EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE Review

 

“Nobody exists on purpose. Nobody belongs anywhere. Everyone’s gonna die. Come watch TV?”

 

 

Malu aku kalo jadi Marvel (or any other Blockbusters), melihat film Everything Everywhere All at Once. Karena garapan Dan Kwan dan Daniel Scheinert ini dengan telak menendang bokong alesan-alesan yang bilang film menghibur itu harus ringan-ringan aja. Duo sutradara ini mengambil yang terbaik dari Shang-Chi – yakni adegan-adegan aksi yang bikin kung-fu kayak jadi kekuatan superhero dan menempatkannya ke dalam setting multiverse. Dan oh boy, multiverse yang mereka bangun, bukan sekadar dunia luas untuk memunculkan cameo-cameo dan memperbesar franchise. Melainkan multiverse yang benar-benar diintegralkan ke dalam plot. Bagaimana orangtua bisa ngertiin anak mereka? Everything Everywhere All at Once menilik problem keluarga ‘Asia’ serupa Turning Red (2022) dari sudut pandang ibu, dalam tone penuh kegilaan lintas-semesta serupa serial kartun Rick and Morty!

Sehabis nonton, aku masih gak percaya kalo film ini bukan live-action dari kartun tersebut. Bukan hanya karakternya mirip, tapi karakternya juga membicarakan masalah yang sama. Tapi tentu saja yang terpenting adalah perspektif. Dan dengan puas aku mengatakan bahwa Everything Everywhere All at Once ini terasa spesial berkat fokus dan dalamnya penggalian perspektif di balik hingar bingar multiverse dan kekocakan adegan-adegan yang menyertainya.

Yang jadi tokoh utama adalah Evelyn (Michelle Yeoh mainin ‘Beth Smith’ versi lebih stress). Hari itu sibuk banget bagi Evelyn. Usaha laundrynya sehectic yang biasa, pun begitu dia masih harus mempersiapkan makan malam tahunbaruan bersama ayah yang standarnya tinggi. Ugh, tunggu sampai putrinya, Joy, yang memilih untuk jadi lesbi itu sampai ke rumah. Belum apa-apa pikiran Evelyn udah penuh sesak aja. Dia masih harus pergi berurusan dengan auditor usaha laundry, sembari sudah menunggu untuk diurus; perkara perceraian yang suratnya kini ada di dalam tas pinggang sang suami. Yang paling ditunggu Evelyn adalah soal cerai itu. Dia udah gak tahan sama urusan suaminya yang kayak Jerry di Rick and Morty. But hey, mendadak Waymond si suami bersikap aneh. Bawa-bawa alat aneh. Ngakunya sih, Waymond yang ada di tubuh suaminya ini berasal dari universe lain. Semesta canggih di mana Evelyn dan keluarga menemukan alat yang memungkinkan mereka ‘menjenguk’ versi diri mereka di berbagai semesta. Tapi bencana datang dari sana. Ada makhluk bernama Jobu Tupaki yang jadi liar, berpindah semesta sesuka hati, dan dia membawa kehancuran pada setiap semesta yang ia datangi. Evelyn diharapkan jadi penyelamat. Bukan saja karena Jobu Tupperware (nama karakter ini memang dijadikan running joke oleh film lol) mengincar dirinya untuk dimasukkan ke dalam bagel alias donat raksasa. Melainkan juga karena si Jobu Tutupodol ini actually adalah anak Evelyn dari versi semesta yang lain!

Would love to see Evelyn dan Waymond met Beth and Jerry in some crazy-bat shit-adventure together XD

 

 

Di sinilah letak jeniusnya penulisan film ini. Bahkan saat disandingkan mirip dengan karakter Rick and Morty pun, Kwan dan Scheinert melakukan penulisan karakternya lebih kompleks dan lebih fokus. Karakter Rick Sanchez seolah mereka bagi dua dan dimasukkan menjadi karakterisasi Joy dan Gong Gong; ayah dari Evelyn. Ini otomatis menjadikan konflik Evelyn lebih complicated dibandingkan Beth. Evelyn adalah seorang ibu yang berusaha mengerti sikap anaknya, sekaligus mencoba memuaskan ayahnya. Sekali lagi siklus ‘keluarga-Asia’ yang turun temurun penuh harapan yang mengukung tampil di layar lebar.  Dan untuk kali, kita dibuat benar-benar merasakan kecamuk dan hiruk pikuk itu semua.

Untuk beberapa menit pertama, film memang terasa hingar bingar sekali. Begitu banyak karakter berseliweran, begitu banyak permasalahan yang harus mereka urus. Lalu datanglah elemen multiverse yang membuat semuanya semakin terasa terus membesar. Tapi konflik utama dalam Everything Everytime All at Once sesungguhnya begitu grounded. Multiversenya hadir dengan infinite possibilities, yang actually tetap dikembalikan kepada si karakter. Ya kita akan melihat Evelyn melihat berbagai versi dirinya (dan karakter lain) di berbagai versi alam semesta. Dari luar, semesta-semesta itu seperti dirancang untuk memancing tertawa, karena kita lihat di antaranya ada dunia yang semua manusia berjari sosis, ada dunia yang seperti live-action dari suatu film animasi. Apalagi di sini ada konsep berupa para penyebrang universe bisa mendownload keahlian mereka dari universe lain, menjadikan keahlian tersebut kekuatan untuk berkelahi. Dan untuk membuka keahlian itu, mereka harus melakukan hal-hal super random! Adegan-adegan aksi datang dari sini. Kreativitas film ini gila dan kocak menampilkan semuanya. Favoritku adalah ketika melihat Jamie Lee Curtis ngedropkick ahli kung-fu hahaha. Namun ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu semua. Gak cuman bak-bik-buk yang hahahihi. Bagi Evelyn, universe-universe tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan pilihan hidupnya. Bagaimana hidupnya jika dia tidak pergi dari rumah dan pergi ke Amerika semasa remaja. Bagaimana hidupnya jika dia menolak cinta Waymond. Bagaimana hidupnya jika dia fokus pada hobinya menyanyi. Di Rick and Morty ada juga episode Beth melihat berbagai versi hidupnya jika dia menolak Jerry. Tapi jika Beth di episode Rick and Morty tenggelam dalam memelototi pilihan-pilihan yang ia lewatkan, Evelyn menggali ini semua dengan lebih aktif. Universe itu di paruh kedua film dia pandang sebagai ‘bagaimana jika ayahnya tidak membiarkan dirinya pergi’. Semua universe yang kita lihat reflected kepada perjalanan karakter Evelyn yang mencoba mengenali kembali rasa cintanya. Cinta yang terkubur cukup dalam oleh rutinitas dan kesibukan, dan juga oleh tuntutan dari keluarga itu sendiri.

Sebagai kontras dari Evelyn yang mencoba ‘merapikan’ pilihan hidup manusia yang naturally begitu beragam kita gak akan sanggup untuk menangisi dan menyesali semuanya, film bicara tentang nihilism. Membuat mencapai-kenihilan sebagai motif dari versi Joy yang jadi jahat. Bagel/donat yang jadi monumen alias simbol dirinya sejatinya adalah figur 0, sesuai dengan yang ia yakini. Dan film memasukkan banyak visual soal 0 tersebut sepanjang durasi. Inilah yang membuat karakternya kusebut sama ama Rick Sanchez. Rick dan Jobu Tobacco sama-sama bisa pindah universe sesuka hati, mereka telah melihat banyak, mengalami lebih banyak, namun mereka percaya semua itu tidak berarti. Saking infinitenya semesta, semua hal jadi tidak spesial. Mereka jadi berpandangan seperti itu karena sama-sama terluka sebagai seorang person. Bedanya, Rick jadi nihilist karena trauma kehilangan. Sementara Joy jadi Jobu TobatMak! karena ekspektasi orangtua. Generation gap dan banyak faktor luar lainnya (ingat mereka keluarga Asia, tapi Joy besar sebagai orang Amerika) membuat apapun yang dilakukan Joy tidak disetujui oleh ibunya. Dari sinilah awal mula Joy mulai capek dan memandang semuanya sebagai sia-sia. See, film merangkai motivasi dan konflik para karakter dengan begitu detil ke dalam elemen multiverse. Menjadikan bukan saja karakter-karakternya yang tereksplorasi dengan baik, tapi juga multiverse itu sendiri. Ini bukan sekadar cerita dengan multiverse. Melainkan cerita tentang multiverse sebagai akibat/perwujudan dari konflik karakter.

Argumen nihilism di antara begitu banyak kemungkinan pilihan hidup jadi pusat cerita, yang membuat film ini seru untuk terus diperbincangkan. Film tidak melempar jawaban mana yang lebih benar atau mana yang salah dengan gamblang. Melainkan dengan bijak dan seksama memperlihatkan perjuangan karakter orangtua dan anak, dan istri dan suami, menemukan  penyelesaian dari konflik perasaan mereka. Multiverse dijadikan sarana visual untuk memperkuat psikologis dari berbagai ‘what if’ yang bersarang di hati masing-masing. Argumen love yang akhirnya dijadikan titik tengah pun tidak hadir dengan preachy. Film tetap berpegang pada penceritaan yang seperti absurd tapi di baliknya penuh filosofi. Nonton film ini jangan heran jika saat sedang asik-asik tertawa, air mata haru tau-tau turun membasahi pipi.

Isi adalah kosong, kosong adalah isi

 

 

Elemen teknologi multiversenya mungkin memang bisa sedikit bikin terlalu padat, tapi itu semua intentional. Dan cocok bekerja ke dalam sensasi chaos dan hectic yang ingin dikuarkan oleh cerita. Film ingin kita mengalami kehebohan yang dirasakan Evelyn. Segala tetek bengek alat dan teknis pindah universe itu dijadikan salah satu dari kehebohan tersebut. Ngomongin soal teknis, well aku yakin film ini bakal membuat Marvel dan film-film Blockbuster lebih malu lagi. Kenapa? Coba deh tonton lagi film ini dan tebak. Tebak dari efek dan visual yang trippy dan penuh dunia-dunia aneh dan editing-editing tegas, berapa budget film ini. Dibandingkan film Marvel dan tipikal Blockbuster, budget Everything Everywhere All at Once ini tergolong minim. Aku kaget saat beres nonton baca-baca tentang produksinya, dan menemukan bahwa budgetnya ‘cuma’ dua-puluh-lima million dollars. Belum juga kelar kagumnya, aku udah takjub lagi demi membaca tim visual effect film ini terdiri dari… eng ing eng lima orang kru saja! Saat menonton it was certainly enggak terlihat ‘sesederhana’ itu. Saat menonton, film ini terasa kayak film dengan efek mahal. Ternyata mereka mencapai gambar-gambar menakjubkan (adegan tersedot ke ruang janitor dan montase multiverse berulang kali itu) mainly dengan ‘sulap’ alat dan kamera. Groundednya cerita ternyata saling dukung dengan groundednya pembuatan film. Dan memang beberapa adegan film ini (khususnya setiap adegan berantem yang seru dan lucunya kung-fu abis itu) tampak hanya bisa jadi maksimal dengan tidak diovertouch.

Misalnya soal mata ketiga yang di dahi Evelyn saat dia sudah belajar membuka hatinya untuk cinta, seperti yang selama ini dilakukan oleh suaminya. Kalo pake efek komputer, mata tiga itu bisa aja bakal lebih jelek daripada efek mata ketiganya Doctor Strange di Multiverse of Madness (2022). Alih-alih itu, film membuat mata tiga dari mainan mata-mataan. Yang tentu saja tetap tampak konyol jika dihadirkan gitu aja. Maka film pun benar-benar merancang supaya mata tiga mainan itu punya makna yang mendalam. Build up mereka lakukan dengan nicely. Kita malah bisa bilang mata yang tengahnya gak bolong itu adalah kontras dari bagel yang bolong di tengah. Poinku adalah, film ini hadir tidak bergantung budget. Melainkan justru semakin kreatif dengan apa yang mereka punya. Dan hasil dari itu semua ternyata tidak kalah dari film mahal. Pembuatan film seperti inilah yang buatku benar-benar, dan lebih, menginspirasi. Mereka jor-joran di bagian yang tepat. Di manakah itu? Ya di pembuatan filmnya. Pengadeganannya. Di penceritaannya. Bukan pada hype atau semacamnya. Kelihatan bahwa pembuatnya benar-benar peduli sama film. Apalagi terlihat jelas film ini punya banyak sekali sisipan referensi buat film-film populer lain.

 

 




Jika Evelyn menemukan lagi cintanya kepada keluarganya, nonton film ini bakal membuat kita menemukan lagi cinta kepada sinema. Banyak sekali aspek dalam film ini yang pantas untuk kita sambut penuh suka cita. Teknisnya, yang benar-benar menjadikan film tampak meyakinkan. Kreasi dan craft filmmaking yang menginspirasi. Komedi yang disampaikan dengan witty sereceh atau seabsurd apapun jokesnya. Konsep atau gimmick penceritaan (dalam hal ini multiverse) yang  ternyata diolah lebih dalam dan kompleks sehingga menjadi bagian penting dari perjalanan karakter. Dan tentu saja karakter dan permasalahan mereka yang dibahas mendalam tapi gak pernah jadi membosankan dan menggurui. Tak ketinggalan, permainan akting yang juga sama emosional dan grounded di balik kelebayan yang tampak di luar. Film ini tahu mereka punya semua itu, mereka did hell of a job menceritakan semua itu, mengembangkan perspektif yang kuat sehingga referensi dan kemiripan dengan film atau materi lain bisa dimasukkan tanpa mengurangi nilai orisinal diri sendiri. I tell you, ini adalah film yang supermenghibur sekaligus thoughtful dan penuh emosional berkat konflik yang dekat dan dibahas mendalam. All. At, Once!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE.

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang paham nihilism – paham yang menganggap eksistensi segalanya tidak berarti apa-apa?

Bagaimana kalian memandang kehidupan dalam luasnya semesta dengan jutaan kemungkinan hingga tak berhingga?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



MINI REVIEW VOLUME 3 (KIMI, AMBULANCE, NO EXIT, JACKASS FOREVER, JAKARTA VS. EVERYBODY, THE BUBBLE, RED ROCKET, UMMA Review)

Sebelum dihebohkan oleh film-film lebaran, di bulan April blog kesayangan kalian (eh masa iya sih kesayangan?) ini memang lagi sepi dulu.  Karena selain karena bulan puasa mager ke bioskop, My Dirt Sheet juga lagi dalam proses pindah-rumah. Jadi memang banyak fase-fase bengongnya.

Untuk itulah maka, Mini Review dihadirkan kembali. Isinya? Ulasan singkat beberapa film yang belum sempat ditulis secara panjang lebar kayak persegi panjang.

 

 

AMBULANCE REVIEW

Ada tiga jenis sutradara di dunia. Pertama, yang sangat berciri khas sampai-sampai bisa jadi begitu idealis. Kedua, yang cuma bikin film untuk jualan dan gak peduli kerja kayak menuhin pesenan produk. Dan yang terakhir, ada Michael Bay.

Ya dia udah terkenal sebagai pembuat film meme-able yang bombastis penuh ledakan, namun  begitu-begitu toh dia tetap stay dengan visi dan punya gayanya sendiri. Ledakan segala kebombastisan itu dijadikannya signature yang membekas. Dan mau gak mau kita harus respek sama ini. Seperti juga yang akhirnya kulakukan kepada film Ambulance. Kisah dua brother (bonded not by blood tapi persaudaraan mereka sangat kuat) yang merampok bank, kemudian menjadikan mobil ambulans – lengkap dengan petugas medisnya – sebagai kedok untuk kabur dari buronan polisi. So yea, wall-to-wall action is to be expected. Mulai dari sekuen perampokan hingga kejar-kejaran mobil hingga ke akhir film, Bay tancap gas. Semua gaya lebay, ledakan – humor – dan tentu saja kamera, dikerahkan Bay atas nama entertainment dan ketegangan untuk kita. Kamera literally beterbangan dari puncak gedung dan sudut-sudut tak terduga, menghasilkan perspektif heboh kepada kita.

Di momen-momen aksi, gaya Bay ini memang work out rather nicely. Ambulance jadi sajian seru yang bisa kita tonton tanpa harus takut nilai IQ berkurang.  Tapi Bay memang kelewatan juga. Dia kayak pengen semuanya di filmnya ini seru. Sehingga kamera juga hiperaktif di momen-momen selow. Kayak, orang jalan masuk garase – tanpa ada konteks suspens – pun direkam Bay dengan cepat-cepat dan frantic. Buatku ini berlebihan. Ini seperti nonton gulat, yang superstarnya selalu pake move-move dahsyat.  Jadinya malah gak spesial lagi.  Film juga seperti itu, butuh momen-momen selow supaya keseruan yang ada semakin berarti. Supaya penceritaannya punya ritme. Ambulance butuh lebih banyak momen-momen karakter. Bukan hanya karena aktornya – terutama Jake Gyllenhaal yang ngangkat banget film ini lewat aktingnya – tapi juga karena di balik kehebohan itu ada cerita kemanusiaan. Arc si petugas medis cewek yang terpaksa ikut mereka sesungguhnya cukup menghangatkan untuk disimak.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for AMBULANCE.

.

 

 

JACKASS FOREVER Review

Jackass sebenarnya lebih cocok dianggap sebagai kumpulan video-video konyol daripada disebut sebuah film. Jackass hanya punya premis; sekumpulan orang-orang ngelakuin hal edan. Berbahaya. Menjijikkan. Tapi super fun. Untuk anak-anak generasi MTV, nonton Jackass itu adalah level kekerenan tersendiri. Apalagi kalo sampai berani niruinnya hahaha.

With that being said,  review film keempat Jackass ini sebenarnya pun lebih tepat disebut sebagai komenan aku saja. Terhadap hal-hal baru yang disuguhkan. Misalnya pada cast-nya. Johnny Knoxville dan kru original Jackass udah pada tua-tua. They need some young blood. Inilah yang awalnya bikin aku sanksi. Gimana mereka ngehandle orang-orang baru. Apakah anak-anak muda yang sekarang bisa segila dan senekat original. Turns out, gak ada masalah. Cast yang baru gak canggung dan gak kalah begonya. Level stunt yang dilakukan pun jadi bisa lebih beragam. Kru Jackass bisa mewujudkan ide yang lebih gila. Misalnya dengan double bungee jumping, karena kini ada dua pria tambun yang bisa digunakan. Paling yang kerasa kurang lucu adalah cast yang cewek. Untuk pertama kali ada perempuan dalam kru Jackass, dan dia gak seheboh yang lain. Mainly karena sepertinya Knoxville dan sutradara Jeff Tremaine masih meraba-raba sejauh apa peran cast perempuan bisa digunakan dalam stunt ini. Segimana batasan propernya. Tau sendirilah, sekarang jaman yang agak-agak sensitif.

Overall, Jackass terbaru ini agak sedikit lebih safe, tapi tetep chaos. Cast yang lama sudah terbatas, kita kehilangan dua original kru yang kocak, maka kini semuanya dibebankan kepada Ehren. Yang kasian banget lihat ‘penyiksaan’ yang harus ia dapat di sini (hahaha rasain!) Yang jelas, dengan ini Jackass semakin gak bakal bisa masuk Indonesia.

The Palace of Wisdom decide to not give score for JACKASS FOREVER 

 

 

 

JAKARTA VS. EVERYBODY Review

Yea, yea hidup di Ibukota itu keras. Tapi tentunya bakal banyak perspektif yang bisa diangkat sehubungan dengan perjuangan hidup di Jakarta, kan? Well, sayangnya ‘Everybody’ dalam karya Robby Ertanto hanya segelintir orang yang bersinggungan dengan Dom, pemuda asal Minang yang gagal jadi aktor dan malah jadi orang kepercayaan geng pengedar narkoba.

Naskah film ini ternyata tidak menggali seluas dan sedalam yang harusnya bisa dicapainya. Dom yang diperankan oleh Jefri Nichol sebenarnya karakter yang menarik. Latar belakangnya, motivasinya, bahkan plot untuk developmentnya juga bagus. Passionnya terhadap film juga kerap mencuat keluar. Hanya saja film tidak banyak menggali, melainkan lebih banyak menampilkan Dom berjuang sebagai pengedar – where he good at it – dalam balutan kejadian yang dengan cepat jadi repetitif. Peralihan kerjaannya juga tidak digambarkan dengan mendalam. It is just happen. Dom merasa diperlakukan kasar, dan dilecehkan saat nyari kerjaan akting, dan kemudian saat diajak ‘ikut’ geng karakternya si Wulan Guritno, Dom langsung mau aja.  Walaupun pekerjaan tersebut lebih beresiko, dan gak ada jaminan dia enggak dapat perlakuan yang serupa dengan pengalamannya sebagai pemeran figuran. Jika Dom diniatkan untuk ‘terpaksa’ jadi pengedar, film ini tidak berhasil menampilan kesan ‘terpaksa’ tersebut.

Pertemuannya dengan karakter lain pun tidak banyak menambah narasi. Padahal kita semua juga tahu, design cerita seperti ini adalah Dom bakal belajar banyak dari karakter yang ia jumpai. Tapi lebih seringnya, karakter-karakter pendukung tersebut terlalu banal. Mereka lebih kayak ada buat penyampai dialog ‘bijak’ ketimbang terasa kayak manusia yang beneran punya hidup di luar frame kamera. Sehingga pada akhirnya, film ini terasa kayak menghajar kita dengan curhatan yang sama. Yea, yea, hidup di Ibukota itu keras.

The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JAKARTA VS. EVERYBODY.

 

 

 

KIMI Review

Whoa tadinya kupikir Zoe Kravitz main jadi Sasha Banks haha. . Ternyata karakternya yang berambut biru adalah perempuan yang bekerja di depan komputer, menanggapi keluhan-keluhan konsumen. Kimi lantas menjadi thriller saat karakter Kravitz mendengar sesuatu yang seperti percobaan pembunuhan dari salah satu file kerjaannya. Jadi sekarang dia harus pergi menggagalkan yang ia dengar, meski itu berarti dia harus keluar rumah. Di era pandemi. Jeng-jeng!!

Kimi adalah satu lagi film yang naskahnya terlalu simpel untuk karakter yang kompleks. Unsur thrillernya sendiri memang kuat mengakar. Sutradara Steven Soderbergh bukan orang awam soal thriller dengan elemen teknologi. Tapi begitu mengingat protagonis kita adalah pengidap agoraphobia – yang membuatnya gampang cemas dan gak percayaan – aku pengennya film lebih bermain-main sebagai thriller psikologis. Benar-benar menggali kecemasan dari perspektif protagonisnya. Tapi yang kita dapatkan di sini adalah cerita yang seperti thriller generik. Apa yang harusnya gabungan dari Rear Window dan gimmick kekinian ternyata hanya menjelma jadi thriller kejadian. Yang aku justru merasa diskonek dengan karakternya.

Bagian terbaik dari film ini adalah babak ketiga. Saat film mulai mengembrace sisi fun dari thriller ini. Aku jauh lebih suka bagian akhir ini ketimbang set up yang boring dan agak sedikit terlalu serius.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KIMI.

 

 

 

NO EXIT Review

Aku lebih suka thriller garapan Damien Power ini dibandingkan Kimi. Meskipun bangunannya sama-sama generik (No Exit bermain sebagai thriller ruang-tertutup dengan sedikit misteri who the bad guy) tapi film ini lebih mengundang. Lebih gampang konek kepada kita.

Pertama karena karakternya. Tentu saja thriller harus mampu merancang situasi sehingga kita bukan saja mendukung protagonis untuk selamat dari misteri, tapi juga mendukungnya untuk menyelesaikan masalah personal. No Exit konsisten menggali keduanya, bersamaan. Tidak seperti Kimi yang di awal-awal kita hanya ‘memandang’ karakternya, No Exit langsung mengundang  kita masuk ke dalam permasalahan protagonisnya.  Darby, yang lagi rehab, tapi mendengar ibunya sakit. Untuk sekali ini, Darby pengen cabut dari tempat rehab bukan karena ingin kabur dan relapse. Ini perjuangan yang lebih gampang kita rasakan. Ketika elemen thrillernya datang – Darby menemukan sesuatu yang membuatnya menyimpulkan ada orang jahat yang berbahaya di antara mereka semua yang sedang terkurung di kabin oleh cuaca buruk – film semakin menarik kita masuk. Kita disuruh ikutan menebak. Karakter-karakternya dibuat compelling semua.

Film ini tidak menunggu sampai babak akhir untuk semuanya jadi seru dan fun.  Seiring durasi bakal banyak yang direveal, membuat kita tetap engage dan menambah intensitas. Hanya memang, hal yang diungkap terasa semakin mengada-ada. Just for sake of surprise. Flashback dipilih sebagai cara pengungkapan, yang membuat pace film ini agak terbata.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO EXIT.

 

 

 

RED ROCKET Review

Lo itu problematik. Pengen sebenarnya bilang itu kepada film Red Rocket, tapi setelah dipikir-pikir justru problematik itu yang dijadikan konteks utama oleh sutradara Sean Baker. Lewat protagonis yang mantan bintang porno, Baker di film ini mengisahkan dark-comedy tentang seseorang bisa begitu gak tahu malu, dia terus bermimpi dan membawa/memanipulasi orang jatuh bersama dirinya.

Red Rocket dihadirkan sangat ringan dan penuh pesona. Kayak cerita kehidupan sehari-hari. Di awal ini seperti kisah penebusan diri seseorang terhadap masa lalunya. Mikey kembali ke Texas, dalam keadaan gak punya apa-apa selain yang ia kenakan. Mikey membujuk istri yang telah ia tinggalkan untuk mau menampungnya tinggal. Mikey berjanji cari kerja dan ngasih kehidupan yang lebih baik. Istrinya percaya, mertuanya percaya, dan bahkan kita juga. Kita percaya ini kisah orang yang mau memperbaiki hidup. Kita akan bersimpati melihat Mikey ditolak beberapa tempat hanya karena dia pernah bekerja sebagai pornstar. Karakter karismatik, bermulut manis, dan keringanan tone sebenarnya adalah film memberi waktu kepada kita untuk mengenali ‘ular’ di depan mata. Film mau kita sendiri yang menyadari problematis karakternya. Seiring berjalannya durasi, pengungkapan yang disebar semakin banyak, kita bahkan melihat Mikey mulai ngegrooming cewek remaja, untuk kepentingan dirinya sendiri – kembali jaya di bisnis adult film.

Di sinilah film dan Mikey mulai berbeda. Film memang didesign untuk problematis karena dia ingin kita tahu seperti apa problematik di dunia sekarang – kita cenderung percaya pada kata-kata dan janji-janji palsu. Sementara Mikey, gak nyadar dia itu problematis. Mikey seperti terlalu optimistis, dari awal sampai akhir dia gak berubah. Pada film biasanya kita pengen karakter berubah, entah itu jadi lebih baik atau buruk, pokoknya karakter harus ada development. Belajar hal. Film ini tidak begitu. Untuk dapat bekerja sesuai tujuannya, Red Rocket harus membuat Mikey gak berubah.  Film ini sejatinya adalah karakter-studi, yang kita penontonnya diharap untuk merasakan tragisnya si karakter, tapi tidak lagi bersimpati kepadanya.

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for RED ROCKET.

 

 

 

THE BUBBLE Review

Setuju gak sih kalo kubilang The Bubble ini adalah film terburuk pada caturwulan pertama tahun 2022? I feel like segala hinaan buat film Don’t Look Up (2021)trying too hard to be funny, gak cerdas, karakter annoying, gak jelas – lebih cocok dialamatkan untuk komedi satir garapan Judd Apatow ini.

Cerita dengan setting belakang panggung film adalah soft-spot buatku. Aku selalu suka film-film tentang orang bikin film. Tapi tidak untuk film yang satu ini. Aku tidak menemukan yang bisa aku suka, lantaran bagian bikin-filmnya ternyata digarap sebagai satir konyol yang begitu dipaksakan sehingga gak lagi lucu. The Bubble adalah tentang produksi film yang terpaksa berhenti karena pandemi, tapi kru dan artis-artisnya tetap tinggal di hotel yang jadi tempat syuting mereka. Dan di sana, dengan pandemi yang terus merajalela gak tau sampe kapan, semua orang termasuk para pemain film jadi stres. Dan demi menjaga produksi mereka tetap jadi, pihak studio film mulai ngasih kebijakan-kebijakan absurd supaya gak ada yang bisa keluar dari sana. Sounds fun? Yea. Tapi eksekusiknya sama sekali tak bernyawa.

Film ini hanya peduli pada satir apa yang pengen disampaikan, mereka tidak membuat karakter-karakternya kayak ‘manusia’. Mereka kayak melempar semua hal ke dinding, dan melihat apa yang nempel – itulah bentuk film ini. Dari adegan suting, tau-tau karakternya marah, dan lalu berikutnya mereka joget sama-sama. Kayak alurnya gak ada poin selain parade satir. Stakenya ngambang antara benar-benar bahaya atau cuma lucu-lucuan. Dan penampilan aktingnya, maan. Pembawaan komedi di sini membuat bintang-bintang komika yang main film di kita jadi kayak orang-orang paling lucu sedunia akhirat. Mereka di film ini cuma gak-jelas. Lucunya ketinggalan entah di mana.

The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for THE BUBBLE.

 

 

 

UMMA Review

Di perfilman kita yang didominasi horor ada saying yang menyebut “Semua akan main horor (jelek) pada waktunya” Dan, ladies and gentlemen, ini adalah waktunya buat Sandra Oh. Waktu dan tempat kami persilakan!

Banyak yang ngeluh film debut sutradara Iris K. Shim ini jelek karena gak serem. Karena lebih kayak drama ibu-anak yang ada unsur gaibnya. Well, bukan karena itu tepatnya. Horor justru bisa jadi sangat baik muatan drama keluarga. Horor-horor terbaik justru adalah cerita tentang trauma yang menjadikan hantu-hantuan sebagai lapisan yang menyimbolkan trauma tersebut.  Ini berusaha dilakukan Shim di film Umma. Membahas trauma yang turun termurun berkat relationship ‘khas’ ibu dan anak perempuan dalam tradisi Korea. Umma adalah Turning Red (2022) yang diceritakan tanpa panda merah melainkan dengan lapisan horor. Umma sebenarnya bisa sangat haunting dan membekas, penuh dengan local-wisdom dari pembuatnya pula. Namun perkara menyeimbangkan bahasan dan horornya itulah yang belum fasih dilakukan, sehingga Umma terasa seperti eksperiens nonton yang kurang ngena.

Shim kayak gak klik sama Oh, Yang satu kayak try to make impression, yang satunya lagi stay di tempat cerita seharusnya. Sandra Oh berusaha mengeluarkan horor yang lebih natural lewat yang dirasakan dan yang dipilih oleh karakternya, dan film bekerja paling efektif saat fokus ke karakter ini. Tapi di sisi lain, Shim masih banyak berusaha menarik horor dari trik-trik horor yang generik. Sehingga tensi film gak benar-benar klik. Seperti pembuatnya sendiri  yang takut. Takut kalo penonton gak takut jika disuguhkan psikologikal horor yang total.

Jadi, sebenarnya film ini gak sejelek itu, cuma memang tidak maksimal saja.

The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for UMMA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now

Dengan Mini Review Vol.3 ini maka caturwulan pertama film 2022 My Dirt Sheet telah rampung. Untuk rapor film cawu ini bisa disimak di Twitter @aryaapepe.

Selamat libur lebaran semuayaa. Mohon maaf lahir dan batin.

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

Top-Eight Serial Drama Netflix dengan Semangat Kartini

 

 

 

Bersyukurlah kita tinggal di era yang modern. Yang manusianya mulai banyak yang sadar dan berpola pikir progresif. Perjuangan Ibu Kartini untuk memuliakan derajat kaum perempuan mulai berbuah. Dunia perfilman yang dahulu dikaitkan dengan dunia milik laki-laki, kini tidak lagi. Banyak filmmaker perempuan yang mencuat. Karya film pun demikian. Sudah banyak sekarang film-film maupun serial TV yang mengangkat isu kesetaraan gender, yang menempatkan perempuan sejajar di kursi kemudi. Pokoknya Ibu Kita Kartini pasti tersenyum kalo diajak ke bioskop. Atau kalo lagi mager musim ujan ke bioskop, kita tinggal ajak Bu Kartini nonton di rumah, bersama keluarga.

Ya, kita juga mesti bersyukur tinggal di era dengan teknologi maju. Film dan serial TV berkualitas tinggal sejangkauan tangan. Banyak platform, seperti Netflix, yang mulai fokus ke membuat film dengan agenda feminis dan mengangkat perempuan sebagai sudut pandang utama. Dengan WiFi cepat, kita bisa nonton puas tanpa batas. Kayak kata salah satu provider internet dari Telkom Group; Internet menyatukan keluarga. Salah satunya, ya dengan tontonan.

Makanya,  mumpung lagi Kartinian, My Dirt Sheet ngumpulin daftar serial drama terbaik untuk dipakai ngabisin kuota internet keluarga kalian di rumah. Kenapa serial? Biar ngumpul dengan keluarganya lebih lama, dong! Nah, serial drama di daftar ini, sebagian besar adalah favoritku, dan kupilih sebagai terbaik untuk Hari Kartini karena benar-benar mengandung semangat perjuangan Ibu Kartini. Yang membahas tentang perempuan, dari sudut pandang perempuan.  Yang feminis, tapi tidak lantas agenda-ish.  Yuk, langsung kita simak!

 

 

8. NEVER HAVE I EVER (2020-2023)

Serial komedi coming-of-age remaja ini relatable bukan saja karena memotret kehidupan sekolah remaja perempuan kekinian, tapi juga relate bagi kita karena menampilkan representasi Asia, yang enggak stereotipe. Tokoh utamanya adalah Devi, anak India-Amerika, yang baru saja sembuh dari trauma berat akibat kematian ayah. Kini Devi berusaha menaikkan status sosialnya. Tentu saja bukan usaha yang gampang. Kebiasaan atau aturan keluarga, lingkungan pertemanan, hingga asmara, jadi bentrokan pemanis kehidupan Devi.

Perjuangan Devi yang berusaha menikmati masa mudanya, sebagai remaja normal, melanggar pandangan Ibu memang mengingatkan kita kepada Kartini si burung trinil. Yang juga lincah dan gak mau ‘dikurung di sangkar’.  Serial ini menurutku memang cocok sekali ditonton oleh orangtua dan anak karena bisa membuka perspektif masing-masing. Serial ini tidak membuat karakter si remaja selalu benar, karena memperlihatkan konsekuensi. 

 

 

7. SELF MADE (2020)

Kartini memang berasal dari kalangan bangsawan. Beliau sempat mengenyam pendidikan (meski distop bapaknya), berteman dengan orang-orang Belanda, tapi Kartini selalu jadi dirinya sendiri. Berkulit kuning langsat di antara kulit putih pucat, tidak pernah kita dengar RA Kartini pengen tampil seperti orang Belanda. Kebaya tetap jadi pilihan pakaiannya. Soal fit in, bagi Kartini tidak pernah jadi soal dia mendapat tempat di antara bangsawan Belanda yang terpelajar. Melainkan lebih kepada dirinya memikirkan tempat kaum, dan bangsanya.

Perilaku Kartini yang demikian itulah yang terpikirkan olehku ketika menonton Octavia Spencer bermain akting dalam serial limited-drama Self Made. Merupakan cerita biopik Madam C.J. Walker, milyuner kecantikan yang berasal dari seorang tukang cuci. Tokoh perempuan dalam cerita ini berjuang melawan standar kecantikan dan rasisme dengan memegang teguh jati dirinya. Jadi diri kaumnya itulah berhasil dia tempatkan setinggi mungkin.

 

 

6. BLACK DOG (2019-2020)

Baru banget masuk Netflix awal bulan April, serial drama dari Korea ini memang lebih khusus bicara tentang kehidupan guru. Tapi bukankah Kartini juga seorang guru? Kartini mendirikan tempat belajar di rumahnya. Bersama adik-adiknya, Kartini ngajarin anak-anak kecil membaca dan menulis.  Sampai akhirnya beliau mendirikan yayasan khusus perempuan.

Karakter dalam Black Dog juga begitu.  Perempuan yang jadi guru pengganti  di SMA, tapi benar-benar memikirkan dan mendukung impian murid-muridnya.  Keren sekali menggambarkan hubungan guru-murid dan latar pendidikan (lengkap dengan politik di dalamnya!) Tapi sebenarnya, aku suka nonton ini karena ada Lee Eun Saem jadi salah satu murid, Itu loh, yang jadi Mi-Jin di serial zombie All of Us are Dead (2022). Aku naksir berat ama karakternya hihihi

 

 

5. UNBELIEVABLE (2019)

Salah satu semangat feminis Kartini adalah perempuan harus saling bantu. Harus saling dukung, Karena memang pada kenyataan, relasi kuasa itu ada. Dunia bisa sangat susah untuk mempercayai kata seorang perempuan. Inilah yang dipotret dalam serial kriminal Unbelievable. Gak ada yang percaya kalo perempuan muda di cerita ini adalah korban perkosaan. Adalah dua detektif perempuan yang berusaha untuk mengungkap kebenaran, dan menegakkan keadilan, both literally (yang salah memang harus dihukum) and figuratively (perempuan juga berhak mendapat perlakuan dan kepercayaan yang sama) 

Penyuka kisah detektif dan kasus kriminal pasti bakal betah nonton ini. Gak ada salahnya juga jika ini ditonton bareng keluarga.  Karena selain seru, konklusi yang dihadirkan juga benar-benar memuaskan. Bisa ngasih pelajaran juga, karena kisah dalam serial ini diangkat dari peristiwa nyata.

 

 

4. GILMORE GIRLS (2000)

Single Mother yang besarin anak seorang diri udah jadi staple bagi cerita-cerita bertema feminis. Bukan hanya film, serial juga. Misalnya yang populer itu ada Maid, terus When the Camellia Blooms. Aku masukin Gilmore Girls karena merupakan salah satu yang paling duluan mengangkat bahasan tersebut. Dan juga karena di serial ini, hubungan antara ibu dan anak remajanya yang juga perempuan lebih ditonjolkan.

Tema kemandirian, serta ‘perempuan’nya kerasa banget. Inilah yang bikin serial ini menonjol dan gak sekadar drama nangis-nangisan. Aku merasa serial ini kalo jadi orang, maka dia akan jadi R.A. Kartini. Tampak lembut dan tangguh secara bersamaan.  Di Amerika serial ini memang sangat populer, sampai dibikinkan sekuelnya, enam-belas tahun setelah serial originalnya kelar. Dan sekuel tersebut; Gilmore Girls: A Year in the Life (2016) masih digarap dengan sama respek dan menghiburnya.

 

 

 

3. NEW GIRL (2011-2018)

Ya, aku tahu ini entry yang sekilas tampak aneh. Tapi kalo dipikir-pikir, serial komedi persahabatan yang quirky ini memang berjiwa feminis. Jess, karakter utamanya, ngekos bareng tiga cowok asing di sebuah apartemen. Throughout enam season, mereka akhirnya jadi berteman akrab, dengan Jess jadi pusat interaksi mereka. Sering dibandingkan dengan Friends, serial ini actually juga relate sekali buat generasi milenial karena selain soal cinta dan persahabatan, juga membahas soal kerjaan, soal hidup di usia 30an – memenuhi ekspektasi orangtua dan lingkungan.

Nilai-nilai feminis yang diperjuangkan Kartini seperti kemandirian dan kesetaraan menjelma di dalam Jess dengan nada yang lebih ringan, dengan tetap terasa grounded. Serial ini bahkan juga memperlihatkan feminis dari perspektif laki-laki, yang diwakili oleh karakter-karakter teman Jess. Dan begitu-begitu, Jess juga seorang guru, loh!

 

 

2. GLOW (2017-2019)

Perempuan, seperti yang diperjuangkan Kartini, berhak mendapat pendidikan setinggi yang bisa dicapai laki-laki. Begitu juga dengan pekerjaan. Dunia bukan hanya milik laki-laki. Perempuan gak harus di dapur saja. Bisa kok jadi filmmaker, detektif, guru, dokter, dan bahkan pegulat.

Glow terinspirasi dari acara pro-wrestling beneran di tahun 80an, yang khusus menampilkan pegulat perempuan. Serial ini dalam kondisi terbaiknya adalah tentang menaklukkan male-gaze, khususnya di dalam industri hiburan. Perempuan dalam acara gulat bukan hanya objek untuk jual tampang dan bodi semata. Mereka bisa kuat-kuatan, mereka bisa perform, beraksi sendiri sebagai persona di atas ring. Satu episode favoritku adalah ketika karakter serial ini menolak skenario gulat yang harus ia perankan, karena rasis dan merendahkan perempuan.  Jadi mereka menulis ulang peran dan storyline di atas panggung. Bersama-sama mengarahkan acara gulat versi mereka, yang akhirnya terbukti tak kalah menghibur. Girl Power!!!

 

 

1. THE QUEEN’S GAMBIT (2020)

Ngomong-ngomong soal hal yang erat dikaitkan dengan dunia lelaki, The Queen’s Gambit bercerita tentang perempuan yang berhasil menjadi grandmaster catur (alias olahraga bapak-bapak), di usia yang tergolong masih sangat muda. Kemenangan Beth Harmon atas lawannya (yang tentu saja adalah pria-pria yang jauh lebih tua) diperlihatkan cukup ‘mengguncang’ dunia percaturan di masa itu, karena benar-benar telak membuktikan perempuan bisa lebih pintar daripada laki-laki. Serial ini juga menggali kenapa perempuan jago catur itu dijadikan berita yang sensasional, apakah itu berarti memang ada batas di antara dua gender dan masyarakat secara gak sadar mengakui keberadaan batas tersebut.

The Queen’s Gambit membahas persoalan gender dan kesetaraan dengan cerdas. Di balik tanding catur, kita akan dibawa menyelami psikologis Beth Harmon. Karena sebenarnya serial ini adalah tentang karakter tersebut menyadari kemandirian – menyadari apa artinya sebagai perempuan di dunia. Seperti cerita-cerita terbaik, serial ini tidak menggambarkan karakternya sehitam putih papan catur. Duh, gara-gara ini aku jadi kepingin lihat pertandingan catur antara Beth melawan Ibu Kartini.

 

 

 

Delapan serial drama dalam daftar rekomendasi ini, semuanya udah bisa disaksikan di Netflix. Tinggal klik.  Kalo dulu Ibu Kartini bilang “Habis gelap terbitlah terang”, maka sekarang aku bilang habis sudah masa kita berbingung-bingung nyari akun yang jualan Netflix di reply komenan sosmed orang. Sekarang terbitlah kemudahan. Karena buat langganan Netflix, sekarang kita bisa sekalian ama paket IndiHome!

Netflix via IndiHome tersedia dengan mudah dan praktis karena telah tergabung dalam satu tagihan bulanan.  Ada dua paket yang bisa dipilih, yaitu paket dengan kecepatan 50mbps dan paket 100mbps (bonus 100 menit telepon!) Sementara untuk pelanggan Telkomsel, Netflix dibundling dengan kuota data Telkomsel. Jadi gak perlu pakai kartu kredit. Hiburan tanpa batas IndiHomeXNetflix ini langsung bisa dinikmati setelah melakukan aktivasi. Pelanggan lama cukup klik link di email yang terdaftar di aplikasi myIndiHome. Untuk pelanggan baru, tinggal ke Nonton Puas Tanpa Batas. 

Yuk aktifkan supaya bisa nonton serial-serial di atas, dan tentu saja banyak film dan serial lainnya. Semoga ke depan Indonesia juga gak mau kalah dan bikin serial dengan spirit Kartini supaya bisa ditonton bersama keluarga, ya!

 

 

So, that’s all we have for now.

Apa film atau serial tentang perempuan favorit kalian?

Share with us in the comments 

 

Remember, in life there are winners.
And there are…

 

 

 

 

We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 
 

TURNING RED Review

“No band-aids for the growing pains”

 

 

Pertumbuhan adalah proses yang mengerikan. Secara fisik, tubuh kita akan mengalami perubahan. Hal itu saja sudah mampu untuk menjungkirbalikkan mental, yang akhirnya bisa mengubah seseorang secara total. Ingat anak perempuan periang teman kelompokmu di TK? Well, jangan heran kalo dia gak bakal pernah bicara lagi kepadamu (atau mungkin kepada semua orang) saat remaja nanti. Atau anak cowok yang supersopan dulu, bisa berubah jadi berandal nyaris tak dikenali lagi saat udah di bangku SMP. Insecure dalam bertumbuh remaja adalah pelaku dari semua perubahan itu. Melihat tubuh kita berganti; kok di situ mendadak tumbuh bulu, kok suaraku jadi aneh, kok aku bertambah tinggi (or not, while your friends all towering up) Siapa yang bisa membantu kita melewati semua ini? Teman-teman yang bakal ngeledek? Orangtua yang gak bakal ngerti masalahnya, dan malah bikin tambah memalukan? Setiap orang akan melewati fase bertumbuh yang mengerikan itu, dan itulah sebabnya kenapa film animasi Turning Red debut film-panjang sutradara Domee Shi jadi salah satu tontonan coming-of-age yang benar-benar tepat sasaran.

Bagi penonton cilik yang baru akan mengalami, film ini akan jadi pembimbing. Buat penonton dewasa, film ini bakal jadi nostalgia – serta bisa dijadikan panutan terhadap gaya parenting orangtua. Turning Red ceritanya tentang anak 13 tahun alias anak mulai gede, dengan penekanan pada hubungan antara si anak dengan teman-teman, dan juga dengan ibunya. Jadi anak ini, si Meilin, adalah tipikal anak cerdas yang jago mata pelajaran apapun di sekolah. Tapi dia bukan tipe anak pendiam (salah satu keunikan penulisan film ini), Meilin orangnya rame banget. Bayangkan campuran antara Bart dan Lisa Simpson (film ini actually ngasih nod ke The Simpsons lewat penamaan dua patung rakun di rumah Meilin). Meilin gak populer amat, tapi at least dia punya teman segeng, dan mereka ngelakuin apapun bersama. Termasuk ngestan grup boyband terkenal. Jadi inilah rahasia Meilin. Dia sebenarnya gak hobi banget jadi nomor satu, dia hobinya hang out dan geek out bareng genk. Prestasi Meilin cuma bentuk responsibilitynya kepada ibu. Di luar rumah, Meilin berusaha menjadi dirinya sendiri. Tapi hal tersebut jadi semakin susah, karena Meilin tau-tau berubah wujud menjadi panda merah, setiap kali dirinya excited. Termasuk saat mikirin boyband dan anak-anak cowok! Dan tampaknya hanya ibu yang tahu cara melepaskan Meilin dari ‘kutukan’ tersebut.

Dari tampilan saja film ini langsung terasa keunikannya. Shi menggunakan estetik anime sebagai ruh animasi 3D. Karakter-karakternya digambar dengan gaya anime. Mata yang besar dan (kelewat) ekspresif. Warna-warna yang cheerful. Gaya berceritanya pun mirip style anime. Dengan cut to cut yang cepat sehingga spiritnya kerasa kayak kartun 90an yang biasa kita tonton di tv. Elemen transformasi ajaib Meilin menjadi Panda Merah juga berasa anime banget. Shi bahkan ngerender kota Toronto asli sebagai panggung cerita film ini, kayak yang biasa dilakukan oleh anime yang pakai lokasi beneran. Dari segi cerita dan bahasan, nonton Turning Red ini emang aku ngerasa vibe ala film-film Studio Ghibli. Film ini juga menyelam lebih dalam ke makna di balik perubahan jadi panda merah. Eksposisi dilakukan dengan fantastis, sembari tetap berusaha kental merepresentasikan budaya Asia, khususnya Cina.

redTurning-Red-screencap-Mei-and-friends-r
Salah satu rejected idea untuk judul film ini adalah My Neighbor Toronto

 

 

Itulah kenapa jadi banyak juga orang yang gak suka ama style film ini. Gaya anime memang gak semua orang suka. Apalagi kalangan penonton barat. Mereka punya gaya sendiri untuk kartun atau animasi over-the-top. Dan bagi mereka, kartun-kartun tersebut bukan Pixar. Salah satu penyebab Pixar di atas, karena gaya yang berbeda dari kartun-kartun tersebut. Makanya, begitu ada film Pixar yang tampil dengan style yang berada dalam spektrum over-the-top, banyak yang gak bisa langsung nerima. Dan disalahkanlah karakter-karakter cerita yang menghidupi gaya/style itu.

Karakter-karakter 13 tahun itu – Meilin dan teman-temannya – memang seringkali annoying. They loud, obnoxious, lebay, goal mereka cuma pengen nonton konser boyband. Aku juga jengkel sih. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa relate dengan kita. Relate kan gak harus in sense sama-sama ngefans boyband (walaupun film ini toh memang juga menyasar nostalgia demam boyband seperti Backstreet Boys, NSYNC, atau Westlife di awal 2000an). Yang jadi ‘boyband’ku dulu adalah pemain smekdon, gadis sampul, power rangers, dan bahkan hal sesimpel komik dan video game. Itu hal-hal yang aku suka, tapi dilarang banget. Jadi aku main game, baca komik, atau nonton smekdon selalu diam-diam. Aku saat itu bahkan masih ‘closeted’ ngefans gadsam. Melihat Meilin mengejar apa yang ia suka, apa yang menurutnya paling penting saat itu, di belakang ibunya yang melarang, bukan saja membawaku ke masa-masa dulu, tapi sekaligus membuatku jadi peduli kepadanya. Ini ngajarin anak mengenali dan mengejar hobi atau passion atau kegemaran mereka. Ini ngajak anak yang nonton untuk merayakan diri. Soal annoying, kalo dipikir-pikir lebih menjengkelkan sebenarnya anak yang gak punya kesukaan ketimbang yang seperti Meilin ini. Sehingga yang jelas, Meilin ini beresonansi sekali dengan masa-masa umur segitu. Terutama buat kita yang sesama orang asia. Karena, tahulah, ‘lawan’ kita dengan Meilin sama. Asian parent.

Udah hampir jadi meme sekarang, persoalan ‘asian parent’. Orangtua dengan standar tinggi. Orangtua yang menuntut anaknya untuk selalu nomor satu. Ya itu nilai bagus, ataupun disiplin. Orangtua yang seperti alergi melihat anaknya bersenang-senang. Orangtua yang terlalu protektif sehingga gak sadar telah bikin malu anaknya di depan umum. This movie gets that right dengan ibu Meilin. Si ibu ini lebih suka nyalahin orang lain ketimbang benar-benar melihat Meilin sebagai person. Film lebih lanjut menelisik parenting semacam ini dengan tidak membuat masalah terbatas pada Meilin dan ibunya. Melainkan hingga ke neneknya. Turun-temurun perempuan dalam silsilah keluarga Meilin punya masalah dengan kutukan panda merah, yang di sini jadi melambangkan bagaimana parenting seperti itu telah mengakar. Di cerita ini, Meilin kini dihadapkan pada pilihan menyingkirkan panda merah dan meneruskan siklus ibu-anak yang tumbuh nelangsa, atau katakanlah berontak dan embrace ‘my panda, my choice’. Jadi film ini pada kadar tertentu pasti akan relate. Namun aku apresiasi sekali film ini, karena selain relate, juga nunjukin side yang aku gak tahu. Yang boys gak akan pernah takutkan. Yaitu ‘turning red’ itu sendiri.

Pubertas, yang khusus perspektif cewek. PMS-lah yang disimbolkan ke dalam berubah jadi panda merah. Film dengan gamblang menyebut ini saat adegan pertama kali Meilin berubah wujud. Kehebohan growing up yang gak bakal dialami laki-laki (walau sunat bisa jadi counterpart yang imbang). Tapi yang jelas, dengan memasukkan soal itu (again, film ini jadi seperti anime yang memang lebih berani ngetackle persoalan ‘pribadi’ dibanding animasi lain), berarti film ini memang benar-benar kuat di sudut pandang cewek tersebut. Film ini juga jadi ngingetin aku sama Yuni (2021). Meilin di Turning Red ini rasanya kayak versi yang lebih imut-imut dari Yuni, like, Meilin pun hanya punya teman-teman gengnya. Dalam circle gengnya itulah Meilin bisa bebas berekspresi. Bernyanyi bersama adalah cara mereka untuk saling konek. Malahan, Meilin bisa mengendalikan transformasinya bukan karena mengingat ibu, tapi justru karena mengingat persahabatan teman-temannya.  Seingatku, film ini gak ngeresolve hal tersebut. Ibu kayaknya gak pernah tahu Meilin berbohong soal mengingat dirinya. Dan ini mungkin cara film menekankan poin bahwa bagi perempuan memang selalu teman-temanlah yang jadi penawar dari pains of growing.

Seperti kata lagu Alessia Cara, gak ada perban untuk growing pains. Melainkan suka duka bertumbuh dewasa itu ya dijalani saja. Kita akan menjalani itu bareng teman-teman ‘sependeritaan’. Bukan dengan orangtua. Karena bagaimana pun juga, anak dengan orangtua akan berpisah jalan. Anak bisa – dan kemungkinan besar akan – tumbuh berbeda dari yang diinginkan dengan orangtua.

 

redfirst-trailer-for-pixars-turning-red-which-was-clearly-inspired-by-teen-wolf
Satu lagi rejected idea untuk judul film: PMS (Panda Mayhem Syndrome)

 

Bicara soal menjadi diri sendiri – bicara soal identitas, kalo dipikir-pikir, kenapa ya cerita seperti ini selalu gak benar-benar ada di ‘habitat’ aslinya. Identitas Meilin adalah seorang Cina yang terlahir dan besar di Kanada. Film Crazy Rich Asians, The Farewell, hingga Shang-Chi; karakternya selalu putra/i etnis yang lebih kritis dibandingkan dengan generasi older yang lebih tradisional. Apakah memang pandangan itu baru bisa terbentuk dengan adanya benturan dua culture dalam satu individu? Like, karena ada pandangan barat yang lebih memajukan individual, pandangan timur terguncang, dan baratlah yang cenderung ‘jawaban terbaik’. Aku gak tau juga, apakah kalian punya pendapat soal ini? Let all of us know di Komen yaaa

Yang jelas, kalo soal identitas, yang menurutku goyah di film ini adalah soal latar tahunnya. Kita tahu cerita ini bertempat di tahun 2002. Kita lihat ada tamagotchi, ada lagu-lagu yang beneran kayak lagu tahun segitu, Namun overall tingkah anak-anak muda penghuninya, bahasa percakapan mereka, sering kali terdengar kayak kekinian. Phrases yang mereka gunakan tidak benar-benar terdengar nostalgic, dan lebih sering mereka kayak anak jaman sekarang. Mungkin di situlah film menarik garis kerelevanan. Tapinya lagi aku jadi kepikiran kenapa cerita ini harus di tahun 2002, kenapa gak dibikin di masa kini saja. Kuharap alasannya gak hanya sekadar untuk personal nostalgia saja. 

 

 

Orang bisa berubah jadi panda ternyata mampu jadi kemasan cerita coming-of-age yang unik dan menarik. Animasinya looks good, dan banyak elemen yang ngingetin sama anime 90an. Meskipun penyimbolan panda merah yang mengandung banyak arti agak sedikit jadi terlalu sederhana oleh final act, tapi secara keseluruhan film ini berhasil memuat gagasan yang magical dengan cukup baik ke dalamnya. Kadang aku bingung juga, tadinya Panda Merah itu untuk melindungi keluarga dari kejahatan, tapi kemudian berubah jadi soal pubertas, dan lalu jadi kayak superpower yang bisa dibangkitkan kapan saja, tapi konsep yang sedikit kurang kuat tersebut tidak berdampak terlalu banyak ke dalam gagasan yang diangkat. Film ini tetaplah sebuah pengalaman relate yang hangat. Dan ngajarin banyak, terutama soal ibu dengan anak perempuannya yang beranjak dewasa.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for TURNING RED.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

JUST MOM Review

“Being a mom can be incredibly lonely”

 

Orang yang kesepian biasanya nyari kesibukan. Dengan mengadopsi hewan, misalnya. Lihat kucing lucu di jalan, dibawa pulang dan dipelihara bagai anak majikan sendiri. Tapi seorang ibu bukanlah ‘orang’ sembarangan. Dengan begitu banyak stok cinta, kasih sayang, dan perhatian untuk dibagikan, kesepian yang dirasakan seorang ibu yang telah ditinggal oleh anak-anak yang telah dewasa juga bukan kesepian sembarangan. Ibu dalam film-panjang kedua Jeihan Angga ini, misalnya. Melihat perempuan di jalanan yang sedang hamil dan tampak kelaparan, dikerubuti oleh massa yang terusik oleh kehadirannya, Ibu Siti datang menolong. Memberinya makan, memberinya perhatian seperti kepada anak sendiri. Ibu Siti bahkan membawa perempuan yang bernama Murni itu ke rumah untuk dirawat, tanpa mempedulikan bahwa perempuan itu adalah orang gila.

Premis itulah yang jadi fondasi drama keluarga ini. Jeihan Angga menempatkan Ibu Siti di kursi karakter utama, supaya kita bisa merasakan langsung perasaan kesepian di balik rasa sayangnya yang begitu besar. Bukan saja kepada anak-anak darah dagingnya, melainkan juga kepada Murni dan banyak lagi karakter di sekitarnya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Just Mom akan gampang sekali konek dengan kita, gampang sekali menarik-narik air mata, karena dengan melihat Ibu Siti kita finally bisa melihat ibu kita masing-masing. Ibu yang tiap minggu minta ditelepon, ibu yang suka ngirim-ngirim pesan WA random, ibu yang suka cerewet nanyain jodoh. Itu cinta. Dan film ini bilang, di balik cinta tersebut ada kesepian.

momstill-photo-2_843dfeb5-a6e1-44e4-a0e8-6d09ceea874e
Jadi film ini bekerja selayaknya truk yang menghantam bagi penonton yang merasa anak dari ibu mereka

 

Kita bisa merasakan film ini turut terasa sangat personal bagi pembuat dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karena film ini tahu dan respek betul dengan penanganan atau treatment bercerita. Paham bagaimana menggambarkan sosok seorang ibu yang ditinggikan oleh anak-anaknya (apalagi dalam cerita ini, suami Bu Siti telah tiada, sehingga hanya benar-benar tinggal Bu Siti seorang), paham bagaimana melukiskan konflik dan perasaan. Kamera, misalnya. Sedari awal kamera akan sering menampilkan Bu Siti lewat mengclose-up wajahnya yang penuh concern tersebut. Seketika kita langsung di-embrace oleh perasaan hangat, oleh cinta yang seperti menguar dari raut dan pancaran mata Bu Siti. Untuk akting atau pemeranan, aku bukannya suka terdengar klise, tapi memang Christine Hakim ‘sudah tak-diragukan lagi’ Bu Christine tahu apa yang diminta oleh perannya, dan beliau memberikan itu dengan begitu menjiwai. Dengan begitu mendetail. Adegan yang buatku paling mencekat adalah ketika Bu Siti baru saja mendapat laporan kesehatannya dari rumah sakit. Dia ditelpon oleh anaknya yang menunggu dengan cemas. Bu Siti bilang dirinya baik-baik saja. Namun dari situasi, dari ekspresi kita tahu bahwa kesehatannya memburuk, dan Christine Hakim harus berdialog menenangkan anaknya, menelan kesedihan dan air matanya. Getar di dalam suara yang berusaha tenang, dan mata yang memerah, I mean maaaann, gak banyak pemain film yang bisa handle akting dengan begitu banyak emosi tertahan kayak gini

Film juga sempat meng-closeup percakapan grup Whatsapp Bu Siti dengan anak-anaknya. Membuat kita memperhatikan dinamika keluarga ini. Satu-satunya alasan menampilkan layar chat sebagai adegan film adalah untuk membangun karakter/konflik, dan film ini melakukan dengan efektif sekali. Memperlihatkan isi hati Bu Siti yang mengetikkan kalimat rindu buat anak-anaknya, tapi kemudian menghapus pesan tersebut dan simply mengirimkan kalimat lain.

Jadi sebelum film ini kita udah melihat bagaimana seorang ibu merasa kesepian karena telah dengan sengaja meninggalkan anak-anaknya demi karir dan dirinya sebagai seorang manusia. Ibu dalam Film The Lost Daughter (2022) itu kinda make sense merasa sebatang kara, karena sebagai akibat dari pilihannya. Kemudian datanglah Just Mom, membawa perspektif baru. Seorang ibu yang begitu menjiwai perannya, yang begitu mencintai anak-anaknya, yang juga adalah seorang perawat sehingga insting nurturing people semakin tebal melapisinya. Jika kita membandingkannya dengan Ibu dalam The Lost Daughter, Bu Siti ini udah kayak kebalikannya. Beliau tidak meninggalkan keluarga, dia malah selalu berusaha ada bagi mereka. Menomorduakan dirinya. Dengan cinta sebanyak itu, mestinya dia adalah orang paling bahagia di seluruh dunia. Namun, Bu Siti ternyata juga merasa kesepian. Inilah kenapa film Just Mom menarik sekali buatku. Kenapa seorang ibu mau neglect anak, mau berusaha selalu ada untuk anak, either way ujung-ujungnya tetap kesepian. Ada dua jalur sebenarnya cerita Bu Siti ini bisa dikembangkan. Pertama, menjadikannya pasif dengan ‘menyalahkan’ kepada anak-anak yang udah jarang mengunjungi Ibu. Kedua, dengan tetap menggali perspektif Bu Siti, membuatnya aktif melakukan pilihan dan belajar memaknai kesepian. Sayangnya, hanya dengan durasi satu setengah jam kurang, film ini lebih memilih untuk berjalan ke arah yang pertama saja.

Ibu selalu mikirin orang lain. Ibu baru bahagia kalo anak-anaknya bahagia, tapi kebahagian yang beliau rasakan tidak mutlak kebahagiaan dirinya. Mungkin karena inilah Ibu adalah ‘pekerjaan’ paling mulia. Karena berat dan sepinya inilah Ibu harus diutamakan berkali lipat. 

 

Bukannya jelek, film justru tetap membuktikan betapa kompeten dirinya dibuat. Film tetap tahu kapan harus memantik drama lewat sentuhan musik ataupun kamera. Film sigap menjauhkan kita ketika cerita mulai menampilkan konflik di antara anak-anak Bu Siti. Dramatis dan haru film ini terus dikuatkan. Hanya, dengan membuatnya ke arah ini karakter si Bu Siti jadi tidak bisa punya banyak perkembangan. Hanya seperti dia benar, dan anak-anaknya yang salah alias kurang perhatian. Tidak banyak lagi penggalian konflik selain anak-anak Bu Siti saling tuduh gak bisa jaga Ibu. Cerita tidak lagi konsisten berada pada sudut pandang Ibu. Sehingga jadinya aneh, kenapa memakai Ibu sebagai karakter utama sedari awal, kalo yang mengalami pembelajaran cuma anak-anaknya. Kenapa tidak salah satu anaknya saja yang jadi karakter utama, seperti pada Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2022) atau Coda (2021) yang lebih efektif bercerita tentang anak yang harus mengurus orangtua (berbalik menomorduakan hidupnya)

Durasi juga terlalu singkat untuk memekarkan banyak relationship dan konflik itu. Bu Siti memutuskan untuk merawat Murni meski ditentang anak-anaknya (bahkan oleh asisten rumah tangganya). Ini bisa dilihat sebagaimana tindakan karakter Olivia Colman dalam The Lost Daughter mengambil boneka tak-terawat milik seorang anak. Murni yang perilakunya terbatas, antara clueless dan teriak-teriak trauma, singkat kata kayak anak kecil paling manja, adalah channel bagi kasih sayang dan cinta Bu Siti. Karena beliau tidak lagi bisa berbagi cinta dengan anak-anaknya sendiri yang sudah punya keluarga dan kehidupan masing-masing. Di balik kasih sayangnya untuk menolong sesama, Bu Siti butuh Murni untuk menemukan kembali fungsinya sebagai ibu. Tapi tentu saja, orang gila enggak sama dengan boneka. Murni juga manusia, hubungannya dengan Bu Siti tentu akan bertumbuh. Film memang mewujudkan banyak momen emosional dari hubungan ini, tapi tidak banyak pengembangan yang bisa diperlihatkan. Begitu juga dengan anak-anak Bu Siti. Tiwi, Damar, dan Jalu (dari tiga ini cuma Jalu yang lebih pro ke sang ibu) hubungan mereka cuma sebatas setuju-tak setuju, khawatir, saling tuduh. Mereka datang dan pergi sekena naskah. Dengan ibunya jarang-jarang. Dengan sesama mereka hanya ada satu momen di akhir. Bahkan gak ada waktu untuk menampilkan relationship mereka dengan Murni.

Kekompleksan pada masing-masing karakter ada diperlihatkan oleh film. Tapi tidak banyak waktu yang bisa diluangkan untuk menggali complexity tersebut. Akhirnya hanya lintasan komedi saja yang mencuat. Komedi yang gak benar-benar nambah apa-apa untuk konflik atau tema. Harusnya ada lebih banyak adegan Siti terkenang anak-anaknya waktu masih kecil, sebagai tempat untuk menggali relationship beliau dengan mereka. Murni bisa digunakan untuk pemantik ini, bikin adegan bersama Murni yang paralel dengan momen Siti dengan anak-anaknya dulu. Seperti flashback masa muda yang sering dilakukan oleh The Lost Daughter. Film ini, karena singkat, hanya seperti poin-poin saja. Yang setiapnya ditampilkan dramatis, tapi tanpa pengembangan. Seperti insiden gunting, Bu Siti gak pernah benar-benar resolve dengan cucunya. Ternyata pada akhirnya elemen anak pungut, orang gila, hingga ke ibu yang kesepian itu sendiri hanya digunakan untuk penguat adegan dramatis.

mom169-07a18c45f3480c01b008862e4fe5145d_600x400
Ibu self-healing dengan ngurusin orang lain

 

Melepaskan Murni ke rumah sakit jiwa seharusnya adalah ekivalen dari pembelajaran Siti merelakan anak-anaknya pergi (tumbuh dewasa). Karena itu berarti Siti sudah mengerti bahwa itulah sesungguhnya dia mengenali apa yang terbaik untuk mereka, dan Siti memetik suatu perasaan bahagia di balik kesepian yang ia rasakan. Tapi karena film tidak tertarik untuk berkubang di personal si Bu Siti, maka konflik hanya dari anak-anaknya yang salah karena melupakan ibu mereka. Babak ketiga film ini berubah menjadi drama orang sakit. Anak-anak Siti menyadari kesalahan mereka, sementara ibu sakit parah, total dramatisasi-lah di sini. And oh, penonton bakalan nangis. Karena ya sedih melihat ibu kita di ujung maut, dan kita mau minta maaf dan bertekad lebih sayang tapi terancam gak bisa.

Tapi resolve ceritanya itu gak ada. Siti boleh jadi bakal meninggal tanpa pernah menemukan real happiness, karena dia tidak ada resolusi real dengan anak-anaknya. Nasibnya hanya jadi ‘hukuman’ buat anak-anaknya. Sementara anak-anaknya sendiri, walaupun menyadari, tapi mereka tidak perlu belajar menjadi berarti buat ibu mereka. Mereka punya hidup baru, dan Ibu tetap berakhir di posisinya semula. Tetap hanya demi anak, tidak berpikir untuk dirinya sendiri.

 

 

 

Mungkin memang begitu selflessnya ibu. Namun film seharusnya tidak membuat karakter utama yang berjalan di tempat. Hanya ada satu momen Ibu menyadari pilihannya mungkin salah, dan film tidak lanjut mengeksplorasi ini. Bayangkan, bahkan The Father (2021) yang karakter utamanya orangtua yang mulai lupa siapa dirinya dan yang lain – karakter yang juga sama pantasnya dikasihani – tidak dibuat serta merta benar. Tetap diberikan pembelajaran mengikhlaskan situasi dirinya. Film ini tampil terlalu singkat untuk dapat jadi cerita penggalian seorang ibu yang kompleks. Yang dimaksimalkan adalah penampilan akting dan momen-momen dramatis. Dan somehow sedikit komedi. Film ini tampil kompeten dalam menjadi seringkas judulnya. Just cry. Untuk tangis-tangisan saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for JUST MOM

 

 

 

That’s all we have for now

Di samping untuk ending dramatisnya, apakah ada alasan lain yang bisa kalian temukan soal kenapa film ini membuat yang dirawat Siti adalah orang gila yang lagi hamil?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

 

THE LOST DAUGHTER Review

“There’s no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one.”

 

Yang namanya ibu tidak akan meninggalkan anak yang telah susah-susah mereka lahirin ke dunia. Natural bagi seorang ibu untuk selalu berusaha menjaga dan merawat anaknya. Ketika kau menjadi seorang ibu, kau akan rela mendahulukan kepentingan anakmu di atas segalanya, termasuk sesuatu untuk dirimu sendiri. Maka dari itulah, sesekali akan ada masanya bagi seorang ibu merindukan waktu-waktu mereka bisa melakukan hal untuk diri sendiri, merindukan kebebasan dan kesempatan untuk mengejar – dan hanya mengejar – keinginan sendiri. Me-time akan sangat berharga bagi ibu; momen ketika mereka enggak harus mikirin tanggungjawab kepada anak. Ibu harusnya gak boleh merasa malu atau merasa bukan ibu yang baik dengan menginginkan waktu me-time tersebut. 

Paragraf tersebut, bukanlah kata-kataku. Aku cowok, aku gak akan pernah bisa benar-benar tahu apa yang dialami. yang dirasakan, atau yang diinginkan oleh seorang ibu. Ulasan ini bukanlah tulisan yang berisi pendapatku – seorang cowok – yang ngajarin bagaimana harusnya cewek menjadi seorang ibu. Melainkan pendapatku soal apa yang sedang berusaha dikatakan oleh Maggie Gyllenhaal ketika dia mengadaptasi novel karya Elena Ferrante menjadi debut penyutradaraan film-panjang pertamanya. Karena film The Lost Daughter memang diceritakannya dengan cara yang membuat penonton geleng-geleng sambil garuk-garuk kepala. Kinda susah dipahami arahnya ke mana, susah merasa simpati kepada karakter utamanya. Namun kita juga akan gampang merasakan ada kesedihan mendalam di balik cerita. And no doubt, film ini bakal bikin kita menemukan rasa hormat yang lebih gede kepada seorang ibu. Hampir seperti perasaan takut, malah. Takut mereka memilih menjadi seperti Leda, sang karakter utama cerita.

Leda bilang dia punya dua orang anak. Bianca dan Martha. Usia anak-anaknya itu kini sudah 25 dan 23 tahun. Tapi begitu ditanya lebih lanjut tentang mereka, Leda gak bakal menjawab. Dia malah bakalan seperti break-down, dan lantas pergi meninggalkan penanya kebingungan di tempat. Sekilas, profesor literatur itu memang seperti orang yang gak ingin diganggu. Tidak nyaman beramah tamah dengan orang lain. Leda liburan ke pantai Yunani, bermaksud menyelesaikan tulisannya sambil rileks. Tapi pantai itu ternyata ramai, oleh acara dari keluarga besar yang sepertinya berpengaruh di sana. Konsentrasi Leda lantas hinggap kepada seorang ibu muda bersama anak perempuan kecilnya. Leda terus menatap mereka, matanya menerawang, dan kita akan terflashback ke masa muda Leda merawat dua orang anak yang juga sama bocahnya. Leda pun menemukan dirinya semakin terinvolved kepada ibu muda dan anak itu, ketika boneka si anak hilang. Dan ternyata ada di dalam tas Leda.

daughtere1640644060913
Apakah boneka tersebut ada spiritnya?

 

Kasarnya, this is one complicated bitch. Karena Leda ini adalah yang pribadi yang, bukan exactly tertutup – karena di momen pribadinya kita akan digambarkan perihal yang ia rasa lewat adegan-adegan masa lalu, melainkan lebih tepatnya ya yang ribet untuk alasan yang gak jelas. Kita gak tahu kenapa Leda melakukan apa yang ia lakukan. Namun itu bukan karena dianya yang enjoy at being difficult dan kasar dan gak sensitif sama orang. Bahkan dirinya sendiri enggak tahu kenapa dia melakukan hal yang ia lakukan. Mencuri boneka anak kecil itu misalnya. Leda tidak dapat menjelaskan kenapa dia melakukan itu. Arahan Maggie membuat hampir seperti Leda meminta tolong kita untuk menjelaskan apa yang salah kepadanya. Karena memang ada sebagian diri Leda yang, katakanlah, begitu egois. In that sense, kita bisa bilang Leda ini adalah protagonis sekaligus antagonis dalam ceritanya sendiri. Inilah yang membuat kita akhirnya betah duduk mengawali journey-karakternya selama dua jam. Tabah menahan karakternya yang penuh cela, bahkan sebagai narator saja dia agak susah dipercaya. Sebab deep inside, kita konek kepadanya sebagai manusia yang tak sempurna. 

Ini juga jadi bukti betapa luar biasanya akting Olivia Colman yang jadi Leda di kurun sekarang, Leda yang sudah 48 tahun dan memikul segitu banyak beban, dan penyesalan, meskipun dia percaya dia berhak melakukan pilihan yang ia lakukan di masa muda. Menyambung karakter yang awalnya dihidupkan dengan tak kalah meyakinkan dan penuh konflik oleh Jessie Buckley, yang jadi Leda muda. Yang ultimately tentu saja merupakan bukti betapa Bu Sutradara punya mata yang personal menggambarkan kecamuk perasaan dan emosi seorang perempuan yang menempuh motherhood. Maggie tidak pernah bercerita dengan statement. Dia tidak pernah menggambarkan perasaan itu dengan utuh. Tidak pernah memberikan jawaban atas ‘misteri’ karakter. Karena itu akan membuat ceritanya menjadi ngejudge perihal perbuatan Leda. Film ini bukan hadir untuk ngejudge. Maggie ‘hanya’ memperlihatkan kepada kita betapa mengukung dan bikin capeknya tanggung jawab menjadi seorang ibu. 

Kalian tahu potret ibu dalam keluarga utuh yang sempurna? Ibu bagai matahari, cintanya tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali? The Lost Daughter bilang itu adalah kondisi yang terlalu ideal, mustahil tercapai. Karena ibu juga manusia. Jadi, film ini hadir sebagai antitesis dari ibu sempurna tersebut. Antitesis yang menyebut bahwa meskipun ibu tidak mungkin sempurna, seorang ibu punya banyak pilihan untuk menjadi ibu yang baik. Dan Leda, kita akan lihat akhirnya memilih menjadi ibu-tak sempurna, ibu yang benar-benar manusiawi, yang seperti apa.

 

Jujur, selama ini aku memang kesal sama cerita yang tokoh ibunya merasa pantas diri mereka mendapat me-time. Atau bahkan lebih dari itu, kayak, ibu yang merasa berhak untuk ninggalin anak karena sebagai manusia mereka juga punya mimpi yang harus dikejar. Kehadiran anak yang biasanya diceritakan produk dari ‘kecelakaan’ atau tidak suka sama suka, dianggap sebagai penghambat. Cerita kayak Dara di Dua Garis Biru (2019) atau ibunya si Ali di Ali & Ratu Ratu Queens (2021), aku ujungnya hanya melihat mereka sebagai orang yang selfish. Karena memang film-filmnya pun tidak mengeksplorasi lebih dari sekadar bahwa sosok ibu adalah manusia first, yang punya keinginan, dan yang mau dimanusiakaan. The Lost Daughter ini beda. Maggie menggali lebih lanjut. Dia tahu satu-satunya cara untuk menggali ke dalam itu adalah dengan menaikkan volume seekstrim mungkin. Makanya film ini akan terasa sangat tanpa ampun. Meninggalkan kesan yang juga jauh lebih dalam.

daughterl-intro-1634594864
Lebih dalam dari sekadar nonton Olivia Colman berakting jadi ibu-ibu nyebelin

 

Alih-alih statement gamblang, Maggie menghidupkan adegan-adegannya dengan simbol, situasi yang kontras oleh kiasan. Yang membuat film ini jadi semakin dalam dan penuh makna. Pada awalnya, Leda memang tampak seperti turis yang menikmati liburannya di pantai. Tapi buah-buahan yang disediakan di kamarnya yang luas itu, busuk. Malam hari, jangkrik masuk. Lampu mercusuar bikin Leda harus menutupi mukanya dengan bantal. Pantai yang sepi ternyata ramai. Bioskop, ternyata penontonnya berisik. Tempat itu seperti menyerang Leda. Lagi jalan aja dia bisa terluka kejatuhan buah pinus. Belum lagi pandangan dari keluarga besar yang sepertinya keluarga mafia, keluarga yang sempat ribut dengan Leda, keluarga yang boneka anaknya dicuri oleh Leda. Keadaan Leda yang sekarang seperti menunjukkan bahwa tidak ada yang sempurna. Bahwa mimpi kita akan keadaan senyaman liburan pun pada akhirnya akan dibenturkan dengan kenyataan yang seringkali pahit. Dan kita ya harus dealt with it

Semua itu tidak terlihat oleh Leda. Karena dia begitu fokus mengejar passion, mengisi hidupnya dengan hal-hal yang telah terenggut setelah punya anak. Leda muda memperlihatkan bagaimana dia akhirnya sampai kepada keputusan, dia mulai merasa bebas, dan keadaan Leda yang sekarang adalah kontras yang memeriksa dia yang sudah mendapat yang ia mau, tapi kenapa dia tidak tampak begitu bahagia. Leda merindukan anak-anaknya. Leda sendirian. Leda gak enjoy di situ. Notice judul film ini tunggal (daughter alih-alih daughters) padahal anak Leda dua orang, dan bahwa anak kecil yang sempat ilang juga gak lama kemudian ketemu? Judul sebenarnya merujuk kepada Leda. Dialah anak hilang yang dimaksud oleh cerita. Hilang karena tidak bisa memastikan di mana tempatnya berada. Leda adalah ibu, dia mau jadi ibu, tapi tak mau memikul tanggungjawab sebagai ibu.

Makanya dia mencuri boneka itu. Dari sudut pandangnya, kita paham bahwa Leda menganggap boneka sebagai ganti anak. Dia ingin merawat dan membersihkan boneka yang udah dicorat-coret dan penuh air itu. Dia ingin merasakan kembali jadi ibu dengan merawat anak. Dan boneka adalah anak yang tepat untuk Leda karena merawat boneka tidak perlu tanggungjawab yang besar. Leda bisa menyayangi boneka kapan dia bisa saja, saat senggang aja, saat dia gak capek dan gak banyak kerjaan. Sementara dari yang kita lihat, sebagai inner-needs dari Leda yang tak kunjung ia sadari, boneka itu adalah kesempatan kedua baginya. Dia butuh untuk menyelamatkan boneka itu karena si ibu muda dan anaknya telah membuat Leda teringat kepada dirinya dengan anaknya waktu masih kecil; anaknya yang telah mencorat-coret boneka yang ia berikan, boneka yang harusnya dirawat karena boneka adalah mainan yang mengajarkan tanggung jawab menjadi seorang ibu sejak dini kepada anak perempuan. Leda muda membuang boneka yang telah dirusak yang mengawali gerahnya dia ngurus anak; Leda tidak ingin ibu dan anak kecil yang ia lihat di pantai mengalami masa depan yang sama dengan dirinya, dulu dan sekarang. Bahwa merawat boneka dan kemudian merusak atau meninggalkannya itu adalah hal yang ia lakukan dan diam-diam ia sesali.

Demikianlah kompleksnya karakter Leda. Dia paham pentingnya dan indahnya menjadi seorang ibu, tapi sekaligus juga dia tidak tahan dengan tanggungjawabnya. Ending film ini poetic sekali dalam menggambarkan hal tersebut. Leda yang terluka, terhuyung keluar dari mobil, pergi ke pantai. Terbaring di antara pasir dan pantai. Menunjukkan dia telah belajar, tapi tetap tidak mampu memilih. Matikah dia di akhir itu? Film membuat sangat ambigu. Tapi, at that point, aku udah kasihan sama Leda. Aku berharap dia meninggal saja, karena dengan begitu dia bisa lepas dengan benar-benar bahagia. 

 

Hiruk pikuk emosi paling manusiawi dari seorang ibu digambarkan dengan lantang oleh film ini. Bahasannya mengonfrontasi pemikiran, tapi tidak pernah diniatkan sebagai sesuatu yang judgmental. Sehingga pada akhirnya film ini akan membekas lama. Tragis dan ‘ngerinya’ walaupun benar-benar dibahas dari sudut pandang yang sangat personal, akan menguar kepada kita semua. Dan yea, film ini bakal membuat kita lebih menghargai pilihan perempuan menjadi seorang ibu. Perempuan menjadi sempurna dengan memiliki anak, tapi tidak ada yang namanya ibu yang sempurna. Film menunjukkan itu semua kepada kita, lewat perjalanan karakter yang juga dimainkan dengan luar biasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LOST DAUGHTER.

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian semua ibu punya perasaan yang sama dengan Leda? For boys: kira-kira apa yang bisa kita lakukan supaya ibu atau istri tidak sampai jadi seekstrim gambaran Leda?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SILENT NIGHT Review

“It is dangerous to be right when the government is wrong”

 

Malam dalam Silent Night, film-panjang debut dari sutradara dan penulis naskah Camille Griffin, tidak selamanya malam yang sunyi. Ensemble cast yang memerankan berbagai tipe karakter keluarga membuat film ini seperti kisah liburan natal dengan warna komedi yang kental. Malam barulah menjadi senyap  tatkala bencana yang melatarbelakangi dunia mereka semakin mencuat seiring durasi bergulir. Keluarga dan para sahabat yang kita lihat itu akan mati selepas malam itu. Beserta semua orang lain di seluruh dunia. While tone komedi dan kesuraman nasib yang mereka jemput dengan consent sepenuh hati tersebut memang kerap bertabrakan, membuat film ini tidak berjalan seimbang yang diniatkan, namun jika kita melihat ke belakang lebih jauh lagi, kita akan menyadari bahwa Griffin tidak membuat film ini sebagai sajian untuk kita merenungi kematian. Dan bahkan tidak juga kekudusan malam natal. Melainkan, Silent Night dihadirkan sebagai cemo’ohan terhadap masyarakat yang penakut dan pemerintah mereka yang suka memberikan informasi yang salah.

Silent-Night-trailer-1
Coba deh sekali-kali pemerintah itu diunfollow semua, gitu.

 

Natal mungkin memanglah salah satu occasion yang paling luwes untuk dijadikan latar cerita film. Kita sudah menonton beragam genre bermunculan dari tema hari Natal. Film Silent Night ini membuktikan itu dengan actually menggabungkan komedi dengan genre bencana/kiamat. Musik-musik natal yang festive yang berputar di awal akan digantikan dengan alunan yang lebih dramatis. Drama keluarga, kemudian diakhiri dengan twist yang membuat cerita menjadi dark.  

Nell dan suaminya mengundang sahabat dan kerabat mereka untuk merayakan malam natal. Film ini dibuka dengan kesibukan di pagi hari. Yang digambarkan kocak comically. Kita melihat sang suami berlarian di halaman, mengejar ayam. Art si putra sulung yang lagi motongin wortel dan tak sengaja mengiris jarinya sendiri saat kaget mendengar kegaduhan ayahnya di luar. Sementara Nell, juga anak bungsu mereka yang kembar sibuk melakukan hal lain. Kita juga diperlihatkan para tamu yang sedang dalam perjalanan ke rumah Nell. Karakter-karakter yang tak kalah ‘ajaibnya’. Istri pesolek, yang clearly naksir sama sahabat mereka, sementara suaminya yang cupu gak nyadar. Mereka punya anak perempuan yang sikapnya ngeboss abis. Ada pasangan lesbi. Ada pasangan yang jarak umurnya cukup jauh, yang actually outsider dari kelompok mereka. Ketika nanti akhirnya mereka berkumpul, kita akan notice ada kejadian seru apa yang melatarbelakangi relationship mereka semua. Tapi yang paling penting diperhatikan adalah suasana. 

Camille Griffin membangun suasana yang awkward, yang sebenarnya berlaku dua lapis. Bukan saja canggung karena ‘rahasia’ hubungan para karakter yang diungkap – mengejutkan bahkan bagi mereka sendiri. Namun juga canggung karena kumpul-kumpul mereka yang seharusnya merayakan momen natal dan kebersamaan itu, tidak benar-benar terasa seperti sesuatu yang dirayakan. Melainkan sesuatu yang mereka paksakan diri untuk merayakan, karena ini adalah kesempatan terakhir mereka bersama. Griffin menyelimuti cerita komedi ini dengan perasaan dread dari pengungkapan bahwa dunia yang dihidupi karakter ini sedang dalam bahaya yang lebih berbahaya dari pandemi korona. Ada pusaran awan gas raksasa di luar sana, membunuh setiap makhluk hidup yang dilalui. Maka pemerintah menyuruh para ilmuwan membuat pil yang bisa membuat orang mati dalam keadaan seperti tidur. Tidak menyakitkan. Obat tersebut lantas dibagikan kepada masyarakat yang terdata (gelandangan dan imigran gelap gak kebagian), guna dikonsumsi sebagai alternatif dari mati menderita. Inilah nasib yang tentu saja juga dipilih oleh Nell dan keluarga dan sahabatnya. Karena pemerintah menyuruh seperti itu.

Konflik datang dari Art, putra sulung Nell, yang meragukan keputusan tersebut. Yang menyebut usaha mereka sama saja seperti bunuh diri sia-sia. Bahwa mestinya ada cara lain. Dan bahkan Art menantang keputusan tersebut dengan mengangkat bahwa pemerintah dan para ilmuwan bisa saja salah. Silent Night seharusnya lebih berkutat di konflik ini. Karena di bahasan inilah kita baru merasa benar-benar relate dan peduli sama para karakter. Pembangkangan Art menjadi menarik karena yang ia sebutkan memang sangat relevan. Mengapa percaya begitu saja. Mengapa menyerah dengan cepat. Pihak orangtua Art pun memberi argumen yang cukup menarik. Bahwa mereka enggak tega membiarkan Art dan sodaranya mati menderita kena gas. Jadi lebih baik mati bunuh diri, mati yang udah dijamin pemerintah enggak menyakitkan. Tidak pernah ada usaha untuk pembuktian, mereka menerima saja karena begitu takutnya. Ketika Art nantinya menghirup gas dan mulai kejang-kejang, ayah dan ibu dan saudara-saudaranya langsung menenggak pil mereka. Tanpa mengecek nadi Art atau apapun yang membuktikan Art benar-benar telah tewas.

Bahasan ini relevan karena seperti keluarga Art itulah masyarakat terasa. Terlalu takut, terlalu reaktif, sehingga mudah dikendalikan dan tertipu hoax serta berita palsu. Bahkan terlalu takut untuk berjalan di luar arus. Naasnya, menjadi seperti Art di tengah lingkungan begitu justru berbahaya.

 

Setelah Thomasin McKenzie di Old dan Last Night in Soho. Lalu Archie Yates di Home Sweet Home Alone , kini giliran Roman Griffin Davis yang kebagian film sendiri. Aku senang alumni Jojo Rabbit terus dapat kesempatan menggali kemampuan akting, dan memang si Roman Griffin yang jadi Art menonjol dibandingkan bahkan Keira Knightley yang jadi ibunya, yang dijual oleh film sebagai tokoh utama. Simply karena Art-lah satu-satunya karakter yang beneran menarik di film ini. Karakter-karakter lain hanya punya gimmick komedi, mereka tidak punya motivasi ataupun urgensi yang manusiawi membuat mereka terflesh out sebagai karakter. Suami yang boring. Istri yang ‘mentel’. Anak yang kasar. Kupas mereka dari semua itu, dan berakhirlah sudah. Tidak ada apa-apa di baliknya. Naskah bergantung kepada ‘siapa sih mereka sebenarnya kepada satu sama lain’, bagaimana hubungan mereka sebelum momen di cerita ini berlangsung. Kita diniatkan untuk tertarik untuk mendengar obrolan dan konflik mereka, yang berdasarkan kepada masa lalu mereka. Tapi semua itu terasa hampa. Permasalahan mereka gak pernah benar-benar baru, ataupun terasa menarik. 

Art sebenarnya juga sama. Gimmick komedinya yang dicuatkan. Dia juga suka berkata kasar, dan melawan orangtua. Komedi situasi yang sepertinya dipantik dari bagaimana seorang anak bertindak ketika dia tahu ini hari terakhirnya. But deep inside, Art adalah anak baik dan cerdas. Karakter di balik gimmick komedinya itulah yang akhirnya mengangkat derajat karakter ini dibanding yang lain. Dan actually mengangkat film ini. Yah, walaupun cuma sedikit sih.

 

silentroman-griffin-davis-silent-night-interview
Fun fact: Roman Griffin dan anak kembar di film ini kakak adik beneran, dan ibu mereka adalah sutradara film ini

 

 

Aku gak bilang Griffin berhasil menghantarkan mix tone. Menyeimbangkannya sehingga Silent Night jadi tontonan yang enak. Walaupun dia berhasil mencuatkan perasaan canggung, yang mencerminkan sensasi ‘impending doom’ yang menyelimuti karakter-karakternya, tapi keseluruhan film ini tidak bekerja dengan demikian efektif. Tidak pernah terasa seimbang. Tone-tone yang dirancang itu sebenarnya justru saling menabrak. Dan tidak dengan dampak yang bagus. Kita tidak bisa tertawa melihat karakternya – karena gak lucu – sementara juga tidak bisa benar-benar khawatir karena dua hal. Kita tidak mengkhawatirkan mereka yang sudah siap mati. Dan karena film masih terus menyelipkan reaksi-reaksi komedi bahkan ketika sudah waktunya untuk menjadi dramatis dan kelam. Kepada Art saja – yang jadi paling dekat sebagai tokoh utama sebenarnya yang dipunya oleh cerita ini – kita juga susah untuk benar-benar peduli. Karena struktur cerita. Ketika kita mulai in-line dengannya, film malah membuat Art sebagai korban gas yang pertama di antara mereka, saat Art yang katanya ingin cari keselamatan sendiri, lari dari rumah. 

Sangat aneh rasanya ketika kita harus ikut tertawa menyaksikan karakter dealt with their relationship, sementara kita berusaha memahami apa yang terjadi di latar dunia mereka. Sementara kita berusaha mengerti kenapa mereka bertingkah kayak cult bunuh diri. Seharusnya yang dilakukan film ini adalah mengestablish dunia mereka terlebih dahulu, baru kemudian kita bisa dikontraskan dengan sikap mereka yang berusaha rileks, dan berkomedi ria dengan perkara relationship itu.

 

 

 

Film ini sudah menghadapi tantangan cukup banyak dengan menghadirkan komedi, liburan-natal, dan horor. Menambahkan elemen twist, terbukti membuat film ini jadi too much untuk Griffin. Padahal film ini punya pesan yang tak-kalah penting. Punya konsep penyampaian yang cerdas. Dengan set up suasana yang membuat sesuatu yang seperti biasa menjadi unik. Mestinya film ini establish dunia dulu, baru fokus ke karakter. Menguatkan perspektif mana yang jadi karakter utama. Membuat mereka lebih sebagai pion-pion simbolisme, dengan pengembangan yang lebih clear, ketimbang sebagai suara-suara komedi saja. Karena reaksi-reaksi mereka atas ketakutan itulah yang menarik, bukan hubungan yang makin kayak ngada-ngada.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SILENT NIGHT

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian Silent Night ini cerita yang tragis, kenapa?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

LAMB Review

“They can face anything, except reality”

 
 

Sudah lumayan banyak keanehan dalam dunia film 2021, perihal bayi. Sebelum ini kita udah dapat bayi boneka kayu. Bayi setengah mesin. Dan kini, Lamb yang ceritanya terisnpirasi dari folklore atau cerita rakyat Islandia, melengkapi keanehan terebut dengan menghadirkan bayi domba setengah manusia. You would think cerita tentang pasangan yang mengadopsi bayi hibrid tersebut bakal punya beragam bahasan dan kejadian. Namun Lamb digarap oleh sutradaraValdimar Johannsson di bawah sayap studio A24. Dan film-film dari rumah produksi dan distributor tersebut tidak terkenal dengan film yang punya banyak kejadian dalam satu cerita. Buatku, film-film A24 justru dikenang sebagai yang wajib ditonton kala mau menaikkan berat badan. Karena, camilanku udah habis dua bungkus, adegan filmnya baru beres memperlihatkan karakter berjalan dari ujung layar ke layar satunya.

I don’t mean that entirely as a bad thing. Film A24, dan termasuk Lamb ini, meskipun flownya lambat, tapi sangat poetic. Visualnya dirancang untuk benar-benar nge-entranced kita. Sebab visualnya itulah yang menjadi pintu masuk kita terhadap perasaan yang digambarkan. Cerita Lamb bersetting di rumah peternakan di pegunungan. Pemandangan padang rumput luas, bukit-bukit yang senantiasa tertutup kabut, dan langit abu-abu membentang dicat ulang oleh film dengan ‘warna’ yang menimbulkan kesan tak-nyaman. Atmosfer lingkungan tersebut terasa mengekang. As far as bagaimana sebuah konsep memenuhi fungsi, film ini berhasil. Meskipun fungsi tersebut tidak enjoyable bagi kebanyakan penonton. Apalagi ketika dua karakter sentral mulai diperkenalkan kepada kita. Pasangan pemilik peternakan domba, Maria dan Ingvar. Semua mood yang digambarkan, yang nyampe kepada kita, bersumber dari dua karakter ini. Lamb meletakkan kita begitu saja di ruang dapur mereka. Tidak mengetahui mengapa mereka terasa begitu dingin. Begitu somber. Tidak bergairah.

 
Lamb-Banner
Kecuali adegan opening, yang tanpa kita sadari sebenarnya adalah adegan domba kimpoi di malam yang dingin
 
 
 

 

Ini jadi set up yang benar-benar susah untuk diikuti. Apalagi karena film ini sebenarnya ceritanya singkat banget. Jangan dulu ngomongin dialog, kejadian-kejadian yang menyusun narasi utuhnya aja enggak banyak. Lamb ini bisa saja jadi episode animasi horor Yamishibai yang pendek-pendek, yang menitnya itungan jari itu. Kita jadi ingin cepat-cepat masuk ke pusat konflik. Tapi film dengan teganya berlama-lama. Film ingin memastikan kita merasakan semua emosi yang diniatkan. Karena ini penting. Film tidak pernah menyebut sesuatu dengan gamblang. Ketika ngasih set up bahwa keluarga Maria punya kejadian masa lalu tak mengenakkan, film memberitahu kita lewat dialog ‘gajelas’. Maria dan Ingvar membicarakan seputar mesin-waktu. Aku sudah camilan bungkus ketiga sekarang, aku harus nambah terus karena kalo enggak, aku bakalan ngantuk. Namun sebelum aku sempat membuka camilan keempat, film membuatku melek dengan adegan yang sangat-teramat-real. Adegan Maria dan Ingvar membantu seekor domba melahirkan. Ingvar memegangi badan domba, Maria menarik kepala anak yang nongol di belakang mama domba. Aku bersyukur udah gak sedang makan. Dan honestly, setelah adegan itu aku gak perlu camilan lagi untuk stay awake.

Akhirnya cerita sampai ke menu utama. Kali berikutnya ada domba yang melahirkan, Maria dan Ingvar mendapati sesuatu yang membuat mata mereka membulat. Film cerdas gak langsung ngasih kita lihat. Kita kan jadi penasaran saat Maria membawa bayi domba ke dalam rumah, memandikannya di bak mandi, menidurkannya di ranjang bayi. Membungkusnya dengan selimut. Hangat. Kita merasakan juga, tapi tidak tanpa sensasi geli-geli aneh. Film ngambil waktu lagi. Ngebuild up si anak domba ini kenapa sih sebenarnya. Mengapa pasangan itu begitu sayang dan begitu protektif terhadap si anak domba. Mama domba mengembek di luar jendela, mereka usir. Ketika anak domba itu menghilang dari rumah, Maria dan Ingvar panik. Benar-benar cemas. Mereka mencari-cari ke luar rumah, tapi tidak pernah mencari ke kandang domba. Sebagai penonton, kita diharapkan film untuk mulai menambah satu-tambah-satu dari adegan-adegan tersebut. Dari perbincangan mesin waktu hingga ke kecemasan anak domba yang menghilang. Ya, pasangan ini pastilah punya kenangan buruk terhadap anak. Dan setelah si anak domba ketemu, barulah diperlihatkan dia adalah domba separuh manusia. Mereka beri nama Ada. Mereka rawat seperti anak sendiri. Realita-baru mereka tersebut lantas akan kembali ditantang ketika babak baru cerita dimulai, dengan kedatangan saudara laki-laki Ingvar, Petur, ke rumah kecil mereka.

Basically, aku baru saja menceritakan 90% isi film, hanya dari satu paragraf di atas. Hanya menyisakan yang penting-penting, yakni konfrontasi drama dan menit-menit terakhir berupa pengungkapan yang either bagi kalian terasa shocking dan seram, atau menggelikan. Tergantung dari bagaimana perasaan kalian setelah melewati nyaris dua jam yang ajaib tersebut. Segitu singkat dan, katakanlah, uneventfulnya, cerita film ini. Film baru benar-benar hidup dan menyala saat keempat karakater sudah ada di rumah itu. Padahal mestinya bisa lebih banyak dan lebih kompleks yang diceritakan. Ada yang mulai gede dan menyadari dirinya berbeda aja hanya dibahas sekilas, porsinya lebih kecil daripada durasi Maria dan Ingvar berkeliling di rumah mencarinya saat hilang tadi. Heck, keberadaan atau eksistensi Ada di dunia cerita ini saja tidak pernah dibahas mendalam. Melainkan cuma sebatas Petur bilang Ada itu tidak benar (binatang yang didandani dan dianggap anak manusia), yang tentu saja ditentang oleh Maria dan Ingvar yang tersenyum bangga memperkenalkan Ada kepadanya. Coba kalo ini sinetron, waah, Maria pasti curiga.. Jangan-jangan lakik gue selingkuh ama domba.. (Although, mungkin ini juga salah satu penyebab dia menembak mati sang mama domba).

 
lambmaxresdefault
“Ayah, kenapa aku… Ada”
 
 
 

Jadi, Baby Ada ini pastilah sebuah simbolisme, kan. Kan?

Si Ada dalam cerita ini bisa jadi serupa sosok minotaurus dalam legenda yunani, yang melambangkan kematian. Atau dia yang makhluk setengah manusia setengah hewan itu bisa juga seperti Dewa Ganesha di India, yang tampil seperti itu sebagai bentuk penyesalan orangtua yang telah memotong kepala manusianya. Atau dalam agama Kristen, Ada si domba itu ya bermakna sebagaimana domba dalam Alkitab. Makhluk suci yang melambangkan keajaiban Tuhan. Domba melambangkan purity dan keinnocent-an. Yang menarik adalah, si Ada malah bisa dimaknai sebagai ketiga simbol tersebut sekaligus.

Lamb pada hatinya adalah sebuah cerita tragis. Makanya dia dijual sebagai horor. Karena horor bukan sebatas kejadian mengerikan karena hantu-hantuan, jumpscare, atau pembunuh gila di malam hari. Horor juga adalah kejadian mengerikan yang berasal dalam kita sendiri. Dari perasaan tragis yang menghantui. Dendam, cemburu, rasa bersalah, duka. Lamb sesungguhnya bermain pada dua tema yang terakhir. Ingvar, dan khususnya Maria (tokoh utama cerita ini adalah seorang ibu) adalah pasangan yang telah melewati hari-hari penuh duka. Keberadaan Petur, dan hubungannya dengan mereka yang tersirat di dalam cerita, adalah saksi hidup dari seberapa dalam duka tersebut berdampak di kehidupan rumah tangga mereka. Untuk tidak mengatakan terlalu banyak, Ada si bayi domba, bagi mereka lebih dari kesempatan kedua. Bagi suami istri ini, Ada bisa dibilang adalah mesin-waktu, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki atau bahkan mencegah duka yang tadi terjadi.

Tragisnya adalah, bahwa manusia yang terluka, cenderung lebih suka untuk menghadapi apapun – termasuk sesuatu yang sama sekali ajaib, sesuatu yang setidakmasukakal menjadikan anak domba sebagai anak sendiri – kecuali kenyataan pahit itu sendiri.  Film ini gak segan-segan ngasih hukuman untuk orang seperti itu. Seperti yang kita lihat terjadi kepada Maria di akhir cerita. Lamb sesungguhnya adalah dongeng rakyat penuh moral tentang orang yang jadi kehilangan begitu banyak, karena mereka berkubang dan tidak membenahi diri setelah kehilangan yang pertama.

 
 
 
 
 

Puitis, tragis, humanis. Film ini bukan hanya punya bobot, tapi juga penuh oleh ruh-ruh seni. Dia bercerita lewat visual. Dosa film ini cuma, bercerita terlalu lama. Dan terlalu sedikit. Dia tidak berhasil meyakinkan kita bahwa cerita yang sajikan ini memang harus berdurasi sepanjang itu, karena dia tidak mengisi durasi dengan seimbang. Atau katakanlah, dengan efektif. Banyak plot-plot poin yang jadi ada, dan kemudian tidak ada, dengan begitu saja. Semuanya numpuk di pertengahan akhir. Sementara di awalnya, set up agak sedikit terlalu kosong. Melainkan jadi susah untuk diikuti. Saking susahnya, penonton bisa gak sabar, dan memutuskan untuk melihat film ini sebagaimana yang mereka mau. Tidak lagi sesuai tuntunan yang disediakan. Akhiran film yang mengejutkan itu, misalnya, aku gak kaget kalo ada yang menganggapnya lucu, alih-alih tragis. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for LAMB.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap pilihan-pilihan yang dilakukan oleh Maria? Apakah di mata kalian dia adalah seorang ibu yang baik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

THE MEDIUM Review

“All is amiss. Love is dying, faith’s defying, heart’s denying”

 

 

Sebagai satu rumpun Asia Tenggara, Thailand mirip-miriplah sama kita. Di sana pun kepercayaan terhadap kleniknya tinggi (maksudnya, orang sono juga lebih suka ke dukun ketimbang ke klinik! hihihi) Dalam catatan yang lebih serius, ada perbedaan fundamental antara kepercayaan klenik orang Thailand dengan orang kita. Di kita, mempercayakan kesembuhan kepada ilmu ghaib bisa disebut sebagai dosa. Sebagai praktek syirik, karena bertentangan dengan ajaran agama. Menduakan Tuhan. Sedangkan bagi mayoritas penduduk Thailand, klenik tersebut justru bagian dari kepercayaan religi mereka. Bangsa Thailand berdoa kepada Dewa-Dewa. Meminta kesejahteraan, kesehatan, peruntungan. Dukun adalah perantara rakyat dengan sesembahan mereka. Menolak menjadi dukun saja, berarti menolak percaya kepada Dewa-Dewa, dan itu adalah perbuatan salah yang bakal mendatangkan kemalangan. Seperti yang persisnya terjadi pada cerita film yang di-review kali ini. The Medium, kolaborasi antara penulis naskah Thailand dan Korea, akan membuka perjalanan horor My Dirt Sheet pada musim halloween tahun ini!

medium80hnp3NoCkV75bXWPLA88wEgFcK
Kalo kita bisa percaya penyakit sihir seperti cacar naga, maka kita juga bisa percaya sama sakit guna-guna

 

Poster filmnya bilang bahwa ini adalah cerita tentang perdukunan di Thailand. Maka kita dibawa melihat keseharian seorang dukun perempuan yang cukup populer bernama Nim. Cerita tampak cukup inosen di awal-awal. Kita melihat dia mengobati orang. Kita mendengar Nim menjelaskan tentang pekerjaannya tersebut, tentang darimana ia mendapat ilmu, dan bahkan soal ia memposisikan diri sebagai sanding dari ilmu kedokteran. Semua itu ternyata set up untuk kekacauan yang bakal terjadi. Bermula dari Nim yang menghadiri pemakaman suami kakaknya. Kita lantas diberitahu soal keluarga besar Nim, yang adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarga besar Nim sepertinya dikutuk, lantaran sang kakak pernah menolak ilmu dukun dari Dewa. Nim langsung tahu bahwa ada yang tidak beres pada Mink, kini anak satu-satunya dari kakaknya. Mink, dengan mood swing yang mengkhawatirkan. Mink, yang bicara kepada orang yang tak kelihatan. Mink, yang pantulannya di cermin bisa senyum sendiri (jantungku copot lihat adegan ini!) Mink, yang sempat menghilang dan kembali – tidak lagi seperti orang normal. Nim bisa jadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan keluarganya, namun bahkan serangan kekuatan gaib yang jahat itu too much untuk dihandle oleh Nim. 

Medium storytelling yang dipakai oleh sutradara Banjong Pisanthanakun (salah satu horor karyanya yang paling membekas buatku adalah Shutter di tahun 2004) dalam The Medium ini adalah gaya dokumenter. Kehidupan Nim direkam oleh beberapa kru kamera yang ingin meneliti profesi dukun sebagai tradisi lama yang ada di Thailand. Dalam perfilman, istilah untuk cerita fiksi yang dibingkai dengan gaya dokumenter disebut mockumentary. Dokementer ala-ala. Yang memang, seringkali, bukan gaya dokumenternya saja yang di-mockery. Melainkan juga ada film menggunakan gaya tersebut untuk menyentil topik yang diangkat. Seperti bagaimana Taika Waititi dalam What We Do in the Shadows (2014) memparodikan genre vampire. Atau bagaimana This Is Spinal Tap (1984) didesain untuk ngeledek kehidupan rock band. Akan tetapi, The Medium tidak terasa seperti komentar nyeleneh terhadap perdukunan. Sutradara Banjong justru terlihat punya respek yang dalam terhadap profesi tersebut. Lewat dialog yang dibentuk sebagai interview, dimuatnyalah berbagai insight.

Bahwa kerjaan dukun punya beban, tanggungjawab, dan segala kesusahan tersendiri. Kita melihat Nim yang tidak menikah, hidup sendiri alih-alih dua saudaranya yang tinggal serumah di bagian lain kota. Nim tidak dibuat sebagai karakter serbabisa, yang punya mantra-mantra ampuh, dengan tarian-tarian ritual memukau. Tidak ada jurus-jurus. Tidak ada merintah-merintah hantu berantem untuk berantem kayak Shaman King. Ketika Nim bekerja, yang kita rasakan justru ke-vulnerable-an. Dukun ternyata tidak segampang itu mengusir setan. Nim butuh waktu berhari-hari berdoa dalam lingkaran ritual yang rumit dan gak mentereng. Dia bahkan harus berhujan-hujan menanti petunjuk dari roh yang ia ajak komunikasi. Bumbu drama antara Nim dengan keluarga kakaknya, dengan abangnya, menambah lapisan pada gambaran seorang dukun yang diceritakan oleh film ini. Pekerjaan Nim benar telah jadi mockery, bahkan di kalangan rakyat Thailand itu sendiri. Dua saudara tertua Nim sendiri tidak terlampau respek sama kerjaan dukun. Sang kakak justru menolak ilmu tersebut jatuh kepadanya, dan memilih ‘kabur’ memeluk agama lain. Dalam satu adegan diperlihatkan Nim nangis dengan tragis saat patung Dewa yang sudah turun temurun jadi sembahan keluarganya ditemukan dalam keadaan patah. Kepala Dewa itu berguling di tanah.  Film tidak menegaskan bahwa itu adalah perbuatan roh jahat yang berusaha ia usir, atau ada orang tertentu yang sengaja menghancurkan patung. Yang jadi poin adalah kerjaan relijius Nim tidak lagi mendapat perlakuan atau diterima dengan sebagaimana mestinya.

Dari sekian banyak dosa yang bisa dilakukan umat manusia terhadap keyakinannya, menolak Tuhan adalah dosa paling besar. Film ini menunjukkan dosa tersebut tidak terampuni. Tuhan balik meninggalkan keluarga kakak Nim, dan di momen eksak itulah keluarga tersebut tidak bisa tertolong lagi.

 

Gaya dokumenter digunakan dengan maksimal. Karena dengan konsep ini yang kita lihat terbatas pada apa yang direkam oleh kamera dalam narasi saja, info yang kita dapat juga tidak bisa lebih banyak daripada kameramen – kita tidak melihat kejadian yang off-camera atau yang tidak direkam – sehingga ini menambah banyak bobot ke dalam aspek misteri yang dimiliki oleh film. Kayak patung tadi, kita tidak tahu pasti bagaimana bisa rusak, dan oleh siapa. Tapi misteri kejadian tersebut dengan efektif menaikkan tensi. Dan film juga jago dalam membangun tensi. Atmosfer mengerikan juga terjaga dengan baik. 

Salah satu tantangan dalam mockumentary adalah membuat alasan yang bisa dimaklumi kenapa ada kamera di sana. Film ini bijak sekali dalam menempatkan kamera tersebut. Ketika there’s no way kru bisa ada di satu tempat tertentu, maka film enggak ragu untuk memindahkan pandangan kita kepada rekaman cctv misalnya. Dan actually, memang pada permainan gimmick kamera inilah The Medium menyimpan kekuatan. Sekuen kamera tersembunyi pada menjelang babak ketiga adalah bagian yang paling seram buatku. Jumpscare yang dilakukan pun tidak annoying, melainkan memang efektif sebagai punchline adegan seram. Selanjutnya tentu saja adalah kru kamera itu sendiri. Film harus menemukan adegan atau alasan yang pas, yang memungkinkan kenapa mereka bisa terus merekam padahal ada hantu. Film juga memikirkan rancangan untuk ini. Yang juga dimainkan ke dalam pay off adegan horor nantinya. You know, dengan santainya nanti si hantu merebut kamera dari tangan kameramen, dan balik merekam mereka. Mengungkapkan horor yang selama itu tak-terlihat kepada kita semua.

Dalam lingkup horor, film ini memang enggak segan-segan menampilkan darah, adegan menjijikkan, adegan vulgar, hingga ke adegan sadis. Korbannya juga enggak pilih-pilih. Kuat-kuatin mental deh kalo mau nonton film ini. Jika kalian punya soft spot kepada hewan atau anak bayi, maka kalian akan butuh sebanyak mungkin comfort items yang bisa kalian dapatkan sebagai persiapan sebelum menonton.

medium808503_s_1624271312911
Bayangin, Dewa aja ditolak loh. Women, am I right?

 

Dengan perhatian tercurahkan kepada rancangan gaya dokumenter supaya efektif untuk capaian horor, film ini mau tidak mau jadi abai sama bangunan narasinya. The Medium akan terasa kepanjangan, ada masalah pacing yang cukup serius di pertengahan saat film mulai terasa menapaki poin yang berulang-ulang. Mink menghilang, ketemu, kesurupan, Nim berusaha mengusir roh jahat dengan ke tempat-tempat misterius, Nim seolah tahu sesuatu, tapi Nim tetap gagal. Ada beberapa kali siklus tersebut berulang, dalam berbagai variasi. Nim sebagai tokoh utama pun mulai menjengkelkan. Karena meskipun seharusnya ini adalah interview dia, tapi dia tidak pernah memberitahu kita apa-apa soal kasus Mink. Kamera, dan kita, hanya mengikutinya ke mana-mana. Mengikuti tindakan dan pencerahan yang ia dapatkan, tapi kita tidak pernah tahu dia sebenarnya lagi ngapain. Kita tidak tahu apa makna telur yang kuningnya berwarna hitam. Kita hanya melihat Nim bereaksi. Ada kesan seperti film sendiri juga sebenarnya tidak tahu, dan hanya melakukannya untuk mengulur-ulur misteri. Lalu Nim ‘hilang’ begitu saja. Posisinya digantikan oleh dukun pria, yang hadir so late in the game sehingga seperti karakter yang serbatahu. Seperti film butuh solusi instan. Dan on top of pergantian tokoh utama begitu saja (dari Nim sepertinya ke kakaknya), kasus misteri tetap tidak ada penjelasan.

Cerita film ini tidak berakhir dengan perasaan yang memuaskan. Yea aku tahu, ini bukan happy ending. Tapi bad ending yang disajikan juga tidak memuaskan, karena tidak benar-benar terasa seperti menuntaskan apa-apa. Babak ketiga film ini adalah ketika semua kerusuhan terjadi. Asik untuk horor-hororan, tapi film juga seketika menjadi all over the place. Ada orang yang kayak zombie, makanin orang. Ada orang kesurupan nabrakin kepala ke tembok ampe serpihan otaknya nempel. Kamera dengan infrared. Voodoo doll. Semua itu berlangsung gitu aja tanpa ada kepedulian sama konflik karakter yang seperti disudahi begitu saja. They are helpless, so, here’s hell for your entertainment. Film kayak bilang begitu kepada kita semua. Film yang tadinya meminta perhatian kita pada cerita, pada drama dan perasaan karakter, pada kerjaan dukun, mendadak menyuruh kita untuk senderan dan rileks menikmati horor yang mereka sajikan. Yang tampak buatku, ini merupakan sebuah ketidakkonsistenan, dan malah hampir seperti film memang tidak tahu cara mengakhiri cerita dengan tepat.

 

 

Sebagai wahana horor, aku suka. Aku merekomendasikan ini sebagai tontonan Halloween kalian semua. Nuansa horor yang kental, relate dengan kita. Karakter yang juga somehow terasa akrab. Gaya bercerita yang efektif sebagai landasan momen-momen seram yang bikin kita segen matiin lampu rumah di malam hari. Film ini punya semua itu. Yang tidak film ini punya, dan ini penting, adalah konsistensi bangunan cerita. Kita yang orang Indonesia bisa nonton ini tanpa subtitle, dan tidak akan ketinggalan banyak narasi penting, dan bisa tetap mengerti. Karena yang punya pay off pada film ini hanya gaya berceritanya. Ceritanya sendiri tidak. Jika kalian pengen nyimak cerita seputar dukun dan kepercayaan yang lebih padet dan matang, kalian akan lebih menemukannya pada The Wailing (2016), karya penulis naskah dari Korea yang ikut kolab ngerjain naskah film ini. Efektif hanya sebagai wahana horor, namun tidak demikian halnya sebagai film horor, film ini ternyata tepat sekali seperti judulnya. Medium. Sedang-sedang saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE MEDIUM.

 

 

 

That’s all we have for now

Ngomong-ngomong soal dukun, waktu kecil aku punya penyakit amandel. Yang cukup parah, gampang meradang. Aku pasti sakit demam dan tidak bisa menelan makanan, paling tidak satu kali dalam sebulan. Karena takut dioperasi, maka aku dibawa orangtua berobat ke dukun. Nah lucunya, sebelum ketemu sama dukun yang bener, aku sempat nyasar dulu ke dukun yang ngasal. Dari mana aku dan orangtuaku tahu bahwa dukun pertama itu ngaco? Well, karena, dia nyuruh kami untuk nyari obat berupa telur dari ayam hitam berbulu putih!

Apakah kalian punya pengalaman lucu (atau mungkin seram!) seputar berobat ke dukun?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

THE SWARM Review

“It’s a fine line between need and greed”

 

Horor kali ini datang, lagi-lagi dari manusia yang melangkah menembus batas tipis antara kebutuhan dengan ketamakan. Di dunia nyata, kita masih merasakan apa yang diperdebatkan sebagai dampak dari selera menjadikan kelelawar sebagai bahan makanan, seolah tidak ada lagi makanan lain. Di peternakan Perancis yang jadi panggung cerita garapan Just Philippot ini, kita akan menyelami bagaimana naluri bertahan hidup seorang ibu demi melindungi dan ngasih makanan untuk anak-anaknya, berubah menjadi ambisi mengerikan yang membuatnya seperti kesetanan.

Horor kali ini datang, dari drama ketakutan terdalam manusia dalam bertahan hidup. Itulah sebabnya film ini bakal jadi kudapan yang cukup bergizi. Tapi bagaimana dengan rasanya? Well, mari katakan saja, jika kalian punya taste tertentu untuk belalang yang kriuk-kriuk gurih, film ini bakal lezat sekali.

swarmfd1e1145676641c353d8ca5363d5535d
Kasih ibu tak terhingga sebanyak kawanan belalang haus darah!

 

Sebagai makanan, belalang memang enggak seaneh kelelawar. Di kita aja cukup lumrah memakan belalang goreng yang memang berprotein tinggi. Siapa yang tau belalang diolah jadi santapan seperti apa di Perancis yang punya banyak kuliner elegan sana. Yang jelas, belalang digandrungi sehingga banyak pembeli yang khusus membeli dalam jumlah besar. Khusus dalam artian, harus dalam jumlah besar. Itulah yang jadi masalah pada peternakan belalang milik Virginie. Belalang-belalang yang ia kembangbiakkan di satu rumah plastik bersolar panel itu kurang. Kesulitan berkembang biak. Kecil-kecil pula. Dijual untuk pakan bebek pun, masih belum memadai. Virginie semakin terlilit kesulitan finansial. Dalam frustasinya, Virginie menemukan jawaban. Belalang-belalang itu subur, besar-besar, saat dikasih makan darah segar. Bisnis pun lancar. Rumah plastik Virginie semakin bertambah seiring berlipat gandanya belalang besar yang ia biakkan. Tapi Virginie mulai dicurigai orang-orang, yang mulai berbisik ngomongin bisnisnya. Bisikan yang nyaingin suara dengung belalang yang keras. Virginie juga mulai ditakuti oleh anaknya sendiri. Tak pelak, harga yang harus dibayar Virginie memang sudah terlampau tinggi.

Melihat belalang-belalang yang semakin haus darah itu, kita akan berpikir kita tau ke mana film ini akan mengarah. Kamera yang dengan detil menclose up perilaku belalang sebagai transisi antaradegan, seperti ngebuild up – turut memberi makan antisipasi kita akan horor hewan yang kita kira bakal datang. Jika ini adalah film Hollywood, besar kemungkinan memang itulah yang bakal terjadi. Kawanan belalang lepas, menyerang manusia-manusia dan Virginie berusaha menyelamatkan putra-putrinya. The Swarm bukanlah film seperti itu. Philippot mengamalkan yang dijadikan pesan oleh film ini. Dia tahu batas, film ini butuh untuk menjadi seperti apa. Philippot tidak kebablasan menjadikannya lebih dari itu.

Film ini tetap berpegang erat kepada drama yang menjadi hatinya. Kepada drama yang menjadi akar horornya. Karena, walaupun memang ada adegan berupa belalang menyerang manusia dan sebagainya, horor dalam film ini tetap dikembangkan dengan subtil dan lebih berupa berasal dari pemahaman kita terhadap pilihan dan perubahan yang (harus) dilakukan oleh karakter. Dan ini ternyata lebih efektif, dan membuat cerita jadi lebih fresh juga. Horor melihat hubungan ibu dan anak yang merenggang – horor melihat anak menjadi takut kepada ibu mereka – ternyata lebih mengerikan ketimbang horor kawanan belalang yang mengamuk. Itulah yang dibuktikan oleh film ini.

Virginie adalah single mother dengan dua orang anak. Laura yang udah remaja, dan Gaston yang masih belum cukup dewasa untuk memahami problematika ekonomi rumahnya. Keputusan Virginie mengubah peternakan kambing peninggalan suami menjadi peternakan belalang berdampak kuat kepada kehidupan sosial Laura. Cewek itu dibully di sekolah, diejek. Konflik antara Virginie dan Laura berasal dari sini. Kedua saling salah mengerti. Untuk paruh pertama film kita akan melihat Laura sebagai anak sok nge-angst yang cemberut melulu, dan kita lebih bersimpati kepada Virginie karena kita melihat usahanya banting tulang untuk menghidupi keluarga. Dalam mengembangkan konflik itulah film ini excellent sekali.

Kita akan berjuang melakukan apapun untuk memenuhi yang kita butuhkan. Namun ada satu titik dari perjuangan tersebut yang tidak boleh dilanggar. Titik yang ditarik dari tujuan kebutuhan tersebut pada awalnya. Virginie melanggar ini. Dia melupakan untuk apa dia berjuang. Berjuang memenuhi kebutuhan membuat kita memperoleh yang kita butuhkan. Berjuang memenuhi keinginan untuk menjadi lebih dari yang dibutuhkan hanya akan membawa petaka. Dan malah bisa membuat kita kehilangan.

 

Suasana dreadful dipertahankan. Seiring kita mendengar dengungan belalang yang ngasih kontras ngeri berupa ada ‘monster’ yang semakin besar menunggu untuk keluar, kita semakin takut melihat ada orang yang masuk ke rumah-rumah plastik tempat Virginie sekarang menyimpan rahasia, simpati dan dukungan kita pun pada akhirnya kita rasakan mulai beralih. Peralihan itupun tidak sekadar “waah, aku jadi suka si ini sekarang”, melainkan karena dibangun dengan kuat di rasa dan di hati, peralihan tersebut membawa rasa ngeri kepada kita. Sehingga sekarang kita tidak hanya takut akan belalang-belalang itu, tapi kita juga mengkhawatirkan keutuhan keluarga Virginie. Film ini mengubah Virginie dari yang tadinya mendapat simpati penuh kita; dia tampak mengorbankan diri demi keluarga – dari yang tadinya seperti perjuangan tulus seorang ibu, menjadi sesuatu yang lebih menjurus ke sinister. Ke kegilaan. Terutama sebab perjuangan yang ia lakukan sudah jauh dari tujuan semula. Transformasi tersebut dilakukan film dengan mulus, tidak ada satu emosi yang tercecer.

swarmThe-Swarm
Ini telah meninggalkan realm ‘orangtua rela menderita demi anak’

 

Layer-layer pada motivasi dan pilihan karakter itu membuat film jadi punya kedalaman. Sembari kita melihat Virginie menjadi personifikasi dari gambar-gambar meme penderitaan orangtua demi anak, kita juga menyadari yang dilakukan Virginie terhadap belalang-belalang tersebut telah melampaui batas. Suliane Brahim menyokong arahan ini dengan menghidupkan karakternya lewat pendekatan psikologis yang pas. Perjuangan, keputusasaan, dan ‘kegilaan’ karakter tersebut dia mainkan sama kuatnya lewat kata-kata maupun lewat permainan ekspresi. Pilihan film untuk lebih memusatkan kepada karakter ketimbang mengubah ke haluan yang lebih diantisipasi orang, yakni menjadikannya horor creature, membuat film lebih bergizi. Namun tentunya juga bukan tanpa resiko. Arah ini berarti punya cerita yang berjalan lebih lambat. Penonton yang udah menunggu-nunggu adegan survival heboh, adegan makhluk yang heboh, ataupun hanya sekadar menunggu menjadi seperti The Bird Alfred Hitchcock, kemungkinan besar bakal kecewa. Adegan belalang lepas, menyerang orang, memang ada. Finale akan chaos dan berdarah-darah juga, tapi tidak lebih besar dari apa yang dibutuhkan oleh film ini.

Di lain pihak, penonton yang memang suka film yang lebih ke psikologis karakter, yang gak masalah mantengin film lambat dan horor-horor yang cenderung ke visual yang artsy saja, juga tidak lantas akan langsung terpuaskan. Karena actually, babak ketiga yang memuat Finale cerita ini hadir dengan tanggung. Herannya, tampil dengan lebih banyak kemudahan dari yang kukira. Film ini memilih vibe cenderung ke good ending ketimbang cerita kegagalan yang biasa, tapi tidak banyak tahap pembelajaran yang diberikan kepada Virginie. Karakter itu di akhir cerita, lebih banyak bereaksi ketimbang beraksi. SImpelnya, bukan dia yang mengakhiri semua itu. Melainkan karakter lain. Dan di ujung, barulah dia sadar dan kembali kepada tujuan semula; demi anak-anaknya. Sehingga penyelesaian film ini tidak terasa berkesan. Tidak terasa rewarding buat pertumbuhan karakter. Dan bahkan tidak ada konsekuensi. Virginie telah melakukan banyak hal-hal yang katakanlah – jahat – selama fase-fase dia gelap mata dan lebih mikirin belalang dan egonya sebagai ibu yang berjuang. Tapi ketika semua berakhir, buntut dari tindakannya juga berakhir gitu aja.

Harusnya ada ending yang lebih kuat daripada ini. Ending yang benar-benar melibatkan semua karakter cerita. Karena, yang kita lihat sebagai penutup film ini, saking abruptnya benar-benar terasa seperti berakhir begitu saja. Anak cowok Virginie yang juga jadi korban akibat ulah ibunya malah gak ada di situ. Seolah dia gak ada yang harus diresolve dengan ibunya. Seperti, film berhenti begitu saja mendalami yang sudah mereka gali. Ini aneh buatku, They were doing so good di awal, kemudian di akhir itu, they just stop buzzing.

 

 

 

Horor itu gak harus ada hantunya. Film ini membuktikan hal tersebut. Dia mendatangkan horor dari sikap manusia. Mengembangkan drama keluarga – konflik ibu dan anak yang berjuang untuk hidup – sebagai inti dari kisah fantasi berupa kawanan belalang yang mengganas karena dikasih makan darah. For the most part, film ini berhasil menyuguhkan perjalanan manusia yang benar-benar mengundang simpati. Yang benar-benar membuat kita mengkhawatirkan mereka. Membuat kita takut akan keutuhan mereka. Film melakukan ini sambil menghasilkan gambar-gambar seram. Film ini tahu apa yang ia butuhkan, tapi tidak benar-benar tahu cara yang tepat untuk membungkus ceritanya. Karena penyelesaian film tidak terasa memuaskan, dan terasa terlalu abrupt. Film yang berakhir kuat akan meninggalkan kita dengan bertanya-tanya “Lalu apa?”. Film ini hanya berhenti dengan membuat kita bertanya “Lah itu yang tadi gimana?”
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for THE SWARM.

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian film ini memang berakhir bahagia atau malah sebaliknya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA