“Tell me why are we so blind to see that the ones we hurt are you and me?”
“Hati-hati, lu kan cina!” Peringatan yang simpel, tapi begitu menakutkan. Kek, gimana caranya kita menyembunyikan siapa diri kita supaya aman. Inilah kenapa rasisme itu begitu despicable. Di Indonesia, sayangnya, kerusuhan dengan isu rasis memang beneran pernah tercatat juga di sejarah. Dan peristiwa kelam itulah yang diangkat oleh Joko Anwar dalam karya terbarunya – kali ini thriller action, namun juga tak kalah ‘horor’. Pengepungan di Bukit Duri dibentuk sebagai distopia what if isu perpecahan golongan alias rasisme ini ‘dipelihara’ oleh negara. Yang sayangnya lagi, banyak hal di film ini yang bakal terasa relevan, yang berarti kita tidak terlalu jauh dari masa depan rekaan sang sutradara. Ngeri ga tuh?
Dalam sekejap warna keceriaan dan kepolosan anak sekolah yang masalahnya cuma malu-malu ingin ngasihin surat cinta ke teman yang ditaksir berubah menjadi kengerian yang hakiki tatkala kerusuhan di luar tembok sekolah terjadi. Dalam sekejap itu pula, tone film berubah, kerusuhan, penjarahan, kekerasan yang menyasar ke karakter Tionghoa, kita dibawa ke jalan melihat semua itu. Setelah adegan prolog yang memilukan, kita loncat ke masa kini, Edwin – clearly survivor dari kejadian di pembuka – mengajar di tempat kerjaannya yang baru. Sekolah Bukit Duri. Sekolah, yang sayangnya lagi, beda banget ama sekolah dia dulu. Di gedung ini, siswanya adalah para berandalan, anak-anak yang gamau diatur. Terlebih oleh orang bermata sipit seperti Edwin. Ya, di masa kini cerita, isu perpecahan rakyat itu sudah full blown jadi masalah nasional, anak-anak pribumi mengisi waktu luang dengan memburu anak-anak bermata seperti Edwin. Menyakiti dan menyiksa mereka. Sebagai guru gambar yang juga korban dari semua ini, Edwin berusaha memahami murid-muridnya. Ada yang jahat banget kayak Jefri, dan ada pula yang sebenarnya baik seperti Khristo. Apalagi Edwin ngajar di tempat yang berbahaya bagi dirinya ini demi satu misi. Mencari keponakannya yang dia ga tau siapa.
Jakarta udah kayak tetanggaan sama Gangsta’s Paradise
AsMorgan Oeywalks through the hall, sebagai guru baru di sekolah yang isinya berandal semua, I take a look and realize vibe film ini mirip sama Dangerous Minds (1995). Michelle Pfeiffer di film itu jadi guru baru di sekolah yang muridnya udah kayak gangster semua. Both karakter Morgan dan Michelle ngajar di tempat yang siap untuk memangsa mereka idup-idup. Murid-murid sekolah Edwin benci banget ama orang cina – yang mereka hina dengan sebutan “babi” – karena mereka dibesarkan di lingkungan dan situasi saat rasisme merajalela. Film memang tidak menyelam banget ke persoalan kenapa situasi itu bisa terjadi, karena fokus cerita yang diambil adalah tentang Edwin yang mencoba set some authority, mendamaikan rasa hate itu melalui pelajaran menggambarnya, dan sama seperti Michelle Pfeiffer dalam Dangerous Minds, film ingin menonjolkan interaksi antara si guru minoritas di lingkungan yang berbahaya bagi mereka. Koneksi yang mungkin bakal terbangun adalah bibit drama yang kuat untuk cerita seperti ini.
Namun semakin ke tengah, Pengepungan di Bukit Duri semakin meninggalkan ranah ini sebab film mengincar bentuk lain. Aksi thriller. Pandangan nyelekit soal akibat ketika generasi muda dibesarkan dengan penuh kebencian. Edwin-nya Morgan Oey sekarang jadi ngingetin ke Jenny-nya Kelly Reilly di Eden Lake (2008) seiring film semakin nonjolin sisi sadis-sadisan. Keduanya sama-sama guru yang sekarang gak punya cara lain selain melawan anak-anak yang harusnya mereka didik, dengan kekerasan. Meskipun ‘anak’ di film ini udah SMA, gak sekecil di Eden Lake, tetep aja adegan kekerasan dan bahasa-bahasa kasarnya bikin film ini hard to watch. Disturbing, kalo boleh dibilang. Apalagi kejadiannya diangkat dari isu yang beneran pernah terjadi. Bahwa orang-orang Tionghoa pernah gak aman di bumi pertiwi. Both films include adegan bakar orang – aku gamau bandingin deh, pokoknya udah bakar-bakaran ini tu sadis banget. Walau sukses berat pada adegan-adegan action dan thrillernya – adegan berantemnya terasa punya bobot dramatis dari gimana Edwin ngerasa beban harus nyakitin muridnya – Pengepungan Bukit Duri seharusnya tidak ninggalin ranah drama terlalu banyak. Like, bahkan Eden Lake bisa berakhir dengan total disturbing karena gak lupa bahwa dia adalah cerita tentang ibu guru yang terlalu naif dan temanya adalah gimana keluarga/rumah jauh lebih berpengaruh terhadap perilaku anak. Bahwa didikan orangtua tetap adalah yang utama. Pengepungan Bukit Duri, sebaliknya, tidak punya banyak journey untuk Edwin sebab semuanya difungsikan untuk membangun kejutan pada plot. Masalahnya adalah, elemen kejutan itu sebenarnya tidak perlu untuk dijadikan kejutan, karena siapapun yang hobi nonton film pasti akan tahu formula dramatisnya. Pasti akan tahu ponakan yang dicari itu siapa; haruslah si itu supaya film bisa punya konflik personal (consider this as a warning because this is the last time aku pake “itu”, selanjutnya aku akan langsung nyebut nama karakternya)
Pengepungan Bukit Duri enggak really tentang pengepungan, ataupun juga soal penyerangan, tapi lebih ke sebuah negosiasi. Gimana Edwin yang di hari naas itu sedang mengatur ruang kelas bersama ibu guru dan dua murid tiba-tiba diserbu oleh geng Jefri yang dendam karena merasa telah dipermalukan, sehingga Edwin dkk harus mengunci diri di aula, sementara Jefri dan gengnya yang terdiri dari murid berbagai sifat juga menunggu dengan buas dari balik pintu. Film bicara tentang absennya otoritas dan itu lalu terefleksi ke posisi Edwin di mata Jefri. Bagaimana caranya dia bisa diterima sebagai guru di tengah murid-murid yang dibesarkan oleh kebencian. Bagaimana cara dia keluar dari situasi ini. Puncak no return adalah ketika Edwin menyadari dia tidak bisa mengendalikan situasi dan dia mungkin harus melakukan yang tidak ia inginkan, tapi penyadarannya itu dipersulit dengan kenyataan bahwa yang dia cari ternyata adalah orang yang ingin membunuhnya.
Begitulah sepertinya journey dramatis yang diincar. Namun journey karakter atau plot tidak pernah jadi trait terkuat dari Joko Anwar. Dia tidak bicara pada karakter. Instead, film-film Joko Anwar selalu lebih cenderung untuk mengajak langsung penonton, entah itu merasakan ataupun membicarakan hal-hal yang pada filmnya sendiri disengaja untuk hanya ditampilkan sebagai ‘clue’. Pada film ini misalnya, yang tahu perkiraan Edwin soal siapa keponakannya itu salah adalah kita. Adegannya dibuat tanpa ada Edwin di sana. Momen ketika Edwin tahu siapa ponakan yang dia cari bukan momen ketika dia masih bisa berkonfrontasi dengan ponakannya itu, melainkan ketika dia melihat rekaman setelah ponakannya tidak sengaja terbunuh olehnya. Jadi ketika penonton merasakan dramatisnya kejadian, karakter ceritanya sendiri masih void oleh dramatis tersebut. Bagi Edwin, semuanya belum seratus persen, tapi kita penontonlah yang ngerasain. Banyak lagi elemen di cerita ini yang sebenarnya tidak diberikan jawaban ataupun konklusinya dientengkan begitu saja, kayak bu guru Diana yang seems suspicious tapi tidak berujung apa-apa, ataupun nasib para karakter yang saat kejadian mereka kaburnya berhasil atau enggak, film membiarkan ini jadi perbincangan penonton walaupun sebenarnya film ini memang tidak ngasih konklusi apa-apa.
SMA Duri kalo isinya orang Duri beneran gimana ya hahaha
Lupakan dulu Edwin, Pengepungan Bukit Duri sebenarnya punya karakter yang lebih kompleks. Karakter yang sudut pandangnya akan sangat amat menarik untuk diangkat terlebih konteks berangkat dari isu perpecahan golongan karena rasis ini. Karakter yang mewakili generasi muda penontonnya, karena dia juga terbentuk dari insecurity. Jefri yang diperankan oleh Omara Esteghlal. Jefri, ketua dari geng pembenci dan penyiksa anak-anak cina tapi sesungguhnya menyembunyikan jati dirinya sebagai anak campuran. Jefri yang sebenarnya juga adalah korban, hasil dari situasi ini, tapi balik memberangus semua sosok authority. J,K. Rowling memegang formula karakter yang sama, dan dia melahirkan Voldemort dari formula tersebut. Jo.Ko. Anwar hanya menelurkan Jefri sebagai vilain sadis. Kita hanya melihat glimpse dari akar insecuritynya, tapi kemudian film total menunjukkan dia sebagai bos penjahat yang pernah membunuh orang dan gak bakal ragu untuk melakukannya sekali lagi. Dialog yang diberikan kepadanya tidak pernah melipir terlalu jauh dari umpatan kasar. Sudut pandangnya tidak pernah dipertemukan dengan Edwin, meskipun bagian tengah cerita ini berisi dialog mereka negoisasi cara Edwin menyerahkan diri. Jefri adalah kesempatan terbesar yang dilewatkan oleh film ini. Jefri adalah kesempatan untuk film ini membuktikan bahwa ceritanya bukan hanya ekspoitasi ataupun cuma membonceng isu rasis atau propaganda di baliknya, tapi film ini hanya menggunakan Jefri untuk kejutan di akhir, sehingga wajar banyak yang mengkritik film ini sebagai dangkal.
As good as the intention might be, pembangunan dunia yang meyakinkan, dan muatan gambaran yang menyadarkan kita bahwa distopia mengerikan itu mungkin tidak begitu jauh dari kita jika kita tidak segera mengubah situasi, film ini perlu untuk mengangkat lebih banyak perspektif di dalam ceritanya. Perspektif yang tidak diangkat membuat film jadi bukan hanya tidak imbang, tapi juga kehilangan pijakan journey. Kesannya jadi film ini hanya kayak sajian eksploitasi aksi thriller yang minjem isu beneran tanpa benar-benar menceritakan apa-apa. Padahal dia punya karakter yang sangat kompleks. Ini yang paling aku sayangkan dari film ini. Aku masih bisa respek pilihannya untuk menonjolkan aksi sadis – maybe we could take that as a warning – tapi ketika ada sudut pandang yang bisa banget untuk dikembangkan tapi film malah memilih untuk menyimpannya needlesly sebagai kejutan di akhir, film ini kehilangan otoritasnya buatku. Semakin ke ujung, film sepertinya semakin mengempis.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI
That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa film ini tidak langsung menyebut saja bahwa kejadian di awal adalah tahun 1998? Kenapa harus ‘disamarkan’ menjadi tahun lain?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Seorang perempuan berkompromi dengan iblis. Dalam gaun tidurnya, perempuan itu tampak begitu tak berdaya sementara sosok menyeramkan di depannya semakin mendekat. Mengoverpower seutuhnya insan yang sudah siap memberikan segalanya demi keselamatan keluarga tersebut. Eits jangan salah, ini bukan Nosferatu (2025) loh, melainkan pembuka dari Qodrat 2, sekuel petualangan ustad pembela kebenaran, garapan Charles Gozali. Sama seperti film pertamanya yang dibuka oleh adegan yang sepertinya homage buat horor klasik The Exorcist, film kedua ini pun ngasih nod ke another classic horror sebelum akhirnya menyala dengan dunianya sendiri. Qodrat 2 berjalan persis yang sudah kita antisipasi dari bagaimana film pertamanya bergulir. Charles Gozali menyuguhkan seteru epik ustad melawan setan layaknya superhero melawan supervillain. For better and worse, sebab kendatipun pertempuran ‘relijius’ ini kelam, intense, dan somehow tragis (ini adalah tentang manusia berhadapan dengan dosa mereka, afterall), namun elemen universe dan ala-ala superheronya juga membuat film ini kehilangan balance vibenya.
Yang di pembuka tadi adalah Azizah, istri dari ustad Qodrat. Saat kejadian film pertama, ternyata Azizah meminta kepada iblis untuk spare her son. Azizah menjual dirinya, but guess what. Iblis bukan pemegang janji. Anak mereka tetap mati, suaminya ditangkap dan nyaris kehilangan diri, sementara Azizah, sendirian menggila, berkubang dalam dosa. Qodrat 2 ngasih kita pandangan lebih personal tentang keluarga ustad Qodrat sehubungan dengan build up ronde dua seteru si ustad dengan si iblis. Qodrat yang kini sudah ‘kembali ke jalan yang benar’ bermaksud mencari istrinya, only to find her dalam genggaman setan lain. Azizah kini bekerja sebagai buruh pabrik. Bersama sejumlah karyawan wanita lainnya, Azizah dalam bahaya karena pabrik itu mengadakan tumbal untuk setan. Qodrat harus berjuang menyelamatkan istrinya yang merasa masihkah dirinya yang kotor itu bisa diselamatkan.
Mengandung adegan sholat paling tragis dalam sinema horor
Nyatanya, perempuan bernama Azizah itu turns out memang sebuah addition yang kuat untuk sekuel ini. Acha Septriasa total banget memerankannya. Azizah jadi pemantik dramatis tunggal di film kali ini. Dialah yang kalut luar biasa karena telah menjual diri kepada setan, for nothing, dan sekarang dirinya ngerasa jadi makhluk Tuhan paling kotor sedunia akhirat. Kita diperlihatkan kegalauan maksimal tersebut dari adegan yang menurutku paling powerful yang bisa dibuat – dan dimainkan – dalam konteks horor reliji. Adegan orang sholat, niatnya untuk tobat, tapi dia bahkan gak mampu untuk mengucapkan bacaan-bacaan sholat tersebut karena dia ngerasa rendah serendah-rendahnya telah pernah berserah diri kepada setan. Cara Acha mainin emosinya, ngebuild up hingga ke nanti dia nangis, menyerah, dan terpuruk, was soooo gooood. Kamera pun tahu ini, sehingga langsung aja ngerekam tanpa perlu trik ini itu. Meski kayak sederhana begitu, ini bukan adegan yang gampang untuk terdeliver dengan benar secara emosional. karena salah-salah, penonton malah akan mengira Azizah gak bisa sholat karena gak apal bacaan alih-alih karena dia can’t bring herself menghadap Tuhan.
Berhati-hatilah karena doa kita juga bisa didengar oleh setan dan iblis. Berhati-hatilah karena mereka akan meminta untuk menjual segalanya kepada mereka. Kepercayaan, jiwa, semuanya sampai kita tak punya apa-apa lagi selain dosa.
Sama seperti Lily-Rose Depp di Nosferatu, range akting Acha sebagai perempuan yang berhubungan dengan iblis di sini melingkupi harus berakting kesurupan. Setelah sebelumnya jadi pocong lead di Mumun (2022), jadi Azizah mode kesurupan bisa dimainkan dengan jor-joran juga oleh Acha, tapi juga seperti pada film-film horor umumnya, gak benar-benar ada yang spesial dari adegan kesurupan yang dilakukan selain harus ngasih smirk atau cengiran edan. Dan suara yang terdistorsi ampe ke titik agak susah didengar dialognya. Ngomongin soal sosok setan, Qodrat 2 tampak berusaha ngasih wujud dan presence yang ikonik buat Assuala ataupun Zhadug, but again, menurutku horor-horor Indonesia terutama yang udah niat buat fokus ke seteru atau nonjolin karakter jahatnya kayak film ini, perlu lebih serius baik itu dalam hal desain atau juga castingnya. Ambil contoh lagi aja si Nosferatu, film itu berusaha membuat casting dan perannya (yang memang sudah ikonik sejak dulu) jadi lebih ikonik dan bermain-main dengan desain, Semesta Qodrat perlu melakukan hal yang sama, berikan kepada kita ‘lawan yang sepadan’ dengan Vino G. Bastian sebagai jagoan. Paling enggak, seperti film pertamanya, yang ngasih duel epik Vino lawan Marsha yang ceritanya kesurupan.
Qodrat 2 sebenarnya masih punya momen-momen cool dan badass, kayak pas truk terjun bebas dengan ustad Qodrat di samping pak supir yang sedang kesurupan, atau pas Qodrat diminta sujud kepada iblis. Hanya saja momen-momen tersebut sekarang terasa lebih jarang dan kurang epik. Qodrat dan Azizah aja rasanya juga kurang dramatis, like, pertemuan pertama mereka di pabrik lebih terasa kayak ‘meet cute’ atau ‘damsel in distress’ momen ketimbang ya reuni antara dua manusia yang ngerasa terancam dan saling gak bertemu lagi – Azizah kan menyangka suaminya itu telah tiada. Penyebab utama kurasa datangnya dari karakter Qodrat itu sendiri. Journeynya beres di film pertama, kini dia sudah gak rusak lagi, dan total jadi ustad pembela kebenaran. Sehingga dia jadi jagoan yang datar. Gejolak journey emosi sumbernya kini dari Azizah. Masalah itu muncul ketika film yang memang dari perspektif Qodrat (karena dia jagoannya) memasukkan dua perspektif ini, fokus cerita jadi mendua. Qodrat kalah menarik dari Azizah. Setiap pertempuran Qodrat kini bahkan jadi lebih ke cool yang mengarah ke lucu dibandingkan pertarungan dia di film pertama. Akibatnya tone film juga jadi tidak konsisten. Adegan sholat Azizah tadi kayak kerasa out of place karena di tengah banyak aksi di pabrik yang vibenya lebih kayak ke throwback ketika Vino menjadi Wiro Sableng.
“Assalamualaikum, ustad Qodrat… Anu, ini bukan setan, ini Wiro. Balikin dong humor sayaaa”
Kasus tumbal di pabrik yang jadi sentral stage tampak seperti ingin men-tackle issue kesetaraan dan hak perempuan dalam dunia kerja. Tapi pembahasannya begitu underwhelming. Terasa seperti episode singkat alih-alih menyeluruh seperti kasus pesantren pada film pertama. Ancaman horor yang berasal dari sana juga ter-downplay oleh karakter-karakter antagonis tapi dibentuknya konyol kayak penjahat di film level anak-anak. Tidak terasa ancamannya meskipun memang ada kematian mengerikan di sana.
Namun dari semua, yang paling mengganggu buatku di film ini adalah cetakan universenya. Qodrat 2 actually turut dibuka oleh highlight kejadian pada film pertama. Ini sungguh cara yang enggak banget untuk dipakai di film. Selain buang-buang waktu yang sebenarnya lebih baik dipakai untuk development karakter, cara ini juga seolah membuat film tidak lagi menganggap dirinya film, melainkan episode serial. Bahkan jika fungsinya untuk sekadar mengingatkan pun, cara highlight seperti demikian merupakan cara yang paling gampang dan males yang bisa diambil oleh film ini. Apalagi mengingat cerita film kedua ini toh practically berlangsung dari kejadian film pertama (hanya perspektif berbeda), sehingga menggunakan highlight terasa semakin mentah. Bukan cuma penyambung ke film awal, film ini juga ngasih momen penyambung ke film berikutnya sebagai bagian dari babak penutup. Akibatnya, film yang sudah dimulai dengan awkward semakin terasa kayak episode tv saja dengan penutup yang seperti itu.
Cerita sekuel ini sebenarnya semakin personal, karena kali ini mengusut juga derita dari karakter istri. Karakter yang drama dan emosinya dimainkan dengan jor-joran banget oleh Acha Septriasa. Dengan konsep dan visi yang tegas, sayangnya perspektif baru ini terbukti jadi penantang yang tangguh bagi keseimbangan penceritaan. Ustad Qodrat jadi terasa datar dibanding istrinya. Bahkan nada ceritanya pun jadi kurang balance, sebab ada yang drama banget tapi malah membuat penonton tertawa karena vibe kocak juga dibuat hadir. Momen-momen yang memang keren masih ada, tapi terasa kurang epik. Gimmick jagoan yang ngasih nod ke horor ataupun maybe ke film silat 80an sudah bagus untuk dipertahankan, hanya saja film ini butuh untuk lebih serius lagi sedikit, demi mencocokkan dirinya dengan muatan cerita yang dikandung.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for QODRAT 2
That’s all we have for now.
Sejauh dua filmnya ini, momen ustad Qodrat mana yang menurut kalian paling bad ass?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“We all have voice, and they are all worth listening to.”
Semua orang punya cerita. Semua merasa ceritanya masing-masing pantas untuk disuarakan. Tapi kalo setiap orang berebut untuk bercerita, siapa yang bakal mendengarkan cerita-cerita tersebut? Nenek dalam film Jumbo, debut karya Ryan Adriandhy, sungguhlah telah membuat point yang teramat valid. Point yang juga jadi tema yang membungkus cerita film animasi anak ini. Karena Jumbo adalah dongeng anak-anak modern tentang empati. Melihat yang ada tapi selama ini tidak-terlihat. Mendengar yang ada tapi selama ini tidak-sempat-terdengarkan karena kita semua begitu sibuk dengan drama masing-masing. Maka luangkanlah waktu sedikit untuk ke bioskop dan biarkan film yang digarap lima tahun ini mengisahkan kepada kita pembelajaran hidup tersebut. Ssstt, dengarkan.
Jumbo itu julukan yang diberikan oleh teman-teman kepada Don, karena badan bocah itu memang, ah katakanlah “chubby”. Julukan juga sebenarnya terlalu positif sih, karena actually Jumbo itu ledekan. Teman-teman Don agak males kalo Don ikutan main bareng mereka lantaran Don kurang gesit dan omongannya soal buku dongeng Ksatria Gelembung melulu. Don just can’t help it. Buku dongeng bergambar itu satu-satunya yang ia punya yang ngingetin dia pada kedua orangtuanya. Buku itu begitu penting bagi Don, sehingga sekarang dia mendaftar untuk ikut festival; Don ingin mementaskan cerita di buku itu. Harapannya supaya teman-teman yang lain senang padanya jika ia juara. Itulah masalah Don, dia merasa tidak punya teman, padahal selama ini ada Nurman dan Mae yang selalu membantunya. Bocah bongsor ini pun akhirnya harus membuktikan bukan cuma badannya yang jumbo, saat dia belajar untuk balik membantu hantu cilik yang sudah menolong dirinya.
My new dream tag team: Don dan Steven Universe!!
Yeah, aku pun gak expect loh. Kirain Jumbo ini cerita anak-anak yang ngangkat keseharian yang ‘normal’. Tapi ternyata film ini punya elemen fantasi yang kuat. Ada cerita dongeng, keajaiban, dan bahkan hantu. Sosok hantu di dunia-ceritanya memang tidak digarap jadi menyeramkan yang membuat film ini jadi horor. Tapi lebih kayak fantasi seperti magic yang kilau kemilau. Ceritanya juga di luar ekspektasi. Jumbo punya layer dan karakter-karakternya tidak satu-dimensi. Semua karakter sentral punya backstory, film meluangkan waktu untuk membahas backstory tersebut. Dengan berlapisnya cerita dan elemen fantasi yang mengangkat cerita grounded ini menjadi “fantastik”, maka gak muluk kalo kita bilang, Jumbo ini punya kualitas storytelling yang bisa nyaingin Pixar. At least, dalam kotak yang sama. Karena Jumbo bukan cuma tentang kejadian atau petualangan, tapi narasinya berisi. Padet oleh pembelajaran, ada world building, dengan karakterisasi yang kuat. Sehingga, anak-anak dan orang dewasa penontonnya dapat belajar sesuatu yang berharga tentang empati.
Film anak-anak di Indonesia jumlahnya gak banyak, film animasi apalagi. Dari jumlah yang sedikit itupun, biasanya film yang menyasar untuk anak-anak terlalu bermanis-manis. Satu dimensi. Mengganggap anak kecil penontonnya tidak akan mampu mengerti jika ceritanya tidak konyol, apalagi serius. Dan tokoh utamanya biasanya akan, wuih, dimuliakan. Sosok teladan yang tidak ada salah. Padahal pada formula naskah yang bagus, tokoh utama itu harus ada celanya. Harus ada kesalahan yang dia percaya, sehingga nanti pembelajaran dia menjadi orang yang lebih baik dengan menyadari kesalahannya jadi terasa dan itu yang bakal membuat cerita filmnya manusiawi dan dramatis. Jumbo sama sekali enggak pandering ke penonton cilik dan berani menuliskan flaw atau cela pada karakter utamanya, Don. Makanya nonton film ini tuh sedih, kita merasa ikut belajar bersama Don. Karena cela Don itu grounded dan relate kepada kita. Don bukan cuma korban bully dikatain gendut – yang aku yakin banyak anak relate juga – tapi yang bikin kita lebih-lebih simpati lagi sama dia adalah ketika dia nunjukin flaw yaitu dia ngerasa dia yang ‘si paling menderita’. Don overlook teman-teman yang selalu ada di sampingnya. Don mengejar crowd yang salah, dan dia take for a granted jasa sahabat baiknya. Don malah sempet enggan memenuhi janji kepada si hantu cilik karena dia ngerasa pentasnyalah yang lebih penting. Kesel sih ngeliat Don sedikit egois tapi kita ga sepenuhnya bisa marah karena cerita tidak terbentuk supaya kita nyalahin Don, melainkan untuk membuat kita merefleksikan diri. Bahwa tak jarang kita juga seperti dia.
Kita cenderung kurang bisa berempati di tengah kesusahan kita sendiri. Tidak lagi punya orang tua, selalu diejek dan enggak diajak bermain oleh teman-teman; bukan cuma Don, setiap kita yang berada di posisi itu akan gampang merasa kita yang paling menderita. Ngerasa kita yang paling kurang. Kesusahan teman? lebih susah aku kok! Kisah Don membuka mata dan telinga untuk merasakan kehadiran dan ‘cerita’ teman-temannya ini bakal ngajarin kita soal yang namanya empati. Semua orang punya cerita yang sama pantasnya untuk kita dengar dan dibereskan bersama.
Makanya film ini punya banyak backstory. Supaya kita bisa memahami dari mana setiap karakter itu berasal. Atta si anak bandel yang suka mengganggu Don, ternyata anak yang tak kalah cerdas dan juga sebatang kara bersama abangnya di bengkel radio. Mereka bermusuhan bukan karena yang satu jahat, yang satu baik, melainkan hanya belum saling mengenal ‘peran’ satu sama lain saja. Cara film memunculkan backstory cukup baik. Perspektif utama tidak pernah benar-benar berpindah dari Don meskipun kita sering melihat apa yang dilakukan atau dipikirkan oleh karakter lain. Secara visual pun, film ini melakukannya dengan variasi. Bukan sekadar dijadikan flashback. Jumbo hebatnya sanggup untuk bermain-main dengan kreasi animasi. Sehingga penceritaan film semakin fluid. Bercorak khas. Ini sekaligus adalah showcase betapa film ini punya visi yang kuat sebagai animasi. Secara detil dan ekspresi, teknisnya memang belum dewa kayak Pixar, tapi yang disajikan film ini sama sekali tidak buruk. Justru ada di level yang lebih tinggi dari yang kita semua bayangkan, untuk standar animasi Indonesia. Sehingga film ini bisa dibilang breakthrough. Bisa kok film animasi Indonesia sebagus ini! Animasi dan vokal aktingnya klop sehingga dunia Jumbo beneran kerasa hidup dan ngalir saat ditonton. Kudos buat para pengisi suara.
Also, ada Aubrey Plaza hahaha
Dan sama seperti animasi-animasi Pixar, Jumbo ini pun begitu penuh hati sehingga jago mengaduk emosi penonton. Ada adegan nyanyi juga, yang menurutku sangat well done, incorporating elemen fantasi yang dimiliki oleh ceritanya. Honestly, yang bikin aku agak kecele cuma strukturnya. Aku agak kaget juga saat tau ternyata ‘makhluk ajaib’ yang ditanam film untuk ngeset up fantasi itu ternyata simply a ghost, tapi naskah dengan cepat recover dan aku gak permasalahin lagi bahwasanya tiba-tiba ada hantu di cerita yang awalnya seperti kehidupan nyata ini. Malahan berbalik jadi pujian karena film ini bisa ngangkat ‘hantu’ tanpa membuat film jadi horor. Kecele yang kumaksud adalah soal pentas seninya. Mungkin karena keburu bandingin film ini dengan Pixar, maka aku nyangka Jumbo bakal ngikutin formula tradisional. Yakni ditutup dengan penampilan seni para karakter, ultimately nunjukin mereka jadi sahabat setelah ngelaluin banyak hal bersama. Tapi ternyata bagian pentas seni – yang cantik dan penuh emosi itu – adanya di tengah. Film ternyata bikin mold cerita sendiri, dan kita harus hargai itu. Toh cerita Jumbo juga finish dengan strong, delivering emosi dan aksi yang gak kalah serunya. Persahabatan para karakter ciliknya bener-bener kerasa membantu mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Yang punya hati besar ternyata bukan cuma karakter di dalam cerita, tapi juga film ini sendiri. Bener-bener di luar ekspektasi film animasi dalam negeri bisa ngasih pengalaman nonton seperti ini. Bukan karena teknisnya loh, melainkan lebih kepada karena biasanya film untuk anak-anak buatan Indonesia itu gak dalem, bermanis-manis, dan satu dimensi. Film ini sebaliknya, bener-bener ngasih yang terbaik dari gimana cerita untuk anak-anak dan keluarga itu seharusnya. Kalo dari narasinya sih sepertinya film ini ngincer untuk tayang agustusan, tapi tayang lebaran adalah langkah berani yang tepat. Senang sekali ngeliat studio penuh oleh keluarga. Yang bercucur nonton ini bukan hanya anak kecil tapi juga orang dewasa pendamping mereka. Ini sungguh pencapaian yang luar biasa buat perfilman kita.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for JUMBO
That’s all we have for now.
Film ini juga sepertinya punya concern soal penggusuran tanah atau lahan. Yang boleh jadi memang dinilai seperti bentuk dari kurangnya empati kepada sesama. Bagaimana menurut kalian?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“All persons, living and dead, are purely coincidental”
Kematian pasti akan datang kepada setiap orang, ga ada tawar menawar. Tapi kepastian dari sebuah kematian itu justru sering dianggap sebagai misteri, atau kecelakaan, atau kebetulan. Karena gak ada yang tau kapan dirinya, temannya, atau siapapun bakal mati. Kematian itu pasti tapi tidak bisa dikendalikan, maka jadilah dia momok yang mengerikan. Dan seperti apa coba treatment sutradara Osgood Perkins ketika diserahkan cerita dari horor pendek Stephen King tentang gimana kematian yang pasti datang tanpa bisa dikendalikan ini? Well, alih-alih horor serius, dia membuatnya jadi horor komedi!
The Monkey merujuk kepada mainan monyet terkutuk yang didapat oleh si kembar Bill dan Hal Shelburn saat membuka-buka barang peninggalan ayah mereka. Meskipun pusatnya adalah gimana si mainan monyet ini membawa petaka setiap kali ia selesai menabuh gendang, tapi cerita film ini sebenarnya adalah tentang hubungan si anak kembar tadi. Bill dan Hal kurang akur. Hal sering ngebully Bill sampai-sampai Bill berfantasi mengenyahkan abang yang hanya beberapa menit lebih dulu keluar dari rahim ibu mereka itu. Ketika mengetahui ‘kekuatan’ mainan monyet, Bill berusaha memanfaatkan benda terkutuk itu untuk mewujudkan fantasi gelapnya. Tapi si monyet bukanlah benda pengabul permintaan. Kekuatan si monyet membuat korban-korban random berjatuhan. Hingga 25 tahun kemudian saat Bill yang kini sudah punya anak dan Hal sudah tidak pernah komunikasi lagi, monyet yang harusnya udah mereka buang itu kembali membuat orang-orang di sekitar mereka mati dalam kejadian yang tidak terduga.
Aslinya sih si monyet main simbal, tapi karena Disney maka jadi drum
Perkins kayaknya udah ngabisin semua stok disturbing dan seriusnya di Longlegs (2024), karena yang dia sajikan di The Monkey benar-benar kayak berkebalikan. Adegan-adegan horor di The Monkey melibatkan adegan-adegan mati, tapi semuanya begitu random dan diceritakan dengan tone humor yang kuat di baliknya. Bayangkan nonton Final Destination, tapi adegan matinya dibangun lalu dilepaskan tapi bukan untuk hanya kengerian, melainkan lebih ke ngajak kita ngetawain random atau misterinya kematian. Adegan matinya tetep ngeri dan berdarah-darah, cuma disajikannya dalam gambar yang lucu. Kayak ketika ada seseorang yang terbakar, dia berlarian panik di dalam rumahnya. Yang kita lihat actually adalah pantulan dirinya berlari dengan kepala terbakar dari kacamata hitam yang dipakai patung di dalam rumah. Lalu bahkan saat berlari, sebelah kakinya masuk ke baskom, udah kayak adegan di film warkop banget ga tuh. ‘Freak Accident’ harusnya memang super freaky dan film ini tepat sasaran soal itu.
Selain dari adegan kematian, dialog-dialog film ini juga lucu. Hampir nihilistic bahasan film ini menyoal kematian jika ditinjau dari obrolan para karakter. Mereka akan menyebut mati itu pasti terjadi, mati itu menakutkan, random, tapi kadang juga karakternya pengen seseorang mati. Kayak Bill kepada Hal, saudara kembarnya sendiri. Dinamika dua bersaudara yang jadi karakter sentral ini enggak seperti karakter anak kembar pada umumnya. Mereka basically saling benci, yang satu tipikal anak cupu, yang satunya tipikal anak sok bandel. Bahkan ketika mereka ‘bersatu’ untuk mengalahkan mainan monyet itu pun, mereka saling “aku akan pura-pura sedih jika kau terbunuh” to each other face. Sorotan utamanya adalah Bill, si cupu yang terbully. Perjalanan Bill dipotret dari saat mereka kecil hingga loncat 25 tahun kemudian saat Bill punya keluarga sendiri, saat dia harus bangun koneksi dengan putranya sendiri sambil menjaga jarak karena dia takut keluarganya dalam bahaya jika suatu saat mainan monyet itu kembali. Dan semua itu dia lakukan sambil menjaga rahasia yaitu dia tidak punya sodara. Bill dan Hal, keduanya, sama-sama semacam menjalani kehidupan yang tertutup – for slightly different reasons – tapi benang merahnya sama. Tentang takut sama kematian yang di titik itu mereka belum bisa sepenuhnya memahami randomness dan kepastian dari kematian itu sendiri.
Jadi in way, keacakan dan kepastian dari kematian itu seperti sisi kembar yang seperti cerminan dari mereka sendiri Dua sisi yang berlawanan. Yang jelas, mau segimana pun gak cocoknya, kehidupan tidak pernah kebetulan.
Perkara kutukan monyet, The Monkey memang sepertinya berangkat dari istilah Monkey’s Paw. Itu loh, cerita pendek horor tentang cakar monyet pengabul permintaan tetapi kejadian akhir setiap permintaan itu selalu punya dampak mengerikan. Seperti cerita pengabulan permintaan pada umumnya, cerita itupun bersifat cautionary tale supaya kita berhati-hati dengan harapan, supaya kita lebih bijak dalam menginginkan sesuatu. Di film ini, benda terkutuknya juga monyet, tapi monyet mainan penabuh drum. Setiap kali kuncinya diputar, si monyet akan menabuh drum, dan setelahnya, akan jatuh satu korban. However, kapan si monyet mulai bermain musik, ataupun siapa yang bakal mati, itu sangat random dan tidak bisa ditebak. Apalagi dikendalikan. Materi aslinya dari Stephen King sebenarnya lebih serius menjadikan makhluk terkutuk ini kayak mainan setan dan ngasih dread ke seluruh kota. Versi filmnya juga gitu, seisi kota Maine kena demam ‘freak accident’, tapi film ini menggiringnya ke vibe komikal, dari gimana kerandoman freak accident itu terjadi di background saat karakter utama berjalan melintas kota. Sutradara memilih untuk mengembrace sisi konyol dari mainan yang menyebabkan kematian – yang bahkan at one point nonton ini aku kepikiran sendiri apa monyet itu benar menyebabkan kematian atau mungkin malah sebaliknya, dia hanya main drum ketika mau ada kematian di sekitar yang memutar kunci. Dia beneran penyebab atau cuma messenger? Ketakutan kita terhadap hal konyol seperti pertanda kematian itulah yang dikuarkan oleh pilihan kreatif film ini.
Jadi menurutku, pilihan film untuk menjadi lebih ke horor komedi membuat hasilnya jadi lebih fresh tanpa benar-benar mengurangi muatan ataupun kehororan film ini sendiri. Malah bisa dibilang membuatnya jadi lebih mantap secara tematik.
Pemanasan sebelum nonton Final Destination.
Yang bikin film ini agak kendor sebenarnya adalah dramanya. Look, I know ini horor hiburan dan targetnya adalah adegan-adegan kematian yang absurd, tapi tetap saja tulang punggung cerita ini adalah relasi antara Bill dan Hal. Bahasan inilah yang tidak mendalam dilakukan oleh naskah. Simpelnya, kita tidak tahu kenapa mereka begitu berlawanan, kenapa Hal sampai senang membully Bill. Film hanya mengestablish dinamika mereka, dan meminta kita untuk menerimanya tanpa ada eksaminasi lebih lanjut. Sehingga karakter-karakter ini masih di permukaan. Alasan kenapa Bill merahasiakan Hal aja gak begitu kena ke kita. Kita hanya tahu kenapa, tapi tidak ikut merasakan bobotnya. Seperti apa dampak dia merahasiakan itu kepada dirinya sendiri. Pilihan-pilihan dramatis yang dibuat oleh si karakter jadi ikut tersaru ke dalam kejadian-kejadian random akibat ‘ulah’ si mainan monyet. Menurutku film ini harusnya bisa lebih nendang lagi jika lebih mengetatkan bahasan drama antarkarakternya.
Kalo udah urusan kematian, gak ada yang namanya permintaan. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mati begitu saja, karena kematian tidak bisa dikendalikan. Pasti, tapi bergerak dalam desain misterius yang tidak kita ketahui. Sehingga tidak pernah sebagai sebuah kebetulan. Beda ama film. Film yang tayang di bioskop, bisa kita prediksi ‘umurnya’ berapa. Tinggal lihat jumlah penonton di hari pertama. Film ini, menurutku punya potensi yang bagus untuk bertahan lama, karena walau gak seram secara konvensional, tapi punya banyak adegan kematian yang seru. Ngeri tapi cara kamera ataupun film menceritakannya sangat kocak. Bisa dibilang film ini punya selera humor yang agak laen. Di balik cerita kutukan mainan, film ini punya drama antara saudara kembar yang gak akur. Kegakakuran mereka dipotray dengan fresh dan kocak juga, tapi butuh ataupun bisa untuk dibahas lebih mendalam mengenai hubungan mereka untuk membuat film lebih padet.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE MONKEY.
That’s all we have for now.
Jadi bagaimana menurut kalian tentang si mainan monyet itu, apakah dia memang pembawa petaka atau dia hanya ‘peniup sangkakala’?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
“It’s not the secret sauce of the recipe per se that is treasured but the connection you share with your heritage”
Sebagai yang pernah menggeluti keduanya, persamaan antara masak dan main yugioh adalah, meskipun kita udah tahu resepnya, tapi belum tentu menang atau rasanya enak. Kita tetap harus mampu dulu mengolah bahan-bahannya. Dalam mengolah, itu berarti kita harus paham dulu bahannya, harus mengerti dulu propertinya, dan ini berarti kita harus punya koneksi dengannya. Proses memahaminya itulah yang dibentuk jadi journey karakter dalam Rahasia Rasa, karya terbaru Hanung Bramantyo. Karena ternyata film ini bukan cuma tentang masak-memasak. Film ini at heart adalah drama karakter yang mangkir dari jati diri, tapi juga ceritanya punya cita rasa action dan bumbu sejarah politik, Inspirasinya saja ternyata adalah buku resep masakan Mustikarasa, buku berisi dokumentasi lebih dari 1600 resep nusantara yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno. Aku bahkan gak tau kalo buku yang sejarahnya berkaitan dengan gerakan PKI disebut dan jadi sentral cerita film ini, ternyata beneran ada!
Bumbu fiktifnya ya di cerita karakter utama. Ressa (Jerome Kurnia tampang matang aktingnya di sini) celebrity chef yang jadi kepala di restoran Italia. Kayak chef-chef gede kebanyakan, Ressa cenderung tegas dan galak kalo udah urusan dapur. Peraturan nomor satu baginya adalah tidak ada masakan Indonesia. Ketidaksukaan Ressa terhadap makanan nusantara begitu besar, sampai-sampai tubuhnya menolak sampai ikut mual kalo terbayang makanan Indonesia. Ressa memang ternyata punya trauma. Tantangan datang ketika bosnya – yg juga adalah ayah dari kekasihnya – Pak Broto mengsyaratkan Ressa untuk bisa mengawinkan masakan Itali dengan bumbu-bumbu Indonesia. Kacau oleh banyak kemelut, Ressa kecelakaan dan mendadak lidahnya mati rasa. Ini membuat Ressa harus kembali ke tempat masa kecilnya. Tempat yang sengaja dia lupakan karena awal dari trauma. Tempat yang sekian lama menunggunya dengan sejuta rahasia dan cinta yang kini sudah dingin. Tempat yang penuh oleh bumbu-bumbu makanan khas Indonesia.
Dan for some reason, tempat itu akan jadi tempat perebutan harta karun berupa lembar-lembar resep rahasia
Aku terutama kagum sama ide ceritanya sih. Waktu ikut kelas nulis skenario dulu, kelasku kebagian tugas bikin cerita tentang makanan nusantara, sebagian besar ide yang muncul memang adalah tentang resep rahasia dan organisasi atau klub masak underground, namun tidak ada satupun yang kepikiran untuk ngaitin ceritanya ke persoalan buku resep dari Soekarno ataupun kejadian saat pemberontakan PKI. Ngasih layer karakter chef yang lidahnya mati rasa aja kita gak kepikiran sama sekali. Rahasia Rasa bukan cuma mengaduk semua di dalam wajan ceritanya, film ini juga on point banget dengan tema hingga ke penamaan-penamaan. Ressa yang aslinya bernama Roso – judulnya jadi make sense, dan juga jadi punya arti luas, nama restorannya aku suka banget, play on word maharaja jadi maharasa, Jadi kita bisa lihat film ini punya visi kuat dan ya, cukup berambisi, karena memang film kayak gini cukup langka.
Dan hal tersebut membuat film ini sendiri agak sedikit kesulitan memposisikan dirinya. Dengan bahan dan resep yang sekompleks itu, Rahasia Rasa jadi menghidangkan terlalu banyak sajian kepada kita. The best course yang film ini sajikan adalah bagian Ressa berusaha menyembuhkan lidahnya; Ressa balik ke kampung asalnya, berusaha rekonek dengan Tika (finally kita lihat range yang tidak biasa dari Nadya Arina!) dan Mbah Wongso, dua orang yang sangat penting bagi developmentnya. Journey Ressa adalah tentang seseorang yang mengacknowledge kembali heritage dan siapa dirinya sebenarnya. Drama tiga karakter ini begitu hangat sementara di background kita juga menikmati seluk beluk dunia kerjaan Ressa sebagai chef profesional yang terkenal dan kemudian dia balik ke kampung, try to humble himself. Ini kayak lihat cerita formula Hollywood tapi dengan aroma lokal yang kental. Aku bisa bayangin formula eksaknya kalo ini film Hollywood, ceritanya pasti tentang Ressa akhirnya sadar yang dia butuhkan bukan sembuh dan menangin approval Broto tapi balik ke kampung, realizing cintanya kepada si teman masa kecil, dan stay membantu Tika dan Mbah Wongso gedein warung makanan lokal, dan membuktikan dia udah jad better person dengan menerima siapa dirinya sebenarnya. Mungkin karena gak mau terlalu sama ama formula usang Hollywood itu jugalah, maka film ini menggodok elemen aksi dan sendirinya berusaha menonjolkan elemen politik lokal sebagai heritage dirinya sendiri.
Rahasia bukan terletak pada resep atau formulanya apa. Rahasia itu ada pada apa yang kita lakukan dalam menangani bahan-bahan yang tertera pada resepnya. Sehingga yang bikin ‘resep rahasia’ berharga adalah koneksi yang dimiliki oleh pemiliknya terhadap resep tersebut. Itulah yang tidak bisa diimitasi atau ditiru oleh orang lain. Jadi, itulah rahasia yang harus dibuka Ressa; koneksi antara dia dengan dari mana dia berasal.
Membawa cerita ke arah aksi saat Ressa (di titik ini dia udah kembali menggunakan nama aslinya, Roso) dan Tika terancam oleh komplotan yang mengincar sisa resep Mustikarasa tampak seperti pilihan easy yang bisa membuat film lebih mudah diterima masyarakat, after all cerita butuh klimaks yang seru dan menegangkan sebagai finale. Masalahnya adalah, racikannya belum menyatu banget. Masih kayak kalo kita nyampurin air dengan minyak. Terasa banget ada batas yang memisahkan elemen-elemen cerita. Misalnya elemen aksi ini. Film literally nampilin di 30 menit akhir, setelah sebelumnya urusan journey karakter tadi kelar. Jadi 30 menit terakhir film ini jadinya ya aksi dan revealing tapi sudah gak ada journey. Cerita Roso sudah finish, kita hanya nunggu ini cerita ujungnya sedih atau happy aja. Background sejarah politik real memang sudah dibuild up sejak pertengahan – naskah memposisikan ini sebagai bagian “taktik baru” – yang actually bikin film kayak dua episode berbeda. Setelah masalah Roso kelar, kini saatnya urusan mencari resep rahasia. Harusnya elemen-elemen bisa meluruh dengan lebih baik lagi, batasan episodenya harusnya bisa untuk tidak terasa.
Tapi tetep berhasil bikin pengen kulineran selepas dari bioskop
Jika bagian awal filmnya tampak begitu runut dan bahkan terlalu detil membangun narasi – like, sampai harus ada dua orang dokter untuk bahas lidah mati rasanya Ressa – sebaliknya paruh akhir film terasa terburu-buru. Middle ground harusnya di effort Ressa saat berada di tengah-tengah Tika dan Mbah Wongso. Bagian ini tidak mesti mentok sebagai babak kedua, sebaliknya menurutku cerita harusnya masuk ke sini lebih cepat. Set up buku Mustikarasa, Ressa terkenal dan downfall hingga dia bisa sakit mati rasa tidak perlu sampai jadi satu babak penuh. Melainkan, cerita butuh waktu lebih banyak Ressa di kampung sehingga persoalan mati rasa, pak Broto dan Mustikarasa, serta kaitan heritagenya dengan semua itu bisa dibangun seiring Ressa berkonfrontasi dengan tempat yang dia sempat tinggalkan karena trauma. Memang bakal jadi kayak ala Hollywood tadi, tapi as long as ujungnya bukan kompetisi/challenge masak yang predictable, film ini masih akan dapat terasa original karena urusan sejarah politiknya tadi.
Penyajiannya sebenarnya gak buruk, setiap eksposisi dibikin menarik oleh klip dari dokumentasi sejarah. Film ini bahkan menghindari sebagian besar flashback dengan menyatukan adegannya ke dalam ‘real time’ cerita berupa kenangan ataupun bagaimana cara karakter memandang sebuah momen. Saat menampilkan masakan dan makanan pun, film fluid dengan teknik editing cepat-cepat ala Edgar Wright, dan shot-shot makanan berhasil bikin kita berselera. Problemnya hanya di racikan naskah yang belum terlalu mulus mengaduk setiap elemen cerita. Kalo dinilai dari resep alias ide ceritanya, aku sangat merekomendasikan film ini. Bahasannya beda, tema kuliner jelas cukup langka di film indonesia, apalagi film ini ngawinin banyak, ada aksi hingga sejarah yang gak setiap hari bisa kepikiran untuk dijadiin cerita film. Tapi karena film sama seperti makanan; urusannya adalah rasa, ya kita harus nyobain sendiri. Dan inilah yang kepikiran olehku untuk menilainya. Rasa film ini harusnya bisa lebih baik lagi mengingat resep dan penyajian yang bagus.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RAHASIA RASA.
That’s all we have for now.
Aku baru tau ternyata buku Mustikarasa itu beneran ada. Bagaimana dengan kalian? Bagaimana pendapat atau reaksi kalian terhadap buku kumpulan resep dari seantero nusantara yang diprakarsai oleh Bung Karno ini, denger-denger cetakan aslinya sekarang dijual dengan harga jutaan loh!
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Dalam dunia kita yang relijius, kita mengenal petuah soal gimana dalam sebuah hubungan, orang ketiga adalah setan. Well, di dunia gothic buatan Robert Eggers, tempat di mana melankoli dan supernatural sama nyatanya dengan wabah mematikan, orang ketiga tersebut literally adalah sosok vampir legendaris yang menguasai manusia bahkan lewat mimpi mereka. Penceritaan modern dari cerita klasik Nosferatu (yang sebenarnya adalah versi ‘ngeles dari copyright’ mitologi Drakula) ini ternyata ditonjolkan banget kelumit romance dan lust yang ‘berdarah-darah’ oleh Eggers, Sehingga aku yang nonton film ini pas tanggal 14 Februari pun ngerasa, kok pas juga ya jadinya horor ini ditonton sekarang!
Pasutri Thomas dan Ellen Hutter udah siap untuk membangun keluarga kecil mereka. Thomas dapat kerjaan khusus, ngurusin penjualan tanah ke bangsawan tua kaya raya di pelosok Jerman-Fiktif. Bayarannya gede. Jadi pergilah Thomas ke sana, ninggalin Ellen. Mereka gak ada yang tau kalo bangsawan bernama Orlok tersebut ternyata adalah makhluk kuno penghisap darah, dan juga adalah ‘mantan’ Ellen saat masih muda. Ellen yang punya bakat supernatural duli sering didatangi oleh Count Orlok di alam mimpi. Jual beli tanah kerjaan Thomas tadi hanyalah bagian dari rencana Orlok untuk memisahkan Ellen dengan sang suami, supaya dirinya bisa kembali menyatroni Ellen, kali ini memiliki perempuan itu seutuh-utuhnya, selahap-lahapnya, for good. Dan Count Orlok, being makhluk terkutuk, membawa bencana ke manapun dia berada.
Pengantin Iblis yang sebenarnya
Perbedaan yang terasa secara narasi antara Nosferatu modern dengan Nosferatu tahun 1922 dulu (gile jaraknya seabad!) adalah fokus cerita. Eggers tidak banyak menggunakan simbolisme atau alegori terhadap keadaan dunia. Meskipun memang, lucunya, film modern ini muncul setelah wabah pandemi seolah sebagai echo dari gimana film jadulnya dibuat setelah wabah flu Spanyol – dan kedua film ini sendiri memuat tentang wabah yang diakibatkan oleh tokoh titularnya. Gatau deh itu disengaja atau enggak sama pembuatnya haha.. Tapi yang jelas, Eggers memilih untuk menonjolkan relasi antara tiga karakter sentral, dan bahkan secara berangsur memindahkan fokus utama cerita ke karakter Ellen. Sehingga karakter ini punya pilihan (as opposed to hanya terpilih sebagai ‘korban’) dan background yang misterius yang membuat akhirnya dia jadi karakter yang fully-pledged. Dengan pesan empowering menguar di balik karakternya tersebut.
Bahwa dalam suatu hubungan yang entah itu toxic atau controlling, perempuan bisa kok lepas dari jeratan. Perempuan punya pilihan dan power, meskipun mungkin hasilnya tragis kayak di film ini. Tapi setidaknya, perlawanan cara Ellen menyisakan kehormatan karena merupakan bentuk dari sebuah pengorbanan yang pure dan selfless.
Perbedaan narasi tersebut tentu saja dibarengi dengan perbedaan desain karakter. Di elemen ini Eggers sekali lagi menunjukkan taringnya. Dia berpijak kepada legenda atau mitos tentang Dracula tetapi juga dengan cueknya memperlihatkan desain yang di luar pakem pop culture Dracula ataupun juga Count Orlok itu sendiri yang sudah kita kenal. Mitos soal gimana vampir menghisap darah, misalnya. Film ini berani mengembalikan mitos yang udah populer (vampir menghisap darah dari leher korban) ke akarnya yakni dari lukisan-lukisan klasik; Orlok mengonsumsi manusia dari dadanya. Dan ini dilakukan juga untuk memperkuat kesan take control yang dilakukan oleh si vampir. Melahap dari dada toh memang terlihat lebih primal. Rakus, Penuh Kebuasan. Disturbing. Atau juga soal mitos vampir lemah oleh sinar matahari. Oleh film ini, kelemahan tersebut diolah menjadi adegan yang powerful dan naas sekaligus! Perlakuan Eggers terhadap mitos dan mengaitkannya kepada adegan puncak Orlok dan Ellen berhasil terabadikan menjadi sebuah adegan yang aku yakin juga akan diingat sepanjang masa. Bukan saja dari maknanya, tetapi juga dari gimana adegan tersebut berhasil dicapai lewat kostum, efek, sinematografi, dan sebagainya. Kayaknya kita memang harus bicarain karakter dan desain mereka satu-satu, deh.
Pertama, Thomas yang diperankan oleh Nicholas Hault. Di rumah, family man. Di kantor, pria muda yang gak sabar menunjukkan kemampuannya, pria yang ingin nunjukin ke bosnya kalo dia worthy for the job. Loyal, naif , tapi sayang istri, lah pokoknya. Di tangan sutradara lain mungkin karakter ini akan jatoh cupu atau at least hopeless tapi simpatik kayak Jerry di Rick & Morty. Apalagi memang struktur naskah membuat Thomas seperti dioverpower bukan saja oleh Orlok, tapi oleh istrinya – secara posisi karakter. Tapi film ini berhasil mempertahankan sisi kuat Thomas sebagai karakter yang fungsi pertamanya memang sebagai wakil penonton. Orang yang sama sekali di luar kejadian tapi perlahan-lahan terseret dan dia menemukan kekuatan untuk terus bertahan sehingga kita melihatnya bukan saja pantas berada di sana, tapi juga pantas untuk kita dukung perjuangannya.
Kedua, Ellennya Lily-Rose Depp. Film juga mengevolusi karakter ini, berkebalikan dengan Thomas. Lily awalnya kayak dikasih tugas jadi misterius dan berakting kesurupan – yang memang dilakukannya dengan total sehingga adegan kesurupan film ini creepy semua (opening film ini juga memorable banget karenanya!) Ellen dengan gaun putih udah kayak roh nelangsa yang dipermainkan antara kenikmatan mimpi dan realita sebelum akhirnya dicabik penuh derita. Tapi perlahan film mengubah ‘roh nelangsa’ menjadi simbol sebuah maiden. Ellen dimainkan oleh Lily-Rose seperti penuh kerapuhan, kita khawatir kepadanya – kadang juga takut – tapi power di balik dirinya terasa perlahan terbuild up. Kekurangan karakter ini buatku cuma satu sih, itupun datang dari struktur naskah yang dipilih tadi. Kita kurang banyak ada berkubang di kegelapan pikiran tragisnya. Bahkan setelah cerita udah full memandang dia sebagai karakter utama, Ellen masih tetap harus berbagi waktu dengan karakter lain misalnya si doktor paranormal yang eksentrik demi fungsi untuk menyampaikan eksposisi.
Nangis darah udah paling tepat menggambarkan betapa tragisnya kisah film ini
Last but not least tentu saja Count Orlok. Sebelum nonton kupikir Bill Skarsgard nasibnya udah kejebak mainin karakter horor yang creepy, tapi ternyata yang dia lakukan di sini justru bisa dibilang dibutuhkan supaya sosok vampir dalam film menjadi fresh. Tau dong gimana vampir biasanya digambarkan karismatik, bahkan enggak jarang ganteng atau punya pesona sendiri dalam menarik mangsa. Count Orlok original sendiri, walau gak kayak keluarga Cullen, tapi sudah ikonik dengan sosoknya yang mengerikan. Tantangan Nosferatu terutama kayaknya adalah dari gimana sosok Orlok yang baru bisa gak ikonik, supaya mereka gak terlalu dibanding-bandingkan. Skarsgard paham assignment dia. Dan dapatlah kita Orlok yang geraman suaranya seperti bergema di dalam hati, atau kepala, I’m not sure. Yang sosoknya kayak ringkih tubuhnya rotten kayak mayat beneran, tapi bisa bergerak cepat (editing yang serem banget dilakukan film demi ngasih liat kekuatan Orlok). Dan ya, mana lagi coba makhluk kuno tapi berkumis. Orlok Skarsgard kayak berjalan elegan di garis antara komikal dan legendary, dan itulah yang bakal membuat karakternya ini bakal terus terpatri.
Dan film ini sendiri tu udah kayak si Orlok itu tadi. Dunianya tampak begitu jadul, mistis, dengan pengambilan gambar dan sinematografi yang ngasih vibe seram tradisional namun sangat efektif. Namun ada nuance modern dari ‘nyawa’ karakternya. Mitologi drakula dari Bram Stoker dihidupkan lewat mindset modern, di mana perempuan sudah lebih berdaya, sekaligus ini menghasilkan konklusi yang beautiful tapi tragis.
Buat yang belum nonton film Nosferatu original, atau yang sebelumnya cuma tahu Orlok dari kartun Spongebob, sebenarnya gak papa langsung nonton ini tanpa tahu apa-apa, karena ceritanya berdiri sendiri dan reference-nya juga lebih ke arah mitologi vampir secara general. Tapi jika ingin membandingkan, kalo bisa nemu film jadulnya yang bisu dan itam putih itu, silakan saja nonton. Buatku film versi modern ini tragis dan pilunya dapet, creepy supernaturalnya dapet, sungguh sebuah experience horor yang hormat terhadap era klasik. Kekurangannya buatku cuma struktur naskah yang kayak menukar posisi karakter utama antara Thomas dengan Ellen, yang aku totally get it kenapa film melakukan itu. Penampilan akting juga berhasil bikin film ini enak untuk diikuti, di samping juga dunianya yang benar-benar kebangun. Film ini juga ngasih lihat soal wabah dan gimana dunia luar bereaksi terhadap mitologi Count Orlok. Sehingga scale cerita film ini kerasa besar dan hidup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOSFERATU.
That’s all we have for now.
Count Orloknya Bill Skarsgard hanyalah satu dari sekian banyak jelmaan drakula dalam film berdasarkan bukunya Bram Stroker. Di antara semua, mana sosok drakula versi favorit kalian?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Nominasi Oscar telah diumumkan, beberapa nominenya yang kontroversial pas banget udah aku tonton tapi belum sempat kereview tunggal. Jadi, ya di sinilah kukumpulkan bersama review film-film lain yang juga sama-sama belum ada ulasannya. Enjoy Mini Review pertama di tahun 2025!
A DIFFERENT MAN Review
A Different Man adalah cerita yang berbeda tentang identitas. Memang sih karya Aaron Schimberg ini menelisik gimana society memandang orang-orang yang “not normal” kayak The Elephant Man, ataupun juga masuk ke psikologis karakter yang ingin mengenyahkan sisi dirinya yang bahkan dia sendiri enggan menerima kayak The Substance, hanya saja sudut pandang yang diambil oleh film ini terasa lebih ironis. Naskahnya benar-benar mengkonfrontasi sisi hipokrit dari karakter yang pengen nunjukin siapa dirinya ke orang, tapi sekaligus dia juga malu ngeliatin apa adanya dirinya kepada orang.
Nonton film ini rasanya berpadu antara kasian ama ‘rasain lu!’. Edward ngerasa karirnya sebagai aktor serta bintang teater gak bakal mulus karena kondisi wajahnya. Jadi ketika dia mendapat kesembuhan, dia mempersembahkan dirinya sebagai “pribadi yang baru”, bukan lagi sebagai Edward. Dia bahkan ikut casting memerankan karakter yang dibuat berdasarkan dirinya waktu dulu masih Edward. Ironis banget kan, padahal si cewek sutradara teater itu suka Edward yang mukanya begitu, tapi Edward sendiri lebih memilih untuk berakting sebagai dirinya, ketimbang apa adanya. Untuk mencapai goalnya, memang naskah film ini ngambil resiko untuk jadi aneh, bukan ke horor creature tapi like, agak ke “mustahil di dunia nyata” yang lebih grounded gitu. Tapi pilihannya itu memang berbuah plot yang terus menelisik sikap Edward.
Paling ngakak nanti ketika datang karakter Oswald, yang punya kondisi sama seperti Edward, tapi dia orangnya pede. Melihat ‘kompetisi’ Edward yang udah ganteng dengan Oswald tu bener-bener kayak ngeliat gimana seseorang mencoba mengalahkan dia yang seharusnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for A DIFFERENT MAN.
EMILIA PEREZ Review
Emilia Perez berangkat dari film yang mendapat standing ovation 9 menit penuh di Cannes 2024, menjadi film yang paling dilaknat sinefil karena nyabet 13 nominasi Oscar padahal filmnya problematis; sutradaranya, Jacques Audiard, ngaku gak riset Mexico, kurang representasi lokal, pake AI untuk adegan musikal karakter titularnya, serta juga karena katanya Selena Gomez kurang effort. Yah, itu semua cerita ‘kontroversinya’, kita boleh gak suka atau gimana karena itu, tapi di sini aku mau coba menilai dari produk filmnya itu sendiri – di luar hal-hal kontroversial tadi.
Saat pertama nonton ya aku merasa film ini punya sudut pandang unik yang menghasilkan situasi musikal yang unik. Itu karena aku memahami film ini sebagai kisah Zoe Saldana sebagai tokoh utama, sebagai pengacara wanita yang punya prejudice terhadap gender berdasarkan kasus-kasus yang ia tangani, lalu dia dipaksa jadi klien untuk ketua gangster Mexico yang diam-diam ingin meninggalkan dunia kriminal karena si gangster ini ngerasa dirinya yang sebenarnya tuh perempuan, jadi dia ingin jadi trans woman. Sudut pandang Zoe di sini menarik karena prasangka dirinya terhadap gender dan tingkah laku serta merta menjadi semakin kompleks saat dia terlibat dalam hidup si Emilia, sebelum dan sesudah menjadi wanita. Emilia Perez sama seperti A Different Man dalam hal memotret gimana manusia merasa diri mereka berubah setelah ganti ‘sosok’, padahal mungkin sebenarnya tidak ada yang berubah. Bahwa semuanya itu tergantung di dalam kita.
Perkara musicalnya, memang ada juga adegan lagu yang konyol. Wicked yang kita bakal kita bahas nanti, punya musical number yang jauh lebih powerful. Aktingnya memang kadang terasa karikatur, yang sejalan dengan kontroversi film ini masih dalam kotak stereotipe. Buatku, masalah utama pada film ini, adalah naskah yang masih belum firm mematok tokoh utama. Antara si pengacara wanita atau karakter titularnya. Jika pilihan ini lebih exact, bisa jadi film ini lebih kuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for EMILIA PEREZ.
FLOW Review
Animasi dari Latvia ini rounding up betapa magnificentnya skena film animasi di tahun 2024 kemaren. Flow yang mengambil tempat di dunia fantasi, dihidupi oleh hewan-hewan yang grounded banget ke kita – bukan cuma dari suara mereka yang memang ngambil suara hewan asli!
Gak ada dialog dalam film ini, hanya suara hewan-hewan itu. Namun sutradara Gints Zilbalodis dengan efektif menyampaikan – lewat animasi yang tampak kasar tapi nyatanya begitu fluid – pesannya tentang kerja sama tanpa mengenal ras di balik kisah petualangan seekor kucing di dunia yang dilanda banjir. Kucing yang notabene hewan penyendiri itu harus belajar survive di keadaan sulit bersama hewan-hewan lain yang either dia belum pernah ketemu kayak Capibara atau bangau mitologi, ataupun hewan yang selama ini ia anggap musuh, kayak seekor anjing.
Animasinya serasa benar-benar mengisi keindahan tema cerita yang disampaikan. Kreativitasnya clearly begitu pure dan magical, membangun dunia yang membuat mata kita melekat ke layar. Sementara storynya sendiri, well, jangan harapkan cerita petualangan yang bombastis, cerita film ini ngalir sederhana aja dengan ‘kejutan’ magis di sana sini. Akan mudah bagi kita untuk tersedot masuk dan peduli dan ngerasa jam berlalu bagai terbang saat menonton ini.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for FLOW
RED ONE Review
Buatku ini salah satu film yang suprisingly potensial, tapi jatuh flat on it’s face, karena satu hal: The Rock yang sepertinya kekuatan supernya di dunia nyata adalah membuat film apapun yang ia bintangi menjadi generic. Well, The Rock atau penyakit sutradaranya, Jake Kasdan.
Aku suka konsep dunianya. Makhluk-makhluk mitologi ternyata nyata, dan Sinter Klas kini diculik sehingga bagi-bagi kado saat natal terancam batal. Dan Kapten Ameri..ehm, Chris Evans harus bekerja sama dengan kepala sekuriti sinterklas, The Rock, bertualang mencari siapa yang menculik. Salah satu tersangka utama adalah Krampus, sodara Santa Claws. Tuh aku tertarik banget ketika film mulai bahas hubungan persaudaraan mereka. Sampai-sampai aku lebih pengen ngeliat petualangan karakter Chris Evans yang manusia biasa dengan Krampus, alih-alih dengan The Rock. Pertama, aku ingin mitologi dan relasi karakter lebih dieksplorasi lagi. Film ini tu kayak kurang banget. Karena, kedua, film ini tetap memfokuskan kepada The Rock dan adegan-adegan aksi. Di sinilah film ini jadi generic banget.
Makhluk-makhluk yang dilawan sih cukup kreatif. Cuma ya, adventure nya jadi cookie cutter banget. Apalagi baik itu The Rock maupun Chris Evans keduanya sama-sama masih kayak saling jaim. Bantering mereka kayak standar aja. Mereka masih kayak berlomba mana yang paling cool doang. Aku berharap dua jam dapat something fres, nyatanya ya hiburan yang seperti biasa aja.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for RED ONE
VENOM: THE LAST DANCE Review
Beda dengan Chris dan The Rock, bantering antara Tom Hardy sebagai Eddie dan sebagai Venom si symbiote memang terasa lebih ngalir dan lebih fit untuk role “buddy comedy”. Hanya saja, hal tersebut tidak cukup kuat untuk mengangkat film terakhir dari trilogi Venom ini. Karena secara overall, film ini masih terasa berantakan oleh constant pushing universe ceritanya.
Aku gak tau siapa yang minta tapi Venom: The Last Dance is actually punya adegan Venom berdansa. Mungkin kedengarannya memang lucu, dan bisa saja jadi tontonan yang works, tapi tidak kalo kita melihat film ini punya bigger mission yakni tentang pengenalan banyak makhluk symbiote lain dan main antagonis berupa entitas yang jadi ‘predator’ utama bagi symbiote. Bagi film ini, keberadaan karakter-karakter tersebut hanya jadi outer journey. Spektakle aja. Makanya film ini terasa kosong. Momen-momen development Eddie dan Venom terasa begitu sporadis dan seperti berjalan sendiri.
Sebagai sebuah trilogi pun, udah di film terakhir tapi aku masih belum ngerti bentuk gambaran besar trilogi ini seperti apa. Segala hal tentang film ini terasa disjointed, baik itu secara dia stand alone, ataupun sebagai kesatuan dari trilogi. Bisa jadi ini karena peralihan sutradara dan persoalan IP Sony dan Marvel itu. Akhir trilogi ini kembali dipegang oleh Kelly Marcel, dan di point ini sepertinya dia menggigit projek yang terlalu besar untuk dia kunyah. Or may be semua proyek utuhnya udah dikunyah ama Venom hihihi
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for VENOM: THE LAST DANCE
WICKED Review
Fan fiction biasanya receh. It is what it is. Kita begitu suka ama suatu cerita sampai-sampai cerita itu menginspirasi kita untuk mengarang sesuatu untuk mengembangkan lore ceritanya, sesuai maunya kita. Most of fan fiction biasanya cuma muasin kesukaan pembuatnya. Tapi Wicked yang diangkat jadi film oleh Jon M. Chu dari teater play yang ‘cuma’ fan fiction dari The Wizard of Oz, ternyata punya sesuatu.
Sesuatu itu could be yang dibilang orang sebagai ‘movie magic’. Wicked memang film modern, yang fantasinya mulus berkat teknologi, yang juga aku akui terasa agak kepanjangan, tapi vibenya tuh masih kerasa kayak fantasi klasik. You know, dongeng yang sarat pesan berharga. Mengirim kita ke dunia ajaib dengan karakter-karakter ajaib tapi kita masih terasa menapak. Ceritanya sendiri berpusat pada gimana Glinda dan Wicked Witch of the West di jaman sekolah dulu, saat mereka masih berteman. Sesuatu itu bisa juga penampilan akting yang quirky tapi pas. Karakter film ini memang kayak komikal, aku sempat gagal fokus terutama pada Galinda – Ariana Grande maininnya kayak era Cat Valentine banget – tapi mereka gak pernah ninggalin hati mereka. Iya sih agak aneh ngelihat yang udah lama kita kenal sebagai penyihir jahat ternyata baik atau sebaliknya, namun melihatnya sebagai stand alone story, film ini punya karakter yang menarik.
Puncaknya ya adegan musikal. Lagu-lagunya memang gak sampai membuatku berdendang, tapi adegan musikalnya powerful. Cynthia Erivo dan Ariana Grande gak lagi main-main di adegan-adegan musikal dengan range akting – dan tentunya vokal but I don’t know about this – yang mengukuhkan deliverance film ini sebagai penceritaan di dunia ajaib dengan musik yang gak kalah magis.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for WICKED
WOMEN FROM ROTE ISLAND Review
Jawara FFI, jagoan Indonesia buat ke Oscar tahun ini, namun tak pelak, sepanjang tahun kemaren film debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen ini juga santer oleh kontroversi. ‘Emilia Perez’nya Indonesia-lah, mungkin bisa dibilang.
Satu hal yang dilakukan dengan benar oleh film ini ketimbang Emilia Perez adalah, Rote Island tidak ada dosa lack of representation. Film ini dengan berani menggunakan aktor-aktor lokal, yang memberikan penampilan akting maksimal, sehingga film ini terasa beneran lokal. Sesekali ada juga ‘jendela’ yang membuat kita melihat kebudayaan lokal Pulau Rote, tapi mainly film ini ingin menilik adat setempat yang membuat gerak kaum perempuan terbatas. Lalu kemudian film ini mulai beat up our head dengan perlakuan yang dialami perempuan di sana, lewat adegan – adegan yang semakin lama semakin brutal. Inilah yang memang jadi akar kontroversi film ini. Penggambaran kekerasan terhadap perempuan yang nyaris bikin film ini kayak film eksploitasi.
Menurutku penyebabnya karena film ini deliberately pindah sudut pandang dari karakter Orpa (seorang ibu) ke ngeliatin kejadiaan naas yang dialami putri-putrinya. Dan aku setuju perpindahan tersebut tidak perlu. Sedari awal naskah dibangun dengan Orpa sebagai tokoh utama, Orpa juga ngalamin perlakuan yang degrading, dia juga sudah harus dealing with ‘misteri’ kenapa Martha, putri sulungnya, jadi punya perilaku aneh kayak trauma mendalam, dan di babak akhir pun Orpa yang ‘beraksi’ mengungkap semua. Untuk karakter utama yang sudah digenjot hambatan dan masalah seperti ini, memindahkan perspektif ke korban lain hanya untuk menegaskan gimana exactly kekerasan itu terjadi kepada mereka hanyalah tindakan overkill yang bikin film tidak kelihatan main cantik.
The Palace of Wisdom gives 6 gold star out of 10 for WOMEN FROM ROTE ISLAND.
Y2K Review
Aku memang belum nonton semua film A24 sih, tapi rasa-rasanya Y2K ini film A24 terjelek yang pernah aku tonton! Filmnya datar banget. Padahal yang dipotret adalah what if scenario di akhir era 90an saat orang-orang was-was apa jadinya jika semua komputer error saat pergantian tahun dari 99 ke 00 alias 2000.
Sutradara Kyle Mooney put all his money ke membawa hal-hal nostalgia 90an sehingga dunia ceritanya bisa genuine, tapi itu tidak lantas tertranslasikan menjadi vibe 90annya dapet. Itulah yang kurang di film ini. Karakter-karakternya gak asik. Para aktor, kecuali Julian Dennison, gak dapet mainin remaja 90an yang awkward. Mereka semua tu kayak jaim, development karakter mereka gak kerasa sama sekali. Kalo sudah begini, satir atau lelucon apapun yang berusaha mereka deliver, jadi miss semua. Jadilah film ini sangat bosenin (padahal durasinya singkat) padahal paruh akhirnya harusnya bisa cukup seru dengan trope manusia vs. komputer pembunuh.
Satu-satunya yang memorable buatku di film ini adalah keputusan aneh mereka ngebunuh karakter paling likeable duluan. Ini tuh berdampak gede banget, bukan hanya dari keseruan kita menonton, tapi dari karakter yang masih idupnya sendiri. Film seperti kehilangan hook gede sehingga karakter yang tersisa kayak berlari dan berusaha survive tanpa kaitan emosional. Atau kaitan lainnya ada, cuma tidak berhasil tercuat oleh naskah. Film yang harusnya main di ranah pesona awkward khas 90an akhirnya hanya kayak cringe dan cheesy tanpa jiwa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for Y2K
That’s all we have for now
Siapa jagoan kalian di Oscar tahun ini? Silakan share di komen yaa
Thanks for reading.
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
“It’s not a burden to make sacrifices for family, it’s a privilege”
Ngerasa gaji cuma numpang lewat; barusan gajian tapi abisnya cepet banget? Well, bisa jadi kamu adalah sandwich generation, Kawan. Generasi yang kejepit antara biaya untuk hidup sendiri dengan tanggungan orang tua, dan bahkan jenjang keluarga yang lain. Maka tentu saja peran dan tanggungjawab sandwich generation ini sungguh berat, dan berkat film kita semua paham perjuangannya gimana. Tahun lalu ada Home Sweet Loan yang ngebahas, dan di awal 2025, Yandy Laurens ngasih sudut pandang yang lain buat memotret fenomena ini. Yandy mengadaptasi materi cerita Arswendo, memberikan nod kecil buat versi sinetronnya, dan lantas menggodok cerita yang bisa relate dengan generasi sandwich kekinian yang berjuang untuk meringankan beban keluarga sementara bebannya sendiri numpuk hingga ke titik ngerasa bersalah kalo mikirin dirinya sendiri. Puk puk dirimu sendiri, Kawan, karena ini adalah film yang haru lagi hangat menguatkan.
Tanggungan Moko gak tanggung-tanggung. Memang sesuai judulnya aja. Sebagai kakak/paman, Moko harus menghidupi tiga ponakan yang masih kuliah, satu remaja titipan, satu bayi, dan dua orang yang bahkan lebih gede (dan harusnya lebih bertanggung jawab) dari dirinya. Padahal tadinya Moko sudah hendak lanjut kuliah S2, tapi mimpinya sebagai arsitek harus ditunda demi membesarkan bayi sang kakak. Moko juga mengorbankan hubungan asmaranya dengan Maurin, pacarnya yang setia dan sebenarnya ingin membantu tapi she knows better untuk jaga boundary. Naskah film ini memilih fokus bukan di kesulitan ekonomi ataupun konflik luar lainnya, melainkan menekankan ke permasalahan perasaan. Ketika ponakan-ponakan Moko mulai merasa mereka jadi beban bagi paman mereka yang baik hati. Ketika ada satu ‘voice of reason’ mulai menggebah Moko untuk mengejar karir.
Moko nerima ponakan udah kayak karakter di game Suikoden ngerekrut karakter baru -_-
Aku ngerasanya film ini beneran kayak versi sudut pandang cowok dari Home Sweet Loan sih. Gimana galian perspektif gender yang berbeda membuat bahasan dan fokusnya pun jadi berbeda. Dan aku lebih relate sama 1 Kakak 7 Ponakan ini. Keduanya sama-sama punya penokohan dan naskah yang kuat, hanya fokus yang lebih less-materialistis, misalnya kayak, ini tidak pernah jadi soal menabung atau pindah rumah dalam 1 Kakak 7 Ponakan. Bertahan di rumah kecil, dengan permasalahan ekonomi yang menggerogoti namun karakternya selalu bilang “Uang bisa dicari” membuat karakter dan cerita film ini lebih beresonansi buatku karena kita benar-benar diajak untuk menyelami root dari problem. Yakni perasaan masing-masing. Dan itu bukan berarti film ini memudahkan masalah ekonomi yang dilanda karakternya, loh. Naskah hanya mengarahkannya ke bentuk lain yang sama-sama masih dalam lingkup kehidupan profesional. Yaitu soal kerjaan sebagai arsitek. Kita masih akan melihat Moko berkutat dengan karirnya. Gimana dia masuk kerja dibantu oleh Maurin yang sudah lebih dulu di sana, gimana visi desain ruangan ajuan Moko terpengaruh oleh pengalamannya sebagai basically orang tua dari anak segitu banyak. Cowok pula.
Bahkan aku ngerasa seperti bahasan single parent inilah harusnya film Dua Hati Biru tahun lalu. Bahasan ketika seorang cowok membesarkan anak bayi, yang sampai membuat dia menunda mimpi dan karir sendiri sementara pasangannya sudah lebih dulu berkarir. 1 Kakak 7 Ponakan ngebingkai perjuangan Moko dalam banyak spektrum. Cowok yang baru saja lulus kuliah tapi harus ngerawat bayi, cek. Adek yang kehilangan kakak, cek. Paman yang harus ngurusin ponakan yang masih remaja, berusaha ngimbangin diri antara jadi orangtua dan kakak mereka – at one point, Moko harus berurusan dengan masalah khas remaja cewek – cek. Orang yang dimintai tolong ngejaga anak gadis mereka, cek. Pacar yang harus rela pisah karena saking cintanya dia gak mau menghambat orang terkasih, cek. Dan tentu saja dirinya yang ngerasa kegencet – tau-tau berada di posisi sandwich generation. Banyak banget ini yang bersarang di pundak begeng Moko. Chicco Kurniawan hadnever impressed me before, tapi sebagai Moko, di sini dia tampak klop dengan sosok yang menanggung beban seberat itu. Aku pikir dia berhasil ngehandle perannya ini dengan seimbang, terutama ketika dia begitu konsisten ngasih perawakan ‘kusut’ di balik setiap emosi yang ia tampilkan ke luar.
Dengan banyak spektrum begitu, permasalahan utama kisah ini memang dapat terasa agak lama mencuat. Cerita kayak melayang aja mengarungi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya mengharukan tapi dipotret dalam nada yang sederhana. Membuatnya terasa dekat dan hangat. Bahkan ada beberapa time skip juga, tapi kita tidak akan ketinggalan banyak, karena pertumbuhan karakternya tetap kelihatan. Dan make sense, gitu, karena tentu saja mereka semua jadi semakin akrab dan menumbuhkan rasa hormat. Buatku, daging drama film ini tu pas nanti ketika Moko mengetahui ponakan-ponakannya diam-diam memilih untuk bekerja. And they all have good reasons jadi Moko gak semudah itu melarang. Dialog mereka ‘sekeluarga’ di ruang tengah jadi salah satu highlight di film ini.
Dalam keluarga itu hanya ada dua. Antara kita ngerasa jadi beban, atau kita merasa terbebani. Mungkin kita merasa sudah terlalu banyak bikin susah orangtua. Mungkin kita ngerasa belum bisa balas budi. Atau di lain pihak kita ngerasa terlalu banyak dituntut; cuma kita yang kerja. Dialog dalam film ini membuka perspektif yang mungkin kalo di dunia nyata tak bakal terungkap. Bahwasanya menanggung beban untuk keluarga itu sebenarnya adalah sebuah privilege. Karena merupakan kehormatan untuk berkorban demi orang yang kita sayang. Orang-orang yang baik sama kita.
Karakter menarik buatku adalah Gadis yang numpang tinggal di tempat mereka. Relasinya dengan Moko bakal jadi salah satu relasi yang penting untuk pembelajaran Moko. Karakter satu lagi yang menarik adalah mas Eka, yang diperankan dengan super sotoy oleh Ringgo Agus Rahman. Menarik, karena dia ini kayak voice of reason yang mengutarakan hal yang sounds about right – yang terpikir juga di benak karakter lain seperti Maurin dan bahkan Moko sendiri, tapi mereka hanya terlalu baik untuk mengungkapkannya. Like, di dunia nyata sebenarnya ada kala kita butuh orang kayak Eka. Yang di balik omongannya yang nyelekit. dia toh point out some necessary evil things yang mungkin memang harus Moko lakukan. Tapi itu juga tidak lantas membuat karakternya ini totally benar. Aku pikir ada kekompleksan juga di karakternya ini. Kalo Moko bisa kayak Piccolo yang bisa membuang hati dan perasaan gelapnya ke luar dalam cerita Dragon Ball, maka perasaan gelap Moko itu akan jadi mas Eka ini.
I barely remember the song, but still.. NOSTALGIA!
Durasi yang cukup panjang berhasil diisi oleh film ini dengan cukup efektif. Film berusaha maksimalin momen-momen saat para karakter berkumpul bersama. Nature keadaan mereka memang sedih, tapi interaksinya dibuat sehangat dan serelate mungkin dengan keadaan bersaudara beneran yang gak terlalu mendramatisasi keadaan. Pengadeganannya juga dibikin unik, kayak saat Moko curhat ke Maurin soal dia merasa bersalah ingin kerja karena itu bakal berarti dia akan menyuruh ponakannya melakukan hal yang sama dengannya; menunda hidup mereka, adegan tersebut berlangsung di dalam mobil saat mereka masuk ke cuci mobil. Sehingga ada permainan warna dan vibe yang merasuk ke dalam mood dialog tersebut, Membuatnya jadi lebih membekas. Film ini juga menggunakan teknik pengungkapan yang sengaja membawa kita mundur ke adegan yang udah lewat untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya ada/dirasakan oleh karakter untuk menyambung perasaan, yang mungkin agak mengganggu pace tapi berhasil bikin emosinya juga lebih membekas.
Namun selain pilihan penceritaan yang estetik, ada juga beberapa yang bisa kita nitpick. Misalnya kayak adegan nyemen tembok yang semennya kok dikit banget itu. Aku khawatir nanti betonnya jatuh nimpa pemain wkwkwk… Atau adegan Moko nolak pemberian sepatu yang menurutku jadi cheesy basa basi karena barangnya udah ada dan mereka beberapa menit sebelum sidang, bukan lagi di toko atau di luaran. Tapi seperti kata lirik lagu sinetronnya, “Jangan risaukan…” film ini tetap menyenangkan dan aku suka banget momen Moko dan para ponakan main piano sambil nyanyi lagu tersebut.
Karena fokusnya pada hardship menjadi guardian bagi ponakan dan itu berarti mengorbankan banyak hidupnya sendiri, serta perasaan terbebani sekaligus juga pandangan tatkala ngerasa jadi beban keluarga, film ini mampu menjadi lebih terjangkau dan emosinya lebih ngena. Yang kompleks bukan sebatas angka karakternya saja, tapi juga perspektif mereka itu sendiri. Film mempersembahkan ceritanya dengan linear, memperlihatkan kehidupan dan permasalahan karakter, dengan beberapa time jump, dan bahkan dengan mundur sedikit untuk mereveal perasaan. Memang bisa agak terasa lama, tapi emotional pay off-nya akan sangat worth it terasa. Film ini cocok sekali untuk ditonton entah itu bareng keluarga beneran atau your new-found family, alias sahabat!
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for 1 KAKAK 7 PONAKAN.
That’s all we have for now.
Di film ini ada adegan Moko presentasi dan akhirannya nyaris fatal. Apakah kalian punya pengalaman presentasi yang hampir menjadi mimpi buruk seperti itu?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL
Satu dua tiga.. itu bukan itungan menuju kembang api tahun baru yang sekali lagi sudah kita lewati, tapi angka jumlah – tepatnya seratus dua puluh tiga – film yang udah sukses tereview di blog ini sepanjang 2024 yang lalu. Angka yang lebih besar daripada tahun 2023. Tapi itu juga bisa review lebih banyak karena aku ‘ngecheat’ lewat mini review. Jadi, tahun 2024 filmnya lebih banyak tapi reviewnya lebih sedikit. Make sense gak sih? hahaha
Melakukan ini setelah sekian lama ternyata jenuh itu sampai juga kepadaku. Maka tahun ini ya, jujur aja, aku semakin males ke bioskop. Gairah untuk sesegera mungkin bertemu film baru itu pun jadi menipis. Aku jadi lebih suka menunggu hingga tayang di platform, lalu menontonnya di komputer. Nulis reviewnya pun udah gak kerasa begitu urgen. Satu ulasan, belakangan ini, aku garap dua hari. Padahal biasanya, langsung ngebut begitu beres kredit filmnya bergulir. Kalo nontonnya di bioskop, biasanya aku cepet-cepet pulang untuk bikin tulisan. Tapi tahun ini, kalo lagi gak ujan, aku lebih suka pulang nyantai – kalo perlu jalan kaki pulang ke kamar. Gak tau juga sih kenapa jadi ilang gairah, padahal ke film itu sendiri aku masih terus penasaran. Film masih tetap jadi eskapis dan ruang melihat karakter yang menarik bagiku. Caturwulan terakhir tuh, aku rasanya males banget. November malah aku cuma publish dua post single-review. Tapi tenang sodara-sodara, di penghujung tahun 2024, aku merasa sudah menemukan kembali passion itu – atau seenggaknya, aku menemukan pemantik gairah baru dalam menonton. However, I really hope this particular reason would work out nicely sampe ke 2025 dan further, doain aja yaww..
Balik ke soal 123 film, keliatannya banyak tapi cakupannya ternyata juga belum terlalu dalam. Beberapa film yang crucial di 2024 kayak Gladiator 2, Wicked, Emilia Perez, Mufasa, dan bahkan Red One (yang ternyata cukup unik) belum sempat kutulis – dan bahkan belum sempat kutonton – sehingga gak termasuk dalam daftar ini. So yea, daftar kali ini mungkin bukan cerminan terbaik dari perfilman 2024, tapi ya sudah cukup mewakili lah.
HONORABLE MENTIONS
American Fiction (meskipun judulnya ‘American’ tapi keadaan sosial yang diangkat di film ini relate ke kita, karena I guess semua orang sekarang memang hidup di dunia yang sama, dunia tipu-tipu alias dunia fiksi)
Heretic (dialog menantang soal keimanan dan agama adalah wujud asli dari thriller ini)
How to Make Millions Before Grandma Dies (kirain lucu-lucuan soal rebutan warisan, ternyata cerita menyentuh tentang hubungan keluarga di mana jadi caregiver adalah bentuk ultimate sebuah cinta)
I Saw the TV Glow (bukan cuma nostalgia kultur televisi, tapi juga kisah psikologis yang haunting tentang identitas diri)
Kabut Berduri (cerita detektif bernuansa psikologis dan juga mistis? jarang banget ada di Indonesia)
Kinds of Kindness (antologi super absurd tentang rupa-rupa (atau pura-pura?) kebaikan)
Longlegs (detektif bernuansa mistis jugak, tapi ini emphasize di atmosfer dan penampilan akting creepy dari Nicholas Cage)
Monster (yang Jepang loh, bukan film Indonesia yang berjudul sama. Film ini punya konsep tiga perspektif, sehingga ceritanya jadi kayak berevolusi jadi tiga genre berbeda. Tapi yang lebih penting, psikologis karakternya kuat sekalii. Salah satu dari dua film yang dapat skor 9 tahun ini)
Oddity (sebenarnya secara film kurang bagus, tapi secara cerita, ini adalah cerita dan penceritaan horor yang paling efektif)
Poor Things (satu lagi yang weird dan absurd dari Lanthimos, film ini kayak gimana ilmuwan memandang cinta dan kesempurnaan)
Speak No Evil (ini panggung pertunjukan akting dari James McAvoy)
Strange Darling (aku udah ngulang nonton ini 4 kali karena pengen lihat telaknya struktur acak film ini meniru bentukan judgment kita, dan karena pengen lihat adegan mati yang keren banget di endingnya)
Thelma (satu lagi cerita tentang hubungan dengan nenek, tapi kali ini beneran dari perspektif nenek, dengan vibe action!)
The Zone of Interest (nampilin ketidakmanusiawian bukan dari eksploitasi kekerasan, melainkan dari sound design yang menyiksa nurani)
Transformers One (ini baru film Transformers yang aku kenal!)
Special Shout Out dialamatkan kepada Agak Laen, karena film ini ulasannya paling banyak dibaca pada blog ini sepanjang 2024. Dan kepada Poor Things, yang video ulasannya di channel YouTube mydirtsheet paling banyak ditonton.
Semoga ‘Honorable Mentions’ barusan bikin kalian bertanya-tanya, kayak. “Emangnya ada film yang lebih bagus dari Monster?”. Nah itulah serunya, untuk daftar seperti DELAPAN BESAR 2024 ini aku percaya daftar tersebut harus disusun sepersonal mungkin. Karena subjektivitas itulah justru alasan utama kita tertarik sama film pilihan orang-orang, kan? Karena kalo isi daftarnya sama semua, apa gunanya everybody bikin kan? So, here my list!
Director: Richard Linklater Stars: Glen Powell, Adria Arjona, Austin Amelio MPAA: R IMDB Ratings: 6.8/10 “Seize the identity you want for yourself.”
Aku nonton ini gak punya ekspektasi apa-apa, malahan aku nonton ini karena direkomen sama pembaca blog kalo ndak salah. Karena kukira memang ceritanya standar tentang everyday man yang ternyata pembunuh handal. Ternyata bukan. Justru sebaliknya, film ini matahin ekspektasi kita tentang citra pembunuh bayaran yang dibentuk oleh media. Serta di baliknya ada bahasan berbobot tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Inti film ini memang soal identitas dan psikologi; dua hal yang aku masih nyesel banget gak ngejar mereka pas di bangku kuliah.
Film ini bisa nyeritain bahasan tersebut dengan fun, karena punya permainan akting yang benar-benar menyokong. Glen Powell-lah namanya, kayaknya dia effortless banget mau jadi karakter macam apa pun. Relationship dan romance-nya pun diceritakan dengan fresh. Berjalan tetap di jalur temanya sendiri sehingga unpredictable namun juga grounded. Ini paket entertainment yang bikin kita gak ngerasa bego menontonnya
My Favorite Scene: Adegan Gary ama Madison improv dialog pake notes di hape (karena ceritanya mereka lagi diawasi). Kocak dan clever banget!
Director: Arkasha Stevenson Stars: Nell Tiger Free, Ralph Ineson, Sonia Braga MPAA: R IMDB Ratings: 6.5/10 “How do you control people who no longer believe? You create something to fear.”
Tahun 2024 kita banyak dapat prekuel dari film horor klasik, however, The First Omen ini yang jauh lebih mending dibanding yang lain. Bisa mengikat cerita ke lore film aslinya, sementara juga punya bahasan sendiri yang utuh. Bukan cuma itu, di tahun yang marak horor dengan kualitas yang meningkat dibanding tahun lalu, First Omen pun terasa powerful. Padahal ini baru debutnya, tapi sutradara nunjukin dia punya nyali. Berani ‘mengubah’ materi sesuai kebutuhan tema atau gagasan, tanpa merusak garis besar role atau cerita. Sehingga film The First Omen bukan sekadar soal kelahiran Damien, melainkan juga eksplorasi yang lebih dalam tentang keluarganya – tentang kultus yang ‘melahirkannya’. Semua itu terangkum dalam horor bertajuk modern; otonomitas tubuh perempuan.
Aku suka aja vibe horor klasik yang dipertahankan. Suka juga ama teknis film ini menciptakan ketakutan kita lewat adegan-adegan seram yang suspensnya kuat banget. Adegan horor film ini memorable semua loh. Tentu saja ini juga berkat penampilan akting. Tiger Nell Free nunjukin range yang luar biasa. Karakternya tidak sekadar bereaksi terhadap hal mengerikan di sekitar, namun film mengembalikan semua horor ke journeynya yang traumatis. Journey mengerikan karakternya ini yang bikin film ini ngeri. Gak banyak film horor sekarang yang ngerti itu.
My Favorite Scene: Mulai dari imposed shot laba-laba, jumpscare tanpa suara ngagetin, sekuen bayangan, udah gak keitung adegan keren di film ini. Makanya aku pilih film ini sebagai wakil genre horor dalam daftar terbaik 2024. Kalo mau pilih satu, adegan favoritku adalah adegan melahirkan di jalan, yang juga adalah reference dari horor klasik lain.
Director: Alex Garland Stars: Kirsten Dunst, Cailee Spaeny, Jesse Plemons MPAA: R IMDB Ratings: 7.0/10 “Once you start asking those questions you can’t stop. So we don’t ask. We record so other people ask.”
Di tengah situasi politik yang bikin kayak ada kubu antara yang 58% dan yang masih waras, film ini terasa begitu penting dan urgen. Karena perang sodara di mana-mana kayaknya memang sumber dan masalahnya sama. Harusnya di saat-saat seperti ini, media jadi tonggak utama. Yang netral dan melaporkan kejadian faktual. Namun, bisakah mereka juga dipercaya. Civil War mengambil sudut pandang jurnalis di medan perang sodara, memotretnya dalam lensa dualitas supaya orang-orang dan bahkan para jurnalis itu sendiri bisa ingat, di mana harusnya integritas mereka berada.
Inilah yang menggerogoti protagonisnya dari dalam. Sebagai jurnalis fotografi senior, Lee telah banyak memotret dari dekat kejadian-kejadian mengerikan. Dia memotret orang terbakar, dari jarak yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membantu si korban. Melalui si Lee ini, film pun menarik paralel antara tentara yang membidikkan senapan dengan jurnalis yang membidikkan kamera. Lalu ada lagi karakter Jesse. Jurnalis muda yang mengidolakan Lee, yang memaksa untuk ikut bersama rombongan Lee ke Gedung Putih mewawancarai Presiden. Duality yang lebih gamblang tercermin pada hubungan antara Lee dengan Jesse, karena cerita ini gak akan berjalan maksimal jika karakter Lee tidak diberikan ‘pasangan’. Dramatisnya thriller distopia ini baru akan terasa jika kita melihat Jesse dan Lee sebagai cerminan yang berlawanan. Bagaimana seseorang yang tadinya polos dan naif, menjadi ‘keras’ dan seperti mati rasa karena tuntutan kerjaan membuatnya terbiasa melihat kekerasan dari dekat – bahkan mengalami kekerasan itu sendiri. Dan juga sebaliknya, gimana setangguh-tangguhnya orang, se-hardened apapun perasaan itu, pasti akan tergugah juga demi melihat penyimpangan kemanusiaan sebegitu lama, sebegitu dekat.
My Favorite Scene: Momen paling intense di film ini adalah saat para jurnalis bertemu dengan Jesse Plemons yang meranin tentara nasionalis – yang tentu saja borderline antara nasionalis dan rasis jadi sangat tipis. Genuinely momen yang bikin merinding karena kita bisa lihat adegan tersebut bisa easily terjadi di dunia nyata.
Director: Atta Hemwadee Stars: Anthony Buisseret, Pisitpol Ekaphongpisit, Thitiya Jirapornsilp MPAA: – IMDB Ratings: 7.5/10 “Imagination is more important than knowledge”
Saat pertama kali nonton ini aku gak nyangka film ini bakal jadi nostalgia banget buatku. Teman-teman yang mencoba bikin bersama-sama? Well ya, di pertengahan tahun aku kehilangan teman yang dulu selalu ngajak bikin film pendek. Sekarang film ini hits extra hard.
Not Friends mengulik persoalan pergaulan di sekolah – yang bisa dilihat sebagai satir dari bagaimana kita menjadi teman, tapi juga bukan teman yang benar-benar kenal dengan bahkan teman sebangku – ke dalam bahasa yang akrab sama penggemar film. Sutradaranya berhasil menggabungkan bahasan tentang pertemanan dengan passion membuat film menjadi sebuah penceritaan yang manis. Film tetap berpegang kepada storytelling dari drama dari karakter. Karenanya bahkan penonton yang gak share kecintaan yang sama dengan filmmaking pun bakal masih bisa mengikuti drama anak sekolah yang disajikan sebagai hidangan konflik utama. Film tidak membiarkan kisahnya menjadi overdramatis ataupun jadi lebih ‘besar’ daripada persoalan anak sekolah. Melainkan tetap renyah dan menapak.
Jikapun narasinya mengandalkan kepada rangkaian ‘ternyata’, rangkaian itu tidak difungsikan untuk mengecoh ataupun mematahkan plot, melainkan sebagai tantangan berikutnya dari protagonis utama sehubungan dengan development pribadinya yang ingin membuat film tentang teman sebangku yang ia akui sebagai bestienya saat sang teman itu meninggal dunia, sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah masa depan pendidikannya.
My Favorite Scene: Montase ketika mereka otodidak berusaha membuat adegan dari cerita pendek, melakukan ‘movie magic’ alias treatment dan efek-efek praktikal untuk membuat seolah adegannya beneran astronot di pesawat luar angkasa, misalnya, tampak begitu menarik. Kita seperti diundang masuk ke dalam grup mereka. Kita ngerasain betapa serunya ngelakuin itu semua.
Director: Takashi Yamazaki Stars: Minami Hamabe, Ryunosuke Kamiki, Sakura Ando MPAA: PG-13 IMDB Ratings: 7.7/10 “Is your war finally over?”
Tahun 2024, kita dapat dua film Godzilla, namun sayangnya yang tayang di bioskop adalah film Godzilla yang cuma spektakel. Sementara, Godzilla yang satunya – Godzilla Minus One yang berhasil masuk daftar 8 Besar ini – cukup hanya berpuas diri nonton di komputer. Padahal sensasi epicnya jauh lebih gede Godzilla Minus One! Ini bukan cuma pertempuran monster super gede, tapi pertempuran gede dari rasa kemanusiaan. Godzilla hanyalah sosok yang merepresentasikan perang itu sendiri.
Yang membuat film ini jadi luar biasa bagus adalah cara mereka menghadirkan manusia dan Godzilla di dunia yang sama dengan kepentingan yang saling tak tergantikan, Cerita bertapak pada manusia dengan perspektif dan identitas lokal yang kuat, tentang posisi mereka pada situasi terendah setelah perang, dan Godzilla jadi brutal force yang menguji pandangan hidup mereka. Kreasi film ini dalam menghidupkan Godzilla di dunia Jepang 1940an pantes banget diganjar awards – dan memanglah film ini layak menjadi film Godzilla pertama yang memenangi piala Oscar untuk Visual Efek Terbaik. Yang membuat, film ini bukan saja berhasil menjadi sajian fantasi sci-fi, tapi sekaligus berhasil sebagai period piece perang! Melihat Godzilla di film ini bukan sekadar seru karena besar, dan epic karena pertarungannya dahsyat. Tapi, yang lebih penting, melihat Godzilla di sini, perasaan kita akan tergugah. Takjub dan takut bergulir menjadi satu. Mungkin seperti menonton film inilah rasanya melihat Godzilla sungguhan; beautiful, majestic, tapi juga begitu menakutkan sampai menggetarkan hati.
My Favorite Scene: Waktu kapal rongsok penyapu ranjau yang dinaiki Shikishima dan tiga rekannya dikejar oleh Godzilla. Feelingnya intense banget, padahal yang kelihatan dari Godzilla itu cuma duri-duri di punggung dan puncak kepalanya.
Director: Sean Baker Stars: Mikey Madison, Paul Wiseman, Karren Karagulian, Mark Eydelshteyn MPAA: R IMDB Ratings: 7.9/10 “I don’t need anyone’s permission to be who I am”
Kalo aku jadi Scott Pilgrim aku akan ganti lirik lagu Ramona menjadi “A..no~ra, on my mind”. Karena memang film ini bikin kepikiraan. Actually, ini salah satu film yang paling aku antisipasi. Karena Mikey Madison! ehem… Jadi kukira paling juga nontonnya suka karena bias. Tapi ternyata enggak. Film ini benar-benar ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Rom-Com itu cuma hiasannya doang. Sebenarnya film ini sedang motret relasi antarkelas sosial di dunia yang bisa dibilang semakin relate dengan dunia kita. Dunia yang semuanya semakin serba transaksional.
Si Anora sendiri diceritakan udah kayak anti dari kisah Cinderella. Dia memang ngimpi hidupnya berakhir kayak Cinderella – ketemu pangeran dan hidup di ‘istana’ – tapi Anora adalah perempuan yang tangguh dan realistis. Menyaksikannya struggle dengan ‘impian vs. realita’ dijadikan fondasi dari sebuah journey dramatis dan tak pelak traumatis bagi film. Herannya, film ini berhasil jaga vibe yang kocak. Aku bahkan gak nyangka film ini tengahnya lucuuu.. Dan ini tu sesuai dengan konsep gagasan film, bahwa sesuatu bisa muncul dari tempat yang tak terduga. Kayak, romance film ini aja ternyata bukan merujuk pada hubungan antara Ani dengan Vanya. Tapi dari seseorang yang tak direcognize oleh Ani. Jadi nonton film ini tuh kita rasanya jumpalitan oleh emosi, tanpa pernah sekalipun terlepas dari sudut pandang Ani
Dan yea, dengan bangga aku pronounce bias ku ke Mikey Madison enggak salah, karena dia di sini benar-benar cegil!! Vibe dan energinya menghidupkan film ini!
My Favorite Scene: Setiap scene yang melibatkan scarf merah itu, aku ngakak bukan main!
Director: Chris Sanders Stars: Lupita Nyong’o, Pedro Pascal, Kit Connor, Mark Hamill MPAA: PG IMDB Ratings: 8.2/10 “Sometimes hearts have their own conversations”
Inilah film kedua yang dapat nilai 9 yang langka itu! The Wild Robot dapat nilai 9 karena meskipun karakternya mungkin familiar, tapi yang bikin film ini ekstra spesial adalah karena ceritanya ikutan berevolusi seiring dengan karakter robotnya, si Roz. Berawal dari fish-out-of-water, menjadi cerita ibu besarin anak, lalu jadi cerita bertahan hidup dengan skala yang lebih besar – bukan cuma soal Roz tapi komunitas atau para hewan di hutan tempatnya terdampar. Ini muatan dan penceritaan yang kaya sekali. And the icing on the cake, desain animasi yang begitu spektakuler.
Sutradara paham bahwa animasi bukan hanya untuk pamer. Animasi bukan hanya untuk cerita anak yang bermanis-manis ria. Animasi bukan hanya untuk fantasi yang preachy. Maka dibuatnya lah animasi di film ini sebagai kendaraan untuk menyampaikan cerita yang begitu grounded oleh realita. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang insting ataupun program bertahan hidup. Hewan-hewan di film ini boleh saja bertampang lucu, tapi mereka semua serius karena harus bertahan hidup di hutan. Kontras dunia dan sikap cerita membuat film menjadi menarik, dan ketika tiba saatnya adegan-adegan sedih, film ini bakal betul-betul menarik nadi emosi kita. Sebab kita bukan lagi melihat mereka sebagai hewan atau robot kartun, melainkan makhluk hidup yang fully fleshed, punya hati nurani. Dengan persoalan yang kita bisa relate dengan mereka.
Udah lama aku gak nemu film yang hampir berhasil bikin nangis. Tapi itu cuma aku. Semua orang yang kukenal nangis nonton film ini. Saking powerful cerita dan karakternya.
My Favorite Scene: Yakin udah seratus persen, adegan favorit semua orang itu pas Roz ngajarin Brightbill terbang. Mulai dari ngajarin, ampe udah bisa terbang ninggalin Roz, gak sempet ngucapin good bye, itu tuh momen tearjerker 2024 bangets!!
Biar sama kayak salah satu tren film tahun 2024 yang bikin acara TV sendiri, maka sebelum kita melihat siapa yang bercokol di posisi satu (tapi kayaknya semua udah bisa nebak), mari kita jeda pariwara dahuluuu… wuuuuu!!
Director: Coralie Fargeat Stars: Demi Moore, Margaret Qualley, Dennis Quaid MPAA: R IMDB Ratings: 7.4/10 “Have you ever dream of a better version of yourself? ”
Enggak ada kejutan memang di list tahun ini. Aku gak bisa milih film lain selain The Substance, karena film horor keren ini udah aku banget. Nature ceritanya yang psikologikal, terlebih tentang journey degdradasi karakter. Setting yang nunjukin backstage pembuatan film atau acara televisi. Dan horor (tepatnya body-horor) dengan efek praktikal yang gross tapi bikin takjub. Not to mention, bahasannya tentang self-crisis perempuan yang senada dengan concern dan tema film pendekku dulu, bahkan ada adegan yang mirip (yang tentu saja dilakukan dengan jauh lebih baik oleh film ini).
Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia jadi tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Film ini berhasil menggunakan body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
Demi Moore dan Margaret Qualley jadi tandem yang gak ada lawan menghidupkan karakter Elisabeth/Sue. Suksesnya itu adalah karakter mereka tetap tampak seperti konflik batin di dalam satu orang. Makanya adegan mereka akhirnya berantem berdua itu walaupun ngakak, tapi tetap powerful dalam menyampaikan pesannya. Duh, jadi udah ngobrolin adegan favorit kan tuh.. Kita memang bakal jadi ikutan chaos ngomongin film ini karena ada begitu banyak yang bisa diomongin. Yang bisa dibahas. Tapi semua itu berhasil diceritakan dengan begitu luwes. Jadi gak pernah terasa berat, melainkan tetap menghibur.
My Favorite Scene: Banyak sih, sumpah. Kelahiran si Monstro Elisasue, adegan Elisabeth dan Sue berantem berdua, adegan Elisabeth ngomel-ngomel nontonin Sue diwawancara, shot di opening yang efektif ngeset Elisabeth status bintangnya udah redup. Kalo mau get personal, ya favoritku adalah adegan Elisabeth di depan cermin, dia mau pergi kencan, tapi insecure sama wajahnya sendiri. Adegan di depan cermin Elisabeth berantakin riasan wajahnya ini, juga mirip sama adegan di film pendekku dulu, Gelap Jelita. Jadi gagasannya benar-benar kerasa relate dan menohok buatku.
So, that’s all we have for now.
Itulah daftar Top Movies 2024 versi My Dirt Sheet. Maaf kalo misalnya film favorit kalian belum berhasil tertonton dan terulas. Inilah rapor lengkap 123 film pada tahun 2024. Ada dua film yang dapat nilai 9. Tapi yang dapat nilai 2 dan bahkan 1, jumlahnya lebih banyak, dan kali ini berbagi rata yang jelek itu. Bukan hanya film Indonesia tapi juga ada film impornya.
Apa film favorit kalian di tahun 2024? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2025 ini?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We are the longest reigning PIALA MAYA’s BLOG KRITIK FILM TERPILIH.
Kisah Cinderella memanglah buah impian banyak, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki. Karena cerita tersebut generally perceived as “kisah seseorang yang sudah lama berjuang dan menderita, hingga akhirnya mendapat apa yang ia dambakan”. Cinderella dibully ibu dan saudara tirinya, lalu tau-tau ada pangeran yang kepincut sama dia, dan jadilah dia princess di istana. Klasik happy ending! Tapi ternyata mengharapkan kisah Cinderella terjadi di kehidupan nyata merupakan suatu harapan yang muluk. Ngimpi di siang bolong. Sutradara dan penulis skenario, Sean Baker, memotret impian seperti begitu ke dalam kisah Anora. Rom-com ternyata cuma hiasan bak sepatu kaca bagi film ini, karena aslinya kisah Anora yang jatuh cinta sama ‘pangeran’ kaya raya cukup tragis, as in, the rich will always f*ck the poor, no matter what!
Anora yang lebih suka dipanggil Ani, memang mengira kisah hidupnya seperti Cinderella. Perempuan 23 tahun itu setiap malam menari untuk klien di klub, tak jarang dia juga harus ‘menemani’ mereka-mereka yang memesan paket VIP. Meski Ani gak seperti Cinderella yang meratapi nasib – Ani cenderung lebih blatant dan justru galak sama orang yang lecehin pekerjaannya – toh dia melayang juga ketika seorang anak konglomerat yang belakangan jadi langganan, mengajaknya menikah. Ani begitu gak sabar tinggal di istana Ivan sampai-sampai gak melihat red flag di balik sikap kekanakan ‘sang pangeran’. Dan benar saja, beberapa waktu setelah mereka menikah, orangtua Ivan di Rusia mengirim anak buah untuk ‘menangkap’ Ivan dan Ani. Memaksa pernikahan tersebut untuk dianulir. Tinggallah Ani yang ternyata harus berjuang sendiri mempertahankan pernikahan, karena Ivan langsung kabur entah ke mana begitu tahu kedua orangtuanya juga bakal menyusul ke Amerika.
Ani ani yang terANIaya
Energi film ini membuat cerita yang sebenarnya tragis tidak pernah terasa menye-menye, tapi akan benar-benar menohok di penghujungnya. Energi confident chaotic yang menghidupkan film ini terpancar dari karakter utamanya, si Ani. Yang tentu saja worked out perfectly berkat penampilan akting Mikey Madison. Gilak! Mikey sudah jelas menambah ramenya medan pertempuran untuk Aktor Perempuan Terbaik awards musim ini. Dia memainkan Ani dengan begitu meyakinkan, kita bisa merasakan vulnerabilitynya sebagai perempuan, dengan pekerjaan yang dilecehkan banyak orang, vulnerability yang dia timbun di balik sikap mantap dan profesional sekaligus mimpinya untuk kehidupan yang lebih baik. Ini adalah karakter kompleks yang bisa dengan mudah lenyap jika film yang menaunginya memutuskan untuk membuat dunia yang terlalu ‘genre’. Dunia yang nanti ceritanya hanya terasa soal kejadian. Film Anora berhasil menghindari garis terlalu ‘genre’ tersebut. Ceritanya jadi berjalan ‘ajaib’ tapi begitu grounded oleh emosi dan energi si Ani yang benar-benar keluar genuine dari Mikey Madison. See, film ini gak harus repot ngeset yang gimana-gimana gitu untuk ngasih tahu tengah film ini bakal ‘chaos’. Mereka cukup mengandalkan senyum cegilnya Mikey Madison aja kok!
Ada transisi subtil pada babak-babak cerita. Film lain mungkin akan menggunakan ‘chapter’ untuk membatasi babak ceritanya. Film ini memilih untuk enggak pake, dan hasilnya Anora mampu terasa lebih fluid walaupun filmnya bergerak di luar ekspektasi kita. Jadi di babak awal, ceritanya udah kayak romcom biasa. Ani dan Ivan yang anak sultan Rusia (ngerasa) saling jatuh cinta, jadi mereka menikah saat tengah berlibur di Vegas ngabisin duit orangtua Ivan. Sebagian besar babak awal ini diisi oleh Ani dan Ivan bersenang-senang. Part ini mungkin yang paling susah dinikmati, karena establishment karakternya masih berlangsung dan mereka berdua terlihat kayak orang yang taunya cuma bersenang-senang aja. Tapi ada concern di wajah Ani yang tampak sengaja ia abaikan sendiri. Concern bahwa pria ini masih belum dewasa. Belum matang pemikirannya. Ada dialog saat Ivan atau nama bekennya Vanya ngeledek Ani yang menurutnya bersikap kayak tante umur 25 hanya karena Ani mengutarakan sebuah reason yang masuk akal kepadanya. Film nunjukin hal-hal manis yang mereka lalui bersama kepada kita, dengan pace yang cukup cepat, dalam upaya membawa kita ke dalam mindset karakter utamanya saat itu. Bahwa ini adalah kesempatan yang harus Ani perjuangkan. Film bahkan membuat Ani burn the bridge dengan kerjaannya dulu karena dia udah percaya hidupnya jadi cerita Cinderella. Lalu tamparan kenyataan datang mengetuk pintu mansion mereka. Vibe film berubah menjadi chaos saat Ani benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa anak buah orangtua Ivan datang. Kenapa pernikahan mereka harus dianulir. Dan kenapa Ivan malah kabur meninggalkan dirinya bersama para anak buah yang necis tapi – quoting Ani – pandangan matanya ‘rapey’ semua kepadanya.
Ketika hal menjadi tidak terkontrol itulah kita juga baru menyadari daging cerita film ini yang sebenarnya. Vibenya sebenarnya kocak. Para anak buah ternyata gak jahat-jahat amat, justru galakan Ani. Dan mereka terpaksa bekerja sama demi mencari Ivan yang ngabur entah kemana. Takut mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orangtua yang bakal menyusul datang beberapa jam lagi. Dinamika para karakternya mulai kelihatan. Ani justru terasa lebih relate dengan para anak buah dibandingkan dengan Ivan. Romansa film ini pun tampaknya lebih genuine tumbuh antara Ani dengan salah satu anak buah yang dianggap Ani paling sus, yaitu si Igor. Karena kita bisa lihat Igor satu-satunya orang yang beneran perhatian dan melihat Ani sebagai human being, bukan dari pekerjaannya. Igor dan Ani juga berada di posisi yang sama – orang yang cuma dibayar untuk melakukan tugas. Film dengan sengaja sering menempatkan dua karakter ini dalam satu frame untuk menekankan perbandingan mereka.
Mikey ini mirip Raline Shah versi cegil
Dunia yang digeluti Anora adalah dunia di mana hubungan bersifat transaksional. Seseorang membayar untuk mendapatkan suatu layanan. Memang, di dunia nyata juga hubungan seperti ini dibutuhkan. Hanya saja, selain itu ada yang namanya hubungan yang genuine. Yang memberi tanpa karena apa-apa melainkan demi cinta. Anora mau itu. tapi yang ia dapatkan adalah humiliation dari orang kaya – orang yang menganggap semua hanya urusan bisnis. Anora tak menyangka, yang dia cari justru datang dari orang yang juga ia sepelekan.
Menurutku itu jualah salah satu alasannya kenapa Ani menangis seperti kesal di dalam mobil Igor, saat ending. Bukan cuma realita tentang kejadian yang baru saja ia alami akhirnya menghantamnya – memang dia dapat duit tapi basically dia tidak jadi Cinderella dan sudah tidak bisa kembali ke kehidupannya – tapi juga dia menyadari bahwa dia juga sama seperti keluarga Ivan. Dia juga telah terlalu menganggap dunia sebagai tempat transaksional semata. Pernikahannya juga adalah salah contoh kontrak yang ia sadari bukan berasal dari tempat yang tulus. Perhatikan kembali adegan ending tersebut, Ani mulai menangis beberapa saat setelah ia ‘ngegas’ Igor yang diam dan menatap dirinya penuh concern. Tangisan Ani mengisyaratkan dia sekaligus sadar, hal keahliannya itu juga salah satu bentuk transaksi dan bukan sesuatu yang tulus. Ending ini jadi begitu tragis karena meninggalkan Anora di antara dua keadaan. Bisakah dia melihat ketulusan pada Igor, atau dia juga akan melihat Igor ada di sana karena bagian dari kontrak kerjaannya sebagai anak buah.
“He f*ck me harder than he f*ck you!” keluhan salah satu pesuruh orangtua Ivan menguarkan sekali lagi salah satu tema besar film ini. Di dunia yang serba transaksional, orang bawah hanya akan jadi mainan buat orang kaya. Di balik yang katanya komedi romantis, film ini ternyata juga mengkritik hubungan sosial kita yang semakin matre. Film ini adalah lonceng kedua belas dalam kisah Cinderella, menyentakkan kita dari mimpi, dan harusnya menyadari genuinity atau ketulusan justru lebih mudah tumbuh ketika tidak ada uang ataupun power yang terlibat di dalamnya. Ceritanya sendiri memang bertempat di dunia yang dewasa, tapi dibiarkan tetap mengalun ringan dan kocak banget. Aku gak expect bagian tengahnya bakal ngakak banget. Tapi di balik itu, ya film ini dalem. Pandangan karakternya benar-benar di-examine. Kita bakal pahamlah kenapa Sean Baker getol banget pengen ngecast Mikey Madison buat mainin Ani. Karena memang perfect banget vibenya. Ani adalah Cinderella modern dan realistis, yang juga membuatnya sebagai anti-Cinderella itu sendiri.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for ANORA.
That’s all we have for now.
Meski itu nama lengkapnya, tapi Ani gak suka dipanggil Anora. Kira-kira, menurut kalian kenapa ya?
Bagi kalian melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp
Remember, in life there are winners. And there are losers.
We? We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL