ONE CUT OF THE DEAD Review

“The critic has to educate the public; The artist has to educate the critic.”

 

 

 

Tidak terima filmnya ‘dinilai’ dengan semena-mena, Lukman Sardi pernah sempat ‘ribut’ dengan netijen yang mengaku sudah menonton. “Woiiii pada2.. bikin film itu nggak segampang lo pada pikir… lo tau nggak proses shooting kayak apa? Lo tau nggak proses setelah shooting juga kayak apa?” begitu bunyi pertahanan yang ia amukkan di instastory, Agustus 2018 yang lalu. Film One Cut of the Dead benar-benar seperti gambaran dramatis, dan lucunya jadi sangat menghibur, dari pernyataan – jerit hati – seorang pembuat atau praktisi film seperti Lukman Sardi.

Ketika sudah terbiasa melihat film secara kritis, menonton tiga-puluh-tujuh menit pertama garapan sutradara Shinichiro Ueda ini bakal bikin kita geram. Begitu banyak ketidakkompetenan. Terlihat terlalu ‘murahan’. Perspektif kameranya juga membingungkan, mereka seperti meniatkan kita melihat dari kamera kru, tapi sebagian besar adegannya kamera lebih terasa seperti ‘mata Tuhan’ (zombie sama sekali tidak mengejar kameramen), dan semakin bingung saat sutradara bicara langsung ke kamera. Satu-satunya hook yang membuat kita tetap duduk di sana adalah teknik shot panjang, tak terputus, yang mereka gunakan. Menakjubkan dan mengundang penasaran, apa yang mereka lakukan dalam merekam film. Sementara itu, cerita yang kita lihat tampak seperti tentang seorang aktris yang mengalami kesulitan mendalami karakter dalam proses syuting film zombie. Kemudian, selagi mereka break syuting, duduk-duduk ngobrol membahas keangkeran lokasi, salah satu kru menjadi zombie beneran. Suasana menjadi kacau, mereka kocar-kacir pengen nyelametin diri. Namun sang sutradara tak peduli, dia tetap menyuruh pemain dan kru untuk terus merekam. Sampai di sini kita tidak tahu motif tokoh utamanya, apa paralelnya dengan cerita.

Tapi tentu saja ada desain dari kegilaan semacam ini. One Cut of the Dead adalah jenis film yang akan semakin berkali lipat bagusnya jika ditonton dengan memahami terlebih dahulu, mengetahui terlebih dahulu, konsep yang film ini gunakan. Karena film ini memakai struktur bercerita yang sama sekali berbeda. Meminta kita untuk bertahan, mungkin menggigit bibir sampe berdarah untuk enggak keceplosan menghina, dan semua itu akan terbayar tuntas ketika kita sampai di bagian akhir. Apa yang terjadi di bagian akhir akan membuat kita memandang keseluruhan film dalam cahaya yang berbeda. Tokoh utama yang di film awal tadi bukan tokoh utama cerita film ini sebenarnya. Technically, ini bahkan bukan cerita tentang invasi zombie! Bagian zombie-zombie yang kita saksikan dengan menyipitkan mata merendahkan di awal itu actually adalah presentasi film yang dibuat oleh tokoh film ini. Dan jika ingin bicara secara teori skenario, film ini sendiri barulah dimulai setelah kredit film di awal tadi bergulir. Dalam sense waktu, kita bisa menyebut film ini sebenarnya baru dimulai pada menit ke-empat puluh, atau sekitar babak kedua pada film-film normal yang kita tonton.

mendeskripsikan film ini; seperti menonton The Room nya Tommy Wiseau dan The Disaster Artist (2017) dalam sekali duduk sebagai satu film yang utuh

 

 

One Cut of the Dead menjadi pintar dan berfungsi efektif berkat pilihan struktur bercerita yang mereka gunakan. Mereka sebenarnya bisa saja memulai cerita dengan adegan yang menjelaskan pemutaran film di dalam film, menuturkan siapa tokoh utama yang jadi fokus cerita, tapi jadinya enggak bakalan seseru yang kita lihat. Karena, seperti yang bakal kita pelajari di pertengahan film, acara yang mereka syut actually adalah acara langsung. Aspek live-show inilah yang dijadikan stake/taruhan; sesuatu yang membuat proses syuting mereka harus berhasil no-matter-what. Lalu unbroken shot yang dilakukan itu bertindak sebagai tantangan yang harus dihadapi. Aku percaya deh, take panjang tanpa cut itu beneran susah untuk dilakukan; untuk film pendek keduaku yang cuma lima menitan, aku tadinya pengen shot yang tanpa cut, dan itu aja udah melelahkan sekali untuk pemain dan kru lantaran setiap ada yang salah mereka harus mengulang sedari awal. Setnya harus dibenerin ulang. Make up kudu dipasang lagi. Apa yang dicapai oleh film ini, mereka ngerekam adegan enggak pake cut selama tiga puluh menit – aku bisa bilang, sebuah kerja sama dan perjuangan yang keras.

Membuat penonton mengetahui stake dan tantangan belakangan memperkuat esensi drama dan komedi yang ingin dihadirkan. Lantaran kita sudah terbiasa ngejudge dulu baru mau mencoba untuk mengerti. Ketinggian emosional inilah yang sepertinya ingin dicapai oleh film sehingga kita diperlihatkan dulu ‘kegagalan’ mereka. Dan setelah itu, dengan kita mengerti rintangan dan apa yang sebenarnya terjadi, ‘kegagalan’ tadi berubah menjadi ‘keberhasilan yang menggetarkan hati’ di mata kita.

Namun apakah semua film harus dilihat seperti begini? Apakah kita akan memaafkan semua film jika semua film dikerjakan susah payah seperti film pada film ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Lukman Sardi, penonton harus mengerti dulu seluk beluk pembuatan sebuah film sebelum berkomentar?

 

Menonton film ini, bagiku, benar-benar membantu mengingatkan kembali bahwa apa sebenarnya yang disebut dengan film; Sebagai sebuah kerja tim. One Cut of the Dead bisa saja dibuat sebagai surat cinta kepada para pembuat film, untuk menyampaikan pesan yang memberikan semangat di tengah-tengah perjuangan keras mewujudkan suatu karya yang bakal ditonton oleh banyak orang. Mengutip perkataan dari seorang mendiang pegulat dan promotor, Dusty Rhodes, bahwa jika 70% saja show yang kita kerjakan berjalan sama dengan yang tertuai di atas kertas (naskah), maka itu udah termasuk sukses berat. Karena memang pada kenyataannya, apa yang kita lakukan tidak akan berjalan mulus sesuai rencana. Terlebih dalam sebuah proyek yang melibatkan banyak orang seperti film ataupun acara pertunjukan dalam bisnis hiburan. Kadang pembuat film perlu melalukan penyesuaian besar-besaran. Penulisan ulang. Setiap kru harus sigap dan mampu beradaptasi dengan perubahan dadakan tersebut. Dalam film ini kita akan melihat ketika macet, kondisi kesehatan, dan attitude dari aktor dijadikan faktor luar yang mengguncang ‘zona nyaman’ yakni jadwal dan visi dari sutradara.

Menurutku, film ini penting untuk ditonton banyak orang, terutama oleh para pengulas dan kritikus film. Supaya kita bisa mengetahui apa yang terjadi di balik layar. Tentu, sebagai penonton kita toh tidak perlu tahu susah-senang para kru film, karena bukan kerjaan penonton untuk mengetahui hal tersebut. Kita enggak bayar tiket mahal-mahal untuk melihat itu. Kita tidak perlu tahu dulu cara membuat film untuk dibolehin mengkritik film. Tapi kita, paling tidak, perlu untuk mengetahui apa yang sedang kita bicarakan, kita perlu mengintip sedikit jerih payah yang mereka lakukan. Bukan untuk membela dan mengasihani, melainkan supaya kita bisa menghimpun sesuatu yang lebih adil dalam mengkritik.

Lebih sering daripada enggak, sebenarnya kita hanya senang mengolok-olok film. Kadang kita bersembunyi di balik istilah ‘kritik-yang-membangun’ padahal yang sebenarnya kita lakukan hanyalah nge-bully sebuah film. Tidak ada yang namanya “kritik yang membangun.” Sebab, kritik dari asal katanya sendiri berarti suatu tindakan yang mengulas. Melibatkan memilah dan memilih. Jika film adalah komunikasi antara pembuat dengan penonton, maka kritik seharusnya adalah sesuatu yang menjembatani – yang memperkuat arus komunikasi di antara kedua pihak tersebut. Kritik haruslah netral, dalam artian ketika kita menulis keburukan maka kita kudu menyeimbangkannya dengan kebaikan, pesan, atau hal-hal yang sekiranya membuat orang masih tertarik untuk menontonnya.

Ngata-ngatain sebuah film “jelek”; itu baru sekadar ngebully bareng-bareng.

Mengatakan sebuah film “jelek”, seharusnya “begini”; itu saran yang membangun, tapi belum cukup untuk dikatakan kritik.

Menyebut kekurangan film, kemudian berusaha menggali alasan – dengan melihat konteks – kenapa film melakukan hal tersebut alih-alih melakukan hal yang “benar”; itulah yang harusnya terkandung di dalam tulisan-tulisan yang melabeli diri sebagai sebuah kritik film.

 

tapinya lagi, benar relevan gak sih keadaan yang dicerminkan film ini dengan pembuatan film di Indonesia, mengingat orang Jepang itu kan disiplin semua?

 

 

Tiga babak pada film ini bukanlah pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Melainkan hasil, barulah kembali ke pengenalan dan konflik. Cara bertutur yang memang memancing drama, tapi tidak serta merta meminta dikasihani. Karena disuarakan dengan nada komedi yang tinggi. Film juga menyinggung soal kemungkinan paradoks yang terjadi kepada para pembuat film yang ingin menunjukkan kemampuan sekaligus juga dituntut berdedikasi dalam sebuah proyek yang mungkin enggak sesuai dengan mereka sendiri, tetapi tetap harus diambil karena semuanya dianggap sebagai tantangan. Menakjubkan apa yang dicapai oleh film yang sebenarnya simpel dan mengambil resiko besar ini. Actually, buatku ini adalah salah satu film yang paling susah untuk ditentuin rating angkanya, karena dia bagus dari pencapaian. Tapinya juga adalah film yang ‘jelek’; bukan dalam sense kita harus membencinya, melainkan bagaimana dia dibangun. Film ini baru akan bagus sekali, ratingnya bisa nyaris lipat ganda, jika ditonton untuk kedua kali, saat kita sudah tahu konsep yang mereka gunakan sehingga tidak lagi melihatnya sebagai film sebagaimana mestinya. Dan di situlah kekuatan film ini; tidak akan membosankan jika ditonton dua kali. Namun, sebagai first-viewing tanpa mengetahui apa-apa tentangnya;
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for ONE CUT OF THE DEAD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, seperti apa sih kritik film yang bagus? Seberapa besar kritik film berpengaruh buat kalian? Apakah kalian merasa perlu untuk mengetahui latar belakang film sebelum menonton filmnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR Review

“Admitting we’re wrong is courage, not weakness”

 

 

 

Suzzahnya untuk enggak berprasangka buruk duluan terhadap film yang berusaha menghidupkan kembali legenda. Selalu ada dugaan, jangan-jangan ini proyek cari duit semata. Palingan cuma ngikut-ngikut Pengabdi Setan. Terlebih proyek ini sendiri sejak awal sudah dikonfirm bukan sebagai cerita remake, maupun reboot, melainkan cerita baru dengan tokoh Suzzanna – basically mereka membuat film berdasarkan mitos-mitos yang membuat seorang Suzzanna populer. Jadi, ya, aku bernapas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke bioskop menyaksikan film ini.

Dan saat kredit penutup bergulir, aku menghembuskan napasku dengan lega!

 

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur bukan proyek berkedok ‘reborn’ yang dibuat ala kadarnya alias asal-asalan. Film ini benar-benar punya cerita untuk disampaikan, mereka menggali sudut pandang dengan lebih dalam. Film ini nyatanya juga menghibur, tetapi enggak terpuruk ke level receh, dan enggak sekadar menunggang ombak kepopuleran horor dan Suzanna itu sendiri. Kita bisa merasakan passion terhadap genre ini. Rasa hormat terhadap sang Ratu Horor pun menguar dengan kuat. Di kemudian hari, aku yakin this will be a ‘go to’ movie kalo kita lagi pengen maraton horor atau ngadain nobar. Film ini enggak takut untuk menggunakan formula standar, dengan cerita yang tradisional, karena mereka paham sudut mana yang belum tergali, dan film fokus dalam area ini. Sehingga terasa seperti sesuatu yang pernah kita lihat sebelumnya, namun sekaligus seger. Seperti Suzzanna sendiri; kita tahu siapa dirinya, tapi juga merasa masih banyak misteri padanya yang membuat kita penasaran.

Dalam film, jika ada tokoh yang mengucapkan janji, maka niscaya naskah akan sekuat tenaga membuat janji tersebut terlanggar. Satria (rambut Herjunot Ali membuatnya mirip Eddie Guerrero masih muda) berjanji kepada Suzzanna, istrinya, tidak akan membiarkan apapun mengganggu keluarga kecil mereka. Tidak berapa lama setelah itu, kerjaan mengirimnya ke Jepang – berpisah sementara dengan istri yang sedang mengandung. Meninggalkan Suzzanna (penampilan horor terbaik Luna Maya!) yang begitu cinta dan setia di rumah besar mereka ‘hanya’ bersama tiga orang pembantu. Benar-benar mangsa empuk buat empat karyawan Satria yang berniat menyatroni rumah. Merampok mereka. Malam minggu hujan deras itu, para rampok menjalankan aksi. Untuk beberapa saat, cerita mengambil bentuk thriller home-invasion, Suzzanna yang saat itu lagi sendirian harus berurusan dengan sekelompok orang yang menodai kedamaian malamnya. Dia melawan sekuat tenaga, bahkan membuat empat pria tersebut kalang kabut. Rencana matang itu berantakan. Dari yang tadinya tak berniat mencelakai sama sekali, perlawanan Suzzanna membuat para rampok terpaksa membunuhnya dengan tidak sengaja. Kebayang gak tuh, mentoknya gimana? terpaksa dengan tidak sengaja haha.. Cerita berkembang menjadi menarik ketika Suzzanna yang dikubur hidup-hidup bersama jabang bayinya dalam tanah basah yang dingin, terbangun di ranjangnya yang putih nan hangat. Bukan sebagai manusia, melainkan sebagai hantu Sundel Bolong yang sangat kuat. Dia ada di sana untuk balas dendam, namun terikat oleh cinta kepada sang suami. Dia bisa saja segera membunuh keempat perampok yang bikin rusuh keluarga mereka, akan tetapi itu akan membuatnya benar-benar terpisah dari suami yang sangat ia cintai.

Itu seperti ketika Nobita dalam kartun Doraemon pengen makan dorayaki tetapi ia enggak sudi makanannya habis. Konflik utama film ini datang dari Suzzanna yang mencoba figure out apa yang sebaiknya dia lakukan.  Lucu, kalo dalam konteks cerita anak-anak. Tidak demikian halnya ketika kita melihat dari sisi Suzzanna. Sedih melihat Suzzanna yang ingin menuntut balas, hanya saja dia tidak bisa langsung melakukannya. Sejatinya ini adalah kisah balas dendam. A GHOST’S REVENGE STORY. Film dengan pintar membalutnya ke dalam mitologi klenik lokal. Cerita menetapkan aturan-aturan soal gimana Sundel Bolong ‘bekerja’, bagaimana cara mengalahkannya, dan bekerja dengan konsisten di dalam kotak aturan tersebut. Strukturnya juga sangat jelas; dari set up kematian, babak kedua yang basically Suzzanna ‘bereksperimen’ dengan kekuatan hantunya, hingga penutup saat ‘kedoknya’ sebagai hantu yang menyamar menjadi manusia terungkap.

Jika tujuan hidupmu adalah balas dendam, apakah kau akan tetap melakukannya bahkan ketika itu berarti kau akan kehilangan orang yang kau sayangi? Film ini bicara tentang pengorbanan sebenar besar yang rela kita lakukan ketika begitu kuat rasa cinta tersebut mengakar.

 

Film ini tampak dibuat dengan usaha yang maksimal. Bernapas dalam Kubur adalah salah satu horor paling good-looking yang bisa kita saksikan tahun ini. Efek dan prostetiknya sangat meyakinkan. Untuk riasan Suzzanna sendiri, wah gak sia-sia sih mereka datangin tata rias dari Rusia. Penampilan wajah yang udah kayak diphotoshop ditunjang oleh permainan akting Luna yang diarahkan supaya mirip banget sama gestur dan cara ngomong Suzzanna. Dunia tahun 80an akhir itu pun semakin terlihat sempurna dengan detil-detil artistik yang begitu diperhatikan. Bahkan dialog dan pengucapannya pun terdengar vintage sekali. Film ini boleh dibilang lebih mirip sebuah tindak restorasi jika saja dia tidak memberikan cerita baru. Personally, aku suka opening credit yang menampilkan shot-shot dari angkasa, memberikan nuansa seperti pembuka dalam film horor Stanley Kubrick – yang juga berjaya di tahun 80an. Satu shot paling aku suka ketika Suzzanna melayang pergi sambil mengangkat kepala korbannya, momen kemenangan paling eery yang pernah kita lihat, dan kamera dengan bijaknya bergerak miring melakukan Dutch Tilt menghasilkan kesan yang luar biasa sureal.

Di akhir-akhir Suzzannanya jadi keriting dan jadi lebih mirip Boneka Sabrina hhihi

 

 

Bekerja dengan lumayan baik sebagai komedi, dari bagaimana Suzzanna yang passionate sekali dalam menghantui musuh-musuhnya. Dia tahu dia punya kekuatan atas mereka, kita melihat Suzzanna selalu bermain-main dengan mereka. Mencoba masuk ke dalam kepala mereka satu persatu, membuat mereka takut, memancing mereka ke tempat-tempat membahayakan nyawa, sehingga mereka bisa terbunuh secara tak langsung. Atau bahkan membuat mereka tidak sengaja saling membunuh. Ada satu perampok yang sangat ketakutan – dia actually dipelototin Suzzanna yang lagi meregang nyawa – sampai-sampai dia takut untuk tidur sebab setiap kali memejamkan mata, dia melihat wajah melotot Suzzanna. Cara yang pintar untuk menunjukkan psikologi seorang yang merasa bersalah, dan sedikit mengingatkanku pada elemen Freddy Krueger dalam seri horor A Nightmare on Elm Street. Film benar-benar memanfaatkan durasinya untuk pengembangan karakter, kita diberikan kesempatan untuk melihat dari sisi para perampok – gimana takutnya mereka, gimana usaha mereka untuk selamat dari dendam Suzzanna, bahkan ada satu yang diberikan motivasi yang cukup simpatik. Dan semua itu membuat cerita menjadi semakin berisi. Para penjahat enggak sekedar duduk di sana, menunggu giliran untuk dibunuh.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk mengakui kesalahan. Untuk meminta maaf. Dalam kasus ini, untuk mengakui perbuatan  kriminal kepada polisi. Suzzanna punya kekuatan atas para perampok bukan karena dia benar dan mereka salah. Berbuat kesalahan tidak membuat kita lemah. Tidak mengakuinya lah yang menunjukkan seberapa ‘kuat’ kita

 

 

Inilah yang menyebabkan porsi horor film ini tidak tampil sekuat versi dramanya. Kita tidak pernah benar-benar merasa takut kepada si Sundel Bolong, malahan kita mendukungnya. Kita senang melihat dia berhasil menemukan cara untuk balas dendam. Wujudnya memang mengerikan, tapi fakta bahwa Sundel Bolong hanya memburu orang yang terlibat dalam kematian dirinya, membuat kita merasa aman. Kita gak salah, jadi kita gak akan dikejar oleh Suzzanna. Well, kecuali kalo kalian pernah berbuat salah sama orang yang sudah meninggal, maka film ini tidak akan membuat kalian tersentak terbangun dari mimpi buruk. Sekuen-sekuen kematian hadir dengan cukup sadis, meyakinkan sekali, sehingga kadang muncul sedikit rasa kasihan juga melihat orang-orang jahat itu mendapatkan ganjarannya. Satu lagi dampak positif dari hantu sebagai tokoh utama ini adalah film tidak merasa perlu-perlu amat untuk bikin kita kaget dengan kemunculan Sundel Bolong, sehingga mereka dengan gagah berani memunculkan hantu begitu saja, tanpa disertai suara keras yang ngagetin. Suatu kemajuan buat horor Indonesia.

tanggal mati Suzzanna di film ini sama ama tanggal lahirku, hiii!

 

 

Untuk sebuah cerita yang memasang Suzzanna sebagai hantu yang mencoba hidup sebagai manusia, mengelabui pembantu-pembantu di rumahnya, film sebenarnya agak kurang memperlihatkan bagaimana keseharian Suzzanna. Para pembantu bingung oleh kabar dari tetangga sekitar, mereka bicara seputar gosip yang beredar, tapi kita enggak pernah benar-benar melihat efek Suzzanna terhadap penduduk kota mereka. Kita tidak banyak diperlihatkan bagaimana tepatnya dia berusaha tampil sebagai manusia, sampai menjelang babak akhir di mana Satria pulang ke rumah dan mendengar segala desas desus keanehan Suzzanna selama dia pergi. Sudah cukup bagus sebenarnya, film ngebangun Suzzanna tadinya seorang muslim yang rajin ke mesjid, dan kemudian kita diperlihatkan Suzzanna banyak alesan ketika diajak sholat oleh Satria. Kita merasakan sebersit ketakutan di mata Suzzanna – dia takut ketahuan sudah menjadi hantu – dan ini menakjubkan, maksudku, seberapa sering kita melihat adegan hantu yang ketakutan. Hampir enggak pernah, kan ya. Pun, Suzzanna-lah yang pada akhirnya belajar untuk melepaskan. Film ini memainkan semacam role-swap antara dua makhluk beda-dunia. Namun begitu, menurutku, ending yang dipilih oleh film justru melemahkan arc Suzzanna sendiri.

Aku tidak benar-benar setuju dengan keputusan film di akhir, karena membuat kejadian pada konfrontasi final yang enggak se-tight kejadian-kejadian pada bagian lain. Malah ada beberapa yang konyol seperti kenapa mereka yang bisa mengikat tangan Sundel Bolong enggak sekalian aja menyumpal mulutnya supaya dia enggak bisa bicara dan memperingatkan Satria. Tapi yang paling lucu buatku adalah gimana Satria melihat pantulan dari bola mata Suzzanna seolah sedang melihat cermin spion. Film seperti ‘kesusahan’ mencari cara supaya Satria percaya dan akhirnya melakukan langkah lucu yang tak perlu seperti demikian. Maksudku, toh kalo memang outcome dari pertarungan terakhir itu harus Satria luka di punggung (paralel dengan lubang di punggung Suzzanna), kenapa enggak membuat Satria tertusuk saja di sana? Kenapa mesti dia melihat pantulan dari bola mata, baru sadar, berantem, kemudian tertusuk. Ada cara yang lebih simpel dengan membuat langsung tertusuk dari belakang, sehingga Satria sadar, dan baru deh berantem.

 

 

 

Menyentuh melihat ada hantu yang rela kepanasan dengerin bacaan Al-Quran demi cintanya yang besar dan murni. Ini adalah salah satu film dengan cerita dan usaha yang paling fully-realized yang kutonton tahun ini. Yang perlu diingat adalah, film ini hebat bukan karena kesuksesannya meniru tokoh ataupun menghidupkan legenda. Film ini hebat karena berhasil membangun cerita, dan kemudian menyampaikannya sebagai sebuah tontonan drama cinta yang lumayan heartbreaking, dengan undertone horor yang meriah oleh warna darah. Menghibur juga, meski di akhir aspek fun tersebut agak sedikit kebablasan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dalam cerita film ini, para penjahat menemukan solusi ekstrim untuk mengalahkan Suzzanna. Tapi apakah itu satu-satunya cara? Bagaimana jika ada satu penjahat yang insaf, dia bertobat dan rajin sholat – apakah menurut kalian dia bisa lolos dari Suzzanna, apakah tindakannya akan mempengaruhi banyak hal dalam cerita? Atau apakah menurut kalian balas dendam itu memang harus dituntaskan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

OVERLORD Review

“Heroism has a dark side”

 

 

Hari-H memang bikin deg-degan. Kita belajar mati-matian menjelang ujian, dan menit-menit dalam perjalanan ke sekolah, kita diam tak bergeming mikirin segala hal yang buruk-buruk tentang kemungkinan kita gak lulus ujian. Di lain tempat, ada yang bersuka cita mau menikah, dan di malam hari tepat sebelum nikahan, nervous itu datang membuat terdiam duduk mikirin gimana kalo ternyata pilihan kita salah. Mungkin karena H-nya itu singkatan dari Hantu, kali ya, makanya bikin gugup dan gelisah. Membuat takut. Kita cuma bisa membayangkan gimana kecamuknya hati dan kepala para tentara yang dikirim untuk berperang. Yang pergi membela negara di medan tumpah darah. Yang beberapa saat lagi bakal dibunuh atau membunuh duluan. Yang tidak peduli lagi mana salah, mana yang benar.

“Kita harus jadi sebusuk para musuh” kata komandan dalam film Overlord, mencoba sebisa mungkin terdengar seperti Samuel L. Jackson. Dan itu bukan sekedar remark-sindiran dariku, karena poinku adalah film ini berusaha membuat kita bersimpati (nada dan gaya bicara Jackson memang terdengar penuh wibawa dan simpatis) dengan pilihan yang harus diambil oleh para protagonis dalam cerita perang di mana satu sisinya memang pure evil.

Kita bisa bilang film ini bermain-main dengan genre film perang lebih banyak daripada ia berusaha menggali dilema moral seperti layaknya cerita perang itu sendiri. Adegan pembukanya terlihat menggoda kita dengan memberikan komentar tentang kejadian di opening Saving Private Ryan (1998), film perang karya Stephen Spielberg. Lebih baik di atas pesawat daripada masuk medan dengan kapal-kapal, kata salah satu tokoh Overlord saat mereka dari udara mengawasi garis pantai Perancis. Saat itu malam buta, kala Perang Dunia Kedua, platon protagonis kita bersiap untuk melakukan pendaratan ke pedesaan Perancis yang sudah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Dan tokoh utama kita, duduk diam di sana. Gemetar di dalam sepatunya sendiri. Si luapan perasaan bimbang dan takut itu namanya Boyce (Jovan Adepo memainkan tipe karakter yang biasanya mati duluan). Dia sempat diolok-olok oleh teman-temannya, dikatain enggak cocok berada di medan perang. Dan kemudian pesawat mereka diberondong peluru. Dalam sebuah long-shot keren, kita melihat Boyce berjuang selamat dengan terjun payung sementara backgroundnya penuh huru-hara.

Ngeliat si Boyce yang tadinya duduk cemas menunggu bahaya pasti akan datang, aku serta merta kepikiran; gimana ya kalo ada Final Destination yang set ceritanya tentang tentara mau perang kayak begini. Tokohnya mendapat penglihatan tentang peristiwa naas, yang kemudian membuatnya jadi bisa menolong teman-teman seperjuangan selamat dari perang. Kupikir itu akan memberi twist buat franchise tersebut, tapi aku tidak bisa mengkhayal terlalu lama, karena Overlord segera menarikku masuk kembali berkat ceritanya yang benar-benar menggigit. Misi pasukan Boyce adalah meledakkan menara komunikasi di desa. Film memastikan tone tegang dan berdarah-darah itu tetap menguar sedari awal, dan tak pernah terputus saat cerita berbelok menjadi sci-fi horor oleh pengungkapan yang disaksikan oleh Boyce. Nazi yang mereka hadapi bukan jahat sembarang jahat. Mereka literally gak manusiawi.

klop banget tadi malam aku habis menghajar beberapa Zombie Nazi di game South Park: The Stick of Truth (2014)

 

Menonton Overlord adalah pengalaman yang menyenangkan, terutama jika kita suka sama adegan-adegan laga bersimbah darah. Drama perangnya masih ada, tokoh utama kita adalah seorang dengan moral kompas yang lurus, dia enggak setuju dengan cara interogasi menghajar musuh. Bahkan ada cerita menarik dari masa-masa pelatihan mereka soal Boyce yang enggak sampai hati membunuh tikus, yang berujung seluruh pasukan mereka dihukum fisik. Hanya saja, kedalaman lapisan moral itu semakin mendangkal mendekati akhir film. Di mana cerita berubah menjadi sajian horor kemanusiaan melawan monster. Narasi tetap mengalir koheren, tetapi gizi itu lama-lama semakin menghilang. Menonton film ini kayak menyantap seporsi lengkap mie. Awalnya masih ada telor, ayam, mungkin sayur mayur. Ketika semua itu habis, hanya tersisa bumbu mie yang enggak begitu bergizi, namun rasanya masih enak untuk dinikmati.

Arc Boyce adalah soal gimana dia mempertahankan moral kemanusiaan dirinya. Dia berubah dari yang ogah-ogahan, gak cocok berperang, menjadi penyintas yang bahkan lebih dari berkompeten untuk memimpin pasukan kecilnya sendiri. Tapi dia tidak pernah kehilangan sense baik-buruk tersebut. Dia tidak pernah melanggar garis yang membuatnya menjadi sekeji pihak yang ia lawan. Sepanjang film, pilihan-pilihan yang diambil oleh Boyce yang membuat narasi bergerak maju. Yang membuat dirinya termasuk ke dalam situasi mengerikan, dan kita mendapatkan aksi-aksi yang seru. Tidak ada yang salah dari Boyce sebagai tokoh utama. Pemeranannya pun meyakinkan. Tapi aku tidak bisa bilang menyukai tokoh ini. Dia terlihat ‘terlalu sempurna’ di sana, kayak Pak Ustadz di dalam kelab malam. Dia terlalu lurus sehingga tampak lebih membosankan daripada temannya, Chase, yang lebih suka menembak dengan kamera alih-alih dengan senapan.

Kepahlawanan punya sisi gelap. Perang begitu mengkhawatirkan, karena tidak seperti ujian sekolah, kita tidak pernah benar-benar seutuhnya menang dalam peperangan. Dan, ironisnya, seperti ujian sekolah; kita perlu perang untuk menggenjot diri naik ke tingkat selanjutnya. 

 

 

Pun, plot tokoh seperti Boyce sudah sering kita temukan. Hal penting yang harus dilakukan pada plot semacam ini adalah kita diperlihatkan perubahan si tokoh, untuk itu kita harus tahu dia seperti apa sebelum sampai di medan perang. Full Metal Jacket (1987) bisa dijadikan acuan. Dalam film tersebut, Kubrick mengambil keputusan beresiko. Dia membuat kita melihat si tokoh sedari masa pelatihan, gimana dia lebih memilih jadi posisi jurnalis perang, dan akhirnya harus menarik pelatuk di hadapan musuh yang ternyata adalah wanita muda, tetapi film itu terasa terbagi menjadi dua bagian. Overlord sepertinya tidak ingin cerita menjadi seperti demikian, maka kita hanya mendengar cerita tentang Boyce sebelum masa perang. Untuk membuat Boyce menjadi jagoan, mereka simply menyederhakan cerita menjadi laga ala video game; Boyce dan pasukan harus menjalankan misi menyusup ke dalam markas musuh, menghabisi bos besar, dan berlari keluar dengan pemandangan markas musuh hancur lebur – exactly kayak ending-ending video game petualangan. Boyce, secara pribadi, sebenarnya enggak benar-benar berubah. Perubahan yang kita rasakan terjadi, berasal dari pandangan orang tentang dirinya. Teman-teman Boyce jadi lebih hormat kepadanya.

sepertinya masih perlu ya diingetin bahwa Nazi itu jahat?

 

Dengan penampilan yang seragam meyakinkannya, banyak tokoh-tokoh minor yang terasa lebih menarik dibandingkan si sudut pandang utama. Aku suka sekali sama hubungan yang terjalin antara salah satu tentara, Tibbet, dengan anak kecil yang mereka tolong. Sersan mereka yang sudah siap-segala-resiko pun lebih menggugah minat dan mengundang simpati. Tapi sekali lagi, ini adalah keputusan yang diambil oleh film. Jadi walaupun cerita jadi harus mengandalkan beberapa ‘kebetulan’, menggunakan elemen ‘damsel in distress’ yang usang, dan Boyce-nya kalah menarik, Boyce dinilai paling bentrok dengan antagonis, dia yang paling punya stake. Tidak ada yang lebih berharga lagi yang bisa dipertaruhkan daripada rasa kemanusiaan.

Setidaknya ada dua kali ‘bolak-balik’ pada cerita; tokoh yang udah sampai di tempat menarik, kemudian ditarik mundur lagi oleh cerita, yang mengindikasikan penulisan seharusnya bisa lebih baik lagi. Tapi tone cerita yang konsisten, mampu membuat elemen menghibur itu terus terjaga. Ringan, penuh aksi brutal, dan makhluk horor dengan prostetik yang tampak semakin creepy – low budget itu berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Estetiknya tidak pernah kelihatan jelek.

 

 

Ini adalah film yang berjaya di dalam dunianya sendiri. Jikapun bertahan di ranah horor drama perang, film ini tak pelak akan lebih bermakna, tapi dia tidak akan pernah benar-benar stand out karena sudah begitu banyak cerita yang seperti demikian. Pilihan yang membawa genre ini berfusion dengan body horror; katakanlah eksperimen yang mereka lakukan, pada akhirnya lebih mungkin membuat film menjadi seperti para pahlawan seharusnya; dikenang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for OVERLORD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi Nazi? Apakah kekerasan dibalas dengan kekerasan? Atau memilih berdiri di atas moral? Bagaimana sih moral yang tinggi itu? Apa maknanya memenangkan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THE NIGHT COMES FOR US Review

There are some things far more frightening than death

 

 

 

Malam sepertinya tidak akan pernah berkonotasi dengan kata sepi dalam kamus Timo Tjahjanto. Malam, bagi film-filmnya, adalah panggung pertunjukan segala kegilaan. Bayangkan pentas bakat di sekolah, hanya saja pesertanya bukan anak kecil mungil melainkan kebrutalan segala jenis. Langit malam Timo akan bergema oleh kata-kata serapah. Dan ya, malam dalam judul film ini pun, sejatinya begitu hitam pekat; oleh darah.

Kita mungkin hanya bisa membayangkan gimana menyenangkannya bagi para aktor diajak suting film laga oleh Timo. Karena kita tahu kita bisa mengharapkan adegan-adegan kekerasan yang esktrim, yang tidak biasa diminta untuk dilakukan. Timo really has a knack for these kind of actions. Bagaikan jari yang tidak semestinya dibengkokkan ke belakang, Timo akan mendorong tulang-tulang tersebut – dia akan mendorong para aktornya untuk melakukan berbagai hal yang berakibatnya pada ‘patah’nya image normal yang tadinya melekat. Kita sudah lihat apa yang ia lakukan terhadap Pevita Pearce dan Chelsea Islan di horor gore Sebelum Iblis Menjemput (2018). Dan itu belum seujung kukunya dengan apa yang ia tugaskan kepada Julie Estelle, Dian Sastro, Hannah Al Rashid, bahkan kepada pemain-pemain pria seperti Abimana Aryasatya, Dimas Anggara, dan banyak lagi cast yang aku yakin semuanya pasti having fun banget disuruh berdarah-darah.

Jangan mandi kembang, mending mandi darah

 

Kerja kamera begitu jor-joran membuat setiap sekuen aksi bikin kita ngotot untuk melotot, meski mungkin perut mulai melakukan penolakan-penolakan ringan. Tusuk-tusukan, patah-patahan, dan kemudian crott! darahnya keluar. Semua tampak begitu maknyuss. Film ini luar biasa aware dengan environmentnya, setiap jengkal bisa dijadikan sudut pandang yang menarik buat ngeliat orang berantem, setiap benda-benda yang paling lumrah sekalipun – seperti papan ‘awas lantai basah’ itu – dimanfaatkan sebagai senjata membela diri yang hanya bisa dituntaskan dengan membunuh lawannya. Hal inilah yang menjadi point menarik dari film ini. Semua aspek; benda, lokasi, tokoh, udah seperti bidak catur yang posisinya udah dipikirkan dengan seksama demi mengkreasikan adegan berantem yang bisa dinikmati. Dan pada prakteknya, kamera akan mondar-mandir ke sana kemari, memastikan setiap frame penuh oleh aksi. Di belakang, di depan. Pergerakan yang nonstop, beberapa adegan film ini akan membuat kita teringat apa yang dilakukan master Akira Kurosawa dalam Seven Samurai (1954); aksi yang berkedalaman. Di film inipun kita melihat orang bunuh-bunuhan di depan, sementara di belakangnya tokoh lain sedang berusaha berlindung dari massa dengan menggunakan meja sebagai tameng. Transisi dari apa yang tadinya background kemudian menjadi fokus, digarap dengan begitu mulus dan menyatu.

Namun sayangnya kita gak bisa memberikan pujian yang serupa untuk cerita film ini. I mean, it is so basic dan meninggalkan begitu banyak elemen, karakter, yang tidak dieksplorasi. Semua tokoh yang muncul di film ini, hanya ada di sana untuk memenuhi ‘takdir’ mereka sebagai petarung. Mereka, dengan gaya dan teknik keren masing-masing, ada untuk berantem sadis, dan mati. Kalopun enggak mati, mereka pergi keluar dari pandangan kita tanpa banyak penjelasan. Tokoh-tokoh di film ini, tentu mereka punya relasi. Kita bisa mengaitkan siapa temannya siapa, anggota geng mana, tapi mereka terlalu satu dimensi. Kita tidak pernah diminta untuk peduli kepada mereka dari cerita siapa mereka, apa motivasinya. Oke, kalo memang ngotot buat terus memuji, aku pikir aku sudah menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan kelemahan besar The Night Comes for Us sehingga kedengarannya seperti kelebihan.

Ini dia:

Film The Night Comes for Us akan bisa kita anggap sedikit lebih baik jika kita menontonnya dengan berpura-pura bahwa ini adalah adaptasi dari video game pertarungan. Tokoh-tokohnya; mereka kelihatan seperti tokoh game fighting, kita menyukai mereka karena jurus dan penampilan, tapi kita tidak merasa apa-apa saat mereka mati karena toh kita bisa memilih tokoh yang lain, yang akan segera muncul. Siklus film ini kayak siklus berantem di game fighting. Kita hanya nekan-nekan tombol, kita gak peduli sama cerita tokohnya – bahkan di game kita biasanya juga ngeskip cerita in-game and straight to killing. Begitulah film ini terasa buatku. Menurutku akan menarik sekali jika Timo Tjahjanto suatu saat mau dan dapat kesempatan menggarap adaptasi video game berantem kayak King of Fighters, Tekken, atau bahkan Bloody Roar dan Mortal Kombat mengingat kekhususan talentanya dalam menggarap aksi gorefest yang mengalihkan penggemar dari pentingnya bangunan cerita.

Aku gak akan bisa lupa pemandangan Julie Estelle ngeRKO Taslim ke wastafel! ahahaha

Elena kayak versi sakit dan worn-out dari superstar WWE Rhea Ripley

 

Tokoh utama cerita ini adalah Joe Taslim. Ito yang ia perankan adalah salah seorang dari anggota pembunuh andalan mafia Triad, yang disebut Six Seas. Bisa kita bilang, Ito cari makan dengan membunuh-bunuh keluarga orang. Dalam adegan awal, kita melihat Ito mengalami pergulatan moral dalam salah satu misi mulianya. Alih-alih menghabisi anak cewek penduduk kampung yang sedang ia bantai, Ito turn heel kepada Triad. Hal ini membuat Ito dan si gadis cilik diburu. Ito meminta bantuan kepada geng ‘pasukan’ lamanya; geng yang sudah ia tinggalkan padahal mereka dulu bercita-cita masuk Six Seas bareng. Konflik Ito dengan Arian yang diperankan oleh Iko Uwais sebenarnya cukup menarik. Tidak ada kedamaian dalam malam orang seperti Ito. Keberadaannya tercium, dan bermacam-macam pembunuh, bahkan tak terkiranya jumlahnya bermunculan. Cerita film ini saja udah kayak fantasi liar dari trope film-film mafia; ada pengkhianatan, rasa iri dan gak-seneng, orang yang jadi sadar karena keinosenan anak kecil. Penceritaannya sangat mengganjal sehingga terasa sekali perbedaan mencolok antara ketika bagian aksi dengan bagian eksposisi. Film akan jatuh menjadi begitu membosankan ketika film berusaha bertutur selalu tentang kejadian yang terjadi sebenarnya. Mereka tidak membahas siapa dan kenapa, dua poin paling penting yang bisa membuat cerita menjadi menarik. Semakin film bergulir, semua yang diucapkan para tokoh jadi hanya seperti throw-away saja, ada kelompok Lotus lah, ada tokoh kayak The Operator yang punya misi tapi dari siapa gak pernah dibahaslah.

Ada banyak cara untuk membuat orang mati, dan meskipun kau tidak bisa membunuh apa yang sudah mati, pada kenyataannya banyak hal yang lebih mengerikan daripada kematian. Ito paham akan hal ini bahkan sebelum dia mulai bergabung dengan Six Seas. Bahwa manusia bukan hancur ketika dia mati, tetapi justru ketika hidupnya sudah tidak lagi sesuai apa yang ia yakini.

 

 

Menurutku lucu sekali gimana film ngebuild up soal keanoniman Six Seas di teks pembuka film, dan kemudian kita melihat semua orang yang dikenal Ito tahu dia anggota Six Seas. Dari cerita dan actually beberapa aspek yang aku temukan saat nonton ini, aku toh memang merasa film ini sebenarnya bisa berkiprah lebih oke lagi. Film ini memang bekerja dalam fantasi dan logika sadisnya sendiri, tapi aku menemukan beberapa keputusan yang buatku, sebenarnya bisa mereka hindari. Seperti pada menit 17:59 ke 18:00, adegan mobil yang menepi dan kemudian dua tokoh turun. Sangat terang sekali bahwa adegan yang mestinya kesinambungan tersebut digabung dari dua waktu yang berbeda; tadinya malam, eh detik berikutnya kayak udah mau pagi. Dan lokasinya bahkan jelas-jelas sudah bukan di tempat yang sama. Kenapa mereka tidak benar-benar menggunakan shot yang kontinu beneran aja untuk adegan ini? Padahal tidak ada narasi yang disembunyikan.

Kemudian pada saat adegan-adegan berantem. Film ini sering membuat kondisi tak-menguntungkan buat tokoh-tokoh baik, mereka dikeroyok banyak orang, mereka harus selamat dari kondisi puluhan lawan satu. Tapi kita tidak exactly melihat keroyokan tersebut. Aku enggak tahu, mungkin karena keterbatasan kemampuan aktor – dan mereka gak mau pake stuntman supaya bagus, tapi adegan berantem dalam film ini masih terlihat seperti bergiliran. Tidak benar-benar real time. Musuh akan menunggu sampe temannya koit, baru maju ke depan. Ini hanya membuat either penjahat-penjahatnya tampak bego atau berantemnya jadi gak make sense, bahkan dalam standar aksi gore fantasi seperti ini. Suspensnya jadi off, dan usaha film untuk membuat kita tegang kembali? Yup, you guessed it; dengan erangan dan teriakan kata-kata kasar.

Banyak adegan yang mencoba meraih ketinggian emosional, tapi enggak bekerja dengan efektif. Sebagian besar karena kita tidak peduli ama karakternya. Dan bagian endingnya, hah! film mencoba ngecreate apa yang The Devil’s Rejects (2005) sudah lakukan dengan musik lagu Free Bird yang sulit dikalahkan ke-awesome-annya.

 

 

 

Untuk tontonan yang seram-seram menghibur, apalagi buat suasana halloween kayak sekarang, film ini adalah pilihan yang tepat. Dia punya trik-trik yang diolah dengan sangat passionate, dengan gaya dan taste yang khas, sehingga menghasilkan sebuah treat yang asik untuk dinikmati. Jika sutradaranya diganti menjadi yang taste enggak sekuat ini, dengan cerita dan materi yang sama, film ini akan jatuh tertumpuk di dasar kenistaan, lantaran ceritanya tidak dikembangkan maksimal. Kita akan cepat gusar kalo menonton ini dengan mengharapkan cerita yang lebih koheren dan adegan yang enggak terlalu dibuat-dibuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE NIGHT COMES FOR US.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, siapa saja anggota Six Seas dalam film ini? Apakah Morgan Oey salah satunya? Pertarungan siapa yang paling kalian sukai?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

HALLOWEEN Review

Be the person you needed when you were younger

 

 

 

Jangan macem-macem dengan orang gila. Terutama orang gila yang ditahan karena membunuh para babysitter remaja, bahkan kakaknya sendiri. Jangan dekati dia. Jangan diajak bicara. Jangan kasih lihat topeng yang dipakainya beraksi. Dan terutama, jangan berusaha melakukan mediasi antara si Gila dengan korbannya. Pertama, hal tersebut bisa tampak sebagai solusi bego seperti yang dilakukan Grab menangani kasus driver mesum. Dan kedua, bisa saja sekarang si korban sudah sama gilanya!

Trauma tidak berakhir begitu saja seselesainya masalah. Trauma dapat berdampak jangka panjang dan mempengaruhi bukan saja korbannya, melainkan juga orang-orang di sekitar korban. Perjuangan dan efek dari kekerasan terhadap korban nun jauh setelah peristiwa mengerikan itu terjadi menjadi tema utama yang dibahas dalam Halloween, menjadikan film ini salah satu dari jarang sekali horor slasher yang benar-benar punya makna mendalam

 

Halloween garapan David Gordon Green, menebas mati semua sekuel dari Halloween buatan John Carpenter (1978), karena ceritanya ini melompati empat-puluh tahun setelah kejadian 1978. It is a direct sequel. Halloween 2 enggak pernah terjadi. Halloween H20 apalagi. Halloween Rob Zombie pun dengan sangat menyesal, lantaran aku suka film-filmnya, ke laut aje. Dan kita melihat langsung dampak trauma selamat dari kejaran Myers tersebut kepada Laurie Strode. Bahkan film ini juga menepis aspek Laurie adalah adek dari Myers seperti yang selama ini kita ketahui. Laurie (Scream Queen legendaris Jamie Lee Curtis bertransformasi menjadi nenek paling badass) masih terus terbayang-bayang Myers, meskipun si maniak tersebut sudah bertahun-tahun mendekam di tahanann. Laurie, secara masuk akal, menjadi wanita yang paranoid. Dia melatih dirinya supaya menjadi lebih kuat, dia mempersiapkan banyak hal, dia mengurung diri di dalam rumah yang ia bangun penuh dengan senjata, ruang bawah tanah rahasia, praktisnya dia mengubah hunian menjadi benteng perang karena ia percaya Myers akan keluar dari penjara dan kembali mengejarnya. Jika ada satu kata orang yang ia percayai, maka itu adalah “Just kill it” ucapan Dr. Loomis yang sudah lama menyerah mempelajari Michael Myers.

Dan sekarang kita punya tiga film berjudul Halloween, selamat bersenang-senang membedakannya

 

 

Laurie Strode dan masalah ketakutannya menjadi hal terbaik yang dipunya oleh Halloween 2018 ini. Film akan memperlihatkan gimana hubungan Laurie dengan keluarganya. Laurie menjadi ‘jauh’ dengan anak perempuannya, yang ia besarkan dengan latihan menembak dan segala situasi panik lainnya. Karen, si anak, tentu saja jengah dengan ketakutan dan keterlalusiapin ibunya. Ada tensi dalam hubungan ibu dan anak ini. Sementara, anak Karen, Allyson; alias cucunya Laurie mencoba untuk menjembatani, untuk menghubungkan kembali keluarga mereka. Ada banyak orang yang terlibat dalam plot film ini. Aku berharap mereka lebih fokus dalam bercerita, karena apa yang kita dapat di sini sebenarnya sangat terpecah. Laurie punya perspektif yang kuat, kita butuh lebih banyak pembahasan mengenai dirinya. Tetapi film berusaha menyeimbangkan tiga tokoh beda generasi, sehingga ceritanya menjadi kurang fokus. Dalam sebuah perjalanan pindah ke penjara, bus tahanan yang mengangkut Myers dan dokter barunya kecelakaan. Menyebabkan Myers kabur dan kembali ke kota lamanya, dia mengejar bukan hanya Laurie – tapi juga seluruh keturunannya. Kita hanya bisa berasumsi Myers tahu keadaan Laurie dari mencuri dengar berita saat dia berada dalam tahanan.

Yang ingin dilakukan Laurie adalah mempersiapkan keluarganya akan trauma yang sudah menyerangnya. Laurie ingin anaknya, cucunya, bisa membela diri saat keadaan menjadi buruk – sehingga mereka tidak menjadi sehancur dirinya.

 

 

At first, sepertinya film akan membawa kita ke semacam pertukaran peran. Obsesi Laurie soal kembalinya Myers sempat menggoda benakku dengan kemungkinan gimana kalo ternyata kali ini Laurie yang memburu Myers, gimana kalo topeng itu dikenakan oleh Laurie dan actually Myers harus bertahan hidup darinya. It’s kinda silly thought, namun sebagai pembelaan aku merasakan elemen komedi dalam arahan film ini. Dan toh, menjelang masuk babak tiga kita beneran melihat – aku gak mau spoiler banyak – seseorang tak terduga memungut dan mengenakan topeng Myers. Buatku it should be a legit story point, namun film membuatnya hanya jadi semacam aspek sampingan yang dianulir dan dilupakan sesegera mungkin aspek tersebut diperlihatkan. Maksudku, cukup menarik kita dikasih lihat segala precaution yang diambil Laurie membuat dia tampak ‘jahat’ di mata anaknya. Sudut pandang Karen juga sebenarnya lumayan menarik. Aku tidak akan masalah jika film ini mengambil Karen sebagai tokoh utama. Tapi film seperti kesulitan menyeimbangkan porsi cerita. Dan ultimately, film harus menyerah kalah kepada kebutuhan untuk tampil meta dan tampak menarik di mata penonton muda. Alih-alih berpusat pada drama kejiwaan wanita yang membuang segalanya demi menjamin keselamatan diri dan orang yang ia sayangi, film merasa perlu untuk kembali memperlihatkan kehidupan remaja; drama pacaran mereka, dengan tokoh-tokoh pendukung yang hanya ada di sana sebagai penyumbang warna merah untuk pisau Myers.

Halloween yang kesulitan tampil konsisten dalam bercerita tidak pernah punya waktu lagi untuk membangun atmosfer. Penggunaan musik ngagetin juga cukup banyak kita dapati di film ini, dan ini menyedihkan mengingat original Halloween adalah film yang sunyi, yang dengan berani memperlihatkan adegan ngagetin begitu saja tanpa suara non-diegetic. Dan menurutku inilah kesalahan film yang paling fatal yang paling mengecewakan. Tidak ada suasana yang membuatnya terasa mencekam, apalagi terasa berbeda. Padahal adegan opening film ini sangat unsettling; kita melihat Myers yang diam tak bergeming – bersusah payah menahan diri – ketika disodorin topeng, sementara orang-orang gila dan anjing-anjing penjaga di sekitarnya pada melolong gila. The rest of this film tidak pernah lagi mencapai kengerian yang serupa. Suasana Halloween film ini tidak banyak berbeda dengan malam halloween yang kita lihat di Goosebumps 2: Haunted Halloween (2018), bahkan adegan di pesta pada kedua film ini hampir sama persis.

dan yang keselnya kedua cowok brengsek di dua film itu sama-sama enggak kena ‘hukuman’

 

Ada banyak adegan yang diniatkan untuk persembahan kepada Halloween orisinil, tapi atmosfernya tidak terasa. Jadi seperti hanya meniru. Green seharusnya menyadari bahwa sinematografi yang menyamai dan musik ikonik yang diputar ulang tidak serta merta mampu mereplika atmosfer secara keseluruhan. Bahkan ada juga adegan-adegan yang seperti direka ulang dari sekuel-sekuel Halloween yang semestinya sudah dianggap tidak ada, seperti adegan di bilik toilet yang mirip sekali dengan adegan di Halloween H20 (1998). Serta cukup aneh gimana para tokoh di film ini menganggap Myers seperti legenda paling mengerikan, mengingat di dunia cerita ini Myers ditahan 40 tahun, dan korbannya hanya lima orang remaja – rasanya gak sesuai dengan reputasinya, apalagi di satu adegan ada tokoh anak muda yang terang-terangan bilang yang dilakukan Myers gak begitu sadis untuk ukuran jaman sekarang.

Kiprah Green dalam membesut cerita komedi dan drama kadang hadir dalam film ini. Particularly dalam drama seputar keluarga Laurie, yang mana menurutku, kita butuh lebih banyak dari yang beneran kita dapatkan. Untuk komedinya, sayangnya, cukup mengganggu. Ada banyak adegan lucu yang jatohnya enggak perlu dan hanya mengusik tone seram yang sedang dibangun. Misalnya ketika cucu Laurie bertemu dengan Myers, kita diselingi adegan humor dua orang polisi yang sedang membicarakan bekal makanan mereka. Betapa sebuah distraksi yang membuat kita terlepas dari suasana. Ada banyak adegan semacam itu dalam film ini, membuat tone cerita juga sama tidak seimbangnya.

 

Selain topeng yang terlihat otentik seram dan presence dirinya yang seolah menelan bulat-bulat kita semua, yang terutama membuat Michael Myers fenomenal adalah dulunya, tindak pembunuhan yang ia lakukan bisa dilihat sebagai bentuk metafora dari akibat bobroknya moral remaja. Meta horor slasher yang ditetapkan oleh film Halloweennya John Carpenter adalah remaja yang berhubungan di luar nikah, yang mabuk-mabukan, akan jadi korban dari Myers. Sementara Laurie Strode yang inosen dari pergaulan semacam itu berhasil selamat dan jadi jagoan. Dalam film Halloween kali ini, korban Myers tidak terbatas pada remaja yang melakukan perbuatan amoral. Myers ngestalk pelajar cupu, dia membantai seorang ibu rumah tangga, sebenarnya secara tematis hal tersebut diniatkan sebagai kontra dari segala kesiapan Laurie; bahwa kemalangan bisa datang kapan saja di mana saja.

Karena hal tersebutlah, Myers adalah antagonis sempurna buat protagonis Laurie di film ini; tragedi tidak bisa diantisipasi.

 

 

 

 




Aksi kekerasan dalam film ini brutal, pembunuhannya kreatif – baik itu menyuguhkan hal baru ataupun merombak adegan yang lama dan menjadikannya sebagai referensi subtil. Mengatakannya sekuel Halloween terbaik enggak necessarily adalah prestasi yang membanggakan. Sebab eksplorasi yang dilakukan film seharusnya lebih jauh daripada ini. Ada elemen trauma dan drama keluarga yang mestinya bisa diceritakan lebih banyak dibanding pembunuhan orang-orang tak berdosa. Film ini punya banyak tokoh, dan sebagian mereka diperkenalkan sesaat sebelum Myers menikam mereka, sehingga banyak elemen dalam film yang terasa pointless. Film ini seharusnya meniru Michael Myers yang dalam mencari korban dia memilih satu dan fokus mengejarnya sampe sukses; film seharusnya memilih satu sudut pandang dan fokus di sana aja. Buatku, sudut pandang yang harus digali film ini tentu saja Laurie, atau bisa juga Karen. Jangan keduanya – atau malah tiga sekaligus. Sebagai horor, film ini masih tetap menyenangkan. Kita bisa nonton ini dengan hanya meniatkan pengen melihat maniak membunuhi orang-orang. Hanya saja, aku melihat potensi yang tidak berhasil mereka gali dengan baik di sini. Dan itu mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for HALLOWEEN.

 




That’s all we have for now.
Halloween versi siapa favoritmu? Buatku pribadi aku paling suka Halloween 1978, lalu Halloween Rob Zombie, Halloween 2, dan baru Halloween 2018 ini.

Apa yang menurut kalian menyebabkan Michael Myers bisa bangkit berkali-kali? Apakah karena kesumatnya kepada Laurie? Kenapa dia begitu suka membunuhi orang-orang? Apa dia bakal bangkit lagi?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017



APOSTLE Review

“Security is a false god.”

 

 

 

Tidak ada orang yang lebih pantas menyusup ke dalam sekte reliji sesat selain Thomas Richardson. Bukan saja karena sekte tersebut sudah menculik adik perempuannya, menyandera sang adik untuk tebusan. Tetapi juga karena Thomas dijamin ampuh tidak akan terpengaruh dan balik mengimani ajaran sesat tersebut. Gak mungkin lah yaow! Thomas sudah membuang jauh-jauh keimanannya terhadap agama. Dulunya dia seorang yang taat, tapi setelah pengalaman mengerikan, Thomas sadar agama cuek bebek; tidak menolongnya. Bayangkan Andrew Garfield dalam film Silence (2017), nah Thomas adalah versi ‘keras’ dari tokoh tersebut. Malahan, film ini secara keseluruhan adalah versi brutal, penuh dengan darah, kengerian, dan banyak lagi yang bakal bikin kita merasa perlu untuk mempercayai sesuatu yang bisa memberikan keselamatan.

Tentu saja, semua kemudahan yang dibayangkan Thomas enggak terwujud di dunia nyata. Dai enggak bisa sekadar menyamar, membebaskan adiknya, dan pergi melenggang dengan damai. Penghuni Erisden, pulau kultus terasing yang ia susupi, tidak sepolos yang ia bayangkan. Ada sesuatu yang beneran menyeramkan sedang terjadi di sana. Tuhan yang diserukan oleh si Nabi Palsu bisa jadi bukan sekedar onggokan benda yang terbuat dari kayu. Panen dan hasil alam pulau tersebut rusak, Nabi di Pulau Erisden yakin do’a tak lagi mencukupi permintaan Tuhan mereka. Darah harus dikorbankan.

The Goddess I know; she will give us some Twisted Bliss

 

Bahkan sebelum kaki Thomas menginjak pulau sarang cult, kita sudah dihampiri oleh banyak misteri. Tanda-tanda kengerian itu sudah ditanamkan dengan seksama, menjalin ke dalam benang-benang cerita. Intensitas suspens cerita itu terus meningkat sejalannya narasi. Kita melihat ada sesuatu di bawah lantai kayu yang menantikan tetesan darah jatuh ke bawah. Kita melihat tumbuhan hijau serta merta menjadi layu di tembok rumah. Kita melihat binatang ternak yang lahir dalam kondisi mengerikan. Paruh pertama film ini begitu efektif menghimpun misteri, membuat kita menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi. Kita memeriksa ritual-ritual tersebut lewat mata Thomas. Dan mata tersebut actually yang menjadi tanda pertama buatku, betapa aku tidak bisa konek dengan tokoh Thomas.

Bagiku sangat over-the-top gimana Dan Stevens membawakan perannya tersebut. Thomas diniatkan sebagai orang yang sudah melihat begitu banyak hal mengerikan, sehingga ia skeptis terhadap kegiatan kultus yang ia saksikan pada pulau itu. Thomas berpikir dia sudah melihat semua. Dia kira semua orang di sana, termasuk si Nabi Palsu, hanya menjual bualan dan harmless dibandingkan dirinya yang bisa membela diri. Stevens memainkan Thomas dengan melotot sepanjang waktu. Dia sok galak. Thomas hanya seperti tubuh, tanpa jiwa, karena kita tidak dibawa menyelam bersamanya. Susah untuk mengikuti tokoh ini, dengan kita actually mengetahui lebih banyak dari yang ia ketahui. Beberapa adegan ganjil, kita tidak melihatnya dari sudut pandang Thomas. Kita hanya melihat bersama Thomas saat adegan-adegan di mana tokoh ini tampak kurang usaha, dan diselamatkan oleh keberuntungan. Kita tahu lebih dulu darinya, dan ini membuat tindakan sang tokoh susah untuk kita dukung.

Ada satu adegan ketika seluruh penduduk pria yang baru datang dipanggil ke rumah ibadah. Para Pemimpin Kultus mencurigai ada mata-mata di antara mereka. Jadi untuk membuktikan siapa si ‘serigala berbulu domba’ si Nabi Palsu menyuruh mereka satu persatu mereka melafalkan ayat dari kitab reliji mereka. Film ingin membangun suspens, kita supposedly khawatir giliran Thomas semakin dekat, you know, ini soal hidup atau mati ditembak di tempat. Hanya saja susah untuk peduli kepada Thomas, karena karakternya yang tidak diperlihatkan mau bersusah payah belajar ‘menyamar’. Thomas terasa distant dan gak mengundang simpati. Outcome dari adegan tersebut juga terasa kayak kebetulan. Dan ada satu adegan lagi di mana tindak Thomas tampak begitu reckless dan gak berfungsi apa-apa selain device narasi yang terlalu diada-adain; untuk suatu alasan, Thomas menggambar denah desa, menandai rumah mana harus diselidiki, but there’s only one house yang ia curigai. – dan desa di pulau tersebut enggak begitu besar. Tindakan ini malah lebih bego daripada Neville Longbottom yang mencatat semua password ruang rekreasi Gryffindor pada secarik kertas dalam cerita Harry Potter and the Prisoner of Azkaban.

Setiap ajaran sesat, setiap kefanatikan, bermula dari satu hal keraguan. Manusia tertarik kepada agama bukan sekadar karena takut akan kematian. Mass acceptance sebuah ajaran diperoleh sebab ajaran tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan. Di tengah kekacauan dan musibah, kondisi aspek kehidupan yang mulai meragukan, orang pertama yang menawarkan tata tertib akan dipandang sebagai juru selamat. Karena manusia begitu desperate dengan order. Apostle adalah film yang membesarkan rasa desperate manusia tersebut. Perjalanan Thomas sebagai literally penyelamat desa, adalah metafora dari keadaan tersebut – seskeptis apapun, kita bakal butuh untuk percaya pada sesuatu.

 

 

Paruh kedua film ini ‘dilukis’ Gareth Evans dengan warna merah. Sutradara ini terkenal akan kepiawaiannya menggarap adegan-adegan aksi yang bikin mata melotot. Dalam Apostle, meski porsi aksinya kurang, tapi itu tidak berarti mata – dan ultimately, perut  – kita bisa rileks menonton ini. Penggemar body horor bakal terpuaskan lantaran poin-poin cerita yang bakal terungkap akan terus diiringi oleh adegan gore yang brutal. Kamera pun bijaksana sekali, dia tahu kapan harus memperlihatkan semua, paham sudut mana yang paling pas bikin kita yang ngeri melihatnya tetap mengintip layar dari balik jari-jari, dan kapan musti cut-away. Ada satu adegan penyiksaan yang paling membekas di dalam kepalaku; adegan yang melibatkan alat pengebor kepala.

major headache

 

Berkebalikan dengan Thomas yang over-the-top, para pemimpin cult buatku terasa kurang nyampe dalam membawakan kengerian dari cara pandang mereka yang wicked. Justru Nabi dan para petinggi itu yang seharusnya berakting sedikit over, karena kita perlu merasakan betapa ganjilnya ajaran mereka. Bahkan motivasi para apostle itu kian konyol menjelang akhir. Sayangnya pembawaan mereka terasa tidak sejajar, kita tidak ngeri mendengarnya. Kita jijik. Kita geram. Sebab, film sepertinya memang berniat jujur, dia tidak menanamkan red-herring, sedari awal kita sudah dipahamkan bahwa ada kekuatan lain yang lebih mengerikan. Film tidak bisa bekerja selain cara yang sudah kita lihat ini. Kebrutalan dan ketidakaturan adalah seni di sini. Maka film akan benar-benar membagi penontonnya, terutama setelah pertengahan cerita di mana semua darah dan isi tubuh itu dicurahkan. Buatku, paruh akhir film memang lebih mengasyikkan, sementara paruh pertamanya sebenarnya lebih kuat dari sisi cerita. Bagian akhir film, tidak lebih berisi dari sekadar ber-gore ria. Efek-efeknya terlihat begitu fantastis; gak perlu disebutin lagi sebenarnya betapa Evans tampak sangat passionate untuk tipe film seperti ini.

Dari kekerasan terhadap binatang, insiden ayah kandung dengan anak kandungnya, film ini tak pelak penuh oleh adegan yang berpotensi disturbing buat banyak orang. Ada sedikit kemiripan dengan Mother! (2017) ketika film curi-curi berdakwah soal gimana manusia merupakan ‘mesin kehancuran’ yang tak tahu berterima kasih dalam memanfaatkan hasil alam; film ini bahkan punya semacam sosok ibu-alam versi mereka sendiri. Hanya saja, elemen-elemen cerita film ini tidak klop dengan benar-benar koheren. Dalam bercerita, film menggunakan banyak momen ‘pingsan’ sebagai penyambung narasi. Dan sesungguhnya, hal tersebut memang membuat film konsisten terhadap konteksnya; di sini kita punya cerita yang dengan berani menantang realita – gimana kepercayaan umum dirubuhkan oleh hal supranatural, dan tokoh yang sering ditarik keluar dari kenyataan mendukung ide tersebut. Tapi di lain pihak, ini tidak membuat penceritaan yang rapi.

 

 

 

 

Film ini bisa saja dibuat dengan lebih lurus terhadap kaidah film. Tokohnya bisa dibuat lebih simpatik. Disturbingnya bisa dikurangi. Adegannya bisa dibuat lebih koheren. Tapi hasilnya tidak akan senendang yang kita saksikan ini. It wouldn’t work as strong as this. Karena film ini hadir bukan untuk menyenangkan semua orang. Akan tetapi, sesungguhnya film ini siap untuk mengumpulkan pengikut yang mempercayai karya-karya Gareth Evans yang sangat unsettling.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for APOSTLE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa sebenarnya yang terjadi kepada Thomas di akhir cerita? Apakah dia bahagia, apakah dia menemukan kembali keimanannya – ataukah dia sudah terangkat statusnya menjadi semacam ‘Tuhan’?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

THE PREDATOR Review

“Never capture what you can’t control.”

 

 

Monster pembunuh dari luar angkasa berkunjung lagi ke Bumi, siap untuk berburu manusia. Mereka hadir dengan kekuatan yang sudah berevolusi; lebih pintar, lebih ganas, lebih gede, dengan senjata dan teknologi yang lebih mematikan pula. Tapi jangan khawatir. Sekumpulan pria macho yang dapat memadamkan rokok dengan lidah sudah siap untuk menghadapi alien tersebut. Mereka akan menunjukkan bahwa makhluk seberbahaya itu tidaklah mengerikan. Melainkan lucu.

The Predator ternyata bukanlah sebuah reboot ataupun prekuel. Ceritanya adalah lanjutan, pengembangan dari semesta Predator (1987) di mana kita melihat salah satu penampilan terbaik dari Arnold Schwarzenegger. Film lanjutannya ini meng-acknowledge kejadian pada film-film sebelumnya, tidak ada yang elemen yang dihapus. Sutradara Shane Black yang actually juga ikutan main pada film yang pertama tahu persis trope-trope yang membuat franchise ini digemari, sebagai sebuah film monster 80an. Sampai di sini, penggemar Predator menghembuskan napas lega, Akan tetapi, ada sesuatu yang dilakukan oleh Shane Black terhadap arahan bercerita, sebagai bagian dari misinya mengembangkan mitos dan dunia Predator. Sesuatu yang mungkin mengecewakan bagi para penggemar. Seperti The Nun (2018) yang lebih mirip sebuah petualangan misteri ketimbang horor mencekam, The Predator digarap oleh Black dengan menjauh dari akar horornya. Hampir tidak ada jejak keseraman yang muncul pada film ini. The Predator tampil sebagai aksi petualangan melawan monster yang penuh oleh lelucon-lelucon. Yang mana paling tidak membuatnya lebih baik dari The Nun yang tampil setengah-setengah.

brb nyari lengan korban yang ngacungin jempol

 

 

Satu-satunya adegan paling mengerikan dalam film ini adalah ketika ahli biologi yang diperankan oleh Olivia Munn berusaha melarikan diri dari Predator yang mengamuk di lab. Dia berusaha bersembunyi tetapi pintu ruangan hanya terbuka setelah melewati proses dekontaminasi. Jadi, dia musti buka baju dulu, di-scan segala macem dahulu, sementara si Predator di ruangan kaca di sebelah sudah semakin mendekat. Kita tidak akan menemukan suspens selain pada adegan tersebut. Film benar-benar berkonsentrasi untuk komedi dan adegan-adegan aksi yang berujung dengan tubuh yang terpotong. Shane Black memang sengaja melakukan itu semua; menomor-duakan aspek horor. Sepertinya dia punya ide lain terhadap franchise Predator, sebagimana tokoh di film ini yang punya pendapat berbeda terhadap penyebutan istilah Predator. Ada running jokes tersemat dalam cerita soal selama ini kita salah menyebut para alien tersebut sebagai Predator. Karena Predator tersebut enggak exactly predator. Mereka pemburu. Mereka membunuh bukan untuk hidup, melainkan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memangsa manusia. Dalam film ini dijelaskan alasan Predator membunuh yang ternyata lebih sophisticated dari sekedar insting bertahan hidup. Ini sebenarnya mencerminkan visi dan arahan Shane Black untuk ke depannya. Jika kita lihat ending film ini, bukan sekedar asal nembak jika kita sampai berteori manusialah yang akan menjadi predator bagi Predator.

Bukan tanpa alasan jika manusia disebut sebagai predator paling berbahaya. Enggak cukup dengan memakan apa saja yang bisa dimakan untuk bertahan hidup, membuat kita predator segala resipien; jumlah mangsa paling banyak. Kita terkadang suka ‘memangsa’ sesuatu di luar kemampuan kita. Manusia ingin menangkap semuanya, lihat betapa tamaknya teknologi dan alien diperebutkan oleh tokoh-tokoh film ini.

 

 

Dimulai dengan pesawat asing crashing down, yang mengingatkan kita kepada Predator pertama, dan tentu saja dengan The Nice Guys (2016); buddy-komedi garapan Black yang kocak abis. Sama seperti film tersebut, The Predator juga punya tokoh anak jenius yang memegang peranan penting. Tapi tidak seperti film tersebut, The Predator  punya plot yang sedikit terlalu ribet untuk dirangkai. Narasi film ini lebih terasa seperti rangkaian-rangkaian kejadian alih-alih sebuah kesatuan cerita yang kohesif. Tokoh utama kita adalah Quinn McKenna seorang sniper yang diperankan oleh Boyd Holbrook. Dialah yang pertama kali menemukan pesawat alien yang jatuh saat sedang bertugas di hutan. Pemerintah tentu saja berusaha menutupi kejadian tersebut, Quinn ditangkap dan dikirim ke penjara karena menolak untuk tutup mulut. On the way, Quinn bergabung dengan tentara-tentara ‘sinting’ yang lain, untuk mengalahkan alien yang Quinn tahu bakal datang mencari benda yang ia ambil dari rongsokan pesawat. Yang tak diketahui Quinn adalah benda tersebut justru dikirim pos ke depan pintu rumahnya. Dan jatuh ke tangan Rory, anaknya. See, Jacob Tremblay di sini adalah anak berkebutuhan khusus yang bisa menyusun bidak-bidak catur yang berserakan ke posisi sebelum permainan diganggu. Armor dan benda-benda berkilat itu dimainkan oleh Rory layaknya video game. Bahkan helm alien tersebut ia kenakan sebagai kostum Halloween. Tanpa menyadari bahwa dia baru saja mengirim sinyal memberitahu Predator langsung ke alamat rumahnya.

kalo gak mau dilihat orang, pake topeng astronot aja, dek

 

 

Film ini adalah rangkaian kejar dan kabur-kaburan yang melibatkan banyak talenta, dialog dan momen kocak, serta sosok Predator yang kostumnya keren. Keputusan memakai orang alih-alih komputer memang jarang sekali menjadi keputusan yang jelek untuk film monster seperti ini. Enggak semua yang kita lihat adalah CGI, walaupun memang efek menjadi penyedap utama buat film ini. Shot, cara mati, pertempurannya, seru untuk diikuti. Pemandangan Predator yang tak-terlihat terguyur oleh darah  membuatku bertepuk tangan. Selera komedi film ini sangat klasik, nuansa monster 80annya sangat kuat. Ada satu tokoh yang bilang “I will be back” yang langsung disamber ama temennya “No, you won’t”. Dan ini lucunya meta banget. Hanya saja, di luar segala referensi dan one-liner itu, enggak banyak yang bikin kita ter-attach sama tokoh-tokohnya. Sangat susah buat kita bersimpati pada apa yang mereka hadapi, lantaran mereka sendiri tidak pernah tampak ketakutan. Mereka bercanda saja sepanjang waktu. Malah ada satu tokoh yang karakternya literally disebutin suicidal. Dan dia menyebut itu dengan tampang bangga. Jadi ketika dia benar-benar memilih untuk mati, kita enggak ada sedih-sedihnya.

Sepertinya film berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh Taika Waititi pada franchise Thor. Taika melihat potensi komedi pada Thor, dan menggadangkan aspek tersebut, tapi Taika tidak mengecilkan porsi yang lain. Thor dan para karakter tetap dibuat emosional, dan actually tema ceritanya adalah bahwa dewa juga manusia. The Predator mencoba untuk berevolusi, Black melihat potensi komedi pada franchisenya, dan benar-benar banting setir ke arah sana. Sisi kemanusiaan karakter lupa diperhatikan. Jangankan horor, emosi yang lain pun tidak dapat kita rasakan. Ada satu tokoh yang belum pernah menyakiti orang seumur hidupnya. At one point of the story, terbunuhlah orang olehnya. Tapi film tidak membawa kita untuk menyelami perasaannya; tidak ada penyesalan, sedih, tidak ada rasa bersalah, atau malah tidak ada rasa senang ataupun mungkin lega. Film ini berpindah begitu cepat seolah kejadian-kejadian yang mereka lewati sudah tidak penting lagi karena, hey, itu Predator yang harus mereka kalahkan sudah muncul kembali.

Ada perbincangan soal menjadi ‘alien’ di planet sendiri. Predator normal dan Quinn sebenarnya berbagi perjalanan yang serupa, bahwa mereka adalah orang asing. Mereka adalah pelarian. Karena mereka tidak setuju ataupun bertentangan dengan pemerintah, dengan sebuah kesepakatan. Jadi mereka memilih cara mereka sendiri, dengan harapan mengubah hal menjadi lebih baik karena mereka tahu that they know better. Makanya pertempuran terakhir dengan Super Predator yang pada dasarnya adalah ‘polisi’ para predator menjadi sangat personal bagi Quinn. Aspek ini terlihat digunakan sebagai alasan kenapa Black membawa The Predator menjadi full action dan less-horor. Karena dia ingin berevolusi. Bahwa dia tak segan untuk menjadi berbeda di dunianya sendiri. Babak ketiga film ini memang seperti sebuah tindakan yang berkelit dari potensi horor, terasa sekali gimana film yang sadis ini enggak mau tampil menyeramkan. Drawback dari keputusan kreatif ini adalah film tidak bisa bercerita dengan baik, narasinya tidak terasa berkembang dengan alami.

Alih-alih berevolusi, apa yang dilakukan oleh Shane Black terhadap film ini malah lebih seperti ilmuwan gila yang sedang menjahit makhluk Frankeinstein. Ya, film ini makhluk tersebut; penuh jahitan.

 

 

 

 

Dengan semua materi dan talenta yang ia punya, Shane Black menyuguhkan kepada kita petualangan aksi yang kocak dan sadis dengan sosok monster, tapi tidak pernah diniatkan untuk terasa menyeramkan. Keputusan yang aneh, memang. Tapi aku tidak bisa bilang aku kecewa, karena aku sebagai penonton yang tumbuh dengan monster-monster cheesy 80-90an, sangat menikmati lelucon film ini. Tapinya lagi, kesenangan pribadi kita terhadap suatu film tidak lantas menyematkan predikat bagus terhadap film tersebut. Ada banyak aspek yang lemah pada film ini, narasinya yang tidak padu, plot yang tipis, karakter yang tampak tidak tahu emosi lain selain ngelucu. Untuk menyederhakannya; film ini terasa artifisial. Dia seperti memakai banyak armor secara serabutan. Yang menunjukkan betapa lemah ia sesungguhnya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE PREDATOR.

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa sih kekuatan dari franchise Predator menurut kalian? Apa film Predator favoritmu?Apakah dengan membuatnya jadi kehilangan unsur seram dan total komedi Shane Black sudah membunuh franchise ini?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT Review

“Pain changes people”

 

 

 

Mau dia pakai baju putih sekali pun, iblis tetaplah bukan malaikat. Kita tidak membuka pintu untuknya. Kita tidak mempersilakannya masuk. Kita tidak memanggil namanya. Sayangnya, Pak Lesmana lagi kepepet. Dia butuh duit yang banyak buat menghidupin keluarganya. Dalam adegan pembuka yang bertindak sebagai prolog, kita melihat bagaimana manusia bisa dengan gampang terbujuk, ikut menjadi penyembah setan, melebihi kekuatan sangkal dan iman mereka sendiri. Dari opening ini saja kita bisa segera tahu, kita berada dalam tangan penulis dan pembuat film yang cakap. Mereka menceritakan informasi-informasi dengan menghindari flashback, setiap informasi mereka sampaikan dengan menarik. Dalam wilayah horornya, kita juga langsung dikasih peringatan lewat imaji-imaji  dan pengambilan gambar yang creepy; bahwa kita sedang duduk dalam sebuah wahana horror yang benar-benar akan bikin lemes jiwa dan raga.

Sebelum Iblis Menjemput tahu bagaimana cara memperkenalkan diri. Film ini pun cukup bijak untuk tidak berlama-lama menghantarkan kita kepada apa yang mau kita lihat; hantu dan darah. Sebagaimana jumpscarenya, set up setiap tokoh dilakukan dengan sangat efektif. Setiap detil di babak awal adalah informasi yang sangat berharga. Bahkan kengerian sudah dihampar secara subtil (awalnyaaa!) di layar, meminta kita untuk memperhatikan. Supaya kita dapat memahami kondisi keluarga mereka. Di tengah kebangkrutan karena nyawa Lesmana sudah di ujung tanduk; keluarga nomor dua bapak ini mulai ribut mencari aset miliknya yang bisa dijual. Mereka lantas menghubungi Alfie, anak kandung Lesmana, yang punya kunci ke vila – tempat di mana Lesmana diduga menyimpan hartanya. Kita melihat Alfie yang kehidupannya kontras dengan Maya, padahal kita tahu mereka bersaudara. Meskipun hanya saudara tiri. Kita melihat Alfie hidup ‘keras’, dia tidak akrab sama saudara-saudara tirinya. Konflik antara Alfie dan Maya, relasinya dengan Ruben, si kecil Nara, dan ibu tirinya jadi hati drama cerita. Dan ketika mereka semua sepakat untuk kembali ke vila tersebut, pintu masalalu – both literally and figuratively – terbuka, melepaskan iblis yang seketika membuat semuanya menggila!

 

Tok tok!
Siapa?
Pevi..
Pevita yang artis ya? Waaahhh

PEVInilah jadinya kalo kalian nyari kekayaan mintanya ke Iblis!!

 

 

Ok, that was corny, yang mana jauh sekali dari apa yang film ini lakukan.  Mengangkat tema supranatural, dengan ada perwujudan iblis bertanduk, ada tokoh hantu yang super nyeremin, ada tokoh-tokoh yang kesurupan dan melakukan hal-hal sadis serta gila, film tidak pernah melanggar garis over-the-top alias garis lebay. Semuanyadiarahkan untuk ketegangan maksimal, sehingga sekalipun kita tertawa, maka itu adalah adalah tawa canggung untuk menutupi kegugupan dan ketakutan kita akan kengerian yang kita tahu bakal datang. Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018) bisa saja menjadi semengerikan ini kalo dirinya tidak diarahkan untuk menjadi over-the-top (bandingkan konfrontasi final kedua film ini yang mirip tapi kesan yang dihasilkannya begitu berbeda), dengan alur yang sebenarnya tidak perlu ditutupi; tidak perlu ada twist. Horor sadis buatan Hitmaker kayak Sabrina (2017), dan seri The Doll seharusnya bisa jadi semengena ini jika saja tidak terlalu sibuk membangun sekuel-sekuel. Sebelum Iblis Menjemput ADALAH KONDISI TERBAIK YANG BISA DICAPAI OLEH HOROR INDONESIA sejauh ini. Punya plot karakter yang tertutup, punya awal-tengah-akhir (Tidak seperti kau, Pengabdi Setan), jadi enggak sekadar bermain di konsep body horror yang bikin gross out, melainkan juga seram, dengan drama yang lumayan berbobot.

Perubahan sikap Alfie, dan orang-orang yang kesurupan pada film ini menggambarkan bahwa derita dan rasa sakit sanggup membuat orang berubah. Tiada cinta tanpa derita, hidup kita gak akan jalan kalo enggak pernah merasain sakit. Luka adalah pintu bagi kit auntuk mendapat kekuatan, menjadi lebih bijak, bagaimana membuat kita menjadi semakin tangguh. Tidak ada yang keluar dari derita tanpa berubah menjadi pribadi yang berbeda dari diri sebelumnya.

 

 

Penampilan akting film ini benar-benar terasa seperti berasal dari dunia yang lain. Maksudku,setiap pemain diberikan tantangan, mereka semua didorong untuk melakukan hal-hal yang bukan saja fisikal, melainkan juga emosional – dalam taraf kegilaan yang just enough untuk bikin kita bergidik sampai tengah malam nanti. Tokoh-tokoh cewek di film ini, jangan harap mereka hanya jadi eye candy. Mereka semua dibikin bercacat, luka-luka, dekil-dekilan, mandi lumpur, bersimbah darah, tulangnya patah-patah. Semua deh. Aku gak pernah nyangka aku bakal gemeteran seperti tu saat melihat Pevita Pearce.  Aku gak mau bilang banyak soal tokoh yang ia mainkan di film ini, tapi aku benar-benar gak nyangka Pevita sanggup men-tackle peran seperti demikian. Dan bukan sembarangan, dia sukses berat. Sutradara Timo Tjahjanto directs the shit out of her. And everybody else. Dan tak seorangpun yang jatohnya lebay. Chelsea Islan sebagai Alfie mungkin gak banyak dapat sorotan dari rangorang. Buatku, ia adalah protagonis film horor terkuat yang pernah aku lihat sepanjang tahun ini. Alfie keras dan badass banget, dia ditekan oleh ketakutan dan kemarahannya bersamaan, dan at times emosinya tersebut enggak exactly mengarah ke si iblis. Ada monolog hebat yang Islan ucapkan di babak awal yang menunjukkan kematangannya dalam berakting. Pada gilirannya, kita turut rasakan rapuhnya ketika dia berusaha memproyeksikan kebencian itu terhadap dirinya sendiri.

there’s no way itu Karina Suwandhi kan? Kan!?

 

Penggemar horor bunuh-bunuhan sudah pasti akan sangat terpuaskan. Make up dan efeknya keren, ada bagian ketika leher seseorang ditarik oleh kekuatan tak terlihat sehingga memanjang sebelum akhirnya copot dari pundaknya, dan itu terlihat sangat meyakinkan. Yang pengen lihat hantu juga pasti tepuk tangan karena hantu di film ini gak konyol dan luar biasa seram. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh film ini. Semuanya dipush habis-habisan. Termasuk ngepush suspend of disbelief kita. Ada waktu ketika film ini meminta kita untuk memaafkan sedikit ketaklogisan, serta ketidakkonsistenan, yang terpaksa diambil oleh cerita – itu jika kita ingin tetap bersenang-senang menikmati film seperti bagaimana bisa adik kecilnya sanggup menarik Alfie keluar dari atas liang kubur. Ataupun ketika tangan dan kaki Alfie yang sudah patah, namun dia masih mampu berjalan dan mencangkul tanah. Dan pada shot akhir kita melihat Alfie kembali pincang dan jari-jarinya bengkok. Bisa sih, kita mengaitkannya dengan pesan orang dapat berubah karena derita yang ia rasakan yang terus dikoarkan oleh film. You know, mungkin Alfie dan Nara menarik kekuatan dari keadaan mereka yang sangat menderita, hanya saja agak terasa terlalu memaksa. Tokoh-tokoh film ini dalam paniknya juga sangat disayangkan harus selalu memilih untuk berpencar, meskipun logisnya adalah mereka keluar aja bareng-bareng mencari perlindungan ke desa. Enggak musti dibagi dua, satu tim keluar rumah nyari pertolongan untuk pendarahan di tangan, dan satu tim lagi tinggal di rumah.

Dalam sakit, kita masih cinta. Meski penuh waspada, karena kita takut akan terjerumus lagi ke dalam lembah derita yang sama. Kita memikirkan bahwa hal bisa menjadi sangat singkat. Kita cinta, tapi tidak pernah murni seperti sedia kala.

 

 

Banyak trope horor seperti demikian yang tak bisa dihindari, namun film berusaha membuatnya dengan berbeda. Seperti misalnya ketika seseorang ditarik ke bawah tempat tidur, dan tokoh-tokoh lain berlari dari luar menyelamatkannya; kebanyakan film akan membuat entah itu hantunya berhasil menculik, ataupun gagal, yang jelas biasanya si hantu sudah tak ada saat banyak orang datang menyelamatkan. Pada film ini, hantunya tetap ada. Malah balik menyerang. Ini adalah salah satu adegan yang membuatku tertawa nervous karena buatku seram sekali hantunya enggak malu-malu. Kita bisa lihat film ini seperti berkaca kepada horor klasik Sam Raimi, The Evil Dead (1981), di mana kekuatan supranatural memporakporandakan rumah di tengah-tengah entah di mana,  membuat tokoh-tokoh jadi gila, penuh kekerasan juga. Namun jika di horor itu, dan kebanyakan horor lain, tokohnya adalah remaja yang pergi liburan, Sebelum Iblis Menjemput punya tokoh-tokoh yang lebih berbobot; remaja yang diikat oleh tali keluarga, dengan sudut pandang mereka berusaha utuh sebagai keluarga.

 

 

 

Horror Indonesia at its best. Film ini menawarkan semua kegilaan yang bisa diinginkan oleh penggemar film horor secara umum, dan gore khususnya. Eksekusinya pun dilakukan dengan begitu kompeten. Penampilan aktingnya luar biasa. Pergerakan kamera, efek, make up, penulisan – arahan film ini benar-benar berada di tingkatan yang berbeda. Kita akan takut, kita akan nyengir sakit, kita akan memicingkan mata. Terkadang kita geleng kepala juga dibuatnya, karena ada beberapa elemen kecil dari cerita yang memohon untuk kita menahan ketidakpercayaan kita, ada adegan yang maksa untuk masuk ke logika cerita, ada yang gak konsisten, tapi tidak mengurangi banyak keasyikan menonton. Film ini sekiranya bisa membawa horor kembali ke arah yang benar, sebelum keasyikan horor kita musti dijemput lagi sama iblis bernama uang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SABRINA Review

“Revenge may be wicked, but it’s natural.”

 

 

 

‘Rocky Horror Picture Show’ sepertinya akan mendapat tambahan arti. Jika lawas, kita mengenal kata itu sebagai judul film cult klasik bergenre musical horror. Maka bukan tidak mungkin di era kekinian, mendengar kata tersebut orang-orang jaman now pada langsung kepikiran Rocky Soraya dan rentetan horror sadis buatannya dalam seri The Doll yang dimulai sejak 2016. Sabrina, entry teranyar dari seri ini, hadir dengan cap dagang yang sama; boneka berisi setan dan tusuk-tusukkan hingga potongan anggota badan. Jualan yang ampuh. Seri ini sudah semakin mantap menyemen jalan menuju status cult klasik miliknya sendiri. Meski aku heran juga kenapa boneka ugly-not-creepy kayak Sabrina dibeli oleh banyak anak kecil dalam film ini.

ayo rolling-eyes bersama Sabrina

 

Setelah dua kali sukses, The Doll dan The Doll 2 (2017) mendapat sambutan hangat dari both kalangan penggemar body horror dan mainstream, Rocky dan timnya di rumah produksi Hitmaker Studios tampaknya menjadi semakin gede kep… gede hidung menangguk keberhasilan yang serupa. Tetap bercokol di lingkungan keluarga – yang membuat cerita film ini somewhat relatable – mereka mulai mengekspansi sudut pandang cerita. Sabrina tidak lagi sekedar membahas gimana boneka yang tampangnya kayak versi kartun Luna Maya bermata besar berambut keriting ini menjadi medium entitas jahat yang mengganggu satu keluarga. Ini juga adalah tentang pertempuran ilmu putih dan roh hitam. Malahan, begitu ambisiusnya cerita, status film ini menjadi agak ‘kabur’; pembuatnya bilang ini spin-off, meskipun secara jelas cerita merupakan kelangsungan dari kejadian di The Doll 2. Either way, sesuatu yang mengerikan bakal terjadi, dan tokoh ahli supranatural yang sudah kita kenal di dua film sebelumnya, harus segera menghentikan. Tak peduli meski nyawa mereka sendiri yang sekarang menjadi incaran.

Aku sendiri lebih suka menganggap ini sebagai sekuel karena memang ceritanya terasa lebih besar. Tapi tentu saja lebih besar bukan berarti lebih baik. Aku sempat bingung juga siapa sih tokoh utama di film ini. Seharusnya memang Laras, si paranormal. Hanya saja untuk sebagian besar pertengahan pertama – also the heart in the story – kita akan melihat Maira berusaha menata keluarga barunya. Dia menikah dengan anak pemilik pabrik mainan yang memproduksi boneka Sabrina yang baru. Pasangan ini mengangkat anak bernama Vanya, yang actually adalah keponakan dari Aiden, suami Maira. Kita juga bisa melihat cerita dari sudut pandang Vanya yang bersikap dingin kepada orangtua angkatnya, karena Vanya masih mengenang dan sulit melepaskan sosok ibu kandungnya yang telah tiada. Vanya dan Maira punya hubungan yang cukup menarik; mereka sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai. Maira tadinya berpikir Vanya yang lebih suka main boneka dan ngobrol sendiri punya masalah yang sama dengan dirinya di film terdahulu; halu bahwa ibunya (anak dalam kasus Maira) masih hidup. Little did she know, Vanya mengontak dan memanggil roh ibunya lewat permainan anak-anak. Hantu ibu Vanya ini mulai menimbulkan masalah, karena dia sepertinya cemburu Maira mendekati anaknya. Or so we thought. Tapi hal menjadi lebih mengerikan lagi. Iblis yang dipanggil oleh Vanya ternyata punya masalah personal dengan Laras, paranormal kenalan Maira. Cerita kemudian berpindah ke si Iblis Baghiah dan Laras, dan bagaimana Laras harus mengalahkan makhluk halus yang haus tubuh manusia tersebut.

Ini adalah cerita tentang sosok-sosok yang dibesarkan oleh keinginan untuk balas dendam. Di film ini kita akan melihat seberapa jauh dan mengerikannya balas dendam bisa terwujud, jika kita memang berniat untuk melakukannya. Atau bagaimana kesumat itu bisa diredam dengan willing to let go

 

 

Cerita semakin tak terkendali menjelang babak ketiga. Udah susah untuk bisa kita pedulikan. Semua kejadian berbelok dan masuk sekena pembuatnya saja. Ada yang involving senjata mustika. Ada twist yang berhubungan dengan soal persaingan internal keluarga pebisnis mainan. Elemen-elemen cerita ini sebenarnya terikat dengan rapat. Plot pun menutup dan film ini bisa berdiri sendiri. Momen menarik buatku adalah ketika Laras sempat ragu apakah akan mengambil pisau atau kalung daun kelor untuk memusnahkan Baghiah; ini adalah momen ketika dia memilih apakah harus membalas dendam secara langsung atau tidak, karena iblis itu sudah menghancurkan keluarganya sejak film-film yang lalu. Mengenai twistnya, THE CLUE WAS ON THE NOSE, if you know what I’m speaking. Pada dasarnya, drama film ini akan terasa dangkal kurang terdevelop, karena memang porsi yang lebih menarik sudah mereka ceritakan di The Doll 2. Sekaligus juga terasa membingungkan karena jumlah cerita dan elemen-elemennya banyak dan semua ditulis setengah hati, dengan karakter yang lemah.

Ada adegan ketika Vanya mau masuk ruangan yang gelap, tapi dia takut. Dia mencoba menghidupkan lampu, sayangnya saklar terlalu tinggi. Jadi dia masuk saja gelap-gelap. Ini adalah contoh gimana malasnya ngembangin cerita sehingga mengorbankan karakter. Naskah butuh si anak masuk ke ruangan yang gelap; banyak hal yang bisa dilakukan untuk jadikan rintangan – kita perlu melihat usaha si anak karena dia adalah karakter yang seharusnya kita pedulikan. Tapi enggak, Vanya malah terlihat bego gak bisa ngidupin lampu; sebagai hasil dari adegan ini. Satu lagi; di bagian akhir ada pengungkapan yang memperlihatkan semua kejadian mengerikan itu terjadi karena ada satu tokoh yang membayar dukun untuk memanggil setan. Actually, setannya yang membeberkan hal ini. Kemudian kita lihat si tokoh ditangkap polisi, sebagai penyelesaian. Dan ini membuatku berpikir; atas dasar apa polisi menangkap orang yang secara fisik tidak pernah menyentuh, apalagi melukai, korban? Bisakah hukum menahan orang yang ke dukun atau bahkan dukunnya sendiri jika tidak ada bukti mereka melakukan kejadian, katakanlah, pembunuhan? Mungkin kita bisa berkilah ‘ini cuma film’ namun mengambil penyelesaian termudah itu sesungguhnya mendangkalkan cerita lantaran mereka bisa mengeksplorasi gimana nasib si tokoh dengan lebih baik – dan in turn, membuat tokohnya jadi lebih dalem dari sekadar twist device

Paruh terakhir toh bisa saja memuaskan untuk penggemar horror sadis yang tak peduli melihat hal yang sama berkali-kali. Sara Wiijayanto sukses tampil intens, seteru Laras dengan Baghiah, melibatkan banyak orang berdarah-darah tak pelak ada highlight dari film ini. Kalo kalian bertanya kenapa hantunya musti repot ngerasuki orang, membunuh pakai pisau, padahal sebenarnya dia tinggal membanting dengan kekuatan gaib, maka jawabnya adalah karena persoalan sudah begitu personal, hantunya ingin memberikan rasa sakit sebanyak mungkin. Dan juga karena ditusuk pisau aja masih bisa hidup, gimana mau dibanting.

Begitu juga dengan Luna Maya yang dengan berani menjajal semua. Dia jadi wanita yang berusaha memenangkan hati anak angkatnya. Dia kesurupan jadi setan pencabut nyawa. Dia dikubur hidup-hidup. Dia dilempar hingga punggungnya menabrak rak sehingga dahinya terluka. Make up dan efek darahnya hebat. But the filmmakers need to put a new spin into their product. Dan jelas ‘spin’ yang dimaksud di sini bukan spin dari game Pencil Charlie. Serius deh, adegan-adegan permainan memanggil arwah ini digarap dengan begitu malas sehingga dengan begonya kita menatap shot yang sama sampai lima kali. Masa iya mereka gak bisa memfilmkan pensil menuju kata ‘yes’ dengan arah atau sudut yang berbeda. Shoot yang ngezoom pintu setiap kali pindah adegan juga sama overusednya. Awalnya memang terlihat keren, tapi diulang begitu-begitu terus ya jadi bosen.  Ini menjadi bukti bahwa pembuat film ini memang suka mengulang memakai sesuatu yang menurut dia bagus dan cukup berhasil. Film ini kita mendapat banyak adegan yang mirip, beat-to-beat poin adegan nyaris kayak film sebelumnya. Dan betapa lucunya melihat begitu banyak yang kesurupan di film ini, dan semuanya jadi berhidung gede. Ini udah kayak Truth or Dare (2018) di mana yang kesurupan senyum aneh semua.

Kalo lagi main game fighting, pembuat film ini pastilah selalu memakai tokoh yang sama untuk menang, dengan mengeluarkan jurus yang itu melulu – tak lebih dari tendang bawah. I mean, penting untuk menemukan formula keberhasilan – jurus dalam video game adalah formula-formula tersebut, dan tak kalah pentingnya untuk menemukan cara-cara baru untuk mengeksekusi formula tersebut. Karena menggunakan jurus yang sama terus menerus akan membuat orang belajar menemukan kelemahan kita. Dan tentu saja; membosankan.

yang belum pernah kita lihat sebelumnya di film ini adalah Luna Maya berhidung gede

 

Dengan minimnya kemauan untuk mengembangkan cerita, dialog-dialog terdengar kaku karena sebagian besar berisi eksposisi. Sedari awal saja kita sudah dikasih kado-kado berupa penjelasan dan latar belakang cerita.  Film merasa perlu untuk menjelaskan setiap detil kecil. Cara dobrak pintu, misalnya. “Kalo saya bilang ‘dobrak’, kamu dobrak yang keras.” Enggak semua hal musti diucapkan. “Kalo tiga dari jawabannya ada yang salah, berarti hantunya palsu.” Enggak semua kesimpulan musti dijabarin. Malahan, dialog Luna Maya saat menemui Laras pada dasarnya sama aja ama ngerangkum plot yang sudah dilewati. Dan setelah semua ekposisi yang enggak perlu tadi, mereka malah ninggalin yang mestinya mereka jelasin. Tokoh yang diperankan Jeremy Thomas, kita tak tahu apa-apa tentang tokoh yang cukup signifikan ini. Backstorynya hanya dideliver dalam satu kalimat bahwa dia adalah rekan kerja Laras yang dulu, and that’s it. Gimana kita mau peduli, coba, yang ada malah curiga.

 

 

 

Maira, Aiden, Vanya.
Marah. Edan. Paniang.
Itulah yang kurasakan saat menonton ini. Marah karena mereka tidak melakukan apa-apa yang baru, semua yang kulihat di sini tak ubahnya adegan-adegan yang kulihat pada film kedua. Bahkan shot-shot yang digunakan pada film ini pun repetitif. Edan, lantaran kekuatan film ini terletak di kenekatannya tampil berdarah-darah, dan mereka terus mengepush kualitas ini. Dan paniang, pening oleh banyak hal ‘bego’ yang tak terjelaskan, juga oleh naskahnya yang begitu convolute – tiba-tiba ada yang berubah, tiba-tiba ada elemen yang dijejel masuk – mereka seharusnya menulis cerita dengan lebih tight; jika memang pengen memperkenalkan ini sebagai spin-off buat saja dari sudut pandang Laras, misalnya. Buat penonton yang baru menyaksikan ini, tanpa menonton film sebelumnya, kalian bisa saja menjadi fan baru yang kepincut dan penasaran pengen nonton prekuel-prekuelnya. Tapi buat penonton yang sudah ngikutin, jenuh pasti datang, karena kita pengen melihat aplikasi gimmick seri ini dalam sajian yang fresh.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SABRINA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

JIGSAW Review

“If you obey all the rules, you’ll miss all the fun.”

 

 

Kita kadang suka ngeyel kalo dilarang, kalo dikasih aturan-aturan. Di mana asiknya hidup kaku, apa-apa gak boleh. Peraturan kan dibuat untuk dilanggar. Well, coba deh pikir lagi. Prinsip tersebut tidak bakal banyak berguna dalam menyelamatkan nyawa, jika kalian tertangkap dan dipaksa bermain X-Factor maut oleh Jigsaw. Kunci selamat dari jebakan-jebakan maut John Kramer memang sesederhana itu; ikuti aturan – terkadang malah disebutkan harafiah olehnya, dan kalian akan bisa melihat mentari besok pagi. Masalahnya, ngikuti aturan tidak akan pernah sesimpel kedengarannya.

Pengalamanku mengenal film ya dimulai dari nonton film-film berdarah kayak gini. In fact, dulu aku hanya nonton slasher, thriller, horror, aku menikmati adrenalin rush dari ngeliat orang dikejar-kejar oleh monster berparang nan menyeramkan. Aku terhibur sekali melihat tokoh-tokoh bego menemui ajal secara menggenaskan karena ulah tolol mereka sendiri. Dan setelah nemu film Saw yang pertama (2004), aku jadi sadar bahwa film sadis enggak melulu musti bego. Bahwa ada metode di balik kegilaan para pembunuh berantai. ADA PERATURAN YANG MEREKA TAATI. Akar Saw adalah elemen psikologis yang membuat kita berpikir soal apa kesalahan para korban karena kita bisa melihat palu justifikasi yang disandang oleh pelaku. Kenapa mereka pantas berada di sana. Hukuman-hukuman Jigsaw dirancang untuk ‘menyembuhkan’ penyakit para korban – untuk membantu mereka menghapus dosa. Pada film pertama, elemen ini begitu kuat terfokus, dan itulah yang membuatku selalu menantikan sekuel-sekuelnya. Meskipun setelah film yang kedua, franchise Saw semakin melupakan akar psikologis dan malah berubah menjadi ‘torture porn’.

cap cip cup kembang kuncup

 

Seri Saw harusnya sudah berakhir di film ketujuh yang tayang di tahun 2010. I still remember it fondly, itu pertama kalinya aku nonton Saw di bioskop. Dan filmnya memang jelek, terburuk di antara franchise ini kalo boleh kutambahkan. John Kramer – dalang di balik jebakan Saw – sudah lama mati (sejak Saw III) dan setelah itu ceritanya jadi fokus antara persaingan anak-anak murid Kramer. Tujuh tahun setelah itu kita  mendapati lima orang diculik dan diperangkap dalam permainan penuh jebakan maut. Pesan suara dikirim kepada kepolisian, menantang mereka sekaligus ngasih tahu Jigsaw Killer sudah kembali. Siapa di baliknya? Sekedar peniru ataukah Kramer beneran hidup lagi? Aku excited banget duduk nonton film ini, terlebih karena Jigsaw ditangani oleh, tidak hanya satu melainkan dua orang sutradara – Michael dan Peter Spierig – yang sama sekali belum pernah terlibat dalam franchise Saw. Jadi, aku tahu kita bisa mengharapkan pembaruan besar-besaran.

Perubahan yang Spierig Bersaudara lakukan terletak pada gaya film. Jigsaw lebih terlihat LEBIH CINEMATIK  berkat pilihan aspek rasio layar yang mereka pilih. Kesannya lebih serius dibandingkan beberapa sekuel terakhir Saw yang lebih kelihatan seperti serial TV. Tidak lagi kita jumpai editing quick-cut antara jebakan dengan wajah korban. Efek suara aneh dan teriakan over-the-top pun juga dihilangkan di sini. Jebakan-jebakan pada Jigsaw tidak sesadis seri-seri terburuk Saw, makanya semua adegan film ini jadi bisa lolos dari gunting sensor badan perfilman tanah air.

 

“Hello, filmmakers.

I want you to play a game.

Ada penggemar yang suka Saw karena elemen psikologis dan mereka terganggu sama efek darah dan gore yang berlebihan.

Ada penggemar yang totally haus darah dan semakin sadis jebakan, semakin menggelinjang mereka.

Pilihlah dengan bijak”

Begitu kiranya kata boneka badut bersepeda kepada mereka, dan mereka melanjutkan dengan mengambil pilihan yang aman. Film ini enggak benar-benar liar dalam nampilin gore, banyak adegan berdarah namun tidak bikin kita bergidik dan pengen muntah ngeliatnya. Seperti pada film pertama, Jigsaw banyak mengcut dim omen-momen yang tepat dan membiarkan imajinasi kita membayangkan apa potongan paling besar yang tersisa dari tubuh korban. Di lain pihak, film juga tidak kontan kembali ke ranah psikologis. Jigsaw tampak ingin memuaskan kedua golongan penonton, film berusaha mempertahankan sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek khas franchise Saw.

Akibatnya, Jigsaw tidak melakukan hal yang benar-benar baru. Film ini ngikutin formula dan ‘aturan’ yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya. Kita dapat dua cerita kali ini. Sekelompok detektif yang berusaha mencari tahu siapa pelaku di balik kasus jigsaw yang baru. Dan tentu saja ada sekelompok orang berdosa yang sedang diuji nuraninya, terkurung di suatu tempat. Tokoh-tokoh ini pun generic sekali, kita udah pernah dapet yang serupa. Mereka selalu adalah Si Tenang dan Pintar, Si Clueless, Si Baik Hati, Si Egois, dan Si Paling Nyusahin Mati Aja Lo!

The Deadfast Club

 

Kedua cerita ini, however, akan bertemu di babak ketiga, di mana bakal ada big reveal – twist yang membuat kita “ooh begitu, njir keren banget gak kepikiran!” Inilah yang membuat aku kecewa. Sebab, aturan memang ada untuk dilanggar, ngikutin aturan hanya akan membuat kita melewatkan hal-hal yang menyenangkan. Dalam kasus ini, dengan begitu ngikutin formula, film Jigsaw melewatkan kesempatan melakukan pembaruan yang asyik. Tujuh tahun, dan tetep aja tidak ada alasan menarik atas kembalinya franchise ini, selain studio ingin memperkenalkan ulang Saw.

Aku berharap lebih dari sisi cerita. Aku tidak ngerasa peduli-peduli amat sama lima orang yang tertangkap, ataupun kepada lima polisi yang berusaha melacak Jigsaw. Mereka sebenarnya berjalan paralel, kejutan yang disiapkan oleh film lah yang tidak. Dan dari standpoint kejutan ini, Jigsaw buatku adalah salah satu sekuel yang punya twist jinak dan dapat ditebak. Maksudku, kita sudah dibekali dan belajar dari tujuh film sebelum ini, dan Jigsaw tidak melakukan hal yang baru. So yea, we saw that twist coming. Dan menurutku, twistnya ini hanya bekerja kepada kita para penonton. Jika kita memposisikan diri sebagai salah satu detektif, kita tidak akan melihat hebohnya pengungkapan di akhir. Kita tidak ngerasain apa yang dilakukan oleh si Jigsaw. Yang akan kita tahu hanyalah mayat-mayat ditemukan, dan dari mereka ada petunjuk yang membawa kita ke sarang Jigsaw yang baru. Kita tidak akan ngeliat efek pintar dari dua timeline yang diparalelkan. Jadi memang twistnya lebih terasa seperti menipu. Kita akan merasa “wah, ternyata dia! Bagaimana bisa?!!” lalu terungkap lagi kenyataan setelah false resolution yang bikin kita “oh ternyata enggak”

Mengakui kesalahan itu enggak gampang. Apalagi mengakui orang lain benar, dan kita salah. Perangkap Jigsaw adalah tentang mematuhi aturan, mematuhi mana yang benar. Jangan injak, jangan melarikan diri, jangan tembak – dan orang-orang tetap melakukannya. Jigsaw memperlihatkan kepada kita bahwa di saat nyawa di ujung tanduk pun, kebanyakan orang masih berusaha menentang perintah atau aturan yang diberikan, demikian beratlnya mengaku dosa.

 

 

Untuk sebuah kejutan setelah tujuh tahun, film tidak berubah banyak selain secara gaya penyajian. Aku memang sedikit kecewa, namun juga tidak menyangkal aku terhibur. Ini adalah sajian yang lebih baik daripada kebanyakan sekuel Saw. Tidak lagi dia menjadi fokus ke alat-alat penyiksaan, film ini tidak terlalu sadis, pun tidak terasa begitu psikologikal. Berada di level oke di mana para penggemar beratnya tidak akan keberatan menyukai walaupun filmnya tidak luput dari banyak kritikan, karena toh sejatinya banyak kekurangan dari standpoint cerita. Yang harus diingat cuma satu; tidak ada peraturan baku bahwa kita hanya boleh suka sama film-film bagus. It’s your choice.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for JIGSAW.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.