FANTASY ISLAND Review

“Revenge is best left to fantasy”
 

 
 
Dalam imajinasi pembuatnya, tentulah sebuah karya akan sangat keren. Kita senang berpikir ide kita groundbreaking, akan bikin semua orang kagum; bahwa kita sangat cerdas dan punya jawaban atas semua masalah yang bakal menghadang. Namun kenyataan seringkali berkata lain. Film Fantasy Island pastilah dianggap pembuatnya sebagai reboot yang unik. Sutradara Jeff Wadlow memastikan tim penulis menelurkan alur yang gak tertebak, dengan balutan dialog komedi yang happening. Dalam fantasinya, film ini cerdas dan efektif sebagai horor mainstream yang seru menegangkan. Kenyataan menghantam keras-keras. Setelah ditonton, mata kita akan terbuka atas seperti apa rupanya film yang uninspiring, boring, dan sok keren.
Fantasy Island mengusung konsep yang serupa dengan serial televisi awal 80-an yang sedang berusaha ia tiupkan napas baru ini. Tentang sebuah pulau yang bisa ‘mendengar’ keinginan terdalam hati manusia dan mewujudkannya ke dunia nyata. Pulau tersebut dikelola oleh Mr. Roarke, seorang pria misterius berstelan putih. Pada setiap episodenya dibuka dengan pesawat yang datang ke pulau, membawa beberapa tamu sebagai ‘pasien’ dari Mr. Roarke; yakni orang-orang yang bakal hidup dalam fantasi masing-masing, dan belajar bahwa imajinasi bisa begitu liar sehingga menjadi tak-terkontrol dan bagaimana seharusnya kita tidak terlena oleh khayalan. Film Fantasy Island terbaru ini mencoba untuk menekankan kepada aspek horor supranatural dari konsep kekuatan pulau tersebut. Kita akan melihat lima orang tamu datang ke pulau untuk ‘terapi’. Mereka bersalaman dengan Mr. Roarke (yang miscast banget diperankan oleh Michael Pena; ini kayak kalo Dwi Sasono disuruh meranin tokoh misterius) dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan imajinasi mereka, hingga fantasi tersebut menjadi terlalu mengerikan dan nyata-nyata berbahaya!

karena ini rated PG-13, maka bahkan ngayal pun ada aturan dan etikanya

 
Konsep orisinal Fantasy Island itu lantas dengan segera membuat film ini kewalahan. Naskahnya enggak cukup kompeten untuk merangkul segitu banyak tokoh – segitu banyak kepala dan motivasi. Arahannya pun tidak tampak cukup peduli untuk menghasilkan sesuatu tontonan yang lebih berarti daripada sekadar pengisi dompet dan produk generik. Fantasy Island kekinian ini bingung, film seperti tidak bisa memutuskan tokoh mana yang jadi karakter utama. Posisi sebagai protagonis cerita akan dipingpong dari satu tokoh ke tokoh lain sepanjang durasi, karena ada begitu banyak twist and turn dalam alur cerita. Jadi, kita yang nonton juga bengong. Siapa yang harus ‘dijagokan’. Kita tidak tahu mana yang sudut pandang utama yang menjadi batang tubuh cerita. Apakah ini tentang Mr. Roarke yang memilih untuk jadi abdi pulau karena ia punya gelora desire pribadi yang tak kunjung padam. Atau tentang salah satu dari lima tamunya. Kita punya cowok pengecut yang pengen mencoba jadi tentara supaya bisa ketemu ayahnya yang pahlawan perang. Lalu ada seorang wanita yang menyesal menolak lamaran dari pria yang ia cintai. Berikutnya ada dua bersaudara (Candy Andy dari 2 Broke Girls dan Jian-Yang Silicon Valley jadi kakak-adek di sini hahaha!) yang pengen ngerasain hidup mewah dan berpesta sepanjang malam. Lalu ada Lucy Hale yang jadi korban bully semasa sekolah, jadi sekarang ia pengen mewujudkan imajinasinya menyakiti si pembully, tapi nantinya dia harus berkonfrontasi dengan si pembully yang sekarang sudah insaf dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Tidak satupun dari lima (atau tepatnya, tujuh) sudut pandang tersebut yang inspiring karena mereka semua gak punya motivasi yang jelas. Film banyak menutup-nutupi demi tujuan ngetwist. Journey masing-masing jadi tidak bisa kita ikuti sebagai akibat dari tujuan tersebut. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal para tokoh. Mereka cuma spektrum-spektrum yang diurai bebas, yang bahkan antara satu dengan yang lain tidak ada benang merah atau keparalelan selain bahwa mereka semua bercela karena rakus dan terbuai oleh imajinasi.

Bagi kebanyakan manusia, fantasi adalah tempat paling aman untuk melampiaskan balas dendam. Karena balas dendam itu sendiri sama persis dengan hutan – kita akan mudah tersesat dalam mengarunginya. Terlalu jauh berkubang dalam misi balas dendam akan membuat kita kehilangan jejak terhadap siapa diri kita dan tujuan pada awalnya. Maka dari itulah, sebaiknya balas dendam itu jangan diwujudkan. Biarkan saja jadi imajinasi, supaya memotivasi untuk memperbaiki diri. Bukannya melampiaskan, sebab sesuatu yang telah terjadi tak akan bisa kita tarik kembali.

 
Banyaknya tokoh ini biasanya akan berujung ketidakseimbangan tone jika digarap oleh arahan dengan visi tidak kuat dan cerita yang ala kadar. Inilah yang persis terjadi pada Fantasy Island. Masing-masing fantasi punya tone yang berbeda. Ada yang lebih ke drama. Ada yang petualangan. Ada yang torture-horror level ‘balita’. Dan ada komedi yang gak-lucu. Komedi adalah salah satu usaha terburuk yang dilakukan oleh film ini. Tek-tokan dialognya garing, terlalu sok nge-hip dengan referensi pop-culture. Para tokoh gak punya karakter, mereka cuma makhluk-makhluk sok asik. Tokohnya si Lucy Hale, misalnya, tanpa alasan dia ngeflirt dengan agresif begitu saja. Ketika bicara fantasy experience, bagian tokohnya memang cukup seru. Begitu juga dengan bagian tokoh yang berfantasi di hutan perang. Namun begitu film membawa kita ke fantasi pesta di rumah, kegaringan akan kembali menyatroni. Dan ketika film membawa kita ke drama wanita yang ingin ngerasain hidup bahagia berumah tangga, film seketika menjadi dead-beat membosankan. Bahkan film ini sendiri tahu cerita tokoh wanita yang berfantasi menikah itu going nowhere, maka setelah pertengahan, film membuat tokoh ini mengubah permintaan fantasinya – yang membuat film melanggar sendiri aturan yang sudah ia tetapkan sebagai mekanisme konsep pulaunya.
Pulau itu punya aturan. Ada syarat dalam menampilkan fantasi kepada pengunjungnya. Maka, pulau dalam film ini seharusnya bertindak sebagai karakter tersendiri. Dia digambarkan punya aksi dan jalan pikiran sendiri. Tapi lagi-lagi, film tidak mampu untuk mengembangkan ini. Peraturan yang menjadi mekanisme dan karakter pulau, dilanggar begitu saja. Jika di awal kita mungkin sedikit tertarik pada bagaimana sebenarnya pulau ini bekerja, maka semakin ke akhir ketertarikan itu menguap ke udara karena clearly film hanya mampu menampilan pulau sebagai gimmick dan alasan untuk keberadaan zombie mata-item yang sama sekali enggak mengerikan.

sudah bisakah kita pindah ke Pleasure Island?

 
Setelah nonton, di Twitter aku actually ngepost cuplikan adegan dari dua menit pertama film ini. Adegan yang langsung dengan tepat melandaskan kebegoan naskah dari kesimpelan tokoh dan penulisan dialognya. Adegannya berupa seorang cewek lari dikejar-kejar seseorang di malam hari, dia masuk ke rumah, ngumpet di balik meja, dan kemudian telefon di atas meja itu berdering, yang ia lantas jawab; dengan panik minta tolong ke siapapun penelfon itu.
Setidaknya ada dua kebegoan pada adegan tersebut. Pertama; Si cewek memilih sembunyi di balik meja yang tengahnya bolong (hanya karena naskah butuh dia untuk menjawab telepon). Dan kedua adalah; Kalimat si cewek saat ngangkat telfon masuk “Aku diculik di pulau aneh” – ini adalah kalimat yang tidak akan terjadi di logika nyata. Melainkan adalah dialog yang sangat artifisial. ‘Di pulau aneh’ itu adalah informasi yg sebenarnya disampaikan buat penonton – cara film menyampaikan/menanamkan setting cerita yang tergambar pada naskah. Si penelpon tak butuh informasi itu. Karena mana ada orang yang nelfon suatu tempat tapi tidak tahu tempat yg ia telfon. Sehingga reaksi si cewek yang lagi dikejar-kejar tak tepat (gak make sense). Normalnya adalah ia akan bilang “Tolong aku diculik, ini di mana?”, ia tidak perlu membuang kesempatan berharga menjelaskan tempat seperti apa kepada orang yang menghubungi tempat itu. Dialog itu lebih tepat jika adegannya adalah si cewek yang menelepon duluan. Jadi, sedari menit awal aja film ini udah nunjukin kecenderungan untuk spouting information, alih-alih bercerita.
Dan memang sampai akhir, isi dialog film ini adalah tokoh-tokoh yang nyerocos info aja. Setiap adegan ngobrol isinya pasti seseorang ngebeberin kisah hidupnya ataupun alur cerita yang tidak mau repot-repot digambarkan oleh film. Oh sepertinya itu ibu si anu. Benar, aku melihat mata mereka mirip. Kalo begitu dialah yang jahat. Ya, dia sengaja blablabla. Film gemar sekali menjelaskan hal-hal gak penting, mengejakan kepada kita informasi apa yang harus kita mengerti untuk saat itu, karena beberapa adegan kemudian informasi yang sudah dijejelin ke kepala itu jadi tidak berguna karena selalu bakal ada twist. Twist ini nanti dijelaskan lagi – para tokoh akan ngobrol lagi, ngadep ke kamera biar kita merasa bagian dari mereka – mereka akan nyebut hal-hal yang tidak pernah dibuild up lagi kepada kita, untuk kita percaya, dan kemudian akan ditwist lagi. Begitu seterusnya. Misteri film ini adalah omong-kosong yang bergerak semau pembuatnya aja. Dan bahkan dengan penjelasan terus-menerus tersebut, twist pamungkas film ini tetap saja gagal untuk dimasukakalkan. Kita bukannya tidak mengerti alur ceritanya. Kita hanya tidak mengerti kenapa film seperti ini bisa eksis tayang di bioskop.
 
 
 
Aku tahu banyak dari kalian yang sudah mendengar betapa jeleknya film ini, atau sudah mengalami sendiri betapa memalukannya tayangan ini. Aku sendiri bahagia sudah melewatkan ini di bioskop. Dan sekarang, aku di sini untuk menjelaskan kenapa film ini begitu bego. Karena filmnya enggak berniat bercerita. Film ini terobsesi menjadi hits maka ia masukkan banyak komedi cringe, banyak twist-and-turn gak masuk akal, banyak tokoh-tokoh bloon supaya penonton bisa merasa lebih baik daripada mereka. Keseluruhan paket film ini bukanlah tontonan yang menyenangkan. Kuharap film ini hanyalah fantasi pembuatnya aja. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang harus kita endure bersama.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for FANTASY ISLAND.

 

 
 
That’s all we have for now.
What’s your deepest fantasy? Seberapa besar fantasi itu berperan dalam hidup kalian?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GRETEL & HANSEL Review

“This business of womanhood is a heavy burden.”
 

 
 
Dongeng-dongeng klasik dari Grimm Bersaudara ceritanya sungguh beneran grim. Kelam. Suram. Kakak-kakak tiri Cinderella memotong jari kaki mereka sendiri supaya muat mengenakan sepatu kaca. Ratu di Snow White memerintahkan pemburu bukan hanya untuk membunuh, melainkan membawa pulang paru-paru dan hati Snow White untuk ia makan – not to mention, Snow Whitenya sendiri masih bocah alih-alih sudah remaja. Dongeng-dongeng fantastis tersebut difilmkan, misalnya oleh Disney, dengan diadaptasi menjadi cerita yang lebih accessible buat anak-anak. Yang lebih ringan, yang lebih mengedepankan imajinasi dan nilai moral yang bisa dipetik oleh anak. Tapi tidak demikian halnya dengan Oz Perkins. Sutradara ini mengadaptasi salah satu dongeng Grimm dan membuatnya menjadi jauh lebih grim. Tema yang diangkatnya pun lebih dewasa. Perkins memutar balik judul Hansel & Gretel; memposisikan Gretel sebagai fokus utama dalam sebuah sajian horor arthouse tentang kebangkitan seorang perempuan.
Sepeninggal ayah, Gretel dan adiknya yang masih kecil, Hansel, diusir dari rumah oleh ibu mereka yang depresi sama keadaan. Gretel membawa Hansel menyusur hutan yang marak oleh rumor keberadaan penyihir dan entah apa lagi hal mengerikan yang menunggu di dalamnya demi mencari kediaman lain supaya bisa bekerja di sana. Namun bahaya nomor satu yang mengincar dua kakak beradik ini adalah rasa lapar. Perut menuntun mereka ke sebuah rumah segitiga yang aneh di tengah hutan. Rumah yang menguarkan aroma kue tart dan daging asap. Sampai di sini, kita semua sudah tahu paling tidak itu rumah siapa dan bagaimana kemudian Gretel dan Hansel dibujuk untuk tinggal di sana. Yang dibuat berbeda oleh film ini adalah hubungan antara Gretel dengan si Penyihir. Hampir seperti hubungan mentoring. Namun dengan tone mencekam yang merayap di baliknya.

kapan lagi kita melihat dua ikon dongeng anak ngefly makan jamur

 
Perasaan terkungkung akan kuat mencengkeram. Shot-shot di hutan akan terasa sama mengekangnya dengan adegan-adegan di dalam rumah. Apalagi film ini menggunakan rasio 1.55:1 yang membuat gambar yang tersaji dalam kotak yang lebih sempit daripada film biasa kebanyakan sekarang. Karena film memang ingin menyatakan gambarnya sebagai perwakilan perasaan Gretel. Tokoh remaja ini percaya menjadi wanita berarti akan dibebani oleh tanggungjawab. Dan tanggungjawab tersebut dapat menjadi sedemikan besar, ia memandang kepada apa yang terjadi terhadap ibunya. Yang menyebabkan kini ia practically sudah menjadi ibu bagi Hansel adiknya. Adalah si Penyihir yang membuka mata Gretel. Memperlihatkan, secara literal maupun kiasan, kekuatan dalam diri Gretel yang bisa ia gunakan untuk mencapai kebebasan. Atau paling tidak, untuk melenyapkan tanggungjawab. Tiga tokoh sentral film ini; Gretel, Penyihir, dan Hansel adalah fokus utama cerita. Film mengadu gagasan dan kepercayaan para tokoh lewat interaksi dan obrolan-obrolan. Yang semua itu dihadirkan lewat visual yang benar-benar stylish dan tempo yang tidak pernah gegabah.
Sophia Lillis dan Alice Krige menyuguhkan penampilan akting yang luar biasa meyakinkan. Sebagai Gretel, Lillis akan banyak terdiam. Namun terdiam yang intens gitu. Her words are smart, Gretel jelas bukan karakter yang manja dan helpless dan mudah dimanipulasi, tapi hal-hal yang ia alami dan ia lihat di rumah itu adalah hal baru dan mengerikan baginya. Gretel tampak lebih tersesat di dalam sana daripada di hutan. Pandangan mata Lilis juga ekspresif sekali, setiap kali Gretel terdiam pandangannya akan vokal bicara. Kita turut merasakan keraguan, ketakutan, sekaligus rasa penasaran yang ada pada dirinya. Sedangkan Krige sukses membuat Penyihir ini menjadi nenek-sihir paling karismatik sekaligus menakutkan. Jika hal yang paling mengerikan dari setan adalah kekuatannya untuk membuat kita menjadi tidak percaya dia itu ada, maka kengerian Penyihir dalam film ini datang dari sikapnya yang kita tahu ada niat jahat (she eats children!) tapi kita malah melihat Gretel semacam meminta petunjuk darinya. Kita tidak melihat penjahat licik, melainkan seseorang yang menghormati Gretel lebih daripada Gretel menghormati Gretel sendiri.
Sebagai sebuah horor, cerita film ini sangat personal. Ditujukan untuk cewek-cewek muda yang memikul tanggungjawab mengurus adek ataupun keluarga tercinta. Seperti si Penyihir, film ini akan menunjukkan pilihan. Meng-embrace tindakan yang tentu saja dipandang gelap alias jahat, yakni meninggalkan tanggungjawab tersebut karena setiap orang punya masa depan masing-masing dan setiap orang bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. ‘Mantra’ yang diucapkan oleh tokoh film ini adalah bahwa setiap hadiah selalu ada harganya. Mau makan, harus kerja. Mau tinggal, harus nurut. Dan kalo mau bebas, maka haruslah ada yang dikorbankan. Kengerian film ini datang dari antisipasi kita melihat Gretel meniti pelan-pelan pilihan yang ditawarkan Penyihir. Jika Penyihir benar, maka bukan hanya Gretel, dunia kita juga akan jadi menyeramkan saat semua wanita menjadi Gretel. Tentu, secara visual film memperlihatkan hal-hal eerie saat menyampaikan Gretel mempelajari semua – akan ada banyak adegan mimpi yang sureal – namun true horror datang dari implikasi gagasan yang terkandung dalam film ini. Untuk penonton yang berhasil mendalami hal tersebut, ending film akan bekerja dengan memuaskan. Karena ternyata ada jalan tengah.

Menjadi seorang wanita memang berat. Dituntut jadi seorang ibu yang membesarkan anak. Seorang pengasuh yang tak jarang harus melupakan mimpi pribadi. Menggugurkan kepentingan sendiri. Tapi lantas bukan berarti wanita tidak bebas. Gretel terus menggandeng Hansel kemanapun ia pergi menunjukkan bahwa benar, hal yang dicintai terkadang bisa menghambat diri. Namun sebenarnya attachment terhadap merekalah yang menghambat kedua pihak – bukan hanya yang menggandeng, melainkan juga yang digandeng. Maka, sebagaimana yang disugestikan oleh akhir film ini, setiap kita harus percaya. Pada kemampuan diri. Pada kemampuan orang lain. Kita tersesat di ‘hutan’ ini bersama-sama, maka gunakanlah kekuatan masing-masing untuk bisa survive.

 

Ada yang mau minta resep makanan sama si nenek sihir?

 
 
Jika bukan karena pandemi viruscorona, film ini sepertinya bakal tayang di bioskop. Tapi setelah menonton, aku tidak yakin bioskop mau menayangkan ini. Simply karena film ini amat-sangat tidak mainsteam. Gretel & Hansel berjuang keras agar setiap detik napas durasinya terlihat sebagai film indie. Budget kecil, dan banyakan praktikal efek, dan pengadeganan yang dibuat lambat. Jelas bukan tipikal film box office. Gaya dan visual film ini toh memang unik. Banyak shot dan permainan cahaya yang bikin merinding. Secara komposisi, sebagai tambahan dari penggunaan rasio ala film lama, film ini dengan anehnya selalu membuat fokus adegan berada di tengah. Sehingga pergerakan mata kita juga gak banyak. Dari cut satu ke cut berikutnya, semua tetap berada di tengah. Tidak ada ruang untuk bergerak, kita juga merasa terperangkap, dan lama-kelamaan -ditambah dengan pace yang slow – menonton film ini bakal terasa membosankan. Filmnya bakal terasa panjang karena atensi kita tak putus menatap ke tengah layar tempat semua kejadian berlangsung. Padahal durasi film ini sebenarnya cukup singkat, di bawah 90 menit.
Film ini menuntut perhatian dan kepedulian yang besar dari penonton, yang tentu saja, gak semua penonton mau memberikannya secara cuma-cuma. Harus ada hook. Dan sayangnya, film hampir tidak memberikan sesuatu untuk bisa dipedulikan. Narasi soal coming-of-age si Gretel tadi terasa diulur-ulur lantaran tidak banyak pendalaman; meskipun film berusaha jauh dari cerita aslinya, somehow kita bisa melihat ujung ceritanya ke mana. Adegan horor surealnya yang kebanyakan cuma mimpi, dapat dengan cepat jadi repetitif. Sense of danger yang dibangkitkan, tak pernah berujung sesuatu lantaran film lebih tertarik membahas agenda-agenda. Cuma ada satu adegan yang berbau aksi dan jump scare, yaitu di awal-awal saat Gretel dan Hansel nginep di rumah yang mereka pikir kosong, dan itupun tampak seperti ditambahin belakangan karena gak match dengan keseluruhan film – hampir seperti ditambahin karena film ini sadar dirinya bosenin maka butuh yang sedikit nendang.
Masalahnya bukan pada film harus ada aksi dan gak boleh terus-terusan ngobrol supaya jadi tidak membosankan, it has nothing to do with that. Hanya saja, begini: Makanan dalam film ini terlihat enak. Namun cara film menceritakan agenda feminisnya tersebut seringkali membuatku mual. Film ini memasukkan adegan Gretel dan Hansel bermain catur hanya supaya si Penyihir bisa berkomentar bahwa Queen (Ratu) bebas mau ke mana sedangkan King jalannya tertatih-tatih. Ketika dipanggil “Mrs.” oleh Gretel, si Penyihir lantas bilang “Apakah kau melihat tangan dan kakiku terborgol rantai”. Adegan dan dialog-dialog seperti demikian pada akhirnya membuat film yang memang hanya punya dialog dan visual creepy ini jatoh menjadi pretentious. Naskah tidak cukup dalam untuk dapat menjelaskan hal di luar persoalan Gretel, tapi tetap nekat menunjukkan Penyihir yang bisa begitu feminis padahal kerjaannya setiap hari cuma ‘masak’ dan nunggu anak-anak nyasar masuk ke rumahnya.
 
 
 
Sinematografi dengan warna-warna tajam tapi tidak pernah kontras sukses membuat film ini terasa seperti dunia yang bukan dunia kita. Desain produksi dan akting dua pemain wanitanya juga berada di level atas. Secara visual film ini memang menarik, gambar-gambarnya creepy. Sayangnya hanya itulah yang dipunya oleh film ini. Secara narasi, dia berusaha berbeda dari materi asli, dengan visi yang lebih relevan pula. Namun tidak dibarengi dengan eksplorasi yang benar-benar mengundang. Sehingga semua jadi terasa pretentious. Ia malah kayak mencoba terlalu keras untuk menjadi seperti The Witch (2016), dan gagal dengan hebatnya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GRETEL & HANSEL.

 
 
 
That’s all we have for now.
Benarkah menurut kalian tugas seorang ibu itu memberatkan bagi setiap wanita?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SWALLOW Review

“Autonomy is the whole thing; it’s what unhappy people are missing.”
 

 
Kita semua pernah ngalamin susahnya menahan diri untuk enggak nyentuh muka di kala pandemi virus corona. Sudah seperti reflek, kita gak kontrol entah sudah berapa kali tangan selalu ringan mengarah ke wajah. Dan ketika nyadar nyentuh wajah bisa membuat virus masuk ke tubuh, seluruh wajah jadi kerasa gatal. Hidung, pipi, semuanya mendadak pengen disentuh. Jadi bisa dibayangkan gimana rasanya jadi wanita hamil seperti Hunter, yang bawaannya pengen makan melulu. Ngidam Hunter di thriller Swallow bukan sembarang ngidam. Bukan makanan asem dan sulit dicari yang pengen wanita muda itu masukkan ke perut. Melainkan justru benda sehari-hari yang bertebaran di rumahnya yang mewah. Kelereng. Baterai. Sampai yang tajam-tajam seperti peniti. Duh.
Swallow membahas disorder yang di dunia nyata nama ilmiahnya adalah ‘pica’. Kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa pengen terus memakan benda-benda tak bergizi. Keadaan yang tentu saja berbahaya, karena kita bisa keracunan atau saluran pencernaan terluka. Apalagi untuk ibu hamil seperti Hunter. Sutradara Carlo Mirabella-Davis dengan tepat menggambarkan intensnya dorongan-tak-tertahan yang didera oleh Hunter tatkala rumahnya sepi. Seperti saat adegan Hunter lagi membersihkan lantai dan menemukan jarum pin. Kamera dan cut yang precise, didukung oleh musik senyap dan penampilan akting Haley Bennett (menghidupkan tokoh yang adorable dan sangat patuh) membuat kita serasa ingin menerobos masuk ke layar dan mencegah Hunter untuk menelan. Ada permainan intensitas yang diberikan, tarik ulur; makan atau tidak dimakan, film ini mencengkeram kita seperti demikian.
Aku gak pernah tahu penyakit Pica sebelum film ini, tapi Swallow sukses berat menyampaikan betapa mengerikannya kebiasaan tersebut. Sekaligus betapa candunya. Aftermath dari adegan makan diperlihatkan dengan montase Hunter semakin larut dengan kebiasaannya. Benda-benda yang ditelannya semakin berbahaya, namun musik kini setengah-ceria. Hunter tampak enjoy mengoleksi benda-benda yang ia telan tersebut keluar dari perutnya. Di bagian sini, film jadi horor lagi. There will be blood. Thriller mainstream akan mengeksplorasi cerita ini menjadi bodi-horror dengan memfokuskan pengaruh kebiasaan tersebut terhadap tubuh Hunter. It would be grotesque and superfun. Akan tetapi, Swallow bukan film seperti demikian. Imajinasi kita akan dibiarkan meliar membayangkan kesakitan yang harus dialami Hunter. Kamera hanya memperlihatkan bentuk benda yang ditelannya, kita yang akan membayangkan usaha seperti apa kira-kira yang dilakukan oleh Hunter mengambil kembali benda itu dari dalam perutnya. Mirabella-Davis actually lebih menekankan cerita ini menjadi bernada psikologis. Dia lebih tertarik untuk memperlihatkan konsekuensi yang nyata, dan kemudian membahas dengan mendalam kenapa perbuatan tersebut bisa terjadi. Dalam lapisan yang lebih dalam, film menyampaikan gagasan soal pemberdayaan wanita terhadap kuasa atas dirinya sendiri.

makan gak makan, asal bisa dikumpulkan

 
 
Kehidupan Hunter sebagai seorang wanita dihamparkan dengan jelas. Kita tahu dia punya semua; suami jutawan, rumah nyaman, rumah tangga yang bahkan lebih manis daripada mimpi Cinderella. Hanya ada satu yang tidak dia punya. Film menunjukkan bagaimana suara Hunter adalah yang paling ‘kecil’ di rumah tersebut, penampilannya sering diatur, dan kini dia punya bayi di dalam perutnya. Hal menarik yang diperlihatkan film ini adalah reaksi kontras antara Hunter dengan suaminya saat mengetahui kehamilan. Sang suami langsung memberitahu orangtuanya dengan bersemangat “kami hamil!”. Sedangkan Hunter; terduduk diam. Tidak bergairah. Seolah ia baru saja divonis dipenjara selama sembilan bulan. Film dengan spektakuler mengangat pertanyaan apakah Hunter benar-benar pengen hamil. Pertanyaan yang tidak terburu-buru untuk dijawab, melainkan dibiarkan terus berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lain, yang mengawal kita ke konflik sebenarnya cerita ini. Seberapa besar peran Hunter dalam hidup sempurnanya tersebut – apakah Hunter menginginkan semua itu? Kenapa?
Itulah akar dari perilaku Pica; Perilaku yang kemudian jadi pelarian bagi Hunter. Dia yang terbiasa menelan perasaan, merasa jadi pegang kendali saat memasukkan kelereng dan benda-benda itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidah, dan kemudian menelannya. Tindakan yang merusak diri sendiri ini diambil oleh Hunter sebagai perlawanan. Kecantikan, kepatuhan, dan sikap lembut welas asihnya kepada suami dan keluarga adalah perwujudan dari pengorbanan yang ia lakukan. Jika kesempurnaan adalah demi orang lain, maka pengrusakan dan kesalahan Hunter lakukan demi dirinya sendiri. Ada dialog Hunter dengan suaminya yang menjadi kunci dari ketakutan dan permasalahan dalam dirinya. Yakni ketika sang suami mengatakan Hunter gak pernah salah, dia begitu sempurna sebagai seorang istri yang taat, sehingga jika mau buat salah aja, dia gak bakal bisa. Perilaku Pica yang Hunter lakukan seolah pengen untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan kesalahan, sebagai bukti dirinya masih manusia yang punya kehendak. Bukan robot istri orang kaya, bukan alat pencetak anak. Cerita akan semakin menggelap tatkala kita mempelajari masa lalu Hunter – kehidupan masa kecilnya. Aku gak ingin membocorkan soal itu, tapi aku pikir  satu hal yang perlu untuk dikasih tahu supaya motivasi dan kelakuan Hunter ini bisa lebih kita pahami adalah bahwa peristiwa yang terjadi di masa lalunya berperan besar membentuk diri Hunter yang sekarang. Peristiwa tersebutlah yang membuat dia percaya dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka ketika ia dituntut untuk jadi sempurna, dan dikatain gak bisa salah saat menjadi istri dan calon ibu – Hunter merasa amat sangat dikekang

Seringkali dalam hidup, kita terpaksa untuk menelan banyak hal. Keinginan. Perasaan. Rasa sakit. Hal yang paling membuat nelangsa adalah ketika kita dipaksa untuk menelan siapa sesungguhnya diri kita. Ketidakbahagiaan berasal dari sini, membuat kita merasa less- terhadap diri sendiri. Yang film ini tunjukkan adalah betapa lingkungan sekitar dapat mempengaruhi atau memaksa bukan hanya tindakan sehingga kita merasa bukan diri sendiri, melainkan juga membuat kita percaya sesuatu yang bukan adalah diri kita. Jadi jangan telan semua itu bulat-bulat.

 
 
Ketika film membahas masalah penanganan disorder Hunter oleh keluarga suaminya, konflik yang hadir dapat terkesan terlalu banal. Ini satu hal yang kurang kusuka dari film ini. Aspek psikologis, studi karakter Hunter sangat kuat, akan tetapi pembahasan dari sisi keluarga suaminya enggak begitu seimbang. Untuk menguatkan konteks Hunter terasing dari sekitar dan dia dipaksa untuk menjadi merasa bukan seperti ‘orang’, film butuh untuk membuat sang suami benar-benar terlihat jahat. Di paruh awal sebenarnya suami ini cukup berlapis. Namun di akhir, film membuat sangat jelas bahwa pria tersebut hanya peduli kepada anaknya yang dalam kandungan, dan terbukti hanya bermanis-manis ria terhadap Hunter. Penggambaran yang demikian membuat film seperti tidak mampu mengulik seperti apa sih kekangan patriarki dan kompleksitasnya bagi wanita dengan benar-benar geunine. Seolah, jika tokoh wanita salah, maka tokoh pria harus salah juga karena bagaimanapun juga ini adalah perihal pemberdayaan dan perjuangan wanita atas dirinya.

tapi ada bapak-bapak yang lebih hebat dari Hunter; katanya mau nelen corona

 
 
 
Hal paling cantik dari film ini adalah cara ia bercerita tentang wanita meraih autonomi. Memperlihatkan dunia simetris nan mewah, warna-warna hangat, sebagai kesempurnaan yang mengekang. Wanita yang jadi istri orang kaya bukan serta merta bahagia, karena yang terpenting adalah apa yang sebenarnya ia minta – seberapa besar dia merasa semua hal adalah pilihan dirinya. Sekilas film ini tampak seperti akan menempuh jalur body horror – dan dia bisa saja menjadi itu dengan sangat gampang karena film ini seputar wanita hamil yang memakan benda-benda berbahaya. Namun film ini punya sesuatu yang lebih dalem sebagai body-goal. Sehingga Swallow menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for SWALLOW

 
 
 
That’s all we have for now.
Hal paling pahit apa yang pernah kalian telan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE PLATFORM Review

“In a consumer society there are inevitably two kinds of slaves: the prisoners of addiction and the prisoners of envy”
 

 
 
Hidup kadang di atas, kadang di bawah. Namun sutradara asal Spanyol, Galder Gaztelu-Urrutia tidak sedang membicarakan roda. Alih-alih, dalam sci-fi horor The Platform ia membangun struktur semacam menara; dua ratus ruangan yang disusun bertingkat, berjejer vertikal, diberi nomor satu dari yang paling atas hingga berurut sampai ke paling bawah. Dalam setiap lantai/ruangan, ‘dipenjarakan’ dua orang. Setiap bulan, masing-masing lantai dirotasi penghuninya. Kadang mereka di lantai atas, kadang mereka di lantai ratusan ke bawah. 
Struktur tersebut difungsikan oleh Galder sebagai alegori dari sistem kapitalis, konsumerisme yang diam-diam telah memerangkap masyarakat. Dan Galder memanglah sukses berat dalam menggambarkan itu semua. Bagaimana tidak? Dalam penjara buatan Galder ini setiap harinya diturunkan platform berisi berbagai jenis makanan yang lezat-lezat. ‘Tawanan’ di lantai atas kebagian duluan mencicipi, sebelum akhirnya (tepatnya setelah dua menit) platform makanan ini turun, mengantarkan apapun yang masih tersisa kepada penghuni lantai di bawah, dan begitu seterusnya sehingga semua dua-ratus-lebih lantai kebagian. Atau tidak. Sampai di sini mungkin sebagian dari kalian sudah bisa menebak bagaimana tepatnya dunia film ini adalah cermin dari perilaku masyarakat sekarang, sebab sekiranya kalian bisa mengira seperti apa ‘rupa’ makanan lezat berlimpah itu setelah melewati lantai demi lantai penuh oleh sepasang orang kelaparan. But for the sake of this movie, mari kita tengok dari tokoh utama cerita ini.

Pertimbangkanlah gambar ini sebagai peringatan spoiler yang bakal datang

 
Goreng (Ivan Massague bukan meranin makanan loh ya, melainkan seorang pria yang bakal ancur lebur dihantui oleh realita sosial) terbangun dan mendapati dirinya berada di lantai 48. Rekan satu-lantainya bilang ini posisi yang cukup lumayan. Goreng tentu saja belum tau kenapa sebabnya, karena pria ini baru saja mengajukan diri ikut masuk ke ‘penjara’ yang di dunia cerita sebenarnya adalah fasilitas rehabilitasi, dikenal sebagai Vertical Self-Management Center. Goreng masuk sebab ingin mendisiplinkan dirinya dari rokok. Setiap peserta boleh membawa satu barang untuk dikarantina bersamanya. Goreng memilih buku. Teman selantai Goreng memilih pisau, dan lantas menertawakan Goreng; apa gunanya buku di sini? Dan kemudian turunlah platform makanan itu. Penuh berisi makanan sisa. Yang udah gak karu-karuan bentuknya karena sudah digarap oleh penghuni 47 lantai di atas. Goreng tentu saja tak selera, meski teman selantainya makan dengan lahap. Goreng yang awalnya naif belajar banyak dari temannya, serta dari kenyataan mengerikan tatkala mereka mendapat giliran tinggal di lantai level ratusan. Tempat mimpi buruk menjadi kenyataan, survival buas karena tidak ada makanan yang sampai ke sana. Goreng akhirnya paham kegunaan benda seperti pisau di lantai-lantai bawah saat pisau itu mengoyak lepas daging paha kakinya.
The Platform nyata-nyata bukanlah makanan buat semua orang. Gambaran kekerasan dan tindak amoral para tokoh ditampilkan dengan vulgar. Kasar. Jijik. Ya, jijik adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian dalam film ini. Kita akan dikasih lihat betapa menjijikannya sikap manusia yang mementingkan diri sendiri. Tapi juga akan membuat kita jijik kepada diri sendiri, lantaran kita mengerti mereka. Kita paham kenapa mereka melakukan itu. Pemakluman penghuni lantai bawah yang gak kebagian makanan menjadi kanibal karena keadaan memaksa mereka, orang-orang di atas makan duluan, dan ketika digilir kita merasa wajar orang-orang yang di bawah akan melakukan hal yang sama saat mereka sudah di atas. Siklus mengerikan ini tidak bisa dihentikan. Dan ironi dari ini semua adalah; bahwa sebenarnya makanan di atas platform itu cukup untuk mereka semua, dari lantai satu hingga lantai dua-ratus, tiga-ratus, berapapun.
Maka Goreng mencoba menyadarkan semua orang, dia berusaha membuat mereka sadar bahwa tidak perlu mengambil makan banyak-banyak. Semua sudah diberikan jatah makanan yang cukup untuk melewati hari sehingga tidak akan ada yang kelaparan. Namun dendam diperlakukan hina, ketakutan akan kelaparan esok hari, dan fakta beberapa orang pada dasarnya memang rasis (film juga menampilkan agama, ras, dan golongan sebagai bagian dari penokohan) membuat usahanya sia-sia. Goreng didengar oleh orang-orang di bawahnya ketika dia mendorong mereka dengan ancaman. Tapi apa gunanya jika tidak semuanya sadar dan bersikap seperti tirani malah akan menimbulkan kebencian yang secara jangka panjang tidak bakal mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Itulah konundrum yang paralel dengan keadaan masyarakat kita sekarang. Gak usah jauh-jauh, lihat sekarang – di masa-masa seluruh dunia dalam pandemi virus corona – banyak orang membeli barang di luar yang benar-benar ia butuhkan. Di negara luar orang rebutan tisu toilet. Di negara kita, orang berebut masker. Hand sanitizer. Bahkan alat-alat kesehatan. Orang-orang berduit, tentu saja. Memborong semua sehingga banyak orang, terutama yang less-fortunate enggak kebagian. Sama seperti di film ini, orang-orang tetap memakan makanan yang sebenarnya bukan jatah mereka sehingga makanan tersebut tidak mencukupi. Mentang-mentang punya kesempatan duluan. Orang-orang seperti susah membedakan yang mereka butuhkan dengan yang tidak. Semuanya pada tamak. Yeah, mereka bisa beralasan survival instinct. Film ini menunjukkan bukan salah mereka sedang di atas, melainkan karena mereka pernah di bawah. Di sinilah letak kebobrokan sistem tersebut, sistem masyarakat kita yang over-konsumtif. Yang berkecukupan tidak merasa punya keharusan untuk berbagi. Setiap tokoh dalam film ini terpenjara oleh candu dan iri atas makanan karena sistem membuat mereka jadi melihat pada posisi atas atau bawah.

Masalah kesejahteraan ekonomi sebenarnya sangat terkait dengan masalah moral. Bukan eksak soal punya banyak duit atau tidak. Bahkan film ini menunjukkan, dalam keadaan yang sama-sama berkekurangan pun akan ada gap; yang berasal dari perbedaan kesempatan. Inti masalahnya adalah terletak pada kebutaan kita membedakan mana yang kita berhak miliki dengan mana yang kita pikir berhak untuk kita miliki. 

 

Goreng harus bertrimakasi kepada temannya; Trimagasi

 
Tidak ada jawaban yang saklek benar untuk mengatasi persoalan ini. Sepertinya memang harus dengan kesadaran sendiri. Tidak bisa dipaksa. Jikapun berubah, maka itu tidak dalam waktu dekat. Prosesnya bakal lama. Makanya Goreng gagal semua, meskipun sebenarnya banyak juga yang berjuang untuk menjadi lebih baik di dalam sana. Makanya pula, film tidak membahas penyelesaian hingga ke akarnya. Melainkan memberikan jawaban lewat metafora. Dan ini bakal jadi turn off buat sebagian penonton yang mengharap solusi alias jawaban. Akhir film dapat jadi membingungkan ataupun tidak menyelesaikan apa-apa. Buatku; ya ada beberapa elemen yang gak diberikan alasan yang jelas kenapa bisa ada, alias ada elemen yang kayak maksa. Namun soal endingnya, aku mengerti kenapa film memilih untuk menutup seperti demikian.
True resolution yang dipercaya oleh Goreng adalah mengirimkan kembali seorang kecil yang ia temukan di lantai paling bawah ke lantai paling atas; ke tempat manajemen gedung. Hanya si anak saja, tanpa dirinya. Goreng memilih untuk tetap tinggal di lantai dasar. Makna dari semua ini adalah film ingin menunjukkan kepada kita bahwa harapan itu masih ada. Yakni berupa generasi muda, yang sama sekali belum tersentuh dan dikotori oleh sistem. Goreng tidak bisa ikut karena untuk sampai ke sana saja ia sudah literally kotor dan menjadi bagian dari sistem. Anak itu merupakan simbol dari buah perjuangan kemanusiaan, sebuah clean-slate. Memang mengirim anak itu ke atas belum tentu bakal langsung menghentikan semua amoral dan membuat orang seketika menjadi lebih baik. Namun mengirimkannya adalah pesan mutlak bahwa ada kesalahan di sistem (bisa ada anak yang masuk, meskipun peraturan menyatakan tidak boleh), dan fakta bahwa anak itu masih hidup dan sehat adalah bukti nyata kemanusiaan masih punya harapan.
 
 
 
 
Ini bukan thriller ruang tertutup yang biasa. Cerita sarat metafora dari realita dunia konsumtif kita. So naturally, this will be very hard to watch. Apalagi film memang tidak ragu-ragu untuk menjadi semenjijikkan mungkin. Blood, vomit, feses, moral bobrok, salah satu dari empat itu akan membuat kita mual duluan. Ditonton dalam waktu-waktu wabah virus sekarang, film ini sangat relevan. Film tidak tersaji subtil, dan beberapa elemen seperti diadakan begitu tanpa ada penjelasan, membuat sebagian penonton enggak puas. Namun yang patut kita apresiasi adalah film berusaha mencari penyelesaian dengan nada yang positif, dengan memperlihatkan manusia masih bisa bertaruh pada harapan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE PLATFORM.

 
 
 
That’s all we have for now.
Hanya butuh satu orang, satu orang mulai makan melebihi yang ia butuhkan – memakan jatah orang lain – dan keseimbangan itu akan runtuh. Menurut kalian apa yang kira-kira menyebabkan tawanan di lantai atas memakan lebih banyak dari yang ia butuhkan?
Ini adalah struktur  vertikal, menurut kalian apakah akan ada bedanya jika struktur penjaranya berupa kamar-kamar yang disusun horizontal? apakah beda posisi/kelas itu akan terasa?
Apa kalian punya interpretasi sendiri terhadap ending film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

THE HUNT Review

“Assume’ makes an ‘ass’ out of ‘u’ and ‘me’.”

Satir adalah penyampaian bahasa yang ditujukan sebagai sindiran terhadap suatu keadaan atau bahkan seseorang. Satir dikemas sebagai humor (bisa parodi ataupun ironi atau sarkasme) sehingga mampu menarik perhatian masyarakat kepada isu-isu yang terkandung dalam gagasannya. Sebab fungsi utama satir memang adalah sebagai sebuah kritik. Masalahnya; sekarang orang menganggap satir dengan terlalu serius. Di jaman informasi ini kita sudah terbiasa meneropong sesuatu dan memilah mana yang sesuai dengan kita, dan membuang jauh yang tidak. Menjatuhkannya malah. Sedangkan satir, mengundang kita untuk becandain hal yang mungkin justru adalah hal yang kita percaya. Kita menjadi sudah asing dengan melihat ke-dalam dan bersenang-senang dengan sesuatu yang kita percaya. Kita malah melihat satir sebagai serangan. Makanya sekarang candaan di channel youtube aja bisa dianggap seolah statement penting di tv nasional oleh orang.
The Hunt pun begitu. Komedi action-thriller ini langsung dianggap ofensif oleh penonton – bahkan presiden – di negara asalnya, lantaran memuat singgungan terhadap perbedaan ideologi politik. The Hunt sempat ditunda penayangannya, film ini mestinya bisa kita saksikan di bioskop tahun lalu. Namun semua itu nyatanya tidak menyurutkan kekuatan suara film ini. Karena The Hunt ini justru unik. Dia adalah film yang semakin banyak orang yang tersinggung, maka semakin baguslah dia. Karena itu berarti satir dalam film ini benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik pada iklim modern sekarang ini.
Yang bikin film ini kontroversial adalah ceritanya yang seperti mengadu masyarakat liberal yang elit dan konservatif jelata Amerika. Membuat mereka dalam situasi berjuang hidup-mati. Crystal terbangun di sebuah padang rumput, bersama beberapa orang lain, dalam keadaan mulut terbekap alat. Mereka semua tidak saling mengenal, satu-satunya kesamaan adalah mereka ini semuanya ‘sayap-kiri’. Ketika mereka menemukan kotak besar berisi senjata api, tembak-tembakan itu terjadi. Film ini comedically brutal dalam memperlihatkan adegan bunuh-bunuhan. Crystal musti menyelematkan diri, sesekali bekerja sama dengan rekan sesama target buruan, sembari berjuang hingga ke kesimpulan bahwa yang memburu mereka adalah borjuis liberal yang dipercaya suka berburu manusia sebagai rekreasi. Crystal balik memburu mereka hingga ke Manor, tempat sang pemimpin – Athena – menunggu dirinya.

semua kegilaan ini bermula dari chat di grup WA!

Padahal kalo kita tonton dengan seksama, tidak ada tokoh baik-tokoh jahat di sini. Hanya pemburu dan yang diburu. Walaupun pemburu digambarkan sebagai kumpulan orang konglomerat, tapi film ini tidak pernah sesimpel si kaya dan si miskin. Kita tidak lantas mendukung si miskin, alias kelompok yang diburu. Karena film memperlihatkan begitu banyak spektrum. Bakal ada penonton yang enggak kasian sama yang diburu karena berbagai hal. Misalnya mereka punya pandangan politik berbeda. Atau karena persoalan pandangan tentang kepemilikan senjata. Kedua pihak diperlihatkan sama-sama brengsek, sama-sama ignorant. Ketika ada satu yang mati (anunya digranat ataupun terjatuh ke jurang berduri kayak di video game), kita akan miris sesaat kemudian tergelak karena memang digambarkan dengan over. Target yang enggak sebenar clear inilah yang bikin penonton ‘bingung’ – beberapa bakal melihat pahlawan mereka sebagai penjahat, beberapa akan merasa dipaksa mendukung yang gak sepaham – sehingga film ini jadi menimbulkan reaksi beragam.
Untuk dapat mengerti kenapa sutradara Craig Zobel sengaja mengarahkan filmnya menjadi seperti demikian, maka kita perlu memahami referensi yang ia munculkan di dalam cerita. The Hunt berulang kali menyebut soal Animal Farm, novel satir politik yang ditulis oleh George Orwell. Ada banyak penamaan dan istilah yang disebutkan oleh tokoh The Hunt yang mengacu kepada novel ini, misalnya menyebut rumah sebagai Manor seperti nama peternakan dalam Animal Farm. Crystal disebut sebagai Snowball oleh Athena; kedua tokoh ini sama-sama membaca Animal Farm. Bahkan ada babi yang diberi nama Orwell. Novel Animal Farm bercerita tentang binatang ternak yang mau menggulingkan manusia, karena manusia adalah makhluk paling perusak di muka bumi. Binatang-binatang ini dipimpin oleh babi yang menyusun sistem pemerintahan sendiri. Namun, si pemimpin babi ini menjadi takubahnya sebobrok manusia yang mereka lawan sehingga muncul lagi perlawanan untuk menjatuhkannya. “Manusia ke babi, babi ke manusia, benar-benar sukar membedakan yang mana” begitu kira-kira penggalan dialog yang mengandung gagasan utama novelnya. The Hunt juga berangkat dari gagasan yang sama. Bahwa semua manusia, baik Trump voter atau bukan, sesungguhnya sama. Sama dalam hal apa?
Kedua kubu dalam The Hunt punya penyakit sembrono yang sama di hati mereka. Dan mungkin kita semua juga. Kita gampang percaya pada informasi apapun yang mendukung kebutuhan kita sendiri. Di akhir film ini diungkap bahwa para pemburu sesungguhnya adalah orang-orang yang dirugikan oleh teori-teori pihak oposisi. Rumor mereka menghibur diri dengan membunuhi orang-orang layaknya hewan buruan itu tadinya hanya hoax, yang dibesar-besarkan oleh media . Mereka dipecat dari kerjaan, sehingga dendam dan beneran memburu netijen yang mereka percaya ambil bagian dalam penyebaran hoax tersebut. The Hunt, lewat orang-orang ini, memperlihatkan kepada kita bahayanya mempercayai sesuatu, sekadar berasumsi, tanpa membuktikan terlebih dahulu kebenarannya. Twist kecil pada dialog antara Crystal dan Athena di akhir film menguatkan ini; bahwa sekalipun kita merasa benar, kita haruslah tetap melihat dari sudut lain. Because we still could easily been wrong.

Situasi ekstrim yang tergambar pada The Hunt adalah sindiran terhadap percekcokan antardua kubu politik yang terjadi. Yang masing-masing merasa benar, seringkali bukan karena mereka benar, melainkan karena pihak yang satunya dianggap mutlak salah. Kita berasumsi yang tidak-tidak, dan berkat sosial media, segala teori dan perkataan-tak-berdasar bisa menyebar di kelompok masing-masing seolah itulah kebenaran.

Salah satu dialog kunci dalam film ini adalah anekdot ‘kelinci dan kura-kura’ yang diceritakan dengan begitu twisted oleh Crystal. Karena cerita kemenangan kura-kura karena si kelinci sombong kebablasan tidur saat lomba lari itu ada kelanjutannya. Dengan ending yang cukup sadis. Ketika pertama kali dia menceritakannya, kita menangkap secara tersirat Crystal menganggap dirinya kura-kura dalam cerita tersebut. Namun di bagian akhir film, setelah dia (dan kita) belajar bahwa kedua kubu sebenarnya sama, kita dengan jelas diperlihatkan bahwa dia menyadari dirinyalah yang kelinci. Betty Gilpin mendongengkan, dan kemudian menghidupi ending kisah yang tokohnya ceritakan, itu adalah hal terbaik yang aku dengar sepanjang hari aku menonton film ini. Penampilan aktingnya benar-benar mencuatkan tone film secara keseluruhan. Crystal ini kalo gila bisa kayak Harley Quinn di Birds of Prey (2020), dan saat intens, dia bisa kayak Grace di Ready or Not (2019) . Aksi-aksinya semua kocak sekaligus menegangkan, sekuen berantem di akhir melawan Athena itulah puncak terbaiknya. Film dengan bijak membuat pandangan politik tokoh ini ambigu dengan membuat identitasnya – dari sudut pandang Athena – ambigu. Mungkin beberapa orang akan lebih senang menganggap Crystal si penyintas badass ini sebagai apolitical.

in first 20 minutes,  I was in denial ” aku gak mau nonton film yang Emma Roberts-nya mati duluan”

But it takes a while for us to meet and know her. Film ini memilih cara yang unik untuk memulai cerita. Unik, meski bukan pilihan yang ‘benar’. Karena babak pertama film ini sengaja didesain supaya kita bingung siapa yang harus diikuti. Dari orang kaya snob ke bego ke gadis vulnerable yang bikin jatuh hati, cerita berpindah melewati tokoh-tokoh yang tidak ada yang bikin kita simpati. Dan kemudian mereka mulai berjatuhan mati. The Hunt bersenang-senang ngecoh kita, membuat kita berpikir “wah ini nih jagoannya”, eh ternyata mereka tewas. Kamera berpindah membawa kita mengikuti yang lain. Kita baru benar-benar mengikuti Crystal di akhir babak pertama.
Bahkan si Athena bisa saja jadi tokoh utama. Karena dialah yang kita lihat muncul dan dibangun sedari awal. Meski tidak hingga babak akhir kita baru melihat wajahnya (yang ternyata diperankan oleh Hillary Swank). Akan tetapi masuk akal jika film ingin ‘mengacaukan’ kita seperti itu, karena toh aksi Athena yang ‘membalas dendam’lah yang menyeret Crystal pada cerita – terlebih jika memang Athena salah orang seperti yang diungkap oleh Crystal. However, efek cerita dari sudut pandang Athena akan lebih besar dan konsisten jika adegan flashback di awal babak ketiga dimajukan sebagai set up.




Film ini dengan sukses membagi penonton karena ceritanya yang mengadu pandangan politik, namun pada akhirnya memperlihatkan keduanya sama saja. Certainly bukan sesuatu yang ingin didengar oleh kebanyakan orang. Namun sesungguhnya ini adalah tayangan yang luar biasa menghibur. Dialog dan kejadiannya mengundang tawa – jika kita mau melihat ke dalam dan bermain-main dengan situasi. Aksinya sadis dan melibatkan satu pertarungan cewek yang keren. Yang kedua tokohnya tampak dimainkan dengan riang gembira, sekalipun begitu badass. Babak set upnya unik, tetapi bukan pilihan yang baik ataupun pilihan yang harus diambil oleh film ini. Di samping itu semua, ya aku sarankan supaya kita jangan jadi orang yang baper-baper amat supaya bisa menikmati satir-satir membangun seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNT.




That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sekarang orang gampang baper? Apakah satir sudah benar-benar kehilangan tempat di era ‘political correctness’ sekarang ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.



THE INVISIBLE MAN Review

“The scars you can’t see are the hardest to heal.”
 

 
 
Memanglah, manusia lebih seram daripada monster! Buktinya; meski berada dalam jagad sinema yang sama (Universal Monster Universe atau Dark Universe), tapi The Invisible Man yang manusia ini filmnya jauh lebih mengerikan. Lebin bikin kita merasa terancam secara fisik dan emosional, lebih menantang, ketimbang Frankenstein, Mummy, Dracula modern yang rebootnya gagal sehingga nyaris membunuh franchise ini secara keseluruhan.
The Invisible Man diarahkan oleh Leigh Whannell jauh dari hingar bingar aksi dan mitos fantastis. Melainkan, senada dengan novel aslinya yang terbit 1897, memiliki sedikit elemen fiksi-ilmiah. Tapi itu hanya pemanis. Inti dari cerita film ini dibuat sangat dekat dengan kita. Whannell juga dengan efektif membangun permasalahan yang kekinian. Dari banyak cerita tentang ‘mantan’ yang rilis Februari ini, baru The Invisible Man inilah yang justru terasa lebih make-sense, yang lebih dalam menggali permasalahan relationship sepasang manusia; permasalahan yang bukan hanya sekadar karena mereka gak cocok. Masalah mantan di film ini gak jatoh sebagai gimmick jaman now, supaya filmnya laku belaka. Whannell nge-blend itu dengan konsep yang berada pada garis antara supernatural dan keseraman ilmu pengetahuan.
Cecilia, tokoh dalam cerita ini, kabur dari cowoknya yang ganteng, jenius (ilmuwan optikal, atau apa gitu istilahnya..), kaya raya. Tipikal cowok idaman banget si Adrian ini. Sayangnya punya kecacatan ‘kecil’; abusive dan controlling sekali. Pada adegan pembuka yang memperlihatkan Cece diam-diam kabur dari kelonan Adrian, melepaskan diri dari kungkungan rumah dan toxicnya hubungan mereka, ada satu momen yang melibatkan anjing peliharaan Adrian. Dari anjing yang berkalung alat penyetrum itu saja keefektifan penulisan langsung menunjukkan taringnya; sebab momen ini menjalankan fungsi sebagai perlandasan perbedaan sifat dua tokoh – Cece dan Adrian – sekaligus. Meskipun berhasil kabur, Cece masih trauma. Dua minggu dia tidak berani keluar dari rumah sahabat yang menjadi persembunyiannya. Padahal Adrian sang mantan dikabarkan sudah meninggal bunuh diri. OR IS HE? Hidup Cece semakin tidak tenang. Dia mendapat gangguan, dikuntit oleh sesuatu yang tak terlihat. Cece merasa Adrian masih ada di dekatnya. Masih mengendalikan semua aspek hidupnya.

Mungkinkah Cece diganggu oleh John Cena?

 
Film ini, however, tidak membuang waktunya berkubang berusaha membuat kita bimbang antara hantu atau hanya si Cece sajalah yang beneran gila. Set up sepuluh menit pertama sudah begitu kuat dan efektif sehingga kita sudah otomatis waspada ada pria yang superpinter namun sangat jahat mengincar Cece. Maka kita langsung tersedot berada di posisi antisipasi dramatis menyaksikan semua hal buruk menimpa Cece. Untuk itu, film benar-benar menajamkan aspek horor dengan perantara suara dan mata kita. Karena kita berhadapan dengan sesuatu yang tak-kasat mata. Sound design benar-benar bekerja luar biasa. Ada beberapa jumpscare ditemukan, tapi tidak ada yang terasa murahan, karena antisipasi dan kewaspadaan kita sudah terhimpun kepada satu hal. Belajar dari menonton petualangan Harry Potter; kita tahu bahkan orang yang tak kelihatan itu nyatanya masih bersuara. Jadi setiap kali suasana hening, Cece memandang dengan cemas sekelilingnya, kita ikutan bukan hanya menahan napas, melainkan juga menajamkan telinga. Kita terbawa pengen mendengar keberadaan si Pria Transparan. Kita mencari bunyi nafasnya, kita berusaha menangkap basah bunyi derit lantai yang ia pijak sehingga kita tahu dia ada di mana. Dan ketika ada jumpscare, atau sebaliknya tidak ada apa-apa, kita dengan genuine merasa kaget atau lega.
Selaras dengan hal tersebut; kerja kamera juga bekerja dengan sama efektifnya. Aku gak bisa dengan tepat mendeskripsikan tensi film ini terbangun dengan sangat solid hanya dari memperlihatkan sebuah sofa kepada kita. Tantangan film ini adalah ia harus memajang sesuatu di layar, entah itu sofa, atau pintu, atau sudut ruangan, clearly tidak ada apa-apa di sana tapi harus membangun sugesti ada sesuatu yang mengerikan. Setiap kali film melakukan itu, kita menyipitkan mata, menajamkan pandangan, berharap melihat suatu tanda. Bahkan ketika kamera bergerak mengikuti tokoh yang mencari, mata kita akan ikut jelalatan ke sudut-sudut ruangan. Timing sangat berpengaruh, film ini tahu seberapa lama persisnya mereka harus memperlihatkan suatu kekosongan yang membuat kita waspada. Karena jika merekam terlalu lama, kesan seram itu bisa menguap dan dengan gampang berubah menjadi annoying terutama jika harus terus menerus dilakukan. Perbandingannya bisa seperti begini: kalian nonton video di TikTok dengan caption ‘memancing’ seperti “gak sengaja kerekam” atau “apa ada yang bisa lihat?”, kalian pantengin ampe abis tapi nyatanya gak ada apa-apa, apa yang kalian rasakan setelah nonton? Kesel. Kamera film The Invisible Man ini secara esensi sama seperti demikian, pada akhirnya tidak ada apa-apa, namun kita rasanya semakin penasaran – semakin geram – bahkan tidak perlu narasi/caption bait untuk membuat kita merasa masuk begitu dalam.
Psikologi ceritalah satu-satunya dibutuhkan. Dan unlike those poor TikTok videos, naskah The Invisible Man penuh dengan galian psikologi. Serta jauh lebih unggul dalam menceritakannya. Bagi kita ini bukanlah masalah Cece gila atau tidak. Yang membuat kita peduli adalah melihat Cece – powerless ketimbang Adrian – tersiksa dan berjuang untuk lepas, dan ketika dia berusaha minta tolong kepada orang, dia gak bisa menjelaskan; orang-orang gak percaya (karena begitulah esensi dari ‘tidak-berdaya’) malah ia sendiri yang dianggap gila. Kita begitu peduli karena film membuat kita memainkan skenario kemalangan Cece sekaligus menempatkan diri ke posisi dia yang tengah dibuat menjadi semakin tak berarti lagi oleh keunggulan Adrian. Penampilan akting Elisabeth Moss sangat juara sebagai Cece. Mulai dari ekspresi, ketegangan, hingga ke rupa-fisik; dia tampak pucat, awut-awutan, polos tanpa polesan, semuanya bicara tentang kenihilan daya wanita yang terjerat di genggaman pria. Melawan sesuatu yang tak bisa ia lihat. And it works either way; jiwa dan raga. Tak terbatas pada teriak seperti orang gila, tantangan Moss juga melibatkan ia harus berkelahi dengan udara, dan adegan-adegan itu sama sekali tidak kelihatan konyol bahkan untuk satu detikpun.

Bahkan jika kita belum pernah merasakan hubungan yang abusive, kita masih akan bersimpati kepada Cece lantaran yang ia hadapi sebenarnya adalah seseorang yang membuat dirinya semakin merasa bukan apa-apa. Ini bisa dengan gampang diterjemahkan sebagai persoalan ‘laki-lawan-perempuan’ di mana perempuan dianggap lebih tak berdaya dan akan terus begitu karena si perempuan sendiri tidak bisa melihat permasalahan yang sebenarnya; yakni mereka butuh untuk mengambil kendali. Merebutnya, kalo perlu. Seperti yang diperlukan Cece sebagai resolusi cerita. Wanita itu bisa melihat sepenuhnya sekarang, melihat ‘luka’ yang terus dieksploitasi oleh Adrian. ‘Tidak bisa hidup sendiri’, ‘Tidak bisa besarkan anak sendiri’. Sadis atay mungkin jahat kelihatannya, tapi ending film menyimbolkan kesembuhan dan Cece yang sudah bisa melihat yang harus ia kalahkan.

 

Pesan yang indah dalam film ‘manusia-itu-monster’ yang seram

 
Kejadian di sekuen enam naskah begitu sempurna memberikan peningkatan tensi cerita yang sangat drastis. Namun demikian, kejadiannya mengandung sedikit ketidakkonsistenan. Masuk ke babak tiga, aku merasa level excitement-ku sedikit berkurang karena kejadian-kejadian di sini lebih terasa seperti tuntutan naskah ketimbang progres yang natural. Twist sebagai False Resolution yang dimaksudkan untuk membuat Cece semakin bingung terasa gak nendang kepada kita, karena setiap karakter sudah terlandaskan – akan gak masuk akal jika direveal bukan demikian, misalnya soal bayi – tidak mungkin selain Adrian ada yang peduli Cece melahirkan atau tidak. Selain itu, banyak kejadian yang harus terjadi dan kita diminta untuk menerimanya saja, karena ya memang harus ke situ ceritanya. Misalnya adegan di tempat publik, yang harus terjadi di tempat publik karena harus banyak yang menyaksikan Cece; hanya saja ada aspek yang gak konsisten karena dengan sengaja mengabaikan cctv. Padahal cctv jadi elemen yang penting sepanjang durasi, bahkan ending film ini melibatkan cctv. Namun untuk satu adegan di restoran itu, film ‘melupakan’ cctv sebagai bukti karena plot poin mengharuskan Cece setelah ini dimasukkan ke penahanan. Kalo cctv dibahas, bisa-bisa Cece gak jadi ditahan. Mundur ke belakang, masih ada lagi hal-hal yang diabaikan yang kalo kita pikirkan membuat kita ingin protes “loh mestinya kan bisa…”
Cece sempat balik ke rumah Adrian, naik Uber. Cece menemukan kostum penghilang di lab kerja Adrian. Tapi kemudian si Invisible Man datang, Cece berhasil kabur. Naik Uber yang sama, yang sedari tadi nungguin di gerbang depan. Cece kabur, setelah menyembunyikan kostum itu di lemari. Setidaknya ada dua pertanyaan yang menghantuiku pada sekuen ini. Kenapa si Uber gak dibunuh saja oleh Adrian – bukankah lebih ‘mesra’ mengurung Cece di sarang cinta mereka. Dan bahkan jika gol Adrian adalah supaya Cece terlihat gila nan berbahaya dan lantas ditangkap, bukankah pembunuhan si Uber lebih gampang dan masih bisa dijadikan pemenuh tujuan. I mean, melepas Cece beresiko lebih besar, karena ia harus mengejar lagi, dan berapa kemungkinannya Cece bakal menghubungi kenalan dan ngajak bertemu di tempat umum. Adrian bisa sekonfiden itu dengan rencananya, ya karena memang dibeking oleh tuntutan naskah. Pertanyaan keduaku adalah, kenapa Cece malah kabur dengan meninggalkan bukti penting yang ia temukan – kostum – di dalam rumah, kenapa gak sekalian dibawa kabur. Film sekali lagi tampak memaksakan kejadian, karena di akhir kita paham kostum tersebut harus berada di rumah untuk kejadian ending.
Dan soal bukti, aku akan ngajak mundur lebih jauh lagi membahas saat Cece menemukan hape yang digunakan Adrian memotret Cece tidur; hape ini sengaja ditinggalkan di sana oleh Adrian untuk memberi kejutan kepada Cece. Ini eksesif sekali. Kenapa mesti di loteng? Bayangkan usaha Adrian harus diam-diam angkat tangga, naik ke loteng, naroh hape di sana, turun, balikin tangga ke posisi semula. Resiko dia melakukan hal sebanyak itu di rumah kecil yang berisi tiga orang; sangat besar. Belum lagi kemungkinan Cece dapat/mendengar bunyi hape itu. Kecil. Padahal lebih mudah ia letakkan di kamar saja. Here’s the best part: di hape itu ada foto Cece tidur di kamar anak sahabatnya yang polisi – ini bisa jadi bukti otentik tak terbantahkan bahwa ada yang menguntit dirinya – bukti yang basically diberikan gratis oleh pelaku kepadanya; KENAPA bukan ini yang diambil Cece dan ia serahkan kepada polisi? Tentu, karena nanti filmnya akan berakhir lebih cepat. Atau paling enggak, intensitas dan tensinya menurun drastis.
 
 
 
Mungkin masih terlalu dini, tapi memang sejauh ini, film inilah horor terbaik yang bisa kita nikmati di 2020. Arahan dan aktingnya luar biasa. Secara fungsi, ia meniupkan napas baru dari Dark Universe, malah sebagai reinkarnasi sebab kini jagat sinematik itu hadir tak lagi sebagai dunia yang berhubungan. Film ini membuktikan film monster-monster itu bisa mencapai potensi yang tinggi jika dibuat sebagai cerita yang berdiri sendiri. Ada beberapa hal yang jika dipikirkan membuat film ini terasa maksa di bagian akhir, namun tidak akan mengurangi keasikan menontonnya. Karena paruh awal yang begitu solid. Penggemar Universal Monster akan dapat hiburan ekstra dari referensi penampakan Invisible Man versi klasik yang disematkan di dalam cerita
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE INVISIBLE MAN.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa orang susah melepaskan diri dari hubungan yang toxic, mereka bahkan jarang mau melihat dan mengakui hubungannya gak-sehat? Menurut kalian apa yang bakal dilakukan Cecilia dengan kostum menghilang yang ia punya?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

GUNS AKIMBO Review

90% of people will text things that they could never say in person.”
 

 
 
Internet menyediakan kepada kita selimut yang nyaman dalam bersosialiasi. Jika dulu untuk berinteraksi orang harus bertatap muka langsung, melakukan kontak fisik, maka kini orang bisa saling menyapa dengan orang yang berada di belahan bumi yang berbeda dari kursi ataupun dari tempat tidur masing-masing. So yea, selimut yang dimaksud di atas bisa literal, maupun kiasan. Karena dengan jarak tak terbatas, tanpa harus melihat langsung lawan bicara, internet bertindak sebagai tabir dalam komunikasi. Kita bisa berlindung di baliknya, melakukan sesuatu – mengatakan sesuatu tanpa mengkhawatirkan konsekuensi, karena hey, mereka para lawan bicara enggak tahu siapa kita sebenarnya. Gampang merasa tidak ada konsekuensi di internet, ironinya adalah kita merasa bisa lebih ekspresif ketika kita sudah aman bersembunyi.
Makanya di internet kita banyak menemukan orang-orang yang dengan bangga menunjukkan mereka suka keributan. Hal-hal negatif dijadikan konten, baik itu yang nemu langsung di jalan atau share dari media sosial teman, maupun yang sengaja dibuat. Serius deh, jaman sekarang iklan aja mesti bikin kejadian viral orang disuruh pura-pura berantem dulu. Ngetroll di kolom komen jadi hiburan. Berpedas-pedas ngasih komentar dijadikan semacam kompetisi popularitas. Triknya sekarang harus jadi akun shitpost dulu biar banyak follower dan direcognize sama pasar. Orang berpuas jadi sosok kasar, snob, atau yang angkuh di internet. Sengaja ngetik hal-hal yang mancing rusuh dengan berlindung di balik ‘opini’ atau ‘selera’. To make it worse, selalu ada panggung buat troll-troll internet, seperti baru-baru ini twitter ramai oleh akun-akun ‘@txt’ yang memuat kesinisan dari snob-snob yang cari ribut. Tadinya mungkin akun tersebut dibuat untuk menertawakan mereka, akan tetapi dengan meng-share kenegatifan itu, orang-orang jadi melihat mereka sebagai platform buat terkenal, dan justru jadi semakin nafsu mengada-ada tweet yang memancing. Seperti akun-akun itulah, action-comedy garapan Jason Lei Howden ini jatoh pada akhirnya.
Guns Akimbo berpijak pada misi yang mulia. Film ini ingin memperlihatkan kepada kita bahwa internet bukanlah tempat tanpa konsekuensi. Kekerasan yang kau pancing dan keributan yang kau tonton dengan menggelinjang sebagai hasil pancingannya, sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan jika terjadi langsung kepadamu. Tokoh utama film ini adalah Miles, seorang programer game yang menghabiskan harinya berselancar bolak-balik sosial media, menuliskan komen-komen kasar, ngetroll, ngajak ribut orang-orang di internet, acting like hero; putting people in their place. Kemudian suatu kejadian menjadi seperti pelajaran bagi dirinya. Miles sang keyboard warrior, menembakkan kata-kata dari komputernya, kini harus merasakan bagaimana rasanya punya tangan yang bisa menembak peluru beneran yang membunuh lawan bicaranya. Ya, premis film ini sangat unik; seorang pria dengan pistol dipatri ke kedua telapak tangannya.

kencing aja jadi perbuatan berbahaya jika tanganmu adalah pistol.

 
Humor yang timbul dari situasi tersebut cukup fresh, meski memang receh. Miles kesusahan buka pintu. Angkat handphone. Makan. Pakai celana. Dia gak bisa ngapa-ngapain. Berusaha terlalu keras bisa-bisa pelatuk di tangannya kepencet dan zinnngg, seseorang terluka, atau malah dirinya sendiri nanti yang kena. Semenjak jadi ‘the boy who lived’ Daniel Radcliffe seperti mendedikasikan diriya untuk hidup memerankan berbagai variasi karakter. Dia pernah jadi mayat, jadi iblis bertanduk, dan kini dia harus memerankan seorang cupu yang dipaksa untuk berbuat kekerasan sebagaimana ‘kekerasan’ yang biasa ia lakukan dengan sengaja di internet. Daniel bermain sebagai Miles yang tadinya menghibur diri dengan melihat orang ‘terluka’ berubah menjadi hiburan bagi orang-orang yang menonton dirinya mempertaruhkan nyawa.
Yang membuat tangan Miles menjadi seperti itu adalah produser sebuah underground platform di internet. Mereka bikin show yang disebut Skizm. Basically adalah reality show bunuh-bunuhan, peserta yang kebanyakan adalah kriminal disuruh saling membunuh untuk hadiah tertentu, dan segala kejadiannya disiarkan lewat internet ke seluruh dunia. Komen Miles menyinggung Skizm, sehingga mereka memaksa Miles untuk ikut bermain. Lawan Miles adalah seorang cewek pembunuh nomor satu bernama Nix. Sepanjang film kita akan melihat Miles dikejar-kejar oleh Nix yang bermaksud menuntaskan misi terakhirnya ini demi kebebasan. Keadaan semakin pelik bagi Miles, sebab dalam usaha menggebah Miles untuk balik melawan dan mendatangkan viewers berkali-kali lipat, Skizm menculik mantan pacar Miles dan menjadikannya sebagai ‘pemicu motivasi’

Sebagai manusia yang berbudi pekerti, mestinya kita tidak butuh film ini untuk mengingatkan kita dan berhenti menjadi asshole di internet. Stop gagahan mengumbar kesinisan dan trolling, karena kita sendiri tahu persis kita tidak akan sanggup mengatakan ataupun melakukan perbuatan yang kita tulis di internet. Menembakkan kata-kata di keyboard jauh lebih gampang dibandingkan menarik pelatuk pistol yang tertempel di tangan, karena kita tidak punya selimut perlindungan di dunia nyata. Kita tidak punya ekstra, tidak bisa begitu saja mengharapkan kesempatan kedua. Tidak ada gunanya sok-sok berekspresi jika itu bukan diri kita yang sebenarnya.

 
Ada sesuatu yang gak klik dalam pengembangan premis tadi. Kenapa Miles justru dapat pelajaran dari Skizm yang nyari profit dengan ngebroadcast kekerasan. Kenapa Miles disadarkan dengan disuruh untuk melakukan kekerasan beneran. Benarkah ini ironi yang diincar? Kekerasan yang kita gemari gak fun jika dilakukan langsung. Rambo, kata Miles, bakal jadi orang tuli kalo ia hidup di dunia nyata oleh nyaringnya senjata api yang selalu ia tembakkan. Namun pada akhirnya, toh film ini tetap menjelma – memperlihatkan kekerasan itu dengan menyenangkan. Miles akhirnya bisa melakukan kekerasan beneran, dia malah jadi jagoan dan mendapat pujian internet karenanya. Dengan melatarinya pakai musik-musik asik yang dicover ke genre populer kekinian. Dengan sound ala video game seolah yang kita saksikan, membuat yang dialami oleh Miles adalah permainan. Misalnya pada adegan Miles pakai obat asma atau ketika Nix nge-snort bubuk putih, soundnya kayak musik ‘dapet-nyawa’ pada video game.
Malah, film ini tampak berusaha keras supaya jadi seperti sekocak dan seabsurd Scott Pilgrim vs. The World (2010), hanya saja selera humor yang ditampilkan enggak senada, bahkan menghalangi pesan yang ingin disampaikan. Guns Akimbo adalah sajian bertempo cepat diisi sebagian besar oleh perkelahian, tembak-tembakan, muncratan darah, kejar-kejaran. Ketika kita selesai menonton ini, dan disuruh mendeskripsikan, hal yang kita ingat – hal yang kita pikirkan ketika menyebut nilai plus film ini adalah sajian aksi dan violence-nya yang menghibur. Kekonyolan situasi Harry Potter yang berlarian keliling kota bersepatu kaki beruang dan tanpa celana. Justru inilah ironi yang dihasilkan oleh film ini; di satu titik kita akhirnya menjadi penonton show Skizm yang disindir oleh film ini. Dan si film ini, menjadi worst part of Miles dan Skizm itu sendiri, yang mempertontonkan kekerasan demi menjual sensasi.
Yang paling menghibur buatku di film ini adalah melihat Nix. Kalian-kalian yang pernah membanding-bandingkan Samara Weaving dengan Margot Robbie, atau mungkin pernah penasaran seperti apa kalo Samara Weaving yang kepilih jadi Harley Quinn; well, you’d get the answer. Nix beneran kayak Harley Quinn versi lebih sadis dan less-kekanakan. Dan less-drama juga. Aku yang udah cinta ama Weaving sejak Ready or Not kemaren (makanya dapat Most Amazing Lips alias Unyu op the Year di My Dirt Sheet Awards) gak bisa lebih menggelinjang lagi melihat ke-badass-an Nix. Di sini taringnya di-silverin, sehingga pada beberapa shot dia persis vampir. Dia legit kayak maniak, bahkan ketika Miles kerap meloloskan diri darinya, kita tidak merasa ganjil melihat tokoh yang harusnya paling jago membunuh malah kesusahan berurusan dengan nerd. Kita masih melihatnya sebagai terlalu underestimate. Tokoh ini sempat diberikan momen emosional yang manusiawi, dan Weaving kills it too.

Aduh bibirnyaa… seperti kata-kata youtuber Duel Links favorit semua pemain: “Lethal!!”

 
Relasi Miles dengan tak pelak gampang tertebak, tapi bukan itu masalahnya. Melainkan ada elemen dari interaksi mereka yang dipaksakan alias kecil kemungkinan dapat terjadi dalam dunia cerita. Dan membahas ini akan membawa kita ke semacam plothole. Cerita dengan elemen show yang ditonton pengguna internet di seluruh dunia (misalnya pada film Nerve tahun 2016 lalu) sangat rentan berlubang karena film harus menetapkan setiap kegiatan tokoh terbroadcast ke publik, tanpa ketahuan oleh polisi. Guns Akimbo cukup rapi dalam memberi ‘alasan’ soal kenapa polisi gak bisa menangkap mereka padahal acara Skizm disiarkan pake sejumlah drone. Namun masalah sebenarnya ada pada sejumlah drone itu tadi. Jika Skizm punya banyak drone siaran, dan memfokuskan merekam Miles terus-menerus karena dia yang dikejar Nix adalah atraksi utama, kenapa masih ada waktu-waktu Miles bisa bergerak tanpa ketahuan oleh Skizm. Pembangunan dunia film ini terpaksa harus melemah demi memungkinkan berbagai hal, in favor of tokoh utama. Akibatnya jadi menimbulkan pertanyaan yang jawabannya tidak memuaskan. Perihal Skizm dan dalang alias produsernya juga tidak banyak digali selain karena menurut si tokoh kejahatan/pembunuhan adalah seni.
 
 
 
 
Aku bukannya mau menyebut film ini labil, tapi… gagasan yang ia sampaikan bener-bener campur aduk sehingga yang nonton film ini bakal bingung sendiri (ditambah pula oleh kamera yang hobi berguling). Jika ini adalah cerita peringatan untuk troll internet dan orang-orang yang suka-dan-bangga cari ribut, maka sangatlah aneh filmnya justru membuat orang yang bersikap demikian menjadi pemenang. Film tampaknya memang menyukai kekerasan karena ia mempertontonkannya sebagai sajian utama. Seru, cepat, penuh fantasi. Tentu, hal-hal ini bakal mudah mendapat penggemar. Kita bisa duduk nyantai nikmatin aksi komedinya. Tapi itu hanya akan membuat kita berada di level tokoh di dunianya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNS AKIMBO.

 
 
 
That’s all we have for now.
Orang berantem, si kaya ngebully si miskin, sikap intoleran agama, pejabat yang blunder, kenapa kita suka menyebar/membagi hal-hal seperti itu di internet?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2 Review

“Better the devil you know than the devil you don’t”
 

 
 

Manusia lebih baik daripada iblis. Sejak iblis yang diciptakan dari api terang-terangan menolak memberikan penghormatan kepada manusia yang tercipta dari tanah, iblis diturunkan derajatnya. Dan mereka pun mengamini penurunan tersebut dengan bersumpah untuk terus sekuat tenaga menyesatkan anak manusia sehingga berada di dasar neraka bersama mereka. Alfie dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018) menambah skor bagi manusia, dia berhasil mengalahkan iblis. Bersama adik tirinya, wanita ini lolos dari peristiwa maut yang mengubah kehidupan mereka. Dua tahun kemudian, kini di Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2, Alfie masih dihantui bisikan dan bayangan. Dia dan adiknya, Nara, lantas kembali dipaksa terlibat dalam masalah mengerikan yang berakar pada persoalan iblis menjebak manusia untuk melakukan perjanjian terkutuk. Hanya saja kali ini, angka skor tadi tidak lagi menjadi soal.

Karena, demi horor Alfie dan kita semua, keunggulan manusia terhadap iblis ternyata juga bisa berarti manusia yang menghamba pada iblis mampu menjadi iblis yang bahkan jauh lebih iblis daripada iblis itu sendiri.

 

tak ada yang waras di kota ini

 
Sutradara dan penulis naskah Timo Tjahjanto kembali mengajak kita bersenang-senang dengan horor sadis ala Evil Dead. Yakni horor dengan tone yang over-the-top, berisi makhluk-makhluk peranakan teror praktikal dan permainan teknis, dan ditaburi selera humor edan. Penggemar horor akan bersorak melihat adegan ala Alien lahirnya pria dewasa dari dalam tubuh seorang wanita. Reaksi terhadap berbagai trik horor dan jumpscare film ini jelas akan beragam. Misalnya adegan tangan setan yang ngasih jari tengah ke Alfie; ini bisa jadi adegan kocak bagi penonton yang gemar horor-horor ala B-horor 90-an. Dan di sisi lain, bagi beberapa penonton yang lain (sebagian besar sepertinya), adegan itu bakal jadi exactly just what it is; sebuah jari tengah yang diacungkan tepat ke depan muka semua orang yang mengharapkan peningkatan dari film yang pertama.
Filmografinya padahal sudah berbicara. Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2 actually merupakan sekuel pertama bagi Timo. Sebelum ini, dia dikenal dengan cerita-cerita orisinil. Gaya horor sadisnya bisa diaplikasikan ke cerita apapun, dan terbukti cukup menjual, sehingga sekuel Ayat 2 ini terasa dipaksakan dan justru membatasi. Karena cerita Alfie sudah tuntas di akhir film pertama, transformasi karakternya sudah sempurna. Akan lebih baik bagi Timo untuk menjual cerita pada film kedua ini sebagai cerita baru atau murni judul baru saja lantaran menarik Alfie kembali terasa sangat dipaksakan.
Ini semua kelihatan dari babak set up yang sangat lemah begitu mereka mulai memperlihatkan Alfie kepada kita. Ketika prolog dua cewek di rumah, yang ada keren netes terus dimatikan, tapi masih ada bunyi tetesan dan itu adalah bunyi darah yang menitik ke lantai, film terasa sangat menarik. Kita dihadapkan pada misteri baru, orang-orang baru, percakapan mereka did a good job membangun sosok Ayub dan kejadian mengerikan kehidupan mereka lima-belas-tahun lalu. Aku genuinely langsung penasaran. Apa sebenarnya yang menyerang si Gadis. Apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Relasi antargrup mereka juga disinyalir punya konflik. Tapi kemudian, kita dibawa menemui Alfie dan satu jumpscare berikutnya, kedua kubu ini  – orang-orang di prolog dan Alfie – berada di bangunan bekas panti. Film menyediakan sedikit sekali alasan logis yang menghubungkan Alfie dengan geng Gadis dan masalah mereka. Hanya sebatas karena Alfie pernah lolos dari iblis, dan sekarang anak-anak muda ini ingin minta tolong padanya karena nyawa mereka sedang diincar oleh sesosok iblis. Alfie seperti dipaksakan masuk; ini ironis karena cara film membuat Alfie ada di sana adalah dengan membuat geng Gadis menyatroni kediaman Alfie dan Nara, lengkap dengan topeng perampok, melumpuhkan Alfie, membawanya paksa – menyekapnya dalam bagasi mobil. Mereka minta tolong dengan literally menculik si calon penolong. Dan setelah teriak-teriak tanpa benar-benar menolak, Alfie mau saja menolong dan membaca mantra yang melepas semua petaka. Set up yang sungguh kentara dipaksakan supaya cepat, dan Alfie bisa ada di sana gitu aja. Padahal dia tidak punya hubungan ataupun masalah personal dengan salah satu dari Gadis dan teman-teman pantinya. Alfie tidak punya motivasi di plot ini. Dia hanya terpaksa karena iblis pervert musuh ‘klien’nya mengincar Nara (antagonisnya aja gak ada konflik-langsung dengan Alfie), dan satu-satunya yang menahan Alfie dan Nara gak cabut dari situ adalah mobil yang mogok.
Sure, masih ada transformasi yang dialami oleh Alfie. Di awal cerita dia adalah tough street-wise lady yang membakar kakak tirinya sendiri dan di akhir dia belajar bahwa dia adalah orang yang tidak punya kendali atas nyawanya sendiri. Dia adalah personifikasi dari manusia lebih baik ketimbang iblis sekaligus lebih buruk. Dihitung dari film pertama, seharusnya dia orang yang double bad-ass…(es?). Namun Alfie dimainkan dengan cara yang ‘lucu’ oleh Chelsea Islan. I mean, ada alasannya kenapa dulu aku memplesetkan namanya jadi Cheesy Island, tapi kemudian dia menunjukkan peningkatan akting yang signifikan. Di Sebelum Iblis Menjemput, Chelsea jelas bukan bahan tertawaan, perannya menggenjot fisik dan emosi, and she was delivered. Di film kedua ini, sayangnya, dia kembali menjadi Cheesy. Akting takutnya lebay. Bicaranya sebagian besar teriak-teriak hampa. Hampir seperti dirinya enggak nyaman dituntut seekspresif itu.
dan dia harus berpose metal untuk mengeluarkan kekuatan barunya

 
Cerita film ini masih akan bisa bekerja tanpa harus ada Alfie di sana. Sekelompok alumni panti yang ditarik kembali oleh iblis masa lalu mereka. Yang udah nonton, coba bayangkan kalo plot Alfie di film ini dijadikan plot si Budi, atau Gadis…. it could still work dan made more sense, kan. Ini adalah soal menggunakan iblis balik mengalahkan iblis; soal menemukan loophole di lingkaran setan. Film menggunakan Stockholm Syndrome lebih dalam dari lapisan luar narasi untuk memparalelkan hubungan manusia dengan iblis. Selain Alfie, sesungguhnya tokoh-tokoh baru yang berkenaan langsung dengan masalah dalam film ini gak ada yang punya karakter yang kuat. Mereka dangkal, dan klise. Si jutek, si misterius, si baik, mereka enggak punya background pribadi. Mereka hanya anak panti. Kenyataannya, mereka ini cuma penambah itungan kemenangan iblis atas manusia – mereka cuma jumlah korban. Bayangkan anak-anak Losers Club ketemu Pennywise, hanya kali ini mereka enggak berjuang — nah, begitulah tokoh-tokoh baru di film ini.
Banyaknya ‘korban’ enggak lantas berarti film ini punya adegan sadis/horor yang menyenangkan. Tidak, jika tokoh-tokoh ini sebagian besar hanya teriak-teriak, entah itu berargumen, atau nyari teman yang hilang (teriak padahal masing-masing pegang hatong), atau ketakutan. Dan lebih tidak lagi, saat adegan sadis/horornya monoton alias itu-itu melulu. Ada banyak sekali adegan setan seram di ujung (lorong/bawahtangga/seberang ruangan) dan kemudian si setan ini maju ke depan, mendekat dengan kecepatan edan sampai muka seramnya mau nabrak kamera. Manusia di film ini kesurupan iblis, dan tampaknya si iblis itu kesurupan Sonic!
 
 
 
 
Berakhir dengan cukup menarik sebenarnya, mungkin mereka mengincar trilogi. Dan jika iya, kita bisa mengharapkan arahan yang sangat berbeda pada film terakhir nanti dilihat dari elemen baru yang ditambahkan film ini sebagai resolusi cerita. Maka itu, aku ingin memberikan saran untuk ngetone-down Alfie sedikit, karena di film ini dia menjadi begitu over-the-top. Kita jadi menertawakan apapun yang ia lakukan. Semakin seram situasinya, semakin ngakak ngeliat Alfie. Mereka juga perlu come up with much better story buat Alfie, yang konfliknya benar-benar personal dan berhubungan langsung secara natural dan gak bersifat kebetulan dengan dirinya. Selain beberapa hiburan, jika dibandingkan dengan film pertamanya, sekuel ini mengalami kemunduran. Ceritanya lemah, horornya kalah seru, karakternya kalah menarik.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for SEBELUM IBLIS MENJEMPUT: AYAT 2

 
 
 
That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah setan itu merujuk pada identitas, atau sesuatu yang kita lakukan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

BRAHMS: THE BOY II Review

“Traumatic experience early in life marks a person forever”
 

 
 
Mengalami langsung atau menyaksikan seseorang yang dicintai mengalami peristiwa menyakitkan secara fisik maupun emosional dapat mendatangkan trauma kepada siapa saja. Dan setiap kita bakal mengembangkan mekanisme yang berbeda-beda sebagai pertahanan atau perjuangan mengatasi trauma tersebut. Dalam Brahms: The Boy II kita melihat ibu dan anak laki-lakinya diserang di kediaman mereka sendiri oleh perampok. Sang ibu dipukul telak di kepalanya hingga tak sadarkan diri saat berusaha melawan. Si anak menyaksikan itu semua. Ketakutan. Tak berdaya.
Kemudian kita mengenal mereka berdua sebagai penyintas. Namun tidak tanpa ‘luka’ yang mendalam. Liza (Katie Holmes memimpin cerita dengan teror jasmani dan rohani pada dirinya) menjadi takut keluar rumah dan kerap dihantui mimpi/halusinasi diserang oleh rampok bertopeng ski. Anaknya, Jude (Christopher Convery diharuskan bermain dengan ekspresi terselubung sebagai bumbu misteri) jauh lebih ‘parah’. Anak ini completely shut himself down. Jude tidak lagi berbicara, ia berkomunikasi lewat tulisan dan gambar pada buku kosong yang selalu ia bawa. Liza dan Jude dibawa oleh ayah ke rumah terpencil, yang ternyata adalah bagian dari rumah cerita The Boy pertama (2016). Jude menemukan boneka antik yang terkubur di pekarangan (alias hutan di halaman belakang). Jude dan boneka yang bernama Brahms itu seketika menjadi teman. Liza dan suaminya pada awalnya senang-senang saja, Brahms disangka bisa menjadi langkah kesembuhan Jude. Namun ketika hal aneh mulai terjadi, Liza mulai gak yakin. Apakah Jude terlalu memproyeksikan dirinya kepada Brahms; menjadikan boneka tanpa ekspresi itu kambing hitam atas perbuatannya, atau memang Brahms beneran jahat dan mengendalikan semua tingkah Jude, termasuk membuat rencana membunuh semua orang.

Idih udah gede masih main boneka

 
The Boy pertama memberikan kita pengalaman horor yang unik. Bagian terbaik dari film itu adalah momen-momen tokoh utama yang dibayar untuk mengasuh boneka mulai merasa boneka tersebut hidup. Bunyi-bunyian, barang-barang yang berpindah tempat. Film bahkan tidak memperlihatkan boneka Brahms itu bergerak supaya kita juga penasaran dan merasakan ketakutan dan keraguan tokoh utama. Aku jauh lebih suka bagian awal film itu dibandingkan bagian akhirnya saat Brahms yang asli diungkap masih hidup dan tinggal di balik tembok rumah, bertahun-tahun sembunyi di sana. Tindakannyalah yang membuat seolah boneka tadi bergerak. Ya, jauh sebelum Parasite (2019) memang sudah banyak thriller ataupun horor yang menggunakan trope ‘orang-di-dalam-dinding’, karena berkat pengungkapan ini The Boy menjadi berkurang originalitasnya meskipun masih tetap Pengungkapan film ini, meskipun tidak original, tetap memberikan kejutan dan menjungkirbalikkan seluruh tone cerita.
Sekuelnya ini, persis seperti demikian. Kerja paling baiknya sesungguhnya adalah jika semua kejadian dibiarkan tetap sebagai teror dari kondisi psikologis. Baik itu dari Liza yang masih trauma sama ‘benda asing’ yang masuk ke rumah mereka sehingga dia melihat Brahms sebagai ancaman, ataupun memang tekanan trauma mengubah Jude; menimbulkan tanda-tanda perbuatan kekerasan sebagai channel keluar dan dia berlindung di balik bonekanya. Ada dua keadaan psikologis yang mencerminkan trauma yang bekerja berbeda pada dua orang tokoh. Film harusnya mengeksplorasi ini sebagai fokus karena membuat cerita lebih menarik dan intens. Aku duduk nonton ini setengah memohon bahwa gerak-gerak Brahms itu cuma ada di dalam kepala Liza, bahwa suara-suara yang didengar Jude cuma suara di kepalanya sebagai akibat dari trauma. Aku suka ide dan konsep The Boy adalah horor dengan boneka sebagai pusat semesta tanpa si boneka benar-benar melakukan apa-apa; bahwa sebenarnya ini adalah cerita trauma manusia.

Pengalaman traumatis akan mengubah kita selamanya jika terjadi pada usia muda. Karena pada usia tersebut, khususnya pada anak-anak, mental dan otak dan personality masih dalam tahap perkembangan. Efek trauma akan membekas sampai dewasa. Dalam film ini kita melihat Jude yang tadinya ceria dan gemar ngeprank menjadi sebisu boneka. Jude lama kelamaan menjadi seperti mirip Brahms, eventually seperti menyatu dengan Brahms. Di situlah horor sebenarnya. Wajar bagi anak yang sudah mengalami hal yang dialami Jude berubah menjadi punya tendensi pembunuh. Mereka perlu konseling dan penanganan secepatnya. Seserius mungkin.

 
Hanya saja tidak seperti film pertama yang masih memberikan kita momen-momen ambigu dan seolah membagi dua genre cerita dengan pengungkapan tadi, Brahms: The Boy II ini sedari awal sudah berniat untuk benar-benar menjadikan boneka Brahms sebagai makhluk supernatural. And this is why the movie sucks. Dia tidak lagi unik. Film ini hadir sebagai cerita boneka hantu standar, dengan trope anak kecil creepy yang berteman dengannya, dan orangtua yang gak percaya hingga semuanya sudah terlambat. Biasa banget. Cerita buku Goosebumps aja banyak yang kayak gini, bonekanya bisa diganti apapun yang bisa dirasuki makhluk halus. Akibatnya, Brahms malah jadi tak-ada ubahnya dengan Annabelle versi cowok. Boneka yang dimasuki roh. Dan hey, sudah ada Chucky sebelumnya, terlebih Chucky lebih ekspresif dan actually do something dengan segala kesadisan, jokes, dan kevulgaran (aku di sini bicara Chucky original bukan remake). Brahms hanya duduk di sana, gerak kepala dikit; gerakan kecil ini tak lagi berarti karena film sudah menetapkan dia beneran bisa ‘hidup’.

Aku menunggu Brahms menghardik Liza “fuck off, bitch!” tapi kemudian aku sadar ini bukan film Chucky.

 
Segala trauma tadi tak lagi jadi soal karena sekarang kita hanya menunggu si boneka melakukan aksi. Permasalahan kejiwaan Jude dan Liza tak lagi menggigit karena konfliknya sudah beralih ke misteri sosok Brahms. Malahan, Jude dibikin gak bicara hanya tampak sebagai alasan supaya film ini bisa punya tokoh yang berkomunikasi lewat tulisan – hanya sebagai gimmick untuk horornya. Gimmick yang juga tak benar-benar unik. Film ini juga mengulangi satu kesalahan di film pertama, yakni menggunakan banyak adegan mimpi. Adegan mimpi di sini justru menjadi semakin menjengkelkan karena kalo memang si Brahmsnya udah ditetapkan sebagai hantu, kenapa gak langsung saja si Liza ditakutin beneran. Kenapa film di bagian ini film masih berpura-pura Brahmsnya gak beneran hidup. You know what, jawabannya mungkin adalah kuota jumpscare. Horor sekarang di mata produser dan pembuat kayaknya bagai sayur tanpa garam jika tidak dibumbui dengan banyak jumpscare. Setiap horor harus ada jumpscare, betapapun maksa, fake, dan pointless-nya. Bahkan mungkin bagi mereka semakin pointless, semakin bagus, kayak di adegan mimpi. Film Brahms ini ada banyak jumpscare mulai dari hantu, mimpi, halusinasi, hewan, hingga prank bocah.
 
 
Build up dan gambar bagus dan set menawan itu jadi mubazir karena film tidak lagi unik dan horornya hanya bergantung jumpscare. Film ini mengacuhkan filmnya yang pertama, completely salah mengenali apa-apa yang dinikmati penonton. Keunikan boneka biasa yang dianggap berhantulah yang membuat cerita film itu menarik. Namun kali ini semua itu dibuang begitu saja. Film menjelma menjadi horor boneka-hantu standar, yang tak punya jati diri, selain kayak tiruan dari gabungan Annabelle dan Chucky alias Child’s Play. Yang paling aku ngakak adalah sekuen Liza membaca artikel-artikel tentang Brahms di internet, dan kita melihat foto-foto hitam putih Brahms ada dari zaman dulu dan kelihatan gambarnya kayak tempelan yang kasar ke foto tersebut haha.. Tapi hey, mungkin memang inilah yang disasar oleh pembuatnya. Mungkin The Boy memang hanya dijadikan tiruan, boneka mainan – so to speak, dari trope horor yang sudah ada; trope horor orang di balik dinding, dan di film ini ya trope boneka hantu.
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRAHMS: THE BOY II

 
 
 
That’s all we have for now.
Apa kalian punya pengalaman menakutkan tentang boneka? Aku yakin itu bakalan lebih seram daripada film ini
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

UNCUT GEMS Review

“Pressure can make a diamond”
 

 
Uncut Gems benar-benar sesuai dengan judulnya, ia persis sama dengan permata yang belum dipotong, yang masih berupa bongkah batuan. Segar tapi kasar. Keras. Gak cakep, kecuali dilihat pakai lup atau di bawah mikroskop. Seni menakjubkan yang tercipta dari proses yang melibatkan suhu dan tekanan.
Cerita dengan karakter yang merusak diri sendiri, yang gegabah mengambil keputusan-keputusan salah sehingga justru memparah keadaan, dengan stake yang luar biasa berbahaya, sepertinya sudah jadi cap-dagang sutradara bersaudara Benny dan Josh Safdie. Dalam Uncut Gems mereka mengisahkan Howard Ratner, seorang bisnisman di New York. Dan ‘bisnisman’ di sini berarti dia adalah seorang pengusaha bisnis permata sekaligus pria yang gemar bertaruh.  Sebegitunya sehingga beberapa momen setelah ‘berkenalan’ dengannya kita tahu Howard sedang berkubang dalam hutang kepada somekind of a mafia. Howard berusaha membayar hutangnya dengan bertaruh lagi, dengan resiko hutangnya nambah. Terus saja gali lubang tutup lubang. Di tangannya ada bongkahan mentah Black Opal, permata yang ia tahu bernilai tinggi karena kesukaran mendapatkannya. Opal itulah yang kini digunakan Howard untuk pertaruhan besar yang ia harap dapat membayar semua hutang-hutang berikut bunganya. Namun peruntungan Howard tak kunjung membaik. Kini bahaya semakin besar. Bukan saja bangkrut dan kehilangan Opalnya yang berharga, situasi hutang dan taruhan Howard juga mengancam keselamatan keluarga, gundik, dan dirinya sendiri.

Azab Penjual Batu Akik Tukang Judi

 
Safdie Bersaudara mempersembahkan studi karakter yang menghipnotis lewat paduan nyentrik antara kerja kamera, permainan visual dan lantunan musik. Sebegitu kuatnya sehingga mau tak mau kita tetap berpegang pada tokoh Howard yang sama sekali bukan teladan melainkan sangat self-destructive ini. Tentu saja kita tidak bisa memisahkan persoalan ini dari si pemeran Howard itu sendiri. Mr. Adam Sandler. Maaan, yea, aku jadi respek pada aktor yang biasanya ngereceh di film-film konyol ini sehingga merasa aku perlu ngasih titel ‘mister’ dalam penyebutan namanya. Dia masih insufferable karena karakter Howard ini begitu meledak-ledak, tapi karismanya membuat kita masih menyisakan ruang untuk simpati. Sandler memerankan Howard sebagai pribadi yang jarang mingkem, gak bisa diam, selalu bergerak ke sana kemari, selalu ngomong. Heck, sebenarnya Howard ini akan sering berteriak-teriak. Semua tokoh film akan teriak-teriak.
MEREKA AKAN BERARGUMEN DI TOKO! HOWARD MENAWARKAN PERMATA UNTUK DITUKAR TAMBAH! ADA TOKOH YANG MINTA SEWA OPAL! ADA PEGAWAI TOKO YANG KESUSAHAN MEMBUKA PINTU BERALARM BUZZER! PEGAWAI SATU LAGI NERIAKIN ADA MAFIA DI PINTU DEPAN!! MAFIANYA TERIAK NAGIH UTANG! HOWARD MENERIAKKAN PENANGGUHAN BAYARAN DAN MENJANJIKAN BUNGA LEBIH!!! Kalian yang merasa gak nyaman dengan capslock semua kayak gitu, niscaya akan sangat kesel ngikutin dialog film ini. Semuanya diletuskan keluar, semuanya pakai tanda seru!! Ribut, KACAU BELIAU!!
Aku awalnya enggak suka sama gaya film ini. Sure, di dunia nyata orang memang wajar bisa sepanik dan seheboh itu kalo ada masalah, bakal sengotot itu kalo berargumen, mengeraskan suara supaya didengar. Namun buatku yang introvert, itu terlalu berisik. Rasanya kacau sekali. Aku akan keluar ruangan kalo sekitarku mulai bising. Cabut ke tempat yang lebih tenang. Nonton film ini, aku juga pengen banget melengos. Mengasingkan diri ke game Duel Links or something. Terlebih, si Howard ini ‘penyakit’nya parah banget. Susah untuk peduli sama penjudi kayak dia. Yang udah dapat uang bukannya segera lunasin hutang malah berjudi lagi. Yang sampe rela nipu; ada adegan di pelelangan yang dia sengaja nyuruh temannya terus menaikkan harga Opal karena dia tahu ada pelanggan yang udah begitu tertarik sama Opalnya. Howard terus saja mengambil keputusan berbahaya yang membuat kita ingin meneriakinya bersama-sama. Dia yang seharusnya adalah seorang ayah malah mempertaruhkan keselamatan keluarganya. Namun diam-diam film berhasil menyokolkan kuku-kukunya kepada kita. Mencengkeram kuat-kuat. Ada perasaan ingin melihat Howard akhirnya berhasil setelah semua kegagalan dan things go wrong itu. Terutama di pertaruhan besar pada babak ketiga itu. Aku merasa kita exactly seperti tiga mafia yang dikurung oleh Howard; duduk di lantai memandangnya dengan kesal dan benci tapi di dalam hati mendukung dia untuk berhasil – menginginkan dia untuk, sekali ini saja, berhasil. Film begitu handalnya nge-skill perasaan kita sebab pada ending bakal ada suatu peristiwa yang akan membuat kita yang sudah merasa sepenuhnya di belakang Howard menjadi tertegun. Aku harap aku enggak merusak apapun buat pembaca ulasan yang belum nonton filmnya dengan mengatakan soal ending, soalnya Uncut Gems ini adalah tipe film yang harus ditonton sendiri tanpa tahu apa yang harus ditunggu saat menontonnya.
Segala hingar bingar berlangsung mengisi narasi yang juga berjalan dengan amat cepat. Ingin rasanya menghentikan layar sesaat buat menikmati visual, dan mengambil nafas. Namun film tidak meminta kita untuk beristirahat, kita harus menghormati permintannya. Sebab kekacauan, ke-frantic-an yang digambar oleh film sebenarnya demi memparalelkan – menunjukkan- bahwa Howard juga sedang ditempa oleh tekanan dan stress. Sama seperti batuan yang ia dewakan untuk dilelang. Adegan pembuka dan penutup yang artsy film ini literally menyamakan Howard dengan batu permata. Kita dibawa melihat menembus ke dalam batuan, melihat urat-urat permata secara mikroskopis, begitu dekat, kemudian beralih begitu saja ke isi dalam tubuh Howard. Yang disugestikan adalah dua benda ini telah ditempa dengan tekanan, melewati berbagai stress, ‘suhu yang panas’, sehingga meskipun dari luar tampak seperti bongkahan tak penting, tetapi ada yang berharga di dalamnya. Sebuah seni, kalo boleh dibilang. Howard memberikan hidupnya sebuah keindahan,
yang memang begitu personal sehingga hanya dia dan beberapa orang yang juga hidup penuh stress bisa mengerti.

 

Hidup ini keras. Setiap aksi selalu ada konsekuensi, dan dibayangi oleh resiko. Howard menikmati menempuh resiko-resiko. Ia bahkan seperti lebih menikmati resikonya ketimbang reward besar di balik resiko tersebut. Shot terakhir Howard memberitahu kita keindahan yang ia alami di dalam benaknya. He’s winning in life, big-time, dengan cara secantik permata Opal. Howard adalah gambaran miring seorang pencari nafkah yang percaya bahwa perjuangan dan resiko itu harusnya dinikmati. Ya, sampai mati.

 
Film ini bukanlah peringatan bahayanya judi, kau enggak boleh candu bertaruh karena itu merugikan bagimu. Uncut Gems meletakkan kita tepat di belakang Howard, supaya kita merasakan hidup ‘kacau’ orang ini. Kita, yang hidupnya biasa-biasa aja. Kita yang tentu saja lebih memilih secure secara finansial. Kita, yang mungkin merasa terlalu sial untuk mengadu nasib. Kita-kita ini disuruh oleh Uncut Gems, “hey coba deh jalani hari seperti Howard, lihat dulu, mungkin kalian suka”. Film enggak lupa untuk menetapkan kepada kita bahwa bahayanya memang sangat tinggi, hidup akan hancur jika gagal. Tapi rasa puasnya sungguh luar biasa. Film ingin kita mencicipi sedikit ini. Sukur-sukur kita enggak ikut kecanduan setelah merasakannya.
 
 
 
Lancang sekali memang film ini, membawa perasaan kita naik turun mencemaskan penjudi, bersorak bersamanya, sekaligus merasa kesal sama ulahnya. Bukan tokohnya yang mengalami perubahan, melainkan kita yang nonton. Howard tetap kecanduan judi dari awal hingga akhir. Reaksi kita terhadapnya yang berubah. Film ini memang sedikit menyentil persoalan kepercayaan kita terhadap suatu hal – hal spiritual dalam meyakini sesuatu, bahkan jika itu adalah kemenangan yang tak pasti -sebab di sini tokohnya disebutkan mulai dari Yahudi hingga menjadikan Opal sebagai jimat keberuntungan. Bicara soal kepercayaan, toh duo sutradara bersaudara film ini memang nekat mempercayakan peran-peran kepada yang enggak terbiasa dalam film. Adam Sandler didukung oleh pemain basket, komedian, musisi, dan pemain-pemain baru. Namun hasilnya benar-benar terbayar keren. Ini adalah film yang unik, endingnya devastating, dan ini adalah film yang really loud. jika kalian suka lihat orang ngobrol teriak-teriak kalian akan lebih menyukai film ini daripada aku.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for UNCUT GEMS.

 
 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian berjudi? Apa hal paling berharga yang pernah kalian pertaruhkan dalam hidup? Menurut kalian kenapa sih orang bisa sampai kecanduan berjudi – apakah memang menang besar begitu penting?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.