POSESIF Review

“If our love is only a will to possess, it is not love”

 

 

Ada hal-hal tertentu yang enggak bisa dilalui bersama tanpa kita menjadi dekat, dan dihukum ngiterin lapangan sekolah berdua dengan tali sepatu saling bersimpulan adalah salah satunya. Perkenalan antara Lala (pendatang baru Putri Marino bermain cemerlang) dengan si anak baru Yudhis (akting Adipati Dolken semakin matang) berawal dari warna sepatu yang melanggar peraturan sekolah. Lala dan Yudhis jadi deket, tak sulit buat temen sekelas Lala nyomblangin mereka, dan jadianlah kedua remaja tersebut. Cinta pertama Lala awalnya manis banget. Kehadiran Yudhis membantu Lala melewati hari-hari. Sekolah, latihan loncat indah, hang out, Yudhis selalu ada di dekat Lala.

Oktober adalah waktu yang aneh untuk menayangkan drama percintaan dengan tokoh anak SMA. Biasanya film-film remaja ramenya sekitaran Februari ataupun pas musim liburan sekolah. Tapi setelah menyaksikan sendiri, aku jadi bisa melihat keserasian film ini tayang berdekatan dengan Halloween. Posesif bukan seperti drama cinta biasa. Sutradara Edwin mengarahkan film ini LEBIH SEPERTI SEBUAH SAJIAN THRILLER. Adegan-adegan film ini dipersembahkan dengan perlahan, meski runtunan dari fase kenalan ke jadian ke deket banget disampaikan dengan cepat. Emosi dan rasa ragu akan merayap masuk sembari hubungan Yudhis dan Lala mekar. Dua pemain lead bermain dengan sangat baik, chemistry tumbuh tanpa tersandung ekspresi yang dibuat-buat. Mereka ngelewatin banyak transformasi emosi, dan mereka nailed each and every one of it. Bagi dunia, Lala mungkin cuma seseorang. Namun buat Yudhis, Lala seoranglah yang jadi dunia. Kita akan menyaksikan hubungan romansa di antara kedua anak muda ini berbelok ke arah yang mengerikan. Kalo lagi enggak bersama Lala, Yudhis akan ngestalk social media, nelfonin nanyain kabar – ada shot yang memperlihatkan Yudhis missed call lebih dari tiga-puluh kali dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Dolken bener-bener tepat sasaran memainkan note-note yang creepy.

Sebelum kenalan, Yudhis udah tahu nama Lala dari video instagram, wow that’s not creepy at all

 

 

Posesif benar-benar mengeskplorasi apa yang relationship bisa lakukan kepada jiwa-jiwa muda yang insecure. Betapa  kadang kita lebih memilih untuk mempertahankan hubungan tak-sehat daripada untuk melepasnya dan memulai dari awal. “Belum tentu loh, kamu bisa dapat cowok kayak gitu lagi” saran teman kepada Lala yang bimbang.

 

Menurutku, film ini penting untuk ditonton – bukan hanya karena ini adalah sudut pandang yang berbeda dari film remaja kebanyakan – melainkan juga karena ceritanya yang sangat dekat. Setiap kita pasti pernah jatuh cinta, pasti ngalamin sensasi deg-degannya cinta pertama. Pada beberapa titik dalam hidup, kita pernah berada di posisi Yudhis, atau di posisi Lala, atau di posisi sahabat cowok yang diam-diam naksir Lala, atau malah pernah berada di tiga posisi itu sekaligus. Maksudku, nonton ini juga bisa bikin baper. This movie hits home more than I expected. Personally, I might be or might not be, …. Oke jujur, aku pernah bikin takut anak gadis orang kayak yang dilakukan Yudhis, secara gak sengaja. Dan itulah masalahnya. Untuk sebagian besar kasus hubungan yang mengekang, yang terlalu gak-ngasih jarak, kita gak sadar sudah membuat pasangan merasa tak nyaman. Padahal niatnya, sumpah! padahal niatnya baik

mengapaaa aku beginiiiii??

 

Tema ‘dikungkung oleh tuntunan dari luar’ kerap terdengar di sepanjang narasi. Lala yang terus digebah oleh ayah untuk jadi atlet, nyaingin almarhum ibunya. Yudhis yang enggak boleh ngekos, musti deket terus dengan ibu. Yudhis yang gak ngasih space ke Lala. Sekolah dengan peraturan gak jelas sepatu harus hitam. Bahkan Lala jadian dengan Yudish adalah hasil comblangan dari teman sekolah – yang menyimbolkan persetujuan dari lingkungan terus saja mempengaruhi pilihan dan keputusan tokoh kita. Jika ditelanjangi dari layer masing-masing, film Posesif dan film The Lobster (2015) memiliki kesamaan inti cerita. Perjalanan Lala ialah perjalanan membebaskan diri dari kurungan tak terlihat orangtua, teman-teman, dari orang yang ia masih ragu cinta atau enggak. Kita akan belajar bahwa Lala dan Yudhis sebenarnya punya masalah yang sama, hanya saja Yudish memproyeksikannya dengan cara yang sedikit mengerikan. Pada akhirnya kedua orang ini akan saling posesif terhadap masing-masing, dan itu enggak sehat.

Sesuai dengan overlaying symbol yang disebutkan oleh film; cinta dengan olahraga yang ditekuni Lala, loncat indah adalah pengalaman yang sama bagi anak muda. Terjun ke dalam relationship sama menakutkannya dengan terjun ke kolam dari menara loncat tingkat paling atas. Lala dilatih oleh ayahnya  Naik ke atas papan loncat adalah suruhan, namun actually meloncat adalah murni keputusan Lala. Kamera menangkap resah dan gejolak tersebut dalam shot-shot menarik Lala yang jungkir balik terjun. Menjalin hubungan percintaan itu adalah kerja keras, karena hidup adalah kerja keras dan cinta adalah bagian dari hidup. Ini adalah tentang kontrol – masing-masing memegang kendali atas hidupnya. Dalam film ini, air kolam di bawah itu adalah hidup dengan segala konsekuensinya. Terjun ke dalam itu adalah sebuah pilihan pribadi – kita bisa menyuruh orang untuk naik, tapi pada akhirnya yang bisa kita miliki adalah diri kita sendiri.

 

Perbedaan antara film komersil dengan film yang enggak mainstream bisa jadi hanya terletak pada bagian akhirnya. Posesif bisa saja menutup ceritanya di saat Lala ditinggalin di tengah jalan. Menurutku, jika selesai di sini, saat Lala berjalan di jalan tol yang bercabang, memilih sendiri langkahnya, pesan yang disampaikan akan bisa menjadi lebih kuat. Tapi Posesif ingin appeal buat lebih banyak orang, dan sebagian besar penonton ingin ending yang enggak muram-muram banget. Dan di babak ketiga inilah, film tampak enggak yakin bagaimana mengakhiri cerita dengan memuaskan target penontonnya. Menuju ke ending, cerita menjadi agak terseret – kayak, udah beres, eh ternyata belum. Padahalnya mestinya cerita ditutup either dengan ninggalin Lala tadi, atau Lala dan Yudish enggak pernah kabur sedari awal. Hanya ngeliatin Lala menghapus foto-foto di Instagramnya sudah dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat. Pilihan final adalah membungkus cerita dengan freeze-frame close up Lala, wow such a cool way to end -,-

Ada beberapa poin cerita yang enggak konsisten. HP Yudhis yang ketinggalan di dalam mobil adalah contoh plot device yang terasa enggak klop dengan karakter Yudhis yang punya issue dengan kepemilikan. Maksudku, berdasarkan sikap ‘melindungi’nya terhadap  Lala, aku membayangkan Yudhis sebagai orang yang ngeprotect barang-barang pribadi, dia tidak akan lupa dan meninggalkan HP di tempat yang dapat dijangkau orang. Aku juga sempet bingung dengan lokasi cerita, apakah di Jakarta atau di Bandung, sebab di awal-awal Lala dan Yudhis jalan-jalan di NuArt yang terletak di Bandung – aku tahu karena pernah ke sana dan nekat moto-moto daerah workshop patung, kemudian dibentak satpam yang meminta foto-foto yang kuambil di sana harus dihapus; yea, bicara tentang aturan, right..

Soal status anak baru Yudhis juga cukup membuatku mengangkat sebelah alis, dia pindahan dari mana, kenapa dia pindah sekolah di tahun terakhir, apakah ada indikasi sifat violentnya yang menyebabkan dia pindah sekolah, apakah cinta pertama itu di pihak Lala saja – like, apakah sebelum ini Yudhis yang ganteng pernah terlibat cinta ga-sehat dengan cewek lain dan kekerasan yang dilakukannya membuatnya harus pindah sekolah? Menurutku latar belakang Yudhis perlu digali sedikit lagi, karena bisa saja mereka malah meninggalkan backstory yang menarik.

Konteks cerita juga membuat tidak ada konsekuensi nyata yang diperlihatkan oleh film mengenai apa yang dilakukan Yudhis. Yang membuat film ini terasa setengah-setengah. Ini bukan cerita romansa biasa, sekaligus tidak pernah mekar sebagai thriller yang benar-benar mengerikan. Kesan yang diincar adalah keragu-raguan, semua orang melakukan kesalahan, namun dengan absennya konsekuensi yang benar-benar nyata, pesan film tidak sampai pada ketinggian loncat yang diinginkan.

 

 

Cinta bisa jadi adalah ilusi yang tercipta dari kebutuhan kita akan sesuatu yang nyaman, yang terbentuk bukan dari pilihan kita melainkan dari jawaban tergesa atas tuntunan dari luar. Film ini akan mengingatkan kita semua akan itu, dia tidak ragu untuk menjadi menakutkan dalam menyampaikannya. Karena, seperti Lala, terkadang kita harus belajar dalam cara yang keras. Kisah cinta bukan semata milik suka ria. Film ini paham betul dia punya pesan penting, dan dia rela menerjunkan diri di dalam kolam mainstream, menempuh riak resiko kreatif, ini bukan film sempurna, melainkan sebuah kesempatan penting untuk berefleksi diri yang sayang untuk tidak dimiliki.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for POSESIF.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

THOR: RAGNAROK Review

“We would have all been the same anywhere else”

 

 

Apa sih sebenarnya pekerjaan dewa-dewa? Maksudku, apa tepatnya yang mereka lakukan di atas sana, tugasnya ngapain aja; masa iya sepanjang waktu mereka cuma duduk di singgasana mengawasi rakyat sambil makan anggur.  Dalam dunia film, sutradara bisa dikatakan sebagai dewa, sutradaralah yang mengontrol semua – memastikan setiap elemen film bekerja membentuk kesatuan sesuai dengan visi yang ia inginkan. Dan tugas sebenarnya seorang sutradara ialah menciptakan tubuh naratif tersendiri dan menampilkan dengan keaslian. Taika Waititi dapat melihat bahwasanya cara terbaik menginterpretasi tokoh Thor adalah memandangnya sebagai tokoh komedi aksi. Sedari film-film awalnya, juga ketika muncul di Avengers, ada sense of humor yang terkandung di dalam tokoh dewa dari dunia lain ini. Ada dinamika menarik antara sikap hot-head dan jiwa pembela kebenarannya. Jadi, Waititi menggunakan keahlian terbaiknya ketika ditunjuk sebagai sutradara. Apa yang tepatnya ia lakukan? Basically, Waititi menghancurkan aspek serius dari dua film Thor sebelumnya, menyuntikkan berdosis-dosis komedi, sehingga baik dalam konteks cerita maupun penokohan, tokoh (sekaligus film) Thor benar-benar harus memulai dari awal.

Thor: Ragnarok adalah film superhero paling lucu yang pernah dikeluarkan oleh Marvel Studio. Definitely yang terbaik dari seri film solo Thor. Narasinya banyak bermain-main dengan gimmick dewa-dewi Asgard, bersenang-senang dengan trope karakter-karakter superhero Marvel. Yang perlu diingat adalah bermain-main bukan berarti enggak serius. Bersenang-senang bukan berarti melupakan nilai seni. PADA FILM INI SENI ADALAH KOMEDI, pada bagaimana dia bermain-main.

Komedi yang quirky menjadi pesona utama yang membuat film ini berdiri paling tinggi, bahkan di antara film-film superhero komik yang lain. Tidak hanya membuat tokoh dengan kekuataan super itu membumi layaknya manusia seperti kita-kita, yang mana begitulah formula superhero yang baik; setiap tokoh pahlawan harus bisa kita lihat sebagai orang biasa. Dalam film ini para tokoh dibikin ‘enggak keren’. Mereka begitu off-beat. Thor adalah seorang yang konyol, yang sering gak nangkep suatu poin, sekaligus sosok yang kharismatik dan tangguh. Loki, menyamar menjadi Odin, menciptakan teater sandiwara yang bercerita tentang epos kepahlawanan dirinya, hanya supaya rakyat lebih ngeworship dirinya yang dipercaya publik sudah meninggal.

Gestur-gestur kecil buah dari reaksi emosional manusiawi membuat film ini menyenangkan. Gini, jika kalian pernah membayangkan gimana kalo kita menjadi dewa atau punya kekuatan, maka dalam bayangan tersebut sosok kita pasti bakal keren banget. Sok cool gitu. Namun tidak seperti itu di dalam kenyataan, kecanggungan kita enggak hilang hanya karena kita seorang dewa. Memegang pedang keren bukan berarti kita otomatis berhenti nyengir di depan kamera. Tampil gagah dan tampak keren bukanlah job desk seorang pahlawan atau dalam film ini, dewa. Thor: Ragnarok enggak berpaling dari reaksi-reaksi manusiawi, ia malah mengambil sisi humor darinya. Kita akan melihat Hulk mengumpat kesal, Dewi Kematian ngibasin rambut panjangnya sebelum berantem, dan tak jarang seorang karakter meralat kata-kata bijak yang sedetik lalu ia ucapkan, karena keadaan berubah natural dengan cepat dan udah gak sesuai lagi ama konteks yang ia sampaikan.

Bisa-bisanya Kat Dennings malah absen saat film ini jadi komedi

 

Arahan Waititi berhasil mengeluarkan yang terbaik dari para aktor. Tidak banyak dari kita yang melihat potensi komedik dari Chris Hemsworth, dan di film ini kita akan dibuat sangat melek. Kerja komedi Hemsworth sangat marvelous, delivery – timing – ekspresi, renyah semua berhasil bikin ngakak. Pada adegan Thor hendak dicukur, aku benar-benar meledak ngakak, it really hits home for me. Seperti pada dua film komedi terakhirnya, What We Do in the Shadows (2015) dan Hunt for the Wilderpeople (2016), Waititi mengandalkan kepada hubungan antar karakter untuk menghantarkan kita melewati plot poin satu ke poin yang lain. Aku belum pernah melihat interaksi antara dua superhero paling fresh dan semenyenangkan antara Thor dengan Hulk di film ini. Aku gak mau beberin banyak soal Hulk, jadi, ya secara garis besar peran Mark Ruffalo ini terdevelop dengan cukup banyak, personalitynya nambah, dan aku pikir elemen-elemen baru dari Hulk akan memancing reaksi berbeda dari penonton. It’s kinda love it or hate it. Buatku pribadi, aku suka. Tokoh Hulk ini memang rada tricky untuk dikembangkan, dan selama ini ia hanya jadi powerhouse sebagai ekualiser kekuatan musuh. Dalam Ragnarok, dia ada kepentingan lebih dari  sekadar “friend from work” untuk berada di sana, meski dia sendiri enggak sadar. Thor menyebut kelompok kecil mereka sebagai Revengers – kumpulan orang-orang yang punya dendam kepada Hela, dan cuma Hulk yang bengong karena enggak merasa ada dendam apa-apa. Peran Hulk di sini adalah sebagai cermin buat Thor, karena jauh di dalam, kedua orang ini adalah pribadi yang punya banyak kesamaan.

Ramalan Ragnarok sudah hampir terwujud. Bayangkan ramalan suku maya 2012, hanya saja ramalan ini adalah kenyataan buat Thor. Demi mencegah itu terjadi, Thor langsung bertindak  Dia enggak mau Asgard hancur.  Mimpi buruk semakin nyata ketika Odin meninggal, dan kekuatan yang selama ini disegel oleh Bapak Thor itu terlepas. Thor dan Loki akhirnya berkenalan dengan kakak sulung mereka, Hela di Dewi Kematian. Namun tentu saja itu bukan jenis perkenalan yang mesra dan penuh peluk rindu. Ini adalah perkenalan yang literally menghancurkan Mjolnir, palu andalan Thor. Drama keluarga dewa tersebut beralaskan darah dan air mata. Hela menuntut tahta, dia menginginkan Asgard kembali seperti zaman kekuasaan ia dan Odin dahulu. Segera saja, Thor menemukan dirinya kehilangan semua. Kehilangan ayah, kehilangan saudara, kehilangan senjata, kehilangan tanah air. Thor sempat terdampar di planet berisi orang-orang terbuang, di sana dia dijadikan gladiator, dan di situlah dia bertemu kembali dengan Loki, Hulk, dan banyak teman baru. Jadi sekarang, setelah kekuatan dan pasukan terhimpun, Thor harus bergegas mencari jalan untuk kembali ke Asgard, untuk mengalahkan Hela demi mencegah Ragnarok terwujud.

Nasionalisme tak pernah adalah soal tempat. Selama ini kita terkotak-kotak oleh batas negara, oleh batas wilayah, sehingga tercipta ilusi persatuan terbentuk atas kesamaan tempat, kesamaan asal usul, kesamaan kampung halaman, that we have to protect the place. Tapi enggak, persatuan adalah soal rakyat. Tidak peduli di mana kita, tidak peduli pribumi atau nonpribumi, ketika kita hidup berkelompok – kita sejatinya menumbuhkan perasaan menyatu atas apa yang kita hadapi bersama. Dan ketika orang berperang atas nama nasionalisme, bukan tempatlah yang dipertahankan. Melainkan persatuan.

 

Selalu menarik melihat penjahat yang punya motivasi dan kebenaran pribadi, dan ia memegang teguh sudut pandangnya itu dengan intensitas yang tinggi. Cate Blanchett memerankan salah satu penjahat yang paling kuat dalam dunia superhero Marvel, Hela tampak berbahaya, dia actually mampu membunuh banyak prajurit. Penampilan akting Blanchett yang meyakinkan hanya membantu tokoh itu stand out lebih jauh lagi. Jika dibandingkan dengan Hela, tokoh Loki dalam film ini akan terlihat sangat lemah. Namun bukan berarti God of Mischief ini terkesampingkan. Tom Hiddleston justru tampil lebih mendua di sini, ekspresinya poker face banget, kita enggak tahu pasti kapan Loki beneran ikhlas membantu, kapan dia memainkan muslihat untuk kepentingan dirinya sendiri.

Ada paralel yang menarik antara ketiga anak Odin ini. Thor, Loki, dan bahkan Hela sebenarnya sama-sama pengen menyelamatkan Asgard, untuk kepentingan yang berbeda. Khusus untuk Hela, ini menjadi semacam history melawan herstory. You know, jika kalian kalah, nama kalian akan keluar dari sejarah. Akan tetapi, baik si kalah maupun si menang punya catatan sejarah sendiri. Loki, di awal film, jelas-jelas ingin membangun sejarahnya sendiri dengan theater sandiwara itu. Dalam film ini ada satu tokoh baru, pejuang cewek yang merupakan mantan Valkyrie – semacam militer Asgard, pasukan khusus cewek.  Dia adalah satu-satunya Valkyrie yang tersisa dan ia menyimpan tragedi  Valkyrie itu rapat-rapat, sebab pihak yang kalah tidak punya kendali atas sejarah.

 

Penceritaan Thor: Ragnarok tidak dibuat dengan terlalu rumit. Set up dan penyelesaiannya dirangkai sederhana, adegan pembuka film  masih nyambung dengan ending. Beberapa penonton mungkin bermasalah dengan tone ceritanya, narasi seperti terbagi menjadi dua; komedi dan eksposisi. Kita akan sering bolak-balik antara kedua bagian ini, dan sesekali menemukan aksi seru di antaranya. Sebagaimana layaknya komedi  ada punchline di setiap akhir poin cerita. Secara visual pun, film ini bermain-main. Banyak penggunaan angle yang tak-biasa dalam menangkap adegan. Efeknya bagus tapi itu sudah kita semua harapkan. Sekuens aksinya, however, terekam dengan sangat fun. Pacenya cepet dengan begitu banyak yang mata kita bisa nikmati per bingkainya. Lagu Immigrant Song tepat sekali menjadi musik tema, dan film ini tahu persis kapan dan di mana harus menggunakannya. Semua penilaian tersebut, semua aspek komedi sampai ke bagian terkecil bekerja dengan sangat baik, tentu saja mengacu kepada penyuntingan yang benar-benar jawara.

Yaaahh yoyo saktinya hancur

 

Salah satu yang sering menjadi hambatan buat film-film Marvel adalah kepentingan untuk merangkai dengan judul lain, bahwa terkadang film bisa menjadi seperti setup gede untuk film lain. Kita akan melihat banyak cameo yang enggak ada hubungannya ama cerita. Pada Thor: Ragnarok juga dijumpai aspek ini. Thor sempat berurusan dengan Doctor Strange, yang sebenarnya bisa dihilangkan atau diberikan peran yang lebih besar lagi. Narasi memainkan cameo sebagai bahan komedi, sehingga membuat kita bisa memaafkan bagian cerita yang kurang signifikan ini.

 

 

Superhero Marvel sedari awal memang diceritakan dengan light-hearted, dan Waititi enggak malu-malu untuk mengubah film ini menjadi komedi yang tentu saja ringan. Namun bukan berarti tidak serius. Para aktor kelihatan sangat menikmati permainan peran mereka, bahkan Waititi sendiri turut nampil sebagai Korg si alien batu yang memperkuat departemen komedi. Di sini para karakter dibuat self-aware, dibuat gak keren-keren amat, dan itu hanya akan membuat mereka menjadi lebih populer dan dekat kepada penonton. Kita mungkin bisa enggak peduli sama mekanisme dan mitologi Asgard yang jauh banget dari Bumi, akan tetapi apa yang mereka lakukan – apa yang mereka hadapi terasa dekat. Ini adalah sajian superhero paling lucu yang bahkan enggak perlu menjadi kasar untuk bisa mencapai kelucuan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 for THOR: RAGNAROK.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

TLC 2017 Review

 

Bayangkan suatu malam minggu, kalian sudah rapi jali, siap untuk pergi ngedate, tetapi kemudian hujan turun dengan tak-kalah semangatnya. Atau bayangkan kalian sudah siap berhibernasi sepanjang hari di rumah, berepisode serial TV sudah siap untuk ditonton marathon, video games pun sudah menunggu untuk dimainkan, kemudian PET! dengan tanpa berdosa, PLT memutuskan aliran listrik. Manusia punya rencana, namun Tuhan yang menentukan. Memang bukan baru sekali ini WWE mendapati talentnya pada ijin sakit, membuat para penulis kudu merombak ulang skenario. Namun virus tidak pernah menjangkiti ruangan loker lebih mendadak daripada sekarang ini. Hanya 48 jam yang dipunya WWE sebelum acara puncak untuk mengganti dua skenario utama yang tadinya sudah dibangun dalam kurun enam minggu. Tak pelak, susunan pertandingan TLC tahun ini akan membuat kita merasa aneh. Kita tahu pertandingan gulat itu hambar kalo cerita yang melandasi kedua kubu yang bertemu kurang kuat. Di lain pihak, kita toh menggelinjang juga karena ini adalah pertandingan pertama Kurt Angle di ring WWE sejak sebelas tahun yang lalu, dan AJ Styles melawan Finn Balor adalah dream match material.

Pola pikir yang berusaha dipatri oleh WWE di acara ini adalah ‘less is more’. Terasa mendadak, memang, makanya alih-alih membuatnya terlalu serius, WWE menggebah TLC sebagai kendaraan untuk fans bersenang-senang.

 

Dan aku terhibur. Aku suka sebagian besar kejadian. Aku bahkan menikmati ‘konser sayur’ Elias, lebih tepatnya aku menikmati ngeboo si jagoan bergitar itu. Menurutku Elias bekerja dengan baik memancing heat. But I do not like the match, Jordan melawan Elias biasa aja, dan itu adalah penilaian terbaik yang bisa kita berikan kepada mereka. I do enjoy Alexa Bliss vs. Mickie James. Itu adalah pertandingan terbaik Bliss sejauh karirnya di main roster. Dan enggak, aku yakinkan aku enggak bias.

Here’s me when I’m biased: Rambut Aleksya Blissnyaaww unyu banget di TLC, dia pantas menang dengan rambut selucu itu, dan Mickie James Ellsworth udah ketuaan.
Dan ini ketika aku melihat pertandingan mereka dengan objekif: Jurus-jurus Bliss memang enggak wow-wow amat, dia hanya brilian sebagai penampil antagonis, Bliss paham cara memancing emosi penonton. Cerita di pertandingan ini adalah soal seorang juara sombong yang meremehkan lawannya yang lebih matang dan berpengalaman. Mickie mengusahakan yang terbaik dari yang ia mampu, mencoba selalu selangkah dalam mengantisipasi Bliss. Gaung personal yang natural match ini disampaikan dengan baik oleh kedua superstar lewat serangan-serangan ofensif dengan intensitas yang jarang kita lihat di pertandingan cewek. Pada akhirnya, umur memang hanyalah angka, akan tetapi angka enggak bohong. Yang mereka suguhkan adalah sebuah tarung yang tangguh, dan juara bertahan kita berhasil unggul secara bersih.

 

 

Sayangnya, partai wanita lain yang turut dikonteskan dalam acara ini enggak berhasil menyampaikan pesan yang mereka maksudkan. Aku sangat mengapresiasi baik Emma maupun Asuka. Emma adalah pegulat yang cakap, tapi sama seperti Alexa Bliss, sebagai kompetitor  yang kebagian peran heel ada batasan yang harus dipatuhi. Aku percaya di lain cerita, di peran yang berbeda, Emma bisa berimbang dengan meyakinkan melawan Asuka. Tapi tidak di sini. Karena cerita pertemuan mereka ini adalah tentang showcasing Asuka. Untuk berminggu-minggu menuju ke acara ini, kita melihat dan mendengar desas-desus tentang kehebatan Asuka, dan sementara itu kita melihat Emma bergelimang di papan tengah roster cewek Raw. Gini, bayangkan pacar kalian yang belum pernah nonton WWE ngikutin  build up TLC di mana Asuka sangat dihype sebagai petarung yang garang. Ekspektasi yang ada tentulah Asuka akan mendominasi Emma, not necessarily squash match, namun mestinya Emma tidak mendapat terlalu banyak upper hand seperti yang kita lihat di match ini. Sederhana saja. Asuka mestiya dibuat mendominasi Emma yang kebagian jatah sebagai petarung papan tengah.  Kesempatan untuk membangun Emma sudah lewat, kalo mau dibuat kuat semestinya sejak dari episode Raw menuju ke sini. TLC adalah tentang Asuka, namun dari apa yang kita tonton di TLC, Emma lah yang justru terasa seperti ‘tokoh utama’.

Sebenarnya, ini adalah formula yang sama dengan yang mereka gunakan untuk ngebuild Nakamura di Smackdown. Pertandingan Asuka melawan Emma persis kayak Nakamura lawan Ziggler. WWE tampaknya merasa insecure soal membentuk karakter babyface yang hebat. Zona nyaman WWE adalah formula skenario ‘pahlawan bangkit di akhir’, seperti skenario pertandingan John Cena; si babyface dihajar duluan, kemudian dengan kekuatan dukungan dari penonton, sang hero bangkit dan menang. Akan tetapi, formula ini tidak bekerja kepada Nakamura, dan jelas tidak bekerja juga pada Asuka. WWE harus berani  mengeksplorasi karakter face dari sisi yang lain, menemukan cara baru memperkenalkan pahlawan; bahwa protagonis bisa kok dibuat mendominasi sekaligus terlihat vulnerable.

 

Pop Quiz!

<Soal pilihan ganda>
Apa faedah dari Kalisto menangin sabuk Cruiserweight dari Enzo hanya untuk kembali kalah kepada Enzo seminggu kemudian?
a. Untuk menyemangati penonton di hari ulang tahun Eddie Guerrero
b. Sebagai pengalihan isu
c. Biar ada alasan buat Kalisto balik pake musik lama
d. Membuat kesel si Neville

 

 

Sakit itu musibah, bukan bahan becandaan. Namun mundurnya Bray Wyatt dari match card karena diagnosis viral meningitis bisa jadi adalah sebuah blessing in disguise buat banyak fans, bahkan mungkin buat Wyatt dan Balor sendiri. Sejujurnya, tidak ada yang exciting nungguin match bergimmick halloween antara Demon King melawan Sister Abigail (aku masih belum bisa membayangkan seperti apa Bray berduel sebagai Sister Abigail). Alih-alih match tersebut, kita malah dapat AJ Styles melawan Finn Balor. Teaser Smackdown melawan Raw untuk payperview bulan depan. Sekilas, memang pertemuan mereka ini tidak ada build upnya, apalagi jika dibandingkan dengan cerita bertema kekuatan gaib yang terus disuapin ke kita.  Sesungguhnya, pertemuan Styles dan Balor sudah lama terbangun secara implisit. You know, mereka berdua ini punya sejarah bersama. Styles dan Balor adalah dua pendiri pertama stable Bullet Club dan menurut Pro Wrestling Database, keduanya belum pernah beradu di atas ring. Catatan duel mereka yang bisa kita temukan adalah pertandingan tag team di Jepang sembilan tahun yang lalu. Impian pertemuan mereka sudah lama menjangkiti para fans, namun tidak seperti virus, mereka tidak membuat kita sakit. Jadi, beneran, di TLC kita dapet pertandingan bersejarah, a long time anticipated dream match. Dan Balor dan Styles bener-bener ngedeliver di sini.  Ya, di partai ini mereka tidak ada cerita, mereka sama-sama face, they just go at each other, berkompetisi, and it was amazing. Tidak sedikit pun performa Styles tampak menurun walaupun dia baru saja diterbangkan dari belahan bumi yang lain. Balor juga bermain gemilang, untuk pertama kalinya sejak ke Raw, Balor menunjukkan kepiawaian yang sebanding dengan yang biasa ia tunjukkan di NXT dahulu.

Yeah, beneran “Too Sweet”

 

Pihak booking WWE pun sepertinya benar-benar melepaskan alur pertandingan ke tangan kedua superstar fenomenal ini. Pertandingannya terasa persis kayak gaya NJPW, di mana spot-spot gede dengan perlahan semakin ditunjukkan seiring berjalannya waktu. Pacenya dipercepat dengan konstan. Tek-tokan moves mereka dimainkan dengan make sense, jurus andalan masing-masing saling dikeluarkan. Pele Kick susul menyusul. They played it out nicely sehingga terasa banget kedua superstar ini berusaha untuk tampil unggul di atas lawannya.Mereka bisa melakukan dengan lebih baik sih, personally aku yakin jika diberikan cerita, kedua superstar ini bisa meruntuhkan atap stadion.

 

Kita tahu WWE benar-benar berjuang dalam menyuguhkan acara ini, apalagi soal budgetnya, saat kita melihat Kane muncul tanpa pyro. Maksudku, jika ada dua superstar yang mendapat perlakuan khusus oleh WWE maka itu adalah Undertaker dan Kane. Cuma dua orang ini yang diperbolehkan memakai gerakan piledriver dalam basis jurus sehari-hari, dan jika orang sespesial Kane enggak bisa mendapat entrancenya yang dulu, kita paham WWE benar-benar dalam posisi keuangan yang sulit.

tunggu saja di Wrestlemania, bahkan pyro superstar pun akan mendapat pyro sendiri

 

 

WWE perlu mempertahankan apa-apa yang menurut mereka bekerja dengan baik. Dan dalam kasus sekarang ini, Roman Reigns dan The Shield adalah aset jangka panjang yang paling berharga yang dipunya oleh WWE. Kredibilitas mereka harus dipertahankan. Kredibilitas itulah yang sebenarnya tergantung tak-terlihat di atas puncak tangga partai utama TLC. Bahkan lebih berharga daripada menggantung sabuk Intercontinental dan Tag Team berbarengan. Kita bisa bilang kalo TLC kali ini adalah akronim dari Sierra, Hotel India, Echo, Lima, dan Delta. It’s all about the Shield. Reuni, dioutnumber oleh lawan-lawan, plot kelompok The Shield diniatkan untuk berputar di sini. Namun kemudian Roman Reigns, pelakon utama dari yang utama, mundur dari medan perang karena penyakit.

Show must go on, makanya kita bisa mengerti keputusan kenapa mesti Kurt Angle yang turun menggantikan. Sebuah langkah yang beresiko lantaran Kurt Angle diperkirakan memang akan kembali bertanding, dengan waktu dan alasan yang lebih proper. Hanya saja waktu mendesak, dan benar-benar tidak ada orang lain – WWE tidak bisa menggunakan sembarang orang untuk mengganti Roman Reigns di sini. Bahkan tidak juga dengan membuat Ambrose dan Rollins menang hanya berdua, walaupun masih akan klop dalam konteks Shield bisa mengalahkan banyak orang asal mereka bersatu. Secara sederhana mindsetnya adalah; Shield harus menang, tanpa membuat Reigns tampak lemah. Mereka tidak bisa membuat Shield menang tanpa Reigns, karena itu berarti itu akan membuat pengaruh Reigns terlihat kecil. Jadi itulah sebabnya mereka memakai Kurt Angle, seorang Hall of Famer, dan kenapa mereka membuat Angle memakai attire Shield, aku yakin seandainya Reigns tidak sakit, pertandingan akan berjalan sama persis dengan yang kita saksikan. Angle literally subsitusi buat Reigns.

kita bisa memanggil Ambrose, Rollins, dan Angle dengan The Shi3ld sekarang

 

Jadi, reasoning di baliknya sudah terjelaskan. Kikikanku ngeliat tampang Kurt Angle yang terlalu ramah dan cengar-cengir pas entrance mereka pun sudah mereda. Sekarang kita bisa menikmati pertandingan mereka apa adanya. Banyak keputusan yang aneh but It was fun. Match ini tampak seperti ide-ide gila Vince dilempar dan bergabung menjadi satu. Aku senang peran Kane ternyata lebih besar dari yang kuduga, Kane adalah jagoanku sejak pertama kali aku nonton gulat. Aku juga senang melihat Kurt Angle beraksi kembali, Angle Slamnya hampir membunuh Cesaro! Ini adalah jenis pertandingan yang serunya bakal membuat kita melupakan kekurangan dan keanehan yang ada.

 

 

Gimmick pay-per-view ini sudah semakin menjauh dari yang seharusnya. Hanya ada satu pertandingan TLC, sementara banyak pertandingan lain yang mestinya bisa terimprove jika diberikan stipulasi yang sama, seperti Cruiserweight Championship yang bisa saja lebih baik jikalau menjadi Ladder Match. Secara keseluruhan, ini adalah acara yang susah untuk dinilai, it was ranged from good matches but not memorable, seperti tag team cruiserweight dan women’s championship, to fans favorites yang just have fun.
The Palace of Wisdom menobatkan Finn Balor melawan AJ Styles sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Result:
1. SINGLE Asuka debut dan mengalahkan Emma
2. TAG TEAM Cedric Alexander dan Rich Swann ngalahin The Brian Kendrick and Gentleman Jack Gallagher
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Alexa Bliss retained over Mickie James
4. CRUISERWEIGHT CHAMPIONSHIP Enzo Amore jadi juara lagi ngalahin Kalisto
5. SINGLE Demon King Finn Balor mengalahkan AJ Styles
6. SINGLE Jason Jordan defeating Elias
7. TLC The Shield dan Kurt Angle mengalahkan tim The Miz, Sheamus, Cesaro, Braun Strowman, Kane

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

DEVIL’S WHISPER Review

“I hear voices in my head, they council me, they understand. They talk to me.”

 

 

Alex sudah hampir pasti menjadi pastor sejati, jikasaja dia tidak mendengar bisik-bisik itu. Suara setan yang disebutkan sebagai judul film ini, menariknya, enggak mesti benar-benar berasal dari makhluk mengerikan.

“Kamu yakin kamu mau jadi Pastor?”  sobat cewek – yang kemudian menjadi love interest – menggoda iman Alex saat mereka lagi berduaan. Bahkan seorang Romo yang menjadi semacam mentor dan tempat Pengakuan bagi Alex di gereja pun, terang-terangan meminta cowok lima-belas tahun tersebut untuk menikmati ‘dunia’ dahulu selagi bisa, sebelum dia resmi berkiprah di jalan agama. Di waktu yang bersamaan, Alex menemukan kotak aneh dari dalam lemari peninggalan nenek. Alex dan ayahnya yang penasaran akan sesuatu yang ‘glutak-glutuk’ di dalamnya, membuka paksa kotak tersebut. Oke, mereka kudu menghancurkan kotak. Namun bukan hanya salib milik mendiang kakek yang terbebas ketika kotak terbuka. Ada sesuatu yang mengerikan yang nempel di salib, yang terus merundung Alex yang menjadi sangat terikat oleh salib tersebut. Memberondong pikiran remaja polos ini dengan bisikan dan pikiran negatif. Membuatnya melihat penampakan yang tidak terlihat oleh orang lain. Mengubah Alex menjadi seorang yang sama sekali berbeda. Dan ultimately, korban berjatuhan tanpa bisa ditahan oleh Alex.

Kalo kata iklan deterjen di tivi, “Berani kotor itu baik”

 

Kita hidup di masyarakat yang lebih mudah menyukai seorang pendosa yang insaf ketimbang seorang alim seumur-umur. Devil’s Whisper mengangkat perspektif yang menarik yang mungkin belum pernah ada yang berani mengeksplorasinya, apalagi hari gini. Seorang anak muda yang pengen jadi pemuka agama. Topik orang yang taat beragama cenderung dihindari, konotasinya adalah berpandangan sempit, kaku, dan sama sekali enggak fun. Film ini enggak peduli. Dia enggak takut untuk menunjukkan agama masih mampu untuk melawan kejahatan. Film pun enggak membuat tokohnya sebagai orang yang, katakanlah, cupu dan terkucilkan. Alex punya teman-teman dekat, dia cukup populer untuk punya pacar. Alex adalah anak baik, yang oleh sosialnya dikhawatirkan ‘terlalu’ baik. Tokoh Alex ini  disandingkan dengan tokoh Romo Cutler, yang berperan layaknya pembimbing. Cutler sudah melihat cukup banyak, dia tahu mana yang baik dan buruk, dan dia percaya kepada Alex, so much, sehingga dia pada dasarnya menyuruh Alex untuk melakukan apa yang ia tahu mestinya Alex lakukan sebagai remaja.

Kita harus pernah melakukan kesalahan, karena tanpa pernah  berbuat salah kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menghargai kebenaran.

 

Devil’s Whisper fitrahnya adalah sebuah horor yang MENGEDEPANKAN KETAKUTAN PSIKOLOGIS, makanya horor film ini terasa bekerja lebih baik ketika kita melihat Alex berdiam, pikirannya berlomba, dan kemudian meledak. I’m a sucker for this genre, dan aku memang menemukan ada lapisan ketakutan personal yang menguar kuat dari tokoh utama. Narasi juga punya lapisan subtil menyangkut masa lalu yang menjadi mengakar menjadi trauma bagi Alex. Film tidak pernah menjelaskan dengan terlalu gamblang soal ini, namun membiarkan kita menerawang atas apakah ada hubungan langsung antara perubahan pribadi Alex dengan bertepatannya timing dia dilantik dengan dia memungut salib bekas kakeknya. Kalung salib tersebut jelas adalah pemantik trauma yang tak bisa (atau menurut psikiater Luna Maya, tak mau) diingat oleh Alex. Aku lebih suka jika film tetap pada jalur psikologis, seperti pada adegan pesta di kolam, Alex yang enggak ikutan berenang bersama teman-temannya terbakar api cemburu demi ngeliat teman-temannya saling bersentuhan, bermain di kolam. Di mata Alex, dia ditertawakan, dan kita melihat Alex dengan marah nyebur ke kolam. Menurutku, film dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mengerikan dan dalem jika kita melihat Alex melawan setan yakni dirinya sendiri alih-alih dia seperti dirasuki oleh makhluk halus.

Sesungguhnya horor seperti ini enggak butuh potongan anggota tubuh, atau mayat sekalipun. Kematian sadis tidak menjadi soal di sini. Hanya ada satu kali penampakan mayat yang benar-benar berarti, yaitu di sebuah sekuen involving Father Cutler dan momok masa lalunya. Devil’s Whisper pada intinya adalah tentang trauma masa lalu yang muncul ke permukaan, yang dijahit bersama perasaan insecure seseorang (untuk sebagian besar adalah anak muda) yang timbul dari pilihan hidupnya. Ketika film mulai membahas ke arah supernatural, cerita yang sudah dibangun menjadi kurang meyakinkan. Aku enggak mengerti kenapa dan apa pentingnya tiga orang teman Alex dibuat mati dengan cara yang ‘kecelakaan yang aneh’ secara bersamaan. I mean, thriller psikologis mestinya bisa lebih kuat tersampaikan jika cerita dibuat mendua; apakah Alex yang membunuh mereka. Penggunaan CGI yang acapkali tampak kasar juga tidak membantu. Sosok goib yang membayangi Alex mestinya bisa tampil lebih meyakinkan dalam wujud efek praktikal, atau malah enggak perlu diliatin wujudnya sama sekali.

adik cewek itu basically memang iblis

 

Tampil dengan iming-iming ‘horor sekelas Hollywood’ tampaknya lebih menjadi beban daripada menguntungkan. Sebab produk akhir horor produksi kolaborasi rumah produksi MD Pictures dengan Vega Baby, perusahaan hiburan asal Amerika, tidak semengesankan yang mereka harapkan. Malahan, secara produksi, film tampak seperti karya amatiran. Bukan hanya CGInya yang seperti tempelan, audio, adegan, dan bahkan penampilan para tokoh juga banyak yang enggak masuk dengan tone penceritaan. Editingnya terlihat kasar dan mentah sehingga kita menjumpai detil adegan seperti noda lemparan lumpur dari teman Alex di jendela yang menghilang tak terjelaskan di adegan berikutnya. Ini adalah salah satu contoh film yang punya visi kamera yang baik namun dimentahkan oleh arahan yang konvensional.

Film terlihat berusaha keras untuk menjadi mainstream. Digunakanlah taktik jumpscare, meski sesungguhnya taktik tersebut tidak benar-benar diperlukan dalam konteks cerita dan genre ini. Turut dipakai pula musik-musik yang sekiranya cocok dengan telinga anak muda kekinian. The problem is, karakter film ini tidak pernah benar-benar menjelma menjadi pribadi yang mudah direlasikan oleh anak muda.  Ketika dia menunjukkan sifat dan tabiat yang ‘normal’ untuk standar remaja, karakternya sudah dibuat begitu messed up, wajahnya pucet, matanya nanar, rambutnya mencuat di sana-sini. Luca Oriel yang jadi Alex sangat piawai beradegan muntah, dan hanya itulah yang bisa aku bilang dari penampilannya di sini. Emosi Alex tidak pernah tampak genuine. Mode anak baiknya adalah ekspresi berbinar dan penampilan seramnya berupa memandang kosong dengan dagu rapat ke leher. Tokoh ini berakting sesuai arahan dan that’s just about it. Dialog-dialog ditulis dengan sama standarnya, kalo gak mau dibilang dangkal

Kita punya peraturan dan agama masing-masing. Kita beriman kepadanya supaya kita merasa aman. Tapi ketika peraturan tersebut mulai terlanggar, kita mulai mempertanyakan kepercayaan kita. Suara-suara yang didengar Alex adalah suara pendosa yang mempertanyakan semua itu. “Tuhan pembohong!” cecar suara itu. Padahal itu sebenarnya adalah suara yang sama dengan yang tadinya memantapkan Alex menjadi pendeta.

 

 

Tontonan horor dengan tema religi yang kental yang terhambat oleh bisikan-bisikan yang menyarankan dirinya tampil mainstream dan enggak benar-benar memilih jalur yang revolusioner. Mencoba untuk menggali horor lewat jalur psikologis, namun tetep masih bertumpu pada jumpscare, sekuens kematian yang terlalu dilebihkan, dan personifikasi hantu dengen efek komputer yang masih kasar. Film ini hampir menjadi benar, hanya saja tak mampu (atau mungkin tak mau) untuk melebihi pakem ataupun trope-tropenya.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DEVIL’S WHISPER.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

HAPPY DEATH DAY Review

“The definition of insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results”

 

 

Bagi Tree, hidup adalah film slasher pribadi – sebuah mimpi buruk yang tidak berhenti, akan tetapi senantiasa terus berulang. Kehidupan Tree membentuk lingkaran sempurna saat hari ulang tahunnya menutup menjadi hari kematian. Dan Tree terbangun hanya untuk mengulangi lagi satu hari spesial tersebut. Tentu saja tidak butuh waktu banyak bagi Tree untuk menyadari hal ini; Hanya beberapa hari, dan itu itungannya tetep sehari bagi Tree hehehe. Pagi berikutnya dia terbangun di kamar kos cowok yang sama (as opposed to various), berjalan teler melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang persis seperti yang sudah ia lihat kemaren, dikasih surprise cupcake oleh teman sekamar, disirikin oleh saingan Regina Georgenya, dan malamnya disatroni oleh seorang misterius bertopeng bayi yang ngebet pengen ngebunuhnya, Tree langsung tahu dia harus segera menyibak siapa orang yang berusaha membunuhnya supaya dia bisa mencegah kematian dan hopefully mengembalikan hidupnya ke alur yang normal.

Akan butuh banyak banget kematian yang kejam untuk menyelamatkan satu nyawa.

 

Menjalani hidup yang itu-itu saja mungkin membosankan. Beberapa orang toh merasa nyaman dengan repetisi. Tetapi, melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda, jelas adalah satu kegilaan. Dan adalah suatu kebegoan untuk terus jatuh ke lubang yang sama. Happy Death Day menunjukkan bahwa  yang terbaik dari kita sekalipun kadang harus gila, atau bego dulu, sebelum bisa berkembang dan keluar dari lingkaran penderitaan.

 

Bayangkan film Mean Girls (2004), lalu taroh karakter cewek plastiknya ke dalam situasi yang sama dengan yang menimpa Bill Murray di Groundhog Day (1993), aduk rata, kemudian ditaburin kejutan-kejutan horor slasher whodunit ala Scream (1996). Itulah resep membuat kue tart Happy Death Day.  Dan kue tart yang satu ini rasanya sangat meriah. Berbagai macam rasa ‘cerita’ loop yang sudah pernah kita cicipi, bergabung menjadi satu. Belum lama ini Zoey Deutch di film Before I Fall (2017) juga terbangun di hari yang sama, dan terus mengulang kejadian over and over – Happy Death Day basically mengikuti alur cerita yang sama, Tree juga harus belajar menjadi orang yang lebih baik, tapi film ini melapis perjalanan innernya dengan gimmick thriller. Film ini tidak sesendu drama Before I Fall. Dari semuanya, Groundhog Day lah yang berpengaruh paling kuat. Malahan, film ini sadar diri dan mengakui hal tersebut. Ada adegan di mana satu tokoh beneran nyebut tentang film tersebut saat Tree lagi curhat soal apa yang ia alami. Namun alih-alih nostalgia, Happy Death Day adalah film yang kekinian.

Film ini digarap dengan sangat komersil. Sutradara Christopher Landon yang menulis film-film Paranormal Activity sudah barang tentu tak asing dalam mengolah cerita yang mudah disukai oleh banyak kalangan, khususnya remaja. Filmnya tampak sangat cantik, sekuens kejar-kejarannya exciting, aku suka arahan Landon ketika menangani blocking di sekuens aksi film ini. Happy Death Day tidak pernah menjadi terlalu serius. Tone film ini benar-benar mengejutkanku, aku tidak menyangka film ternyata LIGHT-HEARTED, KOCAK, DAN SANGAT ENJOYABLE. Kalo mau dibandingin, menonton Tree di sini membuatku teringat sama Emma Roberts dan perannya sebagai Chanel di serial Scream Queens.

Attitude dan karakter Tree yang membuat film ini begitu menyegarkan untuk ditonton meskipun cerita seperti ini sudah berulang kali kita dapatkan. Jessica Rothe melakukan banyak permainan emosi, juga sangat ekspresif. Memainkan Tree adalah sebuah perjalanan yang fisikal, dengan lapisan psikologis, dan Roth melakukan pekerjaan yang fantastis di sini. Tree mungkin adalah tokoh pertama yang mengemban tugas sebagai tipikal tokoh ‘jalang’ yang bakal mati duluan dan cewek heroin yang selamat berkat kebaikannya sekaligus.

Sebagai cewek populer, Tree berlaku kasar sama semua orang. Ada adegan kocak ketika dia membuat daftar orang-orang yang sekiranya punya motif untuk membunuh dirinya, dan dia kewalahan sendiri begitu sadar bahkan pengemudi uber pun pernah ia kasarin dan berkemungkinan menyimpan dendam kesumat. Di sekitar midpoint, kita ngeliat penggalan-penggalan yang sangat lucu saat Tree menguntit para ‘tersangka’ satu-persatu, hanya untuk menemukan bahwa mereka tidak bersalah dan dia membiarkan dirinya terbunuh oleh si Pembunuh Berwajah Bayi yang muncul menyerangnya dari tempat tak terduga. Lama kelamaan memang adegan pembunuhannya tidak lagi seram, malah berubah menjadi lawak.

Terkadang bukanlah kesempatan yang banyak yang kita perlukan. Pada akhirnya, yang benar-benar diperhitungkan adalah tindakan yang kita pilih untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Perubahan itu harus kita sendiri yang memulai.

 

Dalam perjalanannya, film ini tidak lagi terasa seperti horor buatku. Tree yang dibunuh terus, kemudian mengulang lagi pencariannya, malah menjadi seperti permainan video game dengan nyawa tak terbatas. Tonenya yang ringan dan cenderung tidak-serius juga turut membantu raibnya faktor-taku tersebut, meskipun film memang menaikkan taruhan dengan menetapkan kondisi Tree semakin melemah setiap kali dia terbangun dari keadaan terbunuh. Jika kalian penggemar horor yang ada jumpscarenya, mungkin kalian bahkan lebih terhibur lagi daripada aku saat menonton ini. Ada banyak taktik jumpscare yang digunakan untuk memancing rasa takut, sayangnya sebagian besar lemah banget untuk membuat kita beneran kaget.

Cerita yang klise tidak memberikan banyak ruang untuk kejutan. Dan bicara soal kejutan, film ini punya dua momen gede sehubungan dengan identitas pelaku. Tentu saja, sebelum pengungkapan terdapat sejumlah red-herring yang ditebar. Film ini banyak banget red herringnya,  setiap dari mereka langsung tereliminasi dengan dibunuh langsung oleh the real culprit. Masalahnya adalah, pengungkapan identitas pelaku tampak begitu berjalan-sesuai-skema. Kita tidak merasa begitu terkejut. Di bagian false resolution, pengungkapannya memang tidak memuaskan. Dan ketika resolusi yang sebenarnya datang, it just doesn’t hold together, tidak terasa benar-benar masuk akal.

Hidup seolah tak ada hari esok, literally

 

 

 

Toh, film ini memang menghibur. Aku tidak menyangka mereka mengolah misteri dengan konsep ‘mengulang hari’ menjadi sajian yang ringan. Ada banyak adegan yang diolah untuk memancing kelucuan alih-alih kengerian. Perjalanan inner Tree tidak ditangani dengan dramatisasi berlebihan. Tapi itu bukan berarti film ini serta merta bagus. Landon paham bagaimana harus mengikuti selera pasar, khususnya remaja-remaja putri. Kekerasan dibuat minimal. Aksi-aksi fisik jatohnya kocak. Film ini menyenangkan untuk dinikmati pada permukaan. Dalam tingkatan yang lebih dalam, however, tidak banyak kejutan yang diberikan. Ceritanya klise. Lebih seperti gabungan plot-plot sejenis, hanya saja digarap dengan visi supaya menjadi menyenangkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for HAPPY DEATH DAY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

ONE FINE DAY Review

“We lie best when we lie to ourselves.”

 

 

Syuting ke luar negeri, bagi film Indonesia, ekuivalen dengan penggunaan efek komputer yang canggih. Semacam, PH punya duit banyak, namun teknologi yang ada belum memadai, jadi yeah film-film lokal banyak stak dengan cerita berlayer sedikit (malah sering juga satu) dan sebagai gantinya mengandalkan kepada jalan-jalan ke tempat mewah penuh pesona peradaban kayak New York, London, Amsterdam, Paris. Dan kali ini Barcelona. Film-film jenis begini musti mampu menjalin cerita yang benar-benar mengconvey kota yang dijadikan latar, membuat cerita beserta karakter-karakternya punya kepentingan untuk berada di sana. Paling enggak, mereka harus bisa menjelaskan lebih dari sekadar “dunia ini sempit” kenapa pelancong dari Indonesia kerap bertemu ataupun rasanya banyak banget orang Indonesia di negara tersebut. One Fine Day, misalnya (bukan yang film George Clooney dan Michelle Pfeiffer loh ya),  film ini memasukkan elemen pengawal pribadi yang membuat ceritanya memang kudu terjadi di luar negeri.  Elemen musik dengan genre  yang lagi hits juga dibuat film ini sebagai salah satu alasan kenapa ceritanya harus berlokasi di Barcelona.

nyaingin Despacito ni yee

 

Aku sendiri juga sebenarnya enggak punya kepentingan apa-apa pergi nonton film ini. Aku tahu benar drama cinta anak muda kekinian bukanlah genre yang biasa kunikmati. Aku gak ngefans sama pemain-pemainnya. Aku gak pernah mimpi jalan-jalan ke Barcelona. Niatku adalah paling enggak, keluar dari studio aku bisa bikin tulisan yang mengedukasi gimana sih drama yang bagus itu semestinya. Jadi, aku masuk mengharapkan yang terburuk. Dan film ini  ternyataaa….. sepertinya judulnya, IT WAS FINE. Digarap dengan cukup kompeten. Punya skenario yang strukturnya bener. Dari tokoh-tokohnya juga, film ini punya sesuatu yang ingin disampaikan. Ada titik ketika film terasa jadi terlalu dramatis sih, ada bagian-bagian ketika cerita menyerah ke kepentingan untuk bikin baper penonton sebaper-bapernya, dan para aktor benar-benar up for it. Penampilan mereka tepat menghasilkan kesan dan reaksi seperti yang ditargetkan.

Jefri Nichol di sini berperan sebagai Mahesa, seorang yang easy going, sepertinya sedikit slengekan, dia beredar banget di jalanan, dia menyapa orang-orang, terutama cewek. Polisi juga tampak kenal padanya, “hey kamu, jangan lari!” hihihi. Mahesa ini anak band juga, a shirtless band, yang dari main di jalanan bersama dua temannya, sekarang mereka terkenal di youtube.  Dalam rentang sepuluh menit pertama, kita diperlihatkan gimana Mahesa dan kedua temannya itu ngescam cewek cakep yang kaya dan desperate. Itulah yang trio ini lakukan di waktu senggang mereka – yang mana hampir sepanjang waktu – nilep duit cewek dengan memanfaatkan kegantengan Mahesa. Susah untuk peduli pada karakter ini di awal,  apalagi stake cerita ini personal banget bagi Mahesa, dan kita butuh untuk segera di belakang tokoh ini. Namun melakukan itu bahkan lebih susah lagi ketika sedikit demi sedikit pribadinya terbuka. Karena, Mahesa jatuh hati pada Alana’s Michelle Ziudith, dan di sekitar cewek itu Mahesa nunjukin sisi baik, namun kita masih gak yakin apakah baiknya itu beneran dari hati atau muslihat si Don Juan.

KEBOHONGAN DAN KEJUJURAN menjadi tema utama cerita yang muncul berulang dan menjadi benang merah antara tokoh-tokoh yang ada. Bagusnya, benang tersebut enggak tersimpul atau malah putus di akhir. Setiap tokoh diberikan resolusi memuaskan, meskipun beberapa cheesy. Tokoh bodyguard pun mendapat subplot yang sejajar dengan tokoh-tokoh mayor sehingga Surya Saputra yang bermain really contained tidak terlihat seperti tokoh yang out-of-place. Alana, aku sempat cuek juga sama tokoh ini, keinginannya sepertinya cuma punya pacar. You know, kita liat dia duduk sendirian, terus entah kenapa dia punya bodyguard. Tapi kemudian as the story goes, kita mengerti dia sudah punya cowok, dia enggak bahagia dengan relationshipnya, dan bodyguard itu ditugaskan oleh si cowok untuk menjaga Alana ke mana-mana.

Setiap kita pernah gak jujur kepada orang lain, pura-pura, ngeles, atau malah kayak Mahesa – penipu ulung. Namun, kita adalah pembohong yang sangat baik ketika kita berbohong kepada diri sendiri. Pesan inilah yang menggarisbawahi narasi. Sebagian besar poin cerita yang terlihat  lemah di awal; Aku mencibir ketika Mahesa bilang ke Alana “Saya yang bisa jaga kamu” dan Alana percaya, sebab aku masih ingat Alana pertama kali ketemu Mahesa; Dia ngeliat sendiri Mahesa lagi ngedate sama cewek bule, kemudian dia dihajar oleh penagih hutang, di meja kafe. Meski dari sisi Mahesa itu hanya skenario, tapi kalo jadi Alana, aku akan takut pacaran sama orang ini, apa jaminannya dia enggak berantem lagi. Juga poin cerita yang belum-terjelaskan; karena selalu dikawal, Alana ingin bersama orang yang membuat ia merasa bebas, walau mungkin kebebasan tersebut ada harganya. Kemudian datang adegan yang kontras dengan itu, ketika Mahesa nyuruh Alana untuk diam di tempat, dan Alana benar-benar enggak bergerak. Tidak bisakah ia melihat Mahesa gak begitu berbeda dengan cowoknya? Poin-poin cerita tersebut, juga hubungan yang rasanya terjalin terlalu cepat antara Mahesa dan Alana, ternyata bekerja dengan baik dalam konteks pesan ‘kita penipu ulung diri sendiri’

Setiap karakter film ini berbohong kepada diri mereka. Danu, pacar Alana, tahu bahwa Alana gak cinta kepadanya, jadi dia memakai pengawal untuk menjaga agar Alana tidak diambil orang. Danu bohong kepada dirinya sendiri, dia bertindak seolah Alana ada di dekatnya karena cinta, karena nyaman. Tapi enggak. Begitu jua dengan Alana; dia tahu rasa cintanya kepada Danu sudah tergantikan oleh Mahesa, tapi dia tetap balik ke Danu ketika dia mendengar di balik apa yang selama ini dilakukan Mahesa. Cuma Mahesa yang enggak bohong ke diri sendiri, dia hanya bohong kepada orang lain. Mahesa dengerin kata hati, dan ultimately dia belajar untuk tidak bohong sama sekali.

Kita bohong kepada hati. Kita cenderung suka mengabaikan kata hati sendiri hanya demi nyenengin orang lain. Hanya demi memuaskan kebutuhan yang enggak benar-benar kita perlukan. Hanya demi secuil rasa security.

 

Dari nonton film ini, sepertinya aku jadi bisa ngerti kenapa drama cinta Indonesia itu kebanyakan kayak dibuat-buat, gak genuine. One Fine Day adalah cerita yang mature by nature, konfliknya dewasa. Bicara soal kejujuran, soal passion, pilihan hati. Aku paham film ingin membahas sesuatu yang serius dalam tone yang lighthearted, namun tetep terasa ada batasan-batasan adegan yang tidak bisa dilakukan. Tokoh dalam film ini mestinya sudah dewasa, tapi gak benar-benar meyakinkan karena acapkali mereka terasa seperti anak baru gede. Di sinilah letak masalahnya. Tokoh-tokoh tidak meyakinkan, mereka tidak terasa nyata karena tidak bertindak dalam bingkai-usia yang benar. Dialognya sering revert back ke kutipan-kutipan yang cheesy. Film ini juga catering ke pasar terlalu banyak dari yang semestinya mereka lakukan. Penggarapan filmnya, arahan, cara pengadeganan diolah untuk menyampaikan pesan masih mengandalkan trope dan pancingan dramatis yang over. Dalam film ini kita akan melihat montase pacaran, lengkap dengan musik yang ngehip. Soal musik, ya eksesif sekali, maksudku, mereka memasang di adegan sedih seolah akting nangis Ziudith belum cukup untuk menyampaikan rasa. Narasi juga terasa convenient. Ada banyak kebetulan yang terjadi, seperti kebetulan sekali cewek-cewek yang ditipu oleh Mahesa dan teman-teman tidak pernah nonton video youtube mereka atau melihat mereka nampil. But mainly, kebetulan-kebetulan digunakan oleh film untuk memancing tawa ataupun sepercik drama tambahan.

ini cuma aku sih, tapi aku cukup kecele oleh judul, kirain ini film real-time satu hari

 

 

Pada akhirnya semua plot keiket. Yang jahat kena batunya. Yang baik muncul ke permukaan dengan bahagia. Menari dan menyanyi. Berpelukan. It’s a fine day for everyone. Dan aku enggak akan bohong, ini adalah film yang oke. Punya cerita untuk disampaikan, dan tau cara menceritakannya. Kalian bisa ngajak seseorang yang spesial untuk nonton bersama, dan belajar soal kepercayaan. Kejujuran dan kebohongan. Tapi hanya itu. This movie doesn’t break any ground, or taking risk, atau menjadi lebih menantang – atau bahkan lebih dewasa, or anything else di luar jangkauan target pasarnya. If anything, justru malah bisa jadi lebih baik lagi jika tidak terlalu terpaku kepada trope-trope drama.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ONE FINE DAY.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

WIND RIVER Review

“Nothing burns like the cold.”

 

 

Kuda dan hewan ternak di pegunungan bersalju kawasan reservasi pribumi Amerika pada tewas dimangsa oleh hewan-hewan liar. Serigala. Oke, masih mending. Singa gunung. Well, now there’s a problem. Orang-orang pada umumnya gak mau berurusan dengan singa, Cory Lambert malah memburu kucing gede itu dengan motor salju dan senapan. Sebab itulah pekerjaan mantan pemburu tersebut, dia mengurusin masalah hewan liar yang mengganggu kedamaian ternak di sana. Saat melacak jejak singa di padang salju, Cory menemukan jejak lain yang mengawalnya ke mayat cewek Indian remaja. Tempat dan kondisi yang sangat mengenaskan untuk beristirahat selamanya; paru-paru meledak, telapak kakinya yang tanpa sepatu biru membeku.

Jelas bagi Cory, ada predator lain yang lebih berbahaya yang harus ia buru.

 

Sebuah misteri pembunuhan, akan tetapi sesungguhnya Wind River adalah cerita yang sangat manusiawi yang punya bobot dan hook lebih dari sekadar siapa sih pelakunya. Sedari bait-bait puisi yang menjadi narasi mulai bisa kita dengar, setiap dimensi cerita yang dimiliki oleh film ini penuh oleh simbolisme. Wind River melengkapi trilogi bertema pria yang berada di dua sisi hukum buah tangan penulis skenario Taylor Sheridan. Dan kali ini, tidak seperti Sicario (2015), dan Hell or High Water (2016), Sheridan mengomandoi sendiri skenario yang ia tulis. Nulis dan jadi sutradara itu beda banget, enggak banyak yang bisa cakap pada kedua bidang sekaligus. Untungnya bagi Taylor Sheridan, dia sudah berpikir layaknya sutradara dalam setiap skenario yang ia buat. Dia punya pandangan luas tentang keadaan masyarakat, apa-apa yang menjadi salah dalam pandangan khalayak, dan hal tersebutlah yang diekspresikan olehnya. Dan hal tersebut bukan sekadar justifikasi tindakan moral yang lantang ketimbang menohok, Sheridan membuat cerita yang ditulis (dan kali ini digarapnya) menghantui layaknya puisi.

Dialog-dialog mengalir dengan brutal. Sementara di belakangnya, visual dan lingkungan tergambarkan persis seperti salju putih itu; DINGIN DAN SUNYI. Para aktor penampil mendapat arahan yang sangat baik, semua orang di sini tampak berada di puncak penampilan aktingnya masing-masing. Jeremy Renner menghilang ke dalam perannya sebagai Cory. Dia berurusan dengan masa lalu yang pahit – dia juga kehilangan anak perempuan – dan hal tersebut menjadi jembatan baginya untuk terkoneksi dengan warga-warga lokal di daerah tersebut. Terutama kepada ayah mayat cewek yang ia temukan, yang diperankan dengan sama fantastisnya oleh Gil Birmingham. Martin akan bikin kita terenyuh, ini adalah karakter yang penuh bukan saja oleh duka nestapa, melainkan juga oleh amarah, lantaran perlakuan yang didapat oleh keluarga dari pemerintah. Dan ultimately oleh dunia. Konflik yang dihadapi oleh Martin dan Cory sangat paralel, setiap adegan yang melibatkan mereka berdua saling curhat dan menghibur – dengan cara dingin film ini – adalah adegan yang kuat dan sangat menyentuh.

aku punya perasaan tak terjelaskan bahwa nama Indian si Cory ini adalah Hawkeye.

 

Wind River adalah salah satu dari sedikit film yang berhasil menjadikan lokasi sebagai karakter tersendiri. Kota yang diambil dari kota beneran, lengkap dengan masalah beneran di Amerika, punya peran yang penting di dalam cerita. Kota tersebut mempengaruhi penduduk yang tinggal di sana. Ada kegelapan, hypothetically, yang timbul dari kota yang dirasakan oleh penduduknya. Film benar-benar menangkap hal tersebut. Cory dan penduduk Indian lain stak di sini, di kota yang hanya ada salju dan tak banyak yang bisa dilakukan, dan mereka juga nyaris tidak dipedulikan oleh pemerintah. Ada banyak poin yang nunjukin susyenya birokrasi penyelidikan kasus, yang menunjukkan betapa tak-adil perlakuan yang penduduk kota ini dapatkan. Teks di akhir film literally bikin aku speechless, fakta dan kebenaran itu memang menyeramkan.

Apa persamaan antara salju, duka, dan menjadi Indian di tanah reservasi Wyoming? Sama-sama dingin dan sunyi. Itulah yang dirasakan oleh Cory dan penduduk Wind River. Mereka terpaksa tinggal di tempat yang dicuekin oleh pemerintah, oleh dunia, dan mereka tak bisa melakukan apa-apa selain menerimanya saja. Seperti menelan duka kehilangan. Kita terus mengingat orang yang telah meninggalkan kita, walau pahit, hanya karena kita enggak mau kehilangan kenangan dan hal-hal bahagia bersamanya. Dalam perkembangan diri, demi survival, Cory tahu Wind River adalah tempat yang memohon ada kejadian terjadi kepadanya, meski buruk, thus Cory will hunt them. Sebab tak ada lain yang bisa dilakukan Cory sebagai pemburu, dan batasan buruk bagi dirinya terpampang di kalimat “Singa harus berburu, tapi tidak pada ternak.”

 

Untuk mewakili penonton, film memasang tokoh Jane, si FBI cewek, yang dikirim untuk menangani kasus. Tokoh yang diperankan Elizabeth Olsen ini adalah orang dari luar kota. Saat datang pertama kali, Jane malah ‘salah kostum’. Pakaian yang ia bawa tidak ada yang mampu membuatnya bertahan hidup di cuaca sedingin Wind River. Bersama Jane kita akan belajar banyak atas apa yang terjadi pada kota dan bagaimana kota tersebut mempengaruhi penduduk. Biasanya, karakter kayak gini digambarkan oleh film-film sebagai tokoh yang lemah, dia mendapat banyak bantuan. Tak nutup kemungkinan juga tokoh yang annoying, dia akan banyak nanya-nanya dan dalam keadaan tak mengerti yang konstan. Jane, memang, banyak bertanya dan dia jujur-jujur bilang butuh bantuan kepada Cory. Kemampuan melacak Cory superior daripada yang ia punya. Tetapi Jane bukanlah karakter yang lemah. Dia tidak perlu diselamatkan setiap sepuluh menit sekali. In fact, dia membuat banyak pilihan. Dan, oh boy, dia benar-benar mengambil tindakan.

Untuk begitu lama, film ini mempersembahkan diri sebagai drama. Karena memang ini bukan film aksi. Namun, menjelang akhir, orang-orang berguguran, kejadian menjadi menegangkan. Kelanjutannya bahkan lebih brutal dan intens lagi. Porsi aksinya dibangun dengan cara yang sangat keren, sekitar sepuluh orang bersenjata berdiri siap menembak, stand-off tersebut tergambar dengan cara yang keren dan bikin kita gigit jari sambil melempar pandangan mata ke kanan dan ke kiri. Kita enggak yakin kelompok mana yang lebih terintimidasi, kita harap-harap cemas mana yang salah langkah duluan, yang menarik pelatuk duluan. Semua yang terlibat sama-sama takut, dan di momen krusial tersebut Jane mengambil tindakan. Adegan yang sangat memuaskan yang hanya bisa ditandingi oleh kejadian di babak terakhir di puncak gunung. Aku gak mau spoiler tentang adegan ini, karena perasaan cathartic yang kualami saat melihatnya sungguh-sungguh melegakan, super tegang namun puas secara emosi.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Wind River begitu sadis menangkap bagaimana sebuah tempat, lokasi yang dipaksakan untuk lama ditinggali oleh kita, dapat mendikte pandangan kita terhadap keseluruhan dunia. Membuat kita terkurung, mencegah kita berkembang ataupun melakukan hal-hal yang lebih selain bertahan hidup.

 

 

 

Tak pelak, film yang mengangkat masalah dunia nyata ini penting untuk ditonton. Taylor Sheridan menangkap sesuatu yang lebih putus asa, yang lebih gede dari kriminal biasa, dan itu adalah tentang keserampangan hidup manusia yang disebabkan oleh keadaan emosional yang mengurung. Duka adalah tempat paling sepi untuk tinggal, namun terkadang kita harus tetap tinggal di sana. Seperti orang-orang di reservasi Indian yang tak bisa pindah. Dalam film ini disebutkan teori forensik tentang seberapa cepat dingin dapat membunuh orang, well, dalam lapisan terdalamnya film berkata tentang seberapa cepat dinginnya perlakuan dapat membuat orang melakukan hal-hal yang di bawah derajat moral.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for WIND RIVER.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Hell in a Cell 2017 Review

 

Tidak akan ada lagi pertandingan Hell in a Cell di era PG yang lebih hebat dan lebih kreatif  dari dua pertandingan HIAC yang kita saksikan di PPV Smackdown malam ini. Serius deh, sepertinya tidak akan pernah lagi.

Early on, kita dibuat bersorak seru oleh pertandingan HIAC yang mempertemukan New Day dan The Usos yang sejak Money in the Bank bulan Juli lalu sudah berturut-turut bikin kita takjub dengan pertandingan berkualitas tinggi. Kali ini, untuk pertama kalinya ada tag team dalam environment kandang raksasa, dan peraturan tornado tag – yang basically ‘enggak-ada peraturan’ – kedua tim malah tampak semakin bebas lagi mengekspresikan keliaran mereka. Segala macem senjata dibawa keluar; tongkat kendo, kursi, rantai, bahkan gong dan cowbell,  dipergunakan dengan kreatif. And it was really violent. Ada satu spot di mana Woods memukul wajah Uso mentah-mentah dengan tangan berbalut rantai. New Day tampak menunjukkan bahwa mereka bisa bermain serius, they play hard and work even harder. Sedangkan Kembar Uso just totally sadis. Mereka perlu banget buat ngewujudin Uso Penitentiary semengerikan yang mereka bisa. Rasa saling benci menguar banget di antara kedua tim. Mereka ingin menyiksa lawan. Kendo Stick dijadikan kurungan mini oleh Woods dan Big E, dan kemudian Uso membalas dengan memborgol kedua juara bertahan. Seolah mereka ingin mereka adegan film Gerald’s Game (2017), langsung ke bagian penyiksaannya. Dalam match brutal ini ada banyak momen ketika kita menyangka satu tim bakalan menang, namun hitungan satu-dua- tersebut tidak sampai ke tiga.

Harus ada yang ngingetin Jimmy dan Big E bahwa terjun kepala duluan ke luar arena berkandang itu adalah hal yang berbahaya

 

Bakalan susah untuk menandingi keseruan  tornado tag HIAC tersebut, tapi WWE paham dan mengajak kita untuk sama-sama berpikir di luar kotak. As in kandang Hell in a Cell adalah kotak, dan mereka mulai mengeksplorasi bagian luar dari kandang tersebut.

Shane McMahon dan Kevin Owens memberi kita suguhan aksi yang mengerikan, kita dibuat literally berjengit setiap ada tubuh yang terbanting keras. If anything, stipulasi ‘falls count anywhere’ yang ditambahkan di menit-menit terakhir episode Smackdown sebelum PPV mengisyaratkan bahwa pertandingan ini akan berakhir begitu satu aksi dahsyat dieksekusi. Pertanyaan bagi kita yang menonton adalah Aksi yang Mana? Ada begitu banyak crash-and-burn yang ikhlas dilakukan oleh kedua competitor, kita melihat Owens menjadi bola kanon menghancurkan meja, kita menyaksikan Shane terbanting keras setelah menyebrang Coast to Coast, dan liat gak sih gimana setelah terjun dari kandang tubuh Shane mantul keras di meja? Shane melakukan banyak moves yang kita gak sangka bisa ia lakukan, berkali-kali orang ini bikin kita respect sama dia. Aku sendiri takjub banget dia bisa ngecounter Pop Up Powerbomb menjadi Triangle Choke. Dan ketika mereka berdua memanjat kerangkeng dan bertarung di atas kandang, mataku sudah tak bisa menyipit lebih kecil lagi. Aku nutup mata setiap kali ada dari mereka yang kebanting. Ngeri dan ngarep bercampur menjadi satu. They played it off so good, ngetease ada yang terjun.

Tapi tentu saja, ada alasannya kenapa Mick Foley menjadi legenda. Enggak semudah itu bikin spot kelempar dari atas, dan ketika Owens dan Shane turun kembali, penyelesaian mereka dilakukan setengah dari ketinggian kandang, I don’t mind. Malah justru sedikit lega. Namun ternyata, tentu saja itu semua hanyalah false resolution. Karakter kedua superstar juga tampil kuat di sini. Shane McMahon, mungkin memang sedikit pantang-tak-top, menolak selesai sebelum terbang. Dan ini menghasilkan efek dramatis, bukan saja karena sekali lagi sifatnya itu yang membuat dia kalah, tetapi juga menghasilkan semacam insult subtil buat Kevin Owens. Beberapa menit sebelumnya kita melihat Owens berperang dengan dirinya sendiri, dengan galau frustasi mutusin terjun menyerang Shane dari atas kandang atau tidak – ini juga worked out nicely dengan karakter Owens, for he is one calculated and smart fighter.

Judul theme Owens: Dedek Gemes. “De-de-de-dek, De-de-de-dek. De-de-de-dek, De-de-de-dek, messshhh!”

 

Kita bisa menjadi penjahat dengan mengkhianati teman. Namun WWE adalah gulat. Dan gulat itu gila. Di sini kita juga bisa menjadi penjahat karena  membantu seorang teman.

Twist gede di akhir match adalah bukti dari berpikir di luar kotak yang ditekankan oleh WWE. Skenario gulat adalah soal unpredictability, dan aku yakin enggak banyak orang yang memprediksi apa yang dilakukan oleh Sami Zayn. Build up dari tindakan mengejutkan tersebut sudah ditanam bukan hanya di beberapa episode Smackdown leading up to this show, tapi mereka juga bisa mengatakan bahwa dinamika Owens dan Zayn sudah menghantarkan kita kepada resolusi ini. It was interesting untuk melihat apa yang bisa mereka lakukan dari cerita ini. Menyaksikan match ini, dan juga HIAC tag team di awal acara, akan mengingatkan kepada kita kenapa kita suka nonton gulat sedari awal. Kita butuh cerita yang meyakinkan, sekaligus aksi yang seru dan brutal. Di Warung Darurat saat nobar, kebetulan ada dua pengunjung non-wrestling fan, dan bahkan mereka berteriak seru menyaksikan main event Shane lawan Owens.

Kadang kita memang harus BERPIKIR OUTSIDE THE BOX, tapi tentu saja ada alasannya kenapa harus ada box in the first place. Kaitannya dengan Hell in a Cell adalah, pertandingan-pertandingan lain yang tidak featuring HIAC, tidak bekerja dengan begitu baik. Sabuk tertinggi mestinya dikonteskan di HIAC, namun kita malah mendapat pertandingan normal yang begitu normal sehingga membuat Jinder Mahal dan Shinsuke Nakamura tampak membosankan. Alih-alih intens, feud kedua superstar Asia ini malah konyol. Mereka ngebuild Mahal dengan sangat lamban, dia tidak diberikan banyak tindakan heel untuk dilakukan selain mengejek fisik dan kebangsaan Nakamura. Offense sang Maharaja di atas ring pun tidak spesial. Begitu juga Nakamura; here they have a King of Strong Style, dan WWE seperti gak tau harus membangunnya seperti apa. Mereka menyebut Nakamura sebagai The Artist dan so far, hanya entrancenya saja yang tampak unik.

Dolph Ziggler ada benarnya soal  lebih sering daripada enggak WWE kebanyakan gaya. Flashy entrance bekerja sebagai pelengkap karakter, bukan sebaliknya. It’s a part of the gimmick. Apa yang mereka lakukan di atas ring tersalurkan, tersirat dalam aksi entrance. Namun, sekarang banyak yang enggak dibook live up ke entrance atau bahkan ke gimmick mereka. Seolah sekarang mereka cuma punya entrance untuk unjuk kebolehan. Nakamura, Mahal, Bray Wyat di Raw, bahkan Bobby Roode adalah beberapa contoh untuk kasus ini. Mereka tidak diberikan aksi yang cukup untuk mendukung gimmick atau karakter mereka. Roode di debut PPVnya ini tidak bersinar sama sekali. Begitu musiknya habis, aksinya keliatan generik, dan ini tentu saja adalah salah bookingan; skrip dan arahan.

Tye Dillinger semestinya dimasukin ke U.S. Championship sedari awal, atau – demi karakternya – tidak sama sekali. Dan kenyataannya memang match tersebut adalah untuk memberikan jalan kepada Styles naik ke kompetisi papan atas, sekaligus memberikan Corbin pushnya yang tertunda. Sedangkan Dillinger, meski berbakat dan cukup over, tak lebih dari replacable piece.  WWE kerap menaroh orang yang salah di tempat yang salah. Natalya dan Charlotte sepertinya lebih baik bertukar peran sebab sebagai heel Natalya boring dan sangat basic, dan Charlotte memang lebih dominan sebagai antagonis daripada sebagai babyface. Dan Orton-Rusev, oh boy, apa faedahnya bagi Orton memenangkan ini? Rusev juga mengalami kekalahan terus menerus dari feud yang ia kobarkan sendiri. Rusev need this more than Orton, harusnya match berakhir saat Rusev ngecounter RKO dengan Accolade entah dari mana! Dan certainly aku gak masalah harus ngerayain Rusev Day sekali-kali.

 

 

 

 

Yang worth ditonton adalah pertandingan paling awal dan paling akhir. Di antaranya terasa dipanjang-panjangin. Show ini mencapai note yang sangat tinggi, namun juga sangat gak konsisten. Drama yang kuat – pertandingan mereka terasa sangat personal, dan diimbangi oleh aksi yang violent yang memenuhi harapan kita tentang bagaimana seharusnya Hell in a Cell match dilaksanakan, The Palace of Wisdom menobatkan New Day melawan The Usos sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

Full Result:
1. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP HELL IN A CELL TORNADO TAG Jimmy dan Jey Uso merebut sabuk dari Xavier Woods dan Big E
2. SINGLE Randy Orton ngeRKO Rusev
3. WWE UNITED STATES CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Baron Corbin mengalahkan AJ Styles dan Tye Dillinger
4. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte Flair menang DQ atas juara bertahan Natalya
5. WWE CHAMPIONSHIP Jinder Mahal retains over Shinsuke Nakamura
6. SINGLE Bobby Rhodes sukses debut dengan curang ngalahin Dolph Ziggler
7. HELL IN A CELL Kevin Owens menang dari Shane McMahon

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

 

 

 

BLADE RUNNER 2049 Review

“Our memories are not always our own”

 

 

Di masa depan, waktu di mana mobil bisa melayang, kota-kota menjulang, hologram dan teknologi sudah pesat berkembang, tetapi lingkungannya sangat suram. Tidak adakah manusia yang menjaganya? Masa depan adalah waktu di mana manusia telah tersesat, sementara robot-robot android yang mereka bangun mengetahui persis apa yang jadi keinginan hidupnya; ingin menjadi manusia. Ironi itulah yang menjadi tema utama di balik beragam dimensi cerita Blade Runner 2049.

Satu lagi cerita pinokio, pencarian jawaban terhadap eksistensi, hanya saja digarap dengan nuansa filosofis kental menghiasi penceritaan yang sangat kuat. Memancing emosi dan pikiran. Meskipun eksterior film suram dan dingin banget, kota-kota gelap, San Diego udah beneran kayak kota sampah di salah satu adegan, ada hati yang hangat berdenyut di dalam cerita. Statusnya sebagai film sekuel tidak menjadi beban, sebab sukur Alhamdulillah, Denis Villeneuve mengerti apa yang harus dia lakukan ketika menangani sekuel dari karya flawed-masterpiece seperti Blade Runner (1982). Kenapa aku bilang flawed, well Blade Runner original udah bikin pembuatnya bingung. Ridley Scott mengeluarkan tiga versi film, masing-masing dengan editing cerita yang berbeda, sebab tampaknya Scott masih belum puas. Film tersebut punya pengaruh besar bagi sci-fi scene, tema filosofisnya mengundang banget untuk kita menontonnya lagi dan lagi. Dengan begitu, alih-alih ngotot ngereboot atau menjadikan sekuel ini set up dari franchise baru, Villeneuve merekonstruksi cerita tiga babak yang sangat kuat. Plotnya punya awal-tengah-akhir, Blade Runner 2049 adalah film yang benar-benar punya cerita, yang kokoh berdiri sendiri, it’s a very contained, dan aku harus bilang ini adalah salah satu film terbaik yang bisa kita saksikan di tahun 2017.

Tanpa kenangan, kita bakal nyasar. Akan tetapi,Blade Runner 2049 mengungkapkan bahwa beberapa kenangan yang paling berharga bagi kita bisa jadi bukan milik kita.

 

Ketika para robot android tidur, mereka bermimpi menjadi manusia. Mereka ingin merasakan ‘keajaiban’ hidup yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Agen KD6-3.7 tahu persis dirinya adalah Replicant – sebutan untuk android yang dibuat demi membantu pekerjaan manusia. K bekerja sebagai Blade Runner, polisi yang melacak Replicant-Replicant liar untuk kemudian ‘memensiunkan’ mereka. Mungkin karena itu, dia juga membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih mulia daripada replicant-replicant yang lain; bahwa dialah yang paling mendekati apa yang disebut dengan manusia. Ryan Gosling – keliatan sedikit berotot dibanding penampilannya di La La Land (2016) – bermain dengan teramat baik di sini. Selagi dia bepergian ke tempat-tempat, mencari petunjuk dalam investigasinya mengenai sebuah misteri kasus masa lalu, Gosling’s K harus berurusan dengan berbagai macam emosi, terutama ketika setiap misteri yang ia buka membuatnya belajar hal baru yang menimbulkan gejolak pada dirinya. Susah baginya untuk bagaimana menanggapi hal yang ia sibak, penampilan Gosling di sini sangat menarik untuk kita simak. K harus mencari Deckard (tokoh utama Blade Runner original), sebab Deckard-lah yang bisa membantunya. Harrison Ford bermain sangat menakjubkan, di usianya dia masih mampu melakukan banyak aksi fisik. Di sini dia sangat terguncang oleh kejadian masa lampau, dan kita akan belajar kenapa dia melakukan apa yang ia lakukan, kalian akan bisa memahami tokoh ini walaupun belum nonton film yang pertama. Blade Runner 2049 bekerja dengan sangat baik menjelaskan tanpa pernah menjadi terlalu eksposisi dan tidak sekalipun emosi terlupa untuk digaungkan.

kirain ingatan masa kecilnya adalah waktu jadi Mousekeeter di Mickey Mouse Club hhihi

 

Untuk kali ini, aku gak akan beberin banyak plot poinnya, kalian harus saksikan sendiri sebab film ini worth banget untuk ditonton. Serius, cari deh yang layarnya paling gede dan suara paling kenceng sekalian. Bagi para penggemar berat Blade Runner yang menanti jawaban – mungkin lengkap dengan catatan teori sendiri – salah satu pertanyaan sinematik terpenting sepanjang masa “Apakah Deckard manusia, ataukah dia Replicant?”, maka rasa penasaran dan teori kalian mungkin akan bertambah. Film ini menawarkan jawaban tanpa pernah benar-benar tegas akan hal tersebut. Banyak kejutan yang bakal bikin kalian menggelinjang, aku sempat di”sssst!”in sama penonton di sebelah lantaran kelepasan ngomong “Ohmygod What!!?” kenceng banget di salah satu adegan Jared Letto mereveal sesuatu di bagian akhir.

Kalo itu belum mampu untuk mendorong kalian bangkit dari depan laptop dan segera ke bioskop, mari aku beri sedikit ilustrasi pribadi; Aku gemar nonton film bisa dikatakan rada telat, karena aku tumbuh di kota yang gak ada bioskop. Dan lagi kata mentorku, aku lahir di tahun yang salah. Aku tidak pernah menyaksikan klasik seperti Psycho, The Shining, bahkan Jurassic Park di bioskop. Tapi kemudian aku menyaksikan film-film kayak Enemy (2014), Sicario (2015), Arrival (2016), dan Blade Runner baru ini, yang membuatku berpikir “Maaan, seperti inilah rasanya menonton filmmaking kelas Master di bioskop” Jadi poinku; sukurilah Denis Villenueve selagi kita masih bisa nyaksiin karyanya yang udah kayak Hitchcock atau Spielberg modern secara langsung. Di bioskop!

Ingatan tentang kejadian baik lebih tidak bisa dipercaya dibandingkan dengan ingatan buruk. Kita bisa sampai pada kesimpulan ini demi melihat gimana proses ingatan masa kecil dipasangkan kepada para replicant. Dan episode Total Rickall serial Rick and Morty akan menguatkan teori ini. Ingatan kita tidak bisa dipercaya sebab kita mengingat dengan perasaan. Kita cenderung suka tampered with good things, yang kita ingat sebenarnya bukan kejadiannya, melainkan apa yang kita rasakan saat itu. Dan ketika merelive lagi, perasaan tersebut akan dibesar-besarkan. Kenangan yang terlalu detil, seperti kenangan anak ulangtahun yang dilihat K sedang dalam proses pembuatan adalah kenangan sintetis, sedangkan memorinya tentang dibully, meskipun tampak aneh dan kurang detil, justru adalah yang otentik dan benar terjadi.

 

 

Aku mengerti kenapa banyak yang was-was ngeliat durasinya yang memang panjang banget, nyaris tiga jam. Film memang banyak menghabiskan waktu dalam bercerita, ada banyak yang disampaikan sehingga bikin bingung. Beberapa orang di studio juga kedengaran bilang bosan pas keluar, bahkan di tengah film ada suara orang menguap. Nah, kalo urusan bosan ini aku kurang mengerti gimana bisa seseorang merasa bosan padahal sepanjang film matanya terus disuapi pemandangan-PEMANDANGAN BERGIZI? Visual film ini marvelous banget, kandidat kuat sekali untuk sinematografi terbaik Piala Oscar. Aku sampai lupa ngunyah permen karet saking takjubnya ngeliat layar. Tampak begitu hidup seolah kita bisa menjangkau ke dalam layar, dan masuk ke dunia tahun 2049 tersebut. Agenda filosofis film ini juga semakin lancar tersampaikan berkat iringan musik yang eerienya menyentuh banget. Blade Runner 2049 akan ngingetin kita semua kenapa kita suka nonton film. Craftmanship dan treatment adegannya luar biasa. Aku jadi teringat masa ketika aku nonton Mulholland Drive dan seketika tergerak pengen nulis cerita dan ngerekam, punya mimpi bikin film sendiri.

atau malah bikin hopeless kita gak akan pernah bisa bikin karya semasterpiece ini

 

Film ini sendirinya adalah sebuah mesin yang indah sekali untuk ditonton. Untuk diselami. Untuk dinikmati. Penokohan karakternya paralel. Aku senang Batista dapat peran yang cukup signifikan sehingga dia bisa bermain di luar karakter Drak, and he plays it good. Romansa antara K dengan hologram yang ia pasang di rumahnya sangat membantu pengembangan karakter, kita bisa simak K belajar banyak dari Joi soal keinginan untuk menjadi manusia. In fact, setiap karakter yang dijumpai K adalah pembelajaran. Dari elemen ini, aku melihat satu (dan hanya satu) kekurangan pada film. Mungkin menyadari ceritanya yang panjang dengan banyak informasi yang harus disusun oleh penonton, film memberikan sedikit kemudahan berupa pengulangan dialog via voice-over yang bergaung di dalam kepala K. Ada banyak adegan ketika tokoh kita diam, suara karakter dari adegan sebelumnya diperdengarkan kembali, kemudian K pasang tampang dia berhasil menyimpulkan sesuatu. Menurutku, di sini film agak meremehkan penonton. Karena bagi penonton yang benar-benar memperhatikan, dialog-dialog untuk mengingatkan itu sama sekali tidak perlu. Kita sebagai penonton mestinya bisa memilah mana informasi penting, mengingat, dan menyambungkannya sendiri.

 

 

 

Ini adalah jenis tontonan yang begitu menakjubkan, visual mewahnya secara konstan menyuapi mata, sehingga mampu menginspirasi banyak orang. Meskipun bercerita tentang makhluk buatan, tidak ada yang terasa seperti replika. Emosinya genuine. Perasaan yang disampaikan tokoh-tokohnya begitu manusiawi. Lewat plot yang kuat, pembangunan dunia yang masuk akal, dan rentetan pertanyaan filosofis yang mengalir mulus sebagai dimensi cerita, film ini sukses berat menjadi bukan saja salah satu sekuel terbaik – dia bisa berdiri sendiri, enggak tergantung kepada film lain – namun juga film terbaik yang pernah ada.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLADE RUNNER 2049

 

 

 

That’s all we have for now.
Buat yang mau nonton Blade Runner (1982) bareng sambil diskusi, dateng aja ke markas My Dirt Sheet di kafe es krim Warung Darurat, Jalan Teuku Umar 6A, Dipati Ukur, Bandung. Kami muterin film by request!

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

MERAH PUTIH MEMANGGIL Review

You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”

 

 

Sesungguhnya mati sebagai pahlawan atau hidup cukup lama kemudian menjadi penjahat itu bukan pilihan. Karena kita enggak bisa memilih untuk menjadi pahlawan. Untuk menjadi pahlawan dibutuhkan pengorbanan, keberanian. Enggak sekedar mejeng di uang kertas atau nampang jadi nama jalan. Kita enggak bisa mutusin untuk nolong orang lalu mati supaya bisa minta “ntar patung gue dilapis emas ya”. Meski ikhlas kerjaan mereka gak pernah enak, tentara-tentara dalam Merah Putih Memanggil jelas tidak akan ngarep sukur-sukur mereka gugur di medan perang. Mereka punya keluarga yang menanti di rumah. Bahkan pada detik-detik peluru menghujani tubuh mereka, mereka tidak tahu mereka adalah pahlawan.  Dan itulah poin gede kalimat yang diucapkan Batman di atas;

Kita belum menjadi sebenar-benarnya pahlawan selama kita masih menyadari kita memilih melakukan sesuatu yang heroik. Pahlawan adalah penghargaan terbesar yang bisa diberikan orang lain atas tindak pengorbanan dan kemanusiaan yang kita lakukan.

 

Sekelompok teroris menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar di dalam pulau persembunyian mereka. Which is just outside of Indonesia’s jurisdiction. Demi keselamatan warga negara yang merupakan salah satu dari sandera, angkatan militer Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau, keluar dengan membawa para sandera. Tentara gabungan Indonesia hanya diberikan waktu 48 jam untuk melaksanakan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa bahaya. Dalam pulau yang tak ramah tersebut, segala rencana yang disusun bisa berantakan oleh pertanyaan moral. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati yang mengerikan. Para tentara harus mengawal sandera-sandera ke titik penyelamatan, secepat dan seaman-amannya, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh pasukan teroris. Mereka literally dikejar peluru, satu persatu gugur berjatuhan.

“sekarang kita istirahat, silahkan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kenalan dan pengembangan karakter”

 

Belum lama ini kita sudah menyaksikan gimana Christopher Nolan menembus batasan film perang lewat Dunkirk (2017), ada begitu banyak terobosan yang dibuatnya dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita so in-the-moment of war, sehingga kita tidak perlu mengenal para tokoh untuk menjadi peduli. Makanya, begitu menonton Merah Putih Memanggil, ada perasaan sedikit aneh. It’s just like, we revert back to that time. Mungkin perbandingannya memang terlalu jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita garapannya ini. Tidak ada pilihan-pilihan baru yang diambil. Trope-trope seperti prajurit yang ninggalin istrinya yang sedang hamil kembali kita temukan sebagai langkah mudah dalam usaha memancing sisi dramatis. Film ini diniatkan sebagai epos tentang KEPAHLAWANAN DAN KEPERKASAAN KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan triumphant, mengusahakan terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sesungguhnya ada begitu banyak yang bisa dilakukan untuk mengimprove ataupun membuat film ini menjadi lebih menantang dan menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda. Sayang sekali, tidak banyak dari mereka yang diberikan kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalem. Menurutku, film benar-benar melewatkan kesempatan besar di sini. I mean, warga negara A, B, C disandera bareng oleh warga negara D, disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C, mereka bisa menciptakan dialog dan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi enggak, film hanya tertarik memperlihatkan sedikit backstory tokoh-tokoh yang nantinya dibuat tewas supaya kita bisa kasihan sama mereka. Perang menarik karena kita tidak semestinya melihat tragedi tersebut sebagai sesuatu yang hitam putih. And it looks like this film didn’t get that memo. Cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi teroris, siapa mereka, kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang berkewarganeraan berbeda, kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri. Apakah dia hidup terlalu lama sebagai tentara sehingga beneran berubah menjadi penjahat?

Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi menarik yang muncul ke permukaan saat babak ketiga. Ada keretakan dalam barisan musuh sebab mereka enggak tahu berhadapan dengan siapa. Aku suka dengan plot poin ini, karena di awal film sudah menetapkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia menanggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka enggak ingin dikenali sebagai tentara Indonesia oleh musuh, mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan tindak ini adalah berupa kebanggaannya bertempur atas nama Indonesia. Film mestinya banyak memasukkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feelnya dapet banget.

Plis jangan marahin Lexis, dia bukan tentara. Dia bukan superstar, kaya dan terkenal.

 

Babak satu adalah babak set up standar yang sangat terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil rencana mereka, kita mendengar informasi dengan istilah-istilah militer. Menurutku bagian inilah yang paling membosankan. Aku juga merasa ada tone yang kontras antara babak satu dengan babak tiga. Di tiga puluh menit awal, film seperti bermain aman. Adegan tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering ngecut dengan cepat – beralih dari adegan yang cukup menegangkan, seolah film ini ingin meminimalisir kekerasan supaya bisa dapet rating Remaja. Kupikir, ini adalah keputusan yang aneh. Sebab film perang akan susah sekali meyakinkan jika enggak berani mempertontonkan kekerasan. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di babak tiga mereka seakan bilang “ah sebodo amat” dan kita dapat adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di babak ketiga. Quick-cut dan kamera yang goyang berkurang, kita lebih mudah grasp towards the scenes. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita enggak bisa tau pasti siapa nembak, siapa yang mati, mereka ada di mana, dan lain-lain.  Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke wilayah teroris, tidak terasa intensitasnya. Build upnya ada namun teroverlook oleh kasar dan abruptnya editing – penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatohnya kocak dan mengundang tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur disengat kayak adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin empat pemuda berbadan kekar yang nonton di barisan di depanku ngakak. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka ngumpet di semak-semak, lucunya adalah hutan mereka enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari tokoh tentara bisa dimaafkan sebab mungkin memang begitulah tentara di dunia nyata. Sesungguhnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin memang ‘sesederhana’ itu perjalanan misi tentara sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus bisa memancing excitement. Membangun hal menjadi menarik, membumbui dengan drama dan konflik yang meyakinkan. Film ini kurang banget dari sisi plot.

Aku bahkan lebih peduli kepada ular yang mereka makan, itu ular beneran? Apakah film ini ngepull Cannibal Holocaust (1980) dengan adegan makan binatang itu? Karakter-karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi. Atau kalo mau kayak Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan perlihatkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak sandera, hanya satu yang dikasih dialog. Dan itupun hanya sebatas nanyain orangtuanya.  Aku selalu high setiap kali teman-teman Gadis Sampul mendapat peran dalam film, apalagi film yang berani ngambil tema tak biasa seperti ini. Akan tetapi, Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang berarti. Tokohnya di sini cuma cewek blasteran, and she did nothing selain nanya-nanya di mana orangtuanya. Teriak-teriak. Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (yang btw di sini tokohnya pendiem banget) ketika si Mentari lagi-lagi merengek bikin aku teriak “shoot her!”  

Jika pipis adalah hal yang dinotice oleh film, kenapa kita tidak pernah lagi melihat ada yang kebelet lagi di sepanjang film? Mungkin ditahan. Mungkin enggak kerasa. Ini mengindikasikan bahwa bahkan saat disandera, kita merasa lebih rileks ketimbang saat berlarian di medan perang. Kita masih bisa kepikiran kencing saat nyawa di bawah belas kasihan orang lain. Namun, ketika kebebasan yang dipertaruhkan, apalah faedahnya sedikit kenyamanan. It’s a long stretch, but I think inilah yang dilakukan oleh pahlawan. Mereka tidak lagi kepikiran apapun di luar tindakan yang mereka ambil atas dasar kemanusiaan. Oh man, aku gak percaya aku baru saja menarik garis antara pipis dan kepahlawanan.

 

 

 

Sebenarnya susah juga mengulas film ini, karena ia punya kepentingan, dan aku ngeri disalahartikan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, aku bahkan enggak tau apakah ini dari kisah nyata atau bukan; di kredit penutup mereka ngasih liat foto-foto jadul para tentara yang aku enggak yakin apa hubungannya dengan cerita. Aku terutama melihat ini dari sisi produk akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel. Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat. Yang tadinya tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat porsi aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang patut diperhitungkan dalam genre survival dan perang. Toh, film ini menyampaikan maksudnya; Jika film G30S PKI sukses berat memperlihatkan PKI sebagai antagonis, maka film ini tak pelak membuat kita lebih nyaman percaya kepada kekuatan militer Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for MERAH PUTIH MEMANGGIL.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.