MIDSOMMAR Review

“Empathy is the most essential quality of civilization”

 

 

Ini baru film horor panjang kedua Ari Aster, tapi Midsommar udah sukses menjadi film-yang-paling-banyak-dirikues-reviewnya sepanjang blog ini berdiri. Jangankan sebelum tayang di bioskop Indonesia, sewaktu naskahnya bocor di internet saja aku sudah ‘dirongrong’ untuk membaca dan memberikan penilaian. Well, of course aku sebenarnya juga menggelinjang nungguin film yang sempat hampir batal tayang di bioskop sini ini. Hereditary adalah film terbaik terfavoritku tahun 2018. Dalam film tersebut Aster menunjukkan kekuatannya menghimpun horor dari drama manusiawi. Mengetahui itu semua, aku tahu bisa mengharapkan apa kepada Midsommar, dan aku menantinya dengan sabar. Aku ingin sekali karya Ari Aster ini jadi film terbaik lagi.

Setelah aku selesai menonton Midsommar, aku merasa sangat resah. Oleh adegan-adegan. Oleh karakter. Oleh penceritaan. Oleh ceritanya. Drama kejiwaan manusia mengakar dengan kuat. Film benar-benar meluangkan waktu untuk itu. Judulnya mengacu kepada festival musim panas yang dikunjungi oleh tokoh film, akan tetapi cerita belum akan membawa kita ke sana; tidak hingga sampai babak kedua. Untuk seluruh babak pertama kita benar-benar dipahamkan dulu kepada situasi Dani si tokoh utama. Hubungan asmara cewek ini lagi di ujung tanduk. Karena Dani orangnya panikan, secara emosional dia butuh didukung setiap saat. Dan sikap Dani terkait hal tersebut mulai terasa mengganggu bagi cowoknya yang merasa keseret-seret dalam drama wanita. Jika bukan karena hal yang ditakutkan Dani menjadi kenyataan, pastilah mereka berdua sudah putus. Namun duka Dani membuat mereka tetap melanjutkan hubungan. Di sinilah film menggambarkan toxicnya hubungan Dani dan Christian. Akan lebih baik mereka putus saja. Tapi Dani butuh sandaran emosional, dan Christian enggak sampai hati mutusin cewek yang sedang berkabung (emangnya siapa yang tega?). Arti ‘Enggak sampai hati’ di sini menjadi mendua karena memang begitulah sikap Christian kepada Dani seterusnya; tidak sepenuh hati dia jadi sandaran. Christian dan teman-temannya enggak setulus hati menenangkan mental Dani. Mereka enggak sepenuhnya senang tatkala Dani memutuskan untuk ikut ke festival musim panas di alam pedesaan Swedia

I used to did that too

 

Midsommar menggunakan visual untuk menggambarkan sekaligus mengontraskan gejolak di dalam karakter Dani. Tampilan film ini sangat benderang dan meriah ketika sudah sampai di desa komunitas tempat kejadian perkara nantinya. Akan sulit menerkanya sebagai film horor hanya dengan melihat warna dan segala keindahan yang terpampang. If anything, kejadiannya seperti berada di dalam dunia mimpi berkat cahaya dan warna yang natural tapi tak terasa begitu-natural. Namun semua itu akan cepat berubah menjadi mimpi buruk karena justru pada saat di festival itulah kejadian-kejadian berdarah yang bisa bikin mual film ini terjadi. Ada sesuatu yang aneh pada tempat yang penuh suka ria dengan banyak obat-obatan untuk rekreasi tersebut. Sampai ke titik yang membuat tradisi dan upacara mereka tidak bisa lagi dianggap seenteng perbedaan budaya semata. Jika kalian menonton film ini untuk melihat kepiawaian teknik dan efek gore – yang jadi nilai jual lebih film – maka kalian akan kesal menontonnya di bioskop Indonesia yang banyak penyensoran.

Untungnya, bukan sebatas kesadisan dan kevulgaran yang dilakukan dengan hebat oleh film ini. Melainkan inti dan hati ceritanya. Tentang toxic relationship dan pentingnya untuk merasakan empati dalam menjalin hubungan tadilah yang dijadikan kemudi utama penggerak cerita. Naskah film ini tidak berkembang demi menjawab pertanyaan seputar membasmi ritual atau mengungkap misteri pemujaan dan sekte di balik festival. Bagian itu justru elemen terlemah pada film karena tidak memuat hal yang benar-benar baru. Banyak kejadian berkaitan dengan ritual atau sekte yang mengingatkan kita pada film lain. Horor klasik asal Inggris The Wicker Man (1973) akan menjadi hal pertama yang terlintas ketika menyaksikan film ini. Midsommar secara fokus membahas soal membuka diri terhadap hubungan baru yang lebih sehat yang disimbolkan dengan sangat ekstrim. Pertanyaan yang dijadikan plot poin naskah adalah apakah Dani bakal mempertahankan hubungan dengan Christian, dan ultimately apakah Dani akan menganggap pacarnya tersebut sebagai keluarga. Lihat saja cara gendeng film ini menyimbolkan tindak membakar barang-barang dari mantan.

Sebagai manusia, kita paling enggak mau merasa sendirian. Apalagi jika dalam kesedihan. Kita butuh orang untuk diajak berbagi. Ini di satu sisi menyebakan menjalin hubungan itu cukup tricky. Kita enggak bisa begitu saja membagi semua hal kepada orang lain tanpa membuat mereka merasa dituntut dan diseret ke dalam hal negatif. Kuncinya adalah pada pemahaman dan empati.

 

Tokoh Dani ditulis dengan sangat melingker sehingga kita paham apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan. Keluarga. Pihak untuk mendengarkan dan berbagi perasaan dengannya. Sepanjang film dia harus menyadari dan melihat mana yang pantas untuk ia anggap sebagai keluarga. Naskah menuliskan ini semua dengan jelas lewat dialog dan bukti-bukti visual. Christian yang memeluknya dalam diam di bagian awal dikontraskan dengan penduduk komunitas yang mengikuti irama tangisan Dani di menjelang akhir film. Tadinya tidak ada teman yang ikut berduka dengan dirinya. Dani sendirian, terpisah secara emosi dari kelompoknya. Salah satu hal paling mengganggu yang diangkat oleh film ini adalah betapa orang-orang desa yang udah kayak orang gila itu justru lebih punya empati ketimbang geng Christian yang terpelajar. Para penduduk desa ikutan mengerang kesakitan ketika ada tetua mereka yang sakaratul maut ketika ‘gagal’ bunuh diri dalam sebuah upacara adat.  Para wanita di komunitas ikut menangis bersama Dina. Merekalah yang sebenarnya dicari oleh Dani. Bagi Dina, bukan masalah lagi perkara mereka-mereka itu sinting atau bukan. Yang jelas sekarang dia sudah bisa berbagi bukan hanya kesedihan dan duka, melainkan juga kebahagiaan dan suka cita. Ia tak lagi merasa terkucilkan.

Dunia Terbalik

 

Film mencapai puncaknya ketika mengeksplorasi hubungan antara Dani dan Christian. Penampilan Florence Pugh sebagai Dani menjadi salah satu kunci utama keberhasilan ini. Tadinya aku sudah cukup respek sama aktor ini, karena dia kelihatan sangat total bermain sebagai pegulat di Fighting with My Family (2019). Namun di Midsommar, dia bermain jauh lebih total lagi. Secara emosional, tentu saja. Ari Aster berhasil lagi menarik yang terbaik dari pemainnya, seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Toni Collette di Hereditary. Kedua penampilan ini pantas untuk diganjar Oscar, meskipun memang sepertinya peran horor sulit untuk diloloskan.

Ketika kita melongok ke luar dari masalah Dani, begitu kita ingin merasakan dunia cerita secara utuh, film mulai terasa melemah. Karakter-karakter yang lain terasa sempit dimensinya. Jika pun ada ruang, seperti karakter salah satu teman Dani yang bernama Pelle, maka itu digunakan sebagai twist alias ada sesuatu yang ditutupi. Cerita fish-out-of-water sekelompok remaja hidup dalam lingkungan dengan peraturan yang menurut mereka ajaib tak pernah tampak benar-benar menantang karena ada beberapa kali kita harus menahan ketidakpercayaan lantaran mereka seperti tak pernah curiga melihat gelagat yang enggak-enggak. Seperti, film bisa saja berakhir jika semua pendatang di komunitas itu sepakat untuk pergi. Tapi tidak, film membuat mereka ‘terpisah’ dan tidak bergerak seperti manusia sungguhan. Melainkan sebuah bidak pada naskah.

Soal tragedi pada keluarga Dani di awal hadir dengan terlalu kompleks untuk tujuan melandaskan betapa sendirinya Dani bersama pikiran dan perasaannya. Film seolah mengisyaratkan peristiwa tragedi itu bakal balik dan berhubungan ke akhir cerita, tapi ternyata tidak. Mungkin ada petunjuk visual yang kulewatkan, entahlah, tapi aku merasa peristiwa tersebut seperti ditinggalkan begitu tujuannya sudah tercapai. Yang membuat penggambaran kejadiannya jadi terasa eksesif. Meski memang sekalian digunakan untuk melandaskan genre – sejauh mana film menampilkan adegan kematian – tapi aku tetap merasa mestinya ada cara yang lebih bisa klop merangkai kejadian sehingga tidak terkesan terlalu eksploitatif (terhadap genrenya sendiri).

 

 

 

Jadi itulah sebabnya aku merasa resah setelah menonton ini. Dari teknis kamera, editing, penampilan, visual, efek – ini benar-benar film juara. Gagasannya pun bikin merinding. Tidak peduli seperti apa keluargamu, yang penting kita bisa merasa menjadi bagian – dilihat, didengar, dimengerti – mereka. Namun juga aku merasa film ini tidak se-wah Hereditary. Ada elemen pada cerita dan penceritaannya yang terlalu dibuat untuk memenuhi standar pada genrenya. Sehingga jadi gimmicky. Selain itu, beberapa bagian mestinya bisa dipercepat temponya, karena ada yang tidak terlalu signifikan untuk menambah bobot cerita seperti adegan mereka getting high together. Catatan penting untuk yang mau nonton adalah ini film yang berpotensi besar untuk mengganggu dan bikin gak nyaman, meskipun memang lebih berhumor ketimbang Hereditary.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for MIDSOMMAR.

AD ASTRA Review

“In space, no one can hear you cry”

 

 

Diartikan “Ke bintang”, Ad Astra pantas kita sebut sebagai film road fantasi yang sangat filosofis. Elemen-elemen road-trip dapat kita jumpai dalam film ini, hanya dengan skala yang sangat besar (skala jutaan tahun cahaya!). Tujuan tokoh film ini bukan sebatas suatu kota atau tempat yang jauh. Melainkan luar angkasa; ke planet terjauh yang sanggup dicapai oleh manusia. Tapi selayaknya cerita-cerita road-trip, ini adalah cerita pencarian melihat ke dalam diri. Semakin jauh kita mencari, akan semakin dalam kita menyelami personal. Karena perjalanan bukan soal tujuan, melainkan tentang proses berjalan itu sendiri.

Yang dicari oleh astronot paling macho dari Amerika bernama Roy ini adalah kebenaran soal ayahnya. Ayah yang telah lebih dulu menjadi astronot terhebat dan sudah lama menghilang dalam salah satu misi mencari keberadaan alien pintar demi kesejahteraan manusia. Bagi Roy, however, si ayah sudah ‘menghilang’ semenjak ia masih kecil; masih bukan apa-apa. Dalam salah satu musibah di perbatasan orbit, Roy mengetahui sang ayah ternyata masih hidup di suatu tempat di planet Neptunus. Dicurigai ayah Roy-lah yang bertanggungjawab atas peristiwa surge medan listrik yang mengacaukan teknologi hingga ke Bumi. Jadi Roy menerima misi ini. Sepertinya hanya Roy yang bisa berkomunikasi dengan ayahnya – dan kita tahu Roy punya banyak pertanyaan personal untuk sang ayah terkait hubungan mereka dan dirinya sendiri.

Kulari ke Kawah Bulan

 

Bukan perkara mudah yang dihadapi oleh sutradara James Gray dalam menangani cerita sci-fi luar angkasa yang epik digabung dengan cerita tokoh yang amat personal semacam ini. But he did it, Ad Astra is a really well-made movie. Visualnya terlihat menakjubkan, seolah kita benar-benar berada di luar angkasa. Menyaksikan bola biru dari atas sana lewat film ini membuatku merasa semakin menyesal dulu enggak mengejar cita-cita jadi astronot. Elemen fantasi dikeluarkan lewat gambaran film ini tentang masa depan manusia. Menyenangkan – dan memberi harapan at some degree – menyaksikan bulan sudah menjadi tempat tujuan wisata umat manusia. Salah satu set piece yang paling seru di film ini adalah keadaan di bulan, lengkap dengan toko-toko sehingga sudah seperti mall. Sementara film juga memberikan informasi bahwa ada tempat di bulan yang tidak bisa dieksplorasi karena kita hanya melihat satu sisi bulan saja pada kenyataannya. Pembangunan seperti ini yang membuat dunia Ad Astra tampak realistis meskipun ceritanya lebih mudah untuk kita percaya sebagai visualisasi isi kepala dan kontemplasi hati tokoh utamanya.

Musik film ini pun terasa begitu menyentuh. Dengungan angkasa, bunyi-bunyi teknologi, menguatkan atmosfer begitu kecil dan sendirinya seorang manusia di alam semesta. Dalam sense ini, aku merasa film ini berhasil membuat diriku membenci – bahkan takut – dengan luar angkasa. Space adalah sesuatu yang selama ini jadi sumber fantasi geek kita, dan Gray membuat planet-planet dan galaksi menjadi tempat yang suram. Karena begitulah yang dirasakan oleh tokoh utama. Dan film dengan suksesnya mengedepankan sudut pandang si Roy ini dengan konstan. Kita hanya melihat yang ia lihat. Kita merasakan apa yang ia rasa. Penampilan Brad Pitt sebagai Roy membungkus semua elemen – visual, penokohan – yang dihadirkan oleh film dan menghidupkannya sehingga kita terus menyaksikan film ini. Sesekali menguap mungkin, karena tempo cerita yang lambat. Namun kita akan susah untuk berpaling karena gaya tarik penampilan Pitt dan indahnya gambar bergerak itu terasa lebih kuat daripada gaya tarik bumi yang menyuruh kepala kita untuk nunduk dan tidur. I don;’t know, Pitt boleh jadi dapat dobel nominasi di Oscar tahun depan untuk perannya di film ini dan di Once Upon a Time… in Hollywood (2019)

Inti cerita ini terletak pada psikologi karakter si Roy. Dia yang seperti menutup diri demi pekerjaannya bertindak sebagai telaah soal maskulinitas yang disampaikan oleh gagasan film. Kita mendengar Roy bergumam bahwa senyum dan tawa hanya sekedar saja sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara. Eh sori, itu lirik lagu Pance kecampur. Tapi memang, kurang lebih sama seperti begitu deh yang diucapkan Roy. Penting bagi Roy untuk menampilkan persona luar yang keren karena dia adalah astronot hebat.’Mitologi’ seorang Roy adalah denyut jantungnya selalu stabil di angka rendah, apapun kondisi yang sedang terjadi padanya. Roy harus hebat karena dia adalah anak bapaknya – yang juga seorang astronot hebat. Roy yang ditinggalkan oleh ayah yang ia idolakan sangat ingin mengejar jejak sang ayah, sehingga secara tak sadar ia telah menjadi ayahnya. Jauh dari setiap orang di Bumi yang cinta kepadanya. Semakin Roy terbang jauh di atas sana, perasaan kesepian Roy ini semakin besar. Kita melihat dia tak pernah sepenuhnya konek dengan orang-orang yang ia temui dalam perjalanan ke Neptunus. Film lokal Pretty Boys (2019) yang tayang di minggu yang sama dengan film ini, juga membahas soal anak laki-laki yang pengen membuktikan sesuatu kepada ayahnya, dan dia tak sadar sudah menjadi seperti ayahnya. Kalian mungkin ingin menonton film tersebut untuk membandingkan pendekatan yang dilakukan oleh kedua film ini terhadap tokoh seperti demikian – terutama karena genre yang berbeda, yang satu diceritakan lebih ke komedi yang ringan, sedangkan film yang ini lebih ‘berat’ dan penuh filosofi.

Manusia membuat kesalahan. Manusia adalah makhluk tak sempurna yang kadang rakus, tamak, ataupun bisa takut. Perjalanan Roy ke planet nun jauh membawanya semakin dekat dengan sang ayah dalam sense Roy haruslah menjadi astronot sempurna untuk bisa sampai ke sana. Tapi di balik itu, dia juga semakin menemukan rasa kemanusiaan yang selama ini jauh darinya. Dan saat dia melimpah oleh semua itu, Roy menyadari dia sendirian. Tidak ada yang mendengar tangisnya, karena dia jauh – di Neptunus dan di hati orang-orang. Itulah yang menjadi momen pembelajaran bagi Roy. Dia tak lagi mencari jalan keluar. Melainkan jalan pulang ke Bumi, kembali kepada orang-orang tak-sempurna yang mencintainya.

 

While pertemuan dengan ayah menjadi puncak pembelajaran buat Roy, yang mengantarkan kita pada momen keren seperti ketika ayahnya meminta supaya Roy melepaskan ‘hook’nya dari dirinya. Namun seperti pada film-film road-trip, tokoh-tokoh lain yang ditemui oleh Roy hanya berfungsi untuk membuka pandangan baru baginya. Untuk membuat Roy melihat lebih jauh ke dalam dirinya. Karena ini adalah cerita yang berpusat pada personal Roy, maka tidak ada tokoh lain yang benar-benar berarti dan memiliki kedalaman. Dialog mereka hanya berupa eksposisi, ataupun seacra gamblang memberikan gambaran yang sesuai dengan pembelajaran berikutnya yang harus disadari oleh Roy.

Kejadian yang dialami Roy dalam perjalanannya terlihat random dan seperti meniru elemen-elemen film lain. Atau mungkin malah sengaja sebagai tribute karena film angkasa luar punya banyak referensi yang populer. Roy terlibat kejar-kejaran mobil ala Mad Max di bulan. Di lain waktu dia berkutat survive dari monyet laboratorium angkasa. Semua hal tersebut tampaknya bisa dijadikan fokus film yang lebih menarik dan mainstream. Tapi Ad Astra tidak tertarik karena ini adalah cerita kontemplasi. Semua kejadian menarik itu kita tinggalkan karena Roy perlu merenung dan bicara dalam hati memproses semua itu, memparalelkannya dengan yang harus ia pelajari

menakjubkan manusia berperang hingga ke luar angkasa

 

Narasi voice-over Roy juga akan sering kita dengar. Menjelaskan beberapa hal. Mengajukan pertanyaan. Menunjukkan apa yang harus kita lihat. Memang seringkali terdengar sebagai eksposisi berlebih, yang terlalu menuntun kita untuk mengetahui apa yang Roy pikirkan padahal adegan sudah memberikan gambaran yang mencukupi bagi kita membuat kesimpulan sendiri. Tapi semua itu bisa dimengerti karena voice-over tersebut adalah bagian dari karakter Roy. Voice-over adalah cara film untuk menunjukkan emosi Roy kepada kita karena tokoh ini menolak untuk menampilkannya pada awal cerita. Semakin menuju akhir, narasi ini frekuensinya akan semakin berkurang dan kita dibiarkan melihat sendiri emosi Roy. Kita diminta untuk bersabar sedikit karena ini adalah resiko kreatif yang dipilih oleh film.

Sama seperti ketika kita diminta untuk menahan ketidakpercayaan kita untuk beberapa kejadian di dalam film. Menurutku, bagian ini yang susah. Tidak semua hal sci-fi dan aturan dunia modern itu yang berhasil digambarkan oleh film. Sehingga ada momen-momen ketika kita mengangkat alis. Buatku, momen di sepuluh menit pertama saat Roy terjatuh dari perbatasan orbit ke tanah, selamat dengan parasut yang sudah bolong – sungguh-sungguh susah untuk dipercaya. Masa iya denyut jantungnya gak pernah naik? Masa ada air mata di tempat yang tak ada gravitasi? Masa dia gak kebakar atmosfer? Momen tersebut secara sempurna mengeset tone dan antisipasi pada apa yang kemungkinan terjadi di sepanjang film. Namun tak pelak, membuat aku susah untuk memastikan apakah semua kejadian nantinya benar-benar terjadi atau hanya visualisasi dari sebuah kontemplasi. Dan perasaan tak pasti yang dihadirkan tersebut cukup ‘mengganggu’ saat aku menyaksikan film yang memang kejadian-kejadian yang dialami Roy didesain sebagai akar dari pemikiran dia nantinya.

Ini membuat filmnya jadi pretentious. Dialog dalam-hati yang play-by-play dengan kejadian yang akan dialami, seperti dipas-paskan. Dan kejadian-kejadian itu pun terasa acak. Progres cerita film ini tidak benar-benar natural. Penceritaan untuk cerita semacam ini mestinya bisa dilakukan dengan lebih berkreasi lagi. Kucumbu Tubuh Indahku (2019) jika tidak dilakukan dengan narasi tokoh langsung ke kamera di setiap awal bagian yang membuatnya terasa episodik, bakal punya runutan penceritaan yang mirip dengan Ad Astra ini. Dan menurutku, langkah ekstra yang dilakukan Kucumbu untuk mempresentasikan ceritanya inilah yang kurang pada Ad Astra. Film ini bercerita dengan lempeng dan tak banyak kreasi dalam menyampaikan sehingga terasa lebih dibuat-buat ketimbang cerita yang alami.

 

 

Kejadian-kejadian yang kontemplatif yang ditemui sepanjang durasi film membuat ini seperti cerita road movie yang sungguh filosofis. Kemegahan luar angkasa tergambarkan dengan sangat baik ke layar lebar. Menonton ini, dan melihat (serta mendengar) Bumi dari angkasa luar, membuatku teringat akan epiknya bioskop dan film sci-fi waktu aku masih kecil dulu. Sense ruang film ini sangat menonjol. Karena kita juga dibawa menyelam ke dalam sisi personal tokoh utamanya. Dan film benar-benar kuat menghadirkan sudut pandang tersebut. Sehingga perasaan sendirian itu, terutama kecilnya diri di luar angkasa, semakin kuat terasa. Film ini membuatku yang tadinya pernah bercita-cita terbang ke bulan, yang selalu excited dengan cerita luar angkasa, menjadi takut – menjadi benci sama luar angkasa tersebut. Karena mengingatkanku pada kesendirian dan kesepian. Hingga aku selesai menulis ulasan ini, aku masih belum yakin apakah perasaan yang timbul tersebut pujian atau kritikan terhadap film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AD ASTRA.

PRETTY BOYS Review

“The real heroes here are the ones that experience movies in reality.”

 

 

Melihat pria berpakaian dengan sangat flamboyan di televisi penonton akan terhibur. Orang akan tertawa-tawa menyaksikan tingkah polah selebriti yang bergaya lebih lebay daripada wanita tulen. Namun ketika melihat si selebiriti yang sama di belakang panggung, semua itu menjadi tidak lucu lagi. Bagaimana jika dia ‘bencong’ beneran? Dan ketakutan itu akan berkali lipat jika si selebriti adalah orang yang dikenal. Sanak keluarga sendiri, misalnya.

Itulah masalah pada televisi dan bisnis hiburan. Orang-orang yang menontonnya cenderung percaya yang mereka lihat di layar kaca itu adalah kebenaran. Penonton televisi seringkali lupa seleb juga manusia yang sesungguhnya hanya bekerja mencari sesuap nasi. Tak sedikit dari para seleb mengorbankan sesuatu demi pekerjaan yang tampak glamor tersebut. Film Pretty Boys datang dari orang-orang yang peduli dan tampak memahami betul seluk beluk – suka duka pekerjaan penghibur di dunia televisi. Dalam film yang sangat menyenangkan untuk ditonton ini kita akan melihat gambaran belakang panggung sebuah acara talkshow, kondisi mental para pelakunya, serta sejauh apa efek pekerjaan mereka terhadap kehidupan sosial dan pribadi di dunia nyata.

Anugerah dan Rahmat, sobatan sejak masih anak masjid, pergi dari kampung mereka ke Jakarta untuk mengejar mimpi menjadi host acara televisi. Setelah cukup lama bekerja di kafe (masak sambil ngelawak), nyobain kerja serabutan demi tambahan uang makan, kesempatan bagi mereka datang saat menjadi penonton bayaran untuk sebuah acara talkshow hits di televisi. Produser acara tersebut tertarik sama gaya Anugerah dan Rahmat sehingga mereka dikontrak untuk menjadi co-host. Namun acara televisi jaman sekarang beda ama acara jaman dulu. Alih-alih berdandan ‘laki’ seperti Sony Tulung dan Dede Yusuf yang foto acara kuisnya terpajang di dinding kontrakan, Anugerah dan Rahmat harus mengenakan wig dan pakaian wanita. Anugerah sempat ngeri juga. Toh lantaran bakat menghiburnya sudah kuat melekat, Anugerah dan juga Rahmat menyelam sempurna ke dalam persona televisi mereka. Penonton suka sama Nugie dan Matthew; nama panggung masing-masing. Acara Kembang Gula itupun semakin sukses.

Perasaan jumlah rotinya bertambah banyak di setiap shot

 

Seperti yang dilakukan Olivia Wilde – aktor yang banting stir menjadi sutradara – ketika menggarap Booksmart (2019), Tompi yang lebih dulu dikenal sebagai penyanyi juga memberikan sentuhan kenyataan kepada film debut penyutradaraannya ini. Insight yang didapat dari gabungan pandangan pemain dan penulis cerita film (Imam Darto; juga dalam debutnya di penulisan skenario) ia anyam ke dalam bahasa audio visual, lengkap dengan lelucon-lelucon meta (tokoh film akan bercanda soal karir dan kehidupan nyata orang-orang yang terlibat pembuatan film ini), menjadikan film ini sebagai komedi yang efektif. Yang juga bekerja sebagai satir lantaran film menunjukkan betapa ‘bego’nya penonton dan ‘sadis’nya bisnis televisi yang mengutamakan rating view. Ada sesuatu yang sepertinya ingin dikatakan oleh film ketika mereka memperlihatkan perbedaan host jaman dulu dengan host tv jaman sekarang; bahwa Anugerah dan Rahmat musti jadi ‘bencong’ dulu baru bisa terkenal. Menurutku film bisa mencapai lebih dalam jika membahas soal ‘mengapa’, tapi film memutuskan untuk menggambarkan saja.

Chemistry tak-terlawan duo Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta benar-benar dijadikan tumpuan. Tek-tokan dan comedic timing mereka yang sudah amat precise dan mulut mampu membuat adegan-adegan lucu dalam film ini hampir semuanya seperti on-the-go. Mereka, dan juga para pemain lain, tampak natural menampilkan permainan akting. Karena tokoh-tokoh yang mereka mainkan memang merupakan semacam ‘perpanjangan’ dari gimmick televisi/show yang biasa mereka perankan. Guyonan khas Vincent dan Desta – misalnya Desta bertingkah sangat absurd seperti ujug-ujug menyalakan korek ketika berkacamata hitam karena menyangka sedang mati lampu – tidak pernah hadir sebagai lelucon yang maksa hanya untuk memancing tawa. Karena tingkah-tingkah antik seperti itu merupakan bagian dari karakter tokoh mereka yang benar-benar hobi menghibur orang sehingga mereka put on their comedic show dalam setiap waktu. Menjadikan meta seperti demikian memang bisa membuat film salah arah; kita sebagai penonton bisa dengan gampang menyangka ini adalah biografi terselubung Vincent dan Desta. Maka itulah film menggunakan satu momen yang fun untuk membuat kita tetap dalam trek yang benar; yakni ketika ketika Nugie dan Matthew bertemu dengan their real life counterparts. Taktik jitu ini turut membuat dunia cerita Pretty Boys menjadi semakin imersif.

Sebenarnya pada elemen drama-lah Tompi menunjukkan sinarnya sebagai seorang sutradara yang patut dinantikan lagi karya-karya berikutnya. Seperti pada momen Nugie ragu akan keputusannya tampil di acara yang mengharuskannya berlagak seperti wanita. Ataupun pada momen-momen flashback ke masa kecil yang berfungsi lebih jauh dari sekadar ekposisi karena digunakan untuk menghantarkan perasaan emosional dari akar persahabatan kedua tokoh sentral. Pretty Boys memang bukan film yang hanya dibuat untuk terpingkal-pingkal saja. Hati dari film ini sesungguhnya berdetak dengan penuh kemanusiaan. Sebab ia membahas tentang hubungan anak dengan ayahnya, dengan anak dengan sahabatnya, dengan anak manusia dengan pilihan hidupnya. Dengan kesempatan yang harus ia ambil atau ia tinggalkan.

“When a man does a queer thing, or two queer things, there may be a meaning to it”

 

Berita kesuksesan Anugerah sampai ke telinga Bapak di kampung. Mendengar anaknya bersalaman sama presiden, Bapak yang tentara dan berjuang demi negara menghidupkan televisi. Tebak apa yang beliau saksikan di televisi. Putra semata wayangnya, yang dulu kabur dari rumah, yang tak pernah ia setujui pilihan pekerjaannya, tampil melambai seperti putri kecantikan di depan penonton seluruh negeri. Tebak seperti apa reaksi Bapak. Well, aku pastikan tebakan kalian tidak akan mendekati emosinalnya film ini memperlihatkan adegan reaksi tersebut. Vincent diberikan tantangan untuk ‘adu unjuk emosi’ dengan aktor senior Roy Marten. Desta juga mendapat kesempatan untuk meluaskan range – keluar dari zona nyaman – permainan aktingnya. Dan mereka berhasil untuk tidak membuat kita merasa ingin tertawa pada momen-momen yang serius.

Salah satu gagasan menarik yang dilontarkan oleh film adalah soal pekerjaan tentara – pahlawan pembela negara – yang diparalelkan dengan pekerjaan sebagai penghibur yang menampilkan kebohongan untuk masyarakat.  Film menantang kita dengan pertanyaan “pantaskah selebriti dianggap sebagai pahlawan?” Baru-baru Quentin Tarantino juga membahas hal serupa dalam film Once Upon a Time in Hollywood (2019), seorang aktor yang diidolakan – dianggap pahlawan – meskipun dia tidak pernah melakukan apa-apa di dunia nyata. Gagasan Tarantino tersebut seperti didebat oleh Pretty Boys. Percakapan heart wrenching antara Anugerah dengan ayahnya menyebutkan meskipun tampak hina, tapi yang ia lakukan juga adalah pengorbanan. Ada yang dipertaruhkan.

Definisi pahlawan adalah seorang yang mempertaruhkan hidupnya demi negara. Seorang yang membahayakan dirinya sendiri demi keselamatan orang lain. Selebriti – bintang televisi – adalah seorang yang menghibur orang banyak, tidak pernah tugas mereka untuk menjadi panutan. Yang mereka lakukan di televisi, di media, sebagai bagian dari pekerjaan hiburan tidak seharusnya dijadikan suri teladan. Tapi bukan berarti tidak ada manusia di balik persona televisi mereka. Bukan berarti tidak ada perjuangan yang mereka lakukan untuk sampai di titik tersebut. Perjuangan mereka itulah yang bisa diidolakan, yang membuat mereka pantas untuk dijadikan pahlawan.

 

 

Pretty Boys bekerja dengan sempurna ketika membahas seputar Anugerah dengan ayahnya dan Anugerah dengan Rahmat. Karena dua orang inilah yang membentuk seperti apa Anugerah sekarang. Pertengkaran Anugerah dan Rahmat on live TV (yang ngerti naskah; yeah of course friends would fight in movies) adalah adegan terfavoritku di film ini. Naskah yang sudah tight sayangnya menjadi sedikit longgar ketika film memasukkan bagian cinta segitiga yang gak benar-benar menambah banyak untuk gagasan dan daging utama cerita. Tentu, soal cewek itu bisa dengan gampang menjadi katalis ke masalah Anugerah dengan Rahmat. Namun di situlah letak masalahnya. Terlalu gampang. Mereka seharusnya membuat permasalahan yang lebih dalem. Soal romance dibahas oleh film dengan sangat ringan sehingga jikapun tokoh Asti yang jadi love interest enggak ada, gagasan cerita masih bisa tercapai. Tokoh Asti hanya seperti dijejelin masuk untuk membuat riak di persahabatan Anugerah dan Rahmat. Tapi sesungguhnya dua boys ini enggak musti dibantu oleh cewek untuk menyelesaikan masalah mereka. Pak Ustadz dan Tora Sudiro dan Si Bapak sudah cukup memberikan pelajaran.

Dan bukan hanya Asti. Film cenderung mengambil langkah yang paling mudah untuk menyelesaikan masalah. Mereka membuat pihak TV benar-benar seperti pihak yang jahat, sebagai jalan keluar dari masalah Anugerah dan Rahmat. Memang, ini sejalan dengan konteks kedua tokoh hidup di dunia tak-mendukung; mereka hanya punya mereka berdua. Tapi juga berkonflik dengan pesan yang sempat disebutkan soal TV dan media online (youtube) saling mengisi – bahwa TV tidak akan tergantikan. Film seharusnya juga lebih mengeksplorasi soal TV ‘melawan’ Youtube, membuild up ke arah sini, karena – aku pengen membuat satu point jadi ya, WARNING ada SPOILER – di akhir out of nowhere Youtube dijadikan solusi. Buatku film juga memilih ending yang terlalu gampang. I mean, daripada bikin satu adegan doang Bapak nonton Youtube dan semuanya beres dari sana, mendingan gunakan soal keviralan dari yang mereka lakukan, circled back ke awal cerita, buat mereka mendapat pilihan ke TV kembali dan kemudian lebih memilih mandiri dengan Youtube. Resolusi dan ending yang dipilih oleh film simply terasa kurang nendang dan enggak setight bangunan cerita sebelum-sebelumnya.

 

 

 

Tompi berhasil membubuhkan jejak yang berarti dalam debut sutradara film panjangnya ini. Ia menyuguhkan tontonan komedi dan drama yang bekerja dengan sama efektifnya. Departemen akting yang dipunya sangat solid. Materi yang ditulis dengan seksama dan penuh perhatian dimainkan dengan penuh suka cita. Semua yang terlibat tampak sangat menghormati cerita, sekaligus bersenang-senang dengannya. Narasinya bergulir dengan mantap dan berbobot hingga menjelang penghabisan yang terasa lebih renggang sehingga berakhir kurang nendang. But still, ini adalah salah satu film paling menyenangkan untuk ditonton tahun ini. Kalian yang suka terhadap bisnis hiburan, bakal lebih mengapresiasi film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for PRETTY BOYS.

 

 

 

 

 

 

Clash of Champions 2019 Review

 

Sabuk kejuaraan adalah medali bagi para superstar WWE. Meskipun acara ini memang sudah diatur, namun memegang titel juara tetaplah sebuah hal yang prestigius karena tidak sembarang superstar pantas untuk dijadikan ‘juara’. Mereka haruslah yang paling kuat. Dalam artian bukan saja harus paling jago bergulat, melainkan juga paling konek ke penonton, yang paling menjual; terutama yang paling bisa diandalkan oleh perusahaan. Makanya sabuk kejuaraan menjadi sakral. Hanya sedikit yang pantas memegangnya. Ia menjadi simbol yang diperebutkan oleh para superstar. Sesuatu yang dikejar supaya setiap pertandingan kejuaraan punya arti. Apalah gulat profesional tanpa drama dan sabuk sebagai pialanya. Sabuk menambah intensitas dan kepentingan dari pertandingan.

Namun baru-baru ini Jim Ross, mantan komentator WWE – sekarang bekerja untuk promotor gulat sebelah – mengkritik WWE telah mendevaluasi makna sabuk kejuaraan. Dengan mengeluarkan sabuk terbaru, 24/7 Championship, pada bulan Mei 2019 yang lalu WWE dianggap Ross terlalu banyak mengedarkan sabuk juara. Sehingga lebih seperti supaya semua orang bisa dapat giliran jadi juara, mengurangi nilai kompetisi. Karena beberapa malah hanya jadi pajangan gimmick semata. Mari kita absen sabuk-sabuk yang ada di main roster WWE sekarang ini; WWE, Universal, Intercontinental, United States, Raw Tag Team, Smackdown Tag Team, Raw Women’s, Smackdown Women’s, Women’s Tag Team, dan 24/7. Oh ya, juga ada Cruiserweight yang kadang ditandingkan di pay-per-view. Totalnya ada sebelas. Dan itu memang jumlah yang tidak sedikit. Jim Ross punya poin yang cukup valid mengingat dia sudah malang melintang di dunia gulat profesional dan mengetahui langsung dulu sabuk paling banyak hanya sekitar tiga atau empat.

Jumlah sabuk sebenarnya bukan masalah utama. Karena poinnya adalah pada ratio – tergantung pada banyaknya jumlah superstar yang in-contention untuk setiap kejuaraan. Masing-masing divisi perlu sabuk untuk membuat kompetisi mereka lebih urgen. Jadi masalahnya sebenarnya adalah pada pembagian kontendernya. Pada sejauh mana WWE membuat sabuk-sabuk tersebut memiliki cakupan yang terarah dan membantu semua superstar mereka, bukan hanya sebagian. NXT misalnya, mereka punya sabuk sendiri untuk mengakomodasi para superstar mereka. WWE tahun 2000an juga begitu, masing-masing brand punya sabuk yang paralel sehingga setiap brand punya arahan yang sama terhadap pembagian superstar. WWE masa sekarang, juga membagi superstar yang jumlahnya banyak ke dalam dua brand. Namun penerapannya enggak jelas berkat Wild Card rule yang memperbolehkan superstar Raw ‘berkunjung’ ke Smackdown, menantang juara di sana, dan sebaliknya. Sabuk-sabuk khusus brand akibatnya jadi kehilangan makna; apa bedanya tag team raw dengan tag team smackdown. Kontendernya tim yang itu-itu melulu.

WWE dalam acara Clash of Champions 2019 berusaha untuk membuktikan kritikan Jim Ross dan yang sepakat dengannya sebagai suatu dugaan yang enggak sepenuhnya benar. Mereka berusaha untuk memanfaatkan Wild Card, menginkorporasikannya ke dalam narasi yang lebih seru tentang perebutan gelar. Dan menegaskan bahwa bukan semata sabuk yang membentuk seorang superstar, superstar. Melainkan superstarnya juga turut andil memberikan prestise kepada sabuk.

 

Sami Zayn harusnya nulis review betapa toxicnya sabuk bagi para superstar

 

 

That stupid Wild Card rule memang akhirnya membawa sisi positif. Saat menyaksikan video promo sebelum pertandingan Bayley melawan Charlotte, aku sadar bahwa storyline mereka tidak akan bisa jadi seimpactful yang kita dapatkan ini jika tidak ada Wild Card-Wild Cardan. Karena cerita Bayley dan Charlotte adalah bagian dari cerita Sasha Banks dan Becky Lynch, yang membentuk cerita besar tentang perseteruan dalam kelompok Four Horsewomen. Bayley dan Charlotte ada di Smackdown, sedangkan Sasha dan Lynch ada di Raw. Tanpa Wild Card, masing-masing mereka tidak akan ketemu dan build-up match tidak akan seheboh ini. Karena kunci dari storyline mereka adalah soal Bayley yang merasa diovershadow oleh tiga teman-dari-NXT, dan adegan paling pentingnya adalah ketika Bayley datang menginterupsi Sasha yang menyerang Lynch, dan ternyata juga ikutan ‘jahat’ menyerang Lynch. Wild Card rule memungkinkan Bayley dari Smackdown datang ke Raw. Dari momen inilah, storyline mereka berjalan dengan pengembangkan karakter Bayley sebagai fokus utama.

Bayley punya karakter yang paling menarik sekarang.  Dia adalah personifikasi dari ambiguitas heel dan babyface yang selama ini tampak diincar oleh penulis WWE. Bayley yang warna-warni berubah menjadi representasi abu-abunya dunia. Dalam matchnya melawan Charlotte di acara ini kita melihat Bayley semacam delusional. Dia masih menganggap dirinya pahlawan karena dia loyal dan berani berjuang untuk membuktikan diri. Dia tidak bisa melihat dirinya sudah berbuat curang demi hal itu. Bayley masih menyangka dirinya pahlawan di mata anak-anak, tapi perbuatannya tak bisa ditiru. Kita dibuat masih pengen ngecheer Bayley – terutama karena dia melawan Charlotte. See, semua anggota Four Horsewomen sebenarnya memainkan karakter yang sangat konflik dengan reaksi kita merespon mereka. Charlotte adalah yang paling berprestasi, dan secara teknik juga paling jago. Tapi kita seperti diset untuk membenci dia karena segala privilege yang ia dapatkan sebagai anak dari seorang legenda. Becky Lynch adalah opposite dari Bayley; Lynch adalah antihero yang meskipun kasar dan keras, dia punya tujuan yang baik, yang bisa kita dukung. Terakhir adalah Sasha Banks yang sikapnya total nyebelin. Dalam match melawan Lynch di acara ini, jurus curang Eddie Guerrero yang menghasilkan perasaan yang sangat berbeda ketika kita melihatnya digunakan oleh Sasha.

Semua itu mengumpul kepada karakter Bayley. Juara yang seperti tak dianggap. Penantangnya lebih kuat darinya. Sesama juara lebih populer dari dirinya. Yang baru balik saja instantly jadi pusat perhatian karena nunjukin warna aslinya. Dan mereka semua itu adalah sahabat lama Bayley. Jadi dia merasa butuh untuk membuktikan diri, Bayley harus percaya dulu bahwa dia pahlawan – di atas mereka semua, role model kepada kita semua, dan ini membuat Bayley gak segan untuk melakukan semua cara. Loyalnya kepada Sasha bahkan tidak tampak lulus lagi. Karakter Bayley jadi sangat kompleks. Dia mengajarkan untuk membuktikan sendiri sementara, kita gravitate towards her karena perasaan enggak mau jadi yang paling lemah di antara teman-teman adalah perasaan yang relatable, tapi kita tahu dia seharusnya di-boo. Ending match di mana Bayley curang dan kabur dari ring benar-benar menambah banyak untuk build up psikologi tokoh ini. Dan aku sangat tertarik untuk melihat kelanjutan cerita Bayley dan Four Horsewomen ini.

Pertandingan yang melibatkan Four Horsewomen dalam Night of Champions semuanya belum ada yang konklusif. Untuk Sasha melawan Lynch, pertandingannya sangat awesome. kedua cewek ini tampak benar-benar saling pengen menyakiti. Beda sama Randy Orton lawan Kofi Kingston yang gak bergairah, lamban, sehingga terasa sangat panjang membosankan. Lynch lawan Sasha memainkan skenario yang kreatif untuk membuild up api pertempuran di antara mereka. Wasit dibuat jadi korban, sehingga Lynch dan Sasha lantas ‘jalan-jalan’ sampai ke backstage. Saling menyakiti. Membuat mereka tampak tak terkontrol sehingga pertandingan yang udah kayak perang itu berakhir diskualifikasi. Ini bukan akhir gantung yang annoying. Ini adalah akhir sempurna yang mengarahkan kita ke pemahaman keduanya harus dikurung (ehm.. ehemm.. pay-per-view berikutnya adalah Hell in a Cell). Malah ini mengingatkanku pada pertandingan fenomenal antara Stone Cold dengan Kurt Angle pada SummerSlam 2001 yang juga brutal dan berakhir dengan DQ.

mereka kena potong gaji gak ya udah jadiin kamera mahal sebagai senjata?

 

Selain Four Horsewomen, WWE secara lowkey menghighlight mantan anggota Wyat Family. Kita melihat akhir cerita “Siapa Penyerang Roman Reigns” yang ternyata berujung kepada kembalinya Luke Harper membantu Rowan. Oh ya, juga kembalinya nama depan Eric kepada Rowan. Mungkin mereka merasa aneh jika nyebut Roman versus Rowan thok sehingga nama Rowan dikembalikan lengkap menjadi Eric Rowan hihihi.. Di partai lain kita juga melihat Braun Strowman berkompetisi sebagai tag team sekaligus sebagai penantang dari rekan tag temannya (he broke record ‘first time in history’ by the way!) Strowman, bersama Seth Rollins, menjadi pembuka dan penutup acara. Dan Strowman practically mengovershadow Rollins yang tampil bland sebagai juara tertinggi. Penonton bersorak ketika Strowman terbang dari top-rope, dan nge-boo ketika Rollins menyerang Strowman dengan Curb Stomp untuk yang ketiga kalinya. Rollins adalah superstar yang hebat, jurusnya keren-keren, tapi dia seperti hampa sebagai juara karena pertandingannya sejauh ini menggunakan metoda yang sama, dengan lawan yang juga selalu lebih besar darinya. Dia perlu mendapat perlakukan yang berbeda. Seperti The Revival yang mengklasikkan kembali pertandingan tag team, saat mereka melawan New Day di paruh awal acara. Akhir match mereka adalah salah satu yang wajib dilihat dalam acara ini. Atau seperti Alexa Bliss yang kembali ke attire Harley Quinn dan mengreinvent cara bertarungnya menjadi lebih bersahabat. Di samping pertandingan tag team pembuka, dua tag team match ini memang asik untuk dilihat karena bercerita dengan baik, sesuai dengan konteks storyline masing-masing.

Seth Rollins seperti tidak dapat bernapas lega karena di penghujung acara pentolan Wyatt Family numero uno; Bray Wyatt himself muncul ‘mengucapkan salam’ kepadanya. Ini satu lagi yang momen yang wajib kalian saksikan sendiri karena feeling yang disampaikan sangat kuat.

 

 

Clash of Champions penuh oleh momen-momen keren. Bahkan pertandingannya pun lebih seperti bagian dari momen ketimbang suatu konklusi. Menjadikan acara ini tidak sekuat acara sebelumnya. Untungnya dikemas dengan cukup baik. Pertandingan-pertandingannya punya hubungan antara satu sama lain, sebagai usaha WWE untuk menunjukkan roster mereka punya kedalaman dan immersive, kaitannya dengan pembelaan terhadap tuduhan mereka punya terlalu banyak sabuk kejuaraan. Dua match yang boring buatku, yakni Roman/Rowan dan Orton/Kingston yang terasa terlalu panjang dan tidak sebesar yang diharapkan oleh WWE (mengingat posisi mereka yang so late in the card). Untuk MATCH OF THE NIGHT, Palace of Wisdom menobatkannya kepada Becky Lynch melawan Sasha Banks.

 

 

Full Results:
1. RAW TAG TEAM CHAMPIONSHIP Dolph Ziggler dan Robert Roode juara baru ngalahin Braun Strowman dan Seth Rollins
2. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bayley bertahan dari Charlotte 
3. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Revival going old school defeating The New Day
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Alexa Bliss dan Nikki Cross tetap juara mengalahkan Fire and Desire
5. INTERCONTINENTAL CHAMPIONSHIP Shinsuke Nakamura dibantu Samy Zayn bertahan atas The Miz
6. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Becky Lynch mengdiskualifikasi dirinya melawan Sasha Banks
7. WWE CHAMPIONSHIP Kofi Kingston masih juara mengalahkan Randy Orton
8. NO DISQUALIFICATION Eric Rowan menghajar Roman Reigns
9. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Seth Rollins mempertahankan sabuk dari Braun Strowman

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

HAUNT Review

Being scared means you’re about to do something really, really brave.

 

 

Menjalin hubungan itu mengerikan. Kalian tau perasaan ketika kita merasa berbuat sesuatu yang bodoh di depan pasangan dan menyangka semua bakal kacau padahal kita mau sesuatu yang spesial dan tak ingin sendirian lagi? Perut seperti berjumpalitan jatuh, atau keringat dingin menerpa? Nah, perasaan seperti itu juga sama dirasakan saat mau masuk ke rumah hantu. Jika relationship normal saja bisa seseram itu, maka bayangkan rasa takut yang menjalar di dalam diri seorang Harper (cuma Katie Stevens yang beruntung dapat tokoh yang paling ‘berdaging’ di film ini). Yang terjebak dalam hubungan bersama pacar yang abusive. Enggak ada yang fun soal abuse. Harper sudah tidak asing dengan melarikan diri dari itu, lantaran si abuse ini memang cenderung mengejar, menghantui korban-korbannya. Malam Halloween sekarang, Harper memutuskan untuk ikut ‘ngacir’ bersama teman-temannya. Mereka mengunjungi sebuah wahana rumah hantu untuk bersenang-senang. Just like in relationship; kalian melangkah masuk ketakutan tapi begitu sudah di dalam, kalian akan bersenang-senang. Sayangnya, rumah hantu yang Harper dan teman-teman masuki persis kayak abusive relationship si Harper. Membuat mereka terjebak. Para kru rumah hantu tersebut menggunakan kekerasan yang teramat nyata.

Haunt yang digarap oleh Scott Beck dan Bryan Woods (baca: penulis A Quiet Place yang tayang tahun 2018) dimulai seperti horor remaja kebanyakan; dengan keputusan buruk yang dibuat oleh anak muda. Tapi cerita film ini punya fondasi yang kuat, yang membuatnya megah dibandingkan film bunuh-bunuhan serupa. Film ini tidak sekadar mengagetkan kita dengan petualangan di rumah hantu. Ada perkembangan tokoh di sini. Ada perjuangan seorang manusia dalam mengatasi ketakutan personalnya. Rumah hantu dijadikan simbol  dari sumber ketakutan yang harus diatasi oleh tokoh utama. Mirip seperti Crawl (2019) yang menjadikan buaya sebagai cambuk motivasi tokohnya. Haunt dan Crawl bisa dibilang adalah contoh horor efektif, yang sederhana, yang simpel dan tak berniat sok pintar dengan segala twist yang gak perlu.

satu-satunya yang ngetwist di sini adalah perut kita

 

Backstory Harper disulam dengan sangat rapih ke dalam petualangan survival di rumah hantu, sehingga tidak sedikitpun pace film ini tersendat. Masalah masalalu sang tokoh utama tidak lantas menjadikan film ini seperti berhenti, ataupun masalah tersebut tidak terasa seperti tambalan semata. Semua yang terjadi pada Harper paralel dengan masalah yang sedang ingin ia hindari. Yang untuk bercerita tentang itu saja, Harper tidak berani. Dengan fondasi backstory yang kuat ini, kita jadi peduli sama Harper. Kita berjinjit mendukungnya untuk bisa keluar hidup-hidup dari rumah hantu sinting tersebut. Film juga punya nyali untuk menuntaskan masalah yang jadi latar belakang Harper. Kita mendapat ending yang memuaskan. Tentu saja tak ketinggalan ‘kalimat pamungkas’ yang diucapkan oleh si tokoh sebagai penghabisan seperti pada horor-horor klasik. Sesuatu yang bisa kita cheer dengan penuh nada kemenangan.

Semua orang punya cerita seram. Karena setiap orang pernah mengalami suatu hal buruk yang ingin diitinggalkan. Tapi trauma akan selalu menemukan cara untuk menakutimu. Kita tidak bisa memakaikan topeng kepada trauma. Kita tidak bisa membuat sesuatu yang menakutkan menjadi menyenangkan, yang menyakitkan menjadi menyejukkan. Dalam Haunt, Harper belajar bahwa takut berarti kesempatan untuk menunjukkan keberanian. Dan memang itulah pelajaran berharga dari rumah hantu; mengajarkan untuk menjadi berani. 

 

Selain Harper, tidak ada lagi tokoh yang ditulis padet dan berisi. Tapi film sangat bijak untuk tidak membuat mereka annoying, ataupun membuat kita pengen mereka cepat-cepat mati. Teman-teman Harper misalnya, memang sih mereka ditulis sebagai trope horor saja – mereka seperti tidak punya motivasi sendiri. Kita tidak benar-benar merasa kasihan jika salah satu dari mereka mati. Jikapun kita ingin ada yang selamat, itu supaya mereka bisa terus membantu Harper. Tapi  mereka tidak bego. Mereka kerap membuat keputusan yang menunjukkan perlawanan terhadap rumah hantu. Mereka berpikir, cukup resourceful. Bahkan di paruh pertama, narasi maju bukan karena Harper seorang, melainkan karena keputusan yang mereka buat bersama. Aku suka cara film mengantarkan kita ke titik no return; yakni dengan memperlihatkan para tokoh beneran pengen balik melewati jalan yang sudah mereka lalui. Efek emosional ketika mengetahui mereka tidak bisa balik lagi benar-benar terasa kuat, intensitas langsung naik, seakan kita ikut berpartisipasi dalam ketakutan mereka. Hanya ada satu masalah yang cukup besar buatku mengenai majunya narasi terkait pilihan tokoh-tokoh ini. Ada satu keputusan bego (banget) yang dibuat oleh tokohnya – aku gak mau spoiler banget tapi ini cluenya: terkait urutan keluar dari lorong kecil. Aneh juga, dengan arahan yang tight seperti begini, masih ada juga adegan yang konyol. Mereka harusnya lebih berhati-hati menulis adegan tersebut.

Hanya satu itu yang menggangguku. Suwer. Selebihnya, film ini terasa sangat menghibur. Tegangnya dapet, karena film sangat cakap menguasi editing dan pemakaian suara. Perasaan terkurung di dalam lorong rumah hantu itu dapat kita rasakan berkat suara-suara yang tidak berlebihan dan timing yang pas. Film tahu kapan harus menggunakan suara latar yang sangat kecil seperti decitan kayu atau desau angin pada terpal dan kapan waktunya digunakan suara yang cukup keras. Kamera pun bijaksana merekam dan menge-cut adegan demi adegan dengan presisi sehingga kita tak pernah ketinggalan sekaligus tak tahu terlalu banyak. Dan ini menambah kesan misterius yang meningkatkan suspens cerita.

Cara yang sama juga film lakukan terhadap para kru rumah hantu. Kita cukup tahu mereka semua orang gila yang haus darah, yang membuat wahana supaya bisa menyiksa anak-anak muda yang hanya pengen merayakan halloween. Kita cukup tahu mereka semua memang lebih baik pakai topeng saja; film tampaknya bermain-main dengan candaan lama “lebih serem aslinya daripada topengnya”. Kita cukup tahu mereka semua semacam kelompok sesat. Dan bijaksananya film adalah kita hanya dicukupkan untuk tahu semua itu saja. Cerita tidak dibuat ribet dengan membahas kenapa lebih lanjut. Karena fokus narasi toh bukan pada mereka-mereka ini. Lagipula mengetahui dari mana mereka dapat duit membangun rumah hantu, misalnya, akan mengurangi kemisteriusan sehingga mungkin kita tak akan menjadi takut lagi kepada mereka.

seolah kita masih butuh diingatkan betapa seramnya seorang badut

 

Rumah hantu adalah wahana favoritku. Ada masa ketika aku rela pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk nyobain rumah hantu. Sekarang sudah jarang, karena mulai tergantikan dengan ‘escape room’ semacam Pandora. Tema rumah hantu dan escape room menarik dan kreatif, hanya saja sering terlalu gelap sehingga membuatnya setnya enggak kelihatan. Nonton Haunt ini aku seakan mendapat moment “I told you so!” lantaran rumah hantu dalam film ini terang benderang. Dan tidak mengurangi keseramannya. Jadi, ya aku mau nyelipin kritik buat wahana rumah hantu dan semacamnya di Indonesia; cobalah sekali-kali jangan terlalu gelap. Tontonlah Haunt. Set film ini begitu menakjubkan, sehingga aku merasa pengen ikut masuk menjelajah rumah hantunya. Jenis-jenis trik yang diperlihatkan sangat beragam. Teka-teki sederhana yang dihadirkan dalam satu ruangan bisa membuat malu seantero film Escape Room yang tayang awal tahun 2019 ini. In fact, semua aspek film Haunt akan membuat malu film Escape Room. Haunt membuat semuanya tampak manusiawi, tampak plausible, tampak beralasan, sementara Escape Room terlihat sok kece dengan tokoh-tokoh standar yang nyebelin. Aku bahkan ilang selera untuk ngereview setelah nonton. Tidak seperti Haunt yang bikin semangat untuk menuliskannya.

 

 

Untuk sebuah horor tentang rumah hantu dengan tokoh-tokoh anak muda, film ini amat sangat menghibur, dengan fondasi cerita yang kuat. Jarang ada pembuat film yang seserius dan seniat ini, yang tidak menganggap remeh target penontonnya. Film ini tidak dibuat receh dan konyol. Melainkan punya isi. Membuatnya semakin bisa dinikmati. Menakutkan, menghibur. Setelah semua darah, kekerasan, senang sekali melihat sesuatu yang masih punya hati.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAUNT.

 

LORONG Review

“Mom knows best”

 

 

Apapun situasinya, kata-kata ibu seringkali benar pada akhirnya. Mungkin karena beliau adalah sata-satunya wanita yang mengenal kita lebih lama daripada siapapun, atau mungkin karena kita hidup sembilan bulan di dalam perutnya, ibu selalu punya cara untuk membuktikan dia benar-benar benar dalam hal melindungi dan mengkhawatirkan kita. Film horor Lorong garapan Hestu Saputra memperlihatkan kepada kita sekuat apa naluri keibuan seorang wanita jika sudah menyangkut keselamatan buah hatinya.

Bukannya bermaksud spoiler loh. Dengan menggunakan pendekatan dramatic irony dalam bercerita, sedari bagian awal film sudah memberitahu kita bahwa firasat Mayang (Prisia Nasution berhasil membuat tokohnya simpatik dan enggak annoying) soal bayinya yang baru lahir bukanlah ‘firasat’ at all. Bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi di rumah sakit tempat ia bersalin. Kita sebagai penonton sudah ditanamkan untuk percaya kepada Mayang alih-alih ke suster-suster rumah sakit. Sehingga di awal-awal – kurang lebih babak satu dan babak dua, aku enjoy menonton ceritanya. Kupikir tidak bakal ada twist “wah ternyata Mayang benar!” karena gak semua cerita horor harus ada twist. I just excited dan cukup terinvest untuk pengen mengetahui ke arah mana cerita ini akan berlabuh. Di titik mana komponen utama; Mayang, seorang pria petugas janitor yang mencuri dari dokter-dokter, dan para staff rumah sakit akhirnya bertemu.

sepertinya semua berakar dari ‘wanita selalu benar’

 

Film ini seperti berganti genre tiga kali. Dalam babak set up, horornya terasa psikologikal. Adegan pembuka saja benar-benar kuat dari sudut pandang Mayang, ibu hamil yang sedang dalam prosesi persalinan. Ketakutan seorang wanita terpancar sekali dari ekspresi Mayang yang sendirinya dalam fase off oleh pengaruh obat bius. Kekhawatiran akan keselamatan bayi. Kengerian berada dalam posisi tak berdaya, sembari melihat sejumlah orang dengan alat-alat bersalin, menengadah menatap lampu yang menyilaukan. Tambahkan konteks; ini adalah hamil pertama Mayang, dan dia sudah berbuat banyak untuk menyambut anak pertamanya. Dalam sebuah flashback, kita diberitahu Mayang sampai mempersiapkan dua dekorasi untuk mengantisipasi bayi yang lahir cowok atau cewek. Motivasi dan ketakutan terbesar Mayang sudah terlandaskan dengan kuat pada sepuluh menit pertama. Bersamaan dengan hilangnya kesadaran Mayang, kita juga di-cut dari adegan persalinan dan bertemu kembali dengan Mayang  di ranjang rumah sakit. Tanpa anak bayi di sisinya. Mayang bersikukuh kepada semua orang; kepada suaminya, kepada para suster, kepada siapa saja bahwa anaknya masih hidup.

Cerita mulai mengingatkan pada Rosemary’s Baby (1968) pada bagian tokoh utamanya mulai yakin ada konspirasi penghuni apartemen terhadap ia dan bayinya. Sama seperti Mayang yang terus menerus menelurusi lorong-lorong rumah sakit mencari bayinya yang disebut sudah meninggal (dikuburkan langsung oleh sang suami). Menyaksikan dan mendengar hal-hal yang mencurigakan. Kita bahkan melihat lebih banyak daripada Mayang. Kadang kita dibawa mengikuti suster atau si janitor. Dan juga ada hantu yang terus mengikuti ke mana Mayang pergi, mencoba memberi tahu sesuatu kepada dirinya. Film seharusnya mengeksplorasi setiap sudut pandang cerita dengan lebih dalam, karena di titik ini ceritanya sudah less-psychological. Film butuh untuk mengembangkan rumah sakit sebagai set yang bernyawa – sebagai dunia yang punya cerita sendiri sebab misteri yang disajikan sudah membesar.

Alih-alih, film malah menyandarkan diri pada kemunculan hantu. Padahal sebenarnya justru si hantu inilah salah satu yang enggak diperlukan. Film bisa bekerja dengan sama baiknya jika hantu tidak ada. Karena horor sebenarnya datang dari ketakutan Mayang akan bayinya. Bukan dari penampakan hantu. Malahan, si hantu justru lebih sering muncul dan terlihat oleh kita, dibandingkan oleh Mayang. Sehingga membuat kita dan Mayang kadang tidak sejalan; Kita takut sama hantu, sedangkan Mayang takut sama nasib bayinya. Inilah masalah pertama yang kurasakan saat menonton Lorong. Masalah yang berbuntut panjang. Mereka seharusnya menyiapkan waktu lebih banyak untuk pembangunan dunia terkait dengan misteri apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang harusnya dikembangkan; si janitor, si suami, rumah sakit, bahkan si Mayang sendiri. Since film memutuskan untuk banyak memakai flashback dan dream sequence (yang terkadang dua ini digabungkan), alangkah lebih baiknya jika momen-momen flashback itu digunakan untuk pengembangkan karakter Mayang pada kehidupan normal. Supaya memperdalam lapisan karakternya. Karena sepanjang film ini kita hanya melihat dia tertatih-tatih kebingungan dan kesakitan di rumah sakit, panik mencari bayinya. Kita tidak pernah melihat dia lebih dalam sebagai seorang wanita. Kenapa dia pengen punya anak, misalnya. Kenapa kita harus percaya dia bakal jadi ibu yang baik, sehingga nalurinya juga bisa dipercaya.

Sepertinya memang tidak ada penjelasan kenapa ibu bisa tahu segala yang terbaik untuk anak. Film memperlihatkan koneksi spontan antara Mayang dengan bayinya; meski dalam keadaan terbius dia tahu bayinya ada di sana. Jika di dunia ini memang ada sihir, maka hubungan ibu dengan anaknya bisa jadi adalah contohnya.

 

Tapi film seperti enggak pede jika tidak ada hantu. Aku bisa membayangkan saat pitch cerita, PH meminta untuk menambahkan hantu lantaran menganggap penonton hanya akan menonton hantu-hantuan belaka. Karena memang si hantu dalam Lorong ini seperti tambalan saja. Tambalan tapi sering. Jadi filmnya kayak kain buntelan gelandangan di kartun-kartun jaman dulu. Film seperti tidak mengerti bahwa horor kejiwaan dan manusiawi itu sebenarnya lebih mengerikan daripada sosok mengerikan dan ritual berdarah. Sehingga film memilih sebuah keputusan yang amat, sangat, murahan dan sesedikit sekali logika untuk mengakhiri cerita. Persis seperti kesalahan yang dilakukan oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018). Semua hal menjadi sangat over-the-top setelah pengungkapan di babak akhir. Ada satu tokoh yang kalem, ternyata jadi menggelinjang sok-gila. Cerita horor psikologis dan thriller konspirasi itu ditarik ke alam baka oleh penjelasan tentang cult yang maksa, hanya untuk mengecoh penonton. Bayangkan Rosemary’s Baby yang berakhir dengan babak ketiga Suspiria (2019). Enggak cocok.

siapkan dirimu untuk siluman harimau random yang bisa terbang menerkam

 

Dan plot Mayang menjadi semakin aneh karena kejutan di babak terakhir film tersebut. Jika memang benar naluri ibu selalu benar, maka kenapa dia masih bisa ditipu oleh orang terdekatnya? Ini literally musuh dalam selimut hahaha.. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh film dengan memasukkan sekte dan ritual yang berlangsung di balik tembok steril rumah sakit? Kenapa ceritanya berubah drastis menjadi manusia yang pengen kesembuhan dan meminta kepada sosok yang salah karena mereka ‘dicuekin’ oleh pengobatan yang sah?

Penanaman yang dilakukan oleh film hanya supaya twist ini enggak mengada-ada. Untuk pemakluman belaka. Seperti misalnya; aku sempat merasa aneh juga rumah sakit yang punya CCTV tapi masih kesulitan mencari Mayang yang jalannya aja belum lurus. Punya CCTV tapi si janitor maling tetap sukses menjalankan aksinya. Ataupun soal suami yang tidak mendampingi istrinya melahirkan. Semua alasan itu dijelaskan di akhir, sehingga seolah twistnya make sense dan dipikirkan dengan matang. Padahal bukan sebatas itu yang kita butuhkan. Kita butuh untuk diyakinkan kenapa pelakunya melakukan hal tersebut. Motivasi mendalam seperti demikian yang tidak pernah ditanamkan. Hubungan sebab akibat dan aturan main ritual. Kenapa musti bayi Mayang, padahal ada banyak bayi di rumah sakit itu. Kondisi seperti apa yang dibutuhkan. Twist di Suspiria bekerja dengan baik karena diperlihatkan aturan kerja si institusi jahat – ada subteks soal matriarki dan kekuasaan yang membayangi, yang jadi konflik buat tokoh utamanya. Ending Rosemary’s Baby terasa begitu kuat lantaran kita mengerti konflik tokoh utama seputar kecenderungannya lebih mementingkan orang lain. Dalam Lorong, twistnya hanya sebatas di kejadian dan endingnya pun tidak mengubah apa-apa terhadap Mayang.

 

 

 

Kebanyakan horor yang benar-benar bagus memang mengangkat psikologi dan kerapuhan seorang manusia terhadap hal yang ia cintai. Horor yang baik sejatinya adalah drama dari hal-hal yang ditakuti manusia. Takut kehilangan anak, misalnya. Film ini punya bahan-bahan yang tertulis dalam resep horor yang bagus. Tokoh utamanya adalah seorang wanita, seorang ibu. In line dengan horor modern seperti Hereditary (2018), The Babadook (2014), Bird Box (2018), The Prodigy (2019), Us (2019). Tetapi film Hestu Saputra ini gagal menjadi sebesar mereka lantaran tidak konsisten dalam menetapkan dirinya. Tidak satupun dari film-film itu yang menggantungkan diri pada twist over-the-top, tidak satupun yang menggunakan hantu hanya untuk mengageti penonton. Sebuah penceritaan butuh konsistensi dan berani untuk mengembangkan drama karakternya. Film ini terlalu takut untuk itu semua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LORONG.

 

 

THE DEAD DON’T DIE Review

“Know when your time is up”

 

 

Lihatlah betapa banyak nama-nama beken terpampang di poster. Mereka semua memainkan peran yang berbeda-beda, tapi sesungguhnya dalam The Dead Don’t Die ini mereka semua menjadi zombie. Now, mungkin kalian udah ngambek dan mengira aku membocorkan cerita. Tapi enggak. ‘Menjadi zombie’ yang kumaksud – meskipun ada beberapa yang beneran jadi zombie – tepatnya adalah para tokoh yang dimainkan oleh aktor-aktor tampak seperti zombie semua. Tak berjiwa. Dan lucunya, justru terkadang hal tersebut yang menjadi kekuatan horor komedi yang satir ini.

Para tokoh tinggal di kota kecil bernama Centerville. Suasananya kurang lebih mirip kota Twin Peaks dalam serial buatan David Lynch. Penduduknya saling mengenal satu sama lain. Mereka semua sudah hidup di sana sejak kecil. Setiap peran dengan tepat dipasangkan kepada ciri khas para aktor; Tilda Swinton memainkan pendatang aneh yang jago pedang, dia bekerja sebagai perias mayat. Steve Buscemi sebagai si kasar rasis yang kalo ngomong bisa gak berhenti. Yang paling cocok tentu saja adalah Bill Murray dan Adam Driver yang dipasangkan sebagai rekanan polisi; komedi deadpan mereka benar-benar memberi nyawa kepada film. Murray bisa sesederhana kayak membaca naskah, tapi yang ia ucapkan akan terdengar begitu kocak. Apalagi jika sudah ditimpali oleh Driver yang tokohnya di film ini seperti ngebreak the fourth wall but not really. Dunia film ini ramai oleh tokoh-tokoh yang unik. Tak ketinggalan ada ‘orang gila’ yang tinggal menyendiri di hutan untuk melengkapi maraknya tokoh. Mereka semua penting, karena film ini memang lebih tentang interaksi manusia ketimbang aksi. Bahkan ketika intensitas narasi mulai naik, film tetap lempeng memperlihatkan bincang-bincang para tokoh.

Jadi, di kota mereka itu ada fenomena aneh. Satu hari, siangnya lama sekali. Hari berikutnya, giliran malam yang kecepetan turun. Televisi dan radio memberitakan semua itu merupakan pengaruh pergeseran sumbu bumi atau apalah. Petaka yang menyertai kejadian itu adalah munculnya zombie. Atau tepatnya, ‘beberapa’ zombie. Yang bergentayangan di jalanan pada malam hari. Memangsa manusia. Para polisi jagoan utama kita harus berusaha mengamankan kota dari wabah zombie matrelialistis. Ya, zombienya pada matre, karena bukannya meraungkan “braaiiinnns!”, mereka malah meneriakkan benda-benda kesukaan semasa hidup.

“Kopii! Senjaaaa!!”

 

Sutradara Jim Jarmusch terkenal dengan film-film yang teramat subtil. Salah satunya adalah Paterson (2017), film tentang keseharian seorang pembuat puisi, yang juga dibintangi oleh Adam Driver. Paterson mungkin film yang paling sering kusebutin dalam review-review, karena filmnya begitu sederhana tapi mengandung makna yang kompleks. Kayak puisi beneran. Tidak semuanya perlu dikatakan. Makanya pas nonton The Dead Don’t Die ini aku kaget. Meskipun memang lebih banyak ngobrolnya, tapi kenapa film ini blak-blakan sekali. Tidak ada kesubtilan yang menjadi ciri khas pembuatnya.

Zombie-zombie matre itu; sudah bisa kita simpulkan melambangkan kita. Manusia sebenarnya sedang disindir karena hidup sudah seperti zombie. Begitu mengejar duniawi dan materi sehingga dibilang hidup kagak, dibilang mati juga enggak. Film terus mengulang lagu The Dead Don’t Die dari Sturgill Simpsons, yang liriknya mengumandangkan yang mati sebenarnya tidak lebih mati daripada orang yang masih hidup. Tokoh film menyebut para zombie meneriakkan hal yang mereka suka. Dan di akhir film malah ada narasi yang menerangkan simbolisme itu secara terbuka. Nonton film ini akan sangat pointless karena pesan seperti itu sudah sering di film-film zombie. Dan di film ini tokohnya gak ngapa-ngapain selain membuktikan kebenaran dari pesan tersebut. Maka lantas aku bertanya-tanya, apakah pesan yang obvious itu cuma decoy?

Untuk menjawab itu mungkin sebaiknya kita memulai dari sudut pandang cerita. The Dead Don’t Die dengan begitu banyak tokoh memang sering berpindah-pindah sudut pandang. Beberapa ada yang gak-jelas seperti tokohnya Swinton. Ada juga yang gak berbuntut kemana-mana, seperti tiga tokoh remaja di rumah sakit. Tiga tokoh ini tidak diperlihatkan lagi di akhir cerita padahal cukup banyak waktu diinvestasikan buat sudut mereka di awal-awal.  Grup remaja lain – yang dipimpin oleh Selena Gomez – juga tidak berbuah apa-apa selain candaan yang sepertinya bermaksud menyindir cinta-cintaan remaja, yang sayangnya enggak lucu. I mean, mereka membuat senyuman Gomez bersparkle kayak kartun ketika ada seorang cowok yang tampak naksir kepada dirinya. Cheesy sekali, malah. Film bekerja terbaik saat membuat kita tetap bersama pasangan tokoh utama; Murray dan Driver. Komedinya on-point, mereka juga banyak berkeliling sehingga perbincangan mereka akan sulit untuk menjadi membosankan. Salah satu hal kontras dari dua tokoh ini adalah Murray percaya semua akan baik saja, sementara Driver bersikukuh dengan pendapat semua akan berakhir dengan buruk. Dan alasan dia percaya itu karena, well, dia literally bilang dia membacanya di naskah. Dia juga menyebutkan lagu yang terus diputar setiap kali ada yang menghidupkan radio atau tape atau CD adalah lagu tema film ini. Dan tokohnya Murray terdiam, bingung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan pertanyaan kenapa naskah bagian dia cuma memuat dialog antara mereka berdua saja.

Jadi film membawa kita melalui beragam rentang sudut pandang; dari yang benar-benar clueless hingga yang seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Jika ini adalah sebuah film ‘biasa’ dengan konsep break the 4th wall untuk komedi, dan para tokoh beneran para aktor yang sedang suting film, maka The Dead Don’t Die akan menjadi film yang buruk karena berjalan tak tentu arah. Namun, film ini berada di atas itu semua. Ia mengaburkan konsep tersebut. Murray bukan Murray, meski dia sadar sedang berada dalam sebuah film. Ternyata di sinilah letak gaya film ini. Rasanya memang aneh, tapi ini seperti sutradaranya sedang bereksperimen dengan genre, dengan gagasan, dengan konsep, dengan teori kemetaan itu sendiri, dan kita penontonnya ditarik untuk ikut serta.

manusia yang jadi ‘zombie’ lebih buruk daripada manusia yang beneran sudah mati

 

Film seperti ingin memancing kita untuk protes. Untuk tidak menikmati film ini dan melakukan sesuatu terhadapnya. Ia tampak seperti menguji gagasan yang diangkat bahwa manusia sekarang sudah seperti zombie. ‘Menghukum’ kita yang tergiur datang karena tertarik melihat nama-nama pemain yang dipajang. “Haa… Selena… Gomezzz”, “Tilda…. Swin..tooonn”. Toh kita bukan ‘zombie’ yang memburu dan melahap film semata karena pemainnya saja kan. Kita diminta untuk memikirkan yang kita tonton. Bukan untuk menjadikan film ini tugas yang berat. Melainkan supaya kita bersenang-senang dengannya.

“Khawatirlah. Bersiap. Ini akan berakhir dengan buruk”

Kalimat yang diucapkan oleh tokoh yang diperankan Adam Driver menjadi sakral. Sebab merupakan kunci yang diberikan oleh film. Durasi hanya 100-an menit, yang akan diakhiri dengan buruk, jadi apakah kita akan tetap menonton bulat-bulat dan merasa rugi sendiri. Kita harus bersenang-senang dengan waktu yang diberikan. Buatlah sesuatu dari yang kita tonton. Make fun of the characters on screen. Apapun. Kita lakukan apapun untuk mengisi waktu yang sedikit itu. Mungkin terbaca sedikit long reach, aku mengada-ada biar ada yang bisa ditulis, tapi bagiku memang itulah poin film ini. Mengisi waktu sebaik-baiknya. Dan ini paralel dengan tema ‘kiamat’ yang jadi lapisan terluar film.

Dalam cerita ditunjukkan hewan-hewan sudah terlebih dahulu kabur sebelum para zombie bangkit. Sama seperti di dunia nyata saat bencana alam hendak terjadi; burung-burung terbang bermigrasi, hewan-hewan keluar, just recently babi hutan di Sumatera diberitakan berenang nyebrang selat menuju Malaysia. Binatang selalu lebih dahulu sadar yang bakal terjadi. Sedangkan manusia, ya kita melihat tanda-tanda. Tapi berapa orang yang benar-benar bersiap. Yang memanfaatkan waktu yang tersisa. Kebanyakan kita tidak mampu mengenali waktu cuma sedikit, malah mungkin sudah hampir habis. Hanya berdiri ‘diam’. Parahnya berlagak seperti zombie mengejar sesuatu yang bahkan tak benar-benar diperlukan.

Film ini memang tentang manusia yang sudah menjadi zombie keduniaan. Tapi pesan tidak berhenti sampai di sana. Film melanjutkan bahwa yang terburuk dari menjadi zombie adalah ketika tidak menyadari diri kita sudah mati. Waktu telah habis untuk mengejar sesuatu yang fana. Kita semua bakal mati. Waktu kita hidup terbatas. Jadi isilah dengan hal yang berguna. Yang bisa dijadikan persiapan. Karena setelah mati, yang ada hanya keabadian.

 

 

 

Jarmusch sungguh bernyali gede dengan membuat film ini. Dia mengambil horor komedi yang sudah lumrah, dengan pesan yang sudah ‘pasaran’, dan menggarapnya dengan cara yang menantang kita untuk tidak menyukainya. Dia bahkan mencari cara baru untuk membaut yang subtil menjadi semakin subtil dengan menyebutkannya terang-terangan. Benar-benar pemikiran yang rumit untuk film yang tampak gak-jelas seperti ini. Komedinya bisa sangat lucu dan bisa juga jadi sangat cheesy, dan sepertinya itu semua sudah diniatkan. Aku sendiri sebenarnya belum yakin, suka atau tidak sama film ini. Kita tahu dia dibuat oleh ‘bahan-bahan’ berkualitas tinggi. Namun rasa yang dihadirkan tetap aneh. Kalo alien bikin kue, dan kita mencicipinya; mungkin seperti nonton film inilah rasanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for THE DEAD DON’T DIE.

 

 

IT CHAPTER TWO Review

“Often it isn’t the initiating trauma that creates seemingly insurmountable pain, but the lack of support after”

 

 

Setelah dua-puluh-tujuh tahun, Si Badut Pennywise muncul kembali di kota Derry. Dia merindukan anak-anak yang dulu pernah hampir menjadi mangsanya. Tujuh anak yang pernah mengalahkan dirinya itu, ia pancing kembali untuk datang ke kota lewat serangkaian teror. Dan setelah dua-tahun dari film chapter pertamanya, kita datang untuk menagih janji cerita horor yang benar-benar berdaging.

Serius, ‘menagih janji’ itu adalah kalimat penutup reviewku untuk It (2017). Karena dua film It adalah adaptasi dari satu buku Stephen King, dengan ‘daging’ cerita sebenarnya terletak pada bagian saat para Losers’ Club yang sudah dewasa ditarik kembali ke Derry untuk menghadapi trauma masa kecil mereka. Sutradara Andy Muschietti nekat membagi menjadi dua film, dan actually did a great job pada chapter pertama. Kisah anak-anak menjelang remaja yang tadinya kelam, diubah cerita persahabatan yang uplifting. Mengajarkan kita akan pentingnya persahabatan untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Pada Chapter Kedua, Muschietti menyambung gagasan King dengan horor yang dibuat lebih dewasa. Dengan pertanyaan yang lebih menantang untuk makna persahabatan itu sendiri.

Mudah untuk kita bersatu ketika sedang sama-sama susah. Penderitaan mendorong kita untuk menemukan dan berpegangan kepada kawan yang senasib. Namun ketika semua masalah sepertinya sudah terhindari, ketika hidup kita sudah berlanjut menjadi lebih baik, sudikah kita kembali untuk mengalami lagi semuanya. Ketika kita sudah hidup mapan sendiri-sendiri, maukah kita kembali untuk bersama-sama berkubang dalam masalah?

 

Sepindahnya mereka dari kota Derry, pentolan Losers’ Club memang sudah tergolong sukses. Bill Denbrough kini jadi penulis cerita misteri yang ngehits, dia tidak lagi tergagap, dan punya istri seorang bintang film. Ben Hanscom sudah gak gendut lagi, dia jadi arsitek kaya yang meeting online sama klien. Richie Torzier menggunakan mulutnya sebagai aset jadi komedian terkenal. Eddie Kaspbrak berkarir di bidang risk assesment real-estate yang cocok sama kebiasaannya yang selalu mencemaskan berbagai hal. Beverly Marsh jadi perancang busana. Dan Stan juga tampak cukup sukses di kediamannya. Mereka semua sudah lupa akan kejadian di film pertama, meskipun masih terus dibayangi oleh trauma masa kecil. Bill tak pernah lupa akan Georgie, Bev tetap tak lepas dari sosok pria yang kasar padanya. Dan saat Mike, satu-satunya dari geng mereka yang menetap di Derry, menelfon mereka, mengingatkan akan perjanjian berdarah yang mereka lakukan saat masih kecil; bahwa musuh mereka muncul kembali, semuanya seperti tersentak. Seperti bangun dari mimpi indah, masuk ke mimpi buruk. Bill malah jadi gagap lagi. Masing-masing mereka dipaksa untuk menjalani masa lalu yang mengerikan demi mengambil relik yang akan digunakan untuk ritual mengalahkan Pennywise untuk selama-lamanya.

untung yang nelfonin mereka ‘cuma’ Mike, bukan Bapak

 

Selain Bill, Mike dalam film ini diberikan porsi yang lebih besar. Dia tidak terbaring di kasur rumah sakit seperti pada novel saat teman-temannya turun ke sarang Pennywise. Dialah yang paling dekat dengan posisi tokoh utama karena dia punya arc yang melingkar di antara tokoh-tokoh yang lain. Mike adalah orang yang pertama kali tahu tentang kembalinya Pennywise. Dia yang memutuskan untuk tetap tinggal di Derry. Dia yang lebih dahulu siap untuk menerjang kembali trauma masa lalu. Atau mungkin, dia yang paling menolak untuk move on, dan ini menarik karena biasanya orang akan berlomba-lomba untuk bisa move on dari kenangan buruk. Film mencoba untuk memberikan peran yang lebih besar kepada Mike dibandingkan dengan novel. Ketika semua orang punya masalah sendiri, berjuang melawan kembali apa yang sudah berusaha mereka lupakan dalam proses menjadi dewasa, Mike berada di sana seperti tak tersentuh oleh Pennywise. Kita tidak melihat dia sebanyak tokoh lain dikerjai oleh si Badut Pengubah Bentuk. Teror bagi Mike justru adalah ketika grup mereka mulai terpecah. Saat dia berjuang untuk mempersatukan mereka kembali, walaupun itu berarti dia harus berbohong. Dia seperti agen pemersatu yang berkontras dengan Pennywise si agen pemisah. Ini membuat Mike dan Pennywise adalah dua poros yang paling penting dalam narasi.

It Chapter Two memang melakukan lumayan banyak perubahan terhadap versi novel. Salah satunya lagi adalah soal ending – tapi dibuat masih menghormati dan sejalan dengan materi asli – sehingga para pembaca buku dapat tetap mendapat kejutan menyenangkan saat menonton. Soal ending buku malah dijadikan candaan yang terus berulang karena di film disebutkan bahwa Bill yang novelist selalu mendapat kritikan terhadap ending yang ia tulis. Akan ada banyak adegan ketika ada orang yang menyebut buku tulisannya bagus, tapi mereka enggak suka dengan endingnya. Bahkan Stephen King sendiri muncul sebagai cameo dan mengucapkan dialog seputar pilihan ending tersebut. Lewat running gag tersebut, film ingin mewanti-wanti kepada kita bahwa mereka juga sudah melakukan sesuatu kepada ending film, yang menurut mereka adalah perbaikan dari ending pada buku. And it’s kinda true. Ending film ini membawa rasa kepuasan dan kelegaan yang menghangatkan. Hanya saja perjalanan menuju endingnya yang luar biasa membinasakan.

Tentu, interaksi antar-tokoh tampak akrab dan menyenangkan. Aktor-aktor dewasa seperti Jessica Chastain, James McAvoy, Bill Hader, James Ransone memainkan peran mereka persis kayak aktor-aktor cilik memainkan mereka. Tokoh mereka terasa familiar bagi kita yang sudah mengikuti perjalanan mereka dari film pertama. Mereka beneran seperti bertumbuh dewasa. Permainan akting mereka semakin on-point berkat film yang kerap membawa kita berflashback ke masa kecil mereka dua-puluh-tujuh tahun yang lalu. Seolah film ingin menyombong kepada kita “lihat, ini beneran mereka sudah jadi orang gede” Seru melihat tokoh-tokoh berkembang, mereka melakukan gerakan dan bereaksi seperti yang sudah akrab dengan kita. Film sangat hebat memperlihatkan itu semua. Si Pennywise pun digambarkan sebagai tokoh yang punya sedikit kedalaman sekarang, aku senang dialog tokohnya diperbanyak, karena Bill Skarsgard memang memainkannya dengan penuh penghayatan dan tampak bersenang-senang. Makhluk-makhluk CGI hasil ilusi dan jelmaan dari Pennywise enggak benar-benar seram, melainkan seru abis lantaran begitu random dan di luar logika. Hampir seperti kartun. Mungkin visual monster-monster itu tampaknya sengaja dibuat kasar untuk menimbulkan kesan seram yang hilarious karena film ini menunjukkan mereka sanggup menampilkan CGI yang begitu mulus ketika menggunakannya untuk memudakan kembali tokoh anak-anak yang pemerannya sudah jauh mendewasa ketimbang peran mereka.

Hanya saja ketika menapaki trauma-trauma yang semestinya bernada lebih dewasa, film juga tetap memilih untuk tampil seperti teror wahana rumah hantu, seperti pada film pertama. Dan ini mengecilkan makna dan ‘daging’ yang ada pada cerita horor saat mereka dewasa ini. Teknik jumpscare dan permainan makhluk horor CGI dari Muschietti memang efektif, memberikan hiburan horor yang konstan, tetapi substansi harus diletakkan di depan karena terus-terusan hanya melihat jumpscare-jumpscare dengan makhluk-makhluk random akan membuat kita kehabisan energi. Terutama di film dengan durasi hampir tiga jam seperti ini.

membuat kita galau mestinya film ini durasinya dipangkas atau malah ditambah – dijadikan serial aja

 

 

Film tidak memperhitungkan pace dengan baik. Meninggalkan kita menjadi semakin tidak sabar saat flashback demi flashback, horor ngagetin demi horor ngagetin, terus berputar di layar. I mean, kita ngerti kok mereka punya trauma yang dibangkitkan lewat halusinasi oleh Pennywise yang suka untuk melemahkan mental mangsanya, film tidak harus melandaskan poin yang sama berulang kali. I mean, musti berapa kali lagi kita melihat mereka di masa kecil sebelum film benar-benar menyudahi ceritanya. Ada enam tokoh, ada tiga babak, dan di setiap babak kita diperlihatkan masing-masing berurusan dengan Pennywise dan trauma mereka. Di luar bagian Mike, kalo dikali, jumlahnya ada lima belas kali kita melihat teror Pennywise. Ini melelahkan. Mengganggu tempo cerita karena elemen horor tersebut tak bekerja banyak di luar untuk ajang kaget-kagetan. Adegan-adegan itu tak punya bobot urgensi karena kita tahu semua hanya ilusi dari Pennywise yang tak benar-benar berbahaya. Malah ada beberapa flashback yang menunjukkan mereka waktu masih kecil dikejar-kejar oleh berbagai wujud It. Flashback pengisi gap tahun yang pointless karena kita tahu para tokoh tidak dalam bahaya di adegan tersebut karena toh mereka sudah tumbuh jadi dewasa – mereka survive dari kejadian itu. Mereka tidak mati saat masih kecil itu. Menuju ke ending yang merupakan perbaikan dari ending novel, terasa ngedrag, film ini bahkan punya dua sekuen ‘false resolution’. Dua setengah jam itu benar-benar terasa.

Narasi yang melingkupi banyak tokoh seperti ini haruslah diikat oleh satu benang merah. Film ini, dengan kodratnya sebagai cerita lanjutan, memang sangat tergantung pada penonton untuk menyaksikan dulu film pertamanya. Atau membaca novelnya. Film tidak necessarily mengikuti buku tetap berjalan dengan arc Bill sebagai sumbu utama. Tapi film ini cukup berani memasukkan elemen penting pada buku yang bahkan tak disadur oleh It versi miniseri tv yang tayang tahun 1990an. Yakni seputar peristiwa kejahatan sadis yang dialami oleh seorang pemuda gay. Adegan ini actually jadi adegan pembuka dalam It Chapter Two, persis seperti chapter dua pada novelnya. Sempurna untuk melandaskan horor seperti apa yang bakal kita temukan, kengerian semacam apa. Salah satu Losers’ Club juga diindikasikan LGBT. Hanya saja, film tidak benar-benar komit. Baik itu terhadap elemen LGBT, maupun horor yang serius. Ketika cerita berjalan, tokoh-tokoh kita dibawa kembali ke lingkungan masa kecil mereka, film juga seperti revert back. Melupakaan kedewasaan dan hal-hal baru yang sepertinya akan mereka jalani. kehidupan masa kini yang ditinggalkan para tokoh tidak dibuat ikut mengejar mereka ke Derry. Tidak seperti pada buku. Sehingga stake kehidupan yang mereka tinggalkan tidak pernah terasa. Beverly tidak berkonfrontasi lagi dengan suami dan hubungan abusive yang selalu menimpanya. Kita hanya melihat istri Bill satu kali, bahkan persoalan pilihan ending novel yang ia tulis tidak disebutkan lagi di akhir.

Kekalahan Pennywise pun tidak menunjukkan kedewasaan atau keseriusan emosi yang seperti diisyarakatkan bakal ada oleh pembuka film. Yang ada malah terasa dikonyolkan. Mungkin film berbalik pengen bermain dengan ironi. Lantaran Pennywise yang pada film pertama seperti simbol dari kedewasaan yang merundung anak-anak, pada film ini malah berbalik menjadi yang dirundung oleh anak-anak yang sudah dewasa tersebut. Mereka seperti bertukar tempat. Pennywise yang sekarang menjadi seperti anak kecil. Alih-alih memisahkan mereka lewat memanfaatkan rasa takut, Pennywise pada akhir cerita berubah menjadi sosok insecure, sendirian, tak berteman, yang diejek hingga literally menciut. Pennywise sudah seperti Boggart yang dihajar oleh enam mantra Riddikulus hingga aku tak paham lagi keberanian seperti apa yang ingin diajarkan oleh film ini.

Lebih sering daripada tidak, yang paling mengerikan dari menghadapi trauma itu adalah ketika kita menyadari bahwa kita menghadapinya sendiri. Semua orang butuh support. Dari teman. Dari saudara. Dari orang lain. Tiliklah Losers’ Club, mereka kuat bukan karena sendirian. Mereka lemah menghadapi masalah sendiri. Tetapi mereka tak-terkalahkan saat mendukung masalah teman-temannya.

 

 

 

Sehingga tak tampak lebih berdaging, buatku film pertamanya masih lebih kuat dan lebih berisi padahal seharusnya cerita bagian kedua inilah yang lebih berbobot. Film yang kedua ini kurang berhasil membuat drama dan aspek emosional cerita menjadi vocal point yang konsisten. Sebab cerita film ini pada dasarnya bergantung pada film pertama yang merupakan backstory. Film jadi memuat terlalu banyak, antara aspek yang lebih dewasa, tuntutan buku sumber adaptasi, dan kebutuhan untuk mengingatkan penonton kepada film yang pertama. Hasilnya adalah film yang bekerja pada tingkatan film pertama, dengan materi yang sebenarnya sudah berada di atas level tersebut. Lain kata, film stuck pada gaya yang tidak mampu mengimbangi kematangan ceritanya yang sudah dewasa. Tetap memberikan horor yang menghibur, jumpscare-jumpscare yang efektif, tapi terasa melelahkan dan membuat tak-sabar. Karena poin yang sama diulang berkali-kali. Pengalaman terpisah para tokohnya terasa mengambang kayak balon-balon merah si Pennywise. Mereka perlu diikat menjadi satu narasi yang benar-benar koheren dan film perlu komit di sana.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for IT CHAPTER TWO.

 

 

 

TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA