KIDNAP Review

“When I grow up, I’ll be a man like Mom.”

 

 

Kasih anak sepanjang jalan. Kasih ibu sepanjang masa. Well, dalam film ini Halle Berry membuktikan kasih sayang sepanjang masanya dengan desperately mengejar penculik anaknya, ngebut-ngebutan di sepanjang jalan tol.

Sembilan-puluh menit sensasi menegangkan mestinya bisa kita alami bareng Halle Berry yang hari itu lagi sial banget. Dia memerankan tokoh bernama Karla. She’s a single mom yang lagi ngurusin perceraian. Di tempatnya bekerja sebagai waitress – kafe paling enggak bersih seAmerika, setidaknya menurut salah satu pelanggan cerewet – Karla dibuat repot karena temen waitressnya enggak masuk kerja. Di sini karakter Karla diset up, kita lantas paham bahwa dia enggak akan nerimo diperlakukan rendah, that she doesn’t take shit from anybody. Karla akhirnya bisa refreshing jalan-jalan ke taman bareng anaknya, Frankie. Kita melihat betapa dekat mereka. Kita bisa merasakan naluri ibu pelindung Karla semakin teramplify oleh perceraian, dia enggak mau pisah ama Frankie. Dan di momen itulah, Frankie justru diculik oleh seseorang (atau sekelompok). Basically, film enggak pake ngerem berubah menjadi full adegan kejar-kejaran.

Lebih dari sebuah misi penyelamatan, Ini adalah jalan pembuktian bagi Karla bahwa dia bisa menjadi ibu yang baik. Bahwa dia sanggup mengurus anak. At heart, Kidnap bekerja sebagai cerminan struggle seorang single mother yang menolak untuk terlihat lebih ‘rendah’ dari mantan suami. Ataupun dari pasangan suaminya yang baru. Desperate, putus asa, namun gigih. Film ini mengingatkan kepada siapapun di luar sana bahwa tidak ada yang mengalahkan tekad dan perjuangan seorang ibu yang menginginkan anaknya.

 

 

Dari konsep sendiri, ini adalah cerita yang menjanjikan. Jika diolah oleh tangan-tangan yang tepat, bukan tidak mungkin bakal menjadi sajian thriller yang asik sekaligus seru. This could work great, film televisi Duel (1971)  buatan Stephen King, kan, juga mirip-mirip kayak gini. Tapi struggle is real buat orang-orang di balik pembuatan film Kidnap. Halle Berry melakukan sebaik mungkin yang mampu ia usahakan. Dan that’s about the nicest thing yang bisa aku bilang untuk film ini. Penulisan plot poin serta penghalang buat tokoh Karla begitu seadanya sehingga kita terhibur juga oleh keover-the-topan yang dihasilkan. Di satu titik, Karla sengaja bikin mobil-mobil tak berdosa saling tabrakan seolah mereka cuma bom-bom car sebab dia ingin disetop oleh polisi sehingga dia bisa mengadukan kasus penculikan tersebut. Oh ya, sebagai plot device, narasi sengaja membuat hape Karla terjatuh, so yea, supaya kita dapat halangan pertama. Setelah itu, tidak banyak variasi kegiatan Karla. Dia antara berlari-lari, ataupun berdoa dan bicara kepada dirinya sendiri.

Mungkin dia juga sengaja nyala sein ke kiri terus beloknya ke kanan

 

Bayangkan film Nay (2015), gabungkan dengan Taken (2008). Tapi batasi porsi dialognya dengan hanya “Oh my god” dan “Frankie!”. Rekam dengan audio. Kemudian potong-potong adegan aksi dan kebut-kebutannya, susun ulang dengan serampangan-pokoknya-asal-cepet. Sudah? Sip, kalian sudah dapat gambaran besar tentang seperti apa film Kidnap dipersembahkan. EDITINGNYA ADALAH SALAH SATU YANG TERBURUK yang pernah kita saksikan dalam dunia sinema. Demi memancing adrenalin penonton, film ngeshot back-and-forth dengan cepat. Jarang sekali kita bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Sekuen Karla berantem cekek-cekekan seatbelt dalam terowongan adalah sekuen yang bikin mata berair, eye-tracingnya completely off. ALih-alih merasakan ketegangan, kita malah sibuk berusaha fokus, sehingga sama sekali enggak ada emosi yang kita pungut dari adegan tersebut.  Banyak informasi yang literally terpotong oleh proses editing yang kasar banget. Seperti pada akhir, kita melihat Karla dikejar anjing dan salah satu penjahat. Karla sembunyi dengan menyelam di dalam air. Kemudian dia tiba-tiba muncul dari belakang si penjahat, ada pergulatan, dan kita enggak pernah lihat apa yang sebenarnya terjadi kepada anjing galak tadi.

Ketika Karla berlari keluar dari mobil, dia setengah mati berusaha secepat mungkin ke tempat yang ia tuju, sesungguhnya ini adalah momen yang sangat intens. Namun, berkat editing horrible – alihalih pake continuous shot yang panjang, mereka malah memotongnya menjadi banyak shot – momen tersebut jadi kehilangan energi. Pilihan yang dilakukan oleh filmmakernya bakal bikin kita ngakak, dan dari sinilah letak enjoy nonton film ini datang. Beneran, kalian bisa bikin semacam drinking game atau apa dari banyaknya shot speedometer yang beranjak naik dari 40 ke 60, seolah minivan si Karla ngebut banget.

Seperti Karla yang desperate ngejar penculik anaknya, film ini desperate agar kita terhibur menontonnya. Ia gunakan trik-trik filmmaking supaya filmnya seru. Eh malah jadi tampak konyol. To pinpoint one moment in particular; dalam salah satu adegan kebut-kebutan, film ini menggunakan efek fade black dan terang lagi dengan cepet-cepet sekitar enam atau tujuh kali. Tujuannya sih supaya kita turut ngerasain tegangnya melaju dalam kendaraan yang nyaris tabrakan, akan tetapi kelihatannya malah kayak adegan di trailer film-film action. Merasa enggak cukup, film ini pun turut memakai teknik Dutch Angle. Eh, tau Dutch Angle gak? Itu tuh, teknik kamera miring atau ditilt beberapa derajat sehingga bagian bawahnya enggak lagi sejajar garis horizontal. Seperti yang biasa kita jumpai pada film-film psikologis ataupun arthouse. Teknik ini sebenernya digunakan untuk menggambarkan suasana yang eerie biar lebih dramatis. Jika karakter bingung, maka dengan diceritakan pake kamera ngeoblige kayak gini, rasa bingungnya bisa meningkat menjadi kecemasan yang luar biasa. Dalam film ini, aku tanya deh, kenapa? Kenapa momen nyeni kayak gini digabung begitu saja ke dalam action thriller klise. Dutch angle jika salah penempatan, atau dilakukan dengan enggak pas, jadinya malah konyol. Dan itulah yang terjadi pada salah satu car chase di film ini.

“You took a wrong movie!”

 

Ketika kita punya cerita yang sederhana, yang konsepnya begini basic, kita bakal enggak bisa menahan diri untuk memasukkan twist sekecil apapun yang kita bisa.  Yang tidak termaafkan adalah ketika kita memasukkan twist, dan kemudian kita merasa perlu untuk menjelaskan kepada penonton. Setelah kita melihat cerita tembak-langsung, Kidnap dengan tanpa dosanya merangkum narasinya dengan memasukkan adegan berupa suara di radio memberitakan apa yang telah terjadi. Menurutku, ini adalah salah satu bentuk penceritaan yang meremehkan intelensia penonton. Closing dengan siaran berita itu sama sekali enggak perlu.

Jika pria adalah seorang yang menyintai unconditionally,yang senantiasa melindungi dan peduli. Maka, ya, Ibu adalah seorang pria.

 

 

 

Complete failure of production. Film ini sangat berantakan. Editingnya yang parah membuat konsep thriller yang punya potensi menjadi hilang begitu saja. Tergunting-gunting di dapur studio. Sebagian besar durasi kita akan capek untuk mengikuti alur editing yang parah. Sehingga kita lupa untuk menikmati emosi dan struggle tokoh utamanya. Namun aku gak bisa bohong, aku terhibur juga dibuat oleh film ini. Pilihan-pilihan yang mereka lakukan dalam menyampaikan cerita sangat konyol.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for KIDNAP.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

ANNABELLE: CREATION Review

“If your soul has no Sunday, it becomes an orphan.”

 

 

Seorang tukang kayu membuat sebuah boneka yang mirip dengan manusia. Boneka tersebut dia dandani, dia kasih baju baru. Tapi tukang kayu yang satu ini bukan bernama Pak Gepetto. Dia tidak pernah memohon kepada peri biru supaya bonekanya hidup. Apalagi supaya bonekanya membunuhi dan memakan jiwa orang-orang. Pak Mullins, instead, berdoa supaya putri kecil semata wayangnya hidup kembali. Beliau dan istrinya begitu terpukul sehingga mereka meminta kepada apa yang dijelaskan dalam babak ketiga film ini. Annabelle: Creation adalah cerita asal mula gimana boneka Annabelle dibuat dan berujung menjadi tempat bersemayam suatu entitas jahat yang menyebarkan horor ke sebuah panti asuhan, sebelum akhirnya horor tersebut menyebar ke mana-mana, sebagaimana yang sudah kita ketahui.

Kita hidup di dunia di mana setiap studio film gede kepengen punya Dunia-Sinema sendiri. Ada superhero universe, monster universe, dan sekarang kita punya Conjuring Universe. That’s just a thing now. Indonesia juga sepertinya bakal punya juga; Doll Universe atau entah apa lagi yang diperkirakan bisa meraup untung gede. Buat Conjuring Universe katanya kita bakal dapat backstory dari masing-masing tokoh hantu, kayak Annabelle, The Crooked Man, dan Valak. Beginilah tren sekarang, kita harus menerimanya. Meski memang, dalam kondisi normal aku enggak akan pernah berpikir cerita origin Annabelle benar-benar penting untuk kita ketahui. Ini semacam prequelception, film ini adalah cerita prekuel dari film pertama yang merupakan prekuel dari The Conjuring (2013), jadi ya mindset saat masuk nonton adalah memang siap-siap melihat wahana cash grab banget.

But actually, wow, Annabelle: Creation bakal bikin malu film pertamanya. Bukan sekedar horor ngagetin. It is fun and very enjoyable, lore Annabellenya sendiri digali dengan baik, cara mereka mengaitkan film ini dengan yang pertama keren banget, dan saat film berakhir, aku ingin tepuk tangan. So yea, perihal movie-movie cash grab kayak gini – yang fokusnya bangun universe, saranku ya memang udah trennya. Give it a chance. Stop fighting it, just give in to it…

I don’t know why I’m quoting a rapist

 

Studio yang membuat film horor mainstream harusnya bisa terbuka matanya oleh film ini; bahwa HOROR MAINSTREAM BISA KOK DIBIKIN BAGUS. Kuncinya ya di keahlian pembuatnya. Film horor selalu adalah cerminan talenta sutradaranya. Arahan seperti apa yang bisa ia berikan untuk memancing rasa takut bergentayangan dalam diri kita, penontonnya. Untuk menghimpun scare tanpa memberikan banyak waktu untuk kita melepaskan rasa takutnya dengan kaget dan bernapas lega. David F. Sandberg  memanfaatkan teknik pencahayaan dan pembangunan suspens serupa seperti yang ia lakukan sebelumnya dalam Lights Out (2016), horor yang juga berhasil menangkap ide sederhana dan menggubahnya dengan cerdas dan inventif.

Rumah yang dijadikan panti itu dijadikan kembali oleh sutradara sebagai sebuah tool-box of horror. Kita bisa lihat geliat kretivitasnya bekerja around trope-trope scare penghuni yang kejebak di rumah yang ada hantunya, dan hasilnya memang menghibur. Sandberg mengerti betul dua aspek paling penting untuk diperhatikan ketika seorang sutradara membangun suspens. Sinematografi dan design suara. Banyak scares yang fun akibat dari penggunaan kamera, atmosfer, dan suara yang efektif. Jikapun ada gore, maka darah-darah itu dilakukan dengan subtil dan sangat singkat. Secukupnya, enggak seperti pada The Doll  2 (2017) yang babak berdarahnya begitu horrifying sehingga menyemenkan genre lain di luar yang kita kira. Kita tidak terlepas dari cerita oleh efek dan segala macam gimmick berdarah di sini.

Annabelle: Creation juga punya kesamaan dengan Ouija: Origin of Evil (2016). Keduanya sama-sama cerita yang berangkat dari objek biasa yang jadi angker lantaran dihantui. Keduanya sama-sama membahas asal mula kenapa bisa terjadi. Keduanya sama-sama surprisingly jauh lebih bagus dari film pertama mereka. Eeriely enough, keduanya sama-sama menampilkan aktor cilik Lulu Wilson, yang penampilan aktingnya stand out banget pada masing-masing film. Kita akan mengikuti Lulu Wilson yang berperan sebagai Linda dan temannya bernama Janice (dimainkan dengan tak kalah totally amazingnya oleh Talitha Bateman, yang nanti gedenya mirip Dahlia Poland, nih). Janice yang pincang dan Linda adalah sobat karib, mereka udah lama bareng di panti asuhan. Mereka berharap mereka bakal diadopsi bersama, jadi saudara beneran, mereka sering membicarakan harapan ini, dan membuat tokoh mereka jadi punya kedalaman. Dan terutama kita jadi tumbuh rasa peduli, kita ingin melihat impian mereka berbuah manis. Jadi,kita punya karakter, tokoh film ini bukan sebatas anak kecil yang suka main boneka. Mereka tidak diberikan skrip dan arahan sekedar ngeliat hantu ataupun bicara sendiri. Ini lebih dari gangguan hantu di malam hari. Ada set up drama. Persahabatan mereka diuji oleh kehadiran si roh jahat. Ketika hal mulai menjadi semakin serius dan semakin mengerikan menuju ke babak tiga, kita akan terinvest sepenuhnya kepada nasib kedua anak.

Hantu akan lebih mudah mengganggu orang-orang yang imannya lemah. Akan tetapi, Janice diganggu not necessarily karena dia yang paling lemah secara iman maupun secara fisik. Hantu dan anak yatim piatu seperti Janice punya kebutuhan yang sama; Rumah.

 

Aku jadi kepikiran untuk bikin semacam jumpscare meter setiap kali ngereview film-film horor. Buat film ini, itungan jumpscarenya tinggi banget di paruh awal. Ada banyak momen yang kayak ngebuild ke sesuatu untuk kemudian diikuti oleh suara yang lantang. Flaw ini jika ditelusuri sepertinya musababnya adalah skrip yang enggak kuat-kuat amat, terutama di bagian awal. Film menyediakan ruang untuk set up sehingga ceritanya terasa lambat, dan untuk mengakali ini mereka merasa perlu untuk memasukkan jump scare supaya penonton enggak bosan. Langkah yang bisa dimengerti, namun tetap bukanlah pilihan terbaik. Tadi aku sempat nyebutkan cerita terselesaikan dengan keren; tokoh-tokoh mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan Annabelle ‘reuni’ dengan bonekanya – tie in cerdas ke Annabelle (2014) dan urban legend Annabelle yang asli, which is a good thing. Aspek yang sedikit goyahnya adalah pergantian sudut pandang  selama narasi. Kayak ada pergantian tokoh utama. Ini sebenarnya adalah resiko kreatif penceritaan yang diambil, karena biasanya kalo ganti-ganti begini paling enggak ada benang merah atau keparalelan pada arc tokoh-tokoh. Narasi film tidak memparalelkan semua, hanya beberapa tokoh. Meski begitu aku tetep bisa respek film ini karena film ini nunjukin mainstream horor bisa kok diolah dengan baik dan enggak melulu dominan oleh cheap scare.

tag, you’re it!

 

 

Horor dengan scare yang bagus, walaupun di paruh awal terlalu mengandalkan kepada jump scare. Arahan dan performance akting yang kuatlah (terutama dari aktor-aktor cilik) yang membuat film ini menjadi menyenangkan. Bikin kita terinvest. Dan secara konstan merepet di sudut kursi masing-masing. Horor mainstream ternyata mampu diolah menjadi bagus di tangan filmmaker yang handal. Prekuel dari prekuel enggak setiap hari adalah sesuatu yang jelek. Film ini dapat menjadi Teladan yang baik sekaligus adalah PR berat bagi sineas-sineas tanah air, jikalau memang ingin membuat scene horor lokal yang benar-benar layak menyandang status genre signatur di film Indonesia. Sebab, seperti yang disenggol oleh film ini, hantu juga ingin punya rumah.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for ANNABELLE: CREATION.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Happy Family, Diary Komedi Keluarga Hahaha – Review Buku

 

Buat kamu-kamu (apalagi yang cowok) yang berencana mengubah dunia, maka lakukanlah cita-cita mulia tersebut sebelum kamu menikah. Karena, kata mas Muh Rio Nisafa dalam buku ini, setelah nikah nanti jangankan dunia, ngeganti channel tivi saja kita udah enggak bisa!

Wuih, seserem itukah dunia rumah tangga?

Ngomong-ngomong, Muh Rio Nisafa ni safa, sih? Aku tadinya mengenal beliau hanya sebagai komika atau stand up comedian yang sama-sama terdaftar sebagai peserta Nulis Lupus Bareng kloter Jogja. Bedanya; mas Rio juara satu, sedangkan aku juara ‘cheerleader’. Setelah baca buku kedelapannya ini, aku jadi tahu kalo Mas Rio juga seorang kepala keluarga yang sudah delapan tahun menikah. Dan amat-sangat berbahagia karena statusnya tersebut.

Warna warni kehidupan berkeluarga tergambar ceria di sini. Ini bukan cerita fiksi, makanya komedi yang dihadirkan terasa kena sekali. Terlihat benar, akur dengan profesinya, Mas Rio memandang kehidupan sebagai panggung komedi. Termasuk, eh ralat, apalagi kehidupan berumah tangga. Dalam buku ini disebutkan menjadi AYAH PENUH SUKA DAN SUKA. Namun bukan berarti enggak ada dukanya. Happy Family tidak melulu bikin jealous para jomblo yang masih gagal move on dengan segala kespesialan yang didapat oleh pasangan yang sudah menikah. Meski memang sih, cukup banyak senggolan manja yang membandingkan enaknya sudah menikah dibandingkan masih pacaran. Riak-riak kecil perbedaan akan selalu hadir karena pernikahan hakikinya adalah menyatukan dua perbedaan; dua tingkah laku, dua kebiasaan, dua kehendak keluarga, dua pandangan hidup. Semua perbedaan toh tidak mesti jadi momok, tidak harus dianggap duka, karena bercermin dari pengalaman yang dituturkan jenaka oleh buku ini, perbedaan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang patut disyukuri dan, eventually,  patut untuk  ditertawakan bersama.

pedoman suami siaga (siap-antar-ganteng)

 

Buku adalah buah pikir dari penulis. Basically, buku adalah anak dari pengarangnya. Meskipun sudah beranak buku delapan kali, Mas Rio baru punya satu anak manusia. Pengalaman mendapat anugerah gede tersebut diceritakan dengan asyik dan penuh bangga. Ada lima bab besar (hush, bukan buang air, jorok ih!) dalam buku ini, dengan satu bab didedikasikan tentang putra pertamanya. Dan dalam tiga bab sebelum itu pun kita sudah seperti terset up kepada momen kelahiran ini, dimulai dari Yahnda dan Manda ngerjain PR Fisika.

Anak dapat kita umpamakan sebagai sebuah buku kosong yang bakal menuliskan sendiri ceritanya. Tapi karena anaknya sendiri masih kecil, Mas Rio khusus di buku ini memproyeksikan sedikit dirinya, dan mungkin sedikit harapan, dan kita sebagai pembaca mendapatkan bantering imajiner yang super kocak antara Yahnda dengan si kecil Fano. Seperti yang bisa kita baca saat mereka pergi liburan ke waterpark. Ataupun ketika Fano dibanding-bandingin dengan presiden. Personally, aku ngakak sejadi-jadinya di bagian cerita ada anak bernama Sekar, yang nama panjangnya ternyata adalah Sekarang Kita Pulang! ahahahaha

Buat seorang stand up comedian, kepekaan terhadap isu-isu politik dan sosial selalu merupakan senjata utama. Happy Family luwes sekali memasukkan pancingan terhadap aspek-aspek tersebut, untuk kemudian mengolah dan menyelesaikannya dengan punch line yang bertenaga dan tepat sasaran. Banyak subbab pendek yang mampu menghabiskan setengah jam waktu sebab kita akan tergelak oleh lucunya dan betapa benarnya perbandingan gila yang diambil oleh penulis. Membaca ini akan terasa seperti menonton solo show dari seorang komika yang menceritakan apa yang jadi pikirannya, dengan layer rumah tangga yang pas sehingga terasa begitu relevan serta memikat. Terutama, tidak ada keluhan di sini. Ketika Yahnda curhat soal satu-satunya waktu dia dapat ngobrol dengan istri adalah ketika hape bininya lowbatt dan sedang di-charge, kita ikut tergelak sebab kita tahu memang begitulah kehidupan di jaman modern. Anekdot-anekdot segar dan tebakan kocak seperti beda kopi enak dengan kopi mahal mengalir lancar.

Sketsa-sketsa komedi singkat ala kolom humor di pinggir halaman TTS menghiasi halaman di bab akhir. Menghantar kita melalui penutup yang ringan, namun membuat kita ingin membacanya berulang kali. Berbagai macam skenario Raisa kenalan sama keluarga pacarnya, speerti pada iklan,tak pelak adalah salah satu bagian terbaik buku. Pacaran memang indah, tapi dunia rumah tangga enggak kalah serunya.

As a whole, jika kalian lagi duduk nyante sore hari di depan rumah, buku ini bisa jadi santapan yang enggak kalah menarik dari goreng pisang. Bukan cuma yang udah nikah loh, yang bakal terhibur. Candaannya sarat, akrab, dan yang paling penting; kocak. Sekali baca saja kita tahu kalo buku ini ditulis oleh seorang komika, gaya tulisannya persis kayak gaya tutur yang biasa kita tonton di acara stand up komedi. Unik, tapi terkadang memang sedikit mengganjal, khususnya bila kita mengahrapkan struktur yang lebih konvensional seperti novel atau personal literature yang biasa. Kuncinya ada di editing, you know, like, susunan cerita. Apalagi genre komedi banyak mengandalkan repetisi sebagai salah satu jokesnya. Buku ini melakukan dengan cukup bagus. Akan tetapi, ada beberapa editing dari sisi teknis seperti sejumlah besar typo yang terlupa untuk dibenerin dan penggunaan sudut pandang yang seperti kurang konsisten, ada bab yang pake ‘gue’, ada yang pake ‘saya’.

 

 

Buat yang mau menambahkan buku Lucu ini ke koleksi pustaka, ataupun lagi nyari pedoman menjalani hidup berumah tangga, bisa langsung pesan ke pengarang yang katanya pernah digodain SPG ini di twitter.com/rio_nisafa atau facebook.com/rio.nisafa

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THE STORY OF 9O COINS short film Review

 

Kita sering melupakan betapa pentingnya janji, seperti kita sering melupakan bahwa film pendek tidak kalah pentingnya dengan film panjang. Ataupun bahwa ulasan atau review itu lebih dari sekedar sarana publikasi. Beberapa waktu lalu aku pernah buka pintu kerjasama buat aspiring filmmakers yang punya film pendek dan ingin direview. Namun sampe sekarang, Alhamdulillah, belum ada satu pun yang menghubungi. But to my surprise, malah filmmaker luar yang dengan hormat dan humblenya mempersembahkan karya debutorialnya untuk direview.

Michael Wong, indie director asal Malaysia, emailed me, dan dia punya satu film indah yang menurutku sangat penting untuk dishare. Not necessarily karena film pendek ini udah berprestasi di berbagai festival film internasional; which includes the Best Foreign Short & Best Actress at Los Angeles Independent Film Festival Awards, Best Drama & Best Cinematography at Los Angeles Film Awards, Best Foreign Short Film at Ukrainian International Short Film Festival, Rising Star Awards at Canada International Film Festival, an Official Finalist at London Film Awards, among others. Aku pikir, film pendek ini begitu penting dan sangat relatable buat begitu banyak orang, karena ini adalah cerita yang mengingatkan kita kepada janji.

And in hard times, this film can be a reminder to people of why they are in love in the first place.

 

Wang Yuyang dalam opening film pendek ini ditolak cintanya oleh Chen Wen. Jadi sebagaimana lumrahnya seorang cowok pejuang cinta, Wang Yuyang enggak menyerah. Dia mendeklarasikan sebuah ‘proposal’ yang lain; bahwa dia akan memberikan koin berbungkus amplop kecil kepada Chen Wen setiap hari. Kesepakatannya adalah; di hari ke sembilan-puluh, Wang Yuyang akan menanyakan kembali apa yang sekarang ditolak oleh Wen. Jika masih ditolak, koin tersebut akan mereka gunakan untuk beli minum kemudian pisah untuk selamanya. If somehow Wen menerima (Yuyang berkata penuh harap banget saat ngejelasin ini), maka koin tersebut akan digunain buat ngurus surat nikah. Sutradara Michael Wong tidak mengambil langkah bertele dan memanfaatkan 9 menitan durasi dengan sangat efektif. Romansa yang mengalir dari kedeketan mereka berdua tergambar lewat visual dan sinematografi yang niscaya ampuh bikin penonton cewek meleleh. Enggak butuh berepisode-episode sinetron untuk membuat kita mengerti bahwa cinta lambat laun tumbuh di antara mereka.

Apalah cinta tanpa pilihan. Dan saat konflik itu tiba,  The Story of 90 Coins doesn’t shy away dari fakta bahwa setiap manusia pada akhirnya harus memilih jalan sendiri. Oleh tuturnya, kita dibuat mengerti apa yang membebani dua sisi mata uang  –  yes , I’ve just punted it in – yakni Wen dan Yuyang. I think film ini punya kemampuan untuk beresonansi berbeda terhadap each penonton. It could sparks a healthy discussion di antara cowok dan cewek. To be frank, it’s hard not to pick a side when you’re watching a story as true and relatable as this. Menurutku, bukan hanya trust yang berpengaruh besar dalam menggali lubang di antara dua manusia ini. Semuanya kembali ke masalah seberapa besar seseorang menghargai janji.

it’s not just another mars and venus problem

 

Aku pastilah sudah hidup bak raja, tinggal dalam kamar bergelimang keripik kentang dan coklat jika Mamaku menepati janji-janjinya sekarang, “Udah, jangan rebutan! Nanti Mama belikan sepuluh lagi”. Dulu waktu kecil, setiap kali aku dan adikku berantem soal makanan (baca: setiap dua jam sekali, setiap hari!) – mainly because aku laper melulu dan my little evil sister pelit bukan kepalang – Mama akan menjanjikan beliin aku lagi hanya supaya kami berhenti saling lempar barang-barang.

Jadi, ya, karena sering diphpin begitu, aku tumbuh dengan tekad untuk sebisa mungkin nepatin janji betapa pun beratnya. Aku pernah janji gak ngehubungin orang, and I fulfilled that before we are friends again setelah setahun. Nelangsa, ya. Susah, memang. Tapi, aku berhasil enggak ingkar.  Aku mengerti bahwa bagi sebagian besar, janji diumbar dengan gampang saja karena itu adalah jalan keluar termudah. And it will instantly work. Diajakin ngumpul, tapi kalian lagi pengen me-time? “Insya Allah gue datang yaa”. Diundang acara, tapi gak enak nolaknya sebab nanti giliran kalian yang bikin acara kalian takut temen itu ‘bales dendam’ gadatang? “Okeee, tapi aku rada telat kayaknya.”- and then you never show up, atau ngecancel di menit-menit terakhir.

Anak muda sekarang kan memang suka gitu, dia yang memulai, dia yang mengakhiri. Dia yang berjanji, dia pula yang mengingkari.

Eh, kenapa jadi lagu dangdut?

 

Film ini berkata “Don’t let a promise just be a beautiful memory”. Apa yang terjadi pada Wen dan Yuyang di akhir cerita menunjukkan kepada kita bahwa terkadang kita enggak ingat, or we do not even realize, that we take our dearest for granted. Kadang kita bisa menjadi begitu selfish. Dan oleh karena itu juga, bahwa kadang kita sering mengucapkan sesuatu tanpa benar-benar memaksudkannya .

 

Film ini akan menegur kita dengan manis. One could argue that montase kenangan di bagian akhir dapat menjadi terlalu sappy, tapi menurutku hal tersebut bekerja cukup baik dengan tone yang sudah dibangun oleh film. Kita bisa melihat beda antara karakter, yang mana menandakan penulisannya fokus. My little problem, well it is not really a problem sih, but I do think bagian ending film pendek ini sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Narasi bisa berjalan tanpa kita harus tahu apa jawaban yang terlontar dari mulut Chen Wen. Aku lebih suka cerita yang membuat kita menebak, namun perlakuan film pendek dengan film panjang memang sedikit berbeda. Biasanya film pendek diakhiri dengan ‘kejutan’ atau sesuatu hal yang menohok banget, this short did just that. Dia mereveal semua supaya note dramatis dan emosional yang dihasilkan bisa maksimal terpush.

Aku senang dapat kesempatan tahu dan nonton film pendek ini. Aku merasa terhormat sudah dimintai pendapat mengulasnya sebagai ulasan short film pertama di mydirtsheet.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 stars for THE STORY OF 90 COINS.

 

 

Buat yang pengen nonton filmnya dan tahu lebih banyak bisa ikuti salah satu link di bawah ini:

a) Short film streaming link: http://www.vimeo.com/143267832/
b) Facebook page: www.facebook.com/thestoryof90coins/
c) IMDb page: www.imdb.com/title/tt5182914/

 

That’s all we have for now.
Kesempatan masih terbuka loh buat yang punya film pendek dan pengen diulas, ataupun pengen discreening di Warung Darurat Bandung; silahkan hubungi kami lewat email.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

WAR FOR THE PLANET OF THE APES Review

“When a man assumes leadership, he forfeits the right to mercy”

 

 

Kera sering dianggap sebagai kerabat terdekat manusia. Para ilmuwan dengan teori evolusi sih berkata begitu, we are both primates, rantai DNA dan segala macem punya kesamaaan. Namun siapa sih yang sudi dikatain mirip ama monyet? Well, sejak menonton film pertama dari prequel seri The Planet of the Apes, suka gak suka aku jadi terhenyak juga melihat pelajaran yang terus berulang; bahwa manusia dan kera itu memang mirip tanpa kita sadari. Kera juga adalah spesies yang menyayangi keluarga, hidup bersosial dan saling berketergantungan, mereka punya rumah, mereka punya emosi yang membentuk karakter.

Bahwa kemanusiaan bukan ekslusif milik manusia semata. Malahan, oleh film ketiga ini – yang mengeksplorasi kata pertama dari judulnya –  kita akan dibuat benci sama spesies kita sendiri. Kera diserang, diperbudak, mereka adalah korban dari ketidakmampuan manusia mengaplikasikan ‘kemanusiaan’ itu sendiri.

 

The Planet of the Apes has been a great series so far. Kita sudah melihat kebangkitan bangsa kera mengambil alih planet dari manusia. Kita sudah melihat permulaan era baru di mana bukan lagi manusia sebagai spesies terkuat, dan dalam film kali ini kita akan melihat perang antara manusia-manusia yang tersisa dengan kera-kera pintar itu terjebak di tengahnya. Namun lebih daripada tentang memenangkan peperangan tersebut, ini adalah tentang SURVIVE DARI HORORNYA PERANG. Perspektif film ini teramat kuat karena sebagian besar waktu kita akan ngikutin Caesar sebagai pemimpin bangsa kera, and it’s also about pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemimpin. Struggle antara rasa belas kasih dan balas dendam menjadi elemen konflik yang mewarnai cerita.

screw science, we are at war!!

 

Pada titik ini, kita tidak lagi mengagumi Caesar hanya sebagai pencapaian teknologi. I mean, not to overlook the production dan efek film ini sih. Yang mana sangat mencengangkan. Sekali lirik adegan pembukanya saja, kita langsung sadar bahwa film ini dibuat tekun oleh sekumpulan orang-orang jenius yang sangat berbakat. Kerja motion capturenya adalah salah satu yang terbaik yang pernah aku tonton, semuanya terlihat nyata. Andy Serkis sekali bermain brilian menghidupkan Caesar. Seperti yang kutulis tadi, mereka bisa menyejejerkan manusia dengan kera dalam satu adegan dan kita akan lebih respek terhadap yang kera, tapi bukan lagi karena bulu dan tingkahnya terlihat asli dan meyakinkan. Caesar di sini teramat menderita. Dia bukan lagi kera kecil yang diajarin bicara sama James Franco. Dia tidak lagi seekor kera naïf yang idealis berusaha menjadi simbol perdamaian manusia dengan kera. Di sini Caesar dan kelompoknya belajar hal baru: Dendam. Amarah menguasai, as Caesar bergulat melawan sisi gelap dari dalam dirinya sendiri. Pertumbuhan inilah yang membuat War for the Planet of the Apes bekerja luar biasa berhasil sebagai penutup trilogi. Journey Caesar bukan hanya bergerak di dalam lingkar film ini saja, jika kita menonton ulang dari Rise, terus Dawn, terus War ini, maka akan terasa pergerakan natural dari arc Caesar dan tokoh-tokoh lain, bahwa arc mereka membentuk satu gambar besar. Tentu saja aku gembira sekali karenanya, sebab meski aku belum nonton seri yang jadulnya, aku suka seri Planet of the Apes modern ini sedari Rise (2011).

Tidak seperti Simian Flu yang enggak ada obatnya, untungnya film ini berhasil menyembuhkan beberapa ‘penyakit’ yang menurutku menjadi masalah dalam dua film sebelumnya. Main problem seri ini adalah mereka bicara begitu banyak sebagai kera, sehingga melupakan karakter manusianya. Tokoh manusia tidak dibuat semenarik Caesar dan kawan-kawan. Setiap kali film membawa kita ke posisi tokohnya James Franco atau tokohnya Jason Clarke, kita pengen cepet-cepet pindah kembali ke Caesar, yang selalu menjadi inti cerita. Dalam film ini, kita setidaknya dapat tiga tokoh manusia yang diolah dengan menarik. Terutama tokohnya Woody Harrelson yang awalnya terlihat komikal sebagai Kolonel keji yang menyerang rumah Caesar. Ada kedalaman di dalam tokoh ini.  Kolonel adalah cerminan seperti apa jadinya Caesar jika dia terjerumus ke dalam lubang kesalahan yang sama. Kedua orang ini adalah pemimpin yang sama-sama menderita oleh pengorbanan dan kehilangan, jadi mereka ingin memastikan kelompoknya tidak lagi mengalami hal tersebut.  Ada gagasan tentang trait pemimpin yang juga dibahas oleh film ini secara subtil lewat dinamika Caesar dan Kolonel.

Dan tentu saja simbolisme. Kolonel menangkap dan memperbudak kera-kera di markas pasukannya yang dibuat mirip banget ama markas pasukan holocaust. Pasukannya bahkan punya chant khusus segala. In fact, ada banyak imaji holocaust dalam film ini. Sejalan dengan itu, masalah kedua film-film Apes ini adalah terlalu banyak dialog eksposisi, terutama Dawn (2014) tuh, banyak banget.  Dalam film War, penulis tampaknya menyadari hal ini, dan mereka membuang semua penjelasan, kecuali pada satu sekuen di mana Caesar dan Kolonel  ngobrol tegang membahas apa yang terjadi di masa lalu.

kera saktiii, membuat semua orang menjadi gempar

 

Aku sudah dibuat ternganga semenjak tembakan pertama berdesing. Ada begitu banyak sekuens dalam film ini yang membuat aku takjub hanya dari sudut pandang filmmakingnya. Arahan Matt Reevers membuat cerita menjadi sebuah perjalanan emosi yang suram namun sangat indah untuk diikuti. Sinematografi dan editingnya pun menyambung dengan mulus. Tidak ada momen yang terasa out-of-place ataupun sia-sia. Semua yang terjadi di sepuluh menit pertama basically ngeset-up segala yang kita butuhkan mengenai narasi dan film ini dan pada akhirnya akan terkonek sempurna dengan babak akhir. Untuk melengkapi pencapaian akting dan visualnya, departemen musik pun turut menyumbangkan peran yang begitu besar buat penceritaan. Suara dan musik eventually menjadi aspek yang penting sekali sebab ada banyak sekuens di mana tidak ada yang berbicara. Caesar memberikan isyarat kepada kera lain, mereka berkomunikasi diam-diam, dan yang kita punya untuk dipegang memang hanya penampilan, timing pengambilan gambar, dan musik. Juga ada momen yang ngebangun detik-detik balas dendam Caesar yang entirely senyap, jadi permainan musik dan desain suara begitu vital. Ditambah dengan penampilan Serkis, maka kita dapat the very definition of epic right there.

Musuh selalu mengintai  dari luar sana. Dan kekerasan manusia terhadap kera dalam film ini berfungsi sebagai metafora yang sangat pas terhadap keadaan kita dengan alam sekarang ini. Kita menjawab hal yang tidak kita tahu dengan ketakutan dan keinginan untuk mengontrolnya. Jadi kita merasa sebagai pemimpin dan berpikir berhak untuk membuang belas kasihan. Maka daripada itu, jika dibalik, siapkah manusia jika suatu saat nanti benar-benar muncul spesies yang lebih pintar untuk menggantikan posisi kita sebagai spesies alpha di muka bumi ini?

 

 

Salah besar jika kita masuk ke dalam studio, mengharapkan tontonan ringan yang ‘ceria’ oleh ledakan dan tembak-tembakan perang. Film ini begitu uncompromising sehingga menyebutnya fun sungguh sebuah typo yang disengaja. War digarap dengan unconventional. We do get a gigantic action scene, namun tidak bakal seperti yang kita bayangkan. Saat menonton pun, mungkin kita akan mulai berpikir, menebak-nebak ke mana arah cerita, you know, like, siapa akhirnya bakal melakukan apa, dan film ini tidak akan melakukan apa yang kita pikirkan. Narasi tidak memberikan jalan keluar gampang untuk karakter-karakternya. Film akan membuat mereka melakukan pilihan dan keputusan yang susah.

But also, film ini dengan berani mengambil resiko. Tone gelap itu berusaha mereka imbangi dengan sedikit suara ringan. Resiko ini datang dalam wujud kera botak yang menyebut dirinya “Bad Ape”. Tokoh ini adaah semacam komedik relief yang sebenarnya punya potensi untuk menghancurkan setiap adegan yang ada dianya dengan lelucon yang bikin nyengir. Sukur Alhamdulillah, film berhasil menemukan celah waktu dan kadar humor yang tepat, dan menurutku peran Steve Zahn ini menjelma menjadi salah satu kekuatan yang dipunya oleh film. Ada juga momen-momen manis yang datang dari tokoh gadis cilik bisu, yang salah-salah garap bisa saja hanya menjadi device nostalgia buat penggemar seri orisinil Planet of the Apes. Tetapi Nova oleh Amiah Miller begitu adorable, kehadirannya jadi simbol bunga di padang salju, eh salah, padang gurun, hmmm… medan perang, ding! Nova adalah harapan sekaligus bukti bahwa kedua spesies dapat hidup berdampingan.

 

 

 

 

Masterpiece ini bukan hanya tambahan yang hebat buat dua film sebelumnya, melainkan juga adalah sebuah penutup yang melengkapi trilogy ini dengan overaching plot yang sungguh-sungguh memuaskan. Setiap menit durasinya terasa sangat emosional dan riveting. Tidak ada dialog ataupun momen yang ‘salah’, kecuali satu kali mereka melakukan adegan eksposisi. Di luar itu, ini adalah cerita brutal tentang perang dan survival dan apa yang membuat pemimpin menjadi seorang pemimpin. Ini bukan blockbuster popcorn. Tetapi tak pelak, this was a beautiful experience. Penampilan aktingnya amazing semua, arahannya sangat riveting. Film ini adalah kasus langka di mana film ketiga menjadi film terbaik dalam trilogi tersebut. Dan juga adalah sebuah pengingat bahwa prekuel bisa kok menjadi sangat bagus jika digarap dengan sepenuh hati seperti ini. Explosive dan emosional, ini tak lagi sekedar khayalan gimana jika kera menguasai dunia. Ini sudah menjadi pembahasan mendalam apakah kita manusia, yang tidak berbelas kasih kepada alam, memang pantas untuk menjadi spesies penguasa dunia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WAR FOR THE PLANET OF THE APES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We? We be the judge.

DUNKIRK Review

“We shall fight on the beaches

 

 

Bayangkan dirimu seorang serdadu Inggris yang terjebak dalam perang, empat ratus ribu pasukanmu dipukul mundur hingga ke garis pantai. Tempat di mana kalian menunggu untuk evakuasi. Hanya saja kondisimu itu sama aja seperti bebek yang berenang di dalam baskom; setiap detiknya kalian dalam bahaya ditembaki oleh pemburu, yang dalam perang ini adalah pesawat angkatan udara Jerman. Jadi tentu saja kalian akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Dunkirk menceritakan tentang survival perang, begitu simpel dan sungguh nyata. Dan oya, kejadian di pesisir pantai Dunkirk ini diangkat dari peristiwa dari Perang Dunia Kedua, yang tercatat di buku sejarah sebagai peristiwa ‘ajaib’ yang mengubah pandangan dunia terhadap perang.  Ajaib bahwa kemanusiaan masih ada as selain tentang gimana para tentara di daratan berusaha keluar dari pantai, ini juga menilik tentang penduduk sipil yang berjuang mengerahkan kapal-kapal pribadi demi menyelamatkan pahlawan bangsa mereka.

At one point of the movie, salah satu tokoh film ini keheranan disambut baik sesampainya di ranah Inggris. Padahal dia merasa malu, negara mereka kalah. “All we did is survive” katanya. Secara militer, memang, mereka kalah. Tapi mereka berhasil selamat dalam jumlah banyak. Mereka selamat untuk melanjutkan hari esok, and it is a glory of humanity. Karena orang-orang Inggris itu menunjukkan semangat dan solidaritas patriotik untuk bersatu, untuk menjadi kuat, melawan situasi yang sulit. Survival tidak pernah adil, dan peristiwa Dunkirk menunjukkan kemanusiaan masih punya harapan dan peluang untuk menang.

 

Sekarang, coba bayangkan, kamu berlari, loncat dari kapal, menyelam, menggapai-gapai mencari udara, dalam cemas dan harap menemukan tempat di luar bidikan bom, dan kalian melakukannya di antara seribuan lebih orang yang melakukan hal yang sama. Benar-benar tidak ada waktu untuk menghembuskan napas lega, apalagi saling menyapa dan get to know each other. Begitulah persisnya film Dunkirk dipersembahkan. Film perang yang bagus seperti Saving Private Ryan (1998) biasanya menceritakan karakter di dalam situasi mengerikan, dan gimana mereka beraksi terhadap perang. Gimana mereka dilanda oleh dilemma. Dunkirk, however, adalah ‘HANYA’ TENTANG PERANG. The actual event. Dan bagaimana terrifyingnya jika kita terjebak di sana. Tokoh utama film ini ya bisa dibilang tentang peristiwa itu sendiri. Tentang evakuasi orang-orang. Film ini begitu in-the-moment. Dramatic impact bukan datang dari kita ngecheer seseorang untuk hidup, untuk kembali kepada keluarganya. Film ini adalah tentang manusia sebagai spesies. Tentang gimana kalo kepepet dan punya tujuan yang sama, kita bersatu. Nolan paham dia enggak perlu membahas karakter terlalu dalam, maka dia meletakkan ‘ledakan’ kepada sekuens perang yang dibuat serealistis mungkin. Dia menangkap event ini dengan sangat menawan. Mengerikan, ya memang, tapi beautiful.

Tom Hardy sukses berat nampilin emosi hanya melalui bolamatanya

 

Jadi ya, karena itulah aku memaafkan pengarakteran yang enggak digali oleh film ini. Meski aku enggak bisa benar-benar konek sama tokoh-tokoh dalam film ini, mereka tidak benar-benar punya arc, kita enggak tau backstory mereka, tapi hal tersebut enggak pernah berdampak begitu besar. Bukan hanya karena film ini dibuat oleh Christopher Nolan.  Enggak ngelebih-lebihin sih kalo aku bilang kebanyakan orang akan suka film ini lantaran ngeliat nama sutradaranya. Nolan itu udah jadi semacam brand sendiri, orang sudah hampir pasti  akan nonton setiap film yang judulnya diiringi oleh “A Christopher Nolan’s film”. This is truly a MAGNIFICENT FILM. Dunkirk menggunakan kapal-kapal asli, pesawat-pesawat tempur beneran, lokasi yang nyata – bukan greenscreen, dan sejumlah besar pemain kayak film india. Dunkirk sangat thrilling dari awal hingga akhir. Karena sedari dimulai, kita sudah langsung diletakkan di tengah-tengah battlefield. Beberapa karakter diperkenalkan dengan cepat, kita ngikutin beberapa tokoh yang berfungsi sebagai wakil dari kita. Dan walaupun mereka jarang ngomong, tidak pernah ada momen-momen hampa.

Untuk selanjutnya, keseluruhan film adalah tentang serangan. Spektakel aksinya benar-benar terlihat realistis. Semuanya terasa otentik. Tidak ada adegan pesawat meledak seperti ledakan yang sering kita lihat di film-film action Hollywood. Tembakan senjata apinya enggak terasa teatrikal. Aspek realistis inilah yang terutama membuat kita tersedot ke dalam cerita. It’s a whole gigantic battle sequence yang dibuat seolah kita ada di sana. Kita tidak mengalihkan pandang dari mereka karena kita begitu masuk oleh perjuangan mereka untuk bertahan, mengatasi segala tantangan.

Jika kalian masuk ke studio mengharapkan cerita yang linear, maka itu berarti kalian belum banyak makan garam soal perfilman.  Salah satu yang membuat karya Nolan selalu dihormati banyak orang adalah film-film Nolan juga menghormati kecerdasan penonton. Karakter boleh saja sederhana, namun tidak ada yang sederhana dari langkah penceritaan yang dilakukan Nolan pada film ini. Dunkirk membagi diri menjadi tiga sudut pandang; di pantai – ngikutin prajurit inggris, di kapal – ngikutin sipil yang mau bantu nyelametin tentara, dan di pesawat – ngikutin Tom Hardy yang berusaha menghalau pesawat Jerman. Akan ada momen ketika kita bingung “loh yang ini kok udah malam, yang di pesawat tadi masih siang..?”  Narasi hanya memberi petunjuk berupa waktu; seminggu untuk pantai, sehari untuk kapal, dan sejam untuk pesawat. Penceritaan film ini seperti soal matematika di sekolah dulu; ada kapal, pesawat, dan orang bergerak dengan waktu yang berbeda, maka kapankah mereka akan bertemu? Film ini membuild up momen sehingga ketika tiga layer waktu tersebut menjadi satu di akhir, semua akan terasa wah. Editing film yang apik turut membuat kita enggak pernah terlepas dari cerita, pergantian-pergantian sudut pandang terasa mengalir dengan mulus.

serius deh, aku senewen akut dengar bunyi detik jam yang terus terdengar

 

Dalam perang, orang-orang tewas – terkadang mereka gugur sendirian, gugur dalam ketakutan, dengan tidak mengetahui nasibnya sendiri pada esok hari. Film ini tidak memalingkan diri dari kenyataan tersebut. Tapi selalu ada harapan. Kata-kata bisa menggerakkan satu negara. Dan film ini menggambarkan, orang-orang sipil sebagai simbol harapan dalam sebuah perang.

 

Untuk standar Nolan, memang Dunkirk adalah film yang singkat. Tapi juga sangat efektif dalam mengisi durasinya. Buatku, durasi film ini udah pas. Kalo terlalu panjang jadinya lebay, terlalu singkat malah ntar jadi kurang ngefek. Segala kengerian perang sudah berhasil digambarkan dengan baik. Kita merasakan ngerinya dikurung, tenggelam, terkunci dalam pesawat yang jatuh, diitembak blindly tanpa tahu di mana yang menembak. Meskipun enggak ada darah terlihat, enggak ada potongan tubuh berceceran, film ini bermain di ranah PG-13, kita tetap tergoncang oleh efek psikologis yang sangat kuat. Sungguh mengerikan menyaksikan karakter-karakter itu literally mencakar-cakar dan merangkak demi hidup mereka. Bahkan kepada tokoh yang pengen menyelamatkan, kita merasakan dorongan yang kuat dan ikut merasakan perjuangan dan halangan yang mereka tempuh.

 

 

 

Menangkap peristiwa bersejarah dengan sangat realistis, tidak ada satupun kejadian yang luput dari rasa otentik dan penuh ketegangan. Penceritaan non-linearnya mengantarkan film menjadi satu kesatuan yang mulus. The look of this movie is outstanding, sekuens battlenya benar-benar tergambar mengerikan, layaknya perang beneran. Dan this whole movie adalah peperangan. Sedikit hindrance adalah di bagian penokohan yang ditulis sederhana, tanpa arc dan tedeng aling-aling. Tapi hal tersebut tidak pernah menjadi hal yang tanked the movie, karena dampak emosional film datang dari sisi psikologikal dan feeling in-the-moment yang membuat kita merasa benar-benar ada di tengah peristiwa tersebut.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for DUNKIRK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

THE DOLL 2 Review

“Hey, Girl, open the walls, play with your dolls, we’ll be a perfect family.”

 

 

Rumah tangga yang ideal itu adalah rumah tangga yang kayak ditampilkan oleh rumah boneka. Coba deh intip rumah tangga yang dipajang di kamar adek cewekmu, ada ayah, ada ibu, ada anak, yang duduk ngumpul, mungkin di ruang tv. Yang beraktivitas bersama. Bibir plastik mereka dibentuk ceria.

 

Persis seperti begitu jualah keadaan keluarga Maira (Luna Maya dalam sebuah peran yang sangat unconventional, and she nailed every emotions). Bedanya pada jumlah orang, di rumah Maira juga tinggal asisten rumahtangga, Yani yang rajin. Keluarga kecil Maira tampak harmonis. Maira dan suami, Aldo (Herjunot Ali perlu bekerja lebih giat dalam urusan ekspresi) sering menghabiskan waktu bersama putri mereka, Kayla, yang demen ngerekam aktivitas sehari-hari dengan handycam. Main cari harta karun, menghitung kartu memori video bidikan Kayla, tiada hari tanpa nemenin Kayla dengan boneka kesayangannya, Sabrina, deh. Sayangnya, hari-hari itu sirna. Maira kehilangan Sabrina dalam sebuah kecelakaan; mobil yang membawa mereka bertiga tabrakan. Keharmonisan keluarga ini merenggang as Maira terus kepikiran Kayla. Sampai-sampai dia merasakan ‘kehadiran’ di rumahnya, kejadian ganjil mulai terjadi. Maira kerap melihat boneka Sabrina bergerak, berpindah tempat, mengajak dirinya bermain. Hal ini membuat Maira dan Aldo harus ‘bekerja’ sebagai keluarga kembali demi menuntaskan misteri sekaligus mengembalikan kehangatan di rumah mereka.

Ada sedikit psychological nudge dalam narasi, di mana Maira terlihat enggak benar-benar yakin apakah yang dilihatnya memang penampakan hantu atau berasal dari perasaan duka dan kehilangannya yang amat mendalam. Sahabat dan suami Maira malah enggak pernah melihat Sabrina beraksi dengan mata kepala sendiri. Langkah normal dan logis buat menyelesaikan masalah ‘boneka ku; hidup!’ tentu saja adalah dengan menyingkirkan that said doll, Sabrina dari rumah. Karena Sabrina adalah objek yang menghubungkan Maira dengan Kayla, membuat ibu ini tidak bisa melupakan kejadian tragis yang menimpa putri kecilnya itu. Membuat Maira enggak bisa move on. Dan di sinilah film The Doll 2 mengejutkanku. Cerita berkembang ke arah yang sama sekali berbeda. Yea it could destroy the movie entirely, lantaran reasoning dan menggarapnya masih dengan cara ‘menyembunyikan karakter’, you know, kayak sengaja biar gak ketebak sama penonton doang – enggak really terbuild up. Namun aku suka dengan sekuens berdarah-darah yang timbul dari pengungkapan ini. Revealing di menjelang babak tiga, katakanlah twistnya, benar-benar turn the movie around.  Mengubah film yang tadinya lebih ke DRAMA HOROR, MENJADI ACTION SLASHER yang lebih membabi buta daripada Membabi-Buta (2017). Membuatku memikirkan ulang segala catatan yang udah kupetik sepanjang film.

ide buat pesta Halloween: lomba karaoke Lingsir Wengi.

 

 

Sepuluh menit pertama adalah waktu penting yang sempit buat narasi melandaskan mood, tone cerita, motivasi, dan stake yang akan dihidangkan. Aku masuk ke sekuel ini siap mencerca lantaran sepuluh menit pertama mereka habiskan untuk memperlihatkan kejadian akhir di film The Doll (2016). It was like a clip penuh oleh jumpscare, dialog eksposisi, dan elemen dari film-film horor luar yang jauh lebih sukses. Dan tadinya aku mengira adegan itu dimasukkan buat penonton yang belum pernah nonton film pertamanya, penonton seperti aku, semacam langkah buat nyambungin cerita lah. Tapi setelah aku melihat babak ketiga, setelah revealing yang membanting setir arah film, memasukkan adegan awal seperti itu bukan hanya supaya make sense, namun juga jadi langkah yang perlu banget. Karena itu adalah cara film ini untuk ngeset, ngasih tau kita kalo yang kita tonton sebenarnya adalah horor yang slasher abis. It was brutal, mereka memanfaatkan rating 17+ dengan maksimal. Adegan berdarahnya enggak nahan-nahan. Perut ditusuk-tusuk, badan dibanting-banting, aku seketika seger nontonnya. It was full of scream. Yea, kupikir sutradara Rocky Soraya sebagian besar mendapat pengaruh dari seri slasher buatan Wes Craven, Scream.

Dan mereka gak bisa ngesetup itu dengan sekaligus harus menyemen keharmonisan keluarga Maira. Film ini butuh cuplikan, dan itu adalah cara yang aman. Untuk selanjutnya, film mengambil waktu untuk memperlihatkan keharmonisan keluarga Maira. Kita benar-benar melihat perbedaan Maira antara sebelum dengan sesudah kecelakaan. Namun perihal kerenggangan rumah tangga, bahwasanya Maira tidak really merhatiin Aldo seperti yang direveal di akhir, tidak pernah tergambar jelas. Sekali lagi, setelah melihat film ini – aku banyak berpikir ulang – menurutku, kekurangeksploran build up soal hubungan Maira dan Aldo adalah disengaja sebab film ingin bekerja dalam ruang memperlihatkan keluarga mereka benar seperti keluarga boneka. Plastik. Terlihat harmonis dari luar sampai bikin iri pembantunya, namun di baliknya mereka punya masalah.

Let’s talk about design boneka Sabrina; I’m not a fan. Banyak orang mimpi buruk tentang boneka karena wajah boneka biasanya menunjukkan ekspresi yang statis. Seram datang setelah diliat-liat biasanya ekspresi minimalis boneka tersebut seolah berubah. Namun di sini, mereka overdid it, pengen nyaingin boneka film negara luar, eh malah membuat Sabrina jadi kurang seram. I mean, boneka standar kayak Susan aja sebenarnya udah seram kok. Dilihat dari betapa meyakinkannya praktikal efek yang digunakan dalam bagian-bagian yang gory, juga dalam make-up hantu, film ini punya SENSE HOROR YANG BAGUS. Jadi aku toh cukup tertarik juga menunggu untuk melihat apa sih yang bisa mereka lakukan dengan si Sabrina. Dan aku sedikit kecewa, lantaran selain matanya yang bergerak dan ngeluarin darah, mereka enggak bikin Sabrina bisa ngelakuin banyak hal.

Sebagian besar adegan berdarah, adegan horornya, dishot dengan bagus. Favorit film ini adalah ngambil view dari atas kipas angin di tengah ruangan, dan memang paduan kipas berputar dengan bercak darah yang diseret menghasilkan gambar yang cukup mengerikan. Film ini juga banyak bermain dengan cermin, yang mungkin adalah simbol subtil, but I guess it was played just for the cool effect.

“aku bukan boneka, bonekaaa~~”

 

Kebanyakan memasukkan elemen dan tropes horor lain menjadi beban yang menghalangi film ini untuk jadi lebih gede lagi. Separuh awal dihabiskan untuk membuat kita kaget oleh false jumpscare; udah ngagetin, bukan setan pula. Cuma orang yang datang bawa keranjang cucian. Padahal seperti yang kubilang tadi, film ini punya sense of horor yang ciamik. Seperti pada adegan akhir antara Maira dengan hantu Kayla. Untuk sekali ini, Kayla diliatin tanpa diiringi suara musik keras, dan hasilnya sungguh sebuah adegan serem sekaligus touching. Beautiful! Arc Maira sebagai ibu yang kehilangan anak, juga arc Kayla sendiri sebagai anak yang dirampas dari kasih sayang, selesai dengan menyeluruh. Adegan yang powerful; melihat ibu menunjukkan cinta kepada anak yang tampangnya menyeramkan, dan ultimately casting her away, merelakan. Ah seandainya semua adegan seram film ini mendapatkan perlakuan seperti adegan tersebut…

Ini adalah cerita tentang ibu yang kehilangan anaknya. Mengeksplorasi seberapa dalam orang terjatuh dalam duka, struggle untuk –bukan melupakan- hanya untuk menyimpannya sedalam kita bisa menjalankan hidup tanpa terusik oleh rasa kehilangan. Dan it doesn’t shy away dari fakta bahwa ketika kita kehilangan seseorang yang teramat disayangi, kita ingin menuntut balas.

 

Film inipun terlihat pengen menjadi banyak sekaligus. Bahkan beberapa adegan direkam dengan shaky cam, you know, sebab film horor kebanyakan berkamera goyang-goyang. Sepertinya ini dijadikan ciri khas, film ini adalah GABUNGAN GENRE HOROR; dalam cerita ini kita dapatkan elemen drama, horor hantu, slasher bunuh-bunuhan, dan even psikologis – enggak semuanya toh bekerja dengan baik, mainly disebabkan oleh penulisan yang gak bisa mengimbangi dan menampung semuanya. Kualitas dialog dalam film ini enggak begitu menonjol, masih mengandalkan eksposisi yang menurunkan nilai adegan. Misalnya, ada karakter yang sudah terbangun dari Kayla, dia nyebut dia suka bangun tengah malam, nonton dan buang air kecil. Later setelah dia meninggal, Maira mendengar suara tv dan siraman air di kamar mandi pada tengah malam. Sebenarnya kan itu adalah adegan yang seram, kita menyimpulkan yang didengar Maira bisa jadi adalah hantu anaknya, namun film malah memutuskan supaya hal subtil yang visual kayak gini diperjelas oleh dialog yang menerangkan semua. Juga terlalu banyak adegan “Tadi Kayla di sini. Ada boneka juga, liat deh,” dan ta-daa! bonekanya hilang. Totally a waste of dialogue yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk build up ke twistnya.

Beberapa aspek cerita gak berujung apa-apa, seperti wish yang diucapkan oleh Aldo, yang membuat kita teringat akan Krampus (2015) atau malah permintaan ulang tahun Danur (2017) yang dibuat oleh film seolah bagian yang penting, they literally ngesyut asapnya beberapa detik kayak mau ngebuild up sesuatu, tapi tidak pernah ada efek nyata pada cerita. Ada juga sih, usaha untuk merasionalkan beberapa hal yang janggal pada narasi. Kayak teman Maira yang gak percaya takhayul, namun justru dia yang menyarankan mencari pemanggilan arwah lewat medium di internet. Namun tetap saja, hanya berakhir menambah paparan ketimbang memperkuat karakter minor. Dan menurutku, mereka benar-benar membuang kesempatan pada adegan kecelakaan, they should have sold it more convincing. Akting dan pengadegan di sana kurang intens, like, mereka melaju di dalam mobil yang remnya blong, itu adalah hal yang mengerikan, namun penampilan aktingnya enggak membuat kita ngeri yang maksimal, tabrakannya enggak ‘dijual’ dengan spesial.

 

 

It worked as a stand-alone movie; aku belum nonton yang pertama dan masih bisa ngikutin. Malahan bisa berkembang menjadi seri slasher/horor tanah air yang sangat bagus, jika tetap mempertahankan gimmick boneka digabung terus mengeksplorasi hubungan antara ibu dan anak. Unsur budaya lokal yang cukup kental juga membuat film ini jadi punya sudut pandang sendiri. Dan please… kurangi elemen-elemen film lain, dan tinggalkan sepenuhnya trope-trope horor usang yang membuat film jadi sebuah wahana enggak seram alih-alih tontonan yang creep out on us. Aku enggak tahu harus mengharapkan apa, dan berakhir dengan really surprised dan mildly entertained oleh babak terakhir yang gut-busting. Film ini memilih langkah dan arahan yang beralasan, namun masih ketutup dan terbebani oleh keinginannya untuk menjual banyak hal. Punya good sense of horror, bekerja baik sebagai drama, dan even better sebagai slasher. hanya saja dia ingin terlihat perfect untuk menyembunyikan kelemahan aspek pada narasi.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE DOLL 2.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

TO THE BONE Review

“She has dreams to be an envy, so she’s starving”

 

 

 

You know, “Covergirls eat nothing.”
She says, “Beauty is pain and there’s beauty in everything.”
“What’s a little bit of hunger?”
“I can go a little while longer,” she fades away

 

I gotta to be honest, pertama kali dengar lirik lagu Alessia Cara tersebut, aku merasa seperti sedang mengiris bawang merah yang banyak banget. Aku sungguh berharap enggak ada teman-temanku yang pernah pingsan karena sengaja gak makan. I can’t imagine being girls di jaman sekarang, I mean, dengan segala tuntutan sosial itu; harus putih, harus langsing. Anorexia sendirinya adalah problem yang serius. Dan setelah nonton film To the Bone yang MEMBAHAS ANOREXIA SECARA MENDALAM DAN SANGAT JUJUR, aku jadi semakin ngeri. Karena Anorexia enggak selamanya hanya karena si cewek pengen terlihat cantik. Seperti Ellen, ketika dia dikomentari ibu tirinya yang khawatir “Cantik enggak dirimu menurut kamu?” Ellen memandang foto diri yang tinggal kulit membalut tulang, dan menjawab “Enggak”. Anorexia berkaitan dengan masalah psikologis yang bisa berasal dari apa saja. Ellen yang dealing with severe anorexia terutama harus menyadari dan mengaccept dulu trauma yang membuat dia menjadi begitu anti sama makanan.

Film ini enggak menahan diri soal urusan penceritaan, semuanya digambar blak-blakan oleh narasi. Bukan hanya membahas apa dampak eating disorder terhadap si penderita, baik secara fisik dan psikologis. Film juga mengeksplorasi akibatnya terhadap keluarga dan orang-orang yang benar-benar peduli terhadap si penderita. Ellen dibujuk untuk mengikuti pengobatan khusus di mana cewek berdarah seni tinggi ini harus tinggal bersama beberapa orang yang juga mengidap berbagai kelainan enggak-mau makan. Ada cewek yang diam-diam ngumpulin muntahnya di bawah ranjang, ada cewek yang begitu parah sehingga harus dikasih asupan lewat tube, ada juga wanita yang tengah mengandung bayi tapi masih ogah makan sehingga membahayakan nyawa si janin. To the Bone bukanlah film light-hearted di mana semua penghuni rumah inap dokter yang metodenya sangat radikal itu pada akhirnya akan menjadi sahabat dan semuanya berakhir happy ending.

kalo bisa milih, gak ada lagi orang di dunia ini yang kita percaya untuk nasihatin kita, to make us feel better, selain Keanu Reeves

 

Sekilas, memang sepertinya plot yang dihadirkan agak dilebih-lebihkan, seakan memancing yang susah-susah dari keadaan mental yang menyedihkan dari seseorang yang insecure atas dirinya. Film ini akan terasa too much dan terlalu jauh, namun sebenarnya ini adalah cerita yang SANGAT AKURAT DALAM PORTRAYALNYA mengenai penderita Anorexia. Ellen bahkan enggak mau menggigit makanan, let alone menelannya. Dia menolak ide mencerna apapun yang mengandung banyak kalori. Ellen udah kayak kamus gizi berjalan, dia hapal kandungan kalori dalam setiap makanan, just so dia bisa menghindarinya. Dia mengukur lingkar lengannya, dan bila ia rasa jadi sesenti lebih gede, Ellen akan membakar kalori – seberapa pun yang tersisa di tubuhnya – dengan berlari naik turun tangga. Dan sit up sampai punggungnya lecet. Konyol? Maybe, namun enggak ada yang corny soal anorexia. Karena ini adalah penyakit nyata, ada orang-orang di luar sana, cewek dan cowok, yang mengalaminya. Aku memang enggak kenal orang anorexia, tapi setelah menonton ini aku ngeri juga bahwa aku bisa saja termasuk di antara mereka.

Aku enggak pernah insecure soal penampilan. Namun dulu berat badanku mencapai 72 kilogram, dan itu membuatku kesulitan bergerak. Apa-apa capek, apa-apa keringetan. Mandi aja aku keringetan ngangkat gayung. Jadi aku mulai menurunkan berat sehingga sampe sekarang sukses bertahan di angka 50. Tapi kebiasaanku makan sejak misi ‘diet’ itu nyaris sama seperti yang dialami oleh Ellen, meski enggak seekstrim itu. Aku completely discarded sarapan off of my daily menu. Aku sebisa mungkin ngehindari daging dan gula. Apalagi gorengan. Dan kalo kepepet memakan salah satu dari hal tersebut, aku akan bingung sendiri mikirin gimana bakar kalorinya. Biasanya setiap pagi aku akan lari di tempat sambil nonton WWE. Yang dilanjut dengan push-up, squat jump, dan sit up. Alih-alih lingkar lengan seperti Ellen, aku mengukur lingkar pinggang – tidak boleh lebih dari 3.5 jengkal!! Aku bahkan mencibir ide bahwa manusia harus banget makan tiga-dua kali sehari; bayangkan berapa banyak hal produktif yang bisa dilakukan saat kita nyempetin duduk di meja kantin selama 30 menit.  Aku pun masih ingat reaksi keluarga dan teman-teman ketika aku muncul di hadapan mereka dengan ‘wujud baru’, persis seperti reaksi keluarga dan teman-teman Ellen. “Kurusan banget, ih”, “Mirip tengkorak”, ibuku nodongin makan setiap limabelas menit sekali, sampai my dad jadi punya topik baru dalam ceramah rutinnya. Jadi aku tahu betapa akuratnya film To the Bone ini, dan buat aku yang bukan penderita aja, film ini udah disturbing secara personal.

Setelahnya, aku jadi pengen makan banyaaaaakk sekalliiiiii

 

Sutradara Marti Noxon pun tampaknya paham soal ini. Dia tahu langkah dan keadaannya, dia tahu perlu sekali mengarahkan film ini untuk enggak menjadi politically correct, walaupun cerita yang digarapnya melintasi subyek yang enggak mudah untuk dibahas. Kudu hati-hati, dan Noxon mutusin untuk tidak menyembunyikan apapun. Tidak ada gunanya membahas tema ini dengan bersopan-sopan. Tokoh-tokoh dalam film ini mengatakan ataupun melakukan hal-hal yang tergolong perbuatan tak-senonoh, mereka bicara kasar, dan tak sekalipun film ini berusaha mengoreksi mereka. They just do it, dan kita mengerti. Bahwa mereka-mereka ini sedang dalam titik terendah hidup mereka, di mana mereka bahkan enggak bisa mastiin mereka masih hidup minggu depan atau enggak. Cara yang dilakukan film ini sukses menempatkan kita sebagai penonton di mana kita bisa merasakan penderitaan mereka, that they no longer care about things.

Dan untuk menyembuhkan mereka, lebih tepatnya membantu mereka menemukan keinginan untuk sembuh, film ini tidak mendatangkan dokter yang sekedar menanyakan kabar dan bermanis-manis ria menaikkan mood pasien, ngasih obat, lalu pulang. Dokter Beckham yang diperankan oleh Keanu Reeves ditulis dengan amat baik, karakternya sangat entertaining, dan Keanu Reeves really nailed this character. Dia akan menatap pasiennya lekat-lekat di mata, dia enggak akan peduli dengan perasaan, dia cuma mau mereka melihat ke dalam diri, dan literally akan bilang persetan dengan pikiran kalian sendiri yang membuat kalian enggak mau makan.

Tadinya aku sempet kepikiran kalo Emma Roberts bisa jadi pilihan yang bagus buat meranin tokoh Ellen. Tapi toh lama kelamaan as I watch this through, kerja Lily Collins benar-benar membuatku terkesan. Penampilannya di sini stand out banget. Dia rela jadi kurus buat peran ini, tapi bukan berat badannya aja yang bikin ia tampak mencuat, dia hidup sekali di dalam karakternya. Collins membawakan tokoh ini dengan sangat tertutup dan was-was, yang mana merupakan perilaku yang tepat buat orang yang benar-benar mengalami kondisi mental seperti tokoh ini. Like, Ellen enggak mau disentuh oleh orang, dia ingin dibiarkan sendiri. Aspek karakter inilah yang diportray oleh Collins dengan meyakinkan, membuatnya sangat bersinar. Ada adegan antara Ellen dengan ibu kandungnya (Lili Taylor fantastis dan kupikir dia adalah aktris yang sangat underrated sekarang ini) yang sangat merenyuhkan hati menjelang akhir. Ini adalah jenis adegan yang beresiko tinggi, terlihat bagus di naskah namun eksekusinya bisa jadi sangat komikal dan merusak semuanya. Untungnya, akting dan delivery kedua pemain yang terlibat berhasil mengangkat adegan tersebut, menghasilkan momen yang indah dan magis. Dan membuat arc keduanya comes full circle.

Saat muda adalah waktu yang paling susah untuk kehilangan sosok ibu. Ellen berpisah dengan ibu kandungnya, yang ternyata adalah seorang lesbian. Dan ini dijalankan selaras oleh narasi dengan keengganan Ellen untuk makan. Deep inside, dia enggak mau ‘makan’ yang lain. Karena sebenarnya Ellen’s craving for mother figure. Ellen ingin jadi sesuatu yang membuat orang-orang ingin mengasuhnya. To be an envy for her mother. The real one.

 

Ada satu lagi tokoh yang menarik, yaitu Luke; pasien cowok satu-satunya di rumah inap tempat Ellen berobat. Alex Sharp memainkan tokoh ini dengan sangat charming. Karakternya adalah penari dari London yang patah kaki, yang membuat karirnya kandas, sehingga dia menyiksa diri dengan enggak makan. Akan butuh waktu sebelum kita bisa meapresiasi karakternya secara maksimal, karena memang di awal-awal dia sedikit lebay. Dia memaksa Ellen makan coklat, dan sebagainya. Oleh karena kita terinvest begitu banyak kepada Ellen, maka reaksi kita kepada Luke pun akan sama dengan reaksi Ellen kepadanya. Tetapi niscaya, karakter ini akan grew on us, arcnya pun juga sangat tertulis rapi. Luke kadang menyapa Ellen sebagai peri kecil, dan dari situ ada adegan di akhir yang terasa agak terlalu orchestrated. Teatrikal banget. Terasa enggak sesuai dengan keseluruhan film, seperti menyelipkan sesuatu yang terlalu rumit di antara padanan yang kelam. Dan bagian akhir itulah satu aspek dalam film ini yang enggak sreg buatku.

 

 

 

 

Bikin kita terpesona sejak adegan pertamanya, ini adalah film yang tertulis dengan amat baik, mengeksplorasi psikologis orang-orang yang punya pandangan menarik tentang kebutuhan makan. Dan dihidupkan oleh permainan akting yang luar biasa. Topiknya yang suram dan disturbing dan acapkali inappropriate dibahas dengan hati-hati namun tidak pernah menyembunyikan apapun. Keblakblakan film ini akan menyelematkan semua orang yang sempat kepikiran untuk mengambil keputusan serupa yang menghancurkan diri sendiri. Tak pelak, film ini akan membekas lama. Sampai ke tulang belulang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TO THE BONE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY Review

“Actions are the seed of fate deeds grow into destiny.”

 

 

Adalah prestasi yang membanggakan jika sebuah film dinanti-nanti sekuelnya lantaran para penonton sangat jatuh hati kepada karakter yang ditampilkan.  Penonton ingin melihat lebih banyak dari karakter-karakter tersebut. Seperti yang terjadi pada Filosofi Kopi (2015), perjalanan persahabatan Ben dan Jody begitu hangat dan kental sehingga dibikinlah cangkir kedua, eh maksudnya film kedua ini. And keep in mind, bahwa tadinya Filosofi Kopi berangkat dari cerita pendek. Sekarang, berkembang menjadi kedai kopi beneran, brand bisnis beneran, tak pelak – ini sudah menginspirasi banyak orang, khususnya anak-anak muda, bahwa berbisnis itu keren. Bahkan aku juga sekarang udah membuka kafe eskrim di Bandung, di mana aku nyiapin dan served people myself. Meski memang backstory buka usahaku lebih mirip seperti Max Black’s ketimbang Ben dan Jody yang kekinian.

Bisnis ada seninya. It’s not just about math ataupun sekedar statistik keuntungan-kerugian. Bisnis juga adalah soal cinta. Kita bisa belajar begitu banyak, sehingga pengembangan bisnis sejatinya adalah pengembangan diri sendiri.

 

 

Dalam sekuel inipun diceritakan kesuksesan Filosofi Kopi milik Ben dan Jody membuat menjamurnya anak muda yang bikin kedai kopi serupa. Filosofi Kopi sudah menjadi semacam legenda, “Mitos,” kata Luna Maya. Jadi bahan obrolan di antara barista-barista yang terinspirasi, kopinya jadi tolak ukur standar tinggi. The Legend now wants to return home. Bisnis roadtrip mereka enggak jalan ke mana-mana, meski memang mereka udah keliling Indonesia memasyarakatkan kopi selama dua tahun belakangan. Jadi, Ben dan Jody kembali ke kedai di Melawai. Mereka harus kembali struggle nyari investor sebab beli properti enggak murah. Dan oleh karena ini adalah film sekuel, maka harus ada ide baru dan stake harus dipergede. Sehingga Filosofi Kopi, ultimately, mengekspansi gerai kedai mereka ke kota Jogja, mereka harus ngehire orang-orang baru, dan persahabatan Ben dan Jody teraduk-aduk karenanya.

dan Luna Maya datengnya telat melulu

 

Ada dua tokoh baru yang menambah cita rasa cerita Filosofi Kopi 2. To be honest tho, aku enggak begitu mengerti dinamika cinta segi kotak di antara Ben-Tarra-Jody-Brie-Ben sebab meski memang keempat ini punya karakter, relationship mereka tidak benar-benar terflesh out dengan baik. Ben dan Jody, they are funny, kita percaya persahabatan udah mengakar kuat pada mereka. Namun saat-saat mereka berantem, mereka berpisah, mereka reunite, terasa lebih seperti tuntunan sekuens naskah ketimbang terdevelop secara natural, you know, terbentuk dari interaksi actual dan genuine di antara mereka. Padahal elemen inilah yang penting lantaran film kali ini is LESS ABOUT RUNNING A PLACE AND MORE OF A STORY ABOUT CHARACTERS.

Karakter Tarra yang diperankan oleh Luna Maya adalah investor yang aim big but really strict untuk urusan bisnis, dia gakenal orangtua dan teman kalo udah nyangkut bisnis, keopimisannya membuat Tarra cukup menarik. Tarra merupakan padanan yang pas buat Paman Gober, alias Jody. Karakter tokoh pendiem-nan-calming milik Rio Dewanto ini lebih mudah kita relasikan, as opposed to Ben. Dalam film ini tergambar jelas bahwa jika Ben adalah sosok yang kita inginkan untuk menjadi, maka Jody adalah sosok yang mewakili realita; dia adalah siapa kita turn out to be. Dan aku senang di film ini Jody dapat jatah unjuk kebolehan ‘ngegombal’ di depan cewek dalam sebuah adegan simbolik yang dihandle dengan baik.

Brie si barista baru, however, kita baru mengerti dia siapa di paruh akhir. Karakternya menarik; she was a fan, tapi dia ngabisin sebagian besar shift kerjanya dibentak-bentak oleh Ben. Namun dia punya cara tersendiri yang ia yakini dalam bikin kopi. Aku sendiri enggak pernah ngefan sama teknik cerita yang sengaja nyimpen satu karakter untuk ‘revealing’ tanpa pernah ngebuild revealing tersebut. So yea, personally, aku pikir Brie bisa menjadi sudut pandang yang (lebih) menarik sebagai tokoh utama cerita, Nadine Alexandra pun pastinya capable diberikan role ini, jika kita lihat gimana usahanya menghidupkan Brie.

Now let’s talk about Ben. Chicco Jerikho breaths in this character, udah senyawa bangetlah pokoknya. Ben adalah orang yang sangat ahli, sekaligus amat menyintai apa yang ia kerjakan. Kita sering mendapati Ben mengelus-elus alat pembuat kopi, dia memegang biji kopi dengan penuh hormat, dia memperlakukan kedai dan segala atributnya seperti anak menghartakarunkan mainan kesayangan. Maka kita paham darimana ‘trust issues’nya datang, Ben enggak segampang Jody dalam mempekerjakan barista-barista baru. Ia enggak sembarangan menerima orang. Namun kadang, sifat Ben membuat kita enggak mengerti apa motivasi dirinya, like, filosofi-filosofi yang ia berikan kepada cewek-cewek yang beli – apakah murni dari hati ataukah semacam gombalan itelijen? Di sinilah letak menariknya karakter Ben; kita enggak pasti sehingga kita selalu ingin tahu dia lebih dalam. When he’s being a jerk, kita kesel beneran. Dan ketika ia jatoh, kita bersimpati.

 

Anak kecil, katanya, tidak berdosa as dosa-dosa mereka ditanggung oleh orangtua. Ajaran agama bilang begitu. Tapi di sini, di dunia fana penuh judgment, yang terjadi adalah kebalikannya. Dosa orangtua biasanya diterus-terusin ke anaknya. Bapaknya maling, anaknya yang menanggung malu. Bapaknya jahat, anaknya yang bertanggungjawab. Dan berapa banyak dari kita yang nyalahin orangtua yang menuntut banyak, atas ketidakberanian kita mengejar mimpi sendiri? Padahal kita  bakal tumbuh menjadi apa ditentukan oleh aksi kita sendiri. Benihnya mungkin ditanam dalam pengaruh orangtua, namun tindakan kita yang menentukan bakal tumbuh menjadi apa.

 

 

Sebagai sebuah film, Filosofi Kopi 2 mampu untuk berdiri sendiri.  Semua elemen ceritanya terconclude dengan baik. Kamera sukses berat jalan-jalan menghasilkan gambar-gambar yang terlihat festive sekaligus elegan. Aku notice musiknya, padahal biasanya musik adalah aspek yang paling sering kulewatin – ketika Ben nerima telepon di sekitar tengah cerita, musik kerennya ngingetinku sama musik di A Clockwork Orange nya Stanley Kubrick. Konten budaya turut diracik larut ke dalam penceritaan. Dibandingkan film yang pertama, wilayah cerita kali ini terasa lebih luas. Bukan saja karena mereka memang ceritanya lagi ekspansi, namun juga terasa lebih gede dari segi karakter. Akan tetapi, sebagai sekuel, as in kita melihat kedua film ini dalam gambar yang lebih gede yang bersambung, pertumbuhan atau perkembangan karakternya terasa muter di situ-situ aja. Apa yang dialami oleh Ben dan Jody di film yang kedua ini, pernah mereka alami sebelumnya. Ben dan Jody berantem lagi. Ben dan orangtuanya lagi. They just reharsh the plot. Mereka bahkan memasukkan penggalan film pertama saat adegan di kebun kopi, karena film ini benar-benar mengeksplor kembali hal yang sama. They might as well masukin flashback Ben kecil dari film pertama karena dapat membuat cerita film ini bekerja lebih baik.

Tidak ada sense of discovery, Ben dan Jody tidak terasa belajar hal yang baru di sini. Tidak ada momen seperti mereka terperangah nemuin resep kopi yang enak dari seseorang yang enggak mereka expect sebelumnya kayak di film pertama. Well, di film ini ada momen ketika Ben akhirnya ngakuin kopi buatan Brie enak, hanya saja enggak cukup believable karena di poin itu cerita ngebuild up Ben yang kehilangan Jody yang udah bareng Tarra, jadi segala Ben’s accepting towards Brie itu malah jadi kayak supaya Ben punya ‘cewek’. Menjadikan film ini semacam menegasi yang pertama, iya sih di sini mereka menyebut-nyebut aspek (dan tokoh) dari film pertama, namun Filosofi Kopi 2 –menilik dari plotnya- bisa saja bekerja sebagai origin atau malah remake dari yang pertama.

Plotnya enggak efektif. Mereka sudah sangat menarik berubah menjadi kedai kombi yang jualan berkeliling Indonesia, untuk kemudian malah kembali ke Jakarta. Setelah di sana pun terusan ceritanya adalah mereka kembali ‘jalan-jalan’ ke Jogja hingga ke Toraja. Kenapa gak sekalian cerita roadtrip aja? Motivasi yang membuat Ben dan Jody pengen balik ke Jakarta juga enggak kuat, datangnya dari anak buah yang mengundurkan diri. And speaking about that, ketika mereka balik buka filkop di Jakarta, anak buah yang tadinya berhenti malah kerja lagi bareng mereka, tanpa banyak pendekatan ataupun reasoning yang berbobot emosi – I mean, what about your dreams, Aldi? (or Didi? Amdi? Sorry didn’t really catch the name).

Pace film juga sedikit bermasalah, filmnya terasa panjang. Ada banyak adegan yang melambatkan film, dan seolah-olah rela dimasukin demi kepentingan iklan produk saja. Adegan kayak Jody masukin sabun cuci muka ke dalam tas sebelum nyusul ke Jogja sebenarnya enggak berarti apa-apa. And while we at it, kakaknya Jody juga enggak ada ngaruhnya selain mercikin sedikit komedi yang nyaris cultural. Iklan orang alias cameo juga ada, dan digunakan sebagai device yang memudahkan karakter. Kayaknya setiap persahabatan bisa langsung baikan deh kalo yang nasihatinnya adalah Joko Anwar.

Here’s for the next pitch: Filosofi Kopi v.s. Starbucks !!

 

Sempat ada sayembara menulis sekuel Filosofi Kopi, dan dua cerita pemenang kompetisi itulah yang dijadikan ide buat difilmkan. Nyatanya, Filosofi Kopi 2 terlihat seperti those good ideas, the whole of them, digabungin bersama. Emosinya gak benar-benar tersampaikan lantaran film melanglang membahas banyak. Aku bukannya mau nuduh ideku ada di sana, ataupun ideku lebih bagus, karena it was absolutey ridiculus. Ceritaku involving Ben pergi ke kontes barista sedunia jadi mereka butuh nyari barista baru, hanya saja Ben enggak sembarangan nerima orang, dia gak percaya ama kopi orang, dan cerita akhirnya resolve dengan Filosofi Kopi baik-baik saja tanpa dirinya – Jody akhirnya bisa bikin kopi juga. Resolusi cerita dalam film ini, aku gak mau spoiler banyak, mirip-mirip seperti itu, hanya saja ketika Jody melakukan sesuatu, dampaknya tidak begitu wah. Dari sisi Ben, arc nya tertahan untuk bergulir lantaran Ben dan Jody not really together di akhir cerita. It does giving something new buat karakter Ben. Film akan menjadi lebih menarik jika bagian ini datang lebih cepat, dibuild up dengan lebih matang, alih-alih menghabiskan paruh awal dengan mondar-mandir berusaha mengestablish set up yang sebenarnya toh sudah ada sejak film pertama.

 

 

 

Jika dulu masalahnya ada di rasa – penggarapan cerita Filosofi Kopi pertama enggak terasa begitu berbeda di luar tema dan premisnya, maka kali ini masalah terletak pada bahan kopi. Tapi jangan salahkan film originalnya jika sekuel enggak bisa untuk tampil lebih baik. Still, ‘kopi’ ini kemasannya mewah. Trendi. Membuatnya gampang untuk disukai. Dan orang-orang akan banyak suka ama film ini, terutama karena karakter-karakternya yang asik banget dijadiin role model. Regarding film ini, aku punya filosofi sendiri. Filosofi Piring Kopi; Dulu waktu kecil, aku selalu disaranin minum kopi di piring datar kecil yang jadi tatakan karena aku selalu membakar lidahku sendiri minum kopi yang panas. Film ini adalah piring itu, kopi atau cerita yang dituang di atasnya dengan cepat menjadi dingin, dan berkuranglah kenikmatannya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 for FILOSOFI KOPI 2: BEN & JODY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

GOING IN STYLE Review

“The most dangerous creation of any society is the man who has nothing to lose.”

 

 

Sebagai manusia, kita ingin hidup tenang. Terutama di masa tua. Tidak ingin dicurangi. Kita ingin mendapatkan hak sebesar kewajiban yang kita tunaikan. Enggak kurang, sukur-sukur lebih. Dan sama pentingnya dengan itu, sebagai manusia kita mau didengar, dikenang, kita ingin melakukan sesuatu yang di luar batas. Kita mau gaya. Kita mau going out with a bang.

 

Rumah Kakek Joe sebulan lagi disita, dana pensiunnya dibekukan, saat beliau mau protes ke bank, eh banknya malah dirampok. Joe dibuat terkesima dengan aksi tiga perampok muda yang sangat professional dan terkoodinir. Terutama, mereka sopan kepada penduduk senior, enggak seperti bank yang tega bikin susah hidup Joe. Enggak setetes pun darah mengucur dari peristiwa itu. “Mereka seperti menari” ia menceritakan pengalaman tersebut kepada dua sahabatnya; Kakek Willie dan Kakek Al, entah untuk keberapa kali. Kagum dapat membuat orang menjadi meniru, dan itulah tepatnya yang dilakukan oleh Joe. Merasa enggak mau kalah, dia nekat ngajakin dua sobat-nyaris-seumur idupnya untuk merampok bank yang udah screw over their life. Komedi lantas datang begitu ketiga remaja senja usia ini belajar merampok. Sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan di masa muda, bagaimana bisa mereka melakukannya sekarang ketika untuk berlari saja mereka nyaris mematahkan pinggang sendiri?

oh encok ku!!!

 

Mengambil tema yang mirip ama Hell or High Water (2016) namun mengemasnya dalam sajian komedi, film ini tampil sangat ringan. Kesubtilan hampir tidak ada dalam narasi. Aku enggak tahu apa-apa soal film ini sebelum menontonnya, kecuali bahwa Going in Style garapan Zach Braff adalah remake dari film yang premier di tahun 1979. Jadi aku siap untuk mengutuk film ini habis-habis for dia punya semua formula film-film yang hanya dibuat demi uang semata. Tapi tahukah kalian betapa susahnya ngelook down upon something kalo sesuatu tersebut sukses membuat kita tersenyum-senyum simpul diselingi ngakak dari menit-menit awal hingga penghabisan? Well, kalo enggak tahu susahnya seperti gimana, coba deh nonton film ini.

Alasan aku nonton film ini tentu saja sama dengan alasan kalian semua, karena dibintangi oleh Michael Caine, Alan Arkin, dan Morgan Freeman. Tiga gaek ini adalah LEGENDA HIDUP! Mereka sudah berakting sejak lama, they are in their 80s, dan mereka bertigalah bagian terbaik dari film ini. Melihat mereka berinteraksi seperti melihat kesempatan langka yang begitu amazing. Mereka bahkan lebih baik dari trio emas Niniek L. Karim – Widyawati – Slamet Raharjo di Sweet 20 (2017), kalo kalian masih merindukan akting bagus nan meyakinkan dari mereka, maka saat menonton Going in Style, kalian akan sangat terpuaskan. Caine, Freeman, dan Arkin terlihat beneran seperti temen lama yang tak terpisahkan, tokoh-tokoh mereka saling bergaul dengan menyakinkan. Each of them deliver komedi dan drama sama baiknya, mereka menaikkan derajat film ini.

Film tahu apa yang ia punya; tiga aktor kawakan, dan naskah benar-benar memberi kesempatan buat mereka untuk mengembangkan sisi komedi. Bagian paling kocak jelas adalah bagian ketika tiga kakek-kakek itu mutusin mereka kudu latihan jalan sebelum berlari. Yang berarti; sebelum mulai mencuri besar-besaran, mereka harus memulai dengan yang kecil-kecil dahulu; sebelum bank, mereka mutusin buat menjajal supermarket. Joe, Willie, dan Al (yang ikut karena “gak ada lo gak rame”) mencuri beberapa bahan makanan untuk makan malam mereka. There’s something very entertaining about that. Kalian tahu, adegan ini lebih kocak dari sekedar ‘kasus bad granpa’ yang biasa. Aku ngakak berat di adegan Joe dan Willie berbisik-bisik ngobrol through barisan makanan kaleng. Awalnya mereka hanya saling menatap, gak tau mesti ngapain.

Man with nothing to lose lebih berbahaya daripada man with everything to lose sebab ketika kau tidak punya apa-apa, kau tidak takut akan apapun. Joe dan teman-teman, motivasi mereka personal dan di usia yang tinggal menghitung hari, it’s practically worse scenario both ways buat mereka jika mereka tidak mengambil tindakan. Apa yang tidak mereka sadari adalah mereka juga punya segalanya; mereka punya keluarga yang tentunya akan kehilangan. Inilah yang menjadi landasan konflik drama dalam Going in Style

 

Oleh karena kalo ketangkep polisi, Joe dan kawan-kawan masih lebih beruntung ketimbang jadi gelandangan, it is still a fairly good scenario for them – bukan berarti tidak ada yang bisa bikin kita ngeroot buat keberhasilan heist gede mereka. Film enggak kehilangan akal untuk memberikan stake, memberikan beban dramatis kepada tokoh-tokohnya. Caine juga tampil meyakinkan ketika dia kudu ngetackle bagian emosional antara Joe dengan cucunya yang diperankan oleh Joey King.  Tokoh Willie diberikan motivasi berupa keinginannya untuk bertemu dengan sang cucu, namun dihambat oleh enggak punya duit buat ngobatin ginjalnya yang udah parah. Dan Al ditambat ke tanah oleh romansa. Yea, kita sudah liat tropes semacam ini sebelumnya, Going in Style enggak benar-benar memberikan gaya baru dalam usahanya untuk memaksimalkan eksplorasi drama pada narasi. Hanya saja, semua itu ditangani dengan penuh hormat dan sangat menyenangkan untuk diikuti. Kakek-kakek dalam film ini bukan sekedar grumpy dan benci ama generasi sekarang, paling enggak mereka mengerti cara menggunakan skype dan teknologi kekinian.

premis film ini bisa menjadi lelucon bar gaya baru, “tiga orang kakek masuk ke bank….”

 

Untuk sebuah film heist, Going in Style justru terasa lemah saat mereka mulai menangani bagian perampokannya. Sedikit mengganggu entertainment ringan dan menyentuh yang sudah dikembangkan.  Aku gak mau spoiler terlalu jelas, namun, Joe dan kawan-kawan enggak benar-benar ‘go’. Dan ‘style’ mereka pun terlalu gampang untuk dilaksanakan. Film ini melewatkan kesempatan untuk menjadi komentar sosial dan soal ekonomi, padahal naskah sempat menyingung beberapa.

 

 

Pada akhirnya, film ini adalah jendela kesempatan bagi aktor-aktor veteran untuk melakukan suatu yang gila. Khususnya Morgan Freeman, kita udah ngeliat dia ala-ala Hangover di Las Vegas sebelum ini, dan sekarang dia merampok bank. This is a light-hearted movie, amat menghibur, kocak level tinggi. Wajib ditonton demi ngeliat tiga legenda performing amazingly compelling acting. Chemistry di antara mereka luar biasa. Memang tidak terlalu banyak yang bisa kita ambil dari film ini, terlalu ringan dan terlalu ‘mari lakukan perampokan bank yang gila’. It could aim for more.  Tapi yah, ini adalah film tentang orang tua, untuk orang tua, dan dengan gembira stay at being that way.

The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for GOING IN STYLE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.

And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.