ANORA Review

 

“Genuine love is not transactional”

 

 

Kisah Cinderella memanglah buah impian banyak, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki. Karena cerita tersebut generally perceived as “kisah seseorang yang sudah lama berjuang dan menderita, hingga akhirnya mendapat apa yang ia dambakan”. Cinderella dibully ibu dan saudara tirinya, lalu tau-tau ada pangeran yang kepincut sama dia, dan jadilah dia princess di istana. Klasik happy ending! Tapi ternyata mengharapkan kisah Cinderella terjadi di kehidupan nyata merupakan suatu harapan yang muluk.  Ngimpi di siang bolong. Sutradara dan penulis skenario, Sean Baker, memotret impian seperti begitu ke dalam kisah Anora. Rom-com ternyata cuma hiasan bak sepatu kaca bagi film ini, karena aslinya kisah Anora yang jatuh cinta sama ‘pangeran’ kaya raya cukup tragis, as in, the rich will always f*ck the poor, no matter what!

Anora yang lebih suka dipanggil Ani, memang mengira kisah hidupnya seperti Cinderella. Perempuan 23 tahun itu setiap malam menari untuk klien di klub, tak jarang dia juga harus ‘menemani’ mereka-mereka yang memesan paket VIP. Meski Ani gak seperti Cinderella yang meratapi nasib – Ani cenderung lebih blatant dan justru galak sama orang yang lecehin pekerjaannya – toh dia melayang juga ketika seorang anak konglomerat yang belakangan jadi langganan, mengajaknya menikah. Ani begitu gak sabar tinggal di istana Ivan sampai-sampai gak melihat red flag di balik sikap kekanakan ‘sang pangeran’. Dan benar saja, beberapa waktu setelah mereka menikah, orangtua Ivan di Rusia mengirim anak buah untuk ‘menangkap’ Ivan dan Ani. Memaksa pernikahan tersebut untuk dianulir. Tinggallah Ani yang ternyata harus berjuang sendiri mempertahankan pernikahan, karena Ivan langsung kabur entah ke mana begitu tahu kedua orangtuanya juga bakal menyusul ke Amerika.

Ani ani yang terANIaya

 

Energi film ini membuat cerita yang sebenarnya tragis tidak pernah terasa menye-menye, tapi akan benar-benar menohok di penghujungnya. Energi confident chaotic yang menghidupkan film ini terpancar dari karakter utamanya, si Ani. Yang tentu saja worked out perfectly berkat penampilan akting Mikey Madison. Gilak! Mikey sudah jelas menambah ramenya medan pertempuran untuk Aktor Perempuan Terbaik awards musim ini. Dia memainkan Ani dengan begitu meyakinkan, kita bisa merasakan vulnerabilitynya sebagai perempuan, dengan pekerjaan yang dilecehkan banyak orang, vulnerability yang dia timbun di balik sikap mantap dan profesional sekaligus mimpinya untuk kehidupan yang lebih baik. Ini adalah karakter kompleks yang bisa dengan mudah lenyap jika film yang menaunginya memutuskan untuk membuat dunia yang terlalu ‘genre’. Dunia yang nanti ceritanya hanya terasa soal kejadian. Film Anora berhasil menghindari garis terlalu ‘genre’ tersebut. Ceritanya jadi berjalan ‘ajaib’ tapi begitu grounded oleh emosi dan energi si Ani yang benar-benar keluar genuine dari Mikey Madison. See, film ini gak harus repot ngeset yang gimana-gimana gitu untuk ngasih tahu tengah film ini bakal ‘chaos’. Mereka cukup mengandalkan senyum cegilnya Mikey Madison aja kok!

Ada transisi subtil pada babak-babak cerita. Film lain mungkin akan menggunakan ‘chapter’ untuk membatasi babak ceritanya. Film ini memilih untuk enggak pake, dan hasilnya Anora mampu terasa lebih fluid walaupun filmnya bergerak di luar ekspektasi kita. Jadi di babak awal, ceritanya udah kayak romcom biasa. Ani dan Ivan yang anak sultan Rusia (ngerasa) saling jatuh cinta, jadi mereka menikah saat tengah berlibur di Vegas ngabisin duit orangtua Ivan. Sebagian besar babak awal ini diisi oleh Ani dan Ivan bersenang-senang. Part ini mungkin yang paling susah dinikmati, karena establishment karakternya masih berlangsung dan mereka berdua terlihat kayak orang yang taunya cuma bersenang-senang aja. Tapi ada concern di wajah Ani yang tampak sengaja ia abaikan sendiri. Concern bahwa pria ini masih belum dewasa. Belum matang pemikirannya. Ada dialog saat Ivan atau nama bekennya Vanya ngeledek Ani yang menurutnya bersikap kayak tante umur 25 hanya karena Ani mengutarakan sebuah reason yang masuk akal kepadanya. Film nunjukin hal-hal manis yang mereka lalui bersama kepada kita, dengan pace yang cukup cepat, dalam upaya membawa kita ke dalam mindset karakter utamanya saat itu. Bahwa ini adalah kesempatan yang harus Ani perjuangkan. Film bahkan membuat Ani burn the bridge dengan kerjaannya dulu karena dia udah percaya hidupnya jadi cerita Cinderella. Lalu tamparan kenyataan datang mengetuk pintu mansion mereka. Vibe film berubah menjadi chaos saat Ani benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa anak buah orangtua Ivan datang. Kenapa pernikahan mereka harus dianulir. Dan kenapa Ivan malah kabur meninggalkan dirinya bersama para anak buah yang necis tapi – quoting Ani – pandangan matanya ‘rapey’ semua kepadanya.

Ketika hal menjadi tidak terkontrol itulah kita juga baru menyadari daging cerita film ini yang sebenarnya. Vibenya sebenarnya kocak. Para anak buah ternyata gak jahat-jahat amat, justru galakan Ani. Dan mereka terpaksa bekerja sama demi mencari Ivan yang ngabur entah kemana. Takut mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orangtua yang bakal menyusul datang beberapa jam lagi. Dinamika para karakternya mulai kelihatan. Ani justru terasa lebih relate dengan para anak buah dibandingkan dengan Ivan. Romansa film ini pun tampaknya lebih genuine tumbuh antara Ani dengan salah satu anak buah yang dianggap Ani paling sus, yaitu si Igor. Karena kita bisa lihat Igor satu-satunya orang yang beneran perhatian dan melihat Ani sebagai human being, bukan dari pekerjaannya. Igor dan Ani juga berada di posisi yang sama – orang yang cuma dibayar untuk melakukan tugas. Film dengan sengaja sering menempatkan dua karakter ini dalam satu frame untuk menekankan perbandingan mereka.

Mikey ini mirip Raline Shah versi cegil

 

Dunia yang digeluti Anora adalah dunia di mana hubungan bersifat transaksional. Seseorang membayar untuk mendapatkan suatu layanan. Memang, di dunia nyata juga hubungan seperti ini dibutuhkan. Hanya saja, selain itu ada yang namanya hubungan yang genuine. Yang memberi tanpa karena apa-apa melainkan demi cinta. Anora mau itu. tapi yang ia dapatkan adalah humiliation dari orang kaya – orang yang menganggap semua hanya urusan bisnis. Anora tak menyangka, yang dia cari justru datang dari orang yang juga ia sepelekan.

 

Menurutku itu jualah salah satu alasannya kenapa Ani menangis seperti kesal di dalam mobil Igor, saat ending. Bukan cuma realita tentang kejadian yang baru saja ia alami akhirnya menghantamnya – memang dia dapat duit tapi basically  dia tidak jadi Cinderella dan sudah tidak bisa kembali ke kehidupannya – tapi juga dia menyadari bahwa dia juga sama seperti keluarga Ivan. Dia juga telah terlalu menganggap dunia sebagai tempat transaksional semata. Pernikahannya juga adalah salah contoh kontrak yang ia sadari bukan berasal dari tempat yang tulus. Perhatikan kembali adegan ending tersebut, Ani mulai menangis beberapa saat setelah ia ‘ngegas’ Igor yang diam dan menatap dirinya penuh concern. Tangisan Ani mengisyaratkan dia sekaligus sadar, hal keahliannya itu juga salah satu bentuk transaksi dan bukan sesuatu yang tulus. Ending ini jadi begitu tragis karena meninggalkan Anora di antara dua keadaan. Bisakah dia melihat ketulusan pada Igor, atau dia juga akan melihat Igor ada di sana karena bagian dari kontrak kerjaannya sebagai anak buah.

 




“He f*ck me harder than he f*ck you!” keluhan salah satu pesuruh orangtua Ivan menguarkan sekali lagi salah satu tema besar film ini. Di dunia yang serba transaksional, orang bawah hanya akan jadi mainan buat orang kaya. Di balik yang katanya komedi romantis, film ini ternyata juga mengkritik hubungan sosial kita yang semakin matre. Film ini adalah lonceng kedua belas dalam kisah Cinderella, menyentakkan kita dari mimpi, dan harusnya menyadari genuinity atau ketulusan justru lebih mudah tumbuh ketika tidak ada uang ataupun power yang terlibat di dalamnya. Ceritanya sendiri memang bertempat di dunia yang dewasa, tapi dibiarkan tetap mengalun ringan dan kocak banget. Aku gak expect bagian tengahnya bakal ngakak banget. Tapi di balik itu, ya film ini dalem.  Pandangan karakternya benar-benar di-examine. Kita bakal pahamlah kenapa Sean Baker getol banget pengen ngecast Mikey Madison buat mainin Ani. Karena memang perfect banget vibenya. Ani adalah Cinderella modern dan realistis, yang juga membuatnya sebagai anti-Cinderella itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for ANORA.

 

 




That’s all we have for now.

Meski itu nama lengkapnya, tapi Ani gak suka dipanggil Anora. Kira-kira, menurut kalian kenapa ya? 

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL

 



HERETIC Review

 

“If you change the rules on what controls you, you will change the rules on what you can control”

 

 

Buatku, naskah yang bagus itu bukan exactly apa yang dikatakan oleh dialognya. Bukan seberapa bagus atau puitis atau sedalem atau sepinter atau selucu apa kata-kata, tapi bagaimana dialog itu ditempatkan sehingga memenuhi fungsinya. Kayak dialog opening dalam Heretic karya duo penulis dan sutradara Scott Beck dan Bryan Woods. Kita mendengar dua perempuan bicara soal ukuran kondom. Lalu kamera bergerak menjauh memperlihatkan mereka lagi duduk di bangku yang ada iklan kondomnya  – sehingga terestablish konteks kenapa perbincangan soal itu bisa terjadi di antara mereka berdua. Lantas, dialog mereka lanjut, kali ini mengeset siapa/apa kerjaan kedua perempuan muda itu. Mereka Paxton dan Barnes, dua suster aliran mormon. Interest kita naik lagi sekarang setelah kita tahu mereka siapa yang ternyata kontras dengan pembicaraan mereka, namun dialog opening yang terdengar nyeleneh tadi ternyata berhasil melandaskan banyak konteks sekaligus, termasuk bagaimana pandangan karakter ceritanya terhadap hal yang mereka percayai yang ultimately jadi bahasan utama thriller ini nantinya. Seperti demikianlah buatku, naskah yang bagus itu.

Dua orang suster tadi akan tiba di rumah seorang pria tua bernama Mr. Reed. Mereka mampir memenuhi permintaan untuk menyiarkan agama mereka. Mr. Reed yang ramah mengundang mereka masuk karena katanya istrinya sedang menyiapkan pie untuk mereka. Awalnya semua tampak hangat dan terkendali, sesuai protokol yang dua suster ini patuhi. Tapi segala formalitas dengan segera lenyap karena Mr. Reed yang clearly seorang pintar yang telah malang melintang perihal riset agama, mengajak diskusi ke ranah yang lebih mendalam. Menantang kepercayaan personal bukan hanya dua suster, tapi juga kita semua.

Ketika agama disamain ama marketing gimmick game Monopoli

 

Heretic most of the time memang diisi oleh dialog menantang yang bakal semakin intens dan creepy. Konsepnya ini worked greatly berkat penampilan akting dari tiga karakter sentralnya. Hugh Grant gak lantas jadi snobbish komikal ataupun preachy dengan dialog-dialog menantang pemikiran tersebut, Chloe East dan Sophie Thatcher juga gak lantas jadi karakter yang cuma jadi victim. Karakter mereka sendiri juga kuat terbentuk dari dialog-dialog yang seperti di awal tadi, seperti sederhana tapi sebenarnya sangat efektif mengeset siapa mereka, pemikirannya, kepercayaannya, ‘berasal’ dari mana pemikiran mereka. Dinamika mereka juga gak pernah dijadikan kejutan, as in, film ini tidak dibangun berdasarkan “oh ternyata Mr. Reed jahat”. Sedari awal kita sudah tahu ngarahnya mau kemana, tapi yang tidak kita expect adalah muatan yang dibawa oleh film ini dalam membuat “jahat”nya Mr. Reed itu seperti apa. Sama juga seperti pada kedua karakter susternya.

Yang sedikit jadi problem buatku hanyalah tidak ada karakter utama yang jelas, seenggaknya hingga masuk babak ketiga. Di dua babak awal, porsi kedua suster sama besar. Mereka bahkan sama-sama ter-outshined oleh Mr. Reed di pertengahan. Mungkin karena charisma Hugh Grant juga sih ya, tapi ya gitu deh, di pertengahan itu memang Mr. Reed diketengahin banget oleh film ini. Dijadikan fokus. Dua suster dibiarkan untuk bereaksi saja terhadap apa-apa yang dikatakan oleh Mr. Reed. Mereka dijadikan perwakilan kita dalam menyimak dengan takjub opini disturbing yang dengan tenang dan terukur disampaikan oleh Mr. Reed. Nonton dialog mereka seolah kita juga sedang berdebat dengan seorang atheis. Tapi juga banyak layer karakter lain yang bekerja sesuai dengan konteks tema ‘control’. Sehingga perdebatan mereka berisi dan gak debat kusir. Kita peduli, bukan hanya pada isi pembicaraannya tapi juga kepada nasib kedua suster. Mereka sudah seperti satu kesatuan, sebagai believer melawan non-believer. Sehingga walaupun karakter utamanya belum jelas merujuk kepada satu journey personal tertentu, the shared feelings between the two of them terasa menyeluruh bahkan hingga tershare kepada kita sebagai penonton. Dua babak film ini masih bisa bekerja nicely, dan kemudian saat babak ketiga telah lebih jelas ternyata ini adalah tentang Suster Paxton menjadi lebih pede dengan beliefnya untuk berani mengambil kendali, cerita paham bahwa fondasinya benar-benar sudah kuat dan kini saatnya bermain-main dengan elemen ‘rumah hantu’ dengan banyak jebakan dan ruang rahasia.

Itu satu lagi yang aku lihat dapat membagi dua penonton, meskipun buatku sendiri tidak jadi soal. Film berubah dari yang tadinya dialog grounded dan mampu melibatkan kita, menjadi thriller yang tidak lagi terasa terlalu praktikal dengan timing karakter yang artifisial (maksudnya dipas-pasin banget biar ceritanya seru) dan hal-hal yang semakin insane dilakukan oleh Mr. Reed. Motifnya tetap grounded dan kita bisa melihat root-nya, tapi actual things yang dia lakukan yaa terasa sensasional aja. I’m not complaining sih, keseluruhan film ini vibenya jadi kayak Saw dengan filosofi penjahat yang menarik hanya saja Heretic ini tidak ada eksploitasi alat-alat penyiksaan. Ini kayak versi deraan mental aja. Filmnya sendiri pun tidak pernah benar-benar berpijak kepada Mr. Reed sebagai villain yang pintar, tidak seperti Saw kepada John Kramer yang menganggap dirinya somekind of hero atau justified. Mr. Reed lebih mirip seperti ilmuwan gila yang mencoba bereksperimen dengan teori-teori yang ia percaya sebagai kebenaran.

In short, Mr. Reed jadi lebih berbahaya daripada Kramer.

 

Jadi, yang diomongin oleh Mr. Reed memang challenging dan offensive banget bagi – and not limited to – kedua suster. Pria itu basically bilang agama cuma marketing gimmick. Semua agama dan kepercayaan berasal dari sumber yang sama, yang divariasikan oleh pihak-pihak yang pengen memegang kendali sendiri. Untuk membuktikan agama itu cuma soal control-lah, maka Mr. Reed menjebak kedua suster dalam situasi di mana mereka merasa punya kehendak sendiri padahal langkah-langkah mereka sudah ia atur. Pilihan mereka adalah apa yang Mr. Reed mau untuk mereka pilih. Bapak ini pengen ngasih lihat dia mengontrol mereka. Dan itu membuktikan teorinya bahwa agama cuma sistem yang dibuat orang dan sekaligus dia bilang pemeluk agama hanya sekumpulan orang insecure yang butuh untuk percaya bahwa ada much more powerful-being yang menjaga kendali atas mereka. Bagaimana pendapat kalian sendiri tentang teori Mr. Reed ini? Silakan share di komen yaa.. Kalo buatku sendiri sih, bahkan jika yang dikatakan oleh Mr. Reed benar, bukanlah sebuah kesalahan bagi kita untuk memilih percaya kepada agama. Bahwa keinginan untuk secure dan terkendali bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Apa bedanya kita berbuat baik dengan percaya ada imbalan surga dengan berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Toh surga itu juga bukan imbalan yang langsung kita rasakan, beda ama ngerjain sesuatu hanya karena ada duitnya. Menurutku juga seseorang yang memilih tidak percaya agama juga tidak salah, jika itu membuat mereka malah merasa insecure. Yang salah adalah – seperti yang ditunjukkan oleh film ini – ketika orang itu merasa gak mau dikendalikan oleh sesuatu yang dia anggap salah tapi juga lantas dia ingin mengendalikan orang lain sesuai dengan apa yang benar untuk dirinya.

Yang ditakutkan adalah ketika ada orang seperti Mr. Reed yang ujungnya bikin sekte sesat kecil-kecilan sendiri. Karena sifat manusia cenderung sombong, jadi ketika orang sadar dan mampu mengubah aturan yang tadinya ia anggap mengontrol dirinya, maka ia akan merasa mampu juga untuk mengubah aturan bagi semua orang. Ia akan membuat aturan baru untuk mengontrol semua orang. Itulah ketika terbentuknya ‘agama’ baru.

 




Terpujilah film ini karena udah ngasih sajian thriller yang menantang. Bukan cuma penampilan aktingnya yang intens, tapi pembahasannya bener-bener ngasih sesuatu untuk kita pikirkan tentang kepercayaan dan kendali. Naskah film ini berhasilnya juga dua kali. Pertama, membawa bahasan yang sensitif ke dalam berbagai analogi – terutama memasukkannya ke dalam suasana thriller, meskipun kadang jadi terasa agak gimmicky dan tidak lagi grounded. Dan kedua, karena berhasil menuang gagasan itu ke dalam struktur film. Fungsi-fungsinya terpenuhi, sekali lagi, walaupun film memilih menunda untuk menonjolkan karakter utama pada dua babak awal yang didesain untuk mengetengahkan gagasan. Rancangan film ini udah kayak rumah Mr. Reed. Dari luar kayak rumah besar kuno berhantu pada film-film horor, tapi di dalamnya, banyak layer dan contraption yang bekerja membangun ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HERETIC.

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



MOANA 2 Review

 

“If you want to go quickly, go alone. If you want to go far, go together”

 

 

Jadi, seberapa jauh Moana pergi setelah film pertama? Well, kalo dilihat dari angka box officenya sih ya, Moana memang suskes ke mana-mana. Tapi bagaimana dengan kelanjutan ceritanya. Trio sutradara David G, Derrick Jr, Jason Hand, dan Dana Ledoux Miller ingin memastikan petualangan kedua Moana dan Maui jauh lebih seru dan besar. Kabarnya bahkan cerita ini tadinya pengen dibentuk sebagai serial, saking mereka udah kepikiran petualangan yang lebih panjang. Dan nyatanya, Moana 2 tetap berwujud film, dan memang bigger, tapi petualangannya kali ini terasanya justru jauh lebih datar. Mungkin benar seperti kata pepatah ya, yang lebih beriak-riak itu ternyata tak dalam.

Sebagai seorang ‘wayfinder’, maka sudah jadi tugas Moana untuk menjelajahi samudera. Misi Moana dan orang-orangnya di pulau adalah mencari keberadaan suku lain di seberang sana. Hanya saja, selama ini Moana pergi sendirian. Yang ngikut di perahunya cuma Pua dan Heihei. Jadi memang Moana yang di film pertama ambis banget pengen segera melaut, belum berlayar jauh. Hatinya sekarang tertambat oleh keluarga. Sampai sebuah panggilan dari leluhurnya datang. Moana beneran harus meninggalkan pulau, mengarungi perjalanan berbahaya, demi mematahkan kutukan Nalo; dewa yang ngirim petir, menenggelamkan dan memisahkan pulau-pulau. Moana berangkat bersama kru beneran dan-tunggu, di mana Maui? Maui ternyata beraksi duluan sendirian, tapi sekarang dia sedang stuck kena perangkap perempuan kelelawar dan dia mungkin perlu Moana untuk sekali lagi menyelamatkan dirinya.

Maunya Maui malah malu-maluin

 

Set up temanya sebenarnya perfect. Dua hal yang dikontraskan pada cerita kali ini adalah sendirian atau bareng-bareng. Dan kedua hal tersebut dieksplorasi dimensinya. Sendirian bukan lantas berarti individualistis, misalnya, Maui yang pengen beraksi sendiri bukan karena dia gak suka Moana, tetapi justru karena dia mengkhawatirkan Moana. Bareng-bareng juga bukan sebatas soal kita dan kelompok kita saja. Seperti ketika nanti diperlihatkan oleh film ini, bahwa Moana and the gank akan bergabung dengan pihak yang dulu pernah musuhan ataupun pihak yang tadinya dianggap musuh. Film juga memanfaatkan role dunia fantasinya untuk mengeksplorasi tema tersebut ke dalam ranah spiritual ketika Moana memutuskan untuk pergi langsung ke pusat bahaya sendirian, demi teman-temannya berhasil. Alias pengorbanan diri. Moana 2 memang sebenarnya masih dalem, jika diberikan pace dan mungkin waktu yang lebih banyak. Yang lebih penting untuk dikembangkan – dan ini yang kurang pada film kedua ini dibandingkan film pertama – adalah waktu untuk Moana bergulat dengan innernya. Momen-momen personal yang menyorot kepada kenapa pengorbanan diri yang dia lakukan itu penting; lebih dari sekadar bentuk tragedi untuk dramatis film. Karena tindakan pilihannya itu merupakan bentuk dari Moana udah belajar tentang tema tadi. Bahwa inner journey-nya sudah komplit.

Film kedua ini kayak menjawab nyanyian Moana di film pertama. “How far I’ll go?” Yang nentuin ya sebenarnya Moana sendiri. Selama ini dia menyangka kini dia bebas mengarungi samudera sejauh mungkin, tapi lantas dikaramkan oleh kenyataan gak semudah itu ninggalin keluarga dan orang tercinta. Jika mau pergi jauh, ya harus bareng-bareng. Makna ‘bareng-bareng’nya itulah yang sejatinya jadi pembelajaran bagi karakter di film ini.

 

Dua relasionship utama yang harusnya diberi waktu lebih banyak adalah antara Moana dan Maui, serta Moana dengan adeknya. Ya, kini Moana punya adek. Masih kecil tapi sassy, imut banget. Moana dan Maui di film ini kayak ke-reset, awalan cerita tidak seperti melanjutkan hubungan mereka, tapi seperti mengulang. Mereka tidak dibikin bersama lalu berpisah, tapi langsung berpisah petualangan untuk kemudian bertemu lagi. Ini membuat film jadi terkesan ngikutin formula film yang pertama. Sedangkan untuk Moana dengan adeknya, Simea, well, ya mereka sweet banget. Mereka share jokes bareng, mereka punya momen personal kayak Moana ngajarin adeknya knowledge suku mereka (yang sebenarnya low key film ngasih eksposisi ke penonton, tapi dilakukan dengan cute). Tapi dinamika dramanya masih lebih terasa seperti “adek yang gak mau kakaknya pergi”. Bagian Moana juga berat ninggalin, agak ‘malu-malu’ ditampilkan. Padahal ini salah satu yang penonton bisa relate generally. Moana itu kan basically kayak anak rantau. Yang harus ninggalin keluarga demi kehidupan yang lebih baik. Aku sendiri pernah ngerasa kayak Moana. Waktu aku kuliah, adekku yang paling kecil lahir. Dan itu setiap kali mudik, pasti rasanya berat banget ninggalin rumah untuk balik ke pulau rantau lagi. Berat karena di rumah ada makhluk kecil yang enak untuk diganggu hehehe.. enggak ding. Ya sama kayak Moana dan Simea, deh. Moana merasa berat karena dia tahu samudera itu luasnya gak ada yang tau. Dia tahu ini adalah perjalanan panjang yang berbahaya. Bisa-bisa pas dia pulang ntar, Simea udah seusia dia pas berangkat ini. Atau bisa jadi dia gak bakal pulang lagi sama sekali, seperti nasib leluhurnya itu.

Kekecewaan personalku: Alessia Cara gak ngisi soundtracknya lagiiii

 

Alih-alih momen kayak gitu, Moana 2 justru lebih menekankan kepada outer journey dan momen-momen Moana bersama krunya di laut. Ini pilihan yang salah dari film yang tadinya diniatkan sebagai serial ini. Durasi terbatas tentu tidak akan bisa mengakomodir petualangan dan tambahan karakter yang cukup bejibun. Film ini justru menyuruh kita menikmati petualangan, tapi petualangannya itu sendiri kayak ringkasan. Banyak, seru, tapi ya ritmenya gak enak. Bonding Moana dengan karakter-karakter kru di perahunya enggak fully terdevelop, mereka jadi akrab aja dalam satu lagu. Development masing-masing sebagai karakter pun datang dan pergi gitu aja. Kayak, ada satu karakter yang hampir mati, beruntung dia berhasil diselamatkan oleh Maui yang sangat ia idolakan. Setelah momen yang sudah pasti momen penting dalam eksistensinya itu, karakter ini justru dibikin semakin menjadi ‘background’. Terus karakter perempuan kelelawar (aku genuinely lupa namanya, maaf) yang kayak penjahat,  punya lagu villain sendiri, tapi diungkap ternyata dia gak jahat, dan makna lagunya ternyata dalam – nunjukin karakternya ternyata cukup kompleks – dan nasib karakter ini tidak pernah dimunculkan lagi sampai film dan konflik kutukan itu beres. Outer journey film ini lebih kusut daripada rambut Maui, lebih semrawut daripada tato ajaib si demi god itu (dan demi tuhan, jokes2 si tato hidup itu semakin garing), dan ini yang dipilih film untuk kita nikmati. No wonder, banyak yang kurang puas sama Moana 2.

Soal lagu-lagunya gimana? Secara tema/makna, lagu-lagu di film ini masih berisi. Difungsikan dengan baik, dimainkan ke dalam kreasi visual yang juga fantastis. Tapi secara impresi, kayaknya lagu film ini juga masih jauh sama lagu di film pertama. Bukan soal catchy-nya loh ya. Kalo soal catchy, film ini punya juga kayak Wayfinding atau anthem Chee-hoo! nya Maui (The Rock ijin gak ya ngambil ini dari sepupunya di Smekdon? ahahhaa) Yang kumaksud adalah jejak lagunya di film itu sendiri. Buktinya untuk momen paling tinggi, Moana 2 malah minjem lagu dari film pertamanya. Enggak kayak Lion King 2 yang pede aja pakai lagu sendiri dan gak minjem Circle of Life dari film pertama. Lagu-lagu di Moana 2 ini kayak lagu-lagu di Frozen II (2019). Works dalam tema, tapi susah untuk “keluar”. Gak bisa menandingi lagu originalnya.

 




Kalo dipikir-pikir lagi, film ini jatohnya memang kayak Frozen II. Sekuel yang nambah cast, meluaskan dunia cerita, dengan niatan supaya petualangan makin seru. Makin epik. Tapi yang kerasa justru sebaliknya. Ceritanya jadi terasa lebih tipis dan datar. Padahal secara tema, film ini punya bahasan yang dalam. Inner journeynya sebenarnya powerful. Tapi film lebih memilih untuk memfokuskan kepada outer journey yang berjubel, yang gak bisa fully develop, yang pacenya berantakan, yang terasa kayak rangkuman episode-episode petualangan tanpa benar-benar ada kesinambungan yang enak. Visual magisnya jadi kerasa hambar. Harusnya Simea juga menjewer telinga film ini sebagai hukuman telah bikin pilihan yang salah. 
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MOANA 2.

 




That’s all we have for now.

Pernahkah kalian punya momen berat untuk ninggalin rumah, tapi harus?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SMILE 2 Review

 

“It’s amazing what you can hide by just putting on a smile.”

 

 

Senyuman adalah kutukan. Basically, itulah konsep horor yang dibangun oleh Parker Finn sedari film pertama. Tentang ‘hantu’, sosok yang disebut Smile Entity, yang berpindah-pindah merasuk ke orang lewat perantara senyum. Jadi si Entity merasuk ke satu orang, bikin orang itu stress ama kejadian-kejadian menakutkan yang diangkat dari traumanya sendiri, bikin mereka berhalusinasi melihat orang-orang dengan senyuman mengerikan, saat udah ‘bosen’ Entity akan membunuh si orang dan dia akan pindah merasuki orang yang menyaksikan kematian itu. Kedengarannya memang agak campy, aku sendiri juga kurang suka sama film pertamanya. Banyak adegan creepy dari senyum-senyum itu, tapi mostly filmnya asik bermain jumpscare dan tidak benar-benar menyelami horor psikologis yang naturally dimiliki oleh cerita seperti ini. Dalam sekuelnya ini, Parker kini melek dengan hal tersebut. Senyuman adalah kutukan tidak hanya dijadikannya literal sebagai konsep horor, melainkan kini juga adalah pondasi dari psikologis karakternya. Keadaan yang kita bisa relate, karena ya, senyuman memang sering digunakan sebagai topeng dari apa yang sebenarnya kita rasakan.

‘Panggung’ cerita juga lebih menarik. Pokoknya Smile 2 lebih berkarakter dibandingkan film pertamanya. Kita ngikutin seorang bintang pop bernama Skye Riley (Naomi Scott kali ini berhasil bikin aku amat sangat terkesan) yang tengah mempersiapkan comeback-tour, dari hiatus yang disebabkan oleh sebuah kecelakaan tragis. Bukan hanya itu, perlahan nanti cerita akan mengungkap bahwa Skye pernah kecanduan obat terlarang. Masa lalunya memang problematik. Kalo aku jadi Entity, aku pasti udah gak sabaran banget merasuki Skye. Dan memang itulah yang terjadi. Skye kena kutukan senyuman. Sebagian besar film, kita menyelami kekacauan mengerikan yang diakibatkan oleh Entity kepada Skye. Tapi ini juga bukan sekadar dilema antara ‘beneran atau cuma di dalam kepala’. Ini bukan cuma yang dialami Skye versus orang lain gak percaya padanya karena Skye punya riwayat ‘makek’. Karakter Skye beneran dieksplorasi. Konflik personalnya dikuatin sehingga kita peduli. Bahwa Skye sesungguhnya benar-benar ingin berubah jadi lebih baik dari dirinya sebelum kecelakaan. Dia ingin bermetamorfosis, seperti salah satu stage act dia di panggung. Lewat simbolisme, film memperlihatkan tidak mudah bagi Skye untuk melakukan itu. Dan Entity di sini, adalah wujud ekstrim dari konsekuensi yang diterima Skye ketika gagal.

Literally dilahap oleh momok penuh borok

 

Apa simbolnya? Cermin. Mulai dari adegan bercemin, adegan mecahin cermin, membunuh pakai pecahan cermin, hingga dari shot yang kayak dunia terbalik, dan tentu saja Skye konfrontasi dengan Entity yang mengambil wujud seperti dirinya. Cerminan atau refleksi diri jadi tema kunci pada karakter Skye. Ketika kita pertama kali bertemu dirinya, kita melihat dia sebagai seorang bintang. Tersenyum saat berfoto bersama penggemar. Film dengan cepat mengestablish Skye sebagai seorang bintang tentu saja punya perbedaan dengan Skye sebagai pribadi dirinya yang asli. Nah, perjalanan mengetahui siapa pribadi dirinya yang asli itulah yang jadi journey. Kita akan melihatnya sebagai pengungkapan, sedangkan bagi Skye merupakan journasey personal. Pasalnya, Skye adalah karakter yang menyimpan banyak. Dia punya bekas luka di perut, bekas kecelakaan. Dan Skye gak suka bekas lukanya kelihatan. Skye benci dirinya yang dulu. Tapi dirinya yang dulu kerap muncul dan mengganggu. Luka di punggungnya bikin Skye gak bisa execute tarian panggungnya properly. Apapun yang dia lakukan sekarang dalam usaha mencoba jadi diri yang lebih baik akan selalu berhadapan dengan apa yang telah dia lakukan dulu. Jadi basically konflik personal/psikologis Skye yang jadi penggerak utama cerita adalah soal mirror image yang dia ciptakan akan terus selalu retak oleh konsekuensi dari her former self.

Dengan senyuman, cermin pun dapat dibohongi. Orang-orang pun begitu, Skye menyangka di atas panggung – di depan kamera, cukup dengan dia tersenyum maka orang akan mengerti dirinya sudah menjadi lebih baik. Tapi sebenarnya tang ditipu itu adalah diri sendiri. Yang percaya semua baik-baik saja, yang percaya segampang itu put all the past behind. Karena bahkan di balik senyum, akan ada luka. Seperti borok yang kelihatan di cermin, trauma akan menorehkan garis yang kuat. Yang tidak bisa dienyahkan begitu saja.

 

‘Kesalahan’ Skye cuma  dia percaya senyum di depan cermin, di atas panggung, akan membuat semua kelihatan baik saja. Percaya bahwa dia yang sekarang bisa mengendalikan hidupnya menjadi lebih baik. Inilah fungsi Entity di dalam cerita. Si Setan Senyum terkutuk itu jadi penantang buat Skye’s false believe. Entity membuat Skye berkonfrontasi dengan kejadian traumatis di masa lalu. Kita seiring pengungkapan itu berjalan akan melihat Skye sebagai karakter yang semakin tragis, bahwasanya make sense buat dia untuk pengen percaya dia benar-benar mau jadi orang baik. Dan akhirnya Entity membuktikan Skye salah. Naskah bijak banget untuk tidak hanya memperlihatkan ‘kegagalan’ Skye, tapi sebelum itu, naskah memberikan kesempatan bagi Skye untuk menyadari bahwa dia salah. Sehingga film ini tidak hanya tontonan ungkapan kejadian. Dan punya bobot dan layer di balik kejadian adalah hal yang bagus untuk film ini, karena kalo kita melihat hanya dari kejadian, film ini akan dengan cepat menjadi sangat membingungkan.

Sama seperti film pertamanya, Smile 2 mengandalkan adegan-adegan jumpscare dan adegan-adegan absurd untuk bikin penonton ikut merasa takut. Punchline-nya ya momen kematian yang memorable. Penggemar horor pasti bakal puas nyaksiin adegan-adegan andalan film ini. Aku sendiri suka banget sama adegan Skye ‘disergap’ oleh sekelompok orang di dalam apartemennya sendiri. Adegannya udah kayak mimpi buruk banget. Adegan opening film ini pun keren. Mengikat kepada akhir film pertama, lalu memutuskannya completely sambil lantas ngasih bola ke film kedua untuk berjalan dengan dunia dan karakternya sendiri. Yang bikin membingungkan, seperti yang aku bilang di tadi, adalah: karena film ini elemen psikologisnya lebih kuat, maka adegan-adegan menyeramkannya itupun semakin blur mana yang nyata, mana yang tidak. Chaos dari kemelut Skye dengan kutukan tertranslasikan di layar sebagai adegan seram yang mungkin tidak benar-benar terjadi. Efek samping yang cukup merugikan film karena hal ini adalah momen-momen Skye dapat kehilangan cengkeramannya. Seperti saat adegan dia membunuh ibunya, yang di akhir diungkap ternyata itu hanya ‘ilusi’ dari Entity. Rasa penyesalan telah membunuh itu adds up ke penyesalan Skye atas sikapnya yang bikin ibunya susah (simbol dari membunuh) tapi saat menonton, kita akan terlepas dulu dari momen emosional tersebut. Singkatnya, momen-momen begitu membuat film sedikit terlalu gimmicky.

Dan itu semua dilakukan sambil tersenyum!

 

Film ini juga punya beberapa elemen cerita yang seperti dibuild up tapi ternyata bukan untuk menjadi penting di dalam kelanjutan cerita melainkan hanya sebagai penanda/simbol tertentu. Misalnya soal muntah yang tertinggal di lokasi kematian. Skye mendapat kutukan karena nyaksiin kematian korban sebelumnya (her ex-drug dealer) di sebuah apartemen. Demi melihat kematian yang barbar itu, Skye muntah, lalu dia kabur. Adegan berikutnya nunjukin Skye browsing internet soal apakah dalam muntah bisa diketahui DNA, karena dia takut polisi tau dia ada di TKP dan menyangka dia pembunuh – apalagi kalo pada nyangka dia kembali beli narkoba, padahal enggak. Ketakutan berurusan sama polisi itu seolah build up penting yang bakal ada ujungnya di kemudian waktu, tapi ternyata kan tidak. Karena cerita mainly berpusat pada psikologis Skye, bukan ke soal dia beneran dicurigai sebagai pembunuh. Soal kebiasaan Skye narik rambut atau minum air putih juga begitu. Adegan-adegan Skye melakukannya di-emphasized, hanya saja ternyata itu cuma salah satu pengabur realita. Karena ada adegan dokter mendiagnosa Skye dehidrasi padahal dia selalu banyak minum. And it was not clear, apakah dokternya not real atau tindakan dia banyak minum itu yang tidak real.

Yang jelas, film ini memang sengaja menjadi sangat chaos demi memvisualkan kekacauan di dalam personal Skye sendiri. Yang diperparah oleh kehadiran Entity, sebagai kutukan/setan yang feed off of trauma dan sisi gelap manusia.

 

 




Momen paling insecure seorang pengulas film itu adalah ketika muncul perasaan ulasan kita gak ada yang baca. Sebaliknya, momen paling sumringah waktu kita nulis ulasan film adalah ketika ada sekuel film yang melakukan perbaikan dari film pertamanya, dan kebetulan perbaikannya itu sesuai dengan yang kita ungkapkan di ulasan. Wuih, kesannya seolah tulisan kita dibaca langsung ahahaha.. padahal kan enggak juga xD Momen seperti itu yang kurasakan saat nonton film ini. Kekurangan di film pertamanya – kurang gali bobot psikologis – dibayar tuntas. Kali ini cerita film memuat karakter dan panggung yang begitu personal. Ceritanya memang benar-benar tentang psikis seseorang. Hantunya bukan lagi sekadar kutukan konyol. Film ini berhasil membuat konsep horornya jadi punya layer. Sembari juga mempertahankan elemen mainstream yang bikin sekuel ini bisa exist in the first place. Peningkatannya harusnya masih bisa lebih banyak, tapi untuk sekarang, I smile too nonton Smile 2.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SMILE 2.

 

 




That’s all we have for now.

Ending film ngasih kesan seluruh dunia bakal kena kutukan karena banyak banget fans di konser yang nyaksiin Skye tewas. Jika kalian dikasih kesempatan untuk bikin film ketiga, kira-kira gimana kalian ngehandle kelanjutan kutukan tersebut?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE WILD ROBOT Review

 

“Friendship has no survival value, rather it is one of those things that give value to survival.”

 

 

Robot dan hutan, kayaknya jauh sih ya. Yang satu mesin, yang satu alami. Apa pula yang bakal dilakukan robot yang diprogram untuk meringankan tugas sehari-hari di dalam hutan yang gak ada manusia sama sekali. Tapi di tangan penulis buku Peter Brown, lalu kemudian dihidupkan jadi film oleh Chris Sanders, robot dan hutan itu bisa ketemu. Dan ketemunya itu di hati kita. The Wild Robot akan jadi lebih dari sekadar cerita tipe fish-out-of-the-water (karakter yang ditempatkan di lingkungan baru yang asing). Film animasi dengan karakter robot dan hewan-hewan di hutan ini akan membuka hati kita tentang alam, kehidupan sosial, dan bahkan motherhood. Hidup memang survival tapi film ini ngingetin yang lebih penting dari bertahan hidup itu sendiri, yakni alasan kenapa kita bertahan hidup. Our true purpose in life. Dan akhirnya, film ini akan membuat kita melawan ‘program’ kita sendiri untuk tidak menangis di bioskop.

Ada yang menekan tombol aktif Roz. Robot ini bangkit dan menemukan… tidak ada orang di sekitarnya. Yang ada malah sejumlah makhluk-makhluk berbulu dan beragam bentuknya. Sekitar Roz juga bukan gedung-gedung bertingkat, melainkan kayu-kayu besar yang menjulang. Roz kelimpungan mencari yang bisa memberikan tugas untuknya, karena sebagai robot dia memang tercipta untuk menyelesaikan tugas. Beruntung Roz adalah robot yang canggih dan pintar. Dia mempelajari bahasa para binatang supaya mereka bisa berkomunikasi. Masalahnya, para binatang di hutan itu takut pada Roz. And they couldn’t care less karena para hewan sibuk sendiri dengan urusan hidup masing-masing. Saat itulah Roz menemukan telur angsa. Telur itulah yang akan memberikan tugas untuk Roz. Membuat robot ini memulai petualangan sebagai seorang ibu bagi anak angsa yang tak bisa terbang, dari kumpulannya terbuang. Tak perlu mobil sedan itu!

Kenapa jadi puisi (salah pula puisinya!)

 

Kita sudah pernah melihat drama animasi robot yang bertindak against programnya sendiri, mesin yang supposedly gak punya perasaan tapi jadi begitu lovable dan menunjukkan cinta lebih daripada seorang manusia. Recently, kita kenal ama Baymax ataupun Wall-E. Yang bikin Roz ekstra spesial adalah ceritanya sendiri ikut berevolusi – mengalami perkembangan – seperti Roz.  The Wild Robot dimulai sebagai cerita fish-out-of-the water. Dan ini jadi set up yang efektif, membuat kita bersimpati kepada Roz. Bagian awal film ini ‘keras’.  Roz bertemu dengan hewan-hewan, mereka tidak ada di dalam datanya, Roz tidak mengerti bahasa dan perilaku mereka. Di babak awal ini kita akan kasian banget sama Roz. Karena dia dimusuhi oleh hewan-hewan tersebut. Roz mengejar mereka karena pengen dikasih tugas, tapi hewan-hewan itu balik menyerang Roz karena mereka juga punya ‘program’ sendiri dari yang Maha Kuasa, yakni bertahan hidup. Seketika film juga berhasil melandaskan gagasan utama ceritanya. Tentang bertahan hidup dan insting atau program kita sebagai makhluk.

Walaupun animasi dan fantasi yang ditujukan untuk bisa ditonton anak-anak, film ini gak lantas jadi mangkir dari persoalan realita hidup. Hewan dalam film ini bukan seperti di kartun-kartun. Burung-burung dan kelinci di film ini tidak bernyanyi riang menyambut mentari. Hewan-hewan di sini tampangnya doang yang lucu. Sikap mereka ya keras. Apatis. Karena mereka aware kematian bisa datang kapan saja. Kelaparan, kecelakaan, predator, film ini nunjukin itu dalam world-buildingnya. Hewan-hewan ini sudah biasa akan hal itu, malah ada adegan yang ngasih dialog seekor ibu possum nyebut sambil lalu aja kematian anaknya karena baru aja terjatuh ke jurang. Konsekuensi dan apa yang harus dihadapi dalam bertahan hidup ditunjukkan tanpa malu-malu oleh film ini. Membuatnya jadi punya nilai realisme yang dapat jadi pelajaran berharga bagi penonton anak-anak. Dan landasan realisme ini penting karena itulah yang nanti dijadikan sebagai landasan emosional oleh film. Pertemuan-perpisahan. Kelahiran-kematian. Urusan ketika nanti Roz membesarkan Brightbill, si anak angsa, membuat film berevolusi menjadi cerita motherhood yang menyentuh. Roz seketika menjadi relatable bagi para ibu (meskipun tidak terbatas kepada ibu, karena seorang ayah pun bisa menjadi erat dengan anaknya considering context film ini no matter dia yang ngelahirin atau bukan). Tidak ada program yang terpasang di dalam Roz tentang membesarkan anak, tapi begitu momen dia memungut telur, dia harus belajar sendiri bagaimana merawat, menjaga, dan nanti membesarkan anak tersebut hingga dewasa. Ini kan sama kayak manusia. Gak ada seorang pun yang tahu cara menjadi orang tua yang baik. Kita sebagai manusia malah enggak tau kita ini hidup purposenya apa. Namun ketika tanggungjawab itu datang, kita tahu kita harus mengemban sebaik-baiknya. Kita tahu kita harus belajar. Dan tahu harus bersiap sama pengorbanan yang pasti akan datang mengikutinya.

Berbeda dengan Roz yang sudah punya program untuk menyelesaikan tugas, kita dan para hewan tidak tahu tujuan hidup kita apa. Kita cuma tahu kita harus bertahan hidup. Gimana caranya harus kita pikirkan sendiri. Yang jelas Fink, rubah teman Roz bilang, kebaikan bukan alat untuk bertahan hidup. Dunia begitu keras. Kita gak bisa kenyang dengan berbuat baik. Kita gak bisa punya duit dengan berteman.Hal tersebut mungkin memang benar. Tapi yang diingatkan oleh film ini adalah kebaikan dan persahabatan memang bukan alat untuk bertahan hidup, tapi dua hal tersebut adalah value yang membuat bertahan hidup menjadi tujuan hidup kita in the first place.

 

Tema pengorbanan membuat film berevolusi sekali lagi. Dan ini adalah wujud terakhirnya yang sempurna. The Wild Robot bukan semata tentang Roz dan Brightbill. Sebagaimana yang diset up oleh babak awal, ini adalah tentang komunitas sosial hutan tersebut. Roz dan Brightbill – robot yang membesarkan angsa cacat – jadi bahan pembicaraan di hutan. Hewan-hewan awalnya memandang mereka sebagai keluarga yang aneh, tapi pencapaian Roz dan keberhasilan Brightbill terbang menyentuh mereka. Puncaknya adalah ketika musim dingin ekstrim datang, Roz mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan semua hewan. Pengorbanan yang mengetuk hati semua hewan. Mereka sadar akan value dari persahabatan dan kekeluargaan di atas insting bertahan hidup. Di babak akhir, film memang jadi gede, karena ada bahasan ‘perang’ melawan robot-robot lain yang datang untuk membawa Roz pulang, tapi ini bagian yang paling optimis dan paling hangat buatku. Melihat para hewan bersatu padu itu rasanya jumawa sekali. Triumphant. Keberhasilan elemen akhir ini tercapai karena film benar-benar membuild up hutan dan warganya sedari awal. Sebagai background, mereka tetap dicuatkan. Film ini jadi punya feel kayak cerita-cerita Stephen King yang selalu berhasil menghidupkan kotanya menjadi karakter sendiri, lengkap dengan warga dan kebiasaan hidup mereka.

Hutan yang dihuni oleh aktor-aktor berkelas semacam Lupita Nyong’O, Pedro Pascal, Mark Hamill

 

Gak keitung deh momen-momen berkesan yang hadir di film ini. Sebut saja mulai dari Roz ngajarin Brightbill terbang, Roz dikasih kaki kayu dari berang-berang yang tadinya takut sama dia sebagai ganti kakinya yang rusak, Roz nolongin beruang yang jadi musuh semua hewan di tengah salju dengan kondisi baterai yang udah kritis, semua hewan bersatu padu mengalahkan robot-robot, Roz ngeliat Brightbill yang udah baru balik dari migrasi tapi urung karena tugasnya udah selesai dan anaknya sukses jadi dewasa. Semuanya bakal ngulik-ngulik emosi kita. Dan itu aku belum nyebut gaya animasinya. Wuih, semuanya colorful dan terasa punya keunikan. Setiap frame berasa mencuat, film yang ngembangin latar sebagai karakter akan otomatis menjadi sangat detil di visual, dan itulah yang persisnya dilakukan oleh The Wild Robot. Aku sendiri gak nyangka, pas awal nonton mikir ah, ini tokohnya robot gak punya perasaan, pasti gak sedih-sedih. Tapi ternyataaa… Film juga gak ngasih akhir journey yang cartoonishly happy. Journey Roz justru terasa dalem. Pas di tengah film udah bukan soal lagi gimana film ngasih hati ke cerita yang tokohnya robot yang cuma punya program. Pertanyaannya jadi berapa dalem film ngasih sensasi emosional tersebut. Roz belajar untuk mengoverride programnya sendiri. Demi perasaan. Demi pengorbanan.  Journey Roz circled back dari dia yang tadinya nempel terus nagih dikasih tugas, berubah menjadi sebaliknya dia tahu sudah tugasnya menjaga sesama warga hutan jadi dia pergi supaya mereka aman.

 




Denger-denger bukunya ada tiga seri, jadi mungkin film ini bakal ada sekuel. Tapi yang jelas, film ini gak lantas menjadikan itu alasan untuk ‘menggantung’ ceritanya. Roz di sini punya akhir cerita yang complete. Karakter-karakter lain juga punya journey yang tuntas. Sementara di backgroundnya, film membiarkan banyak pintu pertanyaan tetap terbuka. Ini adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan bagian pertama. Treat it as one complete story first. Di atas kertas, karakternya boleh saja diprogram untuk gak punya perasaan, tapi semua aspek di film ini seperti menguar oleh perasaan, Cerita yang dalam dan berevolusi mengembangkan lapisannya, karakter dengan journey menghangatkan, vibe yang kartun tapi juga realistis dan gak sugar-coating anything. Benar-benar film animasi yang menakjubkan.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for THE WILD ROBOT.

 




That’s all we have for now.

Sekilas diperlihatkan gimana dunia di luar hutan Roz, ada paus yang berenang di atas bangunan yang kayaknya jembatan, video kota canggih tentang satu keluarga yang punya peliharaan anjing robot. Menurut kalian apa yang terjadi di dunia cerita ini?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE SUBSTANCE Review

 

“We carry our own worst enemies within us.”

 

 

Kalo kemaren di Joker: Folie a Deux (2024) kita ngomongin gimana satu orang bisa kejebak di antara dua persona sampai-sampai dia sendiri bingung siapa diri dia yang sebenarnya, maka kali ini Colarie Fargeat ngajak kita ngobrol soal keadaan yang seperti sebaliknya. Apa yang terjadi ketika satu ‘diri’ punya kesempatan untuk hidup di dua tubuh. Akankah dia memilih tubuh yang baru, yang lebih sempurna, dan meninggalkan tubuh lama nan renta-nya selamanya?  Pembahasan soal body image dan industri yang demand-nya memang pada kemudaan dan kecantikan jadi substansi di balik sajian psyhcological plus body horor, yang pada akhirnya juga membuat film The Substance ini jadi dark comedy. Karena nonton film ini kita bakal nyadar bahwa mungkin hater terbesar kita memang adalah diri kita sendiri.

Elisabeth Sparkle adalah bintang Hollywood, cuma sinarnya udah redup. Ketenarannya merosot seiring bertambahnya usia. Rating acara fitnessnya turun karena dianggap ketinggalan zaman. Pihak studio sudah siap untuk mencari casting baru, yang lebih muda tentunya. Mereka mencari “The next Elisabeth Sparkle”. Melihat billboardnya diturunkan untuk informasi casting tersebut membuat Elisabeth nekat. Dia setuju untuk mencoba sebuah serum misterius yang katanya bisa membuat orang mendapatkan versi terbaik dari diri mereka. Literally! Dengan serum itu Elisabeth punya tubuh kedua. Yang lebih muda, dan jauh lebih cakep. Dia memanggil dirinya Sue ketika dalam tubuh muda ini. Sue inilah yang lantas jadi host baru acara tv pengganti Elisabeth. Sejumlah aturan petunjuk pemakaian serum harus dipatuhi olehnya. Di antaranya, setiap tujuh hari dia harus kembali ke tubuh aslinya, selama tujuh hari juga. Namun ketika sudah mencicipi kemudaan dan pemujaan baru dari orang-orang sekitar, tujuh hari jadi terasa lama. Sue mulai ‘mencurangi’ Elisabeth. Dia menyabotase dirinya sendiri. Dan kemudian efek mengerikan itu datang. Tubuhnya mulai membusuk dan ‘gugur’ perlahan.

Unboxing serum bukan sembarang skincare.

 

Siapa sih yang gak mau punya wajah cakep dan tubuh yang lebih muda? Dari sini film mengambil kedekatan karakternya dengan penonton, membuat Elisabeth simpatik despite her immediate faults. Menurutku pemilihan karakterisasi cerita ini sangat tepat. Karena meskipun semua orang pengen terus muda, cerita ini akan jadi shallow ketika misalnya tokoh yang diambil adalah perempuan yang biasa-biasa aja atau apalagi yang punya masalah berat badan. Shallow karena itu bakal membuat film terkesan ngejudge karakternya. Sebaliknya, film ini jadi tampak bijak dengan mengambil sudut pandang dari seorang bintang Hollywood yang sudah lewat masa emasnya. Motivasi Elisabeth yang arguably selfish itu jadi beralasan. Karena dia adalah orang yang secara first-hand tahu seberapa penting untuk stay awet muda di industri yang pergantiannya cepat seperti Hollywood. Sehingga film pun jadi punya kekuatan untuk sekalian menelisik industri Hollywood itu sendiri, bukan hanya ‘menghukum’ karakternya.

Hal tersebut membuatku jadi sekali lagi membandingkan film ini dengan sekuel Joker kemaren. Film tersebut membuat Arthur Fleck bernasib naas untuk menuding kita sebagai bagian dari society yang mengelukan sosok Joker dan kita berharap si Arthur mau menjadi sosok tersebut. Film itu memperlihatkan gimana society mendukung lalu lantas meninggalkan Arthur, tapi tidak pernah benar-benar membahas tentang society itu sendiri. Padahal Arthur dikembangkan sebagai akibat dari demand society tersebut. Sementara itu, The Substance memperlihatkan gimana industri basically menjadikan syarat muda dan menarik untuk bisa survive, bahwa kita – penonton – adalah bagian dari industri tersebut (bagaimana pun juga mereka mendengarkan apa yang penonton minta), tapi Elisabeth/Sue tidak pernah digambarkan hanya sebagai akibat dari industri tersebut. Film ini memperlihatkan both. Bahwasanya industri itu toxic, lewat penggambaran karakter produser yang cartonish (as opposed to gimana Harlee Quinn digambarkan abu-abu padahal manipulatif di sekuel Joker), sekaligus juga memperlihatkan konflik personal Elisabeth/Sue yang haus akan ketenaran dan gak mau nerima kenyataan sampai-sampai dia membenci dirinya sendiri yang menua. Dinamika Elisabeth dan Sue dengan brilian terus dipijakkan kepada kenyataan bahwa mereka ini adalah satu orang, sehingga tema soal ketidakpuasan – atau malah kebencian – terhadap diri sendiri tetap menjadi flaw karakter yang membuat cerita ini tetap menjadi kisah yang aktif sebagai galian dan pilihan karakter Elisabeth tapi tetap dengan muatan kritik terhadap dunia industrinya.

Kita adalah musuk terbesar diri kita sendiri. Bahasan film ini sebenarnya sangat dalam ketika memperlihatkan kontras antara kehidupan Sue dan Elisabeth padahal mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Keduanya akhirnya menjadi musuh, saling benci, saling sabotase karena Elisabeth/Sue memandang diri mereka yang lain sebagai sesuatu yang mereka benci dari diri mereka. Elisabeth iri dengan kemudaan Sue, dan Sue jijik dengan ketuaan dan ketidakberdayaan Elisabeth. Deep inside, ini adalah Elisabeth tidak menerima dirinya sendiri.

 

Demi Moore sebagai Elisabeth (tubuh asli yang tua) dan Margaret Qualley sebagai Sue (tubuh muda) adalah perfect cast yang sepertinya juga meta melihat dari ‘kesenioran’ mereka di Hollywood. Keduanya beneran jago menangkap vibe yang tepat untuk menghidupkan cerita dan karakter mereka. Terutama Demi Moore yang dapat tantangan range sedikit lebih luas. Dia nelangsa tapi gak over-drama. Lalu dia nekat. Lalu terasa weak dan vulnerable ketika ‘dicurangi’ oleh dirinya sendiri. Lalu berontak dan broke down. Sementara itu Sue-nya Margaret Qualley come off seperti anak muda yang penuh passion dan ambisi, tau apa yang dia mau, dan juga nekat karena Sue adalah reseprentasi diri Elisabeth yang optimis dan pede kembali – dan dia sudah pernah menjalani itu semua. Dan keduanya sama-sama kentara punya denial, sama-sama ngerasa benar saat menjadi masing-masing. Makanya film ini kuat sekali sebagai cerita yang bahas psikologis. Padahal durasinya udah panjang banget, tapi kita merasa masih pengen masuk menyelami Elisabeth/Sue ini.

Buat Elisabeth, si Sue itu lama-lama jadi Su-we’

 

Penceritaan film memang begitu luwes sehingga dua jam setengah itu jadi tak terasa. Ketika butuh untuk menjelaskan aturan serum saja, film ini tidak lantas terseok jadi momen eksposisi yang annoying. Kita tetap dibuat engage oleh permainan editing serta gerak kamera. Ketika meng-setup Elisabeth sebagai bintang lawas yang kini sudah mulai dilupakan pun, film ini tidak serta merta nyerocos ataupun memperlihatkan flashback panjang lebar mengenari karir Elisabeth. Melainkan cukup dengan memperlihatkan bintang Hollywood si Elisabeth, Semacam time-lapse sederhana dari gimana ubin bintang tersebut dicetak, dikagumi orang, hingga jadi retak-retak dan gak ada lagi yang peduli. Set up yang efektif ini yang bikin kita tahu bahwa penceritaan film ini bakal unik. Kita juga jadi siap-siap tatkala momen body horor ataupun bahkan momen creature nya nanti hadir. Film cukup mengclose up seekor lalat di dalam gelas, dan kita sudah terwanti-wanti ini film at least bakal jadi se-‘jijik’ The Fly (1986). And it did. Beruntunglah film ini panjang sehingga makanan kita sudah habis saat bagian body horor-nya datang. Proses ‘kelahiran’ Sue, proses pengambilan cairan sumsum tulang belakang, momen Elisabeth menyadari ada anggota tubuhnya ternyata udah kayak bangkai, hingga ke aksi-aksi brutal di bagian belakang dan satu lagi kelahiran makhluk – aku cuma bisa bilang film ini sangat memuaskan penggemar horor. Vibe dark comedynya juga sangat mulus membayangi. Seolah film juga turut menjadi semakin edan bersama dengan perkembangan Elisabeth.

Aku sendiri tergelitik sama term “versi dirimu yang sempurna”. Buatku term ini sebenarnya bisa bermakna lebih dalam. Saat menonton aku kepikiran, kalo aku yang biasanya suka sial ini memakai serum itu, diri satu lagi yang terlahir pasti belum tentu aku versi lebih tinggi, rambut lebih tebal, mata gak minus, lidah gak cadel, dan sebagainya. Bisa jadi yang muncul adalah aku yang botak, lebih kontet, mata lebih minus, hanya mungkin otaknya yang lebih cemerlang. Atau ngerinya lagi, mungkin diri yang lahir punya jari yang lebih banyak supaya bisa ngetik lebih cepat dan bisa ngepost review lebih banyak dalam sehari. Maksudku, who knows kan, ‘versi sempurna’ diri kita itu dilihat dari apa. Siapa yang menentukan apa yang sempurna. Gimana kalo sempurna itu berarti kita tidak mesti punya tangan dan kaki, tapi punya sayap. Menurutku term ini punya potensi untuk digali lagi. Dan maka itu juga aku surprise ketika film masuk babak ketiga. Dan ternyata memang film ini menggali “diri yang sempurna” itu ke dalam perwujudan lain dari Elisabeth/Sue. Lantas film ini jadi chaos, for the better. Menurutku babak akhir film ini benar-benar nendang, ‘stylish’, dan menutup cerita dengan sangat membekas. Semuanya mendapat ‘ganjaran’ termasuk industri entertainment itu tadi. I wouldn’t have it any other way.

 

 




Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Oh itu bakal jelek dan kosong banget pasti haha… Film Joker 2 kemaren mestinya meniru penceritaan film ini. Gimana film ini berhasil menggunakan konsepnya, yaitu body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE SUBSTANCE.

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang standar kecantikan yang bakal terus menghantui industri atau dunia hiburan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JOKER: FOLIE A DEUX Review

 

“Didn’t someone say love is a shared delusion?”

 

 

Lima tahun lalu dipuja-puja, tapi sekarang berbalik menjadi cemo’ohan.  Enggak, aku bukan lagi ngomongin presiden kita. Melainkan lagi ngomongin Joker. Adaptasi villain superhero versi Todd Phillips. Sekuelnya ini memang telah benar-benar membuat Joker jadi bahan tertawaan. Penonton casual dan kritik sepakat film ini gagal menghadirkan bukan hanya adegan musikal, tapi terutama juga gagal menghidupkan karakter titular yang sudah dikenal dan dinanti kegilaannya oleh banyak orang. Ya, sumbernya dari tidak sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi itu sendiri, terbentuk dari image yang ditampilkan. Orang berpenampilan sederhana akan membuat kita mengharapkan dia sebagai pemimpin yang merakyat, misalnya. Badut teraniaya yang akhirnya mengambil aksi seperti Joker, akan membuat kita mengantisipasi dirinya sebagai anti-hero. Joker: Folie a Deux gagasannya memang pada shared ekspektasi seperti itu, yang diperkuat dalam tingkat ekstrim sehingga yang tadinya ekspektasi berubah menjadi sebuah delusi yang dirayakan bersama. Membuat film ini toh tak kurang sebagai sebuah kebrilianan-edan juga jika kita melihat kemampuannya bercerita dalam level meta.

You brought make up..“,”I wanna see the real you.” Saat menonton, kata-kata Harley Quinn-nya Lady Gaga kepada Arthur Fleck-nya Joaquin Phoenix tersebut terdengar kayak buat nunjukin kegilaan mereka sebagai pasangan aja. Sama juga seperti ketika Lee ngerokok terus kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah ngasih tahu kepada Arthur bahwa dia lagi hamil. Aku ketawa, kupikir ni orang memang sinting. Tapi perlahan konteks film mulai mencuat. Koneksi dengan kartun Joker dan bayangannya di prolog pun akhirnya terlihat. Ini cerita tentang Arthur menemukan kembali siapa dirinya yang sebenarnya. Apakah dirinya yang sebenarnya adalah Arthur tanpa make up, atau dia adalah Joker dengan riasan badutnya. Arthur diceritakan sedang menyongsong sidang. Perbuatannya di film pertama – membunuh lima orang, salah satunya dalam siaran langsung televisi – membagi dua rakyat. Ada yang takut, ada yang kagum. Penuntut ingin Arthur dihukum mati sebagai pertanggungjawaban, namun pembela berargumen Arthur punya kelainan jiwa. Jika ingin bebas, Arthur harus ikut ‘skenario’ tersebut. Bahwa ada persona lain – si Joker – di dalam dirinya sebagai tanda dia bukan orang yang sehat. Keadaan menjadi pelik ketika Arthur jatuh cinta kepada Lee, yang ia temui di bangsal. Lee dan semua pendukung di luar sana bersikeras the real Arthur adalah Joker yang melakukan kejahatan. Mereka justru love him for that.

Ini bukan cerita tentang dua orang edan yang saling cinta. Ini cerita tentang dua orang yang merasa saling cinta karena mereka edan, as in edan karena mereka berbagi delusi yang sama. Delusi tentang sosok Joker. Film Todd Phillips ternyata bukan tentang orang bernama Joker, melainkan tentang Joker sebagai sosok, dan pengaruh sosok tersebut  kepada satu orang yang ‘menciptakannya’ serta pengaruh sosok tersebut kepada manusia lain yang mengidolakannya.

Beri makna baru pada cinta bisa mengubah manusia

 

Jadi, Arthur dan Lee shared this delusion bahwa mereka sedang saling jatuh cinta. Padahal sebenarnya. keadaannya cukup berbeda. Arthur cinta sama the idea sekarang dia punya pasangan, yang memperhatikan dan peduli kepadanya bahkan dalam persona tergelap dirinya sekalipun. Sementara Lee, dia cinta sama idea bahwa Arthur adalah sosok Joker yang bakal menjungkirbalikkan Gotham. Actually Lee juga shared delusion dengan orang-orang di jalanan kota, termasuk dengan kita. Kita love the idea of Joker; dengan sosok “Joker” sang anti-hero. Di sinilah cerita film ini jadi kompleks. Dengan berpijak kuat pada perspektif Arthur, cerita ini seperti memeriksa fenomena ketika seseorang dielukan sebagai sebuah sosok atau gagasan, padahal itu bukan siapa diri dia yang sebenarnya. Garis blur diberikan film ini kepada Arthur dalam berusaha memaknai siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya film ini kayak gak maju-maju secara kejadian. Kebangkitan Joker yang kita tunggu-tunggu tidak pernah ada. Adegan-adegan komikal nan brutalnya hanya sebagai adegan di dalam kepala Arthur. Pria menyedihkan ini bermula di penjara, dan berakhir di penjara juga. Semua aksi dan development journey itu terjadi di dalam psyche Arthur. Buatku naskah film ini masih brilian menjabarkan perkembangan psikologis Arthur Fleck. Gimana dia tadinya memandang dirinya, gimana dia merasa ada yang cinta sama dia sebagai suatu kebutuhan karena selama ini dia diabaikan bahkan oleh ibunya sendiri, gimana dia percaya dia gak salah karena yang melakukan semuanya adalah Joker, gimana dia percaya Joker adalah jalan keluar, dan berakhir dia mengakui bahwa there’s no ‘Joker’. Ini jelas bukan journey yang menyenangkan, dan itu beneran terefleksi kepada filmnya. Sehingga filmnya ngasih bad taste pada kita. Kita ‘meninggalkan’ Joker sebagaimana Lee tidak lagi datang mendukung sidang.

Pil pahit satu lagi yang harus penonton telan karena bikin film ini jadi tampak boring adalah bentuk atau konsep penceritaan yang mentok banget, Courtoom drama dan musikal. Elemen musikal sebenarnya telah digunakan sedari film pertama. Musik sebagai bentuk dari seni pertunjukan telah diestablish sebagai eskapis psikologis Arthur. Menekankan bahwa dia ‘mendengar’ musik yang tak bisa orang lain dengar di dalam kepala. Makanya musikal di sini juga tidak dibuat blur mana yang nyata, mana yang tidak. Kita akan selalu bisa membedakan mana yang interaksi musikal beneran, mana yang bukan. Karena adegan musikal dalam film ini ditujukan supaya kita mengerti apa yang terjadi di dalam Arthur. Apa yang dia rasakan terhadap sesuatu. Sekali lagi, yang didesain untuk blur di sini adalah gimana Arthur memandang dirinya – siapa yang menurutnya ‘dirinya’ yang nyata. Secara eksekusi, jelas momen musikal yang paling asik itu hadir ketika pikiran Arthur melebur dengan kenyataan, seperti ketika dia membayangkan nyanyi pembantaian di ruang sidang. Tapinya juga karena niatnya tidak pernah untuk memblurkan, adegan musikal di film ini memang terkesan repetitif dan membosankan. Seperti sisipan pengejaan feeling ataupun psyche yang sudah bisa kita mengerti, sehingga adegan-adegan tersebut juga terasa mengganggu tempo.

Adegan di persidangan sebenarnya seru. Ada penaikan tensi ketika Arthur memecat pengacaranya dan mutusin untuk represent himself. Lantas esok harinya dia muncul lengkap dengan dandanan Joker. Sepertinya sudah ready untuk bikin ‘onar’ persidangan. Namun kemudian dialog Arthur dengan salah satu saksi dari film pertama di persidangan tersebut menambah pada value emosional cerita ini. Menurutku kalopun film ini cuma punya bagian courtroom drama, kayaknya itu udah cukup. Tapi ya ambisi Todd Phillips untuk ngasih sequel yang berbeda dan nyata-nyata jelas lebih beresiko memang pantas untuk kita apresiasi.

Si Harvey Two-Face jadi penuntut untuk kasus orang dengan dua kepribadian hahaha ironis

 

Perhaps, dosa terbesar sekuel Joker ini adalah menghukum karakternya alih-alih society yang mengelukannya for the sake of delusion tanpa sama sekali mempertimbangkan bahwa dia adalah karakter yang terus ‘tersiksa’ dan ‘diabuse’ dan ‘diperalat’ sampai semua itu broke him apart. Mungkin bisa jadi itu yang dipermasalahkan oleh penonton, bukan semata karena Arthur ternyata bukan Joker yang kita bayangkan. Kritikan sosial yang diusung oleh naskah yang punya kekuatan meta ini jadi hanya seperti dimainkan untuk shock value sehingga akhirannya membuat film seperti menuding penonton. Karena setelah melihat penyadaran Arthur, kita dibikin terputus bukan hanya dengan karakter ini melainkan juga dengan film keseluruhan. Film tidak pernah memeriksa balik society yang ‘menghukum’ Arthur for memilih dirinya ketimbang jadi sosok Joker. Sehingga ketika kita tidak lagi in-line dengan karakter manapun di dalam cerita, film jadi seperti bicara langsung kepada kita alih-alih society yang tadinya disimbolkan sebagai kita. Bahwa “penghukuman” yang didera Arthur adalah akibat dan we should feel bad. Jika melihatnya seperti demikian, film ini memang terasa kurang berimbang dan jadi ngasih shock value untuk menghakimi daripada untuk examine thoroughly dan mengajak berdiskusi. Bagaimana pendapat kalian, mengapa Joker: Folie a Deux yang sebenarnya punya bahasan psikologis personal dan kolektif ini malah balik dicerca? Mengapa penonton tidak puas? Pasti bukan semata karena musikalnya gak sesuai ekspektasi dong kan? Silakan share pendapat kalian di komen yaa

 




Jika ada dua hal yang bisa kita pelajari dari Arthur Fleck maka pertama adalah tidak jadi soal apa yang ingin kita tampilkan, melainkan yang penting adalah  bagaimana kita mengeksekusinya.  Enggak jadi soal seberapa menarik materi dan konsep dan development yang cerita dan karakter kita punya, jika penceritaannya masih kurang luwes ya cerita tersebut hanya akan masih ada sebagai gagasan semata. Dan hal kedua adalah gagasan terhadap sesuatu akan make or break sesuatu tersebut meskipun itu bukan dirinya yang sebenarnya. Film ini jadi meta seperti itu. Dia ingin menunjuk penonton tapi barangsiapa menunjuk orang lain, maka empat jarinya akan menunjuk dirinya sendiri. Film ini punya gagasan yang begitu brilian tapi penceritaannya belum mampu menghantarkan semuanya dengan sempurna kepada penonton. Penceritaannya masih kurang berimbang, sehingga bahkan konsep musik psikologis dan drama courtroomnya masih terasa mentok dan justru merusak tempo.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JOKER: FOLIE A DEUX

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SPEAK NO EVIL Review

 

“The only people mad at you for speaking the truth are those living a lie”

 

 

Not gonna lie, bicarain film remake memang agak tricky. Kita gak mau film remake beda ama film aslinya, sementara kita juga gak ingin film tersebut sama persis sehingga kayak tinggal nyontek. Karena walaupun kita tahu materinya saduran, tapi at least kita pengen ada hal original lain yang diberikan oleh pembuatnya. Mungkin kita pengen lihat sudut pandang lain dari cerita yang sama. Mungkin kita pengen lihat gimana kalo cerita itu terjadi di tempat yang lain, kepada orang yang lain. Mungkin kita pengen lihat gimana cerita yang sama diceritakan lewat suara atau visi atau gagasan yang berbeda. But yea, basically, ukuran ‘bagus’ untuk film remake itu adalah film yang gak sama persis, akan tetapi berani berbeda juga belum tentu bagus. Sebab banyak pertimbangan lain; hal baru yang digali itu apakah make sense, worked out gak, sesuai konteks gak. Untuk alasan itulah aku mengacak-ngacak rambut membandingkan Speak No Evil garapan James Watkins ini dengan film originalnya yang berasal dari Denmark, released just two years ago. Masing-masing versi ini, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi mari kita pelan-pelan mengurai perbandingan mereka dengan blak-blakan (bodo amat spoiler) in order to reach conclusion film versi mana yang lebih bagus!

Secara cerita, film ini sama ama originalnya. Ini yang membuatku sempat skeptis ama remake ini. Di paruh awal, adegan, dialog, bahkan aspek-aspek kecilnya sebagian besar sama. Ada keluarga lagi liburan, ketemu sama keluarga lain. Mereka jadi akrab. Apalagi mereka sama-sama punya anak. Si keluarga tokoh utama anaknya cewek ketergantungan ama boneka kelinci, keluarga satunya punya anak cowok yang gak bisa bicara karena gak punya lidah; they could be friends with each other. Sampai-sampai setelah liburan selesai, keluarga asing tadi mengundang keluarga tokoh utama untuk menginap menghabiskan weekend di rumah peternakan mereka. Di situlah nanti keluarga tokoh utama ngerasa ada yang aneh sama keluarga teman baru mereka ini. Dari bungkusan luar, Speak No Evil adalah thriller – karena dia tentang psikopat yang menipu keluarga saat liburan. Tapi begitu kita masuk ke dalam bahasannya, film ini thrillernya ternyata psikologikal. Yang dibahas adalah bentrokan pola pikir, yang intens adalah situasi, dan dengan pola pikirnya karakter mungkin malah semakin terjerat dalam situasi berbahaya.

Another definition of ‘saksi bisu’!

 

Di sanalah letak perbedaan signifikan pertama antara versi original dengan versi remake. Permainan psikologikalnya. Yang berkaitan erat dengan identitas karakter. Atau kalo di kita istilahnya ‘kelokalan’. Pada versi Denmark (original) keluarga tokoh utama cerita adalah Bjorn dan Louise, orang Denmark. Teman baru mereka adalah keluarga Belanda, Patrick dan Karin. Film tersebut mengobarkan kengerian melalui perbedaan-perbedaan kebiasaan yang dirasakan keluarga Bjorn ketika tinggal di rumah Patrick. Karena ternyata orang Denmark itu kayak orang kita, gak enakan. Sikap itulah yang bikin film tersebut kerasa ‘bleak’. Bjorn gak yakin, keanehan keluarga Patrick memang red flag atau cuma beda tata cara aja, sopan gak dia kalo nolak. Kemudian film mengembalikan kepada penonton mereka. Ya, Patrick psikopat, tapi jangan-jangan keengganan Bjorn dan keluarga yang bikin mereka sampai tragis begitu. Sementara versi remake yang dibuat oleh Amerika – mereka mana kenal ama yang namanya gak enakan – membawa permasalahan kepada bahasan gender, ke perbedaan gaya parenting, ke perbedaan prinsip hidup dengan keluarga Paddy dan Ciara , serta konflik internal antara Ben dengan Louise istrinya. Kayak pas adegan Louise yang vegetarian disuapin daging oleh Patrick/Paddy. Pada film originalnya, Louise bilang memakannya karena jaga kesopanan, dan next time, Louise ngingetin Patrick bahwa dia gak makan daging, dan Patrick minta maaf. Film tersebut membiarkan intensi Patrick terbuka kepada kita dan Louise; apakah Patrick beneran lupa dan minta maaf, atau enggak. Sementara di film remake ini, Louise bilang memakannya karena gak enak hati karena daging itu adalah angsa kesayangan keluarga Paddy yang dipotong khusus untuk menyambut mereka. Dan the next time Louise ngingetin Paddy, pria bertubuh kekar tersebut lanjut ‘menantang’ gaya hidup vegetarian  yang gak makan daging tapi makan ikan. Mereka jadi berdebat lumayan angot soal itu. Memang,perbedaan bahasan itu membuat versi remake ini terasa lebih ‘komunikatif’ dan lebih meledak-ledak.

Tema besar dari cerita sebenarnya maskulinitas. Ini perbedaan signifikan kedua. Film originalnya punya karakter utama yang pasti. Bjorn. Plot maju semuanya karena aksinya. Dia yang stumbled upon rahasia Patrick. Bjorn adalah pria yang merasa kurang ‘jantan’ sebagai ayah. Dia tertarik jadi teman Patrick karena pria itu memuji tindakannya mencarikan boneka yang hilang milik putrinya sebagai tindakan heroik. Sekali direcognize seperti itu, Bjorn ‘ketagihan’. Dia merasa perlu untuk terus nunjukin dia pahlawan, tapi dia gagal, seperti yang kita saksikan setiap kali ada kejadian di rumah Patrick. Meminjam kata-kata psikopat itu “you let us do it”. Bahkan hingga di momen terakhir yang dia harus melawan demi keluarganya, Bjorn gagal. Dia gak melawan, padahal Patrick dan istrinya gak bawa senjata. Kalo mau berkelahi, mereka bisa ngimbangin sebenarnya. Versi remake juga bicara tentang Ben ngerasa ‘kecil’ sebagai ayah dan suami, tapi juga menambah banyak bahasan lain sehingga dia bukan karakter utama tunggal lagi. His whole family kebagian porsi yang sama besar. Ben dibikin ‘tertarik’ kepada Paddy as in dia ingin bisa kayak Paddy yang nyantai, kharismatik, mesra sama istrinya. Louise punya peran lebih besar dibandingkan Louise di film asli yang bahkan kayak gak nyadar (until it’s too late) kalo keluarga mereka dalam bahaya. Louise di sini remake ini aktif dan punya backstory tersendiri – malah dia yang jadi lawan sepadan alias paralel buat Paddy. Terus juga anak mereka, Agnes, dibikin jadi menjelang abg, dan diberikan banyak ‘aksi’ – seperti juga Ant, anak Paddy yang gagu, diberikan lebih banyak peran.

Makna Speak No Evil pun di film ini jadi lebih luas. Bukan hanya soal demi menjaga kesopanan, kita seringkali enggan menyuarakan kejujuran, tapi film ini juga mengangat soal gimana dalam keluarga sendiripun kadang kita lebih memilih untuk diam, Untuk tidak mengonfrontasi masalah. Yang pada akhirnya, tidak ada yang mau saling jujur. Makanya Paddy juga jadi karakter antagonis menarik, karena meskipun dia sendiri melakukan sandiwara besar dengan modus operandi ngibulin keluarga lain – dia yang sengaja motong lidah anak korbannya supaya gak bisa menceritakan kejadian sebenarnya – tapi justru sikap red flag-nya yang seringkali mendorong Ben dan Louise untuk terbuka untuk mendebatkan masalah mereka.

 

Secara muatan, film ini memang jadi lebih kompleks. Dan sutradara memang tahu apa yang dia incar, jadi dia benar-benar ngasih ruang untuk kompleksitas muatan ceritanya bekerja. Makanya film ini jadi lebih panjang. Hebatnya, tetap rapi. Temponya tetap terjaga. Babak set upnya juga terasa klop melandaskan perbedaan para karakter yang nanti akan berlaga mental (dan fisik, sesuatu yang kurang di film pertama). Contoh simpelnya soal si boneka kelinci. Pada film pertama, boneka itu adalah device bagi Bjorn untuk menunjukkan dia pahlawan, like, anak gue butuh boneka ya gue harus cariin dong. Tapi pada film kali ini, boneka itu adalah simbol dari development para karakter. Boneka itu jadi semacam benang merah yang mengikat masing-masing karakter kepada bentuk development yang mereka tempuh sepanjang cerita. Makanya bentuk boneka itu sendiri dibikin ‘berubah’, untuk menegaskan perannya sebagai simbol atau bukti perkembangan karakter.

Kenapa lagunya mesti Eternal Flame sih, aku jadi ngerasa ikutan psikopat juga hahaha

 

Banyak yang membandingkan dua film ini dari ‘gaya’nya. Speak No Evil remake ini, aku setuju sama pendapat yang bilang, lebih mementingkan keseruan namun gayanya sendiri jadi agak generik. Lihat saja Paddy. Dia udah kayak psikopat 101 di film-film. Penampilan akting James McAvoy, however, terutama jadi highlight di sini. Hiburannya tuh di sini. Bukan dari karakternya ternyata jahat, tapi dari gimana James memerankannya. Kita udah lihat di film Split (2017) kemampuan dan range akting James; dalam satu karakter yang sama itu dia bisa jadi orang ramah, tapi juga bisa jadi completely different pada adegan berikutnya. Paddy di tangannya ya jadi seperti itu; orang yang tampak simpatik, asik, keren malah, tapi dia bisa jadi berbahaya. James ngasih gerakan senyuman khusus pada karakternya ini. Kita tahu ini karakter pasti jahat. Aku nonton film remake ini duluan, baru nonton film originalnya, dan aku bisa tahu Paddy ini karakter apa. Kita jadi semacam mengantisipasi kemunculan sisi psikopat Paddy karena penampilan akting yang begitu on-point. Tapi menurutku menjadikan Paddy generik psikopat itu agak bentrok dengan kompleksnya muatan yang dibawa cerita. Bandingkan dengan film pertama. Patricknya tidak digambarkan sebagai kharismatik yang gimana, cuma orang Belanda tapi di mata Bjorn terlihat lebih mapan dan lebih macho – dan yang memuji tindakan heroiknya sebagai ayah. Muatannya yang sederhana jadi tapi bisa tetap intens karena yang kompleks di situ bukan muatan atau bahasannya, melainkan sudut pandang karakternya di dalam ruang sikap yang terbatas. Also, versi remake ini karena pengen jadi aksi thriller seru, jadi banyak momen-momen yang biasa diada-adain supaya seru dalam genre ini, misalnya kayak ngambil kunci diam-diam dari penjahat yang tidur.

 




Decision time!! Kalo bicara suka, aku lebih suka versi remake ini karena memang lebih seru. Sutradaranya paham mana yang harus di-enhance supaya membuat cerita ini lebih seru; dia banyakin aksi, dia membuat bahasan jadi lebih kompleks, dia pasang pemain yang dikenal menjual secara range (dia membuat ini jadi soal bagaimana si aktor memerankan karakter ini), dan film ini juga put efforts supaya naskahnya bisa memuat semua itu tapi masih bisa mirip film aslinya. Momen final battlenya aku suka banget karena sutradara kayak ngasih reference ke ending film original soal mati karena batu, Tapi kalo bicara ‘teknis’ dan gaya, film originalnya itu masih sedikit lebih kuat. Punya karakter utama yang lebih jelas. Intens dan kompleksnya datang benar-benar dari karakter, bukan dari bahasan yang diberikan kepada mereka. Pilihannya untuk jadi tragis juga akhirnya lebih membekas (walau bikin frustasi karena kurang aksi) ketimbang pilihan untuk jadi aksi thriller seru tapi banyak momen-momen generik. Maka, kalo film aslinya itu aku beri 7 dari 10 bintang emas, untuk versi remake ini: 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPEAK NO EVIL

 

 




That’s all we have for now.

Versi Speak No Evil mana yang lebih kalian suka, kenapa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



TRANSFORMERS ONE Review

 

“Good friends, better enemies”

 

 

Sama seperti Prof. X dan Magneto di X-Men, ataupun Splinter dan Shredder di TMNT, musuh bebuyutan Optimus Prime dan Megatron di Transformers dulunya juga berteman. Gatau juga, mungkin ‘kawan-jadi-lawan’ itu trope trendy di kartun Amerika 80-90an apa gimana haha… Yang jelas, kisah persahabatan dua robot yang kita kenal sedari versi kartunnya sebagai pemimpin Autobots dan Decepticons yang berseteru, akhirnya diangkat menjadi cerita origins yang baru oleh Josh Cooley. Dan ini untuk pertama kalinya aku excited menyambut Transformers di bioskop. Karena, lihat saja sendiri; Transformers One dihadirkan sebagai animasi petualangan, para robot mengambil pusat cerita, dengan desain karakternya kreatif dan ‘jelas’ – mirip sama kartun yang dulu udah sukses bikin aku suka ama robot-robot yang bisa berubah bentuk. Kalo Transformers live-action yang kemaren-kemaren itu aku anggap musuh, maka film ini certainly kuanggap kayak teman masa kecil yang kini sudah berubah, namun masih tetap kukenali dan kurindukan.

Optimus Prime dan Megatron tadinya bernama Orion Pax dan D-16. Mereka berdua adalah robot penambang. Istilahnya kelas-pekerja kasar lah. Mereka stuck sebagai penambang karena mereka tidak punya roda-gigi, sehingga mereka tidak bisa punya kemampuan optimal seperti robot-robot elit lain. Tapi Orion punya mimpi, Dia ingin nunjukin kepada Sentinel Prime, pemimpin para robot, bahwa robot penambang juga bisa lebih daripada sekadar menambang energon. Jadi Orion mengajak sahabatnya, D-16, untuk mencari Matrix of Leadership untuk diserahkan kepada Sentinel. Mereka ingin membuktikan diri mereka bisa. Setelah melanggar beberapa aturan, petualangan Orion dan D-16 bersama dua robot lain, membawa mereka ke sebuah temuan pahit. Bahwa selama ini mereka hidup dalam kebohongan. Bahwa Sentinel bukan pemimpin yang baik seperti yang dielu-elukan, melainkan robot culas yang manfaatin rakyat kecil dan dia cuma peduli sama diri sendiri (mirip siapa hayooo…) Temuan itu mengubah hal di antara Orion dan D-16. Persahabatan mereka merenggang. Keduanya punya pandangan dan reaksi yang extremely berbeda.

Hey, kenapa ya tokoh pemimpin yang dipuja itu biasanya selalu evil at heart?

 

Hati. Robot-robot itu boleh saja dadanya kosong karena gak punya roda-gigi, tapi mereka punya hati yang besar. Film ini punya jiwa meskipun karakternya cuma mesin-mesin animasi berjalan. Mereka beneran terasa seperti karakter yang hidup, dengan dunia dan permasalahan yang nyata, dan kita dibuat peduli sama keadaan mereka. Persahabatan Orion dan D-16 akan sangat berasa karena film benar-benar meluangkan waktu supaya dinamika dan persahabatan mereka terjalin genuine.  Orion yang seperti gak-sabaran untuk melakukan hal-hal yang gak biasanya – atau malah gak seharusnya – dilakukan oleh kelas penambang. D-16 yang agak reluctant dan lebih taat aturan, sebenarnya ingin nolak, tapi mereka sahabat dan supposedly always have each other back. Ini formula yang sebenarnya cukup sering kita temui, tapi film berhasil berjalan tanpa harus membuat karakternya beneran kayak trope yang lumrah, kayak Orion di sini gak jatoh kayak karakter annoying ataupun dinamika mereka gak jatoh jadi si tukang ngoceh dan si pendiam yang simpel. Bahkan karakter kayak B-127 (alias Bumblebee) yang fungsinya sebagai karakter komedi, tidak sedemikian terasa template. karena at least dia punya charm dan ‘kegilaan’ unik tersendiri.

Build up ke mereka akhirnya mendapat roda-gigi sehingga akhirnya bisa berubah juga sangat solid. Naskah film ini memang tidak terburu-buru. Tahu gimana membangun antisipasi dan tahu kapan waktu yang tepat untuk merelase semua build up-an tadi menjadi kejadian yang memorable buat kita para penonton. Secara narasi memang tidak banyak kejutan ataupun experience baru yang berarti, beberapa eksposisi dan sedikit kemudahan dapat kita temui, hanya saja film ini storytellingnya sangat well done sehingga bahkan momen-momen ‘biasa’ film ini tidak terasa mengganggu. Ketika para robot sudah bisa berubah pun, mereka tidak dibuat langsung jago. Mereka harus belajar menggunakan kemampuan baru tersebut, sambil melarikan diri menuruni lereng dari kejaran robot jahat. Sehingga momen mereka belajar tidak mengganggu tempo melainkan tetap intens karena berlangsung dalam sekuen aksi. Dan ngomong-ngomong sekuen aksi, film udah nunjukin kemampuan bikin adegan yang seru sedari saat di awal-awal Orion dan D-16 insert themselves ke kejuaraan balap antarrobot. Aku melihat ada dua kunci keberhasilan keseruan aksi di film ini. Pertama, desain kreatif yang benar-benar mewakili karakterisasi dan keunikan tiap robot. Kedua, animasi yang fluid dan colorful sebagai wadah dari desain-desain unik tersebut. Ruh dari serial kartunnya ketangkep banget oleh gaya animasi 3D modern, membuat para robot bisa dengan mudah dikenali. Gak kayak seri film live-actionnya, yang desain robotnya begitu gak-jelas; kita gak bisa ngikuti setiap perubahan wujud robotnya, karena kita bahkan gak ‘tau’ apa yang sedang kita lihat.

Yang para robot penambang itu alami juga aku yakin bakal nyampe banget ke kita. Problem mereka relatable. Bukan literally soal gak bisa berubah wujud, tapi soal mereka dibiarkan jadi begitu terus oleh pemimpin culas mereka. Mereka adalah rakyat yang dibiarkan gak bisa apa-apa selain terus bergantung kepada pemimpin, mereka rakyat yang distrip dari kebebasan untuk bergerak, berpikir, dan punya kekuatan sendiri. Sentinel sebagai pemimpin sengaja membiarkan mereka seperti itu, supaya rakyatnya tersebut terus bekerja untuk dirinya. Mengisi pundi-pundi dia dan golongannya. Like, wajah para robot memang dibuat eskpresif, tapi aku rasa yang bikin adegan saat Orion dan D-16 melihat energon-energon yang mereka tambang dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawa ternyata digunakan Sentinel untuk ‘membayar’ Quintessons (klan musuh para robot di Cybertron) itu kena kan karena itu kayak yang kita rasakan ketika tahu uang pajak seambrek yang kita berikan kepada negara ternyata digunakan untuk menggaji buzzer dan pejabat yang tujuannya bukan untuk kepentingan bersama. Rasa kecewa, rasa dikhianatinya, itu grounded dan kena banget. Maka Orion dan D-16 lantas jadi dua kasus reaction atau perjuangan yang bisa kita mengerti. Ada yang berusaha melawan dengan diplomasi seperti Orion. Membentuk kelompok sendiri. Aku baru tahu di film ini kalo Autobots ternyata artinya robot dengan autonomi – robot dengan kebebasan. Bukan automatic robot seperti yang kukira waktu kecil dulu. Dan kita juga paham ketika ada yang marah, dan memilih pemberontakan yang bisa lebih violence, sebagai perlawanan seperti yang dilakukan oleh D-16. Konsekuensi tragisnya pun kita paham. Dua kubu rakyat tersebut jadi saling ‘berperang’ satu sama lain.

Antara kawan dan lawan, batasannya memang tipis. Lawan yang paling berbahaya biasanya justru adalah orang yang kita sangka teman. Orang yang berpura-pura manis dan peduli, padahal tidak sama sekali. Seperti Sentinel Prime, pemimpin yang membawa dirinya sebagai teman dari rakyatnya, tapi ternyata dia justru hanya memanfaatkan kelemahan mereka. As in membiarkan mereka semua lemah supaya bisa terus dimanfaatkan. Kasus Orion dan D-16 lain lagi, teman baik yang jadi musuh bebuyutan, karena mereka sebenarnya sama hanya pilihannya saja yang berbeda, dan mereka saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. 

 

Cuma aku atau memang si Bumblebee wajahnya kayak Tom Holland haha

 

Cuma pada satu kesempatan naskah film ini terasa terburu-buru. Pengembangannya tidak serapih dan se-well-timed yang lain. Yaitu ketika D-16 jadi jahat; ketika Orion dan D-16 jadi musuhan. Hal ini harusnya jadi klimaks, tapi terasa abrupt saat D-16 ‘mengenyahkan’ sahabatnya itu begitu saja. Seperti ada beat yang hilang atau keskip dari development karakternya tersebut. Also, menurutku D-16 agak mengambil alih spot utama dari Orion. Perubahan sikap D-16 terasa lebih ekstrem dan lebih kentara ketimbang Orion yang agak terdorong ke background dan seolah dia tidak mengalami journey atau pembelajaran karakter. Padahal sebenarnya kan ada semacam pembalikan, dari siapa yang tadinya ingin langgar aturan dan siapa yang mau play by rules di awal dan di akhir cerita. Namun pada proses penceritaannya, aspek development ini turn-nya kurang kerasa menyeluruh ada pada kedua karakter. Perubahan mereka jadi fisik (literally, karena mereka beneran jadi Optimus Prime dan Megatron di akhir), dengan bobot dramatis lebih kuat pada D-16 dibandingkan pada Orion yang adalah tokoh utama sebenarnya.

 

 




Sebelum mengubah dunia, kita harus mampu mengubah diri sendiri dulu – mengubah sudut pandang, mengubah pemikiran, mengubah segala hal pada diri menjadi lebih baik. Film petualangan animasi ini mungkin dibuat supaya anak kecil terhibur oleh robot-robot yang bisa berubah bentuk, tapi kita bisa melihat ada nilai lebih yang ditawarkan oleh ceritanya. Atau seenggaknya, nilai lebih yang bisa kita serap karena ceritanya punya permasalahan yang grounded dan relate dengan keadaan kita. Dan yang gak kalah pentingnya lagi, film ini menceritakan itu dengan hati dan penceritaan yang telaten. Yang ngasih waktu untuk build up. Yang ngasih karakter uniknya ruang untuk mengembangkan diri. Lalu kemudian melepaskan semuanya dengan adegan aksi yang seru serta dramatis. Ini film Transformers yang aku tunggu-tunggu. Film yang bisa dinikmati bukan hanya keunikan desain karakter robotnya tapi juga ceritanya. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TRANSFORMERS ONE

 

 




That’s all we have for now.

kalo dibawa ke keadaan pemerintah sekarang, kalian lebih condong masuk atau setuju ke perlawanan ala D-16, atau Orion?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEETLEJUICE BEETLEJUICE Review

 

“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”

 

 

Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate.  Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.

Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali  ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.

Nenek seniman, ibu cenayang, cucu aktivis tree-hugger. Keluarga rame!!

 

Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!

Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.

Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat.  Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.

Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka. 

 

Winona Ryder mirip Cut Mini gak sih?

 

Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..

Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.

 




Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL