“Keep your eyes on the stars and your feet on the ground”
Grup lawak dulu ada banyak. Each of them had their own TV show. Dengan gaya lawakan masing-masing; bukan hanya antara satu grup lawak dengan grup lawak lain, tapi juga antaranggota dalam satu grup lawak sendiri. Meski bervariasi begitu, toh mereka punya kesamaan. Sama-sama digandrungi penonton. Candaannya selalu dekat dengan penonton. Salah satu grup lawak yang paling fenomenal adalah Srimulat. Seperangkat komedi asal Surakarta ini sudah ada bahkan sebelum stasiun televisi menjamur di tahun 90an. Illustrious career grup yang anggota pelawaknya banyak banget inilah yang coba diadaptasi oleh sutradara Fajar Nugros. Dijadikan hiburan sesuai dengan hashtag yang diusung. ‘SaatnyaIndonesiaTertawa’. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa film ini dibuat untuk mengembalikan kita ke masa-masa tertawa bersama. Makanya alih-alih memperlihatkan struggle grup lawak yang sudah lewat keemasannya di masa kini seperti yang dilakukan oleh film Finding Srimulat di tahun 2013, kitalah yang diajak oleh Nugros ke periode Srimulat masih muda, masih aktif manggung dengan segala suka dukanya. I was so ready mencemplung ke kehidupan mereka, untuk menyimak gimana sih kisah mereka, seperti apa mereka aslinya. Dalam salah satu adegan ceritanya, karakter Basuki menasehati karakter Gepeng. “Karena jelek, maka harus lucu!” Sayangya, nasehat tersebut dijadikan literal pedoman oleh Nugros dalam mempersembahkan kisah grup legendaris ini.
Ternyata ceritanya tidak dimulai dari bagaimana Srimulat pertama kali bisa sampai terbentuk. Frame ‘Babak Pertama’ film ini ternyata dimulai dari Srimulat sudah terkenal di Jawa. Tarzan, Nunung, Asmuni, Timbul, Kabul, Basuki, Djudjuk sudah jadi bintang panggung. Kelompok seniman pimpinan Teguh Slamet Rahardjo ini siap menjadi lebih besar saat undangan untuk tampil di stasiun televisi tiba. Mereka diminta ke Ibukota, dan manggung di depan presiden Soeharto! Tapi ada satu masalah yang mengganjal Pak Teguh. Dia menemukan lawakan grupnya mulai gak lucu. Mulai stale. Adalah Aris alias Gepeng, anak dari salah seorang musik pengiring yang menyuntikkan candaan segar lewat celetukannya kepada Srimulat setiap kali nampil. Pak Teguh mempercayakan Gepeng untuk ikut bersama rombongan Srimulat ke Jakarta. Tentu saja ini jadi kesempatan emas bagi Gepeng untuk menggapai mimpinya sebagai anak desa yang sukses jadi pelawak di ibukota!
So essentially, film ini adalah cerita Gepeng membuktikan diri untuk dapat diterima oleh rekan-rekan pelawaknya yang udah lebih dulu punya nama (yang tidak berarti banyak begitu mereka semua tiba di Jakarta) dan berpengalaman manggung lebih banyak. Gepeng terutama disinisin ama Tarzan, yang merasa ‘senior’. Asmuni basically jadi semacam mentor bagi Gepeng, dan Basuki yang tampak seumuran dengannya jadi sahabat sekaligus jadi ally yang paling percaya dan mendukung Gepeng masuk menjadi bagian dari keluarga Srimulat. Karakter Gepeng diperdalam dengan sedikit lapisan asmara; dia naksir sama gadis betawi, Royani, anak pemilik kontrakan. Arc si Gepeng sebenarnya udah cukup kuat untuk jadi pondasi sebuah drama komedi, semacam tipe underdog story. Tapi tentu saja Srimulat bukan tentang Gepeng seorang. Seperti yang sudah kita sama tahu, Srimulat adalah grup lawak, jadi naturally ada banyak karakter yang menanti untuk digali. Untuk dibahas. Apalagi mereka semua ini adalah tokoh nyata, yang sudah ikonik penampilan, gaya, bahkan cerita hidupnya.
Hal pertama yang dilakukan Fajar Nugros dalam menghandle ini adalah menghimpun castnya. Menarik sekali pilihan pak sutradara soal cast ini. Salah satu concern-ku sama film Indonesia beberapa tahun terakhir ini adalah soal pengotakan cast, berdasarkan fungsi peran mereka. Banyak kita jumpai film yang membagi urusan komedi akan khusus dimainkan oleh komika atau komedian, sementara cerita utama – pemain utama – hanya mengurusi drama alias bagian-bagian yang serius. Bahkan seperti sudah ada bagian khusus, seperti Asri Welas atau Ence Bagus yang selalu kebagian mengisi peran minor untuk komedi. Ini kan jadi membatasi range para aktor. Bintang utama jadi harus kayak jaim melulu, bintang pendukungnya jadi receh terus. Dalam Srimulat ini, untungnya Nugros memberikan kepercayaan kepada aktor untuk bermain komedi. Bintang-bintang muda seperti Bio One, Zulfa Maharani, Elang El Gibran diberikan kesempatan untuk meggali akting komedi mereka. Masing-masing mereka killed their role perfectly. Bukan hanya mimik, Gibran beneran seperti Basuki muda (vokal dan gaya ngomongnya), dan Bio One berhasil menjaga karakternya lewat range yang tampak natural. I would love to see apalagi yang bisa dilakukan Zulfa sebagai Nunung muda, karena di film ini perannya masih agak terbatas. Dialognya masih terus-terusan either soal dia pengen nembang atau soal running jokes singkatan anu kepanjangannya apa. Dan harus diapresiasi juga Zulfa dan Bio One menempuh transformasi fisik untuk mendukung penampilan akting mereka. Sungguh berdedikasi anak muda mau mengubah berat badan mereka demi peran.
Para aktor muda itu bermain bersama more established stars seperti Ibnu Jamil, Teuku Rifnu Wikana, Dimas Anggara, Morgan Oey, bahkan Rano Karno, yang juga dipersilakan menjenguk kembali sisi banyol yang mereka miliki. Refreshing aja melihat mereka bermain di peran yang berbeda dari biasanya. Terutama Morgan Oey yang paling jauh dari perannya yang biasa. Sementara aktor yang paling sering muncul dalam comedic role singkat, Erick Estrada, kebagian peran yang sebenarnya justru paling dalem secara emosional sebagai Tessy. Selain Gepeng, aku memang paling tertarik sama cerita Tessy alias Kabul. Naskah memang melingkupi proses kenapa seniman pria bernama Kabul itu memilih untuk jadi persona Tessy di atas panggung. Ada bagian cerita ketika para Srimulat harus mencari gaya atau ‘gimmick’ mereka masing-masing. Mereka semacam menempuh perjalanan terpisah. Bagaimana Tarzan bisa sampai memilih seragam tentara sebagai ciri khasnya, bagaimana Gepeng memilih haircut, kita bahkan dapat bagaimana ceritanya Paul bisa jadi punya kostum Drakula (for this reason, film ini juga punya sedikit elemen horor hihihi). Nah si Kabul, perjalanannya sebenarnya bisa sangat kompleks. Ini bukan saja soal dia memakai cincin batu akik di semua jari (kalah deh Thanos!) ataupun soal dia jadi bencong. Ada emotional core perihal Kabul merasa ‘terganggu’ sejak dilempari sepatu dan dianggap gak lucu oleh Pak Teguh di awal cerita. Aku sebenarnya pengen melihat ini lebih banyak termanifestasi sebagai actual storyline.
Masing-masing karakter pelawak di grup Srimulat datang ke Jakarta membawa mimpi. Mereka mau sukses. Jadi bintang seperti Titiek Puspa. Namun lessons yang harus mereka ingat adalah seniman harus selalu membumi. Impian boleh setinggi bintang di langit, tapi mereka harus tetap membaur. Seragam ABRI, waria, pembantu, majikan, bahkan hantu adalah sesuatu yang mereka pilih untuk tetap menapak dengan penonton. Dan tentu saja itu juga tersimbol pada tantangan utama yang harus mereka hadapi bersama di cerita ini. Tampil dengan full berbahasa Indonesia!
Langkah kedua adalah mempersembahkan cerita. Diniatkan sebagai ‘Babak Pertama’ (asumsiku ini Srimulat bakal jadi trilogi, but I might be wrong) film ini ternyata beneran kayak babak pertama dari film-panjang tiga babak. Pembahasannya memang menutup; film ini berakhir dengan tinggi seperti plot poin satu ngehook untuk masuk ke babak kedua. Setelah problem yang dipermasalahkan kelar, all lessons learned, dan grup protagonis kita mendapat angin kedua. It’s fine berhenti seperti ini. Malah, sebenarnya mereka gak perlu kasih Babak Pertama di judul. Mereka bisa aja ngasih judul Hil yang Mustahal tok, atau apa kek, untuk menegaskan ini cerita tentang Gepeng. The fact they feel the need to put ‘Babak Pertama’ out di judul justru membuat ‘bersambung’nya jadi kerasa. Mereka seperti gak yakin penonton bakal hook (padahal dunia dan karakternya sudah cukup terestablish) malah instead build around cerita yang bersambung seperti televisi.
Seperti yang kusinggung sedikit di pembuka, film ini enggak mau jadi serius. Dia memilih untuk jadi lucu aja. Poin-poin yang kusebutkan tadi disebar acak sepanjang durasi film yang nyaris dua jam. Pembahasannya enggak dibanyakin. Malahan hanya kayak terselip di antara begitu banyak sketsa-sketsa tingkah lucu khas lawakan Srimulat. Aku gak tahu para pelawak ikonik itu aslinya mereka gimana sehari-hari, boleh jadi mereka memang ngebanyol setiap waktu seperti yang diperlihatkan oleh film ini, tapi untuk sebuah sajian film aku mengharapkan karakter atau kejadian yang lebih menapak. Cerita film ini harusnya bisa punya range, dengan segala permasalahan Gepeng dan Tessy, dan karakter lain – jika diangkat. Tapi pada akhirnya film ini rangenya tetap kurang tergali karena banyakan komedi, yang beberapa adegan malah komedinya berulang. Ada running joke yang kocak dan timingnya tepat, kayak soal ‘minuman rasa lalat’, dan ada lebih sering lagi joke berulang yang tasteless. Misalnya, candaan ‘toilet’. Oh film ini went overboard dengan lelucon orang boker.
Bukan hanya para karakter Srimulat yang bertingkah ala lelucon panggung Srimulat di kehidupan sehari-hari. Karakter pendukung seperti pemilik kontrakan ataupun orang-pinter juga melakukan hal yang sama. Adegan terlucu film ini surprisingly datang dari saat geng Srimulat mengadukan perihal rumah angker kepada orang-pinter. Hal yang paling lucu dari gimana film mempersembahkan cerita mereka sebagai makhluk ajaib sehari-hari seperti ini adalah, adegan mereka melawak di atas panggung justru gak diperlihatkan. Hanya di-skip-skip. Kita gak lihat mereka di atas panggung seperti apa. Kita hanya diberikan informasi bahwa mereka mulai gak lucu, mereka mungkin butuh Gepeng supaya lucu, dan bapak presiden yang nonton mereka manggung tidak tertawa – sehingga semua orang dilarang ketawa (singgungan bagus, dan btw Soeharto-nya mirip banget ama yang asli!) Ini membuatku bingung. Kita melihat – dan tertawa bersama – Srimulat yang ngelucu sepanjang hari (dengan atau tanpa Gepeng), tapi begitu di atas panggung kita diarahkan juga untuk percaya lawakan mereka gak maksimal. Pak Teguh melempar dengan sepatu, Pak Presiden tak tertawa. Jadi agak rancu; apakah film ini ingin memperlihatkan mereka itu lucu atau tidak sebenarnya di bagian pertama ini.
Setelah berturut-turut nonton hal yang mustahil – alias film-film action dan fantasi barat – menonton Hil yang Mustahal memang terasa seperti nice change of pace. Film ini memang terasa lebih dekat. Aku tahu satu-dua hal tentang Srimulat (walau gak pernah benar-benar ngefans) dan film berhasil mengenai saraf nostalgia dan kenangan menyenangkanku perihal acara Srimulat dan juga era show komedi di televisi. Yang bikin aku terkesan di sini adalah penampilan akting (khususnya bintang muda yang gak jaim) dan nuansa jadul yang cukup terasa. Aku juga tertarik sama cerita Gepeng dan Tessy, yang sayangnya film enggak benar-benar build around it. Fokusnya lebih ke mengisi durasi panjang itu dengan komedi-komedi, yang sometimes go overboard. Jadi aku agak sedikit kecewa film ini ngambil rute ‘yang penting lucu’. Dan terutama karena mencuatkan diri sebagai babak pertama dari entah berapa babak. Padahal dari yang ingin disampaikan di sini, film bisa saja hadir sebagai cerita utuh. Dan memang berakhir sebagai closed story, hanya garapannya terlalu loose dan mengincar hook untuk bersambung, tidak seperti film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SRIMULAT: HIL YANG MUSTAHAL – BABAK PERTAMA
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada perbedaan antara pelawak jaman dulu dengan pelawak masa kini? Bagaimana dengan selera komedi masyarakat, apakah juga mengalami perubahan?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA