SUNYI Review

“Change the system from within.”

 

 

Sekolah dapat menjadi tempat yang mengerikan – sebuah neraka – bagi para siswa. Dan juga guru. Awi Suryadi menggarap Sunyi yang ia sadur dari kritik sistem pendidikan Korea Selatan berbungkus horor dengan memasukkan elemen-elemen yang lebih berakar pada keadaan di Indonesia. Yang membuat film ini tergolong sebuah adaptasi yang kreatif, yang tahu cara melakukan penyesuaian sehingga film tersebut menjadi tak-sepenuhnya sama sekaligus tetap memiliki ruh materi yang asli. Tapi pada satu titik, Awi juga membuat ceritanya menjadi lebih sederhana sehingga jika kita bandingkan, Sunyi terasa seperti snack-berisi-angin ketimbang Whispering Corridors (1998) yang begitu sarat sehingga masih terus bisik-bisik diperbincangkan hingga sekarang.

Yang dikomentari Awi dalam Sunyi sebenarnya bukan masalah yang baru-baru amat. Di saat media sosial dihebohkan dengan pertengkaran siswa dengan siswa, bahkan siswa mukulin guru, serta guru yang dipersalahkan karena menghukum siswanya yang bisa memantik perdebatan seberapa ‘besar’ hukuman mesti dijatuhkan, Awi mengajak kita mundur ke era reformasi Pak Gusdur dan membahas soal senioritas di balik dinding sekolah. Tapi mungkin justru di situlah letak seramnya. Permasalahan senioritas dari dulu sudah ada dan tidak pernah benar-benar hilang di lingkup pendidikan. Tradisi senior menggencet junior dengan kilah untuk membentuk karakter memang tampak sepele tapi terus menjadi momok. Bahkan ketika menonton film ini, kita bisa merasakan stakenya gak terlalu kuat. Alex Pranoto (Angga Yunanda sebagai protagonis-cowok adalah perubahan pertama yang langsung bisa kita rasakan dibanding film aslinya) merasa agak ngeri masuk ke sekolah Abdi Bangsa yang selain terkenal sebagai pencetak lulusan handalan, namun juga rame oleh isu tragedi kematian siswa karena perundungan oleh senior. Alex dan teman-teman kelas satu yang lainnya, kemudian kita lihat, diperlakukan persis sama dengan sebutan mereka; ‘budak’. Mereka harus tundukkan kepala, ucap salam setiap bertemu anak kelas dua. Mereka gak boleh menggunakan toilet. Gak diijinin makan di kantin. Dibentak kalo masuk perpus. Tapi toh sebenarnya tidak ada yang menyuruh untuk patuh, selain diancem gak bakal tergabung dalam lingkaran alumni alias dikucilkan seantero angkatan sekolah. Menontonnya dan berbicara di sini sebagai ‘penjahat angkatan’ karena suka ngeles dari jadwal ospek kuliah, bagiku stake dramatis film ini memang kurang dramatis. Alex bisa bolos kapan saja. Bahkan tokoh senior dalam film ini menyebut penderitaan anak-anak baru itu cuma setahun. Tapi kemudian aku menyadari, justru di sinilah letak poin utama film.

And also, buatku menarik karena belum lama ini kita juga mendapat film Pohon Terkenal (2019) yang memperlihatkan kenapa ada anak-anak muda yang rela memilih untuk masuk ke sistem yang mengospek dan meninggalkan kebebasan mereka di pintu gerbang. Kedua film ini – Sunyi dan Pohon Terkenal – bisa dijadikan pembanding, atau malah saling melengkapi, tergantung gimana kita masing-masing melihat senioritas itu sendiri.

Mangkir ngedumel gak setuju dari senioritas, maupun menguat-nguatkan mental menjalaninya, tidak akan mengobati masalah. Dibutuhkan seseorang seperti Alex; seseorang yang masuk ke dalam sistem dan dengan berani memutus rantainya dari dalam. Di akhir film kita melihat tindakan Alex-lah yang menghentikan tradisi di sekolahnya. Pilihan Alex untuk tidak meneruskan estafet dendam yang ultimately memberikan perubahan besar.

 

selain penampakan film aslinya, di film ini kita juga melihat penampakan finalis Gadis Sampul 2015, horeee

 

 

Jika film aslinya lebih ke horor psikologis siswi-siswi di SMA khusus cewek; elemen misteri hantu yang ada di film tersebut sebenarnya lebih bertindak sebagai pemanis, maka Sunyi justru menjadikan hantu-hantuan sebagai jualan utama. Whispering Corridors menjadikan aspek supernatural sebagai metafora dari kengerian yang dirasakan oleh penghuni sekolah yang bagai terpenjara oleh sistem pendidikan yang terlalu menekan murid. Menciptakan kompetisi mengerikan di antara mereka. Memisahkan teman, menjadikan mereka saingan. Guru-guru yang galak (sengaja ataupun terpaksa) adalah pembully utama di dalam cerita. Secara esensi memang mengerikan sekali. Atmosfer kuno yang menguar dari sistem horor dunia pendidikan itu terasa menempel di setiap sudut-sudut kamera. Tapi film itu juga punya kelemahan, terutama bagian teknis karena teknologi yang belum secanggih sekarang, sutradaranya pun masih ‘pemula’ saat itu.

Di tangan Awi Suryadi yang sudah tidak asing lagi menghasilkan horor-horor box office, cerita Sunyi benar-benar bertumpu kepada hantu-hantu beserta kemunculan mereka yang mengagetkan. Actually, jumlah hantu film ini lebih banyak dari film aslinya, yang mana merupakan tambahan yang disambut baik oleh penonton Indonesia. Buatku juga gak masalah jika film ini memilih untuk mengedepankan hantu-hantu tersebut. Dengan teknologi kekinian, Awi juga sanggup menghadirkan adegan-adegan kematian yang lebih menghibur, aku terutama suka dengan adegan di kolam renang. Hanya saja, hantu-hantu ini memang kepentingan utamanya adalah sebagai alat supaya film bisa punya alasan untuk melakukan jumpscare. Menurutku mestinya hantu-hantu baru ini bisa digunakan lebih banyak untuk kepentingan cerita, tapi enggak, film ini mau pake jumpscare maka diciptakanlah mereka. Aku masih gak mengerti kenapa pembuat horor sekarang suka mengasosiasikan hantu dengan kaget, padahal mestinya hantu itu seram bukan ngagetin. Sebelum nonton ini, aku menonton lagi Whispering Corridors dan tidak sekalipun ada adegan jumpscare pada film itu. Ketika ada adegan seseorang berbalik dan dia melihat hantu di belakangnya, tidak ada suara musik menggelegar di latar. Melainkan sunyi. Kita melihat apa yang si tokoh lihat terpantul di kacamatanya, kemudian si tokoh memekik tanpa suara, dan kita merinding dibuat oleh adegan itu – bertanya-tanya siapa sebenarnya yang ia lihat tadi. Pada Sunyi, setiap kemunculan hantu dijamin bakal bikin jantung kita melompat protes. Dan ini akan menjadi kontras yang tak menguntungkan ketika film mulai mencoba menggambarkan suasana tempat tokoh ‘dikurung’.

Hantu-hantu dalam film ini bisa dianggap sebagai perlambangan dari dendam, ataupun sebagai perlambangan dari senior/tukang bully itu sendiri. Kita harus berani menghadapinya sebab terkadang sebenarnya mereka lebih butuh bantuan daripada kita.

 

but seriously, nobody likes a narc, Alex. Nobody.

 

Sunyi memang tidak mampu menggali kengerian dari konteks tradisi senioritas terhadap sosial sekolah itu sendiri. Ketika kita bicara suasana horor, yang dilakukan Awi hanyalah mengerahkan kamera untuk menangkap sudut-sudut sepi lorong koridor sekolah, dan kadang melakukan sudut miring (Dutch) supaya menghasilkan kesan eery. Usahanya tidak pernah meluas kepada suasana cerita itu sendiri. Sekolah yang terlihat modern dengan hidup gampang seperti masa kini padahal settingnya di awal tahun 2000an. Praktek-praktek senioritas itu tidak tergambarkan dengan baik, malah hanya disebutkan oleh Alex ketika mengisi buku jurnalnya. Dan ketika beberapa coba divisualkan, hasilnya tak menguar perasaan takut. Melainkan perasaan kesal terhadap senior-senior sok jago tersebut. Kita tidak merasakan gimana pengaruh senioritas menghantui murid-murid baru pada film ini.

Dan ini menjadikan dunia dalam filmnya tidak imersif, tidak terasa benar-benar hidup. Cerita Sunyi fokus kepada Alex. Hanya saja kita tidak pernah melihat dia bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Tokoh yang diperankan oleh Amanda Rawles suspiciously absen pada sebagian besar narasi, dia sengaja dibuat seolah berada di luar cerita, sehingga penonton yang berpengalaman (apalagi yang udah pernah nonton film aslinya) pasti sudah menebak ‘siapa’ tokoh ini sebenarnya setelah dua-tiga adegan yang menampilkan interaksinya dengan Alex. Tiga senior ‘musuh’ Alex diberikan sedikit backstory (malah ada yang kayak si Bender di film 1985 The Breakfast Club)  tapi hanya sepintas lewat beberapa baris dialog. Kita melihat para senior sebagai ‘jahat’, tidak ada senior yang baik kepada Alex ataupun baik ketika di luar. Whispering Corridors punya satu tokoh guru yang tadinya murid di sekolah itu, dan si guru berusaha untuk mencari middle-ground antara tegas disiplin dengan manusiawi terhadap muridnya. Tidak ada tokoh yang seperti itu di Sunyi. Semua yang baik ada pada Alex, yang membuat tokoh ini jadi lumayan membosankan. Dan bahkan Alex seperti dipaksa oleh narasi karena satu-satunya alasan dia dihampiri hantu adalah karena dia punya kemampuan mistis turunan dari ayahnya. Dan ini menurutku perbedaan yang cukup aneh dari Sunyi terhadap Whispering Corridors. Pada film itu, hantunya bisa dilihat oleh semua orang. Dia ada di sekolah karena dia suka sekolah, dan dia gak mau ketahuan sudah meninggal, jadi dia mulai terpaksa membunuh, dia juga membunuh untuk melindungi teman sekelasnya. Pada Sunyi, revealing dan penjelasan si hantu terasa terburu-buru, twistnya juga kurang mengena karena sudah jelas sekali dari penanaman adegannya bahwa hanya Alex yang bisa melihat dia. Dan ini salah satu yang menyebabkan interaksi dalam film ini gak meluas ke teman-teman yang lain, yang membuat cerita jadi sempit sekali. Untuk sebuah kisah yang ingin menunjukkan senioritas sebagai sesuatu yang menakutkan, film ini lucunya tidak memperlihatkan semangat kerjasama. Ini adalah perjuangan tunggal, instead.

 

 

 

Film ini harusnya bisa menjadi suatu pandangan mengerikan tentang praktek senioritas di lingkungan sekolah, bagaimana praktek tersebut mempengaruhi murid-murid, bagaimana posisi guru di sistem tersebut. Tapi ceritanya ternyata diarahkan lebih kepada horor hantu-hantuan yang hanya gloss-over komentar dan situasi sosial tadi tanpa benar-benar menyelaminya. Tentu dia menawarkan solusi yang penonton masih bisa menangkap pesan tersebut, meskipun harus sambil terpekik-pekik dikagetin hantu, tapi ini menjadikannya terlalu sepele jika dibandingkan dengan film aslinya. Penggambaran senioritas dan bullying-nya juga bisa dibilang outdated jika dibandingkan dengan berita-berita edan yang kita baca belakangan. Film seharusnya bisa merangkul ini, dan menjadi sedikit lebih berbobot sehingga lebih banyak yang bisa penonton bawa pulang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUNYI.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian masih bisa menemukan praktek bully senioritas di lingkungan kalian? Kenapa menurut kalian hal tersebut masih terjadi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

MANTAN MANTEN Review

“Love is not a war to have win or lose; It’s DIVINE.”

 

 

 

Dalam menjalin hubungan percintaan, jalan yang ditempuh tidak selamanya mulus. Malah mungkin saja jalannya buntu. Kadang ada yang udah deket, tapi kemudian ada masalah ‘kecil’, sehingga kembali menjadi seperti orang asing. Yang berpaling muka bila saling bertatap mata. Ada juga yang udah lengket banget, tapi ternyata nikahnya sama orang lain. Cara orang berdamai dengan mantan pun berbeda-beda. Ada yang nguatin diri tetep temenan. Ada yang langsung ngeblok. Malah ada juga yang nekat datang ke nikahan mantannya sambil nyolong curhat lewat nyanyi di panggung. Lucu sebenarnya, karena kenapa pula kita mau ‘berdamai’ sama mantan?

Film Mantan Manten yang digarap oleh sutradara baru Farishad I. Latjuba seperti hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa kita musti-banget berdamai dengan mantan. Bukanlah lebih mudah menjauhi, dan diam-diam ngestalk kehidupannya – berharap mereka mendapat pengganti yang tak-lebih baik dari kita. Melalui kisah kehidupan seorang wanita karir bernama Yasnina (Atiqah Hasiholan berhasil mendaratkan tokoh yang penuh ego lewat permainan ekspresi) yang sudah ditipu oleh rekan kerja, sehingga terpaksa menjadi pemaes alias penata rias (paes) pengantin Jawa, lalu ultimately ditikung cintanya, kita akan dibuat mengerti bahwasanya berdamai dengan mantan itu sebenarnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Mengikhlaskan dalam film ini berarti mampu menatap mantan kita dengan pandangan yang tak-lagi penuh endapan kecewa, atau onggokan harapan, dan mungkin dendam.

Terkadang apa yang kita anggap kemenangan bisa berarti kehilangan. Tidak ada yang namanya mutlak menang atau kalah dalam cinta. Cinta bukan soal itu, karena sejatinya bukan kompetisi. Bukan juga soal investasi yang harus mendapat balasan keuntungan. Satu-satunya ‘kalah’ dalam cinta justru bukan ketika kita tidak mendapatkan yang kita cintai, melainkan ketika kita kehilangan hidup – siapa kita yang sebenarnya – saat berusaha memiliki yang kita cintai.

 

cinta bukan tawar menawar

 

Untuk sebuah cerita yang dikembangkan dari satu peristiwa yang bikin baper sejuta umat, Mantan Manten surprisingly tampil matang. Enggak receh. Tidak lebay. Film ini tidak menganggap remeh penontonnya. Right off the bat, kita dicemplungkan ke dunia profesional Yasnina yang bekerja di gedung-gedung tinggi. Dialog yang berbahasa inggris, istilah-istilah investasi dan perbankan (correct me if I’m wrong, karena to be honest aku tidak mengerti setengah hal yang diucapkan oleh tokoh kita di awal-awal), mengalir deras tak peduli apakah penonton mengerti atau tidak. Film tidak pernah berhenti untuk menjelaskan bahkan ketika suara cerita bergeser menjadi soal budaya pengantin Jawa. Treatment ini benar-benar membuat film menjadi sejajar dengan tokoh Yasnina itu sendiri; seorang yang intens, determinan, dan all-business.

Sebenarnya bukan masalah film tidak memberi penjelasan tentang istilah-istilah di dalam dunianya, malahan bisa saja menjadi berat oleh eksposisi. Namun tentu saja hal tersebut menjadikan bagian awal film cukup ‘beban’ untuk ditelan bulat-bulat. Terutama oleh penonton yang mengira cerita bakal sekasual judul filmnya. Lumayan susah untuk mengikuti dan berpegangan pada tokoh utama. And at first, she’s not a very likeable character either. Tapi kita tetep dipaksa untuk menjadi peduli padanya saat dia terlibat kasus, yang sejatinya bertindak sebagai kejadian yang memulai benturan pada perjalanan plotnya. Tone ceritanya pun mendadak akan menjadi sangat berbenturan begitu kita sampai pada aftermath kasus yang menimpa Yasnina. Dari yang modern, ke sesuatu yang lebih tradisional. Dari keuangan menjadi pernikahan, apa yang menghubungkannya? Satu-satunya yang tampak menghubungkan kedua itu – kenapa harus pemaes – adalah karena ceritanya berunsur mantan yang jadi pengantin. Selain tokoh Yasnina yang menggunakan mindset perbankan/investasi yang ia tahu ke dalam masalah pengantin, kita tidak bisa benar-benar menemukan alasan kenapa kerjaan tokohnya harus begitu dan nantinya dia harus belajar adat pernikahan Jawa. Romance mengambil kursi depan, di belakangnya ada drama, dan kemudian film juga berusaha memasukkan komedi. Dan sedikit sentuhan surealis yang hadir dari elemen budaya. Semua tersebut dilakukan dengan pacing yang nyaris tidak ada. Film berjalan begitu saja, seolah melompat dari satu sekuen cerita ke cerita lainnya.

Aku berharap mereka ngerem sedikit sih. Bukan untuk menjelaskan. Melainkan untuk memberikan ruang bernapas, ruang untuk cerita menghasilkan efek sebelum lanjut ke sekuen yang lain. Maksudku, perpindahan dari mendendam dan berniat mencari uang ke diharuskan belajar paes tidak benar-benar terasa punya impact. Hubungan antara Yasnina dengan budhe Marjanti yang jadi semacam mentornya, dengan undertone seorang anak yang mendapat pengganti ibu, seharusnya ini yang jadi salah satu kunci penting cerita karena pengalaman Yasnina bersama si ibu lah yang eventually membentuk dirinya menjadi pribadi yang baru, tapi film malah menunjukkan perkembangan ini dalam montase Yasnina belajar ogah-ogahan teknik dan filosofi Paes. Kita harusnya melihat perkembangan Yasnina lebih lama, menurutku cerita akan bisa mencapai titik maksimal jika durasinya diperpanjang. Dan didedikasikan untuk menggambarkan transisi tokoh Yasnina dengan lebih mendalam. Sehingga ketika dia mengambil posisi yang diwariskan oleh Budhe, terasa lebih genuine – bukan lagi terasa hanya karena tertulis di naskah sudah waktunya begitu. Tapi aku pikir, film sengaja mempercepat paruh pertama film karena mereka tahu materi yang mereka ceritakan sudah cukup berat, sehingga mereka ingin buru-buru untuk sampai ke bagian akhir yang merupakan punchline dari cerita.

padahal penganten kan mestinya ojo kesusu

 

Bahkan, melihat dari punchline cerita – babak akhir cerita, film tampak seperti enggak yakin harus mengambil tone yang seperti apa. Mereka ingin supaya penonton ikutan sedih, haru, baper karena keadaan yang harus dijalani oleh Yasnina. Akan tetapi dari segi narasi sendiri, seharusnya bagian akhir itu adalah titik di mana Yasnina sudah bisa mengikhlaskan sehingga mestinya tidak ada lagi baper-baperan. Plot film bergerak dari pertanyaan apakah Yasnina bisa memenangkan ‘pertempuran’ untuk kemudian terjawab di akhir babak kedua dan pertanyaan berubah menjadi apakah Yasnina bisa mengikhlaskan. Progres ceritanya naturally adalah Yasnina sudah menjadi ‘kuat’, dia bisa memimpin prosesi dengan lapang hati karena dia sudah menang dalam hidupnya meskipun dia tidak mendapat yang ia inginkan. Secara visual, film melakukan hal tersebut dengan sangat indah. Kita melihat pandangan matanya berbenturan dengan mata mantannya. Bagaimana matanya seperti memberikan restu. Sungguh menguatkan. Akan tetapi musiknya dimainkan seolah menyuruh penonton untuk merasa kasihan dan baper terhadap Yasnina. Ini menjadikan kita tidak berada di dalam sepatu Yasnina.

Momen-momen yang diniatkan sebagai komedi – untuk membuat film jatohnya enggak serius amat – juga menurutku mestinya bisa dicampurkan dengan lebih menyatu lagi. Banyak adegan komedi yang terasa dishoehorn alih-alih hadir alami di dalam cerita. Kepentingannya pun terpampang dengan gamblang. Pada adegan Yasnina baru sampe di rumah budhe di Tawangmangu, ada seseorang bermotor yang datang ke sana, dan kemudian mereka berdua terlibat dialog yang lucu, dan keduanya berakhir pergi bersama menuju tempat pesta budhe. Adegan ini kelihatan banget untuk nampilin komedi dan memberikan ‘kemudahan’ bagi Yasnina, karena kemunculan si pemuda bermotor tersebut sama sekali gak natural. I mean, kenapa dia datang ke rumah itu padahal ia tahu budhe gak ada di rumah dan dia sendiri juga semestinya ada di tempat pesta. Menurutku jika memang khawatir film menjadi berat sehingga harus ada yang ngelucu, mestinya porsi komedinya bisa dicampurkan dengan lebih mulus lagi. Seperti elemen budaya yang mengalir halus menjadi lebih dari sekadar tempelan. Tokoh-tokoh dalam film ini terikat oleh budaya, dan meski mereka menyadari hal tersebut sepenuhnya, mereka-mereka yang bisa dikatakan punya power tersebut tetap tidak bisa menggeliat keluar dari adat budaya.

 

 

Babak terakhir film ini benar-benar nendang. This could be a very strong narrative, on top of gampang untuk relevan. Tapi film seperti kehilangan percaya diri dengan cerita yang ia angkat. Terburu-buru di separuh awal, melewatkan kesempatan untuk mengembangkan relasi yang menjadi hati utama cerita, hanya karena filmnya tidak mau tampil terlalu berat. Menurutku cerita akan bisa bekerja lebih baik jika diberikan waktu dan ruang untuk berkembang. Akan tetapi yang kita dapatkan di paruh awal tersebut masih terasa seperti loncatan tahap-tahap sekuen plot yang sebetulnya masih bisa dikembangkan lagi. Dunianya pun kurang immersive karena selain tiga tokoh yang jadi sentral cerita – Yasnina, Budhe Marjanti (itu juga mestinya lebih banyak lagi adegan Yasnina dengan si ibu) dan Bapak Arifin – tokoh-tokoh yang lain kurang motivasi dan seperti ada di sana karena diperlukan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANTAN MANTEN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Sudah berapa nih mantan kalian? Ada yang masih temenan gak? Menurut kalian kenapa lebih gampang untuk enggak temenan ama mantan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

DILAN 1991 Review

“It’s hard to resist a bad boy who’s a good man”

 

 

Dilanjutkan langsung dari timeline pada film pertama yang tayang satu tahun lalu, film Dilan 1991 sukses – sukses dalam membuatku merasa seperti peramal. Ya, peramal kayak Dilan. Tetapi Dilan sepertinya ogah disamain sama aku, maka di film kedua ini dia berubah menjadi tukang hipnotis. But still, aku yang bukan peramal merasa seperti peramal. Lantaran yang kutuliskan sebagai saran-saran pada apa yang kumaknai sebagai kekurangan pada Dilan 1990; Milea yang sebagai tokoh utama enggak benar-benar melakukan apa-apa, konflik yang begitu sederhana sehingga nyaris ada, kenapa kita merasa tidak melihat Dilan dalam ‘cahaya’ yang benar – apa yang kutuliskan sebagai cara untuk ‘memperbaiki’ film tersebut, dilakukan oleh film ini.

Dilan 1991 terasa lebih punya ‘sesuatu’ untuk kita tonton. Konfliknya lebih terasa, meskipun memang semua itu semestinya sudah ada tapi tidak digali pada film pertama. Milea sendiri akhirnya banyak beraksi, kita bisa merasakan karakternya seperti apa di sini. Cewek ini tidak lagi terasa seperti kertas putih yang menunggu untuk ditulisi oleh karakter lain, karena sekarang kita bisa melihat jelas inginnya apa, pilihan dan tindakan apa yang ia ambil kita paham kenapa diambil olehnya. Walaupun, ya memang, tidak ada perubahan antara Milea di sini dengan di film sebelumnya. Hanya ‘kelihatan’ saja. Dalam film pertama kita melihat secercah kecil keinginan Milea sehubungan dengan Dilan; apa yang menjadi konflik pada dirinya. Dalam review pertama itu aku menuliskan sebenarnya adegan Milea membersihkan kamar Dilan tanpa izin merefleksikan keinginan Milea untuk ‘memperbaiki’ Dilan, namun film tersebut mangkir dari pembahasan itu. Kita baru mendapatkannya di Dilan 1991 ini.

Milea adalah gadis baik-baik yang jatuh cinta sama cowok anak geng motor. Mereka berdua akhirnya jadian, sepertinya tidak ada yang bisa memisahkan hubungan mereka, dan mulailah drama relationship itu. Milea ingin Dilan berhenti dari hobi berantem antar geng, dia tidak mau Dilan terlibat masalah lagi. Dan bentuk-bentuk tindakan Milea membawa Dilan ke jalan yang lurus inilah yang menyebabkan konflik dalam hubungan asmara mereka yang baru seumuran biji jagung. Babak kedua adalah bagian terbaik yang dimiliki oleh film ini. Karena kita benar-benar melihat naiknya intensitas tindakan yang dilakukan oleh Milea. Dia ngambek, ngancem putus, berusaha kenal Dilan lebih dekat lewat keluarga cowok tersebut. Mungkin memang terlihat silly, atau mungkin sepele, but that’s pretty much an ordinary school girl can do. Film bekerja dengan benar dalam lingkup dunianya.

reference/easter egg menyenangkan yang kutemukan kali ini; Milea baca majalah Gadis jadul! You know, Vanesha kan alumni Gadis Sampul

 

Film ini paham betul pentingnya membuat cerita yang bisa gampang beresonansi kepada anak-anak muda, atau bahkan ibu-ibu; romantisasi yang dilakukannya gencar sekali. Bukan hanya dari gombalan yang dilontarkan Dilan, bukan sebatas dialog yang bikin geli, melainkan juga dari gestur-gestur kecil. Seperti gestur tangan sebagai pengganti ciuman; menurutku hal tersebut efektif dan well-done sekali. Babak pertamanya mungkin bakal terasa sedikit giung, terutama oleh penonton-penonton cowok yang ‘dipaksa’ nonton ama pacar atau sengaja nonton biar dapat pacar. Karena memang struktur ceritanya agak aneh. Di awal-awal itu kita bahkan gak yakin inciting incident-nya apa, benturannya apa. Semua yang terjadi di film adalah sudut pandang dari seorang cewek sehingga masuk akal ketika momen-momen manis jatohnya jadi kayak dengerin gadis cilik main rumah-rumahan ama boneka. Itulah yang harus kita endure di babak awal.

Kepentingan film ini datang dari relasi antara Milea dengan Dilan itu sendiri, namun bukan dari gombal-gombalannya.

Cerita Milea pada Dilan 1991 menunjukkan ‘ngerinya’ seorang cewek polos yang jatuh cinta. Lumrahnya selalu cewek baik merasa tertarik kepada bad-boy, karena mereka ingin memperbaiki si badboy. Memang banyak kisah cinta manis datang dari tema seperti begini. Tapi yang dialami oleh Milea jadi mengerikan, rasa ingin memperbaiki orang yang dialami oleh gadis-gadis di luar sana jadi berbahaya, tatkala mereka jadi merasa bertanggungjawab atas perbuatan atau perilaku yang dilakukan oleh si badboy. Manis segimanapun, bukan hubungan yang sehat untuk Milea. Karena dia tanpa sadar menciptakan kekangan emosional pada dirinya, dan terutama kepada Dilan.

 

Bukan tanpa alasan aku mengatakan film ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana cewek lebih tertarik pada cowok gak bener. Mari kita lihat cowok-cowok di sekitar Milea. Kang Adi, guru les privat yang naksir padanya, tokoh ini manipulatif dengan gampangnya dia menukar saran ketika Milea pura-pura kesal kepada Dilan – bagaimana dia berusaha ikut campur lewat keluarga Milea hanya untuk mendapatkan Milea. Terus ada si Guru Bahasa Indonesia yang sok kecakepan, ngirim-ngirimin Milea puisi (selain alasan ini, aku benar-benar gak ngerti kenapa elemen guru naksir murid SMA ini musti ada di cerita). Lalu ada Yugo, sepupu jauh Milea yang kurang ajar itu clearly seorang psikopat, I mean dia pakek sweater turtleneck kayak Ted Bundy, senyumnya pun mirip senyum Ted Bundy. Tiga cowok tersebut masing-masing melambangkan machiavellianism, narcissism, dan psychopathy. Tiga traits yang membentuk personalitas yang dinamakan Dark Triad. Sisi gelap pada manusia. Dan coba tebak? Dilan punya ketiga sifat tersebut; dia sering bohong tentang kegiatan geng motornya, dia suka gombal seolah dirinya yang paling cinta sama Milea, dan dia gak segan-segan berbuat kasar kepada orang lain. Dan ya, Milea jauh lebih tertarik kepada Dilan dibandingkan ketiga cowok tersebut. Tapi Dilan bisa saja seorang bad boy tapi Milea melihatnya sebagai cowok jantan. Milea melihat secercah sisi terang Dilan yang disinari kepadanya, and she wants more, yang membuatnya di mata Dilan tampak seperti mengekang.

Dalam menangani relasi berbahaya tersebut, film menurutku mengambil arahan yang benar. Film berulang-ulang menyebut ‘jadian’, ‘menikah’, gak mau kehilangan Dilan, dan fakta bahwa pertanyaan pada utama yang berusaha dipancing naskah adalah apakah Milea bakal terpisah dari Dilan mewanti-wanti kita bahwa semua hal tersebut adalah pembangunan yang dilandaskan sehingga perpisahan mereka akan terasa emosional. Buat yang pengalaman menonton, yang jeli melihat naskah, jelas cerita ini akan berakhir dengan kedua tokoh berpisah karena hanya dengan itulah pembelajaran yang melandasi journey tokohnya dapat tercapai.

Karena terkadang kita harus menerima bahwa kita tidak bisa mengubah orang secara total. Lebih sehat bagi Milea untuk melepaskan semua tangisnya dan pada akhirnya melepaskan Dilan.

 

Membuat pasangan yang memenangkan Couple of the Year My Dirt Sheet Awards 8Mile awal tahun ini berpisah adalah hal yang benar. Dalam review Dilan 1990 aku menyebut film tersebut barulah akan terasa punya arti jika kita melihat seperti apa Milea dewasa; antara dia bersama Dilan, atau mungkin tidak bersama – bahkan tidak bersamanya pun masih bisa berarti banyak; Dilan meninggal atau apa. Konklusi tersebut kita dapat di film ini, kita akhirnya tahu kenapa Milea menceritakan kisahnya kepada kita, namun keputusan akhirnyalah yang membuatku sedikit heran. Mungkin memang film ingin gali drama sebesar-besarnya, tapi menurutku pilihan akhir cerita tersebut adalah pilihan yang ‘berani’. Selalu bagus ada film yang berani, namun tidak senantiasa terasa selalu benar. Ini bukan cerita kemenangan dalam kegagalan yang biasa aku sukai. Milea gagal, akan tetapi dia juga tidak menang. Lantaran di akhir cerita dia masih belum bisa melihat apa yang dia butuhkan. Film melakukan lompatan waktu di babak ketiga (actually walaupun judulnya berangka 1991, hanya tiga puluh menit terakhir yang berlatar di waktu tersebut) di mana tidak ada perubahan pada Milea. Film ditutup dengan kegagalan mencapai yang diinginkan serta Milea juga tidak berhasil melihat apa yang sebenarnya ia butuhkan. It’s really a bold choice to end a story like this. Kenapa film membuat Milea dan Dilan seperti tidak bahagia dengan keadaan mereka sekarang. Milea tidak mendapat kemenangan apapun dari cerita ini.

mungkin ceritanya dibuat seperti itu sebagai ‘pukulan’ telak dari si jagoan berantem lantaran Dilan gak bakal pernah literally mukulin cewek

 

Dan juga, membuat babak akhir tersebut benar-benar seperti diseret-seret. Sama seperti pada film pertama, cerita seperti sudah usai namun film tak kunjung berakhir. Masih ada aja adegan yang tidak mengubah apa-apa. Dalam kasus film kedua ini, aku bisa membayangkan penonton yang mengharapkan Milea dan Dilan bersatu terus tertarik ulur perasaannya, diphp-in sama adegan yang seolah happy ending. Keseluruhan bangunan cerita film ini menurutku masih bisa dibuat lebih rapi lagi, dengan lebih menguatkan lagi konflik dan apa yang harus dilalui Milea. Tapi memang, buatku beginilah seharusnya film Dilan yang kita saksikan dahulu. Menurutku jika film ini digabung dengan film pertama yang bland dan nyaris tak ada kejadian yang terjadi, maka akan menghasilkan cerita yang lebih padat dan film yang menarik. Karena pemisahan kedua film ini tampak aneh, baik dari segi timeline (banyak lompatan waktu yang seolah narasinya benar-benar harus sesuai waktu di buku) dan juga dari segi karakter. Mereka bisa bikin satu film yang benar-benar bagus dari dua film ini.

 

 

Kita harus menunggu satu tahun, satu film lagi, untuk mendapat penceritaan tentang Milea dan Dilan yang dilakukan dengan lebih baik. Menurutku, film ini lebih terasa seperti rewrite dari cerita sebelumnya ketimbang sebuah sekuel. Karena sebenarnya semua poin alurnya sama. Bedanya cuma di film pertama, film dan aksinya tak tampak. Sedangkan pada film ini, semuanya lebih jelas. Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla mendapat kesempatan range yang lebih banyak; Iqbaal actually ditantang untuk lebih jauh bermain emosi yang subdue, lewat ekspresi, Vanesha juga dikasih banyak adegan nangis – yang mana adalah bagian terlemah dari aktingnya. Ceritanya memang lebih emosional. Selebihnya tidak banyak perubahan, karena film masih memilih untuk berada di taraf yang gak benar-benar kompleks.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for DILAN 1991.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah cewek lebih tertarik pada bad-boy? Apakah cowok baik memang kurang menarik?

Dan bagaimana menurut kalian tentang Hari Dilan? Apakah praktek menguasai bioskop bisa termasuk ke dalam bentuk penjajahan terhadap konsumen?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

[Readers’ NeatPick] – HIJAB (2015) Review

“Jenaka tanpa perlu menggurui. Hijab adalah bukti film mampu melucu tanpa harus menghadirkan sketsa ala komika yang belakangan ini sering menghiasi film komedi Indonesia saat ini.”Raja Lubis, Komandan Komunitas Forum Film Bandung – Pengamat Film, FTV dan Serial Televisi Indonesia.

 

 

Setiap orang tentu punya film favorit sendiri, film yang ketika ditonton pengen disebarin ke orang lain. Namun, favorit enggak mesti karena filmnya bagus loh, bisa jadi kita suka karena filmnya lucu, atau mungkin geli. Yang jelas, selama bikin blog ini aku sering dapet rekues review; mulai dari yang nyaranin film yang bagus, yang pusing, hingga yang konyol. Dan percayalah, biasanya aku langsung nyari dan nontonin film yang direkues, cuma ya memang tak sempat kutuliskan reviewnya. Kalo ada waktu ketemu temen-temen sih enak, kami bisa langsung obrolin bareng film yang ia rekues. Kalo sama temen-temen di dunia maya, gimana? Maka lantas aku kepikiran untuk bikin segmen khusus review bareng. Dinamakan [Readers’ NeatPick] karena segmen ini terbuka untuk setiap pembaca My Dirt Sheet mengajukan usulan film, dan akan kuhubungi langsung untuk mereview film tersebut bersama-sama.

Di edisi perdana ini, aku menerima usulan Raja Lubis untuk menonton film Hijab, komedi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang dibuat dengan gaya unik, ala-ala dokumenter, yang menilik kisah sukses empat cewek mendirikan bisnis hijab. Kita akan mendengar cerita persahabatan mereka, gimana mereka memulai bisnis lantaran pengen punya ‘sesuatu’ di luar nafkah dari pasangan masing-masing, dan eventually apa yang membuat mereka mengenakan hijab.

“Film Hijab penting karena bisa dijadikan pembelajaran dari banyak aspek.”

“Jadi komedi bisa, jadi religi bisa juga ya, Mas.”

“Justru Hijab ini bisa dikatakan salah satu standar film religi yang dituturkan jenaka. Dan saya memang selalu suka pada film komedi yang punya daya untuk melakukan kritik atas isu sosial budaya yang terjadi di lingkungan sekitar. Hijab melakukannya dengan sangat baik.”

“Dan sepertinya ini memang ranahnya Hanung, kan. Dia selalu bisa menemukan cara untuk menyelipkan komentar-komentar di balik hal dan fenomena hits (saat itu).”

“Hahaha kontroversi gitu ya maksudnya? Kontroversi itu datangnya bukan dari filmnya melainkan dari sudut pandang orang yang menilainya. Terlepas dari itu, sebagai sebuah karya saya kira Hijab hanya memotret, mengkritisi fenomena sekitar dengan gayanya sendiri. Namun jika ada yang mempermasalahkan film ini dengan sudut pandangnya juga, itu pun hak mereka.”

“Gaya ala dokumenter – yang bukan dari tokoh real – ini menurutku tepat digunakan oleh Hanung, karena dia ingin memperlihatkan banyak sudut tentang hijab. Meskipun tema yang berulang di sini jelas adalah favoritnya Hanung; isu kesetaraan. Selalu soal kesetaraan. Dia, seperti yang mas bilang, memotret sehingga filmnya terasa relevan.”

“Hijab memotret dan menunjukkan tentang peran suami-istri yang berbeda-beda. Apa yang ditunjukkan oleh Hijab bukan hanya masalah relevan atau tidak relevan dengan masa kini. Tapi lebih ke menunjukkan bagaimana suami istri bekerja sama dalam berumah tangga. Dan prinsip itu akan terus berjalan sampai dunia ini berhenti berputar”

“Dinamika suami-istri di film ini mulai bergeser ketika istri merasa bosan gak ngapa-ngapain. Mereka pengen berkarya sendiri. Dan akhirnya malah jadi lebih sukses daripada suami. Film ingin membuka mata kita melihat apa sih masalah yang bisa timbul dari istri yang bekerja. Buatku film ini cukup materialistis, sih. Uang di cerita ini berperan penting; ia yang memulai dan jadi middle-ground. Suami-suami di film ini enggan ngasih izin para istri bekerja lantaran mereka punya ego. Intensitas cerita naik saat para istri ketahuan bekerja, namun jadi adem lagi begitu usaha mereka itu sukses. Aku pengen melihat apa yang terjadi kalo usaha hijab itu gagal, menurutku pembelajarannya bisa lebih besar lagi jika uang dikeluarkan dari ekuasi – seperti apa dinamikanya nanti.”

“Uang memang penting banget! Nggak ada uang hidup bakal nggak jalan. Film ini nyata seperti demikian. Makanya para istri berbisnis hijab agar bisa leluasa menggunakan uang untuk keperluan pribadinya. Dibawa ke saya sendiri; Saya mempersilakan istri bekerja selama tidak mengganggu dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Di zaman sekarang ini banyak profesi yang bisa dilakukan seorang istri tanpa harus keluar rumah. Tapi intinya saya memberikan kebebasan kepada istri untuk berekspresi, tentu dengan izin suaminya.”

“Hmm.. ya.. ya, aku juga kalo udah nikah kayaknya bakal bolehin istri kerja tetapi tidak saat anak masih kecil banget, aku gak bisa soalnya ngurus anak ahahaha.. Film ini juga seperti menunjukkan izin suami masih berperan besar ya. Menurutku menarik gimana dengan segala pesan kesetaraan itu, poster film malah menampilkan keempat tokoh kita sebagai boneka marionet yang dikendalikan tangan. Buatku ini low-key ngasih liat bahwa masih ada yang mengatur mereka – entah itu aturan; suami atau agama atau sosial, atau malah duit itu sendiri”

“Saya hanya melihat poster itu sebagai bentuk karikatural yang menandakan bahwa Hijab adalah film komedi. Lebih lanjutnya saya enggan berkomentar.”

“Memang sih, yang aku gak nyangka adalah betapa ringannya ternyata Hanung mengemas. Enggak sampai ke level receh, film ini punya nyali dan tidak meninggalkan rasa hormat sama sekali terhadap yang ia bicarakan, tapi memang film Hijab ini terasa beda dengan film-film Hanung lain yang lebih ‘serius’.”

“Adegan yang paling bikin ngakak banyak sih ya, secara delapan aktor utamanya bermain bagus semua. Tapi kalau yang paling saya ingat sih adegan Dijah Yellow, meski sedikit perannya tapi memorable. Kalo dari tokoh utama, saya suka sama karakter Anin (Natasha Rizky), karena dia adalah karakter yang paling banyak mengalami perubahan sekaligus juga bisa dikatakan menjadi inti cerita filmnya.”

“Anin udah kayak tokoh penentu di film ini. Aku suka gimana Anin dibuat kontras di film ini; dia satu-satunya yang gak berhijab, dia satu-satunya yang belum menikah. Dan dia belajar dari keadaan di sekelilingnya, dia menemukan sesuatu, seperti wakil dari penonton untuk menangkap apa yang sedang diceritakan. Anin mengalami transformasi. Benar-benar berbeda dari tiga tokoh lainnya, kita diperlihatkan proses dirinya mengenal hijab – baginya bukan sebagai pelarian, atau keharusan, tapi sebagai pilihan. Dan di sinilah istimewanya film, dia memberikan ruang bagi hijab untuk dilihat dari banyak segi. Bukan sebatas busana muslimah.”

“Menurut saya Hanung juga memotret Hijab dari sisi budaya. Kan memang sekarang Hijab itu seperti sudah menjadi tren di kalangan wanita Indonesia. Bahkan ada satu dialog juga yang memperkuat fenomena ini. Yakni dialog yang bilang bahwa Hijab menggantikan konde yang biasa dipakai di zaman order baru.”

“Jadi tidak semata hijab adalah simbol kungkungan atau peraturan kan ya. Karena perkembangan dunia, sudut pandang kita pun juga mesti berkembang.”

“Benar. Sejauh yang saya tahu dan saya imani, hijab adalah kewajiban bagi setiap wanita muslim yang ketentuannya sudah diatur dalam Islam. Adapun ketika Hijab menjadi fashion, itu sebuah pergeseran budaya. Namun dengan berubahnya hijab menjadi tren hijab ini jadinya banyak hijab yang diproduksi kurang memperhatikan ketentuan yang sudah mengaturnya.”

“Benar, dari film ini kita juga bisa lihat ada garis pembeda antara hijab sebagai fashion dan sebagai budaya. Adalah pilihan nurani masing-masing, mau memparalelkannya atau tidak. Meski kalo aku sih, aku gayakin juga kalo misalnya aku ini cewek aku bakal makai hijab dari dulu atau enggak hahaha.. mungkin aku kayak Anin atau malah kayak Tata hhihi”

“Waaah itu andai-andai yang sulit dibayangkan karena nggak akan pernah terjadi, kecuali atas izin Allah.”

“Hahaha benar juga. Jadi kalo mau diangkain, dari skala satu sampai sepuluh, Mas Raja ngasih skor berapa nih buat Hijab?”

“Saya berikan 8.5/10. Hijab digunakan judul dan inti utama film ini sebagai bisnis, sekaligus menyindir banyak hal lain. Sebagai jalan bagaimana Hanung melalukan kritik pada aspek kehidupan sosial budaya yang nggak semata-mata soal Hijab. Misal soal karir dan pekerjaan dan peran suami istri dalam rumah tangga.”

“Dalem dan menggelitik ya. Kalo aku ngasih 7/10 karena buatku memang filmnya terasa sedikit ‘main aman’, gaya bercerita yang dipilih bikin berbeda, kreatif, tapi jadi sedikit ‘menyimpan’ tokoh utama atau tokoh sebenarnya yang jadi poin vokal cerita.”

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat Raja Lubis untuk edisi perdana segmen ini. 

Bagaimana menurut kalian tentang film Hijab? Apa kalian setuju dengan yang disampaikan oleh film ini?

Buat yang punya film yang benar-benar ingin dibicarakan, silahkan sampaikan saja di komen, usulan film yang menarik nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY Review

“If you don’t stand for something you’ll fall for anything.”

 

 

Satu pertanyaan yang diangkat pada trailer film ini berdering keras di ruang telingaku yang saat itu lagi cuek bebek mainin permen karet karena aku gak biasa nonton trailer, bahkan di dalam bioskop. “Apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam?”

Jadi ya, aku penasaran sama gagasan film ini sehubungan dengan pertanyaan tersebut yang aku yakini jadi tema besar dalam ceritanya. Aku geregetan karena lalu lintas siang tadi begitu padat. Kendaraan jalannya pada tersendat-sendat. Maju dikit, stopnya sering. Jalan sebentar, eh berhentinya lama. Perempatan yang kulewati memang terkenal macet parah lantaran lampu merah yang berdurasi cukup lama. Kalo begini bisa-bisa bisa terlambat ke bioskop! Masa aku harus mengalah sama pengemudi jalur lain. Enak aja yang belok kiri boleh jalan terus. Padahal yang punya misi di sana, yang paling berkepentingan, adalah aku; Aku harus nonton duluan supaya bisa memberi tahu dunia, menyelamatkan dompet-dompet tidak berdosa, bahwa film ini bagus atau tidak. Pernah gak sih kalian kesel jalanan jadi macet karena lampu merah. Pernah gak kalian keki karena rencana atau acara kalian jadi terlambat sebab jalanan riweuh ada razia polisi.

Apakah trafik di jalanan bakal jadi lebih lancar tanpa ada lampu lalu lintas?

 

 

Pertanyaan yang begitu menantang tersebut dijadikan konsep acara televisi yang harus digarap oleh Hanum Salsabiela (Acha Septriasa reprising her role sebagai jurnalis wanita kritis yang cerdas dan taat beragama). Sebelum berangkat ke Vienna mengikuti suaminya yang ingin menyelesaikan studi, kesempatan datang mengetuk pintu rumah Hanum. Wanita ini ditawari kerja magang di stasiun televisi sensasional, GNTV. Ditawari oleh jurnalis idolanya pula. Atas izin suaminya yang pengertian, mereka memperpanjang tinggal di New York sehingga Hanum bisa mewujudkan mimpinya mengikuti program internship tiga minggu tersebut. Tapi bekerja di GNTV berarti Hanum harus meninggalkan agamanya di luar pintu. Sebab dalam bisnis televisi, rating-lah yang menjadi Tuhan. Hanum kudu stay professional sebagai reporter. Ada pandangan mengenai bisnis di balik meja redaksi televisi yang dipelrihatkan di sini. Ada banyak pilihan yang harus diambil Hanum; apakah dia menghormati narasumber atau ikut perintah atasan demi rating. Bagaimana cara dia memperlihatkan Islam sebagai ajaran yang baik lewat acara yang sudah diset untuk memojokkan Islam – menjual drama darinya.

Sementara itu, Rangga sang suami (Rio Dewanto sebagian besar waktu berusaha tampil simpatik) mengisi hari-harinya menunggu Hanum pulang dengan mengasuh anak dari seorang single mom yang dulu pernah dibantu oleh Hanum perihal keterkaitan keluarganya dengan jaringan teroris. Jadi, benih-benih kecemburuan mulai tertanam di hati masing-masing. Di satu sisi kita punya tokoh utama yang mengejar mimpinya, berjuang dengan kondisi yang mengharuskan dia memilih antara idealisme dengan realita bisnis media yang basically adalah pilihan antara karir dengan keyakinannya. Di sisi lain ada tokoh pendamping yang melihat lebih jernih, yang peduli sama istrinya, yang rela berkorban apa saja – dia melihat istrinya menapaki pilihan yang membuatnya khawatir. Tapi semuanya menjadi personal bagi sang istri. Setidaknya ada tiga lapisan yang bekerja koheren di dalam narasi. Hanum yang berusaha mengubah pandangan media luar tentang Islam, dan dia berusaha melakukannya dari dalam. Dan yang terutama disayangkan adalah, film tak lagi bergairah menjawab pertanyaan besar yang menjadi tema utama, melainkan sibuk bermehek-mehek ria dengan lebih mengeksplorasi elemen cemburu yang dimiliki oleh cerita.

dan ada hantu Maddah di film ini hhihi

 

 

Film ini bisa bekerja lebih baik sebagai komentar soal gender-role. I do think wanita enggak kalah sama pria, you know, buktinya WWE Evolution yang isinya pertandingan cewek semua terbukti lebih menarik dibanding kebanyakan acara normal WWE. Akan menarik melihat sudut pandang wanita seperti Hanum, cukup dikaitkan saja dengan agama. Karena kita mengerti apa yang dihadapi oleh Hanum dalam film ini, kita paham konflik yang bersarang di benaknya. Bayangkan sebuah balon yang ada pemberat batunya. Lepaskan batunya, dan balon akan melayang tinggi di angkasa. Balon adalah wanita-wanita mandiri nan cerdas seperti Hanum. Terikat kepada suami oleh pernikahan dan aturan agama yang ia yakini. Dunia kerja Hanum menggebah Hanum untuk melepaskan ‘batu’nya, supaya dia bisa berkembang pesat. Kita melihat, as story goes, Hanum mulai kehilangan keyakinannya. Dia lupa bahwa karena ijin suaminya lah dia bisa magang di GNTV. Dia enggak ingat bahwa dalam ajaran agama yang ia yakini – sebagai muslim yang sedang ia perjuangkan kebenaran ajarannya – ia harus mematuhi suami. Film bisa mengangkasa mencapai bintang jika benar-benar membahas ini; jika Hanum membuat pilihan yang menunjukkan dia menemukan kembali keyakinannya. Yang menunjukkan ia sadar dan punya kounter-argumen soal jawaban Islam bukannya menghambat. Film pun bisa saja terbang cukup tinggi jika membahas dan benar-benar memperlihatkan usaha Hanum mengubah sistem media atau pertelevisian dari dalam, dengan cara dan keyakinannya sendiri.

Mau tahu batu sebenarnya dalam kasus film ini? Elemen cemburu dan drama cintanya-lah yang sejatinya sebagai penghambat utama film ini menjadi sebuah cerita yang hebat. Adegan endingnya sendiri sebenarnya udah bener. Hanya saja, menjelang ke sana; momen relevasi film ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ‘faith’ yang diumbar menjadi judul dan tema cerita. Hanum tersadar bukan karena keyakinan ataupun pemikiran sendiri, melainkan karena pengungkapan oleh satu tokoh. Jalan keluar datang dari kemampuan tokoh lain. Sepintas memang terlihat seperti Hanum adalah tokoh yang paling berjasa. Tapi jika diselidik lebih dalam, Hanum enggak benar-benar berbuat apa-apa secara langsung. Dia tidak mengubah keadaan kantornya. Dia bahkan enggak mengejar suaminya, padahal katanya ini film kesetaraan wanita. Yang ada, Hanum menjadi sama aja seperti media yang ia lawan; ia mengekspos kejelekan seseorang yang sudah memberinya makan. Orang-orang di sekitarnya terlihat lebih punya ‘faith’ ketimbang Hanum. Pada akhirnya, Hanum tetap menjadi tokoh yang paling tidak punya keyakinan pada cerita ini, bahkan si jurnalis ‘jahat’ saja punya pandangan yang terus ia junjung. Makanya dia begitu rapuh dan gampang terbawa pengaruh. Hanum hanya bergerak berdasarkan drama egonya. Dia tampak bangga sebagai korban, pada sekuen acara peringatan 9/11 yang disiarkan live. Cerita wanita yang kuat semestinya berakhir seperti pada Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017); dia merebut kendali, menolak dilabeli sebagai ‘si korban’

Hanum dalam film ini malah membuktikan stereotipe kuno bahwa bagaimana pun juga, betapapun tinggi pendidikannya, wanita tetaplah mendahulukan perasaan. Bukan pemikiran, bukan pula iman. Yang mana bertentangan sekali dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh cerita.

 

Elemen dramatis film ini menciptakan banyak adegan yang gak make sense. Bahkan stake yang dikenai ke Hanum tak pernah benar-benar masuk akal buatku. Aku gak mengerti kenapa Hanum tidak berhenti saja setelah tugas interview pertama. The one that got high rating dan yang bikin Hanum ketiban bonus gede. Oh yea, mungkin karena bonusnya itu ya. Hanum sebenarnya bisa berhenti kapan saja. Untuk memanjangkan cerita, maka film butuh elemen drama yang menjadi masalah terbesar seperti yang kutuliskan tadi. Aneh sekali ada tokoh yang dengan penuh keteguhan hati mengucapkan “Aku single parent, aku harus bisa ngerjain apa aja sendiri” padahal kita lihat adegannya ia sedang meminta tolong kepada Rangga untuk membetulkan pipa air keran. Dan buatku adalah konyol dan maksa banget gimana penokohan Hanum dituliskan di film ini. Bagaimana mungkin jurnalis, yang pintar dan gak ecek-ecek seperti dirinya, yang tahu persis cara kerja media, bisa kesulut oleh desas-desus dan kebakar oleh foto-tanpa-konteks yang ia terima dari pesan whatsapp? Logika tokohnya enggak klop, enggak masuk akal buatku.

ganti aja judulnya dengan Feeling in the City

 

 

Film ini masih bisa bekerja kok tanpa drama yang dibuat-buat. Tantangan nyata yang dihadapi wanita Islam di dunia modern, kurang menyentuh apa coba. Mengubah sistem dengan kemampuan sendiri, sembari berpegang teguh pada keyakinan sendiri; kurang menginspirasi gimana coba. Tapi film memilih untuk menahan laju film, menambatnya dengan menjadikan dramatisasi kecemburuan wanita terhadap pasangannya sebagai poin utama. Melihat dari pengungkapannya, semua kejadian di film ini tidak perlu kita lalui jika saja salah satu tokoh menceritakan yang ia tahu kepada Hanum – naskah berusaha keras menjauhkan dua tokoh ini hingga babak akhir dan kita mendapat cerita dengan stake gak make sense karenanya. Pertanyaan di atas memang enggak benar-benar terjawab oleh cerita. Tapi setidaknya, kita punya satu pernyataan pasti buat film ini. This story will be a better movie without tear-jerker no sense drama.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for HANUM & RANGGA: FAITH & THE CITY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Benarkah pria lebih unggul dari wanita? Kenapa menurut kalian istri harus meminta izin kepada suami?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

JAGA POCONG Review

“The worst regret we can have in life is not for the wrong things we did, but for the right things we did for the wrong one.”

 

 

 

Pernah gak sih kalian pengen membantu orang lain dan seketika merasa menyesal setelah menawarkan bantuan tersebut? Sebaiknya jangan ampe pernah sih, yaa.. soalnya itu hal yang enggak baik. Membantu orang itu kudu ikhlas. Tidak boleh ada niat apa-apa kecuali buat meringankan beban yang ditawarin bantuan. Dan enggak boleh menggerutu jika ternyata orang tersebut mengharapkan bantuan yang lebih besar dari yang kita duga. Kayak Suster Mila yang sabar banget. Kerjaannya sehari-hari merawat pasien di rumah sakit. Bahkan ketika shiftnya sudah selesai dan dalam persiapan hendak balik ke rumah pun, Mila tak menolak diamanatkan untuk memberikan perawatan ke rumah pasien. Tapi sejujurnya, jika dihadapkan oleh situasi seperti Mila; ketika ia terlambat sampai di rumah pasien yang jauhnya minta ampun dan menemukan jawaban “Tolong jaga pocong ibu saya” atas pertanyaan “Ada yang bisa saya bantu?” niscaya aku akan menolak dengan halus, mengutuk pelan di dalam hati karena udah sok baik, dan pergi secepatnya dari tempat itu tanpa pernah menoleh lagi haha..

Tapi itu hanya salah satu dari banyak perbedaanku dengan tokoh Mila dalam film Jaga Pocong ini. Mau tahu satu lagi perbedaan antara kami? Aku gak akan pernah mengecek lemari yang terbuka sendiri. Anyway, pekerjaannya sebagai perawat membuat Mila enggak egois dan, tentu saja, berani. Mila merawat orang yang masih hidup, maupun yang sudah mati. Film ini dengan perlahan memperlihatkan Mila yang begitu telaten. Dia dimintai tolong oleh pria asing memandikan jenazah, kemudian mengafani mayat ibu tirinya. Tak sekalipun Mila menolak. Dia bahkan enggak kabur gitu aja ninggalin Novi, anak pemilik rumah yang kamarnya di lantai atas, begitu peristiwa-peristiwa ganjil terjadi dalam rumah tersebut. Bahkan setelah terang-terangan melihat Novi dirasuki hantu pun, Mila tetap kembali untuk anak tersebut.

alih-alih jenazah yang kena azab, di sini tokoh kita yang dirundung oleh ketakutan yang nyata

 

 

Pada mulanya, film ini tampak begitu membanggakan. Ada begitu banyak aspek yang aku suka dari film ini. Film ini terasa berbeda dengan horor-horor lain yang beredar belakangan ini. Nuansanya udah kayak horor psikologis. Kita dibenamkan begitu saja ke dalam masalah Mila, kita tidak tahu siapa dirinya, dan ekspektasi yang timbul adalah film bakal punya penjelasan yang cerdas dan masuk akal. Gimana pacenya yang deliberately dibuat lambat, memberikan kesempatan kepada kita untuk mengumpulkan benih-benih ketakutan sekaligus membuka mata mencari petunjuk dan kepingan puzzle cerita. Kita dibuat sama butanya dengan Mila. Aku suka gimana film ini enggak menggunakan elemen seperti film horor dengan keadaan sempit kebanyakan. Mila disuruh menjaga rumah beserta pocong dan seluruh isinya, dan film tidak membatasi Mila – juga kita – dalam mengeksplorasi rumah dengan foto-foto nyeremin yang membuat kita bertanya dalam hati kok pemilik rumahnya beda ama yang ada di pigura? Tidak ada ruangan yang diwanti-wanti tidak boleh dibuka, dan ini hanya akan membuat kengerian itu semakin menjadi lantaran kita tidak tahu pasti apa yang harus diantisipasi.

Perhatian kita akan segera terpusat pada jenazah fresh yang terbaring di atas tikar di lantai, tepat di tengah-tengah rumah. Ketakutan hadir dengan sangat efektif, misalnya ketika Mila melihat salah satu kapas yang menutup lubang hidung si jenazah lepas begitu saja. Dan setelah beberapa adegan kemudian, seluruh tali pocongnya lepas. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Untuk urusan menakuti, film bijaksana sekali memakai suara dan musik. Gambar-gambarnya pun diperhatikan dengan seksama. Perhatikan gimana Mila enggak begitu saja memasangkan kembali kapas ke dalam lubang hidung jenazah. Ada gestur dan tindak ekstra yang ia lakukan untuk menunjukkan rasa takut luar biasa yang sedang ia tahan.

Salah satu adegan paling emosional di film ini adalah ketika Mila menangis terduduk di lantai. It was an usual Acha’s signature powerful crying scene. Tapi tampak begitu conflicted. Karena kita melihat penyesalan di dalam dirinya. Untuk pertama kali dalam dunia profesionalnya, Mila menyesal setuju untuk membantu orang. Film dan tokoh Mila ini dapat menjadi sangat menarik apabila terus menggali sisi kemanusiaan yang miring seperti demikian.

 

 

Atmosfer di paruh pertama film terasa begitu unsettling. Ini adalah horor yang sangat contained, menawarkan kepada kita begitu banyak pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi. Aku bahkan tidak merasa mengenal Mila, keputusan-keputusan yang ia ambil terlihat so selfless. Aku menemukan kontras antara karakter Mila sebelum sampai di rumah tersebut dengan saat dia sudah mengalami banyak hal di rumah itu. Mila awalnya, terasa hanya just doing her job, kita melihat dia hanya memandang dari jauh ketika anak yang ia rawat meninggal dunia. Tapi ketika di rumah, dia jadi begitu peduli dengan keselamatan Novi, yang berjalan dengan bantuan alat dan punya asma. Mungkin Mila ingin ‘menebus’ diri apa gimana, yang jelas aku menunggu-nunggu arc tokoh ini berkembang. Informasi kenapa dia dan apa artinya ‘perjalanan’ yang ia tempuh di film ini. Dan di poin inilah aku merasa, sejauh ini, Jaga Pocong nyatanya adalah film horor yang paling membuatku kecewa di tahun 2018.

Tepatnya, setelah adegan mimpi di pertengahan film, kekhawatiranku mulai merekah. Harapanku ini bakal jadi cerita psikologis, semacam tentu saja kita bakal membayangkan yang bukan-bukan jika disuruh tinggal bersama pocong semalaman, menjadi sirna seketika. Film seperti sudah berpindah fokus, berpindah treatment, tone ceritanya menjadi berubah, bagian tengah film hingga penghabisan seperti dibuat oleh orang yang berbeda. Atau mungkin pembuatnya lelah membangun, dan memutuskan untuk menendang runtuh semuanya. Acha Septriasa adalah aktris yang cakap (dan cakep), ini adalah horor pertamanya, dia sepertinya sudah siap melakukan apa saja atas nama horor, dan apa yang film ini minta untuk dia lakukan? Memanggil nama Novi dengan berbagai ekspresi ketakutan yang berbeda. “Kamu di mana?”, “Novi, jangan lari”, “Novi, bentar lagi kamu ulangtahun ya” Ada banyak kalimat yang bisa diucapkan orang yang lagi ketakutan mencari temannya yang kabur, tapi film nulisnya males banget. Dialog Acha sebagian besar cuma nama Novi, thok. Betapa tersia-siakan talentanya.

ganti aja judulnya jadi Jaga Novi

 

 

Teknik menakutinya berubah menjadi sangat standar. Kamera yang mengarah ke kiri, memperlihatkan tidak ada apa-apa, kemudian dengan segera geser ke kanan, dan kita semua sudah tahu ada apa di kanan si tokoh. Hantunya pun kadang tak konsisten. Mila diteror oleh pocong, yang malah bukan pocong si ibu. Pada satu adegan, si kecil Novi berubah menjadi makhluk dengan make-up mengerikan, badannya patah-patah kayak orang kesurupan, dia manjat tembok segala macem, dan mengaku dengan suara serak dia adalah penunggu rumah ini. Tapi nyatanya, momen ini sama sekali enggak masuk ke dalam cerita, karena nantinya di Pengungkapan, kita tahu mereka ‘hantu’ yang seperti apa – mereka adalah keluarga ‘dukun’ yang menginginkan tubuh yang lebih muda, jadi momen kesurupan yang tadi jatohnya seperti si Novi sedang berbohong. Dan oh boy, bukan satu kali dia berbohong. Dari segi kreatif, ini menjadi bukti film berusaha memasukkan banyak hal kekinian; hantu kesurupan, dukun dan praktik ritual, twist, dan mereka enggak lagi mikirin cerita yang koheren.

Twistnya sih sebenarnya cukup seksama ditanam. ‘Apa’nya pun masuk akal di dalam konteks cerita. Ada indikasi rumah sakit tempat Mila bekerja punya andil dalam kejadian di film ini. Hanya saja, kenapa mesti Mila, tidak bisa diceritakan oleh film ini. Keseluruhan film adalah scam/rencana jahat dari penghuni rumah (yang bisa diasumsikan bekerja sama dengan rumah sakit), dan Mila hanya bidak yang terseret-seret di sana. Tidak ada kepentingan, tidak ada bentrok personal yang membuat Mila punya alasan untuk ada di sana. Sekalipun membuat keputusan, ia tampak mengambil pilihan yang bego. Film menjawab “kenapa harus Mila” dengan begitu konyol sehingga aku tertawa di dalam bioskop. “Karena memang harus kamu”, kata si jahat sambil berpose menunjuk supaya kelihatan keren. It was just so lazy. Mereka bisa saja mengarang konflik dan backstory yang lebih personal buat Mila, tapi enggak. Malah terang-terangan bilang ya karena harus kamu… ahahaha ini yang nulis scriptnya anak kecil – ini yang nulis ceritanya si Novi?

..

Oke, aku minta maaf, Novi, aku yakin kamu dan anak-anak lain lebih pinter dan imajinatif dari penulisan film ini.

 

 

Setelah semua kebegoan itu pun, film sesungguhnya masih punya kesempatan untuk menjadi terrifying. Bayangkan kamu terbangun dalam tubuh yang sudah mati. Pengalaman yang menyeramkan, kan ya. Kita tidak bisa melakukan apapun, kita sadar dengan apa yang terjadi di sekitar kita, kita tahu apa yang bakal terjadi, tapi kita begitu powerless. Ini bisa jadi sudut pandang yang menarik. Tapi sutradara Hadrah Daeng Ratu seperti tidak mampu dalam mengeksplorasi bagian ini. Kita hanya mendapatkan versi basic; Mila bangun bukan sebagai Mila. Film tidak cukup kompeten dan berani membuat adegan yang sureal, kita tidak ikut merasakan kengerian dikubur hidup-hidup. Mereka malah membuatnya aneh – membuatnya bertentangan dengan ‘peraturan’ film – dengan dua wajah Mila, alih-alih satu. Karena sutradara tidak tahu cara membuat adegan ini dengan benar dan meyakinkan; mereka takut penonton tidak mengerti jika bukan wajah Mila yang tampak di dalam liang lahat.

 

 

Film ini punya potensi buat jadi salah satu, jika bukan horor terbaik di tahun 2018. Aku melihat penggarapan yang mumpuni di awal-awal, cara membangun kengerian, bagaimana mereka merepresentasikan pocong dan segala ketakutan tersebut. Tapi setelah pertengahan, film menjadi konyol. Eksplorasi cerita ditinggalkan begitu saja. Film seperti menyerah di tengah jalan. The writing is lazy. Mereka seperti menulis yang dikejar deadline; awalnya bagus, kemudian diselesaikan dengan serampangan. Cerita film jadi tidak nyambung dan kembali ke jalur biasa-biasa saja. Pada akhirnya, film ini malah semenggelikan episode buku Goosebumps dengan twistnya yang over-the-top.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAGA POCONG.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ada yang ngitung gak berapa kali nama Novi disebut dalam film ini?

Pernahkan kalian menyesal membantu orang lain karena menurut kalian mereka ternyata enggak berterima kasih dan enggak pantas dibantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

THE NIGHT COMES FOR US Review

There are some things far more frightening than death

 

 

 

Malam sepertinya tidak akan pernah berkonotasi dengan kata sepi dalam kamus Timo Tjahjanto. Malam, bagi film-filmnya, adalah panggung pertunjukan segala kegilaan. Bayangkan pentas bakat di sekolah, hanya saja pesertanya bukan anak kecil mungil melainkan kebrutalan segala jenis. Langit malam Timo akan bergema oleh kata-kata serapah. Dan ya, malam dalam judul film ini pun, sejatinya begitu hitam pekat; oleh darah.

Kita mungkin hanya bisa membayangkan gimana menyenangkannya bagi para aktor diajak suting film laga oleh Timo. Karena kita tahu kita bisa mengharapkan adegan-adegan kekerasan yang esktrim, yang tidak biasa diminta untuk dilakukan. Timo really has a knack for these kind of actions. Bagaikan jari yang tidak semestinya dibengkokkan ke belakang, Timo akan mendorong tulang-tulang tersebut – dia akan mendorong para aktornya untuk melakukan berbagai hal yang berakibatnya pada ‘patah’nya image normal yang tadinya melekat. Kita sudah lihat apa yang ia lakukan terhadap Pevita Pearce dan Chelsea Islan di horor gore Sebelum Iblis Menjemput (2018). Dan itu belum seujung kukunya dengan apa yang ia tugaskan kepada Julie Estelle, Dian Sastro, Hannah Al Rashid, bahkan kepada pemain-pemain pria seperti Abimana Aryasatya, Dimas Anggara, dan banyak lagi cast yang aku yakin semuanya pasti having fun banget disuruh berdarah-darah.

Jangan mandi kembang, mending mandi darah

 

Kerja kamera begitu jor-joran membuat setiap sekuen aksi bikin kita ngotot untuk melotot, meski mungkin perut mulai melakukan penolakan-penolakan ringan. Tusuk-tusukan, patah-patahan, dan kemudian crott! darahnya keluar. Semua tampak begitu maknyuss. Film ini luar biasa aware dengan environmentnya, setiap jengkal bisa dijadikan sudut pandang yang menarik buat ngeliat orang berantem, setiap benda-benda yang paling lumrah sekalipun – seperti papan ‘awas lantai basah’ itu – dimanfaatkan sebagai senjata membela diri yang hanya bisa dituntaskan dengan membunuh lawannya. Hal inilah yang menjadi point menarik dari film ini. Semua aspek; benda, lokasi, tokoh, udah seperti bidak catur yang posisinya udah dipikirkan dengan seksama demi mengkreasikan adegan berantem yang bisa dinikmati. Dan pada prakteknya, kamera akan mondar-mandir ke sana kemari, memastikan setiap frame penuh oleh aksi. Di belakang, di depan. Pergerakan yang nonstop, beberapa adegan film ini akan membuat kita teringat apa yang dilakukan master Akira Kurosawa dalam Seven Samurai (1954); aksi yang berkedalaman. Di film inipun kita melihat orang bunuh-bunuhan di depan, sementara di belakangnya tokoh lain sedang berusaha berlindung dari massa dengan menggunakan meja sebagai tameng. Transisi dari apa yang tadinya background kemudian menjadi fokus, digarap dengan begitu mulus dan menyatu.

Namun sayangnya kita gak bisa memberikan pujian yang serupa untuk cerita film ini. I mean, it is so basic dan meninggalkan begitu banyak elemen, karakter, yang tidak dieksplorasi. Semua tokoh yang muncul di film ini, hanya ada di sana untuk memenuhi ‘takdir’ mereka sebagai petarung. Mereka, dengan gaya dan teknik keren masing-masing, ada untuk berantem sadis, dan mati. Kalopun enggak mati, mereka pergi keluar dari pandangan kita tanpa banyak penjelasan. Tokoh-tokoh di film ini, tentu mereka punya relasi. Kita bisa mengaitkan siapa temannya siapa, anggota geng mana, tapi mereka terlalu satu dimensi. Kita tidak pernah diminta untuk peduli kepada mereka dari cerita siapa mereka, apa motivasinya. Oke, kalo memang ngotot buat terus memuji, aku pikir aku sudah menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan kelemahan besar The Night Comes for Us sehingga kedengarannya seperti kelebihan.

Ini dia:

Film The Night Comes for Us akan bisa kita anggap sedikit lebih baik jika kita menontonnya dengan berpura-pura bahwa ini adalah adaptasi dari video game pertarungan. Tokoh-tokohnya; mereka kelihatan seperti tokoh game fighting, kita menyukai mereka karena jurus dan penampilan, tapi kita tidak merasa apa-apa saat mereka mati karena toh kita bisa memilih tokoh yang lain, yang akan segera muncul. Siklus film ini kayak siklus berantem di game fighting. Kita hanya nekan-nekan tombol, kita gak peduli sama cerita tokohnya – bahkan di game kita biasanya juga ngeskip cerita in-game and straight to killing. Begitulah film ini terasa buatku. Menurutku akan menarik sekali jika Timo Tjahjanto suatu saat mau dan dapat kesempatan menggarap adaptasi video game berantem kayak King of Fighters, Tekken, atau bahkan Bloody Roar dan Mortal Kombat mengingat kekhususan talentanya dalam menggarap aksi gorefest yang mengalihkan penggemar dari pentingnya bangunan cerita.

Aku gak akan bisa lupa pemandangan Julie Estelle ngeRKO Taslim ke wastafel! ahahaha

Elena kayak versi sakit dan worn-out dari superstar WWE Rhea Ripley

 

Tokoh utama cerita ini adalah Joe Taslim. Ito yang ia perankan adalah salah seorang dari anggota pembunuh andalan mafia Triad, yang disebut Six Seas. Bisa kita bilang, Ito cari makan dengan membunuh-bunuh keluarga orang. Dalam adegan awal, kita melihat Ito mengalami pergulatan moral dalam salah satu misi mulianya. Alih-alih menghabisi anak cewek penduduk kampung yang sedang ia bantai, Ito turn heel kepada Triad. Hal ini membuat Ito dan si gadis cilik diburu. Ito meminta bantuan kepada geng ‘pasukan’ lamanya; geng yang sudah ia tinggalkan padahal mereka dulu bercita-cita masuk Six Seas bareng. Konflik Ito dengan Arian yang diperankan oleh Iko Uwais sebenarnya cukup menarik. Tidak ada kedamaian dalam malam orang seperti Ito. Keberadaannya tercium, dan bermacam-macam pembunuh, bahkan tak terkiranya jumlahnya bermunculan. Cerita film ini saja udah kayak fantasi liar dari trope film-film mafia; ada pengkhianatan, rasa iri dan gak-seneng, orang yang jadi sadar karena keinosenan anak kecil. Penceritaannya sangat mengganjal sehingga terasa sekali perbedaan mencolok antara ketika bagian aksi dengan bagian eksposisi. Film akan jatuh menjadi begitu membosankan ketika film berusaha bertutur selalu tentang kejadian yang terjadi sebenarnya. Mereka tidak membahas siapa dan kenapa, dua poin paling penting yang bisa membuat cerita menjadi menarik. Semakin film bergulir, semua yang diucapkan para tokoh jadi hanya seperti throw-away saja, ada kelompok Lotus lah, ada tokoh kayak The Operator yang punya misi tapi dari siapa gak pernah dibahaslah.

Ada banyak cara untuk membuat orang mati, dan meskipun kau tidak bisa membunuh apa yang sudah mati, pada kenyataannya banyak hal yang lebih mengerikan daripada kematian. Ito paham akan hal ini bahkan sebelum dia mulai bergabung dengan Six Seas. Bahwa manusia bukan hancur ketika dia mati, tetapi justru ketika hidupnya sudah tidak lagi sesuai apa yang ia yakini.

 

 

Menurutku lucu sekali gimana film ngebuild up soal keanoniman Six Seas di teks pembuka film, dan kemudian kita melihat semua orang yang dikenal Ito tahu dia anggota Six Seas. Dari cerita dan actually beberapa aspek yang aku temukan saat nonton ini, aku toh memang merasa film ini sebenarnya bisa berkiprah lebih oke lagi. Film ini memang bekerja dalam fantasi dan logika sadisnya sendiri, tapi aku menemukan beberapa keputusan yang buatku, sebenarnya bisa mereka hindari. Seperti pada menit 17:59 ke 18:00, adegan mobil yang menepi dan kemudian dua tokoh turun. Sangat terang sekali bahwa adegan yang mestinya kesinambungan tersebut digabung dari dua waktu yang berbeda; tadinya malam, eh detik berikutnya kayak udah mau pagi. Dan lokasinya bahkan jelas-jelas sudah bukan di tempat yang sama. Kenapa mereka tidak benar-benar menggunakan shot yang kontinu beneran aja untuk adegan ini? Padahal tidak ada narasi yang disembunyikan.

Kemudian pada saat adegan-adegan berantem. Film ini sering membuat kondisi tak-menguntungkan buat tokoh-tokoh baik, mereka dikeroyok banyak orang, mereka harus selamat dari kondisi puluhan lawan satu. Tapi kita tidak exactly melihat keroyokan tersebut. Aku enggak tahu, mungkin karena keterbatasan kemampuan aktor – dan mereka gak mau pake stuntman supaya bagus, tapi adegan berantem dalam film ini masih terlihat seperti bergiliran. Tidak benar-benar real time. Musuh akan menunggu sampe temannya koit, baru maju ke depan. Ini hanya membuat either penjahat-penjahatnya tampak bego atau berantemnya jadi gak make sense, bahkan dalam standar aksi gore fantasi seperti ini. Suspensnya jadi off, dan usaha film untuk membuat kita tegang kembali? Yup, you guessed it; dengan erangan dan teriakan kata-kata kasar.

Banyak adegan yang mencoba meraih ketinggian emosional, tapi enggak bekerja dengan efektif. Sebagian besar karena kita tidak peduli ama karakternya. Dan bagian endingnya, hah! film mencoba ngecreate apa yang The Devil’s Rejects (2005) sudah lakukan dengan musik lagu Free Bird yang sulit dikalahkan ke-awesome-annya.

 

 

 

Untuk tontonan yang seram-seram menghibur, apalagi buat suasana halloween kayak sekarang, film ini adalah pilihan yang tepat. Dia punya trik-trik yang diolah dengan sangat passionate, dengan gaya dan taste yang khas, sehingga menghasilkan sebuah treat yang asik untuk dinikmati. Jika sutradaranya diganti menjadi yang taste enggak sekuat ini, dengan cerita dan materi yang sama, film ini akan jatuh tertumpuk di dasar kenistaan, lantaran ceritanya tidak dikembangkan maksimal. Kita akan cepat gusar kalo menonton ini dengan mengharapkan cerita yang lebih koheren dan adegan yang enggak terlalu dibuat-dibuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE NIGHT COMES FOR US.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, siapa saja anggota Six Seas dalam film ini? Apakah Morgan Oey salah satunya? Pertarungan siapa yang paling kalian sukai?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

ASIH Review

“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”

 

 

 

Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).

Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.

Asih mungkin kurang asi, atau salah asuhan.

 

Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.

Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.

Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.

 

 

Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.

aku harap bayinya gak masuk angin malem-malem dimandiin di luar.

 

Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.

Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?

Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng! 

 




Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.

 




That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu? 

Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



ARUNA & LIDAHNYA Review

“Just add water and stir.”

 

 

 

Aruna ngerasa semua makanan gak ada yang benar-benar spesial enak di poin hidupnya yang sekarang. Padahal Aruna ini cewek yang hobi banget makan. Waktu kecil aja kuda catur dimakan ama dia. Tapi sekarang dia kebingungan, dia sulit mencicip makanan. Bukan karena dia sariawan. Aruna merasa ada yang kurang, tetapi dia tidak tahu apa. Aruna pengen masak nasi goreng mboknya, but she can’t get it right. Atau paling tidak, ia merasa enaknya enggak sama

Aruna & Lidahnya adalah perjalanan Aruna mencari rasa. Tapi bukan dalam artian klise gimana seorang merasa bosan dengan hidupnya dan berangkat menemukan percikan. Aruna perfectly fine. Dia senang dengan hidup. Lingkungan persahabatannya erat, mereka sering ngumpul dan makan bareng sambil ngobrol haha hihi tentang apa saja. Kerjaannya juga lancar. Dia cakap dalam apa yang ia lakukan, baik itu sebagai ahli wabah maupun seorang pecinta masakan. Dan tentu saja dia mencintai pekerjaannya tersebut. Dalam film ini kita akan melihat Aruna dikirim kantornya untuk menginvestigasi penyebaran wabah flu burung hingga ke Borneo sana. Aruna mengajak sahabat-sahabatnya, Bono si chef dengan segudang insight mengenai masakan (bayangkan filosofi kopi, namun makanan alih-alih secangkir kopi) dan Nadheza yang nulis buku kritik masakan, sehingga mereka bisa sekalian wisata kuliner. Dalam tugas rangkap liburannya tersebut, Aruna disupervisi langsung oleh Farish, cowok yang ia taksir but she never really do anything about him before. Hidup Aruna meriah dan penuh bumbu. Hanya saja ia masih merasa hambar. Dalam tingkatan ini, film bersuara seperti nyanyian Alessia Cara di lagu Growing Pains. Aruna tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasa. Masalah psikologis inilah yang berusaha untuk diselesaikan oleh Aruna.

jadi ini bukan cerita tentang Aruna dan lidahnya yang sariawan

 

 

Aruna sendiri sudah seperti masakan. Terlihat simpel, namun sebenarnya kompleks. Film ini berhasil menggali kedalaman dari tokoh ini, menggunakan banyak hal sebagai device. Sedari ceritanya saja, film sudah punya banyak lapisan. Aruna harus bernagivasi di antara masalahnya dengan para sahabat, dengan cowok yang ia taksir – di mana dia ngarep untuk punya hubungan yang normal, semua itu sembari dia berusaha memecahkan ‘misteri’ di balik laporan penyelidikan flu burung yang ia dapati tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Aruna berkoneksi dengan banyak orang. Melihatnya berinteraksi, apakah itu ngobrol sambil makan ataupun bicara tentang makan sambil kerja, adalah apa yang membuat film ini terasa asik. Sifatnya ini (dan potongan rambut) membuatku teringat sama Otome di The Night is Short, Walk on Girl (2018), bedanya Otome bertualang dengan mencoba minuman.

Dian Sastrowardoyo merupakan cast yang tepat buat Aruna; dari caranya bertutur yang sedikit jutek tapi lucu, gimana cara dia kerap mempertanyakan sesuatu dengan nada yang ironis. Perannya di sini juga turut memberikan rasa baru bagi pengalaman akting Dian, karena Aruna bakal sering breaking the fourth wall, menjelaskan langsung kepada kita penonton mengenai yang ia pikirkan. Aruna mungkin tidak sepenuhnya ‘jujur’ kepada sahabatnya, dan ketika dia begitu kita akan menjadi orang yang pertama kali ia kasih tau apa yang sebenarnya ia rasakan lewat ekspresi yang ia perlihatkan langsung kepada kita. Yang paling aku suka adalah adegan-adegan mimpi Aruna yang dibuat bernuansa surealis. Quirky dan creepy di saat yang bersamaan!

Meski kadang audionya terdengar aneh, keakraban tokoh-tokoh yang tertangkap oleh kamera terlihat betul-betul meyakinkan. Mereka beneran terlihat seperti sahabat sejak lama. Kalian tahu gimana kalian dan teman segeng kalo udah ngumpul, nyerocos bareng di tempat makan, ngobrolin apa aja sampe mulut pada item? Nah seperti itu jualah geng Aruna ini terasa. Dialog-dialog mereka membahas tentang hidup terdengar akrab. Film berusaha memasukkan lumayan banyak isu yang berkaitan dengan tema cinta, dan bahkan pandangan mengenai sakit dan fungsinya dari berbagai sudut. Yang mana bisa saja terdengar menjadi pretentious jika disampaikan secara sembarangan dan tanpa perhitungan akting yang matang. This is not the case in this film. Ambil pasangan manapun dari film ini, entah itu Aruna dan Bono, Aruna dan Nad, atau bahkan Bono dan Farish, semua pemain mampu menyampaikan bantering yang emosinya nyampe. Fakta bahwa Nicholas Saputra dan Dian Sastro di sini berperan bukan sebagai pasangan kekasih saja sudah cukup untuk bikin film terasa seger.

Dalam hidup, mungkin semua bumbu sudah kita dapatkan. Kita melakukan apa yang kita suka. Kita bersama orang-orang yang kita cinta. Tetapi jika bumbu-bumbu tersebut tidak diaduk, tetap aja akan hambar jadinya. Inilah yang ingin disampaikan oleh bawah sadar Aruna lewat mimpi-mimpi aneh tersebut. Ini jualah yang dipelajari Aruna dari sahabatnya yang suka selingkuh. That she doesn’t confront her life enough. Bahwa Aruna butuh untuk mengaduk bumbu-bumbu pada hidupnya, baru kemudian bisa mencicip rasa.

 

Masing-masing kita bisa menikmati film ini dalam takaran yang berbeda-beda. Segitu kompleksnya cerita yang disajikan oleh Edwin ini. Kita bisa kenyang oleh berbagai kuliner lokal yang ditampilkan, mulai dari sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, hingga mie kenyal yang ada kepitingnya itu. Sejujurnya, di awal aku sempat annoyed juga, karena pada menit-menit awal setiap adegan film ini selalu menampilkan orang yang lagi makan. Aku pikir itu bakal dijadikan semacam gimmick; bahwa film bersikeras menemukan cara ‘pintar’ ngelihatin orang makan alih-alih bercerita. Tapi kemudian, ceritanya baru masuk, dan lambat laun film menjadi enak untuk dinikmati. Ya, walaupun beberapa makanan seperti masuk kecepetan dan gak benar-benar integral sama cerita sih, tapi kupikir itu masalah editingnya. Yang mau menikmati isu sosial dan kesehatannya, juga silahkan. Aruna & Lidahnya cukup kritis membahas permasalahan ini, meski narasi bagian ini terasa sangat lambat majunya. Setelah lewat mid-point, mereka masih membahas soal menyebarkan ketakutan; pembahasan mengenai hal tersebut gak benar-benar maju. Paling sedap, sih, memang ketika cerita diaduk oleh hubungan keempat tokoh sentral. Permasalahan humanis ‘orang kantoran’ romantis yang begitu relatable dan ditangani secara dewasa membuat film yang tadinya stale di awal, menjadi enak untuk diikuti.

yang mindblown adalah sedari awal Aruna sebenarnya sudah bener dalam memasak nasi goreng, she just can’t taste it yet

 

 

Sebaliknya, diaduk tanpa ada bumbu juga bakal menghasilkan sesuatu yang sama hambarnya. Seperti bagian pembuka film ini, aku gak yakin mereka mengambil keputusan yang benar dengan mengawali film dari potongan adegan di masa depan, hanya supaya film terlihat seru. Akan lebih baik jika film bercerita dengan linear saja. Dimulai dari awal Aruna masak sop buntut, terus ke akhir. Dan by the way, antara kalimat Aruna pas makan sop buntut itu dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar menunjukkan progresi sudut pandang karakternya. Entah kenapa, film malah memulai dari potongan adegan di mobil, kemudian cut back seolah alurnya mundur dan kita akan kembali melihat potongan adegan di awal tadi di tengah-tengah cerita as the story progress. Jadinya openingnya terasa gak ngefek aja, karena kita belum tahu siapa ‘bumbu-bumbu’ tersebut.

Pada Posesif (2017) aku merasa keputusan mengakhiri film dengan freeze frame adalah keputusan yang cheesy. Edwin kembali melakukan hal yang serupa pada Aruna dan Lidahnya. Kali ini, tidak jatuh over-the-top. Mungkin mengakhiri film dengan freeze frame dijadikan semacam signature oleh Edwin, aku gak yakin karena baru dua ini filmnya yang aku tonton, tapi aku bisa respek keputusan itu sekarang. Malahan tidak lagi jadi soal, asalkan Edwin ke depannya terus menggali sisi psikologis dari drama-drama keseharian yang dekat seperti ini.

 

 

 

 

 

Film ini sendirinya pun terasa seperti sepiring masakan yang penuh bumbu (penampilan, sinematografi, bahkan musik), tapi perlu diaduk lebih sering lagi. Atau mungkin diaduk dengan timing yang lebih diperhatikan lagi. Ada bagian-bagian ketika ceritanya terasa stale. Dan baru benar-benar nikmat setelah konflik-konflik para tokoh saling berhimpitan satu sama lain. Butuh waktu untuk kita beneran mulai peduli sama tokoh-tokohnya. Dan ya, film ini terasa lebih panjang dari durasi sebenarnya. Tapi ya bener juga sih, kalo dinikmati bersama-sama, tentulah film ini akan terasa sangat lezat. Menurutku memang cara terbaik menikmati film ini adalah dengan bareng-bareng bersama sahabat, atau mungkin sama pacar. You certainly will have a good time watching this. Sajian merakyat yang berselera tinggi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARUNA & LIDAHNYA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ditanyain Chef Bono tuh, “apa opini lo soal makanan?”

Kalo aku sih, memang aku rada setuju sama Aruna di awal. Buatku makan itu sama kayak nonton, my only concern ya ke makanan atau filmnya aja, tidak peduli siapa temennya. Tapi sejujurnya, aku gak suka makan di tempat yang ramai. Waktu sekolah dulu aja, kalian akan jarang sekali menemukan aku di kantin. Aku jengkel mendengar suara denting alat makan dan suara obrolan. Aku lebih suka makan sambil nonton atau baca buku. Dan ini jadi konflik ketika aku harus membuka kafe eskrim, di mana aku harus merasakan suasana ruang makan yang ‘berisik’ itu nyaris 24 jam sehari. Itu ceritaku tentang makan, sekali lagi, bagaimana cerita dan pendapat kalian?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA Review

“Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

 

 

 

Menyerang secara frontal markas VOC di Sunda Kelapa, Sultan Agung ingin menanamkan pesan membekas ke para penjajah; bahwa rakyat Jawa adalah pemberani yang tidak akan pernah menjadi bawahan mereka. “Menang atau Mati!” raungan perangnya bergema di dalam sukma para pasukan. Tentu, ‘strategi tembak langsung’ yang dikerahkan Sultan Agung ini bisa diperdebatkan keefektifannya. Apakah perang tersebut bisa mereka menangkan? Apakah dengan mengorbankan rakyat itu yang namanya menunjukkan keberanian? Keraguan terbersit di hati panglima dan pasukan Sultan Agung. Barisan Kerajaan Mataram yang semenjak sebelum diperintah Sultan Agung enggak pernah benar-benar difavoritin rakyat, retak dari dalam. Ada yang meninggalkan medan perang, ada yang malah berkhianat – membelot kepada Belanda. Tapi Sultan Agung tetap bergeming. “Menang atau Mati!” Keraguan yang sama lantas tersampaikan kepada kita. Apa memang iya yang mereka lakukan itu satu-satunya jalan?

Sepertinya, jawaban atas pertanyaan itulah yang menyebabkan sutradara Hanung Bramantyo membawa kita mundur begitu jauh, ke masa tiga setengah abad sebelum Indonesia lahir. Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta bertindak sebagai cermin (yang sangat mewah, mengingat kualitas set dan produksi film ini) di mana saat kita memandang apa yang direfleksikannya, kita bisa ngaca ke masa lalu. Dikemas dalam bentuk fantasi-sejarah, kejadian-kejadian dalam film ini sebenarnya lebih dekat dari yang kita bayangkan. Kerajaan Mataram yang struggle di tengah-tengah politik perdagangan dan adu domba bangsa asing Penduduk yang terombang-ambing dan mudah terpecah belah oleh keraguan dan ketakutan. Pemimpin yang musti bertanggung jawab beresin urusan yang masih tersisa dari kepemimpinan sebelumnya. They all are really close to home. Kita mengobservasi apa yang terjadi di film ini, dan eventually kita akan tersadar seperti Sultan Agung yang akhirnya menyadari kesalahan dan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Rasakan saja sendiri merindingnya ketika Sultan Agung menyuruh pasukan pulang dan berpesan “ajarkan keluargamu untuk mencintai negeri ini”, sebab kalimat tersebut terasa dibisikkan langsung ke hati kita yang mungkin sudah jenuh sama kebencian dan prasangka dan ketakutan.

Tanah, Perpecahan, Kita

 

Dengan ceritanya yang ternyata begitu relevan, sayang aja sih, enggak banyak penonton yang memilih untuk menyaksikan film ini. Meski aku gak heran. Durasi yang nyaingin film India memang tergolong angker bagi kebanyakan penonton. Siapa yang mau nonton film sejarah yang berat dengan durasi sepanjang itu, melek ampe habis aja rasanya udah prestasi banget. Tapinya, film Sultan Agung ini toh tidak semembosankan itu.  Malahan, aku sendiri juga kaget  sudah dua jam ternyata, sebelum memang pada babak ketiga film ini mulai terasa melambat. Sebagian besar waktu film ini akan terus meng-engage penonton. Kita akan tetap dibuat tertarik dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Sultan Agung atas nama keberanian. Kita paham kondisi yang menyelimutinya. Dia sendiri diminta tidak ikut berperang, karena meninggalkan tahta berarti memberikan kesempatan pemberontak untuk mengambil alih.

Kita akan melihat tokoh-tokoh lain terpengaruh hidupnya oleh sabda sang Raja. Film ini punya banyak tokoh, kita melihat pandangan mereka terdevelop, gimana dampak perang tersebut kepada mereka. Film ini melakukan kerja yang baik membuat para tokoh itu tampil hidup, walaupun beberapa orang sukar untuk diingat namanya; siapa yang mana. Penampilan mereka secara seragam sangat meyakinkan. Sultan Agung jadi tampak sedikit nyeremin di tangan Ario Bayu, yang kontras sekali dengan ketika dia masih dipanggil Mas Rangsang saat masih muda – dan by the way, salut buat departemen casting dalam nyonyokin Sultan muda dengan Sultan dewasa. Ada satu karakter wanita, sahabat dan person of interest Mas Rangsang, yang ditampilkan sebagai pahlawan yang kuat, mandiri, motivasinya ikut perang adalah mencari abangnya di Batavia. Aku suka tokoh ini. Dia semacam voice of reasons yang menjaga si Sultan Agung tetap menapak karena pendapat cewek ini sangat berarti bagi Sultan Agung. Dan dia sendiri, sebagai pejuang wanita satu-satunya di sana, enggak lantas digambarkan sebagai ‘pendobrak’ karena dia masih menaruh hormat sama peraturan.

Tidak ada seorang pun yang masih waras yang lebih memilih perang. Namun terkadang, kita harus berperang – bukan untuk menang, melainkan untuk mencapai kedamaian. Pertanyaannya adalah; perang yang bagaimana? Di jaman sekarang, semakin banyak orang yang lebih tertarik untuk terlihat sebagai pahlawan, yang mengobarkan api peperangan yang tidak perlu. Padahal semestinya kita, sebagaimana Sultan Agung, mencari dan mengambil langkah yang benar

 

 

Jikalau memang ada emosi yang gagal untuk disampaikan, maka itu lebih kepada masalah urutan penceritaan ketimbang ceritanya sendiri. Karena kita bisa lihat ini adalah cerita yang sangat berani; ia memposisikan seorang pahlawan besar, seorang pemimpin, ke dalam sorot cahaya yang enggak exactly mengundang simpati. Sultan Agung tidak pernah ikutan berperang, dia hanya meneriakkan perintah – dan terkadang ancaman buat pasukannya yang pengen mundur, tapi justru pada karakternya begitulah letak pembelajarannya. Cerita actually akan memisah masa muda sebelum dia diangkat dengan saat dia sudah menjabat sebagai Sultan. Dan pemisahan inilah yang membuat semuanya terasa terputus. Mas Rangsang di babak pertama adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Sultan Agung, tapi bukan tanpa-alasan. Tadinya dia adalah pemuda berkasta Ksatria yang ingin menjadi Brahmana, ia tinggal dan belajar di padepokan, jauh dari lingkungan keraton. Kita lihat dia latihan silat – di mana dia sudah ditunjukkan sebagai orang enggak seneng kalo tidak terlihat tangguh dan berani. Dia belajar ilmu-ilmu tertulis. Aku suka gimana film menunjukkan dia yang masih muda akan sering sekali mengintip ataupun mencuri dengar sebuah peristiwa, dan setelah gede, giliran harus dia yang berada di sana – di tengah, mengambil keputusan, dan beresiko dimata-matai.

Terputusnya cerita datang dari Sultan Agung yang dibuat melupakan siapa dirinya yang dulu. Akan ada banyak flashback sebagai bagian dari proses penyadaran diri, di mana ia kembali teringat ajaran-ajaran gurunya. Dan ini seperti membuat babak awalnya itu sia-sia. Aku biasanya paling menentang penggunaan flashback berlebih, tapi menurutku film ini adalah film yang mestinya bisa mengambil keuntungan dengan tidak menceritakan filmnya secara linear – dari muda ke dewasa. Sepertinya akan lebih baik jika film dimulai langsung dari Sultan Agung yang memerintah dengan reckless karena gak mau terlihat lemah di mata Belanda. Kemudian perlahan kita dibawa ke masa lalu, bersama dengan dirinya yang kembali mengingat, untuk mengenal kembali Mas Rangsang – Sifat dan keputusan Sultan dan Mas dikontraskan lewat alur yang bolak-balik; Dengan cara begitu, semestinya tidak ada emosi yang terlewat – akan lebih terasa beban yang ditanggung olehnya alih-alih dia terasa simpatik di awal dan tiba-tiba menjadi galak dan frustatingly susah diajak kompromi di babak berikutnya.

“senjata api itu tidak akan kalian butuhkan lagi.., aku pinjam ya untuk film yang nunggang kerbau”

 

Separuh babak kedua actually adalah adegan perang, kita akan melihat penyerbuan, orang-orang berantem, tembak-tembakan, darah dan sebagainya, yang digarap dengan tidak membingungkan. Film tahu kapan harus menutupi koreografi, dia tahu bagian mana yang terlihat lebih lemah dari yang lain, dan kamera dan editing terlihat dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Namun, ada satu elemen yang mengganggu buatku; jurus atau ilmu yang lebih terlihat sebagai bagian dari dunia Wiro Sableng ketimbang dunia di buku sejarah.

Sebagai sejarah fantasi, film ini kita akan melihat jurus orang bergerak secepat kilat, jurus totokan yang bikin lawan gak bisa bergerak (Petrificus Totalus!), yang sebenarnya adalah sebagai device supaya adegan penting Sultan bertemu dengan pemimpin VOC bisa masuk ke dalam logika cerita. Dalam cerita, sukmo Sultan Agung literally bertandang ke kamar tidur si Meneer. Namun dalam tingkatan yang lebih dalam, ini sebenarnya cara pinter film untuk mempertemukan kedua bos tersebut; scene ini juga bekerja sebagai masing-masing tokoh bicara ke dalam hati sendiri, mereka akhirnya mengenali siapa lawan dan diri mereka sendiri. Adegan yang ciamik, yang sebenarnya tidak membutuhkan elemen fantasi. Bisa saja dibuat surealis seperti adegan Kartini membaca buku atau surat di film Kartini (2017)Film ini sebenarnya tidak butuh ngebuild up penggunaan jurus untuk memasukakalkan adegan tersebut.   Malah membuat seluruh film terasa aneh, karena kalo memang jurus-jurus tenaga dalam atau semacam itu exist di dunia mereka, kenapa enggak dipakai dalam melawan Belanda? Kenapa gak semua santri padepokan aja yang menggunakan jurus pukulan bayangan kayak si guru? Film sedikit tidak konsisten di elemen fantasi ini.

 

 

 

 

Walaupun bukan yang terbaik, tapi yang jelas film ini adalah salah satu tontonan TERPENTING yang pernah singgah di layar bioskop. Bicara mengenai hal yang relevan, punya pandangan mengenainya, dan benar-benar digarap dengan effort yang maksimal. Penampilan, set, kamera, semua teknisnya practically top-notch. Adegan perangnya cukup asik untuk diikuti. Aku gak tau seberapa gede budgetnya, tapi kita bisa lihat duit-duit itu digunakan dengan efektif. Film ini tahu diri dan dia menganggap kita semua pun sudah paham bahwasanya film sejarah dapat bekerja dalam logikanya sendiri – because it is a movie. Hanya saja ada elemen fantasi yang digunakan tidak benar-benar konsisten ataupun betul-betul diperlukan. Ceritanya sendiri seharusnya bisa diatur lebih baik lagi. Film ini punya nyali, mengingat ini karyanya Hanung, aku percaya film ini semestinya bisa dipush menembus batas convenient yang lebih jauh lagi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for SULTAN AGUNG: TAHTA, PERJUANGAN, CINTA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017