BLOOD RED SKY Review

“Stop hate spread”

 

 

Baru saja kita mengira genre vampir sudah mati, datanglah hemoglobin fresh yang dipompakan oleh film ini ke aliran darah genre tersebut. Blood Red Sky memang bukan baru yang baru banget. Melainkan terasa unik karena hadir seperti gabungan dari Snakes on the Plane, thriller pembajakan pesawat, dan Train to Busan! Film ini juga nyatanya adalah thriller di ruang tertutup yang terjalin sempurna dengan horor vampir dengan muatan komentar keadaan sosial kita. Oh betapa sutradara dan penulis naskah Peter Thorwarth paham betul mencerminkan keadaan di dunia nyata ke dalam cerita genre yang ia buat, seperti yang sudah dibuktikannya saat menulis skenario untuk The Wave/Die Welle (2008); film yang bercerita tentang guru yang menjadikan kelasnya sebagai negara fasis sebagai eksperimen untuk murid-murid. 

Dalam pesawat Translantic di Blood Red Sky ini, Thorwarth mempertemukan mitologi vampir dengan kapitalis dan juga agama. Secara simpel dia mempertanyakan siapa yang sebenarnya teroris di sini, si vampir ataukah si Islam, atau malah ada jawaban yang lain. Blood Red Sky dari Jerman ini ditampilkan sarat dan serius (bayangkan membuat vampir sebagai sesuatu yang senyata teroris penyebar kebencian) tapi tidak pernah terasa berat karena film ini masih bernapas thriller yang brutally fun

bloodSQKmHr5zTG-4ATTegl4WzDHLO1DrjxPX9y
Antara jadi kangen dan tidak kangen naik pesawat

 

Seperti yang sudah direveal oleh posternya, film ini tidak membuang waktu dan energi untuk menjadikan kondisi protagonisnya sebagai sebuah twist yang gak perlu. Film ingin supaya kita bisa langsung merasakan beban dramatis dan kesulitan yang bercokol pada ibu-anak Nadja dan Elias. Mereka menumpangi pesawat malam ke Amerika, untuk mencari pengobatan terhadap kondisi Nadja. Sementara orang-orang di sekitar, seperti Farid, menyangka Nadja mengidap Leukimia, kita penonton sudah merasa gamang melihat Nadja sebagai orang yang lagi ‘nahan selera’ masuk ke toilet untuk menginjeksikan obat yang tampak menyakitkan baginya. Hal tidak menjadi semakin mudah bagi Nadja, sebab pesawat yang mereka tumpangi ternyata berisi kelompok teroris yang ingin menabrakkan/menjatuhkan pesawat, dengan menjadikan penumpang muslim seperti Farid sebagai kambing hitam. Serius deh, kita belum pernah melihat pesawat yang membawa segitu banyak combustible elements, literally and metaphorically, sebelumnya. Dan ‘ledakan’ pertama akhirnya beneran terjadi; Nadja yang terdesak oleh keselamatan Elias akhirnya mau tak mau untuk menunjukkan taringnya.

Jangan kira dengan adanya vampir baik-sayang-anak di atas pesawat, masalah akan bisa cepat beres. Terorisnya tinggal dibunuh satu persatu kan? Nope! Naskah Thorwarth tidak pernah menetapkan ‘Vampir lawan Teroris’ di sini sebagai sesuatu yang sederhana. Di atas pesawat yang mengudara yang basically ruang-tertutup itu tidak membuat naskah ikut-ikutan sempit. This is the most amazing part of the movie. Thorwarth berhasil untuk terus menggali masalah, tidak pernah sekalipun ada kemudahan. Suspens cerita terus naik dengan konsisten sepanjang dua jam durasi. Nadja tidak bisa begitu saja membunuh para teroris yang cukup pintar dan gak blo’on tersebut. Karena dia harus memastikan bad blood-nya tidak nurun ke mereka; dia harus memastikan tidak ada yang jadi vampir karena ulahnya. Dan itu baru ‘langkah/tantangan termudah’ dalam skenario. Rintangan terus memuncak, terutama karena vampir bukanlah pahlawan. People won’t just cheer for them. Cerita mencapai point-of-no return saat teroris yang paling psikopat punya ide liar untuk mengubah dirinya sendiri menjadi vampir.

Semua itu berlangsung dengan hubungan antara Nadja-Elias sebagai inti emosional cerita. Jika ada yang kita belum yakin di awal cerita, maka itu adalah soal apakah Elias tahu tentang keadaan ibunya. Sementara kelihatannya akan tragis kalo Elias baru tahu di atas pesawat ini dan jadi takut kepada Nadja, tapi ternyata untungnya film ini tahu lebih baik. Mereka terbukti mampu menggali lebih banyak momen dramatis dengan membuat bukan saja Nadja yang ingin melindungi Elias dengan merelakan dirinya semakin menuruti naluri vampir, tapi juga sebaliknya. Momen-momen Elias mengkhawatirkan keselamatan sang ibu yang semakin inhuman dan berbahaya bagi orang sekitar – membuat nyawa Nadja sendiri semakin terancam juga berperan besar untuk menyampaikan feelings. Kita jadi benar-benar merasakan stake yang berlaku dua arah. Kita bukan hanya jadi peduli dan ingin mereka selamat, tapi more importantly kita ingin mereka bisa bersama-sama. Peri Baumeister sebagai Nadja hebat banget di sini mainin ekspresi menembus make up yang harus dia kenakan sebagai ibu vampir. Dan kemudian the dramatic irony hits. Kita sadar kita tahu apa yang bakal terjadi. Emosi yang melanda turut kita rasakan sangat besar saat adegan Nadja dan Elias di dekat pintu pesawat yang terbuka, pada menjelang akhir.

Nonton film orang naik pesawat ini akan membuat kita justru seperti sedang naik roller coaster. Kita takut, kemudian kita ikut senang, kemudian takut lagi. Karena film selalu menemukan tantangan dan kesusahan untuk dilalui oleh protagonis yang vulnerable. Pada beberapa waktu film yang make up dan violencenya sudah seram ini menjadi terlalu dark, seperti Nadja yang harus memakan anjing yang tak bersalah. Terkadang film juga menjadi terlalu komikal dengan menampilkan teroris psikopat bernama Eightball yang penampilan aktingnya memang over-the-top. Hebatnya film enggak pernah struggle untuk mengembalikan tone menjadi ke titik imbang. Blood Red Sky ini juga mengemban tugas untuk membuat vampir dan agama hadir bersama tanpa jadi lawan bagi yang lain. Vampir di sini tidak digambarkan sebagai makhluk fantasi, melainkan lebih seperti produk berdosa dari sebuah dark-sains. Rule vampir dikembangkan dengan hati-hati sehingga berhasil tetap make sense bagi kita ketika ada vampir yang masih bisa punya kesadaran dengan yang total haus darah dan lebih bertindak kayak zombie. Film nge-treat vampir dan agama dengan sama respeknya. Dan semuanya dimainkan untuk menambah konteks dalam narasi. Ke dalam komentar yang dilakukan oleh film. Kayak, gimana seorang muslim kesusahan menerangkan dirinya bukan teroris sementara kita tahu konsekuensinya jika dia tidak dipercaya maka vampir-vampir itu akan membahayakan dunia luar.

Sebenarnya yang paling diparalelkan di sini, adalah kutukan vampir dan kebencian. Protagonis cerita ingin memastikan kutukannya tidak tersebar, Nadja tidak ingin menciptakan vampir baru, dia percaya vampir harus disembuhkan. Sementara para pembajak pesawat, mereka ingin menyebarkan virus kebencian mereka terhadap satu agama, dengan framing ‘teroris’ yang mereka lakukan kepada sekelompok bangsa. Film dengan mantap memilih posisinya berpijak.

 

Hal sepele yang dilakukan oleh film ini, yang menurutku tak kalah amazing adalah film ini berani untuk benar-benar menuntaskan ceritanya. Enggak nyimpan benih-benih sekuel kalo-kalo ntar filmnya laku. Semuanya selesai. Mereka merapikan chaos di akhir cerita. Jarang kayaknya zaman sekarang ada film horor, yang dibuat untuk pasar mainstream yang tidak berakhir dengan twist, atau cliffhanger yang memohon untuk kita menginginkan dibikin sekuelnya. Dan ini memang sesuai dengan konteks yang diusung oleh pesan atau value yang dipercaya oleh film. Kutukan itu harus dihentikan. Kebencian itu harus distop. Diberangus. 

Blood-Red-Sky-1
Vampir di sini wujudnya ngereference Nosferatu, yang merupakan film vampir pertama yang pernah dibuat (1922)

 

Meskipun punya aksi menegangkan yang superseru dan statement yang kuat, sebagai result dari penulisan yang matang, sayangnya film ini belum dibarengi dengan arahan bercerita yang solid. Untuk membuat ceritanya tampil lebih engaging, Thorwarth menggodok naskahnya ke dalam bangunan cerita yang banyak flashback. Blood Red Sky dimulai dari salah satu adegan klimaks, kemudian mundur kembali ke awal, you know kayak standar thriller-thriller Hollywood. Sayangnya ini justru membuat perspektif cerita tumpang tindih. Jadi aneh ketika cerita ini ditampilkan seolah kisah yang dituturkan oleh Elias yang sedang ditanyai oleh perawat, tapi nanti kita juga melihat flashback berupa asal muasal Nadja menjadi vampir saat Elias bayi. Dan lagi, keseluruhan cerita kejadian di atas pesawat itu lebih terasa seperti sudut pandang Nadja, tidak pernah terasa seperti perspektif dari Elias. Jadi bangunan berceritanya terasa bahkan lebih kacau daripada saat nanti vampir-vampir zombie mulai beringas di dalam pesawat.

Padahal sebenarnya bisa saja mereka melakukan dengan linear. Mulai dari origin Nadja, ke kejadian di pesawat, terus penyelesaian. Perpindahan perspektif dari Nadja dan Elias akan bisa terlihat lebih natural dengan diceritakan secara linear begitu. Akan lebih menguatkan degradasi kemanusiaan Nadja jika perspektifnya tidak lagi bisa lanjut dan cerita harus pindah ke Elias. Atau, kalau memang maunya pake flashback dan cerita yang bermaju-mundur ria, kenapa tidak semuanya saja dibikin sebagai flashback memory dari Nadja, sesaat sebelum dia benar-benar udah total jadi vampir buas. Dengan dibuat kayak gitu, tidak akan ada pergantian atau malah tumpang tindih perspektif seperti yang kita lihat di film ini. Karena memang sebenarnya gak perlu ada pergantian. Toh karakter yang benar-benar ada pengembangan memang hanya si Nadja seorang kok.

 

 

 

Menilai film ini buatku rasanya kayak jantungku ditusuk ama pasak kayu. Aku benar-benar suka film ini. Aku enjoy nonton sepanjang durasinya. Ini adalah perfect horor thriller ruang-tertutup dengan suspens yang berhasil terus ditingkatkan tanpa terasa ngada-ngada atau dipanjang-panjangin. Interaksi dan reaksi para karakter di sini terasa genuine. Seimbang antara serius dengan seru/menghibur. Dan juga, film ini tidak terasa kayak korporat punya. It is so freeing menonton cerita utuh, yang semuanya kerasa tuntas tas tas! tanpa ada meninggalkan beberapa hal ‘lewat’ untuk sekuelnya nanti. Karena itulah maka rasanya perih sekali melihat film ini punya kelemahan yang cukup fundamental. Yakni struktur penceritaan. Perspektifnya di sini tumpang tindih. Berupa kisah yang diceritakan tapi juga ada flashback dari yang bukan si pencerita. Pergantian sudut pandang utama juga tidak mulus dikarenakan bentukan penceritaannya ini. Film ini benar-benar seperti vampir si Nadja. Bermaksud baik, tapi kasar dan ‘deadly’ dalam penyampaiannya
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BLOOD RED SKY

 

 

 

That’s all we have for now

Film ini punya poin menarik bahwa teroris yang sebenarnya ternyata hanyalah orang-orang rakus yang hendak mengatur ekonomi dan politik, dan tak ragu untuk ngeframe orang-orang demi melakukannya. Bagaimana pendapat kalian tentang ini? Mengapa bisa-bisanya orang menyebar kebencian seperti demikian?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ALI & RATU RATU QUEENS Review

“Our life is a one-way journey”

 

Enggak setiap hari kita diajak jalan-jalan ke kota New York oleh film Indonesia. Tujuan destinasi film kita biasanya memang lokasi-lokasi dengan pemandangan eksotis. Bukannya New York tak indah, hanya saja untuk sebagian besar kota tersebut kurang lebih sama dengan kota-kota besar padat yang sibuk dan megah oleh gedung-gedung menjulang. Pemandangan unik yang dilihat Ali dalam film original Netflix Ali & Ratu Ratu Queens ‘cuma’ jalan-jalan satu arah yang ada hampir di setiap persimpangan distrik Queens. Namun bagi Ali, maupun bagi film ini sendiri, pemandangan bukan menjadi persoalan. Karena cerita ini adalah tentang perasaan. Ali bakal menyadari sesuatu tentang kehidupan dari jalan-satu arah yang ia lihat. Ali bakal belajar tentang hubungan keluarga yang sebenarnya. Ali & Ratu Ratu Queens berhasil menguarkan kehangatan pada kota yang bahkan di film-film dan serial televisi luar kerap digambarkan sebagai kota keras yang tidak ramah.

aliCSMh3V7vG
Oase di hutan gedung

 

Cerita film ini seperti sebuah unofficial sekuel dari Dua Garis Biru (2019), yang juga ditulis oleh Gina S. Noer. Enggak exactly berhubungan, tapi tak-urung terasa seperti kelanjutan. Dalam akhir Dua Garis Biru, si ibu-remaja memutuskan untuk terbang ke Korea mengejar mimpi dan menyambung pendidikannya, meninggalkan putranya untuk sementara bersama ayah-remaja di Indonesia. Ali & Ratu Ratu Queens, ceritanya dimulai dengan permasalahan yang mirip. Bedanya, pasangannya bukan remaja, perginya bukan ke Korea. Ali sudah berumur lima-tahun ketika ibunya pamit sebentar ke Amerika. Apa yang tadinya mestinya hanya enam bulan, berlanjut hingga bertahun-tahun. Ali hilang kontak dengan sang ibu. Sepeninggal ayah, Ali yang kini telah lulus sekolah menemukan bukti bahwa Ibu ternyata bukanlah seperti yang dikatakan oleh Om, Tante, dan saudara-saudaranya di Indonesia. Percaya setulus hati bahwa Ibu masih cinta dan menunggunya, Ali memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Menjemput ibunya.

When entering this movie, I was thinking about a completely different movie. Materi-materi promosi yang kulihat berseliweran di sosmed/Internet telah sukses menggiringku ke arah yang salah perkara ‘mencari ibu’ yang dilakukan oleh Ali. Tadinya kupikir ini adalah tentang anak yang melakukan road trip ke Amerika, menemukan ibu yang tidak ia tahu pasti keberadaan, atau malah mungkin ‘siapa’ ibunya tersebut. Ternyata Ali & Ratu Ratu Queens enggak really about mencari. Ali dalam cerita ini tahu dan ingat siapa perempuan yang dia sebut ibu, Ali tahu tempat di mana dia harus mencari; dia punya alamat lama dan everything. Perjalanan Ali di sini bakal tampak sebagai sebuah kemudahan, apalagi Ali kemudian ditampung tinggal bersama geng ibu-ibu imigran dari Indonesia yang lagi nyari duit untuk buka bisnis kuliner di sana. Tapi sekali lagi, film ini bukan soal ‘mencari keberadaan’, melainkan soal memaknai keberadaan itu sendiri. Setelah plot poin di akhir babak pertama yang mengejutkan, fokus yang kemudian mengisi cerita adalah mengenai hubungan Ali dengan para ibu-ibu yang menyebut diri mereka Queens-nya kota Queens yang perlahan ikut tumbuh seiring dengan usaha Ali merajut kembali hubungan yang terputus dengan ibunya.

Jika ada yang Ali cari, maka itu adalah mencari makna keluarga. Dan life, in general. Karena film ini lewat perjalanan Ali juga punya muatan soal dalam hidup manusia punya tujuan, yang jalan menempuh tujuan tersebut bakal penuh pengorbanan, dan betapa berat perjuangannya untuk tidak stray away dari jalan tersebut. Jalan-satu-arah di kota Queens tersebut benar-benar tepat melambangkan jalan hidup yang kita lalui. Satu arah. Tidak ada kata mundur kembali dalam perjalanan mengejar mimpi.

 

Dalam prosesnya menceritakan jalan satu-arah, film ini mendobrak pandangan di sana-sini. Pertama, pandangan tradisional orang-kita yang berakar pada agama dan (sedikit terlalu banyak) patriarki terhadap gaya hidup Amerika dan kebebasan perempuan mengejar karir menentukan sendiri hidupnya. Ini dicerminkan oleh film lewat sikap menentang yang ditunjukkan oleh keluarga besar Ali di Indonesia. Mia, ibunda Ali yang sudah lama mia (alias ‘missing in action’ dalam urusan ibu rumahtangga) mereka anggap berdosa besar, dan itulah sebabnya Ali berusaha mereka jauhkan darinya. Karakter Ali di sini berfungsi sebagai perwakilan kita untuk mau/open melihat lebih dekat sebelum ngejudge. Ali langsung terjun ke Amerika. Merasakan sendiri perbedaan yang dianggap negatif ternyata reasonable secara manusiawi. Dan meskipun hal menjadi berat dan pedih bagi dirinya, Ali jadi mengerti kenapa ibunya melakukan yang ia lakukan tersebut. In turn, Ali paham dia juga harus menapaki jalannya sendiri karena dia adalah anak muda yang haruslah siap menghadapi dunia.

Kedua, pandangan stereotipe kota New York pada film dan serial televisi. Yang sering dieksplor dari Kota New York dalam media adalah kekerasannya. Dari The Simpsons hingga New Girl hingga ke film-film kriminal, New York lebih sering diperlihatkan sebagai daerah berbahaya, dengan penduduk yang cuek. Brookyn, Bronx, Staten Island; kota-kota “ghetto” aja yang terus dibahas. Film Ali & Ratu Ratu Queens ini tentunya asing bagi penonton Netflix di luar sana. Dan bagi orang Amerika, film ini bisa jadi pembuka mata. Karena bagi para pendatang atau imigran asing tersebut, Queens – kota di New York yang mereka bentuk sendiri sebagai tempat-keras – justru jadi tempat berlindung yang ramah. Ali dan para ibu-ibu tidak pernah diperlihatkan mendapat ancaman atau diskriminasi. Bahkan ada adegan ketika Ali mendapat simpati dan bantuan dari penduduk lokal. Bagi Ali, mungkin ibunya jauh lebih ‘kejam’ dibandingkan Queens. Bagi Ali dan ibunya dan ibu-ibu Queens, kota itu dengan jalan satu-arahnya adalah peluang untuk mewujudkan mimpi dan passion.

aliAli-Ratu-Ratu-Queens-4-750x422
Sepertinya benar juga kalo judul film ini adalah wordplay Alien the Queens. Imigran di Queens.

 

Jadi, natural (dan perlu banget) bagi film ini untuk menguatkan interaksi dan hubungan antara Ali, baik dengan ibu kandungnya, maupun dengan ibu-ibu yang nama gengnya disandingkan dengan namanya sendiri sebagai judul film. Marissa Anita sebagai ibu Ali mencuat di sini berkat tuntutan akting yang mengharuskannya bergulat dengan emosi. Baginya ini adalah menjadi ibu yang bertanggungjawab kepada keluarga sekaligus menjadi seorang perempuan yang bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai manusia. Marissa nails this, khususnya pada dialog supermenyentuh ketika dia harus benar-benar ‘mengakui kesalahannya’ kepada Ali di menjelang akhir film. Suara tercekat yang emosional terdengar sangat genuine, seperti ia benar-benar terluka dan menyesal saat mengucapkannya. Momen-momen heartfelt memang datang dari interaksi Mia dan Ali, berkat how good dan pahamnya Marissa terhadap psikologis perannya.

Ali, on the other hand, tampak agak on dan off. Kita mengerti arc Ali, we’ve come to understand apa yang harus dimengerti oleh Ali. Namun Iqbaal Ramadhan tidak terasa begitu konsisten dalam menyampaikan apa yang seharusnya dirasakan oleh karakternya. Karakter Ali punya tuntutan range yang lumayan, kadang dia berupa seperti anak kecil yang belum mengerti dan masih harus banyak dididik oleh ibu-ibunya. Kadang dia harus bermain-main dengan mereka. Kadang dia harus confront emosi terdalamnya. Iqbaal tampak perlu full-guidance to get through all of this, one by one. Sayangnya, skrip film ini bukanlah skrip yang benar-benar seimbang. Babak pertama dan pada sebagian besar babak keduanya, difungsikan untuk membangun hubungan antara Ali dengan para ratu. Namun tidak banyak yang diberikan kepada Ali di sini. Dia tidak selalu ada di driver-seat. Keputusan-keputusan besar diserahkan kepada para ratu. Malah, Ali tinggal bareng mereka saja, bukan Ali yang memutuskan. Instead, Ali dapat bagian untuk memutuskan hal-hal seperti melarang para ratu pergi melabrak ibunya. Film ini seperti memberikan tone yang membingungkan bagi Iqbaal to play with. Karena para ratu itu – walaupun ingin dibagi adil porsinya dengan Ali – tapi tetap sebagian besar difungsikan sebagai penghibur suasana.

Para ratu tidak banyak diberikan ruang untuk pengembangan karakter. Mereka, katakanlah, sudah tercetak langsung jadi. Tika Panggabean sebagai ibu galak dengan anak gadis yang cantik, Happy Salma sebagai oddball, Nirina Zubir sebagai penengah, dan Asri Welas sebagai peran dirinya yang biasa. Sedikit kekhasan masing-masing tidak pernah benar-benar dijadikan sebagai sesuatu bahasan yang relevan untuk cerita. Hubungan Ali dengan mereka pun sebagian besar dilakukan lewat montase. Aku tidak merasa ada persahabatan yang benar-benar tumbuh di luar hubungan seperti antara anak muda dengan guardiannya. Sehingga pula, interaksi dengan mereka di dua babak awal malah jadi tampak sebagai distraksi buat permainan emosi yang harus dilakukan Iqbaal.

Sutradara Lucky Kuswandi pun sepertinya memang lebih lihai dalam adegan relationship yang lebih ‘intim’ antara dua karakter ketimbang antara banyak-karakter. Pada bagian akhir ketika cerita memfokuskan kepada hubungan Ali dengan karakter yang diperankan Aurora Ribero, film terasa lebih stabil. Ini juga adalah waktu ketika Ali yang berusaha memperbaiki banyak hal mulai berada dalam full-komando. Akting Iqbaal pun jadi lebih konsisten di sini. Aku sih pengennya film bisa sekonsisten ini dari awal hingga akhir. Tapi kalo memang filmnya sudah merasa cukup dengan memuaskan penonton lewat bagian akhir saja, well, this is just one-way to do it.

 

 

True, film ini adalah salah satu ‘good movie’ yang berhasil diproduksi oleh perfilman tanah air di tahun-tahun yang mencekik ini. Feel good dan sangat menghangatkan. Membawa kita jalan-jalan dan membawa oleh-oleh yang berbobot untuk dibawa pulang ke hati masing-masing. Film ini juga punya suara dan berani untuk mengoarkannya. Tapi, aku pikir ini bisa mencapai lebih banyak lagi. Karakter utamanya, Ali, bisa lebih diperkuat lagi. Para Queen-nya bisa lebih didalemi lagi. Tone quirky dengan dramatisnya bisa dibuat lebih ngeblend lagi. Jika itu semua tercapai, aku yakin film ini gak butuh untuk bersandar pada lagu-lagu populer. Really, bahkan di film ini yang sekarang pun, lagu-lagu tersebut terasa over. At this point, mereka itu ada terasa seperti film ini lagi flexing budget yang dipunya aja kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALI & RATU RATU QUEENS.

 

 

That’s all we have for now.

Karakter Ratu mana yang jadi favorit kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AWAKE Review

“I believe it is by divine design that the role of motherhood emphasizes the nurturing and teaching of the next generation.”

 

Semakin dewasa, manusia akan semakin mengeluhkan bahwa dua-puluh-empat jam sehari itu ternyata tidak cukup. Waktu guru SMAku ceramah soal itu dulu, aku gak begitu ambil pusing. Aku gak relate kala itu. Tapi sekarang terbukti. Kini kepalaku sering pusing-pusing. Karena apa? Karena dua-puluh-empat jam sehari ternyata beneran gak cukup saat kerjaan kita sudah segitu banyaknya. Saat udah gede, dapat enam jam waktu tidur aja rasanya udah kayak menangin lotere. Apa itu tidur siang, melainkan hanyalah privilege yang dimiliki oleh anak kecil. Manusia jadi terlalu sibuk dan banyak kebutuhan hidup sehingga menggadaikan jam tidur. Padahal yang namanya manusia, kan, butuh istirahat. Recommendednya sekitar 7-8 jam sehari. Apa kalian tahu apa yang terjadi jika manusia kurang tidur?

Film terbaru Netflix, Awake garapan Mark Raso, memberikan gambaran yang mengerikan betapa perlunya tidur. Abis nonton ini kita akan sadar petuah paling powerful itu ternyata bukanlah petuah film Dono “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Melainkan seharusnya kata ‘tidur’lah yang menggantikan kata tertawa. Karena tanpa tidur, manusia akan kelelahan dan bisa mati. Namun ada yang lebih parah. Tidak tidur menyebabkan otak kacau. Disorientiasi. Ilusi. Kehilangan kemampuan berpikir kritis. Manusia akan berubah menjadi bar-bar dan bisa saling bunuh saking gilanya!!

awakesa
Tapi tenang, film ini justru akan jadi obat tidur yang ampuh.

 

Cerita Awake berkembang dari premis menarik bagaimana jika manusia tidak lagi bisa untuk tidur. Oh mereka mengantuk, capek, tapi tidak bisa masuk ke state of sleep. Mereka kehilangan kemampuan untuk tidur.  Itu karena, diceritakan, dunia terhantam solar flare or something. Seluruh alat elektronik mati. Termasuk jam internal manusia. Sehingga para manusia, termasuk tokoh utama cerita – Jill, hidup restless di tengah kegelapan. Suasana dengan cepat menjadi kacau begitu manusia-manusia yang mulai kelelahan dan kehilangan rasionalitas itu mengetahui bahwa ternyata ada satu orang yang masih bisa tertidur. Ingat ketika aku bilang tidur itu privilege anak kecil? Nah it was Matilda, putri Jill; satu-satunya orang yang somehow masih normal. Namun itu jugalah yang membuat Jill dan keluarganya berada dalam bahaya. Matilda menjadi rebutan. Kelompok relijius ingin mengorbankannya sebagai Sang Terpilih, sedangkan kelompok militer ingin menjadikannya eksperimen dalam usaha menemukan obat dari ‘pandemi’ tersebut. Jill memilih untuk kabur mencari keselamatan untuk putri dan seorang lagi putranya.

Saat memotret reaksi kelompok-kelompok manusia itulah film ini mencapai titik tertinggi. Awake memuat banyak hal subtil mengenai keadaan mental sosial dalam jangkauan variabel yang luas. Sebagian orang-orang dalam film ada yang berusaha berpikir jernih, ada yang kita lihat akhirnya menyerah karena mereka desperately butuh sesuatu yang membuat mereka merasa aman, dan bahkan ada juga orang-orang yang seperti memanfaatkan semua kekacauan yang terjadi. Kita mengerti film ini memuat potret yang berbobot saat kita sadar ceritanya cuma fantasi tapi kita percaya orang-orang di dunia nyata kurang-lebih akan benar-benar bertindak sesuai dengan yang tergambar di cerita. I mean, kayaknya gak perlu jauh-jauh kita membayangkan. Lihat sendiri saja gimana mentalitas sosial kita yang terbentuk oleh media (dalam keadaan pandemi atau tidak). 

Awake sepertinya memang ingin membuat kita terjaga dari seberapa dekat sebenarnya kita membuat generasi ini hancur hanya dalam beberapa waktu (bahkan jam?) saja. Persoalan gak bisa tidur itu ‘cuma’ lapisan pintar (untuk mengeset keadaan porak poranda lingkungan sosial) yang menyelubungi gagasan sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh film.  Yakni soal nurturing new generation. Kita akan bisa memahami lebih banyak tentang ini dengan melihat kepada Jill, protagonis cerita yang seorang single mother beranak dua. Mark Raso actually membuat Jill sebagai karakter yang padat. Dia punya backstory sebagai mantan tentara – seperti kebanyakan karakter tentara, Jill juga PTSD, dan inilah yang membuat Jill kecanduan obat yang telah merenggut suaminya. Kini Jill bekerja sebagai seorang satpam di rumah sakit, menghidup dua orang anak yang ia titipkan kepada ibunya, sebab karena kondisi ngobatnya dulu itu Jill dinilai tidak layak mengasuh anak. Backstory yang disebar sepanjang durasi ini membentuk saga Jill sebagai sebuah cerita tentang ibu yang kini harus merawat sendiri anak-anaknya, tidak lagi membiarkan mereka dirawat oleh orang lain.

Ini ditranslasikan oleh film sebagai kisah petualangan Jill memperjuangkan keselamatan kedua anaknya. Terutama Matilda yang diincar oleh banyak pihak. Film berusaha terus menggenjot perjuangan Jill dengan memberikannya rintangan termasuk serangan rasa kantuk, kelelahan, dan kesadaran yang terus memudar. Di tengah-tengah semua itu, Jill juga harus menjalin kembali hubungannya dengan Noah si putra pertama, dan mengajarkan survival kepada Matilda. Dengan efektif film ini memparalelkan perjuangan ibu mendidik anak dengan bagaimana generasi muda terbentuk dari sosial yang sekarang. Perjuangan yang tidak pernah tidur.

 

AWAKE_20190810_Unit_00312_R-2-750x400
Bengong ngeliat orang-orang halu merasa jadi titisan Titan

 

Dengan intensi baik seperti demikian, maka memang sayang sekali film ini jatuh ke tangan eksekusi yang buruk. Awake kenyataannya memang akan membuat kita tertidur pulas lebih cepat, sebab bertahan mengikuti petualangan Jill adalah tugas yang sangat menjemukan. Raso seperti terjebak dan kelimpungan sendiri pada tuntutan untuk membuat pengalaman nonton film ini sama-sama disorientating dan chaos. Raso jadi membuat film ini terasa sangat choppy. Terasa terputus-putus. 

Pada editingnya hal ini paling terasa. Ketika fenomena solar flare itu terjadi di awal-awal, sebenarnya cukup seru karena terjadi begitu mendadak. Mobil yang dikendarai Jill, bersama dua anaknya, tiba-tiba mati dan mereka jatuh ke danau. Setelah itulah, semua hal pada film ini mulai terasa disjointed. Anak yang beberapa detik lalu berenang di dekat Jill, tau-tau sudah ada di daratan, diselamatkan oleh polisi. Penduduk kota yang masih tampak kena mati lampu biasa, tau-tau besoknya langsung bikin sekte. Film ini butuh lebih banyak ruang supaya cerita itu berkembang. Raso tidak melakukan ini. Dia melanyau adegan-adegan di naskah tanpa benar-benar memperhatikan apa yang mestinya merekatkan kejadian-kejadian tersebut. Bahkan hal kecil seperti Jill dan anak-anaknya berhenti di hutan karena Matilda capek, dan lantas digendong oleh Jill. Di exactly adegan berikutnya? Mereka bertiga berlari dan tidak ada tanda-tanda capek dari Matilda.

Perlakuan editing yang tidak membuat adegan seperti berkesinambungan seperti ini pada akhirnya membuat adegan menjadi rancu ketika kesadaran Jill semakin berkurang. Dan ini bukan membuat adegan semakin surealis, melainkan semakin awkward. Contohnya adegan di perpustakaan. This feels very disjointed. Matilda yang tadinya masih tidur di mobil, ternyata ada di dalam librari. Jill lalu mengajarkannya menembak buku, pake pistol beneran. Matilda berlari ke luar. Muncul Noah dari dekat buku yang ditembak oleh Jill. Dan shot berikutnya, Matilda sedang tidur lagi di dalam mobil. Kelihatannya film meniatkan Matilda di librari tadi adalah halusinasi Jill, bahwa dia hampir menembak Noah karena lelah dan desperate. Tapi karena editing dan arahannya, adegan tersebut jadi membingungkan.

Dan tentunya juga membuat akting para pemain jadi sama anehnya. Mereka semua jadi terlihat kaku. Gina Rodriguez mencoba keraas untuk hit every notes pada karakter Jill yang punya range cukup luas. Secara garis besar cerita, dia oke. Transformasinya dari ibu pejuang ke orang yang benar-benar sudah lelah tampak meyakinkan. Tapi karena editing dan arahan, setiap scene baru yang melibatkan dia berkomunikasi dengan anak-anaknya, Gina jadi tampak kaku. Begitu pula dengan anak-anaknya. Aku tidak merasa mereka punya chemistry sebagai keluarga beneran. Aku tidak enjoy melihat mereka. Aku tidak merasakan apa-apa kepada mereka. Karakter yang paling enak ditonton justru adalah karakter minor, seorang napi yang kabur dan bergabung bersama keluarga Jill. Tapi bahkan karakter itu tidak mendapat justice karena juga ‘lenyap’ ditelan editing yang buruk. Pada adegan aksi di babak ketiga, antara cut dengan cut adegannya disambung dengan gak make sense dan tanpa arahan pandangan mata yang sesuai. Sehingga benar-benar tidak bisa kita nikmati. Malah membuat film terasa kaku dan, paling parah, terlihat fake.

Cerita film ini pun berakhir dengan tidak benar-benar memuaskan. You know, karena soal solar flare dan ‘gak bisa tidur’ hanya lapisan pemanis, maka film tidak menuntaskan soal itu hingga ke penyelesaian yang sebenarnya. Kita tidak diberikan jawaban kenapa fenomena itu terjadi. Kenapa hanya Matilda (dan satu wanita lagi) yang bisa tidur. Sebagai penyelesaian, film justru berusaha mengikatkannya lagi kepada gagasan soal generasi baru. Dan itu membuat film ini jadi punya ending yang…. kalian baiknya nonton sendiri karena buatku film ini gila banget hahaha.. Aku gak percaya film benar-benar membuat karakter anak-anak itu melakukan perbuatan itu kepada ibu mereka. Kalo yang diniatkan film adalah menyampaikan bahwa pada akhirnya justru generasi barulah yang kini harus ‘mengeset ulang’ generasi sebelum mereka, maan, film ini benar-benar punya selera humor yang gilak!

 

 

 

Ini nyatanya adalah satu lagi film yang punya potensi, yang punya premis dan gagasan menarik di baliknya, tapi eventually gagal dalam mengkomunikasikannya kepada kita para penonton. Dia jadi ribet sendiri sama gimmick lapisan ceritanya. Yang harus dibenahi oleh film ini ada banyak. Pertama dia harus benar-benar ngeset tone ke arah yang dark jika memang mau ceritanya berakhir dengan penyelesaian seperti yang mereka lakukan. Kedua, editing yang choppy mestinya bisa diperbaiki, karena yang mereka tampilkan di sini jadi tampak fake. Bahkan membuat akting pemainnya menjadi tampak kaku; sebagai keluarga pun mereka tampak tak nyaman.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AWAKE.

 

 

That’s all we have for now.

Apakah kalian akan menyelamatkan anak sendiri? Atau apakah kalian akan menyelamatkan dunia? And how’s that become more of a choice ketimbang bisa dilakukan beriringan?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

AFFLICTION Review

“The second time you make it, it’s no longer a mistake.”
 

 
 
Horor selalu merupakan subyek yang menarik. Sebagai penonton kita akan selalu penasaran akan misteri-misteri, atau juga wujud-wujud seram tragedi yang berakar dari sisi gelap manusia itu sendiri. Karena berasal dari perasaan dan trauma manusia itulah, maka horor juga senantiasa berkembang. Manusia yang kompleks, menyebabkan horor juga ikut kompleks. Dan tampaknya horor bukan cuma menarik bagi penonton. Kita tentu banyak mendengar pemain film yang ingin ‘menguji nyali’ bermain horor. Di sisi pembuat film, horor dilihat juga sebagai tantangan.
Bagi sutradara Teddy Soeriaatmadja, horor jelas adalah sebuah ‘new realm’. Film Affliction sebagai horor perdananya ini, ia arahkan lebih sebagai thriller, karena film ini memang lebih menekankan kepada suspens dan intensitas pembangunan misteri dan drama antarkarakter. Yang belakangan disebut; tak ayal adalah elemen kuat yang membuat nama Teddy bergaung di kalangan pecinta film. Namun sayangnya, secara keseluruhan, film Affliction atau Pulang (judul versi Indonesia) ini never really hits home sebagai cerita horor atau thriller yang menyangkut manusia. Teddy tidak benar-benar memberikan sesuatu yang baru, baik kepada genre itu sendiri maupun kepada jam terbangnya sebagai sutradara kawakan. Karena arahan dan cerita Affliction ini begitu basic dan penuh oleh elemen-elemen yang sudah pernah kita lihat dalam horor-horor mainstream. Yang sepertinya memang ke mainstream itulah kiblat Teddy dalam menggarap film ini.
Cerita film ini bermula dengan cukup menarik dan menjanjikan. Setidaknya bagiku, karena Affliction mirip sama Relic (2020) – film horor yang masuk daftar top-8 ku tahun lalu. Tentang keluarga yang harus berurusan dengan penyakit Alzheimer yang diderita nenek yang selama ini tinggal seorang diri. Affliction ini bercerita dari sudut Nina, perempuan yang merasa bersalah karena ibu kandungnya baru saja tewas bunuh diri. Nina merasa kurang memberikan perhatian – apalagi karena keluarga Nina dan sang ibu tinggal serumah. Jadi untuk menebus dosanya itu, Nina beralih ke suaminya. Hasan. Hasan punya ibu yang tak pernah Nina kenal karena Hasan memang tidak pernah menyebut-nyebutnya. Maka itulah, ketika Nina mendengar kabar bahwa ibu Hasan di kampung tinggal seorang diri tanpa ada yang mengurus – belum lagi menderita Alzheimer yang membuat si ibu dipandang sebagai orang aneh, Nina lantas memaksa suaminya untuk pulang kampung. “Aku ingin mengurus Bunda”, kata Nina. Tapi begitu Nina, suami, dan kedua anak mereka tiba di kampung, keadaan Bunda dan misteri di rumah itu dengan cepat menjadi terlalu besar dan mengerikan, dan menyedihkan, untuk dihadapi oleh Nina.

Semua akan bikin horor pada waktunya

 
Bikin narasi horor atau thriller yang seram itu gak gampang ternyata. Horror should not means to scare people, but rather to make people feel terrible. Seram itu enggak selamanya berarti untuk menakuti orang. Di sinilah kebanyakan orang sering salah. Begitu juga dengan Teddy di Affliction. Di film ini Teddy tampak begitu keras berusaha menakut-nakuti kita (melalui jumpscare dan lain-lain), sehingga dia sendiri lupa ada peristiwa naas yang terjadi pada karakter-karakter di dalam naskahnya. Alih-alih menggali psikis Nina yang termotivasi untuk menjaga Bunda, film ini malah menutupi kita dari segitu banyak emosi dan pikiran dari para karakternya. Menjadikan mereka sebagai revealing untuk bikin kita lebih kaget lagi. Well, padahal penonton film kan bukan presiden yang seneng merasa kaget atau bingung. kita ingin merasakan perjalanan emosional yang humanis. Kita ingin merasakan betapa devastatingnya punya ibu yang digerogoti Alzheimer – yang kian hari kian terasa seperti orang asing. Kita ingin merasakan betapa kalutnya hidup yang gede bersama rahasia kelam. Kita tidak merasakan semua itu, karena film tidak mengeksplor. Semuanya hanya dijadikan plot poin semata. Dan by the time film akan berakhir, lapisan emosional itu baru diungkap sebagai twist, completely menyia-nyiakan emosi dan kengerian real-lagi-grounded. Padahal inilah horor sebenarnya yang dikandung oleh cerita, bukan hantu anak kecil atau arti Ari Kiba. Sebagai pembanding, Relic walau juga punya hantu beneran tapi tetap mewujudkan horor dari Alzheimer dan perasaan keluarga itu sendiri. Dalam Affliction, Alzheimer itu bahkan tidak lagi jadi soal di akhir cerita.

Manusia memang banyak melakukan kesalahan dalam durasi hidupnya. Kesalahan itu dimaksudkan sebagai pembelajaran untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Maka dari itu, kita tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dua kali. Karena kesalahan yang sama untuk kedua kalinya itu, bukan lagi sebuah kesalahan. Melainkan sebuah pilihan. Inilah hal paling mengerikan yang bisa kita bawa tidur setelah menonton film ini. Kontras antara Nina yang ingin kesalahannya tidak terulang sehingga ingin menjaga Bunda, dengan Hasan yang enggak mau belajar dan owning to his mistake, melainkan untuk merahasiakan dan menipu semua orang.

 
Akting Raihaanun Soeriaatmadja sebagai Nina cukup bagus. Ketika memarahi anaknya, Raihaanun natural kayak pas di Twivortiare (2019). But that’s about it. Ketika ngehandle drama dan ketakutan itu sendiri, terasa biasa aja, karena memang tidak banyak emosi yang bisa ia gali dan tarik dari karakternya. Secara keseluruhan akting dan dialog film ini pretty basic. Gak sampai ke level haunting dan creepy kayak pada horor-horor semacam Hereditary (2018). Karakter anak-anak yang hadir juga masih dangkal dan keberadaan mereka pun masih sebagai objek untuk ditakuti-takuti semata.  Mereka gak kayak anak kecil yang real, melainkan anak kecil di semesta horor kacangan Indonesia. Yang sulung kerjaannya cuma main hape, dan yang paling kecil kerjaannya menggambar. Film juga gak ngasih sesuatu yang baru terhadap trope klise anak-kecil ini (coba tebak anak bungsu itu menggambar apa!) Gak banyak yang dihasilkan dari hobi mereka tersebut. Hanya ada satu kali hape si anak dikasih ‘peran’, sementara si bungsu yang di awal-awal cukup menarik dengan smart-mouthnya, tapi toh tidak berperan apa-apa di dalam cerita. Hubungan mereka dengan nenek juga gak pernah disentuh.
Terkadang malah, dialog dan pengadeganannya dibikin kayak sang sutradara sengaja becandain trope horor yang ia pakai. Kayak Nina yang udah hampir berhasil kabur tapi balik lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan. Atau soal anak misterius yang disangka bernama Ari Kiba tapi juga Nina yakin anak itu bernama Dimas Rangga, sehingga adegan Nina mengungkapkan teorinya itu jadi bukannya terasa penuh misteri melainkan kayak konyol. Ibnu Jamil sebagai Hasan gak menolong banyak karena karakternya sengaja dibikin terbatas, dan sebagian besar dia stuck di trope ‘suami-yang-keras-kepala-tak-percaya’. Pembawaan Ibnu yang sinetron banget membuat karakternya sering tampak nyaris over-the-top. Bagian yang cukup amusing bagiku adalah ketika Bunda alias si nenek ngetawain kerjaan Hasan yang psikolog anak. Adegan itu seperti membuktikan bahwa film ini punya selera humor, karena memang ada sebab musababnya si Bunda tertawa seperti itu; sebagai part of building the disturbing revelation. Tutie Kirana sama seperti Raihaanun, berusaha menggali emosi karakter di sumur yang dangkal. Beliau berusaha membuat Bunda tampil creepy. Tapi sekali lagi karena film ini penggaliannya cetek sementara cukup punya selera humor, adegan saat Bunda tiba-tiba lupa sama Nina dan cucu-cucu yang jadi lawan bicaranya jadi malah terasa weird karena itu mereka ngobrolnya tadi sambil senyam-senyum di meja makan. Sila bandingkan lagi dengan Relic, yang nampilin adegan nenek yang tiba-tiba lupa siapa lawan bicaranya itu dalam setting dan pengadeganan yang benar-benar menyokong untuk terasa serem.

Tukang Exorcist-nya siang sempakan, malam tasbihan

 
Gak klop seperti begitu itu juga kurasakan saat melihat ke visualnya. Aku suka warna-warna film ini. Banyak tone ungu atau lembayung jadi kayak suasana surealis, terutama karena film ini dibuka oleh adegan yang diedit seolah karakter melihat suatu peristiwa di dalam mimpinya. Hanya saja, warna film yang konsisten seperti ini hingga ke akhir tersebut terasa enggak klik dengan nuansa horor yang ingin dicapai. Terlebih ketika di babak ketiga film ngegas menjadi thriller bunuh-bunuhan. Cerita yang dangkal dan gak emosional di pertengahan juga membuat warna-warna tersebut kehilangan fungsinya. So it doesn’t really work for me. Karena film malah terasa kayak main aman. Semuanya terlalu bersih dan gak chaos. Padahal jika memang mengincar thriller mainstream yang berdarah-darah (seperti yang diset oleh adegan bunuh diri di opening), film harusnya jor-joran aja. Bangkitkan suasana seram dengan warna gelap. Gunakan properti, kalo perlu hancur-hancurin aja rumahnya. Aneh sekali melihat film yang beradegan kejar-kejaran dan bunuh-bunuhan tapi karakternya itu jatoh pingsan dengan sopan banget, di antara kursi-kursi. Tidak ada intensitas yang naik di final confrontation karena semuanya diadegankan dengan ‘aman’. Adegan Nina maculin tanah pake pickaxe aja tampak letoy banget. Padahal itu udah menjelang final. Untuk mainin ketegangan kita, film malah bikin Nina bolak-balik ngambil barang yang ketinggalan. Kan lucu!
Jika melihat dari naskah dan setting yang tertampilkan, film ini sepertinya bukan terlalu main aman. Bisa jadi malah, film ini hanya kurang usaha aja. Misalnya pertama soal kota dan desa yang perbedaannya gak kelihatan. Film ini memang memperlihatkan Nina berjalan di desa, tapi suasana desa itu gak ada pembanding. Karena saat di kota, kita hanya diperlihatkan mereka di rumah saja; yang bahkan gordennya ditutup. Sehingga kontras suasana itu gak terasa. Selebihnya, semua set di dalam rumah. Pindahnya mereka dari rumah di kota ke rumah nenek nunjauh di sana itu gak terasa dari suasana. Usaha film ini buat memperlihatkan set rumah nenek itu beneran di desa cuma dengan memposisikan termos jadul dan keranjang tradisional dalam warna dan penempatan yang mencolok. Selain itu, tidak ada lagi yang ‘dimainkan’. Setting film ini tidak pernah tampak hidup. Gak ada tempelan kertas berisi memo pengingat untuk nenek yang mulai sering hilang memori, yang jika dibaca bikin bulu kuduk kita merinding, kayak Relic. Film ini cuma punya botol obat sebagai penanda bahwa Bunda beneran sakit.
Kedua adalah dari naskahnya sendiri, yang terasa banyak lubang serta hal-hal yang sengaja didangkalkan. Misalnya soal pintu kamar yang terkunci. Film gak pernah bikin alasan yang jelas kenapa Bunda harus mengunci pintu kamar itu. Pintu itu hanya dikunci oleh naskah, sebab naskah gak mau bahas itu sebelum waktunya nanti. Padahal gak banyak juga revealing yang berarti di dalam kamar tersebut. Terus, soal melihat ‘doppelganger’. Jika melihat kembaran seseorang itu berarti si orang itu akan mati, kenapa dari tiga adegan melihat kembaran ini, hanya dua yang nantinya akan beneran mati. Apakah itu hanya berlaku buat Nina saja? Kalo iya, kenapa? Emang si Nina sebenarnya siapa? Nah rule soal ini gak pernah dibangun oleh film. Kita juga enggak pernah mengenal Nina lebih jauh. Lubang yang menurutku paling parah adalah soal Narsih, orang yang actually ngasih tahu kabar Bunda ke Nina. Si Narsih ini gak jelas darimana bisa tahu rumah Hasan, yang padahal si Hasan itu gak kenal dia karena gak pernah pulang ke kampung. Ini kejanggalan yang sama kayak di Perempuan Tanah Jahanam (2019) saat karakter Teuku Rifnu bisa nemuin wanita dewasa di kota gede, padahal dia hanya tahu wanita itu sebagai balita yang pergi dari kampung. Dan kayak gini itu sesungguhnya adalah masalah besar – sebuah red flag – pada naskah. Karena jika cerita kita bergantung kepada inciting inciden yang logikanya selemah itu, maka cerita tersebut niscaya akan susah untuk berkembang menjadi cerita yang exciting dan masuk akal. Semua pasti akan terasa dibuat-buat saja nantinya.
 
 
Dalam horor/thriller pertamanya ini, Teddy Soeriaatmadja tampak bermain terlalu aman. Dia seperti ingin mencoba membuat sesuatu yang appealing untuk mainstream, tapi juga tidak ingin jadi terlalu receh. Sehingga ini tampak jadi beban, karena filmnya ternyata jadi tampil setengah-setengah. Ceritanya penuh elemen-elemen horor mainstream yang juga mengandalkan jumpscare – meski tidak terlalu sering. Dengan suasana yang berusaha dibuat seperti surealis. Tapi ini jadi gak klop, sehingga filmnya malah terasa datar. Hiburanku nonton ini datang dari kelucuan yang anehnya jadi ikut tersaji dari beberapa pengadeganan film ini. Dari pengembangan plot dan karakter, film ini tidak lebih baik daripada horor Danur-Danuran, Asih-Asihan, dan Doll-Dollan. Raihaanun dan Tutie Kirana bermain bagus tapi kita dapat melihat betapa kemampuan mereka yang sesungguhnya disiakan di sini, karena film enggak mengeksplor karakter mereka. Sebagai cerita horor yang menilik penderita Alzheimer, film ini juga gak tampil kuat dan benar-benar ke arah sana. For that, we better watch Relic (2020) instead.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AFFLICTION.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya kiat pribadi untuk membantu memastikan diri tak mengulangi lagi kesalahan yang sama untuk kedua kali?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

PIECES OF A WOMAN Review

“It is better to plant good seeds than to mourn bad weather”
 

 
 
Tiga puluh menit pertama film Pieces of a Woman akan actually mencabik-cabik perasaan kita sehingga menjadi serpihan-serpihan. Aku nonton ini cuma ‘modal’ info bahwa di film ini akting Vanessa Kirby worthy banget untuk disaksikan. Aku tahunya cuma ini adalah cerita tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya. Jadi aku udah siap bakal dapat cerita sedih, tapi aku certainly gak nyangka yang kusaksikan ini bakal begitu devastating.
Menit-menit awal cerita berlangsung cepat. Kita ngeliat karakter suami dan istri, dalam kerjaan mereka masing-masing, bersiap pulang – dengan harapan bayi mereka bisa lahir kapanpun at this point of time. Ketika mereka di rumah, kita melihat adegan yang hangat. Sean menguatkan Martha yang perutnya mulai ‘beraksi’. Mereka ngobrol dan bercanda. Mereka tampak udah siap banget, semua sudah direncanakan. Team work, begitu kata Sean dan Martha dengan kompak. Namun manusia memang hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. Air ketuban Martha malam itu pecah, sebelum waktunya. Perutnya berkontraksi hebat – dengan rasa sakit yang jauh dari perkiraan Martha. Dan bidan yang datang membantu persalinan bukan bidan langganan mereka, melainkan bidan pengganti karena bidan yang satu itu sedang dalam proses bersalin pasien yang lain. Segala ‘rusuh’ malam melahirkan ini ditampilkan oleh sutradara Kornel Mundruczo lewat sekuen unbroken yang panjang. Sehingga kita seperti berada langsung di rumah itu, menyaksikan keriwehan. Merasakan emosi dan panik dan bingung dan luapan perasaan lainnya yang menerpa pasangan tersebut. Aku juga gak tahu proses melahirkan itu seperti apa, sehingga ketika bidan di film ini berusaha menenangkan semua itu normal, aku juga berusaha tenang. But things do escalate quickly.
Dan ketika tragedi itu bener kejadian – film mengadegankannya dalam cara yang sangat hearbreaking – aku sadar menyaksikan semua itu dengan menahan napas!

Babak pertama paling horor!

 
Sekuen melahirkan yang horor itu ngeset ‘cerita sebenarnya’ film ini. Yakni tentang seorang perempuan yang harus menghadapi kehilangan dan duka. Trauma yang harus berani ia hadapi. Pertanyaan yang menggantung adalah bagaimana Martha mengarungi hari-hari berikutnya. Apa pengaruh peristiwa tersebut bagi ‘kerja tim’ Martha dan Sean. Untuk menekankan bahwa rest of the movie sesungguhnya bahkan lebih naas lagi bagi para karakter, maka film mengontraskan suasana. Suasana hiruk pikuk pada babak pertama tadi tidak akan pernah kita temui lagi. Digantikan oleh atmosfer yang sebagian besar diam, tapi menyayat hati.
Semua itu sesungguhnya tercapai berkat penampilan Vanessa Kirby sebagai Martha, yang ternyata benar-benar luar biasa. Selain tampak begitu meyakinkan memainkan orang yang kesusahan dalam proses melahirkan, Kirby juga juara bermain emosi dalam diam – lewat tampilan ekspresi saja. Kita bisa melihat derita dari matanya. Kita bisa melihat bekas peristiwa itu membentuk perilaku hingga ke raut wajah Martha. Detil kecil seperti kedutan di pipi saat karakter ini mengatakan sesuatu gives us away perihal yang sebenarnya ia rasakan – dan saat itu yang ia katakan adalah hal yang berlawanan dengan yang ia pendam. Kirby paham bahwa karakternya ini punya coping mechanism berupa memendam trauma tersebut. Bahwa bagi karakternya ini kejadian menyedihkan tersebut akan berlalu jika ia simpan di hati, sehingga ia berusaha menjalani hidup secara normal. Kita melihat Martha masuk kerja gitu aja, membuat heran semua orang yang masih menatapnya dengan prihatin. Martha mengira dengan membuat keputusan seperti menyerahkan jenazah bayinya untuk bahan penelitian alih-alih dikuburkan dengan proper, maka itu berarti dia kuat dan move on. Namun justru sikapnya yang demikian itu yang membuatnya kian berjarak dengan orang-orang terdekat yang peduli kepadanya. Martha jadi renggang dengan suaminya. Martha juga bahkan jadi lebih renggang lagi dengan ibunya sendiri.
Film menganalogikan hubungan Martha dan keluarganya dengan pembangunan jembatan. Transisi dari satu periode waktu ke waktu yang lain oleh film ini dilakukan dengan menampilkan shot jembatan yang sedang dibangun. Ini menyimbolkan Martha itu sendiri; yang tadinya berjarak kemudian seiring berjalan waktu akan tersambung dengan orang lain, seperti jembatan itu yang seiring waktu terkonek dengan sisi seberang. Film ini menunjukkan proses Martha dalam ‘menyambung’ kembali dirinya dengan dunia luar. Proses itu sendiri disimbolkan oleh film sebagai apel. Kita akan melihat Martha gemar makan apel, sampai-sampai dia lalu memutuskan untuk mencoba menanam biji apel. Tindak menanam ini paralel dengan sikap Martha yang memendam. Apel itu sendiri juga akhirnya menjadi kunci dari perjalanan acceptance Martha. Mungkin Martha menanam apel karena naluri untuk membesarkan sesuatu, tapi yang lebih penting adalah tindakannya tersebut menunjukkan bahwa Martha lebih memilih untuk membesarkan suatu kehidupan ketimbang membesarkan dendam atau permasalahan. Dan seperti jembatan yang semakin tersambung, bibit apel yang ia tanam juga semakin membesar. Hingga benar-benar menjadi pohon rindang seperti yang kita lihat pada ending. Film memang meninggalkan banyak pertanyaan di ending tersebut (nasib akhir beberapa karakter ataupun perihal kemunculan karakter baru), tapi yang diperlihatkan olehnya sudah lebih dari cukup. Karena ending itu membuktikan pertumbuhan dari karakter Martha; hasil yang positif dari perjuangannya bergelut melawan grief dan trauma.

Apa yang kita tanam pada masa-masa sulit, akan tumbuh untuk dipanen menjadikan masa-masa yang bahagia. Perjalanan-inner Martha memperlihatkan kepada kita bahwa lebih baik untuk menanam harapan daripada meratapi kejadian buruk yang telah terjadi

 
Pieces of a Woman memang bekerja terbaik saat memperlihatkan Martha yang berjuang menyembuhkan dirinya keping demi keping. Hanya saja, film sering tidak komit terhadap ini. Sudut pandang ceritanya, terutama setelah babak pertama itu, akan sering berpindah-pindah. Aku paham bahwa film ingin mengontraskan proses grieving Martha dengan Sean suaminya, untuk memperlihatkan betapa dahsyatnya efek peristiwa kematian anak tersebut. Shia LaBeouf juga bermain dengan sepenuh hati sebagai Sean yang memilih untuk meluapkan derita, alih-alih memendam. Kita lihat karakter ini berpaling ke alkohol, sering bertindak kasar, dan bahkan sampai selingkuh. Aku paham kepentingan untuk menggali karakter ini. Namun, seringkali Sean jadi menutupi kita ke Martha itu sendiri. Karena Martha yang didesain untuk jadi distant dengan setiap orang, dan Sean yang lebih terbuka, membuat film ini malah jadi seperti cerita yang nonjolin Sean. Dengan kata lain, tidak lagi konsisten dengan sedari awal. Kita malah jadi tidak diperlihatkan banyak mengenai siapa si Martha itu. Ambil contoh adegan opening. Sean malah lebih banyak dibahas, kita melihat dia berinteraksi di lingkungan kerjanya. Informasi dia punya istri, yang mau melahirkan, lalu kemudian hubungan dirinya yang pekerja kuli dengan mertua yang kelas jet-set, semuanya terangkum dalam sepuluh menit pertama. Sedangkan, karakter utama film ini – si Martha – informasinya sudah sedikit di awal. Kita hanya melihat dia berjalan pulang dari kantor, tanpa jelas apakah dia gugup melahirkan, apakah dia excited, apakah dia hanya kecapekan.

Aku kalo dilempar bola pasti langsung bales nimpuk pake apel!

 
Mengenai mertua Sean, alias ibu Martha; juga sama. Karakter ini lebih banyak dibahas hubungannya dengan Sean. Ibu Martha gak suka sama Sean, dan Sean menganggap beliau melecehkan posisinya sebagai kepala keluarga. Tapi kedua karakter ini mau untuk ‘bersekongkol’ demi Martha. Bahasan kedua karakter ini lebih kompleks. Sedangkan hubungan si Ibu dengan Martha hanya dirangkum lewat satu adegan monolog – yang aku akui cukup emosional. Kita lebih banyak melihat mereka melihat Martha, ketimbang melihat Martha itu secara langsung. Dan ini jadi mengecilkan karakter Martha itu sendiri. Film ini harus menyadari betapa beruntungnya ada Vanessa Kirby yang menghidupkan karakter Martha jauh beyond apa yang ditampilkan pada naskah. Karena naskah hanya meniatkan kita untuk melihat Martha sebagaimana Sean dan Sang Ibu melihatnya. Sebagai pribadi yang dingin, yang berjarak, yang mengambil keputusan aneh. Berpindah-pindah sudut pandang itu membuat journey film tidak lagi clear. Kita baru hanya akan mengerti pada apa yang dirasakan Martha sebenarnya – pada apa yang kubicarakan di atas – pada saat menjelang akhir. Ketika Martha membuka diri dan membuat pilihan di persidangan yang tadinya beragenda menuntut bidan yang membantunya melahirkan.
 
 
 
Jadi aku pikir film ini sesungguhnya bisa sangat emosional, jika fokus menempatkan kita kepada sudut pandang Martha. Namun film ini mengambil penceritaan yang aneh, membuat kita berpindah-pindah, malahan membuat kita ikut merasa distant terhadap Martha. Bukannya distant bersamanya. Padahal film butuh untuk kita lebih banyak ikut merasakan kontemplasi Martha. Bukan sekadar sebagai revealing atau solusi instan di akhir cerita. But I do like the first act. Tiga puluh menit pertama itu benar-benar cocok dibikin dengan menempatkan kita sebagai penonton yang melihat semua. Sehingga emosinya benar-benar terasa.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PIECES OF A WOMAN.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apa makna kepergian Sean bagi pertumbuhan karakter Martha? Bagaimana tanggapan kalian mengenai dinamika keluarga yang digambarkan oleh film ini; realistis atau tidak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHADOW IN THE CLOUD Review

“War is to man what maternity is to a woman.”
 

 
 
Udah lama gak ngeliat Chloe Grace Moretz dalam peran cewek badass, sehingga Shadow in the Cloud garapan Rosanne Liang ini terasa jadi pengobat rindu. Moretz bukan hanya beraksi di atas pesawat yang sedang mengudara, dalam aksi fantasi perang dunia ini, karakter yang ia perankan akan menghajar bokong monster-monster maskulinitas!
Moretz berperan sebagai Maude Garrett yang menyatakan dirinya mendapat surat perintah untuk ikut dalam misi pesawat The Fool’s Errand. Pesawat yang isinya cowok semua itu tidak begitu saja percaya kepadanya. Mereka meremehkan Garrett, semua. Well, kecuali Quaid yang tampak respek dan bersedia menjaga tas bawaan Garrett di dock atas sementara Garrett sendiri ditempatkan di stasiun senjata bagian bawah pesawat oleh Kapten. Dari situlah masalah muncul. Di bawah sana, Garrett melihat sesuatu di badan pesawat – dan juga di balik awan. Pesawat mereka terancam bahaya diserang oleh dua hal berbeda. Dan tak satu orang pun yang percaya pada Garrett. Stake semakin tinggi bagi protagonis kita, sebab tas yang sedang dijaga oleh Quaid di atas tadi ternyata adalah berisi sesuatu paling berharga yang harus dijaga Garrett dengan nyawanya sendiri!

Dengarkanlah kata-kata perempuan, walau kadang ribet

 
Now, the movie itself is actually pretty bizzare. Ada perbedaan tone cerita yang benar-benar drastis. Film ini banyak menggunakan musik-musik techno/elektronik yang kekinian, yang mentok banget dengan setting dunia 1940an yang kita lihat. Belum lagi, film sering menampilkan visual dengan warna-warna neon, yang juga kontras dengan environment pesawat yang tampak kuno, dan ringkih. Benturan-benturan ini menciptakan kesan ‘dreamlike’, seperti sebuah fantasi. Sementara itu, melalui kontras modern dengan jadoel itu, bawah sadar kita juga dibuat mengerti kalo ini adalah kisah fantasi yang menyuarakan hal kekinian. Ini adalah soal perempuan dalam dunia pria.

Film bermaksud untuk memperlihatkan kepada kita hal-hal seperti bagaimana perempuan diperlakukan, prejudice apa yang seringkali menimpa, dan betapa merawat anak saja dapat menjadi begitu perjuangan bagi perempuan. Dalam kata lain: film ingin memperlihatkan perang seperti apa dialami oleh perempuan masa kini, dan betapa kadaluarsa sesungguhnya ‘perang’ tersebut. 

 
Paruh pertama film ini dengan paruh keduanya udah kayak dua film yang berbeda. Aku biasanya suka banget dengan film-film yang bahkan si film itu sendiri mengalami perubahan. Kriteria film yang kukasih skor 9 biasanya seperti demikian. Misalnya Jojo Rabbit (2020) yang awalnya cerita di camp terus berubah jadi cerita semacam ‘stranger on attic’ lalu berubah lagi jadi cerita perang. Atau Inside Out (2015) yang berubah dari cerita di ruang kendali menjadi cerita petualangan. Shadow in the Cloud pada paruh pertama adalah cerita yang sangat contained. Hanya berisi dialog-dialog, dengan situasi yang menarik. Garrett sendirian di turret bawah. Terkunci. Terpisah dengan lawan ngobrolnya; para kru pria yang berada di bagian atas pesawat. Mereka ngobrol lewat radio internal pesawat. Aku genuinely suka bagian ini. Aku suka setnya; yang menggambarkan betapa terkucil, terkurung, dan rendahnya perempuan ditempatkan oleh pria-pria toksik. Aku juga suka sama dialog mereka, dan cara dialog tersebut dimainkan. Dimulai dari Garrett yang mencuri dengar para kru ngelecehin dia, hingga ke akhirnya mereka berdebat dan Garrett put them in their place saat mengungkap kepandaian dan pengalaman mereka ternyata tak jauh berbeda – bahkan Garrett lebih superior. Akting Moretz pun ternyata lebih ‘cakep’ di bagian drama berdialog-dialog ini.
Tapi kemudian, sembari Garrett melakukan lompatan ke luar pesawat, film juga melakukan lompatan yang tak kalah jauhnya. Sekarang ceritanya berubah menjadi action thriller/horor yang luar biasa impossible. Dan bagiku, film ini langsung terjung bebas. Menubruk permukaan bumi, terbakar, dan meledak hingga tak bersisa. Ketika elemen Gremlin dimunculkan, film ini masih bisa ditolerir.  Tonenya sedari awal sudah diset sebagai sebuah fantasi, sehingga tak masalah jika ternyata monster kayak Gremlin ternyata beneran ada. Gremlin itu pun masih cocok jika dimasukkan ke konteks maskulinitas karena makhluk antagonis itu bisa dilihat sebagai perwujudan dari sifat-sifat jelek para lelaki. Karena mitos Gremlin aslinya memang muncul sebagai kambing-hitam keteledoran manusia merawat kendaraan seperti pesawat, you know, ‘kendaraan pria-pria’. Gremlin disebutkan sebagai makhluk seperti goblin yang merusak peralatan, sehingga menyebabkan kecelakaan, padahal aslinya ya karena memang kendaraannya gak terawat aja. Seperti pesawat yang dinaiki Garrett. Jadi, Gremlin ini bukan masalah, adegan Garrett menghajar Gremlin di babak akhir juga cukup memuaskan walaupun pengadeganannya bego. Yang bikin malesin itu adalah aksi-aksi lain yang dibuat begitu heboh sehingga tak masuk akal. Aksi-aksi seperti Garrett yang jatuh, keluar dari pesawat, terlontar masuk kembali karena imbas ledakan pesawat musuh yang hancur. Konyol!
Aksi-aksi seperti begitu malah membuat kita jadi menertawakannya. Garrett bergelantungan, merayap di luar pesawat sembari membawa tas kulit yang ia jaga biar gak jatuh. Pesawat-pesawat musuh yang gak pernah menembakinya, tapi selalu sukses menembak kru cowok di dalam pesawat – tepat pada saat punchline dialog mereka yang terkesima melihat aksi Garrett. Gremlin yang muncul ngajak berantem, tapi luar biasa mematikan terhadap kru laki-laki lain. Aksi-aksi konyol itu dengan cepat menjadi annoying, karena kita sadar bahwa satu-satunya alasan adegan itu terjadi adalah karena ingin menunjukkan kehebatan Garrett sebagai seorang perempuan. Agenda feminis salah kaprah yang ditunjukkan oleh film ini. Garrett yang di awal sudah benar ditampilkan sebagai seorang yang bercela dengan motivasi dan muslihatnya sendiri, kini berubah ditampilkan sebagai seorang yang lebih baik daripada siapapun di sekitarnya. Garrett ini bisa semua, mulai dari mekanis pesawat, pilot, penembak, dan petarung. Tentara beneran aja jarang yang bisa semua skill kayak gitu. Semua elemen di luar dirinya pun lantas diperlemah demi menguatkan tokoh ini. Ledakan yang tak membunuh, malah menjadi pegas penyelamat. Peluru-peluru yang senantiasa meleset.. Garrett bahkan bisa ‘berteleport’ mengejar Gremlin. Semua ke-lebay-an ‘perempuan-hebat’ itu membuat film ini jadi tak pantas lagi menyandang narasi pemberdayaan yang jadi gagasan utamanya.

This is the close we can get to an action-feminazi!

 
Padahal kalo memang mau bikin cerita yang menghormati perjuangan perempuan di medan perang, kenapa tidak bikin cerita yang lebih real aja misalnya tentang salah satu pilot cewek Perang Dunia II yang fotonya dipajang oleh film ini di kredit penutup. Kenapa harus memilih cerita yang berujung menjadi aksi tak masuk akal yang hanya seperti menuding dan mengecilkan nilai perjuangan.
Sebenarnya film ini sudah mengeset ‘nada dasar’ ceritanya supaya kita enggak kaget dengan perubahan drastis di tengah-tengah. Tapi, film ini melakukan itu dengan demikian aneh. Klip video kartun perang ditampilkan di layar, memperlihatkan soal Gremlin dan pesawat, dengan adegan over-the-top khas kartun. Sebenarnya ini cukup, kalo ditempatkan dengan benar. Film ini anehnya, membuat opening itu seperti terpisah dari cerita utama. Kita tidak melihat karakter menonton klip tersebut atau apa. Karena setelah klip itu, kita lantas disambut oleh kredit studio dan logo-logo yang terlibat produksi film ini. So, bahkan sedari mau mulai aja film ini udah gak make sense. Penulisannya janggal. Garrett sendiri pun tak mendapatkan plot yang benar. Tidak ada pengembangan pada karakternya, melainkan hanya pengungkapan demi pengungkapan; revealing demi revealing. Garrett dibikin sudah benar dan kuat sedari awal. Tidak ada pembelajaran pada karakternya. Tentu saja, sekali lagi karena film berkutat pada agenda tokoh feminis yang salah kaprah.
 
 
Aku menonton ini malam hari tanggal satu Januari. Dan belum genap 24 jam, tapi 2021 udah ngasih kekonyolan dan agenda yang makin annoying. Film ini bukan tontonan yang tepat untuk mengawali tahun yang semestinya penuh harap dan penyembuhan. Karena film ini memperlihatkan perjuangan dalam sebuah fantasi yang semu. Bukannya empowering, malah menggelikan. Tadinya kupikir film ini unik, pemainnya pun berjuang akting dengan sepenuh hati, tapi naskahnya ternyata asik sendiri. Sebenarnya gak masalah jika film tampil sebagai aksi thriller/horor yang konyol, but not like this. Tidak dengan karakter dangkal dan adegan yang menyangkal logika hanya untuk membuat karakternya terlihat kuat.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SHADOW IN THE CLOUD.
 
 

 

That’s all we have for now.
Bicara soal perang dan perempuan, apakah menurut kalian etis bagi suatu negara untuk mengirimkan perempuan-perempuannya berperang? Bagaimana dengan perempuan-perempuan pahlawan di jaman dahulu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ASIH 2 Review

 

“A real parent is someone who puts their kids above their own selfish wants and needs.”

Cerita Asih 2 menyorot keluarga pasangan dokter Sylvia dan suaminya yang pembuat komik/cerita bergambar. Sylvia yang kehilangan putri cilik mereka yang meninggal dunia empat tahun yang lalu, merasakan emotional attachment kepada seorang gadis kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu tertabrak mobil di tengah hutan. Tak ada keluarga yang menjemput. Tak ada siapapun yang tahu siapa orangtua ataupun dari mana asal si anak ini. Maka Sylvia pun membawanya pulang, mengadopsi anak itu. Memberinya nama Ana. Such a close call, sebab Ana ternyata adalah anak pasangan pada film Asih pertama (2018). Tujuh tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh hantu mirip kuntil-ana-k bernama Asih. Tindakan Sylvia mengambil Ana dari dekapan Asih, jelas tindakan yang mengundang malapetaka bagi dirinya dan keluarga.

Jadi, ini adalah konflik antara dua orang perempuan, dua orang ibu yang ingin melindungi anaknya. Sylvia yang bertanggungjawab menyembuhkan Ana, dan Asih yang actually benar-benar merawat Ana sedari bayi. Menariknya adalah bahwa tidak satupun dari mereka berdua yang ibu kandung dari Ana. Bahwa mereka berdua justru adalah ibu yang melihat Ana sebagai kesempatan kedua; kesempatan untuk menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Bedanya cuma Sylvia manusia, dan Asih hantu. Tindakan Asih akan naturally lebih mengerikan daripada perbuatan Sylvia. Padahal inilah sebenarnya kontras yang menarik yang ada pada film. Seperti ada komentar mengenai makna sebenarnya dari menjadi orangtua bagi seseorang. Apa yang membuat kita pantas dipanggil ‘ibu’. Penggalian gagasan tersebut bisa membawa film ke level dramatis, ke cerita yang manusiawi sekaligus menginspirasi dan empowering – khususnya karena film ini tayang berdekatan dengan Hari Ibu.

Seorang Ibu tak pelak memang adalah orang yang telah melahirkan anak. Namun melahirkan, atau simply mengadopsi anak tidak serta merta membuat kita pantas disebut sebagai orangtua yang baik. Karena orangtua berarti adalah harus mampu mementingkan anak di atas kepentingan sendiri. Bukan saja harus mampu mengasuh dengan penuh kasih, tapi juga mampu bertindak yang terbaik bagi anak, walaupun itu berarti harus mengikhlaskan mereka.

Namun, sutradara Rizal Mantovani tidak melihat ceritanya seperti itu. Film tidak difokuskannya ke sana. Atau tepatnya, film diarahkannya berjalan lewat aspek yang paling konyol dan paling dangkal, untuk kemudian menjadikan bahasan soal ibu tadi hanya sebagai konklusi yang ditampilkan ujug-ujug di akhir.

Siapa sih yang gak mau jadi anak dokter?

Jika Christopher Landon punya konsep membangun narasi horor dari komedi jadul, maka para filmmaker horor di Indonesia gak mau kalah. Mereka bikin horor dari lagu anak-anak jaman dulu! Mulai dari lagu Boneka Abdi, hingga lagu sepolos ngajak orang naik Kereta Api pun sudah ada film horornya. Tren yang menarik, tapi kasihan juga sih anak-anak Indonesia. Lagu untuk mereka udah punah, udah gak ada yang bikin lagi, eh lagu jadulnya pun diubah jadi materi horor kacangan. Tapinya lagi, memang beberapa lagu anak itu serem kok. Contohnya ya Indung-Indung yang jadi (un)official soundtrack sekaligus plot device dalam Asih 2 ini.
Well, at least, seram buatku waktu kecil.

Waktu kecil, sekitaran umur 6-7 tahun, aku takut banget sama lagu ini. Kalian pasti tau dong lirik lagu Indung-Indung itu ada kelanjutannya (gak kayak karakter-karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter-muter di situ melulu). Soal perempuan bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya basah. Nah, dulu waktu kecil kalo di rumah nenek, aku selalu ditidursiangkan ortu di kamar Om. Seluruh tembok kamar itu dicat oleh beliau sendiri, digambarin aneka rupa. Mulai dari tokoh kartun Donal Bebek hingga tokoh zodiak. Salah satu gambarnya itu berupa perempuan yang mengenakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, pas lagi dininaboboin pake lagu Indung-Indung, mataku natap si gambar cewek itu. Dan aku mimpi buruk si cewek itu hidup, dia lah Siti Aisyah dalam lagu, dan rambutnya basah ternyata oleh darah sampe ke anduk!!! Sejak saat itu aku trauma sama lagu Indung-Indung.
Sehingga nonton Asih 2 di kala bioskop sepi masih pandemi benar-benar pengalaman menantang buatku. Aku bisa ngerasain keseraman masa kecil itu menguar setiap kali lagu tersebut muncul di film. Dan buatku yang punya kisah personal, hanya lagu itu sajalah yang jadi titik kedekatan dalam film ini. Selebihnya film ini sama sekali enggak menakutkan. Tokoh hantunya, si Asih; aku malah berempati dan kasihan padanya. Aku justru rooting for her. Itu karena memang Cerita Asih 2 punya potensi drama horor untuk digali. Film ini bisa jauh lebih bagus daripada sodara-sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang cuma serem untuk dipake nakutin anak kecil.

Alih-alih fokus kepada penggalian drama dan trauma orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka – lewat sudut pandang perempuan yang mengadopsi, film malah menitikberatkan kepada misteri asal muasal dan lirik lagu. Adegan seram di Asih 2 sebagian besar berupa seseorang mendengar lantunan lirih “Indung indung kepala lindung” dan kemudian mereka melihat sosok mengerikan somewhere di latar belakang.

Pernah gak ngalamin kejadian mendengar satu lagu, lalu kemudian lagu tersebut mendadak muncul di mana-mana; ke mana pergi, ada lagunya. Kurang lebih kayak gitulah film ini; mendadak semua tokoh dalam cerita nyanyiin dan ketemu sama lagu ini. Film kemudian lanjut mempersoalkan itu lagu apa. Ada misteri yang kuncinya ada pada lagu tersebut. Film mengerahkan semua kepada lagu ini. Bahkan bonding ibu dan anak dilakukan dengan memperlihatkan Sylvia belajar nyanyiin lagu tersebut karena lagu itu merupakan lagu favorit Ana. Yang paling konyol adalah adegan ‘fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana “Ini anakku!” pake tarik-tarikan, daaann mereka lantas ‘lomba nyanyi’. Gantian nyanyiin Indung Indung demi menarik perhatian dan kasih sayang Ana.
Kasihan sekali melihat Marsha Timothy dan Ario Bayu yang jadi pasangan suami istri di film ini. Mereka adalah aktor yang pernah mengantongi piala penghargaan. Aktor yang mumpuni, dengan range drama yang luas. Dan cerita film ini actually terbuka untuk ruang drama tersebut. Sebagai suami istri yang pengen punya anak lagi, move on dari trauma-lah yang harusnya digali dalam film ini. Bikin mereka benar-benar butuh Ana. Buat kita yakin mereka beneran peduli sama anak sebagai person, bukan sebagai penebus dosa. Hanya ada satu adegan yang mengarah ke pembahasan ini, padahal narasi harusnya dibangun di sekitar persoalan ini. Bukannya malah memfokuskan kepada ‘lagu seram’. Akibatnya drama dan karakter itu gak kena. Kita gak ngerasa apa-apa, kita gak ngerasain urgensi Sylvia harus dapatin Ana. Atau bahkan kita gak sedih ketika Ana hilang dari Sylvia. Karena film gagal melandaskan kepentingan Ana secara nyata dan emosional buat Sylvia dan suaminya. Kita gak melihat mereka ‘rugi’ apapun jika Asih mengambil Ana. Karena memang si Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu sehat, dia celaka karena ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd-nya kecil banget hahaha… Dan di luar kebiasannya saat makan yang aneh, anak itu toh gak tumbuh jadi psikopat. Dalam pandangan kita, film malah seperti memperlihatkan Sylvia-lah yang menculik Ana dari Asih.

“Lu ambil anak gue! Lu ambil lagu gue!!”

 

Shareefa Daanish sekali lagi hanya dipakai untuk jadi hantu yang teriak-teriak ngejumpscare orang. Padahal potensi drama dan permainan karakter bisa ia lakukan di sini. Too bad pembuat film cuek dengan ini. Justru Asih-lah di sini yang cocok sebagai protagonis. Dialah yang kehilangan sesuatu – meskipun awalnya juga curian. Dialah yang pada akhirnya berbesar hati. Yang menunjukkan bahwa Asih-lah yang mengalami perkembangan karakter – yang actually punya plot dalam cerita ini. Cerita bahkan menyimpan satu kejutan menarik lagi berupa kehadiran seseorang dari masa lalu Asih; orang yang mengenal Asih saat masih seorang manusia. Jika memang begitu, toh kerja film sangat buruk dalam memperlihatkan Asih sebagai tokoh utama. Karena porsi paling gede ya ada pada Sylvia dan keluarga. Sylvia, yang tak ngalamin perkembangan apa-apa. Yang gak ada stake. Yang bahkan tidak membuktikan kepada kita dia bisa jadi orangtua yang baik; karena yang film perlihatkan hanyalah dia yang selalu pulang malam hanya dekat dengan Ana saat mandi dan saat belajar lagu.

Dan si Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia hanya melihat anak kecil sebagai objek. Setelah lagu mereka diambil jadi materi horor, tokoh yang mewakili mereka pun di sini hanya jadi objek rebutan. Ana dihidupkan sebagai trope ‘anak setan’, alias anak berkelakuan aneh yang suka ngobrol sama sesuatu yang tak terlihat. Film ini tak memberikan Ana kesempatan untuk bersuara, untuk punya pendapat dan pandangan sendiri. Literally, Ana ditulis sebagai karakter yang gak bisa bicara. For no reasons at all, kecuali ya dengan alasan untuk memudahkan penulis naskah bermalas-malasan. Ana yang tak bisa bicara berarti tidak perlu digali sudut pandang dan sisi dramatisnya. Ana hanya dijadikan jalan keluar ala deus ex machina saja. Di akhir tiba-tiba dia sadar dan ngasih pandangan ke ibunya. Karakter Ana yang dibikin seperti inilah yang menjadi penanda keras betapa film ini males dan memang menghindari penggalian karakter. Arahannya dibuat khusus untuk memfasilitasi jumpscare-jumpscarean saja. Menyia-nyiakan potensi karakter yang ada.




Kalo ada yang nanya film apa yang bisa narik penonton ke bioskop, dalam situasi pandemi kayak sekarang ini, maka aku percaya jawabannya adalah film horor. Dan film ini, aku juga sama yakinnya, mampu untuk melakukan hal tersebut. Karena memang didesain untuk memfasilitasi ‘hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, ada yang kesurupan, dan flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kemunculan penampakan, seru juga melihat hantu yang perlahan nampak dari transparan ke memadat. Dengan durasi yang lebih panjang tiga-puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini bakal lebih berisi. Cerita dan karakter penyusunnya akan benar-benar memiliki sesuatu. Tidak dangkal seperti film pertama. Tapi ternyata film ini tidak tertarik menggarap semua itu. Melainkan hanya berkutat pada menghantu-hantukan lagu. Sehingga akhirnya ya jadi sama saja dangkalnya. Such a waste potential.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH 2.




That’s all we have for now.
Apakah kalian juga punya pengalaman seram dengan lagu anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



RUN Review

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”
 
 

 
 
Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.
Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 
Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.
Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.
Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 
 
Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.
 
 
 
 
Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

THE SECRET GARDEN Review

“The grass is greener where you water it.”
 

 
Bagi yang belum pernah menonton versi jadulnya (1993), seperti aku, menemukan kebun rahasia untuk pertama kalinya dalam adaptasi terbaru dari cerita klasik karangan Frances Hodgson Burnett serta merta akan menjadi perjalanan magis yang terasa sangat ‘menyembuhkan’. Terlebih karena film ini hadir di waktu yang tepat. The Secret Garden selalu adalah cerita yang sangat menghargai imajinasi, dan sutradara Marc Munden paham akan hal tersebut. Cerita yang digarapnya kali ini tetap mempertahankan pesona aslinya, tapi dikaitkan sedemikian rupa sehingga beresonansi dengan keadaan kita sekarang. Oleh Munden, cerita ini diracik sehingga punya kemampuan untuk mengobati perasaan kesepian dan terisolasi yang dirasakan oleh banyak penonton sekarang ini melalui kekuatan imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak.
Setia dengan materi aslinya, film ini mengisahkan seorang anak perempuan Inggris bernama Mary, yang jadi yatim piatu ketika kedua orangtuanya meninggal karena kolera. Dari kediamannya di India, Mary dibawa ‘mudik’ untuk tinggal di rumah besar bersama pamannya. Rumah yang seperti istana itu tidak ada bedanya dengan penjara bagi Mary yang aslinya adalah anak gedongan dan yah, sedikit manja. Sisa-sisa perang dan kemuraman menjalar pada dinding-dindingnya. Mengurung Mary dengan segudang peraturan, yang tak pernah alpa diingatkan secara ketus oleh ibu pengurus rumah. Mary tidak diperkenankan jalan-jalan sembarangan. Namun tentu saja hal tersebut bukan masalah bagi Mary. Sesi eksplorasinya setiap hari membuat Mary bertemu dengan sepupunya yang gak boleh keluar kamar karena sakit. Membawa Mary kepada pengetahuan baru tentang keluarganya. Dan membuatnya menemukan sebuah taman ajaib, yang tentu saja merupakan obat dari penyakit yang diderita bukan saja oleh sepupunya itu, melainkan juga seluruh penghuni rumah termasuk Mary sendiri. Asalkan mereka memanfaatkannya dengan tepat.

Anu.. ini aku gak nyasar ke film Tall Grass atau ke labirin Alice kan?

 
Kedengarannya memang depressing. Film ini punya dunia cerita yang cukup dewasa (kalo gak mau dibilang dark) untuk anak-anak. Mary bukanlah tipe princess yang patuh dan polos. Dia nyebelin, ngebos, gak mau dilarang, dan saking manjanya dia minta dipakaikan baju kepada pengurus rumah, “Kukira kalian akan melayaniku” tudingnya kepada pengurus yang datang mengantarkan sarapan. Dan btw, Mary gak suka sarapan bubur! Tapi karakternya ini ditulis demikian bukan tanpa sebab. Karakter Mary berkaitan erat dengan hubungannya dengan ibu yang telah tiada. Yang terjadi di situlah yang cukup gelap untuk konsumsi anak-anak. Mary adalah seorang anak yang tumbuh dengan percaya bahwa ibu tidak suka dengannya, dan bahkan bahwa dirinyalah penyebab ibunya meninggal. Mary is one scarred-character yang kini tak punya siapa-siapa sehingga dia harus membenahi dirinya sendirian. Dan dari keadaan itulah muncul kekuatan tokoh ini, yang me-redeem tokohnya menjadi panutan bukan hanya anak-anak melainkan juga orang dewasa.
Mary yang menemukan Kebun Rahasia adalah simbol dari penyembuhan diri sendiri. Dia melambangkan perjuangan untuk mengubah diri dan tidak menanggalkan harapan. Gadis cilik ini – dimainkan dengan teramat tangkas oleh Dixie Egerickx – hanya punya satu defense-mechanism, yakni imajinasinya. Melalui tokoh ini, film meminta kita untuk turut seperti Mary. Untuk kreatif dan menjadikan imajinasi bukan hanya sebagai eskapis, melainkan juga sebagai sumber kekuatan. Naskah juga tidak menahan apapun, Mary yang punya ketertarikan dengan buku dan cerita itu ditempatkan dalam keadaan yang begitu suram; di rumah besar pamannya mimpi-mimpi Mary selalu terganggu, dan yang ceria itu enggak pernah sampai happy ending. Inilah yang mendorong Mary untuk melangkah keluar. Melawan ketakutannya akan tempat yang luas, sesosok anjing misterius, dan akhirnya menemukan Kebun Rahasia. Yang merupakan reward dari tindakannya yang tidak menyerah dan terus berusaha mencari ‘kesembuhan’ yakni penghiburan diri dari kesepian.
Paruh pertama yang punya tone seperti kakak-beradik dengan Pan’s Labyrinth (2006)-nya Guillermo del Toro seketika berubah menjadi menakjubkan dan literally cerah begitu Mary menemukan Kebun Rahasia. Tone cerita juga bergeser, kini menjadi penuh harapan sesuai dengan tokohnya yang optimis bahwa Kebun ajaib itu bisa membantu mereka. Dalam film ini sensasi eksplorasi lewat mata anak kecil terasa menyelimuti hingga nyaris keseluruhan narasi. Antara lorong-lorong gelap mencari keberadaan suara, hingga menemukan ruang rahasia, ke menyusur warna-warni hutan dan bertualang mencicipi kemagisan yang ditawarkan – mau tak mau kita turut merasakan petualangan dan keajaiban tersebut. Dan aku suka cara film ini memvisualkan keajaiban Kebun itu. Kita akan melihat daun-daun pepohonannya yang berubah warna sesuai tiupan angin. Tanaman yang membentuk formasi indah. Bukan hewan-hewan yang datang bermain bersama Mary, pada satu adegan diperlihatkan pohon menjulurkan ranting-rantingnya untuk membantu Mary yang sedang memanjat. Di atas kertas, Kebun tersebut punya khasiat menyembuhkan. Pada layar, di samping memperlihatkan penyakit yang sembuh setelah berkunjung ke sana, secara feeling kita merasakan ‘kesembuhan’ yang sama, dengan perubahan tone dan visual yang disajikan. Perlakuan terhadap Kebun itu rupanya adalah hal berbeda yang ditambahkan oleh sutradara. Kebun itu juga berhubungan dengan ibu Mary dan ibu sang sepupu, dan film ini punya cara tersendiri untuk menjalin di antara keempat elemen tersebut, yang menambah depth misteri dan backstory.
Bukit berbungaa, lukisan nirwanaa

 
Belakangan, ketika pertanyaan pada naskah berkembang dari Mary yang sudah menemukan kesembuhan menjadi bagaimana Mary bisa membawa penyembuhan kepada orang lain, sepupu Mary turut menjadi perlambangan dari kesembuhan diri. Lewat tokoh anak cowok yang nelangsa karena merasa dirinya sakit dan gak bisa berjalan itu film membawa pesan bahwa kesembuhan kita tidak bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi penentu, dan akhirnya mengundang keajaiban kepada diri sendiri.
Menonton film ini di kala pandemi, however, kita sebaiknya menjaga untuk tidak tersesat dalam sulur-sulur hiburan. Meskipun dalam film ini yang diperlihatkan adalah bagaimana tokoh yang terkurung akan merasa dirinya tak-bisa-sembuh, dan yang ia butuhkan adalah berani keluar dan menemukan Kebun Rahasia yang terletak di luar, kita tidak bisa langsung menafsirkannya sebagai lockdown di rumah gak sehat dan justru harus keluar beraktivitas seperti biasa. Karena sebenarnya ini bukan persoalan tempat, melainkan soal kebun itu sendiri. Kebun itu adalah tempat Mary dan sepupunya merasa paling dekat dengan ibu masing-masing; kebun itu adalah perwujudan dari apa yang mereka rasakan, bisa dibilang sebagai jiwa mereka. Tempat itu bisa saja adalah kamar berisi barang-barang peninggalan yang Mary temukan, jika Mary dan sepupunya juga memupuk harapan di sana. They simply just choose outside. Ke tempat yang lebih bersejarah bagi ibu mereka. Magic literally ada di sana, tapi tidak berarti Mary dan sepupunya tidak bisa memperoleh kesembuhan di tempat lain, malah tetap saja magic kebun itu butuh ‘persetujuan’ dari mereka seperti yang kita lihat pada sepupu Mary, who just don’t believe and don’t want it in the first place.

Antara berkubang di kesuraman sendiri atau ‘mengeluarkan diri’ dan mencari kesembuhan; sesungguhnya adalah keputusan kita. Yang ditumbuhkan di sini adalah harapan, yang disiram di sini adalah semangat untuk hidup. Bukan tindakan untuk keluar secara harafiah, melainkan keluar dari tidak melakukan apa-apa. Kita cuma perlu untuk tetap menyiram dan menumbuhkan.

 
 
Buatku, film ini tidak segelap Pan’s Labyrinth yang hingga hari ini masih tetap satu-satunya film yang berhasil membuatku menitikkan air mata. Film ini memang berawal dengan suram dan depressing, tapi ceritanya akan menjadi terasa melegakan dan menyembuhkan kita secara emosional. Film ini berakhir dengan membuat semangat dan harapan kita membumbung tinggi. But also, dari perspektif penulisan naskah, film ini kayak sedikit membimbing kita ke arah yang salah, membuat kita menunggu sesuatu yang tidak pernah datang karena ceritanya sama sekali enggak segelap itu. Sepuluh menit pertama yang menyedihkan itu membuat kita sedikit mengharapkan sesuatu yang lebih kelam bakal terjadi. Mood-nya sudah diset ke arah yang kelam, tapi ternyata film ini berakhir ceria. Bukan kesalahan pada ceritanya, hanya saja menurutku seharusnya penyesuaian bisa dilakukan dengan lebih baik lagi, sehingga materi ini bisa lebih fit ke dalam bentuk penulisan film. With that being said, I still think film ini adalah sajian positif yang menyejukkan. Karena di hari-hari ini kita butuh sebanyak-banyaknya keajaiban yang bisa kita dapatkan.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SECRET GARDEN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Jika kita bisa punya Kebun Rahasia masing-masing, seperti apa kebun imajinasi kalian? Kekuatan apa yang dimiliki oleh kebun tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RELIC Review

“We remember their love when they can no longer remember”
 

 
 
Mengurusi sejak bayi, mulai dari menyuapi makan hingga memandikan, hanyalah sudah hakikatnya bagi kita untuk membalas perbuatan kasih sayang orangtua tersebut kelak ketika mereka sudah renta. Namun terkadang kita lupa. Kita terlalu sibuk. Atau malah, kita sekadar males untuk direpotkan. Seperti Homer Simpsons yang lebih memilih untuk ‘membuang’ ayahnya ke panti jompo. Padahal justru saat mereka tua itulah kesempatan yang berharga untuk bisa berada di dekat mereka. Karena saat kita masih bisa memilih untuk melupa, orangtua kita bisa jadi tidak punya pilihan. Selain membiarkan satu persatu kenangannya sirna, oleh demensia. Mereka hanya punya kita untuk mengingat mereka. Bisakah kita ada di sana saat mereka membutuhkannya?
Kay (Emily Mortimer jadi ibu yang distant dengan anggota keluarganya) sudah beberapa minggu ini enggak berkomunikasi dengan ibunya. Dia kaget begitu diberitahu oleh polisi bahwa Edna (ibunya, yang diperankan dengan luar biasa meyakinkan oleh Robyn Nevin) menghilang dari kediamannya. Kay lantas khawatir. Ia tahu ibunya tinggal seorang diri dan punya masalah sama ‘kepikunan’ karena penyakit yang diderita. Maka ia mengajak anaknya, Sam (untuk beberapa detik aku mengira yang di poster itu bukan Bella Heathcote tapi Lucy Hale) untuk pulang mencari Edna di rumah masa kecilnya. Ketika setelah beberapa hari Edna pulang sendiri, Kay baru sadar bahwa kondisi ibunya bertambah parah. Edna tidak ingat ke mana dia pergi belakangan ini. Edna sering melupakan hal-hal simpel yang ia lakukan kepada Kay dan Sam. Yang bikin semakin ngeri adalah Edna bertindak aneh seolah ada orang lain yang ada di rumah mereka yang penuh oleh tumpukan barang-barang (ah, katakanlah, relik) dan tempelan kertas berisi memo pengingat yang membacanya bikin bulu kuduk merinding.

Yang berhantu adalah rumah, tapi sejauh mata makna rumah tersebut terapply di sini?

 
 
Ini adalah kali kedua debut sutradara di film horor Australia yang berhasil membuatku terkesima. Pertama di tahun 2014 ada Jennifer Kent dengan The Babadook. Dan sekarang kita dapat Natalie Erika James dengan Relic yang bukan hanya seram tapi juga sarat oleh makna. Seperti layaknya horor-horor yang bagus, Natalie paham untuk membangun kengerian enggak butuh jump scare atau musik ngagetin atau hantu seram yang menyemburkan muntah-muntah sambil merangkak di dinding. Horor itu berasal dari dalam. Maka sudah sepantasnya kengerian itu dibangun berdasarkan karakterisasi dari para tokoh. Kay, Sam, dan tentu saja Edna jadi pusat dari cerita; naskah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelami para tokoh. Kita dibuat peduli kepada mereka, sehingga horor itu akan terasa semakin mengerikan. Kita bukan saja akan penasaran ke mana Edna pergi, ataupun bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah mereka, namun juga kita mengkhawatirkan hubungan ketiga tokoh ini. Kita ingin mereka bersatu tapi kita juga paham ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau dihindari di sini. Sesuatu itu adalah Kematian. Dan yang bikin Relic ini berbeda – dia punya level kengerian yang unik – adalah Kematian itu tidak sebatas menjadi ‘musuh’, melainkan juga jadi sesuatu yang harus diterima dan diembrace oleh tokoh-tokohnya.
Cerita Relic adalah metafora dari perilaku demensia yang menjangkiti pengidap Alzheimer. Seluruh kejadian dalam film ini adalah perumpaman dari dampak demensia tersebut kepada orang-orang, bukan saja pasien, tapi juga sekaligus keluarganya. Kita melihat wanita tua ini, Si Edna yang pada satu waktu tampak normal, dan di waktu yang lain dia ‘gak beres’. Salut buat permainan akting Robyn Nevin, efek demensia dan kengerian yang dibawanya berhasil tersampaikan dengan kuat kepada kita. Dia bertanya dengan ketakutan “ke mana semua orang?” menghasilkan efek yang berlapis-lapis karena selagi kita tahu penyakitnya sedang dalam mode: on, kita juga ngeri karena boleh jadi ia mempertanyakan sesuatu yang lebih literal. Akan ada waktu-waktu saat Edna seperti tak mengenal Kay dan Sam. Yang juga ‘dibalas’ oleh Kay dan Sam yang takut setengah mati kepada ibu dan nenek mereka ini, seolah beliau adalah orang lain. That’s exactly what dementia does to people. Membuat si malang menjadi semakin merasa sendirian karena they just forget about things. Teror yang dialami Edna dalam film ini semuanya dapat kita terjemahkan sebagai ciri-ciri demensia. Yang membuat kita jadi merasakan simpati kepadanya. Edna, seperti orang-orang lansia pada umumnya, tidak didengarkan, diabaikan, bahkan ditakuti oleh keluarganya. Jamur atau noda hitam di pintu rumah, serta kelupasan hitam pada tubuh Edna, kedua-duanya terus menjalar. Membesar seiring cerita berjalan. Melambangkan deterioration – kemerosotan personal seorang pengidap karena dementia hari demi hari akan membuat mereka menjadi bukan lagi diri mereka. Mereka enggak tahu lagi diri mereka siapa.
Dari sisi keluarga, pengalaman memiliki anggota yang demensia juga sama mengerikan dan emosionalnya. Dan lagi-lagi, film ini berhasil mengumpamakannya dengan sangat baik melalu pengalaman horor yang dirasakan oleh Kay dan Sam di rumah itu. Sam, misalnya, yang mencoba melakukan hal yang benar. Dengan ikhlas mengurus neneknya, bahkan sampai pengen pindah tinggal di sana – yang mendapat delikan keras tanda tidak setuju dari ibunya. Namun Sam justru yang pertama kali merasakan kengerian paripurna dari interaksinya dengan sang nenek. Sam yang duluan merasakan bahwa neneknya itu bukan lagi neneknya yang dulu. Menyaksikan orang yang kita cintai berubah seperti demikian – menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenal – sungguhlah pengalaman menakutkan. Kita ingin menolong, tapi bagaimana cara menahan sesuatu yang tidak bisa dihentikan? Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan lebih banyak perhatian dan cinta kepada mereka. Seperti yang akhirnya dengan berani dilakukan oleh Kay pada akhir cerita film ini. Relic menutup ceritanya dengan sekuen adegan yang begitu indah, namun dalam artian yang sekaligus mengerikan. Untuk tidak membicarakan terlalu banyak sehingga menjadi spoiler, aku hanya akan mengutarakan yang kurasakan dan terpikir olehku ketika menonton adegan luar biasa tersebut.

Bahwa semua itu adalah soal menatap kematian tepat pada matanya. Untuk tidak lagi berpaling dari kejelekan, kengerian yang dibawa oleh kematian. Karena cepat atau lambat kita akan mengalaminya. Dan perjalanan itu tidak harus dihadapi sendiri. Kita punya pilihan untuk menemani orang tersayang pergi dengan cinta. Membantu mereka melewati semuanya. Beri mereka kedamaian, pergi dengan perasaan cinta.

 

Yang mengerikan itu bukan kematian, tapi menghadapinya sendirian.

 
 
Ada masa ketika kita bingung untuk merasakan apa ketika nonton Relic. Kita tahu dia sakit, tapi kita mengkhawatirkan bagaimana jika Edna benar. Ada sesuatu di rumah itu. Bagaimana jika bayangan-bayangan yang bergerak di latar belakang adalah beneran hantu. Dan Kay juga Sam dalam bahaya karena tidak menyadari. Ini juga jadi salah satu kekuatan Relic sebagai film horor. Untuk waktu yang lama, kita dibiarkan menyusur jalan ceritanya sendirian. Tidak tahu pasti apa yang terjadi. Hal ini tentu saja dapat tertranslasi sebagai ‘cerita-yang-lambat’ oleh beberapa penonton, dan eventually menjadi turn-off. Buatku ini simply adalah bukti bahwa Relic berhasil menyimpan dan memainkan misterinya. Rumah itu beneran berhantu, demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka dihantui oleh penyesalan, oleh duka. Mereka dihantui oleh kejadian di masa lalu – permasalahan keluarga yang membuat Kay dan Edna renggang hadir dengan sangat subtil sebagai akar dari emosional backstory.
Dan menjadikan rumah itu beneran berhantu adalah resiko kreatif yang diambil oleh film ini. Hantu di rumah tersebut – yang membuat kita dapat babak ketiga yang superseru dan menarik saat cerita menjadi petualangan kabur dari kejadian surealis-tapi-nyata – dibiarkan menjadi entitas tak terjelaskan. Karena sebenarnya berfungsi sebagai kiasan bahwa demensia juga mempengaruhi orang-orang terdekat. Keluarga yang mungkin merasa terjebak alias harus terseret dalam masalah yang ditimbulkan oleh pengidap. Yang pada akhirnya berkembang menjadi pilihan, kabur atau tinggal. Jadi rumah itu memang perlu dibuat beneran berhantu – beneran punya lorong rahasia yang seperti hidup – supaya ceritanya bisa meluas menjadi dari dua perspektif.
 
 
 
Bertindak sangat kuat sebagai sebuah kiasan demensia dan menghadapi kematian, film ini adalah sebenarnya horor yang bicara tentang karakter yang berkeluarga, dengan masalah yang real – yang dapat terjadi pada kita di dunia nyata. Sehingga film ini jadi jauh lebih menyeramkan dibandingkan film-film yang menjual jumpscare dan hantu berbagai rupa. Film ini diberkahi oleh tiga penampilan akting memukau, yang berpuncak pada ending yang aku yakin akan jadi perbincangan untuk waktu yang cukup lama di kalangan penggemar horor-beneran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RELIC.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa kita takut tua, kita takut mati, walaupun mati dan tua itu adalah suatu hal yang pasti terjadi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA