PETUALANGAN ANAK PENANGKAP HANTU Review

 

“Greed makes a ghost story”

 

Sebagai anak yang tumbuh bersama generasi kartun Scooby-Doo dan buku-buku detektif misteri anak seperti Trio Detektif dan Lima Sekawan, tentu saja aku tertarik pengen nonton film Jose Poernomo yang satu ini. Genre yang terbilang langka buat anak-anak di masa sekarang. Serta merupakan langkah yang cukup beresiko di tengah gempuran horor ‘beneran’ di skena perfilman lokal. Terbukti saja, saat menonton memang cuma aku satu-satunya ‘anak’ di dalam studio. Anak-anak benerannya mungkin pada lebih tertarik sama horor yang lebih dewasa, atau sama film orang pacaran. Enggak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi aku heran aja sih. Karena, di luar bagus atau tidaknya kualitas, konsep sekelompok anak kecil membantu orang dewasa memecahkan kasus misteri ini used to be staple dalam cerita untuk anak-anak. Cerita-cerita semacam inilah yang awalnya memperkenalkan anak-anak 90an ke genre horor atau misteri atau thriller whodunit. Apakah zaman memang sudah seberubah itu? Anyway, kembali ke filmnya. Petualangan Anak Penangkap Hantu mengikuti format cerita detektif misteri anak, enggak ada hantu beneran – cuma manusia yang tamak sebagai dalang kejahatan. Lucunya, yang perlu dijadikan catatan adalah, film ini, berakhir jadi beneran creepy. Tapi untuk alasan yang lain.

Anak Penangkap Hantu adalah nama grupnya. Anggota mereka adalah Rafi, Chacha, dan Zidan. Dari poster dan hiasan di kamar masing-masing, kita tahu Rafi anaknya suka petualangan, Zidan brain of the group, dan Chacha, well, kamarnya berhias poster Princess Disney, versi live action modern! Jadi kita tahu Chacha bukan anak cewek lemah yang harus diselamatkan. Malahan, Chacha dengan senang hati berperan sebagai umpan saat mereka mulai menangkap ‘hantu’. Ya, tiga anak ini pemberani, slogan mereka aja “Saatnya hantu takut sama anak-anak!” Geng APH percaya hantu itu gak ada, mereka menangani banyak kasus hantu yang ternyata adalah kasus orang mau maling, lalu nyamar jadi hantu. Kepercayaan mereka tersebut mendapat ujian, saat mereka dimintai tolong oleh Kak Gita untuk mengungkap kasus kutukan penunggu hutan di desa Segoro Muncar. Desa tersebut telah lama kekeringan dan banyak kasus orang hilang. Gak gampang bagi geng APH menguak kasus di sana, karena kepercayaan mereka berbenturan dengan adat istiadat warga desa yang percaya sama makhluk gaib. Makhluk yang, by the way, dalam beberapa kesempatan menampakkan wujudnya. Menakuti-nakuti Rafi, Chacha, dan Zidan.

You know Zidan is a ‘real deal’ begitu lihat di kamarnya ada poster Elon Musk sebelahan ama poster Einstein lol

 

Sebenarnya apa sih yang bikin cerita detektif misteri anak-anak seperti ini bisa menarik bagi audiens cilik? Ini pertanyaan yang bikin aku kepikiran, kenapa dulu waktu kecil aku rela telat ikut main di luar rumah, supaya gak ketinggalan episode Scooby-Doo? Sampai nekat nyelipin buku Trio Detektif di dalam Al-Quran untuk dibaca di sela-sela belajar ngaji? Yang bikin kecantol in the first place, rasanya adalah dunia dan karakter-karakter ceritanya. Entah itu Scooby-Doo (anjing yang bisa ngomong!) dan sobat manusianya Shaggy yang lucu dan paling penakut, Georgina di Lima Sekawan yang tomboi dan lebih suka dipanggil George, atau trio Jupe-Pete-Bob dengan dinamika mereka yang saling mengisi kelemahan masing-masing.  Lalu tentu saja misteri yang ditawarkan. Misteri siapa yang jadi hantu, siapa sebenarnya pelaku, gimana sesuatu yang mengerikan ternyata cuma trik. Bukan hanya soal jawaban, tapi ada sesuatu yang justru melegakan buatku saat masih kecil itu untuk mengonfirmasi bahwa hantu yang selama itu mengganggu Scooby-Doo ternyata cuma manusia. Bukan hantu beneran. Bahwa semua hal supranatural ada penjelasan masuk akalnya. Ngikutin cerita membuka tabir misteri, walaupun masih dalam tahap sederhana, selalu sukses jadi daya tarik.

Untuk urusan pembangunan misteri tersebut, film Petualangan Anak Penangkap Hantu ini pun melakukannya dengan cukup menarik. Setidaknya, berhasil menjaga di dalam garis yang bisa dinikmati oleh penonton cilik. Unsur horor sebagai red herringnya cukup tampak mengerikan dengan benda-benda bergerak sendiri dan sosok hantu yang seperti melayang dengan jubah menjuntai. Dari segi penulisan, film ini pun masih dalam taraf yang bisa dimengerti oleh anak. Tidak banyak memakai istilah yang membingungkan. Investigasinya ringan. Jawaban berbagai misteri soal kenapa desa kekeringan, kenapa banyak orang yang menghilang, kenapa hantunya bisa kayak gitu, bisa gerak-gerakin benda, perlahan diungkap dan dijawab di akhir dengan penjelasan yang bisa dimengerti oleh anak-anak. Penonton cilik akan bisa mengikuti misteri yang dihadirkan. Sembari melakukan itu, film ini juga bicara kepada penontonnya tersebut soal gimana generasi sekarang, generasi yang lebih muda, harusnya bisa lebih menghormati budaya sendiri. Aku suka alasan pertama Rafi ingin menolak rekues kasus dari Kak Gita, karena dia takut nanti mereka tak tahu adat di sana, takut mereka nanti salah bertindak dan dianggap tidak menghormati warga. Sudut pandang warga yang percaya hal gaib dalam cerita ini diwakili sebagian besar oleh Wak Bomoh yang diperankan oleh Sujiwo Tejo. Beliau adalah tetua yang mengurusi ritual-ritual kepercayaan sehubungan dengan penunggu hutan di desa, yang berperan sebagai rintangan terbesar geng APH dalam menyelidiki kasus. Wak galak ini yang ngasih larangan dan aturan-aturan yang tak boleh dilanggar, termasuk main ke hutan. Yang, ya bisa ditebak, setengah aturan tersebut langsung dilanggar oleh APH yang malah kemping di dalam hutan dekat tempat sesajen hahaha

Untuk penonton dewasa, film ini lewat kasus yang ditangani APH kayak ngasih gambaran lucu. Karena, ini adalah kasus di mana seseorang yang berkuasa memanfaatkan kepercayaan warga untuk keuntungannya pribadi. Ketamakannya membuat ia tega mengarang cerita palsu dari kepercayaan warga, ketamakannya membuat ia rela melakukan stage act, aksi-aksi panggung, gimmick hantu untuk memuluskan uang masuk ke koceknya. Di mana ya sepertinya kita melihat tindak-tanduk yang sama?

 

Walau konflik dan dinamika antarkarakternya juga bisa dimengerti dan dekat dengan anak-anak, karakter-karakter ceritanya itu sendiri masih belum luwes. Masih seperti hidup dalam pengertian orang dewasa yang berusaha menulis karakter anak. Urusan karakternyalah, menurutku, letak kelemahan film ini. Dinamika yang menarik sebenarnya ada, kayak, Rafi dalam usia beranjak remaja, mulai naksir-naksiran sama Chacha. Natural dan relate, hanya film ini seperti gelagapan menjadikan itu sebagai sandaran utama menghidupkan karakter. Selebihnya karakter film ini, at best, aneh. Di momen satu-satunya cerita ini ada stake – saat geng APH actually dalam bahaya – film meremehkan efek kejadian tersebut untuk momen flirt Rafi ke Chacha. Bayangkan anak sekecil itu jatuh dari tebing karena tali panjat tebingnya diputus, dan dia masih bisa bercanda untuk memancing simpati temannya.

Panjat tebing? film ini punya wild sense of adventure. Mungkin untuk menunjukkan anak-anak jaman sekarang sangat capable menggunakan gadget dan teknologi, maka film menggunakan banyak aksi yang way over the top sebagai sarana para detektif cilik menginvestigasi kasus. Jadi, mereka ingin menelurusi sungai untuk melihat kenapa air sungai itu kering dan alirannya gak sampai ke desa. Karena gak mungkin jalan kaki sejauh itu, maka kupikir mereka akan menggunakan drone. But oh boy, betapa kelancanganku sebuah dosa besar. Rafi, Chacha, Zidan yang pemberani itu pakai drone? Cuih lemah. Mereka langsung terbang ke lapangan, as in terbang melayang pakai parasut! In a way, kalolah film memang mengincar sesuatu yang over sebagai pengganti momen-momen komedi dari tingkah laku ajaib Scooby dan Shaggy, aku pikir film ini berhasil dengan segala gadget parasut, panjat tebing, dan hal-hal luar biasa untuk dilakukan sekelompok anak kecil di dalam hutan seperti itu. Tapi masalahnya, momen-momen aksi itu cuma momen. Vibe film, apakah seru over the top, apakah konyol seperti Scooby Doo, apakah spionase sersan (serius tapi santai) seperti Spy Kids, tidak diset oleh film. Yang diset baru soal misteri dari peristiwa supranatural.

Muzakki Ramdhan udah kayak McKenna Grace versi Indo, filmnya begitu banyak sehingga kayak muncul random, kadang dia masih kecil kadang dia udah dewasa

 

Pemerannya, Muzakki Ramdhan, Giselle Tambunan, M. Adhiyat, sih tampak fun-fun aja. Film yang justru seperti kesusahan membentuk karakter mereka. Tidak ada development. Yang ada justru karakter mereka seperti berubah-ubah. Kadang Zidan kayak serius pinter, kadang kayak anak kecil clueless ala film horor yang malah mendekat ke arah bayangan hantu. Film juga cuma bisa nunjukin Zidan ama Chacha kakak-adik dengan adegan pelukan setiap kali mereka selamat dari kejaran hantu. Selebihnya, mereka jarang sekali berinteraksi berdua. Si Rafi, kadang disebut pemberani, tapi di lain adegan justru dia yang paling teriak-teriak ribut saat sesuatu yang seperti hantu menampakkan diri. Kalo kita ambil perbandingan kartun Scooby-Doo sekali lagi, Rafi ini kayak Fred dan Shaggy disatukan. Scooby-nya siapa? Well, karakter di film ini memang seperti kekurangan sesuatu. Maskot. Kalo di cerita detektif cilik 90an, biasanya geng protagonis punya peliharaan. Ada Scooby, ada Timmy. Yang fungsinya perekat yang menyatukan para karakter. APH punya paman yang nyupirin mereka ke mana-mana. Namanya Bang Dul. Dia inilah yang perannya seperti Scooby-Doo, sebagai comedic relief, juga sebagai penolong anak-anak.

Dalam cerita yang ditulis dengan lebih matang (meski cerita untuk anak), karakter-karakter itu tidak akan melulu soal menyelediki hantu. Akan ada growth pada sifat mereka. Maybe, kelompok ini akan gagal, atau akan berselisih paham, atau berpisah, lalu dibantu damai kembali oleh Bang Dul yang membuat mereka melihat situasi dan kesalahan mereka. Karakter Kak Gita, juga tidak akan cuma jadi orang yang minta tolong, lalu jadi korban hilang. Kenapa orang dewasa sampai meminta tolong anak-anak, juga akan digali oleh naskah yang kuat penulisan karakternya. Tidak hanya sekadar menyederhanakan karena mereka sudah terkenal mampu. At least, saat nanti dalam bahaya, harusnya ada kekhawatiran dari orang dewasa seperti Gita. Film ini kelewat simpel, sampai-sampai hal menjadi unintentionally menjadi amat sangat creepy, dan di film ini justru jadi solusi, justru jadi waktu bagi karakter Bang Dul memenuhi fungsi perannya sebagai penolong. Bang Dul berhasil melacak Gita karena dia yang kesengsem sama gadis itu diam-diam telah menaruh tracker di dalam kalung yang ia berikan. Duh! Film ini mau bicara tentang tindak kriminal? That is the crime hahaha

 




Aku senang ada film ini. Genre detektif cilik selalu dapat tempat di hati. Menurutku anak-anak perlu lebih banyak tontonan horor atau misteri yang benar selevel dengan mereka. After all, bayi merangkak dulu baru bisa lari kan. Hanya saja, untuk standar cerita anak sekalipun, film ini aim terlalu rendah. Dari segi penulisan kasus dan arahan misteri supranaturalnya, film ini cukup mengerti bagaimana melakukan itu ke dalam level penonton anak-anak. Kadar ngerinya pas, kadar teka-teki atau investigasinya pas. Tidak sampai berat atau membingungkan. Tapi dari segi penulisan karakter, film ini masih meraba-raba. Akibatnya karakterisasi geng protagonis tidak konsisten, mereka beneran lebih kayak sekelompok anak di tempat yang tak seharusnya, dan tau-tau bisa banyak hal dan memecahkan kasus. Lewat bantuan tindakan seorang creep hahaha…. Menurutku, vibenya aja sih yang belum terset dengan kuat. Biarkan anak-anak bertingkah seperti anak-anak, dari situ cerita akan bisa lebih flexible. Mau konyol seperti Scooby Doo bisa, mau agak serius seperti serial detektif anak Home Before Dark (2020-2021)-nya si Brooklyn Prince juga bisa.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for PETUALANGAN ANAK PENANGKAP HANTU

 




 

That’s all we have for now.

Sedih juga film ini kemaren yang nonton di studioku cuma aku sendiri. Menurut kalian apakah memang anak-anak sekarang kurang tertarik sama genrenya? Kenapa, apakah karena mereka terlalu cepat dewasa?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang penasaran sama serial detektif cilik Home Before Dark yang kusebut di-review (2 season), bisa subscribe Apple TV untuk menontonnya yaa. Mumpung ada promo free seminggu nih. Tinggal klik di link ini https://apple.co/3SqRITp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995 Review

 

“Don’t ever go back to your old ways that do not work. That’s the reason you changed them in the first place.”

 

 

Oh Tuhan, there’s two of them!” Kemudian aku tergelak di bioskop. Dilan ada dua, dan maksudku bukan soal ini adalah film Dilan dengan pemeran yang berbeda. Melainkan, karena di cerita Pidi Baiq yang kali ini disutradarai oleh Benni Setiawan, Dilan finally found his match. Dan ‘match’ yang kumaksud bukan soal pasangan doang, melainkan lebih ke Dilan akhirnya ketemu ‘lawan’ yang sepadan. Dalam wujud perempuan berambut sebahu bernama Ancika. Like, Dilan mau ngegombal dikit, langsung kena selepet yang gak kalah ngocol dari Ancika. Belum pernah kan lihat Dilan nginyem karena dicounter? Haha ya, akhirnya film yang jadi penutup perjalanan cintanya ini memang menghadirkan sosok yang sedikit berbeda dari Dilan yang sudah familiar. Dilan kini agak lebih kalem. Dia sudah lebih dewasa dari terakhir kali kita menontonnya. Dilan sudah kuliah, dan itu adalah tahun 1995 yang mulai bergejolak dengan situasi politik. Karena itu, tentu saja kita jadi punya ekspektasi bahwa cerita yang dihadirkan juga jadi sedikit lebih dewasa dari sebelumnya Dan again, maksudku dewasa dalam artian lebih matang loh, bukan dewasa yang ngeres. Itu mah namanya bajingan, kalo kata Ancika.

Mungkin karena Ancika memang masih anak SMA. Film ini sukurnya tidak lagi mempertahankan konsep ‘lucu’ trilogi Dilan, yang perspektifnya gak klop ama judul; Dilan 1990Dilan1991 tapi ceritanya dari perspektif Milea, eh begitu judulnya Milea, ternyata ‘suara’ dari Dilan! Film Ancika ini memang mengambil perspektif utama dari Ancika, gadis remaja yang ngocol, pinter. berani, bahkan cenderung galak sama cowok-cowok yang nekat naksir dia. Zee JKT48 nails her character’s traits soundly. Secara karakterisasi, Ancika jauh lebih kaya ketimbang karakter Milea di film 1990. Ancika tidak pernah tampak seperti kertas kosong. Kehidupan sekolahnya terasa lebih kuat. Ancika ini kayak Dilan versi cewek, ketika dia berinteraksi kepada teman-temannya hahaha.. Kita juga gak perlu nunggu film berikutnya untuk mengenal lebih dekat Ancika dalam lingkungan keluarga dan pribadinya. Ancika juga sudah punya motivasi dan sikap yang tegas.. Dia pengen masuk Unpad. Dia gak mau pacaran. Inilah yang mendapat ‘tantangan’ nanti ketika dia bertemu dengan salah satu teman kuliah mamangnya, yaitu si Dilan.

Mengingat kondisinya, aku pikir film mengintroduce Dilan ke dalam cerita Ancika dengan well done. Humble, mungkin lebih tepatnya. Tidak demikian terasa seperti sosok yang dikultuskan. Meskipun memang di dalam cerita si Dilan ini dikenal oleh banyak orang. Aksi dan kisah cintanya udah kayak urban legend di Bandung 1995. Teman-teman sekolah Ancika, terutama anak-anak cowok yang hobi motoran, menganggap Dilan sebagai senior yang wajib dihormati. Tapi si Dilan itu sendiri tampak ‘kalem’ dan ya, lebih dewasa di balik keunikan yang menjadi pesonanya. Dilan versi film ini adalah mahasiswa seni rupa ITB, seorang aktivis. I give huge props buat Arbani Yasiz yang membuat kayak gampang meranin berbagai karakter yang punya identitas lokal yang kuat. Belum lama ini dia beliveable banget jadi pemuda Minang di Ranah 3 Warna (2021), dan kini dia pentolan pemuda Sunda, yang amazingnya lagi melanjutkan ke versi yang lebih dewasa dari karakter yang populer dimainkan oleh aktor yang lain sebelumnya, without missing any beats of that character. Dilan versi Arbani tampak lebih tenang, lebih bijak, tapi tetap dengan tingkah dan effort yang ajaib. Dibilang less gombal, enggak juga. Dilan versi Arbani tetap punya segudang kata-kata maut yang ampuh untuk membuat perempuan se’tangguh’ Ancika tersipu. Kayaknya, karena Dilan versi Arbani ini lebih believable sebagai aktivis yang turun ke jalan, yang berantem, maka kita lebih gampang ‘tolerir’ terhadap gombalnya. Membuat dia jadi enggak cringe. Karena dia kelihatan lebih dari sekadar tukang gombal sok jagoan

Tidak lagi pengen nimpalin dengan teriakin ‘Pret!!’ setiap kali Dilan selesai ngomong.

 

Hati dari cerita memang masih seputar romans. It feels genuinely sweet, dengan karakter yang juga genuine menarik. Ancika tumbuh ketertarikan sama Dilan. Pemuda yang mengucapkan terima kasih telah dibikinin minuman, lewat secarik surat. Mahasiswa yang membantunya bikin PR resensi novel, walaupun berakhir memalukan. Cowok yang bilang mereka banyak kesamaan, mungkin karena salah satu dari mereka ada yang nyontek – purposely bermain-main dengan ekspektasi dirinya. Film membuat Dilan mencuat di mata Ancika bukan karena pemuda itu ngotot mengejar si anak SMA. Tapi ada build up. Film ngasih ruang bagi Ancika untuk melihat dan membandingkan Dilan dengan cowok-cowok lain yang tertarik kepadanya. Aku suka gimana Ancika yang digambarkan cuek dengan penampilan, merasa perlu dandan padahal occasion-nya cuma belajar bareng Dilan di ruang tamu. Ketertarikan yang naturally bertumbuh itu jadi layer, di balik ‘konflik’ yang juga dibangun seputar Dilan yang punya masa lalu. Dan masa lalu Dilan bukan cuma tentang Milea, melainkan juga soal ‘hobby’-nya sebagai geng motor. Masa lalu – mantan-mantan – Dilan ini yang bikin Ancika ragu. Ancika bukannya mau ‘memperbaiki’ Dilan, seperti yang berusaha Milea lakukan di Dilan 1991. Ancika cuma khawatir Dilan akan kembali kepada masa lalunya tersebut, kepada either or both of those. Apalagi kemudian Ancika melihat Dilan ikutan demo mahasiswa, Berantem ama polisi? Bagi gadis itu cowok yang ia suka itu begitu volatile. Bisa sewaktu-waktu kembali ke masa lalu, dan itu berbahaya baginya.

Ke-insecure-an Ancika bersumber dari masa lalu Dilan. Sikap yang relate sih buat remaja-remaja generasi sekarang. Apalagi belakangan marak narasi seputar ‘mau gimanapun, kita akan kalah sama mantan’. Kisah Ancika dan Dilan mengajarkan kita bahwa masa lalu memang akan jadi bagian dari kita, enggak akan pernah lepas dari siapa diri kita sekarang. Tapi bukan berarti kita harus kembali kepada masa lalu. Kita kudu ingat bahwa ada alasannya masa lalu itu menjadi masa lalu. Karena ada sesuatu yang not working, dan kita mau memperbaikinya. Jadi, biarkanlah masa lalu untuk jadi pembelajaran saja.

 

Kita bisa lihat sebenarnya cerita Ancika ini memang punya modal untuk garapan yang lebih berbobot (kalo gak mau dibilang dewasa) walaupun perspektifnya datang dari anak SMA. Bahkan sebenarnya justru menarik ketika persoalan seperti penangkapan aktivis dipandang dari mata anak sekolah. Gimana orang-orang yang sedang fokus berjuang ke depan ‘terhalang’ oleh jebakan masa lalu. Aku suka saat Ancika marah kepada Dilan, karena marahnya bukan sekadar cemburu. Melainkan karena merasa dipermalukan. Aku sebenarnya pengen film ini mengeksplorasi lebih banyak pada sudut-sudut dan emosi yang unik seperti demikian. Toh Ancika memang dibentuk berbeda dari Milea. Ancika punya cerita dan masalahnya sendiri, mau itu personal maupun terkait Dilan. Sayangnya, film yang memuat karakter yang lebih dewasa dari sebelumnya ini, yang punya perspektif muda dalam lingkungan yang lebih berbobot ini, yang berpesan untuk tidak kembali kepada masa lalu ini, sendirinya masih terasa tidak mau berbeda dengan film-filmnya yang telah lalu.

Dalam artian, film ini sendirinya seperti menolak untuk jadi dewasa. Masih menolak untuk berpikir audiens mereka bisa menghandle cerita yang lebih berbobot. Sure, film ini dibuat untuk anak muda. Lebih untuk remaja usia Ancika ketimbang usia Dilan. Tapi lihatlah si Ancika. Perspektifnya yang lebih mature dari Milea, atau bahkan beberapa kali lebih mature daripada Dilan yang lebih sering kegep kembali menekuni perbuatan di masa lalu, terasa enggak mencapai full potensial ketika cerita masih meng-treat karakter mereka untuk pacar-pacaran ‘biasa’ saja. Film seperti melihat kesuksesan trilogi terdahulu – yang kurasa kita setujui bersama sebagai film kayak snack yang isinya angin doang – dan menganggap itu sebagai standar yang harus dikalahkan. Bahwa film ini harus ngimbangin itu, maka film ini juga harus sukses menarik perhatian anak muda/remaja dengan cara yang sama. Yang malah membuat film ini seperti meremehkan Ancika-Ancika lain di luar sana.

On second thought, penggemar JKT48 mungkin berpendapat berbeda soal film ini dibuat untuk remaja usia Ancika?

 

Bayangan keberhasilan film-film terdahulu, menurutku membuat film ini tak maksimal sebagai cerita barunya sendiri. Momen-momen seperti Dilan hilang, curiga tertangkap saat aksi demo, seharusnya bisa membuat babak ketiga cerita lebih intens bagi Ancika. Namun justru pada babak terakhir-lah film ini flat. Film seperti mengawang, bingung mendaratkan cerita. Bingung mencari daratan yang bikin lebih baper, ketimbang aksi atau konklusi yang lebih true ke development karakter. Akibatnya, sikap Ancika yang di awal tegas menolak label pacaran (also, momen seru lain sebenarnya melihat Dilan ‘struggle’ menyingkapi tolakan Ancika dengan respek) jadi gak terasa punya journey yang clear sampai bisa berubah menjadi mau pacaran. Penyelesaian manis tiga tahun kemudian pun lantas jadi seperti diburu-burukan. Apa yang seharusnya dapat menjadi sebuah konklusi suka ci(n)ta dari kehidupan segitu banyak karakter yang saling terhubung di setting dunia yang sudah kuat merekat, jadinya hanya terasa berfungsi seperti hiasan cute supaya penonton pulang dengan perasaan puas semata.

 

 




Fungsinya memang terlaksana. Film ini jadi penutup yang hangat. Tapi kupikir harusnya film ini bisa lebih. Satu film ini harusnya bisa lebih nendang ketimbang trilogi sebelumnya, karena memang ini much better secara materi dan eksekusi teknis. Dari trilogi Dilan, menurutku yang paling lumayan adalah Dilan 1991, dan film kali ini bahkan lebih kuat daripada film itu. Props juga buat akting dua karakter sentral. Dinamika dan chemistry mereka tampak fun. Tapi kemudian film ini melakukan hal yang sudah benar tidak dilakukan oleh karakternya. Kembali ke masa lalu. Keinginan untuk tetap ringan, menghambat film. Karena ceritanya sebenarnya sudah berkembang, sudah lebih dewasa. Karakter-karakternya juga. Walau masih muda, perspektif mereka lebih berbobot. Film tidak diarahkan mengikuti kedewasaan mereka. Sehingga belum terasa maksimal. Aku gak minta untuk jadi ribet dan njelimet, tone ringan dan uniknya sudah tepat, tapi at least development mereka tidak diloncat. Manis tidak diburukan. Situasi latar dunianya juga bisa paralel dan lebih nyantol dengan lebih enak.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995

 

 




That’s all we have for now.

Dari empat film universe Dilan, urutan favorit kalian seperti apa? Apakah menurut kalian, Dilan bakal jadi romans remaja klasik di masa depan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MONSTER Review

 

“You can call me a monster. That’s fine. It honestly doesn’t bother me. Because you see, that’s what society does, they put labels on things they don’t understand.”

 

 

Monster besutan Kore-eda Hirokazu seperti mengajak kita bermain-main dengan prasangka. Vibe yang dibuat misterius lewat konsep melihat kejadian dari berbagai sudut seolah menuntun kita kepada pertanyaan “siapa sebenarnya yang monster di sini?” Aku sendiri teringat sama kalimat promo dari salah satu superstar WWE jagoanku, Bray Wyatt (rest in peace). Kalimat yang aku kutip sebagai penggalan pengantar ulasan ini. Basically karakter/gimmick Bray Wyatt saat mengucapkan itu adalah seorang yang merasa dirinya berbeda, dan orang-orang yang tidak mengerti dirinya, takut kepadanya. Mencampakkan dirinya. Namun upon arriving to the squared-circle, Bray telah mengembrace perbedaan dirinya, dan menjadikan itu sebagai kekuatan. He now takes back control from them. Dia tidak lagi peduli sama yang orang-orang katakan terhadapnya. Kalimat itu mengantarkanku kepada pemahaman bahwa film Monster pada intinya adalah sebuah journey menuju self honesty seperti yang telah diembrace oleh Bray Wyatt (walau karakter film ini tidak mesti berakhir jadi sekelam Bray Wyatt). Dan dalam journey nya tersebut, setidaknya ada  empat jenis ‘monster’ yang dibicarakan oleh karya Kore-eda ini.

Jika kita sama judgmental-nya dengan society yang suka dengan cepat melabeli orang yang ‘berbeda’ sebagai monster, atau alien, atau whatever, maka kita juga akan cepat melepehkan film ini without giving it much thought. Naskahnya, dari luar, tampak berpindah ke mana-mana tanpa karakter utama yang jelas.  Konsep kembali kepada kejadian A tapi dari perspektif yang berbeda, bisa sekilas tampak seperti usaha manipulatif arahan yang menyandarkan diri kepada kejutan-kejutan dari pengungkapan kejadian. Monster dibuka dari seorang single mother yang merasa kelakukan anaknya yang baru kelas 5 SD jadi berubah, dan dia mencurigai itu semua karena ulah wali kelas anaknya di sekolah. Sehingga si ibu mulai mencecar sekolah yang juga tampak menutup-nutupi kejadian. Kemudian cerita memindahkan kita ke belakang si wali kelas, guru cowok yang ternyata tidak sejahat ataupun seaneh kelihatannya. Dan finally di pertengahan akhir, film akhirnya settled di bahasan dari perspektif Minato, si anak kelas 5, yang sikap dan tingkah lakunya bikin cemas ibunya tadi. Bukan hanya tiga perspektif, film ini actually juga bisa dibilang berpindah genre tiga kali. Di awal seperti thriller, lalu jadi studi karakter yang ironis, dan berakhir sebagai drama anak-anak. Perpindahan tersebut tidak dilakukan dengan se’sopan’ cara film menceritakan/mengeksplorasi tiap sudut pandang karakter (lewat sinematografi dan musik yang brilian), melainkan dengan deliberately rough. Kembali ke kejadian sebelumnya dengan memusingkan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang membuat kita urung menjudge terlalu cepat. Desain yang diniatkan seperti begini, justru semakin menarikku masuk dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa Kore-eda melakukannya seperti ini?”

Kenapa, jika cuma ingin memperlihatkan prasangka yang ternyata membuat semua orang adalah ‘monster’ bagi orang lain, film berkutat lama di perspektif Minota dan ‘teman rahasianya’ Yori Hoshikawa?

Kenapa pula, jika inti yang ingin diceritakan itu adalah drama anak yang merasakan sesuatu yang tak-biasa di dalam dirinya, film ini harus melewati perspektif karakter yang lain terlebih dahulu? 

Clearly, film ingin penonton merasakan. Bukan hanya merasakan dramatic irony, ataupun kejutan-kejutan ‘oh ternyata dia begini, dia tidak jahat, dan sebagainya’. Melainkan film ingin penonton merasakan atau mengalami sendiri keadaan yang menciptakan berbagai bentuk monster. Dan ultimately film ingin penonton merasakan journey yang dialami oleh seseorang ketika dia mulai merasa benar dirinya adalah monster.

Kalo ini film indonesia, pig-brain kayaknya bakal ditranslate jadi ‘otak-kebo’

 

Kita diperlihatkan gimana monster di film ini terbentuk lewat bagian awal yang membahas perspektif ibu Minato. Gimana bola liar desas desus membuat dia jadi mengantagoniskan pak guru. Lalu membesar mencurigai pihak sekolah, mencurigai kepsek. Bahkan si ibu jadi melihat Minato, anaknya sendiri sebagai ‘monster’. Bentuk monster pertama yang diperlihatkan oleh film adalah monster prasangka. Pak Guru yang malang; hanya karena pembawaan dan gesturnya, apapun yang ia lakukan (meskipun niatnya baik) mudah disalahartikan oleh orang lain sebagai tindakan yang creepy. The worst part about monster tipe ini adalah, dirinya sendiri tidak mengerti atau tidak bisa melihat kenapa orang lain bisa melihatnya dalam ‘cahaya’ yang menakutkan seperti itu. Ini mengakibatkan pembelaan yang dia lakukan akan semakin memperparah keadaan. Monster kedua juga datang dari orang luar, tapi dari pelabelan. Di film ini contohnya adalah sahabat Minato, si Yori Hoshikawa, yang dilabeli monster oleh ayahnya sendiri karena Yori ini anak cowok yang ‘kemayu’. Walau Yori tampak oke-oke saja dikatain monster dan dijauhi teman, the heartbreaking part darinya adalah anak sekecil dia bahkan belum paham yang ia rasakan itu enggak exactly hal yang salah, tapi dia hanya bisa nurut saja ketika dipahamkan oleh orang lain bahwa dia adalah kesalahan yang harus diperbaiki. Monster ketiga adalah kebalikan dari semuanya. Datang dari dalam diri sendiri, dan full aware yang ia lakukan pantas untuk membuat dirinya disebut monster, meski dia tahu dia tidak punya pilihan. Monster tipe berahasia ini adalah kepala sekolah Minota. Ibu guru yang melakukan hal buruk secara tak sengaja di masa lalu, tapi mau tak mau dia harus menutupi kejadian tersebut. Karena dia punya tanggungan dan hal lain yang dipertaruhkan. Nyesek, ketika kita lihat misalnya pada adegan niup terompet itu, bahwa dia aslinya adalah pribadi yang sangat lembut dan baik lagi bijaksana. Namun selain tiga tipe monster itu, yang paling malang sekaligus berbahaya adalah tipe monster yang hampir saja ‘jadi jelmaan’ oleh Minato, yang actually adalah gabungan terburuk dari yang dirasakan/dialami oleh Pak Guru, Yori, dan Bu Kepsek.

Yang paling berbahaya itu adalah monster yang disebut dengan self-loathing. Orang yang memonsterkan dirinya sendiri, dan berkubang dalam perasaan buruk dan prasangkanya sendiri. Orang yang self-loathing akan menghindar dari minta tolong, dan bahkan bisa sampai menyakiti diri sendiri.

 

Itulah kenapa cerita ini sebenarnya merupakan cerita Minato. Anak yang tahu persis dirinya ‘berbeda’ dari anak cowok lain, dia knows better about himself ketimbang Yori terhadap dirinya sendiri, tapi juga tidak seberani Yori. Sehingga Minato memendam semuanya di dalam diri. Minato punya rahasia seperti Bu Kepsek tapi tidak punya positif force behind it, selain takut malu dan tidak diterima oleh teman-temannya. Dia takut ketahuan kalo dia suka ama cowok. Minato bahkan tidak mau nunjukin dia bersahabat akrab dengan Yori di depan teman-teman sekelas yang lain. Kediam-diamannya ini membuat dia tampak aneh di mata ibunya. Yang gak beres pada Minato jadi terlihat lebih besar oleh sang ibu. Tindakan Minato seperti potong rambut diri sendiri bisa demikian red flag bagi ibu (padahal alasannya either karena sesimpel keinosenan anak kecil yang mau ngilangin ‘noda’ bekas disentuh oleh teman yang dianggap ‘berpenyakit’, atau hanya karena tidak mau rambut panjangnya dianggap kecewek-cewekan). Bayangkan gimana reaksi ibu begitu mendengar Minato bilang soal terlahir kembali saat ngobrolin ayah yang sudah meninggal. Kalo sudah menumpuk begitu, biasanya orang seperti Minato akan menarik diri dari lingkungan sosial. Dan itulah yang persisnya Minato lakukan di pertengahan akhir cerita.

Jadi film ini adalah journey Minato menemukan kedamaian atas dirinya yang sebenarnya. Stake cerita ini adalah salah pilih sedikit, Minato akan benar-benar jadi monster self loathing yang berbahaya terutama bagi dirinya sendiri. Beruntung dirinya punya sahabat dan tempat pelarian, yaitu Yori. Di pertengahan akhir itulah, film menjadi tontonan yang dramatis lagi beautiful dalam memperlihatkan struggle Minato – yang masih seorang anak kelas lima SD! Pencarian jati diri, menghadapi resiko bullying, ‘berguyon’ dengan ide telahir kembali, dilakukan oleh film dengan penuh respek terhadap perspektif, dengan desain detil, menutup kepada sebuah kejujuran dan penerimaan diri yang dengan metaforanya sendiri memperlihatkan ‘lesson learned, tapi hidup hanya akan lebih menantang dari sini’.

Yes, we are little dirty monsters from the forest. So what?

 

Konsep/struktur tiga perspektif, dan cerita yang seperti berevolusi antara tiga ‘genre’ berbeda, secara psikologis membawa kita ke dalam journey yang dialami karakter dan lingkungan mereka. Kita jadi melihat monster-monster itu bisa bertumbuh dari karakter yang begitu compelling dan terasa dekat karena mereka hidup dalam environment yang sederhana. Film ini tidak lagi terasa seperti kecohan dari kenyataan yang sengaja disembunyikan belaka. Everything we see is not what it seems, terutama jika kita terbuka melihat dari sudut pandang lain. Dan ini diwujudkan oleh film ke dalam visual-visual yang punya tone misterius yang kuat sehingga minat penonton juga semakin membendung menyaksikannya. Satu lagi adegan yang artinya bisa mendua, yang aku suka di film ini adalah adegan penghapus jatuh. Ibu Minato hendak pergi beli semangka, dan saat dia lewat Minato sedang menyondongkan badan ke bawah hendak mengambil penghapusnya yang jatuh ke lantai. Adegan itu langsung dicut memperlihatkan Ibu kembali dari belanja, dan saat masuk dia melihat Minato masih dalam posisi nyondongin badan ke bawah yang sama dengan saat dia pergi. Seolah Minato gerakannya berhenti saat dia pergi, dan baru bergerak lagi saat dia pulang. Ini kan misterius sekali. Kalo baru nonton otomatis kita akan menyangka hal yang serupa dengan Ibu “Ni anak kesurupan apa gimana sih!?”  Tapi tentu saja adegan tersebut bisa jadi hanya kebetulan penghapusnya jatuh lagi, dan kengerian itu hanya berasal dari prasangka ibu terhadap Minato berkelakuan aneh yang sudah terbangun sebelum kejadian tersebut terjadi.

 

 




Tahun 2024 kayaknya bakal jadi roller coaster yang hebat, sebab kemaren film pertama yang aku review ‘meh’ banget, dan film kedua di ulasan tahun ini. WOW. At first, aku memang honestly cukup judgmental terhadap penceritaannya yang seperti mengarah ke ‘ternyata begini, ternyata begitu’ doang. Tapi ternyata, aku menyadari film ini punya desain khusus dalam menyampaikan journey karakternya. Journey yang hanya bisa maksimal jika kita ikut secara menyeluruh merasakan gimana ‘monster’ itu bisa terbentuk. Yang lantas ditutup dengan pilihan karakter untuk mengembrace monster versi dirinya sendiri. Awalnya bermain dengan prasangka, tapi film justru menjadi begitu powerful dengan berkembang membuat kita berefleksi, berkontemplasi, bukan tidak mungkin di antara kita jadi ada yang menunjuk hidungnya sendiri demi mendapat jawaban masing-masing dari menonton film ini. Film Jepang ini ticked the box untuk ‘syarat’ skor tertinggiku. Cerita yang berevolusi, dengan konsep yang kuat dan karakter dan dunia yang luar biasa compelling.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for MONSTER

 




 

That’s all we have for now.

Tanyakan kepada diri sendiri, monster seperti apakah aku?

Dan jika tidak keberatan, silakan share di komen yaa

Jangan lupa untuk subscribe Apple TV, ada banyak serial dan film-film original yang tayang di sana. Di antaranya adalah Killers of the Flower Moon yang masuk dalam Daftar Top-8 Film Favoritku tahun 2023. Tinggal klik di link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ANATOMY OF A FALL Review

 

“Being aware of how our actions affect others and acting accordingly leads to happy, strong relationships”

 

 

Seorang wanita menjadi tersangka pembunuhan suaminya. Dan anak mereka yang buta harus menghadapi dilema moral karena menjadi satu-satunya saksi utama di kasus ini. Begitu bunyi sinopsis IMDB film karya sineas Perancis, Justine Triet ini. Film yang dikemas sebagai drama kasus kematian, tapi dalam lapisan terdalamnya merupakan kemelut rumah tangga, seorang ayah dan seorang ibu. Seorang istri dan seorang suami. Dan anak yang ada di sana, mengalami efek dari semua, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. ‘Anak yang buta’ di kisah ini serves sebagai both literal dan perumpamaan. Karena anak memang tidak akan bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan orangtuanya. Apakah mereka bahagia? Apakah mereka punya rahasia? Apa yang harus dipercaya?  Sehingga anatomi yang sebenarnya sedang diperiksa oleh film yang dengan brilian meng-cover semua perspektif ini adalah anatomi dari kejatuhan sebuah pernikahan.

Seperti inspirasinya, Anatomy of a Murder (1959), film Justine ini pun basically adalah sebuah courtroom drama. Sebagian besar adegan akan bertempat di ruang persidangan, tempat Sandra, sang ibu dalam cerita, menjalani sidang untuk membuktikan dia tidak bersalah atas kematian yang cukup janggal dari Samuel, suaminya. Jadi, kasusnya adalah Samuel ditemukan bersimbah darah di halaman rumah mereka yang bersalju. Tak ada jejak lain selain milik Daniel, anak mereka, yang menemukan mayat sehabis berjalan-jalan dari luar rumah bersama anjing penuntunnya. Diduga Samuel jatuh dari loteng, tempat dia bekerja. Nah, jatuhnya itu yang dipertanyakan. Melompat sendiri, kecelakaan, atau didorong oleh satu-satunya orang di rumah itu yaitu Sandra. Anatomy of a Fall juga sensasional seperti genrenya tersebut, tapi dalam sense yang berbeda. Kita memang akan terikut dalam menebak-nebak dan terperangah setiap kali ada ‘fakta baru’ terkuak di persidangan. Tapi ini bukan soal tentang gimana kasusnya secara eksak, gimana cara membunuh, gimana senjata pembunuh, alur kejadian, ataupun bahkan bukan semata soal siapa yang sebenarnya membunuh. ‘Siapa yang bersalah’ dalam film ini diarahkan oleh Justine agak keluar dari maksud persidangan yang cuma dijadikan outer layer, melainkan yang lebih penting adalah inner layernya. Untuk menyentuh soal bagaimana tragedi malang ini bisa sampai ‘terjadi’.

Kenapa musti lagu 50 Cent wkwkwk

 

Sandra dijadikan perspektif utama diniatkan supaya pembahasan kasus di persidangan itu lebih personal, karena yang ingin dicapai oleh film ini adalah menelisik seberapa jauh sebenarnya seseorang punya tanggungjawab terhadap orang lain. Dan keluarga sebagai unit terkecil dan terpersonal dari hubungan sosial yang komplekslah yang dijadikan sebagai objek studi kasus. Sandra Huller yang memerankan Sandra benar-benar tampak seperti ibu, istri, yang merasa dirinya tidak bersalah. Kepercayaannya itu yang terus diserang oleh tuduhan-tuduhan penuntut. Yang pada akhirnya membuat adegan persidangan itu jadi device film untuk membuat Sandra flashback dan memeriksa ulang perbuatannya. Yang membuatnya melihat momen-momen dia bertengkar dengan suami dari sudut yang lain. Sementara kita, penonton film akan merasa seperti ikut jadi hakim dalam relationship tersebut. Yang salah istri, atau suami. Ambigu yang dilakukan dengan brilian oleh film tidak hanya terbatas kepada matinya bunuh diri atau dibunuh. Melainkan juga berhasil membuat kita memikirkan ulang, siapa yang kita dukung di dalam hubungan mereka. Sementara apa yang mereka berdua lakukan sesungguhnya sama-sama berakar dari pilihan mereka untuk dealing with keadaan anak mereka yang penglihatannya terganggu karena kecelakaan.

Oh yea, sedikit banyaknya ini tentu saja jadi persoalan peran gender. Kita sering mendengar tentang suami yang gak bolehin istri bekerja karena membuat dirinya merasa seperti lelaki yang lemah. Kita sering mendengar soal cowok punya problem begitu ceweknya lebih capable. Cekcok rumah tangga antara Samuel dan Sandra basically mirip seperti ini. Keduanya sama-sama penulis, Tapi berada di titik kesuksesan yang berbeda. Dari pertengkaran di meja makan yang diam-diam direkam audionya oleh Samuel, kita tahu ini adalah masalah yang satu merasa dirinya berkorban terlalu banyak dibanding yang lain. Film dengan pintar memasukkan banyak hal-hal kecil untuk ‘membangun’ kasus tersebut, seperti soal bahasa yang mereka pakai di rumah. Walau tinggal di Perancis, Sandra yang asli German masih sering menggunakan bahasa Inggris, dan ini dianggap egois oleh Samuel karena sekali lagi dia yang harus nurut kemauan istri. Kemungkinan frustasi dan bunuh diri memang dibiarkan terbuka oleh film, sembari terus memperlihatkan hal-hal yang memberatkan Sandra. Membuatnya seperti yang dituduhkan oleh penuntut. Dan inilah yang harusnya jadi ‘journey’ karakter Sandra yang merasa dirinya tidak bersalah. Tidak bertanggungjawab atas kematian suaminya.

Well, memang benar kita tidak bertanggungjawab atas pilihan orang. Kita enggak bisa mengendalikan apa yang dirasakan oleh orang terhadap apa yang kita lakukan. Tapi toh efek atau konsekuensi itu pasti ada. Apa yang kita lakukan pasti ada ngaruhnya kepada orang lain. Hanya masalah ‘sebesar apa’. Film ini mengangkat argumen bahwa pilihan kita memang berdampak kepada orang sekitar. Pilihan seorang istri bisa mempengaruhi hidup suami, dan tentu saja berefek kepada anaknya. Tapi itu juga bukan berarti dia pantas untuk dipenjarakan karenanya.

 

Di dunia nyata aku setuju dengan keputusan sidang film ini. Bahwa kemungkinan besar Samuel bunuh diri, atau setidaknya tidak ada cukup bukti untuk memenjarakan Sandra. Kebohongan-kebohongan Sandra bisa dimaklumi karena dia juga memikirkan anaknya yang terpaksa harus ikut hadir mendengarkan semua masalah ‘belakang dapur’ keluarga mereka. Hanya saja, sebuah film harusnya karakternya at some point kalo gak bersalah, ya merasa bersalah. Supaya ada journey, dan dia gak benar-terus tanpa false believe sedari awal. Anatomy of a Fall ini menurutku kurang bisa mencuatkan journey Sandra tadi. Film ini membuat keputusan sidang disampaikan off-screen untuk mempertahankan ambigu, tapi yang jelas Sandra bebas tanpa tuduhan. Dan dia kembali ke rumah, bertemu kembali dengan anaknya. Poin-poin yang menunjukkan Sandra merasa bersalah selama proses sidang tidak benar-benar kelihatan, meskipun dari gimana naskah ini terdesain seharusnya hal itu seperti yang sudah kujabarkan. Sandra menangis di dalam mobil saat Daniel pada malam sebelum kesaksian terakhirnya bilang ingin sendirian bersama guardian saja di rumah. tidak terkesan sebagai tangisan karena dia merasa sadar telah membuat Daniel sebagai anak berada di posisi yang susah (harus memilih percaya ibu yang bunuh ayah, atau ayah bunuh diri), melainkan lebih seperti tangisan karena dia dan Daniel akan berpisah karena hal yang dia kekeuh tidak ia lakukan.

Pun arahan film untuk menjaga ambigu kadang terasa miss dan malah seperti membuat hasil sidang itu sendiri tidak benar-benar tepat (eventho hasil itulah yang terbaik bagi Daniel). Like, Daniel-lah yang dijadikan ‘kunci’. Tapi karakter Daniel itu sendiri dibuild up sepanjang durasi oleh film sebagai karakter yang juga unreliable. Daniel yang masih anak-anak, kesaksiannya sering berubah. Antara ingatan nyata Daniel dengan hal/kejadian yang ia bayangkan juga dibuat ambigu. Ketika penuntut mempersembahkan teori pembunuhan saat sidang, film memperlihatkan visual Sandra memukul Samuel hingga terjatuh yang ada di pikiran Daniel yang duduk di kursi hadirin. Ketika pengacara Sandra menjelaskan teori mereka tidak bertengkar, kita juga dibawa ke ingatan Daniel bahwa mereka memang tidak bertengkar. Sehingga ketika di menjelang akhir Daniel bersaksi bahwa ayahnya pernah mengucapkan sesuatu yang seperti sebuah pesan ingin bunuh diri, film memperlihatkan itu lewat visual adegan, enggak clear apakah adegan itu termasuk imajinasi/hal yang ingin diingat Daniel atau adegan dari hal yang memang terjadi.

Akting terbaik film ini justru datang bukan dari aktor manusia

 

Dengan membuat film berakhir tetap ambigu, film jadi kurang nendang dan malah bikin penonton penasaran sama hal yang bukan arahan atau goal film di awal. Aneh aja cerita ini berakhir dengan vibe lega, benar-bukan-salah-nya, apalagi penentunya adalah ingatan dari karakter anak kecil yang dibuild up sebagai unreliable oleh  naskah. Menurutku film akan bisa lebih impactful jika setidaknya ‘bersalah’nya si karakter ditegaskan. Supaya development dan journey yang diniatkan itu benar-benar terasa. Dan ini bukan miss dari aktingnya, karena everyone di sini benar-benar memerankan perasaan karakter mereka dengan baik. Bahkan anjingnya si Daniel aja total banget, aku belum pernah lihat pemain non-manusia berakting seperti itu hahaha.. Menurutku ini hanya sedikit over dari arahan saja yang pengen tetap ambigu. Ambigu itu bagus untuk membuat penonton tersedot dan penasaran dan ‘bicara’ kepada film. Sometimes ending ambigu juga keren banget bikin penonton terus mendiskusikan film. Tapi kalo journey, mestinya jangan terlalu ambigu.

 




Actually bisa merangkap dua genre – drama rumah dan drama courtroom – menjadi sajian yang berhasil bikin kita terinvest total. Awalnya cuma menebak pembunuh ala whodunit, lalu lantas berubah menjadi something yang lebih berisi untuk didiskusikan. Meninggalkan persoalan ‘siapa’ menjadi ‘kenapa’ dengan penceritaan yang sangat engaging dan dalem. Aku bisa paham kenapa film ini dinotice dan menang penghargaan. Penceritaannya ada di level yang berbeda. Film ini juga pesona yang membuatnya bisa diterima oleh penonton mainstream. Tapi juga pesona dari ambiguitasnya ini yang bagiku terasa kurang klop dengan desain yang diniatkan. Membuat journey karakternya kurang tercuat, dan jadinya kayak ngikutin kasus asli yang berakhir happy (bikin kita ikutan happy karena di real life jarang kasus berakhir happy) alih-alih sebuah story tentang manusia yang come off better people di akhir.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ANATOMY OF A FALL

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, setelah film selesai, apakah kematian Samuel adalah sesuatu yang menyedihkan? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



LEAVE THE WORLD BEHIND Review

 

“Escapism sometimes is healthy… The problem is when people stay there”

 

 

Dunia maya harusnya jadi tempat pelarian. You know, stress dengan persoalan dunia nyata, kita bisa tinggal log in ke facebook menyapa teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa. Bisa main game have fun bareng. Kita bisa nulisin semua uneg-uneg, bonus langsung dikomen, udah kayak Ginny nulis di diary Voldemort. Bisa nostalgia lihat-lihat foto liburan beberapa waktu yang lalu. Tapi kemudian dunia maya kita got real. Social media meluas kebutuhan dan fitur-fiturnya. Kita sendiri yang bikin dunia maya jadi tempat nyata yang baru dengan terlalu banyak menghabiskan waktu di sana. Kita sendiri yang bikin diri tergantung sama teknologi-teknologi yang mengkoneksikan dunia nyata dengan dunia maya. Kalo sudah begini, lantas ketika dunia itupun ada masalah, kita kabur ke mana lagi? Aku pikir inilah yang berusaha dikatakan oleh Sam Esmail ketika dia mengangkat novel tulisan Rumaan Alam menjadi sebuah thriller bencana alam. Leave the World Behind, seperti yang disebutkan oleh judulnya; mengajak kita kabur ninggalin dunia. Kita dibawa ke dunia film, ke sebuah sajian hiburan, tapi untuk berefleksi terhadap kebiasaan kita mencari eskapisme. Sementara urusan hiburannya itu sendiri, well, aspek inilah yang ternyata memunculkan reaksi yang beragam dari penonton sekalian.

Sumpek sama rutinitas yang membosankan, Amanda bikin liburan spontan untuk suami dan kedua anaknya. Keluarga mereka hari ini akan liburan di kota kecil. Amanda sudah menyewa vila mewah lewat online, dan mereka sekeluarga akan bersantai di sana. Tapi senang-senang mereka tak berlangsung lama. Kejadian aneh mulai terjadi di sana. Internet, televisi, telefon mendadak tak berfungsi. Kapal dan pesawat pada karam. Dan tengah malam, dua orang asing, George dan putrinya, Ruth, mendadak mengetuk pintu rumah. Mengaku sebagai pemilik rumah, keduanya minta ijin menginap karena ternyata kekacauan komunikasi ini terjadi di seluruh negara bagian. Amanda tak tahu harus percaya atau tidak, sementara keadaan di luar semakin menjadi-jadi dengan suara dengung misterius yang bikin retak jendela, dan rusa-rusa yang bertingkah di luar normal.

Amanda adalah tokoh paling relate sekali saat dia bilang “I hate people”

 

Thriller bencana alam jadi dapat makna baru berkat film ini. Karena di sini, kita ataupun para karakter cerita tidak pernah benar-benar tahu apa persisnya ‘bencana alam’ yang sedang terjadi. Yang jelas efeknya bikin kecelakaan di mana-mana. Bikin hewan-hewan bertingkah aneh. Apakah ini semua buatan manusia? Apakah dari makhluk asing – alien? monster? hantu? Apakah lagi ada perang? Kalo iya, antara siapa lawan siapa? Siapa yang menghack satelit sehingga sistem komunikasi jadi kacau balau? Teroris dari negara mana? Apa yang mereka incar? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghantam karakter silih berganti, membangun ketegangan yang nyampe ke kita juga sebagai teka-teki. Kita pengen jawaban. Karena ini film, maka kita butuh penyelesaian dan semua itu harus terjawab supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita tonton, kan?

Well, rancangan film ini justru untuk memerangkap kita ke dalam tanda-tanya tersebut. Jawaban yang diberikan cuma satu: tidak ada definitive answer. Loh kok? Karena tujuan film ini adalah supaya kita melihat ke karakter-karakternya. Ini bukan sekadar cerita yang menempatkan karakter di situasi aneh, lalu mereka mengalahkan situasi tersebut. Survive, atau malah jadi korban dari situasi itu. Bukan. Flm ini ingin kita berefleksi kepada karakter-karakternya. Amanda dan suaminya tentu saja pengen menjaga keselamatan keluarga mereka. Begitu juga dengan George, kepada putrinya. Dua keluarga ini adalah orang-orang normal, tapi mereka harus bekerja sama di tengah situasi yang benar-benar membuat mereka tak tahu apa-apa, melainkan jadi saling curiga. Layer ras ditambahkan oleh naskah, supaya situasi semakin intens. Karena both Amanda dan Ruth, diam-diam punya prasangka terhadap warna kulit yang berbeda dengan mereka. Prasangka yang tumbuh dari mana lagi kalo bukan dari media dan informasi yang selama ini mereka konsumsi. Tapi sekarang mereka semua terputus dari semua sumber informasi. So there’s no answer. Sama kayak kita. Gak ada jawaban pasti dari covid, perang, politik, ataupun peristiwa-peristiwa lain yang ada di dunia kita. Kita hanya bisa menyimpulkan masing-masing dari informasi yang kita dapatkan dari media, dari internet. Kita ambil mana yang ‘cocok’ dengan kita. Sekarang bayangkan kalo suapan informasi itu mendadak distop. Secara teori, mestinya kita lebih ‘tenang’. Tak ada ribut di sana-sini. Tapi film ini menunjukkan keadaan justru menjadi kacau, karena karakter-karakternya perlu kembali belajar, perlu kembali jadi gelas kosong, tentang bagaimana mempercayai sesama manusia.

Inilah alasannya kenapa film bertabur cast yang bukan kaleng-kaleng. Julia Roberts jadi ibu ansos yang curigaan, Ethan Hawke jadi ayah yang lebih open minded tapi ternyata dia juga masih punya prasangka. Mahershala Ali jadi family man yang lebih nyaman berahasia. Kevin Bacon jadi redneck parnoan yang gampang termakan teori konspirasi sehingga jadi kayak Karen versi cowok. Interaksi karakter-karakter ini, aksi dan reaksi mereka dalam berusaha memahami apa yang sedang terjadi di dunia mereka, jadi elemen volatil yang membuat film ini pantas menyandang genrenya sebagai thriller. Menonton ini, bagiku rasanya desperate sekali. Desperate ingin mengattach diri kepada salah satu, tapi masing-masing punya flaw dan aku berpindah-pindah sehingga merasa aku berada di ruang tengah berdinding kaca itu. Berdiri di sana, dan benar-benar terjebak situasi membingungkan tersebut. Cara film mereveal poin-poin juga terukur. Di satu adegan film seperti menuduhkan penyebab kepada satu kelompok tertentu, untuk kemudian di adegan belakangan membuka bahwa itu cuma tuduhan kosong. Sehingga kita yang nonton, dan ada yang percaya sama tuduhan di awal jadi ikut kecele.

Atau bisa juga judul film ini Final Destination: Death by Tesla

 

Kebingungan, misinformasi, ternyata adalah bencana yang diangkat oleh film ini. Alamnya adalah manusia. Jadi ini sebenarnya adalah bencana kemanusiaan. Itulah sebabnya kenapa film memilih untuk tidak memberikan jawaban, Memilih untuk jadi bahan refleksi. Sendirinya adalah media, film ini sadar dirinya adalah bagian dari ‘tempat kabur’ manusia dari masalah. Sehingga masalah eskapisme ini akhirnya bukan hanya mereka gambarkan, tapi mereka pilih sebagai pembungkus narasi. Akhir film akan memperlihatkan Rosie, putri bungsu Amanda – yang sepanjang durasi cerita punya satu keinginan yakni menamatkan nonton serial Friends, tapi gak bisa karena service streaming mati – akhirnya menemukan cara untuk menonton episode terakhir serial tersebut. Ending film mutlak bikin kesal sebagian besar penonton, karena membuat film terasa benar-benar tidak memuaskan. Like, ngapain capek-capek penasaran dan tegang tapi ujung-ujungnya cuma kayak tentang anak kecil nonton Friends. Aku yang paham fungsi dari adegannya yang dipilih begitu aja, kesal juga. Film ini benar-benar nyeleneh dan gak peduli sama struktur. Oh, karakternya memang ada development terkait jadi saling percaya. Ceritanya juga punya chapter-chapter tersendiri. Tapi di samping peningkatan intensitas, film ini sama sekali minimal dalam ‘sebab-akibat’. Hanya seperti episode-episode ganjil, yang ditutup oleh ‘selera humor’ ironis.  Yang seperti mengenyahkan build up misteri begitu saja. Ini sungguh resiko yang gede, tapi film ini knowingly, dan aku bisa bilang – proudly – mengambil resiko tersebut.

Leave the World Behind adalah soal eskapisme. Kesel-kesel begini, toh aku relate dengan Rosie. Di tengah hingar bingar politik, atau bahkan saat ribut-ribut vaksin dan konspirasi ini itu, aku hanya duduk di ruangku sendiri. Cuek sendiri. Nonton film, serial, WWE, main video game. Itu serial Friends-ku. Apakah dengan punya ‘tempat kabur’ itu membuat aku lebih baik dari orang lain, menurut film? No. If anything, itu hanya membuatku jadi orang yang belum dewasa, seperti Rosie. Dunia udah mau kiamat, tapi yang dipikirin masih aja film. Hidup di dunia sendiri, juga akhirnya tidak akan baik, apa bedanya nanti sama orang paranoid seperti karakter Kevin Bacon yang sudah persiapan tapi merasa dirinya yang paling benar. Kita juga gak pernah tahu apakah Rosie akan membiarkan para orang dewasa menemukannya. Bisa jadi dia berkurung sendiri nonton Friends itu berulang-ulang. Menurutku, pada akhirnya film ini cuma mau bilang:

Media, seni, dunia maya adalah bentuk dari eskapisme. Yang sebenarnya adalah sesuatu yang menyehatkan dan perlu bagi kita untuk punya something sebagai bentuk eskapisme. Supaya kita bisa healing dari reality. Supaya kita gak berpikiran sempit, gak terkurung, kita butuh melihat atau melakukan sesuatu di luar sana. Tapi lantas, eskapisme tak lagi healthy jika kita memilih untuk terus-terusan kabur. Abai dari real problems. Bahkan lebih buruk terkurung di sana ketimbang di dunia nyata.

 

 




Dunia udah terlalu bergantung kepada internet, sehingga begitu internet lenyap, kehidupan terputus total. Padahal awalnya internet dan teknologi diciptakan untuk memudahkan saja. Manusia escape dari dunia nyata ke sana, dan malah ‘stay’ di situ. Film ini jadi cerminan tentang itu. Dan film rela ‘ngerusakin’ dirinya sendiri demi itu. Aku sendiri minta maaf kalo review ini gak benar-benar explained kejadian di film, karena filmnya sendiri memang tidak memberikan jawaban.  Film menjadikan diri seperti jurnal mahasiswa suaminya Amanda “media yang both berfungsi sebagai sebuah eskapis dan sebuah refleksi” Hal yang bahkan disebut oleh sang suami sebagai sesuatu yang bertentangan. Film ini senekat itu. Jadi thriller teka-teki yang aneh yang bahkan ‘twist’nya gak bakal kepikiran sama M. Night Shyamalan, aku rasa. Kirain bencana alam, taunya bencana kemanusiaan. Darurat kemanusiaan. Kita tanpa sadar meninggalkan dunia kita jauh di belakang. 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for LEAVE THE WORLD BEHIND

 




That’s all we have for now.

Aku pikir, bahasan film ini kalo diterusin bakal nyambung ke bahasan pas Budi Pekerti kemaren. Kenapa hal-hal di sosial media itu dianggap penting, like, tidakkah minta maaf cukup dengan dikatakan langsung antara si bersalah dengan yang jadi korban? Kenapa harus banget dilakukan secara publik di sosial media? Menurut kalian mungkinkah di titik ini kehidupan sosial kita kembali seperti ke era sebelum ada internet?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, ada satu film yang kukasih score 8.5 tahun ini yang tayang di Apple TV. Killers of the Flower Moon. Untuk nonton, kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



THE BOY AND THE HERON Review

 

“Because you are a beautiful lie and I am  a painful truth”

 

 

Bagaimana menjalani hidup dengan benar? Caranya adalah dengan mengingat dan memahami kematian. Jawaban tersebut bisa kita dapatkan dari ajaran agama, atau dari menonton karya terbaru Hayao Miyazaki, sang Bapak Studio Ghibli. Sudah bukan rahasia, film-film Pak Hayao selalu personal, penuh makna, dan luar biasa menakjubkan lewat simbol-simbol dunia ajaib yang surealis. Namun The Boy and the Heron ini, bahkan lebih deep, dark, dan personal lagi. Kisahnya yang tentang seorang anak laki-laki yang kehilangan ibu akibat perang boleh saja bermula dengan kejadian yang berdasarkan pengalaman hidup Pak Hayao semasa kecil, tapi film ini berakhir dengan sesuatu yang seperti mencerminkan ujung dari dunia animasi magis buatannya sendiri. Film ini bisa jadi adalah hadiah terakhir dari Hayao Miyazaki kepada kita. Bagaimana kita hidup di dunia tanpa film-filmnya?

Fantasi, anak, dan perang. Hayao Miyazaki is up there untuk film-film yang bermain di tema tersebut (for me, he followed by Guillermo del Toro)  Hayao bicara tentang  kehilangan, duka, tragedi tapi lewat dunia fantasi yang menakjubkan. Dia tidak melihat itu sebagai musuh yang harus ditakuti, ataupun menjadikan sebagai sebuah pengalaman yang mengeksploitasi. Hayao, malahan, membuatnya sebagai entitas yang harus dihadapi. Dipelajari. Dihormati. Ini yang juga ia lakukan kepada tema kematian dalam The Boy and the Heron. Anak laki-laki dalam cerita ini, Mahito, menyongsong babak baru dalam hidupnya. Setelah ibunya tewas jadi korban perang, Mahito dibawa ayah pindah ke daerah pedesaan Tokyo. Hidup bersama istri ayahnya yang baru. Meskipun nurut, toh kita melihat penolakan itu dalam sikap Mahito. Penolakan untuk menganggap Natsuko sebagai ibu. Penolakan untuk nerima kenyataan ibunya bakal tergantikan. Inilah yang membuat Mahito diledek oleh burung cangak (sejenis bangau) yang bisa bicara yang secara misterius muncul di area sekitar rumah mereka. Cangak itu menyebut bahwa ibu Mahito masih hidup, dan ada di dalam reruntuhan menara di hutan. Dan bahwa Natsuko juga pergi ke sana. Dengan panah dan busur buatannya sendiri, Mahito pergi ke menara. Mencari ibunya. Meskipun dia tahu Cangak Abu itu berbohong. “I know it’s a lie, but I have to see” katanya mantap sebelum masuk ke ‘perangkap’ yang membuatnya terjebak di dunia sureal di bawah sana.

Kenapa translatenya enggak bangau aja ya? Atau burung kuntul sekalian. Judulnya jadi Anak Laki-Laki dan si Kuntul haha

 

See, Mahito sama sekali tidak takut sama Heron (kita manggilnya Heron aja lah ya hehe) yang menjebaknya. Dia sudah mempersenjati diri, fisik dan mental, untuk melawan tipu daya Heron. Yang actually, Heron ini kocak, karena ada dialog ambigu si Heron yang dengan bangga bilang “Benar, semua yang aku sebutkan adalah bohong” yang lantas ditembak oleh Mahito “Berarti itu bohong juga dong?” Mahito dan si Heron memang dalam perjalanan menjadi berkawan, mereka akan bekerja sama untuk ke puncak menara. Tempat kakek buyut Mahito selama ini bersemayam. Hayao Mayazaki kali ini memang benar-benar menyatukan dunia nyata dan fantasi, keanehan yang dilihat Mahito juga direcognized oleh karakter manusia lain. Petualangan yang dialami Mahito bukan terjadi di dunia mimpi yang bakal ngasih dia pembelajaran, melainkan benar ia lakukan. Realitas dalam cerita film ini memang didesain sebagai realitas dengan keanehan-keanehan. Yang bekerja di dalam konteks tema cerita, yaitu tidak takut kepada hal yang tidak kita mengerti. Seperti halnya Mahito yang tidak takut dengan keanehan dan kebohongan Heron. Mahito justru takut sama dunia nyata, dunia di mana dia harus punya ibu dan hidup baru. Saking gak siapnya Mahito dengan sekolah baru, dia sampai nekat melukai kepalanya sendiri dengan batu. Adegan yang bikin aku kaget, dan sejujurnya aku struggling untuk melihat kepentingan adegan self-harm di film yang harusnya untuk tontonan keluarga. Sampai di menjelang akhir, naskah akhirnya mengikat adegan tersebut dengan pembelajaran yang beautiful seputar sikap penerimaan dan penyadaran Mahito.

Dengan tema dan desain begitu, menurutku ada benarnya film ini juga adalah film ‘terberat’ dari Hayao Miyazaki. Film ini menantang kita untuk memahami emosi Mahito di lingkungan rumahnya yang baru. Mahito yang jarang bicara dan menutup diri. Film ini menantang kita untuk menyelami dan melihat makna di balik kejadian-kejadian dan karakter-karakter aneh yang ditemui oleh Mahito nanti selama petualangannya dalam menara. Karena di dalam sana, dia akan bertemu banyak banget hal-hal di luar nalar. Mulai dari rombongan makhluk imut putih, kawanan pelikan pemakan makhluk lain, tentara burung parkit, dan bahkan versi lain dari ibunya sendiri. Garis besar yang bisa aku sebutkan tanpa membuat review ini jadi ‘walkthrough spoiler’ adalah semua kejadian dibuat dengan maksud mempersiapkan Mahito untuk memahami kematian. Karena inilah yang dibutuhkan Mahito supaya dia bisa melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Mahito harus bisa melihat makna hidup lewat mengerti tentang kematian, menurut karakter-karakter di sekitarnya. Kita bahkan bisa menangkap sedikit komentar tentang perang dan dampaknya terselip sebagai layer dalam cerita.

Ada anekdot menarik yang pernah aku baca soal Kehidupan dan Kematian. Jadi, Life bertanya kepada Death “Kenapa manusia mencintaiku, sedangkan dirimu sangat mereka benci?” Death dengan kalem menjawab “Karena kamu adalah kebohongan yang indah, sedangkan diriku adalah kebenaran yang menyakitkan”. Anekdot tersebut membantuku mencerna film ini lebih lanjut. Karena persis itulah yang sebenarnya yang dikatakan oleh film. Bahwa kematian tidak lebih dari sebuah kenyataan pahit. Bahwa semua hal akan menemui ‘ajalnya’. Bahwa semuanya fana. Tinggal kitanya saja yang mempersiapkan diri menyongsong kenyataan tersebut tiba.

 

Karena ini film yang personal, maka membaca film ini pun udah kayak membaca Hayao Miyazaki sendiri. Seperti menapak tilas film-filmnya selama ini. Karena penonton yang familiar dengan karyanya, akan merasakan The Boy and the Heron ini seperti sangat akrab. Not just in sense, karena memang sudah ciri khasnya membuat film seperti begini. Tapi on a deeper level, kayak sebuah self-tribute dari orang yang sedang melihat ke belakang, ke dalam dirinya sendiri. Di dalam cerita, kakek buyut Mahito membangun dunia sureal fantastis ini dan dia ingin Mahito meneruskan pekerjaannya. Dia ingin Mahito tinggal di sana, menjaga agar dunia tersebut tidak runtuh. Karena dia ngerasa gak sanggup. Dunia yang mestinya damai tanpa perang seperti dunia nyata itu, nyatanya tidak semenangkan itu. Burung-burung yang masuk ke sana jadi ganas. Penulisan story tersebut terasa seperti self-realization dari Hayao Miyazaki. Bahwa dunia-dunia yang dia bangun selama ini, yang dia ciptakan dalam film-film indah itu, tetaplah sebuah fantasi. Dan akan berakhir. Bahwa dia gak bisa menciptakan itu selamanya. Ada titik di mana dia harus berhenti. Titik di mana cerita-cerita itu ‘mati’. But also, Hayao tampak bergulat dengan dirinya sendiri lewat karakter anak-anak Mahito, tak akan ada hal yang benar-benar ‘mati’. Ibu masih akan tetap hidup di hati Mahito yang bakal tumbuh dan menjalani hidup. Begitu juga karyanya, akan tetap hidup abadi lewat kita-kita penontonnya, hingga generasi-generasi selanjutnya.

Supaya konsisten dengan tema unggas; film ini bisa jadi adalah swan song-nya Hayao Miyazaki.

 

Sayangnya, dari yang kulihat di studioku menonton, aku merasa resepsi penonton kasual terhadap film ini agak datar. Like, fakta bahwa kita bisa menyaksikan animasi magis Ghibli di layar lebar aja mestinya udah cukup untuk bikin “wah-wah” sendiri. Tapi aura yang kurasakan di studio saat itu biasa saja. Kayaknya film ini bakal mirip kayak Elemental (2023) waktu tayang musim panas lalu. Penonton expecting petualangan yang dahsyat, sehingga gak sadar sebenarnya film ini sedang bekerja wonderful dalam konteks dan bahasan yang ingin disampaikan. Also, kita sering agak terlalu cepat ngejudge film dengan tema berat sebagai film yang lambat, sebagai aneh dan gak jelas. Padahal film ini naskahnya berhasil mengembangkan dengan seksama konflik personal yang dirasakan oleh Mahito. Karakternya distant by design karena begitu cara dia awalnya berusaha dealing with kehilangan ibu. Sepuluh menit pertama, vibe ‘dark’ dan sureal itu sudah dilandaskan kuat oleh naskah. Adegan opening yang Mahito di antara orang-orang di area yang kebakaran, dengan visual api dan sosok-sosok manusia yang berdistorsi, kurang apa coba itu melandaskan seperti apa film ini nantinya. Jangan harap film ini menyuapi kita dengan apapun. Karena bahkan pengungkapan informasi penting pun, misalnya pengungkapan hubungan antarkarakter siapa dan apa, dilakukan oleh film dengan natural tanpa aba-aba yang menuntun “oh ini bakal masuk bagian penting”. Film menampilkan dirinya sebagai dunia mimpi, untuk kita eksplorasi dan pahami sendiri. Hebatnya film ini justru karena kita ikut menyelam, menguak, merasakan, dan berubah bersama karakternya.

 




Untuk menjawab pertanyaan sendiri di awal tadi, no I can’t. Studio Ghibli tahun-tahun belakangan ini struggle terus, setiap film barunya keluar- bahkan yang bukan buatan Hayao, kesannya seperti film terakhir terus. Tapi aku selalu percaya Hayao Miyazaki bakal comeback, mendaratkan film Ghibli kembali ke tengah-tengah kita. Aku gak bisa membayangkan kalo ini bakal beneran jadi film terakhirnya. That’s why aku gak bakal ngupdate list Top-8 Film Ghibli Favoritku dengan film ini. Bukannya karena jelek, atau aku tak suka. Film ini menceritakan hidup-mati dengan konsep yang wonderful. Lapisan-lapisan fantasi dan personal yang saling tersulam satu sama lain. Ngasih kita karakter-karakter absurd yang ikonik, seperti yang biasa mereka lakukan. Aku hanya belum mau mengakui bahwa ini adalah end of an era. Aku berharap bakal ada lagi film ajaib yang bikin aku mengubah list itu. Ya, turns out, aku lebih keras kepala daripada Mahito.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE BOY AND THE HERON

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Hayao Miyazaki dan Studio Ghibli selama ini? Sebesar apa menurut kalian peran film-film mereka terhadap sinema atau kalian sendiri personally?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE HOLDOVERS Review

 

“Our history is not our destiny”

 

 

Bahkan sutradaranya sendiri gak nyangka filmnya yang tentang karakter terpaksa harus menghabiskan libur natal di sekolah asrama ini ternyata begitu menyentuh bagi banyak orang. Alexander Payne, dalam wawancara media, menyebutkan bahwa dia sampai agak dongkol juga ketika banyak yang menyebut film ini ‘menghangatkan’. Lucu sih, kayaknya baru kali ini ada sutradara yang ‘protes’ filmnya dibilang bagus. Tapi aku yakin itu bukannya dia gak suka sama sambutan penonton, bukan karena Payne gak berniat bikin film bagus, But, terakhir kali Payne bikin film itu adalah tahun 2017, dan antara tahun itu hingga sekarang, dia mungkin gak sadar betapa relatenya penonton sekarang dengan keadaan ‘terkurung di suatu tempat’. The Holdovers buatannya actually delivered salah satu perasaan tergenuine, termanis, ‘terhangat’ yang bisa hadir dari situasi tersebut. Karena film ini memang bukan drama komedi tentang guru dan anak murid bandel yang biasa. Karater-karakternya yang masing-masing punya ‘sejarah’ ditulis dengan demikian bernyawa.

Awalnya memang para karakter di sini tampak seperti karikatur dari tipe-tipe karakter komedi. Paul Giamatti jadi Paul Hunham, guru sejarah galak yang bukan saja killer di dalam kelas kepada murid-muridnya, dia juga nyebelin di luar kelas, bahkan kepada kolega-koleganya.  Pokoknya orangnya unpleasant-lah, baik itu ketika diajak ngobrol ataupun sekadar dipandang. Kelainan pada matanya bikin lawan bicara canggung harus melihat ke mana. Bahkan naskah menambahkan satu lagi, muridnya gak suka deket-deket karena si bapak ini punya kelainan bau badan! Menjelang natal di sekolah asrama Katolik khusus cowok itu, Paul disuruh tinggal di sekolah – sebagai bentuk hukuman. Paul disuruh jadi pengawas bagi murid-murid yang juga gak pulang ke rumah, karena berbagai alasan orangtua masing-masing tidak atau belum bisa menjemput mereka ke sekolah. Murid-murid Pak Paul juga gak kalah ‘parodi’nya. Mereka anak-anak orang kaya, yang dengan cepat dijudge oleh Paul sebagai anak-anak manja tapi sok begajulan (dengan nilai akademik pas-pasan, kalo ini fakta!) Dan memang mereka semenyebalkan itu. One of them adalah Angus Tully (diperankan oleh newcomer Dominic Sessa) Actually, Tully-lah yang jadi satu-satunya anak yang beneran tinggal di sekolah sampai liburan usai. Satu-satunya anak yang harus mendekam bersama Paul yang sudah bulat tekad untuk menjadikan liburan itu sebagai gak ubahnya sebuah jadwal semester pendek.

Bayangkan kalo Argus Filch – caretaker di Hogwarts – jadi guru, begitu kira-kira ‘menyenangkannya’ Pak Paul.

 

Kalian tahu-lah yang terjadi sesudahnya. Paul dan Tully yang bisa dibilang saling antipati, perlahan jadi semakin dekat. Proses mereka menjadi udah kayak ayah kepada anak yang tak pernah ia punya dan sebaliknya itulah yang wonderful sekali dilakukan oleh film ini. Karakter-karakter itu tidak lagi seperti karikatur atau parodi stereotipe begitu film perlahan membuka sisi humanis mereka. Selapis demi selapis. Karena ini cowok yang sedang dibicarakan. Cowok gak main duduk dan saling curhat bicarakan masalah emosional mereka. Cowok mengubur sisi vulnerable mereka ke balik tembok yang menurut mereka paling keras. Dari situlah datangnya sikap tak menyenangkan mereka. Sementara sisi vulnerable yang tersimpan tersebut didesain oleh film ke dalam tema yang mengait kepada identitas cerita dan karakternya. Yaitu sejarah. Paul yang guru sejarah, tentu paham bahwa apa yang terjadi di masa sekarang sebenarnya sudah pernah terjadi di masa lampau. Bahwa masa sekarang hanyalah cerminan dari masa lalu. Paham teori sejarah bukan lantas ngerti mengarungi kehidupan. Justru itu yang dibuat oleh film sebagai false-believe Paul. Karena dia percaya dia sekarang harus bertindak sesuai dengan yang dilakukan di masa sekolah dulu. Bahwa dia terperangkap di keadaannya yang sekarang karena tuduhan yang ia terima di masa lalu. Juga, pemahamannya tentang bagaimana sejarah bekerja membuat dia salah menilai para murid seperti Tully. Enggak semua anak orang kaya jadi menyebalkan di asrama karena mereka dimanjakan oleh kenyamanan di rumah. Justru sebaliknya. Tully punya masalah yang sangat gak enak untuk dialamin oleh seorang anak, kaya atau miskin. Enggak diinginkan di rumah! Berkenaan dengan sejarah/masa lalu, Tully juga dibuat oleh naskah punya false believe dia percaya dia akan tumbuh menjadi ‘rusak’ seperti ayah kandungnya.

Dalam perkembangannya, kedua karakter akan jadi saling belajar. Sebagaimana Tully belajar bahwa pelajaran sejarah sebenarnya tidak semembosankan yang diajarkan di kelas, dia juga jadi sadar bahwa dengan mengetahui cerita siapa gurunya di masa lalu, dia melihat sang guru jadi sosok yang bukan saja menarik untuk dikenal lebih dalam, melainkan juga relate dan ya, akrab. Paul bahkan belajar dari Tully bagaimana menjadi guru yang lebih baik, di dalam maupun luar kelas. Bagaimana menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mau ‘membaca’ cerita masa lalu mereka tanpa judgment. Stake mereka gak muluk-muluk. Tapi seru, karena kontras. Meskipun mereka sebel harus habisin liburan di sekolah yang dingin dan televisinya cuma satu dan basically penjara, mereka pengen bertahan di sekolah itu. Paul merasa hanya sekolah itu yang mau mempekerjakan orang sepertinya. Tully gak mau dikirim ke sekolah militer. Jadi mereka harus menjaga sikap, sementara kebutuhan mereka untuk dealing with ‘sejarah’ masing-masing bakal membuat mereka mempertaruhkan itu semua.

Ada cerita di balik setiap orang. Her story, his-tory.  Apapun itu. Semua orang punya kisah yang menjadi alasan kenapa mereka menjadi seperti diri mereka yang sekarang. Kita tidak untuk menjudge mereka berdasarkan kisah masa lalu tersebut. Karena sejarah itu bukanlah takdir. Tully bukan lantas jadi bapaknya. Paul bukan lantas harus terus bersikap berdasarkan kesalahannya di masa lalu. Kita punya pilihan untuk tidak mengulangi sejarah. Kita punya pilihan untuk meneruskan kisah hidup kita sendiri.

 

Kekuatan arahan dan tentu saja akting dari kedua karakter sentral ini membuat perjalanan karakter mereka tersampaikan dengan sangat mengalir. Kita melihat mereka sebagai human being, alih-alih sebagai parodi ataupun karakter yang berkembang dengan formulaic. Penampilan akting mereka menembus karikatur itu lebih dulu sebelum pembelajaran karakter mereka bekerja. I think this is the best dari Paul Giamatti sejauh film-filmnya yang sudah kutonton dan kuamati. Selalu bukan hal gampang bikin protagonis orang yang tak disukai, serta tak muda, Giamatti berhasil memberikan hati kepada karakternya. Ketika dia berjuang membuka diri untuk sebuah potensi hubungan romantis, kita peduli, aku bahkan ikut was-was gimana nanti dia mengakali masalah bau badannya supaya semua lancar.  Dominic Sessa, dalam film panjang debutnya ini, sanggup toe-to-toe dengan aktor sekelas Giamatti. Penampilannya di sini bakal certainly put him on the Hollywood map!

Film dengan sengaja bikin mata-besar Paul gak konsisten kanan atau kiri supaya kita ikut merasakan kecanggungan saat menatapnya

 

Soal sejarah adalah cerminan ini juga terpampang nyata pada desain film. Salah satu yang paling sering jadi keluhanku buat film-film modern yang berniat memotret masa lampau entah itu 80an atau 90an adalah, feeling pada masa itu sering meleset. Film-filmnya sering belum berhasil mengemulate vibe periode yang ingin ditampilkan. Istilah singkatnya, film-filmnya masih terasa modern, tidak terasa seperti film yang dibuat pada tahun tersebut. Layarnya masih jernih. Suasananya masih kekinian. Cara karakternya bersosialisasi masih kayak orang yang berusaha tampil oldies. The Holdovers berhasil tersulap seperti beneran film yang dibuat tahun 70-80an. Cara karakternya membawa diri. Suara mereka. Musiknya. Suasana asrama dan kotanya. Bangunan-bangunannya. Semuanya terasa benar punya vibe klasik. Bahkan layarnya tampak grainy, dengan saturasi yang tepat, plus musim salju. Secara ‘luar’ film ini tampak dingin, distant. Tapi begitu kita memasuki ceritanya, karakternya, ada suatu kehangatan. Harus ada yang ngasih tahu Payne bahwa misi dia ngehasilin vibe dingin itu sebenarnya toh memang berhasil, tapi kehangatan dari journey karakternya bikin penonton ikut meleleh.

‘Kasih sayang’ memang berhasil digambarkan oleh film, terhampar lewat perasaan. Merayap tanpa sadar pada karakter-karakternya. As in, mereka tanpa sadar telah menjadi keluarga. Film ini actually punya hal yang membedakannya dari film-film sejenis. Like, kalo tentang guru dan murid saja, apa bedanya dia sama Dead Poets Society (1989), kan? Film ini punya ‘pihak ketiga’ yang bukan saja berfungsi sebagai penengah, tapi juga sebagai ‘mother figure’ yang menjembatani dua karakter sentral dengan cinta dan kasih sayang yang keduanya sama-sama kekurangan dalam hidup (Paul belum pernah menikah, Tully terabaikan oleh ibunya). Pihak ketiga itu adalah karakter Mary yang diperankan juga tak kalah luar biasanya oleh aktris kulit hitam Da’Vine Joy Randolph. Tukang masak di asrama. Ibu-ibu yang baru saja kehilangan putra, keluarga satu-satunya, di medan perang. See, lapisan dunia cerita semakin bertambah dengan kehadiran karakter ini. Kaki ketiga yang jadi fondasi kokoh dalam bangunan penceritaan film. Karena bahasan personal film jadi merambah ke tragedi masa lalu kolektif rakyat. Tragedi perang yang mengorbankan anak-anak muda. Film ini juga berusaha men-tackle persoalan ‘sejarah’ itu lewat karakter Mary. Karakter yang benar-benar telah kehilangan cinta yang pernah singgah kepadanya, tapi tidak sekalipun dibikin sebagai karakter putus asa.

 




Ini benar-benar di luar dugaan remehku. This is no raunchy coming of age comedy tentang anak muda dan guru galak kayak, The Inbetweeners, misalnya. This is not even a quirky inspirational drama kayak Dead Poets Society. Karya terbaru Payne ini somewhat seperti di tengah-tengahnya. Funny, emotional, real. tentang anak muda, orangtua, dan orang yang beneran sudah tua sekaligus. Mereka menemukan cinta dan kasih sayang dengan berdamai dengan masa lalu. Dengan sejarah yang mereka kira bakal mendikte gimana mereka ke depannya. Film ini gak exactly inspirational, like, gak memotivasi kita untuk merasa spesial dan punya kekhususan seperti para karakter di dalam ceritanya. Justru sebaliknya. Karakternya broken enough untuk membuat kita peduli dan memetik pelajaran di balik gimana mereka akhirnya – melawan kemauan dan kesadaran sendiri – menjadi lebih erat bahkan dari keluarga sedarah. Film ini membuat apa yang sepertinya karikatur berubah menjadi truly menghangatkan dengan seefektif namun sesederhana itu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE HOLDOVERS

 




That’s all we have for now.

Cerita keluarga di sekolah asrama Katolik, di liburan natal. Basically film ini adalah film ‘religi’. Hanya saja pembahasannya tidak lewat ayat-ayat melainkan melalui sudut kemanusiaan. Kenapa film kita belum banyak yang seperti ini, like kita belum nemu film berlatar pesantren yang ‘ajaran agamanya’ ada di dalam permasalahan manusiawi aja, tanpa perlu ceramah ayat-ayat dan sebagainya?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, satu lagi film yang kukasih score 8.5 tahun ini, bisa ke Apple TV untuk menonton Killers of the Flower Moon. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KILLERS OF THE FLOWER MOON Review

 

“Coyote is always out there waiting… and coyote is always hungry”

 

 

Alih-alih bikin whodunit, Martin Scorsese bilang bahwa ia mengadaptasi buku nonfiksi tentang rangkaian pembunuhan warga Indian di Osage County 1920an menjadi film ‘who-didn’t-do-it’. Apa maksudnya? Well, thriller detektif memecahkan kasus boleh saja lebih ‘menjual’ tapi tidak akan mencapai power yang diniatkan Scorsese. Dengan konteks sejarah bangsanya, film ini disajikannya untuk menyuguhkan perasaan getir karena yah in a way, they all did it; dengan tidak pernah benar-benar serius mengusut sebab terlalu banyak yang terlibat. Dan para korban survive bukan karena bantuan mereka-mereka kulit putih. Afterall, sutradara legend ini demennya bikin cerita dengan karakter based on real people yang melakukan hal-hal tak terpuji. Killers of the Flower Moon dibuatnya sebagai drama romansa dari sudut pandang pelaku kejahatan yang berpikir dia beneran menyintai perempuan indian yang ia nikahi sebagai istrinya, tapi juga dia menyintai uang dengan sama besarnya. Jika tidak lebih.

Namun jangan bayangkan Leonardo DiCaprio di sini karakternya cool, glamor, dan penuh karisma seperti protagonis-protagonis bobrok dalam film Scorsese yang sudah-sudah. Ernest Burkhart dalam cerita ini bukan wolf. Dia, sesuai dengan yang disimbolkan oleh istrinya bahkan dalam pertempuan pertama mereka, adalah coyote. Anjing hutan liar yang selalu kelaparan. Menyedihkan, tapi tidak untuk dipercaya.

 

Ernest tadinya ikut dikirim ke medan perang, sebagai juru masak. Tapi karena kondisinya, pemuda ini tidak bisa membantu banyak. Pulanglah dia ke naungan pamannya. Seorang juragan ternak di Osage, tanah Indian yang makmur oleh emas hitam. Saking makmurnya, orang-orang kulit putih seperti Ernest berdatangan ke sana, mencari peruntungan mengadu nasib ke sana. ‘Peruntungan’ di sini tidak dalam makna yang baek-baek. Sekilas memang mereka tampak jadi pekerja bagi orang-orang Indian. Dua golongan ini pun tampak saling membaur. Asimilasi budaya dan pengetahuan. Tapi di baliknya, ada maksud terselubung untuk menguasai uang minyak. Warga Indian dibunuhi dengan segala macam tipu daya. Ernest yang jatuh cinta kepada Mollie, bukannya membela, ataupun setidaknya bersimpati. Ernest ikut ke mana power bertiup. Ke pamannya yang bisa mendapatkannya uang dan posisi. Sehingga dia tidak menolak ketika pamannya memanfaatkan perasaan antara dirinya dengan Mollie. Ernest bahkan ikut berkomplot membunuh satu persatu keluarga Mollie, setelah mereka menikah.

Dengan cocote, Ernest adalah coyote berbulu domba

 

Kenapa sih para ‘pendatang’ itu kelakuannya suka seperti ini? Film ini hadir pas banget dengan horrible genocide event yang sedang berlangsung, sehingga impact film ini mestinya bisa berkali lipat menyentuh kemanusiaan. Orang yang datang malah menjajah, ingin menguasai lebih dari hak mereka, sampai melakukan apapun termasuk kejahatan kriminal. Kekuatan film ini jadi terdisplay full, nunjukin gimana pun tetap ujungnya rasis. Mendahulukan kepentingan golongan. Dan ultimately, perut sendiri. Ernest dan pendatang kulit putih udah dikasih hati, tapi malah minta jantung. Aku pikir inilah yang ingin ditunjukkan oleh Scorsese ketika memilih untuk menjadikan cerita ini dari sudut pandang Ernest, yang sebagai protagonis sangat unlikeable, meskipun dia percaya punya rasa cinta kepada Mollie. Film ingin memperlihatkan ‘hati yang sudah dikasih’ tersebut. Ingin mendaratkan kita dengan perasaan genuine, tanpa mencederai perasaan pihak yang mestinya adalah victim. Pihak yang lebih berhak menceritakan peristiwa ini. Mollie dan orang-orangnya.

Karena Mollie dan orang-orang Indian itu meski lebih pasif posisinya di dalam cerita, tapi mereka tidak pernah digambarkan ignorant alias polos. Mereka bukannya bengong dan tidak tahu apa-apa ketika ada sodara mereka yang ditemukan mati secara misterius seolah kecelakaan (dan mengenaskan). Film tidak sampai hati mengatakan mereka juga terlena total oleh harta dan kata-kata pemuda seperti Ernest yang menikah ke dalam keluarga Indian, ataupun orang berpengaruh seperti William Hale, paman Ernest, yang telah lama membantu dan ikut membangun fasilitas-fasilitas di kota mereka. Bagi para warga Indian, film memperlihatkan, persahabatan dan keterbukaan mereka adalah hal yang tulus, yang dimanfaatkan oleh para coyote licik. Mollie, sedari awal flirt-flirtan sama Ernest sudah melihat bahwa pria itu orang yang pengen duitnya, makanya dia menjuluki Ernest dengan sebutan coyote dalam bahasa Indian. Tapi ya itu tadi, cinta itu tumbuh genuine. Mollie merasakannya pure, sementara Ernest merasakannya juga tapi tertutup oleh ‘rasa lapar binatangnya’. Film ingin kita merasakan dramatic irony dari melihat cinta dan kepercayaan Mollie tumbuh, dikontraskan dengan bagaimana Ernest sebagai karakter utama dalam setiap kesempatan yang selalu diberikan naskah kepadanya, memilih untuk menomorsatukan uang dan pamannya ketimbang Mollie dan keluarga. Adegan di bagian akhir yang Ernest ditanya oleh Mollie soal insulin yang selama ini disuntikkan, maan, really broke us down bersama Mollie. Film memberikan kesempatan kepada karakternya untuk develop oleh pembelajaran, they did it for a while, lalu jatuh kembali ke lubang yang sama. Ini jadi kayak jawaban film kenapa masalah tahun 1920 itu masih relevan juga dengan keadaan sekarang.

Ketinggian dramatis seperti itu tidak akan tercapai jika film ini mentok sebagai pengungkapan kasus whodunit siapa yang membunuhi saudara-saudara Mollie dan para Indian. Film ini tahu yang penting untuk diceritakan, bahwa siapa yang bunuh tidak perlu lagi dipertanyakan. Film justru ingin menelisik moral dan perasaan karakter-karakter yang terlibat. Ernest bergulat antara cintanya kepada Mollie dan kepada uang, Mollie bergulat prasangkanya dan ruang untuk cinta.  Banyak lagi momen dalam film 3 jam setengah ini yang bikin terenyuh. Mollie ngasih bantal kepada sodara Ernest yang pulang kemaleman, not knowing bahwa orang itu baru saja melakukan permintaan Ernest (atas gagasan paman) membunuh kakak Mollie. I was like, wow gimana bisa Ernest tidur nyenyak berselimut kekejian seperti itu. Lily Gladstone meranin Mollie udah pas banget, kita ikut merasakan kewaspadaan serta juga kevulnerableannya sebagai perempuan hadir di balik tuturnya yang singkat tapi padat. Jadi hati di balik penampilan repulsif dan manipulatif dari karakter pria kulit putih. Leonardo dan Robert De Niro memberikan penampilan tidak kurang dari standar tinggi yang selalu mereka suguhkan, tapi di musim award ini, Lily Gladstone mestinya bisa jadi ujung tombak film ini untuk meraih penghargaan. Durasi sepanjang itu gak bakal terasa karena cerita yang mengalun, karakter yang ironis, dan pace terjaga. The only reason aku gak nonton ini bioskop (dan aku sangat menyayangkan itu karena pastilah film ini makin epik di studio) adalah karena secara fisik, aku yang sedari kecil punya penyakit beser udah gak kuat duduk selama itu tanpa harus bolak-balik ke toilet (which will ruin the experience for me)

Ini film yang bikin kita malu kalo relate sama protagonisnya

 

Lihat cara film menampilkan momen-momen keseharian rakyat di Osage. Lewat tampilan hitam putih seolah foto/film jadul yang sebenarnya. Pilihan yang bukan sekadar untuk estetik, melainkan juga perfectly membingkai karakter yang ingin diceritakan. Bahwa kebersamaan si kulit merah dan si kulit putih di layar itu ya sebenarnya ada yang ‘mengatur’ di belakang. Ada mastermind yang merencanakan hal buruk demi duit. Jadi ya, Scorsese di film ini bukan hanya menceritakan peristiwa kelam masa lalu, melainkan dia juga punya desain sendiri. Yang mengangkat film ini lebih dramatis lagi. Film ini dibuka dan ditutup olehnya dengan somekind of upacara Indian. Yang satu tentang kekhawatiran mereka akan ‘way of life’ yang berpotensi tercemar setelah masuk masa makmur mereka, sementara satunya tampak seperti perayaan kebersamaan yang saling menguatkan. Secara hakikat, ini adalah materi yang pelik untuk diceritakan oleh Scorsese yang sadar dia sendiri bukan Indian. Dan dia berhasil menemukan desain yang tepat. Membuat cerita dari sudut pandang pelaku, memberikan journey kepada pihak pelaku yang mewakili kenyataan bahwa sampai sekarang belum berubah betul (meski mengaku sudah sadar), tanpa melupakan perspektif korban. Tanpa mengasihani, ataupun merendahkan penghormatan terhadap korban.

 




Film ini tidak lancang dengan ngasih penyelesaian yang menuntaskan cerita. Bagian sidang penangkapan dan pengakuan Ernest memang ada, FBI yang mengusutnya memang ada (Jesse Plemons, always kita sambut hangat) tapi film memilih cara menutup yang paling aneh. Tiba-tiba adegan berubah menjadi semacam adegan teater, dengan Scorsese sendiri jadi salah satu pembaca yang membacakan nasib para karakter setelah sidang dan segala macam. Pilihan aneh yang dilakukan sebagai bentuk respect karena sadar bukan tempatnya untuk mengakhiri cerita ini. Dia mengembalikan cerita kepada pihak yang memang memiliki cerita. Dan aku terduduk di tempat, memikirkan tidak ada perlakuan lain yang bisa dilakukan film untuk bisa lebih sopan dari ini. Untuk bisa lebih ‘tepat’ daripada ini, karena secara teknis pun, dengan desain seperti ini, film masih tetap ‘benar’ secara naskah dan sebagainya. Film ini tidak perlu mengubah struktur dengan konsep berlebihan, namun tetap beautiful dan menantang. Old-school storytelling at its finest!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for KILLERS OF THE FLOWER MOON




That’s all we have for now.

Kenapa sih pendatang kelakuannya suka gak tau terima kasih dan suka menjajah?

Share pendapat kalian di comments yaa

Bagi kalian yang juga melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM Review

 

“Words and ideas can change the world”

 

 

Siapa sih yang gak mau kisah percintaannya seperti di film-film? Ketemuannya cute, jadiannya sweet, berjalan dengan naik turun penuh passion hingga happily ever after. Jika berakhir tragis pun, kisah cinta di film akan tetap romantis. Bahkan nerd seperti aku bakal get the girl! Padahal kehidupan nyata bukannya tidak romantis, loh. Kita semua mendambakan skenario jatuh cinta ala sinema karena film memang sekuat itu. Sebagai medium bercerita, film punya daya untuk mempengaruhi orang, punya kemampuan untuk memantik percikan perubahan pada seseorang dalam memandang hidup. Yandy Laurens jelas percaya ini.  Percaya kalo kehidupan nyata tidak kalah romantis, melainkan cuma butuh dorongan kecil dari sebuah film yang dirasakan lewat karakter-karakternya. Percaya bahwa efek film bisa sedahsyat itu, asalkan si film itu diberikan kesempatan untuk tetap personal dan menjadi dirinya sendiri. Jika pasangan dalam film biasanya mengatakan cinta lewat bunga, maka karakter yang diciptakan Yandy dalam drama komedi romantis dengan struktur ajaib ini bilang, say it with a movie,

Semua film, at one point, pasti personal bagi pembuatnya. Aku mengetahui ini waktu dulu masih sering ikut kelas penulisan skenario serabutan di mana-mana. Every aspiring screenwriters ingin memfilmkan secuil kisah hidup atau pengalaman mereka. Ingin mengatakan sesuatu di balik cerita yang mereka tulis. Ini bagus, hal-hal personal ini yang mestinya dipertahankan supaya film bisa relate dan genuine, sehingga bisa konek kepada penonton. Problem with personal stories adalah, kita pikir cerita kita itu bagus. Pengalaman atau kisah hidup atau pandangan kita itu layak untuk difilmkan karena orang-orang butuh cerita kita, karena cerita kita sedemikian penting sehingga bisa mengubah dunia ini.  Bagus, karakter utama, dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-Film juga punya ‘idealisme’ seperti begitu. Bagus yang seorang screenwriter, ingin membuat film romantis berdasarkan perasaannya terhadap Hana, teman semasa SMA dulu. Dia menulis film dari kisah pertemuannya dengan Hana yang masih berkabung atas kematian suami empat bulan yang lalu. Lewat naskah film yang ia tulis, Bagus ingin mengutarakan cinta sekaligus mencoba untuk membuka pintu hati Hana yang kini masih tertutup rapat untuk cinta yang baru. Jadi Bagus berjuang, pitching ceritanya di depan produser. Supaya beneran difilmkan dan Hana nonton. Naskah yang ia perjuangkan itu ultimately jadi membuka mata Bagus terhadap apa yang sebenarnya lebih perlu untuk ia lakukan.

The power of filmmaking; bukan cuma penontonnya, tapi juga bisa mengubah pembuatnya jadi pribadi yang lebih baik

 

Seperti yang sudah dikesankan oleh judulnya, film ini memang dibangun dengan struktur yang sangat meta. Film tentang karakter yang menulis cerita film, yang actually berdasarkan kisah hidupnya. Ada banyak layer; cerita di dalam cerita di dalam cerita. Konklusinya nunjukin meski dunia nyata si karakter mungkin gak seromantis di dalam cerita yang karakter bikin – karena di dalam cerita film, semuanya harus dilebih-lebihkan biar dramatis, toh dunia nyata dia itu film juga bagi kita. So mindblowing, makanya film ini ngasih pengalaman unik banget saat ditonton. Apalagi saat direview.

Serius deh. Ini actually salah satu film yang fun banget, bikin aku ber-“loh-loh” ria saat berusaha menelisik di balik layer-layernya satu persatu. Ada beberapa kali di babak awal aku ngerasa film ini jelek. Pretentious dengan gimmick hitam putih. Juga dengan penulisan yang sok asik dengan istilah-istilah film menurut ‘netijen’. Like, adegan yang nyebut penulis subtitle bahasa indonesia di film bajakan; adegan itu kayak maksain banget karena masa’ nonton film adaptasi dari sinetron Indonesia bisa pake ada subtitle segala. Ataupun masih terlalu ‘telling’ dengan dialog Hana bilang dirinya seolah ikut dikubur bersama suami, padahal cukup ditunjukin visual surealis Hana ikut berbaring di dalam peti mati yang memang ada later in the story. Di situlah aku nyadar. Bahwa yang jelek di depan itu, bukan film ini. Tapi film/naskah buatan si Bagus. Bahwa itu semua adalah bagian dari karakterisasi si Bagus sebagai tokoh utama. Gimana dia malah memposisikan karakter Hana sebagai yang harus punya development di dalam ceritanya, nunjukin bahwa Bagus belum melihat ‘false-believe’nya sendiri. Belum melihat bahwa dia itu egois, merasa benar, dan even gak sejago itu dalam nulis naskah film. Di babak selanjutnya, film akan mengacknowledge kekurangan-kekurangan Bagus, dan itu bakal dijadikan poin untuk pembelajaran bagi karakternya. Yang bikin makin seru, nanti juga ada adegan-adegan saat Bagus dipertanyakan oleh aktor dan kru yang terlibat di dalam pembuatan film dari ceritanya. Dan Bagus seringkali gak bisa jawab, karena dia realized they are right, Hana was right, and he is wrong.

Dan yang dibuat oleh Bagus itu belum lagi sebuah film. Melainkan ‘baru’ sebuah naskah. Tapi powernya sudah ada. Film hanya satu dari sekian banyak medium. Gagasan dan kata-katalah yang sebenarnya mengubah dunia. Kata-kata Hana yang ia jadikan dialog di naskah, membuka mata Bagus.  And in turn, gagasan Bagus dalam bentuk naskah, berhasil menyentuh Hana. Membantunya ‘terlahir kembali’ dari duka nestapa.

 

Makin ke belakang, bakal banyak momen-momen film ‘menjawab’ kejanggalan yang kita rasakan pada cerita buatan Bagus. Momen-momen itu juga bakal ngingetin kita kalo semua yang kita tonton adalah visualisasi dari naskah buatan Bagus. But it’s not that easy. Karena film ini juga punya selera humor. Selain mengiyakan pertanyaan kita, selain membimbing penonton melewati istilah-istilah penulisan skenario (hey free writing lessons!!) dan sedikit seluk beluk tentang gimana sebuah film bisa akhirnya dapat lampu hijau untuk produksi, serta proses syutingnya itu sendiri, konsep atau struktur meta film juga dibangun dengan meng-subvert ekspektasi kita sebagai penonton. Mana yang beneran terjadi di kehidupan Bagus dan Hana, mana yang cuma karangan Bagus. Garis itu jadi begitu abu-abu – hitam putih seperti yang ditampilkan film ini – sehingga nontonnya jadi seru, lucu, serta juga hangat oleh dinamika Bagus dan Hana, entah itu di mana Bagus dan Hana yang asli ‘dimulai’.

Sementara kita sort ulang mana yang actually dilakukan oleh film, dan mana yang dilakukan oleh film buatan si Bagus sebagai karakter yang harus punya perkembangan, yang tidak bisa kita deny kehebatannya adalah akting. Monolog Hana yang meledak di depan Bagus saat perempuan itu akhirnya tahu cerita apa yang sebenarnya ditulis oleh sahabat sekolahnya itu (selama ini Hana diberitahu Bagus menulis cerita tentang florist, padahal bukan) dan akhirnya tahu intensi Bagus di balik naskah itu, boleh jadi hanya ada di naskah karangan Bagus – bahwa itu kejadian yang tidak pernah terjadi di kehidupan nyata Bagus – tapi Nirina Zubir tetap nyata-nyata went out and totally slayed her lines like that. Itu adegan jadi momen bravo banget di bioskop. Penonton di studio ku pada diem takjub semua, setelah sebelumnya memang banyak yang terkikik-kikik oleh candaan terhadap perfilman yang tersebar di dialog-dialog film. Ringgo Agus Rahman juga tepat terus memposisikan dirinya yang memainkan berbagai ‘versi’ Bagus. Benang merah yang jadi inner journey karakternya tetap bisa dia pertahankan.

It’s meta funny film ini take jabs at bikin remake dari sinetron, while sutradara dan dua aktor sentralnya actually terlibat di film Keluarga Cemara

 

Jadi tampilan hitam putih yang sebagian besar mengisi film ini bukan sekadar gimmick, bukan cuma kode estetik Bagus yang pengen memahami duka Hana, dan mestinya bukan semata batas kejadian di naskah Bagus dengan kejadian di hidup asli Bagus. Melainkan didesain oleh film ini sebagai device untuk menampilkan journey karakter Bagus. Tampilan hitam putih jadi cara film untuk menyarukan kejadian nyata yang dialami Bagus, yang digodoknya dengan kejadian reka yang berarti gimana sudut pandang dan sikap Bagus memandang kejadian nyata yang dia alami. Dengan kata lain, mestinya bagian hitam putih di dalam film ini adalah visualisasi nurani Bagus dalam menilik gimana dia harus approach Hana dan duka perempuan tersebut. Mungkin aku salah, tapi I think konsep film ini kurang lebih diniatkan begitu.

Yang membuatku jadi menghubungkan film ini dengan Asteroid City (2023) buatan Wes Anderson. Sama-sama tentang dealing with grief, sama-sama lewat konsep hitam putih, Asteroid City di teater play, sedangkan film ini di penulisan/pembuatan film. Ketika Asteroid City gak takut untuk ‘membuka’ mana yang play mana yang dunia reka, dengan eventually membenturkan hitam-putih dan dunia warna demi memastikan karakter utama kita benar-benar terlihat mengalami development dan berbuat ‘kesalahan’, film tersebut berakhir dengan lebih tight, somehow lebih ‘misterius’, dan less gimmicky.  Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, however, rasanya tuh berpikir, masih takut untuk ketebak. Hitam putih dan warna, pada akhirnya jadi batas nyata dan reka. Karena begitu kita sampai ke momen warna/nyata, development yang kita lihat hanya pada Hana yang nyata. Penonton diniatkan untuk menyetujui bahwa development Bagus yang nyata telah terjadi di bagian hitam putih, tapi at the same time, film menegaskan batas nyata dan reka tadi. Kita gak melihat Bagus nyata struggle dengan pembelajaran, proses pemikiran dan penyadaran Bagus yang sebenarnya. Menurutku momen bentrokan dunia hitam putih dan warna seperti yang dilakukan Asteroid City bisa membantu film ini mencapai hal yang sama untuk karakter Bagus.

But still, struktur meta dan penulisan rom-com ini brilian. Eksistensi film ini, brilian. Like, kita bisa lihat sendiri di cerita ini betapa susahnya Bagus ‘menjual’ naskahnya ke produser. That’s really mirror real life. Itu nyaris seperti parodi dari gimana produser di industri film kita sekarang. Adegan-adegan Bagus dengan produser, poke fun begitu banyak fenomena industri kayak takut barengan tayang ama Marvel, ubah cerita jadi ada horornya, angker sama tampilan hitam putih karena jadi kayak film nyeni yang berat, udah kayak sketch Pitch Meeting di YouTubenya Screen Rant tapi lebih grounded dan relate karena keadaan yang disinggung sangat dekat. Kocaknya pun jadi lebih berasa. Aku ketawa like a sinefil snob di studio hahaha.. Makanya keberadaan cerita kayak gini, bisa-bisanya nangkring di bioskop, dengan jumlah penonton yang gak sedikit, jadi sebuah kebrilianan yang patut kita rayakan. Dan lestarikan.




Cerita yang personal akan selalu dapat tempat di hati penonton. Film ini punya itu, mengerti kekuatan itu dan gagah berani mengambil banyak risks. Film mengambil cara bercerita yang paling meta. Pembuatnya tentu saja sangat personal dengan urusan perjuangan gimana cerita asli bisa sampai mendapat lampu hijau untuk produksi.  Tapi dia tahu punya senjata kuat, yaitu bahasan topik cinta dan grief yang benar-benar mampu menggebah perasaan manusiawi. Sedikit extra pada konsep, tapi ini tetap sebuah presentasi cerita yang menyenangkan, menghangatkan, bahkan membuat kita menertawakan sesuatu yang kita sayangi.  This movie feels like love itself.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JATUH CINTA SEPERTI DI FILM-FILM

 

 




That’s all we have for now.

Hana sempat bilang bahwa romance hanya milik anak muda. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



GAMPANG CUAN Review

 

“There’s no such thing as an overnight success or easy money”

 

 

Anak sulung punya tanggung jawab besar. Apalagi cowok. Merekalah yang pertama kali bakal step up menggantikan ayah sebagai kepala keluarga. Makanya anak sulung kudu bisa jadi pemimpin dan pelindung bagi adik-adiknya. Jadi suri tauladan. Jadi pedoman. Jadi acuan. Harus bisa cari cuan. Komedi Gampang Cuan dari Rahabi Mandra, buatku pertama dan utama sekali, adalah tribute buat perjuangan anak sulung terhadap keluarganya. Di balik kejenakaan dari usaha-usaha ‘ekstrim’ yang dilakukan protagonisnya – hingga menyerempet garis kriminal – ada kisah hangat tentang gimana seorang anak sulung berusaha mengemban tanggungjawab, walaupun dia gak begitu ahli atau bahkan gak tahu dengan apa yang akan ia lakukan. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, yang merantau, dan yang juga belum sukses-sukses menuhin janji itu, I do find film ini sebagai sajian relate yang bukan hanya menghibur (karena tak jarang memberikan momen-momen untuk ngetawain kebegoan/kemalesan sendiri) tapi juga jadi tontonan yang jadi semacam penyemangat, atau boleh juga dibilang cautionary tale, untuk tetap berusaha di jalan lurus sekalipun demi cuan.

In today’s economy – waduh udah kayak dunia dalam berita – mencari cara cepat untuk bisa kaya raya jadi usaha yang digemari orang ketimbang bekerja itu sendiri. Bekerja itu terlalu lambat, sedangkan kita butuh cuan dengan segera. Dengan ‘cuma-cuma’. Setidaknya ada empat cara populer yang ditempuh untuk orang nyari cuan di masa sekarang; jadi influencer, jadi calo tiket konser, minjem online, dan main saham. Main saham inilah yang jadi fokus cerita dalam Gampang Cuan. Sultan enggak bilang-bilang sama ibu dan adik-adiknya di Sukabumi kalo dia udah dipecat. Sultan ngakunya kerja di kantor gede, hanya gajinya belum cair sehingga dia belum bisa ngirim duit untuk kuliah adik bungsunya. Ataupun buat bayar utang, yang by the way dia juga gak bilang ke keluarga kalo lagi terlilit utang dengan jumlah bejibun. Ketika adiknya yang tengah, Bilqis, diam-diam nyusul ke Jakarta, barulah Sultan kocar-kacir. Sultan dan Bilqis memang akhirnya sekongkol buat nyari duit bareng. Tapi usaha yang mereka pilih karena kepepet butuh duit cepet, yakni trading saham, adalah usaha yang penuh resiko dan ketidakpastian. Kebohongan dan bahaya yang diserempet Sultan dan adiknya itu semakin membesar, utang semakin menggunung, sampai di satu titik mereka menemukan diri terlibat masalah kriminal.

Mereka harusnya jualan Netflix aja ga sih?

 

Komplotan abang beradik sobat miskin dalam cerita Rahabi Mandra ini enggak seperti dalam Parasite nya Bong Joon ho. Sultan dan Bilqis sama sekali tidak terorganisir, tidak punya keterampilan khusus, they don’t really have a plan atau strategi terarah. Mereka melakukan semuanya sambil jalan. Energi mereka chaotic banget. Mereka bahkan sering berantem satu sama lain. They could get really physical seperti saudara yang ribut beneran. Namun justru hal-hal itulah yang jadi pesona dua karakter sentral kita. Hal-hal itu membuat mereka relate, plus ngasih karakteristik buat hubungan persaudaraan mereka. Abang atau kakak beradik memang suka berantem, dan mereka membawa ‘berantem’ antar  siblings itu ke level yang lain. Vino G. Bastian jadi abang yang lebih kalem, berusaha meyakinkan semua orang kalo hal di bawah kendalinya. Dia juga beneran terlihat peduli dan berusaha menyanggupi permintaan adiknya. Ada momen-momen saat kita tahu dia udah gak sanggup, janjinya makin impossible untuk dia penuhi, tapi dia berkata mantap bahwa dia akan menyelesaikan semuanya. Anya Geraldine jadi si tengah yang lebih tegas, kelihatan cenderung galak. Dia juga lebih nekat, lebih blak-blakan, dan lebih pintar. Sama seperti Vino, Anya juga berhasil ngasih energi ke karakternya. Dinamika mereka terasa hidup, mereka saling mengisi, saling memarahi, kekurangan satu sama lain, just like kalo kita kerja sama ama adek nyelesaiin satu level sulit di video game, hanya saja bagi Sultan dan Bilqis permasalahan mereka adalah real life. Menurutku, inilah yang bikin kita gampang peduli sama mereka, lebih dari sekadar mereka kasian butuh duit.

Yang bikin cerita ini balance adalah karena mereka punya moral sendiri. Sultan dan Bilqis gak nipu orang kaya. Gak mau judi, gak mau curang. Mereka sebenarnya punya kesempatan dari seorang kaya belagu yang naksir berat sama Bilqis, tapi cerita tidak lantas memberikan kemudahan. Sultan gak mau ‘ngorbanin’ adiknya. Mereka gak mau gitu aja memanfaatkan, ataupun dimanfaatin oleh si kaya belagu. Sultan dan Bilqis ada di posisi mereka kepepet sampai mau ngelakuin apa saja, tapi dalam batasan-batasan tertentu. Like, they draw the line at bohongin ibu, karena mereka khawatir ibu kenapa-napa kalo tau mereka bukan orang kaya seperti yang mereka ucapkan di telefon. Mereka gak mau straight up mencuri, tapi jika kepepet mereka nekat mengambil informasi dengan menyamar, bahkan hingga nyekokin obat tidur ke dalam minuman orang. Kompas moral mereka jadi hambatan-hambatan tersendiri yang akhirnya bikin seru cerita. Bikin kita gemes menontonnya.

Apalagi karena naskah film  memang sama sekali tidak melupakan konsekuensi. Film menggambarkan realita lucu gambaran sikap manusia yang pengen ‘sedikit bekerja, banyak duitnya’ dalam sorot yang gak memihak. Walaupun judulnya pake kata ‘Gampang’. protagonis kita tidak digampangkan dalam mendapatkan apa yang mereka mau. Main saham memang sekilas terlihat seperti jawaban mudah, duit mereka dalam beberapa menit naik berkali lipat, tapi oleh naskah hal tersebut tidak lantas berarti kemenangan. Tidak lantas menyelesaikan permasalahan keluarga mereka. Ini yang aku suka. Ada lapisan lagi dalam journey Sultan. Ada hal yang harus dia sadari, hal yang lebih dia butuhkan. Sembari memperlihatkan konsekuensi dari flawnya selama ini, di akhir cerita film juga memperlihatkan pembelajaran karakter yang finally disadari oleh Sultan. Membuat cerita jadi full circle tentang keluarga – drama keluarga tanpa sosok ayah yang jadi fondasinya. Membuat komedi dari karakter-karakter nekat yang melakukan sesuatu yang baiknya tidak kita contoh karena tidak cukup bijak untuk dapetin duit, jadi punya hati.

Mau yang kaya ataupun yang miskin, di film ini semuanya sama. Sama-sama pengen dapet duit dengan gampang. Yang diingatkan lewat cerita ini adalah sesungguhnya tidak ada yang namanya ‘easy money’ di dunia ini. Tidak ada jalan pintas, melainkan butuh usaha. Kerja keras, do pay off. Meski pay off nya bukan exactly harus kontan. 

 

Baru di atas ‘angin’ dikit udah ngayal nanti duitnya mau dipakai buat apaan aja

 

Untuk bisa berhasil menyampaikan itu, toh naskah film ini sebenarnya meminta banyak pemakluman kepada penonton. Film ini dibuka dengan literally minta ijin kepada penonton bahwa konsep jual-beli saham yang ditampilkan di dalam cerita tidak benar-benar sesuai dengan kenyataan. Aku juga gak ngerti main saham begituan, tapi intinya tulisan di opening film ini ngasih tau kalo in real life pencairan uang atau semacamnya tidak bisa dilakukan dengan secepat yang terjadi pada cerita ini. Dari segi bahasa, juga aku mendengar banyak yang bilang kurang cocok. Sultan dan keluarganya berasal dari Sukabumi, maka bahasa ibu mereka adalah bahasa Sunda. Bagi aku yang bukan orang Sunda dan hanya tahu bahasa tersebut dalam lingkup pergaulan anak rantau sih tidak benar-benar menganggap ada masalah mendengar ‘gue’, ‘elu’, nyampur dengan dialeg dan bahasa Sunda. Tapi yah, temen-temen yang asli dan ngerti Sunda memang banyak juga yang menilai bahasanya agak mengganggu. Lebih lanjut, penggunaan bahasa yang dilenturkan supaya lebih chaos, konsep saham yang ditweak supaya cerita seru, menurutku memang masih bisa kita “isoke, isoke, ofkros”in. Apalagi karena seperti yang disebutkan di atas, menang saham di cerita ini tidak berarti masalah beres. Bagi Sultan, ini bukan semata soal menang saham untuk dapat duit.

Justru yang buat aku terasa mengganggu karena – ironically – menggampangkan cerita bisa berjalan, adalah soal jarak yang dianggap tidak ada oleh film. Bukan hanya satu, ada beberapa adegan yang ‘mengandalkan’ karakter pergi dari Sukabumi ke Jakarta atau sebaliknya, tapi oleh film jarak itu tidak terasa. Sukabumi dan Jakarta boleh jadi sekarang sudah bisa tembus dua jam, tapi paling enggak mestinya jarak dan waktu ini bisa digunakan lebih lanjut untuk efek dramatis. Bukan hanya untuk komedi. Alih-alih karakter bisa seperti teleport dan gak really matter mereka harus ke mana untuk mengejar apa, akan bisa lebih intens kalo mereka dibikin akan terlambat atau semacamnya. Timing-timing yang selalu pas dalam cerita film ini membuat hal terasa kayak kejadian yang sudah diatur aja, membuatnya terasa kurang natural.

 




Sama seperti kisah cinta, cerita tentang duit juga sejatinya adalah cerita yang bisa mudah kita mengerti. Ditambah dengan hubungan keluarga yang struggle tanpa sosok ayah, tentang perjuangan seorang anak sulung berusaha menghidupi keluarga, kisah yang dibungkus sebagai komedi ini semakin cair dan gampang beresonansi dan relate dengan penonton. Naskah cukup bijak untuk membuat komedinya ringan dan chaos penuh energi tapi tidak menghilangkan konsekuensi. Pembahasannya berimbang, antara kaya ataupun miskin semua orang pengen punya duit dengan instan. Case yang diangkat di sini adalah soal hidup itu perjuangan, tanpa jalan pintas. Meskipun begitu, film ini sendirinya bercerita dengan kemudahan-kemudahan. Yang kita diminta untuk memakluminya. Beberapa bisa kita kesampingkan, karena ceritanya memang ternyata semenyentuh dan tidak sereceh itu. Ada feeling genuine yang berusaha disampaikan. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for GAMPANG CUAN

 




That’s all we have for now.

Jadi, pernahkah kalian berada di posisi berbohong kepada orangtua seputar kondisi keuangan atau semacamnya?

Share cerita kalian di comments yaa

Setelah nonton ini,  kalian yang masih pengen tontonan seru tentang keluarga, bisa coba serial Monarch: Legacy of Monsters, dari universe Godzilla yang selain tentang monster juga tentang keluarga. Yang penasaran, langsung aja subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL