GRETEL & HANSEL Review

“This business of womanhood is a heavy burden.”
 

 
 
Dongeng-dongeng klasik dari Grimm Bersaudara ceritanya sungguh beneran grim. Kelam. Suram. Kakak-kakak tiri Cinderella memotong jari kaki mereka sendiri supaya muat mengenakan sepatu kaca. Ratu di Snow White memerintahkan pemburu bukan hanya untuk membunuh, melainkan membawa pulang paru-paru dan hati Snow White untuk ia makan – not to mention, Snow Whitenya sendiri masih bocah alih-alih sudah remaja. Dongeng-dongeng fantastis tersebut difilmkan, misalnya oleh Disney, dengan diadaptasi menjadi cerita yang lebih accessible buat anak-anak. Yang lebih ringan, yang lebih mengedepankan imajinasi dan nilai moral yang bisa dipetik oleh anak. Tapi tidak demikian halnya dengan Oz Perkins. Sutradara ini mengadaptasi salah satu dongeng Grimm dan membuatnya menjadi jauh lebih grim. Tema yang diangkatnya pun lebih dewasa. Perkins memutar balik judul Hansel & Gretel; memposisikan Gretel sebagai fokus utama dalam sebuah sajian horor arthouse tentang kebangkitan seorang perempuan.
Sepeninggal ayah, Gretel dan adiknya yang masih kecil, Hansel, diusir dari rumah oleh ibu mereka yang depresi sama keadaan. Gretel membawa Hansel menyusur hutan yang marak oleh rumor keberadaan penyihir dan entah apa lagi hal mengerikan yang menunggu di dalamnya demi mencari kediaman lain supaya bisa bekerja di sana. Namun bahaya nomor satu yang mengincar dua kakak beradik ini adalah rasa lapar. Perut menuntun mereka ke sebuah rumah segitiga yang aneh di tengah hutan. Rumah yang menguarkan aroma kue tart dan daging asap. Sampai di sini, kita semua sudah tahu paling tidak itu rumah siapa dan bagaimana kemudian Gretel dan Hansel dibujuk untuk tinggal di sana. Yang dibuat berbeda oleh film ini adalah hubungan antara Gretel dengan si Penyihir. Hampir seperti hubungan mentoring. Namun dengan tone mencekam yang merayap di baliknya.

kapan lagi kita melihat dua ikon dongeng anak ngefly makan jamur

 
Perasaan terkungkung akan kuat mencengkeram. Shot-shot di hutan akan terasa sama mengekangnya dengan adegan-adegan di dalam rumah. Apalagi film ini menggunakan rasio 1.55:1 yang membuat gambar yang tersaji dalam kotak yang lebih sempit daripada film biasa kebanyakan sekarang. Karena film memang ingin menyatakan gambarnya sebagai perwakilan perasaan Gretel. Tokoh remaja ini percaya menjadi wanita berarti akan dibebani oleh tanggungjawab. Dan tanggungjawab tersebut dapat menjadi sedemikan besar, ia memandang kepada apa yang terjadi terhadap ibunya. Yang menyebabkan kini ia practically sudah menjadi ibu bagi Hansel adiknya. Adalah si Penyihir yang membuka mata Gretel. Memperlihatkan, secara literal maupun kiasan, kekuatan dalam diri Gretel yang bisa ia gunakan untuk mencapai kebebasan. Atau paling tidak, untuk melenyapkan tanggungjawab. Tiga tokoh sentral film ini; Gretel, Penyihir, dan Hansel adalah fokus utama cerita. Film mengadu gagasan dan kepercayaan para tokoh lewat interaksi dan obrolan-obrolan. Yang semua itu dihadirkan lewat visual yang benar-benar stylish dan tempo yang tidak pernah gegabah.
Sophia Lillis dan Alice Krige menyuguhkan penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Sebagai Gretel, Lillis akan banyak terdiam. Namun terdiam yang intens gitu. Her words are smart, Gretel jelas bukan karakter yang manja dan helpless dan mudah dimanipulasi, tapi hal-hal yang ia alami dan ia lihat di rumah itu adalah hal baru dan mengerikan baginya. Gretel tampak lebih tersesat di dalam sana daripada di hutan. Pandangan mata Lilis juga ekspresif sekali, setiap kali Gretel terdiam pandangannya akan vokal bicara. Kita turut merasakan keraguan, ketakutan, sekaligus rasa penasaran yang ada pada dirinya. Sedangkan Krige sukses membuat Penyihir ini menjadi nenek-sihir paling karismatik sekaligus menakutkan. Jika hal yang paling mengerikan dari setan adalah kekuatannya untuk membuat kita menjadi tidak percaya dia itu ada, maka kengerian Penyihir dalam film ini datang dari sikapnya yang kita tahu ada niat jahat (she eats children!) tapi kita malah melihat Gretel semacam meminta petunjuk darinya. Kita tidak melihat penjahat licik, melainkan seseorang yang menghormati Gretel lebih daripada Gretel menghormati Gretel sendiri.
Sebagai sebuah horor, cerita film ini sangat personal. Ditujukan untuk cewek-cewek muda yang memikul tanggungjawab mengurus adek ataupun keluarga tercinta. Seperti si Penyihir, film ini akan menunjukkan pilihan. Meng-embrace tindakan yang tentu saja dipandang gelap alias jahat, yakni meninggalkan tanggungjawab tersebut karena setiap orang punya masa depan masing-masing dan setiap orang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. ‘Mantra’ yang diucapkan oleh tokoh film ini adalah bahwa setiap hadiah selalu ada harganya. Mau makan, harus kerja. Mau tinggal, harus nurut. Dan kalo mau bebas, maka haruslah ada yang dikorbankan. Kengerian film ini datang dari antisipasi kita melihat Gretel meniti pelan-pelan pilihan yang ditawarkan Penyihir. Jika Penyihir benar, maka bukan hanya Gretel, dunia kita juga akan jadi menyeramkan saat semua wanita menjadi Gretel. Tentu, secara visual film memperlihatkan hal-hal eerie saat menyampaikan Gretel mempelajari semua – akan ada banyak adegan mimpi yang sureal – namun true horror datang dari implikasi gagasan yang terkandung dalam film ini. Untuk penonton yang berhasil mendalami hal tersebut, ending film akan bekerja dengan memuaskan. Karena ternyata ada jalan tengah.

Menjadi seorang wanita memang berat. Dituntut jadi seorang ibu yang membesarkan anak. Seorang pengasuh yang tak jarang harus melupakan mimpi pribadi. Menggugurkan kepentingan sendiri. Tapi lantas bukan berarti wanita tidak bebas. Gretel terus menggandeng Hansel kemanapun ia pergi menunjukkan bahwa benar, hal yang dicintai terkadang bisa menghambat diri. Namun sebenarnya attachment terhadap merekalah yang menghambat kedua pihak – bukan hanya yang menggandeng, melainkan juga yang digandeng. Maka, sebagaimana yang disugestikan oleh akhir film ini, setiap kita harus percaya. Pada kemampuan diri. Pada kemampuan orang lain. Kita tersesat di ‘hutan’ ini bersama-sama, maka gunakanlah kekuatan masing-masing untuk bisa survive.

 

Ada yang mau minta resep makanan sama si nenek sihir?

 
 
Jika bukan karena pandemi viruscorona, film ini sepertinya bakal tayang di bioskop. Tapi setelah menonton, aku tidak yakin bioskop mau menayangkan ini. Simply karena film ini amat-sangat tidak mainsteam. Gretel & Hansel berjuang keras agar setiap detik napas durasinya terlihat sebagai film indie. Budget kecil, dan banyakan praktikal efek, dan pengadeganan yang dibuat lambat. Jelas bukan tipikal film box office. Gaya dan visual film ini toh memang unik. Banyak shot dan permainan cahaya yang bikin merinding. Secara komposisi, sebagai tambahan dari penggunaan rasio ala film lama, film ini dengan anehnya selalu membuat fokus adegan berada di tengah. Sehingga pergerakan mata kita juga gak banyak. Dari cut satu ke cut berikutnya, semua tetap berada di tengah. Tidak ada ruang untuk bergerak, kita juga merasa terperangkap, dan lama-kelamaan -ditambah dengan pace yang slow – menonton film ini bakal terasa membosankan. Filmnya bakal terasa panjang karena atensi kita tak putus menatap ke tengah layar tempat semua kejadian berlangsung. Padahal durasi film ini sebenarnya cukup singkat, di bawah 90 menit.
Film ini menuntut perhatian dan kepedulian yang besar dari penonton, yang tentu saja, gak semua penonton mau memberikannya secara cuma-cuma. Harus ada hook. Dan sayangnya, film hampir tidak memberikan sesuatu untuk bisa dipedulikan. Narasi soal coming-of-age si Gretel tadi terasa diulur-ulur lantaran tidak banyak pendalaman; meskipun film berusaha jauh dari cerita aslinya, somehow kita bisa melihat ujung ceritanya ke mana. Adegan horor surealnya yang kebanyakan cuma mimpi, dapat dengan cepat jadi repetitif. Sense of danger yang dibangkitkan, tak pernah berujung sesuatu lantaran film lebih tertarik membahas agenda-agenda. Cuma ada satu adegan yang berbau aksi dan jump scare, yaitu di awal-awal saat Gretel dan Hansel nginep di rumah yang mereka pikir kosong, dan itupun tampak seperti ditambahin belakangan karena gak match dengan keseluruhan film – hampir seperti ditambahin karena film ini sadar dirinya bosenin maka butuh yang sedikit nendang.
Masalahnya bukan pada film harus ada aksi dan gak boleh terus-terusan ngobrol supaya jadi tidak membosankan, it has nothing to do with that. Hanya saja, begini: Makanan dalam film ini terlihat enak. Namun cara film menceritakan agenda feminisnya tersebut seringkali membuatku mual. Film ini memasukkan adegan Gretel dan Hansel bermain catur hanya supaya si Penyihir bisa berkomentar bahwa Queen (Ratu) bebas mau ke mana sedangkan King jalannya tertatih-tatih. Ketika dipanggil “Mrs.” oleh Gretel, si Penyihir lantas bilang “Apakah kau melihat tangan dan kakiku terborgol rantai”. Adegan dan dialog-dialog seperti demikian pada akhirnya membuat film yang memang hanya punya dialog dan visual creepy ini jatoh menjadi pretentious. Naskah tidak cukup dalam untuk dapat menjelaskan hal di luar persoalan Gretel, tapi tetap nekat menunjukkan Penyihir yang bisa begitu feminis padahal kerjaannya setiap hari cuma ‘masak’ dan nunggu anak-anak nyasar masuk ke rumahnya.
 
 
 
Sinematografi dengan warna-warna tajam tapi tidak pernah kontras sukses membuat film ini terasa seperti dunia yang bukan dunia kita. Desain produksi dan akting dua pemain wanitanya juga berada di level atas. Secara visual film ini memang menarik, gambar-gambarnya creepy. Sayangnya hanya itulah yang dipunya oleh film ini. Secara narasi, dia berusaha berbeda dari materi asli, dengan visi yang lebih relevan pula. Namun tidak dibarengi dengan eksplorasi yang benar-benar mengundang. Sehingga semua jadi terasa pretentious. Ia malah kayak mencoba terlalu keras untuk menjadi seperti The Witch (2016), dan gagal dengan hebatnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GRETEL & HANSEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Benarkah menurut kalian tugas seorang ibu itu memberatkan bagi setiap wanita?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SWALLOW Review

“Autonomy is the whole thing; it’s what unhappy people are missing.”
 

 
Kita semua pernah ngalamin susahnya menahan diri untuk enggak nyentuh muka di kala pandemi virus corona. Sudah seperti reflek, kita gak kontrol entah sudah berapa kali tangan selalu ringan mengarah ke wajah. Dan ketika nyadar nyentuh wajah bisa membuat virus masuk ke tubuh, seluruh wajah jadi kerasa gatal. Hidung, pipi, semuanya mendadak pengen disentuh. Jadi bisa dibayangkan gimana rasanya jadi wanita hamil seperti Hunter, yang bawaannya pengen makan melulu. Ngidam Hunter di thriller Swallow bukan sembarang ngidam. Bukan makanan asem dan sulit dicari yang pengen wanita muda itu masukkan ke perut. Melainkan justru benda sehari-hari yang bertebaran di rumahnya yang mewah. Kelereng. Baterai. Sampai yang tajam-tajam seperti peniti. Duh.
Swallow membahas disorder yang di dunia nyata nama ilmiahnya adalah ‘pica’. Kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa pengen terus memakan benda-benda tak bergizi. Keadaan yang tentu saja berbahaya, karena kita bisa keracunan atau saluran pencernaan terluka. Apalagi untuk ibu hamil seperti Hunter. Sutradara Carlo Mirabella-Davis dengan tepat menggambarkan intensnya dorongan-tak-tertahan yang didera oleh Hunter tatkala rumahnya sepi. Seperti saat adegan Hunter lagi membersihkan lantai dan menemukan jarum pin. Kamera dan cut yang precise, didukung oleh musik senyap dan penampilan akting Haley Bennett (menghidupkan tokoh yang adorable dan sangat patuh) membuat kita serasa ingin menerobos masuk ke layar dan mencegah Hunter untuk menelan. Ada permainan intensitas yang diberikan, tarik ulur; makan atau tidak dimakan, film ini mencengkeram kita seperti demikian.
Aku gak pernah tahu penyakit Pica sebelum film ini, tapi Swallow sukses berat menyampaikan betapa mengerikannya kebiasaan tersebut. Sekaligus betapa candunya. Aftermath dari adegan makan diperlihatkan dengan montase Hunter semakin larut dengan kebiasaannya. Benda-benda yang ditelannya semakin berbahaya, namun musik kini setengah-ceria. Hunter tampak enjoy mengoleksi benda-benda yang ia telan tersebut keluar dari perutnya. Di bagian sini, film jadi horor lagi. There will be blood. Thriller mainstream akan mengeksplorasi cerita ini menjadi bodi-horror dengan memfokuskan pengaruh kebiasaan tersebut terhadap tubuh Hunter. It would be grotesque and superfun. Akan tetapi, Swallow bukan film seperti demikian. Imajinasi kita akan dibiarkan meliar membayangkan kesakitan yang harus dialami Hunter. Kamera hanya memperlihatkan bentuk benda yang ditelannya, kita yang akan membayangkan usaha seperti apa kira-kira yang dilakukan oleh Hunter mengambil kembali benda itu dari dalam perutnya. Mirabella-Davis actually lebih menekankan cerita ini menjadi bernada psikologis. Dia lebih tertarik untuk memperlihatkan konsekuensi yang nyata, dan kemudian membahas dengan mendalam kenapa perbuatan tersebut bisa terjadi. Dalam lapisan yang lebih dalam, film menyampaikan gagasan soal pemberdayaan wanita terhadap kuasa atas dirinya sendiri.

makan gak makan, asal bisa dikumpulkan

 
 
Kehidupan Hunter sebagai seorang wanita dihamparkan dengan jelas. Kita tahu dia punya semua; suami jutawan, rumah nyaman, rumah tangga yang bahkan lebih manis daripada mimpi Cinderella. Hanya ada satu yang tidak dia punya. Film menunjukkan bagaimana suara Hunter adalah yang paling ‘kecil’ di rumah tersebut, penampilannya sering diatur, dan kini dia punya bayi di dalam perutnya. Hal menarik yang diperlihatkan film ini adalah reaksi kontras antara Hunter dengan suaminya saat mengetahui kehamilan. Sang suami langsung memberitahu orangtuanya dengan bersemangat “kami hamil!”. Sedangkan Hunter; terduduk diam. Tidak bergairah. Seolah ia baru saja divonis dipenjara selama sembilan bulan. Film dengan spektakuler mengangat pertanyaan apakah Hunter benar-benar pengen hamil. Pertanyaan yang tidak terburu-buru untuk dijawab, melainkan dibiarkan terus berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lain, yang mengawal kita ke konflik sebenarnya cerita ini. Seberapa besar peran Hunter dalam hidup sempurnanya tersebut – apakah Hunter menginginkan semua itu? Kenapa?
Itulah akar dari perilaku Pica; Perilaku yang kemudian jadi pelarian bagi Hunter. Dia yang terbiasa menelan perasaan, merasa jadi pegang kendali saat memasukkan kelereng dan benda-benda itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidah, dan kemudian menelannya. Tindakan yang merusak diri sendiri ini diambil oleh Hunter sebagai perlawanan. Kecantikan, kepatuhan, dan sikap lembut welas asihnya kepada suami dan keluarga adalah perwujudan dari pengorbanan yang ia lakukan. Jika kesempurnaan adalah demi orang lain, maka pengrusakan dan kesalahan Hunter lakukan demi dirinya sendiri. Ada dialog Hunter dengan suaminya yang menjadi kunci dari ketakutan dan permasalahan dalam dirinya. Yakni ketika sang suami mengatakan Hunter gak pernah salah, dia begitu sempurna sebagai seorang istri yang taat, sehingga jika mau buat salah aja, dia gak bakal bisa. Perilaku Pica yang Hunter lakukan seolah pengen untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan kesalahan, sebagai bukti dirinya masih manusia yang punya kehendak. Bukan robot istri orang kaya, bukan alat pencetak anak. Cerita akan semakin menggelap tatkala kita mempelajari masa lalu Hunter – kehidupan masa kecilnya. Aku gak ingin membocorkan soal itu, tapi aku pikir  satu hal yang perlu untuk dikasih tahu supaya motivasi dan kelakuan Hunter ini bisa lebih kita pahami adalah bahwa peristiwa yang terjadi di masa lalunya berperan besar membentuk diri Hunter yang sekarang. Peristiwa tersebutlah yang membuat dia percaya dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka ketika ia dituntut untuk jadi sempurna, dan dikatain gak bisa salah saat menjadi istri dan calon ibu – Hunter merasa amat sangat dikekang

Seringkali dalam hidup, kita terpaksa untuk menelan banyak hal. Keinginan. Perasaan. Rasa sakit. Hal yang paling membuat nelangsa adalah ketika kita dipaksa untuk menelan siapa sesungguhnya diri kita. Ketidakbahagiaan berasal dari sini, membuat kita merasa less- terhadap diri sendiri. Yang film ini tunjukkan adalah betapa lingkungan sekitar dapat mempengaruhi atau memaksa bukan hanya tindakan sehingga kita merasa bukan diri sendiri, melainkan juga membuat kita percaya sesuatu yang bukan adalah diri kita. Jadi jangan telan semua itu bulat-bulat.

 
 
Ketika film membahas masalah penanganan disorder Hunter oleh keluarga suaminya, konflik yang hadir dapat terkesan terlalu banal. Ini satu hal yang kurang kusuka dari film ini. Aspek psikologis, studi karakter Hunter sangat kuat, akan tetapi pembahasan dari sisi keluarga suaminya enggak begitu seimbang. Untuk menguatkan konteks Hunter terasing dari sekitar dan dia dipaksa untuk menjadi merasa bukan seperti ‘orang’, film butuh untuk membuat sang suami benar-benar terlihat jahat. Di paruh awal sebenarnya suami ini cukup berlapis. Namun di akhir, film membuat sangat jelas bahwa pria tersebut hanya peduli kepada anaknya yang dalam kandungan, dan terbukti hanya bermanis-manis ria terhadap Hunter. Penggambaran yang demikian membuat film seperti tidak mampu mengulik seperti apa sih kekangan patriarki dan kompleksitasnya bagi wanita dengan benar-benar geunine. Seolah, jika tokoh wanita salah, maka tokoh pria harus salah juga karena bagaimanapun juga ini adalah perihal pemberdayaan dan perjuangan wanita atas dirinya.

tapi ada bapak-bapak yang lebih hebat dari Hunter; katanya mau nelen corona

 
 
 
Hal paling cantik dari film ini adalah cara ia bercerita tentang wanita meraih autonomi. Memperlihatkan dunia simetris nan mewah, warna-warna hangat, sebagai kesempurnaan yang mengekang. Wanita yang jadi istri orang kaya bukan serta merta bahagia, karena yang terpenting adalah apa yang sebenarnya ia minta – seberapa besar dia merasa semua hal adalah pilihan dirinya. Sekilas film ini tampak seperti akan menempuh jalur body horror – dan dia bisa saja menjadi itu dengan sangat gampang karena film ini seputar wanita hamil yang memakan benda-benda berbahaya. Namun film ini punya sesuatu yang lebih dalem sebagai body-goal. Sehingga Swallow menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for SWALLOW

 
 
 
That’s all we have for now.
Hal paling pahit apa yang pernah kalian telan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS Review

 

“Beauty is about being comfortable in your own skin.”

Sekilas Red Shoes and the Seven Dwarfs tampak sebagai parodi harmless dari dongeng Snow White dan Princess-Princess lainnya. Namun jika ditilik dari segi cerita, film ini sebenarnya lebih mirip Beauty and The Beast sebab membahas seputar tokoh yang dihukum menjadi makhluk bertampang ‘mengerikan’ sebagai akibat dari terlalu mementingkan fisik dan sudah judgmental terhadap penampilan-luar orang. Namunnya lagi, begitu kita mengingat bahwa animasi ini dibuat oleh Locus Animation yang merupakan studio asal Korea Selatan, you know, negara yang terkenal dengan ‘budaya’; kita tahu parodi film ini berada dalam tingkatan yang lain.

Tujuh kurcaci yang ada pada film ini bukanlah pekerja tambang bertubuh mungil yang dipanggil berdasarkan emosi yang mereka tampilkan. Di Negeri Dongeng ini mereka bukan emoji berjalan. Melainkan tujuh pangeran yang membasmi kejahatan. Mereka superhero. Pandang mereka tak ubahnya sebagai Boyband K-Pop. Lincah, keren, dan tampan. Mereka juga punya nama grup: Fearless Seven. Dan mereka sangat menyombongkan ke-goodlooking-an mereka, terutama Merlin. Akibat ulah Merlin yang salah serang Putri Peri (“Tampangnya kayak Penyihir!”) mereka semua dikutuk menjadi kurcaci kontet. Penawar kutukan tersebut adalah ciuman dari seorang gadis cantik jelita. Masalahnya adalah; cewek cakep mana yang mau nyium mereka dengan wujud enggak keren seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Merlin yang tampak paling merindukan wujud aslinya.

Mereka lantas bertemu dengan Snow White – jauhkan imajinasimu dari Putri Salju Disney, karena di sini Snow White adalah seorang gadis baik hati berbodi tambun. Cewek ini buron karena mencuri sepatu ajaib milik ibu tirinya yang seorang penyihir jahat. Sepatu itu mengubah penampilan Snow White menjadi kutilang alias kurus – tinggi – langsing. Snow White yang ingin mencari ayahnya memilih untuk tetap menyamar, ia menamai dirinya yang ala model itu Red Shoes, simply karena Merlin dan teman-teman hanya semangat menolong cewek dengan rupa seperti demikian. Jadi mulailah petualangan – penuh sihir dan makhluk fantasi – dua pihak yang sama-sama bukan berada di tubuh asli dengan buah pelajaran ‘inner beauty jauh lebih penting ketimbang penampilan fisik’ yang siap untuk dipetik.

Aku akan membantu apapun yang bersuara seperti suara Chloe Grace Moretz

 

Salah satu film yang berhasil dengan baik dan dengan penuh hormat mengangkat pesan kecantikan-itu-berasal-dari-dalam dan jangan mau takluk oleh standar kecantikan masyarakat adalah Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019). Imperfect sebenarnya berusaha tampil seimbang dengan tokoh kekasih sang tokoh utama, hanya saja tokoh tersebut agak sedikit terlalu ideal. Tetap saja ‘hanya’ berangkat dari sudut pandang cewek dalam permasalahan kecantikan tersebut. Ketika kita berceloteh tentang standar kecantikan, biasanya cewek-lah yang kita bebankan untuk harus menerima dan menghargai diri apa adanya. Cewek jangan diet berlebihan biar kurus, nanti malah sakit. Cewek jangan kebanyakan pake make up, gak baik untuk kulit. Cewek jangan ini, cewek jangan itu. Gak harus begini, gak harus begitu. Kalian cantik apa adanya. Kita jarang sekali mengeksplorasi dari sudut satunya. Bahwa penawaran itu ada karena ada permintaan. The rest of the world toh memang menunjukkan keberpihakan terhadap yang telah disepakati sebagai ‘cantik’. ‘The rest of the world’ ini tentu saja adalah cowok-cowok. Dan merekalah yang dijadikan fokus pada film ini.

Bagaimana dengan usaha cowok yang selalu mendahulukan versi mereka terhadap cantik. Cowoklah yang membuat versi tersebut, meresmikan, dan dijadikan tuntunan. Maka lewat film ini, giliran cowoklah untuk mengenali kecantikan tersebut sebenarnya, apa adanya. Merlin si tokoh utama kita fakboi banget awalnya. Jangankan cewek atau orang lain, dirinya yang sekarang aja ia rendahkan karena berkebalikan total dengan ‘rupa keren’nya yang asli.  Di awal-awal akan ada banyak sekali dialog-dialog merendahkan keluar dari mulut Merlin dan teman-temannya. Mereka menjadikan bodi-shaming sebagai candaan. Ketika bertemu Red Shoes yang meminta pertolongan, para Kurcaci ini mengobjektifikasi cewek itu. Mereka tidak tulus membantunya, tidak tulus menyambutnya. Melainkan mencari-cari kesempatan untuk menarik hati, demi sebuah ciuman yang bakal mengangkat kutukan mereka. Kita melihat Merlin dan teman-temannya semacam berlomba untuk mendapatkan ciuman Red Shoes. Bagi mereka, cewek tersebut bukan teman, melainkan sesuatu untuk dimenangkan, dan alat untuk mendapatkan tubuh mereka yang sempurna.

Makanya film ini banyak mendapatkan backlash saat pertama kali promosi ke publik dan festival tahun 2017 yang lalu. Tokohnya disebut pahlawan tapi mengglorifikasi body-shaming. Padahal cerita menyiapkan pembelajaran bagi tokoh ini di akhir, dan memang begitulah film; sebuah perjalanan seseorang menjadi dirinya yang lebih baik. Dengan konsep tersebut, film ini memenuhi fungsinya. Merlin menyadari kesalahannya dalam memperlakukan setiap makhluk. But still, masalah film ini terletak pada kita susah ngikut di belakang tokoh utama, karena kita tahu lebih baik daripada dia. Sedari awal kita tidak belajar bersamanya, melainkan kita tahu bahwa dia salah. Dan melihat sikapnya memang bisa jadi turn off bagi penonton. Kita tidak dibuat cukup peduli sehingga menginginkan dia untuk menjadi lebih baik. Penyebab kita susah melihat dia sebagai ‘orang malang yang salah sepanjang hidupnya’ adalah Merlin dan teman-temannya kurang penggalian. Kita tidak benar-benar mengenal siapa mereka, apa latar belakang yang melandasi kenapa mereka begitu narsis dan memandang dari fisik semata. Bahkan, meskipun jumlahnya tujuh, tiga di antara mereka punya wujud yang sama persis dan gak distinctive – triplet ini suka mesin, praktisnya tiga tokoh ini sebenarnya satu karakter yang sama; nama mereka aja berupa nama Pinokio dibagi tiga. Kelompok mereka ini hanya kita kenal sebatas pahlawan,yang kebetulan mereka gorgeous semua.
Snow White digambarkan sedikit lebih ‘terhormat’, dia tidak diperlihatkan mengincar untuk jadi cantik. Ketika menyadari dirinya berbeda karena pengaruh sepatu, bagi Snow White, iya itu adalah impian, tetapi ia melihatnya lebih sebagai sebuah kesempatan. Dia sepertinya paham dan lumrah; dia merasa lebih nyaman sebagai Red Shoes karena dia tahu persis cuma itulah cara dia bisa dibantu oleh orang lain. Namun bahkan Snow White pun tidak bisa sepenuhnya kita idolakan sebab walaupun dia yang jadi pemicu pembelajaran Merlin mengenai menilai orang, dia juga sekaligus part of the problem. Begini, sebenarnya bisa aja film membuat dia yang asli datang minta tolong dan Merlin bonding dengan Snow White apa adanya sedari awal – pembelajaran bagi Merlin akan sama saja, tapi film toh membuat cewek ini ‘cantik’ dulu karena persepsi itulah yang dibangun dan dijadikan kerangka gagasan film. Bahwa ‘cantik itu langsing dan semampai – jelek itu gendut dan pendek’ dipilih untuk jadi bingkai dan ditanamkan demi membuat pelajarannya nanti bisa bekerja.

Standar kecantikan itu sebenarnya berasal dari pikiran bahwa ada yang lebih baik dari diri sendiri, sehingga dijadikan tujuan untuk berubah. Orang gendut akan merasa pengen kurus, dan sebaliknya orang kurus pengen badannya berisi sedikit. Kita tidak pernah puas dengan diri sendiri. Inilah sebenarnya gagasan utama film, makanya kedua tokohnya dibuat berurusan dengan wujud sihiran dan wujud asli masing-masing. Karena apapun bentuk kita, warna kulit, dan segala macam, hal yang penting adalah sifat dan sikap kita. Semua orang akan terlihat menarik dari yang ia pancarkan kepada sekitar, tidak peduli apakah fisiknya bercacat atau gimana. Orang cakep pun bisa beneran cakep kalo gak sombong dengan kecakepannya. Ini adalah soal menerima diri sendiri apa adanya.

 

Framework cerita film yang demikian tersebut sangat beresonansi dengan masyarakat Korea Selatan, yang sudah rahasia umum punya kegandrungan terhadap operasi plastik demi penampilan luar. Negara tersebut punya pandangan homogen terhadap mana yang cantik dan mana yang tidak, yang semuanya berakar dari kelas sosial. Putih dinilai cantik karena berkulit gelap diidentikan dengan pekerjaan yang langsung di bawah sinar matahari. Ini senada dalam film, bahwa putri raja dan pangeran berkulit cerah sementara kurcaci dan peri berkulit hijau, atau lebih gelap. Bahkan ada satu dialog Merlin yang menegaskan hijau adalah warna kelas rendah. Jadi, Red Shoes and the Seven Dwarf ini clearly memparodikan masyarakat Korea Selatan itu sendiri; yang selalu ‘bicara’ tentang tren kecantikan yang satu dimensi, berlomba-lomba untuk jadi cantik seperti demikian dengan mengubah diri. Jadi kita bisa memahami pesan film soal penampilan luar itu tidak penting akan terasa kuat sekali bagi penonton dari negara asli filmnya. Makanya juga jadi wajar, jika film ini memang diniatkan oleh sutradaranya sebagai tontonan keluarga. Sebab penanaman cantik/tampan dan tekanan untuk menjadi cantik/tampan itu berawal dari ruang-ruang keluarga mereka.

Film turut bicara soal maskulinitas yang terbantu oleh understanding dan menerima wanita juga bisa lebih-kuat

 

Walaupun memang sebenarnya humor dan fun film ini tidak benar-benar tepat untuk sajian anak-anak. Paling tidak, anak-anak menonton ini harus bersama orangtua yang dapat menjelaskan pandangan sempit tokoh-tokoh cerita dan mencuatkan pembelajaran yang nantinya mereka dapatkan. Itupun kalo orangtua bersiap menghadapi banyak adegan dan dialog yang bisa bikin gak nyaman jika ditonton bersama anak-anak. Kurang lebih samalah kayak lihat adegan-adegan ngerayu cewek di film komedi kayak Dono dan sebagainya. Beberapa parodi ada juga yang cerdas, kayak saat satu tokoh bermain-main dengan menyebutkan sifat Princess-Princess Disney yang ingin ia undang ke pesta ulangtahun. Namun beberapa ada juga yang konyol dan maksa, misalnya kayak pohon ajaib berbuah apel yang kemudian apelnya berubah menjadi sepatu. Sepatu tumbuh di pohon, sedongeng-dongengnya cerita mestinya ada hal yang lebih magical lagi yang bisa dipakai untuk film yang bercerita tentang sepatu ajaib. Dan karena ini adalah film dari negara yang cukup hits lagu-lagu popnya, maka kita akan menemukan beberapa adegan yang menyisipkan lagu-lagu. Hanya saja, sisipan ini kesannya selalu entah-dari-mana; karakter tau-tau bernyanyi sebagai transisi antaradegan. Aku gak tau aslinya gimana, tapi nyanyian di film yang sudah disulih suara bahasa Inggris ini enggak ada yang catchy sama sekali.

Membawa pesan yang menekankan pentingnya kecantikan dari dalam hati, film ini hadir sebagai tantangan terhadap masyarakat yang penuh dengan prasangka sosial yang terkait dengan standar kecantikan fisik. Kali ini cowok dan masyarakatlah yang disuruh untuk berusaha membuka hatinya terhadap mana yang cantik-mana yang tidak. Buat cewek, film ini persis seperti penggalan lagu Alessia Cara, “You don’t have to change a thing, the world could change its heart”. Menuju pembelajaran dan momen penyadaran tokoh utama, cerita film ini sayangnya dapat hadir sangat mengganggu. Tokoh utama yang kurang digali membuat kita susah peduli sehingga menimbulkan kesan film ini sangat merendahkan dan mendukung body-shaming. Aku suka konsepnya, aku mengerti tujuan filmnya, tapi memang penceritaan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik – mungkin dengan lebih subtil sehingga tidak begitu menyinggung dan memberikan ruang bagi penonton untuk masuk dan memahami tokoh utamanya yang bercacat hati itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS.

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang trend operasi plastik di Korea? Apakah menurut kalian K-Pop dan drama-drama Korea bakal mendapat sukses yang sama secara internasional jika tidak ada istilah operasi plastik di sana?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

VIVARIUM Review

“Marriage can either be a classroom where people become wiser and better, or a prison where people become resentful; and bitter.”
 

 
 
Dalam semangat #DiRumahAja, Vivarium karya sutradara Lorcan Finnegan memperlihatkan kepada kita betapa terkurung di dalam rumah itu dapat menjadi hal yang mengerikan. Horor bekerja terbaik saat melukis kiasan rumah tangga dan keluarga layaknya penjara bagi pasangan yang belum siap seutuhnya. Film ini seolah bilang “Masukilah pernikahan dan tinggalkan harapanmu selamanya.”
Gemma hanya mau sebuah rumah. Sebagai naungan buat keluarganya di masa depan. Maka wanita yang bekerja sebagai guru TK ini pergi melihat-lihat ke agen perumahan bersama sang pacar, Tom. Diantar oleh realtor creepy bernama Martin, pasangan muda ini berkendara ke kompleks perumahan bernama Yonder. Perumahan ini masih baru, rumah-rumahnya yang sederhana namun nyaman berbaris rapi di sepanjang jalan perumahan. Semua seragam, sama-sama dicat hijau, sama-sama bersih. Sama-sama kosong. Gemma dan Tom diajak masuk ke rumah nomor sembilan. Namun di tengah-tengah presentasi open-house itu, Martin menghilang. Gemma dan Tom ditinggalkan berdua. Keadaan semakin mengerikan tatkala Gemma dan Tom tidak bisa menemukan jalan keluar dari kompleks tersebut; mereka tetap balik ke depan rumah nomor sembilan. Mereka seperti dipaksa untuk tinggal di sana. Setiap hari mereka mendapat kiriman kardus entah dari siapa. Kardus-kardus tersebut berisi makanan, minuman, dan keperluan sehari-hari. Salah satu di antaranya berisi bayi. Gemma dan Tom, yang menikah aja belum, disuruh membesarkan anak tersebut dengan dijanjikan kebebasan. Tapi anak itu bukan anak biasa. Ia tumbuh besar lebih cepat daripada bocah normal. Dia suka ngulang omongan orang. Dia creepy kayak si Martin. Dan tunggu deh ampe ngambek, dia bakal teriak nyaring sekali kayak suara ketel air saat sudah mendidih!

kalo dikasih makanan setiap hari sih, semuanya juga mau dikarantina

 
Vivarium seutuhnya adalah sebuah metafora kehidupan berumah tangga pasangan modern. Metafora yang begitu in-the-face, kalo boleh dibilang. Kita bisa menarik garis paralel itu dari visual dan dialog yang diucapkan oleh para tokoh. Mereka yang ‘dipaksa’ tinggal di rumah itu adalah perlambangan sebuah komitmen; sebuah ikatan. Kemudian datang anak, secara tiba-tiba, ini tak lain adalah gambaran ‘momok’ yang menimpa pasangan muda yang belum berencana punya anak, setidaknya tidak secepat itu. Gemma dan Tom lantas mendevelop sikap baru yang berkembang atas reaksi mereka yang berbeda tentang keadaan ini. Menyaksikan mereka akan membuat kita terlibat tanya jawab dengan kepala sendiri. Mendiskusikan langkah terbaik yang mestinya diambil oleh para tokoh, ataupun membandingkannya dengan langkah yang kita ambil bila itu semua terjadi kepada kita. Sering juga kita menemukan komedi dalam gambaran pada film ini – yang kupikir ini timbul bagi penonton yang sudah beneran berkeluarga sehingga lebih gampang menemukan kelucuan sebab merasa terwakili atau lebih relate.
Tom, tentu saja adalah seorang ayah, dia jadi gak betah di rumah, maunya bekerja demi kelangsungan hidup. Dan film ini memberikan ‘kerjaan’ yang begitu mengena maknanya; yakni kerjaan menggali lubang jalan keluar dari kompleks yang basically seperti menggali liang kubur sendiri. Jesse Eisenberg memainkan peran yang lebih serius di sini, dengan range yang cukup luas mulai dari ramah hingga ke hampir-hampir seperti orang ilang akal dan terlalu fokus kepada apa yang dikerjakannya. Sebaliknya, Gemma yang diperankan oleh Imogen Poots tumbuh naluri keibuannya. Ini juga bukan peran yang enteng. Walaupun si bocah bukan anak dari rahimnya, tapi ia merasa ingin melindunginya. Mengajarkannya berbagai hal. Kemisteriusan sang anak adalah sesuatu yang harus ia pecahkan, meskipun beberapa kali perangai si anak membuatnya kesal dan berteriak bersikukuh dengan “Aku bukan ibumu!”
Ada momen-momen manis saat Gemma bonding dengan si anak. Persis saat dia seperti akan berhasil mengubah makhluk aneh tersebut menjadi nyaris-manusiawi – si anak bisa menari dan mempertanyakan mimpi, film menaikkan tensi dengan membuat si anak mulai ‘bersekolah’. Ia menghilang entah ke mana beberapa jam setiap hari (Gemma pernah coba mencari tapi malah nyasar hihihi) dan pulang ke rumah membawa buku bertulisan bahasa alien. Ini seperti cara film menyampaikan bahwa orangtua tidak bisa sepenuhnya mengenali anak. Bahwa anak akan selalu di luar jangkauan, dan akan ada masanya mereka melakukan sesuatu yang either tidak akan bisa dimengerti atau tidak cocok dengan ‘selera’ orangtua. Film ini memang membahas parenting pada sisinya yang gelap seperti demikian. Vivarium sendiri, secara harafiah berarti tempat penangkaran atau tempat pemeliharan hewan dengan tujuan penelitian. Nah film ini secara literal pun persis seperti itu; Gemma dan Tom ‘ditangkap’ oleh semacam alien yang mengatur segala kegiatan mereka. Ditempatkan dalam semacam simulasi berkeluarga. Kita ada di posisi alien, menyaksikan perilaku mereka, mengamati bagaimana sebenarnya sebuah komitmen hidup bersama berdampak kepada dua orang saat keadaan tersebut benar-benar dipaksakan kepada mereka.

Mengaitkan dengan pekerjaan Gemma sebagai guru yang mengajar anak-anak orang lain dan masih bisa berbahagia karenanya, maka pernikahan benarlah bisa menjadi seperti berada di dalam ruang kelas. Membuat orang yang berada di dalamnya menjadi lebih pintar, lebih dewasa, lebih bijak. Namun sekaligus pernikahan dapat terasa seperti penjara, terlebih jika berpikir semua yang kita berikan di dalamnya hanya akan berhenti di sana.

 
Impian punya keluarga sempurna, dengan rumah yang hangat dan aman, lingkungan yang bersih tentram, bukan tidak mungkin memang cuma sebuah mimpi di siang bolong belaka jika sebenarnya kita belum siap untuk berumah tangga. Dalam film ini, kesempurnaan adalah palsu. Kompleks perumahan Yonder begitu mulus, awannya seragam berbentuk perfect seperti bentuk… awan. Tidak ada angin. Tidak ada suara. Namun dua penghuninya jauh dari merasa damai tinggal di sana. Gemma dan Tom malah diperlihatkan lebih senang tidur di dalam mobil mereka, alih-alih di kamar yang bersih dan selalu rapi, karena di dalam mobil ada bau. Bau dunia nyata, kata Gemma. Itu adalah salah satu momen yang benar-benar kerasa dari tokoh ini. Sebab terkadang Poots memainkan Gemma seperti mengalami mood swing alih-alih geunine feeling. Yang memang cukup sesuai dengan tone film yang memang meniatkan sebuah mati-rasa. Menguatkan keartifisialan dari lingkungan ceritanya.

Harga rumah di kompleks ini kelihatan dari cat temboknya yang ijo

 
 
Kredit pembuka film ini sebenarnya sudah memberi tahu tema/gagasan yang menjadi landasan cerita Gemma. Kita melihat burung kedasih (cuckoo bird) yang merupakan burung parasit, meletakkan telur di sarang burung lain, dan setelah telur-telur menetas maka si anak kedasih akan mengenyahkan saingannya – ia mendorong jatuh anak si pemilik sarang, sehingga ia akan dibesarkan oleh si pemilik sarang. Persis seperti Gemma nanti, saat dia tetap membesarkan anak alien yang nyata-nyata creepy. Dalam lingkup gagasan parenting, ini adalah gambaran yang menarik. Tapi film tidak mengembangkan plot ke arah sini – ini bukan cerita yang membahas naluri seorang ibu membawa kebahagiaan bagi dirinya. Melainkan cerita yang didesain untuk memperlihatkan kungkungan dalam kehidupan rumah tangga. Maka, film mulai goyah dan semua pesannya jadi enggak jelas lagi kekuatannya. Metafora burung tersebut tidak benar-benar berarti karena toh memang bukan anaknya; Gemma berurusan dengan anak yang ia tidak punya tanggung jawab asli terhadapnya. Akan beda jika anak tersebut adalah anak kandungnya; yang kemudian diajarin oleh alien untuk melawan, misalnya.
Dengan jelas-jelas membuat Gemma berada di situasi yang memaksa untuk jadi ibu, dan membesarkan makhluk creepy yang bukan anaknya, metafora ke kengerian berumah tangga itu tidak lagi mengena. Film kehilangan relevansi gagasan. I mean, memangnya setiap anak yang bukan anak kandung akan jadi jahat – padahal sebelum ini kita sudah menyaksikan manisnya ikatan keluarga angkat lewat Instant Family (2019) Kita jadi bertanya apa yang sebenarnya pengen dicapai oleh film ini? Peringatan untuk tidak gegabah berkeluarga? Atau ini hanya persoalan beda perspektif – jika kita merasa terkekang maka rumah tangga dapat terasa lebih parah daripada penjara Azkaban? Namun sekali lagi, itu semua sesungguhnya tidak terwakili oleh cerita berupa dua orang yang dipaksa, dijebak sedari awal. Oleh makhluk menyeramkan pula.
 
 
 
Jadi pada akhirnya film ini hanya akan bekerja pada level permukaan, tentang dua orang yang diculik. Memang, ada beberapa momen yang diniatkan sebagai metafora rumah tangga, akan tetapi tidak sepenuhnya mewakili karena tidak semua pernikahan bermula dari paksaan dan ketidaksiapan. Film ini mungkin ingin jadi peringatan saja bahwa di dunia modern, kesempurnaan rumah tangga itu semuanya palsu. Tapi ia tidak memperlihatkan mana yang asli. Bagaimana dengan pernikahan yang sebenarnya. Dengan segala metafora bahwa pernikahan adalah perangkap, film ini sayangnya hadir cuma berat sebelah.  Gagasannya jadi terasa steril, karena cerita tidak benar-benar sensitif dan manusiawi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for VIVARIUM.

 
 
 
That’s all we have for now.
Terang aja mereka tertekan, wong mereka diculik dan dipaksa. Film ini bicara harapan kedua tokohnya hilang sejak pertama mereka masuk ke rumah tersebut, jika dibawa ke hidup rumah tangga seperti yang digagas film ini, menurut kalian harapan akan apa yang sebenarnya hilang dari pasangan begitu mereka tinggal satu rumah dan punya anak? Apakah setiap pernikahan benar-benar mengekang seperti ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE WAY BACK Review

“Never inflict your rage on another”
 

 
 
Hidup kayak pertandingan olahraga. Kita berjuang untuk bisa menang. Ketika kita memenangkan suatu tanding olahraga, bisa dibilang kita menang dalam hidup; kita udah sukses mendisiplinkan diri, memfokuskan diri pada tujuan, mengenyahkan kelemahan, dan sebagainya. Namun sebaliknya, ada lebih banyak cara untuk kalah dalam hidup dibandingkan di dalam kompetisis olahraga. Karena hidup bukan semata soal mengalahkan lawan, menjadi lebih baik daripada lawan. Sutradara Gavin 0’Connor yang sudah malang melintang di genre drama olahraga yang menginspirasi, kini hadir dengan sebuah sajian yang bukan hanya bakal membuat kita semangat melihat pertandingan basket, tapi sekaligus juga merenung dan belajar satu-dua hal dari kesalahan yang dilakukan oleh tokoh dalam ceritanya.
Bagian ‘olahraga’ dalam drama-olahraga The Way Back menghadirkan formula yang sudah kita hapal di luar kepala. Sebuah cerita underdog. Jack Cunningham, mantan top-player basket di masa SMA diminta untuk melatih tim di sekolah lamanya. Tim ini udah lama sekali enggak menang kejuaraan, terhitung sejak Jack lulus dari sana. Relasi antarmereka pun terjalin. Jack menemukan kembali kecintaannya terhadap olahraga ini, dan para pemain pun mendapat semangat baru. Tapi ini adalah sekolah Katolik yang lebih mengutamakan menjadi ‘orang baik’ ketimbang menang, sementara Jack yang meledak-ledak sumpah serapahnya setiap kali tanding dan lagi latihan dipandang memberikan contoh yang buruk. Terlebih Jack merupakan seorang peminum berat. Naskah The Way Back, however, lebih condong ke bagian ‘drama’. Pertanyaan utama yang menjadi tubuh cerita bukanlah ‘Apa Jack berhasil membuat tim basket ini menang kejuaraan?’, melainkan ceritanya disusun untuk menjawab ‘Kenapa Jack begitu doyan minum-minum?’

Jack drinks a shot, bukan ngeshot bola.

 
Babak ketiga film ini dapat menjadi surprise bagi penonton yang mengira ini bakalan jadi cerita olahraga yang biasa, terlebih karena The Way Back toh memang menggunakan trope-trope lumrah yang sering kita temui dalam genre ini. Arahannya seperti banting setir. Menjauh dari ‘Jalan Hollywood’ yang biasanya cerita-kompetisi akan berakhir dengan sebuah big-match. Sebenarnya ini justru menyegarkan. Film menggali cerita yang lebih personal. Tidak ada glorifikasi keadaan. Jika kau seorang alkoholik, tidak ada kompromi bagimu untuk bisa menjadi guru. Namun film tidak berkata dengan sehitam-putih begitu. Masih ada rasa yang dialamatkan. Kita harus ‘memandang’ ke gawang yang benar disarang oleh film ini.
Jadi supaya kita tahu film ini bukan exactly cerita kompetisi basket melainkan lebih kepada cerita tentang pergulatan addiction dan penebusan si Jack itu sendiri sehingga kita enggak membuild up ekspektasi ke arah yang salah dan kemudian kecewa untuk alasan yang tidak tepat, maka kita perlu memperhatikan naskah lewat struktur yang tercermin dari pembabakan film. Plot poin pertama cerita ini bukanlah soal memenangkan perlombaan. Yang kita lihat pada sekitar menit 28-30an (akhir babak satu ada di menit ini) adalah adegan Jack bertemu dengan istrinya – mereka sudah setahun berpisah. Inilah yang menentukan aksi Jack berikutnya. Diminta jadi pelatih basket diposisikan naskah sebagai inciting incident – alias datang lebih awal, yang diperlihatkan Jack bimbang memilih iya atau tidak. Dia mabuk dalam usahanya memutuskan ini. Pertemuannya dengan istri dan mengetahui ‘kabar’ hubungan merekalah yang jadi penentu aksi bagi Jack. Yang mengobarkan api di dalam Jack bukan semata nostalgia di lapangan basket, melainkan kenyataan pahit bahwa dirinya masih melakukan kesalahan. Dan inilah yang terus memakan Jack dari dalam, menjadi konflik pribadi yang harus ia selesaikan.
Tiga hal yang ditekankan oleh film sebagai petunjuk buat kita; Kebiasaan Jack minum yang diperlihatkan dengan berbagai cara menarik, seperti Jack bolak-balik kulkas dan memindahkan bir ke freezer sebelum meminumnya atau kaleng yang ada di shower. Kamera dengan flare yang seperti menggambarkan antara kenangan jaya masa lampau dan perasaan nanar dari sakit kepala terus-terusan. Dan si Jack itu sendiri; Ben Affleck memainkannya dengan luar biasa. Pendekatan yang diambil oleh Affleck dalam menghidupkan karakter ini adalah dengan seringkali diam, bahkan dari pakaiannya pun sudah terkesan ia tertutup rapat. Namun dia pemarah. Dicolek sedikit, nyambit. Ke-trigger. Kita bisa merasakan rage/berang itu terhimpun, merembes keluar karena botol yang bernama si Jack ini sudah kepenuhan oleh emosi dan rasa bersalah dan perasaan berduka. Minum alkohol ia jadikan sebagai outlet untuk menyalurkan rage yang berakar dari kematian putranya. Waktu beraktivitas sebagai pelatih, itulah satu-satunya waktu Jack jauh dari kaleng bir. Satu-satunya waktu dia tampak paling bahagia. Sebab di pinggir lapangan, neriakin wasit goblog, marahin pemain yang lalai, mengutuk lawan yang curang, itulah Jack punya alasan tepat untuk melepaskan rage/marahnya.
Kita bisa mabok jika kita minum setiap kali Jack ngamuk saat pertandingan

 
Seiring durasi; Jack seperti sudah stabil karena menemukan penyaluran emosi yang tepat dari pertandingan basket, pertanyaan baru membuka. Sebab perjalanan Jack tidak berakhir sebatas dia bisa marah-marah. Jack perlu mengerti kenapa dia marah. Bukan in sense penyebab marahnya, melainkan kenapa marah itu masih ada. Kepada siapa sebenarnya marah dan ragenya itu dialamatkan. Inilah yang menjadi  fokus pada babak ketiga. Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik, Jack harus menyelami – harus berkonfrontasi dengan kemarahan yang ia lepas tadi. Istrinya sudah move on, dia belum. Dia merasa dia berhak marah kepada istrinya karena hal tersebut. Namun sekali lagi, marahnya salah alamat. Inilah drama alias konflik yang digali oleh film. The Way Back adalah karakter-studi seorang pria seperti Jack. Pria yang kehilangan, tapi tidak sanggup mengakui bahwa kehilangan tersebut mungkin adalah salah dirinya.

Penyesalan, duka, kehilangan yang dihimpun begitu lama wajar bila meledak. Lebih sehat untuk keluar daripada ditahan-tahan terus menerus. Tapi jangan lantas dilampiaskan kepada orang lain. Emosimu, kemarahanmu adalah milikmu. Terlebih apabila kemarahan tersebut adalah kemarahan kepada diri sendiri. Jangan berikan kesedihan dan nestapa itu kepada orang lain. Demi kedamaian seperti yang dirasakan datang kepada Jack di akhir film, rasakan sendiri deritamu dengan tidak menyakiti orang-orang di sekitar.

 
Kita bisa ‘protes’ kepada film, memberinya masukan dan saran bahwa mestinya cerita menggali lebih banyak hubungan Jack dengan remaja-remaja pebasket yang ia latih. Karakter mereka ikut diperdalam, karena memang mereka ini cukup menarik. Ada anak yang suka menari sebelum pertandingan dimulai dan dijadikan oleh teman-temannya sebagai semacam ritual, ada anak yang fukboi, ada yang begitu cinta sama basket sayangnya ia sok jago, dan yang paling dikedepankan adalah kapten tim yang jenius dan cinta basket, hanya saja tidak didukung oleh orangtua sehingga dia sedikit tidak pedean. Aku sendiri akan suka banget kalo mereka-mereka ini dibahas lebih dalam lagi, diberikan lebih banyak waktu-tampil. Pertandingan basketnya diperlihatkan lebih sering karena kita bisa melihat jelas kepiawaian sutradara dalam menyuguhkan kompetisi olahraga. Tapi itu akan sama saja seperti menggiring bola dan menembakkannya tiga-poin ke keranjang yang tidak tepat. Karena tujuan film bukan di sana. Hubungan antara Jack dan anak-anak itu penting, sebagai pembelajaran bagi dirinya. Anak-anak itu adalah dirinya waktu masih muda, maka Jack dapat dengan mudah menjadikan mereka pelampiasan. Pembahasan mereka ini cukup pada masing-masing memberikan pengaruh baik, it’s enough kita percaya mereka kini sanggup memenangkan pertandingan melawan tim sekolah manapun Tapi bagi Jack, dan karena ini adalah cerita tentang dirinya, kemenangan yang paling penting itu bukanlah kemenangan olahraga. Melainkan kemenangan berkonfrontasi dengan grief dan kesalahan yang menjadi sumber amarah dan ketidaktenangan dirinya.
 
 
Makanya, film juga tidak merasa perlu membahas proses kesembuhan Jack dari kecanduan alkoholnya dengan detil. Sebab yang penting adalah redemption, dan proses yang ia lalui sebagai pembelajaran ke arah sana. Ini adalah drama olahraga yang difungsikan sebagai studi psikologi tokohnya. Yang ditekankan adalah konflik yang lebih personal. Menurutku, jika Mariposa (2020) memang berniat sebagai cerita parenting mestinya film tersebut bercerita seperti film ini; dengan membuat olimpiade sains tidak sebagai fokus, melainkan seperti pertandingan basket dalam film ini. Di sini tidak pernah dikesankan tokoh utamanya menganggap kemenangan basket penting sehingga kita juga tidak disuruh ngebuild up ke arah sana. Sedangkan olimpiade pada Mariposa ditampilkan sebagai sesuatu yang penting untuk dimenangkan, padahal kemudian belakangan diungkap tidak satupun tokohnya yang peduli sama sains. Sebagai film olahraga, film ini menggunakan tidak menggunakan formula dan trope yang baru. Namun sebagai drama tentang candu dan penebusan dosa, film ini kuat oleh karakter, yang dimainkan dengan real, dan naskah yang fokus.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WAY BACK.

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa orang lebih nyaman untuk nge-bottle rage and anger mereka? Benarkah mengekspresikannya lebih sehat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE PLATFORM Review

“In a consumer society there are inevitably two kinds of slaves: the prisoners of addiction and the prisoners of envy”
 

 
 
Hidup kadang di atas, kadang di bawah. Namun sutradara asal Spanyol, Galder Gaztelu-Urrutia tidak sedang membicarakan roda. Alih-alih, dalam sci-fi horor The Platform ia membangun struktur semacam menara; dua ratus ruangan yang disusun bertingkat, berjejer vertikal, diberi nomor satu dari yang paling atas hingga berurut sampai ke paling bawah. Dalam setiap lantai/ruangan, ‘dipenjarakan’ dua orang. Setiap bulan, masing-masing lantai dirotasi penghuninya. Kadang mereka di lantai atas, kadang mereka di lantai ratusan ke bawah. 
Struktur tersebut difungsikan oleh Galder sebagai alegori dari sistem kapitalis, konsumerisme yang diam-diam telah memerangkap masyarakat. Dan Galder memanglah sukses berat dalam menggambarkan itu semua. Bagaimana tidak? Dalam penjara buatan Galder ini setiap harinya diturunkan platform berisi berbagai jenis makanan yang lezat-lezat. ‘Tawanan’ di lantai atas kebagian duluan mencicipi, sebelum akhirnya (tepatnya setelah dua menit) platform makanan ini turun, mengantarkan apapun yang masih tersisa kepada penghuni lantai di bawah, dan begitu seterusnya sehingga semua dua-ratus-lebih lantai kebagian. Atau tidak. Sampai di sini mungkin sebagian dari kalian sudah bisa menebak bagaimana tepatnya dunia film ini adalah cermin dari perilaku masyarakat sekarang, sebab sekiranya kalian bisa mengira seperti apa ‘rupa’ makanan lezat berlimpah itu setelah melewati lantai demi lantai penuh oleh sepasang orang kelaparan. But for the sake of this movie, mari kita tengok dari tokoh utama cerita ini.

Pertimbangkanlah gambar ini sebagai peringatan spoiler yang bakal datang

 
Goreng (Ivan Massague bukan meranin makanan loh ya, melainkan seorang pria yang bakal ancur lebur dihantui oleh realita sosial) terbangun dan mendapati dirinya berada di lantai 48. Rekan satu-lantainya bilang ini posisi yang cukup lumayan. Goreng tentu saja belum tau kenapa sebabnya, karena pria ini baru saja mengajukan diri ikut masuk ke ‘penjara’ yang di dunia cerita sebenarnya adalah fasilitas rehabilitasi, dikenal sebagai Vertical Self-Management Center. Goreng masuk sebab ingin mendisiplinkan dirinya dari rokok. Setiap peserta boleh membawa satu barang untuk dikarantina bersamanya. Goreng memilih buku. Teman selantai Goreng memilih pisau, dan lantas menertawakan Goreng; apa gunanya buku di sini? Dan kemudian turunlah platform makanan itu. Penuh berisi makanan sisa. Yang udah gak karu-karuan bentuknya karena sudah digarap oleh penghuni 47 lantai di atas. Goreng tentu saja tak selera, meski teman selantainya makan dengan lahap. Goreng yang awalnya naif belajar banyak dari temannya, serta dari kenyataan mengerikan tatkala mereka mendapat giliran tinggal di lantai level ratusan. Tempat mimpi buruk menjadi kenyataan, survival buas karena tidak ada makanan yang sampai ke sana. Goreng akhirnya paham kegunaan benda seperti pisau di lantai-lantai bawah saat pisau itu mengoyak lepas daging paha kakinya.
The Platform nyata-nyata bukanlah makanan buat semua orang. Gambaran kekerasan dan tindak amoral para tokoh ditampilkan dengan vulgar. Kasar. Jijik. Ya, jijik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian dalam film ini. Kita akan dikasih lihat betapa menjijikannya sikap manusia yang mementingkan diri sendiri. Tapi juga akan membuat kita jijik kepada diri sendiri, lantaran kita mengerti mereka. Kita paham kenapa mereka melakukan itu. Pemakluman penghuni lantai bawah yang gak kebagian makanan menjadi kanibal karena keadaan memaksa mereka, orang-orang di atas makan duluan, dan ketika digilir kita merasa wajar orang-orang yang di bawah akan melakukan hal yang sama saat mereka sudah di atas. Siklus mengerikan ini tidak bisa dihentikan. Dan ironi dari ini semua adalah; bahwa sebenarnya makanan di atas platform itu cukup untuk mereka semua, dari lantai satu hingga lantai dua-ratus, tiga-ratus, berapapun.
Maka Goreng mencoba menyadarkan semua orang, dia berusaha membuat mereka sadar bahwa tidak perlu mengambil makan banyak-banyak. Semua sudah diberikan jatah makanan yang cukup untuk melewati hari sehingga tidak akan ada yang kelaparan. Namun dendam diperlakukan hina, ketakutan akan kelaparan esok hari, dan fakta beberapa orang pada dasarnya memang rasis (film juga menampilkan agama, ras, dan golongan sebagai bagian dari penokohan) membuat usahanya sia-sia. Goreng didengar oleh orang-orang di bawahnya ketika dia mendorong mereka dengan ancaman. Tapi apa gunanya jika tidak semuanya sadar dan bersikap seperti tirani malah akan menimbulkan kebencian yang secara jangka panjang tidak bakal mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Itulah konundrum yang paralel dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Gak usah jauh-jauh, lihat sekarang – di masa-masa seluruh dunia dalam pandemi virus corona – banyak orang membeli barang di luar yang benar-benar ia butuhkan. Di negara luar orang rebutan tisu toilet. Di negara kita, orang berebut masker. Hand sanitizer. Bahkan alat-alat kesehatan. Orang-orang berduit, tentu saja. Memborong semua sehingga banyak orang, terutama yang less-fortunate enggak kebagian. Sama seperti di film ini, orang-orang tetap memakan makanan yang sebenarnya bukan jatah mereka sehingga makanan tersebut tidak mencukupi. Mentang-mentang punya kesempatan duluan. Orang-orang seperti susah membedakan yang mereka butuhkan dengan yang tidak. Semuanya pada tamak. Yeah, mereka bisa beralasan survival instinct. Film ini menunjukkan bukan salah mereka sedang di atas, melainkan karena mereka pernah di bawah. Di sinilah letak kebobrokan sistem tersebut, sistem masyarakat kita yang over-konsumtif. Yang berkecukupan tidak merasa punya keharusan untuk berbagi. Setiap tokoh dalam film ini terpenjara oleh candu dan iri atas makanan karena sistem membuat mereka jadi melihat pada posisi atas atau bawah.

Masalah kesejahteraan ekonomi sebenarnya sangat terkait dengan masalah moral. Bukan eksak soal punya banyak duit atau tidak. Bahkan film ini menunjukkan, dalam keadaan yang sama-sama berkekurangan pun akan ada gap; yang berasal dari perbedaan kesempatan. Inti masalahnya adalah terletak pada kebutaan kita membedakan mana yang kita berhak miliki dengan mana yang kita pikir berhak untuk kita miliki. 

 

Goreng harus bertrimakasi kepada temannya; Trimagasi

 
Tidak ada jawaban yang saklek benar untuk mengatasi persoalan ini. Sepertinya memang harus dengan kesadaran sendiri. Tidak bisa dipaksa. Jikapun berubah, maka itu tidak dalam waktu dekat. Prosesnya bakal lama. Makanya Goreng gagal semua, meskipun sebenarnya banyak juga yang berjuang untuk menjadi lebih baik di dalam sana. Makanya pula, film tidak membahas penyelesaian hingga ke akarnya. Melainkan memberikan jawaban lewat metafora. Dan ini bakal jadi turn off buat sebagian penonton yang mengharap solusi alias jawaban. Akhir film dapat jadi membingungkan ataupun tidak menyelesaikan apa-apa. Buatku; ya ada beberapa elemen yang gak diberikan alasan yang jelas kenapa bisa ada, alias ada elemen yang kayak maksa. Namun soal endingnya, aku mengerti kenapa film memilih untuk menutup seperti demikian.
True resolution yang dipercaya oleh Goreng adalah mengirimkan kembali seorang kecil yang ia temukan di lantai paling bawah ke lantai paling atas; ke tempat manajemen gedung. Hanya si anak saja, tanpa dirinya. Goreng memilih untuk tetap tinggal di lantai dasar. Makna dari semua ini adalah film ingin menunjukkan kepada kita bahwa harapan itu masih ada. Yakni berupa generasi muda, yang sama sekali belum tersentuh dan dikotori oleh sistem. Goreng tidak bisa ikut karena untuk sampai ke sana saja ia sudah literally kotor dan menjadi bagian dari sistem. Anak itu merupakan simbol dari buah perjuangan kemanusiaan, sebuah clean-slate. Memang mengirim anak itu ke atas belum tentu bakal langsung menghentikan semua amoral dan membuat orang seketika menjadi lebih baik. Namun mengirimkannya adalah pesan mutlak bahwa ada kesalahan di sistem (bisa ada anak yang masuk, meskipun peraturan menyatakan tidak boleh), dan fakta bahwa anak itu masih hidup dan sehat adalah bukti nyata kemanusiaan masih punya harapan.
 
 
 
 
Ini bukan thriller ruang tertutup yang biasa. Cerita sarat metafora dari realita dunia konsumtif kita. So naturally, this will be very hard to watch. Apalagi film memang tidak ragu-ragu untuk menjadi semenjijikkan mungkin. Blood, vomit, feses, moral bobrok, salah satu dari empat itu akan membuat kita mual duluan. Ditonton dalam waktu-waktu wabah virus sekarang, film ini sangat relevan. Film tidak tersaji subtil, dan beberapa elemen seperti diadakan begitu tanpa ada penjelasan, membuat sebagian penonton enggak puas. Namun yang patut kita apresiasi adalah film berusaha mencari penyelesaian dengan nada yang positif, dengan memperlihatkan manusia masih bisa bertaruh pada harapan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PLATFORM.

 
 
 
That’s all we have for now.
Hanya butuh satu orang, satu orang mulai makan melebihi yang ia butuhkan – memakan jatah orang lain – dan keseimbangan itu akan runtuh. Menurut kalian apa yang kira-kira menyebabkan tawanan di lantai atas memakan lebih banyak dari yang ia butuhkan?
Ini adalah struktur  vertikal, menurut kalian apakah akan ada bedanya jika struktur penjaranya berupa kamar-kamar yang disusun horizontal? apakah beda posisi/kelas itu akan terasa?
Apa kalian punya interpretasi sendiri terhadap ending film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE GENTLEMEN Review

“A good name is better than riches”
 

 
 
Setelah Aladdin (2019) yang tampak begitu mengekang baginya, sutradara Guy Ritchie tampak amat lepas dan bebas ‘menembakkan’ kembali gaya khasnya, bertubi-tubi. Editing cepat, dialog dan humor yang sama bandelnya, plot tentang dunia kriminal yang nyerempet nonsensical. Itu semua layaknya taman bermain bagi Ritchie. Namanya gede berangkat dari genre dan cerita seperti demikian. Di The Gentlemen kali ini, dia kembali menjadi raja. Menapaki yang sudah ia kuasai. Namun bukan tanpa kreasi baru. Karena ia sungguh-sungguh menggunakan kuasa dan kebebasannya untuk bersenang-senang menciptakan film.
Bukan kebetulan juga, film The Gentlemen ini sendiri juga membahas para raja-raja. Raja kriminal jalanan, lebih tepatnya. Penguasa bisnis narkoba, kepala preman, ketua geng, orang-orang semacam itulah yang akan kita temui di film ini. Particularly, yang disorot adalah seorang Amerika yang sukses jadi pedagang ganja ilegal terbesar di London; Mickey Pearson. Dia ingin menjual aset berharganya ini. Tentu saja ia harus selektif karena memang banyak yang mengincar. Ketika salah satu geng berhasil melacak salah satu ‘perkebunan’ rahasia miliknya, tahulan Pearson bahwa ada orang yang mencoba menjatuhkan dirinya. Film memberikan sugesti kepada kita untuk menebak, dengan memperkenalkan beragam possible suspect. Mulai dari Ketua mafia Cina yang masih muda hingga ke mitra bisnisnya. Bahkan bisa jadi anak buah Pearson sendiri yang ingin menghancurkan bisnis dan keluarga Pearson.
Sampai di sini, besar kemungkinan kalian yang belum nonton bertanya-tanya di dalam hati – lah di mana kreasi barunya? Teruntuk kalian yang menanyakan itu aku sarankan untuk tarik napas dulu. Duduk rileks. Nyandar, tuangkan anggur kalo perlu, isep cerutu biar kayak bos gangster juga. Cuci tangan dulu pakai sabun, biar gak kena corona. Mandi sekalian, kalo perlu. Sudah? oke, let me tell you this then; keseluruhan cerita Mickey Pearson tadi diceritakan oleh film lewat tokoh nyeleneh – seseorang bernama Fletcher – yang memotret semua kejadian diam-diam dan dia menggunakan segala informasi yang ia tahu untuk nge-blackmail Ray, orang kepercayaan Pearson, sekaligus berdiskusi karena ia telah menyusun naskah film berdasarkan semua cekcok antargeng tersebut dan ia ingin menjualnya kepada studio untuk lebih banyak cuan.

“aku mempertaruhkan pantatku bikin film ini”

 
 
Berkat hal tersebut, film terasa begitu meta. Secara personal aku suka ama film-film yang memberikan insight ‘membuat film’ seperti begini. Dalam The Gentlemen, dengan nada yang lucu, kita akan melihat Fletcher ngepitch naskahnya ini kepada Ray, meminta pendapat Ray tentang suatu scene karena in real-life Ray mengalami langsung. Kadang naskah Fletcher memberikan informasi berguna kepada Ray yang ingin membantu bosnya mencari siapa tersangka yang mau mencuri bisnis mereka. Diskusi mereka inilah yang jadi tubuh film. Kita melihat adegan berupa penggambaran naskah yang ditulis Fletcher, tapi terkadang adegan itu ‘dilebaykan’ olehnya jadi kita balik lagi dan melihat adegan sebenarnya yang terjadi menurut Ray. Dengan unreliable-narrator begini, menonton The Gentlemen ini malah jadi lebih asik. Film tidak pernah memberi garis tegas mana yang karangan, mana yang ‘asli’. Kita hanya akan mengerti saat cerita dikoreksi oleh tokoh, tapi terkadang ada yang seperti dibiarkan saja karena kita merasa lucu dan berpikir ‘well, gak mungkin itu kejadian’. Humor film memang sebagian besar berpijak dari sini. Kreatif bercerita Ritchie mencuat dari sini. Kadang ia mengubah ratio layar, karena Fletcher membayangkan filmnya nanti punya ratio kayak film klasik, dengan visual yang grainy dan sebagainya. There’s a whole lot of fun yang datang dari konsep bercerita film ini.
Konsep yang juga digunakan untuk memainkan tensi. Film dimulai dengan hook gede yang mengisyaratkan bahwa Pearson tewas terbunuh. Dan kemudian kita dibawa mundur dan melihat satu persatu orang-orang di sekelilingnya – melalui naskah Fletcher – leading up ke peristiwa pada adegan pembuka tadi. Setiap adegan pada film ini jadi terasa sangat menghibur. Karena cerita diceritakan lewat naskah buatan tokoh, maka kadang dialognya pun terdengar ‘dikarang’, alias janggal karena sering berima tidak pada tempatnya. Dalam menampilkan adegan kekerasan, film ini juga bersenda gurau dengan kita. Ia meninggalkan banyak momen untuk imajinasi kita, sementara di layar kita hanya muncratan darah atau hanya disambut oleh mayat di dalam kulkas.
Semua pemain juga tampak bersenang-senang menghidupi peran mereka. Matthew McConaughey juga seperti kembali ke singgasananya, memerankan sosok kharismatik dan disegani kayak Pearson ini udah paling klop buatnya, dan dia benar-benar luar biasa meyakinkan di sini. Namun sesungguhnya ada dua tokoh yang mencuri perhatianku di sini, yakni Colin Farrell yang berperan sebagai Coach. Sebagai tokoh, Coach juga amat menarik. Dia semacam mentor dari geng anak muda di sebuah boxing gym. Jika film ini bercerita tentang raja (kalimat renungan Pearson di awal film adalah koentji), maka Coach ini adalah raja alias ‘pemimpin’ yang paling gentelmen di antara tokoh-tokoh ketua dalam ini. Hubungan Coach dengan anak-anak didiknya begitu menarik sehingga aku pikir mereka pantas mendapatkan satu film khusus. Absolutely aku bakal nonton! Sementara, satu tokoh lagi yang mencuri perhatianku tentu saja adalah Hugh Grant yang incredibly funny sebagai Fletcher. Dia benar-benar melebur ke dalam perannya, nyaris tidak dikenali. Jika Pearson adalah tokoh sentral, maka Fletcher ini bisa dibilang merupakan sudut pandang utama. Dialah yang bercerita, dan dia jualah yang mendapat pembelajaran di akhir cerita.
Fletcher pongah, dia merasa bisa mengatur semua sesuai dengan keinginannya. Dia ingin bikin film, tapi terutama dia ingin memeras. Pengen kaya. Dia ingin mempermainkan bos-bos gangster ini. Namun dia tidak pernah seorang pemimpin. Film memperlihatkan Pearson juga mengancam dan memeras. Bedanya adalah Pearson beneran raja, sedangkan Fletcher bertingkah seolah raja. Pearson punya sesuatu yang tidak dipunya oleh Fletcher. Yaitu nama. Nama-lah, yang membuat Pearson disegani dan berkuasa. Disegani oleh anak buah sekaligus musuhnya Bukan semata kekayaan dan aset. Nama ini didapat dari perjuangan. Dalam film ini kita diperlihatkan penguasa yang ‘baik’ seperti Pearson ataupun Coach, dan orang yang masih bau kencur untuk bisa diberikan kekuasaan seperti Fletcher dan Dry Eye sang bos gangster Cina.

Seorang raja alias penguasa disegani oleh musuh. Dihormati oleh bawahan. Dihargai oleh sesama penguasa. Itu semua bukan semata karena mereka punya uang. Melainkan karena kepercayaan, kesohoran nama sebagai akibat perjuangan dan tempaan. Semua ini lebih dari soal uang. 

 

oh I just can’t wait to be kiiiingg

 
 
Film ini bisa bekerja lebih baik dan solid dengan hanya dari sudut pandang Fletcher, atau dari Pearson. Salah satu dari dua itu. Namun tidak akan menghasilkan sesuatu yang unik. Jadi dimasukkanlah kedua-duanya. Didesain konsep atau format bercerita yang menyatukan keduanya sehingga terasa berbeda. Dan mungkin film memang ingin sedikit mengecoh kita. Membuat seolah ini murni tentang Pearson, tapi ternyata ini tentang orang yang berusaha mengambil keuntungan dengan menjadikan dia sebagai pusat cerita. Memang, film ini bisa jatoh sedikit njelimet. Terutama di paruh pertama, saat penonton belum sepenuhnya mengerti outline cerita. Ditambah pula dengan berjubelnya dialog, dan tokoh yang dihadirkan – semua lewat tempo cepat – sehingga aku bisa mengerti kalo di awal-awal kalian bilang susah untuk menangkap dan peduli sama apa yang diomongin oleh para tokoh. Namun setelah pertengahan, ketika semua sudah diperkenalkan dan kita paham apa yang ingin dicapai oleh film – kemunculan Coach yang tenang dan grounded juga cukup membantu mengademkan cerita – maka The Gentlemen ini akan lebih mudah dinikmati dan film tidak berhenti untuk terus menghibur dan mengejutkan kita.
 
 
 
Lucunya, buatku kayak ginilah mestinya film Dilan dan Milea bercerita. Dua film itu kan juga basically menceritakan satu tokoh lewat tulisan tokoh lain. Alih-alih membuat tokoh nongol di depan komputer dan barely ada penutup soal tersebut, mestinya biar asik ya dibikin kayak yang dilakukan oleh film ini. Bercerita lewat dua tokoh yang mendiskusikan naskah. Bercanda tidak sebatas lewat dialog dan pengadeganan, melainkan juga lewat konsep storytellingnya secara utuh. Prestasi film ini adalah berhasil mencapai level menghibur yang berkesan karena luar biasa unik. Pun dihidupi oleh karakter-karakter menarik, yang diperankan dengan mengagumkan. Hanya saja sedikit kekurangan berupa cerita/percakapan yang sulit untuk diikuti di paruh awal karena penonton masih berusaha memahami konsep itu.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE GENTLEMEN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Film ini cukup banyak dikritik perihal dirinya dianggap gak gentelman karena banyak mengandung kalimat-kalimat ejekan yang berbau rasis.
Menurut kalian apa sih sebenarnya makna dari menjadi seorang gentelman itu sendiri?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

ONWARD Review

“A father’s a treasure; a brother’s a comfort; a friend is both.”
 

 
 
Tersamar di balik dongeng makhluk-makhluk fantasi yang hidup dalam dunia dengan kenyamanan dan kemudahan teknologi modern sehingga melupakan kemampuan ajaib mereka, ada pesan menyentuh tentang hubungan anak dengan orangtua yang gak sempat ia kenal, juga tentang eratnya persaudaraan yang bisa timbul dari situasi seperti demikian. Karena hubungan keluarga memang sebegitu magicnya, sehingga kita mau-tak mau bakal dapat merasakan keterikatan terhadap anggot keluarga pada setiap serat dari diri kita.
Pada ulangtahunnya yang ke-enambelas, Ian Lightfoot – seorang elf yang disuarakan oleh Tom Holland, orangnya pemalu, gak pedean, dan bukan seorang pemberani – menerima hadiah yang sudah disiapkan oleh ayah yang meninggal dunia semenjak ia masih dalam kandungan ibunya. Hadiah berupa sebuah tongkat kayu. Abang Ian, Barley, yang hobi main game kartu ala ‘Dungeons and Dragons’ percaya bahwa tongkat itu merupakan relik dari sejarah dunia fantasi mereka. Bukti bahwa bangsa mereka bisa sihir dan segala macam keajaiban yang kini sudah dianggap omong kosong oleh masyarakat. Ian juga tadinya enggak percaya sama abang yang menurut semua orang – dan ia sendiri setuju; aneh dan pecundang. Namun di tangannya sendiri, tongkat tersebut berhasil mengembalikan ayah, well… kaki sang ayah. Keajaiban memang ada dan Ia adalah pewarisnya. Ian bisa mengembalikan ayah khusus untuk satu hari asalkan bisa menemukan batu yang jadi sumber kekuatan. Maka berangkatlah Ian, bersama Barley yang dimainkan oleh Chris Pratt, dan bagian pinggang ke bawah ayah mereka, bertualang naik van rongsok demi berjumpa dengan ayah yang sangat ingin Ian kenal. Ian pengen menghabiskan hari, mengobrol, dan berbagi dengan sosok yang dijadikannya panutan tersebut.

untung gak jadi thriller “The Invisible Dad”

 
 
Sebagai abang (dari dua adek; cewek dan cowok) aku lumayan bangga dan terenyuh nonton film ini. Karena cukup jarang ada film – terutama film keluarga – yang benar-benar menghormati persaudaraan abang-adek seperti film ini. Enggak hanya dijadikan lelucon, atau diarahkan menjadi rivalry. Sure, bagi adek, abang-abang mereka seringkali kelihatan entah itu sok galak, nyebelin, atau sok asik. Di Onward juga nampilin seperti begitu; Ian sangat berbeda dengan sang abang. Malah, Ian bisa dibilang gak suka dan gak percaya sama Barley. Mereka tidak bermain bersama, mereka tidak punya hobi yang sama. Pada awalnya, Barley yang kekanakan dan penuh oleh ‘teori’ sejarah, memang terlihat seperti tokoh sidekick untuk lucu-lucuan. Kemudian seiring waktu, fokus film semakin jelas, dan ternyata hubungan persaudaraan Ian dengan Barley lah yang dijadikan menu utama. Akan ada banyak adegan mereka bonding mulai dari sekadar ngobrol atau melakukan tantangan bersama yang bakal mengingatkan kita kepada saudara di rumah. Ian bisa magic tapi dia gak percaya sepenuhnya, sehingga banyak momen-momen Barley menggempor semangatnya – mengajarinya dengan sabar. Adegan Ian gemetar menyeberang jurang dengan sihir jembatan-tak-terlihat dengan diikat tali yang dipegang oleh Barley, ia kerap neriakin “jangan dilepas” tanpa berani menoleh ke Barley di belakang, misalnya; ini seperti ketika seorang abang ngajarin adiknya naik sepeda, memegangi dari belakang. Adegan-adegan mereka seperti begini yang benar-benar hits home buatku.
Beberapa penonton mungkin merasa film ini gak konsisten karena seperti berganti topik; dari yang tadinya tentang anak yang ingin bertemu dengan ayah berubah menjadi tentang persaudaraan. Tapi memang justru itulah poin pembelajaran yang dialami oleh Ian di dalam film ini. Pixar selalu gemilang karena cerita-cerita yang disuguhkan selalu berhasil bekerja maksimal dalam formula/struktur penceritaan yang simpel-namun-bener. Supaya bisa gak merasa film ini enggak-konsisten, kita perlu mengingat hal paling dasar dalam premis dramatik seorang tokoh film. Yakni soal ‘wants’ dan ‘needs’; tokoh menginginkan sesuatu dan berjuang demi itu, hanya untuk menyadari hal sebenarnya yang ia butuhkan. Onward, pada inti emosionalnya, adalah tentang anak yatim yang ingin bertemu sekali saja dengan ayahnya – ia berjuang mencari tokoh panutan supaya bisa menjadi lebih baik dalam hidup, dan setelah petualangan yang ia lalui bersama abang, ia menyadari ia tak pernah kehilangan sosok itu. Selama ini, ada satu orang yang selalu menyemangati, mendorong dirinya menjadi lebih baik, percaya pada dirinya, dan orang itu harusnya ia hargai. Persoalan mencari ayah hanyalah lapisan luar dari permasalahan Ian. Dan film ini akan membuka hingga ke lapisan dalam dengan cara yang benar-benar menyentuh karena Ian juga serta merta harus come in terms dengan merelakan ayah yang tak pernah ia kenal.

Hanya abang atau saudara laki-laki yang lebih tua yang bisa mencintai seperti seorang ayah, menyebalkan kayak saudara cewek, peduli sebagaimana seorang ibu, sekaligus suportif dan bisa akrab layaknya sahabat karib.

 
Dan sesungguhnya kita beruntung film ini tidak memusatkan banyak kepada Ian dan kaki ayahnya. It’s a good thing film ini maju dan enggak mentok menjadi komedi konyol dua orang berusaha menyamarkan makhluk tak berbadan-atas sebagai orang normal. Kocak memang, tapi dengan cepat menjadi basi. Karena dunia mereka sudah terlalu fantastis. Melihat mereka berusaha memakaikan sweater dan kacamata hitam untuk samaran ayahnya – seolah bodinya utuh – terkesan jadi biasa saja karena normal di dunia cerita ini sendirinya sudah ajaib. Sukar membayangkan penduduk menjerit begitu melihat ayah mereka hanya kaki tatkala para penduduk itu adalah sebangsa cyclops, atau pixie, yang memelihara naga seolah anjing di rumah, dan unicorn kayak rakun atau pengais sampah. Onward ini kayak Shrek, atau animasi fantasi serupa, dengan elemen komedi menyamarkan ‘mayat’ ala Weekend at Bernie’s (1989). Komedi di film Bernie’s bisa sukses histerical karena dunianya adalah dunia normal kita – yang dibentrokkan dengan mayat didandani dan bisa jalan-jalan seolah masih hidup. Pada Onward, elemen kaki ayah ini enggak bisa menjadi lebih menonjol lagi komedinya karena sifat dunia yang emang udah fantastis sedari awal. Jadi, merupakan langkah bagus dari film untuk move on dan menjadikan koneksi Ian-Barley sebagai pusatnya.
Onward tampil sebagai film keluarga lucu, hangat, seru, menyentuh emosi. Yang tercapai berkat eksplorasi cerita yang berani keluar dari zona nyaman. Memperlihatkan kenyataan kepada anak-anak bahwa berkubang pada masa lalu, berpegang pada sesuatu yang bukan untuk kita, akan menghambat diri sendiri. Kadang yang sudah pergi tidak akan kembali. Film membuat anak-anak berani menerima kematian orangtua, dengan menunjukkan bahwa cinta itu datang dari sosok orangtua pengganti berupa keluarga kita yang lain. Onward juga menampilkan tokoh ibu yang tidak biasanya hadir di film-film seperti ini. Ian dan Barley tidak berjuang sendirian, ibu mereka tidak menunggu di rumah dan hanya muncul di awal dan akhir film saja. Peran ibu tidak diabaikan dalam pencarian mereka. Bagi ibu-ibu yang menikah lagi bisa memetik pelajaran dari ibu Ian yang sudah punya ‘pacar baru’ untuk membiarkan anak mencari tahu dan lebih mengenal ayah mereka sebagai proses perkembangan. Namun ada satu yang masih kurang penggalian, yaitu dari Barley si abang. Cerita ini harusnya membuat para abang di antara penonton bisa come to terms dengan tanggungjawab pada pundak masing-masing. Hanya saja, di film ini Barley tidak berubah banyak dan segala masalah mereka lenyap alias bisa ditangani karena Ian bisa sihir.

ultimate bro movie

 
Lapisan lain yang dimiliki film ini adalah soal magic yang kini sudah tersingkirkan. Karena orang terbuai oleh teknologi yang memudahkan. Dengan gampang kita dapat menarik garis paralel dunia modern mereka dengan dunia modern kita. Tapi bagaimana dengan dunia sebelumnya? Kita tentu saja tidak bisa mengharap ada sihir beneran yang melenyapkan semua persoalan dengan sebait mantra. Barley, adalah pengacara alias pengangguran-banyak-acara yang kerjaannya di rumah adalah main game dan di luar rumah sebagai aktivitis pelindung bangunan dan tempat bersejarah. Barley percaya pada magic masa lampau. Kesamaannya dengan tokoh Ian adalah mereka sama-sama berpegang pada past. Film menggagas past dan future seharusnya bisa berjalan beriring; kita belajar dari masa lalu demi masa depan. Tokoh Barley di film ini seringkali berlawanan dengan pesan tersebut karena dia selalu benar. Pengetahuannya tentang mitologi dunia fantasi seolah me-redeem dirinya yang disebut seorang screw-up oleh masyarakat. Di dunia nyata kita tidak bisa menjadi seperti Barley selamanya karena tidak akan selalu benar, dan jika salah akan ada keajaiban. Kita, dan Barley, perlu belajar tanggungjawab dan film tidak memperlihatkan itu.
 
 
Dunia monster dan magic selalu bicara soal kepahlawanan. Dan dalam keluarga, kepahlawanan itu berarti seorang kepala keluarga yang mengayomi, melindungi, menyemangati anggota keluarganya. Setiap dari kita punya sisi tersebut. Mungkin itulah yang dimaksud dalam film ini ketika memperlihatkan makhluk-makhluk yang melupakan kemampuan dasar mereka. Polisi centaurus yang emoh berlari karena sudah punya mobil (gimana cara dia duduk). Pixie yang jadi geng motor mengacuhkan sayap mereka. Ada banyak yang bisa dibahas dari animasi petualangan fantasi ini. Dengan hubungan abang-adik sebagai pusatnya. Film ini jadi pelajaran berharga bagi keluarga di zaman modern, karena berani menghadang persoalan sesuatu kadang tidak sesuai harapan. Juga merupakan cerita yang sangat menghibur dengan penampilan dan imajinasi yang ‘liar. However, ini bakal jadi sempurna, jika menggali lebih dalam terkait konsekuensi dan tanggungjawab.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ONWARD.

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya cerita/pengalaman unik dengan abang – atau kakak?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

MEKAH I’M COMING Review

“Perhaps a great deed is belittled by an intention. And perhaps a small deed, by sincere intention, is made great”
 

 
 
Ditipu mengakibatkan korban penipuan merasa tak-berdaya, mudah dibodohi — merasa bego dan males ntar makin dibego-begoin orang sehingga urung melaporkan. Satu lagi yang mungkin dirasakan adalah; justru merasa dirinya bersalah. Kenapa bisa merasa bersalah. Bisa jadi karena menyadari alasan mereka bisa sampai tertipu pada awalnya. Menyadari bahwa niat mereka sudah salah sehingga tidak bisa melihat dengan jernih perangkap di depan mata. Niat mendapatkan sesuatu yang besar, melakukan sesuatu yang besar agar dipandang istimewa, tapi pengennya secara instan, lewat jalan pintas. Seperti niat pengen naik haji.
Seperti Eddy, pemuda warga Desa Cempluk, Jawa Tengah. Ia menggunakan naik haji sebagai alat supaya bisa menikahi Eni, pacarnya yang hendak dijodohkan dengan seorang juragan. Tapi berangkat haji itu ternyata bukan saja jika ‘mampu’, melainkan juga ‘mau’ menunggu antrian kuota hingga sepuluh tahun. Mana bisa Eddy menunggu selama itu, tahun ini dia kudu segera naik haji. Maka ia pun menjual bengkelnya, beralih ke jalur alternatif. Travel haji yang sedikit lebih mahal (ada diskon ding!), dan jauh lebih cepat gak ribet. Sayangnya semua itu hanya tipuan. Dan Eddy yang malu dan tentu ogah melihat Eni tersayang dinikahin ama orang lain, memutuskan untuk gak pulang ke kampung. Ia menetap di Jakarta, menjalankan usaha dagang, bersama orang-orang yang juga jadi korban penipuan haji. Berpura-pura jadi haji beneran kepada Eni dan ibunya di kampung.

kalo terjadi sekarang, berangkat hajinya ke-cancel virus corona

 
Permasalahan tipu-tipu jemaat haji ini dibingkai dalam komedi yang terasa segar sekali. Sebuah langkah bijak dari sutradara pendatang baru Jeihan Angga, sebab perlakuan dan arahan yang ia lakukan membuat film sama sekali tidak terasa preachy. Menyentil orang naik haji yang niatnya enggak-lurus, tanpa jatoh seperti menghakimi dan menyalahkan korban penipuan. Akan ada banyak sekali kita temukan gambaran-gambaran konyol yang mengomentari fenomena sosial yang relevan dengan masa sekarang. Film menggunakan beberapa plesetan untuk menyinggung tanpa benar-benar menuding. Melainkan mengajak kita menertawakannya bersama-sama. Seperti nama travel haji odong-odong yang digunakan Eddy; Second Travel, is clearly a jab to the First Travel, yang kasus penipuan hajinya marak tahun lalu.
Segala aspek seperti suara, musik, penataan gambar, dan kamer digunakan secara precise untuk menghasilkan efek komedi. Dan film ini sungguh gak malu-malu dalam menjelajahi ranah komedinya. Dunia film ini dihidupi oleh tokoh-tokoh yang begitu… weird, kalo gak mau dibilang receh. Si Eddy, pemuda yang punya bengkel kendaraan padahal begitu ‘sontoloyo’ dalam pekerjaannya sehingga suatu hari ia meledakkan mobil yang ia perbaiki. Kita melihat adegan ala kartun dengan asap mengepul sebagai latar desa yang tenang. Ibu Eddy digambarkan kumat ‘sakit’ setiap kali anaknya berulah, dan hanya bisa disembuhkan oleh totokan si anak. Eni dan bapaknya yang suka main gim Harvest Moon juga gak kalah ajaibnya; mereka bisa berkomunikasi dengan… suara hati! Kerecehan ini bukan sekadar dihadirkan supaya lucu, tetapi lucunya juga difungsikan sebagai device untuk memajukan narasi. Kita akan sering mendapati adegan yang circled back ke kerecehan ini sebagai usaha film menjadikannya sebagai sesuatu yang berarti. Film juga bersenang-senang dengan trope-trope drama seperti hujan turun saat tokoh bersedih dan berada di posisi rendah dalam hidupnya.
Kelucuan dalam film ini tidak terbatas pada situasi fantastis yang wallahua’lam bisa beneran terjadi di dunia nyata. Mekah I’m Coming juga menggunakan banyak situasi modern untuk memancing kelucuan, yang juga menyumbang banyak bagi bobot cerita. Misalnya fenomena selebgram atau vlogger-vlogger yang menjadi terkenal berkat konten mereka yang sebenarnya lebih banyak gak-jelasnya ketimbang manfaatnya. Film menertawakan ini, sekaligus menjadikannya sebagai sesuatu yang tak-terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Meskipun tidak membahas sampai sejauh konsekuensi (film menunjukkan ada tokoh yang alamatnya didatengi oleh orang dari kampung yang mencari Eddy, adegan ini sebenarnya punya implikasi mengerikan karena si tokoh sudah punya ribuan follower – bayangkan jika semua fansnya itu bisa nguntit sampe ke rumahnya) elemen selebgram dibuat menjadi penting dan punya keparalelan dengan gagasan film soal niat adalah hal esensial yang mampu mengubah sesuatu yang sepele dan begitu juga sebaliknya.

Salah satu hal menarik yang diperlihatkan oleh film ini adalah ternyata ada banyak orang seperti Eddy, yang tertipu oleh bisnis travel haji, tapi tak ada yang melapor. Film secara terselubung memberi tahu kepada kita bahwa mereka-mereka ini naik haji bukan karena murni pengen beribadah. Ketipunya Eddy tidak lagi dikasihani karena naik hajinya sudah menjadi kecil oleh alasan ia pengen pergi pada awalnya. Perbuatan baik akan menjadi sepele jika niatnya sepele. Dan sebaliknya, kerjaan nge-vlog yang receh bisa jadi penghasilan yang  bermanfaat jika diniatkan untuk menolong banyak orang.

 
Paling asik memang jika melihat aktor-aktor memainkan peran di luar kebiasaan akting mereka. Rizky Nazar dan Michelle Ziudith, memang baru Februari tahun lalu mereka bermain drama komedi dengan latar Jawa di Calon Bini, tapi Mekah I’m Coming ini tantangan komedinya berada di ranah yang completely berbeda. Dan dengan didukung oleh pemain-pemain yang sudah berpengalaman dalam bidang komedi, baik Nazar maupun Ziudith berhasil menyelesaikan tantangan akting mereka dengan gemilang. Tidak sekalipun bintang remaja ini tampak jaim. Film meminta mereka menjadi ajaib – Nazar disuruh bengong nampilin wajah bersalah dalam sebuah montase kocak, Ziudith disuruh nangis ngeluarin uneg-uneg tanpa suara – mereka berhasil natural menjadi ajaib. Logat Jawa bukan masalah bagi mereka. Highlight juga pantas disorotkan kepada mendiang aktor senior Ria Irawan yang menyuguhkan kepada kita peran ibu yang bermain di garis komedi dan drama tanpa kehilangan kharisma. Ini adalah penampilan terakhir yang mengesankan, dan kuharap media ataupun yang mengulas berfokus kepada pencapaiannya, bukan ke dialog dan adegannya tentang kematian.

penipunya aja ngerti kok naik haji itu bagi yang mampu fulus dan niatnya tulus

 
Naskah sudah dengan proper memberikan set up dan menghadirkan konflik, lengkap dengan hiasan berupa dialog-dialog cerdas yang lucu. Hanya saja penyelesaian film kurang memuaskan lantaran tidak banyak pada Eddy yang menunjukkan perubahan. Tokoh ini lebih banyak bereaksi ketimbang beraksi. Jika tidak ketahuan, mungkin dia bakal tetap bohong, dan entah kapan dia bakal ngakuin ke Eni dan ibu bahwa dia sebenarnya gagal naik haji. Dan justru bahasan entah kapan itu yang menarik. Karena seharusnya Eddy sendirilah yang mengambil tindakan pengen mengaku sebagai bukti pembelajaran, bukan karena terpaksa keadaan. Cerita akan lebih berisi jika Eddy pulang dengan jumawa tapi lantas dicurigai oleh tokoh terntu yang ternyata pernah ketipu juga, leading up ke pengakuannya dan bagaimana seisi kampung kini bereaksi terhadap Eddy. Sehingga dengan begitu film jadi bisa menghindar dari aspek terlemah yang ia punya; yakni bahwa cerita ini selesai karena saingan cintanya bukan orang yang baik, dan yang paling benci padanya ternyata adalah orang yang pernah mengalami pengalaman yang sama — alias karena ada tokoh yang lebih buruk daripada Eddy, bukan dari Eddy yang belajar untuk menjadi lebih baik dengan menyadari kesalahan.
Film pada akhirnya tetap meminta kita kasihan kepada Eddy karena dia adalah korban, dan kita diminta untuk menghargai jerih payah yang ia lakukan padaha, meskipun kita tahu dia haji hanya demi nikah, dan lagi dengan berbohong dia sudah jadi pelaku juga sekaligus. Eddy harusnya dibuat berubah lebih banyak, paling enggak dia bisa mengenali apa sebenarnya passion dirinya karena he was so bad kerja di bengkel.
 
 
Komedi absurd nan receh memang terasa sangat menghibur dan menyegarkan bagi penonton, serta sangat membebaskan bagi pembuat dan pelakunya. Ketika mereka membuat ini dengan niat menyampaikan sesuatu yang tulus – menyentil maupun memotret – maka akan beresonansi luar biasa kepada kita para penonton. Film ini berhasil membangun dunia sehingga kerecehannya tidak terasa dibuat-buat melainkan merupakan pandangan satir terhadap suatu kondisi. Film ini sesungguhnya mencapai lebih dari sekadar menghibur. Naskah dan karakternya gak annoying, meski di bagian penyelesaian harusnya bisa lebih konsisten lagi dengan gagasan sehingga tokoh utamanya benar-benar mengalami pembelajaran yang berarti.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MEKAH I’M COMING.

 
 
 
That’s all we have for now.
Bagaimanapun juga, penipuan apa saja bentuknya tetap harus dilaporkan tidak bisa dibiarkan merajalela. Kalian ada kiat gak sih gimana supaya saat jadi korban bisa berani melapor? Dan perlakuan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap korban yang kita tahu menyalahkan diri dan tidak mau bersuara?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE INVISIBLE MAN Review

“The scars you can’t see are the hardest to heal.”
 

 
 
Memanglah, manusia lebih seram daripada monster! Buktinya; meski berada dalam jagad sinema yang sama (Universal Monster Universe atau Dark Universe), tapi The Invisible Man yang manusia ini filmnya jauh lebih mengerikan. Lebin bikin kita merasa terancam secara fisik dan emosional, lebih menantang, ketimbang Frankenstein, Mummy, Dracula modern yang rebootnya gagal sehingga nyaris membunuh franchise ini secara keseluruhan.
The Invisible Man diarahkan oleh Leigh Whannell jauh dari hingar bingar aksi dan mitos fantastis. Melainkan, senada dengan novel aslinya yang terbit 1897, memiliki sedikit elemen fiksi-ilmiah. Tapi itu hanya pemanis. Inti dari cerita film ini dibuat sangat dekat dengan kita. Whannell juga dengan efektif membangun permasalahan yang kekinian. Dari banyak cerita tentang ‘mantan’ yang rilis Februari ini, baru The Invisible Man inilah yang justru terasa lebih make-sense, yang lebih dalam menggali permasalahan relationship sepasang manusia; permasalahan yang bukan hanya sekadar karena mereka gak cocok. Masalah mantan di film ini gak jatoh sebagai gimmick jaman now, supaya filmnya laku belaka. Whannell nge-blend itu dengan konsep yang berada pada garis antara supernatural dan keseraman ilmu pengetahuan.
Cecilia, tokoh dalam cerita ini, kabur dari cowoknya yang ganteng, jenius (ilmuwan optikal, atau apa gitu istilahnya..), kaya raya. Tipikal cowok idaman banget si Adrian ini. Sayangnya punya kecacatan ‘kecil’; abusive dan controlling sekali. Pada adegan pembuka yang memperlihatkan Cece diam-diam kabur dari kelonan Adrian, melepaskan diri dari kungkungan rumah dan toxicnya hubungan mereka, ada satu momen yang melibatkan anjing peliharaan Adrian. Dari anjing yang berkalung alat penyetrum itu saja keefektifan penulisan langsung menunjukkan taringnya; sebab momen ini menjalankan fungsi sebagai perlandasan perbedaan sifat dua tokoh – Cece dan Adrian – sekaligus. Meskipun berhasil kabur, Cece masih trauma. Dua minggu dia tidak berani keluar dari rumah sahabat yang menjadi persembunyiannya. Padahal Adrian sang mantan dikabarkan sudah meninggal bunuh diri. OR IS HE? Hidup Cece semakin tidak tenang. Dia mendapat gangguan, dikuntit oleh sesuatu yang tak terlihat. Cece merasa Adrian masih ada di dekatnya. Masih mengendalikan semua aspek hidupnya.

Mungkinkah Cece diganggu oleh John Cena?

 
Film ini, however, tidak membuang waktunya berkubang berusaha membuat kita bimbang antara hantu atau hanya si Cece sajalah yang beneran gila. Set up sepuluh menit pertama sudah begitu kuat dan efektif sehingga kita sudah otomatis waspada ada pria yang superpinter namun sangat jahat mengincar Cece. Maka kita langsung tersedot berada di posisi antisipasi dramatis menyaksikan semua hal buruk menimpa Cece. Untuk itu, film benar-benar menajamkan aspek horor dengan perantara suara dan mata kita. Karena kita berhadapan dengan sesuatu yang tak-kasat mata. Sound design benar-benar bekerja luar biasa. Ada beberapa jumpscare ditemukan, tapi tidak ada yang terasa murahan, karena antisipasi dan kewaspadaan kita sudah terhimpun kepada satu hal. Belajar dari menonton petualangan Harry Potter; kita tahu bahkan orang yang tak kelihatan itu nyatanya masih bersuara. Jadi setiap kali suasana hening, Cece memandang dengan cemas sekelilingnya, kita ikutan bukan hanya menahan napas, melainkan juga menajamkan telinga. Kita terbawa pengen mendengar keberadaan si Pria Transparan. Kita mencari bunyi nafasnya, kita berusaha menangkap basah bunyi derit lantai yang ia pijak sehingga kita tahu dia ada di mana. Dan ketika ada jumpscare, atau sebaliknya tidak ada apa-apa, kita dengan genuine merasa kaget atau lega.
Selaras dengan hal tersebut; kerja kamera juga bekerja dengan sama efektifnya. Aku gak bisa dengan tepat mendeskripsikan tensi film ini terbangun dengan sangat solid hanya dari memperlihatkan sebuah sofa kepada kita. Tantangan film ini adalah ia harus memajang sesuatu di layar, entah itu sofa, atau pintu, atau sudut ruangan, clearly tidak ada apa-apa di sana tapi harus membangun sugesti ada sesuatu yang mengerikan. Setiap kali film melakukan itu, kita menyipitkan mata, menajamkan pandangan, berharap melihat suatu tanda. Bahkan ketika kamera bergerak mengikuti tokoh yang mencari, mata kita akan ikut jelalatan ke sudut-sudut ruangan. Timing sangat berpengaruh, film ini tahu seberapa lama persisnya mereka harus memperlihatkan suatu kekosongan yang membuat kita waspada. Karena jika merekam terlalu lama, kesan seram itu bisa menguap dan dengan gampang berubah menjadi annoying terutama jika harus terus menerus dilakukan. Perbandingannya bisa seperti begini: kalian nonton video di TikTok dengan caption ‘memancing’ seperti “gak sengaja kerekam” atau “apa ada yang bisa lihat?”, kalian pantengin ampe abis tapi nyatanya gak ada apa-apa, apa yang kalian rasakan setelah nonton? Kesel. Kamera film The Invisible Man ini secara esensi sama seperti demikian, pada akhirnya tidak ada apa-apa, namun kita rasanya semakin penasaran – semakin geram – bahkan tidak perlu narasi/caption bait untuk membuat kita merasa masuk begitu dalam.
Psikologi ceritalah satu-satunya dibutuhkan. Dan unlike those poor TikTok videos, naskah The Invisible Man penuh dengan galian psikologi. Serta jauh lebih unggul dalam menceritakannya. Bagi kita ini bukanlah masalah Cece gila atau tidak. Yang membuat kita peduli adalah melihat Cece – powerless ketimbang Adrian – tersiksa dan berjuang untuk lepas, dan ketika dia berusaha minta tolong kepada orang, dia gak bisa menjelaskan; orang-orang gak percaya (karena begitulah esensi dari ‘tidak-berdaya’) malah ia sendiri yang dianggap gila. Kita begitu peduli karena film membuat kita memainkan skenario kemalangan Cece sekaligus menempatkan diri ke posisi dia yang tengah dibuat menjadi semakin tak berarti lagi oleh keunggulan Adrian. Penampilan akting Elisabeth Moss sangat juara sebagai Cece. Mulai dari ekspresi, ketegangan, hingga ke rupa-fisik; dia tampak pucat, awut-awutan, polos tanpa polesan, semuanya bicara tentang kenihilan daya wanita yang terjerat di genggaman pria. Melawan sesuatu yang tak bisa ia lihat. And it works either way; jiwa dan raga. Tak terbatas pada teriak seperti orang gila, tantangan Moss juga melibatkan ia harus berkelahi dengan udara, dan adegan-adegan itu sama sekali tidak kelihatan konyol bahkan untuk satu detikpun.

Bahkan jika kita belum pernah merasakan hubungan yang abusive, kita masih akan bersimpati kepada Cece lantaran yang ia hadapi sebenarnya adalah seseorang yang membuat dirinya semakin merasa bukan apa-apa. Ini bisa dengan gampang diterjemahkan sebagai persoalan ‘laki-lawan-perempuan’ di mana perempuan dianggap lebih tak berdaya dan akan terus begitu karena si perempuan sendiri tidak bisa melihat permasalahan yang sebenarnya; yakni mereka butuh untuk mengambil kendali. Merebutnya, kalo perlu. Seperti yang diperlukan Cece sebagai resolusi cerita. Wanita itu bisa melihat sepenuhnya sekarang, melihat ‘luka’ yang terus dieksploitasi oleh Adrian. ‘Tidak bisa hidup sendiri’, ‘Tidak bisa besarkan anak sendiri’. Sadis atay mungkin jahat kelihatannya, tapi ending film menyimbolkan kesembuhan dan Cece yang sudah bisa melihat yang harus ia kalahkan.

 

Pesan yang indah dalam film ‘manusia-itu-monster’ yang seram

 
Kejadian di sekuen enam naskah begitu sempurna memberikan peningkatan tensi cerita yang sangat drastis. Namun demikian, kejadiannya mengandung sedikit ketidakkonsistenan. Masuk ke babak tiga, aku merasa level excitement-ku sedikit berkurang karena kejadian-kejadian di sini lebih terasa seperti tuntutan naskah ketimbang progres yang natural. Twist sebagai False Resolution yang dimaksudkan untuk membuat Cece semakin bingung terasa gak nendang kepada kita, karena setiap karakter sudah terlandaskan – akan gak masuk akal jika direveal bukan demikian, misalnya soal bayi – tidak mungkin selain Adrian ada yang peduli Cece melahirkan atau tidak. Selain itu, banyak kejadian yang harus terjadi dan kita diminta untuk menerimanya saja, karena ya memang harus ke situ ceritanya. Misalnya adegan di tempat publik, yang harus terjadi di tempat publik karena harus banyak yang menyaksikan Cece; hanya saja ada aspek yang gak konsisten karena dengan sengaja mengabaikan cctv. Padahal cctv jadi elemen yang penting sepanjang durasi, bahkan ending film ini melibatkan cctv. Namun untuk satu adegan di restoran itu, film ‘melupakan’ cctv sebagai bukti karena plot poin mengharuskan Cece setelah ini dimasukkan ke penahanan. Kalo cctv dibahas, bisa-bisa Cece gak jadi ditahan. Mundur ke belakang, masih ada lagi hal-hal yang diabaikan yang kalo kita pikirkan membuat kita ingin protes “loh mestinya kan bisa…”
Cece sempat balik ke rumah Adrian, naik Uber. Cece menemukan kostum penghilang di lab kerja Adrian. Tapi kemudian si Invisible Man datang, Cece berhasil kabur. Naik Uber yang sama, yang sedari tadi nungguin di gerbang depan. Cece kabur, setelah menyembunyikan kostum itu di lemari. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menghantuiku pada sekuen ini. Kenapa si Uber gak dibunuh saja oleh Adrian – bukankah lebih ‘mesra’ mengurung Cece di sarang cinta mereka. Dan bahkan jika gol Adrian adalah supaya Cece terlihat gila nan berbahaya dan lantas ditangkap, bukankah pembunuhan si Uber lebih gampang dan masih bisa dijadikan pemenuh tujuan. I mean, melepas Cece beresiko lebih besar, karena ia harus mengejar lagi, dan berapa kemungkinannya Cece bakal menghubungi kenalan dan ngajak bertemu di tempat umum. Adrian bisa sekonfiden itu dengan rencananya, ya karena memang dibeking oleh tuntutan naskah. Pertanyaan keduaku adalah, kenapa Cece malah kabur dengan meninggalkan bukti penting yang ia temukan – kostum – di dalam rumah, kenapa gak sekalian dibawa kabur. Film sekali lagi tampak memaksakan kejadian, karena di akhir kita paham kostum tersebut harus berada di rumah untuk kejadian ending.
Dan soal bukti, aku akan ngajak mundur lebih jauh lagi membahas saat Cece menemukan hape yang digunakan Adrian memotret Cece tidur; hape ini sengaja ditinggalkan di sana oleh Adrian untuk memberi kejutan kepada Cece. Ini eksesif sekali. Kenapa mesti di loteng? Bayangkan usaha Adrian harus diam-diam angkat tangga, naik ke loteng, naroh hape di sana, turun, balikin tangga ke posisi semula. Resiko dia melakukan hal sebanyak itu di rumah kecil yang berisi tiga orang; sangat besar. Belum lagi kemungkinan Cece dapat/mendengar bunyi hape itu. Kecil. Padahal lebih mudah ia letakkan di kamar saja. Here’s the best part: di hape itu ada foto Cece tidur di kamar anak sahabatnya yang polisi – ini bisa jadi bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada yang menguntit dirinya – bukti yang basically diberikan gratis oleh pelaku kepadanya; KENAPA bukan ini yang diambil Cece dan ia serahkan kepada polisi? Tentu, karena nanti filmnya akan berakhir lebih cepat. Atau paling enggak, intensitas dan tensinya menurun drastis.
 
 
 
Mungkin masih terlalu dini, tapi memang sejauh ini, film inilah horor terbaik yang bisa kita nikmati di 2020. Arahan dan aktingnya luar biasa. Secara fungsi, ia meniupkan napas baru dari Dark Universe, malah sebagai reinkarnasi sebab kini jagat sinematik itu hadir tak lagi sebagai dunia yang berhubungan. Film ini membuktikan film monster-monster itu bisa mencapai potensi yang tinggi jika dibuat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Ada beberapa hal yang jika dipikirkan membuat film ini terasa maksa di bagian akhir, namun tidak akan mengurangi keasikan menontonnya. Karena paruh awal yang begitu solid. Penggemar Universal Monster akan dapat hiburan ekstra dari referensi penampakan Invisible Man versi klasik yang disematkan di dalam cerita
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE INVISIBLE MAN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa orang susah melepaskan diri dari hubungan yang toxic, mereka bahkan jarang mau melihat dan mengakui hubungannya gak-sehat? Menurut kalian apa yang bakal dilakukan Cecilia dengan kostum menghilang yang ia punya?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.