HOME SWEET HOME ALONE Review

“Home doesn’t feel like home if people living in it are not the same”

 

 

Impian mutlak setiap anak-anak adalah tinggal di rumah besar sendirian tanpa ada yang mengatur. Beneran deh, kalo waktu kecil dulu kalian enggak pernah girang ketika orangtua pergi sehingga kalian jadi punya beberapa jam di rumah seorang diri, maka kalian jadi anak kecil dengan cara yang salah. Rumah kosong bagi anak kecil berarti bisa makan apapun yang dimau, bisa loncat-loncat di kasur, bisa nyalain kartun keras-keras, dan ini yang paling penting: bisa main – game atau apapun – sepuasnya! Tapi rumah kosong bagi anak kecil juga bisa berarti bahaya. Bagaimana jika ada yang korslet. Bagaimana jika ada orang asing yang datang. Bagaimana jika ada… perampok!?!

Home Alone bisa sesukses ini; meroketkan Macaulay Culkin, jadi hiburan yang gak bosen-bosen ditonton, staple acara tv swasta kita setiap musim liburan, dan nelurin banyak sekuel, karena premisnya bermain pada dua hal tersebut. Satu: Anak yang tinggal sendirian di rumah, dua: tapi disatroni maling. Set up sempurna untuk dijadikan komedi slapstick ala kartun (meskipun arguably premis tersebut juga tak kalah efektifnya jika dijadikan bangunan cerita horor/thriller). Karena anak kecil suka kartun, dan film ini membuat anak-anak yang menonton relate, membuat mereka membayangkan ada dalam dunia seperti kartun yang merekalah tokoh utamanya.

Ya, set up. Itulah kunci emas yang dimengerti oleh Home Alone, khususnya filmnya yang pertama tahun 1990. Ketika kita membuat cerita tentang anak yang tinggal sendirian di rumah, maka kita harus bisa menemukan alasan atau sebab yang logis, yang akhirnya menciptakan situasi tersebut. Home Alone original luar biasa telaten dalam menciptakan set up tersebut. Dikawal ketat oleh John Hughes (filmmaker yang well-known sebagai pembuat film remaja yang enjoyable karena ringan dan grounded) yang menulis dan jadi produser, Home Alone punya set up yang efektif sekali. Ceritanya dibikin bersetting di liburan Natal. Kita langsung mengerti anak seperti apa si karakter utama, kita langsung tahu dinamika hubungannya dengan saudara-saudaranya. Kehebohan dan keramaian di rumah itu tergambar dengan baik, sebagai alasan kenapa gak ada yang ingat sama dia ketika besok pagi mereka mau berangkat. Dan semua itu dilandaskan dengan nada komedi yang ringan, dan kita bisa membayangkan kejadiannya bisa beneran terjadi di dunia nyata. Udah persis kayak jebakan, set up film ini dengan persis berada di tempatnya.

Sekuel reboot karya sutradara Dan Mazer (salah satu penulis naskah franchise Borat, lol) mengerti pentingnya set up tersebut. Home Sweet Home Alone juga punya set up yang seperti film original. Kita melihat anak kecil berusia sepuluh tahun yang bernama Max (seneng banget Archie Yates yang kocak di Jojo Rabbit dapat peran gede di sini), mulai kesel dicuekin sama orangtuanya yang lagi hectic ngurusin keberangkatan keluarga besar mereka ke Tokyo besok pagi. Max makin jengkel karena sepupu-sepupunya pun tidak ada yang mendengarkan dia. Jadi Max, mengurung diri dalam mobil di garasi. Menonton Will E. Coyote masang-masang perangkap untuk Roadrunner, jauh dari semua kebisingan. NAMUN, (‘namun’ di sini memang sangat signifikan jadi aku merasa perlu untuk ngecapslock kata itu) film ini tidak hanya punya satu set up, melainkan dua. Tidak hanya Max saja yang dilandaskan backstory dan motivasinya. Tapi, perampok yang nanti bakal jadi musuh (atau korbannya) juga diberikan set up. Malahan, karakter utama Home Sweet Home Alone bukanlah Max si anak kecil.

HomeSweet-Home-Alone-Dirilis-Sambut-Natal-Tahun-Baru-3
Kartun ternyata memang punya pengaruh kepada anak-anak, ya.

 

 

Jeff McKenzie, pria yang terpaksa dan enggan, berusaha menjual rumahnya diam-diam tanpa sepengetahuan anak-anaknya, adalah perspektif utama cerita. Dia butuh duit, karena dia baru saja dipecat. Jeff lalu menemukan solusi alternatif. Salah satu boneka porselen peninggalan ibunya, ternyata bernilai sangat tinggi. Masalahnya, boneka yang jadi satu-satunya harapan untuk tidak membuat kecewa keluarganya tersebut kini hilang. Dicuri orang. Jeff ingat, siang itu Max dan ibunya berkunjung ke open house mereka. Situasi semakin tak menguntungkan bagi Jeff, ia tak bisa begitu saja minta bonekanya dikembalikan, karena rumah Max kosong. Semua penghuninya pergi berlibur. Inilah yang membuat Jeff, dan istrinya – Pam – memutuskan untuk masuk saja ke rumah itu. Dan kita akhirnya dapat adegan konyol ciri khas franchise Home Alone, karena Max yang tidak diketahui suami istri itu ada di rumah, salah menguping pembicaraan mereka soal boneka. Max menyangka Jeff dan Pam hendak menculik dirinya, sehingga dia mati-matian melawan. Memasang banyak jebakan untuk mereka. 

Dua set up (untuk Jeff dan Pam, serta untuk Max) yang dibeberkan dengan telaten supaya kita bisa paham dan motivasi dua kubu yang hendak bertemu ini memang membuat film jadi imbang sudut pandangnya. Perampok itu tidak lagi satu dimensi jahat, tidak sekonyong-konyong ada dan merampok dengan niat yang sepele. Film ini ingin keluar dari pakem penjahat dalam film anak atau film keluarga yang biasanya memang dituliskan konyol. Film ingin memberikan sedikit hati kepada Jeff dan Pam. Melihat mereka yang semakin kena perangkap, semakin jengkel dan mulai keluar ‘jahatnya’, penonton diharapkan untuk tidak melihat karakter yang diperankan kocak oleh Rob Delaney dan Ellie Kemper ini sebatas karakter komedi. I’d say ini adalah tambahan yang berniat baik, membuat film tidak lagi hitam putih. Akan tetapi, sedikit bobot ini ternyata juga menjadi beban. Babak set up film ini jadi terasa penuh sesak. Dan lamaaaa. Setelah begitu banyak menerima informasi dan memahami karakter, aku kaget juga melihat durasi yang ternyata baru tiga-puluh menit.

Sesuai dengan peruntukannya sebagai film natal, film ini bicara soal keluarga lewat rumah sebagai objeknya. Bahwa kita merasa nyaman dengan keluarga, bukan karena rumahnya. Max tadinya kesal sama keluarga malah merasa hampa, saat dia tinggal sendirian. Keluarga Jeff pun mulai merasa aneh saat ayah dan ibu yang tinggal seatap mereka bertingkah lain dari biasanya. Mau gimana pun rumahnya, rumah itu tidak akan terasa lagi seperti ‘rumah’ saat ada yang berubah dari penghuninya. 

 

Penonton yang ingin bernostalgia dengan Home Alone juga merasakan bahwa film yang menjadi rumah bagi kenangan masa kecil mereka tak lagi terasa seperti ‘rumah’ yang sama. Home Sweet Home Alone terasa sebagai entry yang aneh buat keseluruhan franchise ini. Meskipun jebakannya sama-sama konyol dan ‘mematikan’ – bahkan ada cameo dari bintang film originalnya – tapi tetep seperti ada yang mengganjal. Banyak yang kecewa karena membandingkan film ini dengan Home Alone pertama. Tapi itu juga mungkin salahnya kita. Keduanya mungkin memang untuk tidak dibandingkan. Karena kedua film ini memang tak lagi sama. Film yang ini bukan lagi tentang anak yang ditinggal semata. Film kali ini adalah lebih tentang ayah dan ibu yang ‘jadi perampok’ demi rumah mereka. Kita harus melihat poin-poin plot dan perkembangannya sebagai cerita tentang hal tersebut. Tapinya lagi, dengan melihatnya begitu, tidak berarti aku mengatakan film jadi lebih baik.

It’s still… shite!

homejamkiom - Copy
Pake lelucon self-aware tidak lantas berarti filmnya jadi film yang pintar

 

 

Yang tidak bekerja dengan baik dari film yang membuat protagonisnya pasangan orangtua desperate sehingga mau merampok justru adalah komedi dan kekhasan dari franchise ini sendiri. Jeff dan Pam yang babak belur kena perangkap demi perangkap itu bikin bingung kotak tertawaku. Kok aku malah ngetawain Jeff yang gak sadar telah dipasangi game VR? Bukannya kita harus bersimpati sama mereka? Dalam Home Alone biasanya, ketika para orang jahat babak belur, kita bisa tertawa dengan lepas karena kita tahu mereka pantes dapat ganjaran. Kita merasakan stake yang dialami si anak kecil, yang harus berkreasi demi mempertahankan rumah dan properti miliknya. Dalam film kali ini, tidak ada stake karena kita tahu semua itu cuma salah paham. Kita tahu Max tidak dalam bahaya. Kita tahu Jeff dan Pam tidak berniat jahat. Jadi kenapa kita masih tetap disuruh harus tertawa dengan adegan-adegan jebakan, yang menghukum protagonisnya, sementara kita tahu enggak ada alasan yang kuat kenapa mereka harus dihukum. Apakah karena mereka bego? 

Ngomong-ngomong soal itu, supaya fungsi komedinya tercapai, film memang lantas berusaha membuat Jeff dan Pam terlihat bego. Padahal Jeff kerjaannya adalah seorang ahli data, dan Pam adalah seorang guru. Yet, they still manjat pagar dengan konyol (padahal di sampingnya ada gerbang), tetep keceblos di kolam bersalju. Jeff yang sehari-harinya ketemu komputer jadi kayak awam sama teknologi. Kerjaan sehari-hari Pam juga gak terlihat membantunya berperilaku; dia tetap terpental-pental oleh bola yoga. Film ini tidak peduli sama katakter yang dipunya. Mengabaikan sebentar set up mereka, untuk beberapa menit menjelma menjadi Home Alone yang dikenal dan dicintai semua orang. It’s either bikin cerita yang lebih original, atau bikin sesuai franchise. Sutradara Dan Mazer pengen jadi keduanya sekaligus, tapi tidak memikirkan formula atau bangunan ceritanya masak-masak. Perkembangan karakternya juga ternyata jadi gak ada. Setelah semua yang terlihat seperti sebuah proses degradasi bagi protagonisnya, atas nama film keluarga dengan semangat natal, semua konflik reda seketika. Para karakter sentral kembali ke ‘posisi’ mereka di awal. Dan cerita berakhir dengan senyum yang hangat, persahabatan dan keluarga yang harmonis, tanpa konsekuensi yang berarti. Semuanya dapat reward! Semua, kecuali kita, penontonnya. 

 

 

 

Untuk sejenak, aku merasa film ini punya kesempatan. Arahannya yang mengeluarkan karakter dari hitam-putih, awalnya tampak seperti langkah berani yang bikin reboot ini lebih berbobot daripada originalnya. Tapi ternyata bobot itu terlalu berat untuk diemban sebuah film yang fitrahnya adalah hiburan slapstick layaknya kartun bagi anak kecil. Penonton cilik mungkin masih akan tergelak melihat dua orang yang dilempari bola biliard, dibakar kakinya, dan disandung pake tali. Itu karena mereka belum bisa mengerti ada ambigu yang hadir di situ, ketika orang yang babak-belur tersebut sebenarnya bukan orang yang benar-benar bersalah atau jahat. Ambigu yang diangkat harusnya digali, bukan ditertawakan. Kecuali kalo memang pembuatnya memandang kita semua sebagai bocil-bocil yang taunya cuma tertawa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for HOME SWEET HOME ALONE

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian lakukan waktu kecil dulu kalo ditinggal sendirian di rumah? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

SHANG-CHI AND THE LEGEND OF THE TEN RINGS Review

“Its richest bequest. Its golden inheritance”

 

 

Menonton Shang-Chi, aku sejenak lupa kalo ini merupakan film superhero. Cerita tentang ‘warisan’ keluarga, bisnis yang ala gangster-gangsteran, adegan berantem yang benar-benar menonjolkan martial arts. Untuk beberapa saat, aku merasa sedang nonton film-film Kung-fu! Sampai aku menyadari yang di layar itu bukan Jackie Chan ataupun Jet Li. Melainkan bintang laga masa kini (calon legenda di depan) Simu Liu, bintang komedi dengan range drama yang belum gagal membuatku kagum Awkwafina, dan naga beserta makhluk-makhluk mitologi dari visual komputer. This is indeed a Marvel movie. Film hiburan yang paling cocok ditonton sambil makan popcorn, dengan petualangan CGI grande, dan dialog yang sama renyahnya ama popcorn itu tadi. Namun sutradara Destin Daniel Cretton jelas sekali ingin mengarahkan ini ke dalam perspektif yang lebih unik. Ke dalam karakter yang lebih representatif. Dan ‘jurus-jurus’ yang ia kerahkan sukses membuat Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mencapai keseimbangan hiburan dengan sajian berbobot. Mengembalikan film superhero Marvel ke yin-yang  yang selama ini terlupakan

sangchi-chi-iron-fist-1
Padahal tadinya aku ‘sangchi’ bakal bagus, takut kayak Mulan

 

 

Belajar dari kritikan yang menghajar live-action Mulan (2020), film Shang-Chi yang juga mengusung karakter beretnis dan mitologi yang mengacu kepada referensi budaya Cina, berlaku lebih hati-hati dan respect terhadap representasinya tersebut. Yang pertama langsung terdengar adalah bahasa. Karakter dalam film ini tidak sekonyong-konyong berbahasa Inggris semua. Sepuluh menit pertama actually full dialog Mandarin, lalu setelah nanti setting membawa cerita berada di tempat yang lebih diverse, bahasanya akan mengikuti keberagaman tersebut. Film ini lebih peka sama di mana dan siapa. Penggunaan bahasa Inggris pun jadinya tidak terasa dipaksakan. Karakter kita hidup di San Francisco, tapi bahasan mengenai mereka merupakan bahasan yang mendalam, menggali hingga ke akar leluhur dan legenda. Karena pada intinya narasi Shang-Chi memang berinti kepada keluarga.

Ketika kita pertama kali bertemu dengan Simu Liu, karakter yang ia perankan dipanggil dengan nama Shaun. Dia bekerja sebagai tukang parkir valet, bersama sahabatnya Katy (karena terlalu banyak nonton Steven Universe, aku jadi merasa suara Awkwafina mirip sama suara si Amethyst). Mereka berdua ini orangnya nyante banget. Gak kayak sahabat mereka yang orang-cina-kesayangan-keluarga banget, Shaun dan Katy lebih suka berkaraoke dan nyaman sama kerjaan mereka yang dianggap tidak memenuhi standar keluarga. Sebenarnya, ada alasan bagus – yang rahasia! – kenapa Shaun menikmati hidupnya seperti itu. Begini, keluarga Shaun bukanlah keluarga standar seperti keluarga Katy. Ayah Shaun tidak lain tidak bukan adalah The Mandarin, pendekar penguasa, pemegang senjata sepuluh cincin yang legendaris, pemimpin kelompok Ten Rings yang sudah mencatat lembar kelam sejak beribu tahun lalu. Shaun, nama sebenarnya Shang-Chi, sejak kecil dilatih ayah jadi assassin, demi membalaskan dendam kepada pembunuh ibu. Shaun kabur dari kehidupannya tersebut. Meninggalkan ayahnya, adiknya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi sebagaimana yang disaksikan oleh Katy dan kita, Shaun terendus oleh ayahnya, dan dia dipaksa pulang. Karena menurut ayah, ibu masih hidup. Terpenjara di tanah legenda. Shang-Chi harus kembali dan menghadapi semua yang pernah ia tinggalkan. 

Sekarang mungkin kalian sedikit mengerti kenapa aku malah ngerasa kayak nonton film Kung-fu saat nonton film ini. Naskahnya benar-benar fokus kepada konflik dalam keluarga pemimpin organisasi hitam! Shang-Chi adalah cerita tentang seorang anak yang kabur dari kehidupan itu karena dia gak sudi menapaki jalan tersebut. Mana ada cerita original dari superhero Marvel yang seruwet dan sedalam ini, at least sejak Winter Soldier? Dan naskah berhasil berkelit dari membuat Shang-Chi tampak seperti karakter sok suci yang membosankan. Karena pertanyaan yang berkecamuk di dalam dirinya adalah apakah saya pengecut telah kabur? Keluarga yang jadi sentral cerita ini ditulis dengan detil dan relatable. Semuanya jadi pendukung yang menambah banyak pembelajaran bagi karakter Shang-Chi. Ada adik perempuan Shang-Chi, yang merasa diremehkan oleh ayah, dan ditinggalkan oleh Shang-Chi, sehingga tumbuh menjadi pemimpin organisasinya sendiri. Ada ibu Shang-Chi yang dirancang sebagai karakter paling berpengaruh, yang mendaratkan dan merekatkan keluarga ini. Kematiannya jadi titik balik karena sebegitu berperannya Ibu bagi mereka semua. 

Film sempat nge-poke fun Shang-Chi yang kabur tapi ganti namanya malah ‘cuma’ jadi Shaun (ganti nama kok mirip). Namun jika kita melihat on deeper level, keputusan nama tersebut melambangkan keraguan karakter ini. Yang ditakutkan oleh Shang-Chi adalah dia bakal jadi penerus ayahnya, karena itulah yang budaya keluarga mereka. Tapi ia juga adalah ‘warisan’ ibunya.  Kebingungannya akan itulah yang membuatnya kabur. Yang harus dipelajari Shang-Chi dalam kisah ini adalah bahwa anak gak bisa kabur. Melainkan mewarisi baik dan buruk keluarga. Shang-Chi harus mengembrace, dan memantapkan apa yang nanti ia wariskan berikutnya. 

 

Dan tentu saja, ada ayah Shang-Chi. Pria yang dikenal dengan banyak nama, karena reputasinya yang mengerikan. Tapi dia settle dengan nama The Mandarin, karena baginya filosofi di balik nama itu cukup ‘lucu’ (akan ada dialog eksposisi yang menceritakan tentang ini, dikemas dalam bentuk bincang-bincang santai di meja makan). Diperankan oleh ikon Hong Kong, Tony Leung yang jago kung-fu dan drama, The Mandarin boleh jadi adalah salah satu dari sedikit sekali penjahat-Marvel yang punya karakter paling compelling. Paling manusiawi. Secara simpel kita bisa bilang dia adalah karakter jahat yang bersedia jadi orang baik atas nama cinta. Secara lebih kompleks – cara yang diterapkan oleh film ini – The Mandarin adalah karakter yang berakar pada tradisi, norma pejuang, kebanggaan, kehormatan, kekuatan (practically sifat-sifat yang dilambangkan oleh legenda kesepuluh cincin). Dia bukan karakter yang jahat licik pengen menguasai dunia. Kita akan melihatnya lebih sebagai sosok ayah yang sudah terluka banyak, tapi juga sangat keras. Kita bersimpati, sekaligus merasa takut kepadanya. Film ini bekerja terbaik saat memperlihatkan hubungan atau konflik yang mengakar begini antara anggota keluarga ini. Sutradara tahu di situlah – pada grounded-nya itulah – letak kekuatan yang dimiliki film ini, maka ia berusaha sebisa mungkin untuk mencapai itu saat men-tackle elemen yang lebih fantasi.

sangchiScreen-Shot-2021-06-25-at-10.31.21-AM
Sialnya, aku menyangchikan film ini tidak di bioskop

 

 

Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Shang-Chi punya sekuen-sekuen berantem terbaik yang pernah kusaksikan sepanjang Marvel Cinematic Universe berlangsung. Ketika film Marvel yang lain banyak berseru-seru ria dengan aksi superhero, sebagian besar porsi laga film Shang-Chi berlangsung dengan gaya berantem Kung-fu. You know, berantem yang tampak plausible meskipun memang masih sangat bergantung kepada efek CGI, stuntmant, dan kerja kamera serta editing. Seenggaknya, sebagian aktor di sini memang punya pengalaman beladiri, pembuatnya pun tampak memahami seni itu dan tau cara terbaik dalam merekamnya. Jadi mereka semua tau apa yang harus dilakukan. Favoritku adalah adegan berantem di dalam bis, sekuennya dari awal-tengah-hingga akhir is pure excitement dan joy. Sekuen itu muncul di babak awal, dan film terus menaikkan game mereka untuk aksi-aksi ini. Kita bakal melihat berantem di pondasi bambu (kayak di Rush Hour 2), dengan kamera yang aktif ‘melayang’ ke sana kemari, memastikan cerita lewat berantem itu sampai dengan gemilang. Di menjelang akhir, kita akan disuguhkan adegan berantem yang kita saksikan lewat cermin di dalam ruangan. Kamera akan berputar 360 derajat, kita akan melihat tubuh beterbangan, dengan sensasi direction yang diajak bermain-main, bergantian antara pantulan cermin dengan tidak. Ketika memang harus aksi satu-lawan-satu, film ini pun gercep dengan perspektif. Menghasilkan gerak yang dinamis sesuai gerakan berantem, tanpa pernah menjadi memusingkan. Ketika harus fantasi pun, pertarungan akan tetap terasa berbobot. Aksi-aksi seperti pertarungan Dragon Ball itu ternyata bisa kok dibikin dengan indah dan meyakinkan!

Setelah semua itu, makanya babak ketiga film ini jadi kurang greget. Setelah pertempuran kung-fu satu lawan satu, aksi berantem yang interaktif dengan settingnya, dan jurus-jurus yang sepertinya mungkin untuk dilakukan (hanya dipercantik/dibikin makin intens oleh efek komputer), di babak akhir film mengembalikan semua itu ke fantasi superhero. Pertarungan dengan naga-naga, dan makhkluk CGI. Seketika aku merasa kehilangan banget. Akhiran yang diniatkan untuk besar-besaran tersebut justru jadi terasa menutup film dengan… kecil. Dengan biasa. Tidak ada lagi excitement dari drama karakter, karena semuanya berubah menjadi “kalahkan monster sebelum dunia jadi kacau itu!” Meskipun tetapi dilakukan dengan kualitas teknis luar biasa, tapi tetap saja jika dibandingkan dengan perjalanan-karakter yang sudah kita tempuh bersama sedari awal, film ini tetap terasa berakhir dengan sedikit underwhelming.

 

 

 

Tapi ya, mau bagaimana. Tidak mungkin juga itu dihilangkan, dan meminta film untuk tetap dengan berantem ‘sederhana’. Karena afterall, ini adalah entry berikutnya dari jagat sinema superhero. Film ini terikat untuk menjadi fantastis seperti yang kita lihat di akhir. Film ini terikat oleh kebutuhan untuk ‘menjual’ dunia yang lebih besar, untuk ‘ngetease’ ke film superhero yang akan datang. Film ini terbebani oleh tuntutan menyampaikan eksposisi dan flashback. Maka, yang harus kita apresiasi di sini adalah upaya film untuk menjadi seunik dan seberkarakter mungkin, di sela kebutuhan-kebutuhan tersebut. Toh film berhasil, kita telah dibuatnya terhanyut oleh konflik keluarga yang pelik dan  menyentuh. Kita telah dibuatnya peduli sama karakter-karakter. Mulai dari pendamping atau sidekick, hingga ke antagonis, semuanya berhasil dibuat berbobot. Kita juga telah dibuat terkesima oleh dunia dan aksi-aksi yang mewarnainya. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 ten rings, eh 10 gold stars! for SHANG-CHI AND THE LEGENDS OF THE TEN RINGS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apa yang biasanya kalian pilih untuk lakukan jika ada tindakan atau keputusan dari orangtua yang tidak kalian setujui?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

ARMY OF THIEVES Review

“Do it for the sake of love”

 

 

I blame Marvel. Karena telah membuat jagat-sinematik tampak sebagai taktik jitu supaya laku, dan juga membuatnya tampak mudah. Aku menyalahkan Marvel, karena telah menginisiasi cinematic universe, yang membuat banyak pedagang film lain meniru. Walaupun mereka sebenarnya gak benar-benar punya brand atau produk untuk dibuatin universenya. Marvel tidak berangkat dari nol, melainkan dari komik yang telah bertahun-tahun jadi ikonik. Orang-orang tahu dan kenal tokoh-tokoh ceritanya. Namun lihatlah para peniru, banyak sekarang bermunculan film-film yang dipaksakan ada sebagai sebuah universe. Bahkan film drama aja ada – drama yang gak berasal dari apapun sebelumnya (kecuali mungkin satu buku nostalgia tanpa narasi); satu film berkembang jadi satu film baru yang mengangkat karakter minor, dan kemudian film baru muncul lagi dari karakter yang tak-kalah nobody nya di film tersebut.

Oh, kalian mau contoh yang disebutin judulnya? Army of Thieves. Ya, film yang hendak kita ulas kali ini, merupakan bagian berikutnya dari rancangan universe zombie karya Zack Snyder. Except, film ini bukanlah film tentang zombie. Melainkan film tentang heist atau perampokan bank. Dan yang jadi pengikat antara film ini dengan Army of the Dead (2021) – film pertamanya – adalah seorang karakter yang aku sejujurnya kaget sekali dan tak-percaya bahwa dia begitu difavoritin sehingga banyak yang minta film solonya.

Thieves-Army-of-Thieves
Emang ada yang kecuri hatinya sama si Ludwig?

 

Mengambil setting enam tahun sebelum peristiwa film Army of the Dead. Dari tayangan televisi dalam cerita kali ini, kita melihat zombie outbreak barulah mulai di Las Vegas. Di Eropa, tempat cerita ini bermula, ada masalah yang lebih urgen harus dihadapi oleh kepolisian. Masalah tersebut yaitu rangkaian perampokan bank. Ketika agen interpol masih menyusun teori (dan pemimpin mereka punya tebakan bagus, dan eventually bakal jadi semacam antagonis bagi geng karakter utama), kita sudah dibawa mengenal lima orang di balik perampokan tersebut. Tepatnya empat orang perampok internasional, dan Sebastian, cowok kikuk penggemar brankas. Sebastian diajak oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh cewek keren bernama Gwendoline, berkat kemampuan dan pengetahuannya mengenai legenda empat brankas yang terkenal paling rumit dan susah untuk dipecahkan kuncinya. Itulah yang coba dibobol oleh mereka. Bagi Sebastian, yang selama ini hidup datar dan membosankan, tentu saja tawaran itu tak bisa ditolak. Kapan lagi dia bisa mengasah kemampuan dan berinteraksi langsung dengan legenda. (Plus si Gwendoline itu kece banget Sebastian jadi naksir)

Jadi, mari beralih dulu ke kru perampok dan aksi heist itu sendiri.

Genre heist sendiri sebenarnya sudah mulai jenuh. Serial animasi Rick and Morty bahkan sudah menelanjangi genre ini hingga ke trope dan klise-klisenya di episode 3 season 4 akhir tahun 2019 lalu. Army of Thieves, untungnya, tahu untuk tidak terjebak ke dalam klise-klise tersebut. Film ini gak mau jadi parodi dari genre ini. Maka mereka berusaha merancang formula heist yang berbeda, atau paling enggak bermain-main dengan trope yang telah ada. Misalnya, film ini gak pake sekuen ngumpulin anggota geng yang tersebar dan meminta mereka kembali ikut beraksi (lucunya, sekuen ini justru adanya di Army of the Dead – yang ternyata adalah film heist dan zombie sekaligus). Sekuen itu biasanya difungsikan untuk menyoroti masing-masing karakter anggota/kru, memberikan mereka spotlight untuk menceritakan backstory dan motivasi. Alih-alih pake sekuen itu, Army of Thieves mencapai tujuan menceritakan backstory dan memperkenalkan karakter lewat actual flashback – flashback origin para karakter.

Film ini juga gak pake twist demi twist yang menunjukkan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti yang biasa ada dalam genre heist. Cekcok antaranggota memang tetap ada, tapi diceritakan lebih frontal. Dimasukkan ke dalam elemen cinta segitiga antara Sebastian, Gwendoline, dan Brad Cage. Lalu, biasanya film heist juga punya sekuen montase saat karakter menjabarkan rencana perampokan kepada kru. Dalam Army of Thieves, sekuen seperti itu ada, akan tetapi dilakukan dalam bentuk komedi yang seperti ngebecandain trope itu sendiri. Nah pasti kebayang, bahwa film ini memanfaatkan beragam teknik editing untuk mendukung penceritaan. Dan berhasil. Karenanya, porsi heist dan aksi film ini memang lebih menarik. Ada angin segar-lah, seenggaknya.

Editing cut-to-cut yang cepat juga digunakan film ini untuk menyamarkan masalah pacing yang timbul dari setup karakter yang datar, terlebih karena memang film ini punya karakter-karakter yang enggak baru. Gwendoline, Brad Cage, Rolph, dan Korina memang keren, tapi mereka sendiri sebenarnya masuk ke dalam trope karakterisasi yang lumrah, atau sudah ada sebelumnya. Pemimpin yang cinta mati ama film action dan Amerika. Cewek hacker yang glamor. Pengemudi yang hobi makan. Kriminal yang menganggap geng mereka keluarga. Bahkan aksi membuka brankas juga bukanlah aksi yang benar-benar fresh. Film ini justru banyak mencuri dari film lain, dan sudah sepatutnya mereka melakukan sesuatu supaya kita tetap excited menontonnya. Melihat dari usaha-usaha yang disebut di atas, sebenarnya film ini masih punya kesempatan. Kalo saja dirinya ini bukan hadir demi eksistensi satu orang.

thievesarmy-of-thieves-trailer
Kalo Korina sih, silakan deh mencuri hatiku

 

Serius. Aku gak dapet di mana appeal atau daya tarik karakter Sebastian. Bagiku dia mirip seperti Newt Scamander (lakon dalam Fantastic Beast – another karakter yang dipaksain jadi jagat-sinematik), tapi versi kikuk yang annoying. Di Army of the Dead, Sebastian hadir sebagai pembuka brankas (yang actually adalah brankas legendaris terakhir), dia dijadikan comedic-relief dengan tingkahnya yang suka teriak-teriak, dan jadi penyeimbang buat karakter-karakter maskulin. Kali ini, di film yang bertindak sebagai prekuel cerita tersebut, Sebastian juga ngelakuin hal yang sama. Teriak-teriak saat keadaan memanas, nge-geek out dan fanboying hard sebelum membuka kunci brankas, dan socially awkward di tengah-tengah kelompok yang macho. Jadi, ya, gak ada perkembangan yang dialami karakter ini dari cerita dimulai hingga ke Army of the Dead berakhir. Bayangkan dua film, tapi karaktermu itu-itu melulu! Yang berubah pada karakter ini cuma nama. Di film pertama, actually, kita mengenalnya sebagai Ludwig Dieter. Di film ini, kita akan melihat dari mana nama tersebut berasal. Seolah itu merupakan hal yang penting.

Karakter utama memang harus dibikin penting. Namun tugas itu dapat menjadi demikian susah jika materi karakternya memang tidak banyak sedari awal. Matthias Schweighofer lantas didapuk sebagai sutradara dengan harapan dia sudah mengerti karakter Sebastian/Ludwig yang ia perankan itu luar dalam. Dan memang, Matthias paham apa yang klik di balik benak sang karakter. Dia mengerti bahwa bagi Sebastian, brankas-brankas itu bukan semata benda yang harus dibobol dan diambil uangnya, melainkan benda yang melambangkan pencapaian. Kekaguman seperti seorang anak bertemu idolanya, dan mendapat pengakuan dari idola tersebut karena si anak telah berhasil melampaui prestasinya. Begitulah Sebastian melihat kunci-kunci besi itu. Dan kita bisa merasakannya, kekaguman terpancar dari karakter ini. Tapi itu saja belum cukup untuk menghidupkan film ini secara keseluruhan.

Yang beresonansi dari Sebastian kepada kita adalah kecintaannya terhadap yang ia lakukan. Sebastian tidak melakukan perampokan demi uang. Dia melakukannya supaya bisa bertemu dengan hal yang paling berarti baginya di dunia ini. Brankas dengan sistem kunci yang legendaris. Dan tentu saja, Gwendoline yang ia katakan kepada kita telah mengubah hidupnya. Ditunjukkannya bahwa hidup lebih dari sekadar cari duit. Pengalaman mendebarkan, dan cinta, jauh lebih berharga.

 

Di luar ketertarikan dan ke-nerdy-annya sama brankas, Sebastian enggak banyak ngelakuin hal lain. Film memberikannya sekuen aksi – naik sepeda keliling kota dikejar polisi – yang cukup kocak dan sangat kita apreasiasi di tengah kering kerontang dan membosankannya karakter ini. Sebelum diajak jadi geng rampok, secara inner, Sebastian enggak punya masalah di dalam hidupnya. Backstory kenapa dia hobi ngulik brankas dan kenapa dia gak gaul hanya disebutkan sepintas. Sepanjang durasi (yang memang panjang amat!) karakter ini kebanyakan hanya bereaksi. Terbawa-bawa. Seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, Sebastian tidak punya development. Lantaran memang tidak ada yang bisa digali. Untuk mengisi kekosongan, naskah memusatkannya kepada romansa. Sebastian naksir Gwendoline, yang sudah punya cowok yakni si paling macho dalam kelompok mereka. Elemen itu juga gak dibahas mendalam. Enggak pernah lebih dari sebatas cowok cupu yang jatuh cinta sama gadis pertama yang mengajaknya bicara. Basic sekali.

Sedari awal itu dia sudah jago buka brankas. Dia bahkan enggak peduli sama kejaran waktu. Oh, mereka cuma punya waktu sempit sebelum penjaga dan sekuriti bank sadar, dan memanggil polisi untuk menghentikan aksi perampokan? Sebastian gak peduli sama itu. Dia sempat-sempatnya cerita panjang lebar tentang mitologi di balik masing-masing brankas. Mitologi yang sebenarnya menarik, karena mencerminkan keadaan cinta segitiganya dengan Gwendoline. Hanya tak terasa sebagai waktu yang tepat. Film menjadikan ‘bad timing‘ ini sebagai quirk dari karakter Sebastian, dengan harapan dapat membuatnya semakin tampak sebagai karakter yang menarik. Dan juga disetup bahwa Sebastian begitu pintar dan ahli jadi dia bisa membuka kunci-kunci rumit itu dalam waktu singkat. Akan tetapi karena situasinya adalah perampokan, ketika karakter utama gak peduli sama desakan waktu, dia gak merasa dirinya diburu-buruin, kita yang nonton jadi gak ngerasain lagi stake perampokan tersebut. Kita jadi bodo amat. Dia jago, kok.

Apalagi karena kita gak bisa berpartisipasi kepada tindakan yang Sebastian lakukan. Gimana coba membuat orang memutar-mutar kenop di brankas jadi aksi menarik yang breathtaking? Gak ada. Film ini menggunakan visual CGI yang menggambarkan mekanisme kunci yang sedang berusaha dipecahkan oleh Sebastian. Semua itu gak ngehasilin perasaan apa-apa. Ketika dia berhasil membuka kunci, kita gak ikut bersorak bersamanya. Karena kita gak diajak ikut mikir, kayak kalo misalnya ada kode atau teka-teki yang harus dipecahin dalam jangka waktu terbatas.

Oiya, ada ding, satu lagi yang dilakukan Sebastian, sebagai bagian dari karakternya. Mimpi tentang zombie-zombie! Lame. Upaya yang sangat payah dari film ini untuk mengikat dan ngingetin kita sama universe zombie film ini. Seringnya adegan mimpi diserang zombie itu justru merusak tone cerita, dan nambah-nambah hal gak perlu bagi karakternya. So what, Sebastian is a psychic too? Who cares!

 

 

 

Ini baru film kedua dari proyek zombie universe Snyder loh. Dia masih punya cerita-cerita lain yang siap ditayangkan. Honestly, aku berharap dia menerapkan apa yang diajarkan Sebastian kepada kita di film ini. Untuk tidak melakukannya semata demi cuan. Aku merasa film yang kali ini, tidak benar-benar penting eksistensinya. Masih bisa dinikmati, berkat garapan aksi dan permainan editing yang masuk ke dalam humor. Tapi gak menambah banyak untuk karakter yang sepertinya bakal terus muncul di universe ini nanti (karena kalo dia gak muncul lagi nanti, makin tak-ada gunanya lah kita nonton film ini) Mending bikin film heist generik aja yang benar-benar bercerita tentang kejadian dan trik-trik perampokan. Untuk mitologi dunianya juga, gak banyak berarti. Ini adalah film yang bisa ditonton, dan setelahnya ya beres gitu aja. Film ini membuktikan kalo sedari awal udah angin, ya gak bakal bisa jadi emas.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for ARMY OF THIEVES.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pandangan kalian terhadap genre heist? Is it dead? Bagaimana cara membuatnya kembali menarik?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

DUNE Review

“There is no greater jihad than to help the helpless”

 

Beberapa menyebut film ini sebagai Star Wars versi lebih serius. Ada juga yang menyebutnya sebagai Star Wars versi islami. Cerita tentang Imam Mahdi. Bagi pembaca novelnya, Dune adalah fiksi ilmiah yang paling ditunggu, karena mereka penasaran bagaimana cerita sepadat itu divisualkan ke dalam tayangan. Bagi David Lynch, Dune adalah pengingat kegagalan, sehingga ia bahkan tak tertarik nonton film baru ini. Bagi ‘film-twitter’, Dune adalah bahan ribut bulan ini. Dan akhirnya, tiba juga bagiku untuk menyumbang suara mengatakan Dune versi Denis Villeneuve ini adalah apa.

Waktu itu memang aku terlalu sibuk untuk ikutan keramean seputar artikel yang bilang orang yang ngantuk nonton Dune punya wawasan pas-pasan. Padahal semua itu gak ada hubungannya sama wawasan. Kubilang sekarang, mereka yang bosen, bahkan sampai ketiduran nontonin Dune versi baru ini, pastilah cuma orang-orang yang belum pernah nonton Dune yang versi David Lynch. Serius. Senada dengan Lynch sendiri, alasan aku juga enggak antusias menyambut Dune terbaru adalah karena aku punya mimpi buruk berkenaan dengan Dune 1984. Aku berusaha nonton lima kali, dan ketiduran enam kali!! Bukan karena film itu jelek – aku gak punya kapasitas bilang film itu jelek, karena selalu gagal menontonnya sampai habis – tapi karena film itu terbeban banget oleh eksposisi. Sepuluh menit pertamanya aja full-narasi eksposisi! Makanya, begitu akhirnya menonton Dune versi Denis, aku lega sekali karena film ini terasa jauuuuuuuuhhhhh lebih ringan. Denis meminimalisir semua eksposisi dan mitologi. Jika Dune memanglah awalnya dibuat untuk menjadi ‘saingan’ Star Wars, maka Dune versi 2021 ini adalah yang paling dekat untuk memenuhi fungsi tersebut. Film ini jauh lebih mudah untuk dinikmati ketimbang yang kalian dengar dikatakan oleh orang-orang.

DUNE4267631098
Film ini jadi bukti bahwa bisa kok sebuah adventure grande dibuat tanpa bumbu-bumbu humor one-liner yang cheesy

 

Aku ngerasa bisa relate sama usaha film ini dalam mengurangi eksposisi, karena di sini aku pun gak mau kalo review yang aku tulis akan terbaca sebagai gibberish – sebagai fafifuwasweswos omong kosong – oleh pembaca yang enggak ngerti sama istilah-istilah dalam semesta cerita Dune. Di sini, aku pun harus berusaha membuat supaya ulasan ini bisa semudah mungkin untuk diakses oleh general audience. Dan itu beneran susah! Diadaptasi dari novel karya Frank Herbert sepanjang 412 halaman, Dune punya dunia yang lore dan mitologinya penuh oleh istilah-istilah (dengan referensi kuat ke budaya dan peradaban Islam, sehingga wajar banyak yang nyebut ini sebagai Star Wars untuk sobat gurun), dan punya cerita penuh oleh intrik politik kerajaan-kerajaan atau kelompok-kelompok masyarakat, sementara juga tetap mempertahankan message mengenai lingkungan, sosial, dan kepercayaan sebagai tema yang membayangi gambaran besarnya. Ibarat minuman, Dune begitu kental. Susah untuk mengekstraknya menjadi konsumsi yang lebih ringan tanpa mengurangi esensi yang dikandungnya. Berikut usahaku menceritakan sinopsis dengan singkat, tanpa menyelam terlalu dalam ke istilah dan mitologinya:

Di dunia tahun 10191, planet gurun Arrakis jadi lahan tambang karena kandungan sumber dayanya. Penduduk asli planet tersebut, bangsa Fremen yang bermata biru, terjajah bertahun-tahun lamanya oleh bangsa penambang House Harkonnen. Demi mengatasi keadaan tersebut, Emperor mengutus House Atreides dari Planet Caladan. Tokoh utama cerita ini adalah putra mahkota House Atreides, Paul. Di bawah bimbingan ayahnya, Paul dididik secara militer dan dibimbing untuk jadi pemimpin yang baik, sebagai penerus kelak. Tapi Paul ternyata punya takdir satu lagi. Paul memiliki kekuatan ‘penglihatan’ dan ‘the voice’ (ala Jedi Mind Trick). Dia mungkin adalah messiah yang bisa menghentikan perang, menyatukan semuanya. Di saat Paul masih berkutat dengan tanggungjawab besar dan mimpi-mimpi yang menawarkan versi masa depan yang menyita perhatiannya, pengkhianatan besar terjadi!

See, basic banget! Menulisnya simpel begitu jadi terasa kayak cerita ‘The Chosen One’ yang biasaKurang lebih tantangan seperti itulah yang harus dijabanin oleh Denis di proyek ini. Denis gak mau filmnya berat, maka dia menceritakannya dengan sesimpel yang ia bisa. Dengan minim dialog. Dengan informasi-informasi dan penjelasan dibeberkan seperlunya. UIntungnya Denis punya senjata andalan, yang tentu saja tidak aku punya (siapalah saya…), yang penulis novel aslinya gak punya, dan yang bahkan gak bisa dimaksimalkan oleh David Lynch. Visual Storytelling.

Ketika harus memberitahu bahwa karakter yang diperankan Zendaya adalah orang Fremen yang cantik nan misterius, Denis menceritakannya lewat visual yang begitu striking. Mengontraskan warna mata, warna kulit, warna lingkungan. Memanfaatkan dukungan musik dan permainan kamera. Begitu kuat kesan dreamlike pada adegan yang memang berupa pandangan di dalam mimpi tersebut. Bandingkan saja dengan Dune versi lama, yang lebih memilih mengatakan semua itu kepada kita langsung lewat narasi voice-over, narasi suara hati yang bergema. Dune versi baru ini lebih elegan. Bicara banyak tanpa banyak bersuara. Denis tidak mau kita fokus membincangkan mitologi dan sebagainya. Denis mau kita menikmati spektakel visual yang ia hadirkan dengan maksimal. Dia ingin kita mengalami semua visual di planet fantasi ilmiah tersebut. Shot-shot wide yang kerap ia lakukan, ditujukan untuk menekankan sensasi epicness kepada kita. Entah itu ketika ada pesawat (yang sayapnya seperti sayap capung!) mendarat di tengah-tengah kerumunan, ketika serangan cacing tanah raksasa diperlihatkan dari atas lewat sudut pandang dua orang di atas pesawat, atau ketika ada badai pasir di latar belakang. Semuanya mengedepankan skala. Kita melihat manusia begitu kecil, cacing begitu besar, dan sebagaimana. Sense indera inilah yang membuat pengalaman menonton Dune jadi begitu memikat. Kita dimaksudkan untuk menyantap itu semua sebagai hidangan utama.

dune_worm_main
Visualnya edune!!

 

Film versi Lynch bahkan minim aksi. Tidak ada pertempuran berantem atau satu-lawan-satu di sana. Sementara, film baru ini seru lewat lebih banyak aksi, baik itu kejar-kejaran maupun berantem. Martial Art yang ditampilkan pun tampak plausible, dimainkan dengan menghibur ke dalam ‘gimmick’ alias lore yang dipunya oleh dunia cerita. Dune David Lynch, yang mementingkan narasi dan eksposisi semesta, tidak punya ruang yang lega untuk mengembangkan karakter. Paul di film itu tidak punya banyak fase-fase development. Malah karena begitu sempit, karakternya tampak seperti menerima status ‘imam mahdi’ itu begitu saja. Dia lantas jadi kayak dewa. Denis dalam film versinya ini punya ruang lebih banyak untuk membebaskan karakternya. Paul dikembangkan dengan lebih natural. Timothee Chalamet punya banyak waktu untuk menunjukkan jangkauan aktingnya. Ada lebih banyak momen humanis untuk karakternya membangun relasi dengan ibu yang jadi mentor ‘ilmu jedi’nya. Begitu juga momen-momen dengan karakter sahabatnya, yang tidak ada pada film versi Lynch yang strict ke Paul dan sang ayah saja. Arc-nya adalah tentang menerima tanggungjawab, dan Paul punya dua yang harus ia terima. Film menyulam ini dengan seksama, inilah yang dipastikan ada closingnya, sehingga nanti saat film memang harus bersambung ke part berikutnya, masih ada elemen yang menutup pada cerita.

Antara jadi pemimpin atau penyelamat. Antara sebagai penjajah atau penolong. Paul sesungguhnya telah memilih, tapi dia struggle dengan posisi dirinya untuk menempati pilihan tersebut. Perjuangan inner-nya yang menggambarkan makna jihad. Sebab jihad bukan semata berarti turun berperang. Melainkan berjuang, membawa diri sendiri, untuk menolong yang tak berdaya.

 

Ini sih sebenarnya yang jadi masalah. Dune 2021 terasa incomplete. Karena memang filmnya ternyata dibagi dua. Dan, marketingnya.. well, aku tau kurang bijak menilai film dari cara mereka memasarkan diri, tapi there’s something about it yang membuatku jadi mengaitkannya dengan pembuatan dan storytelling film ini sendiri. Dune tidak segera memasarkan diri sebagai Part One (they soft sell this instead), dan bagian keduanya disebutkan akan lanjut atau tidak bergantung kepada kesuksesan Dune yang sekarang ini. Jadi, film ini keadaannya semacam kayak game Final Fantasy. Ini adalah kesempatan ‘terakhir’ mereka membuktikan diri dengan ngasih yang jor-joran, karena ada kemungkinan ujung ceritanya gak bakal bisa lanjut ditampilkan. Tapi Dune tidak benar-benar rapi menutup episode ini. Arc paul memang  menutup, tapi development lain tidak digenjot. Istilah gampangnya, Dune ini tidak terlihat seperti didesain untuk bisa berdiri sendiri. Walaupun pembuatnya yakin mereka hanya punya kesempatan kecil untuk melanjutkan cerita, tidak terasa mereka put everything on the line. Jadi, effort meracik cerita di sini agak kurang maksimal.

Mereka literally cuma bergantung pada keberhasilan spektakel visual. Di luar itu, dan di samping usaha menutup arc Paul for now, tidak lagi ada substansi. Keputusan film untuk meminimkan informasi berbalik jadi bumerang. Kita jadi tidak masuk secara immersive ke dalam mitologi dunia. Film ini menjadi terlalu sederhana for its own good. Narasinya jadi kurang berbobot karena tidak membahas mendalam. Dari konteks bahasa, misalnya. Saat menonton Dune ini kita akan notice banyak istilah Islam, tapi dengan mengabaikan banyak lore, film ini sendiri jadi seperti mengesampingkan kepentingan kenapa istilah-istilah tersebut dipakai pada awalnya oleh novel. Tentu saja pertanyaan ‘kenapa’ yang baru jadi terangkat. Memang, kondisi politik dunia kita pun memang sudah berbeda, antara masa pembuatan novel Dune dengan masa filmnya dibuat ulang. Dan ini jadi menarik, apakah memang ada hubungannya dengan itu? Apakah menyebut Islam dan jihad sebagai asosiasi dari protagonis kulit putih tidak lagi ‘klik’ dengan situasi saat ini? Ini kan bisa jadi bahan tulisan lain yang menarik untuk diangkat. But for now, untuk kepentingan penilaian karya film, aku mencukupkan dengan mengatakan film ini agak terlalu kopong perihal substansi, dan memang hanya dibuat untuk spektakel saja.

 

 

 

Memang conflicted sih, aku jadinya. Aku percaya film adalah sulap kreasi. Film ini menawarkan teknik dan kreasi yang tidak kurang dari sebuah masterpiece. Namun aku juga percaya film harus punya bobot. Film ini, sekarang aku tidak begitu yakin. Apakah dia sengaja untuk hiburan visual saja, dan menyimpan semua bobot di bagian kedua. Atau apakah memang sengaja dibikin ringan dan sama sekali tak membahas yang lebih dalam. Apakah film justru mengandalkan kita untuk baca novelnya (atau baca thread di twitter, kalo kalian kebelet pengen cepet ‘smart’ tanpa baca bukunya) supaya mereka tak perlu banyak-banyak menjelaskan lagi – which is still bad, karena film haruslah bisa bercerita tanpa suplemen lain. Kalopun ada kesimpulan, maka itu adalah bahwa film ini membuktikan novel karya Herbert memanglah tidak-bisa-difilmkan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for DUNE

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian perjuangan Paul adalah perjuangan Jihad?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

V/H/S/94 Review

“It was a simpler time”

 

 

Kaset video atau VHS memang adalah dinosaurus, jika dibandingkan dengan beragam gadget berteknologi tinggi yang bisa mudah dimiliki dalam genggaman setiap orang.  Kualitas gambarnya yang bersemut-semut kalah jauh ama kejernihan HD. Suaranya yang berdesir (dan kadang terdengar bindeng) bukan apa-apa deh dibandingkan dengan kualitas audio di jaman sekarang. Tapi VHS punya keunggulan sendiri. Tidak ada menu yang rumit, tidak ada loading screen yang annoying, tidak ada software updates. Gak ada iklan! Saat kita ingin merekam, tinggal pasang kamera dan rekam. Saat mau nonton, tinggal masukin ke video dan tonton. VHS akan selalu dapat tempat di hati orang-orang yang pernah mengalami langsung masa keemasannya.

Kita bisa bilang itu karena sentimen nostalgia. Tapi sebenarnya yang dirindukan darinya adalah karena VHS terasa mewakili kehidupan di tahun 80-90an. Hidup yang lebih simpel dan bahagia.

 

Sekarang, semuanya udah overproduce. Terlalu banyak polesan. Bikin video youtube aja sekarang harus benar-benar seperti profesional. Enggak cukup dengan gambar dan suara berstandar tinggi. Harus dilengkapi pake efek dan edit-edit yang mentereng. Makek software editing yang ketinggalan satu versi update-an aja, kita bisa diketawain. Gak usah jauh-jauh, aku bahkan merindukan tahun 2000an ketika video-video yang ada di youtube masih berupa home video sederhana. Yang produksinya lebih mirip video VHS ketimbang buatan stasiun televisi. Kenapa? Karena video-video rumahan tersebut terasa lebih real. Lebih jujur. Karena itulah, kehadiran V/H/S/94 ini, yang franchisenya seperti sudah mati lantaran V/H/S: Viral (2014) yang flop, jadi angin segar buatku. Aku udah jenuh sama film-film yang terlalu sibuk berlomba untuk menjadi besar, baik dari segi visual, efek, cerita, hingga twist. Terutama film hororSebab sesungguhnya, ‘real dan jujur’ itulah yang jadi situasi penentu kualitas cerita horor. Situasi menakutkan yang dialami oleh karakter harus benar-benar beresonansi kepada kita. Ketika mereka diganggu hantu, misalnya, perasaan bersalah atau perasaan duka yang dilambangkan oleh peristiwa menakutkan itu harus sampai ke kita. Film harus mampu membuat kita mengerti perasaan tersebut, dan in turn bisa relate dan percaya kita bisa saja mengalami perasaan serupa; thus make us scare.

Banyak horor modern yang gagal menyampaikan ‘real dan jujur’ tersebut, karena mereka terlalu fokus ke membuat spectacle horor. Ke membuat wahana rumah hantu – alias wahana kaget-kagetan. Ke merangkai plot rumit dengan twist, yang justru sebenarnya mengalihkan kita dari esensi cerita. Ke membuat hantu tampak senyata mungkin, padahal justru menjauhkan kita dari ceritanya. Dua film V/H/S original yang tayang pada tahun 2012 dan 2013 – enam tahun setelah berakhirnya era VHS, dan di tengah maraknya genre found footage modern – mengerti hal tersebut. Paham bahwa culture horor berkembang justru saat VHS lagi hits-hitsnya. Maka film itu mengembalikan penonton kepada masa tersebut. Mengatakan, ‘ini loh habitat natural found footage itu’. Sehingga kedua film V/H/S pertama tersebut jadi sukses dan digemari, baik bagi yang rindu era VHS hingga bahkan oleh penonton yang gak really aware sama ‘kekuatan’ konsep videonya. 

vhs_195562848_7810f16b-65d9-4068-8375-2722a80af17c-superJumbo
VHS reborn!

 

 

Mengikuti (dan melanjutkan) konsep terdahulunya, V/H/S/94 hadir sebagai antologi horor pendek yang digarap oleh filmmaker-filmmaker yang udah dikenal sebagai ‘pemain lama’ pada genre horor brutal nan berdarah-darah. Simon Barrett, Chloe Okuno, Ryan Prows, Jennifer Reeder, and our own Timo Tjahjanto. Masing-masing horor pendek tersebut didesain berupa tontonan kaset video jadul. Estetik yang dipakai dan dipertahankan di sini adalah sudut pandang orang-pertama, dengan layar yang bersemut, suara yang berdesir, dan kamera goyang-goyang. Ada lima cerita lepas, yang salah satunya difungsikan sebagai perekat atau tubuh utama film ini. Yakni tentang sekumpulan pasukan S.W.A.T yang menyerbu markas sebuah cult. Di sana mereka menemukan banyak hal-hal mengerikan, termasuk empat video yang juga bakal kita tonton.

Cerita favoritku adalah Storm Drain karya Chloe Okuno. Seorang reporter dan kameramennya sedang meliput sebuah urban legend tentang makhluk setengah tikus setengah manusia yang hidup di gorong-gorong. Kita dibuat melihat aktivitas meliput mereka lewat kamera si kameramen. Konsep low-quality dan pov dimainkan dengan pintar di sini. Lingkungan gelap yang mereka lewati terasa semakin mencekam lewat pandangan mata kita yang terbatas. Horor itu akan benar-benar terasa ketika Okuno memperlihatkan sekelebatan makhluk di dalam sana. Untuk membuat kita tetap tertarik, Okuno membuat karakter-karakternya berbobot. Ada motivasi, dan nantinya ada hal yang menjadi ‘antagonis’ dari motivasi tersebut. Napas pendek segmen ini jadi terasa begitu berarti. Set up, pengungkapan, bahkan aftermath cerita tidak disampaikan terburu-buru. Sama sekali tidak ada niat dari segmen ini untuk membuat cerita menyusur tempat gelap yang semata untuk mengagetkan penonton. Kalian bisa melihat betapa respek dan fokus ke berceritanya si pembuat dari cara ia membuild up dan memberikan pay off kepada makhluk legenda yang dicari oleh karakternya. Segmen ini bahkan dilengkapi oleh klip-klip iklan ala 90an, yang menambah kesan real television footage.

Konsep sederhana dari video itu dijadikan lebih sederhana lagi oleh cerita The Silent Wake, garapan Simon Barrett. Di malam berbadai itu, acara pemakaman seorang pemuda misterius terpaksa ditangguhkan. Perempuan penyelenggara, terpaksa tetap menunggu di sana, kalo-kalo ada pelayat yang datang. Eksekusi konsep segmen ini pun dilakukan dengan luar biasa. Kita hanya melihat dari tiga kamera, dua statis yang terpasang di ruangan, dan satu kamera mobile yang dipegang oleh si perempuan. Perpindahan view dari ketiga itulah yang excellent. Tempo dan irama horor terbangun maksimal dari sana. Karena sebenarnya, cerita ini standar banget, bahkan elemen seramnya juga. Mati lampu, peti mati bergerak sendiri, ada suara-suara, wujud setan yang over-the-top bloody. Perpindahan sudut kamera dan cut-to-cutnya lah yang membuat cerita ‘jaga mayat’ ini bekerja efektif. Sebagai kontras dari cerita ini, ada Terror garapan Ryan Prows. Lebih banyak karakter. Ruang lebih luas. Dan bahkan ada ledakan. Sekelompok kulit putih rasis berkumpul, menyempurnakan rencana mereka yakni sebuah mengembangkan ‘senjata rahasia’ untuk memurnikan Amerika. Secara cerita, film Terror ini sebenarnya gak maksimal untuk cerita pendek. Ini terlihat dari ending yang terasa terburu-buru, tidak terasa berkembang dengan sempurna. Tapi paling tidak, segmen ini masih setia mengikuti konsep 90an dengan video low-quality dan bahkan adegan-adegan bego yang khas sekali seperti konten home video yang tidak profesional.

Ketiga film tersebut membangun konsep dan setia pada tema. Lalu datanglah The Subject karya anak bangsa. Aku gak tahu, but lol, Timo yang Safe Haven karyanya masihlah entry terbagus seantero franchise V/H/S/, seperti gak dapet memo di sini. Alih-alih bikin low-quality, dia malah bikin visual mentereng, kayak film digital biasa. Kayak film yang dibuat dengan kamera di masa sekarang, bukan 90an. Timo cuma nambah filter frame kamera dan catatan waktu 94 (dan kemudian editor film mati-matian menambah efek grain). Ceritanya yang mirip-mirip Hardcore Henry pun terasa futuristik.  Seorang ilmuwan gila menculik beberapa orang, dan mengubah mereka menjadi makhluk hibrid manusia-mesin. Kekacauan terjadi tatkala markas si ilmuwan digrebek polisi di bawah pimpinan Donny Alamsyah. Semua horor di tempat itupun lepas. Imajinasi dan ide cerita memang sungguhlah liar dan perfect untuk cerita horor, apalagi Timo di sini seperti mengajak kita berdialog soal semakin menyatu dengan teknologi tidak lantas membuat manusia kehilangan hati. Yang bagiku di sini, itu berarti film ini berargumen denganku soal film yang wah bisa juga punya hati kayak film-film yang sederhana. Masalahnya, film segmen ini tidak pernah menempatkan hati pada ceritanya. Melainkan sebuah spectacle yang luar biasa. Udah kayak aksi-aksi video game. Apalagi makhluk horor hibrid itu juga terlalu kinclong. Aku mengharapkan efek atau kostum yang grotesque, yang perpaduan manusia dan mesinnya itu bikin kita benar-benar mual ala makhluk Cronenberg. Tapi tidak. Timo membuat mereka terlalu ‘bersih’. Akting kaku dan  over-the-top sebenarnya juga dijumpai pada segmen atau cerita yang lain. Namun karena yang lain mempertahankan kesan video amatir nan jadul, akting tersebut jadi passable. Pada The Subject ini, sebaliknya, jadi malah mengganggu. Sebagai single story, aku bukannya tidak suka. Aku juga enjoy. Tapi sebagai bagian dari antologi dengan konsep tertentu, this entry just feels very out of place.

VHSTheSubject1-RT-1024x582-1 - Copy
Greatest shooter of all time, menembak lewat punggung kameramen

 

 

Entry terburuk, however, jatuh kepada segmen yang jadi tubuh utama film ini. Dan ini tidak mengherankan sih. Batu sandungan seri V/H/S selalu pada bagian segmen tubuh utama. Film ini pun kewalahan ketika harus mengikat segmen-segmen cerita yang saling tak berhubungan itu ke dalam satu film utuh. Cerita penyergapan oleh pasukan S.W.A.T itu berakhir gak jelas. Dan bahkan lebih ‘kempes’ ketimbang ending segmen Terror. Build up mayat-mayat mengenaskan (dengan bola mata tercungkil keluar) dan misteri berbagai boneka dan salib terbalik, tidak mendapat pay off sama sekali. Malah seperti diabaikan. Instead, kita malah mendapat penutup standar “oh ternyata si anu jahat”. Sambung-menyambung ceritanya pun terasa melompat-lompat. Inilah yang harus diperhatikan lagi oleh franchise ini untuk di kemudian hari. Mereka harus menemukan cara atau narasi yang lebih natural untuk menconvey konsep video-video yang sudah jadi ciri khas.

 

 

 

Untuk sebagian besar waktu aku menikmati menonton film ini. Tidak sejelek film ketiga franchise ini, walau juga bukan film yang benar-benar kuat. Aku benar-benar mengapresiasi konsep video low quality dan cerita sederhana tapi horor over-the-top dan berdarah-darah yang mereka usung. Menjadikannya kontras yang sangat menarik. Tapi memang, naturally, horor antologi seperti ini akan punya masalah balancing dan penyatuan, yang oleh film ini pun masih tetap tidak bisa tertuntaskan dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for V/H/S/94

 

 

 

 

That’s all we have for now

Apakah menurut kalian sekarang ini kita memang telah terlalu overproduce terhadap konten sehingga kehilangan elemen ‘real dan honest’ di dalamnya?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Extreme Rules 2021 Review

 

Sejujurnya, aku gak mengerti kenapa WWE masih mempertahankan Extreme Rules sebagai salah satu acara pay-per-view mereka. Karena dari tahun ke tahun sudah jelas. Mereka gak bisa untuk benar-benar menjadi “Extreme” seperti dulu.

Acara Extreme Rules tercatat bermula di tahun 2009. Tapi sebenarnya, sejarahnya mundur beberapa tahun ke belakang. Tepatnya di tahun 2005. Saat WWE membuat ppv khusus untuk reuni ECW; acara gulat yang terkenal dengan ke-hardcore-annya. Acara saat itu diberi nama “One Night Stand”. Begitu ECW ditetapkan sebagai brand kecil-kecilan di major show WWE (bersama Raw dan Smackdown) di tahun 2007, One Night Stand dijadikan ppv milik brand tersebut. Nah, di tahun 2009, WWE, yang telah menapaki rute acara PG (Bimbingan Orangtua), secara resmi mengganti istilah ‘hardcore’ dengan ‘extreme rules’. Sehingga One Night Stand yang konotasinya juga enggak PG tersebut, diganti namanya. Jadi Extreme Rules juga. Tapi dengan konsep yang tetap sama. Semua pertandingan di acara tersebut punya stipulasi atau aturan-aturan yang ekstrim. Last Man Standing, Tables, TLC, No Holds Barred, hingga ke stipulasi unusual seperti ‘Yang Kalah Dicukur Rambutnya’ dan last year’s ‘Eye for an Eye’ match.  Seiring perkembangan; seperti WWE yang memilih untuk membuat lebih banyak ppv berdasarkan match tertentu (kayak, ppv TLC yang basically sama-sama extreme, karena di situ jenis pertandingannya seputar tangga, meja, dan kursi) dan keadaan zaman itu sendiri, konsep Extreme Rules semakin tergerus. Tahun kemaren, WWE masih bisa memainkannya ke dalam tema horor. Namun kita bisa melihat dan merasakan taraf ekstrim-nya itu semakin berkurang. Malah berkembang ke arah konyol – Eye for an Eye tadi matchnya ternyata tidak segarang judulnya.

Dan tahun ini, Extreme Rules benar-benar terasa hampa. Dari enam match yang ditampilkan, yang ada stipulasinya cuma dua. Itupun cuma Triple Threat dan Extreme Rules. You know, stipulasi yang biasa ada. Di Extreme Rules tahun-tahun awal, match Extreme Rules single itu jarang loh – dulu itungannya itu standar dari yang paling standar. But now, Extreme Rules jadi stipulasi main event. Buatku, ya sayang banget. Padahal kalo dijual dengan stipulasi keren, match-match di acara ini pasti menarik. Bayangkan kalo Uso lawan Street Profits (dengan cerita Montez Ford balas dendam abis cedera rusuk) diadakan dalam Tables Match. Atau Charlotte dan Alexa, yang bawa-bawa boneka dalam feud mereka, diadain dalam Dollhouse Match, or something. Dan, ada juga EST balas dendam sama The Man, c’mon masa mereka ga bisa nemuin stipulasi keren sesuai dengan tema feud tersebut!

Jadi, tahun ini ppv Extreme Rules bukan hanya mengecewakan. Tapi juga kurang menjanjikan. Udah gak cocok sama namanya. Mestinya diganti aja. Lucky for us, some fans on internet took liberty to correct this.

xtremeones-en-los-combates-de-WWE-Extreme-Rules
Ah, that’s more like it

 

Normal Rules sangat-sangat reguler, sampai-sampai juara WWE kita yang baru aja dikasih tanding dalam sebuah pertandingan tag team reguler. Big E yang akhirnya ngecash in koper MITB ke Almighty Bobby Lashley (yang sudah cukup lama mendominasi Raw dengan tangan dingin), finally memenuhi keinginan dan ekspektasi para fans. Big E yang momentumnya lagi berapi-api itu, sama sekali tidak terjadwal untuk bertanding di ppv ini. Instead, WWE mengadakan tag team dadakan untuknya seolah malam ini cuma malam-malam biasa di hari Senin. Dari sini saja sudah kelihatan, bahwa WWE sendiri tidak menganggap ppv ini begitu spesial. They are not even trying

Yang keliatan berusaha keras itu hanya superstar-superstarnya saja. Kalo saat nonton ini ternyata kita terhibur, dan matchnya ternyata cukup seru, itu karena aksi dan penampilan hebat para superstar. Big E, New Day, AJ Styles, Uso, Street Profits, Jeff Hardy, Sheamus, Damien Priest, Finn Balor, dan lain-lain yang tampil, mereka semua adalah profesional yang memberikan tidak kurang sedikitpun. Walaupun pertandingan mereka di sini, gak banyak bedanya dengan biasa mereka lakukan di Raw atau Smackdown, tapi mereka masih keliatan menggali sesuatu yang belum pernah kita lihat. Di balik akhiran match yang berupa roll up kentang, kita disuguhkan hiburan aksi counter mengcounter (serta komedi Sheamus niruin Jeff Hardy). Di balik tag team match standar, kita dibikin seru-seruan oleh hot tag dan permainan psikologi injury. Tekanan untuk tampil menghibur memang bersandar pada superstar, dan aku merasa dinamikanya di sini memang setimpang itu. Para superstar disuruh bermain terbaik, tapi WWE sendiri (yang belakangan ini udah nunjukin mereka bisa memecat siapa aja kapan saja dengan alasan ‘budget cut’) tidak pernah menjual acara ini di luar sebagai acara B, yang bahkan hasil akhirnya aja sudah mereka ‘spill’ sendiri dengan mengiklankan match card acara lain yang bakal berlangsung sebulan lagi. 

xtremeRules_SheamusPriest-6cf6871eee18a57e3645431d3acb9a91
Saking stressnya superstar, jadi banyak botch tuh!

 

Acara ini hebat… sebagai background noise. Kayak, kalo kita lagi sibuk tapi gak mau sepi, maka acara bisa diputar untuk menghiasi suasana. Cukup sesekali aja dilirik, pas lagi ada yang seru, atau pas superstar favorit kita lagi nampil. Dan memang persisnya begitulah keadaan WWE sekarang. Gak lebih sebagai background noise di tengah bangkitnya skena gulat-hiburan. Di sana-sini, acara gulat lain sibuk menampilkan terobosan. Bikin riak dengan entah itu berita hiring, ataupun match-match dahsyat. Tapi WWE masih bergeming. Mereka seperti menolak percaya bahwa mereka sekarang punya kompetitor. Mereka ngegarap show, tetap dengan mindset tidak ada kompetisi. Sehingga hasilnya, ya, acara mereka jadi seperti Normal Rules. Terasa tidak signifikan. Tidak penting dan tidak relevan lagi untuk diikuti.

Coba kita lihat. Hal penting yang terjadi dalam Normal Rules cuma dua. Rematch Becky Lynch dengan Bianca Belair (yang berujung dengan kembalinya Sasha Banks) dan Lily si boneka misterius yang RIP (alias disobek-sobek oleh Charlotte). Selain itu, dengan tidak adanya pergantian juara, tidak adanya gerak maju storyline, dan dengan akhiran yang sebenarnya sudah kita ketahui, match dalam acara ini semuanya tidak ada kepentingan lagi. Di sinilah WWE itu salah. Mereka harusnya membuat stipulasi untuk mengangkat derajat pertandingan-pertandingan tersebut. Setidaknya bikin mereka unik sehingga ada kepentingan untuk ditonton. Tapi kan, tidak. Dibiarkan hampa. Tinggal superstar sendiri yang sibuk cari cara dan melakukan yang terbaik. Dan bahkan dua yang penting itu, bisa jadi berujung jadi biasa-biasa aja di tangan penanganan WWE yang cuek bebek sama kompetisi. Kembalinya Sasha bisa saja berujung jadi another Triple Threat. Sedangkan Lily yang robek, bisa jadi hanya penting di hari ini. Besoknya dilupakan. Karena WWE memang cenderung untuk gak-kontinu seperti itu. Lihat saja stori Alexa dan Fiend. Yang bolong-bolong karena WWE gak ngerti cara bikin storyline mereka. 

Beneran deh, WWE kayak benar-benar gak tau cara mengembangkan cerita dan karakter supernatural. Mereka kayaknya udah lupa. Undertaker has cast some really big shadow. Bray Wyatt malah dipecat di tengah-tengah karakter yang lagi hangat-hangatnya. Alexa Bliss gak jelas juntrungannya – setelah kalah dari Charlotte di sini apakah dia bakal jadi manusia biasa lagi, atau malah semakin ‘gila’. Dan Demonnya, Finn Balor. Maaan, The Demon benar-benar dibuat insignifikan.

Satu-satunya hal ekstrim yang hadir pada acara ini adalah betapa extremely insignificant-nya semua hal yang ada di dalam durasi nyaris tiga-jam ini.

 

Seperti yang sempat disinggung tadi, match Demon lawan Roman Reigns aja gak dipush. Malah di-devaluate oleh WWE dengan ngiklanin Reigns melawan Lesnar untuk Title Match di Arab. Bukan hanya itu, leading up ke Normal Rules ini, Reigns malah dibuat sibuk meladeni Big E dan New Day ke Raw. Balor ditinggal gitu aja. Dan si Balor ini udah dicuekin sedari SummerSlam kemaren, di mana dia seharusnya adalah penantang tapi kemudian diambil alih oleh John Cena. Match Reigns melawan Demon Balor dijadikan main event di Normal Rules, meskipun kita semua sudah tahu siapa yang bakal menang. Sekali lagi, ini harusnya jadi tugas WWE untuk menyiapkan kejutan di match tersebut. Supaya ada sesuatu yang bisa kita dapat dari menontonnya. Dalam kata lain, keberhasilan match ini tergantung dari alur atau kejutan yang sudah disiapkan oleh WWE. Bagaimana mereka membuat kekalahan Demon Finn Balor menarik, tapi tetap respek sama karakternya, dan juga tidak membuat Roman Reigns terlihat lemah atau pengecut. Jika WWE benar-benar peduli sama acara ini, jika WWE mengenali kompetisi itu ada, pastilah mereka akan menyiapkan storyline yang keren, menyiapkan aksi seseru yang mereka bisa. Like, push superstar sedikit lebih jauh in sense of apa yang bisa atau tidakbisa mereka lakukan/tampilkan. Tau dong apa yang dipilih WWE sebagai penutup dan konklusi untuk match yang sebenarnya sudah tidak perlu kita tonton lagi ini?

It was shit!!

Demon Balor jatuh dari atas turnbuckle karena talinya copot. Izinkan aku meminjam kata-kata Randy Orton sebentar. “Stupid! Stupid! STUPID!!” Dikeroyok oleh Bloodline jelas lebih respekful buat Demon Balor ketimbang jatuh sendiri kayak gini.

xtremewwe-finn-balor-demon-extreme-rules-finish
Bukan hanya Lily yang RIP di acara ini

 

Selama ini kita percaya ungkapan yang bilang bahwa gak ada superstar yang lebih besar daripada WWE. Bahwa WWE-lah yang meng-create superstar. Tapi kali ini, di acara Normal Rules ini, keliatannya adalah superstar yang berusaha mati-matian mengangkat WWE (also, mati-matian menjaga pantat sendiri supaya gak dipecat). Karena pada ppv yang sialnya kita telah tonton ini, sama sekali tidak terasa keinginan WWE untuk mengangkat lebih. Melainkan sekadar, melangsungkan acara saja. Mereka bahkan tidak mau susah-susah untuk live it up to the name of the show. Pertandingannya tetap terasa seru, ya karena WWE sekarang memiliki superstar kelas profesional. WWE boleh saja berpikir mereka adalah perusahaan gulat nomor satu, yang menghasilkan superstar keren dari produk yang keren. But I do believe, WWE sekarang gak punya produk yang bagus. Mereka cuma punya superstar keren. Dan seharusnya mereka lebih memperhatikan superstar-superstar tersebut dengan memberikan mereka playground yang lebih asyik dan memancing penampilan maksimal. The Palace of Wisdom sebenarnya menolak untuk memilih karena WWE sendiri kayak gak berusaha, tapi demi menghormati para superstar, kami tetap memilih dan menobatkan Bianca Belair dan Becky Lynch sebagai MATCH OF THE NIGHT

 

 

Full Results:

1. TAG TEAM The New Day mengalahkan AJ Styles, Omos, dan Almighty Bobby Lashley
2. SMACKDOWN TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan dari The Street Profits
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Charlotte Flair tetap juara ngalahin Alexa Bliss
4. UNITED STATES CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Juara Bertahan Damien Priest menang atas Sheamus dan Jeff Hardy
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair menang DQ dari Juara Becky Lynch saat Sasha Banks datang ikut campur
6. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP EXTREME RULES Roman Reigns retains over The Demon Finn Balor

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

FREE GUY Review

“You just can’t let life happen to you, you have to make life happen”

 

Video game merupakan eskapis yang seru. Karena di dunia jutaan pixel tersebut, permasalahan hidup kita disederhanakan menjadi misi-misi seperti menyelamatkan putri raja, mengalahkan naga raksasa, dan mencari harta karun. Di sana, apapun yang kita lakukan, kita tetap adalah jagoan. Makanya video game itu bisa jadi sarana pelampiasan stres yang mujarab. Semuanya ada dalam kendali kita. Gagal dalam permainan video game, kita tinggal mengulang dari titik terakhir kita nge-save atau menyimpan game. Kita bisa melakukan apapun yang kita mau, practically tanpa konsekuensi. Dalam game seperti GTA, kita bahkan bisa menabrak dan menghajar karakter-karakter NPC.  Baik untuk kepuasan batin, maupun untuk reward yang memang justru diberikan jika kita melakukan hal tersebut. Semua terasa bekerja untuk membantu kita. NPC-NPC itu, para karakter yang diprogram untuk berdiri atau mondar-mandir dengan dialog yang paling cuma tiga kalimat, didesain sebagai pemberi informasi atau clue, atau malah sebagai penghias semata. Tapi bagaimana jika ada NPC yang bisa berpikir sendiri? Yang bisa naikin level sendiri. Yang actually lebih jago dari kita dalam permainan video game – dan bahkan lebih jago dalam kehidupan nyata??    

Free-Guy-Trailer-1280x720
Kecuali Megaman, tetep adalah game yang bikin hidupmu makin stress!

 

Itulah premis sci-fi lucu dari film karya Shawn Levy ini. Seorang NPC yang bikin gempar dunia pervideogamean lantaran mendadak muncul, berinteraksi dengan para pemain, melesat ke puncak rank dengan naik level melakukan misi-misi, sehingga sempat disangka sebagai ulah hacker. Tapi si Blue Shirt Guy itu bukanlah hacker di balik Skin, bukan pula anak 14 tahun yang menghabiskan kredit di kartu orangtuanya untuk beli fitur-fitur canggih. Blue Shirt Guy adalah NPC tulen. Dia hidup di dunia game Free City (game online dengan style ala Grand Theft Auto). Bekerja sebagai pegawai bank. Dia rukun dengan sesama NPC lain yang diprogram jadi penghuni kota. Masalahnya adalah gak ada satupun dari mereka yang sadar bahwa mereka cuma karakter penghias dalam sebuah video game. Blue Shirt Guy-lah yang pertama menemukan ada ‘sesuatu’ pada kota mereka yang kerap didatangi orang-orang keren berkacamatahitam untuk berbuat berbagai kerusuhan. Blue Shirt Guy actually jatuh cinta sama seorang cewek berkacamatahitam. Jadi dia melakukan apapun, termasuk melanggar aturan mengambil dan mengenakan kacamata hitam milik seseorang, supaya bisa dekat dengan si cewek. Saat memakai kacamata itulah, akhirnya Guy melihat bahwa dunia tempat tinggalnya ternyata penuh misi-misi, item-item, dan dia menyangka dia sendiri adalah pemain dari game tersembunyi itu.

Seperti Jim Carrey di The Truman Show (1998), Ryan Reynolds dalam Free Guy juga memainkan karakter berkepribadian positif, yang tampak sangat menikmati hidup, tapi gak sadar bahwa hidup yang ia jalani adalah sebuah kepalsuan. Hidup Truman hanyalah episode tayangan televisi, sementara Blue Shirt Guy cuma permainan video game. Dia bahkan bukan orang beneran. Melainkan hanya algoritma. Hanya data dalam sebuah server. Dalam sense ini, Blue Shirt Guy memang lebih naas daripada Truman. Namun itu tidak lantas berarti film Free Guy ini lebih depresif. Film ini gak kalah lucu. Dari segi penampilan komedi, Ryan Reynolds berhasil menanamkan pesonanya. Dia memang tidak seekspresif Carrey yang harus menyeimbangkan komedi fisikal dengan drama. Senjata Reynolds ada pada delivery dialog-dialog naif, dan kontras antara dialog tersebut dengan yang beneran terjadi atau dirasakannya. Reaksi pada momen tersebut, itulah kekuatan komedi Reynolds. Di Free Guy, dia juga dituntut harus seimbang antara komedi, drama, dan tentu saja aksi.

Karena setting Free Guy adalah video game, maka film ini lebih chaos jika kita membandingkannya dengan The Truman Show tadi. Elemen-elemen seperti pada video game akan banyak sekali menghiasi cerita. In fact, aksi-aksi itulah yang jadi napas utama film ini. Aksi-aksi, dengan nuansa komedi yang precise dimainkan oleh Reynolds dan para aktor lain, menjadi sajian hiburan yang kuat. Culture video game banyak ditampilkan. Meme-meme dalam dunia video game juga banyak disuguhkan. Aku ngakak ketika melihat ada karakter yang jalannya nubruk-nubruk tembok. That was me when playing video game lol. Detil game dalam film ini keren sekali.

Jika kalian bukan penggemar video game, jangan khawatir. Buat aku aja, game modern sejenis dalam cerita film ini sebenarnya aku gak relate. Aku bahkan juga gak kenal sama gamer-gamer atau streamer-streamer yang ditampilkan sebagai reference atau cameo di dalam cerita. Film ini dialog dan aksinya didesain begitu baik, sehingga kita tetap bisa menikmati. Soal referensi, memang film ini tidak bisa menghindari itu. Walaupun ini adalah cerita original yang tidak musti mirip ama satu game tertentu, tapi kebutuhan untuk menampilkan elemen-elemen video game tetap ada. Penggemar game akan bisa menebak semua, mulai dari buster MegaMan hingga ke logo Far Cry. Untungnya, video game adalah jagat yang luas. Dan ngehasilin duit. Banyak video game things yang sudah disadur ke film dan pop-culture lain. Sehingga referensi game yang muncul di film ini masih terasa universal. Ada this particular shield, ataupun pedang-laser tertentu yang semua orang kurasa bakal mengenali.

freeXkEyXkFqcGdeQXZ3ZXNsZXk@._V1_
Heronya baik karena judul filmnya Free Guy. Coba kalo Guy-nya diganti Man. Pasti jadi preman.

 

Hebatnya, referensi-referensi tersebut tidak merenggut kita dari esensi cerita. Mereka ditampilkan secukupnya, dan di samping itu, film ini memang sudah menyiapkan bukan satu, melainkan dua tema yang dieksloprasi konsisten demi mendaratkan ceritanya. Tentang cinta dan tentang kendali seseorang terhadap hidupnya sendiri. Cerita Free Guy sebenarnya bukan cuma tentang Guy seorang. Supaya bisa make sense kenapa NPC bisa jadi punya kehendak sendiri, maka film sudah menyiapkan sebab yang jadi cerita tersendiri. Di dunia nyata dalam cerita, ada dua orang kreator game; Millie dan Keys yang sobatan, yang bekerja sama mengembangkan sebuah game. Tapi perusahaan game milik Antwan (namanya Soonami, ha!) malah membuat game tembak-tembakan yang dicurigai berdasarkan kode game yang tengah mereka kembangkan. Game Antwan sukses, Free City sampai-sampai bakal ada sekuelnya, sementara game simulasi Millie dan Keys lenyap. Kedua orang ini jadi berpisah. Millie masih terus berusaha mencari game itu dengan bermain Free City, sementara Keys bekerja sebagai pegawai Antwan. Cerita Millie dan Keys, dirajut dengan baik ke dalam cerita Guy. Dua cerita inilah yang membentuk narasi utuh film Free Guy. Memuat tema dan memberi hati pada sajian hiburan yang kita saksikan.

Dalam video game, we control the live, the action of our characters. Tapi di real life, apakah kita tetap masih memegang kendali atas kehidupan sendiri? Apakah kita diprogram kepada satu tujuan tertentu? Apakah ada yang mengendalikan kita? Tentu kita lebih suka untuk berpikir bahwa kita makhluk bebas. Selain Tuhan yang menggariskan hidup, kita merasa memegang kendali penuh atas pilihan dan ragam tindakan kita. Benarkah demikian? Benarkah pilihan kita masih murni dari keinginan dan tidak ada yang mempengaruhi? Bisa juga tidak, karena saat ini dunia jadi begitu bersifat komersil. Semua yang kita lakukan seperti dimonitor untuk kepentingan perusahaan seperti Soonami berjualan. I mean, sekarang aja untuk bisa kemana-mana kita harus install satu app tertentu.

 

Muatan dua cerita tersebut kadang bikin narasi film jadi sedikit clunky. Pergantian dari Guy di video game ke dunia nyata kadang membuat ritme penceritaan harus ngerem dulu. Sutradara berusaha untuk meminimalisir ini, misalnya dengan menggunakan montase Guy naikin level dirinya sebagai jembatan, usaha yang patut untuk diapresiasi karena kita bisa melihat penempatan dan editing yang dilakukan juga sangat precise. Namun karena dunia nyata dan dunia game yang kontras, baik itu dari segi visual maupun dari segi kejadian, perasaan bahwa narasi atau ritmenya mengalami reset ke awal setiap kali pergantian tetap muncul.

Selain itu, sense siapa karakter utama juga tidak kuat. Guy tidak berikan antagonis, kecuali satu hambatan besar di penghujung cerita. Antagonis cerita ini adanya pada dunia nyata, si Antwan, yang diperankan sangat komikal oleh Taika Waititi. Karakter Antwan ini kurang lebih kayak Gavin Belson di serial Silicon Valley. Tech jenius yang juga bisnisman ‘jenius’. Maunya cuan melulu. Dia tidak peduli soal Guy yang merupakan keajaiban artificial intelligent, melainkan hanya peduli soal I.P dan Brand. Dia hanya peduli Guy selama karakter itu menguntungkan bagi gamenya. Naturally, ini selalu adalah karakter yang menarik. Sayangnya Taika Waititi memilih memainkan Antwan dengan sangat over the top. Sebenarnya ini tidak begitu masalah kalo cerita hanya di dunia nyata. Tapi karena kita juga melihat dunia video game, yang dibuat serupa dunia nyata (dengan para NPC-nya bisa berkehendak dan emotionally able), Antwan malah tampak lebih artifisial dibandingkan karakter NPCnya. Mungkin karakternya sengaja dibikin seperti itu supaya ‘menjangkau’ dua protagonis sekaligus, tapi itu pun terasa flat karena Antwan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan Guy.

Ini juga jadi membuat Free Guy jadi sedikit berbeda dari Truman Show. Truman ingin keluar dari dunia reality show. Dia konfrontasi dengan ‘tuhan’ dunia tersebut. Bagi Guy, ini bukan sebatas keluar video game. There’s no way dia keluar dari video game. Dia menyebrang laut adalah untuk pindah ke dunia video game lain. Tempat di mana dia dan para karakter bisa bebas melakukan apapun yang mereka mau. Bebas menentukan jalan sendiri. Tempat yaitu game, yang memang diprogram supaya NPC bisa berkembang. Dan Guy berteman dengan ‘tuhan’ alias pencipta seisi game tersebut, termasuk dirinya. I don’t know, tapi kurasa film ini juga ternyata bermuatan spiritual. Bukan saja tentang kita-lah pemain dalam hidup sendiri, tapi ceritanya juga menunjukkan kita untuk tidak membiarkan ada orang lain yang mengatur, selain ‘program’ yang sudah diciptakan sebagai landasan untuk kita hidup. Kayak Guy, yang diprogram untuk jadi orang baik, dan tetap memilih melaksanakan tindakan baik meskipun untuk cepat naik level dia harusnya ngerampok bank dan menabrak orang-orang.

 

 

I wish film ini lebih original, karena aku sebenarnya gak segan untuk ngasih skor tinggi buat film ini. Cerita tentang video game, dengan muatan berbobot alih-alih sekadar aksi seru-seruan? Sebagai penggemar film dan video game, jelas ini adalah film impian buatku. Tapi ya, sepertinya memang susah membuat cerita tenang video game yang benar-benar lepas dari referensi video game itu sendiri. But at least, film ini tidak melakukannya dengan berlebihan. Meskipun memang referensinya ternyata luas sekali. Ceritanya aja udah kayak gabungan Truman Show, Lego Movie, Ready Player One. Tapi untungnya, film ini punya karakter yang unik dan memorable. Dengan permasalahan yang juga dekat. Tidak perlu jadi penggemar game untuk bisa menikmati sajian yang memang menghibur ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for FREE GUY.

 

 

 

 

That’s all we have for now

Jadi, apakah kalian masih yakin sedang memainkan sendiri game berjudul Kehidupan sebagai player one? Atau apakah sebenarnya kita semua sedang dalam proses jadi NPC?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MALIGNANT Review

“It’s just a beast under your bed, in your closet, in your head”

 

Malignant adalah horor terbaru dari sutradara James Wan, dan actually merupakan horor pertama yang di-direct olehnya semenjak The Conjuring 2 di 2016. Kupikir, James Wan ini sudah move on dari horor. Di proyek Conjuring Universe aja, dia kayak ngasih ide-ide cerita untuk digarap sutradara lain, sementara dia duduk di kursi produser. James Wan kayak udah siap untuk melebarkan sayap, menjajal ke ranah-ranah mainstream lainnya. Dia nge-tackle superhero, misalnya. Dan laku juga. Tapi kehadiran film Malignant ini ternyata membuktikan bahwa cinta dan passion adalah dua hal yang susah untuk ditinggalkan. Passion gak bisa hilang, melainkan akan terus membesar. Kalo dipikir-pikir ya udah kayak kanker ganas. Cuma bedanya, hidup yang terus memupuk passion bukanlah hidup yang sakit. Melainkan hidup yang bahagia. Enggak kayak kanker, yang semakin hari akan… eh, tunggu-tunggu… Hmm, sungguh sebuah ‘kebetulan’. Tau enggak kanker ganas itu sebutan medis resminya apa? Maligna. Alias Malignant!

Kanker yang merubungi tokoh utama dalam cerita Malignant bukanlah aktual sel kanker, melainkan sebuah perumpamaan. Madison di sini dihantui oleh entitas misterius bernama Gabriel, yang diyakini sebagai teman-khayalan di masa kecilnya. Setelah kejadian KDRT yang membuat Madison keguguran yang keempat kali, Gabriel yang selama ini telah terlupakan, muncul kembali. Lewat apa yang terasa seperti mimpi, Madison melihat Gabriel membunuhi sejumlah orang satu persatu, termasuk suaminya. Semua itu ternyata bukan mimpi. Orang-orang tersebut memang mati mengenaskan. Seiring detektif mengusut kasus – siapa dan hubungan antara para korban – kecurigaan pun memusat kepada Madison sendiri. Madison yang tak ingat masa kecilnya, tapi percaya seratus persen bahwa semua ini memang ulah Gabriel yang juga bahkan tidak bisa ia ingat.

Jadi, di sini Gabriel adalah sesuatu yang gak bisa lepas dari Madison. Yang terus menggerogotinya dari dalam. Perumpaannya di sini adalah bisa jadi Gabriel adalah simbol keadaan psikologis Madison sendiri. Sementara juga, film mampu menjelaskan secara literal bahwa Gabriel adalah sebuah fenomena dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Inilah kenapa karya Wan ini segaris dengan horor-horor hebat. Cerita horor yang hebat selalu adalah metafora, dan Wan mampu membuat metafora dengan ikatan ke fenomena nyata yang kuat.

malignant-brings-us-a-new-vision-of-terror
Teman atau malign-kundang?

 

Lebih lanjut membahas siapa, atau apa, sebenarnya Gabriel akan seru, tapi juga akan membuat ulasan ini spoiler berat. Jadi aku tidak akan melakukannya. Cukup disebutkan saja bahwa James Wan sekali lagi berhasil menciptakan sosok ‘hantu’ atau villain horor yang ikonik. Meski gak fresh-fresh amat. Namun memang itulah salah satu kekuatan Wan di ranah horor mainstream. Gaya bercerita. Ia selalu sukses menceritakan kembali trope-trope usang dengan gaya yang unik, sehingga jadi suatu wahana seram yang kerasa baru. Karena sering makek Voldo sebagai karakter di game Soul Calibur, aku jadi bisa menduga what exactly Gabriel yang berjaket hitam, dan berwarah merah darah di balik rambut lurus hitam panjang tersebut. Namun karena momen ke pengungkapannya digarap dengan begitu well-built, aku tetep ikutan teriak. Padahal itu ‘bingkai’ pengadeganannya cuma berupa karakter lagi nonton video pasien diwawancara. Timing tarik-ulur, set atmosfer, posisi dan sudut kamera, serta cut-to-cut editing. Empat itu memang nyaris selalu jadi penentu dalam pembangunan adegan berpunchline –  terutama seperti pada horor, dan James Wan benar-benar sudah ahli dalam menangani empat itu semua. Orang bilang selera pasar itu susah dipahami. James Wan, seperti sudah memahami selera orang terhadap horor – serta titik takut mereka luar-dalam.

Dari yang terlihat di layar sepanjang durasi nyaris dua jam ini, aku bisa membayangkan baginya bikin film ini udah kayak silaturahmi ama teman lama. Tentu saja bukan teman lama yang nyeremin dan nyusahin kayak Gabriel. Kasian ya si Madison hihi.. Ngomong-ngomong ngapain aja sih kita saat ketemu lagi ama sahabat lama? Kita jabat tangan – memeluk mereka, kangen-kangenan, kemudian seru-seruan seperti dulu lagi bersama-sama. Itulah yang exactly terjadi pada film ini. James Wan benar-benar mengembrace akar horornya. Horor yang penuh darah. Dia banyak membuat pengadeganan yang mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya. Ada situasi orang disekap yang mengingatkan pada Saw. Ada juga adegan serangan setan yang dilakukan dengan cepat kayak yang dijumpai pada Insidious. Selanjutnya, seru-seruan James Wan berhoror ria dapat kita rasakan dari beragam cara yang ia terapkan dalam merekam adegan-adegan horor. Kamera gak putus, merekam dari atas sehingga kita kayak menonton rumah boneka? Cek. Jumpscarenya dengan build up yang efektif lewat panning atau ayunan kamera dan refleksi di permukaan kaca? Cek. Jumpscare yang gak pake suara menggelegar melainkan mengalir kayak horor 80an? Cek. Sekuen aksi atau pembunuhan sadis ditambah oleh warna-warna creepy? Cek. Semua adegan horornya efektif dan terencanakan dengan sangat baik. Kita gak bosan menontonnya, karena dinamika yang terjaga. Film ini juga sangat fleksibel, kadang bermain dengan CGI dan efek-efek komputer (saat adegan dream-like Madison melihat perbuatan Gabriel), kadang dengan efek praktikal (aksi-aksi si Gabriel itu semuanya beneran dilakukan loh!), James Wan menyatukannya dengan mulus.  

Ketidakbisaan kita membahas banyak tentang Madison dan Gabriel tanpa membuat ulasan ini jadi spoiler tersebut sebenarnya adalah indikasi yang mengatakan bahwa film Malignant ini terlalu menumpahkan fokus kepada kejadian. Pada apa yang terjadi. Ternyata begini, selanjutnya begitu. Detektif mencari petunjuk, karakter menguak misteri, villain membunuh orang. Ruang untuk bahasan tersirat di balik kejadian luar tersebut jadi tidak luas. Cerita ini tidak bisa membahas lebih jauh tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tidak bisa mendalami tentang perempuan yang selalu kehilangan anaknya. Dan ini sangat disayangkan. Terlebih karena film memang mengandung muatan yang cukup banyak.

Yang paling kuat itu sebenarnya adalah bahasan tentang anak yang terbuang. Konflik antara ibu yang terpaksa memilih untuk mengesampingkan buah hatinya karena keadaan. Yang juga dikaitkan keluarga dan ikatan darah. Tapi semua itu tidak terasa terdevelop atau terceritakan dengan natural. Hanya ter-conjure begitu saja menjelang akhir. Disimpan hingga akhir. Karena film di awal fokusnya pada mempersembahkan kejadian-demi kejadian for shock value, bukan untuk menilik muatan.  

 

Penampilan akting dari para aktor jadinya tidak termanfaatkan maksimal. Pemeran Madison, Annabelle Wallis, misalnya. Dia menunjukkan permainan akting yang berkualitas. Akan tetapi karena film ‘merahasiakan’ apa yang terjadi pada karakternya – basically membuat tokoh utama ini sama tidak tahunya mengenai dirinya sendiri dengan kita – Wallis sebagian besar waktu hanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi takut atau terkejut melulu. Motivasi Madison adalah pengen punya koneksi-darah, dan ini kita tahu bukan lewat informasi visual atau pembelajaran dari adegan-adegan yang mendukung ke sana. Melainkan lewat dialog gamblang yang diucapkan Madison kepada adik angkatnya.

malignant-trailer-james-wan-the-conjuring
Si McKenna Grace laku banget ya, setiap ada peran versi masa kecil, dia kepakek

 

Walaupun film excellent sekali dalam pembangunan misteri, adegan berdarah, dan adegan menakutkan, untuk urusan bercerita lewat karakter dan dialog film ini terasa demikian lemah. Semua hal-hal yang mestinya bisa penonton simpulkan sendiri, atau bisa ditangkap sendiri maknanya, diucapkan dengan terang-terangan. Oh jadi lewat flashback diungkap waktu kecil Madison dibisikin oleh Gabriel untuk ngambil pisau untuk menusuk perut ibunya, yang ini tentu dengan mudah bisa kita cerna sebagai Gabriel mengendalikan dan bertanggungjawab atas perbuatan Madison. Adegan itu saja ternyata dinilai tidak cukup oleh film. Karena persis setelah itu, kita akan mendengar seorang karakter menyebutkan kesimpulan itu “Jadi, pelakunya adalah… teman khayalanmu?” Banyak dialog-dialog yang tidak diperlukan seperti demikian tersebar pada film ini. Semuanya seperti diejakan kepada kita.

Agaknya James Wan sudah terlalu nyaman menggarap film mainstream, sehingga insting bercerita lewat dialognya jadi menumpul. Kalah tajam sama naluri untuk menyuapi penonton. Untuk memfasilitasi penonton dengan berlebihan sehingga jatohnya jadi kayak tidak percaya sama kemampuan penonton. Tidak hanya itu, film juga tampak tidak pecaya bahwa penonton bakal ngikutin cerita sampai akhir tanpa merasa bosan. Film ini seperti takut, penonton bakal bosan. Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari banyaknya dialog-dialog yang cringe, dan juga dari karakter-karakter pendukung yang dihadirkan untuk komentar-komentar lucu saja. Simak adegan ketika detektif meminta forensik untuk mencari pasangan senjata pembunuh yang hilang. Saat itu, film menyelipkan guyon lewat karakter si forensik yang dibuat naksir ama si detektif kurang lebih bilang, kita semua perlu nyari pasangan hihihi.. Lucu sih lucu, tapi perlu tidak? Penting tidak untuk keseluruhan narasi. Nyatanya, film tidak pernah memfollow up soal hubungan dua karakter tersebut (detektif dan forensik). Dialog itu mengangkat sesuatu tapi tidak menjadikannya apa-apa. Karena sebenarnya ya fungsi dialog itu ada cuma untuk selipan lucu-lucuan supaya penonton gak bosan aja. 

Ok, memang benar film tidak mesti serius selalu, atau ngeri setiap saat. Harus ada momen-momen ringan. Namun juga, menghadirkan lelucon di sela-sela adegan serius itu tanggungjawabnya besar loh. Sebab menyangkut tone – nada film. Sebuah film harus konsisten pada nadanya. Tentu kita gak mau horor yang kita buat malah jatuh sebagai komedi. Drama cinta yang kita garap malah bikin orang takut tidur matiin lampu alih-alih sedih. Keseimbangan tone harus dijaga. Malignant did a poor job dalam hal ini. Film ini tampak ingin tampil sebagai horor personal yang serius, dengan konflik keluarga yang menyentuh. Tapi banyaknya lucu-lucuan membuat nadanya bergeser menjadi komedi. Beberapa hal yang mestinya gak lucu, jadi ikut kebawa lucu. Orang jatuh dari attic, menimpa patah sebuah meja. Aku nyaris ketawa melihat itu. Bukan ketawa defensif saking seramnya. Melainkan karena ketawa lucu. Apalagi kemudian diikuti jeritan Madison yang memang semakin ke belakang jadi hilarious saking seringnya. Setan yang kabur terseok-seok dikejar detektif? Aku terkikik melihatnya. Dan obrolan di ending, soal konklusi dan pembelajaran ingin merasakan koneksi-darah – dengan ibu kandung terbaring di sebelah mereka, ibu kandung yang baru kebuka identitasnya – dicuekin gitu aja. Aku ngakak. Ups.

 

 

 

Sepertinya James Wan terlampau bersenang-senang kembali menggarap horor. Dengan cerita yang membahas entitas misterius membuat karakter tertuduh melakukan kejahatan, film ini jadi kayak versi seru dan fresh dari The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) yang tampil kaku dan membosankan. Film kali ini, memang kuat di pembangunan adegan seram lewat lewat teknis-teknis atau craft pembuatnya. Adegan revealingnya bakal bikin kita jerit-jerit saking gilanya. Namun sebaliknya, film ini di dialog dan karakter terasa lemah. James Wan tidak berhasil mempertahankan tone film ini. Diawali sebagai horor serius, yang perlahan mulai berat ke arah horor konyol. Malah setelah kita bisa menduga sendiri, film ini gak lagi seram. Traumanya gak digali, kita gak benar-benar bisa relate. Hanya jadi melihat kejadian-kejadian yang semakin edan. Kebiasaan James Wan menangani film-film mainstream mungkin perlu sedikit dievaluasi, di tone down sedikit, karena jika tidak bisa-bisa malah berubah jadi kanker yang tidak diinginkan dalam kreasinya sebagai filmmaker horor yang kreatif.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MALIGNANT.

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa menurut kalian penting sekali bagi Gabriel untuk membuat ibunya melihat ‘monster’ seperti apa dirinya sekarang?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

DON’T BREATHE 2 Review

“Don’t turn a blind eye to sin”

 

Benar-benar gak napas aku saat pertama kali denger kalo Don’t Breathe bakal dibuat sekuelnya. Ya, Don’t Breathe (2016) yang unik itu, yang ngasih twist seru pada genre thriller home-invasion. Iya, yang sepanjang durasi melempar-lempar simpati kita dari protagonisnya yang maling, ke bapak-tua-buta yang dimaling, dan kemudian menghempaskan simpati tersebut dengan revealing yang sekali lagi mengubah pandangan kita tentang mana yang orang baik dan orang jahat — iya, film seram yang itu!! Kayaknya film tersebut udah perfect dan gak perlu dibuatkan sekuelnya. Kalopun mau ada sekuel, cara paling gampang sebenarnya adalah membuat cerita yang completely gak nyambung sama film sebelumnya; yang karakternya berbeda total; mereka cuma perlu menciptakan situasi yang baru dari keadaan “Don’t breathe – jangan napas” itu sendiri. Tapi, produser Rodo Sayagues (bukan Kamuelos hihihi) justru melihat potensi dari karakter si Blind Man, sehingga langsung turun tangan menjadi penulis skenario serta sutradara untuk film lanjutannya ini. Lanjutan yang membahas lebih dalam, dan lebih dekat, siapa si Blind Man. Dan oh boy – aku masih belum narik napas lagi – karena di sini, Sayagues benar-benar menempatkan Blind Man sebagai protagonis. Pertanyaan besarnya tentu saja adalah bagaimana. 

Bagaimana membuat karakter yang telah terestablish sebagai orang yang telah melakukan perbuatan brutal dan tidak manusiawi kembali menjadi semacam hero yang mengundang simpati?

dontScreenshot_20210812-042725_YouTube-1-824273262-1628787297939
Yang jelas tidak dengan menyuruhnya “Goyang Dontbreath, Goyang Dontbreath~~”

 

Logisnya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita dengan tujuan seperti itu. Antara membuat ceritanya sebagai prekuel atau origin, atau mengembrace diri sebagai cerita anti-hero. Tahulah, seperti yang lumrah dilakukan oleh live-action Disney belakangan. Rodo Sayagues tidak melakukan salah satu di antara dua itu. Dia menyambung cerita ini delapan tahun setelah kejadian di film pertama. Dalam kurun tersebut, Blind Man memungut seorang bocah dari rumah yang kebakaran, dan membesarkan anak perempuan tersebut sebagai ganti anaknya sendiri. Kini, anak yang ia beri nama Phoenix itu sudah cukup gede untuk minta sekolah normal dan berinteraksi sosial. Blind Man di cerita ini dipersembahkan sebagai orang yang ‘insaf’ dari semua perbuatan mengerikan yang ia lakukan di masa lalu. Tapi dia tetap tahu betapa bahayanya di luar sana. Benar saja, Phoenix ternyata ‘diikuti’ oleh sekawanan orang jahat. Rumah Blind Man sekali lagi disatroni, Phoenix diculik, dan Blind Man harus menyelamatkan sebelum terlambat sementara juga bergulat dengan a right thing yang harus dilakukannya demi Phoenix.

Barulah aku menarik napas. Bukan dengan lega, melainkan dengan kecewa. Sayagues ternyata menyetir film ini ke arah yang paling generik. Keunikan film pertama adalah muatan ambigu moral pada setting home-invasion ruang tertutup, yang menitikberatkan pada aksi-aksi dengan presisi timing dan design suara yang menguarkan atmosfer seperti nyata. Film keduanya ini hanya seperti cerita penyelamatan dan/atau balas dendam yang biasa, dengan ayunan pendulum moral yang tidak terasa didapatkan dengan genuine. Di sini Blind Man didesain seperti memohon, banget-banget, simpati kita. Dia kini mengasuh anak. Dia menyayangi anjing. Dia peduli sama kenalan yang mati. Pandangannya terhadap Tuhan pun sudah berbeda dengan saat di film pertama. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang sudah berbeda jauh, dan sayang sekali justru proses perubahannya itulah yang seharusnya jadi fokus film. Film harusnya berkubang mengeksplorasi bagaimana seorang pembunuh, penyekap orang, pemerkosa bisa menumbuhkan hati untuk merawat anak kecil. Itulah cerita manusia yang ingin kita lihat, yang ingin kita dengar. Blind Man harusnya dibuat earned title protagonis itu. Karena jika tidak, jika film hanya langsung membuat dia tiba-tiba kayak orang baik, menggunakan shortcut dengan menghadirkan karakter antagonis yang jahat sebagai lawannya (bagi film ini sesimpel tokoh yang ingin lindungi anak melawan tokoh yang ingin mencelakai anak), maka dengan kata lain film seperti meminta kita untuk membutakan mata dari siapa karakter protagonisnya tersebut. Apa bedanya sama kejadian di dunia nyata kita saat ada mantan predator ujug-ujug diangkat untuk tampil ngasih edukasi bahaya predator.

Dengan menjadikannya begitu, film juga malah mengkhianati konteks ceritanya sendiri. Journey Blind Man dalam film ini adalah soal dirinya tidak lagi menyembunyikan masa lalu. Untuk tidak lagi turn a blind eye terhadap apa yang sudah ia lakukan. Dia tidak bisa membesarkan Phoenix dalam lingkungan bahaya, dan kebohongan; bahwa dia bukan orang yang tepat untuk mengasuhnya. Tapi filmnya sendiri justru memanipulasi simpati kita, meminta kita melupakan yang ia lakukan. Supaya dia bisa tampak simpatik.

 

Oleh karenanya, sekuel ini justru paling baik jika kita menontonnya dengan tidak tahu cerita di film yang pertama. Which is berlawanan dengan poin keberadaan sebuah sekuel. Kenapa tidak sekalian saja membuat cerita baru tentang orang buta yang mati-matian menyelamatkan anak yang bukan anaknya. Blind Man ini dihadirkan lagi kan, mestinya karena film ingin mengembangkan – mengeksplorasi – karakternya. Tapi malah bagian paling penting, bagian developmentnya tidak ditangkap oleh kamera. Hasilnya, ya kita gak bisa benar-benar mendukungnya. Gak simpati, betapapun seringnya dia meringis kesakitan, menitikkan darah dan air mata.

Stephen Lang padahal bermain dengan maksimal. Dia berhasil menjajal tuntutan akting yang diberikan kepadanya. Mulai dari range emosi hingga ke tuntutan bermain fisik. Secara aksi, film cukup berhasil mengulang prestasi film pertamanya. Kita akan melihat sejumlah adegan-adegan yang memanfaatkan suara, bunyi-bunyi, dan cahaya, yang sanggup membuat kita menahan napas menanti ledakan aksinya. Tapi karena sekarang cakupan medannya lebih luas (film tidak berlama-lama di setting rumah karena hanya akan menimbulkan kesan meniru film yang pertama), aksi-aksi film ini tidak lagi terasa spesial. Walaupun karakter yang berlaga itu adalah orang buta. Hanya ada sekian banyak aksi berantem yang bisa diadegankan, sebelum akhirnya semua elemen dalam action itu terasa convenient. 

dont-breathe-2-trailer-2_62c558d4-45a3-4cb6-977c-0aa656d99e52
Berantem gitu doang sih Si Buta Dari Goa Hantu udah duluan kalee

 

 

Film ini masih berusaha memainkan pembalikan moral atau role karakter. Ada yang keliatan jahat, tapi ternyata dia tampaknya seperti baik. Ada yang kayak baik dan simpatik, tapi ternyata busuk. Malah sebenarnya ada satu karakter anak buah penjahat yang menarik. Si karakter ini diam-diam membelot dan membantu Blind Man. Tapi film tidak menggali ini. Dia hanya ada sampai di situ aja. Alih-alih karakter, dia malah jatohnya sebagai ‘kemudahan lain’ yang diset untuk membantu perjuangan Blind Man. Semua karakter dan moral mereka memang itu tidak pernah benar-benar jadi soal, karena film begitu pengen untuk mengecat Blind Man ini sebagai protagonis. Padahal sebenarnya bisa-bisa saja si Blind Man ini jadi protagonis tapi tetep dibuat jahat dan gak ngemis simpati kayak yang kita lihat di sini. Melihat cara film memperlakukan karakter Blind Man di sini, membuat aku jadi suudzon bahwa jangan-jangan si pembuat film enggak mengerti makna dari protagonis dan antagonis itu sendiri. Jangan-jangan mereka hanya menyederhanakan protagonis itu baik, dan antagonis itu jahat. Padahal protagonis itu ya karakter yang motivasinya kita dukung, meskipun bisa saja aksi-aksinya enggak tergolong ‘baik’. Dan antagonis ya karakter yang motivasinya bertentangan dengan protagonis. Nah, akibat dari pembalikan role yang tidak benar-benar earned dan berarti tersebut, alur cerita film ini jadi terasa ngada-ngada. Semua hanya terjadi karena ‘memang begitu ceritanya’. Tidak ada bobot di balik semua.

Sebenarnya masih ada satu cara logis lagi untuk mengembangkan cerita dengan bentuk seperti ini. Yaitu dengan menjadikan si anak, Phoenix, sebagai tokoh utama. Menjadikan cerita dari sudut pandang dirinya. Benar-benar bergerak lewat pilihan-pilihannya. Dengan begitu, kita akan bisa merasakan kebaikan Blind Man ataupun misterinya melalui apa yang dirasakan oleh Phoenix. Mirip-mirip seperti pada formula cerita anak sahabatan ama monster/hewan buas/atau apapun yang dianggap orang-orang berbahaya. Namun film ini juga tidak mau ke arah sana. Mereka lebih suka membuat Phoenix sebagai device. Hanya sebagai karakter yang perlu diselamatkan. Dengan sesekali diberikan aksi-aksi fisik dan pilihan-pilihan kecil. Karakter ini sangat underused, sampai-sampai relasinya dengan Blind Man juga tidak pernah benar-benar mencuat sebagai muatan dalam cerita.

 

 

 

Nulis review ini, aku baru bernapas lega. Karena kayaknya semua uneg-uneg sudah keluar. Film pertama Don’t Breathe adalah salah satu favoritku di tahun 2016. Berhasil menggeliat dalam premis yang sederhana sehingga hasilnya benar-benar tontonan seram yang bikin surprise. Film kedua ini sebaliknya, nontonnya tidak terasa apa-apa. Aku tidak bisa mendukung Blind Man, juga tidak bisa percaya bahwa dia vulnerable dan ada dalam masalah besar. Karena aku nonton film pertamanya. Mungkin, kalo gak nonton yang pertama, aku bisa lebih menikmati film ini. Aksinya cukup mendebarkan – bagian yang di dalam rumah tetap masih jadi highlight. Journey karakternya ada. Tapi itu semua pun tidak pernah keluar dari batasan generik. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DON’T BREATHE 2.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian seorang yang pernah berbuat kejahatan mengerikan dapat termaafkan? Pantaskah mereka dimaafkan?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

STILLWATER Review

“It is all about finding calm in the chaos”

 

Kata Stillwater dalam judul film terbarunya Matt Damon ini memang merujuk pada nama kota tempat karakter yang ia perankan tinggal. Namun, sebagai sebuah film, Stillwater ini juga persis sekali dengan air tenang yang menjadi lawan air beriak dalam peribahasa kita. Stillwater bukan film yang dangkal. Malahan, cerita tentang warga Amerika yang menjemput anaknya ke penjara Perancis ini ternyata lebih kaya akan konteks ketimbang cerita tentang anak Indonesia yang menjemput ibunya ke Amerika yang tayang di Netflix beberapa waktu yang lalu. Tom McCarthy menggarap dan menulis cerita drama thriller ini dengan menggali muatan seperti stereotipe turunan dari politik di Amerika, komunitas imigran di Perancis, hingga ke pandangan hidup menurut Islam. Pilihan yang McCarthy ambil untuk mengakhiri (atau tidak mengakhiri?) cerita, serta kontroversi yang mewarnai eksistensi film yang katanya loosely berdasarkan kemalangan yang benar-benar pernah terjadi ini, turut menambah seru dan menariknya film ini untuk dibahas. For better and worse.

Sebenarnya film ini bekerja paling baik sebagai sebuah studi karakter. Momen-momen paling ngena yang ada pada film ini hadir lewat interaksi karakter, keputusan dan gejolak konflik inner karakter. Tapi selapis genre thriller yang diselimutkan sutradara di atas permasalahan jiwa manusia berhasil menambah daya tarik yang dimiliki oleh keseluruhan cerita. Matt Damon di sini berperan sebagai Bill. Seorang pria red-neck Oklahom, konservatif, pendukung Trump. Di awal cerita kita melihat dia terbang ke Marseille, Perancis untuk menjenguk putrinya. Di penjara. Allison sang putri, diperankan oleh Abigail Breslin (udah gede aja – fix aku tua!!) tertuduh sebagai pelaku kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, seorang perempuan muda asal Arab. Hook yang membuat cerita ini bakal berbelok menarik adalah Allison punya petunjuk tentang pelaku yang sebenarnya, sehingga kini Bill – meskipun dilarang ikut campur oleh Allison sendiri – berjuang di negara orang, di negara yang menganggap dirinya radikal, untuk mencari keadilan bagi semata wayangnya.

stillwaterf468-11eb-9b7f-287e8ddca3c1
Kemudian si Bill bertemu dan tinggal bersama ratu-ratu quee.. eh?

 

Ya, saat nonton ini aku otomatis teringat – dan kemudian malah lanjut membandingkannya – dengan film indonesia Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Karena kalo dilepas dari bagian thriller mencari petunjuk ke orang yang dicurigai sebagai tersangka yang asli, Bill dalam Stillwater menapaki jalan yang serupa dengan Ali. Bill juga nanti akan menumbuhkan hubungan yang dekat dengan karakter-karakter yang ada di kota Marseille, mereka akan jadi keluarga. Bill juga harus menyelesaikan persoalan personalnya dengan Allison – dengan putrinya – karena mereka telah grow apart seperti Ali yang juga harus mengenali kembali ibunya sebagai seorang person.

Perbedaan yang kerasa jelas saat aku membandingkan kemiripan komponen penggerak kedua film ini adalah soal muatan dan pembahasan konteks yang mendasari masing-masing. Dan aku menemukan Stillwater jauh lebih kaya. Karakternya terasa lebih hidup karena benar-benar diwarna oleh konteks dan muatan tersebut. Tipe cerita Ali dan Bill sama-sama tipe fish-out-of-water; maksudnya, cerita di mana karakternya masuk ke dunia yang berbeda dengan yang selama ini ia kenal. Ali anak Indonesia, di keluarga yang cukup ‘disiplin’ dalam beragama, masuk ke Amerika yang lebih ‘open minded’, dengan segala perbedaan kultural yang harusnya ia jumpai. Bill, berasal dari daerah yang sama konservatifnya, baik dalam hal ras maupun agama, masuk ke Perancis yang lebih beragam. Elemen fish-out-of-water Bill lebih terasa ketimbang pada Ali, karena Bill memang ditulis kaya oleh identitas. Ali dalam Ali & Ratu Ratu Queens dibuat kayak kertas kosong. Dia tidak punya hobi, tidak punya sesuatu yang ia ‘pegang’ atau percaya. Ali didesain untuk meresapi hal yang ia lihat selama ‘petualangannya’ di Amerika. Bahkan soal agama yang mestinya karakternya bawa sebagai pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya yang dulu, tidak kita lihat lagi sepanjang sisa durasi. Berbeda sekali dengan Bill.

Dari berpakaiannya saja, Bill sudah menunjukkan karakter. Kemeja/flanel, rapi-masuk-ke-celana panjang, pakai topi like a proud American, menjawab setiap pertanyaan (dan ajakan) dengan “Yes, m’am!” yang mantap dan lantang, dan tidak lupa mengucapkan grace atau doa setiap kali mau makan. Karakter stereotipe redneck itu menguar dalam keseharian Bill, yang tentu saja bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk dibenturkan dengan keadaan masyarakat dan kebiasaan di Perancis. Matt Damon pun tidak pernah memainkan karakter ini dengan sekenanya. Dia benar-benar menjelma menjadi this man. Pertumbuhan, penyesuaian, penyerapan, terceritakan dengan bertahap. Menandai setiap poin-poin development karakter Bill itu seiring durasi berjalan. Di sinilah Stillwater terasa hidup dan sangat kaya. Ketika Bill tinggal serumah dengan Virginie dan gadis ciliknya, Maya, kita melihat bagaimana kedua belah pihak saling berusaha membantu dan memahami. Kita lihat interaksi yang hangat tumbuh, lebih dari sekadar lucu-lucuan. Bill dan Virginie bersama mencari pelaku meskipun mereka punya perbedaan pandangan mengenai memandang apa itu teroris, atau tentang kepemilikian senjata api, misalnya. Interaksi Bill dengan Maya mengandung paling banyak hati (dan bawang!), film dengan efektif menjalin hubungan lewat sesimpel komunikasi antara dua bahasa yang berbeda, yang menyiratkan bentuk paling pure dari bonding antara dua bangsa yang berbeda. Penonton yang mencari muatan feminis pun akan dapat cukup banyak teks dari kondisi Virginie yang membesarkan Maya seorang diri.  

Ngomong-ngomong soal anak, putri Bill dengan cepat dijadikan tersangka karena betapa seksinya judul berita remaja Amerika membunuh remaja muslim – yang merupakan pasangan lesbiannya – bagi khalayak Eropa. Itulah yang dijadikan landasan atau subteks pada elemen thriller atau pemecahan kasus pada film ini. Meskipun memang tidak membahas ke pusat permasalahan prejudice atau semacamnya, tapi landasan tersebut sudah bekerja pada tempatnya di dalam bangunan narasi journeynya si Bill. Baginya, semua itu adalah chaos. Tidak masalah lagi seperti apa pandangannya, yang ia tahu kini dia adalah seorang Amerika yang tengah memburu remaja arab – yang bahkan masih jadi misteri apakah remaja ini beneran ada atau tidak – di daerah yang aware terhadap posisi Amerika terhadap isu kebangsaan tersebut. Dan ini juga personal karena menyangkut putrinya. Film melangkah dengan careful dan confident, membuat thriller berdasarkan drama tersebut tetap dalam kondisi yang tidak menjadikannya cerita yang memihak ataupun menjadi sesuatu yang over. Bill is the agent of chaos himself. Dia punya masalah dalam menahan emosi, dan ini membuatnya menjadi unreliable. Yang menjadi akar kekurangharmonisannya dengan Allison in the first place. Hubungan Bill dengan Allison memang tidak mendapat banyak porsi, dan itu karena cerita memilih fokus kepada perjuangan Bill – yang penuh chaos luar dalam – untuk menemukan kedamaian yang sebenar-benarnya.

Damai bukan berarti ada pada tempat yang ideal tanpa gangguan, tanpa perjuangan, yang semuanya tercapai. Melainkan justru damai adalah ketika kita bisa berada di tengah-tengah semua masalah, dengan hati tetap tenang.

 

To my suprise, film ini mengangkat referensi dari Islam tentang apa itu kedamaian yang hakiki. Aku gak dapat sama sekali lagi konteks keislaman saat nonton film Ali & Ratu Ratu Queens, padahal film tersebut lebih dekat dan punya akar yang lebih kuat ke arah sana. Konteks itu justru hadir di film luar. Stillwater tidak mengatakan itu hal yang tepat atau tidak bagi Bill, film tidak mengatakan apakah penerapan yang Bill lakukan terhadap itu benar atau salah, tapi dia menghadirkannya untuk memperkaya narasi cerita. And it works. Nonton film ini padet, terasa humanis. Dan yang lebih penting adalah, film ini tampil lebih berani.

stillwater9d6aa5028e047c326f299d9
Saking beraninya, jadi membawa kontroversi

 

Untuk kebutuhan menegaskan bahwa hidup memang brutal, film memilih untuk menyelesaikan masalah dengan amat sangat tega bagi kita. Ini jadi semacam pertaruhan sebenarnya, karena penonton yang sudah terinvest sama misteri ‘siapa pelaku’ akan mengharapkan penjelasan yang memuaskan. Penonton yang sudah terinvest dengan drama found-family, akan mengharapkan konklusi yang menghangatkan. Stillwater memilih untuk benar-benar still, tidak mengaduk lagi. Tidak lagi membuat elemen-elemen itu beriak. Film merampas kita dari sana, sebagaimana Bill dirampas dari kehidupan barunya. Film seperti meminta kita untuk mencari kedamaian sendiri dari cerita mereka. Cerita yang mereka biarkan selesai dengan hiruk pikuk. Dengan masalah yang tidak benar-benar tuntas. Supaya gak spoiler, aku akan mengungkapkannya dengan, susah sekali untuk kita menentukan apakah ending film ini good ending atau bad ending. Maybe, it is just.. brutal.

Tapi tampaknya yang paling merasa dibrutality sama film ini adalah perempuan bernama Amanda Knox. Ini sudah di luar penilaian film, aku bicarain ini untuk perbandingan saja. Dan ngasih sedikit pendapat ke permasalahannya. Jadi kontroversi film ini adalah, Stillwater ternyata tersandung masalah yang sama dengan serial Sianida baru-baru ini. Sama-sama based on kasus di dunia nyata, tapi tidak benar-benar tentang kejadian seputar aktual kasus tersebut. Hanya kejadian kasusnya yang mirip. Sianida mengangkat kasus kopi sianida, dan Stillwater mengangkat tentang Amanda Knox yang beneran dipenjara karena dituduh membunuh persis seperti pada cerita film. Nah, keduanya sama-sama diprotes sama pihak-pihak kasus in real life tersebut – karena tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya sehingga dituduh hanya cash-in dari tragedi orang. Dan keduanya sama-sama ngeles bahwa they did nothing wrong sebab sudah ada disclaimer bahwa ini fiksi, yang terinspirasi saja. Menurutku, ya, enggak salah sih. Kita bisa ngambil ide cerita darimana saja. Aku sendiri, film pendek pertamaku ceritanya berasal dari kisah dua hts-an temanku di SMA. Aku juga gak bilang-bilang mereka saat bikin, dan saat sudah jadi, mereka nonton dan ya, mereka mengenali itu mirip sama mereka, tapi juga gak marah karena tau itu fiksi. Dan tidak ‘dijual’ – tidak digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang dari kisah nyata. Jadi ya menurutku, bikin film bebas dari mana aja, tapi kalo si film malah ngejual sebagai cerita terinspirasi, dengan materi promo yang langsung mengacu ke kasus nyata, maka ketika orang aslinya marah, ya itu sudah jadi salah filmnya. 

 

 

 

Oke, jadi untuk menyimpulkan, film ini memang berani. Dibandingkan dengan film Ali yang memilih untuk tidak membahas, maka tidak menampilkan, film karya McCarthy ini kaya oleh banyak konteks dan subteks cerita. Sehingga menontonnya terasa lebih padat. Jika kita membayangkan film ini sebagai sebuah kertas, maka ia adalah kertas yang penuh tulisan. Tidak satupun yang luput dari pemberian konteks. Bahkan pekerjaan Bill dan Virginie juga turut menyumbang ke dalam pembangunan drama yang jadi tubuh dan sesuai dengan galian cerita. Film ini juga hidup berkat penampilan akting yang tampak natural dan nyata. Penceritaannya juga balance antara drama dan thriller dengan sedikit action. Keberanian film berujung pada mengakhiri cerita dengan brutal. Ini adalah pilihan kreatif yang beresiko, karena aku bisa melihat film ini bisa saja jadi runtuh di mata penonton yang tidak menyetujui pilihan penyelesaian (atau pilihan tidak menyelesaikannya). Buatku? Well…
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STILLWATER.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini, yang juga sama dengan serial Sianida? Di mana menurut kalian batasan antara terinspirasi itu seharusnya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA