“It’s not a burden to make sacrifices for family, it’s a privilege”
Ngerasa gaji cuma numpang lewat; barusan gajian tapi abisnya cepet banget? Well, bisa jadi kamu adalah sandwich generation, Kawan. Generasi yang kejepit antara biaya untuk hidup sendiri dengan tanggungan orang tua, dan bahkan jenjang keluarga yang lain. Maka tentu saja peran dan tanggungjawab sandwich generation ini sungguh berat, dan berkat film kita semua paham perjuangannya gimana. Tahun lalu ada Home Sweet Loan yang ngebahas, dan di awal 2025, Yandy Laurens ngasih sudut pandang yang lain buat memotret fenomena ini. Yandy mengadaptasi materi cerita Arswendo, memberikan nod kecil buat versi sinetronnya, dan lantas menggodok cerita yang bisa relate dengan generasi sandwich kekinian yang berjuang untuk meringankan beban keluarga sementara bebannya sendiri numpuk hingga ke titik ngerasa bersalah kalo mikirin dirinya sendiri. Puk puk dirimu sendiri, Kawan, karena ini adalah film yang haru lagi hangat menguatkan.
Tanggungan Moko gak tanggung-tanggung. Memang sesuai judulnya aja. Sebagai kakak/paman, Moko harus menghidupi tiga ponakan yang masih kuliah, satu remaja titipan, satu bayi, dan dua orang yang bahkan lebih gede (dan harusnya lebih bertanggung jawab) dari dirinya. Padahal tadinya Moko sudah hendak lanjut kuliah S2, tapi mimpinya sebagai arsitek harus ditunda demi membesarkan bayi sang kakak. Moko juga mengorbankan hubungan asmaranya dengan Maurin, pacarnya yang setia dan sebenarnya ingin membantu tapi she knows better untuk jaga boundary. Naskah film ini memilih fokus bukan di kesulitan ekonomi ataupun konflik luar lainnya, melainkan menekankan ke permasalahan perasaan. Ketika ponakan-ponakan Moko mulai merasa mereka jadi beban bagi paman mereka yang baik hati. Ketika ada satu ‘voice of reason’ mulai menggebah Moko untuk mengejar karir.
Aku ngerasanya film ini beneran kayak versi sudut pandang cowok dari Home Sweet Loan sih. Gimana galian perspektif gender yang berbeda membuat bahasan dan fokusnya pun jadi berbeda. Dan aku lebih relate sama 1 Kakak 7 Ponakan ini. Keduanya sama-sama punya penokohan dan naskah yang kuat, hanya fokus yang lebih less-materialistis, misalnya kayak, ini tidak pernah jadi soal menabung atau pindah rumah dalam 1 Kakak 7 Ponakan. Bertahan di rumah kecil, dengan permasalahan ekonomi yang menggerogoti namun karakternya selalu bilang “Uang bisa dicari” membuat karakter dan cerita film ini lebih beresonansi buatku karena kita benar-benar diajak untuk menyelami root dari problem. Yakni perasaan masing-masing. Dan itu bukan berarti film ini memudahkan masalah ekonomi yang dilanda karakternya, loh. Naskah hanya mengarahkannya ke bentuk lain yang sama-sama masih dalam lingkup kehidupan profesional. Yaitu soal kerjaan sebagai arsitek. Kita masih akan melihat Moko berkutat dengan karirnya. Gimana dia masuk kerja dibantu oleh Maurin yang sudah lebih dulu di sana, gimana visi desain ruangan ajuan Moko terpengaruh oleh pengalamannya sebagai basically orang tua dari anak segitu banyak. Cowok pula.
Bahkan aku ngerasa seperti bahasan single parent inilah harusnya film Dua Hati Biru tahun lalu. Bahasan ketika seorang cowok membesarkan anak bayi, yang sampai membuat dia menunda mimpi dan karir sendiri sementara pasangannya sudah lebih dulu berkarir. 1 Kakak 7 Ponakan ngebingkai perjuangan Moko dalam banyak spektrum. Cowok yang baru saja lulus kuliah tapi harus ngerawat bayi, cek. Adek yang kehilangan kakak, cek. Paman yang harus ngurusin ponakan yang masih remaja, berusaha ngimbangin diri antara jadi orangtua dan kakak mereka – at one point, Moko harus berurusan dengan masalah khas remaja cewek – cek. Orang yang dimintai tolong ngejaga anak gadis mereka, cek. Pacar yang harus rela pisah karena saking cintanya dia gak mau menghambat orang terkasih, cek. Dan tentu saja dirinya yang ngerasa kegencet – tau-tau berada di posisi sandwich generation. Banyak banget ini yang bersarang di pundak begeng Moko. Chicco Kurniawan had never impressed me before, tapi sebagai Moko, di sini dia tampak klop dengan sosok yang menanggung beban seberat itu. Aku pikir dia berhasil ngehandle perannya ini dengan seimbang, terutama ketika dia begitu konsisten ngasih perawakan ‘kusut’ di balik setiap emosi yang ia tampilkan ke luar.
Dengan banyak spektrum begitu, permasalahan utama kisah ini memang dapat terasa agak lama mencuat. Cerita kayak melayang aja mengarungi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mengharukan tapi dipotret dalam nada yang sederhana. Membuatnya terasa dekat dan hangat. Bahkan ada beberapa time skip juga, tapi kita tidak akan ketinggalan banyak, karena pertumbuhan karakternya tetap kelihatan. Dan make sense, gitu, karena tentu saja mereka semua jadi semakin akrab dan menumbuhkan rasa hormat. Buatku, daging drama film ini tu pas nanti ketika Moko mengetahui ponakan-ponakannya diam-diam memilih untuk bekerja. And they all have good reasons jadi Moko gak semudah itu melarang. Dialog mereka ‘sekeluarga’ di ruang tengah jadi salah satu highlight di film ini.
Dalam keluarga itu hanya ada dua. Antara kita ngerasa jadi beban, atau kita merasa terbebani. Mungkin kita merasa sudah terlalu banyak bikin susah orangtua. Mungkin kita ngerasa belum bisa balas budi. Atau di lain pihak kita ngerasa terlalu banyak dituntut; cuma kita yang kerja. Dialog dalam film ini membuka perspektif yang mungkin kalo di dunia nyata tak bakal terungkap. Bahwasanya menanggung beban untuk keluarga itu sebenarnya adalah sebuah privilege. Karena merupakan kehormatan untuk berkorban demi orang yang kita sayang. Orang-orang yang baik sama kita.
Karakter menarik buatku adalah Gadis yang numpang tinggal di tempat mereka. Relasinya dengan Moko bakal jadi salah satu relasi yang penting untuk pembelajaran Moko. Karakter satu lagi yang menarik adalah mas Eka, yang diperankan dengan super sotoy oleh Ringgo Agus Rahman. Menarik, karena dia ini kayak voice of reason yang mengutarakan hal yang sounds about right – yang terpikir juga di benak karakter lain seperti Maurin dan bahkan Moko sendiri, tapi mereka hanya terlalu baik untuk mengungkapkannya. Like, di dunia nyata sebenarnya ada kala kita butuh orang kayak Eka. Yang di balik omongannya yang nyelekit. dia toh point out some necessary evil things yang mungkin memang harus Moko lakukan. Tapi itu juga tidak lantas membuat karakternya ini totally benar. Aku pikir ada kekompleksan juga di karakternya ini. Kalo Moko bisa kayak Piccolo yang bisa membuang hati dan perasaan gelapnya ke luar dalam cerita Dragon Ball, maka perasaan gelap Moko itu akan jadi mas Eka ini.
Durasi yang cukup panjang berhasil diisi oleh film ini dengan cukup efektif. Film berusaha maksimalin momen-momen saat para karakter berkumpul bersama. Nature keadaan mereka memang sedih, tapi interaksinya dibuat sehangat dan serelate mungkin dengan keadaan bersaudara beneran yang gak terlalu mendramatisasi keadaan. Pengadeganannya juga dibikin unik, kayak saat Moko curhat ke Maurin soal dia merasa bersalah ingin kerja karena itu bakal berarti dia akan menyuruh ponakannya melakukan hal yang sama dengannya; menunda hidup mereka, adegan tersebut berlangsung di dalam mobil saat mereka masuk ke cuci mobil. Sehingga ada permainan warna dan vibe yang merasuk ke dalam mood dialog tersebut, Membuatnya jadi lebih membekas. Film ini juga menggunakan teknik pengungkapan yang sengaja membawa kita mundur ke adegan yang udah lewat untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya ada/dirasakan oleh karakter untuk menyambung perasaan, yang mungkin agak mengganggu pace tapi berhasil bikin emosinya juga lebih membekas.
Namun selain pilihan penceritaan yang estetik, ada juga beberapa yang bisa kita nitpick. Misalnya kayak adegan nyemen tembok yang semennya kok dikit banget itu. Aku khawatir nanti betonnya jatuh nimpa pemain wkwkwk… Atau adegan Moko nolak pemberian sepatu yang menurutku jadi cheesy basa basi karena barangnya udah ada dan mereka beberapa menit sebelum sidang, bukan lagi di toko atau di luaran. Tapi seperti kata lirik lagu sinetronnya, “Jangan risaukan…” film ini tetap menyenangkan dan aku suka banget momen Moko dan para ponakan main piano sambil nyanyi lagu tersebut.
Karena fokusnya pada hardship menjadi guardian bagi ponakan dan itu berarti mengorbankan banyak hidupnya sendiri, serta perasaan terbebani sekaligus juga pandangan tatkala ngerasa jadi beban keluarga, film ini mampu menjadi lebih terjangkau dan emosinya lebih ngena. Yang kompleks bukan sebatas angka karakternya saja, tapi juga perspektif mereka itu sendiri. Film mempersembahkan ceritanya dengan linear, memperlihatkan kehidupan dan permasalahan karakter, dengan beberapa time jump, dan bahkan dengan mundur sedikit untuk mereveal perasaan. Memang bisa agak terasa lama, tapi emotional pay off-nya akan sangat worth it terasa. Film ini cocok sekali untuk ditonton entah itu bareng keluarga beneran atau your new-found family, alias sahabat!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for 1 KAKAK 7 PONAKAN.
That’s all we have for now.
Di film ini ada adegan Moko presentasi dan akhirannya nyaris fatal. Apakah kalian punya pengalaman presentasi yang hampir menjadi mimpi buruk seperti itu?
Silakan share pengalamannya di komen yaa
Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL