SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS Review

“Violence is any day preferable to impotence”

 

Seperti judulnya, Seperti Dendam (cukup disingkat begini saja ya nyebutinnya), memanglah sebuah cerita balas-dendam sebanyak film ini sebagai sebuah kisah cinta. Ini adalah film yang ada kelahi-kelahinya, ada romansa-romansanya, dan sering juga keduanya – berkelahi dan romansa itu – berlangsung sekaligus. Untuk membuat dirinya semakin unik, film ini hidup berlatar dunia 80an. Tampil layaknya film laga yang berlangsung dan seperti benar-benar dibuat oleh industri tahun segitu. Berpeganganlah yang erat, karena karya Edwin yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan ini only gets weirder. Nada yang sedari awal diarahkan berbunyi seperti komedi lantas menjadi surealis ketika elemen mistis mulai diperkenalkan. Bersiaplah karena di sini gambar-gambar di belakang truk akan bisa berbicara. Dan jika kalian mengharapkan ada sesuatu setelah semua debu-debu truk itu lenyap, setelah semua pukulan-pukulan teknis itu mendarat menghujam, Seperti Dendam bakal melayangkan serangan terakhirnya dengan ending yang begitu tiba-tiba.

dendam202112021753-main.cropped_1638442415
Film tentang impotensi tapi elemennya dibikin nyembur ke mana-mana

 

Masih ingat ayah Shang-Chi di film kung-fu MCU (Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings)? Gembong penjahat yang bertemu perempuan penjaga desa. Lalu mereka berantem dengan begitu elegan sehingga kayak sedang menari, yang menghantarkan mereka menjadi saling cinta? Well, itu semua jadi gak seberapa romantis jika dibandingkan dengan Ajo Kawir dan Iteung di film Seperti Dendam. Tadinya Ajo Kawir kepengen membunuh seorang juragan. Maka dia harus berurusan dahulu dengan bodyguardnya. Gadis yang tak kalah jagoan bernama Iteung. Dan oh boy, berantemnya Ajo Kawir lawan Iteung di lokasi truk ngangkut-ngangkut pasir itu sungguh intens. Beneran kayak film-film silat low budget tempo dulu. Edwin tidak membumbui itu dengan adegan yang elegan seperti pada Shang-Chi. Melainkan dia menampilkannya se-rough mungkin. Jikapun ada ‘polesan’, maka itu difungsikan untuk menahan tone alias nada supaya tetap berada di kotak over-the-top kelucuan.

Memang, adegan berantem awal pertemuan mereka itu membuatku tercengang. Kamera gak banyak cut, langsung aja nampilin. Aku mungkin salah, tapi mereka gak keliatan pakai stuntmen. Ada tuh saat Iteung di-powerbomb ke tanah berpasir. Maaaan… Sebagai orang yang nonton WWE religiously, aku tahu ada cara yang aman untuk ngelakuin jurus-jurus atau adegan tersebut. Berantem sekasar itu bisa dikoreografikan dengan safely. Tapi tetep saja aku kagum sekali Marthino Lio dan Ladya Cheryl berani dan sanggup ngelakuin adegan itu dengan baik.

Pertarungan nyaris hidup-mati itu jadi koneksi yang sangat personal bagi Ajo Kawir dan Iteung. Pemuda yang haus berkelahi sebagai pelampiasan frustasi dan semacam pembuktian diri, bertemu dan dibikin humble oleh perempuan tangguh yang seperti memahami lelaki seperti itu. Koneksi mereka is on another level of love. Tapi ternyata itu hanyalah salah satu bentuk unik purest love yang digambarkan oleh film ini. Untuk satunya lagi, mari kita letakkan konteks ke dalam cerita. Alasan Ajo Kawir napsu cari ribut adalah karena dia percaya itulah satu-satunya cara dia menunjukkan kejantanan. Bahwa dia masih cowok, kok, meskipun burungnya gak bisa berdiri. Kita hanya bisa membayangkan; berantemnya aja seintens itu, gimana pergumulan mereka di kasur ya. Tapi Ajo Kawir enggak bisa begitu. Ajo Kawir awalnya malah sempat minder dan menghindar. Tapi, Iteung tetep mau dan mengawini dirinya. Relationship Ajo Kawir dan Iteung lantas menjadi pondasi besar untuk bangunan cerita Seperti Dendam. Chemistry Lio dan Cheryl hanya tersendat oleh dialog jadul yang kerap sedikit janggal terdengar saat momen-momen mereka. Seperti saat berantem tadi, keduanya tampak lebih klik dalam bahasa gerak dan ekspresi. Sebenarnya itu saja sudah cukup untuk memikul narasi film ini. Karena memang Seperti Dendam lebih excellent ketika menampilkan, entah itu aksi, their whole world, atau hal sesimpel joget dangdut di kawinan.

Aku menikmati ketika narasi masih berpusat di Ajo Kawir berusaha menjadi better man setelah menikah dengan Iteung. Dia berusaha meninggalkan kebiasaan lama. Bahkan berjanji untuk tidak membunuh si Macan, seorang lagi gembong penjahat dengan kepala berharga tinggi. Harga yang mestinya bisa memberikan kehidupan yang layak bagi rumah tangga Ajo. Namun konflik sebenarnya baru datang setelah ini. For Ajo dan Iteung sama-sama punya hantu di masa lalu. Impotensi Ajo berasal dari trauma masa kecil perlahan tapi pasti menjadi pemicu, sementara teman lama Iteung datang menawarkan solusi sekaligus ancaman bagi Ajo. Jika ini adalah cerita biasa, film ini akan berakhir saat turning point. Saat yang berusaha dibangung Ajo bersama Iteung hancur, membuat mereka terpisah. Seperti Dendam sekarang barulah jelas intensinya. Film ini ingin mengeksplorasi impotensi – dalam hal ini bisa dilihat sebagai pria yang merasa dirinya lemah. Kenapa seorang pria bisa merasa begitu. Bagaimana menyembuhkan impotensi berarti adalah bagaimana cara yang benar bagi seorang pria merasa dirinya jantan. Apakah merasa macho memang sepenting itu. Pamungkas film ini sebenarnya terletak saat eksplorasi itu. Saat menunjukkan Ajo Kawir berusaha ‘menemukan jalan pulang’ kepada Iteung. Namunnya lagi, justru di paruh akhir yang difungsikan untuk itulah, film ini terasa mulai gak koheren. 

Bahkan Mahatma Gandhi yang pacifist tulen aja bilang lebih baik menjadi violent jika itu satu-satunya cara untuk mengklaim power. Ajo Kawir jadi impoten setelah peristiwa traumatis yang menimpa dirinya. Impoten di sini adalah lack of power. Menjadi violent bagi Kawir bukan hanya pelampiasan frustasi, ia semestinya belajar menyadari bahwa itulah perjuangannya untuk berani mendapatkan kembali hal yang hilang dari dirinya karena trauma.

 

Begitu masuk ke paruh akhir, Seperti Dendam seperti berjuang mencari arah untuk finish. Tidak lagi berjalan untuk bercerita. Melainkan jadi seperti masuk ke mode mengakhiri cerita dengan tetap bergaya. Masalahnya, di titik itu masih banyak elemen yang harus diceritakan. Ketika menggali lebih dalam ke asal muasal penyakit Ajo Kawir, ataupun ketika memaparkan kejadian horrible apa yang menimpa Iteung saat masih masuk usia remaja, film mulai menapaki arah yang surealis. Katakanlah, ada karakter ‘hantu’ yang dimunculkan. Lalu juga ada perihal perilaku semena-mena aparat yang dirahasiakan, yang juga mengait ke persoalan petrus dan presiden di periode waktu itu.  Untuk menambah kuat karakter periode dan dunianya, film juga sekalian memberikan peristiwa gerhana sebagai latar. 

dendamSeperti-Dendam-Rindu-735x400
Ratu Felisha mainin salah satu karakter terseram seantero 2021

 

Karakter-karakter baru pun lantas muncul. Mereka sebenarnya terasa punya kepentingan yang signifikan di dalam cerita ini, tapi karena Seperti Dendam sudah menjadi medium film, penempatan mereka tidak terasa benar-benar menjustifikasi keberadaan mereka itu sendiri. Dengan kata lain, aku merasa mereka jadi dimunculkan ujug-ujug saja. Tidak ada bedanya dengan si karakter ‘hantu’ yang tau-tau ada begitu sesajen dibakar. Film seperti Dendam pada akhirnya terkekang juga oleh hakikatnya sebagai cerita adaptasi novel. Yang juga kentara terpengaruh oleh mendadak banyak elemen ini adalah tone cerita. Sedari awal, Seperti Dendam memang tidak pernah saklek. Apakah ini satir. Apakah kita memang diniatkan untuk tertawa melihat Ajo Kawir berjuang membangunkan burungnya. Apa yang harus kita rasakan melihat Ajo Kawir kesenengan dihajar orang-orang yang diajaknya berkelahi? Tapi begitu paruh akhir dan segala elemen baru masuk, tone semakin tak menentu lagi. Di bagian yang seperti dirancang untuk membuat kita takut, kita juga merasakan harapan bertumbuh. The only constant adalah pada adegan berantem yang selalu menarik, dan jadi penawar bingung dan sumpeknya semua terasa.

Novelnya sendiri memang aku belum baca. Jadi gak bisa mastiin juga seberapa ‘sama’ film ini dibuat dengan bukunya. Biasanya buku memang lebih leluasa sih, lebih banyak ruang juga. Film adaptasinya ini seharusnya bisa lebih luwes. Mengingat banyaknya muatan, dan style yang mencakup surealis dan menonjolkan seni bercerita, sepertinya bisa lebih asik kalo sekalian aja film ini tampil acak kayak Pulp Fiction (1994). Gak usah runut atau linear. Bagi semacam segmen per karakter, kreasi di urutannya saja, bolak balik saja tak mengapa. Sekalian juga per segmen itu tone-nya bisa beda. Dengan membuatnya begitu, semua yang diniatkan untuk ada masih bisa tertampung semua. Juga, film jadi gak perlu mikirin dan rush menuju ending seperti yang kita saksikan sekarang ini.

 

 

 

Dari tiga-besar film Indonesia tahun ini, film inilah yang memang terasa terhambat oleh adaptasi. Dua film lainnya itu luwes dan bisa mencapai ending yang membayar tuntas semua. Film yang satu ini tidak begitu. Paruh pertama terasa lebih enak karena masih mengalir sebagai cerita, yang fokus ke karakter. Ketika sudah mendekati penghabisan, muatan yang seambreg mulai terasa pengaruhnya. Film jadi berusaha untuk mengakhiri aja. Elemen kritik ke politik, komedi, horor, atau bahasan lainnya pun jadi tempelan at best. Padahal aslinya kan tidak seperti itu. Mereka harusnya jadi esensi. Film ini perlu untuk jadi bold, aneh, kasar, lucu, miris, dan sweet sekaligus. Untuk pembangunan itu semua – dan pembangunan dunianya – kerja film ini sangat excellent. Dia berhasil. Saat menempatkannya sebagai satu film koherenlah, film ini kurang mulus. Maka, mungkin sebaiknya jadi total aneh saja sekalian. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SEPERTI DENDAM, RINDU HARUS DIBAYAR TUNTAS

 

 

 

 

That’s all we have for now

Menurut kalian siapakah Jelita? Apakah dia hantu Rona Merah, atau ada hubungannya dengan Iteung? Apa makna karakter ini bagi kedua tokoh sentral di dalam cerita?

Share pendapat kalian in the comments yaa

 

 

 

Thanks for reading.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE GUILTY Review

“Conscience betrays guilt “

 

 

Perasaan bersalah bisa sangat menekan. Bikin stres. Membuat kita jadi mempertanyakan diri sendiri; kenapa kita berbuat kesalahan itu? apakah kita bukan orang yang baik? Beruntunglah jika kita termasuk orang yang belum pernah atau have no idea atas perasaan semacam itu. Karena, serius deh, kalo aku ngalamin setengah aja yang dari yang dihadapi Jake Gyllenhaal di film The Guilty ini, aku mungkin sudah menelan inhaler asma yang dipegangnya itu bulat-bulat. The Guilty garapan Antoine Fuqua memang dirancang sebagai thriller ruang-tertutup supaya perasaan stres nan helpless yang mendera karakter-bercelanya tersampaikan dengan kuat kepada kita.

Sendirinya, film ini bersalah, jika tidak-original adalah sebuah pelanggaran. Karena The Guilty memang bukan cerita original. Melainkan remake dari film setoran Denmark untuk Academy Awards tahun 2018 yang lalu. Atau, dalam konotasi yang lebih negatif lagi, film ini disebut sebagai ‘remake film versi Hollywood’ dari film Denmark tersebut. Secara garis besar, The Guilty memang persis sekali dengan Den Skyldige (alias The Guilty original). Alur cerita, konsep, misteri kasus, bahkan dialog-dialognya pun serupa. Oh ya, film ini isinya bakal dialog-dialog aja, gak bakalan ada action kejar-kejaran dan sebagainya. Pokoknya film ini tu seperti salinan kalimat per kalimat, detik per detik. Frame-frame close up, entah itu menampilkan wajah dan sorot mata, ataupun menampilkan tangan yang menggenggam-genggam inhaler seolah itu adalah bola peredam stress, juga dilakukan oleh Fuqua.

Seorang petugas di balik meja layanan telepon 911 bernama Joe Baylor lah yang jadi karakter utama. Soon we learned bahwa itu ternyata bukan pekerjaan ‘asli’ Joe. Dia ada di sana sebagai ‘hukuman’. Joe turun pangkat dari petugas polisi ke bagian tersebut karena Joe telah melakukan suatu kesalahan. Dan malam itu adalah malam sebelum sidang keputusan terhadap kesalahannya. Kita gak langsung dikasih tau kesalahannya apa. Instead, film membuat kita terus melekat kepada Joe. Melihat bagaimana rasa bersalah itu mempengaruhi perilakunya. Bagaimana dia menjawab telepon dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Sampai ketika ia menjawab panggilan sos dari wanita bernama Emily. Joe yang meyakini Emily adalah korban penculikan lantas tersedot ke dalam kasus tersebut, lebih dalam daripada seharusnya. Joe percaya kasus Emily yang melibatkan dua anak kecil itu adalah kasus besar yang harus ia tangani dan harus ia tolong, sebagai bukti bahwa ia adalah polisi yang baik.

guiltyapPQ8mzXLyoZrg09Al5EB683Hc-t434juCuab
Polisi yang baik adalah polisi yang tidak memukul dulu baru bertanya

 

 

Kalian mungkin bertanya, kalo sekiranya kejadian dan dialognya sama persis seperti demikian – maka buat apa pula kita menonton remake Hollywood ini? Kenapa tidak nonton yang originalnya aja? Untuk apa film ini dibuat ulang?

Fuqua menjawab pertanyaan tersebut dengan actually memasukkan beberapa hal yang jadi pembeda. Hal-hal kecil yang sekilas tampak gak-penting, tapi ternyata membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap karakter si film ini sendiri. Dari latarnya dulu; ketika memindahkan lokasi ke Amerika, ke Los Angeles, Fuqua sudah paham. Keadaan di Denmark tempat cerita ini berasal, tentu berbeda dengan situasi di Amerika. Hal kecil yang jadi pertimbangan Fuqua seputar lokasi ini adalah dia menciptakan latar belakang – situasi – yang menambah kepada bobot rintangan. Fuqua memasukkan kebakaran besar di Los Angeles sebagai latar, supaya ketika nanti karakter utama yang sebenarnya tinggal duduk di sana, menjawab telepon enggak tinggal mencet-mencet tombol untuk menolong orang. Supaya Joe gak segampang menghubungi divisi sana-sini dan mengirim pertolongan. Latar kebakaran jadi penghambat opsi yang bisa digunakan oleh Joe dalam menolong orang, yang tentu saja berarti menambah tekanan kepada karakter tersebut. Untuk menguatkan konflik inner Joe yang ingin menolong tapi gak bisa ini, Fuqua juga sesekali membuat kita keluar dari kantor. Misalnya ketika memperlihatkan penyetopan sebuah van putih di jalanan. Namun gak really keluar, melainkan lewat visual imajinasi Joe saja. Visual yang dimainkan oleh Fuqua pake shot-shot dream-like. Asap kebakaran yang jadi latar tadi itupun pada akhirnya turut mendukung kepada bangunan visual tersebut.

Lalu, tentu saja karakter utamanya. Si Joe. Fuqua memberikan lebih banyak konflik untuk Joe. Lebih banyak dilema. Jika karakter utama pada The Guilty original adalah polisi yang memang memiliki masalah temperamen, tapi dia berusaha keras untuk tetap tenang. Maka, Joe dalam The Guilty adalah karakter yang lebih meledak-ledak. Joe dengan mudah emosi, kerap membentak rekan-rekan yang ada di ruangan itu for not being more helpful. Karakter Joe terasa punya lebih banyak konflik. Masalah keluarga jadi stake tambahan yang memperdalam karakter ini. Joe gak rela harus pisah sama putri ciliknya, sehingga dia benar-benar kalut berjuang menyelamatkan Emily karena itu adalah satu-satunya kesempatan untuk mendukung pernyataan dia adalah polisi baik yang tidak bersalah di persidangan beberapa jam lagi. Dan bahkan soal penyakit asma yang tampak diderita Joe. Diberikan Fuqua, demi menambah lapisan, yang masih sesuai dengan situasi yang jadi karakter dunia film ini. Asma adalah ‘kelemahan’ Joe, dan karakter itu mati-matian berusaha tampak kuat dan pegang kendali, karena yang kita lihat adalah Joe kayak menyembunyikan kondisi kesehatannya tersebut kepada orang lain. 

guiltyl-intro-1629827345
Film ini jadi penanda jaman ketika memperlihatkan karakternya nyimpen foto orang tersayang di wallpaper hape alih-alih di dompet

 

 

Peran Joe yang ditambah sana-sini supaya gak persis nyontek film originalnya itu hanya akan bekerja di tangan aktor yang paham bermain dengan rasa dan tau ada range di balik setiap emosi meledak-ledak yang harus ia tampilkan. Marah-marah pun gak bisa melulu terasa sama. Aku honestly mikir, kalo bukan Jake Gyllenhaal yang meranin, si Joe gak bakal sanggup menopang film ini sama sekali. Karakternya gak akan mencapai kedalaman emosional yang diniatkan, dan film ini akan beneran gagal. Jadi aku yakin Fuqua sungkem sama Jake. Hard. Jake membuat film ini tidak jadi film marah-marah. Yang dilihat Jake di layar monitor itu, mungkin kita tidak mengerti. Tapi kita paham apa yang ia rasakan saat itu. Ingat ketika tadi aku menyebut dialog film ini sebagian besar sama persis ama film originalnya? Well, Jake mampu membawakan dialog-dialog tersebut dengan nada yang berbeda. Karena ia mampu menyuntikkan emosi yang berbeda pada setiap kalimat-kalimat ucapan tersebut. Meski ceritanya sama, tapi karakter utama kedua film diniatkan sebagai karakter dengan dilema atau konflik berbeda, dan Jake berhasil mewujudkan visi tersebut. Jake juga membantu ngesold akting-akting lawan mainnya. Ada Riley Keough yang jadi Emily, ada aktor cilik Christiana Montoya, ada Ethan Hawke juga. Mereka kebagian akting lewat suara doang, yang tak pelak lebih susah, dan Jake menjadi perekat yang menyatukan mereka semua.

Kita dapat merasakan dengan kuat betapa harapan dan keputusasaan datang silih berganti merasuki diri Joe. Pergulatan bahwa dia orang baik atau bukan terus bergulir sepanjang 90 durasi. Certainly, misteri kasus Emily yang ia tangani akan membuatnya belajar banyak. Dan itu adalah pelajaran soal mengakui perbuatan yang telah dilakukan. Suara yang paling harus ia jawab duluan adalah suara nurani. Karena justru dengan menerima dia bersalah, maka seseorang telah membuktikan mereka adalah orang yang baik.

 

Cerita ini dibawa Fuqua masuk ke dalam situasi yang relevan mengenai maraknya peristiwa-peristiwa yang menunjukkan kebrutalan polisi (Police Brutality). Fuqua membuat film ini urgen dengan muatan tersebut. Dia menyelipkan dialog yang menggambarkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap polisi memang telah berkurang drastis. Polisi tidak lagi dianggap pahlawan. Maka, di tangan Fuqua, cerita jadi memiliki fungsi untuk mengetuk nurani para polisi. Lewat si Joe. Karena, walaupun tidak disebut dari awal, tapi Fuqua tidak menutupi karakter ini. Sepanjang durasi kita belajar dan menyimpulkan bahwa Joe adalah salah seorang polisi yang mengabuse power kepada masyarakat sipil. Yang main tangan hanya karena ia bisa. Kisah Joe adalah saga redemption, yang dilakukan dengan cara yang lebih peka karena langsung menjadikan pelaku sebagai subjek (tidak kayak filmnya Jared Leto tahun ini – The Little Things, yang tone-deaf sehingga malah kayak membela polisi) Bahwa perbaikan harus datang dari mereka, yang harus berani mengaku salah dan menerima hukuman.

Perbedaan yang dilakukan pada ending adalah statement. Namun, ada satu perbedaan yang dilakukan oleh film ini, yang terasa kurang pas tone keseluruhan. Bagaimana pun juga, cerita The Guilt bekerja maksimal dalam nada atau tone cerita yang kelam, yang grim. Film original mempertahankan hal tersebut. Sedangkan film remakenya ini, yang punya statement tambahan tadi, malah mengurangi persentase kelam tersebut. Ada satu karakter yang ternyata tidak mati, padahal kematiannya justru adalah salah satu pembelajaran kuat untuk karakter utama. Seolah film The Guilt ini tidak mau berakhir dengan banyak kemuraman. Bahwa redemption Joe harus dibarengi dengan reward. Dan, mengakhiri cerita dengan enggak kelam ini, tipikal Hollywood banget. Yang sebenarnya gak cocok dan agak bertentangan dengan poin cerita pada awalnya. Buatku, itu hal minor yang ada pada film ini. Selebihnya The Guilty adalah thriller crime yang sarat dan urgen untuk ditonton.

 

 

 

While lacks of originality, tapi film ini masih nunjukin geliat kreatif. Dan kepekaannya teradap isu dan rasa. Penampilan Jake Gyllenhaal carry this vision altogether. Konsep ruang-tertutup dimainkan maksimal ke dalam konflik inner karakter, dilakukan lewat treatment yang membuat kita tetap lekat kepada si karakter utama. Sehingga walaupun isinya dialog doang, film ini tetap menarik dan gak bosenin. Kasus yang dihadirkan, beserta nanti pengungkapannya dilakukan dengan cermat dan tidak membuat ceritanya terasa dibuat-buat ataupun jadi seperti agenda murahan. Kekurangan film ini buatku cuma satu, yakni tidak mampu menepis kenyataan bahwa ‘remake versi Hollywood’ masih berkonotasi negatif.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE GUILTY

 

 

 

 


That’s all we have for now

Apakah menurut kalian film ini bisa berpengaruh terhadap situasi kepercayaan masyarakat terhadap polisi? Bagaimana pendapat kalian tentang karakter-karakter polisi yang digambarkan oleh film ini?

Share with us in the comments yaa

 


Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

MALIGNANT Review

“It’s just a beast under your bed, in your closet, in your head”

 

Malignant adalah horor terbaru dari sutradara James Wan, dan actually merupakan horor pertama yang di-direct olehnya semenjak The Conjuring 2 di 2016. Kupikir, James Wan ini sudah move on dari horor. Di proyek Conjuring Universe aja, dia kayak ngasih ide-ide cerita untuk digarap sutradara lain, sementara dia duduk di kursi produser. James Wan kayak udah siap untuk melebarkan sayap, menjajal ke ranah-ranah mainstream lainnya. Dia nge-tackle superhero, misalnya. Dan laku juga. Tapi kehadiran film Malignant ini ternyata membuktikan bahwa cinta dan passion adalah dua hal yang susah untuk ditinggalkan. Passion gak bisa hilang, melainkan akan terus membesar. Kalo dipikir-pikir ya udah kayak kanker ganas. Cuma bedanya, hidup yang terus memupuk passion bukanlah hidup yang sakit. Melainkan hidup yang bahagia. Enggak kayak kanker, yang semakin hari akan… eh, tunggu-tunggu… Hmm, sungguh sebuah ‘kebetulan’. Tau enggak kanker ganas itu sebutan medis resminya apa? Maligna. Alias Malignant!

Kanker yang merubungi tokoh utama dalam cerita Malignant bukanlah aktual sel kanker, melainkan sebuah perumpamaan. Madison di sini dihantui oleh entitas misterius bernama Gabriel, yang diyakini sebagai teman-khayalan di masa kecilnya. Setelah kejadian KDRT yang membuat Madison keguguran yang keempat kali, Gabriel yang selama ini telah terlupakan, muncul kembali. Lewat apa yang terasa seperti mimpi, Madison melihat Gabriel membunuhi sejumlah orang satu persatu, termasuk suaminya. Semua itu ternyata bukan mimpi. Orang-orang tersebut memang mati mengenaskan. Seiring detektif mengusut kasus – siapa dan hubungan antara para korban – kecurigaan pun memusat kepada Madison sendiri. Madison yang tak ingat masa kecilnya, tapi percaya seratus persen bahwa semua ini memang ulah Gabriel yang juga bahkan tidak bisa ia ingat.

Jadi, di sini Gabriel adalah sesuatu yang gak bisa lepas dari Madison. Yang terus menggerogotinya dari dalam. Perumpaannya di sini adalah bisa jadi Gabriel adalah simbol keadaan psikologis Madison sendiri. Sementara juga, film mampu menjelaskan secara literal bahwa Gabriel adalah sebuah fenomena dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Inilah kenapa karya Wan ini segaris dengan horor-horor hebat. Cerita horor yang hebat selalu adalah metafora, dan Wan mampu membuat metafora dengan ikatan ke fenomena nyata yang kuat.

malignant-brings-us-a-new-vision-of-terror
Teman atau malign-kundang?

 

Lebih lanjut membahas siapa, atau apa, sebenarnya Gabriel akan seru, tapi juga akan membuat ulasan ini spoiler berat. Jadi aku tidak akan melakukannya. Cukup disebutkan saja bahwa James Wan sekali lagi berhasil menciptakan sosok ‘hantu’ atau villain horor yang ikonik. Meski gak fresh-fresh amat. Namun memang itulah salah satu kekuatan Wan di ranah horor mainstream. Gaya bercerita. Ia selalu sukses menceritakan kembali trope-trope usang dengan gaya yang unik, sehingga jadi suatu wahana seram yang kerasa baru. Karena sering makek Voldo sebagai karakter di game Soul Calibur, aku jadi bisa menduga what exactly Gabriel yang berjaket hitam, dan berwarah merah darah di balik rambut lurus hitam panjang tersebut. Namun karena momen ke pengungkapannya digarap dengan begitu well-built, aku tetep ikutan teriak. Padahal itu ‘bingkai’ pengadeganannya cuma berupa karakter lagi nonton video pasien diwawancara. Timing tarik-ulur, set atmosfer, posisi dan sudut kamera, serta cut-to-cut editing. Empat itu memang nyaris selalu jadi penentu dalam pembangunan adegan berpunchline –  terutama seperti pada horor, dan James Wan benar-benar sudah ahli dalam menangani empat itu semua. Orang bilang selera pasar itu susah dipahami. James Wan, seperti sudah memahami selera orang terhadap horor – serta titik takut mereka luar-dalam.

Dari yang terlihat di layar sepanjang durasi nyaris dua jam ini, aku bisa membayangkan baginya bikin film ini udah kayak silaturahmi ama teman lama. Tentu saja bukan teman lama yang nyeremin dan nyusahin kayak Gabriel. Kasian ya si Madison hihi.. Ngomong-ngomong ngapain aja sih kita saat ketemu lagi ama sahabat lama? Kita jabat tangan – memeluk mereka, kangen-kangenan, kemudian seru-seruan seperti dulu lagi bersama-sama. Itulah yang exactly terjadi pada film ini. James Wan benar-benar mengembrace akar horornya. Horor yang penuh darah. Dia banyak membuat pengadeganan yang mengingatkan kita pada karya-karya terdahulunya. Ada situasi orang disekap yang mengingatkan pada Saw. Ada juga adegan serangan setan yang dilakukan dengan cepat kayak yang dijumpai pada Insidious. Selanjutnya, seru-seruan James Wan berhoror ria dapat kita rasakan dari beragam cara yang ia terapkan dalam merekam adegan-adegan horor. Kamera gak putus, merekam dari atas sehingga kita kayak menonton rumah boneka? Cek. Jumpscarenya dengan build up yang efektif lewat panning atau ayunan kamera dan refleksi di permukaan kaca? Cek. Jumpscare yang gak pake suara menggelegar melainkan mengalir kayak horor 80an? Cek. Sekuen aksi atau pembunuhan sadis ditambah oleh warna-warna creepy? Cek. Semua adegan horornya efektif dan terencanakan dengan sangat baik. Kita gak bosan menontonnya, karena dinamika yang terjaga. Film ini juga sangat fleksibel, kadang bermain dengan CGI dan efek-efek komputer (saat adegan dream-like Madison melihat perbuatan Gabriel), kadang dengan efek praktikal (aksi-aksi si Gabriel itu semuanya beneran dilakukan loh!), James Wan menyatukannya dengan mulus.  

Ketidakbisaan kita membahas banyak tentang Madison dan Gabriel tanpa membuat ulasan ini jadi spoiler tersebut sebenarnya adalah indikasi yang mengatakan bahwa film Malignant ini terlalu menumpahkan fokus kepada kejadian. Pada apa yang terjadi. Ternyata begini, selanjutnya begitu. Detektif mencari petunjuk, karakter menguak misteri, villain membunuh orang. Ruang untuk bahasan tersirat di balik kejadian luar tersebut jadi tidak luas. Cerita ini tidak bisa membahas lebih jauh tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tidak bisa mendalami tentang perempuan yang selalu kehilangan anaknya. Dan ini sangat disayangkan. Terlebih karena film memang mengandung muatan yang cukup banyak.

Yang paling kuat itu sebenarnya adalah bahasan tentang anak yang terbuang. Konflik antara ibu yang terpaksa memilih untuk mengesampingkan buah hatinya karena keadaan. Yang juga dikaitkan keluarga dan ikatan darah. Tapi semua itu tidak terasa terdevelop atau terceritakan dengan natural. Hanya ter-conjure begitu saja menjelang akhir. Disimpan hingga akhir. Karena film di awal fokusnya pada mempersembahkan kejadian-demi kejadian for shock value, bukan untuk menilik muatan.  

 

Penampilan akting dari para aktor jadinya tidak termanfaatkan maksimal. Pemeran Madison, Annabelle Wallis, misalnya. Dia menunjukkan permainan akting yang berkualitas. Akan tetapi karena film ‘merahasiakan’ apa yang terjadi pada karakternya – basically membuat tokoh utama ini sama tidak tahunya mengenai dirinya sendiri dengan kita – Wallis sebagian besar waktu hanya digunakan untuk menunjukkan ekspresi takut atau terkejut melulu. Motivasi Madison adalah pengen punya koneksi-darah, dan ini kita tahu bukan lewat informasi visual atau pembelajaran dari adegan-adegan yang mendukung ke sana. Melainkan lewat dialog gamblang yang diucapkan Madison kepada adik angkatnya.

malignant-trailer-james-wan-the-conjuring
Si McKenna Grace laku banget ya, setiap ada peran versi masa kecil, dia kepakek

 

Walaupun film excellent sekali dalam pembangunan misteri, adegan berdarah, dan adegan menakutkan, untuk urusan bercerita lewat karakter dan dialog film ini terasa demikian lemah. Semua hal-hal yang mestinya bisa penonton simpulkan sendiri, atau bisa ditangkap sendiri maknanya, diucapkan dengan terang-terangan. Oh jadi lewat flashback diungkap waktu kecil Madison dibisikin oleh Gabriel untuk ngambil pisau untuk menusuk perut ibunya, yang ini tentu dengan mudah bisa kita cerna sebagai Gabriel mengendalikan dan bertanggungjawab atas perbuatan Madison. Adegan itu saja ternyata dinilai tidak cukup oleh film. Karena persis setelah itu, kita akan mendengar seorang karakter menyebutkan kesimpulan itu “Jadi, pelakunya adalah… teman khayalanmu?” Banyak dialog-dialog yang tidak diperlukan seperti demikian tersebar pada film ini. Semuanya seperti diejakan kepada kita.

Agaknya James Wan sudah terlalu nyaman menggarap film mainstream, sehingga insting bercerita lewat dialognya jadi menumpul. Kalah tajam sama naluri untuk menyuapi penonton. Untuk memfasilitasi penonton dengan berlebihan sehingga jatohnya jadi kayak tidak percaya sama kemampuan penonton. Tidak hanya itu, film juga tampak tidak pecaya bahwa penonton bakal ngikutin cerita sampai akhir tanpa merasa bosan. Film ini seperti takut, penonton bakal bosan. Darimana kita bisa menyimpulkan ini? Dari banyaknya dialog-dialog yang cringe, dan juga dari karakter-karakter pendukung yang dihadirkan untuk komentar-komentar lucu saja. Simak adegan ketika detektif meminta forensik untuk mencari pasangan senjata pembunuh yang hilang. Saat itu, film menyelipkan guyon lewat karakter si forensik yang dibuat naksir ama si detektif kurang lebih bilang, kita semua perlu nyari pasangan hihihi.. Lucu sih lucu, tapi perlu tidak? Penting tidak untuk keseluruhan narasi. Nyatanya, film tidak pernah memfollow up soal hubungan dua karakter tersebut (detektif dan forensik). Dialog itu mengangkat sesuatu tapi tidak menjadikannya apa-apa. Karena sebenarnya ya fungsi dialog itu ada cuma untuk selipan lucu-lucuan supaya penonton gak bosan aja. 

Ok, memang benar film tidak mesti serius selalu, atau ngeri setiap saat. Harus ada momen-momen ringan. Namun juga, menghadirkan lelucon di sela-sela adegan serius itu tanggungjawabnya besar loh. Sebab menyangkut tone – nada film. Sebuah film harus konsisten pada nadanya. Tentu kita gak mau horor yang kita buat malah jatuh sebagai komedi. Drama cinta yang kita garap malah bikin orang takut tidur matiin lampu alih-alih sedih. Keseimbangan tone harus dijaga. Malignant did a poor job dalam hal ini. Film ini tampak ingin tampil sebagai horor personal yang serius, dengan konflik keluarga yang menyentuh. Tapi banyaknya lucu-lucuan membuat nadanya bergeser menjadi komedi. Beberapa hal yang mestinya gak lucu, jadi ikut kebawa lucu. Orang jatuh dari attic, menimpa patah sebuah meja. Aku nyaris ketawa melihat itu. Bukan ketawa defensif saking seramnya. Melainkan karena ketawa lucu. Apalagi kemudian diikuti jeritan Madison yang memang semakin ke belakang jadi hilarious saking seringnya. Setan yang kabur terseok-seok dikejar detektif? Aku terkikik melihatnya. Dan obrolan di ending, soal konklusi dan pembelajaran ingin merasakan koneksi-darah – dengan ibu kandung terbaring di sebelah mereka, ibu kandung yang baru kebuka identitasnya – dicuekin gitu aja. Aku ngakak. Ups.

 

 

 

Sepertinya James Wan terlampau bersenang-senang kembali menggarap horor. Dengan cerita yang membahas entitas misterius membuat karakter tertuduh melakukan kejahatan, film ini jadi kayak versi seru dan fresh dari The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) yang tampil kaku dan membosankan. Film kali ini, memang kuat di pembangunan adegan seram lewat lewat teknis-teknis atau craft pembuatnya. Adegan revealingnya bakal bikin kita jerit-jerit saking gilanya. Namun sebaliknya, film ini di dialog dan karakter terasa lemah. James Wan tidak berhasil mempertahankan tone film ini. Diawali sebagai horor serius, yang perlahan mulai berat ke arah horor konyol. Malah setelah kita bisa menduga sendiri, film ini gak lagi seram. Traumanya gak digali, kita gak benar-benar bisa relate. Hanya jadi melihat kejadian-kejadian yang semakin edan. Kebiasaan James Wan menangani film-film mainstream mungkin perlu sedikit dievaluasi, di tone down sedikit, karena jika tidak bisa-bisa malah berubah jadi kanker yang tidak diinginkan dalam kreasinya sebagai filmmaker horor yang kreatif.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for MALIGNANT.

 

 

 

That’s all we have for now

Mengapa menurut kalian penting sekali bagi Gabriel untuk membuat ibunya melihat ‘monster’ seperti apa dirinya sekarang?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

DON’T BREATHE 2 Review

“Don’t turn a blind eye to sin”

 

Benar-benar gak napas aku saat pertama kali denger kalo Don’t Breathe bakal dibuat sekuelnya. Ya, Don’t Breathe (2016) yang unik itu, yang ngasih twist seru pada genre thriller home-invasion. Iya, yang sepanjang durasi melempar-lempar simpati kita dari protagonisnya yang maling, ke bapak-tua-buta yang dimaling, dan kemudian menghempaskan simpati tersebut dengan revealing yang sekali lagi mengubah pandangan kita tentang mana yang orang baik dan orang jahat — iya, film seram yang itu!! Kayaknya film tersebut udah perfect dan gak perlu dibuatkan sekuelnya. Kalopun mau ada sekuel, cara paling gampang sebenarnya adalah membuat cerita yang completely gak nyambung sama film sebelumnya; yang karakternya berbeda total; mereka cuma perlu menciptakan situasi yang baru dari keadaan “Don’t breathe – jangan napas” itu sendiri. Tapi, produser Rodo Sayagues (bukan Kamuelos hihihi) justru melihat potensi dari karakter si Blind Man, sehingga langsung turun tangan menjadi penulis skenario serta sutradara untuk film lanjutannya ini. Lanjutan yang membahas lebih dalam, dan lebih dekat, siapa si Blind Man. Dan oh boy – aku masih belum narik napas lagi – karena di sini, Sayagues benar-benar menempatkan Blind Man sebagai protagonis. Pertanyaan besarnya tentu saja adalah bagaimana. 

Bagaimana membuat karakter yang telah terestablish sebagai orang yang telah melakukan perbuatan brutal dan tidak manusiawi kembali menjadi semacam hero yang mengundang simpati?

dontScreenshot_20210812-042725_YouTube-1-824273262-1628787297939
Yang jelas tidak dengan menyuruhnya “Goyang Dontbreath, Goyang Dontbreath~~”

 

Logisnya, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan cerita dengan tujuan seperti itu. Antara membuat ceritanya sebagai prekuel atau origin, atau mengembrace diri sebagai cerita anti-hero. Tahulah, seperti yang lumrah dilakukan oleh live-action Disney belakangan. Rodo Sayagues tidak melakukan salah satu di antara dua itu. Dia menyambung cerita ini delapan tahun setelah kejadian di film pertama. Dalam kurun tersebut, Blind Man memungut seorang bocah dari rumah yang kebakaran, dan membesarkan anak perempuan tersebut sebagai ganti anaknya sendiri. Kini, anak yang ia beri nama Phoenix itu sudah cukup gede untuk minta sekolah normal dan berinteraksi sosial. Blind Man di cerita ini dipersembahkan sebagai orang yang ‘insaf’ dari semua perbuatan mengerikan yang ia lakukan di masa lalu. Tapi dia tetap tahu betapa bahayanya di luar sana. Benar saja, Phoenix ternyata ‘diikuti’ oleh sekawanan orang jahat. Rumah Blind Man sekali lagi disatroni, Phoenix diculik, dan Blind Man harus menyelamatkan sebelum terlambat sementara juga bergulat dengan a right thing yang harus dilakukannya demi Phoenix.

Barulah aku menarik napas. Bukan dengan lega, melainkan dengan kecewa. Sayagues ternyata menyetir film ini ke arah yang paling generik. Keunikan film pertama adalah muatan ambigu moral pada setting home-invasion ruang tertutup, yang menitikberatkan pada aksi-aksi dengan presisi timing dan design suara yang menguarkan atmosfer seperti nyata. Film keduanya ini hanya seperti cerita penyelamatan dan/atau balas dendam yang biasa, dengan ayunan pendulum moral yang tidak terasa didapatkan dengan genuine. Di sini Blind Man didesain seperti memohon, banget-banget, simpati kita. Dia kini mengasuh anak. Dia menyayangi anjing. Dia peduli sama kenalan yang mati. Pandangannya terhadap Tuhan pun sudah berbeda dengan saat di film pertama. Dia yang dulu dengan dia yang sekarang sudah berbeda jauh, dan sayang sekali justru proses perubahannya itulah yang seharusnya jadi fokus film. Film harusnya berkubang mengeksplorasi bagaimana seorang pembunuh, penyekap orang, pemerkosa bisa menumbuhkan hati untuk merawat anak kecil. Itulah cerita manusia yang ingin kita lihat, yang ingin kita dengar. Blind Man harusnya dibuat earned title protagonis itu. Karena jika tidak, jika film hanya langsung membuat dia tiba-tiba kayak orang baik, menggunakan shortcut dengan menghadirkan karakter antagonis yang jahat sebagai lawannya (bagi film ini sesimpel tokoh yang ingin lindungi anak melawan tokoh yang ingin mencelakai anak), maka dengan kata lain film seperti meminta kita untuk membutakan mata dari siapa karakter protagonisnya tersebut. Apa bedanya sama kejadian di dunia nyata kita saat ada mantan predator ujug-ujug diangkat untuk tampil ngasih edukasi bahaya predator.

Dengan menjadikannya begitu, film juga malah mengkhianati konteks ceritanya sendiri. Journey Blind Man dalam film ini adalah soal dirinya tidak lagi menyembunyikan masa lalu. Untuk tidak lagi turn a blind eye terhadap apa yang sudah ia lakukan. Dia tidak bisa membesarkan Phoenix dalam lingkungan bahaya, dan kebohongan; bahwa dia bukan orang yang tepat untuk mengasuhnya. Tapi filmnya sendiri justru memanipulasi simpati kita, meminta kita melupakan yang ia lakukan. Supaya dia bisa tampak simpatik.

 

Oleh karenanya, sekuel ini justru paling baik jika kita menontonnya dengan tidak tahu cerita di film yang pertama. Which is berlawanan dengan poin keberadaan sebuah sekuel. Kenapa tidak sekalian saja membuat cerita baru tentang orang buta yang mati-matian menyelamatkan anak yang bukan anaknya. Blind Man ini dihadirkan lagi kan, mestinya karena film ingin mengembangkan – mengeksplorasi – karakternya. Tapi malah bagian paling penting, bagian developmentnya tidak ditangkap oleh kamera. Hasilnya, ya kita gak bisa benar-benar mendukungnya. Gak simpati, betapapun seringnya dia meringis kesakitan, menitikkan darah dan air mata.

Stephen Lang padahal bermain dengan maksimal. Dia berhasil menjajal tuntutan akting yang diberikan kepadanya. Mulai dari range emosi hingga ke tuntutan bermain fisik. Secara aksi, film cukup berhasil mengulang prestasi film pertamanya. Kita akan melihat sejumlah adegan-adegan yang memanfaatkan suara, bunyi-bunyi, dan cahaya, yang sanggup membuat kita menahan napas menanti ledakan aksinya. Tapi karena sekarang cakupan medannya lebih luas (film tidak berlama-lama di setting rumah karena hanya akan menimbulkan kesan meniru film yang pertama), aksi-aksi film ini tidak lagi terasa spesial. Walaupun karakter yang berlaga itu adalah orang buta. Hanya ada sekian banyak aksi berantem yang bisa diadegankan, sebelum akhirnya semua elemen dalam action itu terasa convenient. 

dont-breathe-2-trailer-2_62c558d4-45a3-4cb6-977c-0aa656d99e52
Berantem gitu doang sih Si Buta Dari Goa Hantu udah duluan kalee

 

 

Film ini masih berusaha memainkan pembalikan moral atau role karakter. Ada yang keliatan jahat, tapi ternyata dia tampaknya seperti baik. Ada yang kayak baik dan simpatik, tapi ternyata busuk. Malah sebenarnya ada satu karakter anak buah penjahat yang menarik. Si karakter ini diam-diam membelot dan membantu Blind Man. Tapi film tidak menggali ini. Dia hanya ada sampai di situ aja. Alih-alih karakter, dia malah jatohnya sebagai ‘kemudahan lain’ yang diset untuk membantu perjuangan Blind Man. Semua karakter dan moral mereka memang itu tidak pernah benar-benar jadi soal, karena film begitu pengen untuk mengecat Blind Man ini sebagai protagonis. Padahal sebenarnya bisa-bisa saja si Blind Man ini jadi protagonis tapi tetep dibuat jahat dan gak ngemis simpati kayak yang kita lihat di sini. Melihat cara film memperlakukan karakter Blind Man di sini, membuat aku jadi suudzon bahwa jangan-jangan si pembuat film enggak mengerti makna dari protagonis dan antagonis itu sendiri. Jangan-jangan mereka hanya menyederhanakan protagonis itu baik, dan antagonis itu jahat. Padahal protagonis itu ya karakter yang motivasinya kita dukung, meskipun bisa saja aksi-aksinya enggak tergolong ‘baik’. Dan antagonis ya karakter yang motivasinya bertentangan dengan protagonis. Nah, akibat dari pembalikan role yang tidak benar-benar earned dan berarti tersebut, alur cerita film ini jadi terasa ngada-ngada. Semua hanya terjadi karena ‘memang begitu ceritanya’. Tidak ada bobot di balik semua.

Sebenarnya masih ada satu cara logis lagi untuk mengembangkan cerita dengan bentuk seperti ini. Yaitu dengan menjadikan si anak, Phoenix, sebagai tokoh utama. Menjadikan cerita dari sudut pandang dirinya. Benar-benar bergerak lewat pilihan-pilihannya. Dengan begitu, kita akan bisa merasakan kebaikan Blind Man ataupun misterinya melalui apa yang dirasakan oleh Phoenix. Mirip-mirip seperti pada formula cerita anak sahabatan ama monster/hewan buas/atau apapun yang dianggap orang-orang berbahaya. Namun film ini juga tidak mau ke arah sana. Mereka lebih suka membuat Phoenix sebagai device. Hanya sebagai karakter yang perlu diselamatkan. Dengan sesekali diberikan aksi-aksi fisik dan pilihan-pilihan kecil. Karakter ini sangat underused, sampai-sampai relasinya dengan Blind Man juga tidak pernah benar-benar mencuat sebagai muatan dalam cerita.

 

 

 

Nulis review ini, aku baru bernapas lega. Karena kayaknya semua uneg-uneg sudah keluar. Film pertama Don’t Breathe adalah salah satu favoritku di tahun 2016. Berhasil menggeliat dalam premis yang sederhana sehingga hasilnya benar-benar tontonan seram yang bikin surprise. Film kedua ini sebaliknya, nontonnya tidak terasa apa-apa. Aku tidak bisa mendukung Blind Man, juga tidak bisa percaya bahwa dia vulnerable dan ada dalam masalah besar. Karena aku nonton film pertamanya. Mungkin, kalo gak nonton yang pertama, aku bisa lebih menikmati film ini. Aksinya cukup mendebarkan – bagian yang di dalam rumah tetap masih jadi highlight. Journey karakternya ada. Tapi itu semua pun tidak pernah keluar dari batasan generik. 
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for DON’T BREATHE 2.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana menurut kalian seorang yang pernah berbuat kejahatan mengerikan dapat termaafkan? Pantaskah mereka dimaafkan?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

STILLWATER Review

“It is all about finding calm in the chaos”

 

Kata Stillwater dalam judul film terbarunya Matt Damon ini memang merujuk pada nama kota tempat karakter yang ia perankan tinggal. Namun, sebagai sebuah film, Stillwater ini juga persis sekali dengan air tenang yang menjadi lawan air beriak dalam peribahasa kita. Stillwater bukan film yang dangkal. Malahan, cerita tentang warga Amerika yang menjemput anaknya ke penjara Perancis ini ternyata lebih kaya akan konteks ketimbang cerita tentang anak Indonesia yang menjemput ibunya ke Amerika yang tayang di Netflix beberapa waktu yang lalu. Tom McCarthy menggarap dan menulis cerita drama thriller ini dengan menggali muatan seperti stereotipe turunan dari politik di Amerika, komunitas imigran di Perancis, hingga ke pandangan hidup menurut Islam. Pilihan yang McCarthy ambil untuk mengakhiri (atau tidak mengakhiri?) cerita, serta kontroversi yang mewarnai eksistensi film yang katanya loosely berdasarkan kemalangan yang benar-benar pernah terjadi ini, turut menambah seru dan menariknya film ini untuk dibahas. For better and worse.

Sebenarnya film ini bekerja paling baik sebagai sebuah studi karakter. Momen-momen paling ngena yang ada pada film ini hadir lewat interaksi karakter, keputusan dan gejolak konflik inner karakter. Tapi selapis genre thriller yang diselimutkan sutradara di atas permasalahan jiwa manusia berhasil menambah daya tarik yang dimiliki oleh keseluruhan cerita. Matt Damon di sini berperan sebagai Bill. Seorang pria red-neck Oklahom, konservatif, pendukung Trump. Di awal cerita kita melihat dia terbang ke Marseille, Perancis untuk menjenguk putrinya. Di penjara. Allison sang putri, diperankan oleh Abigail Breslin (udah gede aja – fix aku tua!!) tertuduh sebagai pelaku kasus pembunuhan kekasihnya sendiri, seorang perempuan muda asal Arab. Hook yang membuat cerita ini bakal berbelok menarik adalah Allison punya petunjuk tentang pelaku yang sebenarnya, sehingga kini Bill – meskipun dilarang ikut campur oleh Allison sendiri – berjuang di negara orang, di negara yang menganggap dirinya radikal, untuk mencari keadilan bagi semata wayangnya.

stillwaterf468-11eb-9b7f-287e8ddca3c1
Kemudian si Bill bertemu dan tinggal bersama ratu-ratu quee.. eh?

 

Ya, saat nonton ini aku otomatis teringat – dan kemudian malah lanjut membandingkannya – dengan film indonesia Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Karena kalo dilepas dari bagian thriller mencari petunjuk ke orang yang dicurigai sebagai tersangka yang asli, Bill dalam Stillwater menapaki jalan yang serupa dengan Ali. Bill juga nanti akan menumbuhkan hubungan yang dekat dengan karakter-karakter yang ada di kota Marseille, mereka akan jadi keluarga. Bill juga harus menyelesaikan persoalan personalnya dengan Allison – dengan putrinya – karena mereka telah grow apart seperti Ali yang juga harus mengenali kembali ibunya sebagai seorang person.

Perbedaan yang kerasa jelas saat aku membandingkan kemiripan komponen penggerak kedua film ini adalah soal muatan dan pembahasan konteks yang mendasari masing-masing. Dan aku menemukan Stillwater jauh lebih kaya. Karakternya terasa lebih hidup karena benar-benar diwarna oleh konteks dan muatan tersebut. Tipe cerita Ali dan Bill sama-sama tipe fish-out-of-water; maksudnya, cerita di mana karakternya masuk ke dunia yang berbeda dengan yang selama ini ia kenal. Ali anak Indonesia, di keluarga yang cukup ‘disiplin’ dalam beragama, masuk ke Amerika yang lebih ‘open minded’, dengan segala perbedaan kultural yang harusnya ia jumpai. Bill, berasal dari daerah yang sama konservatifnya, baik dalam hal ras maupun agama, masuk ke Perancis yang lebih beragam. Elemen fish-out-of-water Bill lebih terasa ketimbang pada Ali, karena Bill memang ditulis kaya oleh identitas. Ali dalam Ali & Ratu Ratu Queens dibuat kayak kertas kosong. Dia tidak punya hobi, tidak punya sesuatu yang ia ‘pegang’ atau percaya. Ali didesain untuk meresapi hal yang ia lihat selama ‘petualangannya’ di Amerika. Bahkan soal agama yang mestinya karakternya bawa sebagai pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya yang dulu, tidak kita lihat lagi sepanjang sisa durasi. Berbeda sekali dengan Bill.

Dari berpakaiannya saja, Bill sudah menunjukkan karakter. Kemeja/flanel, rapi-masuk-ke-celana panjang, pakai topi like a proud American, menjawab setiap pertanyaan (dan ajakan) dengan “Yes, m’am!” yang mantap dan lantang, dan tidak lupa mengucapkan grace atau doa setiap kali mau makan. Karakter stereotipe redneck itu menguar dalam keseharian Bill, yang tentu saja bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk dibenturkan dengan keadaan masyarakat dan kebiasaan di Perancis. Matt Damon pun tidak pernah memainkan karakter ini dengan sekenanya. Dia benar-benar menjelma menjadi this man. Pertumbuhan, penyesuaian, penyerapan, terceritakan dengan bertahap. Menandai setiap poin-poin development karakter Bill itu seiring durasi berjalan. Di sinilah Stillwater terasa hidup dan sangat kaya. Ketika Bill tinggal serumah dengan Virginie dan gadis ciliknya, Maya, kita melihat bagaimana kedua belah pihak saling berusaha membantu dan memahami. Kita lihat interaksi yang hangat tumbuh, lebih dari sekadar lucu-lucuan. Bill dan Virginie bersama mencari pelaku meskipun mereka punya perbedaan pandangan mengenai memandang apa itu teroris, atau tentang kepemilikian senjata api, misalnya. Interaksi Bill dengan Maya mengandung paling banyak hati (dan bawang!), film dengan efektif menjalin hubungan lewat sesimpel komunikasi antara dua bahasa yang berbeda, yang menyiratkan bentuk paling pure dari bonding antara dua bangsa yang berbeda. Penonton yang mencari muatan feminis pun akan dapat cukup banyak teks dari kondisi Virginie yang membesarkan Maya seorang diri.  

Ngomong-ngomong soal anak, putri Bill dengan cepat dijadikan tersangka karena betapa seksinya judul berita remaja Amerika membunuh remaja muslim – yang merupakan pasangan lesbiannya – bagi khalayak Eropa. Itulah yang dijadikan landasan atau subteks pada elemen thriller atau pemecahan kasus pada film ini. Meskipun memang tidak membahas ke pusat permasalahan prejudice atau semacamnya, tapi landasan tersebut sudah bekerja pada tempatnya di dalam bangunan narasi journeynya si Bill. Baginya, semua itu adalah chaos. Tidak masalah lagi seperti apa pandangannya, yang ia tahu kini dia adalah seorang Amerika yang tengah memburu remaja arab – yang bahkan masih jadi misteri apakah remaja ini beneran ada atau tidak – di daerah yang aware terhadap posisi Amerika terhadap isu kebangsaan tersebut. Dan ini juga personal karena menyangkut putrinya. Film melangkah dengan careful dan confident, membuat thriller berdasarkan drama tersebut tetap dalam kondisi yang tidak menjadikannya cerita yang memihak ataupun menjadi sesuatu yang over. Bill is the agent of chaos himself. Dia punya masalah dalam menahan emosi, dan ini membuatnya menjadi unreliable. Yang menjadi akar kekurangharmonisannya dengan Allison in the first place. Hubungan Bill dengan Allison memang tidak mendapat banyak porsi, dan itu karena cerita memilih fokus kepada perjuangan Bill – yang penuh chaos luar dalam – untuk menemukan kedamaian yang sebenar-benarnya.

Damai bukan berarti ada pada tempat yang ideal tanpa gangguan, tanpa perjuangan, yang semuanya tercapai. Melainkan justru damai adalah ketika kita bisa berada di tengah-tengah semua masalah, dengan hati tetap tenang.

 

To my suprise, film ini mengangkat referensi dari Islam tentang apa itu kedamaian yang hakiki. Aku gak dapat sama sekali lagi konteks keislaman saat nonton film Ali & Ratu Ratu Queens, padahal film tersebut lebih dekat dan punya akar yang lebih kuat ke arah sana. Konteks itu justru hadir di film luar. Stillwater tidak mengatakan itu hal yang tepat atau tidak bagi Bill, film tidak mengatakan apakah penerapan yang Bill lakukan terhadap itu benar atau salah, tapi dia menghadirkannya untuk memperkaya narasi cerita. And it works. Nonton film ini padet, terasa humanis. Dan yang lebih penting adalah, film ini tampil lebih berani.

stillwater9d6aa5028e047c326f299d9
Saking beraninya, jadi membawa kontroversi

 

Untuk kebutuhan menegaskan bahwa hidup memang brutal, film memilih untuk menyelesaikan masalah dengan amat sangat tega bagi kita. Ini jadi semacam pertaruhan sebenarnya, karena penonton yang sudah terinvest sama misteri ‘siapa pelaku’ akan mengharapkan penjelasan yang memuaskan. Penonton yang sudah terinvest dengan drama found-family, akan mengharapkan konklusi yang menghangatkan. Stillwater memilih untuk benar-benar still, tidak mengaduk lagi. Tidak lagi membuat elemen-elemen itu beriak. Film merampas kita dari sana, sebagaimana Bill dirampas dari kehidupan barunya. Film seperti meminta kita untuk mencari kedamaian sendiri dari cerita mereka. Cerita yang mereka biarkan selesai dengan hiruk pikuk. Dengan masalah yang tidak benar-benar tuntas. Supaya gak spoiler, aku akan mengungkapkannya dengan, susah sekali untuk kita menentukan apakah ending film ini good ending atau bad ending. Maybe, it is just.. brutal.

Tapi tampaknya yang paling merasa dibrutality sama film ini adalah perempuan bernama Amanda Knox. Ini sudah di luar penilaian film, aku bicarain ini untuk perbandingan saja. Dan ngasih sedikit pendapat ke permasalahannya. Jadi kontroversi film ini adalah, Stillwater ternyata tersandung masalah yang sama dengan serial Sianida baru-baru ini. Sama-sama based on kasus di dunia nyata, tapi tidak benar-benar tentang kejadian seputar aktual kasus tersebut. Hanya kejadian kasusnya yang mirip. Sianida mengangkat kasus kopi sianida, dan Stillwater mengangkat tentang Amanda Knox yang beneran dipenjara karena dituduh membunuh persis seperti pada cerita film. Nah, keduanya sama-sama diprotes sama pihak-pihak kasus in real life tersebut – karena tidak mencerminkan kejadian yang sebenarnya sehingga dituduh hanya cash-in dari tragedi orang. Dan keduanya sama-sama ngeles bahwa they did nothing wrong sebab sudah ada disclaimer bahwa ini fiksi, yang terinspirasi saja. Menurutku, ya, enggak salah sih. Kita bisa ngambil ide cerita darimana saja. Aku sendiri, film pendek pertamaku ceritanya berasal dari kisah dua hts-an temanku di SMA. Aku juga gak bilang-bilang mereka saat bikin, dan saat sudah jadi, mereka nonton dan ya, mereka mengenali itu mirip sama mereka, tapi juga gak marah karena tau itu fiksi. Dan tidak ‘dijual’ – tidak digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang dari kisah nyata. Jadi ya menurutku, bikin film bebas dari mana aja, tapi kalo si film malah ngejual sebagai cerita terinspirasi, dengan materi promo yang langsung mengacu ke kasus nyata, maka ketika orang aslinya marah, ya itu sudah jadi salah filmnya. 

 

 

 

Oke, jadi untuk menyimpulkan, film ini memang berani. Dibandingkan dengan film Ali yang memilih untuk tidak membahas, maka tidak menampilkan, film karya McCarthy ini kaya oleh banyak konteks dan subteks cerita. Sehingga menontonnya terasa lebih padat. Jika kita membayangkan film ini sebagai sebuah kertas, maka ia adalah kertas yang penuh tulisan. Tidak satupun yang luput dari pemberian konteks. Bahkan pekerjaan Bill dan Virginie juga turut menyumbang ke dalam pembangunan drama yang jadi tubuh dan sesuai dengan galian cerita. Film ini juga hidup berkat penampilan akting yang tampak natural dan nyata. Penceritaannya juga balance antara drama dan thriller dengan sedikit action. Keberanian film berujung pada mengakhiri cerita dengan brutal. Ini adalah pilihan kreatif yang beresiko, karena aku bisa melihat film ini bisa saja jadi runtuh di mata penonton yang tidak menyetujui pilihan penyelesaian (atau pilihan tidak menyelesaikannya). Buatku? Well…
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for STILLWATER.

 

 

 

That’s all we have for now

Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini, yang juga sama dengan serial Sianida? Di mana menurut kalian batasan antara terinspirasi itu seharusnya?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

BECKETT Review

“There is not a thing as the wrong place, or the wrong time.”

 

Aku tidak tahu Beckett garapan sutradara asal Italia, Ferdinando Cito Filomarino, bakal nyeritain tentang apa. Seperti biasa, aku gak nyari info filmnya, gak nontonin trailer. Aku suka ‘datang’ ke sebuah film dengan sesedikit mungkin tahu tentangnya. Langsung nonton aja, apapun film yang keluar. Beckett, at first, terlihat seperti cerita sepasang manusia yang dimabuk cinta. Tapi kemanisan yang mereka tunjukkan di sepuluh menit pertama itu membuatku waspada.  Apakah ini memang kisah cinta dua pasangan yang berurusan dengan perbedaan-perbedaan kecil mereka? Seems convenient mengingat John David Washington yang jadi lead di sini pernah juga memainkan drama pasangan dalam Malcolm & Marie (2021).  Tapi hey, Washington juga bermain di Tenet (2020), jadi mungkin saja ini berubah jadi thriller laga. Atau malah siapa tau ini beneran dari kisah nyata, seperti BlacKkKlansman yang dibintangi Washington di tahun 2018. 

Jangankan yang nonton, bahkan si Beckett sendiri enggak tahu dia sedang dalam cerita apa. Beckett akan terus berlari dan berlari dan berlari di sepanjang narasi yang memuat bahasan seperti kasus penculikan, konspirasi politik, dan kebobrokan polisi. 

beckettx1080
Jika kisah cintamu terasa seperti too good to be true, siap-siaplah lari!

 

Turns out, Beckett adalah cerita tentang seseorang yang berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Beckett dan pacarnya lagi liburan di pelosok Yunani. Malang menimpa malam itu. Mereka kecelakaan. Beckett yang mengantuk membuat mobil mereka melayang keluar dari jalan. Nyungsep ke dalam sebuah rumah. Pacar Beckett tewas. Beckett? Dia melihat sesuatu yang harusnya tidak boleh ia lihat di sana. Beckett yang selamat dari kecelakaan, menjadi ‘ancaman’ bagi kelompok orang yang gak mau rahasia mereka terbongkar. Alhasil, Beckett pun jadi buruan. Dikejar-kejar oleh wanita misterius, dan polisi berjanggut yang gak segan membunuhi orang-orang. Pelarian Beckett menuju keselamatan di Kedutaan menjadi sebuah aksi menyelamatkan diri yang nyaris mustahil. Karena apparently, di tengah memanasnya situasi politik di Yunani, Beckett gak tahu harus percaya kepada siapa.

Udah kayak gabungan ketiga film Washington terdahulu, cuma gak kisah nyata aja. Dan tentunya gak ada elemen time-travel (oh boy, padahal si Beckett pastilah pengen banget bisa time travel). Film ini mengambil pendekatan yang lebih grounded. Beckett adalah manusia biasa, cowok yang biasa-biasa saja. Dia sama-sama kurang bertanggung jawab dengan kita semua yang males nelfon hotel untuk konfirmasi kedatangan. Beckett yang berlibur ke Yunani bahkan gak mau repot untuk belajar bahasa sono barang sedikit. Naskah film actually cukup berhasil mengolah suspens dari karakteristik Beckett tersebut. Film tidak sekadar mencuatkan warna kulit Beckett, membuatnya kentara dan jadi penguat tantangan bahwa tidak ada tempat bersembunyi baginya. Film juga membuat perbedaan bahasa jadi pemantik ketegangan. Dengan sengaja bahasa lokal Yunani tidak diberikan subtitle, sehingga kita jadi sejajar dengan Beckett. Kita jadi sama gak tahunya, yang tentu saja lantas membuat kita jadi turut peduli dan pengen ikut menguak apa yang terjadi.

Washington memerankan orang biasa yang terjebak dalam situasi tak biasa, dengan cukup meyakinkan. Dia tampak distant dan canggung di antara orang-orang lokal. Dengan tangan cedera itu berlari menyusur hutan sambil terpincang dan terbungkuk-bungkuk dalam usaha menyembunyikan diri. Kebingungan Beckett juga terpancar dari wajahnya. Dia enggak tahu apa yang terjadi, apa yang harus ia lakukan. Stakenya di sini adalah hidup atau mati. Film membuat rintangan terus naik baginya. Dia ketemu orang-orang, beberapa membantu, beberapa jadi korban karena membantu, dan tentu saja beberapa ikut memburunya. Dalam usaha untuk membuat hal-hal tetap naik, supaya suspens tetep kenceng, perlahan film mulai meninggalkan bumi. Alias tidak lagi berada di jalur yang grounded. Setelah turning-point saat Beckett tidak bisa mundur lagi, dan dia mulai bertekad untuk menyelamatkan kasus penculikan, aksi-aksi film jadi semakin konyol. Beckett terus tertembak dan terluka, tapi dia terus berlari. Kita mengerti perubahan dirinya yang kini enggak lagi berlari untuk menyelamatkan diri, melainkan berlari untuk, katakanlah, jadi pahlawan. Yang tidak kita mengerti adalah kenapa aksi-aksi yang ia lakukan itu tidak lantas membunuhnya. Serius deh, nyawa Beckett tidak pernah lebih terancam lagi di akhir itu. Dia justru tampak lebih mungkin untuk mati karena ulahnya sendiri ketimbang karena ditembak oleh polisi jahat. Bagaimana orang biasa seperti Beckett bisa terjun dari parkir lantai atas, dengan selamat menimpa atap mobil yang melaju keluar, yang bahkan tidak bisa ia lihat datangnya. Ini timing dewa yang SpiderMan aja butuh latihan mencobanya hahaha

BECKETT (2021) John David Washington as Beckett. Cr: Yannis Drakoulidis/NETFLIX
Si Beckett berbakat jadi superhero

 

Selagi Beckett berlari-lari, mari kita menyelami kejadian yang membangun narasi film ini. Apa yang sebenarnya ingin film ini katakan dengan masalah politik, dan bahkan dengan memperlihatkan hubungan Beckett dan pacarnya dengan sangat elaborate.

Not. Much.

Beckett dan pacarnya (diperankan dengan semakin manis oleh Alicia Vikander) mengambil porsi waktu yang terlalu lama di pembuka. Inilah yang actually membuat kita kebingungan film ini sebenarnya cerita tentang apa. Di sepuluh menit pertama itu, yang terlandaskan sempurna adalah hubungan Beckett dan tanggungjawabnya terhadap sang pacar. Sedangkan permasalahan kecamuk politik dan kasus peculikan hanya diperlihatkan sekilas lewat tayangan televisi yang menyala di kafe. Padahal film ini justru ternyata sebaliknya. Lebih soal lari-larian Beckett yang tak-sengaja terlibat di dalam situasi politik tersebut, dan gak banyak tentang pacarnya. Dari set up dan sepuluh menit pertama yang dilakukan, film mestinya membuat Beckett kerap teringat dengan pacarnya. Seharusnya meaning relationship tersebut bagi Beckett diperlihatkan punya peranan besar terhadap perjuangan survivalnya. Ceritanya seharusnya sering circled-back ke relationship tersebut. Tapi yang ada, dalam babak perjuangannya itu, hanya satu kali Beckett ‘kembali’ ke persoalan pacarnya. Konflik dari dia basically telah bikin pacarnya yang berspirit manic-pixie itu celaka seperti absen di sebagian besar cerita lari-larian, dan kemudian dimunculkan lagi begitu saja saat film memutuskan sudah saatnya membuat Beckett menyadari pembelajaran.

Ya, kita ngerti satu-satunya circled-back yang dilakukan oleh film memang adalah yang paling penting. Itu adalah momen ketika Beckett yang menyesali dirinya membawa sang pacar ke tempat yang salah, ternyata melihat makna dari mereka berada di sana; di rumah itu, bersimbah darah, and all. Dia di sana untuk menyelamatkan seseorang. Namun penulisan film dalam menggarap itu tidak benar-benar rapi menyulamnya. Penyadarannya terasa mendadak, karena sebagian besar waktu film heboh di adegan lari-larian dan membahas konspirasi politik yang terjadi.

Enggak ada yang namanya berada di tempat yang salah, di waktu yang salah. Karena di manapun kita berada, kita seharusnya bisa membuat sesuatu yang positif. Tugas kitalah untuk membuat setiap detik hidup menjadi bermakna. Kemungkinannya justru sebaliknya. Kita bisa jadi selalu ditempatkan where we meant to be.

 

Di lain pihak, soal politik, dan soal polisi bobrok segala macam yang dijadikan fokus cerita itupun tidak pernah diselami lebih dalam. Melainkan hanya kulit luar. Hanya situasi yang perlahan dikuak dan diketahui oleh Beckett. Kecamuk politik yang jadi latar Beckett lari-lari itu, yang memang cuma dijadikan latar. Tak lebih sebagai tempat film memuat revealing-revealing. Oh ternyata ini yang jahat. Ternyata yang itu yang baik. Kan, sudah kuduga ada di sana. Jadi cara supaya film tetap bisa punya sesuatu untuk memancing keseruan aja. Inilah yang membuat Beckett jadi sajian yang hampa. Tidak menantang kita. Hanya membuat kita ikut ngos-ngosan capek melihat Beckett dikejar ke sana kemari. melihat Beckett bertingkah kaku dan ketakutan dan kebingungan di antara orang-orang lain. Sutradara seperti cuma menyuruh para aktornya untuk lari dan mengucapkan dialog, tanpa banyak muatan visi yang dia kembangkan dari naskah – yang juga ditulis dengan kurang dalam dan tidak rapi.

 

 

 

Ini adalah jenis film yang dibuat dengan mementingkan bagaimana supaya penonton tetap merasa surprise. Openingnya dibuat seolah tentang kisah pasangan. Kita tidak akan tahu ini cerita tentang apa dengan melihat menit-menit pembukanya. Situasi atau konspirasi politik dipakai supaya cerita bisa punya banyak pengungkapan. Sebenarnya ini bisa bekerja dengan efektif, jika dibarengi dengan penulisan dan arahan yang jitu. Film ini tidak punya dua hal tersebut. Penulisannya tipis. Arahannya, malah ikut berlari-lari. Dari yang cukup grounded, ke menjadi aksi-aksi yang konyol. Dari yang tadinya aktingnya kaku karena disengaja, jadi malah seperti kayak gak diarahin. Nonton film ini toh memang terasa seru. Tapi seru yang bikin capek. Kayak abis lari-larian keliling pot kembang tanpa alasan.
The Palace of Wisdom gives 3.5 out of 10 gold stars for BECKETT.

 

 

 

That’s all we have for now

Kenapa menurut kalian kita merasa berada di tempat dan waktu yang salah? Apakah itu sebuah wujud denial?

Share with us in the comments yaa

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE FOREVER PURGE Review

“Putting yourself in somebody else’s shoes”

 

Film The Purge, kata sutradara Everardo Gout, adalah film yang akan dipertontonkannya kepada alien jika suatu saat nanti makhluk-makhluk luar angkasa itu beneran datang ke bumi untuk mempelajari manusia. Karena menurutnya, The Purge ini memang salah satu dari sepuluh film yang benar-benar tepat merepresentasikan siapa kita. Manusia. Frasa ‘siapa kita’ yang disebutkan Gout tersebut secara lebih spesifik menyorot ke orang-orang Amerika. Panggung tempat semesta Purge berlangsung.

Lima film, dua serial tv; Purge selepas film pertamanya memang mulai mendedikasikan diri sebagai komentar dari berbagai situasi politik Amerika, di balik tema utama berupa kebrutalan manusia yang butuh pelampiasan kekerasan. They once released film Purge seputar kampanye presiden, bertepatan dengan masa-masa Pemilu mereka. Dunia Purge sendiri memang bicara tentang pemimpin Amerika yang melegalkan segala bentuk kekerasan untuk satu malam kepada warga sebagai gerakan untuk membuat Amerika jaya kembali. Yang padahal hanya membuat yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin mati sia-sia

purgeThe-Forever-Purge-1170x642
Hey, kalo yang miskin makin mati sia-sia itu sih, Indonesia juga bisa relate!

 

Gout melanjutkan dunia Purge pada film kelima ini seiring dengan maraknya gerakan Hate yang berkembang di antara warga kulit putih terhadap warga pendatang, sebagai bentukan dari politik mantan presiden Donald Trump. Dan sebagaimana layaknya yang terbaik dilakukan oleh franchise Purge, Gout mengembangkan persoalan tersebut menjadi horor krisis kemanusiaan berskala yang bahkan lebih besar daripada biasanya, as tradisi Purge dibuatnya menjadi tak-terkendali. Namun juga sebagaimana layaknya yang failed dilakukan oleh franchise Purge, Gout juga ikut terlena ke dalam aksi thriller, dengan tidak membiarkan cerita menyelami lebih dalam aspek horor tersebut.

Empati dijadikan inti cerita kali ini. Gout menempatkan kita di sepatu ‘alien’ yakni pasangan imigran dari Meksiko, yang tinggal di Texas. Adela (Ana de la Reguera kembali jadi perempuan tangguh), yang jadi pekerja manufaktur, dan suaminya Juan (peran Tenoch Huerta di sini adalah yang paling stoic di antara yang lain) yang jadi pengawas kuda di rumah peternakan milik keluarga Dylan yang kaya raya. Gout memang gak membuang waktu untuk langsung men-tackle yang ingin ia komentari. Texas bukan saja dipilih karena paling dekat dengan perbatasan Meksiko, tapi juga karena sudah jadi rahasia umum negara bagian tersebut paling tinggi jumlah white spremacistnya. Keahlian Juan sebagai koboy diperlihakan dengan jelas bikin insecure bossnya, Dylan (Josh Lucas masuk banget ke image ‘koboi modern’ beneran). Tensi antara Juan (yang keliatan enggan menggunakan bahasa Inggris) dengan Dylan langsung ditonjolkan, dieksplorasi. Tapi tidak tanpa depth. Karena Dylan diniatkan oleh Gout sebagai wakil dari kulit putih Amerika yang nantinya akan ‘mengenakan sepatu’ Juan. Yang nantinya akan belajar menumbuhkan empatinya karena sebenarnya Purge dan Hate dan everything adalah masalah bersama kemanusiaan. Ya, keluarga Juan dan keluarga Dylan harus saling membantu dan bergerak menuju keselamatan di perbatasan, sepanjang hari yang penuh malapetaka itu.

Hari. Bukan lagi malam. Inilah salah satu keunikan The Forever Purge dibanding film-film Purge sebelumnya. Saat nonton ini, aku udah siap-siap karakter-karakter sentral bakal dikerjai (atau malah mengerjai) begitu malam Purge dimulai. Tapi ternyata enggak, mereka melewati malam yang relatif aman-aman saja. Bahaya justru datang di siang hari – film berkesempatan memasukkan lumayan banyak jumpscare pada sekuen-sekuen pagi sesudah malam Purge tersebut, mumpung kita yang nonton juga masih dalam state ‘merasa aman’. Diceritakan rakyat merasa gak cukup dengan hanya satu malam, dan ternyata ada kegiatan terorganisir untuk mengobarkan Purge selamanya. Menghabisi non-Amerika setuntas-tuntasnya.  

Situasi horor seketika berkembang dari development tersebut. Siapa orang-orang bertopeng yang masih nekat membunuh siang itu, siapa yang menggerakkan mereka, bagaimana kebencian bisa mendadak menyebar secepat itu, bagaimana dengan orang-orang Amerika yang gak rasis kayak anggota keluarga Dylan yang lain. Bagaimana hidup sosial Amerika survive di tengah peristiwa ini. Awalnya aku menyangka development ini sebagai kejutan yang menyegarkan. Sudah sejak lama toh kita penasaran dan pengen Purge menyorotkan kamera bukan hanya ke malam atau menjelang hari H itu saja. Kita mau melihat bagaimana masyarakat menata hidup setelah bunuh-bunuhan di pagi hari. The Forever Purge memberi kita sorotan baru tersebut, meskipun memang enggak exactly seperti yang kita pengen. Tapi at least, ini tetap berbeda dan membuka ke banyak masalah baru. Karena para penduduk cerita pasti pada bingung. It could be lead to tinjauan yang lebih mendalam mengenai reaksi dan kekacauan yang menggunung. 

Maka dari itulah aku kecewa. Karena film ini ternyata enggak menyelam ke sana. Melainkan tetap diarahkan ke ranah lari-larian. Protagonis-protagonis kita akan berusaha kabur naik mobil, dikejar-kejar pendukung Purge. Basically aksinya sama aja dengan Purge yang sudah-sudah. Hanya beda siang hari, tok. Dan ini malah mengurangi kespesialan seri Purge itu sendiri. Yang ciri khasnya orang-orang melakukan kekerasan yang dilegalkan selama batas waktu tertentu. Dengan membuat kali ini kekerasan dan kriminal itu legal untuk sepanjang hari (gak ada batas waktu), film ini jadi gak ada bedanya ama cerita-cerita thriller yang biasa. I mean, judul apapun kalo bikin cerita tentang imigran yang diburu untuk dibunuh, ya pasti filmnya bakal kayak gini. Di akhir film, para karakter akan mendengar berita soal keadaan Amerika yang jadi semacam kondisi perang-saudara (pro-Purge lawan anti-Purge) dengan visual Amerika seperti lautan api; Nah, potongan berita tersebut jauh lebih menarik ketimbang keseluruhan film ini. Aku ingin kita benar-benar ditaruh ke tengah-tengah development kekacauan Purge lepas-kendali ini. Ketimbang cerita karakter yang lari menuju keselamatan, yang paralel dengan film ini lari dari inti yang seharusnya diceritakan. In that way, film ini jadi terasa seperti filler. Jembatan sebelum the real meat yakni film berikutnya (kalo ada) yang aku yakin baru akan membahas kejadian di tengah-tengah perang saudara tersebut.

purgethe-forever-purge-1280x720
Gambaran sebenarnya orang Amerika?

 

Untuk tidak terus menangisi apa yang tidak terjadi, mari bahas bagaimana film ini tampil sebagai dirinya sendiri. Kayak laga thriller generik. Tidak kurang tidak lebih. Ini adalah tipe film yang saat ditonton itu kita akan ngerasa udah sering nontonn film kayak gini sebelumnya. Enggak benar-benar spesial. Meski begitu, Gout sebenarnya tetep berusaha untuk memasukkan pesan-pesan subtil sepanjang durasi kejar-kejaran.

Diberikannya subplot dua karakter interracial yang tumbuh cinta sebagai cara untuk bilang persatuan. Dunia lebih baik dengan cinta. Gout juga mengingatkan kepada Amerika bahwa the land is not their in the first place. Bahwa mereka juga pendatang yang menjarah dari bangsa native Indian. Dengan adanya Indian, Koboi, dan bahkan Koboi yang bukan orang Amerika, film ini udah kayak film koboi yang sangat unik. Ada banyak referensi juga ke genre koboi tersebut. Dan actually film bisa mengaitkan koboi dengan lasso itu sebagai simbol, bahwa semua orang bisa dan berhak menangkap kesempatan. Resolusi film terkait Dylan yang harus menyeberang ke Meksiko, juga mengusung semangat yang positif sekali. Bukan hanya untuk circled back karakternya – melainkan untuk truly menguatkan soal ‘wearing someone else’s shoes’. Untuk merasakan keperluan menjadi imigran, merasakan bagaimana rasanya mencari kesempatan, dan untuk diterima di tanah orang.

For all it’s worth, itulah sebenarnya yang kurang dimiliki oleh manusia jaman sekarang. Rasa empati. Kita telah menjadi lebih gampang untuk begitu curigaan, begitu takut, begitu insecure, sehingga melupakan semua orang punya perjuangan masing-masing.

 

Arc karakter Dylan memang lebih dramatis daripada arc karakter utamanya, Juan. Aku bisa mengerti kenapa bukan Dylan saja yang dijadikan karakter utama. Untuk menghindari cerita ini tampak sebagai another story of kepahlawanan kulit putih. Dan lagi karena film memang ingin membuat penonton berempati kepada imigran seperti Juan dan Adela. Supaya penonton lebih mudah mengalami apa yang mereka rasakan, sehingga berarti membuka perspektif baru bagi penonton yang mungkin masih ada juga yang bersikap seperti Dylan. Namun memang lagi, karakter Juan dan Adela arc-nya terlalu minimalis disiapkan oleh film. They are still murky. Adela yang berusaha menjadi nyaman sebagai warga Amerika, Juan yang sebenarnya juga berprasangka kepada Dylan; mereka ini kurang ada penyelesaian yang jelas. Di akhir itu hanya terlihat kayak mereka lega karena ada orang-orang seperti Dylan. Bahwa ada jalan untuk membuat orang mengubah pandangan sinis mereka. Yang berarti gak banyak perkembangan karakter yang mereka berdua alami sebagai karakter utama.

 

 

 

Refleksi mengerikan dari society yang penuh prasangka dan saling benci diberikan oleh film ini. Gambaran simbolik yang mungkin benar-benar tepat. Sayangnya film lebih memilih untuk mengembangkan ke arah thriller aksi generik, ketimbang ke aspek horor kemanusiaan itu sendiri. Semua cepat aja dibikin panas. Padahal di film The First Purge (2018) sebelum ini aja, diliatin saat pertama kali ada Purge gak semua warga yang langsung resort ke bunuh-bunuhan. Ada perkembangan menuju ke sana. Cerita film ini jadi kayak filler, sebelum ke cerita pembahasan yang lebih ditunggu hadir nantinya. Tapi perlu diapresiasi juga usaha film menghadirkan pesan-pesan positif dan semangat persatuan dengan subtil di balik cerita dan akting dan laga yang sama-sama generiknya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE FOREVER PURGE

 

 

 

That’s all we have for now

Nonton film-film Purge selalu membuatku berandai bertanya-tanya. Kali ini terbersit, kalo ada Purge beneran kira-kira siapa ya yang datang ke rumah untuk membunuhku.

Bagaimana dengan kalian, kira-kira kalo ada Purge, kalian bisa menerka tidak siapa saja yang mungkin bakal datang untuk melampiaskan emosi terpendam kepada kalian? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

 

 

[Reader’s Neatpick] – THE WHITE TIGER (2021) Review

“Yang jelas setelah nonton film ini aku jadi ngerasa lebih bersyukur aja tinggal di Indonesia 😆” – Farrah Caprina, yang boleh disapa di akun instagramnya; @farrahcaprina

Sutradara: Ramin Bahrani
Penulis Naskah: Ramin Bahrani
Durasi: 2jam 5menit

 

Bukan, ini bukan film tentang bangsa kucing di dunia satwa. The White Tiger ini adalah film India. Tapi bukan pula film India yang banyak tari-tariannya.  Sama seperti pada novel karangan Aravind Adiga yang jadi sumber adaptasinya, The White Tiger adalah sebuah komedi gelap tentang pemuda bernama Balram. Yang sukses jadi enterpreneur, meskipun berasal dari kasta terendah. “Kasta orang-orang berperut kecil”, ungkap Balram muram dalam salah satu dialog narasi. Balram sedari kecil memang cukup pintar, tetapi seperti abang, ayah, dan anggota keluarganya yang lain, pendidikan bukan untuk Balram. Tempatnya justru di pinggiran. Bekerja kasar. Kesempatan besar pertama untuk mencicipi sedikit gaya hidup orang-orang berperut besar bagi Balram, adalah dengan menjadi supir bagi mereka yang berprivilese tersebut. Dengan gigih Balram mengusahakan keinginan tersebut; dia belajar mengemudi, dia memohon dan berjanji kepada neneknya untuk dimodali. Dan ya, Balram berhasil dipercaya menjadi supir untuk Ashok, anak orang-gede pemimpin (pemalak) desa mereka. Dari Ashok, Balram memperoleh banyak. (Mind you, Balram mengambil. Bukan diberi). Pengalaman, pengetahuan, dan bahkan sesuatu yang jauh lebih gelap – yang ultimately jadi kunci kesuksesan Balram. Pemuda yang pada akhirnya memenuhi ‘takdirnya’ sebagai Harimau Putih; spesies langka yang menerobos keluar dari kandang ayam!

 

“Cerita film ini menarik banget, banyak hal tentang India yang baru aku tau lewat film ini. Tapi, sejujurnya nonton film ini tuh, aku draining banget. Makanya waktu mau ikutan ngulas film ini sama mas Arya, aku kan akhirnya nonton lagi. Dan pas nonton untuk kedua kalinya, ya makin draining karena aku makin mendalami karakter Balram jadinya. Kalau dilihat dari impactnya ceritanya ke aku, film ini mirip kayak Dementor-nya Harry Potter 😆

“Hahaha udah bukan jadi harimau putih lagi ya, tapi jadi dementor. Memang sih, kelamnya cerita film ini memang datang dari keironisan kesuksesan si Balram. Pemuda yang berjuang mendobrak kasta yang udah mendarah daging, yang udah dibeat-downkan kepadanya, dengan cara yang – katakanlah – tidak terpuji. Kita ingin dia berhasil, namun satu-satunya cara keluar baginya itu justru cara yang mengerikan. Film ini really speaks soal kebobrokan semua sistem; kasta, kapitalisme, status sosial yang ada di India. Keironisan ini mungkin yang bikin film ini tu kayak nyedot semua bahagia kita”

“Aku melihat film ini gabungan antara Joker dengan Parasite, ya. Permasalahan ekonominya lebih seperti Parasite, tapi perspektif penceritaannya seperti Joker.”

“Kalo Joker, nontonnya aku gak se-wow ini, sih. Soalnya kan, sedari awal aja kita udah Joker itu jahat. Oh ini film tentang musuh Batman yang sinting. Jadi saat nonton, rasanya ya cuma ‘oh dulunya dia baik’. Beda efeknya dengan pas nonton The White Tiger ini. Balram tidak diubah oleh society, justru dia yang pengen mengubah. Tapi jalan satu-satunya untuk mencapai ‘India Baru’ yang ia percaya, jalan satu-satunya dia untuk bisa sukses, ternyata dengan melakukan hal terburuk.  Buatku ada permainan simpati yang lebih menohok dilakukan oleh film ini.”

“Aku melihat karakter Balram cukup arogan sebenernya. Dari cara dia bercerita kepada PM Cina, awalnya aku iba sekaligus prihatin, dan sangat berpihak kepada Balram. Mulai di pertengahan film, aku melihat sosoknya berubah jadi licik. Simpatiku ke Balram hanya sampai dia berusaha mengejar impiannya menjadi supir pribadi Ashok aja. Setelah dia mulai menyingkirkan supir pertama, menurutku dia udah dikuasai sama ambisinya. Jelas semua tindakan liciknya tidak pantas diberikan pembenaran, karena menurutku kehidupan Balram nggak 100% sedih & underpressure terus. Dia masih banyak mendapatkan kebaikan dari lingkungannya (seperti nenek yang mengizinkan dia mengejar impian menjadi supir tuan tanah, atau majikan yang memperlakukan dia selayaknya manusia), dan aku yakin dia masih bisa kok mendapatkan those ‘lightness’ dengan cara yang benar. “

“See, Balram ini lebih kompleks. Dia membunuh. Dia bahkan ngorbanin keluarga besarnya. Dan film membuat itu semua seperti terjustifikasi, dengan menempatkannya sebagai sudut pandang Balram. Penceritaan film ini dibangun dengan konsep Balram menceritakan ulang kisah hidupnya (lewat surat) kepada Perdana Menteri Cina yang bakal berkunjung ke India. Memperlihatkan ini sebagai narasi tubuh cerita, di awal itu langsung terlandaskan motivasi si Balram bercerita itu sebagai ambisinya, dan dari cara dia mengungkapkan kita merasakan ada kemarahan terhadap segalanya”

“Menurutku motivasi Balram menulis surat ke PM China, ya hanya memenuhi egonya aja. Penceritaan film dengan cara seperti ini menurutku cukup efektif, tetapi memang ada beberapa adegan yang menurutku blurry. Karena aku enggak melihat sudut pandang orang lain, selain Balram himself. Tidak ada momen khusus yang membuatku kesulitan untuk membedakan ini kejadian beneran atau nggak, tapi menurutku lebih ke sikap beberapa karakter yang diceritakan Balram aja. Apakah memang benar-benar setega itu. Atau memang hanya di fikirannya aja.”

“Nah, bener, menurutku di sinilah sedikit kelemahan dari konsep penceritaan film ini. Mereka mempersembahkan masalah yang ingin disinggung – yang mungkin benar terjadi, ketimpangan, ketidakmanusiawian orang kaya atau majikan, dan sebagainya itu, tapi memuatnya ke dalam perspektif karakter yang juga dibuild up nekat melakukan apapun untuk membebaskan dirinya dari ‘kandang ayam’. Ke perspektif karakter yang sedang menarik perhatian ‘orang kaya berikutnya’ lewat surat. Jadi buatku ada sedikit masalah narator yang unreliable di film ini. Sehingga apa yang dilakukannya pun, jadi dipertanyakan”

“Entah. Menurutku tidak ada yang dapat dibenarkan dalam membunuh seseorang, nggak peduli seburuk apa perlakuan orang tersebut. Walaupun aku nggak membenarkan juga sikap majikan-majikan di India yang memperlakukan pelayannya dengan tidak manusiawi. Menurutku hubungan antara pembantu dengan majikan baiknya ya saling menghormati satu sama lain, dan nggak membedakan, tapi tetap ada batasan yg dijelaskan di awal. Jadi hak dan kewajibannya jelas. Karena sesungguhnya pembantu dan majikan ini menurutku sama aja kayak karyawan dan atasan dalam perkantoran, hanya beda penempatan aja, satu dalam gedung, satu dalam rumah.”

“Lucu sih bagaimana film menilik Balram lewat hubungannya dengan majikan-majikannya. Ada yang kasar, tapi ada juga yang simpatik. Kayak Ashok dan Pinky, yang berjiwa Amerika. Awal-awal pas ngeliat Ashok pertama kali kan, film ini ngasih treatment yang kayak seseorang melihat orang yang didamba banget. Balram ngeliat Ashok itu pakek slow-motion segala. Hubungan mereka juga up-and-down kayak sahabat akrab, kan.”

“Pinky FTW!!!! Aku bisa ngerasain banget keinginan dia buat memperbaiki sistem kasta di India. Padahal menurutku di sini yang salah bukan sistem kastanya, tapi memang individualnya, dan segala permasalahan ekonomi yang sudah menahun. Seperti Balram, dia sudah diberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke Delhi, despite kastanya adalah kasta rendah, tetapi, karena faktor ekonomi, Balram dipaksa untuk berhenti bersekolah dan bekerja. Makanya adegan saat Pinky menyuruh Balram untuk berhenti bekerja dan mengejar pendidikan terlebih dahulu, dan juga menyuruh Balram untuk berkeluarga (in a good way of course, bedakan tentang neneknya Balram yg menjodohkan dia dengan paksa). Aku jadi makin cinta sama karakter Pinky ini setelah itu. Yang mana juga adegan favorite ku, karena kayak flashback aja waktu awal cerita pas Balram kecil masih rajin belajar, paling pinter satu kelas, & dijanjikan beasiswa ke Delhi. Di adegan ini, Balram pun sudah berada di Delhi, tapi sebagai pelayan. Cuma saat disuruh kejar pendidikan oleh Pinky, dia malah menolak. Berbeda banget, padahal masih orang yg sama🥲”

“Pinky dan Ashok memang sepertinya diniatkan oleh film ini sebagai usaha yang futile. Karena yang rusak itu memang sistemnya. Sudah tidak tertolong, tanpa hal ekstrim. Apalagi oleh orang luar semacam Pinky dan Ashok. Mereka ini tu kayak keluarga kaya di film Parasite. Mereka enggak jahat, tapi mereka juga gak tau keadaan sebenarnya semacam apa di bawah, atau terms film ini; di darkness sana. Mereka ‘hanya’ orang berprivileged yang lebih sopan. Dan lebih terbuka. They do have to realized that they can’t really help.”

“Iya, aku sempet berharap banyak sama Pinky, tapi sayang dia pun gak kuat menghadapi segala problematika di India. Walau terkesan agak SJW, tapi gak bisa dipungkirin Pinky ini karakter yang paling manusiawi disini (bahkan lebih manusiawi daripada nenek kandung Balram sendiri menurutku) Dan Pinky sedikit banyak menularkan ‘hal baik’ ini ke Ashok. Menurutku keberadaan Pinky dan Ashok difilm ini menganalogikan bahwa tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah berlangsung sekian lama, bahkan di akhir cerita saat Pinky memutuskan menyerah dan meninggalkan India, sifat Ashok malah berubah menjadi seperti majikan India yg lain.”

“Kalo si Pinky tau apa yang terjadi pada Balram dan Ashok. Kira-kira gimana ya reaksinya? Si Balram kan sudah ngikutin nasihatnya untuk berani mengejar kehidupan sendiri. Tapi Balram melakukan itu dengan… ahahaha pait!”

“Pertama kali, pasti Pinky nangis, dan memaki Balram. Tapi setelah Balram menjelaskan apa yg dilakukan Ashok & Keluarga ke dia, menurutku Pinky open minded enough untuk memaklumi apa yang Balram lakukan. Ditambah sekarang Balram udah sukses dan memperlakukan karyawannya dengan baik (tidak seperti Ashok & keluarga). Cuma mungkin ke depannya Pinky gak akan menjaga silaturahmi ke Balram, dan gamau berurusan sama dia lagi.”

“Akhirnya, si Balram jadi majikan untuk banyak sopir-sopir India kelas bawah yang ia pekerjakan di bisnis travel. Ending ini sekilas kayak bermuatan optimis. Balram berhasil membuat hidup lebih baik, berhasil memajukan India menurut dirinya. Tapi, dengan segala yang ia lakukan, dengan reaksi PM Cina yang juga biasa aja padanya, buatku cukup susah untuk menempatkan Balram ke kata berhasil. Lagipula, shot akhir ini agak ngeri juga sih, pakek liatin para supir menatap kamera. Seolah ngingetin kita bahwa mereka itu hanyalah ‘Balram-Balram’ lain yang menunggu untuk terjadi. For better and worse.”

“Semakin ngeri :’) Aku melihat pesan Balram di akhir cerita terlalu brutal, kayak, its ok to kill your masters & not feeling guilty after all. Wow.”

“Dan bagaimana dengan Indonesia? Dalam bisnis dan dunia global, Balram percaya masa depan adalah milik India dan Cina, sementara Amerika hanya akan sibuk dengan sosial media. Indonesia kok gak dianggep sih? Gimana nih si Balram, kayak gak tau aja kita bersaing ketat ama India dalam penanganan Corona Terburuk hahaha”

“Indonesia mungkin masih akan sibuk dengan perbedaan pendapatnya😆 Tetapi on the other hand, at least mindset orang-orang Indonesia lebih sedikit terbuka daripada orang India, dan kesempatan untuk menjadi sukses di Indonesia ini banyak banget, karena masyarakat Indonesia setidaknya sudah lebih akrab dengan internet dibanding masyarakat India.”

“Di sini kita juga ada sistem kasta loh. Pejabat dulu. Baru Influencer. Baru orang edan, lalu ilmuwan, dan setelah bertingkat-tingkat, baru deh rakyat jelata hahahaha… Anyway, Mbak Farrah ngasih nilai berapa nih untuk film The White Tiger ini?”

“Mungkin 6. Karena pertama kali aku nonton film ini, kayak terlalu banyak narasi, baru bener-bener seru hanya di 30 menit terakhir film, dan entah kenapa endingnya kurang bagus menurutku.”

“Cukup setuju sih. I do think film ini kelamaan di ngeliatin ‘penderitaan’ Balram dan back-and-forth hubungannya dengan Ashok. Banyak adegan-adegan yang feelnya ngena banget – favoritku pas si Balram dipermainkan emosinya sebagai manusia supaya mau tandatangan untuk sesuatu yang tidak ia lakukan, tapi banyak juga adegan yang bikin ‘ini beneran terjadi atau cuma Balram lagi ngasih tau kita’. Dan kesuksesan Balram dibuat juga terlalu cepat. Kayak, terlalu literal dia sukses dengan membunuh. Gitu. Jadi aku ngasih 7 dari 10 bintang emas untuk The WHITE TIGER!”

 

 

That’s all we have for now.
Terima kasih buat mbak Farrah Caprina udah berpartisipasi untuk mengulas film ini. Udah rela meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan seabreg. Dan tentunya terima kasih yang telah ‘memaksa’ aku untuk akhirnya mau menonton film ini.

 

Buat para Pembaca yang punya film yang ingin dibicarakan, yang ingin direview bareng – entah itu film terfavoritnya atau malah film yang paling tak disenangi – silahkan sampaikan saja di komen. Usulan film yang masuk nanti akan aku hubungi untuk segmen Readers’ NeatPick selanjutnyaa~

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

FEAR STREET PART 1: 1994 Review

“This City is what it is because our citizens are what they are”

 

Enggak salah kalo dibilang, Fear Street adalah kakak dari Goosebumps. Lahir dari penulis yang sama; R.L. Stine, seri buku Fear Street juga bercerita tentang misteri, horor, supranatural, bersama jumpscare dan twist ending. Tapi dari sudut pandang anak remaja. Aku belum pernah baca Fear Street karena ketika dua seri buku ini booming, aku masih seusia anak-anak di cerita Goosebumps. Bukannya aku tidak tertarik. Goosebumps sukses berat memperkenalkan horor sejak usia dini kepada pembacanya, dan buatku, maaaan, aku menulis cerita horor versi sendiri dari judul-judul Goosebumps yang selesai aku baca! Segitunya pengaruh Goosebumps kepada kesukaanku terhadap menulis dan horor. Aku masih ingat dulu itu aku berusaha keras supaya bisa meminjam Fear Street di taman bacaan atau perpus. Tapi susyeee… yang jaga tempatnya galak, dan lagi, harga sewa bukunya lebih mahal dari jatah jajan anak SD dulu. Sempat curi-curi baca di tempat sih, satu buku Fear Street, tapi gak sampai tamat. Jadi yang kutahu tentang Fear Street hanyalah bahwa cerita horor di buku-buku itu lebih seram, lebih sadis, dan sedikit lebih dewasa juga (“kamu belum boleh ya, ini banyak pacar-pacarannya” kata yang jaga perpus dulu kepadaku). 

Dan persisnya tiga hal itulah yang dijanjikan oleh film Fear Street yang oleh sutradara Leigh Janiak digarap sebagai loosely adaptation dari buku-bukunya.

Janiak membuat Fear Street menjadi sebuah trilogi, yang kesemua filmnya bakal dirilis dalam rentang per minggu dimulai dari film pertamanya ini. Dengan mitologi penyihir di kota fiksi Shadyside (mitologi yang dikembangkan dari bukunya) sebagai perekat kejadian di tiga filmnya nanti. Bayangkan serial horor kayak American Horror Story yang setiap seasonnya punya setting cerita berbeda, nah Janiak membuat trilogi ini seperti demikian. Setiap film akan mengambil periode waktu berbeda, demi mengupas mitologi penyihir hingga ke akar-akarnya. Konsep yang seperti begini memastikan setiap film bisa punya cerita standalone; cerita tersendiri khusus untuk ‘episode’nya. Yang artinya, meskipun di akhir setiap film akan ada cliffhanger ‘to be continued’, tapi film-film tersebut bakal tetap bisa punya plot personal yang menutup pada masing-masingnya. Pada Bagian Pertama ini, cerita mengambil setting tahun 1994, dan mengisahkan tentang remaja bernama Deena yang masih sakit hati dan belum move on semenjak ditinggal pindah kekasihnya, sementara pembunuhan berantai kembali aktif (ya Bun!) di kota tempat tinggal mereka.

Fear_Street_Part_1__1994_A096C003_190405_R2QE_1.153.1_R_rgb-1
Horornya putus cinta melebihi segalanya

 

Sesuai dengan semangat bukunya (Fear Street, sebagaimana Goosebumps, juga cukup terkenal dengan twist ceritanya), Janiak sudah menyiapkan beberapa spin dan kelokan di sepanjang cerita. Salah satu yang tidak sabar untuk dia lakukan adalah soal (mantan) kekasih Deena yang ternyata bukan seorang dumb jock ala-ala cerita remaja kebanyakan. Kamera, editing, dan bahkan penulisan nama di babak set up terasa kompak untuk membangun persepsi kita ke arah lumrah ini, dan kemudian dengan jumawa film memperlihatkan bahwa Sam yang udah matahin hati Deena itu adalah seorang cewek blonde. Boom, kita dapat kejutan yang progresif. Protagonis lesbian jelas adalah kebanggaan sekaligus soft spot bagi audiens kekinian. Kebanggaan, karena hubungan Deena dan Sam yang selalu difokuskan oleh cerita – melebihi segalanya. Soft spot, karena sampai detik ulasan ini ditulis aku tidak mengerti kenapa situs-situs film memberikan penilaian tinggi untuk Fear Street 1994 padahal nyatanya film ini enggak sebagus itu. Terutama karena terlalu sibuk di Deena dan Sam itu tadi.

Kota Shadyside tempat Deena dan teman-teman tinggal punya reputasi yang buruk. Julukan kota itu adalah Killer Kapital USA, karena selama bertahun-tahun kota tersebut menyumbang catatan pembunuhan berantai terbanyak. Keadaan ini menciptakan tensi antara penduduk Shadyside dengan kota tetangga, Sunnyvale, karena reputasi kota tentu saja menurun ke penduduknya (atau obviously tercipta karena penduduknya). Film ini punya sesuatu di elemen ini. Menarik, saat film memperlihatkan dua SMA dari masing-masing kota, berantem saat acara berkabung untuk pelajar korban pembunuhan. Ataupun ketika ternyata ada dua pandangan dari penduduk Shadyside sendiri soal pembunuhan berantai di kota mereka; ada sebagian yang berpendapat semua kriminal itu berhubungan dengan legenda kota, dan ada juga yang menganggap kota mereka memang bukan tempat yang bagus. Deena sendiri punya pandangan terhadap kotanya, yang sebagian besar terpengaruh oleh hubungan asmaranya yang kandas bersama Sam yang pindah ke kota. Yang mau kukatakan adalah, Shadyside semestinya bisa dijadikan ‘karakter tersendiri’. Sayangnya permasalahan antarkota tersebut tak pernah dibahas lagi karena film memilih memusatkan Deena dan Sam, yang hubungan keduanya bahkan belum terestablish juga dengan baik, sebagai drive utama cerita.

Benar kata Plato, kota memang seperti manusia. Punya personality dengan kekhasan penduduknya. Bisa terasa hangat berkat kenangan di dalamnya. Bahkan bisa juga terasa mengurung, sebab sentimen orang-orangnya. 

 

Sebagai film pembuka trilogi, semua hal yang ada di film ini terasa begitu diburu-buru. Film ini tidak berhasil menjadi landasan yang solid. Bahkan untuk melandaskan mitosnya pun, terasa terlalu cepat. Hanya sekadar ucapan-ucapan eksposisi. Deena punya adik, yang tahu banyak tentang mitos penyihir. Hanya begitu. Aku yakin saat menulis legenda Fear Street, R.L. Stine menjadikan It-nya Stephen King sebagai referensi. You know, kota Derry yang punya mitologi badut alien yang suka membunuh anak-anak. Maka film yang kita saksikan ini pun sedikit banyaknya ada kemiripan dengan It. Dari investigasi mereka terhadap mitologi, dari situasi mencekam kota, dan sebagainya. Namun ada satu hal lagi yang hilang; Penyihir tersebut tidak langsung bersinggungan personal dengan Deena ataupun adiknya. Penyihir itu tidak khusus menyerang remaja. Penyihir tersebut bertindak random. Dan kali ini, kebetulan Sam ngerusak kuburannya, maka Penyihir ngamuk dan mengejar… Sam. Bukan Deena sang tokoh utama.

Jadi film ini sedari karakterisasi aja udah bolong. Janiak literally hanya punya ‘pasangan lesbian’ sebagai eksistensi Deena. Dan itulah yang berusaha Janiak kepada mitologi. Hasilnya, ya film slasher kejar-kejaran yang susah untuk kita pedulikan. Deena semakin annoying karena dia seperti membuat segala sesuatu about her. Teman sekolahnya baru saja dibunuh, dan dia hanya sibuk mikirin how to get back to Sam. Film berusaha memberikan Deena aksi, like, kalo bukan karena Deena, Sam gak akan nyentuh kuburan Penyihir in the first place. Tapi itu tidak lantas memberikan peran besar kepada Deena. Film berusaha membuat film ini punya cast yang out-of-the box. Tampilan geng Deena benar-benar di luar stereotipe geng remaja pada film-film kebanyakan. Hanya saja mereka pun sebenarnya tidak breaking apa-apa. Adik Deena hanya mesin eksposisi, dua teman Deena yang jualan ‘obat’ hanya tiruan Randy di Scream dan tipikal  mean cheerleader (cuma enggak pirang). Deena dengan rambut hitam keriting, yang seharusnya tokoh utama, gak ada ikatan apa-apa sama konflik. Karena yang dikejar-kejar tetaplah Sam si blonde girl. Jajaran cast mereka sebenarnya fresh, aku percaya remaja-remaja itu memainkan sebaik yang mereka bisa. Tapi karena karakter mereka gak menarik, sepanjang film kita akan menyayangkan kenapa mereka yang kita dapat setelah ‘mengorbankan’ Maya Hawke dengan segala bakat dan attitude karakternya.

fearstreetpart11994officialtrailerblogroll-1624912571682
Aku suka film ini ketika dia mirip Scream. Dan itu literally cuma 7 menit saja.

 

Adegan pembuka yang menampilkan Maya Hawke jelas adalah homage untuk Scream (1996). Janiak yang sebelum ini pernah ngedirect episode serial TV Scream buatan MTV, paham menyatukan gaya Scream tradisional dengan slasher modern yang lebih haus darah. Dan itu tercermin di film ini. Fear Street 1994 lebih terang-terangan di adegan sadis. Masalahnya, adegan sadis tidak membuat film otomatis bagus. Scream original enggak perlu terang-terangan banget ngeliatin penusukan, tapi setiap killingnya berhasil membekas tak lekang waktu. Selain rasa nostalgia, tidak terasa lagi rasa apa-apa yang dikuarkan oleh adegan-adegan Fear Street 1994. Tidak ada ritme dalam pengadeganannya, melainkan hanya rentetan kejadian. Ada pembunuh, lari, dibunuh, sembunyi. Film ini tidak punya statement cerdas, atau celetukan meta, atau apapun seperti Scream. Semuanya tidak lebih didesain untuk homage ke horor-horor lain. Scream, It, Stranger Things, Friday 13th, The Shining, beberapa referensi film malah disebutkan gamblang seperti Jaws, House of the Dead. Jalan keluar yang dipikirkan geng Deena bahkan mirip sama film Netflix baru-baru ini, Awake (2021). Dan bicara soal kemiripan tersebut, di akhir film suara aku serak abis neriakin layar. Geng remaja tersebut berusaha menghidupkan seseorang, tapi kesusahan gak ada alat yang bener, padahal sepanjang cerita ini mereka berkendara ke sana kemari naik mobil ambulans!!!

Itu bisa terhitung nitpick sih, mungkin remaja-remaja itu gak tau defibrillator, mungkin ambulansnya kere atau apa, tapi tetep aja terkesan konyol. Dan hal-hal ‘logika lemah’ yang gampang kita nitpick ini ada banyak sekali bertebaran selama durasi. Seperti, pembunuh yang katanya cuma ngincar Sam (pake dibuktiin segala pembunuhnya lewat di samping adik Deena tanpa membunuh) tapi, kenapa beberapa orang di rumah sakit tetep mereka bunuh. Sebagai pembelaan, mereka bisa berkilah karena misteri kekuatan Penyihir belum diungkap seluruhnya. Tapi tetap saja, melihatnya sekarang, film ini did a poor job dalam melandaskan mitologi berupa aturan-aturan kekuatan si Penyihir. And there is a thing about internet dalam film bersetting tahun 1994 ini yang mengganjal buatku. Like, kok bisa Deena menggunakan sambungan telepon saat adeknya lagi chatting di Internet. Mungkin alatnya memang udah ada di Amerika, tapi bukankah lebih umum untuk relate bahwa di tahun 90an koneksi Internet masih tersambung ama telepon?

See, ini uneg-uneg terakhirku. Film ini punya banyak referensi untuk nostalgia 90an. Seting ceritanya pun di periode 90an. Tapi film ini terasa modern, enggak benar-benar terasa kayak berada di tahun 94. Begitu lumrahnya si adek chatting dan dapat info dari Internet – kayak di zaman sekarang aja. Cara ngomong dan elasi karakternya yang udah maju. Bahkan visualnya. Sinematografi dengan cahaya-cahaya neon film ini malah membuatnya terasa kontemporer alih-alih jadul dan low-budget ala horor 90an. Dan please, mana quote badass yang cheesy abis yang udah jadi cap-dagang horor 90an?

 

 

Ini bukan awal yang menjanjikan untuk sebuah proyek trilogi. Tapi yang namanya horor, suka gak suka aku pasti akan nonton. Dengan harapan besar, film keduanya nanti akan jauh lebih baik. Punya karakter yang ditulis jauh lebih dalam dan kompleks. Punya dialog yang lebih fun sekaligus berbobot. Punya pengadeganan yang lebih fun sekaligus berbobot. Yea I said that twice. Berusaha tampil sebagai standalone sekaligus cerita bersambung, film ini sebenarnya punya kans yang lebih baik jika dipersembahkan sebagai serial, tapi mereka memilih menjual ini sebagai ‘film panjang’, so yea…
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for FEAR STREET PART 1: 1994.

 

 

That’s all we have for now.

Pernahkah kalian merasa marah atau malu atau malah bangga sama kota tempat tinggal kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

 

 

SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW Review

“The police must obey the law while enforcing the law”

 

Franchise atau serial film Saw, dulu setia mengisi Oktober kita dengan horor penyiksaan yang sadis, tapi sering juga bisa membukakan mata. Karena setiap film Saw terkenal oleh dua hal. Jebakan-jebakan mautnya. Dan John Kramer; dalang – mastermind yang melakukan semua permainan mematikan tersebut dengan alasan moral yang kuat di baliknya. Walau Kramer telah mati sejak di film ketiga, tapi pengikut-pengikutnya (bahkan peniru dirinya) tetap selalu bermunculan dengan jebakan penuntut keadilan versi mereka. Legacy karakter tersebut seperti jadi perangkap atau jebakan sendiri bagi para pendukungnya, seperti halnya legacy franchise ini menjadi perangkap bagi pecinta filmnya.

Walau seri utamanya sudah usai bertahun-tahun yang lalu, ternyata masih banyak orang yang penasaran dan merasa perlu untuk membuat kembali film lanjutannya. Tahun 2017 yang lalu kita dapat, katakanlah, sekuel terbaru dari Saw. Film Jigsaw tersebut hadir dengan cerita karakter baru dan tampilan yang lebih ‘mahal’, namun masih terkesan sekadar ‘meniru’.  Kali ini, adalah aktor komedi Chris Rock yang bermaksud melanjutkan permainan maut tersebut. Rock yang jadi salah satu eksekutif produser di sini, menggaet Darren Lynn Bousman (sutradara Saw II, III, dan IV), untuk mewujudkan visinya menceritakan kisah Saw ke dalam dunia kepolisian yang sedang berpilin menurun seperti yang kita rasakan sekarang.

Dan tentu saja, sekali lagi aku dengan suka rela melangkah masuk ke ‘perangkap’ alias film terbaru dari dunia Saw ini!

Spiralcreen-Shot-2021-03-30-at-9.30.34-PM
Jadi ini adalah cerita tentang pembunuhan berencana, bukan tentang keluarga berencana

 

Dan, ya, sekali lagi aku merasakan penderitaan seperti sedang disiksa saat nonton film ini.

Saw adalah salah satu seri thriller favoritku. Film-film Saw malah salah satu yang membuat aku jadi tertarik sama yang namanya nonton film. Perjalanan nonton filmku dimulai dari genre horor dan thriller, dan Saw ada di sana mengawal experienceku. It is actually very painful untuk melihat sesuatu yang kita suka, yang kita pedulikan, yang kita merasa harus berterima kasih kepadanya, terus ada tapi tidak akan pernah bisa sebagus dirinya yang dulu.

Ide Chris Rock sebenarnya menjanjikan. Karena yang dia usulkan di sini adalah cerita yang relate dengan permasalahan yang masih hangat. Chris Rock menempatkan dirinya sebagai seorang detektif polisi. Ezekiel “Zeke” Banks. Anak dari mantan kepala polisi yang dihormati rekan-rekannya. Tapi Zeke sendiri, well, di bawah tekanan mental untuk menjadi sehebat ayahnya, Zeke malah semacam dijauhi oleh rekan-rekan polisi. Atau mungkin lebih tepatnya, dia yang menjauhi. Begini, Zeke orangnya intens banget. Dulu dia pernah memenjarakan rekan polisinya sendiri yang ia ketahui melanggar garis hukum. Sejak itulah, Zeke selalu beroperasi sendiri. Sampai kasus Spiral terjadi. Zeke dipasangkan dengan detektif muda, untuk mengusut pembunuhan berantai yang korban-korbannya actually adalah rekan-rekan polisi di precint Zeke, yang satu persatu menghilang saat melaksanakan tugas. Zeke pun lantas menemukan dirinya sebagai pusat dari permainan maut ala jigsaw.

See, cerita Chris Rock ini seperti mengambil halaman dari buku Saw dan meletakkan ke panggung yang lebih luas. Misteri kejadian apa di masa lalu, apa hubungannya dengan kasus sekarang; Ini jadi full-blown investigation story ketimbang cerita sekelompok orang terjebak seperti biasa. Film ini bahkan fokusnya bukan bener-bener pada perangkap atau jebakan mematikan lagi. Tentu, dalam selang tertentu kita akan melihat polisi yang tertangkap kemudian dipaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perangkap maut (potong lidah/potong jari-jarimu untuk bisa selamat!) Perangkapnya masih sanggup bikin ngilu yang nonton, dan bahkan direkam lengkap dengan ke-cheesy-an khas sekuel-sekuel Saw; cut-to-cut cepat dengan gerakan yang juga dipercepat, untuk menghasilkan kesan panik si orang yang kena perangkap. Tapi perangkap-perangkap di film ini tidak mencuat. Kalo ada yang bikin list ’10 Perangkap Termaut Dalam Film-Film Saw’, perangkap-perangkap dalam film ini pasti gak akan ada yang masuk. Karena memang dibikin biasa aja. Karena memang, film ini memfokuskan kepada siapanya. Siapa yang dijebak ituSpiral is more about characters study. At least, niatnya sih sepertinya begitu.

Yang kita lihat disiksa di sini bukanlah penjahat, melainkan polisi yang seharusnya menangkap penjahat. Dan itu karena polisi-polisi ini justru telah atau pernah berbuat jahat. Maka, film ini bicara kepada kita tentang kebobrokan polisi. Nerima suap, korupsi, ringan tangan (alias nembak/mukul dulu baru nanya) adalah ‘penyakit-penyakit oknum’ yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan menegakkan hukum. Apalagi melindungi rakyat. Melainkan justru memperkaya kriminalitas yang ada.

 

Seharusnya film membiarkan kita meresapi apa yang terjadi pada polisi-polisi tersebut. Apa yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pantas mendapatkan ganjaran. Apakah sebenarnya justice itu. Seharusnya film memberikan waktu kepada Zeke untuk berefleksi, untuk berpikir. Jika film ini memang meniatkan untuk menjadi lebih seperti studi karakter ketimbang torture porn, maka film seharusnya memberikan ruang untuk eksplorasi karakter dan reaksi dan perkembangan mereka. Tapi nyatanya, Spiral sama sekali tidak memberikan itu. Tempo dan iramanya digenjot untuk intens terus. Hampir di semua adegan isinya orang-orang berteriak. Mau itu marah, panik, atau malah saat ngelontarin jokes aja karakter dalam film ini nadanya tinggi. Film yang baik itu seperti roller coaster, kita dibawa naik turun seiring karakter yang juga merasakan naik turun. Spiral ini, sedari perangkap di opening selalu menurun tajam. Yang kita dengar itu jadi seperti hanya suara-suara keras yang bising. 

spiral013360_966x543_637554024029131057
Tidak membantu pula Chris Rock yang suaranya khas banget sebagai suara komedi

 

Bintang komedi yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman dengan bermain di peran yang lebih dramatis, atau lebih serius, atau sekadar lebih jauh berbeda dari perannya yang biasa. Tentu ini adalah hal yang bagus, yang harusnya berani dilakukan oleh lebih banyak penampil (atau studio). Baru-baru ini, misalnya, kita melihat Adam Sandler jadi gambling addict, Kevin James jadi bos kriminal, Bob Odenkirk jadi bintang laga! Dan sekarang, gilirannya Chris Rock. Spiral ini mestinya bisa jadi kendaraan yang mengukuhkan posisinya sebagai aktor luwes film panjang. Namun dari tone film ini yang didesain intens terus menerus, sepertinya mereka sendiri gak yakin Chris Rock bisa menangani peran yang lebih serius. Intensnya Zeke di sini itu translasinya pada layar adalah, Zeke teriak-teriak terus. Melotot-melotot. Tak ketinggalan, bibirnya dimonyong-monyongin. Seolah film try too hard untuk membuat Zeke tampil intens. Kamu ngomongnya harus keras biar kelihatan emosional. Padahal untuk menunjukkan emosi karakter, untuk membantu Chris Rock menemukan ‘suara’ dramatisnya, yang perlu dilakukan film ini cuma satu; Menggali hubungan karakter Zeke dengan ayahnya. Put it out front-and-center.

Padahal Samuel L. Jackson loh yang jadi ayah Zeke itu. Bayangin, Chris Rock dan Samuel Jackson jadi ayah-anak polisi, interaksi mereka seharusnya bisa endless. We could watch that all day! Tapi film ini justru membatasi interaksi mereka. Adegan mereka interaksi di film ini tuh gak lebih dari lima kali, kayaknya. Hubungan Zeke dengan ayahnya, yang clearly punya pengaruh besar dalam hidup dan karirnya, hanya diperlihatkan lewat flashback.

Flashback yang, by the way, dilakukan dengan enggak bener pula. Aneh perspektifnya. Karena, editing yang dilakukan film ini seperti membuat bahwa flashback yang kita lihat itu adalah memori atau pengalaman yang sedang diingat ulang oleh Zeke. Misalnya, kita melihat Zeke terduduk, dan kita masuk ke flashback – seolah masuk ke ingatannya. Nah, dengan begitu, seharusnya kita hanya melihat yang diingat oleh Zeke saja, karena itu adalah perspektif dirinya. Tetapi, adegan flashback itu terus berjalan, terus kita lihat, padahal Zeke udah gak ada pada adegan flashback tersebut. Bagaimana Zeke bisa mengingat kejadian yang tidak dia saksikan in the first place. Dengan perspektif gak jelas seperti itu, jelaslah sudah bahwa film ini  menggunakan flashback sebagai cara mudah untuk mengeksposisi kejadian. Film tidak concern sama development karakter sama sekali.

 

 

Pada tau iklan obat nyamuk Hit gak? Nah film ini persis kayak slogan iklan tersebut. Yang lebih mahal banyak. Karena memang film ini hanya menang lebih mahalnya saja dibanding film Saw yang pertama. Lebih mentereng dan terasa lebih luwes. Secara kualitas cerita dan penceritaan, film ini adalah penurunan. Tidak bisa memanfaatkan ide – dan aktor – yang bagus dengan maksimal. Perangkap-perangkapnya biasa aja, karena mau fokus di karakter. Tapi karakternya itu pun tidak berhasil digali. Film lebih memilih ngegas terus untuk menjadi intens, tapi kejadiannya tidak diberikan waktu untuk benar-benar berdampak pada cerita. namun pada akhirnya hanya berakhir sebagai kebisingan yang enggak terasa apa-apa.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SPIRAL: FROM THE BOOK OF SAW

 

 

That’s all we have for now.

Amerika menggunakan kata ‘pigs’ sebagai konotasi negatif untuk polisi. Bagaimana pendapat kalian tentang polisi-polisi di Indonesia? 

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA