WWE SummerSlam 2022 Review

 

 

SummerSlam adalah live premium event pertama yang tidak dikepalai oleh Vince McMahon, and it was such a blast! Hampir seperti ini adalah acara pesta merayakan kepergian pemilik WWE tersebut!

Hush gak boleh gitu hahaha… Kolot kolot (dan banyak kasus) begitu, Mr McMahon jasanya buat gedein bisnis ini toh gak bisa dibilang sedikit. Pro-wrestling bisa gede, WWE bisa bertahun-tahun jadi hiburan keluarga Amerika, pesaing-pesaing muncul dan menyemarakkan gulat hiburan juga kan karena ulahnya. Secara pribadi, I admire Vince dari bagaimana dia membentuk acara WWE show per show. Dalam pencapaian terbaiknya, WWE di tangan Vince terbangun sebagaimana struktur film yang dramatis, yang emosional. Aku harap yang baik-baik dari Vince bisa diteruskan oleh Triple H, sebagai pengganti kepala creative, yang memang di acara ini tampak pengen segera melakukan perubahan dengan gegap gempita!

Gak tau juga, mungkin karena bias dari denger berita Vince mundur (sesuatu yang sudah diharapkan banyak orang sedari dulu) dan diganti Triple H atau gimana, tapi SummerSlam vibenya terasa lebih meriah. Semua orang kayaknya datang ke acara di Kota Musik Nashville itu dengan optimis, dan aura positif tersebutlah yang tertranslasikan ke keseluruhan acara. Ibarat minum ramuan Felix Felicis, Triple H dengan SummerSlam terasa can’t do no wrong.

Padahal secara match aja nih, sebenarnya pas aku nonton, aku agak sering merasa gerakan-gerakan yang sloppy. Seperti pada Bianca Belair lawan Becky Lynch, buatku di awal-awal itu terasa agak rough, mereka tidak bermain se-tight biasa. Aku gak tau apa karena euforia itu terasa juga di para superstar atau apa, tapi itu gak menjelma jadi masalah besar. Karena match-match di acara ini tetap terasa spektakuler. Ada sense of edginess, bahkan dalam match yang gak-imbang kayak Lashley lawan Theory. Ada feel of urgency dalam pagelaran kali ini. Semua itu barulah benar-benar pecah dengan gemilang saat partai utama SummerSlam turun tanding. Brock Lesnar dan Roman Reigns bukan hanya menyuguhkan Last Man Standing pertama yang pernah diadakan di SummerSlam, mereka ultimately menghadirkan sesuatu yang sama sekali belum pernah kita lihat sebelumnya di dalam ring wrestling.

Bukan tangga, bukan mobil, bukan motor, tapi Lesnar datang bawa traktor!!!

 

Satu kata untuk menggambarkan match tersebut adalah edan! Tadinya aku apatis. Tadinya aku udah pasrah ngeliat Lesnar – Reigns untuk kesekian kalinya. Udah apal ‘rutinitas’ match mereka yang spam finisher dengan tempo cepat. Tapi begitu melihat Lesnar balik dan naik ke traktor itu, aku tahu ini bakalan spesial. Penonton heboh sepanjang match, mereka juga pengen tahu mau diapakan traktor tersebut dalam environment tidak-ada peraturan dan tidak-ada Vince McMahon ini. Dan match itu sendiri tahu aspek penarik yang mereka punya tersebut. Match ini aware dan tahu persis apa yang mereka jual. Pada akhirnya, match ini lebih daripada sekedar adu finisher. Lebih dari seru-seruan dengan senjata dan alat-alat. Match ini bergerak dengan build up yang seksama. Perhatikan deh gimana Lesnar membuild penggunaan traktor; dia gak langsung naik dan ngangkat ring, tapi ada beberapa kali bulak-balik sepanjang match. Membuild intensitas, sekaligus cerita bahwa bukan perkara mudah mengalahkan lawannya. Bagi Reigns juga sama, dia menjatuhkan Lesnar untuk 10 hitungan itu, ada build upnya. Dia gak lantas dibantu oleh Uso. Tapi melibatkan banyak orang, bahkan Paul Heyman dan Theory. Semuanya itu memuncak berbarengan, menghasilkan tontonan yang sukses bikin kita semua serak di Minggu siang. Aku hanya bisa membayangkan Triple H tersenyum puas seiring dengan Roman Reigns berlatar ring terjungkal, bergaya di atas puing-puing yang menimbun tubuh Brock Lesnar.

Karir championship Lesnar disimbolikkan berakhir (at least selama Reigns jadi juara). Kiprah Vince Mcmahon di kursi kreatif is also pretty much berakhir. Tapi karena hidup adalah sebuah keseimbangan, saat ada yang berakhir maka tentu ada yang baru lahir. Di SummerSlam 2022 kita turut menyaksikan ‘kelahiran’mulai dari proyek-proyek baru dari Triple H, hingga ke ‘kelahiran’ talent-talent baik itu yang baru maupun yang rejuvenated. Feud Rey Mysterio dengan Judgment Day sangat bisa mewakilkan kelahiran ini. Untuk sebelum SummerSlam memang kelihatannya Judgment Day mulai kehilangan arahan, tapi di match mereka kali ini potensi itu mulai terlihat kembali. Jika dilakukan dengan benar seteru yang melibatkan Edge ini bakal bisa ngasih nafas baru untuk semua yang terlibat. Veteran seperti Edge, Rey, dan Finn Balor bakal dapat kesempatan untuk mengeksplorasi sisi lain dari karakter mereka, sementara bagi anak-anak baru seperti Dominik, Damian Priest, dan Rhea Ripley (TERUTAMA Rhea Ripley yang looks very menacing) ini jelas bukan batu-loncatan biasa.

Aku suka surprise, terutama jika surprisenya melingkupi Dakota Kai dan Io Shirai (yang kayaknya bakal ganti nama jadi Iyo Skye). Makanya di Minggu pagi itu aku jungkir balik di ruang tivi. Siapa sangka Bayley muncul dan membawa dua superstar yang udah jarang muncul dan bahkan satunya udah gak dikontrak. Kabarnya memang stable trio ini sudah lama dipitch oleh Triple H, tapi selalu ditolak oleh Vince. Baru di SummerSlam inilah pitch tersebut bisa direalisasi, dijadikan sebuah surprise yang benar-benar worked greatly. Gak ada yang tahu loh itu, mereka bakal muncul di akhir match Bianca lawan Becky. Bahkan Bianca Belair kayak kaget beneran mendengar musik Dakota Kai tau-tau berkumandang. Selain sebagai surprise, kedatangan mereka juga ngasih api optimis baru buat skena divisi superstar cewek brand Raw. The roster never looked this good, melimpah oleh potensial. Di sisi brand Smackdown, however, WWE mulai mengeksplorasi juara baru perempuan mereka. Liv Morgan yang bulan lalu merebut sabuk dari Ronda Rousey via koper Money in the Bank, diposisikan sebagai semacam underdog dalam title defense pertamanya against Ronda si Lesnar versi cewek. Di match di sini, Liv harus membuktikan dirinya memang layak, dan sebaliknya Ronda bertindak sebagai antagonis, mematahkan hal tersebut. Di bawah kendali kreatif Triple H, match mereka tidak menjelma seperti match underdog kebanyakan. Ada yang berbeda, sehingga match ini walaupun yang paling lemah di antara yang lain, tapi tetap menarik. Aku gak begitu ngefans ama Liv, tapi berhasil dibuat untuk peduli. Ending match yang kontroversial pun tidak terasa lame, melainkan jadi penghantar bagus untuk kelanjutan kisah mereka

Kai en Sky, Bay Bay!!!

 

Street Profits (particularly Montez Ford) dan Theory juga semakin dieksplorasi. Dengan banyak rumor yang beredar, di titik ini masih belum jelas ke arah mana galian ini akan dikembangkan. Yang menarik adalah soal Theory, yang dinilai banyak orang bakal redup karena dia adalah proyek Vince McMahon, dan juga si Theory itu sendiri cukup gak disukai banyak orang (di luar perannya sebagai heel). Di SummerSlam ini kita lihat Theory kalah cukup cepat (also not really memorable) dari Lashley, dan cash in kopernya juga kandas. Untukku pribadi, Theory masih di bawah radar. Aku gak suka dan gak benci, he just there. Sehubungan dengan visi Triple H over McMahon, menurutku setidaknya Theory akan dipertahankan karena dia punya natural heat, dan kuyakin Triple H bakal memanfaatkan ini. Aku juga gak bakal nolak kalo Theory bakal dipertemukan lagi dengan bos lamanya di NXT, Johnny Gargano, yang juga dipantau banyak orang untuk balik ke WWE di bahwa kendali Triple H.

Bicara tentang ‘kelahiran’ karir, Pat McAfee dan Logan Paul sekali lagi nunjukin passion dan skill pro-wrestling yang mencengangkan meskipun mereka bukan pegulat pada awalnya. Skill di sini bukan terbatas pada in-ring action, tapi juga bagaimana ‘berakting’ di atas ring. Untuk masing-masing match mereka, public figure yang udah resmi jadi pemain smekdon ini nunjukin perkembangan yang signifikan. Mereka berusaha membalancekan basic yang jadi footing untuk karir mereka di WWE. Match McAfee dengan Happy Corbin memberikan mantan atlit football tersebut ruang untuk beraksi di dalam ring, untuk memainkan kharisma yang sudah ia bangun sebagai komentator ke dalam aksi-aksi fisik. Sebaliknya Logan Paul, Youtuber dan juga boxer, yang udah natural beraksi seolah dia sudah latihan gulat sejak lama dipasangkan untuk bertanding dengan The Miz untuk mempertajam psikologi di atas ring. Logan Paul impresif soal aksi, tapi dalam urusan character-work, kita bisa lihat dia belum semulus itu. Masih ada momen-momen ketika dia blank stare dan fokusnya hanya di spot ke spot berikutnya. Don’t get me wrong, Logan Paul bisa dibilang selebriti yang paling jago bergulat, dan dia bisa banget jadi gede di sini. Ruang untuk improvenya sudah kelihatan. Salut.

 

 

 

Tahun 2022 adalah tahun yang aneh untuk wrestling. Kita telah lihat Vince, Stone Cold, dan bahkan Ric Flair kembali bertanding di atas ring untuk terakhir kalinya. Kita telah melihat begitu banyak pegulat yang dipecat, pindah, atau yang dibungkam karena protes pada arahan karakternya. Sekarang kita melihat seorang bapak yang telah membesarkan industri olahraga hiburan ini undur diri dari jabatannya (terkait kasus pribadi) WWE sekarang seolah berada di hari setelah lebaran. It’s a clean state for them, untuk membangun sesuatu yang baru. Untuk kembali ke jalan yang benar. Dan SummerSlam adalah lebaran itu. Acara yang super fun dan spektakuler, yang terasa berbeda, dan boleh jadi membangkitkan kembali passion nonton gulat dari fans yang udah capek dengan formula yang itu-itu melulu. The Palace of Wisdom menobatkan Last Man Standing antara Roman Reigns yang mempertaruhkan 700 hari kejuaraannya melawan Brock Lesnar sebagai MATCH OF THE NIGHT.

 

 

 

Full Results:

1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair bertahan jadi juara atas Becky Lynch
2. SINGLE Logan Paul ngalahin The Miz yang ditemani oleh Maryse dan Ciampa
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Juara Bertahan Bobby Lashley ngalahin Theory
4. TAG TEAM NO-DQ The Mysterios mengalahkan The Judgment Day 
5. SINGLE Pat McAfee unggul dari Happy Corbin
6. UNDISPUTED TAG TEAM CHAMPIONSHIP DENGAN JEFF JARRETT SEBAGAI SPECIAL REFEREE The Usos masih juara ngalahin Street Profits
7. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Liv Morgan menang atas Ronda Rousey
8. UNDISPUTED WWE UNIVERSAL CHAMPIONSHIP LAST MAN STANDING Roman Reigns masih memegang rekor juara terlama setelah ngalahin Brock Lesnar

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 


MINI REVIEW VOLUME 4 (RANAH 3 WARNA, INCANTATION, DUAL, PERJALANAN PERTAMA, METAL LORDS, THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT, HUSTLE, CHIP ‘N DALE RESCUE RANGERS)

 

 

So, banyak yang nanya ‘Mini Review ini buat film-film yang kurang penting, ya?’ Nope, Enggak. Bukan. Wrong. Sama sekali tidak. If anything, justru buatku ini adalah tempat film-film yang lebih ‘susah’ untuk diulas. Karena seringnya, aku masukin film ke segmen ini karena aku gak bisa langsung merampungkan ulasan setelah nonton. Masih ada bagian yang harus dipertimbangkan. Masih ada bias yang masih harus diademkan. Atau masih merasa perlu untuk nonton filmnya lagi. Dan karena didiamkan dahulu itulah, filmnya jadi ‘tergilas’ film baru yang tayang berikutnya.  Jadi simpelnya, Mini Review ini gak ada hubungannya ama kelas kepentingan film, melainkan hanya soal aku telat menyelesaikan proses nulis atau nontonnya saja.

Buktinya? Nih lihat aja judul-judul yang terangkum di Volume 4 ini!

 

 

CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS Review

Sebagai anak 90an, mengatakan aku cukup akrab dengan Chip ‘N Dale sungguhlah basa-basi. Dua tupai ini muncul di setiap komik dan majalah Donal Bebek yang kubaca (di kita nama mereka ‘diterjemahkan’ jadi Koko dan Kiki). Dan game petualangan mereka di Nintendo, jadi favoritku waktu kecil. The game was like monopoly, bisa merusak persahabatan. Aku actually bertengkar dengan teman, karena di situ kita bisa salah angkat teman sendiri, dan ‘gak sengaja’ melempar mereka ke jurang. Yea, ‘gak sengaja’ hihihi

Anyway, aku berasa seperti anak kecil lagi saat nonton film ini. Demi ngeliat karakter-karakter kartun dari masa lalu tersebut. But also, conflicted, karena ya tahulah gimana film-film dari nostalgia masa kecil dimanfaatkan sebagai parade IP semata.  Chip ‘N Dale ini juga sebenarnya dibuat dengan niat seperti itu. Namun sutradara Akiva Schaffer mendorong konsep ‘hey, here are your favorite childhood characters‘ lebih jauh lagi. Yang menyenangkan dari film ini adalah mereka memang memperlihatkan perkembangan. Mereka semacam membangun dunia-cerita yang meta, dan mengeksplor cerita dari sana. Dale (disuarakan dengan pas oleh Andy Sandberg) capek jadi sidekick Chip di serial kartun mereka, sehingga memutuskan untuk nyari proyek solo, dan begitulah akhirnya duo ini pisah. Hingga sekarang. Dale operasi dirinya jadi animasi 3D untuk stay relevant dan Chip kerja di balik meja. Dengan setting yang menarik tersebut, film seperti berusaha ngasih lihat perkembangan animasi di balik nostalgia. Mencoba membayangkan gimana para tokoh kartun ini sebagai aktor beneran. Dan hasilnya memang lucu dan supermenarik. Banyak karakter dari berbagai kartun dihadirkan, dan permasalahan mereka disangkutkan dengan soal kartun-kartun bajakan.

Tapi ya itu tadi, film ini tidak pernah diniatkan untuk dibuat mendalam. Hey, ini ada masalah bootleg, ini ada issue soal trend animasi, mari kita bikin cerita yang actually memberikan gagasan tentang semua itu. Tidak. Chip ‘N Dale bukan great film karena memilih untuk membangun penceritaan berdasarkan surprise dan nostalgia value, sehingga banyak menomorduakan kaidah-kaidah film beneran. In the end, ini masih kayak kartun mereka dulu, tapi dengan setting berbeda. Kuharap film ini dibuatkan juga versi gamenya.

The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for CHIP ‘N DALE: RESCUE RANGERS.

.

 

 

DUAL Review

Kita biasanya gak peduli sama apa yang kita punya, sampai sesuatu yang dipunya itu hendak direbut oleh orang lain. Kadang nilai sesuatu baru kita hargai, baru terasa, saat kita sudah kehilangan. Kupikir bahasan tentang hal tersebut bakal selalu jadi bahasan yang tragis. Tapi sutradara Riley Stearns somehow berhasil mengarahkannya ke dalam cerita dark comedy. Aku merasa bersalah juga, banyak ketawa miris melihat Karen Gillan yang di sini jadi Sarah yang hidupnya dicolong oleh kloningannya sendiri.

Sarah orangnya pendiam, gak asik, dia bosan ama hidupnya. Gak ada passion lagi ke pasangannya, juga selalu menghindar saat ditelpon ibunya. Momen pertama karakter ini kocak-tapi-sedih banget adalah ketika dia biasa aja saat dikasih tahu dokter hidupnya tinggal beberapa waktu lagi. Sarah justru kayak senang ketika dia sadar masalah hidupnya bakal jadi masalah kloningan. Ya. di dunia antah-berantah tempat tinggal Sarah, ada teknologi klone yang disediakan khusus untuk keluarga pasien yang hendak meninggal. Supaya gak sedih-sedih amat lah. Masalah baru muncul ketika Sarah gak jadi mati, jadi kloningannya sesuai hukum harus ‘dimatikan’ tapi si kloning menjalani hidupnya lebih baik daripada yang Sarah lakukan. Bahkan orang-orang terdekat Sarah lebih suka si kloningan ketimbang Sarah yang asli. Di titik cerita ini, aku benar-benar merasa gak enak udah ketawa.

Kupikir itulah kekuatan sekaligus juga kelemahan film Dual. Berhasil menemukan titik tengah tempat penonton bisa mengobservasi sekaligus berefleksi juga. Medan yang ditempuh film sebenarnya sulit. Sarah, misalnya, harus tampil ‘jauh’, terlepas dari penonton. Dan memang susah ngikutin karakter yang gak ada semangat sama sekali seperti ini. Tapi ketika waktunya tiba, Sarah harus bisa mendapat simpati, dan itu hanya bisa dilakukan dari seberapa kuatnya film menjalin kita lewat situasi metafora. Dual meminta banyak kepada kita.  Tapi memang ketika konek, film ini jadi seru. Paruh akhirnya buatku bisa jadi celah untuk film mulai menggali lebih dalam perihal hidup dan eksistensi. Sayangnya, film ini memilih untuk membungkus cerita dengan cara yang seperti mengelak dari bahasan tersebut. Dan itu membuat journey Sarah jadi mentah, karena ternyata film hanya menjadikan semuanya sebagai ‘hukuman’. Bukan pembelajaran baginya.

The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for DUAL

 

 

 

HUSTLE Review

Meskipun setting ceritanya memang di lingkungan basket, tapi sutradara Jeremiah Zagar tidak semata membuat film tentang olahraga basket, melainkan lebih sebagai drama tentang keluarga dan ambisi. Sehingga kita gak perlu untuk jadi penggemar basket dulu untuk menonton Hustle. Malah, dijamin, Hustle akan menyentuh setiap penonton yang menyaksikan ceritanya.

Adam Sandler sekali lagi membuktikan kematangan aktingnya. Dengan ini namanya tidak lagi disinonimkan dengan komedi-komedi receh. Sandler justru memperlihatkan taringnya sebagai aktor drama keluarga yang punya range natural sehingga karakter yang ia mainkan terasa hidup. Di sini dia adalah mantan pebasket yang kini jadi pencari talent karena cintanya dia terhadap olahraga ini. Dan memang penampilan akting Adam Sandler-lah yang membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. Yang membuat naik turun dramanya  tidak seperti bola basket yang didrible keras. Melainkan melantun dengan emosional. Center film ini adalah hubungan antara Sandler dengan pria yang ia temukan jago bermain basket, tapi pria ini not yet ready. Jadi dia harus digembleng, dengan segala permasalahan seputar tim Sandler tidak percaya, dan Sandler melatih orang ini menggunakan biaya dari kantongnya sendiri.

See, Sandler sendiri di sini harus bekerja sebagai tim. Apalagi lawan mainnya kebanyakan adalah pemain basket beneran yang baru sekali ini berakting. Mungkin karena permainan Sandler tinggi di atas yang lain itulah, aku merasa agak kurang konek dengan aktor lain. Terutama lawan mainnya. Aku tidak benar-benar merasa si pria bernama Bo ini pengen banget jadi pemain basket. The reason he played juga gak ditonjolin kuat, hingga ke paruh akhir saat permasalahan baru personal bagi dirinya. Inilah yang membuatku agak sedikit kurang berada di belakang perjuangan mereka saat awal hingga pertengahan cerita. Untuk sebagian besar waktu aku merasa duduk di sana untuk melihat the magic of basketball cinema saja, karakternya kurang. Hanya Sandler yang menonjol.

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HUSTLE

 

 

 

INCANTATION Review

Yup, there’s no doubt film ini menunggangi kepopuleran The Medium tahun lalu. Hadir dengan tema horor supernatural, kepercayaan dewa-dewa, dan bercerita dengan teknik found footage.

Dalam beberapa hal, sutradara Taiwan Kevin Ko sebenarnya melakukan lebih baik daripada The Medium. Dia bercerita dengan konsep found footage yang lebih solid ketimbang The Medium yang di awal malah tampak seperti mockumentary lalu lantas ngescrap konsep itu dan beralih jadi full cuplikan kamera. Karakter utamanya juga lebih kuat. Incantation ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang di masa lalu pernah melanggar suatu ritual, dan sekarang dampak dari perbuatannya berhasil catching up, dan nyawa putri ciliknya jadi taruhan. Gak kayak Medium, perspektif tokoh utama film Incantation ini lebih fokus dan gak pindah-pindah. Dari aspek horor, selain gimmick pov langsung dari kamera, Incantation juga punya elemen body horror yang langsung menyerang fobia penonton. Diperkuat juga dengan bahasan soal persepsi; gimana kutukan dan berkah sebenarnya tergantung cara orang memandangnya.

Hanya saja film ini gak pede. Atau mungkin, film ini terlalu mengincar seru-seruan ketimbang bercerita dengan benar. Karena film ini actually ngebutcher kejadian atau runtutan peristiwanya. Lalu disusun dengan alur bolak-balik, yang seperti tanpa bendungan tensi. Kita akan bolak-balik antara rekaman video karakter di masa lalu dengan di masa sekarang, yang seringkali setiap perpindahan bikin kita lepas dari kejadian sebelumnya. Sehingga nonton ini jadi kerasa capeknya aja. Keseraman, apalagi journey karakternya, jadi nyaris tidak terasa karena sibuk pindah-pindah.

The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for INCANTATION.

 

 

 

METAL LORDS Review

Sebelum Eddie Munson yang bikin semua orang bersimpati, sebenarnya Netflix sudah punya kisah rocker baik hati. Metal Lords garapan sutradara Peter Sollett berkisah tentang dua remaja sekolahan misfit yang mencoba naik-kelas popularitas dengan membentuk grup metal supaya bisa menangin Battle of the Bands.

Selain sebagai cerita coming of age dan persahabatan dua remaja cowok (yang akan involving salah satunya deket ama cewek sehingag mereka jadi renggang), film ini punya ruh metal yang kental. Sehingga tampak seperti sebuah surat cinta terhadap genre musik tersebut. Film membahas tentang bagaimana genre ini di kalangan anak jaman sekarang. Yang lantas semakin berdampak kurang bagus bagi keinginan dua karakter sentralnya untuk populer. Pembahasannya sebenarnya cukup formulaik, alias gak banyak ngasih sesuatu yang baru. Tapi hubungan antarkarakter yang menghidupi ceritanya feels real. Seperti saat melihat Eddie di serial Stranger Things yang membuka mata bahwa, yah, rocker juga manusia, film ini juga memberikan kita insight di balik apa yang dianggap banyak orang sebagai stereotipe seorang anak penyuka musik keras.

Ngomong-ngomong soal keras, I do feel like film ini masih sedikit terlalu berhati-hati, like, masih terlalu ngincar feel good moment. Sedikit pull out punches. Tidak banyak adegan memorable terkait drama. Enggak menjadi sedalam Sing Street. Tapi untuk urusan musik metal, well, film ini memang cukup cadas.  Di adegan battle of the bands, kita akan dapat satu performance musikal yang keren. Bersama satu transformasi karakter yang sama kerennya!

The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for METAL LORDS.

 

 

 

PERJALANAN PERTAMA Review

Ini film paling baru yang masuk daftar Mini Review. Artikel ini kurampungkan Jumat, sedangkan Kamisnya aku baru saja menonton film ini. Aku sebenarnya punya waktu untuk nulis ini ke dalam review panjang. Namun pas nulis kemaren, aku merasa perlu lebih banyak waktu. Sebelum akhirnya aku sampai pada kesimpulan, bahwa karya Arief Malinmudo ini sebenarnya memang mengandung nilai-nilai baik. Bukan hanya kepada anak, ini bisa dijadikan pelajaran buat kita semua untuk tidak memandang sesuatu dengan mengedepankan kebencian. Tapi dalam penceritaannya, masih clunky. Cerita ini punya dua sudut pandang, dan film tidak mulus – tidak benar-benar paralel dalam membahas keduanya.

Jadi ini adalah kisah tentang anak kecil yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia tidak pernah tahu siapa kedua orangtuanya, kakeknya masih menyimpan rahasia. Sehingga si anak kesel. Ketika si Kakek pergi mengantarkan lukisan pesenan orang, si anak yang tadinya ogah-ogahan akhirnya mau ikut menemani. Di tengah perjalanan, lukisannya dicari orang, sehingga mereka harus menemukan. Tapi masalahnya, si anak gak tahu lukisan kakek seperti apa. Dan si kakek gak mau cerita. Film benar-benar ingin menyampaikan perasaan kesal si anak kepada kita sehingga di paruh awal cerita banyak sekali bagian-bagian narasi yang bikin kesel dan konyol. Ini adalah jenis film yang gets better di akhir, saat semuanya sudah diungkap. Tapi untuk film ini, bagian tersebut agak sedikit terlalu lambat datangnya. Membuat kita berlama-lama di bagian yang gajelas  di awal.

Dialog film ini sebenarnya cukup kaya oleh lapisan. Kayak kalimat ‘orangnya sudah ketemu’ di akhir film yang bermakna dua karena diucapkan oleh karakter yang di awal deny bahwa perempuan harus dicari, bukan mencari. Aku gede di Sumatera, jadi aku tahu Melayu dan Sumatera Barat yang jadi latar film ini memang sangat kuat dalam perumpamaan, dan nilai-nilai budi yang baik. Film ini berusaha menjadi sesuai latarnya itu, tapi tidak benar-benar mulus melakukan. Sehingga di awal-awal banyak muatan adegan-adegan yang seperti pesan-pesan random, kurang integral dengan permasalahan inner karakter. Beberapa malah konyol. Kayak ada adegan mereka ngejar bis, nganterin seorang penumpang anak kecil yang tertinggal. Dan lalu ada suara ibunya yang ngomen dari atas bus, lalu lantas si ibu ngajak anaknya selfie. Konyol sekali.

The Palace of Wisdom gives 6 gold stars out of 10 for PERJALANAN PERTAMA.

 

 

 

RANAH 3 WARNA Review

Satu lagi cerita dari tanah Minang, yang juga menjunjung nilai-nilai kebaikan dan berakar kuat kepada adat. Bedanya, Ranah 3 Warna diadaptasi dari novel, dan merupakan cerita sekuel. Sehingga punya advantage dari sisi dunia-cerita dan karakter-karakter yang sudah lebih established. Tapi itu tidak lantas berarti lebih baik dalam penceritaan.

Ranah 3 Warna memang lebih imersif. Di sini karakternya akan berdialog minang dan hanya berbahasa Indonesia kepada karakter yang gak bisa bahasa daerah. Persoalan bahasa benar-benar dikuatkan, karena setting tempat benar-benar masuk ke dalam narasi. Sesuai judulnya, akan ada 3 daerah, banyak budaya, banyak bahasa yang jadi panggung dan mempengaruhi karakter sentral. Tapi ini juga lantas membuat film jadi episodik, karena Ranah 3 Warna diarahkan Guntur Soeharjanto lebih seperti novel, ketimbang seperti film. Dalam film biasanya, konflik karakter akan dibuild up, stake naik, dan solusi baru ketemu di babak akhir cerita, sehingga segala usaha dan pay offnya jadi terasa gede sebagai akhir perjalanan. Ranah 3 Warna ini, konflik itu hadir sebagai permasalahan yang sama dihadapi oleh karakter di setiap tempat yang berbeda. Mereka tidak mengembangkan untuk satu film, tapi satu tempat. Lalu mengulang permasalahan itu ketika karakter kita pindah ke tempat yang baru. Jadinya terasa sangat repetitif.

Apa permasalahannya? soal kesabaran. Jadi ketika di Bandung, karakter kita dihadapkan kepada situasi yang menguji kesabarannya, lalu dia belajar dari nasihat orang, dan lalu ketemu solusi. Adegan berikutnya, pindah tinggal di negara lain. Dan formula konfliknya berulang kembali, walaupun seharusnya karakter utama sudah belajar tentang kesabaran itu di problem sebelumnya. Penonton awam mungkin gak akan masalah, apalagi karena film ini dihidupi oleh karakter-karakter menyenangkan, dengan pesan-pesan yang baik. Film ini bakal menang award cerita berbudi luhur (kalo ada). Tapi sebagai film, ini masih berupa pesan yang disampaikan berulang kali. Nonton ini, aku yang merasa harus belajar sabar.

The Palace of Wisdom gives 5 gold star out of 10 for RANAH 3 WARNA

 

 

 

THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT Review

Dibuka oleh film meta, ditutup oleh film meta. Yup, sama seperti Chip ‘N Dale yang mengangkat kisah petualangan beneran dari aktor film kartun, film Unbearable ini juga begitu. Mengangkat kisah aktor yang harus ngalamin petualangan beneran. Aktor yang dimaksud adalah Nicolas Cage, yang di sini memainkan versi aktor dari dirinya sendiri. Karakter Nick Cage yang ia perankan dibentuk dari meme, gosip, isu, dan perjalanan karir ikonik yang ditempuhnya dalam real life. So yea, ini adalah film yang sangat lucu, bermain-main dengan karir aktor pemerannya.

Sutradara Tom Gormican tidak lantas membuatnya sebagai perjalanan nostalgia. Melainkan benar-benar mengolah cerita dari sudut pandang aktor Nick Cage. Bagaimana jika persona tersebut dijadikan karakter. Dimainkan langsung oleh Nicolas Cage hanya menambah lapisan di dalam karakter ini. Jika film harus bisa memblurkan antara fiksi dan realita, maka film ini garis tersebut tidak bisa lebih blur lagi. Penceritaannya dibuat ringan, sehingga tidak lantas ujug-ujug jadi  Birdman versi real. Lucunya, film ini membuat hal menjadi lebih besar lagi dengan membenturkan yang namanya film character driven, dengan film action. Dua tone ini meluncur mulus, dan ini membuktikan betapa Nicolas Cage benar-benar fluid dan versatile, di atas punya selera humor yang juga juara.

Tentu saja film bukan hanya tentang satu orang, walaupun basically build around ‘myth’ tentang dirinya. Film juga punya karakter-karakter lain. Dan di sini, semua karakter berhasil mencuri perhatian. At heart, film ini juga adalah tentang persahabatan. Nick Cage akan berteman dengan seorang yang ternyata berkaitan dengan kelompok mafia. Dan persahabatan mereka, yang involving mereka menggarap naskah film bersama-sama menjadi highlight yang bikin ini semakin menyenangkan untuk diikuti.  Jika kalian snob film, film ini akan menghibur tanpa ‘memangsa’ sel otakmu. Jika kalian suka film action heboh, film ini akan membuatmu lebih dari sekadar puas. Jika kalian suka Nicolas Cage, kalian akan treasure this movie forever.

The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE UNBEARABLE WEIGHT OF MASSIVE TALENT.

 

 

 

That’s all we have for now

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 


THOR: LOVE AND THUNDER Review

 

“The saddest thing about betrayal is it never comes from your enemies”

 

 

Dikhianati itu memang gak enak. Rasanya nyelekit banget. Bayangkan kita sudah menaruh harapan kepada orang,  kita sudah begitu percaya mereka akan either memegang rahasia, menepati janji, atau selalu ada saat dibutuhkan, tapi ternyata mereka tidak menganggap harapan dan kepercayaan kita kepada mereka sebagai sesuatu yang berharga. Di situlah letak sakitnya; yang disebut berkhianat itu pelakunya bukan musuh yang kita benci. Tapi justru orang yang kita sayang, Yang kita percaya. Penguasa, misalnya. I hate to get political saat ngomongin superhero yang harusnya fun, tapi sepertinya memang itulah yang sedikit disentil oleh Taika Waititi dalam projek Thor kedua yang ia tangani; Thor keempat – Love and Thunder. Origin karakter penjahat utama di film ini ia hadirkan sebagai seseorang yang merasa dikhianati oleh dewa yang ia puja. Bahwa dewanya tidak menolong saat sedang kesusahan. Bahwa dewa hanya mau dipuja. Sehingga si karakter bersumpah untuk membasmi semua dewa di dunia. Tentu saja ini jadi cikal konflik yang menarik, karena protagonis yang kita semua sudah kenal di cerita ini adalah Thor, yang juga seorang dewa.

Namun Thor bukan dewa sembarang dewa. Thor telah melalui begitu banyak. Seperti yang dinarasikan oleh si monster batu Korg (disuarakan langsung oleh pak sutradara) lewat adegan eksposisi yang merangkum perjalanan karakter Thor dari tiga film sebelumnya, Thor adalah dewa yang ngalamin naik-turunnya kehidupan. Dia bukan dewa agung yang duduk di singgasana emas sambil makan anggur. Thor adalah dewa superhero yang berjuang menyelamatkan dunia. Thor pernah terpuruk hingga badannya gemuk. Thor pernah kehilangan sahabat, saudara, keluarga, dan bahkan pacar. Jika ada dewa yang bisa menaruh simpati kepada Gorr (nama karakter yang  dendam kepada para dewa itu) maka Thor-lah dewanya.

Setting dan latar cerita film ini sebenarnya sudah perfect. Lupakan dulu multiverse dan karakter Marvel lain (tim Guardians of the Galaxy yang sempat muncul sebagai penyambung film ini dengan sebelumnya pun akan segera menyingkir), Thor Empat ini kembali kepada sebuah cerita yang berdiri di dalam franchisenya sendiri. Film ini hadir dengan stake gede yang personal, yaitu pemusnahan para dewa (termasuk Thor) sekaligus mengangkat pertanyaan bukankah sebaiknya memang para dewa penguasa lalim itu musnah saja? Sebelum membahas itu lebih lanjut, film menghadirkan satu aspek menarik lagi buat Thor. Supaya Thor (Chris Hemsworth tampak makin prima – physically and mentally – mainin karakter ini) semakin tergali tidak cuma sebatas bereaksi terhadap tindakan Gorr, dia dibuat berkonfrontasi dengan Jane Foster (Natalie Portman, welcome baaacccckkk!) yang kini punya kekuatan dan atribut serupa si Dewa Guntur, lengkap dengan senjata lama milik Thor yakni Palu Mjolnir. So in a way, film dengan gaya tuturnya yang kocak ini turut menggali gimana Thor merasa ‘dikhinati’ oleh senjata lamanya yang kini memihak mantannya.

Need more Darcy. Darcy is the GOAT!

 

Meski berusaha untuk hadir sebagai kisah sendiri (another classic adventure of Thor!) tapi memang terasa film ini sedikit kerepotan dengan karakter-karakternya. Dalam pengembangannya, Thor terasa jadi kurang sepadan dengan Gorr, dalam artian journeynya tidak benar-benar paralel. Pun sedari awal, alur film ini bergerak lewat keputusan dan aksi dari Gorr, yang posisinya adalah penjahat. Film ini mirip sama Avengers Infinity War (2018), yang Thanos, penjahatnya lebih cocok sebagai karakter utama sementara para karakter superhero bereaksi terhadap tindakan yang ia lakukan.  Di sisi lain, aspek ini mengindikasikan satu hal positif. Yaitu film ini – seperti halnya Infinity War – punya karakter villain yang ditulis dengan solid. Aspek yang langka dalam genre superhero secara keseluruhan. Penjahatnya gak sekadar pengen nguasain atau bikin hancur dunia. Melainkan, ngasih sesuatu untuk kita pikirkan. Dalam hal ini adalah soal penguasa.  Secara karakterisasi, Thor memang kalah ‘kuat’. Selain hanya lebih berupa bereaksi, pembelajaran yang ia alami pun kurang nendang dan kurang sejalan. Bagi Thor yang aware sama konflik yang mendera Gorr, perkembangan karakter cuma di awal dia show off sendiri dan nanti di akhir cerita dia jadi lebih luwer berteam work. Termasuk di antaranya membagi kekuatan dengan anak-anak – yang kuakui ini jadi aspek yang seru dan memuaskan karena aku sudah lama minta ini kepada film-film superhero hiburan. Libatkan anak-anak. Bikin mereka ngerasain jadi superhero itu seperti apa. Anyway, pembelajaran Thor intinya adalah learn to trust, dia juga gak insecure lagi sama Jane dan Mjolnir yang jadi superhero, yang fungsinya kayak cuma ngasih lihat bahwa ada Dewa yang ‘bener’.

Makanya Thor justru lebih cocok dengan penjahat sampingan yang muncul di film ini. Dewa Zeus (portrayal yang kocak dari Russel Crowe hihihi)  Pemimpin para dewa seluruh mitologi itu ternyata seorang yang pengecut dan memikirkan keselamatan golongannya sendiri. Permasalahan Thor dengan Zeus justru seperti disimpan untuk film berikutnya. Interaksi mereka masih dibiarkan terbatas, Zeus hanya muncul di satu sekuen. Setelah itu, Thor kembali fokus ke permasalahan dengan Gorr si God Butcher. Nah, justru Jane Foster yang jadi Mighty Thor yang ternyata lebih paralel dengan permasalahan Gorr; mereka sama-sama mortal yang dapat kekuatan. Tapi menggunakannya dengan berbeda. Jane yang mengidap kanker, beralih kepada kekuatan dewa untuk jadi obat. Penyakitnya tidak sembuh, melainkan jadi makin parah, tapi dia tetap berusaha kuat dan memilih untuk menggunakan sisa waktunya menjadi superhero. Bertarung bahu-membahu dengan Thor. Beda dengan Gorr yang seketika kecewa dengan dewa, dan menggunakan kutukan yang mengonsumsi dirinya dengan kekuatan bayangan itu untuk membunuh dan balas dendam. Walau motivasinya kayak Kratos di game God of War original, karakter Gorr sebenarnya deep. Christian Bale tahu ini dan memainkan karakternya yang perlahan semakin meng-zombie itu (bentukannya jadi mirip Marylin Manson!) dengan tone menyeramkan sekaligus menyedihkan.

Adegan Thor ke tempat jamuan para dewa, menjelaskan duduk perkara Gorr dan meminta bantuan, tapi malah dilepehin dan disuruh duduk tenang aja di situ seperti menyentil penguasa yang gak peduli sama rakyat. Yang ternyata hanya menjadikan rakyat sebagai sacrifice, yang bukan saja membiarkan tapi justru balik menyalahkan rakyat. Yang taunya cuma minta dilayanin dan dipuja. yang antikritik. Yang gak bertanggungjawab sama sekali terhadap kekuasaan yang dimiliki. Kalau diliat-liat kondisinya  mirip terjadi kepada rakyat Indonesia waktu pas harga minyak naik, dan rakyat malah disuruh jangan sering-sering pakai minyak goreng. 

 

Memang at the heart, permasalahan yang disentil Taika di film ini bukan permasalahan sepele. Ada orang yang marah sama Dewa (yang dalam konteks karakter tersebut adalah Tuhan) sehingga berontak dan memburu dewa. Menggunakan anak-anak dalam prosesnya. Yang juga kalo ditarik relasinya ke kita, dewa di sini bisa berarti penguasa. Pemerintah yang tak bertanggungjawab kepada rakyat meskipun janji duduk di atas sana sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Lalu ada juga soal relasi asmara yang complicated antara Thor dengan Jane. Kalo film ini digarap Indonesia aku yakin jadinya bakal superhero yang muram dan dark lagi. Itulah hebatnya Taika Waititi, dan Marvel Studios for the matter. Karena mereka selalu bisa membuatnya ke dalam penceritaan yang ringan. Tanpa mengurangi bobot gagasan atau temanya sendiri. Thor: Love and Thunder tetap hadir dengan humor receh yang timbul dari karakter bertingkah norak (supaya mereka tetap grounded) kayak waktu di Thor: Ragnarok (2017). Tentu ini tantangan yang gak gampang. Taika Waititi toh tidak sepenuhnya berhasil meleburkan dua tone kontras. Film ini sedikit tertatih ketika berusaha menyampaikan hal yang serius dengan nada konyol.  But in the end, film ini masih termasuk golongan film yang menghibur. Yang ringan. Yang masih bisa dinikmati oleh penonton anak-anak lewat bimbingan orang tua.

Bayangkan pekikan kedua kambing raksasa Thor kalo mereka tahu beberapa hari lagi Idul Adha

 

Taika bukannya gak aware, sutradara yang gaya humornya unik ini bijak untuk tidak terus-terusan ngepush tingkah norak dan receh karakter. Porsinya memang sedikit dikurangi ketimbang Ragnarok. Taika mengalihkan komedinya kepada cara menuturkan. Sebenarnya film ini banyak bagian eksposisi. Nah, Taika menghandle itu dengan dijadikan gimmick komedi. Kadang dia membuatnya sebagai tontonan pertunjukan, kadang dia juga membuatnya sebagai cerita api-unggun, you know, bergaya narasi paparan oleh Korg, ataupun dia memainkan eksposisi ke dalam montase genre. Kayak ketika menjelaskan hubungan masa lalu antara Thor dan Jane, film membuatnya ke dalam narasi situasi dalam rom-com. Sentuhan-sentuhan ini jadi memperkaya range komedi yang bisa dilakukan oleh film Thor. Membuat filmnya sendiri jadi terus menarik. Sehingga walaupun kadang tonenya timpang, atau recehnya just not work, film ini masih terus mengalir dalam bercerita.

 

 

 

 

Ini merupakan film stand-alone MCU pertama yang mencapai film keempat, dan berhasil terasa tetap fresh. Progres tokoh utamanya terasa. Eksplorasi ceritanya terus berkembang dan berhasil terjaga dalam konteks dunia itu saja. Yang adalah permasalahan dunia dewa-dewa.  Sekali lagi Taika Waititi berhasil membuat mereka grounded dengan permasalahan yang relevan. Gaya komedi, arahan colorful, musik rock, dan karakter-karakternya masih tetap ajaib, membuat film semakin menghibur. Personal favoritku adalah film ini melibatkan anak-anak dalam cerita dan aksinya. Sedikit issue pada tone karena cerita bermuatan cukup serius, tapi tidak benar-benar mengganggu. Struggle sebenarnya film ini ada pada membuat bagaimana Thor bisa tetap relevan di cerita ini. Karakterisasinya kalah kuat, tapi film berhasil ngasih sedikit perkembangan pada Thor sekaligus menjadikannya hook ke petualangan classic berikutnya!
The Palace of Wisdom gives 7.5  out of 10 gold stars for THOR: LOVE AND THUNDER

 

 

That’s all we have for now.

Setujukah kalian penguasa di negeri kita udah kayak dewa?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

WWE Money in the Bank 2022 Review

 

 

Money in the Bank sudah dikiaskan dalam berbagai cara. You know, namanya berasal dari gimmick pertandingan yang pemenangnya bakal mendapat jaminan kontrak pertandingan kejuaraan. kapanpun di manapun si pemenang mau. WWE menyebut ‘pencairan’ kontrak tersebut sebagai ‘perampokan’. Pertandingannya sendiri  sering kita anggap sebagai lomba panjat pinang ala gulat. Tahun kemaren WWE menyebut pertandingan ini sebagai investasi, karena punya risk dan reward yang gede. Dan tahun ini, mumpung mereka mengadakannya di Las Vegas, WWE menyebut Money in the Bank sebagai sebuah gamble. Judi. Mereka gak tau aja ya, belakangan nonton WWE memang berasa untung-untungan. Kadang bagus, kadang meh banget. Nonton MITB 2022, however,  memang berasa nyaris seperti dapat sebuah jackpot. Karena di acara ini, WWE memberikan banyak hal yang diminta oleh para fans.

WWE akhirnya memberikan kemenangan kepada superstar yang benar-benar memerlukan sebuah kemenangan. Superstar seperti Liv Morgan.  Liv sudah lama jadi fan favorite tapi belum pernah diberikan push yang total. Untuk periode waktu yang lama sekali, Liv cuma jadi penggembira. Ternyata WWE mendengarkan juga permintaan penggemar. Liv yang tiap hari semakin over, ditambah dengan rumor akan muncul berakting di film The Kill Room, sekarang jadi bintang tersembunyi dalam pertandingan Money in the Bank. Kenapa aku bilang bintang tersembunyi? Karena begitulah WWE membangun match ini buat Liv.  Pertandingan Money in the Bank partai cewek yang dijadikan pembuka itu dipenuhi oleh superstar yang sedang hot-hotnya dipush, dan difavoritkan menang. WWE justru membangun ini dari feud antara Becky Lynch dengan Asuka, dua langganan juara.  This come out as a swerve, pertandingan ini dibuat dengan format ala car-crash seperti biasa, masing-masing peserta akan dapat spot berbahaya, tapi fokus seperti terus kembali kepada Becky yang ingin mengubah nasib buruknya ataupun kepada Asuka yang returnnya belum memberikan ledakan besar. Singkatnya, Liv sama sekali tidak ditonjolkan. Match yang sebenarnya standar itu lantas pecah begitu penonton mulai melihat jalan kemenangan Liv Morgan. Dan mengingat ini baru partai pertama, kemenangan Liv jadi mengeset mood yang bagus bagi penonton, dan WWE menangkap ini dan terus mengolahnya menjadi drama.

Mari berharap Liv Morgan tidak jadi seperti push Nikki A.S.H. tahun kemaren

 

Gimana gak drama? Kupikir pertandingan pembuka itu jadi terakhir kalinya kita melihat Liv malam ini. Twitter sudah berisik ngasih congrats kepada Liv, tapi perayaan terbesar ternyata baru akan terjadi di paruh akhir acara. Setelah pertandingan bergaya submission yang berlangsung cukup cepat antara Ronda Rousey mempertahankan sabuknya melawan Natalya – match yang gak benar-benar punya interest, selain untuk melihat Ronda ‘disekolahin’ ama veteran kayak Natalya – musik Liv terdengar dan dia muncul mau ngecash in kopernya kepada Ronda. Aku sempat melompat dan ngumpat WWE mau ngetroll kita dengan bikin Liv kalah, like, seems there’s no way Ronda yang dipush sebagai superstar MMA kuat – Lesnar versi divisi cewek – bakal kalah seperti itu. Yang kondisinya bahkan gak parah-parah amat. Liv yang baru saja ikut pertandingan tangga kayaknya lebih babak belur dibanding Ronda. Apalagi pas melihat Liv langsung kena Ankle Lock, salah satu submission ‘terkuat’ dalam ring WWE – dipakai sebagai finisher oleh legends technical semacam Ken Shamrock dan Kurt Angle – I was like DAMN!! Di sini, aku minta maaf kepada WWE karena udah suudzon kayak gitu, karena ternyata mereka cuma memainkan itu untuk drama. Liv pulled through and win her first Women’s Championship! Dan dia melakukannya pakai pin ala Rhea Ripley for extra cheers!!

Ya, bukan saja memberikan apa yang fans inginkan, tapi WWE melakukannya dengan dramatis. Melalui build up yang unik, karena justru menurunkan ekspektasi kita. Ah, ini kayak match biasa. Tapi lalu kemudian the power of doing-what-fans-wants menunjukkan keampuhannya. Tentu, apa yang dimau fans gak bisa dituruti begitu saja. Kayak film aja, kebanyakan ngikut maunya penonton malah akan membuat filmnya jadi ‘ketebak’ alias gak surprise atau yang paling parah, film jadi gak punya tone dan visi yang jelas. Terlalu catering penonton justru jangka panjang akan membuat stuk karena penonton akan cepat jadi bosan. WWE sedari dulu bergulat dengan ini. Mereka gak mau ngasih gitu aja. Kita udah sering dengar gimana WWE membatasi gerakan-gerakan heboh yang dilakukan oleh superstar untuk alasan sepele seperti gerakan tersebut sudah dilakukan di awal. WWE percaya kepada build up yang proper dan generate reaction yang terukur. Money in the Bank kali ini hanyalah satu dari momen langka ketika keinginan fans sudah memuncak dan semuanya harus dilakukan sekarang. Jadi,  WWE mencoba melakukannya dengan dramatis. Mengubah ekspektasi menjadi sesuatu yang lebih heboh. Mereka ngasih kita kemenangan Lashley, feud antara Sheamus dengan Drew yang dibangun tampak menyenangkan selama MITB cowok berlangsung, aksi-aksi Riddle, dan bahkan vignette misterius yang langsung membuat fans seantero dunia berspekulasi bahwa Bray Wyatt is coming back!! 

Dramatisasi yang heboh bukan hanya dilakukan untuk nurutin fans. Lihat aja Theory di MITB cowok. Loh kok ada Theory? Tuh, kan! In a classic GM-interruption fashion, sebelum MITB cowok dimulai, kita melihat Adam Pearce nongol dan ngasih tau bahwa ada seorang peserta tambahan. Ini kan ‘akal-akalan’ WWE biar fans langsung histeris. Ada yang bilang Cody jadi surprise. Ada juga yang ngaitkan dengan berita Logan Paul udah teken kontrak, sehingga ngarep si Youtuber itu yang jadi peserta kejutan. Taunya si Theory bangsat! Kemarahan dan kekeselan penonton di arena langsung terasa loh. Tapi inilah yang diincar WWE. Heat yang membuat pertandingan ujungnya menjadi lebih dramatis. Sama seperti Liv, Theory juga dibuat gak menonjol. Saat enam superstar lain bekerja sama melempar Omos ke meja komentator, Theory gak ada. Dia disimpan untuk bikin penonton marah. Itulah bedanya dia dengan Liv di MITB cewek. WWE tidak lagi mengincar kejutan yang menyenangkan, melainkan ingin membuat Theory sebagai heel nomer wahid. Yang bahkan lebih dibenci daripada Seth Rollins (yang sama seperti istrinya, Becky Lynch, perlahan mulai mendapat simpati meski masih berperan sebagai heel). Acara ini bagai kita yang naik tangga emosional. Namun semuanya terdeliver perfectly menghibur, meskipun matchnya masih standar.

MITB tidak punya satu match spesial, aku kesulitan mencari MOTN di sini. Karena di sini semuanya adalah tentang deliver ekspektasi dan dramatisasi. Match yang paling garing mungkin Bianca lawan Carmella, Kita semua tahu itu filler, dan WWE gak menaikkan status match itu dengan mengharuskan superstarnya ngelakuin spot dahsyat. Melainkan, WWE terus menarik drama. Carmella dibikin masih dendam, for some reason. Dan kekalahan tragis Street Profits di kejuaraan Tag Team dibikin problematik.

Jika Liv plausible buat ngalahin Ronda, apakah Theory bisa juga dibuat ngalahin Lesnar atau Roman Reigns?

 

 

I’m seriously mempertimbangkan kejuaraan tag team antara Uso melawan Street Profits sebagai MOTN karena sebegitu dramatisnya WWE mendesign alur match mereka. Di awal memang agak boring, tapi Street Profits yang dibuild kuat (mereka bilang semacam prophecy atau semacamnya) dan kita yang dibuild untuk menginginkan ada juara baru, membuat match escalate very quickly. Semangat di atas ring meledak saat Dawkins dan Ford terus menerus ngasih ofensif yang gede, tapi WWE kayak main tarik ulur dengan membuat Jimmy dan Jey terus saja kick out. Ini match yang awalnya aku biasa saja namun membuatku jadi paling terinvest ke dalam emosinya. Penonton di arena pada teriak-teriak “Fight forever!” Sentuhan problematik di akhir juga membuat feud mereka semakin seru, dan kupikir WWE sengaja merancang seperti itu untuk menanamkan build ke SummerSlam. Di satu sisi memang MITB kali ini kayak hanya gimmick. WWE gak benar-benar melakukan hal baru dengan konsep MITB, spotnya pun semuanya sudah kita lihat sebelumnya. Ini adalah everyday show, yang worked great simply karena WWE ngegas di bagian dramatisasi. WWE tahu keinginan fans sudah long overdue, mereka juga tahu exactly apa yang bikin fans ngamuk, dan semua itu akhirnya dimainkan sebagai vokal utama acara ini. Hasilnya ya seru. Bintang baru mulai dapat sorotan, khususnya si Liv dan Theory. Secara teori, ini adalah show yang sukses karena mendeliver suguhannya dengan gemilang. Akan ada banyak yang dijadikan pembicaraan oleh fans dari sini. Sedangkan untuk MOTN, akhirnya aku memutuskan untuk menjadikan Street Profits lawan Usos sebagai MATCH OF THE NIGHT.

MOTN

 

 

Full Results:

1. WOMEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Liv Morgan mengungguli Alexa Bliss, Asuka, Becky Lynch, Lacey Evans, Raquel Rodriguez, dan Shotzi
2. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Bobby Lashley jadi juara baru ngalahin Theory
3. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair retains atas Carmella
4. UNDISPUTED TAG TEAM CHAMPIONSHIP The Usos bertahan dari Street Profits
5. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP Juara bertahan Ronda Rousey mengalahkan Natalya
6. SMACKDOWN WOMEN’S CHAMPIONSHIP MONEY IN THE BANK CASH-IN Liv Morgan merebut sabuk dari Ronda Rousey
7. MEN’S MONEY IN THE BANK LADDER MATCH Theory jadi surprise entrant dan mengalahkan Drew McIntyre, Madcap Moss, Omos, Riddle, Sami Zayn, Seth Rollins, Sheamus

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

THE BLACK PHONE Review

 

“A name pronounced is the recognition of the individual to whom it belongs.”

 

 

Waktu ku kecil, kami yang masih anak-anak punya jam batasan bermain. Terus, gak boleh main sendirian ke tempat sepi. Karena, kata orangtua, banyak penculik anak kecil yang berkeliaran, Isunya, penculik anak itu lagi nyari tumbal untuk bikin jembatan! Jadi anak-anak bandel yang suka main ampe malam, ataupun yang berkeliaran gak jelas, bakal diculik dan dipotong kepalanya untuk dijadikan pondasi jembatan. Ngeri ya hahaha. Masa kecilku itu padahal pertengahan tahun 90an loh. Bergidik juga sih begitu memikirkan kalo di 90an aja ‘ancaman’nya begitu, gimana dengan keadaan di tahun-tahun di atas itu. Tahun 70an misalnya. Saat lebih banyak lagi jembatan yang belum dibangun. Apa itu berarti penculik juga lebih banyak? Yang jelas, tahun segitu serial killer masih banyak. Mereka jadi urban legend, jadi momok bagi semua orang, khususnya anak-anak. Fenomena ini yang diangkat kembali oleh Scott Derrickson, yang juga kembali ke genre horor yang jadi akar karir filmnya. Lewat film The Black Phone, Derrickson membawa kita merasakan seperti apa hidup jadi anak 70an di mana anak-anak bisa diculik siang hari bolong di tengah jalan, dan dipukuli oleh orangtua yang mabok di rumah.

Bicara soal horor dan anak-anak, memang harusnya ada batasan jelas. Mana yang ‘untuk’ mana yang ‘tentang’. Anak-anak sendiri perlu untuk diperkenalkan, dikasih lihat, hal-hal gelap seperti kematian, kehilangan, kekerasan yang memang bisa menimpa ataupun yang memang bakal mereka lalui di dalam kehidupan. Maka menghandle horor dan anak-anak ini haruslah hati-hati. Ada satu batasan lagi yang wajib diperhatikan. Yakni batas eksploitasi anak di dalam genre itu sendiri. Ada banyak film yang membuat horor anak-anak tapi tidak jelas peruntukannya, kayak The Doll 3 baru-baru ini. Film tersebut mengandung tema kehilangan, kecemburuan, hingga bunuh diri pada anak-anak. Materi yang dewasa, diberikan rating yang dewasa pula karena mengandung kekerasan berkaitan dengan karakter anak yang diportray, tapi penulisannya sangat sederhana. Seperti menjadikan anak-anak sebagai objek derita, di dalam sebuah cerita yang didesain untuk bisa ditonton oleh anak-anak itu sendiri (walau bahasannya sebenarnya dewasa). Sebenarnya buat orang kita, it’s not exactly news, sih, Anak-anak jaman dahulu malah dipaksa nonton film PKI alias salah satu film thriller terseram yang pernah dibikin oleh filmmaker kita. Jadi mungkin, menakut-nakuti anak-anak sudah mendarah daging. Film superhero Indonesia aja dibikin kelam dan sadis kok. Makanya, film The Black Phone ini mesti kita jadikan pembanding, bagaimana membuat cerita horor dengan karakter anak-anak, yang membahas peristiwa kekerasan yang bisa dialami anak-anak di dunia nyata, tanpa terasa eksploitatif.

Pelajaran yang langsung bisa kita petik sehubungan itu adalah bahwa The Black Phone tidak pernah ditujukan untuk anak-anak. Film ini komit dengan rating dewasa, dan menunjukkannya ke dalam desain penceritaan yang dewasa juga. Kita di sini akan melihat anak-anak berantem, tonjok-tonjokan hingga berdarah-darah, karakter anak yang dibully mulai dari oleh teman sekolah hingga oleh ayahnya sendiri, anak-anak yang tewas dibunuh. Kita melihat karakter anak yang terus dipush untuk berhadapan dengan hal mengerikan seorang diri. Eh enggak sendirian, ding, karena kita menghadapi bersama dirinya! Ya, tak sekalipun anak-anak dalam The Black Phone kelihatan sebagai objek. Kita tidak ‘menyaksikan’ mereka diculik, dibunuh, ketakutan. Kita ikut merasakan horor yang mereka alami. Feeling teror yang konstan itulah yang menandakan film ini kuat sekali menampilkan perspektif karakter anak yang genuine.

Untung mereka gak tinggal di kota masa kecilku, terornya bisa nambah. Teror mati lampu!

 

Gak usah nunggu lama, transisi tone di prolog alias menit-menit awal sebelum kredit pembuka muncul aja udah gila banget rasanya! Sehabis sorak sorai kompetisi di lapangan baseball, lalu set up relasi karakter utama, semuanya beralih muram saat van hitam itu muncul di tikungan. Best part dari film ini memang adalah babak set upnya. Tiga puluh menit pertama saat kita diperkenalkan kepada lakon cerita dan panggungnya. Kota Colorado itu terasa gak aman. Sudah banyak anak-anak sekolah yang diculik. Beberapa di antaranya, dikenal baik oleh Finney (Mason Thames jadi anak yang pemalu, tapi punya lengan yang kuat!) Babak awal film ini melakukan banyak sekaligus, tapi sukses berat dalam tugasnya, Karakterisasi Finney dan relasinya dengan beberapa karakter kunci berhasil dimantapkan. Finney suka roket, Finney naksir cewek tapi gak berani bilang, Finney tipe anak yang sering dibully, dia butuh bantuan dari teman-teman, bahkan dari adiknya, Gwen. Yang btw diperankan dengan natural dan kocak oleh Madeleine McGraw. Hubungan kedua kakak adik ini dengan ayahnya juga dilandaskan. Tentu saja, Finney jadi korban penculikan berikutnya. Dia toh harus belajar stand up for himself. Nah, di ruang bawah tanah tempat dirinya disekap penculik itulah Finney harus mulai belajar. Also, sesuatu hal mistis terjadi. Telepon dinding yang sudah rusak yang kabelnya gak nyambung itu berdering. Finney mengangkat, dan dia mendengar ruh para korban bicara kepadanya. Mencoba membimbing Finney untuk take action berusaha keluar dari sana.

The Black Phone diangkat dari cerita pendek karangan Joe Hill, putra dari novelist horor kawakan Stephen King. Sedikit banyak, pengaruh bokapnya dapat kita rasakan di balik cerita Hill ini. Terutama dari unsur mistis dan psychic yang dikandung cerita. The Shining, misalnya, ada yang namanya ‘shine’. Kekuatan yang membuat Danny Torrance bisa telepati, punya penglihatan, dan bisa baca pikiran, yang digunakan sebagai fasilitas tak-terjelaskan untuk bantu memajukan plot. Hantu-hantu yang datang untuk membantu Finney juga mengingatkanku kepada hantu penolong di Pet Sematary. Aku gak tahu materi asli Black Phone ini memperlakukan unsur-unsur tersebut seperti apa, aku belum baca cerita pendeknya. Namun dari yang kulihat tertampil di sepanjang durasi, The Black Phone tidak membuat mistis tersebut jadi terlalu menggampangkan. Cerita lain akan settle dengan menjadikan hantu dan kekuatan psychic itu sebagai kemudahan. Alih-alih itu, The Black Phone berusaha mengangkat ‘fasilitas’ ini menjadi sesuatu. Adik Finney yang punya kekuatan penglihatan lewat mimpi diberikan konflik dengan ayahnya, sekaligus juga menyenggol urusan reliji. Meskipun sedikit aspek reliji ini dimainkan lebih sebagai komedi, tapi setidaknya lapisan karakternya bertambah. Dan bantuan dari hantu-hantu enggak lantas membuat aksi dan pilihan Finney jadi selesai. Bayangkanlah seperti petunjuk kasar. Masih banyak yang harus dipelajari, masih banyak yang harus diperjuangkan oleh Finney dengan tangannya sendiri.

Seperti halnya genre lain, dalam horor pun ada klise. Tapinya lagi tidak semua klise harus diberantas, ada juga klise yang masih worked, misalnya dalam horor adalah soal bahwa yang paling mengerikan justru adalah manusia. The Black Phone punya klise ini. Yang horor adalah penculiknya. The Grabber (kayaknya ini peran paling deranged yang pernah dibawakan oleh Ethan Hawke) jauh lebih berbahaya daripada hantu-hantu, karena dia penjahat. Hantu-hantu berdarah itu korban. Persoalan hantu jadi tantangan bagi The Black Phone sebagai horor. Bagaimana membuat makhluk halus berpenampilan mengerikan tetap seram tapi kalah menakutkan dari manusia yang bahkan tidak diperlihatkan secara langsung membunuh karakter anak-anak (kalo di film kita pasti ada adegan yang memperlihatkan The Grabber bunuhin anak kecil dengan sadis). Perhatikan jumpscare yang dilakukan oleh film ini setiap kali kemunculan hantu. Film tidak membuatnya over. Melainkan seadanya, tidak pake suara mengagetkan. Cukup membuat kita ketakutan dari build up kemunculan tapi tidak sampai merampas kita dari simpati ataupun apa yang harusnya kita rasakan kepada mereka yang cuma korban. Segala ‘teatrikal’ justru diberikan kepada The Grabber. Yang gak langsung membunuh, melainkan main mindgame dulu dengan korban. Menikmati jebakan mental yang dia buat sendiri. Yang pake topeng yang berbeda-beda setiap kali kemunculannya.

Topengnya didesain oleh Tom Savini, makanya tampak familiar mirip ama topeng The Fiend di WWE!

 

In many ways, The Grabber yang merasa Finney spesial ini adalah paralel dari kehidupan si karakter utama. The Grabber bisa simbol dari bully yang ia terima. The Grabber yang punya adik ini juga bisa dilihat sebagai lawan dari hubungan Finney dengan Gwen, adiknya. Dan yang paling utama adalah soal banyaknya jenis topeng The Grabber, bersisian dengan Finney yang enggak populer dan bahkan bisa dibilang ‘tidak kelihatan’ di sekolah oleh teman-temannya. Dicuekin. Jadi walaupun karakter The Grabber tidak dikembangkan mendalam, tapi dari desain karakternya dia sudah jadi antagonis yang efektif untuk protagonis kita. Afterall, ini adalah cerita tentang anak yang harus belajar stand up for himself.

Satu yang menarik dicuatkan oleh film dengan subtil ini adalah soal kepentingan dari sebuah nama. Hantu-hantu tidak bisa lagi mengingat nama mereka, Finney yang berbohong soal namanya, dan ending film berupa cewek yang ditaksir Finney menyebut namanya. Nama, seperti wajah di balik topeng, adalah identitas. Hal yang tidak ‘dipunya’ oleh anak-anak korban bully dan korban KDRT seperti Finney. Karena mereka merasa kecil. Film menyebut nama Finney baru dikenal saat dia hilang diculik, The Black Phone menunjukkan bahwa konfirmasi nama oleh orang lain dapat memberikan kekuatan seperti yang kita lihat ketika para hantu jadi merasa damai setelah diberitahu namanya. Perjuangan Finney pun akhirnya menutup ketika dirinya sudah direcognize dengan nama di akhir cerita.

 

Sebagai adaptasi dari cerita pendek, kesan agak dipanjang-panjangin masih sedikit menghantui film ini. Babak kedua yang memperlihatkan proses Finney berusaha melarikan diri, bisa terasa repetitif. Walaupun film memang berusaha menaikkan tantangan, mulai dari Finney harus menggali dengan tangan kosong, ke harus memanjat dengan kabel, hingga ke membuat jebakan dan perkakas. Persoalan mistis dan kekuatan vision adiknya yang tak-terjelaskan pun dapat membuat penonton yang mengharapkan penjelasan pun sedikit kurang puas. Beberapa orang mungkin juga bakal mengeluhkan film ini lambat, tapi aku bisa lihat itu hanya karena horor dalam film ini tidak mencapai ketinggian yang mereka harapkan. Bahwa film ini ternyata hantunya baik, sehingga momen-momen jumpscare yang ditunggu untuk seru-seruan itu gak benar-benar terbayar. Buatku sendiri, film ini amat memuaskan. Aktingnya really good semua. Arahan horor dan dramanya selaras. Babak satunya justru yang paling enak untuk disimak. Aku suka lihat relasi Finney dengan adiknya, dengan temannya. Rasanya sudah lama sekali gak nonton film horor tentang anak-anak yang benar-benar mencekam dan gak sekadar membuat mereka jadi objek. Dan lebih lama lagi rasanya kita gak mendapat karakter horor edan yang pakai topeng keren.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for THE BLACK PHONE

 

 

 

That’s all we have for now.

Apakah menurut kalian anak-anak jaman dulu mengalami tantangan yang lebih dibandingkan dengan anak-anak jaman sekarang?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 


SATRIA DEWA: GATOTKACA Review

 

“The battle line between good and evil runs through the heart of every man.”

 

 

Kancah superhero dikuasai oleh pasukan-pasukan super dari dunia Marvel dan DC. Adik-adik kita lebih familiar sama Batman, Superman, Iron Man, Spider-Man, Captain America berkat gencarnya invasi komik-komik tersebut ke berbagai media pop-culture, salah satunya tentu saja sinema. Padahal Indonesia, yang punya beragam budaya, tentu berarti juga punya segudang materi cerita super yang gak kalah imajinatif. Cuma memang belum tergali aja. Salah satunya adalah kisah pewayangan. Epos hasil asimilasi budaya Jawa dan India itu tentulah sangat cocok untuk dijadikan cerita superhero. Kita gak usah capek-capek membayangkan, karena sekarang memang beneran sudah ada yang mengangkat itu menjadi franchise superhero. Mulai dari komik, mereka siap merambah ke sinematik universe ala superhero barat. Dan kini film pertama dari Satria Dewa Studio sudah resmi tayang. Sutradaranya gak tanggung-tanggung, Hanung Bramantyo! Mengadaptasi kisah Gatotkaca ke dalam setting yang lebih modern. Aku punya harapan besar sama film ini, terlebih karena sebelumnya sudah ada superhero lokal yang diangkat sebagai sinematik universe studio lain. Menurutku film Gundala (2019) itu terlalu gelap dan ambisius. Aku mengharapkan Gatotkaca ini bisa hadir dengan lebih grounded, lebih fokus ke cerita kepahlawanan, yang secara umum lebih bisa diterima. Kalo Gundala dari BumiLangit diibaratkan versi DC dari superhero Indonesia, maka kompetisi ini barulah lengkap jika Satria Dewa dengan Gatotkacanya menjadi padanan Marvel bagi superhero Indonesia. Turns out, kedua jagat superhero lokal ini adalah DC. And not even the good version of DC!

First of all, SU yang jadi kategori umur film Gatotkaca ini gak benar-benar cocok karena di sepuluh menit pertama kita melihat anak kecil dibacok dan dilempar hingga tewas. Adegannya basically terjadi on-screen jika bukan karena warna yang gelap dan editing yang buruk, Dari menit-menit pembuka yang crucial bagi sebuah film itu, Satria Dewa: Gatotkaca melandaskan dirinya sebagai cerita yang kelam, dengan pembahasan yang tak kalah kompleks dan dewasa. Kesan pertamaku saat menyaksikan film ini adalah bahwa dirinya terasa seperti tidak dibuat dengan niat menjadi SU, tapi baru kemudian film utuhnya disesuaikan supaya bisa tayang untuk kategori Semua Umur. Dan buatku, ini jadi sinyal S.O.S pertama. Bahwa film ini mungkin punya masalah’ tidak benar-benar punya power untuk berdiri sesuai dirinya sendiri.

Hihihi pahlawan paling tak konsisten: Otot kawat, tulang besi, nama? kaca!

 

Origin Gatotkaca diceritakan sebagai kisah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya. Yuda (Rizky Nazar sebenarnya tampak fresh dan sangat cocok untuk dijadikan idola baru anak-anak) dan ibunya sedari kecil buron, untuk alasan yang Yuda belum tahu sepenuhnya. Yang ia tahu adalah mereka berpindah-pindah (sempat tinggal di hutan), dan kini ibunya mulai kehilangan ingatan akibat dari kehidupan yang chaos dikejar-kejar oleh kelompok orang yang gak ia tahu siapa. Bukan hanya hidup Yuda, tapi film memberikan dunia yang benar-benar di ambang kerusuhan sebagai panggung cerita. Pandemi, serta kematian orang-orang pintar nan berprestasi nyaris setiap hari. Sahabat Yuda jadi korban terkini. Dibunuh saat acara wisuda di kampusnya. Saat mengusut jejak yang ditinggalkan oleh sahabatnya itulah Yuda bertemu beberapa teman yang membuatnya jadi mengetahui benang merah dari semua kejadian. Bahwa beberapa manusia punya gen Pandawa dan Kurawa. Bahwa gen-gen tersebut melahirkan kekuatan super, dan peperangan Kurawa dan Pandawa sudang di ambang mata. Dan bahwa dirinya ternyata memegang kunci rahasia kekuatan pusaka yang diburu oleh Kurawa. Yuda ‘cuma’ harus belajar menggunakan kekuatan dan menguak misteri sang ayah.

Aspek yang menonjol dari Gatotkaca adalah word-buildingnya. Cerita mengeksplorasi sehingga threat yang merundung Yuda bisa benar-benar terasa personal, sekaligus juga terasa sebagai permasalahan global yang mengancam dunia. Berita orang-orang jadi korban senantiasa menjadi latar, membuat Yuda yang harus terus bergerak merasakan bahaya di mana-mana. Downside dari cerita dengan dunia-khusus dan karakter utama yang sama gak taunya dengan kita tentu adalah soal eksposisi. Film butuh banyak adegan eksposisi, karena ada banyak yang harus dijelaskan. Apa itu Pandawa. Apa itu Kurawa. Apa yang diinginkan para penjahat. Apa legenda di balik semua. Banyak pokoknya, durasi dua jam film ini sebagian besar akan terasa padat oleh adegan-adegan eksposisi. Film actually berjuang untuk menyampaikan masing-masingnya. Penyampaian eksposisi tersebut dilakukan cukup variatif. Ada yang langsung diobrolkan oleh karakter. Ada yang lewat flashback. Ada yang lewat animasi bergaya komik. Sebagian ada yang efektif bercerita, tapi sebagian ada juga yang konyol. Misalnya kayak penjelasan dari karakter yang tak bisa bicara; dilakukan lewat adegan flashback, dengan narasi audio dari si karakter! Hihihi lucu kita mendengar suara hatinya.  Penggunaan banyak eksposisi ini ultimately memang membuat film menjadi jenuh, dan pasti akan sangat memberatkan untuk ditonton oleh anak-anak. Which is why aku bilang film ini tampak seperti tidak diniatkan untuk rating Semua Umur in the first place.

Juga, bagian-bagian eksposisi itu sangat berpengaruh kepada tempo cerita. Babak kedua akan terasa sangat ngedrag karena kita akan berselang-seling dari aksi, montase interaksi karakter, dan paparan-paparan. Membuat film jadi tersendat. Padahal, interaksi karakter Yuda dengan teman-teman seperjuangannya itulah satu-satunya yang bikin hidup film ini, maka harusnya ini yang difokuskan oleh film. Bagaimana Yuda dan teman-teman akhirnya bekerja sebagai tim, bagaimana mereka mengungkap semua. Karakter mereka toh memang menarik. Jadi di tengah nanti Yuda akan bertemu dengan geng superhero yang markasnya menyamar di balik toko barang antik. Ada jagoan pemanah, ada anak kecil yang pinter gadget and stuff, ada ibu-ibu yang punya kekuatan ajaib. Ada juga perempuan bernama Agni yang tak kalah jagoan, dan temannya yang comedic relief (namun annoying). Serta profesor, yang sayangnya sebagian besar porsinya juga untuk eksposisi. Sebagai kompensasi  dari tempo cerita yang lambat, film menggunakan dialog yang cepat-cepat. Yang justru jadi problem berikutnya. Karena penyampaian yang cepat-cepat itu membuat sebagian besar dialog film ini tak-tertangkap. Mau itu obrolan ringan untuk bercanda, hingga ke dialog yang membawa plot, semuanya terasa terucap begitu saja. Jangankan untuk perkataan itu meresap, para aktor saja kayaknya tidak punya waktu untuk benar-benar menunjukkan rasa sesuai dengan yang mereka ucapkan. Alhasil, karakter mereka semua tampak awkward. Tampak sibuk sendiri. Ngeluh sendiri, curhat sendiri, ngelucu sendiri. Tidak banyak yang bisa ditangkap untuk bisa diresapi.

Konsep Pandawa dan Kurawa yang diciptakan film ini sebenarnya menarik. Setiap orang bisa terlahir dengan gen Pandawa  atau gen Kurawa; gen yang jadi blueprint sikap melindungi atau merusak/mengambil. Tapi itu tidak lantas membuat seorang Kurawa pasti orang jahat, maupun sebaliknya. Membuatku sedikit teringat sama Zootopia (2016) dengan karakter berupa hewan predator dan hewan mangsa tapi tidak lantas mengotakkan mereka menjadi mana yang jahat, mana yang baik. Melalui konsep ini, film Gatotkaca seperti ingin menyampaikan bahwa pada manusia yang terpenting adalah pilihannya. Pilihan untuk menjadi orang baik atau orang jahat, despite desain yang digariskan untuknya. Perang besar itu mungkin bukan Baratayuda, melainkan perang di dalam masing-masing orang dalam menentukan ke arah mana ia hendak melangkah. Kebaikan atau kejahatan.

 

Walaupun diceritakan dalam perspektif yang kuat, dibalut romansa yang benar-benar diberikan alasan kenapa pada akhirnya si karakter jadi jatuh cinta (enggak instantly fall in love karena sama-sama cakep), tapi karakter utama kita tidak benar-benar punya perkembangan. Yuda kebanyakan hanya bereaksi. Dia belajar tentang Pandawa Kurawa, dia belajar menggunakan kekuatan, dia mencoba menyelamatkan Agni, dia mendengar kejadian yang sebenarnya. Kejadian yang terjadi juga terus dibikin personal, dibikin berkaitan langsung dengan dirinya. Hanya saja tidak terasa membawa perubahan dari pandangan dia ataupun dari bagaimana dia bersikap terhadap suatu nilai tertentu, atau apapun. Selain jadi jagoan, Yuda gak punya perkembangan yang berarti. Dia cuma literally dari orang yang kalah berantem mulut sama influencer menjadi orang yang berhasil menyelamatkan dunia dengan menunda kebangkitan jenderal Kurawa. Tadinya kupikir persoalan ada Pandawa yang jahat dan ada Kurawa yang baik itu akan langsung berkaitan dengan dirinya. Like, biasanya kan karakter utama yang mengalami krisis identitas. Namun ternyata permasalahan itu diangkat untuk membangun reveal mengejutkan; oh penjahatnya ternyata si anu. Ngomong-ngomong soal penjahatnya itu, ya, penokohannya jadi lemah. Karena diniatkan untuk surprise, kita gak melihat perspektif penjahatnya. Kita tahu misi dan tujuan mereka dari eksposisi. Film harusnya membuat karakter Yayan Ruhian lebih menonjol sebagai penjahat utama, alih-alih ‘bos kedua’. Karena actually karakter yang diperankan Yayan ini lebih compelling dan beneran tampak cocok menghidupi cerita.

Setelah nonton aku ngerti kenapa banyak yang meledek film ini dengan meme “Saatnya menggatot!”

 

Ada dua jenis adegan berantem dalam film ini. Berantem CGI, saat Yuda sudah bisa beneran berubah menjadi Gatotkaca (which is happened di bagian terakhir film, kasian banget anak kecil nungguinnya pasti lama hihihi). Agak sedikit gelap, tapi CGI-nya looks good, gerakannya tampak mulus. Gatotkaca dan musuhnya kelahi sambil terbang, mirip banget ama adegan berantem di udara dalam Dragon Ball Z. Serang, teleport, kejar dengan kecepatan tinggi. Berantem yang kedua adalah adegan dengan jurus yang lebih grounded. Adegan berantem yang seperti ini yang paling banyak. Sayangnya, aku gak tahu apakah untuk memfasilitasi gerakan terbatas dari aktornya, atau karena apa,  tapi berantem film ini disyut dengan cara yang membuat kita mustahil mengikuti apa yang terjadi di layar. Mau itu tempatnya gelap atau terang, berantem ini diambil film dari berbagai sudut dan disatukan dengan editing yang supercepat. Gak kelihatan lagi siapa mukul siapa. Beberapa adegan juga tampak keskip-skip, kayak ada tonjokan yang gak diliatin melainkan langsung ke efek pukulannya, dan sebagainya. Ini mengganggu sekali. Koreografi berantem yang aku yakin seru itu jadi sia-sia karena sama sekali jadi gak keliatan.

Demi memperkuat tema perwayangan, selain menyebut istilah-istilah cerita dalam dunia wayang, film juga actually menggunakan Punakawan (karakter Petruk, Bagong, Gareng, Semar) sebagai transisi cerita. Hal yang sebenarnya sangat fresh (membuatku jadi teringat sama film-film jaman dahulu yang pada pakai adegan transisi sebagai ‘rehat’ durasi yang panjang), kalo saja bagian ngelawak ini tidak difungsikan sebagai iklan yang sangat-sangat in the face. Honestly, sepanjang film memang banyak shot-shot yang berupa product placement. Jadi aku mencoba maklum. Hey, ini adalah film pertama dari proyek universe gede, mereka pasti butuh banyak sponsor. Lagian, film luar pun banyak yang masukin produk. Ya, asalkan masih tampak natural, ini masih bisa dioverlook. Namun tidak lagi saat film benar-benar menyisihkan waktu beberapa menit untuk membuat adegan iklan, yang mereka lakukan ke dalam transisi Punakawan tadi. Ini amat sangat melukai film yang bahkan sudah gak enak pada temponya sedari awal. Adegan yang mestinya bisa gampang dicut dari keseluruhan film ini, membuat kita benar-benar terlepas dari cerita. Benar-benar tampak seperti tempelan yang mengganggu. Dan ini jadi bukti mutlak bahwa Gatotkaca sebagai film gak punya power. Diatur oleh iklan. Aku sedih mikirin sebuah karya harus merendah seperti ini hanya karena mereka mau jadi universe. I mean, harusnya kalo Gatotkaca memang berkaca pada superhero luar seperti Marvel, mereka harusnya bisa melihat kesuksesan sinematik universe bergantung kepada film-film pertama yang grounded dan sederhana. Yang kuat di bangunan cerita dan karakter, sehingga penonton pengen lebih dan mengharapkan ada lanjutan yang lebih bagus. Inilah yang harusnya dipentingkan, alih-alih menempatkan iklan sebanyak-banyaknya untuk menjamin universe itu beneran bisa dibuat.

 

 

Cerita film dengan word-building yang menarik ini sebenarnya dramatis. Penuh kehilangan, tantangan dan segala macam. Namun karena disampaikan lewat dialog yang cepat, pengadeganan yang cepat, dan editing yang brutal, feeling dari adegan-adegannya gak ada yang kena ke kita. Gak ada yang nyampe. Pace film yang sering tersendat oleh paparan, dan iklan-iklan, membuat semakin susah untuk merasa enjoy dalam menonton film ini. Dan no, it is not materi untuk tontonan semua umur. Gak peduli gimana kerasnya usaha mengedit untuk membuatnya ringan dan harmless. Ini cerita fantasi dengan konsekuensi naas, membahas dunia hitam dengan cara yang kelam. Aku berharap besar sama film superhero Indonesia, tapi sekali lagi aku merasa kecewa. Akankah ada film superhero yang benar-benar bisa menyelamatkan genre superhero di perfilman Indonesia?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for SATRIA DEWA: GATOTKACA

 

 

 

That’s all we have for now.

Menurut kalian apakah film superhero itu harus Semua Umur? Atau apakah itu hanya salah kaprah penonton dan pembuat film di Indonesia? Kenapa orang-orang masih banyak yang menganggap film superhero adalah untuk anak-anak?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

JURASSIC WORLD DOMINION Review

 

“We are doomed to coexist”

 

 

Dinosaurus adalah soal ukuran. Dan film terakhir dari trilogi Jurassic World ini percaya bahwa bigger is better.  Maka mereka membuat durasi yang superpanjang, dengan dinosaurus besar-besar yang jumlahnya banyak, dengan karakter manusia yang lebih banyak pula. Bahkan judulnya. Dominion, yang berarti kekuasaan besar. Akan tetapi, ada kata ‘minion’ yang terkandung di dalam kata tersebut. You know, minion, berarti antek, atau bisa juga makhluk-makhluk kecil annoying di animasi anak-anak itu. Nah sayangnya, walaupun digadang-gadangkan sedemikian rupa – yang membuat film ini tak ayal memang cocok sebagai hiburan mainstream –  justru persis seperti minion itulah film ini terasa. Sutradara Colin Trevorrow yang kembali menangani film ini (setelah absen di film kedua, Jurassic World Fallen Kingdom) tidak banyak ngasih apa-apa kepada karakternya, selain untuk nostalgia. Ceritanya pun tampak hanya berpengaruh sedikit terhadap keseluruhan premis besar soal manusia dan hewan purba yang mereka hidupkan kembali. Kayak berputar-putar di tempat saja.

Padahal film keduanya berakhir dengan hook yang bikin penasaran. Dengan taman hiburan dan suaka yang terus saja gagal dan hancur, kadal-kadal raksasa kini hidup berdampingan dengan manusia. Sekuen eksposisi pada pembuka film ketiga ini memang memperlihatkan montase kehidupan manusia dan dinosaurus, beserta problem yang hadir. Hanya saja ini adalah problem yang sudah ada, yang sudah diangkat dari film sebelumnya – bahkan sejak Ian Malcolm dan Alan Grant dan Ellie Sattler memprotes yang dilakukan oleh John Hammond. Jadi naturally kupikir Jurassic World terakhir ini akan benar-benar memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bisakah manusia hidup bersama dinosaurus. Haruskah. Kupikir, jawaban tersebut akan diberikan film ini dengan benar-benar menelisik dan mengeksplorasi segala permasalahan ketika manusia dan dinosaurus berbagi planet kecil yang sama. Bagaimana dengan hewan-hewan. How will everything work. Sekelebat dari pembahasan dinosaurus di dunia manusia itu dihadirkan oleh film ini. Ya sekelebat.

Ini adalah masalah pertamaku buat arahan Trevorrow, sejak Jurassic World pertama. Kameranya seperti tidak mengerti apa sih yang bikin wow dari dinosaurus. Trevorrow di film pertama, dan di film ketiga yang kembali ia tangani ini, masih sibuk meniru Spielberg tanpa menyadari kenapa Jurassic Park pertama bisa demikian mencengangkan. Dia cuma tahu satu hal. Dinosaurus itu besar. Dan cuma itulah yang ia lakukan setiap kali dinosaurus dimunculkan. Makhluk besar yang memenuhi layar. Brachiosaurus yang selebar itu ditampilkannya begitu saja, dia tak peduli kepala si dinosaurus sudah hampir kepotong frame. Bandingkan dengan gimana Steven Spielberg memperlihatkan dinosaurus berleher panjang itu pertama kali. Bukan hanya besarnya yang diinformasikan. Melainkan betapa majesticnya kehadiran makhluk itu bagi manusia yang melihat. Elemen inilah yang absen dari film dinosaurus karya Trevorrow. Saat Spielberg akan menggunakan musik, gerak kamera, serta perspektif dari reaksi manusia untuk mempertegas skala alias perbandingan yang ingin diceritakan, Trevorrow hanya menampilkan gitu aja. Tidak ada gaya khas ataupun sudut pandang yang diperkuat. Jurassic World Kedua bahkan menampilkan dinosaurus dengan lebih baik, karena paling tidak film tersebut berhasil menangkap esensi saat memproyeksikan makhluk itu ke dalam elemen thriller. Begitu banyak adegan dengan dinosaurus ditampilkan pada film ketiga ini, tapi semuanya tampak mentah dan enggak majestic. Sedari opening, adegan paling awal banget aja, aku udah mengerang. Pak sutradara kita gak berubah. Adegan kapal menangkap ikan di laut, diserang dinosaurus air supergede. Kandang penangkap ikan diturunkan ke air, terus diangkat – sudah berisi tangkapan. Dan kemudian “Roaaarrr!” dinosaurus muncul. Literally begitu aja film menampilkannya. Gak ada build up dan segala macam. Di tengah nanti ada adegan karakter nyelam di kubangan berlumpur, dengan dinosaurus pemangsa berdiri tepat di atasnya. Bagian mengendus airnya sih dapet seram dan skalanya, tapi sebagian besar waktu termasuk pas pembuka adegannya, kamera hanya merekam dengan datar. Final battle nantinya melibatkan tiga predator puncak dengan karakter manusia sentral berlarian di tanah sekitar mereka, tapi pertempuran ini sangat biasa. Gelap, cepat, dan gak grande kayak pertempuran di film-film sebelumnya. Gak ada trik teknis apa-apa selain CGI dan animatronik.

T-Rex lawan Giganotosaurus lawan…. Edwardscissorshandsaurus?

 

Kehidupan dinosaurus di dunia manusia pun seperti itu. Disyut dengan normal-normal aja. Dinosaurus dalam film ini diposisikan hampir seperti saat kita melihat makhluk-makhluk planet yang bentuknya lucu-lucu di background adegan film Star Wars. Udah kayak sehari-hari. Mungkin memang karena itu pointnya. Mungkin karena sekarang ceritanya dunia sudah empat tahun ditempati dinosaurus, maka keberadaan mereka jadi biasa aja. Jadi aku mencoba maklum dan mulai memusatkan perhatian kepada karakter manusia. Sebab jika dinosaurus di cerita ini mulai tidak spesial, maka tentulah keistimewaan itu terletak pada pihak satunya lagi – pihak yang coexist bersama dinosaurus di dalam narasi film ini – manusia. ZONK! Turns out, karakter manusia dalam film ini nyaris gak punya plot dan digarap sama datarnya.

Basically film ini punya dua cerita. Pertama cerita tentang Owen dan Claire – pasangan protagonis trilogi ini – yang kini tinggal bersama di pegunungan Sierra Nevada, mencoba untuk melindungi si gadis cloningan, Maisie. Gadis yang sudah mulai remaja itu tentu gak suka ‘dikandangin’, dan dia yang juga tengah krisis identitas, susah menerima harus hidup bersama ‘papa – mama’ bohongannya. Also, hutan belakang rumah mereka, Blue si ‘Petlociraptor’ ternyata bisa punya anak, by herself. Dan kini ada pihak yang mengintai dari balik pepohonan. Mencoba menculik Maisie, dan anak si Raptor. Kedua, cerita  yang dikhususkan untuk menggelitik saraf nostalgia kita. Di belahan dunia lain ada wabah belalang raksasa, dan Ellie beserta Dr. Grant berniat untuk mengusut sumber wabah tersebut. Dua cerita ini akan berujung di suaka dinosaurus yang baru. Dan oleh kebetulan yang bikin plot sinetron dan ftv lokal kita gigit jari, karakter-karakter dari dua periode trilogi Jurassic bakal bertemu di tempat yang sama, dan bekerja sama untuk selamat dari tempat tersebut.

Dan oh yea, soal cloning nanti akan discrap oleh film ini, dan kita akan melihat origin Maisie yang bahkan lebih “meh”lagi.

Alih-alih plot yang grounded, film bikin kita boring dan sumpek oleh mumbo jumbo politik sains dan smuggling dan … oh my god, film ini ternyata menempatkan dirinya jadi film aksi ala espionage atau mata-mata. But I guess I can not complain much about it, karena justru porsi Owen dan Claire menguntit penculik dan berusaha menyusup ke dalam tempat ilmuwan segala macem itulah yang membawa kita ke satu-satunya momen Jurassic World Dominion yang keren dan bikin melek. Aksi kejar-kejaran di sepanjang kota sama velociraptor yang dijadikan senjata pembunuh oleh geng penjahat. Seru aja akhirnya kita melihat kontras yang dijanjikan oleh film. Melihat dinosaurus di habitat manusia. Bikin rusuh dan segala macem. Dan bagian ini tu baru terjadi sekitar satu jam lebih into the movie. Setelah selama itu gak dikasih asupan apa-apa, aksi gede seperti demikian memang jadi penghibur yang ampuh. Balik ke karakter, mereka semua memang gak dikasih banyak perubahan apa-apa. Relasi Owen dan Claire gak dikasih eksplorasi yang baru. Mereka pretty much orang yang sama dengan yang kita lihat  di akhir film kedua. Yang berubah dan punya plot sedikit memang cuma Maisie, tapi karakter yang diperankan Isabella Sermon ini pun tidak ditempatkan di kursi karakter utama. Bicara tentang itu, memang benar-benar kabur siapa yang dijadikan sudut pandang utama di sini. Peran Chris Pratt di sini lebih kecil, motivasi dia lucunya juga menyangkut soal memenuhi janji kepada raptor. Bryce Dallas Howard yang karakternya di sini merasa sebagai ibu, dan diberikan banyak momen aksi juga gak benar-benar punya perkembangan karena karakternya sedari awal sudah right the whole time.

And also, kenapa kelas Paleontologiku dulu gak pernah sekeren di film ini?

 

 

Yang paling kasian memang para karakter legend. Laura Dern, Sam Neill, Jeff Goldblum menyuntikkan sensasi familiar yang juga seringkali lucu, tapi mereka ada di sana gak lebih sebagai penjual nostalgia. Kayak kalo WWE tau-tau munculin superstar dari tahun 90an – gak disuruh gulat, gak disuruh aksi apa-apa, selain ngucapin catchphrase doang – untuk ngeboost rating acara. Tapi bahkan WWE lebih mending, karena sering juga superstar jadul tersebut dijadiin korban serangan superstar muda yang hendak dipush. Jurassic World Dominion bahkan gak punya nyali untuk membunuh salah satu dari mereka untuk menambah stake. Mereka cuma dihadirkan, sebagai karakter yang persis seperti yang diingat oleh para penggemar Jurassic Park. Selain tampang yang sekarang udah menua, mereka masih tampak sebagai karakter yang sama. Nah, inilah masalahnya. Karakter mereka gak ditreat sebagaimana karakter yang layak oleh film ini. Masa iya, udah berapa puluh tahun tapi mereka masih sama. Selain cerai, dan kini sudah cukup sukses dikenal banyak orang, development tiga karakter ini sebagai manusia yang menghidupi dunia cerita enggak ada. Makanya karakter mereka terasa datar.  Mereka gak punya plot, gak punya permasalahan baru. Film cuma butuh karakter ini ada supaya kita bisa nostalgia, maka mereka tidak ngasih apa-apa untuk pembangunan karakter ini. Interaksi mereka dengan karakter baru – yang tentu saja dibuat dengan mereka sebagai referensi – memang berhasil ngasih kekehan di sana sini. Tapi in the end, kita datang ke film untuk melihat cerita, bukan haha hehe reuni atau nostalgia semata.

Manusia disebut makhluk sosial, tapi justru paling banyak masalah dalam urusan hidup bersosial. Like, jangankan dengan dinosaurus seperti yang diangkat film ini, dengan hewan aja manusia bisa seenaknya mendominasi. Bisa seenaknya main gusur. Malahan, jangankan dengan hewan, dengan sesama spesies aja, kita manusia banyak menciptakan kotak-kotak supaya bisa saling bersitegang untuk perbedaan-perbedaan sepele. Maka, jika ada satu hal yang berhasil diperlihatkan oleh film ini maka itu adalah memang manusialah yang harus belajar untuk coexist bersama makhluk lain.  

 

 

Dengan karakter yang nyaris punya plot, dinosaurus-dinosaurus yang ditampilkan datar, dan bahasan yang muter di tempat, maka film ini sukses jadi sajian panjang paling membosankan yang bisa kita saksikan di bioskop tahun 2022. Eksistensi yang dipedulikan oleh film ini ternyata bukan antara manusia dengan dinosaurus, melainkan antara karakter baru dengan karakter lama. Film hanya peduli pada nostalgia dan menjadi besar, tanpa benar-benar mendalami dan mengeksplorasi hal-hal tersebut. Setelah nonton film ini aku jadi merasa gak rela kalo ini adalah akhir dari franchise Jurassic. Karena bagaimana pun juga, ini semua berawal dari Jurassic Park yang udah menginspirasi banyak dan masterpiece, maka sudah seharusnya seluruh karakter dan dunianya mendapat penutup yang jauh lebih layak daripada yang dilakukan oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for JURASSIC WORLD DOMINION

 

 

 

That’s all we have for now.

Ngomong-ngomong soal cerita yang berawal dari penangkaran dinosaurus, bagaimana pendapat kalian tentang kebun binatang secara moral ataupun secara tanggung jawab manusia yang harus hidup coexist dengan hewan?

Share  with us in the comments

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

WWE Hell in a Cell 2022 Review

 

 

 

Bicara soal hell, WWE sedang dalam keadaan semacam hell of a trouble. WWE punya dua flagship brand yang bisa dibilang sebagai pondasi, tapi sekarang satu kaki pondasi tersebut literally enggak sekuat kaki lainnya. Mulai dari ada yang cedera, ada yang minta cuti bentar, hingga yang bermasalah sehingga mengeluarkan diri sendiri, brand Smackdown kini tampak tak sesolid yang biasanya. Ketimpangan ini terasa menjelang live premium event Hell in a Cell yang akhirnya didominasi oleh partai-partai dari brand Raw. Dengan turut absennya superstar paling hot – si Undisputed Champion Roman Reigns – WWE berusaha menjadikan acara ini sebagai kesempatan untuk mendorong wajah-wajah yang lebih fresh. Terutama, WWE ingin memaksimalkan push untuk superstar yang baru saja kembali ke perusahaan ini (sejak setelah enam tahun bergulat untuk perusahaan rival). Cody Rhodes diset bukan saja sebagai bintang-sampul pada poster, melainkan juga dijadikan vocal point dari Hell in a Cell. Spot main event sudah disediakan untuknya. Namun mimpi buruk memang baru saja dimulai bagi WWE. Menjelang jam tayang, Cody Rhodes dikabarkan mengalami cedera saat latihan. The show must go on, WWE berusaha menyulap cedera tersebut menjadi storyline – menaikkan stake untuk storyline Cody Rhodes – kita masuk menonton ini enggak tahu seberapa parah atau apa yang bakal dilakukan oleh WWE. Dan setelah beres nonton tiga jam lebih acara ini, aku cuma bisa bilang: That was one hell of a show!

Di titik ini, aku merasa udah kayak kaset rusak. Entah sudah berapa kali rasanya aku menuliskan soal ragu mau nonton karena WWE tidak demikian berhasil membuild up acara secara keseluruhan, tapi setelah beres kok ternyata memuaskan juga. It’s the superstars. Para pegulat WWE sepertinya memang selalu berusaha menampilkan yang terbaik meskipun ‘lapangan bermain’ mereka enggak sebebas yang diharapkan. Sikap positif dan profesional seperti inilah yang harusnya dijaga. Kita tiru dan kita dukung untuk terus dipertahankan. Seberapapun kesal dan gak suka sama kantor – manajemen, aturan, atau apapun neraka yang tercipta dari lingkungannya- pada akhirnya semua kembali kepada team work, dan yang paling penting adalah mendorong diri untuk menjadi yang terbaik apapun tantangannya. Pertandingan-pertandingan di Hell in a Cell kali ini, kalo dibaca sekilas, jujur aku tak terhype sedikit pun. Tapi nama-nama yang tertera di sana, baik yang sudah terestablish maupun yang baru mencuat, sama-sama berjuang untuk memberikan yang maksimal. Dan effort kolektif mereka itulah yang mengangkat acara ini.

Ini tentang berjuang menaklukkan neraka

 

 

Tengok Kevin Owens dan Ezekiel (alias Elias). Mereka terlibat dalam salah satu storyline terbego yang pernah dipikirkan oleh tim kreatif WWE. Storyline tentang Elias yang comeback dengan tanpa-jenggot dan pakaian berbeda, mengaku bernama Ezekiel, dan memperkenalkan diri sebagai adik dari Elias, dan Kevin Owens – being a sane person he is – enggak percaya. Sinetron Indonesia yang hobi bikin plot orang-kembaran aja kalah dungu sama cerita ini! Tapi kedua superstar ini membuat storyline tersebut super menghibur. Mereka membuat role yang unik. Mereka berhasil membuat kita bersimpati dan mendukung Ezekiel meski kita sama-sama tahu Owens jelas-jelas benar, Dan match mereka di acara ini lebih dari sekadar match komedi. Malahan, match ini malah tampak lebih serius dari yang diniatkan. Itu karena kita sudah demikian terinvest oleh karakter-karakter mereka. Sama halnya dengan Madcap Moss dan Happy Corbin. Berawal dari a rather comedic pairing, Moss dan Corbin (satu-satunya partai dari brand Smackdown yang ngisi acara ini) sukses membawa storyline mereka ke dalam salah satu match yang paling ‘hardcore’ di sini. Transformasi karakter Moss dimainkan dengan meyakinkan dan dia membuktikan dirinya sudah bisa ‘lepas’ dari Corbin, baik secara storyline maupun secara real-sebagai-performer. Moss kini tampak credible sebagai superstar solo, dan aku penasaran apa yang bakal dikasih WWE untuk dirinya ke depan.

Sebaliknya, Omos si raksasa dari Raw yang mau dipush gede-gedean itu masih tampak biasa-biasa saja. Perkembangannya agak sedikit lebih lambat. Bahkan ceritanya kini tampak mulai bergeser ke arah konflik antara Hurt Business ketimbang tentang ngepush dirinya. Beruntung Omos bekerja satu storyline dengan orang-orang yang profesional. Handicap match antara Omos dan MVP melawan Lashley memang masih terasa seperti di level show mingguan, tapi paling enggak aksi-aksinya tampak legit. Semua yang terlibat memainkan peran dan fungsinya dengan baik. And I’m still hype untuk ngeliat Lashley kembali memburu sabuk kejuaraan!

Ngomong-ngomong soal kejuaraan, Hell in a Cell 2022 cuma punya dua championship match. Yang kedua-duanya tampak menjanjikan sebagai proyek masa depan. Pertama, kejuaraan Women brand Raw. Triple threat antara tiga fan favorite; Becky Lynch, Asuka yang baru returned, dan Bianca Belair yang makin ke sini makin nunjukin bahwa dia memang pantas disebut superstar, Partai mereka ini pas banget ditempatkan sebagai pembuka. Aksinya intens, storytelling dan psikologinya dapet, begitu juga range sekuen yang mereka bertiga lakukan. Match kejuaraan jenis ramean seperti triple threat biasanya digunakan WWE untuk memperpanjang napas feud, sekaligus melindungi superstar. Entah itu dari terlalu banyak bergerak (berkaitan dengan protek perihal cedera), maupun dari menelan kekalahan yang bakal merusak momentum. Partai perempuan ini memang agak sedikit terlalu jelas dilakukan untuk memenuhi fungsi tersebut, but it doesn’t stop the superstars to make it very entertaining. Aku suka akhiran match yang semacam membuat Becky dan Bianca seperti circled back ke masing-masing. Kedua,  United States Championship antara Theory melawan Mustafa Ali. Inilah dua bintang muda yang lagi digadangkan WWE, khususnya si Theory. Match mereka di acara ini enerjik, penuh aksi-aksi dengan gerakan yang easily jadi (dan juga reference ke) move favorit. Keliatan keduanya lapar untuk membuktikan diri. Sepertinya yang menahan lajunya match ini adalah Ali yang masih dalam proses ‘hukuman’ oleh WWE.  Ali dulu sempat vokal menyuarakan protes, menuntut untuk dapat spot televisi, dengan nada yang ‘kalo gak mau pake gue mending pecat gue aja’. Kita gak tau di belakang panggung seperti apa; apakah Ali dipush asal harus dihukum dulu apa gimana, yang jelas match yang berlangsung di hometownnya ini adalah kesempatan bagi Ali untuk ngasih yang terbaik, dan dia tahu itu.

Tapi dedikasi yang paling nekat memanglah milik Cody Rhodes. Yang walaupun diberitakan cedera, tetap muncul dan bertanding. Awalnya, demi melihat Cody muncul kayak sehat-sehat aja, kupikir berita cedera itu cuma bo’ongan. Like, storyline yang berusaha dipantik WWE di menit-menit terakhir karena acara mereka kurang hype dan stake. Lalu Cody yang sudah di atas ring, sudah di dalam kandang merah, membuka jaket American Nightmare-nya. Aku terdiam. Komentator terdiam. Semua penonton di arena terdiam. Bahkan tukang sol sepatu yang tadinya ribut di luar rumah juga ikut terdiam (mungkin dia kebetulan keselek hihihi). Dada sebelah kanan Cody merah menghitam. Lebam yang menunjukkan pendarahan di dalam sebab otot yang terlepas. This man memilih tetap bertanding dengan kondisi seperti itu.

Adrenaline in my soul, gendang nyaring ditepak~

 

 

Selama nonton gulat, kayaknya baru kali ini aku nyaksiin hal seperti itu. Kayaknya baru kali ini nuansa disturbing yang real itu menguar, membayangi pertandingan besar. Stake-nya ternyata jadi beneran! Semua penonton tahu Hell in a Cell bukan partai sembarangan, banyak hal yang bisa ‘salah’ terjadi di dalam kerangkeng dan stipulasi tanpa-diskualifikasi itu. Seketika match yang bukan untuk sabuk kejuaraan, yang merupakan kali ketiga dari trilogi Cody-Rollins ini, mendadak jadi terasa amat sangat penting.  Ditambah pula dengan hal kecil yang dilakukan oleh Seth Rollins; datang bergulat dengan kostum polkadot persis kostum khas mendiang ayah Cody, the legendary American Dream Dusty Rhodes. Jadi dengan build up yang mapan, stake yang tinggi, dan set up yang sangat dramatis, pertandingan mereka berjalan dengan even more ‘surprise’. Cody basically bertarung dengan satu tangan, sementara Rollins tampak mengincar kelemahannya (alias dada yang memar jadi kayak lampu kedap-kedip merah di dada Ultraman), dan itu baru phase pertama match. Menit-menit berikutnya menjadi lebih gila lagi. Bukan hanya pake senjata (sledgehammer jadi poin penting narasi dalam partai ini), tapi match ini sendiri juga sempat berubah menjadi match lain saat Cody dan Rollins setuju untuk mengikat diri mereka dengan tali. It’s a bullrope match inside hell in a cell! Respek banget buat Cody yang ngepush kemampuan dirinya yang tengah cedera. Juga buat Rollins yang terbukti jadi salah satu pegulat paling safe untuk dijadikan lawan, sementara tetap bisa memancing heat dari ulah-ulah yang nge-heel abis.

Downside tak terelakkan adalah nambah lagi superstar yang cedera. Dan kali ini Raw juga kena. Cedera Cody Rhodes bisa dipastikan makin kumat, dia hampir pasti bakal rehat panjang. Kuharap gak terlalu ‘panjang’ sehingga mencederai juga momentumnya. Selain Cody, AJ Styles juga ternyata cedera di tengah-tengah pertandingan 6-Man Tag Teamnya melawan tim Judgment Day pimpinan Edge. Kepala Styles sempat bocor, ada beberapa detik wajahnya tampak bersimbah darah setelah melakukan moves di dalam ring, dan sampai akhir match Styles gak terlihat lagi. I hope Styles gak cedera serius (‘cuma’ sobek). However, soal match mereka, sesial-sialnya paling enggak ada tiga superstar muda yang terpush hebat di sini. Rhea Ripley, Damian Priest, dan Liv Morgan. Mereka tampak bisa mengimbangi Finn Balor, AJ Styles, dan Edge yang lebih berpengalaman dalam aksi tim. Match ini seharusnya bisa lebih fun. Secara pribadi, aku lebih suka jika mereka melakukan ini di dalam kandang hell in a cell (konteks dan temanya padahal sudah cocok). But I guess WWE sendiri masih ‘meraba-raba’ soal superstar cewek compete with superstar cowok. Akibatnya mereka masih bermain di aturan bullshit cowok cuma boleh nyerang cowok, cewek cuma boleh nyerang cewek. Aku percaya superstar bakal berusaha yang terbaik apapun situasi yang diberikan, tapi untuk beberapa hal seperti ini aku berharap WWE mau meninjau ulang aturan-aturan mereka  yang agak terlalu mengekang kreativitas.

 

 

 

 

Semua orang berjuang dalam kurungan neraka personal masing-masing. Semua orang berusaha keluar dari sana dengan cara yang terbaik. WWE hampir berhasil melakukannya dengan terbaik, di acara ini. Hampir berhasil mengubah kesulitan dari situasi menjadi sesuatu yang menguntungkan untuk storytelling produk yang mereka lakukan. Karena Hell in a Cell pada akhirnya berhasil jadi tontonan dengan match-match yang walaupun enggak hebat, tapi solid dalam bercerita. Momen yang gak akan terlupa, momen yang bakal jadi highlight dalam sejarah adalah Cody Rhodes memilih untuk tetap bertanding meski cedera, dan bersama Seth Rollins berhasil menyuguhkan pertandingan yang beneran terasa gede, personal, dan juga seru. The Palace of Wisdom menobatkan Cody Rhodes lawan Seth Rollins di Hell in a Cell jadi MATCH OF THE NIGHT.

MOTN

 

 

 

 

Full Results:

1. RAW WOMEN’S CHAMPIONSHIP Bianca Belair mempertahankan sabuk dari Asuka dan Becky Lynch
2. HANDICAP 2-ON-1 Bobby Lashley mengalahkan tim Omos dan MVP
3. SINGLE Kevin Owens ngalahin Ezekiel
4. SIX-PERSON MIXED TAG TEAM The Judgment Day menang atas tim AJ Styles, Finn Balor, dan Liv Morgan
5. NO HOLDS BARRED Madcap Moss akhirnya balas dendam ke Happy Corbin
6. UNITED STATES CHAMPIONSHIP Theory bertahan dari Mustafa Ali
7. HELL IN A CELL Cody Rhodes menang untuk ketiga kalinya melawan Seth Rollins

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE Review

 

“Nobody exists on purpose. Nobody belongs anywhere. Everyone’s gonna die. Come watch TV?”

 

 

Malu aku kalo jadi Marvel (or any other Blockbusters), melihat film Everything Everywhere All at Once. Karena garapan Dan Kwan dan Daniel Scheinert ini dengan telak menendang bokong alesan-alesan yang bilang film menghibur itu harus ringan-ringan aja. Duo sutradara ini mengambil yang terbaik dari Shang-Chi – yakni adegan-adegan aksi yang bikin kung-fu kayak jadi kekuatan superhero dan menempatkannya ke dalam setting multiverse. Dan oh boy, multiverse yang mereka bangun, bukan sekadar dunia luas untuk memunculkan cameo-cameo dan memperbesar franchise. Melainkan multiverse yang benar-benar diintegralkan ke dalam plot. Bagaimana orangtua bisa ngertiin anak mereka? Everything Everywhere All at Once menilik problem keluarga ‘Asia’ serupa Turning Red (2022) dari sudut pandang ibu, dalam tone penuh kegilaan lintas-semesta serupa serial kartun Rick and Morty!

Sehabis nonton, aku masih gak percaya kalo film ini bukan live-action dari kartun tersebut. Bukan hanya karakternya mirip, tapi karakternya juga membicarakan masalah yang sama. Tapi tentu saja yang terpenting adalah perspektif. Dan dengan puas aku mengatakan bahwa Everything Everywhere All at Once ini terasa spesial berkat fokus dan dalamnya penggalian perspektif di balik hingar bingar multiverse dan kekocakan adegan-adegan yang menyertainya.

Yang jadi tokoh utama adalah Evelyn (Michelle Yeoh mainin ‘Beth Smith’ versi lebih stress). Hari itu sibuk banget bagi Evelyn. Usaha laundrynya sehectic yang biasa, pun begitu dia masih harus mempersiapkan makan malam tahunbaruan bersama ayah yang standarnya tinggi. Ugh, tunggu sampai putrinya, Joy, yang memilih untuk jadi lesbi itu sampai ke rumah. Belum apa-apa pikiran Evelyn udah penuh sesak aja. Dia masih harus pergi berurusan dengan auditor usaha laundry, sembari sudah menunggu untuk diurus; perkara perceraian yang suratnya kini ada di dalam tas pinggang sang suami. Yang paling ditunggu Evelyn adalah soal cerai itu. Dia udah gak tahan sama urusan suaminya yang kayak Jerry di Rick and Morty. But hey, mendadak Waymond si suami bersikap aneh. Bawa-bawa alat aneh. Ngakunya sih, Waymond yang ada di tubuh suaminya ini berasal dari universe lain. Semesta canggih di mana Evelyn dan keluarga menemukan alat yang memungkinkan mereka ‘menjenguk’ versi diri mereka di berbagai semesta. Tapi bencana datang dari sana. Ada makhluk bernama Jobu Tupaki yang jadi liar, berpindah semesta sesuka hati, dan dia membawa kehancuran pada setiap semesta yang ia datangi. Evelyn diharapkan jadi penyelamat. Bukan saja karena Jobu Tupperware (nama karakter ini memang dijadikan running joke oleh film lol) mengincar dirinya untuk dimasukkan ke dalam bagel alias donat raksasa. Melainkan juga karena si Jobu Tutupodol ini actually adalah anak Evelyn dari versi semesta yang lain!

Would love to see Evelyn dan Waymond met Beth and Jerry in some crazy-bat shit-adventure together XD

 

 

Di sinilah letak jeniusnya penulisan film ini. Bahkan saat disandingkan mirip dengan karakter Rick and Morty pun, Kwan dan Scheinert melakukan penulisan karakternya lebih kompleks dan lebih fokus. Karakter Rick Sanchez seolah mereka bagi dua dan dimasukkan menjadi karakterisasi Joy dan Gong Gong; ayah dari Evelyn. Ini otomatis menjadikan konflik Evelyn lebih complicated dibandingkan Beth. Evelyn adalah seorang ibu yang berusaha mengerti sikap anaknya, sekaligus mencoba memuaskan ayahnya. Sekali lagi siklus ‘keluarga-Asia’ yang turun temurun penuh harapan yang mengukung tampil di layar lebar.  Dan untuk kali, kita dibuat benar-benar merasakan kecamuk dan hiruk pikuk itu semua.

Untuk beberapa menit pertama, film memang terasa hingar bingar sekali. Begitu banyak karakter berseliweran, begitu banyak permasalahan yang harus mereka urus. Lalu datanglah elemen multiverse yang membuat semuanya semakin terasa terus membesar. Tapi konflik utama dalam Everything Everytime All at Once sesungguhnya begitu grounded. Multiversenya hadir dengan infinite possibilities, yang actually tetap dikembalikan kepada si karakter. Ya kita akan melihat Evelyn melihat berbagai versi dirinya (dan karakter lain) di berbagai versi alam semesta. Dari luar, semesta-semesta itu seperti dirancang untuk memancing tertawa, karena kita lihat di antaranya ada dunia yang semua manusia berjari sosis, ada dunia yang seperti live-action dari suatu film animasi. Apalagi di sini ada konsep berupa para penyebrang universe bisa mendownload keahlian mereka dari universe lain, menjadikan keahlian tersebut kekuatan untuk berkelahi. Dan untuk membuka keahlian itu, mereka harus melakukan hal-hal super random! Adegan-adegan aksi datang dari sini. Kreativitas film ini gila dan kocak menampilkan semuanya. Favoritku adalah ketika melihat Jamie Lee Curtis ngedropkick ahli kung-fu hahaha. Namun ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu semua. Gak cuman bak-bik-buk yang hahahihi. Bagi Evelyn, universe-universe tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan pilihan hidupnya. Bagaimana hidupnya jika dia tidak pergi dari rumah dan pergi ke Amerika semasa remaja. Bagaimana hidupnya jika dia menolak cinta Waymond. Bagaimana hidupnya jika dia fokus pada hobinya menyanyi. Di Rick and Morty ada juga episode Beth melihat berbagai versi hidupnya jika dia menolak Jerry. Tapi jika Beth di episode Rick and Morty tenggelam dalam memelototi pilihan-pilihan yang ia lewatkan, Evelyn menggali ini semua dengan lebih aktif. Universe itu di paruh kedua film dia pandang sebagai ‘bagaimana jika ayahnya tidak membiarkan dirinya pergi’. Semua universe yang kita lihat reflected kepada perjalanan karakter Evelyn yang mencoba mengenali kembali rasa cintanya. Cinta yang terkubur cukup dalam oleh rutinitas dan kesibukan, dan juga oleh tuntutan dari keluarga itu sendiri.

Sebagai kontras dari Evelyn yang mencoba ‘merapikan’ pilihan hidup manusia yang naturally begitu beragam kita gak akan sanggup untuk menangisi dan menyesali semuanya, film bicara tentang nihilism. Membuat mencapai-kenihilan sebagai motif dari versi Joy yang jadi jahat. Bagel/donat yang jadi monumen alias simbol dirinya sejatinya adalah figur 0, sesuai dengan yang ia yakini. Dan film memasukkan banyak visual soal 0 tersebut sepanjang durasi. Inilah yang membuat karakternya kusebut sama ama Rick Sanchez. Rick dan Jobu Tobacco sama-sama bisa pindah universe sesuka hati, mereka telah melihat banyak, mengalami lebih banyak, namun mereka percaya semua itu tidak berarti. Saking infinitenya semesta, semua hal jadi tidak spesial. Mereka jadi berpandangan seperti itu karena sama-sama terluka sebagai seorang person. Bedanya, Rick jadi nihilist karena trauma kehilangan. Sementara Joy jadi Jobu TobatMak! karena ekspektasi orangtua. Generation gap dan banyak faktor luar lainnya (ingat mereka keluarga Asia, tapi Joy besar sebagai orang Amerika) membuat apapun yang dilakukan Joy tidak disetujui oleh ibunya. Dari sinilah awal mula Joy mulai capek dan memandang semuanya sebagai sia-sia. See, film merangkai motivasi dan konflik para karakter dengan begitu detil ke dalam elemen multiverse. Menjadikan bukan saja karakter-karakternya yang tereksplorasi dengan baik, tapi juga multiverse itu sendiri. Ini bukan sekadar cerita dengan multiverse. Melainkan cerita tentang multiverse sebagai akibat/perwujudan dari konflik karakter.

Argumen nihilism di antara begitu banyak kemungkinan pilihan hidup jadi pusat cerita, yang membuat film ini seru untuk terus diperbincangkan. Film tidak melempar jawaban mana yang lebih benar atau mana yang salah dengan gamblang. Melainkan dengan bijak dan seksama memperlihatkan perjuangan karakter orangtua dan anak, dan istri dan suami, menemukan  penyelesaian dari konflik perasaan mereka. Multiverse dijadikan sarana visual untuk memperkuat psikologis dari berbagai ‘what if’ yang bersarang di hati masing-masing. Argumen love yang akhirnya dijadikan titik tengah pun tidak hadir dengan preachy. Film tetap berpegang pada penceritaan yang seperti absurd tapi di baliknya penuh filosofi. Nonton film ini jangan heran jika saat sedang asik-asik tertawa, air mata haru tau-tau turun membasahi pipi.

Isi adalah kosong, kosong adalah isi

 

 

Elemen teknologi multiversenya mungkin memang bisa sedikit bikin terlalu padat, tapi itu semua intentional. Dan cocok bekerja ke dalam sensasi chaos dan hectic yang ingin dikuarkan oleh cerita. Film ingin kita mengalami kehebohan yang dirasakan Evelyn. Segala tetek bengek alat dan teknis pindah universe itu dijadikan salah satu dari kehebohan tersebut. Ngomongin soal teknis, well aku yakin film ini bakal membuat Marvel dan film-film Blockbuster lebih malu lagi. Kenapa? Coba deh tonton lagi film ini dan tebak. Tebak dari efek dan visual yang trippy dan penuh dunia-dunia aneh dan editing-editing tegas, berapa budget film ini. Dibandingkan film Marvel dan tipikal Blockbuster, budget Everything Everywhere All at Once ini tergolong minim. Aku kaget saat beres nonton baca-baca tentang produksinya, dan menemukan bahwa budgetnya ‘cuma’ dua-puluh-lima million dollars. Belum juga kelar kagumnya, aku udah takjub lagi demi membaca tim visual effect film ini terdiri dari… eng ing eng lima orang kru saja! Saat menonton it was certainly enggak terlihat ‘sesederhana’ itu. Saat menonton, film ini terasa kayak film dengan efek mahal. Ternyata mereka mencapai gambar-gambar menakjubkan (adegan tersedot ke ruang janitor dan montase multiverse berulang kali itu) mainly dengan ‘sulap’ alat dan kamera. Groundednya cerita ternyata saling dukung dengan groundednya pembuatan film. Dan memang beberapa adegan film ini (khususnya setiap adegan berantem yang seru dan lucunya kung-fu abis itu) tampak hanya bisa jadi maksimal dengan tidak diovertouch.

Misalnya soal mata ketiga yang di dahi Evelyn saat dia sudah belajar membuka hatinya untuk cinta, seperti yang selama ini dilakukan oleh suaminya. Kalo pake efek komputer, mata tiga itu bisa aja bakal lebih jelek daripada efek mata ketiganya Doctor Strange di Multiverse of Madness (2022). Alih-alih itu, film membuat mata tiga dari mainan mata-mataan. Yang tentu saja tetap tampak konyol jika dihadirkan gitu aja. Maka film pun benar-benar merancang supaya mata tiga mainan itu punya makna yang mendalam. Build up mereka lakukan dengan nicely. Kita malah bisa bilang mata yang tengahnya gak bolong itu adalah kontras dari bagel yang bolong di tengah. Poinku adalah, film ini hadir tidak bergantung budget. Melainkan justru semakin kreatif dengan apa yang mereka punya. Dan hasil dari itu semua ternyata tidak kalah dari film mahal. Pembuatan film seperti inilah yang buatku benar-benar, dan lebih, menginspirasi. Mereka jor-joran di bagian yang tepat. Di manakah itu? Ya di pembuatan filmnya. Pengadeganannya. Di penceritaannya. Bukan pada hype atau semacamnya. Kelihatan bahwa pembuatnya benar-benar peduli sama film. Apalagi terlihat jelas film ini punya banyak sekali sisipan referensi buat film-film populer lain.

 

 




Jika Evelyn menemukan lagi cintanya kepada keluarganya, nonton film ini bakal membuat kita menemukan lagi cinta kepada sinema. Banyak sekali aspek dalam film ini yang pantas untuk kita sambut penuh suka cita. Teknisnya, yang benar-benar menjadikan film tampak meyakinkan. Kreasi dan craft filmmaking yang menginspirasi. Komedi yang disampaikan dengan witty sereceh atau seabsurd apapun jokesnya. Konsep atau gimmick penceritaan (dalam hal ini multiverse) yang  ternyata diolah lebih dalam dan kompleks sehingga menjadi bagian penting dari perjalanan karakter. Dan tentu saja karakter dan permasalahan mereka yang dibahas mendalam tapi gak pernah jadi membosankan dan menggurui. Tak ketinggalan, permainan akting yang juga sama emosional dan grounded di balik kelebayan yang tampak di luar. Film ini tahu mereka punya semua itu, mereka did hell of a job menceritakan semua itu, mengembangkan perspektif yang kuat sehingga referensi dan kemiripan dengan film atau materi lain bisa dimasukkan tanpa mengurangi nilai orisinal diri sendiri. I tell you, ini adalah film yang supermenghibur sekaligus thoughtful dan penuh emosional berkat konflik yang dekat dan dibahas mendalam. All. At, Once!
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE.

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang paham nihilism – paham yang menganggap eksistensi segalanya tidak berarti apa-apa?

Bagaimana kalian memandang kehidupan dalam luasnya semesta dengan jutaan kemungkinan hingga tak berhingga?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS Review

 

“To be content doesn’t mean you don’t desire more, it means you’re thankful for what you have and patient for what’s to come”

 

 

Bukankah sudah kubilang bahwa cerita seorang ibu paling baik diapproach sebagai horor? I mean, toh memang di antara horor-horor bagus yang beredar, cukup banyak mengangkat tema bagaimana sih psikologis atau perasaan perempuan sebagai ibu. Bahkan mungkin setengah dari horor yang kita bahas di blog ini adalah horor tentang ibu. Marvel Studio pun tampaknya sependapat. Begitu sudah jelas sekuel Doctor Strange (2016) akan melingkupi saga Wanda Maximoff yang merasa kehilangan keluarga/anaknya, Marvel lantas mendapuk Sam Raimi untuk duduk di kursi sutradara.

Raimi terkenal lewat trilogi The Evil Dead (1981-1992). Gaya horornya yang seram-dan-menghibur-secara-bersamaan (gak percaya? coba tonton salah satu horor modernnya; Drag Me to Hell) cukup banyak jadi panutan oleh filmmaker. Namun begitu, ini bukan kali pertama Raimi menangani proyek superhero. Film Spider-Man Sony tahun 2002 yang punya dua sekuel itu kan, Raimi yang garap. Dia telah sukses mengimplementasikan gaya horornya ke dalam format superhero, sesuai kebutuhan. Tapi proyek tersebut terhenti setelah Raimi merasa gak puas oleh campurtangan studio di film ketiga. Makanya sekuel Strange kali ini jadi big deal. Marvel pastilah ngasih kebebasan yang luas bagi Raimi untuk mengkreasikan gayanya, sehingga sutradara ini mau aja untuk kembali ke ranah superhero. Setelah kutonton (akhirnya! yang nyebelin dari masa liburan ialah kupasti telat nonton sebab bioskop penuh), benar saja. Kita udah dapet film superhero dengan rating Dewasa yang penuh adegan sadis, tapi Doctor Strange in the Multiverse of Madness ini menawarkan sesuatu yang lain. Benar-benar ngepush PG-13 dengan cerita ibu yang jadi jahat hanya demi bersama anaknya, lengkap pake zombie, orang terpotong dua, dan kepala meledak!

Multiverse of Madness literally jadi MOM (ibu) kalo disingkat!

 

 

“Was there any other way?” adalah kalimat yang jadi kunci tema pada narasi. Apa ada cara lain, tanya Wanda kepada dirinya sendiri yang terus memimpikan dua putra ciliknya, cara lain untuk bisa bersama mereka. Multiverse yang jadi judul film inilah cara tersebut. Jadi cerita film ini intinya adalah tentang Wanda yang berusaha mendapatkan kekuatan untuk pindah-semesta. Wanda memburu satu-satunya makhluk di seluruh alam semesta yang bisa menyebrang semesta sesuka hati. Makhluk berupa perempuan remaja bernama America Chavez. Nyawa remaja tersebut ada dalam bahaya karena Wanda yang semakin gak sabar menjadi semakin terbenam dalam kejahatan.  Di dalam tidur melihat Chavez dikejar monster bersama dirinya yang tampak agak lain, Strange awalnya mengira itu cuma mimpi buruk. Tapi kemudian Chavez beneran muncul. Strange kini harus melindungi Chavez, yang tentu saja membuat Wanda jadi menganggapnya musuh. Wanda ngamuk, Kamar-Taj diporakporanda, orang-orang jadi korban, Strange dan Chavez terpaksa kabur ke semesta lain guna mencari kitab yang bisa mengimbangi kekuatan Wanda yang udah total jadi Scarlet Witch dengan buku sihir jahat DarkHold!

Dari sinopsis singkat tadi itu aja udah kelihatan. Berlawanan dengan kalimat kunci tadi, there is no other way, cerita seperti ini didirect bukan oleh Raimi. Dia adalah orang yang tepat untuk menghidupkan dunia penuh sihir, karakter berkekuatan aneh, dan segala universe yang ajaib. Aku suka gimana Raimi tampak gak tertarik sama cameo-cameoan. Mungkin fans akan berpikir liar melihat ada kata Multiverse, you know, kebanyakan mungkin akan berpikir bahwa ini bakal jadi kesempatan emas untuk memunculkan banyak surprise character. Sialnya bagi mereka, Multiverse menurut Raimi adalah sebuah lapangan bermain yang luas. Tempat dia bisa memasukkan gaya bercerita horor ringan-tapi-seramnya. Raimi memilih fokus kepada memvisualkan hal yang grounded dari cerita fantastis yang dipercayakan kepadanya. Dan dia gak tanggung-tanggung dalam visualisasinya. When it moves, semua bergerak cepat tapi kita bisa merasakan sensasi horor di sana sini. Gak ragu dia memasukkan elemen jumpscare; eksistensi jumpscare di superhero ada sudah cukup ngagetin! Adegan aksinya walau gak frontal pakai darah, tapi tetap bikin ngilu karena brutal datang secara subtil. Kamera akan ngezoom ke wajah untuk nunjukin intensitas karakter. Elizabeth Olsen yang jadi Wanda dapat banyak momen untuk menunjukkan permainan akting dan dialog ekspresifnya, dan semuanya dimanfaatkan maksimal. Dari Avenger terkuat yang bikin kita merasa aman dia berubah jadi bikin kita merasakan teror. Adegan Wanda nyerang Kamar-Taj intens banget. Asap yang datang menyelimuti pasukan good guys, ngasih kekelaman yang langsung kerasa sunyi-sunyi berbahaya kepada kita. Voldemort harusnya konsultasi ke Wanda dulu sebelum dia menyerang Hogwarts. Olsen could go dari bikin kita simpati, ke ‘njir gila lo ye?’, ke bikin kita pengen ikutan kabur (bayangin dikejar penyihir ngamuk yang lari terseok berdarah-darah dengan rambut terurai!) ke bikin kita merasa kasihan lagi dengan amat sangat mulus.

Arahan Sam Raimi membuat film ini lebih dari sekadar watchable, berkat sensasi superhero-tapi-horornya itu. Arahannya justru mengangkat film dengan naskah yang sebenarnya agak minimalis ini. Multiverse of Madness paling kompleks dalam membahas Wanda alias Scarlet Witch. Sementara tokoh utamanya, si Doctor Strange itu sendiri, pembahasannya sama minimalisnya seperti protagonis dalam The Northman (2022) yang baru kureview sebelum ini. Untungnya memang Strange enggak segabut Newt Scamander di film kedua Fantastic Beasts (2018). Keberadaan Strange di dalam cerita masih tampak penting. Dia gak cuma buat nolong si Chavez. Melainkan ada keparalelan yang coba ditarik antara dirinya dengan Wanda. Mereka sama-sama orang yang punya kehilangan di semesta mereka. Jika Wanda pengen hidup bersama anaknya lagi, maka Strange ini, well untuk gambaran; kita melihat dia datang ke nikahan mantan. See, orang yang udah move on pasti gak bakal ke nikahan mantan (padahal karena gak diundang hihihi) kan? eh atau karena udah move on makanya datang?..  Stephen Strange datang. Inilah yang sepertinya mau dijadikan konflik dirinya sepanjang cerita. Sepertinya ingin ditunjukkan bahwa Strange berlagak nyante dan udah move on padahal belum. Keberadaan Multiverse yang bisa dikunjungi dengan cara tertentu jadi nawarkan kemungkinan baru bagi hidupnya. Dia bisa saja seperti Wanda, pindah hidup ke universe yang lebih bahagia. Ke universe yang ia lihat di mimpi-mimpi indahnya, maybe. Nah minimalisnya naskah adalah konflik Strange yang diniatkan itu tidak pernah tercuatkan maksimal. Tentu, konfrontasi dia dengan mantan di universe lain ada, tapi resolusi dirinya tidak tampak memuaskan. Bilang “aku cinta kamu di semua semesta” gak benar-benar ngasih perkembangan yang berarti kepada karakternya. Apalagi jika dibandingkan dengan development Wanda di akhir cerita; saat dia menyadari yang ia lakukan kepada anak-anaknya di semesta lain sebenarnya.

Konsep bahwa mimpi sebenarnya adalah jendela ke kehidupan kita di semesta yang lain, memang menggiurkan. Honestly, aku langsung merasa relate dan sempat mendukung Wanda demi mengenang mimpi-mimpi indah. Kalo bisa, akupun mau pindah hidup ke semesta where ‘you’ still talk to me, atau ke semesta aku punya teman gaib, atau ke semesta Max masih hidup dan kucing-kucingku semua bisa ngomong. I don’t blame Wanda for wanting that life. Tapi kemudian di akhir, film ini hits me hard. Film ini bicara tentang bagaimana merasa content walau kita merasa ada yang kurang dari hidup. Bahwa cukup itu bukan berarti puas dengan yang kita punya. Bukan pula harus berjuang mengejar untuk mendapatkan apa yang gak kita punya. Melainkan, merasa cukup berarti juga berdamai dengan kesalahan yang kita lakukan dan lantas optimis untuk perbaikan.

 

Plot Wanda tetap terasa lebih kuat menghidupi cerita sementara plot yang lain struggle untuk relevan kepada tema. Yang paling disayangkan jelas plot si anak baru, America Chavez. Diperankan dengan energik dan pesona tersendiri oleh Xochitl Gomez, karakter ini jarang dieksplor. Backstorynya hanya dipaparkan di satu momen, lalu persoalan dia gak bisa mengendalikan kekuatan pindah-universenya beres dengan nasihat/semangat singkat dari Strange. Sayang banget. Apalagi jika kita menoleh ke Wanda, kayak, semuanya udah ada di sana padahal. Anak yang nyari ibunya – ibu yang mau anaknya; seharusnya ada sesuatu yang bisa dipantik dari Chavez dan Wanda. Tapi interaksi manusiawi antarmereka aja nyaris gak ada, let alone ada percakapan personal. Mereka sebagian besar tergambar sebagai pemburu dan buruan. Hanya di penyelesaian saja seperti ada pengertian antara kedua karakter ini.

Stephen Universe lol “Scarlet, America, and Wong, and Stephen!~”

 

 

Maka kayaknya bener juga sih kalo ada yang bilang cocoknya ini jadi WandaVision 2 aja. Multiverse of Madness selain berat ke Wanda, juga kurang stabil untuk bisa berdiri sendiri. Penonton yang gak nonton serial WandaVision mungkin bisa mengerti keinginan seorang ibu untuk bersama anaknya, tapi keseluruhan konteks Wanda-jadi-jahatnya gak bakal utuh didapat. Soal konsep Multiverse, juga sama. Aku sendiri gak nonton serial What If dan Loki. Alih-alih itu, modalku mengerti multiverse di sini adalah nonton serial kartun Rick & Morty yang juga punya bahasan multiverse yang sama kompleks. Bahwa berbagai versi diri kita ada, exist di dunia. Ada kita yang jahat, ada yang baik, ada yang mirip, ada yang mukanya beda, ada yang versi makhluk lain. Kemungkinan versi masing-masing orang tak terbatas. Di satu sisi memang jadi tontonan yang menarik, bikin penasaran melihat versi-versi itu. Namun di sisi lain, konsep multiverse juga bisa jadi bumerang. Salah satunya adalah soal kematian.

Kematian satu karakter gak akan jadi persoalan lagi jika ada multiverse. Satu karakter yang mati, tapi dia itu masih hidup (dan banyak versi) di semesta-semesta lain. Di episode Rick & Morty malah kedua karakter utamanya membunuh versi diri mereka gitu aja, karena mereka udah messed up di semesta sendiri jadi mereka pindah hidup ke semesta yang paling mendekati kenormalan versi mereka. Pada akhirnya, stake film jadi gak ada lagi. Kita bakal casual aja melihat karakter mati karena toh nanti ada versi lain yang muncul di film/serial lain. Para karakter bisa diperankan oleh aktor yang sama, bisa juga tidak, di setiap semesta. Ini bukan teori atau gimana ke depan, loh. Melainkan langsung terasa buktinya di film Multiverse of Madness ini.

Dalam satu rangkaian adegan (yang aku yakin ini adalah permintaan studio, karena tone di sini benar-benar berbeda dari keseluruhan film) diperlihatkan Doctor Strange bertemu sama tim Illuminati. Ada Captain Marvel universe lain, Captain Carter, Mordo, Richards Fantastic Four, Black Bolt, dan Prof. X! (satu-satunya waktu saat penonton yang menanti cameo bersorak hihihi) Karakter-karakter yang sebenarnya berperan besar dalam universe atau cerita masing-masing, di film ini kayak muncul seadanya saja. Nantinya, mereka akan bertarung dengan Scarlet Witch. And they just dead. Matinya seru sih, cuma ya itu. Mati. Gak banyak pikiran di baliknya. Mereka mati gitu aja karena sudah dalam multiverse plot armor. Setiap karakter kini mati pun tak apa. Mereka bisa ‘direvive’ kapan saja sesuai kemauan studio. Kita yang nonton melihat kematian mereka pun jadi datar aja, demi menyadari itu semua. Nonton keseluruhan film jadi gak ada greget. Strange mati pun kupikir gak bakal ngaruh banyak karena toh ada infinite number of him yang bisa dimunculkan oleh studio. Satu-satunya yang bikin kita bisa peduli adalah si Chavez (dia cuma satu-satunya di semesta) dan melihat development si Wanda (itupun bagi penonton yang ngikutin serialnya).

 

 

 

Visi dan gaya unik sutradara adalah hal yang benar-benar dibutuhkan oleh sinematik universe yang sudah berjalan begitu lama seperti MCU. Kita bisa membuktikan itu pada film ini. Terasa benar bagaimana arahan Sam Raimi yang bermain kreasi horor di ranah superhero, mengangkat film ini jadi pengalaman seru yang berbeda. Aku benar-benar suka pada apa yang ia lakukan dalam menghidupkan naskah yang kurang balance dan cukup minimalis ini ke layar lebar. Ya, weakest part dari film ini sebenarnya bukan arahan Raimi yang di luar kebiasaan Marvel. Melainkan pada naskahnya. Karakter utamanya kalah solid penulisannya dibandingkan dengan karakter antagonis. Karakter baru yang dihadirkan juga tidak didalami. Dan juga, naskah film ini ngasih kita pe-er yang banyak kalo mau mengerti dan lebih enjoy menonton. Beruntung arahannya tadi sangat keren. This is truly ketika yang horor-horor jadi pahlawan!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for DOCTOR STRANGE IN THE MULTIVERSE OF MADNESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang multiverse? Apakah konsep multiverse bikin satu film lebih menarik, atau malah membingungkan? Apakah kalian gak keberatan sama untuk mengerti satu film kita harus nonton sejumlah serial dan film lain dulu?

Share  with us in the comments 

 

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA