjang dari sinetronnya di televisi (tapi mungkin itu karena di tv banyak iklan). Ada banyak yang mereka cuma tunjukin, dan gak benar-benar berarti lebih dalam seperti anak si Atun dan kedatangan Koh Ahong tadi. Aku gak tahu, mungkin mereka memang merencanakan membuat film Si Doel lebih banyak lagi, dan film ini hanya bertindak sebagai perkenalan, tapi itu adalah alasan jualan paling klise untuk nutupin kekurangan penulisan.

Salah satu momen kunci adalah ketika Doel bertemu dengan anaknya, Dul, yang kini sudah berusia lima-belas tahun. Mungkin bagian dari keputusan kreatif filmnya untuk tidak terlalu dramatis, katakanlah seperti di film-film Hollywood, di mana kita melihat seorang bapak yang berusaha konek dengan anak yang tidak pernah ia kenal. Tapi tetap buatku, ini adalah kesempatan yang dilewatkan. Interaksi antara Doel dengan Dul sangat terbatas. Anak remaja usia segitu semestinya sudah punya pemikiran sendiri, karakternya mestinya bisa ditulis dengan lebih baik dibandingkan dengan hanya sekedar ada sebagai alat naskah. Bahkan jika memandang dari sudut meremajakan pun, Dul mestinya bisa dijadikan penarik anak remaja untuk menonton film ini. Maksudku, jika memang berniat untuk bikin kelanjutan sekalipun, kenapa tokoh-tokoh baru di film ini terasa seperti sayur asem yang dimasak oleh Sarah; kurang diperhatikan.

 

 

Katenye, drama itu berhasil kalo bikin penontonnya kebawa perasaan. Dalam tingkatan tersebut, film ini berhasil banget. Kita tidak pernah sedetikpun dibuat merasa jauh sama tokoh-tkokhnya, sama apa yang mereka rasakan. Pada akhirnya memang menyesakkan hati, sekaligus juga memuaskan. Lantaran ceritanya sendiri benar-benar tertutup rapat, meski bukan tidak mungkin dibuat kelanjutannya. Dalam melakukan hal tersebut, film ini bukan hanya terasa singkat, melainkan memang pendek sekali. Bukan lantas jadi kekurangan atau jelek sih, hanya saja aku berharap mereka menggali lebih banyak. Paling enggak konfliknya bisa dibuat datang lebih cepat. Ada bagian-bagian, tokoh-tokoh, yang mestinya bisa dikembangkan lebih jauh, tapi film memilih untuk tidak melakukannya. Dan kita hanya bisa berkate-katenye membayangkan alasannya.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SI DOEL THE MOVIE.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT Review

“To hope is to gamble”

 

 

 

Sebuah rencana pembunuhan massal. Dobel agen, dan mungkin lebih. Tiga bom nuklir. Jikalah hal-hal; tersebut merupakan aba-aba “satuuu.. duaaa.. tigaa” sebelum lomba lari, maka Mission: Impossible ini adalah peserta lomba yang seketika berlari paling kencang selepas hitungan tersebut selesai diucapkan penjaga garis start.

Toh, pelakon protagonis dalam film ini memang berlari dengan waktu. Ethan Hunt dan rekan timnya yang sudah kita kenal baik – ini adalah seri keenam dalam franchise Mission: Impossible – harus bertanggung jawab setelah satu misi yang mereka emban, gagal total. Kompas moral Hunt, juga bagaimana dia kerap mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang ia cintai, akan menjadi ‘kelemahan’ yang ditantang kembali oleh film ini. Hunt akan dibenturkan dengan karakter yang tidak segan-segan untuk melibatkan ‘pihak tak bersalah’ demi kesuksesan misi. Tom Cruise dan Henry Cavill benar-benar tampak seperti  dua imej yang berlawan; dengan sosok Cavill menjulang sebagai sesuatu yang dulu adalah milik Cruise. Di bawah situasi yang terus menekan dan stake yang bergulir semakin besar, Hunt akan berusaha untuk membuktikan bahwa harapan adalah strategi terbaik yang bisa dipertimbangkan oleh manusia dalam berjuang.

Di dalam dunia penuh tipu muslihat, sedikit nurani sangat patut untuk dihargai. Kemanusiaan adalah harapan. Sudah semestinya kita bergantung kepada rasa untuk saling melindungi, saling memperhatikan, tidak peduli betapa kacau dan peliknya situasi. Jika dunia adalah perjudian, maka bertaruhlah pada harapan.Berbahaya, memang, apalah hidup tanpa menempuh resiko, kan?

 

Dan bicara soal berlari; Film ini akan membuat film-film aksi lain tampak seperti balita yang baru bisa berjalan. Aku enggak melebih-lebihkan. Kamu-kamu yang ngasih Buffalo Boys (2018) nilai 8 karena kalian bilang aksinya bagus, harusnya memberikan nilai 20, bahkan lebih, untuk Mission: Impossible – Fallout. Sebab ini adalah salah satu film aksi terbaik yang pernah aku tonton. Aku tidak pernah semenggelinjang ini menyaksikan sekuen-sekuen aksi sejak Mad Max Fury Road tahun 2015 yang lalu. Usaha film ini untuk menyuguhkan aksi laga yang benar-benar real luar biasa kuat dan keras. Porsi-porsi laga di film ini semuanya dirancang dan dikerjakan dengan matang dan penuh perhitungan. Bukan saja segi koreografi,  sudut pengambilan gambar; perspektif sinematografinya pun benar-benar digarap dengan cermat. Banyak sekali momen-momen tak terlupakan. Menakjubkan sekali gimana film ini seolah menantang diri untuk mengungguli adegan demi adegan. Membuat kita hanya bisa melongo di tempat duduk, berdecak kagum “gila, kok bisa ya!”

Setiap adegan aksi, entah itu berlari di jalanan maupun kejar-kejar di helikopter, semua tampak seperti versi terbaik dari apa yang mungkin untuk mereka capai. Maksudku, kalo kalian pengen bikin adegan kejar-kejaran di sekeliling kota, bikinlah aktornya benar-benar melakukan dengan kakinya sendiri. Tak pelak, sulit sekali kita bakal menemui tokoh yang total seperti Tom Cruise. Dia nekat melakukan semua tindak ekstrim yang tertulis di dalam naskah itu sendiri. Dia bergelantungan di helikopter. Dia terjun paying dengan ketinggian yang relatif rendah. Fakta menarik yang dibeberkan sebagai penghantar rilis film ini adalah Cruise melakukan aksi meloncati gedung, sampe kakinya beneran patah sehingga suting terpaksa ditunda beberapa waktu.  Dedikasi yang luar biasa. Hasilnya memang yang kita saksikan di layar itu menjelma menjadi stunt yang mencengkeram total karena kita dapat melihat adegannya sungguhan terjadi. Dan tentu saja, semua adegan aksi itu dieksekusi dengan sama luar biasanya.

Set piece dan semuanya dirancang untuk bikin kita terpana. Kebanyakan film lain akan terpojok dan menggunakan CGI untuk adegan-adegan sulit nan berbahaya, utilizing banyak teknik cut dan segala macem. Adegan Hunt naik sepeda motor dikejar-kejar di jalanan kota Paris;  Cruise tidak beraksi di depan green screen, dia tidak digantikan oleh stuntman – film lain akan membuat tokoh ini pakai helm hanya supaya wajahnya enggak kelihatan, tapi tidak buat Tom Cruise. Dia tidak mengenakan helm. Tidak pula kepalanya ditempel oleh efek ke badan pengendara lain

Ultimate Tom Cruise Shot

 

Film mungkin bisa tampak sedikit mengerem jika kita meniliknya dari segi cerita. Tentang rencana pengeboman, tentang seseorang yang berusaha menyelematkan banyak orang tanpa mempedulikan dirinya sendiri, kalian tahulah, trope begini sudah sering didaur ulang – terutama dalam genre laga. Cerita yang kita dapat di sini memang tidak sepenuhnya baru. Namun, arahan dan penulisan Christopher McQuarrie berhasil memberikan sesuatu untuk dilakukan oleh setiap anggota tim Hunt, sehingga peran mereka jadi terangkat – masing-masingnya menambah kaya sudut pandang cerita, dan pada akhirnya juga  menambah bobot ketegangan.

Luther yang diperankan simpatik oleh Ving Rhames mencoba untuk menjinakkan bom, tapi dia literally merasa tangannya kurang, jadi dia ‘terpaksa’ meminta bantuan kepada seseorang yang sama sekali belum pernah kenalan langsung sama bom. Dia juga nge-share burden yang ia rasakan sebagai seorang yang pernah diselamatkan demi ‘harga’ tertentu oleh Hunt. Simon Pegg yang senantiasa menampilkan permainan peran yang menghibur, sebagai Benji harus mencari letak bom yang satu lagi di dalam ruangan yang penuh kotak besi – yang semuanya nge”bip” kena radar, jadi dia harus segera menemukan kotak yang benar. Tokoh-tokoh pendukung juga kebagian aksi, mereka ditempatkan dalam situasi yang tampak mustahil di mana kemampuan mereka diuji. Aspek inilah yang membuat cerita terasa fresh, meskipun memang plotnya sendiri enggak exactly baru. Ada usaha untuk terus menggali perspektif dari berbagai sudut.

Tokoh-tokoh jahat di film ini juga sangat memorable. Motif mereka menarik. Kepentingan, cara, mereka dibenturkan kontras dengan milik Hunt. Bahkan, sekali lagi, buat tokoh yang minor. Seperti pada adegan berantem di toilet Grand Palais; tidak hanya Cruise dan Henry Cavill, ada satu penjahat lagi yang berbagi mempertaruhkan nyawa di sini. I mean, adegan berantemnya sangat greget dan terlihat begitu nyata lantaran film begitu berhasil menggali sudut pandang; konsep mereka menggunakan kemampuan terbaik di saat yang mustahil tetap menguar kuat bahkan di satu sekuen berantem yang simpel ini. Or even jika si penjahat ataupun tokoh yang tidak bisa berbuat banyak, mereka paling enggak diberikan adegan dengan shot yang unik, seperti saat seseorang yang terikat, tenggelam di dalam mobil.

yaiyalah mustahil, namanya juga Mission: Impossible

 

Beberapa penonton mungkin akan merasa bermasalah dalam menyimak dialognya yang memang butuh perhatian ekstra. The thing is, film laga sekeren ini toh masih bisa kita nikmati untuk aksi-aksinya, bahkan jika suaranya dimute sekalipun. Tapi kan tentu saja rasanya bakalan kurang. Film meminta kita untuk memperhatikan dengan seksama setiap dialog, karena bakal ada pengungkapan-pengungkapan yang efeknya baru akan kena jika kita mengingkat beberapa kata kunci yang pernah disebutkan oleh para tokoh. Buatku, ini adalah bentuk penghormatan film kepada penontonnya. Sebab, meskipun konsep yang mereka gunakan adalah laga yang sering bergantung kepada ‘kebetulan’, namun masih ada kesempatan untuk kita berpikir memecahkan misteri cerita. Jadi, film laga itu gak mesti mindless. Kita masih bisa terhibur sembari tetap memutar otak.

 

 

 

Justru, ini adalah apapun yang bisa kita minta dari sebuah film. Tokoh-tokohnya bisa kita pedulikan. Aksi-aksinya terlihat nyata dan bikin kita menahan napas. Ada yang bisa kita pikirkan, regarding moral dan plot cerita secara keseluruhan. Penulisannya rapi – pengungkapan, twist, secara konstan kita akan geregetan dibuat oleh film ini. Bahkan jika kalian belum pernah menonton film-film sebelumnya, seri keenam ini tidak akan menjadi masalah untuk kalian mengikuti cerita, karena ia mampu untuk berdiri sendiri.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for MISSION: IMPOSSIBLE – FALLOUT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BUFFALO BOYS Review

“The worst thing that colonialism did was to cloud our view of our past.”

 

 

 

Koboi itu naik kuda. Karena kalian naik kerbau, kusebut Buffalo Boys. Van Trach yang jahat menertawakan dua jagoan kita yang datang menunggang kerbau dalam rangka membebaskan penduduk desa dari tiraninya. Walaupun dengan logika seperti demikian, mestinya Panglima Belanda itu menyebut koboi sebagai “horseboy”. Toh, Cow dari Cowboy kan artinya Sapi. Tapi kita bisa maklum karena bahasa Inggris bukanlah bahasa pribumi bagi Van Trach. Yang jelas, regardless tunggangannya, jagoan di Buffalo Boys ini memang sama seperti Cowboy-Cowboy yang di Amerika; mereka menggembala makhluk-makhluk helpless nan tak berdosa menuju keselamatan.

Jagoan kita, Arana dan dua keponakannya baru saja kembali menjejak di bumi pertiwi setelah bertahun-tahun hidup ‘keras’ di Amerika. Perjalanan pulang kampung menghantarkan mereka ke satu desa petani yang dikuasai oleh penjajah. Warga dilarang menanam padi karena opium dianggap jauh lebih menguntungkan. Yang nekat berontak, satu persatu dibantai di depan umum, supaya jadi pelajaran bagi yang lain. Film punya nyali menekankan kepada kekejaman yang dilakukan oleh penjajah dan antek-anteknya. Setting Indonesia di jaman penjajahan memang sangat tepat untuk membuat cerita semacam ini. Mencampurkan dongeng ke dalam sejarah penjajahan Indonesia, dan tak ketinggalan elemen western Django Unchained (2012), dan klasik seperti Seven Samurai (1954) –malahan ada tokoh nenek yang berlatar sama dengan nenek di karya Akira Kurosawa tersebut -, Buffalo Boys bermaksud menjadi sajian aksi yang kreatif dan bisa kita banggakan. Hasilnya?

Ternyata malah lebih pantas untuk kita tertawakan.

Cap dagang ‘film konyol’ sekarang bukan hanya milik horror lokal. Tonton deh, Buffalo Boys!

 

Punya potensi besar untuk menjadi film cult – film yang digemari secara sakral oleh banyak orang – karena kekonyolan logika; actually adalah pujian yang bisa aku berikan untuk Buffalo Boys. Sebab dia akan membuat kita tertawa-tawa menontonnya, paling enggak sampai kita ingat kita sudah membayar tiket untuk tontonan yang kita pikir bakal epik. Lima-belas menit pertama aku sudah ngakak gak berhenti-henti. Pertama; Saat para tokoh sampai di Indonesia, Arana memperingatkan mereka jangan sampai ada orang yang tahu asal mereka darimana. Dua jagoan kita musti berbaur dengan penduduk lokal. Lantas berjalanlah mereka pasang lagak seperti biasa-biasa saja, dengan topi koboi!

Keblo’onan yang teramat nyata, yang bikin aku harus minta maaf pada penonton di sebelahku lantaran ngakak ampe jongkok lompat-lompat di kursi, datang dalam sebuah adegan flashback – btw, aku gak ngerti kenapa mereka mesti pakai flashback sedini itu, padahal introduksi tokohnya bisa lebih baik dengan menyajikan cerita secara linear.

Jadi, di flashback tersebut, Arana dan Sultan Hamza terdesak dikejar Belanda. Arana kabur naik sampan, sementara Sultan tinggal untuk menahan pasukan Belanda. Kemudian kita menyaksikan Arana menyaksikan Sultan dibunuh; dia ditembak oleh empat orang, dalam jarak yang dekat. I mean, kenapa Belandanya bego sekali, tidakkah mereka melihat Arana masih di dekat sana; SEBERAPA CEPAT sih dia kabur dengan naik sampan di air yang tenang?! Kenapa musti empat-empatnya bunuhin orang yang udah terluka, kenapa yang berusaha kabur itu enggak ditembak. I was like, he’s a sitting duck right there!!!! Jawabannya ya karena kalo ditembak, filmnya tamat karena tokohnya sudah mati sebelum cerita dimulai hihihi..

 

Jumlah duit yang mereka keluarkan demi film ini jelas bukan sesuatu yang bisa kita tertawakan. Desain produksinya benar-benar total, dunia yang dibangun film ini jadi terlihat meyakinkan. Saking banyaknya duit, sekalian sampai ke darah-darahnya mereka mainkan dengan CGI. Film ini seharusnya menginvestasikan sama banyaknya kepada pengembangan cerita. Karena apa yang kita dapatkan pada Buffalo Boys benar-benar laughable. Aku ingin bicara tentang karakter dan penampilan para pemain, tapi aku gak bisa. Karena film ini tidak menawarkan banyak untuk diceritakan. Film aksi mestinya membangun tokoh utama, penonton harus peduli sama mereka. Namun hingga akhir film, kita masih tak kenal siapa kedua jagoan bersaudara tersebut selain bahwa mereka adalah anak dari Sultan yang dibunuh oleh si penguasa lalim, Van Trach. 

PENOKOHANNYA SANGAT TIPIS. Suwo yang diperankan oleh Yoshi Sudarso adalah si bungsu yang mengaku sering diremehkan oleh abang dan pamannya. Sedangkan abangnya, Jamar, yang diperankan oleh Ario Bayu adalah seorang yang tidak suka sama kalajengking. That’s it. Kevulnerablean mereka segitu doang, kita diharuskan peduli sama mereka berdasarkan dua hal tersebut. Dan oh iya, Si Suwo ini kerjaannya ngelaba ama cewek, dia naksir sama tokohnya si Pevita Pearce. At the sight of her, Suwo akan membuka penyamarannya dan melupakan dirinya masih berada di kota yang penuh Belanda. Menakjubkannya tokoh Suwo ini adalah, satu plot poin cerita ini bergulir dari dia yang disuruh beli obat, namun malah ‘pacaran’ ama Pevita, alhasil mereka kegrebek antek Belanda.

Menang kerbau! Menang kerbau! eh maaf, salah daerah..

 

Motivasi Arana ini sebenarnya juga tidak begitu jelas. Dia melarikan diri ke Amerika, membawa dua anak saudaranya yang dibunuh oleh Belanda. Kita melihat mereka pertama kali saat sedang ngadain adu tarung, demi uang, di dalam gerbong kereta api yang menuju California. Kejadian menjadi kacau, ia hampir mati ditembak orang sana. Jadi saat itu juga, Arana mutusin sudah saatnya kembali ke Indonesia. Ini udah ibarat keluar dari mulut singa, masuk lubang buaya, kemudian dia balik lagi ke mulut singa. Nyalahin buaya padahal mereka sendiri yang bisnis berbahaya di sana. I guess film cukup relevan dengan kondisi sekarang hahaha.. Serius nih, padahal ini elemen yang cukup menarik loh. Gimana mereka yang tadinya udah seperti penjajah kecil-kecilan di Amerika, kepukul mundur, untuk kemudian harus mengronfontasi penjajah di negeri sendiri. Tapi film tidak pernah memberi bobot lebih banyak ke elemen kenapa mereka mesti dibuat pindah begitu jauh ke Amerika, selain untuk membuat mereka mendapat gimmick topi koboi.

Film  akan seringkali membuatku berpikir bahwa mereka sebenarnya punya modal dan materi cerita yang cukup tapi tidak mampu untuk mengolahnya dengan kompeten. Film segrande ini mestinya dibuat dua jam lebih, untuk totalitas mengeksplorasi budaya dan gimmick ceritanya. Ada banyak perspektif yang bisa dijadikan faktor dalam penggalian cerita; ada orang desa, ada orang Belanda, jagoannya sendiri adalah orang asing di tanah itu, tapi film tidak mau meluangkan waktu untuk membahas ini. Mereka ingin cepat-cepat ke sekuen aksi saja. Hubungan kakak-adik Jamar dan Suwo juga tidak pernah digali secara mendalam. Mereka tidak ubahnya tampak sebagai sahabat, enggak kelihatan sebagai kakak adik. Bahkan mereka tak tampak tertarik dengan sejarah keluarganya sendiri. Jamar diwarisi keris, dan kita tidak pernah melihat keris tersebut beraksi. Menjelang pertarungan akhir selesai, aku terus bertanya-tanya “mana keris, mana kerisnyaa??” Oh ternyata, keris itu ditaroh di punggung untuk perlindungan kalo ditembak dari belakang -,-

Sesuai dengan judulnya, film ini didominasi oleh pria. Ada juga, sih, peran wanita. Tiga di antaranya jadi objek yang perlu diselamatkan. Ini kontras sekali dengan keluh kesah Kiona, tokoh yang diperankan oleh Pevita. Kiona adalah elemen yang paling disia-siakan oleh film. Ditambah dengan keahlian panahnya, dia bisa saja tumbuh menjadi hero cewek yang kuat, tapi naskahnya begitu clueless terhadap apa yang sedang ia ceritakan. Kiona ini benci sama fakta cewek selalu tak dianggap, bahwa laki-laki adalah nomor satu.  Kalo digali, sudut pandang tokoh ini bisa menjadi bahan pemikiran. Kemudian, exactly beberapa detik setelah itu, kita melihat dia akhirnya berhasil tepat memanah dengan dibantu oleh laki-laki. Kenapa banget. Padahal di adegan pengenalan tokoh ini, kita melihat Jamar dan Suwo terkagum-kagum oleh aksi panah yang ia lakukan selagi menunggang kerbau. Ke mana perginya semua keberdayaan dan kemandirian yang keren itu.

If anything, film ini membuktikan lagu Sabda Alam itu benar adanya; bahwa wanita memang sudah dijajah pria sejak dahulu. Sejarah penjajahan inilah yang diangkat oleh Buffalo Boys, supaya kita tidak melupakannya. Kehebatan dan kemudahan itu semuanya milik kaum pria. Tidak dengan wanita, mereka bahkan tidak dibiarkan mati begitu saja. Wanita di film ini, harus disiksa dahulu. Mereka harus pasrah menunggu diselamatkan. Bukan hanya Kiona, menjelang akhir kita juga akan melihat seorang istri yang memilih mati mengikuti suaminya. Melihat dari gimana wanita dan pria diperlakukan, sepertinya kita bisa menebak kelamin kerbau yang ditunggangi oleh dua koboi jagoan kita.

wanita-wanita minta tolongnya ke Buffalo Bill ajaaa

 

Dengan tokoh-tokoh protagonis semembosankan itu, wajar kalo perhatian kita beralih ke tokoh antagonis. Film ini punya banyak, penampilannya pun lebih ‘colorful’, ada berbagai keunikan dari masing-masing penjahat. Van Trach memiliki pemikiran yang menarik; the way dia menganggap Suwo dan Jamar lah yang sudah mengusik hukum di desa jajahannya. Bahwa dialah yang merasa terjajah oleh mereka. Aku suka adegan ketika di depan mayat kakek dan ayah, Van Trach nyuruh Kiona berterima kasih kepadanya karena telah dibiarkan hidup. Ini adalah satu-satunya momen di mana ada emosi yang kerasa. Karena film ini sedemikian terasa kosong, hanya rangkaian aksi-aksi tembak. Arahannya tidak berhasil membangun suspens. Tokohnya Mikha Tambayong abis mau diperkosa, ia disandra dengan sebilah pisau pada batang lehernya. Setelah itu, dia membicarakannya seolah tidak ada apa-apa, tidak ada jejak trauma atau apapun emosi sama sekali.

Hal terburuk yang diakibatkan oleh penjajahan adalah membuat kita melupakan masa lalu. Film ini mengatakan bahwa kita berhak untuk tahu. Jamar dan Suwo berhak untuk membalas dendam. Namun seburuknya terjajah, adalah terjajah oleh rasa dendam. Jika harus berjuang, berjuanglah demi keadilan. Demi berubahnya masa lalu menjadi masa depan yang lebih baik.

 

Tak lebih dari klise-klise film koboi yang berusaha dilokalkan, tapi tidak dengan kompetensi yang memadai. Keindahan visual, kostum-kostum yang epik, film ini cuma ‘tampang’. Mengatakannya style over substance juga susah lantaran enggak ada gaya dalam penceritaannya.  Sekuen aksinya punya koreografi yang seru, banyak hal menarik yang mereka lakukan saat bertarung maupun tembak-tembakan. Hanya saja, kamera tidak dapat menangkap semua dengan baik. Editingnya juga gak ngerti untuk menyuguhkan rangkaian yang asik untuk dilihat. Di big-finale, kita akan melihat dua adegan pertarungan yang diselangselingin. Tapi gak ada eye-trace yang menyelaraskan dua berantem tersebut. Kita seperti melihat adegan yang berpindah-pindah, sungguh membingungkan, tak lagi enak untuk diikuti.

 

 

 

 

Bahkan reviewku pun terlihat kayak naskah stand-up komedi; Setiap paragraf berakhir dengan punchline lelucon. Karena filmnya sendiri memang begitu, setiap adegan aja saja yang bikin kita tertawa. Ketinggian kalo mengharapkan laga yang kolosal dan penuh referensi sejarah di sini. It’s juts a mindless action berbalut desain produksi yang keren yang semestinya diniatkan untuk total bersenang-senang. Tapi film ini menganggap dirinya serius dan penting. Yang ada malah, mereka baru saja menghabiskan puluhan milyar untuk membuat salah satu film paling konyol yang bisa kita tonton setahun terakhir ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for BUFFALO BOYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Extreme Rules 2018 Review

 

 

Waktu tinggal sepuluh menit lagi. Skor 4-3 untuk juara bertahan Dolph Ziggler yang dengan liciknya sekarang bermain lambat. Mengunci, menahan, mengulur waktu dengan sengaja. Seth Rollins berusaha bangkit mengejar ketertinggalan, dia mencoba menyerang, tapi Ziggler kembali menjatuhkannya. Kedua superstar sama-sama terbanting ke matras dengan keras. Rollins mengambil kesempatan, dia terbang menghantam Ziggler dari turnbuckle paling atas. BRUUKK. Ziggler masih mampu bangun di hitungan kedua! LIMA MENIT LAGI!!! Rollins berusaha menyerang dengan jurus pamungkas, tendangan Blackout, Ziggler berhasil mengelak!!! TIGA MENIT!!!! Aku geregetan nonton sambil menggigit-gigit tangkai eskrim (esnya sudah dari tadi mencair oleh panasnya pertarungan). Dan penonton di stadion PPG Paints Arena di Pennsylvania sana malah asik sendiri menghitung mundur waktu seolah ini adalah pertandingan Royal Rumble.

 

WWE Fans: “Awas ya. Jangan sampai Roman Reigns jadi main event lagi”

WWE: “Oke, kami dengar saran dan permintaan kalian”

WWE Fans: “Ya tapi nanti kami masih akan tetap heboh neriakin –kalo perlu ngelakuin – hal-hal yang gak nyambung, supaya kami kelihatan keren di tv, kemudian pulang dan komplen di internet soal produk kalian yang basi.”

 

 

Kita, sebagai yang mengaku penggemar, suka ngeluh, ngritik, komplen betapa WWE tidak memperhatikan keinginan fans. Gimana produk mereka semakin hari semakin membosankan. Bagaimana para penulis skrip tidak tahu cara menggali potensi dari talenta-talenta yang mereka punya. Tentang manajemen WWE yang terlalu memonopoli, mereka mengambil superstar, dan memperlemah mereka dengan membatasi gerakan dan gimmick yang konyol. Tentu, kita memang harus kritis seperti demikian, menunjukkan kita peduli terhadap produk yang kita gemari. Sama seperti pada film, Kita ingin yang kita tonton sedari kecil ini berkembang menjadi lebih baik. Sama seperti pada film, toh kita tidak teriak-teriak sibuk sendiri di dalam bioskop. Sama seperti pada film, kita – penonton – adalah bagian dari pertunjukkan. Tidak satu berada di atas yang lain. Maka dari itu, menghijack pertunjukan – bikin heboh sendiri malah tidak memperhatikan apa yang sedang disuguhkan – bukannya membantu untuk membuat show menjadi lebih baik, malahan menjadikannya tampak konyol. Nyatanya merendahkan sekali terhadap superstar-superstar yang tak diacuhkan.

Sebagai fans, kita semestinya tidak egois. We should not think we can run the show seenak udel. Kita perlu belajar respek. Kita perlu belajar, period. Kita perlu ingat bahwa setiap acara dijalankan dalam konteks tertentu. Ketika kita menonton WWE, kita mestinya paham bahwa ini adalah acara yang berdasarkan pada storyline, drama, dan (psikologi) karakter. Ini bukan kompetisi murni, jadi gak ada gunanya ngeluh kenapa atlit yang beneran hebat bisa kalah sama atlit yang jurusnya hanya sedikit. Sebaliknya, aku pikir konyol sekali bahwa dalam pertandingan kejuaraan Intercontinental pertama yang jadi main event sejak Davey Boy Smith melawan Bret Hart di Summerslam ’92, pengolok-olokan sebagai bentuk dari yang katanya protes membangun itu tetap terjadi. I mean, ini yang main Seth Rollins yang dielu-elukan fans sebagai salah satu pegulat terhebat loh, namun tetap saja penonton tidak memperdulikan. Apapun yang dilakukan WWE tampaknya tak bisa benar di mata fans, dan ini menurutku terjadi karena kita sebagai fans kadang melupakan konteks sebenarnya dari acara ini.

“The B Team is about to get F in the B”

 

Orang-orang menganggap kontes Ironman untuk Kejuaraan Intercontinental itu sebagai laga yang buruk, karena mereka tahu kedua superstar yang terlibat sebenarnya kompeten untuk melakukan pertandingan gulat klasik yang epik. They didn’t get that, so they thought “hey, it’s time to takeover”. Pertanyaannya adalah; apa seharusnya memang harus begitu. Sebuah pertunjukan ‘seharusnya’ punya alur, yang dibangun sesuai dengan konteks. Mereka tidak harus bertarung secara over, karena ada cerita yang harus disampaikan. Jika kita memikirkan lebih dalam, psikologi match ini bekerja dengan sangat baik. Ingat ketika sebelum match, Rollins diwawancara di backstage? Apa yang ia katakan saat itu literally foreshadowing apa yang bakal kita saksikan. Rollins beneran berpacu dengan waktu, dia dihalangi oleh Ziggler yang di sini berperan sebagai heel; antagonis. Heel Ziggler tidak berusaha untuk bergulat, dia berusaha untuk menang dengan segala cara. Tentu, dia sungguh mampu bertarung sendiri, tapi di cerita ini dia culas dan punya teman bernama Drew McIntyre. Jika kita marah dan gak seneng melihat kelakukan mereka berdua di sini, maka itulah yang namanya peran heel – peran antagonis. Aku tidak melihat masalah dalam penyampaian cerita ini. Ironman adalah pertandingan yang tricky untuk dibook (Sasha-Bayley adalah contoh yang sukses, Sasha-Charlotte contoh yang kurang), dan untuk match ini; mereka berhasil deliver cerita dengan kuat. Meski aku setuju bahwa skrip gak musti semengekang itu, mereka bisa sedikit lebih lepas dan tujuan cerita masih tercapai; terutama aku kurang sreg ama elemen sudden deathnya, aku lebih suka jika dibiarkan hasilnya seri karena lebih emosional buat Rollins sebagai tokoh utama di cerita ini.

Kalo main video game, biasanya kita akan menemukan cut scene – sekuens adegan cinematic yang tidak bisa kita mainin, bahkan sudah banyak sekarang yang tidak bisa kita skip. Kita disuruh nonton doang. Nah, dalam satu show WWE, kita akan banyak menemukan partai-partai pertandingan yang sejatinya adalah cutscene dalam video game. Pertandingan yang fungsi sebenarnya adalah pengisi waktu untuk meneruskan cerita. Tidak terkecuali dalam Extreme Rules ini. Match kayak Alexa Bliss lawan Nia Jax, digunakan untuk furthering karakter-karakter dan cerita dalam  saga Ronda Rousey. Jeff Hary lawan Nakamura digunakan untuk memperkenalan Randy Orton ke dalam cerita. Bahkan Tag Team antara Team Hell No melawan Bludgeon Brothers dialihfungsikan sebagai cutscene match demi mengakomodasi cedera yang dialami Kane sebelum acara. Jadi sama sekali bukan tentang superstar yang tidak mampu beraksi dengan baik. Asuka dan Carmella dibook bukan semata untuk menjatuhkan Asuka, hanya masih dalam tahap developmental karakter baru bagi mereka saja. Buruknya pertandingan itu disengaja, ada desain dari pengaturan match card dan segala macam yang bakal terasa jika kita melihat mereka sebagai gambaran besar show Extreme Rules.

One. Two. Happy Birthday to me!!!

 

Untuk development karakter, memang kita sudah paham WWE rela berlama-lama. Kadang mereka pakai rangkaian match, makanya kita sering dapat partai yang itu-itu melulu. Constable Baron Corbin melawan Finn Balor adalah contoh development yang merupakan tahap yang lebih lanjut dari ‘cutscene’ match. Kesuksesan The B Teamnya Bo Dallas dan Curtis Axel di partai kejuaraan Tag Team Raw bisa dibilang sebagai tahap akhir dari pengembangan mereka; bahwa karakter mereka sudah mekar dan siap untuk dilepas di pertandingan selanjutnya. Lashley-Roman Reigns, Styles-Rusev adalah karakter-karakter yang sudah fully-blown, dan kelihatan match mereka diberikan kebebasan lebih, dan hasilnya tak mengecewakan; partai mereka bekerja efektif dari sudut karakter dan aksi. The most fun yang kita dapatkan dalam pertunjukan ini tak pelak adalah Cage Match antara Strowman melawan Owens, namun tentu saja momen high risk seperti demikian tidak akan mungkin terus-terusan dilakukan karena menyangkut well-being dari superstar. Masalah Proteksi Superstar ini juga salah satunya yang patut kita perhitungkan ketika bicara dalam konteks acara WWE.

Tentu saja, aku tidak membela WWE mati-matian. Kesalahan tidak berarti lepas dari tangan mereka. Karena selain KONTEKS yang harus kita ingat, juga ada KONSEP yang harus mereka landaskan dalam membangun acara.  Dan aku berpikir, WWE – demi develop cerita – cenderung melupakan konsep ini dan akibatnya benar-benar terasa ke pengalaman menonton kita semua. Seperti, Extreme Rules ini; seharusnya ini adalah acara yang konsepnya semua pertandingan menjadi ‘ekstrim’ pada malam itu. They used to have stipulation matches, even hardcore matches. Tapi sekarang WWE tidak lagi benar-benar live it up ke konsepnya. Dan memang ini mengecewakan, terlebih buat kalangan fans yang sudah membangun antisipasi seperti apa aplikasi konsep mereka seharusnya.

 

 

 

 

Pada Extreme Rules, kitaikut share the blame. Kita kadang lupa konteks acara. WWE pun sebenarnya bisa melakukan lebih dan tetap berjalan sesuai konteks mereka, dengan tidak menyia-nyiakan konsep yang sudah diantipasi. Shownya sendiri sebenarnya enggak parah-parah amat, setiap partai punya sesuatu yang bisa kita nikmati dalam kapasitasnya sebagai bagian dari acara gulat hiburan.

Happy Rusev Day!

The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara AJ Styles melawan Rusev sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

Full Result:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The B-Team juara baru ngalahin The Deleters of World
2. SINGLE Finn Balor mencuri kemenangan dari Constable Baron Corbin
3. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Carmella retains dari Asuka yang terdistraksi James Ellsworth yang mestinya digantung dalam kandang
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura menang dengan curangin Jeff Hardy
5. STEEL CAGE Braun Strowman melempar Kevin Owens dari atas kerangkeng
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Bludgeon Brothers praktisnya menang handicap lawan Daniel Bryan (Kane nyaris gak ofensif dengan cedera kaki)
7. SINGLE Bobby Lashley mengalahkan Roman Reigns
8. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP EXTREME RULES Alexa Bliss bertahan dari Nia Jax
9. WWE CHAMPIONSHIP AJ Styles tetap juara atas Rusev
10. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP 30-MINUTE IRONMAN Dolph Ziggler menang sudden death setelah seri 4-4 melawan Seth Rollins.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017