THE MONKEY Review

 

“All persons, living and dead, are purely coincidental”

 

 

Kematian pasti akan datang kepada setiap orang, ga ada tawar menawar. Tapi kepastian dari sebuah kematian itu justru sering dianggap sebagai misteri, atau kecelakaan, atau kebetulan. Karena gak ada yang tau kapan dirinya, temannya, atau siapapun bakal mati. Kematian itu pasti tapi tidak bisa dikendalikan, maka jadilah dia momok yang mengerikan. Dan seperti apa coba treatment sutradara Osgood Perkins ketika diserahkan cerita dari horor pendek Stephen King tentang gimana kematian yang pasti datang tanpa bisa dikendalikan ini? Well, alih-alih horor serius, dia membuatnya jadi horor komedi!

The Monkey merujuk kepada mainan monyet terkutuk yang didapat oleh si kembar Bill dan Hal Shelburn saat membuka-buka barang peninggalan ayah mereka. Meskipun pusatnya adalah gimana si mainan monyet ini membawa petaka setiap kali ia selesai menabuh gendang, tapi cerita film ini sebenarnya adalah tentang hubungan si anak kembar tadi. Bill dan Hal kurang akur. Hal sering ngebully Bill sampai-sampai Bill berfantasi mengenyahkan abang yang hanya beberapa menit lebih dulu keluar dari rahim ibu mereka itu. Ketika mengetahui ‘kekuatan’ mainan monyet, Bill berusaha memanfaatkan benda terkutuk itu untuk mewujudkan fantasi gelapnya. Tapi si monyet bukanlah benda pengabul permintaan. Kekuatan si monyet membuat korban-korban random berjatuhan. Hingga 25 tahun kemudian saat Bill yang kini sudah punya anak dan Hal sudah tidak pernah komunikasi lagi, monyet yang harusnya udah mereka buang itu kembali membuat orang-orang di sekitar mereka mati dalam kejadian yang tidak terduga.

Aslinya sih si monyet main simbal, tapi karena Disney maka jadi drum

 

Perkins kayaknya udah ngabisin semua stok disturbing dan seriusnya di Longlegs (2024), karena yang dia sajikan di The Monkey benar-benar kayak berkebalikan. Adegan-adegan horor di The Monkey melibatkan adegan-adegan mati, tapi semuanya begitu random dan diceritakan dengan tone humor yang kuat di baliknya. Bayangkan nonton Final Destination, tapi adegan matinya dibangun lalu dilepaskan tapi bukan untuk hanya kengerian, melainkan lebih ke ngajak kita ngetawain random atau misterinya kematian. Adegan matinya tetep ngeri dan berdarah-darah, cuma disajikannya dalam gambar yang lucu. Kayak ketika ada seseorang yang terbakar, dia berlarian panik di dalam rumahnya. Yang kita lihat actually adalah pantulan dirinya berlari dengan kepala terbakar dari kacamata hitam yang dipakai patung di dalam rumah. Lalu bahkan saat berlari, sebelah kakinya masuk ke baskom, udah kayak adegan di film warkop banget ga tuh. ‘Freak Accident’ harusnya memang super freaky dan film ini tepat sasaran soal itu.

Selain dari adegan kematian, dialog-dialog film ini juga lucu. Hampir nihilistic bahasan film ini menyoal kematian jika ditinjau dari obrolan para karakter. Mereka akan menyebut mati itu pasti terjadi, mati itu menakutkan, random, tapi kadang juga karakternya pengen seseorang mati. Kayak Bill kepada Hal, saudara kembarnya sendiri. Dinamika dua bersaudara yang jadi karakter sentral ini enggak seperti karakter anak kembar pada umumnya. Mereka basically saling benci, yang satu tipikal anak cupu, yang satunya tipikal anak sok bandel. Bahkan ketika mereka ‘bersatu’ untuk mengalahkan mainan monyet itu pun, mereka saling “aku akan pura-pura sedih jika kau terbunuh” to each other face. Sorotan utamanya adalah Bill, si cupu yang terbully. Perjalanan Bill dipotret dari saat mereka kecil hingga loncat 25 tahun kemudian saat Bill punya keluarga sendiri, saat dia harus bangun koneksi dengan putranya sendiri sambil menjaga jarak karena dia takut keluarganya dalam bahaya jika suatu saat mainan monyet itu kembali. Dan semua itu dia lakukan sambil menjaga rahasia yaitu dia tidak punya sodara. Bill dan Hal, keduanya, sama-sama semacam menjalani kehidupan yang tertutup – for slightly different reasons – tapi benang merahnya sama. Tentang takut sama kematian yang di titik itu mereka belum bisa sepenuhnya memahami randomness dan kepastian dari kematian itu sendiri.

Jadi in way, keacakan dan kepastian dari kematian itu seperti sisi kembar yang seperti cerminan dari mereka sendiri Dua sisi yang berlawanan. Yang jelas, mau segimana pun gak cocoknya, kehidupan tidak pernah kebetulan.

 

Perkara kutukan monyet, The Monkey memang sepertinya berangkat dari istilah Monkey’s Paw. Itu loh, cerita pendek horor tentang cakar monyet pengabul permintaan tetapi kejadian akhir setiap permintaan itu selalu punya dampak mengerikan. Seperti cerita pengabulan permintaan pada umumnya, cerita itupun bersifat cautionary tale supaya kita berhati-hati dengan harapan, supaya kita lebih bijak dalam menginginkan sesuatu. Di film ini, benda terkutuknya juga monyet, tapi monyet mainan penabuh drum. Setiap kali kuncinya diputar, si monyet akan menabuh drum, dan setelahnya, akan jatuh satu korban. However, kapan si monyet mulai bermain musik, ataupun siapa yang bakal mati, itu sangat random dan tidak bisa ditebak. Apalagi dikendalikan. Materi aslinya dari Stephen King sebenarnya lebih serius menjadikan makhluk terkutuk ini kayak mainan setan dan ngasih dread ke seluruh kota. Versi filmnya juga gitu, seisi kota Maine kena demam ‘freak accident’, tapi film ini menggiringnya ke vibe komikal, dari gimana kerandoman freak accident itu terjadi di background saat karakter utama berjalan melintas kota. Sutradara memilih untuk mengembrace sisi konyol dari mainan yang menyebabkan kematian – yang bahkan at one point nonton ini aku kepikiran sendiri apa monyet itu benar menyebabkan kematian atau mungkin malah sebaliknya, dia hanya main drum ketika mau ada kematian di sekitar yang memutar kunci. Dia beneran penyebab atau cuma messenger? Ketakutan kita terhadap hal konyol seperti pertanda kematian itulah yang dikuarkan oleh pilihan kreatif film ini.

Jadi menurutku, pilihan film untuk menjadi lebih ke horor komedi membuat hasilnya jadi lebih fresh tanpa benar-benar mengurangi muatan ataupun kehororan film ini sendiri. Malah bisa dibilang membuatnya jadi lebih mantap secara tematik.

Pemanasan sebelum nonton Final Destination.

 

Yang bikin film ini agak kendor sebenarnya adalah dramanya. Look, I know ini horor hiburan dan targetnya adalah adegan-adegan kematian yang absurd, tapi tetap saja tulang punggung cerita ini adalah relasi antara Bill dan Hal. Bahasan inilah yang tidak mendalam dilakukan oleh naskah. Simpelnya, kita tidak tahu kenapa mereka begitu berlawanan, kenapa Hal sampai senang membully Bill. Film hanya mengestablish dinamika mereka, dan meminta kita untuk menerimanya tanpa ada eksaminasi lebih lanjut. Sehingga karakter-karakter ini masih di permukaan.  Alasan kenapa Bill merahasiakan Hal aja gak begitu kena ke kita. Kita hanya tahu kenapa, tapi tidak ikut merasakan bobotnya. Seperti apa dampak dia merahasiakan itu kepada dirinya sendiri. Pilihan-pilihan dramatis yang dibuat oleh si karakter jadi ikut tersaru ke dalam kejadian-kejadian random akibat ‘ulah’ si mainan monyet. Menurutku film ini harusnya bisa lebih nendang lagi jika lebih mengetatkan bahasan drama antarkarakternya.

 




Kalo udah urusan kematian, gak ada yang namanya permintaan. Kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mati begitu saja, karena kematian tidak bisa dikendalikan. Pasti, tapi bergerak dalam desain misterius yang tidak kita ketahui. Sehingga tidak pernah sebagai sebuah kebetulan. Beda ama film. Film yang tayang di bioskop, bisa kita prediksi ‘umurnya’ berapa. Tinggal lihat jumlah penonton di hari pertama. Film ini, menurutku punya potensi yang bagus untuk bertahan lama, karena walau gak seram secara konvensional, tapi punya banyak adegan kematian yang seru. Ngeri tapi cara kamera ataupun film menceritakannya sangat kocak. Bisa dibilang film ini punya selera humor yang agak laen. Di balik cerita kutukan mainan, film ini punya drama antara saudara kembar yang gak akur. Kegakakuran mereka dipotray dengan fresh dan kocak juga, tapi butuh ataupun bisa untuk dibahas lebih mendalam mengenai hubungan mereka untuk membuat film lebih padet. 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE MONKEY.

 




That’s all we have for now.

Jadi bagaimana menurut kalian tentang si mainan monyet itu, apakah dia memang pembawa petaka atau dia hanya ‘peniup sangkakala’?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



NOSFERATU Review

 

“Death is my lover and he wants to move in.”

 

 

Dalam dunia kita yang relijius, kita mengenal petuah soal gimana dalam sebuah hubungan, orang ketiga adalah setan. Well, di dunia gothic buatan Robert Eggers, tempat di mana melankoli dan supernatural sama nyatanya dengan wabah mematikan, orang ketiga tersebut literally adalah sosok vampir legendaris yang menguasai manusia bahkan lewat mimpi mereka.  Penceritaan modern dari cerita klasik Nosferatu (yang sebenarnya adalah versi ‘ngeles dari copyright’ mitologi Drakula) ini ternyata ditonjolkan banget kelumit romance dan lust yang ‘berdarah-darah’ oleh Eggers, Sehingga aku yang nonton film ini pas tanggal 14 Februari pun ngerasa, kok pas juga ya jadinya horor ini ditonton sekarang!

Pasutri Thomas dan Ellen Hutter udah siap untuk membangun keluarga kecil mereka. Thomas dapat kerjaan khusus, ngurusin penjualan tanah ke bangsawan tua kaya raya di pelosok Jerman-Fiktif. Bayarannya gede. Jadi pergilah Thomas ke sana, ninggalin Ellen. Mereka gak ada yang tau kalo bangsawan bernama Orlok tersebut ternyata adalah makhluk kuno penghisap darah, dan juga adalah ‘mantan’ Ellen saat masih muda. Ellen yang punya bakat supernatural duli sering didatangi oleh Count Orlok di alam mimpi. Jual beli tanah kerjaan Thomas tadi hanyalah bagian dari rencana Orlok untuk memisahkan Ellen dengan sang suami, supaya dirinya bisa kembali menyatroni Ellen, kali ini memiliki perempuan itu seutuh-utuhnya, selahap-lahapnya, for good. Dan Count Orlok, being makhluk terkutuk, membawa bencana ke manapun dia berada.

Pengantin Iblis yang sebenarnya

 

Perbedaan yang terasa secara narasi antara Nosferatu modern dengan Nosferatu tahun 1922 dulu (gile jaraknya seabad!) adalah fokus cerita. Eggers tidak banyak menggunakan simbolisme atau alegori terhadap keadaan dunia. Meskipun memang, lucunya, film modern ini muncul setelah wabah pandemi seolah sebagai echo dari gimana film jadulnya dibuat setelah wabah flu Spanyol – dan kedua film ini sendiri memuat tentang wabah yang diakibatkan oleh tokoh titularnya. Gatau deh itu disengaja atau enggak sama pembuatnya haha.. Tapi yang jelas, Eggers memilih untuk menonjolkan relasi antara tiga karakter sentral, dan bahkan secara berangsur memindahkan fokus utama cerita ke karakter Ellen. Sehingga karakter ini punya pilihan (as opposed to hanya terpilih sebagai ‘korban’) dan background yang misterius yang membuat akhirnya dia jadi karakter yang fully-pledged. Dengan pesan empowering menguar di balik karakternya tersebut.

Bahwa dalam suatu hubungan yang entah itu toxic atau controlling, perempuan bisa kok lepas dari jeratan. Perempuan punya pilihan dan power, meskipun mungkin hasilnya tragis kayak di film ini. Tapi setidaknya, perlawanan cara Ellen menyisakan kehormatan karena merupakan bentuk dari sebuah pengorbanan yang pure dan selfless. 

 

Perbedaan narasi tersebut tentu saja dibarengi dengan perbedaan desain karakter. Di elemen ini Eggers sekali lagi menunjukkan taringnya. Dia berpijak kepada legenda atau mitos tentang Dracula tetapi juga dengan cueknya memperlihatkan desain yang di luar pakem pop culture Dracula ataupun juga Count Orlok itu sendiri yang sudah kita kenal. Mitos soal gimana vampir menghisap darah, misalnya. Film ini berani mengembalikan mitos yang udah populer (vampir menghisap darah dari leher korban) ke akarnya yakni dari lukisan-lukisan klasik; Orlok mengonsumsi manusia dari dadanya. Dan ini dilakukan juga untuk memperkuat kesan take control yang dilakukan oleh si vampir. Melahap dari dada toh memang terlihat lebih primal. Rakus, Penuh Kebuasan. Disturbing. Atau juga soal mitos vampir lemah oleh sinar matahari. Oleh film ini, kelemahan tersebut diolah menjadi adegan yang powerful dan naas sekaligus! Perlakuan Eggers terhadap mitos dan mengaitkannya kepada adegan puncak Orlok dan Ellen berhasil terabadikan menjadi sebuah adegan yang aku yakin juga akan diingat sepanjang masa. Bukan saja dari maknanya, tetapi juga dari gimana adegan tersebut berhasil dicapai lewat kostum, efek, sinematografi, dan sebagainya. Kayaknya kita memang harus bicarain karakter dan desain mereka satu-satu, deh.

Pertama, Thomas yang diperankan oleh Nicholas Hault. Di rumah, family man. Di kantor, pria muda yang gak sabar menunjukkan kemampuannya, pria yang ingin nunjukin ke bosnya kalo dia worthy for the job. Loyal, naif , tapi sayang istri, lah pokoknya. Di tangan sutradara lain mungkin karakter ini akan jatoh cupu atau at least hopeless tapi simpatik kayak Jerry di Rick & Morty. Apalagi memang struktur naskah membuat Thomas seperti dioverpower bukan saja oleh Orlok, tapi oleh istrinya – secara posisi karakter. Tapi film ini berhasil mempertahankan sisi kuat Thomas sebagai karakter yang fungsi pertamanya memang sebagai wakil penonton. Orang yang sama sekali di luar kejadian tapi perlahan-lahan terseret dan dia menemukan kekuatan untuk terus bertahan sehingga kita melihatnya bukan saja pantas berada di sana, tapi juga pantas untuk kita dukung perjuangannya.

Kedua, Ellennya Lily-Rose Depp. Film juga mengevolusi karakter ini, berkebalikan dengan Thomas. Lily awalnya kayak dikasih tugas jadi misterius dan berakting kesurupan – yang memang dilakukannya dengan total sehingga adegan kesurupan film ini creepy semua (opening film ini juga memorable banget karenanya!) Ellen dengan gaun putih udah kayak roh nelangsa yang dipermainkan antara kenikmatan mimpi dan realita sebelum akhirnya dicabik penuh derita. Tapi perlahan film mengubah ‘roh nelangsa’ menjadi simbol sebuah maiden. Ellen dimainkan oleh Lily-Rose seperti penuh kerapuhan, kita khawatir kepadanya – kadang juga takut – tapi power di balik dirinya terasa perlahan terbuild up. Kekurangan karakter ini buatku cuma satu sih, itupun datang dari struktur naskah yang dipilih tadi. Kita kurang banyak ada berkubang di kegelapan pikiran tragisnya. Bahkan setelah cerita udah full memandang dia sebagai karakter utama, Ellen masih tetap harus berbagi waktu dengan karakter lain misalnya si doktor paranormal yang eksentrik demi fungsi untuk menyampaikan eksposisi.

Nangis darah udah paling tepat menggambarkan betapa tragisnya kisah film ini

 

Last but not least tentu saja Count Orlok. Sebelum nonton kupikir Bill Skarsgard nasibnya udah kejebak mainin karakter horor yang creepy, tapi ternyata yang dia lakukan di sini justru bisa dibilang dibutuhkan supaya sosok vampir dalam film menjadi fresh. Tau dong gimana vampir biasanya digambarkan karismatik, bahkan enggak jarang ganteng atau punya pesona sendiri dalam menarik mangsa. Count Orlok original sendiri, walau gak kayak keluarga Cullen, tapi sudah ikonik dengan sosoknya yang mengerikan. Tantangan Nosferatu terutama kayaknya adalah dari gimana sosok Orlok yang baru bisa gak ikonik, supaya mereka gak terlalu dibanding-bandingkan. Skarsgard paham assignment dia. Dan dapatlah kita Orlok yang geraman suaranya seperti bergema di dalam hati, atau kepala, I’m not sure. Yang sosoknya kayak ringkih  tubuhnya rotten kayak mayat beneran, tapi bisa bergerak cepat (editing yang serem banget dilakukan film demi ngasih liat kekuatan Orlok). Dan ya, mana lagi coba makhluk kuno tapi berkumis. Orlok Skarsgard kayak berjalan elegan di garis antara komikal dan legendary, dan itulah yang bakal membuat karakternya ini bakal terus terpatri.

Dan film ini sendiri tu udah kayak si Orlok itu tadi. Dunianya tampak begitu jadul, mistis, dengan pengambilan gambar dan sinematografi yang ngasih vibe seram tradisional namun sangat efektif. Namun ada nuance modern dari ‘nyawa’ karakternya. Mitologi drakula dari Bram Stoker dihidupkan lewat mindset modern, di mana perempuan sudah lebih berdaya, sekaligus ini menghasilkan konklusi yang beautiful tapi tragis.

 




Buat yang belum nonton film Nosferatu original, atau yang sebelumnya cuma tahu Orlok dari kartun Spongebob, sebenarnya gak papa langsung nonton ini tanpa tahu apa-apa, karena ceritanya berdiri sendiri dan reference-nya juga lebih ke arah mitologi vampir secara general. Tapi jika ingin membandingkan, kalo bisa nemu film jadulnya yang bisu dan itam putih itu, silakan saja nonton. Buatku film versi modern ini tragis dan pilunya dapet, creepy supernaturalnya dapet, sungguh sebuah experience horor yang hormat terhadap era klasik. Kekurangannya buatku cuma struktur naskah yang kayak menukar posisi karakter utama antara Thomas dengan Ellen, yang aku totally get it kenapa film melakukan itu. Penampilan akting juga berhasil bikin film ini enak untuk diikuti, di samping juga dunianya yang benar-benar kebangun. Film ini juga ngasih lihat soal wabah dan gimana dunia luar bereaksi terhadap mitologi Count Orlok. Sehingga scale cerita film ini kerasa besar dan hidup.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for NOSFERATU
.

 

 




That’s all we have for now.

Count Orloknya Bill Skarsgard hanyalah satu dari sekian banyak jelmaan drakula dalam film berdasarkan bukunya Bram Stroker. Di antara semua, mana sosok drakula versi favorit kalian? 

Silakan share di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



HERETIC Review

 

“If you change the rules on what controls you, you will change the rules on what you can control”

 

 

Buatku, naskah yang bagus itu bukan exactly apa yang dikatakan oleh dialognya. Bukan seberapa bagus atau puitis atau sedalem atau sepinter atau selucu apa kata-kata, tapi bagaimana dialog itu ditempatkan sehingga memenuhi fungsinya. Kayak dialog opening dalam Heretic karya duo penulis dan sutradara Scott Beck dan Bryan Woods. Kita mendengar dua perempuan bicara soal ukuran kondom. Lalu kamera bergerak menjauh memperlihatkan mereka lagi duduk di bangku yang ada iklan kondomnya  – sehingga terestablish konteks kenapa perbincangan soal itu bisa terjadi di antara mereka berdua. Lantas, dialog mereka lanjut, kali ini mengeset siapa/apa kerjaan kedua perempuan muda itu. Mereka Paxton dan Barnes, dua suster aliran mormon. Interest kita naik lagi sekarang setelah kita tahu mereka siapa yang ternyata kontras dengan pembicaraan mereka, namun dialog opening yang terdengar nyeleneh tadi ternyata berhasil melandaskan banyak konteks sekaligus, termasuk bagaimana pandangan karakter ceritanya terhadap hal yang mereka percayai yang ultimately jadi bahasan utama thriller ini nantinya. Seperti demikianlah buatku, naskah yang bagus itu.

Dua orang suster tadi akan tiba di rumah seorang pria tua bernama Mr. Reed. Mereka mampir memenuhi permintaan untuk menyiarkan agama mereka. Mr. Reed yang ramah mengundang mereka masuk karena katanya istrinya sedang menyiapkan pie untuk mereka. Awalnya semua tampak hangat dan terkendali, sesuai protokol yang dua suster ini patuhi. Tapi segala formalitas dengan segera lenyap karena Mr. Reed yang clearly seorang pintar yang telah malang melintang perihal riset agama, mengajak diskusi ke ranah yang lebih mendalam. Menantang kepercayaan personal bukan hanya dua suster, tapi juga kita semua.

Ketika agama disamain ama marketing gimmick game Monopoli

 

Heretic most of the time memang diisi oleh dialog menantang yang bakal semakin intens dan creepy. Konsepnya ini worked greatly berkat penampilan akting dari tiga karakter sentralnya. Hugh Grant gak lantas jadi snobbish komikal ataupun preachy dengan dialog-dialog menantang pemikiran tersebut, Chloe East dan Sophie Thatcher juga gak lantas jadi karakter yang cuma jadi victim. Karakter mereka sendiri juga kuat terbentuk dari dialog-dialog yang seperti di awal tadi, seperti sederhana tapi sebenarnya sangat efektif mengeset siapa mereka, pemikirannya, kepercayaannya, ‘berasal’ dari mana pemikiran mereka. Dinamika mereka juga gak pernah dijadikan kejutan, as in, film ini tidak dibangun berdasarkan “oh ternyata Mr. Reed jahat”. Sedari awal kita sudah tahu ngarahnya mau kemana, tapi yang tidak kita expect adalah muatan yang dibawa oleh film ini dalam membuat “jahat”nya Mr. Reed itu seperti apa. Sama juga seperti pada kedua karakter susternya.

Yang sedikit jadi problem buatku hanyalah tidak ada karakter utama yang jelas, seenggaknya hingga masuk babak ketiga. Di dua babak awal, porsi kedua suster sama besar. Mereka bahkan sama-sama ter-outshined oleh Mr. Reed di pertengahan. Mungkin karena charisma Hugh Grant juga sih ya, tapi ya gitu deh, di pertengahan itu memang Mr. Reed diketengahin banget oleh film ini. Dijadikan fokus. Dua suster dibiarkan untuk bereaksi saja terhadap apa-apa yang dikatakan oleh Mr. Reed. Mereka dijadikan perwakilan kita dalam menyimak dengan takjub opini disturbing yang dengan tenang dan terukur disampaikan oleh Mr. Reed. Nonton dialog mereka seolah kita juga sedang berdebat dengan seorang atheis. Tapi juga banyak layer karakter lain yang bekerja sesuai dengan konteks tema ‘control’. Sehingga perdebatan mereka berisi dan gak debat kusir. Kita peduli, bukan hanya pada isi pembicaraannya tapi juga kepada nasib kedua suster. Mereka sudah seperti satu kesatuan, sebagai believer melawan non-believer. Sehingga walaupun karakter utamanya belum jelas merujuk kepada satu journey personal tertentu, the shared feelings between the two of them terasa menyeluruh bahkan hingga tershare kepada kita sebagai penonton. Dua babak film ini masih bisa bekerja nicely, dan kemudian saat babak ketiga telah lebih jelas ternyata ini adalah tentang Suster Paxton menjadi lebih pede dengan beliefnya untuk berani mengambil kendali, cerita paham bahwa fondasinya benar-benar sudah kuat dan kini saatnya bermain-main dengan elemen ‘rumah hantu’ dengan banyak jebakan dan ruang rahasia.

Itu satu lagi yang aku lihat dapat membagi dua penonton, meskipun buatku sendiri tidak jadi soal. Film berubah dari yang tadinya dialog grounded dan mampu melibatkan kita, menjadi thriller yang tidak lagi terasa terlalu praktikal dengan timing karakter yang artifisial (maksudnya dipas-pasin banget biar ceritanya seru) dan hal-hal yang semakin insane dilakukan oleh Mr. Reed. Motifnya tetap grounded dan kita bisa melihat root-nya, tapi actual things yang dia lakukan yaa terasa sensasional aja. I’m not complaining sih, keseluruhan film ini vibenya jadi kayak Saw dengan filosofi penjahat yang menarik hanya saja Heretic ini tidak ada eksploitasi alat-alat penyiksaan. Ini kayak versi deraan mental aja. Filmnya sendiri pun tidak pernah benar-benar berpijak kepada Mr. Reed sebagai villain yang pintar, tidak seperti Saw kepada John Kramer yang menganggap dirinya somekind of hero atau justified. Mr. Reed lebih mirip seperti ilmuwan gila yang mencoba bereksperimen dengan teori-teori yang ia percaya sebagai kebenaran.

In short, Mr. Reed jadi lebih berbahaya daripada Kramer.

 

Jadi, yang diomongin oleh Mr. Reed memang challenging dan offensive banget bagi – and not limited to – kedua suster. Pria itu basically bilang agama cuma marketing gimmick. Semua agama dan kepercayaan berasal dari sumber yang sama, yang divariasikan oleh pihak-pihak yang pengen memegang kendali sendiri. Untuk membuktikan agama itu cuma soal control-lah, maka Mr. Reed menjebak kedua suster dalam situasi di mana mereka merasa punya kehendak sendiri padahal langkah-langkah mereka sudah ia atur. Pilihan mereka adalah apa yang Mr. Reed mau untuk mereka pilih. Bapak ini pengen ngasih lihat dia mengontrol mereka. Dan itu membuktikan teorinya bahwa agama cuma sistem yang dibuat orang dan sekaligus dia bilang pemeluk agama hanya sekumpulan orang insecure yang butuh untuk percaya bahwa ada much more powerful-being yang menjaga kendali atas mereka. Bagaimana pendapat kalian sendiri tentang teori Mr. Reed ini? Silakan share di komen yaa.. Kalo buatku sendiri sih, bahkan jika yang dikatakan oleh Mr. Reed benar, bukanlah sebuah kesalahan bagi kita untuk memilih percaya kepada agama. Bahwa keinginan untuk secure dan terkendali bukanlah sesuatu yang harus dirisaukan. Apa bedanya kita berbuat baik dengan percaya ada imbalan surga dengan berbuat baik hanya demi kebaikan itu sendiri. Toh surga itu juga bukan imbalan yang langsung kita rasakan, beda ama ngerjain sesuatu hanya karena ada duitnya. Menurutku juga seseorang yang memilih tidak percaya agama juga tidak salah, jika itu membuat mereka malah merasa insecure. Yang salah adalah – seperti yang ditunjukkan oleh film ini – ketika orang itu merasa gak mau dikendalikan oleh sesuatu yang dia anggap salah tapi juga lantas dia ingin mengendalikan orang lain sesuai dengan apa yang benar untuk dirinya.

Yang ditakutkan adalah ketika ada orang seperti Mr. Reed yang ujungnya bikin sekte sesat kecil-kecilan sendiri. Karena sifat manusia cenderung sombong, jadi ketika orang sadar dan mampu mengubah aturan yang tadinya ia anggap mengontrol dirinya, maka ia akan merasa mampu juga untuk mengubah aturan bagi semua orang. Ia akan membuat aturan baru untuk mengontrol semua orang. Itulah ketika terbentuknya ‘agama’ baru.

 




Terpujilah film ini karena udah ngasih sajian thriller yang menantang. Bukan cuma penampilan aktingnya yang intens, tapi pembahasannya bener-bener ngasih sesuatu untuk kita pikirkan tentang kepercayaan dan kendali. Naskah film ini berhasilnya juga dua kali. Pertama, membawa bahasan yang sensitif ke dalam berbagai analogi – terutama memasukkannya ke dalam suasana thriller, meskipun kadang jadi terasa agak gimmicky dan tidak lagi grounded. Dan kedua, karena berhasil menuang gagasan itu ke dalam struktur film. Fungsi-fungsinya terpenuhi, sekali lagi, walaupun film memilih menunda untuk menonjolkan karakter utama pada dua babak awal yang didesain untuk mengetengahkan gagasan. Rancangan film ini udah kayak rumah Mr. Reed. Dari luar kayak rumah besar kuno berhantu pada film-film horor, tapi di dalamnya, banyak layer dan contraption yang bekerja membangun ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for HERETIC.

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



THE SUBSTANCE Review

 

“We carry our own worst enemies within us.”

 

 

Kalo kemaren di Joker: Folie a Deux (2024) kita ngomongin gimana satu orang bisa kejebak di antara dua persona sampai-sampai dia sendiri bingung siapa diri dia yang sebenarnya, maka kali ini Colarie Fargeat ngajak kita ngobrol soal keadaan yang seperti sebaliknya. Apa yang terjadi ketika satu ‘diri’ punya kesempatan untuk hidup di dua tubuh. Akankah dia memilih tubuh yang baru, yang lebih sempurna, dan meninggalkan tubuh lama nan renta-nya selamanya?  Pembahasan soal body image dan industri yang demand-nya memang pada kemudaan dan kecantikan jadi substansi di balik sajian psyhcological plus body horor, yang pada akhirnya juga membuat film The Substance ini jadi dark comedy. Karena nonton film ini kita bakal nyadar bahwa mungkin hater terbesar kita memang adalah diri kita sendiri.

Elisabeth Sparkle adalah bintang Hollywood, cuma sinarnya udah redup. Ketenarannya merosot seiring bertambahnya usia. Rating acara fitnessnya turun karena dianggap ketinggalan zaman. Pihak studio sudah siap untuk mencari casting baru, yang lebih muda tentunya. Mereka mencari “The next Elisabeth Sparkle”. Melihat billboardnya diturunkan untuk informasi casting tersebut membuat Elisabeth nekat. Dia setuju untuk mencoba sebuah serum misterius yang katanya bisa membuat orang mendapatkan versi terbaik dari diri mereka. Literally! Dengan serum itu Elisabeth punya tubuh kedua. Yang lebih muda, dan jauh lebih cakep. Dia memanggil dirinya Sue ketika dalam tubuh muda ini. Sue inilah yang lantas jadi host baru acara tv pengganti Elisabeth. Sejumlah aturan petunjuk pemakaian serum harus dipatuhi olehnya. Di antaranya, setiap tujuh hari dia harus kembali ke tubuh aslinya, selama tujuh hari juga. Namun ketika sudah mencicipi kemudaan dan pemujaan baru dari orang-orang sekitar, tujuh hari jadi terasa lama. Sue mulai ‘mencurangi’ Elisabeth. Dia menyabotase dirinya sendiri. Dan kemudian efek mengerikan itu datang. Tubuhnya mulai membusuk dan ‘gugur’ perlahan.

Unboxing serum bukan sembarang skincare.

 

Siapa sih yang gak mau punya wajah cakep dan tubuh yang lebih muda? Dari sini film mengambil kedekatan karakternya dengan penonton, membuat Elisabeth simpatik despite her immediate faults. Menurutku pemilihan karakterisasi cerita ini sangat tepat. Karena meskipun semua orang pengen terus muda, cerita ini akan jadi shallow ketika misalnya tokoh yang diambil adalah perempuan yang biasa-biasa aja atau apalagi yang punya masalah berat badan. Shallow karena itu bakal membuat film terkesan ngejudge karakternya. Sebaliknya, film ini jadi tampak bijak dengan mengambil sudut pandang dari seorang bintang Hollywood yang sudah lewat masa emasnya. Motivasi Elisabeth yang arguably selfish itu jadi beralasan. Karena dia adalah orang yang secara first-hand tahu seberapa penting untuk stay awet muda di industri yang pergantiannya cepat seperti Hollywood. Sehingga film pun jadi punya kekuatan untuk sekalian menelisik industri Hollywood itu sendiri, bukan hanya ‘menghukum’ karakternya.

Hal tersebut membuatku jadi sekali lagi membandingkan film ini dengan sekuel Joker kemaren. Film tersebut membuat Arthur Fleck bernasib naas untuk menuding kita sebagai bagian dari society yang mengelukan sosok Joker dan kita berharap si Arthur mau menjadi sosok tersebut. Film itu memperlihatkan gimana society mendukung lalu lantas meninggalkan Arthur, tapi tidak pernah benar-benar membahas tentang society itu sendiri. Padahal Arthur dikembangkan sebagai akibat dari demand society tersebut. Sementara itu, The Substance memperlihatkan gimana industri basically menjadikan syarat muda dan menarik untuk bisa survive, bahwa kita – penonton – adalah bagian dari industri tersebut (bagaimana pun juga mereka mendengarkan apa yang penonton minta), tapi Elisabeth/Sue tidak pernah digambarkan hanya sebagai akibat dari industri tersebut. Film ini memperlihatkan both. Bahwasanya industri itu toxic, lewat penggambaran karakter produser yang cartonish (as opposed to gimana Harlee Quinn digambarkan abu-abu padahal manipulatif di sekuel Joker), sekaligus juga memperlihatkan konflik personal Elisabeth/Sue yang haus akan ketenaran dan gak mau nerima kenyataan sampai-sampai dia membenci dirinya sendiri yang menua. Dinamika Elisabeth dan Sue dengan brilian terus dipijakkan kepada kenyataan bahwa mereka ini adalah satu orang, sehingga tema soal ketidakpuasan – atau malah kebencian – terhadap diri sendiri tetap menjadi flaw karakter yang membuat cerita ini tetap menjadi kisah yang aktif sebagai galian dan pilihan karakter Elisabeth tapi tetap dengan muatan kritik terhadap dunia industrinya.

Kita adalah musuk terbesar diri kita sendiri. Bahasan film ini sebenarnya sangat dalam ketika memperlihatkan kontras antara kehidupan Sue dan Elisabeth padahal mereka sebenarnya adalah orang yang sama. Keduanya akhirnya menjadi musuh, saling benci, saling sabotase karena Elisabeth/Sue memandang diri mereka yang lain sebagai sesuatu yang mereka benci dari diri mereka. Elisabeth iri dengan kemudaan Sue, dan Sue jijik dengan ketuaan dan ketidakberdayaan Elisabeth. Deep inside, ini adalah Elisabeth tidak menerima dirinya sendiri.

 

Demi Moore sebagai Elisabeth (tubuh asli yang tua) dan Margaret Qualley sebagai Sue (tubuh muda) adalah perfect cast yang sepertinya juga meta melihat dari ‘kesenioran’ mereka di Hollywood. Keduanya beneran jago menangkap vibe yang tepat untuk menghidupkan cerita dan karakter mereka. Terutama Demi Moore yang dapat tantangan range sedikit lebih luas. Dia nelangsa tapi gak over-drama. Lalu dia nekat. Lalu terasa weak dan vulnerable ketika ‘dicurangi’ oleh dirinya sendiri. Lalu berontak dan broke down. Sementara itu Sue-nya Margaret Qualley come off seperti anak muda yang penuh passion dan ambisi, tau apa yang dia mau, dan juga nekat karena Sue adalah reseprentasi diri Elisabeth yang optimis dan pede kembali – dan dia sudah pernah menjalani itu semua. Dan keduanya sama-sama kentara punya denial, sama-sama ngerasa benar saat menjadi masing-masing. Makanya film ini kuat sekali sebagai cerita yang bahas psikologis. Padahal durasinya udah panjang banget, tapi kita merasa masih pengen masuk menyelami Elisabeth/Sue ini.

Buat Elisabeth, si Sue itu lama-lama jadi Su-we’

 

Penceritaan film memang begitu luwes sehingga dua jam setengah itu jadi tak terasa. Ketika butuh untuk menjelaskan aturan serum saja, film ini tidak lantas terseok jadi momen eksposisi yang annoying. Kita tetap dibuat engage oleh permainan editing serta gerak kamera. Ketika meng-setup Elisabeth sebagai bintang lawas yang kini sudah mulai dilupakan pun, film ini tidak serta merta nyerocos ataupun memperlihatkan flashback panjang lebar mengenari karir Elisabeth. Melainkan cukup dengan memperlihatkan bintang Hollywood si Elisabeth, Semacam time-lapse sederhana dari gimana ubin bintang tersebut dicetak, dikagumi orang, hingga jadi retak-retak dan gak ada lagi yang peduli. Set up yang efektif ini yang bikin kita tahu bahwa penceritaan film ini bakal unik. Kita juga jadi siap-siap tatkala momen body horor ataupun bahkan momen creature nya nanti hadir. Film cukup mengclose up seekor lalat di dalam gelas, dan kita sudah terwanti-wanti ini film at least bakal jadi se-‘jijik’ The Fly (1986). And it did. Beruntunglah film ini panjang sehingga makanan kita sudah habis saat bagian body horor-nya datang. Proses ‘kelahiran’ Sue, proses pengambilan cairan sumsum tulang belakang, momen Elisabeth menyadari ada anggota tubuhnya ternyata udah kayak bangkai, hingga ke aksi-aksi brutal di bagian belakang dan satu lagi kelahiran makhluk – aku cuma bisa bilang film ini sangat memuaskan penggemar horor. Vibe dark comedynya juga sangat mulus membayangi. Seolah film juga turut menjadi semakin edan bersama dengan perkembangan Elisabeth.

Aku sendiri tergelitik sama term “versi dirimu yang sempurna”. Buatku term ini sebenarnya bisa bermakna lebih dalam. Saat menonton aku kepikiran, kalo aku yang biasanya suka sial ini memakai serum itu, diri satu lagi yang terlahir pasti belum tentu aku versi lebih tinggi, rambut lebih tebal, mata gak minus, lidah gak cadel, dan sebagainya. Bisa jadi yang muncul adalah aku yang botak, lebih kontet, mata lebih minus, hanya mungkin otaknya yang lebih cemerlang. Atau ngerinya lagi, mungkin diri yang lahir punya jari yang lebih banyak supaya bisa ngetik lebih cepat dan bisa ngepost review lebih banyak dalam sehari. Maksudku, who knows kan, ‘versi sempurna’ diri kita itu dilihat dari apa. Siapa yang menentukan apa yang sempurna. Gimana kalo sempurna itu berarti kita tidak mesti punya tangan dan kaki, tapi punya sayap. Menurutku term ini punya potensi untuk digali lagi. Dan maka itu juga aku surprise ketika film masuk babak ketiga. Dan ternyata memang film ini menggali “diri yang sempurna” itu ke dalam perwujudan lain dari Elisabeth/Sue. Lantas film ini jadi chaos, for the better. Menurutku babak akhir film ini benar-benar nendang, ‘stylish’, dan menutup cerita dengan sangat membekas. Semuanya mendapat ‘ganjaran’ termasuk industri entertainment itu tadi. I wouldn’t have it any other way.

 

 




Bener-bener diperlihatkan tuh di sini, gimana ekspektasi sosial mampu mendorong seseorang menjadi sesuatu yang bahkan dia tidak mengenal siapa dirinya lagi. Gimana orang bisa membenci dirinya hanya karena ngikutin maunya orang lain. Aku suka film ini tetap pada jalurnya, yaitu membahas dari perspektif karakter. Menggali dari sana. Tidak berubah haluan jadi membahas asal muasal serum atau misteri pembuat serumnya, misalnya. Oh itu bakal jelek dan kosong banget pasti haha… Film Joker 2 kemaren mestinya meniru penceritaan film ini. Gimana film ini berhasil menggunakan konsepnya, yaitu body horor, sebagai penguat cerita. Menyokong pengalaman mengerikan yang ingin disampaikan. Gimana membentuk cerita tragis sehingga gak jadi ngejudge, melainkan menjadi selaman berbobot yang menyeluruh mulai dari karakter hingga ke dunianya yang punya masalah yang sebenarnya ditarik dari problem sosial beneran. Film ini berhasil, meskipun tergolong sebagai genre, tapi tetap sebuah genre dengan bahasan substansi yang kuat.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE SUBSTANCE.

 




That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang standar kecantikan yang bakal terus menghantui industri atau dunia hiburan?

Silakan share pendapatnya di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



JOKER: FOLIE A DEUX Review

 

“Didn’t someone say love is a shared delusion?”

 

 

Lima tahun lalu dipuja-puja, tapi sekarang berbalik menjadi cemo’ohan.  Enggak, aku bukan lagi ngomongin presiden kita. Melainkan lagi ngomongin Joker. Adaptasi villain superhero versi Todd Phillips. Sekuelnya ini memang telah benar-benar membuat Joker jadi bahan tertawaan. Penonton casual dan kritik sepakat film ini gagal menghadirkan bukan hanya adegan musikal, tapi terutama juga gagal menghidupkan karakter titular yang sudah dikenal dan dinanti kegilaannya oleh banyak orang. Ya, sumbernya dari tidak sesuai ekspektasi. Dan ekspektasi itu sendiri, terbentuk dari image yang ditampilkan. Orang berpenampilan sederhana akan membuat kita mengharapkan dia sebagai pemimpin yang merakyat, misalnya. Badut teraniaya yang akhirnya mengambil aksi seperti Joker, akan membuat kita mengantisipasi dirinya sebagai anti-hero. Joker: Folie a Deux gagasannya memang pada shared ekspektasi seperti itu, yang diperkuat dalam tingkat ekstrim sehingga yang tadinya ekspektasi berubah menjadi sebuah delusi yang dirayakan bersama. Membuat film ini toh tak kurang sebagai sebuah kebrilianan-edan juga jika kita melihat kemampuannya bercerita dalam level meta.

You brought make up..“,”I wanna see the real you.” Saat menonton, kata-kata Harley Quinn-nya Lady Gaga kepada Arthur Fleck-nya Joaquin Phoenix tersebut terdengar kayak buat nunjukin kegilaan mereka sebagai pasangan aja. Sama juga seperti ketika Lee ngerokok terus kalimat berikutnya yang dia ucapkan adalah ngasih tahu kepada Arthur bahwa dia lagi hamil. Aku ketawa, kupikir ni orang memang sinting. Tapi perlahan konteks film mulai mencuat. Koneksi dengan kartun Joker dan bayangannya di prolog pun akhirnya terlihat. Ini cerita tentang Arthur menemukan kembali siapa dirinya yang sebenarnya. Apakah dirinya yang sebenarnya adalah Arthur tanpa make up, atau dia adalah Joker dengan riasan badutnya. Arthur diceritakan sedang menyongsong sidang. Perbuatannya di film pertama – membunuh lima orang, salah satunya dalam siaran langsung televisi – membagi dua rakyat. Ada yang takut, ada yang kagum. Penuntut ingin Arthur dihukum mati sebagai pertanggungjawaban, namun pembela berargumen Arthur punya kelainan jiwa. Jika ingin bebas, Arthur harus ikut ‘skenario’ tersebut. Bahwa ada persona lain – si Joker – di dalam dirinya sebagai tanda dia bukan orang yang sehat. Keadaan menjadi pelik ketika Arthur jatuh cinta kepada Lee, yang ia temui di bangsal. Lee dan semua pendukung di luar sana bersikeras the real Arthur adalah Joker yang melakukan kejahatan. Mereka justru love him for that.

Ini bukan cerita tentang dua orang edan yang saling cinta. Ini cerita tentang dua orang yang merasa saling cinta karena mereka edan, as in edan karena mereka berbagi delusi yang sama. Delusi tentang sosok Joker. Film Todd Phillips ternyata bukan tentang orang bernama Joker, melainkan tentang Joker sebagai sosok, dan pengaruh sosok tersebut  kepada satu orang yang ‘menciptakannya’ serta pengaruh sosok tersebut kepada manusia lain yang mengidolakannya.

Beri makna baru pada cinta bisa mengubah manusia

 

Jadi, Arthur dan Lee shared this delusion bahwa mereka sedang saling jatuh cinta. Padahal sebenarnya. keadaannya cukup berbeda. Arthur cinta sama the idea sekarang dia punya pasangan, yang memperhatikan dan peduli kepadanya bahkan dalam persona tergelap dirinya sekalipun. Sementara Lee, dia cinta sama idea bahwa Arthur adalah sosok Joker yang bakal menjungkirbalikkan Gotham. Actually Lee juga shared delusion dengan orang-orang di jalanan kota, termasuk dengan kita. Kita love the idea of Joker; dengan sosok “Joker” sang anti-hero. Di sinilah cerita film ini jadi kompleks. Dengan berpijak kuat pada perspektif Arthur, cerita ini seperti memeriksa fenomena ketika seseorang dielukan sebagai sebuah sosok atau gagasan, padahal itu bukan siapa diri dia yang sebenarnya. Garis blur diberikan film ini kepada Arthur dalam berusaha memaknai siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya film ini kayak gak maju-maju secara kejadian. Kebangkitan Joker yang kita tunggu-tunggu tidak pernah ada. Adegan-adegan komikal nan brutalnya hanya sebagai adegan di dalam kepala Arthur. Pria menyedihkan ini bermula di penjara, dan berakhir di penjara juga. Semua aksi dan development journey itu terjadi di dalam psyche Arthur. Buatku naskah film ini masih brilian menjabarkan perkembangan psikologis Arthur Fleck. Gimana dia tadinya memandang dirinya, gimana dia merasa ada yang cinta sama dia sebagai suatu kebutuhan karena selama ini dia diabaikan bahkan oleh ibunya sendiri, gimana dia percaya dia gak salah karena yang melakukan semuanya adalah Joker, gimana dia percaya Joker adalah jalan keluar, dan berakhir dia mengakui bahwa there’s no ‘Joker’. Ini jelas bukan journey yang menyenangkan, dan itu beneran terefleksi kepada filmnya. Sehingga filmnya ngasih bad taste pada kita. Kita ‘meninggalkan’ Joker sebagaimana Lee tidak lagi datang mendukung sidang.

Pil pahit satu lagi yang harus penonton telan karena bikin film ini jadi tampak boring adalah bentuk atau konsep penceritaan yang mentok banget, Courtoom drama dan musikal. Elemen musikal sebenarnya telah digunakan sedari film pertama. Musik sebagai bentuk dari seni pertunjukan telah diestablish sebagai eskapis psikologis Arthur. Menekankan bahwa dia ‘mendengar’ musik yang tak bisa orang lain dengar di dalam kepala. Makanya musikal di sini juga tidak dibuat blur mana yang nyata, mana yang tidak. Kita akan selalu bisa membedakan mana yang interaksi musikal beneran, mana yang bukan. Karena adegan musikal dalam film ini ditujukan supaya kita mengerti apa yang terjadi di dalam Arthur. Apa yang dia rasakan terhadap sesuatu. Sekali lagi, yang didesain untuk blur di sini adalah gimana Arthur memandang dirinya – siapa yang menurutnya ‘dirinya’ yang nyata. Secara eksekusi, jelas momen musikal yang paling asik itu hadir ketika pikiran Arthur melebur dengan kenyataan, seperti ketika dia membayangkan nyanyi pembantaian di ruang sidang. Tapinya juga karena niatnya tidak pernah untuk memblurkan, adegan musikal di film ini memang terkesan repetitif dan membosankan. Seperti sisipan pengejaan feeling ataupun psyche yang sudah bisa kita mengerti, sehingga adegan-adegan tersebut juga terasa mengganggu tempo.

Adegan di persidangan sebenarnya seru. Ada penaikan tensi ketika Arthur memecat pengacaranya dan mutusin untuk represent himself. Lantas esok harinya dia muncul lengkap dengan dandanan Joker. Sepertinya sudah ready untuk bikin ‘onar’ persidangan. Namun kemudian dialog Arthur dengan salah satu saksi dari film pertama di persidangan tersebut menambah pada value emosional cerita ini. Menurutku kalopun film ini cuma punya bagian courtroom drama, kayaknya itu udah cukup. Tapi ya ambisi Todd Phillips untuk ngasih sequel yang berbeda dan nyata-nyata jelas lebih beresiko memang pantas untuk kita apresiasi.

Si Harvey Two-Face jadi penuntut untuk kasus orang dengan dua kepribadian hahaha ironis

 

Perhaps, dosa terbesar sekuel Joker ini adalah menghukum karakternya alih-alih society yang mengelukannya for the sake of delusion tanpa sama sekali mempertimbangkan bahwa dia adalah karakter yang terus ‘tersiksa’ dan ‘diabuse’ dan ‘diperalat’ sampai semua itu broke him apart. Mungkin bisa jadi itu yang dipermasalahkan oleh penonton, bukan semata karena Arthur ternyata bukan Joker yang kita bayangkan. Kritikan sosial yang diusung oleh naskah yang punya kekuatan meta ini jadi hanya seperti dimainkan untuk shock value sehingga akhirannya membuat film seperti menuding penonton. Karena setelah melihat penyadaran Arthur, kita dibikin terputus bukan hanya dengan karakter ini melainkan juga dengan film keseluruhan. Film tidak pernah memeriksa balik society yang ‘menghukum’ Arthur for memilih dirinya ketimbang jadi sosok Joker. Sehingga ketika kita tidak lagi in-line dengan karakter manapun di dalam cerita, film jadi seperti bicara langsung kepada kita alih-alih society yang tadinya disimbolkan sebagai kita. Bahwa “penghukuman” yang didera Arthur adalah akibat dan we should feel bad. Jika melihatnya seperti demikian, film ini memang terasa kurang berimbang dan jadi ngasih shock value untuk menghakimi daripada untuk examine thoroughly dan mengajak berdiskusi. Bagaimana pendapat kalian, mengapa Joker: Folie a Deux yang sebenarnya punya bahasan psikologis personal dan kolektif ini malah balik dicerca? Mengapa penonton tidak puas? Pasti bukan semata karena musikalnya gak sesuai ekspektasi dong kan? Silakan share pendapat kalian di komen yaa

 




Jika ada dua hal yang bisa kita pelajari dari Arthur Fleck maka pertama adalah tidak jadi soal apa yang ingin kita tampilkan, melainkan yang penting adalah  bagaimana kita mengeksekusinya.  Enggak jadi soal seberapa menarik materi dan konsep dan development yang cerita dan karakter kita punya, jika penceritaannya masih kurang luwes ya cerita tersebut hanya akan masih ada sebagai gagasan semata. Dan hal kedua adalah gagasan terhadap sesuatu akan make or break sesuatu tersebut meskipun itu bukan dirinya yang sebenarnya. Film ini jadi meta seperti itu. Dia ingin menunjuk penonton tapi barangsiapa menunjuk orang lain, maka empat jarinya akan menunjuk dirinya sendiri. Film ini punya gagasan yang begitu brilian tapi penceritaannya belum mampu menghantarkan semuanya dengan sempurna kepada penonton. Penceritaannya masih kurang berimbang, sehingga bahkan konsep musik psikologis dan drama courtroomnya masih terasa mentok dan justru merusak tempo.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for JOKER: FOLIE A DEUX

 




That’s all we have for now.

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



SPEAK NO EVIL Review

 

“The only people mad at you for speaking the truth are those living a lie”

 

 

Not gonna lie, bicarain film remake memang agak tricky. Kita gak mau film remake beda ama film aslinya, sementara kita juga gak ingin film tersebut sama persis sehingga kayak tinggal nyontek. Karena walaupun kita tahu materinya saduran, tapi at least kita pengen ada hal original lain yang diberikan oleh pembuatnya. Mungkin kita pengen lihat sudut pandang lain dari cerita yang sama. Mungkin kita pengen lihat gimana kalo cerita itu terjadi di tempat yang lain, kepada orang yang lain. Mungkin kita pengen lihat gimana cerita yang sama diceritakan lewat suara atau visi atau gagasan yang berbeda. But yea, basically, ukuran ‘bagus’ untuk film remake itu adalah film yang gak sama persis, akan tetapi berani berbeda juga belum tentu bagus. Sebab banyak pertimbangan lain; hal baru yang digali itu apakah make sense, worked out gak, sesuai konteks gak. Untuk alasan itulah aku mengacak-ngacak rambut membandingkan Speak No Evil garapan James Watkins ini dengan film originalnya yang berasal dari Denmark, released just two years ago. Masing-masing versi ini, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi mari kita pelan-pelan mengurai perbandingan mereka dengan blak-blakan (bodo amat spoiler) in order to reach conclusion film versi mana yang lebih bagus!

Secara cerita, film ini sama ama originalnya. Ini yang membuatku sempat skeptis ama remake ini. Di paruh awal, adegan, dialog, bahkan aspek-aspek kecilnya sebagian besar sama. Ada keluarga lagi liburan, ketemu sama keluarga lain. Mereka jadi akrab. Apalagi mereka sama-sama punya anak. Si keluarga tokoh utama anaknya cewek ketergantungan ama boneka kelinci, keluarga satunya punya anak cowok yang gak bisa bicara karena gak punya lidah; they could be friends with each other. Sampai-sampai setelah liburan selesai, keluarga asing tadi mengundang keluarga tokoh utama untuk menginap menghabiskan weekend di rumah peternakan mereka. Di situlah nanti keluarga tokoh utama ngerasa ada yang aneh sama keluarga teman baru mereka ini. Dari bungkusan luar, Speak No Evil adalah thriller – karena dia tentang psikopat yang menipu keluarga saat liburan. Tapi begitu kita masuk ke dalam bahasannya, film ini thrillernya ternyata psikologikal. Yang dibahas adalah bentrokan pola pikir, yang intens adalah situasi, dan dengan pola pikirnya karakter mungkin malah semakin terjerat dalam situasi berbahaya.

Another definition of ‘saksi bisu’!

 

Di sanalah letak perbedaan signifikan pertama antara versi original dengan versi remake. Permainan psikologikalnya. Yang berkaitan erat dengan identitas karakter. Atau kalo di kita istilahnya ‘kelokalan’. Pada versi Denmark (original) keluarga tokoh utama cerita adalah Bjorn dan Louise, orang Denmark. Teman baru mereka adalah keluarga Belanda, Patrick dan Karin. Film tersebut mengobarkan kengerian melalui perbedaan-perbedaan kebiasaan yang dirasakan keluarga Bjorn ketika tinggal di rumah Patrick. Karena ternyata orang Denmark itu kayak orang kita, gak enakan. Sikap itulah yang bikin film tersebut kerasa ‘bleak’. Bjorn gak yakin, keanehan keluarga Patrick memang red flag atau cuma beda tata cara aja, sopan gak dia kalo nolak. Kemudian film mengembalikan kepada penonton mereka. Ya, Patrick psikopat, tapi jangan-jangan keengganan Bjorn dan keluarga yang bikin mereka sampai tragis begitu. Sementara versi remake yang dibuat oleh Amerika – mereka mana kenal ama yang namanya gak enakan – membawa permasalahan kepada bahasan gender, ke perbedaan gaya parenting, ke perbedaan prinsip hidup dengan keluarga Paddy dan Ciara , serta konflik internal antara Ben dengan Louise istrinya. Kayak pas adegan Louise yang vegetarian disuapin daging oleh Patrick/Paddy. Pada film originalnya, Louise bilang memakannya karena jaga kesopanan, dan next time, Louise ngingetin Patrick bahwa dia gak makan daging, dan Patrick minta maaf. Film tersebut membiarkan intensi Patrick terbuka kepada kita dan Louise; apakah Patrick beneran lupa dan minta maaf, atau enggak. Sementara di film remake ini, Louise bilang memakannya karena gak enak hati karena daging itu adalah angsa kesayangan keluarga Paddy yang dipotong khusus untuk menyambut mereka. Dan the next time Louise ngingetin Paddy, pria bertubuh kekar tersebut lanjut ‘menantang’ gaya hidup vegetarian  yang gak makan daging tapi makan ikan. Mereka jadi berdebat lumayan angot soal itu. Memang,perbedaan bahasan itu membuat versi remake ini terasa lebih ‘komunikatif’ dan lebih meledak-ledak.

Tema besar dari cerita sebenarnya maskulinitas. Ini perbedaan signifikan kedua. Film originalnya punya karakter utama yang pasti. Bjorn. Plot maju semuanya karena aksinya. Dia yang stumbled upon rahasia Patrick. Bjorn adalah pria yang merasa kurang ‘jantan’ sebagai ayah. Dia tertarik jadi teman Patrick karena pria itu memuji tindakannya mencarikan boneka yang hilang milik putrinya sebagai tindakan heroik. Sekali direcognize seperti itu, Bjorn ‘ketagihan’. Dia merasa perlu untuk terus nunjukin dia pahlawan, tapi dia gagal, seperti yang kita saksikan setiap kali ada kejadian di rumah Patrick. Meminjam kata-kata psikopat itu “you let us do it”. Bahkan hingga di momen terakhir yang dia harus melawan demi keluarganya, Bjorn gagal. Dia gak melawan, padahal Patrick dan istrinya gak bawa senjata. Kalo mau berkelahi, mereka bisa ngimbangin sebenarnya. Versi remake juga bicara tentang Ben ngerasa ‘kecil’ sebagai ayah dan suami, tapi juga menambah banyak bahasan lain sehingga dia bukan karakter utama tunggal lagi. His whole family kebagian porsi yang sama besar. Ben dibikin ‘tertarik’ kepada Paddy as in dia ingin bisa kayak Paddy yang nyantai, kharismatik, mesra sama istrinya. Louise punya peran lebih besar dibandingkan Louise di film asli yang bahkan kayak gak nyadar (until it’s too late) kalo keluarga mereka dalam bahaya. Louise di sini remake ini aktif dan punya backstory tersendiri – malah dia yang jadi lawan sepadan alias paralel buat Paddy. Terus juga anak mereka, Agnes, dibikin jadi menjelang abg, dan diberikan banyak ‘aksi’ – seperti juga Ant, anak Paddy yang gagu, diberikan lebih banyak peran.

Makna Speak No Evil pun di film ini jadi lebih luas. Bukan hanya soal demi menjaga kesopanan, kita seringkali enggan menyuarakan kejujuran, tapi film ini juga mengangat soal gimana dalam keluarga sendiripun kadang kita lebih memilih untuk diam, Untuk tidak mengonfrontasi masalah. Yang pada akhirnya, tidak ada yang mau saling jujur. Makanya Paddy juga jadi karakter antagonis menarik, karena meskipun dia sendiri melakukan sandiwara besar dengan modus operandi ngibulin keluarga lain – dia yang sengaja motong lidah anak korbannya supaya gak bisa menceritakan kejadian sebenarnya – tapi justru sikap red flag-nya yang seringkali mendorong Ben dan Louise untuk terbuka untuk mendebatkan masalah mereka.

 

Secara muatan, film ini memang jadi lebih kompleks. Dan sutradara memang tahu apa yang dia incar, jadi dia benar-benar ngasih ruang untuk kompleksitas muatan ceritanya bekerja. Makanya film ini jadi lebih panjang. Hebatnya, tetap rapi. Temponya tetap terjaga. Babak set upnya juga terasa klop melandaskan perbedaan para karakter yang nanti akan berlaga mental (dan fisik, sesuatu yang kurang di film pertama). Contoh simpelnya soal si boneka kelinci. Pada film pertama, boneka itu adalah device bagi Bjorn untuk menunjukkan dia pahlawan, like, anak gue butuh boneka ya gue harus cariin dong. Tapi pada film kali ini, boneka itu adalah simbol dari development para karakter. Boneka itu jadi semacam benang merah yang mengikat masing-masing karakter kepada bentuk development yang mereka tempuh sepanjang cerita. Makanya bentuk boneka itu sendiri dibikin ‘berubah’, untuk menegaskan perannya sebagai simbol atau bukti perkembangan karakter.

Kenapa lagunya mesti Eternal Flame sih, aku jadi ngerasa ikutan psikopat juga hahaha

 

Banyak yang membandingkan dua film ini dari ‘gaya’nya. Speak No Evil remake ini, aku setuju sama pendapat yang bilang, lebih mementingkan keseruan namun gayanya sendiri jadi agak generik. Lihat saja Paddy. Dia udah kayak psikopat 101 di film-film. Penampilan akting James McAvoy, however, terutama jadi highlight di sini. Hiburannya tuh di sini. Bukan dari karakternya ternyata jahat, tapi dari gimana James memerankannya. Kita udah lihat di film Split (2017) kemampuan dan range akting James; dalam satu karakter yang sama itu dia bisa jadi orang ramah, tapi juga bisa jadi completely different pada adegan berikutnya. Paddy di tangannya ya jadi seperti itu; orang yang tampak simpatik, asik, keren malah, tapi dia bisa jadi berbahaya. James ngasih gerakan senyuman khusus pada karakternya ini. Kita tahu ini karakter pasti jahat. Aku nonton film remake ini duluan, baru nonton film originalnya, dan aku bisa tahu Paddy ini karakter apa. Kita jadi semacam mengantisipasi kemunculan sisi psikopat Paddy karena penampilan akting yang begitu on-point. Tapi menurutku menjadikan Paddy generik psikopat itu agak bentrok dengan kompleksnya muatan yang dibawa cerita. Bandingkan dengan film pertama. Patricknya tidak digambarkan sebagai kharismatik yang gimana, cuma orang Belanda tapi di mata Bjorn terlihat lebih mapan dan lebih macho – dan yang memuji tindakan heroiknya sebagai ayah. Muatannya yang sederhana jadi tapi bisa tetap intens karena yang kompleks di situ bukan muatan atau bahasannya, melainkan sudut pandang karakternya di dalam ruang sikap yang terbatas. Also, versi remake ini karena pengen jadi aksi thriller seru, jadi banyak momen-momen yang biasa diada-adain supaya seru dalam genre ini, misalnya kayak ngambil kunci diam-diam dari penjahat yang tidur.

 




Decision time!! Kalo bicara suka, aku lebih suka versi remake ini karena memang lebih seru. Sutradaranya paham mana yang harus di-enhance supaya membuat cerita ini lebih seru; dia banyakin aksi, dia membuat bahasan jadi lebih kompleks, dia pasang pemain yang dikenal menjual secara range (dia membuat ini jadi soal bagaimana si aktor memerankan karakter ini), dan film ini juga put efforts supaya naskahnya bisa memuat semua itu tapi masih bisa mirip film aslinya. Momen final battlenya aku suka banget karena sutradara kayak ngasih reference ke ending film original soal mati karena batu, Tapi kalo bicara ‘teknis’ dan gaya, film originalnya itu masih sedikit lebih kuat. Punya karakter utama yang lebih jelas. Intens dan kompleksnya datang benar-benar dari karakter, bukan dari bahasan yang diberikan kepada mereka. Pilihannya untuk jadi tragis juga akhirnya lebih membekas (walau bikin frustasi karena kurang aksi) ketimbang pilihan untuk jadi aksi thriller seru tapi banyak momen-momen generik. Maka, kalo film aslinya itu aku beri 7 dari 10 bintang emas, untuk versi remake ini: 
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SPEAK NO EVIL

 

 




That’s all we have for now.

Versi Speak No Evil mana yang lebih kalian suka, kenapa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



BEETLEJUICE BEETLEJUICE Review

 

“Sometimes you will never know the value of a moment until it becomes a memory.”

 

 

Halloween datang sebulan lebih cepat, dibawakan oleh Tim Burton di atas nampan nostalgia kepada kita. Yup, Beetlejuice – karakter ikonik dan horor komedi populer dengan konsep afterlife yang bisa dibilang cukup groundbreaking pada era 80an itu – akhirnya beneran dibikinin sekuelnya. Dan seperti judulnya, Beetlejuice Beetlejuice memang dua kali lebih fun ketimbang film aslinya. Dua kali lebih random dengan segala keantikan dunianya. Mind you, Tim Burton sama sekali tidak ingin mengubah Beetlejuice dan kegilaan karakternya – eventho untuk standar era sekarang karakter tersebut certainly semakin tidak appropriate.  Dan ini memang akhirnya jadi groundwork yang unik buat pengembangan cerita dark fantasy-nya. Film ini mencoba nge-tackle bahasan yang juga dua kali lebih banyak dari sebelumnya. Dua kali lebih crowded, dua kali lebih ribet, dan sayangnya juga jadi dua kali lebih messy. Chaos yang tidak serta merta selalu funny.

Tiga puluh enam tahun yang lalu, Lydia Deetz berhasil selamat dari jadi pengantin remaja bagi Betelguise (dibaca Beetlejuice); si hantu bio-exorcist, alias hantu tukang onar yang kerjaannya membantu hantu-hantu untuk mengusir manusia dari rumah mereka. Lidya selama ini berusaha move on, punya keluarga, punya anak, punya acara tv sendiri sebagai cenayang. Tapi dia masih dihantui oleh kenangan buruk Beetlejuice tersebut. Sementara di alam baka, Beetlejuice yang kini cukup sukses dan bisnis exorcistnya makin gede, juga masih menyimpan Lydia dalam kenangannya. Ketika kematian ayah membawa Lydia bersama ibu dan anaknya kembali  ke Winter River, ke rumah tempat semuanya dimulai, Lydia bukan saja terpaksa harus bertemu kembali dengan Beetlejuice, dia bahkan terpaksa harus meminta bantuan kepadanya. Astrid, anak Lydia yang marah kepada Lydia yang dianggapnya cuma menjual sensasi ‘bisa melihat hantu’ tanpa sengaja masuk ke dunia orang mati dan jiwanya ada dalam bahaya.

Nenek seniman, ibu cenayang, cucu aktivis tree-hugger. Keluarga rame!!

 

Dunia Beetlejuice put Tim Burton’s specialty dalam bangun dunia dark fantasy on the map. Bukan cuma karakter nyentrik, wacky, zany, dengan kostum unik, dia ngecreate konsep afterlife yang dibikin kayak perusahaan tapi sangat komikal. Semua itu dihidupkannya dengan permainan animasi dan efek praktikal. Era 80an memang terkenal dengan desain produksi seperti begitu, namun ketika yang lain lean towards realisme, atau eksploitasi hal-hal yang disturbing dan gory, Beetlejuice membawa ruh cerita horornya ke dalam fantasi komedi. Nonton film itu udah kayak nonton kartun, dengan segala kegilaan, kerandoman, dan efek-efek konyol. Begitu film Indonesia tahun ini mulai marak genre horor komedi, aku sempat ngarep ada yang arahannya ke kayak Beetlejuice. Cerita tentang kematian, hantu-hantu, nakut-nakutin orang, tapi tone dan gaya dan dunianya beda sendiri. Tentang keluarga hantu, atau gimana dunia kematian versi sendiri. Beneran bikin konsep dan fantasi, bukan cuma cerita yang ngada-ngada. So far film kita belum ada yang begitu, but at least sekuel Beetlejuice beneran keluar, dan film ini beneran ngasih warna berbeda. Dunia yang sama itu kembali kita kunjungi, only bigger. Dan tentu saja lebih ‘flashier’ karena efek komputer semakin mendukung kepada penggunaan animasi stop motion dan efek praktikal lainnya. Karakter-karakternya kembali kita temui, dan pemerannya masih sama!

Michael Keaton kembali untuk meranin Beetlejuice yang begitu unhinged. Dan dia bisa membuat karakternya ini sangat entertaining, meskipun kacamata kita sekarang mungkin agak lebih sensitif. Beetlejuice ini kan juga produk dari 80an, dia juga dibuat dari trope yang ramai di kala itu. Semacam ‘bapak-bapak cabul’. Dulu mulai dari film Boboho hingga kartun Dragon Ball, trope ini ada. Film ini bukan ingin melanggengkan atau malah membela trope tersebut, melainkan hanya identitas saja. Bahwa karakter dan cerita ini ya produk dari era itu. Yang penting sekarang adalah bagaimana menceritakan karakter tersebut di era modern. Film ini tidak lantas bikin Beetlejuice jadi bermoral, ataupun punya something untuk bikin kita simpati ataupun meretcon karakternya. Film ini tidak lantas membuat dia yang basically anti-hero, jadi hero. Beetlejuice tetap digambarkan sebagai karakternya yang ‘kalo gak penting amat, kita gak usah berurusan dengannya’. Sebagai karakter yang ‘menyeramkan’ dan tidak bisa dipercaya. Again, konflik tetap dipancing dari gimana kalo ternyata kita memang terpaksa harus berurusan dengan dia. Dan ini juga yang bikin ceritanya mutar-mutar. Film berusaha mencari cara nge’tone-down’ dari cerita. Beetlejuice diberikan lawan. A Frankenstein-like lady yang menuntut balas kepadanya. Jadi, selain urusan keluarga Lydia (dengan ibunya, dengan anaknya), film ini juga punya tentang masa lalu Beetlejuice. Dan ini bikin keseluruhan film ini jadi lebih padat dan lebih ribet. Jika random dan konyol tadi jadi nilai plus yang membuat sekuel ini semakin fun, maka padatnya cerita membuat film ini jadi punya poin minus karena penceritaan akhirnya menjadi messy dengan subplot-subplot yang lemah.

Cerita film pertamanya dulu simpel. Ada pasangan muda mati, jadi hantu, lalu kemudian keluarga Deetz yang nyentrik pindah ke rumah mereka. Sebagai hantu baru yang baik, mereka kesusahan mengusir keluarga Deetz. Maka mereka minta bantuan ke Beetlejuice. Akhirannya ya mereka jadi gak tega ke keluarga Deetz karena Beetlejuice minta macem-macem, termasuk mau menikah sama Lydia yang saat itu masih remaja. Kita langsung nangkep tema intinya tentang co-exist, bahasan keluarganya juga relate, along with komedi tentang kematiannya; gimana pembalikan dari biasanya yang mau diusir adalah hantu jahat.  Sedangkan film sekuelnya ini; hati dramanya tentang ibu yang ‘jauh’ dari putrinya karena kematian ayah, tenggelam alias ketutup oleh banyak lagi bahasan karakter lain. Apa coba paralelnya urusan Lydia dan Astrid, dengan Beetlejuice dan mantannya. Atau dengan karakternya Willem Dafoe; kepala polisi di afterlife yang dulunya seorang aktor. Benang-benang karakter ini seolah dibuild up untuk akhirnya bertemu dan jadi penyelesaian besar, tapi penyelesaian yang kita dapatkan di akhir ya tetap random, dan pertemuan mereka terasa lemah. Gak benar-benar kuat jadi sesuatu. Padahal sebenarnya kalo dipikirin lagi, ada keparalelan di antara mereka. Yaitu tentang memories.

Lydia sibuk dengan kenangan buruknya akan Beetlejuice. Astrid sibuk dengan kenangannya akan sang ayah. Ibu dan anak sama-sama dihantui oleh kenangan, sehingga mereka gak sempat untuk bikin kenangan baru di antara mereka. Padahal hidup ya seharusnya kita sibuk membuat kenangan baru dengan orang-orang di dekat kita, sebelum mereka menjadi kenangan buruk yang menghantui kita karena tidak sempat dekat dengan mereka. 

 

Winona Ryder mirip Cut Mini gak sih?

 

Penceritaan semakin terbebani oleh way too much explanation. Aku gak tahu kenapa film fantasi cartoonish yang lucunya justru dari hal-hal random seperti ini merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal. Paruh awal film ini banyak banget dialog yang naturenya eksposisi; entah itu karakter menceritakan masa lalu atau ya rangkuman dari eskposisi tersebut. Like, ada karakter yang baru dimunculin sekitar 30-menit into the story, tapi percakapan antara Astrid dan karakter ini cuma rangkuman kejadian yang baru saja kita lihat. Seolah kita tidak bisa menyimpulkan sendiri, atau kita lupa. Padahal kan, waktu-waktu tersebut seharusnya bisa digunakan untuk lebih nge-flesh out hubungan antar-karakter. Alasan yang terpikir paling ya, karena ini sekuel yang rentang waktunya jauh (supaya penonton gak lupa) atau karena ini juga ngincer penonton baru dari generasi short-attention-span sehingga tiap beberapa menit perlu ada rangkuman cerita. Atau karena film salah ambil perspektif cerita sedari awal? Hmm..

Aku ngerti Lydia dijadikan perspektif utama karena dia karakter dari film sebelumnya, yang punya arc yang langsung berkaitan dengan Beetlejuice (dan also karena dia Winona Ryder, gitu loh!) Tapi menurutku justru karena itulah film ini jadi merasa perlu untuk menjelaskan banyak hal/cerita dari film sebelumnya. Karena kita harus mengerti sudut pandang dia yang tokoh utama, maka kita harus dikasih penjelasan dulu atas hal-hal apa yang sudah ia lalui. Sebaliknya, menurutku, jika film ini mengambil perspektif utama dari si Astrid yang diperankan Jenna Ortega; karakter baru yang diceritakan not even care sama kemampuan ibunya, cerita dan segala konsep dunianya juga akan bisa berlangsung cuek, dan lebih fokus kepada hubungan Astrid dan ibunya itu sendiri. Karena kita akan berada di belakang Astrid yang awalnya tidak percaya mistis, tapi lantas dia discover banyak hal secara langsung, sehingga film gak perlu sering-sering stop untuk menjelaskan di awal dan kitapun nyemplung lebih mulus seperti baru pertama kali masuk ke dunia itu, seperti Astrid.

 




Dua kali lebih random, membuat film ini fun. Tapi dua kali lebih crowded, lebih ribet, membuat film ini lebih messy dari film originalnya. Dunia dan konsep afterlife dengan karakter unik dan cartoonish memang menghibur, sayangnya penceritaan film ini terbebani oleh penjelasan yang terlalu banyak di paruh awal. Aku pikir dunia gila seperti dunia Beetlejuice ini tidak perlu penjelasan yang terlalu banyak karena randomnya itulah letak lucu dan serunya. Aku suka Beetlejuice dan would like to explore dunianya lebih jauh. Tapi kalo setiap film bakal semakin padet dan sumpek kayak gini, aku jadi takut juga menyebut judulnya sampai tiga kali. Takut kalo beneran datang, dan bukannya lebih menghibur dengan ‘menakutkan’, tapi malah lebih mengecewakan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for BEETLEJUICE BEETLEJUICE

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian kenapa cerita horor komedi yang muatannya bangunan dunia fantasi ini gak jalan di penonton kita, kenapa kita belum punya film seperti ini?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KINDS OF KINDNESS Review

 

“Genuine kindness doesn’t have ulterior motives”

 

 

Baru juga kita move on dari absurdnya dunia Poor Things (2024) yang mempertanyakan siapa sebenarnya yang malang dalam dinamika pria-wanita, Yorgos Lanthimos udah ngajak kita ke dunia yang lain lagi – yang juga tak kalah aneh. Enggak tanggung-tanggung. Isi dunianya kali ini bukan cuma satu, melainkan ada tiga cerita. Sekilas dari judulnya sih, kayaknya Yorgos ingin ngasih tau kita tentang rupa-rupa kebaikan. Makanya dia membuat ini sebagai antologi. Tiga cerita, dengan aktor-aktor yang sama memerankan karakter yang berbeda-beda pada setiap kisah. Tapi yah namanya juga dark comedy, film ini menyentil bahwa ternyata kebaikan seringkali punya motivasi. Kita manusia dengan kondisi kita yang kompleks, justru seringkali berada dalam kebaikan yang pura-pura.

Film antologi harus punya satu tema, benang merah, atau apalah yang mengikat kisah-kisahnya. Membuat mereka paralel dan berjalan menuju arah yang sama. Jadi gak bisa asal menghimpun banyak cerita pendek yang tidak saling berkaitan lalu ntar tinggal dicari cocokologinya untuk bisa dijual ‘bundel’. Menilai film antologi, kita perlu menyorot kepada desainnya. Konsepnya. Filmografi Yorgos toh membuktikan bahwa sutradara asal Yunani ini paham dan dia memang selalu punya desain dan konsep unik tersendiri. Kinds of Kindness ini, walau tiga cerita di dalamnya random dan aneh-aneh semua, tapi mereka semua punya kesamaan. Misalnya, pada tiap cerita ada momen karakter bermimpi. Ada yang mimpi dunia saat anjing jad berperilaku layaknya manusia. Ada yang mimpi bisa bernapas di dalam air. So, sudah pasti keseluruhan film ini bakal punya vibe yang sangat absurd. Menyaksikannya bakal kayak menonton film thriller, tapi begitu absurd oleh karakter; motivasi dan kejadian mereka. Dan meski absurd, karakter utama tiap kisahnya ngalamin journey yang sama. Bahasannya juga serupa, selalu ada orang yang berusaha pleasing someone, ada orang yang try to control everything, dan tentu saja ketiganya bermain-main dengan term ‘kebaikan’ itu sendiri. Sehingga pada akhirnya buatku film ini konyol tapi juga begitu mendebarkan karena daaangg, yang dikatakannya sebenarnya realistis dan grounded juga loh ke kita.

Bersiap masuk ke dunia yang anehnya kayak mimpi

 

Cerita pertama Jesse Plemons jadi karyawan ‘baik’, yang mau mengerjakan semua perintah Willem Dafoe, bosnya yang juga ‘baik’.  Jadi dia merasa utangbudi sama si bos, karena selama ini semua yang terjadi di hidupnya – istrinya, karirnya, harta bendanya – literally diatur oleh bos. Ini kan sebenarnya hal yang bisa relate juga kepada kita – harus tau terima kasih – hanya, oleh Yorgos absurdnya dinaikkan ke level maksimal. Ada satu perintah si bos yang gak bisa dituruti oleh karakter Jesse, si Roberts. Yaitu staging a fake car crash; menabrak mati seorang pria. Karakter bosnya membuatku teringat sama Arswendi pada Autobiography (2023). Tampak santai, friendly, tapi setiap kata-katanya adalah tuntutan. Perintah. Mangkir dari perintahnya berarti tersiksa pelan-pelan. Dan itu jugalah yang dirasakan Roberts setelah dia misuh-misuh menolak. Hidup Roberts, semua yang ia miliki, jadi hilang. Cerita ketiga Emma Stone jadi ibu yang ‘baik’. Ibu yang rindu dan sayang sama putrinya, sehingga dia diam-diam ke rumah saat suami dan anaknya pergi. Si Emily ini memang sudah cerai, karena dia mendedikasikan hidupnya untuk sekte yang ia percaya. Nah lo! Emily sebenarnya sedang dalam misi dari sekte untuk mencari seorang perempuan kembar yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan Emily sudah siap untuk melakukan apapun demi membawa perempuan itu kepada sekte. Cerita kedua sengaja aku taroh belakangan karena ini yang paling aneh. Sureal. Lucunya, mirip ama cerita Primbon (2023). Jesse Plemons, kini jadi polisi ‘baik’. Ini pasti kita semua sudah ngerti dark joke dari polisi yang baik hihihi, tapi mesti begitu toh film tetap gaspol nunjukin gimana polisi ‘baik’ itu. Istrinya yang juga polisi, hilang dalam tugas di pulau. Daniel, nama karakternya, stress berat. Lalu kemudian istrinya ketemu. Pulang. Sehat wal-afiat. Tapi Daniel merasa ada yang beda dari istrinya. Dia curiga perempuan itu mungkin kloningan atau apa. Sehingga dia  jadi tega menyuruh istrinya melakukan hal-hal tak terbayangkan. Hal yang membahayakan diri. Dan si istri mau aja. Ya namanya juga istri yang ‘baik’.

Kebaikan itu ternyata subjektif ya, jika kita melihat para karakter film ini. Berbuat baik ternyata punya maksud di baliknya, kebaikan ternyata tergantung orangnya. Jasa atasan harus kita balas dengan jasa yang diminta, no question asked. Bahkan dari sekte itu, film seperti bilang sebagai umat yang baik, kebaikan berarti kita harus rela mengorbankan apapun termasuk mati demi ramalan. Aku rasa alasan film mengambil gaya yang aneh dan nada komedi adalah supaya kita lebih mudah melihat dan memahami kalo ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut sebenarnya bukan kebaikan. Melainkan hal yang toxic. Urgensi film ini adalah ya karena ‘kebaikan-kebaikan’ tersebut juga relate dan lumrah di kita, meskipun memang tidak sampai ke taraf edan kayak yang digambarkan film. Gimana istri terlalu patuh ama suami, padahal suaminya kasar. Oleh film ini, cerita kedua tadi juga ditambah konteks tentang dunia anjing; yang juga bisa kita hubungkan menjadi teguran dari film. Bahwa anjing peliharaan – seeing anjing dianggap sebagai hewan paling patuh – aja bisa gigit kalo ownernya kasar.

Memang, Kinds of Kindness bukan cuma gambaran. Film ini juga punya statement tentang kebaikan yang sebenarnya itu seperti apa. Tentu saja, statementnya ini pun dengan sama absurdnya. Ketika Jesse Plemons, Emma Stone, Willem Dafoe, serta aktor-aktor lain menjadi peran-peran yang berbeda pada setiap cerita, karena masing-masing cerita itu dimaksudkan sebagai gambaran kejadian yang semuanya aneh-aneh dan sekilas tampak tidak saling berhubungan, ada satu aktor yang memerankan peran yang sama pada ketiga cerita. At least, nama karakternya sama. Karakter ini perannya sebenarnya minor, tapi karena dia satu-satunya yang konstan maka dia mencuat. Film bahkan menjadikan dia sebagai nama chapter atau judul dari masing-masing cerita. Karakter itu adalah pria paruh baya bernama R.M.F. – diperankan dengan, seingatku, tanpa dialog oleh Yargos Stefanakos. Cerita pertama diberi judul “The Death of R.M.F.” – dia adalah pria yang harus ditabrak oleh Roberts. Cerita kedua berjudul “R,M.F. is flying” – dia adalah pengemudi helikopter yang menyelamatkan istri Daniel. Cerita ketiga “R.M.F. Eats a Sandwich” – dia adalah mayat yang dihidupkan kembali, dan di penutup dia makan sandwich di kafe. Ni orang kayak asik sendiri hahaha, kalo memang dia orang yang sama pada ketiga cerita, berarti ya hidupnya ngelingker sendiri. Namanya yang cuma inisial mengundang kita untuk bertanya-tanya, mungkin memang karakter ini punya makna besar sendiri. Buatku, yang cukup jelas dari gimana karakter ini berbeda dari yang lain, dan gimana dia simpel sendiri, adalah itu semua karena dia adalah karakter yang tanpa motivasi. He just accept what happens to him. Dia tidak ingin mengontrol, tidak ingin dicinta, tidak ingin diakui, tidak ingin balas budi. Dia menolong karena dia menolong. Dia jadi korban karena dia korban. Dia hidup karena dia hidup. Dan itulah bentuk ‘kebaikan’ yang dianggap film sebagai kebaikan sejati. Kebaikan tanpa motivasi. Kebaikan yang enggak subjektif.

Kebaikan yang pure tidak perlu rupa-rupa. Apalagi pura-pura. Kebaikan yang pure tidak punya motivasi apa-apa di baliknya. Justru seharusnya kebaikan itu sendirilah yang jadi motivasi kita dalam hidup. Tapi yah, mungkin memang lebih mudah memimpikan hidup seperti itu ketimbang benar-benar menjalankannya

 

Cocok deh tema sama pilihan lagu pembukanya “Sweet Dreams”

 

Dengan karakter yang aneh, alur masing-masing cerita yang juga aneh, dan durasi yang juga menuntut perhatian lebih (clocking at 2 jam 44 menit, ini kayaknya film terpanjang dari Yorgos) film ini memang perjuangan yang menantang untuk diikuti. Sebenarnya gak bener-bener bikin bingung atau berat segimana sih. Cuma ya looking back at it, karena tiga cerita yang paralel, yang pada intinya juga formula dan journeynya sama, maka bisa ada semacam rasa repetitif.  Tapi pas saat sedang ditonton gak kerasa kok. Paling kerasanya justru cerita agak ke mana-mana karena absurd. Malahan, kerja film sebenarnya cukup maksimal untuk bikin kita kehook dan terus penasaran, Being absurd itu salah satunya. Kedok yang menarik untuk nutupin kesamaan formula antara tiga cerita. Penampilan akting para aktornya certainly gak bikin kita bosan. Dari wujud, hingga pembawaan karakter, wuih semuanya unjuk range dan timing dan pemahaman karakterisasi level atas! Film ini juga punya momen-momen brutal to keep us on edge. Ada beberapa kali aku kelepasan neriakin layar, biasanya pas adegan-adegan yang aku sontak ngeh si karakter mau ngapain selanjutnya. Nah, menurutku film ini did a great job pada penceritaan karena di tengah segala keanehannya, masih kerap ada momen-momen seperti itu; momen-momen yang kita bisa ngerti precisely karakternya mau melakukan hal seram apa. Dan kita bereaksi; nunjukin kita peduli sama orang-orang yang katanya ‘baik’ itu.

 

 




Baiklah, biar gak makin bingung, diperjelas aja. Ini satu lagi film Yorgos yang menantang banget untuk didiskusikan. I think sutradara ini sekali lagi berhasil menggunakan gayanya sebagai cara untuk membicarakan sesuatu, dan menerapkan gaya tersebut menjadi ‘something’. Film ini jadi unik, menarik; apalagi ini kan sebuah antologi. Basically cuma kumpulan cerita pendek. Namun ini bukan cerita-cerita yang dikumpulkan lalu lantas dihubungkan dengan tema. Film ini dibuat menjadi antologi karena sutradaranya punya desain sendiri terhadap gagasan yang ingin dia bicarakan. Aku yakin banyak tanda tanya muncul setelah kita nonton ini, karena memang absurdnya bukan main, tapi kan di situ daya tariknya. Lagipula film ini tidak memaksudkan tanda tanya itu untuk dijawab secara eksak, melainkan  ya bebas aja, It could work sebagai satir, sebagai komedi konyol, atau umpama seni abstrak yang nyeleneh aja. Secara penceritaan memang tidak sefektif film-film ‘greatest hit’ Yorgos sebelumnya. Ini toh lebih ke kreasi atau desain cerita yang sayang dilewatkan jika kita suka sama tantangan. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KINDS OF KINDNESS

 

 




That’s all we have for now.

Menurut kalian, R.M.F. singkatan dari apa?

Share pendapat kalian di komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



ODDITY Review

 

“The only true voyage of discovery would be not to visit strange lands, but to possess other eyes”

 

 

Kau sendirian malam itu di rumah barumu yang belum selesai direnovasi. Lampu-lampunya bahkan belum terpasang semua. Kesunyian membuat tiupan angin dan derit-derit rumah terdengar mengancam. Sudut-sudut gelap mengundang pikiran macam-macam. Mendadak, pintu depan diketuk dengan lantang. Seorang pria asing berdiri di luar sana, bersikeras supaya kau segera membuka pintu, karena dia bilang tadi dia melihat seseorang masuk ke rumahmu. Akankah kau percaya dengan kata-katanya – maukah kau membuka pintu? Tergantung, mungkin pikirmu. Tergantung siapa yang di balik pintu itu. Maka kau membuka slot jendela di pintu untuk melihat siapa di luar sana. Walau asing, tapi kalo penampilannya cukup meyakinkan, mungkin kau akan percaya. Afterall lebih aman berdua daripada sendirian di rumah yang memang udah bikin senewen sedaritadi. Tapi ternyata orang itu pucat, tampak liar dengan rambut gondrong, terdengar edan dengan kata-katanya yang semakin tidak masuk di akal, matanya cacat sebelah pula. Kau semakin terperosok ke lubang dilema yang bisa-bisa berujung kehilangan nyawa. Itulah opening dari Oddity, horor kedua karya Damian Mc Carthy. Dia langsung membenturkan antara ketakutan kita terhadap sesuatu yang tak terlihat, dengan ketakutan kita terhadap hal di depan mata – yang kita kira kita lihat. Suspens cerita ini begitu kerasa. Karakternya gak tahu harus percaya apa. Kita gak tahu harus percaya apa! Akhirnya, Dani – si karakter – memutuskan untuk membuka pintu. Lantas adegan tersebut dicut, kita pindah ke karakter lain, beberapa waktu kemudian.

Nasib Dani jadi misteri yang menghantui karakter-karakter lain yang dia tinggalkan. Namun buat kita, nasib Dani ‘baru’ set up yang melandaskan betapa hebatnya Oddity dalam bercerita horor. Baru teaser for more great storytellings to come. Karena, hal terbaik pada Oddity ini adalah pembuatnya kentara sekali punya passion yang kuat terhadap cerita horor, dan paham bagaimana menceritakan itu, khususnya lewat editing yang cut to cutnya precise sekali dalam membangun misteri kemudian mereveal, tanpa sedikitpun mengurangi suspens yang terus saja dibangun. Momen-momen di Oddity ini vibenya kayak kumpulan cerita-cerita pendek horor klasik yang dikemas menjadi satu cerita-panjang modern. Ada elemen supernatural dari karakter yang literaly punya kekuatan cenayang, ada elemen mitos yang dipadukan dengan horor creature; dari makhluk yang kayak golem kayu, ada elemen psikologikal thriller, home invasion, bahkan rumah-berhantu, serta juga ada elemen misteri whodunit. See, ini bakal jadi exactly my choice untuk ditonton lagi pas merayakan musim halloween nanti!

Paket komplit banget gak tuh!?

 

Dari elemen-elemen itu, yang mau kuhighlight di sini adalah soal rumah-berhantu dan creature Wooden Man-nya. Aku takjub aja sama gimana film menggunakan elemen tersebut, uniknya film ini lebih mudah kita rasakan jika melihatnya dari sana. Dalam horor, rumah berhantu adalah panggung. Set piece yang bakal jadi tempat karakter lari menyelamatkan nyawa, tempat kamera bermanuver membangun atmosfer atau juga membuild up jumpscare dan penampakan lainnya, juga menjadi latar yang menambah identitas dan karakterisasi ceritanya itu sendiri. Makanya biasanya rumah itu jadi ruang tertutup yang ‘mengunci’ karakter, tapi juga biasanya dibuat besar. Supaya ruang gerak galian horornya lebih luwes. Rumah berhantu di Oddity punya interior yang tidak biasa. Rumahnya gede, tapi yang actually digunakan sebagai panggung hanya sebagian kecil. Dan itu bentuknya basically cuma ruangan yang panjang, dengan balkon di atas. Ruangan yang benar-benar diset supaya sudut pandang karakternya cuma lurus, dan they will always have to turn their back untuk melihat porsi ruangan lainnya. Ini ngasih sensasi seram tersendiri. Ditambah pula posisi pintu masuk yang basically di tengah set, sehingga siapapun yang masuk dan keluar pasti ke-notice, dan untuk mencapai pintu berarti mereka mengekspos diri mereka. Membuat diri mereka terlihat.  Kata ‘lihat’ bakal banyak dijumpai, karena merupakan bagian dari tema besar cerita ini.

Jadi yang dilakukan film ini adalah membalikkan fungsi, menggulingkan ekspektasi -mengsubversi apa yang biasanya kita ketahui dari fungsi rumah sebagai panggung. Bukan lagi untuk survival, melainkan supaya karakter stay in the center, supaya terlihat dan melihat, serta memberikan tantangan karakter dalam proses melihat tersebut. Subversi yang sama kita jumpai juga pada elemen creature horornya. Si Wooden Man yang mirip Golem tanah liat dalam mitos; bisa melakukan apapun jika dimasukkan suatu barang personal ke dalamnya. Enggak seperti makhluk horor lain yang biasanya ‘diumpetin’ dulu atau kayak ‘dispesialkan’, Wooden Man ditarok Oddity gitu aja di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah cerita. Duduk, diam, bikin takut karakter yang melihat. Ngasih uneasy feelings yang konstan kepada kita, karena kita bakal ‘ngarep’ untuk menangkap momen dia bergerak di latar itu.  Perasaan semacam itu yang terus diincar oleh film; semacam dramatic irony yang kita ngerasa waspada lebih dahulu daripada karakternya, dan juga semacam ekspektasi untuk melihat horor. Bahkan pada adegan terakhirnya pun, ekspektasi kita terhadap gimana makhluk horor hadir sebagai penutup juga dijungkirkan. Aku kinda berharap bakal ada jumpscare, tapi kalo aku udah keburu nutup mata aku gak bakal lihat nada berbeda film ini menutup cerita horornya. Jadi alih-alih membuat kita siap-siap menutup mata, film ini seolah menantang kita untuk meminta horor itu datang.  Meminta makhluk kayu kayak manusia tadi itu bergerak. Film menantang untuk kita membuka mata. Untuk melihat. There goes that word again.

Melihat. Dengan apa? Dengan mata. Mata apa? Soal mata dan penglihatan jadi tema berulang yang hadir di sepanjang cerita. Pria asing yang matanya cacat sebelah (mata yang rusak ia tutup dengan mata porselen). Kembaran Dani, Darcy, yang buta tapi bisa melihat hal-hal beyond normal dengan mata batin. Suami Dani, Ted, seorang dokter di asylum yang – biasalah tipikal man of science gini – hanya melihat hal-hal logis dan menutup diri kepada hal supernatural. Oddity menempatkan karakter-karakternya ke dalam situasi yang mengharuskan mereka memperlebar pandangan. Cerita sebenarnya berpusat pada Darcy yang ingin menyelidiki kematian kakak kembarnya, maka dia – dengan segala perlengkapan cenayangnya, termasuk si Wooden Man tadi – menginap di rumah baru Dani. Rumah yang kini ditempati Ted bersama pacar barunya. Darcy dan Ted punya pandangan, kepercayaan, dan rahasia masing-masing. Cerita suggest harusnya mereka bukan hanya melihat dari sudut lain, tapi juga dari literally mata yang lain.

Bukan soal sejauh apa kita main, memperluas pemahaman terhadap suatu hal bisa jadi justru adalah soal kemauan kita melihat hal yang dekat tapi kali ini coba dari kacamata yang lain.

 

Best quote “I’m a doctor, Yeah, of course, I can be the villain”

 

Sadisnya film ini, para karakter tersebut tidak didorong untuk berubah, untuk sadar, untuk punya journey – bagi Darcy dan Ted, Oddity ini adalah tragedi naas dan cerita kelam antara karakter yang tidak mau dan yang  tidak bisa membuka pandang mereka. I mean, tega banget film ngasih Darcy adegan ‘terjun’ seperti itu. Mata batin bahkan tidak bisa banyak membantu ataupun jadi jaminan kebenaran. Sama lamurnya sama mata dokter Ted yang pongah; Ted juga sepertinya gak jadi selamat karena mata dunianya terlalu sempit.  Maka itu Oddity ini jadi literally keganjilan juga sebagai sebuah film. Oddity gak mau ngasih development buat karakternya. Mereka lebih dekat jadi sebagai cautionary tale – dalam sebuah kisah yang bentukannya persis dongeng horor jaman dulu. Alih-alih development dan journey karakter, sebagai film, Oddity justru hanya seperti terstruktur dari lembaran-lembaran revealing. Ternyata demi ternyata. Aku bahkan gak bisa ngomong banyak tentang karakterisasi ataupun misterinya, karena bakal bikin revealing itu jadi gak istimewa lagi, dan Oddity kinda bersandar ke sana. Tema sudut pandang melihat tadi ditranslasikan menjadi film ini tidak punya tokoh utama yang sejati. Kita melihat cerita dari perspektif berbagai karakter; Darcy, Dani, Ted, pacar Ted, dan bahkan si ‘pelaku’, perspektif mereka yang seperti cerita-cerita pendek itu amprokan membentuk cerita-besar film ini.  Oddity adalah cerita horor yang perfect, but it went on against bentukan film yang kita kenal.

 

 




Oddity adalah keganjilan. Baik itu tentang temanya, maupun juga tentang posisinya sebagai film itu sendiri. Sialnya, ini bikin aku susah menilai hahaha.. Sebagai cerita horor, ini perfect banget buat halloween. Cerita yang benar-benar spooky, dengan arahan yang kerasa banget passionnya ke genre ini. Precisenya editing, desain, set piece, dan timing revealing membuatnya enak banget diikuti. Ditambah elemen-elemen horornya paket komplit. Diangkat pula oleh penulisan yang memuat tema dan gagasan serta konsep yang ganjil di balik pengungkapan-pengungkapan kejadian.  Sebagai tontonan horor, ini favoritku tahun ini; 8.5 out of 10. Love it very much. Tapi ini adalah review film. Keganjilan ataupun resiko yang diambil Mc Carthy dalam mempresentasikan cerita horor ini enggak in-line dengan nilai-nilai plus sebuah film. Teknisnya bagus, teknik berceritanya juara, tapi yang kumaksud adalah cetakannya. Cerita tanpa development, tanpa journey, tanpa perspektif utama yang utuh, bukan cetakan ‘film’ yang selama ini jadi standar penilaian kita. Ah, I wish aku tidak perlu melihat cerita ini sebagai film, lebih baik kalo ini tuh kayak video-video atau klip yang kita tonton di internet – yang so good sampai kita bilang “ah. cinema!” 
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for ODDITY

 

 




That’s all we have for now.

Bagaimana menurut kalian seharusnya kita memandang/melihat sebuah film? Apakah bisa hanya dari cerita atau faktor hiburannya saja – terpisah dari struktur atau cetakan yang membuat dia berbeda dari video-video tayangan lain yang lebih bebas?

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL



KABUT BERDURI Review

 

“The truth isn’t always blinding light, sometimes it’s a deep and dazzling darkness…”

 

 

Misteri menyelimuti daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Jika di hari itu ditemukan jenazah tanpa-kepala di Serawak. Besoknya bisa saja giliran kepalanya yang dijumpai gelantungan di hutan tempat orang Dayak mengambil madu. Kasus yang paling seru sih ketika ada jenazah yang menggelinding jatuh tepat di dekat garis batas wilayah. Turns out, badan ama kepalanya ternyata milik identitas dua orang berbeda!! Polisi dua negara berebut ngeklaim ini urusan negara satunya (“jaraknya lebih dekat ke elu, kok!”) Sebelum akhirnya kasus terpaksa harus diambil Polisi Indonesia lantaran si mayat mengenakan seragam TNI. Kasus demi kasus pembunuhan dengan cueknya melangkahi batas-batas wilayah yang ditoreh manusia tersebut. Namun saling lempar dan bikin batas wilayah bagi manusia, sebenarnya sama alaminya dengan hutan, pepohonan, kabut, dan misteri dunia lainnya. Manusia cenderung untuk bikin konflik, lalu mati-matian berusaha menutupinya. Berusaha tidak melihat kemelut yang ruwet yang tercipta darinya. Kasus dalam Kabut Berduri, crime thriller karya Edwin, adalah gambaran dari kemelut tersebut. Dengan latar yang berpijak dari situasi sospol beneran (Dayak dengan aparat di perbatasan go all the way back, dari masa-masa pemberontakan partai komunis), film ini jadi senter yang menyorot, menengahi, atau setidaknya yang memungkinkan kita untuk melihat ke balik blinding-truth ataupun kabut tak berujung – borderless fog – tersebut.

Kebenaran bisa berupa cahaya yang begitu menyilaukan, perih untuk dilihat. Bisa juga berupa kabut pekat yang membingungkan, menyeramkan untuk dilihat. Cahaya silau maupun kabut pekat, kita sama-sama terbutakan oleh mereka. Tapi di baliknya ada hal penting yang harus kita ketahui. Maka kita harus pilih. Kita harus endure it. Seperti kata-kata terakhir seorang Dayak yang terngiang di telinga Ipda Sanja “Kamu harus memilih apa yang kamu lihat”

 

Halo, Ambong? next bisa ke IKN yaa

 

Kasus pembunuhan berantai tersebut ditangani oleh Sanja. Inspektur Polisi Dua dari Jakarta, yang kemana-mana selalu pake kacamata dengan lensa berwarna. Tapi itu bukan kacamata gaya; tangkisnya setiap kali mendapat remark dari rekan polisi pria di Kalimantan. Mata Sanja sensitif terhadap cahaya. Dia gampang silau. Jadi dia butuh kacamata dengan resep untuk membantunya melihat dengan normal. Seperti kacamata Sanja itulah fungsi film ini. Kabut Berduri bukan film detektif gaya-gayaan. Melainkan sebuah thriller yang membantu kita melihat di mana sebenarnya letak masalah konflik dayak dengan polisi di perbatasan. Kondisi mata Sanja juga adalah metafor, for she can not see the truth. Kepindahan Sanja berkaitan dengan kejadian di masa lalunya. Saat masih training, Sanja tanpa sengaja membuat seorang anak kecil kehilangan nyawa. Sebagian besar karirnya dihabiskan untuk mengelak dari kenyataan tersebut, dengan ayah dan rekan-rekan membantunya menutupi kejadian itu. Tapi kini, di tempat barunya, Sanja berniat berubah. Tidak mau jadi pengecut lagi. Makanya film ini bilang, Sanja harus belajar melihat. Hanya saja kali ini, dia juga harus belajar melihat dari balik kabut misteri. Kasus di perbatasan yang ia tangani ini sama seperti kasusnya dulu, ribet karena melibatkan banyak pihak. Banyak pemain. Begitu Sanja dan partnernya, Thomas, menggali kasus ini terlalu dalam, mereka menemukan kasus perdagangan anak yang jadi akar semuanya, dan membuat mereka terlibat dengan orang-orang licin seperti ‘toke’ alias crime-lord lokal, dan bahkan mungkin orang-licin beneran alias lelembut seperti mitos Ambong, hantu komunis Paraku yang dipercaya warga bersemayam di hutan.

It is such an haunting look. Bukan saja Kabut Berduri adalah thriller kriminal, dengan momen-momen investigasi detektif yang membawa kita ikut mengernyit menyambung-nyambung petunjuk dan melihat-lihat mayat dengan kondisi brutal bersama karakternya, film ini juga punya banyak nuansa sureal. Presence Ambong sebagai sosok momok selain ngasih teka-teki ekstra, juga ngasih eerie feelings. Karena warga lokal yang ditanyai Sanja semuanya percaya. Mengaku bicara dengan Ambong tanpa menyebut jelas detilnya kendati Sanja sering agak tinggi juga nadanya ketika bertanya – toh bagaimana pun juga ‘Ambong’ tetap adalah petunjuk yang harus dia kejar. Dalam menangani bagian ‘mistis-lokal’ dengan investigasinya, film ini melakukannya dengan lebih baik daripada LongLegs (2024). Kabut Berduri lebih bijak, tahu untuk tidak sampai harus ngasih eksposisi yang menerangkan semuanya. Kesan misterius dan ambigunya dipertahankan; bahkan jika kita merasa udah clear, film kembali menebar kabut misteri. Ambong bisa jadi hanya desas-desus, atau dia beneran sosok pohon besar yang kerap dilihat Sanja. Ambong boleh jadi hanya kedok pelaku sebenarnya, tapi dia bisa juga entitas gaib yang nyata – menyabetkan parang justicenya sendiri. Afterall, film ini didesain untuk menjadi just the right balance, untuk membuat kita seperti Sanja. Melihat lebih mantap antara kabut dan cahaya, eventho apa yang kita lihat mungkin masih sesuatu yang mengundang tanda tanya.

Ini sekaligus bukti keberhasilan film ini membangun latar suasana. Daerah itu bukan saja hidup oleh visual – benar-benar di hutan dengan segala tempat-tempat tersembunyi dan kemisteriusan alaminya, tapi suasana, feeling, dan vibenya kerasa nyata.  Film membawa kita mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan identitas kedaerahan, seperti misalnya rumah panjang ataupun hutan sawit. Panasnya, lengketnya, gerahnya, film benar-benar menampilkan semuanya. Ini membuat kasus itu semakin terasa mencengkeram. Apalagi tidak satupun karakter di film ini yang dibuat lempeng (kecuali mungkin Nicholas Saputra yang jadi TNI – muncul cuma di awal dan di akhir – but still institusinya merupakan bidak penting dalam kemelut ini) Dayak yang seteru sama aparat, rakyat kecil yang merasa terus dioppress, polisi yang lempar-lemparan tugas karena sudah ada di dalam kantong si berduit, ada juga polisi yang posisinya susah. Thomas yang diperankan Yoga Pratama – polisi yang diremehkan sejawat karena dia asal dayak, tapi juga tidak dipercaya kerabat sekampung karena sekarang dia  masuk polisi. Penampilan aktingnya pun natural semua. Logat kalimantan-melayunya cair, kalo aku tutup mata dengar dialog Thomas, bisa-bisa aku nyangka itu orang sono beneran. Dan memang katanya film ini juga banyak pakai talent lokal. Makanya kerasa otentik, dan para aktor harus ngerahin yang maksimal untuk immerse sepenuhnya.

Sedangkan Sanja, orang luar seperti kita, berada di tengah semua itu.  Putri Marino memang tidak dapat kesempatan untuk akting serupa orang lokal, dan bermain-main dengan logat. Tapi di sini dia kebagian akting yang fokus pada olah fisik dan gerak. Oh betapa Sanja tidak ragu untuk snap back melawan atau mempertanyakan hal yang menjurus ke superiority gak sehat di lingkungan kerjanya. Bentukan karakternya memang agak seperti jagoan-perempuan barat, tapi vulnerabilitas dari kesalahan di masa lalunya mendaratkan karakter ini.

Sautan kritik pun sontak terdengar. Polisi kok gak kompeten!

 

Walau karakter outsider di tengah elemen-elemen volatile (detektif yang terlalu ‘nosy’ sehingga menyenggol sistem yang ada) memang sebuah resep sedap untuk thriller kriminal, tapi sebuah film biasanya akan punya pijakan sendiri within that system. Dalam artian, film biasanya akan memilih posisinya sendiri. Mungkin film akan bilang pihak A gak salah. Mungkin film akan memihak B karena mereka cuma dituduh.  Atau mungkin bisa saja menurut film ada pihak C yang mendalangi semua. . The truth mungkin berduri, dan memang harus disembunyikan, dan film ini jadi alat yang memudahkan kita melihatnya (tanpa mengurangi tajam durinya). Ini pilihan yang diambil oleh Kabut Berduri. Mengapproachnya begini, maka kesan ambigu tadi ternyata bukan soal dipertahankan atau tidak oleh film, melainkan lebih karena film ini  ya harus jadi ambigu karena dia ingin menyorot tanpa mengambil pijakan. It is the only way. Dan karena pilihannya ini, Kabut Berduri jadi, katakanlah, gak bisa punya ultimate punchline untuk kemelut yang dia sorot. Ini resiko. Karena akan ada penonton yang jadi menganggap keambiguan sebagai statement yang tidak tegas dari film ini.

 

 




Film kayak gini yang membuat kita menghargai eksistensi Netflix ataupun platform sejenis. Isu lokal yang masih tergolong sensitif, genre yang bukan kalangan mainstream untuk film kita, penceritaan yang bukan jenis hiburan popcorn, susah kayaknya bioskop jaman sekarang untuk mau nayangin ini. Kalopun ditayangin paling juga hanya dipajang beberapa hari karena kalah oleh yang dianggap lebih cepat menguntungkan. Padahal yang kita butuhkan  adalah tontonan yang diverse. Yang berani. Dan tentu saja tidak dibuat main-main dan asal jadi. Film ini kelasnya spesial. Note-note crime thriller dikenainya semua. Kesan misteri dan investigasi benerannya nyampur jadi satu. Penampilan aktingnya nyampur jadi genuine semua. Dia mengambil pilihannya yang membuatnya ambigu tapi juga bisa dinilai kurang nendang, namun cara dia menceritakan pilihannya itu benar-benar, again, spesial. 
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for KABUT BERDURI

 




.

That’s all we have for now.

Menurut kalian apa maksud pelaku menyatukan mayat aktivis dayak dengan kepala anggot TNI, lalu membuat mayatnya mengenakan seragam TNI?  Kenapa pula Ambong tidak membunuh Agam?

Silakan share di Komen yaa

Yang pengen punya kaos film lebaran Siksa Kubur versi My Dirt Sheet bisa pesen di sini yaa (ada 2 model, loh!) https://www.ciptaloka.com/+mydirtsheet/

Bagi kalian  melewatkan di bioskop, atau pengen nonton ulang Killers of the Flower Moon, film ini bisa ditonton di Apple TV. Kalian bisa subscribe dari link ini yaa https://apple.co/3QWp4Yp

 

Get it on Apple TV
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA and BEST BOOK REVIEW HORROR & THRILLER EDITION ON TWINKL