KOBOY KAMPUS Review

“I certainly can’t change it by sitting on my couch..”

 

 

 

Bikin dan ngurusin sebuah negara itu enggak gampang, terutama ketika kita enggak melakukan apa-apa terhadapnya. Tapi, lucunya, justru itulah yang dilakukan oleh para koboy kampus – sebutan lawas untuk mahasiswa yang lebih senang untuk tidak langsung menembak target lulus kuliah secepatnya – di ITB era pemerintahan Soeharto.

Para ‘koboy’ ini dipimpin oleh Pidi, mahasiswa seni rupa yang berpotongan gondrong. Melihat teman angkatannya berkoar-koar orasi mengkritisi presiden, Pidi terilham suatu cara lain untuk memprotes negara. Yakni membuat negara sendiri. Terciptalah Negara Kesatuan Republik The Panasdalam, nama yang sungguh merangkul perbedaan lantaran merupakan singkatan dari Atheis, Paganisme, Nasrani, Hindu-Buddha, dan Islam. Awalnya negara yang cuma seluas ruang lukis itu – actually ruang lukis itu memang jadi lokasi negaranya – hanya memiliki penduduk sebanyak lima orang. Tapi berkat ajaran Pidi sang Imam Besar, berkat alunan lagu-lagu ciptaannya yang kocak,  berkat kehidupan kampus sebagai alternatif dari berpanas-panas di luar turun ke jalan, negara The Panasdalam dengan cepat berkembang dan menarik minat mahasiswa Indonesia untuk berpindah warga negara masuk ke sana.

Negara yang penduduknya setiap kali makan dan buang air ke luarnegeri

 

Mengenai The Panasdalam dan Pidi Baiq sendiri, aku yang lahir di luar zaman dan daerah mereka, memang tidak begitu familiar dengan mereka. Aku tahu beberapa lagunya yang lucu-lucu kayak “Jane”, “Rintihan Kuntilanak”, dan “Tragedi Segitiga Merah Maroon”, aku juga tau Pidi yang menulis Dilan. Dan cuma itulah yang aku tahu. Tapi aku bisa relate dengan kehidupan koboy kampus yang ditampilkan oleh film ini. Kalo di kampusku dulu mahasiswa-mahasiswa golongan telat lulus alias terdistraksi melulu oleh maen, pacaran, atau hal-hal absurd tak-penting tapi diyakini bisa menyelamatkan dunia ini istilahnya adalah “king of injury time specialists”, dan aku salah satu anggotanya haha.. Makanya nonton ini aku jadi seperti menertawakan diri sendiri. Kehidupan kampus tergambar terang dengan rasa nostalgia. Dialognya mengalir jujur, sejujur jailnya mahasiswa dengan segala gagasan gila dan nilai ‘liar’ mereka. Dan memang dua hal itulah yang menjadi appeal utama dari film Koboy Kampus. —oh, bagi beberapa penonton mungkin ada satu lagi; anggota JKT48.

Selain itu, aku tidak merasa peduli dengan kejadian yang muncul silih berganti sepanjang durasi. Karena subplot-subplot yang dihadirkan tidak dilandasi oleh satu gagasan yang paralel. Mereka hanya ada untuk lapangan bermain komedi. Kita tidak pernah tahu dan mengerti siapa Pidi karena film tidak mengajak kita untuk menyelami dan mengeksplorasi motivasi dan sudut pandangnya. Malahan, film seperti takut untuk memperlihatkan cela tokoh ini. Untuk memperlihatkannya sebagai manusia yang setara dengan teman-temannya. Kita diminta untuk memandangnya seperti tokoh teman-teman memandangi dirinya; penuh kagum karena Pidi begitu lucu, bijaksana, cemerlang dengan ide-ide unik. Yang bahkan tidak benar-benar menambah banyak untuk elemen negara The Panasdalam yang ia dirikan.

Film sangat mengultuskan sosok Pidi. Dia tergambarkan sebagai ‘juru selamat’ lewat fatwa-fatwa yang dicetuskannya dalam The Panasdalam. Negara tersebut didirikan sebagai bentuk perlawanan Pidi. Jika ada hadist yang menyebut untuk mengubah kemungkaran, gunakanlah tangan – jika tidak mampu maka gunakanlah lisan, dan jika tetap tak mampu gunakan hati, maka negara buatan Pidi digambarkan berada bahkan di atas hadist tersebut. Perlawanan mereka adalah perlawanan cinta damai lewat lagu. Di kampus, di rumah, di kampus lagi, dia menyanyi sepanjang waktu. Disambut oleh anggukan kepala tanda setuju dan gelak tawa ‘rakyat-rakyatnya’. Jika ditambah dengan perawakannya, Pidi tampak seperti Yesus bergitar versi hippie. Yang hanya duduk sepanjang waktu menyanyikan protes, sementara dunia tampak membaik dan tambah menyenangkan karena semakin banyak orang yang terkagum sehingga menerapkan ‘ajarannya’. Untuk menekankan hal ini, film memasang satu adegan nyanyi yang menampilkan Pidi bersinar dalam latar yang seperti awan-awan. Haleluya!

Pidi tidak menciptakan negara. Dia menciptakan agama.

 

Dan apa sih skenario? Pidi jelas jauh berada di luar – di atas – semua aturan-aturan itu. Tokoh utama film punya kaidah untuk ditulis banyak melakukan sesuatu, dalam perjalanannya harus mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya, secara konstan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menentang pemikirannya, tapi tidak demikian halnya dengan Pidi. Inilah yang menyebabkan susah untuk peduli kepada tokoh ini. Karena dia hanya duduk dan bernyanyi, tak tersentuh oleh permasalahan negara dan permasalahan sosial – perkuliahan yang dihadapi oleh teman-temannya. Tentu sah-sah saja jika tokoh utama ceritamu punya dan jago dalam satu kepandaian. Bernyanyi dan bermain gitar adalah kekhususan tokoh ini – kita tidak bisa mengharapkan dia ikutan melukis. Akan tetapi tokoh utama juga harus ditulis sebagai karakter yang aktif berbuat dan ditantang oleh sesuatu. Paterson dalam film Paterson (2017), misalnya. Dia pembuat puisi – that’s what he does as a character. Namun kita tidak mati kebosanan mengikuti kisahnya karena serutin apapun hidupnya yang bekerja sebagai pengendara bus kota, Paterson secara rutin ‘ditantang’ oleh sekitar. Dia aktif bergerak, mengajak anjingnya jalan-jalan, bertemu anak kembar, busnya pecah ban. Ada perjalanan inner melingkar – yang koheren dengan outer journey – yang ia hadapi, ada pembelajaran yang berlangsung dari Paterson yang berusaha untuk membuat rutinitasnya menjadi hal-hal luar biasa yang indah ia puisikan. Journey seperti demikian absen pada Pidi. Dia tidak setuju dengan keadaan negara, dia tidak setuju dengan perlawanan dari sebagian temannya, dia membuat negara baru untuk menunjukkan beginilah seharusnya – bentuk kritisi yang ia sampaikan, tapi ia tidak melakukan apa-apa dengan negara tersebut.

Dia memperlakukan Panasdalam sebagai eskapis dari masalah karena baginya keadaan politik atau masalah kuliah itu adalah masalah luar negeri. Sementara negara yang ia bangun sudah keren. Ada masalah kecil, dia tinggal bernyanyi. Padahal kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan duduk saja

 

Oh boy, betapa The Panasdalam adalah negara idaman. Tidak ada konsekuensi diperlihatkan di sini. Ini semester terakhir, sementara nilai kuliahmu amburadul? Well, di tahun itu mahasiswa bisa kuliah hingga empat-belas tahun. Cerita film ini mengambil kurun dari 1995 hingga lengsernya Soeharto di 1998, dan untuk sebagian besar cerita tokoh kita sudah disebutkan dalam “semester terakhir”nya. Soal biaya? Ah, tak sekalipun tokoh kita diperlihatkan susah uang. Keluarga? Apalagi. Keluarga Pidi mendukung anaknya. Jika ada teman yang keluarganya nyuruh lulus, bagi Pidi tak jadi soal. Pacar? Patah hati hal biasa karena kita toh masih mahasiswa untuk waktu yang lama. Pidi tak tersentuh sama semua itu.

kayaknya seru ya kalo diospek sama Candil, serius!

 

Memang, film ini membangkitkan pertanyaan demi pertanyaan yang tokoh kita tak peduli untuk menjawabnya. Kenapa si Inggris nelfon ayahnya cuma untuk ngabarin dirinya diangkat jadi Duta Besar Inggris The Panasdalam. Kenapa bibir Stefhani Zamora item. Kenapa Boris bisa sampe gak pernah ketemu sama Pidi. Tapi bisa jadi memang itulah sasaran film ini. Karena mereka mempersembahkan diri sebagai komedi yang absurd. Dan sebagai komedi, dia efektif membuat penonton di dalam studioku tertawa. Tapi sesungguhnya narasi yang dihadirkan, cara berceritanya, film ini lebih cocok sebagai sebuah buku novel – atau mungkin komik, yang tidak perlu (mau) terkait oleh kaidah-kaidah penceritaan.

 

 

 

Menonton negara fiksi dalam film ini seperti menyaksikan sebuah cult/sekte cinta damai yang berkembang menjadi sesuatu yang absurd. Harmless, tapi juga pointless. Seperti ceritanya yang berkembang tak jelas arah. Jika kalian berharap akan tahu siapa Pidi dengan menonton ini, kita tidak akan mendapat banyak selain dia adalah sosok pemimpin paling ideal yang bisa diimpikan seseorang yang pengen negaranya maju. Generasi tua bisa nyaksikan ini untuk unsur nostalgia. Generasi yang lebih muda bisa hadir untuk lebih banyak dialog ringan namun gemes seperti yang dijumpai pada dua film Dilan. Tapi jika kalian pengen film yang beneran kayak film, maka aku gambarin kalo aku sendiri merasa menyesal enggak titip absen aja pas acara nonton bareng film ini tadi.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for KOBOY KAMPUS.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Mahasiswa seperti apakah kalian dulu?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

ROCKETMAN Review

“Worry about loving yourself instead of loving the idea of other people loving you”

 

 

Tidak semua orang tahu nama asli Elton John adalah Reginal Kenneth Dwigth, karena musisi ini memang mengganti namanya secara legal karena kecintaannya terhadap musik blues. Biopic musikal Rocketman garapan Dexter Fletcher bahkan menjadikan soal nama tersebut sebagai poin vokal. Disebutkan dalam film ini, bahkan Elton John sendiri berusaha untuk ‘melupakan’ nama kecilnya. Karena, seperti yang ia ceritakan kepada kita dan lingkaran grup sharing  – film dimulai dengan sangat menarik kita melihat John datang sempoyongan lengkap dengan kostum setan dalam balutan gaya pop – bahwa hubungan dirinya sedari kecil tidak begitu baik dengan kedua orangtuanya. Terutama kepada ayah. Padahal bakat jenius dalam bermusik yang ia miliki merupakan turunan dari sang ayah. Dia seringkali dicuekin. Hingga dia tumbuh gede menjadi musisi sukses dan mengganti namanya. Orang-orang suka Elton John, yang ironisnya membuat dia sendiri semakin ‘benci’ dengan dirinya yang asli – si Reggie Dwight, anak kecil malang. Sungguh sebuah harga yang mahal untuk sebuah pengakuan!

Elton John is a larger than life persona. Tetapi Rocketman mendaratkan tokoh ini sehingga John kita rasakan tak ubahnya sama dengan kita semua. Tak-kalah menyedihkannya. Setiap hari kita melihat orang-orang di sekitar, dan juga kita sendiri, berusaha mengerjakan sesuatu supaya sukses dalam bidang masing-masing. Ada yang pepatah luar yang bilang “bekerja keraslah hingga suatu hari kau tidak perlu lagi memperkenalkan namamu kepada semua orang”. Film ini memperlihatkan kepada kita, melalui sudut pandang Elton John seorang musisi besar, sejauh mana seseorang mampu bertindak demi diakui oleh orang. John begitu putus asa pengen dilirik oleh ayahnya. John terkenal, tapi itu hanya ‘persona’nya. Dirinya yang di dalam, the real him, menjadi sangat tak-penting sampai-sampai John sendiri tak mau mengenali. Ketika dia membicarakan kemunduran dan masalah di pertemuan sharing pada adegan pembuka itu, barulah John memanggil kembali dirinya. Untuk melihat keindahan cerita film ini, aku sarankan kalian mendengarkan dengan seksama cara John menyebut dirinya dari awal cerita hingga akhir. Rasakan perubahan tone yang bergerak berlawanan dengan kejadian demi kejadian di mana dirinya semakin ‘hancur’ yang mengisyaratkan penyadaran yang perlahan terbit di dalam diri tokoh ini.

Jangan meroket ketinggian oleh puja-pujaan sementara kita lupa mencintai diri sendiri. Lupa sama diri sendiri. Jangan korbankan diri untuk mencari cinta dan pengakuan dari orang lain. Jadikanlah Elton John dalam Rocketman sebagai contoh kasus; kita akan berakhir tak bahagi dan semakin membenci diri sendiri. Lakukanlah apa yang membuatmu bahagia, demi dirimu sendiri.

 

Kita akan melihat dari kacamata Elton John, dan kalian semua tahu betapa fabulous-nya kacamata Elton John

 

Sehubungan dengan itu; penampilan Taron Egerton sangat memukau. Dia tidak sekadar menjadi Elton John. Quick fact: tidak akan ada seorang pun yang bisa menjadi Elton John like Elton John did. Egerton menyeruak ke dalam perannya ini dengan ‘keanggunan’ khusus ciptaannya sendiri. Seperti beginilah akting yang sebenarnya akting. Bukan masalah gigi palsu, atau wig, atau dandanan rambut yang disama-samain. Ketika kau memerankan karakter, kau menghidupi jiwa karakter tersebut dengan pendekatan personalmu sendiri. Seperti yang dilakukan Taron Egerton di sini. Egerton menyanyikan semua adegan musikal. Meskipun suaranya memang terdengar berbeda dari Elton John yang asli, tapi kita melihat dan mendengar jauh beyond semua itu. Kita tidak mendengar ada yang nyinyir mengatakan Taron Egerton merusak lagu legenda. Karena penampilan akting yang ia suguhkan membuat kita semua konek dengan jiwa tokohnya.

Dexter Fletcher sepertinya belajar dari kekurangan pada Bohemian Rhapsody (2018), sama-sama film tentang biografi musik legendaris, yang ia ambil alih setelah sutradara asli film tersebut keluar. Di Rocketman, dia tak lagi ragu untuk membahas hal-hal personal. Beserta isu-isu sosial yang menyertainya. Tak pernah film ini terasa terlalu mengkultuskan tokoh yang ia ceritakan. Elton John tergambarkan dengan lebih bebas ketimbang Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody. Ketika disorot dari cahaya ‘lampu yang buruk’, tidak ada usaha overprotektif terhadap tokohnya, cerita malahan dengan berani menerjunkan kita ke dalam kepala sang tokoh. Dan ini membuat kita secara natural semakin peduli dan tertarik kepadanya. Mereka tidak menirukan seorang tokoh, melainkan memfantasikan seluk beluk sang tokoh. Makanya film ini terasa benar-benar hidup.

Cara bercerita mengemas semua arahan dan penampilan sedemikian rupa sehingga membuat Rocketman amat sangat menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Visual yang dihadirkan benar-benar mengikat fantasi ke dalam realita. Atau, realita ke dalam fantasi? Aku gak tahu karena film benar-benar mengaburkan batas, membuatnya mengasyikkan untuk diikuti. Musik-musik yang diperdengarkan di sini benar-benar dimainkan, dinyanyikan, sebagai bagian dari sebuah penceritaan. Adegan bernyanyi bukan sekadar muncul ketika Elton John nampil di depan penggemar. Melainkan menyatu dengan kebutuhan emosional cerita. Seperti misalnya ketika John Kecil merasa sedih, kemudian dia lantas bernyanyi. Dan dia memandangi ayahnya. Kemudian kita mendengar ayahnya ikutan bernyanyi, menyuarakan apa yang ia rasakan. Semua orang di film ini bernyanyi. Menari dengan koreografi, sebagai bagian dari fantasi yang dirasakan jauh di dalam hati John. Membuat setiap poin-poin cerita film ini terasa segar, asik untuk disimak.

setelah nonton Rocketman, kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri: “Rami Malek who?”

 

Cerita seorang tokoh, dalam kasus ini musisi, memang perlu untuk mengambil langkah berbeda seperti yang dilakukan oleh film ini. Lantaran sebagian besar contoh film-film genre ini kita dapati selalu memilih untuk jadi biografi. Sehingga punya format yang sama. Format yang ‘membosankan’ kalo boleh kutambahkan. Film biopik seringkali akan dimulai sedari tokoh masih kecil, dan berlanjut remaja, dewasa, memasukkan semua fakta-fakta tentang si tokoh (apa-apa saja yang terkenal dari si tokoh). Yang pada kelanjutannya membuat ceritanya membosankan karena terlalu melebar sehingga terasa episodik, dan gak benar-benar kohesif dengan gagasan yang ingin disampaikan. Itu juga kalo gagasannya ada, sebab sering juga biografi atau cerita tentang seorang tokoh dipenuhi oleh kepentingan untuk pencitraan semata. Untuk kasus cerita tentang musisi, konflik yang ada pun sebenarnya kurang lebih sama. Mereka terkenal dan jauh dari orang yang dicintai. Mereka depresi. Party, mabok-mabokan. Terlibat narkoba. Penyimpangan seksual. Terjangkit penyakit mematikan. Semua itu adalah trope-trope biasa yang sering kita temukan pada biopik musisi apa saja. Pada Rocketman pun seperti demikian. Rentetan kejadiannya sangat seusai dengan formula tradisional. Akar masalah sedari kecil – montase sukses – terpuruk – sakit – bertengkar dengan orang yang paling dekat dengannya – kemudian menyesal dan berusaha bangkit sendiri.

 

 

Jika diceritakan dengan ‘lurus-lurus’ saja, film ini pastilah akan membosankan. Pacing ceritanya tak pelak memang bermasalah. Tapi film ini tetap hadir menyenangkan dan menarik lantaran dia diarahkan dengan cara yang berbeda. Biopik ini tidak bermaksud menjadikan dirinya sebatas meniru kejadian yang asli. Melainkan sebagai sebuah fantasi tentang sesuatu pada seseorang yang pernah terjadi. Inilah yang membuatnya hebat. Penampilan akting yang berkharisma dan penuh emosi. Adegan musikal yang menghipnotis. Tak ketinggalan pula gagasan, pesan yang berakar pada hubungan antaranggota keluarga. Semua hal tersebut sukses memopang sudut pandang seseorang tokoh yang begitu lain daripada yang lain. Sehingga semua orang bisa mudah terkonek dengannya.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROCKETMAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Kenapa ya banyak musisi terjatuh di lubang depresi yang sama?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

 

ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY Review

“With great power comes great responsibility”

 

 

 

Menjadi seperti Roy Kiyoshi mungkin adalah impian segenap orang; punya kekuatan dan menggunakannya untuk membantu orang lain. You know, seperti pahlawan. Sejak nongol di acara televisi, Roy Kiyoshi sudah terkenal punya kemampuan indigo. Tapi punya acara tivi hits karena bisa melihat hantu dan ‘meramal’ peristiwa yang belum terjadi ternyata tidak serta merta merupakan hidup yang menyenangkan. Ada beban yang harus dipikul. Horor terbaru Jose Poernomo ini membahas tentang sisi gelap dari kehidupan Roy Kiyoshi sebagai seorang yang bisa melihat berbagai penampakan di dalam gelap. Tentang kehilangan yang harus ia terima, tentang bagaimana dia berjuang keluar dari kekalahan yang terus-terusan merundung.

Semakin banyak ‘kekuatan’ yang bisa kita lakukan, maka tanggungjawab yang kita pikul pun semakin berat. Sejarah menunjukkan banyak orang yang justru menjadi rusak oleh kekuatan mereka sendiri; Hitler, Napoleon, bahkan penduduk Atlantis diceritakan punah karena mereka terlena dan gak mampu memanfaatkan kemampuannya untuk kebaikan. Film ini menunjukkan dengan simpel; jika kita punya sesuatu yang lebih dibandingkan orang lain, maka gunakanlah kelebihan tersebut untuk kebaikan.

 

Kupikir cerita akan fokus kepada Roy Kiyoshi yang memerankan dirinya sendiri. But actually, cerita film ini seperti terbagi dua. Kita akan melihat Angel Karamoy sebagai Sheila yang baru mulai bekerja di kantor LSM yang menangani kasus kekerasan terhadap anak. Cerita Sheila ini praktisnya lebih menarik, dia lebih kuat sebagai tokoh utama. Sheila terobsesi sama kasus penculikan anak-anak karena dia juga punya adik yang hilang diculik. Ketika Sheila mengetahui ada pegawai di kantor yang bunuh diri saat tengah menginvestigasi serangkaian kasus anak-anak yang menghilang misterius, Sheila melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang tokoh utama cerita yang kuat. Dia masuk ke kasus tersebut dengan ‘paksa’. Kita akan melihat adegan penyelidikan kecil-kecilan saat Sheila semakin larut ke dalam misteri. Dan puncaknya adalah ketika dia menemukan hal ganjil dan kemungkinan pelaku semuanya adalah hantu.

Kisah Sheila ini bisa jadi satu cerita horor yang utuh, aku membayangkannya malah bisa seperti The Ring (2002) di tangan yang tepat, di pundak yang lebih bertanggung jawab yang tak memikul kepentingan apa-apa. Aku juga suka sama desain Banaspati, tokoh setan, dalam tokoh ini. Mukanya kayak hantu samurai Jepangnya, badan kurus tingginya menyala seperti bara api – cocok dengan mitologi jawa Banaspati yang memang setan berelemen api. Efek apinya memang agak cheesy tapi masih bisa dimaklumi dan lumayan bisa diasosiasikan sebagai sesuatu yang creepy. Tapi ini adalah cerita tentang Roy Kiyoshi. Maka every now and then kita akan ditarik pergi dari sisi Sheila untuk melihat Kiyoshi yang depresi, yang berhujan-hujan, yang menyusur garis pantai membeli minuman keras, menenggaknya di kediaman yang mewah, dengan tone warna yang keabuan, dengan narasi voice-over yang menceritakan gimana peliknya gundah di dalam hati sang anak indigo ini.

Di balik penampilan yang katanya cool, sesungguhnya ada pribadi yang tersiksa

 

Tentunya juga ada tanggung jawab tersendiri yang hadir ketika sebuah cerita dijual sebagai kisah nyata yang belum pernah diekspos ke publik sebelumnya. I mean, cerita tersebut mestilah meyakinkan sebagai kisah yang benar-benar bisa terjadi di dunia nyata kan. Well to be honest, aku susah percaya bahwa tokoh kita ini beneran punya adek yang hilang diculik hantu selama tiga tahun. Bisa jadi semua kejadian di film ini benar, yang mana masuk akal kenapa kejadian itu difilmkan. Siapa-lah kita mempertanyakan kebenaran hidup seorang yang melihat jauh lebih banyak makhluk halus daripada kita. Film tidak pernah menjelaskan mana elemen nyata atau mana yang tidak dalam cerita ini. Atau bisa jadi yang benar cuma bagian Roy Kiyoshi yang menutup diri sementara semua bagian yang diperankan Angel Karamoy hanya pengait cerita.

Pasalnya, setiap kali cerita berpindah ke bagian Kiyoshi, aku merasa pengen cepet-cepet pindah lagi ke bagian Sheila. Apa menariknya melihat orang yang sepanjang adegan gitu-gitu mulu. Mengasihani diri sambil minum alkohol. Cara yang aneh untuk membangun tokohnya sebagai seorang pahlawan. Tidak ada momen pembelajaran pada bagian Kiyoshi. Dia hanya depresi sebagian besar durasi – naskah mencoba membuat penonton bersimpati padanya hanya karena ada kejadian mengerikan yang terjadi di masa lalunya tanpa membuat tokoh ini melakukan sesuatu – dan ketika film udah mau habis barulah tiba-tiba dia bergerak menjadi penyelamat yang menolong Sheila, yang mengalahkan si setan Banaspati. Kita diniatkan untuk bertepuk tangan menyemangati pertempurannya yang udah kayak sekuen battle di anime – you know, ketika ada jagoan melawan monster. Tapi yang kurasakan hanya kekosongan pahit. Film tak berhasil membangun tokoh Kiyoshi sebagai jagoan. Baik Sheila dan Kiyoshi sebenarnya punya persoalan personal dengan si setan, mereka punya motivasi, tapi di akhir itu film mengesampingkan tokoh yang benar-benar melakukan aksi sedari awal. Dengan tak adanya emosi genuine yang kita dapatkan, filmnya semakin diperberat oleh kesan bahwa filmnya begitu panjang padahal enggak sampai sembilan-puluh menit. Sini kuberitahu penyebabnya apa:

Film ini tidak punya babak kedua.

 

Struktur naskah film standarnya berbentuk tiga-babak. Babak satu untuk set up. Babak dua untuk naiknya aksi dan tensi. Babak ketiga untuk penyelesaian. Pengalokasian waktunya biasanya sekitar 25% babak pertama, 50% babak kedua, dan 25% terakhir adalah babak ketiga. Sebagian besar film – kecuali yang eksperimental – ‘masuk’ ketika kita menerapkan pembabakan ini ke dalam ceritanya. Film Roy Kiyoshi, sungguh tak-disangka tak-dinyana, menolak untuk masuk ke dalam struktur tiga-babak. Film ini tidak punya rising action. Babak kedua sama datarnya dengan babak pertama. Baru di babak ketigalah klimaks itu hadir begitu saja.

Itu yang jadi Fitri aku mau ngasih saran untuk daftar Gadis Sampul deh, tiga atau empat tahun lagi

 

Dari selepas sepuluh menit pertama hingga tiga puluh menit terakhir, Kiyoshi tidak melalui perjalanan apapun. Tidak ada ‘cara mudah’, ‘intensitas naik’, ‘taktik baru’, dia hanya minum dan minum. Sheila masih mendingan. Di akhir babak pertama dia menemukan petunjuk kalo ada setan di balik ini semua, tapi bahkan bagi tokoh ini pun plot mengalir datar dengan tidak ada usaha lain selain bertanya dan bertanya hingga dia bertemu dengan kontak Kiyoshi. Pertemuan Sheila dan Kiyoshi juga terjadinya telat banget. Mestinya terjadi di babak kedua, paling enggak sekitaran mid-point, karena dengan begitu di babak tiga nanti keduanya sudah menjadi pribadi yang baru saat berhadapan dengan demon masing-masing. Tapi pada film ini, Sheila dan Kiyoshi baru bekerja sama di babak tiga. Bahkan stake waktu (Banaspati akan menculik korban baru tiga hari dari sekarang) pun baru muncul di babak akhir ini. Babak sebelumnya kedua tokoh lempeng-lempeng aja tanpa ada desakan narasi. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk enggak melakukan apapun terhadap perjalanan tokohnya. Jadi, babak ketiga film ini terasa sumpek. Setelah pertengahan yang kempes banget sehingga seperti babak set up yang diperpanjang, kita langsung masuk babak akhir di mana terasa seperti babak dua dan tiga dicampur menjadi satu. Makanya 30-20 menit terakhir itu rasanya lama banget. Begitu banyak yang terjadi, Kiyoshi aja sampe sempat-sempatnya bertapa di pedalaman, bikin aku melirik jam histeris “Ini durasi udah sepuluh menit lagi habis kenapa dia masih kayak latihan yang harusnya ada di sequence ke enam?”

 

 

 

 

Cerita Sheila sebenarnya menarik jika digarap dengan kompeten. Desain hantunya juga lumayan seram. Film ini cukup janggal, dalam artian yang menarik. Seperti misalnya adegan kredit pembuka yang dengan berani membawa kita bergerak dari kanan ke kiri alih-alih progresi kiri ke kanan. Lebih lanjut ke penghabisan, yang dilakukan film ini sesungguhnya mendobrak struktur cerita film, tetapi at this point aku sungguh meragukan pembuat film ini tahu apa yang sedang mereka lakukan. Mungkin bukan hanya buat horor, melainkan film ini sudah seperti wajah baru bagi penulisan naskah film Indonesia. Hanya saja, wajah itu enggak cakep.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for ROY KIYOSHI: THE UNTOLD STORY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Relakah kalian melakukan sesuatu yang kalian jago untuk orang lain, for free? Pernahkah kalian menahan diri untuk membantu orang karena kalian pikir akan membuat hal menjadi semakin ribet? Apakah menurut kalian membantu orang lain itu harus sesuai dengan mood?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.