ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE Review

“Acceptance is the first step to unity”
 

 
Dalam Justice League diceritakan para pahlawan super bersatu untuk menghidupkan kembali Superman. Siapa sangka keadaan di dunia nyata seputar film Justice League itu sendiri ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan. Visi sutradara Zack Snyder-lah pahlawan yang gugur itu. Para penggemar DC bersatu, mengampanyekan supaya visi tersebut hidup kembali. Meminta supaya film Justice League yang sebenarnya; yang tidak dicampuri oleh Studio – dan tidak diwarna-warni oleh Joss Whedon, film yang seutuhnya dari kreasi Zack Snyder bisa dibuat dan ditayangkan. Sekarang, empat tahun setelah film Justice League (2017) tayang di bioskop, perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil. Zack Snyder’s Justice League yang berdurasi empat-jam lebih akhirnya mendarat dengan dramatis di internet!
Ini adalah fenomena yang menarik. Karena kita semua tahu, term ‘Director’s Cut’ sendiri sebenarnya sudah mulai mengalami peyorasi berkat iklim industri film. Director’s Cut pertama kali dipopulerkan oleh Ridley Scott, yang mengeluarkan Blade Runner (1982) versi orisinil kreasinya. Misi mulia merestorasi visi seniman itu tentu saja langsung disambut oleh industri sebagai langkah untuk menjual-ulang kepada penonton film yang udah pernah mereka tonton. Director’s Cut lantas menjadi gimmick sales semata. Director’s Cut The Warriors ternyata hanya berisi tambahan satu menit ekstra, plus transisi dengan gaya visual ala komik. The Exorcist hanya memasukkan kembali adegan-adegan yang udah dicut, plus perbaikan visual efek, namun menjual-ulangnya sebagai versi never-before-seen di tahun 2000. Jangan tanya soal contoh di Indonesia. Aku belum punya rasa percaya yang cukup besar terhadap industri film di sini sehingga mau menonton versi director’s cut dari film-film Indonesia. I mean, film yang disebut sekuel aja, di perfilman kita yang konon udah maju ini, ternyata tak lebih dari potongan shot dan cut film sebelumnya yang digodok jadi satu (tunjuk idung Milea: Suara dari Dilan). Langka sekali ada Director’s Cut yang benar-benar terbukti memberikan pengalaman baru dan menambah banyak bagi film itu sendiri. Maka, melihat begitu hangatnya respon, dan mengingat actually memang cut ini sangat diinginkan oleh penonton, Snyder Cut Justice League kali ini boleh jadi merupakan titik balik yang mengembalikan Director’s Cut kepada tujuan mulianya semula.

Film revisi sebagai pemuas hati

 
 
Cerita film ini secara keseluruhan masih sama dengan versi Whedon 2017 yang lalu. Superman telah meninggal. Pasukan demon yang dipimpin Steppenwolf jadi berani datang ke Bumi, mencari tiga Mother Box yang kalo digabungkan bisa membuat Bumi jadi di bawah kendali Steppenwolf. Maka Batman berusaha mengumpulkan para manusia berkekuatan super; Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg untuk bekerja sama membela Bumi. Tapi mereka tetep kalah tenaga. Jadi mereka bermaksud untuk menghidupkan kembali Superman. Aku gak akan bahas banyak dari segi cerita. Yang ingin kufokuskan di review Justice League kali ini adalah soal perbedaan-perbedaan signifikan di antara versi Snyder dengan versi Whedon. Dan yang kumaksud dengan ‘signifikan’ adalah bagaimana perbedaan tersebut berpengaruh; membuat film versi Snyder ini lebih baik (atau bahkan bisa jadi lebih buruk) ketimbang versi Whedon.
Aku mau pointed out dulu bahwa ternyata yang kukira di review Justice League 2017 itu salah. Kukira elemen kematian Superman dan konflik moral para superhero terkait menghidupkannya kembali itu adalah kreasi dari Snyder. Setelah nonton film yang empat jam ini, aku baru tahu kalo elemen tersebut justru adalah kreasi Whedon. Justice League 2017 menempatkan soal moral dan etik menghidupkan Superman sebagai tindak terakhir itu sebagai gagasan utama cerita. Persatuan yang dibicarakan oleh film tersebut adalah persatuan yang bersumber dari harapan yang dipicu oleh tekanan ketakutan. Superhero Justice League di sana menunjukkan kekuatan dari harapan, sementara lawan mereka kalah karena menggunakan ketakutan untuk mengendalikan persatuan. Harus kuakui, bahasan Whedon tersebut menarik. Sayangnya, si sutradara itu sendiri tidak punya pijakan dan posisi yang kuat. Gagasan itu timbul bukan karena dia purely ingin bercerita soal itu, melainkan dari pemikiran bahwa dia harus menyatukan materi cerita superhero yang padat ke dalam durasi yang berbatas. Aku tetap mengapreasiasi Whedon yang berhasil pulled off this theme, dia berusaha menyatukan banyak elemen ke dalam narasi sekonsisten mungkin, walaupun penceritaannya sendiri sloppy, terburu-buru, dan enggak ‘do justice’ terhadap karakter-karakter superhero yang terkandung di dalamnya.
Sementara Snyder, ternyata memang tidak berniat menceritakan soal moral sebuah resurrection. Snyder tetap berkutat pada soal yang lebih fundamental. Yakni soal keluarga. Justice League yang kita tonton selama empat jam ini adalah tentang karakter yang terpisah dari keluarga, dan kemudian menemukan tempat di kelompok, tapi sebelum itu mereka harus berjuang untuk acceptance, baik itu dari kelompoknya maupun acceptance dari diri mereka sendiri. Dengan durasi yang dua kali lebih panjang, Snyder punya ruang yang lebih banyak untuk mengeksplorasi setiap karakter, dan dia memainkan masing-masing mereka dengan konsisten pada tema tersebut. Batman yang yatim piatu, dialah yang jadi pencetus persatuan para superhero, dan di akhir cerita dia dapat nice closure berupa mendapat pujian tindakannya akan membuat orangtuanya bangga. The Flash kali ini mendapat backstory yang lebih solid perihal hubungannya dengan ayah yang berada di dalam penjara. Wonder Woman mendapat penggalian soal keluarga karena actually keluarga Amazonnya yang bersentuhan langsung dengan bahaya sebagai salah satu klan penjaga Mother Box.
“Cyborg mestinya dikasih kerjaan lebih banyak selain baca petunjuk dan menyatu dengan teknologi. Steppenwolf mestinya bisa dibuat lebih meyakinkan. Mestinya film bisa memberikan kedalaman yang lebih pada hubungan antartokoh, memberikan stake yang lebih mengena, memberikan ketakutan dan bahaya yang lebih kuat.” Itulah tiga kalimat terakhir yang aku tulis pada review Justice League 2017. Dan apparently, Snyder setuju bahwa tiga itulah aspek yang paling butuh untuk dikembalikan dan diperbaikin dalam film kali ini. Cyborg yang awkward dan tampak paling sepele itu kini jadi hati bagi film ini. Dia yang arc superhero-nya paling ngelingker di antara semua. Dia berkembang dari yang tadinya cowok setengah-robot angsty yang boring menjadi pahlawan super yang benar-benar menguar oleh konflik keluarga dan acceptance. Kalau tidak dipersembahkan sebagai sebuah ensemble story, maka Cyborg inilah yang paling pantas jadi tokoh utama. Aku bukannya mau memantik api ataupun bukannya mau memancing di air butek, tapi, menurutku Cyborg di sini sukses menjadi karakter yang lebih menarik daripada Iron Man di cerita akhir hayatnya. Steppenwolf di sini pun dibuat lebih besar. Bukan hanya dari desainnya, melainkan juga dari karakter. Di Snyder Cut ini, motivasi Steppenwolf lebih dieksplor. Di balik perburuan Mother Box, antagonis ini sedang dalam journey ngeredeem dirinya sendiri di mata Darkseid. Journey-nya tersebut dikontraskan dengan geng superhero Justice League; Steppenwolf juga mencari acceptance tapi sayangnya keluarga yang ia pilih tidak seperti ‘keluarga’ protagonis kita.

Bersatu berarti kita harus menerima kekurangan masing-masing. Dan untuk dapat saling menerima itu, kita tidak mesti berangkat dari satu keluarga. Banyak cerita yang mengobarkan semangat persatuan, memperlihatkan kubu yang berbeda mengesampingkan perbedaan untuk menjadi keluarga. Tapi Justice League dan Cyborg menunjukkan semua itu dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu.

 
Dengan karakter yang lebih ter-flesh out, maka final battle pun otomatis menjadi lebih seru. Kalian tentu masih ingat satu keluarga rusia yang diselamatkan oleh The Flash di Justice League Whedon? Tidak ingat? Bagus, karena itulah the worst part dari film tersebut. Keluarga rusia random itu adalah tambahan supaya final battle dramatis. Snyder tidak perlu dan sama sekali tidak pernah meniatkan mereka ada. Final battle Snyder berisi aksi brutal (earning them that R-rating) dan konflik cerita yang menutup arc para tokoh. Singkat kata, final battle Snyder lebih garang dan lebih padat. It is the best part of this movie. Semua karakter dapat kesempatan bersinar; unjuk kekuatan dan unjuk drama personal. Semuanya memenuhi fungsi.
Perbedaan-perbedaan lain yang dilakukan oleh film ini tidak termasuk ke dalam kategori ‘signifikan’ tapi bukan berarti tidak penting. Setidaknya bagi para penggemar, dan bagi penonton yang benar-benar menunggu kelanjutan film ini, hal yang dilakukan oleh Zack Snyder di sini akan bisa bikin ‘terwoah-woah!’ Snyder caters to the fans. Dia membuat Superman yang baru saja dihidupkan itu berkostum hitam, sama dengan di komik. Dia memasukkan karakter baru seperti Darkseid, dan juga Martian Manhunter. Keduanya tentu saja berperan penting dalam Justice League saga. Kemunculan pertama keduanya dalam medium film-panjang live-action ini tentulah surprise yang menyenangkan. Tak sampai di sana, Snyder juga memanfaatkan sisa durasi untuk menampilkan lebih banyak lagi fans-service berupa penampilan singkat-tapi-berkesan dari karakter favorit semacam Deathstroke ataupun Joker.

Parademon. Parade demon. Get it?

 
Selesai nonton, kita semua kompak kalo harusnya film ini aja yang ditayangkan di bioskop kemaren. Durasi empat jam film ini toh tidak terasa. Kalopun terasa, filmnya bisa dibagi menjadi dua. Tapi benarkah sesimpel itu? ‘Kasus’ dua Justice League ini tentu saja tidak sesimpel soal durasi. Melainkan soal bagaimana memanfaatkan durasi tersebut. Snyder Cut punya ruang yang lebih gede untuk eksplorasi dan development ketimbang versi Whedon. Pertanyaannya adalah apakah dia benar-benar memanfaatkannya dengan efektif? Versi Whedon serba terburu-buru, kurang development, cringe oleh dialog dan adegan yang abrupt, karena dia berusaha meringkas materi ke dalam dua jam. Belum lagi tuntutan untuk tampil ringan/menghibur. Usaha Whedon jelas bukan terbaik, tapi sesungguhnya begitu juga dengan Snyder di film ini. Tentu, ceritanya jauh lebih berbobot, tapi terasa tidak benar-benar perlu untuk menjadi empat jam. Snyder Cut ini mestinya bisa lebih dipadetin lagi. Struktur narasinya bisa lebih padu lagi. Fans service dan adegan extend di beberapa puluh menit setelah konflik film beres itu sebenarnya tidak perlu karena practically berfungsi sebagai adegan teaser untuk next film yang panjang sekali.
Film ini menggunakan chapter-chapter yang terasa seperti episode-episode. Setiap kali pindah chapter, atau malah setiap kali pindah fokus dari bahasan karakter satu ke karakter lain, film ini terasa terputus. Narasinya bersambung tidak mulus, tidak lebih baik dari yang alur penceritaan yang dilakukan oleh Whedon. Aku mengharap sesuatu yang lebih baik, tapi Snyder ternyata juga mempersembahkan urutan kejadian terlompat-lompat, seperti dari teroris pemboman ke penyerangan Amazon ke The Flash menyelamatkan cewek dari kecelakaan lalu lintas. Aku mengharapkan narasi yang lebih kohesif dari ini. Tapi Snyder memang lebih fokus ke nampilin aksi sebagai bentuk bercerita. Dan bicara tentang aksi, setiap chapter punya aksi-aksi seru. Yang kita dapatkan di Whedon, hanya sepersekian dari aksi sebenarnya di film ini. Tapi sekali lagi; episodik. Semuanya punya tempo dan treatment yang sama. Sehingga jadi monoton. Salah satu treatment favorit Snyder dalam nampilin aksi adalah menggunakan slow-motion. Bayangkan melihat slow-motion setiap kali adegan bertempur. Setiap kali Wonder Woman mau beraksi selalu ada musik dewa-dewi yang pelaaaann. Jadinya ya bosan dan terasa unnecessary. Slow-motion ini bahkan dilakukan pada karakter yang bukan The Flash. Jadi akibatnya, jika setiap karakter ternyata bisa bergerak cepat, maka kecepatan The Flash itu jadi tidak spesial lagi. Slow motion bisa jadi efek yang bagus pada adegan aksi, memberikan ketegangan atau semacamnya, tapi ketika dilakukan konstan, jadinya ya tidak spesial lagi. Dialog cheesy ala Whedon boleh saja sudah disingkirkan jauh-jauh oleh Snyder yang prefer tone dan warna gelap. Namun kecheesy-an itu kali ini terisikan perannya oleh slow-motion yang berlebihan.
 
 
Dengan senang hati sekali aku menunggu kalo ada filmmaker lain yang pengen membuat Cut versi dirinya; cut yang merangkum empat-jam film ini menjadi narasi yang lebih mulus dan tidak terasa terfragmen seperti ini. Dalam urusan memanfaatkan durasi, sebenarnya Snyder tidak melakukannya lebih baik daripada Whedon. Namun memang tak bisa dipungkiri, versi Snyder ini punya cerita yang lebih berbobot, punya final battle yang lebih seru, punya karakter yang lebih manusiawi. Director’s Cut yang dilakukan Snyder benar-benar bertindak sebagai pemuas hati. Sutradara senang karena filmnya sudah terestorasi sesuai visi. Kita senang karena akhirnya dapat film superhero yang antisipasi dan hypenya sesuai dengan yang disuguhkan. Mungkin inilah Justice yang disebut pada film ini. Keadilan bagi pembuat dan penikmat. It’s a win-win!
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ZACK SNYDER’S JUSTICE LEAGUE
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Jadi bagaimana? Apakah menurut kalian film ini berhasil membuat penonton bakal kembali peduli sama yang namanya Director’s Cut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

CHERRY Review

“Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”
 

 
 
Kita hidup di dunia yang untuk menjadi Spider-Man ternyata tidak cukup hanya dengan digigit laba-laba radioaktif saja, tetapi juga harus bermain dalam film yang ada perangnya nanti. No, of course I’m kidding. Tapi nyatanya, memang dari ketiga aktor yang memerankan Spider-Man semuanya kebagian jatah jadi tentara perang. Tobey Maguire dalam Brothers (2009), Andrew Garfield dalam Hacksaw Ridge (2016), dan kini Tom Holland dalam Cherry. Dan sepertinya Holland memang ingin mengekor kedua aktor pendahulunya yang telah berhasil menyabet nominasi penghargaan dalam perannya masing-masing. Kesempatan tersebut tentu saja masih terbuka. Film Cherry ini boleh jadi terangkat oleh penampilan akting Holland. Sementara itu pula, film ini sendiri sepertinya memang diset sebagai penantang buat Oscar oleh kedua pembuatnya. Anthony dan Joe Russo. Dua bersaudara yang menjadi semakin terkenal apalagi kalo bukan lewat proyek Avengers (Marvel-Disney) yang mereka tangani.
Setelah Avengers: Endgame (2019) yang disukai banyak penonton tapi hanya dilirik sedikit oleh Academy, Russo Brothers kini lewat Cherry ini berusaha membuktikan kemampuan membuat sesuatu yang bukan hanya berkebalikan total dengan laga superhero yang cheerful, meriah, dan gagah perkasa. Namun juga suatu tontonan yang khas, sehingga truly worthy untuk diganjar penghargaan. Makanya film Cherry yang durasinya dua-setengah-jam ini terasa ambisius dan pengen menonjol. Makanya juga, aku jadi merasa agak kasihan juga setelah menonton, karena pada akhirnya film Cherry ternyata tak terasa lebih baik daripada film-film ‘Oscar Bait’ kebanyakan.
Cherry ini berasa kayak gabungan antara Forrest Gump (1994) dengan Requiem for a Dream (2000). Ceritanya disampaikan lewat narasi voice-over si karakter utama, yang nanti dia akan ikut jadi tentara dan berperang, dan nantinya juga film ini akan membahas tentang kecanduan obat terlarang. Sehingga memang, tidak ada yang lugu dari karakter utama yang diperankan Tom Holland di film ini. Wait… What his name again?.. Aku gak yakin nama karakter ini pernah disebut di dalam film, tapi kalo menurut kredit sih, namanya ya judul film ini. Cherry. Si Cherry mendaftarkan diri sebagai tentara (dia memilih terjun ke unit medic) karena dia merasa gak tau harus ngapain lagi saat kekasihnya minta pisah. Tapi jarak ternyata gak mampu misahin dua orang yang cinta beneran (ingatlah ini, wahai pejuang LDR!). Cherry dan kekasihnya semakin dekat. Emily bahkan menunggu Cherry pulang dari medan perang. Namun setelah apa yang ia lalui dan lihat di medan perang, Cherry yang pulang kepada Emily bukan lagi Cherry yang dulu. Cherry yang trauma berjuang di kehidupan yang normal. Dia jadi kecanduan heroin. Jika kecanduan obat adalah perang, maka ini adalah perang yang lebih parah bagi Cherry. Karena kini ia membawa serta Emily ke dalam perang tersebut. Antara obat dan merampok demi uang untuk beli lebih banyak obat, kita akan melihat kedua karakter ini semakin larut ke dalam lingkaran setan.

Life is like a box of… heroin

 
Diadaptasi dari novel otobiografi karangan Nico Walker, film ini sebenarnya punya cerita yang menarik – karena kejadiannya memang beneran terjadi. Ini adalah tentang veteran perang yang jadi perampok bank. Ada berlapis bahasan tentang psikologi manusia yang bisa digali untuk dijadikan studi. Tapi ini juga adalah kisah yang gak banyak diketahui oleh orang. Penulis Nico Walker sendiri juga termasuk ‘baru’. Sehingga saat menonton film ini pun, sebagian besar penonton gak tahu ini ceritanya bakal tentang apa. Menceritakan kisah ini secara linier seperti kebanyakan biografi – mulai dari kecil hingga ke peristiwa penting yang jadi fokus utama – jelas akan membuat kita kesusahan untuk menempelkan diri kepada si karakter. Terutama jika si karakter itu sendiri memang tidak punya hal menarik selain peristiwa penting di jauhari. Maka dari itulah, film Cherry ini memilih untuk menggunakan struktur cerita yang bolak-balik. Dengan juga menggunakan narasi voice-over untuk menuntun, dan membuat kita langsung seolah dekat dengan karakternya. Cerita yang bolak-balik langsung menempatkan kita di puncak ketegangan pada awal durasi. Dengan begini, apa yang bakal jadi pertaruhan buat si karakter dapat terset dengan mantap. Kita jadi tahu ini cerita bakal ngarah ke mana. Sehingga paling tidak kita jadi peduli sama karakter itu. Lalu baru kemudian kita dituntun untuk melihat karakter pada masa-masa dia masih ‘innocent’; masa kuliah saat romansa berkembang. Film bahkan menggunakan pembagian chapter-chapter untuk membantu kita lebih lanjut memasuki babak-babak kehidupan karakter Cherry.
Usaha yang solid untuk membuat karakter utamanya bisa mendapat simpati. Permainan akting Tom Holland-lah yang akhirnya jadi penentu utama. Berkat aktingnya, Cherry jadi tampak hidup. Berkat ekspresi dan reaksinya, segala permasalahan Cherry tampak menggencet dan mudah untuk kita pedulikan. Development dan rangenya bisa kita rasakan dengan tegas di sana. Holland mulai dari memainkan Cherry si pemuda yang kasmaran, ke Cherry yang experiencing horor di peperangan, hingga ke Cherry yang junkie dan udah begitu broken down. Pada titik ini, Holland seperti sudah membuktikan bahwa dia memang aktor mumpuni yang cukup rounded. Menurutku, beruntung Tom Holland ini bule dan jadi aktor di Amerika – bukan di Indonesia. Karena kalo dia aktor di sini, pastilah tampangnya yang anak baek-baek itu akan mentok di peran cinta-cintaan remaja, seperti beberapa aktor remaja Indonesia yang kebagian peran itu-itu melulu. Holland menjawab tantangan pada naskah dengan actually mengangkat film ini. Dia dan Ciara Bravo (pemeran Emily) memberikan heart untuk kita pegang. Hanya mereka berdualah yang jadi penuntun kita, membuat kita ingat bahwa ada bahasan manusiawi yang dipunya oleh film ini.
Perang mengubah manusia.  Banyak pejuang yang gak siap dengan kehidupan setelah perang. Film ini memperlihatkan bahwa walaupun ada perayaan, tapi perang tidak berakhir bahagia. Ada gagasan soal nasib veteran perang di sini. Ada bahasan bagaimana perang berdampak buruk bagi mereka. Bukan hanya perihal jasa mereka gak dikenal atau gak dianggap oleh seluruh rakyat yang mereka bela, tapi juga ke hal yang lebih personal yakni mereka gak bisa keluar dari mimpi buruk, dari trauma. PTSD. Dan bagaimana itu senantiasa berpengaruh kepada orang terdekat.

Film memparalelkan dampak perang dengan kecanduan, sebagaimana candu ngobat itu jadi perang berikutnya yang harus dilalui oleh Cherry. Dan jika kecanduan itu adalah peperangan yang harus dimenangkan, maka sebenarnya addiction adalah perang yang tidak bisa kita menangkan. Dalam artian, candu gak bisa sembuh. Hanya ada tekad untuk tidak kembali kepada candu. Maka, satu-satunya cara untuk memenangkan perang ini adalah mengikuti kata filosofis Sun Tzu; yakni acknowledge dan bersiap.

 

Cherry juga jadi candu merampok bank

 
Sayangnya selain pilihan gaya bercerita bolak-balik, pilihan penceritaan lain yang dilakukan oleh Russo Bersaudara gak ada yang benar-benar beralasan dan masuk akal. Semuanya kayak dikakukan karena, ya karena mereka bisa aja. Kalo boleh dibilang, film ini sedikit terlampau banyak bergaya. Misalnya soal flare atau efek pada kamera. Ketika pertama kali ketemu Emily, treatment yang diberikan kepada kamera itu adalah semuanya bokeh. Semua orang di sekitar Cherry dan Emily dibuat blur. Seringkali adegan yang ada Emily – adegan yang menguar rasa cinta Cherry kepadanya – dibuat seperti berada di dunia artifisial atau surealis. Tadinya, karena keseluruhan film ini disampaikan dalam bentuk narasi voice-over, maka kupikir ‘okelah’; berarti yang kita lihat ini adalah memory Cherry. Masuk akal bila yang cakep-cakep diingat olehnya dengan cakep pula. Namun, tidak pernah lagi ada treatment visual seperti ini. Cherry terbagi atas banyak chapter yang masing-masingnya punya estetik tersendiri. Russo Brothers bermain entah itu di sinematografi, di komposisi shot, ataupun di aspect ratio. Hanya satu pada Emily tadi itulah yang estetiknya benar-benar tampak seperti kenangan. Selebihnya semuanya bland. Ketika keadaan perang yang mencekam, biasa aja. Ketika keadaan sakau dan chaos, tidak ada efek. Padahal semuanya itu masih dalam konteks kisah yang sedang diceritakan.
Pilihan-pilihan ‘stylish’ itupun makin ke akhir makin tampak lebih seperti dilakukan dengan random. Satu kali mereka ngasih lihat ke kita POV dari lubang pantat. Eh kok? Kan lucu. Beberapa kali juga film memberi kesempatan kepada Tom Holland untuk bernarasi pake gaya ‘breaking the fourth wall’, yang gak jelas kebutuhan dan timingnya. Sesukanya aja dimunculkan seperti itu. Selain itu juga mereka sok asik dengan penggunaan nama-nama. Nama bank misalnya. Alih-alih City Bank, film ini ngasih lihat ke kita kalo bank yang dirampok Cherry bernama Shitty Bank. Terus ada juga yang namanya Bank Fucks America. Nama dokter juga dimainin seperti begini, karena yang kita lihat bukan nama orang melainkan nama Dr. Whomever. Itu semua bikin kita gak lagi merasa cerita ini ‘nyata’. Bahkan jika memang konteksnya berupa kenangan. Kita bukannya merasakan kemarahan karakter sehingga nama-nama itu jadi ‘termodifikasi’ sesuai dengan ingatan dan perasaan Cherry terhadap bank dan dokter, melainkan kita malah jadi berpikir kisahnya ini kurang reliable. Bahwa ada kemungkinan itu semua hanya ada di kepala dia. This is a mind of a junkie, after all.
Bangunan cerita itu pelan-pelan jadi runtuh akibat kebanyakan gaya seperti demikian. Padahal film ini bergantung banget kepada kita percaya kepada karakter utamanya. Namun malah Narasi voice-over dia pun digarap naskah dengan semakin malas. Tidak lagi difungsikan untuk menceritakan yang tidak mampu tergambar,  tapi malah jadi eksposisi yang kayak shortcut aja. Ketika film gak mau repot nampilin perubahan satu karakter, maka film tinggal nyuruh Cherry untuk nyebut ‘karakter si anu kini bekerja sebagai apa’. Jadi semuanya untuk kemudahan plot aja. Chapter-chapter tadi pun jadi beneran berfungsi sebagai kotak-kotak episode, yang tidak dibarengi dengan progres alami, melainkan oleh narasi yang nyebutin sekarang waktunya apa. Gitu aja.
 
 
 
Kejadian yang dikandung cerita ini sebenarnya menarik. Apalagi ini berdasarkan kisah nyata. Tom Holland juga memainkan karakternya dengan sangat baik, memudahkan kita untuk bersimpati dan percaya kepadanya. Namun, everything falls short. Film ini mempunyai banyak kejadian dan aspek-aspek pada cerita, tapi pembuatnya melihat itu terutama sebagai lahan untuk bermain dengan gaya-gaya penceritaan. Dan malah fokus di sana. Inilah yang jadi kejatuhan baginya. Karena ternyata mereka juga punya candu; candu bikin sesuatu yang wow, alih-alih bercerita sesuai dengan konteksnya. Kisah karakter utama jadi tidak semeyakinkan yang seharusnya. Film ini punya hati, tidak membosankan, tapi saat selesai menontonnya kita tidak tahu lagi harus merasakan apa karena gaya berceritanya tidak in-line dengan jiwa ceritanya.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHERRY.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Sejarah manusia penuh oleh peperangan. Apakah menurut kalian perang adalah salah satu candu bagi manusia? Kenapa kira-kira manusia selalu berperang?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

THE MAURITANIAN Review

“It’s been flipped: Now it’s guilty until proven innocent.”
 

 
 
Dua bulan setelah serangan teroris di World Trade Center, ada pesta di negara Mauritania. Jika kalian berpikir apakah pesta tersebut ada sangkut pautnya dengan tragedi yang bikin sengsara umat manusia di bulan September itu, maka kalian cocok jadi seorang polisi. Karena pesta tersebut memang lantas disatroni polisi. Pria bernama Mohamedou Ould Slahi dibawa pergi oleh polisi dari pesta keluarganya tersebut. Untuk beberapa waktu, kamera memperlihatkan bagaimana Slahi memandangi sosok ibunya yang semakin menjauh dan mengecil dari kaca spion mobil. Pemandangan emosional yang seolah mengisyaratkan pemuda ini bisa jadi tidak akan pernah melihat lagi perempuan yang telah melahirkannya itu.
Mohamedou Ould Slahi ditangkap oleh polisi bukan karena terbukti bersalah. Melainkan karena kena kecurigaan berlapis. Pertama dari namanya; yang mirip sama nama ‘langganan’ pelaku teroris. Kedua, dari jejak akademisnya. Ketiga, dari rekam jejak teleponnya; yang pernah terhubung dengan satelit seluler Osama bin Laden himself. Tiga hal tersebut cukup untuk membuat Slahi tertuduh sebagai Head Recruiter untuk peristiwa 9/11. Slahi dipenjarakan untuk waktu yang sangat lama. Sebagian besar dari empat-belas tahun di balik jeruji itu dia habiskan di penjara yang dikenal sadis, Guantanamo Bay. Selama itulah, Slahi berjuang. Menguatkan diri, menjaga kewarasan. Menjaga ke-innocent-annya. Membuktikan, bersama pengacara, bahwa dirinya tidak sesuai dengan yang dituduhkan. Mengajukan bahwa tidak ada alasan baginya untuk ditahan. Slahi menuliskan pengalamannya dalam sebuah buku. Dan buku itulah yang kini kita tonton; buku itulah yang kini dijadikan film oleh sutradara Kevin MacDonald. Film drama yang luar biasa pedih dan bikin darah kita ikutan mendidih.

Masuk, dan lupakan Guantanamo Bay yang kau ketahui dari Harold dan Kumar

 
Sedihnya, kita memang sering mendengar kisah kayak gini di dunia nyata. Kisah polisi atau penegak hukum yang menangkap orang, menahan dan memenjarakan mereka meskipun belum jelas apakah mereka beneran bersalah. Meskipun memang gak ada dakwaan resmi. Orang-orang itu ditangkap karena fit ke dalam narasi, dan karena memang harus ada yang ditangkap. Polisi harus kelihatan kerja. Yang nambah sedihnya lagi adalah, sekalipun sudah terbukti tidak bersalah dan dilepaskan, mereka tidak pernah mendapat permintaan maaf dari polisi yang menangkap. ‘Bintang’ dokuseries Netflix Making a Murderer misalnya, Steven Avery pernah ditangkap dan dilepaskan kembali (setelah 18 tahun dipenjara), dan kini Avery dipenjarakan kembali (sejak 2007) untuk kasus lain yang sama shady-nya dengan kasus pertama yang ternyata ia tidak terbukti tidak bersalah tersebut. Kita juga udah nyaksiin betapa gak adilnya sistem peradilan itu untuk pihak-pihak yang ingin dijadikan – dan udah diset sebagai – tersangka lewat drama pengadilan-dari-kisah-nyata The Trial of the Chicago 7 (2020) yang baru-baru ini menang Naskah Terbaik di Golden Globes. Temanku sendiri pernah dituduh teroris; dia ditangkap oleh polisi di warnetnya di Medan, dan ditahan beberapa bulan di Bogor. Ketika akhirnya dilepaskan karena memang terbukti salah tangkap, temanku itu tidak mendapat sepatah pun kata maaf.

Secara teori, hukum memang idealnya adalah ‘tidak bersalah sampai terbukti bersalah’. Namun pada prakteknya, yang dilihat itu adalah jika kita tidak tak-bersalah, maka kita bersalah. Semuanya jadi selalu adalah soal membuktikan bahwa kita tidak bersalah. Tapi bagaimana bisa kita membuktikan seseorang tidak bersalah. Innocent adalah pembelaan yang terlemah. Maka, sekarang kejadiannya selalu terbalik. Semua orang dianggap bersalah dulu, dan untuk sebagian besar waktu mereka akan tetap seperti itu.

 
The Mauritanian ini adalah salah satu lagi contoh perjuangan seseorang membuktikan dirinya tak-bersalah. Satu lagi contoh tindak yang nyaris mustahil. Film ini hebat sekali dalam menampilkan kejadian. Tensi dan emosi itu dibangun. Kita bisa merasakan ketegangan terus meningkat seiring dengan berkembangnya rintangan yang ditemukan oleh pengacara Slahi, dan dari semakin berkecamuknya psikologis dan harapan si Slahi sendiri di dalam penjara. Perjuangan dalam cerita ini memang disampaikan lewat dua proses yang berjalan paralel. Tentang usaha dua orang pengacara yang nyari ‘celah’ dan bukti-bukti bahwa penahanan Slahi sama sekali tidak berdasar, dan tentu saja tentang Slahi sendiri yang harus mengalami segala tekanan sembari mempertahankan siapa dirinya.
Film memang tidak membuang waktu mengangkat pertanyaan apakah Slahi beneran bersalah atau tidak. Kita semua diasumsikan sudah mengetahui kisah Slahi yang memang sempat marak beberapa tahun silam. Jadi film ini fokus ke arah menggambarkan periode gelap yang harus dilalui Slahi di penjara, dan menilik soal kekejian di penjara Guantanamo Bay itu sendiri. Para ‘penegak hukum’ itu gak cukup dengan menahan mereka di sana, tapi juga menyiksa mereka. Memanipulasi. Melecehkan. Supaya pengakuan itu terpaksa akhirnya terucapkan, meskipun itu bukan kenyataan. Film ini efektif dalam menggambarkan itu semua. Di menjelang akhir film kita akan melihat sekuen penyiksaan yang digambarkan dengan cukup sureal. 
Untuk itulah, penampilan akting dari Tahar Rahim sebagai Mohamedou Slahi pantas sekali untuk kita apresiasi. Bahasa tubuhnya berkembang sesuai dengan yang keadaan yang ia rasakan. Bahasa tubuhnya menjadi salah satu penanda dalam penceritaan film yang dilakukan bolak-balik. Setelah opening dia ditangkap, kita bertemu lagi dengan karakter ini saat dia sudah dalam keadaan hampir hopeless. Rahim memainkan Slahi sebagai seorang yang udah cuek ketika dua pengacara datang kepadanya. Lalu film akan membawa kita balik ke masa dia baru ditangkap, kita merasakan perjuangan masih berkobar dalam diri Slahi. Dan seiring dengan penyiksaan yang ia alami, kita melihat perubahan yang bukan hanya saja pada fisik (badannya jadi membungkuk, wajahnya memar) tapi juga pada mental karakter ini. Dan ketika arc Slahi sudah hampir komplit, Rahim memainkan karakter ini dengan ketulusan yang menguar. Progres dan perjalanan emosi karakter ini dimainkan dengan kuat sekali.
Penanda satu lagi yang dilakukan oleh film dalam penceritaan bolak-baliknya muncul lewat arahan yang efektif pada aspek teknis seperti rasio, gerak kamera, dan editing. Misalnya ketika Slahi diinterogasi, ketika di-stressing, film akan menggunakan rasio 4:3 yang sempit supaya perasaan terkungkung dan tertekan semakin kuat tersampaikan. Ketika harus menampilkan kekerasan, kamera akan bergerak frantic, bersama editing, untuk menimbulkan kesan mengerikan yang terefleksi dari yang dirasakan (dan dimainkan dengan menakjubkan) oleh Slahi. Film ini tahu kapan harus memberikan jarak dan paham persisnya akan cara menangkap esensi yang ingin disampaikan oleh naskah.

Ndak bisa basa enggres!

 
Tapi untuk urusan menggali ke dalam, film ini kurang lihai. Atau mungkin tepatnya, film ini tidak benar-benar menaruh concern ke kedalaman. Karena memang tujuan utama film ini ya untuk menggambarkan tindak mengerikan yang disangsikan kepada orang tak bersalah itu sendiri. Jangan salah, film ini sebenarnya tetap berusaha untuk menyeimbangkan narasi. Karena di sini juga ada karakter dari pengacara pihak penuntut (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) yang perjuangannya menuntut keadilan juga diberikan konflik sendiri. Aku actually suka dengan konflik karakter ini. Karakter ini punya motivasi personal untuk menghukum Slahi. Dia adalah sahabat dari pilot pesawat yang dibajak teroris 9/11, jadi kalo ada orang yang ingin Slahi dihukum mati, maka karakter pengacara ini pasti adalah salah satu orang tersebut. Tapi dalam perjuangannya menyusun tuntutan, dia menyadari kejanggalan dalam tindakan aparat. Dia tahu ada penyimpangan hak dan kemanusiaan yang sedang terjadi. Jadi dendam pribadinya ia kesampingkan. This is really great drama, kita benar-benar melihat tindakannya, dan kuharap film ini melakukan yang seperti ini pada setiap karakternya.
Karena karakter-karakter lain tidak actually diperlihatkan seperti demikian. Bahkan tidak pula si Slahi itu sendiri. Dengan penceritaan bolak-balik, kita melihat karakter ini sebagai fragmen-fragmen. Dan kalo bukan akting Rahim yang keren dan detil, karakter ini gak akan mencuat dan niscaya akan tampak sebagai karakter untuk dikasihani aja. Banyak aspek perubahan pada karakter ini yang tidak diperlihatkan oleh film. Dia dimulai dengan bahasa Inggris terbatas, hingga menjadi benar-benar fasih; yang menyiratkan dia punya hubungan akrab dengan para penjaga. Film harusnya menyorot lebih dalam soal bagaimana dia berkehidupan sosial di dalam sana. Di kredit kita melihat Slahi yang asli bernyanyi, menari, dia seperti punya pandangan baru terhadap dunia, dan penyekapnya. Harusnya delevopment itulah yang juga dieksplorasi oleh film. Bagaimana orang yang sepertinya sudah tidak ada harapan, menjadi seperti terlahir kembali, tidak dengan dendam, melainkan dengan energi positif. The Mauritanian ini hanya menampilkan fragmen-fragmen dari itu semua. Yang beneran di-build up ya memang cuma kengerian dan siksaan di penjara.
Pembahasan yang paling cetek adalah pada kedua pengacara Slahi. Yang satu diperankan oleh Shailene Woodley, dan satunya lagi oleh Jodie Foster. Foster surely looks like a perfect cast for this role, tapi film gak berikan dia banyak tugas selain untuk pasang tampang serius yang sedih dan tertohok setiap membaca surat-surat pengakuan dari Slahi. Karakter yang ia perankan hampa. Dengan motivasi yang sekadar menegakkan kebenaran, karakternya yang sabar dan paling flawless di antara yang lain ini dapat dengan gampang jatuh ke dalam tudingan ‘white savior’. Karakter pengacara yang diperankan Woodley jauh lebih menarik. She wants to help, tapi dia mendapat kecaman dari keluarga dan kerabat karena telah memilih menolong tersangka teroris. Dia gak sanggup memikul beban tersebut, dan sempat hengkang. Jika saja bahasan moral dia dikecam itu benar-benar diperlihatkan kepada kita (bukan hanya dari omongan), dan jika dia comeback nanti benar-benar diberikan waktu dan bahasan tersendiri, maka tentu karakter ini akan lebih berbobot dan memperkaya film dengan lebih banyak emosi yang signifikan membuat keseluruhan cerita lebih beresonansi tentang kemanusiaan, alih-alih tentang ngerinya penegak hukum di Amrik.
 
 
 
I really felt something saat menyaksikan film ini. Sungguh emosional dan menggerakkan. Berhasil film ini menggambarkan peristiwa dan kejadian, bahkan emosi yang dirasakan karakternya dengan efektif. Film ini berpotensi menjadi lebih kompleks, tapi memilih fokus untuk menjadi gambaran saja. Dan itu adalah pilihan yang sah-sah saja, sebuah film tidak bersalah hanya karena memilih untuk tidak kompleks. Namun untuk menjadi yang ia pilih itu, film ini tidak berbuat banyak dalam mencegah karakternya tampak sebagai device semata. Beruntunglah film ini bisa punya aktor yang bersungguh-sungguh menghidupkan perannya, lebih daripada yang disiapkan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for THE MAURITANIAN.
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Benarkah kita tidak bisa membuktikan ke-innocent-an? Bagaimana kalian membuktikan tidak-bersalah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

RAYA AND THE LAST DRAGON Review

“The saddest thing about betrayal is that it never comes from your enemies”
 

 
Representasi dalam film itu penting. Karena film bukan milik satu golongan. Semua orang punya cerita untuk dibagikan. Representasi berarti mengakui keberagaman, dan film sudah seharusnya menyatukan keberagaman tersebut. Bukannya mengotak-ngotakkan mereka ke dalam stereotipe. Setiap bangsa, setiap kita, punya keunikan yang bersumber dari sudut pandang dan identitas. Masih banyak magic dan untouched land yang belum diangkat ke dalam film, dan Disney kini telah memalingkan wajahnya ke arah kita semua. Ke Asia Tenggara. Disney mengangkat cerita fantasi yang berakar kuat pada budaya dan mitologi – identitas – bangsa rumpun kita. Raya dalam film Raya and the Last Dragon Disney akan menjadi Princess pertama dari Asia Tenggara. Dan gadis sawo matang itu akan bertualang dalam sebuah pertunjukan animasi yang terasa seperti sangat bertuah, dekat, dan menakjubkan.
Seolah menekankan kepada kita bahwa mereka (Disney dan empat sutradara; Don Hall, Carlos Lopez Estrada, Paul Briggs, dan John Ripa) benar-benar peduli sama representasi, bahwa misi mereka bukan hanya menambang emas dari lahan belum-tergali, melainkan jauh lebih mulia yakni untuk mengusung semangat kebersamaan dan persatuan, cerita Raya and the Last Dragon dibangun dengan persatuan itu sebagai fondasinya.
Penduduk dalam semesta imaji ini tadinya bersatu, hidup berdampingan bahu-membahu bersama alam dan naga. Keharmonisan tersebut menciptakan dunia tempat tinggal yang bernama Kumandra yang udah kayak nirwana. Tapi kemunculan musuh para naga membuat mereka tercerai berai. Bukannya bersatu menghadapi musuh yang bisa mengubah apapun menjadi batu, Para penduduk Kumandra malah terpisah menjadi lima kelompok kecil yang saling memperebutkan batu mustika berisi kekuatan naga. Selama ini, batu ajaib tersebut dijaga oleh keluarga Raya. Raya akhirnya menyaksikan sendiri, dalam semangat saling curiga dan tak-percaya, batu mustika tersebut pecah diperebutkan oleh para kelompok yang ingin memilikinya untuk kepentingan masing-masing. Bertahun berlalu, Raya yang ingin mengembalikan ayahnya yang membatu, bertualang mengumpulkan pecahan batu yang tersebar, sembari berusaha mencari naga terakhir yang ia percaya masih ada untuk mengembalikan kedamaian di sisa-sisa Kumandra.

Apakah kita takut dikhianati? Atau kita berkhianat karena takut?

 
 
Raya sets on the grand adventure yang dibuat untuk gampang kita ikuti. Yang didesain untuk bisa dialami sebagai sebuah tontonan keluarga. Animasinya mulus dan detil sekali. Sepanjang petualangannya Raya akan berkunjung ke tempat-tempat yang punya pemandangan dan ciri khas berbeda. Bayangkan stage atau level dalam video game, nah begitu persisnya lingkungan yang menjadi panggung petualangan Raya. Difungsikan untuk memberikan tantangan sekaligus pembelajaran baru. Sehingga film pun terasa terus bergulir hidup (kinda like si Tuk Tuk, doesn’t it?) Aksi berantem juga digambarkan dengan sangat imajinatif, dengan kuat mengakar kepada bela diri khas Asia Tenggara. Kita akan melihat senjata dengan belati seperti keris, tapi dimodifikasi sehingga jadi bisa memanjang kayak pedang Zabimaru milik Renji di anime Bleach, kita akan melihat gaya bertarung pake dua tongkat kayak seni beladiri Filipina. Raya nantinya juga akan bertemu dengan karakter baru pada setiap tempat yang ia datangi tersebut. Karakter-karakter ini akan menjadi pendukung yang menambah kaya petualangan dan drama alias cerita film ini sendiri. Misalnya ada karakter bayi yang bisa kung-fu, yang tadinya mencopet Raya, tapi akhirnya mereka jadi berteman dan si Bayi ikut dalam petualangan Raya.
Singkatnya, karakter-karakter yang bakal jadi teman Raya itu tetap menjaga film ini kocak dan ajaib.
Panjangnya, karakter-karakter ini berfungsi sebagai kepingan yang harus disatukan oleh Raya – paralel dengan misi Raya menyatukan kepingan batu naga. Mereka semua itu adalah bagian dari suara film ini tentang persatuan itu sendiri. On the deeper level, petualangan Raya ini sesungguhnya adalah petualangan mempersatukan umat. Film ini menampilkan karakter dari banyak kelompok, yang harus belajar untuk saling percaya bahkan kepada kelompok yang udah mengkhianati mereka. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memaafkan di sini. Ada pembicaraan soal keberanian untuk memulai itu sendiri. Raya dan generasi muda di sini adalah korban langsung dari perpecahan turun temurun, dan merekalah yang menanggung sakit. Mereka yang paling pantas untuk balas dendam dan meneruskan siklus tersebut, tapi mereka juga punya pilihan untuk menghentikan semua dan menaruh kepercayaan untuk hasil yang lebih baik ke depan. It is a tough choice, dan bahkan mungkin even tougher choice untuk memasukkan elemen cerita seperti ini ke dalam tayangan untuk keluarga. Untungnya, film ini percaya bahwa anak-anak sekalipun akan nonton sambil berpikir. Bahwa anak-anak sanggup dan perlu memahami plot yang benar-benar punya daging. Disney sepertinya memang udah paham kalo anak-anak butuh sesuatu untuk didiskusikan dengan ringan bersama orangtua atau keluarga, makanya setiap film mereka selalu bergizi oleh gagasan dan pembelajaran. Dan yang ingin dibicarakan oleh Raya ini adalah soal persatuan, soal mempercayai sesama. Siapa lagi yang paling perlu untuk mengerti dan memandang positif dari semua itu kalo bukan anak-anak?

Dikhianati itu memang menyakitkan, dan bikin trauma. Bikin kita susah untuk percaya lagi pada orang. Pengkhianatan itu terasa menyakitkan karena pengkhianatan itu adalah tusukan yang datang dari teman. Dari teman. Bukan musuh. Itulah yang harus kita ingat; bahwa that was our friend. Dengan teman seharusnya kita bersatu. Kita harus belajar untuk memaafkan dan belajar untuk menumbuhkan rasa percaya itu kembali. Demi teman. 

 
Makanya, relasi yang paling memorable dan paling berkesan di film ini bagiku adalah antara Raya dengan Namaari; anak dari kelompok sebelah yang udah mengkhianati Raya berkali-kali. Rivalry dan dinamika mereka sepanjang film terasa grounded dan sangat emosional. Beban dramatis kepada Namaari dan Raya itu kerasa banget, karena sangat personal. Bagi Namaari ini adalah tugas yang dipaksakan kepadanya oleh sang Ibu; tugas yang bertentangan dengan nuraninya sendiri. Sementara bagi Raya, dia udah bertekad untuk enggak percaya lagi. Satu-satunya yang Raya percaya adalah Susi — eh kebalik, Sisu sang naga air yang berhasil ia temukan. Relasi antara Raya dengan Sisu dimainkan dengan lebih ringan, dan difungsikan pertama sebagai hiburan. Raya dan Sisu ini kayak gabungan Aladdin-Genie dengan Marlin-Dory. Keajaiban Sisu disambut wonder yang seru dan mengasyikkan dari Raya, sementara itu juga sikap Sisu yang gampang percaya sering membuat Raya sedikit senewen, seperti Marlin yang enggak mau mempercayakan apapun kepada Dory padahal usulan Sisu dan Dory sebenarnya kita tau sama-sama benar. As for me, pada awalnya aku pun agak senewen juga sama karakter Sisu. Candaannya banyak yang agak kurang ngena, misalnya candaan soal kerja kelompok di sekolah. Lucu, tapi terasa terlalu modern. Kayak dilontarkan langsung oleh Awkwafina as a person. Pertama-tama memang aku ngerasa kurang sreg sama voice acting Awkwafina sebagai Sisu – aku gak bisa melihat dia sebagai karakter. Namun seiring berjalannya durasi, karakter Sisu grows on me, begitu juga dengan akting penyulih suaranya tersebut.

Daripada ngumpulin 7 bola naga, mendingan ngumpulin lima pecahan batu naga ajah!

 
 
Desain visualnya-lah yang terutama menonjolkan representasi tersebut. Sisu bentukannya beda banget ama naga-naga di Eropa. Ngeliatnya langsung terasa ‘Asia banget’. Salah satu elemen representasi menarik yang dilakukan oleh film ini adalah tentang bagaimana makanan menyatukan manusia. Akan ada beberapa kali adegan karakter berunding di meja makan, bahkan strategi ayah Raya untuk menyatukan kelima kelompok adalah dengan menjamu mereka makan. Kalo udah urusan perut memang kita biasanya akur, dan itu kayaknya terjadi buat semua manusia di muka bumi, tapi paling tidak dari elemen tersebut kita melihat beberapa sajian makanan yang bentuknya dibuat mirip sama makanan yang kita kenal.
Visual dan karakterisasi yang kuat berhasil dicapai. Perjuangan film ini adalah pada penceritaannya. Walaupun arahannya udah mantap, membuat film ini berjalan cepat dan mulus dan tidak pernah menjadi berat dan gak jelas kayak lore pada Frozen II (2019), tapi pada awalnya tidak demikian. Film seperti Raya and the Last Dragon selalu punya batu sandungan berupa eksposisi. Keperluan untuk menjelaskan dunia dan segala aturannya. Film ini berusaha melakukannya dengan penempatan yang asik, dan tentu saja lewat visual yang menarik – beberapa eksposisi film ini diceritakan pakai animasi yang kayak wayang – tapi tetap membuat film ini agak terbata sedikit. Perasaan dan pikiran para karakter pun terkadang cenderung untuk diejakan sehingga beberapa penonton mungkin akan merindukan sekuen nyanyi yang biasa muncul pada film Princess Disney yang difungsikan untuk memperlancar penyampaian eksposisi dan perasaan karakter.
 
 
 
Raya dalam bahasa kita berarti besar, dan film ini memang sebesar itu! Film kayak begini ini-lah yang bikin kita rindu sama bioskop. Film dengan visual yang menakjubkan dan menerbangkan imajinasi. Film yang menyuguhkan petualangan seru, sambil mengisi kita dengan gagasan yang berharga. Film yang bisa kita relasikan, baik dari cerita atau kejadian, maupun dari kedekatan representasi. Terasa seperti kita menjadi bagian dari film, dan terasa seperti kita diajak bicara langsung oleh filmnya. Film yang dihidupi oleh karakter-karakter yang beresonansi dan tidak mungkin terlupakan dalam waktu dekat. Film yang sendirinya terasa benar-benar berjuang mengatasi kelemahannya. Eksposisi tidak membuat gentar film ini, yang dengan semangat pick up the pace dan paham untuk tidak membuat kita berberat-berat ria. Semoga ini bukan jadi film terakhir yang berhasil seperti begini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for RAYA AND THE LAST DRAGON
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa kita damai di depan makanan? Bagaimana makanan dapat mempersatukan kita?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

FLORA & ULYSSES Review

“What doesn’t kill you makes you stronger”
 

 
Ada dua tipe anak kecil. Anak kecil yang pengen dirinya jadi superhero. Dan anak kecil yang pengen sobatan ama superhero. Flora dalam film Flora & Ulysses condong termasuk ke tipe yang kedua. Meskipun sebenarnya semakin hari Flora semakin tidak percaya pada superhero. Semakin tidak percaya ada pahlawan yang datang menolong keluarganya, membantu ayah dan ibunya yang semakin renggang. Di saat Flora sudah memantapkan diri sebagai seorang Cynic alias seorang sinis yang tidak percaya keajaiban, dia bertemu (atau lebih tepatnya menyelamatkan) seekor tupai yang tersedot ke dalam mesin vacuum cleaner. Dan oleh peristiwa tersebut, sang tupai yang ia beri nama Ulysses itu jadi memiliki kekuatan super!
Flora & Ulysses yang diadaptasi dari novel anak berjudul sama ini akan menempatkan kita pada petualangan superhero yang tidak biasa, yang dunianya dihidupi oleh humor-humor dan karakter lucu, yang seringkali menyentil dunia komik dan superhero itu sendiri.
Bagaimana enggak menyentil coba? Ini adalah film yang bicara tentang superhero tapi protagonisnya sendiri sudah mulai capek untuk percaya pada superhero. Meletakkan sudut pandang demikian ke dalam seorang anak kecil jelas jadi setting karakter yang menarik. Flora ini dibesarkan oleh dongeng-dongeng superhero, sebab ayahnya adalah komikus. Flora diperlihatkan masih acapkali ngobrol dengan para karakter komik bikinan sang ayah (mereka jadi seperti teman imajinasi Flora), tapi Flora aware mereka cuma imajinasi dan tahu persis mereka gak bisa membantunya. Jadi Flora memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan demikian, Flora ini jadi seperti sentilan bagi kita yang udah dewasa yang tidak actually ngelakuin apa-apa selain cuma berkhayal punya kekuatan super atau punya jalan keluar ajaib dari setiap permasalahan.

Superpowerku adalah kekuatan mutant, yakni mut-mutant dalam menjalani sesuatu

 
Kata “&” pada judul itu berhasil diseimbangkan. Walaupun di sini bukan dia yang punya kekuatan super, tapi film ini berhasil mengembangkan permasalahan Flora di balik petualangan superhero yang jadi lapisan terluar, lapisan yang membuat film ini seru sekaligus lucu. Film ini berhasil bikin Flora yang lebih memilih menjadi sidekick, tetap mencuat sebagai tokoh utama. Sementara itu, Ulysess si Tupai Super juga mendapat porsi yang cukup besar. Si Tupai ini dihidupkan dengan efek komputer. Desainnya tetap kayak tupai asli, tapi karena berupa CGI, karakter Ulysses ini jadi bisa melakukan banyak gerakan yang lucu-lucu. Mulai dari meniru pose superhero di komik Flora (suatu ketika dia meniru Spider-Man yang lagi gelantungan!) hingga melakukan aksi kecil-kecilan kayak ‘berantem’ dengan hiasan meja. Kita melihat Ulysses belajar dan mengembangkan kekuatannya. Kita melihat Ulysses mencoba membantu keluarga Flora lewat ketikan puisi (yes, salah satu superpower Ulysses adalah kekuatan mengetik kata). Kita melihat petualangan Ulysses berhadapan dengan musuh bebuyutan berupa si Penangkap Hewan (berseragam begitu, Danny “Abed” Pudi jadi mirip Matthew McConaughey hihihi). Film ini butuh CGI untuk menghidupkan Ulysses, tapi tidak pernah benar-benar bergantung kepada efek tersebut. Karena porsi pengembangan yang dibuat seimbang, dengan sudut pandang yang dijagai tetap pada Flora, maka film ini tidak pernah keluar dari jalur.
Penampilan Matilda Lawler sebagai Flora di sini super pas sekali. Keceriaan dan sarkasnya berhasil ia deliver dengan baik. Menjadi seorang Cynic bagi Flora berarti adalah melakukan banyak observasi. Menarik sekali melihat Flora yang excited banget untuk jadi sidekick dari Ulysses si Tupai Super. Flora ingin membantu Ulysses menemukan purposenya karena setiap superhero punya purpose. Anak ini bukannya gak percaya pada keajaiban, dia toh mau membantu dan percaya ada tupai yang jadi pahlawan super. Kurasa dari sinilah sebenarnya kepedulian kita terhadap Flora berasal, film memantik emosi yang subtil sekali di balik sikap ceria Flora yang membantu tupainya. Bahwa dia ini adalah anak yang sebenarnya sangat terpukul oleh keadaan keluarganya, oleh ayah ibunya yang berpisah.
Film ini memang tak lupa untuk berpijak pada permasalahan yang menapak ke tanah, yakni permasalahan dalam keluarga. Dalam hal ini, yang dibahas adalah keluarga yang berpisah. Ayah dan Ibu Flora juga mendapat porsi pembahasan dalam cerita. Ayah Flora, seorang komikus, dan ibu Flora seorang novelis romansa. Keadaan ekonomi membuat mereka bukan saja harus pisah-rumah, melainkan juga harus pisah dari passion masing-masing. Ayah Flora kini jadi karyawan toko, sementara ibunya masih pengen nulis tapi mandek – gak bisa lagi bikin sesuatu yang romantis.  Ini tentu saja permasalahan yang besar untuk setiap anak seusia Flora. But she didn’t beat herself up about it. Film pun tidak lantas jadi ajang mewek-mewekan. Flora begitu penuh imajinasi dan optimis dan – betapapun dia bilang enggak mau, dia tetap penuh oleh – harapan. Harapan inilah yang diam-diam jadi superpower Flora. Dia gak sadar bahwa dengan sikapnya, dia sudah jadi pahlawan bagi Ulysses, Ayah, Ibu, dan kehidupan di sekitar.
Tone ceria dan enerjik tetap dipertahankan oleh film ini. Jika tidak sedang menghangatkan kita oleh hubungan keluarga ataupun oleh petualangan seru, film ini akan bikin kita ngakak oleh selera humor yang juga super. Serius. Sarkasnya si Flora? Cek bikin ketawa. Dialog yang make fun of comic book and superhero? Cek bikin ngikik. Dan tak ketinggalan humor simpel yakni slapstick. Aku lebih banyak ketawa nonton film ini dibandingkan nonton Tom and Jerry (2021) kemaren. Flora & Ulysses adalah contoh yang benar untuk gabungan animasi dan live-action yang melibatkan hewan dan manusia. It uses characters very well, dan benar-benar mendesain komedi dari para karakter tersebut, pada apa yang mereka lakukan. Pada Flora & Ulysses ini, dunia itu benar terasa luas, akan selalu ada karakter yang memberikan kejutan yang lucu. Skit kucing galak yang nyakar dari balik semak aja sukses bikin aku guling-guling.
The friendly Neighborhood Cynic-Man

 
Meskipun demikian, tidak pernah terasa humornya receh. Film garapan Lena Khan ini tidak meledek siapapun – kecuali mungkin para man-child penggemar komik kelas berat itu tadi – dan itupun dilakukan dengan penuh respek. Ada satu elemen yang menurutku dilakukan dengan berani oleh film ini. Yakni karakter ally alias teman manusia Flora yang bernama William (sekali lagi Benjamin Evan Ainsworth dapat lawan main bernama Flora). William diceritakan buta sementara. Dan sikap karakter ini terhadap kebutaannya sering menjadi becandaan buat film ini. William mengatakan dia punya kemampuan echo-lokasi kayak kelelawar, atau dia sering nabrak dan jatuh tapi dia oke aja karena menganggap dirinya punya kemampuan menyerap tubrukan kecil. Sikapnya ini lucu, tapi tidak pernah tampak sebagai olok-olok buat penyandang kebutaan. Awkwardnya interaksi antara Flora dengan William dimainkan seperti gambaran ringan yang bisa dijadikan contoh untuk anak-anak yang punya pertemanan seperti mereka. Film menggebah mereka untuk bersikap biasa saja, tidak melecehkan, dan tidak pula mengasihani berlebihan.

Setiap superhero terlahir dari peristiwa yang membuat mereka hampir celaka. Mereka mendapat kekuatan dari sana. Ini bisa dibawa ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Masalah yang dihadapi, adalah tantangan, yang harusnya bikin kita lebih kuat dengan berani menghadapinya. Will buta, but dia hadapi apa yang di depannya dengan berani. Flora punya segudang masalah meluarga, tapi ia hadapi, mainly dengan berharap semua bisa lebih baik. 

 
Will boleh jadi enggak bikin kita jadi males nonton film ini karena digarap dengan banyak respek. Tapi ternyata ada satu lagi yang berpotensi bikin turn-off. Yakni referensi tak-ada-abisnya ke dunia komik. Film ini sendirinya sudah punya hati dan komedi yang work out perfectly, tapi film tidak bisa menahan diri untuk memasukkan banyak referensi ke komik beneran. Awalnya memang lucu, Flora dalam narasinya menyebut komik seperti Wolverine, terus ada referensi ke Spider-Man tadi, tapi lama-lama ya kayak mengganggu aja. Karena film kan punya komik di dunianya sendiri, komik buatan ayah Flora. Film ini enggak benar-benar butuh menyebut komik yang beneran ada. At this point, mereka melakukannya hanya karena bisa. Nah inilah yang bikin kita sinis, bahwa referensi itu cuma promosi produk Marvel aja. Disney owns them, dan yea, mereka bisa melempar referensi sebanyak yang mereka mau di sini – untuk promosi. Tentu tak mengapa, sebenarnya. Kalo dilakukan dengan elegan, memang mengasyikkan. Tapinya juga, kalo enggak ada adegan-adegan referensi itu pun, film ini masih akan bisa bekerja.
 
 
Selain soal itu, aku gak menemukan hal lain yang bisa jadi permasalahan untuk orang dalam menonton film ini. Petualangan dan komedinya silly enough untuk menjadi seru, tapi tidak melanggar batasan receh atau disrespectful. Film ini sesekali make fun of comic book trope, but that’s about it. Ceritanya ngajarin tentang piaraan dan tanggung jawab, tentang keluarga, tentang persahabatan, tentang berimajinasi, dan semua itu dilakukan dengan enggak pandering, enggak memanjakan anak-anak. Karena itulah film ini bisa dibilang the true superhero yang dibutuhkan oleh anak-anak di tengah keringnya film yang bisa benar-benar mereka idolakan.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for FLORA & ULYSSES
 
 
 
 

That’s all we have for now.
Enak banget jadi Flora punya ayah yang bikin komik. Dulu ayahku membatasi, bahkan bisa dibilang melarang, baca komik. Apakah kalian dulu tim komik atau tim novel? Kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

TOM AND JERRY Review

“Fighting in and of itself is not a threat to the relationship.”
 

 
 
Dibuat pada tahun 1940an, Tom and Jerry adalah masa kecil bagi banyak sekali orang. Abang-kakak kita suka. Emak-bapak kita tahu. Heck, bahkan mungkin ada yang nenek atau kakeknya punya kenangan duduk manis di hari Minggu pagi nontonin kucing dan tikus itu kejar-kejaran. We all love Tom and Jerry. Dulu aku setiap kali pergi ngerental vcd film dan smekdon, kalo si rentalnya gak ada uang kembalian, aku selalu minta kembaliannya dijadiin kaset Tom & Jerry aja. Hahaha enggak ding, maksudnya Tom & Jerry selalu tak ketinggalan untuk ikut kusewa. Nonton kartun mereka itu rasanya gak pernah bosan. Slapstick dan tingkah polah Tom yang ngejar Jerry yang usil selalu sukses bikin ngakak, gak peduli udah ditonton seberapa kalipun. That’s how timeless they are.
Tapi generasi kekinian, bisa jadi gak kenal ama Tom dan Jerry. Dan memang untuk itulah film ini dibikin. Kisah kejar-kejaran mereka dihidupkan kembali melalui dunia campuran animasi kartun dengan lingkungan nyata. Namun sayangnya pembuat film ini malah seperti lupa tujuan tadi. Di tengah dunia berisi manusia dan hewan-hewan kartun tersebut, film ini tersesat. Film ini malah menghabiskan waktu lebih banyak tanpa membahas Tom dan Jerry itu sendiri.
Sutradara Tim Story dan penulis naskah Kevin Costello sebenarnya udah kayak memojokkan diri mereka sendiri in the moment mereka memutuskan untuk “yok bikin film Tom dan Jerry kekinian, yook”. Karena si Tom dan Jerry itu sendiri adalah karakter yang tidak bicara. Dengan begitu, cerita pun harus distretch out; Story dan Costello jadi menggunakan karakter manusia dan karakter kartun lain untuk role bicara. Secara garis besar, outline konsep film ini sebenarnya sudah cukup jelas. Karakter Tom dan Jerry akan menghidupkan suasana lewat kejar-kejaran dan humor-fisik, sedangkan cerita akan dikembangkan lewat karakter manusianya. Namun Story dan Castello tidak tampak confident dalam mengembangkan komedi ala Tom dan Jerry. Entah karena ragu Tom & Jerry bisa tertranslasikan dengan sukes buat selera modern atau karena mereka simply gak mengerti apa yang membuat Tom dan Jerry itu digemari. Pembuat film tidak melakukan hal baru terhadap kejar-kejaran kucing dan tikus ini. Mereka hanya mengulang sketsa di kartun, untuk nostalgia. Di sisi lain, karakter-karakter manusia yang dibuat jadi vital itu juga gagal dikembangkan. Tak lebih dari karakter tumpul dan membosankan.

Bayangkan kalo Tom dan Jerry kejar-kejarannya di Hotel Cecil

 
Dari sinopsis IMDB-nya, film ini sebenarnya difungsikan sebagai semacam origin; kisah gimana Tom dan Jerry bertemu, kisah gimana kejar-kejaran abadi mereka bermula. Namun dari menonton film ini, tidak tampak seperti itu. Tom dan Jerry seperti sudah musuhan sejak lama, dan film ini tuh terasa seperti hanya satu episode dari episode kejar-kejaran mereka. ‘Origin dari kejar-kejaran’ mereka itu juga gak spesial-spesial amat. Jerry melihat Tom ngamen di taman, dan Jerry mengganggu Tom karena Jerry butuh duit. Gitu doang. Di sini, Jerry itu homeless, dia mencari tempat tinggal dan sampailah dia ke Hotel Royal Gate yang mewah. Tom si kucing yang jadi pianoless berkat Jerry, dendam dan mengejar si tikus hingga ke Hotel Royal Gate. Sementara itu ada manusia bernama Kayla (film kedua Chloe Grace Moretz di tahun 2021. Also, film keduanya di tahun 2021 yang zonk!) yang lagi jobless, sehingga dia akhirnya ‘mendapat’ kerja di Hotel Royal Gate. Di Hotel itulah konflik dan chaos terjadi. Kayla ditugasi mengusir Jerry, Kayla minta bantuan Tom, dan mereka harus cepat dan discreet about the job karena beberapa hari lagi akan ada pesta nikahan bergengsi di hotel tersebut!
See, ceritanya saja sudah langsung bermasalah. Keberhasilan pesta nikah itulah yang jadi tujuan ‘petualangan’ Kayla, atau Tom, atau Jerry, atau whoever the protagonist is. Alih-alih membahas (atau menghibur) dengan aksi Tom ngejar Jerry sambil saling ‘menyakiti’ pake benda-benda berat — which is the true selling points of Tom and Jerry, film malah fokus ke… pernikahan. Kenapa kita harus peduli sama pernikahan tersebut saat filmnya sendiri gak pernah benar-benar mengaitkan kepentingan pernikahan tersebut dengan journey Kayla, Tom, ataupun Jerry. Kita disuruh peduli sama pasangan interracial yang hendak nikah itu. Kupikir tadinya mereka adalah selebriti beneran, kayak cameo gitu. Tapi ternyata tidak, mereka karakter cerita. Yang disebutkan punya banyak penggemar, dan pengen wedding yang mewah (pake gajah!), tapi mempelai wanitanya sebenarnya enggak setuju-setuju amat. Kita disuruh peduli karena di cerita itu mereka orang terkenal, dan kita selalu suka ngikutin drama orang terkenal walaupun rekaan kan?
Not!
Kita nonton ini karena ingin melihat Tom dan Jerry. Banyak-banyak! Kita mau lebih banyak adegan seperti saat Tom nyebrang kabel listrik, berusaha mencapai Jerry yang lagi ngadem di jendela hotel. Tapi di sini mereka udah kayak karakter sampingan. Udah kayak karakter comedic-relief di antara adegan-adegan drama manusia yang karakternya random.

I get it. Film mungkin memang sedang membandingkan relationship unik antara Tom dan Jerry dengan pernikahan. Tom dan Jerry sering kejar-kejaran dan berantem, tapi mereka toh langgeng. Kisah mereka tak lekang waktu. Ketika harus baikan, mereka bisa kok jadi sahabat yang tak-terpisahkan. Supaya hubungan asmara bisa langgeng seperti itu, kita bisa meniru mereka. ‘Perlu’ sesekali bertengkar. Karena sesungguhnya bukan ribut dan berantem itu yang bikin renggang.

 
Dunia yang dihuni manusia dan hewan-hewan kartun itu sebenarnya menarik. Harusnya film mengeksplorasi ini lebih jauh. Tapi cerita malah dikurung di hotel. Hotel yang punya aturan gak boleh ada binatang, tapi karakter ceritanya pada selow aja bawa hewan-hewan ke hotel. Jadi, larangan itu gak dijadikan sebagai eksplorasi atau bahkan sebagai konflik. Kayla di sini tu enggak diam-diam nyelundupin hewan, dia mau ngusir tikus. Jadi aturan tersebut, setting hotel tersebut gak punya pengaruh sama sekali kepada karakter Kayla, atau Tom, atau Jerry. Film ini tuh kayak “Hey, ini situasinya bisa menarik” /  “Nah, let’s make it simple and dumb”

Mari setiap beberapa menit sekali kita rangkum cerita lewat merpati yang ngerap!

 
Si Kayla itu karakternya aneh. Dia nipu untuk mendapatkan kerja di hotel. Tapi arc-nya gak pernah benar-benar terbentuk sebagai cerita seseorang yang harus berbuat demikian, kemudian menyesal, dan berusaha redeem herself. Cerita Kayla dibuat untuk asik-asikan doang, dan dia nyesal dan berubah itu sama sekali gak ada perjuangan naik turunnya. Datang gitu aja sesuai durasi. Dibilang baik, enggak juga. Dibilang jahat, ya gak segitunya. Dibilang lucu, dia garing. Dia cuma ada di sana, mengambil tempat sebagai pusat cerita. Dan kita gak peduli sama dia. Emangnya kenapa kalo dia gagal nangkap Jerry. Emangnya kenapa kalo dia sampai ketahuan nipu. Emangnya kenapa kalo Jerry sampai dius… lupakan, gak bakal ada yang bisa nangkap Jerry – that mouse is slick!. EMANGNYA KENAPA KITA HARUS PEDULI SAMA WEDDING DUA SELEB-PALSU?!!
Semua stake film ini lemah, dan salah satunya dikembangkan dengan gak niat. Kita hanya peduli pada kejadian kocak yang terjadi pada Tom dan Jerry. Kenapa begitu susah untuk film ini memberikan itu kepada kita. Aku mulai berpikir film ini gak paham yang namanya komedi. Begini, ada banyak pemain komedi dalam film ini. Ada Michael Pena yang jadi atasan Kayla. Ada Ken Jeong yang jadi kepala koki di hotel. Ada Patsy Ferran yang jadi bell-girl. Tapi film ini gak ngasih apa-apa untuk mereka semua. Tidak ada dialog-dialog lucu. Bahkan one-liner konyol pun tidak ada. Yang dianggap sebagai komedi oleh film ini tu adalah ketika seseorang bicara sendiri, atau melakukan hal awkward sendiri, terus dia jadi tengsin karena diliatin atau malah karena lawan bicaranya sudah pergi. Hanya itu. Talenta komedian cuma mereka suruh begitu.
 
 
Sebenarnya Tom dan Jerry udah punya film-panjang, keluar tahun 1992. Full-animation. Sehingga film tersebut seenggaknya masih menampung spirit utuh dari serial kartunnya. Nah, di film baru ini, Story dan Costello yang udah membawa Tom Jerry ke setting dan konsep visual baru, tak punya banyak pilihan selain menampilkan karakter Tom dan Jerry seoriginal mungkin. Mereka kembali pada karakter yang tidak bicara. Role bicara diberikan kepada karakter-karakter manusia, dan karakter kartun yang lain. Akibatnya Tom dan Jerry jadi bener-bener kehilangan suara. Story dan Costello kesusahan mengembangkan cerita dari komedi Tom dan Jerry yang biasa. Mereka membuat sesuatu yang lebih seperti sebuah drama karakter manusia. Tapi itupun tidak maksimal karena penulisan yang punya mindset bahwa film untuk anak-anak harus dibuat sesimpel mungkin. Karakter manusia hampa semua. Dan parahnya kita terjebak pada mereka. Tom dan Jerry-nya cuma sesekali menghiasi layar, and we know we want more of them! 
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for TOM AND JERRY
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian bagaimana pertengkaran bisa menjadi penting dalam suatu relationship?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

I CARE A LOT Review

“When it comes to swag, there’s no gender involved.”
 

 
Pernahkah kalian nonton film yang si film ini berusaha keras banget untuk membuat karakter protagonis yang jahat dan susah untuk kita sukai, sehingga kita jadi malah ingin melihat si protagonis ini gagal – atau malah celaka – tapi kemudian malah membuat kita merasa ‘salah’ dengan actually memberikan ending yang kita pikir bakal memuaskan?
Belum? Well ya aku pun rasa-rasanya baru sekali ini nonton film yang pretentious dan tendensius seperti begitu. I Care a Lot sukses berat dalam membuat kita membenci protagonisnya, dan di akhir membuat kita feel bad dengan memberikan yang kita mau. Kok bisa sutradara dan penulis naskah J Blakeson memanipulasi kita seperti itu? Gampang, tentu saja dengan mengusung narasi berupa perempuan yang berjuang melawan pria dan dunia mereka!

Cowok yang nonton ini siap-siap dituding sebagai misoginis

 
Protagonis cerita ini adalah Marla Grayson. Dan nama belakangnya itu adalah satu-satunya hal yang ‘gray’ pada dirinya. Karena, kalo ada satu kata yang mendeskripsikan kerjaan Marla dengan tepat, maka kata itu adalah ‘setan’. Pakek tanda seru di belakangnya. Tiga biji!
Begini, kerjaan Marla ini gampangnya adalah kayak pengelola panti jompo. Marla menjadi wali yang sah atas semua pasien di sana. Yang artinya, Marla menguasai semua aset dan harta lansia yang ia rawat di pantinya. Kerjaan ngurusin manula yang hidup sebatang kara – apalagi kalo sakit-sakitan pula – memang sebuah jasa yang mulia. Tapi itu kalo memang ikhlas dan melakukannya karena cinta. Marla tak sedikitpun punya simpati sama lansia yang ia rawat. Marla care a lot ama duit mereka doang. Film gak malu-malu mempertontonkan niat busuk perempuan sukses ini kepada kita. Openingnya saja, kita sudah diperlihatkan bagaimana Marla memenangkan pengadilan dan sukses memisahkan seorang pria dari ibunya. Marla berlindung di balik teknis, dan tentu saja di balik kartu ‘saya pengusaha perempuan dan anda, pria, berusaha menjatuhkan saya’.
Dan kemudian cerita berlanjut dengan memperlihatkan Marla bersekongkol dengan girlfriendnya (what? of course karakter ini ditulis sebagai seorang lesbian!) dan juga dengan seorang dokter perempuan. Mereka menemukan mangsa baru. Seorang nenek yang sebatang kara tanpa sanak saudara. Nenek yang punya banyak rekening bank dan harta-harta lainnya. Mata Marla langsung ijo! Kita pun diperlihatkan montase yang supposedly seru dan menghibur perihal strategi dan langkah-langkah Marla dalam menguntit dan menyiapkan dokumen supaya legal dan sah si Nenek terjeblos di dalam ‘penjara’ asuhannya. Semuanya begitu matang dan profesional. Kecuali satu hal. Marla yang merasa dapat jackpot ternyata malah dirundung masalah superbesar. Nyawanya dan pacarnya terancam bahaya. Karena Nenek yang mereka ‘culik’ ternyata bagian dari organisasi mafia Rusia!!
Cerita yang normal dan lebih tradisional akan membuat si Nenek itu sebagai bos mafia; membuat Nenek itu sebagai antagonis dari Marla, Marla kini berhadapan dengan businesswoman yang lebih jahat, dan Marla nanti akan menyadari kesalahannya, menghadapi konsekuensi, sebelumnya akhirnya berubah menjadi person yang lebih baik. Namun, I Care a Lot ini tentu saja tidak dipersembahkan sebagai cerita yang normal, apalagi tradisional. Film jaman sekarang, ceritanya harus sensasional dan kudu ‘woke’ terhadap isu feminisme. Perempuan lawannya harus pria, dong! Dan di mana-mana perempuan harus selalu benar. Maka jadilah film I Care a Lot ini membuat si Nenek itu sebagai ibu dari bos mafia yang selama ini berjaya menyembunyikan dirinya. Marla kini harus berhadapan dengan Roman. Bekingan hukum gak lagi bisa membantunya karena Roman dan para mafia itu main di luar hukum. Tapi jika kalian pikir, Marla akan benar-benar kesusahan menghadapi Roman, maka kalian benar-benar tidak mengerti bagaimana film modern itu bekerja. Tokoh protagonis cewek ya harus dapat plot armor berupa kekuatan feminis. Protagonis cewek gak boleh kalah lawan cowok, paling tidak ya harus berimbang lah. Mafia yang udah bertahun-tahun di dunia hitam itu bisa lah dibikin salah sekali dua kali, mereka bisa lah dibikin gagal membunuh dua perempuan karena determinasi perempuan yang lebih kuat daripada nafsu balas dendam para kriminal.
Film tahu persis dinamika gender jaman sekarang, dan itu yang dimainkan dengan maksimal untuk bikin kita geregetan.  Jadi, Marla Grayson digambarkan total hitam. Meskipun teknisnya karakter ini adalah antihero, tapi dia digambarkan lebih cocok sebagai villain. Tidak ada hal baik yang bisa kita sukai dari dirinya. Motivasinya uang, dan dia enggak miskin. Marla udah kaya raya banget. Tidak ada stake manusiawi yang emosional dari karakter ini. Film pure mengandalkan ini cerita perjuangan cewek. Kita penonton-lah yang harus otomatis peduli kepadanya karena kalo tidak, maka berarti kita tidak feminis. Kita misoginis karena tidak ingin melihat perempuan sukses. Keantiheroan Marla bergantung pada agenda feminis ini. Lucu, memang, but actually di sinilah letak keberhasilan film ini sebagai dark comedy. Film ini tahu itu semua tadi enggak cukup untuk membuat kita peduli sama Marla, maka mereka lantas membuatnya bahkan lebih susah lagi dengan menghadirkan karakter Nenek. Lansia yang diculik dan ditipu dan dikurung against her will; kita bukan manusia kalo simpati kita gak langsung pindah hinggap ke si Nenek. Jadi, konflik yang dikobarkan oleh film ini sesungguhnya langsung bermain di kita. Kita ingin lihat feminis berhasil, tapi kita juga dibangun untuk benci banget ama protagonis feminisnya.
Protagonis paling unlikeable seumur-umur nonton film!!

 
Rosamund Pike pun didaulat untuk menghidupkan Marla. Di sini ia ditugasi untuk memastikan karakter tersebut tampak semakin ‘setan’ dan unlikeable lagi. Kalo di wrestling, superstar yang kebagian peran heel alias antagonis punya tugas untuk dibenci oleh penonton. Mereka gak boleh sampai ditepuki semangat oleh penonton. Mereka harus di-boo, kalo perlu harus sampai dilemparin cup minuman. Salah satu pertanda superstar heel itu berhasil ya dilihat dari betapa kerasnya dia dihina dan dibenci oleh penonton. Rosamund Pike di film ini persis seperti superstar gulat yang lagi mainin karakter heel tersebut. Dia sukses membuat karakternya menjadi dibenci. Seriously, berkat tindakan dan aksi Marla, aku jadi merasakan kebencian itu menjalar lewat akting dan gesturnya. Aku bahkan benci rambut bobnya. Aku eneg lihat bajunya yang sok rapi. Aku pengen merampas vape itu dari jarinya, dan menyumpalkan benda itu ke mulut songongnya. Begitu suksesnya Pike memainkan karakter ini! (and no, untuk kali ini, ini bukan sarkas; Pike is that damn good!)
Menyusul di belakangnya ada Peter Dinklage yang menyuguhkan permainan akting tak kalah menantang sebagai Roman. Actually, tantangan peran Dinklage di sini lebih sulit dari Pike. Karena Dinklage tidak boleh benar-benar menuai simpati penonton. Film perlu dia untuk tetap menjadi villain, demi mengukuhkan posisi Marla sebagai protagonis. Meskipun Roman bertubuh kecil, dirampas dari ibunya, dicuri benda berharganya, penonton gak boleh sampai kasihan sama karakter ini. The grand design dari narasi film ini adalah memperlihatkan both Marla dan Roman sebagai pribadi yang ‘jahat’. Dinklage paham tugasnya tersebut. Dia menyuntikkan menace ke dalam karakternya yang lebih banyak diam, dia merayapkan sesuatu yang mengerikan dan gak bisa dianggap main-main di balik karakternya yang notabene adalah korban di skenario ini.

At their lowest, cewek atau cowok sebenarnya sama. Mereka bisa jadi sama-sama jahat, sama-sama culas, sama-sama curang. Inilah yang ingin diperlihatkan film kepada kita. Bahwa gender itu memang gak sama, tapi kalo soal moral, gak ada gender yang lebih baik atas yang lainnya. Semuanya pengen jadi sukses, dan keduanya sama-sama gak ragu untuk melakukan hal jahat demi mencapainya. Dan, seperti yang diperlihatkan film sebagai solusi di antara keduanya, daripada saingan sebaiknya kerja sama aja. Saling empower satu sama lain.

 
And here comes the ending. Punchline dari komedi-gelap yang udah dibangun oleh film ini. Kita sudah dibuat menantikan konsekuensi menimpa Marla. Kita sudah ‘digoda’ oleh banyak adegan yang seperti Marla akan mendapat ganjaran. Kita dibuat benar-benar menantikan Marla mendapat derita. But when the time comes, film melakukannya dalam cara yang seolah menuduh kita – yang senang dengan konsekuensi itu akhirnya datang juga – sebagai seorang misoginis. Seolah menuding kita lebih senang melihat Marla gagal. Semua konflik tadi terakumulasi untuk membuat kita merasa seperti demikian; we feel bad karena udah senang karakter perempuan yang berperilaku jahat dapat hukuman; kita tercabik antara moral dan feminis itu sendiri. Dan paling lucu dari semuanya itu adalah, reaksi kita terhadapnya. Kita gak mau tampak misoginis, sehingga banyak dari kita yang berpura-pura benci sama endingnya! Padahal dengan begitu sesungguhnya telah membuat kita menjadi sama pretentiousnya dengan film ini sendiri.
Ya, film ini pretentious karena dia sama sekali tidak berniat menceritakan tentang Marla, tapi semua ini dibuat untuk ‘menyerang’ kita. Ini adalah dark-comedy, dengan reaksi kitalah sebagai joke-nya. Jika ini adalah cerita tentang Marla, maka seharusnya film memberikan inner journey, dia sebagai pribadi harusnya mendapat pelajaran yang lebih dalam ketimbang sekadar menjadi yang tadinya sendiri dan menganggap pria musuh menjadi mau bekerja sama dengan pria yang tadinya literally musuhnya. Absennya pemikiran Marla soal tindakannya sendiri itulah yang menjadi penanda utama film ini tidak dibangun sebagai cerita atau journey Marla.
 
 
 
Baru sekali ini rasanya aku menonton film seperti ini. Kreatif? Ya. Aku mengerti konsep dan konteks dark-comedy yang pembuatnya incar. Film ini punya nyali dan berkreasi sesuai nyalinya tersebut. Kita bisa bilang visinya benar-benar kuat mengarahkan semua elemen ke tujuan. Penampilan akting yang menghidupinya juga gak main-main. Namun sebagai sebuah film utuh; risk yang diambil dengan berani itu tidak pernah membuat film ini fit in ke dalam bentuk sebuah film yang bagus. Karakter protagonisnya unlikeable, simpati kita malah ke karakter lain. Semua kejadiannya tampak lemah karena mengandalkan point-point yang seperti ‘kayaknya di dunia nyata enggak begitu, deh’. Film ini dengan sengaja membagi dua penonton – yang mengaku suka atas perjuangan perempuan, dan yang bilang tidak suka karena kesel ama karakternya. Padahal, sendirinya film ini bergagasan soal bekerja sama. Nah, menurutmu kira-kira sikap yang seperti itu sikap apa namanya?
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for I CARE A LOT
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sih sekarang tu semuanya kayak ‘menang-menangan’ gitu, like, perempuan pengen exist di podcast karena menurut mereka podcast masih area laki-laki
Menurut kalian apakah itu semua adalah narasi tidak mau kalah saja, atau ada lapisan yang lebih dalam lagi?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

STAND BY ME DORAEMON 2 Review

“You need to be happy with yourself or you’ll never be able to be happy in a relationship”
 

 
 
Tentu saja Doraemon punya tempat spesial di dalam diriku. Aku tumbuh besar dengan mengkhayal punya alat-alat ajaib seperti yang ada di kartun Doraemon yang tak pernah ketinggalan ditonton. Aku beberapa kali nekat bolos ngaji supaya bisa nonton Doraemon. Aku – yang waktu itu masih berumur empat tahun – bahkan bersikeras memberi adikku nama Nobita, meskipun ternyata adikku itu adalah perempuan. Orangtuaku ngalah, tapi toh mereka berhasil membujukku mengganti huruf ‘b’ di Nobita menjadi huruf ‘v’. Alhasil kasian adikku, sampai sekarang dia selalu dituduh lahir di bulan November padahal lahirnya itu di bulan September.
Mengenai Nobita, memang, orangtuaku dulu selalu mewanti-wanti untuk tidak menjadi seperti Nobita. Jangan jadi anak cengeng kayak Nobita. Gak boleh niru Nobita yang penakut. Jangan kerjanya malas-malasan nanti jadi kayak Nobita. Rajin belajar, jangan sampai nilainya nol kayak Nobita. Ah, Nobita, Nobita… Kalo dipikir-pikir sekarang, Nobita boleh saja selalu dapat nilai merah dalam pelajaran sekolah. Tapi untuk pelajaran kehidupan, Nobita tak pelak adalah juara kelasnya. Dalam film Stand by Me 2 ini saja, petualangan Nobita menembus waktu akan banyak memberikan dirinya – dan kita semua – pelajaran berharga tentang menemukan rasa bahagia atas diri sendiri demi membahagiakan semua orang di sekitar kita.

Akhirnya menikah, tapi kok malah sedih?

 
 
Hari itu berawal cukup normal di rumah Nobita. Doraemon sedang maintenance alat-alat di kantongnya. Dan Nobita… well, dia barusan kena omel sama Ibu karena ketahuan menyimpan nilai nol. Nobita jadi kangen sama neneknya yang udah meninggal. Kata Nobita nenek adalah satu-satunya yang sayang sama dia. Lantas pergilah Nobita dan Doraemon ke jaman dirinya masih kecil naik mesin waktu. Untuk bertemu Nenek. Cerita keseharian seperti inilah yang bikin Doraemon itu gampang melekat untuk anak kecil. Kita melihat kehidupan Nobita itu ya gak jauh dari kehidupan kita. Tentunya waktu kecil kita pernah sekali dua kali ngayal kita adalah anak pungut saat dimarahi ayah-ibu. Ngayal kalo ada orang dewasa lain di luar sana, yang lebih baik dan rajin beliin mainan, yang bakal datang menjemput kita karena mereka adalah orangtua kita yang sebenarnya. Kita lebih senang sama nenek kakek karena mereka gak pernah marahin dan selalu manjain kita. Menonton cerita seperti ini sekarang, berhasil melempar aku ke nostalgia. Bukan hanya nostalgia kepada dunia Doraemon yang ajaib dan penuh oleh karakter-karakter yang terasa akrab, tapi sekaligus juga nostalgia kepada masa kecil diriku sendiri.
Film ini tahu persis siapa penonton mereka. Aku benar-benar merasa film ini dibuat untuk diriku. Setelah menyambut kita dengan manisnya nostalgia, sutradara Ryuichi Yagi yang kali ini team up sama Takashi Yamazaki, mulai menghidangkan daging sesungguhnya dalam cerita. Sekuel Stand by Me ini dihadirkan sama seperti film pertama yang keluar enam tahun yang lalu; permasalahan Nobita dan Doraemon di sini bukanlah perihal petualangan besar ke dunia luar seperti pada film panjang kartunnya. Melainkan permasalahan yang lebih dekat ke ‘rumah’. Yagi dan Yamazaki mengajak penonton Nobita dan Doraemon yang kini telah dewasa untuk mengarungi permasalahan yang juga sama dewasanya. Nenek Nobita ingin melihat pasangan cucu kesayangannya tersebut saat menikah. Permintaan yang gampang bagi Nobita, karena dia sudah tahu di masa depan bakal menikah dengan Shizuka, dan dia tinggal mempertontonkan pesta mereka kepada Nenek lewat Televisi Waktu. Namun ada sesuatu yang salah. Pesta itu gak mulai-mulai, karena Nobita di masa depan, Nobita Dewasa yang akan menikah itu, tidak kelihatan ada di mana-mana. Maka bergegaslah Nobita dan Doraemon ke masa depan, mencari Nobita Dewasa dan membetulkan banyak hal sebelum semuanya terlambat. Sebelum masa depan Nobita berubah menjadi tanpa Shizuka.
Tidak seperti film pertamanya yang tersusun dari beragam cerita dan episode dari komik/kartun, film animasi 3D kedua ini lebih fokus pada satu permasalahan. Walau memang banyak yang actually akan dikejar dan dikerjakan Nobita, tapi semuanya mengerucut ke satu permasalahan yang sama. Yakni kenapa Nobita di masa depan menghilang dan seperti jadi bimbang (got cold feet) beberapa jam sebelum menikah. Film kali ini actually membahas sangat personal seputar karakter Nobita itu sendiri. Narasinya disusun sedemikian rupa dalam membangun rasa insecure dan ketidakpuasan Nobita terhadap dirinya sendiri. Mulai dari bagaimana Nobita penasaran dirinya anak pungut atau enggak, hingga ke bagaimana Nobita enggak suka sama namanya, dan tentu saja ke bagaimana Nobita Dewasa merasa kasihan sama Shizuka yang mau menikah karena ingin melindungi dirinya. Semua eksplorasi soal itu diceritakan dengan cukup subtil sehingga terlihat di permukaan sebagai celotehan anak bandel yang konyol. Ini tentu saja karena film ini tidak melupakan para penonton cilik. Kelucuan tingkah serta keajaiban dunia dan karakter-karakternya tetap dijadikan pesona utama untuk dinikmati oleh anak kecil. Sementara di balik itu semua, para penonton dewasa (yang sudah setia bersama Nobita dan Doraemon sejak kecil) bisa merasakan sesuatu yang relate alias mewakili perjalanan hidup mereka. Di balik Nobita mencela dan mendebat pilihan Nobita Dewasa lewat percakapan yang sangat amusing, kita tahu bahwa itu adalah cara film menggambarkan kontemplasi karakter lewat kekhususan dan identitas Doraemon itu sendiri.

Di dalam diri kita akan selalu ada sosok anak kecil yang rapuh dan selalu ‘ingin dimanja’. Di dalam diri kita semua, akan selalu ada si Nobita. Itulah yang diajarkan oleh film ini lewat kisah Nobita yang kabur dari pernikahannya sendiri. Bukan karena dia tidak cinta lagi, tetapi justru karena dia cinta makanya dia kasihan kepada Shizuka yang mau padanya. Kini hanya dirinya sendiri yang bisa menyelamatkan dirinya. Masalahnya dia justru menganggap dirinya sendiri sebagai masalah. Padahal Nobita – dan Nobita dalam diri kita yang vulnerable – bukanlah sesuatu yang perlu dibenci atau dienyahkan. 

 
Setting Nobita menikah bukan hanya kuat di nostalgia, tapi juga membentuk panggung yang menarik, yang mampu memikul banyak bobot emosional untuk disampaikan kepada kita. Karena perihal Nobita menikah dengan Shizuka itu sudah sejak dari zaman kartun televisi, bahkan zaman komiknya, selalu jadi goal dramatis dari karakter Nobita ‘si anak lemah’ itu sendiri.

Rasanya pengen menyelimuti diri sendiri dengan Selimut Waktu

 
 
Semua itu dilakukan dalam balutan petualangan menembus waktu. Elemen time-travel ini memang selalu jadi bagian penting dalam semesta Doraemon. Dan dalam film ini pun, sebagaimana film-film kartunnya, elemen time-travel ini dilakukan dengan detil tanpa menjadi memberatkan. Cerita didesain betul supaya elemen time-travelnya benar-benar terikat dan tidak menimbulkan loop yang mengganggu. Sehingga meskipun film ini periodenya luas – menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa depan Nobita – tapi tetap terasa contained. Ceritanya tertutup dan gak meluas menjadi teori-teori yang gak perlu.
Akan tetapi, tentu saja elemen time travel yang bertemu dengan konsep alat-alat ajaib, akan beberapa kali membawa cerita sampai pada titik eksposisi. Akan ada beberapa adegan yang terdengar terlalu ‘telling’ dan membuat emosi film harus tertunda. Untuk sebuah cerita yang memfokuskan pada sisi emosional karakter, dan petualangan time travel, film ini memang at times sedikit terlalu mendikte. Ada beberapa dialog yang sepertinya bisa lebih manis dan berasa jika diperlihatkan lewat emosi atau ekspresi visual. Emosinya lebih banyak dituturkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan budgetnya. Film ini walaupun terlihat sangat kawaii dan lembut, memainkan lingkungan tiga periode berbeda dengan detil dan distinctive, tapi dari segi karakter-karakter, mereka seperti terbatas.
 
 
Dengan lebih memfokuskan kepada karakter Nobita dibandingkan petualangan Doraemon dan kawan-kawan, film ini berhasil memberikan bobot kepada nostalgia dan haru-haruan yang mereka incar. Hubungan antara Nobita dengan karakter lain seperti Doraemon, Shizuka, Neneknya, Ayah-Ibunya, dan bahkan Giant dan Suneo berhasil dikembangkan dengan dewasa. Film ini menggunakan time-travel dengan ringkas sebagai elemen utama sehingga tidak memberatkan cerita. Malah film ini sebenarnya berhasil menjadi cukup simpel tapi sangat mengena bagi kita semua. Bahkan bagi penonton lepas yang somehow belum pernah nonton Doremon sebelumnya (jika ada)
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for STAND BY ME DORAEMON 2
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Saat masih kecil, alat doraemon apa yang kalian paling ingin punya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Elimination Chamber 2021 Review


 
Menuju Elimination Chamber 2021, kita semua berpikir bahwa Roman Reigns adalah orang yang paling curang sedunia. Bagaimana tidak? Menggunakan powernya sebagai juara bertahan, Reigns sukses memaksakan kehendaknya kepada manajemen sehingga dia bisa untuk tidak ikutan bertanding di dalam Kandang Setan. Alih-alih seperti juara dunia di brand sebelah – Drew McIntyre harus hancur-hancuran banting tulang melawan lima mantan juara dunia lainnya di dalam pertandingan maut – Reigns simply tinggal nungguin penantangnya ditentukan dari luar kandang. Roman Reigns benar-benar dapat privilege juara malam ini, dia akan bertanding dalam keadaan segar bugar melawan penantang yang jelas sudah amburadul dari Chamber.
Tapi, kita meninggalkan Elimination Chamber dengan mengetahui bahwa bukan Roman Reigns seorang yang jadi curang sedunia di malam hari bertanggal cantik tersebut (PPV ini diselenggarakan pada 2.21.21, menurut waktu setempat). The Miz; menghabiskan sepanjang tahun 2020 dengan perbuatan curang kecil-kecilan. Mulai dari mencoba merebut kejuaraan dengan pertandingan Handicap bareng rekan tag teamnya, lalu menipu Otis supaya mau mempertaruhkan koper Money in the Bank, dan lantas actually memenangkan koper itu – secara apalagi kalo bukan, secara curang. Miz sempat kehilangan koper itu, tapi dia berhasil mendapatkan kembali kesempatan emas itu dengan beragumen masalah teknis. Turns out, puncak semua itu ternyata jauh lebih ngeselin lagi karena The Miz terlihat benar-benar seperti merencanakan semuanya. The Miz, seperti Reigns, menolak untuk tampil dalam pertandingan Chamber. Dan kemudian, kita melihat The Miz melakukan tawar menawar tentang sesuatu kepada manajer The Hurt Business. Rencana dan build up kecurangan The Miz terbayar tuntas, seperti yang kita lihat di akhir acara Elimination Chamber ini. Dia memenangi kejuaraan WWE dalam sirkumtansi yang diperlihatkan seperti heist terbesar di dalam dunia ring segiempat.
Jadi dengan begitu, kita melaju semakin dekat dengan WrestleMania, dengan disupirin oleh dua juara dunia heel yang curang. Dan ini tentu saja merupakan build up yang sangat menarik. Namuuun, di balik semua itu, aku tidak bisa mengenyahkan perasaan merasa dicurangi yang lebih menohok. Bahwa penulis dan produser di WWE-lah yang sesungguhnya menjadi paling curang sedunia (dan akhirat) dalam skenarion yang ternyata lebih bercabang-cabang daripada kelihatannya ini.

There is some ‘business’ going on…

 
Kita melihat akhirnya Edge – pemenang Royal Rumble 2021 – memutuskan pilihan. Dia menyerang Roman Reigns sebagai bentuk pernyataan bahwa dia akan menantang sabuk si Head of the Table itu di WrestleMania bulan April nanti. Semuanya seperti sudah clear, in terms of feud gede untuk acara terbesar WWE tersebut. Tapi gak pernah benar-benar tampak se-clear itu, karena keadaan yang aneh dari proses menuju pilihan tersebut. The Smackdown Elimination Chamber Match.
Partai pembuka yang penuh aksi-aksi gulat spektakuler, berlangsung selama tiga-puluh menit lebih. Memuat sidestory antara Kevin Owens dengan Jey Uso. Memuat character development yang menarik dari seorang Sami Zayn. Memuat penampilan superhuman Cesaro, yang baru-baru ini mendapat push baru. Memuat perjuangan tak-kenal menyerah Daniel Bryan, sang favorit semua orang. Match ini dibuka oleh Cesaro dengan Daniel Bryan, yang sendirinya tampak seperti dream match. Partai Elimination Chamber ini, yang pemenangnya bakal langsung menantang kejuaraan Roman Reigns ini, otomatis terbuild up sebagai sebuah epik perjuangan si pemenang nanti. Dan WWE benar-benar total, menggarap cerita perjuangan hebat – The Rise of the Ultimate Challenger , mereka menjadikan Daniel Bryan sebagai bintang yang bahkan lebih besar lagi di sini. Bryan harus mulai di match brutal ini sedari menit awal, Bryan harus bertarung dengan cedera lutut. He overcomes the odd. Mengalahkan strategi curang Reigns yang ‘menanamkan’ Jey Uso (sepupu yang jadi anak buah Reigns). Ketika musik Reigns berkumandang menandakan kedatangannya, we want to see Daniel Bryan yang udah kelelahan itu pulled one more miracle. Puncak dramatisnya tentu saja adalah ketika Bryan kalah. Meninggalkan kita dengan “Reigns curang! Reigns gak bakal bisa menang kalo Bryan masih kuat!!” Yang dibangun WWE di sini adalah cerita yang sempurna untuk feud di WrestleMania.
Makanya kedatangan Edge, yang membuat pilihannya itu, jadi terasa mencurangi kita semua. Reigns melawan Edge tentu saja bakal hebat, tapi buatku such a waste banget cerita Bryan dengan Reigns yang udah sedramatis itu harus dihentikan dan diganti dengan feud yang baru mulai lepas landas. Sehingga aku jadi gak yakin kalo ini benar adalah sebuah keputusan. Karena kemungkinan Triple Threat antara Reigns – Edge – Bryan jadi terbuka lebar. Atau, mereka bisa bikin Reigns melawan Bryan di Fastlane bulan depan, tapi match tersebut niscaya bakal terasa seperti filler gede doang.

Atau, apakah ini sebenarnya tanda bahwa WWE memang masih meraba-raba untuk WrestleMania, bahwa masih belum ada yang fix, dan semuanya masih bisa berubah. WWE hanya baru menaruh para ‘pemain’ di dalam kandang, dan mereka mencoba semua kemungkinan sambil jalan?

 
Karena, ini bukan kali pertama WWE menghentikan sesuatu yang lagi anget-angetnya. Ingat gimana Shinsuke Nakamura berjaya di Gauntlet Match, dikembalikan memakai entrance lama supaya penonton mendukung? Ya itu kejadiannya belum lama. Tapi lihat di mana Nakamura sekarang. Dia bahkan gak ikutan di Elimination Chamber ini (yang ada malah si Baron Corbin, ugh!) Push Nakamura immediately dihentikan, WWE saat itu memilih untuk meneruskan Owens sebagai penantang Reigns, meskipun storyline Owens di situ sebenarnya udah mentok.
Dan, tentu saja si Edge. Ingat tahun lalu berita gencar mengabarkan Edge bakal lanjut melawan Orton untuk WrestleMania sekarang ini? Well, yea, rumor tersebut sebenarnya masih bisa untuk jadi ‘kenyataan’. Edge could easily facing Orton, seperti misalnya dengan membuat Orton juara di Elimination Chamber ini, dan kemudian mengalahkan Bray Wyatt di Fastlane, once and for all. Tapi WWE memilih untuk nge-scrap kesemuanya. Termasuk masalah Orton dengan Bray Wyatt (dan Alexa Bliss). Masalah tersebut masih diulur entah untuk sampai kapan. Aku expecting ada penampakan The Fiend mengganggu Orton di Chamber ini, tapi ternyata tidak. Orton malah dibuat gagal oleh ‘hantu-hantu’ dari feud masa lalunya dalam pertandingan malam ini.

“Fickle!”

 
Soal The Miz jadi juara lagi, aku sih happy-happy aja. Setiap kali ada superstar yang storytelling dan promonya bagus dikasih sabuk, aku senang. Aku tipe penonton yang lebih suka sama kerja karakter daripada kerja loncat-loncatan di atas ring. Yang aku kurang sreg dari kejadian Miz jadi juara di sini adalah begitu banyak variable yang bekerja. Sekali lagi, karena WWE jadi masih kayak meraba-raba. Juga, karena aku pesimis – track record WWE soal kontinuiti memang bikin pesimis duluan. Cerita Miz ini melibatkan MVP, Bobby Lashley, Drew McIntyre tentunya, dan John Morrison. Ke mana WWE akan membawa cerita ini? Apakah di WrestleMania nanti mereka akan Fatal 4 Way – atau malah mungkin 5 Way, mengingat Sheamus juga ternyata ada andil dalam cerita McIntyre. Yang jelas, Sheamus dan McIntyre adalah inti dari Chamber match brand Raw kali ini. Apakah feud mereka berdua itu juga akan discrap begitu aja oleh WWE?
We really can’t tell karena WWE juga memang tampak sama sekali masih belum pasti juga. Mereka bisa tampak bersikukuh build up dan kemudian menghilangkannya gitu aja, hanya dalam beberapa jam sebelum tanding. Seperti yang mereka lakukan dalam match Asuka lawan Lacey Evans untuk acara ini. Match yang udah diiklankan tersebut, mendadak tidak jadi tampil. Entah itu karena Evans hamil beneran, atau WWE udah sadar dan nyerah kalo fans tuh gak mau storyline sinetron, apalagi melibatkan Charlotte yang gak belum kuat pada penampilan storytelling.
Sehingga, sejauh ini, kedua kejuaraan utama masih punya kemungkinan untuk dilangsungkan beramai-ramai, alias bukan satu-lawan-satu yang lebih bergengsi. Dan actually kalo kita lihat acara ini, malah ada satu partai lagi yang kemungkinan bakal jadi Triple Threat juga di WrestleMania nanti. Yakni partai Kejuaraan Cewek di Smackdown. For some reason, WWE belum memastikan siapa lawan Bianca Belair di Wrestlemania, dan kita malah mendapat storyline antara Bianca dan Sasha Banks (yang harusnya ditantangnya) dengan Reginald, manager dari Carmella. See, masih ngambang kayaknya semua. Dari cerita mereka berkembang, Reginald yang kayak suka ama Sasha bisa jadi adalah bagian dari rencana Carmella. Segala kemungkinan Triple Threat atau partai ramean kayak gini sesungguhnya juga merupakan pertanda bahwa masih banyak yang di luar itu yang belum mendapat perhatian dari WWE. Asuka belum jelas gimana nasibnya, tag team cowok, Intercontinental, tag team cewek, semuanya masih belum ada storyline yang fix. Kita tuh dibuat persis kayak adegan awkward di match tag team cewek di acara ini. Kita persis kayak Bianca Belair yang kebingungan mau menangkap Sasha Banks yang mau dilempar oleh Nia Jax, tapi Nia Jaxnya masih ragu-ragu.
 
 
 
WWE Elimination Chamber 2021 adalah show yang cukup ‘aneh’ buatku. I feel like, aku harusnya merasa senang dan happy, tapi juga membuatku waspada. Karena masih begitu banyak tampaknya yang masih ‘belum jelas’ dari segi story. At it worst, aku merasa seperti ikut dicurangi olehnya. Pertandingan pengisinya sebenarnya cukup seru. Enggak banyak jumlahnya, namun cukup untuk membuat kita betah duduk. Yang paling gak-banget adalah match tag team cewek, yang endingnya terlalu simpel dan dibuat-buat. Sedangkan, dua match Chambernya sukses nonjok. Yang satu isinya mantan juara dunia. Yang satu lagi dahsyat oleh sebagian besar superstar papan tengah yang tengah di-push sebagai main eventer baru, sehingga mereka pull out all the stops! The Palace of Wisdom menobatkan MATCH OF THE NIGHT kepada SMACKDOWN ELIMINATION CHAMBER
 
 
 
Full Results:
1. SMACKDOWN ELIMINATION CHAMBER Daniel Bryan jadi pemenang atas Jey Uso, Cesaro, Kevin Owens, Sami Zayn, dan Baron Corbin
2. UNIVERSAL CHAMPIONSHIP Roman Reigns menang mudah dari Daniel Bryan yang udah capek
3. UNITED STATES CHAMPIONSHIP TRIPLE THREAT Riddle jadi juara baru ngerebut dari Bobby Lashley dan John Morrison
4. WOMEN’S TAG TEAM CHAMPIONSHIP Shayna Baszler dan Nia Jax bertahan atas Sasha Banks dan Bianca Belair
5. RAW ELIMINATION CHAMBER WWE CHAMPIONSHIP Drew McIntyre kembali juara ngalahin Sheamus, Jeff Hardy, AJ Styles, Kofi Kingston, dan Randy Orton —– hingga The Miz datang merebut sabuk dengan cash in koper Money in the Bank
 
 
 
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
 
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

WRONG TURN Review

“The ultimate tendency of civilization is towards barbarism.”
 

 
 
Sekelompok anak muda yang lagi travelling, salah belok, dan lantas tersesat di hutan. Membuat mereka jadi buruan dan dibunuh satu persatu oleh keluarga kanibal. Penulis Alan B. McElroy telah menetapkan konsep tersebut sebagai fondasi franchise Wrong Turn sejak 2003. Empat sekuel lahir dari film original tersebut, bukan karena bagus, melainkan karena kesimpelan trope ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ yang terus dipertahankan. Dan setelah bertahun-tahun mempertontonkan mindless torture dan kebrutalan bunuh-bunuhan, McElroy tampaknya tobat. Kini – hampir satu dekade dari film pertamanya – McElroy bersama sutradara Mike P. Nelson membanting stir franchise ini. Wrong Turn distart ulang, lalu dibelokkan arahnya ke tontonan yang lebih berisi. ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ tadi diberikan lapisan dan bobot. Sehingga kini mereka menjadi ‘Remaja vs. Kelompok Pembunuh” dengan lebih banyak depth di balik benturan di antara keduanya. Dengan ‘sadis’ dijadikan pertanyaan yang digunakan untuk menantang gagasan kita terhadapnya.

Akhirnya kita dapat reboot yang benar-benar dilakukan untuk memperbaiki kualitasnya

 
 
Slasher bunuh-bunuhan itu ditinggalkan jauh di belakang, salah satunya karena zaman yang memang sudah berubah. Sehingga film harus berevolusi guna menunjukkan fungsinya sebagai penanda zaman itu sendiri. Dan ini bukan hanya soal tren saat itu. You know, 2000an awal memang genre slasher lagi ngehits, film-film penyiksaan lagi sangat bergairah saat itu. Namun tentu saja semua itu berkaitan erat dengan subjek pelaku tren itu sendiri. Dalam hal ini, pelaku itu adalah anak muda. Nelson dan McElroy paham ada perbedaan signifikan antara perilaku dan gaya hidup anak muda atau remaja sekarang dengan anak muda yang hidup di 2000an (Yang bilang bedanya adalah anak muda sekarang masih remaja, anak muda dulu udah jadi tua-tua, aku jitak!) Meskipun masih sama suka hura-hura, tapi anak muda sekarang lebih cepat melek dan lebih mantap dalam mengenali apa yang mereka inginkan dalam hidup. Berkat teknologi yang semakin memegang peranan penting dalam kehidupan mereka.
Aspek itulah yang kini digali oleh Nelson dan McElroy dan dijadikan fondasi bangunan cerita mereka. Kelompok anak muda dalam Wrong Turn terbaru ini terdiri dari Jen (Charlotte Vega juggling antara cerdas, annoying, dan bad-ass) yang berbangga menjadi seorang barista dengan double degree seni tari dan art history, pacar Jen – si Darius – bekerja di lembaga sumberdaya nonprofit, teman-teman mereka pun semuanya punya keahlian. Ada yang menggeluti medis, ada yang ngembangin app, dan ada yang bisnis restoran-cabang kecil-kecilan. Mereka semua masih muda, suka hura-hura, tapi juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dengan bekerja. Untuk membuat kelompok ini lebih kekinian dan ‘woke’ lagi, McElroy membuat karakter mereka terdiri dari pasangan antar-ras dan pasangan LGBT. Jen dan kelompoknya merepresentasikan generasi modern. Di film ini mereka akan mendapat tantangan dari older generation yang masih memegang ‘cara’ lama, yang memandang anak muda seperti mereka dengan sebelah mata. As in, mereka dianggap cuma tahu bersuka ria dan gak mau bekerja. Tapi konflik utama – clash utama – yang disajikan film ini bukanlah tentang Milenial melawan Boomer. Melainkan adalah ketika cara pandang dan gaya hidup modern mereka dituding sadis oleh kelompok penduduk yang memutuskan hidup terpencil di dalam hutan belantara.
Tema modern vs. barbar; penduduk kota lawan suku tradisional, merupakan tema yang bisa dibilang timeless. Tema ini bahkan sudah dieksplorasi pada 80an. Bagi genre bunuh-bunuhan, tema ini memang sudah seperti soulmate. It’s easy bikin cerita anak kota nyasar kemudian menemukan horor berupa kehidupan suku liar. Sudah banyak slasher yang hadir dari situ. Wrong Turn ini bahkan enggak lantas conform ke arah sana. Pertanyaan apakah sebenarnya manusia modern-lah yang lebih barbar dan sadis itu diajukan ke permukaan dengan lebih elegan.
Jen dan teman-teman hiking menyusur hutan hendak melihat-lihat trail atau jejak peradaban penduduk Appalachia jaman dahulu kala. Tapi mereka salah belok, mereka malah masuk ke wilayah komunitas yang menyebut diri sebagai The Foundation. Yakni komunitas yang memilih untuk tinggal di hutan, tinggal dengan alam, guna mempersiapkan rakyat baru. Komunitas itu percaya bahwa Amerika yang sekarang sudah semakin bobrok dan terbelakang, jadi mereka menyepi ke hutan untuk menjadi cikal bakal masyarakat yang lebih manusiawi. Jadi, antagonis Jen di film ini bukanlah penduduk kanibal terbelakang, melainkan manusia yang sama-sama modern, hanya saja berpandangan berbeda. Film membangun benturan kedua sisi ini dengan abu-abu. Pembunuhan pertama yang terjadi di dalam cerita, actually dilakukan oleh kelompok Jen terhadap anggota komunitas The Foundation. Kok bisa? karena Jen dan teman-teman sangat kebingungan di hutan yang penuh perangkap dan jebakan mematikan. Mereka terluka, mereka panik. Sehingga ketika bertemu dengan anggota The Foundation yang berpakaian bulu dan bertopeng tengkorak hewan, yang berbicara bahasa lokal, Jen dan teman-temannya semakin ketakutan dan menyangka yang enggak-enggak.
Jadi, ya, film ini sebenarnya adalah konflik dari dua sudut pandang mengenai cara hidup masyarakat yang dibalut oleh kejadian-kejadian yang mengenaskan. Film memposisikan diri persis berada di tengah-tengah. Bersama film, kita ikut setuju ketika kepala kelompok The Foundation bilang masyarakat normal-lah yang barbar dengan uang, eksploitasi, gaya hidup yang semakin individualis, dengan ketimpangan hidup yang semakin besar. Tapi kita juga setuju bareng Jen, bahwa hukuman mati,  dan memasang jebakan untuk membahayakan manusia lain – menganggap manusia enggak beda banyak ama binatang buruan, tak pelak merupakan perilaku barbaric.

Mungkin memang, Hukum Rimba – makan atau dimakan itu – sesungguhnya masih akan terus ada dalam peradaban manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Mungkin, benar kata Nikolas Tesla. Yang kita perlukan sebenarnya adalah kontak dan pemahaman yang lebih baik, yang lebih dekat, antara individu dan komunitas. Film ini pun punya resolusi serupa dengan ide ‘penghapusan kebanggaan nasional dan pengabdian fanatik’ yang diajukan oleh Tesla tersebut.

 
Pilihan yang dibuat oleh Jen di menjelang akhir babak kedua film, membuat cerita tetap menarik. Membuat film ini terasa semakin fresh lagi di dalam genrenya sendiri. Kedalaman itu terus digali. In fact, dari penceritaannya, kita bisa melihat betapa film kali ini memang memfokuskan kepada kedalaman. Seolah sutradara ingin membuktikan bahwa film bunuh-bunuhan bisa kok punya kedalaman yang berarti. Wrong Turn actually dibuka pada periode Jen sudah menghilang selama enam minggu. Yang kita lihat pertama kali justru adalah ayah Jen yang berkeliling mencari putri semata wayangnya itu. Alur bercerita seperti ini mengingatkanku pada film bunuh-bunuhan dari Polandia yang kutonton baru-baru ini, All My Friends are Dead (2021). Film itu juga dibuka dengan adegan penyelidikan, untuk mengedepankan misteri pada cerita, dan kemudian di babak kedua kita dibawa flashback melihat apa yang sebenarnya terjadi. I’m not a fan of style like this. Namun, penceritaan pada Wrong Turn dilakukan dengan lebih baik daripada film tersebut. Karena ayah Jen nantinya akan kembali dibahas. karakter ayah Jen bukan hanya difungsikan sebagai pengantar, tapi juga menambah banyak ke dalam konteks dan untuk karakter Jen itu sendiri. Relasi Jen dengan ayahnya juga dibahas, dan didesain sebagai bentuk dari bagaimana generasi muda berkontra dengan generasi tua. Singkatnya, karakter ayah Jen membuat film ini jadi punya lapisan lebih banyak lagi.

Berbelok kembali ke jalan yang benar

 
 
Sementara telinga kita terus terbuka demi mendengar lebih banyak konflik dan bentrokan sudut pandang, mata kita mungkin akan lumayan kesulitan untuk tetap melotot. Karena sutradara enggak lupa dengan identitas dan legacy yang dibawa oleh filmnya ini. Wrong Turn masih meriah oleh banyak adegan kematian yang brutal. Absennya pembunuh kanibal digantikan oleh perangkap-perangkap maut tak-pandang bulu. Kamera akan menatap korban-korban mengenaskan itu tanpa segan, kalian mungkin harus mikir dua kali jika berniat nonton ini sebagai teman makan malam. Bagian awal film saat menceritakan ayah Jen mencari putrinya itu terasa lebih tenang dan misterius, sedangkan bagian tengahnya terasa sangat frantic dan berdarah-darah. Sesuai dengan kebutuhan cerita. Semua hal di hutan itu sukses dibuat mengerikan, bahkan pohon aja ternyata bukan pohon biasa di sana! Bagian akhir film ini, hebohnya, terasa sureal. Aku suka. Yang tidak aku suka adalah proses antara bagian tengah menuju bagian akhir. Terasa kurang banyak ruang untuk pengembangan yang maksimal, alias terasa agak terlalu cepat. Time skip dari cara bercerita yang membuatnya harus seperti itu, jadi mungkin kita masih bisa maklum.
Yang gak bisa dimaklumi itu adalah, karakter-karakter anak muda – yang demi identitas dan legacy tadi – dibuat tetep bego. Ketika mereka disebutkan mereka punya pekerjaan dan actually serius dalam menjalani hidup, kita agak kurang percaya. Karena yang kita lihat nanti adalah aksi-aksi dan pilihan yang terlalu sukar dipercaya. Reaksi yang terlalu berlebihan. Mereka sebagian besar masih tampak sama dengan karakter-karakter film slasher tahun 90-2000an. Kita tidak pernah melihat mereka sebagai karakter yang bakal survive. Sekiranya film juga melakukan pembenahan dari bentukan karakter mereka, maka tentu film ini akan jadi lebih baik lagi.
 
 
 
McElroy dan Nelson tidak salah belok saat mereka memutuskan untuk mengubah haluan franchise ini. Karena yang kita dapatkan adalah cerita bunuh-bunuhan yang lebih berisi. Enggak sekadar mati yang sadis dan karakter yang bego. Melainkan ada gagasan yang membalut kuat di balik aspek horor atau thrillernya tersebut. Ceritanya punya banyak lapisan, dan terkadang cukup terasa juga perjuangan film untuk menyeimbangkan dan mengikat semuanya. Usaha yang belum maksimal, tapi seenggaknya pantas sekali untuk diapresiasi. Karena sudah lama sekali kita selalu bertanya-tanya dalam protes, kenapa film bunuh-bunuhan selalu simpel dan dungu. Film ini hadir sebagai salah satu bukti bahwa jika pembuatnya berusaha, film genre tersebut ternyata mampu untuk jadi berbobot.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WRONG TURN
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa sekarang kita hidup dalam masyarakat yang sadis dan barbar?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA