BRAD’S STATUS Review

“The problem with the world is that the intelligent people are full of doubt, while the stupid people are full of confidence.”

 

 

 

Aku gak yakin mana yang lebih bego antara bandingin kehidupan sendiri dengan orang lain atau nonton Brad’s Status di hari-hari awal tahun baru. Maksudku, kita enggak bakal nambah muda, akan tiba masa di mana kita akan tertegun menyadari umur, dan mulai berprasangka jelek terhadap diri sendiri; apakah kita sudah mengambil jalan yang benar, apa yang sudah kita perbuat, kenapa kita gak kaya-kaya, apakah sebuah langkah yang tepat untuk berhenti kuliah dan mengejar idealisme. Apakah kita seorang yang gagal. Brad’s Status adalah film yang dibuat untuk orang-orang yang mengalami  stress seperti demikian. Ini adalah narasi yang kompleks, yang mempercayakan penonton untuk menyelami pikiran seorang tokoh yang memiliki ketakutan universal. Dan film ini akan bertindak bukan hanya sebatas media kontemplasi, melainkan sebuah sarana bermeditasi – untuk kita-kita nenangin diri, mengingat kembali apa yang membuat kita bahagia di dalam hidup, dan bahwasanya hidup bukanlah sebuah lomba lari.

Jika kita melihat ke atas, tentu kita akan merasa tertinggal. Jadikanlah ini motivasi.

Jika kita melihat ke bawah, kita akan melihat bahwa kita masih ‘beruntung’. Jadikanlah itu sebagai purpose.

Kita ingin di atas, karena kita ingin membantu yang di bawah. Tetapi kita toh sudah di atas, karena akan selalu ada yang di bawah kita. Pernahkah kita melakukan sesuatu murni untuk orang lain? Mungkin kalimat berikut ini terdengar cheesy, tapi itulah yang jadi poin film ini; Kita tidak perlu memiliki dunia untuk bisa mengubahnya, kita bisa mulai melakukan itu dengan cinta.

 

Brad adalah mahasiswa yang idealis, dia ingin berbuat sesuatu untuk dunia. Jadi dia ngikuti kata hatinya dan mengejar karir dengan mendirikan organisasi non-profit yang bergerak di bidang sosial. Brad mencibir teman-teman kampusnya yang bekerja di perusahaan, yang masuk ke politik, yang berkarir di dunia hiburan, yang jadi artis, teman-temannya yang practically menikahi uang. Brad menikah dengan cewek yang juga idealis. Dia dikaruniai putra yang sangat berbakat main musik. Brad hidup bahagia. Tapi itu dulu. Sekarang, dia merasa kalah. Teman-temannya naik pesawat pribadi, dirinya ditolak upgrade tiket ke kelas satu karena bukan anggota platinum. Temannya masuk televisi, dia bahkan gak bisa masuk ke pesta pernikahan teman – karena dia enggak diundang. Dia bahkan enggak tahu ada temannya yang menikah. Sifat dan idealisme istrinya sekarang malah berbalik menyebalkan buat Brad. Tidak ada yang memuaskan lagi bagi Brad, semua hal yang ia temui sepanjang film, selama dia mengantar anaknya melihat-lihat kampus, malah tampak mengecilkan dirinya. Anaknya yang nyaris keterima di Harvard pun membuatnya iri; tak pelak membawanya ke kenangan masa muda. “Cari kerjaan yang duitnya banyak!” begitu yang ingin dia sampaikan kalo dia bertemu dengan dirinya versi seumuran dengan anaknya.

anaknya sopan dan pinter gitu, berarti dia sukses jadi orangtua

 

Brad’s Status sepertinya memang dibuat untuk Ben Stiller. Aktor komedi ini mampu bermain sangat komit jika diberikan peran yang tepat, dan untuk begitu banyak kesempatan, Ben Stiller selalu mencuri perhatian ketika dia bermain sebagai pria yang frustasi, yang sedikit egois, yang gak puas ama dirinya sendiri, yang ngalamin nervous breakdwon. Dan dalam Brad’s Status, Stiller tampaknya memberikan penampilan terbaik.  Dia menyeimbangkan penampilan ketika sedang bernarasi dengan saat kita hanya butuh untuk melihat ekspresinya. Memang, kita sudah pernah melihat cerita yang sama sebelum ini, namun film mengambil pendekatan yang  berbeda dalam bercerita. Penulis sekaligus sutradara Mike White membuat film ini sebagai sebuah pandangan dari dalam seorang tokoh. Ini lebih sebagai karakter studi ketimbang pengalaman sinematik. Kita akan menjumpai banyak dialog-dialog yang tajam, akan ada banyak humor juga yang datang dari momen-momen tak terduga.

White juga cukup subtil dalam bercerita. Aku suka dengan cara film ini menunjukkan hubungan antara Brad dengan Troy, putranya yang ia temani tur keliling kampus ke New England. Akan ada banyak momen awkward yang sebenarnya punya makna. Seperti misalnya adegan pertama mereka berdua adalah ketika Brad masuk ke kamar Troy dan melihat anaknya hanya berbalut handuk. Sekilas memang tampak seperti adegan biasa yang memancing komedia orangtua dan anak, tapi oleh film ini kesadaran Brad melihat anaknya sudah dewasa dibuat sebagai penambah lapisan tokoh Brad – bahwa jauh di dalam, dia  mengenali anaknya sebagai saingan. Kesubtilan ini terus berlanjut dengan Brad yang menyelinap diam-diam ke bar untuk menemui pacar Troy ketika si anak sudah tertidur. Hanya orang ternarsis di dunia yang menyeruak masuk ke lingkungan sosial anaknya, dan itulah poin Brad sebagai tokoh utama yang bercela. Brad adalah orang yang aware mengenai siapa dirinya, namun dia clueless ketika sudah menyangkut pendapat orang lain.

Sekilas memang kedengaran, atau malah tampak seperti film yang terlalu mengagungkan seorang tokoh yang sangat susah untuk disukai. Brad bukan orang miskin. Dia cukup sukses, keluarganya bahagia. Anak dan istrinya cinta sama dia, mereka enggak ‘memberontak’ terhadap dirinya sebagai kepala keluarga. Hanya saja dia tidak melihat semua itu. Film bahkan dengan berani menunjukkan semua itu. Ada karakter yang secara frontal menegur Brad bahwa dia enggak senaas yang ia pikirkan. Brad tampak seperti menyuruh kita untuk mengasihani dirinya, bahwa dia adalah orang yang baik, yang lebih mulia – tapi kenapa orang-orang brengsek kayak teman-temannya yang justru lebih kaya, kenapa mereka yang lebih terkenal daripada dirinya. Kenapa dunia begitu membenci dirinya. Menarik sekali melihat seseorang yang berurusan dengan pikiran buruknya sendiri.

Ciri-ciri orang depresi itu adalah bicara dengan kepalanya sendiri. Film ini mengeksplorasi apa yang sebenarnya terjadi ketika kita bicara sendiri; kita membesar-besarkan masalah, kita terperangkap di dalam pikiran negative. Kita menganalisa semua dengan berlebihan, dan ini enggak sehat. Masalah yang enggak ada, jadi tampak ada karenanya.

“all iz well, all iz well”

 

 

Untuk mencapai efek ‘bicara sendiri’ tersebut, Mike White mengambil langkah yang cukup beresiko dengan menggunakan narator sebagai bagian dari penceritaan. Actually, film ini sangat bergantung kepada narasi yang dibaca oleh Brad. Untuk kebanyakan film, kebanyakan narasi voice over seperti ini bisa sangat mengganggu kenikmatan menonton sebab kita akan dibeberkan apa-apa yang dilakukan maupun dirasakan oleh tokoh. Simpelnya, kita benar-benar dituntun. Untuk film ini, however, buatku narasinya tidak terlalu mengganggu karena kita memang perlu untuk mendapat insight dari apa yang Brad rasakan di dalam pikirannya. Kita perlu melihat gimana kontrasnya apa yang di benak Brad dengan yang sebenarnya terjadi, dan narasi di sini benar-benar berfungsi sebagai garis tegas yang membatasi hal tersebut.

 

Jika ada yang ‘salah’ di film ini, menurutku ‘kesalahan’ itu terletak di beberapa adegan yang digarap terlalu kepanjangan. Misalnya adegan ngobrol di bar yang tampak masih bisa menghasilkan efek yang diinginkan dengan menyingkat adegannya. Tapi untuk sebagian besar adegan, film ini menyuguhkan pemandangan karakter yang akrab yang diletakkan dalam situasi yang juga familiar, dan film memberikan kesempatan kita untuk berkontemplasi dengan memberitahu apa yang karakter-karakter tersebut pikirkan serta rasakan. So I think, film ini enggak punya dosa yang benar-benar gede. Dia hanyalah sebuah tontonan yang berani untuk menjadi enggak disukai lewat tokoh utamanya. Meski ceritanya lumayan ‘terbelakang’ dibandingkan film-film lain, basically kita bisa bilang ini adalah cerita tentang masalah orang kaya, namun film ini bukan tidak mungkin menjadi LIFE CHANGER bagi orang-orang yang dihantui pikiran serupa.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for BRAD’S STATUS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

THE DISASTER ARTIST Review

“First they ignore you, then they laugh at you…”

 

 

Tentu saja, kita akan menertawakan film yang buruk bersama-sama. Kita berpikir, film yang sudah menginsult kecerdasan kita, perlu untuk diinsult balik. Kita bikin review konyol, kita bully film habis-habisan, sebagai bentuk apresiasi terhadapnya. Keseimbangan yang wajar terjadi. Sebuah reaksi yang mudah terhadap sesuatu yang jelek. Film The Room (2003) buatan sutradara dan aktor nyentrik Tommy Wiseau bukan hanya film yang jelek, dia adalah film paling ngaco sepanjang masa. Saking jeleknya , banyak yang suka. Sampai sekarang, film ini rutin diputar oleh berbagai fans di luar sana. Markas My Dirt Sheet, kafe es krim Warung Darurat Bandung, juga pernah muterin sekali. Hasilnya, sendokku ilang delapan biji. James Franco punya ide untuk menyelebrasi film itu, dia kumpulkan kru dan mereka membuat cerita tentang apa yang terjadi di balik dialog-dialog absurd dan akting kaku tersebut.

Memang lebih mudah menetertawakan badut ketimbang mencoba mengerti kenapa mereka mengenakan riasan make-up

 

 

I gotta be honest, The Disaster Artist adalah cerita yang menyentuh buatku. Dalam lapisan yang paling dalam, ini adalah cerita tentang seorang pria yang berjuang mewujudkan mimpinya. Hambatan yang ia temui berasal dari dalam dirinya sendiri; dia tidak dapat melihat bahwasanya tidak semua orang bisa mengerti apa yang ia sampaikan. Maksudku, sebagian besar dari kita juga pasti pernah merasa diri kita spesial, ide cerita kita hebat dan orisinil. Ada banyak calon filmmaker di jalanan yang punya stok naskah yang menurut mereka adalah cerita paling fresh dan keren sedunia, aku tahu karena aku adalah salah satu di antaranya. Tapi apa yang terjadi ketika kita ngepitch cerita tersebut ke produser, ke investor? Ditolak, dicuekin, disuruh ubah. Kalo aku punya duit tak terbatas seperti Tommy Wiseau, pastilah aku udah bikin film sendiri juga. Mewujudkan impianku. Meski mungkin filmku bakal seratus kali lebih jelek dari The Room. Tapi inilah yang ingin disampaikan oleh James Franco dalam The Disaster Artist; Jangan menyerah, terkadang kita memang harus membuka peluang sendiri, dengan perlu mengingat bahwa ada banyak cara konek dengan orang lain bisa terjadi, mungkin saja bukan seperti yang kita harapkan. Dan koneksi itulah yang semestinya menjadi tujuan kita dalam berkarya.

jika dipandang sebaliknya, film ini juga berfungsi sebagai petunjuk “Bagaimana Cara untuk Membuat Film yang Buruk”

 

Yang kita dapat di sini sesungguhnya adalah sebuah cerita yang menginspirasi. James Franco tidak membuat Tommy Wiseau sebagai sebuah tokoh yang wajib untuk melulu kita ledek. Ada sesuatu di dalam dirinya yang akan menangkap hati para penonton. Kita akan mengikuti perjalanan Tommy dari ketika dia bertemu dengan Greg di sebuah audisi teater. Mereka kemudian berikrar untuk mengejar mimpi menjadi aktor, begelut di bidang film. Maka lantas mereka pindah ke L.A. Namun, hal bagi Tommy tidak berjalan semulus apa yang datang kepada Greg. Jadi, Tommy bikin film sendiri. Dia mengajak Greg untuk ikut berperan bersamanya di film tersebut. Sebagaimana kita semua tahu, film tersebut tidak berakhir dengan semestinya.

The Disaster Artist cukup bijak untuk tidak memfokuskan ini sebagai parodi, film tidak sekedar menertawakan “You’re tearing me apart, Lisa!” dan pilihan-pilihan aneh bin bego yang dilakukan oleh Tommy Wiseau ketika membuat film ini. Memang, momen-momen The Room yang fenomenal, gimana film ini ngereka adegannya hingga nyaris sama persis, adalah bagian yang menonjol pada penceritaan. Tapi sekaligus ini adalah drama yang cukup suram, banyak adegan yang diniatkan sebagai heartfelt moment. Sebagai karakter, Tommy Wiseau belajar banyak dari reaksi penonton yang tidak ia harapkan, dan dari bagaimana dia harus berurusan dengan orang-orang yang tidak melihat visinya.

Tommy Wiseau yang asli merupakan salah satu sosok paling misterius di industri perfilman. Seperti yang juga disebutkan oleh film, tidak ada yang tahu persis siapa dirinya, dari mana dia berasal. Tommy ini di samping eksentrik gilak, dia juga sangat tertutup. Jadi memang pesona film ini terletak di Tommy Wiseau, kita penasaran seperti apa orang ini, apa yang ada di balik kepalanya. James Franco luar biasa dalam berperan sebagai karakter ini, juga dalam bagaimana dia membangun film cerita yang menjadikan Tommy sebagai pusatnya. Sebagai sutradara dan pemain, Franco did a very excellent job. Adegan pembukanya efektif sekali memperkenalkan Tommy sebagai sebuah enigma. Dia mempertahankan pesona tersebut hingga akhir film. Menurutku apa yang dicapai Franco sebagai Tommy merupakan hal yang cukup sulit; ya dia sangat lucu di sepanjang film, namun bukan sekedar lucu oleh karena momen-momen konyol dia lupa skrip, atau dia mainin adegan-adegan ikonik The Room. Di sini kita melihat Tommy sebagai seorang yang enggak hebat-hebat amat dalam pekerjaannya, dan dia punya cara yang aneh untuk mendapatkan yang ia mau, tapi kita bisa menghormati apa yang ingin ia lakukan. Sebab ada sisi manusiawi yang diberikan. Ada semangat yang bisa dipungut dari sikapnya yang tidak menyerah meskipun orang-orang tidak menghargai sesuai yang ia harapkan.

jangan-jangan karakter Broken Matt Hardy terinspirasi dari Tommy Wiseau

 

Salah satu aspek yang menjeratku adalah tentang bagaimana ini sebuah pembuatan film. Aku punya soft side terhadap film-film yang memperlihatkan di balik layar bisnis gambar bergerak seperti ini.  Aspek ini membawa kita ke kekurangan yang dimiliki oleh The Disaster Artist. Film ini actually mematahkan Hukum Ekonomis Karakter cetusan Roger Ebert lantaran tokoh-tokoh lain dalam cerita, yang diperankan oleh aktor-aktor yang cukup terkenal kayak Alison Brie ataupun Zac Efron ataupun Josh Hutcherson, tidak benar-benar punya karakter. Mereka cuma ada di sana, memainkan dengan sangat kompeten peran yang ditugaskan – Seth Rogen juga sebenarnya cukup lucu di sini – dan tidak punya banyak untuk dilakukan. Padahal mestinya bisa lebih dalam lagi jika kita diperlihatkan lebih banyak lagi tentang mereka.

 

 

Film dark komedi ini precise sekali ketika dia mencoba membuat ulang adegan-adegan film The Room. Tepat hingga ke framing dan segala macam treatment aneh yang dilakukan oleh film tersebut. Namun, jika kalian belum pernah nonton The Room, atau bahkan belum pernah mendengar tentangnya, film ini tetap akan bekerja sama hebatnya, sebab ini bukan serta merta sebuah film komedi yang memarodikan salah satu film terburuk di industri sinema. Film ini punya hati yang besar, tokoh utamanya terasa dekat. Benar saja, kita memang harus dapat melihat film sebagai mana mestinya. Sebagai penonton kita bisa saja suka, namun tetap harus mengakui kejelekan film. Tapi ini bukan tentang penonton. Ini tentang orang yang punya mimpi, tentang pembuat film yang dihadapkan kepada situasi di mana ia diapresiasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. James Franco mungkin saja tidak kepikiran, filmnya tentang sebuah film begitu jelek sehingga menjadi cult, bisa jadi adalah film terbaik yang pernah ia buat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 gold stars for THE DISASTER ARTIST.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI Review

“There was never an angry man that thought his anger unjust”

 

 

Mau keluh kesah, masalah, atau jeritan minta tolongmu didengar banyak orang? Gampang. Iklanin aja. Pasang gede-gede di papan reklame. Dijamin efektif. Bahkan jika tempatmu memasang reklame jarang dilewati orang. Tiga papan iklan di pinggir jalan perbatasan kota Ebbing, Missouri yang dipasang oleh Mildred Hayes, seorang ibu yang tampaknya have seen better days, sukses mengguncang kota kecil mereka. Akan ada banyak orang yang terpengaruh, yang berubah hidupnya oleh papan-papan merah yang  bertuliskan kalimat-kalimat simpel berwarna hitam. Pemandangan kontras ini mewarnai para penduduk. Ada yang setuju dan mendukung Mildred; membantu wanita itu membayar biaya pemasangan yang enggak kecil. Ada juga yang menganggap pesan yang dipajang tersebut sebagai kalimat yang enggak pantas, bahwa Mildred yang gak pernah senyum dan kasar itu hanya menyebarkan kebencian. Ngomong-ngomong, apa sih bunyi ketiga papan iklan Mildred? Sini kuberitahu:

“Sekarat-sekarat diperkosa.”

“Tapi belum ada yang ditangkep.”

“Tanya kenapa, Pak Polisi Willoughby?”

kenapa pas kutranslate bunyinya jadi kayak headline koran Lampu Merah ya?

 

Mildred tentu saja mengacu kepada kasus pemerkosaan yang menghilangkan nyawa putri remajanya. Kasus yang udah setengah tahun ditangani oleh Kepolisian Ebbing, namun tak kunjung mendapat titik terang. Mildred malah merasa kasusnya ‘dicuekin’ gitu aja, enggak ada progres yang memuaskan. Jadi, dia memasang reklame blak-blakan tersebut demi menegur kepala polisi. Mengingatkan juga kepada penduduk lain bahwasanya keadilan belum lagi ditegakkan. Pelakunya masih di luar sana, entah siapa. Tentu saja ada prasangka; apakah polisi sengaja menutupi kasus, apakah ada pihak yang mereka lindungi, atau apakah mereka bener-bener gak kompeten kayak polisi bernama Jason Dixon yang kerjanya mabok? Sesungguhnya semua itu turut menjadi bahan bakar kemarahan Mildred. Dia menuntut keadilan, dan sekarang setelah begitu lama diacuhkan, dia bertekad untuk memastikan dengan tenaganya sendiri keadilan itu ditegakkan.

Ketika dihadapkan pada sebuah tragedi, sekelompok orang akan mengalami reaksi yang beragam. Lebih sering daripada enggak, masyrakat akan mencoba untuk melupakannya. Just move on. Namun saat tragedi tersebut diingatkan kembali, dengan paksa, seperti selancang yang dilakukan Mildred, ‘zona nyaman’ tersebut terguncang. Sebab kita lebih suka untuk melupakan, terlebih jika tidak menyangkut diri kita. Film ini mengeksplorasi dengan hebat masalah yang timbul saat kenyamanan publik, persetujuan untuk melupakan itu diganggu oleh seorang yang masih membiarkan api itu menyala. Ini adalah potret sebuah api yang dilawan dengan api.

 

Judul yang ribet dan terlalu panjang bisa saja diniatkan sebagai isyarat betapa unik dan ‘mengganggunya’ film ini. Tidak ada yang menetramkan telinga dalam cerita ini. Film ini menyelami sisi gelap manusia; yakni KEMARAHAN. Tapi tidak lantas menjadi depressing ataupun karena banyak terdapat humor-humor kelam terkandung di dalam penceritaannya. Bukan hanya tokoh utama, penduduk film ini semuanya akan mengejutkan hati kita yang damai dengan perkataan dan perbuatan yang tanpa tedeng aling-aling, tanpa sensor. Sesungguhnya ini adalah langkah yang nekat dan cerdas. Kalian tahu, menggunakan tokoh cerita untuk menyampaikan candaan yang kasar, namun actually mempunyai makna. Sutradara Martin McDonagh menyinggung isu-isu relevan yang tidak berani dibicarakan orang; tentang menyebar kebencian, tentang memandang rendah aparat, media, akan ada banyak momen yang bikin kita nyengir-ga-enak. Dan setelah itu kita bakal mikirin apa yang barus saja kita saksikan,  dan kemudian kita tersadar bahwa yang barusan tadi adalah sindiran yang halus, yang dimainkan dengan cantik.

marah sih, tapi berani sebut merek?

 

Kita tidak bisa menebak apa yang terjadi sepanjang film ini. Percayalah, aku mencobanya. Tapi setelah adegan interogasi antara Mildred dengan Willoughby yang benar-benar tak disangka akan berakhir seperti demikian, aku berhenti memprediksi ke mana langkah cerita selanjutnya. Bahkan sedari awal aja aku udah salah. Ini bukan cerita detektif, kita tidak akan melihat Mildred memecahkan petunjuk, mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada putrinya, ataupun dia akan berhasil membalaskan dendam terhadap siapapun pelaku tindakan keji tersebut. Ini adalah drama tentang pengaruh ekspos tragedi terhadap kemanusiaan. Plot poin-plot poinnya tidak terkuak seperti yang kita tahu dari pengalaman menonton. Tokoh-tokohnya mengambil langkah yang tidak bisa kita lihat kemungkinannya. Kita mengharapkan mereka “oh ternyata dia..” atau “oh pasti dia bakal” dan ternyata enggak.

Mildred adalah seorang yang sangat kuat tekadnya, salah satu tokoh film terkuat yang pernah aku tonton sejauh ini. Dia begitu marah. Penampilan Frances McDorman memainkan karakter yang menatap semua kebencian dan melawannya, menangkis segala anggapan bahwa yang ia lakukan adalah hal yang salah, akan menjadi sebuah penampilan yang melegenda, lihat saja.  Lapisan tokoh ini semakin menebal oleh hubungannya yang tidak baik dengan putrinya tersebut, jadi di balik luapan marah itu terkadang kita bisa menangkap secercah penyelasan, sedikit penyalahan diri sendiri. Adegan Mildred bicara satu arah dengan rusa terasa surreal, dan I personally think it was beautiful. Sam Rockwell sebagai polisi rasis yang, oke orang ini adalah personifikasi dari segala yang buruk-buruk yang pernah kita dengar tentang polisi, juga bermain dengan sangat meyakinkan. Tokoh ini actually punya arc yang ingkarannya lebih gede, karakternya bertransformasi. Paralel antara Mildred dan Dixon terbentuk dari tokoh kepala polisi yang diperankan excellent oleh Woody Harrelson. Kita tidak akan bisa menebak sejauh tindakan yang diambil oleh seseorang yang menginginkan keadilan. Dengan cepat hitam dan putih itu jadi abu-abu, malahan perlahan kita bakal mempertimbangkan untuk berpihak kepada Dixon alih-alih Mildred.

Gimana bisa kita enggak marah-marah sama kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan? Hidup memisahkan anak dari orangtuanya. Hidup merenggut orang-orang baik di saat mereka masih muda. Menahan marah tidak akan menyembuhkan kita dari perasaan kehilangan. Kebenaran tidak akan berubah dengan kita menelan amarah bulat-bulat. Sebaliknya, marah adalah jalan yang harus ditempuh. Salurkan. Berjuang, berkelahi jika perlu. Dan setelah semua asap huru hara itu menghilang, barulah kita akan mendapati simpati, pemahaman, dan empati berdiri di permukaan.

 

 

 

 

Sesungguhnya film yang baik adalah film yang mampu membuat kita terus memikirkan apa yang selanjutnya terjadi kepada para tokoh. Bahwasanya kita merasakan mereka melanjutkan hidup bahkan setelah film berakhir. Aku gak yakin apakah ini kekurangan atau malah kelebihan yang dimiliki oleh film ini, yang jelas kita sudah begitu terinvest terhadap perkembangan para tokoh sehingga saat cerita ditutup literally di tengah jalan. Film sedikit tidak adil lantaran kita ngerasa kita perlu melihat sedikit lagi – satu adegan saja- apa yang terjadi terhadap Mildred. Film ini terasa melegakan, dan juga kurang memuaskan di saat yang bersamaan. Seperti halnya dia memancing kita untuk menangis sekaligus tertawa menyaksikan apa yang dihadapi oleh tokohnya. Salah satu tontonan terbaik, dan paling punya nyali, tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

LADY BIRD Review

Familiarity is the root of the closest friendships, as well as the intensest hatreds

 

 

Dikasih nama sama orangtua, ngikut aje. Giliran ke Tuhan, sok-sok gak percaye. Hueeee. Begitu kira-kira cibiran Christine kalo dia jadi orang betawi. Tapi Christine McPherson ini anak Sacramento, dia juga adalah anak yang menentang orangtua, terutama ibunya. Jadi dia melakukan ‘perlawanan’. Dia harus keterima kuliah di luar kota sehingga begitu lulus dari SMA Katoliknya, dia bisa sesegera mungkin meninggalkan kampung halaman yang udah bikin dia gerah secara batin. Dia ingin jauh dari orangtua. Dia ingin mandiri. Dia ingin jadi bagian dari tempat yang berbudaya. Dan sebagaimana yang selalu cewek berambut merah ini ingatkan kepada kerabat, sahabat, dan semua orang yang berada di dekatnya, panggil dia dengan nama Lady Bird. “Itu namaku!”

Jika diibaratkan, memang film ini adalah salah satu dari banyak telur-telur di dalam keranjang yang bertuliskan “Perjalanan remaja mencari atensi dan jati diri”. Namun ketika menetas, Lady Bird bukan saja burung yang punya warna paling unik, dia juga lebih besar dan berkicau paling vokal di antara yang lain. Ini bukan sekedar tentang seorang remaja cewek yang ‘berkelana’ di hari-hari akhir sekolahnya, dia dapat pacar, dia akhirnya fit in dengan teman-teman yang lebih populer, dan eventually dia ‘terbang’ mengalami banyak hal hebat yang belum pernah ia tahu. Sebagai cerita coming-of-age, Lady Bird tentunya juga menempuh poin-poin tersebut. Dia sempat deket dengan beberapa cowok, namun fokus cerita bukanlah soal pacaran.

Lady Bird adalah kisah ‘romansa’ antara ibu dengan anak perempuannya. Dan ini juga berbeda dari kebanyakan. Mereka enggak terjebak roadtrip bareng. Ini bukan soal mereka jarang ketemu, ataupun soal kegagalan berkomunikasi seperti Susah Sinyal (2017). Lady Bird pastinya enggak diam-diam menjadikan ibunya sebagai suri tauladan, sebab mereka berdua begitu berbeda dengan dahsyatnya. Anak dan ibu ini benar-benar bertolak belakang, bayangkan dua sisi mata uang, mereka saling pasif agresif. Keunikan film ini datang dari bagaimana Lady Bird membuat hidup ibunya susah dan begitu juga sebaliknya. Di adegan pembuka, Lady Bird meloncat turun dari mobil yang sedang berjalan gitu aja (!), di tengah-tengah adu mulut dengan ibu. Kita tahu seberapa besar mereka love each other sesungguhnya, namun mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda. Film ini sangat menyenangkan untuk ditonton, aku ngakak ketika adegan Lady Bird nyobain baju di kamar pas, dan dia minta pendapat ke sang ibu – she needs her opinions so much – tapi Ibunya dengan sengaja berikan saran dengan menyindir-nyindir. Dan ujung-ujungnya mereka berantem lagi. Kejadian-kejadian semacam itu juga benar-benar berdering kenyataan buatku, karena aku punya adek cewek yang kerjaannya berantem melulu sama Mama, persis seperti tokoh film ini.

“I miss you but I hate you, Mo-theeeer~”

 

Cerita ini pastilah juga sangat personal buat pembuatnya. Aktris yang kini duduk di kursi sutradara, Greta Gerwig, mati-matian berusaha membuat setiap adegan film ini well-realized. Lady Bird yang adalah debutnya terbang solo sebagai sutradara bisa jadi adalah kisah hidup diri Gerwig sendiri, karena kita bisa merasakan betapa passionate film ini digarap. Tidak ada poin lemah di jajaran penampil. Semua pemain tampil enggak dibuat-buat. Gerwig menghormati setiap tokoh sampai ke karakter yang paling minor sekalipun. Saoirse Ronan luar biasa manusiawi di film ini. Lady Bird tak pelak adalah penampilan terbaiknya, emosi-emosi yang dia sampaikan terasa kayak beneran. Langkah, keputusan, bahkan bohong-bohong pencitraan yang dia lakukan tampak natural dan kita paham alasan di baliknya. Arahan film ini sukses berat menyeimbangkan antara momen-momen canggung dengan momen-momen yang serius. Ada banyak adegan yang bikin kita nyengir menonton si Lady Bird, tapi bukan karena kita merasa dia sangat pretentious, melainkan karena kita sedikit banyaknya ikut berefleksi pernah mengalami hal serupa.

Yang bikin penasaran adalah dialog-dialognya. Percakapan mereka enggak kayak pake naskah, seperti dimprovisasi gitu aja. Menyimak para tokoh berbincang, beradu argument, melihat mereka berinteraksi, membuat kita pengen ikutan nimbrung. Aku ingin berteman dengan mereka, aku totally ter-invest sama apa yang terjadi, aku benar-benar dibuat peduli. Kita akan lupa kalo yang kita saksikan selama 93 menit ini adalah sebuah film. Dan inilah satu-satunya kekurangan film ini; kurang panjang. Kita pengen melihat apa yang selanjutnya terjadi pada mereka semua. Rasanya sedikit sedih ketika film berakhir, seperti berpisah dengan orang yang sudah deket. Begitulah bukti betapa menakjubkannya Gerwig menyetir narasi, cara berceritanya benar-benar membawa kita hanyut.

Meskipun kedengarannya aneh, banyak dari kita yang merasakan kebencian terhadap orang yang kita sayangi. Semakin sayang, tuh orang justru semakin nyebelin.  Kadang secara tanpa sadar, kita melakukan itu demi mencari perhatian. Cinta dan benci actually bukanlah hal yang berlawanan, makanya kita sering mendengar ungkapan “benci lama-lama jadi cinta” ataupun “jangan terlalu cinta, nanti malah jadi benci”. Kedua hal tersebut adalah perwujudan berbeda dari perasaan yang sama. Actually adalah affection yang sama yang kita rasakan ketika kita ingin berteman dengan seseorang – kita bohong dengan harapan mereka lebih menyukai kita. Hidup memang canggung dan ‘lucu’ seperti itu.

Lady Bird paling malu kalo ketahuan sama teman-teman sekolah dia bukan anak gedongan

 

 

Hal yang menarik dari cara bercerita film ini adalah konstruksi per adegan yang dilakukan oleh Gerwig. Dalam penulisan screenplay toh tidak ada peraturan baku mengenai keharusan memulai adegan. Namun memang kebanyakan lebih suka membuat adegan yang runut, seperti tokoh masuk ruangan, mulai ngobrol dengan tokoh lain, percakapan mereka memanas, dan ditutup dengan punchline ataupun momen dramatis – kebanyakan adegan dibangun dengan permulaan, untuk kemudian terus menuntun penonton ke poin penting yang ingin disampaikan. Kadang kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk mikirin memulai adegan dari mana, you know, supaya penonton tertarik dan penasaran. Film Lady Bird enggak pusing-pusing mikirin permulaan adegan-adegannya. Gerwig membuat sebagian besar adegan film ini tidak punya permulaan. Kita dilempar begitu saja ke tengah percakapan para tokoh. Sering kita masuk ke satu adegan dan tokoh-tokohnya sedang melakukan atau berbicara seru tentang sesuatu. Menyerahkan kepada kita sepennuhnya untuk melakukan observasi, dan dengan melakukannya bukan saja kita jadi mengerti, tapi kita juga merasa ter-include ke dalam setiap adegan. Inilah salah satu yang menyebabkan kenapa Lady Bird terasa begitu nyata.

Semua klise genre berhasil dihindari oleh Lady Bird. Sekolah Katolik tempat tokoh utama kita menimba ilmu tidak pernah ditonjolkan sebagai tempat yang mengekang. Sekolah dan segala peraturannya bukanlah sangkar bagi film ini. Melainkan hanyalah sebuah fase, sebuah urusan yang harus diselesaikan. Tentu saja ada banyak rintangan yang menghalangi tokoh kita untuk berkembang menjadi pribadi yang ia inginkan, tetapi film tidak menyorot sekolah ini dalam cahaya yang negatif. Film tidak menyuruh kita menjauhi sekolah agama. Film hanya menunjukkan momen-momen yang kita hadapi kalo kita berada dalam situasi Lady Bird.

Kita mungkin tidak pernah mengecat rambut menjadi pink ketika remaja, namun apa yang dialami Lady Bird bukan tidak mungkin pernah kita semua alami. Kita mengantagoniskan orang-orang, pihak-pihak, karena kita sendiri belum yakin siapa dan mau jadi apa kita. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra, kita mencegah orang-orang untuk melihat siapa sebenarnya diri kita, seperti apa keluarga kita, sampai-sampai kita sendiri tidak lagi bisa benar-benar melihat yang sebenarnya.

 

 

 

 

Film menggambarkan semua yang mungkin kita alami saat beranjak dewasa dengan so refreshingly real. Dan bukan hanya yang senang-senang saja yang diperlihatkan. Perjalanan beranjak dewasa tak pernah mudah. Arahan Gerwig yang raw banget – para aktor bermain dengan sangat genuine – membuat film terasa sangat personal, sehingga membuat kita-kita yang mungkin pernah meninggalkan sarang, menjadi teringat dan ingin kembali ke tempat kita memulai langkah.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for LADY BIRD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE Review

“The best relationships are the ones that you didn’t expect to be in.”

 

 

Saat ini malam hari, suasana sepi sekali. Kamu sendirian di dalam kafe, hanya ditemani oleh aroma khas campuran susu dan kopi panas di dalam cangkir yang putih mengkilat. “Tuk. Tuk. Tuk.” Sayup-sayup kamu mendengar suara aneh dari luar toko. Ketukan pelan itu terus terdengar, temponya teratur. Cepat dan mantap. Berdentum masuk ke telinga, seolah-olah suara itu berasal dari dalam kepalamu. Bunyi apa itu? Pikiran buruk mulai menghantui pikiranmu. Suara setankah. Atau lebih buruk lagi, itu suara maling?! Apa yang kamu lakukan berikutnya tergantung kepribadianmu.

Kalo kamu waras, maka kamu akan ngunci pintu, berdiam di dalam toko, dan menghubungi polisi.

Kalo kamu penakut, maka kamu akan pulang ke rumah, tak lupa mengunci pintu.

Kalo kamu kebanyakan nonton film horor, maka kamu akan langsung tunggang langgang pulang begitu ketukan ketiga terdengar.

Tapi kalo kamu berani, seperti Starla, kamu akan ngambil tongkat baseball, keluar dari toko demi mencari dan menggebuk sumber suara misterius yang bisa berasal dari apa saja tersebut.

 

Begitulah Hema dan Starla pertama kali bertemu. Dua remaja ini almost instantly saling jatuh cinta. Hema membuat perbandingan mereka seperti bulan dan bintang. Perumpaman itu gak malu-malu diakui oleh film, nama Hema Chandra literally berarti bulan emas dan nama Starla bukan berarti dia penggemar kopi sehingga namanya diplesetin dari Starbucks. Starla adalah star, bintang, yang ditemukan oleh Hema. Bintang yang membuatnya bersinar, kata Hema di atas helipad. Doo, romantis banget si Hema bikin mata penonton cewek berbinar-binar pengen semua.

Naturally, kita akan melihat bintang jika hidung kita dihantam oleh tongkat baseball

 

Bagi penggemar yang udah ngikutin Hema dan Starla dari saat mereka masih di youtube series, pastilah film ini adalah sebuah lanjutan kisah yang menghapus rasa penasaran. Film ini menceritakan kelanjutan dari cinta yang tumbuh dalam semalam itu. Konflik apa yang menanti mereka. Pertanyaan terbesar pada film ini adalah apakah yang Hema dan Starla rasakan itu benar-benar rasa cinta. Aku gak ngiikutin seriesnya, satu-satunya pengetahuanku tentang materi ini adalah bahwa Surat Cinta untuk Starla berasal dari sebuah lagu. Dan ketika aku menonton film ini, buatku justru membuat film punya daya tarik sendiri.

Kita akan dilempar begitu saja ke tengah-tengah romansa mereka. Kita yang awam, akan bertanya siapa sih mereka, kenapa pacarannya sweet banget. Mereka kerap menyebut ‘enam jam malam itu’, dan ini membuat kita penasaran apa yang terjadi kepada mereka dalam kurun waktu itu. Film untungnya enggak repot-repot menceritakan dengan flashback, kita actually belajar tentang hubungan mereka secara perlahan melalui dialog-dialog. Melalui interaksi para karakter. Kita bahkan enggak tahu siapa mereka, kenapa Hema bawa-bawa mesin tik. Kita menonton Hema dan Starla ‘berparade’ keliling kota, mengunjungi tempat-tempat hip di Jakarta dan Bandung, dan layer-layer serta backstory tersebut terkuak dari sana.

Biasanya, hal yang udah kita rencanakan bakal berbuah pahit, rencana tersebut batal. Justru hal-hal yang dilakukan dengan mendadak lah yang jatohnya lebih berkesan. Mungkinkah hal tersebut berlaku juga dalam urusan cinta? Pengalaman setahun pacaran (yang dijodohkan) Starla enggak ada apa-apanya dengan apa yang ia rasakan bersama Hema hanya dalam enam jam. Cinta bisa datang sama mendadaknya dengan saat dia terputus. Masalahnya adalah dapatkah hati kita mengenali ketika ia datang. Mana yang bulan, mana yang bintang.

 

Jefri Nichol dan Caitlin Halderman are great together. Mereka punya chemistry yang click! Mereka juga mampu memainkan rentang emosi yang jauh. Helmanya si Jefri bisa berubah dari cowok yang terlihat berandal menjadi cowok yang marah pengen tahu siapa dirinya dengan mulus dalam sekejap mata. Memainkan tokoh yang manja, yang menggembungkan pipinya kalo lagi jealous, hingga nangis penuh emosi, Caitlin mampu menampilkannya tanpa terasa dilebay-lebaykan. Langkah bagus dari film ini dengan membuat kedua tokoh enggak satu dimensi, aku suka ketika Hema dengan filosofi moral antara penggambar mural dengan pembuang sampah sembarangan ngejugde gitu aja mengatai Starla adalah anak yang suka masuk mall. Apa yang salah dengan anak mall? Kita bisa tumbuh peduli, kita menginginkan kedua remaja ini berakhir sebagai pasangan, sebab mereka tampak so cute bersama. Namun sesungguhnya alasan tersebut belumlah cukup untuk membuat sebuah film yang menarik.

Film ini bereksperimen dengan strukturnya. Alih-alih tiga babak penceritaan yang biasa, film tampak berjalan tanpa arah, maksudku separuh pertama film mereka hanya pacaran. Basically adalah set up yang panjang sebelum dramatisasi pecah di bagian akhirnya. Dan hal ini bisa sangat mengganggu. Kita enggak tahu motivasi mereka. Perihal pembuatan mural-mural, tidak ada misi yang integralkan dengan perjalanan karakter. Mereka melakukannya karena suka. ‘Daging’ film ini ada di pertengahan akhir cerita, yang sebenarnya bisa saja seluruh struktur cerita film ini dirombak ulang sehingga inti cerita tersebut lebih ditonjolkan, yang tentu saja membuat film menjadi lebih menarik dan terarah.

ngegambar orang sebagai permintaan maaf, pffft good luck with that

 

Selain pemberani, Starla juga seorang tukang tidur yang amat sangat pulas. Beneran, ini adalah trait tokoh Starla. Dia bisa tertidur di kursi pengemudi di tengah jalan dan terbangun besok pagi saat mobilnya diderek. Dia pulas sehabis jalan-jalan, dan gak bisa dibangunkan oleh Hema, sehingga Hema yang tak tahu alamatnya terpaksa membawa Starla menginap di rumah. Begitulah film menggarap poin-poin cerita. Mereka menaruh perhatian dan minat lebih untuk membuat narasi yang over-the-top. Jambret bisa datang tiba-tiba hanya karena mereka butuh Hema untuk tampil heroik. Yang mana menurutku cukup lucu lantaran ketika momen emosional yang alami datang, film malah menurunkan intensitasnya – membuatnya jadi bagian dari komedi, membuatnya tampak justru sebagai adegan yang menyenangkan. Aku bicara soal adegan ketika lagi bikin mural, Hema dan Starla dikejar polisi. Eventually mereka terpisah, dan Starla tertangkap, jadi Hema ikut menyerahkan diri – dia berlari ke depan moncong mobil polisi. That whole sequence, seharusnya menghasilkan emosi yang kuat, memancarkan intensitas yang genuine. Tapi film malah menegasi efeknya dengan menampilkan latar musik pop yang asyik, untuk kemudian diikuti oleh adegan interogasi yang kocak.

Konsekuensi real life dari aksi mereka selalu dikecilkan. Polisi dalam film ini  adalah badut. Mereka lambat, gampang ditipu – kepala polisi percaya aja kalo yang berbuat vandalism selama ini adalah kembaran Hema. Rintangan asli dari hubungan mereka datang dari saingan cinta. Ngeliat cowok jalan sama cewek lain adalah alasan yang tepat untuk meninggalkan mobil di tengah jalan dan membuat pengguna jalan lain marah-marah. Sebenarnya aku heran kenapa film ini menonjolkan sisi komedi di sepuluh menit awal. Ada adegan kejar-kejaran yang sangat komikal yang bahkan berlebihan untuk sebuah komedi romantis.

Film ini benar-benar membuatku terkejut ketika ada penampakan juara Gadis Sampul 2016 yang jadi cameo (Carmela, good for youuu), eh salah, maksudku, film ini took me by surprise ketika cerita berubah menjadi konflik keluarga yang unnecessarily ribet di bagian akhir. Yang dicari Hema bisa jadi bukan cinta, melainkan ibunya. Starla juga jadi tampak selfish banget. Sepuluh menit pertama yang kocak mendadak jadi beralasan karena memang film ini agak mengesampingkan logika dan memang tersusun atas dasar mengada-ada. Ada twist yang semak oleh kebetulan. Aku duduk di sebelah kelompok abg yang bersorak “umur kita pas!” ketika tulisan ‘untuk 13 tahun ke atas’ nongol di awal film. Di tengah-tengah film, aku mendengar sebelahku bercanda ke teman-temannya, dia ngarang ending cerita. Teman-temannya sontak ngakak karena teori anak tersebut memang konyol, aku sampai ikutan ngikik malah. Dan guess what, tebakan anak tersebut tepat seratus persen. Cerita bergulir sesuai dengan apa yang ia guyonkan. Jadi kalian bisa bayangkan sendiri gimana begonya kalo poin cerita kalian bisa ditebak dari separo jalan film oleh abg yang lagi bercanda sama temen-temennya.

 

 

Dimainkan dengan kompeten, ini adalah cerita cinta yang penuh pesona buat kawula muda. Kita bisa melihat bahwa ini berangkat dari materi yang menarik. Tapi kenyataannya, masih banyak yang perlu dirombak – ditata ulang dari struktur penceritaan. It was a mess, dramatisasi semakin menjadi-jadi as the film goes on. Tone ceritanya juga persis kayak anak remaja, labil. Dan twistnya enggak sungguh-sungguh diperlukan. Mengada-ada. Sesungguhnya ada cara lain untuk membungkus cerita, untuk menguji hubungan kedua anak muda ini dengan lebih menarik dan logis. Film ini kayak menuliskan surat kepada remaja yang berpesan bahwa dalam cinta, kalian seperti bulan dan bintang di langit; semua di bawah kalian tak jadi soal.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for SURAT CINTA UNTUK STARLA THE MOVIE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

PITCH PERFECT 3 Review

“Life is not a competition.”

 

 

 

Hidup memang keras. Kalian boleh saja bagian dari grup nyanyi yang aca-awesome sewaktu di kampus, namun tetap berakhir gak sukses di pekerjaan yang juga gak keren-keren amat. Masing-masing anggota Barden Bella terbukti ngalamin ini. Bahkan Beca yang udah mewujudkan mimpinya jadi musik produser, keluar dari pekerjaan. Idealismenya enggak ketemu jalan nyambung ama ide kreatif klien. Jadi, para Bella sekarang punya waktu luang untuk ngumpul-ngumpul lagi. Mereka kangen nyanyi bareng. Diundang oleh ayah Aubrey yang tentara, Bella ikut tur USO – nyanyi keliling Eropa. Tapi tentu saja yang namanya tur, bukan mereka saja yang meramaikan acara. Barden Bella bertemu dengan grup musik lain, dan ‘teman-teman’ baru mereka itu actually bermain dengan alat musik. Ada grup rocker cewek, band country, juga duo musik elektronik. Mengetahui tur ini bisa saja adalah penampilan bareng terakhir mereka, Bella bertekad mempersembahkan yang terbaik. Supaya mereka terpilih sebagai band pembuka di acara puncak tur bersama pemusik DJ Khaled.

Aku sudah nonton Pitch Perfect (2012) lebih banyak dari yang seharusnya. Oke, aku ‘mungkin’ pernah muterin film ini nonstop seharian sambil belajar bikin sketch kala itu.. Aku-muternya-hampir-tiap-hari, aku ngaku. I was so surprised by that film. Kocak, pemainnya likeable, ceritanya seger banget – jika kita melihat ke belakang ke dunia perfilman saat itu -, anak kuliahan yang ingin mengerjakan yang ia suka – tentu kita bisa relate ke sana. Aku suka suara Anna Kendrick, aku juga suka lagu Cup yang kukasih Best Musical Performance untuk My Dirt Sheet Awards, Rebel Wilson’s antics, lagu-lagu mash upnya, kaki Alexis Knapp, ada banyak yang bisa disukai dari sana. Aku bahkan tahu The Breakfast Club (1985) dari film ini. Pitch Perfect actually adalah urutan paling wahid di daftar film favoritku tahun 2012. Dan tiga tahun setelah itu, sekuel film ini muncul. Nyaris dari nada ke nada, dari beat ke beat, filmnya mirip. Dan buatku Pitch Perfect 2 (2015) merupakan sedikit kekecewaan, but you know, kita gak bisa benar-benar mencibir mendengar lagu Flashlight dan melihat penampilan panggung DSM.

Tapi serius, aku gak pernah berharap Pitch Perfect dibikin sekuelnya. Apalagi jadi trilogi seperti kenyataan sekarang ini. Musik yang asik dan unik dan komedi dead-pan, itulah kekuatan utama franchise ini. Dan bahkan semua itu bisa jadi repetitif dan menjemukan jika terus dilakukan tanpa ada perubahan. Sepuluh menit pembuka film Pitch Perfect 3, kita mendengar akapela lagu Toxic, Barden Bella nyanyi di kapal alih-alih panggung, dan kemudian Fat Amy terjun dari langit-langit. Tak lama kemudian kapal tersebut meledak, para Bella loncat ke air.  And I was like, wow, MEREKA BERBEDA SEKARANG!

Stacie gak ikutaaaan huhuuu

 

Pitch Perfect 3 tampaknya mendengarkan koor suara penggemar, dan mereka dengan berani mengambil langkah gede untuk melakukan pembaruan di sana sini pada ceritanya. Mereka menambahkan elemen action, mereka menambahkan hal untuk dilakukan oleh para Bella selain bernyanyi dan melontarkan lelucon yang gitu melulu-melulu. Regarding menyanyi, film ini menaikkan permainan mereka. Untuk pertama kalinya, Barden Bella tampak gak yakin dengan akapela. Tidak banyak akapela yang kita dapatkan di sini, at least enggak sebanyak di dua film pendahulunya. Dan ini sesungguhnya bisa jadi pedang bermata dua; penonton yang ingin melihat mereka bernyanyi akapela akan jadi sedikit kurang puas, tapi untuk penonton yang menginginkan musik; well, film ini punya musik-musik bagus dari genre yang lebih beragam.

Jika kita melihat kembali dari film pertama, bila kita melihat gambaran utuh serial ini, Pitch Perfect 3 bekerja efektif sebagai bagian penutup. Mereka menggali masa lalu. Tokoh-tokoh mendapat penutup buat arc mereka, dan arc itu berlangsung dari film yang pertama. Beberapa tokoh mestinya bisa dipresentasikan dengan lebih baik lagi, tapi secara keseluruhan, film ini berhasil membungkus cerita  sama seperti yang dilakukan Cars 3 (2017) terhadap franchise Cars. At it’s heart, ini adalah tentang keluarga,  bahwa keluarga harus saling support, walaupun kadang tak selalu bersama. Dalam film sebelumnya, Bella sudah mengestablish bahwa mereka adalah keluarga, namun di sini mereka harus belajar memperluas keluarga mereka, bukan lagi semata soal tradisi. Satu adegan yang aku suka adalah ketika band lain mendadak nyanyi bareng, mereka melanggar aturan permainan Riff-Off, dan cewek-cewek kita enggak mengerti kenapa para pesaing mereka melakukan hal tersebut.

Barden Bella, terutama Beca, yang sudah berkompetisi dari dua film pertama, gagal untuk melihat bahwa hidup yang sebenarnya bukanlah sebuah perlombaan. Terutama dalam keluarga. Kita tidak saling bersaing dengan keluarga. Jikapun ada, maka lawan kita sesungguhnya adalah waktu. Karena kemenangan dalam hidup adalah ketika kita sebagai keluarga bersikap saling mendukung, tidak mengecewakan satu sama lain.

jadi kalo menang, jangan besar kepala

 

Ceritanya sendiri jadi terasa sangat padat, bukan dalam artian yang bagus. Kita melihat banyak cerita sampingan, di antaranya ada Fat Amy yang ketemu dengan bokapnya, ada Aubrey yang pengen ketemu sama bokapnya, ada Chloe yang lagi berflirt-flirt ria sama tentara pemandu mereka. Juga ada cerita tentang dua komentator acara (duet Elizabeth Banks-John Michael Higgins memberikan banyak sumbangan komedi) yang bernapsu untuk mendokumentasikan detik-detik kejatuhan Beca dan teman-teman. Mereka ngikutin ke mana Barden Bella pergi dengan komentar-komentar sarkas yang berhasil memancing gelak tawa penonton di studio. Kehadiran elemen-elemen narasi tersebut dibutuhkan dan integral sama tubuh besar cerita, cerita-cerita tersebut tidak tercampur dengan benar. Flownya enggak mulus.  Film ini berusaha menampung banyak, tapi penulisan tidak mampu merangkai semuanya dengan baik.

Dan tetap saja ada yang tokoh yang gak kebagian, mereka hanya dapat sepatah dua patah kalimat. Hailee Steinfeld is barely there, aktris ini underutilized banget padahal kita udah melihat sebagus apa dia jika diberikan kesempatan. Malahan, kebanyakan pemain film di sini menyuguhkan akting yang membuat kita berharap mereka dapat unjuk kebolehan di film yang terstruktur lebih baik. Rebel Wilson, khususnya, sangat bersinar di film ini. Komedi-komedi yang bekerja baik itu datang darinya. Dia juga hilarious di bagian aksi.

 

 

Berusaha menjadi lebih besar, film ini nekat menjadikan root yang udah bikin dirinya digemari penonton sebagai nomor dua. Film ini melakukan seperti apa yang dilakukan oleh tokoh utamanya; ngemash up genre, sayangnya kadang yang miss terasa lebih banyak dibandingkan yang hit. Bagaimana pun juga, sebagai penutup, film ini berhasil menunaikan tugasnya. Ceritanya terasa konklusif. Messy sebagai diri sendiri, akan tetapi film ini cukup bersinkronisasi dengan dua film sebelumnya. Jikapun ada masalah yang kita temui, maka itu adalah lantaran seri ini enggak perlu banget dibikin sekuel sedari awal. Lebih baik dari yang kedua, namun itu enggak berarti banyak.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for PITCH PERFECT 3.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

AYAT-AYAT CINTA 2 Review

“Real people aren’t perfect.”

 

 

 

Tinggi-tinggi sekolah, ujungnya di dapur juga. Orang jaman dulu begitu tuh pandangannya, cewek gausah belajar pinter-pinter, tahan deh mimpi-mimpi itu, salurkan semuanya untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Istri yang berdedikasi. Tapi ya itu flashback bertahun-tahun yang lalu. Sekarang udah 2017. Pemikiran orang semakin dewasa. Banyak yang sudah berubah. Sembilan tahun yang lalu aja, waktu film Ayat-Ayat Cinta yang pertama keluar, aku masih belum peduli sama film. Apalagi film Indonesia.  Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir saat menonton sekuelnya ini. Karena bagi Ayat-Ayat Cinta 2, waktu berjalan di tempat. Kita malah musti sedikit menyejajarkan diri ke belakang untuk dapat menikmati film ini.

Bukan berarti tidak ada yang berubah dalam kehidupan Fahri (ekspresi melotot Fedi Nuril kadang-kadang kocak juga). Sekarang pria ini adalah seorang dosen di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Menjadi muslim di sana berarti menjadi minoritas. Fahri harus berurusan dengan pandangan-pandangan menghakimi, kerendahhatiannya tak dipandang oleh orang-orang yang marah atas peristiwa terorisme yang di berbagai belahan dunia. Tetangga Fahri, misalnya, Keira (Chelsea Islan sepertinya dilahirkan dengan dandanan pemain biola, cocok banget) dan adiknya blak-blakan menuding Fahri teroris. Mereka ‘meneror’ mobil Fahri sebagai wujud kebencian. Namun hal ini tidak mengusik si sabar Fahri segede kepergian Aisha menghantuinya. Sang istri diduga menjadi korban pengeboman di Palestina dan sejak itu Fahri gundah dengan kekosongan di hatinya. Kharisma cowok ini membuatnya populer di kalangan cewek-cewek, apalagi mahasiswinya, tapi dia menolak mereka semua.

Di saat film-film kekinian berlomba menulis tokoh wanita yang independen dan punya ‘strength’, film ini membuat tokoh-tokoh wanitanya terlibat dalam semacam kompetisi demi mendapatkan hati Fahri. Bahkan Sabina (Dewi Sandra banyak berekspresi dengan matanya saja), muslimah berkerudung yang ditampung Fahri sebagai asisten rumah tangga, tampak sedikit banyak memendam sesuatu terhadap Fahri. Dan kemudian muncullah Hulya (cowok mana sih yang keberatan kalo Tatjana Saphira yang motong pembicaraan mereka?) yang punya ‘keunggulan’ sebagai sepupu Aisha. Dengan cepat mereka menjadi akrab. So I guess, kita semua kudu penasaran, siapa yang akan dipilih oleh Fahri.

Tatjana dan Chelsea satu film, rahmat mana lagi yang engkau dustakan?

 

Atmosfernya terasa sangat grande, tata musiknya, gambarnya, desain produksi film ini termasuk di level atas. Penampilan aktingnya juga tepat mengenai sasaran nada dan emosi yang ingin disampaikan – kecuali adik cowok si Keira. Duduk di studio, di lautan penonton berambut panjang dan sebagian besar lainnya berhijab (aku paling ganteng dong!), babak set up film ini cukup menarik buatku. Ada beberapa aspek seperti Fahri yang beribadah di dalam kelas sebelum mengajar – enggak di belakang kelas, dia harus banget melakukannya di depan mata semua murid yang berasal dari latar yang berbeda-beda – yang tampak intriguing. Aku juga suka gimana mereka memanfaatkan cadar ke dalam penceritaan.  Namun, lama kelamaan, frekuensi aku menguap dengan mata kering menjadi semakin sering. Sampai ke titik aku tidak tahan melihat Fahri, karena tokoh utama idaman wanita ini begitu membosankan. Dia terlalu jauh dari kita.

Tokoh-tokoh superhero seperti Wonder Woman, mati-matian ditulis sangat grounded agar mereka tampak seperti manusia biasa, diselipkan adegan-adegan kecil yang memanusiawikan mereka, tidak melulu mereka superpower. Thor yang dewa, dibikin jadi konyol dalam Thor: Ragnarok (2017) juga dengan alasan ini; supaya kita relate ke dia. Ayat-Ayat Cinta 2, sebaliknya, punya Fahri yang seorang manusia biasa namun dibuat setinggi mungkin, semulia mungkin, tokoh ini punya kebaikan dan kesabaran kayak Nabi Muhammad sekaligus diceritakan punya ketampanan yang membuat wanita tergila-gila kayak Nabi Yusuf, sempurna sekali. Dia lebih baik dari superhero manapun. Fahri’s thing is he does right things. Sedikit saja kekurangan, mungkin bikin dia miskin atau apa, bisa membuat cerita lebih menarik. Membuat perjalanannya lebih compelling. Satu-satunya cela karakter Fahri di film ini adalah dia nutupin perasaannya sendiri.

Terlalu sempurna adalah kecacatan. Dan hal itu tidak membuat film yang bagus.

 

Benar film ini mengeksplorasi komentar sosial perihal Islam di mata publik; film ini relevan karena menyinggung isu-isu seperti bagaimana kedudukan wanita di mata Islam, bagaimana pandangan Islam terhadap perang dan terorisme. Akan tetapi, seperti yang di-foreshadow oleh salah satu adegannya, film ini tidak mengeksplorasinya lebih dalam. Film tidak menjatuhkan ‘bola’ kesempatan itu. Dia menusuknya dan mengempeskan semua hal-hal menarik yang mestinya dapat dikandung oleh cerita. Rintangan-rintangan yang dialami Fahri selesai dengan gampang, dalam rentang waktu satu adegan sahaja. Fahri punya semua jawaban. Menurutku bagus juga kebaikan dan amal soleh yang dilakukan oleh Fahri yang actually bicara tentang siapa Fahri kepada orang-orang, namun ini membuat dia seperti missing-in-action. Seperti ketika ditanya mahasiswa sok-pinter di kelas, Hulya yang memotong dan menyelesaikan jawaban. Pada sekuen adegan debat ilmiah yang dengan cepat menjadi personal, Fahri sama sekali gak membela diri, seorang nenek yang eventually stand up for him, membuatku kepikiran mungkin sebaiknya film ini mengganti tokoh utamanya.

Ketika mengadaptasi novel menjadi film, keputusan kreatif sepenuhnya di tangan pembuat film. Akan selalu ada tuntutan untuk setia dan sesama mungkin dengan novel sumbernya, namun pada dasarnya film berbeda dengan novel. Ada aturan-aturan penulisan screenplay; ada kewajiban untuk menjadikan film sebagai perjalanan tokoh. Tokoh kita harus engage penonton. Perubahan-perubahan kreatif demi alasan tersebut, hukumnya wajib untuk dilakukan. Katakanlah karena terlalu sempurna – sedangkan tokoh utama yang menarik adalah yang sedikit ‘bengkok’, Fahri enggak mesti jadi tokoh utama. Cerita bisa ditranslasi ke dalam sudut pandang tokoh lain. Keira bisa menjadi tokoh utama yang menarik di cerita ini – jika mereka mau mengubah arcnya sedikit. Atau Sabina. Aku gak mau spoiler banyak, but I tell you this: perhatikan tokoh ini baik-baik.

Asal jangan Hulya sih. Maksudku, tokoh ini karakternya apa sih? Apa yang ia lakukan, apa motivasi terdalamnya? Hulya adalah wanita yang pintar. Dia cukup mandiri. Tapi dia cuma ngikutin ke mana Fahri pergi. That’s it. Itulah karakter Hulya. Dia muncul gitu aja, dan undur diri dalam sirkumstansi yang random banget. Mereka harusnya bisa mengonstruksi konfrontasi final dengan lebih baik, di set up dengan lebih perhatian, tapi enggak. Bagian itu terjadi di suatu rest area pom bensin. Kebetulan yang mencengangkan, mukjizat,  pemirsa!

Perbuatan baik dapat pahala, perbuatan jahat bakal dikasih Fahri piala

 

 

Film ini ‘malas’ seperti itu. Sungguh ironis lantaran film ini lewat salah satu dialognya yang bukan eksposisi menasehati kita dengan  “Niat baik tanpa effort, dapat merusak hasil.” Dan turns out, film ini adalah perwujudan dari kalimat tersebut. Naskah film pada ujungnya hanya mengerucut menjadi drama-drama romansa yang over–the-top. Emosinya begitu melodramatis. Contoh simpel film ini favoring ke dramatis yang sintesis adalah mereka membuat adegan seorang ustadz yang berjalan dengan slow motion di dalam mesjid. Dibuat mendekat perlahan supaya tampak intens. I mean, natural aja di mesjid kan memang jalannya pelan-pelan, dan untuk membuat si ustadz tampak marah, mereka malah memelankan lagi yang udah pelan itu.  It really takes away the moment, karena padahal kalo mau bikin adegan yang ngekonflik  ya sekalian bikin ustadznya setengah berlari geram menuju Fahri.

Aku gak bisa menyimpulkan arc tokoh Fahri. Apa yang ia pelajari dari kejadian-kejadian penuh twist yang terjadi padanya. Aku semula mengira ini adalah soal Fahri yang belajar bahwa terlalu sempurna itu enggak baik, dia harus jujur pada diri sendiri.  Bahwa  tidak ada orang-orang nyata yang sempurna. Tapi enggak. Di akhir hari, film ini bicara tentang betapa pentingnya penampilan fisik. Mestinya cinta itu karena hati – cantik jelek tidak jadi soal. Di sini, kita punya seorang wanita yang merasa sudha begitu rusak physically, dia bersembunyi dari suaminya, dan dia setuju untuk berubah – out of insecurity – dan demi menyenangkan orang lain. Buatku it  just feels so wrong.

Dan ya, aku setuju dengan kalian yang menyebut ending film ini menggelikan. Ini adalah momen penting pada film. Banyak tokoh yang hidupnya berubah karena proses setelah ending tersebut. Tapi ketika kita melihat ke belakang, film ini bertempat di Britania Raya alasannya bukan lagi karena di sana adalah tempat dengan kebudayaan yang beragam, dengan perbedaan yang meriah. Melainkan agar aspek operasi di akhir cerita jadi mungkin untuk terjadi. Dan ini benar-benar menurunkan nilai dan kepentingan film.

Melihat Fahri yang begitu tinggi menjunjung toleransi, takpelak mengundang buah pemikiran; benarkah kita harus menoleransi yang tidak toleran? Jika dipikir-pikir, toleransi adalah sebuah paradoks. Katakanlah jika di bulan puasa kita menghormati yang tidak berpuasa – warung bebas dibuka, orang-orang tetap makan minum di jalan, maka di mana jadinya letak toleransi terhadap yang lagu berpuasa? Karl Popper, seorang filosofis, bilang ketika kita extend toleransi shingga ornag-orang bisa openly intolerance, maka yang toleran akan hilang bersama dengan sikap toleransi itu. Kesimpulannya adalah kebablasan toleransi akan membunuh sikap itu sendiri, dan guna mempertahankan toleransi kita butuh untuk enggak toleran terhadap yang gak-toleran.

 

 

 

Fahri bilang kita kadang harus mundur sedikit untuk dapat melompat lebih lanjut. Tapi film ini mengambil kemunduran yang terlalu jauh, dan akhirnya jatuh. Ini adalah film yang bagus jika ditonton di jaman Siti Nurbaya masih disuruh kawin. Dibawa ke jaman kekinian, generasi now, tokoh-tokoh film ini sangat outdated. Isu kekiniannya ditinggalkan begitu saja demi drama dan romansa yang digali berlebih-lebihan. Bicara tentang putting women in pedestal, namun twist film ini mendorong jatuh para wanita itu dari pedestalnya dalam setiap kesempatan. Tapinya lagi, mungkin kita memang masih berada di jaman jahiliyah sehingga masih bisa terbuai oleh ayat-ayat drama seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for AYAT-AYAT CINTA 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

CALL ME BY YOUR NAME Review

“Without continuity, men would become like flies in summer”

 

 

FILM INI ENGGAK LURUS. Kalian tahu, sebuah film ditulis dengan mengacu kepada struktur penceritaan. Ada kaidah-kaidah dalam merangkai poin cerita. Ketika seseorang menulis naskah, maka traditionally, dia kudu ngikutin peraturan. Sepuluh menit pertama film harus bisa melandaskan apa motivasi tokoh utamanya, harus ada pengenalan antagonis, kemudian meit-menit berikutnya disambung dengan kejadian yang harus diatasi oleh tokoh utama – ada ‘inciting incident’ yang menjadi awal rintangan yang dialami oleh perjalanan tokoh utama. Call Me by Your Name tidak pernah straight ngikut aturan nulis screenplay itu. Ceritanya dengan sengaja ngelantur ke mana-mana. Terkadang terasa film ini bercerita dengan sangat malas. Tokoh-tokohnya berkeliaran gitu aja di sepanjang musim panas itu. Aku adalah orang yang bisa dibilang konservatif, aku suka jika semua runut sesuai format karena mengapa mengubah sesuatu yang tak rusak. Meskipun begitu, aku enggak necessarily menentang pembaharuan. Terutama jika hal-hal baru tersebut beralasan.

Pada film ini, semua pilihan menyimpang yang diambil – yang dilakukan – regarding to the storytelling, mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Film ini bahkan bukan sebuah perjalanan, ini adalah sebuah discovery. Dan film ini sangat romantis dalam melakukannya.

 

Elio disuruh mengantar Oliver ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar tidurnya. Itu artinya Elio harus berbagi kamar mandi dengan pria Amerika asing tersebut. Oliver datang ke Itali sebagai asisten penelitian, dia bekerja di bawah ayah Elio, musim panas itu dia ditugasin buat bantu-bantu. Elio yang mendadak jadi kebagian tugas ‘memandu tamu’ menjadi dekat dengan Oliver. Mereka naik sepeda mengunjungi berbagai tempat. Oliver ketemu banyak orang. Elio pun mengamati, semua orang – kerabat, keluarga, sahabat – suka dengan pribadi Oliver. Semakin dekat dan akrabnya hubungan mereka, Elio merasakan sesuatu pada dirinya yang tak pernah ia tahu.

kemudian dia juga sadar, di rumahnya banyak lalat

 

 

Selagi kita melihat tokoh-tokoh itu mengeksplorasi banyak hal tentang hubungan mereka, film ini menjelma menjadi sesuatu yang terasa amat nyata. Timothee Chalamet dan Armie Hammer punya chemistry yang menggelora sebagai Elio dan Oliver. Arahan sutradara Luca Guadagnino membawa yang terbaik dari penampilan mereka. Adegan terakhir – tujuh menit shot kamera ke wajah Elio – benar-benar bercerita banyak, sebuah adegan yang tak bisa tercapai jika ditangani dan dimainkan dengan ngasal.

Menelaah kembali film ini, setiap momen random, Eliot hanya duduk di pinggir kolam menulis musik, mereka bercengkerama di pesta, mereka ngobrol di meja makan sarapan telur, perasaan lingkungan sekitar film ini kerasa seolah kita berada di sana. Menonton mereka enggak kayak menonton film, tokoh-tokoh ini begitu bebas – mereka tidak bergerak sesuai struktur – lokasinya gerah, dan semua itu tertangkap dengan sangat baik. Saat mereka duduk di kafe pinggir jalan, misalnya. sense of realism menguar kuat sebab film menggunakan desain suara yang apa adanya, Ellio harus membesarkan suaranya karena ada mobil yang lewat, dan suara mobil itu pun enggak dihilangkan, penonton dibiarkan mendengar seolah kita ikut duduk di dekat Ellio dan Oliver.

Cerita film ini tidak membuka seperti pada film kebanyakan. Malahan, film ini bisa menjadi membosankan oleh sebab pace cerita yang sengaja banget dilambat-lambatin. Kita melihat aktivitas mereka setiap hari, kadang mereka Cuma duduk saja melihat pemandangan, kemudian mereka berenang tanpa alasan, adegan-adegan itu tampak hadir begitu saja. Beberapa dari adegan tersebut tampak memiliki makna dan ada juga beberapa yang tampak pretentious, yang kita sama sekali gak bisa menebak ni sutradara ngeliatin visual doang apa gimana. Call Me by Your Name banyak memperlihatkan adegan yang gak perlu kita lihat, akan tetapi dalam konteks film ini tidak ada satu adegan yang less important dibanding adegan yang lain. Film ini ingin memperlihatkan apa yang para tokoh lakukan di jendela timeline cerita, dan memang itulah yang kita lihat. Para karakter tidak diberikan arc yang jelas, malahan kita tidak pernah benar-benar diberitahu siapa mereka pada awalnya. Khususnya si Oliver, film hanya memberikan informasi sebatas yang kita perlu tahu, dan betapa menurutku akan lebih baik jika kita diberikan sedikit lebih banyak backstory sehingga kita bisa lebih terattach kepada mereka, film tetap membuat mereka berjarak. Emosi itu sedikit demi sedikit terbangun, dan di babak ketiga, dampak kejadian-kejadian tersebut akan menyergap kita. Karena sesungguhnya ini adalah cerita yang kompleks, terutama karena film juga tidak memberikan jawaban yang mudah kepada karakter-karakternya taas situasi yang mereka rasakan.

Jadi pada akhirnya apa yang tadinya jauh dan terlihat menyebalkan, dengan pacing lambat, karakter yang asing, lokasi yang indah tapi panas, film ini berubah menjadi sesuatu yang susah untuk kita abaikan. Seperti lalat yang berdengung di telinga. Film ini akan berseliweran di kepala kita.

serius deh, “banyak lalat di kotamuuhuu, gara-gara ka-mu~”

 

Dengan arahan yang sangat detil, dengan dialog-dialog yang dirangkai precise sehingga membuat kita tertarik untuk terus mengikuti, sungguh aneh kenapa kita melihat banyak lalat di dalam nyaris setiap frame. Ada lalat di mana-mana. Di buku catatan Elio. Di pinggir kolam. Di piano.  Mungkin lokasi syuting mereka benar-benar tempat yang penuh lalat, dan mereka gak mau jatoh konyol dengan menghapusnya dengan CGI. Tadinya aku berpikir begitu. Bahwa lalat itu cuma kebetulan, atau malah hanya hiasan untuk menambah kesan nyata; film ini begitu nyatanya sehingga para penonton seolah seperti lalat yang ada di sana menyaksikan langsung segala peristiwa. Namun kemudian di adegan ending yang tujuh menit close up wajah Elio itu, kehadiran lalat di sini sangat on-point. Jadi, aku berpikir, pastilah ini si sutradara sengaja! Agak bego sih ngomongin lalat, tapi sepertinya film ini menggunakan METAFORA LALAT dalam membungkus ceritanya. Bahwa lalat datang dan pergi, seperti musim panas buat Elio dan Oliver. Kurun kecil namun berarti besar bagi mereka, di mana mereka menemukan sesuatu di dalam diri mereka. Waktu tersebut, apa yang mereka punya di momen itu, berakhir just like that.

Pemenang Best Picture Oscar tahun 2017, Moonlight, punya tema yang sama dengan Call Me by Your Name. Tentang anak muda yang ga yakin sama hal yang ia temukan ada pada dirinya, tentang lifestyle yang berkonflik dengan keadaan sekitarnya. Elio diceritakan punya pacar, seorang gadis yang sudah jadi teman baiknya sejak kecil, dan kita lihat bagaimana Elio actually ‘membandingkan’ antara cewek ini dengan Oliver. Ada konflik di sini atas apa yang ia rasakan dengan sekitarnya, namun tidak seperti pada Moonlight, tokoh-tokoh Call Me by Your Name tidak mendapat konfrontasi. Mereka tidak punya banyak hal untuk dkhawatirkan. Kesulitan yang sekiranya timbul dari pilihan hidup mereka tidak terasa kuat. Menurutku, film ini perlu suntikan drama sedikit lagi. Mestinya ada lebih banyak rintangan di luar kurun waktu kejadian dan situasi yang memisahkan mereka.

 

 

 

Jika cukup open-minded, kita akan bisa menghargai pilihan yang diambil oleh penceritaan sebagai sebuah film. Karena ia memang sengaja dibuat enggak lurus. Dan aku bahkan belum ngomongin orientasi tokohnya. Namun yang pelru diingat adalah lewat pengarahan dan penampilan akting yang benar-benar baik, film ini tidak meminta respek tersebut. Real, dikonstruksi dengan indah, film ini hanya memperlihatkan sesuatu aspek yang tidak lagi bisa kita abaikan.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for CALL ME BY YOUR NAME.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

BATTLE OF THE SEXES Review

“Gender equality is not a woman’s issue. It is a human issue.”

 

 

Meskipun cowok secara fisik banyak yang lebih kuat, cewek kalo udah ngamuk bisa lebih garang. Tidak ada gender yang lebih superior. Begitupun tidak ada ras, suku, agama, ataupun ideologi yang lebih baik daripada yang lain. Semua golongan punya kelemahan, makanya hal tersebut tidak lantas membuat golongan tertentu jadi inferior. Sebab semuanya akan saling membutuhkan; Wanita adalah satu-satunya gender yang bisa menciptakan kehidupan, namun mereka butuh Pria melaksanakan proses tersebut.

 

Tapinya lagi, jika memang demikian – pria dan wanita diciptakan sama – kenapa petenis wanita dibayar jauh lebih rendah daripada pria? Kenapa, di tahun 1973 itu, dirinya dan rekan-rekan seprofesi harus mengalah kepada dominasi pria dengan alasan tenis adalah olahraga fisik? Maka Billie Jean King lantas berjuang. Dirinya yang sudah mengantongi banyak gelar juara, membentuk acara tenis tandingan, yang kesemua atllitnya perempuan. Dan kemudian peristiwa penting dalam sejarah olahraga, khususnya tenis, itu terjadi; seorang veteran dan mantan juara, Bobby Riggs, menantang petenis wanita demi membuktikan bahwa pria, bahkan yang sudah gaek seperi dirinya, lebih baik dan pantas untuk dihargai lebih tinggi daripada petenis wanita.

Sisanya memang sudah tertulis dalam buku sejarah, dan film ini tahu untuk enggak bikin kita bosan dengan kisah hidup Billie Jean. Alih-alih membahas tokoh ini sedari kecil, film memfokuskan kita kepada peristiwa-peristiwa yang membuild up pertandingan tenis cowok lawan cewek yang udah mengubah pandangan dunia olahraga terhadap perbedaan gender.  Sehubungan dengan itu, kita juga melihat cerita romansa Billie Jean yang sempat dirahasiakan ke publik. Billie Jean yang sudah bersuami, menemukan dirinya menumbuhkan perasaan kepada seorang penata rambut wanita, dan elemen ini actually integral dengan perkembangan karakter Billie Jean. Kita bisa ngerasain konflik internal di dalam dirinya tumbuh karena dia sudah ngedevelop perasaan yang sangat mendalam kepada wanita ini, namun dia juga menyintai suaminya, dan apakah memilih yang satu dibanding yang lain membuatnya juga sama dengan pihak yang ingin dia buktikan sesuatu atau apakah pilihan itu dapat dimaknai sebagai dia memang memegang teguh persamaan dan kesetaraan gender.

aku punya temen cewek yang bisa membuat babak belur….. nilai-nilaiku di dalam kelas

 

Banyak pujian yang dilayangkan kepada film ini sesungguhnya dialamatkan kepada para pemain, terutama dua aktor leadnya. Emma Stone bukan hanya mirip sama Billie Jean King yang asli, namun ketika kita melihatnya berkacamata dan pegang raket itu, kita tidak lagi melihat Emma Stone. Pendekatan yang diambill oleh Stone untuk menghidupkan karakter ini adalah dia mempersembahkan diri sebagai publik figure yang ‘tertutup’. Billie Jean tampak sedikit pemalu. Tetapi jika bahan obrolan sudah menyangkut petenis wanita yang dianggap kurang menjual, dia akan tersulut while maintaining apa yang dia percaya. “Di situlah letak salahnya kalian. Aku bertanding bukan untuk menunjukkan wanita lebih baik. Aku ingin membuktikan bahwa kami sama.” jawabnya saat ditanya wartawan.

Steve Carell juga bermain dengan sama meleburnya sebagai veteran 55 tahun yang melihat pertandingan tenis mereka lebih sebagai sebuah panggung hiburan. Sikap dan aksen Carell sebagai Riggs di sini kadang tampak kayak Gru di Despicable Me banget, tapi ini hanya membuktikan bahwa Carell masih bisa tampil menghibur. Bobby Riggs punya kebiasaan berjudi, dan ini digali oleh film sebagai motivasi dan konflik personalnya. Demi mengembalikan lampu sorot ketenaran itu, Riggs menantang petenis wanita yang lebih muda. Bagi Riggs, ini adalah tindakan gamble yang paling menguntungkan. Karena, menang atau kalah bertanding, dia tetap ‘menang’. Popularitasnya sudah terestore dengan segala publikasi itu, dan orang ini tahu betul bagaimana memainkan ‘peran’nya di dalam pertandingan itu. Bagi Billie Jean, sebaliknya, satu-satunya cara ‘menang’ adalah dengan menang. Jika dia kalah, bukan hanya dipermalukan, dia juga tidak akan bisa lagi hidup tenang lantaran apa yang ia percaya tidak bisa ia capai.

 

Dan dalam menggali seteru tersebutlah Battle of the Sexes tidak pernah benar-benar menjadi sebuah smash yang memuaskan.

Antagonis adalah orang yang menjadi rintangan, orang yang menghalangi protagonis mencapai tujuan personalnya. Antagonis ini enggak selalu mesti selalu jahat, sebagaimana protagonist juga bukan selamanya baik. Film yang menarik adalah film yang bisa mengaburkan jahat-baik itu. Battle of the Sexes terlalu ringan dalam menggali elemen cewek melawan cowoknya. Bahkan terasa lebih komikal dari pada Barden Bella melawan Treblemaker di film Pitch Perfect (2012). Pihak Riggs, dan produser, dan cowok-cowok oposisi dibuat sangat close-minded sehingga terasa dibuat-buat, hampir seperti bergerak dalam konteks mereka sengaja melakukannya. Ada upaya untuk memanusiawikan si Riggs, memperlihatkan hubungan dia dengan istri dan anaknya; ada masalah di dalam keluarga Riggs sehubungan dengan kebiasaannya berjudi, hanya saja anehnya terasa dibuat-buat – apalagi jika kita membandingkannya dengan motivasi personal Billie Jean.

kalo ada yang bisa dipelajari dari film-film 2017, maka itu adalah hormati wanita. Titik.

 

Perasaan disingenuous yang dikuarkan film ini sampai pada titik aku tidak lagi menganggap pertandingan itu kontes beneran. Beberapa waktu, aku merasa Riggs tidak tampak pengen menang, dia tampak hanya ingin memancing ‘heat’ supaya pertandingan mereka jadi lebih appealing buat banyak orang. Hampir seperti gimmick. Dan mungkin memang seperti itu; bahwa mungkin tadinya Riggs sengaja berakting sugar daddy dan segala macam supaya penonton semakin tertarik, dan di tengah-tengah game – demi melihat kesungguhan Billie Jean, naluri olahragawannya kepincut, dan dia serius berusaha untuk menang, tapi ini hanya membuat stake perjuangan Billie Jean mengendur. Perjuangannya seperti diatur oleh sekelompok orang dan dia enggak sadar akan hal itu.

Dan lebih kepada pria melawan wanita, pertandingan mereka malah terasa seperti pertandingan antarumur. Ketika film memperlihatkan Billie Jean berlatih dengan determinasi, Riggs ditunjukkan sedang berpesta. Untuk persiapan, Riggs tidak latihan dan hanya menelan berbagai vitamin. It works dalam konteks dia sesumbar, dia menyepelekan wanita. Tapi tentu saja, ada faktor umur dan kesehatan yang mengambil tempat karenanya. Poinku adalah, pertandingan penting tersebut, tidak lagi benar-benar tampak penting karena outcomenya bisa dipengaruhi oelh banyak hal. Film tidak berhasil membuat equality, ataupun simpelnya, pertarungan gender mencuat di sini. Dan secara struktur, ini disebabkan oleh film hanya mengembangkan personal goal. Sedangkan story goalnya, satu tujuan yang secara paralel ingin dicapai oleh seluruh tokoh, kurang mendapat pengembangan atau kurang diperhitungkan – spektrum goalnya bisa menjadi terlalu luas.

Dalam pertandingan tenis, skor nol disebut dengan ‘love’. Penjelasan yang ada adalah kata tersebut berasal dari bahasa Perancis yang berarti telur. Namun jika dikaitkan dengan konteks cerita film ini, love itu benar-benar literally berarti cinta. Karena dalam tenis, kadang hanya cinta yang kita punya; hanya cinta yang membuat orang-orang seperti Billie Jean King dan Bobby Riggs berjuang.

 

 

 

Penampilan akting yang kuat, perseteruan yang menarik – hampir-hampir seperti build up feud di WWE minus kekerasan dan talk trash – film ini akan menarik buat banyak penonton. Ini jauh dari film yang buruk. Cerita dengan pesan yang mudah dicerna. Dia juga punya kepentingan, karena maslaah yang dihadapi Billie Jean di tahun 1973 tersebut masih belum hilang dan tuntas hingga sekarang, Karenanya aku menyayangkan penggalian kurang berdaging. Seolah tokoh Bobby Riggs yang menulis film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BATTLE OF THE SEXES.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017.

THE MOUNTAIN BETWEEN US Review

“Long-term relationships, the ones that matter, are all about weathering the peaks and the valleys.”

 

 

 

Berada dalam sebuah relationship adalah sebuah kerja keras. Mempertahankan hubungan itu udah kayak berjuang bertahan hidup. The Mountain Between Us adalah cerita tentang keduanya; cerita survival dua orang yang terdampar di pegunungan bersalju. Sekaligus sebuah cerita romansa tentang dua orang yang tak menyangka mereka harus bekerja sama, saling support satu sama lain, demi melewati situasi yang sulit.

 

Penerbangan di Bandara Idaho terkendala oleh cuaca. Semua jadwal ditunda oleh kemungkinan datangnya badai salju. Membuat seorang jurnalis fotografi, Alex (tentu saja Kate Winslet bisa meranin cewek yang tangguh), seperti orang kebakaran jenggot. Besok dia akan menikah, jadi mana sudi terkunci di bandara. Tak beberapa jauh darinya, seorang dokter bernama Ben (ini adalah peran romantis pertama bagi Idris Elba) juga tampak angot ngobrol sama petugas bandara. Ada pasien yang harus segera ia tangani. Senang ngeliat ada orang dengan tujuan yang sama, Alex ngajakin Ben untuk berangkat dengan menyewa pesawat kecil. Mungkin takdir memang ingin melihat mereka bersama, pesawat carteran mereka jatuh, dan mereka mendarat dengan amat sangat tak-mulus di puncak gunung salju. Kondisi yang kritis, kaki Alex terluka, pilotnya tewas, untung Ben seorang dokter, dan di pesawat ada beberapa persedian makanan. Dan anjing si pilot yang setia. Namun sesungguhnya yang mereka punya hanyalah percakapan di antara mereka berdua yang sama sekali orang asing. Mereka harus belajar saling mengenal, saling membantu, dengan harapan mereka bisa selamat dari situasi yang berbahaya tersebut.

Di sana gunung, di sini gunung. Di tengah-tengah ada aku dan kamyuuu

 

Fakta bahwa Winslet dan Elba adalah pemain film yang fantastis membuat kita seketika peduli sama kedua tokoh mereka. Kita pengen liat Alex dan Ben selamat. Dan di atas itu semua, kita pengen jawaban yang sweet terhadap pertanyaan yang mendegup di hati kita; Alex dan Ben bakalan jadi sepasang kekasih gak sih? Film dengan cermat melandaskan betapa kedua orang ini tidak digariskan untuk hidup bersama. Ben sudah beristri, dan Alex, jika enggak nyangkut di gunung, pastilah sudah jadi istri orang. Yang harus digali oleh film ini adalah bagaimana proses mereka menjadi dekat, bukan saja karena mereka harus bekerja sama supaya bisa hidup, juga karena perasaan akrab itu timbul secara lebih personal.

Kate Winslet dan Idris Elba tidak akan menyuguhkan penampilan yang mengecewakan, aku pikir kita semua sudah tahu itu, dan tentu saja kita mengharapkan penampilan yang luar biasa menyakinkan dari mereka berdua. Elba seperti biasanya memang bermain menawan. Tokohnya adalah seorang yang punya masa lalu yang menyakitkan, dan kita dapat merasakan dia begitu terhantui karenanya. Winslet juga bermain dengan segenap hati, namun tokohnya di sini agak sedikit annoying buatku. Alex bukan penampilan terbaiknya. Masalah ini terutama datang dari penulisan, juga arahan yang enggak berhasil menggali apa yang cerita seperti ini perlukan.

Justru, aspek romansa di antara merekalah yang terutama melongsorkan film. Alih-alih mengolahnya dengan menarik, dialog-dialog film ini terdengar cheesy. Pencerminan survival di gunung dengan bertahan di dalam cinta dibuat sangat obvious sehingga tak menarik minat untuk menyimak pembicaraan mereka. Penulisan karakternya lemah, poin poin keputusan mereka dipancing oleh adegan-adegan yang overly melodramatis. Misalnya ketika mereka cari-carian di hutan, Alex teriak-teriak manggil nama Ben, dan kemudian dia jatuh ke dalam air, byuurrr, Ben pun terjun menyelamatkannya. Beneran, menulisnya saja aku sudah nyengir. Tapi adegan itu bukan apa-apa dibandingkan adegan ending film ini. Wuihhh, maha nyengir deh! Aku enggak ingat kapan terakhir kali aku melihat adegan secheesy itu di film Barat. Geli ngeliatnya haha!

 

Film ini sebenarnya punya sinematografi yang cakep. Gunung es dan padang putih itu ditembak dari sudut pandang yang membuat kita lupa narik napas. Sayangnya, keindahan tersebut tidak dibarengi dengan arahan yang unik. Ada perbedaan mendasar antara sinematografi dengan directing, kalian tahu, kadang kita sering bingung apa bedanya; kalo kita melihat film yang cantik, kita sering bertanya-tanya sendiri ini kerjaan sutradaranya atau karena kamera dan pemandangannya yang bagus sih. Well yea, kalo kita bekerja dengan sinematografer yang handal , maka tentu saja mereka akan memberikan hasil gambar yang menakjubkan. Kalo kita motion pemandangan, terang saja hasilnya kece. Nah,  tugas sutradara adalah berkomunikasi dengan juru kamera mengenai pengambilan gambar yang punya energi, yang punya kepentingan yang sesuai dengan film,  yang tujuannya tentu saja supaya film mengalir dengan benar. Supaya pacing dan pengadeganannya menarik. The Mountain Between Us punya gambar-gambar yang jelita, tetapi diarahkan dengan membosankan. Hampir tidak ada visi dari penempatan, ataupun dari flow narasi.

Naik kapal, nabrak gunung es. Naik pesawat, jatuh di gunung salju ckckck

 

Sebagai film survival, juga film ini tidak mampu mencapai keefektifan yang tinggi. Penyelesaian untuk masalah-masalah yang kedua tokoh ini hadapi dalam rangka bertahan hidup tampak sangat convenience; tampak mudah. Mereka nemu pondok kosong, mereka dapat persediaan makan sehingga mereka bisa bertahan tiga hari. Angka tiga tampaknya memang jadi angka keramat di sini, karena kaki Alex yang terkilir dapat sembuh setelah dia berjalan di dalam salju selama tiga hari. Ajaib, memang, film menyuruh kita untuk mempercayai itu. Para tokoh tidak pernah tampak benar-benar takut, mereka memang menyebut ingin hidup, tetapi mereka tidak kelihatan mencemaskan nasib mereka. Perjuangan hidup mereka tidak tertonjolkan. Praktisnya, mereka selalu menemukan apa yang mereka butuhkan. Dan mereka punya anjing yang paling patuh dan paling setia sedunia. Aku gak bisa membayangkan gimana perjuangan si anjing ngikutin sepasang manusia yang penuh drama ini. I mean, buat Alex dan Ben aja salju yang mereka lewati udah setinggi lutut, gimana cara si anjing berjalan ngikutin mereka coba.

Kita enggak bisa yakin kita bakal terdampar sama siapa. Tapi kita bisa memilih; untuk berjuang bersama, untuk mengalami ups-downs bareng, survival dalam cinta adalah soal siapa yang bertahan di sampingmu bahkan ketika situasi menjadi serba-berat.

 

 

 

Sungguh mengecewakan film ini gagal baik sebagai cerita cinta maupun kisah bertahan hidup. Penampilan akting yang baik, tampilan visual yang cantik, tentu saja membuat kita mengharapkan sebuah film yang sama bagusnya. Hanya saja film ini tersandung oleh arahan yang biasa banget. Ada banyak kebetulan, perjuangan para tokoh terlihat dimudahkan. Malahan, film ini menjadi terlalu cheesy untuk dianggap sebagai drama yang serius.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MOUNTAIN BETWEEN US.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017