WRONG TURN Review

“The ultimate tendency of civilization is towards barbarism.”
 

 
 
Sekelompok anak muda yang lagi travelling, salah belok, dan lantas tersesat di hutan. Membuat mereka jadi buruan dan dibunuh satu persatu oleh keluarga kanibal. Penulis Alan B. McElroy telah menetapkan konsep tersebut sebagai fondasi franchise Wrong Turn sejak 2003. Empat sekuel lahir dari film original tersebut, bukan karena bagus, melainkan karena kesimpelan trope ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ yang terus dipertahankan. Dan setelah bertahun-tahun mempertontonkan mindless torture dan kebrutalan bunuh-bunuhan, McElroy tampaknya tobat. Kini – hampir satu dekade dari film pertamanya – McElroy bersama sutradara Mike P. Nelson membanting stir franchise ini. Wrong Turn distart ulang, lalu dibelokkan arahnya ke tontonan yang lebih berisi. ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ tadi diberikan lapisan dan bobot. Sehingga kini mereka menjadi ‘Remaja vs. Kelompok Pembunuh” dengan lebih banyak depth di balik benturan di antara keduanya. Dengan ‘sadis’ dijadikan pertanyaan yang digunakan untuk menantang gagasan kita terhadapnya.

Akhirnya kita dapat reboot yang benar-benar dilakukan untuk memperbaiki kualitasnya

 
 
Slasher bunuh-bunuhan itu ditinggalkan jauh di belakang, salah satunya karena zaman yang memang sudah berubah. Sehingga film harus berevolusi guna menunjukkan fungsinya sebagai penanda zaman itu sendiri. Dan ini bukan hanya soal tren saat itu. You know, 2000an awal memang genre slasher lagi ngehits, film-film penyiksaan lagi sangat bergairah saat itu. Namun tentu saja semua itu berkaitan erat dengan subjek pelaku tren itu sendiri. Dalam hal ini, pelaku itu adalah anak muda. Nelson dan McElroy paham ada perbedaan signifikan antara perilaku dan gaya hidup anak muda atau remaja sekarang dengan anak muda yang hidup di 2000an (Yang bilang bedanya adalah anak muda sekarang masih remaja, anak muda dulu udah jadi tua-tua, aku jitak!) Meskipun masih sama suka hura-hura, tapi anak muda sekarang lebih cepat melek dan lebih mantap dalam mengenali apa yang mereka inginkan dalam hidup. Berkat teknologi yang semakin memegang peranan penting dalam kehidupan mereka.
Aspek itulah yang kini digali oleh Nelson dan McElroy dan dijadikan fondasi bangunan cerita mereka. Kelompok anak muda dalam Wrong Turn terbaru ini terdiri dari Jen (Charlotte Vega juggling antara cerdas, annoying, dan bad-ass) yang berbangga menjadi seorang barista dengan double degree seni tari dan art history, pacar Jen – si Darius – bekerja di lembaga sumberdaya nonprofit, teman-teman mereka pun semuanya punya keahlian. Ada yang menggeluti medis, ada yang ngembangin app, dan ada yang bisnis restoran-cabang kecil-kecilan. Mereka semua masih muda, suka hura-hura, tapi juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dengan bekerja. Untuk membuat kelompok ini lebih kekinian dan ‘woke’ lagi, McElroy membuat karakter mereka terdiri dari pasangan antar-ras dan pasangan LGBT. Jen dan kelompoknya merepresentasikan generasi modern. Di film ini mereka akan mendapat tantangan dari older generation yang masih memegang ‘cara’ lama, yang memandang anak muda seperti mereka dengan sebelah mata. As in, mereka dianggap cuma tahu bersuka ria dan gak mau bekerja. Tapi konflik utama – clash utama – yang disajikan film ini bukanlah tentang Milenial melawan Boomer. Melainkan adalah ketika cara pandang dan gaya hidup modern mereka dituding sadis oleh kelompok penduduk yang memutuskan hidup terpencil di dalam hutan belantara.
Tema modern vs. barbar; penduduk kota lawan suku tradisional, merupakan tema yang bisa dibilang timeless. Tema ini bahkan sudah dieksplorasi pada 80an. Bagi genre bunuh-bunuhan, tema ini memang sudah seperti soulmate. It’s easy bikin cerita anak kota nyasar kemudian menemukan horor berupa kehidupan suku liar. Sudah banyak slasher yang hadir dari situ. Wrong Turn ini bahkan enggak lantas conform ke arah sana. Pertanyaan apakah sebenarnya manusia modern-lah yang lebih barbar dan sadis itu diajukan ke permukaan dengan lebih elegan.
Jen dan teman-teman hiking menyusur hutan hendak melihat-lihat trail atau jejak peradaban penduduk Appalachia jaman dahulu kala. Tapi mereka salah belok, mereka malah masuk ke wilayah komunitas yang menyebut diri sebagai The Foundation. Yakni komunitas yang memilih untuk tinggal di hutan, tinggal dengan alam, guna mempersiapkan rakyat baru. Komunitas itu percaya bahwa Amerika yang sekarang sudah semakin bobrok dan terbelakang, jadi mereka menyepi ke hutan untuk menjadi cikal bakal masyarakat yang lebih manusiawi. Jadi, antagonis Jen di film ini bukanlah penduduk kanibal terbelakang, melainkan manusia yang sama-sama modern, hanya saja berpandangan berbeda. Film membangun benturan kedua sisi ini dengan abu-abu. Pembunuhan pertama yang terjadi di dalam cerita, actually dilakukan oleh kelompok Jen terhadap anggota komunitas The Foundation. Kok bisa? karena Jen dan teman-teman sangat kebingungan di hutan yang penuh perangkap dan jebakan mematikan. Mereka terluka, mereka panik. Sehingga ketika bertemu dengan anggota The Foundation yang berpakaian bulu dan bertopeng tengkorak hewan, yang berbicara bahasa lokal, Jen dan teman-temannya semakin ketakutan dan menyangka yang enggak-enggak.
Jadi, ya, film ini sebenarnya adalah konflik dari dua sudut pandang mengenai cara hidup masyarakat yang dibalut oleh kejadian-kejadian yang mengenaskan. Film memposisikan diri persis berada di tengah-tengah. Bersama film, kita ikut setuju ketika kepala kelompok The Foundation bilang masyarakat normal-lah yang barbar dengan uang, eksploitasi, gaya hidup yang semakin individualis, dengan ketimpangan hidup yang semakin besar. Tapi kita juga setuju bareng Jen, bahwa hukuman mati,  dan memasang jebakan untuk membahayakan manusia lain – menganggap manusia enggak beda banyak ama binatang buruan, tak pelak merupakan perilaku barbaric.

Mungkin memang, Hukum Rimba – makan atau dimakan itu – sesungguhnya masih akan terus ada dalam peradaban manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Mungkin, benar kata Nikolas Tesla. Yang kita perlukan sebenarnya adalah kontak dan pemahaman yang lebih baik, yang lebih dekat, antara individu dan komunitas. Film ini pun punya resolusi serupa dengan ide ‘penghapusan kebanggaan nasional dan pengabdian fanatik’ yang diajukan oleh Tesla tersebut.

 
Pilihan yang dibuat oleh Jen di menjelang akhir babak kedua film, membuat cerita tetap menarik. Membuat film ini terasa semakin fresh lagi di dalam genrenya sendiri. Kedalaman itu terus digali. In fact, dari penceritaannya, kita bisa melihat betapa film kali ini memang memfokuskan kepada kedalaman. Seolah sutradara ingin membuktikan bahwa film bunuh-bunuhan bisa kok punya kedalaman yang berarti. Wrong Turn actually dibuka pada periode Jen sudah menghilang selama enam minggu. Yang kita lihat pertama kali justru adalah ayah Jen yang berkeliling mencari putri semata wayangnya itu. Alur bercerita seperti ini mengingatkanku pada film bunuh-bunuhan dari Polandia yang kutonton baru-baru ini, All My Friends are Dead (2021). Film itu juga dibuka dengan adegan penyelidikan, untuk mengedepankan misteri pada cerita, dan kemudian di babak kedua kita dibawa flashback melihat apa yang sebenarnya terjadi. I’m not a fan of style like this. Namun, penceritaan pada Wrong Turn dilakukan dengan lebih baik daripada film tersebut. Karena ayah Jen nantinya akan kembali dibahas. karakter ayah Jen bukan hanya difungsikan sebagai pengantar, tapi juga menambah banyak ke dalam konteks dan untuk karakter Jen itu sendiri. Relasi Jen dengan ayahnya juga dibahas, dan didesain sebagai bentuk dari bagaimana generasi muda berkontra dengan generasi tua. Singkatnya, karakter ayah Jen membuat film ini jadi punya lapisan lebih banyak lagi.

Berbelok kembali ke jalan yang benar

 
 
Sementara telinga kita terus terbuka demi mendengar lebih banyak konflik dan bentrokan sudut pandang, mata kita mungkin akan lumayan kesulitan untuk tetap melotot. Karena sutradara enggak lupa dengan identitas dan legacy yang dibawa oleh filmnya ini. Wrong Turn masih meriah oleh banyak adegan kematian yang brutal. Absennya pembunuh kanibal digantikan oleh perangkap-perangkap maut tak-pandang bulu. Kamera akan menatap korban-korban mengenaskan itu tanpa segan, kalian mungkin harus mikir dua kali jika berniat nonton ini sebagai teman makan malam. Bagian awal film saat menceritakan ayah Jen mencari putrinya itu terasa lebih tenang dan misterius, sedangkan bagian tengahnya terasa sangat frantic dan berdarah-darah. Sesuai dengan kebutuhan cerita. Semua hal di hutan itu sukses dibuat mengerikan, bahkan pohon aja ternyata bukan pohon biasa di sana! Bagian akhir film ini, hebohnya, terasa sureal. Aku suka. Yang tidak aku suka adalah proses antara bagian tengah menuju bagian akhir. Terasa kurang banyak ruang untuk pengembangan yang maksimal, alias terasa agak terlalu cepat. Time skip dari cara bercerita yang membuatnya harus seperti itu, jadi mungkin kita masih bisa maklum.
Yang gak bisa dimaklumi itu adalah, karakter-karakter anak muda – yang demi identitas dan legacy tadi – dibuat tetep bego. Ketika mereka disebutkan mereka punya pekerjaan dan actually serius dalam menjalani hidup, kita agak kurang percaya. Karena yang kita lihat nanti adalah aksi-aksi dan pilihan yang terlalu sukar dipercaya. Reaksi yang terlalu berlebihan. Mereka sebagian besar masih tampak sama dengan karakter-karakter film slasher tahun 90-2000an. Kita tidak pernah melihat mereka sebagai karakter yang bakal survive. Sekiranya film juga melakukan pembenahan dari bentukan karakter mereka, maka tentu film ini akan jadi lebih baik lagi.
 
 
 
McElroy dan Nelson tidak salah belok saat mereka memutuskan untuk mengubah haluan franchise ini. Karena yang kita dapatkan adalah cerita bunuh-bunuhan yang lebih berisi. Enggak sekadar mati yang sadis dan karakter yang bego. Melainkan ada gagasan yang membalut kuat di balik aspek horor atau thrillernya tersebut. Ceritanya punya banyak lapisan, dan terkadang cukup terasa juga perjuangan film untuk menyeimbangkan dan mengikat semuanya. Usaha yang belum maksimal, tapi seenggaknya pantas sekali untuk diapresiasi. Karena sudah lama sekali kita selalu bertanya-tanya dalam protes, kenapa film bunuh-bunuhan selalu simpel dan dungu. Film ini hadir sebagai salah satu bukti bahwa jika pembuatnya berusaha, film genre tersebut ternyata mampu untuk jadi berbobot.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WRONG TURN
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa sekarang kita hidup dalam masyarakat yang sadis dan barbar?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DON’T TELL A SOUL Review

“Every man is guilty of all the good he did not do.”
 

 
 
Kakak beradik Matt dan Joey punya rahasia besar. Mereka baru saja merampok uang sejumlah lebih dari sepuluh ribu dolar dari rumah yang sedang dikosongkan sementara oleh pemiliknya. Dan dalam pelarian mereka dari seseorang berseragam sekuriti yang memergoki, Matt dan Joey tanpa sengaja menyebabkan security yang bernama Hamby itu jatuh ke lubang sumur yang tak-terpakai. “Jangan bilang siapa-siapa!” perintah Matt kepada adiknya. Matt bermaksud membiarkan satu-satunya saksi mata perbuatan mereka terperangkap di dalam sumur tersebut. Matt sama sekali tidak paham bahwa menyimpan rahasia ternyata bukan apa-apa dibandingkan dengan menyimpan perasaan bersalah. Adiknya, Joey, justru semakin hari semakin merasa bertanggungjawab dan peduli terhadap Hamby yang terus memohon-mohon untuk segera diselamatkan (dan janji untuk tutup mulut soal perbuatan kriminal mereka) dari dasar sumur.
Dan karena larangan “Jangan bilang siapa-siapa” itu hanya ditujukan oleh Matt kepada Joey, maka di sini aku mau bilang kepada kalian semua bahwa Don’t Tell a Soul ini adalah drama thriller yang menyimpan banyak kejutan sehingga menyenangkan dan seru untuk ditonton!

Film ini mengingatkanku pada almarhum Kakek yang dulu suka cerita tentang Kancil menipu Harimau masuk ke dalam lubang

 
 
Tahun lalu kita dapat Onward (2020) yang bicara tentang hubungan antara dua saudara laki-laki sehubungannya dengan absennya figur ayah dalam sebagian besar hidup mereka sebagai pusat cerita. Kini, sutradara merangkap penulis naskah Alex McAulay memberikan Don’t Tell a Soul kepada kita. Film ini punya center cerita yang sama dengan animasi Pixar tadi, tapi dengan nuansa yang lebih kelam. Film ini menampilkan tindak-tindak kriminal, menunjukkan hubungan kakak adik dalam satu keluarga yang meningkat intensitasnya menjadi penuh mental-abuse dan kekerasan fisik. Ceritanya akan mengeksplorasi sibling rivalry dalam wujud-wujud paling mengerikan. Sehingga yang kita tonton ini terasa kasar dan kadang-kadang seperti bener-bener diset untuk jadi tragedi, tapi walaupun begitu ada pengembangan karakter menarik – ada interaksi menarik – untuk kita simak. Karakter dan sikap dan pilihan mereka inilah yang bikin film ini segar dan.. yea, unpredictable.
Matt dan Joey udah gak punya ayah. Tapi mereka gak sedih, mereka justru somewhat happy karena diinfokan dengan subtil (sebagai paparan di latar belakang) bahwa ayah mereka ini perangainya buruk. Abusive. Untuk mengurus ibu mereka yang sakit-sakitan-lah maka Matt memerintahkan Joey untuk membantunya mencuri uang. Matt berpikir kini dialah yang jadi kepala keluarga,  dan Matt (tentu saja karena ‘terbentuk’ oleh sikap dan didikan ayahnya) memerintah dengan tangan besi dan knows no boundaries. Ini menciptakan tensi emosional untuk kita santap. Emosional dari betapa kontrasnya Matt dengan Joey. Joey ini anaknya lebih ‘pendiam’ – he still is a good kid. Anak polos yang gak punya banyak pilihan selain ngikutin apa yang diperintahkan oleh sang abang. Karena bagaimanapun juga, abangnya bersikeras bahwa apapun yang mereka lakukan itu sesungguhnya adalah demi kebaikan dan kesehatan ibu mereka.
Film tidak menghabiskan banyak waktu untuk membuat Matt tampak seperti “sebenarnya baik cuma caranya salah aja”. Sudut pandang kita actually dijejerkan kepada sudut pandang Joey. Aktor muda Jack Dylan Grazer menghidupkan emosi dan psikologis karakter ini dengan cukup pas. Grazer setidaknya paham bahwa Joey diniatkan untuk menimbun marah dan kesalnya kepada Matt seiring durasi berjalan. Di paruh awal Grazer membatasi tingkah laku dan gerakgerik karakternya ini, karena di paruh awal itu Joey memang masih menimbang dan belum berani. Ketika Joey bertindak, tindakannya itu masih berbalut rasa ketakutan, dan masih merasa harus mematuhi abangnya. Kita dapat melihat jelas perubahan psikologis Joey dan perubahan pandangannya terhadap si abang. Bukan karena memang film begitu visual dalam menampilkan kesemena-menaan dan ketoxican Matt (Fionn Whitehead sukses jadikan karakternya ngeselin), tapi juga karena kita merasakan pemberontakan dan choice itu terbentuk bertahap dalam diri dan perilaku Joey.
Dan pemicu perubahan Joey itu yang membuat film ini menarik. Don’t Tell a Soul actually menjadikan ‘perasaan bersalah’ sebagai benang merah yang menyatukan karakter-karakternya. Each of them akan merasakan hal tersebut dan dijadikan titik-balik atau puncak pembelajaran dari para karakter. Bagi Joey, perasaan bersalah itu yang jadi ‘main force’ yang menggerakkan aksinya. Perasaan bersalah Joey yang menghantarkan kita kepada satu lagi relasi menarik yang dipunya oleh film ini. Yakni hubungan yang terjalin antara Joey dengan Hamby.

Menyimpan perbuatan buruk sebagai rahasia gelap ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan menyimpan rasa bersalah kita terhadap perbuatan baik yang tidak kita lakukan. Tidak menolong Hamby terus menghantui Joey. Yang memakan ketenangannya dari dalam bukanlah soal perbuatan mencuri yang ketahuan, melainkan perihal seseorang yang bisa saja terluka dan butuh pertolongan yang tidak mereka tolong.

 
Sayangnya, aku gak etis kalo bicara banyak soal hubungan Joey dengan Hamby karena ini actually ada rahasia yang disimpan oleh cerita. Yang kalo dibeberkan, hilanglah sudah kejutan demi kejutan yang disiapkan dan jadi merusak experience menonton. Bakal spoiler banget lah pokoknya. Jadi aku akan coba to keep it light
Joey yang merasa bersalah kerap kembali ke lubang untuk mengirimkan makanan dan minuman kepada Hamby. Salah satu barang yang ia jatuhkan ke bawah adalah, walky talky. Dan dari sini hubungan mereka dimulai. Menariknya itu adalah, while kita bisa merasakan nada tipu muslihat yang dihembuskan oleh Rainn Wilson di balik kata-kata positif karakternya, perhatian kita tetap terpusat kepada Joey. Yang mengajak Hamby bicara dengan nada yang seolah seperti menemukan teman bermain yang baru. Seharusnya film ini punya durasi yang sedikit lebih panjang lagi supaya development relationship ini bisa berjalan dengan benar-benar bertahap. Bisa kelihatan lebih jelas progres dari Joey yang tadinya tergerak oleh rasa bersalah menjadi terkadang seperti menganggap Hamby teman, terkadang sebagai pengganti abang, malah terkadang seperti pengganti sosok sang Ayah. Di paruh kedua, akan ada revealing soal Hamby, yang meng-escalate relationship Joey dengan Hamby ke arah yang sama sekali tidak tertebak. Dan ini fun buatku. Aku sadar keputusan tindakan karakter itu datang dengan masih terlalu cepat – film benar-benar butuh waktu untuk membuatnya jadi lebih matang lagi – tapi kejadian-kejadian yang disuguhkan benar-benar caught me by surprise.

Sebenarnya justru Joey-lah yang jatuh ke lubang. Lubang rasa bersalah.

 
Kalo kalian suka nulis cerita, atau sekadar ngayalin cerita, pasti pernah ngerasain serunya membayangkan berbagai kemungkinan yang terjadi sebagai kelanjutan cerita. Kemungkinan yang terpikirkan, bakal selalu lebih liar dan tak-terduga dibandingkan kemungkinan sebelumnya. Nah, film ini, di bagian menjelang terakhirnya, persisnya tuh kayak mengambil semua kemungkinan cerita dan menyatukannya. Konteks, tema sibling rivalry, tema perasaan bersalah, semua masih ada sebagai tulang punggung cerita, tapi kejadiannya benar-benar menjadi berkembang liar. Seperti ngeliat Big Show melakukan semua pertukaran heel-dan-face-nya dalam satu malam.
Semuanya itu boleh saja seru dan fun – film ini punya selera humor yang cukup dark, tapi sejatinya tidak menutup mata kita dari elemen penting yang jadi tidak bisa hadir oleh begitu singkatnya waktu untuk membuat semua pilihan dan kejadian unexpected itu terjadi. Yakni elemen depth dari konflik moral karakter. Suspens yang sudah cukup terbendung di paruh pertama, menjadi terasa lenyap dan mengempis. Film jadi fokus ke kejadian demi kejadian. Aku minta maaf karena harus menggunakan analogi gulat sekali lagi; adegan akhir itu ya rasanya seperti adegan dalam gulat ketika satu persatu superstar muncul dan menyerang dengan finisher mereka. Seru, tapi kita jadi just don’t care anymore. Kita teralihkan dari karakter, dari cerita yang tadinya terbangun. Simpelnya adalah, apapun yang terjadi kita bakal senang karena seru dan tak-tertebak. Kita gak peduli untuk bersimpati lagi kepada karakternya. Dan untuk cerita film ini, hal tersebut jadi tak lagi in-line dengan yang sudah diset di awal. Perjuangan anggota keluarganya, konflik di dalam mereka, semuanya jadi tak teperhatikan lagi.
 
 
Seperti Charlie Chaplin, musuh utama film ini adalah waktu. Aku percaya kalo diberikan waktu lebih banyak lagi – jika dibikin dengan durasi yang lebih panjang lagi – elemen kejutan dan berbagai komplikasi adegan di paruh akhir bisa lebih ter-flesh out. Memungkinkan untuk tetap terjadi tapi kali ini dengan membuat perhatian kita tak terlepas dari konflik karakter; moral dan pilihan mereka. Kalo soal seru sih, ya film ini bakal menghibur berkat itu. Kupikir film ini bakal punya team-up karakter yang sangat unik – bahkan, hero di akhirnya juga out of the box, dan juga sekaligus berani. Untuk kondisinya yang sekarang, kita bisa bilang film ini masih terlalu liar for it’s own good.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DON’T TELL A SOUL.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian memendam rasa bersalah? How did you manage to climb out of your guilty conscience?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

AFFLICTION Review

“The second time you make it, it’s no longer a mistake.”
 

 
 
Horor selalu merupakan subyek yang menarik. Sebagai penonton kita akan selalu penasaran akan misteri-misteri, atau juga wujud-wujud seram tragedi yang berakar dari sisi gelap manusia itu sendiri. Karena berasal dari perasaan dan trauma manusia itulah, maka horor juga senantiasa berkembang. Manusia yang kompleks, menyebabkan horor juga ikut kompleks. Dan tampaknya horor bukan cuma menarik bagi penonton. Kita tentu banyak mendengar pemain film yang ingin ‘menguji nyali’ bermain horor. Di sisi pembuat film, horor dilihat juga sebagai tantangan.
Bagi sutradara Teddy Soeriaatmadja, horor jelas adalah sebuah ‘new realm’. Film Affliction sebagai horor perdananya ini, ia arahkan lebih sebagai thriller, karena film ini memang lebih menekankan kepada suspens dan intensitas pembangunan misteri dan drama antarkarakter. Yang belakangan disebut; tak ayal adalah elemen kuat yang membuat nama Teddy bergaung di kalangan pecinta film. Namun sayangnya, secara keseluruhan, film Affliction atau Pulang (judul versi Indonesia) ini never really hits home sebagai cerita horor atau thriller yang menyangkut manusia. Teddy tidak benar-benar memberikan sesuatu yang baru, baik kepada genre itu sendiri maupun kepada jam terbangnya sebagai sutradara kawakan. Karena arahan dan cerita Affliction ini begitu basic dan penuh oleh elemen-elemen yang sudah pernah kita lihat dalam horor-horor mainstream. Yang sepertinya memang ke mainstream itulah kiblat Teddy dalam menggarap film ini.
Cerita film ini bermula dengan cukup menarik dan menjanjikan. Setidaknya bagiku, karena Affliction mirip sama Relic (2020) – film horor yang masuk daftar top-8 ku tahun lalu. Tentang keluarga yang harus berurusan dengan penyakit Alzheimer yang diderita nenek yang selama ini tinggal seorang diri. Affliction ini bercerita dari sudut Nina, perempuan yang merasa bersalah karena ibu kandungnya baru saja tewas bunuh diri. Nina merasa kurang memberikan perhatian – apalagi karena keluarga Nina dan sang ibu tinggal serumah. Jadi untuk menebus dosanya itu, Nina beralih ke suaminya. Hasan. Hasan punya ibu yang tak pernah Nina kenal karena Hasan memang tidak pernah menyebut-nyebutnya. Maka itulah, ketika Nina mendengar kabar bahwa ibu Hasan di kampung tinggal seorang diri tanpa ada yang mengurus – belum lagi menderita Alzheimer yang membuat si ibu dipandang sebagai orang aneh, Nina lantas memaksa suaminya untuk pulang kampung. “Aku ingin mengurus Bunda”, kata Nina. Tapi begitu Nina, suami, dan kedua anak mereka tiba di kampung, keadaan Bunda dan misteri di rumah itu dengan cepat menjadi terlalu besar dan mengerikan, dan menyedihkan, untuk dihadapi oleh Nina.

Semua akan bikin horor pada waktunya

 
Bikin narasi horor atau thriller yang seram itu gak gampang ternyata. Horror should not means to scare people, but rather to make people feel terrible. Seram itu enggak selamanya berarti untuk menakuti orang. Di sinilah kebanyakan orang sering salah. Begitu juga dengan Teddy di Affliction. Di film ini Teddy tampak begitu keras berusaha menakut-nakuti kita (melalui jumpscare dan lain-lain), sehingga dia sendiri lupa ada peristiwa naas yang terjadi pada karakter-karakter di dalam naskahnya. Alih-alih menggali psikis Nina yang termotivasi untuk menjaga Bunda, film ini malah menutupi kita dari segitu banyak emosi dan pikiran dari para karakternya. Menjadikan mereka sebagai revealing untuk bikin kita lebih kaget lagi. Well, padahal penonton film kan bukan presiden yang seneng merasa kaget atau bingung. kita ingin merasakan perjalanan emosional yang humanis. Kita ingin merasakan betapa devastatingnya punya ibu yang digerogoti Alzheimer – yang kian hari kian terasa seperti orang asing. Kita ingin merasakan betapa kalutnya hidup yang gede bersama rahasia kelam. Kita tidak merasakan semua itu, karena film tidak mengeksplor. Semuanya hanya dijadikan plot poin semata. Dan by the time film akan berakhir, lapisan emosional itu baru diungkap sebagai twist, completely menyia-nyiakan emosi dan kengerian real-lagi-grounded. Padahal inilah horor sebenarnya yang dikandung oleh cerita, bukan hantu anak kecil atau arti Ari Kiba. Sebagai pembanding, Relic walau juga punya hantu beneran tapi tetap mewujudkan horor dari Alzheimer dan perasaan keluarga itu sendiri. Dalam Affliction, Alzheimer itu bahkan tidak lagi jadi soal di akhir cerita.

Manusia memang banyak melakukan kesalahan dalam durasi hidupnya. Kesalahan itu dimaksudkan sebagai pembelajaran untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Maka dari itu, kita tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dua kali. Karena kesalahan yang sama untuk kedua kalinya itu, bukan lagi sebuah kesalahan. Melainkan sebuah pilihan. Inilah hal paling mengerikan yang bisa kita bawa tidur setelah menonton film ini. Kontras antara Nina yang ingin kesalahannya tidak terulang sehingga ingin menjaga Bunda, dengan Hasan yang enggak mau belajar dan owning to his mistake, melainkan untuk merahasiakan dan menipu semua orang.

 
Akting Raihaanun Soeriaatmadja sebagai Nina cukup bagus. Ketika memarahi anaknya, Raihaanun natural kayak pas di Twivortiare (2019). But that’s about it. Ketika ngehandle drama dan ketakutan itu sendiri, terasa biasa aja, karena memang tidak banyak emosi yang bisa ia gali dan tarik dari karakternya. Secara keseluruhan akting dan dialog film ini pretty basic. Gak sampai ke level haunting dan creepy kayak pada horor-horor semacam Hereditary (2018). Karakter anak-anak yang hadir juga masih dangkal dan keberadaan mereka pun masih sebagai objek untuk ditakuti-takuti semata.  Mereka gak kayak anak kecil yang real, melainkan anak kecil di semesta horor kacangan Indonesia. Yang sulung kerjaannya cuma main hape, dan yang paling kecil kerjaannya menggambar. Film juga gak ngasih sesuatu yang baru terhadap trope klise anak-kecil ini (coba tebak anak bungsu itu menggambar apa!) Gak banyak yang dihasilkan dari hobi mereka tersebut. Hanya ada satu kali hape si anak dikasih ‘peran’, sementara si bungsu yang di awal-awal cukup menarik dengan smart-mouthnya, tapi toh tidak berperan apa-apa di dalam cerita. Hubungan mereka dengan nenek juga gak pernah disentuh.
Terkadang malah, dialog dan pengadeganannya dibikin kayak sang sutradara sengaja becandain trope horor yang ia pakai. Kayak Nina yang udah hampir berhasil kabur tapi balik lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan. Atau soal anak misterius yang disangka bernama Ari Kiba tapi juga Nina yakin anak itu bernama Dimas Rangga, sehingga adegan Nina mengungkapkan teorinya itu jadi bukannya terasa penuh misteri melainkan kayak konyol. Ibnu Jamil sebagai Hasan gak menolong banyak karena karakternya sengaja dibikin terbatas, dan sebagian besar dia stuck di trope ‘suami-yang-keras-kepala-tak-percaya’. Pembawaan Ibnu yang sinetron banget membuat karakternya sering tampak nyaris over-the-top. Bagian yang cukup amusing bagiku adalah ketika Bunda alias si nenek ngetawain kerjaan Hasan yang psikolog anak. Adegan itu seperti membuktikan bahwa film ini punya selera humor, karena memang ada sebab musababnya si Bunda tertawa seperti itu; sebagai part of building the disturbing revelation. Tutie Kirana sama seperti Raihaanun, berusaha menggali emosi karakter di sumur yang dangkal. Beliau berusaha membuat Bunda tampil creepy. Tapi sekali lagi karena film ini penggaliannya cetek sementara cukup punya selera humor, adegan saat Bunda tiba-tiba lupa sama Nina dan cucu-cucu yang jadi lawan bicaranya jadi malah terasa weird karena itu mereka ngobrolnya tadi sambil senyam-senyum di meja makan. Sila bandingkan lagi dengan Relic, yang nampilin adegan nenek yang tiba-tiba lupa siapa lawan bicaranya itu dalam setting dan pengadeganan yang benar-benar menyokong untuk terasa serem.

Tukang Exorcist-nya siang sempakan, malam tasbihan

 
Gak klop seperti begitu itu juga kurasakan saat melihat ke visualnya. Aku suka warna-warna film ini. Banyak tone ungu atau lembayung jadi kayak suasana surealis, terutama karena film ini dibuka oleh adegan yang diedit seolah karakter melihat suatu peristiwa di dalam mimpinya. Hanya saja, warna film yang konsisten seperti ini hingga ke akhir tersebut terasa enggak klik dengan nuansa horor yang ingin dicapai. Terlebih ketika di babak ketiga film ngegas menjadi thriller bunuh-bunuhan. Cerita yang dangkal dan gak emosional di pertengahan juga membuat warna-warna tersebut kehilangan fungsinya. So it doesn’t really work for me. Karena film malah terasa kayak main aman. Semuanya terlalu bersih dan gak chaos. Padahal jika memang mengincar thriller mainstream yang berdarah-darah (seperti yang diset oleh adegan bunuh diri di opening), film harusnya jor-joran aja. Bangkitkan suasana seram dengan warna gelap. Gunakan properti, kalo perlu hancur-hancurin aja rumahnya. Aneh sekali melihat film yang beradegan kejar-kejaran dan bunuh-bunuhan tapi karakternya itu jatoh pingsan dengan sopan banget, di antara kursi-kursi. Tidak ada intensitas yang naik di final confrontation karena semuanya diadegankan dengan ‘aman’. Adegan Nina maculin tanah pake pickaxe aja tampak letoy banget. Padahal itu udah menjelang final. Untuk mainin ketegangan kita, film malah bikin Nina bolak-balik ngambil barang yang ketinggalan. Kan lucu!
Jika melihat dari naskah dan setting yang tertampilkan, film ini sepertinya bukan terlalu main aman. Bisa jadi malah, film ini hanya kurang usaha aja. Misalnya pertama soal kota dan desa yang perbedaannya gak kelihatan. Film ini memang memperlihatkan Nina berjalan di desa, tapi suasana desa itu gak ada pembanding. Karena saat di kota, kita hanya diperlihatkan mereka di rumah saja; yang bahkan gordennya ditutup. Sehingga kontras suasana itu gak terasa. Selebihnya, semua set di dalam rumah. Pindahnya mereka dari rumah di kota ke rumah nenek nunjauh di sana itu gak terasa dari suasana. Usaha film ini buat memperlihatkan set rumah nenek itu beneran di desa cuma dengan memposisikan termos jadul dan keranjang tradisional dalam warna dan penempatan yang mencolok. Selain itu, tidak ada lagi yang ‘dimainkan’. Setting film ini tidak pernah tampak hidup. Gak ada tempelan kertas berisi memo pengingat untuk nenek yang mulai sering hilang memori, yang jika dibaca bikin bulu kuduk kita merinding, kayak Relic. Film ini cuma punya botol obat sebagai penanda bahwa Bunda beneran sakit.
Kedua adalah dari naskahnya sendiri, yang terasa banyak lubang serta hal-hal yang sengaja didangkalkan. Misalnya soal pintu kamar yang terkunci. Film gak pernah bikin alasan yang jelas kenapa Bunda harus mengunci pintu kamar itu. Pintu itu hanya dikunci oleh naskah, sebab naskah gak mau bahas itu sebelum waktunya nanti. Padahal gak banyak juga revealing yang berarti di dalam kamar tersebut. Terus, soal melihat ‘doppelganger’. Jika melihat kembaran seseorang itu berarti si orang itu akan mati, kenapa dari tiga adegan melihat kembaran ini, hanya dua yang nantinya akan beneran mati. Apakah itu hanya berlaku buat Nina saja? Kalo iya, kenapa? Emang si Nina sebenarnya siapa? Nah rule soal ini gak pernah dibangun oleh film. Kita juga enggak pernah mengenal Nina lebih jauh. Lubang yang menurutku paling parah adalah soal Narsih, orang yang actually ngasih tahu kabar Bunda ke Nina. Si Narsih ini gak jelas darimana bisa tahu rumah Hasan, yang padahal si Hasan itu gak kenal dia karena gak pernah pulang ke kampung. Ini kejanggalan yang sama kayak di Perempuan Tanah Jahanam (2019) saat karakter Teuku Rifnu bisa nemuin wanita dewasa di kota gede, padahal dia hanya tahu wanita itu sebagai balita yang pergi dari kampung. Dan kayak gini itu sesungguhnya adalah masalah besar – sebuah red flag – pada naskah. Karena jika cerita kita bergantung kepada inciting inciden yang logikanya selemah itu, maka cerita tersebut niscaya akan susah untuk berkembang menjadi cerita yang exciting dan masuk akal. Semua pasti akan terasa dibuat-buat saja nantinya.
 
 
Dalam horor/thriller pertamanya ini, Teddy Soeriaatmadja tampak bermain terlalu aman. Dia seperti ingin mencoba membuat sesuatu yang appealing untuk mainstream, tapi juga tidak ingin jadi terlalu receh. Sehingga ini tampak jadi beban, karena filmnya ternyata jadi tampil setengah-setengah. Ceritanya penuh elemen-elemen horor mainstream yang juga mengandalkan jumpscare – meski tidak terlalu sering. Dengan suasana yang berusaha dibuat seperti surealis. Tapi ini jadi gak klop, sehingga filmnya malah terasa datar. Hiburanku nonton ini datang dari kelucuan yang anehnya jadi ikut tersaji dari beberapa pengadeganan film ini. Dari pengembangan plot dan karakter, film ini tidak lebih baik daripada horor Danur-Danuran, Asih-Asihan, dan Doll-Dollan. Raihaanun dan Tutie Kirana bermain bagus tapi kita dapat melihat betapa kemampuan mereka yang sesungguhnya disiakan di sini, karena film enggak mengeksplor karakter mereka. Sebagai cerita horor yang menilik penderita Alzheimer, film ini juga gak tampil kuat dan benar-benar ke arah sana. For that, we better watch Relic (2020) instead.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AFFLICTION.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya kiat pribadi untuk membantu memastikan diri tak mengulangi lagi kesalahan yang sama untuk kedua kali?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

PROMISING YOUNG WOMAN Review

“Ibarat kucing disodorin ikan asin..”
 

 
 
Guru Agama di sekolahku dulu pernah ngajarin; cowok itu ibarat duren, sedangkan cewek itu pepaya. Kalo ada kecelakaan atau apapun yang menyebabkan dua buah itu beradu, maka yang rusak adalah pepaya. Ini nunjukin bahwa gimana pun juga, cewek adalah pihak yang akan paling dirugikan. Cewek yang harus mengendure semua perubahan menyakitkan, baik itu pada tubuh maupun mentalnya. Sehingga, kata Guru Agamaku itu, kita semua harus saling menjaga – diri maupun sesama. Jadi pepaya harus bisa menjaga diri dari duren, DAN durenpun kudu mawas diri untuk enggak gasrak gusruk menubruk pepaya-pepaya.
Aku jelas lebih suka analogi tersebut daripada analogi satu lagi yang mengibaratkan cowok dan cewek dengan kucing dan ikan asin. Karena analogi tersebut memberi kesan memaklumkan sikap kucing yang punya nafsu sama ikan asin. Kalo ada ikan asin yang termakan, berarti bukan salah kucingnya. Namun sialnya, analogi ini yang malah berkembang di masyarakat. Di luar sana, karena pada gak tau ikan asin, mereka simply menyebutnya ‘boys will be boys’. Jadilah kebiasaan menyalahkan korban sebagai sebuah kultur. Korban kekerasan seksual ‘males’ ngaku karena nanti mereka sendiri yang bakal balik ditanya duluan. Dicurigai mancing duluan, atau malah dicurigai berbohong. Udah jatuh, tertimpa tangga pula! Sedangkan bagi para cowok yang memang terbukti bersalah, ‘paling cuma’ dipenjarakan. Untuk membuktikannya bersalah itu yang luar biasa tak adil. Kultur gak sehat inilah yang ditilik – dengan komedi yang cukup gelap – oleh Emerald Fennell dalam debut film-panjangnya, Promising Young Woman.
Dalam film ini kita akan mengikuti Cassandra, atau disapa Cassie (she could very well be Carey Mulligan’s best performance to date) yang dengan sengaja menjadi ‘ikan asin’, padahal dia justru adalah seekor piranha! Ya, Cassie setiap malam keluar untuk berburu ‘kucing-kucing’. Modus operandi Cassie adalah dia akan berpura-pura mabok di bar, sampai seorang laki-laki yang mengaku cowok baek-baek datang dan membawanya pulang. Di ‘tempat aman’ itulah Cassie akan mengejutkan si cowok. Supaya mereka semua kapok. Cassie ingin menghukum mereka dengan caranya sendiri, karena sistem hukum dan sosial menolak memberi ganjaran kepada cowok. Cassie sudah melakukan perbuatan demikian lama sekali, sebagai bentuk perlawanannya terhadap trauma atas kehilangan sahabat ceweknya. Dan semakin ke sini, ‘perburuan’ yang dilakukan Cassie semakin kelam. Sampai akhirnya dia bertemu dengan cowok yang adalah teman lamanya di sekolah. Cassie sudah seperti menemukan jalan kembali untuk melanjutkan hidup dengan normal, tapi pertemuan tersebut juga membuka selembar rahasia gelap lagi. Yang membuat Cassie percaya tindakan yang benar-benar ekstrim harus segera ia lakukan.

Kucing disodorin ikan… piranha!!

 
Cassie di film ini sungguh karakter unik, yang punya tingkat kesulitan tinggi dalam eksplorasi emosinya. Karena, kalo ada satu kata yang menggambarkan emosi karakter ini, maka itu adalah ironi. Di titik kita berjumpa dengannya, Cassie telah berada pada titik yang benar-benar udah kehilangan simpati ama bukan hanya pria-pria, tapi juga pada perempuan. Yang betah hidup langgeng di dalam sistem yang menyalahkan korban. Cassie kita lihat sebagai pribadi yang cuek dan sinis. Dia gak ingat tanggal ultahnya sendiri, dia gak niat nyari pacar, dan gak sedetikpun dia menyesali berhenti dari kuliah kedokteran dan malah memilih kerja di kafe. Namun di balik itu, Cassie punya luka besar yang menganga. ‘Kecuekan’nya tadi bersumber dari luka tersebut. Cassie begitu tertohok oleh ketidakadilan yang terjadi pada sahabatnya, yang jadi korban kekerasan seksual. Kita gak tahu perjuangan Cassie menuntut keadilan bagi sahabatnya tersebut. Tapi dari sikapnya yang sekarang, kita tahu Cassie sudah menghadapi ribuan ‘boys will be boys’. Dia telah melalui begitu banyak derita dan trauma hanya untuk menuntut cowok pelaku ditindak adil. Ini adalah beban yang sangat berat ditanggung oleh seseorang. Dan beban tersebut dapat kita rasakan merayap, menguar, di balik sikap cuek dan dark Cassie yang sekarang. Emosi dan permainan peran yang sungguh tidak gampang. And Carey Mulligan nails this so perfectly. Di tangan aktor sembarangan, peran Cassie ini gak akan kena.
Selain karakternya, rentang di film ini juga kita jumpai pada visual dan tone secara keseluruhan. Film ditampilkan dalam warna-warna cerah. Kelihatannya persis kayak film komedi romantis. Isu-isu yang menantang lantas dilontarkan dengan lantang oleh Cassie, sehingga kini bukan hanya warna saja yang terasa mencuat keluar dari layar. Film ini begitu mengonfrontasi di balik keceriaan dan kemeriahan visualnya. Film juga enggak ragu untuk membentrokkan tone. Kita akan dibuat ikut menari bersama para karakternya — to a Paris Hilton song! Bayangkan!! Dan momen berikutnya kita akan dibuat merasakan karakternya menghadapi suatu kenyataan yang mengerikan. Arahan film ini berani seperti demikian, seberani Cassie itu sendiri. Film ini memang pantas menuai banyak apresiasi dari visinya ini.
Namun, dari segi materi atau penulisan secara keseluruhan, I gotta be honest; film ini masih terasa sepihak. Penggaliannya masih agenda-ish. Pemilihan endingnya sendiri akan membagi-dua penonton. Dan aku masuk golongan yang menganggap ending film ini sangat buruk. Kalo film ini aku tonton tepat waktu di 2020, maka aku pastilah akan bikin daftar ‘Worst Ending of the Year’, dan film ini akan jadi juaranya.
Analogi kucing dan ikan asin tadi; justru film ini sendiri yang dengan semangatnya melabelkan laki-laki sama dengan kucing. Karakter-karakter cowok di cerita ini semuanya digambarkan punya nafsu bejat. Modus operandi film adalah menampilkan mereka kelihatan seperti orang baik – dan si karakter sendiripun berulang kali menegaskan mereka adalah orang baik – dan pada akhirnya, setelah gak kuat iman melihat kesempatan berwujud Cassie, mereka akan ‘memperlihatkan’ perangai asli mereka. Cowok dalam film ini akan disuruh untuk mengakui mereka enggak sebaik yang mereka bilang ke orang-orang. Bahwa sebenarnya mereka semua ya memang kucing. Yang punya niat jahat, tapi nanti akan terlalu pengecut untuk mengakui telah salah atau gelap mata. Terlalu pengecut dan berlindung di balik ‘kucing disodorin ikan asin, ya makan-lah’. Bahkan love interest Cassie juga ditulis dengan karakter seperti begini. Si Cassie sendiri was having a hard time untuk percaya cowok yang ia taksir tersebut sudah berubah dari hati yang paling dalam. It’s actually really hard untuk melihat apa sebenarnya yang dikejar film ini. Apakah ingin menunjukkan kepada kita Cassie itu salah; karena selama ini Cassie membuang hidupnya dan tenggelam dalam dendam sehingga gak bisa melihat orang lain dalam cahaya yang baik. Atau simply karena memang film ingin nunjukin semua cowok itu, ya, kucing garong.
Kalo ini film Indonesia, pasti yang diorkestrain bukan lagu Toxic, melainkan: “Kumenangiiiiissss…”

 
 
Yea, aku tahu realitanya memang pada sebagian besar kasus, cowoklah yang brengsek. Yang terlalu lemah untuk menahan diri dan bertanggungjawab, dan malah balik nyalahin. Tapi dari standpoint materi atau penulisan, film ini tuh bener-bener butuh untuk membuat semua cowok begitu supaya arc Cassie bisa bekerja. Sehingga film ini jadi banal. Ia meninggalkan kepentingan untuk menggali dari dua sisi, atau untuk memanusiakan kedua sisi.
Kita bisa mengerti dari endingnya. Dirancang untuk nunjukin bahwa cowok gak bisa dihukum karena perbuatan yang ia perbuat masa lalunya itu; cowok-cowok lolos dari sistem yang broken. Jadi, tindakan yang diberikan kepada karakter Cassie adalah Cassie harus membuat si pelaku bersalah atas perbuatan lain. Perbuatan itu pun haruslah yang genuinely melekat di diri cowok. Supaya si pelaku bisa dipastikan dihukum kali ini. Maka dari itulah, film ini membuat karakter cowok tanpa ada sisi baik. Dan juga supaya kita melihat tindakan Cassie di akhir itu sebagai pengorbanan terakhirnya. Cassie sudah membuang hidupnya selama ini tidak jadi ikut kita ‘salahkan’ hidupnya karena di akhir itu, dia membuat hidup yang sudah ia buang selama ini jadi berguna. Dengan akhirnya berhasil menjebloskan si pelaku ke penjara.

Kucing disodorin ikan asin pasti mau. Boys will be boys. Jangan buang hidupmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Boys will be boys. Cepat atau lambat, toh kesalahan yang sama akan berulang. Tangkap mereka saat itu. Tangkap dan pastikan mereka tak bisa lolos lagi. Begitulah, kurang lebih yang ingin disarankan oleh film ini.

 
 
Akan tetapi, tetap saja, dari cara film ini memperlihatkan adegan-adegannya, Cassie terasa seperti menjebak si cowok. Membuat si cowok kepepet. Seperti kesalahannya itu dicari-cari. Cassie tidak diperlihatkan apakah dia peduli jikalau si pelaku beneran udah insaf atau enggak. Dan yang paling menggelikan dari film ini adalah; Supaya dunia dan orang-orang yang ditinggalkan Cassie sadar akan kesalahan sistem yang mereka anut, supaya mereka sedih, dan Cassie mencuat triumphantly, film ini membuat ending yang konyol dengan elemen ‘pesan dari kubur’! Ha! Cassie bisa menebak kejadian bakal seperti apa, seseorang akan berada di mana, timing kejadian di ending itu begitu tepat ditebak dari jauh hari oleh Cassie. Ini over-the-top sekali. Sudah jauh dari kesan real yang menguar kuat di balik cerita di menit-menit sebelum bagian akhir film ini.
Sesungguhnya cerita Promising Young Woman ini punya kembaran serupa-tapi-tak sama, yakni film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) Kalian pasti masih ingat, karena film itu diunnggulkan untuk Oscar. Film tersebut ceritanya tentang seorang ibu yang menghabiskan umurnya mengejar polisi, menuntut kasus perkosaan yang menyebabkan kematian putrinya diusut tuntas, dan pelakunya dicari – dijebloskan ke penjara. Saat nge-review film itu, aku nulis kayaknya aku bakal lebih suka kalo film tersebut memperlihatkan hasil akhir perjuangan si ibu – kalo nasib pelakunya dituntaskan. Namun, setelah menonton film Promising Young Woman ini, baru terasa bagiku. Baru terasa betapa jauh lebih powerful cerita Three Billboards tersebut dengan membuat protagonisnya mencari kedamaian bagi diri sendiri. Lebih terasa real sehingga lebih emosional dan important.
 
 
 
Sebagai film thriller, ini adalah debut yang cukup menjanjikan dari Emerald Fennel. Menunjukkan ia mampu bermain dengan tone dan karakter untuk menyampaikan sebuah gagasan dan mewujudkan visi yang penting. Tapi tentu saja memuat gagasan yang penting, tak lantas membuat film otomatis bagus. Semua itu bergantung kepada tulang punggung, yakni naskah. Materi film ini masih berupa satu pandangan, sehingga terpaksa dipilih ending yang kurang logis dan maksa secara over-the-top. Ending film ini, jika dilihat dari genrenya, masih mungkin untuk disukai sebagian penonton. Hanya, buatku, endingnya justru break this entire film apart. Mengurangi kepentingannya begitu drastis. Terlebih karena memang film ini punya pembanding yang jauh lebih real dan powerful.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROMISING YOUNG WOMAN.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Supaya pria pelaku kejahatan seksual bisa jera dan benar-benar adil bagi perempuan, Indonesia baru-baru ini mengumumkan soal hukum kebiri. Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHADOW IN THE CLOUD Review

“War is to man what maternity is to a woman.”
 

 
 
Udah lama gak ngeliat Chloe Grace Moretz dalam peran cewek badass, sehingga Shadow in the Cloud garapan Rosanne Liang ini terasa jadi pengobat rindu. Moretz bukan hanya beraksi di atas pesawat yang sedang mengudara, dalam aksi fantasi perang dunia ini, karakter yang ia perankan akan menghajar bokong monster-monster maskulinitas!
Moretz berperan sebagai Maude Garrett yang menyatakan dirinya mendapat surat perintah untuk ikut dalam misi pesawat The Fool’s Errand. Pesawat yang isinya cowok semua itu tidak begitu saja percaya kepadanya. Mereka meremehkan Garrett, semua. Well, kecuali Quaid yang tampak respek dan bersedia menjaga tas bawaan Garrett di dock atas sementara Garrett sendiri ditempatkan di stasiun senjata bagian bawah pesawat oleh Kapten. Dari situlah masalah muncul. Di bawah sana, Garrett melihat sesuatu di badan pesawat – dan juga di balik awan. Pesawat mereka terancam bahaya diserang oleh dua hal berbeda. Dan tak satu orang pun yang percaya pada Garrett. Stake semakin tinggi bagi protagonis kita, sebab tas yang sedang dijaga oleh Quaid di atas tadi ternyata adalah berisi sesuatu paling berharga yang harus dijaga Garrett dengan nyawanya sendiri!

Dengarkanlah kata-kata perempuan, walau kadang ribet

 
Now, the movie itself is actually pretty bizzare. Ada perbedaan tone cerita yang benar-benar drastis. Film ini banyak menggunakan musik-musik techno/elektronik yang kekinian, yang mentok banget dengan setting dunia 1940an yang kita lihat. Belum lagi, film sering menampilkan visual dengan warna-warna neon, yang juga kontras dengan environment pesawat yang tampak kuno, dan ringkih. Benturan-benturan ini menciptakan kesan ‘dreamlike’, seperti sebuah fantasi. Sementara itu, melalui kontras modern dengan jadoel itu, bawah sadar kita juga dibuat mengerti kalo ini adalah kisah fantasi yang menyuarakan hal kekinian. Ini adalah soal perempuan dalam dunia pria.

Film bermaksud untuk memperlihatkan kepada kita hal-hal seperti bagaimana perempuan diperlakukan, prejudice apa yang seringkali menimpa, dan betapa merawat anak saja dapat menjadi begitu perjuangan bagi perempuan. Dalam kata lain: film ingin memperlihatkan perang seperti apa dialami oleh perempuan masa kini, dan betapa kadaluarsa sesungguhnya ‘perang’ tersebut. 

 
Paruh pertama film ini dengan paruh keduanya udah kayak dua film yang berbeda. Aku biasanya suka banget dengan film-film yang bahkan si film itu sendiri mengalami perubahan. Kriteria film yang kukasih skor 9 biasanya seperti demikian. Misalnya Jojo Rabbit (2020) yang awalnya cerita di camp terus berubah jadi cerita semacam ‘stranger on attic’ lalu berubah lagi jadi cerita perang. Atau Inside Out (2015) yang berubah dari cerita di ruang kendali menjadi cerita petualangan. Shadow in the Cloud pada paruh pertama adalah cerita yang sangat contained. Hanya berisi dialog-dialog, dengan situasi yang menarik. Garrett sendirian di turret bawah. Terkunci. Terpisah dengan lawan ngobrolnya; para kru pria yang berada di bagian atas pesawat. Mereka ngobrol lewat radio internal pesawat. Aku genuinely suka bagian ini. Aku suka setnya; yang menggambarkan betapa terkucil, terkurung, dan rendahnya perempuan ditempatkan oleh pria-pria toksik. Aku juga suka sama dialog mereka, dan cara dialog tersebut dimainkan. Dimulai dari Garrett yang mencuri dengar para kru ngelecehin dia, hingga ke akhirnya mereka berdebat dan Garrett put them in their place saat mengungkap kepandaian dan pengalaman mereka ternyata tak jauh berbeda – bahkan Garrett lebih superior. Akting Moretz pun ternyata lebih ‘cakep’ di bagian drama berdialog-dialog ini.
Tapi kemudian, sembari Garrett melakukan lompatan ke luar pesawat, film juga melakukan lompatan yang tak kalah jauhnya. Sekarang ceritanya berubah menjadi action thriller/horor yang luar biasa impossible. Dan bagiku, film ini langsung terjung bebas. Menubruk permukaan bumi, terbakar, dan meledak hingga tak bersisa. Ketika elemen Gremlin dimunculkan, film ini masih bisa ditolerir.  Tonenya sedari awal sudah diset sebagai sebuah fantasi, sehingga tak masalah jika ternyata monster kayak Gremlin ternyata beneran ada. Gremlin itu pun masih cocok jika dimasukkan ke konteks maskulinitas karena makhluk antagonis itu bisa dilihat sebagai perwujudan dari sifat-sifat jelek para lelaki. Karena mitos Gremlin aslinya memang muncul sebagai kambing-hitam keteledoran manusia merawat kendaraan seperti pesawat, you know, ‘kendaraan pria-pria’. Gremlin disebutkan sebagai makhluk seperti goblin yang merusak peralatan, sehingga menyebabkan kecelakaan, padahal aslinya ya karena memang kendaraannya gak terawat aja. Seperti pesawat yang dinaiki Garrett. Jadi, Gremlin ini bukan masalah, adegan Garrett menghajar Gremlin di babak akhir juga cukup memuaskan walaupun pengadeganannya bego. Yang bikin malesin itu adalah aksi-aksi lain yang dibuat begitu heboh sehingga tak masuk akal. Aksi-aksi seperti Garrett yang jatuh, keluar dari pesawat, terlontar masuk kembali karena imbas ledakan pesawat musuh yang hancur. Konyol!
Aksi-aksi seperti begitu malah membuat kita jadi menertawakannya. Garrett bergelantungan, merayap di luar pesawat sembari membawa tas kulit yang ia jaga biar gak jatuh. Pesawat-pesawat musuh yang gak pernah menembakinya, tapi selalu sukses menembak kru cowok di dalam pesawat – tepat pada saat punchline dialog mereka yang terkesima melihat aksi Garrett. Gremlin yang muncul ngajak berantem, tapi luar biasa mematikan terhadap kru laki-laki lain. Aksi-aksi konyol itu dengan cepat menjadi annoying, karena kita sadar bahwa satu-satunya alasan adegan itu terjadi adalah karena ingin menunjukkan kehebatan Garrett sebagai seorang perempuan. Agenda feminis salah kaprah yang ditunjukkan oleh film ini. Garrett yang di awal sudah benar ditampilkan sebagai seorang yang bercela dengan motivasi dan muslihatnya sendiri, kini berubah ditampilkan sebagai seorang yang lebih baik daripada siapapun di sekitarnya. Garrett ini bisa semua, mulai dari mekanis pesawat, pilot, penembak, dan petarung. Tentara beneran aja jarang yang bisa semua skill kayak gitu. Semua elemen di luar dirinya pun lantas diperlemah demi menguatkan tokoh ini. Ledakan yang tak membunuh, malah menjadi pegas penyelamat. Peluru-peluru yang senantiasa meleset.. Garrett bahkan bisa ‘berteleport’ mengejar Gremlin. Semua ke-lebay-an ‘perempuan-hebat’ itu membuat film ini jadi tak pantas lagi menyandang narasi pemberdayaan yang jadi gagasan utamanya.

This is the close we can get to an action-feminazi!

 
Padahal kalo memang mau bikin cerita yang menghormati perjuangan perempuan di medan perang, kenapa tidak bikin cerita yang lebih real aja misalnya tentang salah satu pilot cewek Perang Dunia II yang fotonya dipajang oleh film ini di kredit penutup. Kenapa harus memilih cerita yang berujung menjadi aksi tak masuk akal yang hanya seperti menuding dan mengecilkan nilai perjuangan.
Sebenarnya film ini sudah mengeset ‘nada dasar’ ceritanya supaya kita enggak kaget dengan perubahan drastis di tengah-tengah. Tapi, film ini melakukan itu dengan demikian aneh. Klip video kartun perang ditampilkan di layar, memperlihatkan soal Gremlin dan pesawat, dengan adegan over-the-top khas kartun. Sebenarnya ini cukup, kalo ditempatkan dengan benar. Film ini anehnya, membuat opening itu seperti terpisah dari cerita utama. Kita tidak melihat karakter menonton klip tersebut atau apa. Karena setelah klip itu, kita lantas disambut oleh kredit studio dan logo-logo yang terlibat produksi film ini. So, bahkan sedari mau mulai aja film ini udah gak make sense. Penulisannya janggal. Garrett sendiri pun tak mendapatkan plot yang benar. Tidak ada pengembangan pada karakternya, melainkan hanya pengungkapan demi pengungkapan; revealing demi revealing. Garrett dibikin sudah benar dan kuat sedari awal. Tidak ada pembelajaran pada karakternya. Tentu saja, sekali lagi karena film berkutat pada agenda tokoh feminis yang salah kaprah.
 
 
Aku menonton ini malam hari tanggal satu Januari. Dan belum genap 24 jam, tapi 2021 udah ngasih kekonyolan dan agenda yang makin annoying. Film ini bukan tontonan yang tepat untuk mengawali tahun yang semestinya penuh harap dan penyembuhan. Karena film ini memperlihatkan perjuangan dalam sebuah fantasi yang semu. Bukannya empowering, malah menggelikan. Tadinya kupikir film ini unik, pemainnya pun berjuang akting dengan sepenuh hati, tapi naskahnya ternyata asik sendiri. Sebenarnya gak masalah jika film tampil sebagai aksi thriller/horor yang konyol, but not like this. Tidak dengan karakter dangkal dan adegan yang menyangkal logika hanya untuk membuat karakternya terlihat kuat.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SHADOW IN THE CLOUD.
 
 

 

That’s all we have for now.
Bicara soal perang dan perempuan, apakah menurut kalian etis bagi suatu negara untuk mengirimkan perempuan-perempuannya berperang? Bagaimana dengan perempuan-perempuan pahlawan di jaman dahulu?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FREAKY Review

“It’s what’s inside that counts”
 

 
 
Ada trademark baru yang sepertinya sedang dibangun oleh sutradara Christopher Landon. Yakni membangun narasi horor dari konsep unik pada film-film komedi tahun 80-90an. Landon sudah melakukannya – dengan cukup sukses pula! – pada franchise Happy Death Day yang muncul pertama tahun 2017; di mana ia merombak konsep time-loop pada Groundhog Day (1993) dan menjadikannya slasher komedi whodunit ala Scream. Dan di tahun yang aneh dan mengerikan ini, Landon mencoba kembali menyampaikan perpanjangan surat cintanya terhadap komedi dan horor, dengan membuat Freaky. Film yang ceritanya udah kayak gabungan dari elemen film Friday the 13th dan Freaky Friday (1976). Landon dalam film terbarunya ini membuat cerita bertukar-tubuh yang kocak dengan bumbu slasher. Menghasilkan sebuah tayangan menghibur dan lumayan aktraktif.
Yang bertukar-tubuh dalam cerita ini bukan ibu dan anak. Melainkan seorang cewek remaja bernama Millie (Kathryn Newton mengambil pilihan yang tepat, dengan enggak jadi menolak tawaran main di sini) dengan seorang serial killer yang udah jadi urban legend di kota; The Butcher (sekali ayun, Vince Vaughn dengan sukses menebas peran komedi dan peran brutal). Enggak dijelasin kenapa si Bucther sengaja memilih Millie untuk bertukar tubuh atau semua itu hanya ketidaksengajaan. Namun yang jelas Millie hanya punya waktu dua-puluh-empat jam untuk melacak Butcher yang bergerilya membunuh murid-murid di sekolah, mencuri pisau ajaib yang disita polisi, dan bertukar tubuh kembali sebelum pertukaran mereka menjadi “permanente”

Mungkin karena monster pembunuh setinggi 7 kaki sudah ketinggalan zaman?

 
 
Walaupun basically ini adalah cerita Millie, yang gak populer di sekolah dan dealing with keluarga yang jadi ‘saling pendiem’ sejak kepergian ayah, tapi adalah Vince Vaughn yang menggendong film mencapai tingkat kelucuan yang diharapkan. Aktor berbadan gede ini jadi highlight film ini berkat penampilan dual-aktingnya. Terutama di bagian saat dia harus berperan menjadi Millie yang terperangkap di tubuh lelaki dewasa. Vaughn dalam peran monster pembunuh memang tergolong sudah cukup biasa kita lihat. Di benakku masih membekas jelas akting ganasnya di film bag-big-dhuagg Brawl in the Cell Block 99 (2017). Tapi sebagai gadis remaja, he clearly is on another layer. Vaughn actually memang lebih banyak menghabiskan durasi dengan bermain sebagai Millie di tubuh pembunuh ketimbang sebagai monster pembunuh. Komedi datang dari dia harus memainkan karakter yang berorientasi terhadap tubuh barunya (bayangkan gimana gelinya cewek ketika dia sadar kini harus kencing berdiri) ataupun dari dia bertingkah lembut, tingkah yang nyata kontras sekali dengan tubuhnya. Film ini bijak untuk gak membuat Millie dalam tubuh Butcher otomatis gemulai – menjadikan tokoh ini kayak layaknya ‘banci’. Karena bagaimana pun juga karakter itu memang berbadan dan bertenaga kuat. Ada adegan ketika Millie dalam tubuh gede itu merasa bersalah karena menyakiti teman-temannya dengan tak sengaja. Vaughn-lah pilot dari semua akting tersebut, dan dia nailed it dengan meyakinkan.
Sebaliknya, Kathryn Newton enggak banyak kebagian porsi untuk bermain-main dengan perannya. Bagi Kat, aktingnya sebagai Millie beneran dan sebagai pembunuh berdarah dingin dalam tubuh anak cewek, simpelnya hanya kayak berpindah dari peran yang talkatif ke peran lebih banyak diam sembari nunjukin tampang sinis. Enggak banyak layer di karakter perannya setelah kedua tokoh bertukar tubuh. Porsi aksi dan bunuh-bunuhan memang lebih banyak dilakukan oleh Kat, tapi tentu saja ada banyak ‘bantuan’ teknik kamera dan editing dan stunt. Supaya gak salah paham, aku bukannya memandang gampang peran begini, karena sebenarnya bisa sangat menarik. Seperti karakter detektif Rosa Diaz dalam serial komedi Brooklyn Nine Nine, orangnya garang tapi bisa flip switch jadi cewek manis dalam penyamaran. Kuncinya adalah karakterisasi. Dalam Freaky, Kathryn Newton enggak banyak kebagian ‘main’ terutama karena naskah gak bisa terlalu banyak memberikan karakter untuk Butcher. Dia harus tetap satu-dimensi; jahat, karena cerita akan gagal kalo kita bersimpati kepada tokoh pembunuh. Bisa saja jadi menarik kalo film meneruskan elemen Butcher kini menemukan kesulitan membunuh orang karena kini tubuhnya lemah dan lebih kecil. But that element is quickly forgotten untuk alasan yang sama yakni jangan sampai kita bersimpati kepada tokoh pembunuh tadi.
Reaksi sekitar mereka terhadap pertukaran tubuh ini turut mengundang tawa dan memantik kejadian-kejadian menarik. Namun hal yang paling ‘freaky’ dari pertukaran ini adalah kenapa serial killer punya sense of fashion yang lebih tajam daripada cewek remaja hahaha… Millie tadinya diledekin teman-temannya karena pilihan pakaian yang ia kenakan. Ketika si Butcher yang di dalam tubuhnya, Millie tampil ke sekolah dengan jaket kulit dan rambut diikat ekor-kuda. Dia jadi badass. Yang tadinya ngeledek, kini terkesima. Si Pembunuh itu ternyata lebih jago mengarungi kehidupan remaja daripada si remaja itu sendiri. Sesuai dengan konteks dan gagasan film, itu karena Millie yang sekarang oozing with confidence. Seekor singa tentu tak akan mendengar celetukan para domba. Begitu juga dengan serial killer – seumur-umur pastilah dia tak pernah peduli sama opini orang-orang yang di benaknya mereka semua adalah calon korbannya. Masalah confidence seperti itulah yang jadi topik utama cerita film ini.

Film ingin nunjukin bukan masalah kau kecil atau tinggi-besar, cakep atau mengerikan, pada akhirnya yang tetap beresonansi dengan orang-orang itu adalah sesuatu yang ada di dalam jiwa kita. Semangat kita. Bagaimana karakter kita di dalam. Kita berani sebenarnya bukanlah karena berbadan besar. Atau kita lemah bukan karena badan kita ceking. It was more than that. Dan kepercayaan diri terhadap itulah yang harus dipupuk. 

 
Konteks gagasan tersebut jadi ada alasan buat film ini ngecast cewek secakep Kat sebagai gadis tak-populer. Ini sebenarnya kan trope Hollywood sejak 90an. Karakter yang dibully pasti dibintangi oleh bintang film yang memang udah cakep, lalu filmnya tinggal nge’makeover’ si tokoh. Pasang lipstik, pake baju modis, buka kacamata, ganti model rambut, dan voila! barulah orang-orang lihat dia sebagai cakep. Tadinya Kathryn Newton di sini, ya gitu juga. Aku gak bisa percaya dia diledek jelek dan gak ada yang suka, gak populer di sekolah. Tapi saat menghubungkan itu dengan gagasan film ini, it all adds up membangun sebuah konteks. Ketidakpercayaan diri Millie itulah yang membuat dia tampak lemah dan enak untuk ditindas. Dia hanya punya dua teman; keduanya dari stereotype minor; gay dan berkulit hitam, sehingga asumsinya adalah mereka bertiga adalah bahan bullyan anak-anak di sekolah – makanya mereka jadi bersahabat. Nantinya pengalaman Millie memiliki badan gede saat bertukar tubuh, menjadi dorongan semangat yang ia butuhkan supaya dia bisa belajar jadi lebih konfiden. Kita juga melihat tidak susah-susah amat bagi Millie untuk membuat teman-temannya percaya bahwa dirinya ada dalam tubuh si pembunuh, karena sahabatnya dapat melihat dan mengenali Millie yang sesungguhnya dari dalam. Ini message yang kuat untuk anak-anak seusia tokoh mereka. Dan yang aku senang adalah film enggak lupa untuk mengikat message ini. Millie diberikan kesempatan untuk unjuk mengembangkan diri, dia diberikan waktu untuk membuktikan dia bisa pede dan jadi berani saat dia sudah di tubuhnya sendiri, tanpa bantuan tubuh gede. Ini adalah cara film ngasih tahu bahwa si tokoh sudah belajar, arcnya telah komplit.

Seru ya kalo ada crossover: Freaky Death Day!!

 
 
Selain oleh karakter, film ini meriah oleh tropes dan reference dan parodi. Salah satu adegan pembunuhan yang jadi pembuka mirip banget ama adegan di Scream. Dengan itu saja film ini memang sudah menghibur. Akan lebih baik kalo dibarengi dengan penulisan yang lebih menambah ke dalam cerita. Dalam Freaky kita akan nemuin banyak elemen dan treatment yang ditarok hanya untuk seru-seruan dan gak banyak pemikiran di dalammnya. Kayak tulisan hari dan tanggal yang sempat muncul tiga kali di awal-awal. Dipakai hanya untuk referensi ke Jason, dengan font dan kata-kata yang dibuat serupa ama serial Friday the 13th. Padahal informasi hari Jumat tanggal 13 itu gak ada hubungannya langsung ama cerita. Belati ajaiblah yang bikin Millie dan Butcher bertukar tubuh, bukan hari jumat tanggal 13. Dan bahkan belati itu tidak diungkap jelas cara kerja dan segala macamnya, melainkan hanya difungsikan sebagai pembawa stake waktu dan sebagai latar bahwa ini adalah peristiwa supernatural.
Konflik keluarga Millie juga gak begitu sejalan dengan gagasan utama. Ibunya yang down sejak kematian ayah, Millie juga down, hanya kakaknya yang polisi-lah yang tegar; relasi ini enggak banyak bermain ke dalam cerita selain Millie dan ibunya jadi renggang karena sama-sama gak mau nunjukin perasaan dan duka masing-masing. Drama itu jadinya malah kayak sebuah alasan aja supaya si ibunya bisa make-sense untuk gak ada di waktu-waktu penting, sehingga story tokoh remaja ngejar pembunuh ini bisa berlangsung.
Ada satu lagi aspek yang buatku mengganjal dan menjadi kejatuhan utama nilai film ini. Adegan-adegan pembunuhan didesain gruesomely fun – menguatkan aura tongue and cheek film ini. Tapi aneh aja rasanya pembunuhan-pembunuhan sadis itu terasa berlalu gitu aja. Karena yang dibunuhi itu adalah orang-orang yang jahat ke Millie. Jadi kita gak tahu harus merasa gimana. Bersorak demi Millie, tapi yang beraksi bukan beneran Millie – hanya tubuhnya saja yang Millie. Kita mau kasihan sama korban juga gakbisa, karena mereka tadinya jahat ama Millie. Jadi gimana dong? Enggak banyak emosi di balik cerita saat memperlihatkan ‘Millie’ yang jahat. Cerita baru menarik saat cerita fokus di Millie yang berada dalam tubuh Butcher. Sederhananya; elemen bunuh-bunuhan dalam komedi slasher ini jadi kalah menarik ketimbang konflik – dan bahkan komedi fisik – yang datang dari raksasa yang berjiwa cewek remaja.
 
 
 
Untungnya nuansa thriller bisa tetap berkobar berkat kejar-kejaran antara kedua karakter yang saling bertukar tubuh. Gencetan dari waktu juga turut nambah lapisan ketegangan, menciptakan batas ‘game over’ pada narasi. Cerita yang dimiliki sebenarnya menarik, dan mengandung banyak muatan, sehingga punya potensi jadi thriller komedi yang benar-benar bulk up. Tapi, gencetan yang sebenarnya datang dari status karakternya. Satu karakter humanis, dan satunya lagi karakter ‘monster’ yang bisa dibilang kartunis. Film tidak bisa mengembang menjadi lebih berisi lagi karena dengan karakter begitu, outcome cerita tidak bisa berbalik dashyat. Hanya bisa ada satu perhentian untuk cerita dengan karakter begini. Karena jika dipaksa mau jadi lebih dramatis atau apa, maka pesan dan gagasan akan terkhianati. Maka film ini cukupkan diri hanya sebagai penghibur. Dan capaiannya sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for FREAKY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian nasib atau kehidupan kalian akan berbeda, jika kalian punya penampilan fisik yang berbeda dari diri kalian yang sekarang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE CALL Review

“The past cannot be changed, it can only be accepted”
 
 

 
 
Pernahkah kalian ngerasa ingin kembali ke masa lalu, untuk mengubah hal kecil yang kalian lakukan dahulu – seperti ngunci pintu sebelum pergi atau ngelarang seorang untuk pergi – supaya kalian bisa memperbaiki masa depan sehingga gak suram-suram amat? Well, jika pernah, maka nonton thriller berjudul The Call dari Korea ini akan bisa memberikan peringatan kepada kalian.

Untuk tidak bermain-main dengan masa lalu. Untuk menerima kehidupan dan bersyukur atas apa yang hidup gariskan kepada kita. Karena masa lalu sejatinya bukan untuk diubah, melainkan untuk diterima, supaya kita bisa belajar kesalahan darinya.

 
The Call adalah dongeng supernatural yang mengisahkan Seo-yeon, seorang wanita muda yang meratapi kehidupannya yang sekarang. Ayahnya meninggal sewaktu ia kecil karena kejadian yang ia yakini sebagai kelalaian dari sang Ibu. Membuat Seo-yeon belum bisa memaafkan Ibunya. Dia sulit menerima kenyataan. Kecuali di satu waktu ketika kenyataan itu menawarkan suatu kesempatan unik kepada dirinya. Pesawat telepon di rumah masa kecil Seo-yeon berdering, gadis bernama Young-sook menelepon dari rumah yang sama – dari tahun 1999! Telepon itu jadi penghubung Seo-yeon dan Young-sook; penghubung masa kini dengan masa lalu. Membuat mereka bisa mengubah keduanya, untuk mereka berdua. Kedua wanita yang sama-sama bakal menghadapi peristiwa mengenaskan itu akhirnya memang jadi berteman. Young-sook membantu menyelamatkan ayah Seo-yeon, sehingga masa depan itu – masa kini Seo-yeon – berubah total. Jadi ceria dan bahagia. Kini giliran Seo-yeon, membantu Young-sook menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ibu si sahabat lintas-waktunya. Masalahnya adalah; Young-sook ternyata tidak se-innocent yang dikira. Dan boleh jadi sudah terlambat bagi Seo-yeon untuk menyadari bahwa masa kininya sekarang sudah berada di bawah kendali Young-sook si pembunuh berantai!

Hallo, the 90’s called, and she wants your reciprocation back!

 
 
Saat kuliah di Teknik Geologi dulu aku belajar prinsip yang berbunyi “The present is the key to the past”, yang bermakna sebuah struktur batuan atau fenomena kenampakan alam yang kita lihat di masa sekarang dapat memberikan informasi seperti apa kejadian alam di masa terdahulu, sehingga struktur dan kenampakan itu bisa terbentuk. Kita bisa belajar banyak tentang masa lalu dengan meneliti ‘result’nya di masa depan. Film The Call garapan Chung-Hyun Lee agaknya membalikkan itu semua, karena dalam thriller bunuh-bunuhan ini masa lalu-lah yang dijadikan kunci. Kengerian dalam cerita ini muncul dari ketidakberdayaan Seo-yeon atas kehidupannya. Memang, ada beberapa adegan di mana dia mempelajari banyak catatan, guna menyimpulkan kejadian di masa lalu dan menggunakan informasi itu untuk membantu Young-sook. Akan tetapi, semua itu di bawah perintah si Young-sook yang kerap mengancamnya. Dalam titik yang paling intens, kita akan menyadari betapa mudahnya bagi Young-sook untuk menghabisi hidup Seo-yeon hingga ke akar-akarnya. Ini adalah pertarungan antara masa depan dengan masa lalu, dan masa lalu itu ditampilkan menang karena masa depan itu naturally adalah hasil dari masa lalu. Film bahkan nampilin adegan Seo-yeon berusaha menjebak Young-sook, tapi gagal. Ketidakberdayaan karena gak punya kendali atas masa lalu itulah yang dijadikan konsep dari bangunan cerita The Call. Menjadi tontonan menarik, saat seorang tokoh berusaha melawan hal yang tidak bisa ia kendalikan.
Bukan kalimat geologi itu saja yang dimainkan oleh film ini. Chung-Hyun Lee juga bermain-main dengan konsep timeline, atau dua periode cerita yang disatukan. Memang bukan hal yang baru, tapi Chung-Hyun Lee berhasil menyuguhkan thriller yang seru dari sana. Dalam anime Your Name (2016) kita juga sudah melihat gimana komunikasi antara dua orang dari zaman berbeda bisa terbentuk dan mengakrabkan, tapi film tersebut berujung romansa sedangkan dalam The Call ini kita melihatnya bukan saja sebagai cerita serial-killer yang unik, melainkan sekaligus sebagai sebuah hubungan aksi-reaksi peristiwa yang berkesan benar-benar mengerikan. Di film ini, alur bolak-balik disulam untuk menghasilkan revealing dan surprise yang membuat suspens dan intensitas cerita semakin naik seiring berjalannya durasi. Editing yang digunakan untuk menguatkan feel cerita juga sangat precise, sehingga setiap kali berpindah periode, emosi ataupun intensitas cerita tidak ada yang ketinggalan. Tidak sekalipun kita merasa terlepas dari film ini berkatnya.
Untuk aturan-dunianya sendiri, film memang tidak mau repot-repot menjelaskan. Dengan membuat karakter ibu Young-sook berprofesi sebagai shaman alias dukun, secara subtil film ini ingin mengarahkan logika kita kepada hal-hal supernatural. Bahwa semua itu dapat saja terjadi karena cerita ini berada dalam dunia di mana shaman, premonisi, ritual, dan hal-hal gaib adalah hal yang ‘nyata’. Sehingga meskipun medianya berupa telepon-tanpa-kabel, logika kita tidak lantas menuntut penjelasan ilmiah ala sci-fi atas peristiwa koneksi yang terjadi antara kedua karakter sentral. Melainkan, ya, ini adalah peristiwa supernatural. Dan kurasa, bagi mindset orang kita – dan orang mereka karena sama-sama Asia – minimnya penjelasan logis soal itu sama sekali bukan dalam artian menggampangkan-cerita, melainkan kita melihatnya sebagai bagian dari latar. Ini juga yang mengakibatkan film ini gak jadi needlessly ribet dengan aturan dan cara kerja dunianya. Membuat kita jadi lebih mudah menyimak apa yang terjadi kepada karakter, baik secara inner maupun outer journey. Dan aku lebih suka mikirin soal karakter manusia itu ketimbang berpusing ria mikirin ‘how pseudo-technology atau science gaib atau time-inverse works’.
Untung kedua tokohnya gak mirip, bisa-bisa ntar ada sutradara yang bikin tulisan panjang lebar soal teori kenapa muka orang Korea sama semua

 
 
Namun, penutup film ini toh memang bikin bingung setengah mati. Aku baca di timeline Twitter, banyak penonton yang ngeluhin soal extra-ending film ini. Banyak juga yang membahas teori-teori kejadian sebenarnya yang mungkin terjadi. Untuk tidak menge-spoil keasyikan kalian ikut berteori, maka aku hanya akan nulis ngambang aja soal pendapatku terhadap adegan tersebut, dan maknanya. Menurutku adegan ekstra tersebut bisa saja diniatkan untuk membuka peluang sekuel – karena toh interaksi kedua karakter sentral ini menarik dan bikin nagih – tapi honestly, buatku ending di ekstra itu adalah akhiran yang paling pas untuk mengikat arc si Seo-yeon. She totally deserves whatever she got in the end. Karena dia-lah yang duluan ingin mengubah masa lalunya. Dia-lah yang nyalahin ibu dan gak mau menerima kenyataan – yea, kupikir si Young-sook berkata jujur saat mengungkap kejadian sebenarnya di tragedi ayah Seo-yeon. Sedari awal Young-sook yang gila itu enggak pernah memanipulasi Seo-yeon untuk berbuat sesuatu, dia hanya menelepon. Aksi dan pilihan tindakan Seo-yeon lah yang memutarbalikkan semua. Buatku memang film ini sangat powerful jika dipandang sebagai cerita peringatan.

Orang yang berkubang di masa lalu pada akhirnya enggak akan mendapat masa depan, dan itulah yang persisnya terjadi kepada Seo-yeon di ending itu. Sementara orang yang beraksi di masa kininya, akan bisa ‘mengendalikan’ masa depannya sendiri nanti, seperti yang kita lihat terjadi pada Young-sook.

 
Sesuai dengan perkembangan/development karakternya itu, kita akan menemukan bahwa si Seo-yeon makin ke belakang, akan semakin ‘lemah’ posisinya sebagai tokoh utama. Dalam konfrontasi final, misalnya, protagonis ini malah tidak berbuat apa-apa. Tidak ikut beraksi. Cuma duduk di sana menyaksikan dua karakter lain berantem. Secara pengembangan cerita, aku bisa paham. Namun protagonis seharusnya tidak bisa diposisikan seperti itu. Buatku ini jadi nilai minus yang tak bisa dihindari karena gagasan film mengharuskan kejadiannya seperti itu. Mungkin yang bisa film ini perbaiki adalah efek visualnya. Saat masa lalu berubah, masa kini Seo-yeon turut mengalami perubahan drastis. Film memvisualkannya dengan efek yang ‘wah’, seperti mobil yang tiba-tiba menyerpih menghilang, kaca-kacanya pecah, dan segala macam. Efek ini buatku agak sedikit over dan kurang mewakili perasaan karakter. Mestinya efek menghilang itu bisa dibikin lebih kuat lagi ‘merenggut’ karakter yang ada bersamanya.
 
 
 
Cerita yang bolak-balik masa kini dengan masa lalu ternyata bisa diolah menjadi sesuatu yang mengerikan. Memparalelkan dua waktu tersebut ternyata tidak selalu harus dibikin ribet. Film ini berhasil menyajikan thriller yang menegangkan, dengan interaksi yang menarik antara karakter dari dua periode waktu berbeda. Secara teknis, film ini didukung oleh penampilan akting dan editing yang sangat cakap. Membuat arahan film berjalan dengan mulus. It does work really well as a warning story, buat orang-orang yang merasa gak bahagia karena tragedi di masa lalu. Akhir ceritanya memang bisa membingungkan, tapi jika kita berpegang kepada pemahaman terhadap apa yang dipelajari oleh karakter, bagian membingungkan tersebut bisa terjelaskan dengan sendirinya, dan bukanlah jadi masalah besar, at all.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE CALL.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya teori sendiri tentang apa yang terjadi di adegan credit? Bagaimana pendapat kalian tentang Seo-yeon yang harus kehilangan segalanya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RUN Review

“The rescuer needs the victim as much as the victim needs the rescuer.”
 
 

 
 
Seumur hidupnya, gadis muda bernama Chloe itu duduk di atas kursi roda. Dunianya adalah rumahnya. Dengan Diane, sang ibu, sebagai pusat tata suryanya. Kata ibu Chloe harus sering minum obat yang banyak di lemari. Karena jantung Chloe lemah. Dia mengidap Arrythmia — sekaligus Hemochromatosis (kelainan zat besi di dalam darah sehingga membuat tubuh gampang lemas), Diabetes (Chloe gak boleh banyak-banyak makan coklat), Asma (Chloe gak boleh jauh dari inhaler), dan Paralisis yang membuatnya benar-benar bergantung pada kursi roda. Chloe tidak bisa berjalan, apalagi berlari. Yang berarti Chloe tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak bisa kabur ketika di usianya yang menginjak tujuh-belas ini, Chloe mulai bisa melihat ada yang tidak beres dengan ibu yang selalu bilang senantiasa melindungi dan tak akan membiarkannya terluka tersebut.
Run menjadi bukti bahwa sutradara dan penulis Aneesh Chaganty memang piawai menyajikan thriller yang bikin kita geregetan sendiri di tempat duduk. Kiprahnya di film Searching (2018) bukan one-hit semata. Dalam Run kali ini, Chaganty juga menonjolkan hubungan antara anak dengan orangtua, bedanya dikemas dalam dunia yang lebih ‘sempit’ dan memfokuskan kepada hubungan ibu dengan anak perempuan. Dinamika hubungan yang saling berkegantungan antara ibu dengan anak perempuan ditampilkan dalam sebuah gambaran yang menyesakkan. Run adalah horor tentang kodependensi yang tak-sehat, yang oleh Chaganty dibikin lebih menegangkan lagi. Seperti yang ia lakukan pada Searching, Chaganty juga ke dalam cerita ini memasukkan lapisan misteri yang berkutat kita pecahkan. Setiap menit ceritanya didesain untuk membuat kita mempertanyakan siapa sebenarnya siapa. Obat-obatan itu sebenarnya untuk siapa?

Apa mungkin itu obatnya si Beth Harmon yang nyasar?

 
Menyandarkan cerita ini kepada dua tokoh sentral, Chaganty hit the jackpot dengan mempercayakan kedua tokoh itu kepada Sarah Paulson dan Kiera Allen. Jika biasanya film cenderung untuk memilih aktor normal untuk memerankan tokoh penyandang disabilitas, Run berani memasang Kiera Allen – yang menggunakan kursi roda dalam keseharian – dan menaruhnya sebagai lead untuk sebuah thriller yang benar-benar menuntut fisik. Hasilnya toh memang lebih dari sekadar gimmick, melainkan film ini berhasil memberikan respek dan memperlihatkan representasi terbaik seorang karakter disabilitas di dalam dunia yang mengerikan. Karena perjuangan mereka tidak bisa dianggap remeh, dan dalam film ini terasa demikian otentik walaupun arahan yang diincar lebih condong ke arah genre, atau thriller hiburan.
Kita menonton film karena ingin menyimak perjuangan karakter yang tak-sempurna, berkembang menjadi lebih kuat sebagai seorang pribadi. Dalam diri Chloe semua itu terwakili. Sebab Chloe ditulis sebagai tokoh utama yang kuat,pintar, dan mandiri – jauh dari ekspektasi dan keinginan ibunya. Kita melihat Chloe mampu menciptakan gadget-gadget sederhana seperti capitan yang memungkinkan dirinya mengambil benda yang ada di rak lemari paling atas. Kita melihat Chloe tidak mengeluh menjalani keseharian di rumah, di atas kursi roda, karena dia sangat resourceful. Namun juga kita bisa merasakan semangat optimisnya untuk keterima di universitas dan meninggalkan rumah. Inilah yang jadi konflik cerita, karena keinginan Chloe ternyata bentrok dengan keinginan ibunya. Aku menyebutnya ‘ternyata’ karena film tidak benar-benar memperlihatkan konflik tersebut secara langsung, melainkan bagian dari elemen misteri yang harus kita ungkap. Ketegangan cerita naik seiring kita menemukan berbagai keganjilan, bersamaan dengan Chloe menyadari keganjilan tersebut. Intensitas aksi yang diberikan kepada tokoh ini pun semakin meningkat. Skala aksi yang harus ia lakukan semakin membesar. Mulai dari menyelinap diam-diam ke apotek untuk nanyain soal obat pada awal babak dua, hingga ke menjatuhkan diri dari kursi roda dan merayap keluar lewat jendela tingkat dua saat dikurung di kamar di penghujung babak. Constant peril dan intensitas yang gak pernah kendor ini sukses membuat kita peduli kepada Chloe.
Dalam menciptakan ‘rintangan’, film ini cukup kreatif. Arahan thriller hiburan yang dipilih, membuat cerita bisa bebas menghadirkan kondisi. Namun tetap terkontrol untuk kejadian-kejadian tidak menjadi terlalu over-the-top. Yang buatku menarik adalah cara film meniadakan kemudahan dunia modern seperti telepon atau internet bagi masalah tokoh utamanya. Komunikasi canggih tidak lantas dijadikan jawaban pada film ini – tidak ada adegan karakter menemukan jawaban yang mudah dari internet – melainkan tetap harus melewati perjuangan terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita semakin terpatri menonton filmnya; si tokoh utama benar-benar tidak dikasih kendor. Untuk kebutuhan itu pulalah, maka penyempurna dinamika protagonis kita ini – alias antagonisnya – digambarkan penuh muslihat. Sarah Paulson, sekali lagi, adalah pilihan yang tepat untuk tokoh ibu Chloe. Sekali lihat, dia mungkin tampak seperti ibu-ibu pada umumnya, tapi karakter ini punya sisi gelap. Punya kegilaan mental tersendiri. Dan Paulson yang banyak makan garam meranin karakter-karakter sinting dan kelam (pentolan American Horror Story dan baru-baru ini seliweran sebagai Suster Ratched) tahu kadar yang pas untuk menampilkan apa yang diniatkan oleh sutradara.

At heart, Run menampilkan sebuah dinamika kodependensi yang secara mengejutkan relatable pada banyak keluarga. Ibu yang ngegaslight putrinya, dengan fatwa mutlak “Ibu tau yang terbaik” cukup sering kasusnya kita jumpai. Film ini menghighlight penyebab dari semua itu bisa jadi karena kedua pihak sama-sama terluka.  Ibu dan anak saling membutuhkan, itu normal, namun menjadi berbahaya – jadi kodependensi yang toxic jika sudah kelewat batas. Film ini hadir memperlihatkan salah satu bentuk batas itu.

 

Ketika ‘kasih ibu sepanjang masa’ berubah menjadi kalimat horor

 
 
Jika film konsisten menyorot dua karakter sentral ini dalam cahaya yang sudah diniatkan, maka film ini niscaya menjadi thriller popcorn yang lain daripada yang lain. Sayangnya, permulaan film ini tidak demikian. Chaganty seperti masih belum yakin dengan arahannya di awal, baru mantap ketika di pertengahan. Aku bilang begitu karena di awal, cerita seperti disajikan dalam dua perspektif. Pembukaan film menyorot Diane, seolah ingin memberikan bobot dan porsi kemanusiaan yang seimbang, atau sama besar, dengan Chloe yang baru mencuat jadi protagonis setelah ‘prolog’. Kita seolah diniatkan untuk merasakan simpati kepada Diane karena dia adalah ibu yang harus seorang diri membesarkan anak yang terlahir cacat. Diane juga diperlihatkan bertekad berjuang hidup normal bersama anaknya. Menurutku, jika film konsisten di arah ini; dalam artian perspektif Diane dipertahankan, maka film bisa jadi lebih powerful daripada kondisinya sekarang ataupun daripada jika ia konsisten sebagai thriller popcorn. Namun ternyata sudut pandang Diane di awal itu hanya ‘kedok’, build up buat twist yang disiapkan di akhir, dan ini membuat film sedikit tidak konsisten dengan sudut pandang dan arahan di awal-awal cerita tersebut.
 
 
 
 
Jadi, film ini punya dua pilihan posisi yang kuat – either menjadikan Diane antagonis sedari awal, atau membuat sudut pandang manusiawi Diane seimbang dengan Chloe – tapi film memilih untuk menjadi di antara kedua posisi tersebut. Masalah film ini hanya memang di permulaannya saja. Dan ini cukup ‘minor’ sehingga tidak benar-benar mengganggu thrill ataupun ketegangan seru kita dalam menontonnya. Karena film ini menggali dari tempat yang dekat. Penampilan aktingnya juga nomer wahid. Dan penulisan karakternya benar-benar paham bagaimana untuk membuat karakternya kuat dan bisa kita pedulikan dalam bahaya yang konstan mengancam. Elemen misterinya juga berhasil menahan kita tetap menyaksikan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for RUN.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Menjadi seorang ibu itu sepertinya susah ya. Diane bisa saja tetap menjadi ibu yang baik walau dia mencuri anak. Tapi ini adalah soal dia sebenarnya melindungi luka emosional dirinya sendiri. Menurut kalian, bagaimana sih gambaran ibu dan anak yang diperlihatkan oleh Chloe dan Diane? Bagaimana pendapat kalian soal ending ‘dark’ yang diperlihatkan film ini – apakah Chloe membalas air susu dengan air tuba, atau apakah dia hanya membalas mata dengan mata?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

DREAMLAND Review

“The problem is to see the reality as it is.”
 

 
 
Kata orang, mimpi tanpa dibarengi usaha hanya akan jadi sekadar angan-angan kosong. Bahwasanya kita diharapakan untuk tidak terbuai oleh mimpi, melainkan kudu terjaga dan segera melanjutkan hidup demi mewujudkan impian tersebut. Namun bagaimana jika tindakan mewujudkan mimpi itu sendiri justru membuat kita abai terhadap realita? Bagaimana jika tanah impian – dreamland – itu sendiri ternyata lebih baik untuk dijadikan angan-angan saja? Seberapa jauh kita mesti bermimpi?
Eugene dalam film Dreamland clearly hidup dalam dunia mimpi. Anak muda ini melihat mimpinya lebih jelas ketimbang dia melihat kenyataan. Eugene hidup di tanah realita yang keras, di Texas tahun 1930-an. Ladang mereka senantiasa diterpa badai angin. Di rumah pun ia kurang bahagia seatap bersama ayah tirinya yang deputy sheriff. Eugene tidak melihat apa yang ia punya, melainkan apa yang ia rasa seharusnya ia dapat. Karena meskipun ayah tirinya yang tegas itu sebenarnya baik, Eugene merindukan ayah kandungnya yang pergi meninggalkan dirinya sejak lama. Ia punya sahabat dan adik yang menyayanginya, tapi Eugene lebih suka tenggelam ke dalam buku-buku cerita detektif. Sampai suatu ketika, hidup Eugene mendadak seseru buku cerita. Seorang buronan perampok bank – wanita cantik bernama Allison – numpang berlindung di gudang jerami keluarga mereka. Eugene tertarik akan cerita si Allison, yang ternyata berbeda dari rumor mengerikan yang ia dengar. Dan yang terpenting adalah Eugene merasa jatuh cinta terhadap wanita supermenarik ini. Jadi Eugene memutuskan untuk membantu Allison, mulai dari merawat luka tembak di kakinya, hingga jika perlu membawanya melarikan diri ke Mexico. Tempat di mana hidup yang lebih baik dipercaya Eugene menunggu dirinya.

Allison ‘membunuh’ ke-innocent-an Eugene di depan mata kita semua

 
 
Perang antara ekspektasi melawan realita memang ditembakkan lagi dalam drama thriller ini. Ceritanya boleh jadi tembak-langsung, dengan elemen-elemen crime yang mengambil referensi dari kisah drama kriminal yang sudah familiar, tapi Dreamland tetap mumpuni sebagai sebuah tontonan. Yang membuat film ini secara khusus lumayan menarik adalah cara sutradara Miles Joris-Peyrafitte membangun karakter utamanya untuk kemudian dikontraskan dengan karakter Allison – bayangkan seperti jelata bertemu makhluk legenda – dan kemudian diparalelkan dengan cara Joris-Peyrafitte mengontraskan antara peristiwa yang nyata dengan kejadian yang merupakan impian kedua karakter tersebut. Penggunaan kontras itu juga berperan; didesain untuk menimbulkan naiknya intensitas. Memberikan sesuatu gejolak emosi kepada kita, di mana kita diniatkan untuk merasa terpecah dua di antara ingin melihat Eugene menjadi dewasa dan sukses dalam pelarian dengan merasa menyayangkan keputusan yang ia buat karena kita tahu lebih baik dari dirinya. Kita diposisikan untuk melihat lebih jelas dari si tokoh utama ini; bahwa sesungguhnya Eugene hanya anak muda yang begitu termakan oleh fantasi hidup-lebih-baik yang tidak realistis baginya.

Gampang bagi kita untuk mengkategorikan mimpi sebagai bentuk harapan atau sebuah perwujudan dari sikap optimis bahwa hal dapat menjadi lebih baik. Namun berpikir dalam terms optimis atau pesimis itu sesungguhnya menyederhanakan realita. Karena masalah yang terpenting adalah bagaimana kita melihat kenyataan itu terlebih dahulu. Kita harus juga menyadari kenyataan apa saja yang kita butuhkan, yang mungkin akan kita korbankan, untuk mewujudkan mimpi tersebut. Akan ironis sekali ketika tindak mewujudkan impian justru membawa kita pada kehidupan yang tidak lebih baik daripada kenyataan sebelumnya.

 
Ketika memperlihatkan realita, film akan membingkai gambar dalam layar yang lebar, to fully immersed us ke dalam periode 30an yang panas dan berdebu. Menekankan kepada kita bahwa itulah present yang harus dihadapi oleh Eugene. Dengan mulus kemudian film memasukkan kilasan sekuen-sekuen di pantai yang diberikan resolusi layar yang lebih kecil, serupa rekaman video. Yang boleh jadi menyimbolkan sebuah masa depan yang tidak bakal kejadian. Atau setidaknya, akan mati sebelum benar-benar terjadi.
Dari segi karakter, yang paling menarik – menonjol di antara semua – jelas adalah Margot Robbie sebagai Allison. Secara fisik memang tidak sukar untuk membuat Margot masuk ke dalam deskripsi sosok yang sudah seperti makhluk mitologi bagi karakter yang terkurung secara mental seperti Eugene. Kita sudah melihat Margot memainkan aktris Sharon Tate, atau sebagai Harley Queen; ini tipe-tipe sosok fantasi banget. Margot Robbie memang pantas memainkan tipikal manic pixie, dan Allison dalam Dreamland nyatanya adalah manic pixie dream girl yang benar-benar dark bagi eksistensi Eugene. Karena bukan hanya menguatkan dan membawa Eugene kepada sisi baik, melainkan juga kepada sisi terburuknya. Sebelum bertemu Allison kita melihat Eugene mencuri bacaan, dan perbuatannya tersebut bukan apa-apa ketika dia telah kenal dan jatuh cinta kepada Allison. Margot excellent dalam perannya ini, dia berhasil membuat flirt tidak tampak seperti flirt. Melainkan sesuatu yang bisa kita ‘dengar’ lebih berbahaya. Pun begitu, film tidak perlu repot-repot untuk menggiring kita ke pertanyaan apakah Allison jujur terhadap ceritanya atau tidak. Semua itu diserahkan kepada perhatian kita kepada karakter utama, si Eugene. Dan di sini kepiawaian Finn Cole menerjemahkan keinginan sutradara mencuat ke permukaan. Ya, Eugene ini kaku. Dan boring, dibandingkan Allison. semua itu supaya kita dapat melihat jelas pengaruh Allison kepada dirinya, dan ultimately memancing dramatis ketika kita lihat Eugene percaya.

Hiruk Pikuk Al-lison

 
Memasuki midpoint, bukan masalah lagi apakah Allison bohong, apakah Allison juga beneran jatuh cinta kepada Eugene, atau kita harus tahu kejadian sebenarnya. Melainkan fokus adalah kepada sikap Eugene terhadap Allison. Makanya pada adegan shower di motel itu, kamera merekam komposisi gambar yang demikian aneh. Kita hanya melihat Eugene, sedangkan Allisonnya kepotong, hanya sebagian kecil tubuhnya yang masuk frame. Pengadegan tersebut menuntut kita untuk memusatkan perhatian kepada Eugene sebab peperangan antara impian dan realita sedang memuncak di dalam tubuh polosnya.
Jika cerita dalam film ini diberikan waktu lebih lama untuk matang, tentulah kisah Eugene sebagai seorang pribadi bisa lebih mencuat lagi. Karena sebenarnya ada banyak lapisan pada tokoh ini yang dihadirkan, yang penting untuk pengembangan karakternya, tapi sendirinya tidak dikembangkan dengan maksimal. Relasi antara Eugene dengan ayah tirinya, misalnya. Paralel si ayah yang diantagoniskan oleh Eugene dengan dunia berdebu yang ingin ia tinggalkan – Eugene memilih pantai sebagai hidup sempurna – mestinya bisa ditonjolkan lagi. Babak kedua film ini terasa berlalu begitu saja karena tidak dapat dihabiskan untuk merajut relasi dan konflik antarkarakter tersebut. Hanya menyoal tindak sembrono Eugene dalam providing security untuk Allison.
Yang mungkin paling minim dikembangkan, padahal penting karena pilihan bercerita yang dilakukan oleh film, tentu saja adalah hubungan antara Eugene dengan adik perempuannya. For some reason, film memilih untuk bercerita lewat narator; yang diungkap sebagai si adik perempuan yang telah dewasa. Akan tetapi, peran tokoh si adik ini dalam cerita aktualnya sama sekali tidak banyak. Dia bahkan tidak ada dalam beberapa adegan. Ini membuat si adik sebagai narator yang tidak bisa dipercaya. Dia bercerita kepada kita soal percakapan yang terjadi antara Eugene dengan Allison, padahal percakapan itu merupakan hal yang tidak mungkin dia ketahui. Mungkin saja keseluruhan cerita ini adalah impian – sebuah eskapis tak-realistis versi dirinya yang merindukan sang abang – tapi film juga tidak menutup cerita dengan mengarahkan ke sana. Tidak ada yang mengisyaratkan apakah keseluruhan film ini beneran terjadi seperti begitu di dalam dunianya, ataupun apa pengaruh jelas cerita tersebut ke si adik sehingga dia sekarang menceritakannya kepada kita. Padahal seharusnya narator pada cerita diungkapkan kepentingannya terhadap cerita itu, misalnya seperti yang kita lihat pada serial drama horor The Haunting of Bly Manor (2020); narator yang menceritakan kisah pada akhirnya diungkap kenapa dia bisa tahu dan apa kepentingan dan makna cerita tersebut terhadap dia sendiri sebagai seorang karakter. Dreamland tidak melakukan semua itu terhadap naratornya.
 
 
 
 
Yang paling kita nikmati dalam drama thriller ini adalah hubungan antarkarakternya yang benar-benar menghidupi perjuangan antara mimpi – harapan – dengan kenyataan. Dengan penampilan akting yang dipimpin oleh Margot Robbie sebagai sosok ‘mitos’, film ini seharusnya memberikan ruang dan waktu lebih banyak untuk karakter-karakter tersebut berkembang. Karena sebenarnya ini tak pernah soal mana yang benar, mana yang bohong. Posisi narator, terutama, harus diperkuat lagi. Karena menjadikannya kisah ini sebagai sebuah pertanyaan membuat film ini tidak dapat benar-benar terasa kuat.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DREAMLAND.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana kalian memposisikan harapan/impian terhadap kenyataan? Seberapa tinggi mimpi itu sebaiknya jika dibandingkan dengan kenyataan?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

HIS HOUSE Review

“Home is not where you are from, it is where you belong”
 
 

 
 
Horor tak biasa itu ternyata datang dari sutradara baru asal Inggris, Remi Weekes. His House garapannya yang tayang di Netflix, jika dibaca sekilas sinopsisnya, akan terdengar seperti teror rumah hantu yang belakangan ini menjamur. Suami-istri pengungsi imigrasi dari Sudan ditempatkan ke sebuah rumah di kawasan kota tak bernama. Mereka harus menetap di rumah tersebut sebagai percobaan dari kebebasan bersyarat yang mereka dapatkan. Syarat yang kayak cukup gampang tapi prakteknya ternyata susah. Sebab pada malam hari, mereka diteror oleh sejumlah hantu-hantu yang muncul dari dalam dinding, dari sudut-sudut gelap di rumah. Hal uniknya adalah; hantu dan mayat-mayat orang tenggelam itu bukan berasal dari rumah baru itu. Melainkan justru berasal dari suami dan istri itu sendiri.
Karena sesungguhnya pusat horor cerita ini ada pada pasangan suami istri tersebut. Bol dan Rial. Kehidupan rumah tangga mereka dihantui oleh trauma atas kejadian yang mereka alami bersama di masa lalu. Penceritaan film didesain supaya kita mengikuti keadaan mereka yang sekarang, supaya kita bisa menumbuhkan empati karena turut merasakan susahnya settle in di tempat dan lingkungan yang baru. Khususnya lingkungan yang jelas-jelas bukan tempat untuk mereka. Cerita perlahan membuka, membawa kita menyelam lebih dalam lagi ke latar Bol dan Rial – menyaksikan trauma tersebut bertransformasi secara berbeda terhadap mereka berdua, sehingga rasa emosional itu semakin menyayat. Menonton His House ini ngerinya seperti kita menemukan ada luka menganga di tubuh kita, dan feelnya seperti ketika kita disuruh untuk mengiris ke dalam luka tersebut. Ini adalah horor yang akan membekas, berkat penulisan karakter yang hidup lewat trauma yang membayangi mereka dan berkat penceritaan yang mempersiapkan kejutan di setiap penghujung babaknya.

Mau pindah ke manapun juga, hantunya bakal ngikut

 
 
Film ini tidak berlama-lama membiarkan kita berada dalam kegelapan. Misteri keberadaan hantu-hantu itu dengan lugas dijawab; mereka bukan sekadar mimpi atau hanya ada di dalam kepala Bol ataupun Rial. Kedua karakter ini diperlihatkan melihat penampakan yang serupa. Hantu-hantu itu nyata, setidaknya bagi mereka. Film justru ingin memusatkan perhatian kita kepada perbedaan interaksi ataupun perbedaan reaksi Bol dan Rial terhadap hantu-hantu tersebut. Karena itulah gagasan yang diusung oleh film; memperlihatkan bagaimana pasangan suami istri yang share a trauma, namun dealing with it dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah gangguan domestik – diperseram karena berwujud hantu-hantu. Sesungguhnya ini adalah cerita soal Bol dan Rial, suami dan istri, harus kompak dan berjalan bersisian menghadapi apapun masalah pernikahan dan rumah tangga.
Bol dan Rial memang begitu terguncang karena peristiwa masa lalu itu. Peristiwa yang merenggut nyawa Nyagak, putri mereka. Kita melihat peristiwa mengenaskan tersebut di opening film, saat Bol memimpikannya. Dan kemudian berbohong ketika ia ditanya oleh Rial tentang mimpinya. Sedari menit awal, film sudah terarah untuk menunjukkan dua hal penting pada dua tokoh sentral ini; mereka kehilangan anak, dan punya cara berbeda menyingkapinya. Inciting incident yakni mereka diberi kesempatan untuk hidup di sebuah rumah, tak pelak menjadi ujian. Bisakah mereka hidup normal meski membawa trauma.
Bagi Bol, ini seperti kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Dia ingin rumah. Dia benar-benar ingin membuat rumah pemberian itu sebagai rumahnya yang tak boleh sampai gagal ia dapatkan, untuk memulai kehidupan yang baru. Sopi Dirisu memainkan tokoh ini dengan gestur optimis yang intens. Dia begitu berdeterminasi untuk menjadikan tempat itu rumah sehingga tidak melihat isu-isu beneran di sekitarnya. Tatkala belanja baju di pertokoan, Bol gak ngeh dirinya diikuti oleh satpam rasis yang curigaan. Dan ketika hantu anaknya, dan hantu-hantu lain itu muncul, ia melawan. Ada aksi ada reaksi, perlawanannya tersebut – keinginan Bol untuk move on dan melupakan anaknya – justru membuat dirinya semakin terganggu oleh trauma. Buktinya hanya dia yang dihantui mimpi-mimpi dan adegan sureal yang membawanya kembali ke laut tempat anaknya tenggelam. Sedangkan Rial seperti tidak mau melupakan trauma tersebut. Nyagak dan hantu-hantu itu hadir kepadanya dalam beragam bentuk komunikasi. Kita gak pernah ngeliat Rial diteror sebagaimana Bol digangguin hantu. Instead, kita melihat horor itu bermanifestasi ke dunia luar bagi Rial. Perjalanan mencari alamat saja sudah demikian sureal baginya. Rial lebih nyaman untuk kembali daripada bertempat tinggal di sana. Konflik dengan trauma tersebut memang lebih kompleks pada diri Rial, dan Wunmi Mosaku memainkannya dengan nyaris tanpa cela. Tidak seperti suaminya, Rial tidak melawan keberadaan hantu, ia justru lebih takut terhadap suaminya karena sang suami memang ingin membawa mereka tinggal di luar dari trauma mereka, so to speak. Rial tidak menolak keberadaan hantu-hantu. Ketika pengawas mereka datang menginspeksi rumah dan menemukan tembok dalam keadaan bolong-bolong dihajar oleh Bol dalam usahanya melawan hantu tadi malam, Rial menceritakan peristiwa dan gangguan hantu-hantu yang mereka alami apa adanya kepada si petugas. Tidak seperti Bol yang berdalih dia mengusir tikus besar yang jadi hama di rumah itu.
Memahami itu semua, maka kita akan dapat melihat bahwa ending film ini sungguh menyatakan sesuatu yang kuat sehubungan dengan pembelajaran yang udah dialami oleh baik Bol maupun Rial. Ending film ini bukan memperlihatkan mereka pasrah tinggal diikuti oleh hantu-hantu karena mereka sadar mereka bersalah. Melainkan memperlihatkan bahwa kini Bol dan Rial sudah satu paham, mereka sudah berpegangan tangan. Mereka sudah menemukan rumah – menemukan tempat mereka. Yakni di tengah-tengah duka dan trauma.

Satu-satunya cara mereka bisa menata hidup baru dengan bahagia adalah bukan dengan melupakan trauma, bukan pula berkabung di dalamnya, melainkan hidup bersama mereka. Bol dan Rail toh punya masing-masing untuk saling menguatkan. Ke mana pun mereka ditempatkan, asal bersama, itulah rumah mereka.

 

Things get real with Rial!

 
 
Cerita film ini sudah demikian powerful dan mudah untuk relate kepada kita; masalah kehilangan anak dan merasa bersalah karena gagal melindungi si anak jelas bukan perkara ‘sedih’ semata. Begitu pun dengan pengalaman susahnya menata hidup di tempat baru. Menemukan ‘rumah’ adalah masalah yang dialami oleh hampir semua orang. Terutama oleh imigran yang harus berjuang dengan apa adanya di tanah perantauan. Maka, at first, aku merasa sebuah pengungkapan yang menjadi twist di babak ketiga cerita ini tuh overkill banget. Aku mempertanyakan apakah perlu untuk membuat kita memandang tokoh cerita ini dalam cahaya yang berbeda dari sebelumnya, setelah semua pembelajaran dan empati yang ia peroleh. Tapi kemudian aku sadar sebenarnya yang diincar film ini bukan twistnya. Cerita perlu untuk membuat kita memandang si karakter seperti begitu karena merupakan bagian penting dari bangunan traumanya. Film sepertinya juga ingin menguatkan ‘konten lokal’. Ada dongeng dari kampung Sudan yang diceritakan oleh Rial mengenai Night Witch; sosok yang menghantui seorang pria yang merampok demi membangun  rumah sendiri. Dongeng tersebut paralel dengan keadaan Bol – dari masa lalu yang kupikir overkill tadi – dan jika dongeng itu memang dongeng-budaya beneran, maka itu hanya akan menambah kekuatan identitas film ini.
Visual horor film ini pun sangat aku apresiasi. Weekes menggunakan imaji-imaji sureal dengan cut mulus yang memindahkan Bol begitu saja dari ruang keluarga yang berantakan ke tengah laut. Penampakan hantu kayak zombie yang muncul saat lampu mati pun serem punya, dan tampak khas. Cuma jumpscare-nya saja yang not so much kuapreasiasi. Walaupun teknik jumpscarenya enggak murahan – enggak sekadar untuk memancing jantung kita copot – dan tidak dijadikan andalan, tapi tetap buatku film ini masih bisa bekerja maksimal tanpa harus ada elemen ngagetin. Seperti twist yang sanggup untuk mereka perhalus keberadaannya sehingga tidak menjadikan film ini mencuat sebagai film ‘oh ternyata’, seharusnya adegan menakuti dengan hantu bisa digarap dengan lebih elegan lagi.
 
 
 
Karakter Bol dalam film ini berulang kali meyakinkan orang – dan dirinya sendiri – bahwa ia dan istrinya bakal sukses hidup di kota itu. Despite sikap rasis lingkungan sosial di sekitarnya, dan gangguan setan di malam hari, Bol yakin mereka akan bertahan, karena – berulang kali ia berkata – bahwa mereka adalah “one of the good ones”. Dan meskipun boleh jadi hingga setelah cerita berakhir, Bol dan Rial masih harus membuktikan kalimat tersebut, film ini sendiri sudah bisa kita pastikan benar sebagai “one of the good ones” dari film-film horor yang muncul di tahun horor ini. Cerita dan karakternya punya layer yang semakin disingkap membuat cerita menjadi semakin membekas. Digarap dengan kompeten dan visi bercerita yang punya kekhasan. Isu yang dibahas sebenarnya akrab, menjadikan house sebuah home; isu yang biasanya ada di drama keluarga diucapkan sebagai suara horor oleh film ini. Menyinggung perihal perlakuan terhadap imigran dengan subtil di balik trauma keluarga. Ia juga mempersembahkan diri sebagai tayangan yang gak berat-berat amat, dengan turut catering to taktik horor mainstream sebagai penyeimbang cerita yang berbobot.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for HIS HOUSE

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kalian pelajari dari lingkungan sekitar tempat tinggal Bol dan Rial? Menurut kalian, apa sih makna rumah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA