SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS Review

“Violence is any day preferable to impotence”

 

Seperti judulnya, Seperti Dendam (cukup disingkat begini saja ya nyebutinnya), memanglah sebuah cerita balas-dendam sebanyak film ini sebagai sebuah kisah cinta. Ini adalah film yang ada kelahi-kelahinya, ada romansa-romansanya, dan sering juga keduanya – berkelahi dan romansa itu – berlangsung sekaligus. Untuk membuat dirinya semakin unik, film ini hidup berlatar dunia 80an. Tampil layaknya film laga yang berlangsung dan seperti benar-benar dibuat oleh industri tahun segitu. Berpeganganlah yang erat, karena karya Edwin yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini only gets weirder. Nada yang sedari awal diarahkan berbunyi seperti komedi lantas menjadi surealis ketika elemen mistis mulai diperkenalkan. Bersiaplah karena di sini gambar-gambar di belakang truk akan bisa berbicara. Dan jika kalian mengharapkan ada sesuatu setelah semua debu-debu truk itu lenyap, setelah semua pukulan-pukulan teknis itu mendarat menghujam, Seperti Dendam bakal melayangkan serangan terakhirnya dengan ending yang begitu tiba-tiba.

dendam202112021753-main.cropped_1638442415
Film tentang impotensi tapi elemennya dibikin nyembur ke mana-mana

 

Masih ingat ayah Shang-Chi di film kung-fu MCU (Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings)? Gembong penjahat yang bertemu perempuan penjaga desa. Lalu mereka berantem dengan begitu elegan sehingga kayak sedang menari, yang menghantarkan mereka menjadi saling cinta? Well, itu semua jadi gak seberapa romantis jika dibandingkan dengan Ajo Kawir dan Iteung di film Seperti Dendam. Tadinya Ajo Kawir kepengen membunuh seorang juragan. Maka dia harus berurusan dahulu dengan bodyguardnya. Gadis yang tak kalah jagoan bernama Iteung. Dan oh boy, berantemnya Ajo Kawir lawan Iteung di lokasi truk ngangkut-ngangkut pasir itu sungguh intens. Beneran kayak film-film silat low budget tempo dulu. Edwin tidak membumbui itu dengan adegan yang elegan seperti pada Shang-Chi. Melainkan dia menampilkannya se-rough mungkin. Jikapun ada ‘polesan’, maka itu difungsikan untuk menahan tone alias nada supaya tetap berada di kotak over-the-top kelucuan.

Memang, adegan berantem awal pertemuan mereka itu membuatku tercengang. Kamera gak banyak cut, langsung aja nampilin. Aku mungkin salah, tapi mereka gak keliatan pakai stuntmen. Ada tuh saat Iteung di-powerbomb ke tanah berpasir. Maaaan… Sebagai orang yang nonton WWE religiously, aku tahu ada cara yang aman untuk ngelakuin jurus-jurus atau adegan tersebut. Berantem sekasar itu bisa dikoreografikan dengan safely. Tapi tetep saja aku kagum sekali Marthino Lio dan Ladya Cheryl berani dan sanggup ngelakuin adegan itu dengan baik.

Pertarungan nyaris hidup-mati itu jadi koneksi yang sangat personal bagi Ajo Kawir dan Iteung. Pemuda yang haus berkelahi sebagai pelampiasan frustasi dan semacam pembuktian diri, bertemu dan dibikin humble oleh perempuan tangguh yang seperti memahami lelaki seperti itu. Koneksi mereka is on another level of love. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu bentuk unik purest love yang digambarkan oleh film ini. Untuk satunya lagi, mari kita letakkan konteks ke dalam cerita. Alasan Ajo Kawir napsu cari ribut adalah karena dia percaya itulah satu-satunya cara dia menunjukkan kejantanan. Bahwa dia masih cowok, kok, meskipun burungnya gak bisa berdiri. Kita hanya bisa membayangkan; berantemnya aja seintens itu, gimana pergumulan mereka di kasur ya. Tapi Ajo Kawir enggak bisa begitu. Ajo Kawir awalnya malah sempat minder dan menghindar. Tapi, Iteung tetep mau dan mengawini dirinya. Relationship Ajo Kawir dan Iteung lantas menjadi pondasi besar untuk bangunan cerita Seperti Dendam. Chemistry Lio dan Cheryl hanya tersendat oleh dialog jadul yang kerap sedikit janggal terdengar saat momen-momen mereka. Seperti saat berantem tadi, keduanya tampak lebih klik dalam bahasa gerak dan ekspresi. Sebenarnya itu saja sudah cukup untuk memikul narasi film ini. Karena memang Seperti Dendam lebih excellent ketika menampilkan, entah itu aksi, their whole world, atau hal sesimpel joget dangdut di kawinan.

Aku menikmati ketika narasi masih berpusat di Ajo Kawir berusaha menjadi better man setelah menikah dengan Iteung. Dia berusaha meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan berjanji untuk tidak membunuh si Macan, seorang lagi gembong penjahat dengan kepala berharga tinggi. Harga yang mestinya bisa memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga Ajo. Namun konflik sebenarnya baru datang setelah ini. For Ajo dan Iteung sama-sama punya hantu di masa lalu. Impotensi Ajo berasal dari trauma masa kecil perlahan tapi pasti menjadi pemicu, sementara teman lama Iteung datang menawarkan solusi sekaligus ancaman bagi Ajo. Jika ini adalah cerita biasa, film ini akan berakhir saat turning point. Saat yang berusaha dibangung Ajo bersama Iteung hancur, membuat mereka terpisah. Seperti Dendam sekarang barulah jelas intensinya. Film ini ingin mengeksplorasi impotensi – dalam hal ini bisa dilihat sebagai pria yang merasa dirinya lemah. Kenapa seorang pria bisa merasa begitu. Bagaimana menyembuhkan impotensi berarti adalah bagaimana cara yang benar bagi seorang pria merasa dirinya jantan. Apakah merasa macho memang sepenting itu. Pamungkas film ini sebenarnya terletak saat eksplorasi itu. Saat menunjukkan Ajo Kawir berusaha ‘menemukan jalan pulang’ kepada Iteung. Namunnya lagi, justru di paruh akhir yang difungsikan untuk itulah, film ini terasa mulai gak koheren. 

Bahkan Mahatma Gandhi yang pacifist tulen aja bilang lebih baik menjadi violent jika itu satu-satunya cara untuk mengklaim power. Ajo Kawir jadi impoten setelah peristiwa traumatis yang menimpa dirinya. Impoten di sini adalah lack of power. Menjadi violent bagi Kawir bukan hanya pelampiasan frustasi, ia semestinya belajar menyadari bahwa itulah perjuangannya untuk berani mendapatkan kembali hal yang hilang dari dirinya karena trauma.

 

Begitu masuk ke paruh akhir, Seperti Dendam seperti berjuang mencari arah untuk finish. Tidak lagi berjalan untuk bercerita. Melainkan jadi seperti masuk ke mode mengakhiri cerita dengan tetap bergaya. Masalahnya, di titik itu masih banyak elemen yang harus diceritakan. Ketika menggali lebih dalam ke asal muasal penyakit Ajo Kawir, ataupun ketika memaparkan kejadian horrible apa yang menimpa Iteung saat masih masuk usia remaja, film mulai menapaki arah yang surealis. Katakanlah, ada karakter ‘hantu’ yang dimunculkan. Lalu juga ada perihal perilaku semena-mena aparat yang dirahasiakan, yang juga mengait ke persoalan petrus dan presiden di periode waktu itu.  Untuk menambah kuat karakter periode dan dunianya, film juga sekalian memberikan peristiwa gerhana sebagai latar. 

dendamSeperti-Dendam-Rindu-735x400
Ratu Felisha mainin salah satu karakter terseram seantero 2021

 

Karakter-karakter baru pun lantas muncul. Mereka sebenarnya terasa punya kepentingan yang signifikan di dalam cerita ini, tapi karena Seperti Dendam sudah menjadi medium film, penempatan mereka tidak terasa benar-benar menjustifikasi keberadaan mereka itu sendiri. Dengan kata lain, aku merasa mereka jadi dimunculkan ujug-ujug saja. Tidak ada bedanya dengan si karakter ‘hantu’ yang tau-tau ada begitu sesajen dibakar. Film seperti Dendam pada akhirnya terkekang juga oleh hakikatnya sebagai cerita adaptasi novel. Yang juga kentara terpengaruh oleh mendadak banyak elemen ini adalah tone cerita. Sedari awal, Seperti Dendam memang tidak pernah saklek. Apakah ini satir. Apakah kita memang diniatkan untuk tertawa melihat Ajo Kawir berjuang membangunkan burungnya. Apa yang harus kita rasakan melihat Ajo Kawir kesenengan dihajar orang-orang yang diajaknya berkelahi? Tapi begitu paruh akhir dan segala elemen baru masuk, tone semakin tak menentu lagi. Di bagian yang seperti dirancang untuk membuat kita takut, kita juga merasakan harapan bertumbuh. The only constant adalah pada adegan berantem yang selalu menarik, dan jadi penawar bingung dan sumpeknya semua terasa.

Novelnya sendiri memang aku belum baca. Jadi gak bisa mastiin juga seberapa ‘sama’ film ini dibuat dengan bukunya. Biasanya buku memang lebih leluasa sih, lebih banyak ruang juga. Film adaptasinya ini seharusnya bisa lebih luwes. Mengingat banyaknya muatan, dan style yang mencakup surealis dan menonjolkan seni bercerita, sepertinya bisa lebih asik kalo sekalian aja film ini tampil acak kayak Pulp Fiction (1994). Gak usah runut atau linear. Bagi semacam segmen per karakter, kreasi di urutannya saja, bolak balik saja tak mengapa. Sekalian juga per segmen itu tone-nya bisa beda. Dengan membuatnya begitu, semua yang diniatkan untuk ada masih bisa tertampung semua. Juga, film jadi gak perlu mikirin dan rush menuju ending seperti yang kita saksikan sekarang ini.

 

 

 

Dari tiga-besar film Indonesia tahun ini, film inilah yang memang terasa terhambat oleh adaptasi. Dua film lainnya itu luwes dan bisa mencapai ending yang membayar tuntas semua. Film yang satu ini tidak begitu. Paruh pertama terasa lebih enak karena masih mengalir sebagai cerita, yang fokus ke karakter. Ketika sudah mendekati penghabisan, muatan yang seambreg mulai terasa pengaruhnya. Film jadi berusaha untuk mengakhiri aja. Elemen kritik ke politik, komedi, horor, atau bahasan lainnya pun jadi tempelan at best. Padahal aslinya kan tidak seperti itu. Mereka harusnya jadi esensi. Film ini perlu untuk jadi bold, aneh, kasar, lucu, miris, dan sweet sekaligus. Untuk pembangunan itu semua – dan pembangunan dunianya – kerja film ini sangat excellent. Dia berhasil. Saat menempatkannya sebagai satu film koherenlah, film ini kurang mulus. Maka, mungkin sebaiknya jadi total aneh saja sekalian. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian siapakah Jelita? Apakah dia hantu Rona Merah, atau ada hubungannya dengan Iteung? Apa makna karakter ini bagi kedua tokoh sentral di dalam cerita?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ARMY OF THIEVES Review

“Do it for the sake of love”

 

 

I blame Marvel. Karena telah membuat jagat-sinematik tampak sebagai taktik jitu supaya laku, dan juga membuatnya tampak mudah. Aku menyalahkan Marvel, karena telah menginisiasi cinematic universe, yang membuat banyak pedagang film lain meniru. Walaupun mereka sebenarnya gak benar-benar punya brand atau produk untuk dibuatin universenya. Marvel tidak berangkat dari nol, melainkan dari komik yang telah bertahun-tahun jadi ikonik. Orang-orang tahu dan kenal tokoh-tokoh ceritanya. Namun lihatlah para peniru, banyak sekarang bermunculan film-film yang dipaksakan ada sebagai sebuah universe. Bahkan film drama aja ada – drama yang gak berasal dari apapun sebelumnya (kecuali mungkin satu buku nostalgia tanpa narasi); satu film berkembang jadi satu film baru yang mengangkat karakter minor, dan kemudian film baru muncul lagi dari karakter yang tak-kalah nobody nya di film tersebut.

Oh, kalian mau contoh yang disebutin judulnya? Army of Thieves. Ya, film yang hendak kita ulas kali ini, merupakan bagian berikutnya dari rancangan universe zombie karya Zack Snyder. Except, film ini bukanlah film tentang zombie. Melainkan film tentang heist atau perampokan bank. Dan yang jadi pengikat antara film ini dengan Army of the Dead (2021) – film pertamanya – adalah seorang karakter yang aku sejujurnya kaget sekali dan tak-percaya bahwa dia begitu difavoritin sehingga banyak yang minta film solonya.

Thieves-Army-of-Thieves
Emang ada yang kecuri hatinya sama si Ludwig?

 

Mengambil setting enam tahun sebelum peristiwa film Army of the Dead. Dari tayangan televisi dalam cerita kali ini, kita melihat zombie outbreak barulah mulai di Las Vegas. Di Eropa, tempat cerita ini bermula, ada masalah yang lebih urgen harus dihadapi oleh kepolisian. Masalah tersebut yaitu rangkaian perampokan bank. Ketika agen interpol masih menyusun teori (dan pemimpin mereka punya tebakan bagus, dan eventually bakal jadi semacam antagonis bagi geng karakter utama), kita sudah dibawa mengenal lima orang di balik perampokan tersebut. Tepatnya empat orang perampok internasional, dan Sebastian, cowok kikuk penggemar brankas. Sebastian diajak oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh cewek keren bernama Gwendoline, berkat kemampuan dan pengetahuannya mengenai legenda empat brankas yang terkenal paling rumit dan susah untuk dipecahkan kuncinya. Itulah yang coba dibobol oleh mereka. Bagi Sebastian, yang selama ini hidup datar dan membosankan, tentu saja tawaran itu tak bisa ditolak. Kapan lagi dia bisa mengasah kemampuan dan berinteraksi langsung dengan legenda. (Plus si Gwendoline itu kece banget Sebastian jadi naksir)

Jadi, mari beralih dulu ke kru perampok dan aksi heist itu sendiri.

Genre heist sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh. Serial animasi Rick and Morty bahkan sudah menelanjangi genre ini hingga ke trope dan klise-klisenya di episode 3 season 4 akhir tahun 2019 lalu. Army of Thieves, untungnya, tahu untuk tidak terjebak ke dalam klise-klise tersebut. Film ini gak mau jadi parodi dari genre ini. Maka mereka berusaha merancang formula heist yang berbeda, atau paling enggak bermain-main dengan trope yang telah ada. Misalnya, film ini gak pake sekuen ngumpulin anggota geng yang tersebar dan meminta mereka kembali ikut beraksi (lucunya, sekuen ini justru adanya di Army of the Dead – yang ternyata adalah film heist dan zombie sekaligus). Sekuen itu biasanya difungsikan untuk menyoroti masing-masing karakter anggota/kru, memberikan mereka spotlight untuk menceritakan backstory dan motivasi. Alih-alih pake sekuen itu, Army of Thieves mencapai tujuan menceritakan backstory dan memperkenalkan karakter lewat actual flashback – flashback origin para karakter.

Film ini juga gak pake twist demi twist yang menunjukkan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti yang biasa ada dalam genre heist. Cekcok antaranggota memang tetap ada, tapi diceritakan lebih frontal. Dimasukkan ke dalam elemen cinta segitiga antara Sebastian, Gwendoline, dan Brad Cage. Lalu, biasanya film heist juga punya sekuen montase saat karakter menjabarkan rencana perampokan kepada kru. Dalam Army of Thieves, sekuen seperti itu ada, akan tetapi dilakukan dalam bentuk komedi yang seperti ngebecandain trope itu sendiri. Nah pasti kebayang, bahwa film ini memanfaatkan beragam teknik editing untuk mendukung penceritaan. Dan berhasil. Karenanya, porsi heist dan aksi film ini memang lebih menarik. Ada angin segar-lah, seenggaknya.

Editing cut-to-cut yang cepat juga digunakan film ini untuk menyamarkan masalah pacing yang timbul dari setup karakter yang datar, terlebih karena memang film ini punya karakter-karakter yang enggak baru. Gwendoline, Brad Cage, Rolph, dan Korina memang keren, tapi mereka sendiri sebenarnya masuk ke dalam trope karakterisasi yang lumrah, atau sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang cinta mati ama film action dan Amerika. Cewek hacker yang glamor. Pengemudi yang hobi makan. Kriminal yang menganggap geng mereka keluarga. Bahkan aksi membuka brankas juga bukanlah aksi yang benar-benar fresh. Film ini justru banyak mencuri dari film lain, dan sudah sepatutnya mereka melakukan sesuatu supaya kita tetap excited menontonnya. Melihat dari usaha-usaha yang disebut di atas, sebenarnya film ini masih punya kesempatan. Kalo saja dirinya ini bukan hadir demi eksistensi satu orang.

thievesarmy-of-thieves-trailer
Kalo Korina sih, silakan deh mencuri hatiku

 

Serius. Aku gak dapet di mana appeal atau daya tarik karakter Sebastian. Bagiku dia mirip seperti Newt Scamander (lakon dalam Fantastic Beast – another karakter yang dipaksain jadi jagat-sinematik), tapi versi kikuk yang annoying. Di Army of the Dead, Sebastian hadir sebagai pembuka brankas (yang actually adalah brankas legendaris terakhir), dia dijadikan comedic-relief dengan tingkahnya yang suka teriak-teriak, dan jadi penyeimbang buat karakter-karakter maskulin. Kali ini, di film yang bertindak sebagai prekuel cerita tersebut, Sebastian juga ngelakuin hal yang sama. Teriak-teriak saat keadaan memanas, nge-geek out dan fanboying hard sebelum membuka kunci brankas, dan socially awkward di tengah-tengah kelompok yang macho. Jadi, ya, gak ada perkembangan yang dialami karakter ini dari cerita dimulai hingga ke Army of the Dead berakhir. Bayangkan dua film, tapi karaktermu itu-itu melulu! Yang berubah pada karakter ini cuma nama. Di film pertama, actually, kita mengenalnya sebagai Ludwig Dieter. Di film ini, kita akan melihat dari mana nama tersebut berasal. Seolah itu merupakan hal yang penting.

Karakter utama memang harus dibikin penting. Namun tugas itu dapat menjadi demikian susah jika materi karakternya memang tidak banyak sedari awal. Matthias Schweighofer lantas didapuk sebagai sutradara dengan harapan dia sudah mengerti karakter Sebastian/Ludwig yang ia perankan itu luar dalam. Dan memang, Matthias paham apa yang klik di balik benak sang karakter. Dia mengerti bahwa bagi Sebastian, brankas-brankas itu bukan semata benda yang harus dibobol dan diambil uangnya, melainkan benda yang melambangkan pencapaian. Kekaguman seperti seorang anak bertemu idolanya, dan mendapat pengakuan dari idola tersebut karena si anak telah berhasil melampaui prestasinya. Begitulah Sebastian melihat kunci-kunci besi itu. Dan kita bisa merasakannya, kekaguman terpancar dari karakter ini. Tapi itu saja belum cukup untuk menghidupkan film ini secara keseluruhan.

Yang beresonansi dari Sebastian kepada kita adalah kecintaannya terhadap yang ia lakukan. Sebastian tidak melakukan perampokan demi uang. Dia melakukannya supaya bisa bertemu dengan hal yang paling berarti baginya di dunia ini. Brankas dengan sistem kunci yang legendaris. Dan tentu saja, Gwendoline yang ia katakan kepada kita telah mengubah hidupnya. Ditunjukkannya bahwa hidup lebih dari sekadar cari duit. Pengalaman mendebarkan, dan cinta, jauh lebih berharga.

 

Di luar ketertarikan dan ke-nerdy-annya sama brankas, Sebastian enggak banyak ngelakuin hal lain. Film memberikannya sekuen aksi – naik sepeda keliling kota dikejar polisi – yang cukup kocak dan sangat kita apreasiasi di tengah kering kerontang dan membosankannya karakter ini. Sebelum diajak jadi geng rampok, secara inner, Sebastian enggak punya masalah di dalam hidupnya. Backstory kenapa dia hobi ngulik brankas dan kenapa dia gak gaul hanya disebutkan sepintas. Sepanjang durasi (yang memang panjang amat!) karakter ini kebanyakan hanya bereaksi. Terbawa-bawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Sebastian tidak punya development. Lantaran memang tidak ada yang bisa digali. Untuk mengisi kekosongan, naskah memusatkannya kepada romansa. Sebastian naksir Gwendoline, yang sudah punya cowok yakni si paling macho dalam kelompok mereka. Elemen itu juga gak dibahas mendalam. Enggak pernah lebih dari sebatas cowok cupu yang jatuh cinta sama gadis pertama yang mengajaknya bicara. Basic sekali.

Sedari awal itu dia sudah jago buka brankas. Dia bahkan enggak peduli sama kejaran waktu. Oh, mereka cuma punya waktu sempit sebelum penjaga dan sekuriti bank sadar, dan memanggil polisi untuk menghentikan aksi perampokan? Sebastian gak peduli sama itu. Dia sempat-sempatnya cerita panjang lebar tentang mitologi di balik masing-masing brankas. Mitologi yang sebenarnya menarik, karena mencerminkan keadaan cinta segitiganya dengan Gwendoline. Hanya tak terasa sebagai waktu yang tepat. Film menjadikan ‘bad timing‘ ini sebagai quirk dari karakter Sebastian, dengan harapan dapat membuatnya semakin tampak sebagai karakter yang menarik. Dan juga disetup bahwa Sebastian begitu pintar dan ahli jadi dia bisa membuka kunci-kunci rumit itu dalam waktu singkat. Akan tetapi karena situasinya adalah perampokan, ketika karakter utama gak peduli sama desakan waktu, dia gak merasa dirinya diburu-buruin, kita yang nonton jadi gak ngerasain lagi stake perampokan tersebut. Kita jadi bodo amat. Dia jago, kok.

Apalagi karena kita gak bisa berpartisipasi kepada tindakan yang Sebastian lakukan. Gimana coba membuat orang memutar-mutar kenop di brankas jadi aksi menarik yang breathtaking? Gak ada. Film ini menggunakan visual CGI yang menggambarkan mekanisme kunci yang sedang berusaha dipecahkan oleh Sebastian. Semua itu gak ngehasilin perasaan apa-apa. Ketika dia berhasil membuka kunci, kita gak ikut bersorak bersamanya. Karena kita gak diajak ikut mikir, kayak kalo misalnya ada kode atau teka-teki yang harus dipecahin dalam jangka waktu terbatas.

Oiya, ada ding, satu lagi yang dilakukan Sebastian, sebagai bagian dari karakternya. Mimpi tentang zombie-zombie! Lame. Upaya yang sangat payah dari film ini untuk mengikat dan ngingetin kita sama universe zombie film ini. Seringnya adegan mimpi diserang zombie itu justru merusak tone cerita, dan nambah-nambah hal gak perlu bagi karakternya. So what, Sebastian is a psychic too? Who cares!

 

 

 

Ini baru film kedua dari proyek zombie universe Snyder loh. Dia masih punya cerita-cerita lain yang siap ditayangkan. Honestly, aku berharap dia menerapkan apa yang diajarkan Sebastian kepada kita di film ini. Untuk tidak melakukannya semata demi cuan. Aku merasa film yang kali ini, tidak benar-benar penting eksistensinya. Masih bisa dinikmati, berkat garapan aksi dan permainan editing yang masuk ke dalam humor. Tapi gak menambah banyak untuk karakter yang sepertinya bakal terus muncul di universe ini nanti (karena kalo dia gak muncul lagi nanti, makin tak-ada gunanya lah kita nonton film ini) Mending bikin film heist generik aja yang benar-benar bercerita tentang kejadian dan trik-trik perampokan. Untuk mitologi dunianya juga, gak banyak berarti. Ini adalah film yang bisa ditonton, dan setelahnya ya beres gitu aja. Film ini membuktikan kalo sedari awal udah angin, ya gak bakal bisa jadi emas.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ARMY OF THIEVES.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap genre heist? Is it dead? Bagaimana cara membuatnya kembali menarik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

ANNETTE Review

“Jealousy is a disease”

 

Nonton film ini kita gak boleh bernapas. Serius. Narator dalam pembukaan filmnya sendiri kok yang bilang begitu. Sungguh sebuah cara yang aneh dalam meminta perhatian penonton. Malahan, dengan sengaja minta penonton untuk memperhatikan aja udah aneh. Emangnya guru di sekolah. Film harusnya kan ngalir aja. Karena memang, Annette karya Leos Carax ini adalah film yang sangat-sangat aneh. Si sutradara film asal Prancis ini memang belum pernah bikin film yang normal. Dan kayaknya gak bakalan pernah. Karena Carax, seperti yang kita lihat di film ini, benar-benar melihat film sebagai sebuah seni. Sesuatu yang tidak dilihat dengan logika. Tidak dikerjakan di kepala. Kepala itu, kata narator tadi, tempat untuk menguap, ketawa. Nyanyi. Kentut. Sebaiknya lebih baik kita anggap saja kata-kata narator tadi itu sebagai petunjuk, alih-alih peringatan. Bahwa gelombang badai keanehan yang bakal menerjang kita selama nyaris dua jam setengah nanti bukan untuk dikuak dan dibongkar maknanya, melainkan untuk dirasakan.

With that being said, aku harap kita semua sudah siap untuk mendengar bahwa film ini ceritanya tentang pasangan tersohor, seorang stand-up komedian dengan seorang penyanyi opera, yang dikaruniai anak berupa boneka kayu!

annette-trailer-adam-driver-marion-cotillard-social-featured
Anaknya kayak Pinokio, sementara bapaknya yang bernama Henry McHenry bisa jadi adalah orang Sunda (yoi anak motor kayak Dilan!)

 

 

Dalam ulasan The Green Knight (2021) sebelum ini, aku telah menekankan bahwa film bukan semata tentang apa, melainkan lebih kepada bagaimana film tersebut menceritakan tentang suatu hal tersebut. Sebuah film bisa saja punya bahasan yang simpel, atau malah yang klise, tapi karena diceritakan dengan cara yang unik, atau dengan sudut pandang yang beda, maka film tersebut akan terangkat menjadi sebuah tontonan yang segar. Pada kasus Annette ini, well, cara bercerita yang digunakan oleh Carax tak pelak adalah highlight film ini. Jika ada yang bicara tentang Annette, maka mereka akan nyerocos soal betapa gilanya Carax mendesain karakter si anak boneka, betapa di-luar-duniawinya Carax mengeset adegan per adegan, betapa sintingnya Carax memvisualkan konflik dan melagukan dialog. People will talk about how bizzare this film is! Namun bukannya tanpa substansi. Carax memback up kreasi edannya ini dengan muatan yang beresonansi dengan kita. Film ini bukan sekadar “Idih apa banget ada adegan ML sambil nyanyi!” Annette sesungguhnya adalah sebuah tragedi fantasi tentang cinta, karir, dan keluarga.

Di saat dunia kita lagi heboh debat soal punya anak atau tidak, pasangan selebriti Henry dan Ann dengan bangga memperkenalkan buah cinta mereka kepada publik dan media di dunia cerita film Annette. Tapi hubungan asmara mereka yang tampak semakin manis itu ternyata hanya di judul berita gosip saja. Kita yang diperlihatkan langsung momen pribadi Henry dan Ann masing-masing, tahu ada masalah yang mulai menampakkan diri. Jika Pinokio adalah pembelajaran untuk anak tentang menjadi anak yang berbakti, Annette ini justru adalah cerita pembelajaran untuk orangtua. Ceritanya ini sebenarnya lebih mirip dengan A Star is Born (2018) Hanya lebih kelam. Henry meredup, metode dan lawakannya mulai gak lucu, sedangkan Ann semakin terkenal di dunia opera. Kecemburuan membawa rumahtangga mereka pada prahara, sampai Ann akhirnya beneran hilang kesapu ombak. Only to return melalui suara emas milik Annette, anak mereka yang lantas dijadikan bintang panggung yang baru oleh Henry.

Semua kejadian dan dialog film Annette ini dilakukan dalam bentuk nyanyian. Marah, nyanyi. Jalan kaki, nyanyi. Boker, nyanyi. Semua, kecuali beberapa porsi yang merupakan gabungan antara nyanyi dengan aksi teatrikal stand up komedi. Everything feels like a performance art. Film benar-benar keren di sini. Udah seperti teater, tapi panggung dan semua-semuanya divisualkan lewat efek sehingga terasa seperti fantasi. Carax juga gak malu-malu untuk mencampurkan elemen supranatural ke dalam cerita. Sehingga semakin tampak artifisial – ganjil dan aneh. Mereka bener-bener bikin Annette si boneka. Yang desain aja udah bisa bikin kita mimpi buruk saking ganjil tapi realnya. Ya, keganjilan film ini terasa benar-benar personal secara bersamaan. Dan artifisial itu memang telah diniatkan sedari awal. Yang juga sesuai dan menguatkan konteks karakternya sendiri. Karena Henry dan Ann adalah bintang panggung. Mereka hidup dalam cahaya glamor. Mereka hidup dalam set panggung, konsep acara; dalam ‘dunia palsu’. Kepalsuan adalah realita mereka sehari-hari. Dan film membawa realita tersebut kepada kita, lewat visual dan suasana artifisial tersebut.

Itulah kenapa Annette, anak Henry dan Ann, digambarkan serupa boneka kayu. Kita melihat Baby Annette itu sejajar dengan perspektif kedua orangtuanya. Henry dan Ann melihat anak mereka sebagai bagian dari kepalsuan. Hanya sebuah episode baru dari kisah cinta mereka. Sebuah materi publikasi. Bukti dari cinta mereka, tapi bukti kepada siapa? Salah satu lagu yang dinyanyikan Henry dan Ann berjudul “We Love Each Other So Much”, liriknya berulang-ulang menyebut mereka saling cinta. Ini tentu saja bukan penulisan atau penciptaan lagu yang buruk. Pengulangan biasanya dilakukan untuk meyakinkan. Tapi meyakinkan siapa? Ya, cinta Henry dan Ann juga tidak nyata (jikapun nyata, mereka tidak menyadari ini pada awalnya). Melainkan hanya for show.  Orang yang beneran cinta mati tidak butuh untuk mengulang-ulang mengatakannya. Sedangkan dalam kasus Annette, later, Henry hanya menggunakan Annette untuk pamor dan ketenaran, karena Annette punya bakat yang tak biasa. Ann pun hanya menggunakan Annette sebagai sarana balas dendam.

annettedriver-annette-700x392
Kasian anet nasib si Annette

 

Adam Driver di sini bermain dengan nunjukin range yang luas sekali. Dia gak sekadar menyanyikan dialog, dia mengisi setiap dialognya dengan intensitas. Karena memang seintens itulah karakter Henry yang ia perankan. Henry yang kalo lagi stand up, selalu mengusung materi yang merefleksikan hatinya di balik aksi-aksi panggung konyol seperti terbatuk karena asap atau mengayun-ayunkan tali mic seolah itu tali lasso. Pertunjuan Henry udah kayak gimana Snape kalo lagi ngajar/ngedoktrin tentang ilmu hitam di kelas. Henry benar-benar mengontrol penonton dan reaksi mereka. Sisi penuh darkness terselubung itulah yang kemudian lantas dikembangkan oleh Adam Driver, mengarahkan karakter ini ke konklusi yang pedih nantinya. Aku pengen banget bahas adegan musikal terakhir film ini; aku suka performance-nya, aku suka lagunya, aku suka gimana perkembangan karakternya dilakukan – atau diungkap, tapi itu bakal merampas kalian yang belum nonton (tapi tetep nekat baca review!) dari momen terkuat film ini. 

Kecemburuan adalah penyakit. Relationship beneran aja bisa rubuh karenanya. Apalagi relationship yang memang sudah rapuh karena dibangun berdasarkan citra atau just for show seperti Henry dan Ann. Hubungan mereka berubah jadi sarang penyakit. Cemburu karir, cemburu cinta, hubungan mereka menjadi semakin rapuh. Korbannya, siapa lagi kalo bukan anak.

 

Sebagai penyeimbang perspektif Henry yang sudah demikian detil terdevelop, film ini – well – di sinilah film sedikit terbata. Mereka menjual film ini sebagai drama romansa, tetapi perspektif Ann tidak terlalu terjabarkan. Kontras kedua karakter sebenarnya sudah terset up. Henry ‘kills’ orang-orang lewat pertunjukan komedi satirnya. Dia mengekspos perasaan orang-orang, dan in a way mengendalikan reaksi mereka. Ann menghibur orang dengan ‘mati’ dalam setiap nyanyian operanya. Ini dicerminkan kuat oleh film menjadi kejadian yang menimpa mereka, yang somehow bagi Ann tertranslate sebagai perempuan itu, katakanlah, nyaman sebagai victim. Dalam tidurnya saja, dia mimpi Henry punya kasus selingkuh dan abuse terhadap perempuan-perempuan lain. Ann harus jadi hantu dulu baru bertindak. Nah, ini bisa membuat penonton kekinian turn off. Permasalahan romansa jadi kurang menarik sebab Ann tidak menjadi kontra yang disejajarkan dengan Henry. 

Menurutku, film ini sebenarnya tidak harus dipersembahkan sebagai romansa. Film ini justru lebih kuat sebagai kisah orangtua dengan anak. Annette dan dua orangtua yang menyeret dia ke dalam konflik mereka. Perspektif Ann yang dilakukan oleh film ini sudah cukup tertampilkan jika film adalah tentang orangtua dan anak mereka, karena fokusnya tidak lagi pada dua gender seperti pada cerita romansa. Keberimbangan yang dicapai oleh film ini tercapai pada antara orangtua (digambarkan lewat Henry dan Ann) dengan anak (Annette). Jadi sebenarnya film ini bukannya tidak imbang, imbang. Hanya saja tidak pada aspek yang mereka jual. So yea, kupikir ini adalah masalah salah pilih hal untuk dijual aja.

 

 

 

Secara keseluruhan Annette tetaplah sebuah presentasi cerita yang kuat. Menempuh banyak resiko dan merebut kebebasan dalam bercerita. Penampilan akting, visual, dialog; It is breathtaking indeed. Tampil artifisial tapi by-design demi menguarkan muatan emosi yang real. Gak banyak yang berani kayak gini. Aku lebih prefer sama film aneh yang berani tampil bercela demi menyuguhkan tontonan berbeda sambil merayakan kreativitas dibandingkan film normal yang berusaha keren tapi tetap terasa seperti sesuatu yang sudah kita lihat berulang kali. Sayangnya di kita, film yang semuanya jadi kayak musikal atau teater atau dialog puisi, kayak gini agak susah konek untuk sebagian besar penonton. Aku pikir, salah satu sebabnya mungkin adalah karena kita menontonnya dengan subtitle bahasa. Keindahana dialog atau nyanyian itu ilang atau gak kebawa oleh proses translasi. Dan lagi, dengan melihat arti kalimatnya, pikiran kita kembali ke set ke mencari arti. Kita tidak lagi merasa. Kita tidak lagi melihat keindahan wujud aslinya. Maka, sedikit saran, coba deh nonton ini tanpa teks terjemahan – atau setidaknya dengan panduan subtitle inggris. Karena musik adalah bahasa universal, mungkin dengan melihat kita lebih mudah merasakan yang ingin disampaikan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for ANNETTE.

 

 

 

That’s all we have for now

Ada jejak/rash di wajah Henry yang terus membesar seiring berjalannya cerita. Menurut kalian itu melambangkan apa?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

[Reader’s Neatpick] – FLIPPED (2010) Review

“Film favorit sepanjang masa saya itu ya ini. Selera saya emang sebocah itu.” – Anggraita Suasana, silent reader My Dirt Sheet

Sutradara: Rob Reiner
Penulis Naskah: Rob Reiner, Andrew Scheinman
Durasi: 1jam 30menit

 

Flipped diadaptasi dari novel karangan Wendelin van Draanen, bercerita tentang kisah ‘cinta-monyet’ dua anak SMP. Cinta ini berawal dari pandangan pertama, yang terjadi pada masa kecil mereka. Bryce sekeluarga baru saja sampai di rumah baru mereka. Tapi Bryce langsung dapat ‘penggemar’. Gadis cilik tetangganya, Juli, langsung naksir sama Bryce. Untuk bertahun-tahun, Bryce mendiamkan Juli yang mengejar-ngejarnya. Bryce malah cenderung menghindar. Namun kini. setelah mereka SMP, setelah keduanya menempuh banyak kejadian yang membuat mereka lebih mengenal satu sama lain, keadaan itu menjadi kebalik. Bryce mulai merasa suka kepada Juli, sementara Juli sendiri mulai meragukan perasaan sukanya terhadap Bryce.

 

“Saya nonton film ini pertama kali di Global TV pas SMP. Saya suka–banget–sekali! Sudah diputar ratusan kali di mata saya, tapi saya tetap enggak pernah muak untuk nontonin sampai habis. Lagi, dan lagi.”

“Aku malah baru tau ada film ini. Kalo bukan karena direkomendasikan oleh Mas Anggraita, pasti lewat deh. Dan beruntungnya, film ini baru masuk ke Netflix! Ini tuh ceritanya simpel, tapi bakal membekas kuat melekat. Walaupun soal ‘cinta monyet’ tapi gak receh, ataupun menye-menye. Malah terasa dewasa sekali.”

“Ceritanya yang sederhana, enggak berlebihan dengan klimaks terasik. Entah mengapa, saya merasa ada hubungan batin sama tokoh Bryce. Terlalu relate sama diri saya sendiri, meski (mata) saya enggak seindah mata Bryce yang berkilauan. Mungkin karena hidup saya yang sudah terlampau berat waktu itu. Film ini terasa relate di saya, karena sepertinya saya juga punya hubungan seperti ini. Anak SMP itu (kan) dengan mudahnya jatuh cinta.”. 

“Kalo aku, suka banget ama Juli. Selalu suka sama karakter cewek yang punya personality sendiri. Unik. Yang mandiri, yang tau apa yang dia mau, tapi juga ada sisi vulnerable. Ah, kenapa aku jadi relatenya ke Kakek si Bryce ahahaha.. Yang jelas, memang film ini kuat banget di personality dan karakter. Juli dan Bryce, keduanya sama-sama terdevelop dengan manis. Dan ini berhasil dilakukan lewat konsep storytelling unik yang digunakan oleh sutradara. Flipped di judul film ini, bukan cuma mengacu kepada terjungkirbaliknya perasaan yang dialami oleh kedua karakter. Tapi juga mengacu kepada sudut pandang. Setiap satu peristiwa, akan ditilik lewat sudut pandang Bryce dan Juli secara bergantian.”

“Saya malah suka tipe bercerita seperti ini, jadi kita bisa tahu apa isi hati tokoh-tokoh utama kita. Mungkin karena ini juga saya jadi suka film ini”

“Setuju. Walaupun memang membuat majunya narasi dari plot poin ke plot poin berikutnya jadi dua kali lebih lama – karena dibahas berulang, tapi konsep sudut pandang yang nge-flip ini sama sekali tidak terasa mengganggu. Bukan ‘gimmick’ semata. Ketika menunjukkan dua sudut pandang itu, kita benar-benar melihat bedanya. Ya beda angle, ya beda perspektif. Enggak kayak franchise-nya Dilan; film Milea katanya ceritanya sama dengan cerita film Dilan, hanya sudut pandang karakternya yang berbeda, tapi toh tidak tampak seperti itu. Franchise Dilan hanya mengopi adegan film pertama, dan mempaste-nya untuk film ketiga. Pertukaran sudut pandang yang dilakukan Flipped ini sama sekali tidak semalas itu. Dan dilakukan dengan jauh lebih efektif pula. Dilan butuh tiga film – dengan hasil: people barely remember the story, dan yang diingat penonton dari karakternya cuma gombalan. Sementara Flipped hanya butuh satu setengah jam, dengan cerita berhasil membekas, dan kita semua jatuh cinta sama karakter-karakternya.:

“Dari Juli kecil yang lari-lari ngejar Bryce kecil sampai dinyanyiin sama teman-temannya, saat Juli enggak mau pohon yang dia sayang ditebang, sampai Bryce remaja mau nyium Juli remaja–ciuman pertama; Semua adegan di sini jelas dong jadi yang terfavorit. Menurutku ini “Cinta Monyet” nya anak baik-baik. Manis dan hangat, itu yang bikin “Cinta Monyet” di sini seperti terasa di kehidupan kita.”

“Gak sekalipun, kan, Juli yang ngejar-ngejar Bryce itu tampak menjengkelkan. Ataupun norak. Itu karena si karakter diberikan banyak waktu untuk menceritakan perspektifnya. Kita mengerti alasan kenapa Juli merasa dirinya naksir ama Bryce, dan sebaliknya kita mengerti juga kenapa Bryce gak nganggep Juli. Dan kita gak jadi berpihak pada satu. Kita malah jadi peduli kepada dua-duanya.”

“Ganggu sih sepertinya tidak ya, karena Juli sendiri tokoh yang mandiri. Dia cuman mau diperhatikan saja sepertinya. Dan itu, kejadiannya saat-saat kecil, bukan?”

“Nah iya. Nah ini hahaha… Karakter Juli make sense ngejar-ngejar kayak gitu karena identitasnya jelas. Karena dia masih anak-anak. Masih SMP. Kita juga bisa relate karena kita tahu, it’s true. Anak SMP sikapnya ya seperti itu. Naksir-naksiran. Film Flipped ini turut kuat di latar. Bandingkan lagi dengan film remaja kita. Mariposa, misalnya. Acha ngejar-ngejar Iqbal. Itu annoying, karena mereka udah SMA. Kita tahu udah lewat masanya untuk naksir sekadar naksir. Kita butuh perspektif kenapa Acha naksir berat sama Iqbal. Ini yang harusnya digali. Tapi film itu gak melakukannya. Mindset dan perspektifnya gak kuat. Gak kerasa kayak SMA. Beda sekali ama film Flipped yang benar-benar kerasa nyata. Dan malah membuktikan bahwa kisah cinta anak SMP toh justru bisa jadi pembelajaran yang mendewasakan. Serius. Ending Flipped ini bagus banget. Ketika kebanyakan film cinta remaja memberikan just happy ending. Film ini punya happy ending yang benar-benar bermakna bagi pertumbuhan karakter (selagi mereka nanem dan numbuhin pohon!)”

“Paling favorit jelas adegan penutupnya. Yang bikin hati hangat dengan tetesan air mata kecil di mata. Bikin senyum-senyum sambil menyeka air mata seharian. Mau seberapa seringpun ditonton, rasanya seperti itu. Entah emang saya sendiri yang punya selera aneh, atau saya punya kelainan yang tidak diketahui. Saya rasa film ini lebih heartwarming, lebih ke pencarian jati diri, tentang keluarga, teman, dan cinta itu sendiri. Sedangkan film remaja Indonesia, mayoritas lebih menjorok ke cinta masa sekolah.”

“Film ini benar-benar nunjukin proses sih. Beda ama film remaja Indonesia yang banyaknya memang menjual kemesraan, atau kebaperan. Proses perjalanan itu digambarkan/diceritakan dengan jelas. Kali pertama Juli naksir, memang cuma asal-suka. Kemudian cerita memberikannya waktu untuk mengenali apa yang ia cintai dari seorang cowok. Begitu pula dengan Bryce. Sama-sama proses menumbuhkan cinta. Lewat apa? Ya seperti yang mas bilang tadi. Cinta mereka tumbuh seiring dengan perjalanan mereka mencari jati diri, yang semuanya tentu saja berhubungan dengan keluarga. Dan memang film ini meluangkan waktu untuk membuat kita mengenali keluarga masing-masing kan. Ada keluarga Bryce, dan ada keluarga Juli. Ada relasi antara Bryce dengan kakeknya, Bryce dengan ayahnya, Juli dengan kakek Bryce, Juli dengan ayahnya, Juli dengan ibunya, dan banyak lagi. Lingkungan mereka tumbuh itu turut diceritakan, menambah bobot narasi film ini”

“Lingkungan emang faktor krusial dalam pembentukan karakter, betul, bukan? Bryce sosok laki-laki bertipe pengecut ya karena keluarganya cuman bisa bicara di belakang, sedangkan Juli adalah anak perempuan yang enggak peduli sama omongan orang lain, karena ya lingkungannya sendiri cendurung enggak mau mendengarkan orang lain. Konflik keluarga di sini emang enggak sedahsyat dan semeledak-ledak itu, tapi emang dibuat senyata mungkin. Dan saya suka. Untuk keluarga Juli saya rasa sudah cukup dekat dengan mereka, tetapi untuk keluarga Bryce sendiri sepertinya memang kurang dekat dengan kita, tetapi entah kenapa keluarga Bryce lebih mewakili seluruh keluarga di dunia nyata? Tapi bukan berarti keluarga Juli enggak merefleksikan bagaimana seharusnya keluarga.”

“Haha iya, aku mengerti maksud, Mas. Keluarga jaman sekarang kayaknya memang lebih condong seperti keluarga Bryce. Suka ngomongin, jarang bergaul – itu kan keluarga Bryce udah bertahun-tahun di sana tapi baru satu kali nanti itu ngundang keluarga Juli yang tetanggaan untuk makan malam, tapi kalo ketemu di jalan ya senyum-senyum aja”

“SAMA, JELAS SAMA. Astaga, hidup bertetangga memang seperti itu, bukan? Hahaha. Saling peduli, saling bantu, saling ngomongin di belakang. Apapun itu, bertetangga memang seperti itu.”

“Yoi, mungkin itu juga sebabnya kenapa sutradara Rob Reiner mengadaptasi film ini dengan perubahan setting waktu. Dari materi yang bersetting tahun 2000an diubahnya ke tahun 60an. Karena tetangga kayak keluarga Juli udah jarang. Seringnya ya, tetangga kayak keluarga Bryce. Jadi kalo tetap di masa kini, ceritanya mungkin terasa beda gimana gitu.. “

“Pasti om Reiner punya pemikiran sendiri sih hahaha. Tapi walaupun tetap di era 2000an, aku rasa masih bisa sebagus itu!”

“Iya, apalagi pergaulan remajanya kan. Anak-anak SMP masa kini kayaknya udah gak sepolos Bryce, Juli, dan teman-teman mereka, deh. Yang pasti bakal ada involvement sosial media, kan?”

“Dengan perkembangan teknologi yang lebih maju, jelas anak sekarang enggak sepolos anak dulu karena mudahnya mengakses media.”

“Berarti langkah Om Reiner mengubah waktunya ke belakang sepertinya tepat. Life is easier back then. Pun lebih humanis. Mungkin itu sebabnya kenapa film ini ngena banget. Kita langsung telak ke perasaan dan journey karakter-karakternya sebagai manusia. Tidak terdistraksi oleh hal-hal lain. Mas ngasih berapa nih untuk film ini, dari skala satu sampai sepuluh?”

“Sembilan. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan”

“Mantaapp. Kalo aku, aku suka banget juga sama film ini, but I do melihat konsep flipped perspektif sebagai resiko-kreatif yang harus diambil, jadi aku kasih 7.5 dari 10 bintang emas untuk FLIPPED!”

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mas Anggraita Suasana udah berpartisipasi (alias mau diajak mikir hihihi) untuk mengulas film ini. Dan tentu saja terima kasih karena udah ngenalin kita-kita semua sama salah satu film remaja yang paling hangat dan paling genuine ini

 

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

TERSANJUNG: THE MOVIE Review

“No man flatters the woman he truly loves”

Tersanjung: The Movie dan review-review positif yang dituainya – dengan asumsi review-review tersebut bukan dari golongan buzzer – adalah bukti bahwa sinetron masih akan terus laku di Indonesia. Karena, film Tersanjung ini adalah film paling nyinetron yang kutonton sejauh tahun ini berlalu. Kalimatku tadi itu bisa make sense dimaklumkan hanya karena Tersanjung: The Movie memanglah adaptasi bebas dari sinetron Tersanjung yang fenomenal di Indonesia tahun 90an. Maka, sutradara Hanung Bramantyo dan Pandu Adjisurya tentu saja berkewajiban untuk membuat film ini punya rasa yang menyerupai sinetron tersebut. And in that sense, mereka berhasil.

Elemen-elemen cerita dari ratusan episode sinetronnya yang dulu itu, dikutip, dikumpulkan, lalu disulap menjadi cerita yang lumayan baru. Generasi yang belum lahir saat sinetronnya booming masih akan bisa mengikuti film ini. Karena film ini seperti sudah disiapkan untuk menjadi cabang franchise Tersanjung yang baru. Film ini mengisahkan tentang Yura, perempuan muda yang sedang dalam proses perjodohan oleh keluarganya. Perjodohan Yura tersebut terjadi dalam rangka menyelamatkan karir bapaknya, Dalam artian, menyelamatkan ekonomi keluarga mereka. Tentu saja sebenarnya Yura-lah yang paling butuh untuk diselamatkan di sini. Terlebih ketika perjodohan tersebut hampir berubah menjadi suatu trauma mimpi buruk. Dua cowok sahabat Yura-lah yang datang membantu. Persahabatan Christian dan Oka menguatkan Yura. Bahkan secara finansial Yura pun mulai terbantu karena mereka bertiga kini membangun bisnis kuliner bersama. Tapi situasi pelik tampaknya belum reda bagi Yura, karena salah satu dari sahabatnya itu menyatakan cinta, membuka siapa dirinya sebenarnya, untuk kemudian menghilang selamanya.

See, sekarang mungkin kalian sudah mulai sedikit mengerti kenapa aku menyebut ini film ini me-nyinetron. Aku bahkan tidak bisa menuliskan sinopsis tanpa membeberkan hingga ke kejadian-kejadian di akhir film. Itu karena film ini tidak memberikan arc yang clear kepada karakter utamanya, yakni si Yura, melainkan memberikan arc singkat yang terus diulang sehingga seperti jadi episode-episode. Dia nemuin cinta, terus terluka, begitu terus sampai kemudian jadi happy karena durasi sudah terpenuhi. Tapi tetap di akhir itu tidak terasa seperti ending, melainkan lebih mirip berupa cliffhanger ala sinetron. Percaya deh, kita seakan nyaris bisa melihat ada tulisan “bersambung” pada shot terakhir film ini. Hanya seperti masalah yang udah kelar, lalu lantas disambung kembali oleh masalah baru.

“Ooooooo… kubersambung~

Secara kualitas design produksi sih, film ini jauh di atas film-film ala sinetron. The film certainly looks good. Cantik banget malah. Aku maklum sekali kalo pujian-pujian berdatangan dari sini. Banyak shot-shot cakep. Misalnya, shot dari langit adegan Yura nangis di pusara ibu kandungnya, memperlihatkan barisan kotak-kotak kuburan. Sepi. Hening. Benar-benar sesuai dengan perasaan yang sedang dialamatkan kepada kita. Sutradara Hanung memastikan adegan-adegan tetap hidup dengan depth. Setiap kali memungkinkan, dia akan memasukkan banyak kegiatan yang berlangsung di belakang kejadian utama pada setiap framenya. Seperti pada saat di perkampungan, Hanung membuat kampung itu hidup oleh suasana warga sekitar. Ngomong-ngomong soal suasana, cerita film ini mengambil tempat di tahun 90an. Dan nyaris setiap shot menguar banget suasana 90an tersebut. Kerasa banget suasananya. Bukan hanya pada kostum dan properti, tapi juga dari ‘napas’ yang dihembuskan oleh ceritanya. 90an akhir adalah masa-masa chaos di Indonesia, dan film ini menyangkutkan permasalahan kerusuhan tersebut ke dalam cerita. Topik-topik khas sinetron 90an seperti perjodohan dan ketimpangan kelas menghiasi film ini. Beberapa kelebayan khas sinetron tahun segitu juga ditampilkan, seperti ibu tiri yang ngeselin, ibu mertua yang jahat. Semua itu digunakan untuk nostalgia sekaligus identitas. Gaya sinetronnya kuat. Namun gaya visual yang dilakukan Hanung tadi-lah yang mengelevasi film ini. Seperti dibuat dan disyut tahun 90an, tapi dengan peralatan kekinian.

Bagi para pemain pun, Hanung memberikan pengadeganan, banyak ruang untuk melakukan lebih dari yang diminta naskah sehingga aktor-aktor muda seperti Clara Bernadeth, Giorgino Abraham, Kevin Ardillova, dan Marthino Lio enggak hanya ada di sana sebagai penambah cantik visual semata. Bahkan pemenang Gadis Sampul 2018 Allya Syakila yang jadi adik Yura juga diberikan porsi yang lumayan gede; ya kalian tahu dong, aku senang sekali kalo ada anak Gadsam yang dapat peran di film. Para cast utama diberikan lahan bermain salah satunya berupa dialog-dialog yang quoteable, dan mereka berhasil mendelivernya tanpa terdengar kikuk ataupun cheesy.  Ketika tidak sedang sibuk menjadikan adegannya terasa sinetron, Hanung mendaratkan film ini lewat celetukan-celetukan khasnya yang lumayan nyeleneh alias menantang. Misalnya, di film ini diperlihatkan orangtua suka menyebut anak mereka dengan panggilan sayang berupa ‘monyet’. Ataupun soal bagaimana orang Indonesia yang kebule-bulean ternyata kalah manusiawi daripada bule yang nge-indonesia. Aku pikir there must be deeper something in this, tapi untuk sekarang elemen-elemen demikianlah yang membuatku terhibur dan lupa sama panjangnya durasi ‘film-sinetron’ ini.

Jadi sebenarnya yang bagaimana lagi sih film yang menyerupai sinetron itu?

Tentu saja melihatnya dari cerita yang terlalu convenient. Alias cerita yang terlalu digampangkan. Sinetron kan biasanya penuh oleh elemen kebetulan, berpindah cepat antara satu konflik/drama ke konflik lain tanpa mengeksplorasi perjuangan atau struggle dalam cerita. Film Tersanjung ini persis seperti begitu. Ada beberapa kali ketika muncul bahasan yang sepertinya menarik jika diceritakan. Seperti bisnis kuliner yang dibangun Yura. Tadinya kupikir film ini bakal membahas struggle tiga sahabat yang diam-diam tumbuh cinta ini dalam membangun bisnis tersebut. Tapi ternyata tidak. Bisnis mereka berjalan dengan gampang. Tau-tau udah laku aja. Atau juga misalnya lagi, ketika cerita film ini sampai pada situasi seperti Crazy Rich Asians (2018).. Tadinya kupikir cerita benar-benar berubah haluan menjadi ke arah sana; ada sejumlah karakter baru yang muncul (dan di-mention) sehingga seolah bakal penting untuk ke depannya. Tapi ternyata juga enggak. Film glossed over this part. Either berfungsi sebagai penempatan kameo, atau memang ditahan untuk sekuel. Padahal kan bisa jadi cerita yang menarik.  Bayangkan kalian mengetahui sahabat kalian ternyata seorang sultan, dan dia mencintai kalian. I’m pretty sure that is a lot to take, tapi Yura kelihatan biasa-biasa saja. Dan bagaimana denagn Yura yang trauma nyaris diperkosa? Nope, tak ada waktu untuk membahas ini. Perihal Yura membantu orangtuanya juga gak problematis amat. Bakat nyanyi ayahnya ternyata nurun ke dia, Yura cakap bernyanyi, sehingga heran juga kenapa keluarga mereka masih bergantung kepada kontrak ayahnya in the first place. Seharusnya ada yang bisa digali di sini. Relasi ayah dan anak itu mestinya bisa dieskplorasi. Tapi, sekali lagi, tidak. Semuanya harus digampangkan, gak perlu repot-repot yang membahas yang seperti itu di sini.

Ketika pengen nembak tapi belum siap

Sinetron biasanya hobi banget pake soundtrack, ngulang-ngulang lagu sebagai cue adegan sedih, misalnya. Film ini, meskipun enggak separah itu, tapi tetep aja sangat bergantung kepada lagu soundtrack di latar untuk mengeja perasaan apa yang sedang disampaikan. Lucunya lagi, seringkali lagu latar tersebut enggak klop sama adegan yang sedang ditampilkan. Contohnya ketika berkumandang lirik “..kau penuhi janjimu itu…”, tapi adegan yang kita lihat sama sekali tidak ada orang yang sedang memenuhi janji. Adanya malah karakter yang disuruh berpura-pura menjadi suami Yura sedang dipaksa jadi partner senam hamil. Sejujurnya buatku bagian si karakter ini ‘dipaksa’ inilah yang membuat film ini jadi punya nilai minus. Ceritanya jadi sungguh canggung, dan juga sangat convenient. Inilah yang benar-benar memberikan cap film ini menjadi seperti sinetron. Aku gak bisa bilang banyak karena bakal spoiler berat. Aku paham yang diincar oleh film, yakni untuk menunjukkan bahwa feeling mereka memang mutual dan ada consent and everything. Hanya saja, film menunjukkannya dengan menyembunyikan di awal lalu kemudian melakukan pengungkapan kilas-balik. Ini menimbulkan banyak kekonyolan, seperti ibu tiri Yura jadi terlihat seperti mastermind dari semua hubungan tersebut. Cerita akan lebih bagus dan sama sekali tidak perlu flashback jika feeling karakter tersebut sudah diperlihatkan dan dibangun sedari awal. I mean, penonton toh sudah tahu (dari poster dan dari sinetronnya) bahwa Tersanjung adalah cinta segitiga, jadi kenapa masih pakai penceritaan dengan formula ‘ternyata’. 

Yura dua kali terkecewakan oleh pria yang menyanjungnya. Dengan harta. Dengan kesempatan. Dengan janji. Perempuan itu kemudian menyadari cinta sejati tidak perlu sanjung-menyanjung. Cinta sejati langsung membuktikan dengan perbuatan. Dan sekarang, kepadanyalah Yura berpaling.

Sebenarnya sedari awal, film telah melakukan hal yang gak klop. Narasi voice-over Yura yang membimbing kita melewati adegan demi adegan, di bagian pembuka mengatakan bahwa cinta itu berawal manis. Tapi yang kita lihat saat itu justru tensi yang menguar dari adegan perjodohan. Ketidakterimaan yang menguar dari ekspresi ayah Yura, dan keengganan yang terpancar dari Yura sendiri. Mungkin memang inilah yang sedang diset oleh film. Bahwa keenggak klop-an akan konsisten hingga di akhir. Karena tahu tidak, lagu 90an apa yang diputar sebagai latar di adegan menjelang terakhir yang ceria di pernikahan? “Saat bulan purnama bersinar…” Ska dong! Tone-nya jadi drastis banget. It’s not even a 90’s song!  

 

 

Apa lagi yang bisa kubilang? Film ini tahu persis dia mau jadi seperti apa. Mungkin memang ada tantangan tersendiri membuat film yang berasa sinetron. Siapa yang tahu? Yang jelas film ini berhasil menghidupkan kembali ruh sinetronnya. Dan tampil sangat cantik dalam melakukan itu semua. Konflik perasaan yang tak abis-abisnya. Penggambaran si kaya dan si miskin yang too good to be true. Dialog-dialog manis yang enak dipajang jadi caption instagram. Banyak hal dalam film ini yang bisa disukai oleh penonton kita. Tapi apakah ini termasuk film bagus? Aku pikir tidak. Cocoklah tayangnya di Netflix saja. 
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for TERSANJUNG: THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Berhubung filmnya kayak end-credit film superhero, sepertinya film ini pantas untuk diteori-teori-in, don’t you think? Nah, bagaimana, apakah kalian punya teori tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada Christian?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MALCOLM & MARIE Review

“Don’t take people for granted”
 

 
Bertengkar itu penyebabnya bukan cuma persoalan gede. Lebih seringnya sih, kita mendengar pasangan berantem hanya gara-gara masalah sepele. Message yang cuma di-read, kaki injekan motor yang turun sebelah, atau kalo di sinetron-sinetron jadul; noda merah di sapu tangan papa. “Ini bekas lipstik siapa, Pah!?!” Di dunia percintaan itu gak ada yang namanya api kecil jadi teman api besar jadi lawan. Yang ada malah api-api kecil akan perlahan menjadi semakin besar. Malcolm dan Marie juga ribut awalnya karena hal kecil. Malam itu malam premier film karya Malcolm. Namun dalam speech-nya, Malcolm lupa menyematkan ucapan terima kasih kepada Marie, sang pacar. Di rumah, Marie menuntut penjelasan kenapa Malcolm bisa lupa. Dan ributlah mereka. Dari ucapan terima-kasih, bergulir membuka ke lapisan-lapisan permasalahan lain dalam kehidupan percintaan, profesional, dan personal mereka.
Ya, film ini isinya orang ribut. Aku pastilah sudah cabut dari rumah itu kalo ini adalah pertengkaran biasa, karena memang paling malesin dengerin orang asing berdebat. Tapi untuk Malcolm dan Marie aku rela tinggal. Aku ingin tinggal dan mendengar. Karena yang mereka bicarakan sembari bertengkar itu adalah persoalan seputar masalah kritik dalam perfilman

Bersiap-siap menikmati ketubiran.. Sluurrpp!

 
Aspek ‘berantem’nya sendiri memang annoying. Di sini Sam Levinson bekerja rangkap sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya. Dan dia memastikan cerita ini benar-benar terdeliver kemelutnya kepada kita. Berantem dengan pasangan is always be an unpleasant thing. Terutama ketika kita enggak tahu persis apa masalah si pasangan. Sebelum membuat kita mengenal mendalam kedua karakternya, Levinson membuat memperkenalkan kita lebih dahulu kepada seting dan suasananya. Sehingga supaya kita bisa merasa sama gak nyamannya, film ini dibuat oleh Levinson dengan sangat mengukung. Seluruh kejadian berada di dalam satu lokasi, yakni sebuah rumah (yang disediakan oleh PH untuk mereka, kata Malcolm dengan jumawa). Yang ceritanya berlangsung di sepertiga malam itu saja.
Sudah lewat tengah malam saat kedua karakter tiba dari acara premier. Malcolm excited mengenang sambutan yang ia dapat di sana. Dia lebih menggelinjang lagi saat memperkirakan nanti bakal dapat kritikan seperti apa dari para kritikus dan jurnalis. Sementara Marie menyiapkan pasta untuk makan malam. Sesekali perempuan muda itu berhenti untuk merokok sambil memandangi pacarnya tersebut uring-uringan sendiri membahas kritik yang bahkan belum terbit – kritik yang hanya ada di dalam kepala dan dugaannya sendiri. Kubilang, Levinson berhasil menciptakan set up film ini; dia berhasil menciptakan karakter dan permasalahan yang menarik bagi penonton (karena of course orang yang menonton film ini ‘peduli’ dengan persoalan film dan kritik itu sendiri). Di bagian awal ini, Levinson punya sesuatu yang spesial yang mengalihkan kita dari betapa canggung dan mengukungnya suasana; dari api kecil yang sudah ada di sana. Pertengkaran mereka yang pertama pun – ketika Marie mulai bertanya kenapa cuma ia seorang yang tidak disebut dalam rangkaian ucapan terima kasih Malcolm – diadegankan menarik. Mereka berdebat soal itu, Malcolm berusaha mengecilkan diri Marie, sambil makan pasta bikinan Marie!
Pertengkaran-pertengkaran yang menyusul sesudah ini, repetitif. Tidak ada lagi pengadeganan yang menarik. Levinson sudah fokus ke buah pikiran para karakter; ke sudut pandang mereka yang saling berkontras. Sehingga nonton ini mulai melelahkan. Adegannya selalu mereka mesra, lalu tiba-tiba Marie mengungkit sesuatu, dan Malcolm kembali masuk ke mode ngeles ala cowok brengsek tak-tahu terima kasih andalannya. Ketika Malcolm menjadi unbearable seperti demikian, Marie jadi terasa annoying karena tampak selalu cari-cari masalah. Di bagian tengah film inilah aku merasa menonton ini jadi pekerjaan atau tugas yang sangat menyiksa. Kurang lebih sama seperti ketika di dalam kelas sejarah matamu mengantuk tapi kau tidak bisa tidur karena yang diceritakan dengan suara keras dan nada monoton oleh gurumu adalah peristiwa yang menarik. Film ini harusnya punya adegan yang lebih variatif dan paralel dengan pertengkaran. Sehingga film ini enggak hanya punya ‘omongan’. Film yang di satu lokasi tentunya enggak mesti menonjolkan ‘tell’ ketimbang ‘show’. Meskipun performa Zendaya dan John David Washington dalam ‘tell’ itu memang meyakinkan. Meskipun inti pertengkaran mereka sungguh manusiawi dan relatable dan ngajari banyak tentang rasa terima kasih kita terhadap orang-orang di sekitar. We need something that visually engaging too.
Serius, jika bukan karena obrolan tentang kritik filmnya, aku pastilah sudah undur diri alias tidak melanjutkan nonton film ini. Untuk mencapai inti permasalah kedua karakter, film ini menyiapkan lapisan profesional yakni lapisan Malcolm sebagai sutradara. Dia membuat ‘black film’ dan dia kesel teramat sangat sama review-review yang menonjolkan isu warna kulit ketimbang fokus kepada art yang ia bikin. Levinson lewat Malcolm seperti menyerang media dan para pengulas yang memang selalu menonjolkan ‘agenda’ itu dalam film-film seperti yang dibuat Malcolm. Dan kupikir ini juga sebabnya kenapa film Malcolm & Marie ini sendiri mendapat cukup banyak rating dan ulasan yang negatif. People get offended oleh sikap dan perkataan Malcolm. Padahal jika kita lihat dari konteksnya, Levinson tidak mempersembahkan adegan tersebut sebagai sikapnya terhadap film dan kritik. Karena adegan itu adalah monolog sudut pandang Malcolm. Film ini memang banyak menggunakan monolog sebagai bentuk karakternya berdebat (bayangkan game RPG ketika kita bergantian menyerang dengan musuh, seperti saat kita ngeset magic dan skill untuk menyerang itulah fungsi bagian monolog dalam film ini) Dan di adegan ini Malcolm sedang berdebat dengan si pengkritik lewat tulisannya. Yang merupakan perpanjangan dari debat Malcolm dengan Marie, karena Marie di sini diparalelkan dengan kritikus film. Sebagai pihak yang menunjukkan cinta dan kepedulian dengan menegur dan mengkonfrontasikan siapa sebenarnya Malcolm menurut mereka.
Jadi adegan tersebut jelas bukan seperti yang sudah salah dicuplik oleh warga-warga Twitter, yang dengan bangga memperlihatkan screenshot Marie tersenyum beserta caption tulisan subtitle yang mengatakan bahwasanya sebuah film enggak harus punya pesan. Padahal kata-kata itu malah bukan kata-kata Marie, melainkan Malcolm. Marie di situ tersenyum ‘mencemooh’ pendapat Malcom. Karena pendapatnya itu bukanlah kebenaran mutlak, melainkan kepercayaan personal karakter Malcolm yang melihat itu sebagai serangan atas pribadinya, padahal kritik yang ia bahas itu sesungguhnya memuji filmnya. Dan ini berkaitan dengan pertanyaan besar Marie di awal. Berkaitan dengan gagasan film soal berterima kasih dan mengenali andil atau peran seseorang yang tidak bisa lepas dari kita sendiri.

Everything happens for a reason. Apa yang kita lakukan tidak bermakna sama bagi orang lain. Oleh karena itulah maka kita harus mengenali mereka satu persatu. Begitulah salah satu cara kita menunjukkan terima kasih. Dengan terbuka (bagi misteri, kalo kata Marie) menerima yang diberikan.

Adegan ini loh yang belakangan sering dicuplik tanpa membawa serta konteksnya

 
Menggunakan monolog panjang sebagai bentuk berdebat tampaknya telah menjadi pedang bermata dua bagi film ini. Di satu sisi monolog tersebut memberikan ruang kepada kedua aktor untuk bersinar. Washington dan Zendaya dapat kesempatan untuk nunjukin range dan permainan ekspresi; ketangguhan performa akting mereka. Namun di sisi lain juga ternyata membuat kita terlepas dari debat itu sendiri. Alih-alih benturan dua sudut pandang, kita malah melihatnya lebih sebagai bincang-bincang dari satu kepala. Buktinya, banyak dari kita yang salah mengutip seperti itu tadi.
Satu lagi yang seperti pedang bermata dua dilakukan oleh film ini adalah pilihannya menggunakan visual hitam-putih. Pilihan ini terlihat seperti jawaban film untuk pertanyaan bagaimana menghasilkan visual yang unik sehingga menarik dan bikin penonton betah. Tapi hasilnya gak benar-benar engaging. Malah seringkali tampak pretentious. Film tidak pernah berhasil mencuatkan alasan kuat kenapa film ini harus hitam putih. Pandangan karakter tokohnya toh jelas tidak hitam-putih. Periode ceritanya juga enggak jadul, malah film ini menggunakan referensi kekinian. Sehingga untuk menyasar kesan timeless atau periode antah-berantah, warna hitam-putih tersebut juga tidak tampak berfungsi. Namun kalo fungsinya supaya bikin film tampah angker untuk ditonton lagi, sih, aku bisa bilang cukup berhasil.
 
 
Hari Valentine sudah dekat, dan jika kalian dan pasangan cukup ‘tahan banting’, maka film ini bisa dijadikan pilihan. Karena in the end, film ini bisa ngajarin soal menghargai peran dan kehadiran pasangan di dalam hidup kita. Hanya saja film ini memang lebih enak untuk didengarkan, daripada untuk dilihat. Bukan karena visualnya jelek, melainkan karena enggak banyak bermain di visual. Adegannya repetitif, dan secara keseluruhan penceritaan film ini lebih kuat sebagai ‘telling’ ketimbang ‘showing’.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MALCOLM & MARIE.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film harus punya pesan? 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HAPPIEST SEASON Review

“When you wait for the right time, you’ll never know when it’s already too late”
 

 
 
Natal, bagi yang merayakannya, adalah waktu yang membawa kebahagiaan. Bukan semata karena natal punya suasana yang meriah dengan segala hiasan rumah, lengkap oleh hadiah-hadiah. Melainkan lebih karena natal adalah waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul bareng keluarga besar tercinta. Merayakan sesuatu yang diyakini bersama, sehingga perbedaan-perbedaan kecil di antara anggota bisa dilupakan setidaknya untuk beberapa hari.
Abby juga merencanakan natal untuk dijadikan sebagai momen yang istimewa. Dia ingin melamar perempuan bernama Harper yang sejak lama menjadi kekasihnya di hari natal. Karena natal tahun ini, Abby diundang untuk merayakannya bersama keluarga Harper. Namun apa yang bagi Abby tampak seperti waktu yang tepat, ternyata tidak demikian bagi Harper. Yang sama sekali belum buka suara apa-apa terhadap hubungan mereka berdua kepada keluarganya yang lagi sibuk dalam masa-masa kampanye politik. Sehingga Abby malah harus merayakan natal dengan berpura-pura sebagai sahabat Harper. Awalnya memang lucu melihat ayah dan ibu Harper memperlakukan Abby sebagai anak yatim-piatu yang malang, juga melihat Harper dengan saudari-saudarinya semacam saling berkompetisi untuk jadi ‘anak teladan’. Namun kelamaan Abby merasa semakin terkecilkan. Asmara masa lalu Harper pun mencuat ke permukaan, membuat Abby mulai meyakini bahwa ini mungkin adalah saat yang tepat baginya untuk meninggalkan Harper.

Abby harus masuk ke closet sekali lagi

 
Happiest Season boleh jadi tercetak dalam formula rom-com yang udah biasa. Kita dapat dengan jelas arah plotpoin-plotpoinnya. Bukan berarti suatu film yang ngikut formula itu jelek. Karena ini seringkali adalah masalah bagaimana sutradara meniupkan ruh ke dalam formula-formula cerita tersebut. Dan Happiest Season menjadi lebih spesial. Film ini berbeda, bukan hanya karena ini adalah rom-com tentang pasangan lesbian. Melainkan karena film ini adalah kisah cinta pasangan lesbian, sekaligus film natal; dua hal yang membuat eksistensi film ini berjarak buat aku dan sebagian besar penonton, namun tak sekalipun jarak tersebut terasa menjauhkan kita terhadap ceritanya. Jika natal adalah suatu occasion yang mengundang semua orang merasakan keceriaan dan kebahagiaannya, maka sutradara Clea DuVall telah membuat Happiest Season serupa dengan spirit natal tersebut. Karena film ini adalah kisah LGBT yang mengundang semua orang untuk masuk, merasakan kehangatan dan hati yang tersimpan di balik lucu-lucuan.
Cerita tentang karakter LGBT memang selalu didesain untuk memberikan dorongan untuk sebuah equality. Empowering penonton yang relate untuk menjadi berani membuka diri, sementara pihak sekitar untuk menerima mereka tanpa membedakan. Namun seringnya film-film itu jadi malah tampil terlalu depressing. Penggambarannya dibuat terlalu berat, hanya supaya kita bisa lebih respek terhadap perjuangan yang karakternya lalui – untuk diakui, untuk tidak dikerdilkan. Dari yang sudah-sudah, kebanyakan film tentang hal ini memang jadi tampak terlalu sibuk dengan mengibarkan panji-panji agenda mereka, sehingga meskipun kita dapat mengerti bahwa perasaan dan perjuangan mereka itu beneran nyata, karakter-karakternya malah jadi tampak agak minta dikasihani. Bahwa yang mayoritas-lah yang harus mengerti dan ‘baik’ kepada mereka. Untuk come-out, misalnya, biasanya cerita akan menitikberatkan kepada lingkungan-sosial; bahwa yang sering ditilik adalah si protagonis susah untuk come-out karena lingkungan yang tidak mendukung.
Alih-alih memperkuat suasana yang mengukung dan menyibukkan diri membuat hal yang dilalui karakter LGBT sebagai suatu hal depressing yang spesial, DuVall membuat Happiest Season sebagai rom-com normal. Ceritanya ringan seperti sinetron, banyak kejadian lucu ala sinetron. DuVall membuat kisah LGBT ini menyenangkan. Elemen depressing, emosi yang manusiawi, dan pergulatan-diri yang real bukannya tidak hadir di dalam film ini. Mereka ada, sebagai identitas latar dan konflik karakter yang kuat menguar. Hanya saja, penceritaan film tidak menampilkan elemen-elemen itu sebagai ‘agenda’. Dan ini sesungguhnya tidaklah mudah; membuat film yang bermuatan sesuatu yang real dan sangat emosional menjadi tidak berat, malah cenderung menyenangkan, jelas bukanlah suatu desain yang mampu diciptakan oleh semua orang. Di sinilah letak keberhasilan DuVall dalam Happiest Season. Membuat film ini fun, layaknya nonton sinetron, tapi tidak sedikitpun kepentingannya terkurangi. Semua orang, literally semua orang, bisa terangkul menonton film ini dan gak akan merasa sedih saat berakhir, sembari tetap mengantongi pesan yang digaungkan oleh cerita.
Karakter-karakter film ini terasa benar sebagai subjek, tanpa ada perasaan mereka seperti minta dikasihani. Mereka tidak terasa seperti menuding ke luar. Memang, pihak keluarga di film jadi alasan untuk Harper gak berani mengakui dirinya pacaran sama Abby, dan gak tertarik sama cowok mantan pacarnya di SMA. Keluarga Harper ingin membangun citra yang baik, tidak mau menarik perhatian publik ke berbagai hal, mereka ingin terlihat perfect sebagai keluarga. Latar keluarga inilah yang membentuk Harper, dan dua saudarinya. Bagi Abby, however, ini tetap adalah persoalan perlakuan Harper terhadapnya. Konflik emosional itu tetap berpijak pada dua karakter yang saling cinta, tetapi ada satu yang jadi tidak berani menunjukkan hal tersebut. Pelajaran atau gagasan penting cerita tetap dipanggul oleh dua karakter ini; Abby dan Harper. Pelajaran berupa untuk tidak terlalu lama menunggu sementara juga untuk tidak terlalu memaksakan, yang terangkum lewat monolog yang empowering dari tokoh sahabat Abby.

Memaksakan sesuatu bisa bikin runyam, tapi sebaliknya tidak akan ada yang tahu kapan eksaknya ‘waktu yang tepat’. Kita hanya bisa menyadari kita tidak bisa terlalu lama untuk menunggu sesuatu karena di saat bersamaan orang lain juga tidak akan mampu berlama-lama menunggu kita. Inilah yang membuat pilihan itu menjadi susah, dan tindakan kita menjadi begitu berarti. Film Happiest Season memperlihatkan dorongan itu sebenarnya berasal dari dalam. Karena ketakutan kita terhadap sesuatu di luar seharusnya lebih kecil daripada cinta kepada orang-orang yang ada di dalam.

 
Cerita film ini memang tidak akan bekerja tanpa chemistry di antara para karakter. Terutama Abby dan Harper. Kristen Stewart dan Mackenzie Davis punya sekarung pesona dan chemistry sehingga kita sudah dibuat peduli terhadap kebersamaan mereka semenjak keduanya manjat atap rumah orang di awal film. Sehingga ketika mereka harus ‘pisah ranjang’ saat berpura-pura cuma teman, kita bisa merasakan itu sebagai halangan yang berat. Setidaknya bagi Abby. Karena kemudian, Harper yang diperankan Davis akan mulai menapaki karakter yang mendua – kadang dia akan terlihat nyebelin, dan kadang kita berusaha memakluminya. Di sinilah tantangan peran yang harus dilewati – dan terbukti sukses – oleh Davis, dan juga Stewart. Naskah, sayangnya, jadi sedikit goyah saat dinamika itu mulai melaju. Abby yang semakin terlihat unstable karena semakin kesepian – berkat adegan-adegan konyol yang ikut memojokkan dan memperlebar jaraknya dengan Harper, sementara Harper yang semakin sering juga terlihat apatis meskipun kita mengerti konflik dirinya juga emosional; naskah mulai tampak berpindah-pindah sudut pandang. Sehingga seperti ingin mengubah Harper sebagai tokoh utama di pertengahan akhir cerita.

Aku jadi pengen lihat Kristen Stewart dan Aubrey Plaza jadi lead di action-comedy

 
 
Semua permainan peran di sini tampak natural, meskipun karakter-karakternya agak over-the-top. Tokoh sahabat si Abby tadi misalnya, dia cukup bijak, tapi sebagian besar screen timenya digunakan untuk memperlihatkan dia comically gak bisa ngurusin ikan. Ataupun soal dia punya pelacak yang bisa membuatnya tahu seseorang ada di mana – ini jadi device naskah untuk memungkinkan para karakter bisa saling ketemu tanpa memperpanjang waktu. Tadi aku sempat menyinggung film ini mirip sinetron. Dan hal tersebut boleh jadi sekaligus juga sebagai pembawa kejatuhan nilai film ini buat kita. Karena elemen-elemen sinetron dalam narasi memang kerap seperti membuat keseluruhan naskah kayak ada rongga-rongga yang memperlemah fondasinya. Akan ada banyak klise kayak karakter kebetulan bertemu di jalan atau di kafe, ada hal-hal komikal seperti ribut di depan umum. Yang semua itu sebagian besar tampak seperti untuk memudahkan cerita. Hal-hal begini mestinya bisa dikurangi, karena fun dan menghibur itu sudah tercapai lewat karakter-karakter yang menambah banyak kepada warna-warni cerita.
 
 
 
 
 
Meskipun mengangkat topik yang cukup berat dan highly relevan dengan kehidupan sosial sekarang, film ini berani tampil apa adanya. Dia mengutamakan untuk tampil ceria sehingga bisa merangkul banyak orang. Sehingga jadi unik, dalam dua sudut pandang; film LGBT yang fun dan gak depressing, atau film rom-com yang penuh hati dan punya isi yang berbeda. Sehingga kita bisa bersenang-senang menonton sembari bisa tetap aware sama permasalahan yang ada. Dihidupi oleh karakter-karakter menghibur, yang dimainkan oleh jajaran cast yang sangat fleksibel antara mainin komedi dengan drama. Beberapa adegan terlampau receh, dan mestinya bisa lebih baik lagi dituliskan. Menyatukan depressing dengan fun, memang tidak gampang, tapi pencapaian film ini sudah lebih dari lumayan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAPPIEST SEASON.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang keluarga yang menanamkan semangat kompetitif pada anak-anaknya, seperti keluarga Harper? Seperti apa kiranya ‘keluarga yang perfect’ dalam pandangan kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

REBECCA Review

“The shadow of someone’s greatness is not a good place to dwell.”
 

 
 
Sudah 2020 akhir, dan sampe sekarang aku masih belum benar-benar paham tujuan orang ngeremake atau ngereborn sesuatu, selain karena soal duit. Tapi tampaknya memang begitu; hanya untuk mendulang untung semata. Makanya yang dibuat ulang itu selalu merupakan hal-hal yang populer. Atas nama nostalgia. Sesuatu yang sudah bagus, perfectly fine, juga sering banget dibikin lagi versi barunya. Alasannya tentu saja untuk diremajakan, disesuaikan dengan keadaan modern, sebagai upaya pelestarian. Alasan tersebut sebenarnya masuk akal kalo memang dibarengi oleh usaha yang benar-benar kelihatan. Namun kebanyakan ya setengah-setengah. Memaksa narasi masuk ke dalam sebuah catatan zaman yang sebenarnya memang susah untuk diubah. Tengok aja adaptasi live-action Disney yang gagal dengan gemilang karena menjejalkan agenda-agenda sosial yang baru, tanpa diiringi dengan proses adaptasi yang lebih matang. Atau gimana horor seperti Pengabdi Setan atau Ratu Ilmu Hitam yang menanggalkan identitas lokal hanya untuk sebentuk gagasan progresif (ustad gak selamanya menang lawan hantu!) tanpa menawarkan solusi baru.
Jadi, yaa, aku heran aja sama remake; kenapa yang dibuat ulang itu bukan film atau cerita yang berpotensi tapi gagal untuk konek. Istilahnya, kenapa bukan film-film jelek yang diremake supaya bisa diubah menjadi lebih bagus. Lebih prestasi kan kalo gitu, like, ‘Gue dong bisa bikin film jelek jadi bagus!’ daripada malah dikenal membuat film yang gagal live up ke keberhasilan film versi jadul. Bukankah berkarya bisa lebih luwes jika tidak ada bayang-bayang gede yang memayungi. Perihal Rebecca versi Netflix ini juga; aku paham sutradara Ben Wheatley bilang karyanya ini merupakan adaptasi terbaru dari novel sumber ceritanya. Dan aku juga paham bahwa sudah ada banyak sebelum ini yang menjadikan cerita Rebecca sebagai inspirasi – sudah banyak ‘adaptasi’ bebas dari cerita ini. Namun tetep saja, film ini tidak bisa lepas – tidak bisa untuk tidak kita bandingkan – dengan bayang-bayang gede yang sudah diciptakan oleh Rebecca versi 1940an. Dan ini ironi. Sebab film yang terjebak di bawah bayang-bayang film sebelumnya ini jadi persis sama seperti ceritanya sendiri.
Rebecca adalah cerita tentang seorang wanita muda, yatim piatu, yang jatuh cinta kepada seorang pria kaya. Tentu saja tadinya wanita ini tak pernah bermimpi bisa jadi nyonya di rumah besar itu. Pertemuan mereka kasual saja. Di Monte Carlo saat si wanita masih menjadi asisten pribadi seorang wanita terpandang. Dia bahkan belum tahu kalo Maxim de Winter yang lebih tua itu sebenarnya siapa. Barulah ketika bosnya mengajak ke New York, wanita ini resah. Dia tidak siap berpisah dengan Maxim yang sudah beberapa waktu ini terus bersamanya. Maxim juga begitu. Tak ingin berpisah, pria itu lantas langsung ngajak nikah! Si wanita diboyong ke rumahnya, Manor Manderley. Tapi kebahagian hidup baru si wanita ini bukan tanpa beban. Karena ternyata Maxim adalah duda. Dan hantu Rebecca, mantan istrinya, masih ada di rumah besar tersebut. Menghuni setiap sudut rumah. Hidup di dalam kenangan dan cerita para pelayan. Hidup, di dalam kepala wanita muda yang malang.

The Haunting of Manderley Manor

 
Jika Mrs. de Winter yang baru tersebut hidup dalam bayang-bayang Rebecca, maka film Rebecca versi Netflix ini dibayangi oleh Alfred Hitchcock; sebagai sutradara film versi jadul. Dan bayang-bayang itu tak pelak adalah bayang-bayang yang besar, lantaran Hitchcock merupakan master dari horor dan suspens. Dalam kemudinya, Rebecca mencuat sebagai roman dengan nuansa psikologikal misteri yang mencekam. Rebecca Hitchcock yang hitam putih hadir mempesona sekaligus daunting berkat teknik storytelling. Sedangkan Rebecca baru ini cantik karena lebih vibrant oleh warna dan terasa punya nada berbeda yang berakar dari karakterisasi yang memang ditulis sedikit berlainan dengan materi aslinya.
Hal tersebut actually adalah peningkatan yang berhasil dilakukan oleh film ini. Ketika di film yang lama, perspektif ceritanya seperti berpindah karena si wanita muda ini lebih pasif dan tidak memikul banyak aksi, maka Rebecca baru ini memposisikan Mrs. de Winter itu lebih kuat sebagai tokoh utama. Ini bagian dari agenda progresif yang disematkan kepada film ini. Bahwa zaman sekarang wanita haruslah kuat, capable dalam memutuskan dan beraksi sendiri. Wanita Muda memang jadi lebih menonjol, pada babak ketiga arcnya terasa lebih dramatis. Kita tak pernah lepas darinya. Tokoh ini lebih solid sebagai tokoh utama dibandingkan dirinya versi jaman dahulu. Tapi juga, perubahan karakter ini menjadi akar utama masalah yang hadir dalam keseluruhan tone dan presentasi film ini.
Lily James yang memerankannya cantik, no doubt. But Joan Fontaine, pemeran versi 1940, was just on another level. Kecantikan Wanita versi Joan bersumber dari betapa lugu, inosen, dan nervousnya dia. Kunci dari suksesnya suspens psikologis cerita ini adalah rasa percaya kita terhadap si Wanita Muda bahwa ia adalah seorang yang fragile. Secara emosional dan fisik dia merasa inferior dibandingkan banyak orang lain. Apalagi terhadap Rebecca yang eksistensinya masih terasa di Manderley. Itu inti ceritanya. Si Wanita merasa kecil, dia membandingkan dirinya sendiri dengan Rebecca – yang sosoknya ia bangun sendiri dari cerita-cerita para pelayan – dia menciptakan sosok yang ia merasa iri sendiri kepadanya. Lily James yang memerankan Wanita Muda dengan karakterisasi kekinian tidak pernah tampak serapuh ini. Tokohnya dituliskan tetep sebagai orang yang polos dan inosen, tapi juga lebih pede, lebih tangguh. Bahkan secara emosional tampak lebih dewasa, menyamai Maxim yang harusnya jauh lebih matang dan kokoh. Sehingga feel dan tensi psikologis yang menderanya tidak utuh tersampaikan kepada kita. Menjadikan keseluruhan film terasa lebih datar karena nada yang diniatkan untuk tidak dapat tercapai, karena terinterferensi oleh karakter yang dibuat kuat sekarang.

Terlalu keras berusaha menjadi seperti seseorang, berusaha untuk menggantikan mereka di mata orang lain, hanya akan membuat kita layaknya bayangan hampa dari sosok mereka. Wanita Muda itu harus belajar untuk tidak tenggelam ke dalam rasa iri ataupun rasa khawatirnya terhadap apakah Rebecca lebih cantik, lebih pintar, atau lebih penyayang ketimbang dirinya. Tidak seorangpun mesti membandingkan diri dengan orang lain seperti itu. Kita seharusnya menciptakan bayang-bayang kita sendiri.

 
Karakter yang kuat ini juga membuat para pendukung tidak lagi begitu mengintimidasi. Salah satu faktor penting yang membuat Wanita Muda begitu keras membully dirinya sendiri adalah karena ia percaya setiap pelayan – terutama Kepala Housekeeper – membenci dirinya yang berusaha menggantikan posisi Rebecca. Si Mrs. Danvers itu memang bertingkah paling dingin, tapi ketika dipadukan dengan Wanita Muda versi Lily James, dinamika menekan-dan-tertekan itu tidak terasa. Aku bukannya mau bilang Wanita Muda harusnya tetap dibuat lemah, ataupun karakter itu tidak boleh kuat. Melainkan, harusnya ada usaha lain dari sutradara untuk mengakomodir karakter yang secara natural telah dibuat kuat ini. Singkatnya, ini kembali kepada kemampuan sutradara. Hitchcock membangun suspens dengan gerakan/permainan kamera. Setiap interaksi tokoh utama dengan pelayan atau penghuni rumah selalu diakhiri dengan kesan Si Wanita merasa dirinya menjadi semakin kecil. Yang dicapai simply dengan menjauhkan kamera dari si Wanita, atau mendekatkan kamera ke lawan bicaranya. Rebecca yang baru tidak punya ‘permainan’ seperti demikian.

Penekanan di babak ketiga saat si Wanita kemungkinan harus membela seorang pembunuh juga tidak lagi terasa

 
 
Tidak ada close-ups cantik, saat kamera lingering wajah satu tokoh yang memikirkan gejolak yang melandanya. Rebecca yang baru berserah kepada permainan dan teknologi visual untuk meng-elaborate maksud. Namun tidak konstan berhasil menghasilkan kesan surreal atau disturbing. Film ini menggunakan adegan-adegan mimpi – berjalan di lorong sepi lalu ada sulur-sulur tanaman yang menarik diri ke lantai, sementara film yang lama cukup memperlihatkan tokoh yang tidur dalam keadaan gelisah. Bergerak-gerak resah di atas ranjang. Membuat imajinasi kita terbang mengenai mimpi semengerikan apa yang ia lihat, perasaan segundah apa yang menggerogoti pikirannya.
Yang paling membedakan buatku – yang paling menentukan keberhasilan film ini dalam menafsirkan cerita aslinya buatku – adalah poin soal tokoh Rebecca itu sendiri. Ini krusial karena berkaitan dengan tokoh utama, dan aku yakin merupakan konsep paling utama yang harus dibangun oleh siapapun, media apapun yang bakal menceritakan ulang. Sosok Rebecca. Sosok itu haruslah tidak pernah terlihat. Karena dialah yang dikontraskan dengan si Wanita Muda. Tokoh utama kita tidak pernah disebutkan namanya, but she’s there. Nama Rebecca terus bergaung meskipun dia sudah tidak ada di dunia. Dinamika kontras ini harus dijaga oleh si pencerita karena bagian dari keresahan si tokoh utama. Membuatnya merasa eksistensinya semakin kecil, kalah sama orang yang tinggal nama. Menghadirkan sosok Rebecca, meskipun hanya dari belakang dan di dalam kepala tokoh, membuyarkan bangunan kontras ini. Karena bagaimanapun juga bagi kita yang melihat, ya tokoh itu jadi ada. Dinamika itu tidak utuh lagi. Dan ini actually dilanggar oleh film Rebecca yang baru. Sehingga bagiku yang timbul kesan si pembuat belum mengerti benar, atau mungkin lupa, terhadap apa sih sebenarnya kekuatan dari cerita ini.
 
 
 
Bayang-bayang yang menaunginya sangatlah besar, film ini tidak bisa untuk tidak dibandingkan dengan pendahulunya. Ada banyak perbedaan antara kedua film tersebut, tapi yang paling terasa adalah perbedaan arahannya. Absennya suspens ala Hithcock. Bagaimana dengan penonton yang belum pernah menonton versi jadul? Tidak akan berpengaruh banyak. Karena meskipun kita bisa mengapresiasi alur yang lebih nutup, tokoh utama yang lebih kuat, romance yang lebih hangat, dan vibrant yang lebih berwarna, film ini hampa dari segi misteri. Dan mengingat misteri tersebut krusial untuk penyampaian emosinya, maka film ini pun tidak berhasil menghantarkan emosi yang kuat. Seperti menyaksikan misteri terungkap di depan mata kita, begitu saja.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for REBECCA

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian terhadap karakter Rebecca di film ini – apakah dia seorang wanita yang kuat? Mengapa dia bisa begitu berpengaruh terhadap penghuni Manderley?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

PALM SPRINGS Review

“Sometimes people come into your life for a moment, a day, or a lifetime”
 

 
 
Terjebak di lingkaran-waktu-yang-terus-berulang (infinite time loop), mengulangi hari yang sama – kejadian yang sama terus-menerus, maka seseorang itu harusnya introspeksi diri, kan? Harusnya menggunakan kesempatan kedua (atau kesekian kalinya) itu untuk memperbaiki setiap kesalahan yang sudah dilakukan supaya hidupnya bisa kembali lurus dan bermakna, kan?? Salah! Well, setidaknya enggak mesti begitu. Karena time-loop tersebut justru bisa saja digunakan untuk mengisi hari sesuka hati karena hidup ini toh semeaningless itu.
Begitulah cara Nyles (Andy Samberg mendapat kesempatan menggali sisi cuek dari persona komedi ‘main-main’nya) memaknai peristiwa terjebak di time-loop yang terjadi kepadanya. Entah sejak beberapa lama. Kini hidup Nyles cuma sebatas satu hari, di hotel tempat sahabat pacarnya menggelar pesta pernikahan. Setiap kali tertidur, Nyles akan terbangun di ranjang hotel pada hari yang sama. Setiap kali dia celaka, zaaappp! dia terbangun tanpa luka di ranjang tersebut. Kita bertemu dengan Nyles saat dia sudah enggak peduli lagi untuk mencari jalan keluar. Dia menikmati hidupnya yang tanpa komitmen dan nyaris tanpa konsekuensi, kecuali saat Roy (J.K. Simmons selalu jadi surprise yang bisa diandalkan) datang, memburunya untuk balas dendam. ‘Hidup nyaman’ Nyles tersebut mulai keganggu saat dalam salah satu skenario main-mainnya, Sarah (Cristin Milioti kocak sekali sebagai cewek sarkas yang penuh dark jokes) tertarik kepada Nyles dan mengikuti cowok itu masuk ke gua yang mereset waktu time-loop.

Kenapa ngikooottt??!!

 
Menit-menit awal film ini memang bisa bikin bingung, juga bakal banyak eksposisi sehingga sedikit boring. Namun begitu aturan-dunia cerita sudah terestablish – dan film keep it simpel – Palm Springs menjelma menjadi perjalanan yang menarik. Arahan Max Barbakow mengeksplorasi aspek-aspek segar dari trope ‘time-loop’ yang sudah banyak kita dapatkan pada film seperti ini sejak Groundhog Day (1993). Jiwa dan hati cerita ini terletak pada hubungan antara Nyles dengan Sarah, yang tentu saja jadi deket dan beneran akrab karena mereka terperangkap bersama. Film mengembangkan komedi dari kontras antara Nyles dan Sarah yang sangat berbeda dalam memandang banyak hal. Mulai dari Sarah yang meminta tanggungjawab udah keseret masuk, walaupun Nyles balik nuding ‘salah sendiri siapa suruh ikut, kan udah dilarang’. Hingga – setelah fase denial terlewati – ke perbedaan keduanya mengisi hari. Nyles dan Sarah akan berpetualang berdua, tapi mereka punya ide yang berlainan. Inilah yang membuat film ini menarik.
Dari hubungan keduanya kita mendapat banyak sekali adegan fun. Samberg dan Milioti seperti dilepas untuk berliar-liar ria. Diikat hanya oleh chemistry yang semakin menguat tatkala film rehat dari adegan-adegan kocak dan beralih ke perbincangan mendalam soal keberadaan manusia di dunia. Mereka debat, tapi gak sekadar teriak-teriak. Selalu ada yang baru dari pengadeganan dan perbicaraan mereka, sehingga asik sekali untuk disimak. Konflik Nyles dalam cerita ini sebenarnya adalah tentang ketakutan berkomitmen. Terjebak di time-loop disandingkan dengan terjebak melalui hari-hari yang sama saat kita sudah mengikrarkan komitmen. Maka Nyles lebih memilih untuk terjebak di time-loop karena di situ Nyles bisa bebas tanpa konsekuensi. Hari ini dia bisa salah kepada orang, besoknya orang tersebut sudah lupa dengan semua salah itu. Sementara bagi Sarah, mengetahui bahwa kita salah dan orang-orang gak tau itu semua, itulah kesalahan yang sebenarnya. Sarah butuh hidupnya menjadi benar, dia tidak mau lari dari komitmen.

Menjadi dewasa berarti harus siap menjalani hari-hari yang sama. Dengan tanggung jawab dan konsekuensi. Film ini mengajarkan kita untuk melihat hal-hal kecil untuk disyukuri karena hidup adalah bukan soal seberapa lama waktu yang kita habiskan dengan seseorang, atau dengan pekerjaan, atau dengan keadaan. Melainkan adalah soal apa yang kita lakukan terhadap waktu itu sendiri.

 
Salah satu perdebatan mereka yang menarik adalah soal menerima orang apa adanya. Nyles mengumpamakannya dengan memakan biskuit berlapis coklat. Hanya merasakan apa yang digigit, enggak usah memusingkan hal-hal selainnya. Sementara Sarah mengatakan kita perlu memikirkan coklatnya coklat apa, biskuitnya terbuat dari apa. Karena masalalu penting dalam pembentukan seseorang, karena rekam jejak eksistensi manusia adalah mereka melalui perubahan. Ironisnya, Nyles juga tidak kita ketahui asal-usulnya. Dan ini membuat kita susah untuk benar-benar peduli sama Nyles, padahal dia bertindak sebagai tokoh utama cerita.

Kejebak dalam loop itu enak, apa-apa tinggal lup!

 
 
Saat Nyles dan Sarah saling curhat tentang masa lalu, Sarah merahasiakan beberapa kejadian di dalam hidupnya, tapi paling tidak kita jadi lebih mengenal dirinya. Sedangkan Nyles, karena sudah lama sekali hidup di dalam loop, dia jadi lupa akan masa lalunya sendiri. Kita bahkan tidak pernah tahu kenapa Nyles bisa terjebak pada awalnya, apa karena dia nyasar ke gua? Film ini tidak peduli untuk membahas itu. Backstory Nyles yang disesumbarkan hanyalah ‘sejarah’ siapa aja yang pernah ia ‘pacarin’ selama terjebak, ranging from bartender ke ayah Sarah, tentu saja penekanan adegan ini adalah untuk menambah bumbu humor. Kita tidak pernah mengetahui dunia Nyles sebelum loop selain dia adalah cowok yang bosan dalam relationshipnya dengan pacar yang jauh lebih muda. Sehingga kita jadi susah peduli sama Nyles. Kita perlu tahu sepeerti apa kehidupannya dulu supaya tokohnya jadi punya bobot, supaya kita bisa peduli seperti yang kita lakukan terhadap Sarah. Seiring cerita berjalan, kehidupan personal Sarah sebelum masuk ke dalam loop diungkap, dan kita pun jadi semakin peduli. Konflik personal Sarah, beban karakternya jadi terasa nyata. Heck, bahkan si Roy yang memburu Nyles karena dendam saja berkesempatan untuk mendapat simpati kita, karena dia diberikan momen yang membuka backstory hidupnya. Nyles perlu digali lagi supaya kita melihat dia lebih dari sekadar nihilis yang kerjaannya main-main (baca: immature). Atau kalo enggak, mestinya sekalian bikin Sarah saja sebagai tokoh utama. Soalnya lagi, memang si Sarah ini yang banyak bikin keputusan; entah itu untuk mengisi hari, ataupun untuk keluar dari loop, arc Sarah clearly lebih emosional daripada arc Nyles.

Kita tidak bisa menyalahkan orang yang ikut masuk ke dalam hidup kita. Karena kita tidak bisa mengatur ataupun memilih siapa yang benar-benar peduli terhadap kita. Sebaliknya, justru jadi tugas kita untuk tidak bersikap egois dan balik-peduli kepada orang-orang yang sudah memilih untuk masuk ke dalam hidup kita.

 
 
Kita tidak benar-benar gereget dan mendukung Nyles untuk bisa kembali ke waktu normal, setidaknya tidak sebanyak gereget kita terhadap keberhasilan Sarah. Film mestinya bisa lebih menyeimbangkan tone, karena jika sudah menyangkut Nyles, cerita memang seperti bimbang untuk jadi lebih sedikit serius. Di sekitar Nyles film ini tampil dengan surealis yang konyol (dengan dinosaurus di latar belakang!), humor yang receh, dan kekerasan yang komikal. Dan bicara soal ‘kekerasan yang komikal’, aku masih belum bisa sepenuhnya akur sama jalan keluar yang diberikan oleh film kepada Nyles dan Sarah. Apakah film memang mengincar sesuatu yang dark dan gak pasti? Kedua tokoh ini praktisnya sama saja dengan bunuh diri untuk mengakhiri; either mengakhiri hidup atau mengakhiri loop. It’s one thing kalo sudah dilandaskan sedari awal sebagai komedi – seperti pada montase Sarah mencoba-coba kekuatan loop, tapi rasanya berbeda aja kalo tokohnya melakukan itu dengan konteks ‘langkah terakhir’ yang gak pasti.
 
 
Dengan cerdas menceritakan ulang trope time-loop, komedi romantis ini membuktikan kreativitas itu memang masih mungkin untuk terus digali. Menonton film ini rasanya mirip kayak nonton episode-episode Twilight Zone, yang karakternya selalu dihadapkan pada keadaan yang menantang pikiran-pikiran filosofis. Bedanya, film ini gak horor. Melainkan sangat kocak. Selain masalah kurang tergalinya tokoh utama, dan dia kalah emosional dengan tokoh pendukung, aku pikir film ini tetap termasuk dalam kategori tontonan yang enak untuk ditonton lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Oh tidak, kita kena loop?
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for PALM SPRINGS.

 

 

 

That’s all we have for now.
Nyles menyalahkan karena tidak mengerti kenapa Sarah mau-maunya mengikuti dia masuk ke dalam gua. Menurut kalian, kenapa kadang kita bersikap seperti Nyles – yang takut ketika ada orang yang memilih masuk ke hidup kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

A WHISKER AWAY Review

“But you are always perfectly lovable”
 

 
 
Jadi kucing sepertinya menyenangkan. Bisa bermalas-malasan sepanjang hari, tanpa ada yang nyindir. Bangun-bangun langsung dikasi makan. Dielus-elus. Bisa bermain dengan apapun, like, kardus aja bisa jadi arena panjat-panjatan yang super menyenangkan. Kalo jatuh, bisa mendarat mulus dengan dengan keempat kaki. Lelah main, tinggal tidur lagi. Not a single worry given. Kucing punya sembilan nyawa, jadi tak perlu takut pada apapun. Tapi benarkah kita rela menggantikan kehidupan manusia dengan kehidupan kucing?
Miyo beruntung mendapat kesempatan untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi berkumis, punya empat kaki, bermata biru, berbulu putih, dan bertampang imut. Dia bertemu dengan kucing raksasa yang memperkenalkan diri sebagai ‘Penjual Topeng’, yang memberikannya topeng kucing ajaib. Dengan topeng tersebut, setiap kali Miyo yang di luar tampak superceria ini merasa sedih dan kesepian dan bermasalah di rumah, ia bisa kabur sejenak dari dirinya sendiri. Ia menjadi kucing yang disayang banyak orang. Terutama oleh Hinode. Cowok keren teman sekelasnya yang cuek abis itu ternyata sayang banget ama kucing. Makanya Miyo jadi betah setiap hari melipir ke rumah Hinode, sebagai kucing tentunya. Merasa hidupnya bakal jauh lebih baik saat menjadi kucing – Hinode memanggilnya Taro, sedangkan di sekolah Hinode gak pernah sudi nyapa Miyo duluan – Miyo setuju untuk memberikan wajah manusianya kepada si Penjual Topeng. Yang artinya dia bakal jadi kucing selamanya. Namun begitu seekor kucing menggantikan posisi Miyo sebagai manusia, Miyo menyadari bahwa cinta itu masih ada. Sehingga Miyo harus buru-buru mencari Penjual Topeng yang culas hingga ke dunia gaib khusus kucing, sebelum semuanya terlambat.

Bukan cinta monyet tapi cinta kucing

 
 
Gak perlu jadi pecinta kucing untuk dapat menikmati anime terbaru di Netflix ini. Serius. A Whisker Away memuat banyak emosi, tokoh-tokohnya akan mudah untuk direlasikan kepada kita. Terutama bagi anak-anak atau remaja karena deep inside film ini membahas masalah di kehidupan rumah dan sekolah. Dengan warna-warni anime dan fantasi yang tinggi, film yang sarat akan pelajaran berharga ini jadi menyenangkan untuk ditonton. Pada menit-menit awal film terasa seperti ambigu karena mengaburkan fantasi dan realita, tapi dengan segera keraguan kita terjawab. Miyo beneran jadi kucing, dan fantasi di sini adalah realita. Keajaiban flm ini bahkan semakin menguat lagi pada saat kita masuk babak ketiga, saat lokasi cerita berpindah ke dunia kucing di atas awan. Kita belum bisa menyebutnya surga karena masih ada depresi menggantung di sana, but it was magical, berisi karakter-karakter ajaib yang membantu Miyo dan cerita mencapai keseruan sebagai klimaks. Dan ketika semua selesai, kita sudah benar-benar siap untuk tangisan bahagia. Karena arahan Jun’ichi Satô dan Tomotaka Shibayama ini memang dramatis seperti demikian.
Jika kita lepas cerita film ini dari elemen kucing yang jadi identitas utamanya, maka kita akan mendapati cerita yang persis sama dengan Mariposa (2020) jika film tersebut turut dicopot dari elemen olimpiade dan dibuat dengan lebih banyak hati. Cerita A Whisker Away juga tentang cewek yang ngejar-ngejar cowok dingin yang gak suka padanya. Hanya saja kartun Jepang ini terasa jauh lebih manusiawi karena benar-benar memanusiakan dan menghormati para tokohnya. Miyo sama kayak Acha; pecicilan, rusuh, can’t take a hint, nyaring. Annoying. I mean, Miyo dijuluki Muge oleh teman-temannya di sekolah, yang merupakan kepanjangan dari Miss Ultra Gaga and Enicmatic; yang sangat mencerminkan betapa hebohnya Miyo di mata mereka. Namun tokoh ini diberikan layer. Dia diberikan alasan untuk jatuh cinta sama Hinode. Dia diberikan motivasi yang lebih dari sekadar pingin punya pacar. Dan ini jadi pembeda yang signifikan. Kita jadi peduli dan bersimpati kepada Miyo – sesuatu yang tidak mampu kita lakukan terhadap Acha di Mariposa yang tidak punya masalah apa-apa di dalam hidupnya selain kebelet penasaran sama Iqbal.
Cinta Miyo kepada Hinode muncul saat Hinode menunjukkan perhatian kepada dirinya yang sedang dalam wujud kucing. Keduanya sharing a beautiful dan personal momen bersama di bawah cahaya kembang api festival. Cowok penyayang hewan itu memberikannya kasih sayang tatkala Miyo lagi menyendiri dalam pelariannya karena capek menjadi manusia. Jadi wajar, at that exact moment, Miyo langsung cinta mati meskipun ia tahu yang disayangi Hinode adalah kucing. Wajar Miyo ketagihan merasakan cinta karena selama ini ia percaya tidak ada yang mencintai dirinya, not even her own mother. Begini, sikap ceria dan semangat-berlebihan yang Miyo tunjukkan kepada sekitarnya bukan tanpa alasan. Melainkan karena dia terluka di dalam. A Whisker Away juga mengeksplorasi soal parenting – sebagaimana yang juga di-claim oleh Mariposa – dan melakukan ini dengan lebih dalam daripada hanya memperlihatkan orangtua yang satu dimensi. Miyo dibesarkan bukan dalam keluarga sempurna. Justru kebalikannya. Ibu kandung Miyo meninggalkannya waktu masih kecil, sehingga sekarang Miyo tinggal bersama ayah dan ibu tiri. Ini menyakitkan buat Miyo; bukan karena ia punya ibu tiri, tetapi karena kenyataan bahwa ia merasa ibu aslinya tak sayang padanya.
Perasaan seperti ini tentu saja devastating bagi siapapun. Jika ibu sendiri tak sayang, maka gimana kita mau percaya ada orang lain yang sama kita. Miyo jadi tries so hard untuk dicintai. Dia mengubur deritanya dalam-dalam dan mencoba menjadi ceria sehingga ia disukai orang serta tidak membuat orang di sekitarnya bersedih. Namun jelas itu cara yang salah. Film ini berani mempertontonkan sikap Miyo sebagai hal yang ganjil dan aneh dan gak-cute. Bahwa kita tidak diniatkan untuk mendukungnya mengejar Hinode yang gak tertarik. Adegan penolakan pada film ini terasa beneran membekas dan jadi titik balik bagi Miyo. Ini mengubah Miyo, karena sekarang dia percaya beneran gak ada yang suka sama dia. Makanya Miyo mau ditawari menjadi kucing. Bayangkan untuk mau menukar hidup jadi kucing, pastilah hidupmu sebagai manusia amat sangat menderita.

Miyo adalah karakter yang sangat sengsara. Bisa dibilang ‘jadi kucing’ itu adalah metafora halus untuk ‘mau bunuh diri’. Inilah mengapa anime ini penting untuk ditonton oleh keluarga. Karena sekarang kita hidup di jaman di mana bunuh diri telah terdramatisasi. Orang sekarang membiarkan diri mereka tenggelam dalam depresi dan lebih memilih untuk mengakhiri hidup karena merasa atensi itu didapat dari sana. Padahal bukan. Film ini menunjukkan kita hal yang sebenarnya. Yang Miyo butuhkan adalah untuk dicintai oleh orang – satu orang saja, sehingga dia bisa menyadari bahwa hidupnya bermakna. Oh boy, bahwasanya itu hal yang tak perlu ia atau siapapun minta. Semua orang pasti dicintai, asalkan menjadi diri mereka sendiri.

 
Hinode exactly adalah Iqbal, karakternya punya arc yang sama persis hingga ke resolusi yang dilalui. Bedanya adalah tokoh ini ditulis dengan sangat hormat. Tak pernah sekalipun dia dimanipulasi oleh orang-orang sekitar untuk menyukai Miyo sehingga berpikir jangan-jangan ia suka Miyo. Hinode dibiarkan berkembang sendiri. Mengatasi masalah keluarganya dengan pembelajaran sendiri. Keluarganya juga gak ditulis satu-dimensi. In fact, tidak ada tokoh ayah atau ibu yang mutlak otoriter dan maksain kehendak di film ini. Selalu ada situasi yang menimbulkan pilihan, dan kondisi alami yang mendorong karakter memilih putusan atas pilihan tersebut. Bahkan tokoh ‘penjahat’ – si Penjual Topeng itu pun tidak dibuat total licik dan serakah. Sebagai pedagang, dia bahkan termasuk pedagang yang jujur.

Kalah deh pokoknya penjual-penjual penimbun masker.

 
 
Kendati punya cerita yang lebih berlapis dan penceritaan yang lebih menarik, still, problem film ini juga masih sama ama problem Mariposa. Anak-anak dan remaja nonton film ini sebaiknya ditemani oleh orang yang lebih dewasa. Gambaran cewek ngejar cowok, meski memang di sini diperlihatkan gila dan gak sehat, tetap harus ditekankan bahwa hanya akan benar jadi romantis kalo si cowok memang kebetulan punya masalah dalam mengungkapkan diri. Lain kata, dalam kondisi yang sangat ideal-lah romansa ini bisa terjadi. Menjadikan mereka pasangan sebagai bentuk dari reward tetaplah merupakan sesuatu yang dilebihkan, karena reward berupa perasaan dicintai gak mesti ditunjukkan dengan jadian dan membuat tokoh utama selama ini benar atas feelingnya terhadap Hinode sehingga tidak perlu mengucapkan maaf atas tindakannya. Poinku adalah cerita seperti ini bakal tetap bekerja jika pada akhirnya kedua tokoh tidak menjadi pasangan. Mereka bisa jadi teman akrab, romance masih bisa dipantik dari ‘tempat’ lain tho, dan pesan cerita masih akan sama dan sama suksesnya tersampaikan.
Hubungan yang paling menyentuh, bagi pecinta kucing, besar kemungkinan adalah bukan antara Miyo dengan Hinedo. Film ini juga membahas hubungan antara kucing peliharaan dengan majikan yang menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Eh, salah. Yang menganggap kucing peliharaan lebih dari anak sendiri. Film ini menunjukkan betapa hubungan majikan-peliharaan ini dapat mencapai level emosional yang sangat mendalam karena memang kucing ataupun peliharaan sejatinya bukan sekadar mainan. Apa yang tadinya ‘hanya’ berupa emotional companion, bisa jadi lebih attach daripada itu. Di film ini ada tokoh yang lebih suka kucing peliharaanya kembali daripada si kucing itu berubah menjadi manusia dan menjadi anaknya diam-diam. It is such a beautiful relationship; film ini berhasil menggambarkannya dengan sama indahnya.
 

Dan karena itu maka review ini aku dedikasikan untuk Max, kucing oren yang sudah kupelihara sejak bayi dua tahun yang lalu, yang currently menghilang – Max yang sedang masa kawin gak pulang ke rumah. Aku gak tau apa dia tersesat atau udah berubah pakai topeng wajah manusia.

 
 
 
Beginilah cara yang benar dalam menyajikan cerita komikal, atau bahkan fantastical tentang yang mengejar cinta seorang cowok. Dengan memberinya karakter yang manusiawi, konflik yang personal, dunia yang menarik. Singkat kata; memberikannya hati. Anime ini penting ditonton karena membahas isu soal depresi terkait dengan menjadi diri sendiri – problematika yang senantia menghantui pikiran setiap remaja, bahkan orang dewasa sekalipun. Do I matter? Apakah aku pantas mendapat cinta. Film ini menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Membawa kita melihat dari sudut pandang luar untuk menemukan jawaban itu. Jadi ya, buat yang merasa depresi dan tidak-dicintai, cobalah tonton film ini. Buat yang suka kucing apalagi. Ada sih, satu-dua hal yang jangan lantas ditelan mentah-mentah – yang jangan dijadikan panutan (jangan lompat dari atas atap sekolah demi membela yayangmu, for instance), but still ini adalah film kucing yang sweet dan emosional dan amat manusiawi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for A WHISKER AWAY.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah kalian punya hewan peliharaan kesayangan? Menurutmu kenapa beberapa dari kita butuh hewan peliharaan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA