NOCTURNE Review

“No one remembers who came in second.”
 

 
 
Enggak ada yang bakal ingat sama pemenang kedua. Saat juara pertama dielukan, dikenang sebagai hero dan pemenang sejati, si rangking dua hanya akan dipandang sebagai lawan yang dikalahkan. Rintangan yang berhasil dilewati. Bagaimana pun juga yang ada di urutan kedua tetaplah akan berada di dalam bayang-bayang urutan kesatu. Berapa banyak yang bicarain Neil Amstrong dan berapa banyak yang ingat duluan sama Buzz Aldrin ketika membicarakan manusia yang menjejakkan kaki di bulan. Pokoknya jadi yang kedua itu gak enak deh. Plek. Bagi kalian yang merasa seperti demikian, yang setuju tidak ada yang peduli sama si nomor dua, yang mengkhawatirkan diri sendiri karena berada di posisi tersebut, maka horor karya Zu Quirke akan lebih beresonansi dan powerful. Karena film ini bercerita tentang si Nomor Dua yang sudah muak berada di bawah bayang-bayang keberhasilan, yang sudah eneg dibandingkan. Yang memutuskan untuk keluar mencuatkan diri karena dia merasa mampu dan bosan mengalah.
Juliet (menakjubkan range negatif dan melankolis yang mampu ditunjukkan oleh Sidney Sweeney) terlahir dua menit lebih lama dari saudara kembarnya, Vivian. Posisi yang kemudian dia sesali ini tampak sudah digariskan kepadanya sejak di dalam kandungan. Juliet selalu menjadi nomor dua terhadap apapun yang dilakukan Vivian (Madison Iseman dengan klop memainkan kontras bagi karakter Juliet). Kedua saudari ‘wombmate’ ini sama-sama kepincut piano saat masih balita. Keduanya terus berlatih sehingga menjadi jago. Namun hanya Vivian yang mendapat ‘hadiah’. Vivian dapat undangan masuk universitas musik ternama. Vivian dapat pacar. Vivian digembleng guru terbaik (dan termirip Chef Juna). Vivian dapat kepercayaan ditunjuk sebagai pianist utama dalam konser musik klasik yang udah jadi tradisi kelulusan di sekolah musik mereka. Sementara Juliet dapet apa? Nihil. Selain perasaan tertinggal, kurang percaya diri, dan iri terhadap Vivian. Juliet bahkan tidak punya teman karena sibuk menutup diri. Menempa diri supaya bisa keluar dari bayang Vivian, supaya bakatnya direcognize oleh orang. Belakangan, Juliet mendapatkan sesuatu yang bahkan tidak dipunya oleh Vivian. Sebuah buku memo musik berwarna hitam, dengan simbol matahari dan gambar-gambar seram di dalamnya. Buku tersebut memberikan ‘semangat’ baru bagi Juliet. Yang menjadi nekat untuk terang-terangan berkompetisi dengan Vivian, meskipun gambar-gambar seram di buku itu mulai terwujud satu per satu ke kehidupan Juliet dan sekitarnya.

Bukunya mirip Death Note, cuma ini notenya not balok.

 
 
Nocturne mengeksplorasi gagasan horornya tentang berada di posisi kedua tersebut ke dalam nada-nada suram. Membuat ceritanya terasa efektif sebagai horor yang manusiawi, meskipun ada unsur supernatural di dalam. Efektif, dan juga cerdas. Supernatural tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga membuat kita penasaran. Tidak pernah dijelaskan terlalu gamblang; film tidak menghamparkan semua jawaban. Aku senang sekali film ini berhasil mengelak dari trope ‘research misteri supernatural’ seperti yang biasa dilakukan oleh film-film horor. Kita tidak melihat ada karakter yang meriset lewat google ataupun paranormal sebagai device gampang ketika naskah butuh untuk memaparkan informasi atau ‘aturan dunia’. Karena memang film ini bijak sekali, dia tahu dia tidak perlu memaparkan berlebihan. Justru film menguatkan psikologi karakter, sehingga mental dan supernatural itu secara alami bakal beririsan. Eventually membuka ruang bagi kita para penonton untuk memikirkan misterinya.
Kompetisi dan kecemburuan antarsaudara digambarkan oleh film ini jauh dari gaya-gaya mainstream. Interaksi antara Juliet dan Vivien berkembang, mulai dari akrab saling membutuhkan hingga apart saat mereka mulai jujur terhadap ‘uneg’ masing-masing. Film tidak berlebihan menggambarkan konfrontasi mereka. Sudut pandang Juliet tetap nomor satu di sini (yea, meskipun tokohnya adalah si nomor dua – loser dari saudaranya). Bahasa visual film tergambar kuat. Sekali lihat saja kita bisa tahu bahwa saudari kembar ini begitu berbeda, yang satu tertutup, kurang gaul, sedangkan yang satunya lagi bagai matahari dalam lingkungan pergaulannya. Dan seketika itu juga kita ditarik ke pertanyaaan kenapa mereka begitu berbeda dan bagaimana masing-masing memaknai perbedaan mereka tersebut. Di sinilah elemen horor menjalankan fungsi. Sebagai kepingan jawaban dari pertanyaan tadi. Kepingan yang kita susun lewat adegan demi adegan surealis. Menyaksikan film ini persis seperti menonton seorang penari yang melenggak lenggok mistis, mengundang kita untuk menyelami makna tariannya.
Sebagai sebuah cerita horor dalam kehidupan pemusik, maka sudah barang tentu musik itu sendiri berperan besar di dalam penceritaan. Sebagai ‘teman’ dari visual ngeri, dengan cahaya-cahaya menyilaukan, menjembatani persepsi kita soal mana yang nyata mana yang bukan, dihadirkanlah musik yang benar-benar unik. Menjadi nyawa bagi film ini. Kepentingan musik latar itu semakin menjadi-jadi tatkala film menyelaraskannya dengan editing. Dengan sesekali membentrokkan musik dengan peristiwa yang sedang kita lihat. Ini merupakan teknik membangun ekspektasi. Ketika kita secara natural mengharapkan adegan tertentu bakal diisi oleh musik klasik seperti yang sebelumnya dilakukan oleh film, mendadak film tidak melakukannya. Melainkan dengan musik lain, yang lebih ngetekno. Menciptakan sensasi gak-cocok yang creepy, yang secara konteks cocok sekali dengan perasaan yang ingin dihantarkan oleh adegan tersebut. Dan meski bersandar pada kekuatan ‘magis’ musik, film ini tidak sekalipun menggunakan jumpscare. Padahal ada banyak adegan yang nature-nya adalah untuk bikin kaget. Seperti pundak yang dicolek dari belakang dan ternyata yang nyolek itu temannya, atau adegan horor beneran ketika wajah menyeramkan mendadak muncul di cermin. Film ini imannya kuat. Dia tidak menyerah pada napsu mainstream untuk bermain kaget-kagetan. Musiknya dibiarkan mengalun minimalis. Menjaga kita tetap dalam posisi siaga, tanpa ampun, karena tidak memberikan outlet untuk melepaskan himpunan kengerian tersebut lewat teriakan kaget yang singkat.

Posisi dua sebenarnya tidak buruk, melainkan sebuah posisi mulia. Sebuah tempat yang seringkali menjadi rumah untuk sebuah pengorbanan. Jika saja Juliet mengingat pepatah bahwa mengalah bukan berarti kalah, maka tentulah ia tidak akan jadi secemburu itu. Mengalah bukan berarti tidak mampu. Namun memang benar adanya bahwa tidak semua orang mampu untuk tetap positif berada di posisi itu.

 

Malah ada studi yang mengungkap, orang-orang justru lebih bahagia berada di posisi tiga dibanding posisi dua.

 
 
Pembahasan tentang ‘nomor-dua’ di film dilakukan dengan subtil dan juga tidak pernah berlebihan. Naskah juga memparalelkannya dengan dunia musika yang jadi panggung cerita. Yang nyatanya adalah sikap sang pembuat terhadap masalah dalam menjadi nomor dua tersebut. Sikap dan gagasan ini dapat kita simak saat adegan jamuan ulang tahun si Kembar. Pada adegan tersebut, para karakter berdiskusi soal musik klasik yang kini telah kalah populer dengan musik elektronik, atau rap, atau apapun yang diimplikasikan oleh salah satu karakter. Jawaban karakter satunya mengenai keadaan tersebut – musik klasik adalah nomor dua dalam hal ini – menjadi pernyataan yang layak kita semua renungkan. Karena bagaimanapun juga, purpose sesuatu di dunia ini bukanlah mutlak untuk menjadi yang ter-nomor satu, entah itu terbaik, terpopuler atau apalah. Seringnya berbagai hal menempati posisi tertentu sebagai suatu bagian dari desain yang lebih besar, dan enggak semua hal berhak untuk berada di posisi tersebut. Karena posisi tidak selamanya mencerminkan kita medioker atau bukan. Adegan obrolan ini punya bobot yang besar, diceritakan dengan subtil pula. Tak lain, ini membuktikan kehandalan sutradara dan penulis dalam bercerita.
Perjuangan Juliet akan begitu menghantui. Kelam dan lantang oleh ‘bisikan-bisikan’ yang bikin kita merinding juga menontonnya. Dengan pacing yang sebenarnya cukup terjaga, ada beberapa momen di film yang sekiranya bisa dibuat lebih dinamis lagi. Bayangkan Suspiria (1977) dan Black Swan (2010), film ini nuansa creepynya persis kayak gabungan dua film itu. Maka ia bisa menjadi sedikit terlalu banyak untuk penonton. Film mestinya bisa lebih go easy sedikit, kita perlu lebih banyak melihat interaksi Juliet dan Vivian, terutama saat mereka masih akrab – atau setidaknya Juliet masih mampu menahan kecemburuannya. Dan kupikir kita memang perlu melihat lebih banyak lagi mereka akrab karena percakapan terakhir mereka seharusnya merupakan kebalikan penuh dari dinamika mereka di awal cerita. Plot/perkembangan mereka harusnya ‘berakhir tengkar namun Juliet memahami kesalahannya’ dari yang tadinya ‘akrab tapi Juliet masih diliputi kecemburuan’. Pada bagian awal, film lebih dari cukup dalam menampilkan Juliet masih diliputi kecemburuan. Hanya soal ‘akrab’nya saja yang tak benar-benar kelihatan karena cerita dimulai saat Juliet sudah krisis diri seperti yang kita saksikan. Jadi, buatku plot cerita ini mestinya bisa lebih melingkar lagi.
 
 
 
Dari empat film yang dikeluarkan Blumhouse sebagai kwartet di Halloween tahun ini (tayang di Amazon) aku baru nonton dua film. Dan setelah kecewa berat sama The Lie (2020), semangatku untuk meneruskan nonton kwarter ini menggebu lagi begitu kisah Juliet dan Vivian ini beres aku saksikan. Film ini jauh lebih baik daripada The Lie. Horornya benar-benar terasa, menghantui psikologis kita yang merasa tidak dihargai ataupun merasa kecil karena harus mengalah di dalam bayang-bayang si nomor satu. Film ini bermain dengan pribadi manusia lewat audio dan visual yang sama-sama creepy. Lebih dari satu kali, aku senang film ini memilih opsi yang membuat dirinya tidak terjauh ke jurang horor-mainstream dengan jumpscare ataupun suara jeger-jeger ataupun twist murahan. Film ini punya irama horor sejati, yang bisa jadi sudah dinomorduakan oleh industri sinema horor, tapi film ini tetap mempertahankannya. And I like it!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NOCTURNE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan studi yang mengungkap orang-orang cenderung lebih senang di peringkat ketika dibandingkan kedua. Mengapa kira-kira bisa seperti itu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HUBIE HALLOWEEN Review

“Putting people down does not make you a powerful and strong person”
 

 
 
Gaung Uncut Gems (2020) yang menghadirkan penampilan paling manusiawi dari Adam Sandler belum lagi hilang – well, setidaknya di blog ini, karena masih masuk pada Rapor Film Cawu I – tapi aktor komedi itu tampaknya sudah rindu konyol-konyolan yang sudah menjadi cap dagangnya di dunia perfilman. Either that, atau Sandler sedang mewujudkan ikrarnya. Ingat saat Sandler berkelakar jika perannya di Uncut Gems gak dapet Oscar maka dia berjanji akan menyiksa kita semua dengan membuat ‘komedi terburuk yang pernah diciptakan Netflix’? Nah mari kita cari tahu apakah Hubie Halloween ini benar merupakan balas dendam yang Sandler janjikan tersebut.
Di sini Sandler mengajak rekan-rekannya yang biasa untuk membuat horor komedi bertema Halloween. Dia mendaulat dirinya sendiri sebagai Hubie, seorang pria yang bermental kalah jauh dari lama dirinya hidup di muka bumi. Tepatnya di kota Salem, kota yang terkenal dengan urban legend penyihir dan mistis. Tinggal bersama ibunya, Hubie sebenarnya punya misi yang mulia. Setiap tahun dia mendedikasikan diri untuk menjadi penjaga-halloween. Menegakkan ketertiban dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada malam halloween ke kepolisian setempat. Masalahnya adalah, nyaris seluruh warga kota itu menyepelekan Hubie. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk menakut-nakuti Hubie. Melempari Hubie dengan beragam benda, mulai dari tisu toilet hingga kapak! ketika pria malang itu lewat dengan sepeda dan termos multifungsinya. Hubie adalah laughing stock, outcast, bahan bully penduduk kota. Padahal malam halloween kali ini jadi malam penting bagi Hubie. Karena bukan saja dia disuruh ibunya untuk mulai belajar berani membela diri (Hubie juga mencerna ini sebagai nasihat untuk berani bilang suka sama wanita yang sudah ia taksir sejak SD), tapi juga karena Salem beneran dalam bahaya. Jika film ini adalah game Among Us, maka Salem malam ini kedatangan setidaknya tiga impostor; seorang napi asylum yang kabur, seora–ehm seekor manusia serigala yang lepas, dan satu penculik bertopeng misterius yang berkeliaran menangkapi warga satu demi satu.

Tapi jika Hubie main Among Us, niscaya dia yang jadi crewmate sendirian dan dibully oleh banyak impostor lol

 
 
Sekali lihat saja kita sudah tahu bahwa ini bakal jadi cerita klasik ala komedi Adam Sandler. Cerita tentang seorang ‘idiot’ yang pada akhirnya akan jadi pahlawan, dielu-elukan semua orang, dan tentu saja mendapatkan cewek. Formula cerita seperti demikian sebenarnya tidak pernah sebuah masalah yang besar. Maksudnya; sah dan boleh-boleh saja. Apalagi cerita underdog seperti demikian memang lebih mudah untuk dinikmati, dan bahkan direlasikan. Masalah justru terletak pada bagaimana menceritakan formula tersebut. Kita perlu plot, karakter, dan juga candaan yang diceritakan dengan fresh. Hubie Halloween berdurasi sembilan-puluh menit. Dan bukan saja berceritanya penuh dengan trope-trope ‘sinematik Sandler’, candaan dan punchline yang menyertai pun seringkali berulang-ulang.
Film ini kalo jujur maka judulnya menjadi berbunyi ‘Seribu Ekspresi Ketakutan Adam Sandler sebagai Pria Kekanakan’. Karena memang itulah senjata komedi yang jadi ujung tombak film ini. Hubie dikagetin oleh topeng domba di etalase tokonya. Hubie terkejut oleh mobil yang disetir seseorang tanpa kepala. Hubie menjerit melihat dekorasi halloween yang ia sangka hantu beneran. Satu-satunya build up yang dipunya oleh film ini – dalam lingkup komedi – adalah build up untuk merekam ekspresi kaget Adam Sandler di depan kamera. Selebihnya, komedi dalam film ini dihadirkan lewat kekonyolan kejadian yang terlahir dari karakter-karakter yang ditulis secara absurd pula. Kekonyolan tersebut terjadi begitu saja. Tidak ada ritme, set up, atau sekadar sedikit lebih banyak thought di balik setiap punchlinenya. Soal delivery, semua pemain sebagian besar adalah aktor komedian yang sudah sering kerja bareng. Sehingga mereka benar-benar tampak fun dan mampu memancing gelak tawa hanya dengan ‘menjadi mereka seperti biasa’. Seberhasil-berhasilnya komedi Hubie Halloween adalah karena pengetahuan atau kefamiliaran kita kepada skit-skit dan gaya para pemeran, bukan karena penulisan komedi. Ketika kita melihat Steve Buscemi menjadi possible-werewolf, kita tertarik karena ini seperti perannya di animasi komedi mereka. Komedi dalam film ini mengandalkan ‘outside knowledge’ seperti demikian.
Ini disayangkan karena cerita Hubie ini punya potensi. Untuk beberapa menit pertama aku punya ketertarikan besar untuk mengikuti cerita meski sudah banyak lelucon lebay yang dihadirkan. Satu yang buatku genuine lucu dan dialognya bener ada set up komedi adalah percakapan antara Hubie dengan ibu soal ayah. Namun kemudian seiring bergulirnya cerita, tokoh-tokoh pendukung yang diperankan oleh pemeran yang udah gak asing hadir di film Adam Sandler bermunculan satu per satu tanpa kematangan penulisan karakternya, semakin jelas bahwa film tidak mau repot menulis untuk komedinya. Setting cerita juga sebenarnya sudah bagus. Merekam kejadian horor dalam rentang waktu tertentu – seluruh kejadian film ini berlangsung satu hari, dan dengan fokus di malam halloween – membuat cerita nyaris otomatis terkesan urgen. Ide ceritanya yang membaurkan tiga ‘impostor’ juga menarik. Karena memberikan misteri beneran untuk dipecahkan oleh Hubie. Si tokoh utama ini pun ditulis punya obstacle yang bisa kita pedulikan. Berkaitan dengan pesan bullying yang dilantunkan oleh cerita.

Setiap orang punya kelemahan, punya kecemasan, punya sesuatu yang ditakuti. Dan terkadang ada beberapa orang yang merasa bahwa kelemahan tersebut membuat mereka jadi punya kebutuhan untuk membully orang lain yang lebih lemah. Supaya mereka bisa merasa lebih baik terhadap diri mereka sendiri.

 
Di-bully seumur hidupnya, tidak menjadikan Hubie tumbuh menjadi pria pendendam. Dan ini disalahartikan orang; mereka menganggap Hubie penakut. Well, Hubie yang kagetan mungkin memang penakut sama setan, tapi dia tidak pernah penakut seperti yang disangka oleh penduduk kota. Hubie tidak melawan atau membalas perlakuan bukan karena dia takut. Melainkan karena dialah the better man di kota itu. Dia selalu mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Hubie punya banyak kelemahan, tapi dia tidak sekalipun berniat untuk menutupi kelemahannya dengan menimpakan kepada orang lain – dengan membuat orang tampak lebih lemah daripada dirinya. Sikap inilah yang membedakan Hubie dengan warga lain. Film ini mengenakan pesan tersebut seperti Hubie mengenakan selempang halloween-protectornya;  mencolok dan too-obvious. Tidak disematkan dengan subtil. Pesan-pesan itu dicuapkan langsung lewat dialog. Diejakan seolah kita enggak kalah terbelakangnya dengan anak-anak kecil yang membully Hubie.

Ada yang jual gak sih termos kayak punya Hubie?

 
 
Penanganannya terhadap gagasan baik tersebut membuat film jadi tampak semakin malas dan tampil secukupnya aja. Untuk memenuhi keinginan bermain-main saja. Secara plot dan perkembangan karakter, gagasan yang dihadirkan gitu aja itu membuat Hubie menjadi tokoh utama yang gak punya perkembangan. Pembelajaran yang ia lakukan hanya memberanikan diri untuk ngobrol hati ke hati kepada cengcemannya. Instead, justru tokoh pendukunglah yang dibebankan untuk berubah. Penduduk Salem lah yang harus belajar untuk menerima dan menjadikan Hubie sebagai teladan. Tokoh utama kita imperfect, tapi dia tidak salah di sini.  Hal ini berpengaruh kepada penulisan aneh yang dilakukan oleh film. Tokoh-tokoh pendukung yang banyak itu diberikan penulisan seadanya karena mereka bakal mengungkap ‘siapa’ mereka di akhir. Jadi dengan kontruksi bercerita seperti begini; membuat tokoh utamanya tidak dikenai perkembangan, melainkan tokoh-tokoh pendukungnya yang mendapat pembelajaran, kita harus ‘menderita’ menikmati komedi konyol yang datang tanpa pace dan ritme dan set up. Semua tokoh yang belajar itu difungsikan sebagai pion saja. Bahkan tokoh love interest Hubie pun tak banyak mendapat karakterisasi karena film juga meniatkan dia sebagai salah satu tersangka utama.
 
 
 
 
Untuk menjawab pertanyaan di atas soal apakah film ini adalah balas dendam yang dijanjikan Adam Sandler; tidak. Film ini masih punya nilai dan gagasan dan tidak terlihat seperti karya dari seseorang yang berniat menghasilkan sesuatu yang terburuk untuk ditonton banyak orang. Film ini menurutku lebih seperti proyek cominghome kecil-kecilan aja. Seperti Sandler ingin berkata walaupun dia sukses menjajal drama serius, hati dan passionnya masih pada komedi konyol seperti ini. Dan dia memperlihatkan bahwa dia tidak akan dibully karenanya. Pada akhirnya film ini tetaplah bisa dijadikan hiburan pengisi halloween, horor menyenangkan yang membuat kita lupa sama horor di luar jendela masing-masing selama sembilan-puluh menit.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for HUBIE HALLOWEEN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian membully seseorang dan kini menyesalinya? Jika bisa mundur ke belakang, apa yang ingin kalian katakan kepada orang yang kalian bully?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

VAMPIRES VS. THE BRONX Review

“Capital is dead labour, that, vampire-like, only lives by sucking living labour, and lives the more, the more labour it sucks”
 

 
 
Ketika Miguel bilang Murnau Properties mengunyah kota mereka, yang dimaksud Miguel adalah perusahaan konglomerat kulit-putih tersebut membeli bangunan-bangunan di kota Bronx – mengimingi pemilik bangunan dengan uang yang banyak supaya mau pindah. Bahkan toko favorit Miguel dijadikan sasaran dan terancam untuk berubah menjadi sesuatu yang asing; mungkin jadi kafe milennial atau semacamnya, yang orang-orang tidak mengerti yang bakal dijual itu apa. Miguel sendiri, saat mengatakan itu, belum sadar bahwa pernyataannya tadi juga bermakna literal. Karena perusahaan Murnau diam-diam – di malam hari!- memang beneran menguyah para pemilik bangunan yang mereka beli. Bisnis properti dan real estate Murnau cuma kedok. Murnau Properties nyatanya adalah perusahaan vampir pemangsa manusia yang bermaksud menjadikan kota Bronx sebagai sarang mereka yang baru!

Memang, sudah lama perilaku kapitalisme diibaratkan sebagai tindakan orang kaya menghisap darah rakyat jelata. Penggalan kalimat yang kujadikan penghantar ulasan ini kukutip dari tulisan Karl Marx perihal kapitalisme. Kita tidak perlu repot jauh-jauh membayangkan bagaimana perusahaan bisa menyedot habis pekerjanya. Karena keadaan di negara kita sekarang sudah mendekati, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh pemerintah. Ini jadi salah satu contohnya karena menurut RUU tersebut para karyawan dan buruh tidak akan lagi mendapat upah minimal, tidak lagi diberi pesangon saat pensiun ataupun di-PHK, tidak dikasih cuti berbayar untuk pekerja yang hamil, dan kebijakan lain-lain lagi yang lebih menguntungkan pihak bisnismen.

 
Metafora klasik vampir-kapitalis inilah yang digunakan sutradara Osmany Rodriguez sebagai landasan untuk membangun cerita horor komedi. Rodriguez juga ingin menyentil permasalahan kekuasaan kapitalis, dan dia tahu cara nyentil yang terbaik adalah dengan komedi. Yang diangkatnya di sini adalah permasalahan perombakan sebuah daerah lokal menjadi kawasan real estate lewat taktik pengenyahan warga. Mereka dibeli propertinya, yang kemudian properti tersebut diubah menjadi tempat usaha, dan seringkali kita dapati bentuk miris dari kejadian tersebut yaitu si pemilik asli justru nanti akan jadi karyawan di tempat usaha kapitalis yang membeli propertinya. Oleh Rodriguez, pihak perusahaan tamak seperti itu digambarkan sebagai vampir beneran. Orang-orang yang mereka hisap dibuat menghilang begitu saja – walaupun mungkin lebih pas kalo diubah menjadi vampir juga, tapi dapat dimengerti mati menghasilkan misteri yang lebih urgen. Karena film juga ingin menekankan satu hal; bahwa tidak ada yang peduli sama mereka, karena Bronx juga adalah tempat yang nyaris demikian marjinal sehingga ada karakter yang lugas menyebutkan tidak ada yang akan peduli sama penduduk di sini. Rodriguez menambahkan lapisan untuk membuat permasalahan itu semakin kompleks lagi. Lapisan berupa ras. Penduduk Bronx adalah mayoritas kulit hitam, yang enggak jauh dari tempat tumbuhnya para ‘gangster’. Pihak pendatang – para vampir itu – adalah kulit putih. Dulunya bangsawan dengan gaya hidup yang tentu saja jauh berbeda dengan kehidupan ‘hood’ di Bronx. Jadi film ini juga bercerita tentang mempertahankan tradisi atau gaya hidup di suatu tempat.

Cerita yang cukup gendut untuk horor-ko…. Hmmm… gendut.. seperti nadi di lehermu…. WAAARRRGGH!! *terkam*

 
 
Membuat anak-anak sebagai tokoh cerita adalah langkah yang tepat. Miguel dan teman-temannya membuat film ini jadi punya vibe petualangan horor yang sama dengan cerita-cerita seperti Stranger Things ataupun It yang sudah terbukti ngehits. Nontonin mereka terasa seru dan mengasikkan. Miguel dan teman-temannya juga memberikan ruang bagi film untuk mengeksporasi gagasannya dengan lebih leluasa. Komentar-komentar tentang kapitalisme itu jadi tidak lagi seperti beban yang harus diucapkan ketika meluncur keluar lewat sudut pandang anak-anak yang hanya ingin menyelamatkan toko tempat mereka bisa bebas bermain game dan menonton horor-horor rated R. Film ini sepertinya paling dekat dengan Attack the Block (2011); sekelompok anak muda yang mempertahankan neighborhood mereka dari serangan alien. Kedua film ini sama-sama mencuatkan semangat persatuan mempertahankan daerah. Semangat yang mungkin saja memang paling kuat dirasakan oleh anak/remaja karena merekalah yang paling merasakan keterkaitan dengan lingkungan tempat tinggal.
Vampires vs. The Bronx memang memusatkan persoalan tersebut sebagai plot utama. Hanya saja, film malah menempatkan itu kepada salah satu sahabat Miguel. Bukan kepada Miguelnya sendiri sebagai tokoh utama. Dan ini membuat Miguel kalah menarik. Miguel tidak mengalami banyak perkembangan sepanjang cerita. Stake yang ia rasakan juga kalah kuat dibandingkan tokoh lain, karena Miguel tidak berkenaan langsung dengan masalah properti itu sedari awal. Sebagai pelindung kota, dia juga tidak tampak punya kedekatan khusus karena kita diperkenalkan kepada Miguel saat dia semacam dibully oleh seisi kota; cewek-cewek menertawakannya, ibu memarahinya – di depan cewek-cewek, gangsta tak tertarik kepadanya. Justru yang paling punya ikatan dengan kota adalah si teman Miguel yang bernama Bobby. Dia punya plot yang personal; dia ingin bergabung dengan gangsta tapi berkonflik dengan masa lalu ayahnya yang kini diceritakan sudah tiada. Bobby jualah yang punya momen emosional terkait hal tersebut dengan familiar suruhan para Vampir. Secara karakter, Miguel kalah menarik dan kalah ‘penting’ dibandingkan Bobby. Miguel hanyalah karakter trope; anak kecil yang tidak dipercaya orang lain padahal apa yang ia katakan benar.
Miguel bersepeda keliling kota, bertemu dengan tetangga-tetangganya, memungkinkan kita untuk mendapat gambaran tentang kehidupan di Bronx. Kota itu sendiri memang penting untuk ditampilkan karena kita tidak bisa bicara tentang kapitalis yang mengubah satu kota jika tidak memperlihatkan seperti apa kota tersebut; seperti apa kekeluargaan dan kebiasaan di sana. Karena ini komedi, Rodriguez memberikan kita karakter-karakter yang kocak sebagai napas kota Bronx sebagai tokoh tersendiri. Mulai dari Pastor yang jengkel sama anak-anak nakal hingga ke abang-abang yang nongkrong di jalanan, semua tokoh pendukung di film ini diset untuk memancing komedi. They just do funny things, dan memang sebagian besar dari mereka tidak diberikan fungsi apa-apa lagi. Misalnya seperti tokoh anak cewek yang ngevlog; tadinya kupikir tokoh ini akan masuk ke geng Miguel dan ikut bertualang melawan Vampir. Tapi ternyata tidak, dia hanya dimunculkan saat-saat film butuh untuk nyerocosin beberapa eksposisi dan untuk nampilin informasi yang dibutuhkan oleh Miguel dalam mengungkap Vampir.
Ketika seluruh kota menerapkan mosi tidak percaya kepada dirimu

 
 
Mitologi Vampir itu sendiri digambarkan sangat lengkap. Dan dipikirkan matang-matang penempatannya. Aku suka karena beberapa hal terangkai dengan mulus. Kita mungkin sempat bertanya kenapa Vampir ingin menguasai real estate dan membeli semua bangunan di kota itu. Film ini punya jawaban yang simpel nan masuk akal untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya karena menurut mitologi, Vampir gak bisa masuk ke suatu tempat tanpa diundang. Maka, supaya bisa memangsa sesuka hati, para Vampir itu tentu saja perlu untuk memiliki rumah dan toko-toko di situ – mereka gak perlu minta izin dulu untuk bisa masuk.
Aku mau melihat film ini melewati efek visualnya, karena meskipun memang terlihat ‘murah’ tapi masih konsisten dengan nada konyol yang ditampilkan film sebagai komedi. Nyawa film ini justru di pembangunan dunianya. Begitu film mengimplementasikan mitos-mitos kayak gini ke dalam gerak plot, di situlah ketika film ini hidup. Membuatnya cerdas. Namun sayangya, film ini katakanlah sebagai makhluk hidup yang bernapas; ia tidak benar-benar satu spesies yang unik. Vampires vs. The Bronx lebih seperti seorang Frankenstein. Makhluk yang tersusun atas bagian-bagian makhluk lain. Karena alih-alih membangun dari sesuatu yang benar-benar baru, film ini terlalu mengandalkan mitos dan hal-hal lumrah, dan juga referensi, yang kita ketahui tentang Vampir dari film-film lain. Menebak hal-hal yang kita kenali saat menyaksikan suatu film memang mampu menghasilkan kesenangan tersendiri. Nama Murnau yang mengacu pada sutradara Nosferatu; yang kalo aku gak salah adalah film pertama tentang vampir, teknik montase cepat-cepat yang mengingatkan kepada teknik khas sutradara Shaun of the Dead; yang arguably film mayat hidup terkocak dekade modern ini, dan bahkan nunjukin dengan terang-terangan perihal film Blade yang menginspirasi karakter anak di film ini (ras kulit hitam yang keren dalam memburu Vampir). Terasa sekali kekurangorisinilan yang membayangi film ini
 
 
 
Memang, minimnya penggalian dan elemen baru tersebut tidak bakal menyurutkan unsur fun dan keseruan kita dalam menonton film ini. Hanya saja, secara eksistensi, film ini sesungguhnya mampu menjadi sesuatu yang spesial. Pun hadir dengan level kerelevanan yang tinggi. Sayangnya, setelah menonton, ia cuma terasa sebagai ‘just another horror-comedy’. Terlalu banyak kesamaan dan pengingat kita terhadap film-film lain. Tokoh utamanya pun tidak begitu membantu karena juga kalah spesial dengan tokoh pendukungnya. Aku suka implementasi gagasan ke mitologi Vampir yang dilakukan oleh film ini. Harusnya film ini lebih berani lagi untuk keluar dari bayang-bayang genrenya. Supaya efek cerita dan keberadaan film ini jadi semakin terasa lagi.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for VAMPIRES VS. THE BRONX

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan kapitalis sebagai setan penghisap darah? Bagaimana pendapat kalian tentang Omnibus Law yang baru disahkan tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

EXTRA ORDINARY Review

“A life spent making mistakes is not only more honorable, but more useful than a life spent doing nothing.”
 

 
 
Extra Ordinary sungguhlah berada di luar kebiasaan horor-horor komedi yang lumrah kita temukan. Karena dunia cerita yang absurd itu alih-alih dibalut oleh kekonyolan lebay dari karakter-karakter yang berurusan dengan setan, malah dibalut oleh hati yang cukup hangat sehingga menonton ini bukan saja kita lepas tertawa. Melainkan juga kita seperti telah melepaskan beban yang menggelayut, yang membuat selama ini kita belum menjalani hidup yang sebenar-benar hidup.
Tokoh utama film ini aja sudah begitu unik. Cewek jomblo. Seorang instruktur latihan nyetir mobil. Rose namanya (Maeve Higgins memerankan sekaligus turut ambil bagian dalam menulis skenario). Dia berusaha keras membuat hidupnya tampak biasa-biasa saja. Lambaian ranting pohon dan anggukan steker toaster di pinggir jalan itu, dia cuekin. Hantu-hantu di jalanan itu, dia pura-pura tak lihat. Pesan-pesan yang masuk di hp-nya, yang pada minta tolong diusirin hantu itu, dia tak gubris. Jika setiap orang dilahirkan punya bakat, maka bakat (bukan terpendam, melainkan dipendam) Rose adalah bisa bicara dengan hantu. Bakat yang tak pelak menurun dari sang ayah; paranormal lokal yang videonya menyambut kita di adegan pembuka. Ayahnya itulah yang menjadi penyebab kenapa Rose kini tidak mau lagi menggunakan bakatnya untuk membantu orang. Sampai wanita ini bertemu dengan Martin (Barry Ward bakal nunjukin kefleksibelan aktingnya di sini), duda yang masih hidup bersama hantu istrinya. Rose tak punya jalan lain, selain bekerja sama dengan Martin berkeliling kota mengumpulkan ectoplasma hantu. Untuk menyelamatkan gadis remaja Martin yang dikutuk menjadi tumbal ritual setan oleh seorang rocker yang ingin kembali terkenal. Di balik absurdnya petualangan mereka, resiko besar membayangi Rose. Salah-salah, dia bisa kembali kehilangan orang terkasih karena bakatnya sendiri.

Beginilah cara menggarap horor komedi eksorsis dengan tokoh utama cewek!

 
 
Horor komedi memanglah genre yang gampang-gampang susah untuk digarap. Pesona dari genre ini tentulah berasal dari sesuatu yang menakutkan dipandang sebagai hal yang mengundang tawa. Dilihat dari situ, fungsi genre ini jadi seperti untuk menenangkan ketakutan kita itu sendiri. Dengan menertawakannya. Prinsipnya tak jauh dari komedi secara umum, yakni adalah jika kita sudah legowo untuk menganggap lucu sebuah kejadian atau tragedi atau diri kita sendiri, berarti kita sudah siap untuk menghadapi kejadian itu. Dalam ranah horor komedi, tentu saja ‘kejadian’ itu adalah sesuatu yang kita takuti. Dan sutradara Mike Ahern dan Enda Loughman paham; yang kita takuti itu enggak mesti hantu ataupun setan. Film ini berani untuk menarik lebih ke belakang lagi, ke sumber ketakutan di balik hantu dan setan tersebut.
Komedi yang dicuatkan di film ini bukan datang dari reaksi orang-orang yang ketakutan. Tidak akan kita jumpai adegan jumpscare konyol di sini. Tidak ada adegan orang kaget terus latah dan bilang “Wah elo ngagetin aja!”, “Kok elo? Gue nih yang kaget!!” ataupun adegan seperti karakter sompral padahal di belakangnya ada setan, dan lantas si karakter berbalik dan kaget sekonyol-konyolnya ngeliat ada setan di sana. Justru sebaliknya. Extra Ordinary ngebanyol dengan reaksi karakter-karakter seperti Rose dan Martin yang menganggap hantu itu biasa-biasa saja. Para hantu yang malah digambarkan konyol, namun tidak pernah terkesan lebay berkat timing komedi dari penulisan, arahan, dan editing film. Interaksi Martin dengan hantu istrinya merupakan salah satu yang paling sering bikin aku ngakak. Dalam salah satu adegan terlucu lain diperlihatkan saking biasanya ngeliat makhluk gaib, Rose jadi salah mengira nenek-nenek sebagai hantu, dan minta maaf kepada si nenek. Extra Ordinary juga tak berpaling dari humor-humor vulgar ataupun humor ‘sadis’. Ketika tiba giliran memperlihatkan kelakuan antagonis, lelucon film bisa berubah menjadi dark comedy. Dengan percikan darah. Film punya cara tersendiri dalam menampilkan kejahatan manusia. Diperlihatkan kepada kita range kejahatan itu, mulai dari pelet dan jampi-jampi ala voodoo, hingga ke tindakan sesederhana memanipulasi food online supaya dapat makanan gratis. Masing-masing ‘trik dan komedi’ film ini berhasil untuk membuat kita tersenyum geli.
Tidak ada yang hantu di kota ini… kan?

 
 
Dramatic premise cerita film ini sebenarnya enggak unik-unik amat. Kita sudah cukup sering menemukan cerita tentang seorang berbakat atau punya kekuatan yang enggan menggunakan bakat atau kekuatannya tersebut. Yang solusinya tentu saja si tokoh harus belajar berdamai dengan penyebab keengganan tersebut alias berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Dunia horor yang lantas jadi humor, serta pendekatan romance yang tak-biasanya lah yang membuat film ini luar biasa. Adegan-adegan pengusiran setan selalu dilakukan dengan berlapis gagasan mengenai cinta dan berdamai ama masa lalu sebagai bentuk melawan ‘demon’ diri sendiri. Konflik personal Rose dibeberkan lewat alur bolak-balik dengan dibingkai ke dalam video lama acara milik sang ayah sehingga eksposisi atau bahkan malah ejaan gagasan yang dilakukan oleh film tidak kentara. Kita tidak merasa diceramahi ketika membaca ‘Apakah Hantu Punya Perasaan?” yang terpampang di layar. Tapi kita bisa menangkap kepentingan dari judul video tersebut, dan hubungannya dengan perkembangan karakter Rose itu sendiri. Dan pada akhirnya Rose harus menerima ke-extraordinary-annya. Bukan hanya soal Talent, melainkan juga soal cara dia menjalani hidupnya.

Entah sudah berapa kali mungkin kita mendengar bahwa hidup normal itu membosankan. Anjuran untuk mengisi hidup yang biasa-biasa saja dengan hal-hal yang luar biasa. Yang penuh petualangan. Yang, kalo perlu, melanggar batas. Film ini pun berkata demikian. Malah lebih lanjut, film ini memberi sugesti kepada kita untuk tidak perlu takut kehilangan atau bikin kesalahan. Karena darisanalah kita belajar. Hidup demikian lebih baik ketimbang hidup tanpa melakukan atau mencoba apa-apa.

 
Penyelesaian film ini juga meng-subvert pakem genre horror, mirip seperti yang dilakukan oleh The Babysitter: Killer Queen (2020). Hebatnya, Extra Ordinary jadi lebih beralasan untuk membuat solusi yang seperti itu karena sesuai dengan gagasan yang diusungnya, yakni perihal menjalani hidup dengan lebih ‘luarbiasa’. Gagasannya adalah Rose selama ini hidup biasa-biasa aja dan katakanlah, membosankan. Rose benar-benar menjauhi semua yang luar biasa. Film menyimbolkan hal tersebut dengan keperawanan. Menarik bagaimana horor modern tidak lagi memandang keperawanan sebagai suatu kemurnian yang harus dijaga. Yang kini ditampilkan adalah keperawanan itu justru jadi inceran setan, dan orang-orang yang masih murni seperti Rose dianggap menjalani hidup yang membosankan.
 
 
Penggemar British-Komedi niscaya tidak akan melewatkan film ini. Kekuatan utamanya terletak pada cara bercerita dan dalam mengolah hal-hal lumrah menjadi sesuatu yang entah itu menantang atau membuat kita tergelak lalu memikirkan candaan tersebut. Dunianya sendiri terbangun dengan begitu kuat, dengan karakter-karakter yang menarik. Menampilkan tokoh antagonis kadang terasa seperti pilihan yang dilakukan hanya untuk membuat film ini lebih konyol lagi, sesuai dengan genrenya. Sebab film ini sudah luar biasa menarik hanya dengan menampilkan drama romance unik antara Rose dengan Martin yang masih belum bisa move on dari mendiang istrinya. Film memilih untuk menampilkan banyak, dan tetap tidak terbata dalam merangkum semuanya. Ia menunjukkan bahwa sajian receh pun masih bisa jadi enak untuk diikuti dengan tetap hormat pada penulisan dan karakter.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for EXTRA ORDINARY

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa hidup harus dijalani dengan ‘luar biasa’?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HOST Review

“A guest is really good or bad because of the host…”
 

 
 
Demi mengisi waktu luang di kala pandemi, Haley dan teman-teman segengnya setuju untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Obrolan Zoom mereka kali ini akan terasa lebih menantang. Karena Haley menyewa seorang cenayang untuk membimbing mereka berenam melakukan seance atau semacam ritual memanggil roh secara online. Mungkin karena sudah bosan di rumah, atau memang pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang senang bercanda, ritual online mereka mulai ngarah ke hal-hal yang gak serius. Meskipun Haley sudah mengingatkan teman-temannya untuk menjaga kesopanan, beberapa dari mereka tetep membuat ulah. Dan seperti yang sudah kita semua duga – karena ini adalah film horor – Haley dan teman-temannya mulai mendapat gangguan aneh. Teror yang semakin lama semakin berbahaya. Ternyata hantu juga tidak senang dibecandain!

Kamu dan sahabatmu yang hobi ghibah online gak bakal jadi sekeren geng Haley yang manggil hantu pakek telepati elektronik

 
Host mengusung premis tentang Zoom meeting yang diganggu hantu tak pelak memang terasa ‘begitu dekat dan begitu nyata’ dengan keadaan kita sekarang. Berkat pandemi, kehidupan sosial kita semua harus pindah total ke dunia maya, dan pretty much semua penonton film ini sudah pernah sekali dua kali nongkrong bersama temen masing-masing di Zoom. Host mencoba mengangkat horor dari interaksi sosial kita yang menggunakan Zoom. Dalam film ini diperlihatkan sikap Haley dan teman-temannya berbeda saat berada di belakang dengan saat berada di depan si cenayang. Saat ‘peserta’ meeting masih mereka-mereka saja, mereka tampak lebih akrab – mereka lebih terbuka mengenai ritual yang akan mereka lakukan; sikap skeptis dan mengolok mereka ekspresikan dengan lugas. Namun ketika si cenayang sudah masuk, mereka ‘berakting’ seolah percaya dan benar-benar tertarik dengan istilah ‘astral plane’. Interaksi seperti ini tampak seperti nge-suggest bahwa meskipun komunikasi sudah dibawa ke depan kamera semua, kita masih menemukan celah untuk saling ngomongin di belakang. Walau dalam film ini tidak pernah benar-benar ditetapkan si cenayang found out lalu mungkin marah dan sengaja mengirim kutukan kepada mereka, yang kita tahu pasti adalah hantu atau roh jahat yang datang mengganggu mereka berasal sebagai akibat dari perbuatan salah satu teman Haley yang menganggap semua hanya becandaan.

Menjadi host yang baik, menjadi penentu tamu-tamu seperti apa yang datang kepada kita. Kita tidak bisa mengundang orang, tapi membuat hal menjadi susah bagi mereka. Adalah kewajiban dari tuan rumah untuk menegakkan aturan dan menjaga kesopanan. Adalah tuan rumah yang menentukan apakah menjadi tamu di situ adalah perkara tugas yang sulit atau bukan.

 
Gimmick Zoom dieksplorasi dengan maksimal oleh sang sutradara. Dalam debut feature-nya ini, Rob Savage benar-benar menciptakan dunia dari layar Zoom. Semua yang kita lihat adalah jendela-jendela platform tersebut. Dan Savage tau persis di mana-mana saja ia harus meletakkan elemen horor untuk membuat kita ‘melek’ ke sana tanpa disuruh. Paling serem itu waktu fitur background Zoom dijadikan bagian dari ‘kejutan’. Dengan durasi yang sangat singkat, Host memang bergerak efektif. Dengan segera kita melihat ke sudut-sudut gelap di belakang para tokoh, menunggu sesuatu untuk terjadi, atau menunggu suatu penampakan muncul. Yang jelas film ini paham dan sudah terkonek dengan penonton sejak awal. Semua trik yang pernah kita lihat pada horor genre found-footage seperti ini, ada. Kursi yang bergerak sendiri, gelas yang pecah tanpa sebab, orang yang tiba-tiba ditarik oleh tangan tak-kelihatan – bahkan kejutan seperti telapak kaki di lantai atau selimut/kain yang dilempar dan ternyata ‘nyantol’ di tengah-tengah udara. Jumpscare-jumpscare yang kita antisipasi pun hadir dalam film ini. Rahasianya adalah dalam cara mengolah, dan Host is great dalam menampilkannya; dalam membuat perasaan takut kita terbendung ke sana.
Praktikal efek dan permainan akting dijadikan senjata utama. Karena Host adalah jenis cerita yang menekankan kepada situasi yang natural. Dan semua pemain memang berhasil tampil tak dibuat-buat. Semua itu berhasil dicapai karena memang para tokohnya hadir nyaris tanpa karakter. Para pemain memerankan tokoh yang bahkan bernama sama dengan nama asli mereka. Jadi seperti mereka semua disuruh untuk memainkan keseharian saja. Tapi bukan berarti tanpa tantangan; saat ketakutan dan panik, mereka benar-benar seperti ketakutan. Dan panik. Sementara itu, efek yang digunakan juga seru. Sandungan yang terasa pada film ini sebagian besar berasal dari staging adegan. Maksudnya, dengan gimmick setiap kejadian lewat lensa kamera laptop atau hape, maka beberapa adegan terasa sekali ‘diatur’ supaya tokohnya entah itu membawa laptop sambil berjalan-jalan, atau dengan sengaja memasang tongsis supaya bisa naik tangga sambil merekam, padahal jelas sekali perbuatan tersebut tidak convenient untuk dilakukan.
 

Atau apa mungkin sudah jadi new normal kita ke mana-mana selalu on kamera laptop kalo di rumah?

 
 
Durasi 56 menit secara teknis memang termasuk ke dalam kategori film-panjang, jika mengacu kepada peraturan Academy Award. Batas yang Oscar nilai sebagai feature-length adalah di atas 40 menit. With that being said, sejujurnya aku harap Host ini dijadikan film pendek saja. Karena dengan begitu, film ini akan lepas dari aturan-aturan film yang banyak jadi sandungan baginya. Sebagai film pendek, Host tidak perlu memperhatikan plot/development karakter, tidak perlu memikirkan babak, mereka bisa seru-seruan aja dengan jumpscare dan kejadian-kejadian. Tapi nyatanya, sebagai film-panjang, Host jatohnya seperti film yang keasyikan bermain gimmick dan lupa menghadirkan cerita dan karakterisasi yang kohesif.
Siapa ‘host’ di film ini, gak pernah dijelaskan. Gimmicknya adalah kita menonton di layar sehingga kita adalah salah satu dari participant meeting, atau kita cuma lagi nontonin rekaman meeting mereka. Enggak seperti Unfriended (2015), yang punya tokoh utama yang jelas – lengkap dengan tragedi masa lalu dan benang merah antara teror dengan karakter mereka kuat mengingkat, Host tidak terlalu memikirkan ini semua. Kita gak yakin siapa tokoh utama di film ini. Bisa saja Haley, karena dia yang paling ‘baik’, tapi dia adalah tokoh yang dapat bagian paling sedikit. Ketika hantu mulai menakuti mereka satu-persatu, Haley somehow gak kebagian aksi. Tokoh ini justru mengundang kecurigaan. Aku sebenarnya cukup terinvest terhadap apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, kepada siapa atau darimana asal hantunya; pada mitologi di balik itu semua. Tapi Host tidak punya semua itu. Film ini tidak menggali hubungan antarkejadian. Si hantu dan segalanya itu ya, memang random. Ada hantu yang kebetulan menjawab undangan mereka. That’s it. Gak ada motif walaupun di awal ada setup tentang backstory masing-masing tokoh, like, mereka punya seseorang yang sudah meninggal – mereka punya target untuk dipanggil. It would be much nicer story kalo ceritanya beneran punya sesuatu untuk diikuti dan dikuak, daripada hanya sekadar memperlihatkan kita adegan trik-trik horor dan jumpscare kodian.
 
 
 
Seperti sepenggal bagian dari sebuah horor kontemporer yang menarik; begitulah kalimatku kalo disuruh mendeskripsikan film ini. Arahannya mampu mengolah trope/trik lama menjadi segar – ya, bahkan jumpscarenya efektif – Arahannya mampu ‘memanggil’ penampilan akting yang meyakinkan. Menonton ini sangat menghibur, terutama sangat relevan karena benar-benar memotret sosial di era pandemi. Kita melihat tokoh memakai masker dan menyebut karantina segala macem. Hanya saja, ada banyak yang mesti dibenahi kalo cerita ini mau dianggap sebagai sebuah film. Karena, bagiku, ia masih belum terlihat seperti film. Melainkan sebuah cerita pendek yang sedikit kelewat panjang yang seru dan menghibur tentang hantu Zoom.
The Palace of Wisdom gives 2.5 out of 10 gold stars for HOST.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian mengalami kejadian horor atau misterius saat ber-Zoom ria?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RELIC Review

“We remember their love when they can no longer remember”
 

 
 
Mengurusi sejak bayi, mulai dari menyuapi makan hingga memandikan, hanyalah sudah hakikatnya bagi kita untuk membalas perbuatan kasih sayang orangtua tersebut kelak ketika mereka sudah renta. Namun terkadang kita lupa. Kita terlalu sibuk. Atau malah, kita sekadar males untuk direpotkan. Seperti Homer Simpsons yang lebih memilih untuk ‘membuang’ ayahnya ke panti jompo. Padahal justru saat mereka tua itulah kesempatan yang berharga untuk bisa berada di dekat mereka. Karena saat kita masih bisa memilih untuk melupa, orangtua kita bisa jadi tidak punya pilihan. Selain membiarkan satu persatu kenangannya sirna, oleh demensia. Mereka hanya punya kita untuk mengingat mereka. Bisakah kita ada di sana saat mereka membutuhkannya?
Kay (Emily Mortimer jadi ibu yang distant dengan anggota keluarganya) sudah beberapa minggu ini enggak berkomunikasi dengan ibunya. Dia kaget begitu diberitahu oleh polisi bahwa Edna (ibunya, yang diperankan dengan luar biasa meyakinkan oleh Robyn Nevin) menghilang dari kediamannya. Kay lantas khawatir. Ia tahu ibunya tinggal seorang diri dan punya masalah sama ‘kepikunan’ karena penyakit yang diderita. Maka ia mengajak anaknya, Sam (untuk beberapa detik aku mengira yang di poster itu bukan Bella Heathcote tapi Lucy Hale) untuk pulang mencari Edna di rumah masa kecilnya. Ketika setelah beberapa hari Edna pulang sendiri, Kay baru sadar bahwa kondisi ibunya bertambah parah. Edna tidak ingat ke mana dia pergi belakangan ini. Edna sering melupakan hal-hal simpel yang ia lakukan kepada Kay dan Sam. Yang bikin semakin ngeri adalah Edna bertindak aneh seolah ada orang lain yang ada di rumah mereka yang penuh oleh tumpukan barang-barang (ah, katakanlah, relik) dan tempelan kertas berisi memo pengingat yang membacanya bikin bulu kuduk merinding.

Yang berhantu adalah rumah, tapi sejauh mata makna rumah tersebut terapply di sini?

 
 
Ini adalah kali kedua debut sutradara di film horor Australia yang berhasil membuatku terkesima. Pertama di tahun 2014 ada Jennifer Kent dengan The Babadook. Dan sekarang kita dapat Natalie Erika James dengan Relic yang bukan hanya seram tapi juga sarat oleh makna. Seperti layaknya horor-horor yang bagus, Natalie paham untuk membangun kengerian enggak butuh jump scare atau musik ngagetin atau hantu seram yang menyemburkan muntah-muntah sambil merangkak di dinding. Horor itu berasal dari dalam. Maka sudah sepantasnya kengerian itu dibangun berdasarkan karakterisasi dari para tokoh. Kay, Sam, dan tentu saja Edna jadi pusat dari cerita; naskah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyelami para tokoh. Kita dibuat peduli kepada mereka, sehingga horor itu akan terasa semakin mengerikan. Kita bukan saja akan penasaran ke mana Edna pergi, ataupun bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah mereka, namun juga kita mengkhawatirkan hubungan ketiga tokoh ini. Kita ingin mereka bersatu tapi kita juga paham ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau dihindari di sini. Sesuatu itu adalah Kematian. Dan yang bikin Relic ini berbeda – dia punya level kengerian yang unik – adalah Kematian itu tidak sebatas menjadi ‘musuh’, melainkan juga jadi sesuatu yang harus diterima dan diembrace oleh tokoh-tokohnya.
Cerita Relic adalah metafora dari perilaku demensia yang menjangkiti pengidap Alzheimer. Seluruh kejadian dalam film ini adalah perumpaman dari dampak demensia tersebut kepada orang-orang, bukan saja pasien, tapi juga sekaligus keluarganya. Kita melihat wanita tua ini, Si Edna yang pada satu waktu tampak normal, dan di waktu yang lain dia ‘gak beres’. Salut buat permainan akting Robyn Nevin, efek demensia dan kengerian yang dibawanya berhasil tersampaikan dengan kuat kepada kita. Dia bertanya dengan ketakutan “ke mana semua orang?” menghasilkan efek yang berlapis-lapis karena selagi kita tahu penyakitnya sedang dalam mode: on, kita juga ngeri karena boleh jadi ia mempertanyakan sesuatu yang lebih literal. Akan ada waktu-waktu saat Edna seperti tak mengenal Kay dan Sam. Yang juga ‘dibalas’ oleh Kay dan Sam yang takut setengah mati kepada ibu dan nenek mereka ini, seolah beliau adalah orang lain. That’s exactly what dementia does to people. Membuat si malang menjadi semakin merasa sendirian karena they just forget about things. Teror yang dialami Edna dalam film ini semuanya dapat kita terjemahkan sebagai ciri-ciri demensia. Yang membuat kita jadi merasakan simpati kepadanya. Edna, seperti orang-orang lansia pada umumnya, tidak didengarkan, diabaikan, bahkan ditakuti oleh keluarganya. Jamur atau noda hitam di pintu rumah, serta kelupasan hitam pada tubuh Edna, kedua-duanya terus menjalar. Membesar seiring cerita berjalan. Melambangkan deterioration – kemerosotan personal seorang pengidap karena dementia hari demi hari akan membuat mereka menjadi bukan lagi diri mereka. Mereka enggak tahu lagi diri mereka siapa.
Dari sisi keluarga, pengalaman memiliki anggota yang demensia juga sama mengerikan dan emosionalnya. Dan lagi-lagi, film ini berhasil mengumpamakannya dengan sangat baik melalu pengalaman horor yang dirasakan oleh Kay dan Sam di rumah itu. Sam, misalnya, yang mencoba melakukan hal yang benar. Dengan ikhlas mengurus neneknya, bahkan sampai pengen pindah tinggal di sana – yang mendapat delikan keras tanda tidak setuju dari ibunya. Namun Sam justru yang pertama kali merasakan kengerian paripurna dari interaksinya dengan sang nenek. Sam yang duluan merasakan bahwa neneknya itu bukan lagi neneknya yang dulu. Menyaksikan orang yang kita cintai berubah seperti demikian – menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenal – sungguhlah pengalaman menakutkan. Kita ingin menolong, tapi bagaimana cara menahan sesuatu yang tidak bisa dihentikan? Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan lebih banyak perhatian dan cinta kepada mereka. Seperti yang akhirnya dengan berani dilakukan oleh Kay pada akhir cerita film ini. Relic menutup ceritanya dengan sekuen adegan yang begitu indah, namun dalam artian yang sekaligus mengerikan. Untuk tidak membicarakan terlalu banyak sehingga menjadi spoiler, aku hanya akan mengutarakan yang kurasakan dan terpikir olehku ketika menonton adegan luar biasa tersebut.

Bahwa semua itu adalah soal menatap kematian tepat pada matanya. Untuk tidak lagi berpaling dari kejelekan, kengerian yang dibawa oleh kematian. Karena cepat atau lambat kita akan mengalaminya. Dan perjalanan itu tidak harus dihadapi sendiri. Kita punya pilihan untuk menemani orang tersayang pergi dengan cinta. Membantu mereka melewati semuanya. Beri mereka kedamaian, pergi dengan perasaan cinta.

 

Yang mengerikan itu bukan kematian, tapi menghadapinya sendirian.

 
 
Ada masa ketika kita bingung untuk merasakan apa ketika nonton Relic. Kita tahu dia sakit, tapi kita mengkhawatirkan bagaimana jika Edna benar. Ada sesuatu di rumah itu. Bagaimana jika bayangan-bayangan yang bergerak di latar belakang adalah beneran hantu. Dan Kay juga Sam dalam bahaya karena tidak menyadari. Ini juga jadi salah satu kekuatan Relic sebagai film horor. Untuk waktu yang lama, kita dibiarkan menyusur jalan ceritanya sendirian. Tidak tahu pasti apa yang terjadi. Hal ini tentu saja dapat tertranslasi sebagai ‘cerita-yang-lambat’ oleh beberapa penonton, dan eventually menjadi turn-off. Buatku ini simply adalah bukti bahwa Relic berhasil menyimpan dan memainkan misterinya. Rumah itu beneran berhantu, demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka dihantui oleh penyesalan, oleh duka. Mereka dihantui oleh kejadian di masa lalu – permasalahan keluarga yang membuat Kay dan Edna renggang hadir dengan sangat subtil sebagai akar dari emosional backstory.
Dan menjadikan rumah itu beneran berhantu adalah resiko kreatif yang diambil oleh film ini. Hantu di rumah tersebut – yang membuat kita dapat babak ketiga yang superseru dan menarik saat cerita menjadi petualangan kabur dari kejadian surealis-tapi-nyata – dibiarkan menjadi entitas tak terjelaskan. Karena sebenarnya berfungsi sebagai kiasan bahwa demensia juga mempengaruhi orang-orang terdekat. Keluarga yang mungkin merasa terjebak alias harus terseret dalam masalah yang ditimbulkan oleh pengidap. Yang pada akhirnya berkembang menjadi pilihan, kabur atau tinggal. Jadi rumah itu memang perlu dibuat beneran berhantu – beneran punya lorong rahasia yang seperti hidup – supaya ceritanya bisa meluas menjadi dari dua perspektif.
 
 
 
Bertindak sangat kuat sebagai sebuah kiasan demensia dan menghadapi kematian, film ini adalah sebenarnya horor yang bicara tentang karakter yang berkeluarga, dengan masalah yang real – yang dapat terjadi pada kita di dunia nyata. Sehingga film ini jadi jauh lebih menyeramkan dibandingkan film-film yang menjual jumpscare dan hantu berbagai rupa. Film ini diberkahi oleh tiga penampilan akting memukau, yang berpuncak pada ending yang aku yakin akan jadi perbincangan untuk waktu yang cukup lama di kalangan penggemar horor-beneran.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RELIC.

 

 
 
That’s all we have for now.
Mengapa kita takut tua, kita takut mati, walaupun mati dan tua itu adalah suatu hal yang pasti terjadi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE WRETCHED Review

“All children’s greatest fear is the separation of their parents”
 

 
 
Pria dan wanita saling jatuh cinta. Mereka kemudian hidup bersama. Menjadi papa dan mama. Anak mereka akan belajar banyak dari mereka, terutama kasih sayang dan rasa percaya. Namun kemudian pria dan wanita tadi bertemu dengan masalah rumah tangga. Mereka memutuskan untuk berpisah, karena itulah langkah terbaik. Yang harus disadari adalah perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal. Permulaan dari trauma dan masalah bagi anak. Karena sekarang rasa percaya itu terbagi dua. Anak takut disuruh memilih. Anak khawatir mengkhianati kasih sayang utuh tempat ia bertumbuh. Dan kemudian datanglah sang figur pengganti. Sebagai personifikasi dari ketakutan anak dari perceraian orangtua.
The Wretched merangkum hal-hal yang dikhawatirkan oleh anak-anak malang seperti demikian. Yang orangtuanya kini tinggal terpisah. Yang bersiap untuk mendapat papa atau mama yang baru. Kejadian-kejadian tersebut dibentuk ke dalam narasi horor oleh duo sutradara sekaligus penulis naskah Brett Pierce dan Drew T. Pierce, yang kemudian disampaikan kepada kita lewat tone yang ringan seolah ini adalah kisah kehidupan remaja normal. Benturan tone inilah, tema yang kelam-estetik creepy-atmosfer ringan, yang menjadikan The Wretched sebuah pengalaman nonton yang lumayan langka. Yang kita dapat biasanya entah itu film yang terlampau artsy, atau malah film yang bablas receh. Atau yang frontal sadis. The Wretched berada di tengah-tengah itu semua. Violent dan tega terhadap anak kecil, beberapa mengarah ke ‘konten dewasa’, tapi perspektif dan gagasan yang disampaikan adalah milik anak-anak baru gede yang bermuara pada keluarga.
Cerita berpusat pada Ben (John Paul-Howard bermain dengan gips di tangan), cowok remaja yang mendapat giliran di rumah ayahnya, di lingkungan kota dermaga kecil. Di sini Ben berkenalan dengan tetangga baru, teman baru, dan calon ibunya yang baru. Selain kecanggungan sosial dan angst-nya soal kemungkinan ibu baru tersebut, hidup Ben masih tergolong normal. Hingga dia gak sengaja mengintip ada kejanggalan di sebelah rumahnya. Tetangga Ben mendadak lupa bahwa mereka punya dua orang anak. Ben yang tertarik rasa penasaran dan kekhawatiran melakukan investigasi kecil-kecilan. Dia menemukan simbol aneh dan sesuatu yang mencurigakan di basement tetangganya itu. Mungkinkah nyonya rumah tersebut adalah seorang penyihir kuno? Ben harus segera berbuat sesuatu sebab anak-anak lain di kota itu mulai lenyap jejak keberadaannya satu-persatu.

Apakah sosok mirip Arrancar ini technically dibilang Witch karena suka merebut suami orang?

 
Nonton The Wretched rasanya persis kayak baca cerita-cerita di buku Fear Street karangan R.L. Stine. You know, the Goosebumps-Guy. Goosebumps merupakan horor yang ditulis Stine khusus untuk anak-anak; dengan tidak terlalu mengerikan, dalam artian hanya ada literal makhluk mengerikan entah itu zombie, hantu, alien, atau bahkan bully di sekolah tanpa pernah menyentuh isu yang lebih dalam seperti domestic abuse, atau trauma, ataupun ketakutan mental lainnya. Pada Fear Street, Stine mulai memperkenalkan soal isu tersebut dengan sedikit lebih dalam, karena mengincar pembaca yang lebih gede. Nah, The Wretched juga mengandung elemen dan cara bercerita yang mirip dengan horor Fear Street. Remaja yang melakukan hal-hal remaja biasa yang dealing with bersosialisasi di lingkungan baru. Kenalan ama cewek. Sedikit gak akur sama akur sama ayah yang mau nikah lagi. Namun dengan tone horor yang kuat sebagai pembungkus lapisannya.
Horor di sini dapat menjadi sangat mengerikan untuk penonton seusia tokoh utamanya, atau yang lebih muda. Anak yang dimakan. Anak yang diseret secara kasar untuk kemudian dibiarkan sementara nasibnya sesuai imajinasi kita. Practical effect-nya akan membantu kita mengembangkan visual supermengerikan di dalam kepala masing-masing. The Wretched punya departemen art yang asik, untuk ukuran genre horor. Penampakan ‘penyihir’nya sangat meyakinkan seremnya. Adegan dia keluar dari perut rusa niscaya bakal menghantui mimpi anak kecil yang menonton ini, paling enggak untuk seminggu ke depan. Sementara aku, skena mimpi burukku sampai saat ulasan ini diketik masih dibintangi oleh emak-emak berdiri di ujung lorong, bermandikan cahaya, dengan tubuh berpostur meliuk kayak batang pohon. Yea, terima kasih buat adegan anak tetangga Ben melihat ibunya berdiri di luar kamar. Sutradara jelas punya gaya dan visi tersendiri dalam menampilkan keseraman dengan penuh gaya, and it works. Bahkan jumpscare yang kita temukan juga enggak jatoh murahan dan hanya-sekadar-ngagetin. Ada timing, ada build up yang melibatkan bukan saja musik, melainkan juga cahaya, sehingga begitu precise dan tetap menghormati penonton.
Dalam penulisanlah film ini lebih struggling. Seperti yang disebut di atas, fenomena-fenomena horor di film ini sebenarnya merepresentasikan ketakutan anak saat keluarganya berpisah dan bakal membentuk keluarga baru, dengan lingkungan dan orang yang completely baru, sehingga mereka merasa terasing. Film berusaha memasukkan banyak, seperti anak yang keluarganya disihir sehingga melupakan dia exist adalah gambaran anak takut dilupakan, ataupun seperti penyihir yang memakai kulit manusia dan menyamar menjadi ibu – membisiki ayah untuk bersikap aneh – adalah gambaran anak takut dia tidak mengenali orangtua baru atau orangtua aslinya lagi. Semua itu diperlakukan sebagai kekuatan sihir si Penyihir. Namun saking banyaknya, film jadi terlihat menumpukkan saja semuanya ke tokoh Penyihir ini. Film mencoba membangun mitologi si penyihir untuk merangkum dan melogiskan itu semua. Tapi tetap saja, si Penyihir pada akhirnya hanya tampak seperti segala kekuatan jahat yang superpower tanpa benar-benar menjadi sebuah karakter.
Menjadi lebih parah ketika kita meniliknya dari usaha film membeberkan kekuatan, keberadaan, dan mungkin cara mengalahkan Penyihir ini. Film melakukan semua trope horor gampangan, semacam ada simbol sihir di mana-mana, ada internet yang punya informasi detil mengenai makhluk ini. Kemudahan dan kefamiliaran. Membuat film ini generik dalam hal karakterisasi dan pendalaman mitologi. Kekuatan penyihir tidak diberikan batasan atau penjelasan. Kegunaan simbol, kenapa digambar, kenapa makan anak-anak, siapa yang menulis artikel detail di internet, film gak peduli membahas semua itu. Yang penting bagi film adalah aspek-aspek itu ada sebagai alat untuk mendukung gagasan soal ketakutan anak, dan si penyihir ‘hanyalah’ gabungan dari itu.
Penyihirnya suka menggambar

 
Konsistensi struggling penulisan ini juga tercermin jelas dari karakter-karakter manusia. Film bermaksud membuat tempat, kota, yang menjadi latar hidup. Sebagaimana dalam cerita-cerita Stephen King; mau itu kota Derry, Castle Rock, ataupun penjara Shawsank, tempat selalu menjadi karakter ‘tersembunyi’. The Wretched pengen seperti demikian. Kita diperlihatkan si Penyihir sudah ada dari beberapa tahun yang lalu. Bersemayam di hutan. Kita lantas melihat kota kini berpindah pusatnya ke perairan, dan ada arc sendiri bagi Penyihir terkait dengan kota ini yang dibuat melingkar di akhir. Untuk fully menghidupkan kota, film menempatkan berbagai macam penduduk sehingga tokoh-tokoh sentral bisa berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, film ini kembali salah langkah. Seperti halnya Penyihir, kota atau tempat ini juga jadi tumpukan trope saja. Semuanya hanya jadi device saja. Misalnya tokoh bully yang ternyata perannya hanya minor untuk menghalangi Ben ke suatu tempat, sekilas, dan tidak pernah dibahas lagi relasi yang sempat terbangun antara Ben dengan mereka.

Membayangkan orang asing masuk ke keluarga, mendekati salah satu orangtua dan kemudian membayangkan harus menganggap orang itu orangtua baru, jelas bukan pikiran menyenangkan untuk anak dan remaja. Banyak peneliti yang sependapat bahwa anak tumbuh lebih ‘sehat’ di lingkungan yang mencintai meskipun harus mengalami perpisahan dibandingkan tumbuh di lingkungan yang selalu bertengkar. Namun, perpisahan dan masuknya orang baru tetap bukan perkara enteng bagi mental anak. Mereka terutama khawatir akan terlupakan, karena orangtua sudah move on dengan cinta lama. Sekaligus takut melupakan orangtua ketika mereka nyatanya juga harus move on dan memilih.

 
Dan bicara soal Ben, dari eksposisi backstory yang ia ceritakan kepada kita melalui tokoh teman wanitanya, supposedly Ben ini kayak jadi bengal gitu setelah orangtuanya cerai. Tangannya patah karena perbuatan kriminal kecil-kecilan yang ia lakukan. Kita juga melihat di awal perkenalan kita dengannya, Ben mengutil uang. Dari sini kita bisa memahami cerita sebenarnya pengen menyampaikan bahwa Ben yang sekarang sedang ‘dihukum’ dia datang ke tempat ayahnya untuk bekerja dan dipantau berkelakuan baik. Konflik diset lewat Ben harus melanggar aturan karena ia merasa ada sesuatu yang ganjil dan berbahaya di rumah sebelah. Ini mestinya konflik yang cukup menarik. Akan tetapi, Ben yang sebagian besar durasi kita lihat, tidak pernah tampil semenarik itu. Karakternya boring, whiny, dan tidak memancing simpati. Ada seorang cewek yang mendekati dia, mereka jadi sahabat, dan Ben tak pernah tampak tertarik ataupun bereaksi kepadanya seperti manusia beneran. Ben terlalu fokus membawakan plot, tindakannya jadi ngeselin. Film terlalu menyuruhnya untuk mengintip tetangga kayak sedang berada dalam film Rear Window (1954), sehingga lupa ada elemen-elemen lain yang harusnya juga dimainkan.
Film menyimpan twist keren di akhir, hanya saja tidak terasa cukup waktu untuk kita benar-benar merasakan impact dari pengungkapan tersebut. Keberadaannya enggak mengurangi nilai film, tapi aku pikir seharusnya bisa lebih diberi bobot lagi terutama yang berhubungan dengan Ben. Bukan hanya dia ada di sekitar Ben, melainkan mungkin seharusnya bisa dikaitkan langsung dengan emosional Ben, seperti misalnya dia-lah justru yang pertama kali melupakan. Dan ini hubungannya kembali lagi ke karakterisasi; karena Ben dikembangkan tidak semenarik yang seharusnya bisa dicapai jikasaja naskah direworked lebih cermat.
 
 
Untuk menyimpulkan; aku enjoy menonton ini. Ceritanya yang mengangkat horor di balik kehidupan sehari-hari membawa ke masa-masa horor jadi staple dalam hiburan anak muda. Film ini tidak terasa seperti horor dengan tokoh remaja/anak. Melainkan seperti film anak yang horor. Dan ini membuatnya jadi pengalaman nonton yang seru. Juga grounded, karena masalah pada anak dapat dengan mudah terelasi kepada semua orang. Penggemar horor pun aku yakin akan mengapresiasi estetik dan visualnya. Mainstream appeal film ini juga terletak pada twist yang sudah disiapkan. Masalahku sama film ini adalah penulisan yang enggak sebanding dengan arahan. Banyak aspek yang diangkat, yang ternyata cuma jadi trope dan device, alias tidak benar-benar matang dipikirkan kehadirannya.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE WRETCHED.

 

 
 
That’s all we have for now.
Sesungguhnya, enggak ada orang yang mau dilupakan, terutama oleh orang-orang yang ia sayangi. Menurut kalian, darimana perasaan takut dilupakan ini berasal? Apakah itu hanya ‘anak’ dari kecemburuan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FANTASY ISLAND Review

“Revenge is best left to fantasy”
 

 
 
Dalam imajinasi pembuatnya, tentulah sebuah karya akan sangat keren. Kita senang berpikir ide kita groundbreaking, akan bikin semua orang kagum; bahwa kita sangat cerdas dan punya jawaban atas semua masalah yang bakal menghadang. Namun kenyataan seringkali berkata lain. Film Fantasy Island pastilah dianggap pembuatnya sebagai reboot yang unik. Sutradara Jeff Wadlow memastikan tim penulis menelurkan alur yang gak tertebak, dengan balutan dialog komedi yang happening. Dalam fantasinya, film ini cerdas dan efektif sebagai horor mainstream yang seru menegangkan. Kenyataan menghantam keras-keras. Setelah ditonton, mata kita akan terbuka atas seperti apa rupanya film yang uninspiring, boring, dan sok keren.
Fantasy Island mengusung konsep yang serupa dengan serial televisi awal 80-an yang sedang berusaha ia tiupkan napas baru ini. Tentang sebuah pulau yang bisa ‘mendengar’ keinginan terdalam hati manusia dan mewujudkannya ke dunia nyata. Pulau tersebut dikelola oleh Mr. Roarke, seorang pria misterius berstelan putih. Pada setiap episodenya dibuka dengan pesawat yang datang ke pulau, membawa beberapa tamu sebagai ‘pasien’ dari Mr. Roarke; yakni orang-orang yang bakal hidup dalam fantasi masing-masing, dan belajar bahwa imajinasi bisa begitu liar sehingga menjadi tak-terkontrol dan bagaimana seharusnya kita tidak terlena oleh khayalan. Film Fantasy Island terbaru ini mencoba untuk menekankan kepada aspek horor supranatural dari konsep kekuatan pulau tersebut. Kita akan melihat lima orang tamu datang ke pulau untuk ‘terapi’. Mereka bersalaman dengan Mr. Roarke (yang miscast banget diperankan oleh Michael Pena; ini kayak kalo Dwi Sasono disuruh meranin tokoh misterius) dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan imajinasi mereka, hingga fantasi tersebut menjadi terlalu mengerikan dan nyata-nyata berbahaya!

karena ini rated PG-13, maka bahkan ngayal pun ada aturan dan etikanya

 
Konsep orisinal Fantasy Island itu lantas dengan segera membuat film ini kewalahan. Naskahnya enggak cukup kompeten untuk merangkul segitu banyak tokoh – segitu banyak kepala dan motivasi. Arahannya pun tidak tampak cukup peduli untuk menghasilkan sesuatu tontonan yang lebih berarti daripada sekadar pengisi dompet dan produk generik. Fantasy Island kekinian ini bingung, film seperti tidak bisa memutuskan tokoh mana yang jadi karakter utama. Posisi sebagai protagonis cerita akan dipingpong dari satu tokoh ke tokoh lain sepanjang durasi, karena ada begitu banyak twist and turn dalam alur cerita. Jadi, kita yang nonton juga bengong. Siapa yang harus ‘dijagokan’. Kita tidak tahu mana yang sudut pandang utama yang menjadi batang tubuh cerita. Apakah ini tentang Mr. Roarke yang memilih untuk jadi abdi pulau karena ia punya gelora desire pribadi yang tak kunjung padam. Atau tentang salah satu dari lima tamunya. Kita punya cowok pengecut yang pengen mencoba jadi tentara supaya bisa ketemu ayahnya yang pahlawan perang. Lalu ada seorang wanita yang menyesal menolak lamaran dari pria yang ia cintai. Berikutnya ada dua bersaudara (Candy Andy dari 2 Broke Girls dan Jian-Yang Silicon Valley jadi kakak-adek di sini hahaha!) yang pengen ngerasain hidup mewah dan berpesta sepanjang malam. Lalu ada Lucy Hale yang jadi korban bully semasa sekolah, jadi sekarang ia pengen mewujudkan imajinasinya menyakiti si pembully, tapi nantinya dia harus berkonfrontasi dengan si pembully yang sekarang sudah insaf dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak satupun dari lima (atau tepatnya, tujuh) sudut pandang tersebut yang inspiring karena mereka semua gak punya motivasi yang jelas. Film banyak menutup-nutupi demi tujuan ngetwist. Journey masing-masing jadi tidak bisa kita ikuti sebagai akibat dari tujuan tersebut. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal para tokoh. Mereka cuma spektrum-spektrum yang diurai bebas, yang bahkan antara satu dengan yang lain tidak ada benang merah atau keparalelan selain bahwa mereka semua bercela karena rakus dan terbuai oleh imajinasi.

Bagi kebanyakan manusia, fantasi adalah tempat paling aman untuk melampiaskan balas dendam. Karena balas dendam itu sendiri sama persis dengan hutan – kita akan mudah tersesat dalam mengarunginya. Terlalu jauh berkubang dalam misi balas dendam akan membuat kita kehilangan jejak terhadap siapa diri kita dan tujuan pada awalnya. Maka dari itulah, sebaiknya balas dendam itu jangan diwujudkan. Biarkan saja jadi imajinasi, supaya memotivasi untuk memperbaiki diri. Bukannya melampiaskan, sebab sesuatu yang telah terjadi tak akan bisa kita tarik kembali.

 
Banyaknya tokoh ini biasanya akan berujung ketidakseimbangan tone jika digarap oleh arahan dengan visi tidak kuat dan cerita yang ala kadar. Inilah yang persis terjadi pada Fantasy Island. Masing-masing fantasi punya tone yang berbeda. Ada yang lebih ke drama. Ada yang petualangan. Ada yang torture-horror level ‘balita’. Dan ada komedi yang gak-lucu. Komedi adalah salah satu usaha terburuk yang dilakukan oleh film ini. Tek-tokan dialognya garing, terlalu sok nge-hip dengan referensi pop-culture. Para tokoh gak punya karakter, mereka cuma makhluk-makhluk sok asik. Tokohnya si Lucy Hale, misalnya, tanpa alasan dia ngeflirt dengan agresif begitu saja. Ketika bicara fantasy experience, bagian tokohnya memang cukup seru. Begitu juga dengan bagian tokoh yang berfantasi di hutan perang. Namun begitu film membawa kita ke fantasi pesta di rumah, kegaringan akan kembali menyatroni. Dan ketika film membawa kita ke drama wanita yang ingin ngerasain hidup bahagia berumah tangga, film seketika menjadi dead-beat membosankan. Bahkan film ini sendiri tahu cerita tokoh wanita yang berfantasi menikah itu going nowhere, maka setelah pertengahan, film membuat tokoh ini mengubah permintaan fantasinya – yang membuat film melanggar sendiri aturan yang sudah ia tetapkan sebagai mekanisme konsep pulaunya.
Pulau itu punya aturan. Ada syarat dalam menampilkan fantasi kepada pengunjungnya. Maka, pulau dalam film ini seharusnya bertindak sebagai karakter tersendiri. Dia digambarkan punya aksi dan jalan pikiran sendiri. Tapi lagi-lagi, film tidak mampu untuk mengembangkan ini. Peraturan yang menjadi mekanisme dan karakter pulau, dilanggar begitu saja. Jika di awal kita mungkin sedikit tertarik pada bagaimana sebenarnya pulau ini bekerja, maka semakin ke akhir ketertarikan itu menguap ke udara karena clearly film hanya mampu menampilan pulau sebagai gimmick dan alasan untuk keberadaan zombie mata-item yang sama sekali enggak mengerikan.

sudah bisakah kita pindah ke Pleasure Island?

 
Setelah nonton, di Twitter aku actually ngepost cuplikan adegan dari dua menit pertama film ini. Adegan yang langsung dengan tepat melandaskan kebegoan naskah dari kesimpelan tokoh dan penulisan dialognya. Adegannya berupa seorang cewek lari dikejar-kejar seseorang di malam hari, dia masuk ke rumah, ngumpet di balik meja, dan kemudian telefon di atas meja itu berdering, yang ia lantas jawab; dengan panik minta tolong ke siapapun penelfon itu.
Setidaknya ada dua kebegoan pada adegan tersebut. Pertama; Si cewek memilih sembunyi di balik meja yang tengahnya bolong (hanya karena naskah butuh dia untuk menjawab telepon). Dan kedua adalah; Kalimat si cewek saat ngangkat telfon masuk “Aku diculik di pulau aneh” – ini adalah kalimat yang tidak akan terjadi di logika nyata. Melainkan adalah dialog yang sangat artifisial. ‘Di pulau aneh’ itu adalah informasi yg sebenarnya disampaikan buat penonton – cara film menyampaikan/menanamkan setting cerita yang tergambar pada naskah. Si penelpon tak butuh informasi itu. Karena mana ada orang yang nelfon suatu tempat tapi tidak tahu tempat yg ia telfon. Sehingga reaksi si cewek yang lagi dikejar-kejar tak tepat (gak make sense). Normalnya adalah ia akan bilang “Tolong aku diculik, ini di mana?”, ia tidak perlu membuang kesempatan berharga menjelaskan tempat seperti apa kepada orang yang menghubungi tempat itu. Dialog itu lebih tepat jika adegannya adalah si cewek yang menelepon duluan. Jadi, sedari menit awal aja film ini udah nunjukin kecenderungan untuk spouting information, alih-alih bercerita.
Dan memang sampai akhir, isi dialog film ini adalah tokoh-tokoh yang nyerocos info aja. Setiap adegan ngobrol isinya pasti seseorang ngebeberin kisah hidupnya ataupun alur cerita yang tidak mau repot-repot digambarkan oleh film. Oh sepertinya itu ibu si anu. Benar, aku melihat mata mereka mirip. Kalo begitu dialah yang jahat. Ya, dia sengaja blablabla. Film gemar sekali menjelaskan hal-hal gak penting, mengejakan kepada kita informasi apa yang harus kita mengerti untuk saat itu, karena beberapa adegan kemudian informasi yang sudah dijejelin ke kepala itu jadi tidak berguna karena selalu bakal ada twist. Twist ini nanti dijelaskan lagi – para tokoh akan ngobrol lagi, ngadep ke kamera biar kita merasa bagian dari mereka – mereka akan nyebut hal-hal yang tidak pernah dibuild up lagi kepada kita, untuk kita percaya, dan kemudian akan ditwist lagi. Begitu seterusnya. Misteri film ini adalah omong-kosong yang bergerak semau pembuatnya aja. Dan bahkan dengan penjelasan terus-menerus tersebut, twist pamungkas film ini tetap saja gagal untuk dimasukakalkan. Kita bukannya tidak mengerti alur ceritanya. Kita hanya tidak mengerti kenapa film seperti ini bisa eksis tayang di bioskop.
 
 
 
Aku tahu banyak dari kalian yang sudah mendengar betapa jeleknya film ini, atau sudah mengalami sendiri betapa memalukannya tayangan ini. Aku sendiri bahagia sudah melewatkan ini di bioskop. Dan sekarang, aku di sini untuk menjelaskan kenapa film ini begitu bego. Karena filmnya enggak berniat bercerita. Film ini terobsesi menjadi hits maka ia masukkan banyak komedi cringe, banyak twist-and-turn gak masuk akal, banyak tokoh-tokoh bloon supaya penonton bisa merasa lebih baik daripada mereka. Keseluruhan paket film ini bukanlah tontonan yang menyenangkan. Kuharap film ini hanyalah fantasi pembuatnya aja. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang harus kita endure bersama.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FANTASY ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
What’s your deepest fantasy? Seberapa besar fantasi itu berperan dalam hidup kalian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE TURNING Review

“We all go little mad sometimes”
 

 
 
The Turning sedianya memang bikin kepala kita berputar-putar saat berusaha mencerna yang sedang ia ceritakan. Apakah hantunya nyata atau tidak. Apakah kejadian dalam film ini beneran terjadi atau bukan. However, horor sebenarnya yang mengendap-ngendap di balik cerita ini adalah soal betapa menjadi gila itu merupakan hal yang paling menakutkan di seluruh dunia.
Diperankan dengan ceria (pada awalnya loh ya, pada awalnya) oleh Mackenzie Davis, Kate Mandell menerima kerjaan menjadi pengasuh pribadi seorang anak perempuan yang mengalami trauma karena melihat orangtua meninggal. Kate tahu persis rasanya besar jauh dari orangtua, maka ia dengan personal menganggap pekerjaan barunya tersebut sebagai tugas mulia. Kate sempat mampir dulu menengok ibunya yang dirawat di tempat yang sepertinya adalah sebuah rumah sakit jiwa, sebelum berangkat ke rumah sang anak di pedalaman terpencil. Rumah yang ternyata sangat besar, halamannya luas, ada istal kuda segala. Sedangkan penghuninya cuma dua orang, si anak yang bernama Flora (yaay akhirnya Brooklyn Prince yang natural banget di The Florida Project dapat film lagi) yang ternyata cerdas dan adorable banget, dan pelayan rumah yang tampak sedikit kaku dan misterius. Kenyamanan Kate bekerja di sana mulai terusik tatkala penghuni lain rumah itu – Miles (Finn Wolfhard menggali sisi creep dan dark-nya), abang Flora yang sudah remaja – kembali karena dikeluarkan dari sekolah. Hubungan mereka gak akrab. Miles ini selain jail, juga creepy banget. Ditambah pula, Kate menemukan buku harian milik pengasuh anak-anak sebelum dirinya. Kate belajar kejadian mengerikan sepertinya pernah terjadi di antara pengasuh tersebut dengan instruktur berkuda yang akrab dengan Miles. Kini keduanya telah almarhum, tapi Kate merasa arwah mereka masih berada di sana. Corrupting the mind of the children. Sekaligus meneror dirinya.

Ssst jangan bilang-bilang kami pernah main film kayak gini yaa

 
Cara terbaik kita menonton film ini mungkin adalah dengan menganggapnya sebagai cerita wanita yang menjadi gila. Aku menyebutnya ‘mungkin’ karena memang tidak ada yang pasti dalam film ini. Sutradara Floria Sigismondi tidak menebarkan cukup banyak bukti-bukti penentu untuk kita memecahkan misterinya. Karena film didesain untuk bergerak dalam konteks membingungkan. Tema yang bergaung kuat pada novel The Turn of the Screw yang merupakan materi asli horor ini adalah disorientasi. Bahkan narator pun dipersembahkan sebagai orang yang tidak bisa kita percaya. Kegilaan tadi itu adalah bawaan dari materinya. Sedangkan Sigismondi mengadaptasi ini dengan lumayan ambisius. Ada pesan kekuatan perempuan yang turut ia gulirkan di bawah cerita.
Konflik sentral pada The Turning adalah hubungan antara Kate dengan Miles. Wanita muda yang mandiri ‘versus’ cowok abg yang gede dalam lingkungan berprivilege. Adalah Kate yang pertama kali mampu melihat Miles tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah. Dia arogan, full of himself, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan percaya bahwa kuda harus dikerasin biar nurut – dan siapa yang tahu seberapa jauh jangkauan kepercayaan Miles tersebut, apakah dia juga menganggap manusia harus dikerasin dahulu? Mungkin karena prinsip itulah Miles juga agak semena-mena sama Kate; dia sebenarnya ingin berteman. Namun interaksi mereka semuanya sangat awkward. Miles tampak seperti stalker di mata Kate. Wanita ini – set to be the best parents or whatever – berusaha untuk memperbaiki sikap Miles. Kate tidak mau menyerah, ia terus mengulik akar perangai Miles. Ia sampai pada kesimpulan Miles berpanutan kepada orang yang salah. Sosok Quint si instruktor berkuda lantas menghantui pikiran Kate, just like ia menghantui Miles seperti dalam pikiran Kate.
Sutradara mengikat visinya dengan materi cerita di sini. Sumber kegilaan Kate adalah pengaruh Quint yang kuat melekat. Terwujud sebagai hantu Quint, dalam pikirannya. Ini menantang Kate sebegitu kuatnya. Kate merasa gagal dan gak cukup kuat, dan orang yang ia kenal yang gagal ‘memperbaiki’ anak adalah ibu kandungnya. Yang sekarang melukis di fasilitas penyembuhan mental. Main force di balik perjalanan karakter Kate adalah dia takut menjadi seperti ibunya, ia takut gagal mengasuh Miles dan Flora (Kate gagal total menyembuhkan ketakutan Flora untuk bepergian keluar dari gerbang rumah). Maka tokoh ini perlahan semakin panik dan jadi gila sendiri. Sedari luar, film menampilkan ini lewat semakin intensnya gangguan hantu-hantu. Suara-suara yang Kate dengar, wajah-wajah di cermin. Sedangkan dari dalam, film memperlihatkan perubahan Kate lewat bukti-bukti visual. Kita bisa menangkap ini dengan membandingkan penampilan dan sikap Kate dengan sosok pelayan rumah Mrs. Grose (Barbara Marten menyuguhkan permainan akting paling kuat di sini, karena berhasil memainkan misteri yang ia ketahui dengan sangat mengundang). Kate dan Grose awalnya kontras sekali. Kate selalu memakai baju-baju berwarna terang, sementara Grose berwarna abu-abu. Nyaris menyatu dengan latar rumah. Dua tokoh ini juga melambangkan dua aspek yang berlawanan. Yang satu adalah perlambangan kepatuhan yang dapat berujung sesuatu yang lebih fatal. Dan satunya lagi adalah perjuangan dengan resiko gagal yang membuat hilang akal. Sepanjang cerita berjalan, Kate berkembang menjadi campuran yang parah-parah dari kedua tokoh ini. Dia cerah namun juga semakin kelabu.

Orang gila, meskipun bakal pasti masuk surga, tapi di dunia selalu tampak menyedihkan. Umum bagi kita untuk mengucilkan orang gila, dulu istilahnya ada yang dipasung, dikurung di rumah sakit, disuntik macem-macem. Bahkan tak jarang diasosiasikan sebagai kemasukan setan. Maka kita naturally takut dianggap gila. I mean, bagaimana pun juga ketika sudah dicurigai gila, kita membantah segimanapun hanya akan dianggap semakin gila. Jadi kita takut gila bukan karena gila itu sendiri. Sehingga banyak dari kita yang gak sadar bahwa jadi gila itu sebenarnya mudah, losing touch with reality adalah penyakit yang bisa saja timbul dari ego, kesombongan, dan penyakit hati lainnya. Kita harusnya takut pada hal ini. Takut bahwa kita semua sudah pernah gila sesekali.

 
It’s a lost cause bagi Kate. Bukan lagi masalah apakah kegilaan ibu menurun kepadanya, atau ia gila diganggu hantu beneran atau enggak. Poinnya adalah, kejadian di rumah tersebut – masalah sikap dua anak itu – terlalu gede untuk ia tangani. Ketakutannya bukan kepada hantu. Melainkan kepada kegagalan dan kepada jadi gila seperti ibunya; terkucilkan, dianggap aneh. Inilah membuat ia jadi benar-benar gila. Atau paling tidak, rusak seperti boneka milik Flora yang ia jatuhkan.

Are you me or am I you?

 
Meski gagasan yang diusung film ini dapat diterima. Kita memutar otak cukup keras dan menjangkau cukup jauh – mau tak mau harus berpedoman kepada sumber aslinya, dan baru dapat mengerti dan menerima. Tapi semua itu tetaplah gak bisa dijadikan alasan untuk menyampaikan cerita seperti yang dilakukan oleh film ini. Disorientasi yang jadi tema utama digambarkan oleh film ini  lewat kabut-kabut, lewat labirin, lewat adegan mimpi yang disebar, dan ultimately flat out mengecoh penonton. The Turning turned out to be exactly like modern horror. Penuh jumpscare, sinematografi yang ala-ala goth sebagai appeal. Dan punya twist. Ini mengidap penyakit film kontemporer yang membangun cerita dengan premis ‘ternyata’. Dan memang hanya ‘ternyata’ itulah yang dipunya oleh film ini.
Menge-spoil apa yang terjadi di menjelang akhir film ini actually adalah tindakan yang lebih respectful ketimbang sekuen di menjelang akhir film itu sendiri. Aku benar-benar gak bisa paham kenapa pembuat yang punya visi mau-mau saja mengambil arahan seperti yang dilakukan oleh film ini. Kenapa mereka tidak mengambil rute lain yang lebih menghormati penonton. Jadi; false resolution cerita yang berlangsung sekitar sepuluh menit sebelum ending adalah ternyata semua yang Kate alami sejak masuk babak tiga hanyalah ada di dalam kepala wanita ini semata. Hanyalah imajinasi yang menunjukkan seberapa gilanya dia. Sehingga kita yang menonton, yang sudah melihat perjuangannya untuk kabur dari sana, yang sudah menyaksikan untuk melihat Kate menemukan jawaban dan pembelajaran, dikecoh sebab ternyata film ini sama sekali tidak memberikan penyelesaian. Tidak ada solusi asli. Yang kita lihat sepanjang film adalah wanita yang perlahan menjadi gila, dan tidak ada kesembuhan. Film bisa berakhir lebih cepat tanpa harus perlu ada sekuen false resolution yang ternyata beneran mengecoh. Tidak ada aksi, pilihan, yang sesungguhnya dilakukan. Ini seperti menonton adegan mimpi yang panjang sekali.
Film ini hanya ingin menunjukkan Kate jadi gila. Itu saja. False resolutionnya berfungsi untuk menyampaikan informasi hantu-hantu itu gak ada. Namun film melakukan dengan cara yang mengecoh kita. Mereka gak mau repot nyari penyampaian false resolution yang lebih baik. Dan bahkan settle di ‘Kate gila’ juga tidak menjawab semua pertanyaan yang dipancing oleh film. Kepala manekin yang bergerak sendiri saat Kate pertama bermalam di sana. Lukisan ibunya yang seolah jadi pertanda. Misteri kematian Quint. Bagaimana dengan Flora yang melukis hantu persis seperti imajinasi Kate – jika hantu-hantu itu beneran dalam kepala Kate. Film tidak komit membahas ini, dengan tidak pernah tegas menginformasikan sesuatu yang krusial seperti anak-anak ini beneran bandel dan sengaja ngeprank. Atau ibunya beneran gila dan lukisannya tak berarti apa-apa. Dan dengan agendanya sendiri, film justru seperti menghukum protagonisnya sendiri tanpa alasan yang jelas.
 
 
 
 
Aku sebenarnya sudah sangat enjoy menonton ini. Aku masih bisa memaklumkan jumpscare, ataupun pemilihan musik yang agak ngerock yang gak klop dengan tone cerita. Aku menikmati penampilan akting para tokoh, meski ada beberapa yang sedikit overacting. Dan karena film enggak pernah benar-benar memberi kita sesuatu untuk dipegang, nonton ini tuh sepanjang durasi memang sebatas pengen lihat penyelesaiannya. Namun ternyata film mengecoh, dia tidak punya penyelesaian, ending film hanya berfungsi sebagai konfirmasi tokohnya gila. Kalo ada yang perlu diperbaiki, maka itu bukanlah wajah boneka. Melainkan sekuen false resolution yang menghina kita itu, adegan-adegan repetitif prank anak-anak, adegan mimpi. Hampir semuanya ya ternyata haha.. Yang mau aku tekankan adalah film tentang perjalanan deteriorating seorang tokoh mestinya bisa lebih terhormat daripada ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE TURNING.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kate membayangkan skenario kabur dari rumah dengan melihat lukisan ngasal ibunya, di titik inipun dia belum sadar dirinya gila. Dia sadar setelah konfrontasinya dengan anak-anak menjelang ending. Menurut kalian, in real life, bagaimana cara kita tahu kita sudah gila?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2 Review

“Better the devil you know than the devil you don’t”
 

 
 

Manusia lebih baik daripada iblis. Sejak iblis yang diciptakan dari api terang-terangan menolak memberikan penghormatan kepada manusia yang tercipta dari tanah, iblis diturunkan derajatnya. Dan mereka pun mengamini penurunan tersebut dengan bersumpah untuk terus sekuat tenaga menyesatkan anak manusia sehingga berada di dasar neraka bersama mereka. Alfie dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018) menambah skor bagi manusia, dia berhasil mengalahkan iblis. Bersama adik tirinya, wanita ini lolos dari peristiwa maut yang mengubah kehidupan mereka. Dua tahun kemudian, kini di Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2, Alfie masih dihantui bisikan dan bayangan. Dia dan adiknya, Nara, lantas kembali dipaksa terlibat dalam masalah mengerikan yang berakar pada persoalan iblis menjebak manusia untuk melakukan perjanjian terkutuk. Hanya saja kali ini, angka skor tadi tidak lagi menjadi soal.

Karena, demi horor Alfie dan kita semua, keunggulan manusia terhadap iblis ternyata juga bisa berarti manusia yang menghamba pada iblis mampu menjadi iblis yang bahkan jauh lebih iblis daripada iblis itu sendiri.

 

tak ada yang waras di kota ini

 
Sutradara dan penulis naskah Timo Tjahjanto kembali mengajak kita bersenang-senang dengan horor sadis ala Evil Dead. Yakni horor dengan tone yang over-the-top, berisi makhluk-makhluk peranakan teror praktikal dan permainan teknis, dan ditaburi selera humor edan. Penggemar horor akan bersorak melihat adegan ala Alien lahirnya pria dewasa dari dalam tubuh seorang wanita. Reaksi terhadap berbagai trik horor dan jumpscare film ini jelas akan beragam. Misalnya adegan tangan setan yang ngasih jari tengah ke Alfie; ini bisa jadi adegan kocak bagi penonton yang gemar horor-horor ala B-horor 90-an. Dan di sisi lain, bagi beberapa penonton yang lain (sebagian besar sepertinya), adegan itu bakal jadi exactly just what it is; sebuah jari tengah yang diacungkan tepat ke depan muka semua orang yang mengharapkan peningkatan dari film yang pertama.
Filmografinya padahal sudah berbicara. Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2 actually merupakan sekuel pertama bagi Timo. Sebelum ini, dia dikenal dengan cerita-cerita orisinil. Gaya horor sadisnya bisa diaplikasikan ke cerita apapun, dan terbukti cukup menjual, sehingga sekuel Ayat 2 ini terasa dipaksakan dan justru membatasi. Karena cerita Alfie sudah tuntas di akhir film pertama, transformasi karakternya sudah sempurna. Akan lebih baik bagi Timo untuk menjual cerita pada film kedua ini sebagai cerita baru atau murni judul baru saja lantaran menarik Alfie kembali terasa sangat dipaksakan.
Ini semua kelihatan dari babak set up yang sangat lemah begitu mereka mulai memperlihatkan Alfie kepada kita. Ketika prolog dua cewek di rumah, yang ada keren netes terus dimatikan, tapi masih ada bunyi tetesan dan itu adalah bunyi darah yang menitik ke lantai, film terasa sangat menarik. Kita dihadapkan pada misteri baru, orang-orang baru, percakapan mereka did a good job membangun sosok Ayub dan kejadian mengerikan kehidupan mereka lima-belas-tahun lalu. Aku genuinely langsung penasaran. Apa sebenarnya yang menyerang si Gadis. Apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Relasi antargrup mereka juga disinyalir punya konflik. Tapi kemudian, kita dibawa menemui Alfie dan satu jumpscare berikutnya, kedua kubu ini  – orang-orang di prolog dan Alfie – berada di bangunan bekas panti. Film menyediakan sedikit sekali alasan logis yang menghubungkan Alfie dengan geng Gadis dan masalah mereka. Hanya sebatas karena Alfie pernah lolos dari iblis, dan sekarang anak-anak muda ini ingin minta tolong padanya karena nyawa mereka sedang diincar oleh sesosok iblis. Alfie seperti dipaksakan masuk; ini ironis karena cara film membuat Alfie ada di sana adalah dengan membuat geng Gadis menyatroni kediaman Alfie dan Nara, lengkap dengan topeng perampok, melumpuhkan Alfie, membawanya paksa – menyekapnya dalam bagasi mobil. Mereka minta tolong dengan literally menculik si calon penolong. Dan setelah teriak-teriak tanpa benar-benar menolak, Alfie mau saja menolong dan membaca mantra yang melepas semua petaka. Set up yang sungguh kentara dipaksakan supaya cepat, dan Alfie bisa ada di sana gitu aja. Padahal dia tidak punya hubungan ataupun masalah personal dengan salah satu dari Gadis dan teman-teman pantinya. Alfie tidak punya motivasi di plot ini. Dia hanya terpaksa karena iblis pervert musuh ‘klien’nya mengincar Nara (antagonisnya aja gak ada konflik-langsung dengan Alfie), dan satu-satunya yang menahan Alfie dan Nara gak cabut dari situ adalah mobil yang mogok.
Sure, masih ada transformasi yang dialami oleh Alfie. Di awal cerita dia adalah tough street-wise lady yang membakar kakak tirinya sendiri dan di akhir dia belajar bahwa dia adalah orang yang tidak punya kendali atas nyawanya sendiri. Dia adalah personifikasi dari manusia lebih baik ketimbang iblis sekaligus lebih buruk. Dihitung dari film pertama, seharusnya dia orang yang double bad-ass…(es?). Namun Alfie dimainkan dengan cara yang ‘lucu’ oleh Chelsea Islan. I mean, ada alasannya kenapa dulu aku memplesetkan namanya jadi Cheesy Island, tapi kemudian dia menunjukkan peningkatan akting yang signifikan. Di Sebelum Iblis Menjemput, Chelsea jelas bukan bahan tertawaan, perannya menggenjot fisik dan emosi, and she was delivered. Di film kedua ini, sayangnya, dia kembali menjadi Cheesy. Akting takutnya lebay. Bicaranya sebagian besar teriak-teriak hampa. Hampir seperti dirinya enggak nyaman dituntut seekspresif itu.
dan dia harus berpose metal untuk mengeluarkan kekuatan barunya

 
Cerita film ini masih akan bisa bekerja tanpa harus ada Alfie di sana. Sekelompok alumni panti yang ditarik kembali oleh iblis masa lalu mereka. Yang udah nonton, coba bayangkan kalo plot Alfie di film ini dijadikan plot si Budi, atau Gadis…. it could still work dan made more sense, kan. Ini adalah soal menggunakan iblis balik mengalahkan iblis; soal menemukan loophole di lingkaran setan. Film menggunakan Stockholm Syndrome lebih dalam dari lapisan luar narasi untuk memparalelkan hubungan manusia dengan iblis. Selain Alfie, sesungguhnya tokoh-tokoh baru yang berkenaan langsung dengan masalah dalam film ini gak ada yang punya karakter yang kuat. Mereka dangkal, dan klise. Si jutek, si misterius, si baik, mereka enggak punya background pribadi. Mereka hanya anak panti. Kenyataannya, mereka ini cuma penambah itungan kemenangan iblis atas manusia – mereka cuma jumlah korban. Bayangkan anak-anak Losers Club ketemu Pennywise, hanya kali ini mereka enggak berjuang — nah, begitulah tokoh-tokoh baru di film ini.
Banyaknya ‘korban’ enggak lantas berarti film ini punya adegan sadis/horor yang menyenangkan. Tidak, jika tokoh-tokoh ini sebagian besar hanya teriak-teriak, entah itu berargumen, atau nyari teman yang hilang (teriak padahal masing-masing pegang hatong), atau ketakutan. Dan lebih tidak lagi, saat adegan sadis/horornya monoton alias itu-itu melulu. Ada banyak sekali adegan setan seram di ujung (lorong/bawahtangga/seberang ruangan) dan kemudian si setan ini maju ke depan, mendekat dengan kecepatan edan sampai muka seramnya mau nabrak kamera. Manusia di film ini kesurupan iblis, dan tampaknya si iblis itu kesurupan Sonic!
 
 
 
 
Berakhir dengan cukup menarik sebenarnya, mungkin mereka mengincar trilogi. Dan jika iya, kita bisa mengharapkan arahan yang sangat berbeda pada film terakhir nanti dilihat dari elemen baru yang ditambahkan film ini sebagai resolusi cerita. Maka itu, aku ingin memberikan saran untuk ngetone-down Alfie sedikit, karena di film ini dia menjadi begitu over-the-top. Kita jadi menertawakan apapun yang ia lakukan. Semakin seram situasinya, semakin ngakak ngeliat Alfie. Mereka juga perlu come up with much better story buat Alfie, yang konfliknya benar-benar personal dan berhubungan langsung secara natural dan gak bersifat kebetulan dengan dirinya. Selain beberapa hiburan, jika dibandingkan dengan film pertamanya, sekuel ini mengalami kemunduran. Ceritanya lemah, horornya kalah seru, karakternya kalah menarik.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah setan itu merujuk pada identitas, atau sesuatu yang kita lakukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.