ODDITY Review

 

“The only true voyage of discovery would be not to visit strange lands, but to possess other eyes”

 

 

Kau sendirian malam itu di rumah barumu yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampunya bahkan belum terpasang semua. Kesunyian membuat tiupan angin dan derit-derit rumah terdengar mengancam. Sudut-sudut gelap mengundang pikiran macam-macam. Mendadak, pintu depan diketuk dengan lantang. Seorang pria asing berdiri di luar sana, bersikeras supaya kau segera membuka pintu, karena dia bilang tadi dia melihat seseorang masuk ke rumahmu. Akankah kau percaya dengan kata-katanya – maukah kau membuka pintu? Tergantung, mungkin pikirmu. Tergantung siapa yang di balik pintu itu. Maka kau membuka slot jendela di pintu untuk melihat siapa di luar sana. Walau asing, tapi kalo penampilannya cukup meyakinkan, mungkin kau akan percaya. Afterall lebih aman berdua daripada sendirian di rumah yang memang udah bikin senewen sedaritadi. Tapi ternyata orang itu pucat, tampak liar dengan rambut gondrong, terdengar edan dengan kata-katanya yang semakin tidak masuk di akal, matanya cacat sebelah pula. Kau semakin terperosok ke lubang dilema yang bisa-bisa berujung kehilangan nyawa. Itulah opening dari Oddity, horor kedua karya Damian Mc Carthy. Dia langsung membenturkan antara ketakutan kita terhadap sesuatu yang tak terlihat, dengan ketakutan kita terhadap hal di depan mata – yang kita kira kita lihat. Suspens cerita ini begitu kerasa. Karakternya gak tahu harus percaya apa. Kita gak tahu harus percaya apa! Akhirnya, Dani – si karakter – memutuskan untuk membuka pintu. Lantas adegan tersebut dicut, kita pindah ke karakter lain, beberapa waktu kemudian.

Nasib Dani jadi misteri yang menghantui karakter-karakter lain yang dia tinggalkan. Namun buat kita, nasib Dani ‘baru’ set up yang melandaskan betapa hebatnya Oddity dalam bercerita horor. Baru teaser for more great storytellings to come. Karena, hal terbaik pada Oddity ini adalah pembuatnya kentara sekali punya passion yang kuat terhadap cerita horor, dan paham bagaimana menceritakan itu, khususnya lewat editing yang cut to cutnya precise sekali dalam membangun misteri kemudian mereveal, tanpa sedikitpun mengurangi suspens yang terus saja dibangun. Momen-momen di Oddity ini vibenya kayak kumpulan cerita-cerita pendek horor klasik yang dikemas menjadi satu cerita-panjang modern. Ada elemen supernatural dari karakter yang literaly punya kekuatan cenayang, ada elemen mitos yang dipadukan dengan horor creature; dari makhluk yang kayak golem kayu, ada elemen psikologikal thriller, home invasion, bahkan rumah-berhantu, serta juga ada elemen misteri whodunit. See, ini bakal jadi exactly my choice untuk ditonton lagi pas merayakan musim halloween nanti!

Paket komplit banget gak tuh!?

 

Dari elemen-elemen itu, yang mau kuhighlight di sini adalah soal rumah-berhantu dan creature Wooden Man-nya. Aku takjub aja sama gimana film menggunakan elemen tersebut, uniknya film ini lebih mudah kita rasakan jika melihatnya dari sana. Dalam horor, rumah berhantu adalah panggung. Set piece yang bakal jadi tempat karakter lari menyelamatkan nyawa, tempat kamera bermanuver membangun atmosfer atau juga membuild up jumpscare dan penampakan lainnya, juga menjadi latar yang menambah identitas dan karakterisasi ceritanya itu sendiri. Makanya biasanya rumah itu jadi ruang tertutup yang ‘mengunci’ karakter, tapi juga biasanya dibuat besar. Supaya ruang gerak galian horornya lebih luwes. Rumah berhantu di Oddity punya interior yang tidak biasa. Rumahnya gede, tapi yang actually digunakan sebagai panggung hanya sebagian kecil. Dan itu bentuknya basically cuma ruangan yang panjang, dengan balkon di atas. Ruangan yang benar-benar diset supaya sudut pandang karakternya cuma lurus, dan they will always have to turn their back untuk melihat porsi ruangan lainnya. Ini ngasih sensasi seram tersendiri. Ditambah pula posisi pintu masuk yang basically di tengah set, sehingga siapapun yang masuk dan keluar pasti ke-notice, dan untuk mencapai pintu berarti mereka mengekspos diri mereka. Membuat diri mereka terlihat.  Kata ‘lihat’ bakal banyak dijumpai, karena merupakan bagian dari tema besar cerita ini.

Jadi yang dilakukan film ini adalah membalikkan fungsi, menggulingkan ekspektasi -mengsubversi apa yang biasanya kita ketahui dari fungsi rumah sebagai panggung. Bukan lagi untuk survival, melainkan supaya karakter stay in the center, supaya terlihat dan melihat, serta memberikan tantangan karakter dalam proses melihat tersebut. Subversi yang sama kita jumpai juga pada elemen creature horornya. Si Wooden Man yang mirip Golem tanah liat dalam mitos; bisa melakukan apapun jika dimasukkan suatu barang personal ke dalamnya. Enggak seperti makhluk horor lain yang biasanya ‘diumpetin’ dulu atau kayak ‘dispesialkan’, Wooden Man ditarok Oddity gitu aja di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah cerita. Duduk, diam, bikin takut karakter yang melihat. Ngasih uneasy feelings yang konstan kepada kita, karena kita bakal ‘ngarep’ untuk menangkap momen dia bergerak di latar itu.  Perasaan semacam itu yang terus diincar oleh film; semacam dramatic irony yang kita ngerasa waspada lebih dahulu daripada karakternya, dan juga semacam ekspektasi untuk melihat horor. Bahkan pada adegan terakhirnya pun, ekspektasi kita terhadap gimana makhluk horor hadir sebagai penutup juga dijungkirkan. Aku kinda berharap bakal ada jumpscare, tapi kalo aku udah keburu nutup mata aku gak bakal lihat nada berbeda film ini menutup cerita horornya. Jadi alih-alih membuat kita siap-siap menutup mata, film ini seolah menantang kita untuk meminta horor itu datang.  Meminta makhluk kayu kayak manusia tadi itu bergerak. Film menantang untuk kita membuka mata. Untuk melihat. There goes that word again.

Melihat. Dengan apa? Dengan mata. Mata apa? Soal mata dan penglihatan jadi tema berulang yang hadir di sepanjang cerita. Pria asing yang matanya cacat sebelah (mata yang rusak ia tutup dengan mata porselen). Kembaran Dani, Darcy, yang buta tapi bisa melihat hal-hal beyond normal dengan mata batin. Suami Dani, Ted, seorang dokter di asylum yang – biasalah tipikal man of science gini – hanya melihat hal-hal logis dan menutup diri kepada hal supernatural. Oddity menempatkan karakter-karakternya ke dalam situasi yang mengharuskan mereka memperlebar pandangan. Cerita sebenarnya berpusat pada Darcy yang ingin menyelidiki kematian kakak kembarnya, maka dia – dengan segala perlengkapan cenayangnya, termasuk si Wooden Man tadi – menginap di rumah baru Dani. Rumah yang kini ditempati Ted bersama pacar barunya. Darcy dan Ted punya pandangan, kepercayaan, dan rahasia masing-masing. Cerita suggest harusnya mereka bukan hanya melihat dari sudut lain, tapi juga dari literally mata yang lain.

Bukan soal sejauh apa kita main, memperluas pemahaman terhadap suatu hal bisa jadi justru adalah soal kemauan kita melihat hal yang dekat tapi kali ini coba dari kacamata yang lain.

 

Best quote “I’m a doctor, Yeah, of course, I can be the villain”

 

Sadisnya film ini, para karakter tersebut tidak didorong untuk berubah, untuk sadar, untuk punya journey – bagi Darcy dan Ted, Oddity ini adalah tragedi naas dan cerita kelam antara karakter yang tidak mau dan yang  tidak bisa membuka pandang mereka. I mean, tega banget film ngasih Darcy adegan ‘terjun’ seperti itu. Mata batin bahkan tidak bisa banyak membantu ataupun jadi jaminan kebenaran. Sama lamurnya sama mata dokter Ted yang pongah; Ted juga sepertinya gak jadi selamat karena mata dunianya terlalu sempit.  Maka itu Oddity ini jadi literally keganjilan juga sebagai sebuah film. Oddity gak mau ngasih development buat karakternya. Mereka lebih dekat jadi sebagai cautionary tale – dalam sebuah kisah yang bentukannya persis dongeng horor jaman dulu. Alih-alih development dan journey karakter, sebagai film, Oddity justru hanya seperti terstruktur dari lembaran-lembaran revealing. Ternyata demi ternyata. Aku bahkan gak bisa ngomong banyak tentang karakterisasi ataupun misterinya, karena bakal bikin revealing itu jadi gak istimewa lagi, dan Oddity kinda bersandar ke sana. Tema sudut pandang melihat tadi ditranslasikan menjadi film ini tidak punya tokoh utama yang sejati. Kita melihat cerita dari perspektif berbagai karakter; Darcy, Dani, Ted, pacar Ted, dan bahkan si ‘pelaku’, perspektif mereka yang seperti cerita-cerita pendek itu amprokan membentuk cerita-besar film ini.  Oddity adalah cerita horor yang perfect, but it went on against bentukan film yang kita kenal.

 

 




Oddity adalah keganjilan. Baik itu tentang temanya, maupun juga tentang posisinya sebagai film itu sendiri. Sialnya, ini bikin aku susah menilai hahaha.. Sebagai cerita horor, ini perfect banget buat halloween. Cerita yang benar-benar spooky, dengan arahan yang kerasa banget passionnya ke genre ini. Precisenya editing, desain, set piece, dan timing revealing membuatnya enak banget diikuti. Ditambah elemen-elemen horornya paket komplit. Diangkat pula oleh penulisan yang memuat tema dan gagasan serta konsep yang ganjil di balik pengungkapan-pengungkapan kejadian.  Sebagai tontonan horor, ini favoritku tahun ini; 8.5 out of 10. Love it very much. Tapi ini adalah review film. Keganjilan ataupun resiko yang diambil Mc Carthy dalam mempresentasikan cerita horor ini enggak in-line dengan nilai-nilai plus sebuah film. Teknisnya bagus, teknik berceritanya juara, tapi yang kumaksud adalah cetakannya. Cerita tanpa development, tanpa journey, tanpa perspektif utama yang utuh, bukan cetakan ‘film’ yang selama ini jadi standar penilaian kita. Ah, I wish aku tidak perlu melihat cerita ini sebagai film, lebih baik kalo ini tuh kayak video-video atau klip yang kita tonton di internet – yang so good sampai kita bilang “ah. cinema!” 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ODDITY

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian seharusnya kita memandang/melihat sebuah film? Apakah bisa hanya dari cerita atau faktor hiburannya saja – terpisah dari struktur atau cetakan yang membuat dia berbeda dari video-video tayangan lain yang lebih bebas?

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE VISIT Review – [2015 RePOST]

 

“I know my kingdom awaits, and they’ve forgiven my mistakes”

 

 

M. Night Shyamalan is baaack! Kita semua tahu persis gimana ‘prestasi’ sutradara yang satu ini. Siapa coba yang tak ingat kepada twist dan revealing cerita film The Sixth Sense, Unbreakable, ataupun Signs. Akan tetapi setelah The Village (2004) yang sudah php-in banyak orang – semua nyangka film itu adalah kisah misteri menyeramkan padahal ‘hanya’ sebuah kisah cinta terlarang – film-film buatan mister Shyamalan mengalami penurunan kualitas yang drastis. Lihat saja The Happening (2008); orang-orang dalam film tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara yang terduga. Diniatkan sebagai experience yang mengerikan, nyatanya, malah jadi lucu. Alih-alih dianggap serius, The Happening malah diketawain. Tidak hanya penonton, rekan-rekan kerja pun tampaknya tidak lagi percaya kepada M. Night Shyamalan. After Earth praktisnya sama saja dengan disabotase oleh Will Smith. Makanya, film The Visit ini disebut Shyamalan sebagai usahanya untuk kembali ke basic. Dengan budget rendah dan cerita yang ditanganinya sendiri, M. Night Shyamalan mempersembahkan film ini sebagai, bukan hanya ‘jalan pulang’, namun juga sebagai jalan tengah antara horor dan komedi. Dan meskipun memakai gaya found-footage, The Visit bukanlah film hantu.

Namun kenapa pula itu berarti film ini tidak menyeramkan?

 

Becca (Olivia DeJonge leads this story dengan sangat likeable) dan Tyler (sebagian besar gelak tawa datang dari Ed Oxenbould) sedang dalam misi mendamaikan keluarga ibu mereka (Kathryn Hahn manages to stay wonderful meski nampil paling sedikit). Kedua kakak beradik ini menginap seminggu di rumah kakek dan nenek yang baru pertama kali berkontak dengan mereka. Siang hari dalam film ini kerasa hangat dan akrab semestinya drama keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi begitu jam menunjukkan pukul 21.30, Pop Pop (aku gak mau punya kakek se-creepy Peter McRobbie dalam film ini) melarang keras mereka untuk keluar kamar. Di lain pihak, Nana (tepuk tangan buat penampilan berlapis dari Deanna Dunagan) meminta kedua kakak beradik tersebut untuk tidak mengganggu Pop Pop jika sang kakek sedang khusyuk di gudang.

Yeah, there is definitely something strange dengan Pop Pop dan Nana.

 

Kecanggungan anak-anak berinteraksi dengan orang lanjut usia dikembangkan menjadi tema horor dalam film The Visit. Kita sendiri pasti pernah mengalami gimana awkward nya ngobrol sama nenek, terus kita ragu pengen ketawa atau enggak karena takut dikira enggak sopan atau semacamnya. M. Night Shyamalan menerjemahkan hal tersebut sebagai sebuah experience yang membingungkan dan nakutin. Apalagi bagi Becca dan Tyler, ketakutannya jadi lipat ganda karena orangtua ibu mereka tersebut practically sama saja dengan orang asing yang baru mereka kenal. Dan yang namanya interaksi dua generasi yang berbeda, tentu saja selalu ada hal-hal kocak yang ditimbulkan. Film ini pun tidak luput menggali sudut pandang tersebut. Kesuksesan film The Visit terletak dari KEEFEKTIFANNYA MENGGABUNGKAN ADEGAN YANG MENGUNDANG GELAK TAWA DENGAN ADEGAN YANG BIKIN KITA MENAHAN NAPAS SIAP UNTUK MENJERIT. Mulus banget, transisi antara keduanya terasa natural.

Dua karakter yang paling menonjol adalah Tyler dan Nana.
Everytime Tyler ngerap, kita bakalan ngakak. Entah itu karena liriknya, atau karena kita enggak bisa mutusin dia nyanyinya bagus atau enggak. Yang paling ngikik (tau gak ngikik? Sama aja dengan ngakak tapi bunyinya hik-hik-hik, kayak kuntilanak!) adalah saat anak 13 tahun ini ngasih tau kakaknya bahwa mulai sekarang dia akan mengumpat dengan menggunakan nama-nama penyanyi cewek instead pf pake kata-kata jorok! hikhikhik ada-ada saja.
Everytime Nana kumat, kita bakalan merinding. Sepanjang film mungkin bakal kita habiskan untuk mutusin apakah nenek ubanan yang rapuh ini adalah hantu atau manusia. Adegan dia merangkak dengan rambut terurai ala Sadako selalu sukses bikin kita menyipitkan mata. Dan seperti yang sudah disebutin tadi, Nana ini adalah karakter yang kompleks. Yang enggak gampang untuk dimainkan. She shows so much different emotions, dan bakal nunjukin emosi-emosi itu in a matter of flipping a coin. Adegan bersihin oven itu asli seram berkat kepiawaian Deanna Dunagan memainkan tokoh Nana yang intention nya tidak bisa ditebak.

Sisi drama juga tak lupa disentuh, sebagaimana yang selalu dilakukan Shyamalan di dalam film-film terdahulunya. Ada banyak BEAUTIFUL SCENES dalam The Visit yang akan membuat kita rindu kepada keluarga. Memikirkan bahwa betapapun banyaknya kesalahan kita, betapapun kita pikir kita saling membenci satu sama lain, sebagai keluarga, kita akan terus menemukan alasan untuk saling memaafkan. Mungin film ini juga dimaksudkan oleh Shyamalan sebagai ajang meminta maaf kepada kita-kita yang sudah dikecewakan oleh film-film medioker buatannya selama satu dekade ini.

Pertama aku memang rada skeptis, mengingat film keluaran Blumhouse Production ini pake gaya yang udah mainstream. FILM YANG DICERITAKAN DARI REKAMAN VIDEO KAMERA. Becca ingin merekam semua kejadian di rumah nenek untuk diperlihatkan kepada ibunya. Jadi kita melihat film ini dari lensa kamera yang dipegang oleh Becca dan Tyler. Jelas gimmick ini memberikan limitasi dan, tahu sendirilah, eksploitasi jump-scare akan jadi sajian utama. Tapi The Visit tidak melakukan hal yang demikian. Tidak ada jump-scare dengan suara-suara yang memekakkan telinga. Film ini terlihat realistis karena suara-suara yang ada hanya suara yang kerekam oleh kamera si tokoh utama. Tidak ada penambahan backsound yang annoying. Adegan ngeliat cermin terus dikagetin, tidak diiringi oleh loud noise karena memang tidak ada sumber suaranya di dalam ruangan tempat Becca berdiri. Kalo kita perhatikan, musik latar hanya terdengar di awal dan ending saja. There are some scenes yang terlalu meta tho, seperti saat Becca meleng dan tau-tau ada yang sudah berada persis di sebelahnya.

What the Taylor Swift is that!??!

 

 

Jika ada yang paling terkenal dari M. Night Shyamalan, maka itu adalah kecenderungannya untuk menciptakan simpel-namun-obscure-plot-twist dalam setiap cerita. Ada yang bisa nebak ternyata Bruce Willis adalah hantu di The Sixth Sense saat menontonnya pertama kali? Well, plot twist dalam film The Visit sama sederhana nya dengan itu. Aku gak bakal bilang di sini twist nya apaan. Aku cuma mau bilang kalo aku merasa bego karena sekali lagi aku gagal menebak. Tepatnya, tidak sempat menebak. Cerita di dua babak awal terlalu distracting sehingga membuat kita melupakan satu bagian penting tersebut. Dan no, aku enggak ngeluh, it was a complimentI think it was the strength point buat The Visit. Filmnya mampu membuat kita terhanyut oleh misteri yang sedang diceritakan. Heck, misteri cerita The Visit lebih terasa nge-goosebumps dibandingkan film Goosebumps yang keluar Oktober kemaren. Act terakhir benar-benar disediakan untuk mengungkapkan semua tandatanya melalui adegan-adegan yang menegangkan.

 

Horor bukan berarti harus ada penampakan hantu. Lucu bukan berarti harus jadi bego. Yang jelas, jangan nonton ini sambil makan! The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for The Visit.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

We be the judge.

 

 

SHUT IN Review

“Mother love is the fuel that enables a normal human being to do the impossible.”

 

shut_in_ver2

 

Bagi seorang ibu cuma sedikit hal di dunia yang horornya melebihi perasaan ketika melihat anak yang ingin di’selamatkan’ malah berakhir celaka. Apalagi jika si ibu tersebut punya profesi sebagai psikologis anak. Rasa bersalahnya dateng barengan ama rasa gagal, tuh. Sesek numpek di dada pasti ada, dan kita bisa melihat itu semua dari gimana Naomi Watts memainkan perannya sebagai Mary Portman dalam film Shut In.

Anak tiri Mary lumpuh setelah ngalamin kecelakaan mobil enam bulan yang lalu; Kejadian tragis yang juga merenggut nyawa suaminya. Mary sekarang ngerawat anak remajanya tersebut. Dia memandikan Stephen, mengurus keperluan sehari-hari, namun kebutuhan Mary sebagai seorang ibu – terlebih ibu yang merasa bersalah – tidak terlampiaskan karena kondisi anaknya tidak memungkinkan buat mereka untuk kembali bisa menjalin hubungan emosional yang aktif. Jadi Mary mencari koneksi ke pasiennya yang kebanyakan memang masih anak-anak. Mary mau bisa nolong semua anak-anak bermasalah itu. Terutama, dia ingin ‘menolong’ Tom (Jacob Tremblay memerankan bocah tunarungu yang suka berkelahi).
Suatu malam, Tom muncul gitu aja di rumah Mary dan Stephen, untuk kemudian ia hilang dengan sama mendadaknya. Di luar badai salju, dan di dalam rumah, pada malam hari, Mary mulai mendengar suara-suara aneh. Dia sort of ngeliat penampakan. Apparently, Mary enggak benar-benar yakin misteri apa yang sedang terjadi kepadanya.

 

Badai salju yang menderu dari luar rumah menjadi elemen yang mengurung karakter dalam film ini. Mereka tidak bisa keluar dari dalam rumah. Secara estetis, kita juga merasakan perasaan klaustrofobiknya. Kita seperti ikutan berada di dalam rumah mereka, untuk kemudian rumah tersebut terasa mengurung kita lewat beberapa momen sound designnya. I love that contained aspect of this movie. Aku lumayan excited waktu mau nonton. Apalagi psikologikal horor ini dimainkan oleh Naomi Watts yang kerap muncul di film-film horor yang lumayan bagus. In fact, Naomi Watts main di film terfavoritku sepanjang-waktu, Mulholland Drive(2001), so yea I naturally drawn in oleh setiap film yang ia perankan. Arahan yang didapatkan oleh film ini cukup lumayan, meski there’s nothing really much to it. Ada shot-shot yang perfectly capture momen yang bikin kita merasa in-the-moment. Satu adegan yang aku suka pengambilan gambarnya, yaitu aerial shot menjelang akhir di adegan yang involving bayangan dan tangga. That’s a great shot.

Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi
Kasian amat Jacob Tremblay terjebak di dalam ruangan lagi

 

Nyawa film terutama terletak pada screenplay. Kelihatan deh pokoknya sebuah film yang punya skenario buruk dan sutradara berusaha keras buat menjadikannya baik, namun tetep enggak bisa, karena apa sih yang bener-bener bisa dilakuin jika naskahnya sedari awal sudah begitu jelek dan keliatan banget ngarang. Kalo Mary bingung ke mana perginya Tom, maka kita sebagai penonton akan terbengong-bengong berkat BETAPA TERRIBLENYA FILM INI DITULIS. Banyak banget ketidakkonsistensian sehingga sebagian besar waktu film ini was just bad. Dua babak pertama dipenuhi oleh adegan-adegan mimpi, diselingi dengan jump-scares yang sok ngecoh. Dengan cepat film ini akan terasa menyebalkan. Dan bicara soal ngecoh, ini adalah jenis film yang bangga banget punya twist. Film yang tujuan utamanya memang ingin terlihat heboh dengan twist, mereka kayaknya nulis dari twistnya duluan kemudian baru ngembangin ceritanya, yang mana semua elemen dipaksa nyambung banget, sehingga twist yang dihasilkan malah jadi bego alih-alih bikin takjub. Semua yang terjadi di dua-puluh-menit terakhir membuat everything else yang sudah terjadi sebelumnya menjadi total gak masuk-akal.

Jika semua klise dan trope film horor bisa bermanifestasi menjadi manusia, mereka tumbuh tangan dan punya jari jemari, kemudian mereka mutusin buat ngetik, maka “voila!” Jadilah skenario film Shut In.

 

Semua taktik scare yang dilakukan oleh film ini adalah TAKTIK FALSE SCARE. Kita ngeliat penampakan, eh taunya Mary lagi mimpi. Kita ngeliat adegan berdarah, eh taunya Mari sedang ngigo. Kita denger suara-suara aneh, eh taunya ada rakun loncat dari balik kayu diiringi suara musik yang lantang yang bikin Mary dan seisi bioskop jantungan. Kita ngecek kegelapan malam, ngikutin Mary nyebrangi halaman bersalju, eh taunya cowok yang tadi pagi naksir ama Mary muncul dari balik pintu sambil menyapa “Hey, ini gue!!”. Keras-keras. Itulah ‘hal-hal mengerikan’ yang bakal kita hadapi dalam film ini. Efektif sekali, bukan? Yeah, efektif buat bikin kita TERTIDUR!!!!

Shut In enggak mau repot-repot bahas soal psikologis, atau perspektif, atau moral, atau apalah. Detil-detil backstory enggak penting bagi film ini. Kita enggak pernah yakin kenapa malam itu si Tom bisa nongol di rumah Mary. Kita enggak pernah dihint soal latar belakang Mary dan keluarganya. Film ini enggak peduli saat kita mengernyit berusah mengira-ngira kenapa Mary sering banget skype-an ama tokoh Dr. Wilson yang diperankan oleh Oliver Platt. Kita enggak sempat kenalan sama beliau, apakah dia temen lama Mary, atau dia psikologis Mary, or heck film ini enggak mau tau perihal gimana Mary terlihat so bad at her job, both as child psychologist and as a mom, dibuat oleh presentasi ceritanya.

Mari ngobrol sebentar soal adegan dengan skype. Biar kelihatan remaja dan relevan, film-film jaman sekarang memang hobi banget masukin adegan para karakter facetime-an via skype. Adegan skype actually bisa saja bekerja dengan baik, kita udah nyaksiin contohnya pada film The Visit (2015). Adegan ngobrol lewat skype bisa bagus jika (dan hanya jika!) obrolannya bagus. Dialoglah yang memegang kunci. Dalam film ini, sayangnya, penulisannya begitu minimalis.

Mary: “Etau enggak, akhir-akhir ini aku susah tidur, nih”
Wilson: “Yaah, kamu masih trauma dan sering baper sih”
Mary: “Eng-GAaaKK! Beneran, ih, kayaknya ada sesuatu yang lain di sini”
Wilson: “What-the-kamsut?”
Mary: “Kayaknya… di rumahku…. ada hantu!”
Wilson: “Masa orang dewasa terpelajar kayak kita percaya hantu sih?”
Mary: “Tapi aku sering denger-denger suara gitu, pernah ngeliat malah”
Wilson: “Gurl! Please. You’re just being silly”
Mary: “CK! Bye. Brb Sibuk.”

Ya kurang lebih begitulah obrolan mereka. Gitu terus lagi dan lagi, adegan percakapan skype mereka muter-muter di situ melulu. Mengerikan!

This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.
This is also jenis film yang setiap tindakan yang dipilih karakternya bikin kita jambak-jambak rambut dengan geram.

 

Yang terpenting buat film ini adalah gimana memancing rasa kaget kita, alih-alih takut. Fokus utama nya adalah gimana supaya so-called twist mereka enggak ketahuan.

Padahal despite ‘usaha’ mereka, kita sedari pertengahan udah bisa menebak hanya dengan mengacu kepada apa yang disebut kritikus terkenal Roger Ebert sebagai The Law of Economy of Characters. Atau Hukum Ekonomi Karakter; teori tentang kebiasaan film ini menjelaskan bahwa oleh sebab budget, film tidak akan pernah diisi oleh karakter yang tidak berguna, setidakpenting apapun kelihatannya peran mereka. Apalagi kalo diperankan oleh aktor yang cukup punya nama. Karakter-karakter tersebut sudah pasti akan direveal punya peran yang penting. Jadi, yaaa, kalo kita ngeliat cast yang familiar dengan peran yang minimal, maka niscaya mereka adalah twist yang dirahasiain oleh film.

Coba deh, tonton ini dan tebak apa yang sebenarnya. Wait, actually… Jangan tebak. Tepatnya maksudku, jangan bersusah payah luangkan waktu dan uang buat nonton. Aku beberin aja twistnya di sini:

 


Jadiii, anak tiri si Mary yang lumpuh ternyata enggak lumpuh. Stephen selama ini hanya pura-pura lumpuh. That’s the big twist. Film ini ngasih arti baru buat kalimat “Cinta ibu mampu membuat orang normal ngelakuin hal yang enggak masuk akal.” Stephen sangat ingin perhatian dan kasih sayang ibunya, sehingga ketika Tom datang dan perhatian Mary jadi bergeser ke ngurusin bocah malang tersebut, Stephen jadi iri. Dia bangkit dari kursi rodanya, menangkap Tom, dan menyekapnya di suatu tempat di dalam rumah. Suara-suara yang didengar Mary adalah suara Tom yang berusaha keluar. Penampakan, blurry vision, dan mimpi-mimpi yang dialami oleh Mary adalah ulah Stephen yang diem-diem masukin obat ke dalam minuman ibu tirinya tersebut. That’s it. Seriously, twistnya bikin revealing film The Boy (2016) jadi terlihat enggak parah-parah amat.


 

 

 

 

Apa coba persamaan antara Naomi Watts dengan kita-kita yang nonton film ini?
Sama-sama kejebak!
That’s how I felt during this entire film. Penampilan dan arahan yang acceptable tidak akan berarti banyak jika sumber penyakit ada di skenarionya. Tidak ada bagian yang bagus; babak satu dan duanya plainly bad, dan babak ketiganya sukses menghantarkan ini sebagai salah satu dari film horor terburuk yang pernah aku tonton. Atau psikologikal thriller terburuk. Whatever. This movie is horrible, people!
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for SHUT IN.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 
We? We be the judge.

RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER Review

“True identity is found when we start becoming who we were created to be.”

 

residentevilthefinalchapter-poster

 

Kita hidup di dunia di mana kita enggak bisa gitu aja bilang “Gue penggemar Resident Evil, loh”. Karena ada batasan jelas yang memisahkan antara “penggemar film-adaptasi-game terburuk” dengan “penggemar game-survival-horor-terbaik”. Sayang memang, I mean, kenapa mereka enggak lupakan saja soal franchise, just stop, dan ngulang lagi bikin film yang benar-benar mengerikan tentang zombie di rumah tua atau semacamnya?! One can hope film ini benar-benar akan menjadi babak terakhir. Babak final. Penghabisan. Mungkin film ini akan actually bisa menjelaskan lima-belas tahun continuity errors dari cerita yang sudah enggak make-sense lagi.

Ternyata, film ini hanyalah segerombongan adegan mindless action, seperti yang sudah kita kenal baik.

Perlakukan Resident Evil: The Final Chapter selayaknya zombie. Lari! Larilah dari dirinya, demi hidupmu, sejauh mungkin. For this one movie will eat your brain dead!

 

Oke, kalian tahu, aku paling males nulis film jelek karena aku enggak mau isi ulasanku kesannya negatif melulu. Aku selalu berusaha untuk mengangkat sisi baik dari semua film. Apalagi film-film kayak remake dari Poltergeist ataupun reboot dari Fantastic Four sebelum membanting mereka sebagaimana mestinya. I’ve done that in the past, and I’m gonna do it again today. Buat film Resident Evil; yang gamenya selalu aku mainkan dengan semangat meski baru dua seri yang bisa tamat tanpa pake cheat, film yang sengaja aku tunda-tunda menontonnya karena aku benci kalo nanti bakal membenci filmnya lagi, aku sungguh-sungguh mencoba, aku masuk dengan pikiran positif. Aku harap aku bisa ngesell film ini dengan enggak parah-parah amat.

Jika kalian enggak punya masalah sama lima film Resident Evil sebelum ini, jangan pedulikan apa kata kritik. Jangan dengarkan apa yang kutulis. Go watch it and have fun, karena film adalah pengalaman subjektif. Namun, buat sebagian besar penonton, ketahuilah bahwa ini adalah salah satu FILM YANG PALING ‘MENYIKSA’ yang bisa kita tonton di bioskop in a recent year.

Supposedly menyambung langsung cerita terdahulu, Alice mendapati dirinya terbangun sendirian di reruntuhan. Dia kemudian digreet oleh monster-monster bioweapon sebelum akhirnya disapa oleh Red Queen, si A.I. yang mengambil persona anak kecil. Mantan lawannya tersebut meminta Alice untuk kembali ke Raccoon City karena Alice adalah cewek perkasa badass abis yang enggak pernah mati meski ada banyak zombie, dan kali ini Umbrella Corporation ingin melenyapkan sisa-sisa manusia dengan T-Virus, so Alice harus menghentikan itu sambil harus nemuin anti dari T-Virus yang disimpan di markas Umbrella di Raccon City (alias lokasi film yang pertama). That’s the storyline, simpel, ala misi video game banget, namun membingungkan karena beberapa keadaan terlihat enggak begitu cocok dengan cerita-cerita sebelumnya.

Dazed and confused.
Dazed and confused.

 

Untuk membuat cerita lebih mudah dipahami, para pembuat film ini merakit penceritaan dengan FORMULA YANG SEDERHANA; eksposisi – big action – eksposisi – big action – eksposisi – big action – dan begitu seterusnya. Film dimulai dengan rangkuman apa yang sudah terjadi, just in case kita belum pernah nonton film-film sebelumnya. Kemudian ada adegan aksi di atas kendaraan. Setelah itu, karakter-karakter kita ngumpul berkeliling dan seseorang tells them a story. Disambung oleh adegan action lagi, tembak-tembakan. Wuih! That’s how the entire film plays out. Ada satu momen yang efektif; saat ada tiga zombie yang lagi tergantung, mendadak come to life dan menyambar ke arah truk yang sedang melaju. Pengambilan gambar yang really creepy.

Kalo ada yang lebih jelek daripada tampang para zombie, maka itu adalah sekuens aksi. Serius deh, adegan-adegan aksi film ini disyut dan choreographed horribly. Dalam film, ada yang dikenal dengan teknik Eye Tracing; di mana pergerakan kamera diperhitungkan sedemikian rupa sehingga aksinya membimbing fokus pandangan penonton. Dalam film ini, eye tracingnya parah sekali. Semuanya diedit dengan sangat cepat, kita tidak bisa melihat dan memahami apa yang sedang terjadi. Ada yang mati pun, kita enggak bisa langsung ngeh siapa yang jadi korban. Dalam adegan dengan kipas gede, misalnya, aku butuh beberapa scene bolak-balik untuk bisa recognized siapa yang isdet.

To make it worse, sutradara Paul W.S. Anderson menonton Mad Max Fury Road (2015) sebelum dia bikin storyboard film ini. Jadi, beliau dengan segala kehumbleannya sebagai seorang filmmaker mencoba ngerecreate keawesomean visual style yang sudah dibuat oleh George Miller. Dua-puluh-menit pertama jelas sekali Resident Evil ingin mengemulasikan gaya edit cepat, it is the biggest rip-off of Mad Max yang pernah kuliat, dan film ini come short – malah terlihat sebagai upaya amatir alih-alih membuat adegannya enak dan intense untuk ditonton. Resident Evil: The Final Chapter adalah film berbudget gede dengan EDITING TERBURUK yang pernah kutonton sejauh ini. Liat aja sendiri, medium shot lengthnya pastilah kurang dari satu detik. Satu contoh lagi yaitu pas di adegan Alice berhadapan dengan this huge bioweapon creature. Alice menembak monster itu dengan dua pistol as the monster berlari ke arahnya. Kamera ngecut bolak-balik dengan sangat cepat di momen ini sehingga aku bersyukur enggak punya migrain dan enggak nonton ini dalam format 3D.

Semua elemen dalam film ini dicut dan digabungkan dengan begitu manipulatif demi memancing keseruan. Supaya kita merasa sedang menonton sesuatu yang keren, untuk membuat kita berpikir sesuatu yang amazing baru saja terjadi. Bahkan musik dan sound-designnya bekerja keras untuk menipu kita. Sepanjang film kita akan dibombardir oleh jump scare yang datang susul menyusul. Alice berjalan di suatu tempat, suasana hening, dan beberapa zombie muncul lengkap dengan suara yang over-the-top. Film ini penuh oleh serangkaian momen yang berusaha untuk terkesan seram tapi nyatanya cuma annoyingly loud dan sangat absurd. Mencoba begitu keras untuk menekankan kesan urgensi dan finality, this film is FILLED WITH SO MANY TIRED MANIPULATIVE WAYS OF EDITING FILM TOGETHER.

Mengingat gimana ngasalnya cara mereka mengedit film ini menjadi satu kesatuan, sebenarnya adalah fakta yang sangat ofensif, that sekelompok orang datang menonton ini dan bilang filmnya bagus. Malahan film ini nomer satu di box office Indonesia! Dan lebih ofensif lagi mengingat gimana film ini bisa diluluskan sebagai sebuah film in the first place.

 

Ada sedikit cercah film ini membahas sesuatu yang lebih dalem, seperti apa yang sebenarnya ingin dikatakan dari Umbrella yang demen bikin clone. Harusnya ada talk yang mendalam soal Alice yang kini come in terms dengan identitasnya, bukan sebagai simbol – melainkan sebagai seorang individu. Aku suka mereka ngeemphasize “My name is Alice” di awal dan akhir film. Aku selalu membahas dan menekankan soal karakter setiap ngereview. Karena toh tidak akan ada film, tidak akan ada cerita jika tidak ada karakter. I love movies karena aku suka berpikir soal karakter manusia. Dan dalam film ini? HAH!!! Film ini lebih mengutamakan aksi ketimbang karakter.

Alice enggak ngapa-ngapain selain cuma wadah yang bisa nembak ribuan zombie. Alice doesn’t do anything untuk mendapatkan pengakuan sebagai badass action hero. Dia begitu ya karena ditulis begitu. Ada bagian cerita di mana Alice sampai di compound yang apparently dipimpin oleh orang lain, kemudian segerombol besar zombie muncul, dan Alice mengambil alih kepemimpinan gitu aja, no questions asked. Beginilah skrip film ini ditulis. Alice does things, dia nembak, dia ninju, dia akrobat, tapi tidak pernah dia ngelakuin sesuatu yang membuat orang ngeliat dia sebagai pemimpin. Dan aktingnya? Pffft tidak ada akting. Milla Jovovich did an easy job here, dia malah enggak perlu repot berakting kesakitan. Alice is such a worst character, sampai-sampai ada adegan di mana dia ngedetonate bom beberapa jengkal dari antivirus yang berusaha ia selametin, tanpa tedeng aling-aling, tanpa pikir-pikir dulu soal akibat dari tindakannya.

Alice got her “I’m your father” moment
Alice got her “I’m your father” moment

 

 

 

Jika ingin pengalaman yang luar biasa sehubungan dengan dunia zombie, atau mau nikmatin the feeling of survival horor, saranku; just play the game, seriously. Ada seri terbaru Resident Evil yang keluar buat PS4 and itu serem dan keren banget. Film ini fails to deliver apapun, not even the sense of finality. It doesn’t respect us as the general audience. Film ini bahkan gagal catering buat fans loyal mereka yang sudah lima-belas tahun ngikutin. Orang-orang yang udah sit through all of them. Karakter-karakter yang entah gimana. Twist terakhirnya sangat absurd dan pointless, completely dishonor tokoh utama cerita. Terutama memberikan dampak yang buruk buat film-film terdahulunya. Tidak ada yang make sense di sini. Endingnya, efeknya, editingnya, semuanya so awful. Turns out, film ini menghinaku lebih banyak ketimbang apa yang aku ucapkan dalam menilai jujur dirinya.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.