MEN Review

 

“No one can send you on a guilt trip without your permission”

 

 

Sebagai cowok, tak bisa kupungkiri, tuntutan untuk tampil ‘kuat’ itu seringkali memang ada. Bahkan dalam bentuk terkecil, lingkup sehari-sehari sekalipun, cowok sedapat mungkin diharapkan untuk tidak menunjukkan kelemahan. Tidak memperlihatkan sisi ke-vulnerable-an. Mau itu kenalan atau berdebat, cowok harus memulai duluan, dan harus dapet the last word. Kalo dibales, lawan terus. Cowok juga pantang nunggu disuruh, harus langsung take action. Permisi? Gak perlu izin-izinan. Cowok harus bisa ambil inisiatif duluan. Tuntutan-tuntutan sosial seperti itu memupuk ego para cowok. Hingga ke titik gak sehat cowok harus terus menunjukkan dominasinya. Walaupun mereka tahu mereka yang salah, walaupun mereka tahu mereka yang ngarep, mereka yang butuh, cowok akan melakukan apapun untuk assert the dominance.  Akar konflik utama dalam Men, horor simbolik terbaru Alex Garland basically adalah cowok yang mengemis untuk dimengerti oleh ceweknya, tapi karena dia cowok, maka ia menunjukkan itu dengan membuat semuanya jadi toxic, menyengsarakan, dan mengerikan bagi semua orang. Terutama bagi ceweknya.

Cewek yang dimaksud bernama Harper (diperankan oleh Jessie Buckley yang benar-benar ngasih gambaran seseorang yang terluka dalam secara emosional). Harper menyewa rumah untuk beberapa hari di pedesaan di Inggris.  Niatnya sih dia mau healing, karena baru saja mengalami ‘perceraian’ yang dahsyat dengan suami. Mereka bertengkar, Harper ngancem pergi, dan si suami ngancem akan bunuh diri kalo Harper pergi. And he did it. Harper menyaksikan raut hopeless suaminya saat pria itu terjun dari atap apartemen. Adegan peristiwa itu yang terus terbayang di benak Harper sehingga dia berlibur ke desa untuk menghilangkan semua itu. Namun orang-orang di desa itu tampak gak beres. Semua pria yang Harper temui di sana, mulai dari empunya rumah, polisi, anak remaja, hingga pendeta (kesemuanya diperankan oleh aktor yang sama, Rory Kinnear) cenderung mempersalahkan dirinya. Mengjudge dia atas hal-hal yang ia lakukan, termasuk perihal kematian suami. Keadaan menjadi semakin menakutkan bagi Harper tatkala seorang pria misterius tanpa-busana muncul di halaman rumah sewaannya.

Seolah dia adalah Adam, yang ingin menuntut tanggung jawab dari Harper yang jadi Hawa

 

Rural atau Folk Horror yang efektif selalu menggali lebih dalam daripada sekadar orang kota berkunjung ke desa yang ternyata mengerikan. Walaupun memang tak sedikit juga horor yang bekerja cuma sampai pada level desa dipandang sebagai tempat yang angker, atau kuno, dan sebagainya, tetapi sesungguhnya yang namanya horor selalu berasal dari dalam. Untungnya, Alex Garland paham hal tersebut. Dalam Men ini, Garland tidak membuat film dangkal yang horornya berasal dari luar. Ya, orang di desa yang dijumpai oleh Harper bertingkah aneh, kurang ajar, dan menyeramkan. Tapi benarkah demikian? Garland mengangkat pertanyaan tentang itu dengan membuat pria-pria tersebut diperankan oleh aktor yang sama. Apakah ceritanya mereka semua kembar? Tentu tidak. See, yang namanya film selalu adalah soal perspektif. Maka, Garland mengarahkan kita untuk melihat orang yang melihat mereka semua sebagai orang yang sama. Kita difokuskan kepada Harper. Perempuan yang berkunjung demi melupakan traumanya. Trauma inilah yang sebenarnya jadi sumber horor yang dirinya alami selama di sana. Trauma inilah yang harus dia resolve, yang harus ia konfrontasi supaya benar-benar bisa ‘sembuh’. Dengan itulah, Men menjelma menjadi rural horor yang efektif karena dia menggali horor bersumber dari emosional karakter utamanya.

Garland menggunakan kontras untuk menguarkan perasaan terasing. Desa yang hijau dan tampak sungguh hidup kayak lokasi negeri dongeng dapat jadi tempat yang begitu terpencil rasanya bagi Harper. Rumah nyaman dapat jadi creepy dan berbahaya saat dirinya sendirian, Selain itu, banyak simbol-simbol, metafora, yang digunakan Garland untuk menggambarkan keadaan horor yang menghantui Harper. Salah satu simbol yang ia gunakan adalah simbol agama. Begitu Harper sampai di rumah sewaan di desa di menit-menit awal cerita, Garland sudah langsung menanamkan pohon dan buah apel di layar. Dengan segera menekankan antara persamaan antara Harper yang memetik apel tanpa ijin dengan Hawa. Poin Garlan di sini adalah bahwa perempuan dipersalahkan. Poin yang jadi Harper’s belief sebagian besar durasi.

Memahami film ini memang agak tricky. Apalagi membuatnya, aku yakin. Kenapa? Karena ini adalah cerita yang mencoba membahas relasi antara laki-laki dan perempuan, antara maskulin dan feminim, yang ceritanya dibuat oleh laki-laki, tapi mengambil sudut pandang perempuan. Bahkan, aku mereview ini saja ngeri. Takut terdengar seperti mansplaining perasaan yang dialami oleh perempuan dalam posisi Harper. Perempuan yang merasa dipersalahkan. Yang dituduh telah menyebabkan suaminya bunuh diri. Dia percaya dia gak salah, bahwa suaminya mati karena pilihan sendiri. Bahwa mereka bertengkar karena suaminya semakin toxic. Begitu banyak film yang membahas mengenai perempuan di dunia yang didominasi oleh racun maskulinitas pria, yang mencoba mengangkat sudut pandang perempuan sebagai korban dan membuat semua karakter pria sebagai misoginis brengsek. Film-film itu biasanya membuat protagonis perempuan yang gak-punya salah dan keseluruhan film menunjukkan bagaimana dunia terbentuk menjadi tempat berbahaya bagi perempuan. Film Men ini tidak seperti itu. Di sini letak tricky-nya. Tentu, film ini tidak meleng dari perangai pria yang lebih suka menyalahkan perempuan daripada ngakuin ke-vulnerable-an sendiri, tapi Men juga berani mengangkat bagaimana perempuan juga tidak sepenuhnya benar. Karenanya, salah-salah film ini bisa terlihat sebagai kelitan pria bahwa sebenarnya mereka gak bersalah.  Harper memang punya salah. Dia merasa dihantui seperti itu (mendengar gema suaranya aja dia jadi takut sendiri) tentu karena dia merasa bersalah terhadap sesuatu. Nah, penggalian terhadap itulah – realisasi Harper terhadap salahnya apa – itulah yang berusaha dihadirkan film yang have no choices menceritakannya dengan simbol-simbol dan penggambaran membingungkan. Semata karena film ingin respek terhadap sudut pandang yang berusaha digambarkan.

‘Kesalahan’ Harper cuma dia membiarkan dirinya kena guilt trip dari suami, dan kemudian dari para pria di desa, dengan terus avoiding confrontation. Hanya setelah dia mau duduk membicarakan masalah dengan para horor di akhir cerita itulah, Harper akhirnya menemukan kedamaian. Bahwa dia kini yakin dirinya sepenuhnya tidak-bersalah, tidak ada lagi ruang keraguan. Yea, Harper mungkin mematahkan hati suaminya (digambarkan lewat para pria di desa yang patah kaki dan tangan terbelah karena ‘ulah’ Harper membela diri) tapi bukan dirinya yang membuat suaminya bunuh diri. Dengan menunjukkan ‘kesalahan’ Harper, film ingin memperlihatkan bahwa most of the time perempuan bisa terus dipersalahkan hanya karena sikap pria yang tak terkonfrontasi.

 

Adegan hamil paling disturbing!!

 

Jika penampilan eerie Kinnear yang begitu luas rangenya itu belum berhasil bikin kalian takut, jika segala kilasan imaji-imaji patung nan surealis belum bikin kalian merinding, jika gema suara Harper belum bisa bikin kalian merapatkan kepala ke dalam selimut, well, Men masih punya satu senjata-horor lagi.  ‘Senjata’ yang berhasil bikin film ini jadi salah satu horor tergila. Garland juga menyiapkan elemen body-horor ke dalam cerita. Menjelang akhir kita akan disuguhkan pemandangan disturbing ketika si pria telanjang misterius melahirkan seorang pria, dan pria itu melahirkan pria lain yang dijumpai Harper di desa. Siklus melahirkan yang terus berulang. Membayangkan adegan cowok melahirkan aja udah bikin makan malam serasa mau melompat keluar. Film ini punya berkali-kali melahirkan bukan bayi tapi manusia dewasa, lengkap dengan darah dan cairan ketuban, dan ditambah ngeri pula dengan ‘lubang’ lahir yang berbeda-beda. Ada yang menyeruak dari punggung, ada yang dari mulut, ugh! Benar-benar horrifying! Semengerikan makna yang dikandungnya. Bahwa cowok di mana-mana sama, dan mereka seperti itu karena turun-temurun dibesarkan dengan pandangan – atau juga tuntutan – untuk menjadi toxic seperti yang sudah kujelaskan di pembuka ulasan.

Ngomong-ngomong soal makna, film Men yang sedari awal enak untuk dikulik dan dipikirkan mendadak terasa kayak cuek di akhir. Simbol dan kejadian-kejadian sureal diarahkan untuk menjadi ambigu dalam usaha film untuk tak terlihat menyalahkan karakter perempuannya. Ambigu, sampai-sampai di akhir cerita penonton malah jadi tidak yakin apakah semuanya nyata atau tidak. Jika ini tidak nyata, tapi toh film memperlihatkan bekas-bekas kejadian. Tapinya lagi jika nyata, film memperlihatkan banyak hal yang mengundang pertanyaan bagaimana bisa itu semua beneran terjadi tanpa ngasih jawabannya. Semuanya tampak seperti dilempar sebagai open interpretation, walaupun di titik akhir itu kita bisa menyimpulkan makna dan gagasan cerita. Menurutku pilihan ini dapat membuat penonton jadi bingung dan merasa tidak ada pay-off. Dan aku gak yakin ini film membuat pilihan yang benar dalam mengakhiri ceritanya.

 

 

Dari rural horor ke body horor, sesungguhnya film ini adalah gambaran horor yang surealis dari tantangan /kesulitan yang harus dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya film ini terasa disturbing luar dalam. Luarnya penuh imaji yang aneh dan benar-benar bikin gak nyaman. Dimainkan dengan luar biasa sehingga nuansa creepy itu benar-benar terdeliver. Sementara dalamnya sukses bikin kita tercenung, merenungkan relasi perempuan dan laki-laki yang kian gak-sehat. Film berusaha respek dan tidak ikut menyalahkan satu pihak, sehingga pada akhirnya memilih untuk menjadi ambigu. Dan dengan menjadi itu, film sedikit kehilangan powernya. But in the end, film ini tetap salah satu penceritaan horor yang menohok. Terasa beneran seram karena mengangkat hal dari dalam. Hal yang memang beresonansi dengan permasalahan mendasar manusia. Women and men.
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for MEN

 

 

That’s all we have for now.

Menonton film di atas, apakah ada terbersit dalam hati untuk merasa kasian kepada laki-laki tokoh ceritanya? Bagaimana pendapat kalian tentang si pria-hijau-telanjang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

MADU MURNI Review

 

“What makes a man”

 

 

Apakah poligami itu sebenarnya cuma urusan laki-laki dengan ego dan harga dirinya saja? Wah agak berat memang bahasan soal ini. Taroklah memang boleh, tapi apakah semua yang diperbolehkan harus kita lakukan. Kenapa kita memilih untuk melakukannya. Jujur aku gak paham soal beginian, Boro-boro mikirin dua, perihal satu yang lama yang kandas dengan sukses aja aku masih belum completely move on. Namun Monty Tiwa menemukan cara manis untuk membahas permasalahan poligami yang terkandung dalam skenario yang ditulis Musfar Yasin. Cara yang tidak ngejudge ataupun mencoba mendekonstruksi keyakinan pihak manapun. Melainkan pure dari sudut pandang karakter yang ditempatkannya dalam sebuah dunia drama komedi yang grounded. Sehingga menonton Madu Murni terasa seperti gurauan, tapi juga sekaligus accomplish so much dalam term karakter-karakternya yang boleh jadi ada perwujudannya di sekitar kita.

Cerita tentang pelakor memang lagi in di kita. Begitu juga dengan poligami, yang jadi polemik hangat di masyarakat. Sebagian ada yang mendukung (setengahnya beneran dukung dan setengahnya lagi cuma bisa pasrah), sebagian ada yang menentang. Karena isunya berada di tengah-tengah masyarakat itulah, Madu Murni juga menempatkan diri gak jauh-jauh dari lingkungan masyarakat umum. Karakternya tidak dipotret dari kalangan menengah ke atas, yang akar poligaminya lebih ke persoalan gaya hidup bebas yang bablas, atau ke yang bisa karena duitnya ada. Madu Murni pengen memperlihatkan apa yang menurut mereka jadi sumber utama. Ingin memperlihatkan bahwa keinginan poligami bisa dirasakan oleh lapisan manapun, asalkan di situ ada pria yang merasa insecure dengan posisinya sebagai seorang pria.

Meet Badrun.  Simbol keperkasaan seorang mantan guru ngaji yang kini jadi tukang pukul kekar bernama Mustaqim. Badrun juga adalah antagonis bagi Mustaqim, karena Badrun benar-benar menghalangi apa yang diinginkan oleh Mustaqim. Pria itu katanya pengen punya keturunan, jadi dia menikah lagi dengan seorang janda tiktok di kampung. Padahal sebenarnya Mustaqim menikah lagi karena istrinya, Murni, ogah menerima duit hasil dari kerjaan preman yang ia lakukan. Murni bisa nyari pegangan duit sendiri dari usaha warung. Ini adalah cakaran pertama bagi honor Mustaqim sebagai seorang kepala keluarga. Makanya dia cari tuh, keluarga baru yang bisa ia take care. Di sinilah si Badrun berulahAtau mungkin tepatnya, tidak-berulah. Badrun gak mau berdiri. Istri muda Mustaqim, si Yati, ampe uring-uringan terus setiap malam. Sedangkan si Mustaqim sendiri, so pasti makin nelangsa. Dia makin merasa helpless, gak jantan. Mau taroh di mana mukanya sebagai seorang pria? Mustaqim terus berusaha membangunkan Badrun, tanpa benar-benar menyadari apa yang sebenarnya membuat pria itu pria.

Seperti dendam, malam pertama harus dibayar tuntas

 

Bagaimana mungkin pria dewasa berbadan kekar bisa mendadak loyo? Ya, obat masalah Mustaqim bukanlah sate kambing, sop torpedo, atau segala macam ritual dukun-dukun. Inilah yang menarik dari film Madu Murni. Di balik raunchy humor seputar usaha pasangan suami-istri menggolkan Badrun, film mengajak kita untuk menyelam ke dalam permasalahan psikologis Mustaqim. Karena tentu saja ketidakkompakan si Badrun itu adalah masalah mental. Namun belum jelas, apakah rasa penyesalan, apakah rasa kegagalan, atau apakah ada hal lain yang dirasakan oleh Mustaqim sehingga mengganggu performanya. Penggalian terhadap itu yang membuat film ini menarik. Dan ketika tiba saatnya menggeledah kerapuhan sisi emosional Mustaqim, film dengan mulus menyublim dari komedi menjadi bahasan drama yang dewasa. Konfrontasi Murni istri pertama dengan dirinya, ataupun dengan istri mudanya. Konfrontasi Mustaqim dengan Badrun di saat personal dirinya. I think this film did a great job memasukkan adegan-adegan emosional itu ke dalam tone komedi yang merakyat nan sederhana. Tidak sekalipun film ini jatuh ke ranah lebay ataupun receh. Walaupun dunia panggung ceritanya dapat terasa sangat ajaib, tapi film tetap berpegang kepada how real perasaan yang dialami oleh karakternya. Kepada perspektif geunine dari karakternya.

Bukan fisik gede yang membuat cowok disebut perkasa. Bukan seberapa jago dia berantem, atau seberapa kuat dia berkuasa. Harga diri cowok sebagai pria – katakanlah kejantanannya – justru terletak dari bagaimana dia memperlakukan orang-orang terdekat, istrinya – keluarganya – sahabatnya. Bagaimana dia menjaga janjinya. Bagaimana dia melindungi yang lebih lemah. Dan pada gilirannya, bagaimana cara dia menghandle kelemahan yang dipunya. Hal inilah yang harusnya dijaga oleh lelaki, ketimbang gagah-gagahan.

 

Inner aspect tersebut tertampil lebih menarik lagi karena mencuat dari karakter-karakter yang ajaib. Mereka itulah yang menyebabkan film ini pantas menyandang genre komedi. Madu Murni dihidupi oleh karakter-karakter yang lain dari yang lain. Ada tukang pukul yang badannya kecil, suaranya nyaring, tapi sangarnya minta ampun (bayangkan Komeng kalo jadi tukang pukul). Bahkan luka codetnya punya ‘cerita’ tersendiri. Ada karakter bos preman yang bicara pake boneka, yang bangun markas penuh performance arts jalanan. Ada bapak-bapak yang tampak lemah tapi punya backingan anak-anak jagoan. Mereka-mereka ini membuat perjalanan Mustaqim menjadi berwarna, tapi juga tidak sampai mendistract kita dari karakter sentral tempat film menuliskan pesan dan gagasan. Tiga karakter sentral benar-benar ditulis oleh film dengan lapisan yang cukup berlapis. Karakter Yati, si bini muda, misalnya. Gampang membuat karakter ini jadi pelakor jahat yang gak benar-benar punya cinta, ataupun membuatnya jadi komedi atau bahan selorohan saja. Yang dibangun tipikal berbodi seksi dan sebagainya. Lapisan tersebut memang ada pada Yati. Adegan yang bikin penonton di studioku ngakak paling keras kan pas Yati marah-marah dan ngambek ngomong langsung ke si Badrun. Tapi beberapa adegan kemudian, penonton terdiam terhanyut di dalam emosi saat Yati meledak menumpahkan isi hatinya kepada Mustaqim di jalanan. Ya, Madu Murni ternyata juga memberi ruang kepada karakter seperti Yati untuk menggali perspektifnya; pelakor yang dianggap semua orang jahat, ternyata tetap manusia di dalamnya. Aulia Sarah kini benar-benar dapat waktu untuk menggali permainan peran dan emosi, gak sekadar menampilkan presence saja.

Mustaqim dan istrinya, Murni, diperankan oleh real-life couple, Ammar Zoni dan Irish Bella. Sehingga chemistry jadi gak begitu masalah buat mereka. Lihat saja dialog di menit-menit awal, yang direkam gak-putus. Perbincangan mereka tentang duit hasil kerjaan tampak natural, ini jadi pondasi cerita yang cukup kokoh. Naik-turun, hingga emosi tertahan dapat kita rasakan di sini. Tadinya kupikir Mustaqim bakalan urakan, kayak Ajo Kawir di Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). You know, like, kupikir dia juga jadi tukang pukul demi melampiaskan ego maskulin, kompensasi dari ‘penyakit’ Badrun. Ternyata tidak, Mustaqim sedari awal sudah seorang pribadi yang pikirannya bisa dibilang lurus. Dia kerja jadi tukang pukul, tapi enggak membuatnya suka berkelahi. ‘Penyakit’ Mustaqim bisa dibilang lebih unik, karena tergambarkan sebagai sesuatu yang  lebih ke arah psikologis. Gak setiap hari kita dapat film yang berani ngasih lihat karakter dengan bentukan jagoan terlihat begitu vulnerable. It’s not easy nunjukin sisi vulnerable dari situasi yang sangat kontras, dan Ammar Zoni berhasil memainkannya dengan solid, berani mengeksplor karakter itu.

Semasa hidupnya pun Badarawuhi sudah gangguin hubungan orang

 

Perspektif semakin berusaha diseimbangkan lagi oleh naskah dengan turut membahas sisi Murni. Film bahkan menjadikan ‘keadaan’ Murni sebagai judul, demi menunjukkan concern terhadap sudut perempuan yang diduakan dalam problematika poligami. Peran Murni memang memberikan banyak suntikan dramatis, tapi untuk fungsinya itu, Murni jadi agak satu-dimensi. Perempuan lembut yang terluka. Cinta yang harusnya dikenali sekali lagi oleh Mustaqim. Fungsi itu membuat Murni tertampil bersedih-sedih. Dan ketika film membuat solusi yang ia tawarkan jadi pertaruhan berikutnya bagi harga diri Mustaqim, karakter Murni bisa berbalik tampak annoying. Meskipun sebenarnya hadir sebagai pemantik simpati, Murni bisa tampak membosankan. Menurutku, karakter Murni harusnya bisa lebih dikembangkan lagi. Taruh dia di situasi yang lebih bervariasi. Memang, film mencoba menempatkannya di situasi komedi. Ada adegan dia berkonsultasi ke dokter, hanya saja keseluruhan sekuen ke dokter tersebut tidak kuat dikarenakan mereka pergi ke dokter yang ‘salah’ Sehingga tidak benar-benar berarti banyak selain untuk cameo komedi.

Ngomong-ngomong soal komedi, I do think ada porsi-porsi komedi yang terlalu dipanjang-panjangin. Tone film sebenarnya cukup imbang, dan ada transisi yang mulus ketika film berpindah ke bahasan yang lebih serius. Hanya saja tempo atau pace film yang kurang balance berkat terlalu lama menertawakan suatu hal. Misalnya, bagian Mustaqim dan Yati nyoba berbagai obat dan cara setiap malam. Sebenarnya ini bisa saja dilakukan dengan montase, karena poinnya kan ingin nunjukin segala macam cara dicoba tapi Badrun gak bisa bangun. Kalo poin tersebut sudah terestablish, ya langsung lanjut ke poin lain aja. Tapi film melakukan cara-cara itu dengan benar-benar elaborate. Sehingga terasa jadi repetitif, dan membuat film untuk beberapa menit stuk di tempat yang itu-itu saja. Siang nagih hutang, malam trouble in paradise. Esensi narasi sebenarnya kan untuk nunjukin bagaimana Mustaqim memaknai dan belajar dari kegagalan berdiri itu. Bagaimana itu mempengaruhi kehidupannya, mempengaruhi hubungannya dengan Murni dan lain-lain. Bagian yang penting itu jadi datang sedikit terlambat, karena film terlalu lama nunjukin komedi yang timbul dari Badrun gak bisa bangun.

 

 

Film ini berhasil menyuarakan gagasannya dengan harmless. Mengulik isu poligami yang sedang trend dibicarakan dengan berimbang dan mengembalikannya kepada karakter. Inilah kunci keberhasilannya. Naskah, yang berhasil mengeksplor karakter dan membuat mereka genuine. Dekat. Sehingga problem mereka bisa terproyeksikan dengan mulus. Menghadirkan kisahnya sebagai komedi juga membuat film ini semakin mudah akrab dengan penonton. Vibe film ini sersan banget, serius tapi santai. Tone-nya imbang. Temponya saja yang sedikit kurang lancar.  Lama mencapai klimaks adalah hal yang bagus di ranjang, tapi buat penceritaan film, hal itu bisa menjadi masalah. Karena harusnya penceritaan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 6  out of 10 gold stars for MADU MURNI

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi, apakah poligami itu sebenarnya memang cuma urusan laki-laki dengan ego dan harga dirinya saja?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

THE DOLL 3 Review

 

“It is never acceptable for us to be the cause of any child to feel unloved or worthless”

 

 

Perasaanku buat franchise The Doll garapan Rocky Soraya cukup mixed. Film keduanya mengejutkanku. Dari franchise ini, The Doll 2 (2017) yang kutonton pertama, and it was not bad. Dramanya bekerja cukup baik, tapi yang paling menghibur adalah babak ketiga yang seru penuh darah. Beberapa waktu setelah itu, baru aku coba tonton film The Doll original (2016), Dari situ baru aku tahu kalo film ini ngincer gimmick boneka-hantu, tema cerita keluarga, dengan tone bunuh-bunuhan yang maksimal – plus twist (yang sekarang udah jadi kayak becandaan; karakter ayah/cowok selalu jahat atau punya kesalahan yang ditutupi). Meskipun akting di film pertama buatku annoying, dan aku gak suka sama spin-off Sabrina (2018), yang jadi sekuel terpisah dari The Doll 2, franchise ini punya konsep yang keren. sense horor franchise ini juga bagus. Yea, obviously they kinda rip-off Hollywood; boneka Sabrina itu Annabelle, Laras dan karakter si Jeremy Thomas (lupa namanya) basically Lorraine dan Ed Warren, dan di film ketiga ini ada boneka baru bermerk Bobby yang tentu saja adalah ‘kw-an’ dari Chucky si boneka Buddi. Tapi ini bisa dioverlooked-lah, selama The Doll masih terus punya cerita dan gaya sendiri untuk menghidupi kemiripan tersebut,

Film ketiga ini menyoroti keluarga Tara yang baru ditimpa kemalangan besar. Kecelakaan mobil menewaskan ayah dan ibu, serta meninggalkan luka membekas (fisik dan mental!) kepada adik laki-lakinya, Gian, yang berhasil selamat dari kejadian tersebut. Tara yang manajer di toko mainan kini tinggal berdua saja dengan Gian. Tapi kemudian datanglah Aryan, pacar Tara, melamar. Gian gak suka ada yang deketin kakaknya, karena menurutnya itu bakal berarti cinta sang kakak tidak akan lagi utuh dicurahkan untuknya. Disogok boneka Bobby (boneka canggih yang diprogram bisa bicara dan bergerak) pun gak mempan. Gian masih cemburu, marah, merasa ditinggalkan, sampai akhirnya bunuh diri. Hancur hati Tara sungguh tiada tara! Nestapa dan gak tenang adiknya pergi dalam perasaan tak-dicintai, Tara nekat pake dukun untuk memasukkan arwah Gian ke dalam tubuh boneka Bobby. Tara ingin mengucapkan proper goodbye. Saat itulah masalah dimulai. Gian yang masuk ke dalam boneka diam-diam melakukan hal yang membahayakan nyawa orang-orang yang menurutnya telah merebut kakak darinya.

Kenapa sih selera boneka orang-orang dalam film horor jelek semua?

 

Topik yang diangkat sangat matang dan kelam sekali. The Doll 3 bicara tentang hubungan kakak adik, yang basically gak punya keluarga lain, dan adiknya jadi cemburu melihat kakaknya ‘diambil’ oleh orang lain. Ini angle yang film-film horor Indonesia yang gak jamah. Not even original Chucky punya ini. ‘Cerita’ semacam itulah yang jarang dipunya oleh horor lokal, yang kebanyakan cuma melempar adegan-adegan seram di sana-sini sepanjang durasi.  Tapi The Doll 3 punya. Horornya bukan sekadar bersumber dari boneka yang bisa membunuh karena kemasukan roh jahat, tapi juga bersumber dari personal karakternya. Kakak yang merasa bersalah kurang menunjukkan cinta kepada adiknya. Adik yang dalam keadaan begitu vulnerable merasa terpinggirkan. Ini adalah subjek yang bisa jadi fondasi drama yang serius. Perkara elemen horornya, The Doll 3 perfectly mengcover itu dengan gaya berdarah-darah yang dipertahankan franchise ini.

Hal baru yang jadi ‘mainan’ oleh teknis franchise ini tentu saja adalah Bobby si boneka yang supposedly ‘beneran’ bisa bergerak alih-alih melotot diam sambil kemudian ngucurin darah kayak di film-film sebelumnya. Tadinya aku sempat meragukan bagaimana film akan melakukan hal tersebut. Bagaimana teknologi kita bisa membuat yang seperti Chucky, you know, apa bakal kelihatan banget orang pakai kostum? Ternyata enggak, film memang menggunakan boneka animatronic yang gak kalah luwes ama film barat. Aku gak tahu mereka pakai berapa boneka di film ini, tapi seenggaknya ekspresi si Bobby tampak cukup beragam. Khususnya pada ekspresi marah, yang lumayan meyakinkan. Jumpscare dalam kamus film ini berarti tusukan pisau Bobby yang datang tiba-tiba. Pisau itu mengarah ke tempat-tempat yang bikin ngilu, batang leher-lah, pergelangan kaki-lah. Adegan pembunuhan dalam film ini sadis, dan seringkali tidak tampak fun kayak di film Chucky. Pure mengenaskan, like, mereka melakukannya karena butuh untuk ada yang mati karena roh si anak ini sudah jadi begitu jahat. Rating ‘Dewasa’ memungkinkan The Doll 3 mengangkat materi yang lebih kelam, dengan cara yang lebih gelap juga tentunya. Pengadeganan horornya pun gak lepas dari kait emosional yang dramatis. Kita akan lihat momen ketika Tara hadap-hadapan sama mayat adiknya yang sudah membiru dan mulai membusuk ketika dia harus menggali kuburan sang adik. Aku sebelumnya tertawa melihat adegan dengan mayat seperti ini dalam kartun Rick and Morty, tapi dalam film The Doll 3, feelingnya pure naas. Satu lagi momen dahsyat film ini adalah pada saat gambarin adegan kematian Gian. So dramatic yet so haunting. Detik-detik kakak lari mencari-cari adiknya yang mau terjun dari suatu tempat dipadupadankan dengan keriuhan orang-orang lagi menanti momen tahun baru. Lalu ketika semuanya terjadi, si kakak menangisi dengan latar kembang api. Bukan lagi soal efek atau apa, melainkan perasaan yang dihadirkan benar-benar pas untuk menghantarkan kita terbenam ke dalam tragedi yang bakal jadi horor keluarga ini.

Horor memang selalu jadi tempat/medium puitis untuk menggambarkan tragedi, termasuk juga yang menimpa anak kecil. Film-film seperti It, The Babadook, bahkan The Shining, dan banyak lagi sangat hati-hati dalam memvisualkan horor tersebut. Anak kecil bisa terabuse mental atau fisik, tugas film untuk memperlihatkannya ke dalam bentuk seperti ditakut-takuti, atau malah jadi menjahati dengan penuh pertimbangan sehingga ketika membahasnya tidak malah tampak seperti sedang mengeksploitasi. Film The Doll 3 memperlihatkan anak yang memilih untuk bunuh diri. Ini bukan persoalan main-main, bunuh diri pada anak harus dapat perhatian yang serius karena di dunia nyata itu memang masalah serius. Jangan sampai ketika jadi film, malah kayak meromantisasi tindakan tersebut. It is a heavy subject, dan The Doll 3 kayak menghindari ini. Kupikir persoalan matinya Gian akan mendapat pembahasan yang serius, tapi ternyata hanya disapu singkat. Film menempatkan ke dalam value moral ‘orang yang mati seperti Gian tempatnya berbeda dengan  orang yang mati seperti ayah dan ibunya’ tapi enggak pernah spesifik kembali ke persoalan bunuh dirinya. Gian di dalam Bobby sudah jadi jahat, dan dia gak ragu membunuh orang termasuk anak-anak seperti dirinya. Di film ini, anak kecil adalah subjek sekaligus objek kekerasan. Penggambaran gak tanggung-tanggung, anak kecil terjun bunuh diri, anak kecil ditusuk, disabet pisau, didorong dari atas, diinjak. Aku sudah banyak nonton horor, dari yang paling sadis hingga paling cupu, dan penggambaran kekerasan seperti film ini seperti jarang ditemukan. Anak-anak ditakut-takuti, diserang, tapi biasanya dilakukan dengan layer. I dunno, mungkin karena pengaruh berita penembakan SD di Amerika yang kubaca sebelum nonton film ini, tapi kupikir harusnya film seperti The Doll 3 harus berhati-hati, bermain lebih cantik lagi, dalam menampilkan anak-dalam-skena-horor supaya gak jadi kayak eksploitasi aja. Gak jadi sebagai pemuas adegan darah saja.

Bicara tentang anak yang merasa tak-dicintai, tapi hampir seperti film ini sendiri kurang ‘mencintai’ karakter anaknya. Yang seharusnya bisa sebagai subjek, malah tidak dibahas lanjut. Film ini kayak mau nampilin boneka yang membunuh saja, tanpa benar-benar peduli kalo di dalam situ adalah anak yang bunuh diri, dan ada anak lain yang terus dijadikan target serangan. Untuk menyeimbangkannya mestinya harus ada bahasan yang benar-benar mewakili perspektif sebagai karakter manusia.

 

Apalagi memang film yang secara nature adalah cerita yang sangat mature ini terasa hanya di permukaan. Dia kayak gak benar-benar mau tampil sebagai cerita yang dewasa. Pengen tetep appeal buat seluruh lapisan umur. Bayangkan kalo anak-anak (yang somehow oleh bioskop diloloskan masuk) nonton ini, dan hanya melihat bunuh diri dan penyerangan-penyerangan itu sebagai seru-seruan horor semata. Bakal horor beneran kalo mereka main bunuh-bunuhan di taman kompleks ntar sore! Konteks dark dan trauma harusnya tetap kuat. This is not a movie for children. Maka film harusnya memperdalam dialog-dialognya. Karena yang kita dengar sepanjang nyaris dua jam itu adalah dialog standar “Kakak gak cinta sama aku!” “Kakak sayang sama kamu!” Dengan kualitas dialog seperti itu, kayak, mereka bukannya masukin persoalan anak karena pengen membahas dan ngobrol mendalam secara dewasa, melainkan supaya anak-anak bisa ikut nonton sadis-sadis yang dibikin. Kan aneh. Dialognya terlalu receh untuk tema sedalam ini. Alhasil karakternya juga gak pernah jadi benar-benar terfleshout.

Dari segi akting jadi gak ada yang menonjol. Jessica Mila, Winky Wiryawan, Montserrat Gizelle, mereka gak dapat tantangan apa-apa dari film ini. Selain teriak ketakutan dan kesakitan. Bahkan peran Gian yang unik pun diarahkan untuk jadi datar. Kurang personality, apalagi jika dibandingkan dengan Chucky. Yang bikin Chucky seru kan campuran dari perangainya yang arogan, kasar, suka nyumpah serapah dan suara kekeh khas dari Brad Dourif – yang semuanya jadi kontras menyenangkan dengan tubuh kecil bonekanya. Chucky jahat, tapi dia jadi karakter jahat yang fun. Gian alias Bobby kayak robot. Datar. Bahasanya kayak anak kecil yang bahkan lebih kecil dari usianya kelihatannya. Aktor cilik Muhammad Zidane yang menyuarakannya bisa apa untuk menghidupkan karakter ini tanpa arahan yang baik. Karakter ini perlu lebih banyak menunjukkan personality. Lihat ketika di final battle dia mulai ngelucu dengan ‘pusing’ atau mulai menjadikan tawa datarnya sebagai signature ejekan, penonton baru bereaksi dan have fun bersamanya. Sebelumnya, Gian hanya tampak seperti anak cemburuan yang annoying, dia butuh lebih banyak momen membahas karakternya.

Gimana caranya si Bobby bisa pindah-pindah tempat secepat itu???

 

Sebenarnya naskah film ini memang tersusun lebih proper (setidaknya dari horor lokal kebanyakan) Babak set up beneran tersusun, plot Tara sebagai protagonis juga, secara teori, bisa dibilang benar. Ada perubahan pemikiran. Hanya saja, perubahan atau pembelajarannya itu tidak earn dari dalam dirinya. Dialog konfrontasinya dengan Gian hanya seperti dia ngeguilt trip anak itu. Oke, membunuh orang memang perbuatan salah, tapi selain Gian diberitahu dia salah, Tara juga perlu mengenali apa sebenarnya awal dari ini semua. Tara harus mengenali kesalahan yang ia buat sebagai sumber masalah sehingga aksi dia membenahi diri – secara perspektifnya – akan jadi penyelesaian kisah ini. Tapi momen pembelajaran seperti itu gak ada. Sepanjang film, Tara hanya menyaksikan adiknya mencelakai orang, Tara sendiri tidak pernah benar-benar dalam bahaya. Harusnya ini bisa jadi akar inner journey Tara. Kenapa orang sekitar yang mencintainya semua terluka. Ortunya yang kecelakaan saat mau menjemput dirinya, adiknya, pacarnya, adik pacarnya. Kenapa adiknya bisa sampai cemburu. Dan ngomong-ngomong soal adik pacarnya, mestinya si Mikha itu bisa jadi redemption buat Tara. Bentuk maaf Tara gak mesti harus kata-kata yang ia ucapkan ke depan Gian, apapun bentuk si Gian saat itu. Bisa dengan benar-benar menunjukkan kepedulian sama yang mencintai dia atau semacamnya. Namun sekali lagi, karakter Tara juga gak dibahas mendalam karena film terus menerus ke soal Gian cemburu saja.

Pembelajaran Tara datang lewat twist berupa revealing yang tahu-tahu menambah motivasi dirinya di menit-menit akhir. Ada penjelasan panjang mengenai kejadian yang awalnya kayak cuma prolog saja. Protagonis kita berubah jadi better person karena pengungkapan ini. Karena ternyata ada karakter yang ternyata menyimpan rahasia kejadian sehingga dia gak perlu lagi merasakan hal yang ia rasakan kepada si karakter. Sehingga dia kini bisa menghormati pilihan hidup (atau mati) adiknya. Ini cara yang aneh dilakukan film untuk berkelit dari bahasan rumit kakak-adik. Mereka cukup memaparkan kejadian dari luar dalam bentuk ‘twist mencengangkan’. Supaya audiens suka. Tapi nyatanya, yang kulihat di studio, penonton malah mulai kasak-kusuk sendiri begitu momen twist yang gak perlu ini muncul sebelum penghabisan. Karena memang di bagian ini bagi penonton casual (yang hanya menonton adegan-adegan), film kayak ngestretch waktu aja. Ceritanya sebenarnya sudah abis.

 

 

 

Bagus sebenarnya di skena horor Indonesia ada yang berbeda seperti franchise ini. Yang menawarkan materi yang lebih dewasa, gaya yang lebih sadis, sebagai alternatif. Cuma sayangnya, filmnya sendiri gak komit betul dengan tawarannya. Film ini masih dibuat seperti supaya semua lapisan umur menonton. Padahal tema dan ceritanya sangat dewasa. Adegan-adegan horornya juga berdarah dan lebih kelam. Tapi dialog dan karakternya masih ditulis sederhana. Kurang personality. Tidak mendalam. Plot karakternya juga disesuaikan dengan twist yang somehow masih dianggap perlu. Padahal harusnya karakter berubah dari dalam. Cerita padahal akan baik-baik saja jika mendalami perihal kakak dan adiknya yang cemburu. Kalo ada yang bunuh diri di sini, maka film ini pun membunuh dirinya sendiri dengan terjun bebas lewat pengungkapan mengejutkan yang tak perlu.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DOLL 3

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian cara yang tepat untuk menangani adik atau anak yang cemburu karena merasa kurang disayangi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE NORTHMAN Review

 

“He who seeks revenge digs two graves.”

 

 

Dongeng-dongeng kerajaan selalu diwarnai oleh perang, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan. Mulai dari Ken Arok hingga Game of Thrones, selalu ada yang namanya pertikaian menggulingkan raja. Kudeta dari sanak keluarga. Entah itu untuk menjadikan hal lebih baik atau lebih buruk. tahta dan kekuasaan tampaknya memang mengeluarkan sisi ‘binatang’ dari manusia. Betapun beradabnya hidup kita. Mungkin itulah yang bikin Robert Eggers tertarik untuk mengangkat cerita dari mitologi bangsa Viking. Terkenal lewat dua film-panjang pertamanya, The Witch (2015) dan The Lighthouse (2019), sutradara ini bilang dia enjoy mengangkat cerita dari periode dahulu kala karena menurutnya manusia itu tidak berubah. Walaupun zaman dan keadaan bisa demikian berbeda, nature manusia tetap sama. Maka tentu saja menarik sekali mengulik apa sebenarnya yang ingin Eggers sampaikan lewat The Northman, karya terbarunya. Yang membahas tragedi satu kerajaan bangsa Viking di awal-awal tahun Masehi, paket-lengkap perebutan kekuasaan dengan pengkhianatan dengan penceritaan penuh fantasi dan machismo!

Bayangkan The Lion king, jika ceritanya lebih menekankan kepada balas dendam sehingga berkembang menjadi antitesis petualangan si Simba. Gak ada hakuna matata. Hanya balas dendam yang membara.  The Northman menceritakan kisah Amleth. Calon penerus kerajaan yang harus menyaksikan kematian ayahnya, sang raja, di tangan pamannya sendiri. Kisah Amleth ini memang jadi inspirasi William Shakespeare, yang menuliskannya ke dalam apa yang kita kenal sebagai Hamlet – yang diyakini sebagai salah satu literatur paling berpengaruh di dunia. Hamlet telah diadaptasi dan jadi inspirasi bagi banyak karya lain. Salah satunya adalah si Lion King. So yea, Amleth pun diburu oleh kaki tangan pamannya. Seperti Simba diburu oleh para hyena atas perintah Scar, pamannya. Tapi gak seperti Simba yang terbenam dalam rasa bersalah, Amleth tumbuh dengan rasa dendam mengendap dalam dadanya. Mantra yang terus ia ulangi selama mendayung perahu saat melarikan diri adalah “I will avenge you, Father! I will save you, Mother! I will kill you, Fjolnir!” Hingga dewasa – berotot dan buas sesuai didikan klan Berserker yang memungutnya – Amleth terus mengulangi mantra itu. Dan ketika dia mendengar kabar keberadaan Fjolnir pamannya, Amleth menyamar sebagai budak belian sang paman. Dengan bantuan Olga – perempuan yang juga jadi budak – dan  sihir leluhur, Amleth bermaksud untuk memenuhi apa yang ia yakini sebagai tugasnya hidup di dunia.

Ini gambaran cerita Viking paling badass yang pernah aku lihat (bye-bye Viking yang selama ini kutahu dari Asterix!)

 

 

Bahkan untuk film yang sudah kuharapkan bakal sangar, The Northman tetep terasa amat sangat cadas! Aksi-aksinya beneran kekerasan yang tingkat barbar. Yang terasa semakin efektif berkat dukungan warna dan visual yang dingin. Sinematografinya indah  memang, tapi terkesan dingin. Pemandangan Islandia terhampar luas, mau itu daratan bersalju ataupun padang rumput. Malam-malam dengan api unggun. Dan itu semua works out perfectly, ngasih kita pengalaman nonton yang bikin adrenalin naik. Serupa kayak kalo lagi dengerin musik supermetal. I wish film ini tayang di bioskop supaya cinematic experiencenya bisa kita rasakan naik berkali lipat. Gerak kamera film ini benar-benar menyampaikan sensasi hewan buas, seperti yang dirasakan oleh karakternya. Karena dari perspektif Amleth, dirinya adalah serigala liar. Dia diajarkan identitas hidup dan survive seperti demikian, Eggers benar-benar memastikan perspektif protagonisnya itulah yang hanya kita rasakan sepanjang durasi film.

Saking immersivenya semua terasa, aku jadi kesulitan menentukan bagian mana yang paling aku suka dari film ini. Aku terbagi tiga! Bagian menyerbu ke desa untuk dijajah punya gerak kamera yang intens, sesuai dengan konflik yang bersarang di hati Amleth. Karena sekarang dia yang jadi ‘teroris’. Adegan-adegan di sekuen itu bengis-bengis dan Eggers memastikan kameranya gak berpaling dari itu semua. Aku suka. At one time, Amleth menangkap tombak yang dilempar kepadanya, dan melemparkan tombak itu balik ke si pelempar. Bad ass!! Sementara, final battle pun nanti tak kalah poeticnya. Malah bisa jadi terakhir itu adalah adegan swordfight paling ngerock yang pernah kita lihat di dalam film. Amleth dan Fjolnir, one on one, berduel hidup-mati, berlatar volkano yang tengah memuntahkan lava. Hasil akhir duel mereka bikin aku berdiri di kursi dan bertepuk tangan karena begitu keren pengadeganannya. Tapi bagian-bagian yang surealis pun tak kalah cakepnya. Ya, seperti film Robert Eggers yang sebelum-sebelumnya, The Northman juga kental oleh elemen fantasi atau mitologi yang  digarap dengan pendekatan surealis, nyaris mistis. Dan memang gaya ‘horor’nya inilah pemanis film Eggers sejauh ini. Set pieces dan kostum dan sinematografi tadi semakin dahsyat begitu masuk ke ranah ini. Amleth bakal dapat banyak bantuan dari makhluk-makhluk misterius, dia juga bakal banyak mendapat penglihatan. Eggers menjalin semua elemen dunia ceritanya dengan mulus. Also, kita bisa langsung mengerti makna di balik elemen surealis tersebut – atau setidaknya gak butuh banyak pemikiran rumit, karena The Northman, untuk sebagian besar, tidak tampil seambigu dua film Eggers sebelumnya. Ini cerita yang lebih straightforward. Tapi benar-benar ter-enhance berkat gaya penceritaan Eggers. Man, kalo memang harus mutusin, kayaknya aku bakal pilih bagian surealis aja sebagai favorit. Afterall, Anya Taylor-Joy ditempatkan di estetik dream-like tersebut betul-betul pemandangan yang:

*chef kiss*

 

 

Tentu saja penampilan akting dalam film ini juga berada di level ‘out-of-the-world’, alias sama-sama fantastis. Dialog-dialog mereka untungnya enggak setraditional dialog pada The Lighthouse, sehingga gak sukar dimengerti walaupun memang ada beberapa yang berupa chant bahasa nordik kuno (dan pelafalan nama yang cukup bikin lidah mikir dulu). Selain Anya, ada Willem Dafoe, Nicole Kidman, Ethan Hawke, dan banyak lagi aktor yang maksimal menghidupkan karakter mereka. But I do think development karakternya minimal. The Northman ini mengincar Dramatic Irony. Drama dari kejadian yang kita sebagai penonton tahu lebih banyak atau lebih dahulu daripada protagonisnya. Diharapkan, kita semakin peduli sama tindakan yang dipilih si karakter karena, misalnya, kita tahu yang ia pilih untuk yakini adalah sesuatu yang salah, sehingga kita merasakan dramatis dari sana. Nah di film ini, kita bisa melihat jauh lebih dahulu daripada si Amleth perihal apa sih sebenarnya di balik pengkhianatan si paman. Kita melihat Amleth sepanjang durasi terbakar oleh rasa dendam, bahwa segala tindakannya berujung kepada rencana untuk membalas dendam, tapi kita juga mengerti sepertinya ada kenyataan yang mengejutkan bagi Amleth di balik pengkhianatan tersebut. Di situlah letak kurangnya perkembangan karakter. Amleth hanya termotivasi oleh satu hal, dan ketika dia tahu kenyataan, bagi Amleth cuma jadi sebuah shock value. Pada akhirnya dia tetap harus membunuh sang paman, tapi perubahan alasan kenapa dia harus membunuh – tidak lagi semata karena balas dendam – tidak benar-benar diolah maksimal oleh film.

Percaya bahwa hidup untuk menjalankan satu tujuan atau fungsi tertentu. Begitulah orang memaknai takdir. Semua orang punya takdir, tapi adalah satu kesalahan meyakini takdir hidup hanya untuk membalas dendam. Perjuangan Amleth pada awalnya untuk membalas dendam, demi merebut kembali tempatnya sebagai penerus raja bersama keluarga. Itulah takdirnya yang sebenarnya. Amleth harus menyadari cara lain yang bisa ia ambil untuk memenuhi takdirnya sebagai raja. Cerita Amleth baru benar-benar jadi tragedi saat dia sudah menyadari hal tersebut, tapi tetap memutuskan untuk membalas dendam.

 

Amleth yang diperankan penuh dedikasi secara fisik maupun emosional oleh Alexander Skarsgard terasa stagnan karena film tidak memperlihatkan perkembangan atau pembelajaran yang ia alami. Misalnya, film melompat begitu saja dari saat dia kecil kabur dari buronan pembunuh, ke masa dia sudah jadi pejuang di klan Berserker. Kita tidak dikasih lihat perjuangannya bisa sampai sejago itu. Film hanya terus menekankan kepada revenge. Keinginan balas dendamlah yang bikin Amleth kuat. Ketika dia mulai jadi budak keluarga pamannya, seharusnya ada banyak psikologis yang bisa digali dari karakter Amleth. Karena di situ dia bertemu dengan ibunya, dengan adik tirinya, dengan pamannya, dan bahkan dengan penjaga yang dulu hampir mencelakainya. Fokus film tetap memperlihatkan balas dendam, Amleth menyusun rencana bersama Olga. Di babak kedua, pas jadi budak inilah film kayak meraba apa yang mau dibahas. Sempat diperlihatkan soal cinta pada keluarga. Ada sekuen yang memperlihatkan adegan Amleth menyelamatkan nyawa adik tirinya. Anak pamannya dengan ibunya. Tapi ini gak lanjut digali. Alih-alih membuat Amleth mengkonfrontasi perasaan atau penyebab kenapa dia menolong, film malah kembali membuatnya seolah itu adalah bagian dari rencana balas dendam. Amleth kerap dibuat kembali ke soal balas dendam. Karakternya jadi kurang dalam.

Hubungan dia dengan ayahnya pun kurang dalam penggaliannya. Like, untuk sebuah tekad membalaskan dendam, Amleth tidak digambarkan sedekat itu dengan sang ayah yang di menit-menit screen timenya diperlihatkan baru saja pulang dari perang dan sudah lama tidak melihat Amleth. Ketika mengetahui fakta tentang siapa ayahnya di akhir pun, Amleth tidak tampak demikian terguncang. Dia lebih terguncang buat ibunya. Menurutku ada penekanan yang kurang tegas dilakukan oleh film. Motivasi Amleth mestinya sudah berubah di titik dia tahu kebenaran. Bahwa the revenge it’s not just really about his father. Maskulinitas kerajaan itu kini hancur oleh terkuaknya peran perempuan. Ada sesuatu yang sepertinya ingin disampaikan film ini tentang perempuan di dalam narasinya. Ibu dan Olga bahkan terlihat punya keparalelan pada peran karakter mereka. Begitu juga dengan kemunculan Valkyrie – pejuang perempuan – dalam penglihatan Amleth. Kedamaian yang akhirnya dicapai oleh Amleth tampak datang dari dia sudah punya keluarga bersama Olga, tapi siklus balas dendam itu masih ada. Menurutku film ini, setelah terlalu straightforward mengisi dua babak awal karena kebutuhan untuk memunculkan dramatic irony tadi, malah tampak seperti kehabisan waktu mengembangkan kisahnya di babak akhir. Karena mendadak yang straightforward jadi balik ke ambigu. Film memang tidak sampai tergagap dan masih mempertahankan pesonanya, tapi kupikir hasil akhirnya harusnya bisa lebih baik lagi.

 

 

 

Meskipun film ketiganya ini enggak sekuat dua film sebelumnya, tapi aku masih amat sangat puas oleh cara Robert Eggers mempersembahkan ceritanya. Gambar dan aksi film ini hits very hard. So many epic scenes!! Mitologi nordik pun berhasil disematkan dengan mulus, dijadikan elemen surealis yang cukup bikin merinding. Karakternya juga punya dramatic point yang sangar, Hanya kurang pengembangan saja. Film ini terasa straightforward untuk sekitar 70-80 persen durasi, tapi lantas menjadi pengen lebih dalem – dan sudah tak cukup waktu. Bukan lantas kusebut berakhir abrupt, hanya memang terasa ada yang kurang ditekankan setelah misi dramatic irony-nya selesai. But hey, itu ‘cuma’ masalah pada naskah. Secara arahan dan visual film ini menghibur sekali dan benar-benar ngasih pengalaman yang berbeda.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE NORTHMAN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian cerita Amleth yang membalas dendam kepada pamannya yang berkhianat merebut tahta ini bisa relate dengan manusia jaman sekarang menurut Robert Eggers tadi?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

X Review

 

“The old often envy the young”

 

 

 

Horor mirip ama bokep. Keduanya adalah genre yang ditonton orang-orang bukan untuk plot. Penonton memilih film horor supaya bisa melihat karakter-karakter mati mengenaskan. Nilai plus bagi penonton kalo si karakter itu sempat telanjang dulu sebelum dibunuh ajal (which is why paduan horor-bokep easily jadi yang paling laris). Sementara bokep sendiri, jelas,  penonton cuma mau melihat orang gak pakai baju, dalam apapun situasi fantasi mereka. Keduanya adalah eksploitasi,  dan yang terburuk dari mereka adalah bahwa keduanya penuh oleh male-gaze. Tentu saja gak semuanya begitu, ada juga pembuat-pembuat yang mencoba membuat horor, maupun porn, sebagai sebuah seni. Dalam horor, lahir istilah elevated-horor. Horor yang artsy banget, sampai-sampai susah untuk dimengerti. Dalam bokep, I don’t know honestly, tapi dalam film X yang merupakan comeback horor sutradara Ti West ada karakter filmmaker bokep yang berusaha membuat tontonan yang benar-benar nyeni dan cinematik. Memang, fenomena horor dan porn yang saling bersilangan ini jadi circle back together di bawah X (come to think of it, aku jadi gak yakin judul film ini dibacanya memang “ex”, atau “cross”) yang merupakan produksi studio A24. Studio yang khusus bikin apa yang disuka oleh orang banyak dengan gaya yang super duper nyeni.

Yang Ti West bikin kali ini memang film yang ada unsur horor dan bokepnya. Tapi bukan dalam sense ‘horor-bokep’ seperti yang dulu sempat hits banget di negara kita. West membuat sebuah sajian horor yang seperti ditarik langsung dari jaman puncak kebangkitan mainstream genre ini (akhir 70-an) dengan cerita tentang sekelompok kecil pembuat film dewasa.  Mereka menyewa kabin di daerah pedesaan Texas, tapi enggak bilang kepada pasangan tua yang punya kabin tersebut kalo bangunan dan lokasi sekitarnya itu akan dijadikan lokasi suting film bokep. Siang harinya memang suting mereka berjalan lancar (yang berarti peringatan kepada kalian untuk tidak menonton film ini saat sedang berpuasa). Pas malam tiba, baru semua rusuh. Nenek tua yang sedari siang ngintipin mereka mulai kumat dan membunuh semua tamunya satu persatu.

Jenna Ortega sekali lagi bermain di film yang bicara tentang elevated horror.

 

 

Biasanya film-film A24 memang cukup angker bagi penonton mainstream. Karena memang biasanya nyeni dalam kamus mereka berarti film yang bercerita dengan pace lambat, minim dialog, dan secara general sukar untuk langsung dimengerti. Film X ini tidak dibuat dengan seperti itu. X ini benar-benar dibuat mainstream. Dibuat untuk bikin penonton merasakan sensasi sama dengan saat menyaksikan horor, atau bokep. Seperti yang kubilang, jangan nonton ini pas puasa karena adegan-adegan filmmaking mereka meskipun dibuat dengan sinematik tapi tetap straightforward. Kalian bahkan perlu buat ngecilin suara untuk beberapa adegan tertentu. Elemen horornya pun dibuat sedekat mungkin dengan horor ‘fun’ yang biasa kita cari kalo lagi kepengen nonton sambil santai. Lokasi terpencil. Orangtua aneh dan menyeramkan. Pembunuhan sadis berdarah-darah. Ke-overthetop-an kejadian sebagai kontras efek low budget yang jadi pesona khas horor jadul juga ada. Bahkan hewan buas juga jadi aspek horor di sini. Era 79 yang dijadikan latar waktu cerita memang terasa sangat hidup. Kamera, audio, desain produksi. Semuanya membuat film ini kayak beneran dibikin di tahun segitu. Dengar saja dialognya yang kayak percakapan jadul. Kurang lebih pencapaiannya mirip ama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang berhasil melukiskan era action 80-an. Film X ini vibenya mirip banget sama The Texas Chain Saw Massacre original (1974). Bahkan set up cerita yang mereka semua datang dengan mobil van, terus lokasi dan rumahnya yang bakal jadi TKP-nya pun pasti bakal ngingetin fans horor kepada film si Leather Face. Yang selalu paling kuapresiasi tentu saja adalah gak ada jumpscare suara-suara pencopot jantung sama sekali. Adegan yang mengagetkan buat karakter dalam cerita sih ada, tapi tidak pernah disertai dengan treatment yang memaksa kita untuk melompat dari kursi.

Di situlah letak seninya. West benar-benar menguatkan pada kreasi. Dia memilih setting dan estetik 70-80an bukan tanpa alasan. Bukan sekadar throwback nostalgia. Tema yang disilangkannya di sini adalah soal tua dan muda. Secara visual dan penampakan luar, film ini membawa kita ke horor jadul, tapi dia menambahkan unsur-unsur kebaruan – unsur yang mendobrak – merayap di balik itu semua. Pertama kamera, West menggunakan kamera melayang di atas pada beberapa adegan yang bikin kita menahan napas, seperti pada adegan di danau (dengan buaya gede!) dan adegan di ranjang (protagonis kita ngumpet di bawah kolong). Kamera itu ngeshot dari atas langsung ke bawah, kayak lagi tengkurap di langit. Menghasilkan pandangan wide yang kerasa benar-benar horor dan mencekat yang ada di bawah. Penggunaan kamera demikian seperti benar-benar menempatkan film di batas antara film lama dengan film baru. Terasa modern dengan semacam drone, tapi juga closed dan feel traditional dengan scare yang dihasilkan. Ada satu lagi teknik aneh yang dipakai oleh West, yaitu editing transisi pada beberapa adegan. Meski gak berhubungan dengan old-and-new, tapi editing ini in-theme dengan gambaran atau simbol X yang diangkat. Karena West memang menyambungkan dua adegan berbeda seperti saling silang. Agak sulit digambarkan dengan kata-kata, tapi kalo dari urutan editing tersebut bekerja begini: Adegan B akan masuk gitu aja saat Adegan A masih berlangsung, selama beberapa detik lalu balik lagi ke Adegan A, lalu baru benar-benar tiba di Adegan B. Tadinya kupikir ini kesalahan editing, karena tau-tau ada adegan sapi saat mereka ngobrol di dalam mobil. Tapi ternyata editing masuk bersilangan itu muncul sekitar dua-tiga kali lagi sepanjang durasi.

Secara kronologi adegan juga film ini bergaya. Cerita actually dimulai dengan polisi menyelidiki rumah dan menemukan banyak korban. Lalu kita dibawa mundur dan melihat kejadian apa yang terjadi di sana sebelumnya; kejadian itulah yang jadi menu utama film. Sekilas memang ini struktur kronologi yang sudah lumrah digunakan oleh film-film. Tapi sesungguhnya di film ini, struktur tersebut punya fungsi yang lebih signifikan ke dalam tema besar narasi. Dengan menjadikannya berjalan seperti demikian, West membuat cerita film ini menjadi melingkar. Namun dengan karakter reveal yang jadi saling bersilang. Penting bagi kita untuk mendengar ‘pengajian’ gereja di televisi itu duluan karena itu bagian dari development karakter utama, yang nanti bakal ngecircled back berkat struktur melingkar, menandakan pembelajaran karakter yang jika dilakukan dengan linear maka hanya akan terasa ambigu.

Pelototkan mata untuk berbagai adegan yang ‘meramalkan’ kematian karakter-karakter

 

 

Bagian terbaik yang dilakukan film ini terkait tema old-new tersebut adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Seperti halnya horor jadul, karakter yang hadir di X pun sering melakukan pilihan bego. Keputusan mereka sering bikin kita ketawa. Kayak karakter si Jenna Ortega yang setelah diselamatkan, tau-tau malah marah dan pergi gitu aja. Hebatnya, mereka gak hanya tampil bego untuk mati. Mereka gak otomatis annoying, karena film sesungguhnya mendekonstruksi stereotipikal karakter mereka. Dalam horor jadul, yang mati duluan adalah karakter yang ‘nakal’, yang biasanya adalah cewek pirang yang isi otaknya cuma berduaan sama pacarnya, si atlet yang pikirannya ngeres. Final Girl (protagonis/heroine) film jadul selalu adalah cewek baek-baek, yang erat ditandai oleh si karakter masih perawan. Film X merombak ulang semuanya. Yang mati duluan di sini adalah karakter yang tidak have sex, at least tidak di depan kamera. Cewek pirang di sini otaknya berisi pemikiran progresif tentang peran wanita dan kemandirian. Protagonis alias Final Girl cerita adalah Maxine (diperankan oleh Mia Goth yang setengah wajahnya dikasih freckles), salah satu bintang film bokep yang mereka bikin. Arc Maxine benar-benar kebalikan dari sosok Final Girl tradisional.

Konstruksi karakter tersebut membuat film dengan vibe 70an ini jadi relevan. Dengan Final Girl yang bukan lagi ‘orang suci’, film X ingin mengangkat diskusi soal pandangan lama yang sepertinya sudah kadaluarsa di masa modern. Pandangan soal otonomi perempuan dalam hidup atau karirnya. Pembicaraan karakter film ini seputar menjadi seorang bintang bokep (atau soal membuat film porno sebagai sebuah pekerjaan, yang juga bagian dari seni) mirip dengan persoalan di dunia kita mengenai pelacur yang statusnya dinilai lebih terhormat. Tentunya ‘antagonis’ yang tepat untuk perspektif ini adalah agama. Old couple yang jadi pembunuh dalam cerita berasal dari keluarga yang taat beragama, mereka mendengarkan dakwah degradasi moral anak muda. Di tangan yang salah, bidak-bidak ini akan berkembang menjadi cerita yang bakal ofensif dan one-sided. Memojokkan agama. X di tangan West tidak pernah menjadi seperti itu. Bahasan agama ia handle dengan hati-hati. Dikembalikan kepada karakter itu sendiri. Perhatikan perbedaan intonasi dan pilihan kata Maxine saat menyebut dirinya adalah simbol seks di depan cermin pada beberapa adegan. Those would reveal banyak hal, mulai dari development karakter (realisasi dianggap objek hingga menjadi subjek) hingga sedikit backstory karakter itu.  See, dalam menganani bahasannya, film ini jadi sangat ber-layered, akan mudah melihat film menjadi ambigu jika kita ketinggalan satu lapisan. Yang ultimately membuat X jadi punya rewatch value tersendiri.

Tema old-new tadi digunakan untuk memperhalus lagi bahasan sensitif  tersebut. Film tidak sekasar itu menyebut pasangan tua itu jadi sadis karena maniak agama. Film membawa bahasannya ke arah mereka sudah tua, sudah terlalu lama menahan diri. Terlalu lama mengejar bahagia di hari nanti. Kenapa tidak bahagia di masa muda? Konflik film ini sebenarnya bisa disederhanakan sebagai sebuah rasa penyesalan di usia tua. Maka dari itulah West ngasih Mia Goth dua peran. West membuat si Nenek Tua diperankan juga oleh Mia sehingga adegan-adegan antara Maxine dengan si Nenek punya bobot yang lebih besar – kita jadi mengerti si Nenek bisa melihat Maxine sebagai dirinya di masa muda, sebagaimana juga kita melihat Maxine gak mau menjadi seperti Nenek nanti saat tua. Again, karakter mereka juga jadi simbol seperti X yang saling bersilangan.

Alasan Nenek Tua membunuh semua orang (bukan hanya geng Maxine saja, tapi sepertinya beliau sudah sering melakukan ini sebelumnya) bukan semata karena sange. Si Nenekiri dengan anak muda yang masih bisa mengejar segalanya, Iri sama anak muda yang berani memilih untuk bahagia atas kemauan dan sebagai dirinya sendiri. Orang tua memang selalu cemburu kepada anak muda. Karena anak muda punya kekuatan untuk memilih.

 

 

 

Ini boleh jadi adalah horor favoritku tahun ini (belum bisa mutusin, karena baru bulan Apriilll!!). But for sure, film ini beneran keren dan dibuat dengan penuh kreasi dan pemikiran. Film ini membuktikan kalo sajian horor artsy gak harus selalu berat. Sekaligus membuktikan horor mainstream yang fun dan ‘genre’ abis, serta bahkan yang tampak eksploitatif sekalipun, bisa sarat oleh muatan dan memantik diskusi. Horor yang fun gak musti total bego di atas sadis dan seram. Setiap film, apapun genrenya, dapat menjadi tontonan yang menarik dengan naskah cemerlang, gaya yang asik, dan sutradara yang benar-benar peduli sama craft dan punya visi. Film ini punya semua itu. Ada banyak lapisan untuk dibincangkan. Tak lupa sebagai horor, dia mengerikan – punya antagonis creepy, pembunuhan sadis, setting terkurung, dengan stake hidup atau mati. Paduan atau persilangan yang benar-benar seimbang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for X.

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menjadi bintang bokep lebih mulia daripada maniak agama?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DRIVE MY CAR Review

“Silence is a universal language”

 

 

Utangku mengulas nominasi Best Picture Oscar 2022 tinggal satu ini, yakni film Drive My Car. Dari urutan, sebenarnya film ini bukan yang terakhir aku tonton dari sepuluh nominasi tersebut. Aku hanya, agak kesulitan menuntaskan tontonan drama berdurasi tiga-jam-kurang-semenit ini. Yea, durasi tersebut benar-benar kerasa di film ini. Ceritanya berjalan kaku, karakternya menjaga jarak bukan hanya kepada karakter lain, tapi juga kepada kita yang nonton. Meskipun kita udah tahu momok yang menghantui perasaannya, namun perasaan diskonek itu tetap ada. Baru kemudian aku menyadari, storytelling demikian ternyata memang disengaja, karena itulah ‘bahasa’ film ini. Dan bahasa actually jadi salah satu tema mencuat di dalam narasi. Sekarang setelah aku sudah bicara dengan ‘bahasa’ yang sama dengan film karya Ryusuke Hamaguchi ini, aku bisa bilang tepat film kuulas paling belakangan, karena objectively, sebagai bahasan karakter, this is indeed the best for the last.

Walau gak punya ketertarikan sama kendaraan apapun, I know for a fact bahwa ada cowok yang benar-benar sayang ama mobilnya. Sayang dalam artian menganggap mobil itu sebagai sesuatu yang sangat personal. Ayahku adalah salah satunya; beliau protektif banget sama mobil. Gak mau sembarangan ngasih ijin kepada orang-orang, bahkan kepada saudara, untuk mengendarai mobilnya. Di dalam kendaraan itu, ayah punya aturan sendiri. My dad is already a strict person, tapi di dalam mobil, dia bisa lebih keras lagi. Dari ngidupin mesin hingga buka jendela aja ada ‘tata kramanya’. Belajar nyetir pakai mobil itu udah jadi siksaan mental tersendiri bagiku. Jadi aku tahu, sebuah mobil bisa berarti sedemikian personal bagi pemiliknya.

Dari ‘fenomena’ semacam itulah, karakter dan cerita Drive My Car berangkat. Seorang aktor dan sutradara teater bernama Yusuke punya kebiasaan berlatih dialog di dalam mobil merahnya, selama perjalanan ke tempat bekerja. Namun Yusuke hidupnya semakin banyak masalah. Anaknya meninggal, istri yang selingkuh tapi belum sempat (baca: tega) ia konfrontasi meninggal, kini sebelah matanya pun punya masalah pandangan. Kontrak proyek teater terbaru yang ia terima, mengharuskan Yusuke untuk ke luar kota dengan diantar oleh sopir. Yusuke harus diantar ke mana-mana. Kebayang dong, perasaan Yusuke saat harus menyerahkan kuncinya kepada seorang wanita muda tak-dikenal bernama Misaki. Ternyata itu justru jadi healing yang mujarab. Bagi kedua pihak! Karena Misaki ternyata sama ‘pendiam’nya, sama-sama memendam kecamuk duka dan kehilangan dan rasa bersalah, seperti Yusuke.

carDrive-My-Car-1
Untung mobil merahnya bukan si jago mogok

 

Mobil dalam cerita ini tersimbolkan sebagai personal space. Di dalam mobilnya Yusuke punya ‘ritual’. Dia latihan dialog dengan suara rekaman istrinya. Dialog dari teater yang ia pilih merepresentasikan permasalahannya dengan sang istri. Secara fisik, gambaran mobil itu pun merepresentasikan kekhususan bagi Yusuke. Di jalanan dia tampak distinctive dengan warna merah, dan setir kiri (as opposed to setir kanan kayak di Indonesia). Yusuke kan juga ‘berbeda’ seperti itu. Dia lebih kalem dibandingkan orang-orang lain.

Film ini punya lapisan yang begitu banyak dari penyimbolan terkuat sehingga adegan-adegan terkuat dalam film justru adalah momen-momen Yusuke di dalam mobil. Khususnya saat dia berdiam diri di kursi belakang, dengan Misaki di kursi pengemudi menyetir dengan sama diamnya, suara yang kita dengar cuma suara istri Yusuke dari rekaman kaset yang terus diputar. Momen-momen ketika kedua karakter sentral terhanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing. Tapi dari situ jualah mereka terkoneksi. Bukan sebagai pasangan, tidak sesederhana orang tua dengan anak muda, lebih dari semacam ayah-anak. Melainkan manusia terluka dengan manusia terluka. Alasan Yusuke menerima Misaki sebagai supir – meskipun awalnya menolak – bukan saja semata karena cara nyetir Misaki cocok sama dirinya, atau Misaki bisa merawat mobil. Melainkan karena mereka bicara ‘bahasa’ yang sama. Mereka share personal space yang sama karenanya. Deepernya hubungan seperti ini yang membuat film ini menjadi menarik.

Relasi Yusuke dengan karakter lain, serta peran mobil di cerita ini menunjukkan seberapa pentingnya personal space bagi hubungan antarmanusia. Space tersebut tidak bisa begitu saja dimasuki. Enggak gampang bagi kita untuk mengizinkan orang masuk, kecuali ketika kita sudah menemukan bahasa yang sama. Dalam film ini, silence jadi bahasa universal, Yusuke dan Misaki jadi terkoneksi olehnya. Yang juga membuat Yusuke selanjutnya lebih mudah berkoneksi dengan orang lain. Sebagaimana yang kita lihat di adegan paruh akhir, saat Yusuke berdialog dengan ‘antagonis’ di dalam mobilnya, yang berujung membuat dia balik melihat sesuatu yang lebih daripada yang ia kira dari si ‘antagonis’

 

Adegan-adegan latihan teater lebih lanjut menekankan persoalan ‘bahasa’ yang jadi topik penting dalam relasi karakter film ini. Yusuke diceritakan sebagai sutradara yang unik, ciri khasnya adalah menggunakan dialog multi-bahasa untuk karakter-karakter dalam pertunjukan teaternya. Ada yang berbahasa Inggris, Korea, Malaysia, dan termasuk Indonesia. Karakter-karakter tersebut berbahasa masing-masing, tapi mereka saling mengerti. Para aktor teater yang memerankannya pun dicasting oleh Yusuke, aktor yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda. Jenius banget sebenarnya Yusuke, pertunjukan teaternya jadi semakin menarik. Orang-orang berbeda bahasa tapi bisa saling mengerti, karena mengalami emosi yang sama. Film menarik kontras dari kreatif Yusuke di panggung tersebut dengan gimana dia aslinya. Bahwa Yusuke di luar seorang sutradara teater, ternyata justru bicara dengan bahasa ‘diam’. Kita lihat dia gak pernah marah. Melihat istrinya selingkuh aja, dia gak langsung meledak. Tapi awalnya diam Yusuke memang dia tidak terkoneksi dengan orang lain. Salah satu faktor yang menjadi pembelajaran bagi karakter ini selain Misaki adalah produsernya yang orang Jepang, yang benar-benar bisa multi-language, yang mau belajar bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dengan perempuan terkasihnya.

carDRIVE_MY_CAR_banner_660x320b
Judul film ini sebenarnya bisa berarti ‘Speak My Language’

 

Jadi jika bahasa dan komunikasi perasaan begitu penting bagi film ini, bagaimana dengan bahasa penyampaian film ini sendiri sebagai media komunikasi pembuatnya dengan kita para penonton? Well, now that’s a great question.

Durasi tiga jam memang melelahkan, kebanyakan film akan berusaha meminimalisir ‘damage’ dari durasi tersebut dengan mempercepat tempo, menggunakan banyak cut, dan ada juga yang memasukkan banyak aksi atau komedi atau apapun yang bikin cerita bernada ringan. Drive My Car guoblok kalo memasukkan hal-hal tersebut. Which is why film ini cerdas. Film ini tahu apa yang ia buat. Bahasa yang digunakan film ini adalah bahasa yang sama dengan yang digunakan oleh karakternya. Distant secara emosional. Cerdas memang berarti tidak mau mengambil resiko. Film mempertaruhkan penonton kasual bakal bosan, demi menghantarkan cerita yang benar-benar true mewakili emosi karakternya. Obat dari momen-momen ‘berat untuk ditonton’ film ini adalah sinematografi yang kece. Adegan-adegan yang disyut dengan menawan. Mulai dari set panggung teater hingga ke tempat-tempat yang dikunjungi, semuanya dibikin menarik di mata. Bahkan adegan reading teater ataupun di dalam mobil, adegan yang lokasinya sempit dan monoton dibuat bergeliat oleh kreasi subtil.

Resiko terbesar tentu saja adalah menjadikan ini cerita sepanjang itu. Karena film ini kan adaptasi dari cerita pendek. Cerita aslinya sebenarnya lebih pendek daripada ini. Pak Sutradara ngestretch materinya. Ini yang aku kagum. Sutradara menolak menggunakan flashback! Sutradara-sutradara lain mungkin akan stick to the original (apalagi kalo ini dibikin oleh Hollywood!). Cerita dimulai ketika Yusuke disuruh pake supir, dan kemudian baru akan sesekali terflashback ke masa lalu untuk melihat kenapa dia begitu muram, untuk melihat suara siapa sebenarnya yang ada di rekaman. Drive My Car buatan Hamaguchi ini tidak begitu, dia malah memulai dari masa-masa Yusuke bersama istrinya. Relationship unik mereka yang saling berbagi cerita di manapun (atau abis ngelakuin hal apapun). Cukup lama film berkutat di sini, ‘the real’ story baru dimulai di babak kedua. 

Downsidenya, Drive My Car jadi tampak tidak memenuhi yang diperlihatkan di babak awalnya. Penonton bisa merasa kecele karena dari babak awal itu mengira Drive My Car adalah cerita rumah tangga. Mengira ini adalah kisah perselingkuhan (yang lagi naik daun lagi di jagat tontonan negara kita). Menantikan adegan suami mengonfrontasi istrinya yang selingkuh, yang berkaitan dengan grief mereka terhadap putri yang telah tiada. Tentu penonton tidak salah mengharapkan itu karena film dimulai dengan memperlihatkan rumah tangga mereka, yang tampak baik-baik saja. Ketika bahasan sebenarnya tiba, film jadi kayak berbeda, dan inilah yang bikin film beneran tampak panjang buat beberapa penonton. Tapi dengan penceritaan linear seperti demikian, film nunjukin efek yang lebih kuat secara emosional. Karena dengan begini, kita mengerti siapa dan apa masalah yang menghantui protagonisnya. Penonton bisa langsung tenggelam di sana, membuat film ini jadi lebih powerful. Panjang, memang, tapi aku gak yakin Drive My Car bakal jadi semenohok ini jika bagian awal tersebut ditrim. Kita malah akan sibuk bolak-balik flashback aja nanti.

 

 

 

Apparently, film ini adalah salah satu favorit untuk memenangkan Best Picture Oscar. Aku bisa memahami kenapa banyak penonton film alias sinefil yang suka. Karena di atas gambar-gambar yang cakep, memang film ini bercerita dengan bahasa seni. Menilik perasaan manusia dengan sentimentil serta mendetil. Ada banyak lapisan dalam bangunan ceritanya. Sementara bagiku, aku merasa film ini terlalu personal untuk agenda Academy tahun ini. Aku respect film ini mengambil resiko besar dengan penceritaan panjang. Berani memilih untuk tidak pakai flashback dan linear saja. Meskipun itu membuat filmnya yang didesain distant dan kaku jadi semakin susah untuk konek secara emosi.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DRIVE MY CAR.

 

 

 

That’s all we have for now.

Diam dan mobil yang love language si Yusuke kepada sesama manusia. Apa love language kalian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FRESH Review

“(Online) dating is nothing more than a meat market”

 

 

Online dating (kencan online) dapat jadi sangat manis dengan segala emotional connection yang terjalin, bahkan sebelum bertemu langsung dengan si pacar. Bayangkan bisa merasa demikian dekat lewat kesamaan interest, hobi, selera. Tapi online dating juga tak jarang berakhir sebagai kekecewaan yang membawa bencana – begitu ketemu beneran dengan pasangan yang katanya sekian persen cocok tersebut. Karena namanya juga online. Orang bisa beda banget antara di dunia nyata dengan yang ia tampilkan di dunia maya. Bisa jadi orangnya ternyata jorok, toxic, ‘cakep di foto doang’, atau minta split bill melulu alias pelit. Horor komedi debutan sutradara Mimi Cave mengangkat fenomena susahnya dapat jodoh lewat online sampai-sampai membuat orang jadi desperate, dan akhirnya jatuh ke dalam sesuatu yang lebih berbahaya daripada kiriman gambar nude tak diinginkan. Jebakan stranger danger.

Sebenarnya memang sudah cukup lama aplikasi dating online seperti Tinder, Grindr, dan lain sebagainya disebut orang seperti pasar daging. Perilaku memilih pasangan dengan swipe kanan, swipe kiri seperti sedang belanja produk. It make us feels like a product. Film Fresh kemudian menarik kesamaan tersebut dengan literally masukin soal perdagangan daging manusia sebagai lapisan kisah perempuan yang mencari asmara.

 

Noa (Daisy Edgar-Jones jadi protagonis yang cukup unik di dalam genrenya) udah capek cari cowok di aplikasi. Udah susah payah nyari di antara sekian banyak mata keranjang, eh yang dia dapatkan modelnya gak jauh-jauh dari cowok ignorant yang super self-centered nan egois. Jadi, Noa udah no-ah lah main online-onlinean. Dan memang akhirnya Noa merasakan magicnya jatuh cinta lewat cara yang ‘tradisional’. Dia ditegur sama cowok yang simpatik di swayalan, Noa tertarik. Dan yah, Noa merasa cocok sama Steve (Sebastian Stan dalam full-charming mode). Jadianlah mereka. Hanya sahabat Noa yang ngerasa ada red flag pada Steve yang cukup misterius – karena mana ada sih orang yang gak punya sosmed hari gini. Kecurigaan si sahabat terbukti saat Noa pergi liburan bersama Steve ke suatu tempat. Dan sejak saat itu, kabar Noa tak terdengar lagi.

fresh-trailer-e1644943774263
Steve memang gak mau split bill, dia maunya split your body apart!!

 

Soal cari-pacar memang sudah sering jadi latar untuk cerita horor, terutama serem-serem di ranah penculikan dan penyiksaan. Like, serial killer sudah lama menjebak perempuan-perempuan, bahkan di dunia kita. Film Fresh ini berusaha ngasih sesuatu yang segar untuk latar tersebut. Satu hal yang berhasil dilakukan film ini untuk tampil berbeda itu adalah cara membangun narasinya. Dalam film ini ada dialog kagumnya Noa sama Steve yang memang gentle, berbeda dari cowok lain yang ia kenal sebelumnya. Saat mereka ciuman, justru Steve yang merasa gak enak karena mereka belum saling kenal betul. “We do this too fast”, kata Steve, yang lantas bikin Noa heran – belum pernah ia mendengar cowok yang bilang hubungan berjalan terlalu cepat sebelumnya. Nah, aku kagum seperti itu juga saat menonton Fresh ini. Jarang-jarang aku melihat film horor bunuh-bunuhan yang gak mau berjalan terlalu cepat sebelumnya. Biasanya cerita bunuh-bunuhan pengen dengan segera memperlihatkan adegan berdarah, mempertontonkan karakter psikopat. Gak mau berlama-lama menceritakan karakter karena takut penonton bakal bosan.

Film ini took time to fleshed out (lol no pun intended) relasi Noa dengan Steve. Gak langsung bunuh-bunuhan. Kita dibuat mengerti dulu kenapa Noa bisa mau-mau aja ama Steve, kenapa Noa gak melihat ‘red flag’ seperti kata sahabatnya. Alasan kenapa selama ini dia yang cakep itu terus menjomblo juga dipaparkan. Chemistry antara Daisy dan Sebastian turut mempermudah kita percaya bahwa Noa telah bertemu orang yang tepat. Bisa dibilang, kita ikut tertipu oleh Steve. Atau setidaknya, dengan melimpahkan waktu untuk karakter tersebut, kita jadi bisa melihat seolah deep inside ada perasaan juga di dalam Steve kepada Noa. Perasaan yang nanti bakal dimainkan ke dalam sekuen-sekuen Noa berusaha keluar dari kurungan Steve. Horornya film ini baru keluar tiga-puluh menit into the movie, barengan ama kredit judul, yang turut membuat film ini unik meskipun cuma dalam hal gaya.

Ingat ketika film ini berangkat dari buruknya arah modern dating online berkembang yang membuat film ini unik? Well, permasalahan ‘modern’ itu dengan cepat jadi non-existent karena hubungan Noa dan Steve justru terjalin secara tradisional. Bertemu di dunia nyata, menjalin hubungan yang sangat ragawi alih-alih menonjolkan koneksi emosional. Bukannya Noa dan Steve gak punya hubungan emosional, tapi karena nanti diungkap Steve adalah kanibal yang kerjaannya ngejual daging perempuan yang ia culik, potong, dan olah sendiri, soal dia aslinya beneran cinta atau enggak jadi gak relevan lagi karena perkembangan karakter Steve sampai di pengungkapan tersebut. Steve beneran stop jadi karakter. Dia cuma jadi obstacle, sekaligus bercelah supaya progatonis perempuan bisa ada kesempatan kabur. Jadi film ini gak berhasil mempertahankan keunikan jualannya, yakni soal modern dating apps. Padahal bisa saja mereka membuat Noa sebenarnya sudah diincar oleh Steve lewat akun-akun palsu di apps itu sedari awal. Dengan begitu kan tema dating onlinenya masih bisa ikut kebawa, dan yang paling penting Noa dan Steve jadi gak ketemu lewat kebetulan kayak cerita ftv remaja.

Yang dipertahankan oleh Fresh, sayangnya, adalah ‘penyakit’ tidak menggali apa yang diangkat. Film ini sebenarnya punya banyak bahasan loh. Selain modern dating dan karakter Steve tadi, juga ada elemen yang mengarah ke Stockholm Syndrome; ada bahasan keluarga si Steve. Ada jaringan pembeli daging manusia – you know, pria-pria kaya yang sinting. Semua itu ada jadi sebagai bahan ‘masakan’ cerita, sebagai pembentuk dunia cerita, tapi gak diolah. Gak dibahas. Bahkan tema utama soal feminism-nya pun dibiarkan tak tergali. Karakter film ini gak punya perkembangan. Cewek-cewek yang juga jadi korban Steve, mereka hanya ada di sana kayak gak ada kehidupan, yang punya kehidupan cuma Noa. Bahkan sahabat Noa dibiarkan eksis di sana gitu aja. Semuanya tentang Noa si karakter utama, yang gak dikasih konflik apa-apa selain cuma ngerasa telah tertipu. Development dia ya cuma ditipu cowok. Gak ada hint soal setelah semuanya dia punya pandangan gimana terhadap pacaran, terhadap cowok. Atau apa kek. Semua yang ada di dunia Fresh ini ya just out to get women like her. Cowok kalo gak psikopat, ya kanibal, atau pengecut, atau egois. Bahkan cewek lain bisa juga jahat sama dia. Film ini gak punya pandangan atau pendapat sendiri selain template agenda cewek feminis.

Nonton film ini terasa seperti nonton film modern agenda-ish kebanyakan. Yang seolah tersusun oleh tema atau agenda yang ingin disampaikan duluan, lalu baru bikin cerita yang menyambungkan agenda-agenda tersebut. Oh, kita harus masukin cewek harus mandiri, atau all men are trash, atau ustadz bisa kalah melawan setan, atau semacamnya. Setelah itu baru kita apain nih adegannya biar menggambarkan itu. Tidak lagi seperti film yang semestinya; yakni film yang adegan-adegannya benar-benar berkembang dari perspektif karakter yang dibuat menghidupi ruh cerita. Makanya film ini gak ada perkembangan karakter. Karena mereka cuma dibuat untuk melakoni tema. Tidak seperti manusia yang beneran hidup dan mengambil keputusan dan belajar lewat kesalahan. Berbeda dengan film yang beneran bercerita, film-film model Fresh ini karakter utamanya akan dibuat selalu benar. Enggak boleh ada cela. Notice gak, Noa bisa keluar dengan selamat relatif tanpa luka selain luka hasil berantem di final battle dengan Steve – yang dipotong Steve darinya selama dikurung cuma bagian pantat yang basically kita gak lihat boroknya. Karena begitulah karakter film agenda didesain. Gak boleh ada borok. 

fresh-daisy-edgar-jones-Cropped
Mau paha atau dada?

 

Padahal horor justru biasanya bakal membuat karakter utama babak belur habis-habisan sebagai simbol perjuangan. Berdarah-darah, luka-luka. Beberapa merangkak saking beratnya perjuangan. Semua itu sebagai simbol transformasi menjadi pribadi yang lebih baik deep inside. Nah inilah yang jadi last nail in the coffin untuk film ini bagiku. Sebagai horor dia juga gagal.

Enggak ada tensi. Ini film dengan adegan kanibal. Melibatkan banyak adegan (on maupun off screen) perempuan yang dipotong anggota tubuhnya. Tapi gak sekalipun terasa disturbing. Semuanya bersih dan gaya. Sok disturbing doang. Adegan makan daging manusia yang disajikan dengan mewah cuma tinggal eat-and-spit it out later. Enggak ada rintangan, gak ada build up suspens. Padahal itu konteksnya si Noa berpura-pura ‘setuju’ dengan kerjaan Steve. Dialog ironi menanyakan “Ini bukan daging gue, kan?” hanya dimainkan untuk ironi yang ngarah ke komedi. Arahan ke horornya kurang kuat. Banyak adegan meja makan yang lebih powerful, banyak adegan makan yang lebih disturbing muncul dalam film-film yang bahkan bukan horor kanibal. Like, adegan nyiapin makanan di serial Servant aja bisa lebih ngasih uneasy feelings ketimbang adegan masak daging-manusia di film ini. Fresh ini cuma punya visual cakep. Potongan anggota tubuh berbungkus plastik di freezer. Daging yang dimasak. Shot orang ngunyah. Tapi feelingnya gak berhasil dikeluarkan oleh sutradara. Aku lebih merinding nonton ibu-ibu makan di Swallow (2020) atau adegan di Raw (2017)

 

 

 

 

Sudah begitu lama kita terpapar horor-horor mainstream yang cuma punya jumpscare, sehingga begitu ada yang beda, kita langsung bilang fresh. Kita jadi kurang kritis. Ini persis kayak kelakuan saat main dating apps. Ngeliat ada cakep dikit, kita berhenti swipe, dan just try our luck. Kelakuan seperti itulah yang bikin dating online udah jadi kayak pasar daging. Aku sih harapnya jangan sampai film horor juga jadi kayak begitu. Mentang-mentang ada yang beda dikit, langsung kita bilang bagus. Film ini sendiri, memang punya tema positif, looksnya beda, tapi penceritaannya datar, horornya datar, komedinya datar, naskahnya datar, main aman dengan temanya. Keunikannya langsung jadi hilang karena bermain sebagai template agenda. This isn’t fresh. Dengan begitu banyak pemanis agenda, film ini cuma kayak makanan kalengan buatku.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for FRESH.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah kalian punya pengalaman seram seputar dating online?

Share in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 
 

SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS Review

“Violence is any day preferable to impotence”

 

Seperti judulnya, Seperti Dendam (cukup disingkat begini saja ya nyebutinnya), memanglah sebuah cerita balas-dendam sebanyak film ini sebagai sebuah kisah cinta. Ini adalah film yang ada kelahi-kelahinya, ada romansa-romansanya, dan sering juga keduanya – berkelahi dan romansa itu – berlangsung sekaligus. Untuk membuat dirinya semakin unik, film ini hidup berlatar dunia 80an. Tampil layaknya film laga yang berlangsung dan seperti benar-benar dibuat oleh industri tahun segitu. Berpeganganlah yang erat, karena karya Edwin yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini only gets weirder. Nada yang sedari awal diarahkan berbunyi seperti komedi lantas menjadi surealis ketika elemen mistis mulai diperkenalkan. Bersiaplah karena di sini gambar-gambar di belakang truk akan bisa berbicara. Dan jika kalian mengharapkan ada sesuatu setelah semua debu-debu truk itu lenyap, setelah semua pukulan-pukulan teknis itu mendarat menghujam, Seperti Dendam bakal melayangkan serangan terakhirnya dengan ending yang begitu tiba-tiba.

dendam202112021753-main.cropped_1638442415
Film tentang impotensi tapi elemennya dibikin nyembur ke mana-mana

 

Masih ingat ayah Shang-Chi di film kung-fu MCU (Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings)? Gembong penjahat yang bertemu perempuan penjaga desa. Lalu mereka berantem dengan begitu elegan sehingga kayak sedang menari, yang menghantarkan mereka menjadi saling cinta? Well, itu semua jadi gak seberapa romantis jika dibandingkan dengan Ajo Kawir dan Iteung di film Seperti Dendam. Tadinya Ajo Kawir kepengen membunuh seorang juragan. Maka dia harus berurusan dahulu dengan bodyguardnya. Gadis yang tak kalah jagoan bernama Iteung. Dan oh boy, berantemnya Ajo Kawir lawan Iteung di lokasi truk ngangkut-ngangkut pasir itu sungguh intens. Beneran kayak film-film silat low budget tempo dulu. Edwin tidak membumbui itu dengan adegan yang elegan seperti pada Shang-Chi. Melainkan dia menampilkannya se-rough mungkin. Jikapun ada ‘polesan’, maka itu difungsikan untuk menahan tone alias nada supaya tetap berada di kotak over-the-top kelucuan.

Memang, adegan berantem awal pertemuan mereka itu membuatku tercengang. Kamera gak banyak cut, langsung aja nampilin. Aku mungkin salah, tapi mereka gak keliatan pakai stuntmen. Ada tuh saat Iteung di-powerbomb ke tanah berpasir. Maaaan… Sebagai orang yang nonton WWE religiously, aku tahu ada cara yang aman untuk ngelakuin jurus-jurus atau adegan tersebut. Berantem sekasar itu bisa dikoreografikan dengan safely. Tapi tetep saja aku kagum sekali Marthino Lio dan Ladya Cheryl berani dan sanggup ngelakuin adegan itu dengan baik.

Pertarungan nyaris hidup-mati itu jadi koneksi yang sangat personal bagi Ajo Kawir dan Iteung. Pemuda yang haus berkelahi sebagai pelampiasan frustasi dan semacam pembuktian diri, bertemu dan dibikin humble oleh perempuan tangguh yang seperti memahami lelaki seperti itu. Koneksi mereka is on another level of love. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu bentuk unik purest love yang digambarkan oleh film ini. Untuk satunya lagi, mari kita letakkan konteks ke dalam cerita. Alasan Ajo Kawir napsu cari ribut adalah karena dia percaya itulah satu-satunya cara dia menunjukkan kejantanan. Bahwa dia masih cowok, kok, meskipun burungnya gak bisa berdiri. Kita hanya bisa membayangkan; berantemnya aja seintens itu, gimana pergumulan mereka di kasur ya. Tapi Ajo Kawir enggak bisa begitu. Ajo Kawir awalnya malah sempat minder dan menghindar. Tapi, Iteung tetep mau dan mengawini dirinya. Relationship Ajo Kawir dan Iteung lantas menjadi pondasi besar untuk bangunan cerita Seperti Dendam. Chemistry Lio dan Cheryl hanya tersendat oleh dialog jadul yang kerap sedikit janggal terdengar saat momen-momen mereka. Seperti saat berantem tadi, keduanya tampak lebih klik dalam bahasa gerak dan ekspresi. Sebenarnya itu saja sudah cukup untuk memikul narasi film ini. Karena memang Seperti Dendam lebih excellent ketika menampilkan, entah itu aksi, their whole world, atau hal sesimpel joget dangdut di kawinan.

Aku menikmati ketika narasi masih berpusat di Ajo Kawir berusaha menjadi better man setelah menikah dengan Iteung. Dia berusaha meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan berjanji untuk tidak membunuh si Macan, seorang lagi gembong penjahat dengan kepala berharga tinggi. Harga yang mestinya bisa memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga Ajo. Namun konflik sebenarnya baru datang setelah ini. For Ajo dan Iteung sama-sama punya hantu di masa lalu. Impotensi Ajo berasal dari trauma masa kecil perlahan tapi pasti menjadi pemicu, sementara teman lama Iteung datang menawarkan solusi sekaligus ancaman bagi Ajo. Jika ini adalah cerita biasa, film ini akan berakhir saat turning point. Saat yang berusaha dibangung Ajo bersama Iteung hancur, membuat mereka terpisah. Seperti Dendam sekarang barulah jelas intensinya. Film ini ingin mengeksplorasi impotensi – dalam hal ini bisa dilihat sebagai pria yang merasa dirinya lemah. Kenapa seorang pria bisa merasa begitu. Bagaimana menyembuhkan impotensi berarti adalah bagaimana cara yang benar bagi seorang pria merasa dirinya jantan. Apakah merasa macho memang sepenting itu. Pamungkas film ini sebenarnya terletak saat eksplorasi itu. Saat menunjukkan Ajo Kawir berusaha ‘menemukan jalan pulang’ kepada Iteung. Namunnya lagi, justru di paruh akhir yang difungsikan untuk itulah, film ini terasa mulai gak koheren. 

Bahkan Mahatma Gandhi yang pacifist tulen aja bilang lebih baik menjadi violent jika itu satu-satunya cara untuk mengklaim power. Ajo Kawir jadi impoten setelah peristiwa traumatis yang menimpa dirinya. Impoten di sini adalah lack of power. Menjadi violent bagi Kawir bukan hanya pelampiasan frustasi, ia semestinya belajar menyadari bahwa itulah perjuangannya untuk berani mendapatkan kembali hal yang hilang dari dirinya karena trauma.

 

Begitu masuk ke paruh akhir, Seperti Dendam seperti berjuang mencari arah untuk finish. Tidak lagi berjalan untuk bercerita. Melainkan jadi seperti masuk ke mode mengakhiri cerita dengan tetap bergaya. Masalahnya, di titik itu masih banyak elemen yang harus diceritakan. Ketika menggali lebih dalam ke asal muasal penyakit Ajo Kawir, ataupun ketika memaparkan kejadian horrible apa yang menimpa Iteung saat masih masuk usia remaja, film mulai menapaki arah yang surealis. Katakanlah, ada karakter ‘hantu’ yang dimunculkan. Lalu juga ada perihal perilaku semena-mena aparat yang dirahasiakan, yang juga mengait ke persoalan petrus dan presiden di periode waktu itu.  Untuk menambah kuat karakter periode dan dunianya, film juga sekalian memberikan peristiwa gerhana sebagai latar. 

dendamSeperti-Dendam-Rindu-735x400
Ratu Felisha mainin salah satu karakter terseram seantero 2021

 

Karakter-karakter baru pun lantas muncul. Mereka sebenarnya terasa punya kepentingan yang signifikan di dalam cerita ini, tapi karena Seperti Dendam sudah menjadi medium film, penempatan mereka tidak terasa benar-benar menjustifikasi keberadaan mereka itu sendiri. Dengan kata lain, aku merasa mereka jadi dimunculkan ujug-ujug saja. Tidak ada bedanya dengan si karakter ‘hantu’ yang tau-tau ada begitu sesajen dibakar. Film seperti Dendam pada akhirnya terkekang juga oleh hakikatnya sebagai cerita adaptasi novel. Yang juga kentara terpengaruh oleh mendadak banyak elemen ini adalah tone cerita. Sedari awal, Seperti Dendam memang tidak pernah saklek. Apakah ini satir. Apakah kita memang diniatkan untuk tertawa melihat Ajo Kawir berjuang membangunkan burungnya. Apa yang harus kita rasakan melihat Ajo Kawir kesenengan dihajar orang-orang yang diajaknya berkelahi? Tapi begitu paruh akhir dan segala elemen baru masuk, tone semakin tak menentu lagi. Di bagian yang seperti dirancang untuk membuat kita takut, kita juga merasakan harapan bertumbuh. The only constant adalah pada adegan berantem yang selalu menarik, dan jadi penawar bingung dan sumpeknya semua terasa.

Novelnya sendiri memang aku belum baca. Jadi gak bisa mastiin juga seberapa ‘sama’ film ini dibuat dengan bukunya. Biasanya buku memang lebih leluasa sih, lebih banyak ruang juga. Film adaptasinya ini seharusnya bisa lebih luwes. Mengingat banyaknya muatan, dan style yang mencakup surealis dan menonjolkan seni bercerita, sepertinya bisa lebih asik kalo sekalian aja film ini tampil acak kayak Pulp Fiction (1994). Gak usah runut atau linear. Bagi semacam segmen per karakter, kreasi di urutannya saja, bolak balik saja tak mengapa. Sekalian juga per segmen itu tone-nya bisa beda. Dengan membuatnya begitu, semua yang diniatkan untuk ada masih bisa tertampung semua. Juga, film jadi gak perlu mikirin dan rush menuju ending seperti yang kita saksikan sekarang ini.

 

 

 

Dari tiga-besar film Indonesia tahun ini, film inilah yang memang terasa terhambat oleh adaptasi. Dua film lainnya itu luwes dan bisa mencapai ending yang membayar tuntas semua. Film yang satu ini tidak begitu. Paruh pertama terasa lebih enak karena masih mengalir sebagai cerita, yang fokus ke karakter. Ketika sudah mendekati penghabisan, muatan yang seambreg mulai terasa pengaruhnya. Film jadi berusaha untuk mengakhiri aja. Elemen kritik ke politik, komedi, horor, atau bahasan lainnya pun jadi tempelan at best. Padahal aslinya kan tidak seperti itu. Mereka harusnya jadi esensi. Film ini perlu untuk jadi bold, aneh, kasar, lucu, miris, dan sweet sekaligus. Untuk pembangunan itu semua – dan pembangunan dunianya – kerja film ini sangat excellent. Dia berhasil. Saat menempatkannya sebagai satu film koherenlah, film ini kurang mulus. Maka, mungkin sebaiknya jadi total aneh saja sekalian. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian siapakah Jelita? Apakah dia hantu Rona Merah, atau ada hubungannya dengan Iteung? Apa makna karakter ini bagi kedua tokoh sentral di dalam cerita?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TITANE Review

“Hard experiences may indeed make you tough.”

 

Titane adalah cerita tentang seorang perempuan yang cinta sama mobil. Itu adalah kalimat yang paling innocent dalam mendeskripsikan film karya sineas Perancis Julia Ducournau ini. Sebenarnya, Titane bukanlah cerita yang innocent. Ataupun bukanlah cerita yang normal. Cinta sama mobil yang kita kenal adalah, sikap orang yang merawat dengan seksama kendaraan yang punya nilai tertentu bagi dirinya. Orang yang membanggakan kendaraannya karena kendaraan tersebut entah itu irit, awet, atau mesinnya ‘bandel’. Ya, cinta yang normal-lah. Cinta sama mobil Titane berada dalam realm yang sama sekali berbeda. Perempuan tokoh utama film ini lebih suka mengekspresikan dirinya kepada mobil, ketimbang kepada manusia. Dia menari erotis di atas kap mobil. Hingga di satu titik, perempuan tersebut hamil. Oleh mobil.

Alih-alih air susu, dadanya mengeluarkan oli. Alih-alih ketuban, cairan hitam pekat-lah yang muncrat dari dalam tubuhnya. Di satu sisi, film ini memang cocok dimasukkan ke dalam kotak body-horror, berkat bertaburnya elemen-elemen edan ketakutan si karakter perempuan terhadap kondisi tubuhnya. Namun di sisi lain, di samping keanehan tersebut, sutradara Julia sesungguhnya kembali menghadirkan kepada kita kisah hubungan kekeluargaan yang hangat. Yang mengalun beriringan dengan tema-tema yang super relate dengan kemanusiaan. Seperti self-healing atas trauma, dinamika gender, dan kendali atas tubuh/hidup sendiri.

titane840_560
Kucumbu Mobil Indahku

 

Perempuan itu bernama Alexia. Waktu kecil, Alexia pernah kecelakaan mobil. Sehingga pelat baja harus ditanam di kepalanya. Tau tidak siapa yang pertama kali dipeluk dan dicium Alexia cilik begitu operasi perawatannya berhasil? Bukan, bukan ibu dan ayahnya. Mobilnya. Kecintaan tak-wajar Alexia sama mobil memang telah tumbuh sejak dini. Dan kerenggangannya dengan orangtua – terutama dengan ayahnya – besar kemungkinan adalah sumber dari segalanya. Setelah dewasa, Alexia bekerja sebagai penari stripper. Spesialis nari di mobil. Dirinya semakin berjarak dengan manusia-manusia lain. Malahan, saking canggungnya dengan manusia, Alexia punya kecenderungan untuk membunuh orang-orang di sekitarnya. Serius. Alexia jadi semacam serial killer! Di tengah pelariannya suatu ketika, Alexia menyamar menjadi putra dari seorang pemadam kebakaran. Putra yang hilang sejak kecil. Penyamaran Alexia membawanya bertemu dengan Vincent, sang pemadam kebakaran. Alexia tinggal bersama Vincent yang percaya dia adalah putranya. Film Titane lantas mulai berganti gigi. Masuk ke dalam cerita melodrama dua orang asing yang saling tidak menampilkan diri masing-masing, meski tak bisa dipungkiri, mereka saling membutuhkan.

Karena bicara tentang tubuh dan trauma itulah, maka film ini terasa seperti versi cewek dari Kucumbu Tubuh Indahku (2020) bagiku. Bagaimana tidak? Film ini juga menggunakan tubuh sebagai rekam jejak hidup yang dilalui oleh Alexia. Hidup yang penuh trauma. Lempeng baja di kepalanya itu merupakan bukti literal, catatan, atas trauma pertama yang menimpanya. Dan trauma itu membekas, seperti halnya lempeng baja yang terus bercokol di sana. Sebagai simbolisme, lempeng itu menunjukkan karakter dari Alexia. Perempuan yang tangguh. Atau mungkin lebih tepatnya, membuat dirinya tampak tangguh. Setiap pengalaman buruk, setiap trauma yang ia alami, membentuk dirinya semakin heartless. Semakin dingin. Semakin tak-perempuan. Di sinilah aspek gender mengambil peran dalam cerita. Memang masalah Alexia dan ayahnya tidak pernah disebutkan dengan gamblang, tapi aku tidak akan kaget kalo ternyata ayah lebih senang punya anak cowok ketimbang cewek. It would explain kenapa Alexia suka sama mobil. Teoriku, backstory cerita adalah, Alexia mencoba untuk memenuhi ekspektasi ayahnya tersebut, dan hasilnya adalah kekacauan hubungan ayah-anak yang kita lihat di film ini.

Jadi, seperti Juno dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Alexia lantas menapaki hidup yang penuh trauma sembari tidak boleh menunjukkan kelemahan. Namun jika Juno berakhir harus menahan sisi feminimnya, Alexia yang kodratnya sudah cewek – harus menekan kemanusiaannya. Itulah sebabnya kenapa Alexia menjadi distant dengan manusia. Kenapa dia bisa jadi serial killer. Pelat baja adalah simbol sisi kemanusiaannya yang hilang. Dan kehamilannya oleh mobil, adalah simbol puncak hal tersebut. Dia hamil setelah melakukan pembunuhan yang, at least pertama kita lihat. Trauma atas peristiwa tersebut membuahkan kehamilan kepadanya. ‘Buah’ yang menunjukkan dia bukan lagi ‘manusia’. Sekaligus juga jadi tantangan terbesar, dia harus menghadapi kewanitaannya. Tebak ke mana cerita membawa Alexia berikutnya? Ya, Alexia yang tengah hamil (kecepatan hamilnya pun di luar kecepatan hamil normal) harus menekan perut buncitnya dengan suspender, karena dia harus menyamar sebagai laki-laki. See, semua simbolisme tadi itu comes together di paruh kedua cerita.

Secara teori, trauma yang kita rasakan, ‘diserap’ oleh tubuh. Semua yang kita alami, baik secara fisik maupun secara mental atau emosional, akan direkam dan disalurkan kepada tubuh. Maka ada benarnya juga perkataan yang mengatakan bahwa pengalaman keras dan trauma dapat membuat kita jadi lebih tangguh. Tubuh kita beradaptasi, membentuk pertahanan terhadap itu. Tapi sebagai manusia kita tidak hanya tubuh. Kita perlu penyaluran yang sehat terhadap trauma tersebut, penyaluran yang tidak membebani tubuh semata.

 

Jika kita memang menganggap film ini terdiri dari dua bagian cerita, maka bagian terbaik film ini adalah cerita di bagian keduanya. Ketika Alexia ‘terperangkap’ sebagai Adrien, putra yang telah lama hilang dari Vincent. Di sini adalah ketika semua yang dipercaya Alexia selama ini ditantang. Mau itu tentang bagaimana ayah kepada anaknya. Hingga ke tentang menjadi tangguh atau be a man itu sendiri. Selama ini, sebagai perempuan (dan penari stripper!), Alexia merasakan tatapan lapar para lelaki. Jadi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Sebagai Adrien, Alexia merasakan ‘tatapan’ yang berbeda dari para lelaki. Dia experience something yang tak pernah ia rasakan, sekaligus juga sesuatu yang familiar. Dia belajar banyak tentang kendali tubuh dan ekspresi dari Vincent, karakter yang actually ditulis lebih beresonansi ketimbang dirinya sendiri. Vincent, kapten pemadam kebakaran yang dituntut untuk tampil macho, tapi punya sisi vulnerable sendiri. Yang di saat-saat pribadinya, kita tahu kapten itu tidak prima lagi. Secara teknis pun, film langsung jor-joran menghasilkan kontras dari berbagai aspek saat cerita mulai menapaki hubungan antara Alexia dengan Vincent. Warna-warna lembut di momen-momen maskulin, misalnya. Kontras-kontras itu menambah depth buat narasi yang sedang disampaikan. Ending saat keduanya mulai menerima diri mereka masing-masing adalah momen indah, sekaligus sedikit menyeramkan. Memang, relasi kedua karakter inilah yang jadi hati yang kita tunggu-tunggu sepanjang durasi.

titanedd
Cerita yang saking anehnya, aku jadi membaca judulnya pake logat anime “Ti-ta-neee~”

 

Bagian pertama film ini memang sukar untuk ditonton. Alexia benar-benar karakter yang sulit untuk disukai. Waktu kecil dia begitu annoying dengan menirukan suara mesin mobil (dia bertingkah annoying itu yang actually jadi penyebab dirinya kecelakaan) Dia tidak banyak bicara. Ekspresinya tak terbaca. Dia membunuh orang-orang, beberapa di antaranya adalah orang yang berusaha bersikap ramah kepadanya. Kita tak tahu apa yang ia pikirkan, dan apa motivasinya selain tidak ingin tertangkap polisi. Hal satu lagi yang kita tahu adalah bahwa Alexia gak pengen hamil. Apalagi adegan-adegan yang ditampilkan juga bukan buat konsumsi orang-banyak. Adegan pembunuhannya digambarkan cukup real sehingga bisa bikin perut bergejolak. Adegan body-horrornya juga cukup disturbing, dengan oli muncrat ke mana-mana. Bahkan adegan ketika dia ‘mendandani’ dirinya untuk menyamar sebagai cowok; jangan harap adegan itu seelegan adegan Mulan potong rambut sebelum berangkat ke training camp. Film ini penuh oleh gritty things yang hard to watch. Namun begitu, aku salut sama penampilan aktingnya. Yang meranin Alexia itu bukan aktor profesional. In fact, film ini adalah debut aktingnya. Agathe Rousselle ditemukan oleh tim Julia di sosial media, dan langsung digembleng akting. Turns out, permainan akting silent dan berekspresinya juara banget.

Julia basically menyandarkan bagian pertama kepada performance aktor baru ini. Rouselle diberi kesempatan, dan she kills it! Satu-satunya alasan kita enggak berdiri dan ninggalin film ini meskipun di pertengahan awal itu karakternya unlikeable dan situasinya weird as hell, adalah Rouselle menyuguhkan penampilan akting yang membuat kita relate kepada Alexia, karakternya. Kita merasakan yang Alexia rasakan, lewat tubuhnya. Ketika dia membunuhi seluruh penghuni rumah, kecuali satu orang yang berhasil, kita merasakan kelelahan yang ia rasakan. Kita merasakan tekanan dari kejadian tersebut.

 

 

 

Mesin film ini memang lama panasnya. Set upnya gak benar-benar melandaskan banyak, karena seperti ada penghalang kita dari si karakter utama. Ditambah pula dengan elemen horor dan adegan-adegan yang membuat film ini bukanlah sebuah tontonan yang bisa dengan mudah untuk diselesaikan. Tapi memang itulah yang jadi jualan utama. Sebuah pengalaman traumatis. Artistry, kreasi, dan semua kemampuan sinematik pembuatnya diarahkan untuk membuat pengalaman tersebut mencuat. Walaupun harus menjadi seaneh mungkin. Bahkan ketika hati cerita mulai kelihatan pun, film tidak menginjak pedal rem dalam membuat dirinya tampak sebagai sebuah mimpi buruk. Namun di lubuk hati, kita tahu masalah yang dihadapi karakter-karakternya adalah masalah kemanusiaan yang real. Kita tahu perasaan tersebut bisa jadi relatable. Film ini dapat standing ovation sembilan menit di Cannes. Jadi, dalam semangat film itu sendiri, sekarang aku minta kita semua untuk berdiri. Dan bilang “Brrrrmmm Breemm Brmmmm!!”
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for TITANE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang film dengan elemen cerita yang aneh seperti film ini? Apakah bagi kalian keanehan tersebut jadi daya tarik atau malah jadi turn-off?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA