BLACKKKLANSMAN Review

“There is life after hate.”

 

 

 

Manusia bisa jadi adalah satu-satunya spesies yang ngucilin sesamanya atas alasan berpikir bahwa golongan mereka lebih hebat daripada sebagian golongan lain yang berbeda. Mungkin aku salah, mengingat toh memang hewan ada yang punya sistem hierarki ala kasta, tapi rasa-rasanya aku belum pernah mendengar seekor zebra ngomong “Eh Kucrit, yang laen pada putih belang item, elu malah item garis-garis putih. Sono lu, nguli di pojokan!”. Aku belum pernah ngelihat singa albino dilemparin kerikil ama teman-temannya, diolok-olok “Anak bule! Anak bule!” (lagian siapa juga yang berani ngelempar singa hihihi) Dan aku seratus persen yakin belum pernah nemuin berita di koran tentang hewan-hewan kebun binatang menggelar aksi protes menuntut untuk enggak dikandangkan bareng hewan-hewan oposisi partai politiknya.

Tapi kita, karena kemampuan berpikir yang lebih canggih dengan kesadaran dan nurani yang lebih berkembang, gemar melakukan diskriminasi. Manusia tidak bertumbuh dalam kesamaan. Kondisi yang berbeda-beda, menyebabkan ketidakmerataan menjadi fitrah bagi manusia. Dan ini menciptakan perbedaan yang lebih jauh lagi. Ada orang-orang yang memandang perbedaan sebagai kekuatan, karena tujuannya adalah mencapai kesetaraan, seperti semboyan negara kita. Namun ada juga, perbedaan tidak seharusnya di-embrace; hanya ada satu kesempurnaan yakni kelompok mereka.

nonton bokep aja kadang kita suka rasis; lebih suka barat daripada jepang atau sebaliknya

 

 

KKK yang kalo dipanjangin berbunyi Ku Klux Klan adalah salah satu contoh dalam sejarah sebuah organisasi yang punya paham ekstrim mengenai kesempurnaan kelompok mereka; ras kulit putih. Berdiri sejak 1865, mereka ini anti semuanya deh, anti-Islam, anti-Yahudi, anti-komunis, anti-LGBT, anti-immigrant, mereka ini menjunjung tinggi supremasi kulit putih bangsa Amerika. Throughout history, kita dapat membaca kiprah mereka membantai warga kulit hitam, bahkan sesama kulit putih yang melindungi kulit hitam, dan catatan klan ini masih berlanjut hingga sekarang. Memang terdengar seperti dalam cerita-cerita horor sih ya, bahkan anggota klan ini tampil dengan seragam berupa topeng dan jubah putih, lengkap dengan simbol mereka. Aksi KKK memuncak di tahun 1960an, dan mendapat perlawanan dari african-american di Amerika. Marthin Luther King muncul, Malcolm X turun tangan. Menyerukan persamaan hak; bahwa manusia tetaplah manusia yang punya derajat yang sama.

Cerita yang diangkat oleh Spike Lee dalam film ini adalah bentuk ‘perjuangan’ yang berbeda. Begitu outrageous, malah. Sehingga membuatku terheran; betapa kerennya kejadian ini pernah beneran terjadi, dan saking kerennya sampai-sampai “kok baru kali ini loh ini difilmkan?” BlacKkKlansman menceritakan tentang Ron Stallworth (John David Washington berhasil keluar dari bayang-bayang bokapnya, Denzel, yang bermain di Malcolm X – film lain tentang Ku Klux Klan garapan Spike Lee), ia adalah seorang polisi yang berusaha menyusup ke dalam sebuah kelompok lokal yang diketahui bagian dari KKK, ia ingin tahu apa rencana mereka, sehingga bisa menyetop kekacauan sedini mungkin. Menariknya adalah, Ron adalah orang kulit hitam. Pada tahun segitu, sudah cukup dipandang miring gimana dia bisa dilantik sebagai anggota polisi. Apalagi gimana cara dia masuk ke dalam KKK tanpa diberondong peluru? Ron berkomunikasi dengan para anggota lewat telefon. Mencoba berakrab-akrab ria, menjadi teman mereka, memahami jalan pikiran dan langkah mereka. Dan ketika dibutuhkan untuk hadir ke dalam pertemuan KKK, Ron ‘diwakilkan’ oleh rekan polisinya, Flip Zimmerman (Adam Driver suprisingly kocak di sini), yang memang sih relatif aman karena dia berkulit putih, tapi bukan berarti tak ada resiko karena Flip seorang Yahudi. Sungguh gila situasi yang mereka alami. Film ini sejatinya punya cerita yang berlatar begitu kelam, namun oleh sang sutradara, semuanya dipresentasikan dengan keseimbangan hiburan yang menakjubkan.

Sebagian besar keasyikan kita menonton dua jam film ini berkat interaksi antara John David dengan Adam Driver. Mereka beradu pikiran soal bagaimana mereka akan melakukan penyusupan tersebut. Ada lapisan akting yang terjadi di sini. You know, John David musti berusaha terdengar sebagai orang kulit putih saat bicara di telefon, dia menutupi dialeknya. Film juga memancing kita dengan pertanyaan, seberapa beda sih gaya bicara golongan ini. Aku suka gimana polisi yang ditanyai oleh Ron soal perbedaan suaranya tidak bisa menjawab di mana persisnya letak perbedaan tersebut, dan sebaliknya, si Grand Wizard – pemimpin – KKK punya teori sendiri gimana cara membedakan dialek mereka, padahal kita melihat sendiri dia sedang ditipu mentah-mentah saat menjabarkan teori cerdasnya tersebut. Juga Adam Driver yang harus berakting sebagai orang yang berakting membenci kulit hitam dengan segala resikonya karena setiap pertemuan KKK, tokoh yang ia perankan selalu diancam dugaan dan ditodong oleh alat pendeteksi kebohongan.

kau tidak bisa pake Jedi Force, loh, di sini

 

 

Tapi bukan lantas berarti tokoh utama kita, si Ron, enggak benar-benar terekspos oleh bahaya. Dia pun masih harus menyusup ke dalam lingkaran orang-orang rasnya sendiri. Perannya dengan Flip sama, berundercover ria menjadi seorang yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Ron actually ingin menggiring saudara-saudara sebangsanya untuk melihat bahwa menyerukan “Black Power” bukan berarti musti bertindak sama dengan ‘musuh’ yang mereka lawan. Bahwa tidak semua polisi brengsek, bahwa kesetaraan itu bukan berarti ‘jika keinginan minoritas tidak dipenuhi, maka itu disebut semena-mena dan tidak toleransi’.

Ron yang kulit hitam menyusup di antara orang-orang kulit hitam. Flip yang kulit putih, juga berpura-pura di antara kulit putih. Tapi mereka berdua punya pandangan berbeda dari kelompok mereka. Inilah tema yang mendasari film ini; gimana wujud kita, rupa kita, akan mengarah kepada asumsi tindakan yang kita lakukan. Gimana orang-orang menilai apa yang kita percayai dari fisik semata. Beginilah kita setiap hari. Kita melihat yang berkulit gelap, berambut keriting, berbibir tebal, kita akan berpikir mereka tidak akan menjawab salam dengan Walaikumsalam. Kita melihat yang bermata sipit, kita mengira mereka jago main bulutangkis. Asumsi-asumsi fisik tersebut, tidak bisa dihilangkan karena fitrah kita adalah perbedaan. Yang harus disadari adalah asumsi-asumsi tersebut toh bisa digunakan untuk mejembatani hubungan yang lebih baik antara sesama manusia.

 

 

Bukan hanya dua aktor tersebut yang menyuguhkan penampilan akting luar biasa, bahkan aktor-aktor yang memerankan anggota KKK, ataupun polisi ‘babi’, mereka disuruh komit untuk melakukan ataupun mengucapkan sesuatu yang bakal bikin kita menyipit ngeri. Dan mungkin juga, jijik. Satu adegan, kita akan risih duduk mendengar apa yang sudah dilakukan oleh salah satu tokoh. Di adegan berikutnya, ketidaknyamanan itu sirna karena betapa kocaknya film ini mempersembahkan diri. Ron pernah ditanyai “apa yang kau lakukan jika nanti polisi di sini memanggilmu negro?” dan jawaban Ron akan mengundang tawa yang keras. Isu rasisme dipersembahkan oleh film ini sebagai sesuatu yang aneh dan berbahaya, maka penceritaan pun dibuat sama seperti demikian. Film akan membuat kita tertawa sekaligus waspada akan bahaya dari situasi, yang masih relevan sampai sekarang. Potongan adegan dari kejadian nyata situasi pemerintahan Trump di akhir film, membuat kita sadar kengerian yang sedang dihadapi oleh warga di sana. Tapi bukan berarti kita yang di sini aman-aman saja.

Untuk mencapai keseimbangan tone cerita seperti demikian, tentu saja ada keputusan yang diambil oleh Spike Lee, yang membuat cerita sedikit berbeda dari kejadian nyata. Ada aspek-aspek yang didramatisir, dilebih-lebihkan, dibuat menjadi lucu. Pendekatan yang diambil Lee adalah pendekatan bercerita yang lumayan mainstream. Dibuat untuk menyenangkan hati penonton. Ada ‘hukuman’ buat ‘orang jahat’. Ada imbalan buat yang baik. Pacing cerita, tak pelak, jadi sedikit terganggu dengan up dan down yang terkadang diulur demi romantisasi. Beberapa orang mungkin akan mengritik kekurangakuratan film ini. Tapi sebagai pembelaan, buatku tidak masalah apabila film yang diangkat dari kejadian dan orang nyata, diberi sedikit bumbu-bumbu untuk menyampaikan maksud cerita. Karena yang penting adalah pesan cerita. BlacKkKlansman penting untuk ditonton oleh sebanyak mungkin orang, dan cerita yang gelap ini enggak akan ditonton orang jika stay dark. Harus ada cahaya menyenangkan yang bersinar ke dalam ceritanya.

 

 

 

Menakjubkan gimana film ini berhasil mencapai keseimbangan sempurna antara kelucuan dengan tragedi. Tak muluk jika kita sebut ini adalah karya terbaik Spike Lee semenjak Inside Man (2006). Dari yang kita tertawa sampai menitik air mata, film akan membawa kita merneung menahan air mata lewat potret kemanusiaan yang tidak banyak berubah hingga sekarang. Cerita sepenting ini berhasil dibawa ke ranah merakyat. Jikapun ada sesal, maka itu adalah kenapa film ini enggak tayang di bioskop Indonesia.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for BLACKKKLANSMAN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Gimana sih menurut kalian hubungan antara kecerdasan dengan superioritas manusia? Apakah ilmu padi itu cuma mitos?

Menurut kalian, apa yang dipikirkan orang ketika mereka menyuarakan kebencian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

FIRST MAN Review

“Failures are great learning tools..”

 

 

 

Sejak jaman Jules Verne, manusia sudah mendambakan terbang ke bulan. Manusia butuh sesuatu yang tinggi sebagai simbol dari cerahnya harapan, sebagai tolak ukur pencapaian. Kita mendongak menatap sesuatu yang ingin kita gapai. Puncak perjalanan manusia kala itu adalah sampai ke bulan. Bahkan menjadi sebuah kompetisi, but it really moves human forward. Dan setelah asap roket dan asap kompetisi itu sirna, Neil Armstrong adalah sosok yang berdiri di sana, yang menjejakkan harapan umat manusia ke tempat setinggi-tingginya. Apa yang ia rasakan di atas situ. Apa makna perjalan tersebut bagi dirinya. First Man adalah cerita tentang diri Neil Armstrong, sebagai seorang manusia.

Ini bukan lagi soal kemajuan teknologi semata. Ini bukan perihal memenangkan perlombaan. Ini bukan catatan kemenangan negara yang superpower. Ini bahkan bukan tentang menjadi pahlawan yang dielu-elukan berhasil menjalankan misi. Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang selama hidupnya pertama kali merasakan dirinya terbang oleh determinasinya untuk survive dari duka kehilangan dan kegagalan.

kalo ini film Indonesia, lagunya pasti “Ambilkan bulan, Pa”

 

Sejak George Melies ngajak kakek-nenek buyut kita jalan-jalan ke bulan lewat film pendeknya (A Trip to the Moon – 1902), para pembuat film juga berlomba-lomba menceritakan kisah perjalanan manusia ke luar angkasa. Mengeksplorasi ruang tanpa batas, menjelajah tempat yang tidak diketahui dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi porsi utama cerita-cerita tersebut. First Man, berbeda dari lainnya, membawa kita ke atas sana sembari tetap menjejakkan kaki kita sedalam-dalamnya ke tanah paling akrab yang disebut dengan kemanusiaan yang berkekeluargaan.

Fokus cerita adalah Neil Armstrong dan keluarganya yang kehilangan putri pertama karena kondisi kesehatan. Grief yang selalu terpatri di dalam diri Armstrong, yang ia akui akan terus memberikan pengaruh kepada pekerjaannya sebagai seorang astronot NASA. Armstrong mengajukan diri dan terpilih dalam program antariksa terbang mencapai bulan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, dan bagaimana itu semua mempengaruhi pribadinya, bagaimana dampaknya terhadap keluarga lah yang benar-benar dijadikan inti utama. Film ini tidak mengandalkan efek komputer sebanyak mereka mengandalkan penampilan akting Ryan Gosling dan Claire Foy (tuan dan nyonya Armstrong themselves) yang fenomenal. Gosling benar-benar membawakan ruh Armstrong ke dalam dirinya. Kita kerap mendapati permainan peran yang tersirat dan enggak exactly meledak-ledak dari Gosling, dan sebagai Armstrong pun dia menyuguhkan penampilan yang serupa. Tapi kadang terasa aneh juga, kekaleman Armstrong ini membuat kita terlepas dari cerita karena kita tidak pernah betul-betul tahu banyak ‘siapa dan darimana’ dirinya.

Alih-alih menyuguhkan sajian blockbuster memperlihatkan misi manusia yang berangkat ke bulan, Damien Chazelle mengembangkan cerita dari perspektif yang sangat personal. Bahkan, sang sutradara sendiri pun beranjak keluar dari zona nyamannya; Chazelle biasanya menggarap cerita yang bertemakan musik, namun dalam First Man kita akan melihat gimana Armstrong, yang disebutkan cakap bermain piano, menolak memainkan alat musik tersebut. Saat menonton First Man, kita tidak menjadi excited dengan melihat efek ledakan ataupun keseruan dari misi eksplorasi yang gone wrong. Hati kita jumpalitan melihat adegan Armstrong duduk bersama keluarganya di meja makan, malam sebelum ia menjalankan misi mencoba terbang ke bulan. Seorang ayah yang harus menjelaskan kepada putra-putranya dia harus pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Seorang ibu yang duduk terdiam di sana, memahami situasi dan menelan rasa khawatirnya bulat-bulat sehingga ia tidak berteriak menuntut suaminya untuk menjalani pekerjaan normal seperti yang ia impikan.

Konflik kemanusiaan dalam ceritanya yang membuat kita bertahan duduk menghabiskan durasi film yang memang cukup panjang. Di lain kesempatan, film memparalelkan apa yang dirasakan oleh Armstrong mengenai pergi dan mengorbankan yang ia miliki demi sesuatu yang nun jauh di sana dengan keadaan sosial politik yang menimpa rakyat Amerika kala itu sehubungan dengan program ruang angkasa yang hendak ia jalani. Pemakaman sudah seperti menjadi jamuan bulanan buat Armstrong dan istrinya. Dia sudah kehilangan begitu banyak teman dan rekan kerja sesama ‘pelaut luar angkasa’ dalam usaha mereka menjalankan program tersebut. Dalam satu momen yang langka; Armstrong meninggikan suaranya, ia berseru bahwa kegagalan adalah keharusan lantaran mereka sudah sepatutnya gagal dan belajar dari kegagalan tersebut mumpung masih di bawah sini, supaya tidak ada kegagalan begitu sudah sampai ke atas sana. Bentrokannya adalah; at what cost? Film memperlihatkan gejolak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang berbahaya dan tak pasti, padahal masih ada hal yang lebih dekat lagi yang semestinya diberikan aliran dana.

orang sudah nyampe bulan, eee kita masih bingung bulan depan makan apa

 

 

Film berusaha menangkap semua aspek ceritanya dalam tampilan yang natural. Enggak dibuat-buat. Maka dari itu, aku menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut yang kosong. Karena sebagai kontras dari adegan drama dan masalah keluarga yang direkam dengan relatif tenang, adegan-adegan yang berhubungan dengan astronot dan percobaan luar angkasa pun betul-betul dibuat senyata mungkin. Maksudku, kameranya – yang sedari awal sudah dibuat grainy biar sesuai dengan waktu kala itu – juga ditangani dengan sangat praktikal. Chazelle menggunakan teknik kamera handheld untuk sebagian besar adegan; di satu pihak dia berhasil menyatukan efek-efek dengan mulus, membuat setiap adegan tersebut sangat menakutkan dan penuh suspens. Namun di pihak lain, itu berarti kamera akan sering bergoyang hebat. Membuat kita seperti persis berada di dalam roket, mengalami semua guncangan yang dirasakan Armstrong dan teman-temannya. Dan ini bisa menjadi pengalaman yang membuat mual. Menonton ini aku jadi bersyukur aku kepentok dalam cita-citaku menjadi astronot, karena jika nonton film ini aja aku udah merasa mau muntah karena goyang-goyangnya, gimana kalo aku jadi pilot roket ke bulan beneran? Belum ninggalin atmosfer, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan dengan bola mata berputar-putar kayak di film-film kartun.

Salah satu yang paling menakjubkan itu adalaha ketika Armstrong beneran nyampe ke bulan. Pengalaman menontonnya benar-benar terasa mengharukan. Suasana yang mendadak hening karena di sana enggak ada angin, padahal kita tahu di Bumi sana orang seluruh dunia mendengarkan siaran langsung misi mereka. Suara kresek-kresek komunikasi satelit mereka dengan menara NASA. Kalimat ikonik yang diucapkan oleh Armstrong. Seolah kita menjadi orang ketiga yang ikut, yang menjejakkan kaki di sana. Melihat dirinya terdiam di atas sana, hanya berdiri untuk beberapa saat.. Merinding! Atau paling tidak, aku merasa seperti orang-orang yang mendengarkan langsung siarannya saat peristiwa tersebut beneran terjadi bertahun lalu. Kita banyak mendengar berita bahwa film ini diprotes oleh warga Amerika lantaran tidak memperlihatkan adegan spesifik penancapan bendera. Setelah melihat film ini, dan menyaksikan sendiri sekuen di bulan tersebut, aku bisa melihat kenapa adegan penancapan bendera itu tidak disorot. Dan itu bukan karena pembuatnya gak nasionalis. Melainkan karena adegan tersebut akan mengganggu kekonsistenan tema film; sebab ini adalah tentang pencapaian manusia seutuhnya, yang diwakili oleh Armstrong di luar kewarganegaraannya.

Jika ada satu hal yang membuatku penasaran dari bagian di bulan tersebut, maka itu adalah hal personal yang dilakukan oleh Armstrong saat dia memandang kawah bulan dari dekat. Kalo disebutin, akan spoiler banget, aku yakin kalian keberatan jika terlalu spoiler. Maka aku hanya bisa bilang, aku cukup mendua perihal adegan tersebut. Adegan yang menyentuh tersebut, akan berkurang kekuatannya jika tidak benar-benar dilakukan oleh Armstrong di dunia nyata; dia hanya bersifat teatrikal belaka. Lain halnya jika hal itu beneran terjadi, dan kita baru pertama kali melihat sisi tersebut dari sosok Armstrong. Saat membuat film ini, diberitakan mereka memang melakukan riset dengan langsung mewawancarai keluarga Armstrong, jadi adegan yang kumaksudkan di sini bisa saja beneran terjadi, akan tetapi tidak ada informasi lebih jauh yang bisa mengonfirmasi hal tersebut.

 

 

 

Usaha yang sungguh-sungguh menjadikan cerita sejarah ini sebagai pandangan yang sangat personal tentang cinta, harapan, dan keluarga. Segala aspek dan teknis diperhatikan dengan seksama, sehingga terciptalah nuansa pengalaman yang otentik dan keaslian. Sedikit mengecewakan adalah koneksi emosi kita dengan Neil Armstrong yang kerap terasa terputus, karena tokohnya dimainkan dengan emosi yang terlampau detached pada tipe cerita yang mengajak kita untuk berpegang erat kepada karakternya. Ini bukan tentang kejadian apa, melainkan siapa yang mengalaminya. Kita ingin berkomunikasi lebih banyak dengan tokoh utamanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for FIRST MAN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa yang kira-kira kalian lakukan jika kalian tahu tidak akan gagal? Apakah sesuatu hanya berharga jika berhasil dilakukan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

 

DARKEST HOUR Review

“The art of communication is the language of leadership.”

 

 

Ada orang-orang tertentu di dalam hidup yang kita harap mereka tidak gampang ditebak, seperti tetangga sebelah rumah atau cewek yang lagi kita taksir. Dan kemudian, ada orang-orang tertentu yang kita tidak mau mereka gak gampang ditebak. Seperti orangtua kita, atau dokter gigi. Atau Perdana Menteri. Kita mau pemimpin yang tegas, yang mengambil langkah pasti ketika negara berada pada masa-masa sulit.

 

Winston Churcill ditakuti ketika pertama kalinya dia menjabat Perdana Menteri Inggris pada bulan Mei 1940 itu. Karena enggak ada satu orang anggota partai di parlemen pun yang tahu apa yang selanjutnya bakal  keluar dari mulut salah satu pemimpin paling disegani di dunia tersebut. Sementara Inggris dan negara-negara Eropa lain dalam posisi terdesak. Pasukannya digempur Nazi sampai ke pinggiran pantai Perancis, Inggris dihadapkan pada dua pilihan; bernegosiasi dengan Jerman, atau terus melawan – pantang kalah. Tau dong apa yang dipilih oleh Winston Churcill. Ada dalam catatan sejarah. Atau paling enggak, disebutin dalam film Dunkirk (2017) yang fenomenal tahun lalu.  Film Darkest Hour menceritakan tentang bagaimana keputusan yang diambil oleh Churchill bukanlah hal yang mudah bagi dirinya. Churchill mendapat banyak tantangan, dia dikecam sadis. Pandangan dan keputusannya dianggap fantasi  delusional yang membahayakan. Kita melihat kebenaran di mata Churchill, dibayangi oleh keraguannya sendiri – apakah mengirim jiwa-jiwa muda ke ‘tempat pembantaian’ adalah langkah yang benar. Kita juga melihat Churchill dari mata orang-orang terdekatnya.

“Saat kepala kita ada di dalam mulutnya, kita tidak bisa nego sama macan.” begitu tingginya semangat Churchill dalam melawan tirani. Komplikasinya datang dari beberapa orang yang menginginkan semua berakhir dengan baik-baik. But at what cost? Buatku, aspek inilah yang membuat cerita Darkest Hour menarik. Kita hampir melihat film sebagai studi psikologis dari karakter Churchill. Dia bisa melihat bertempur hingga akhir adalah jalan yang benar untuk kebaikan yang lebih besar, akan tetapi dengan melawan, tidakkah nanti dia jadi sama-sama aja dengan Hitler?

Pertempuran hebat terjadi di depan mata kita, tapi enggak semua dari kita menyadarinya. Aksi film ini terletak pada kata-kata, pada semangat berjuang Churchill yang membara di dalamnya. Dan musuhnya bukan hanya pihak Nazi. Karena sesungguhnya hal yang paling susah dalam berperang adalah menjaga diri untuk enggak menjadi sama dengan pihak yang kita lawan. Di dalam gedung parlemen itu, Churchill udah nyaris selalu diantagoniskan, namun dia tetap bertahan. Film menangkap dengan tepat momen-momen intens mengenai konflik inner Churcill. Makanya, adegan di menjelang akhir, ketika Churchill memutuskan untuk pergi naik kereta bawah tanah sendirian, di mana dia ngobrol dengan penduduk kota, terasa sangat mantap menghangatkan. Sebab itulah momen yang meneguhkan pilihan sang protagonis. Bahwasanya setiap orang, jika punya kesempatan, akan memilih untuk berjuang.

kalo kamu berbeda, itu artinya antara kamu paling maju atau kamu paling gila.

 

Now, let’s just address the big elephant in the room. Gajah yang tertutup oleh make up dan efek prostetik yang membentuk seutuh sosoknya. Gary Oldman sebagai Winston Churchill. Perubahannya menjadi sosok yang ia perankan, maaan, ini udah bukan lagi level meniru. Gary Oldman udah kayak menciptakan Winston Churchill dari dalam dirinya. He was completely changed, kecuali matanya yang terus mengobarkan perjuangan dan tampak restless kayak mata Sirius Black. Ini adalah dedikasi tiada tara dan permainan peran kelas dewa. Definitely penampilan terbaik Gary Oldman sepanjang karirnya. Aku enggak akan heran kalo setelah Golden Globe, aktor ini juga akan menyabet Oscar karena penampilannya di film ini. I mean, kita bisa saja bego total sama sejarah dan enggak tahu siapa Winston Churchill, dan tetap akan tertarik sepanjang dua jam lebih durasi hanya karena permainan akting tokoh utama ini. Oldman benar-benar menangkap esensi dari Churcill, dia tampak sepertinya, terdengar sepertinya, bergerak sepertinya, bahkan sampai kebiasaan ngerokok pun gak luput untuk diwujudkan.

Meskipun karakter Churchill dieksplorasi dengan mendalam, kita enggak mendapat banyak tentang karakter-karakter lain di sekitarnya. Di sini ada Lily James yang berperan sebagai sekretaris pribadi Churcill yang bernama Elizabeth Layton yang ada di sana untuk mengetikkan langsung kata-kata Churchill saat Perdana Menteri itu ingin mengirimkan surat. Hubungan kedua orang ini sebenarnya cukup menarik. At first, Elizabeth yang baru bekerja dimarah-marahin karena enggak sesuai dengan standar pengetikan yang ditetapkan oleh Churchill. Ngetik harus elegan – gak boleh berisik karena suara mesin ketik itu malah mengganggu proses berpikir,  spasinya kudu dobel,  juga tidak pake kol(!). Motivasi Elizabeth tetap bekerja pada Churchill, dia gak marah dibentak – malah nyalahin diri sendiri –  sebenarnya juga cukup menarik. Ini bukan masalah karena Elizabeth pengen banget kerja untuk Perdana Menteri, tapi lantaran cewek ini begitu kagum  kepada Churchill. Dia melihat si bapak tua sebagai seorang manusia, sama seperti film ini membuat kita melihat Oldman sebagai sosok yang manusiawi. Kemampuan speech Churchill terutama menarik banget buat si sekretaris, kita bisa melihat dia senang mengetikkan kalimat-kalimat berapi tersebut. Juga ada alasan personal yang menyangkut salah satu anggota keluarga Elizabeth. Kelamaan, kita melihat kedua orang ini menjadi dekat. Tapi film enggak pernah mengeksplorasi sudut pandang Elizabeth lebih lanjut.

ngetik gak ada backspace/delete/undo itu kayak main game tapi gak pake save-an

 

Begitu pula dengan sudut pandang istri Churchill, Clementine. Menurutku aktris Kristin Scott Thomas kurang diberdayakan di sini, padahal tokohnya punya peran yang menarik. Clementine adalah makhluk pertama yang mengingatkan kepada Churchill atas sikapnya yang mengalami deteriorasi (baca: Churchill semakin kasar) sejak suaminya itu meletakkan politik di atas segala kepentingan. And later, tentu saja, aspek ini bermain kembali saat kita melihat Churchill mulai mempertanyakan keputusannya mengirim tiga ratus ribu pasukan terdampar di pantai Dunkirk; apakah benar dia sudah mengalami kemunduran perasaan terhadap sesama manusia. It would be nice jika kita dikasih lebih banyak kesempatan untuk melihat hubungan antara Churchill dengan orang-orang terdekatnya. Paling enggak, bisa jadi alasan untuk mengubah ‘pemandangan’ biar gak bosen ketimbang melulu melihat pria-pria di ruang rapat.

Seperti apa sih pemimpin yang bagus itu? Winston Churchill berani menunjukkan apa yang menurutnya diperlukan untuk membawa negara menuju kemenangan. Dia berani bersuara, mewakili rakyat. Karena ternyata rakyat juga menginginkan perjuangan. Bahkan Raja Inggris saat itu pun sebenarnya ingin berjuang, alih-alih pindah ke Kanada. Negosiasi dapat diartikan sebagai tindak menyerah. Dan perjuangan itu bisa diawali dengan menggunakan kata-kata yang tepat. Bersuaralah. Gunakan kata yang tepat. Karena hanya kata-kata yang tepat yang bisa menggerakkan.

 

 

 

Film ini adalah pelajaran sejarah yang penuh oleh suara-suara yang akan menggenggam erat kita. Menontonnya akan terasa seperti lagi dengerin ceramah guru sejarah beneran; bicara sangat lama sehingga kita mengantuk, akan tetapi suaranya lantang penuh intensitas sehingga kita menolak untuk tertidur. Dan perlu diingat, kita dapat belajar lebih banyak tentang masa kini dengan melihat kepada masa lalu, demi kemajuan. Dengan penampilan akting tingkat dewa, dengan production design yang detil, film ini menunjukkan masa-masa gelap, jahiliyah, dan untuk itu kita perlu menyukuri jaman now di mana kita melihat banyak suara-suara resistance di mana-mana mengenai masalah kepemimpinan. Jika ada yang diperlihatkan oleh film ini, maka itu adalah antara rakyat dengan pemimpinnya perlu untuk ‘bertemu’ demi kemajuan negara.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DARKEST HOUR.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

CHRISYE Review

“Don’t feel guilty for doing what’s best for you”

 

 

Apakah Chrisye bisa hidup lagi? Begitu bunyi salah satu headline koran dalam kelebatan berita dan fakta singkat yang kita lihat di menit-menit awal film ini berlangsung. Jawabannya tidak secara harafiah Chrisye bangkit dari kubur, tentu saja. Dan menurutku, jawabannya juga ‘tidak’ jika pertanyaan tadi kita jawab dengan kiasan. Namun bukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mengenalnya, yang mendendangkan lagunya. Justru sebaliknya, ‘tidak’ karena buatku, dan kuyakin juga buat penggemar, buat orang-orang yang pernah tersentuh dan terhibur oleh karyanya yang amat banyak, juga buat keluarga dan orang-orang terdekatnya, Chrisye tidak pernah mati. Dia akan terus hidup. Lilin-lilin kecil itu tidak akan pernah padam.

Menjalani masa pertumbuhan di era 90an, telingaku akrab sama lagu-lagu Chrisye. Dan memang, aku gak pernah tahu kisah hidupnya seperti apa. Orang bilang, kita bisa mengenal seseorang lewat karyanya, but still enggak banyak yang tahu cerita di balik lagu-lagu tersebut. Paling enggak, tidak tahu sedekat Damayanti Noor, istri Chrisye. Kenapa juga kita perlu tahu, kalian tanya. Well, karena akan selalu ada saja yang bisa kita petik dari kisah-kisah hidup orang seperti Chrisye. Orang yang berjuang dengan karyanya, meski dia tahu profesi yang ia tekuni tidak dihargai benar-benar layak. Orang yang mengikuti kata hati dan memilih jalan hidup atas nama cinta. Film Chrisye ini adalah cerita yang sangat personal karena diangkat dari sudut pandang sang istri, yang sudah menemani Chrisye, sudah ikut naik-turun gelombang kehidupan bersamanya.

Chris, eike, yey…. Chris-eike-yey….. Chris-eik-yey…. Chris-yey… Chrisye!

 

Sebagai sebuah drama biografi, film ini akan sedikit banyak berusaha menyentuh sisi emosional kita. Ada beberapa adegan di pertengahan akhir film yang benar-benar terasa buatku. Malahan, di bagian paruh terakhirlah film ini bekerja dengan baik. Kita bisa merasakan stake yang gede ketika satu hari sebelum manggung di konser tunggal akbarnya, suara Chrisye malah menghilang. Kita ikut gemetar ketika Chrisye tak sanggup untuk menyanyikan lagu tentang kebesaran Tuhan yang disadur dari terjemahan Surat Yasin ayat 65 Al-Qur’an. Karena setelah sekian banyak yang kita pelajari dari pribadi seorang Chrisye, kita jadi tau gimana dia ogah mendengar nyanyiannya sendiri, gimana dia nyari-nyari alesan untuk menunda melihat penampilannya di televisi, semua sisi emosional itu barulah benar-benar pecah saat film membahas kejadian di late on his career. Vino G Bastian yang sempat diragukan melangkah ke dalam sepatu seorang Chrisye, juga akhirnya mendeliver penampilan yang meyakinkan di porsi ini. Ketika dia diberikan kesempatan untuk menyanyikan lagu dengan suara sendiri,  Chrisye terbata sebelum akhirnya tak dapat menahan laju air mata, adegan tersebut sangat kuat menyentuh. Bahkan dari segi penampilan,  Vino jadi tampak mirip dengan Chrisye, apalagi di angle-angle dari depan ketika kepalanya sedikit merunduk.

Bayangkan jika satu-satunya hal yang bisa kau lakukan, ternyata tidak cukup untuk membahagiakan orang yang kau cintai. Chrisye malahan sampai merasa amat bersalah karena sudah memilih menjadi musikus – dia jadi meragukan potensinya, the only things he’s good at. Ini lebih dari sekadar depresi. Ini adalah perasaan gagal, tak berguna, ketakberdayaan, yang menggumpal menjadi satu. Menjadi penyakit yang merundung Chrisye.

 

Tapinya lagi, film tidak menyoroti Chrisye sebagai penyanyi sebanyak itu. We do get perjuangan Chrisye bertahan sebagai seorang musikus, tetapi fokus film sesungguhnya terletak kepada menyajikan Chrisye sebagai seorang pria, seorang ayah, seorang manusia. Salah satu aspek cerita yang mendapat build up yang cukup banyak dan menarik adalah soal beda agama. Kita melihat suara Adzan mempengaruhi pilihan Chrisye, dan later juga menambah banyak bobot buat elemen Chrisye dengan musiknya. Kalo boleh menekankan, aku akan bilang sekali lagi film ini bekerja terbaik begitu dia memperlihatkan tentang Chrisye dan perjuangannya dalam musik. Namun, alih-alih itu, film memperlihatkan aspek-aspek yang lain yang datang dan pergi begitu saja.

Hubungan yang terjalin antara Chrisye dengan Damayanti mengambil posisi utama pada paruh pertama. Yang gak sepenuhnya menarik dan ingin kita ketahui. Dan film ini sendiri pun sepertinya aware dengan hal tersebut. Buktinya, film banyak mengambil waktu untuk membuat kita melihat bagaimana mereka bertemu, kemudian pacaran, dan kemudian ketika menunjukkan bagian romantis, bagian kedekatan mereka, film menceritakan lewat montase, seolah ingin segera cepat sampai ke bagian yang lebih serius. Dialog di bagian awal-awal ini pun ala kadarnya. Ada begitu banyak kejadian, film terus melompat-lompat periode waktu, sehingga membuat kita susah untuk pegangan. Tidak ada yang bisa dicengkeram pada bagian-bagian awal ini. Tidak ada stake yang kerasa. Aku benar-benar susah untuk peduli sehingga sebagian besar waktu itu aku jadi lebih tertarik kepada penampilan-penampilan kejutan dari tokoh dunia musik lain yang hadir di cerita.

“Sejak lihat babak pertama, ku langsung ilang rasa
Walau ku tahu c’rita ada personalnya
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat ngerasain, gejolak cinta ini.

Maka, izinkanlah aku mengritisimu
Atau bolehkan aku sekedar jujur padamu~”

 

Film berkelit dari banyak potensi konflik. Itulah yang membuat bagian awal tampak mudah tanpa ada kejadian yang menarik. Halangan bermain musik dari ayahnya, tergugurkan oleh mimpi. Kita gak dikasih liat reperkusi dari pindahnya Chrisye menjadi penyanyi solo, bagaimana dengan bandnya, gimana dia keluar, film melompati ini di saat yang bersamaan dengan mereka melompati periode waktu. Ketika dia pindah agama juga mulus-mulus saja. Semua seperti terhampar begitu saja, dan di sinilah letak susahnya mengritik film dari kisah nyata. Karena mungkin memang di kenyataannya enggak ada masalah yang Chrisye hadapi sehubungan dengan poin-poin tadi. Toh film harus dibuat tetap menarik, jika memang harus sama, pertanyaannya adalah kenapa memasukkan bagian yang tidak menarik, yang tidak berkonflik? Padahal kan film menarik karena kit amelihat benturan antara manusia dengan konflik.

bayangkan betapa leganya Chrisye setelah dua kali setiap dia ngangkat telepon, ada yang mati.

 

Bagus mereka memasukkan detil kecil Chrisye suka merapikan selimut untuk orang yang sedang tertidur karena kebiasaan tersebut menambah suatu aspek terhadap karakternya. Tapi dalam film ini, repetisi lain pada beberapa adegan terasa annoying karena gak berujung apa-apa. Gak ada faedahnya. Kita mendengar “Amerika!” disebut-sebut dengan antusias berlebih berulang-ulang seolah film ini banyak bertempat di sana, namun enggak. Jadi, kenapa?  Kelemahan ini berasal dari penulisan dialog yang acap terdengar ala kadarnya. Bincang-bincang pasangan di diskotik hanya “turun, yuk” yang membuat adegan tersebut semakin tidak penting. Dan saking berulangnya adegan orang yang tertidur, aku yakin kalo aku menoleh ke samping, orang di sebelahku juga sudah ngorok kayak orang-orang di film ini yang begitu meleng sedikit, begitu mereka ngeliat temannya lagi, teman tersebut sudah pulas.

 

 

 

Bukannya aku mau menodai kenangan personal seorang istri terhadap almarhum suami, karena alur film ini adalah bagaimana kenangan Damayanti terhadap Chrisye, namun sesungguhnya tidak semua bagian kehidupan bisa ditranslasikan dengan menarik sebagai bahasa film. Ataupun tidak semuanya benar-benar perlu. Film ini sayangnya, bukan hanya memasukkan banyak, malah mereka ngeskip bagian yang potensial menarik dan lebih penting untuk ditampakkan. Dengan set piece yang detil, film ini adalah biografi yang membuktikan betapa Chrisye adalah sosok tak tergantikan, terutama di mata istrinya, dan ini terlihat dari suara nyanyian asli dari Chrisye yang dilip-sync. However, erita baru bekerja dengan benar-benar baik saat dia tiba di satu bagian tertentu. Selebihnya, benar ini seperti kenangan yang terpotong-potong. Tidak pernah mengalir dengan baik. Dan itu bukan bentuk yang menyenangkan dalam menikmati perjalanan film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHRISYE.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.