Clash of Champions 2019 Review

 

Sabuk kejuaraan adalah medali bagi para superstar WWE. Meskipun acara ini memang sudah diatur, namun memegang titel juara tetaplah sebuah hal yang prestigius karena tidak sembarang superstar pantas untuk dijadikan ‘juara’. Mereka haruslah yang paling kuat. Dalam artian bukan saja harus paling jago bergulat, melainkan juga paling konek ke penonton, yang paling menjual; terutama yang paling bisa diandalkan oleh perusahaan. Makanya sabuk kejuaraan menjadi sakral. Hanya sedikit yang pantas memegangnya. Ia menjadi simbol yang diperebutkan oleh para superstar. Sesuatu yang dikejar supaya setiap pertandingan kejuaraan punya arti. Apalah gulat profesional tanpa drama dan sabuk sebagai pialanya. Sabuk menambah intensitas dan kepentingan dari pertandingan.

Namun baru-baru ini Jim Ross, mantan komentator WWE – sekarang bekerja untuk promotor gulat sebelah – mengkritik WWE telah mendevaluasi makna sabuk kejuaraan. Dengan mengeluarkan sabuk terbaru, 24/7 Championship, pada bulan Mei 2019 yang lalu WWE dianggap Ross terlalu banyak mengedarkan sabuk juara. Sehingga lebih seperti supaya semua orang bisa dapat giliran jadi juara, mengurangi nilai kompetisi. Karena beberapa malah hanya jadi pajangan gimmick semata. Mari kita absen sabuk-sabuk yang ada di main roster WWE sekarang ini; WWE, Universal, Intercontinental, United States, Raw Tag Team, Smackdown Tag Team, Raw Women’s, Smackdown Women’s, Women’s Tag Team, dan 24/7. Oh ya, juga ada Cruiserweight yang kadang ditandingkan di pay-per-view. Totalnya ada sebelas. Dan itu memang jumlah yang tidak sedikit. Jim Ross punya poin yang cukup valid mengingat dia sudah malang melintang di dunia gulat profesional dan mengetahui langsung dulu sabuk paling banyak hanya sekitar tiga atau empat.

Jumlah sabuk sebenarnya bukan masalah utama. Karena poinnya adalah pada ratio – tergantung pada banyaknya jumlah superstar yang in-contention untuk setiap kejuaraan. Masing-masing divisi perlu sabuk untuk membuat kompetisi mereka lebih urgen. Jadi masalahnya sebenarnya adalah pada pembagian kontendernya. Pada sejauh mana WWE membuat sabuk-sabuk tersebut memiliki cakupan yang terarah dan membantu semua superstar mereka, bukan hanya sebagian. NXT misalnya, mereka punya sabuk sendiri untuk mengakomodasi para superstar mereka. WWE tahun 2000an juga begitu, masing-masing brand punya sabuk yang paralel sehingga setiap brand punya arahan yang sama terhadap pembagian superstar. WWE masa sekarang, juga membagi superstar yang jumlahnya banyak ke dalam dua brand. Namun penerapannya enggak jelas berkat Wild Card rule yang memperbolehkan superstar Raw ‘berkunjung’ ke Smackdown, menantang juara di sana, dan sebaliknya. Sabuk-sabuk khusus brand akibatnya jadi kehilangan makna; apa bedanya tag team raw dengan tag team smackdown. Kontendernya tim yang itu-itu melulu.

WWE dalam acara Clash of Champions 2019 berusaha untuk membuktikan kritikan Jim Ross dan yang sepakat dengannya sebagai suatu dugaan yang enggak sepenuhnya benar. Mereka berusaha untuk memanfaatkan Wild Card, menginkorporasikannya ke dalam narasi yang lebih seru tentang perebutan gelar. Dan menegaskan bahwa bukan semata sabuk yang membentuk seorang superstar, superstar. Melainkan superstarnya juga turut andil memberikan prestise kepada sabuk.

 

Sami Zayn harusnya nulis review betapa toxicnya sabuk bagi para superstar

 

 

That stupid Wild Card rule memang akhirnya membawa sisi positif. Saat menyaksikan video promo sebelum pertandingan Bayley melawan Charlotte, aku sadar bahwa storyline mereka tidak akan bisa jadi seimpactful yang kita dapatkan ini jika tidak ada Wild Card-Wild Cardan. Karena cerita Bayley dan Charlotte adalah bagian dari cerita Sasha Banks dan Becky Lynch, yang membentuk cerita besar tentang perseteruan dalam kelompok Four Horsewomen. Bayley dan Charlotte ada di Smackdown, sedangkan Sasha dan Lynch ada di Raw. Tanpa Wild Card, masing-masing mereka tidak akan ketemu dan build-up match tidak akan seheboh ini. Karena kunci dari storyline mereka adalah soal Bayley yang merasa diovershadow oleh tiga teman-dari-NXT, dan adegan paling pentingnya adalah ketika Bayley datang menginterupsi Sasha yang menyerang Lynch, dan ternyata juga ikutan ‘jahat’ menyerang Lynch. Wild Card rule memungkinkan Bayley dari Smackdown datang ke Raw. Dari momen inilah, storyline mereka berjalan dengan pengembangkan karakter Bayley sebagai fokus utama.

Bayley punya karakter yang paling menarik sekarang.  Dia adalah personifikasi dari ambiguitas heel dan babyface yang selama ini tampak diincar oleh penulis WWE. Bayley yang warna-warni berubah menjadi representasi abu-abunya dunia. Dalam matchnya melawan Charlotte di acara ini kita melihat Bayley semacam delusional. Dia masih menganggap dirinya pahlawan karena dia loyal dan berani berjuang untuk membuktikan diri. Dia tidak bisa melihat dirinya sudah berbuat curang demi hal itu. Bayley masih menyangka dirinya pahlawan di mata anak-anak, tapi perbuatannya tak bisa ditiru. Kita dibuat masih pengen ngecheer Bayley – terutama karena dia melawan Charlotte. See, semua anggota Four Horsewomen sebenarnya memainkan karakter yang sangat konflik dengan reaksi kita merespon mereka. Charlotte adalah yang paling berprestasi, dan secara teknik juga paling jago. Tapi kita seperti diset untuk membenci dia karena segala privilege yang ia dapatkan sebagai anak dari seorang legenda. Becky Lynch adalah opposite dari Bayley; Lynch adalah antihero yang meskipun kasar dan keras, dia punya tujuan yang baik, yang bisa kita dukung. Terakhir adalah Sasha Banks yang sikapnya total nyebelin. Dalam match melawan Lynch di acara ini, jurus curang Eddie Guerrero yang menghasilkan perasaan yang sangat berbeda ketika kita melihatnya digunakan oleh Sasha.

Semua itu mengumpul kepada karakter Bayley. Juara yang seperti tak dianggap. Penantangnya lebih kuat darinya. Sesama juara lebih populer dari dirinya. Yang baru balik saja instantly jadi pusat perhatian karena nunjukin warna aslinya. Dan mereka semua itu adalah sahabat lama Bayley. Jadi dia merasa butuh untuk membuktikan diri, Bayley harus percaya dulu bahwa dia pahlawan – di atas mereka semua, role model kepada kita semua, dan ini membuat Bayley gak segan untuk melakukan semua cara. Loyalnya kepada Sasha bahkan tidak tampak lulus lagi. Karakter Bayley jadi sangat kompleks. Dia mengajarkan untuk membuktikan sendiri sementara, kita gravitate towards her karena perasaan enggak mau jadi yang paling lemah di antara teman-teman adalah perasaan yang relatable, tapi kita tahu dia seharusnya di-boo. Ending match di mana Bayley curang dan kabur dari ring benar-benar menambah banyak untuk build up psikologi tokoh ini. Dan aku sangat tertarik untuk melihat kelanjutan cerita Bayley dan Four Horsewomen ini.

Pertandingan yang melibatkan Four Horsewomen dalam Night of Champions semuanya belum ada yang konklusif. Untuk Sasha melawan Lynch, pertandingannya sangat awesome. kedua cewek ini tampak benar-benar saling pengen menyakiti. Beda sama Randy Orton lawan Kofi Kingston yang gak bergairah, lamban, sehingga terasa sangat panjang membosankan. Lynch lawan Sasha memainkan skenario yang kreatif untuk membuild up api pertempuran di antara mereka. Wasit dibuat jadi korban, sehingga Lynch dan Sasha lantas ‘jalan-jalan’ sampai ke backstage. Saling menyakiti. Membuat mereka tampak tak terkontrol sehingga pertandingan yang udah kayak perang itu berakhir diskualifikasi. Ini bukan akhir gantung yang annoying. Ini adalah akhir sempurna yang mengarahkan kita ke pemahaman keduanya harus dikurung (ehm.. ehemm.. pay-per-view berikutnya adalah Hell in a Cell). Malah ini mengingatkanku pada pertandingan fenomenal antara Stone Cold dengan Kurt Angle pada SummerSlam 2001 yang juga brutal dan berakhir dengan DQ.

mereka kena potong gaji gak ya udah jadiin kamera mahal sebagai senjata?

 

Selain Four Horsewomen, WWE secara lowkey menghighlight mantan anggota Wyat Family. Kita melihat akhir cerita “Siapa Penyerang Roman Reigns” yang ternyata berujung kepada kembalinya Luke Harper membantu Rowan. Oh ya, juga kembalinya nama depan Eric kepada Rowan. Mungkin mereka merasa aneh jika nyebut Roman versus Rowan thok sehingga nama Rowan dikembalikan lengkap menjadi Eric Rowan hihihi.. Di partai lain kita juga melihat Braun Strowman berkompetisi sebagai tag team sekaligus sebagai penantang dari rekan tag temannya (he broke record ‘first time in history’ by the way!) Strowman, bersama Seth Rollins, menjadi pembuka dan penutup acara. Dan Strowman practically mengovershadow Rollins yang tampil bland sebagai juara tertinggi. Penonton bersorak ketika Strowman terbang dari top-rope, dan nge-boo ketika Rollins menyerang Strowman dengan Curb Stomp untuk yang ketiga kalinya. Rollins adalah superstar yang hebat, jurusnya keren-keren, tapi dia seperti hampa sebagai juara karena pertandingannya sejauh ini menggunakan metoda yang sama, dengan lawan yang juga selalu lebih besar darinya. Dia perlu mendapat perlakukan yang berbeda. Seperti The Revival yang mengklasikkan kembali pertandingan tag team, saat mereka melawan New Day di paruh awal acara. Akhir match mereka adalah salah satu yang wajib dilihat dalam acara ini. Atau seperti Alexa Bliss yang kembali ke attire Harley Quinn dan mengreinvent cara bertarungnya menjadi lebih bersahabat. Di samping pertandingan tag team pembuka, dua tag team match ini memang asik untuk dilihat karena bercerita dengan baik, sesuai dengan konteks storyline masing-masing.

Seth Rollins seperti tidak dapat bernapas lega karena di penghujung acara pentolan Wyatt Family numero uno; Bray Wyatt himself muncul ‘mengucapkan salam’ kepadanya. Ini satu lagi yang momen yang wajib kalian saksikan sendiri karena feeling yang disampaikan sangat kuat.

 

 

Clash of Champions penuh oleh momen-momen keren. Bahkan pertandingannya pun lebih seperti bagian dari momen ketimbang suatu konklusi. Menjadikan acara ini tidak sekuat acara sebelumnya. Untungnya dikemas dengan cukup baik. Pertandingan-pertandingannya punya hubungan antara satu sama lain, sebagai usaha WWE untuk menunjukkan roster mereka punya kedalaman dan immersive, kaitannya dengan pembelaan terhadap tuduhan mereka punya terlalu banyak sabuk kejuaraan. Dua match yang boring buatku, yakni Roman/Rowan dan Orton/Kingston yang terasa terlalu panjang dan tidak sebesar yang diharapkan oleh WWE (mengingat posisi mereka yang so late in the card). Untuk MATCH OF THE NIGHT, Palace of Wisdom menobatkannya kepada Becky Lynch melawan Sasha Banks.

 

 

Full Results:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler dan Robert Roode juara baru ngalahin Braun Strowman dan Seth Rollins
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Charlotte 
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Revival going old school defeating The New Day
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Alexa Bliss dan Nikki Cross tetap juara mengalahkan Fire and Desire
5. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura dibantu Samy Zayn bertahan atas The Miz
6. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch mengdiskualifikasi dirinya melawan Sasha Banks
7. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston masih juara mengalahkan Randy Orton
8. NO DISQUALIFICATION Eric Rowan menghajar Roman Reigns
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins mempertahankan sabuk dari Braun Strowman

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SummerSlam 2019 Review

 

Sebelas tahun silam WWE mengumumkan mereka mengubah arahan acara mereka menjadi lebih konservatif dan family-friendly. Maka sejak saat itu, WWE dengan rating PG (kalo di Indonesia istilahnya Bimbingan Orangtua) sudah semakin mirip tayangan kartun di hari Minggu. Tapi belakangan ini, WWE tampak menoleh kembali ke akar ‘kebrutalan’ mereka. Baru sebulan yang lalu kita melihat kembali superstar cowok bertarung melawan superstar cewek dalam pertandingan yang sah. Dan di bulan Agustus ini kita mendapat kejutan; SummerSlam didaftarkan sebagai acara dengan rating TV-14! Pengumuman tersebut tak pelak bikin rame internet. Penonton yang lebih dewasa makin semangat menantikan, di sisi lain pengumuman itu juga menjadi peringatan. Seberapa ‘keras’ tayangan WWE kali ini. Perlukah kita menutup mata adek-adek atau anak-anak kita yang kadung termanjakan oleh acara berantem yang enggak kasar?

Jawabannya; perlu

I mean, just watch this awesome clip

 

Bray Wyatt mungkin alasan nomor satu WWE menaikkan rating acara untuk SummerSlam. Dalam re-debut dari karakter cult leader yang selama ini dia gunakan, Wyatt memperkenalkan diri sebagai The Fiend, lengkap dengan absennya lampu arena, memakai topeng monster seram dan diiringi oleh musik rock (remix dari lagu temanya yang lama) yang dinyanyiin cewek bersuara tinggi sehingga terkesan psychotic. Wyatt sebagai The Fiend tetap jalan masuk ke ring sambil menenteng lentera, hanya saja lentera yang ia bawa kali ini bakal nongol di mimpi buruk anak-anak sedunia. Lenteranya adalah kepala. Kepala dirinya sendiri pula! Ini udah kayak Al Snow dan Marlina berfusion di malam jumat kliwon

Psychotic Heel is the best heel of all. Di NXT kita dapat Io Shirai yang muncul ke ring dengan ekspresi muka berubah-ubah mulai dari sedih, ketawa, hingga sadis – also a badass music dan gaya masuk teatrikal. Di main roster WWE, kita mendapat Bray Wyatt yang sekarang bicara kayak host acara clubhouse anak-anak tapi dengan subtext horor. bayangkan Club Disney atau Kak Seto tapi boneka yang muncul bukan komodo lucu melainkan penyihir dan burung bangkai yang memakan boneka kelinci. Wyatt supposedly sudah membuang setan dari dalam dirinya, setan itulah yang mengambil wujud sebagai The Fiend, yang kita saksikan membantai Finn Balor dalam acara ini. Kita melihat Balor dicekek rahangnya sampai kalah. Jadi, SummerSlam memang memperkenalkan penonton terhadap aksi yang lebih intens. Dan on top of that, tema yang melandasi pun lebih dewasa.

The Fiend menenteng kepala dirinya yang dulu mengandung makna simbolis mengalahkan diri sendiri. Dengan berkompromi dengan your own demon. Jika kita lihat gambaran besarnya, tema meruntuhkan dan merombak ulang diri sendiri tersebut dapat ditemukan berulang sepanjang acara. SummerSlam sendirinya adalah seperti versi yang lebih kompromi antara WWE era PG dengan WWE lama yang brutal.  

 

Aplikasi yang lebih manusiawi dapat kita temukan dalam urusan antara Kofi Kingston melawan Randy Orton. Sejak 2009, Kingston ‘dihantui’ oleh pernyataan Orton mengenai betapa bego dirinya. Karir Kingston diceritakan mandeg karena kesalahan yang ia lakukan dibesar-besarkan oleh Orton yang punya pengaruh tinggi di belakang-panggung WWE. Pertandingan mereka di SummerSlam ini bukan hanya sebatas Kingston mempertahankan gelar, melainkan dia harus membuktikan diri; Kingston harus meraih keganasan dirinya yang dulu sekaligus memperlihatkan dia tidak bodoh karena sekarang dia sudah tahu dan belajar lebih baik. Kemarahan Kingston ketika mendapati dirinya berada di antara Orton dan keluarga menjadi trigger karena dia merasa bodoh dan lemah membahayakan keluarga. Jadi, walaupun akhir match mereka tidak memuaskan karena sudah seteru sudah dibangun lebih dari satu dekade, aku bisa melihat endingnya masuk akal. Narasi butuh mereka untuk perang, alih-alih beres dalam satu kali pertemuan.

Seth Rollins dan Brock Lesnar juga adalah kasus yang sama. WWE terpaksa memilih untuk mengulang cerita dari Wrestlemania; untuk saat ini tampak seperti menihilkan Money in the Bank, like, mereka seperti tak punya ide lain soal siapa yang mesti menang koper. Tapi storyline itu dibutuhkan untuk membangun ulang – bukan hanya Rollins, melainkan juga Lesnar. Rollins butuh untuk tampil seperti jagoan yang bertarung atas dirinya sendiri (bukan dibeking pacar, teman setim, ataupun anak emas bos). Dan Lesnar perlu untuk dilihat banyak orang sebagai kompetitor seperti dirinya ketika masih menetap di WWE. Karena Lesnar bakal menetap lagi di Smackdown. Ketika maksud itu sudah terlandaskan, kita akhirnya dapat suguhan aksi yang memuaskan. Main event acara ini mengirim penonton pulang dengan semangat dan harapan yang baru. Karena kita sudah diyakinkan mereka ini masih seperti yang dulu, malahan lebih ganas lantaran lebih banyak yang mereka accomplished sekarang.

Bagi penonton yang tidak menonton gulat di luar WWE, tim O.C. (AJ Styles, Luke Gallows, dan Karl Anderson) bakalan tampak seperti tim baru dengan taktik dirty kasar old-school. Yang kita lihat hingga SummerSlam ini sebenarnya belum apa-apa lantaran mereka memang sudah satu tim sejak di Jepang. WWE mencoba memperkenalkan sisi ‘legendaris’ mereka, begitu juga dengan Ricochet yang tampak seperti anak baru yang brilian di dalam ring WWE. Styles dan Ricochet bermain keren tapi mereka masih belum menampilkan performa yang sesuai dengan kapasitas mereka sebenarnya, jadi sepertinya kita masih akan terus melihat dua kubu ini berseteru. Cerita ‘improving ourself’ sudah berjalan cukup lama bagi karakter Bayley. Dalam SummerSlam, tidak benar-benar ada episode baru. Pertempurannya dengan Ember Moon berjalan baik, namun terasa lempeng karena harusnya Ember Moon lah yang jadi tokoh utama dalam storyline ini. Sejelek-jeleknya penampilan Goldberg, seitu-itu melulunya alur pertandingan Goldberg, toh kita masih bersorak juga melihat dia membantai lawannya. Ziggler adalah orang yang tepat. Muda, arogan, dan bisa ngesell move dengan dahsyat. Pertandingan Dolph Ziggler melawan Goldberg tidak lain tidak bukan memang untuk mengembalikan citra Goldberg yang terjun bebas setelah penampilannya di Arab Saudi. Ziggler kali ini ada untuk memastikan ‘match cutscene’ yang kita tonton menjadi menghibur semenghibur-hiburnya.

http://www.youtube.com/watch?v=s8BPR0KkE4k

 

 

SummerSlam juga dibangun around fakta bahwa acara ini diselenggarakan di Toronto, Kanada. Makanya kita mendapat banyak pertandingan dan momen-momen yang ‘tokoh utamanya’ pegulat dari Kanada. Kevin Owens benar-benar terbantu oleh situasi ini. Karakter Owens adalah yang paling menarik di brand Smackdown, karena ia mewakili apa yang semua orang pikirkan terhadap Shane McMahon. Pertandingan mereka minim aksi seru, malahan lebih banyak aksi maksa seperti interference dan situasi yang berfungsi sebagai plot device. Jika bukan Owens, pastilah perhatian bakal terpusat ke Shane, dan penonton akan sibuk menghujat Shane dan jalannya pertandingan. Dengan Owens, matchnya menjadi fun dan greget, stake dari stipulasi menang-kalahnya juga semakin terasa.

Natalya juga mendapat respon luar biasa di sini. Nama Hart dan jurus Sharpshooter memang sudah sakral di Kanada. Dua hal tersebut, terutama yang terakhir disebut, dimainkan dengan sempurna dalam pertandingan Natalya lawan Becky Lynch. Natalya bisa jadi adalah superstar cewek yang paling konsisten. Dia selalu berhasil menjalankan ‘misi’ setiap kali diberikan tugas filler seperti ini. Natalya tidak pernah memberikan performa yang buruk, hanya saja dirinya sendiri yang seringkali dioverlook karena kalah presence dibanding superstar yang lain. Di tanah Kanada ini, perhatian tertuju padanya, dan dia menjawab itu semua dengan gemilang. Gimmick submission pada match juga membantu banyak memancing chemistry antara Natalya dengan Lynch, dua superstar yang sama-sama berjurus kuncian namun berbeda target. Psikologi serangannya adalah masing-masing sudah menargetkan serangan pada titik kuncian. Natalya fokus ke kaki Lynch, dan Lynch pada tangan Natalya. Mereka juga menggunakan elemen ‘mencuri’ jurus lawan, yang selalu seru dan mengasyikkan. Meskipun agak kurang logis karena masa Lynch yang kakinya diserang melulu malah tiba-tiba bisa melakukan kuncian Sharpshooter yang mengandalkan kestabilan kaki.

Did Natalya just scream ‘bitch!’ at Lynch’s face?

 

Surprise menyenangkan berikutnya datang dari penampilan Trish Stratus. Dalam pertandingan melawan Charlotte yang disebut sebagai pertandingan terakhirnya, Trish benar-benar seperti perwujudan dari tema acara ini. Orang lama yang berusaha menginovasi menjadi diri. Trish adalah ratu gulat pada masanya, dan dia langsung menantang Charlotte; arguably the best women wrestle in roster today. Dan wow, Trish sungguh-sungguh menyuguhkan penampilan yang dahsyat. Clocking at 16:38, match Trish lawan Charlotte adalah match terlama dalam acara ini. Dan sepanjang menit-menit itu (kecuali beberapa menit awal saat Trish masih kelihatan agak canggung), kita menyaksikan aksi-aksi konter mengonter seru yang memperlihatkan bahwa kedua superstar ini sama-sama hebat. Malah aku sempat percaya Trish bakal menang. Itulah bukti bahwa drama dan cerita match ini berjalan dengan baik.

 

 

SummerSlam adalah festival gulat yang amat menyenangkan. Banyak momen-momen memorable. Aksi-aksi yang lebih seru dari sebelumnya. Wyatt, Owens, Rollins. Lesnar. Trish. Malahan hampir setiap orang dalam pertandingan di acara ini mencuri perhatian. Kekurangannya mungkin adalah acara ini bisa terasa kurang variasi, karena matchnya partai single semua. Pertandingan tag team (termasuk Alexa manis yang pake attire ala Buzz Lightyear) digeser untuk pre-show. Malahan, pre-show SummerSlam ini juga menurutku pantas untuk disaksikan, tidak seperti pre-show biasanya. Karena ada banyak story development, yang sepertinya sengaja tidak dimasukkan karena WWE kali ini tidak ingin acara utamanya menjadi kepanjangan seperti tahun-tahun belakangan. SummerSlam tampil ‘singkat’ seperti acara jaman dulu, lengkap dengan pyro pembukaan pula. Sebenarnya masih kurang set panggungnya sih, mestinya bisa dibikin penuh kreasi kayak yang dulu-dulu, but I guess we would be asking too much then. The Palace of Wisdom menobatkan Trish Stratus melawan Charlotte sebagai MATCH OF THE NIGHT yang paling diingat dan paling mengejutkan.

 

 

Full Results:
1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP SUBMISSION Becky Lynch bertahan dari Natalya
2. SINGLE Goldberg nge-squash Dolph Ziggler
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP AJ Styles dengan bantuan O.C. tetap juara ngalahin Ricochet
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley masih juara ngalahkan Ember Moon
5. SINGLE Kevin Owens menghajar Shane McMahon
6. SINGLE Charlotte berjaya atas Trish Stratus  
7. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston masih juara karena berakhir seri dengan Randy Orton
8. SINGLE The Fiend membantai Finn Balor
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins jadi juara baru merebut sabuk dari Brock Lesnar

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Extreme Rules 2019 Review

 

Dalam pertandingan extreme rules, semua bisa terjadi. Kecuali, kata Becky Lynch kepada Seth Rollins sang pacar sekaligus partner tag teamnya, menyebabkan pasanganmu kehilangan sabuk kejuaraannya. Dengan menjadwalkan pertandingan ‘ganda campuran’ di mana dua sabuk tertinggi brand Raw dipertaruhkan bersamaan – tim yang menang, lantas berhak mengangkat sabuk kejuaraan tinggi-tinggi penuh jumawa – WWE tampak menge-push makna ekstrim yang menjadi judul acara ini lebih jauh lagi. Di kubu juara bertahan kita punya pasangan real-life Lynch dan Rollins, memainkan dinamika gender dengan ayunan yang menarik; kedua superstar ini sama-sama ‘jantan’. Rollins cowok beneran, sedangkan Lynch di-dub sebagai “The Man”. Sedangkan pada kubu penantang bersanding Lacey Evans dengan jurus maut tinjuan tangan kanan yang diberi nama “The Women’s Right” dan Baron Corbin, si putra favorit semua kota yang enggak ragu untuk melakukan apa saja.

Melalui pasangan-pasangan ini, WWE seperti menyimbolkan perjuangan yang relevan tentang kesetaraan gender. Ada gagasan yang dinarasikan yaitu pria dan wanita punya status dan ‘kekuatan’ yang sama. Mereka saling bertanggungjawab terhadap pasangannya dalam suatu hubungan. Tidak mesti harus selalu pria yang menyelamatkan wanita. Dan tidaklah memalukan untuk mengakui wanita kadang lebih nasty dari pria.

 

Di samping itu, dapat kita temukan banyak indikasi WWE berusaha tampil lebih edgy, lebih ‘kasar’ daripada produk-produk mereka belakangan ini. Mulai dari kamera yang secara sengaja ngezoom close up pantat Evans yang merungkuk masuk ke dalam ring, hingga menuju penutup pertandingan, WWE terus saja ‘menggoda’ penonton. Puncaknya tentu saja adalah ketika Corbin menyarangkan jurus pamungkasnya kepada Becky Lynch. Aku gak bohong, buatku momen itu terasa magical. Unworldly. Terutama melihat reaksi Rollins. Rasanya seperti melegakan, ada beban yang lepas. Karena, thing is, walaupun berjudul ‘mixed tag team extreme rules’, pertandingan main event ini masih terkungkung oleh banyak peraturan. Pertama ada peraturan tradisional tag team; kau tidak bisa masuk sebelum ‘disembar’, itu berarti sebagian besar waktu kau atau pasangan tag teammu harus menunggu di pojok luar tali ring. Kedua, superstar cowok harus bertarung dengan cowok, dan cewek harus dengan cewek. Tidak boleh cowok memukul cewek. Ini membuat pertandingan ini terlihat kurang menarik, karena setengah-setengah. Kenapa mereka tidak langsung saja diadu di dalam ring, empat-empatnya sekaligus. WWE dengan sengaja membuat seperti demikian, demi alasan storytelling. WWE ingin membangun antisipasi penonton. Mindsetnya adalah menahan-nahan memberikan yang penonton mau, dan ketika waktunya tiba, berikan sebagian kecil saja dan penonton akan puas. Malah meminta lebih dan penasaran pengen tau kelanjutan. Dan kupikir taktik yang mereka lakukan ini berhasil. Tentu saja dengan harga mahal berupa pertandingannya sendiri menjadi tidak seberapa menarik.

“Don’t be jealous cause they like what they see”

 

Tapi untuk menutupi itu, WWE menyiapkan banyak momen-momen menghibur di awal-awal. Beneran deh, in fact, the worst dari acara kali ini memang cuma dua match terakhir. Meskipun memang bummer sih, karena dua pertandingan besar itu adalah kejuaraan utama. Kofi Kingston melawan Samoa Joe benar-benar standar, dengan hasil pertandingan sangat melukai citra Joe sebagai kontender seram yang serius. Sisa partai dalam acara yang berlangsung di kampung halaman ECW ini (Philadelphia) bisa dikategorikan ke dalam bintang-tiga, jika kalian mau memberi skor masing-masingnya.

Lashley dan Braun Strowman menyuguhkan perang-monster yang cukup heboh. Hasil akhir dari Last Man Standing mereka dilakukan dengan teatrikal; Strowman menyeruak keluar dari kotak kayu, yang membuat pertandingan yang mestinya bisa lebih baik jika waktunya sedikit dipersingkat tersebut menjadi terasa baru dan menyegarkan. Handicap antara Bayley melawan Alexa Bliss dan Nikki Cross berfungsi untuk menguatkan tiga karakter ini secara bersamaan, dan untuk hal tersebut, pertandingan ini berhasil menjalankan fungsi. Alur dan aksinya sendiri tidak spesial-spesial amat – personally, aku kesel Bliss gak menang – but it makes so much sense. Belum jelas apakah ketiganya masih akan bareng dalam satu program lagi untuk berikutnya, tapi yang dapat kita simpulkan dari pertandingan ini baik Bayles, maupun tandem Bliss dan Cross, sama-sama masih jauh dari akhir babak saga mereka. Hal yang sama bisa kita simpulkan dari pertarungan AJ Styles melawan Ricochet dan pertarungan tagteam Revival melawan Kembar Uso. Mereka semua menghadirkan laga yang bikin kita menggigit kepalan tangan, namun masih terkesan ditahan-tahan. Surely, program mereka masing-masing masih akan terus berlanjut, karena masih  banyak potensial cerita dan karakter yang belum dikeluarkan.

Jika disuruh memilih superstar mana yang menjadi MVP pada malam ekstrim itu, maka jawabanku akan berputar di antara tiga superstar. Aleister Black. Otis dari tagteam Heavy Machinery. Dan, meskipun kedengarannya ‘aneh’ karena ketinggalan jaman; The Undertaker.

Debut-ulang Black dilakukan dengan sangat tepat. ‘Mengumpankannya’ kepada Cesaro jelas pilihan yang berbuah manis. Semua berakhir win-win dalam skenario ini. Cesaro yang punya teknik super secara natural menjadi lawan yang menarik untuk Black dengan serangan strike. Melihat Black dilempar ke sana sini sebelum akhirnya menyerang telak sungguh sebuah pengalaman yang memuaskan. Otis, on the other hand, adalah idola in the making. Aksi-aksi si superstar ini begitu menghibur untuk disaksikan. Dan tentu saja tidak ada ruginya memasangkan Heavy Machinery di antara tim-tim solid seperti New Day dan Daniel Bryan dan Erick Rowan. Semua superstar dalam triple threat tag team tersebut tampak kuat dan menarik. Untuk beberapa waktu aku sempat yakin Heavy Machinery yang bakal menang. Karena begitu asyiknya mereka terkonek kepada penonton.

Apakah singlet Undertaker kebalik?

 

Kemunculan Undertaker menolong Roman Reigns dalam perseteruan melawan geng Shane McMahon tak pelak memang mengangkat alis banyak orang. Terlebih Undertaker baru saja terlibat salah satu pertandingan terburuk di sepanjang karirnya; menonton matchnya melawan Goldberg di Saudi Arabia musim lebaran lalu seperti menonton kakek-kakek yang sedang rebutan remote tv. Penonton juga sebel melihat Shane yang terus-terusan mendapat spot, sementara Reigns berada di zona netral. Penonton pengen melihat benefit untuk Drew McIntyre, dan Elias, dengan keterlibatan mereka di storyline ini. Sepanjang match aku juga berharap fokus ada pada MyIntyre. Tapi Undertaker tampaknya adalah superstar yang paling overgiver yang pernah berjalan dalam ring WWE. Dengan cepat dia mencuri perhatian. Penampilannya begitu prima dalam pertandingan pembuka ini. Aksi pertandingan ini cukup keras, dan Undertaker tak tampak kepayahan. Interaksinya dengan McIntyre, juga dengan Shane, ternyata sangat menghibur. Sejurus kemudian akan menjadi jelas untuk kita bahwa pertandingan ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai ‘pemulihan’ nama Undertaker. Dan mereka melakukannya dengan cukup baik.

Ketika pembicaraan beralih kepada momen paling keren, ada banyak kandidat yang bisa dipilih, range dari komentator Renee Young menyebut kata “fucked” hingga kemunculan Brock Lesnar ‘menguangkan’ kopernya. Namun yang paling mencuat tentu saja adalah momen speech dari Kevin Owens. Yang serta merta membuatnya menjadi MVP kejutan, orang keempat yang paling menarik sepanjang acara. Aku benar-benar suka pada arahan yang diberikan kepada Owens. Dia menyuarakan kejelekan-kejelekan yang ada pada WWE; gimana Shane selalu mendapat spot, gimana superstar-superstar yang lebih membutuhkan ditelantarkan begitu saja oleh WWE. Karakter Owens ini jika dilakukan dengan benar, bukan tidak mungkin akan menjadi Stone Cold versi kekinian. Yang punya attitude kritis, berani, penuh api, dan dibacking oleh jurus Stunner yang sungguh devastating. Penulisan cerita dan karakter yang meta seperti ini boleh jadi datang dari Eric Bischoff yang baru-baru ini diberitakan menjadi executive director untuk Smackdown, barengan dengan Heyman untuk brand Raw.

 

 

 

The change is coming. Perlahan-lahan WWE menunjukkan keterbukaan untuk menjadi lebih cadas. Lebih menggigit dengan konten-konten yang tidak melulu kekanakan dan bermain aman. Extreme Rules, adalah bagian dari proses perubahan tersebut. Pertandingan-pertandingan dalam acara ini sebagian besar seru, namun tidak terasa kosehif satu sama lain selain sama-sama berfungsi untuk menginvest kita kepada momen gede involving interaksi cowok-cewek di penghujung acara. The Palace of Wisdom memilih kejuaraan tag team Smackdown antara tim Daniel Bryan dan Rowan melawan Heavy Machinery melawan The New Day sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. NO HOLDS BARRED Undertaker dan Roman Reigns mengalahkan Shane McMahon dan Drew McIntyre
2. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Revival bertahan atas The Usos
3. SINGLE Aleister Black ngalahin Cesaro
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP HANDICAP Bayley tetep juara ngalahin Nikki Cross dan Alexa Bliss
5. LAST MAN STANDING Braun Strowman menghancurkan Lashley
6. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT The New Day jadi juara baru mengalahkan Daniel Bryan & Rowan serta Heavy Machinery 
7. UNITED STATES CHAMPIONSHIP AJ Styles merebut sabuk dari Ricochet
8. SINGLE Kevin Owens KOin Dolph Ziggler
9. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston retains over Samoa Joe
10. RAW WOMEN’S & UNIVERSAL CHAMPIONSHIP MIXED TAG TEAM EXTREME RULES Becky Lynch dan Seth Rollins menang dari Baron Corbin dan Lacey Evans
11. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP MITB CASH-IN Brock Lesnar jadi juara baru ngalahin Seth Rollins

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Stomping Grounds 2019 Review

 

Banyak dari kita yang sudah siap meninggalkan WWE, ketika AEW meneriakkan angin-angin surga akan produk tayangan gulat yang edgy. Tapi dengan payperview terbaru mereka; Stomping Grounds, WWE menunjukkan bahwa mereka belum berniat untuk menggantung sepatu. Terlebih untuk pesaing yang bahkan barely bisa dibilang apple to apple.   

Menjelang hari-H, acara ini dibangun dengan sedikit sekali kejutan menyenangkan. Stomping Grounds diisi oleh deretan pertandingan yang entah itu sudah acap kita lihat per minggu – to make it worse hampir setengah pertandingan acara ini diisi oleh orang yang itu-itu juga semenjak house show hari lebaran di Arab Saudi – ataupun oleh pertandingan yang pesertanya membuat kita bertanya-tanya, kenapa jadi mereka yang tanding? kenapa dia malah di match yang itu – kirain mau tag team? Penjualan tiket Stomping Grounds pun diberitakan lesu. Vince McMahon mungkin memang orang yang keras kepala – terus menerus ngepush karakter yang ngebosenin hanya karena dia suka – tapi Vince juga adalah seorang pebisnis yang handal. Dan bagi pebisnis, tak ada cambukan yang lebih keras dibandingkan jumlah penjualan. Makanya, WWE kali ini berpikir cukup jernih.

Tak lagi bikin sesuatu yang kacau beliau kayak Money in the Bank 2019, ataupun bermain terlalu aman kayak Super Showdown, WWE seolah menekan tombol reset dan kembali ke formula acara yang sudah membuat mereka sukses untuk waktu yang lama; Pertunjukan solid wrestling dengan bumbu storyline yang masuk akal dan benar-benar memanfaatkan kekuatan pengkarakteran tokoh-tokohnya.

 

Coba itu kameranya digeser sedikit lagi ke kiri, kursi-kursi kosongnya gak kerekam tuuh

 

 

Kekuatan dari pertunjukan WWE biasanya adalah penonton yang baru saat itu menyaksikan, bakal langsung bisa mengerti tokoh-tokohnya. Siapa yang jahat, siapa yang baik. Siapa temannya siapa, siapa musuhnya siapa. Mana yang pacaran. Mana yang diam-diam mendendam. Inilah yang membuatku pertama kali tertarik menonton WWE. Ketika para superstar seperti beneran punya kehidupan yang sesuai dengan gimmick mereka di luar ring. WWE berusaha kembali membuat seperti ini dengan konsep Kejuaraan 24/7 yang bisa kita temukan sisipan perebutan gelarnya di pertengahan acara. Kita melihat juara bertahan Dave Maverick harus kalah pada hari pernikahannya sendiri ketika R Truth muncul mengepinnya dari belakang. Meskipun lebih berfungsi sebagai lucu-lucuan, tapi para penonton senang dan terhibur menyaksikan skit yang fresh ini lantaran akhirnya mereka punya sesuatu yang kontinu untuk diikuti. Dalam basis acara mingguan, memang lebih sering daripada enggak WWE mengesampingkan kekontinuan. Dan hal tersebut berdampak buruk pada karakter-karakter yang dimainkan oleh superstar. Membuat mereka membosankan. Membuat ceritanya enggak masuk akal.

Stomping Grounds adalah acara langka yang dihasilkan oleh WWE, karena actually acara ini terasa sangat contained. Menutup. Konsisten luar biasa. Dengan segmen A punya kesinambungan dengan segmen C. Dengan si anu punya dampak dan peran terhadap cerita si itu. Dinamika cerita-cerita yang mengisi acara ini berhasil membuat Stomping Grounds menjadi satu episode yang solid. Yang kita beneran peduli dan penasaran terhadap setiap karakter yang muncul, apalagi yang terjadi – siapa lagi yang mereka lawan, bagaimana jadinya pertemanan mereka, apakah mereka masih juara bulan depan. 

Aku sangat menikmati cerita antara Bayley, Alexa Bliss, dan Nikki Cross. Ketiga superstar sangat terbantu oleh pertandingan ini. Bagi Bliss secara personal, ini juga adalah ajang pembuktian dia masih belum akan gantung sepatu. Karakter Bliss butuh comeback yang kuat setelah ‘dipermalukan’ oleh Ronda Rousey. Dan Bliss sendiri juga perlu memperlihatkan kembalinya dia menjadi lebih kuat sebagai seorang pegulat semenjak rentetan cedera. Untuk Bayley, ini adalah sebuah redemption. Karakter Bayley mengalami upgrade semenjak Money in the Bank 2019, dia bukan lagi semata ‘anak manis’. Bayley menunjukkan sisi fierce yang semakin menguat, dan kemenangannya di sini membuktikan dengan kekuatan baru itulah makanya dia pantas menjadi juara. Sementara Nikki Cross; ia sedang melakukan transformasi karakter dan pengembangannya sejauh ini semakin menarik dengan akhir pertandingan ini yang punya sedikit twist.

Dari ‘mean girl’ Alexa Bliss kita pindah ke ‘mean boy’ Samoa Joe. Semenjak hari-harinya di TNA, kita udah tahu Joe bersinergi luar biasa efektif ketika dihadapkan dengan lawan yang ‘bisa terbang’. Dan semenjak golden era kita tahu WWE paling jago menggarap cerita underdog. Tidak susah untuk menambahkan satu dan satu menjadi dua. Match Joe melawan Ricochet adalah contoh klasik pertarungan dua sisi yang berbeda ukuran, WWE mengapitalisasi trope ini dengan sangat berhasil. Perbedaan gaya tarung kedua superstar juga menambah bobot kespesialan pertandingan. Melihat Ricochet ‘dibully’ tapi terus bangun dan menghimpun serangan, kita tidak bisa tidak terinvest ke dalam match tersebut. Dan semuanya terbayar oleh hasil mengejutkan yang terasa sangat memuaskan.

Ketika mau pergi makan dan tau-tau kau teringat ada gulat di internet

 

Cowok dan cewek dalam perseteruan kesetaraan yang tak ada habisnya. Hanya di WWE kesamaan itu mungkin paling bisa dipertontonkan. Paling enggak di WWE, semua superstarnya seragam pake sepatu boots. Dan hanya di WWE lah ada cewek bergelar The Man. WWE sendiri sepertinya memang sedang fokus kepada eksplorasi cerita tentang kesetaraan gender. Mereka terus saja mendorong cerita seteru antara The Man dengan The Sassy Southern Belle meskipun Lacey Evans masih tergolong hijau sehingga selalu berhasil menemukan cara untuk ‘tersandung’ saat menapak bumi. Pertandingan-pertandingan Evans selalu kurang sempurna, her timing’s often off, dan kita bisa melihat dia nyaris kesandung saat berjalan menuju ring di akhir-akhir acara. Tapi karakternya sangat kuat. Maka tidak heran jika tap-out cepat yang ia lakukan bukanlah pertanda ini bakal terakhir kali kita melihat Lynch melawan dirinya. Tie in yang dilakukan oleh WWE bukan terbatas kepada misteri apakah Brock Lesnar akan cash-in kontrak MITB, melainkan juga keterlibatan cewek-cewek dalam kejuaran cowok. Evans, dan Baron Corbin adalah jembatan yang menghubungkan antara dua divisi. Relationship real-life antara Becky Lynch dengan Seth Rollins actually digunakan oleh WWE (tunggu, apa mungkin mereka disuruh pacaran supaya storyline ini bisa berlanjut?) untuk further enchance storyline dalam kaitannya dengan revolusi wanita.

Beberapa orang akan menganggap main event Stomping Grounds sebagai pertandingan yang sangat bego, dan buang-buang slot. Tetapi sesungguhnya that whole match adalah sebuah pengembangan di mana semua karakter yang terlibat mendapat penggalian yang menyuburkan gimmick mereka saat ini. Hasil akhirnya pun tidak benar-benar predictable. Penonton menge-boo para heel, menyiratkan cerita yang berhasil. Aku sendiri penasaran ke mana akhirnya WWE akan membawa semua ini. Karena menurutku, WWE di sini mengambil resiko yang cukup berani. Semacam pergantian role dalam trope ‘damsel in distress’ yang mereka lakukan di atas trope ‘wasit korup’ yang sudah sering kita lihat.

Yea, akhirnya. Akhirnya ada perubahan dan resiko yang diambil. Dua partai kejuaraan tag team yang kita lihat di acara ini menggunakan formula yang fresh, sekaligus tetap berhasil menyuguhkan aksi yang bikin kita menghentak-hentakkan kaki. Kita melihat ketika heel actually berhasil menjalan strategi mereka; jika biasanya kita melihat satu anggota tim baik ‘dikurung’ di atas ring, maka itu akan berujung pada hot tag di mana situasi berbalik. Untuk kali ini, kita melihat hasil yang berbeda dari strategi semacam itu. Sementara pada tag team yang menampilkan Daniel Bryan dan Rowan melawan Heavy Machinery (konsep gimmicknya aja udah menarik; jagoan planet melawan ‘mesin’ alat-alat berat!), WWE akhirnya menemukan cara untuk membuat heel yang disukai penonton tetap terlihat jahat sehingga berhasil memancing reaksi yang diinginkan. Kedua pertandingan tag team amat menghibur. Spotlight paling gede adalah buat Heavy Machinery yang di sini mencuat tampak kuat dan benar-benar konek dengan penonton

ada yang lihat awkward momen antara Ricochet dengan Charlotte?

 

Tapi Stomping Grounds bukan acara yang sempurna. Masih ada juga momen yang bikin kita menyepak tanah dengan kesal. Atau mengetuk-ngetuk kaki ke lantai dengan tak-sabar. Pertandingan Roman Reigns melawan Drew McIntyre yang ditemenin oleh Shane McMahon, misalnya. Sebenarnya di awal menyenangkan untuk ditonton, tapi ternyata match ini diarahkan berbeda dari kelihatan di awal. Merek diberikan waktu yang cukup panjang sehingga jurus-jurus powerhouse itu dengan cepat membosankan. ‘Hiburan’ bergantung kepada aksi Shane yang berusaha curang, namun itu mengorbankan karakter McIntyre yang hanya tampak keluar sebagai anak buah, ketimbang main event player seperti yang seharusnya.

Kofi Kingston dan Dolph Ziggler juga begitu. They go all the waaaaay back. Jadi, stipulasi steel cage diniatkan sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan efek ‘puncak seteru’. WWE juga membangun kandang itu sebagai lingkungan yang berkebalikan dari ‘habitat’ Kingston; Ruang gerak dan jelajah tali ring yang sempit, submission kelemahan Kingston yang tidak punya batas break. Dan tau kan gimana Kingston terkenal sebagai escape artist dari eliminasi Royal Rumble karena kemampuannya gak nyentuhin kaki ke lantai? Nah, pada Steel Cage justru Kofi mendapat tantangan dalam upayanya untuk sesegera mungkin nyentuhin kaki ke lantai di luar kandang. Konsep yang menarik, tetapi eksekusi mereka sangat membosankan. ‘Race’ untuk keluar dari kandang yang Kingston dan Ziggler lakukan tidak pernah tampak gereget, khususnya ketika pilihan ending yang dilakukan benar-benar ngepoint out betapa begonya gimmick cage match sedari awal. Alias sebenarnya sangat gampang untuk keluar dari kandang tersebut.

 

 

 

Diisi oleh pertandingan demi pertandingan yang solid, yang bercerita dengan baik, yang punya aksi memikat dan gak sekedar unjuk high-spot. Nyesel deh kayaknya penonton sono yang gak jadi beli tiket. Stomping Grounds adalah salah satu acara paling konsisten yang pernah diproduksi oleh WWE. Hanya saja, main eventnya yang lebih fokus pada cerita ketimbang aksi, dapat membuat banyak orang kecewa. Terutama karena Corbin dan Evans sudah demikian sukses menjadi karakter heel sehingga penonton enggak mau banget mereka harus dilawan lagi nanti ke depannya. The Palace of Wisdom actually kebingungan memilih MATCH OF THE NIGHT, karena semuanya berbobot. Namun pilihan tetap harus dijatuhkan, dan kami memilih Samoa Joe melawan Ricochet karena tingkat kesulitan aksi yang mereka lakukan.

 

Full Results:
1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch bertahan dari Lacey Evans
2. TAG TEAM Kevin Owens dan Sami Zayn mengalahkan The New Day
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Ricochet jadi juara baru ngalahin Samoa Joe
4. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The New Daniel Bryan dan Rowan tetap juara menang atas Heavy Machinery
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley mempertahankan sabuknya dari Alexa Bliss
6. SINGLE Roman Reigns menghajar Drew McIntyre
7. WWE CHAMPIONSHIP STEEL CAGE Kofi Kingston tetap juara setelah keluar kandang lebih dulu daripada Dolph Ziggler
8. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP, with lacey evans sebagai wasit, juara bertahan Seth Rollins mengalahkan Baron Corbin 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Money in the Bank 2019 Review

 

Desperate times call for desperate measures.

 

Beberapa minggu yang lalu, acara Raw berhasil mengeset rekor baru: jumlah penonton paling sedikit dalam musim yang bukan musim liburan, ataupun musim football. Raw hanya mampu menggaet 2.16 juta penonton padahal mereka lagi tidak punya pesaing. Tentu saja petinggi WWE menjadi kalang kabut. Tanpa ada persaingan langsung yang dapat menimbulkan kekacauan yang menarik minat, WWE merasa perlu untuk mengacak-ngacak sendiri produk mereka. Dengan harapan, keadaan chaos dapat menghasilkan ketertarikan. Maka kita dapat wild-card rule; yang basically menggonjang-ganjing kestabilan roster WWE – Raw dan Smackdown karena wild-card rule memperbolehkan superstar tertentu dari brand satu menyebrang ke brand lain. Di sini aku tidak akan mengatakan program wild-card tersebut efektif atau tidak – Vince McMahon brilian atau idiot – I’ll leave the judging to you all. Poinku adalah, comes Money in the Bank, WWE tampak semakin desperado.

Money in the Bank justru akan bersaingan langsung dengan episode finale salah satu serial televisi paling mainstream; Game of Thrones. Dan WWE bukannya tidak menyadari hal tersebut. Superstar WWE Drew McIntyre bahkan cukup blak-blakan di sosial media mengajak para fans untuk memilih MITB ketimbang GOT karena bakal ada kejutan. WWE sendiri, dalam usahanya untuk membuat pertunjukan menjadi lebih menarik minat benar-benar terlihat seperti berusaha keras membuat setiap pertandingan dalam MITB punya unsur mengejutkan, dalam sense tak terduga.

Chaos utama yang mereka jadikan fondasi acara ini adalah huru-hara misterius di backstage yang menyebabkan pertandingan MITB Cowok kekurangan satu peserta; siapa peserta penggantinya? Bukanlah misteri yang buruk sebenarnya. Jika WWE lebih berfokus kepada pengembangan, dan mengungkap perlahan, alih-alih kepada efek pengungkapan dahsyat, kupikir storyline yang menjadi latar acara ini akan dapat berkembang menjadi elemen yang menarik. Tapi tidak. Dalam eksekusinya, WWE seperti takut penonton gak akan menunggu hingga acara habis jika mereka membeberkan jawaban ‘siapa’ tadi. Maka mereka menunggu hingga menit-menit terakhir untuk mengungkapkannya. Supaya rating mereka bisa stabil lantaran penonton dipaksa untuk penasaran dan menonton hingga habis. Membuat kita terpaksa menonton salah satu pertandingan tangga MITB paling berpotensi menjadi hebat tapi pada akhirnya terasa seperti balon yang bocor; kempes.

Brock Lesnar adalah orang paling pintar dalam bisnis gulat hiburan

 

Aku sendiri sebenarnya akan excited abis melihat Brock Lesnar bertanding dalam pertandingan tangga dengan tujuh superstar. Surely, itu bakal jadi pertandingan paling langka. Aku gak ingat Lesnar pernah main match tangga sebelumnya. Bahkan dapat membawa karakternya ke dalam arahan yang berbeda. Problemku bukanlah kepada Lesnar yang tiba-tiba datang; bahwa dia ternyata masih kontrak dengan WWE. Masalahku adalah mereka membuat kedatangan Lesnar menghancurkan kerja para peserta lain yang udah susah payah membuat pertandingan tersebut menarik. Ini seperti film yang sedari awal membahas A untuk kemudian memunculkan B yang menegasi semuanya. Kenapa WWE tidak membuat Lesnar beneran bertanding saja dari awal match. Perkenalkan dia sebagai peserta pengganti – misteri siapa yang nyerang Zayn bisa tetap hidup karena belum tentu Lesnar yang melakukan. Akan menjadi sama menariknya kan, tanpa mengurangi nilai apapun dari match tersebut. I mean, Lesnar melawan Corbin, Ricochet, Balor, McIntyre, Ali, Andrade, Orton would hardly be a bad contest, right? Efek yang WWE incar pun akan bisa tetap tercapai. Jika WWE ingin membuat Lesnar dibenci, membuat Lesnar seperti mengejek wajah kita masing-masing, toh tidak ada salahnya membuat dia bertanding beneran. Lesnar bisa saja menjadi seperti Thanos di Avengers: Infinity War (2018). Bikin semua peserta memburu dirinya, tapi dia terlalu kuat. Kita yang menontonnya akan otomatis kesal melihat Lesnar berhasil selamat dari keroyokan, sebab naturally kita semua enggak mau orang ini menang dan jadi juara lagi. WWE seharusnya mengeksplorasi drama dari peristiwa selangka monster langganan juara seperti Lesnar ini ikutan bermain di Money in the Bank ladder match. Tapi seperti halnya film-film horor lokal yang males, WWE lebih tertarik untuk menonjolkan twist.

Ada banyak keputusan aneh seperti demikian kita jumpai dalam acara ini. WWE aware sama isu-isu dan potensi konflik yang mereka punya, tapi mereka memilih cara memutar demi membuat kita lebih lama menyaksikan – wishing semuanya bakal make sense di akhir. Mereka seperti kehilangan percaya diri untuk bercerita dengan lurus. Adegan Dana Brooke yang literally climbing down saat sedang berusaha meraih koper dengan sempurna menggambarkan keseluruhan acara ini buatku. Membuat Mysterio membalas kekalahan-cepatnya di Wrestlemania, tapi dengan kemenangan kontroversial adalah contoh lainnya. Bukannya tidak menarik, hanya saja aneh. Saking anehnya aku merasa lebih terhibur melihat interaksi antara Elias dengan Roman Reigns leading up to their 10-seconds match.

Yang paling menarik adalah apa yang terjadi kepada divisi cewek yang mendadak punya hero baru. Aku turut senang dan mengucapkan selamat kepada Bayley yang setelah acara ini berakhir menjadi superstar cewek pemegang gelar Triple Crown pertama – dia satu-satunya superstar cewek yang sudah pernah menyandang semua gelar yang tersedia di divisi wanita. Sirkumtansinya sebenarnya sungguhlah kocak. Semua pertandingan cewek di acara ini berfungsi sebagai platform untuk ngepush Bayley, dan kita semua tahu hal tersebut dilakukan WWE sebagai acungan jari tengah untuk Sasha Banks. Bayley dan Sasha dilaporkan protes karena mereka dibooking kalah di Wrestlemania; hanya saja Bayley masih stay profesional sementara Banks ‘pundung’ dan gak pernah terlihat di tv lagi sejak saat itu.

Kita tahu kemenangan gede Bayley di MITB ini adalah cara WWE menyampaikan pesan bahwa kita tidak selalu bisa langsung mendapatkan yang kita inginkan, tapi yang harus terus diingat adalah kerja keras dan kesabaran tidak akan mengkhianati hasil.

dan bahwa WWE masih mampu untuk membuat orang sukses dalam satu malam, kalo WWE mau.

 

Becky Lynch yang lagi hot-hotnya pun harus rela sedikit teredupkan. Becky mengemban dua match kejuaraan di acara ini, yang inti cerita tokohnya kali ini adalah dia harus menyadari bahwa ada beberapa hal yang terlalu besar untuk ia lakukan. Cerita yang menarik sebenarnya. Aku juga suka gimana WWE membentrokkan The Man dengan The Lady – Lacey Evans punya gimmick yang keren, dia seperti feminis antagonis dengan Women’s Right sebagai jurus andalan, ha! Tapi kedua match Becky dalam acara ini terasa kurang berapi. Hanya cukup sampai di level maksud ceritanya bisa kita mengerti. Tidak banyak urgensi, atau bahkan aksi yang bisa kita nikmati. Dua match tersebut terasa sama seperti kejuaraan Cruiserweight antara Tony Nese melawan Ariya Daivari, juga kejuaraan WWE antara Kofi Kingston melawan Kevin Owens; kurang dramatis dan lebih berfungsi sebagai pengulur waktu daripada bercerita.

One of the better storytelling pada acara ini adalah partai antara The Miz melawan Shane McMahon. Meskipun cerita mereka lumayan annoying – yang kita harap cepat berakhir – yang malah kita sangka sudah berakhir tapi ternyata lanjut berkat rule wild-card yang kusebut di atas. Yang paling top adalah kejuaraan universal antara AJ Styles melawan Seth Rollins. WWE berhasil menemukan bentrokan menarik di antara mereka berdua, di luar fakta bahwa dua superstar ini memang yang kerja ringnya paling asik dilihat. Styles didub sebagai pembangun Smackdown, menantang Rollins jawara Raw yang kerjaannya nge’burn it down’. Match mereka berhasil ngedeliver banyak emosi, juga intensnya urgensi. Kita pengen tahu dan sangat terinvest soal siapa yang lebih baik di antara keduanya. Dan WWE punya nyali untuk mengakhiri match tersebut dengan keputusan yang bulat dan bersih.

 

 

 

Seperti saat melihat Carmella mendorong Mandy Rose yang kebingungan untuk menjauh, kita lebih banyak bingung keanehan enggak yakin apakah WWE sengaja merusuh atau semuanya jadi rusuh lantaran WWE panik oleh perolehan rating. Menonton Money in the Bank terasa seperti demikian buatku. It delivers fresh events and rather interesting stories, hanya saja mereka melakukannya dengan aneh. Matchnya pun terkadang terasa kurang bertenaga. Hanya ada satu yang beneran sukses menyedot penonton, membuat kita merasa puas setelah dibuat naik turun oleh hebohnya aksi. The Palace of Wisdom menobatkan Universal Championship antara Seth Rollins melawan AJ Styles sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

Full Results:
1. MONEY IN THE BANK Bayley unggul atas Carmella, Mandy Rose, Naomi, Ember Moon, Natalya, Dana Brooke, dan Nikki Cross 
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Rey Mysterio merebut sabut Samoa Joe
3. CAGE Shane McMahon cengengesan setelah kemenangan terlepas dari tangan The Miz.
4. CRUISERWEIGHT CHAMPIONSHIP Tony Nese bertahan dari Ariya Daivari.
5. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Becky Lynch mempertahankan sabuknya dari Lacey Evans
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte mengambil sabuk dari Becky Lynch. Tapi tidak lama sebab,
7. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley ngecash-in kopernya dan jadi juara baru ngalahin Charlotte
8. SINGLE Roman Reigns menang dari Elias.
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins bertahan atas AJ Styles.
10. SIX MEN TAG TEAM, etapi gak jadi karena Lucha House Party diporak porandakan oleh Lars Sullivan
11. WWE CHAMPIONSHIP juara bertahan Kofi Kingston mengalahkan Kevin Owens
12. MONEY IN THE BANK Brock Lesnar meledek wajah Baron Corbin, Ali, Drew McIntyre, Finn Balor, Randy Orton, Andrade, Ricochet, dan wajah kita semua 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FIGHTING WITH MY FAMILY Review

“Everyone wants to win”

 

 

 

Enggak, aku bukannya bias karena aku penggemar gulat. Tapi Fighting with My Family yang diproduseri oleh Stephen Merchant bareng The Rock dan WWE Studios ini memang bagus karena nawarin drama keluarga yang beneran menyentuh, dari dunia yang tak semua orang tahu.

 

Pro-wrestling memang masih salah satu media entertainment yang sering diremehkan. Mungkin malah tabu di Indonesia, yang melarang penayangannya semenjak kasus anak kecil meninggal menirukan adegan-adegan smekdon. Maka aku maklum kenapa film tentang kehidupan keluarga pegulat kayak gini enggak ditayangin di bioskop kita. Siapa sih yang masih nonton gulat jaman sekarang? Film actually sangat self-aware. Pertanyaan tersebut beneran digambarkan oleh film ini dalam sebuah adegan kocak ketika keluarga pegulat makan malam bareng keluarga pacar anak mereka. Bahkan di antara sesama penggemar wrestling saja, Fighting with My Family awalnya sempat dinyinyirin. Kenapa malah Paige yang dibikinin biografinya, kenapa bukan Stone Cold, atau Undertaker, John Cena, atau The Rock sekalian?  Aku percaya setiap orang punya cerita, dan setiap cerita pantas untuk difilmkan. Asalkan ceritanya genuine loh ya, bukan cerita hidup dikarang-karang kayak orang yang titisan atau bisa melihat setan. Terlalu cepat? Rasanya tidak juga, karena pengaruh Paige di WWE sendiri cukup besar; dia juara cewek termuda dalam sejarah (umur 21 tahun), dia mencetuskan gerakan Women’s Revolution yang membuat posisi pegulat cewek lebih baik dan lebih signifikan, dia masuk nominasi Unyu op the Year My Dirt Sheet FOUR, dan unfortunately kini Paige sudah menggantung sepatu bootnya; dia tidak bisa bergulat lagi karena cedera yang ia koleksi sebagai efek samping dari bergulat sejak kecil. Itu sebabnya waktu sudah bukan masalah, cerita Paige beserta keluarganya kalo bukan golongan unik, maka aku gak tau lagi makna unik itu seperti apa.

Ketika Paige kecil berantem rebutan remote tv dengan abangnya, ayah mereka bukannya melerai tapi malah mengoreksi pitingan yang mereka lakukan. Keluarga Paige memang hidup dari bisnis gulat, ayahnya adalah legenda lokal di kota mereka di Norwich, Inggris. Begitu pula ibunya; nama asli Paige, Saraya, sebenarnya adalah nama-alias si ibu di dalam ring gulat. Orangtua macam apa hahaha… Keluarga ini mengelola promosi gulat independen, Paige sedari kecil sudah nyemplung ke dalam dunia ini, dan begitulah cintanya terhadap wrestling tumbuh. Paige berlatih gulat bersama abangnya, mereka melatih anak-anak di sekitar sana, mereka melakukan pertunjukan di aula. Paige dan abangnya, Zack, ingin mewujudkan mimpi mereka menjadi pegulat sehebat The Rock. Jadi mereka mendaftar untuk try-out di WWE, perusahaan yang udah kayak hollywood-nya dunia gulat-hiburan. Mereka berhasil terpanggil. Namun hanya Paige seorang yang beneran diterima untuk tampil di acara WWE.

I didn’t realize it back then, tapi sekarang, aku bangga pernah menyaksikan secara live Paige bertanding gulat

 

Hati dan jiwa film ini terletak pada hubungan antara Paige dengan abangnya tersebut. Motivasi mereka sama-sama besar. Film berhasil melandaskan betapa eratnya relasi antara kedua tokoh. Mereka hampir tak terpisahkan. Berlatih bersama. Bertanding bersama. Mereka adalah bebuyutan di dalam ring, namun di belakang panggung, mereka adalah the best of friends. Enggak gampang hidup dengan pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Bagi keluarga Paige, berjuang di atas ring itu sejatinya adalah perjuangan mereka di dunia nyata. Dan hubungan Paige dengan Zack si abang, merefleksikan bagaimana hubungan satu keluarga ini secara utuh. Set-up cerita benar-benar membuat kita terinvest. Keluarga akhirnya menjadi stake cerita; Zack harus menghidupi istri dan anaknya, sebagaimana Paige juga harus sukses untuk membantu keluarganya. Makanya, saat mimpi kedua tokoh ini tidak berjalan sesuai rencana, konflik yang menyusul terasa kuat merasuk ke dalam diri kita yang melihat mulai tercipta kerenggangan di antara mereka. Dan kerenggangan itu terasa lebih jauh dari jarak yang tercipta antara Paige harus pindah ke Amerika, tempat markas WWE, dengan abangnya di Inggris.

Cerita dengan bijaknya tidak sekadar membuat rasa cemburu sebagai api konflik. Malahan, cemburunya terasa sangat kompleks. Bayangkan dua orang yang saling dukung dan bantu karena sama besarnya menginginkan hal yang sama, tapi hanya satu yang bisa mendapatkan. Paige kehilangan semangat juang di pelatihan WWE yang sangat menempa fisik, sementara abangnya melawan kecemburuan tersebut dengan berusaha mempercayai dia tidak terpilih lantaran sang adik lebih baik dari dirinya. Bagi Zack, tentu saja itu sangat pahit. Naskah sukses berat memparalelkan kedua tokoh ini, kita melihat mereka menempuh turunan tajam dalam hidup. Penulisan Paige dan Zack ini adalah contoh yang brilian dari yang disebut KONFLIK NILAI KARAKTER. Menurut John Truby dalam bukunya, The Anatomy of Story, konflik yang menarik itu dapat terjadi dengan cara mengestablish tujuan yang sama untuk dicapai tokoh-tokohnya, tapi buat para tokoh tersebut punya cara atau pandangan yang berbeda untuk mencapainya. Paige dan Zack punya tujuan yang sama; sukses sebagai pro-wrestler, mereka terluka oleh wound yang sama saat mereka terpisah. yang menyebabkan mereka menciptakan ‘kebohongan’ yang berbeda. Menghasilkan konflik yang luar biasa terasa ke hati kita. Paige’s lie – kebenaran palsu yang ia percaya – adalah ia tidak bisa sukses tanpa abangnya. Sedangkan lie-nya Zack adalah dia bukan apa-apa karena tidak mampu keterima di WWE.

These two needs to work things out. Harus saling dibentrokkan supaya mereka melihat di luar kebohongan personal yang mereka ciptakan masing-masing. Dan momen ketika mereka berbenturan di akhir babak kedua itulah yang menjadi momen terhebat dalam film ini. Kita semua tahu gulat itu gak benar-benar memukul lawan. Film menggunakan ini untuk memulai momen benturan antara kedua tokoh. Paige dan Zack bertanding kembali dan apa yang dilakukan Zack akan membuat kita membenci dan sedih melihatnya di saat bersamaan. Permulaan yang sempurna dari penyelesaian yang menyusul kemudian. Aku sungguh-sungguh tak menyangka bakal disuguhin adegan keluarga, kakak-adik, yang begitu heartfelt dalam film tentang pegulat!

Siapapun yang merasa dirinya manusia, pasti pernah menginginkan sesuatu, so intense you think you’d die without it. Sekiranya inilah yang ingin disampaikan oleh sutradara Stephen Merchant. Bahwa semua orang menginginkan hal yang sama dengan kita. Ingin ‘menang’. Namun bukan berarti itu menjadikan dunia sebagai ring kompetisi. Karena seperti dalam gulat, ketika kau kalah, kau membuat orang lain tampak hebat, tidak berarti kau kurang penting. Kita semua adalah pemenang by default, tergantung kita yang menunjukkan seberapa menang kita, bahkan dalam kekalahan.

 

Hal unik lain yang bisa kita dapatkan dari film yang sebenarnya punya formula standar cerita tentang orang yang akhirnya menjadi ‘juara’ adalah kita bisa mendapat pengetahuan yang lebih dalam tentang bagaimana WWE bekerja. Mendengar alasan dari pihak WWE dalam cerita soal kenapa Zack tidak terpilih benar-benar membuat mataku terbuka. Bahwa setiap kita punya peran sesuai dengan siapa diri kita sebenarnya. Film juga berhasil membuat WWE tidak tampak munafik. Cerita tidak mangkir dari kenyataan dari company ini sudah tidak seperti dulu, bahwa mereka tentu saja mementingkan brand-image. Mereka meng-hire sebagian talent memang dari tampang dan lekuk tubuh semata. Namun itu semua punya alasan yang berkaitan dengan tema ‘semua orang ingin menang di perjuangan hidupnya masing-masing’. Dan untuk percaya bahwa perjuangan yang satu lebih tidak penting dari yang lain, adalah hal yang salah kaprah. Paige belajar pelajaran yang sangat berharga ini lewat rekan-rekan seperjuangan yang tadinya ia remehkan.

baru umur 26 dan sudah ada film tentang keberhasilan hidupnya, aku?

 

Dengan pengawasan ketat dari The Rock, skrip film ini berhasil berkembang dengan baik, tanpa mengurangi nilai penulisan dan strukturnya sendiri. Lumayan ada banyak alterasi yang dilakukan oleh naskah terhadap kejadian asli, yang bakal jadi makanan empuk buat nitpick-nitpick penggemar gulat. Tapi aku tidak punya waktu untuk nitpick saat sedang sibuk tertawa-tawa oleh dialog-dialog dan penampilan akting yang kocak sekali. Keluarga Paige lucunya udah keterlaluan. Nick Frost sangat hebat memainkan Ricky Knight, ayah Paige yang lumayan ‘bar-bar’ tapi fair dan sangat menyayangi keluarganya. Saat Frost mengucapkan dialog gulat adalah agama, penyelamat mereka, aku percaya. Sudah seperti Ricky beneran yang mengucapkan. Hampir semua adegan yang ada Ricky, kita akan tertawa. Vince Vaughn juga tampil dalam film ini, sebagai pelatih Paige di WWE. He also funny. Perannya akan sedikit mengingatkan kita saat dia jadi Sersan di Hacksaw Ridge (2016), meski di sini sedikit lebih ‘pg-13’. The Rock porsinya sedikit, tapi cukup mencuri perhatian. Meskipun dia tidak satu frame dengan banyak lawan mainnya, interaksinya dengan tokoh si Vaughn sangat minimal hingga malah tampak awkward, tapi tidak pernah jadi persoalan besar.

Pujianku terutama tertambat kepada Florence Pugh yang berperan sebagai Paige. Umm, ralat, tepatnya sebagai Saraya Knight, karena Paige adalah tokoh yang ‘dimainkan’ Saraya di atas ring WWE, dan film ini lebih tentang personal Saraya yang harus memainkan Paige. Ada banyak emosi yang harus Pugh kenai. Ada elemen fish out of water saat Saraya baru nyampe ke Amerika, dia harus menyesuaikan diri dengan disiplin kerja WWE, juga kehidupan sosial di sana. Pugh actually harus bergulat beneran, yang berarti ada usaha fisik juga. Film beneran merekaulang debut Paige di televisi sebagai final dari perjalanan Saraya. Bagi yang udah tahu sejarahnya, yang menonton pertandingan asli debut Paige melawan AJ Lee di tv, sekuen final film ini mungkin bisa terasa sedikit rush. Kepandaian Paige terasa tercut-cut, tidak begitu dominan. Adegan ini juga bisa tampak sebagai usaha sia-sia mendramatisir pertandingan WWE yang semua juga udah tahu hasilnya sudah ditentukan. Namun kupikir, semua itu adalah pilihan kreatif yang diambil oleh film. Karena sekuen tersebut bukan untuk menunjukkan cara Paige jadi juara mengalahkan AJ Lee, melainkan untuk memperlihatkan Saraya akhirnya berhasil mengalahkan kebohongan personal yang ia percaya, ia membanting demam panggungnya keras-keras, di momen tersebut Saraya sudah percaya dia terpilih untuk memegang sabuk bukan karena abang yang membuat ia jadi terlihat lebih baik.

 

 

Meminjam catchphrasenya The Rock; “It doesn’t matter” apakah kalian penggemar gulat atau tidak. Film ini dibuat untuk setiap orang. Karena kita adalah tokoh utama dalam cerita hidup masing-masing. Kita punya keinginan. Kita harus belajar memahami apa yang kita butuhkan untuk mencapai keinginan tersebut. Dan also, kita juga punya keluarga. Film yang berdasarkan dokumenter keluarga Knight The Wrestlers: Fighting with My Family (2012) ini memang tidak spesial dari segi arahan, ini adalah film crowdpleaser dengan formula yang sama kayak film-film tinju ataupun film tentang kompetisi. Tapi penampilan dan naskahnya tergarap dengan luar biasa baik. It is really inspiring. Drama keluarga dan konflik-konfliknya akan sangat menyentuh. Dan siapa tahu, kalian jadi tertarik sama dunia gulat setelah nonton film ini. Karena seperti yang selalu kubilang pada ulasan-ulasan kategori wrestling, gulat itu sama aja kayak film. Hanya pake spandeks.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for FIGHTING WITH MY FAMILY.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang gulat? Apakah kalian setuju dengan perkataan film ini bahwa manusia ada yang tercipta sebagai bintang, ada yang tidak, dan tidak seharusnya kita berjuang meninggalkan bagian kita?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WrestleMania 35 Review

 

 

 

Sebuah malam yang penuh perubahan di Metlife Stadium, New York. Bukan semata mecahin rekor penonton terbanyak (itu mah udah biasa!), melainkan juga rekor-rekor yang beneran luar biasa kayak pertandingan cewek pertama yang menutup WrestleMania, ataupun melahirkan juara WWE asal Afrika pertama – dan lebih spesifik lagi; juara dari Ghana pertama. WrestleMania 35 berhasil menorehkan pengaruh secara global. Ia menjadi acara penting, menandakan pergerakan zaman, menyuarakan perjuangan ekualitas dalam gagasan di balik aksi-aksi spektakuler. To look further beyond that, dalam skala yang lebih kecil, WrestleMania 35 pun adalah sebuah kesuksesan sebagai acara hiburan-langsung yang berdurasi hampir delapan-jam (termasuk kick-off show).

It’s not an easy feat to pull off. Beberapa tahun belakangan ini, WrestleMania – bahkan payperview gede WWE lainnya – berjuang keras untuk memaksimalkan durasi panjang yang mereka punya. Sekilas memang tampak sederhana; bukankah dengan waktu yang lebih panjang, acara bisa dikemas lebih leluasa sehingga menjadi semakin menarik? Well, masalah untuk acara live seperti WWE lebih kompleks daripada itu. Ada pertimbangan ‘daya-tahan’ penonton. Span-atensi yang semakin berkurang justru membuat semakin panjang durasi, resiko membosankan menjadi semakin gede. Kita tidak bisa meletakkan match-match seru begitu saja susul-menyusul. Penonton akan cepat lelah, dan akan menjadi terlalu capek untuk bersemangat di acara puncak. WWE berusaha memainkan pacing; memasukkan adegan-adegan backstage konyol, atau memasukkan match-match filler, supaya penonton bisa ‘beristirahat’ dari satu partai penting ke partai penting lain. Hanya saja, match dan segmen-segmen tersebut biasanya jadi kayak kata pepatah “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. People just want more dan mereka kesel dijejelin entertainment yang gak-jelas.

NXT Takeover – payperview dari brand NXT – adalah antitesis dari acara induk WWE. Digelar hanya sepanjang tiga jam. Diisi tak lebih dari lima-enam pertandingan, dengan paling banyak sekitar lima-belas superstar yang tampil. Tapi shownya selalu terasa padat, dan memuaskan. Setiap pertandingannya punya arahan cerita yang jelas, psikologi yang bener, sementara tetap menghibur dengan aksi-aksi yang tak ditahan-tahan. NXT Takeover seperti tak pernah dipusingkan oleh kebutuhan untuk menampilkan superstar sebanyak mungkin. Filosofinya adalah less is more. Ini gak bisa diterapkan di show utama WWE yang punya daftar superstar lebih besar. Thus, kepentingan untuk menshowcase keseluruhan mereka pun sama besarnya. Di antara mengakomodasi banyak sekaligus, membangun cerita, dan menyuguhkan aksi menghibur, acara WWE pada dasarnya bekerja secara long-term. Yang tampak sebagai keputusan match yang bego, ternyata hanya episode satu dari cerita perjuangan yang panjang. Maka kadang satu-dua payperview perlu untuk jadi ‘jelek’ dulu sebelum mendapat yang benar-benar make sense dan menghibur. Tapi tentu saja itu tidak bisa dijadikan alasan. WWE perlu untuk mencari formula supaya setiap acara mereka bisa sama menyenangkan untuk ditonton.

WrestleMania 35 mungkin memang hadir di waktu dan tempat yang tepat. Tapi sesungguhnya dalam acara ini WWE berhasil menemukan formula rahasia yang menjadikannya tontonan yang mengasyikkan dan tidak terasa membosankan walau panjang. Formula rahasia tersebut adalah; giving in to what people wants.

 

begitulah tampangku menonton acara ini dari awal hingga akhir

 

 

Mulai dari memenangkan Seth Rollins. Mematahkan losing-streak hometown superstar (di kick-off show). Menjuarakan Kofi Kingston. Menyerahkan dua sabuk kepada Becky Lynch – with absolutely no more bullshit. Hingga ke mengembalikan Dr. Thuganomics. Bahkan smallest act seperti menjadikan Alexa Bliss sebagai host dan Elias sebagai ‘penampilan musikal’ adalah tindakan nyata WWE sedang memanjakan fans. Memberikan apa yang penonton mau.

Aku gak akan ngomong terlalu panjang setelah teriak-teriak panjang yang kita lalui menyaksikan acara ini. WWE menekankan kembali fokus mereka kepada kita lewat video pembuka acara, merangkum kalimat dari Shakespeare yang practically bilang dunia ini adalah panggung sandiwara. “We are storytellers” kata para superstar WWE dalam video tersebut. Dan di sini, WWE melakukannya tanpa basa-basi. Setahun perjalanan cerita comes to an end, dan WWE melakukannya full untuk memenuhi keinginan penonton. Keputusan membuat pertarungan Lesnar singkat dan, surprise-surprise, menjadi pembuka adalah keputusan yang benar-benar tepat. Karena itulah yang penonton mau. Langsung to the point ke aksi seru.

Contoh paling seru dari gimana WWE mendengarkan para fans tentu saja adalah kasus Kofi Kingston dan Daniel Bryan. Kita harus mengakui perjalanan Wrestlemania Kofi berawal dari saat ia menggantikan Mustafa Ali yang cidera. Fans mengelu-elukan dirinya – due to the fact Kofi sudah berjuang sebelas tahun untuk stay relevant di papan tengah – dan alih-alih memaksakan cerita kembali ke alur rancangan mereka, WWE mendengarkan. Aku sendiri tadinya skeptis – gak mau bersorak terlalu cepat untuk Kofi. Karena biasanya WWE akan dengan angkuhnya nyuekin fans. Vince sendiri kan yang pernah bilang kalo fans itu sebenarnya tidak tahu apa yang mereka sendiri mau. Tapi kemudian, to my surprise, WWE mendevelopnya sehingga bukan saja ini adalah cerita yang kita usahakan bersama, tetapi juga merupakan sebuah storyline yang benar-benar menarik dan empowering. Kofi dan Bryan ini udah kayak cerita film Us (2019) buatan Jordan Peele. Bagi Bryan, Kofi adalah dirinya yang dulu; an under-privilege underdog. Bryan sebenarnya takut sama Kofi karena dia tahu persis kekuatan yang timbul dari perjuangan pembuktian diri menggapai kesempatan. Bagi Bryan, melawan Kofi sama seperti melawan dirinya di tahun 2014 yang lalu – dirinya yang udah menaklukan authority dan WrestleMania. Cerita yang sangat kuat, yang tentu saja tidak membawa kerugian di dalam ring. Actually, Kofi melawan Bryan adalah pertandingan terbaik di WrestleMania. Kita semua terinvest ke dalam ceritanya sehingga perhatian kita tak sedetikpun teralihkan. Setiap pinfall, setiap jurus gede, membuat kita merinding oleh intensnya emosi.

Semua cerita dalam pertandingan-pertandingan acara ini didesain untuk menjawab keinginan para fans. Tapi bukan berarti tak ada kejutan. Pada partai main event yang bersejarah itu, misalnya, WWE mewujudkan harapan fans untuk melihat The Man berjaya. Match tiga cewek perkasa ini begitu brutal dan stiff, sangat layak untuk jadi main-event, dan meskipun akhirannya agak antiklimaks tapi gak satupun dari kita menyangka Rousey-lah yang actually di-pin alias dikalahkan. Dan twistnya adalah, cerita ini tidak berakhir seperti yang diucapkan Rousey di video pembuka; ini tidak seperti ending.

Pada dasarnya, sebagian besar pertandingan di acara ini seperti epitome dari chant “You suck!” yang kita layangkan kepada Kurt Angle. Kita terhibur saat menyebutnya ‘payah’. Tidak ada yang pengen melihat Corbin jadi lawan terakhir Angle, apalagi Corbin yang menang, tapi kita tahu cerita musti berakhir begitu, dan apa yang kita inginkan sebenarnya adalah Kurt Angle mendapat satu I lagi dari moto 3 I yang dia punya. Intensity, Integrity, Intelligence. Dan kini, Immortal. Match tag team cewek suck abis tapi kita senang karena duo favorit kita yang menang. Kita ogah melihat Shane lagi-lagi menang, namun kita bersorak-sorai melihat Shane dan Miz main hardcore gila-gilaan. Kita sebenarnya bosen melihat Lashley lawan Balor melulu, tapi kita excited demi melihat demon beraksi. Dan kejuaraan Tag Team Smackdown, kupikir kita semua gak akan masalahin siapa yang menang, karena yang paling penting adalah keempat tim yang terlibat telah menyuguhkan atraksi tarung yang dahsyat. Bahkan Batista melawan Triple H yang begitu obvious pemenangnya (berkat stipulasi yang gak perlu) saja masih menghibur kita lantaran kita mendapatkan apa yang kita harapkan dari dua superstar masa lalu ini.

Is this a game over? Is this an end game?

 

Memang sih, terlalu banyak fan-favorit yang menang tak ayal akan membuat kesal juga bagi beberapa orang yang pengen hasil yang lebih menantang. Seperti Roman Reigns melawan Drew McIntyre yang sebenarnya bisa dibuat jadi lebih kelam. Atau juga Orton lawan Styles yang bisa dibuat lebih gede karena pertandingan mereka sama sekali tidak terasa seperti partai sebergengsi partai WrestleMania. Tapi toh kedua partai tersebut berhasil juga bercerita dengan sangat fokus. Tentang Styles yang melihat RKO, dan tentang simbolisasi Reigns mengalahkan leukemia by himself. So they both served a storyline purpose dalam batasan waktu yang diberikan. Walaupun memang tidak sebesar yang seharusnya bisa dilakukan. Dan to be fair, match Mysterio lawan Samoa Joe berlangsung singkat sepertinya karena Rey masih belum sembuh benar dari cidera angkle-nya.

 

 

 

WrestleMania 35 adalah salah satu delapan-jam paling asyik yang pernah aku habiskan sambil makan kacang. Dua belas match dalam lima setengah jam. Tidak semelelahkan seperti yang sudah kuantisipasi, ternyata. Ada banyak feel-good moment, yang tidak merusak kesinambungan ataupun kelogisan cerita. WWE benar-benar berhasil menyenangkan hati para penggemarnya. Totally sebuah cara yang benar dalam merayakan perubahan. The Palace of Wisdom menobatkan WWE Championship antara Kofi Kingston melawan Daniel Bryan sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Results:
1. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins merebut gelar dari Brock Lesnar
2. SINGLE AJ Styles mengalahkan Randy Orton.
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL 4 WAY The Uso bertahan dari The Bar, Rusev dan Shinsuke Nakamura, serta Ricochet dan Aleister Black.
4. FALLS COUNT ANYWHERE Shane McMahon menang dari The Miz karena suatu “keajaiban WrestleMania”.
5. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY The Iiconics jadi juara baru ngalahin Sasha Banks dan Bayley, Tamina dan Nia Jax, serta Natalya dan Beth Phoenix.
6. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston memulai hari baru sebagai juara setelah ngalahin The New Daniel Bryan.
7. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Samoa Joe retained by quickly defeating Rey Mysterio.
8. SINGLE Roman Reigns menang dari Drew McIntyre.
9. NO HOLDS BARRED Triple H gak jadi harus pensiun karena berhasil mengalahkan Batista.
10. ANGLE’S FAREWELL Baron Corbin ngalahin Kurt Angle.
11. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Finn Balor mengeluarkan Demon jadi juara baru ngalahin Bobby Lashley.
12. RAW AND SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT WINNER TAKE ALL Becky Lynch jadi dobel champion ngalahin Ronda Rousey dan Charlotte Flair.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Fastlane 2019 Review

 

Sungguh akan membosankan jika jalan yang ditempuh lurus-lurus saja, maka Fastlane 2019 memastikan setiap protagonis dalam masing-masing storyline mereka berjalan di jalur yang penuh tikungan tajam, sehingga perjalanan mereka menuju Wrestlemania terasa sangat dramatis.

 

Para favorit penonton, seperti Kofi Kingston dan Becky Lynch, tidak diberikan jalan keluar yang pasti. WWE benar-benar cakap dalam menggali drama, sehingga sekalipun Fastlane 2019 masih terkesan sebagai acara filler – seperti bagaimana Captain Marvel (2019) juga ‘hanyalah’ singgahan sebelum suguhan utama yakni Avengers: Endgame – namun kali ini WWE berhasil memadatkannya. Fastlane 2019 dijadikan ajang showcase buat aksi-aksi akrobat yang selama ini agak sedikit dikesampingkan oleh cerita utama dan juga jadi cara WWE untuk mengikat berbagai lose-end entah itu dalam cerita, maupun yang timbul dari keadaan darurat seperti injury tak-terduga dari superstar-superstar yang mereka miliki.

Hometown-boy The Miz menemukan jalannya berliku tatkala secara mengejutkan Shane McMahon, pasangan tag teamnya, frustasi dan menyerang dirinya dari belakang setelah pertandingan mereka yang dijadikan pembuka acara. ‘Mengejutkan’ lantaran banyak yang mengira WWE tidak berani mengambil resiko dengan memposisikan Miz sebagai tokoh face yang sengsara seperti demikian. Penonton di arena Quicken Loans begitu terinvest ke dalam partai kejuaraan tag team tersebut, semuanya mengelu-elukan The Miz yang berasal dari daerah mereka, Cleveland-Ohio, bahkan ayah Miz kembali hadir dan menonton di barisan depan. Miz dan Shane jelas sekali adalah tokoh utama dalam cerita mereka, Shane actually juga dapat huge-pop setelah spot keren dan penuh presisi yang ia lakukan – Shane menyetop serangan Uso di udara! – semua bangunan cerita itu seolah Miz yang akan balik menyerang Shane. Jadi menurutku akan menarik bagaimana WWE akan menangani karakter yang bisa dibilang ‘baru’ buat The Miz yang nyaris sepanjang karirnya jadi tokoh jahat yang songong tapi pengecut.

Tokoh-tokoh heel dibuat mendominasi dalam acara ini. Tim Sasha Banks dan Bayley, meskipun menang, namun mereka pada akhirnya dihajar oleh Tamina dan Nia Jax. Dan bahkan setelahnya, kita melihat tim Samoan Slaughterhouse tersebut menghajar Beth Phoenix, yang datang sebagai komentator tamu, perfectly ngeset up pertemuan di Wrestlemania bagi yang peduli pada Nia Jax. Karena kalo mau benar-benar jujur, hal paling jahat yang bisa kita dapatkan dari title defense pertama kejuaran tag team cewek tersebut adalah banyaknya botch yang kedua belah pihak lakukan. Sasha bermain se-sloppy yang biasa ia lakukan, dan aku gak ngerti gimana Nia bisa kehilangan keseimbangan menangkap Sasha yang memiliki postur kurang dari setengah badannya. Melihat Nia dan Tamina membuatku teringat pada Rikishi dan Haku yang sempat mendominasi di era 2000an, hanya saja dari segi skill dua cewek ini masih jauh di bawah konterpart cowok tersebut. Satu lagi kejuaraan yang melibatkan superstar cewek – Asuka defending against Mandy Rose – seharusnya adalah kesempatan emas buat keduanya mempertontonkan apa yang mereka punya. Sayangnya, match mereka dikasih drama yang sebenarnya gak perlu, pun dieksekusi dengan awkward, sehingga enggak ada sama sekali kesan yang dihasilkan

fans malah lebih prihatin sama handphone milik Beth Phoenix

 

Cukup disayangkan sebenarnya match-match single dalam acara ini kebanting oleh partai ramean, karena buatku partai satu-lawan-satu selalu punya urgensi yang lebih tinggi – psikologinya lebih aman terkena bias-bias aksi. Belakangan ini WWE membuktikan mereka mampu membuat partai ramean yang enggak sekadar ‘aksi tabrakan’. Namun di Fastlane 2019 ini, partai rameannya gak benar-benar berisi karena diutilisikan sebagai ajang showcase, dan oh boy, aksi-aksi yang disuguhkan di acara ini beneran cepet dan bertenaga. Aku bisa pastikan kita semua sangat enjoy menyaksikan kejuaraan tag team Raw yang melibatkan tiga tim; juara bertahan The Revival melawan Bobby Roode-Chad Gable melawan Aleister Black-Ricochet. Tiga tim yang semua pesertanya berangkat dari NXT ini benar-benar sudah jaminan seru. Mereka semua sukses terlihat kuat oleh match ini, membuat kita merindukan pertemuan mereka di kemudian hari. Begitu pula dengan kejuaran United States yang diperebutkan oleh empat orang; Samoa Joe, Andrade, Mysterio, dan R-Truth. Meskipun kepentingan partai ini mungkin lumayan rendah, sebab kita sudah melihat pertandingan ini beberapa hari sebelumnya. Namun berkat itu pulalah, chemistry di antara keempat superstar jadi terlatih dan mereka berhasil menyuguhkan kontes yang fast-paced penuh oleh gerakan-gerakan menarik. Kedua match tersebut, minim kepentingan cerita, dan hanya berfungsi untuk memberi ruang kepada banyak superstar untuk dikenal lebih jauh; catatan pentingnya adalah fungsi tersebut berhasil tercapai.

Dan sepertinya memang aksi berbicara lebih lantang ketimbang kata-kata. I mean, jika kalian ingin tahu seberapa hebatnya Mustafa Ali, tonton saja partai kejuaraan WWE antara Ali melawan Kevin Owens melawan Daniel Bryan. Di awal-awal pertandingan tersebut, penonton menggerutu karena mereka pengen Kofi Kingston yang berada di sana. Untungnya bukan tanpa alasan ketiga superstar itu disebut sebagai profesional. Owens tampil berapi-api, Bryan memainkan karakter heelnya dengan baik, dan Ali; Ali was over the place. Seiring berjalannya pertandingan, gerutuan dan teriak-teriakan “We want Kofi!” penonton berubah menjadi decak kagum demi melihat apa yang dilakukan oleh Ali. See, menurutku penonton memang agak cinta-buta dalam kasus Kofi Kingston ini. Tentu, Kofi pantas mendapatkan posisi yang lebih baik, dia berhak untuk dikenal lebih dari dirinya yang sekarang, namun banyak penonton yang mengabaikan fakta bahwa Kofi di Elimination Chamber bulan lalu hanyalah pengganti Ali yang cedera. Kofi terpilih karena dia lincah, seperti Ali, jadi alur match Chamber itu gak perlu banyak dirombak. Kini setelah Ali sembuh, tentu saja WWE ingin mengarahkan kembali ceritanya ke jalan yang benar. Dan sebagai perusahan bisnis yang udah survive lebih dari 30 tahun, WWE tentu paham untuk memanfaatkan reaksi penonton terhadap Kofi sebagai peluang untuk menggali cerita baru seputar dirinya. Maka kita mendapat ‘episode 1’ cerita Kofi tentang bagaimana dia di-screw oleh Vince McMahon pada Fastlane ini.

masih gak yakin di lagu entrancenya Mandy Rose menyebut namanya atau menyuruh aku…. mandi~

 

Aku selalu menonton dan menilai acara WWE layaknya menonton dan menilai film, tapi sesungguhnya ada satu perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Jika dalam menilai film, kita harusnya hanya bicara tentang filmnya. Kita tidak mempedulikan seberapa jor-joran promo jualan yang dilakukan. Kita tidak menyangkut-pautkan hal-hal pribadi ataupun kontroversi yang dilakukan oleh pemain ataupun pembuat filmnya. Dulu Depe dan almarhum Jupe sempat rela berantem hingga masuk penjara demi menjual film horor yang mereka bintangi, namun kualitas promo tentu saja tidak berhubungan langsung dengan kualitas filmnya. Nah ini berbeda dengan WWE. Dalam WWE, promosi adalah bagian dari storyline, termasuk ke dalam unsur storytelling. Malah jaman dulu, para superstar dituntut untuk tetap in-karakter meski berada di luar arena, karena yang namanya backstage itu ya di manapun kecuali di dalam stage alias ring. Di era digital, WWE mengambil langkah yang lebih jauh dalam mempromosikan ceritanya. Mereka menggunakan sosial media untuk menambah bumbu-bumbu seteru, menyuruh superstar untuk memposting cerita bersama hal-hal personal demi mengaburkan garis batas cerita dengan kenyataan. I mean, lihat gimana ayah kandung Miz dimasukkan ke dalam cerita Miz dan Shane di awal. Seperti twitwar yang viral antara Becky Lynch dengan Ronda Rousey. Nice work yang mereka lakukan untuk membuat perseteruan mereka semakin panas sehingga ketika pada saatnya keduanya bertanding di Wrestlemania, segala bangunan emosi itu meledak dan kita yang terinvest kebawa emosional olehnya. Masalahnya adalah, kedua superstar yang adu twit bawa-bawa keluarga itu ternyata tidak berdua.

Dalam Fastlane kita melihat episode berikutnya dari perjalanan Becky Lynch, dan di mana ketika seharusnya mereka merapikan cerita ini, WWE malah membuatnya semakin rumit dan gak make-sense. Mari kita rekap sebentar; Lynch kalah melawan Asuka di Royal Rumble, jadi nasibnya di Wrestlemania belum jelas. Jadi Lynch mengambil spot Royal Rumble Lana yang kebetulan cedera, dan Lynch sukses memenangkan Royal Rumble. Menjadikannya berhak menantang juara cewek yang ia pilih. Lynch memilih Rousey. Tapi kemudian, Lynch juga cedera dan dia menolak ke dokter. Setelah dipaksa, Lynch akhirnya ke dokter dan dititah clear untuk bertanding, meski sekarang dia pake crutch untuk berjalan. Hanya saja Vince gak suka sama sikapnya, sehingga Lynch disuspend selama 60 hari dan digantikan posisinya oleh Charlotte. Menanggapi ini, Rousey ngamuk dan meninggalkan sabuk juaranya. Stephanie kemudian mencabut suspensi Lynch, dan Rousey tiba-tiba jadi heel saat Lynch diharuskan bertanding melawan Charlotte untuk posisi yang secara sudah ia menangkan di Royal Rumble. Ribet banget! Banyak kelokan cerita yang gak perlu dan gak masuk akal. Match Lynch melawan Charlotte di Fastlane ini berakhir prematur setelah Rousey datang, memukul Lynch, dan memastikan dirinya melawan dua orang alih-alih satu di Wrestlemania. Logika yang aneh, karena Charlotte sama sekali tak-penting di sana, terlebih mengingat promo dan ‘perang’ yang dilakukan berdua oleh Lynch dan Rousey di twitter.

Kalo aku yang nulis cerita, aku akan bikin Lynch menang di Fastlane dengan susah payah – kakinya masih cedera. Dan di Raw menjelang Wrestlemania, Rousey menghajar Charlotte sampe babak belur – dengan gampang karena dia nyerang dari belakang – sehingga Charlotte tak clear untuk bertanding. Ini akan membawa kita kepada Lynch melawan Rousey, satu-lawan-satu, dengan rintangan yang sungguh besar bagi Lynch – mengeset dirinya sebagai ultimate babyface, dengan Rousey sebagai penjahat utama, dan Charlotte sebagai katalis yang berperan penting untuk pembangunan dua karakter sekaligus.

 

But still, betapapun gak make sensenya arahan cerita yang diambil oleh WWE terhadap Lynch, Charlotte, dan Rousey, match mereka di Fastlane ini masih punya purpose. Masih masuk ke dalam gambaran-besar jalan berliku yang harus dilalui oleh protagonis cerita. Fastlane dan build-upnya penuh oleh superstar yang tiba-tiba ‘muncul’ atau diganti sebagai bentuk usaha WWE merapikan storyline. Salah satu kemunculan kembali itu adalah Roman Reigns yang beberapa bulan setelah Wrestlemania tahun lalu mengundurkan diri karena penyakit leukimia yang ia derita. Sebagai comeback yang pantas dirayakan, yang timingnya juga pas sekali dengan rumor bahwa Dean Ambrose akan hengkang dari WWE begitu kontraknya habis tak berapa lama lagi, maka WWE impromptu membuat match yang digadang sebagai pertandingan terakhir The Shield. Seth Rollins yang bersiap untuk tanding melawan Lesnar di Wrestlemania ditarik ke match ini, Ambrose yang berpaling dari Shield begitu Reigns mengundurkan diri ditarik kembali bergabung, dan ya kita melihat partai utama Fastlane berupa match Shield melawan tim Baron Corbin, Drew McIntyre, Bobby Lashley – yang lumayan seru, yang emosional karena ini supposedly adalah perayaan memenangkan penyakit mematikan, tapi tidak benar-benar terasa fit ke dalam apapun. Match ini adalah epitome dari yang namanya sebuah filler; tidak mempropel storyline yang sedang berlangsung. Enggak benar-benar punya purpose, selain mengantarkan penonton pulang dengan hati yang puas.

 

 

Setelah semua ini, kupikir kita semua lumayan bergairah demi menunggu Wrestlemania. WWE sendiri cukup berhasil menyuguhkan tiga pay-per-view yang bagus secara berurutan di tahun 2019 ini. Fastlane 2019, masih sebuah filler, tapi punya kualitas di atas rata-rata. The Palace of Wisdom menobatkan Triple Threat Kejuaraan WWE sebagai Match of the Night; salah satu triple threat terseru yang pernah aku tonton.

 

 

Full Results:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Uso mempertahankan gelar mereka atas Miz dan Shane McMahon.
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka bertahan dari Mandy Rose.
3. HANDICAP ONE-ON-TWO The Bar mengeroyok Kofi Kingston.
4. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT The Revival kembali juara mengungguli Aleister Black-Ricochet dan Bobby Roode-Chad Gable.
5. UNITED STATES CHAMPIONSHIP FATAL FOUR WAY Samoa Joe tetap juara mengalahkan Rey Mysterio, Andrade, dan R-Truth.
6. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP juara bertahan Bayley dan Sasha Banks defeating Nia Jax dan Tamina
7. WWE CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Daniel Bryan kembali bawa pulang sabuk setelah ngalahin Mustafa Ali dan Kevin Owens
8. SIX-MEN TAG TEAM The Shield menghancurkan Baron Corbin, Drew McIntyre, dan Bobby Lashley

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Elimination Chamber 2019 Review

 

Kesempatan biasanya digambarkan terletak di luar sangkar. Simbolisasinya adalah dengan bebas dari sangkar, kita bisa terbang mengejar berbagai kemungkinan; kesempatan tak-terhingga akan terbuka bagi kita, akan dapat kita cari, jika kita sudah terbebas dari kurungan. Elimination Chamber 2019 adalah anti- dari hal tersebut. Kerangkengnya boleh jadi didesain untuk menciptakan rasa sakit tatkala tubuh terhempas ke dinding rantai atau kaca tebalnya. Namun acara ini sejatinya didesain untuk menunjukkan kepada kita perjuangan orang-orang mencari kesempatan, menggenggam dan memanfaatkannya, selagi mereka masih terkurung di dalam kerangkeng penyiksa tersebut. Orang-orang yang melawan siksa dan derita mereka demi kesempatan hidup yang lebih baik.

Kebebasan itu tidak ditunggu. Kesempatan itu tidak datang sendiri. Kitalah yang harusnya terus berjuang membuka pintu kesempatan dalam ruang kungkungan personal kita masing-masing sebelum akhirnya mendobrak gerbang pembatas menyongsong kesuksesan.

 

Dulu sekali pernah ada kejuaraan tag team untuk pegulat wanita, tercatat ada setidaknya delapan superstar yang pernah menyandangnya, tetapi kejuaraan ini lantas ditinggalkan begitu saja oleh WWF. Karena situasi dan arahan produknya. Februari tanggal empat-belas tahun 1989 kejuaraan tersebut dinonaktifkan. Tiga puluh tahun kemudian, dengan semangat dan gerakan revolusi di dunia yang baru ini, WWE menciptakan kembali kesempatan untuk superstar-superstar cewek berkompetisi dalam semangat tim. Dan kita mendapatkan salah satu partai elimination chamber terbaik yang pernah ada.

Kita bisa melihat kedelapan superstar cewek yang beruntung untuk terpilih terlibat dalam pertandingan bersejarah tersebut merasa begitu terhormat sehingga mereka bermain dengan penuh respek, spot-spot yang sloppy suprisingly sangat minimal dalam partai pembuka ini. Semua yang terlibat berada dalam kondisi prima; ya superstarnya, penulisan atau bookingnya, ya arahan aksinya. Masing-masing tim dapat kesempatan bersinar. Ada sekuen keren di mana mereka bergantian menyerang dengan jurus pamungkas, yang dimainkan dengan begitu baik. Sekuen kayak gini sebenarnya cukup sering dipake dalam match ramean, tapi biasanya banyak botch tapi tidak untuk kali ini.  Sekuen semacam ini susah untuk dieksekusi karena harus memperhitungkan timing, kurang lebih ekivalen sama long take (shot yang gak di-cut) dalam film.

Aku nonton WWE kayak aku nonton film. Aku akan memperhatikan penulisan cerita, simbolisasi, keparalelan gerakan dengan emosi dan psikologi yang berusaha diceritakan. Satu hal menarik yang terperhatikan olehku adalah enam tim dalam pertandingan ini seperti melambangkan genre; komposisi match tag team cewek tersebut adalah tiga tim aksi, satu tim horor, serta 1 tim drama. Dan kayak di Oscar, genre drama selalu jadi peringkat pertama. Ngelihat tim Nia dan Tamina (usulan nama: Tim Tamia hihihi) dikeroyok ngingetin aku ke film horor Hereditary (2018) yang dibantai oleh awards musim ini. Tapi di sini, aku enjoy melihatnya. Ada spot bikin takjub Nia Jax lari gitu aja menerobos kaca chamber, wuihh!

Billie Kay dan Peyton Royce kayak kakak senior cewek pas ospek: Cakep. Berisik. Galak. Pedes.

 

Film yang baik selalu adalah film yang punya pertumbuhan karakter, kejadian yang ia alami selalu ‘balik’ mengingatkan dia – dan juga kita – akan masa lalu yang menjadi titik balik konfliknya. Elimination chamber cewek ini punya semua itu. Pertandingan dimulai dan diakhiri oleh empat superstar yang tahun lalu juga ‘bermain’ dalam environment kandang ini. It all comes back to us soal gimana ini adalah tentang Sasha Banks dan Bayley yang tahun lalu berantem sedangkan sekarang mereka satu tim. Cerita membangun pentingnya kerja sama tim; kita diperlihatkan tim Iconic sukses mengeliminasi tim Fabulous Glow dengan ngepin berdua – menunjukkan chemistry yang dibangun sejak lama lebih kuat dari hubungan yang baru dimulai. Kemudian cerita berlanjut dengan menunjukkan betapa bahayanya jika satu tim terpisah lewat Tamina yang perkasa harus kalah ketika Nia Jax tak sadarkan diri. Semua kejadian ini secara tak-sadar nempel di kita. Jadi ketika kemudian kita melihat Sasha yang berusaha menolong Bayley manjat chamber (throwback dari kejadian tahun lalu di mana dia ngeScarMufasain Bayley di atas kandang) – Sasha yang mulai mengerti pentingnya tim, dia memberikan kesempatan untuk Bayley menjadi timnya – harus bertempur sendirian ketika Bayley terluka, kita bisa merasakan intensitas yang besar, dan ketika Sasha berhasil menang rasanya high banget meskipun kita mungkin udah jenuh sama tim Sasha dan Bayley. Pertandingan ini menawarkan drama roller-coaster yang merayap diam-diam lewat setiap adegan/spot yang dieksekui dengan amat baik. Drama persahabatan yang dibangun dalam jangka satu tahun. Aku suka ketika WWE memperhatikan pertumbuhan karakter seperti begini, yang sebaliknya juga menurutku sering luput oleh kita semua.

Susunan partai pun biasanya dibuat oleh WWE mengikuti alur naik-turun dalam penulisan struktur film. Fase ‘kekalahan’ ditampilkan mereka lewat cerita Miz. Kita melihat Miz gagal mengkapitalisasi kesempatan di depan mata istri dan rekannya. Kemudian keseruan kita dibawa naik kembali oleh match Finn Balor. Cerita Balor adalah soal gimana dia disebut tidak bisa memanfaatkan kesempatan – dia pernah terpaksa menggugurkan kejuaraan yang ia dapatkan susah payah karena cedera, dia kalah dengan sukses setelah dikasih kesempatan merebut kembali kejuaraannya. Tantangan yang harus ia jawab sekarang adalah bisakah Balor memanfaatkan kesempatan menjadi juara Intercontinental yang sudah dibuat untuk menguntungkan dirinya. Match ini jika disamakan dengan film berfungsi sebagai penghantar kita ke sekuens ‘romantis’. Karena setelah ini, kita akan melihat kemunculan Becky Lynch, tokoh utama dari cerita utama WWE dalam musim Wrestlemania kali ini.

Aku suka-suka aja dengan cerita Becky, tapi arahannya memang agak aneh. WWE membuat dua superstar Smackdown mengejar sabuk Raw. Dengan efektif sekali membuat juara cewek Smackdown seperti tidak berharga. Dalam acara ini, ternyata bukan cuma Asuka yang direndahkan, melainkan juga Ruby Riott. Dan tak pelak mungkin saja keseluruhan superstar cewek di RAW selain yang memegang sabuk. Arahan cerita dipilih oleh WWE ini terbukti merugikan banyak aspek. Bahkan Ronda Rousey si juara yang diperebutkan pun malah jadi kayak berdiri aja di sana – tegak manis dengan kostum Sonya Blade game Mortal Kombat – alih-alih ‘ribut’ dengan Lynch.  Satu-satunya aku bisa setuju dengan angle Vince memasukkan Charlotte ke dalam feud Lynch-Rousey adalah jika nanti pada akhirnya kita akan mendapati Lynch sebagai Stone Cold Steve Austin versi cewek.

Sekuens ‘Taktik Baru’ datang lewat pertandingan Braun Strowman. Di partai ini WWE berusaha mengambil sudut baru dari feud Strowman dengan Corbin yang hampir selalu berakhir dengan cara yang sama. Di sini kita melihat sesuatu yang lumayan baru terjadi kepada Strowman. Dan ini membuat ketertarikan kita tetap relatif di atas. Sejauh ini, memang belum lagi ada partai yang bercerita dan beraksi sekuat dan seseimbang selain partai pembuka yakni Elimination chamber tagteam cewek tadi. Akan tetapi semua partai tersebut dibuat ada ‘mainan’nya. Gak ada yang terasa ‘normal’. Berkat bookingan, acara ini jadi punya pace yang lebih baik dari kebanyakan acara WWE yang biasa kita saksikan. Kemunculan aneh dari Lacey Evans pun tak berarti banyak untuk menjatohkan suasana, dan ini dapat kita artikan sebagai sekuens ‘Resolusi Palsu’ lantaran Evans datang seolah dia bakal bertarung.

Terakhir kali WWE Championship diberikan kehormatan untuk menutup acara adalah sebelas bulan yang lalu, tepatnya pada acara Fastlane 2018. Ini, dan fakta bahwa kejuaraan cewek Smackdown gak kebagian nampil, menunjukkan bahwa meskipun masing-masing brand punya sabuk tertinggi tetep saja kasta Raw lebih ditinggikan. Padahal kita tahu Smackdown selalu punya superstar yang lebih jago dalam urusan aksi di dalam ring, hanya saja WWE seringkali bingung mau ngapain terhadap mereka. Elimination Chamber untuk kejuaraan WWE yang dibuat ramah-lingkungan oleh juara The New Daniel Bryan ini seperti tersusun atas tiga action, satu horor, satu twist (RKO outtanowhere!!)

dan satu kartun anak-anak 80an

 

Alur pertandingannya sendiri gak begitu membekas kayak chop Samoa Joe yang meninggalkan jejak merah di dada Bryan. Terlihat seperti random saja berjalan hingga menjelang akhir saat Kofi Kingston mulai mendapat sorotan. It’s nice to see Kingston finally got a big push. Sebelas tahun loh dia di WWE, dan untuk match ini ‘sejarah’ Kingston benar-benar dipake untuk membangun karakternya. WWE ingin mengubahnya dia menjadi ‘drama’. Secara teori, bekerja dengan amat baik. Hanya saja, I never buy it. Karena aku tahu Kingston ada di sana untuk menggantikan Mustafa Ali yang cedera hanya beberapa hari sebelum acara ini berlangsung. Drama Kingston yang berusaha menggapai kesempatan yang akhirnya datang lagi ini sebenarnya adalah drama untuk Ali seorang underdog yang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk menembuskan diri ke puncak. Tentu, Kingston pantas sekali mendapatkan semua itu, namun tak sekalipun aku bisa percaya Kingston bakal menang – despite the last minutes yang dramatis tersebut. Yang menakjubkan sebenarnya di sini adalah kemampuan WWE untuk menggiring opini dan reaksi kita. Mereka ingin kita percaya ini sudah waktunya bagi Kingston, dan mereka konsisten membangun ini, sehingga banyak dari kita termakan pancingannya. Sehingga konten yang kita saksikan di akhir itu tetap tampak keren dan terasa menggugah meskipun kita sudah punya pemahaman terhadap konteks yang dibuat oleh WWE.

 

 

 

Bakal lain ceritanya kalo Ali yang mati-matian berjuang di sana. Bahkan lain ceritanya kalo Kingston sudah terpilih untuk ikut sedari awal. Tapi tetap saja, menakjubkan gimana WWE mengubah ‘perubahan di detik terakhir’ menjadi drama yang mencapai ketinggian sepert yang kita saksikan. Berhasil membuat penonton menitikkann air mata meskipun dalam hati kita tahu Kingston gak bakal menang. Dari segi pertandingan yang bakal paling diingat, The Palace of Wisdom turut menobatkan Elimination Chamber for WWE Championship sebagai Match of the Night, meskipun real craft pada malam itu, Pertandingan Terbaik Malam Itu yang sebenarnya adalah Elimination Chamber for Women’s Tag Team Championship. Salah satu kandidat acara terbaik WWE karena practically kita dapet dua MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

 

Full Results:
1. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER Sasha Banks dan Bayley menang setelah mengeliminasi Sonya DeVille dan Mandy Rose di final-two.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos merebut sabuk dari The Miz dan Shane McMahon.
3. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP HANDICAP ONE-ON-TWO Finn Balor jadi juara baru ngalahin Lio Rush dan Bobby Lashley.
4. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey cepet banget ngalahin Ruby Riott.
5. NO-DQ Baron Corbin dan teman-teman mengeroyok Braun Strowman.
6. WWE CHAMPIONSHIP ELIMINATION CHAMBER juara bertahan The New Daniel Bryan tetep juara setelah ngeleminasi Kofi Kingston di final-two.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Royal Rumble 2019 Review

 

Lima jam. Lima pertandingan perebutan gelar. Tiga puluh superstar cewek. Tiga puluh superstar cowok. Menonton Royal Rumble menjadi ekstra melelahkan karena membuat kita ‘menghitung’ ekspektasi sembari berteriak-teriak seru. Plus, buatku, aku harus mengetik seribuan kata mereviewnya. Untuk mendeskripsikannya lebih jelas, menonton Royal Rumble tahun ini bagiku adalah seperti ngerjain pe-er matematika sambil naik roller coaster!

Actually, aku ngeskip nonton dua pay-per-view yang terakhir. Survivor Series November lalu tidak sempat kutonton semua karena sibuk persiapan acara puncak Festival Film Bandung. TLC yang bulan Desember juga gagal aku saksikan lantaran bertepatan dengan kelas penulisan kritik yang mengharuskan aku untuk tinggal di Jakarta selama beberapa hari. Jadi mungkin kalian noticed aku enggak ngereview dua show tersebut, dan alhamdulillah ternyata ada yang cukup peduli juga dengan ulasan WWE ku karena aku ditagihin loh, “bro gak review WWE lagi?” So yea, I’m back. Tentu dong, WWE adalah dulu, nanti, dan selalu jadi tontonanku. Buatku Royal Rumble ini seperti lembaran baru karena kemaren-kemaren itu aku benar-benar nyaris stop nonton WWE – kecuali NXT. Dan surprisingly, aku terkesan dengan apa yang kutonton lima jam yang lalu. Terasa benar usaha WWE untuk menaikkan standar kualitas pertandingan mereka. Memang sih, kualitas aksinya belum sebagus NXT TakeOver Phoenix sehari sebelumnya, namun dari segi penulisan – penceritaan, WWE lewat Royal Rumble ini terasa semakin solid.

Semua pertandingan berlangsung secara efektif. Mereka menyampaikan drama dan aksi dalam porsi yang seimbang. Tidak ada partai squash, hanya ada satu ‘cut-scene match’ namun bahkan itupun dilakukan dengan baik. Level ‘kekerasan’ yang disuguhkan juga tampak meningkat. WWE seperti memberikan kelonggaran tambahan buat para superstar, terutama kepada superstar-superstar yang bukan dari brand Raw yang enggak harus langsung nampil besok. Pengecualian untuk ini adalah Ronda Rousey dan Sasha Banks. Dua superstar cewek dari Raw ini bermain sangat fisikal, sehingga terkadang spot-spot yang mereka lakukan tampak sloppy – kurang profesional, dan kelihatan sakit not-in-a-dramatic-way seperti seharusnya. Satu lagi yang tidak aku mengerti adalah kenapa pertandingan kejuaraan tag team Smackdown yang dramatis dan penuh spot keren itu sejatinya berpusat kepada Shane McMahon – kenapa tiga superstar yang lebih ‘muda’ daripada dia yang harus mengimbangi dan work around him.

my girl debuting a new move, yaaassshhh

 

Dua partai royal rumble bekerja dengan sama-sama padunya. Tidak ada elemen yang tersiakan. Aku suka WWE mempertahankan ‘prestasi’ mereka sehubungan dengan ‘surprise entrant’. Nonton royal rumble memang yang selalu ditunggu adalah peserta kejutan yang selalu bikin kita entah itu sukses bernostalgia ataupun pecah bersorak tak-percaya. Seperti yang mereka lakukan tahun lalu, WWE memfokuskan porsi peserta-kejutan ini lebih banyak ke superstar-superstar muda yang nongol di NXT, alih-alih kepada superstar legenda yang untuk jalan ke ring aja sudah tertatih-tatih. Para entrant kejutan ini juga diberikan kesempatan untuk bertanding lebih lama, sehingga penonton bisa menikmati kehebatan mereka sembari WWE bisa mengiklankan brand dari mana mereka berasal. Solusi yang win-win, bukan! Dan tentu saja ada bagian untuk komedi. WWE suka komedi seperti Shyamalan suka twist dalam filmnya. Dalam kedua royal rumble inipun, komedi mereka lakukan dengan tepat guna; enggak benar-benar lebay dengan waktu penempatan yang diperhitungkan. Skit aneh antara Maria Kanelis dengan Alicia Fox enggak jatoh se-‘apasih’, kecuali aku nunggu-nunggu Maria bilang “kau aja pakai musik aku yang dulu” saat ngajak Fox temenan (terlalu ngarep sih memang kalo kita berharap kontinuiti dari WWE), aku gak melihat ada masalah dalam penggunaan komedi dalam pertandingan royal rumble kali ini. Pada royal rumble cowok, komedi digunakan untuk mengurangi kejenuhan, oleh durasi yang memang terlalu panjang.

Menurutku pertandingan royal rumble ceweklah yang seharusnya menutup acara. Sebab tokoh utama show kali ini jelas adalah Becky Lynch. Superstar cewek ini lagi tinggi-tingginya sejak ia menciptakan moniker ‘The Man’. Acara ini dibuka dengan memperlihatkan kegagalan Lynch dalam perebutan gelar cewek Smackdown. Dalam kontes yang dibuat berimbang dengan Asuka – yang mana kejutan pertama dari acara ini buatku; Lynch dibook/ditulis kalah bersih dalam perang submission – seolah penulis sedang merangkai perjalanan teatrikal. Ini seperti sekuen ‘percobaan pertama yang gagal’ pada naskah film-panjang. Kupikir ini bakal berlanjut dengan berbagai adegan di backstage, gimana Lynch berusaha mencari kesempatan lain. Honestly, aku sudah mengantisipasi Lynch bakal masuk ke royal rumble cowok – mengingat julukan ‘The Man’nya tadi – kemudian kembali gagal, dan entah bagaimana dia memasukkan dirinya ke royal rumble cewek, dan berhasil. Namun ternyata WWE membuat susunan yang berbeda; mereka malah mengerahkan Nia Jax untuk ‘menginvasi’ para cowok sebagai sebuah kejutan yang seru-tapi-aneh. Cerita Lynch tuntas di tengah-tengah acara, dan ini membuat partai-partai di antara dua royal rumble ini nyaris mati; berusaha menghidupkan kembali percikan api yang telah padam dibawa oleh kemenangan Lynch yang ditunggu-tunggu para fans.

kasian R-Truth begitu gampang tergantikan.. bahkan Lana aja diberikan kesempatan ‘berjuang’

 

 

Keputusan WWE buatku semakin aneh ketika mereka malah meletakkan Daniel Bryan melawan AJ Styles, dalam pertandingan yang bergaya lambat nan metodical, tepat setelah royal rumble cewek. Masalah bukan dari kedua superstar top-Smackdown, Bryan dan Styles adalah pekerja teknik terbaik yang dipunya oleh WWE, hanya saja jika ingin membuat penonton tetap semangat, mereka harusnya membuat pertandingan ini paling enggak sefast pace pertandingan Brock Lesnar dengan Finn Balor. Keep it short, fill it with high spots. Daripada memakai pertandingan pelan dengan outcome yang gak bersih – partai Bryan melawan Styles ini adalah ‘cut-scene match’ yang kusebut di atas – WWE seharusnya menulis partai kejuaraan WWE ini sebagai pertandingan Street Fight atau Extreme Rules atau apalah yang no-DQ. Sehingga ketika Eric Rowan datang, dia bisa ikut menghajar dan menjadikan akhirannya semakin dramatis oleh Styles yang berusaha mengalahkan dua orang. Dengan begitu penonton akan tetap semangat dan sabuk WWE tidak melulu diperebutkan dalam kontes yang seperti sia-sia.

 

Sebenarnya sudah lama WWE seperti melirik kemungkinan terjadinya pertandingan campuran. Jika WWE memang membangun diri ke arah yang lebih edgy, lewat Becky Lynch – dan Nia Jax – sebagai pionir, katakanlah jika tahun depan kita akan melihat Royal Rumble campuran antara pria dan wanita, atau bahkan melegalkan partai campuran dalam semua jenis match, aku sih seneng-seneng aja. Bayangkan Lesnar melawan Rousey. Atau Nikki Cross tagteam ama Dean Ambrose, tapi bukan lagi dalam mixec tag konyol yang dilakukan WWE di network. Menurutku itu bakal jadi perubahan besar yang positif mengingat isu kesetaraan gender sekaligus bakal bisa menaikkan nilai hiburan itu sendiri.

Pada akhirnya angka-angka dalam Royal Rumble menyimbolkan hitung-mundur sebuah perubahan yang sudah siap untuk terjadi.

 

 

 

Full Results:
1. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Asuka retain setelah Becky Lynch tap out terkena manuver submissionnya.
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Miz dan Shane McMahon jadi juara baru mengalahkan Sheamus dan Cesaro.
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Ronda Rousey tetap juara dengan menge-pin Sasha Banks.
4. 30-WOMAN ROYAL RUMBLE Becky Lynch menang dengan mengeliminasi Charlotter Flair.
5. WWE CHAMPIONSHIP Daniel Bryan bertahan atas AJ Styles.
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP juara bertahan Brock Lesnar belum bisa dikalahkan oleh Finn Balor.
7. 30-MAN ROYAL RUMBLE Seth Rollins menang dengan mengeliminasi Braun Strowman
Dengan akhiran match yang tepat, dengan porsi hiburan dan kejutan yang berimbang, dengan dramatisasi yang mengena, The Palace of Wisdom memilih 30-Woman Royal Rumble sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.