AVENGERS: ENDGAME Review

“Failure is only the opportunity to begin again.”

 

 

Separuh makhluk hidup di alam semesta, tanpa pandang-bulu, dijentik lenyap menjadi debu. Oleh monster raksasa berwarna ungu. Ya, setahun sudah kita berkabung kehilangan Spider-Man, Black Panther, Doctor Strange, Star-Lord, dan banyak lagi pahlawan super dalam kejadian itu. Namun bagi rekan-rekan superhero yang ditinggalkan, as the opening of this final Avengers movie goes, tragedi tersebut masih tiga-minggu yang lalu. Duka masih membakar hati. Kalah itu masih membekas merah di tubuh mereka. Aduh, kasihan sekali. Rasa-rasanya belum pernah kita melihat superhero seperti Captain America, dewa petir seperti Thor, manusia-manusia kuat seperti Black Widow, Hulk, Hawkeye, menjadi kehilangan harapan seperti demikian. Tony Stark adalah yang paling parah didera ‘luka-luka’. Dia merasa gagal lebih dari siapapun yang di sana. Bukan sekadar perasaan bersalah seorang yang selamat, yang Iron-Man rasakan, melainkan gabungan dari rasa gagal, ketidakberdayaan, dan keputusasan.

Avengers: Endgame dibuka dengan sangat berbeda dari film-film superhero yang biasa. Satu elemen yang absen di bagian pembukanya – yang sepertinya juga ikut lenyap dijentik oleh Thanos – adalah elemen action. Alih-alih, babak pertama film ini berjalan dengan lambat karena pembuatnya ingin kita ikut merasakan keputusasan, kefrustasian yang melanda para tokoh yang tersisa. Resiko yang luar biasa besar menempatkan penonton di posisi seperti begini, karena lumrahnya saat membeli tiket untuk film superhero, kita akan mengharapkan sesuatu yang menghibur. Jadi film ini berani memulai dengan suram. Film meluangkan waktunya supaya kita bisa melihat dan bersimpati kepada para manusia, meskipun mereka sebenarnya adalah manusia superpower. Film ingin menekankan hal tersebut. Bahwa Captain America, Thor, Iron-Man adalah manusia yang bisa mati, yang bisa kehilangan harapan di depan kematian. Babak awal film ini hampir terasa seperti film drama normal, yang justru membuat film superhero buku-komik ini menjadi menyegarkan. Urgensi dari tokoh-tokoh ini begitu terasa. Sangat exciting melihat mereka mengusahakan apapun hanya untuk terus meyakinkan diri bahwa harapan itu masih ada.

Tidak ada satu kekuatan superpun yang bisa mempermudah kita dalam berhadapan dengan kematian dan kehilangan. Kita tidak bisa terbang darinya, kita tidak bisa sembuh-cepat darinya. Tentunya kita tidak bisa meledakkannya begitu saja. Kita tidak bisa mencegahnya. Titik. Kesempatan kedua yang – bukan didapatkan, melainkan diusahakan oleh para Iron-Man dan teman-teman, sesungguhnya merupakan simbol bahwa kegagalan tersebut hanya bisa terbalaskan dengan diterima untuk kemudian diisi dengan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

“He was turned to steel, in the great magnetic field. Where he traveled time, for the future of mankind.”

 

Tentunya kita sudah menanti-nanti film penutup ini dengan banyak antisipasi, dan juga ekspektasi. Setelah Infinity War (2018) yang sangat depressing; mungkin itulah film superhero pertama yang membuat tokoh penjahat sebagai pemenang – dan basically tokoh utama, kita sudah hampir yakin film terakhir ini akan membendung ke arah kemenangan yang gemilang buat para superhero. Tapi tetap saja, ‘kemenangan yang gemilang’ itupun bisa berarti banyak, dapat diterjemahkan ke dalam spektrum arahan yang berbeda. Sutradara Russo Bersaudara paham betul untuk menyeimbangkan antara fans-service, lelucon-lelucon khas Marvel, penampakan seseorang yang bisa jadi dimaksudkan sebagai Stan Lee muda, dan resiko-kreatif yang pada akhirnya mengisi durasi panjang film ini. Masih ada banyak hal yang luput dari ekspektasi kita. Walaupun kalian mungkin adalah tipe penonton yang ngikutin dengan ngotot semua materi promosi mereka, atau mungkin juga seorang hardcore comic book fans, sensasi “wow they did that…!” masih akan bisa kalian rasakan. Dan buatku, hal tersebutlah yang membuatku enjoy menonton Endgame. Cara film ini memperlihatkan perubahan karakter, membuat mereka ‘berbeda’ dari yang selama ini mereka kenal, buatku adalah resiko yang terbayar dengan memuaskan. Tony Stark memang jadi arc utama, tapi film juga mengikat perjalanan semua karakter yang pernah nongol di film-film MCU, terutama yang namanya jadi judul film. Aku paling suka yang dilakukan film ini kepada Thor. Karena di Infinity War, journey Thor yang justru buatku paling mengecewakan – film tersebut lebih terasa seperti mereset alih-laih melanjutkan yang terjadi kepada Thor di Ragnarok. Di Endgame, journey Thor terasa langsung melengkapi perkembangan tokoh ini dari film Thor: Ragnarok (2017), karena punya gagasan yang senada; memanusiawikan dewa.

Pertarungan terakhir benar-benar sebuah ajang sulap CGI dan koreografi yang spektakuler. Kita akan dibuat melek di babak ketiga oleh rentetan pertarungan yang punya purpose untuk memperlihatkan apa yang ingin kita lihat. Mau lihat para superhero bangkit? Kita akan dapat kemunculan yang sangat dramatis hingga bikin merinding. Mau lihat dobel tim atau serangan combo baru dari pasangan superhero? Kita akan dapatkan Captain America melempar bukan hanya perisainya melainkan juga palu Mjolnir Thor! Masih belum puas dan pengen melihat Captain Marvel blow a spaceship? Wait for it… and you got it big time! Aku selalu berpikir bahwa Scarlet Witch underrated banget dan film ini seperti mengonfirmasi bahwa tokoh ini sebenarnya punya kekuatan yang lebih dari yang kita kira. Dan ngomong-ngomong soal superhero cewek, akan ada bagian ketika film ini menunjukkan tokoh-tokoh superhero cewek bekerja sama menunjukkan kekuatan mereka, bahwa mereka gak kalah sama cowok, superhero maupun penjahat. Menonton menit-menit terakhir film ini akan membuat kita tersenyum puas sambil berlinang air mata karena semuanya terasa begitu membuncah. Storyline, arc karakter, film ini meminta kita untuk mengingat kembali (atau gampangnya menonton ulang semua film lama) supaya kita bisa mengerti gimana cerita para tokoh melingker sempurna.

Thor di film ini kayak nyindir Aquaman banget, apalagi kata-kata si Thor pas di akhir kepada Valkyrie

 

Jadi pembagian cerita film ini cukup sederhana. Pengenalan yang really somber, bagian pertarungan gede di akhir, dan di tengah-tengah… well, pilihan babak kedua film inilah yang menjadi sedikit masalah buatku. Hype Endgame sejatinya juga udah sukses membuat penonton mencetuskan banyak teori soal langkah counter dari pihak superhero. Apa yang bakal mereka lakukan untuk mengalahkan Thanos. Bisakah yang menjadi debu tadi muncul kembali ke dunia. Apakah mereka mati. Ataukah terjebak di dunia lain. Teori-teori tersebut banyak beredar. Time-travel adalah salah satunya. And really it’s not a long reach jika melihat rekam jejak Russo Brothers dan Avengers sendiri yang gemar memasukkan elemen-elemen dari serial ngehits buatan Russo Brothers, Community (2009-2015). Di Endgame ini saja kita bisa menemukan dua tokoh (atau paling enggak dua aktor yang meranin tokoh) Community sebagai in-jokes; Ken Jeong yang jadi satpam dan Shirley yang jadi petugas saat Stark dan Rogers di dalam lift. Time-travel dan teori multiverse adalah salah satu episode unggulan dalam serial tersebut, jadi gak heran kalo akhirnya Russo Brothers juga menerapkan elemen serupa ke dalam Endgame.

Masalah yang kumaksud bukan exactly ke elemen time-travel itu sendiri, atau istilah official film ini adalah ‘time-heist’. Time-travel membuat narasi jadi needlesly membingungkan, ya. Tapi juga, time-travel membuka banyak kesempatan untuk mengkorporasikan banyak hal, termasuk memungkinkan encounter antartokoh yang sebelumnya tampak mustahil, serta nostalgia yang dimainkan berupa sudut pandang lain dari adegan yang sudah kita lihat. It’s fun. Tapi tidak benar-benar membuat cerita film ini jadi ada naik-turunnya. Malah tampak seperti memudahkan. Hanya terasa seperti alat untuk meletakkan momen demi momen unik. Jika kita tarik ulang dari babak pertama, yang inciting incidentnya datang dari Batu-Batu sudah dihancurkan, kemudian cerita maju ke lima tahun kemudian di mana satu tokoh muncul dengan gagasan soal time-travel, lalu Avengers berusaha dikumpulkan kembali sambil melakukan eksperimen time-travel, maka set-up film ini terasa ada dua kali. Sebelum dan sesudah inciting incident. Sebagian karakter sudah menemukan zona nyaman kedua mereka – sudah ada yang punya keluarga, maka tentu saja akan ada konflik ketika disuruh untuk mengulang kembali hidup mereka. Untuk film dengan durasi tiga-jam, bercerita dengan struktur seperti demikian tentu dapat ‘melukai’ pacing secara keseluruhan. I mean, meskipun gak kerasa panjang karena kita semua sudah demikian terinvestnya sama kisah mereka yang sudah dibuild up selama sebelas tahun, tapi tetap saja terasa eksesif jika dari tiga-jam itu dua pertiganya berjalan dengan slow; dengan banyak penjelasan, dan minim aksi. Ada beberapa bagian yang mestinya bisa ditrim sedikit. Mungkin bukan durasinya, tetapi lebih ke pemanfaatannya. Antara pengenalan, time-travel, dan pertarungan final – practically babak satu, dua, dan tiga – masih terasa terlalu banyak momen-momen yang gak kohesif.

 

 

 

Untuk sebuah finale, film ini secara cerita terasa kurang kohesif tapi berhasil tampil memuaskan secara emosional. Dia sanggup mengikat begitu banyak arc tokoh, mengambil resiko-kreatif dalam melakukannya. Dia dimulai dengan arahan yang sangat berbeda dari superhero kebanyakan. Masalah yang timbul dari pilihan ini adalah pace cerita yang dapat menjadi lamban, dan film menempuhnya secara head-on. Memilih satu yang paling obvious dari banyak kemungkinan, dan tetap saja hasilnya bikin fans dan penonton kasual sama-sama seneng. Porsi aksinya mungkin tidak banyak-banyak amat, malah mungkin lebih terasa seperti sekelebat penggalan momen-momen, ketimbang sekuen gede yang bercerita runut lewat aksi, tapi tetaplah sebuah sajian untuk mata. Kemenangan terbesar film ini, singkatnya adalah, berhasil untuk membuat sesuatu yang sudah ‘inevitable‘ menjadi tetap terasa baru dan penuh kejutan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for AVENGERS: ENDGAME.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian rela meninggalkan apa yang sudah didapat hari ini demi memperbaiki kesalahan di hari kemaren?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

KUCUMBU TUBUH INDAHKU Review

“True happiness can be realized when we harmonize the needs of our body and mind with our true self; the soul”

 

 

Ada rasa ngeri yang terasa ketika aku menyaksikan film terbaru garapan Garin Nugroho yang jadi Film Pilihan Tempo tahun 2018 yang lalu. Padahal Kucumbu Tubuh Indahku ini terhitung lebih ‘pro-selera rakyat’ dibanding film-film terakhir dari Garin. Dua filmnya yang kutonton baru-baru ini – Setan Jawa (2017) dan Nyai (2016) – terasa lebih berat dan lebih ‘semau Garin’. Toh, dengan tone yang tidak dibuat berat, Kucumbu Tubuh Indahku masih berhasil untuk menjadi meresahkan (in a good way) lantaran menguarkan elemen-elemen yang membuatnya masih satu garis yang sama dengan saudara-saudaranya tersebut. Persoalan manusia, budaya (dalam hal ini; Jawa), dan materi. Dan dalam film yang oleh khalayak internasional dikenal dengan nama Memories of My Body ini, tiga ‘Garin Trinity’ terwujud dalam sesuatu yang lebih dekat, yang lebih tidak-abstrak, yang – dalam bahasa film ini – lebih tegas garis jejaknya; Tubuh manusia, serta jiwa yang mengisinya.

Siapa sangka benda yang diciptakan dari tanah liat ini bisa begitu bikin rumit, ya? Padahal jenisnya cuma dua. Yang ada batangnya. Dan yang ada gunungnya. Tapi si empunya badan akan diharapkan untuk melakukan atau tidak-melakukan sesuatu berdasarkan dari onderdil tubuhnya. Segala sesuatu juga harus mengikuti aturan tubuh ini. Pakaian, misalnya. Bahkan nama.

Tapi apakah memang tubuh yang sebenarnya membuat pria itu pria, wanita itu wanita? Apakah yang bertinju itu jantan. Yang lembut itu bukan. Apakah ketika seseorang berkepala gundul lantas ia tidak diperbolehkan menari. Dan bagaimana sebenarnya ketika seseorang jatuh cinta – apa yang ia cintai. Tubuhkah?

 

Pertanyaan-pertanyaan seperti demikian yang bakal muncul ketika kita menonton Kucumbu Tubuh Indahku. Kita mengikuti perjalanan seorang Juno, as in Arjuna, yang sedari kecil mulai menunjukkan ketertarikan sama hal-hal kecewekan. Juno kecil suka mengintip rombongan penari lengger (tarian di mana penari laki-laki akan mengenakan riasan dan melenggok bak perempuan). Semakin beranjak dewasa, dorongan tersebut semakin kuat. Masalahnya adalah setiap kali Juno berusaha mengekspresikan diri kepada dunia luar yang serta merta meng-judge dirinya, kemalangan terjadi, yang membuat dirinya terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain. Cerita film ini akan melingkupi dari fase Juno kecil, hingga dewasa. Pembagian fase tokoh cerita begini sedikit mengingatkanku kepada film Moonlight (2016) di mana kita juga melihat perjalanan tiga-fase tokoh dari anak-anak hingga dewasa yang berkaitan dengan eksplorasi seksual yang membuat ia dikecam oleh lingkungan sosialnya. Moonlight yang menang Oscar sangat kuat di kerja kamera yang benar-benar menempatkan kita dalam perspektif si tokoh. Sebaliknya, Garin, sutradara ini tidak pernah benar-benar unggul dalam permainan kamera, melainkan ia bekerja hebat dengan komposisi. Sebagai seorang yang berlatar dari teater, Garin mengimplementasikan sentuhan khas seni panggung tersebut ke dalam visual sinematis sehingga penceritaan film ini berhasil juga menjadi unik.

Ada poster David Bowie, ada poster Freddie Mercury, tapi uneasiness yang hadir dari dunia filmnya sendiri membuatku merasa lebih cocok kalo ada poster Goldust di sana

 

 

Perjalanan hidup Juno akan diceritakan ke dalam empat ‘episode’, di mana setiap episode tersebut diawali dengan Juno Dewasa yang bicara langsung kepada kita. Menghantarkan kita kepada konteks masalah dengan cara yang amat poetic dan dramatis. Kata-kata kiasan yang ia ucapkan akan menjadi pegangan untuk kita, sehingga kita bisa membedakan tiap-tiap episode yang bertindak sebagai kenangan dari Juno sendiri. Satu episode bisa saja lebih panjang dari yang lain. Ada yang lengkap dari awal, tengah, hingga akhir. Namun ada juga yang langsung berpindah ketika konfliknya lagi naik. Aku sendiri agak mixed soal itu. Garin menawarkan bukan jawaban, melainkan gambaran untuk kita perbincangkan. Aku suka dua episode pertama, tapi setelahnya cerita seperti mengulang permasalahan, hanya saja kali ini dengan intensitas yang dinaikkan. Baik itu intensitas kekerasan ataupun seting yang dibuat semakin edgy dan relevan dengan keadaan sekarang.

Kita tentu sadar, Juno dapat saja tumbuh menjadi the next Buffalo Bill seperti dalam film The Silence of the Lambs (1991), film Kucumbu ini bisa saja dengan gampang berubah menjadi thriller psikologikal atau malah slasher yang digemari lebih banyak penonton. Film ini lumayan berdarah kok. Tapi Garin – kendati terasa berusaha lebih pop dari biasanya – tetap dengan bijaksana menyetir cerita kembali ke arah yang lebih beresonansi terhadap manusia dan budaya. Makanya jadi lebih mengerikan. Setiap episode tadi itu bertindak sebagai lapisan. Ada lapisan romansa. Ada yang berbau politik, sebagai sentilan terhadap dunia kita. Gambaran besarnya terkait dengan gagasan film ini adalah soal keadaan sosial yang katanya berdemokrasi tapi tidak pernah benar-benar demokratis terhadap warganya. Namun journey pada narasinya sendiri tidak terasa baru karena apa yang dihadapi Juno sebenarnya itu-itu juga.

Empat episode tersebut adalah gambaran tentang empat makna tubuh yang digagas oleh cerita. Yang diselaraskan dengan pergerakan arc si Juno sendiri. Kita akan diberitahu bahwa “tubuh adalah rumah”, dan kita akan diperlihatkan ‘rumah’ tempat Juno dibesarkan. Right off the bat kita bisa melihat ada ketidakcocokan antara jiwa Juno dengan ‘rumah’ – dengan tubuhnya. Ini juga seketika melandaskan keinginan Juno untuk menjadi jantan, karena ia pikir jiwa feminisnya akan berubah maskulin jika ia terlihat jantan. Episode kedua cerita ini mengatakan bahwa “tubuh adalah hasrat.” Maka kita melihat Juno kecil pertama kali terbangkitkan hasrat lelakinya. Hanya saja ia belajar semua itu dengan konsekuensi yang keras. Jari-jarinya yang bisa merasakan kesuburan ayam harus dihukum. Sehingga cerita bergulir ke “tubuh adalah pengalaman.” Ini berkaitan dengan ‘muscle-memory’ yang pernah aku bahas pada review Alita: Battle Angel (2019) ; Hal-hal yang terjadi padanya semasa kecil, trauma-trauma baik di jiwa maupun literal membekas di badannya, hal itulah yang membentuk seperti apa Juno sekarang yang beranjak dewasa. Seorang asisten tukang jahit yang membuang hasrat maskulin dan sudah sepenuhnya berjiwa feminin. Hanya saja ia masih menahannya. Ini adalah point of no-return buat Juno sebagai tokoh cerita. Di sini kita dapat kontras adegan yang menyentuh sekali antara pemuda bertinju dengan Juno yang menghindar dengan tarian; yang perlu diperhatikan adalah Juno hanya mulai menari saat si pemuda sudah tertutup matanya oleh kain. Film Garin biasanya selalu soal gerakan, dan hal tersebut tercermin di sini. Actually, selain ini, ada banyak adegan yang ngelingker dari apa yang pernah dilakukan Juno kecil. Pengalamanlah yang mengendalikan tubuh Juno mengendalikan jiwanya. Tapi Juno belum bebas. Jiwanya masih berperang di dalam. Pergolakan tersebut tercermin pada tubuhnya, sebagaimana episode ke empat menyebut bahwa “tubuh adalah alam medan perang”. Aku gak akan menyebut seperti apa akhir film ini, tapi inner-journey Juno tertutup dengan baik dan ngelingker. Meskipun seperti yang sudah kutulis di atas, menuju akhir cerita akan bisa terasa ngedrag karena tidak muncul sesuatu yang baru melainkan hanya intensitas yang ditambah.

Bahkan Garin me-recycle elemen ‘ingin dipeluk’ yang pernah ia ceritakan di Cinta dalam Sepotong Roti (1991)

 

 

I’ve also mentioned Garin tidak selalu juara di kamera. Aku bicara begitu karena dari yang kuamati pada Setan Jawa dan Nyai, Garin seperti hanya melempar pemandangan ke kamera, dan perhatian kita tidak benar-benar ia arahkan, sehingga film-film Garin kebanyakan membingungkan. Namun sebenarnya di Kucumbu Tubuh Indahku, terutama di paruh awal kita melihat cukup banyak perlakuan pada kamera yang membuat film ini tidak membingungkan untuk ditonton. Ada editing yang precise, dan menimbulkan kelucuan yang lumayan satir seperti ketika Juno yang habis colok-colok pantat ayam kemudian berpindah ke dia lagi makan dengan jari yang sama. Kamera juga akan sering membawa kita seolah-olah mengintip, atau melihat dengan framing benda-benda. Ini sesungguhnya berkaitan dengan tema ‘mengintip’ yang jadi juga vocal-point cerita. Juno diajarkan bahwa manusia di dunia hanya numpang ngintip. Ada banyak lubang yang disebut oleh film ini, untuk mengingatkan kita dan juga Juno bahwa kita sebenarnya tak lebih dari tukang intip. Soal intip-intip dan lubang ini juga eventually pun bergaung lagi di makna adegan terakhir, karena kita tahu bahwa hal tersebut menyimbolkan keadaan Juno sebagai seorang closeted-person. Dan di titik terakhir itu, dia tak lagi mengintip.

 

 

 

 

Bertolak dari penari yang kudu bisa bergerak maskulin dan feminin, Garin Nugroho berhasil menyajikan sebuah tontonan berbudaya yang memancing pemikiran kita. Terselip komentar sosial dan politik. Sekaligus sebuah seni yang memanjakan indera. Semua aktornya bermain dahsyat. Namun begitu, ini adalah jenis film yang harus banget ditonton berkali-kali, sebab cuma seginilah yang pretty much bisa dijabarkan jika nontonnya baru satu kali. Bahkan menurutku film ini juga sebenarnya mau bilang bahwa tubuh indah yang penuh oleh borok-borok kehidupan itu adalah negara kita, sebuah rumah dengan hasrat, pengalaman, dan sebuah ‘medan perang’ hingga kini. Dan sudah begitu lama sepertinya tubuh dan jiwa itu tidak bergerak bersama. Film ini hadir sebagai celah supaya kita bisa mengintip hal tersebut, supaya kembali menyelaraskan gerakan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KUCUMBU TUBUH INDAHKU.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian pernah merasa terbatasi oleh gender kalian? Jika kalian diperbolehkan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh lawan-jenis kalian, hal apa itu yang kalian lakukan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SUNYI Review

“Change the system from within.”

 

 

Sekolah dapat menjadi tempat yang mengerikan – sebuah neraka – bagi para siswa. Dan juga guru. Awi Suryadi menggarap Sunyi yang ia sadur dari kritik sistem pendidikan Korea Selatan berbungkus horor dengan memasukkan elemen-elemen yang lebih berakar pada keadaan di Indonesia. Yang membuat film ini tergolong sebuah adaptasi yang kreatif, yang tahu cara melakukan penyesuaian sehingga film tersebut menjadi tak-sepenuhnya sama sekaligus tetap memiliki ruh materi yang asli. Tapi pada satu titik, Awi juga membuat ceritanya menjadi lebih sederhana sehingga jika kita bandingkan, Sunyi terasa seperti snack-berisi-angin ketimbang Whispering Corridors (1998) yang begitu sarat sehingga masih terus bisik-bisik diperbincangkan hingga sekarang.

Yang dikomentari Awi dalam Sunyi sebenarnya bukan masalah yang baru-baru amat. Di saat media sosial dihebohkan dengan pertengkaran siswa dengan siswa, bahkan siswa mukulin guru, serta guru yang dipersalahkan karena menghukum siswanya yang bisa memantik perdebatan seberapa ‘besar’ hukuman mesti dijatuhkan, Awi mengajak kita mundur ke era reformasi Pak Gusdur dan membahas soal senioritas di balik dinding sekolah. Tapi mungkin justru di situlah letak seramnya. Permasalahan senioritas dari dulu sudah ada dan tidak pernah benar-benar hilang di lingkup pendidikan. Tradisi senior menggencet junior dengan kilah untuk membentuk karakter memang tampak sepele tapi terus menjadi momok. Bahkan ketika menonton film ini, kita bisa merasakan stakenya gak terlalu kuat. Alex Pranoto (Angga Yunanda sebagai protagonis-cowok adalah perubahan pertama yang langsung bisa kita rasakan dibanding film aslinya) merasa agak ngeri masuk ke sekolah Abdi Bangsa yang selain terkenal sebagai pencetak lulusan handalan, namun juga rame oleh isu tragedi kematian siswa karena perundungan oleh senior. Alex dan teman-teman kelas satu yang lainnya, kemudian kita lihat, diperlakukan persis sama dengan sebutan mereka; ‘budak’. Mereka harus tundukkan kepala, ucap salam setiap bertemu anak kelas dua. Mereka gak boleh menggunakan toilet. Gak diijinin makan di kantin. Dibentak kalo masuk perpus. Tapi toh sebenarnya tidak ada yang menyuruh untuk patuh, selain diancem gak bakal tergabung dalam lingkaran alumni alias dikucilkan seantero angkatan sekolah. Menontonnya dan berbicara di sini sebagai ‘penjahat angkatan’ karena suka ngeles dari jadwal ospek kuliah, bagiku stake dramatis film ini memang kurang dramatis. Alex bisa bolos kapan saja. Bahkan tokoh senior dalam film ini menyebut penderitaan anak-anak baru itu cuma setahun. Tapi kemudian aku menyadari, justru di sinilah letak poin utama film.

And also, buatku menarik karena belum lama ini kita juga mendapat film Pohon Terkenal (2019) yang memperlihatkan kenapa ada anak-anak muda yang rela memilih untuk masuk ke sistem yang mengospek dan meninggalkan kebebasan mereka di pintu gerbang. Kedua film ini – Sunyi dan Pohon Terkenal – bisa dijadikan pembanding, atau malah saling melengkapi, tergantung gimana kita masing-masing melihat senioritas itu sendiri.

Mangkir ngedumel gak setuju dari senioritas, maupun menguat-nguatkan mental menjalaninya, tidak akan mengobati masalah. Dibutuhkan seseorang seperti Alex; seseorang yang masuk ke dalam sistem dan dengan berani memutus rantainya dari dalam. Di akhir film kita melihat tindakan Alex-lah yang menghentikan tradisi di sekolahnya. Pilihan Alex untuk tidak meneruskan estafet dendam yang ultimately memberikan perubahan besar.

 

selain penampakan film aslinya, di film ini kita juga melihat penampakan finalis Gadis Sampul 2015, horeee

 

 

Jika film aslinya lebih ke horor psikologis siswi-siswi di SMA khusus cewek; elemen misteri hantu yang ada di film tersebut sebenarnya lebih bertindak sebagai pemanis, maka Sunyi justru menjadikan hantu-hantuan sebagai jualan utama. Whispering Corridors menjadikan aspek supernatural sebagai metafora dari kengerian yang dirasakan oleh penghuni sekolah yang bagai terpenjara oleh sistem pendidikan yang terlalu menekan murid. Menciptakan kompetisi mengerikan di antara mereka. Memisahkan teman, menjadikan mereka saingan. Guru-guru yang galak (sengaja ataupun terpaksa) adalah pembully utama di dalam cerita. Secara esensi memang mengerikan sekali. Atmosfer kuno yang menguar dari sistem horor dunia pendidikan itu terasa menempel di setiap sudut-sudut kamera. Tapi film itu juga punya kelemahan, terutama bagian teknis karena teknologi yang belum secanggih sekarang, sutradaranya pun masih ‘pemula’ saat itu.

Di tangan Awi Suryadi yang sudah tidak asing lagi menghasilkan horor-horor box office, cerita Sunyi benar-benar bertumpu kepada hantu-hantu beserta kemunculan mereka yang mengagetkan. Actually, jumlah hantu film ini lebih banyak dari film aslinya, yang mana merupakan tambahan yang disambut baik oleh penonton Indonesia. Buatku juga gak masalah jika film ini memilih untuk mengedepankan hantu-hantu tersebut. Dengan teknologi kekinian, Awi juga sanggup menghadirkan adegan-adegan kematian yang lebih menghibur, aku terutama suka dengan adegan di kolam renang. Hanya saja, hantu-hantu ini memang kepentingan utamanya adalah sebagai alat supaya film bisa punya alasan untuk melakukan jumpscare. Menurutku mestinya hantu-hantu baru ini bisa digunakan lebih banyak untuk kepentingan cerita, tapi enggak, film ini mau pake jumpscare maka diciptakanlah mereka. Aku masih gak mengerti kenapa pembuat horor sekarang suka mengasosiasikan hantu dengan kaget, padahal mestinya hantu itu seram bukan ngagetin. Sebelum nonton ini, aku menonton lagi Whispering Corridors dan tidak sekalipun ada adegan jumpscare pada film itu. Ketika ada adegan seseorang berbalik dan dia melihat hantu di belakangnya, tidak ada suara musik menggelegar di latar. Melainkan sunyi. Kita melihat apa yang si tokoh lihat terpantul di kacamatanya, kemudian si tokoh memekik tanpa suara, dan kita merinding dibuat oleh adegan itu – bertanya-tanya siapa sebenarnya yang ia lihat tadi. Pada Sunyi, setiap kemunculan hantu dijamin bakal bikin jantung kita melompat protes. Dan ini akan menjadi kontras yang tak menguntungkan ketika film mulai mencoba menggambarkan suasana tempat tokoh ‘dikurung’.

Hantu-hantu dalam film ini bisa dianggap sebagai perlambangan dari dendam, ataupun sebagai perlambangan dari senior/tukang bully itu sendiri. Kita harus berani menghadapinya sebab terkadang sebenarnya mereka lebih butuh bantuan daripada kita.

 

but seriously, nobody likes a narc, Alex. Nobody.

 

Sunyi memang tidak mampu menggali kengerian dari konteks tradisi senioritas terhadap sosial sekolah itu sendiri. Ketika kita bicara suasana horor, yang dilakukan Awi hanyalah mengerahkan kamera untuk menangkap sudut-sudut sepi lorong koridor sekolah, dan kadang melakukan sudut miring (Dutch) supaya menghasilkan kesan eery. Usahanya tidak pernah meluas kepada suasana cerita itu sendiri. Sekolah yang terlihat modern dengan hidup gampang seperti masa kini padahal settingnya di awal tahun 2000an. Praktek-praktek senioritas itu tidak tergambarkan dengan baik, malah hanya disebutkan oleh Alex ketika mengisi buku jurnalnya. Dan ketika beberapa coba divisualkan, hasilnya tak menguar perasaan takut. Melainkan perasaan kesal terhadap senior-senior sok jago tersebut. Kita tidak merasakan gimana pengaruh senioritas menghantui murid-murid baru pada film ini.

Dan ini menjadikan dunia dalam filmnya tidak imersif, tidak terasa benar-benar hidup. Cerita Sunyi fokus kepada Alex. Hanya saja kita tidak pernah melihat dia bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Tokoh yang diperankan oleh Amanda Rawles suspiciously absen pada sebagian besar narasi, dia sengaja dibuat seolah berada di luar cerita, sehingga penonton yang berpengalaman (apalagi yang udah pernah nonton film aslinya) pasti sudah menebak ‘siapa’ tokoh ini sebenarnya setelah dua-tiga adegan yang menampilkan interaksinya dengan Alex. Tiga senior ‘musuh’ Alex diberikan sedikit backstory (malah ada yang kayak si Bender di film 1985 The Breakfast Club)  tapi hanya sepintas lewat beberapa baris dialog. Kita melihat para senior sebagai ‘jahat’, tidak ada senior yang baik kepada Alex ataupun baik ketika di luar. Whispering Corridors punya satu tokoh guru yang tadinya murid di sekolah itu, dan si guru berusaha untuk mencari middle-ground antara tegas disiplin dengan manusiawi terhadap muridnya. Tidak ada tokoh yang seperti itu di Sunyi. Semua yang baik ada pada Alex, yang membuat tokoh ini jadi lumayan membosankan. Dan bahkan Alex seperti dipaksa oleh narasi karena satu-satunya alasan dia dihampiri hantu adalah karena dia punya kemampuan mistis turunan dari ayahnya. Dan ini menurutku perbedaan yang cukup aneh dari Sunyi terhadap Whispering Corridors. Pada film itu, hantunya bisa dilihat oleh semua orang. Dia ada di sekolah karena dia suka sekolah, dan dia gak mau ketahuan sudah meninggal, jadi dia mulai terpaksa membunuh, dia juga membunuh untuk melindungi teman sekelasnya. Pada Sunyi, revealing dan penjelasan si hantu terasa terburu-buru, twistnya juga kurang mengena karena sudah jelas sekali dari penanaman adegannya bahwa hanya Alex yang bisa melihat dia. Dan ini salah satu yang menyebabkan interaksi dalam film ini gak meluas ke teman-teman yang lain, yang membuat cerita jadi sempit sekali. Untuk sebuah kisah yang ingin menunjukkan senioritas sebagai sesuatu yang menakutkan, film ini lucunya tidak memperlihatkan semangat kerjasama. Ini adalah perjuangan tunggal, instead.

 

 

 

Film ini harusnya bisa menjadi suatu pandangan mengerikan tentang praktek senioritas di lingkungan sekolah, bagaimana praktek tersebut mempengaruhi murid-murid, bagaimana posisi guru di sistem tersebut. Tapi ceritanya ternyata diarahkan lebih kepada horor hantu-hantuan yang hanya gloss-over komentar dan situasi sosial tadi tanpa benar-benar menyelaminya. Tentu dia menawarkan solusi yang penonton masih bisa menangkap pesan tersebut, meskipun harus sambil terpekik-pekik dikagetin hantu, tapi ini menjadikannya terlalu sepele jika dibandingkan dengan film aslinya. Penggambaran senioritas dan bullying-nya juga bisa dibilang outdated jika dibandingkan dengan berita-berita edan yang kita baca belakangan. Film seharusnya bisa merangkul ini, dan menjadi sedikit lebih berbobot sehingga lebih banyak yang bisa penonton bawa pulang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUNYI.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian masih bisa menemukan praktek bully senioritas di lingkungan kalian? Kenapa menurut kalian hal tersebut masih terjadi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

AVE MARYAM Review

“Love is like God: both give themselves only to their bravest knights”

 

 

“Aaaaaaaaave Mariiiiiii~~aaa…aamm”

Loh kok Maryam, kan lirik lagunya Maria?

Maria dan Maryam, toh, sebenarnya adalah sosok orang yang sama. Cuma yang satu penyebutan di kitab Kristen, satunya lagi penyebutan umat muslim. Maka naturally aku tertarik nonton film ini; judulnya udah kayak sebuah collab banget. Tapi ternyata garapan Robby Ertanto ini enggak benar-benar memfokuskan kepada toleransi antarumat beragama seperti yang disugestikan oleh judulnya. Namun begitu, Ave Maryam dapat juga kita jadikan sebagai jendela mengintip toleransi kemanusiaan yang lain. Toleransi dalam cinta.

Tokoh utama cerita, Maryam (Maudy Kusnaedi – mungkin – dalam peran paling berani yang pernah diterimanya) adalah seorang biarawati yang bertugas mengurusi suster-suster sepuh di biara mereka di Semarang. Dengan nama berbau Islam, dan mengucapkan alhamdulillah, tokoh ini sekilas tampak dalam krisis kepercayaan. Namun sebenarnya poin film ini ialah untuk menunjukkan tidak ada perbedaan antara Katolik ataupun Islam secara manusia. Sehingga pesan yang ingin disampaikan tak-terbatas pada agama yang jadi latar ceritanya. Apa yang terjadi kepada Maryam, bisa saja terjadi kepada setiap maria, atau siapapun di luar sana. Tantangan beragama terhadap pemeluknya yang taat itu sama pada agama manapun. Pada satu poin dalam hidup, setiap kita mungkin akan mengalami ujian siapa yang lebih kita cintai; Tuhan atau sesama manusia. Seperti Maryam yang kemudian jatuh cinta. Enggak tanggung-tanggung, dia jatuh cinta kepada Romo Yosef (kalo pemuka agamanya sekeren Chicco Jerikho, Valak juga bakal jinak kali’). Kedua insan ini harus merenungkan kembali apa yang sebenarnya mereka cintai.

filmnya jadul tapi duitnya tampak kekinian

 

 

Untuk dapat melihat lebih jelas maksud dari gagasan yang berusaha diangkat oleh film yang lumayan berat ini, kita perlu mundur jauh dulu demi mendengar kata Sigmund Freud tentang hubungan atau kecintaan manusia terhadap tuhan. 

 

Freud mengemukakan teori bahwa tuhan hanya ada dalam pikiran para pengikutnya. Tercipta dari kebutuhan akan sosok ‘ayah’ yang melindungi. Hidup ini keras. Orang dewasa tentu gak bisa lagi bergantung kepada orangtua untuk keselamatan, jadi kita – kata Freud – mencari sosok ‘orangtua’ lain yang bisa memberikan perlindungan, ketentraman, menghadirkan keamanan, membimbing ke jalan yang benar. Bagi Freud, tuhan merupakan gambaran manusia akan sosok paling sempurna, paling ideal, dari seorang ayah yang harus diikuti dengan taat. Cewek-cewek akan rela menjadi biarawati, meninggalkan keinginan duniawi supaya selangkah lebih dekat dengan tuhan. Cowok-cowok memilih jadi pastur, meninggalkan privilege hidup bebas demi sabda-sabda dari sosok yang bahkan tidak bisa dilihat.

Hal tersebut adalah akar dari konflik cinta-terlarang yang menjadi fokus utama film Ave Maryam. Seorang biarawati tidak boleh jatuh cinta, apalagi kepada seorang romo. While Maryam sendiri pada awalnya berusaha mengelak; dia menghindar ketika diajak jalan oleh Yosef, dia ingin merahasiakan – memendam saja rasa tersebut – literally hanya melihat Yosef dari balik terali jendela, Yosef bertindak sedikit lebih frontal dalam mengekspresikan cintanya. Dia menitipkan surat untuk Maryam kepada suster lain. Yosef tidak mengerti – atau malah ia menentang ketentuan seorang romo dan biarawati tidak boleh jatuh cinta; di salah satu adegan menjelang akhir kita melihat Yosef mempertanyakan alasan kewajiban mematuhi sesuatu yang tidak bisa dilihat. At that point, aku berpikir film sekiranya akan dapat bekerja lebih dramatis, lebih maksimal jika kursi tokoh utama diberikan kepada Yosef alih-alih Maryam. Karena bahkan adegan pengakuan di bilik penebusan dosa pada menjelang ending yang benar-benar emosional itu tampak lebih menohok kepada Yosef. Paralel dengan amarah yang ia lontarkan sebelumnya. Realisasi baginya, bahwa tidak harus melihat sesuatu untuk mencintai, mematuhi, dan yakin kepadanya. Sepanjang narasi kita akan belajar siapa Yosef, kenapa dia yang free-spirited memilih untuk menjadi romo. Sedangkan Maryam, kita tidak banyak diberikan pengetahuan siapa dia, dari mana asalnya, kenapa dia memilih untuk jadi biarawati. Kamera membawa kita melihat seperti apa Maryam seolah dari pinggir ruangan; kita tidak pernah merasa ikut bersama Maryam, oleh kamera yang menangkap latar cantik itu kita hanya diposisikan sebagai observer. Kita melihat di awal dia fokus terhadap tugasnya, dan saat dia jatuh cinta kita menyaksikan tugas-tugas tersebut mulai gagal ia kerjakan. Kita paham bagaimana cinta tersebut mulai mempengaruhi cintanya terhadap tuhannya. Sebagai landasan motivasi, kita diperlihatkan adegan mimpi Maryam dengan jendela di pantai yang sepertinya menunjukkan Maryam ingin kebebasan. Tapi film tidak menggali lebih dalam perihal alasannya merasa gak-bebas, kenapa dia sendiri melanggar komitmen atas nama cinta yang bahkan rasa cintanya terhadap Yosef pun tidak tergambar semeyakinkan Yosef tampak mencintai dirinya.

Cinta itu sama seperti Tuhan. Tak bisa dilihat, tapi terasa. Tak bisa dipegang, tapi ada. Kita cuma harus berani meyakini keberadaannya.

 

Perjalanan tokoh Maryam ini terasa abrupt. Mendadak. Tentu, adegan paling manis dan menarik yang dipunya oleh film ini terkait dengan penggambaran jatuh cinta kedua tokohnya adalah adegan di restoran di mana Maryam dan Yosef ‘ngobrol’ melalui tayangan yang diputar oleh restoran tersebut. Penggunaan dialog yang sangat pintar dan unik. Tapi selain itu, rasa cinta yang disebut-sebut Maryam itu tak pernah terasa benar-benar ada. Dia hanya diajak ke toko roti, dikirimi surat yang isinya ngajak ketemuan, I mean, darimana cintanya kepada Yosef tumbuh? Adegan pengenalan Yosef pun tidak tampak spesial. Dia tiba di gereja mereka begitu saja. Kamera tidak memperlihatkan seperti apa istimewanya Yosef di mata Maryam. Dari yang kutonton malah terasa seperti Maryam tersugesti oleh anak kecil pengantar susu yang pertama kali menyebut Yosef “tampan”. Dari Maryam ‘cuek’ ke dia cinta, buatku seperti sebuah loncatan narasi. Durasi film ini terlalu pendek untuk sebuah cerita hubungan dua manusia yang dilarang saling jatuh cinta. Dan setelah cinta, tau-tau Maryam menangis, lalu dia menyesal, what’s happening here? Ada momen penyadaran Maryam yang completely terskip. Ada adegan kunci yang tidak film ini masukkan. Aku duduk di bioskop dari awal hingga akhir, tapi tetap saja rasanya entah ada sekuen yang terlangkau, atau Maryam baru saja mengalami mood-swing paling drastis yang bisa terjadi pada wanita. Apa yang terjadi di pantai di malam ulangtahun Maryam?

hampir kayak nonton Dilan dengan setting The Nun

 

Buat yang udah baca sinopsisnya sebelum menonton ke bioskop (untung aku bacanya sesudah menonton, sebelum nulis review ini), Ave Maryam at best adalah sebuah false advertising. Kita tidak melihat separuh yang diinfokan oleh sinopsis sepanjang hamparan durasi filmnya. Dan buatku sebuah kegagalan jika sinopsis malah bertindak sebagai komplementer ketimbang ringkasan singkat dari actual filmnya. Ave Maryam sepertinya tak-cukup berani. Maryam seperti mendambakan kebebasan tapi kita tidak melihat bentuk ‘kekangan’ selain larangan jatuh cinta itu. Film sepertinya khawatir akan membuat lingkungan gereja jatohnya antagonis, tapi mestinya mereka bisa mengambil pelajaran kepada Lady Bird (2017) yang berhasil membuat tokoh utamanya tampak terkekang walaupun asrama katolik yang penuh aturan tempatnya berada tidak sekalipun tampak ‘jahat’.

 

 

Aku bingung juga kenapa teman-teman banyak yang memuji dan memberi nilai tinggi kepada film ini. Hampir seperti aku dan mereka menonton film yang berbeda. You know, aku tidak bisa begitu saja meyakini film ini bagus hanya karena dia ikut festival, atau karena banyak yang muji, apalagi hanya karena ada Joko Anwar. Aku harus menonton sendiri, dan menilai berdasarkan apa yang aku lihat. Hanya apa yang aku lihat. Narasinya berjalan dengan lumayan mendadak. Pacingnya enggak lambat-lambat amat, cuma memang setiap shot kayak enggak benar-benar ada yang penting selain visual yang cantik. Kejadian-yang-berhubungan dengan tokohnya yang mendadak cepet. Menghindar, suka, tobat – diceritakan dengan abrupt, sebelum masing-masingnya sempat mekar sempurna. Seperti ada yang hilang – seperti ada yang tak kulihat. Hanya kepada tuhan kita bisa percaya tanpa harus benar-benar melihat sosoknya. Dan film ini, aku yakin sekali, bukan tuhan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AVE MARYAM.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kenapa sih masalah percintaan terkait aturan agama harus selalu rumit? Bukankah jika cinta kepada Tuhan, naturally orang juga mencintai sesama manusia? Menurut kalian kenapa kita bisa begitu ngotot cinta sama satu orang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

MANTAN MANTEN Review

“Love is not a war to have win or lose; It’s DIVINE.”

 

 

 

Dalam menjalin hubungan percintaan, jalan yang ditempuh tidak selamanya mulus. Malah mungkin saja jalannya buntu. Kadang ada yang udah deket, tapi kemudian ada masalah ‘kecil’, sehingga kembali menjadi seperti orang asing. Yang berpaling muka bila saling bertatap mata. Ada juga yang udah lengket banget, tapi ternyata nikahnya sama orang lain. Cara orang berdamai dengan mantan pun berbeda-beda. Ada yang nguatin diri tetep temenan. Ada yang langsung ngeblok. Malah ada juga yang nekat datang ke nikahan mantannya sambil nyolong curhat lewat nyanyi di panggung. Lucu sebenarnya, karena kenapa pula kita mau ‘berdamai’ sama mantan?

Film Mantan Manten yang digarap oleh sutradara baru Farishad I. Latjuba seperti hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa kita musti-banget berdamai dengan mantan. Bukanlah lebih mudah menjauhi, dan diam-diam ngestalk kehidupannya – berharap mereka mendapat pengganti yang tak-lebih baik dari kita. Melalui kisah kehidupan seorang wanita karir bernama Yasnina (Atiqah Hasiholan berhasil mendaratkan tokoh yang penuh ego lewat permainan ekspresi) yang sudah ditipu oleh rekan kerja, sehingga terpaksa menjadi pemaes alias penata rias (paes) pengantin Jawa, lalu ultimately ditikung cintanya, kita akan dibuat mengerti bahwasanya berdamai dengan mantan itu sebenarnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Mengikhlaskan dalam film ini berarti mampu menatap mantan kita dengan pandangan yang tak-lagi penuh endapan kecewa, atau onggokan harapan, dan mungkin dendam.

Terkadang apa yang kita anggap kemenangan bisa berarti kehilangan. Tidak ada yang namanya mutlak menang atau kalah dalam cinta. Cinta bukan soal itu, karena sejatinya bukan kompetisi. Bukan juga soal investasi yang harus mendapat balasan keuntungan. Satu-satunya ‘kalah’ dalam cinta justru bukan ketika kita tidak mendapatkan yang kita cintai, melainkan ketika kita kehilangan hidup – siapa kita yang sebenarnya – saat berusaha memiliki yang kita cintai.

 

cinta bukan tawar menawar

 

Untuk sebuah cerita yang dikembangkan dari satu peristiwa yang bikin baper sejuta umat, Mantan Manten surprisingly tampil matang. Enggak receh. Tidak lebay. Film ini tidak menganggap remeh penontonnya. Right off the bat, kita dicemplungkan ke dunia profesional Yasnina yang bekerja di gedung-gedung tinggi. Dialog yang berbahasa inggris, istilah-istilah investasi dan perbankan (correct me if I’m wrong, karena to be honest aku tidak mengerti setengah hal yang diucapkan oleh tokoh kita di awal-awal), mengalir deras tak peduli apakah penonton mengerti atau tidak. Film tidak pernah berhenti untuk menjelaskan bahkan ketika suara cerita bergeser menjadi soal budaya pengantin Jawa. Treatment ini benar-benar membuat film menjadi sejajar dengan tokoh Yasnina itu sendiri; seorang yang intens, determinan, dan all-business.

Sebenarnya bukan masalah film tidak memberi penjelasan tentang istilah-istilah di dalam dunianya, malahan bisa saja menjadi berat oleh eksposisi. Namun tentu saja hal tersebut menjadikan bagian awal film cukup ‘beban’ untuk ditelan bulat-bulat. Terutama oleh penonton yang mengira cerita bakal sekasual judul filmnya. Lumayan susah untuk mengikuti dan berpegangan pada tokoh utama. And at first, she’s not a very likeable character either. Tapi kita tetep dipaksa untuk menjadi peduli padanya saat dia terlibat kasus, yang sejatinya bertindak sebagai kejadian yang memulai benturan pada perjalanan plotnya. Tone ceritanya pun mendadak akan menjadi sangat berbenturan begitu kita sampai pada aftermath kasus yang menimpa Yasnina. Dari yang modern, ke sesuatu yang lebih tradisional. Dari keuangan menjadi pernikahan, apa yang menghubungkannya? Satu-satunya yang tampak menghubungkan kedua itu – kenapa harus pemaes – adalah karena ceritanya berunsur mantan yang jadi pengantin. Selain tokoh Yasnina yang menggunakan mindset perbankan/investasi yang ia tahu ke dalam masalah pengantin, kita tidak bisa benar-benar menemukan alasan kenapa kerjaan tokohnya harus begitu dan nantinya dia harus belajar adat pernikahan Jawa. Romance mengambil kursi depan, di belakangnya ada drama, dan kemudian film juga berusaha memasukkan komedi. Dan sedikit sentuhan surealis yang hadir dari elemen budaya. Semua tersebut dilakukan dengan pacing yang nyaris tidak ada. Film berjalan begitu saja, seolah melompat dari satu sekuen cerita ke cerita lainnya.

Aku berharap mereka ngerem sedikit sih. Bukan untuk menjelaskan. Melainkan untuk memberikan ruang bernapas, ruang untuk cerita menghasilkan efek sebelum lanjut ke sekuen yang lain. Maksudku, perpindahan dari mendendam dan berniat mencari uang ke diharuskan belajar paes tidak benar-benar terasa punya impact. Hubungan antara Yasnina dengan budhe Marjanti yang jadi semacam mentornya, dengan undertone seorang anak yang mendapat pengganti ibu, seharusnya ini yang jadi salah satu kunci penting cerita karena pengalaman Yasnina bersama si ibu lah yang eventually membentuk dirinya menjadi pribadi yang baru, tapi film malah menunjukkan perkembangan ini dalam montase Yasnina belajar ogah-ogahan teknik dan filosofi Paes. Kita harusnya melihat perkembangan Yasnina lebih lama, menurutku cerita akan bisa mencapai titik maksimal jika durasinya diperpanjang. Dan didedikasikan untuk menggambarkan transisi tokoh Yasnina dengan lebih mendalam. Sehingga ketika dia mengambil posisi yang diwariskan oleh Budhe, terasa lebih genuine – bukan lagi terasa hanya karena tertulis di naskah sudah waktunya begitu. Tapi aku pikir, film sengaja mempercepat paruh pertama film karena mereka tahu materi yang mereka ceritakan sudah cukup berat, sehingga mereka ingin buru-buru untuk sampai ke bagian akhir yang merupakan punchline dari cerita.

padahal penganten kan mestinya ojo kesusu

 

Bahkan, melihat dari punchline cerita – babak akhir cerita, film tampak seperti enggak yakin harus mengambil tone yang seperti apa. Mereka ingin supaya penonton ikutan sedih, haru, baper karena keadaan yang harus dijalani oleh Yasnina. Akan tetapi dari segi narasi sendiri, seharusnya bagian akhir itu adalah titik di mana Yasnina sudah bisa mengikhlaskan sehingga mestinya tidak ada lagi baper-baperan. Plot film bergerak dari pertanyaan apakah Yasnina bisa memenangkan ‘pertempuran’ untuk kemudian terjawab di akhir babak kedua dan pertanyaan berubah menjadi apakah Yasnina bisa mengikhlaskan. Progres ceritanya naturally adalah Yasnina sudah menjadi ‘kuat’, dia bisa memimpin prosesi dengan lapang hati karena dia sudah menang dalam hidupnya meskipun dia tidak mendapat yang ia inginkan. Secara visual, film melakukan hal tersebut dengan sangat indah. Kita melihat pandangan matanya berbenturan dengan mata mantannya. Bagaimana matanya seperti memberikan restu. Sungguh menguatkan. Akan tetapi musiknya dimainkan seolah menyuruh penonton untuk merasa kasihan dan baper terhadap Yasnina. Ini menjadikan kita tidak berada di dalam sepatu Yasnina.

Momen-momen yang diniatkan sebagai komedi – untuk membuat film jatohnya enggak serius amat – juga menurutku mestinya bisa dicampurkan dengan lebih menyatu lagi. Banyak adegan komedi yang terasa dishoehorn alih-alih hadir alami di dalam cerita. Kepentingannya pun terpampang dengan gamblang. Pada adegan Yasnina baru sampe di rumah budhe di Tawangmangu, ada seseorang bermotor yang datang ke sana, dan kemudian mereka berdua terlibat dialog yang lucu, dan keduanya berakhir pergi bersama menuju tempat pesta budhe. Adegan ini kelihatan banget untuk nampilin komedi dan memberikan ‘kemudahan’ bagi Yasnina, karena kemunculan si pemuda bermotor tersebut sama sekali gak natural. I mean, kenapa dia datang ke rumah itu padahal ia tahu budhe gak ada di rumah dan dia sendiri juga semestinya ada di tempat pesta. Menurutku jika memang khawatir film menjadi berat sehingga harus ada yang ngelucu, mestinya porsi komedinya bisa dicampurkan dengan lebih mulus lagi. Seperti elemen budaya yang mengalir halus menjadi lebih dari sekadar tempelan. Tokoh-tokoh dalam film ini terikat oleh budaya, dan meski mereka menyadari hal tersebut sepenuhnya, mereka-mereka yang bisa dikatakan punya power tersebut tetap tidak bisa menggeliat keluar dari adat budaya.

 

 

Babak terakhir film ini benar-benar nendang. This could be a very strong narrative, on top of gampang untuk relevan. Tapi film seperti kehilangan percaya diri dengan cerita yang ia angkat. Terburu-buru di separuh awal, melewatkan kesempatan untuk mengembangkan relasi yang menjadi hati utama cerita, hanya karena filmnya tidak mau tampil terlalu berat. Menurutku cerita akan bisa bekerja lebih baik jika diberikan waktu dan ruang untuk berkembang. Akan tetapi yang kita dapatkan di paruh awal tersebut masih terasa seperti loncatan tahap-tahap sekuen plot yang sebetulnya masih bisa dikembangkan lagi. Dunianya pun kurang immersive karena selain tiga tokoh yang jadi sentral cerita – Yasnina, Budhe Marjanti (itu juga mestinya lebih banyak lagi adegan Yasnina dengan si ibu) dan Bapak Arifin – tokoh-tokoh yang lain kurang motivasi dan seperti ada di sana karena diperlukan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANTAN MANTEN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Sudah berapa nih mantan kalian? Ada yang masih temenan gak? Menurut kalian kenapa lebih gampang untuk enggak temenan ama mantan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WrestleMania 35 Review

 

 

 

Sebuah malam yang penuh perubahan di Metlife Stadium, New York. Bukan semata mecahin rekor penonton terbanyak (itu mah udah biasa!), melainkan juga rekor-rekor yang beneran luar biasa kayak pertandingan cewek pertama yang menutup WrestleMania, ataupun melahirkan juara WWE asal Afrika pertama – dan lebih spesifik lagi; juara dari Ghana pertama. WrestleMania 35 berhasil menorehkan pengaruh secara global. Ia menjadi acara penting, menandakan pergerakan zaman, menyuarakan perjuangan ekualitas dalam gagasan di balik aksi-aksi spektakuler. To look further beyond that, dalam skala yang lebih kecil, WrestleMania 35 pun adalah sebuah kesuksesan sebagai acara hiburan-langsung yang berdurasi hampir delapan-jam (termasuk kick-off show).

It’s not an easy feat to pull off. Beberapa tahun belakangan ini, WrestleMania – bahkan payperview gede WWE lainnya – berjuang keras untuk memaksimalkan durasi panjang yang mereka punya. Sekilas memang tampak sederhana; bukankah dengan waktu yang lebih panjang, acara bisa dikemas lebih leluasa sehingga menjadi semakin menarik? Well, masalah untuk acara live seperti WWE lebih kompleks daripada itu. Ada pertimbangan ‘daya-tahan’ penonton. Span-atensi yang semakin berkurang justru membuat semakin panjang durasi, resiko membosankan menjadi semakin gede. Kita tidak bisa meletakkan match-match seru begitu saja susul-menyusul. Penonton akan cepat lelah, dan akan menjadi terlalu capek untuk bersemangat di acara puncak. WWE berusaha memainkan pacing; memasukkan adegan-adegan backstage konyol, atau memasukkan match-match filler, supaya penonton bisa ‘beristirahat’ dari satu partai penting ke partai penting lain. Hanya saja, match dan segmen-segmen tersebut biasanya jadi kayak kata pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. People just want more dan mereka kesel dijejelin entertainment yang gak-jelas.

NXT Takeover – payperview dari brand NXT – adalah antitesis dari acara induk WWE. Digelar hanya sepanjang tiga jam. Diisi tak lebih dari lima-enam pertandingan, dengan paling banyak sekitar lima-belas superstar yang tampil. Tapi shownya selalu terasa padat, dan memuaskan. Setiap pertandingannya punya arahan cerita yang jelas, psikologi yang bener, sementara tetap menghibur dengan aksi-aksi yang tak ditahan-tahan. NXT Takeover seperti tak pernah dipusingkan oleh kebutuhan untuk menampilkan superstar sebanyak mungkin. Filosofinya adalah less is more. Ini gak bisa diterapkan di show utama WWE yang punya daftar superstar lebih besar. Thus, kepentingan untuk menshowcase keseluruhan mereka pun sama besarnya. Di antara mengakomodasi banyak sekaligus, membangun cerita, dan menyuguhkan aksi menghibur, acara WWE pada dasarnya bekerja secara long-term. Yang tampak sebagai keputusan match yang bego, ternyata hanya episode satu dari cerita perjuangan yang panjang. Maka kadang satu-dua payperview perlu untuk jadi ‘jelek’ dulu sebelum mendapat yang benar-benar make sense dan menghibur. Tapi tentu saja itu tidak bisa dijadikan alasan. WWE perlu untuk mencari formula supaya setiap acara mereka bisa sama menyenangkan untuk ditonton.

WrestleMania 35 mungkin memang hadir di waktu dan tempat yang tepat. Tapi sesungguhnya dalam acara ini WWE berhasil menemukan formula rahasia yang menjadikannya tontonan yang mengasyikkan dan tidak terasa membosankan walau panjang. Formula rahasia tersebut adalah; giving in to what people wants.

 

begitulah tampangku menonton acara ini dari awal hingga akhir

 

 

Mulai dari memenangkan Seth Rollins. Mematahkan losing-streak hometown superstar (di kick-off show). Menjuarakan Kofi Kingston. Menyerahkan dua sabuk kepada Becky Lynch – with absolutely no more bullshit. Hingga ke mengembalikan Dr. Thuganomics. Bahkan smallest act seperti menjadikan Alexa Bliss sebagai host dan Elias sebagai ‘penampilan musikal’ adalah tindakan nyata WWE sedang memanjakan fans. Memberikan apa yang penonton mau.

Aku gak akan ngomong terlalu panjang setelah teriak-teriak panjang yang kita lalui menyaksikan acara ini. WWE menekankan kembali fokus mereka kepada kita lewat video pembuka acara, merangkum kalimat dari Shakespeare yang practically bilang dunia ini adalah panggung sandiwara. “We are storytellers” kata para superstar WWE dalam video tersebut. Dan di sini, WWE melakukannya tanpa basa-basi. Setahun perjalanan cerita comes to an end, dan WWE melakukannya full untuk memenuhi keinginan penonton. Keputusan membuat pertarungan Lesnar singkat dan, surprise-surprise, menjadi pembuka adalah keputusan yang benar-benar tepat. Karena itulah yang penonton mau. Langsung to the point ke aksi seru.

Contoh paling seru dari gimana WWE mendengarkan para fans tentu saja adalah kasus Kofi Kingston dan Daniel Bryan. Kita harus mengakui perjalanan Wrestlemania Kofi berawal dari saat ia menggantikan Mustafa Ali yang cidera. Fans mengelu-elukan dirinya – due to the fact Kofi sudah berjuang sebelas tahun untuk stay relevant di papan tengah – dan alih-alih memaksakan cerita kembali ke alur rancangan mereka, WWE mendengarkan. Aku sendiri tadinya skeptis – gak mau bersorak terlalu cepat untuk Kofi. Karena biasanya WWE akan dengan angkuhnya nyuekin fans. Vince sendiri kan yang pernah bilang kalo fans itu sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri mau. Tapi kemudian, to my surprise, WWE mendevelopnya sehingga bukan saja ini adalah cerita yang kita usahakan bersama, tetapi juga merupakan sebuah storyline yang benar-benar menarik dan empowering. Kofi dan Bryan ini udah kayak cerita film Us (2019) buatan Jordan Peele. Bagi Bryan, Kofi adalah dirinya yang dulu; an under-privilege underdog. Bryan sebenarnya takut sama Kofi karena dia tahu persis kekuatan yang timbul dari perjuangan pembuktian diri menggapai kesempatan. Bagi Bryan, melawan Kofi sama seperti melawan dirinya di tahun 2014 yang lalu – dirinya yang udah menaklukan authority dan WrestleMania. Cerita yang sangat kuat, yang tentu saja tidak membawa kerugian di dalam ring. Actually, Kofi melawan Bryan adalah pertandingan terbaik di WrestleMania. Kita semua terinvest ke dalam ceritanya sehingga perhatian kita tak sedetikpun teralihkan. Setiap pinfall, setiap jurus gede, membuat kita merinding oleh intensnya emosi.

Semua cerita dalam pertandingan-pertandingan acara ini didesain untuk menjawab keinginan para fans. Tapi bukan berarti tak ada kejutan. Pada partai main event yang bersejarah itu, misalnya, WWE mewujudkan harapan fans untuk melihat The Man berjaya. Match tiga cewek perkasa ini begitu brutal dan stiff, sangat layak untuk jadi main-event, dan meskipun akhirannya agak antiklimaks tapi gak satupun dari kita menyangka Rousey-lah yang actually di-pin alias dikalahkan. Dan twistnya adalah, cerita ini tidak berakhir seperti yang diucapkan Rousey di video pembuka; ini tidak seperti ending.

Pada dasarnya, sebagian besar pertandingan di acara ini seperti epitome dari chant “You suck!” yang kita layangkan kepada Kurt Angle. Kita terhibur saat menyebutnya ‘payah’. Tidak ada yang pengen melihat Corbin jadi lawan terakhir Angle, apalagi Corbin yang menang, tapi kita tahu cerita musti berakhir begitu, dan apa yang kita inginkan sebenarnya adalah Kurt Angle mendapat satu I lagi dari moto 3 I yang dia punya. Intensity, Integrity, Intelligence. Dan kini, Immortal. Match tag team cewek suck abis tapi kita senang karena duo favorit kita yang menang. Kita ogah melihat Shane lagi-lagi menang, namun kita bersorak-sorai melihat Shane dan Miz main hardcore gila-gilaan. Kita sebenarnya bosen melihat Lashley lawan Balor melulu, tapi kita excited demi melihat demon beraksi. Dan kejuaraan Tag Team Smackdown, kupikir kita semua gak akan masalahin siapa yang menang, karena yang paling penting adalah keempat tim yang terlibat telah menyuguhkan atraksi tarung yang dahsyat. Bahkan Batista melawan Triple H yang begitu obvious pemenangnya (berkat stipulasi yang gak perlu) saja masih menghibur kita lantaran kita mendapatkan apa yang kita harapkan dari dua superstar masa lalu ini.

Is this a game over? Is this an end game?

 

Memang sih, terlalu banyak fan-favorit yang menang tak ayal akan membuat kesal juga bagi beberapa orang yang pengen hasil yang lebih menantang. Seperti Roman Reigns melawan Drew McIntyre yang sebenarnya bisa dibuat jadi lebih kelam. Atau juga Orton lawan Styles yang bisa dibuat lebih gede karena pertandingan mereka sama sekali tidak terasa seperti partai sebergengsi partai WrestleMania. Tapi toh kedua partai tersebut berhasil juga bercerita dengan sangat fokus. Tentang Styles yang melihat RKO, dan tentang simbolisasi Reigns mengalahkan leukemia by himself. So they both served a storyline purpose dalam batasan waktu yang diberikan. Walaupun memang tidak sebesar yang seharusnya bisa dilakukan. Dan to be fair, match Mysterio lawan Samoa Joe berlangsung singkat sepertinya karena Rey masih belum sembuh benar dari cidera angkle-nya.

 

 

 

WrestleMania 35 adalah salah satu delapan-jam paling asyik yang pernah aku habiskan sambil makan kacang. Dua belas match dalam lima setengah jam. Tidak semelelahkan seperti yang sudah kuantisipasi, ternyata. Ada banyak feel-good moment, yang tidak merusak kesinambungan ataupun kelogisan cerita. WWE benar-benar berhasil menyenangkan hati para penggemarnya. Totally sebuah cara yang benar dalam merayakan perubahan. The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara Kofi Kingston melawan Daniel Bryan sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins merebut gelar dari Brock Lesnar
2. SINGLE AJ Styles mengalahkan Randy Orton.
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The Uso bertahan dari The Bar, Rusev dan Shinsuke Nakamura, serta Ricochet dan Aleister Black.
4. FALLS COUNT ANYWHERE Shane McMahon menang dari The Miz karena suatu “keajaiban WrestleMania”.
5. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY The Iiconics jadi juara baru ngalahin Sasha Banks dan Bayley, Tamina dan Nia Jax, serta Natalya dan Beth Phoenix.
6. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston memulai hari baru sebagai juara setelah ngalahin The New Daniel Bryan.
7. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Samoa Joe retained by quickly defeating Rey Mysterio.
8. SINGLE Roman Reigns menang dari Drew McIntyre.
9. NO HOLDS BARRED Triple H gak jadi harus pensiun karena berhasil mengalahkan Batista.
10. ANGLE’S FAREWELL Baron Corbin ngalahin Kurt Angle.
11. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Finn Balor mengeluarkan Demon jadi juara baru ngalahin Bobby Lashley.
12. RAW AND SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT WINNER TAKE ALL Becky Lynch jadi dobel champion ngalahin Ronda Rousey dan Charlotte Flair.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

PET SEMATARY Review

“Death is a mystery and burial is a secret”

 

 

Bahkan Stephen King sendiri – penulis novel source materi film ini – pernah bilang bahwa Pet Sematary adalah satu-satunya cerita buatan dirinya yang beneran membuatnya ketakutan. Meskipun aku belum pernah baca bukunya (aku mungkin bakal mencarinya sesegera mungkin), tapi aku sudah menonton film adaptasi pertamanya, Pet Sematary (1989). Film tersebut sukses menanamkan banyak hal mengerikan di benakku; seperti jalanan yang lengang itu lebih berbahaya ketimbang jalanan yang padet lantaran mobil bakal lebih leluasa ngebut, dan aku actually tinggal di daerah yang sering dilewati truk-truk besar seperti pada cerita Pet Sematary. Film tersebut juga sedikit-banyak berjasa dalam membuatku sempat takut sama kucing. Dan hingga sekarang, aku gak belum lupa sama adegan “no fair, no fair” menjelang penutup filmnya.

Dari sekian banyak film adaptasi novel misteri Stephen King, film yang bagus sesungguhnya bisa dihitung dengan jari. Tapi kenapa Pet Sematary yang udah bagus malah diadaptasi dua kali mungkin bakal membuat kita mengernyitkan dahi. Pet Sematary yang baru ini masih bercerita tentang keluarga yang pindah dari Boston ke rumah baru mereka di pinggir jalan negara bagian Maine. Kemudian mereka menemukan sebidang tanah yang oleh anak-anak setempat dijadikan pekuburan untuk hewan-hewan peliharaan yang tertabrak mobil. Makanya judul film ini typo, karena ceritanya nama tersebut diberikan oleh anak kecil. Kematian adalah hal yang alami. Seharusnya tidak ada yang mengerikan pada pekuburan, hanya tempat orang mati disemayamkan. Paling tidak itulah yang dimengerti oleh Louis, kepala rumah tangga yang bekerja sebagai seorang dokter di unversitas. Tapi lantas hal supranatural terjadi, Louis didatangi oleh pasiennya yang meninggal karena kecelakaan. Sebagai ucapan terimakasih, sang pasien bermaksud untuk memperingatkan Louis untuk tidak melanggar batas di area pekuburan. Untuk tidak tergoda sama kekuatan tanah Indian yang misterius yang mampu membangkitkan makhluk tak-bernyawa yang dikuburkan di dalam tanahnya yang kasar dan jahat.

bisakah kita mengajarkan trik baru kepada kucing yang telah mati?

 

Tema ceritanya memang kelam. Pet Sematary pada intinya adalah cerita tentang orangtua yang berusaha memperkenalkan kematian kepada anak-anak mereka. Mati tentu saja adalah konsep yang berada di luar nalar anak kecil. Kenapa kita harus mati. Kemana kita setelah mati. Film Pet Sematary membawa suara novelnya, berbicara tentang hal tersebut. Kita akan melihat Ellie, putri dari Louis mempertanyakan soal kematian. Dan kita melihat gimana Louis dan Rachel, istrinya, sedikit berbeda pendapat. Ada sedikit pertentangan dari Louis saat Rachel menjelaskan kepada Ellie bahwa ada yang namanya ‘afterlife’; ada surga. Sementara Louis tidak percaya akan hal tersebut. Ini menciptakan dua sudut pandang yang menarik dan akan bermain ke dalam perkembangan tokoh. Tapi paling tidak, suami istri ini setuju untuk mengajarkan satu hal kepada putra-putri mereka; bahwa kematian harus diikhlaskan.

Tetapi bagaimana caranya mengingatkan, mengajarkan ikhlas menghadapi kematian kepada anak-anak, jika kita sendiri sebenarnya belum mengerti benar tentang kematian – belum bisa mengikhlaskan kematian? Alih-alih truk, sebenarnya pertanyaan inilah yang akan menabrak kita keras-keras.

 

 

Film Pet Sematary yang pertama bukanlah film yang sempurna. Jika dikasih nilai, aku akan memberinya nila 6.5 dari 10 lantaran banyak yang mestinya bisa dikembangkan. Pet Sematary yang baru ini, bukanlah sebuah remake, melainkan adaptasi berikutnya dari novel yang sama. Jadi, ya, film ini menawarkan beberapa hal baru – perubahan baik besar maupun kecil jika dibandingkan dengan materi asli maupun film pertamanya. Jadi kupikir, mungkin ini alasan film ini dibuat lagi, karena mereka ingin mengangkat sudut-sudut yang lemah. Melakukan perubahan atas nama pembaruan. Tapi apakah itu lantas membuat film jadi lebih baik?

Ada beberapa yang aku suka. Pada film yang dulu, Louis ini tokoh utama yang lumayan bland. Dia tidak punya backstory semenarik dan semengerikan Rachel, dan juga Jud – tetangga mereka. Dalam film kali ini, Louis yang diperankan oleh Jason Clark diberikan sudut pandang yang lebih kuat, tapi memang sepertinya tokoh ini sudah mentok. Aku berharap mungkin mereka bisa mengganti tokoh utamanya menjadi Rachel yang dihantui trauma masa lalu berkaitan dengan saudaranya yang sakit keras. Sutradara Kevin Kolsch dan Dennis Widmyer memberikan lebih banyak porsi kepada Rachel yang dimainkan oleh Amy Seimetz dibandingkan Rachel di film yang dulu. Dan benar membuat ceritanya lebih menarik dan mengerikan, kita bisa melihat keparalelan sehubungan dengan ikhlas menerima kematian dengan lebih jelas. Kita juga diberikan lebih banyak interaksi dengan Ellie – aktris cilik Jete Laurence actually punya tantangan range di sini. Tapi tetap saja, tokoh utama haruslah Louis, karena dialah yang melakukan penggalian. Dan ini membuat film jadi sedikit ‘kacau’ di perspektif. Set upnya jadi terasa agak aneh.

Adegan tabrakan setelah midpoint adalah perubahan yang paling signifikan dalam narasi. Efek perubahan cerita ini tak-pelak akan terasa maksimal oleh penonton yang familiar dengan film Pet Sematari yang dulu. I know I did. Perubahan yang dilakukan cukup drastis dan membuka peluang untuk penggalian sudut yang baru, yang mungkin lebih dalam. Dan aku semakin excited melihat seperti apa film akan berakhir. Yang bikin aku ngakak adalah film sempet-sempetnya memasukkan easter-egg, sebegitu singkat, yang aku yakin yang pernah menonton film yang dulunya pasti tahu. Dalam film yang dulu, adegan tabrakan ini terjadi karena supir truk yang lagi asik dengerin lagu Sheena is Punk Rocker (oh boy, lagu Ramones ini jadi bahan candaan waktu aku masih sekolah). Dan di film yang baru ini, kita bisa melihat supir truknya mendapat panggilan dan sekilas kamera menunjukkan “Sheena is..<calling>” pada layar teleponnya hihi

Memang baru pada adegan tabrakan inilah film terasa mulai bergerak bebas. Karena separuh awal itu hanya berisi eksposisi. Orang-orang yang duduk bercerita tentang sejarah kuburan hewan. Tentang legenda sour ground, tentang cara kerja dan efeknya. Buat yang sudah tahu, ini tentu akan membosankan. Bahkan yang belum pernah baca atau nonton film yang dulunya pun, tidak seperlu itu mendapat penjelasan yang bertubi-tubi seperti yang dilakukan film ini pada babak pertama dan awal babak keduanya. Tokoh tetangga, Jud, yang diperankan simpatik oleh John Lithgow, seperti buku manual yang terus berbicara. Untung saja aktornya cakap sehingga tidak terdengar monoton.

mimpi buruk setiap orangtua adalah mengubur anaknya sendiri…dua kali!

 

Babak ketiga film ini sebenarnya cukup keren. Kengeriannya itu berada di tanah yang berbeda. Namun itu jugalah yang menjadikannya aneh, film ini seperti missing the point. Fokus cerita seperti berubah jadi tentang roh-roh jahat Wendigo itu ketimbang masalah pengikhlasan kematian yang menjadi tema utama cerita. I mean, bukankah poin utama film ini adalah tentang ngajarin anak ikhlas, dan betapa ngajarin itu lebih gampang daripada melakukan – justru orangtua yang paling susah menerima jika kematian tersebut menimpa anak mereka. Akan tetapi, dari arahan yang menutup cerita, seperti tidak ada yang belajar pada akhirnya. Anak Louis dan Rachel tidak pernah sadar menerima kematian saudaranya – karena film ini mengganti secara besar-besaran. Louis pun malah mendapat ‘hukuman’ ketika dia mencoba untuk mengikhlaskan dan mengambil jalan yang benar.

Selain itu juga film ini terasa begitu berusaha untuk menjadi seram. Atmosfernya dibuat sangat kelam. Bahkan ada sekelompok anak-anak yang memakai topeng yang tidak benar-benar menambah bobot selain menghasilkan imaji yang seram. Mereka seharusnya dipergunakan dengan lebih maksimal, karena idenya udah keren. Yang paling tidak aku suka adalah film ini tidak benar-benar membangun lokasi ceritanya. Truk-truk besar yang ngebut itu hanya ada ketika naskah butuh device dan butuh momen jumpscare. Pada film yang dulu, daerah rumah mereka hidup oleh suasana. Saat mereka ngobrol kita mendengar suara truk lewat. Mengingkatkan kita bahwa kematian tidak pernah jauh dari mereka. Pada film kali ini, daerah mereka seperti sunyi. Mati dalam artian yang pasif. Tempat yang mengancam itu tidak dibangun, padahal justru di situlah letak kekuatan cerita-cerita horor Stephen King; Tempat yang diam-diam mengancam. Film yang dulu tidak perlu gelap dan jumpscare dan semua itu, tapi toh tetep atmosfer seramnya menguar.

 

 

Seperti mayat kucing yang dikubur itu, horor re-adaptasi ini kembali ke tengah-tengah kita dengan tak lagi sama. Dengan perubahan drastis, film ini menawarkan horor yang mencekam meskipun sedikit lebih artifisial. Karakter-karakternya lebih dalam terjamah. Ada bagian yang bikin kita terenyuh juga. Endingnya bisa dibilang keren. Tapi aku tidak bisa bilang aku menyukainya. Bukan lantaran dia berbeda, justru bagus ada adaptasi yang benar-benar melakukan tindakan adaptasi – tidak melulu membuat tok sama. Aku gak suka karena film ini jadi seperti lupa pada poinnya sendiri. Sehingga narasinya jadi aneh. Jadi malah lebih seperti cerita tentang makhluk jahat yang mau merebut tempat manusia alih-alih tentang menerima kematian itu sendiri. Penceritaannya pun tidak menjadi lebih baik. Tokoh utamanya tetap kalah menarik. Separuh awal film ini akan membosankan bagi yang sudah tahu ceritanya. Dan kalo ada yang nanya ‘kalo udah tau kenapa nonton?’, maka baliklah bertanya ‘kalo sudah pernah kenapa dibuat lagi?’ Kalo sudah mati kenapa dihidupkan lagi.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengubur hewan peliharaan yang kalian sayangi sewaktu masih kecil? Bagaimana perasaan kalian saat itu?

Menurut kalian adaptasi buku Stephen King mana yang perlu dibuat ulang?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

SHAZAM! Review

“If we do not have one thing, we surely have some other”

 

 

Dengan menyerukan kata “Shazam!”, Billy Batson – Asher Angel memerankan anak muda empat belas tahun dengan hidup yang cukup ‘keras’ besar dari rumah asuh ke rumah asuh lain – berubah menjadi Zachary Levi yang berotot, berkostum ketat merah, dengan sayap putih sebagai jubahnya. Dan simbol kilat menyala oren terang di dadanya. Apa yang lantas dilakukan Billy dengan kekuatan sihir menembakkan kilat dari jarinya? Apa yang diperbuat Billy dengan kemampuan berlari super cepat, tahan peluru, dan bertenaga seperti Superman? Tentu saja bersenang-senang! Dengan wujud barunya, Billy membeli bir. Membalas perbuatan bully di sekolah. Lalu kemudian bolos sekolah. Masuk ke kelab. Begitulah kehidupan orang besar di mata anak-anak; kesempatan bermain yang lebih panjang. Tapi tentu saja, menjadi dewasa bukanlah sekadar mengucapkan mantra untuk berubah.

Shazam! sebelum sebuah film superhero, adalah sebuah film keluarga. Dan sebelumnya lagi, film ini merupakan sebuah gambaran tentang dewasa yang sebenarnya. Menggunakan sudut pandang anak kecil. Salah satu dari kalimat yang pertama kita dengar di film ini, kurang lebih, adalah “this kid will never be a man”, yang seketika mengeset konteks bahwa menjadi dewasa sekiranya dapat menjadi beban bagi anak kecil; sesuatu yang ditakuti, lantaran mereka belum punya pengetahuan ataupun kesiapan. Tapi ini bukan jenis cerita yang membandingkan kesempatan anak kecil dengan orang dewasa. Ini lebih kepada membandingkan dua contoh kasus; dua anak kecil yang sama-sama tidak punya satu elemen penting dalam masa perkembangan mereka sehingga rasa takut tersebut berubah menjadi rasa iri. Dan kedua anak ini memilih cara yang berbeda untuk mengekspresikan rasa iri mereka.

Fokus film ini adalah supaya kita melihat dan meng-embrace hal yang tidak kita punya. Bukan untuk menumbuhkan inferior, bukan untuk menciptakan rasa iri. Melainkan supaya kita dapat membuka diri menerima hal baru yang akan mengisi kekurangan sehingga kita menjadi semakin dewasa terhadap keadaan kita.

 

film ini udah kayak versi superhero dari Big (1988) dan iklan ojek-online episode korban tsunami 

 

Ketika membaca tiga paragraf di atas, mungkin yang belum nonton bakal menganggap film ini sebagai tontonan yang serius. Percayalah, di tengah gempuran dunia sinematik superhero yang ceritanya lagi kelam dan sangat serius, Shazam! actually adalah jenis film superhero yang bisa kita nikmati sambil nyender santai ngunyah popcorn di kursi. Penceritaannya mengambil pendekatan seperti komedi anak muda di tahun 80an. Akan ada banyak adegan yang sengaja dijatohin cheesy. Tone cerita memang kadang jadi gak bercampur dengan baik. Sepuluh menit pembuka yang lumayan dark, dan menyedihkan, dan kemudian ternyata bagian tengahnya itu luar biasa ringan. Yang dialami oleh Billy saat masih kecil itu bukan materi yang bikin kita ngakak. Dia terpisah dari ibunya di karnaval, dan sejak hari itu terus mencari-cari keberadaan sang ibu. Hidup Billy jadi enggak mudah. Tetapi alih-alih melanjutkan cerita lewat drama, film membawa kita ke pendekatan yang lebih fresh. Kita diberitahu Billy terus-terusan kabur dari rumah asuhnya. Kita diperlihatkan Billy ngeprank polisi demi mendapatkan alamat. Dan ini sebenarnya sangat kompleks; film enggak ingin membuat cerita yang seperti biasa namun juga tak mau Billy tampak seperti remaja urakan yang melakukan keputusan bego dengan sekadar mencari masalah dengan orang dewasa. Billy ini menolak untuk settle dengan rumah asuh karena dia menolak mengakui dia udah gak punya keluarga.

And here comes the heart of the movie; Billy ditempatkan di rumah asuh bersama lima anak yatim lainnya. Elemen keluarga asuh ini menjadi aspek terbaik yang dimiliki oleh film ini. Orangtua asuh Billy kali ini adalah pasangan yang dulunya juga gede di sistem foster, jadi mereka mengerti bagaimana menjadi keluarga. Baru-baru ini aku nonton MatiAnak (2019) yang juga memperlihatkan kehidupan foster family yang menyenangkan, dan Shazam! ini juga sama upliftingnya. Anak-anak yang bakal menjadi saudara Billy lebih beragam. Cewek yang paling kecil, misalnya, sangat senang punya kakak cowok baru dan tidak bisa berhenti bicara. Ada juga anak yang hobi main game. Ada yang pendiam tapi gak menutup dirinya. Ada kakak cewek yang galau keterima kuliah, tetapi dia merasa berat harus pindah dari keluarga tersebut. Percakapan Billy yang tatkala itu sudah menjadi Shazam dengan si kakak ini menunjukkan nun jauh di lubuk hati sebenarnya Billy merasa iri dengan anak-anak yang bisa menerima kekurangan mereka, tapi ia tutupi dengan merasa ia sudah bisa menjaga diri – ia merasa itulah makna dewasa, sehingga ia tidak perlu lagi iri.

Teman sekamar Billy, si Freddy (Jack Dylan Grazer jadi salah satu sumber komedi paling efektif dalam cerita), eventually menjadi sidekick yang ngajarin Billy cara menjadi superhero yang ‘baik dan benar’. Tokoh ini menurutku adalah perwujudan dari tone cerita yang kadang gak nyampur dengan baik tadi. Di awal pertemuan mereka, Freddy bercanda mengenai kondisi dirinya yang berjalan dengan bantuan tongkat. Dan kita gak yakin harus tertawa atau enggak, kinda seperti lelucon ‘papa belum mati’ Lukman Sardi di film Orang Kaya Baru (2019). Tapi sutradara David F. Sandberg lumayan berhasil mengalihkan tokoh ini dari menjadi annoying, hubungan antara Freddy dengan Shazam-lah yang membuat bagian tengah film ini menyenangkan untuk disimak. Dan tentu saja, Zachary Levi sangat kocak sebagai Billy Super. Dengan sukses dia menghidupkan seperti apa sih anak kecil yang seumur hidupnya belum pernah mengalami kejadian menyenangkan tiba-tiba mendapat kekuatan, menjadi orang besar, dan bisa melakukan banyak hal yang sebelumnya mungkin malah tak pernah ia bayangkan. Makanya Billy kecil justru terlihat dewasa, sedangkan Billy gede lebih fun – seperti ada dua Billy. Karena dalam wujud Shazam, Billy merasa lebih luwes dalam mengekspresikan diri.

Ketika kita diliputi rasa iri, kita akan lebih berfokus pada apa yang tidak kita miliki. Padahal semestinya kita tidak melupakan apa yang kita miliki, apa yang seharusnya kita nikmati.

 

Film tidak benar-benar menjelaskan kenapa Billy terpilih sebagai pewaris kekuatan sihir Shazam, selain karena dia punya hati yang murni. Monster yang harus dikalahkan olehnya adalah perwujudan dari Seven Deadly Sins. Billy bisa jadi dikatakan murni karena dia tidak tertarik untuk membesarkan Dosa yang dia punya, he did try to repressed his envy. Tapi cara film ini membuat urutan kejadiannya, malah jadi terasa seperti Billy adalah pilihan random, dan alasan kenapa dia enggak tergoda jadinya seperti karena Monster Tujuh Dosa itu sudah pergi dan tidak ada di Gua saat Billy dipanggil ke sana. Billy seperti tidak mendapat ‘godaan’ sebesar antagonis utama film ini, ‘anak kecil’ satunya lagi yang jadi sorotan cerita; Mark Strong yang dengan bad-ass memerankan Dr. Thaddeus Sivana.

Nangkep anak-anak aja kok mesti ngeluarin lima monster segala sih, dasar Sivana na na na~

 

Kondisi yang membuat iri tumbuh dengan tiga kondisi sebagai syarat. Pertama ada orang atau sesuatu yang lebih baik, kedua kita merasa ingin seperti demikian, dan ketiga ada derita yang kita rasakan sehubungan dengan hal tersebut. Backstory Dr. Sivana ini dijelaskan dengan cukup detail. Dia mengalami tiga hal tersebut. Kita melihat dirinya semasa kecil, dan seperti apa jadinya dia saat dewasa. Cerita ingin menunjukkan kontras antara Billy dengan Sivana; anak kecil yang berusaha dewasa dengan keadaan dirinya dan orang dewasa yang tetap seperti anak kecil lantaran menahan grudge yang dipelihara oleh rasa irinya. Merupakan perbandingan yang menarik, tapi juga membuat tokoh ini jadi satu-dimensi. Dan kita diminta untuk percaya dari sekian jauh waktu antara dia kecil hingga dewasa, dia hanya punya satu di pikirannya. Dia tidak berubah sama sekali. Untuk memaklumkan kita, film berusaha menunjukkan ‘kegilaan’ Sivana dewasa dengan meng-reintroduce tokoh ini dalam lingkungan penelitian, di mana kita melihat dia menonton video orang-orang yang mengalami kejadian yang sama dengan dirinya untuk berusaha mengerti dan pada akhirnya bisa mengeksploitasi sumber dari fenomena tersebut. Hanya saja, sekuen tersebut malah menambah ke bentroknya tone cerita, aku gak tau harus merasakan apa melihatnya setelah pembuka yang lumayan sedih, untuk kemudian setelah ini disambung sama adegan jenaka yang begitu self-aware.

Shazam! memasukkan banyak referensi superhero dari DC Comic. Batman dan Superman malahan berperan lumayan ‘besar’ sehingga kadang rasanya kepentingannya sedikit terlalu besar untuk mengingatkan kita bahwa ini adalah superhero DC. Selain itu, juga ada referensi dari video game dan pop-culture lain. Terang-terangan film memasukkan adegan yang merujuk pada film Big nya Tom Hanks. Which is fun. Hanya saja, sekali lagi, terasa terlalu intrusif sehingga mengganggu tone adegan yang saat itu lagi kejar-kejaran antara Shazam dengan Sivana. Kadang film bisa mendadak jadi extremely comical seperti demikian. Salah satu contoh lagi adalah adegan ketika mereka berdua lagi ‘berdiri’ dengan jarak yang lumayan jauh. Ini sebenarnya kocak banget, karena film seperti meledek adegan-adegan yang biasa kita lihat dalam stand-off tokoh superhero dengan penjahat. Tapi sekaligus juga mengurangi keseimbangan tone, I mean, jika ingin kocak seperti demikian mestinya mereka konsisten komedi dulu dari awal seperti yang dilakukan Thor: Ragnarok (2017) yang dengan bebas mengeksplorasi kekonyolan tanpa merusak tone cerita secara keseluruhan.

 

 

 

Sedikit lebih komikal dari yang diisyaratkan oleh adegan pembukanya. Film ini bakal jadi hiburan yang ringan, di mana menyebutnya ‘superhero yang tidak serius’ tidak akan menjadi jegalan buatnya. Melainkan pujian. Bagian terbaiknya adalah elemen keluarga-angkat yang menyumbangkan hati buat cerita. Sementara sekuen-sekuen kocak Billy yang belajar menggunakan kekuatan barunyalah yang sepertinya bakal diingat terus oleh penonton. Selain itu, pembangunan drama personal – terutama tokoh jahat – mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik lagi
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SHAZAM!.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Melihat dari akhir filmnya, apakah menurut kalian Mary akan memilih untuk melanjutkan ke kuliah yang jauh dari rumah?

Kita semua tentu pernah merasa iri hati, pernahkah kalian membandingkan rasa iri yang kalian rasakan itu lebih sering muncul dalam kondisi yang bagaimana? Mana sih yang lebih rentan iri; anak kecil atau orang dewasa, atau malah sama aja?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

MATIANAK Review

“Blessed are the merciful, for they will be shown mercy”

 

 

 

Siapa yang menanamkan kebaikan, dia akan menuai – coba tebak – kebaikan juga. Jika kita menunjukkan kasih sayang yang begitu besar, dengan tulus, kita akan disentuh balik oleh kasih sayang yang tak kalah hangat. Sungguh merupakan kalimat yang positif untuk mengajarkan kebaikan kepada sesama manusia. Siapa sangka, dalam debut pertamanya sebagai seorang sutradara, aktor Derby Romero berhasil membuat perbuatan positif tersebut jadi punya undertone yang mengerikan.

 

Ina (juga menjalani debutnya dalam horor, Cinta Laura Kiehl punya presence yang kuat) besar tanpa orangtua di panti asuhan kini tumbuh menjadi wanita yang benar-benar cinta dan peduli kepada anak-anak yatim piatu yang diasuhnya. Film menunjukkan hangatnya hubungan yang terjalin di antara Ina dengan anak-anak. Dan anak-anak itu juga respek dan peduli padanya. Hingga kemudian Andy, satu-satunya korban yang selamat dari insiden yang menewaskan satu keluarga, ditempatkan ke panti mereka. Andy anak yang aneh. Dia jarang ngomong. Anjing takut kepadanya. Kejadian-kejadian seram bermunculan bersamaan dengan kehadiran Andy di tengah-tengah mereka. Andy dijauhi. Oleh anak-anak, maupun oleh pengasuh. Kecuali Ina. Actually, Ina-lah yang justru menjamin Andy tinggal di sana saat pemilik panti menolak untuk menerimanya. Menyebut dengan tegas dirinya yang bertanggungjawab atas Andy.

Babak pertama dan kedua film ini bergulir dengan menyenangkan untuk diikuti. Pesona cerita memang sepertinya terletak pada interaksi tokoh, baik itu Ina yang memposisikan dirinya sebagai ‘big sis’ kepada anak-anak. Maupun sesama anak-anak itu sendiri. Kehidupan dalam film ini terbangun dengan tidak melupakan napas horornya. Bagaimana anak kecil melihat gudang sebagai tempat yang menyeramkan, dan mereka mengarang-ngarang cerita untuk saling menakuti (biar takutnya sendiri gak keliatan!), kemudian saling menantang untuk masuk ke gudang – buatku momen-momen seperti begini yang membuat film hidup. Tone ceritanya bercampur dengan mulus. Kita boleh jadi tertawa melihat tingkah tokoh cilik, bisa juga sedikit tersentuh melihat aksi yang dilakukan oleh Ina demi anak-anak asuhnya, sekaligus tetap was-was dengan horor yang bakal terjadi. Bangunan horor, petunjuk untuk twist di akhir, semuanya terjalin di dalam cerita.

si Andy mirip Ocho kecil di film live-action manga 20th Century Boys (2008)

 

Meskipun banyak tokoh anak-anak, tapi film ini jelas bukan untuk konsumsi anak-anak. Film cukup bijak untuk langsung memberitahuk kita gambaran atmosfer mereka right at the beginning of the movie. Ya, memang sih, sudah jadi adat jelek penonton untuk gak terlalu musingin kategori-umur film – kita sesama penonton tidak bisa berbuat banyak jika bioskop sendiri pun tidak tegas. Tapi serius deh, untuk horor yang satu ini, aku sarankan orang-orang dewasa untuk mematuhi dan peka terhadap rambu-rambunya. Jangan bawa anak kecil nonton film ini. Kasian mereka, bisa trauma. Level kekerasan dan gore pada film ini berada di level yang tinggi, sehingga nyaris bisa disebut sebagai body horror. Ada gambar-gambar disturbing seperti hantu anak kecil dengan usus terburai. Mayat manusia bergelimang darah dengan posisi anggota tubuh yang bikin meringis. Dan tokoh-tokoh anak kecil tadi; mereka ada dalam cerita bukan sekadar untuk teriak-teriak ketakutan. Cerita benar-benar tak pandang bulu dalam memilih korbannya. Semua adegan pembunuhan yang dalam film ini memang dilakukan off-screen, kamera bakal berpaling dari ‘momen klimaks’ tapi tetap saja masih ada suara, dan aftermath, yang bakal membuat imajinasi kita meliar. Dan percayalah imajinasi kita kadang lebih kuat daripada gambar yang disuapi, malahan horor-horor yang bagus selalu menerapkan hal ini; tidak memperlihatkan yang krusial dan membiarkan penonton bergidik sendiri tanpa bisa keluar dari imajinasi di dalam kepalanya.

Menurutku film ini sebenarnya tidak perlu untuk menjadi begitu loud untuk menjadi seram. Tapi mungkin karena belum terlalu pede, maka kita masih menjumpai fake jumpscare yang suara-suaranya bikin jantung copot. Padahal beberapa adegan ditangani dengan baik sehingga atmosfer seremnya itu kerasa. Film sempat bermain dengan lilin. Aku suka shot dari belakang mobil yang sedang berjalan dengan kanan-kiri pepohonan yang bergoyang tertiup angin, tapi goyangannya itu tampak patah-patah sehingga kesannya eerie banget. Aku juga suka bagian ketika Fatih Unru yang jadi salah satu anak panti terkurung di dalam gudang. Editing di bagian ini precise banget. Kamera membawa kita terpotong pindah dari Fatih yang berteriak ketakutan sambil menggedor pintu ke sosok hantu di belakangnya, dan semakin frantic pindahnya si hantu semakin mendekat. Intensitas horor saat sekuen adegan ini bekerja dengan sangat baik. Jumpscarenya pun bekerja dengan efektif dan benar-benar mengena kepada penonton – in a good way. Soal gore dan darahnya; kalian tahu aku suka. Kita juga sama-sama bisa melihat kenapa tone horornya harus memuncak ke arah sana. There’s something about showing mercy yang semakin ke sini semakin regresi, di mana tokoh utama kita harus dihadapkan dengan cara kerja dunia yang berlawanan secara ekstrim dengan keadaan ideal yang ia anut.

Tadinya kupikir MatiAnak bakal seperti The Orphanage (2007), horor Spanyol yang juga tentang wanita yang memilih mendedikasikan hidupnya bekerja di panti, dengan elemen gore. Mungkin memang gak benar-benar original, tapi masih bisalah bekerja dengan gayanya sendiri. Namun masuk babak ketiga, film ini ternyata lebih mirip ama Hereditary (2018) – dan musti kutambahkan, MatiAnak failed dalam usahanya untuk menjadi seperti horor buatan Ari Aster tersebut.

“Malu? Malu? Malu? Malu gak?”

 

Tadinya kupikir yang aneh dari film ini cuma kenapa Ina yang sejak kecil tumbuh dan gede di lingkungan panti asuhan lokal masih beraksen bule dan bukankah poin dari menjadi aktor adalah bermain bukan menjadi diri sendiri. Tapi di babak ketiga, setelah melihat di mana elemen-elemen cerita berkumpul, setelah jawaban dari plot poin mulai terlihat dan mengembang menjadi penjelasan, keanehan dalam film ini semakin banyak. Seolah film gak tahu bagaimana harus mengikat cerita sehingga punchline ataupun gagasan yang ada tadi itu menjadi kuat sebagai final. MatiAnak bisa kubilang sebagai salah satu horor dengan penyelesaian yang asal-selesai yang pernah kutonton. Aku tidak mengerti transformasi Ina; kenapa dia harus ‘ngalah’. Aku mengerti build up cerita berfokus kepada antara Ina dengan Andy, progresnya adalah sekarang Ina yang mendapat belas kasihan – kita melihat Ina yang semakin ke sini semakin galak, rambutnya semakin awut-awutan, tapi aku tetap tidak bisa melihat kenapa dia begitu cepat, katakanlah, menerima takdirnya. Seperti ada perlawanan atau satu momen penyadaran yang terskip oleh cerita. Ada adegan ketika Ina harus melukai seseorang, dia malahan sempat berantem dulu, yang mustinya adalah titik balik tokoh yang tadinya elok budi pekerti banget, tapi efeknya terasa terburu dan gak benar-benar mengena.

Film seperti kebingungan menangani elemen cult pada ceritanya. Kita tidak pernah benar-benar mendapat sense yang pasti soal apa sih yang dikerjakan oleh mereka, how do they work, sebatas apa campur tangan mereka, karena dalam film ini juga terdapat sejumlah hantu yang gak jelas siapa, yang siapa. Ada hantu keluarga Andy, ada sosok hitam yang supposedly ‘Raja’ yang anggota cult sembah, tapi juga ada hantu nenek-nenek, terus entah hantu apa yang sempat merasuki anak-anak. Juga ada bagian investigasi. Ina mengunjungi rumah Andy untuk mencari petunjuk. Namun investigasi tersebut sungguhlah pointless karena hanya berujung pada sebuah flashback yang adegannya sendiri pretty much adegan yang kita saksikan di awal film. Ina tetap tidak tahu apa yang terjadi, later on jawaban diberikan kepadanya oleh tokoh yang lain. Agak sayang sih, soalnya di dua babak sebelumnya Ina dibuat cukup kuat – dia melakukan banyak pilihan, tapi ternyata dia tidak benar-benar melakukan aksi apa-apa saat penghujung cerita. Dan bicara soal pointless, aku sungguh tidak mengerti kepentingan tokoh Jaka selain untuk antar-jemput dan biar ada romance-nya barang sedikit.

 

 

 

Lumayan kuat di dua babak awal, namun keteteran di akhir. Ada banyak yang mestinya bisa lebih diefektifkan lagi. Aku benar-benar bengong di ending karena terasa maksain untuk berhenti di sana. Padahal masih ada pilihan untuk tokoh utamanya, tapi naskah mengharuskan dia untuk memilih itu tanpa banyak pertimbangan. Ini seperti ketika kita main video game, semua musuh sudah kalah, tinggal bos terakhirnya, dan kita malah milih untuk tidak melawan sang bos. Tapi, di balik semua itu, aku cukup senang horor sudah menjadi begitu hitsnya di sini sehingga memancing sisi kreatif dari pelaku perfilman muda. Asalkan semuanya mau belajar dan menantang diri sendiri, aku yakin tidak butuh waktu lama untuk kita mendapat Jordan Peele-Jordan Peele tanah air, ataupun horor yang benar-benar sejajar ama kualitas Hereditary
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MATIANAK.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Membesarkan orang yang mungkin bakal menjadi ‘musuh’ kita sih sudah biasa, tapi jika dibalik; maukah kalian mendapat belas kasihan dari orang yang kalian takuti?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

DUMBO Review

“Put your heart, mind, and soul into even your smallest acts”

 

 

 

Dumbo, gajah kecil yang punya sepasang telinga begitu lebar sehingga bisa dikepakkan seperti sayap, sejak tahun 1941 (animasi originalnya) sudah membawa serta perasaan penonton untuk terbang bersamanya. Film animasi tersebut begitu uplifting. Itu adalah masa-masa di mana Disney masih berupa studio yang purely menggarap ‘sihir; dalam setiap gambarnya. Dipenuhi oleh tokoh-tokoh hewan yang bisa bicara, Dumbo tatkala itu adalah perlambangan seorang manusia cacat – terlahir berbeda dari golongannya –  yang dikucilkan, kemudian dipisah dari ibunya; dari satu-satunya orang yang lahiriah menerimanya. Tim Burton, dalam versi live-action animasi klasik Disney ini, membuat cerita Dumbo lebih literal. Dihadirkan tokoh-tokoh manusia yang punya keparalelan dengan apa yang dialami oleh Dumbo (dan ya, dibacanya ‘dambo’ bukan kayak lele, you dum-dum!)

Tokoh utama dalam film ini adalah Colin Farrell yang berperan sebagai Holt Farrier, seorang pria yang baru pulang dari medan perang. Tanpa sebelah lengannya. Holt disambut oleh kedua anaknya (dua-duanya dimainkan dengan joyless banget, sepertinya lantaran dua aktor cilik ini terlalu dipusingkan sama aksen amerika mereka), dan kemudian mereka pulang ke rombongan sirkus. Ke kehidupan lama Holt. Tapi kemudian dia menyadari lengan bukanlah satu-satunya yang pergi darinya. Istri Holt sudah tiada. Kuda partner sirkusnya sudah dijual. Dan bahkan sirkus mereka sudah tidak serame biasanya. Merasa malu dan juga kehilangan atraksi, Holt ikhlas ditempatkan sebagai pengurus gajah. Dan saat itulah Dumbo lahir. Dua makhluk tak-sempurna ini bertemu, dan kita bisa menebak Holt bakal belajar satu-dua hal dari gajah kecil yang ia jaga tersebut.

dan kita juga akan melihat Batman dan Penguin reunian

 

Menghidupkan cerita klasik ini ke dalam napas yang modern sudah barang tentu akan menjadi suatu pertanyaan. Dalam kasus Dumbo, pertanyaan tersebut sekiranya bukan ‘kenapa’, melainkan ‘bagaimana’; Bagaimana caranya gajah lucu tersebut dijadikan live-action – bagaimana caranya cerita hewan-hewan yang menyimbolkan manusia tersebut bisa dimanusiakan lebih lanjut. Bagaimana Tim Burton bisa membawa hati cerita ke dalam visual yang sudah jadi cap dagangnya; gaya aneh nan kelam. Turns out, si gajah Dumbo tetaplah Dumbo yang kita kenal. CGI berhasil membuat gajah ini menjadi satu-satunya yang bernapaskan simpati, lihat saja ketika dia dirias seperti badut – ekspresinya tergambar kuat banget di situ. Dumbo, walaupun harus membagi spotlight dengan tokoh manusia, tetap adalah hati dari cerita, literally. I mean, di samping Dumbo, aku tidak lagi merasakan emosi pada tokoh-tokoh yang lain. Dan ini sebenarnya cukup aneh, lantaran film ini mengedepankan tokoh manusia tapi malah kita gak merasakan apa-apa buat mereka. Tapi setiap kali Dumbo muncul di layar, entah itu ketika dia ketakutan disuruh lompat, atau ketika dia mengunjungi ibunya yang dikurung karena dituduh gila, atau ketika dia terbang, kita yang menonton akan seketika terisi oleh joy, perasaan lega, haru, sedih.

Meskipun tokoh-tokoh hewannya tergantikan oleh tokoh manusia (Timothy si tikus cuma jadi cameo, will probably piss a lot of people off), tapi tetep masih terasa respek yang kuat terhadap film aslinya. Burton menebarkan reference dan dialog-dialog yang bakal membawa kita bernostalgia. Aku sendiri, aku enggak sabar pengen melihat gimana sutradara ini menghidupkan adegan ‘Pink Elephants’ yang serem itu. Adegan ini ikonik banget; Dumbo gak sengaja minum alkohol sampai mabok dan di depan matanya bermunculan gajah berwarna pink, beraneka rupa, berparade sambil bernyanyi. Dan aku suka dengan cara Burton memasukkan Pink Elephants ini ke dalam film yang baru. Alih-alih mabok – jaman sekarang mah orang bakal langsung ketrigger kalo ada adegan anak kecil mabok, I mean membuat ceritanya tetap bersetting di sirkus hewan aja kayaknya udah melanggar moral banget buat standar modern kita – Dumbo melihat Pink Elephant dalam bentuk gelembung-gelembung sabun sebagai bagian dari pertunjukan yang ia lakoni. Visual sekuen adegan tersebut memang keren banget, creepy-fantasy masih kerasa, dan itu salah satu yang kusuka dari film Dumbo ini.

Dalam film aslinya, Dumbo barulah terbang di sepuluh menit terakhir. Dengan kata lain, terbang itu adalah bagian dari resolusi akhir cerita tokohnya. Bagaimana Dumbo menemukan sisi positif dari keadaannya, dan dia tidak perlu lagi bergantung kepada pemikiran orang – dia bisa terbang tanpa bantuan bulu. Dalam film baru ini, Dumbo sudah dilatih terbang di babak pertama. Arc Dumbo sebenarnya kurang lebih sama, kali ini yang ditekankan adalah ketergantungan Dumbo terhadap bulu yang ia pikir ajaib tersebut. Tapi sebenarnya ini riskan; saat pertama kali mengetahui dirinya mampu terbang, Tim Burton berhasil mencapai ketinggian emosi yang sama dengan saat kita melihat Dumbo terbang di menjelang akhir film animasi jadulnya. Build upnya dilakukan dengan benar, ada stake Dumbo bisa celaka jika gagal, dan melihatnya terbang di atas penonton sirkus – menyemprotkan air ke wajah anak-anak yang tadi menertawakan dirinya adalah perasaan yang menggelora. Namun semakin ke belakang, efek melihat Dumbo terbang akan semakin berkurang. Burton sadar akan hal ini, maka dia berusaha memvariasikan tantangan dari adegan pertunjukan terbang yang berulang, tapi memang tidak pernah efeknya sekuat adegan yang pertama. Dan masalah utamanya menurutku terletak pada posisi Dumbo di cerita

I snorted then I fly

 

Dumbo harus beratraksi terbang bersama Eva Green yang menungganginya. That’s pretty much what happened as a film; tokoh-tokoh manusia di filmnya menunggangi Dumbo. Gajah lucu itu, ceritanya yang mestinya polos, terbebani oleh kepentingan cerita tokoh-tokoh manusia yang begitu random. Tokoh Eva Green adalah salah satu yang paling random; pertama kali dimunculkan dia kayak jahat, tapi lantas baik kepada anak-anak Holt, kepada Dumbo, tidak ada transisi dari tokoh ini jahat ke semakin baik. She’s just change. Yang paling aneh buatku adalah dia udah baik tapi masih tetep nendang Dumbo. Film Dumbo yang dulu hanya satu jam lebih empat menit, dan di film ini keseluruhan durasi tersebut seperti dipadatkan di paruh pertama, sehingga paruh kedua film bisa diisi oleh cerita baru yang melenceng jauh dari poin cerita Dumbo itu sendiri. Eva Green yang jadi Colette adalah salah satu performer dari sirkus korporat yang membeli sirkus tempat Holt bekerja; bayangkan Disney yang membeli studio lain, merangkulnya dalam satu payung – dan bayangkan taman hiburan, hanya saja bernuansa seram dengan salah satu wahana berisi hewan yang didandani seperti monster. Sirkus korporat yang dipimpin oleh Michael Keaton hanya mau mengeksploitasi Dumbo saja, karena beberapa hari setelah akuisisi, troupe sirkus Holt dipecat. Dan cerita pun berubah menjadi misi penyelamatan Dumbo dan ibunya oleh rombongan sirkus yang berontak karena diberhentikan secara sepihak.

Setidaknya ada tiga logika film yang enggak masuk buatku. Pertama adalah soal putri Holt yang menolak untuk tampil di sirkus, dia pengen jadi ilmuwan, dia ingin beraksi dengan otaknya. Tetapi justru dialah yang punya ide untuk membuat Dumbo menjadi bintang sirkus supaya mereka punya uang untuk membeli kembali ibu Dumbo yang dijual kepada sirkus korporat, dia yang melatih dan melakukan berbagai percobaan kepada Dumbo supaya si gajah bisa terbang. Kupikir-pikir, gadis cilik ini pastilah jadi evil-scientist ntar gedenya, meskipun tujuannya baik tapi tetep aja dia mengeksploitasi kan.

Kedua adalah sirkus kecil Medici Brothers tempat Holt berada itu sendiri. Dalam film aslinya, Dumbo dikucilkan oleh sesama gajah. Di film ini si Medici yang diperankan oleh Danny DeVito-lah yang pada awalnya gak mau menerima Dumbo. Menjelang akhir tokoh Medici ini actually yang paling menarik, tapi di awal-awal ini aku gak mengerti mengapa pemimpin sirkus enggak seneng sama sesuatu yang freak? Bukan hanya Dumbo, si Holt yang buntung juga tidak disambut antusias – bukankah sirkus mestinya seneng punya freakshow? Begini aku memandang elemen mereka; Sirkus Medici yang menampilkan pertunjukan ‘palsu’ sedang sulit keuangan, sehingga pemimpinnya pengen menyuguhkan sesuatu yang asli. Namun bayi gajah mereka terlahir ‘cacat’ sehingga ia takut dituduh menjual gajah palsu oleh publik. Lengan buntung Holt pun disamarkan dengan lengan palsu ketika muncul di arena. Pengucilan yang diterima Holt dan Dumbo seperti maksa dan enggak cocok sama poin pengucilan pada Dumbo original.

Tentu saja ini membawa kita ke logika cerita ketiga yang tidak aku mengerti. Apa sih arc Holt dan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan oleh film ini. Plot tokoh Holt seperti ngambang begitu saja, di pertengahan dia seperti malu dikenali sebagai kapten yang lolos dengan lengan buntung alih-alih gugur di medan perang. Tapi di akhir film kita melihat dia tampil, dengan lengan robot. Aku benar-benar gak bisa ngikat poin A ke B. Apa yang ia pelajari? Dan putrinya tadi; di akhir film anak cewek ini melakukan pertunjukan gambar bergerak seperti bioskop. Bagaimana ini lebih baik daripada melakukan pertunjukan yang asli? Di akhir cerita memang seperti berkata bahwa semua orang menjadi lebih baik ketika mereka diberikan kesempatan untuk melakukan kemampuan mereka yang sebenarnya, tapi menunjukkan hal tersebut dengan cara yang aneh. Aku sampe sekarang masih gak abis pikir gimana caranya Dumbo dan ibunya naik kapal sampai ke hutan.

Mungkin film ini ingin menunjukkan bahwa ada hal yang tidak mungkin di dunia, dan hanya bisa dimungkinkan dengan ilmu pengetahuan. Biarkan otak kita yang beraksi sehingga kita bisa mencapai lebih jauh, bisa terbang lebih tinggi.

 

 

Film ini benar-benar membuatku merasa rendah hati. Mendaratkanku ke tanah. Aku tidak menyangka setelah sekian lama membuat review, aku menemukan film anak-anak yang aku tidak mengerti logikanya. Aku actually memikirkan film ini selama tiga hari, aku pengen nonton lagi karena aku pikir ‘masa sih film ini begini?’ Tidak ada yang salah dengan si gajah Dumbo. Adorable, penuh emosi, dan membuat kita peduli. Hanya saja, tempat dunia di mana dia dijadikan tunggangan inilah yang begitu rush out, yang begitu acakadut. Dan cerita membuat tokoh-tokoh manusia merebut spotlight dari Dumbo. Secara gaya aku lumayan suka, it’s really dark seperti yang bisa kita harapkan dari Tim Burton. Alih-alih ngejual ibu Dumbo untuk profit, pihak sirkus korporat lebih memilih untuk membunuh dan menjadikannya sebagai bahan sepatu. Anak kecil bisa-bisa trauma begitu mereka menyadari dialog subtil yang dimiliki oleh film ini. Aneh ketika sebuah fabel – cerita hewan – diparalelkan secara literal dengan kehadiran tokoh manusia. Maksudku, itu seharusnya membuat fabel tersebut jadi lebih sederhana kan? Tapi ternyata cerita film ini malah lebih terbebani.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for DUMBO.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian ada alegori tersembunyi dalam film ini? Mengapa menurut kalian memakai hewan untuk sirkus dianggap tidak manusiawi? Apakah ada bedanya dengan memakai hewan sebagai objek riset dan kelinci percobaan untuk penelitian?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.