MINI REVIEW VOLUME 11 (V/H/S/85, NO HARD FEELINGS, STRAYS, TOTALLY KILLER, BLUE BEETLE, PET SEMATARY BLOODLINES, THEATER CAMP, CONCRETE UTOPIA)

 

 

Harusnya sih ini edisi halloween. Tapi ternyata yang belum kutonton dan kuulas ada berbagai genre!! Jadilah aku kumpulin aja semua seperti biasa, dan ya, inilah edisi kesebelas. Dan mungkin kita akan segera bertemu di edisi berikutnyaaa

 

 

BLUE BEETLE Review

It has its charms. I mean, pusat di balik cerita superhero robot kumbang ini adalah keluarga latin, yang struggle dengan keadaan ekonomi. Dan karena berasal dari keluarga latin, kejadian seputar protagonisnya menjadi superhero pun jadi punya ‘warna’ yang berbeda. Jika biasanya superhero merahasiakan yang terjadi kepadanya dari keluarga, maka Blue Beetle berubah persis di depan ayah, ibu, adik, paman, dan neneknya sekaligus. Masalah Blue Beetle juga adalah masalah keluarganya. Bahkan ada sekuen saat justru si superhero yang kekuatannya bisa menciptakan senjata apapun yang ia bayangkan (dia pakai Buster Sword kayak Cloud di FF VII!!) yang harus diselamatkan oleh keluarganya.

Ada momen-momen lucu dari sini. Dan tentunya juga momen seru. Jika sutradara Angel Manuel Soto diberikan kreasi penuh, aku yakin film ini harusnya bisa lebih kuat lagi pada identitas dan perspektif keluarga tersebut. Sayangnya film Blue Beetle bermain aman. Tidak mau mengambil terlalu banyak resiko dengan menjadikan ini film superhero mexico. Film ini bangunan superheronya amat sangat template. Korporat jahat, pasukan militer super, villain yang kekuatannya sama dengan si superhero – only bigger dan badder. Ujung-ujungnya, nonton ini aku tetap merasa bosan. Durasi dua jam lebih itu kerasa banget karena meskipun identitasnya unik tapi yang mereka lalui, plot ceritanya, kejadiannya, terasa seperti yang udah sering kita tonton.

Jika semua studio film superhero modern main aman seperti begini, maka gak heran penonton terkena ‘superhero fatigue’

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BLUE BEETLE

.

 

 

CONCRETE UTOPIA Review

Bencana yang dipotret sutradara Tae-hwa Eom dalam Concrete Utopia bukan exactly runtuhnya tanah karena gempa. Melainkan soal runtuhnya kemanusiaan. Potret yang sangat powerful, dan bikin merinding. Digambarkan manusia bisa seketika turn on each other, saling serang gak peduli sama yang lemah, kalo urusannya udah tentang tempat tinggal. Demi menduduki suatu tempat. Lihatlah ke luar jendela, dan kita akan lihat bentuk konkrit dari yang disimbolkan oleh film ini.

Di cerita ini penduduk satu-satunya apartemen yang masih berdiri berusaha survive, bertahan di apartemen, membentuk komunitas dan aturan-aturan sendiri. Sumber makanan, obat-obatan, dan air yang sedikit membuat mereka tega mengusir pendatang yang ingin mencari perlindungan. Padahal di masa sulit seharusnya manusia bekerja sama. Gak peduli dari mana dia berasal. Film ini nunjukin dengan ironis bahwa pemimpin mereka apartemen sebenarnya juga seorang pendatang. Orang luar yang membunuh seorang penghuni apartemen sebelum bencana datang.

Eksekusi ceritanya luar biasa. Kita dibuat terus menyimak gimana komunitas ini bekerja, dengan ironi tadi membayangi di baliknya.  Akan ada banyak sekali adegan-adegan yang menghasilkan perasaan yang kontras. Terkadang memang terasa over, tapi semuanya masih bekerja dalam satu kesatuan bangunan-dunia yang senada. Dan kupikir, cara film ini mengakhiri ceritanya pun terasa puitik. Benih-benih harapan itu mereka tebar, sehingga api harapan itu masih terasa hangat.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for CONCRETE UTOPIA

 

 

 

NO HARD FEELINGS Review

Ternyata Jennifer Lawrence bisa juga jadi Girl on Fire di film komedi! No Hard Feelings terasa bergelora dan penuh energi chaotic berkat penampilan komedik Jen-Law. Dia gak ragu untuk tampil total!!

Karakter yang dia mainkan, Maddie, memang bukan tipe yang mudah untuk kita kasihani. Orangnya keras kepala, cuek, dan bukan exactly tipe kakak cewek yang anggun. Sikapnya itu kemudian dibenturkan saat Maddie kepepet duit. Maddie menerima lowker dari pasangan kaya yang lagi mencari ‘pacar bayaran’ untuk anak cowok mereka yang udah mau kuliah tapi sampai sekarang belum punya pacar karena ansos dan introvert banget.

Dari sinilah komedi romantis karya Gene Stupnitsky ini jadi laen. Rootnya dari awkwardness yang timbul dari seorang tante-tante mencoba mendekati daun muda. Beberapa adegan awal cenderung hard to watch, dalam artian ngenes, tapi di situlah poin dagang film ini. Relationship dua karakter sentral berkembang, bukan lagi dari perasaan romantis yang dibuat-buat, tapi jadi genuine hubungan yang saling mendewasakan. Rasanya sudah jarang kita dapat suguhan ringan, tapi juga nekad serta nyeleneh.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for NO HARD FEELINGS

 

 

 

PET SEMATARY: BLOODLINES Review

Kok ya aku jadi agak kasian sama Stephen King. Tahun ini dua ceritanya dikembangkan menjadi film yang benar-benar sebuah adaptasi lepas. Dan kedua film itu tidak benar-benar bagus. Pertama, The Boogeyman, yang malah melanjutkan cerita asli King dengan karakter-karakter baru. Dan sekarang, Pet Sematary: Bloodlines, yang mengambil posisi sebagai prekuel dari cerita asli; thus film ini mengarang bebas dari karakter-karakter yang sudah ada. Sedikit banyak mengubah mereka. Sesuatu yang sama sekali tidak perlu.

Sebenarnya sutradara Lindsey Anderson Beer masih respek. Dia berusaha mengarahkan dan menuliskan cerita ini semirip mungkin dengan vibe cerita-cerita King. Kota kecil dengan penghuni yang turun temurun menempatinya dijadikan pusat cerita. Karakter-karakter penghuninya – Judd muda dijadikan protagonis cerita – berusaha dikembangkan. Premis tanah yang semua makhluk yang dikuburkan di dalamnya bakal balik jadi makhluk jahat, coba diperdalam. Dipersonalkan. Film ini nyaris setengah berhasil melakukan itu semua.

The best thing yang bisa kubilang untuk film ini adalah dia seperti fan-fic yang bland. Sampai ke aspek horornya pun nanggung. But it’s okay. Masih bisa jadi tontonan pengisi waktu-lah, sebenarnya. Namun semua itu diperparah oleh hal-hal yang diretcon. Hal-hal yang beda ama materi aslinya. Jadinya film ini konyol aja, jadi kayak ngada-ngada.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PET SEMATARY: BLOODLINES

 




STRAYS Review

Ngomong-ngomong soal pets, nah ini baru film tentang hewan peliharaan yang benar-benar serasa seperti sebuah perjalanan liar!

Paling tepat ya menyebut komedi garapan Josh Greenbaum ini sebagai film anjing. Karakternya 95% live-action anjing, dan tingkah mereka pun benar-benar anjing. Sepertinya memang film ini terutama memparodikan film-film tentang anjing peliharan yang kebanyakan bicara tentang persahabatan anjing dengan manusia. Di film ini, yang ditekankan adalah persahabatan antara sesama anjing, dan mereka mau balas dendam sama owner yang sudah menelantarkan si karakter utama. Dan para anjing dan komedi di sini vulgar dan raunchy abis. Ini bukan tipe film yang diputar untuk ditonton bareng keluarga.

Tapi bukan berarti film ini enggak punya hati. Yang dialami Reggie sebagai anjing peliharaan, sebenarnya menyedihkan. Pemiliknya sebenarnya gak suka sama dia. Tapi Reggie terjebak dalam somekind of toxic relationship yang membuat dia merasa pemiliknya akan sayang, kalo dia nurut. Udah dibuang pun, dia ngerasa pemiliknya lagi ngajak main. Reggie dealing with perasaan ini yang jadi bobot dramatis film. Karena bahkan kita manusia bisa terjebak toxic relationship. Tonenya boleh aja agak random, tapi film ini lebih dari sekadar komedi jorok – yang sebenarnya juga berusaha dijustify oleh film dengan menjadikan dirinya sebagai parodi film anjing. Bahwa anjing itu ya, anjing. Dan manusia bisa lebih anjing lagi,

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for STRAYS

 

 

 

THEATER CAMP Review

Agak susah mutusin film ini satir tentang komunitas camp teater, atau surat cinta terhadap mereka. Tapi boleh jadi, inilah bentuk tertinggi dari sebuah passion dan kecintaan; mampu menertawakan sekaligus menceritakannya dengan penuh hangat. Theater Camp karya Molly Gordon dan Nick Lieberman akan ikut membuat kita jatuh cinta, meskipun kita bukan teater geek seperti mereka.

Karena pada hatinya, film tentang influencer yang terpaksa menjalankan summer camp teater milik ibunya ini bicara tentang hal yang relate. Yakni tentang tempat bagi anak-anak – bagi orang-orang yang not really fit in di kehidupan sosial yang ‘normal’. Tentang orang-orang yang menemukan rumah dan keluarga, dan mereka harus menyelamatkan rumah mereka bersama-sama. Duh, lagu ‘Camp isn’t Home’ yang jadi adegan musikal pamungkas film ini sukses bikin emosiku jumpalitan.

Banyak karakter di cerita ini. Permasalahan mereka punya benang merah yaitu dilema antara stay di sana atau tidak. Antara bertahan di passion dan mengejar mimpi, atau ‘menyerah’ kepada realita. Film mengambil posisi yang sangat berimbang, tidak menghukum, mengolok pilihan manapun. Semuanya diserahkan kepada penonton, untuk ikut memilih. Komedi film ini juga dituliskan dengan mumpuni. But I do think, film ini bisa menjangkau lebih banyak penonton lagi jika eiher durasinya dipanjangin supaya penonton in general bisa  mengenal masing-masing mereka lebih lama, atau fokusnya agak dirapatkan ke satu karakter secara khusus.

The Palace of Wisdom gives 7.5  gold stars out of 10 for THEATER CAMP

 

 

 

TOTALLY KILLER Review

Premis film ini ngingetin aku sama filmnya si Taissa Farmiga, The Final Girls (2015) – duh, jaman2 masih ngereview di Path haha. Kalo di film tersebut protagonis ceweknya tersedot ke film slasher tahun 80an yang dibintangi ibunya dan berusaha mencegah karakter ibunya mati, sedangkan di karya Nahnatchka Khan ini, ceritanya tentang protagonis cewek remaja yang kembali ke masa lalu untuk menggagalkan rencana seorang pembunuh berantai yang membunuhi ibu dan teman-teman ibunya di SMA. Kedua film tersebut sama-sama mengandalkan referensi film 80an sebagai bumbu di balik bunuh-bunuhan. Tapi di Totally Killer, referensi yang digunakan gak sebatas pada film horor.

Dari Back to the Future ke Halloween ke film-film remajanya John Hughes, Totally Killer bakal totally bikin kita tetep have fun bernostalgia sambil jejeritan, dan ikut menebak-nebak pembunuh seperti saat nonton Scream. Toh naskah film ini gak cuma berisi referensi sana-sini. Kecerdasan penulisan ditunjukkan dari konsep time travel dan gimana mereka menggunakan kesempatan itu untuk membandingkan dengan kocak antara remaja jaman dulu dengan remaja jaman sekarang.

Gimana Jamie heran di 80an orang-orang pada selow ngata-ngatain orang, sekolah yang pengamanannya nyante. Apa-apa gak ribet kayak di 2023. Tapi sekaligus juga memperlihatkan ke kita gimana selownya orang jaman dulu sama ternyata bisa berdampak pada anak jaman sekarang. Film ini did a great job ngangkat diskursus soal kebiasaan sosial pada dua era berbeda – meskipun ini sebenarnya horor komedi yang dibuat sebagai tontonan ringan. Ini lantas  terefleksi juga kepada film. Film jaman sekarang, seperti film ini sendiri, cenderung harus jadi ribet dibandingkan horor jaman dulu yang cukup bunuh-bunuhan saja. Pertanyaannya dioper ke kita nih sekarang, jaman mana yang lebih baik?

The Palace of Wisdom gives 7.5 gold star out of 10 for TOTALLY KILLER

 

 

 

V/H/S/85 Review

Franchise V/H/S/ tampaknya sudah resmi jadi staple penggemar horor setiap halloween. Tahun ini mereka ngeluarin lagi, dan tema besar kali ini adalah video-video horor, snuff film, dan rekaman ganjil dari tahun 1985.

Sebagai antologi cerita, at least V/H/S/ semakin kreatif dalam menampilkan atau menempatkan lima horor pendek. Kali ini film ini bermain-main dengan urutan. Ada cerita yang displice jadi dua bagian supaya kita makin penasaran. Dan karena cerita-cerita ini random, nonton film ini ada sensasi masuk ke something unknown yang menambah minat kita ngikutin sampai habis.

Lima horor pendek dalam film ini sendiri, menurutku tidak terlalu seram. Sebagian besar gak benar-benar ngasih sesuatu yang baru juga, meskipun memang mereka berusaha menghadirkan kesan cerita itu memang direkam tahun 85. Kayak cerita tentang virtual reality, yang dihadirkan dengan gaya monolog seseorang lagi perform di teater. Komedi atau satir cerita tersebut works karena dibuat (dan ditonton) oleh yang tau sekarang teknologi ada di mana, dan gimana masyarakat menggunakannya. Pada akhirnya segmen cerita ini adalah showcase horor gore yang memang jadi ciri khas horor 80an.

Ada juga segmen yang bermain-main dengan premis Pet Sematary – yang di tahun 85 itungannya masih novel horor yang baru booming. Sekelompok pemuda pemudi main di danau, lalu mereka ditembaki seseorang misterius, dan yang mati di danau bisa hidup kembali, kayak di cerita Pet Sematary. Segmen ini sebenarnya sangat fun, tapi sayangnya terlalu singkat. Apalagi bagian keduanya, yang melibatkan satu keluarga dengan perayaan sinting. Terlalu singkat, membuat kita pengen lebih. Segmen Rory yang dijadikan pembungkus semua cerita, juga terlalu singkat padahal kisah creature-nya sudah bikin penasaran.

Segmen favoritku adalah Dreamkill, yang melibatkan seorang detektif yang berusaha memecahkan kasus aneh. Serangkaian kasus pembunuhan yang serupa dengan video-video rekaman yang ia tonton seminggu sebelumnya. Kayaknya jarang segmen di V/H/S/ yang ngasih horor surealis kayak gini. Sedangkan segmen yang paling tak kusuka adalah God of Death, terinspirasi dari gempa Mexico di tahun 85. Buatku segmen ini kepanjangan dan annoying kameranya bikin pusing.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/85

 




That’s all we have for now

Empat film horor dari list ini menurutku sangat cocok untuk dijadikan maraton horor tahun ini.  Bahkan Concrete Utopia bisa ditambahkan, mengingat basically itu adalah horor kemanusiaan yang relevan dengan keadaan sekarang. Bagaimana dengan kalian, apa list tontonan halloweenmu tahun ini? Share di komen yaa

Thanks for reading.

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



SAW X Review

 

“It’s not life or death, it’s a game”

 

 

Halloween adalah tradisi. Bagi orang luar yang merayakan dengan acara trick or treat. Sedangkan bagi kita penggemar film, dulu saat halloween kita punya tradisi nonton franchise Saw di bioskop! Aku yakin adegan-adegan sadis dari alat dan permainan mengerikan dalam film-film Saw pasti ada yang membekas banget di ingatan kita masing-masing. Well, tahun ini, tradisi itu bisa kembali kita rayakan karena they made a new Saw movie. Kevin Greutert, yang biasanya mengedit film-film Saw dan dulu pernah menyutradarai beberapa, kembali duduk di kursi sutradara. Dan langkah besar yang ia lakukan adalah… eng ing eng membuat John Kramer menjadi protagonis cerita! Dia membuat film yang franchisenya dikenal sebagai torture porn ini menjadi lebih sebagai sebuah perjalanan personal dari John Kramer yang mencari kesembuhan dari kanker yang ia derita. And by doing so, Kevin literally membuat film ini sebagai Tobin Bell‘s acting clinic!!

Yeah, akhirnya setelah sekian tahun, setelah sembilan film, ada sineas yang nekat benar-benar menjadikan bintang dari franchise ini – si John Kramer, dalang di balik Jigsaw, yang diperankan dengan ikonik oleh Tobin Bell – sebagai tokoh utama. Di film horor memang biasanya karakter penjahat selalu lebih ‘superstar’, lebih diingat oleh penonton, ketimbang karakter utama. Karakter penjahat – dalam kasus genre horor biasanya adalah sosok monster, hantu, atau psikopat – diposisikan sebagai tantangan terberat yang harus diovercome oleh si hero. That way, mereka yang sebagai antagonis jadi lebih berkesan dari protagonisnya. Bertahun-tahun kita kagum sama John Kramer. Sama kejeniusannya merancang alat-alat mematikan. Sama kecerdasannya ‘menebak’ yang bakal dilakukan korbannya (sehingga membuat film-film Saw punya twist unik). Sama prinsip dan pandangannya terhadap manusia dan pilihan hidup. Kramer selalu memilih orang-orang bobrok dengan moral yang rusak sebagai calon korban. Dan dia tidak membunuh mereka. Melainkan Kramer membuat mereka memainkan game hidup-mati, sebagai bahan pelajaran bagi mereka. For the victims niscaya akan survive kalo ngikutin aturan permainan death trap, yang seringkali seputar mereka menyadari kesalahan personal masing-masing. Menurut Kramer, dia adalah semacam seorang motivator. Aspek inilah yang digali oleh Saw X. Dari sinilah mereka mengambil sudut untuk membentuk Kramer, kali ini, sebagai protagonis cerita.

I would tell children that this is Eminem

 

Mengambil timeline antara kejadian di film pertama dengan film kedua, Saw X bercerita tentang masa-masa John Kramer lagi down berat karena kanker yang ia derita. Hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi. Di saat itulah, Kramer mendengar tentang suatu pengobatan eksperimental di Mexico. Dia mendaftar ke sana, dan terpilih oleh Dr. Cecilia sebagai pasien mereka berikutnya. Kramer pikir operasi mahal dan rahasianya di sana itu berhasil. Kramer sudah siap untuk memulai hidup barunya, aku pikir kesembuhannya itu membuat dia bakal meninggalkan kota Mexico sebagai totally jadi orang baik. Tapi Kramer ditipu. There was no pengobatan eksperimental. Yang ada, Kramer harus kembali menjadi ‘motivator hebat’ buat Dr. Cecilia dan semua krunya. Supaya mereka tobat, kembali ke jalan yang benar, lewat proses yang luar biasa menyakitkan.

Tahun lalu kita dapat film Orphan: First Kill (2022) yang berusaha melakukan hal yang sama. Menjadikan antagonis franchisenya seorang protagonis. Film tersebut mati-matian membuat kita bersimpati kepada Esther, sosok yang di film originalnya adalah seorang psikopat; wanita dewasa yang nyamar jadi anak-anak, dan merusak rumah tangga keluarga yang mengadopsinya. Film tersebut gagal memantik simpati yang genuine dari Esther, lantaran mereka hanya sekadar menghadirkan sosok yang lebih jahat sebagai antagonis di arc Esther, seolah dengan kehadirannya Esther otomatis jadi korban lemah di tangan yang lebih kuat. Film tersebut tidak menggali ataupun menetapkan moral compass Esther sedari awal (like, waay awal di film pertama). Saw X bisa berhasil menjadikan Kramer protagonis karena penonton sudah tahu di mana karakter ini berpijak. Bahkan ketika dia jadi villain di film-film Saw, kita sudah bisa melihat bahwa dia ini semacam ‘orang jahat adalah orang baik yang teraniaya’. Alih-alih orang dewasa yang bertubuh kecil, Kramer adalah orang tua yang sakit parah. Sisi vulnerablenya lebih genuine. Persahabatannya dengan seorang anak Mexico lebih genuine ketimbang kebaikan Esther terhadap tikus. Namun ketika film menghadirkan antagonis bagi dirinya pun, moral compass Kramer tetap digali. Kita sedih melihatnya ditipu, tapi kita tetap dibuat melihat Kramer sebagai psikopat yang membuat orang-orang melakukan permainan maut, walaupun kini korbannya adalah orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. ‘Lawan’ yang dihadirkan untuknya pun sepadan, jahat dan moralnya sama-sama sinting. I think film juga cukup sayang mematikan karakter ini sehingga nasibnya di akhir cerita belum benar-benar diputuskan.

Bagaimana dengan penonton yang belum pernah nonton Saw, atau sama sekali enggak tahu seperti apa karakter John Kramer sebelumnya? Film ini bercerita bukan tanpa development. Paruh awal ditulis dengan seksama, kita benar-benar dibuat melihat Kramer sebagai manusia yang butuh pertolongan, tapi dia punya sisi gelap. Badannya boleh ringkih, tapi sorot matanya. Menatap orang seperti memutuskan orang ini layak hidup atau enggak. Film bahkan memperlihatkan Kramer ‘berfantasi’ menyiksa seseorang dengan alat penghisap bola mata, saat dia mengintip si orang ini sedang mau mencuri barang berharga milik pasien yang tengah tak-sadarkan diri di rumah sakit. Menurutku, ini set up yang efektif sekali untuk memperkenalkan siapa sebenarnya John Kramer kepada penonton baru. Sekaligus juga tentu saja mempertahankan vibe khas franchise Saw di tengah-tengah penceritaan yang lebih dramatis. Sedangkan untuk paruh akhir cerita, saat cerita fully masuk ke status lebih berdarah-darah, film mengeksplorasi hubungan antara Kramer dengan ‘muridnya’, Amanda. Hubungan yang cukup heartfelt, supaya penonton masih bisa merasakan kemanusiaan dari si karakter psikopat yang punya moral ini.  Dan ini juga abu-abu, karena Amanda gak yakin apakah dia bisa jadi penerus, dan Kramer berusaha meyakinkan dengan ngasih pemahaman betapa pentingnya ‘kerjaan’ mereka ini bagi korban-korban mereka.

Hidup bagi Kramer adalah suatu perjuangan, permainan kalo boleh dibilang, dengan kematian sebagai taruhannya. Itulah sebabnya dia memperjuangkan kesembuhannya dengan sungguh-sungguh. Itu juga sebabnya kenapa para korban dia tempatkan di posisi maut, antara berjuang melawan sakit demi survive, atau kalah dan mati.

 

Karena dimulai dengan lebih drama dan personal itulah, vibe Saw X akan terasa janggal bagi penggemar berat franchise torture horror ini. Beruntungnya, pak sutradara bukan orang baru dalam per-Saw-an. Dia yang pernah jadi editor dan nyutradarain cerita-cerita Saw, paham betul apa yang membuat Saw X ini Saw. Dia tahu resep horor ala Saw. Adegan-adegan perjuangan sampai mati, gaya kamera menangkapnya, gaya editing menampilkan adegan penyiksaan yang benar-benar bisa bikin ngilu itu, semuanya dia garap sama persis dengan vibe Saw yang kita ingat. Game/alat siksaan favoritku di film ini adalah trap ala patung Mexico yang mengharuskan korban membuka batok kepala dan mencungkil otak sendiri. Kebayang kalo kepala lagi pusing, mungkin teknik itu bisa dicoba hahaha… Kevin tahu satu lagi hal yang ditunggu oleh penonton; momen kejeniusan Kramer. Sehingga meskipun kali ini film enggak langsung terjun ke siksa-siksaan, tapi bercerita dengan lebih humanis dahulu, film ini enggak tergagap dan langsung konek ketika momen berdarah-darah – ketika momen ‘genre’nya hadir. Bahwa ini benar film yang sesuai dengan ruh film-film terdahulu, bukan sebuah poser yang mereplika Saw.

Bacanya Saw ‘Eks’, atau Saw ‘Ten’, atau Saw ‘Twitter’ sih?

 

Yang bikin lebih menarik lagi adalah situasi Kramer saat merancang trap tersebut. Dia harus berimprovisasi dengan alat-alat kesehatan yang ia temukan di lab ‘palsu’. Sekali lagi, film mempush karakter Kramer sebagai seorang yang bukan semata sadis tapi punya kreativitas yang tinggi. Dia bisa menciptakan alat mengerikan, tapi sekaligus juga estetik dan tematis. Like, sempat-sempatnya dia bikin desain serupa patung Mexico yang ia lihat jadi spot foto turis di jalanan. Film berhasil membuat hal yang sebenarnya convenience, kemudahan, bagi karakter utama sebagai hal yang balik mendukung karakterisasinya. Karena saat menonton kita tidak akan mempertanyakan, kok bisa dia bikin semua itu secara mendadak. Padahal sebenarnya cukup banyak juga momen-momen ‘gak mungkin’ pada cerita. Momen-momen yang terlalu ‘kebetulan’ para korban melakukan suatu hal, atau Kramer melakukan atau meletakkan sesuatu, yang sesuai dengan ‘hasil’ yang dia inginkan. Karakternya yang sudah well-establish membuat hal tersebut dengan mudah kita maklumi sebagai ‘kejeniusan’ karakternya alih-alih sebagai ‘pemaksaan’ kehendak naskah.

Meskipun memang secara journey, aku rasa film ini bakal bisa lebih terasa punya perkembangan jika diposisikan sebagai origin John Kramer sebagai Jigsaw. Karena di film yang kita saksikan ini, journey Kramer sebenarnya sudah berakhir di pertengahan. Saat dia memutuskan untuk ‘balik’ jadi Jigsaw, untuk balas dendam. Setelah momen itu, sebenarnya film berjalan tanpa plot, melainkan hanya memperlihatkan momen sadis ala Saw, sambil menunggu revealing-revealing yang bikin cerita seru saja. Tapi yah, itulah Saw. Momen-momen itu harus ada karena itulah yang membuat sebuah film bisa disebut sebagai film Saw. Kehadiran film dengan berusaha menggali drama personal dari Kramer, membuat Kramer jadi manusiawi sebagai protagonis, itulah yang mengelevasi film ini, walaupun memang enggak full dan kurang merata.

 




Mungin memang inilah film yang paling bisa mengaplikasikan formula khas franchise Saw ke dalam struktur penceritaan film dengan benar. It’s not perfect, tapi toh memang ini jadi film yang paling berbobot seantero franchisenya. Gak cuma twist dan revealing. Gak cuma adegan penyelidikan polisi. Gak cuma adegan penyiksaan dengan jebakan mematikan. Di sini kita diajak menyelami karakter utamanya, yang notabene juga bukan orang baik-baik. Kalo secara timeline, aku gak bisa ngomong banyak. Karena se-ngefans-ngefansnya pun, aku udah gak bener-bener ingat urutan kejadian semua film Saw. Dan filmnya pun memang sengaja ngeluarin cerita yang bakal membuat kita melompat-lompat timeline. I think timeline gak benar-benar jadi soal. Buatku, bisa menikmati horor yang berbobot dan punya karakter unik dan karismatik, itu hiburan yang sudah lebih dari cukup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SAW X

 




That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian franchise Saw masih layak untuk dilanjutkan dan di-elevate menjadi lebih berbobot? Kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



PAMALI: DUSUN POCONG Review

 

“When in Rome, do as the Romans do”

 

 

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita harus ngikutin atau menghormati aturan di mana pun kita berada, dan satu lagi peribahasa yang perlu diingat adalah; lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap tempat atau daerah punya aturan, adat istiadat, kebiasaan yang berbeda-beda. Punya pamali yang berbeda-beda.

Seri film horor Pamali garapan Bobby Prasetyo, dibuat berdasarkan video game dari delevoper asal Bandung, secara khusus mengangkat persoalan pamali sebagai konsep horornya. Di film pertama, pamali gak boleh gunting rambut malam-malam dikembangkan menjadi cerita seorang yang kembali ke rumah masa kecilnya, lalu berkonfrontasi dengan tragedi keluarga yang menghantui rumah tersebut. Pada film kedua ini, sejumlah pamali seperti gak boleh bersiul di malam hari, digodok masuk ke dalam horor survival sekelompok orang di dusun yang terkena wabah. Yang bikin menarik adalah, pelanggaran pamali tersebut dihadirkan dengan ‘twist’. Karakter-karakter di sini aware sama pamali, sama pantangan, mereka gak sompral, tapi mereka tetap diteror pocong-pocong!

Film Pamali pertama punya satu kekurangan mendasar, yaitu terlalu ngikut game, padahal gamenya sendiri bukan tipe video game yang sinematik seperti Resident Evil atau Fatal Frame. Game Pamali konsepnya kita memainkan seorang karakter yang mengurusin satu tempat, pilihan yang kita lakukan saat berinteraksi dengan keadaan sekitar, akan menghantarkan kita kepada pengalaman horor yang berbeda-beda. Pada game pertama, kita jadi orang yang bersihin rumah sebelum dijual. Film Pamali pertama beneran ngikut, protagonisnya beneran cuma bersih-bersih rumah selama tiga hari sembari bertemu banyak kejadian mengerikan. Film itu jadi agak monoton. Kekurangan tersebut berusaha diperbaiki pada film kedua, yang diangkat dari panggung kedua game Pamali yang pemain menjadi seorang tukang gali kubur yang menghabiskan hari ngurusin tetek bengek areal pemakaman. Film kali ini actually mengembangkan situasi tersebut. Mengadaptasi ke situasi yang lebih cocok sebagai penceritaan film. Dusun terpencil. Masalah baru ditambahkan. Karakter-karakter ditambahkan. Sehingga film kedua ini selain terasa bigger, juga terasa lebih ‘sinematik’. Tanpa meninggalkan ruh gamenya. Para penggemar gamenya akan ‘dihibur’ oleh banyaknya referensi atau easter egg yang dihadirkan film yang mengacu kepada momen atau detil-detil kecil pada game.

Naik perahu dulu, baru jalan kaki susur hutan selama kurang lebih tiga jam. Sejauh itulah lokasi dusun tempat tiga orang nakes dan dua penggali kubur, karakter-karakter cerita, ditempatkan. Tempat terisolasi yang perfect banget buat panggung cerita horor. Terinspirasi mungkin oleh pandemi COVID kemaren yang banyak orang meninggal dan mayatnya diperlakukan khusus karena takut menular, dusun di sini juga bergelimpangan oleh mayat. Warganya kena wabah misterius yang menyebabkan kulit mereka bernanah-nanah. Para karakter kita tadinya dipanggil untuk membantu merawat warga yang sakit, serta menguburkan yang wafat. Dengan rate kematian yang tinggi dan obat-obatan yang minim, mereka pikir bahaya di sana cuma ikutan tertular. But soon enough, mereka menyadari ada yang gak beres di dusun itu. Pada warga dan kebiasaan mereka. Salah satunya, warga suka bersiul di malam buta. Teror pocong yang mengancam nyawapun tak terelakkan tatkala para karakter tanpa sadar melanggar pantangan di sana.

Disiulin tapi bukan cat-call

 

Dengan set up dan setting yang lebih klop buat horor survival yang lebih punya ruang untuk kreativitas, film Pamali kedua ini ternyata masih belum terasa benar-benar sempurna, Karena sekarang kurangnya malah pada plot. Cerita kali ini lebih kepada meletakkan karakter di suatu keadaan, dan reaksi dari mereka-lah yang membentuk jalan cerita. Alih-alih sebuah cerita yang tersusun oleh motivasi dan journey karakter utama. Tidak ada karakter yang punya kaitan personal dengan dusun atau wabah, like, tidak ada yang tadinya berasal dari dusun itu lalu kembali ke sana, atau semacamnya. Tidak ada yang punya motivasi khusus, goal pribadi yang ingin dicapai. Para nakes, Mila (Yasamin Jasem), Gendis (Dea Panendra), dan Puput (Arla Ailani) cuma ingin membantu warga, sesuai tugas mereka. Para penggali kubur, Cecep (Fajar Nugra) dan Deden (Bukie B. Mansyur) bertugas menguburkan jenazah. Mereka hanya kebetulan ditempatkan di sana. Protagonis utamanya pun sebenarnya kurang jelas.

Dilihat dari gamenya sih, yang jadi tokoh utama adalah Cecep. Di film ini sepertinya juga Cecep-lah yang paling dekat sebagai sosok tokoh utama, karena memang aksi darinya lah yang memantik konflik dan nanti penyelesaian masalah juga datang darinya. Ada momen yang kamera dari pov Cecep juga, sebagai momen reference film kepada game Pamali yang memang pakai sudut pandang orang pertama (alias karakternya gak kelihatan) Tapi yah, karakter Cecep di sini bentukannya jauh dari gambaran seorang hero pada umumnya. Jangan bayangkan dia kayak Undertaker di WWE. Cecep ini undertaker yang sangat merakyat. Nyunda. So laid back. Yang lucunya lagi adalah Cecep juga ada di film pertama, yang meranin juga Fajar Nugra. Ku gak yakin apakah memang dua Cecep itu adalah karakter yang sama, apakah ini universe yang sama, tapi yang jelas Cecep bisa kita sebut sebagai ‘maskot’ buat film Pamali. Film kali ini jadi ‘hidup’ berkat Cecep, suasana antarkarakter jadi cair berkat Cecep. Dari Cecep, cerita akan bergulir kepada sudut karakter-karakter lain. Mungkin inilah cara film menutupi kekurangan pada plot. Karena paling enggak, sekarang penonton jadi tertarik ngikutin naksir-naksiran antara Cecep dengan Mila.

Ju-On (horor populer dari Jepang) dan sekuel-sekuelnya, menggunakan banyak perspektif karakter untuk menutupi cerita yang minim plot. Film Ju-On sebenarnya hanya bercerita tentang misteri kenapa rumah itu berhantu, kenapa Sadako dan anaknya jadi hantu. Tapi itu diceritakannya lewat berbagai karakter yang pernah menghuni atau bersinggungan dengan rumah tersebut. Jadi filmnya itu kayak dibagi per cerita-cerita pendek yang urutan waktunya random. Keasyikan menontonnya datang dari kita berusaha menyusun cerita-cerita itu serupa menyusun puzzle dan menguak misteri. Pamali: Dusun Pocong juga berkembang dengan mempelihatkan berbagai karakter di dusun tersebut, bedanya film ini tidak memainnkannya ke dalam struktur tersendiri seperti segmen-segmen ala Ju-On. Selain relasi cute antara Cecep dan Mila, kita juga akan melihat peristiwa dari Deden yang tertular penyakit warga dusun, dari Puput yang merasa yakin ada yang masih hidup di antara tumpukan mayat yang belum terkubur (aku paling histeris di bagian ini), dari Gendis yang merasa bertanggungjawab tapi juga kewalahan. Film juga mengangkat sudut dari warga dusun. Dari seorang anak kecil yang ibunya sakit, dan dia juga punya sahabat sepermainan yang telah meninggal. Cerita si anak akan berhubungan dengan subplot Mila yang actually adalah tentang dia ingin menolong anak ini, tapi dilarang oleh Gendis.

Disiulin tapi bukan Hunger Games

 

Cara bercerita Pamali: Dusun Pocong ini ternyata cukup berhasil sebagai tayangan hiburan. Penonton jadi heboh mengikuti, film jadi seru, dan surprisingly jadi cukup kocak. Adegan horornya, however, bukan bahan becandaan. Pocong-pocong  itu terlihat menakutkan. Mereka bikin kita takut sekaligus jijik. Penempatan mereka juga kreatif sekali. Gamenya sendiri memang game horor yang mengandalkan jumpscare, film berhasil mengadaptasi vibe ini. Bermain-main dengan kemunculan pocong. Kadang mereka berdiri begitu saja di latar, bikin jantung kita melengos saat sosoknya terlirik. Kadang mereka muncul dengan suara ketukan, dan mata kita akan menatap layar dengan liar berusaha mencari dan menebak di mana pocong itu muncul. Pamungkasnya ya, jumpscare. Timingnya tepat, dan build up tensinya efektif. Meskipun pocong-pocong ini keluarnya malem, tapi pencahayaan film terukur sehingga kita tidak akan kesulitan melihat apa yang terjadi di layar. Bayang-bayang justru jadi instrumen dalam permainan jumpscare film. Musik yang disuguhkan pun cukup unik. Ricky Lionardi bermain dengan lantunan harmonika, menghasilkan kesan serene, tapi juga mistis. Yang cocok sekali dengan atmosfer dusun yang berduka oleh tragedi tapi juga horor oleh misteri.

Still, naskah yang minimalis left things out too much untuk bisa membuat keseluruhan film jadi benar-benar berbobot. Bahasan kerjaan para nakes tidak banyak dieksplorasi. Bahkan soal keamanan atau precaution untuk gak tertular saja kurang konsisten. Mereka hanya sebatas kewalahan merawat, tapi gak pernah berusaha menjawab apa penyakit ini, enggak concern sepenuhnya pada apa yang menyebabkan penyakit ini dan cara menularnya. Padahal elemen pencarian sebab wabah bakal bisa ngasih stake tambahan, yang makin membatasi gerak karakter. Sehingga nontonnya jadi lebih seru. Misalnya, mereka curiga sama air yang gak bersih, sehingga kini opsi air mereka terbatas. Fokus mereka oleh film hanya ke soal kenapa pocong menyerang mereka. Penyelesaiannya pun sederhana. Persoalan wabah yang tak terjawab membuat wabah ini seperti hanya dijadikan red herring untuk nutupi ‘twist’ bahasan pamali di setiap daerah yang disimpan film sebagai penyadaran terakhir para karakter.

 




Dibandingkan dengan film pertamanya, film kedua ini adalah peningkatan dari sisi hiburan. Horornya lebih seru, survivalnya lebih kerasa, setting dan dunianya juga lebih sinematik, tidak lagi terlalu ikut gamenya yang memang terkonsep horor pada hal-hal rutin. Toh ruh gamenya tetap terdeliver dengan jumpscare dan vibe horor, serta tentu saja lewat cara film mengangkat soal pamali. Kali ini terasa lebih kreatif, karena biasanya horor itu adalah tentang anak kota yang sampai ke desa dan mereka cuek sama pantangan. Di film ini karakternya aware sama pamali, dan berusaha mematuhi sedari awal. Kekurangan film kali ini adalah dari sisi plot. Ceritanya minim, melainkan tentang karakter yang terjebak di suatu situasi sehingga mereka harus bereaksi. Bukan tentang development karakternya itu sendiri. Ini sebenarnya masih bisa ditutupi dengan membuat bentuk tersendiri, seperti horor Jepang Ju-On dengan bentuk puzzle perspektifnya. Film ini hanya kurang bereksperimen saja pada bentuk-bentuk seperti demikian.
Kuberikan 7 out of 10 for PAMALI: DUSUN POCONG

 




 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah daerah kalian punya pantangan yang aneh sendiri dibandingkan daerah lain?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE EXORCIST: BELIEVER Review

 

“Religion without humanity is very poor human stuff”

 

 

Horor adalah soal kemanusiaan, di atas urusan spiritualisme. Pemahaman itulah yang tampaknya melekat pada horor-horor modern. Karena pada horor jaman dulu, simpel. Tapi efektif. Kebaikan lawan kejahatan. Setan, ya lawannya Tuhan. The Exorcist original tahun 1973 sudah lima-puluh tahun lamanya (and counting!) sukses jadi salah satu horor terseram berkat penggambarannya terhadap derita seorang anak yang kerasukan, dan bagaimana pihak gereja mati-matian berusaha menolong si anak sekeluarga . Pengaruh film tersebut terasa karena bahkan di skena horor jadul kita, bermunculan film-film horor dengan penyelesaian cerita ditolong oleh pemuka agama. Horor-horor jadul itu dibuat untuk mengembalikan keimanan ke dalam hati pemirsa. Supaya penonton jadi rajin sholat; ibadah. Horor-horor kontemporer, however, melihat dunia tidak hitam-putih. Melihat bahwa manusia itu kompleks; bahwa setan mungkin berasal dari perasaan negatif manusia itu sendiri. Dan bahwa orang-orang suci terutama dan utama sekali adalah manusia juga. Maka kita lihatlah di horor-horor kekinian, ustadz kalah telak lawan hantu. Bermunculan horor dengan plot twist karakter yang disangka baik, ternyata yang melakukan ritual dengan iblis. Di horor barat, ‘final girl’ sudah enggak mesti lagi perempuan yang perawan. Lawan setan, kini adalah kemanusiaan.

Aku paham apa yang berusaha diincar David Gordon Green pada sekuel The Exorcist ini. Rasa kemanusiaan. Green ingin cerita horor pengusiran-setan-dari-tubuh-manusia ini lebih berfokus kepada bagaimana manusia yang terlibat bangkit rasa kemanusiaannya, di atas kepercayaan agama/spiritual yang beragam, atau malah bahkan pada orang yang sudah tidak lagi punya iman kepada Tuhan. Konsep ini sudah kita lihat berhasil dilakukan oleh Qodrat (2022), yang memperlihatkan seorang ustadz yang terbangkit dahulu rasa kemanusiaannya, dan baru menggunakan pengetahuan exorcist dan keagamaannya untuk menolong warga desa. Film yang dibintangi Vino G. Bastian tersebut berhasil, bukan exactly sebagai horor religi seperti The Exorcist original, melainkan menciptakan bentuk baru, yakni horor superhero. Green berjalan di jalur yang sama. Dia bahkan sudah berusaha melakukan ini – melakukan horor dengan mengutamakan kepada eskplorasi rasa kemanusiaan – sejak sekuel reboot Halloween. Di Halloween Kills (2021), Green  memfokuskan kepada warga kota yang bersatu bahu membahu memburu Michael Myers. Tapi sebagaimana karakter ceritanya gagal membunuh momok, Green juga gagal mengeksekusi cerita. Kegagalan yang sayangnya terulangi di The Exorcist: Believer ini. Maksud dan niatan baik Green, selalu amblas karena cerita dan perspektif yang ia angkat ujungnya tetap terlalu melebar.

Katanya sih film ini kayak awal dari anekdot “Si Katolik, si Protestan, dan si Atheis duduk di bar”

 

Dua anak perempuan hilang di hutan. Satu putri dari keluarga pemeluk Katolik yang taat. Satunya lagi putri dari Victor, seorang single-father yang skeptical sama urusan keagamaan. Dan Victor jadi begitu untuk alasan yang bagus. Alasan yang sebenarnya sudah dibangun film sebagai pembuka, tapi baru belakangan diungkap sepenuhnya. Dari latar belakang yang berbeda tersebut, bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada masing-masing keluarga ini saat dua anak perempuan yang sudah berhari-hari dicari tapi tanpa hasil tersebut, mendadak muncul. Primbon (2023) style! Alias, dua anak ini muncul begitu saja, tanpa ingatan apapun tentang mereka hilang, dan dengan ‘oleh-oleh’ berupa sikap dan temper yang sangat aneh. Mereka suka ngeblank, tiba-tiba teriak, bicara kasar, menyakiti diri sendiri. Ketika sudah jelas mereka ‘didiagnosa’ kesurupan setan, dua keluarga dengan latar berbeda tadi harus berembuk, sudi gak sudi, percaya gak percaya, demi kesembuhan dan keselamatan anak mereka.

Ternyata sutradara Green bukan hanya ingin mengelevasi cerita kesurupan dengan tema kemanusiaan, dia juga ingin menaikkan level horor cerita ini dua kali lipat. Dua anak, dua kasus kesurupan, dua keluarga dengan latar berbeda. Secara cerita dan tema, menurutku ini masih bisa untuk worked out. Karena memang temanya itu ngasih bobot yang bikin film ini bukan sekadar remake cash grab (walau mungkin memang dibuat untuk itu), melainkan memang punya suatu pandangan baru yang ingin dibahas. Film ini toh memang jadi punya delevopment dari dua sudut pandang tadi, mereka berusaha memahami masalah, dan akhirnya menemukan cara untuk membuat mereka jadi paling enggak jadi percaya satu sama lain. Adegan ‘rukiyah’ bareng-bareng antarsesama warga biasa – ‘berdoa’ dengan keyakinan masing-masing – menurutku juga sebenarnya bukan ide atau konsep yang ngawang-ngawang. Karena memang, society modern kita yang either terlalu fanatik sama kepercayaan sendiri atau terlalu cuek sama keadaan orang lain sekali-kali perlu dikasih gambaran bisa gini loh kalo kita saling menghormati. Tidak harus soal kepercayaan siapa yang paling benar. Tidak melulu tentang kepentingan siapa yang harus didahulukan. Meski memang film ini masih terjebak perangkap modern untuk bikin pemuka agama (dalam film ini adalah pastor) kalah telak, tapi momen-momen orang biasa berusaha saling kompromi dalam bentuk bergantian berusaha exorcist dengan cara masing-masing, buatku jadi momen kemanusiaan yang baik, sesuai dengan kacamata horor film ini.

Taat agama tanpa nilai-nilai kemanusiaan hanya akan membuat kita jadi fanatik berlebihan. Karena kehidupan beragama tidak sebatas kepada soal kepercayaan kepada Tuhan. Hubungan dengan sesama manusia juga harus dipupuk. Bahkan seharusnya manusia tidak perlu rajin ibadah  dulu baru bisa berbuat baik. Kita gak harus hafal ayat suci untuk mengulurkan tangan kepada tetangga yang kesusahan. Kemanusiaan harusnya adalah insting utama manusia, regardless kepercayaan mereka apa. 

 

Secara penceritaan horor, film ini keteteran. Dua perspektif keluarga yang diniatkan untuk perbandingan, nyatanya malah membuat kita terlepas setiap kali perpindahan. Dua kasus kesurupan yang dibentuk untuk ngasih variasi horor kesurupan, nyatanya malah terasa melama-lamain masalah. Film ini sendiri, kita bisa lihat, enggak begitu pede dengan keputusan horor mereka tersebut. Yang satu horor di lingkungan gereja. Yang satu horor di lingkungan rumah sakit yang pendekataannya scientific. Tidak satupun dari penggalian itu yang dijadikan andalan oleh film ini. Yang bikin film originalnya begitu horrifying adalah momen ketika anak perempuan yang normalnya masih polos itu melakukan hal-hal ‘iblis’. Ketika sosok kecil itu dikuasai sepenuhnya oleh setan yang membuat dia melakukan bukan saja hal-hal di luar kemampuan manusia, tapi juga dalam sense yang lebih mendasar yaitu ketika si kecil itu menjadi seperti orang dewasa yang amat sangat berdosa. Di film itu kita menyaksikan anak kecil rusak fisik dan mentalnya, oleh setan. Sekuel ini, agak lebih condong ke sakit fisik. Horor yang ditampilkan masih lebih bersandar kepada pemandangan yang naas. Adegan-adegan kesurupannya tidak memorable. Film lebih banyak bermain horor dari luar, I mean, dari editing dan suara-suara keras dan sebagainya. Banyak sekali adegan yang dimulai dengan sesuatu yang mengeluarkan suara keras. Suara laci dibuka, bunyi lonceng gereja, orang teriak. Ketakutan yang dipancing terasa artifisial.

Sense takut dari hal yang tidak kita mengerti harusnya jadi pancingan utama. Karena ini kan urusannya gaib. Sebagai horor yang berurusan dengan setan, film ini kesannya terlalu berusaha rasional. Walau film menggunakan editing untuk membuat peristiwa itu benar sebagai misteri, tapi alasan kenapa si anak kesurupan akan dibeberkan dengan jelas. Ini membuat cerita jadi kurang terasa spesial, agak mematikan perbincangan yang bisa timbul dari kita menonton ini. Aku lebih suka jika film horor masih menyisakan suatu misteri untuk kita bicarakan, betapapun gak masuk akal atau malah bego sekalian.

Ujung-ujungnya tetap gak jauh dari variasi main ‘jelangkung’

 

Yang bikin film ini semakin terasa ‘steril’;  dalam artian terasa sama kayak remake-remake reboot yang tampil try too hard beda dari originalnya, alih-alih tampil berbeda dan groundbreaking untuk genrenya (seperti yang dilakukan oleh film original) adalah pilihan untuk memunculkan legacy character. Karakter dari film original. Dan film ini masang karakter tersebut dengan main aman, dan parahnya membuat kacau cerita. Karena gak nyambung. Like, karakter ibu si anak kesurupan di film original dimunculkan dengan development karakter yang gak make sense dengan yang telah ia lalui. Basically karakternya diubah. Seorang ibu yang tersiksa jiwa raga melihat anaknya itu kini menjadi semacam paranormal ahli exorcist yang serba tahu. Hampir kayak film ini pengen Exorcist reboot-an mereka punya sosok seperti Laurie, Elise, atau Lorraine sehingga mereka mengubah si Ibu menjadi seperti demikian. Seketika film ini pun jadi berubah annoying bagiku, ceritanya jadi kemana-mana. Terlalu melebar karena berisi bukan hanya tentang Victor yang berusaha menyelamatkan anaknya tapi juga soal mengaitkan itu kepada apa yang kira-kira terjadi pada karakter di film pertamanya.  Dan persoalan mereka ini cuma muncul di tengah, dan sebagai penutup (maybe sebagai teaser sekuel berikutnya). Mereka gak benar-benar esensial pada babak akhir, pada babak para karakter baru berusaha mengusir setan. Jadi ya kayak momen detour yang sebenarnya gak perlu.

 




Dengan bahasan kemanusiaan di dalam bangunan cerita horor spiritual (kalo gak mau dibilang religi), tadinya pas nonton aku udah mau ngasih skor empat untuk film ini. Toh memang bahasannya penting. Tapi eksekusinya yang juga ingin mengelevasi horor itu dua kali lipat sebenarnya justru jadi boomerang. Perspektif jadi sering berpindah, aspek horor jadi terasa berulang, semuanya terasa bloated. Dan begitu mereka munculin karakter legacy, film ini terasa semakin melebar dan semakin gak-unik lagi. Melainkan hanya jadi kayak produk dari mesin reboot yang steril dan main aman sesuai dengan standar horor modern. Skornya pun jadi semakin turun buatku. I’m not its believer anymore.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE EXORCIST: BELIEVER

 




That’s all we have for now.

Berarti sebenarnya horor ada dua tipe. Tipe yang tentang kebaikan lawan kejahatan. Dan tipe horor yang menggali perasaan terdalam dan terkelam manusia. Dari pengelompokan itu, horor tipe mana yang lebih kalian suka? kenapa?

Share pendapat kalian di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



DI AMBANG KEMATIAN Review

 

“A home renovation can help you make your dreams a reality”

 

 

Di Jawa ada yang namanya pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan yang melibatkan syarat harus merenovasi rumah terus menerus. Bongkar pasang ubin. Bangun-rubuhkan ruangan baru. Pesugihan yang benar-benar ngasih meaning literal bagi kiasan ‘renovasi rumah dapat membantu mewujudkan impian’. Karena kalo orang normal memperbaiki dan menata ulang rumah itu dilakukan supaya menghasilkan kesan fresh, selain juga sebagai perlambangan bagaimana menata kehidupan sejatinya membutuhkan perjuangan. Sedangkan di ritual ini, ya bikin rumah senantiasa berantakan kayak kandang benar-benar harus dilakukan kalo mau kaya mendadak. Siapa coba yang gak punya mimpi jadi orang kaya. Horor karya Azhar Kinoi Lubis yang diangkat dari thread viral ini secara khusus memotret keluarga yang bapak-ibunya pengen kaya sehingga rela melakukan pesugihan Kandang Bubrah. ‘Potret’ yang bisa ditebak bakal merah oleh darah. Tapi yang membedakan film ini dengan horor-horor ritual yang banyak beredar di kita – yang membuat film ini one of the better Indonesian horrors out there – adalah film ini benar-benar menggali drama tragis dari keadaan keluarga yang terjebak hal horor tersebut. Lebih kayak drama tentang keluarga tragis, dengan tema horor. Dare I say, film ini ada di kotak  yang serupa dengan Hereditary (2018) meski memang penggarapannya belum sebagus itu.

Rumah dibangun dari bata, balok kayu, dan material lain. Sementara rumah tangga harusnya dibangun dari rasa cinta dan kasih sayang. Kadang kita lupa, kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam rumah tangga bukan terutama didapat dari harta dan materi.

 

“Nurut sama bapak, kalo mau hidup kalian selamat” pesan terakhir ibu yang selalu diingat oleh Nadia. Malam tahun baru 2002, Nadia yang saat itu masih kecil menyaksikan sendiri kematian mengenaskan dari ibunya yang sudah lama sakit. Apakah ibu gak nurut sama bapak sehingga berakhir naas begitu? Nadia gak ngerti juga. Yang jelas kini dia dan Yoga, kakaknya, tinggal bertiga saja dengan bapak di rumah mereka yang selalu ramai oleh tukang yang bekerja. Meski Nadia ingin menaati nasihat ibu, tapi nurutin perintah bapak seringkali jadi hal yang susah untuk dilakukan. Karena perintah bapak itu aneh-aneh. Jangan bersihin rumah. Jangan masuk ke ruang kerja bapak.  Jangan tanya-tanya kenapa bapak sering bawa kambing ke kantor! Yoga sering dimarahi bapak karena gak mau nurut. Saat remaja, Nadia dan Yoga akhirnya tahu rahasia pesugihan bapak. Pesugihan itulah yang ternyata mengambil nyawa ibu, dan akan menagih kembali nyawa mereka satu per satu setiap sepuluh tahun sekali!

Kamarku juga suka berantakan sampai-sampai dikira lagi pesugihan

 

Yang paling sering jadi keluhanku saat nonton horor lokal kontemporer adalah terlalu bergantung sama plot twist. Seolah cerita tu gak seru kalo enggak dikasih kejutan, entah itu siapa sebenarnya yang jahat, atau apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebenarnya ide atau materi cerita horor kita banyak yang menarik. Tapi bahasannya jadi dangkal, karena filmnya hanya jadi sebatas kejadian ‘ternyata’. Bahasannya sengaja disimpan sebagai plot twist. Yang bahkan enggak ‘cerdas’ karena penonton seringnya bisa menebak duluan. Langkah bijak pertama yang membuat Di Ambang Kematian berada di posisi bercerita yang lebih baik daripada kebanyakan horor adalah, film ini gak peduli sama membuat plot twist. Perkara bapak ternyata melakukan pesugihan tidak disimpan sebagai revealing mengejutkan di akhir. Pun si bapak tidak lantas diungkap sebagai orang yang ternyata ‘jahat’.

Cerita Di Ambang Kematian berjalan linear, dalam span dua puluh tahun. Kita akan ngikutin Nadia dari kecil hingga dewasa. Sehingga journey karakternya itu beneran kerasa. Bapak ternyata melakukan pesugihan sudah diungkap, bukan sebagai kejutan melainkan sebagai plot poin untuk cerita masuk ke babak berikutnya. Ke lapisan berikutnya. Karena di cerita ini, melakukan perjanjian dengan iblis tidak lantas dicap sebagai perbuatan dari seorang yang jahat. Film ini menjadikan hal tersebut sebagai bahasan yang worth untuk di-examine. Keluarga yang pengen berkecukupan, tapi lantas bablas dan harus menanggung akibatnya. Film berusaha membuat kita simpati kepada karakter, despite flaw mereka. Meskipun kita tahu tindak pesugihan bukanlah perbuatan yang benar. Aku surprise banget sama depth yang berusaha digapai cerita tatkala Nadia yang sudah jadi Taskya Namya memilih untuk membantu bapaknya menyiapkan ritual potong kambing. Dia nurut bapak, bukan karena pengen kaya, tapi itulah satu-satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari tuntutan si setan kambing. Layer seperti ini kan jarang banget di film horor kita yang kebanyakan menempatkan protagonis sebagai seorang yang terjebak di kejadian horor dan cuma harus survive. Di film ini kita melihat seorang bapak yang sebenarnya sangat menyesal tapi tidak punya pilihan lain, seorang anak yang tetap ingin berbakti walaupun kondisi mereka bisa dibilang sebuah mimpi buruk. Momen langka buatku di film horor ada adegan anak ngelawan orangtua, tapi kemudian menyadari keadaan. Film ini tidak membenarkan pesugihan, tapi membuat kita merasakan dramatic irony karena in the end kita tahu mereka sekarang cuma ingin selamat hidup-hidup sebagai keluarga yang ‘utuh’

Penulisan karakter dan departemen akting keep story afloat. Para pemain menghidupkan drama tragis dan teror menakutkan yang menimpa keluarga mereka. Kesan traumatis, kesan telah melalui banyak juga tergambar lewat progres seiring dengan periode cerita berjalan. Cerita yang waktunya melompat-lompat itupun tidak jadi terasa terputus-putus. Karakter mereka kontinu. Nadia dan Yoga Kecil juga sudah diberikan karakterisasi. Karena cerita yang berjalan linear, porsi mereka saat masih kecil jadi bagian yang penting sebagai fondasi karakter mereka nanti saat sudah dewasa.  Mereka tidak sekadar jadi ‘korban’ gangguan setan, tidak sekadar disuruh teriak-teriak saat melihat ibu mencemplungkan wajah ke air panas. Sehingga film ini sama sekali tidak terasa seperti eksploitasi karakter anak di dalam genre horor. Meskipun memang horor yang ditampilkan termasuk cukup grotesque. Like, orangtua yang nekat bawa anak kecil masuk dijamin bakal nyesel udah melanggar penerapan batas umur. Tujuh belas plus itu sudah tepat. Gimana enggak, di film ini adegan pembunuhan dari iblisnya pasti bakal membekas karena digambarkan sadis, bayangkan gimana gak trauma anak saat melihat kekerasan berdarah-darah itu menimpa karakter yang seorang ibu, kakak, anggota keluarga yang relate banget dengan kehidupan sehari-hari.

Jangan genrenya yang dijadiin kambing hitam

 

Sedari menit awal, film sudah ngasih aba-aba teror seperti apa yang bakal dihadirkan. Sesuram dan disturbing apa tone yang bakal digambarkan. Film dimulai dan kita disambut suara lalat di suatu tempat di rumah mereka, buatku ini jadi ‘warning’ yang fun. Secara desain, hantu-hantunya (si hantu tinggi itu!) dan makhluk kambing menyerupai iblis Baphomet yang meneror para karakter memang terlihat mengerikan. Film bermain-main dengan gerak kamera dan editing, menghasilkan kesan kengerian mental yang juga merasuk ke benak kita. Karena hantu dan monster itu muncul sekelebatan, dan film tega untuk menjadikan jumspcare. Terkadang para aktor memainkan versi kesurupan dari karakter mereka, dan itu penggambarannya cukup gila. Bit terakhir dengan Teuku Rifnu Wikana bahkan nails vibe surealis dan teror psikis dengan ‘manis’.  Film juga merambah body horror untuk adegan-adegan kematian dijemput si iblis. Momen-momen horor di sini intens. Cuma salahnya, pencahayaannya agak sedikit terlalu gelap untuk bisa sepenuhnya dinikmati oleh kita. Acapkali rasa takut itu datang ‘telat’ karena aku harus sibuk dulu menyipitkan mata berusaha mencerna hantu seperti apa yang ada di layar, atau just mencerna apa yang sedang terjadi sama karakter di tengah malam listrik mati tersebut.

Selain momen terlalu gelap itu, aku juga terlepas dari mood yang dibangun saat film mulai mengeluarkan dialog-dialog yang dramatisasinya agak sinetron-ish. “Tampar saja, Pak!” Menurutku film ini lebih kuat saat langsung memperlihatkan tindakan karakter, misalnya ketika Yoga yang awalnya ogah nurut Bapak akhirnya ikut membantu Nadia mencangkul kubur untuk kambing selesai disembelih saat ritual. Narasi voice over Nadia yang mengisahkan kejadian hidupnya juga terkadang agak redundant. It works ketika voice over itu dilakukan untuk menjembatani gap antara periode waktu-cerita. Tapi terasa kurang diperlukan ketika hanya menarasikan kejadian yang secara bersamaan kita lihat di layar. Bapak tampak menguatkan diri demi menolongnya, buatku sudah cukup terdeliver dari akting dan kejadian di layar saja. Tapi mungkin voice over itu diperlukan demi mencuatkan thread horor yang jadi materi asli cerita. Supaya penonton ‘gak lupa’ kalo film ini diangkat dari kata-kata yang ada di thread tersebut. Sebab tentu bagi penonton yang ngikutin sedari threadnya, aspek-aspek yang mereferensikan hal tersebut bakal membuat film lebih menimbulkan kesan.

Kayak karakter Bastala, yang diperankan oleh Giulio Parengkuan. Teman SMA Nadia yang concern sama apa yang terjadi pada cewek itu, dan menyarankannya untuk menuliskan pengalamannya. Karakternya kan sebenarnya gak esensial, secara cerita, Bastala juga gak actually punya arc atau something yang benar-benar paralel untuk development Nadia. Karakter ini bisa saja di-write off, tapi ya itu tadi, aku paham kepentingannya harus ada. Karena mungkin dialah sosok di balik thread, orang yang mengumpulkan kisah yang dialami Nadia. Menurutku film harusnya took more liberty, secara kreatif, untuk penempatan karakter ini. Memilih, either mau dihilangkan, atau lebih dibuat berperan secara langsung, supaya bentuk penceritaan filmnya terasa lebih enak.

 

 




Horor memang bukan cuma soal hantu-hantuan, bunuh-bunuhan. Ada cerita manusia di dalamnya. Manusia yang terjerumus masuk ke jalan yang salah, misalnya. Film ini paham bahwa horor pertama-tama haruslah berangkat dari tragisnya manusia, kemudian baru menjadikannya sajian horor yang sadis dan teror yang menakutkan (kalo buat genre horor, ini disebutnya ‘sajian yang menyenangkan’) Cerita keluarga yang jadi pusatnya, membuat film ini sebuah pengalaman emosional yang menarik untuk diikuti. Membuat film jadi punya nilai lebih, enggak sekadar jumpscare-jumpscarean. Toh di bidang itu, film juga tidak kalah asyik. Naskah sudah runut dan gak terjebak ngasih plot twist yang gak perlu. Hanya arahan saja yang agak kurang kuat, karena film ini ada di posisi sebagai adaptasi dari thread. Posisi yang membuatnya harus ‘ngikut’ materi walau masih cukup banyak yang perlu diluruskan agar lebih enak sebagai penceritaan film.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DI AMBANG KEMATIAN.

 




That’s all we have for now.

Kandang Bubrah hanyalah satu dari banyak lagi ritual pesugihan yang berkembang di masyarakat. Apakah kalian tahu yang lainnya?

Share di comments yaa

Setelah nonton ini, mungkin kalian masih pengen yang menegangkan? Well, ada nih serial Hijack, serial thriller seru tentang pembajakan di pesawat yang dibintangi oleh Idris Elba di Apple TV+ Yang pengen ngerasain ketegangannya bisa langsung subscribe dari link ini yaa https://apple.co/46yw8RX

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL